PERSEPSI TENTANG PANGAN SEHAT, PEMILIHAN PANGAN DAN KEBIASAAN MAKAN SEHAT PADA MAHASISWA
REKYAN HANUNG PUSPADEWI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Persepsi tentang Pangan Sehat, Pemilihan Pangan dan Kebiasaan Makan Sehat pada Mahasiswa adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014 Rekyan Hanung Puspadewi NIM I14100005
ABSTRAK REKYAN HANUNG PUSPADEWI. Persepsi tentang Pangan Sehat, Pemilihan Pangan dan Kebiasaan Makan Sehat pada Mahasiswa. Dibawah bimbingan DODIK BRIAWAN. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji persepsi tentang pangan sehat, pemilihan pangan dan kebiasaan makan sehat pada mahasiswa Program Studi Sarjana Ilmu Gizi IPB tahun ajaran 2013/2014. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study, dengan subjek penelitian berjumlah 120 orang terdiri dari 103 perempuan dan 17 laki-laki. Subjek memiliki persepsi pangan sehat yang netral (77.5%) dan positif (22.5%). Aspek alasan dalam pemilihan pangan yang utama adalah kandungan alami dalam pangan, kesehatan dan harga. Aspek keragaman dalam pemilihan pangan berada pada kategori sedang (43.8%). Kebiasaan makan sehat subjek baik (57.5%) dengan kualitas konsumsi pangan yang buruk (54.2%). Tidak terdapat perbedaan persepsi tentang pangan sehat, aspek keragaman dalam pemilihan pangan dan kebiasaan makan sehat antara kelompok status gizi kurang, normal dan lebih. Persepsi tentang pangan sehat berhubungan dengan pemilihan pangan pada aspek alasan kesehatan, suasana hati, kandungan alami dalam pangan, harga, familiaritas, dan masalah etika. Aspek keragaman dalam pemilihan pangan berhubungan dengan kebiasaan makan sehat yang diukur berdasarkan kualitas konsumsi pangannya. Terdapat hubungan antara uang saku dan aspek alasan (kesehatan, suasana hati, kandungan alami dalam pangan, pengendalian berat badan, masalah etika) dalam pemilihan pangan dengan skor kebiasaan makan sehat. Kata kunci : kebiasaan makan sehat, mahasiswa, pemilihan pangan, persepsi ABSTRACT REKYAN HANUNG PUSPADEWI. Perception of Healthy Food, Food Choice and Healthy Eating of Students. Supervised by DODIK BRIAWAN. The aims of this study was to determine the perception of healthy food, the food choice and healthy eating among the first year undergraduate students of Nutrition Science IPB batch 2013/2014. The design of this study was a cross sectional study with the total number of subjects are 120, consisting 103 females and 17 males. The result shows that the subject who has neutral perception about healthy foods (77.5%) is higher than the positive perception (22.5%). The main reasons of the subjects in choosing foods are natural content, health and price. The aspects of diversity in selecting subject’s food are at moderate category (43.8%). The subject’s healthy eating is categorized low (57.5%) with quality consumption of food is poor (54.2%). There is no difference perception about healthy food, aspects of diversity in food choice and healthy eating between group which has low nutritional status, normal and over. The perception about healthy food is correlated with the reason in choosing foods (health, mood, natural content, price, familiarity, and ethics concern). The diversity aspects at food choice is correlated with healthy eating which is measured by their quality consumption. There is a
correlation between pocket money and the reason in choosing foods (health, mood, natural content, weight control, ethics concern) with the score of healthy eating. Keywords : healthy eating, undergraduate students, food choice, perception
PERSEPSI TENTANG PANGAN SEHAT, PEMILIHAN PANGAN DAN KEBIASAAN MAKAN SEHAT PADA MAHASISWA
REKYAN HANUNG PUSPADEWI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi: Persepsi ten tang Pangan Sehat, Pemilihan Pangan dan Kebiasaan Makan Sehat pada Mahasiswa Nama
: Rekyan Hanung Puspadewi
NIM
: 114100005
Disetujui oleh
Prof Dr lr Dodik Briawan. MCN Pembimbing
--
Tanggal Lulus:
2 6 AUG 20l 4
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam skripsi ini adalah kebiasaan makan, dengan judul Persepsi tentang Pangan Sehat, Pemilihan Pangan dan Kebiasaan Makan Sehat pada Mahasiswa. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada: 1. Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 2. Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS selaku dosen penguji sidang skripsi yang telah memberikan masukan untuk perbaikan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Leily Amalia Furqon, STP M.Si selaku dosen pemandu seminar hasil penelitian skripsi ini yang telah memberikan masukannya terkait penyampaian hasil penelitian skripsi ini. 4. Prof Dr drh Clara M Kusharto, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik. 5. Keluarga tercinta: bapak (Ir Suliman), ibu (Sugiarti) dan adik tersayang (Raka Putra Adiprana dan Rahma Putri Sintawati) serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan moril dan kasih sayangnya. 6. Teman-teman satu perjuangan penelitian: Wilda Yunieswati, Hafidudin, M. Yulianto Kurniawan, Ridhati Utria, Kak Nida, dan Kak Fajar yang banyak membantu dalam kerjasama menyelesaikan penelitian dan skripsi ini. 7. Teman-teman dekat: Elok Nalurita, Indah Purnamasari, Yenny Nurfajriani, Annisa Amalia, Nur Eliya Farida, Novi Anggraini, dan Afifah Salimah atas semangatnya. 8. Teman-teman seperjuangan ID yang luar biasa: Kadek, Ani, Rosi, dan Eci. 9. Teman-teman yang pernah membantu kegiatan pengambilan data penelitian: Elok Nalurita, Aris Sulfiana dan Yenny Nurfajriani. 10. Teman-teman pembahas seminar: Ita, Ani, Hafid, dan Yenny yang telah memberikan masukannya selama seminar. 11. Teman–teman (Gizi Masyarakat 47) dan adik-adik (Gizi Masyarakat 48) yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala perhatian, dukungan, semangat dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis. 12. Adik-adik mahasiswa Program Studi Sarjana Ilmu Gizi TPB IPB (Gizi Masyarakat 50) yang telah bersedia menjadi subjek dalam penelitian kali ini. Tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kekurangan penyusunan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2014
Rekyan Hanung Puspadewi
i
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR LAMPIRAN
iii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan
3
Hipotesis
3
Manfaat Penelitian
3
KERANGKA PEMIKIRAN
4
METODE
5
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian
5
Teknik Penarikan Subjek
6
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
6
Pengolahan dan Analisis Data
7
Definisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN
13 15
Karakteristik Subjek
15
Persepsi tentang Pangan Sehat
18
Pemilihan Pangan
20
Aspek Keragaman
20
Aspek Makanan Pantangan
21
Aspek Minuman Kemasan dan Suplemen
22
Aspek Alasan
24
Kebiasaan Makan
25
Hubungan antara Persepsi tentang Pangan Sehat dengan Pemilihan Pangan
28
Hubungan antara Pemilihan Pangan dengan Kebiasaan Makan Sehat
30
Hubungan antara Karakteristik Subjek dengan Kebiasaan Makan Sehat
34
SIMPULAN DAN SARAN
38
Simpulan
38
Saran
39
ii
DAFTAR PUSTAKA
39
LAMPIRAN
43
RIWAYAT HIDUP
50
DAFTAR TABEL 1 Kategori status gizi (WHO 2000) 2 Kategori status gizi berdasarkan IMT/U (WHO 2005) 3 Kelompok pangan pada pengkategorian aspek keragaman dalam pemilihan pangan (FAO 2010) 4 Kategori alasan dalam pemilihan pangan (Steptoe dan Pollard 1995) 5 Indeks Gizi Seimbang IGS3-60 untuk pria usia 16-29 tahun (Amrin 2014) 6 Indeks Gizi Seimbang IGS3-60 untuk wanita usia 16-29 tahun (Perdana 2014) 7 Kategori skor IGS3-60 (Amrin 2014) 8 Sebaran subjek berdasarkan jenis kelamin, usia, uang saku, besar keluarga, dan pendidikan orangtua dengan status gizi berbeda 9 Alokasi uang saku subjek dengan status gizi berbeda 10 Sebaran subjek berdasarkan status gizi dan jenis kelamin 11 Sebaran subjek berdasarkan persepsi tentang pangan sehat dan status gizi 12 Sebaran subjek berdasarkan aspek keragaman dalam pemilihan pangan dan status gizi 13 Sebaran subjek berdasarkan makanan pantangan dan status gizi 14 Sebaran subjek berdasarkan minuman kemasan dan status gizi 15 Sebaran subjek berdasarkan suplemen dan status gizi 16 Rata-rata skor alasan dalam pemilihan pangan dan status gizi 17 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan sehat (AFHC) dan status gizi 18 Rata-rata skor indeks gizi seimbang (IGS3-60) dengan status gizi berbeda 19 Sebaran subjek berdasarkan kualitas konsumsi pangan (IGS3-60) dan status gizi 20 Sebaran subjek berdasarkan pemilihan pangan berupa aspek keragaman dan persepsi tentang pangan sehat 21 Hubungan persepsi tentang pangan sehat dengan pemilihan pangan berupa aspek alasan 22 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan sehat (AFHC) dan pemilihan pangan pada aspek keragaman 23 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan (IGS3-60) dan pemilihan pangan pada aspek keragaman 24 Hubungan pemilihan pangan pada aspek alasan dengan kebiasaan makan sehat (AFHC) 25 Hubungan pemilihan pangan pada aspek alasan dengan kebiasaan makan sehat (IGS3-60)
7 8 9 10 12 12 13 16 17 18 19 20 22 22 23 24 25 27 28 29 30 31 31 32 33
iii
26 27 28 29 30 31
Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan dan jenis kelamin Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan dan uang saku Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan dan pendidikan ayah Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan dan pendidikan ibu Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan sehat dan besar keluarga Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan sehat dan status gizi
34 35 36 36 37 38
DAFTAR LAMPIRAN 1 Kuesioner penelitian 2 Uji beda (Kruskal Wallis) persepsi tentang pangan sehat, pemilihan pangan, kebiasaan makan sehat, dan kualitas konsumsi pangan dengan status gizi berbeda 3 Uji beda (Kruskal Wallis) aspek alasan dalam pemilihan pangan dengan status gizi berbeda 4 Uji beda lanjutan (Mann-Whitney) alasan suasana hati dan pengendalian berat badan pada status gizi kurang dan normal 5 Uji hubungan (Spearman) antara persepsi tentang pangan sehat dengan aspek keragaman dalam pemilihan pangan dan aspek keragaman dalam pemilihan pangan dengan kebiasaan makan 6 Uji hubungan (Spearman) antara persepsi tentang pangan sehat dengan aspek alasan dalam pemilihan pangan dan aspek alasan dalam pemilihan pangan dengan kebiasaan makan 7 Uji hubungan karakteristik subjek dengan kebiasaan makan
43
48 48 48
48
49 49
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia (73.29) berada di posisi 121 dari 187 negara untuk tahun 2012. Nilai IPM Indonesia masih berada di bawah angka rata-rata negara dengan nilai IPM menengah, dan lebih rendah jika dibandingkan dengan negara di kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik (Aulia 2013). Hal tersebut menunjukkan bahwa perlu adanya perbaikan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) agar tujuan pembangunan nasional dapat tercapai (BPS 2010). Remaja merupakan SDM bagi pembangunan di masa datang. Menurut Monks (2002) masa remaja berlangsung pada usia 12—21 tahun dengan pembagian masa remaja awal (12—15 tahun), masa remaja pertengahan (15—18 tahun) dan masa remaja akhir (18—21 tahun). Masa remaja adalah salah satu fase yang penting dari proses pertumbuhan dan perkembangan manusia. Pangan merupakan komponen penting dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia. Kebiasaan makan pada orang dewasa ditentukan oleh faktor keluarga dan budaya yang tumbuh sejak masa anak-anak dan remaja. Kebiasaan makan yang buruk menjadi salah satu faktor yang meningkatkan resiko kesehatan pada remaja menjadi lebih tinggi (Latifah 2008). Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kebiasaan makan, yaitu faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik meliputi lingkungan alam, sosial, budaya, ekonomi, dan agama. Faktor instrinsik sendiri meliputi motivasi, persepsi, sikap, dan preferensi yang masuk ke dalam faktor psikologis (Notoatmodjo 2010). Faktor psikologis berhubungan dengan pengolahan informasi secara internal dalam diri seseorang yang berhubungan dengan pemilihan pangan (food selection). Persepsi sebagai salah satu faktor psikologis adalah pemberian makna kepada stimulus (Notoatmodjo 2007). Paulus et al. (2001) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa sekitar 50% remaja memiliki kebiasaan tidak makan buah dan sayur setiap hari, sering mengkonsumsi coklat dan french fries. Hal tersebut juga didukung dengan asupan asam lemak jenuh > 35% dari total asupan energi dan karbohidrat kompleks kurang dari setengah dari total asupan. Kebiasaan makan yang tidak sehat pada masa remaja dapat meningkatkan risiko penyakit ataupun gangguan kesehatan di saat dewasa maupun usia tua. Penelitian Ree et al. (2008) menunjukkan sekitar 70% remaja melakukan pemilihan pangan tanpa memperhatikan masalah kesehatan, dengan manajemen berat badan sebagai perhatian utama. Padahal berbagai alasan termasuk rasa, kenyamanan, biaya, kesehatan, pencegahan penyakit, budaya, agama, kandungan gizi makanan, aksesibilitas pangan, dan faktor lainnya ikut berkontribusi untuk pemilihan pangan. Pemilihan pangan yang kurang sehat akan menyebabkan kebiasaan makan yang kurang baik (Sjoberg et al. 2003). Aspek motif dalam pemilihan pangan berpengaruh pada kebiasan makan seseorang (Sun 2008). Motif adalah suatu dorongan dari dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut melakukan kegiatan-kegiatan tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Motif
2
tidak dapat diamati, yang dapat diamati adalah kegiatan atau alasan-alasan tindakan tersebut (Notoatmodjo 2010). Gizi yang baik diperoleh dari pangan sehat. Pangan yang sehat adalah pangan yang mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan vitamin, serta bebas dari kuman, bahan berbahaya, bahan cemaran dan bahan tambahan makanan yang tidak diperbolehkan seperti formalin, boraks, dan lain-lain. Konsumen pangan Indonesia lebih menyukai makanan instan dan praktis yang mengandung berbagai bahan kimia. Sisi lain menunjukkan banyak produsen makanan yang mengambil keuntungan dengan menggunakan bahan kimia yang berbahaya pada makanan maupun minuman (Pramudiarja 2011). Menurut Notoatmodjo (2010) persepsi seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya, seperti dalam penelitian Nurchoiriah (2009) bahwa persepsi berhubungan secara bermakna dengan kebiasaan perilaku. Dapat dikatakan bahwa persepsi remaja terhadap pangan sehat diduga akan berpengaruh terhadap pemilihan pangan yang akan dikonsumsi, sehingga akan menentukan kebiasaan makan sehatnya. Remaja dengan status gizi berbeda memiliki persepsi dan pemilihan pangan sehat yang berbeda sehingga kebiasaan makannya pun berbeda antara masing-masing kelompok status gizi (Lake et al. 2007). Mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat pada Tingkat Persiapan Bersama (TPB) sebagian besar dianggap memiliki kompetensi dalam bidang pangan, gizi dan kesehatan, serta dianggap mempunyai pengetahuan dan praktek gizi yang baik. Penelitian ini ingin melihat apakah ilmu terkait gizi sesuai dengan sikap dan praktenya. Khususnya terkait dengan hubungan antara persepsi tentang pangan sehat, pemilihan pangan dan kebiasaan makan sehat. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian mengenai persepsi tentang pangan sehat, pemilihan pangan dan kebiasaan makan sehat pada mahasiswa Program Studi Sarjana Ilmu Gizi IPB tahun ajaran 2013/2014.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan permasalahan yang akan menjadi fokus penelitian pada mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama 2013/2014 dengan Program Studi Sarjana Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana persepsi tentang pangan sehat, pemilihan pangan dan kebiasaan makan sehat pada mahasiswa dengan status gizi berbeda ? 2. Apakah terdapat hubungan antara persepsi tentang pangan sehat dengan pemilihan pangan? 3. Apakah terdapat hubungan antara pemilihan pangan dengan kebiasaan makan sehat ? 4. Apakah terdapat hubungan antara jenis kelamin, jumlah uang saku, status gizi, pendidikan orangtua, dan besar keluarga dengan kebiasaan makan sehat ?
