Bab 2
Persamaan Schrödinger dalam Matriks dan Uraian Fungsi Basis 2.1
Matriks Hamiltonian dan Fungsi Basis
Tingkat-tingkat energi yang diizinkan untuk sebuah elektron dalam pengaruh operator ˆ dapat ditentukan dari pemecahan persamaan Schrödinger yang sesuai. Hamiltonian H Persamaan Schrödinger tak bergantung waktu untuk sebuah fungsi keadaan Φα diberikan oleh ˆ α = Eα Φα . HΦ
(2.1)
Persamaan tersebut boleh dipecahkan dalam bentuk persamaan matriks dengan mencari ˆ Fungsi gelombang Φα kemudian dinyatakan sebagai nilai eigen representasi matriks H. kombinasi linear dari himpunan M buah fungsi basis {um }: M X
Φα (~r) =
(2.2)
cm um (~r),
m=1
dengan cm sebagai koefisien setiap basis. Fungsi basis di sini merupakan vektor kolom dengan koefisien ekspansi sebagai elemen-elemennya: Φ(~r) → {c1
c2
...
...
cM }T .
Jika seluruh basis um (~r) dipilih sedemikian rupa sehingga bentuknya menyerupai fungsi gelombang Φα , maka ukuran matriks Hamiltonian [H] dan waktu komputasinya dapat direduksi secara signifikan. Substitusikan ekspansi Φα ke dalam persamaan Schrödinger: ˆ H
X
cm um (~r) = E
m
X m
3
cm um (~r),
2.2. CONTOH APLIKASI PADA MOLEKUL HIDROGEN
4
kalikan dengan u∗n (~r) dan integrasikan kedua ruas untuk seluruh r: " # " # Z Z X X ˆ u∗ (~r) H cm um (~r) d~r = u∗ (~r) E cm um (~r) d~r n
n
m
m
X
Hnm cm = E
X
Snm cm ,
(2.3)
m
m
dengan Z
ˆ m (~r)d~r = Hnm , u∗n (~r)Hu Z u∗n (~r)um (~r)d~r = Snm .
Pers. (2.3) kemudian dapat dituliskan dalam bentuk persamaan matriks: (2.4)
[H]{φ} = E[S]{φ},
dengan elemen matriks [H] diberikan oleh Hnm , elemen [S] oleh Snm , dan elemen {φ} oleh cm . Dalam pemilihannya, fungsi basis boleh dibuat ortogonal sehingga Snm = δnm , yaitu [S] menjadi matriks identitas. Pemilihan ini tentunya tergantung kebutuhan apakah memudahkan atau tidak.
2.2
Contoh Aplikasi pada Molekul Hidrogen
Dengan menggunakan rumusan fungsi basis, tingkat energi yang terbentuk antaratom yang memiliki elektronegativitas sama, misalnya gas hidrogen (H2 ), dapat diturunkan secara analitik. Misalkan ada dua fungsi basis nonortogonal yang akan digunakan: uN (~r) dan uN 0 (~r), masing-masing berkaitan dengan orbital 1s dari atom hidrogen kiri dan kanan pada gambar 2.1. Secara numerik, pilihan basis molekul hidrogen seperti itu memungkinkan untuk merepresentasikan matriks Hamiltonian berukuran 2 × 2, bukan (misalnya) 1000 × 1000
uN r
u N ' r
+
+ UN'
UN R
Gambar 2.1 Pemilihan fungsi basis untuk molekul hidrogen, yaitu orbital-orbital atom 1s [8]. Ditunjukkan pula sketsa potensial akibat dua inti positif.
2.2. CONTOH APLIKASI PADA MOLEKUL HIDROGEN
5
dengan metode konvensional seperti beda hingga. Seandainya akurasi metode ingin dipermasalahkan, sebenarnya tidak akan ada perbedaan berarti karena matriks yang berukuran 1000 × 1000 itu pun nantinya tereduksi jadi 2 × 2. Parameter yang berbeda di sini adalah kecepatan perhitungan, pemilihan fungsi basis yang tepat akan menghasilkan perhitungan yang cepat [7]. Anggap interaksi antarelektron diabaikan, sehingga operator Hamiltonian hanya berasal dari interaksi inti dan elektron, yaitu 2 ˆ = − ~ ∇2 + UN (~r) + UN 0 (~r). H 2m
Kedua fungsi basis yang dipilih memenuhi ~2 2 − ∇ + UN (~r) uN (~r) = E0 uN (~r), 2m ~2 2 ∇ + UN 0 (~r) uN 0 (~r) = E0 uN 0 (~r), − 2m
(2.5)
(2.6) (2.7)
serta fungsi gelombang Φ(~r) dituliskan sebagai Φ(~r) = cN uN (~r) + cN 0 uN 0 (~r).
