Tinjauan Pustaka
PERKEMBANGAN TERBARU ETIOPATOGENESIS MELASMA Melyawati, Lis Surachmiati Suseno, Irma Bernadette, Lili Legiawati Departemen Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin FK Universitas Indonesia/RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
ABSTRAK Melasma adalah kelainan kulit pigmentasi didapat yang bersifat kronis, cenderung rekuren, serta sulit diobati. Secara klinis ditandai dengan makula coklat muda hingga coklat tua pada area kulit yang terpajan matahari. Kelainan kulit ini lebih sering pada wanita khususnya usia reproduksi, pada individu dengan warna kulit gelap, dan individu yang tinggal di daerah dengan pajanan matahari tinggi. Patogenesis melasma hingga saat ini masih belum jelas, namun pengaruh faktor genetik, hormonal, dan radiasi ultraviolet (UV) diduga berperan penting. Berbagai penelitian terbaru menunjukkan bahwa terdapat berbagai faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya melasma. Faktor tersebut antara lain: inflamasi, sel punca, neural, dan vaskular. Tampaknya kombinasi berbagai faktor tersebut memegang peranan dalam etiopatogenesis melasma. Hal tersebut menja di ta ntang an bag i para pen eliti untuk dapa t lebih memahami penya kit ini. Pemahaman konseptual mengenai etiopatogenesis melasma dan kaitannya dengan aplikasi klinis diharapkan dapat membantu klinisi dalam menangani melasma, baik dalam hal pencegahan, penatalaksanaan, maupun pencegahan rekurensi.(MDVI 2014; 41/3:133 - 138) Kata kunci: hiperpigmentasi didapat, melasma, etiopatogenesis
ABSTRACT Melasma is a skin pigmentation disorder that is chronic, tend to recur, and difficult to treat. It clinically characterized by macular light brown to dark brown in sun-exposed areas of the skin. This skin disorder is more common in women of reproductive age, in individuals with darker skin color, and individuals living in areas with intens sun exposure. The pathogenesis of melasma is still not clear, but the influence of genetic, hormonal, and ultraviolet (UV) radiation is believed to play an important role. Various recent studies show that there are other factors that might underlie the emergence of melasma. These factors include: inflammation, stem cells, neural, and vascular. It seems that the combination of these factors play a role in the etiopathogenesis of melasma. This is a challenge for researchers to be able to better understand this disease. Conceptual understanding of the etiopathogenesis of melasma and its relation to clinical application is expected to assist the clinician in dealing with melasma, both in terms of prevention, treatment, and prevention of recurrence.(MDVI 2014; 41/3:133 - 138) Keywords: acquired hyperpigmentation, melasma, etiopathogenesis
Korespondensi : Jl. Diponegoro 71, Jakarta10430 Telp/Fax :. 021 - 31935383 Email:
[email protected]
133
MDVI
PENDAHULUAN Melasma adalah kelainan pigmentasi didapat dengan gambaran klinis khas berupa makula coklat muda hingga coklat tua pada daerah terpajan matahari, contohnya wajah dan leher.1 Kelainan kulit tersebut bersifat kronis serta sulit untuk diobati sehingga sering memberi dampak psikologis bagi pasien dan dokter.2 Kata "melasma" berasal dari bahasa Yunani "melas" yang berarti "hitam". Secara klinis, melasma adalah kelainan hiperpigmentasi didapat pada daerah terpajan sinar matahari.1 Melasma merupakan kelainan kronis dan cenderung rekuren.2 Melasma jarang ditemukan sebelum pubertas. Lebih sering pada wanita khususnya usia reproduksi, pada individu dengan warna kulit gelap, dan tinggal di daerah dengan pajanan matahari yang tinggi.1 Di Indonesia, berdasarkan data epidemiologis Poliklinik Dermatologi Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2011, dilaporkan bahwa jumlah pasien melasma adalah 18,1% dari total 3.763 kunjungan, dengan distribusi 98,4% merupakan pasien wanita dan sisanya sebesar 1,6% adalah pria.3 Lesi melasma ditandai oleh makula hiperpigmentasi, simetris, dapat berkonfluensi atau tersebar. Lokasi paling sering adalah di pipi, bagian atas bibir, dagu dan dahi, namun kadang dapat dijumpai pada daerah yang tidak terpajan matahari.4 Patogenesis melasma hingga saat ini masih belum jelas, namun pengaruh faktor genetik, hormonal, dan radiasi ultraviolet (UV) diduga berperan. Seiring dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan, berbagai penelitian terbaru menunjukkan bahwa faktor yang mendasari timbulnya melasma mungkin tidak sesederhana yang selama ini diyakini, karena ternyata berbagai faktor tersebut tidak selalu ditemukan berhubungan dengan pasien melasma. Hal tersebut menjadi tantangan bagi para peneliti untuk dapat lebih memahami penyakit ini dan berusaha mencari pengobatan yang efektif.