3
Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi tentang pangan sehat, pemilihan pangan dan kebiasaan makan sehat pada mahasiswa. Tujuan Khusus 1. Mengkaji persepsi tentang pangan sehat, pemilihan pangan (aspek keragaman, alasan, makanan pantangan, minuman kemasan, suplemen) dan kebiasaan makan sehat pada mahasiswa dengan status gizi berbeda. 2. Menganalisis hubungan antara persepsi tentang pangan sehat dengan pemilihan pangan (aspek keragaman dan alasan) pada mahasiswa. 3. Menganalisis hubungan antara pemilihan pangan (aspek keragaman dan alasan) dengan kebiasaan makan sehat pada mahasiswa. 4. Menganalisis hubungan antara jenis kelamin, jumlah uang saku, status gizi, pendidikan orangtua, dan besar keluarga dengan kebiasaan makan sehat pada mahasiswa
Hipotesis 1. 2. 3. 4.
Terdapat hubungan antara persepsi tentang pangan sehat dengan pemilihan pangan (aspek keragaman dan alasan). Terdapat hubungan antara pemilihan pangan (aspek keragaman dan alasan) dengan kebiasaan makan sehat. Terdapat hubungan antara jenis kelamin, jumlah uang saku, status gizi, pendidikan orangtua, dan besar keluarga dengan kebiasaan makan sehat. Terdapat perbedaan persepsi tentang pangan sehat, pemilihan pangan dan kebiasaan makan sehat pada mahasiswa dengan status gizi berbeda. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai persepsi tentang pangan sehat dan pemilihan pangan meliputi aspek keragaman, alasan, makanan pantangan, minuman kemasan dan suplemen; serta mengetahui kebiasaan makan sehat pada mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Program Studi Sarjana Ilmu Gizi. Diharapkan adanya persepsi tentang pangan sehat yang positif dan pemilihan pangan yang baik bagi kesehatan sesuai dengan ilmu pengetahuan. Kebiasaan makan pada mahasiswa juga dapat dijadikan referensi dalam penyelenggaraan program pendidikan gizi maupun jasa makanan khususnya di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) yang merupakan lokasi berdomisilinya mahasiswa, terutama di asrama.
4
KERANGKA PEMIKIRAN Kebiasaan makan adalah perilaku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang cenderung dilakukan berulang-ulang. Kebiasaan makan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal terdiri dari lingkungan (fisik dan non-fisik), sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya, dengan faktor sosial budaya yang merupakan faktor terbesar. Faktor internal berupa perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, dan sebagainya. Kedua faktor tersebut akan membentuk perilaku, salah satunya adalah perilaku kebiasaan makan. Proses praktik kebiasaan makan diawali dengan respon tertutup seperti persepsi, kemudian persepsi akan berpengaruh pada praktik kebiasaan makan. Pengaruh tersebut dimediasi oleh sikap sebagai faktor predisposisi. Mediasi antara persepsi dengan kebiasaan makan sehat berupa motif, terutama motif dalam pemilihan pangan dan sikap pemilihan pangan berupa aspek keragamannya. Beberapa faktor seperti makanan pantangan, minuman kemasan dan suplemen diketahui mempengaruhi pemilihan pangan di usia remaja. Kebiasaan makan dapat dipengaruhi pula oleh karakterisitik individu dan keluarga. Terdapat perbedaan praktik kebiasaan makan pada subjek laki-laki dan perempuan. Pendidikan orangtua yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan, sehingga meningkatkan pemberian uang saku pada anak. Jumlah anggota keluarga yang tidak terlalu besar pun dapat membuat alokasi uang saku pada anak semakin besar. Uang saku yang mencukupi atau lebih dapat memberikan kesempatan subjek untuk membeli pangan yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan sehingga kualitas konsumsi pangan dan kebiasaan makannya akan terjamin. Peningkatan Indeks Massa Tubuh diketahui dapat mengubah kebiasaan makan menjadi lebih baik, karena asumsi untuk membentuk kebiasaan makan yang lebih sehat agar terjadi perubahan ukuran tubuh. Hal tersebut memungkinkan untuk adanya perbedaan kebiasaan makan pada masing-masing kategori status gizi. Ketika subjek dengan kategori status gizi berbeda memiliki kebiasaan makan yang berbeda, maka faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan juga akan berbeda untuk masing-masing kategori status gizinya. Dapat dikatakan bahwa pemilihan pangan dan persepsi pun berbeda untuk masing-masing kategori status gizi. Persepsi yang berhubungan dengan kebiasaan makan sehat salah satunya adalah persepsi tentang pangan sehat. Hal tersebut karena kedua variabel tersebut berada dalam konteks sehat. Persepsi tentang pangan sehat yang baik akan membentuk pemilihan pangan yang baik pula sebelum membentuk kebiasaan makan sehat. Hal tersebut karena pemilihan pangan merupakan faktor mediasi antara persepsi dengan praktik perilaku dalam konteks kebiasaan makan. Gambar 1 merupakan kerangka pemikiran yang mendeskripsikan variabel penelitian. Variabel yang diteliti meliputi variabel yang diduga mempunyai pengaruh terhadap kebiasaan makan pada mahasiswa Program Studi Sarjana Ilmu Gizi tahun ajaran 2013/2014. Terdapat faktor yang dapat mempengaruhi kebiasaan makan yaitu persepsi tentang pangan sehat; pemilihan pangan; karakteristik subjek; serta faktor ketersediaan pangan, sosial, dan budaya pangan (tidak diteliti).
5
Karakteristik subjek yang dikaji dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, uang saku, status gizi, pendidikan orangtua, dan besar keluarga. Karakteristik subjek dilihat hubungannya dengan kebiasaan makan. Hubungan antara persepsi tentang pangan sehat dengan pemilihan pangan, pemilihan pangan dengan kebiasaan makan sehat pada mahasiswa Program Studi Sarjana Ilmu Gizi tahun ajaran 2013/2014 juga akan diteliti. Persepsi tentang pangan sehat, pemilihan pangan serta kebiasaan makan sehat pada mahasiswa dilihat perbedaannya antara status gizi kurang, normal dan lebih. Karakteristik subjek: - Jenis kelamin - Uang saku - Status gizi - Pendidikan orangtua - Besar keluarga Pemilihan pangan: - Keragaman - Alasan - Makanan pantangan - Minuman kemasan dan suplemen
Persepsi tentang pangan sehat
Kebiasaan makan sehat
Ketersediaan pangan
Faktor sosial dan budaya pangan
Keterangan gambar : : variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti : hubungan yang diteliti : hubungan yang tidak diteliti Gambar 1 Kerangka pemikiran persepsi tentang pangan sehat, pemilihan pangan dan kebiasaan makan sehat pada mahasiswa
METODE Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study, yang berarti pengumpulan data dan informasi dilakukan dalam suatu waktu tanpa adanya perlakuan atau intervensi kepada subjek. Pengumpulan data dilakukan saat subjek berada di semester 2 (bulan Februari-April 2014). Penelitian dilakukan di Asrama Tingkat Persiapan Bersama (TPB), Institut
6
Pertanian Bogor. Adapun pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan: (a) kelompok mahasiswa yang masuk ke dalam kelompok remaja akhir; (b) status mahasiswa yang diasumsikan memiliki kemampuan berpikir logis terhadap hal konkrit sehingga dapat menjawab pertanyaan yang diberikan dengan baik; (c) kemudahan dalam pengambilan data.
Teknik Penarikan Subjek Populasi dan subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama tahun ajaran 2013/2014 dengan Program Studi Sarjana Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor. Jumlah subjek berdasarkan penarikan jumlah populasi mahasiswa TPB Program Studi Sarjana Ilmu Gizi IPB, dengan penerapan kriteria inklusi berupa: (a) tidak sedang dalam keadaan sakit; (b) bersedia untuk dijadikan sampel dalam penelitian; (c) masih aktif dalam kegiatan perkuliahan. Total mahasiswa TPB Ilmu Gizi IPB adalah 121 orang terdiri dari 104 perempuan dan 17 laki-laki. Terdapat satu orang subjek berjenis kelamin perempuan dalam keadaan sakit sehingga tidak masuk dalam penelitian. Jumlah subjek yang diambil sebanyak 120 mahasiswa yang terdiri dari 103 perempuan dan 17 laki-laki.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang diambil meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik subjek (jenis kelamin, uang saku, status gizi (berat badan/BB dan tinggi badan/TB, pendidikan orang tua, dan besar keluarga); persepsi tentang pangan sehat; pemilihan pangan; dan kebiasaan makan sehat. Informasi ini diperoleh melalui kuesioner yang ditujukan kepada subjek dan diisi secara pribadi oleh subjek. Pengisian kuesioner dilakukan dengan pendampingan dan penjelasan terkait poin-poin yang ada di dalam kuesioner agar lebih jelas. Tetap diberikan petunjuk pengisian di dalam kuesioner, kecuali untuk data status gizi (BB dan TB) diperoleh melalui pengukuran langsung menggunakan timbangan berat badan dan pengukur tinggi badan (staturemeter). Berat badan diperoleh dengan menggunakan timbangan injak digital dengan satu angka desimal, dan diletakkan di permukaan lantai yang datar. Subjek diminta untuk berdiri di atas timbangan dengan posisi tegak, pandangan lurus ke depan dan tidak boleh menyandar. Subjek juga diminta untuk melepaskan perlengkapan yang berat seperti jaket, jam tangan dan lain-lain. Tinggi badan subjek diukur dengan menggunakan staturemeter (ketelitian 0.1 cm) yang ditempelkan di dinding dengan tinggi maksimal 2 m. Saat pengukuran tinggi badan, posisi tubuh subjek harus berdiri tanpa menggunakan alas kaki, tumit ditempelkan ke dinding, tubuh tegak, pandangan lurus ke depan tidak menunduk ataupun menengadah, kepala dan badan menempel ke dinding dengan posisi mata satu garis dengan telinga. Pada subjek perempuan ikat rambut harus dilepas agar kepala benar-benar menempel pada dinding. Hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan dicatat di lembar kuesioner karakteristik subjek.
7
Pengukuran kualitas konsumsi pangan untuk melihat kebiasaan makan menggunakan metode recall 2x24 jam dengan dilakukan wawancara langsung kepada subjek sebanyak dua kali yaitu hari libur dan hari kuliah. Data sekunder meliputi daftar nama, nomor induk mahasiswa (NIM) dan daftar asrama (gedung dan nomor kamar) dari mahasiswa Program Studi Sarjana Ilmu Gizi TPB IPB.
