PERLAKUAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH PADA KAPAL PESIAR ASING
ANGGITA FEBRIA DAN ACHMAD LUTFI IlmuAdministrasi Fiskal,Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,
[email protected]
Abstrak. Skripsi ini membahas tentang perlakuan perpajakan (pajak daerah dan retribusi daerah) atas kapal pesiar asing. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah apa saja yang dikenakan pada kapal pesiar asing jika ditinjau dari konsep otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, serta mengeksplorasi faktor penghambat yang menyebabkan kapal pesiar asing tidak dapat dikenakan pajak daerah. Dari konsep otonomi daerah dan desentralisasi fiskal inilah, penulis dapat mengetahui justifikasi pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah atas alat transportasi asing, dan menganalisis kemungkinan-kemungkinan pajak/retribusi yang dapat dikenakan guna meningkatkan penerimaan daerah.
Kata Kunci: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Kapal Pesiar Asing Local Tax and Levies Treatment on Foreign Cruise Ships . Abstract. This undergraduated thesis discusses the tax treatment (local taxes and levies) on foreign cruise ships. This study aims to explore the types of local taxes and levies imposed on any foreign cruise ships when viewed from the concept of regional autonomy and fiscal decentralization, as well as explore the inhibiting factors that lead to foreign cruise ships can not be subject to local taxes. From the concept of regional autonomy and fiscal decentralization, the authors can find the justification for the imposition of local taxes and levies on foreign transport, and analyze the possibilities of taxes / levies that may be imposed in order to increase local revenues.
Key words: Local Tax, Levies, Foreign Cruise Ships.
Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
1.
Pendahuluan Dalam pasal 1 UU. No 32 tahun 2004, dituliskan yang dimaksud dengan otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai aturan perundangundangan. Selanjutnya disebutkan dalam undang-undang tersebut tujuan dilakukannya otonomi daerah antara lain ; untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Pemerintah daerah dianggap sebagai badan eksekutif yang paling dekat hubungannya dengan masyarakat dibandingkan pemerintah pusat, selain itu pemerintah daerah juga jauh lebih memahami kebutuhan masyarakat di daerahnya serta potensi-potensi yang dapat digali untuk meningkatkan penerimaan daerah. Meskipun dalam suatu kebijakan selalu terdapat pro dan kontra namun, peningkatan penerimaan daerah melalui otonomi daerah diharapkan mampu berjalan efektif yang nantinya bisa mewujudkan tujuan dari otonomi daerah itu sendiri secara penuh. Secara garis besar sumber pendapatan daerah dapat dibedakan menjadi dua sumber, yaitu pendapatan yang diterima daerah dari sumber-sumber di luar pemerintah daerah (external source) dan pendapatan yang diperoleh dan digali sendiri oleh pemerintah daerah dari wilayah yurisdiksinya (local source). Pendapatan daerah yang berasal dari local source antara lain termasuk pajak daerah, retribusi daerah dan hasil-hasil badan usaha yang dimiliki oleh daerah (Riduansyah,2003,p.50). Sumber pendapatan daerah tersebut harus dapat dioptimalisasikan oleh pemerintah daerah seiring dengan semakin tingginya tuntutan kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Otonomi daerah secara tidak langsung menuntut pemerintah daerah untuk bekerja keras, karena sebagian kewenangan yang selama ini dikelola oleh pusat dilimpahkan ke daerah, yang berarti terdapat tanggung jawab yang lebih besar. Pajak dan retribusi merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD, meskipun begitu kebijakan pungutan pajak yang berdasarkan peraturan daerah harus diupayakan agar tidak berbenturan dengan pungutan pusat( www.gunadarma.ac.id). Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menjadi salah satu kontributor dalam PAD, kembali diperkuat dengan dikeluarkannya undang-undang no. 28 tahun 2009. Undang-ndang ini daharapkan dapat menyempurnakan sistem pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dengan isu pemberian kewenangan kepada daerah dalam bidang perpajakan ( local taxing empowerment ). Penguatan local taxing power dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah, memperluas basis pajak daerah dan Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
retribusi daerah yang sudah ada, mengalihkan beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah, dan memberikan diskresi kepada daerah untuk menetapkan tarif. Dengan adanya prinsip local taxing empowerment ini, pemerintah daerah harus mampu mengoptimalisasikan sumber daya daerah baik dari sektor pariwisata, pertambangan, ataupun sektor-sektor lain yang menjadi ciri khas daerah tersebut. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar yang dikelilingi oleh banyak laut, sehingga banyak daerah yang menonjolkan sektor pariwisata nya termasuk salah satunya pariwisata laut. Secara fisik, Indonesia mempunyai panjang garis pantai mencapai 81.000 kilometer dengan jumlah pulau mencapai lebih dari 17.500 pulau,luas daratan 1,9 juta kilometer persegi, sementara luas perairan 3,1 juta kilometer persegi ( kompasiana.com). Keindahan laut Indonesia sudah tidak asing lagi bagi wisatawan asing. Bali merupakan salah satu contoh pulau yang sering didatangi oleh wisatawan asing untuk menikmati pariwata laut di Indonesia. Wisatawan asing yang datang ke Indonesia merupakan salah satu cara untuk mendatangkan devisa negara, termasuk meningkatkan pendapatan daerah. Di sini peran pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah dari sektor pariwisata terutama dengan kedatangan para wisatawan asing sangat dituntut. Salah satu sektor pariwisata yang sedang ingin digalakkan oleh pemerintah pusat adalah sektor pelayaran yaitu industri kapal pesiar. Dalam Buku Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi di Indonesia, industri kapal pesiar menjadi salah satu terobosan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi indonesia (MASTER PLAN, Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 – 2025 Republik Indonesia h. 145). Pemerintah pusat sudah memetakan industri kapal pesiar baik kapal pesiar dalam negeri maupun kapal pesiar (wisata) asing sebagai salah satu instrumen peningkatan ekonomi. Pemerintah melihat potensi kelautan indonesia yang sangat besar apalagi sektor pariwisata nya akan mengundang banyak wisatawan sehingga kapal pesiar ini bisa menjadi salah satu alternatif transportasi yang diandalkan. Singapura, Malaysia dan Thailand, sudah jauh lebih dulu menggalakan kapal pesiar dibandingkan Indonesia. Pada tanggal 30 Oktober 2011 terbit Peraturan Presiden Nomor 79 tahun 2011 tentang kunjungan kapal wisata (pesiar) asing ke Indonesia. "Perpres ini ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi yacht asing berkunjung ke Indonesia," kata Deputi Bidang Koordinasi Industri dan Perdagangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Edy Putra Irawadi Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
