PERAN QAIDAH FIQHIYYAH TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENETAPAN 1 (SATU) RAMADHAN DAN 1 (SATU) SYAWAL DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : WAHYU RIDAS PERADA NIM: 203044101797
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PRODI AKHWAL AL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1428 H/2008 M
PERAN QAIDAH FIQHIYYAH TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENETAPAN 1 (SATU) RAMADHAN DAN 1 (SATU) SYAWAL DI INDONESIA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh :
WAHYU RIDAS PERADA NIM: 203044101797
Di Bawah Bimbingan Pembimbing Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., MA
Dra. Maskufa, M.Ag.
NIP. 150 169 102
NIP. 150 268 590
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PRODI AKHWAL AL SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1428 H/2008 M
CURRICULUM VITAE NAMA
: Wahyu Ridas Prada
TETALA
: Sei Tapung, 05 Januari 1986
ALAMAT
: Jl. Nurul Huda, No. 50 Rt: 01/04. Kel. Cempaka Putih, Kec. Ciputat, Kota. Jakarta Selatan
HANDPHONE
: 081315811818
JENJANG PENDIDIKAN : 1991-1997
: Sekolah Dasar Negeri 005, Kampar, Riau
1997-2000
: Madrasah Tsanawiyah Dar El Hikmah, Pekanbaru, Riau
2000-2003
: Madrasah Aliyah Dar El Hikmah, Pekanbaru, Riau
2003-2008
: Strata I UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PENGALAMAN
:
2003-2004 : Ketua Lingkar Studi Filsafat, Agama dan Politik (LS-FAP) Jakarta 2005-2006
: Ketua Umum Serumpun Mahasiswa Riau (SEMARI) Jakarta
2006-2007
: Anggota Litbang BEM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 17 Desember 2007
Wahyu Ridas Prada
KATA PENGANTAR Puji syukur yang tiada hentinya penulis sampaikan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat, nikmat, hidayah, dan taufiq-Nya sehingga memberikan kemampuan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya serta seluruh umatnya hingga akhir zaman. Seorang teladan yang mesti kita contoh sebagai seorang teladan yang berorientasi kepada kepentingan umat. Ungkapan terima kasih yang tiada terkira dari penulis kepada pihak-pihak yang turut membantu dan sangat berjasa dalam proses pelaksanaan penulisan skripsi ini. Dengan penuh ikhlas dan hormat, penulis ucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, selaku Ketua Jurusan Peradilan Agama dan juga sebagai pembimbing penulis dalam menyusun skirpsi. 3. Ibu Dra. Maskufa, M.Ag, Selaku Dosen Pembimbing, yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan yang berharga dalam penyusunan Skripsi ini. 4. Kedua Orang tua yang wahyu sayangi dan hormati, mereka adalah E.B. Soeroyo H.P. San., dan Asnibet, yang telah banyak memberikan bimbingan
lahir dan batin kepada penulis, memberikan pencerahan ketika penulis mendapatkan kesulitan dan memohonkan doa kepada Allah SWT bagi ketenangan jiwa penulis. Dan kepada kakanda Pireka Plasmawati Bet Nanda serta Adinda Triana Widiastuty Wulan Ningrum Serta Riri Panca Aulia yang juga turut membantu memberikan semangat serta doanya. Wahyu rinduuu… 5. Pakwo, Makwo, beserta keluar keluarga yang ada di Ujung Batu, Om Ar dan Ante sekeluarga di Bengkulu, Pakde dan Bukde di Medan serta Pakle yang berada di Aceh, serta atuk Ruslan di Pasir Rambah serta K.H. Alwi Arifin di Bangkinang. Terimakasih atas bantuan moril dan materilnya. Wahyu Mohon Maaf kalau dalam menyelesaikan kuliah ini banyak merepotkan. Wahyu hanya bisa memohon kepada Allah, mudah-mudahan itu semua akan mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah. Amiin… 6. K.H. TG. Drs. Mukhtar Abdul Witri selaku pengasuh PP Dar El Hikmah Pekanbaru, yang telah banyak memberikan saran-saran, masukan-masukan kepada penulis. 7. K.H. Arwani Faisal, MA, selaku wakil ketua LBM PBNU Pusat, Bapak Muhyidin selaku Kasubdit Pemb. Syari’ah dan Hisab Rukyat Departemen Agama, Bapak Amiruddin selaku pengurus Majlis Tarjih Muhammadiyah, yang dalam kesibukannya masih bisa meluangkan waktu untuk perihal wawancara guna melengkapi meteri dari skripsi ini. 8. Rekan-rekan seperjuangan di Serumpun Mahasiswa Riau (SEMARI) dan IKAPDH, Adi dan Hafiz syukron ya prienternya, Supri thanks ya
komputernya, Do2y yang kocak abis dan temen seangkatan dari DH, Jokef, Arizan, Sukron serta Nia (berjuang terus yaaa...), terimakasih juga kepada teman-teman di lokal PA, Ogan, Azil, Asay, Babong, Rusdi, Deo dan semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu (kapan kita kumpul lagi). Dan tak lupa penulis ucapkan terimaksih kepada Intan yang juga turut memberikan motifasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini I Love You… Mudah-mudahan apa yang penulis sajikan ini di Ridhoi Allah SWT agar mendapatkan keberkahan terhadap karya ilmiah ini sehingga karya ini dapat bermanfaat baik bagi diri penulis, keluarga dan seluruh umat manusia di muka bumi ini. Amiinn.. Jakarta, 27 Maret 2008 Penulis
WAHYU
RIDAS
PERADA
BAB I
PENDAHULUAN ……………………………………………...
1
A. Latar Belakang Masalah............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.........................................
15
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................
15
D. Metode Penelitian...................................................................... 16 E. Sistematika Penulisan................................................................. BAB II
18
QAIDAH FIQHIYYAH DAN KEDUDUKANNYA DALAM HUKUM SYARA’.......................................................................
20
A. Pengertian Qaidah Fiqhiyyah..................................................
20
B. Qaidah Fiqhiyyah Pada Masa Sahabat....................................
24
C. Qaidah Fiqhiyyah Pada Masa Pembukuan, Kematangan,
BAB III
Perkembangan dan Penyempurnaan........................................
29
D. Kedudukan Qaidah Fiqhiyyah Dalam Hukum Syara’.............
32
PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYYAH BERDASARKAN HISAB RUKYAT.........................................
37
A. Pengertian Hisab dan Rukyat....................................................
37
B. Pandangan Fuqaha Mengenai Penetapan Awal Bulan
BAB IV
Hijriyyah...................................................................................
40
C. Aliran-aliran Hisab Rukyat.......................................................
46
PUTUSAN PEMERINTAH DALAM MENETAPKAN 1 (SATU) RAMADHAN DAN 1 (SATU) SYAWAL BERDASARKAN QAIDAH FIQHIYYAH..............................
56
A. Upaya Pemerintah Dalam Penyatuan Pendapat Mengenai 56 Penetapan Awal Bulan Hijriyyah............................................. B. Qaidah-qaidah Fiqhiyyah Yang Berkaitan Dengan Kebijakan 69 Pemerintah............................................................................... C. Analisa/Kedudukan Putusan Pemerintah Dalam Tinjauan 72 Qaidah Fiqhiyyah..................................................................... 76 BAB V
PENUTUP..................................................................................... 76 A. Kesimpulan............................................................................... 77 B. Saran-saran...............................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... LAMPIRAN-LAMPIRAN
78
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan oleh Allah SWT kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang mencakup berbagai aspek kehidupan umat manusia. Kelengkapan seluruh aspek tersebut dapat dipahami salah satunya dari ayat al-Qur’an yang terakhir disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW saat haji wada’ (haji perpisahan) beberapa puluh hari sebelum beliau wafat. Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. Al-Maaidah (5): 3
(٣:٥/ )ا" '&ة."ًْاََْْمَ اَآَْ ُْ دِیَُْْ وَاََُْْ َ َُْْ ﻥَِِْ وَرَُِْ َُُ اِْْ َ مَ دِی Artinya: “…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” Kesempurnaan dan kelengkapan yang mendapat restu Ilahi itu adalah termasuk hukum yang merupakan bagian tak terpisahkan dari agama secara keseluruhan. Sungguhpun demikian, manusia dengan
segala kondisinya
senantiasa berubah seiring dengan perkembangan zaman yang terjadi. Dalam hal seperti ini ajaran Islam termasuk aspek hukum didalamnya tentunya mampu merespon segala perubahan yang terjadi, karena kesempurnaan agama Islam yang ditegaskan dalam ayat al-Qur’an tadi menjadikan ajaran Islam dan segala
aspeknya selalu sesuai dengan kondisi zaman dan tempat dimana umat manusia berada. Fleksibilitas ajaran Islam terletak pada nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip umum yang dikandung dalam sumber ajarannya, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Prinsip-prinsip umum tersebut menurut Fathi Osman disediakan untuk cara hidup perorangan, keluarga, masyarakat, negara dan dunia demi menjamin perdamaian, stabilitas, keadilan dan hubungan-hubungan yang produktif.1 Menurutnya Islam tidak menguraikan program-program praktis yang terinci, karena hal-hal yang rinci tersebut mesti mengalami perubahan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam keadaan lingkungan manusia dengan waktu dan tempat yang berbeda.2 Islam mengizinkan ruang yang luas bagi kreativitas akal manusia untuk mencakup perubahan-perubahan yang muncul pada saatnya, karena akal manusia juga merupakan anugerah dari Tuhan yang harus digunakan dan dikembangkan secara penuh dan hendaknya tidak dibatasi atau dilumpuhkan oleh anugerah Tuhan yang lain yang merupakan pesan-Nya yang mengarahkan. 3 Sebagaimana diketahui, bahwa tujuan utama pensyari’atan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah demi kemaslahatan umat manusia itu sendiri, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Anbiyaa’ (21): 107 1
. Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2006), Cet. Ke.1, h. 80. 2
. Ibid
3
. Ibid., h. 82-83
(١٠٧:٢١ /"ء3ﻥ4َ )ا1َِْ"َ ِْ َ0َْ/َ" ر.ِوَﻡَ" اَرَْ ْ"َكَ إ Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Menurut Fathurrahman Djamil dalam Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, dijelaskan bahwa dalam menghadapi persoalan-persoalan fiqh kontemporer, pengetahuan tentang Maqashid al-Syari'at mutlak diperlukan. 4 Karena fungsi dari Maqashid al-Syari'at adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun diakhirat kelak.5 Adapun Maqashid al-Syari'at yang digunakan pada masalah penentuan awal Ramadhan dan awal Syawal ini adalah memelihara agama (Hifzh al-Din). Karena posisi menjaga agama dalam istilah Maqashid al-Syari'at termasuk posisi yang sangat penting atau berada pada tingkat daruriyyat. Peringkat daruriyyat yaitu memelihara
dan
melaksanakan
kewajiban
agama.