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh kemudian diolah secara statistik. Proses pengolahan data terdiri atas beberapa tahapan meliputi pengeditan (editing), pengkodean (coding), pemasukan data (entry), pengecekan ulang (cleaning), dan analisis data. Pengolahan data dilakukan menggunakan program komputer Microsoft Excel 2013 dan WHO Anthro Plus dan analisis data menggunakan Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 16.0. Penentuan usia dengan pengisian tanggal lahir pada kuesioner, dan diolah menggunakan software WHO Anthro Plus agar dapat dihitung usia dari subjek. Menentukan status gizi dengan menghitung IMT (Indeks Masa Tubuh) dengan cara membandingkan berat badan (kg) dengan tinggi badan kuadrat (m2) untuk subjek dengan usia lebih dari 19 tahun. Penentuan status gizi untuk subjek berusia kurang dari 19 tahun menggunakan IMT/U. Antropometri memiliki kekurangan yaitu metode tersebut tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi kekurangan atau kelebihan zat gizi tertentu. Pada kasus khusus seperti seorang atlit yang melakukan pengukuran IMT diperoleh status gizi obesitas. Status gizi obesitas tersebut tidak pasti identik dengan kelebihan lemak. Hal tersebut dikarenakan seorang atlit yang memiliki aktivitas tinggi cenderung memiliki komposisi tubuh yang tinggi pada bagian ototnya, sehingga nilai IMT yang besar bukan berarti karena komposisi lemaknya yang tinggi. Pada penelitian ini sampel bukan merupakan kelompok khusus sehingga dapat digunakan pengukuran status gizi menggunakan IMT. Data status gizi diperoleh dari hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan yang kemudian diolah menggunakan software WHO AnthroPlus atau Microsoft Excel 2013. Pengukuran status gizi dilakukan berdasarkan kelompok usia. Usia subjek dihitung menggunakan software WHO AnthroPlus dengan memasukkan data tanggal lahir dan tanggal pengambilan data. Subjek yang berusia >19 tahun dikategorikan berdasarkan WHO (2000) seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Kategori status gizi (WHO 2000) 2
IMT (kg/m )
Kategori status gizi
Kategori analisis
< 18.50
Underweight
Kurang
18.50−22.99
Normal
Normal
23.00−24.99
Overweight
25.00−29.99
Obesitas I
≥ 30.00
Obesitas II
Lebih
8
Subjek yang berusia ≤19 tahun menggunakan metode pengukuran status gizi berupa IMT/U (nilai Z-score) dengan pengkategorian status gizi seperti yang terlihat pada Tabel 2. Data uang saku per bulan dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu < Rp 600 000, Rp 600 000—Rp 999 999, dan ≥ Rp 1 000 000. Pengkategorian tersebut berdasarkan kebutuhan pangan minimal yang dapat memenuhi kebutuhan gizi ditambah dengan pengeluaran non pangan individu kurang lebih sebesar Rp 600 000—Rp 1 000 000 (Prabandari 2010). Data alokasi uang saku disajikan dalam bentuk persentase pengeluaran untuk makanan, minuman, suplemen, dan lainnya terhadap jumlah uang saku per bulan. Tabel 2 Kategori status gizi berdasarkan IMT/U (WHO 2005) Nilai Z-score
Kategori status gizi
< -3 SD
Sangat kurus
-3 SD ≤ Z < -2 SD
Kurus
-2 SD ≤ Z < +1 SD
Normal
+1 SD ≤ Z < +2 SD
Kelebihan berat badan
+2 SD ≤ Z < +3 SD
Gemuk
> +3 SD
Sangat gemuk
Kategori analisis Kurang Normal Lebih
Data pendidikan orang tua subjek merupakan data jenjang pendidikan formal terakhir dari ayah dan ibu subjek. Data pendidikan orangtua untuk ayah dan ibu masing-masing dikategorikan menjadi delapan kelompok yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMP, tamat SMP, tidak tamat SMA, tamat SMA, dan perguruan tinggi (Diploma, S1 dan S2/S3). Data besar keluarga dikategorikan berdasarkan jumlah anggota dalam keluarga menurut BPS (2010). Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yaitu ibu, ayah, dan anak-anaknya serta orang lain yang tinggal bersama dan biaya hidupnya menjadi tanggungan kepala keluarga. Data besar keluarga dikelompokkan menjadi tiga yaitu, keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5—6 orang) dan keluarga besar (≥ 7 orang). Pengukuran persepsi tentang pangan sehat menggunakan kuesioner yang berisi duapuluh pernyataan mengenai pangan sehat yang terbagi menjadi empat sub utama yaitu: keanekaragaman pangan, keamanan pangan, kandungan zat gizi dalam pangan, serta konsumsi cairan dan suplemen yang mengacu dari Pedoman Gizi Seimbang (Kemenkes 2014). Subjek menjawab pernyataan dengan pilihan sangat setuju (SS), setuju (S), ragu-ragu (RR), tidak setuju (TS), atau sangat tidak setuju (STS) sesuai skala Likert. Setiap pilihan memiliki skor masing-masing. Skoring dalam tiap pernyataan terbagi menjadi dua yaitu: a) skor untuk pernyataan favorable (positif) dengan alternatif jawaban SS=5, S=4, RR=3, TS=2, atau STS=1; b) skor untuk pernyataan unfavorable (negatif) dengan alternatif jawaban SS=1, S=2, RR=3, TS=4, atau STS=5. Pengkategorian untuk persepsi tentang pangan sehat dengan menetapkan cut-off point dari skor yang telah dijadikan dalam bentuk persen untuk keseragaman. Skor total diperoleh dan dikategorikan menjadi negatif (<60), netral (60-80) dan positif (>80) (Khomsan 2000).
9
Data pemilihan pangan terdiri dari 15 buah pertanyaan untuk mengidentifikasi pemilihan pangan yang dikelompokkan berdasarkan aspek keragaman, alasan, makanan pantangan, minuman kemasan, dan suplemen. Pemilihan pangan pada aspek keragaman dikategorikan menjadi kurang (≤3 kelompok pangan), sedang (4—5 kelompok pangan) dan tinggi (≥6 kelompok pangan) (FAO 2010). Terdapat sembilan kelompok pangan dalam menentukan aspek keragaman dalam pemilihan pangan. Sembilan kelompok pangan tersebut disajikan seperti pada Tabel 3 berikut. Tabel 3 Kelompok pangan pada pengkategorian aspek keragaman dalam pemilihan pangan (FAO 2010) Kelompok pangan
Contoh jenis pangan
Makanan pokok (kombinasi serealia, umbi-umbian, akar putih)
Roti, mie, biskuit, jagung, beras, ubi jalar, singkong, bihun, rebung, dan produk olahannya
Sayuran berdaun hijau tua
Daun singkong, bayam, kangkung, sawi,
Umbi, buah dan sayuran lain yang kaya akan Vitamin A
Kentang, ubi kayu kuning, mangga, wortel, pepaya matang, dan semangka
Buah dan sayur lainnya
Tomat, kool, buncis, pisang, melon, jeruk
Organ (‘jeroan’)
Hati, ampela, usus, dan jantung
Daging dan ikan
Daging sapi, babi, kambing, ayam, ikan segar, ikan asin, dan lainnya
Telur
Telur ayam, telur puyuh, telur bebek
Kacang-kacangan
Kacang hijau, kacang tanah, kacang kedelai, kwaci, dan biji-bijian lainnya
Susu dan produk olahannya
Susu, keju, yoghurt, atau olahannya
Aspek makanan pantangan dalam pemilihan pangan meliputi jumlah subjek yang memiliki makanan pantangan. Alasan dari makanan pantangan juga diidentifikasi dan dikelompokkan menjadi alergi, diet penurunan berat badan, penyakit, budaya daerah asal, mengikuti tren, menjaga kesehatan, kandungan yang ada di dalam makanan, dan lainnya. Kepercayaan, praktik dan lama penerapan terhadap makanan pantangan pun dijelaskan. Aspek minuman kemasan dan suplemen dalam pemilihan pangan dijelaskan terkait jumlah subjek yang suka memilih untuk mengonsumsi suplemen dan atau minuman kemasan. Jenis minuman kemasan dikelompokkan menjadi teh, kopi, susu, minuman berion, berperisa buah, bersoda, dan lainnya. Tujuan memilih untuk mengonsumsi suplemen atau minuman kemasan juga dikelompokkan menjadi membantu mengatasi stres, membantu tubuh menjadi lebih rileks, membuat tubuh terasa lebih sehat, menjadi lebih bertenaga saat beraktivitas, menguatkan tulang, dan lainnya. Sumber informasi mengenai suplemen atau minuman kemasan dikelompokkan menjadi televisi, internet, teman sebaya, keluarga, dan lainnya. Terdapat 36 pernyataan yang mengidentifikasi pemilihan pangan terkait aspek alasan, dengan menggunakan Food Choice Questionnaire (FCQ). Food Choice Questionnaire dikembangkan oleh Steptoe dan Pollard (1995), terdiri dari
10
36 buah pernyataan yang dirancang untuk mengukur aspek alasan dalam melakukan pemilihan pangan dengan sembilan faktor utama yaitu kesehatan, suasana hati, kenyamanan, sensorik, kandungan alami dalam pangan, harga, pengendalian berat badan, familiaritas, dan masalah etika. Kuesioner FCQ memiliki pilihan pernyataan yang telah disesuaikan seperti dalam penelitian Sun (2008) berupa 7 skala Likert untuk menilai sejauh mana subjek menempatkan kepentingan aspek alasan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pemilihan pangan. Sebanyak tujuh buah poin skala Likert yaitu sangat tidak penting (STP), tidak penting (TP), agak tidak penting (ATP), ragu-ragu (RR), agak penting (AP), penting (P), dan sangat penting (SP). Poin penilaian dimulai dari sangat penting=7, penting=6, agak penting=5, ragu-ragu=4, agak tidak penting=3, tidak penting=2 atau sangat tidak penting=1. Setiap nilai pada masing-masing pernyataan dijumlahkan menurut kelompok kategori dalam aspek alasan pemilihan pangan seperti pada Tabel 4. Masing-masing kategori memiliki item penilaian pada 36 buah pernyataan FCQ. Pernyataan pada kuesioner FCQ disusun secara acak dengan kategori kesehatan terdapat pada pernyataan nomor 9, 10, 22, 27, 29, dan 30 dalam kuesioner FCQ (Lampiran 1). Kategori suasana hati terdapat pada poin pernyataan nomor 13, 16, 24, 26, 31, dan 34. Kategori kenyamanan terdapat pada poin pernyataan nomor 1, 11, 15, 28, dan 35. Kategori sensorik terdapat pada poin pernyataan nomor 4, 14, 18, dan 25. Kategori kandungan alami dalam pangan terdapat pada poin pernyataan nomor 2, 5 dan 23. Kategori harga terdapat pada poin pernyataan nomor 6, 12 dan 36. Kategori pengendalian berat bada terdapat pada poin pernyataan nomor 3, 7 dan 17. Kategori familiaritas terdapat pada poin pernyataan nomor 8, 21 dan 33. Kategori masalah etika terdapat pada poin pernyataan nomor 19, 20 dan 32. Tabel 4 Kategori alasan dalam pemilihan pangan (Steptoe dan Pollard 1995) No
Kategori aspek alasan pemilihan pangan
1
Kesehatan
2
Suasana hati
3
Kenyamanan
4
Sensorik
5
Kandungan alami dalam pangan
6
Harga
7
Pengendalian berat badan
8
Familiaritas
9
Masalah etika
Data kebiasaan makan subjek diperoleh melalui pengisian kuesioner secara langsung oleh subjek dengan menggunakan kuesioner Adolescent Food Habits Checklist (AFHC). Kuesioner Adolescent Food Habits Checklist (AFHC) dikembangkan oleh Johnson, Wardle dan Griffith (2002), terdiri dari 23
11
pernyataan yang dirancang untuk mengukur kebiasaan makan sehat khusus pada kalangan remaja (Lampiran 1). Kuesioner AFHC memiliki pilihan jawaban ya atau tidak pada pernyataan yang disediakan, dan pada 9 buah pernyataan diantara 23 pernyataan tersebut memiliki pilihan tambahan berupa pernyataan tersebut tidak berlaku pada saya. Subjek menerima 1 poin jika dianggap memiliki respon kebiasaan makan yang sehat (jawaban tidak untuk pernyataan nomor 3, 8, 14, 18, 21, dan ya untuk sisa pernyataannya dalam kuesioner AFHC). Skor akhir harus disesuaikan dengan respon yang menyatakan tidak berlaku pada saya (ada pada pernyataan nomor 1, 6, 7, 11, 17, 18, 19, 20, 21 dalam kuesioner AFHC), dan pernyataan yang tidak diisi dengan menggunakan rumus seperti di bawah ini. Setelah skor diperoleh maka dilakukan pengkategorian kebiasaan makan sehat menjadi baik (≥mean) dan kurang baik (<mean) (Johnson, Wardle dan Griffith 2002). Skor AFHC = jumlah respon kebiasaan makan yang dianggap sehat x (23/jumlah item yang dapat diselesaikan) Pengukuran kualitas konsumsi pangan masyarakat Indonesia dapat dilakukan dengan menggunakan Indeks Gizi Seimbang (Healthy Eating Index) berdasarkan standar dari PGS (Pedoman Gizi Seimbang). Penelitian Amrin (2014) menunjukkan bahwa alternatif Indeks Gizi Seimbang yang dapat digunakan di Indonesia untuk pria dewasa adalah Indeks Gizi Seimbang dengan cara penilaian tiga tingkat (3), terdiri dari enam komponen penelitian (6) dan tidak ada aspek pangan terkait penyakit tidak menular (0) (IGS3-60). Metode IGS3-60 memiliki nilai korelasi tertinggi yaitu sebesar 0.64, sehingga indeks gizi seimbang IGS3-60 merupakan alternatif terbaik untuk menilai kualitas konsumsi pangan pria dewasa Indonesia (Amrin 2014). Hasil penelitian Perdana (2014) menunjukkan bahwa metode Indeks Gizi Seimbang yang menjadi alternatif metode terbaik untuk melihat kualitas konsumsi pangan pada wanita dewasa adalah IGS3-60. Keunggulan dari IGS3-60 adalah penggunaannya lebih sederhana sehingga memudahkan penilaian kualitas konsumsi pangan. Penggunaannya dengan menghitung porsi makan kelompok pangan tertentu yaitu pangan sumber karbohidrat, sayuran, buah-buahan, pangan hewani, pangan nabati, dan susu. Tentunya tanpa menghitung kandungan gizi yang dikonsumsi, sedangkan penggunaan Pola Pangan Harapan (PPH) yang biasanya digunakan untuk melihat mutu konsumsi pangan didasarkan pada jumlah asupan energi dari masing-masing kelompok pangan. Tabel 5 menyajikan komponen dan kriteria penilaian IGS3-60 berdasarkan penelitian Amrin (2014). Terdapat penyesuaian untuk standar porsi yang digunakan. Standar porsi yang digunakan skoring IGS3-60 telah disesuaikan dengan standar porsi makan untuk laki-laki 16—29 tahun karena rentang usia subjek dalam penelitian ini berkisar antara 17—20 tahun. Standar porsi yang digunakan mengacu pada Kemenkes (2014).
