PERSEPSI PESANGGEM MENGENAI HUTAN MANGROVE DAN PARTISIPASI PESANGGEM DALAM PENGELOLAAN TAMBAK MANGROVE RAMAH LINGKUNGAN MODEL EMPANG-PARIT
IMAM HABIBI ELHAQ I34062055
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT
IMAM HABIBI ELHAQ. The Perception of Pesanggem about Mangrove Forest and The Participation of Pesanggem in an Environmental Friendly Mangrove Embankment Empang-Parit Model Management. (Supervised by: ARIF SATRIA). This research was aimed to: (1) analyze perception of the pesanggem about mangrove forest; (2) analyze participation of the pesanggem in an Environmental Friendly Mangrove Embankment Empang-Parit Model Management; (3) analyze the correlation between perception and participation of pesanggem in mangrove embankment management. This research has been conducted by using survey method and supported by qualitative method with in-depth interview, observation, and document analysis technique. In addition, a qualitative method aimed to gain in-depth understanding related to the data which has been obtained from quantitative method. The result shows that most of the pesanggem has positif perception about mangrove forest ecosystem and ecology function of mangrove forest. Most of the pesanggem has negative perception about social-economy function of mangrove forest. Most of the pesanggem has low level participation in planning phase and monitoring phase. Most of the pesanggem has high level participation in implementation phase and benefitted phase. Keywords: perception and participation, pesanggem, embankment mangrove management
iii
RINGKASAN
IMAM HABIBI ELHAQ. PERSEPSI PESANGGEM MENGENAI HUTAN MANGROVE DAN PARTISIPASI PESANGGEM DALAM PENGELOLAAN TAMBAK MANGROVE RAMAH LINGKUNGAN MODEL EMPANG-PARIT. (di bawah bimbingan ARIF SATRIA)
Partisipasi masyarakat erat kaitannya dengan persepsi masyarakat itu sendiri. Rakhmat (2007) dalam Puspasari (2010) mengemukakan bahwa perilaku seseorang merupakan tindakan yang dipengaruhi persepsi sehingga persepsi bukan saja suatu proses pemahaman tentang tindakan seseorang tetapi juga memahami motif tindakannya. Jika mengacu pada definisi partisipasi menurut Slamet (2003), maka partisipasi merupakan suatu bentuk perilaku. Oleh karena itu, persepsi pesanggem (penggarap tambak) terhadap hutan mangrove perlu dikaji untuk dilihat hubungannya dengan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan. Jika persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove sudah salah maka keikusertaan mereka dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan empang-parit diduga juga akan kurang. Hal ini karena tujuan utama pengelolaan tambak ramah lingkungan adalah menuju suatu tegakan hutan yang berbasis ekosistem, yaitu suatu kondisi hutan yang memiliki manfaat baik secara ekonomi, ekologi, maupun sosial. Tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk: (1) menganalisis persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove; (2) menganalisis partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit; dan (3) menganalisis hubungan persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove terhadap partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Responden yang diambil berjumlah 70 orang dari total 80 orang populasi. Unit analisis adalah individu, yaitu pesanggem yang tergabung dalam LMDH Mina Wana Lestari. Sementara itu, informan dipilih secara sengaja dengan kriteria tertentu.
iv
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis korelasi. Analisis deskriptif (analisis univariate) sebagai analisis pendahuluan yang dibutuhkan untuk mengetahui karakteristik setiap variabel pada sampel penelitian (Gulö, 2002: 140). Analisis korelasi dibutuhkan untuk melihat hubungan korelasi antara variabel yang diteliti. Tipe data dari masing- masing variabel penelitian adalah data ordinal sehingga analisa korelasi yang digunakan adalah rank spearman. Hasil penelitian mengenai persepsi sebagian besar responden (97,14 persen) memiliki persepsi positif mengenai ekosistem hutan mangrove. Hal ini karena responden memang telah mengenal baik ekosistem hutan mangrove yang telah menjadi lingkungan mereka selama bertahun-tahun. Sebagian besar responden (97,14 persen) memiliki persepsi positif mengenai fungsi ekologi hutan mangrove. Hal ini karena responden telah merasakan manfaat langsung dari hutan mangrove yang dapat mencegah bencana alam dan dapat menciptakan iklim mikro di wilayah sekitarnya. Sebagian besar responden memiliki persepsi negatif (74,29 persen) mengenai fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove. Hal ini karena responden belum memahami dengan benar fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove atau memang tidak ditemukan teknologi yang memadai di wilayah Desa Sedari agar mendapatkan keuntungan sosial-ekonomi yang maksimal dari hutan mangrove. Hasil penelitian mengenai partisipasi menunjukkan bahwa sebagian besar responden (52,85 persen) tergolong dalam tingkat partisipasi rendah pada tahap perencanaan. Hal ini terjadi karena kebanyakan responden merasa suaranya sudah cukup terwakili dengan adanya pesanggem lain yang ikut. Selain itu, memang ada beberapa indikator partisipasi dalam tahap perencanaan yang sudah ditentukan langsung dari Perum Perhutani tanpa adanya negosiasi dengan para pesanggem. Sebagian besar responden (65,71 persen) memiliki partisipasi tinggi pada tahap pelaksanaan. Hasil ini sesuai dengan pernyataan informan yang mengatakan bahwa partisipasi responden dalam tahap ini tergolong rendah. Sebagian besar responden (71,43 persen) memiliki partisipasi rendah pada tahap monitoring. Hal ini karena masih terdapat jarak antara pesanggem dengan Perum Perhutani. Pesanggem cenderung takut apabila memberikan laporan kepada Perum Perhutani
v
berkaitan dengan masalah dalam pengelolaan tambak dan mereka berpikir bahwa kegiatan pengelolaan tambak mangrove ini lebih merupakan tanggung jawab Perum Perhutani dibandingkan mereka. Sebagian besar responden (75,71 persen) memiliki partisipasi tinggi pada tahap menikmati hasil. Semua nilai rataan skor indikator partisipasi sebagian besar responden dalam tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit tergolong tinggi. Hal ini karena pesanggem merasa bagian andil garapan yang diterima mereka cukup adil dan mereka juga mendapatkan hasil dari tambak yang dikelola.
PERSEPSI PESANGGEM MENGENAI HUTAN MANGROVE DAN PARTISIPASI PESANGGEM DALAM PENGELOLAAN TAMBAK MANGROVE RAMAH LINGKUNGAN MODEL EMPANG-PARIT
Imam Habibi Elhaq
SKRIPSI Sebagai Bagian Persyaratan untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa
: Imam Habibi Elhaq
Nomor Mahasiswa
: I34062055
Judul
: Persepsi Pesanggem Mengenai Hutan Mangrove dan Partisipasi Pesanggem dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit.
dapat diterima sebagai bagian persyaratan kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Arif Satria, SP, M.Si NIP. 19710917 199702 1 003
Mengetahui, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua
Dr. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198 103 1 003
Tanggal Kelulusan: _____________________________
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PERSEPSI PESANGGEM MENGENAI HUTAN MANGROVE DAN PARTISIPASI
PESANGGEM
MANGROVE RAMAH
LINGKUNGAN
BELUM PERNAH DIAJUKAN MANAPUN.
SAYA
MERUPAKAN MENGANDUNG
JUGA
HASIL
DALAM
PENGELOLAAN
MODEL EMPANG-PARIT”
PADA PERGURUAN
MENYATAKAN
KARYA
SAYA
TAMBAK
BAHWA SENDIRI
TINGGI LAIN SKRIPSI DAN
BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS
INI
TIDAK ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK/LEMBAGA LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Januari 2011
Imam Habibi Elhaq I34062055
RIWAYAT HIDUP
Imam Habibi Elhaq dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Juni 1988. Anak keempat dari empat bersaudara. Pendidikan yang ditempuh adalah taman kanakkanak selama dua tahun di TK Islam Bhakti 1, sekolah dasar selama enam tahun di SDN Rawa Tembaga 1, sekolah menengah pertama selama tiga tahun di SLTPN 1 Bekasi, sekolah menengah atas selama tiga tahun di SMAN 1 Bekasi. Masuk universitas pada tahun 2006 ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Setelah tingkat perta ma menempuh Tingkat Persiapan Bersama (TPB), pada tahun 2007 masuk ke Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM) Fakultas Ekologi Manusia (FEMa). Prestasi yang pernah diraih adalah Juara III Lomba Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (LMP-IPA) tingkat sekolah dasar se-Kabupaten Bekasi. Second Runner-up IEC 1 Bekasi Best Student pada tahun 2005. Juara 1 Tim Lomba Paper Comic tentang Strategi Pemasaran Produk CDMA dan GSM di Indonesia tingkat universitas nasional pada tahun 2009. Lolos seleksi pemberian dana hibah Dikti satu Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengembangan Masyarakat (PKM-M) tahun 2010 dan tiga Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan (PKM-K) tahun 2010. Mulai aktif berorganisasi semenjak duduk di bangku kuliah. Aktif dalam Forum Syiar Islam FEMa (FORSIA) sebagai ketua Divisi Info dan Komunikasi pada tahun 2007. Aktif dalam Unit Kebun Mahasiswa Bidang Tanaman Obat EcoAgrifarma sebagai ketua umum pada tahun 2008 dan sebagai Steering Committee (SC) Unit Kebun Mahasiswa Bidang Tanaman Obat Eco-Agrifarma pada tahun 2009. Selain itu, juga memiliki pengalaman kerja menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Komunikasi Bisnis selama satu tahun pada tahun ajaran 2009/2010. Penulis memiliki hobi dan keahlian di bidang musik (gitar) dan telah menciptakan empat lagu untuk band “Kisanak” yang dibentuknya bersama temanteman SMA dan satu lagu bertema ekologi manusia. Penulis juga memiliki minat pada isu- isu pertanian dan ekologi manusia.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan ridlho dan rahmat-Nya kepada Penulis. Berkat izin-Nya lah Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Persepsi Pesanggem Mengenai Hutan Mangrove dan Partisipasi Pesanggem dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit” dengan baik. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pesanggem di Desa Sedari mengenai hutan mangrove, mengetahui partisipasi pesanggem di Desa Sedari dalam pengelolaan tambak mangrove model empang-parit, serta menganalisis hubungan antara persepsi pesanggem di Desa Sedari mengenai hutan mangrove dengan partisipasi pesanggem di Desa Sedari dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit. Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi Penulis sendiri (juga kalangan akademis lainnya), masyarakat Desa Sedari (khususnya anggota LMDH Mina Wana Lestari), serta Pemerintah (khususnya Perum Perhutani). Kritik dan saran diharapkan dari semua pihak untuk mengetahui kekurangan dari skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya sehingga bidang keilmuan di Indonesia semakin berkembang.
Bogor, Januari 2011
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah menciptakan segala sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Begitu pula dengan skripsi yang berjudul “Persepsi Pesanggem Mengenai Hutan Mangrove dan Partisipasi Pesanggem dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit”, dengan kehendak-Nya lah goresan tinta kecil di atas kertas menjadi sebuah karya tulis yang baik dan insya Allah bermanfaat bagi semua pihak. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Tidak bedanya dengan Penulis yang merupakan manusia biasa sehingga dalam proses pembuatan skripsi ini tentunya melibatkan orang lain yang dengan ikhlas membantu Penulis agar skripsi ini selesai dengan baik. Kesempatan kali ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ayahanda Edy Wahyono A.R. dan Ibunda Eka Sambudiyatmi yang telah merawat dan mendidik Penulis sehingga menjadi insan yang insya Allah berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. 2. Dr. Arif Satria, SP, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah sabar dan sungguh-sungguh
untuk
membimbing Penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini. 3. Dosen penguji utama dalam sidang skripsi. 4. Dosen penguji perwakilan departemen. 5. Dr. Ekawati S. Wahyuni sebagai dosen pembimbing akademik yang membantu Penulis apabila mendapat masalah di bidang akademik. 6. Siti Sugiah Mugniesyah, MS atas kesediaannya berdiskusi dengan Penulis. 7. Dr. Herien atas kesediannya berdiskusi dengan Penulis mengenai metode penelitian. 8. Dr. Nurmala K. Pandjaitan yang telah bersedia berdiskusi dengan Penulis. 9. KPM beserta seluruh staf yang telah mempermudah dalam birokrasi.
xii
10. LPP Mangrove yang telah memberikan literatur berharga bagi penelitian ini. 11. KPH Purwakarta Perum Perhutani yang telah memberikan izin penelitian kepada Penulis serta memudahkan dalam administrasi. 12. Bapak Wajan selaku Ketua LMDH Mina Wana Letari yang telah sabar dan ikhlas menyediakan tempat tinggal bagi Penulis dan menemani pada saat di lapang. 13. Ibu Jami, Komar, Epul, Wida, Bom-bom, Bim-bim, Rudi yang telah rela berbagi tempat tinggal dengan Penulis dan membantu Penulis dalam penelitian di lapang. 14. Bapak Yayan (Asper Perhutani), Pak Surya, Pak Iman, Mas OP dan Mas Wahyu, serta staf Perhutani lainnya yang telah memudahkan Penulis untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan penelitian. 15. Ibu Rosmilah Amd. (Kepala Desa Sedari), Pak Bisri (Sekretaris Desa), Pak Agus (Seksi Keamanan LMDH), Pak Karja (Wakil Ketua LMDH), Pak Caslam (Ketua RT) beserta keluarga yang telah memberikan izin dan mempermudah Penulis melakukan penelitian. 16. Seluruh pesanggem yang tergabung dalam LMDH Mina Wana Lestari dan seluruh masyarakat Desa Sedari atas waktu dan tenaga yang dikorbankan untuk memberikan informasi kepada Penulis. 17. Bapak Waskam beserta keluarga yang telah membantu Penulis pada saat mencari lokasi penelitian. 18. Mba Intan Sari Rahayu, Mba Indah Amalia, Mba Insun Sakina, Mas Kamal, Mas Firman, dan Mas Budi yang telah menjadi kakak yang baik serta selalu mendukung Penulis agar segera menyelesaikan skripsi. 19. Hesti Amalia yang telah menemani Penulis dalam suka dan duka, setia, dan sabar memotivasi Penulis agar menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 20. Mba Ughie, Mba Dian, serta teman-teman Hesti lain yang telah memotivasi Penulis agar segera menyelesaikan skripsi ini. 21. Exval Mahendra MAN 43 yang sangat membantu Penulis dalam metode penelitian skripsi ini.
xiii
22. Mba Tika IKK 42 yang telah membantu Penulis dalam analisa data. 23. Fiqy, Yadin, Aab, Ryan, Pi’i, Mahesa, Budi, Ka Heri, Ka Dodi, serta penghuni Kosan Gizi Abadi lain yang telah menjadi teman yang baik bagi Penulis. 24. Surya Amri dan Triaji yang telah membantu Penulis dalam mencari lokasi penelitian serta personil band “Kisanak” lainnya (Haris dan Mpay) yang telah menjadi teman yang baik bagi Penulis. 25. Niaw dan Ria yang telah menjadi teman yang baik, berbagi suka, dan duka sesama bimbingan. 26. Come, Molen, Dewi, Asri, Aero, Demul, Irfan, Suzyant, Rainaldy, Bedhil, Ani, Azis “and the Gank”, serta teman-teman KPM 43 lain yang telah menghabiskan waktu bersama Penulis selama kurang lebih 4 tahun di IPB. 27. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu agar skripsi ini selesai dengan baik.
DAFTAR ISI DAFTAR ISI .........................................................................................................xiv DAFTAR TABEL ............................................................................................. xviii DAFTAR GAMBAR .............................................................................................xx DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................xxi BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1 1.1 Latar Belakang ...............................................................................1 1.2 Perumusan Masalah........................................................................6 1.3 Tujuan Penelitian............................................................................6 1.4 Kegunaan Penelitian.......................................................................7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................8 2.1 Pengertian Persepsi ..........................................................................8 2.2 Organisasi Persepsi ..........................................................................8 2.3 Persepsi Sebagai Proses Pengambilan Keputusan dan Tindakan.. ..9 2.4 Definisi Mangrove .........................................................................11 2.5 Fungsi Mangrove ...........................................................................12 2.6 Pengelolaan Tambak Ramah Lingkungan (Sylvofishery) Model Empang-Parit ....................................................................13 2.7 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Mina Wana Lestari .......................................................................14 2.8 Pengertian Partisipasi.....................................................................15 2.9 Bentuk-bentuk Tahapan Partisipasi dalam Praktek .......................17 2.10 Hubungan Persepsi dan Partisipasi ................................................19 2.11 Kerangka Pemikiran ......................................................................20 2.12 Hipotesis Penelitian .......................................................................21 2.13 Definisi Operasional ......................................................................21 BAB III PENDEKATAN LAPANG......................................................................27 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .........................................................27 3.2 Tipe penelitian ...............................................................................27 3.3 Metode Penelitian ..........................................................................28 3.4 Teknik Penentuan Responden dan Informan .................................28 3.5 Metode Pengumpulan Data............................................................30 3.6 Teknik Analisis Data .....................................................................31 BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ........................................33 4.1 Keadaan Wilayah ...........................................................................33 4.2 Kondisi Geografis Desa .................................................................34 4.3 Kondisi Demografi Desa ...............................................................35
xv
BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN ..........................................................38 5.1 Jenis Kelamin Responden ...........................................................38 5.2 Usia Responden ...........................................................................39 5.3 Pendidikan Responden ................................................................39 5.4 Pekerjaan Responden ..................................................................40 5.5 Kelas Tambak Responden ...........................................................41 5.6 Luas Tambak Responden ............................................................42 BAB VI PERSEPSI RESPONDEN MENGENAI HUTAN MANGROVE..........43 6.1 Deskripsi Persepsi Responden Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove...........................................................................43 6.2 Deskripsi Persepsi Responden Mengenai Fungsi Ekologi Hutan Mangrove .............................................................45 6.3 Deskripsi Persepsi Responden Mengenai Fungsi Sosial-ekonomi Hutan Mangrove.................................................47 6.4 Deskripsi Persepsi Responden Mengenai Hutan Mangrove Secara Keseluruhan.....................................................51 BAB VII PARTISIPASI RESPONDEN DALAM PENGELOLAAN TAMBAK MANGROVE RAMAH LINGKUNGAN MODEL EMPANG-PARIT..................................................................................54 7.1 Deskripsi Tahap Perencanaan Partisipasi Responden dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit................................................................................54 7.2 Deskripsi Tahap Pelaksanaan Partisipasi Responden dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit................................................................................58 7.3 Deskripsi Tahap Monitoring/Evaluasi Partisipasi Responden dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit ....................................................................63 7.4 Deskripsi Tahap Menikmati Hasil Partisipasi Responden dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit ....................................................................65 7.5 Deskripsi Partisipasi Responden dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit Secara Keseluruhan..................................................................................67
xvi
BAB VIII HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI RESPONDEN MENGENAI HUTAN MANGROVE DENGAN PARTISIPASI RESPONDEN DALAM PENGELOLAAN TAMBAK MANGROVE RAMAH LINGKUNGAN MODEL EMPANG-PARIT ....................................72 8.1 Hubungan Persepsi Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove dengan Partisipasi dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Tahap Perencanaan ....................................................................73 8.2 Hubungan Persepsi Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove dengan Partisipasi dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Tahap Pelaksanaan .....................................................................74 8.3 Hubungan Persepsi Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove dengan Partisipasi dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Tahap Monitoring ......................................................................75 8.4 Hubungan Persepsi Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove dengan Partisipasi dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Tahap Menikmati Hasil..............................................................76 8.5 Hubungan Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Hutan Mangrove dengan Partisipasi dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Tahap Perencanaan ...................................................77 8.6 Hubungan Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Hutan Mangrove dengan Partisipasi dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Tahap Pelaksanaan ...................................................79 8.7 Hubungan Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Hutan Mangrove dengan Partisipasi dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Tahap Monitoring .....................................................80 8.8 Hubungan Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Hutan Mangrove dengan Partisipasi dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Tahap Menikmati Hasil ............................................81 8.9 Hubungan Persepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Hutan Mangrove dengan Partisipasi dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Tahap Perencanaan .....................................82 8.10 Hubungan Persepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Hutan Mangrove dengan Partisipasi dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Tahap Pelaksanaan .....................................83 8.11 Hubungan Persepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Hutan Mangrove dengan Partisipasi dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Tahap Monitoring .......................................84 8.12 Hubungan Persepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Hutan Mangrove dengan Partisipasi dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Tahap Menikmati Hasil ..............................86
xvii
BAB IX ANALISIS KEPENTINGAN PENGELOLAAN TAMBAK MANGROVE RAMAH LINGKUNGAN MODEL EMPANG-PARIT..................................................................................88 BAB X KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 95 9.1 Kesimpulan..................................................................................95 9.2 Saran............................................................................................97 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................99 LAMPIRAN........................................................................................................103
DAFTAR TABEL Tabel 1. Fungsi Ekologi dan Fungsi Sosial-Ekonomi Hutan Mangrove .............12 Tabel 2. Definisi Operasional Variabel Persepsi Mengenai Hutan Mangrove dan Partisipasi dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit............................22 Tabel 3. Metode Pengumpulan Data Penelitian ...................................................31 Tabel 4. Luas Wilayah Desa Sedari Menurut Penggunaannya Tahun 2009 ........33 Tabel 5. Orbitasi di Wilayah Desa Sedari Tahun 2009........................................34 Tabel 6. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Sedari Tahun 2009 .......................35 Tabel 7. Mata Pencaharian Pokok Penduduk Desa Sedari Tahun 2009 .............37 Tabel 8. Frekuensi Persepsi Responden Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove ....................................................................................43 Tabel 9. Nilai Rataan Skor Indikator Persepsi Responden Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove ..................................................................44 Tabel 10. Frekuensi Persepsi Responden Mengenai Fungsi Ekologi Hutan Mangrove ....................................................................................46 Tabel 11. Nilai Rataan Skor Indikator Persepsi Responden Mengenai Fungsi Ekologi Hutan Mangrove...........................................................46 Tabel 12. Frekuensi Persepsi Responden Mengenai Fungsi Sosial-ekonomi Hutan Mangrove ....................................................................................47 Tabel 13. Nilai Rataan Skor Indikator Persepsi Responden Mengenai Fungsi Sosial-ekonomi Hutan Mangrove ..............................................49 Tabel 14. Frekuensi Persepsi Responden Mengenai Hutan Mangrove .................51 Tabel 15. Frekuensi Partisipasi Responden dalam Tahap Perencanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit .........................................................................................55 Tabel 16. Nilai Rataan Skor Indikator Partisipasi Responden dalam Tahap Perencanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit .......................................................56 Tabel 17. Frekuensi Partisipasi Responden dalam Tahap Pelaksanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang Parit.........................................................................................58 Tabel 18. Nilai Rataan Skor Indikator Partisipasi Responden dalam Tahap Pelaksanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit .........................................................60 Tabel 19. Frekuensi Partisipasi Responden dalam Tahap Monitoring/Evaluasi Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit.........................................................................................63 Tabel 20. Nilai Rataan Skor Indikator Partisipasi Responden dalam Tahap Monitoring/Evaluasi Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit .........................................................64
xix
Tabel 21. Frekuensi Partisipasi Responden dalam Tahap Menikmati Hasil Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit........................................................................................ 65 Tabel 22. Nilai Rataan Skor Indikator Partisipasi Responden dalam Tahap Menikmati Hasil Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit .........................................................66 Tabel 23. Frekuensi Partisipasi Responden dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit............................67 Tabel 24. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Ekosistem Mangrove dan Partisipasi Tahap Perencanaan.....................74 Tabel 25. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Ekosistem Mangrove dan Partisipasi Tahap Pelaksanaan .....................75 Tabel 26. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Ekosistem Mangrove dan Partisipasi Tahap Monitoring.......................76 Tabel 27. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Ekosistem Mangrove dan Partisipasi Tahap Menikmati Hasil ..............77 Tabel 28. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Mangrove dan Partisipasi Tahap Perencanaan.............78 Tabel 29. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Mangrove dan Partisipasi Tahap Pelaksanaan .............79 Tabel 30. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Mangrove dan Partisipasi Tahap Monitoring ...............80 Tabel 31. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Mangrove dan Partisipasi Tahap Menikmati Hasil ......81 Tabel 32. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Mangrove dan Partisipasi Tahap Perencanaan ................................................................................82 Tabel 33. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Mangrove dan Partisipasi Tahap Pelaksanaan.................................................................................84 Tabel 34. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Mangrove dan Partisipasi Tahap Monitoring ..................................................................................85 Tabel 35. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Mangrove dan Partisipasi Tahap Menikmati Hasil .........................................................................86
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Sketsa Gambar Pengelolaan Tambak Ramah Lingkungan Model Empang-Parit.......................................................................................13 Gambar 2. Kerangka Pemikiran.............................................................................20 Gambar 3. Presentase Jenis Kelamin Responden.................................................. 38 Gambar 4. Presentase Usia Responden..................................................................39 Gambar 5. Presentase Pendidikan Responden.......................................................40 Gambar 6. Presentase Pekerjaan Responden.........................................................41 Gambar 7. Presentase Kelas Tambak Responden..................................................41 Gambar 8. Presentase Luas Tambak Responden...................................................42 Gambar 9. Relasi antara Pemangku Kepentingan dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Model Empang-Parit di Desa Sedari........................................................................................94
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian........................................................................104 Lampiran 2. Output Analisis SPSS Rank Spearman............................................111 Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian...................................................................115 Lampiran 4. Peta Lokasi Penelitian......................................................................117
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Fakta jumlah pulau di Indonesia beserta wilayah laut yang mengelilinginya
ternyata menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah pesisir yang terpanjang dan terluas kedua di dunia, yaitu sekitar lebih dari 95.181 Km panjang1 dan sekitar 3,1 juta km2 luasan. Wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut. Daerah pesisir sebagian di antaranya masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air laut (asin), sementara itu sebagian lainnya masih dipe ngaruhi oleh proses alami seperti sedimentasi, aliran air tawar, dan semua kegiatan manusia yang ada di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Hainim, 1996). Terlihat bahwa wilayah pesisir merupakan suatu wilayah hasil pembentukan antara gejala alam dengan campur tangan manusia di dalamnya. Oleh karena itu, perubahan bentuk wilayah pesisir sangat dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Wilayah pesisir baik daerah tropis maupun subtropis pada umumnya merupakan wilayah yang didominasi oleh hutan mangrove (IUCN, 1993). Hutan mangrove merupakan hutan tropis yang umumnya terdapat di sepanjang wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak, pantai yang datar/landai dan di sekitar muara sungai yang besar (Witjaksono, 2002). Ironisnya, luas hutan mangrove yang merupakan sumberdaya pesisir dominan di wilayah Indonesia semakin berkurang. Sekitar tahun 1982-1993 terjadi penurunan luas hutan mangrove di Indonesia dari 4 juta hektar menjadi sekitar 2,5 juta hektar (Dahuri, et. al., 1996). Menteri Kehutanan pada acara peresmian Gedung Pusat Informasi Mangrove di Banda Aceh, 15 April 2008, menyebutkan bahwa lebih kurang 70 persen dari 9,4 juta hektar luas potensial hutan mangrove (hutan bakau) di seluruh Indonesia rusak akibat masih banyaknya masyarakat yang belum paham tentang pentingnya ekosistem mangrove. Konversi lahan mangrove untuk areal tambak, pertanian dan pemukiman, serta pelebaran
1
Data dari http://www.dekin.dkp.go.id/yopi/index.php?p=3&id=20090304131636 d iakses pada 8 februari 2010 pukul 07.56.
2
jalan telah menyebabkan luas areal hutan mangrove terus berkurang. 2 Dapat dilihat bahwa penurunan luas hutan mangrove tersebut bukanlah karena seleksi alam atau gejala alam yang begitu saja terjadi. Kerusakan hutan mangrove tersebut adalah hasil dari kegiatan manusia persis seperti yang dikemukakan Berwick, yaitu kerusakan mangrove akibat dari tebang habis, pembangunan irigasi, konversi menjadi lahan pertanian dan perikanan, pembuangan sampah, pencemaran minyak, serta penambangan mineral (Berwick 1983 dalam Dahuri et.al., 1996). Penurunan luasan mangrove di Indonesia terutama diakibatkan oleh kegiatan konversi mangrove menjadi pertambakan. 3 Sementara itu tidak dapat dipungkiri bahwa pertumbuhan penduduk yang semakin pesat menyebabkan persaingan manusia dalam memperoleh kebutuhan hidup. Konversi mangrove menjadi pertambakan merupakan salah satu jalan pintas yang dilakukan masyarakat untuk memperoleh penghasilan yang besar. Hasil penelitian Witjaksono (2002) di pesisir Teluk Kendari menyatakan bahwa memang konversi mangrove terutama untuk pertanian serta pertambakan udang dan ikan memiliki keuntungan ekonomi yang jauh lebih besar dibandingkan pemanfaatan mangrove itu sendiri (misalnya untuk dimanfaatkan kayunya) bagi masyarakat setempat. Hal ini yang mengakibatkan sebagian besar masyarakat lebih memilih untuk mengkonversi hutan mangrove untuk diusahakan kegiatan pertanian dan pertambakan mengingat faktor penyebab lain juga mendukung seperti kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir yang relatif masih lemah dan persepsi yang salah tentang hutan mangrove. Jika dianalisis lebih dalam, maka profitabilitas konversi mangrove yang besar sebenarnya bersifat jangka pendek. Hal ini karena menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kehutanan Departemen Kehutanan, pengurangan satu hektar hutan mangrove menjadi tambak akan menghasilkan 247 kg ikan/tahun, tetapi akan menyebabkan pengurangan produksi ikan tangkapan sebanyak 840 kg ikan/tahun. Gambaran tersebut menjelaskan proporsi ekonomis
2
Diakses dari http://www.men lh.go.id/slhi/slhi2008/ 5_pesisirdanLaut.pdf pada tanggal 20 Oktober 2009 pukul 14:25 WIB. 3 Dialog Nasional Dampak Perkembangan Industri Tambak Udang Terhadap Ekosistem Pesisir dan Hutan Mangrove di Indonesia pada 25 April 2000 di Jakarta.