Adapun
memelihara
kebersamaan dalam hal ini sangat diperlukan, dan apabila mengabaikannya maka akan terancamlah ukhuwah Islamiyah. 6 Dengan demikian jelas bahwa keseluruhan aspek ajaran Islam termasuk hukum didalamnya tidak lain diperuntukkan bagi kemaslahatan umat manusia itu 4
. Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Publishing House, 1995), h. 5. 5
6
. Ibid., h. 39
. Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah “Menyatukan NU & Muhammadiyah Dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha”, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 43.
sendiri. Termasuk juga didalamnya hukum ataupun keputusan pemerintah yang mengatur mengenai masalah ibadah khususnya, dalam hal ini ibadah secara keseluruhannya diatur dan ditujukan demi kemaslahatan umat manusia. Sebagaimana telah kita ketahui, salah satu ibadah rutin tahunan umat Islam ialah melaksanakan ibadah puasa pada bulan Ramadhan dan shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Khususnya di Indonesia, mungkin sudah menjadi hal yang lumrah bagi sebagian masyarakat Indonesia yang dalam melaksanakan ibadah puasa dan shalat hari raya, dalam beberapa tahun terakhir ini selalu berbeda dalam hal hari pelaksanaannya, namun dirasakan resah juga bagi sebagian masyarakat Indonesia yang lainnya.7 Adanya perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan misalnya, ini dikarenakan perbedaan orang dalam memahami hadits Nabi yang mengatakan:8
،ِﻥَ"دDEْ أَﺏِ= ا1َ َ;َُ ُ1ِْ ﺏCَْ&ُا3ُ "ََ8.&َ/ .Aْ&ِي3ََُْ ﺏِ?ْ;ٍ ا1ْ&ُ ﺏ.َ>ََُ" ﻡ8.&َ/ .َ0َ3َْ< =ُِ أَﺏ1ََْ"أَﺏُْﺏَْ;ِﺏ8.&َ/ َ. ََِ وIَْ َ ِCَ َ= اN ِC ذَآَ;َ رَُْلُ ا:ََ"لJ ُIَْ ُCْ اَﺏِْ هُ;َیْ;َةَ رَِ=َ ا1َ َِْ;َج4ِْ ا1َ .(َ1ِْ8َ َ8 وْاA&َُP َُْْ َ َِْWُِنْ اUَP ،ِْ;ُوْاPَTَP ُRُُْْ وَإذَا رَأَی،ُُْمSَP ُRُُْْ )إِذَا رَاَی:ََ"لQَP ،َِ َلOْا 9
( X ﻡR)روا
Artinya: Telah diberitakan Abu Bakar ibn Abi Syaibah. Telah diberitakan Muhammad ibn Bisyrin ‘Abdiyyu. Telah diberitakan ‘Ubaidullah ibn Umar dari Abi Zinaadi, dari A’raj, Abi Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW menuturkan hilal (bulan awal tanggal) lalu bersabda: Apabila kamu melihat hilal
7
. Muhammad Iqbal, “Masihkah Kita Berbeda?”, T.B. Sanggam, 11 September 2007, h. 2.
8
. Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, h. 39.
9
. Al-Imam Abi Husaini Muslim Ibn Hajjaji, Shohih Muslim, (Kairo: Darul Hayaa Al-Kitab Al-‘Arabiyah, 1236), Juz. II, h. 762.
maka berpuasalah, apabila kamu melihat hilal maka berbukalah dan apabila kamu melihat hilal tertutup olehmu maka hitunglah tiga puluh hari. (H.R. Muslim). Dan dalam kitab yang sama juga disebutkan
=ِْ أَﺏ1َ ،َة.;ُِ ﻡ1ْْ َْ;ِو ﺏ1َ ،ٍ1َْSُ/ ْ1َ ٍZَْYُP ُ1ْ&ُ ﺏ.َ>ََُ" ﻡ8.&َ/ .َ0َ3َْ< =ُِ أَﺏ1ََْ"أَﺏُْﺏَْ;ِﺏ8.&َ/ :َِْ مQَْ"لَ ﺏَْ`ُ اQَP .َِ َلOْ َ;َاءَ یَْ" ا:ََ"لJ َ0َ ْ[َِ ﻥ1ْ_َ3ََِْ" ﺏEَ" ﻥ.َ َP .ِ ﺥَ;َ^َْ" ِ ُْْ;َة:ََ"لJ .Dَ[َْ;ِى3ْا .َِ َلOْ" رَأَیَْ" ا. اِﻥ:"َْ ُQَP .ٍ"س.3َ ُ1َِْْ" اﺏQَ َP :ََ"لJ .ِ1ََْ َْ ُ1َْْمِ هَُ اﺏQَْ"لَ ﺏَْ`ُ اJَ و.ٍَ َث8 ُ1ْهَُاﺏ .ُ؟Rٍُُْْ رَأَی0َ َْ . أَي:ََ"لQَP .ِ1ََْ َْ ُ1ْ هَُ اﺏ:َِْمQَْ"لَ ﺏَْ`ُ اJَ و.ٍَ َث8 ُ1ْ هَُ اﺏ:َِْمQَْ"لَ ﺏَْ`ُ اQَP ٍ0َ َْ ِ َُOَP ،ِ0َؤْیA; ِ ُR.&ََ ﻡC ا. )إِن:ََ"لJ ِC رَُْلَ ا. إِن:ٍ"س.3َ ُ1َ"لَ اﺏQَP .َاdََا وَآdََ آ0َ َْ "َْ ُJ 10
( X ﻡR )روا.(ُRُُْ ْرَأَی
Artinya: Telah diberitakan Abu Bakar ibn Abi Syaibah. Telah diberitakan Muhammad ibn Fudhail dari Husain, dari ‘Amri ibn Murrah, dari Abul Bakhtari. Dia berkata: Kami pernah keluar untuk umrah. Ketika kami sampai ke Nahklah, kami saling melihat bulan. Sebagian orang mengatakan bulan sudah tiga hari, sebagian yang lain mengatakan, bulan sudah dua hari. Kata Abul Bakhtari: Kemudian kami menemui Ibnu Abbas dan kami katakan, “kami telah melihat bulan. Lalu sebagian orang mengatakan bahwa bulan telah tiga hari dan sebagian yang lain mengatakan bahwa bulan telah dua hari”. Ibnu Abbas bertanya, “menurut kamu, bulan sudah muncul berapa hari?” kami menjawab sekian dan sekian”. Maka Ibnu Abbas mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda: Sesungguhnya Allah membentangkan bulan untuk dilihat, maka mulailah hitungan pada malam kamu melihatnya.” (H.R. Muslim). Namun dalam kitab ringkasan hadist shahih al-Bukhari, diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a. dia berkata: saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,
ِْنUَP ،...) :ُُْلQََ ی. ََِ وIَْ َ ُCَ َ= اN ِC َُِْ رَُْلَ ا:ََ"لJ "َُOَْ ُCُ َُ;َ رَِ=َ ا1ْْ إِﺏ1َ 11
10
11
( ﺏ["ريR )روا.(ُIَْ&ُرُوْاJ"َP َُْْ َ .ُW
. Ibid., h. 326.
. Al-Imam Zainudin Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih Al-Bukhari: At-Tajriid Ash-Shariih li Ahaadits Al-Jaami’ Ash-Shahih. Penerjemah Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 423.
Artinya; Dari Ibnu Umar r.a., dia berkata…"maka apabila langit diselimuti oleh awan (sehingga hilal tidak terlihat), maka genapkan Ramadhan (30 hari)". (H.R. Bukhari) Hadits diatas memiliki redaksi matan yang sama dengan riwayat Muslim, hanya berbeda dalam redaksi yang akhir dari matannya saja. Dari beberapa sumber yang ada, hadist dari Rasulullah SAW selalu mengatakan ‘ra aitumuuhu’ yang artinya melihat hilal. Dan menurut beberapa pendapat, melihat disini harus dengan mata telanjang tanpa menggunakan sebuah alat. Namun ada juga sebagian pendapat yang mengatakan bolehnya melihat bulan dengan menggunakan alat. Hal ini sering digunakan terutama oleh ahli bintang. Ibnu Bathol mengatakan – yang diramu dalam kitab subulussalam – bahwa dalam kedua hadist tersebut terkandung makna larangan untuk mengikuti atau memperhatikan pendapat para ahli bintang.12 Untuk mengakhiri perbantahan hendaklah perkara yang diperbantahkan itu dikembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Sudah tentu dalam mengembalikan setiap sesuatu yang sedang diperbantahkan kepada al-Qur’an dan
12
. Abu Bakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam II, (Surabaya, Al-Ikhlas, 1991), Cet.Ke.1, h. 600.