12
Tabel 5 Indeks Gizi Seimbang IGS3-60 untuk pria usia 16-29 tahun (Amrin 2014) No
Komponen
Skor IGS3-60 0
8.35
16.7
Porsi 1
Konsumsi pangan karbohidrat
<4
4−8
≥8
2
Konsumsi sayuran
<1
1−3
≥3
3
Konsumsi buah-buahan
<1 ¼
1 ¼−5
≥5
4
Konsumsi pangan hewani selain susu
<1
1−3
≥3
5
Konsumsi pangan nabati (kacang-kacangan)
<1
1−3
≥3
6
Konsumsi susu
≤¼
¼−1
≥1
Modifikasi pada standar porsi kelompok pangan di IGS3-60 dilakukan untuk menyesuaikan standar porsi bagi usia remaja pada subjek yang berkisar antara 17-20 tahun. Modifikasi tersebut dilakukan pada IGS3-60 untuk pria maupun wanita. Indeks Gizi Seimbang terpilih untuk wanita dewasa berdasarkan hasil penelitian Perdana (2014) adalah IGS3-60 seperti pada Tabel 6. Berat kelompok pangan yang dikonsumsi subjek dikonversi ke dalam porsi sesuai dengan Daftar Bahan Makanan Penukar II dalam Pedoman Gizi Seimbang (Kemenkes 2014). Misalnya subjek mengonsumsi nasi 150 g berarti subjek mengonsumsi 1.5 porsi kelompok pangan karbohidrat, dengan bahan makanan pada kelompok pangan yang sama memiliki standar berat per porsi yang berbeda. Tabel 6 Indeks Gizi Seimbang IGS3-60 untuk wanita usia 16-29 tahun (Perdana 2014) No
Komponen
Skor 0
8.35
16.7
Porsi <2 ½
2 ½−5
≥5
<1
1−3
≥3
<1 ¼
1 ¼−5
≥5
Konsumsi pangan hewani selain susu
<1
1−3
≥3
5
Konsumsi pangan nabati (kacang-kacangan)
<1
1−3
≥3
6
Konsumsi susu
≤¼
¼−1
≥1
1
Konsumsi pangan karbohidrat
2
Konsumsi sayuran
3
Konsumsi buah-buahan
4
Indeks Gizi Seimbang atau IGS3-60 untuk pria dan wanita menggunakan standar porsi yaitu satu porsi pangan karbohidrat setara dengan 100 g nasi, satu porsi sayur setara 100 g sayur, satu porsi buah setara 50 g buah pisang ambon ukuran sedang, satu porsi pangan hewani kecuali susu setara 40 g ikan, satu porsi susu setara 200 ml susu cair atau 20 g tepung susu, dan satu porsi protein nabati setara 50 g tempe. Setiap komponen memiliki nilai 0—16.7, sehingga jika
13
dijumlahkan nilai dari enam komponen diperoleh nilai total yang berkisar antara 0—100. Penentuan kategori Skor IGS3-60 yaitu seperti pada Tabel 7. Tabel 7 Kategori skor IGS3-60 (Amrin 2014) Kategori skor IGS3-60
Nilai
Buruk
< 40
Kurang
40−54
Sedang
55−69
Cukup baik
70−84
Sangat baik
≥ 85
Hasil pengolahan data selanjutnya dianalisis secara univariat dan bivariat Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan data karakteristik subjek: usia, jenis kelamin, status gizi, pendidikan orangtua, besar keluarga, persepsi tentang pangan sehat, pemilihan pangan, dan kebiasaan makan sehat. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara dua variabel. Analisis yang digunakan berupa uji beda proporsi Kruskal Wallis untuk variabel persepsi tentang pangan sehat, pemilihan pangan dan kebiasaan makan sehat (metode IGS3-60); serta uji beda One Way ANOVA pada variabel kebiasaan makan sehat (metode AFHC). Uji beda dilakukan untuk melihat perbedaan variabel yang diteliti pada kategori status gizi kurang, normal dan lebih. Uji korelasi Spearman dilakukan pada variabel persepsi tentang pangan sehat dengan pemilihan pangan (aspek keragaman dan alasan); pemilihan pangan (aspek keragaman dan alasan) dengan kebiasaan makan sehat; uang saku, pendidikan orangtua, dan besar keluarga dengan kebiasaan makan sehat; status gizi (IMT/U) dengan kebiasaan makan sehat (metode IGS3-60). Uji hubungan Chi square dilakukan pada variabel jenis kelamin dengan kebiasaan makan sehat yang diukur menggunakan metode AFHC. Uji hubungan Kolmogorov-smirnov digunakan untuk menguji hubungan antara jenis kelamin dengan kebiasaan makan sehat yang dikukur menggunakan metode IGS3-60. Uji korelasi Pearson dilakukan pada variabel status gizi (IMT/U dan IMT) dengan kebiasaan makan sehat (metode AFHC), dan variabel status gizi (IMT) dengan kebiasaan makan (metode IGS360).
Definisi Operasional Subjek adalah mahasiswa aktif program pendidikan sarjana reguler ilmu gizi Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor pada Tingkat Persiapan Bersama (TPB) tahun 2013/2014. Umur subjek adalah lama waktu hidup subjek penelitian yang dikelompokkan menjadi kelompok remaja yaitu remaja awal (12—15 tahun), masa remaja pertengahan (15—18 tahun) dan masa remaja akhir (18—21 tahun). Uang saku adalah total uang yang diterima subjek setiap bulan kecuali biaya SPP kuliah dan asrama.
14
Alokasi uang saku perbulan adalah total pengeluaran subjek yang digunakan untuk membeli kebutuhan makanan, minuman dan suplemen, serta nonpangan sebulan terakhir. Status gizi adalah keadaan fisik subjek yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat-zat gizi makanan yang dinilai berdasarkan berat badan terhadap tinggi badan kuadrat yang kemudian ditentukan dengan menggunakan indeks massa tubuh (IMT) atau IMT/U dan dikelompokkan menjadi status gizi kurang, normal dan lebih. Pendidikan orangtua adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang telah diselesaikan oleh orangtua, dikategorikan menjadi tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMP, tamat SMP, tidak tamat SMA tamat SMA, dan perguruan tinggi (Diploma, S1 dan S2/S3). Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yaitu ibu, ayah, dan anakanaknya serta orang lain yang tinggal bersama dan biasanya hidupnya menjadi tanggungan kepala keluarga yang dikategorikan menjadi tiga yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5—6 orang) dan keluarga besar (≥ 7 orang). Aspek alasan dalam pemilihan pangan adalah motif atau suatu dorongan dari dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut melakukan kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan dalam pemilihan pangan. Aspek keragaman dalam pemilihan pangan adalah sikap dalam melakukan pemilihan pangan dengan memperhatikan keragaman kelompok pangannya. Makanan pantangan adalah makanan yang disikapi atau diyakini tidak dianjurkan dipilih untuk dikonsumsi karena berbagai alasan diluar alasan agama. Minuman kemasan adalah produk minuman yang dikemas dan dijual secara komersial dipasaran. Suplemen makanan adalah produk konsentrat yang mengandung satu atau lebih vitamin dan atau mineral, dikonsumsi dalam jumlah sedikit yang terukur dan tidak dalam bentuk makanan umum serta dipasarkan dalam bentuk antara lain kapsul, tablet, serbuk atau cairan yang dimaksudkan untuk mencukupi asupan vitamin dan atau mineral dari diet normal. Kebiasaan makan adalah perilaku yang dilakukan secara berulang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti kualitas konsumsi pangannya dan aspek terkait diet yang berhubungan dengan kesehatan sebagai reaksi fisiologik, psikologik, sosial, dan budaya Persepsi tentang pangan sehat adalah pemberian makna kepada pangan sehat berupa respon positif, netral atau negatif dalam bentuk persetujuan. Indeks Gizi Seimbang 3-60 (IGS3-60) adalah metode Healthy Eating Index (HEI) Indonesia dengan cara penilaian tiga tingkat (3), terdiri dari enam komponen penilaian (6) dan tidak ada aspek pangan terkait dengan penyakit tidak menular (0). Adolescent Food Habits Checklist (AFHC) adalah metode pengukuruan kebiasaan makan sehat khusus pada kalangan remaja. Food Choice Questionnaire (FCQ) adalah metode untuk melihat aspek alasan utama seseorang dalam melakukan pemilihan pangan.
15
Individual Dietary Diversity Score (IDDS) adalah metode pengukuran keragaman pangan pada tingkat individu dengan melihat jumlah kelompok pangan yang dikonsumsi dalam sehari.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Subjek Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Program Studi Sarjana Ilmu Gizi tahun ajaran 2013/2014. Karakteristik subjek yang diamati meliputi jenis kelamin, usia, uang saku, status gizi, pendidikan orangtua, dan besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 8. Subjek merupakan populasi yang berjumlah 120 orang terdiri dari 103 perempuan dan 17 laki-laki. Sebagian besar subjek berjenis kelamin perempuan (85.8%) dan sisanya berjenis kelamin laki-laki (14.2%). Sebagian besar subjek perempuan maupun laki-laki berada pada kategori status gizi normal, disusul dengan status gizi kurang dan lebih. Usia subjek berada pada rentang usia remaja akhir yaitu 18-21 tahun (Monks 2000). Sebagian besar subjek berada pada usia 19 tahun (56.7%) dan sebagian kecil berusia 17 (1.7%) dan 20 (3.3%) tahun. Subjek yang masuk dalam kategori status gizi normal paling banyak berada pada usia 19 tahun (60.2%). Pada kategori status gizi lebih paling banyak subjek berusia 18 tahun (43.8%). Rata-rata usia subjek adalah 18.6 ± 0.5 tahun, dengan rata-rata usia yang tidak jauh berbeda antara tiga kategori status gizi. Uang saku adalah jumlah uang yang diterima subjek setiap bulan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan. Sumber uang saku dapat berasal dari orangtua, beasiswa, saudara, bekerja, ataupun sumber lainnya. Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan uang saku adalah jumlah uang yang diterima dalam sebulan oleh subjek kecuali biaya kuliah dan asrama yang diperoleh dari orangtua, beasiswa ataupun dari sumber lainnya. Mardayanti (2008) menyatakan bahwa remaja telah diberi kepercayaan untuk mengelola uang sakunya sendiri untuk memiliki kebebasan dalam mengatur sendiri keuangannya dan lebih bebas untuk menentukan makanan yang akan dimakan. Mahasiswa dengan status gizi kurang, normal atau lebih sebagian besar memiliki uang saku Rp 600 0000-1 000 000 dengan persentase secara berurutan 66.7%, 71.4% dan 81.3%. Dapat dilihat bahwa subjek yang memiliki uang saku pada rentang Rp 600 000-1 000 000 persentasenya semakin meningkat pada subjek dengan kategori status gizi kurang, normal dan lebih. Persentase subjek dengan uang saku >Rp 1 000 000 antara kategori status gizi normal dan kurang tidak jauh berbeda, namun pada kategori status gizi lebih persentasenya lebih kecil. Median uang saku subjek dengan status gizi normal (Rp 1 000 000) lebih besar dibandingkan dengan kelompok status gizi kurang (Rp 950 000) dan lebih (Rp 750 000).