(2.8)
Persamaan Schrödinger dalam bentuk matriks untuk sistem ini akan menjadi " [H]
cN
#
" = E[S]
cN 0
cN cN 0
# .
(2.9)
Jika uN (~r) dan uN 0 dianggap ternormalisasi (meski tidak ortogonal), maka matriks [S] dapat dituliskan [S] = dengan s =
R
u∗N (~r)uN 0 (~r)d~r =
R
" # 1 s s 1
(2.10)
,
u∗N 0 (~r)uN (~r)d~r.
Untuk matriks Hamiltonian, " [H] =
H11 H12 H21 H22
# ,
2.2. CONTOH APLIKASI PADA MOLEKUL HIDROGEN
6
komponen-komponennya adalah: Z ˆ N 0 d~r H11 = u∗N Hu Z = u∗N [E0 uN + UN 0 uN ]d~r Z = E0 + a, (a = u∗N UN 0 uN d~r) H22 = H11 = E0 + a Z ˆ N d~r H21 = u∗N 0 Hu Z = u∗N 0 [E0 uN + UN 0 uN ]d~r Z = E0 s + b, (b = u∗N 0 UN 0 uN d~r) H12 = H21 = E0 s + b, sehingga " H=
E0 + a
# E0 s + b
E0 s + b
E0 + a
.
(2.11)
Untuk menyederhanakan, misalkan lagi A = E0 + a dan B = E0 s + b, lalu inversikan persamaan matriks [H]{φ} = E[S]{φ}: " E
cN cN 0
# =
" #−1 " #" # 1 s A B cN s 1 "
B A cN 0 #" #" # 1 −s A B cN
1 1 − s2 −s 1 B A cN 0 " #" # A − sB B − sA cN 1 . = 1 − s2 B − sA A − sB cN 0 =
Dari persamaan terakhir ini didapatkan dua nilai eigen dan vektor eigen yang berkaitan. Nilai eigen yang lebih rendah adalah bonding level: EB = E0 +
a+b , 1+s
sedangkan nilai eigen yang lebih tinggi adalah antibonding level: EA = E0 +
a−b . 1−s
Integral a, b, dan s dapat dihitung secara analitik maupun numerik dan hasilnya sudah diberikan di banyak referensi [8]. Meskipun hanya digunakan dua fungsi basis,
2.2. CONTOH APLIKASI PADA MOLEKUL HIDROGEN
7
tetapi itu sudah cukup karena ikatan pada hidrogen didominasi kombinasi orbital 1s. Secara formal, jika diberi " [S]−1 [H] =
E1
O
O
E2
# ,
dan elemen O << |E1 − E2 |, maka pengaruh basis-basis selain 1s tidak begitu signifikan untuk molekul hidrogen. Aturan ini juga dapat digeneralisasi untuk pemilihan fungsi basis pada molekul lain. Kedua elektron dari dua atom hidrogen kemudian memilih menempati energi EB yang lebih rendah. Kerapatan elektron dapat dihitung dari 2|ΦB0 |2 , yaitu dengan mensubstitusikan dulu vektor eigen yang terkait dengan EB ke dalam fungsi gelombang (2.8)∗ : ΦB0 = √
1 [uN (~r) + uN 0 (~r)] , Cnorm
(2.12)
dengan Cnorm = 2(1 + s) adalah konstanta normalisasi.
Gambar 2.2 Kerapatan elektron di sumbu yang menghubungkan dua atom hidrogen dalam molekul. ∗
Faktor pengali 2 untuk perhitungan kerapatan elektron muncul dari spin-nya. Fungsi gelombang ini
merupakan fungsi gelombang spasial yang tidak memperhitungkan spin. Dengan demikian, dua elektron dengan spin berbeda bisa memiliki fungsi gelombang spasial yang sama.
2.3. FORMALISME DALAM RUANG HILBERT
2.3
8
Formalisme dalam Ruang Hilbert
Perumusan fungsi gelombang dalam fungsi basis X Φ(~r) = cm um (~r) m
analog dengan vektor dalam ruang 3D yang dituliskan sebagai kombinasi linear vektor satuan. Misalnya dalam koordinat kartesian: ˆ ~ = Vxˆi + Vy ˆj + Vz k. V Sementara untuk Φ(~r): Φ(~r) = c1 u1 + c2 u2 + c3 u3 + . . . ,
(2.13)
ini dapat dipandang sebagai ruang dengan dimensi yang lebih tinggi (menuju tak hingga). Jenis ruang ini sering disebut sebagai ruang Hilbert. Salah satu operasi mendasar untuk seluruh jenis ruang vektor adalah perkalian titik (atau perkalian skalar). Untuk dua vektor ~a dan ~b dalam koordinat kartesian 3D diketahui bentuk perkalian skalarnya adalah ~a · ~b = ax bx + ay by + az bz , sedangkan dalam ruang Hilbert, perkalian titik dua fungsi f (~r) dan g(~r) didefinisikan sebagai integral irisan keduanya: Z hf |gi =
f ∗ (~r)g(~r)d~r.