3
tertinggi dari mangrove apabila tetap dipertahankan sebagai kawasan lindung.4 Konversi hutan mangrove ke pertambakan memang mendatangkan keuntungan ekonomis secara langsung dalam jangka pendek namun dalam jangka panjang tidak lah demikian karena stok ikan secara keseluruhan dalam ekosistem tersebut per tahunnya akan menurun drastis sehingga pada akhirnya akan sangat merugikan nelayan karena hasil tangkapan ikannya akan berkurang. Belum lagi kerusakan ekologi yang diakibatkan dari hilangnya ekosistem mangrove. 5 Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sistem pengelolaan yang tepat agar hutan mangrove dapat memberikan fungsi ekologi sekaligus fungsi ekonomi dan so sial bagi masyarakat. Dengan kata lain, hutan mangrove tetap ada dan masyarakat dapat mengambil keuntungan ekonomi dan sosial dari hutan mangrove tersebut. Perum Perhutani6 merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam pengusahaan ekonomi hasil- hasil hutan. Perum Perhutani menjadi BUMN tahun 1972 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 tahun 1972 dengan wilayah kerja pada awalnya kawasan hutan negara di wilayah Jawa Tengah dan jawa Timur. Selanjutnya, berdasarkan PP Nomor 2 tahun 1978, Kawasan kerjanya diperluas sampai kawasan hutan negara di Provinsi Jawa Barat. Visi dari Perum Perhutani adalah menjadi pengelola hutan lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, Perum Perhutani berusaha untuk mengelola hutan yang ada di pulau Jawa agar memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat dan negara tanpa merusak ekosistem hutan tersebut. Oleh karena itu salah satu wujud implementasi untuk mencapai visi tersebut, Perum Perhutani memiliki sistem pengelolaan hutan, yaitu Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). PHBM adalah suatu sistem pengelolaan hutan yang melibatkan berbagai stakeholders (pemangku kepentingan) yang ada. Perum Perhutani menjalin kerjasama dalam pengelolaan hutan dengan berbagai pihak yang ada pada suatu wilayah misalnya masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa 4
Diakses dari http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/ RLPS/ mangrove.htm pada tanggal 20 Oktober 2009 puku l 15:00 WIB. 5 Cooper, Harrison, dan Ramm., 1995 dalam Murd iyanto, 2003 6 Diakses dari http://www.peru mperhutani.co m/ pada tanggal 24 Mei 2010 pukul 12.00 WIB.
4
Hutan (LMDH), pemerintah daerah, swasta, dan pihak lain sehingga setiap pihak tersebut mendapat keuntungan tentunya tanpa merusak ekosistem hutan. Sistem ini telah berjalan semenjak tahun 2001 hingga 2007 yang melibatkan kerjasama dengan 5.165 desa hutan atau 95 persen dari total desa hutan di Pulau Jawa dan Madura. Dengan sistem pengelolaan ini, masyarakat desa sekitar hutan mendapat manfaat langsung seperti terciptanya kesempatan kerja dan kesempatan berusaha di dalam hutan, serta manfaat dari bagi hasil produksi hutan berupa kayu dan non kayu. Namun dalam perkembangannya, PHBM senantiasa dievaluasi dan ditingkatkan sehingga dengan SKPT 268 Tahun 2007, muncul PHBM Plus sebagai perbaikan dari PHBM. PHBM Plus menyiratkan suatu perbaikan dari sistem PHBM yang telah berjalan tujuh tahun. Beberapa perbaikan yang dilakukan, yaitu: (1) hubungan Perum Perhutani dengan pemerintah daerah lebih ditingkatkan; (2) Perum Perhutani memiliki pola tanam yang berbeda dengan dulu, yaitu sekarang tidak terbatas pada tanaman pokok perhutani; dan (3) perubahan pola pikir Perum Perhutani, masyarakat, dan stakeholder lain yang terkait dengan pengelolaan hutan, yaitu lebih mengutamakan fungsi ekologi hutan. Tujuan Perum Perhutani menjalin kerjasama dengan LMDH, pemerintah daerah, swasta, dan pihak lain melalui PHBM Plus tersebut yaitu untuk menjadikan hutan memiliki manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial. Hutan mangrove di Indonesia yang kondisinya semakin mengkhawatirkan terutama karena konversi menjadi pertambakan tentunya memerlukan pengelolaan khusus agar ekosistem mangrove tetap terjaga. Oleh karena itu, Perum Perhutani mengusahakan pengelolaan tambak ramah lingkungan yang mengikutsertakan masyarakat di dalamnya. Pengelolaan tambak ramah lingkungan adalah pengelolaan tambak yang memasukkan aspek lingkungan menjadi bagian dari sistem usaha budidaya itu sendiri, yang diharapkan memberikan keseimbangan antara produksi dan kelestarian lingkungan. 7 Teknik budidaya tersebut dikenal dengan istilah silvo fishery yang mempunyai tiga model, yaitu (1) model empang parit di mana areal tumbuh bakau dan tempat pemeliharaan ikan berada dalam satu hamparan. 7
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan dan (Disluktan) Kutai Kartanegara (Kukar) H. Syahran dalam http://humas.kutaikartanegarakab.go.id/index.php/read/upayakan -budidayatambak-ramah-lingkungan/ diakses pada 24 Mei 2010 puku l 11.50 WIB
5
Pengelolaan airnya diatur melalui sebuah pintu yang menghubungkan hamparan kedua saluran air itu; (2) model jalur (pengembangan pola empang parit) yang menambahkan saluran di bagian tengah yang berfungsi sebagai empang; (3) model komplangan yang memisahkan budidaya dengan areal bakau. Tanggul pemisah memiliki dua buah pintu air sebagai penghubung untuk keluar masuk air. Kemudian dari arah areal bakau dibuat saluran pasang surut bebas ke areal pemeliharaan. Pengelolaan tambak ramah lingkungan ini diharapkan menjadi salah satu solusi dari maraknya kerusakan hutan mangrove akibat konversi menjadi pertambakan. Masyarakat tidak kehilangan mata pencaharian namun mereka juga memiliki tanggung jawab untuk memelihara mangrove. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) “Mina Wana Lestari” merupakan LMDH yang terbentuk di Desa Sedari, Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang yang aktif melakukan pengelolaan tambak ramah lingkungan. Namun dalam perjalanannya, ternyata tanaman hutan payau yang ditanam banyak yang tidak terpelihara. Tanaman tersebut seringkali hilang dan mati sehingga pihak Perum Perhutani sering harus menyulam kembali tanaman tersebut. Ketua LMDH “Mina Wana Lestari” mengatakan bahwa anggota LMDH (pesanggem) banyak yang partisipasinya sangat kurang dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan ini. Mereka cenderung hanya ingin memetik hasil dari tambak tanpa memelihara tanaman hutan payau karena tanaman tersebut dianggap mengganggu bagi pengelolaan tambak. Hal ini tentulah menjadi masalah dimana seharusnya partisipasi masyarakat sangat penting dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan. Slamet (2003) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah ikut sertanya
masyarakat dalam pembangunan,
ikut dalam kegiatan-kegiatan
pembangunan, ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil- hasil pembangunan. Puspasari (2010) menyatakan bahwa keberhasilan suatu kegiatan pembangunan masyarakat sangat ditentukan dengan adanya partisipasi dari masyarakat. Pengelolaan tambak ramah lingkungan merupakan suatu kegiatan pembangunan masyarakat dari Perum Perhutani sebagai solusi atas konversi mangrove menjadi pertambakan yang marak terjadi. Partisipasi masyarakat yang masih minim tentunya menjadi penghambat keberhasilan kegiatan pembangunan ini.
6
Sementara itu, partisipasi masyarakat erat kaitannya dengan persepsi masyarakat itu sendiri. Rakhmat (2007) dalam Puspasari (2010) mengemukakan bahwa perilaku seseorang merupakan tindakan yang dipengaruhi persepsi sehingga persepsi bukan saja suatu proses pemahaman tentang tindakan seseorang tetapi juga memahami motif tindakannya. Jika mengacu pada definisi partisipasi menurut Slamet (2003), maka partisipasi merupakan suatu bentuk perilaku. Oleh karena itu, persepsi pesanggem (penggarap tambak) terhadap hutan mangrove perlu dikaji untuk dilihat hubungannya dengan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan. Jika persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove saja sudah salah maka keikusertaan mereka dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan empang-parit diduga juga akan kurang. Hal ini karena tujuan utama dari pengelolaan tambak ramah lingkungan ini adalah menuju suatu tegakan hutan yang berbasis ekosistem, yaitu suatu kondisi hutan yang memiliki manfaat baik
secara ekonomi,
ekologi,
maupun
sosial.
Tidak
hanya
mempertimbangkan keuntungan ekonomi saja.
1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan
latar belakang
yang telah dikemukakan
sebelumnya,
dirumuskan beberapa perumusan masalah, yaitu: (1) Bagaimana persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove? (2) Bagaimana partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit? (3) Bagaimana hubungan antara persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove dengan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini ialah: (1) Menganalisis persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove. (2) Menganalisis partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit.
7
(3) Menganalisis hubungan persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove terhadap partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pembaca
maupun peminat studi yang dijadikan topik penulisan untuk menambah informasi sekaligus dapat dijadikan sebagai salah satu bahan bagi penulisan ilmiah terkait dengan persepsi dan partisipasi: (1) Kalangan akademis dapat mengetahui persepsi masyarakat mengenai hutan mangrove, mengetahui partisipasi masyarakat dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit, serta mendalami hubungan antara persepsi dengan partisipasi masyarakat. (2) Kalangan masyarakat (khususnya pesanggem) dapat mengetahui sebenarnya bagaimana persepsi umum mereka terhadap mangrove,
mengetahui sejauh
hutan
mana partisipasi mereka dalam
pengelolaan tambak ramah lingkungan, serta mengungkapkan masalahmasalah dalam pengelolaan tambak ini sehingga diharapkan menjadi bahan masukan bagi pihak yang berwenang dalam program. (3) Kalangan pemerintahan (khususnya Perum Perhutani) dapat mengetahui sejauh mana partisipasi masyarakat dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan dan masalah- masalah di lapangan yang terjadi sehingga pihak pemerintahan dapat memperbaiki program dan meningkatkan partisipasi masyarakat demi keberhasilan pembangunan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengertian Pe rsepsi Definisi persepsi secara sempit adalah penglihatan, bagaimana cara
seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas adalah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (Leavitt, 1978). Rakhmat (2005) mengemukakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan- hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Sombowidjojo (1999) mendefinisikan persepsi sebagai pengamatan yang merupakan kombinasi dari penglihatan, penciuman, pendengaran, serta penga laman masa lalu. Setiap individu dapat menafsirkan sesuatu obyek secara berbeda tergantung dari sudut pandang pribadi masing- masing. Hal ini berimpilikasi pada bervariasinya persepsi seseorang terhadap obyek yang sama.
2.2
Organisasi Persepsi Atkinson et. al. (1983: 201) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses
dimana kita mengorganisasi dan menafsirkan pola stimulus di dalam lingkungan. Persepsi berupa proses penggabungan stimulus sederhana (sensasi) yang diterima oleh panca indera manusia sehingga stimulus-stimulus tersebut memberikan makna tertentu bagi manusia. Organisasi persepsi adalah suatu contoh bagaimana satu bagian dari sebuah stimulus muncul sehubungan dengan stimulus lain (Atkinson et. al., 1983: 209). Sarwono (1982) mengemukakan persepsi sebagai kemampuan seseorang untuk membeda-bedakan, mengelompokkan, memfokuskan, atau dapat dikatakan persepsi adalah kemampuan seseorang untuk mengorganisasikan pengamatan. Organisasi dalam persepsi mengikuti beberapa prinsip yaitu: (1) Wujud dan latar: Obyek-obyek yang kita amati di sekitar kita selalu muncul sebagai wujud dengan hal- hal lainnya sebagai latar. (2) Pola pengelompokkan: Hal- hal tertentu cenderung kita kelompokkelompokkan dalam persepsi kita,
dan bagaimana
cara kita
9
mengelompokkannya itu akan menentukan bagaimana kita mengamati hal- hal tersebut. Adanya organisasi persepsi tersebut, dan karena manusia selalu belajar dari pengalaman, maka lambat laun tersusunlah pola pengamatan yang menetap dalam diri kita masing- masing. Dengan adanya ketetapan pola pengamatan ini, sesuatu yang sekarang terlihat sebagai “hitam”, besok juga akan dilihat sebagai “hitam” dan tidak berganti menjadi merah atau hijau. Di lain pihak, organisasi dalam persepsi menyebabkan pula kadang-kadang kita salah menafsirkan obyek yang kita amati. Pengalaman persepsi kita tidak berdiri sendiri; pengalaman tersebut membentuk dunia benda yang dapat dikenali, benda-benda abadi; sehingga kita akan menjumpai benda yang sama. Kita biasanya menghayati benda yang kita kenal sebagai benda yang permanen dan stabil yang tidak terpengaruh oleh kondisi penerangan, posisi darimana kita melihatnya, atau jaraknya dari kita (Atkinson et. al., 1983: 211). Persepsi lebih dari suatu proses menafsirkan pesan, persepsi merupakan suatu proses kognitif untuk membentuk suatu pola pengamatan atas berbagai stimulus yang diterima melalui indera manusia. Persepsi membentuk suatu pola keajegan dalam diri manusia atas suatu obyek. Apabila kita telah mengenal suatu obyek A berdasarkan stimulus yang diterima dan terbentuk persepsi atas obyek tersebut, maka suatu saat kita menemukan obyek A persepsinya tidak akan berubah kecuali ada sesuatu yang mempengaruhi pola keajegan kita atas obyek A. 2.3
Persepsi Sebagai Proses Pengambilan Keputusan dan Tindakan Sarwono (2003) mengemukakan bahwa persepsi adalah suatu proses
kategorisasi. Organisme dirangsang oleh suatu masukan tertentu (obyek-obyek di luar,
peristiwa,
dan
lain- lain)
dan
organisme
itu
berespons
dengan
menghubungkan masukan itu dengan salah satu kategori (golonga n) obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa. Proses menghubungkan ini adalah proses yang aktif di mana individu yang bersangkutan dengan sengaja mencari kategori yang tepat sehingga ia dapat mengenali atau memberi arti kepada masukan tersebut. Dengan demikian, persepsi juga bersifat inferensial (menarik kesimpulan).
10
Sarwono (2003) juga mengatakan bahwa persepsi bukan hanya bersifat kategorial- inferensial, melainkan juga persepsi bervariasi dapat dipercaya. Di sini lah pentingnya pengambilan keputusan dalam persepsi. Menurut Bruner, persepsi yang paling sederhana pun menuntut suatu pengambilan keputusan. Keputusan menentukan kategori dan kategori menentukan arti. Selanjutnya, keputusan yang satu menyebabkan harus dibuat keputusan yang berikutnya dan yang berikutnya lagi dan seterusnya sehingga kita akan menemukan serangkaian keputusan dalam suatu persepsi. Rangkaian keputusan ini disebut proses pengurungan (bracketing process) di mana terjadi penyempitan kategori secara bertahap sampai pada akhirnya obyek yang dipersepsikan itu mendapatkan tempatnya yang tepat dalam sistem kategori seseorang. Zimbardo (1975: 232) dalam bukunya mengemukakan bahwa persepsi memberikan suatu makna terhadap hal- hal dan persepsi membuat suatu arahan dalam perilaku orang. Tanpa proses organisasi pada persepsi, kita tidak akan melihat objek, ruang, kejadian-kejadian, gerakan, orang, atau hubunganhubungan, dan akan mengarahkan kita pada suatu dunia yang tidak bermakna, sensasi-sensasi yang acak. “It is our perceptual processes that enable us to find stability and continuity in a world of constant change. Perception is the ordering principle that gives kaleidoscopic sensory input and meaningful unity to separated elements, making possible an organized direction to our behavior. Without the organizing processes of perception, we would not see objects, space, events, movement, people, or relationships, but would drift through a world of meaningless, random sensations” (Zimbardo, 1975: 232). Proses pembentukan persepsi menurut Asngari (1984) diawali dari perolehan informasi kemudian orang tersebut membentuk persepsi dari pemilihan atau penyaringan. Informasi tersebut selanjutnya disusun menjadi suatu kesatuan yang bermakna dan akhirnya diinterpretasikan mengenai fakta dari keseluruhan informasi. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam memegang peranan penting guna meningkatkan pengertian dan pemahaman tehadap obyek yang diamati. Informasi yang sampai pada seseorang merupakan suatu stimulus dimana
11
dieruskan ke syaraf sensoris, sehingga orang akan menyadari dan memahami stimulus tersebut. Pada akhirnya, orang tersebut melakukan tindakan. Persepsi merupakan suatu proses dalam pembentukan perilaku karena persepsi merupakan proses kognitif manusia dalam menafsirkan atau mengartikan sesuatu baik berupa obyek fisik maupun obyek sosial. Oleh karena itu, penelitian tentang persepsi penting dilakukan untuk dapat menjelaskan perilaku atau tindakan seseorang.
2.4
Definisi Mangrove Mangrove didefinisikan menjadi dua konsep. Konsep pertama, yaitu sebagai
suatu kesatuan kelompok dari spesies tanaman sepanjang tahun yang berasal dari beberapa famili tumbuhan beserta hubungannya dengan makhluk hidup lain (biotik) dan lingkungannya (abiotik), namun berbagai spesies tumbuhan tersebut memiliki kemiripan karakteristik fisiologis dan kemiripan struktur adaptasi dengan habitatnya. Sementara itu konsep yang kedua, hutan mangrove didefiniskan sebagai suatu kompleks dari komunitas tumbuhan, batas pelindung pantai tropis. Komunitas tumbuhan tersebut umumnya termasuk ke dalam jenis pohon, biasanya spesies dari famili Rhizophoraceae, bersatu dengan pohon lain dan perdu atau semak yang tumbuh dalam daerah pengaruh pasang air laut (IUCN, 1993). Mangrove juga didefinisikan sebagai komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur atau berpasir, seperti pohon api-api (Avicennia spp.) dan bakau (Rhizophora spp.) (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007). Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau semak-semak/rumput-rumputan yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh di laut (Nybakken, 1992). Sementara itu menurut Murdiyanto (2003), hutan mangrove adalah ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar.
12
Berdasarkan beberapa definisi mangrove yang telah dikemukakan, mangrove merupakan suatu ekosistem yang kompleks. Mangrove terdiri dari berbagai spesies tanaman (pada sebagian besar daerah di Indonesia d idominasi oleh Rhizophora spp. dan Avicennia spp.) yang memiliki sifat khusus yaitu dapat beradaptasi tumbuh pada air asin (laut), fauna, dan organisme lain (seperti jamur dan mikroorganisme) beserta komponen abiotik (seperti udara, air, tanah) dimana satu sama lain berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang memiliki habitat di perbatasan antara wilayah daratan dan lautan (pesisir) sehingga dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Dengan melihat definisi tesebut, mangrove bukanlah hanya berisi sekumpulan tanaman, namun lebih dari itu merupakan suatu ekosistem wilayah pesisir yang memiliki fungsi tertentu.
Tabel 1. Fungsi Ekologi dan Fungsi Sosial- Ekonomi Hutan Mangrove Fungsi Ekologi - Melindungi garis pantai dari erosi, gelo mbang laut, dan angin topan - Mempercepat pembentukan tanah - Mengendalikan banjir - Menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai ke laut - Sebagai plasma nutfah dan habitat berbagai organisme lain (hewan darat, hewan air, dan mikroorganis me) - Feeding ground, nursery ground, spawning ground, berbagai hewan terutama larva ikan dan udang
Fungsi Sosial-Ekonomi - Hasil kayu-kayu bernilai ekonomi seperti untuk kayu bangunan dan tannin
- Bahan baku pembuatan kertas - Sarana rekreasi - Tempat pemijahan ikan dan
udang merupakan ko moditas tangkapan nelayan)
Sumber: Dikutip dari (Cooper, Harrison, dan Ramm., 1995 dalam Murdiyanto, 2003) dan (Haryadi, 1995)
2.5
Fungsi Mangrove Fungsi mangrove diklasifikasikan menjadi dua, yaitu fungsi ekologi dan
fungsi sosial ekonomi. Tabel 1 memuat fungsi ekologi dan fungsi sosial ekonomi mangrove. Mangrove tidak hanya memiliki fungsi ekologi namun juga fungsi ekonomi walaupun fungsi ekonomi tersebut tidak dapat dirasakan dalam jangka waktu singkat. Hal ini karena profibilitas mangrove yang sangat besar baru dapat dirasakan dalam jangka waktu lama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuatan satu hektar tambak ikan pada hutan mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebanyak 287 kg/tahun, namun dengan hilangnya setiap
(yang
13
satu hektar hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya (Turner, 1977) 8 . 2.6
Pengelolaan Tambak Ramah Lingkungan (Sylvofishery) Model Empang-Parit Pengelolaan tambak ramah lingkungan (Sylvofishery) model empang-parit 9 adalah suatu bentuk pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan, pertanian, dan perikanan dimana bagia n dari andil yang diperuntukkan bagi pemeliharaan ikan (caren) letaknya mengelilingi bagian dari andil yang ditanami tanaman hutan payau (rabak). Dapat dilihat sketsa sylvofishery model empang-parit pada Gambar 1. 10
Keterangan Gambar: a. pintu air untuk pemeliharaan ikan b. saluran air pasang surut bebas untuk hutan c. empang tempat pemeliharaan ikan lebar maksimu m 5 meter d. areal tegakan hutan dengan pasang surut bebas e. tanggul
Gambar 1. Sketsa Gambar Pengelolaan Tambak Ramah Lingkungan Model Empang-Parit
8
http://fppb.ubb.ac.id/?Page=artikel_ubb&&Nama_ menu=&&id=269 diakses pada 24 Mei 2010 pukul 11.35 9 Pasal 2 Bab Pengertian Umu m Naskah Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM Plus) antara Peru m Perhutani KPH Purwakarta dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan “Mina Wana Lestari” Desa Sedari, Kecamatan CIbuaya , Kabupaten Karawang Tahun 2007. 10 http://library.usu.ac.id/download/fp/06008763.pdf diakses pada tanggal 26 Mei 2010 Pukul 16.55 WIB.
14
Model empang-parit ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu: (1) cahaya matahari yang menyinari cukup baik; (2) biaya penyempurnaan empang parit dapat dilaksanakan secara bertahap setiap pemeliharaan. Sementara itu, beberapa hambatannya adalah pemeliharaan ikan kurang terintegrasi dan lebar parit terbatas sehingga cahaya matahari yang menyinari tidak cukup banyak. Model empang-parit yang umumnya dikatakan sistem tradisional ini dalam pelaksanaannya kurang disukai oleh petani. Beberapa alasan yang dikemukakan petani pada saat diskusi pelatihan budidaya tambak sistem wanamina pada tanggal 12 November 2006 antara Universitas Lampung (Unila) dengan petani di Desa Margasari 11 , yaitu: a) Tambak yang ditumbuhi mangrove pada bagian pelatarannya akan menghilangkan fungsi pelataran sebagai tempat pertukaran oksigen. b) Mangrove yang ada di tambak akan menjadi sarang hama, seperti biawak, ular, lingsang, burung elang, dan lain- lain. c) Kawasan budidaya tambak akan menjadi sempit, sehingga mengurangi produksi yang akan dipanen nantinya. Terlihat bahwa menurut petani model empang-parit kurang menguntungkan secara ekonomi. Kebanyakan petani hanya memikirkan keuntungan ekonomi dari tambak ini tanpa melihat sisi ekologi nya. Padahal tujuan dari pengelolaan tambak ramah lingkungan ini sudahlah jelas tidak hanya keuntungan ekonomi semata tetapi bagaimana mempertahankan tegakan hutan mangrove yang kondisinya semakin mengkhawatirkan.
2.7
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) “Mina Wana Lestari” LMDH “Mina Wana Lestari” merupakan salah satu LMDH yang aktif
melakukan pengelolaan tambak ramah lingkungan. LMDH ini termasuk ke dalam Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH Cikiong), Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Perum Perhutani mempercayakan “LMDH Mina Wana Lestari” untuk mengelola petak hutan mangrove seluas 2.840,95 hektar yang menjadi pangkuan Desa Sedari, Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, melalui perjanjian kerjasama PHBM 11
http://mangrove.unila.ac.id/ index.php?option=com_content&task=view&id=31 pada tanggal 24 Mei 2010 pukul 15.35 WIB.
diakses
15
Plus. LMDH ini telah melakukan kerjasama dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan dengan model empang-parit selama 3 tahun. Pesanggem didefinisikan sebagai petani yang mengerjakan usahatani dalam kawasan hutan payau yang terkait dalam perjanjian kerjasama dengan Perhutani (Perum Perhutani, 2007). Mereka adalah masyarakat desa-desa di Kecamatan Cibuaya dan Kecamatan Ciwaru yang tergabung dalam LMDH “Mina Wana Lestari” dan menggarap tambak ramah lingkungan model empang-parit. Para pesanggem ini memiliki kewajiban untuk memelihara tanaman payau yang ditanam Perhutani di tambak yang dikelola. Mereka juga diwajibkan membayar uang ganti rugi atas tambak yang mereka kelola dengan masa perjanjian selama satu tahun. Setelah itu, mereka harus memperpanjang masa perjanjian dan membayar lagi uang ganti rugi. Uang ganti rugi tersebut berbeda-beda tiap pesanggem tergantung kelasnya. Kriteria penentuan kelas 12 , yaitu berdasarkan: a) Kerapatan Tegakan b) Luas Pengaruh Pasang-surut c) Lebar parit (5m) dengan memakai pola empang-parit Sementara itu, kelas klasifikasi pesanggem dalam pengelolaan tambak, yaitu: a) Kelas I = Rp60.400 per ha/tahun b) Kelas II = Rp77.200 per ha/tahun c) Kelas III = Rp94.000 per ha/tahun d) Kelas IV = Rp144.400 per ha/tahun
2.8
Pengertian Partisipasi “Participation is a process through which stakeholders influence and share control over development initiatives, decisions, and resources which affect them.13
Participation can take different
forms, ranging from information-sharing and consultant methods to mechanisms for collaboration
12
and
empowerment that
give
Berdasarkan hasil wawancara dengan Asisten Perum Perhutani/K BKPH Cikiong pada tanggal 29 Mei 2010 13 The World Bank (1994) dalam “Participation and Social Assessment: Tools and technique” Compiled by Jennifer Rietbergen-McCracken and Deepa Narayan tahun 1998 h lm. 4.
16
stakeholders more influence and control. 14 Participation means involving local people in the development of plans and activities designed to change their lives. In its most development form, participation is continous process of negotiation and decision making that occurs at various levels and with all stakeholders” (Jennings, 2000 dalam Evans et al., 2006). Partisipasi adalah suatu proses dimana pemangku kepentingan saling mempengaruhi dan berbagi kekuasaan pada inisiatif- inisiatif pembangunan, keputusan-keputusan, dan sumberdaya-sumberdaya yang berpengaruh terhadap mereka. Partisipasi dapat terwujud dalam bentuk-bentuk yang berbeda, dari berbagi informasi dan metode konsultasi hingga mekanisme untuk kolaborasi dan pemberdayaan yang memberikan pemangku kepentingan pengaruh dan kekuasaan yang lebih besar. Partisipasi berarti mengikutsertakan masyarakat lokal dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang dirancang untuk merubah hidup mereka. Dalam banyak bentuk pembangunan, partisipasi adalah proses berkelanjutan pada negosiasi dan pengambilan keputusan yang terjadi pada berbagai tingkatan dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Beberapa definisi partisipasi tersebut pada dasarnya menjelaskan titik utama partisipasi, yaitu: (1) keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dalam seluruh rangkaian kegiatan pembangunan; (2) masyarakat lokal sebagai salah satu pemangku
kepentingan
(subyek
pembangunan),
bukan
sebagai
obyek
pembangunan; (3) pemangku kepentingan yang terlibat memiliki kekuasaan dan pengaruh yang sama; (4) keterlibatan dalam kegiatan pembangunan untuk merubah hidup (memperbaiki kualitas hidup) pemangku kepentingan khususnya masyarakat lokal. Pemangku kepentingan dapat didefinisikan sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan pembangunan. Dalam banyak kegiatan pembangunan di Indonesia, pihak-pihak yang terlibat tersebut umumnya adalah pemerintah, swasta, masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Namun dalam penelitian ini, pemangku kepentingan yang teridentifikasi adalah masyarakat (tergabung dalam LMDH) dan pemerintah baik pusat (Perum Perhutani) maupun daerah (Pemerintahan Desa Sedari). 14
The World Ban k (1996) dalam Mc Cracken and Narayan (1998) Ibid.
17
2.9
Bentuk-bentuk Tahapan Partisipasi dalam Praktek Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara aktif dalam setiap tahapan
pembangunan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Masyarakat tidak lagi menjadi obyek pembangunan tetapi menjadi subyek pembangunan, dimana masyarakat berperan aktif menyelesaikan masalahnya sendiri. 15 Partisipasi dalam prakteknya terdiri dari empat bentuk tahapan (Pamudji, 1997 dalam Asnawati, 2004), yaitu: (1) Partisipasi dalam perencanaan kegiatan, yaitu keterlibatan dalam bentuk kehadiran, menyampaikan pendapat, dan pengambilan keputusan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan yang akan dilaksanakan. (2) Partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan, yaitu keterlibatan dalam bentuk penyediaan dana, pengadaan sarana, dan berkorban waktu dan tenaga sejak persiapan kegiatan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan kegiatan yang berupa pemeliharaan hasil- hasil kegiatan. (3) Partisipasi dalam pengendalian kegiatan monitoring, pengawasan, dan evaluasi. (4) Partisipasi dalam pemanfaatan hasil kegiatan. Cohen dan Uphoff (1977) dalam Makmur (2005) membagi partisipasi ke dalam beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut: (1) Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang dimaksud di sini adalah pada perencanaan suatu kegiatan. (2) Tahap
pelaksanaan
yang
merupakan
tahap
terpenting
dalam
pembangunan, sebab tahapan ini adalah pelaksanaannya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk tindakan sebagai anggota proyek.