16
Tabel 8 Sebaran subjek berdasarkan jenis kelamin, usia, uang saku, besar keluarga, dan pendidikan orangtua dengan status gizi berbeda Kategori status gizi Karakterisitik subjek
Kurang
Normal
Total
Lebih
n
%
n
%
n
%
n
%
Jenis Kelamin Perempuan
5
83.3
85
86.7
13
81.2
103
85.8
Laki-laki
1
16.7
13
13.3
3
18.8
17
14.2
Usia 17 tahun
0
0.0
1
1.0
1
6.3
2
1.7
18 tahun
3
50.0
36
36.7
7
43.8
46
38.3
19 tahun
3
50.0
59
60.2
6
37.5
68
56.7
20 tahun
0
0.0
2
2.0
2
12.5
4
3.3
Mean ± SD
18.7 ± 0.7
18.6 ± 1.9
18.7 ± 0.8
0
0.0
3
3.1
2
12.5
5
4.2
600 000-1 000 000
4
66.7
70
71.4
13
81.3
87
72.5
>1 000 000
2
33.3
25
25.5
1
6.3
28
23.3
Median
950 000
Uang Saku (Rupiah) <600 000
Besar Keluarga Kecil (≤4 orang)
1 000 000
750 000
18.6 ± 0.5
1 000 000
3
50.0
36
36.7
9
56.3
48
40.0
Sedang (5-6 orang)
1
16.7
54
55.1
6
37.5
61
50.8
Besar (≥7 orang)
2
33.3
8
8.2
1
6.3
11
9.2
Median
5
5
4
5
Pendidikan Ayah Tidak sekolah
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
Tamat SD
1
16.7
5
5.1
1
6.3
7
5.8
Tamat SMP
0
0.0
9
9.2
1
6.3
10
8.3
Tamat SMA
1
16.7
36
36.7
4
25.0
41
34.2
Perguruan tinggi
4
66.7
48
49.0
10
62.5
62
51.7
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
Tidak tamat SD
0
0.0
1
1.0
0
0.0
1
0.8
Tamat SD
1
16.7
9
9.2
2
12.5
12
10.0
Tamat SMP
0
0.0
13
13.3
1
6.3
14
11.7
Tamat SMA
2
33.3
34
34.7
3
18.8
39
32.5
Perguruan Tinggi
3
50.0
41
41.8
10
62.5
54
45.0
Pendidikan Ibu Tidak Sekolah
17
Data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa persentase alokasi uang saku subjek untuk pangan dan suplemen menurut kategori status gizi, dari yang paling besar secara berurutan adalah kategori status gizi lebih (82.9%), kurang (75.0%) dan normal (73.7%). Alokasi uang saku untuk non pangan tidak begitu berbeda antara kategori status gizi kurang dan normal, namun lebih rendah pada kategori status gizi lebih (17.00). Rata-rata (74.8%) uang saku subjek digunakan untuk kebutuhan pangan dan suplemen, dan sisanya (25.2%) digunakan untuk kebutuhan non-pangan. Rata-rata alokasi uang saku subjek untuk makanan (Rp539 133 ± 148 587), minuman (Rp125 375 ± 83 390), suplemen (Rp16 542 ± 42 777), dan non pangan (Rp269 950 ± 252 459). Tabel 9 Alokasi uang saku subjek dengan status gizi berbeda Kategori status gizi Alokasi uang saku
Kurang
Normal
Lebih
%
Rp/bulan
%
Rp/bulan
%
Rp/bulan
Makanan
57.1
546571 ± 152544
58.8
546571 ± 152544
66.5
508125 ± 152237
Minuman
14.5
128202 ± 84571
13.1
128202 ± 84571
16.2
120000 ± 81650
Suplemen
3.4
58538 ± 48740
1.8
58538 ± 48740
0.2
17500 ± 17678
Lainnya
25.0
291036 ± 261977
26.3
291036 ± 261977
17.1
154063 ± 192520
Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yaitu ibu, ayah dan anak-anaknya serta orang lain yang tinggal bersama maupun terpisah dan biasanya hidupnya menjadi tanggungan kepala keluarga. Tabel 10 menunjukkan bahwa subjek pada kategori status gizi normal (55.1%) sebagian besar memiliki besar keluarga dalam kategori sedang. Pada kategori status gizi lebih sebagian besar subjek memiliki besar keluarga dalam kategori kecil (56.3%), begitu juga dengan subjek pada kategori status gizi kurang (50.0%). Jumlah anggota keluarga yang semakin banyak memungkinkan pengaturan untuk pangan sehari-hari akan lebih sulit dan menyebabkan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan anggotanya tidak dapat memenuhi kebutuhan. Sebagian besar subjek (50.8%) memiliki besar keluarga dalam kategori sedang, dengan persentase besar keluarga kategori besar paling tinggi pada kategori status gizi kurang (33.3%). Jenjang pendidikan formal tertinggi yang telah diselesaikan oleh orangtua subjek cukup bervariasi dari tidak tamat SD hingga perguruan tinggi. Persentase tertinggi pendidikan ayah subjek adalah tingkat perguruan tinggi (51.7%), tamat SMA (34.2%), tamat SMP (8.3%), dan tamat SD (5.8%). Persentase pendidikan ibu dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah tingkat perguruan tinggi (45.0%), tamat SMA (32.5%), tamat SMP (11.7%), tamat SD (10.0%), dan tidak tamat SD (0.8%). Tingkat pendidikan orangtua tergolong tinggi karena sebagian besar lulus pada jenjang perguruan tinggi atau SMA. Tingkat pendidikan orangtua sangat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi anaknya (Almatsier 2009). Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan utilisasi (utilization) zat gizi makanan. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan fisik.
18
Pengukuran antropometri adalah pengukuran terhadap dimensi tubuh dan komposisi tubuh (Syafia 2009). Pengkategorian status gizi dalam penelitian disesuaikan dengan usia dari subjek. Subjek yang memiliki usia kurang dari sama dengan 19 tahun diukur status gizinya menggunakan indeks massa tubuh berdasarkan umur (IMT/U) dan subjek dengan usia lebih dari 19 tahun menggunakan indeks massa tubuh (IMT). Pengkategorian status gizi untuk pembahasan berdasarkan gabungan antara IMT/U dan IMT (Asia Pasifik) yaitu klasifikasi untuk kurus (IMT <18.5 atau Z < -2 SD), normal (IMT 18.5-22.9 atau 2 SD ≤ Z <+1 SD), overweight (IMT 23.0-24.9 atau +1 SD ≤ Z < +2 SD), obesitas (IMT ≥25.0 atau Z ≥+2 SD). Sebaran subjek berdasarkan klasifikasi status gizinya dapat dilihat seperti pada Tabel 10 berikut. Tabel 10 Sebaran subjek berdasarkan status gizi dan jenis kelamin Status gizi
Laki-laki n
%
Perempuan n
Total
%
n
%
Kurus
1
5.9
5
4.9
6
5.0
Normal
13
76.5
85
82.5
98
81.7
Overweight
0
0.0
12
11.6
13
10.0
Obesitas
3
17.6
1
1.0
3
3.3
Sebagian besar subjek memiliki status gizi normal (81.7%), begitu juga pada kelompok laki-laki (76.5%) dan perempuan (82.5%) yang sebagian besar memiliki status gizi normal. Status gizi overweight hanya terdapat pada perempuan (11.7%). Kelompok laki-laki lebih banyak yang memiliki status gizi kurus dan obesitas dibandingkan dengan kelompok berjenis kelamin perempuan. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Johnson et al. (2002), bahwa sebanyak 15.4% remaja memiliki status gizi underweight, 9.8% overweight dan 2.4% obesitas dengan status gizi yang lebih sehat pada laki-laki daripada perempuan.
Persepsi tentang Pangan Sehat Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan dan bentuk pemberian makna pada stimulus yang disampaikan. Pangan yang sehat adalah makanan dan minuman yang seimbang kandungan zat gizinya dan memperhatikan faktor kesehatan dan keamanannya. Menurut Moehji (2007) salah satu faktor yang memicu terjadinya masalah gizi pada usia remaja adalah kebiasaan makan yang buruk dan pemahaman gizi yang keliru seperti salah satunya adalah pemahaman mengenai pangan sehat berupa persepsi. Berdasarkan Tabel 11, tidak terdapat subjek yang memiliki persepsi negatif tentang pangan sehat yaitu sikap yang cenderung ke arah ketidaksetujuan pada kategori pangan sehat yang harus beragam, aman, mengandung zat gizi yang dibutuhkan, dan konsumsi cairan serta suplemen. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena latar belakang pendidikan subjek yang seluruhnya merupakan mahasiswa Program Studi Sarjana Ilmu Gizi, sehingga pencarian ataupun
19
penerimaan informasi mengenai pangan sehat lebih banyak. Sebagian besar subjek (77.5%) memiliki persepsi tentang pangan sehat yang netral, persepsi yang netral adalah sikap yang berada pada tingkatan ragu-ragu sampai setuju pada pangan sehat itu sendiri. Sebesar 22.5% subjek memiliki persepsi positif tentang pangan sehat, yaitu respon yang cenderung sangat setuju pada kriteria pangan sehat itu sendiri. Tabel 11 Sebaran subjek berdasarkan persepsi tentang pangan sehat dan status gizi Kategori status gizi Persepsi tentang pangan sehat
Kurang
Normal
Total
Lebih
n
%
n
%
n
%
n
%
Negatif
0
0.0
0
0.00
0
0.0
0
0.0
Netral
5
83.3
79
80.6
9
56.2
93
77.5
Positif
1
16.7
19
19.4
7
43.8
27
22.5
p*
0.467
*signifikan pada p<0.05
Pangan yang segar atau belum diolah dan memperhatikan kandungan lemaknya menjadi karakteristik penting dalam mengevaluasi pangan sehat pada subjek di Amerika Serikat (Oakes dan Slotterback 2002), sementara itu kandungan sodium, protein, vitamin atau mineral bukan menjadi hal yang penting. Hasil penelitian Lake et al. (2007) menunjukkan bahwa 54% individu memiliki persepsi tentang makanan sehat berupa makanan yang mengandung komponen pangan yang seimbang. Individu mendefiniskan makanan sehat sebagai makanan seimbang dengan jumlah makanan berlemak dan produk olahan susu pada tingkat sedang dan jumlah buah dan sayur yang banyak. Penelitian Lake et al. (2007) menunjukkan jika contoh memiliki penekanan bahwa makanan yang sehat adalah makanan yang dibuat sendiri dan bebas dari bahan pengawet. Individu menggambarkan bahwa jenis lemak yang tidak baik dalam makanan adalah asam lemak jenuh dan kolesterol. Individu memiliki persepsi bahwa makanan yang sehat adalah makanan yang rendah lemak, segar dan diolah sendiri, serta memasukan buah dan sayuran ke dalam menu makannya. Secara keseluruhan persepsi tentang makanan sehat dikatakan telah sejalan dengan rekomendasi yang dianjurkan saat ini. Makanan yang sehat dipersepsikan harus dikurangi kandungan garamnya, pangan olahannya, pangan cepat saji, dan pangan tinggi lemaknya. Persepsi tentang pangan sehat yang netral memiliki persentase tertinggi untuk masing-masing kategori status gizi. Persepsi yang positif paling tinggi persentasenya pada kategori status gizi lebih (43.8%), dilanjutkan dengan kelompok kategori status gizi normal (19.4%) dan kurang (16.7%). Hal tersebut kemungkinan dapat terjadi karena subjek yang memiliki status gizi normal memiliki sikap bahwa semua pangan sehat tidak harus memenuhi kriteria sehat yang sebenarnya karena subjek telah berada pada bentuk tubuh dan status gizi yang normal atau dianggap sehat. Hasil penelitian Lake et al. (2007) menunjukkan bahwa persepsi pada perempuan lebih positif dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut diduga menyebabkan subjek dengan kelompok status gizi lebih memiliki
20
persepsi positif tinggi karena proporsi perempuan (81.2%) dalam kelompok lebih besar dibandingkan laki-laki (18.8%). Jika dilihat dari skor median persepsi tentang pangan sehat untuk masingmasing kategori status gizi, subjek dengan kelompok status gizi lebih memiliki median skor persepsi netral dan positif lebih kecil dibandingkan dengan kelompok status gizi normal dan kurang. Hasil uji beda proporsi dengan Kruskal Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi tentang pangan sehat antara kategori status gizi kurang, normal dan lebih (p>0.05). Hal tersebut tidak sejalan dengan hasil penelitian Lake et al. (2007) bahwa terdapat perbedaan persepsi yang nyata antara kelompok dengan IMT rendah dan tinggi. Kelompok dengan IMT tinggi cenderung memiliki persepsi lebih negatif daripada kelompok dengan IMT rendah. Hasil penelitian Sabiston dan Crocker (2008) menunjukkan bahwa persepsi terkait pangan dan perilaku makan sehat berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Pemilihan Pangan Aspek Keragaman Pemilihan pangan terdiri dari empat aspek, yaitu aspek keragaman, alasan, makanan pantangan, minuman kemasan, dan suplemen. Pemilihan pangan dilakukan untuk menentukan kelompok pangan yang akan dipilih untuk dikonsumsi seseorang. Pangan yang beragam dari jumlah dan jenisnya baik untuk kesehatan. Pangan yang beragam cenderung dapat memenuhi kebutuhuan hampir seluruh zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Pemilihan pangan yang beragam atau tidak pada subjek dengan kategori status gizi berbeda disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran subjek berdasarkan aspek keragaman dalam pemilihan pangan dan status gizi Kategori status gizi Aspek keragaman pemilihan pangan
Kurang
Normal
Total
Lebih
n
%
n
%
n
%
n
%
Kurang
0
0.0
9
9.2
5
31.2
14
11.7
Sedang
2
33.3
54
55.1
7
43.8
63
52.5
Tinggi
4
66.7
35
35.7
4
25.0
43
35.8
p*
0.168
*signifikan pada p<0.05
Pada kategori status gizi lebih dan normal sebagian besar melakukan pemilihan pangan dengan aspek keragaman kategori sedang. Subjek dengan kategori status gizi lebih cenderung memiliki persentase lebih tinggi dalam pemilihan pangan dengan aspek keragaman kurang (31.2%), dibandingkan dengan kategori status gizi normal (9.2%) maupun kurang (0.0%). Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena subjek menganggap bahwa ukuran tubuhnya berada di atas normal sehingga salah satu caranya adalah mengurangi kelompok pangan dalam pemilihan pangan (Sabiston dan Crocker 2008). Hal tersebut
21
sejalan dengan persentase yang rendah pada aspek keragaman yang tinggi dalam pemilihan pangan, dibandingkan dengan kategori status gizi lainnya. Hasil penelitian Sjoberg et al. (2003) menunjukkan bahwa sebagian besar remaja mengonsumsi tiga menu makan utama dalam sehari. Remaja laki-laki dan perempuan cenderung melakukan pemilihan pangan yang tinggi energi pada menu selingannya. Remaja perempuan yang menghilangkan waktu sarapan dan makan siang cenderung memiliki pemilihan pangan yang kurang sehat dan kurang beragam sehingga miskin kandungan gizinya. Remaja juga cenderung kurang dalam pemilihan pangan produk susu (terutama susu low fat), daging, buah, sayursayuran, dan kacang-kacangan. Hasil uji beda proporsi dengan Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan aspek keragaman dalam pemilihan pangan antara status gizi kurang, normal dan lebih (p>0.05). Hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian Sabiston dan Crocker (2008) bahwa terdapat perbedaan pemilihan pangan, dengan pemilihan pangan yang lebih sehat pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Hasil penelitian Sjoberg et al. (2003) menunjukkan bahwa terdapat faktor lain yang memungkinkan tidak terdapat perbedaan yang nyata, yaitu faktor lainnya berupa gaya hidup, etnis, persepsi bentuk tubuh, dan indeks sosial ekonomi. Aspek Makanan Pantangan Sebanyak 35.0% dari subjek memiliki makanan pantangan. Makanan pantangan tersebut mungkin saja dapat membatasi dalam pemilihan pangan. Pembatasan dalam pemilihan pangan dapat dalam bentuk bahan pangan tertentu atau kelompok pangan yang dapat mengurangi keragaman dalam pemilihan pangan. Hal tersebut dapat menurunkan kualitas dari pangan yang dikonsumsi. Hasil penelitian Ananda (2000) menunjukkan bahwa sekitar 38.0% mahasiswa memiliki makanan pantangan. Persentase subjek yang memiliki makanan pantangan lebih besar pada kelompok status gizi lebih (56.2%) dibandingkan dengan kelompok status gizi kurang (50.0%) dan normal (30.6%), seperti yang terlihat pada Tabel 13. Sebanyak 92.9% dari subjek yang memiliki makanan pantangan mempercayai akan makanan pantangan tersebut. Hanya 85.7% yang menerapkannya, dengan subjek pada kelompok berstatus gizi kurang yang keseluruhan menerapkan makanan pantangan tersebut. Alasan utama subjek yang memiliki makanan pantangan adalah karena alergi, baik pada kelompok berstatus gizi kurang (33.3%), normal (31.3%) maupun lebih (70.0%). Berdasarkan hasil penelitian Ananda (2000), alasan utama adanya makanan pantangan adalah karena tidak suka, alergi, kesehatan, dan kandungan zat berbahaya dalam pangan. Terdapat alasan lain berupa penyakit (15.6%), menjaga kesehatan (11.1%), diet penurunan berat badan (8.9%), kandungan yang ada dalam makanan (2.2%), dan lainnya (22.2%) yang menyebabkan adanya makanan pantangan pada subjek. Tidak terdapat subjek yang memiliki alasan makanan pantangan berupa mengikuti tren dan budaya daerah asal. Alasan lainnya dalam penelitian ini seperti menjaga kesehatan kulit dan gigi, vegetarian dan mual.