ETIOPATOGENESIS Etiologi utama yang mendasari melasma masih menjadi suatu misteri. Beberapa faktor risiko, antara lain warna kulit gelap terutama tipe kulit Fitzpatrick III dan IV, predisposisi genetik, pajanan sinar matahari, kehamilan, dan penggunaan hormon eksogen. Dalam makalah ini akan dibahas perkembangan ilmu pengetahuan terbaru dalam 10 tahun terakhir, periode tahun 2003-2013, mengenai usaha mencari penyebab dan faktor risiko melasma. Predisposisi genetik Ditemukannya melasma di antara anggota keluarga pasien melasma menunjukkan adanya peran komponen
134
Vol. 41 No. 3 Tahun 2014; 133 - 138
genetik. Keberadaan riwayat melasma pada keluarga masingmasing populasi memberikan hasil yang bervariasi. Sebuah survei yang dilakukan oleh The Pigmentary Disorders Academy melibatkan 324 responden dari berbagai negara, melaporkan 48% pasien memiliki riwayat keluarga dengan melasma, 97% di antaranya ditemukan pada anggota keluarga derajat pertama.5 Sementara di Tunisia, 41% pasien melasma dengan riwayat melasma di keluarga, 58% pasien awitan terjadi pada usia kurang dari 30 tahun dan adanya hubungan bermakna antara awitan dan derajat keparahan melasma.6 Pada tahun 2011, Kang dkk. melakukan penelitian transkriptomik dan melaporkan adanya modulasi ekspresi 279 gen pada lesi 12 pasien melasma. Dari gen-terkait-melanogenesis terdapat 4 peningkatan ekpresi utama, yaitu gen TYRP1, dan 3 modulator jalur Wnt (Wnt5a, SFRP2, WIF1). Jalur penghantaran Wnt memang berperan pada perkembangan melanosit, sehingga modulasi pada jalur tersebut mungkin menyebabkan kelainan hiperpigmentasi.7 Kim dkk. menegaskan peran jalur penghantaran Wnt pada lesi melasma dengan menemukan penurunan ekspresi gen Wnt inhibitory factor-1 (WIF-1) pada lesi melasma. 8 Meningkatnya SFRP2 di sekitar fibroblast dermal menjadi dasar pemikiran adanya cross talk antara epidermis dan dermis melalui jalur penghantaran Wnt. Yang menarik dari penelitian Kang dkk. adalah ditemukannya ekspresi gen yang bervariasi pada lesi kulit melasma, bahkan ekspresi genterkait-melanogenesis ternyata tidak semuanya mengalami peningkatan ekspresi.7 Sebelumnya, pada tahun 2010 Kang dkk. berusaha mencari karakteristik lesi melasma dengan bantuan alat reflectance confocal microscope dan menemukan beberapa pasien melasma memiliki melanosit yang hiperaktif, sehingga disimpulkan bahwa terdapat perbedaan aktivitas melanosit pada pasien melasma yang berbeda.9 Hasil kedua penelitian tersebut tampaknya dapat sedikit memberikan gambaran adanya perbedaan aktivitas melanosit yang mungkin menyebabkan perbedaan respons lesi melasma terhadap terapi standar. Kim dkk. (2009) melakukan analisis in vitro dengan membandingkan lesi hiperpigmentasi dan kulit normal pada 14 pasien melasma serta lesi kulit hiperpigmentasi akibat pajanan UV pada 3 pasien vitiligo yang mendapatkan terapi sinar. Mereka menemukan bahwa terdapat penurunan regulasi ekspresi H19 lebih dari 2 kali lipat pada lesi melasma, sementara penurunan regulasi ekspresi H19 tidak ditemukan pada lesi hiperpigmentasi akibat pajanan UV. Ekspresi H19 juga lebih tinggi pada kultur keratinosit normal dibandingkan dengan kultur melanosit, menunjukkan bahwa keratinosit mungkin merupakan sumber utama H19. Didapatkan juga peningkatan ekspresi tirosinase pada kultur campuran (keratinosit-H19 knockdown dan melanosit normal), namun tidak demikian dengan kultur tunggal keratinosit-H19 knockdown ataupun kultur tunggal melanosit-H19 knockdown. Selain itu juga ditemukan peningkatan jumlah melanosom pada keratinosit-H19 knockdown dibandingkan dengan