15
Buku 1 Intisari “Seminar Nasional Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan” halaman 3. Ed itor: Budhy Tjahjat i Sugijanto Soegijo ko, Gita Chandrika Napitupulu, Wahuyu Mulyana, Frieda Fidi. Yogyakarta, 25-26 Ju li 2008.
18
(3) Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan program selanjutnya. (4) Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subyek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek dirasakan, berarti proyek tersebut berhasil mengenai sasaran. Partisipasi dalam arti sesungguhnya melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam setiap bentuk tahapan partisipasi, tidak terkecuali masyarakat lokal. Pada kegiatan pembangunan di Indonesia, partisipasi masyarakat cenderung masih rendah karena masih adanya perbedaan sikap antara masyarakat dengan golongan elit (Utomo, 1984). Utomo (1984) mengemukakan bahwa pengertian mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa paling sedikit mencakup dua aspek yang penting, yaitu bahwa peserta partisipasi (masyarakat lokal) seyogyanya turut menentukan dalam pengambilan keputusan dan turut melaksanakannya; walaupun antara golongan elit dan masyarakat bawahan masih terdapat perbedaan sikap dalam menilai kepentingan mengembangkan partisipasi tersebut sebagai berikut: (1) Ahli dari golongan elit menganggap diri mereka paling tahu dan merasa harus menggurui masyarakat. (2) Rakyat atau masyarakat golongan bawah belum terbiasa dengan pola hidup moderen, sehingga partisipasi mereka rendah tingkatannya bahkan lebih menunjukkan partisipasi yang tinggi dalam kegiatan ritus kolektif yang tradisionil. (3) Ada kontradiksi antara usaha mengembangkan partisipasi dengan usaha mencapai target secepat-cepatnya. Akibatnya maka ada gejala umum pada masyarakat pedesaan hanya ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang mereka mengerti saja, atau berpartisipasi secara semu, yaitu hanya mengikuti kehendak atasan yang tidak sepenuhnya mereka mengerti kegunaannya.
19
2.10 Hubungan Persepsi dan Partisipasi Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, persepsi dan partisipasi memiliki hubungan. Susiatik (1998), Haryanto (2003), Zulfarina (2003), Erwina (2005), dan Kholiq (2009) mengemukakan dalam penelitiannya bahwa persepsi masyarakat berhubungan positif dengan tingkat partisipasinya.
Hal ini
menunjukkan bahwa persepsi dan partisipasi dalam beberapa kegiatan pembangunan memiliki hubungan. Namun, berbeda halnya dengan penelitian Amrijono (1993), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa persepsi dan sikap masyarakat dalam menanggapi keberadaan taman lingkungan berkorelasi negatif pada tumbuhnya partisipasi masyarakat untuk memanfaatkan lingkungan. Hal ini menurutnya karena ada variabel luar yang tidak ikut diteliti namun berpengaruh pada partisipasi masyarakat tersebut. Oleh karena itu, penelitian tentang hubungan persepsi dan partisipasi masih perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana kedua konsep ini berhubungan. Persepsi masyarakat mengenai hutan mangrove perlu dikaji untuk dilihat hubungannya terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit. Hutan mangrove cenderung masih dipersepsikan salah karena hutan mangrove sering diklasifikasikan sebagai lahan kosong yang tidak memiliki manfaat sehingga lebih baik dikonversi menjadi pertambakan (Murdiyanto, 2003). Pemerintah dan masyarakat cenderung tidak memikirkan aspek ekologi dalam mengelola wilayah pesisir. Pemerintah memilik i persepsi terhadap penentuan prioritas penggunaan wilayah pesisir pada kegiatan industri (aspek ekonomi). Sementara itu, masyarakat lebih dominan dalam kegiatan tambak karena aspek sosial dimana tambak merupakan tradisi turun temurun (Sugiarti, 2000) ditambah lagi dengan pemenuhan kebutuhan yang semakin sulit dan udang menjadi primadona pada tahun 1980an sehingga tambak menjadi marak dan yang menjadi korbannya adalah hutan mangrove. Pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit merupakan pengelolaan tambak yang mengutamakan kelestarian mangrove karena proporsi rabak (bagian yang ditanami hutan payau) lebih besar dari bagian caren (bagian pemeliharaan ikan) sesuai pada Gambar 1. Tujuan dari pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit ini pun adalah menuju suatu tegakan hutan yang
20
berbasis ekosistem, yaitu kondisi hutan yang memiliki manfaat secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Oleh karena itu, kajian persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove penting dilakukan untuk menjelaskan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit. Penelitian ini mencoba untuk menganalisis hubungan korelasi antara variabel tersebut.
2.11 Kerangka Pe mikiran Persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove dalam penelitian ini didefinisikan menjadi tiga, yaitu: (1) persepsi pesanggem mengenai ekosistem hutan mangrove; (2) persepsi pesanggem mengenai fungsi ekologi hutan mangrove; dan (3) persepsi pesanggem mengenai fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove. Masing- masing variabel tersebut dirinci lagi indikator- indikatornya agar dapat diukur dan pada akhirnya dapat menilai apakah persepsi mereka mengenai hutan mangrove adalah negatif atau positif. Persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove ini diduga memiliki hubungan korelasi dengan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit. Persepsi Pesanggem Mengenai Hutan Mangrove 1. Persepsi Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove 2. Persepsi Mengenai Fungsi Ek ologi Hutan Mangrove 3. Persepsi Mengenai Fungsi Sosial-ekonomi Hutan Mangrove
Keterangan:
Partisipasi Pesanggem dalam Pengelolaan Tambak Ramah Lingkungan Model Empang-Parit 1. 2. 3. 4.
Tahap Perencanaan Tahap Pelaksanaan Tahap Monitoring/evaluasi Tahap Menik mati Hasil
= A lur Berhubungan
Gambar 2. Kerangka Pe mikiran Partisipasi masyarakat dalam prakteknya terdiri dari empat bentuk tahapan (Pamudji, 1997 dalam Asnawati, 2004; Cohen dan Uphoff, 1977 dalam Makmur, 2005), yaitu: (1) tahap perencanaan; (2) tahap pelaksanaan; (3) tahap monitoring/evaluasi; (4) tahap menikmati hasil. Masing- masing bentuk tahapan tersebut dirinci lagi indikator- indikatornya agar dapat diukur dan pada akhirnya
21
dapat menilai apakah partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit adalah rendah atau tinggi. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat tiap tahapan partisipasi berasal dari Naskah perjanjian kerjasama PHBM Plus antara Perum Perhutani KPH Purwakarta dengan LMDH “Mina Wana Lestari” (2007) tentang pelaksanaan pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit. Persepsi pesanggem mengenai ekosistem hutan mangrove, persepsi pesanggem mengenai fungsi ekologi hutan mangrove, dan persepsi pesanggem mengenai fungsi sosial ekonomi hutan mangrove dilihat hubungan korelasinya dengan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang parit. Analisis hubungan variabel ini penting dilakukan bagi peningkatan partisipasi pesanggem dalam kegiatan pembangunan yang diadakan Perum Perhutani. Apabila memang berhubungan, maka salah satu usaha yang dapat ditempuh oleh Perum Perhutani agar pesanggem berpartisipasi aktif dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan dan melestarikan mangrove adalah dengan memperbaiki
persepsi
pesanggem
terhadap
hutan
mangrove.
Dengan
berpartisipasi secara aktif dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit, yaitu mengikuti setiap bentuk tahapan dengan baik, pesanggem mendapatkan manfaat ganda, yaitu mendapatkan manfaat langsung dari hutan mangrove dan dapat memelihara ikan atau udang di tambak.
2.12
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran pada Gambar 2. yang telah dibuat,
penelitian ini memiliki hipotesis: Terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove dengan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit.
2.13 Definisi Operasional Definisi operasional adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan dan mengukur suatu variabel dalam penelitian. Definisi operasional penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Definisi Operasional Variabel Persepsi Mengenai Hutan Mangrove dan Partisipasi dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit Variabel/Indikator
Definisi
Kategori (Skor)
Jumlah Pernyataan Skala Pengukuran
1. Persepsi Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove
Penilaian dan pandangan responden mengenai ekosistem hutan mangrove.
1. Negatif (8-19) 2. Positif (20-32)
8
a. Hutan mangrove terdiri dari berbagai spesies tunbuhan.
Penilaian dan pandangan responden bahwa hutan mangrove terdiri dari berbagai spesies tumbuhan yang unik.
SS (4); CS (3); KS (2); STS (1)
2
b. Hutan mangrove terdiri dari berbagai spesies hewan.
Penilaian dan pandangan responden bahwa hutan mangrove terdiri dari berbagai spesies hewan.
SS (4); CS (3); KS (2); STS (1)
3
c. Hutan mangrove terdiri dari ko mponen abiotik.
Penilaian dan pandangan responden bahwa hutan mangrove terdiri dari tanah, air, dan udara yang memiliki fungsi tertentu.
SS (4); CS (3); KS (2); STS (1)
1
d. Hutan mangrove Penilaian dan pandangan responden bahwa hutan mangrove memiliki habitat hanya di memiliki habitat hanya di wilayah pesisir. wilayah pesisir.
SS (4); CS (3); KS (2); STS (1)
2
2. Persepsi Mengenai Fungsi Eko logi Hutan Mangrove
1. Negatif (18-44) 2. Positif (45-72)
18
Penilaian dan pandangan responden mengenai fungsi ekologi hutan mangrove.
Ordinal
Ordinal
22
24
Variabel/Indikator
Definisi
Kategori (Skor)
Jumlah Pernyataan
Penilaian dan pandangan responden bahwa hutan mangrove melindungi garis pantai dari erosi, gelo mbang laut, dan angin topan.
SS (4); CS (3); KS (2); STS (1)
6
b. Mempercepat pembentukan tanah.
Penilaian dan pandangan responden bahwa hutan mangrove mempercepat pembentukan tanah.
SS (4); CS (3); KS (2); STS (1)
2
c. Mengendalikan banjir.
Penilaian dan pandangan responden bahwa hutan mangrove dapat mencegah terjadinya banjir.
SS (4); CS (3); KS (2); STS (1)
2
d. Menstabilkan tanah
Penilaian dan pandangan responden bahwa hutan mangrove menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai ke laut.
SS (4); CS (3); KS (2); STS (1)
2
e.Sebagai plasma nutfah dan habitat berbagai organisme.
Penilaian dan pandangan responden bahwa hutan mangrove sebagai tempat keanekaragaman hayati bagi berbagai makhlu k hidup.
SS (4); CS (3); KS (2); STS (1)
3
f. Feeding ground, nursery ground, spawning ground berbagai hewan terutama larva ikan dan udang.
Penilaian dan pandangan responden bahwa hutan mangrove sebagai tempat mencari makan, pemeliharaan, pemijahan, perlindungan berbagai hewan terutama ikan dan udang.
SS (4); CS (3); KS (2); STS (1)
3
3. Persepsi Mengenai Fungsi Sosial-ekonomi Hutan Mangrove.
Penilaian dan pandangan responden mengenai fungsi sosialekonomi hutan mangrove.
1. Negatif (6-15) 2. Positif (16-24)
6
a. Hasil kayu-kayu bernilai ekonomi.
Penilaian dan pandangan responden bahwa hutan mangrove menghasilkan kayu-kayu bernilai ekonomi.
SS (4); CS (3); KS (2); STS (1)
2
Ordinal
23
a. Melindungi garis pantai dari erosi, gelo mbang laut, dan angin topan.
Skala Pengukuran
25
Variabel/Indikator
Definisi
Kategori (Skor)
Jumlah Pernyataan
b. Bahan baku pembuatan kertas.
Penilaian dan pandangan responden bahwa hutan mangrove penghasil bahan baku pembuatan kertas.
SS (4); CS (3); KS (2); STS (1)
1
c. Sarana rekreasi.
Penilaian dan pandangan responden bahwa hutan mangrove dapat dijadikan tempat rekreasi.
SS (4); CS (3); KS (2); STS (1)
1
d. Tempat pemijahan ikan dan udang
Penilaian dan pandangan responden bahwa hutan mangrove merupakan tempat berkembang biak benih ikan dan udang yang dapat digunakan untuk benih di tambak.
SS (4); CS (3); KS (2); STS (1)
2
4. Partisipasi Tahap Perencanaan Pengelolaan Tambak Mangrove.
Tingkat keterlibatan responden dalam proses perencanaan pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit .
1. Rendah (10-25) 2. Tinggi (26-40)
10
a. Penentuan ketua dan pengurus LMDH sebagai lembaga pengelola tingkat masyarakat.
Tingkat keterlibatan responden dalam proses penentuan ketua dan pengurus LMDH sebagai lembaga pengelola tambak ramah lingkungan tingkat masyarakat.
S (4); Sr (3); Jr (2); TP (1)
1
b. Keikutsertaan setiap pertemuan.
pada
Tingkat keterlibatan responden dalam pertemuan awal tahun membahas naskah perjanjian.
S (4); Sr (3); Jr (2); TP (1)
1
c. Penentuan luas tambak, letak parit, rabak, dan jenis ikan yang dibudidayakan.
Tingkat keterlibatan responden dalam proses penentuan luas tambak, letak parit, rabak, dan jenis ikan yang dibudidayakan.
S (4); Sr (3); Jr (2); TP (1)
4
Skala Pengukuran
Ordinal
24
26
Variabel/ Indikator
Defin isi
Kategori (Skor)
Ju mlah Pernyataan
d. Penentuan spesies tanaman payau yang ditanam.
Tingkat keterlibatan responden dalam proses penentuan jenis tanaman payau yang ditanam pada rabak.
S (4); Sr (3); Jr (2); TP (1)
1
e. Penentuan waktu pelaksanaan kegiatan.
Tingkat keterlibatan responden dalam proses penentuan waktu pelaksanaan kegiatan pengelolaan tambak.
S (4); Sr (3); Jr (2); TP (1)
1
f. Penentuan sanksi.
Tingkat keterlibatan responden dalam proses penentuan sanksi, denda, atau hukuman yang diberikan kepada pesanggem apabila melakukan pelanggaran.
S (4); Sr (3); Jr (2); TP (1)
1
g. Penentuan sistem bagi hasil.
Tingkat keterlibatan responden dalam proses penentuan sistem bagi hasil antara pesanggem dan Peru m Perhutani.
S (4); Sr (3); Jr (2); TP (1)
1
5. Part isipasi Tahap Pelaksanaan Pengelolaan Tambak Mangrove. a. Pemberantasan organisme pengganggu tanaman.
Tingkat keterlibatan responden dalam proses pelaksanaan pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit .
1. Rendah (8-20) 2. Tinggi (21-32)
8
Tingkat keterlibatan responden dalam proses pemberantasan hama dan penyakit tanaman payau.
S (4); Sr (3); Jr (2); TP (1)
4
b. Penyulaman tanaman payau yang mati.
Tingkat keterlibatan responden dalam proses penyulaman tanaman payau yang mati.
S (4); Sr (3); Jr (2); TP (1)
c. Pencegahan/pelarangan perlakuan yang dapat merusak/memat ikan tanaman payau.
Tingkat keterlibatan responden dalam proses pencegahan/pelarangan kepada setiap pihak yang akan merusak/memat ikan tanaman payau.
S (4); Sr (3); Jr (2); TP (1)
Skala Pengukuran
Ordinal
1
2
25
27
Variabel/Indikator
Definisi
Kategori (Skor)
Jumlah Pernyataan
d. Pembayaran bagi hasil kepada pihak pertama sesuai kesepakatan awal.
Tingkat keterlibatan responden dalam proses pembayaran bagi hasil kepada Peru m Perhutani.
S (4); Sr (3); Jr (2); TP (1)
1
6. Part isipasi Tahap Monitoring Pengelolaan Tambak Mangrove.
Tingkat keterlibatan responden dalam proses monitoring/evaluasi pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit .
1. Rendah (10-25) 2. Tinggi (26-40)
10
a. Pemantauan jalannya pengelolaan tambak.
Tingkat keterlibatan responden dalam proses pemantauan jalannya pengelolaan tambak.
S (4); Sr (3); Jr (2); TP (1)
1
b. Pelaporan masalah-masalah yang terjadi pada pengelolaan tambak.
Tingkat keterlibatan responden dalam proses pelaporan apabila ada masalah-masalah di lapangan berkaitan pengelolaan tambak.
S (4); Sr (3); Jr (2); TP (1)
3
c. Pemberian kritik dan saran terhadap pihak Peru m Perhutani.
Tingkat keterlibatan responden dalam memberikan krit ik dan saran kepada Perum Perhutani sebagai perbaikan pengelolaan tambak.
S (4); Sr (3); Jr (2); TP (1)
6
7. Part isipasi Tahap Menikmati Hasil Pengelolaan Tambak Mangrove. a. Penerimaan andil garapan.
Tingkat keterlibatan responden dalam proses menikmat i hasil pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit .
1. Rendah (2-5) 2. Tinggi (6-8)
2
Tingkat keterlibatan responden dalam proses penerimaan luas lahan garapan sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka.
S (4); Sr (3); Jr (2); TP (1)
1
b.
Tingkat keterlibatan responden dalam menerima seluruh hasil panen dari tambak yang dikelola.
S (4); Sr (3); Jr (2); TP (1)
1
Penerimaan tambak
hasil
panen
Ordinal
Ordinal
26
Keterangan Skala Likert: SS (Sangat Setuju); CS (Cukup Setuju); KS (Kurang Setuju); STS (Sangat Tidak Setuju); S (Selalu); Sr (Sering); Jr (Jarang); TP (Tidak Pernah)
Skala Pengukuran
BAB III PENDEKATAN LAPANG
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), yaitu di
Desa Sedari, Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, pada bulan Juni-Juli 2010. Alasan pemilihan lokasi tersebut, yaitu: (a) Desa Sedari, Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, merupakan salah satu wilayah di daerah Jawa Barat yang masih memiliki areal mangrove. Luas petak mangrove yang merupakan pangkuan desa tersebut seluas 2.840,95 hektar yang dipercayakan kepada Perum Perhutani untuk dikelola bersama LMDH “Mina Wana Lestari”. (b) LMDH “Mina Wana Lestari” merupakan LMDH yang telah mengadakan perjanjian PHBM Plus dengan Perum Perhutani pada tahun 2007. LMDH ini dibentuk di Desa Sedari, Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang. Kerjasama yang dilakukan salah satunya adalah pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit yang sudah berjalan tiga tahun. Namun dalam realisasinya, pengelolaan tambak ramah lingkungan tersebut ternyata memiliki masalah utama, yaitu partisipasi anggota LMDH yang kurang seperti dikatakan oleh ketua LMDH “Mina Wana Lestari”. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian “Persepsi Pesanggem Mengenai Hutan Mangrove dan Partisipasi Pesanggem dalam Pengelolaan Tambak Ramah Lingkungan Model Empang-Parit” untuk mengetahui sebenarnya bagaimana persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove dan apakah ada hubungannya terhadap partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit.
3.2
Tipe penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskripsi korelasi. Masing- masing variabel
dijelaskan secara deskriptif dan dicari hubungan antar variabel tersebut. Persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove yang didefinisikan menjadi tiga variabel masing- masing dianalisis secara deskriptif. Sementara itu, partisipasi pesanggem
28
dalam pengelolaan tambak mangrove model empang parit yang didefinisikan menjadi empat variabel juga dianalisis secara deskriptif. Variabel- variabel persepsi tersebut selanjutnya dicari hubungannya dengan variabel- variabel partisipasi.
3.3
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survei yang didefinisikan sebagai
metode pengumpulan data dengan menggunakan instrumen tertentu untuk meminta tanggapan dari responden tentang sampel (Gulö, 2002: 118). Singarimbun dan Effendi (1989: 3) lebih memperjelas definisi penelitian survei, yaitu penelitian dimana informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner. Penelitian survei dibatasi pada penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atau populasi untuk mewakili seluruh populasi. Penelitian survei dipilih dengan harapan dapat mendeskripsikan populasi LMDH “Mina Wana Lestari” dengan sampel yang dipilih, mengemukakan bagaimana persepsi mereka
mengenai hutan
mangrove,
mengemukakan bagaimana
partisipasi mereka dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empangparit, serta melihat hubungan korelasi antara persepsi dengan partisipasi.
3.4
Teknik Penentuan Responden dan Informan Populasi dalam penelitian ini adalah pesanggem yang didefinisikan sebagai
anggota LMDH Mina Wana Lestari KRPH Cibuaya yang berasal dari Desa Sedari dan mengelola secara langsung tambaknya (status bukan buruh tambak). Semua anggota LMDH Mina Wana Lestari tidak dijadikan populasi dalam penelitia n ini karena beberapa hal, yaitu: 1) Total anggota LMDH “Mina Wana Lestari” sebanyak 341 orang yang berasal dari desa-desa di Kecamatan Cibuaya dan Kecamatan Ciwaru, Kabupaten Karawang. Sebanyak 214 orang berasal dari Kesatuan Resort Pemangku Hutan (KRPH) Cibuaya dan 127 orang berasal dari KRPH Ciwaru. Namun, yang dijadikan populasi dalam penelitian ini adalah anggota LMDH yang terdaftar ke dalam KRPH Cibuaya. Hal ini karena pertimbangan waktu, biaya, dan akses Peneliti yang terbatas sehingga hanya dimungkinkan untuk meneliti anggota LMDH yang terdaftar ke
29
dalam KRPH Cibuaya. Jumlah anggota LMDH KRPH Cibuaya adalah 214 orang. 2) Anggota LMDH Mina Wana Lestari KRPH Cibuaya sebagian besar tidak berasal dari Desa Sedari. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa Desa Sedari merupakan salah satu desa di Jawa Barat yang memiliki areal mangrove cukup luas. Hal ini berimplikasi pada masyarakat Desa Sedari yang mengenal hutan mangrove dari dahulu berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya selama ini karena merupakan lingkungan tempat tinggalnya. Persepsi erat kaitannya dengan pengetahuan dan pengalaman seseorang terhadap suatu obyek sehingga orang tersebut dapat menilai obyek yang dimaksud. Sementara itu, anggota LMDH yang tidak berasal dari Desa Sedari umumnya adalah orang Jakarta atau Ras Cina pendatang yang hanya menanamkan modal untuk mendapatkan hak pakai tambak tanpa mengelolanya langsung. Tentunya ia tidak mengetahui tetang bagaimana hutan mangrove karena tidak tinggal di lingkungan yang dilingkupi hutan mangrove.
Hal ini tentunya berpengaruh pada
persepsinya mengenai hutan mangrove sehingga anggota LMDH yang tidak berasal dari Desa Sedari atau tidak berasal dari sekitar Desa Sedari tidak termasuk populasi penelitian. Berdasarkan daftar anggota LMDH Mina Wana Lestari KRPH Cibuaya, didapatkan 109 orang yang berasal dari Desa Sedari. 3) Anggota LMDH Mina Wana Lestari yang berasal dari Desa Sedari tidak semuanya mengelola langsung tambaknya. Dalam sistem tambak di wilayah tersebut, dikenal istilah bujang (buruh tambak) yang mengelola tambak anggota LMDH dan memperoleh bagian dari hasil panen. Dengan kata lain, anggota LMDH tersebut tidak mengerjakan pengelolaan tambak di lapangan tetapi buruh tambak yang mengerjakannya. Namanya memang tercantum sebagai anggota LMDH dan memiliki hak pakai tambak namun ia tidak mengetahui langsung kondisi di tambak. Sementara itu, partisipasi yang dinilai dalam penelitian ini mencakup kegiatan sehari- hari dalam pemeliharaan tambak sehingga anggota LMDH yang tidak langsung mengelola tambaknya tidak dapat dijadikan populasi penelitian ini.
30
Berdasarkan pra-survei yang dilakukan Peneliti, terdapat 80 orang yang namanya terdaftar sebagai anggota LMDH Mina Wana Lestari KRPH Cibuaya yang berasal dari Desa Sedari dan mengelola secara langsung tambaknya. Berdasarkan pertimbangan yang telah dikemukakan, populasi dari penelitian ini sebanyak 80 orang pesanggem. Sementara itu, didapatkan 70 orang pesanggem sebagai responden penelitian yang masih mungkin diakses oleh Peneliti. Jumlah responden yang diambil Peneliti lebih dari 50 persen total populasi. Hal ini menunjukkan bahwa sampel yang diambil peneliti cukup untuk mewakili populasi pesanggem. Informan adalah seorang anggota dari suatu kelompok yang dapat berbicara semata- mata hanya mengenai kelompok tersebut (Babbie, 2004: 185 dalam Wahyuni dan Mulyono, 2007: 73). Informan dari penelitian ini adalah orang yang memahami tentang LMDH “Mina Wana Lestari” dan pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit di daerah Sedari. Informan yang dipilh dalam penelitian ini adalah Asisten Perhutani (Asper) BKPH Cikiong, Ketua LMDH “Mina Wana Lestari”, serta tokoh masyarakat Desa Sedari. Namun, tidak menutup kemungkinan beberapa orang dari pihak masyarakat dan Perum Perhutani juga dimintai keterangan berhubungan dengan penelitian. Informan ini diperlukan sebagai pemberi informasi tambahan berkaitan dengan penelitian. Hal ini karena dalam penelitian dimungkinkan adanya informasi yang tidak tersirat dalam kuesioner namun dibutuhkan sehingga dapat digunakan Pe neliti sebagai bahan pertimbangan dalam menginterpretasi data.
3.5
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data adalah cara untuk mengumpulkan data dari
sampel penelitian, dilakukan dengan metode tertentu sesuai tujuannya (Gulö, 2005: 115). Metode pengumpulan data penelitian ini disajikan dalam Tabel 3. Sumber data dibedakan menjadi data primer dan data sekunder tergantung dari darimana data didapatkan. Data primer adalah data yang didapatkan langsung oleh Peneliti dari responden. Sementara itu, data sekunder adalah data yang didapatkan oleh Peneliti dari pihak lain. Peneliti tidak mendapatkan data langsung dari responden. Dalam penelitian ini, data sekunder terutama didapatkan dari
31
Pemerintah Desa Sedari dan Perum Perhutani. Metode pengumpulan data yang utama (primer) dari penelitian ini adalah dari kuesioner. Wawancara, pengamatan, dan penelusuran data-data hasil penelitian atau dokumentasi pihak lain (dokumenter) merupakan teknik pengumpulan data pelengkap.
Tabel 3. Metode Pengumpulan Data Penelitian Variabel
Su mber Data
Metode Pengumpulan Data
Persepsi Mengenai Ra Hutan Mangrove
Primer
Kuesioner, wawancara.
1. Persepsi Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove. 2. Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Hutan Mangrove. 3. Persepsi Mengenai Fungsi Sosialekonomi Hutan Mangrove. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring/evaluasi 4. Menikmat i hasil
3.6
Primer
Kuesioner, wawancara, pengamatan.
Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif dan analisis korelasi. Analisis deskriptif (analisis univariate) sebagai analisis pendahuluan yang dibutuhkan untuk mengetahui karakteristik setiap variabel pada sampel penelitian (Gulö, 2002: 140). Analisis korelasi dibutuhkan untuk melihat hubungan korelasi antara variabel yang diteliti. Karena tipe data dari masing- masing variabel penelitian adalah data ordinal, maka analisa korelasi yang digunakan adalah rank spearman (Suliyanto, 2005: 54):
32
ρ =1-
6
bi2
n(n2 −1)
Keterangan: ρ = Koefisien rank spearman bi2 = selisih antara ranking satu dengan ranking lain n = ju mlah sampel
Namun dalam penelitian ini, analisis korelasi rank spearman tidak dihitung secara manual. Program SPSS 15.0 for Windows digunakan untuk menganalisis korelasi rank spearman dari variabel yang diteliti.
33
BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 16 4.1
Keadaan Wilayah Desa Sedari merupakan salah satu desa di Kecamatan Cibuaya, Kabupaten
Karawang. Luas wilayah Desa Sedari adalah 3.899,5 hektar (Ha). Batas wilayah Desa Sedari sebelah Utara adalah Laut Jawa, sebelah Selatan adalah Desa Kalidung Jaya dan Tambak Sumur, sebelah Timur adalah Desa Cemara Jaya, dan sebelah Barat adalah Desa Tambak Sumur. Luas Desa Sedari menurut penggunaannya disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Luas Wilayah Desa Sedari Menurut Penggunaannya Tahun 2009 Jenis Penggunaan
Luas (Ha)
Luas pemukiman
20
Luas persawahan
44
Luas tambak
3820
Luas perkebunan
2
Luas kuburan
2
Luas pekarangan
2
Luas taman
-
Perkantoran
1.5
Luas prasarana umum lainnya
Total luas
8
3899.5 Ha
Sumber: Data Sekunder Profil Desa Sedari Tahun 2009
Terlihat pada Tabel 4 bahwa luas wilayah Desa Sedari sebagian besar digunakan untuk pertambakan. Seluas 3820 ha merupakan areal pertambakan yang diusahakan masyarakat. Luas 3.820 ha terdiri dari 2.840,95 ha tanah pemerintah dan 979,05 ha tanah milik. Tanah milik jelas milik masyarakat dengan sertifikat tanah milik. Sementara itu, seluas 2.840,95 ha merupakan tanah pemerintah yang ditanggungjawabkan kepada Perum Perhutani untuk dikelola. Sebenarnya luasan ha tersebut dahulu adalah wilayah hutan mangrove yang sekarang difungsikan 16
Data sekunder yang didapat dari “Profil Desa Sedari Tahun 2009”
34
sebagai tambak-mangrove karena konversi mangrove yang terjadi. Masyarakat tidak memiliki hak milik atas tambak tersebut, tetapi hanya hak pakai sehingga mereka tidak berhak menjual tambak tersebut kepada orang lain, yang dikenal adalah istilah ganti rugi garapan bukan pembelian atau penjualan tambak. Tambak seluas 2.840,95 ha itulah yang dikelola LMDH Mina Wana Lestari bersama Perum Perhutani dan Pemerintah Desa Sedari dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit. Orbitasi di wilayah Desa Sedari disajikan pada Tabel 5. Terlihat pada Tabel 5, informasi mengenai jarak dan waktu tempuh ke Ibukota Kecamatan Cibuaya, Ibukota Kabupaten Karawang, dan Ibukota Provinsi Jawa Barat menggunakan kendaraan bermotor dan berjalan kaki. Terlihat bahwa jarak Desa Sedari ke Kantor Kecamatan Cibuaya dan Kabupaten Karawang cukup jauh ditambah lagi dengan kondisi jalan yang rusak berat sehingga akses informasi dan sarana dari kecamatan dan kabupaten cenderung terhambat. Tabel 5. Orbitasi di Wilayah Desa Sedari Tahun 2009 Tujuan (dari Desa Sedari)
Jarak (Km)
Waktu Tempuh (Jam) Kendaraan
Jalan
Bermotor
Kaki
Ibukota Kecamatan
17
1
2
Ibukota Kabupaten/Kota
50
3
7
Ibukota Provinsi
117
5
24
Sumber: Data Sekunder Profil Desa Sedari Tahun 2009
4.2
Kondisi Geografis Desa Wilayah Desa Sedari memiliki topografi dataran rendah, tepi pantai/pesisir,
dan bentangan sungai. Tanahnya sebagian besar berwarna hitam dengan tekstur lempungan. Bentangan sungai membelah Desa Sedari yang bermuara ke Laut Jawa. Tingkat kemiringan tanah sekitar 5,5°. Tingkat erosi tanah di wilayah Desa Sedari beragam dari mulai luas tanah erosi ringan (± 3 Ha), luas ta nah erosi sedang (± 2 Ha), luas tanah erosi berat (± 1 Ha), dan luas tanah tidak ada erosi (± 5,5 Ha). Erosi tanah di wilayah Desa Sedari terjadi terutama karena daerah ini merupakan dataran rendah, yaitu 0,5 m dpl (di atas permukaan laut) sehingga terkena pengaruh pasang-surut dan ombak air laut.