Sunnah Rasul itu haruslah mempunyai cara yang terkenal dengan qiyas. Sedangkan qiyas adalah ijtihad, ijtihad adalah alat untuk menggali hukum Islam. 13 Dalam keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama disebutkan, “masyarakat akhir-akhir ini sering dikacaukan dengan seruan berhari raya Idul Fitri yang berpedoman kepada hari raya Idul Fitri di Saudi Arabia”. Baru-baru ini yayasan al-Ihtikam merayakan hari raya Idul Fitri juga mengikuti Idul Fitri di Saudi Arabia. Kedua cara tersebut bermaksud melegalisir ru’yatul hilal Negara Saudi Arabia sebagai rukyat internasional. 14 Untuk penetapan awal bulan Hijriyyah atau yang dikenal juga dengan nama tahun Qamariyah, khususnya dalam menetapkan tanggal 1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal, ialah ditetapkan dengan sistem perhitungan tarikh Hijriyyah yang didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi yang lamanya 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik.15 Ketentuan-ketentuan tarikh Hijriyyah didasarkan pada hitungan rata-rata (hisab urfi) dan bukan hitungan yang sebenarnya (hisab hakiki). Namun, untuk keperluan pelaksanaan ibadah, ketentuan berdasarkan hisab urfi ini tidak bisa diberlakukan. Oleh karena itu, dalam menentukan awal
13
. Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan (Masalah Perkawinan), (Jakarta: Firdaus, 2003),
h.17. 14
. Djamaluddin Miri dan Imam Ghazali Said, AHKAMUL FUQAHA, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-1999), (Jawa Timur: Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) bekerja sama dengan Diantama Surabaya, 2004), Cet.Ke.I, h. 541. 15
. Maskufa, “Memahami Tarikh Mesehi dan Hijri: Suatu Perbandingan”, Ahkam, No.1 (Juni 2004): h. 78.
Ramadhan dan awal Syawal misalnya harus dilakukan dengan cara ru’yat atau dilakukan perhitungan berdasarkan hisab hakiki. 16 Abdurrahman al-Jaziri dalam bukunya disebut, bulan Ramadhan dapat ditetapkan dengan menggunakan salah satu dari dua cara berikut: Pertama: Dengan melihat Hilal (bulan sabit) Ramadhan (yang dikenal dengan istilah ‘ru’yatul hilal’), yaitu bila dilangit tidak ada suatu yang dapat menghalangi ru’yat, seperti awan, asap (kabut), abu atau lainnya. Kedua: Dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari, yaitu bila dilangit ada penghalang (untuk dilakukan ru’yat).17 Mengenai penetapan awal Ramadhan dan Syawal dikalangan fuqaha’ terdapat dua aliran, yaitu pertama aliran yang berpegang kepada matla’ (tempat terbitnya fajar dan terbenamnya matahari). Aliran ini ditokohi oleh Imam Syafi’I dan aliran yang kedua aliran yang tidak berpegang kepada matla’ (jumhur fuqaha).18 Untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyyah, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengambil kesimpulan agar dalam penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal berpedoman kepada pendapat jumhur, sehingga rakyat yang terjadi disuatu negara Islam dapat diberlakukan secara internasional (berlaku bagi
16
. Ibid., h. 80.
17
. Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib Al-Arba'ah. Penerjemah Chatibul Umam dan Abu Hurairah. (Jakarta: Darul Ulum Press, 2002), Cet.Ke.II, h. 16. 18
. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: ttp, 2003), h. 42.
negara-negara Islam yang lainnya). Hal ini memerlukan kesempatan untuk dipatuhi oleh seluruh negara-negara Islam. Sebelum itu, berlakulah ketetapan pemerintah masing-masing. Sedangkan untuk masalah penetapan awal dzulhijjah, dalam hal ini berlaku dengan matla’ masing-masing negara.19 Dari keputusan yang dikeluarkan oleh fatwa MUI tersebut, jelas bahwa penetapan tanggal 1 (satu) Ramadhan dan hari raya Idul Fitri di Indonesia harus berdasarkan keputusan pemerintah, yang lebih mengedepankan sifat kebersamaan demi kemaslahatan. Hal ini juga sejalan dengan sebuah qaidah fiqhiyyah yang mengatakan: 20
.َُ ا[ِ َفgَPْ;ََامٌ وَیEُِْْ ُ اْ>َ"آِِ إ/
“Keputusan pemerintah bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan” Menurut pendapat kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Malikiyah, apabila ada orang yang adil, akil dan baligh yang melihat atau menyaksikan adanya hilal, maka mereka diperintahkan untuk memberitahu kepada hakim (pemerintah) atas kesaksiannya
itu, dan apabila hakim (pemerintah)
menyatakan bahwa
kesaksiannya itu sah, barulah hakim menetapkan bahwa besok hari telah diwajibkan untuk melaksanakan puasa Ramadhan.21
19
. Ibid
20
. As-Suyuti, Al-Imam Jalaluddin 'Abdur Rahman ibn Abi Bakri. Al-Ashbah wan Nazdahir fil Furuu'. (Beirut: Dar al-Fikri, t.th.), h. 277. 21
. Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, h. 18-20
Atas dasar inilah setidaknya pemerintah memiliki kewenangan atau turut campur dalam penerapan masalah fiqh, khususnya di Indonesia. Fiqh merupakan produk ijtihad yang bersifat individu, namun fiqh memberikan kesempatan untuk memilih pendapat mana yang paling sesuai dengan kondisi dan kemaslahatannya. Kenyataan seperti ini diakui sendiri serta dipegang secara konsisten oleh para imam mujtahid, sehingga muncullah ungkapan mereka yang sangat popular: 22
.ََاب.Sُ اZَِْ>ٌَ یTَ_ََْ;ِﻥَ" ﺥW َُ وَرَأْيTَ_َ[ُْ اZَِْ>َََابٌ یN "َُرَأْی
“Pendapat kami benar namun mengandung unsur salah, dan pendapat selain kami salah namun mengandung unsur benar”. Atas dasar demikian, ijtihad yang satu tidak dapat menggugurkan ijtihad yang lainnya, atau dengan kata lain, fiqh yang satu tidak dapat menggugurkan fiqh yang lain. Dalam kaitan ini kaidah mengatakan: 23
.َِ"دOِْ^ِ"ْ"َِ`ُ ﺏQَُْ"دُ َ" یOِْ^ِUَْا
“Ijtihad yang satu tidak dapat menggugurkan ijtihad yang lain”. Disinilah perlunya ijtihad diperankan untuk memilih fiqh mana yang paling relevan dengan kemaslahatan. Dengan cara seperti ini pula hukum Islam akan
22
23
. Hosen, Fiqh Perbandingan (Masalah Perkawinan), h. 8
. Al-Imam Jalaluddin 'Abdur Rahman ibn Abi Bakri As-Suyuti, Al-Ashbah wan Nazdahir fil Furuu', (Beirut: Dar al-Fikri,t.th), h. 72.
selalu up to date, cocok dan relevan dengan tuntutan situasi dan kondisi, sepanjang masa, sejalan dengan ungkapan: “Islam itu rel waktu dan tempat”.24 Seperti telah dijelaskan diatas, bahwasanya fiqh itu bersifat individu (tidak mengikat), namun khususnya di Indonesia, umat Islam senang ber-taqlid buta kepada hasil ijtihad sebagian mujtahid. Bahkan para ulama muta’akhkhirin cenderung mewajibkan kaum Muslimin untuk terikat secara ketat dengan salah satu mazhab empat. Mereka tidak membenarkan seseorang berpindah mazhab, bagi yang berpindah mazhab, menurut mereka, harus dijatuhi ta’zir (sanksi). 25 Pandangan seperti ini tentunya tidak sejalan dengan Firman Allah yang menyebutkan. Q.S. An-Nahl 16: 43
(٤٣:١٦ /Z>آْ;ِ اِنْ آُُْْ َْ َُْنَ )اDdَ اZَْ ُ أَهjْXَP Artinya: “…Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. 26
ُIَ َlَْهdَاََْ"ﻡِ= َ"ﻡ
“orang awam (yang tidak atau belum memenuhi syarat-syarat ijtihad) tidak mempunyai mazhab”. Hanya saja dalam rangka untuk mewujudkan kesamaan atau keseragaman dalam amaliah – terutama yang menyangkut masalah kemasyarakatan
24
. Hosen, Fiqh Perbandingan (Masalah Perkawinan), h. 8
25
. Ibid., h. 10-11.
26
. Ibid
(mu’amalah) dan hal-hal yang tidak diwajibkan atau dilarang oleh Allah dan Rasul (al-maskut ‘anhu), yaitu hal-hal yang termasuk kategori mubah. Terhadap hal-hal yang bersifat mubah inilah pemerintah (ulil amri) diberi hak oleh ajaran Islam untuk dipatuhi oleh umat Islam. Permasalahan fiqh seperti inilah yang membuat pemerintah setempat sebagai unifying force langsung turun tangan. 27 Jika pemerintah memerintahkan atau melarang sesuatu yang mubah, umat Islam harus (wajib) mematuhinya,28 sepanjang mubah yang dilarang atau diwajibkan itu menyangkut kemaslahatan masyarakat dan merupakan sesuatu yang benar-benar mubah bagi masyarakat. Allah SWT berfirman dalam Q.S. An-Nisaa’: 41:59
(٥٩:٤ /"ءXَﻡْ;ِ ﻡُِْْ )ا4ُْلَ وَأُوِْ= ا.;ُِْا اm ََ وَاCُِْا اm ََ أَﻡَُْا أ1ِْیd.َ" اOAَیTَی Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…” Ayat ini sejalan dengan hadits Nabi SAW:
)اََُْْا:َ. ََِ وIَْ َ ُCَ َ= اN ِCَ"لَ رَُْلُ اJ :ََ"لJ ،ُIَْ ُCٍ رََِ اoِ"َِ ﻡ1ِْ ﺏnَْ اَﻥ1َ 29
(["ري3 اR )روا.(ٌ0َ3ُِْ زَﺏIَْ رَأ.َنTَ آ،AِXَ3َ/ ٌ&ْ3َ َُْْ َ َZُِْْ وَإِنِ ا،ُِْْاmَوَا
Artinya: Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a., dia berkata, "Rasulullah SAW pernah bersabda, "dengarkan dan patuhi pemimpin kalian, meskipun kalian
27
. Ibid., h.12-13.