Melyawati, dkk
keratinosit normal sehingga diduga peran H19 dalam menyebabkan hiperpigmentasi berhubungan dengan proses transfer melanosom. Hal tersebut semakin menegaskan peran keratinosit dalam menyebabkan hiperpigmentasi pada lesi melasma. Penelitian ini pada akhirnya mencoba mengajukan bahwa modulasi terhadap regulasi H19 mungkin dapat menjadi salah satu pendekatan terapeutik melasma.10 Pajanan radiasi UV Pajanan matahari seringkali dilaporkan menjadi faktor pemicu munculnya serta eksaserbasi melasma. Hal tersebut dikemukakan mengingat efek pajanan UV terhadap melanosit, seringnya melasma timbul pada area kulit yang terpajan matahari, dan laporan pasien yang menyatakan bahwa melasma bertambah berat seiring dengan meningkatnya intensitas pajanan sinar matahari.2 Secara umum radiasi UV sendiri telah diketahui merangsang proliferasi dan migrasi melanosit, serta proses melanogenesis. Peroksidasi lipid membran sel akibat pajanan UV juga menyebabkan terbentuknya radikal bebas, yang kemudian akan menstimulasi melanosit untuk memproduksi melanin.11 Selain itu, radiasi UV meningkatkan produksi berbagai sitokin keratinosit, contohnya interleukin-1, endotelin-1, alpha-melanocyte-stimulating hormone (MSH), dan adrenocorticotropic hormone (ACTH). MSH dan ACTH akan terikat pada reseptor melanokortin-1 dan merangsang aktivitas enzim tirosinase sehingga melanosit berproliferasi disertai dengan peningkatan produksi melanin.2, 11 Lesi hiperpigmentasi yang disebabkan oleh inflamasi dan pajanan matahari, dapat membaik spontan setelah tidak lagi terpajan. Namun tidak demikian dengan lesi hiperpigmentasi melasma yang cenderung menetap. Perbedaan tersebut menimbulkan pemikiran adanya perbedaan mekanisme regulasi dalam proses melanogenesis berbagai kelainan patologis tersebut. Seperti telah disinggung sebelumnya, pada lesi melasma didapatkan penurunan regulasi ekspresi H19 lebih dari 2 kali lipat, sementara pada lesi hiperpigmentasi akibat pajanan UV tidak ditemukan penurunan regulasi ekspresi H19. Selain itu, pada modulasi ekspresi H19 dengan pajanan UV tidak ditemukan adanya peningkatan ekspresi tirosinase.10 Tampaknya masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Guinot dkk. (2010) melakukan survei di Tunisia untuk mencari faktor yang mempengaruhi timbulnya melasma. Pajanan UV dilaporkan sebagai faktor pemicu pada 51% pasien dan sebagai faktor yang memperburuk pada 84% pasien. 6 Telah banyak diketahui bahwa pemeriksaan histopatologis lesi melasma seringkali disertai dengan adanya gambaran elastosis solar. Gambaran elastosis solar yang cukup menonjol dibandingkan dengan kulit normal menunjukkan kerusakan kumulatif akibat pajanan UV, dan mungkin berkaitan dengan patogenesis melasma.12 Sejalan
Perkembangan terbaru etiopatogenesis melasma