di Jakarta“ (www.antaranews.com). Peraturan presiden ini memberikan kemudahan bagi kapal wisata asing ( yacht ) dalam bidang Cleareance and Approval for Indonesian Territory (CAIT), kepelabuhanan, kepabeanan, keimigrasian dan karantina. Kemudahan tersebut dapat diperoleh kapal wisata asing apabila melakukan kunjungan ke Indonesia melalui pelabuhan tertentu, ( www.nasional.kontan.co.id) Dengan melalui 18 titik pelabuhan tertentu kapal wisata asing akan mendapatkan insentif, yang sebelumnya menjadi salah satu alasan banyak kapal yang enggan datang ke Indonesia karena proses birokrasi yang menyulitkan salah satunya dalam mengurus CAIT. Menurut Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sapta Nirwandar, industri tersebut berhasil menyumbang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp80 triliun pada 2011 (bisnis.vivanews.com). Pada tahun 2012 ini, sudah 36 kapal pesiar yang menyatakan akan datang ke indonesia sebanyak 213 kali (bisnis.vivanews.com). Sepanjang tahun 2010 total kapal pesiar yang ditangani oleh Pelindo (Pelayaran Indonesia) III, diakui, mencapai 53 kapal dengan wisatawan mancanegara sejumlah 27.882 orang. Rinciannya pelabuhan Benoa 28 kapal dengan 13.683 wisatawan, Tanjung Emas 14 kapal dengan 7.351 wisatawan,8 kapal dengan 5.939 wisatawan, Probolinggo 2 kapal dengan 159 wisatawan, dan Tanjung Perak 1 kapal dengan 750 wisatawan (jatim.vivanews.com). Dengan dipermudahnya kapal wisata asing ini masuk ke Indonesia diharapkan akan jauh lebih banyak menarik minat kunjungan wisatawan pada tahun 2012. Bukti lain yang juga memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam menyikapi kedatangan kapal pesiar asing ini adalah dengan dibenahinya 10 pelabuhan yang tersebar di Indonesia agar bisa disinggahi kapal pesiar, mulai dari pengerukan hingga pembenahan infrastruktur dan dibentuknya suatu tim khusus dari kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif serta Kementrian Perhubungan (Harian Kompas, 11 juni 2012 p. 18). Sebelumnya Indonesia merupakan salah satu destinasi wisata dari para pelancong yang berlayar baik menggunakan yacht ataupun kapal pesiar besar (cruise). Tidak hanya menerbitkan peraturan terkait kemudahan CAIT serta membenahi infrastruktur pelabuhan pemerintah juga menggalakan promosi wisata untuk menarik wisatawan mancanegara, salah satunya yang baru-baru ini dilakukan di Sulawesi Utara yaitu acara Sail Bunaken 2012. Kapal wisata atau kapal pesiar itu sendiri merupakan kapal khusus yang tidak hanya berfungsi sebagai salah alat transportasi namun juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas hiburan yang dapat dinikmati para penumpangnya selama berada di perjalanan. Selain itu Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
penginapan yang disediakan juga didesain dengan sangat mewah setara suites yang ada di hotel bintang lima, dimana didalamnya terdapat fasilitas
ruang tamu dan tempat tidur,
balkon, dll ( www.seabourn.com). Kapal dengan fasilitas mewah seperti yang dijelaskan diatas, pada saat akan merapat juga tetap harus melalui pelabuhan. Pelabuhan sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayaran memiliki peranan yang penting. Di pelabuhan kapal kepemilikan asing ini melakukan berbagai aktivitas yang dilakukan kapal pada umumnya saat merapat seperti buang sauh, melakukan aktivitas loading barang, ataupun aktivitas lain yang diperlukan. Pada saat melakukan aktivitas di pelabuhan inilah, secara tidak langsung kapal pesiar asing ini telah memasuki kawasan yurisdiksi pemajakan Indonesia, meskipun berstatus kapal kepemilikan asing selama ada peraturan terkait yang mengatur tentang kapal pesiar asing ini saat berada di pelabuhan maka kapal pesiar ini tetap harus tunduk dengan peraturan yang berlaku. Selama ini pengenaan pajak di kapal pesiar yang dipraktikkan hampir seluruh industri kapal pesiar dunia adalah pajak pertambahan nilai atas pembelian tiket kapal pesiar yang dikenakan pada penumpang kapal pesiar. Salah satunya perusahaan Taormina Moorings yang mengelola yachthotel di Italia mengenakan pajak pertambahan nilai ( value added tax ) pada biaya sewa ( www.yachthotel.it). Pengenaan pajak pada dasarnya tergantung dengan kebijakan perpajakan negara masing-masing, namun sebagai salah satu negara tujuan destinasi wisata Indonesia dan pemerintah daerah setempat juga berhak untuk menentukan kebijakannya sendiri. Kapal pesiar berkunjung dan bersandar di pelabuhan, melakukan berbagai aktivitas di wilayah yurisdiksi pemajakan Indonesia, secara hukum pemerintah pusat maupun daerah mempunyai hak untuk menentukan apakah kapal pesiar tersebut dapat dijadikan objek pajak atau tidak, meskipun peraturan yang dibuat tetap harus sesuai dengan konsep pajak daerah itu sendiri dan tidak menyalahi aturan. Salah satu kemungkinan pengenaan pajak daerah atas objek pajak kapal pesiar asing antara lain pengenaan pajak hotel. Pengertian hotel pada UU. No. 28 tahun 2009, didefinisikan sebagai fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya yang dipungut bayaran, yang mencakup juga motel,losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jenis kamar lebih dari 10 (sepuluh). Dilihat dari definisi tersebut maka, hotel yang terdapat di dalam kapal pesiar bisa dikatakan hotel seperti yang diungkapkan dalam undang-undang. Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
Selain itu Hotel didalam kapal pesiar ini pun tidak termasuk dalam non-objek pajak hotel seperti yang tercantum pada Pasal 32 ayat (3) UU. No 28 tahun 2009. Selain itu kegiatan yang dapat dilakukan oleh kapal pesiar pada pelabuhan. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 1996 tercantum berbagai macam hal serta kewajiban apa saja yang harus dilakukan terkait dengan kepelabuhanan, pada UU No. 28 tahun 2009 sendiri salah satu pajak daerah dan retribusi daerah yang terkait dengan pelayaran dan kepelabuhan, antara lain Pajak Kendaraan di Atas Air, ada juga retribusi kepelabuhanan, retribusi izin trayek dll. Semua peraturan tersebut mengatur tentang pelayaran di Indonesia. Dari peraturan-peraturan yang ada dan meningkatnya kunjungan kapal pesiar asing yang datang ke Indonesia, peneliti tertarik untuk mengkaji tentang perlakuan pajak daerah dan retribusi daerah atas kapal pesiar asing. 2.