28
. As-Sanhuri, Tasyri’ al-Usrah, (Mesir: al-Jam’iyyah al-Misriyyah li al-Iqtisad as-Siyasi wa al-Ihsa’ wa at-Tasri’, t.th), h. 566. 29
. Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih Al-Bukhari, h. 1055.
dipimpin oleh seorang budak dari Habasyah/Ethiopia yang rambutnya seperti kismis". (H.R. Bukhari) Sungguhpun demikian, umat Islam tidak wajib patuh manakala pendapat atau ketetapan pemerintah itu membawa pada jalan maksiat atau kekufuran yang nyata. Nabi juga menegaskan dalam sabdanya:
ِْ ْXُْ َ =َ اَْ;ْءِ ا:"لJ Iَ أﻥ. ََِ وIَْ َ ُCَ َ= اN Dِ3.ِ ا1َ ،"َُOَْ ُCُ َُ;َ رَِ=َ ا1ْْ إِﺏ1َ "َm َrََ وgَْ َ َP ٍ0َِSَِِْنْ أُﻡِ;َ ﺏUَP ،ٍ0َِSَِْْﻡَ;َ ﺏqُ" أَنْ ی.ِ إ،ِRِ;َ وَ آ.lَ/ََِْ" أP ،ُ0َ"._َ وَاgَْ.Xا 30
( X ﻡR )رو.َ0َ
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., dari Nabi SAW beliau bersabda: " Seorang Muslim wajib mematuhi yang dia senangi ataupun tidak (terpaksa), kecuali jika dia diperintah untuk melakukan maksiat. Apabila diperintah untuk maksiat, tidak ada kewajiban patuh dan taat”. (H.R. Muslim). Khalifah pertama Abu Bakar Siddiq r.a., dalam pidatonya beliau pernah mengatakan: (“Patuhilah saya dalam urusan kalian, selama saya juga patuh kepada Allah. Bila saya durhaka kepada-Nya, jangan kamu patuhi saya. Bila saya berbuat baik, dukunglah saya, dan bila saya berbuat buruk, luruskanlah saya”). Dalam salah satu hadist shahih juga dikatakan, bahwasanya Rasulullah pada waktu hendak mengutus Mu’az bin Jabal menjadi qadli negeri Yaman, beliau bersabda: Artinya; “Apakah yang engkau perbuat manakala keputusanmu dalam sesuatu perkara? Mu’az menjawab, ‘aku putuskan menurut nash yang ada dalam 30
. Al-Hafizh ‘Abdul ‘Azhim bin ‘Abdul Qawi Zakiyuddin Al-Mundziri, Mukhtashar Shahih Muslim. Penerjemah Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Cet.II, h. 723.
Kitabullah’, kata Rasulullah, ‘bagaimana jika tidak terdapat didalam Kitabullah’? Mu’az menjawab, ‘aku putuskan menurut nash yang ada dalam sunnah Rasul’. Kata Rasul, ‘bagaimana jika itu tidak terdapat didalam sunnah Rasul’? Mu’az menjawab, ‘aku berijtihad dengan seksama’. Kemudian berkatalah Mu’az, lalu Rasulullah menepuk dadaku dengan tangannya sambil mengucapkan:
ِCِ َِ"یُ;ِْ= رَُْلَ اCَ رَُْلَ رَُْلِ اs.Pَِىْ وd.ِ اIّ ُ&َْ>َْا “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah pada jalan yang diridhai oleh Rasulullah”.31
Mungkin dari contoh sejarah singkat diatas, dapatlah kita ambil kesimpulan, bahwasanya keputusan qadli (hakim/pemerintah) harus diikuti demi menciptakan persamaan dan agar tidak terjadi perbedaan, dan Rasul telah nyata mengatakan pendapat/tindakan Mu’az diatas benar dan tidak menyalahi ajaran Islam. Berdasarkan permasalahan diatas, maka penulis merasa sangat perlu untuk mencoba meneliti bagaimana peran qaidah fiqhiyyah terhadap kebijakan pemerintah di Indonesia dalam penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Untuk itu penulis mencoba melakukan penelitian dengan judul: “PERAN QAIDAH FIQHIYYAH
TERHADAP
KEBIJAKAN
PEMERINTAH
DALAM
PENETAPAN 1 (SATU) RAMADHAN DAN 1 (SATU) SYAWAL/IDUL FITRI DI INDONESIA”.
31
. Hosen, Fiqh Perbandingan (Masalah Perkawinan), h. 13.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Pembatasan Masalahnya adalah bagaimana peran qaidah fiqhiyyah dalam kebijakan pemerintah mengenai penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal di Indonesia. Dari latar belakang dan pembatasan masalah diatas, penulis dapat rumuskan sebagai berikut: Perbedaan waktu dalam penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal di Indonesia berjalan tetap, walau masing-masing pihak menggunakan argumentasinya dalam menentukan kapan jatuhnya tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Walaupun telah ditempuh langkah oleh pemerintah untuk menyatukannya dengan menggunakan sistem Imkanu Rukyat (kemungkinan hilal dapat dirukyat), namun tetap tidak dapat disatukan. Harapan penyatuan secara penuh agaknya mustahil, bila dihadapkan pada kelompok wujudul hilal, hal ini perlu penelusuran yang lebih objektif dan komprehensif sehingga tetap dalam koridor kemaslahatan. Dari rumusan diatas, dapat diajukan beberapa pertanyaan yang akan diteliti, yaitu: 1. Bagaimana kedudukan qaidah fiqhiyyah dalam hukum Islam? 2. Bagaimana upaya pemerintah dalam penetapan awal bulan Hijriyyah? 3. Bagaimana peran qaidah fiqhiyyah terhadap kebijakan pemerintah dalam penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal di Indonesia? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui konsep dasar dari qaidah fiqhiyyah, serta fungsinya dalam penerapan hukum di Indonesia. b. Untuk lebih mengetahui bagaimana eksistensi qaidah fiqhiyyah terhadap putusan pemerintah. c. Untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab sehingga terjadinya ketidak seragaman waktu/hari dalam melaksanakan puasa Ramadhan dan shalat Idul Fitri. 2. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: a. Agar tidak terjadi perbedaan waktu dalam penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri, khususnya di Indonesia. b. Bagi jurusan Ahwal Al Syakhshiyah, hasil penelitian ini dapat menambah khazanah pemikiran. c. Bagi dunia pustaka, hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan koleksi dalam ruang lingkup karya ilmiah. d. Bagi peneliti, dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam masalah ini. e. Bagi masyarakat, sekiranya bisa terciptanya ukhuwah Islamiyyah yang adil dan benar sesuai dengan syari’at Islam. D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian pada skripsi ini adalah penelitian hukum normatif dan studi kebijakan, dalam arti penelitian yang menelaah permasalahan yang dikaitkan
dengan norma (kaidah) hukum, dalam hal ini qaidah fiqhiyyah, dan kebijakan yang diambil adalah yang merupakan putusan pemerintah. 2. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu data yang tidak disuguhkan dalam bentuk angka-angka. Dalam hal ini data tersebut berupa pemikiran, yaitu kaidah-kaidah hukum Islam dan putusan pemerintah serta berbagai pendapat dan fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai konsep penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal serta data-data lain yang ada relevansinya dengan masalah yang dikaji. 3. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam skripsi ini adalah studi dokumentasi, dalam hal ini penelitian kepustakaan (Library Research). Sedangkan sumber data yang digunakan diantaranya adalah: a. Sumber Data Primer, antara lain ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas. Termasuk sumber data primer juga adalah keputusan menteri Agama, kitab-kitab ushul fiqh dan qawaid fiqhiyyah serta berbagai buku mengenai kaidah-kaidah hukum Islam. b. Sumber Data Sekunder, antara lain buku tafsir yang digunakan dalam memahami ayat al-Qur’an yang dikutip dalam tulisan ini, serta beberapa buku karangan para pakar hukum yang ada kaitannya dengan masalah yang dikaji.
c. Sumber Data Tersier, yaitu pendapat-pendapat dari kalangan ormas-ormas yang sesuai dengan masalah yang dikaji. Seperti MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dll. E. Sistematika Penulisan Adapun mengenai sistematika penulisan, dalam hal ini peneliti membaginya dalam lima bab yang secara garis besar adalah sebagai berikut: BAB PERTAMA Berisi tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan BAB KEDUA Berisi tentang qaidah fiqhiyyah dan kedudukannya dalam hukum syara’ yang meliputi pengertian qaidah fiqhiyyah, qaidah fiqhiyyah pada masa sahabat, qaidah fiqhiyyah pada masa perkembangan, pembukuan, kematangan dan penyempurnaan, dan kedudukan qaidah fiqhiyyah dalam hukum Islam. BAB KETIGA Berisi tentang penentuan awal bulan hijriyyah berdasarkan hisab ru’yat yang meliputi pengertian hisab dan ru’yat, pandangan fuqaha mengenai penetapan awal bulan hijriyyah dan aliran-aliran hisab ru’yat. BAB KEEMPAT Berisi tentang putusan pemerintah dalam menetapkan 1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal berdasarkan qaidah fiqhiyyah yang meliputi upaya
pemerintah dalam penyatuan pendapat mengenai penetapan awal bulan hijriyyah, qaidah-qaidah fiqhiyyah yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah dan analisa/kedudukan putusan pemerintah dalam tinjauan qaidah fiqhiyyah. BAB KELIMA Berisi tentang penutup yang meliputi kesimpulan, saran-saran.