dengan hal tersebut, Guinot dkk. (2010) juga mengemukakan hubungan bermakna antara photoaging dengan derajat keparahan melasma, sehingga mendukung hipotesis peran akumulasi pajanan UV dengan melasma.6 Faktor hormonal Adanya laporan bahwa melasma lebih banyak ditemui pada wanita, bertambah parah saat hamil atau saat penggunaan kontrasepsi oral mengarah pada pemikiran adanya peran hormon tertentu pada patogenesis melasma. Perubahan hormonal yang terjadi diduga berhubungan dengan pigmentasi pada melasma.2 Berdasarkan survei yang dilakukan oleh The Pigmentary Disorders Academy, 42% awitan melasma terjadi setelah kehamilan dan 26% terjadi pada saat hamil. Risiko untuk terjadinya melasma selama kehamilan juga meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah kehamilan. Sementara terkait penggunaan kontrasepsi hormonal, 25% di antaranya menyatakan bahwa melasma muncul pertama kali setelah penggunaan kontrasepsi.5 Guinot dkk. (2010) melaporkan kontrasepsi oral sebagai faktor pemicu pada 26% pasien dan faktor yang memperburuk pada 38% pasien. Pada penelitian tersebut didapatkan hubungan bermakna antara derajat keparahan melasma dan penggunaan kontrasepsi oral. Efek tersebut diduga akibat stimulasi melanogenesis oleh estrogen dan progesteron.6 Sel melanosit pada kulit normal mengekspresikan reseptor estrogen. Lieberman dkk. (2008) merupakan peneliti pertama yang mengungkapkan adanya perbedaan ekspresi reseptor estrogen antara lesi melasma dan kulit normal. Mereka melakukan penelitian pada 2 pasien melasma dan melaporkan bahwa pada lesi melasma ditemukan ekspresi reseptor estrogen yang lebih tinggi dibandingkan dengan kulit normal sekitarnya. Ikatan estradiol dengan reseptor estrogen menyebabkan meningkatnya ekspresi reseptor melanocortin-1 (MCR1) pada melanosit sehingga proses melanogenesis meningkat.13 Untuk lebih mendalami peran reseptor estrogen, Jang dkk. (2010) melakukan pemeriksaan imunohistokimia lesi dan perilesi kulit melasma 33 wanita dengan tipe kulit Fitzpatrick IV-V. Dari 2 jenis reseptor estrogen yaitu reseptor dan , ekspresi reseptor pada sel keratinosit lesi melasma lebih dominan dibandingkan dengan reseptor . Hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa estrogen, melalui ikatan dengan reseptor estrogen , memang berperan pada lesi melanositik; namun demikian, bagaimana dan sejauh mana keterlibatan reseptor estrogen sebagai penyebab hiperpigmentasi masih menjadi kontroversi.14 Selain itu, inkubasi melanosit yang berasal dari kulit normal dengan estradiol meningkatkan proliferasi melanosit namun tidak terjadi peningkatan aktivitas enzim tirosinase.13 Sebelumnya Maeda dkk. (1996) juga melaporkan hal serupa, bahwa pada inkubasi dengan estradiol, estriol, dan
135
MDVI
Vol. 41 No. 3 Tahun 2014; 133 - 138
progesteron terjadi peningkatan proliferasi melanosit namun tanpa peningkatan aktivitas enzim tirosinase. Berbeda dengan inkubasi MSH, ACTH, luteinizing hormone (LH), dan follicle-stimulating hormone (FSH) yang memperlihatkan peningkatan ukuran melanosit disertai peningkatan enzim tirosinase. Sehingga disimpulkan, bahwa kemungkinan hormon ovarium dan hipofisis keduanya menginduksi terjadinya pigmentasi, namun hormon ovarium memiliki efek terhadap melanosit yang lebih lemah dibandingkan dengan hormon hipofisis.15 Dalam upaya untuk melihat ekspresi hormon proopiomelanokortin (-MSH dan ACTH) serta reseptornya, Im dkk.