Tinjauan Teoritis
Pajak Daerah & Retribusi Daerah Wewenang mengenakan pajak atas penduduk setempat untuk membiayai layanan masyarakat merupakan unsur yang penting dalam setiap sistem pemerintah daerah ( Devas at all, 1989, p.58). Untuk dapat membiayai dan memajukan daerah tersebut, antara lain dapat ditempuh suatu kebijaksanaan yang mewajibkan setiap orang untuk membayar pajak sesuai dengan kewajibannya (Mardiasmo, 1991, p.50). Pajak daerah merupakan salah satu elemen penting dalam penerimaan daerah yang sangat mendukung stabilitas perekonomian, sejak diberlakukannya otonomi daerah.
Menurut Panca Kurniawan & Agus Purwanto, pajak
daerah merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota yang berguna untuk menunjang penerimaan pendapatan asli daerah dan hasil penerimaan tersebut masuk kedalam APBD (Kurniawan, 2004, p.47) . Penerimaan pemerintah daerah selain dari pajak daerah dan bagi hasil pajak pusat yang diperuntukkan ke pemerintah daerah berasal dari retribusi daerah (Panca Kurniawan, 2005: p.145). Menurut Suparmoko (2000,p. 94) retribusi secara konsepsional adalah suatu pembayaran dari rakyat kepada pemerintah dimana kita dapat melihat adanya hubungan balas jasa yang langsung diterima dengan adanya pembayaran retribusi tersebut. Retribusi daerah digolongkan ke dalam tiga jenis sesuai dengan karakteristik objek retribusi atas pelayanan yang diberikan pemerintah daerah, yaitu sebagai berikut (Zorn, 1991,p.138) : 1. Utility Charges (retribusi jasa usaha), yaitu biaya yang dibebankan pada masyarakat yang menggunakan barang-barang publik tertentu yang disediakan pemerintah,
Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
bertujuan untuk membatasi penggunaan masyarakat akan konsumsi barang publik tertentu sehingga dapat mencegah terjadinya kelangkaan (scarecity) 2.User charges and fees ( retribusi jasa umum) , yaitu biaya yang dibebankan kepada masyarakat yang menikmati barang atau jasa yang disediakan pemerintah dan menunjukkan karakteristik barang publik. Besarnya biaya retribusi tidak sepenuhnya dibebankan kepada pengguna, melainkan ada subsidi dari pemerintah 3.License and permit fees ( retribusi perizinan tertentu ) , yaitu biaya yang dibebankan pemerintah kepada masyarakat terkait dengan pemberian izin tertentu yang penerimaannya digunakan untuk mengurangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut. Besarnya biaya retribusi yang dibebankan kepada konsumen menutupi biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan pelayanan (full cost). Desentralisasi Fiskal Salah
satu
penanda
otonomi
daerah
adalah
dengan
adanya
konsep
desentralisasi.Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah mulai berlangsung (Chalid&Peni,2005 p.1). Desentralisasi adalah fungsi pemerintahan tertentu dan kekuasaan mengambil keputusan tertentu yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah yang mencakup lembaga perwakilan yang dipilih (Devas,1989, p.1). Desentralisasi adalah azas penyelenggaraan pemerintahan yang dipertentangkan dengan sentralisasi. Richard M. Bird mengemukakan bahwa ( Slemrod, 1999, p) : desentralisasi fiskal dapat dimengerti melalui dua pendekatan yaitu pendekatan dari (1). Atas ke bawah, dimana desentralisasi fiskal dilakukan untuk memudahkan pekerjaan pemerintahan pusat sehingga sebagian wewenangnya didelegasikan ke pemerintah daerah, (2). Pendekatan dari bawah ke atas dimana dalam pendekatan ini desentralisasi fiskal ada karena isu politik, yang melibatkan pemerintahan daerah. Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal memiliki dua instrumen pokok, yakni perpajakan (tax policy) dan pengeluaran (expenditure policy) (Anggito abimanyu,2009) .Kebijakan fiskal pada dasarnya merupakan kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. David N. Weil dalam artikelnya “Fiscal Policy : The Concise Encyclopedia of Economics” mengemukakan bahwa kebijakan fiskal mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perekonomian suatu negara, baik pemungutan pajak ataupun pengeluaran yang dikeluarkan Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
oleh pemerintah harus dipertimbangkan dengan baik. Selain itu,kebijakan fiskal merupakan instrumen penting untuk mengatur stabilitas karena kemampuannya yang berpengaruh besar pada supply dan demand (David N. Weil, 2008,par.1).
3.
Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan karena pendekatan ini memiliki tujuan untuk mengembangkan pengetahuan dan berusaha mengembangkan suatu teori atau menemukan suatu pola (Creswell,1994,p.18). Selain itu Moleong juga mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain – lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata – kata dan bahasa dalam suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2006,p.2). Berdasarkan tujuannya penelitian ini termasuk dalam penelitian eksploratif. Penelitian ini dilakukan untuk menggali suatu gejala yang masih baru. Dapat dikatakan bahwa ada suatu fenomena atau gejala yang selama ini belum pernah diketahui atau dirasakan (Bambang Prasteyo & Lina M.Jannah, 2005,p.41-42) . Dengan metode penelitian ini peneliti dapat mengeksplor semua kemungkinan perlakuan pajak daerah dan retribusi daerah atas kapal pesiar asing. 4.
Hasil Penelitian Hasil dari penelitian ini yaitu, (1). Pajak Daerah tidak dapat dikenakan atas kapal
pesiar asing, baik secara konsep maupun secara undang-undang pajak daerah tidak sesuai untuk dikenakan pada kapal pesiar asing, sedangkan retribusi dapat dikenakan pada kapal pesiar asing, selama kapal pesiar asing tersebut menerima pelayanan yang dilakukan oleh pemrintah daerah setempat. (2). Tidak ada faktor yang mendukung pengenaan pajak daerah pada kapal pesiar asing, sedangkan bagi retribusi faktor yang paling mendukung adalah pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah (3). Faktor-faktor yang menghambat pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah akan dipaparkan lebih lanjut pada pembahasan
Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
5.