35
Iklim di Desa Sedari termasuk iklim kering dengan curah hujan 0,5 mm, jumlah bulan hujan adalah 2 bulan dengan suhu rata-rata harian 25°C. Namun, seiring semakin meningkatnya pemanasan global terutama di wilayah pesisir, seringkali hujan turun tidak menentu di wilayah Desa Sedari.
Tabel 6. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Sedari Tahun 2009 Tingkat Pendidikan
Laki-laki (orang)
Perempuan (orang)
Usia 3-6 tahun belum masuk TK
112
156
Usia 3-6 tahun sudah masuk TK
16
3
-
-
Usia 7-18 tahun sedang sekolah
492
223
Usia 18-56 tahun tidak pernah sekolah
31
22
Usia 18-56 tahun pernah SD tidak tamat
101
96
Tamat SD/sederajat
390
398
Jumlah usia 12-56 tahun tidak tamat SLTP/sederajat
29
20
Jumlah usia 12-56 tahun tidak tamat SLTA/sederajat
4
2
Tamat SMP/sederajat
173
115
Tamat SLTA/sederajat
85
43
D-1
2
1
D-2
3
1
D-3
-
3
S1
6
-
S2
2
-
S3
-
-
SLB A
20
21
SLB B
20
16
SLB C
1
1
1487
1121
Usia 7-18 tahun tidak pernah sekolah
Jumlah (orang) Total (orang)
2608
Sumber: Data Sekunder Profil Desa Sedari Tahun 2009
4.3
Kondisi Demografi Desa Jumlah penduduk Desa Sedari pada tahun 2009 adalah 4523 orang dengan
komposisi penduduk laki- laki sebanyak 2.338 orang dan penduduk perempuan
36
sebanyak 2.185 orang. Jumlah Kepala Keluarga (KK) di Desa Sedari pada tahun 2009 sebanyak 1321 KK. Kepadatan penduduk Desa Sedari pada Tahun 2009 adalah 116 orang/km2 . Pendidikan kurang dianggap penting pada saat dahulu. Beberapa orang lanjut usia mengaku bahwa dahulu lulusan SD sudah dianggap cukup baik. Terlihat pada Tabel 6 bahwa penduduk usia 18-56 yang tidak pernah sekolah sebanyak 53 orang dan penduduk usia 18-56 yang pernah SD tidak tamat sebanyak 197 orang. Dominan mereka adalah orang lanjut usia. Terlihat pada Tabel 6 bahwa untuk penduduk usia 7-18 tahun yang sedang sekolah angkanya cukup tinggi baik laki- laki maupun perempuan. Sementara itu, penduduk usia 718 tahun yang tidak pernah sekolah baik laki- laki maupun perempuan tidak ada sama sekali. Hal ini karena terjadi perubahan paradigma di sebagian masyarakat Desa Sedari bahwa pendidikan sekarang dianggap penting walaupun hanya sampai lulus SD. Terlihat pada Tabel 6 bahwa penduduk Desa Sedari dominan adalah lulusan SD/sederajat. Hal ini terutama karena kesulitan biaya untuk melanjutkan ke jenjang SMP/sederajat. Selain itu, kondisi jalan utama dari Desa Sedari ke SMP terdekat yang rusak berat dan jaraknya cukup jauh sehingga beberapa penduduk Desa Sedari enggan pergi ke sekolah. Mata pencaharian utama penduduk Desa Sedari adalah sebagai buruh tani dan petani. Buruh tani dan petani yang dimaksud dalam konteks ini adalah buruh tambak dan petani tambak. Mata pencaharian penduduk Desa Sedari dapat dilihat pada Tabel 7. Jumlah petani tambak dan buruh tani tambak tersebut adalah gabungan antara petani tambak dan buruh tani tambak milik dan tambak milik negara. Banyak penduduk Desa Sedari yang hanya sebagai buruh tani tambak sementara itu pemiliknya (pesanggem untuk tambak milik perum perhutani) adalah orang luar Desa Sedari. Walaupun Desa Sedari adalah daerah pesisir, jumlah penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan terbilang sedikit. Hal ini salah satunya karena pendapatan nelayan tidak pasti seiring semakin sulitnya mendapatkan udang dan ikan alam dari laut.
37
Tabel 7. Mata Pencaharian Pokok Penduduk Desa Sedari Tahun 2009 Jenis Pekerjaan
Laki-laki (orang)
Perempuan (orang)
Petani (tambak)
165
-
Buruh tani (tambak)
340
7
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
4
3
Pedagang keliling
20
50
Nelayan
25
-
Bidan Swasta/mantri
1
-
Pembantu rumah tangga
2
-
Karyawan perusahaan swasta
125
32
Jumlah (orang)
682
92
Sumber: Data Sekunder Profil Desa Sedari Tahun 2009
Semua penduduk Desa Sedari beragama islam dengan etnis dominan adalah Sunda (51,64 persen laki- laki dan 48,25 persen perempuan). Diikuti oleh etnis Jawa (0,04 persen laki- laki dan 0,04 persen perempuan) dan Madura (0,01 persen laki- laki).
BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1
Jenis Kelamin Responden Karakteristik responden adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang
responden (dalam penelitian ini responden adalah pesanggem) berkaitan dengan kehidupan dan pengelolaan tambak. Karakteristik responden yang diamati pada penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, kelas tambak, dan luas tambak.
Jenis Kelamin 19% Laki-laki 81%
Perempuan
Gambar 3. Presentase Jenis Kelamin Responden
Jenis kelamin adalah identitas seksual responden berdasarkan ciri-ciri fisik. Sebanyak 53 responden (81 persen) yang diteliti memiliki jenis kelamin laki- laki. Sementara itu, sebanyak 17 responden (19 persen) yang diteliti memiliki jenis kelamin perempuan. Komposisi yang kurang seimbang antara jumlah pesanggem laki- laki dan perempuan ini memang terjadi salah satunya karena sistem kepemilikan dan kepala rumah tangga yang cenderung bertumpu pada laki- laki. Hal ini menjadikan pesanggem yang tercantum namanya dalam daftar pesanggem di LMDH “Mina Wana Lestari” dominan adalah laki- laki. Selain itu, dalam pertemuan yang diadakan LMDH pada awal tahun penyusunan naskah yang menyangkut musyawarah dan proses pengambilan keputusan, pesanggem yang menghadiri pada umumnya adalah laki- laki.
39
5.2
Usia Responden Usia responden adalah waktu hidup responden dengan satuan tahun dari
semenjak lahir hingga penelitian ini dilakukan. Usia responden bervariasi dari mulai 22 tahun hingga 80 tahun dengan usia rata-rata 44,7 tahun. Rata-rata usia responden ini tergolong ke dalam usia produktif (usia produktif adalah 15-64 tahun). Usia responden golongan I (22-41 tahun) sebanyak 33 orang (47 persen), golongan II (42-61 tahun) sebanyak 31 orang (44 persen), dan golongan III (62-80 tahun) sebanyak 6 orang (9 persen).
Usia Golongan I (Usia 22-41 tahun) Golongan II (Usia 42-61 tahun)
Golongan III Usia (62-80 tahun) 9% 47% 44%
Gambar 4. Presentase Usia Responden
5.3
Pendidikan Responden Pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang telah ditempuh
responden sampai penelitian ini dilakukan. Terlihat pada Gambar 5 bahwa sebesar 56 persen responden (39 orang) tergolong tidak sekolah. Walaupun demikian, sebenarnya sebagian besar responden bukan sama sekali tidak pernah sekolah, mereka pernah sekolah di sekolah dasar (SD) namun tidak tamat. Sebesar 26 persen responden (18 orang) pernah menemp uh pendidikan formal hingga SD/sederajat. Sebesar sepuluh persen responden (7 orang) pernah menempuh pendidikan formal hingga SMP/sederajat. Sementara itu, sebesar delapan persen (6 orang) pernah menempuh pendidikan formal hingga SMA/sederajat.
40
Pendidikan 8% 10% Tidak Sekolah 26%
56%
SD/Sederajat
SMP/Sederajat SMA/Sederajat
Gambar 5. Presentase Pendidikan Responden
5.4
Pekerjaan Responden Pekerjaan adalah mata pencaharian utama yang dimiliki oleh responden
selain dari menggarap tambak pada saat penelitian ini dilakukan. Terlihat pada Gambar 6 bahwa sebesar 53 persen responden tidak memiliki pekerjaan lain selain sebagai pesanggem. Hal ini menunjukkan bahwa menggarap tambak merupakan sumber penghasilan utama untuk mencukupi kebutuhan hidup sebagian besar responden. Mereka benar-benar bergantung pada hasil dari tambak walaupun hasil tersebut semakin tidak menentu karena sering terjadi banjir d i daerah tambak yang mengakibatkan mereka mengalami gagal panen. Responden lain (16 persen) memiliki usaha warung yang menjual barang kebutuhan pokok untuk penghasilan harian. Pekerjaan sebagai pedagang udang (11 persen) dan pedagang ikan (5 persen) ditekuni oleh beberapa responden yang memiliki modal besar. Hal ini karena untuk memulai usaha ini modalnya hingga mencapai puluhan juta rupiah. Komoditas udang dan ikan yang biasa diusahakan adalah udang bago dan ikan bandeng. Beberapa responden (4 persen) beternak ayam di rumah masing- masing untuk menambah penghasilan walaupun hanya dalam skala kecil. Sementara itu, beberapa responden (4 persen) mencari ikan, udang, dan kepiting alam di sungai yang selanjutnya dijual ke pengepul ikan, udang, atau kepiting untuk penghasilan harian.
41
Pekerjaan Wiraswasta (warung) 16%
Pedagang ikan Pedagang 5%Peternak ayam udang 4% 11% Pencari ikan, udang, kepiting lainnya sungai 4% 7%
Pengurus desa 4%
Tidak ada pekerjaan lain 53%
Petani sawah 1% Pedagang material 1% Pembuat bubu 1%
Gambar 6. Presentase Pekerjaan Responden 5.5 Kelas Tambak Responden Kelas tambak adalah kelas pengelolaan tambak responden berdasarkan kerapatan tegakan tanaman payau, luas pengaruh pasang surut, dan lebar parit dari tambak milik negara yang dikelola responden pada saat penelitian dilakukan. Kelas tambak ini berpengaruh pada uang sharing (bagi hasil) yang harus dibayarkan oleh responden kepada Perum Perhutani tiap tahunnya. Semakin tinggi
Kelas Tambak 10%
50% 40%
Kelas III
Kelas IV Kelas II
Gambar 7. Presentase Kelas Tambak Responden
kelasnya (berturut-turut kelas I, II, III, dan IV) maka semakin tinggi pula biaya yang harus dikeluarkan per hektar tambak per tahun oleh responden. Terlihat pada Gambar 7 bahwa sebesar 50 persen responden (35 orang) memiliki kelas pengelolaan Tambak III dengan uang sharing Rp129.000,-/Ha/tahun. Sebesar 40
42
persen responden (28 orang) memiliki kelas pengelolaan Tambak IV dengan uang sharing Rp179.400,-/Ha/tahun. Sebesar sepuluh persen responden (7 orang) memiliki kelas pengelolaan Tambak II dengan uang sharing Rp112.200,/Ha/tahun. Sementara itu, tidak ada responden yang memiliki kelas pengelolaan Tambak I. Pada populasi LMDH “Mina Wana Lestari” secara keseluruhan, tidak ada satu pun pesanggem yang memiliki kelas pengelolaan Tambak I. Hal ini diakui ketua LMDH Mina Wana Lestari bahwa memang tidak ada satu pun pesanggem yang memiliki kelas pengelolaan tambak I, kelas pengelolaan tambak I hanya terdapat di hutan wisata BKPH Cikiong yang menjadi areal percontohan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit.
5.6
Luas Tambak Responden Luas tambak adalah hasil perkalian panjang dan lebar dari tambak milik
negara (status bukan tambak milik) dengan satuan hektar dimana tambak tersebut dikelola oleh responden menurut perjanjian dengan Perum Perhutani yang telah disepakati. Terlihat pada Gambar 8 bahwa dominan responden (67 persen) mengelola tambak dengan luas kurang dari lima hektar. Responden yang mengelola tambak dengan luas antara lima sampai sepuluh hektar sebesar 30 persen. Sementara itu, responden yang mengelola tambak lebih dari sepuluh hektar sebesar 3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengelola tambak dengan luas sempit dengan hasil secukupnya. Hanya beberapa responden yang mengelola tambak dengan luas besar dengan hasil tinggi.
Luas Tambak 3% 30%
< 5 Ha 67%
5 - 10 Ha > 10 Ha
Gambar 8. Presentase Luas Tambak Responden
BAB VI PERSEPSI RESPONDEN MENGENAI HUTAN MANGROVE Persepsi responden dalam penelitian ini adalah penilaian dan pandangan responden mengenai hutan mangrove berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka selama ini karena hidup dan tinggal di lingkungan hutan mangrove. Persepsi responden mengenai hutan mangrove dalam penelitian ini didefinisikan menjadi tiga variabel, yaitu: (1) persepsi responden mengenai ekosistem hutan mangrove; (2) persepsi responden mengenai fungsi ekologi hutan mangrove; dan (3) persepsi responden mengenai fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove. Masingmasing variabel tersebut terdiri dari beberapa indikator yang digunakan agar variabel tersebut dapat diukur dimana indikator tersebut dirujuk dari teori- teori tentang hutan mangrove yang telah berkembang. Masing- masing variabel dijelaskan secara deskriptif.
6.1
Deskripsi Persepsi Responden Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem dimana terdapat makhluk
hidup (komponen biotik) dan berbagai komponen abiotik seperti udara, air, batu, dan tanah. Selain itu, hutan mangrove juga memiliki habitat khas yaitu di wilayah pesisir daerah tropis. Oleh karena itu, variabel persepsi responden mengenai ekosistem hutan mangrove perlu diukur sebagai salah satu cara untuk mengetahui persepsi responden mengenai hutan mangrove dimana hutan mangrove adalah lingkungan tempat mereka tinggal.
Tabel 8. Frekuensi Persepsi Responden Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove Kategori Persepsi
Jumlah Responden (orang)
Presentase (%)
Negatif
2
2,86
Positif
68
97,14
Total
70
100
Sumber: Data primer diolah
Sebagian besar responden memiliki persepsi positif mengenai ekosistem hutan mangrove. Dapat dilihat pada Tabel 8 bahwa sebesar 97,14 persen responden memiliki persepsi positif mengenai ekosistem hutan mangrove.
44
Sementara itu, hanya sebesar 2,86 persen saja yang memiliki persepsi negatif mengenai ekosistem hutan mangrove. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pesanggem di LMDH Mina Wana Lestari memiliki persepsi positif mengenai ekosistem hutan mangrove. Sebagian besar responden memang telah mengenal baik ekosistem hutan mangrove yang telah menjadi lingkungan mereka selama bertahun-tahun. Mereka mengetahui kondisi fisik ekosistem hutan mangrove karena sehari- hari berinteraksi dengan hutan mangrove. Dapat dilihat pada Tabel 9 bahwa nilai rataan skor untuk masing- masing indikator persepsi tergolong tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki persepsi positif pada tiap indikator yang diukur. Hal ini seperti yang telah dikemukakan oleh salah satu narasumber (Wjn, 38). “Di Bako-bako emang banyak sasatoan kaya manuk, ular, terus juga pohon-pohon kaya api-api, pidada, bako, dan lain-lain ... Kalo tanah, air, angin, pasti ada, tapi batu mah jarang.” Tabel 9. Nilai Rataan Skor Indikator Persepsi Responden Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove Indikator Persepsi Hutan mangrove terdiri dari banyak spesies tumbuhan
Nilai Rataan Skor 3
Hutan mangrove terdiri dari banyak spesies hewan
3,15
Hutan mangrove terdiri dari komponen abiotik
2,89
Hutan mangrove memiliki habitat di wilayah pesisir
3,50
Sumber: Data primer diolah Keterangan: Nilai rataan skor 1,00 - 2,49 tergolong rendah; Nilai rataan skor 2,50 – 4,00 tergolong tinggi.
Spesies tumbuhan yang berkembang pada ekosistem mangrove di Desa Sedari berturut-turut dari yang paling dominan adalah bakau (Rhizopora spp.), api-api (Avicennia spp.), dan nipah (Nypa fruticans). Namun, memang nipah sudah sangat sedikit populasinya dan saat ini hampir tidak bisa ditemukan di hutan mangrove Desa Sedari. Sementara itu, hewan yang banyak terdapat di hutan mangrove Desa Sedari, yaitu: berbagai spesies ikan, kepiting, dan katak; berbagai spesies serangga seperti laba- laba, nyamuk, dan semut; beberapa spesies burung
45
seperti Ardea sp. (blekok) dan bangau/kuntul (Egretta sp. dan Leotoptilos sp.); dan ular. Selain itu, dapat dilihat pada Tabel 10 pula bahwa sebagian besar responden memiliki persepsi bahwa hutan mangrove memiliki habitat di wilayah pesisir. Hal ini seperti yang telah dikemukakan oleh salah satu narasumber (Wjn, 38). “Bako-bako mah emang di sisi pantai banyaknya, kalo di gunung atau di darat mah setau saya ga ada. Ga tumbuh pohonnya, mati. Kan harus kerendem air asin akarnya.” Mereka pada umumnya mengetahui bahwa hutan mangrove hanya bisa hidup di wilayah pesisir (pantai). Hal ini karena memang hutan mangrove hanya bisa tumbuh dan berkembang di wilayah yang memiliki kadar garam tinggi atau bersifat alkalin (halofit) dan terkena pengaruh pasang-surut air laut.
6.2
Deskripsi Persepsi Responden Mengenai Fungsi Ekologi Hutan Mangrove Hutan mangrove memiliki beragam fungsi yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Salah satu fungsi hutan mangrove tersebut adalah fungsi yang berkaitan dengan menjaga keseimbangan alam atau disebut fungsi ekologi. Oleh karena itu, persepsi responden mengenai fungsi ekologi hutan mangrove perlu diukur sebagai salah satu cara untuk mengetahui persepsi responden mengenai hutan mangrove yang telah menciptakan iklim mikro dan menjaga kelangsungan hidup mereka. Sebagian besar responden memiliki persepsi positif mengenai fungsi ekologi hutan mangrove. Dapat dilihat pada Tabel 10 bahwa sebesar 97,14 persen responden memiliki persepsi positif mengenai fungsi ekologi hutan mangrove. Sementara itu, hanya sebagian kecil saja (2,86 persen) responden yang memiliki persepsi negatif mengenai fungsi ekologi hutan mangrove. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pesanggem di LMDH Mina Wana Lestari memiliki persepsi positif mengenai fungsi ekologi hutan mangrove. Mereka selama ini merasakan manfaat dari adanya hutan mangrove di sekitar mereka.
46
Tabel 10. Frekuensi Persepsi Responden Mengenai Fungsi Ekologi Hutan Mangrove Kategori Persepsi
Jumlah Responden (orang)
Presentase (%)
Negatif
2
2,96
Positif
68
97,14
Total
70
100
Sumber: Data primer diolah
Tabel 11. Nilai Rataan Skor Indikator Persepsi Responden Mengenai Fungsi Ekologi Hutan Mangrove Indikator Persepsi
Nilai Rataan Skor
Hutan mangrove melindungi garis pantai dari erosi
3,55
Hutan mangrove melindungi garis pantai dari gelombang laut
3,56
Hutan mangrove melindungi garis pantai dari angin topan
3,44
Hutan mangrove mempercepat pembentukan tanah
3,28
Hutan mangrove mengendalikan banjir
3,02
Hutan mangrove menstabilkan tanah
3,32
Hutan mangrove sebagai plasma nutfah
3,33
Hutan mangrove sebagai habitat berbagai organisme
3,21
Hutan mangrove sebagai feeding ground berbagai hewan
3,09
Hutan mangrove sebagai nursery ground berbagai hewan
3
Hutan mangrove sebagai spawning ground berbagai hewan
2,80
Sumber: Data primer diolah Keterangan: Nilai rataan skor 1,00 - 2,49 tergolong rendah; Nilai rataan skor 2,50 – 4,00 tergolong tinggi.
Dapat dilihat pada Tabel 11 bahwa semua nilai rataan skor indikator persepsi tergolong tinggi. Pada umumnya responden memiliki persepsi positif mengenai fungsi ekologi hutan mangrove yang dikemukakan. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pesanggem memiliki persepsi positif mengenai fungsi ekologi hutan mangrove. Flora hutan mangrove Desa Sedari tergolong ke dalam flora mangrove inti yang mempunyai peran ekologi utama dalam formasi mangrove (Chapman, 1984 dalam Kusmana et.al, 2003) dan merupakan flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya) yang floranya menunjukkan kesetiaan terhadap habitat
47
mangrove dimana memiliki kemampuan untuk membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas. Selain itu, juga memiliki kemampuan mekanisme fisiologis untuk mengontrol garam (Tomlinson, 1984 dalam Kusmana et.al, 2003). Hal ini karena hutan mangrove di Desa Sedari terdiri dari spesies dominan seperti Rhizophora, Avicennia, dan Nypa dimana spesies ini merupakan termasuk ke dalam flora mangrove inti dan flora mangrove mayor. Hal ini yang menjadikan hutan mangrove Desa Sedari memiliki fungsi ekologi yang dapat melindungi masyarakat Desa Sedari dari berbagai ancaman bencana alam seperti angin topan, abrasi, tsunami, dan banjir. 6.3
Deskripsi Persepsi Responden Mengenai Fungsi Sosial-ekonomi Hutan Mangrove Selain memiliki fungsi ekologi, hutan mangrove juga memiliki fungsi
sosial-ekonomi yang dapat dimanfaatkan pesanggem untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Fungsi sosial-ekonomi ini baik disadari pesanggem maupun tidak sebenarnya terdapat dalam hutan mangrove namun dibutuhkan pengetahuan dan teknologi agar dapat dimanfaatkan hasilnya secara optimal. Oleh karena itu, persepsi responden mengenai fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove perlu diukur sebagai salah satu cara untuk mengetahui persepsi responden mengenai hutan mangrove dimana hutan mangrove biasa dimanfaatkan untuk kebutuhan seharihari pesanggem.
Tabel 12. Frekuensi Persepsi Responden Mengenai Fungsi Sosial-ekonomi Hutan Mangrove Kategori Persepsi
Jumlah Responden (orang)
Presentase (%)
Negatif
52
74,29
Positif
18
25,71
Total
70
100
Sumber: Data primer diolah
Sebagian besar responden memiliki persepsi negatif mengenai fungsi sosialekonomi hutan mangrove. Dapat dilihat pada Tabel 12 bahwa sebesar 74,29 persen responden memiliki persepsi negatif mengenai fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove. Sementara itu, sebagian kecil saja (25,71 persen) responden
48
memiliki persepsi positif mengenai fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pesanggem di LMDH Mina Wana Lestari memiliki persepsi negatif mengenai fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove karena mereka belum memahami dengan benar fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove atau memang tidak ditemukan teknologi yang memadai di wilayah Desa Sedari agar mendapatkan keuntungan sosial-ekonomi yang maksimal dari hutan mangrove. Selama ini menurut pengalaman mereka, kayu dari hutan mangrove hanya dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Hal ini dikemukakan oleh para responden, yaitu mereka sama sekali belum mengetahui bahwa dari hutan mangrove dapat dihasilkan bahan baku kertas, tannin, dan bahan bangunan. Dapat dilihat pada Tabel 13 bahwa nilai rataan skor untuk hampir semua indikator tergolong rendah, hanya persepsi bahwa hutan mangrove dapat dijadikan tempat wisata saja yang tinggi. Teknologi yang cukup memadai untuk menghasilkan keuntungan sosial-ekonomi (misalnya mengolah kayu) dari hutan mangrove di wilayah Desa Sedari yang menjadi tempat tinggal responden memang belum ditemukan. Hal ini berimplikasi pada responden yang hanya mengetahui sedikit manfaat sosial-ekonomi dari hutan mangrove. Selain itu, peraturan dari Perhutani yang melarang masyarakat menebang kayu dari pohon payau juga menyebabkan masyarakat hanya dapat memanfaatkan kayu dari pohon payau yang telah tumbang. Hutan mangrove yang dapat dijadikan sarana rekreasi (tempat wisata) sudah jelas dipahami pesanggem dengan benar karena memang di wilayah Desa Sedari telah dibangun hutan mangrove wisata hasil kerjasama Perum Perhutani, LMDH Mina Wana Lestari, dan pihak Pemerintahan Desa Sedari. Namun, hutan mangrove wisata ini belum berjalan optimal karena kendala keua ngan dan jalan utama yang menuju lokasi wisata. Kendala ini menyebabkan fasilitas di hutan wisata tersebut yang masih minim dan hanya beroperasi pada hari Sabtu dan Minggu karena jalan utama yang rusak tidak bisa dilalui kendaraan roda empat atau lebih sehingga pengunjung hanya sedikit. Hal ini seperti yang telah dikemukakan oleh salah satu narasumber (Wjn, 38). “Di Sedari ada hutan wisata kerjasama Perhutani, LMDH, dan desa ... Dulu lumayan banyak yang dateng pas musim kering, jalannya ga
49
belok gini, mobil juga bisa lewat. Sekarang mah cuma dikit, paling tiap Sabtu Minggu cuma 2 atau 3 motor yang dateng ... Fasilitas juga seadanya makanya paling yang dateng cuma jalan-jalan ama mancing gratis.” Tabel 13. Nilai Rataan Skor Indikator Persepsi Responden Mengenai Fungsi Sosial-ekonomi Hutan Mangrove Indikator Persepsi
Rataan Sko r
Hutan mangrove menghasilkan kayu bernilai ekonomi untuk bahan bangunan
1,63
Hutan mangrove menghasilkan kayu bernilai ekonomi untuk tannin
2,06
Hutan mangrove menghasilkan kayu bernilai ekonomi untuk bahan baku kertas
1,90
Hutan mangrove dapat dijadikan sarana rekreasi
3,44
Hutan mangrove tempat pemijahan benih udang
2,44
Hutan mangrove tempat pemijahan benih ikan
2,09
Sumber: Data primer diolah Keterangan: Nilai rataan skor 1,00 - 2,49 tergolong rendah; Nilai rataan skor 2,50 – 4,00 tergolong tinggi.
Sementara itu, fasilitas hutan wisata yang terbatas dikemukakan alasannya oleh narasumber sebagai berikut (Yyn, 39) “Rencana pembangunan hutan mangrove wisata sebenarnya sudah ada dari dulu yang digagas oleh Pak Diki (Asisten Perhutani satu periode sebelum sekarang), namun tidak ada investor yang datang karena programnya masih mentah. Akhirnya pada tahun 2009, saya memberitahukan kepada masyarakat lebih baik mulai dari sekarang saja sehingga apabila ada investor masuk, posisi tawar masyarakat sudah tinggi dan tidak ditindas swasta karena masyarakat yang memulai membangun hutan wisata ini.” Kayu dari hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan oleh pesanggem sebatas hanya digunakan untuk kayu bakar. Mereka memang tidak pernah menggunakan kayu dari pohon yang tumbuh di hutan mangrove untuk bahan bangunan, tannin, atau bahan baku pembuatan kertas. Hal ini karena keterbatasan informasi dan teknologi. Selain itu, masyarakat memang dilarang untuk menebang kayu dari hutan mangrove. Kayu yang digunakan oleh masyarakat Desa Sedari untuk kayu bakar hanya kayu yang berasal dari pohon yang telah tumbang atau ranting yang telah jatuh. Hal ini seperti yang telah dikemukaka n oleh salah satu narasumber (Wjn, 38)
50
“Nebang bako-bako mah ga boleh de, ga da yang berani, bisa ditangkep. Paling juga orang sini ngambil dari ranting yang jatoh atau bako-bako yang mati di empang. Itu juga orang kehutanan harus tau.” Indikator persepsi responden bahwa hutan mangrove sebagai tempat pemijahan benih udang dan ikan juga tergolong rendah. Mereka percaya bahwa bandeng justru tidak akan besar dan berkembang biak dengan optimal jika ada tegakan mangrove. Hal ini seperti yang telah dikemukakan oleh salah satu narasumber (Msl, 35) “Bohong itu kalau ada yang bilang ikan bandeng tumbuh baik di sekitar bako. Teori darimana? Ikan bandeng berkembang biak di laut dan tumbuh baik kalau terang dari bako.” Bandeng berkembang biak di laut dan agar mereka tumbuh optimal harus terkena intensitas cahaya penuh tanpa teduhan. Berbeda halnya dengan benih udang yang menurut pesanggem memang dapat dihasilkan dari hutan mangrove karena udang berkembang biak dan mencari makan di akar-akar tanaman payau. Hal ini seperti yang telah dikemukakan oleh salah satu narasumber (Wjn, 38) “Kalo udang bisa banyak di bako-bako, kan udang bisa makanin lumut-lumut di akar bako. Tapi kalo bandeng kayanya sih ga bisa dihasilin dari bako.” Namun, memang beberapa tahun terakhir ini udang pun jarang ditemukan di wilayah hutan mangrove. Hal ini karena hutan mangrove semakin berkurang dan kualitas air juga semakin buruk karena limbah buangan dari perusahaan Pertamina. Oleh karena itu, dapat dilihat pada Tabel 13 bahwa nilai rataan untuk indikator persepsi ini juga tergolong rendah.