22
Tabel 13 Sebaran subjek berdasarkan makanan pantangan dan status gizi Kategori status gizi Makanan pantangan
Kurang
Normal
Total
Lebih
n
%
n
%
n
%
n
%
Ya
3
50.0
30
30.6
9
56.2
42
35.0
Tidak
3
50.0
68
69.4
7
43.8
78
65.0
p*
0.102
*signifikan pada p<0.05
Terdapat beberapa makanan yang menjadi pantangan pada subjek dalam penelitian ini, seperti seafood (udang, cumi-cumi), kelompok buah-buahan tertentu (nanas, buah nangka, durian), kelompok pangan hewani (aneka daging merah, daging ayam, daging sapi, daging kerbau, daging kambing, gajih, telur ayam, susu, belut, ikan laut, dan ikan kembung), kelompok sayuran (tauge, sawi putih), kacang-kacangan, santan kelapa, makanan yang digoreng, mie instan, makanan yang mengandung monosodium glutamate (MSG), kopi, makanan pedas dan asam, dan nasi goreng. Hasil penelitian Ananda (2000) menunjukkan bahwa makanan pantangan pada mahasiswa berupa seafood, petai, jengkol, durian, dan makanan berlemak. Terdapat satu subjek yang merupakan lacto-ovo vegetarian sehingga subjek memiliki makanan pantangan kelompok pangan hewani (kecuali telur dan susu). Subjek pada kategori status gizi kurang rata-rata sudah 11.7 tahun memiliki makanan pantangan. Pada kategori status gizi normal sudah 5.6 tahun dan kategori lebih sudah 4.9 tahun. Aspek Minuman Kemasan dan Suplemen Usia remaja cenderung memilih minuman soft drink dan minuman manis, atau minuman kemasan lainnya. Hal tersebut dapat meningkatkan asupan kalori karena kandungan gula di dalam minuman kemasan. Penelitian kali ini menunjukkan bahwa sebanyak 40.8% subjek suka memilih untuk mengonsumsi minuman kemasan. Subjek pada kelompok status gizi lebih memiliki persentase tertinggi yang suka memilih mengonsumsi minuman kemasan yaitu sebesar 62.5%. Angka tersebut lebih besar dari kelompok dengan status gizi normal (38.8%) dan kurang (16.7%), seperti yang terlihat pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran subjek berdasarkan minuman kemasan dan status gizi Kategori status gizi Minuman kemasan
Kurang
Normal
Total
Lebih
n
%
n
%
n
%
n
%
Ya
1
16.7
38
38.8
10
62.5
49
40.8
Tidak
5
83.3
60
84.5
6
37.5
71
59.2
p*
0.096
*signifikan pada p<0.05
Kelompok minuman kemasan yang paling suka dipilih untuk dikonsumsi oleh subjek adalah susu (47.1%), minuman berion (32.4%), minuman berperisa
23
buah (7.4%), teh (5.9%), kopi (2.9%), minuman bersoda (1.5%), dan minuman kemasan lainnya (2.9%). Hasil penelitian Post-Skagegard et al. (2002) menunjukkan bahwa kelompok dengan rata-rata usia 17 dan 21 tahun lebih banyak memilih untuk mengonsumsi minuman kemasan berupa teh dan kopi. Tujuan utama dari memilih untuk mengonsumsi minuman kemasan pada subjek adalah sebagai berikut: membuat tubuh terasa lebih sehat (33.0%), membantu tubuh terasa lebih rileks (22.9%), menjadi lebih bertenaga saat beraktivitas (22.0%), menguatkan tulang (11.0%), membantu mengatasi stres (7.3%), dan lainnya (3.7%). Terlihat bahwa susu merupakan kelompok minuman kemasan yang paling suka dipilih untuk dikonsumsi oleh subjek, namun tujuan utamanya bukan untuk menguatkan tulang tetapi lebih pada alasan kesehatan. Sebagian besar subjek (46.5%) memperoleh informasi mengenai minuman kemasan tersebut dari televisi. Terdapat pula subjek yang memperoleh informasi dari keluarga (29.6%), teman sebaya (15.5%), internet (4.2%), dan lainnya (4.2%). Suplemen merupakan salah satu bentuk asupan zat gizi tambahan yang memiliki dosis atau takaran tertentu. Saat ini suplemen telah banyak dijual di pasaran dalam merek, kegunaan dan kandungan yang berbeda-beda. Berdasarkan Tabel 15 sebanyak 39.2% subjek suka memilih untuk menambah asupan zat gizi dalam bentuk suplemen. Hasil penelitian Hidayat (2002) menunjukkan bahwa 22.5% remaja suka memilih untuk mengonsumsi suplemen. Tabel 15 Sebaran subjek berdasarkan suplemen dan status gizi Kategori status gizi Suplemen
Kurang
Normal
Total
Lebih
n
%
n
%
n
%
n
%
Ya
2
33.3
40
40.8
5
31.2
47
39.2
Tidak
4
66.7
58
59.2
11
68.8
73
60.8
p*
0.736
*signifikan pada p<0.05
Persentase subjek yang suka memilih untuk mengonsumsi suplemen lebih banyak pada kategori status gizi normal (44.1%) dibandingkan dengan kelompok status gizi kurang (33.3%) dan lebih (31.2%). Jenis suplemen yang paling suka dipilih untuk dikonsumsi adalah suplemen vitamin C, suplemen vitamin lainnya atau minyak ikan. Tujuan atau harapan yang dirasakan jika mengonsumsi suplemen tersebut adalah tubuh terasa lebih sehat (50.6%), lebih bertenaga saat beraktivitas (22.1%), membantu tubuh lebih rileks (7.8%), dan lainnya (10.4%). Hasil penelitian Hidayat (2002) menunjukkan bahwa alasan utama seseorang memilih untuk mengonsumsi suplemen adalah karena alasan menjaga stamina, menjaga kesehatan, mengikuti tren, dan alasan lainnya. Pada penelitian ini ada yang mengonsumsi suplemen setiap hari atau saat kondisi tertentu seperti lelah, olahraga, demam, flu, sariawan, daya tahan tubuh turun, dan batuk. Sebagian besar subjek (49.2%) memperoleh informasi mengenai suplemen tersebut dari keluarga. Terdapat pula subjek yang memperoleh informasi dari televisi (21.5%), teman sebaya (18.5%), internet (4.6%), dan lainnya (6.2%).
24
Aspek Alasan Mengidentifikasi aspek alasan dibalik pemilihan pangan dapat dilakukan dengan melihat motif dalam pemilihan pangan menggunakan Food Choice Questionare (FCQ). Persentase tertinggi aspek alasan utama dalam pemilihan pangan yang dilakukan subjek adalah kandungan alami dalam pangan (6.25 ± 0.69), kesehatan (6.15 ± 0.68) dan harga (5.79 ± 1.03) seperti yang terlihat pada Tabel 16. Hasil tersebut sedikit berbeda dengan penelitian Sun (2008) bahwa aspek alasan utama dalam pemilihan pangan dengan rata-rata usia 21 tahun adalah harga (5.62 ± 1.08), sensorik (5.59 ± 0.88) dan suasana hati (5.47 ± 0.88). Alasan kesehatan memiliki skor 5.45 ± 0.94 dan alasan kandungan alami dalam pangan memiliki skor sebesar 5.15 ± 0.99, dengan skor terendah berupa alasan pengendalian berat badan (5.09 ± 1.23). Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena latar belakang subjek yang berbeda. Tabel 16 Rata-rata skor alasan dalam pemilihan pangan dan status gizi Pemilihan pangan berdasarkan aspek alasan
Kategori status gizi
Total
Kurang
Normal
Lebih
p
mean ± SD
mean ± SD
mean ± SD
mean ± SD
Kesehatan
6.11 ± 0.63
6.12 ± 0.71
6.43 ± 0.47
6.15 ± 0.68
0.254*
Suasana hati
4.56 ± 1.17
5.33 ± 0.89
5.85 ± 0.80
5.36 ± 0.93
0.019*
Kenyamanan
5.23 ± 0.86
5.20 ± 0.93
5.33 ± 0.99
5.22 ± 0.93
0.934*
Sensorik
5.83 ± 0.56
5.58 ± 0.71
6.00 ± 0.97
5.65 ± 0.76
0.055*
Kandungan alami dalam pangan
6.28 ± 0.65
6.24 ± 0.66
6.25 ± 0.90
6.25 ± 0.69
0.851*
Harga
5.11 ± 1.09
5.82 ± 0.92
5.90 ± 1.56
5.79 ± 1.03
0.070*
Pengendalian berat badan
3.94 ± 1.29
5.03 ± 1.20
5.71 ± 1.18
5.06 ± 1.24
0.011*
Familiaritas
4.89 ± 0.72
4.85 ± 0.95
4.83 ± 1.29
4.85 ± 0.99
0.998*
Masalah etika
5.33 ± 1.07
4.96 ± 1.21
5.33 ± 1.26
5.03 ± 1.21
0.603*
*signifikan pada p<0.05
Pada kategori status gizi normal alasan utama dalam pemilihan pangannya adalah kandungan alami dalam pangan, kesehatan dan harga. Pada kategori status gizi lebih dan kurang alasan utama dalam pemilihan pangannya adalah kesehatan, kandungan alami dalam pangan dan sensorik. Terlihat bahwa pada subjek dengan kategori status gizi lebih dan kurang, alasan sensorik atau tampilan dari pangan merupakan hal yang penting dalam pemilihan pangan. Aspek alasan harga menjadi penting dalam pemilihan pangan pada kategori status gizi normal. Pada ketiga kategori status gizi, aspek alasan kesehatan dan kandungan alami dalam pangan merupakan aspek yang penting dalam pemilihan pangan. Penelitian Ree et al. (2008) menunjukkan bahwa sekitar 70% remaja tidak memperhatikan masalah kesehatan dalam pemilihan pangan, dengan alasan pengendalian berat badan sebagai perhatian utama. Jika dilihat dari semua kelompok usia, maka 45% laki-laki dan 65% perempuan melakukan pemilihan
25
pangan karena alasan kesehatan. Berdasarkan penelitian Steptoe dan Pollard (1995) alasan sensorik (2.99 ± 0.63), harga (2.83 ± 0.80) dan kesehatan (2.83 ± 0.72) menjadi alasan utama dalam pemilihan pangan pada usia 17-89 tahun. Terdapat perbedaan alasan pengendalian berat badan antar kategori status gizi (p=0.011) berdasarkan hasil uji beda Kruskal Wallis. Hasil uji beda MannWhiteney menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara alasan pengendalian berat badan pada kelompok status gizi kurang dengan normal (p=0.044), normal dengan lebih (p=0.034) dan kurang dengan lebih (p=0.013). Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pula pada alasan suasana hati (p=0.019) antar status gizi berbeda. Hasil uji beda Mann-Whiteney menunjukkan terdapat perbedaan alasan suasana hati pada kategori status gizi normal dengan lebih (p=0.029) dan pada kategori status gizi kurang dan lebih (p=0.014).