Pembahasan
Pajak Kendaraan di Atas Pada UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah no. 28 tahun 2009, terdapat jenis Pajak Kendaraan diatas air, sama halnya dengan kendaraan bermotor jenis pajak ini diberlakukan pada kendaraan bermotor yang melintas di wilayah perairan di Indonesia, jika dilihat dari konteks kendaraan bermotor diatas air maka kapal pesiar termasuk kapal pesiar asing bisa menjadi objek pajak. Dengan adanya penambahan objek pajak ini, asumsi peneliti ada kemungkinan penerimaan yang diterima daerah dari penerimaan pajak kendaraan diatas air akan meningkat. Namun, menurut Anang Adik Rasidi Kepala Sinkronisasi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementrian Keuangan, penerimaan dari sektor ini relatif kecil “ kalau konteksnya kontribusi penerimaannya dari pajak kendaraan diatas air relatif kecil, walaupun dilihat dari potensinya lumayan, karena dari segi administrasinya juga susah, pengawasannya juga susah, kan pemerintah tidak hanya sekedar memberikan ijin , pemerintah juga harus menginspeksi bagaimana kelayakan kendaraan bermotor tersebut, biaya yang ditimbulkan akan cukup besar, terkait itu makannya kenapa daerah cenderung malas untuk mengoptimalkan PKB diatas airnya karena biaya operasionalnya cenderung tinggi ” (wawancara dengan Anang Adik R., 9 Mei 2012). Menurut narasumber high cost collection ini timbul karena kawasan perairan Indonesia yang sangat luas dan masih kurangnya sumber daya manusia untuk mengawasi kawasan ini. Dibandingkan dengan kendaraan yang berada di darat, kendaraan diatas air dalam segi pemajakannya memiliki banyak kelemahan. Pertama, di darat fiskus dapat bekerjasama dengan kepolisian untuk pengawasan, samsat untuk perpanjangan STNK, pembayaran PKB dll, sedangkan di laut fiskus tidak bekerjasama dengan marinir/angkatan laut, fungsi pengawasan marinir hanya sebatas mengawasi kapal-kapal asing yang dicurigai akan mengambil kekayaan alam Indonesia secara ilegal atau pelanggaran lain,namun tidak dalam hal pemajakan, oleh karena itu pengawasannya tentu lebih mudah di darat dibandingkan di laut. Kedua, perairan di Indonesia sangat luas dan trayek kapal-kapal yang lalu lalang tidak seperti transportasi publik di darat yang mempunyai jalur tetap, jika pengawasan ingin dilakukan secara maksimal maka di setiap titik lalu lalang kapal harus didirikan pos-pos tertentu. Pendirian pos-pos tersebut juga tidak dapat berjalan sendiri harus ada SDM yang mengelola, dengan kata lain pendirian pos-pos tersebut dan pengadaan SDM akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Meskipun peneliti tidak mendapatkan data biaya Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
operasional yang dikeluarkan untuk memungut pajak kendaraan diatas air secara eksplisit, namun dari dua alasan diatas peneliti cukup sepakat dengan pendapat narasumber mengenai pengenaan pajak atas kendaraan di atas air menimbulkan high cost collection, narasumber tersebut juga mengungkapkan jika penerimaan yang didapat dari jenis pajak ini dirasa tidak signifikan Pengaturan tentang Pajak Kendaraan diatas Air ini jika dikaitkan dengan kapal pesiar asing menurut Anang Adik R. tidak dapat dikenakan, selain karena memang kepemilikan asing, atas pengenaan pajak kendaraan diatas air ini, hanya diberlakukan pada gross tonase tertentu yaitu antara 5GT-7GT yang biasanya merupakan kapal-kapal kecil. Diluar pengenaan pajak ini hanya untuk kapal bertonase kecil, jika dikaitkan dengan analogi tingkat penerimaan Pajak Kendaraan di atas Air yang diterima provinsi Kalimantan Selatan diatas, maka pemungutan pajak tersebut untuk kapal pesiar terutama asing kemungkinan besar tidak akan optimal, meskipun kedatangan kapal pesiar asing meningkat dari tahun ke tahun namun frekuensinya tentu tidak akan sebanyak kapal lokal yang lalu lalang, sehingga penerimaannya akan relatif lebih kecil dan jika biaya operasional yang timbul atas pemungutan pajak tersebut untuk kapal pesiar asing besar yang timbul adalah inefisiensi pengenaan pajak daerah. Opsi lain yang memungkinkan untuk dikenakan pajak daerah ini atas dasar fungsi regulerend pajak ( alat kontrol ) dan tidak mempedulikan penerimaan yang dihasilkan, tapi pengenaan pajak atas dasar fungsi kontrol ini pun dirasa kurang efisien. Pertama,dalam kasus kapal pesiar kecil (yacht) kontrol sudah dilakukan dalam prosedur impor sementara sesuai dengan peraturan DJBC P-10/BC/2007, namun prosedur impor sementara tersebut tidak berlaku bagi kapal pesiar besar. Kedua, dalam pasal 33 Peraturan Pemerintah No 20 tahun 2010 tentang angkutan di perairan,dijelaskan bahwa kapal pesiar asing milik pribadi atau non-pribadi dapat menunjuk kedutaan besar negara yang bersangkutan atau perusahaan nasional keagenan kapal/perusahaan angkutan laut nasional untuk mengurus kepentingan kapalnya selama berada di perairan Indonesia. Fungsi kontrol untuk kapal pesiar besar, dapat dilakukan melalui perusahaan agen/duta besar negara bersangkutan, sehingga baik dari segi penerimaan pajak ataupun fungsi regulerend pengenaan Pajak Kendaraan di atas Air tidak tepat untuk diberlakukan bagi kapal pesiar asing.
Pajak Hotel
Pajak daerah lain yang menjadi sorotan peneliti dapat dikenakan pada kapal pesiar asing adalah pajak hotel, dimana peneliti melihat ada sedikit perluasan definisi hotel pada UU Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
No.28 tahun 2009 jika dibandingkan dengan UU No.34 th.2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Pada undang-undang sebelumnya hotel benar-benar dijelaskan sebagai suatu bentuk bangunan, sedangkan pada undang-undang yang terbaru hotel didefinisikan lebih fokus kepada ‘fasilitas’ yang diberikan, dengan kata lain pengertian yang diberikan pada undang-undang terbaru memberikan perluasan objek. Dari perluasan objek pajak hotel ini yang menjadi dasar pertimbangan peneliti memasukkan pajak hotel sebagai salah satu jenis pajak yang dapat dikenakan pada kapal pesiar, dimana fasilitas yang ada di kapal pesiar besar sudah setara dengan fasilitas hotel dan pada saat bersandar di pelabuhan Indonesia fasilitas tersebut digunakan oleh para penumpang kapal pesiar. Penumpang kapal pesiar yang mayoritas merupakan warga negara asing, ternyata tidak dikategorikan sebagai wisatawan melainkan pelancong. Perjalanan wisata kapal pesiar yang cukup pendek inilah yang membuat didalam kapal pesiar disediakan semua fasilitas yang dibutuhkan oleh penumpang atau dapat dikatakan sebagai ‘hotel berjalan’. Para penumpang kapal pesiar setelah melakukan perjalanan wisatanya akan segera kembali ke kapal beristirahat dan melakukan berbagai kegiatannya di dalam kapal. Pada umumnya kapal pesiar hanya berada beberapa jam disuatu wilayah namun kenyataannya
dimungkinkan dapat berada lebih dari satu malam tetapi