51
6.4
Deskripsi Persepsi Responden Mengenai Hutan Mangrove Secara Keseluruhan Sub-bab ini menjelaskan persepsi responden mengenai hutan mangrove
secara keseluruhan. Frekuensi persepsi responden mengenai hutan mangrove secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Frekuensi Persepsi Responden Mengenai Hutan Mangrove Kategori Persepsi
Jumlah Responden (orang)
Presentase (%)
Negatif
1
1,43
Positif
69
98,57
Total
70
100
Sumber: Data primer diolah
Dapat dilihat pada Tabel 14 bahwa persepsi sebagian besar responden mengenai hutan mangrove secara keseluruhan adalah positif. Sebesar 98,57 persen (69 orang) responden memiliki persepsi positif mengenai hutan mangrove. Sementara itu, hanya sebesar 1,43 persen (1 orang) responden saja yang memiliki persepsi negatif mengenai hutan mangrove. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pesanggem LMDH Mina Wana Lestari memiliki penilaian dan pandangan yang positif mengenai hutan mangrove baik mengenai ekosistem maupun fungsinya. Hal ini salah satunya karena responden telah tinggal, memanfaatkan, dan berinteraksi dengan hutan mangrove cukup lama. Berbagai sensasi yang didapat pesanggem mengenai hutan mangrove yang diterima melalui alat panca indera mereka membentuk suatu persepsi mengenai hutan mangrove. Tanpa ada proses pengorganisasian sensasi-sensasi pada persepsi, sensasi yang diterima manusia mengenai suatu obyek akan menjadi sensasi-sensasi yang acak (Zimbardo, 1995: 232). Pesanggem yang telah tinggal lama dan berinteraksi dengan hutan mangrove baik secara langsung maupun tidak langsung menerima sensasi-sensasi dari obyek hutan mangrove, misalnya seperti: 1) Indera penglihatan yang diterima melalui mata. Pesanggem menerima sensasi berupa wujud fisik hutan mangrove Desa Sedari yang vegetasinya didominasi oleh tanaman payau dengan dedaunan berwarna hijau, batang yang menghujam ke tanah tergenang air, akar berbentuk
52
akar napas (Avicennia spp.) dan akar tunjang (Rhizophora spp.). Pesanggem juga menangkap sensasi berupa hewan- hewan yang banyak hidup di hutan mangrove seperti ikan, kepiting, dan katak; berbagai spesies serangga seperti laba- laba, nyamuk, dan semut; beberapa spesies burung seperti Ardea sp. (blekok) dan bangau/kuntul (Egretta sp. dan Leotoptilos sp.); dan ular. Pesanggem juga menangkap sensasi komponen abiotik dari hutan mangrove seperti tanah, air, cahaya, dan batu. Selain itu, pesanggem juga menangkap sensasi dari hutan mangrove berupa berbagai fungsi dari hutan mangrove yang bermanfaat bagi kehidupan mereka. 2) Indera pendengaran yang diterima melalui telinga. Pesanggem menerima sensasi secara langsung seperti mendengar berbagai hewan yang hidup di hutan mangrove walaupun mungkin mereka belum melihatnya sama sekali seperti monyet. Pesanggem juga mendengar desiran angin pada saat di hutan mangrove yang menandakan terdapat udara yang dapat dihirup untuk bernafas. Pesanggem juga dapat menerima sensasi hutan mangrove secara tidak langsung, yaitu mendengar dari orang-orang sebenarnya bagaimana obyek fisik hutan mangrove walaupun pesanggem tersebut jarang atau hampir tidak pernah melihat secara langsung hutan mangrove. 3) Indera peraba melalui kulit. Pesanggem merasakan sensasi bagaimana tekstur dari tanaman payau yang menyusun hutan mangrove. Mereka juga dapat merasakan suhu udara yang sejuk apabila berada di dalam hutan mangrove. 4) Indera perasa melalui lidah. Pesanggem merasakan sensasi bagaimana air asin merupakan habitat dari hutan mangrove. Berbagai sensasi mengenai hutan mangrove yang diterima oleh pesanggem melalui alat panca indera selanjutnya mendapat tempatnya dalam otak mereka menurut suatu kategorisasi tertentu dan menjadi informasi yang bermakna sehingga
terbentuklah
persepsi pesanggem
mengenai
hutan
mangrove.
Implikasinya, apabila pesanggem diajukan pertanyaan mengenai bagaimana sebenarnya bentuk fisik hutan mangrove, maka otak mereka melakukan proses
53
kognitif untuk mencari kategorisasi yang tersimpan mengenai sensasi hutan mangrove yang ditangkap oleh panca indera dan mereka akan menjawab hutan mangrove terdiri dari tanaman payau yang memiliki tempat hidup di daerah pesisir, terdiri dari berbagai macam hewan yang hidup di dalamnya, dan sebagainya. Faktanya, proses pembentukan persepsi tidak sesederhana seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Hal ini karena menurut Leavitt (1978: 29), persepsi seseorang ditentukan oleh kebutuhannya. Sementara itu, Asngari (1984) mengemukakan bahwa karakteristik pribadi berpengaruh pada persepsi seseorang, yaitu mencakup umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan status sosial. Hal ini karena persepsi merupakan proses pengamatan serapan yang berasal dari kemampuan kognisi orang tersebut. Namun dalam penelitian ini, faktor- faktor yang mempengaruhi persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove tidak dibahas sehingga relasi antara faktor-faktor tersebut dengan persepsi pesanggem tidak dianalisis. Penelitian ini hanya melihat secara deskriptif persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove.
54
BAB VII PARTISIPASI RESPONDEN DALAM PENGELOLAAN TAMBAK MANGROVE RAMAH LINGKUNGAN MODEL EMPANG-PARIT Bab ini akan mengemukakan deskripsi variabel partisipasi responden dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit. Partisipasi responden dalam penelitian ini adalah tingkat keteribatan pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit. Partisipasi yang diukur dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahapan (1) perencanaan; (2) pelaksanaan; (3) monitoring/evaluasi; dan (4) menikmati hasil. Pada tiap tahapan terdiri dari beberapa indikator ya ng dapat digunakan untuk mengukur variabel partisipasi tersebut dimana indikator ini diambil dari butirbutir hak dan kewajiban pesanggem dalam naskah perjanjian PHBM Plus antara Perum Perhutani dan pesanggem yang tergabung dalam LMDH “Mina Wana Lestari”.
7.1
Deskripsi Tahap Perencanaan Partisipasi Responden dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang Parit Tingkat keterlibatan responden dalam tahap perencanaan pengelolaan
tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit perlu diketahui untuk mengukur tingkat partisipasi responden secara keseluruhan. Hal ini karena partisipasi tidak hanya diartikan ikut serta dalam pelaksanaan, tetapi juga dalam seluruh tahapan suatu kegiatan, salah satunya adalah tahap perencanaan. Dengan ikut serta dalam tahap perencanaan, responden dapat mengetahui gambaran umum, tujuan, visi, misi, dan urgensi kegiatan pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit sehingga diharapkan responden mengikuti kegiatan tersebut secara sukarela karena kesadaran sendiri dan mengetahui keuntungan yang didapat. Apabila responden tidak diikutsertakan dalam proses perencanaan tentunya mereka tidak mengetahui garis besar kegiatan pengelolaan tambak dan merasa tidak dianggap penting sehingga dalam proses pelaksanaannya akan mengalami hambatan.
55
Tabel 15. Frekuensi Partisipasi Responden dalam Tahap Perencanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit Kategori Partisipasi
Jumlah (orang)
Presentase (%)
Rendah
37
52,85
Tinggi
33
47,15
Total
70
100
Sumber: Data primer diolah
Dapat dilihat pada Tabel 15 bahwa sebagian besar responden (52,85 persen) tergolong ke dalam kategori partisipasi rendah dalam tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit. Sementara itu, responden yang tergolong kategori partisipasi tinggi dalam tahap perencanaan tidak jauh berbeda jumlahnya (sebesar 47,15 persen). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pesanggem di LMDH Mina Wana Lestari memiliki partisipasi rendah dalam tahap perencanaan pengelolaan tambak
mangrove ramah
lingkungan model empang-parit. Hal ini terjadi karena memang dalam tahap perencanaan, sebagian responden tidak ikut langsung. Mereka merasa suaranya sudah cukup terwakili dengan adanya pesanggem lain yang ikut. Selain itu, memang ada beberapa indikator partisipasi dalam tahap perencanaan yang sudah ditentukan langsung dari Perum Perhutani tanpa adanya negosiasi dengan para pesanggem sehingga pesanggem tidak memiliki pilihan lain selain dari menerima peraturan yang tertulis tersebut. Dapat dilihat pada Tabel 16 bahwa indikator partisipasi dalam tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empangparit yang tergolong rendah adalah keikutsertaan dalam setiap pertemuan, penentuan luas rabak, penentuan spesies tanaman payau yang ditanam, penentuan waktu pelaksanaan kegiatan, dan penentuan sanksi. Sementara itu, indikator partisipasi dalam tahap perencanaan yang tergolong tinggi adalah penentuan pengurus LMDH Mina Wana Lestari, penentuan luas tambak, penentuan luas parit (wilayah memelihara ikan di empang), penentuan jenis ikan yang dibudidayakan, dan penentuan sistem bagi hasil (sharing).
56
Tabel 16. Nilai Rataan Skor Indikator Partisipasi Responden dalam Tahap Perencanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit Indikator Partisipasi
Rataan Skor
Penentuan pengurus LMDH Mina Wana Lestari
2,83
Keikutsertaan dalam setiap pertemuan
2,49
Penentuan luas tambak
2,81
Penentuan letak parit
3,07
Penentuan luas rabak
2,13
Penentuan jenis ikan yang dibudidayakan
3,76
Penentuan spesies tanaman payau yang ditanam
2,01
Penentuan waktu pelaksanaan kegiatan
1,97
Penentuan sanksi
1,76
Penentuan sistem bagi hasil (sharing)
2,71
Sumber: Data primer diolah Keterangan: Nilai rataan skor 1,00 - 2,49 tergolong rendah; Nilai rataan skor 2,50 – 4,00 tergolong tinggi.
Partisipasi responden untuk ikut serta dalam setiap pertemuan tergolong rendah karena memang sebagian besar responden merasa suaranya cukup terwakili apabila ada teman atau tetangganya yang telah hadir dalam pertemuan. Pertemuan dalam konteks ini adalah pertemuan para anggota LMDH pada awal tahun membahas naskah perjanjian yang umumnya tentang perpanjangan nama pesanggem atau perpindahan nama para pesanggem. Sebagian besar yang datang pada pertemuan ini hanyalah yang berkepentingan untuk oper-alih garapan. Partisipasi responden dalam penentuan waktu pelaksanaan kegiatan juga tergolong rendah. Kegiatan dalam konteks ini adalah kegiatan rutin dari LMDH Mina Wana Lestari seperti menanam tanaman payau, ganti rugi garapan (sharing), dan penyulaman tanaman payau yang mati. Hal ini seperti yang telah dikemukakan oleh salah satu narasumber (Krj, 60). “Kegiatan rutin yang biasa dilakukan LMDH itu ada tanam bako, ganti rugi garapan, dan penyulaman tanaman bako.”
57
Sebagian besar responden tidak diikutsertakan dalam penentuan waktu pelaksanaan kegiatan karena memang kegiatan-kegiatan tersebut bersifat situasional (sesuai kondisi). Hal ini menyebabkan pengurus LMDH bergerak melakukan kegiatan tersebut tanpa terlebih dahulu mengumpulkan para pesanggem untuk menentukan waktu pelaksanaannya. Terutama untuk kegiatan penanaman memang biasanya hanya petugas Perum Perhutani dan perwakilan LMDH karena memang penanaman tanaman payau di empang bertahap di petakpetak yang telah ditentukan sesuai dengan stok anakan tanaman payau yang ada. Partisipasi responden dalam penentuan luas rabak (wilayah di empang tempat menanam tanaman payau) dan penentuan spesies tanaman payau yang ditanam juga tergolong rendah. Hal ini karena memang dari Perum Perhutani sudah ditentukan letak menanam tanaman payau (yaitu di tengah-tengah empang) dan spesies tanaman payau yang ditanam (yaitu Rhizopora spp. atau sering disebut pohon bakau dan Avicennia spp. atau sering disebut api-api). Hal ini seperti yang telah dikemukakan oleh salah satu narasumber (Wjn, 38). “Wah kalo masyarakat kebanyakan mah taunya melak ikan de, kalo masalah nanem mah urusan kehutanan.”
Sebagian besar responden memang hanya mengetahui tentang pemeliharaan ikan di tambaknya, sementara itu masalah letak menanam tanaman payau dan jenis tanaman payau yang ditanam diserahkan kepada pihak Perum Perhutani. Partisipasi responden dalam penentuan sanksi juga tergolong rendah. Tidak berbeda halnya dengan penentuan luas rabak dan penentuan spesies tanaman payau yang ditanam, penentuan sanksi yang diberikan kepada pesanggem yang melakukan pelanggaran (misalnya menebang pohon bakau) juga dilakukan oleh Perum Perhutani. Sanksi tersebut telah tercantum pada naskah perjanjian kerjasama antara Perum Perhutani dan LMDH Mina Wana Lestari.
58
7.2
Deskripsi Tahap Pelaksanaan Partisipasi Responden dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang Parit Tahap pelaksanaan dalam partisipasi adalah tahap terpenting dalam suatu
proses pembangunan (Cohen dan Uphoff, 1977 dalam Makmur, 2005). Dengan kata lain, tahap pelaksanaan ini menjadi ujung tombak proses partisipasi. Oleh karena itu, tahap pelaksanaan ini sangat perlu diukur untuk menjelaskan partisipasi responden secara keseluruhan.
Tabel 17. Frekuensi Partisipasi Responden dalam Tahap Pelaksanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit Kategori Partisipasi
Jumlah (orang)
Presentase (%)
Rendah
24
34,29
Tinggi
46
65,71
Total
70
100
Sumber: Data primer diolah
Dapat dilihat pada Tabel 17 bahwa partisipasi sebagian besar responden (65,71 persen) dalam tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit tergolong tinggi. Sementara itu, hanya sebagian kecil responden (34,29 persen) saja yang partisipasinya tergolong rendah. Hal ini menunjukkan sebagian besar pesanggem di LMDH Mina Wana Lestari memiliki partisipasi yang tinggi dalam tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit. Hasil ini faktanya bertolak belakang dengan pernyataan yang disampaikan oleh beberapa narasumber. Menurut mereka, partisipasi para pesanggem di LMDH Mina Wana Lestari dapat dikatakan rendah terutama pada saat pelaksanaan. Berikut ini pernyataan yang dikemukakan oleh narasumber (Why, 26) dan (Wjn, 38). “Umumnya masyarakat sekarang hanya mementingkan hasil tambak, tanpa peduli dengan tanaman bakau.” “Biasanya mah de, yang kerja orangnya cuma itu-itu aja di LMDH. Biarpun di pengurus ada sepuluh orang lebih, paling yang kerja cuma lima orang. Apalagi yang bukan pengurus LMDH.”
59
Pesanggem jarang yang ikut serta dalam kegiatan pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove model empang-parit seperti misalnya penyulaman tanaman payau yang mati. Sebagian besar mereka hanya menyerahkan masalah tanaman payau di empangnya kepada pengurus LMDH dan petugas Perhutani. Perhutani telah merubah kebijakannnya berkali-kali agar para pesanggem merasa sadar dan merawat tanaman payau di tambaknya, tetapi hal tersebut tidak membuahkan hasil. Berikut ini pernyataan yang dikemukakan oleh seorang narasumber (Why, 26). “Jarak tanam tanaman payau di empang udah berkali-kali dirubah, agar penggarap tidak keberatan merawat tanaman payau di empangnya, yang pertama adalah 2x2 m, jarak tanam ini emang terlalu rapat, jadi banyak burung dan ular yang makanin ikan dan udang, lalu dirubah 3x3 m, sampai 5x5 meter, tapi tetap saja penggarap tidak berubah.” Namun, sepanjang pengamatan Peneliti di lapangan, memang pesanggem kurang berpartisipasi pada tahap pelaksanaan ini. Hal ini salah satunya terbukti pada saat penyulaman tanaman payau yang mati, seringkali yang turun ke tambak dan menyulam adalah mandor penanaman dan persemaian dari Perum Perhutani serta perwakilan dari LMDH. Sementara itu, pesanggem yang memiliki tambak tidak ikut serta. Dapat dilihat pada Tabel 18 bahwa indikator partisipasi responden pada tahap pelaksanaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit yang tergolong rendah adalah pemberantasan organisme pengganggu tanaman payau. Sementara itu, indikator partisipasi responden pada tahap pelaksanaan yang tergolong
tinggi
adalah
penyulaman
tanaman
payau
yang
mati,
pencegahan/pelarangan perlakuan yang merusak/mematikan tanaman payau, dan pembayaran bagi hasil kepada pihak pertama sesuai kesepakatan awal.
60
Tabel 18. Nilai Rataan Skor Indikator Partisipasi Responden dalam Tahap Pelaksanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit Indikator Partisipasi
Rataan Skor
Pemberantasan organisme pengganggu tanaman payau
2,13
Penyulaman tanaman payau yang mati
2,73
Pencegahan/pelarangan perlakuan yang merusak/mematikan tanaman payau
3,15
Pembayaran bagi hasil kepada pihak pertama sesuai kesepakatan awal
3,84
Sumber: Data primer diolah Keterangan: Nilai rataan skor 1,00 - 2,59 tergolong rendah; Nilai rataan skor 2,60 – 4,00 tergolong tinggi.
Organisme pengganggu tanaman payau di tambak para pesanggem dalam penelitian ini terdiri dari gulma, hama, dan penyakit. Gulma pada tanaman payau yang masih muda kebanyakan adalah ganggang. Hama berupa hewan besar seperti kambing dan serangga seperti ulat dan laba-laba. Sementara itu, untuk penyakit yang menyerang tanaman payau di tambak pesanggem memang ada, namun para pesanggem dan pihak Perhutani pun belum tahu cara untuk mengobati tanaman yang terserang penyakit tersebut. Berikut penuturan beberapa narasumber tentang hama yang menyerang tanaman payau di tambak (Op, 27) dan (Why, 26). “Hama yang menyerang tanaman muda bakau adalah ulat dan laba-laba. Ulat memakan daun tanaman, laba-laba membuat sarang di tanaman yang menghambat pertumbuhan bakau.” “Saya bingung, banyak hama pengganggu tanaman bakau di tambak seperti ulat dan laba-laba, hama ini menghambat pertumbuhan atau bahkan mematikan tanaman bakau. Namun, hama tersebut tidak dapat diberantas menggunakan insektisida karena akan berbahaya bagi ikan dan udang di tambak.” Dapat dilihat pada pernyataan di atas bahwa memang tanaman bakau yang masih muda (terutama daun dua dan daun empat) di empang sangat rentan terhadap hama. Oleh karena itu, dukungan dari pesanggem sendiri untuk menjaga sangat membantu agar tanaman payau di empang tetap tumbuh. Hal ini karena petugas yang berkewajiban mengontrol tanaman payau di tambak sangat terbatas. Untuk satu RPH Cibuaya, hanya lima orang yang diberikan tugas oleh Perum Perhutani
61
untuk memelihara dan mengontrol tanaman payau di tambak pesanggem. Hal ini seperti penuturan salah satu narasumber (Why, 26). “Untuk satu resort Cibuaya, biasanya hanya ada lima orang yang bertugas melakukan penanaman, penyulaman dan pengontrolan tanaman bakau di empang, yaitu dua orang mantri dan tiga orang dari LMDH.” Mantri adalah petugas dari Perum Perhutani yang berkewajiban untuk menanam, menyulam, dan mengontrol tanaman payau di Desa Sedari. Dua orang mantri itu terdiri dari mantri persemaian dan mantri penanaman. Sementara itu, tiga orang LMDH yang biasanya ikut serta adalah Ketua LMDH, Wakil LMDH, dan seksi keamanan. Rataan skor indikator penyulaman tanaman payau yang mati tergolong tinggi. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, hal ini berbeda dengan fakta berdasarkan penuturan narasumber. Mungkin memang ada beberapa pesanggem yang ikut serta dengan LMDH dan Petugas Perhutani untuk menyulam tanaman payau yang mati di tambaknya, namun hal itu cukup jarang terjadi. Sebagian besar pesanggem hanya menyerahkan penyulaman tanaman payau yang mati ke pengurus LMDH dan Petugas Perhutani. Berikut ini penuturan salah satu narasumber (Why, 26). “Yang punya empang biasanya tidak pernah ikut nyulam tanaman bakau di empangnya sendiri, yang melakukannya mantri dan pengurus LMDH.” Rataan skor indikator pencegahan dan pelarangan perlakuan yang merusak/mematikan tanaman payau di empang tergolong tinggi. Hal ini memang sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan. Para pesanggem memiliki kesadaran tinggi untuk tidak merusak atau menebang tanaman payau baik yang ada di empangnya maupun di lingkungan sekitar. Hal ini terutama semenjak terbentuknya LMDH Mina Wana Lestari dan juga sanksi yang tegas dari pemerintah kepada pelaku perusakan tanaman payau. LMDH sebagai lembaga kontrol tingkat desa sementara pemerintah melalui Perum Perhutani sebagai
62
lembaga kontrol tingkat pusat. Hal ini seperti penuturan salah satu narasumber (Ags, 40). “Sebelum dibentuk LMDH Mina Wana Lestari, penebangan liar cukup banyak terjadi.” Sebelum terbentuknya LMDH Mina Wana Lestari, penebangan liar cukup sering terjadi dan biasanya dilakukan oleh masyarakat luar Desa Sedari. Hal ini pernah terjadi, yaitu dimana hutan mangrove ditebang secara liar dan LMDH sebagai lembaga kontrol di tingkat desa menangani masalah ini. Berikut ini pernyataan salah satu narasumber (Ags, 40). “Pernah kejadian ada masyarakat luar Desa Sedari menebang pohon bakau. LMDH menangani, barang bukti dikumpulkan (seperti gergaji) dan dengan musyawarah akhirnya diputuskan bahwa orang tersebut harus menanam kembali tanaman bakau di tempat yang ia tebang” Kejadian ini menggambarkan bagaimana LMDH Mina Wana Lestari sebagai lembaga kontrol tingkat desa dalam memelihara tanaman payau di Desa Sedari. Selain itu, apabila ada masyarakat yang melakukan perusakan tanaman payau, memang secara alur koordinasi LMDH mengetahui, kemudian dilaporkan ke mandor/RPH, selanjutnya ditanyakan ke orang tersebut mengapa melakukan pelanggaran. Apabila memang terbukti bersalah, maka dilaporkan ke KPH dan mendapat sanksi hukum. Hal ini sesuai dengan penuturan salah satu narasumber (Krj, 60). “Apabila ada masyarakat atau anggota LMDH yang melakukan pelanggaran, pertama LMDH harus tau, lalu lapor ke mandor atau RPH, lalu tanya kenapa melakukan pelanggaran, terus kalo emang salah, lapor ke KPH.” Rataan skor indikator pembayaran bagi hasil (sharing) dari pesanggem kepada Perum Perhutani per tahunnya juga tergolong tinggi. Hal ini memang sesuai dengan fakta yang terjadi. Para pesanggem selalu membayar uang sharing kepada Perum Perhutani sesuai jumlah yang ditentukan walaupun jumlah tersebut
63
penentuannya hanya sepihak, yaitu dari Perum Perhutani. Pesanggem biasanya mencicil uang sharing tersebut dalam setahun kepada Perum Perhutani melalui mandor tagih. Para pesanggem memiliki kesadaran tinggi untuk membayar karena memang mereka tahu bahwa status tambak yang mereka kelola adalah tanah milik negara sehingga mereka harus membayar sesuai dengan ketentuan. Berikut ini merupakan penuturan dari salah satu narasumber (Wjn, 38). “Kalo bayar mah de, ya pasti, kan tanah ini punya pemerintah. Semua pesanggem mah ga pernah kurang bayarnya, paling kadang ada yang nunggak ke tahun berikutnya, tapi pasti bayar ... Kalo besarnya mah dari Perhutani, kalo naik ya naik, kalo turun ya turun, kita mah ngikut aja.” 7.3
Deskripsi Tahap Monitoring/Evaluasi Partisipasi Responden dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang Parit Tahap monitoring/evaluasi pada partisipasi dianggap penting karena
partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan program selanjutnya (Cohen dan Uphoff, 1977 dalam Makmur, 2005). Oleh karena itu, tahap monitoring/evaluasi pada penelitian ini juga diukur untuk mengukur proses partisipasi responden secara keseluruhan dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit.
Tabel 19. Frekuensi Partisipasi Responden dalam Tahap Monitoring/ Evaluasi Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model EmpangParit Kategori Partisipasi
Jumlah Responden (orang)
Presentase (%)
Rendah
50
71,43
Tinggi
20
28,57
Total
70
100
Sumber: Data primer diolah
Dapat dilihat pada Tabel 19 bahwa partisipasi sebagian besar responden (71,43 persen) dalam tahap monitoring/evaluasi pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit tergolong rendah. Sementara itu, hanya sebagian kecil (28,57 persen) saja yang partisipasinya tergolong tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pesanggem di LMDH Mina Wana Lestari
64
memiliki partisipasi yang rendah dalam tahap monitoring/evaluasi pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit. Hal ini karena memang masih terdapatnya jarak antara pesanggem dengan Perum Perhutani. Pesanggem cenderung takut apabila memberikan laporan kepada Perum Perhutani berkaitan dengan masalah dalam pengelolaan tambak dan mereka berpikir bahwa kegiatan pengelolaan tambak mangrove ini lebih merupakan tanggung jawab Perum Perhutani dibandingkan mereka.
Tabel 20. Nilai Rataan Skor Indikator Partisipasi Responden dalam Tahap Monitoring/Evaluasi Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit Indikator Partisipasi
Rataan Skor
Pemantauan terhadap jalannya kegiatan tambak
2,83
Pelaporan masalah yang terjadi dalam pengelolaan tambak kepada LMDH
2,59
Pelaporan masalah yang terjadi dalam pengelolaan tambak kepada Perhutani
2,41
Pemberian saran kepada LMDH
2,12
Pemberian saran kepada Perhutani
2,13
Pemberian kritik kepada LMDH
1,74
Pemberian kritik kepada Perhutani
1,73
Sumber: Data primer diolah Keterangan: Nilai rataan skor 1,00 - 2,49 tergolong rendah; Nilai rataan skor 2,50 – 4,00 tergolong tinggi.
Dapat dilihat pada Tabel 20 bahwa hampir semua nilai rataan indikator partisipasi responden dalam tahap monitoring/evaluasi pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit tergolong rendah. Hanya pemantauan terhadap jalannya kegiatan tambak dan pelaporan masalah yang terjadi dalam pengelolaan tambak kepada LMDH saja yang nilai rataannya tergolong tinggi. Responden pada umumnya melaporkan ke pengurus LMDH Mina Wana Lestari seperti Ketua LMDH, Wakil Ketua LMDH, Sekretaris LMDH, dan Seksi Keamanan apabila terjadi masalah- masalah mengenai pengelolaan tambak mangrove. Umumnya mereka melapor apabila ada tanaman payau yang mati di tambak mereka. Itu pun jarang dan hanya kepada pengurus LMDH. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh salah satu narasumber (Wjn).
65
“Biasanya mah warga ngelapor ke LMDH kalo ada bako yang mati, itu juga jarang ... Kalo warga ngasih saran sih kadang-kadang ke LMDH ... Boro-boro ngekritik Perhutani, ngasih saran aja hampir ga pernah, pada takut soalnya. Paling juga kalo ngasih saran lewat LMDH.” 7.4
Deskripsi Tahap Menikmati Hasil Partisipasi Responden dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang Parit Tahap menikmati hasil dianggap penting karena dengan melihat posisi
masyarakat sebagai subyek pembangunan, semakin besar pula manfaat proyek dirasakan, berarti proyek tersebut berhasil mengenai sasaran. Tahap menikmati hasil dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek (Cohen dan Uphoff, 1977 dalam Makmur, 2005). Oleh karena itu, dalam penelitian ini, tahap menikmati hasil diukur sebagai salah satu indikator dari partisipasi responden dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit secara keseluruhan.
Tabel 21. Frekuensi Partisipasi Responden dalam Tahap Menikmati Hasil Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model EmpangParit Kategori Partisipasi
Jumlah Responden (orang)
Presentase (%)
Rendah
17
24,29
Tinggi
53
75,71
Total
70
100
Sumber: Data primer diolah
Dapat dilihat pada Tabel 21 bahwa partisipasi sebagian besar responden (75,71 persen) dalam tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit tergolong tinggi. Sementara itu, hanya sebagian kecil saja (24,29 persen) partisipasinya rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pesanggem di LMDH Mina Wana Lestari memiliki partisipasi tinggi dalam tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit.