BAB II SEJARAH SINGKAT QAIDAH FIQHIYYAH DAN KEDUDUKANNYA DALAM HUKUM SYARA' A. Pengertian dan Sejarah Singkat Qaidah Fiqhiyyah Qa'idah secara etimologi ialah asas atau dasar.32 Ada juga sebagian ahli fiqh yang mengartikan qaidah dengan aturan-aturan atau patokan-patokan. Bentuk jamak dari qaidah ialah qawa’id, yaitu beberapa asas atau beberapa dasar dari segala sesuatu, baik yang bersifat abstrak maupun yang bersifat konkrit. Atau qaidah juga bisa disebut sebagai sesuatu yang bersifat umum yang mencakup bagian-bagiannya. Kata qa'idah juga dapat kita temukan dalam QS Al-Baqarah (2): 127
/;ةQ3ُ اَْ ُِْ )اgِْ.Xَ اَﻥَْ اo." اِﻥ.ِْ ﻡZ.3َQَ "َ.َ رَﺏZِْ"ََِِْْ وَإ3َْ ا1ََِاِ&َ ﻡQَُْ إِﺏْ;اَهُِْ اgَPْ;َوَإِذْ ی (١٢٧:٢ Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasardasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". Arti fiqhiyyah yang diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan huruf “ya nisbah” yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Fiqh sendiri secara bahasa berarti suatu pemahaman yang sangat tajam atau mendalam.
32
. Ahmad Sudirman Abbas. Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004), Cet.Ke.I, h. 55.
Adapun fiqh secara istilah ialah mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.33 Dari pengertian singkat diatas dapatlah kita ambil beberapa kesimpulan bahwasanya: 1. Menurut Imam Tajjudin as-Subki qaidah fiqhiyyah yaitu suatu perkara yang kulli yang bersesuaian dengan juz’iyyah yang banyak dari padanya diketahui hukum-hukum juz’iyyah itu.34 2. Qaidah fiqhiyyah ialah sesuatu yang merupakan kumpulan hukum yang serupa, dimana antara satu hukum dengan hukum lainnya dipertemukan oleh satu illat.35 3. Qaidah fiqhiyyah ialah qaidah yang memuat beberapa hukum syara’ dari beberapa bab yang berbeda-beda sehingga bagian-bagiannya memiliki hubungan yang erat kaitannya dengan qaidah itu.36 Sudah tentu masih sangat banyak lagi defenisi-defenisi yang lain tentang pengertian
fiqh
maupun
qaidah fiqhiyyah.
Para ulama berbeda dalam
menakrifkannya karena berbeda didalam memahami ruang lingkup fiqh dan dari
33
. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 2-3.
34
. Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah & Fiqhiyyah “Pedoman Dasar Dalam Istimbath Hukum Islam”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 97-98. 35
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 86.
36
. Ibid, h. 61
sisi mana mereka melihat
fiqh.37 Walaupun demikian, tampaknya ada
kecenderungan bersama bahwa fiqh adalah satu sistem hukum yang sangat erat kaitannya dengan agama Islam. Bila dicermati dua defenisi tersebut atau bahkan didefenisi-defenisi lain yang dikemukakan oleh para fuqaha, maka makna fiqh dapat kita simpulkan pada beberapa pokok, yaitu: 1. Sumbernya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. 2. Fiqh merupakan bagian dari syari’ah. 3. Membahas hukum yang bersifat amali. 4. Obyeknya terhadap orang mukallaf.38 5. Dilakukan dengan jalan istimbath atau ijtihad. Proses pengambilan atau pembentukan kaidah fiqhiyyah dapat dirumuskan sebagai berikut: Al-Qur’an/Al-Sunnah – Ushul Al-Fiqh – Fiqh – Qaidah Fiqhiyyah.39 Maksudnya ialah al-Qur’an atau Sunnah merupakan produk utama dalam pembentukan qaidah fiqhiyyah, ushul fiqh yaitu pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dijadikan cara/metode untuk menetapkan fiqh atau bisa juga disebut dengan metodologi hukum Islam,40 fiqh merupakan produk pemahaman
37
. Ahmad Djazuli, Ilmu Fiqh (Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam), (Jakarta: Kencana, 2005), h. 6. 38
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 85.
39
. Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah Asasi), (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002) Cet. Pertama, h. 160. 40
. Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 8-9.
para ulama terhadap al-Qur’an dan Sunnah, dan fiqh yang begitu luas diambil prinsip-prinsip umumnya oleh ulama yang kemudian disebut qaidah fiqhiyyah. Contoh: 41
"َِ&ِهN "َQَِاَْ"ُﻡُْرُ ﺏ
Segala sesuatu tergantung kepada niatnya Dasar pengambilan dari kaidah ini ialah ayat al-Qur’an surat al-Imran ayat 145:
(١٤٥:٣ /َ" )ال ;انOِْ ِﻡIِْqَُﺥِ;َةَ ﻥTََْابَ ا8 ْْ یُ;ِد1ََ" وَﻡOِِْ ﻡIِْqُ&ْﻥَ"ﻥAََابَ ا8 ْْ یُ;ِد1َوَﻡ Artinya: Barang siapa menghendaki dunia niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia dan barang siapa menghendaki akhirat niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia. Dan al-Qur’an surat al-Bayyinah ayat 5:
(٩٨:٥ /03َ"ءَ )اvَُ/ َ1ْیD&ُ اIَ َ1ِْSِ ْ[َُ ﻡCُ&ُوا ا3َِْ ".ِوَﻡَ" أُﻡِ;ُوا إ Artinya: Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan kepadanya dalam agama yang lurus. Adapun hadits Nabi Muhammad SAW adalah 42
ِ"ت.D "ََِْ" لُ ﺏrَْ"ا.إِﻥ
Semua amal perbuatan itu tergantung kepada niat pelakunya
41
42
. Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyyah, h. 39-40.
. Al-Imam Zainudin Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih Al-Bukhari: “At-Tajriid Ash-Shariih li Ahaadits Al-Jaami’ Ash-Shahih: terjemah Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 31.
Qaidah fiqhiyyah disebut juga sebagai qaidah syari’iyyah43, bagi seorang mujtahid untuk memudahkan dalam mengistimbathkan hukum yang sesuai dengan tujuan dari syari’at dan untuk kemaslahatan manusia. B. Qaidah Fiqhiyyah Pada Masa Sahabat Sebelum kita membahas sejarah singkat qaidah fiqhiyyah pada masa sahabat,
maka
alangkah
baiknya
kalau
dilihat
bagaimana
sejarah
pembentukan/munculnya qaidah fiqhiyyah yaitu yang dimulai pada masa Rasulullah SAW. Berbicara masalah qaidah fiqhiyyah, berarti juga membahas tentang ilmu fiqh. Karena ilmu fiqh merupakan induk dari tempat lahirnya qaidah fiqhiyyah itu sendiri.44 Dengan melihat histori dari pembentukan fiqh ini, hendaknya dapat memperoleh pandangan sekitar latar belakang dan situasi yang melingkupi serta turut menyertai kelahirannya. Posisi fiqh lebih berada pada wilayah praktis dari pada teoritis. Para sahabat akan menanyakan persoalan baru kepada Nabi setelah persoalan itu terjadi. Tidak ada usaha untuk membuat kerangka teori dalam berfikir untuk kedepan.45 Disamping itu Nabi tidak mewariskan ilmu fiqh dalam bentuk buku, beliau hanya meninggalkan prinsip-prinsip hukum yang universal, qaidah-qaidah umum, dan beberapa hukum-hukum parsial tertentu yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an
43
. Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah & Fiqhiyyah”, h. 97-98.
44
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 1
45
. Mustafa Ahmad Al-Zarqa', Al-Madkhal al-Fiqh Al-'Ami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1967), Juz. I, h. 149.
dan al-Hadits. Qaidah-qaidah umum itu dapat dijadikan sebagai kerangka berfikir untuk memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat parsial.46 Jadi dengan qaidah itu, fiqh akan tetap dinamis, fleksibel dan tetap akan memiliki cakupan wilayah yang luas. Sebenarnya al-Qur'an dan Hadits banyak mengandung ayat-ayat dan penjelasan yang artinya sangat umum dan menjadi landasan bagi persoalanpersoalan yang bersifat parsial seperti: a. Al-Qur'an
َC".ّ"سِ أَنْ َ>ُُْْا ﺏِ" َْ&ْلِ إِﻥ.َ ا1َََُْْْ ﺏ/ َ" وَإِذَاOِ َْﻡََِ إَِ= أَهTْوا اAَدqُ ْْ ﻡُ;ُآُْ أَنTََ یC ا.إِن (٥٨:٤ /"ءXِْ;ًا )اSََ آَ"نَ ًَِْ" ﺏC ا.ِ إِنIُُِْ ﺏxَِ" ی.ِِﻥ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat”.