mereka tidur atau beristirahat di kapal atau kendaraan lain yang mereka gunakan untuk melancong. Peneliti beranggapan ‘hotel berjalan’ ini jika dikaitkan dengan perluasan definisi hotel pada undang-undang dapat masuk sebagai salah satu objek pajak. Sebagai contoh, Kapal Pesiar X bersandar di pelabuhan A pada pagi hari dan mulai berlayar lagi keesokan harinya, maka selama satu hari penuh Kapal Pesiar X tersebut dapat dikategorikan sebagai hotel karena yang dilihat adalah ‘fasilitas’ yang disediakan dan dipergunakan oleh penumpang, bukan bangunannya. Namun, narasumber tidak setuju dengan anggapan peneliti, Menurut Priyono meskipun terjadi perluasan objek atas pengertiannya, namun tidak ada perbedaan yang signifikan “ Sebetulnya tidak berbeda, sama justru dengan adanya undang-undang No.28 ini menjadi lebih luas (perluasan objek).Jika dikenakan pajak hotel itu dispute , karena kembali ke konvensi internasional tadi, jangankan kapalnya, Anak Buah Kapal nya saja setau saya tidak dikenakan fiskal. Kalau mengendapnya diluar 12 mil dari pelabuhan, tidak lagi menjadi kewenangan fiskal, karena kewenangan fiskal maksimal 12 mil dari pelabuhan “ (wawancara dengan Priyono 19 April 2012). Senada dengan apa yang telah diungkapkan oleh narasumber sebelumnya Anang Adik R. juga beranggapan fasilitas hotel yang ada di kapal pesiar bukan merupakan objek pajak Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
hotel “ Tidak bisa, kalau kita bicara tentang pajak hotel kita harus melihat izinnya terlebih dahulu,ijinnya kan jelas, kan terkait dengan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) , peruntukkan bangunannya untuk apa, perdagangan, usaha, bisa dilihat dari ijinnya. Pada prinsipnya ga bisa, secara normatif ga masuk. Toh jika ada pemerinah daerah mau memungut pun itu kan harus ada dasar hukumnya, yaitu Peraturan Daerah ,kalau daerah menerbitkan perda terkait dengan pajak daerah dan retribusi yaitu rancangannya perdanya itu kan harus melalui proses beberapa tahap , dibawa dari DPRD dibawa ke Kemenkeu untuk kemuduan dievaluasi kembali apakah objek yang diatur dengan perda tersebut sesuai dengan UU No. 28 atau tidak bertentangan atau tidak “. Dari pendapat narasumber, peneliti menggarisbawahi faktor ‘ijin’ yang harus ada jika ingin dikategorikan sebagai objek pajak hotel, ijin disini bukan hanya ijin transportasi atau ijin wisata melainkan ijin untuk melakukan usaha (usaha hotel). Jika hanya melihat pada segi definisi, maka yang bermain kemudian adalah interpretasi, dimana sebuah kalimat dapat diinterpretasikan secara berbeda-beda. Di luar konsep ‘transportasi’ selama bangunan tersebut memiliki ijin yang merupakan jalan untuk dijadikan objek pajak hotel, maka bangunan tersebut dapat dikenakan pajak hotel, sedangkan kapal pesiar merupakan transportasi dengan fasilitas ‘hotel’ namun tidak memiliki ‘ijin’ untuk melakukan usaha hotelnya maka tidak dapat dikenakan pajak hotel.
Pajak Daerah lainnya Dalam pembahasan diatas, hampir semua narasumber mempertegas bahwa kapal pesiar asing tidak dapat dikenakan pajak daerah, yang dapat terjadi adalah ‘efek tidak langsung’ yang timbul karena kedatangan kapal pesiar asing tersebut. Efek tidak langsung inilah yang telah dijelaskan secara implisit pada pembahasan diatas. Menurut narasumber dari Kemendagri, yang paling mungkin adalah efek tidak langsung terhadap pajak, namun efek langsungnya dirasa agak sulit, meskipun ada tapi tidak signifikan “ Agak sulit ya, karena kapal pesiar. Saya tidak yakin karena dari asas perpajakannya sendiri tidak memenuhi kalau kapal pesiar dikenakan pajak daerah, dari asas sumber, atau dari asas lain. Apalagi banyak sekali, konvensi-konvensi internasional tentang perkapalan, kalau tidak salah mereka sendiri membebaskan kapal-kapal yang masuk-masuk ke seuatu negara. Ketika para wisatawan itu turun mereka tidak lagi dipungut apapun bea masuk atau apa, ketika kita masuk ke suatu negara, kalau melalui udara kan ada passport atau fiskal ” (wawancara dengan Priyono, 19 April 2012).
Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
Pajak daerah tidak dapat dikenakan secara langsung atas kapal pesiar asing, hanya saja banyak efek tidak langsung yang imbasnya dapat dirasakan juga dari segi penerimaan pajak daerah. “ Wisatawan mancanegara yang datang, kemudian turun, beli makanan, bisa dikenakan pajak restoran, mereka menginap di hotel dikenakan pajak hotel, memanfaatkan fasilitas
hiburan yang ada di daerah tersebut, dikenakan pajak hiburan, secara tidak
langsung wisatawan mancanegara tersebut sudah memberikan kontribusi bagi penerimaan daerah. Kalau di kapalnya mungkin..” ( wawancara dengan Priyo, 19 April 2012) Efek tidak langsung ini lebih menjanjikan untuk meningkatkan penerimaan daerah dibandingkan dengan efek langsung ( jika ada pajak daerah tertentu yang dikenakan pada kapal pesiar), seperti grafik dibawah ini :
Grafik 5.3 statistik distribusi pengeluaran wisatawan mancanegara tahun 2011
sumber : data International Visitor Arrival Statistics 2011, BPS dan diolah kembali oleh peneliti Dilihat dari jenis pengeluaran yang dilakukan oleh para wisatawan, maka untuk para penumpang kapal pesiar, pajak daerah yang paling banyak terlibat antara lain untuk makan dan minum (pajak restoran) dan hiburan (pajak hiburan). Tidak hanya dari kapal pesiar besar bahkan dari kapal pesiar kecil (yacht) pun, penerimaanya lebih menjanjikan dari efek tidak langsung dan penerimaan dari bukan pajak, “ Potensi pasar yachter ini sangat luar biasa. Ditaksir lebih dari 8.000 kapal layar yang bergiat per tahunnya di sekitar perairan Indonesia. Paling tidak 30% - 40% sangat berkeinginan untuk berlayar ke perairan Indonesia. Ini berpotensi menghasilkan devisa paling tidak USD 200 juta per tahunnya” (telaahan yacht, kemenparekraf 2009). Dari segi pajak memang tidak akan ada peningkatan, namun peningkatan yang didapat justru dari Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
devisa negara, bahkan jika banyak yachter dan kapal pesiar yang datang, maka akan sangat menguntukan bagi para masyarakat daerah sekitar, pendapatan yang mereka terima nantinya justru juga akan menjadi efek tidak langsung bagi penerimaan pajak daerah yang sebelumnya telah dijelaskan. Pengenaan pajak daerah tidak dapat dipaksakan jika hanya sekedar melihat potensi yang menjanjikan. Indonesia memang memiliki promosi wisata yang bagus, namun jika dilihat dari objek kapal pesiarnya maka jika dikenakan pajak daerah akan menjadi kebijakan yang tidak efisien, selain dikarenakan hasil yang didapat tidak akan optimal, juga ditakutkan akan menghambat promosi wisata Indonesia dan juga dapat menurunkan minat kapal-kapal asing yang ingin bersandar di Indonesia. Pengenaan pajak memang cukup sensitif, jika tidak dilihat fungsi serta dampak yang dapat terjadi,justru bisa menimbulkan penghasilan dari pajak yang tidak optimal terlebih degradasi pada sektor lain. Dengan kata lain, kebijaksanaan pemerintah daerah untuk mengenakan pajak atau tidak mengenakan pajak, didasarkan atas pertimbangan yang matang, karena pajak bukan semata-mata instrumen penghasil penerimaan daerah.