(2.14)
Notasi h. . . | . . .i merupakan notasi “bra” dan “ket” yang diberikan oleh Dirac. Dalam notasi tersebut, fungsi gelombang Φ(~r) dipandang sebagai vektor keadaan “ket” yang diekspansi dari “ket basis” |mi, yaitu notasi untuk um (~r), atau X |Φi = φm |mi.
(2.15)
m
Basis-basis yang dipilih dapat memiliki sifat ortogonal satu sama lain. Dalam ruang vektor biasa, dua buah vektor dikatakan ortogonal jika ~a · ~b = 0, sedangkan dalam ruang Hilbert, dua fungsi basis bersifat ortogonal jika Z hf |gi = f ∗ (~r)g(~r)d~r = 0.
(2.16)
Rumusan yang lebih umum diperoleh dengan menggunakan delta Kronecker untuk fungsi-fungsi basis yang ternormalisasi Z hn|mi = u∗n (~r)um (~r)d~r = δnm .
(2.17)
2.3. FORMALISME DALAM RUANG HILBERT
9
Misalkan fungsi basis yang dipilih tidak ortogonal, maka hn|mi = Snm ,
(2.18)
dengan Snm adalah elemen matriks [S]. Jika fungsi basis demikian ingin diubah menjadi fungsi basis yang ortogonal, maka dapat digunakan rumusan u ˜i (~r) =
X
[S −1/2 ]ni un (~r).
(2.19)
n
u ˜i (~r) merupakan himpunan fungsi yang ortogonal. Sekarang andaikan fungsi gelombang telah diuraikan dalam fungsi basis tertentu. Fungsi basis tersebut dapat ditransformasi ke dalam himpunan fungsi basis lain dengan cara Φ(~r) =
X
cm um (~r) → Φ(~r) =
X
m
c0i u0i (~r).
(2.20)
i
Transformasi tersebut dapat dideskripsikan oleh sebuah matriks transformasi [C] yang diperoleh dengan cara menuliskan basis baru dalam suku-suku basis lama: u0i (~r) =
X
Cmi um (~r).
(2.21)
m
Dari pers. (2.20) dan (2.21), cm =
X
Cmi c0i ,
(2.22)
i
atau lebih memudahkan dalam notasi matriks: {φ} = [C]{φ0 }
(2.23)
Lebih umum, sembarang matriks [A0 ] dalam representasi baru dapat dihubungkan dengan matriks [A] dalam representasi yang lama oleh A0ji =
XX j
∗ Cnj Anm Cmi → [A0 ] = [C]+ [A][C],
(2.24)
i
dengan [C]+ merupakan transpos dari matriks yang berisi konjugat kompleks dari elemenelemen [C]. Ada pula jenis transformasi khusus yang menjaga “besar” (norm) dari sebuah vektor keadaan, yaitu X m
c∗m cm =
X
0 + 0 + 0 c0∗ i ci → {φ} {φ} = {φ } {φ }.
i
Substitusikan {φ} dari pers. (2.23) ke dalam persamaan tersebut: {φ0 }+ [C]+ [C]{φ0 } = {φ0 }+ {φ0 } → [C]+ [C] = I.
(2.25)
2.3. FORMALISME DALAM RUANG HILBERT
10
Matriks [C] yang memenuhi kondisi ini merupakan matriks uniter, atau [C]+ = [C]−1 ,
(2.26)
dan transformasinya disebut sebagai transformasi uniter. Formalisme terakhir, untuk menjamin sebuah besaran bersifat riil, maka operator yang terkait dengan besaran tersebut haruslah operator Hermitian. Sifat operator Hermitian dinyatakan oleh [A] = [A]+ ⇒ Amn = A∗nm .
(2.27)
Sebagai contoh, misalkan Aˆ merupakan sebuah fungsi seperti U (~r), maka operator tersebut akan Hermitian selama nilainya riil (demikian pula sebaliknya): Z ∗ ∗ ∗ [U ]mn = um (~r)U (~r)un (~r)d~r = [U ]nm .
(2.28)