(2007) melakukan penelitian yang melibatkan 10 wanita Korea. Dari pemeriksaan imunohistokimia terlihat bahwa ekspresi -MSH lebih tinggi pada area lesi dibandingkan dengan perilesi, namun tidak ditemukan adanya perbedaan kadar reseptor MCR-1 maupun ekspresi ACTH antara area lesi dan perilesi. Hal tersebut menunjukkan ekspresi berlebih -MSH pada lesi melasma mungkin menjadi faktor utama timbulnya melasma.11 Penelitian Kim dkk. (2005) juga menegaskan peranan estrogen pada melasma, yaitu pada penelitian in vitro dengan intervensi berupa penurunan ekspresi H19 melanosit dan pemberian estrogen menyebabkan peningkatan ekspresi tirosinase. Mereka menyimpulkan bahwa downregulation H19 meningkatkan kecenderungan timbulnya melasma dan peningkatan estrogen akibat kehamilan atau penggunaan kontrasepsi mungkin cukup untuk meningkatkan efek downregulation H19 hingga menimbulkan hiperpigmentasi.10 Meskipun ditemukan sejumlah bukti klinis mengenai peran komponen hormonal pada patogenesis melasma, namun hasilnya masih kontroversial. Sejumlah penelitian terkait keterlibatan estrogen memperlihatkan hasil yang konsisten, namun tidak demikian dengan progesteron.14 Penelitian untuk lebih menggali pengaruh hormonal pada melasma masih terus dikembangkan. Hal tersebut mungkin terjadi karena perbedaan latar belakang genetik pada masingmasing penelitian yang melibatkan populasi berbeda.
daerah perilesi, yang menegaskan kemungkinan adanya inflamasi kronik pada lesi melasma.12 Jo dkk. (2009) berusaha meneliti peran nitric oxide (NO) pada lesi melasma. Seperti telah banyak diketahui bahwa terdapat 3 isotipe NO synthase (NOS), yaitu NOS endotelial, NOS neuronal, dan inducible NOS (iNOS). NO yang dihasilkan oleh iNOS terutama berperan pada patogenesis proses inflamasi. Radiasi UV akan meningkatkan ekspresi iNOS dan produksi NO pada medium kultur keratinosit sehingga menstimulasi aktivitas tirosinase. Karena keratinosit berinteraksi dengan melanosit melalui dendritnya, NO yang dihasilkan oleh keratinosit berfungsi sebagai mediator parakrin pada proses melanogenesis. Berdasarkan hal tersebut, Jo dkk. (2009) melakukan penelitian pada lesi kulit dan perilesi 12 pasien melasma. Hasil dari penelitian memperlihatkan adanya peningkatan ekspresi iNOS pada daerah lesi, menunjukkan keterlibatan NO yang dihasilkan melalui jalur iNOS pada patogenesis melasma.18
Faktor inflamasi
Komponen neural
Biosintesis prostaglandin, suatu mediator inflamasi, ditemukan cukup bermakna pada lesi kulit melasma. Prostaglandin disintesis pada kulit sebagai respons terhadap pajanan UV dan mempengaruhi melanogenesis.16 Kapoor dkk (2009) juga mencatat peran analog prostaglandin dalam menginduksi hiperpigmentasi epidermal pada 40 subyek penelitian dari total 56 pasien vitiligo setelah 6 bulan penggunaan obat.17 Adanya peningkatan jumlah sel mast pada lesi melasma juga mencerminkan adanya peran inflamasi pada lesi melasma. Hal tersebut didukung oleh peningkatan leukosit serta vasodilatasi pada lesi kulit melasma dibandingkan dengan
Predileksi melasma pada wajah disertai dengan distribusinya yang sesuai dengan persarafan nervus trigeminus, menimbulkan pertanyaan terhadap kemungkinan peran neural pada mekanisme patogenesis melasma. Penelitian yang berusaha mencari hubungan faktor neural dengan melasma belum banyak dilakukan. Bak dkk. (2009) melakukan biopsi pada lesi melasma dan perilesi pada 6 wanita Asia untuk mengetahui ekspresi neuropeptida, neurotrofin, dan reseptornya. Pada pemeriksaan imunohistokimia terlihat peningkatan ekspresi nerve growth factor receptor (NGFR) dan neural endopeptidase (NEP) oleh keratinosit serta hipertrofi serat saraf di dermis atas pada area lesi