Retribusi Kepelabuhanan dan Retribusi Izin Sandar
Retribusi kepelabuhanan merupakan retribusi yang dipungut di pelabuhan karena adanya fasilitas yang digunakan oleh kapal-kapal yang merapat. Retribusi ini termasuk kedalam jenis retribusi jasa. Kegiatan yang dilakukan di pelabuhan sangat variatif bukan hanya sekedar tempat kapal-kapal untuk merapat,mulai dari kegiatan menaikkan dan menurunkan penumpang, membongkar dan memuat barang umum, komoditi sejenis atau untuk melayani kapal sejenis dll (berdasarkan PP Nomor 70 tahun 1996 tentang kepelabuhanan), sehingga pelayanan yang ada di pelabuhan dapat dijadikan objek retribusi. Sama halnya dengan kapal pesiar, kapal dengan orientasi wisata ini pun memiliki banyak aktivitas ketika bersandar di pelabuhan, karena itu peneliti berasumsi atas kegiatan yang dilakukan oleh kapal pesiar selama merapat di pelabuhan bisa menjadi salah satu objek retribusi bagi pemerintah daerah setempat. Namun, asumsi peneliti tidak sepenuhnya dibenarkan oleh pendapat narasumber, “ Kapal pesiar ini kan kegiatannya macam-macam, bersandar, penumpangnya dikenakan tiket, kemudian kapal pesiar itu juga menyediakan makanan, tambat, jadi pajak yang kaitannya dengan kapal pesiar itu adalah berbagai objek yang memang engible untuk dikenakan atas kegiatan-kegiatan yang ada di kapal pesiar, itu
Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
mulai dari pajak sampai charges, misalnya bukan retribusi yaa justru penerimaan tersebut masuk ke PNBP” (wawancara dengan Machfud Siddik, 26 Mei 2012). Dari pendapat tersebut, narasumber menjelaskan bahwa tidak hanya pajak namun retribusi juga tidak tepat dikenakan pada kegiatan yang terjadi diatas kapal pesiar, lebih tepat masuk kedalam jenis Penerimaan Negara bukan Pajak (PNBP). Pada dasarnya penerimaan terbagi atas 2 jenis penerimaan yaitu penerimaan dari pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Menurut UU. Nomor 20 tahun 1997 penerimaan negara bukan pajak (PNBP) adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan, kelompok PNBP meliputi : 1. penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah; 2. penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam; 3. penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan; 4. penerimaan dari pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah 5. penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi; 6. penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah 7. penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri Kecuali jenis PNBP yang ditetapkan dengan Undang-undang, jenis PNBP yang tercakup dalam kelompok sebagaimana terurai diatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Artinya diluar jenis PNBP terurai diatas, dimungkinkan adanya PNBP lain melalui UU (www.bpkp.go.id). Pendapat narasumber yang menganggap bahwa atas kegiatan yang dilakukan diatas kapal pesiar dimasukkan kedalam jenis PNBP, menurut peneliti didasarkan pada pertimbangan poin ke 4. Pelabuhan-pelabuhan besar di Indonesia pada umumnya dikelola oleh Pellindo yang statusnya merupakan Badan Usaha Milik Negara, dengan kata lain pemerintah pusat memiliki kontrol didalamnya. Oleh karena itu, pelayanan yang dilakukan didalam kepelabuhanan dapat diartikan sebagai pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah pusat sehingga PNBP lah yang paling tepat untuk dikenakan, bukan retribusi daerah. Namun dalam kenyataannya, ada juga pelabuhan yang dikelola oleh pemerintah daerah, selama didalam peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah setempat kapal pesiar asing dapat dijadikan subjek retribusi maka, sepenuhnya kapal pesiar tersebut harus mengikuti peraturan yang ditetapkan. Selain itu didalam retribusi pelayanan kepelabuhanan terdapat retribusi izin sandar. Retribusi ini diberlakukan, bagi setiap kapal yang akan bersandar di pelabuhan. Pengenaan Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
retribusi izin sandar ini, dikenakan tarif yang berbeda-beda sesuai dengan golongan jenis dan tonase kapal, tidak terkecuali dengan kapal pesiar asing, namum yang harus diperhatikan pada retribusi ini adalah Pelabuhan yang disandari apakah dikelola oleh pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Pada Perda No.12 tahun 2012 Kabupaten Kotawaringin Barat tentang retribusi pelayanan kepelabuhanan pasal 4 ayat (2), dikecualikan dari objek retribusi adalah pelayanan jasa kepelabuhanan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, dan pihak swasta. Dari sini, baik pengenaan retribusi kepelabuhanan maupun retribusi izin sandar yang paling harus diperhatikan adalah dimana kapal pesiar asing tersebut bersandar. Selama kapal pesiar asing tersebut bersandar di pelabuhan yang murni milik pemerintah daerah maka kedua jenis retribusi tersebut dapat dikenakan.
Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Pengenaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada kapal pesiar asing
Pada saat peneliti melakukan wawancara mendalam, peneliti tidak menemukan faktor yang mendukung pengenaan pajak daerah pada kapal pesiar asing, dikarenakan tidak sesuai dengan konsep dan faktor-faktor penghambat lain (akan dijelaskan kemudian), sedangkan faktor pendukung untuk pengenaan retribusi daerah, adalah adanya pelayanan, selama ada pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah maka retribusi dapat dikenakan. Selain faktor pendukung peneliti juga menemukan beberapa faktor penghambat kapal pesiar asing tidak mungkin untuk dikenakan pajak daerah. Faktor-faktor ini dapat timbul terutama karena Indonesia sendiri tidak memiliki industri kapal pesiar lokal, dan hanya menjadi negara tujuan wisata yang disinggahi saja, sehingga tidak ada dasar yang kuat untuk dikenakan pajak daerah. Faktor-faktor tersebut antara lain : 1. Pengenaan Pajak menimbulkan kontraproduktif bagi sistem promosi Indonesia sebagai negara tujuan wisata kapal pesiar dan menyebabkan kontraproduktif pada aspek-aspek lainnya Pengenaan pajak tidak selamanya bertujuan untuk peningkatan penerimaan negara, namun dalam fungsi regulerend seperti pengenaan cukai (excise) . Pajak juga berperan serta dalam pengaturan perekonomian, misalnya dalam suatu sektor dikenakan penambahan persentase pajak namun disektor lain ada peningkatan subsidi, dengan kata lain pengenaan pajak juga untuk memberikan keseimbangan pada perekonomian dan jika diberlakukan kebijakan yang tidak sesuai maka keberadaan pajak bisa menjadi beban (tax burden). Dalam hal kapal pesiar asing, memang Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
sebaiknya tidak dikenakan pajak daerah, karena dikhawatirkan akan timbul kontraproduktif di sektor lain. Menurut salah satu narasumber “ Pajak kan sifatnya memang dapat dipaksakan, kalau dari sisi kami sih sepanjang kapal tersebut layak dan apalagi kalau dipandang dari wisatawan mancanegara kemampuan untuk melakukan pembayaran cukup tinggi, dari sisi pelaksanaan pungutannya juga tidak terlalu sulit karena terlebih apabila kapal tersebut bermalam. Mungkin yang sulit justru pada pengusaha kapal pesiarnya, wisatawan yang mengikuti tour kapal pesiar pada umumnya sudah merupakan paket bermalam, apabila wisatawan tersebut tour ke beberapa kota, Makassar, denpassar kemudian ke Jakarta, nah dengan kondisi tour yang cukup banyak, sang penyelenggara tour ( pengusaha kapal pesiar) harus menghitung kira-kira berapa beban pajak yang ditanggung. Hal seperti ini cenderung akan menimbulkan kontraproduktif, yang pada akhirnya para penyelenggara wisata akan memilih negara lain menjadi tujuan wisatanya “ (wawancara dengan Priadi, Kemendagri,19 April 2012) . Dari pendapat tersebut, narasumber menggambarkan bahwa pengenaan pajak justru bisa menjadi penghalang penerimaan devisa negara, promosi wisata yang gencar dilakukan akan menjadi sia-sia karena pengenaan pajak. Indonesia sudah banyak dilirik negara-negara asing untuk menjadi tujuan wisatanya, sperti pada tahun 2010 lalu terdapat acara Sail Bunaken yang sebagian besar pasrtisipannya dari negara asing, dapat dibayangkan jika pajak menjadi kendala promosi wisata, maka negara asing akan melirik negara lain untuk menjadi negara tujuan wisatanya dan ini merupakan kerugian besar bagi Indonesia. 2. Penerimaan Pajak yang tidak signifikan Secara konsep kebijakan fiskal diberlakukan untuk pengaturan penerimaan dan belanja negara, biaya yang dialokasikan dalam melakukan pemungutan pajak pun termasuk dalam kategori belanja negara. Jika belanja negara lebih besar dari penerimaan maka terjadilah apa yang disebut dengan budget deficit. Mengambil sampel penerimaan pajak kendaraan diatas air seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, jika pajak kendaraan diatas air dapat dikenakan pada kapal pesiar asing maka secara otomatis akan timbul budget deficit. Jangkauan wilayah laut yang sangat luas juga menjadi salah satu alasan mengapa dibutuhkan dana yang cukup besar,terlebih, kedatangan kapal pesiar asing frekuensinya tidak akan sesering kapalkapal lokal yang beroperasi. 3. Pengenaan Pajak daerah pada objek Kapal Pesiar Asing dapat menimbulkan tumpang tindih wewenang antara Pusat dan Daerah Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
Tujuan diberlakukannya otonomi di tingkat kabupaten/kota, menurut anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi, Ryaas Rasyid seperti yang dikutip kompas adalah untuk mempercepat pembangunan daerah. Percepatan pembangunan diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (nasional.kompas.com), namun meskipun diberikan kewenangan untuk mempercepat pembangunan daerahnya, jangan sampai terjadi overlapping kekuasaan, dimana apa yang sudah menjadi bagian kewenangan pusat, pemerintah daerah sebaiknya tidak ikut campur karena akan timbul pelebaran objek yang tidak seharusnya. 4. Tidak sesuai dengan asas perpajakan di Indonesia Menurut Tjip Ismail, jika konteksnya hanya sekedar kapal pesiar asing, maka kapal pesiar lokal pun tidak seharusnya dipungut pajak daerah. “ Di Indonesia menganut asas, tidak dapat dikenakan pajak dua kali. Pajak dikenakan pada penghasilan, dimana atas penghasilan sudah dikenakan pajak, ketika penghasilan tersebut dibelikan kapal, masa atas kapal tersebut dikenakan pajak lagi (artinya setiap tahun), tapi ada kemungkinan dikenakan pajak pada saat pembeliannya, yaitu dikenakan PPnBM tapi hanya sekali saja, namun atas ijinnya baru dikenakan PNBP kabupaten kota” sedangkan untuk kapal pesiar asing pun menurut Bapak Tjip, tidak dapat dikenakan, karena selain dia hanya melintas sebentar saja, kapal pesiar tersebut lebih banyak berada di zona internasional, sehingga siapa yang akan memajaki kendaraan yang melintas di zona internasional, hanya izin trayek yang dapat dikenakan jika kapal pesiar asing tersebut ingin melintas di Indonesia. 5. Objek Pajaknya ( Kapal Pesiar ) merupakan objek yang mobile Dari beberapa pendapat narasumber, salah satu faktor yang menyebabkan kapal pesiar asing tidak dapat dikenakan pajak daerah adalah karena objek pajaknya yang mobile sehingga sulit untuk dideteksi, beban pajak yang timbul. Mobile disini maksudnya, objek pajak bergerak lintas kota, propinsi, bahkan lintas negara. Sama halnya dengan kereta api dan kapal terbang yang akan sangat sulit dideteksi. Mobil juga sebenarnya merupakan objek pajak yang mobile, namun mobil pada umumnya dipakai sebagai kendaraan pribadi (diluar kendaraan umum) dan hanya digunakan didalam kota, sehingga tidak hanya pengawasan,administrasi pemungutan, serta pemakaiannya pun dapat terlihat jelas. 6. Proses pengawasan terhadap kapal pesiar akan cukup sulit
Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
Perairan di Indonesia sangatlah luas, berbeda dengan jalan darat, sehingga untuk segi pengawasan memang akan jauh lebih berat mengawasi yang ada di perairan daripada di darat. Dengan kata lain segi pengawasan yang sangat sulit ditambah, jika penerimaan yang didapat tidak sesuai dengan pengawasan yang dilakukan, juga menjadi faktor lain mengapa kapal pesiar terutama asing tidak dapat dipungut pajak daerah. 5.