(١٥:١٧ /Z'ً )إ;اrََُْ رzَْ3َ= ﻥ.َ/ ِ1ِْﺏDdَُ" ﻡ.ُِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُﺥْ;َى وَﻡَ" آEَ"ََو... Artinya: “…dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang Rasul”
(٣٩:٥٣) /{" ﻡَ" ََ= )ا.ِِ إ1َXِْﻥUْ ِ َnَْ ن ْ َوَأ Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”.
46
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 2-3.
b. Al-Hadist 47
ََ"َ;َرَوََ"ِ;َار
"Tidak boleh berbuat dlarar kepada diri sendiri dan orang lain" 48
َْ"تD "ََِْ" لُ ﺏ4َْ" ا.إِﻥ
"Perbuatan itu tergantung kepada niatnya" 49
ِْOِmْْ ُِْنَ َ =َ <ُ;ُوXَُْا
"Orang Islam tergantung pada syaratnya" Menurut ajaran Islam, yang memiliki otoritas tertinggi dalam penetapan hukum adalah Allah SWT. Sedangkan Nabi Muhammad SAW ialah utusan Allah yang bertugas untuk menyampaikan dan melaksanakan perintah-perintah yang diberikan oleh Allah. Dengan demikian, segala sesuatu yang bersumber dari Allah, yang disampaikan melalui wahyu-wahyu-Nya, yang berfungsi sebagai peraturan-peraturan yang bersifat mengikat dan harus dilaksanakan. Fungsi dan tugas Nabi Muhammad SAW tersebut ditegaskan Allah dalam firman-Nya QS. Al-Hasyr (59): 7
/;?>َ"بِ )اQَِْ <َ&ِیْ&ُ اC ا.َ إِنCُْا اQ.ُْا وَاOََْ"ﻥP ُIَْ َُْOَُ وَﻡَ" ﻥRُْوdُ[َP ُُْل.;وَﻡَ" ءَاَُُ ا (٧:٥٩
47
. Al-Syaikh Ahmad Ibn Al-Syaikh Muhammad Al-Zarqa, Syarh Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyat, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1989), h. 36. 48
. Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, al-Lu’lu’ wal Marjan, Himpunan Hadits Shahih Yang di Sepakati Oleh Bukhari dan Muslim, Penerjemah Salim Bahreisy, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, t.th.), h. 2. 49
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 7.
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya”. Maka dengan posisi beliau sebagai utusan Allah SWT. Nabi Muhammad SAW tidak hanya meninggalkan umatnya begitu saja setelah beliau wafat. Tetapi Nabi juga mengembangkan secara sempurna terhadap dalil-dalil nash yang sharih, global dan universal. Selain mempunyai wewenang menerima wahyu, Nabi Muhammad SAW juga berwenang untuk memperjelas hukum-hukum Allah tersebut.50 Penjelasan Nabi ini tidak hanya sekedar keinginan dari Nabi sendiri, tetapi juga merupakan suatu tugas Nabi sebagai mubayyin (penjelas) yang juga ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nahl (16): 44
(٤٤:١٦ /Z>;ُوْنَ )ا.َvََُْ یO. َََِْ وOَِْلَ إDEُ"سِ ﻡَ" ﻥ. ِ َ1Dَ3ُِ َ;ْآDdَ اoَََِْْ" إEْوَأَﻥ Artinya: “Dan kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. Sebelum wafatnya Nabi Muhammad SAW, segala permasalahan yang sedang dialami oleh masyarakat Muslim dapat dijawab langsung oleh teks-teks primer al-Qur’an dan Sunnah. Namun, sepeninggal Nabi Muhammad SAW umat Islam dihadapkan dengan suatu permasalahan yang besar. Seperti bagaimana cara menentukan hukum apabila suatu perkara tersebut belum pernah terjadi 50
. Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), Cet.Ke.III, h. 14.
sebelumnya pada masa Nabi, ada juga para sahabat yang berlainan tentang jawaban dari suatu perkara.51 Namun hal tersebut bukanlah menjadi suatu penghambat – bagi para sahabat khususnya – dalam menegakkan ajaran Islam. Kedudukan ijtihad pada masa Nabi belum dapat dipandang sebagai alat penggali hukum,52 karena sahabat melakukan ijtihad hanya apabila keadaan yang berjauhan dengan Nabi. Namun kemudian kejadian tersebut disampaikan kepada Nabi dan apabila ijtihad tersebut benar sesuai dengan nash, maka ijtihad tadi mendapat pembenaran langsung dari Nabi, tapi apabila salah maka Nabi yang akan memberikan pembenaran. Sehingga penggunaan rasio tidak begitu digunakan secara maksimal pada masa sahabat.53 Pada masa sahabat, seluruh pola berfikir tentang hukum Islam telah berubah. 54 Ijtihad pada masa sahabat digunakan karena ada persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi, sehingga memaksa mereka untuk berijtihad. Metode ini digunakan untuk mencari kebenaran terlebih dahulu didalam al-Qur’an, apabila mereka tidak menemukan maka mereka mencari pada Sunnah Nabi. Mereka melakukan musyawarah dengan para sahabat yang pernah mendengar langsung dari Nabi tentang permasalahan yang akan dipecahkan. Jika 51
. Ibid., h. 4
52
. Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan (Masalah Perkawinan), (Jakarta: Firdaus, 2003),
53
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 10.
54
. Ibid
h.19.
mereka tidak menemukan jawabannya, barulah mereka menggunakan ra’yu atau berijtihad.55 Seperti contoh yaitu pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar r.a., ketika menghadapi masalah-masalah baru, keduanya mengumpulkan sahabat untuk dimintai pendapatnya dan apa yang telah disepakati maka itu yang dijalankan. 56 C. Qaidah Fiqhiyyah Pada Masa Pembukuan, Kematangan, Perkembangan dan Penyempurnaan Awal mula qaidah fiqhiyyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad ke 4 H dan terus berlanjut hingga masa setelahnya. Hal ini terjadi dikarenakan kecenderungan taqlid
mulai tampak dan semangat ijtihad
telah melemah karena saat itu fiqh mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal ini berimbas terhadap terkotak-kotaknya fiqh dalam mazhab.57 Menjawab beberapa persoalan fiqh dengan menggunakan metode qiyas menyebabkan fiqh menjadi semakin berkembang dan menjadi luas sehingga mampu menjawab seluruh persoalannya. Pada saat itulah para ahli fiqh membuat metode baru.58
55
. Ibid., h. 11
56
. Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 28.
57
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 32
58
. Ibid., h. 32-33
Menurut beberapa kalangan bahwa Abu Thahir al-Dabbas - ulama abad ke 4 H59- merupakan orang pertama yang mengumpulkan qaidah-qaidah penting dari Imam Abu Hanifah sebanyak 17 qaidah. Diantara qaidah yang dikumpulkan oleh Abu Thahir adalah lima qaidah dasar yaitu:60 61
"َِ&ِهN "َQَُِﻡُْرُ ﺏ4ا
"Segala sesuatu tergantung pada tujuannya" 62
ّo.?"ُِوْلُ ﺏEَُ َ" ی1ِْQَا
"Keyakinan tidak dapat dihilangklan dengan keraguan" 63
;ِْXْ.ُ اlِ ْ{َ ُ0.Qَ?َا
"Kesulitan menarik kemudahan" 64
َُالEُِ;َارَ یYا
"Kerusakan harus dihilangkan" 65
0َ.َ>ُاَ"دَةُ ﻡ
"Adat dapat dijadikan hukum" Diperkirakan bahwa Imam al-Karhi (340 H), (teman abu Thahir), mengambil sebagian qaidah yang telah dikumpulkan oleh Abu Thahir lalu diintegralkan dalam risalahnya sehingga jumlahnya mencapai 30 qaidah.66 59
. Mubarok, Kaidah Fiqh, h. 63-65.
60
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 34.
61
. Ibid., 35
62
. Ibid
63
. Ibid
64
. Mubarok, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah Asasi), h. 65.
65
. Ibid
Pada abad ke 5 H, Imam Abu Zaid al-Dabbusi menambah jumlah qaidah Imam Karhi. Pada abad ke 6 H muncul satu kitab yang ditulis oleh Ala'uddin Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi dengan judul Idhah al-Qaidah. Pada abad ke 7 H, qaidah fiqhiyyah mengalami perkembangan yang sangat signifikan walaupun terlalu dini untuk dikatakan matang. Diantara ulama yang menulis kitab qaidah pada masa ini adalah al-'Allamah Muhammad bin Ibrahim al-Jurjani alSahlaki, ia menulis dengan judul Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam yang sempat menjadi kitab yang terkenal.67 Karya-karya para Imam-imam diatas menunjukkan bahwa qaidah fiqhiyyah mulai berkembang dengan pesat pada abad ke 7 H. qaidah fiqhiyyah pada abad ini tampak tertutup namun sedikit demi sedikit mulai meluas.68 Adapun pembukuan tentang kitab qaidah fiqhiyyah ini mencapai puncaknya yaitu pada abad ke 10 H, yaitu ketika masa al-Suyuthi (w. 910 H) dalam kitabnya Al-Aysbah wa al-Nazair, ia mencoba menyederhanakan qaidah-qaidah penting yang ada dalam kitab milik al-'Alai, al-Subki yaitu kitab-kitab yang membahas tentang qaidah namun masih tercampur dengan qaidah ushul fiqh.69 Setelah beberapa abad qaidah fiqhiyyah ini berkembang dikalangan para imam mazhab,
maka mereka juga berupaya untuk
66
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 35
67
. Ibid., h. 36
68
. Ibid., h. 37
69
. Ibid., h. 39
memberikan suatu
penyempurnaan yang pada masa sebelumnya mengalami sedikit kekurangan seperti berbentuk korpus yang tercecer dan lain-lain. Kematangan qaidah mencapai puncaknya setelah muncul majallah al-Ahkam al-Adliyyah yang dikerjakan oleh tim ahli fiqh pada masa pemerintahan Sultan Al-Ghazi Abdul Aziz Khan Al-Ustmani pada akhir abad ke 13 H.70 Pada masa ini qaidah fiqhiyyah juga dijadikan sebagai acuan dalam menetapkan hukum dibeberapa Mahkamah. D. Kedudukan Qaidah Fiqhiyyah Dalam Hukum Syara' Kedudukan qaidah fiqhiyah dalam upaya untuk menentukan ukhuwah Islamiyah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: dalil pelengkap dan dalil mandiri.71 Dalil pelengkap yaitu bahwa dalil yang bersumber dari qaidah fiqhiyah dapat digunakan setelah menggunakan dua dalil pokok yaitu al-Quran dan Sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan dalil mandiri adalah bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Qaidah fiqh yang dianggap sebagai dalil pelengkap ini, tidak ada ulama yang
memperdebatkannya,
dan
70
. Ibid., h. 49-50
71
. Mubarok, Kaidah Fiqh, h.29.