66
Tabel 22. Nilai Rataan Skor Indikator Partisipasi Responden dalam Tahap Menikmati Hasil Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit Indikator Penerimaan andil garapan Penerimaan hasil panen tambak
Rataan Skor 3,49 3
Sumber: Data primer diolah Keterangan: Nilai rataan skor 1,00 - 2,59 tergolong rendah; Nilai rataan skor 2,60 – 4,00 tergolong tinggi.
Dapat dilihat pada Tabel 22 bahwa semua nilai rataan skor indikator partisipasi sebagian besar responden dalam tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit tergolong tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pesanggem di LMDH Mina Wana Lestari memiliki partisipasi yang tinggi dalam tahap menikmati hasil ini. Para pesanggem memang merasa bagian garapan yang mereka kelola cukup adil karena Perhutani tidak membatasi pesanggem untuk mengelola tambak. Sesuai dengan kemampuan mereka untuk membayar sharing yang telah ditetapkan Perum Perhutani per hektar per tahunnya. Berikut ini penuturan salah satu narasumber (Wjn). “Kalo adil mah de ya adil, orang kita mampu bayar sharing cuma segitu, kalo yang punya uang mah empangnya lega berhektarhektar. Perhutani ga pernah batesin.” Rataan skor indikator penerimaan hasil panen tambak juga tergolong tinggi. Hal ini berarti pesanggem menerima seluruh hasil panen dari tambaknya tanpa ada lagi pungutan lain selain uang sharing.Walaupun begitu, pesanggem memang cenderung tidak mendapatkan hasil dari panen tambak terutama satu tahun terakhir ini karena sering terjadi banjir dan kualitas air tambak yang kurang baik. Tambak mereka sering terkena banjir karena sering terjadi hujan. Selain itu, pasang air laut juga sering terjadi sehingga menyebabkan tinggi permukaan air laut meningkat dan menggenang tambak mereka. Berikut ini merupakan penuturan salah satu narasumber (Krj).
67
“Ya kalo hasil mah seadanya, biarpun cuma dikit tapi tetep untung. Cuma akhir-akhir ini sering banjir, jadi ga hasil, nih kemaren empang Saya kena banjir. Ya ikan dan udangnya pada lari.” Selain itu kualitas air yang buruk juga dialami empang para pesanggem terutama yang berdekatan dengan Pabrik Pertamina. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, di Desa Sedari ada dua perusahaan pengilangan minyak milik PT. Pertamina. Perusahaan yang satu terletak di lepas pantai sementara yang satu lagi terletak di dataran Desa Sedari. Beberapa pesanggem mengaku bahwa ikan dan udang mereka pertumbuhannya kurang baik karena limbah dari perusahaan pengilangan tersebut yang mencemari air di empang mereka.
7.5
Deskripsi Partisipasi Responden dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit Secara Keseluruhan Sub-bab ini membahas partisipasi responden dalam pengelolaan tambak
mangrove ramah lingkungan model empang-parit secara keseluruhan. Frekuensi partisipasi responden dalam pengelolaan tambak ini disajikan pada Tabel 23. Dapat dilihat pada Tabel 23 bahwa sebagian besar responden (51,43 persen) memiliki partisipasi rendah dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pesanggem memiliki partisipasi rendah dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit. Sementara itu, sebagian kecil responden (48,57 persen) memiliki partisipasi tinggi dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit, walaupun presentase jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan presentase jumlah responden yang tergolong ke dalam partisipasi tinggi.
Tabel 23. Frekuensi Partisipasi Responden dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit Kategori Persepsi
Jumlah (orang)
Presentase (%)
Rendah
36
51,43
Tinggi
34
48,57
Total
70
100
Sumber: Data primer diolah
68
Hasil pada Tabel 23 sesuai dengan pendapat narasumber yang mengatakan bahwa sebagian besar pesanggem memiliki partisipasi rendah dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit, hanya beberapa pengurus LMDH saja yang aktif. Berikut ini pernyataan narasumber tentang partisipasi pesanggem (Wjn). “Kebanyakan pesanggem mah ga ikut serta ngerawat bako, kebanyakan cuma mentingin hasil. Ya bisa dibilang partisipasinya rendah.” Jika dibandingkan antara responden yang tergolong ke dalam partisipasi rendah dengan responden yang tergolong ke dalam partisipasi tinggi, maka jumlahnya tidak jauh berbeda. Hal ini sedikit berbeda dengan pernyataan narasumber yang mengatakan bahwa kebanyakan pesanggem
memiliki partisipasi rendah.
Kekurangsesuaian antara hasil jawaban responden dengan pernyataan narasumber dimungkinkan karena beberapa hal. Pertama, Peneliti tidak memasukkan beberapa aspek tertentu yang menjadi penilaian narasumber dalam mengukur partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang parit. Kedua, keterbatasan pesanggem dalam menjawab pertanyaan kuesioner. Mereka kurang mengerti pertanyaan pada kuesioner sehingga menjawab seadanya. Atau mereka khawatir dengan jawaban yang salah sehingga menjawab pertanyaan kuesioner tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Ketiga, sudut pandang narasumber yang tidak netral sehingga pernyataannya dipengaruhi oleh hal- hal lain. Keempat, sebagian pesanggem yang diambil Peneliti untuk dijadikan responden kebetulan adalah pesanggem yang aktif ikut serta dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit. Terlepas dari itu semua, berdasarkan hasil penelitian serta pernyataan dari informan yang didukung pengamatan Peneliti di lapangan, proses partisipasi yang terjadi pada pesanggem di LMDH Mina Wana Lestari dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang parit tergolong ke dalam partisipasi rendah. Lebih lanjut dapat dikategorikan bahwa partisipasi pesanggem LMDH Mina Wana Lestari dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit adalah partisipasi semu. Partisipasi semu adalah suatu gejala
69
umum pada masyarakat pedesaan Indonesia dimana mereka hanya ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang mereka mengerti saja atau hanya mengikuti kehendak atasan yang tidak sepenuhnya mereka mengerti kegunaannya (Utomo, 1984). Partisipasi semu ini terlihat jelas pada implementasi pengelolaan tamb ak mangrove ramah lingkungan model empang-parit di LMDH Mina Wana Lestari. Terdapat pengkutuban antara Perum Perhutani dan sebagian besar pesanggem dimana pengelolaan tanaman payau seolah-olah hanya menjadi tanggung jawab Perum Perhutani sedangkan budidaya ikan/udang di tambak seolah-olah hanya menjadi tanggung jawab pesanggem. Padahal seharusnya baik pengelolaan tanaman payau, maupun budidaya ikan/udang menjadi tanggung jawab Perum Perhutani dan pesanggem sebagai pemangku kepentingan utama dalam pengelolaan tambak- mangrove ini. Hal ini karena pengelolaan tambak- mangrove ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Faktanya, pesanggem hanya berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan yang mereka mengerti saja kegunaannya dan hanya mengikuti perintah dari Perum Perhutani sebagai lembaga eksekusi dari pihak pemerintah dalam pengelolaan tambak- mangrove ini. Fenomena partisipasi semu yang terjadi di sebagian besar masyarakat pedesaan Indonesia tidak bisa dikatakan sebagai kesalahan masyarakat pedesaan yang tidak terdedah dengan informasi. Berdasarkan beberapa penelitian partisipasi yang telah dilakukan, terdapat dua faktor yang teridentifikasi mendukung hadirnya
partisipasi semu
terutama
di proses
pengambilan
keputusan
(perencanaan) di bidang pembangunan, yaitu: 17 a) Tidak adanya komunikasi dua arah antara masyarakat dengan pemerintah. Masyarakat seringkali hanya diinformasikan dan dikonsultasikan, lalu dianggap sudah mengadopsi metode partisipatif. Atau melakukan isu dan aspirasi, namun kemudian tidak ditanggapi dengan pertimbangan kondisi nyata di lapangan, sehingga rencana yang telah disusun tersebut hanya menjadi semacam wish list, dan tidak direalisasikan ke dalam rencana 17
Buku 2 Int isari “Seminar Nasional Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan” halaman 267-268. Ed itor: Budhy Tjahjati Sugijanto Soegijoko, Gita Chandrika Napitupulu, Wahuyu Mulyana, Frieda Fidi. Yogyakarta, 25-26 Ju li 2008.
70
pembangunan di tahap berikutnya karena terpangkas oleh adanya proses politis. Kondisi ini dimungkinkan karena masyarakat dianggap tidak memiliki kapasitas untuk memahami aspek teknokratis dari proses tersebut (sedikit banyaknya). b) Proses politis menghambat transparansi dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran. Memang terkadang proses politis ini tidak dapat dihindari karena memang ada keterbatasan dan pertimbangan tertentu yang mengharuskan perubahan rencana awal. Akan tetapi, harus disadari sejauh mana proses politis memangkas akuntabilitas pemerintah dan agenda pembangunannya. Kedua faktor tersebut sebenarnya berdasarkan hasil penelitian-penelitian mengenai partisipasi masyarakat dalam advokasi, perencanaan, dan penganggaran di beberapa tempat di Indonesia. Namun secara kontekstual, menggambarkan fenomena umum yang berlaku dalam kebanyakan perencanaan program-program partisipasi yang diadakan pemerintah di Indonesia sehingga dapat dijadikan acuan untuk melihat partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak- mangrove ramah lingkungan model empang-parit pada LMDH Mina Wana Lestari. Pesanggem yang tergabung dalam LMDH Mina Wana Lestari sangat minim dilibatkan dalam proses perencanaan. Hal ini terbukti dengan dibentuknya naska h perjanjian kerjasama antara LMDH Mina Wana Lestari dengan Perum Perhutani yang sama sekali tidak melibatkan pesanggem dalam proses pembuatannya. Naskah yang berisi perjanjian kerjasama beserta rincian aturan pengelolaan tambak mangrove tersebut memang telah ditentukan berdasarkan keputusan direksi Perum Perhutani dan keputusan Kepala Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Para pesanggem hanya diinformasikan dan dikonsultasikan mengenai naskah perjanjian tersebut serta menjalankannya. Naskah perja njian yang dibuat tersebut masih bersifat umum, padahal setiap wilayah berbeda baik dalam potensi sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya. Naskah perjanjian yang dirumuskan semata- mata hanya dari satu pihak hanya akan menjadi wish list yang pada tahap pelaksanaan program belum tentu direalisasikan. Hal ini dimungkinkan karena pesanggem dianggap tidak memiliki pengetahuan teknis dalam proses pembuatan naskah tersebut sehingga tidak
71
diikutsertakan pada saat perumusan naskah. Padahal hal ini dapat diatasi dengan sosialisasi terlebih dahulu secara intensif kepada pesanggem, tentunya dengan bekerjasama melalui vocal leader atau pemimpin masyarakat yang dipercaya sehingga pada saat perumusan naskah perjanjian, diskusi berjalan lancar. Kalaupun memang penentuan naskah perjanjian harus dilakukan terlebih dahulu secara sepihak oleh pemerintah sebagai generalisasi untuk mempermudah dalam penyusunan administrasi dan penganggaran, seharusnya tidak diadopsi mentah- mentah peraturan tersebut, tetapi didiskusikan bersama pesanggem dan direvisi sesuai dengan hasil diskusi sehingga pesanggem dilibatkan aktif dalam proses perencanaan. Pada akhirnya, naskah perjanjian yang dibuat merupakan hasil konsensus antara berbagai pemangku kepentingan yang ada seperti Perum Perhutani, pesanggem yang tergabung dalam LMDH Mina Wana Lestari, dan Pemerintah Desa Sedari. Terbentuknya naskah perjanjian yang merupakan hasil konsensus antara berbagai pemangku kepentingan yang berkepentingan dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit akan menciptakan suatu kondisi partisipasi tidak semu. Hal ini karena hasil perencanaan yang merupakan kesepakatan setiap pihak akan membentuk suatu kondisi dimana masyarakat melihat kebutuhan dan aspirasinya terwujudkan serta terlaksanakan sebagai bagian dari rencana pembangunan daerah, maka hal ini akan meningkatkan rasa kepercayaan terhadap metode partisipasi dan rasa kepemilikan akan agenda pembangunan serta hak dan kewajibannya untuk berperan serta da lam menjalankan agenda tersebut 18 . Dengan kata lain, pesanggem akan berfikir bahwa pengelolaan tambak mangrove ini merupakan program bersama yang harus dilaksanakan bersama secara sukarela untuk menciptakan pengelolaan tambak yang dapat mengakomodir baik kepentingan ekologi maupun kepentingan ekonomi masyarakat Desa Sedari. Proses partisipasi dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit memang membutuhkan kerelaan antara berbagai pihak yang berkepentingan. Perum Perhutani sebagai lembaga pemerintah perwakilan tingkat pusat yang dianggap posisinya lebih tinggi harus rela menyamakan kedudukannya 18
Ibid. Hlm. 269
72
dengan pesanggem LMDH Mina Wana Lestari untuk berkomunikasi dari hati ke hati untuk mengetahui keinginan pesanggem dan permasalahan yang dihadapi mereka. Tidak ada arogansi karena merasa lebih memiliki kapasitas baik dalam hal kekuasaan maupun pengetahuan. Justru seharusnya Perum Perhutani memberikan ilmu pengetahuan kepada pesanggem berkaitan pengelolaan tanaman payau sekaligus mempelajari kearifan lokal masyarakat dalam melestarikan hutan mangrove sehingga dihasilkan teknik pengelolaan yang menggabungkan kedua pengetahuan. Pesanggem LMDH Mina Wana Lestari harus rela berkorban waktu dan tenaga untuk bersama-sama ikut serta aktif dalam tiap tahapan kegiatan dan mengesampingkan kepentingan jangka pendek (membuka hutan mangrove hanya untuk tambak semata) untuk kepentingan jangka panjang yang berkelanjutan (tambak- mangrove ramah lingkungan yang memberikan manfaat ekonomi dan ekologi). Selain itu, pesanggem juga harus rela belajar dari Perum Perhutani mengenai pengelolaan tambak- mangrove. Pemerintah Desa Sedari harus rela menjembatani kepentingan antara pesanggem dan Perum Perhutani serta menjadi pihak netral yang mengawasi kegiatan pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit.
BAB VIII HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI RESPONDEN MENGENAI HUTAN MANGROVE DENGAN PARTISIPASI RESPONDEN DALAM PENGELOLAAN TAMBAK MANGROVE RAMAH LINGKUNGAN MODEL EMPANG-PARIT Bab ini menyajikan analisis korelasi persepsi responden mengenai hutan mangrove dengan partisipasi responden dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya pada Bab Metode Penelitian bahwa penelitian ini menggunakan analisis korelasi rank spearman untuk menganalisis hubungan antara variabel persepsi responden mengenai ekosistem hutan mangrove dengan variabel partisipasi responden dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkunga n model empang-parit. Namun, sebelum diuji statistik dengan analisis korelasi rank spearman, dilakukan analisis terlebih dahulu menggunakan tabulasi silang agar dapat dilihat kecenderungan hubungan antara kedua aspek yang diteliti.
8.1
Hubungan Persepsi Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove dengan Partisipasi pada Tahap Perencanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Hubungan persepsi responden mengenai ekosistem hutan mangrove dengan
partisipasi responden tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove dapat dilihat pada Tabel 24. Terlihat pada Tabel 24 bahwa responden yang memiliki persepsi negatif mengenai ekosistem hutan mangrove, sebagian (50 persen) memiliki partisipasi rendah dan sebagian memiliki partisipasi tinggi (50 persen) pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, responden yang memiliki persepsi positif mengenai ekosistem hutan mangrove, sebagian besar (52,94 persen) memiliki partisipasi rendah pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove. Analisis hubungan antara persepsi responden mengenai ekosistem mangrove dengan partisipasi responden pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove diuji menggunakan rank spearman. Didapatkan nilai koefisien korelasi rank spearman sebesar -0,01 dan nilai p-value sebesar 0,936. Nilai p-value > α (0,936 > 0,05) sehingga H0 diterima. Hal ini berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi responden mengenai ekosistem hutan mangrove dengan partisipasi responden pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove.
74
Tabel 24. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Ekosistem Mangrove dan Partisipasi Tahap Perencanaan Persepsi Mengenai Ekosistem Mangrove
Partisipasi Tahap Perencanaan Tambak Mangrove Rendah
Tinggi
Total
1 (50%)
1 (50%)
2 (100%)
36 (52,94%)
32 (47,06)
68 (100%)
Negatif Positif Keterangan: rs = -0,01; p-value = 0,936
Hasil penelitian sesuai dengan Tabel 24 menunjukkan bahwa bukan persepsi responden mengenai ekosistem hutan mangrove yang berhubungan dengan partisipasi responden tahap
perencanaan pengelolaan tambak
mangrove.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, responden telah mengenal cukup baik ciriciri fisik hutan mangrove terlepas dari berpartisipasi atau tidaknya pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, partisipasi responden tahap perencanaan lebih berhubungan dengan seberapa besar Perum Perhutani memberikan ruang untuk pesanggem agar ikut serta dalam penentuan naskah perjanjian.
8.2
Hubungan Persepsi Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove dengan Partisipasi pada Tahap Pelaksanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Hubungan persepsi responden mengenai ekosistem hutan mangrove dengan
partisipasi responden tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove dapat dilihat pada Tabel 25. Terlihat pada Tabel 25 bahwa responden yang memiliki persepsi negatif mengenai ekosistem hutan mangrove, semuanya (100 persen) memiliki partisipasi tinggi pada tahap pelaksanaan tambak mangrove. Sementara itu, responden yang memiliki persepsi positif mengenai ekosistem hutan mangrove, sebagian besar (64,71 persen) memiliki partisipasi tinggi pada tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove. Analisis hubungan antara persepsi responden mengenai ekosistem hutan mangrove dengan partisipasi pada tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove diuji menggunakan analisis korelasi rank spearman. Diperoleh nilai koefisien korelasi rank spearman sebesar -0,124 dan nilai p-value sebesar 0,307. Nilai p-value > α (0,307 > 0,05) sehingga H0 diterima. Hal ini berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi responden mengenai ekosistem
75
hutan
mangrove dengan partisipasi responden pada tahap
pelaksanaan
pengelolaan tambak mangrove.
Tabel 25. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Ekosistem Mangrove dan Partisipasi Tahap Pelaksanaan Persepsi Mengenai Ekosistem Mangrove Negatif Positif Keterangan: rs = -0,124; p-value = 0,307
Partisipasi Tahap Pelaksanaan Tambak mangrove Rendah
Tinggi
0 (0%)
2 (100%)
24 (35,29%) 44 (64,71%)
Total 2 (100%) 68 (100%)
Hasil penelitian yang didapat pada Tabel 25 menunjukkan bahwa baik responden yang memiliki persepsi negatif maupun positif mengenai ekosistem hutan mangrove, sebagian besar memiliki partisipasi tinggi pada tahap pelaksanaan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, responden telah mengenal cukup baik ciri-ciri fisik hutan mangrove terlepas dari berpartisipasi atau tidaknya pada tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, partisipasi responden tahap pelaksanaan lebih berhubungan dengan kerelaan pesanggem berkorban waktu, tenaga, dan uang untuk melestarikan mangrove.
8.3
Hubungan Persepsi Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove dengan Partisipasi pada Tahap Monitoring Pengelolaan Tambak Mangrove Hubungan persepsi responden mengenai ekosistem hutan mangrove dengan
partisipasi responden pada tahap monitoring pengelolaan tambak mangrove dapat dilihat pada Tabel 26. Terlihat pada Tabel 26 bahwa responden yang memiliki persepsi negatif mengenai ekosistem hutan mangrove, semuanya (100 persen) memiliki partisipasi rendah pada tahap monitoring pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, responden yang memiliki persepsi positif mengenai ekosistem hutan mangrove, sebagian besar (70,59 persen) memiliki partisipasi rendah pula pada tahap monitorig pengelolaan tambak mangrove. Analisis hubungan antara persepsi responden mengenai ekosistem hutan mangrove dengan partisipasi tahap monitoring pengelolaan tambak mangrove diuji menggunakan analisis korelasi rank spearman. Diperoleh nilai koefisien korelasi rank spearman sebesar 0,108 dan nilai p-value sebesar 0,371. Nilai p-
76
value > α (0,371 > 0,05) sehingga H0 diterima. Hal ini berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi responden mengenai ekosistem hutan mangrove dengan partisipasi responden pada tahap monitoring pengelolaan tambak mangrove.
Tabel 26. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Ekosistem Mangrove dan Partisipasi Tahap Monitoring Persepsi Mengenai Ekosistem Mangrove Negatif Positif Keterangan: rs = 0,108; p-value = 0,371
Partisipasi Tahap Monitoring Tambak Mangrove Rendah
Tinggi
Total
2 (100%)
0 (0%)
2 (100%)
48 (70,59%)
20 (29,41%) 68 (100%)
Hasil penelitian yang didapat pada Tabel 26 menunjukkan bahwa baik responden yang memiliki persepsi negatif maupun positif mengenai ekosistem hutan mangrove, sebagian besar memiliki partisipasi rendah pada tahap monitoring pengelolaan tambak mangrove. Berdasarkan pengamatan di lapangan, responden telah mengenal cukup baik ciri-ciri fisik hutan mangrove terlepas dari berpartisipasi atau tidaknya pada tahap monitoring pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, partisipasi responden tahap monitoring lebih berhubungan dengan tingkat kedekatan hubungan pesanggem dengan Perum Perhutani.
8.4
Hubungan Persepsi Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove dengan Partisipasi Tahap Menikmati Hasil Pengelolaan Tambak Mangrove Hubungan persepsi responden mengenai ekosistem hutan mangrove dengan
partisipasi responden pada tahap menikmati hasil dapat dilihat pada Tabel 27. Terlihat pada Tabel 27 bahwa responden yang memiliki persepsi negatif mengenai ekosistem hutan mangrove, sebagian (50 persen) memiliki partisipasi rendah dan sebagian (50 persen) memiliki partisipasi tinggi pada tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, responden yang memiliki persepsi positif mengenai ekosistem hutan mangrove, sebagian besar (76,47) memiliki partisipasi tinggi pada tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove. Analisis hubungan antara persepsi responden mengenai ekosistem hutan mangrove dengan partisipasi pada tahap menikmati hasil pengelolaan tambak
77
mangrove diuji menggunakan analisis korelasi rank spearman. Diperoleh nilai koefisien korelasi rank spearman sebesar 0,103 dan nilai p-value sebesar 0,397. Nilai p-value > α (0,397 > 0,05) sehingga H0 diterima. Hal ini berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi responden mengenai ekosistem hutan mangrove dengan partisipasi responden pada tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove.
Tabel 27. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Ekosistem Mangrove dan Partisipasi Tahap Menikmati Hasil Persepsi Mengenai Ekosistem Mangrove Negatif
Partisipasi Tahap Menikmati Hasil Tambak Mangrove Rendah
Tinggi
Total
1 (50%)
1 (50%)
2 (100%)
Positif 16 (23,53%) Keterangan: rs = 0,103; p-value = 0,397
52 (76,47%)
68 (100%)
Hasil penelitian sesuai dengan Tabel 27 menunjukkan bahwa bukan persepsi responden mengenai ekosistem hutan mangrove yang berhubungan dengan partisipasi responden tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove. Berdasarkan pengamatan di lapangan, responden telah mengenal cukup baik ciriciri fisik hutan mangrove terlepas dari berpartisipasi atau tidaknya pada tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, partisipasi responden tahap menikmati hasil lebih berhubungan dengan tingkat keuntungan ekonomi pesanggem dari hasil panen serta keadilan Perum perhutani menurut pesanggem dalam memberikan hak kelola tambak dan menentukan petak yang ditanami mangrove.
8.5
Hubungan Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Hutan Mangrove dengan Partisipasi Tahap Perencanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Hubungan persepsi responden mengenai fungsi ekologi hutan mangrove
dengan partisipasi responden pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove dapat dilihat pada Tabel 28. Terlihat pada Tabel 28 bahwa responden yang memiliki persepsi negatif mengenai fungsi ekologi hutan mangrove, semuanya (100 persen) memiliki partisipasi rendah pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, responden yang memiliki persepsi
78
positif mengenai fungsi ekologi hutan mangrove, sebagian besar (51,47 persen) memiliki partisipasi rendah pula pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove. Analisis hubungan antara persepsi responden mengenai fungsi ekologi hutan mangrove dengan partisipasi responden pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove diuji menggunakan rank spearman. Didapatkan nilai koefisien korelasi rank spearman sebesar 0,162 dan nilai p- value sebesar 0,180. Nilai pvalue > α (0,180 > 0,05) sehingga H0 diterima. Hal ini berarti tidak te rdapat hubungan yang signifikan antara persepsi responden mengenai fungsi ekologi hutan mangrove dengan partisipasi responden pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove. Tabel 28. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Mangrove dan Partisipasi Tahap Perencanaan Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Mangrove Negatif Positif Keterangan: rs = 0,162; p-value = 0,180
Partisipasi Tahap Perencanaan Tambak Mangrove Rendah
Tinggi
Total
2 (100%)
0 (0%)
2 (100%)
35 (51,47%)
33 (48,53%)
68 (100%)
Hasil penelitian yang didapat pada Tabel 28 menunjukkan bahwa baik responden yang memiliki persepsi negatif maupun positif pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove, sebagian besar memiliki partisipasi rendah pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove. Berdasarkan pengamatan di lapangan, responden telah merasakan manfaat mangrove yang dapat menciptakan iklim mikro dan mencegah bencana alam terlepas dari berpartisipasi atau tidaknya pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, partisipasi responden tahap perencanaan lebih berhubungan dengan seberapa besar Per um Perhutani memberikan ruang untuk pesanggem agar ikut serta dalam penentuan naskah perjanjian.
79
8.6
Hubungan Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Hutan Mangrove dengan Partisipasi Tahap Pelaksanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Hubungan persepsi responden mengenai fungsi ekologi hutan mangrove
dengan partisipasi pada tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove dapat dilihat pada Tabel 29. Terlihat pada Tabel 29 bahwa responden yang memiliki persepsi negatif mengenai fungsi ekologi hutan mangrove, semuanya (100 persen) memiliki partisipasi tinggi pada tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, responden yang memiliki persepsi positif mengenai fungsi ekologi hutan mangrove, sebagian besar (64,71 persen) memiliki partisipasi tinggi pula pada tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove.
Tabel 29. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Mangrove dan Partisipasi Tahap Pelaksanaan Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Mangrove Negatif Positif Keterangan: rs = -0,124; p-value = 0,307
Partisipasi Tahap Pelaksanaan Tambak Mangrove Rendah
Tinggi
Total
0 (0%)
2 (100%)
2 (100%)
24 (35,29%)
44 (64,71%)
68 (100%)
Analisis hubungan antara persepsi responden mengenai fungsi ekologi hutan mangrove dengan partisipasi responden pada tahap pelaksanaan tambak mangrove diuji menggunakan rank spearman. Didapatkan nilai koefisien korelasi rank spearman sebesar -0,124 dan nilai p-value sebesar 0,307. Nilai p-value > α (0,307 > 0,05) sehingga H0 diterima. Hal ini berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi responden mengenai fungsi ekologi hutan mangrove dengan partisipasi responden pada tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove. Hasil penelitian yang didapat pada Tabel 29 menunjukkan bahwa baik responden yang memiliki persepsi negatif maupun positif mengenai fungsi ekologi hutan mangrove, sebagian besar memiliki partisipasi tinggi pada tahap pelaksanaan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, responden telah merasakan manfaat mangrove yang dapat menciptakan iklim mikro dan mencegah bencana alam terlepas dari berpartisipasi atau tidaknya pada tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, partisipasi responden tahap
80
pelaksanaan lebih berhubungan dengan kerelaan pesanggem berkorban waktu, tenaga, dan uang untuk melestarikan mangrove.
8.7
Hubungan Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Hutan Mangrove dengan Partisipasi Tahap Monitoring Pengelolaan Tambak Mangrove Hubungan persepsi responden mengenai fungsi ekologi hutan mangrove
dengan partisipasi responden dalam pengelolaan tambak mangrove tahap monitoring dapat dilihat pada Tabel 30. Terlihat pada Tabel 30 bahwa responden yang memiliki persepsi negatif mengenai fungsi ekologi hutan mangrove, semuanya (100 persen) memiliki partisipasi tinggi pada tahap monitoring pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, responden yang memiliki persepsi positif mengenai fungsi ekologi hutan mangrove, sebagian besar (73,53 persen) memiliki partisipasi rendah pada tahap monitoring pengelolaan tambak mangrove. Tabel 30. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Mangrove dan Partisipasi Tahap Monitoring Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Mangrove Negatif Positif Keterangan: rs = -0,271*; p-value = 0,023
Partisipasi Tahap Monitoring Tambak Mangrove Rendah
Tinggi
Total
0 (0%)
2 (100%)
2 (100%)
50 (73,53%)
18 (26,47%)
68 (100%)
Analisis hubungan antara persepsi responden mengenai fungsi ekologi hutan mangrove dengan partisipasi responden pada tahap monitoring pengelolaan tambak mangrove diuji menggunakan rank spearman. Didapatkan nilai koefisien korelasi rank spearman sebesar -0,271 dan nilai p-value sebesar 0,023. Nilai pvalue < α (0,023 < 0,05) sehingga H0 ditolak. Hal ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi responden mengenai fungsi ekologi hutan mangrove dengan partisipasi responden pada tahap monitoring pengelolaan tambak mangrove. Koefisien korelasi bernilai negatif yang berarti semakin negatif persepsi responden mengenai hutan mangrove, maka semakin tinggi tingkat partisipasi responden pada tahap monitoring pengelolaan tambak mangrove, atau sebaliknya. Hal ini diduga karena responden yang memiliki persepsi negatif mengenai fungsi ekologi hutan mangrove tidak percaya bahwa tujuan dari
81
pengelolaan tambak mangrove adalah melestarikan mangrove untuk mencegah bencana alam ditambah lagi hubungan yang tidak akrab dengan Perum Perhutani sehingga responden akan curiga dan lebih mengawasi jalannya kegiatan tambak mangrove.