Kesimpulan Dari hasil analisa dan penjelasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa : 1.
Kapal pesiar asing tidak dapat dikenakan pajak daerah, yang dapat dikenakan adalah retribusi daerah yaitu retribusi kepelabuhanan. Selama ada pelayanan yang timbul, maka retribusi dapat dikenakan, yang perlu diperhatikan kemudian adalah pelabuhan yang disandari oleh kapal pesiar asing, selama pelabuhan tersebut merupakan kepemilikan pemerintah daerah maka dapat dikenakan retribusi, jika diluar dari kepemilikan daerah baik baik pajak daerah ataupun retribusi daerah tidak dapat dikenakan.
2.
Pada bagian pendahuluan peneliti mengungkapakan akan meneliti faktor-faktor pendukung dan penghambat kapal pesiar asing ini untuk dapat dikenakan pajak daerah dan retribusi daerah, namun setelah dilakukan penelitian di lapangan, peneliti hanya menemukan hambatan saja dan tidak ada satupun faktor pendukung untuk dikenakan pajak daerah.
3.
Hambatan-hambatan yang menyebabkan kapal pesiar asing tidak dapat dijadikan objek pajak daerah antara lain ; (1). pengenaan pajak menimbulkan kontraproduktif bagi industri kapal pesiar, (2). penerimaan pajak yang tidak signifikan dan tidak adanya kajian khusus terutama tentang penerimaan pajak diatas air (3), pengenaan pajak daerah pada objek kapal pesiar asing dapat menimbulkan tumpang tindih wewenang antara Pusat dan Daerah. (4), tidak sesuai dengan asas perpajakan di Indonesia (5), objek pajaknya mobile dan (6), proses pengawasan terhadap kapal pesiar akan cukup sulit.
6.
Saran Berdasarkan simpulan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka peneliti mengajukan
saran sebagai berikut : Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
1.
Pajak daerah secara konsep tidak sesuai untuk dikenakan pada kapal pesiar asing, sehingga untuk kedepannya pemerintah daerah tidak dapat membuat kebijakan perpajakan daerah terkait dengan kapal pesiar asing.
2.
Kapal pesiar asing pada umumya membutuhkan fasilitas yang memadai untuk bersandar di Pelabuhan, dimana pelabuhan-pelabuhan milik pemerintah daerah mayoritas tidak memiliki fasilitas yang memadai. Jika pemerintah daerah ingin meningkatkan penerimaan daerahnya dengan kunjungan kapal pesiar asing ini, maka pelabuhan yang ada sebaiknya diperbaiki dan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan serta pelayanan kepelabuhanannya ditambah. Dari sini, pemerintah daerah dapat memungut retribusi atas pelayanan yang diterima oleh kapal pesiar asing. KEPUSTAKAAN
Buku : Abimanyu, Anggito dan Andie Megantara (2009) Era Baru Kebijakan Fiskal : Pemikiran Konsep dan Implementasi. Jakarta : Penerbit Kompas Bambang Prasetyo , Lina Miftahul Jannah. Metode Penelitian Kuantitatif Teori dan Aplikasi. PT Rajagrafindo Persada, Jakarta 2005 Chalid, Peni.(2005). Keuangan Daerah Investasi dan Desentralisasi : Tantangan dan Hambatan. Jakarta : Kemitraan Creswell, John W. (1994). Research Design Qualittive & Quantitative Approaches. California: SAGE Publications, Inc. Devas, Nick, at all. (1989) . Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta : Penebit Universitas Indonesia Haris, Syamsudin. (2002). Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas Pemerintahan Daerah . Jakarta : Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Kurniawan, Panca & Agus Purwanto S.E. (2004). Pajak Daerah dan Retribusi Daerah . Jawa Timur : Bayumedia Mardiasmo. (2002). Perpajakan. Yogyakarta : Penerbit Andi Moleong, Lexy J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Slemrod, Joel. (1999) .Tax Policy in the Real World .London: Cambridge University Press Subiyantoro Heru dan Arief Singgih Riphat (2004). Kebijakan fiskal : Pemikiran, Konsep dan Implementasi. Jakarta : Kompas Sugianto SH,MM. (2007) Pajak dan Retribusi Daerah ( Pengelolaan Pemerintah Daerah dalam Aspek Keuangan, Pajak, dan Retribusi Daerah) . Jakarta : Grasindo
Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013
Suparmoko, M. (2000) . Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek . Yogyakarta : BPFE Zorn, C. Kurt. (1991). User Charges and Fees. ( Kumpulan Artikel John E. Petersen dan Denise R. Strachon . “ Local Government Finance ; Concept and Practices” Illinois, Chicago : Government Finance Officers Association of United States and Canada Lainnya : Peraturan Perundang-undangan MASTER PLAN, Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 – 2025 Republik Indonesia h. 145 Jurnal & Working Paper Bahl, Roy W. (1999). Implementation Rules for Fiscal Decentralization. Atlanta,Georgia : Georgia State University Riduansyah, Mohammad. (2003). Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Guna Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah ( studi kasus pemerintah daerah kota bogor ), Biro Pusat Statistik . (2010). Tours and Travel Services Statistics. Jakarta : CV. Marshaditio Intan Prima Biro Pusat Statistik . (2011). International Visitor Arrivalls Statistics. Jakarta : CV. Marshaditio Intan Prima Artikel David N. Weil (2008). Fiscal Policy : The Concise Encyclopedia of Economics. Library of Economics and Liberty (http://www.econlib.org/library/Enc/FiscalPolicy.html) Internet www.antaranews.com/kapal-wisata-asing-dipermudah-masuk-indonesia.html www.gunadarma.ac.id / Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah DR. Machfud Sidik, M.Sc http://hankam.kompasiana.com/2010/09/04/wilayah-perairan-indonesia/ www.antaranews.com/kapal-wisata-asing-dipermudah-masuk-indonesia.html http://nasional.kontan.co.id/news/kapal-pesiar-asing-dapat-insentif http://bisnis.vivanews.com/news/read/280428-36-kapal-pesiar-bakal-berlabuh-di-indonesia http://jatim.vivanews.com/news/read/201010-tanjung-perak-siap-layani-kapal-pesiar http://www.seabourn.com/luxury-cruise-vacation-onboard/Legend http://www.yachthotel.it/index.php?option=com_content&view=article&id=47&Itemid=28& lang=en http://poetra.web.id/Berita/syarat-penerbitan-surat-persetujuan-berlayar-kapal.php diunduh tgl 15 mei 2012 jam 13.33 http://budpar.go.id/budpar/asp/detil.asp?c=16&id=1520 diunduh tgl 16 mei 2012 jam 14:55
Universitas Indonesia Perlakuan pajak…, Anggita Febria, FISIP UI, 2013