mereka
berpendapat
tentang
kebolehan
menjadikan qaidah fiqh sebagai dalil pelengkap. Tetapi dalam pengertian tentang qaidah fiqh sebagai dalil mandiri, sebagai ulama berbeda pendapat.72 Imam al-Haramain al-Juwaini berpendapat bahwa qaidah fiqh boleh dijadikan sebagai dalil mandiri, karena dianggap sebagai upaya untuk mempermudah dalam memahami beberapa ayat al-Quran dan Sunnah.73 Sedangkan ulama yang berbeda pendapat yaitu al-Hamawi. Beliau berpendapat bahwa qaidah fiqh tidak bisa dikatakan sebagai dalil mandiri. Karena setiap qaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat atau aktsariyat.74 Oleh karena itu, setiap qaidah memiliki pengecualian-pengecualian. Karena memiliki pengecualian yang kita tidak mengetahui secara pasti pengecualianpengecualian tersebut, qaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang sangat baik.75 Jadi atas dasar inilah al-Hamawi berpendapat untuk menolak menjadikan qaidah fiqh sebagai dalil hukum mandiri, karena bisa saja persoalan-persoalan yang sedang diputuskan hukumnya termasuk pada kelompok pengecualian.76
72
. Mubarok, Kaidah Fiqh, h. 30
73
. Ibid., h. 35.
74
. Ibid., 36
75
. Ibid
76
. Ibid
Contoh. Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor 459/S/1986 tanggal 9 Februari 1986 tentang gugatan nafkah anak. Dalam keputusan tersebut, hakim mengutip kitab Madzahib al-Arba’at (j.IV, h. 587-588) sebagai berikut:77
ِﻡَ"ن.Eَ اYَُِ اْ"َوَْ"دِ ﺏ0َQْvََ~َ ﻥQََو
78
“Nafkah anak-anak gugur disebabkan telah berlalu waktunya (daluarsa).” Bahwasanya Pengadilan tersebut menjadikan qaidah fiqh sebagai salah satu dasar pertimbangan hukum dengan tidak menggunakan al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar pertimbangan. Adapun kegunaan dari qaidah fiqh ialah, diantaranya:79 1. Mempermudah dalam menguasai materi hukum 2. Qaidah merupakan alat pembantu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang diperdebatkan 3. Mendidik orang yang berbakat fikih dalam melakukan analogi dalam mengetahui hukum terhadap permasalahan baru 4. Mempermudah orang dalam memahami bagian-bagian hukum 5. Sebagai upaya dalam pengembangan hukum (takhrij) dan mengupayakan pilihan hukum (tarjih)80
77
. Ibid., h. 37
78
. Ibid
79
. Ibid., h. 28.
80
. Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyyah, 19.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwasanya sumber pembentukan qaidah fiqhiyyah ialah dari Al-Qur’an/Al-Sunnah – Ushul Al-Fiqh – Fiqh Qaidah Fiqhiyyah. Namun, dalam pengambilan hukum dalam suatu masalah tentunya harus merujuk terlebih dahulu kepada al-Qur'an dan Sunnah. Qaidah fiqhiyyah tentunya dapat dijadikan sebagai dalil dalam pengambilan hukum apabila qaidah itu didasarkan kepada Qur'an dan Sunnah. Dalil qaidah: "َوَﻡ
ٍَ;َج/ ْ1ِِ ﻡ1ْیD&ِ اP َُْْ َ"َیZََ^ menjadikan qaidah: "َِ&ِهN "َQَُِﻡُْرُ ﺏTَْ اsebagai dalil karena didasarkan pada hadis Nabi: 81
اﻡْ;ِئٍ ﻡَ" ﻥََىDZُِ "َ.َ"تِ وَإِﻥD"ََِْ"لُ ﺏ4َْ" ا.إِﻥ
Menurut sebagian ulama tidak semua qaidah fiqhiyyah dapat dijadikan dalil. Seperti ketika meneliti beberapa masalah yang diungkapkan atau didasarkan pada kesimpulan dari ulama fiqh, karena mengeluarkan metode dengan sistem seperti itu tidak dapat dijamin kebenarannya dan qaidah itu hanya dijadikan sebagai penguat saja.82 Sebab para ahli fiqh ketika tidak menemukan dasar yang kuat dari al-Qur'an atau Hadits, maka mereka tidak memutuskan dengan menggunakan qaidah-qaidah fiqhiyyah. Jadi tidak dibenarkan memutuskan hukum hanya dengan menggunakan qaidah fiqhiyyah.
81
. Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih Al-Bukhari, h. 31.
82
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 71.
Seperti Ibnu Farhun misalnya, beliau merupakan salah satu ulama yang tidak membolehkan menggunakan qaidah sebagai dalil apabila permasalahan itu tidak didapati dalam al-Qur'an dan Hadits.83 Akan tetapi, sebagian ulama mengatakan sah untuk dijadikan dalil seperti al-Qarafi. Dia mengatakan, "hukum yang diputuskan oleh seorang qadli dapat dibatalkan apabila bertentangan dengan qaidah yang selamat dari pertentangan".84 Menurut Abdul Wahab Khallaf, karena al-Qur’an membatasi diri dalam menerangkan dasar-dasar yang menjadi sendi pada tiap-tiap hukum, maka demi memelihara keadilan dan kemaslahatan – khususnya bagi para perancang hukum – nyatalah sesungguhnya qaidah fiqhiyah tersebut sangat digunakan.85 Jadi kedudukan qaidah fiqhiyyah ialah suatu hal yang sangat penting dalam memberikan solusi-solusi ataupun penjelasan-penjelasan tentang ajaran Islam. Karena dasar pengambilan atau pembentukan qaidah fiqhiyyah bersumber dari dua ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadits Rasulullah. Dan dalam menghadapi masalah kontemporer saat ini sangat diperlukan peran qaidah fiqhiyyah dalam mengaktualisasikan permasalahan fiqh agar ukhuwah Islamiyah selalu terjaga.
83
. Ibid
84
. Ibid
85
. Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyyah, h. 14-15.
BAB III PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYYAH BERDASARKAN HISAB RUKYAT A. Pengertian Hisab dan Rukyat Hisab berasal dari bahasa Arab yaitu "hasaba" artinya menghitung, mengira menganggap, memandang, dan membilang.86 Jadi hisab adalah kiraan, hasil hitungan dan bilangan. Kata ini banyak disebut dalam al-Quran diantaranya mengandung makna perhitungan perbuatan manusia. Dalam disiplin ilmu falak (astronomi), kata hisab mengandung arti sebagai ilmu hitung posisi benda-benda langit.87 Posisi benda langit yang dimaksud di sini adalah lebih khusus kepada posisi matahari dan bulan dilihat dari segi pengamat di bumi. Hitungan posisi ini penting dalam kaitannya dengan syariah khususnya masalah ibadah misalnya, shalat fardu menggunakan posisi matahari sebagai acuan waktunya, penentuan arah kiblat dengan menghitung posisi bayangan matahari, penentuan awal bulan Hijriyyah dengan melihat posisi bulan dan mengetahui kapan terjadi gerhana dengan menghitung posisi matahari dan bulan.88
86
. Achmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 262. 87
. Mutoha - Anggota BHR DIY - koord. Jogja Astro Club (JAC) - Member Islamic Crescent's Observation Project (ICOP), http://groups.yahoo.com/group/rukyatulhilal/, 1 Muharram 1427 H, h. 1. 88
. Ibid., h. 10
Rukyat berasal dari bahasa Arab "ra'a - yara - rakyan - rukyatan" yang artinya " melihat,89 pendapat, mimpi dan cermin".90 Dalam hal ini rukyat digunakan pada masalah melihat hilal. Oleh karena itu kata rukyat selalu disandingkan dengan kata 'rukyatul hilal'. Maka yang disebut Rukyatul Hilal adalah kegiatan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan pengamatan secara visual baik menggunakan mata langsung maupun dengan bantuan alat terhadap kemunculan hilal. Penggunaan alat bantu visual seperti teleskop, binokuler, kamera.91 Tetapi makna rukyat itu sendiri lebih mendominasi pengertian dengan menggunakan mata telanjang dalam melihat hilal – yang dikhususkan pada waktu penentuan awal Ramadhan dan awal Syawal – namun hal ini bukan berarti tidak adanya penafsiran lain dari para ulama, ditambah lagi dengan penafsiranpenafsiran dari para ulama kontemporer saat ini. Seperti Imam Muththarif guru Imam Bukhari misalnya, beliau merupakan orang pertama yang membolehkan berpuasa dengan menggunakan hisab92. Namun didalam sebagian literatur disebutkan bahwa orang pertama yang 89
. Munawwir, Al-Munawwir, h. 460.