8.8
Hubungan Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Hutan Mangrove dengan Partisipasi pada Tahap Menikmati Hasil Pengelolaan Tambak Mangrove Hubungan persepsi responden mengenai fungsi ekologi hutan mangrove
dengan partisipasi responden pada tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove dapat dilihat pada Tabel 31. Terlihat pada Tabel 31 bahwa responden yang memiliki persepsi negatif mengenai fungsi ekologi hutan mangrove, semuanya (100 persen) memiliki partisipasi tinggi pada tahap menikmati hasil. Sementara itu, responden yang memiliki persepsi positif mengenai fungsi ekologi hutan mangrove, sebagian besar (75 persen) memiliki partisipasi tinggi pula pada tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove.
Tabel 31. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Mangrove dan Partisipasi Tahap Menikmati Hasil Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Mangrove Negatif Positif Keterangan: rs = -0,097; p-value = 0,424
Partisipasi Tahap Menikmati Hasil Tambak mangrove Rendah
Tinggi
0 (0%)
2 (100%)
17 (25%)
51 (75%)
Total 2 (100%) 68 (100%)
Analisis hubungan antara persepsi responden mengenai fungsi ekologi hutan mangrove dengan partisipasi responden pada tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove diuji menggunakan rank spearman. Didapatkan nilai koefisien korelasi rank spearman sebesar -0,097 dan nilai p-value sebesar 0,424. Nilai pvalue > α (0,424 > 0,05) sehingga H0 diterima. Hal ini berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi responden mengenai fungsi ekologi hutan mangrove dengan partisipasi responden pada tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove.
82
Hasil penelitian yang didapat pada Tabel 31 menunjukkan bahwa baik responden yang memiliki persepsi negatif maupun positif mengenai fungsi ekologi hutan mangrove, sebagian besar memiliki partisipasi tinggi pada tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove. Berdasarkan pengamatan di lapangan, responden telah merasakan manfaat mangrove yang dapat menciptakan iklim mikro dan mencegah bencana alam terlepas dari berpartisipasi atau tidaknya pada tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, partisipasi responden tahap menikmati hasil lebih berhubungan dengan tingkat keuntungan ekonomi pesanggem dari hasil panen serta keadilan Perum perhutani menurut pesanggem dalam memberikan hak kelola tambak dan menentukan petak yang ditanami mangrove.
8.9
Hubungan Persepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Hutan Mangrove dengan Partisipasi pada Tahap Perencanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Hubungan persepsi responden mengenai fungsi sosial-ekonomi hutan
mangrove dengan partisipasi responden pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove dapat dilihat pada Tabel 32. Terlihat pada Tabel 32 bahwa responden yang memiliki persepsi negatif mengenai fungsi sosial ekonomi hutan mangrove, sebagian (50 persen) memiliki partisipasi rendah dan sebagian (50 persen) memiliki partisipasi tinggi pada tahap perencanaan. Sementara itu, responden yang memiliki persepsi positif mengenai fungsi sosial ekonomi hutan mangrove, sebagian besar (61,11 persen) memiliki partisipasi rendah pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove.
Tabel 32. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Mangrove dan Partisipasi Tahap Perencanaan Persepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Mangrove Negatif Positif Keterangan: rs = -0,097; p-value = 0,423
Partisipasi Tahap Perencanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Rendah
Tinggi
26 (50%)
26 (50%)
11 (61,11%)
Total 52 (100%)
7 (38,89%) 18 (100%)
83
Analisis hubungan antara persepsi responden mengenai fungsi sosialekonomi dengan partisipasi responden pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove diuji menggunakan rank spearman. Didapatkan nilai koefisien korelasi rank spearman sebesar -0,097 dan nilai p- value sebesar -0,423. Nilai pvalue > α (0,423 > 0,05) sehingga H0 diterima. Hal ini berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi responden mengenai fungsi sosialekonomi mangrove dengan partisipasi responden pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove. Hasil penelitian sesuai dengan Tabel 32 menunjukkan bahwa bukan persepsi responden mengenai fungsi sosial ekonomi hutan mangrove yang berhubungan dengan partisipasi responden pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove. Berdasarkan pengamatan di lapangan, memang di Desa Sedari belum ditemukan teknologi hasil hutan mangrove yang memadai sehingga berimplikasi pada rendahnya persepsi responden mengenai fungsi sosial ekonomi hutan mangrove, terlepas dari berpartisipasi atau tidaknya responden pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, partisipasi responden pada tahap perencanaan lebih berhubungan dengan seberapa besar Perum Perhutani memberikan ruang untuk pesanggem agar ikut serta dalam penentuan naskah perjanjian.
8.10 Hubungan Persepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Hutan Mangrove dengan Partisipasi pada Tahap Pelaksanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Hubungan persepsi responden mengenai fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove dengan partisipasi responden pada tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove dapat dilihat pada Tabel 33. Terlihat pada Tabel 33 bahwa responden yang memiliki persepsi negatif mengenai fungsi sosial ekonomi hutan mangrove, sebagian besar (63,46 persen) memiliki partisipasi tinggi pada tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, responden yang memiliki persepsi positif mengenai fungsi sosial ekonomi hutan mangrove, sebagian besar (72,22 persen) memiliki partisipasi tinggi pula pada tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove.
84
Analisis hubungan antara persepsi responden mengenai fungsi sosialekonomi dengan partisipasi responden pada tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove diuji menggunakan rank spearman. Didapatkan nilai koefisien korelasi rank spearman sebesar 0,081 dan nilai p- value sebesar 0,507. Nilai pvalue > α (0,507 > 0,05) sehingga H0 diterima. Hal ini berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi responden mengenai fungsi sosialekonomi mangrove dengan partisipasi responden pada tahap pelaksaanaan pengelolaan tambak mangrove.
Tabel 33. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Mangrove dan Partisipasi Tahap Pelaksanaan Persepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Mangrove
Partisipasi Tahap Pelaksanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Rendah
Negatif Positif Keterangan: rs = 0,081; p-value = 0,507
Tinggi
Total
19 (36,54%)
33 (63,46%)
52 (100%)
5 (27,78%)
13 (72,22%)
18 (100%)
Hasil penelitian sesuai dengan Tabel 33 menunjukkan bahwa baik responden yang memiliki persepsi negatif maupun positif mengenai fungsi sosial ekonomi hutan mangrove, sebagian besar memiliki partisipasi tinggi pada tahap pelaksanaan pengelolaan tambak
mangrove.
Berdasarkan pengamatan di
lapangan, memang di Desa Sedari belum ditemukan teknologi hasil hutan mangrove yang memadai sehingga berimplikasi pada rendahnya persepsi responden mengenai fungsi sosial ekonomi hutan mangrove, terlepas dari berpartisipasi atau tidaknya responden pada tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, partisipasi responden tahap pelaksanaan lebih berhubungan dengan kerelaan pesanggem berkorban waktu, tenaga, dan uang untuk melestarikan mangrove. 8.11 Hubungan Pe rsepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Hutan Mangrove dengan Partisipasi pada Tahap Monitoring Pengelolaan Tambak Mangrove Hubungan persepsi responden mengenai fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove dengan partisipasi responden pada tahap monitoring pengelolaan
85
tambak mangrove dapat dilihat pada Tabel 33. Terlihat pada Tabel 33 bahwa responden yang memiliki persepsi negatif mengenai fungsi sosial ekonomi hutan mangrove, sebagian besar (73,08 persen) memiliki partisipasi rendah pada tahap monitoring pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, responden yang memiliki persepsi positif mengenai fungsi sosial ekonomi hutan mangrove, sebagian besar (66,67 persen) memiliki partisipasi rendah pula pada tahap monitoring pengelolaan tambak mangrove. Analisis hubungan antara persepsi responden mengenai fungsi sosialekonomi dengan partisipasi responden pada tahap monitoring diuji menggunakan rank spearman. Didapatkan nilai koefisien korelasi rank spearman sebesar 0,062 dan nilai p-value sebesar 0,610. Nilai p-value > α (0,610 > 0,05) sehingga H0 diterima. Hal ini berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi responden mengenai fungsi sosial-ekonomi mangrove dengan partisipasi responden pada tahap monitoring pengelolaan tambak mangrove.
Tabel 34. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Mangrove dan Partisipasi Tahap Monitoring Persepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Mangrove
Partisipasi Tahap Monitoring Tambak Monitoring Rendah
Negatif Positif Keterangan: rs = 0,062; p-value = 0,610
Tinggi
Total
38 (73,08%)
14 (26,92%)
52 (100%)
12 (66,67%)
6 (33,33%)
18 (100%)
Hasil penelitian sesuai dengan Tabel 33 menunjukkan bahwa baik responden yang memiliki persepsi negatif maupun positif mengenai fungsi sosial ekonomi hutan mangrove, sebagian besar memiliki partisipasi rendah pada tahap monitoring pengelolaan tambak mangrove. Berdasarkan pengamatan di lapangan, memang di Desa Sedari belum ditemukan teknologi hasil hutan mangrove yang memadai sehingga berimplikasi pada rendahnya persepsi responden mengenai fungsi sosial ekonomi hutan mangrove, terlepas dari berpartisipasi atau tidaknya responden pada tahap monitoring pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, partisipasi responden tahap monitoring lebih berhubungan dengan tingkat kedekatan hubungan pesanggem dengan Perum Perhutani.
86
8.12 Hubungan Persepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Hutan Mangrove dengan Partisipasi pada Tahap Menikmati Hasil Pengelolaan Tambak Mangrove Hubungan persepsi responden mengenai fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove dengan partisipasi responden pada tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove dapat dilihat pada Tabel 34. Terlihat pada Tabel 34 bahwa responden yang memiliki persepsi negatif mengenai fungsi sosial ekonomi hutan mangrove, sebagian besar (71,15 persen) memiliki partisipasi tinggi pada tahap menikmati hasil. Sementara itu, responden yang memiliki persepsi pos itif mengenai fungsi sosial ekonomi hutan mangrove, sebagian besar (88,89 persen) memiliki partisipasi tinggi pula pada tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove.
Tabel 35. Jumlah dan Presentase Responden Menurut Persepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Mangrove dan Partisipasi Tahap Menikmati Hasil Persepsi Mengenai Fungsi Sosial Ekonomi Mangrove
Partisipasi Tahap Menikmati Hasil Tambak Mangrove Rendah
Negatif
Tinggi
Total
15 (28,85%)
37 (71,15%)
52 (100%)
Positif 2 (11,11%) Keterangan: rs = 0,181; p-value = 0,134
16 (88,89%)
18 (100%)
Analisis hubungan antara persepsi responden mengenai fungsi sosialekonomi dengan partisipasi responden pada tahap menikmati hasil diuji menggunakan rank spearman. Didapatkan nilai koefisien korelasi rank spearman sebesar 0,181 dan nilai p-value sebesar 0,134. Nilai p-value > α (0,134 > 0,05) sehingga H0 diterima. Hal ini berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi responden mengenai fungsi sosial-ekonomi mangrove dengan partisipasi responden pada tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove. Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 34 menunjukkan bahwa baik responden yang memiliki persepsi negatif maupun positif mengenai fungsi sosial ekonomi hutan mangrove, sebagian besar memiliki partisipasi tinggi pada tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove. Berdasarkan pengamatan di lapangan, memang di Desa Sedari belum ditemukan teknologi hasil hutan mangrove yang memadai sehingga berimplikasi pada rendahnya persepsi
87
responden mengenai fungsi sosial ekonomi hutan mangrove, terlepas dari berpartisipasi atau tidaknya responden pada tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, partisipasi responden tahap menikmati hasil lebih berhubungan dengan tingkat keuntungan ekonomi pesanggem dari hasil panen serta keadilan Perum perhutani menurut pesanggem dalam memberikan hak kelola tambak dan menentukan petak yang ditanami mangrove.
BAB IX ANALISIS KEPENTINGAN DALAM PENGELOLAAN TAMBAK MANGROVE RAMAH LINGKUNGAN MODEL EMPANG-PARIT Berdasarkan hasil penelitian ini tidak terdapat hubungan antara persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove dengan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang parit. Hutan mangrove cenderung masih dipersepsikan salah karena hutan mangrove sering diklasifikasikan sebagai lahan kosong yang tidak memiliki manfaat sehingga lebih baik dikonversi menjadi pertambakan (Murdiyanto, 2003). Namun dari hasil penelitian yang didapat tentang persepsi, sebagian besar pesanggem ternyata memiliki persepsi positif mengenai hutan mangrove. Sementara itu, partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove model empang parit tergolong rendah. Jika mengacu pendapat Murdiyanto (2003), maka seharusnya partisipasi pesanggem tinggi dalam pengelolaan tambak mangrove karena persepsi pesanggem positif mengenai hutan mangrove. Hasil- hasil penelitian sebelumnya, yaitu: Susiatik (1998), Haryanto (2003), Zulfarina (2003), Erwina (2005), Kholiq (2009), dan Amrijono (1993) mengemukakan bahwa persepsi berhubungan dengan partisipasi masyarakat. Namun demikian dalam penelitian ini, persepsi dan partisipasi masyarakat tidak berhubungan. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, diduga karena beberapa hal, yaitu: 1) Perbedaan lokasi penelitian, metodologi, serta karakteristik populasi dan sampel penelitian yang digunakan sehingga hal ini berpengaruh pada hasil penelitian yang berbeda. 2) Perbedaan
pihak-pihak
yang
berkepentingan
dalam
pengelolaan
sumberdaya alam dimana penelitian dilakukan. Mengambil contoh yang paling relevan, yaitu penelitian Haryanto (2003) tentang “Kajian Persepsi Masyarakat Lokal dalam Upaya Pengelolaan Tambak-Mangrove Terpadu di Desa Pematang Pasir, Kecamatan Ketapang, Lampung Selatan, Lampung” dan Erwina (2005) tentang “Analisis Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Kualitas Lingkungan di Daerah Pesisir”. Pada penelitian Haryanto (2003) dan Erwina (2005), model pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat. Sementara itu dalam penelitian ini,
89
model pengelolaan sumberdaya alam bersifat top down dimana Perum Perhutani memiliki wewenang penuh dalam pengelolaan tambak dan pesanggem tidak diberi ruang untuk berpartisipasi aktif, terutama pada tahap perencanaan. Partisipasi adalah keikutsertaan pemangku kepentingan dalam setiap tahapan kegiatan pembangunan dari mulai perencanaan, pelaksanaan, monitoring, hingga menikmati hasil. Pemangku kepentingan yang teridentifikasi dalam pengelolaan tambak mangrove model empang parit di Desa Sedari adalah pesanggem, Perum Perhutani, dan Pemerintah Desa Sedari. Setiap pemangku kepentingan tersebut memiliki kepentingan masing- masing dalam pengelolaan tambak mangrove ini yang harus dapat berjalan bersama-sama. Pesanggem memiliki kepentingan utama dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang parit untuk mencari penghasilan ekonomi. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa penggunaan wilayah Desa Sedari untuk tambak adalah 3820 ha dari 3899,5 ha luas total Desa Sedari. Sebagian besar penduduk Desa Sedari bergantung pada memelihara ikan dan udang di tambak untuk mendapatkan penghasilan tidak terkecuali pesanggem. Dari data karakteristik responden, sebagian besar pesanggem (53 persen) tidak memiliki pekerjaan lain selain menggarap tambak. Pesanggem sebenarnya juga memiliki kepentingan untuk melestarikan mangrove dalam pengelolaan tambak mangrove. Pesanggem sadar bahwa mangrove sangat penting bagi kehidupan dan dapat menjadi aset jangka panjang bagi kelangsungan hidup mereka (terbukti dari persepsi sebagian besar pesanggem yang positif mengenai hutan mangrove). Namun, pesanggem lebih mengutamakan mengelola tambak agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari. Perum Perhutani memiliki kepentingan utama dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang parit untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan melestarikan mangrove. Munculnya sistem PHBM Plus me ngubah paradigma dalam pengelolaan hutan di Perum Perhutani. Perum Perhutani sebelumnya mengelola hutan hanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Namun saat ini, Perum Perhutani juga mempertimbangkan aspek ekologi dari pengelolaan hutan sebagai respon atas degradasi hutan terutama mangrove yang
90
semakin marak. Keuntungan ekonomi yang didapat oleh Perum Perhutani berasal dari uang sharing yang didapatkan dari pesanggem tetapi uang tersebut sebagian digunakan untuk memelihara anakan bakau yang akan ditanam pada tambak mangrove. Walaupun begitu, tidak terdapat transparansi aliran uang sharing (bagi hasil) yang dibayarkan pesanggem dalam pengelolaan tambak sehingga menimbulkan kecurigaan di antara pesanggem dan Pemerintah Desa Sedari. Pemerintah Desa Sedari memiliki kepentingan utama dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang parit sebagai pelindung dari LMDH Mina Wana Lestari. Pemerintah Desa Sedari juga berperan sebagai pihak tengah yang mengawasi jalannya pengelolaan tambak mangrove agar anggota LMDH mendapat hak-haknya. Kepentingan lain dari Pemerintah Desa Sedari adalah melestarikan mangrove agar Desa Sedari terhindar dari berbagai bencana alam seperti banjir, tsunami, abrasi, dan erosi. Selain itu, Pemerintah Desa Sedari juga memiliki kepentingan ekonomi dari pengelolaan tambak karena mendapat beberapa bagian dari pembayaran pesanggem yang uang tersebut selanjutnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur Desa Sedari. Namun sebenarnya, masih terdapat kepentingan yang jauh lebih besar bagi pemerintah Desa Sedari dalam pengelolaan tambak mangrove ini, yaitu wilayah. Desa Sedari yang memiliki luas total 3899,5 Ha, seluas 2.840,95 Ha (72,85 persen) nya adalah tanah negara yang dipercayakan untuk dikelola oleh Perum Perhutani. Pemerintah Desa Sedari tidak memiliki otoritas mengelola tanah tersebut padahal wilayah tersebut termasuk ke dalam Desa Sedari. Pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang parit merupakan suatu bentuk pengelolaan sumberdaya alam dimana di dalamnya terdapat kepentingan pesanggem, Perum Perhutani, dan Pemerintah Desa Sedari. Berbagai kepentingan beberapa pihak dalam pengelolaan sumberdaya alam sebenarnya dapat dianalisis menggunakan pendekatan dalam ekologi politik, yaitu pendekatan aktor. Asumsi dasar dari pendekatan aktor ini, yaitu 19 :
19
Materi Ku liah Eko logi Po lit ik Su mberdaya Alam Bab II Aliran -aliran dalam Eko logi Politik oleh Arif Satria dan Soeryo Adiwibowo pada 8 September 2009.
91
1) Pengelolaan
sumberdaya
alam
sesungguhnya
merupakan
ajang
pertarungan kepentingan berbagai pihak untuk akses, penguasaan, dan kontrol atas sumberdaya alam. 2) Kerusakan sumberdaya alam timbul ketika terjadi ketidak-setaraan kekuasaaan di kalangan para pihak yang terlibat.
Terjadi pertarungan kepentingan antara pesanggem, Perum Perhutani, dan Pemerintah Desa Sedari dalam pengelolaan tambak mangrove untuk akses dan kontrol terhadap tambak mangrove. Pesanggem membutuhkan tambak mangrove untuk mencukupi kebutuhan ekonominya, Perum Perhutani untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan memelihara tanaman payau, sementara itu Pemerintah Desa Sedari untuk mengawasi jalannya pengelolaan tambak mangrove agar pesanggem mendapat hak- haknya, memelihara mangrove, dan memperoleh uang sharing
untuk
pembangunan
desa.
Masing- masing
pihak
memiliki
kepentingannya yang berbeda sehingga apabila bertemu dan tidak dikelola dengan baik, maka akan timbul masalah dalam pengelolaan tambak mangrove. Terlihat jelas dalam pengelolaan tambak mangrove model empang parit di Desa Sedari bahwa terdapat ketidak-setaraan kekuasaan antara pesanggem, Perum Perhutani, dan Pemerintah Desa Sedari. Perum Perhutani jelas memiliki kekuasaan paling besar dalam pengelolaan tambak mangrove. Perum Perhutani berhak menentukan sistem pengelolaan tambak, anggota LMDH Mina Wana Lestari yang mengelola tambak beserta luas garapannya (walaupun memang Perum Perhutani tidak pernah membatasi), dan proporsi bagi hasil dalam pengelolaan tambak. Pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ini hanya memiliki hak pakai tambak dimana mereka harus membayar uang sharing yang telah ditentukan dan terikat peraturan-peraturan yang dibuat oleh Perum Perhutani. Pemerintah Desa Sedari hampir tidak memiliki kekuasaan dalam pengelolaan tambak mangrove dimana posisi pemerintah desa sebagai pelindung LMDH Mina Wana Lestari dan hanya berperan dalam mengawasi jalannya kegiatan tambak mangrove secara umum. Selain itu, pemerintah desa hanya menerima sebagian kecil dari profit pengelolaan tambak mangrove.
92
Salah satu poin penting dalam partisipasi, yaitu pemangku kepentingan yang terlibat memiliki kekuasaan dan pengaruh yang sama dalam kegiatan pembangunan, tidak terdapat dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang parit. Ketidaksetaraan kekuasaan antara pesanggem, Perum Perhutani, dan Pemerintah Desa Sedari dalam pengelolaan tambak mangrove model empang parit menyebabkan partisipasi pesanggem menjadi rendah. Pesanggem hampir tidak diberikan ruang untuk menentukan sistem pengelolaan tambak dan berpartisipasi aktif pada tahap perencanaan. Pesanggem merasa bahwa kegiatan pembangunan ini bukanlah miliknya, tetapi milik Perum Perhutani sehingga sebagian besar pesanggem hanya mengelola tambak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (jangka pendek) tanpa melestarikan mangrove di tambak (untuk kepentingan jangka panjang). Pada akhirnya yang didapat bukanlah pengelolaan tambak mangrove yang memberi manfaat ekologi dan ekonomi. Manfaat ekologi tidak didapat karena mangrove tidak lestari dan semakin tercemar akibat sisa-sisa limbah pengelolaan tambak. Sementara itu, manfaat ekonomi terutama bagi pesanggem dengan luas tambak sempit tidak didapat karena sering terjadi banjir dan kualitas air yang buruk. Perum Perhutani memiliki kewenangan penuh dalam penentuan sistem pengelolaan tambak mangrove. Sementara itu, peraturan dan sanksi hanya dikenakan kepada pesanggem dan itupun ditentukan oleh Perum Perhutani. Padahal seharusnya ada juga peraturan dan sanksi bagi Perum Perhutani apabila melakukan pelanggaran dalam pengelolaan tambak mangrove. Setiap pemangku kepentingan memperoleh haknya dalam pengelolaan tambak dan juga berperan dalam mengawasi jalannya kegiatan pengelolaan tambak mangrove. Walaupun terlihat setiap pemangku kepentingan mendapatkan haknya, sebenarnya yang paling diuntungkan secara ekonomi adalah Perum Perhutani. Hal ini karena pesanggem mendapatkan keuntungan dari hasil panen yang tidak menentu dan pemerintah desa mendapatkan hanya sebagian kecil dari uang bagi hasil, yaitu Rp10.000/ha/tahun.
Sementara
itu,
Perum
Perhutani
mendapatkan
Rp77.200/ha/tahun untuk tambak kelas II, Rp94.000/ ha/tahun untuk tambak kelas III, dan Rp144.400/ha/tahun untuk tambak kelas IV. Hal ini tentunya
93
menimbulkan kesenjangan ekonomi antara pemangku kepentingan yang apabila tidak dicari solusinya akan menimbulkan konflik. Dapat dilihat pada Gambar 9 mengenai relasi antara pemangku kepentingan dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit di Desa Sedari. Hubungan antara pesanggem dengan pemerintah Desa Sedari menggambarkan hubungan alliance (kerjasama), sementara itu hubungan antara Perum Perhutani dengan pesanggem dan Perum Perhutani dengan pemerintah desa menggambarkan hubungan konflik. Hubungan antara pesanggem dengan pemerintah desa memang baik karena pemerintah desa selalu membela hak-hak pesanggem dan pesanggem juga berkontribusi dalam pembangunan desa. Hubungan Perum Perhutani dengan pesanggem dan Pemerintah Desa Sedari sejak dahulu memang tidak baik terutama tahun 1970-an saat belum dibentuk LMDH Mina Wana Lestari. Hal ini seperti yang dikemukakan salah satu narasumber (Bsr, 35): “Sebelum ada LMDH, hubungan Perhutani dengan masyarakat dan pemerintah desa kurang begitu baik. Setelah ada LMDH, hubungannya lumayan baik sekalipun belum maksimal mas” Perum Perhutani cenderung melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat top down tanpa melihat kebutuhan masyarakat. Misalnya saja pada tahun 1970-an dilakukan penanaman bakau massal di Desa Sedari berdasarkan instruksi dari BKPH Rengasdengklok (sekarang namanya BKPH Cikiong). Setelah dibentuk LMDH Mina Wana Lestari tahun 2007, hubungan Perum Perhutani dengan pemerintah desa dan masyarakat (termasuk pesanggem) sedikit membaik karena pemerintah desa dan pesanggem merasa aspirasinya lebih tersalurkan dalam LMDH. Kondisi pengelolaan tambak mangrove di Desa Sedari saat ini belum menggambarkan suatu pengelolaan sumberdaya alam yang tepat. Hal ini karena terlihat jelas perbedaan kekuasaan antara pemangku kepentingan dan kesenjangan ekonomi yang terjadi dimana Perum Perhutani lebih superior dari pesanggem dan Pemerintah Desa Sedari. Menurut Satria (2009), peran pemerintah sebagai agen dan pelindung sumberdaya perairan tidak jarang menimbulkan konflik dengan masyarakat. Pemerintah menggunakan instrumen kebijakan dengan menetapkan
94
suatu wilayah sebagai kawasan konservasi. Wilayah pengelolaan tambak mangrove seluas 2.840,95 ha merupakan wilayah yang ditetapkan Departemen Kehutanan sebagai kawasan hutan dimana Perum Perhutani diberikan wewenang untuk mengelolanya. Penetapan hutan mangrove Desa Sedari menjadi kawasan sebenarnya telah mengeliminasi hak- hak pesanggem dan Pemerintah Desa Sedari untuk mengakses dan mengontrol penuh sumberdaya alam Desa Sedari. Pengelolaan yang tidak tepat dan hanya menguntungkan satu pihak saja akan menimbulkan konflik nyata dalam pengelolaan mangrove Desa Sedari di masa depan. . Perum Perhutani
Keterangan: = Garis relasi = Garis konflik
Pemerintah Desa Sedari
Pesanggem Pengelolaan Tambak Mangrove Model Empang-Parit di Desa Sedari
Gambar 9. Relasi antara Pemangku Kepentingan dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Model Empang-Parit di Desa Sedari
95
BAB X KESIMPULAN DAN SARAN 9.1
Kesimpulan Kondisi mangrove di Indonesia yang semakin mengkhawatirkan terutama
karena konversi menjadi pertambakan mengharuskan diterapkannya konsep pengelolaan
mangrove
yang
tepat
dimana
pengelolaan
tersebut
dapat
mengakomodir kebutuhan ekonomi masyarakat sekaligus mempertahankan keseimbangan ekologi. Pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang
parit
adalah
suatu
pengelolaan
tambak
yang
memperhatikan
keseimbangan ekologi dan ekonomi. Persepsi responden mengenai hutan mangrove dalam penelitian ini didefinisikan menjadi tiga, yaitu: (1) persepsi responden mengenai ekosistem hutan mangrove; (2) persepsi responden mengenai fungsi ekologi hutan mangrove; dan (3) persepsi responden mengenai fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove. Sebagian besar responden memilik i persepsi positif mengenai ekosistem hutan mangrove. Nilai rataan skor semua indikator juga tergolong tinggi. Pesanggem memang telah mengenal baik ekosistem hutan mangrove yang telah menjadi lingkungan mereka selama bertahun-tahun. Sebagian besar responden memiliki persepsi positif mengenai fungsi ekologi hutan mangrove. Semua nilai rataan skor indikator persepsi pun tergo long tinggi. Pesanggem telah merasakan manfaat langsung dari hutan mangrove yang dapat mencegah bencana alam dan dapat menciptakan iklim mikro di wilayah sekitarnya. Sebagian besar responden memiliki persepsi negatif mengenai fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove. Nilai rataan skor untuk hampir semua indikator tergolong rendah, hanya persepsi bahwa hutan mangrove dapat dijadikan tempat wisata saja yang tinggi. Teknologi hasil hutan yang cukup memadai untuk menghasilkan keuntungan sosial-ekonomi (misalnya mengolah kayu) dari hutan mangrove di wilayah Desa Sedari yang menjadi tempat tinggal responden memang belum ditemukan. Partisipasi responden dalam pengelolaan tambak mangrove model empangparit yang diukur dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahapan (1) perencanaan; (2) pelaksanaan; (3) monitoring/evaluasi; dan (4) menikmati
96
hasil. Indikator dari tiap tahapan diperoleh dari naskah perjanjian kerjasama PHBM Plus antara LMDH Mina Wana Lestari dan Perum Perhutani. Sebagian besar responden memiliki tingkat partisipasi rendah dalam tahap perencanaan. Indikator partisipasi dalam tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit yang tergolong rendah adalah keikutsertaan dalam setiap pertemuan, penentuan luas rabak, penentuan spesies tanaman payau yang ditanam, penentuan waktu pelaksanaan kegiatan, dan penentuan sanksi. Sementara itu, indikator partisipasi dalam tahap perencanaan yang tergolong tinggi adalah penentuan pengurus LMDH Mina Wana Lestari, penentuan luas tambak, penentuan luas parit (wilayah memelihara ikan di empang), penentuan jenis ikan yang dibudidayakan, dan penentuan sistem bagi hasil (sharing). Partisipasi pesanggem yang rendah pada tahap perencanaan ini karena pesanggem tidak diberikan ruang oleh Perum Perhutani untuk menyusun naskah perjanjian. Hal ini berpengaruh pada partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove pada tahap-tahap selanjutnya. Partisipasi sebagian besar responden dalam tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit tergolong tinggi. Indikator partisipasi responden pada tahap pelaksanaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit yang tergolong rendah adalah pemberantasan organisme pengganggu tanaman payau. Sementara itu, indikator partisipasi responden pada tahap pelaksanaan yang tergolong tinggi adalah penyulaman tanaman
payau
yang
mati,
pencegahan/pelarangan
perlakuan
yang
merusak/mematikan tanaman payau, dan pembayaran bagi hasil kepada pihak pertama sesuai kesepakatan awal. Partisipasi sebagian besar responden dalam tahap monitoring/evaluasi pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit tergolong rendah. Hampir semua nilai rataan indikator partisipasi responden dalam tahap monitoring/evaluasi pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit tergolong rendah. Hanya pemantauan terhadap jalannya kegiatan tambak dan pelaporan masalah yang terjadi dalam pengelolaan tambak kepada LMDH saja yang nilai rataannya tergolong tinggi.