136
Stem cell factor Kang dkk. (2010) melakukan penelitian terhadap 60 pasien untuk melihat peran stem cell factor pada melasma. Peneliti menemukan pada area lesi adanya peningkatan ekspresi stem cell factor di sekitar fibroblas dermis dan reseptor stem cell factor, yaitu c-kit pada lapisan basal epidermis.19 Penelitian tersebut menegaskan kemungkinan hubungan melasma dengan stem cell factor. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan Grichnik dkk. (1998) terungkap bahwa stem cell factor merupakan faktor melanogenik yang dapat meningkatkan jumlah, ukuran, dan jumlah dendrit bila disuntikkan pada kulit manusia sehingga menyebabkan timbulnya pigmentasi.20 Peran stem cell factor diperkuat dengan ditemukannya sel mast yang meningkat jumlahnya pada lesi melasma. Reseptor c-kit diekspresikan pada permukaan sel mast, sehingga diyakini bahwa stem cell factor turut berperan dalam menyebabkan inflamasi melalui peningkatan jumlah sel mast pada lesi melasma.12
Melyawati, dkk
dibandingkan dengan perilesi. Dapat disimpulkan, bahwa molekul neuroaktif yang dilepaskan oleh saraf perifer mungkin mempengaruhi lingkungan sekitar melanosit melalui aktivasi NFGR dan peningkatan NEP serta berperan dalam melanogenesis. 21 Namun hasil penelitian tersebut sulit digeneralisasikan karena jumlah sampel yang sedikit. Komponen vaskular Kim dkk. (2007) melakukan penelitan pada 50 wanita Korea dengan melasma. Mereka menemukan bahwa selain gambaran karakteristik berupa makula hiperpigmentasi, juga ditemukan adanya karakteristik tambahan pada lesi melasma berupa gambaran telangiektasia yang cukup mencolok. Pada pemeriksaan imunohistokimia, terlihat vaskularisasi pada lesi melasma 68,75% lebih tinggi dibandingkan dengan kulit normal. Mereka juga menemukan adanya korelasi positif antara jumlah pembuluh darah dan pigmentasi lesi melasma. Dari temuan tersebut dilakukan juga pemeriksaan imunohistokimia untuk melihat ekspresi VEGF dan terlihat adanya perbedaan yang bermakna antara ekspresi VEGF pada keratinosit lesi melasma dengan kulit normal.22 Fakta lain menegaskan adanya peran vaskular pada lesi melasma adalah tingginya ekspresi reseptor estrogen pada dermis lesi melasma. 14 Sel endotel sendiri diketahui mengekspresikan reseptor estrogen.23 Berdasarkan berbagai penelitian yang telah ada, ekspresi VEGF oleh keratinosit meningkat akibat pajanan UV24 dan kerusakan akibat pajanan UV contohnya elastosis solar tampak jelas pada lesi melasma.12 Oleh karena itu, peningkatan ekspresi reseptor estrogen bersamaan dengan proliferasi sel endotel pembuluh darah diyakini berperan pada lesi melasma. Peningkatan vaskularisasi tersebut secara klinis ditandai oleh gambaran telangektasia. VEGF merupakan regulator utama pada proses angiogenesis. Adanya peningkatan ekspresi VEGF pada keratinosit diduga menjadi faktor angiogenik utama pada peningkatan vaskularisasi lesi melasma.25 Melanosit juga mengekspresikan reseptor VEGF sehingga memungkinkan adanya peran VEGF pada perilaku melanosit di kulit.26 Berdasarkan temuan baik in vitro maupun in vivo tersebut diduga