Kebiasaan Makan Kebiasaan makan adalah pola perilaku konsumsi pangan yang terjadi secara berulang. Pada remaja sering kali tidak sarapan atau makan pagi; menyukai makanan selingan yang tinggi lemak, kalori dan garam; cenderung pemilih makanan; serta kurang menyukai sayur dan buah (Waluya 2007). Salah satu metode pengukuran kebiasaan makan khusus pada usia remaja adalah dengan menggunakan Adolescent Food Habits Checklist (AFHC). Hasil pengukuran kebiasaan makan dengan metode AFHC menghasilkan skor seperti pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan sehat (AFHC) dan status gizi Kategori status gizi Kebiasaan makan
Kurang
Normal
Total
Lebih
n
%
n
%
n
%
n
%
Baik
3
50.0
56
57.1
10
62.5
69
57.5
Kurang baik
3
50.0
42
42.9
6
37.5
51
42.5
Skor AFHC (mean ± SD)
11.9 ± 4.6
12.0 ± 3.6
13.0 ± 3.8
p*
0.680
12.2 ± 3.7
*signifikan pada p<0.05
Berdasarkan Tabel 17 terlihat bahwa subjek dengan kategori status gizi lebih memiliki kebiasaan makan yang lebih sehat dibandingkan dengan kelompok status gizi normal ataupun kurang. Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata skor AFHC pada masing-masing kelompok status gizi. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian Sabiston dan Crocker (2008) yang menunjukkan bahwa remaja dengan IMT yang lebih besar memiliki kebiasaan makan yang lebih sehat dibandingkan dengan kelompok IMT normal atau kurang. Upaya mencapai bentuk tubuh ideal atau mengubah ukuran tubuh dilakukan dalam bentuk respon berupa kebiasaan makan yang lebih sehat. Subjek dengan kelompok status gizi lebih (13.0 ± 3.8) memiliki skor kebiasaan makan yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok status gizi
26
normal (12.0 ± 3.6) dan kurang (11.9 ± 4.6). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian Johnson et al. (2002) yang menunjukkan bahwa remaja memiliki rata-rata skor AFHC sebesar 11.0 ± 4.9. Skor kebiasaan makan pada laki-laki (11.7 ± 4.7) lebih besar dibandingkan dengan perempuan (9.4 ± 5.0). Tabel 17 menunjukkan bahwa sebagian besar subjek pada kelompok status gizi lebih (62.5%) memiliki kebiasaan makan baik, yaitu memperhatikan konsumsi buah dan sayur serta asupan lemak dan gulanya. Kebiasaan makan yang kurang baik sebagian besar dimiliki oleh subjek dengan kelompok status gizi kurang (50.0%) dan normal (42.9%). Hasil penelitian Sabiston dan Crocker (2008) mengungkapkan bahwa kelompok remaja dengan IMT normal atau kurang cenderung tidak mengikuti kebiasaan makan yang sehat karena merasa bentuk atau ukuran tubuh mereka tidak perlu diubah. Hal tersebut membuat asumsi bahwa mengonsumsi makanan kurang bergizi dapat meningkatkan atau mempertahankan ukuran tubuh. Hasil uji beda (One Way ANOVA) menunjukkan tidak terdapat perbedaan kebiasaan makan sehat pada kelompok kategori status gizi kurang, normal ataupun lebih (p>0.05). Penentuan kebiasaan makan sehat selain dapat menggunakan metode AFHC, dapat dilihat pula dari kualitas konsumsi pangannya. Pengukuran kualitas konsumsi pangan subjek menggunakan metode IGS3-60 dari hasil penelitian Amrin (2014) dan Perdana (2014) dengan melihat enam kelompok pangan yaitu: pangan karbohidrat, sayuran, buah-buahan, lauk hewani (kecuali susu), lauk nabati, dan susu. Masing-masing kelompok pangan memiliki skor antara 0-16.7, sehingga skor total dari keenam kelompok pangan tersebut berkisar antara 0-100. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa skor kualitas konsumsi pangan untuk masing-masing kelompok pangan masih rendah, seperti yang terlihat pada Tabel 18. Nilai tertinggi terdapat pada kelompok pangan karbohidrat dengan ratarata skor 12.9 ± 4.5. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kelompok pangan karbohidrat rata-rata dikonsumsi 3.8-6.2 porsi sehari. Nilai tersebut hampir mendekati skor maksimal. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian Amrin (2014) dan Perdana (2014) yang menunjukkan bahwa pada laki-laki (7.5) maupun perempuan (13.5) usia 19-29 tahun memiliki nilai tertinggi pada kelompok pangan karbohidrat yaitu berkisar antara 2.2-6.5 porsi sehari. Penelitian Prasetyo (2013) juga menunjukkan bahwa skor HEI tertinggi ada pada kelompok pangan sumber karbohidrat (rata-rata 5 porsi sehari) dan skor terendah ada pada kelompok buah-buahan (0 porsi sehari). Nilai rata-rata terendah ada pada kelompok pangan sayuran (0.8). Nilai tersebut menunjukkan bahwa subjek mengonsumsi kelompok pangan sayuran rata-rata 0.2 porsi sehari. Nilai terendah pada skor IGS3-60 sedikit berbeda dengan penelitian Amrin (2014) dan Perdana (2014), bahwa nilai terendah ada pada kelompok susu dan buah-buahan baik pada laki-laki maupun perempuan. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh porsi konsumsi sayur yang berada di bawah standar porsi akibat kecilnya takaran saji pada penjual pangan yang menjadi sumber pembelian pangan subjek. Berdasarkan hasil food purchasing diketahui bahwa satu porsi sayuran tidak mencapai 100 g, sehingga jika dalam sehari subjek mengonsumsi sayuran tiga kali atau kurang maka jumlahnya belum tentu dapat mencapai standar porsi yang dianjurkan. Pada hasil recall 2x24 jam juga menunjukkan bahwa sebagian besar subjek memang tidak rutin mengonsumsi sayuran.
27
Tabel 18 Rata-rata skor indeks gizi seimbang (IGS3-60) dengan status gizi berbeda Kategori status gizi Komponen
Kurang
Normal
Lebih
mean ± SD (median)
mean ± SD (median)
mean ± SD (median)
Total mean ± SD (median)
Pangan karbohidrat
12.5 ± 4.6 (12.5)
13.1 ± 4.3 (16.7)
11.5 ± 5.2 (16.7)
12.9 ± 4.5 (16.7)
Konsumsi sayuran
0.0 ± 0.0 (0.0)
0.9 ± 2.7 (0.0)
0.5 ± 2.1 (0.0)
0.8 ± 2.5 (0.0)
Konsumsi buah-buahan
1.4 ± 3.4 (0.0)
1.8 ± 3.4 (0.0)
1.6 ± 3.4 (0.0)
1.7 ± 3.4 (0.0)
Lauk hewani
8.4 ± 5.3 (8.4)
9.1 ± 4.3 (8.4)
8.9 ± 3.7 (8.4)
9.1 ± 4.3 (8.4)
Lauk nabati
2.8 ± 4.3 (0.0)
2.2 ± 3.9 (0.0)
1.0 ± 2.9 (0.0)
2.1 ± 3.8 (0.0)
Susu
9.7 ± 8.2 (12.5)
9.4 ± 6.8 (8.4)
7.8 ± 7.1 (8.4)
9.2 ± 6.9 (8.4)
36.7 ± 9.5 (41.8)
36.4 ± 11.8 (33.4)
31.3 ± 13.5 (29.2)
35.8 ± 11.7 (33.4)
Total
Konsumsi susu pada pria dan wanita usia 19-29 tahun dalam penelitian Amrin (2014) dan Perdana (2014) menunjukkan kelompok pangan dengan skor kualitas konsumsi pangan terendah. Berbeda dengan penelitian ini, nilai kualitas konsumsi susu telah mencapai lebih dari setengah skor yaitu 9.2. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena kegemaran mengonsumsi minuman kemasan berupa susu pada subjek. Susu juga merupakan sumber asupan energi dan zat gizi yang mudah diperoleh dan tersedia dilingkungan asrama TPB IPB. Mahasiswa yang cenderung menyukai hal praktis sebagian besar memilih susu dan mengonsumsinya sebagai sumber asupan energi dan zat gizi. Pada ketiga kategori status gizi diketahui bahwa nilai tertinggi pada pangan karbohidrat dan terendah pada kelompok sayuran. Nilai kualitas konsumsi sayuran, buah-buahan dan lauk hewani cenderung lebih tinggi pada kelompok status gizi normal (0.9; 1.8; 9.1) daripada kelompok status gizi lebih (0.5; 1.6; 8.9) dan kurang (0.0; 1.4; 8.4). Nilai tertinggi pada kelompok lauk nabati ada pada kategori status gizi kurang. Kelompok susu memiliki nilai tertinggi pada subjek dengan kategori status gizi kurang (9.7), kemudian kategori status gizi normal (9.4) dan lebih (7.8). Subjek dengan kategori status gizi lebih memiliki nilai terendah pada komponen kelompok pangan karbohidrat, lauk nabati dan susu. Sebagian besar subjek (54.2%) memiliki kualitas konsumsi pangan yang buruk. Tidak terdapat subjek yang memiliki kualitas konsumsi pangan yang cukup baik ataupun sangat baik seperti yang terlihat pada Tabel 19. Kualitas konsumsi pangan yang buruk persentasenya lebih tinggi pada subjek dengan kategori status gizi lebih (56.2%) dibandingkan dengan status gizi normal (54.1%) dan kurang
28
(50.0%). Persentase subjek yang memiliki kualitas konsumsi pangan kategori sedang tidak begitu berbeda antara kategori status gizi lebih (6.2%) dan normal (5.1%). Subjek dengan kategori status gizi kurang tidak ada yang memiliki kualitas konsumsi pangan sedang (0.0%). Tabel 19 Sebaran subjek berdasarkan kualitas konsumsi pangan (IGS3-60) dan status gizi Kategori status gizi Kategori skor IGS3-60
Total
Kurang
Normal
Lebih
n
%
n
%
n
%
n
%
Buruk
3
50.0
53
54.1
9
56.2
65
54.2
Kurang
3
50.0
40
40.8
6
37.5
49
40.8
Sedang
0
0.0
5
5.1
1
6.2
6
5.0
Cukup baik
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
Sangat baik
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
p*
0.302
*signifikan pada p<0.05
Hasil penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian Amrin (2014) dan Perdana (2014) bahwa subjek dengan usia 19-29 tahun tidak ada yang masuk ke dalam kategori kualitas konsumsi pangan yang sangat baik, dan sangat sedikit yang masuk ke dalam kategori cukup baik (0.1%). Persentase terbesar terdapat pada kategori buruk (86.3%), dan cenderung menurun presentasenya seiring membaiknya kualitas konsumsi pangan. Hasil penelitian Taechangam et al. (2008) menunjukkan pula bahwa 69% subjek memiliki nilai Thailand Healthy Eating Index (THEI) di bawah 55, artinya masih banyak subjek dengan mutu konsumsi pangan yang buruk. Hanya 8.3% subjek di Thailand memiliki mutu konsumsi pangan yang baik. Rendahnya mutu konsumsi pangan subjek paling utama berada pada komponen konsumsi susu, sayuran dan buah-buahan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebiasaan makan pada ketiga kategori status gizi masih berada pada kebiasaan makan yang kurang baik. Hal tersebut dilihat dari sebagian besar subjek yang masih masuk ke dalam kategori kualitas konsumsi pangan yang buruk atau kurang. Kualitas konsumsi pangan tersebut menunjukkan bahwa pangan yang dikonsumsi kurang beragam dan kurang jumlahnya, sehingga dapat dikatakan kebiasaan makannya kurang sehat. Uji beda proporsi dengan Kruskal Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kualitas konsumsi pangan antara subjek dengan kategori status gizi kurang, normal ataupun lebih (p>0.05). Hubungan antara Persepsi tentang Pangan Sehat dengan Pemilihan Pangan Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara persepsi tentang pangan sehat dengan pemilihan pangan terkait aspek keragamannya (p>0.05). Hal tersebut diduga karena persepsi subjek tidak ada yang negatif akibat latar belakang pendidikan subjek berhubungan dengan gizi
29
dan kesehatan. Persepsi sendiri merupakan perilaku tertutup yang belum bisa diamati secara jelas dan sebatas memberikan respon terhadap stimulus (pangan sehat), sehingga belum tentu sejalan dengan praktik pemilihan pangan karena membutuhkan fasilitas atau sarana dan prasarana dalam mewujudkan praktik tersebut. Hasil penelitian Meitasari (2008) menunjukkan bahwa faktor yang memiliki hubungan dengan keragaman dalam konsumsi pangan adalah pendidikan ayah (kepala keluarga), pengeluaran per kapita per bulan dan pengeluaran pangan per kapita per bulan. Hasil penelitian Ree et al. (2008) menunjukkan bahwa pada remaja terdapat ketidaksesuaian antara sikap dengan keinginan dalam pemilihan pangan. Sikap utama memperhatikan kandungan kalsium dalam pangannya, namun keinginannya rendah dalam memilih pangan dengan fokus utama kekhawatiran dengan osteoporosis. Hasil penelitian Sjoberg et al. (2003) menunjukkan bahwa terdapat faktor lain berupa gaya hidup, etnis, persepsi bentuk tubuh, dan indeks sosial ekonomi yang dapat mempengaruhi pemilihan pangan. Tabel 20 menunjukkan bahwa baik pada kelompok dengan persepsi pangan sehat yang netral dan positif sebagian besar (52.7% dan 51.9%) subjek memiliki aspek keragaman dalam pemilihan pangan yang masuk dalam kategori sedang. Pada kedua kategori diketahui pula bahwa hanya sebagian kecil yang memiliki aspek keragaman dalam pemilihan pangan yang kurang (11.7%). Hal tersebut menunjukkan bahwa baik pada kelompok dengan persepsi pangan sehat yang netral atau positif, memiliki aspek keragaman dalam pemilihan pangan dengan persentase dari yang terbesar sampai terkecil adalah pada kategori sedang, tinggi dan kurang. Tabel 20 Sebaran subjek berdasarkan pemilihan pangan berupa aspek keragaman dan persepsi tentang pangan sehat Persepsi tentang pangan sehat Pemilihan pangan (aspek keragaman)
Netral
Total
Positif
n
%
n
%
n
%
Kurang
9
9.7
5
18.5
14
11.7
Sedang
49
52.7
14
51.9
63
52.5
Tinggi
35
37.6
8
29.6
43
35.8
p*
0.434
*signifikan pada p<0.05
Uji korelasi Spearman digunakan pula untuk menguji hubungan persepsi tentang pangan sehat dengan kesembilan aspek alasan dalam pemilihan pangan. Hasil uji korelasi dapat dilihat pada Tabel 21. Tidak terdapat hubungan antara persepsi tentang pangan sehat dengan aspek alasan dalam pemilihan pangan berupa kenyamanan, sensorik dan pengendalian berat badan (p>0.05). Hal tersebut diduga karena persepsi tentang pangan sehat pada subjek cenderung netral sampai positif, sehingga fokus utama alasan pemilihan pangan bukan pada kenyamanan, sensorik dan pengendalian berat badan. Aspek alasan tersebut berada diluar konteks sehat dan aman dari pangan.