97
Partisipasi sebagian besar responden dalam tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit tergolong tinggi. Semua nilai rataan skor indikator partisipasi sebagian besar responden dalam tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit tergolong tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove secara umum tergolong positif, namun partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit tergolong rendah. Sementara itu dari hasil analisis korelasi rank spearman, hanya satu aspek yang berhubungan. Secara keseluruhan tidak terdapat hubungan antara persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove dengan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit. Partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit di Desa Sedari yang tergolong rendah ini tentunya berdampak pada pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan di Desa Sedari. Salah satu masalah yang timbul sebagai dampak dari partisipasi pesanggem yang kurang adalah banyak tanaman payau yang ditanam di tambak pesanggem tidak terawat dan akhirnya mati. Sementara itu, hasil panen tambak yang didapat pesanggem dari tahun ke tahun semakin berkurang terutama akibat kualitas air yang semakin buruk karena pencemaran air yang tidak dapat dibendung karena hutan mangrove yang rusak. Hal ini tentunya jauh dari tujuan utama pengelolaan tambak mangrove model empang-parit yang menciptakan suatu pengelolaan hutan mangrove yang dapat mengakomodir baik fungsi ekologi maupun fungsi sosial-ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan. Oleh karena itu, dibutuhkan perbaikan dalam pengelolaan tambak mangrove model empang-parit di Desa Sedari diperoleh partisipasi aktif setiap pihak terutama pesanggem sehingga terwujud pengelolaan hutan mangrove yang dapat mengakomodir kepentingan ekologi dan sosial ekonomi masyarakat yang berkelanjutan.
9.2
Saran Beberapa hal yang menurut Peneliti harus diperbaiki dalam pengelolaan
tambak
mangrove
model
empang
parit
di
Desa
Sedari,
yaitu:
(1)
diikutsertakannya pesanggem secara aktif dalam perancangan program; (2) tenaga
98
pelaksana teknis dari Perum Perhutani di lapangan yang lebih banyak; (3) bersama-sama antara pesanggem dan Perum Perhutani membangun suasana akrab (kekeluargaan) agar pesanggem terbuka mengemukakan masalah- masalah yang dihadapi; (4) komunikasi dua arah dalam pengelolaan tambak agar pesanggem lebih aktif dalam tahap monitoring/evaluasi; (5) proaktif dari Perum Perhutani terhadap masalah- masalah yang dihadapi pesanggem; (6) profitabilitas yang lebih tinggi bagi para pesanggem; (7) uang sharing yang harus dibayarkan oleh pesanggem tidak terlalu besar dan disesuaikan dengan kondisi panen yang didapatkan; (8) pelatihan-pelatihan budidaya tambak kepada para pesanggem dengan tujuan meningkatkan produktivitas tambak mereka ; (9) kerelaan dari para pesanggem untuk berkorban waktu dan tenaga memelihara tanaman pa yau di tambak dan lingkungan desa; (10) dukungan aktif dari pihak pemerintah Desa Sedari secara terus menerus dalam pengelolaan tambak mangrove ini. Apabila pesanggem merasa mendapatkan keuntungan dengan pengelolaan tambak mangrove diharapkan dengan sendirinya mereka akan melestarikan mangrove karena mereka telah memiliki persepsi positif mengenai hutan mangrove. Selain itu, diharapkan adanya penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi faktor- faktor apa yang mempengaruhi partisipasi pesanggem LMDH Mina Wana Lestari dalam pengelolaan tambak mangrove model empang-parit yang dalam penelitian ini tidak diteliti. Hal ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan baik bagi Perum Perhutani maupun pesanggem LMDH Mina Wana Lestari agar pengelolaan tambak mangrove tersebut dapat berjalan dengan baik sehingga terciptanya pengelolaan hutan mangrove yang tidak hanya menghasilkan manfaat ekologi tetapi juga manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat sekitar.
99
DAFTAR PUSTAKA
Amrijono, Djoko. 1993. “Persepsi, Sikap, dan Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Memasyarakatkan Taman Lingkungan di Kompleks Perumahan Kekancan Mukti di Kotamadya Semarang”. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Anonymous. 2000. “Dampak Perkembangan Industri Tambak Udang Terhadap Ekosistem Pesisir dan Hutan Mangrove di Indonesia”. Makalah Dialog Nasional. Tidak dipublikasikan. Anonymous. 2006. “Sosialisasi Pelatihan Budidaya Perikanan Sistem Wanamina”. (http://mangrove.unila.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&i d=31) diakses pada tanggal 24 Mei 2010 pukul 15.35 WIB. Anonymous. 2008. Buku 1-3 Seminar Nasional Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan, disunting oleh Budhy Tjahjati Sugijanto Soegijoko, Gita Chandrika Napitupulu, Wahuyu Mulyana, Frieda Fidi. Yogyakarta. Anwar, Chairill, Hendra Gunawan. “Mengapa Ekosistem Hutan Mangrove (Bakau) Harus Diselamatkan dari Kerusakan Lingkungan”. (http://fppb.ubb.ac.id/?Page=artikel_ubb&&Nama_menu=&&id=269 ) diakses pada 24 Mei 2010 pukul 11.35 WIB. Asnawati, L. 2004. “Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan (Studi Kasus Masyarakat Kampung Cibeo (Baduy Dalam), Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidimar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten). Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Asngari, P. 1984. “Persepsi Direktur Penyuluh di Tingkat Karesidenan dan Kepala Penyuluh Pertanian terhadap Peranan dan Fungsi Negara Bagian Texas Amerika Serikat”, Jurnal Media Peternakan IPB, vol. 9 no. 2. Atkinson, Rita L., Richard C. Atkinson, Ernest R. Hilgard. 1983. Pengantar Psikologi, Edisi kedelapan Jilid I, Alih bahasa: Dra. Nurdjannah Taufiq, Dra. Rukmini Barhana. Editor: Agus Dharma, SH, M. Ed. Ph. D, Michael Adryanto. Jakarta: Erlangga. Dahuri, M., J.Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Danim, Sudarwan. 2004. Metode Penelitian untuk Ilmu-ilmu perilaku. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Departemen Kehutanan. 2007. “Pesisir dan Laut”. (http://www.menlh.go.id/slhi/slhi2008/5_pesisirdanLaut.pdf) diakses pada tanggal 20 Oktober 2009 pukul 14:25 WIB. Erwina. 2005. “Analisis Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Kualitas Lingkungan di Daerah Pesisir: Kasus Kelurahan Marunda, Jakarta Utara”. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
100
Evans, Kristen, Wil de Jong, Peter Cronkleton, Douglas Sheil, Tim Lynam, Trikurnianti Kusumanto, Carol J. Pierce Colfer. 2006. Guide to Particpatory Tools for Forest Communities. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR). Gulö, W. 2002. Metodologi Penelitian, disunting oleh Yovita Hardiwati. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo). Hainim. 1996. “Dampak Koversi dan Pengelolaan Lahan Mangrove Terhadap Kehidupan Nelayan di Kabupaten Bengkalis”. Skripsi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Haryadi, Ceppy. 1995. “Kelimpahan Sampah Padat di Hutan Lindung Mangrove Angke Kapuk DKI Jakarta”. Skripsi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Haryanto, Bambang. 2003. “Kajian Persepsi Masyarakat Lokal dalam Upaya Pengelolaan Tambak-Mangrove Terpadu di Desa Pematang Pasir, Kecamatan Ketapang, Lampung Selatan, lampung. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Irwanmay. 2007. “Analisis Dampak Pengalihan Lahan Konservasi Hutan Bakau Menjadi Lahan Pertambakan Terhadap Keadaan Sosial Ekonomi Nelayan Di Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat Sumatera Utara (Studi Kasus Desa Tapak Kuda Kecamatan Tanjung Pura)”. (http://library.usu.ac.id/download/fp/06008763.pdf) diakses pada tanggal 26 Mei 2010 Pukul 16.55 WIB. IUCN. 1993. Ecology and Management of Mangroves, Bangkok. Thailand: Dyna Print Ltd. Part. Kholiq. 2009. “Persepsi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Lumbung Pangan di Kabupaten Lampung Barat”. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Kusmana, Cecep, Sri Wilarso, Iwan Hilwan, Prijanto Pamoengkas, Cahyo Wibowo, Tatang Tiryana, Adi Triswanto, Yunasfi, Hamzah. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Leavitt, Harold J. 1978. Psikologi Manajemen: Sebuah Pengantar Bagi Individu dan Kelompok di dalam Organisasi. Jakarta: Erlangga. Makmur, Setia. 2005. “Partisipasi Masyarakat dalam Program Pengembangan Prasarana Pedesaan (P2D)”. Skripsi. Departemen Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. McCracken, Jennifer Rietbergen, Deepa Narayan. 1998. Participation and Social Assessment: Tools and Techniques. United States of America: The World Bank. Murdiyanto, Bambang. 2003. Mengenal, Memelihara, dan Melestarikan Ekosistem Bakau. Jakarta: COFISH Project. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan. Jakarta: PT. Gramedia. Perum Perhutani. 2007. “Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM Plus) antara Perum Perhutani KPH Purwakarta dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Mina Wana Lestari,
101
Desa Sedari, Kecamatan CIbuaya, Kabupaten Karawang” Naskah Perjanjian. Tidak dipubilkasikan. Pusat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kehutanan Departemen Kehutanan. “Kebijakan Hutan Mangrove di Indonesia”. (http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/RLPS/mangrove.htm) diakses diakses pada tanggal 20 Oktober 2009 pukul 15:00 WIB. Puspasari, Sonya. 2010. “Persepsi dan Partisipasi Peladang Berpindah dalam Kegiatan Pengembangan Tanaman Kehidupan Model HTI Terpadu di Kalimantan Barat”. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Rakhmat, Jalaludin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Rompas, Rizald Max. 2009. “Garis Pantai Indonesia Terpanjang Keempat”. (http://www.dekin.dkp.go.id/yopi/index.php?p=3&id=20090304131636) diakses pada 8 februari 2010 pukul 07.56. Sarwono, Wirawan S. 1982. Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: N.V. Bulan Bintang. _________________. 2003. RajaGrafindo Persada.
Teori-teori
Psikologi
Sosial.
Jakarta:
PT.
Satria, Arif. 2009. Pesisir dan Laut Untuk Rakyat. Bogor: IPB Press. Singarimbun, M, Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia, anggota IKAPI. Slamet, M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor: IPB Press. Sombowidjojo, R. 1999. “Persepsi dan Perilaku Partisipasi dalam Program Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue oleh Masyarakat di Wilayah Puskesmas Magelang Selatan Kotamadya DATI II Magelang”. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Sugiarti. 2000. “Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir di Kotamadya Dati II Pasuruan-Jawa Timur”. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Suliyanto. 2005. Analisis Data dalam Aplikasi Pemasaran. Bogor: Ghalia Indonesia. Susiatik, Titik. 1998. “Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Kegiatan Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDHT) di Desa Mojorero, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Dati II Grobogan, Jawa Tengah”. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Syahran, H. 2009. “Upayakan Budidaya Tambak Ramah Lingkungan”. (http://humas.kutaikartanegarakab.go.id/index.php/read/upayakanbudidaya-tambak-ramah- lingkungan/) diakses pada 24 Mei 2010 pukul 11.50 WIB. Tim Editor Sosiologi Umum Institut Pertanian Bogor. 2003. Sosiologi Umum. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan Pustaka Wirausaha Muda. Tim Penyusun Pedoman Umum Direktorat Bina Pesisir. 2007. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Jakarta: Departemen Kelautan dan
102
Perikanan, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Direktorat Bina Pesisir. Utomo, Bambang S. 1984. “Masalah Partisipasi Masyarakat Desa Dalam Usahausaha Pembangunan Masyarakat Desa (Kasus dua desa di Banjarnegara, Jawa Tengah)”. Laporan. Institut Pertanian Bogor. Wahyuni, Ekawati S., Puji Mulyono. 2007. Metode Penelitian Sosial. Bogor: Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Witjaksono, Julian. 2002. “Struktur Komunitas Mangrove dan Analisis Finansial Usaha pada Lahan Konversi Hutan Mangrove di Pesisir Teluk Kendari”. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Zimbardo, Philip G. 1975. Psychology and Life, Edisi kesembilan. United States of America: Scott, Foresman Company. Zulfarina. 2003. “Persepsi dan Partisipasi Petani terhadap usaha pertanian konservasi (Studi Kasus Kelompok Pengelola Hutan Kemasyarakata n di Kawasan Hutan Lindung Register 45B, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung”. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian
KUESIONER DATA RAHASIA
Dalam rangka penelitian skripsi Imam Habibi Elhaq (NRP: I34062055) di Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, kami memohon dengan sangat kesediaan Bapak/Ibu untuk berpartisipasi pada penelitian d engan judul “Analisis Pengaruh Persepsi Masyarakat Mengenai Hutan Mangrove Terhadap Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-parit”. Tidak ada jawaban yang salah atau benar dalam menjawab pertanyaan dalam kuesioner ini. Maka dari itu, dimohon untuk menjawab sejujurjujurnya sesuai dengan keadaan Anda atau fakta yang te rjadi. Informasi dan data akan kami jaga kerahasiaannya dan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian.
PERNYATAAN KESEDIAAN MENGISI KUESIONER Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan penuh kesadaran menyatakan bersedia untuk mengisi kuesioner dengan selengkap- lengkapnya dan sebaik mungkin serta menjunjung tinggi nilai kejujuran. Selanjutnya, saya dengan sukarela mempercayakan data pribadi saya digunakan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Karawang, Tanda Tangan Responden
(........................................) Nama Lengkap Diisi Oleh Peneliti Enumerator
: ..........................................................................
Tanggal Wawancara : ..........................................................................
105
A. Karakteristik Responden 1. Nama
: ......................................................................
2. Alamat
: RT
: ..............................................
RW
: ..............................................
Desa/Kel
: ..............................................
Kecamatan
: ..............................................
No. Telp./HP : .............................................. 3. Jenis kelamin
:
Laki- laki
Perempuan
4. Usia
: ...........................................................Tahun
5. Pendidikan terakhir
:
Tidak Sekolah
Lulus 6 SD
Lulus 3 SMP
Lulus 3 SMA
Lulus S1 6. Kelas pengelolaan tambak
:
I
II
III
IV
7. Luas Tambak
: ......................................................................
8. Pekerjaan (Bisa lebih dari 1)
: ...................................................................... ......................................................................
MOHON DIISI DENGAN MENYILANG ( X ) JAWABAN SESUAI DENGAN PENDAPAT ANDA. TIDAK ADA JAWABAN BENAR ATAU SALAH. MOHON DIISI DENGAN KEJUJURAN. TERIMA KASIH KETERANGAN JAWABAN: SS = SANGAT SETUJU CS = CUKUP SETUJU KS = KURANG SETUJU STS = SANGAT TIDAK SETUJU
106
B. Persepsi Masyarakat Mengenai Hutan Mangrove Persepsi Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove No
Pernyataan
Jawaban
1.
Hutan bakau terdiri dari banyak jenis tumbuhan.
SS
CS
KS
STS
2.
Pohon-pohon yang ada di hutan bakau lebih dari satu macam.
SS
CS
KS
STS
3.
Hutan bakau terdiri dari banyak jenis hewan.
SS
CS
KS
STS
4.
Binatang yang ada di hutan bakau lebih dari satu macam.
SS
CS
KS
STS
5.
Banyak jenis hewan yang hidup di hutan bakau.
SS
CS
KS
STS
6.
Di dalam hutan bakau ada batu, tanah, air, udara. SS
CS
KS
STS
7.
Hutan bakau banyak ditemui di daerah pantai.
SS
CS
KS
STS
8.
Hutan bakau hanya hidup di daerah pantai.
SS
CS
KS
STS
Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Hutan Mangrove No
Pernyataan
Jawaban
1.
Hutan bakau mencegah terjadinya pengikisan pasir pantai.
SS
CS
KS
STS
2.
Hutan bakau melindungi pantai dari erosi.
SS
CS
KS
STS
3.
Hutan bakau melindungi pantai dari ombak.
SS
CS
KS
STS
4.
Hutan bakau melindungi pantai dari tsunami.
SS
CS
KS
STS
5.
Hutan bakau melindungi pantai dari angin kencang. SS
KS
STS
6.
Hutan bakau melindungi pantai dari angin topan.
SS
CS
KS
STS
7.
Hutan bakau membantu pembentukan tanah.
SS
CS
KS
STS
8.
Hutan bakau mempercepat pembentukan tanah.
SS
CS
KS
STS
9.
Hutan bakau mengendalikan siklus (perputaran) air. SS
KS
STS
KS
STS
KS
STS
10. Hutan bakau mencegah terjadinya banjir. 11. Hutan bakau menyaring bahan berbahaya dari sungai.
SS SS
CS
CS CS CS
107
12. Hutan bakau menjaga agar kandungan tanah daratan tetap terjaga.
SS
CS
KS
STS
13. Hutan bakau sebagai penyedia keanekaragaman makhluk hidup.
SS
CS
KS
STS
14. Hutan bakau sebagai tempat tinggal berbagai makhluk hidup.
SS
CS
KS
STS
15. Hutan bakau sebagai tempat hidup berbagai makhluk hidup.
SS
CS
KS
STS
16. Hutan bakau sebagai tempat mencari makan bagi makhluk hidup.
SS
CS
KS
STS
17. Hutan bakau sebagai tempat pemeliharaan bagi makhluk hidup.
SS
CS
KS
STS
18. Hutan bakau sebagai tempat pemijahan bagi makhluk hidup.
SS
CS
KS
STS
Persepsi Mengenai Fungsi Sosial-ekonomi Hutan Mangrove No
Pernyataan
Jawaban
1.
Hutan bakau menghasilkan kayu bernilai ekonomi SS seperti untuk tannin.
CS
KS
STS
2.
Hutan bakau menghasilkan kayu bernilai ekonomi SS seperti untuk bahan bangunan.
CS
KS
STS
3.
Hutan bakau menghasilkan kayu bernilai ekonomi SS seperti untuk bahan baku pembuatan kertas.
CS
KS
STS
4.
Hutan bakau dapat dijadikan tempat wisata.
SS
CS
KS
STS
5.
Hutan bakau menghasilkan benih udang.
SS
CS
KS
STS
6.
Hutan bakau menghasilkan benih bandeng.
SS
CS
KS
STS
108
MOHON DIISI DENGAN MENYILANG ( X ) JAWABAN SESUAI DENGAN KEADAAN ANDA DALAM PENGELOLAAN TAMBAK. TIDAK ADA JAWABAN BENAR ATAU SALAH. MOHON DIISI DENGAN KEJUJURAN. TERIMA KASIH KETERANGAN JAWABAN: S = SELALU Sr = SERING Jr = JARANG TP = TIDAK PERNAH C. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Tambak-Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit Perencanaan No
Pernyataan
Jawaban
1.
Saya ikut serta dalam pemilihan pengurus kelompok tani LMDH “Mina Wana Lestari”.
S
Sr
Jr
TP
2.
Saya ikut serta dalam setiap pertemuan yang diadakan LMDH “Mina Wana Lestari”.
S
Sr
Jr
TP
3.
Saya ikut serta dalam menentukan luas tambak yang Saya kelola.
S
Sr
Jr
TP
4.
Saya ikut serta dalam menentukan letak parit (tempat memelihara ikan) dari tambak yang Saya kelola.
S
Sr
Jr
TP
5.
Saya ikut serta dalam menentukan letak rabak (tempat menanam bakau) dari tambak yang Saya kelola.
S
Sr
Jr
TP
6.
Saya ikut serta dalam menentukan jenis ikan yang dipelihara pada tambak yang Saya kelola.
S
Sr
Jr
TP
7.
Saya ikut serta dalam menentukan jenis tanaman yang ditanam pada tambak yang Saya kelola.
S
Sr
Jr
TP
8.
Saya ikut serta dalam menentukan waktu pelaksanaan kegiatan.
S
Sr
Jr
TP
9.
Saya ikut serta dalam menentukan sanksi/hukuman S yang diberikan apabila masyarakat melakukan pelanggaran.
Sr
Jr
TP
Sr
Jr
TP
10. Saya ikut serta dalam menentukan pembagian hasil (pembayaran uang sewa) dari tambak yang Saya kelola.
S
109
Pelaksanaan No
Pernyataan
Jawaban
1.
Saya melakukan pemberantasan pada tanaman pengganggu bakau.
S
Sr
Jr
TP
2.
Saya melakukan pemberantasan pada hewan pengganggu bakau.
S
Sr
Jr
TP
3.
Saya melakukan pemberantasan pada serangga pengganggu tanaman bakau.
S
Sr
Jr
TP
4.
Saya melakukan pemberantasan pada penyakit yang merusak tanaman bakau.
S
Sr
Jr
TP
5.
Saya melakukan penyulaman tanaman bakau yang mati
S
Sr
Jr
TP
6.
Saya mencegah siapa pun yang berusaha merusak tanaman bakau
S
Sr
Jr
TP
7.
Saya mencegah siapa pun yang berusaha mematikan tanaman bakau
S
Sr
Jr
TP
8.
Saya membayar uang sewa tambak tiap tahun kepada Perhutani sesuai dengan kesepakatan yang ditentukan.
S
Sr
Jr
TP
Monitoring/evaluasi No
Pernyataan
Jawaban
1.
Saya ikut mengawasi jalannya kegiatan pengelolaan tambak empang-parit ini.
S
Sr
Jr
TP
2.
Saya melaporkan kepada Ketua LMDH apabila terjadi masalah dalam pengelolaan tambak.
S
Sr
Jr
TP
3.
Saya melaporkan kepada Pengurus LMDH apabila terjadi masalah dalam pengelolaan tambak.
S
Sr
Jr
TP
4.
Saya melaporkan kepada Perhutani apabila terjadi masalah dalam pengelolaan tambak.
S
Sr
Jr
TP
5.
Saya memberikan masukan (saran) kepada Ketua LMDH berhubungan dengan pengelolaan tambak.
S
Sr
Jr
TP
6.
Saya memberikan masukan (saran) kepada Pengurus LMDH berhubungan dengan pengelolaan tambak.
S
Sr
Jr
TP
7.
Saya memberikan masukan (saran) kepada Perhutani berhubungan dengan pengelolaan tambak.
S
Sr
Jr
TP
8.
Saya memberikan kritik kepada Ketua
S
Sr
Jr
TP
110
LMDH berhubungan dengan pengelolaan tambak. 9.
Saya memberikan kritik kepada Pengurus LMDH berhubungan dengan pengelolaan tambak.
10. Saya memberikan kritik kepada Perhutani berhubungan dengan pengelolaan tambak.
S
Sr
Jr
TP
S
Sr
Jr
TP
Menikmati Hasil No
Pernyataan
Jawaban
1.
Saya menerima lahan garapan tambak dengan adil.
S
Sr
Jr
TP
2.
Saya mendapatkan seluruh hasil panen tambak.
S
Sr
Jr
TP
Lampiran 2. Output SPSS Analisis Rank Spearman Partisipasi
Spearman's rho
Persepsi mengenai
Correlation Coefficient
ekosistem mangrove
Sig. (2-tailed) N
Partisipasi tambak
Correlation Coefficient
mangrove tahap
Sig. (2-tailed)
perencanaan
N
Persepsi
tambak
mengenai
mangrove
ekosistem
tahap
mangrove
perencanaan
1,000
-,010
.
,936
70
70
-,010
1,000
,936
.
70
70
Partisipasi
Spearman's rho
Persepsi mengenai
Correlation Coefficient
ekosistem mangrove
Sig. (2-tailed) N
Partisipasi tambak
Correlation Coefficient
mangrove tahap
Sig. (2-tailed)
pelaksanaan
N
Persepsi
tambak
mengenai
mangrove
ekosistem
tahap
mangrove
pelaksanaan
1,000
-,124
.
,307
70
70
-,124
1,000
,307
.
70
70
Partisipasi
Spearman's rho
Persepsi mengenai
Correlation Coefficient
ekosistem mangrove
Sig. (2-tailed) N
Persepsi
tambak
mengenai
mangrove
ekosistem
tahap
mangrove
monitoring
1,000
,108
.
,371
70
70
Partisipasi tambak
Correlation Coefficient
,108
1,000
mangrove tahap
Sig. (2-tailed)
,371
.
monitoring
N
70
70
112
Partisipasi tambak
Spearman's rho
Persepsi mengenai
Correlation Coefficient
ekosistem mangrove
Sig. (2-tailed) N
Persepsi
mangrove
mengenai
tahap
ekosistem
menikmati
mangrove
hasil
1,000
,103
.
,397
70
70
Partisipasi tambak
Correlation Coefficient
,103
1,000
mangrove tahap
Sig. (2-tailed)
,397
.
menikmati hasil
N
70
70
Partisipasi
Spearman's rho
Persepsi mengenai fungsi
Correlation Coefficient
ekologi mangrove
Sig. (2-tailed)
Persepsi
tambak
mengenai
mangrove
fungsi ekologi
tahap
mangrove
perencanaan
1,000
,162
.
,180
70
70
Partisipasi tambak
N Correlation Coefficient
,162
1,000
mangrove tahap
Sig. (2-tailed)
,180
.
perencanaan
N
70
70
Partisipasi
Spearman's rho
Persepsi mengenai fungsi
Correlation Coefficient
ekologi mangrove
Sig. (2-tailed) N
Partisipasi tambak
Correlation Coefficient
mangrove tahap
Sig. (2-tailed)
pelaksanaan
N
Persepsi
tambak
mengenai
mangrove
fungsi ekologi
tahap
mangrove
pelaksanaan
1,000
-,124
.
,307
70
70
-,124
1,000
,307
.
70
70
113
Partisipasi
Spearman's rho
Persepsi mengenai fungsi
Correlation Coefficient
ekologi mangrove
Sig. (2-tailed)
Persepsi
tambak
mengenai
mangrove
fungsi ekologi
tahap
mangrove
monitoring
1,000
-,271(*)
.
,023
N Partisipasi tambak
Correlation Coefficient
mangrove tahap
Sig. (2-tailed)
monitoring
N
70
70
-,271(*)
1,000
,023
.
70
70
Partisipasi tambak
Spearman's rho
Persepsi mengenai fungsi
Correlation Coefficient
ekologi mangrove
Sig. (2-tailed)
Persepsi
mangrove
mengenai
tahap
fungsi ekologi
menikmati
mangrove
hasil
1,000
-,097
.
,424
70
70
-,097
1,000
,424
.
70
70
N Partisipasi tambak
Correlation Coefficient
mangrove tahap
Sig. (2-tailed)
menikmati hasil
N
Persepsi mengenai fungsi sosialekonomi mangrove Spearman's rho
Partisipasi tambak mangrove tahap perencanaan
Persepsi mengenai fungsi sosial-ekonomi mangrove
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
1,000 .
-,097 ,423
N
Partisipasi tambak mangrove tahap perencanaan
Correlation Coefficient
70 -,097
70 1,000
,423
.
70
70
Sig. (2-tailed) N
114
Spearman's rho
Spearman's rho
Persepsi
Partisipasi
mengenai
tambak
fungsi sosial-
mangrove
ekonomi
tahap
mangrove
pelaksanaan
Persepsi mengenai
Correlation Coefficient
1,000
,081
fungsi sosial-ekonomi
Sig. (2-tailed)
.
,507
mangrove
N
70
70
Partisipasi tambak
Correlation Coefficient
,081
1,000
mangrove tahap
Sig. (2-tailed)
,507
.
pelaksanaan
N
70
70
Persepsi
Partisipasi
mengenai
tambak
fungsi sosial-
mangrove
ekonomi
tahap
mangrove
monitoring
Persepsi mengenai
Correlation Coefficient
1,000
,062
fungsi sosial-ekonomi
Sig. (2-tailed)
.
,610
mangrove
N
70
70
Partisipasi tambak
Correlation Coefficient
,062
1,000
mangrove tahap
Sig. (2-tailed)
,610
.
monitoring
N
70
70
Partisipasi
Spearman's rho
Persepsi
tambak
mengenai
mangrove
fungsi sosial-
tahap
ekonomi
menikmati
mangrove
hasil
Persepsi mengenai
Correlation Coefficient
1,000
,181
fungsi sosial-ekonomi
Sig. (2-tailed)
.
,134
mangrove
N
70
70
Partisipasi tambak
Correlation Coefficient
,181
1,000
mangrove tahap
Sig. (2-tailed)
,134
.
menikmati hasil
N
70
70
115
Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian
Kondisi Jalan Desa Sedari
Rumah Tempat Tinggal Peneliti
Tambak-Mangrove
Tambak-Mangrove
Tambak-Mangrove
Hama Bakau Muda (Laba- laba)
Responden Mengisi Kuesioner
Peneliti Menanyakan Kuesioner
116
Peneliti Bersama Ketua LMDH
Gerbang Hutan Wisata
Peneliti Bersama Pengurus LMDH
Tempat Persemaian
Bagian Dalam Hutan Wisata
Bakalan Bibit Bakau
Bedeng Persemaian
Mantri Persemaian Perhutani
Lampiran 4. Peta Lokasi Penelitian
Sumber: http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&biw=1024&bih=447&q=googlemap +karawang&aq=f&aqi=&aql=&oq=&gs_rfai=&fp=4288df0e2cb2cdab