terdapat hubungan antara perubahan vaskularisasi dengan pigmentasi kulit. Kaitan peningkatan vaskularisasi dengan lesi melasma belum dapat dijelaskan. Passeron dkk. (2011) melaporkan tentang penggunaan terapi ganda berupa pulsed-dye laser (PDL) dan krim kombinasi berisi asam retinoat, hidrokuinon, dan kortikosteroid pada 17 pasien melasma. Dasar digunakannya PDL pada penelitian tersebut adalah adanya peningkatan vaskularisasi pada lesi melasma dan PDL merupakan tata laksana standar pada lesi vaskular. Terapi ganda tersebut memperlihatkan penurunan skor melasma area severity indeks (MASI) yang bermakna pada kelompok dengan PDL dan krim dibandingkan dengan penggunaan krim saja. Selain itu, perbaikan yang diperoleh kelompok pasien terapi ganda
Perkembangan terbaru etiopatogenesis melasma
bertahan lebih lama dibandingkan dengan kelompok pasien terapi topikal saja. Sehingga disimpulkan bahwa penggunaan PDL yang memfokuskan pada komponen vaskular lesi melasma dapat menurunkan stimulasi melanosit serta menurunkan relaps.27 Di dalam pembuluh darah, terdapat sistem aktivator plasminogen (AP) yang mengubah plasminogen menjadi plasmin dan berperan pada proses fibrinolisis. Sistem AP juga diaktifkan pada dinding pembuluh darah dan berperan dalam mengatur remodelling vaskular.28 Selain itu, aktivasi sistem tersebut menyebabkan interaksi antara keratinosit dan melanosit, sehingga aktivitas melanosit meningkat dan pigmen melanin yang terbentuk menjadi lebih banyak. Hal tersebut yang menjadi dasar digunakannya asam traneksamat sebagai salah satu pengobatan melasma dan memperkuat dugaan peran vaskular pada melasma.29
KESIMPULAN Tampaknya berbagai faktor yang diketahui berkaitan dengan melasma tidak berdiri sendiri. Kombinasi berbagai faktor berperan dalam etiopatogenesis melasma. Pemahaman konseptual mengenai etiopatogenesis melasma dan kaitannya dengan aplikasi klinis diharapkan dapat membantu klinisi dalam menangani melasma, baik dalam hal pencegahan, penatalaksanaan, maupun pencegahan rekurensi. DAFTAR PUSTAKA 1. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Hypomelanoses and hypermelanoses. Dalam: Lapeere H, Boone B, Schepper SD, Verhaeghe E, Ongenae K, Van Geel N, dkk, penyunting. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. NewYork: McGraw Hill; 2008.h.635-40. 2. Shet VM, Pandya AG. Melasma: a comprehensive update. J Am Acad Dermatol. 2011;65:689-96. 3. Data morbiditas Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM tahun 2011. 4. Montemarano AD, Elston DM. Melasma. [dikutip 18 Mei 2013]. Tersedia di http://emedicine.medcape.com/article/ 106840-overview.2013. 5. Ortonne JP, Arellano I, Bernevurg M, Cestari T, Chan H, Grimes P, dkk. A global survey of the role of ultraviolet radiation and hormonal influences in the development of melasma. JEADV. 2009;23:1254-62. 6. Guinot C, Cheffai S, Latreille J, Dhaoui MA, Youssef S, Jaber K, dkk. Aggravating factors for melasma: a prospective study in 197 Tunisian patients. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2010;24:1060-9. 7. Kang HY, Suzuki I, Lee DJ, Ha J, Reiniche P, Aubert J, dkk. Transcriptional profiling show a altered expression of Wnt pathway- and lipid metabolism-related genes as well as melanogenesis-related genes in melasma. J Invest Dermatol. 2011;131:1692-700.