30
Tabel 21 Hubungan persepsi tentang pangan sehat dengan pemilihan pangan berupa aspek alasan Persepsi tentang pangan sehat
Koefisien korelasi (r)
Kesehatan
0.000**
0.336”
Suasana hati
0.009**
0.239’
Kenyamanan
0.344*
0.870
Sensorik
0.054*
0.176
Kandungan alami dalam pangan
0.000**
0.341”
Harga
0.029*
0.200’
Pengendalian berat badan
0.137*
0.136
Familiaritas
0.005**
0.253’
Masalah etika
0.027*
0.202’
Alasan pemilihan pangan
*signifikan pada p<0.05; **signifikan pada p<0.01
Terdapat hubungan antara persepsi tentang pangan sehat dengan alasan pemilihan pangan berupa kesehatan, suasana hati, kandungan alami dalam bahan pangan, harga, familiaritas, dan masalah etika (p<0.05). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Sun (2008) yang menunjukkan bahwa sikap berhubungan dengan aspek alasan kesehatan, pengendalian berat badan, kandungan alami dalam pangan, dan masalah etika. Nilai koefisien pada hubungan persepsi tentang pangan sehat dengan alasan kesehatan sebesar 0.336, yang berarti semakin positif persepsi tentang pangan sehatnya maka semakin tinggi pula kepentigan alasan kesehatan dalam pemilihan pangannya. Begitu pula dengan nilai koefisien pada aspek alasan suasana hati (r=0.239), kandungan alami dalam pangan (r = 0.341), harga (r=0.200), familiaritas (r=0.253), dan masalah etika (r=0.202) yang berarti semakin positif persepsi tentang pangan sehatnya maka semakin penting pula alasan suasana hati, kandungan alami dalam pangan, harga, familiaritas, dan masalah etika dalam pemilihan pangannya. Hubungan antara Pemilihan Pangan dengan Kebiasaan Makan Sehat Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara aspek keragaman dalam pemilihan pangan dengan skor kebiasaan makan sehat (AFHC) (p>0.05). Hal tersebut diduga karena pemilihan pangan pada penelitian ini hanya fokus pada keragaman kelompok pangan yang dipilih, sementara itu kebiasaan makan sehat (AFHC) terfokus pada aspek yang luas termasuk komponen makanan yang berkaitan dengan penyakit kronis. Tabel 22 menunjukkan bahwa pada kelompok dengan pemilihan pangan pada aspek keragaman yang kurang (64.3%) dan tinggi (67.4%) memiliki kebiasaan makan sehat yang baik. Pada kelompok dengan pemilihan pangan dengan keragaman sedang sebagian besar (50.8%) memiliki kebiasaan makan yang kurang baik, namun persentasenya tidak jauh berbeda dengan kebiasaan makan yang baik (49.2%). Hal tersebut menunjukkan bahwa memang tidak terdapat hubungan
31
antara aspek keragaman dalam pemilihan pangan dengan skor kebiasaan makan sehat (AFHC). Tabel 22 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan sehat (AFHC) dan pemilihan pangan pada aspek keragaman Pemilihan pangan dengan aspek keragaman Kebiasaan makan sehat (AFHC)
Kurang
Sedang
Total
Tinggi
p*
n
%
n
%
n
%
n
%
Kurang baik
5
35.7
32
50.8
14
32.6
51
42.5
Baik
9
64.3
31
49.2
29
67.4
69
57.5
0.096
*signifikan pada p<0.05
Hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian Johnson et al. (2002) yang menunjukkan bahwa pengendalian atau pembatasan dalam pola makan mempengaruhi kebiasaan makan sehat dengan nilai koefisien korelasi r=0.43. Terdapat faktor-faktor lain yang berkorelasi dengan skor kebiasaan makan sehat (AFHC) yaitu konsumsi buah dan sayur (r=0.45), asupan lemak (r=-0.46), asupan serat (r=0.16), pengetahuan gizi (r=0.17), dan tingkat kesejahteraan keluarga (r=0.14). Korelasi tertinggi terdapat pada faktor konsumsi sayuran dan buah, serta pengendalian pola makan. Terdapat hubungan antara aspek keragaman dalam pemilihan pangan dengan kebiasaan makan yang dilihat dari kualitas konsumsi pangannya (IGS360) (p<0.05), dengan menggunakan uji korelasi Spearman seperti yang terlihat pada Tabel 23. Nilai koefisien r=0.221 pada uji korelasi tersebut menunjukkan bahwa semakin meningkatnya pemilihan pangan yang beragam maka semakin meningkat pula kualitas konsumsi pangannya sehingga membentuk kebiasaan makan yang lebih sehat. Hal tersebut terjadi diduga karena pemilihan pangan fokus pada aspek keragaman pangan sehingga dilihat dari sisi kualitas. Begitu pula dengan kebiasaan makan yang dilihat dari kualitas konsumsi pangan berdasarkan keberagaman dalam jumlah dan kelompok pangannya. Tabel 23 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan (IGS3-60) dan pemilihan pangan pada aspek keragaman Pemilihan pangan dengan aspek keragaman Kebiasaan makan sehat (IGS3-60)
Kurang
Sedang
Total
Tinggi
n
%
n
%
n
%
n
%
Buruk
11
78.6
32
50.8
22
51.2
65
54.2
Kurang
3
21.4
28
44.4
18
41.9
49
40.8
Sedang
0
0.0
3
4.8
3
7.0
6
5.0
p*
0.015
*signifikan pada p<0.05
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sjoberg et al. (2003) bahwa remaja di Sweden dengan pemilihan pangan yang kurang sehat dan kurang
32
beragam dengan cenderung rendah pemilihan pangannya pada susu rendah lemak, daging, sayuran, kentang, buah, dan roti, memiliki kebiasaan makan yang kurang baik berupa melewatkan sarapan dan makan siang. Hasil penelitian Woodruff et al. (2008) menunjukkan bahwa remaja yang terlalu menjaga berat badan, membatasi pola makan, serta sering melewatkan sarapan memiliki skor HEI (Healthy Eating Index) yang lebih rendah daripada remaja yang tidak membatasi pola makannya. Tabel 23 menunjukkan bahwa pemilihan pangan dengan aspek keragaman yang meningkat maka kebiasaan makan sehatnya akan semakin baik. Hal tersebut dilihat dari persentase kebiasaan makan sehat kategori sedang yang semakin meningkat dari pemilihan pangan dengan aspek keragaman kurang, tinggi dan sedang. Pemilihan pangan dengan aspek keragaman pangan yang kurang pun sebagian besar (78.6%) memiliki kebiasaan makan yang buruk. Terdapat pula faktor lain yang mempengaruhi skor IGS3-60, yaitu daerah tempat tinggal (perkotaan atau pedesaan), status ekonomi, status kawin, pendidikan, dan pekerjaan (Amrin 2014). Hasi uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pemilihan pangan terkait aspek alasan kenyamanan, sensorik, harga, dan familiaritas (p>0.05) dengan kebiasaan makan yang (metode AFHC) seperti pada Tabel 24. Tabel 24 Hubungan pemilihan pangan pada aspek alasan dengan kebiasaan makan sehat (AFHC) Kategori alasan dalam pemilihan pangan
Kebiasaan makan sehat (AFHC)
Koefisien korelasi (r)
Kesehatan
0.000**
0.471”
Suasana hati
0.038*
0.190’
Kenyamanan
0.360*
0.084
Sensorik
0.201*
0.118
Kandungan alami dalam pangan
0.000**
0.363”
Harga
0.775*
0.026
Pengendalian berat badan
0.000**
0.500”
Familiaritas
0.187*
0.121
Masalah etika
0.000**
0.379”
*signifikan pada p<0.05; **signifikan pada p<0.01
Hasil penelitian tersebut sedikit berbeda dengan penelitian Sun (2008) yang menunjukkan bahwa alasan harga memiliki hubungan dengan kebiasaan makan, dan aspek alasan suasana hati, kenyamanan, sensorik, pengendalian berat badan, dan familiaritas tidak berhubungan dengan kebiasaan makan sehat. Terdapat hubungan antara aspek alasan dalam pemilihan pangan berupa kesehatan dengan kebiasaan makan menggunakan metode AFHC setelah diuji menggunakan uji korelasi Spearman. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin pentingnya aspek alasan kesehatan dalam pemilihan pangan maka kebiasaan makannya akan semakin sehat. Adanya hubungan karena alasan kesehatan memiliki fokus yang
33
sama dengan kebiasaan makan yang merupakan perilaku jangka panjang yang fokus pada kesehatan, keamanan dan kandungan dalam pangan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Sjoberg et al. (2003) bahwa pemilihan pangan yang kurang sehat berhubungan dengan kebiasaan makan yang kurang sehat berupa sarapan yang kurang teratur. Hasil penelitian Ree et al. (2008) menunjukkan bahwa kesehatan menjadi alasan utama remaja melakukan pemilihan pangan yang sehat dan menghindari pangan yang tidak sehat, sehingga terbentuk kebiasaan makan yang sehat. Terdapat hubungan antara pemilihan pangan berupa alasan kesehatan, suasana hati, kandungan alami dalam pangan, pengendalian berat badan, dan masalah etika (p<0.05) dengan kebiasaan makan sehat yang diukur dengan menggunakan metode AFHC seperti yang terlihat pada Tabel 24. Semakin penting aspek alasan dalam pemilihan pangan berupa suasana hati, kandungan alami dalam pangan, pengendalian berat badan, dan masalah etika maka semakin baik kebiasaan makan sehat dari subjek. Hasil penelitian Sun (2008) menunjukkan bahwa aspek alasan kesehatan, harga, kandungan alami dalam pangan, dan masalah etika berhubungan dengan kebiasaan makan sehat. Hubungan antara aspek alasan dalam pemilihan pangan dengan kebiasaan makan (metode IGS3-60) dapat dilihat seperti pada Tabel 25. Tabel 25 Hubungan pemilihan pangan pada aspek alasan dengan kebiasaan makan sehat (IGS3-60) Kebiasaan makan sehat (IGS3-60)
Koefisien korelasi (r)
Kesehatan
0.440*
0.071
Suasana hati
0.244*
-0.107
Kenyamanan
0.052*
-0.178
Sensorik
0.374*
-0.082
Kandungan alami dalam pangan
0.965*
0.004
Harga
0.352*
-0.086
Pengendalian berat badan
0.108*
-0.148
Familiaritas
0.271*
-0.101
Masalah etika
0.666*
-0.400
Alasan pemilihan pangan
*signifikan pada p<0.05
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara aspek alasan dalam pemilihan pangan dengan kebiasaan makan berdasarkan kualitas konsumsi pangannya. Hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian Ree et al. (2008) bahwa setidaknya pengendalian berat badan menjadi perhatian utama dalam pemilihan pangan di kalangan remaja yang akan mempengaruhi kebiasaan makannya. Perbedaan tersebut diduga karena kebiasaan makan yang diukur terfokus pada kualitasnya atau tingkat keragamannya, namun aspek alasan dalam pemilihan pangan mencakup aspek kebiasaan makan yang lebih luas.
34
Hubungan antara Karakteristik Subjek dengan Kebiasaan Makan Sehat Karakteristik subjek berupa jenis kelamin, uang saku, status gizi, pendidikan ayah, pendidikan ibu, dan besar keluarga diduga berpengaruh pada kebiasaan makan sehat. Hasil uji hubungan Chi-Square menunjukkan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kebiasaan makan sehat yang diukur dengan metode AFHC. Hasil penelitian Johnson et al. (2002) menunjukkan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan skor kebiasaan makan sehat. Hasil uji hubungan Kolmogorov-smirnov menunjukkan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kebiasaan makan sehat yang diukur dengan metode IGS360, seperti yang terlihat pada Tabel 26. Subjek berjenis kelamin laki-laki (11.8%) memiliki persentase kualitas konsumsi pangan kategori sedang yang lebih tinggi dibandingkan perempuan (3.9%). Kualitas konsumsi pangan yang kurang atau buruk memiliki persentase lebih tinggi pada subjek berjenis kelamin perempuan dibandingkan dengan lakilaki. Hal tersebut menunjukkan bahwa subjek laki-laki memiliki kualitas konsumsi pangan yang lebih baik dibandingkan dengan perempuan. Sebagian besar subjek baik baik laki-laki maupun perempuan memiliki kebiasaan makan sehat yang baik. Tabel 26 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan dan jenis kelamin Jenis kelamin Kebiasaan makan
Perempuan
Total
Laki-laki
n
%
n
%
n
%
Kurang baik
43
41.7
8
47.1
51
42.5
Baik
60
58.3
9
52.9
69
57.5
Buruk
56
54.4
9
52.9
65
54.2
Kurang
43
41.7
6
35.3
49
40.8
Sedang
4
3.9
2
11.8
6
5.0
p*
Metode AFHC 0.682
Metode IGS3-60 1.000
*signifikan pada p<0.05
Subjek berjenis kelamin laki-laki memiliki persentase kebiasaan makan baik yang lebih tinggi daripada perempuan seperti yang terlihat pada Tabel 26. Terlihat bahwa laki-laki cenderung memiliki kebiasaan makan sehat yang lebih baik daripada laki-laki. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Johnson et al. (2002) yang menunjukkan bahwa subjek laki-laki memiliki kebiasaan makan yang lebih sehat dibandingkan dengan perempuan. Terdapat hubungan antara uang saku dengan kebiasaan makan sehat (AFHC) dari subjek (p<0.05) seperti yang terlihat pada Tabel 27. Semakin besar uang saku yang diperoleh subjek maka semakin baik pula kebiasaan maka sehatnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Prabandari (2010) bahwa semakin besar pendapatan keluarga maka semakin besar uang saku yang diterima oleh
35
mahasiswa. Hal tersebut menyebabkan kemungkinan peluang akses yang lebih besar bagi seseorang untuk memenuhi kebutuhan makannya. Tabel 27 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan dan uang saku Uang saku Kebiasaan makan
<600 000 600 000–1 000 000
Total
>1 000 000
n
%
n
%
n
%
n
%
Kurang baik
2
40.0
38
77.6
11
39.3
51
73.9
Baik
3
60.0
49
22.4
17
60.7
69
26.1
Buruk
4
80.0
48
55.2
13
46.4
65
54.2
Kurang
0
00.0
36
41.4
13
46.4
49
40.8
Sedang
1
20.0
3
3.4
2
7.1
6
5.0
p*
Metode AFHC 0.049
Metode IGS3-60 0.251
*signifikan pada p<0.05
Subjek dengan uang saku pada rentang Rp 600 000-1 000 000 sebagian besar memiliki kebiasaan makan sehat yang kurang baik (77.6%) dan kualitas konsumsi pangan yang buruk (55.2%). Sebagian besar subjek dengan uang saku >Rp 1 000 000 memiliki kebiasaan makan sehat yang baik (60.7%) dengan kualitas konsumsi pangan sedang (46.4%). Subjek dengan uang saku