137
Melyawati, dkk
8. Kim JY, Lee TR, Lee AY. Reduced WIF-1 expression stimulates skin hyperpigmentation in patients with melasma. J Invest Dermatol. 2013;133:191-200. 9. Kang HY, Bahadoran P, Suzuki I, Zugaj D, Khemis A, Passeron T, dkk. In vivo reflectance confocal microscopy detects pigmentary changes in melasma at a cellular level resolution. Exp Dermatol. 2010;19:228-33. 10. Kim NH, Lee CH, Lee AY. H19 RNA downregulation stimulated melanogenesis in melasma. Pigment Cell Melanoma Res. 2009;23:84-92. 11. Im S, Kim J, On WY, Kang WH. Increased expression of amelanocyte-stimulating-hormone in the lesional skin of melasma. Br J Dermatol. 2007;146:165-7. 12. Hernandez-Barrera R, Torres-Alvares B, Castanedo-Cazares JP, dkk. Solar elastosis and presence of mast cells as key features in the pathogenesis of melasma. Clin Exp Dermatol. 2008;33:305-8. 13. Lieberman R, Moy L. Estrogen receptor expression in melasma: result from facial skin of affected patients. J Drugs Dermatol. 2008;7:463-5. 14. Jang HY, Lee JY, Kang HY, Lee ES, Kim YC. Estrogen and progesterone receptor expression in melasma: an immunohistochemical analysis. JEADV. 2010;24:1312-6. 15. Maeda K, Naganuma M, Fukuda M, Matsunaga J, Tomita Y. Effect of pituitary and ovarian hormones on human melanocytes in vitro. Pigment Cell Res. 1996; 9:204-12. 16. Rhodes LE, Arellano I, Berneburg M. The sunburn response in human skin is characterized by sequential eicosanoid profiles that may mediate its early and late phase. FASEB J. 2009;23:3947-56. 17. Kapoor R, Phiske MM, Jerajani HR. Evaluation of safety and efficacy of topical prostaglandin E2 in treatment of vitiligo. Br J Dermatol. 2009;160:861-3. 18. Jo HY Kim CK, Suh IB, Ryu SW, Ha KS, Kwon YG, dkk. Co-localization of inducible nitric oxide synthase and phosphorylated Akt in the lesional skins of patients with melasma. J Dermatol. 2009;36:10-6.
138
Perkembangan terbaru etiopatogenesis melasma
19. Kang HY Hwang JS, Lee JY, Ahn JH, Kim JY, Lee ES, dkk. The dermal stem cell factor and c-kit over expressed in melasma. Br J Dermatol. 2006;154:1094-9. 20. Grichnik JM, Burch JA, BUrchette J, Shea CR. The SCF/ KIT pathway plays a critical role in the control of normal human melanocyte homeostasis. J Invest Dermatol. 1998;111:233-8. 21. Bak H, Lee HJ, Chang SE, Choi JH, Kim MN, Kim BJ. Incereased expression of nerve growth factor receptor and neural endopeptidase in the lesional skin of melasma. Dermatol Surg. 2009;35:1244-50. 22. Kim EH, Kim YC, Lee ES, Kang HY. The vascular characteristic of melasma. J Dermatol Sci. 2007;46:111-6. 23. Toth B, Saadat G, Geller A, Scholz C, Schulse S, Friese K, dkk. Human umbilical vascular endothelial cells express estrogen receptor beta (ERbeta) and progesterone receptor A (PR-A), but not ERalpha and PR-B. Histochem Cell Biol. 2008;130:399-405. 24. Hirakawa S, Fujii S, Detmar M. Vascular endothelial growth factor promotes sensitivity to ultraviolet B-induced cutaneous photodamage. Blood. 2005;105:2392-9. 25. Kim EJ, Park HY, Yaar M, Gilchrest BA. Modulation of vascular endothelial growth factor receptors in melanocytes. Exp Dermatol. 2005;14:625-33. 26. Plonka PM, Passeron T, Brenner M. What are melanocytes really doing all day long. Exp Dermatol. 2009;18:799-819. 27. Passeron T, Fontas E, Kang HY, Bahadoran P, Lacour JP, Ortonne JP. Melasma treatment with pulsed-dye laser and triple combination cream: a prospective, randomized, single blind, split face study. Arch Dermatol. 2011;147:1106-8. 28. Fay WP, Garg N, Sunkar M. Vascular functions of the plasminogen activator system. Arterioscler Thromb Biol. 2007;27:1231-7. 29. Karn D, Amatya A, Razouria EA, Timalsina M. Oral tranexamid acid for the treatment of melasma. Kathmandu Univ Med J. 2012;10: 40-3.