90
. Siradjuddin Abbas, Empat Puluh Masalah Agama, (Jakarta: Tarbiyah, 2006), Cet. Ke. 37., h. 256. 91
92
. Ibid., h. 15.
. Djamaluddin Miri dan Imam Ghazali Said, AHKAMUL FUQAHA, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-1999), (Jawa Timur: Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) bekerja sama dengan Diantama Surabaya, 2004), Cet.ke I, h. 286.
menemukan ilmu hisab/astronomi ialah Nabi Idris,93 atau bahkan masalah hisab ini muncul lebih awal dari itu94. Dari sini kita dapat menduga bahwa sejak sebelum Masehi ternyata sudah tampak adanya persoalan hisab rukyat, walaupun dalam dimensi yang berbeda dengan sekarang. Aliran rukyat seperti Imam Ramli dan Al-Khatib Asy-Syaibani yang menyatakan jika rukyat berbeda dengan perhitungan hisab, maka yang diterima adalah kesaksian rukyat, karena hisab diabaikan oleh syari'at (Nihayah al-Muhtaj III: 351). Dan ada juga aliran hisab murni seperti Imam As-Subkhy, Imam Ibbady, dan Imam Qalyuby.95 Dalam Islam, terlihatnya hilal di sebuah negeri dijadikan pertanda pergantian bulan kalender Hijriyyah di negeri tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2): 189
"َُْرِهOُ ْ1ُُِْتَ ﻡ3ُْْْا اTَ َْنTِ ﺏA;ِ3َْ اnََْ وDَ>ْ"سِ وَا. ِ ُِْJََْ هِ=َ ﻡZُJ ِ0. َِهTِْ ا1َ َoََُ ْﻥjْXَی (١٨٩:٢ /;ةQ3ْ ِ>ُْنَ )اvُ ُْ. ََ َCُا اQ.َ" وَاOِْ أَﺏَْﺏ1ُُِْتَ ﻡ3َْ= وَأُْْا اQ.ِ ا1َ ﻡ.;ِ3ْ ا.1ََِو Artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumahrumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”.
93
. Zubair Umar Al-Jailany, Al-Khulashah Al-Wafiyah, (Kudus: Menara Kudus, t.th.), h.5.
94
. Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyat Di Indonesia (Upaya Penyatuan Mazhab Rukyah dengan Mazhab Hisab), (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2003), cet, Pertama, h. 41. 95
. Ibid
Pada dasarnya permasalahan hisab rukyat ini merupakan permasalahan yang klasik. Tetapi terkadang juga merupakan hal yang sangat aktual.96 Dikatakan klasik karena hal ini sudah terjadi pada masa-masa awal Islam, dan ini sudah mendapatkan kajian dan pemikiran yang mendalam oleh para ahli hukum Islam. Dikatakan aktual karena pada setiap tahun yaitu bertepatan dengan bulan Ramadhan dan Syawal khususnya, selalu mengandung sebuah polemik yang berkepanjangan yang sampai saat ini kalau dilihat dari sisi positifnya ternyata seluruh umat Islam dimuka bumi ini menginginkan sebuah kebersamaan yang dapat menguatkan persaudaraan. Adapun polemik tersebut diakibatkan oleh beragamnya pendapat para ahli hisab dan rukyat pada zaman modern ini dalam mengaplikasikan pendapatnya yang sesuai dengan hal tersebut. Dan perbedaan pendapat ini nyaris sekali mengancam rasa persatuan dan kesatuan dikalangan umat Islam, khususnya di Indonesia.97 B. Pandangan Fuqaha Mengenai Penetapan Awal Bulan Hijriyyah Penetapan awal bulan Hijriyyah ini juga dikenal dengan istilah tahun Qamariyyah,
karena
perhitungannya
didasarkan
pada
peredaran
bulan
mengelilingi bumi. Dan menurut sebagian pendapat, sistem penetapan seperti ini sudah digunakan oleh bangsa Arab sejak zaman kuno yang dikenal dengan istilah
96
. Ibid., h. 2
97
. Ibid
penanggalan bangsa Semit.98 Disebut tarikh Hijriyyah atau tahun Hijriyyah karena permulaan tahun ini dimulai saat Nabi Muhammad SAW melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah.99 Tarikh Hijriyyah ini pertama kali dikenalkan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab sudah berlangsung selama 2 setengah tahun yaitu bertepatan dengan tahun ke 17 setelah hijrahnya Nabi SAW. Sedangkan untuk nama-nama bulan dan sistem perhitungannya masih tetap menggunakan sistem yang dipakai oleh orangorang Arab pada umumnya, yaitu diawali dari bulan Muharram dan diakhiri pada bulan Dzulhijjah.100 Hijrah Nabi Muhammad SAW terjadi pada tanggal 2 Rabiul Awwal dan bertepatan dengan tanggal 14 September 622 M. bila dihitung dari mulai ditetapkannya tarikh Hijriyyah ini, maka perhitungannya dilakukan mundur sebanyak 17 tahun. Bila dimulai dari bulan Muharram, maka 1 Muharram tahun 1 H ternyata bertepatan dengan tanggal 15 Juli 622 M. hasil perhitungan tersebut diperoleh para ulama yang berpedoman kepada hisab.101 Sebab pada hari Rabu petang tanggal 14 Juli 622 M, kedudukan hilal pada saat itu 5°57' diatas ufuk,
98
. Cyrril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, terj., (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), Cet.Ke.II, h. 204. 99
. Maskufa, “Memahami Tarikh Mesehi dan Hijri: Suatu Perbandingan”, Ahkam, no.13, (Juni 2004): h.76-77. 100
. Depag, Almanak hisab Rukyat, (Jakarta: Proyek Pembinaan Peradilan Agama Islam, 1981), h. 44-45. 101
. Maskufa, Memahami Tarikh Mesehi dan Hijri, h. 77.
maka malam itu dan keesokan harinya yaitu hari kamis tanggal 15 Juli 622 M merupakan tanggal 1 Muharram tahun 1 Hijriyyah. Sementara itu, ulama yang berpegang pada rukyat mendapatkan hasil yang lain. Kerana diketinggian hilal seperti itu tidak dimungkinkan untuk dilihat, maka mereka sepakat untuk melakukan istikmal (penyempurnaan 30 hari) sehingga permulaan tahun Hijriyyah bukan hari kamis tanggal 15 Juli 622 M, tetapi jatuh pada hari Jumat tanggal 16 Juli 622 M.102 Walaupun adanya ungkapan seperti diatas, namun dalam penentuan kapan terjadinya awal Ramdhan dan awal Syawal khususnya, hal yang biasa diterapkan langsung oleh Rasulullah SAW adalah melakukan pengamatan dengan cara melihat hilal, begitu juga cara yang digunakan oleh Khulafa ar-Rasyidun dan yang dipakai oleh ulama mazhab empat.103 Sedangkan dasar falak/hisab dalam 2 hal diatas adalah tradisi yang tidak pernah digunakan oleh Rasulullah, Khulafa arRasyidun dan Imam Mazhab.104 Adapun
dalam
menentukan
awal
Ramadhan
dan
awal
Syawal,
Abdurrahman Al-Jaziri melalui penafsirannya dari hadits Nabi yang berbunyi
ِIَِْ_ُ;ُوْا ِ;ُؤْیPِ وَاIَُِْﻡُْا ِ;ُؤْیN beliau berpendapat bahwa, kalau dilangit kelihatan cerah, maka perkara puasa bergantung kepada ru'yah al-hilal (terlihatnya hilal). 102
. Muhammad Wardan, Hisab urfi dan Hakiki, (Yogyakarta: Siaran, 1957), h. 12.
103
. Munawir Abdul Fatah, Tradisi Orang-orang NU, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007), Cet.Ke.III, h. 215. 104
. Ibid.
Karena tidak boleh berpuasa kecuali apabila hilal Ramadhan telah terlihat.105 Sedangkan apabila posisi hilal tidak bisa dilihat karena tertutup awan, maka perhitungan (hisab) dikembalikan kepada bulan Sya'ban, yaitu bulan Sya'ban harus disempurnakan menjadi 30 hari. Abu Bakar Jabir al-Jaziri juga menyebutkan, bahwa dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal hanya dapat ditentukan dengan menggunakan salah satu dari dua hal, yaitu:106 1. Menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 dan hari yang ke 31 adalah tanggal 1 Ramadhan. 2. Melihat bulan sabit. Dalam hal melihat bulan, cukup perwakilan dengan satu orang saksi yang adil atau dua orang yang adil. Menurut kalangan Hanabilah yang didasarkan pada praktek Ibnu Umar (seorang perawi hadits), mereka berpendapat apabila tanggal 29 Sya'ban datang, maka diutuslah orang untuk melihat hilal, bila ia melihatnya maka keesokan harinya mereka berpuasa, namun bila tidak melihat hilal dan langitpun cerah maka belumlah berpuasa.107 Tetapi jika pandangannya terhalang oleh awan maka ia berpuasa, dan meniatkan pada malam harinya untuk berpuasa. Bila ternyata
105
. Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib Al-Arba'ah, (Cairo: Mathba'ah AlIstiqamah, t.th), h.17. 106
. Abu Bakar Jabir Al-Jaziri, Minhajul Muslim. Penerjemah Fadhli Bahri, (Jakarta, Darul Falah, 2001). h. 424. 107
. Ibid., h. 18
ditengah-tengah puasanya itu ia tahu bahwa hari itu masih Sya'ban, maka tidak wajib untuk meneruskan puasanya. Menurut kalangan Hanafiyah, bila dilangit tidak ada suatu apapun yang dapat menghalangi rukyat, maka wajib dilakukan rukyat oleh sejumlah kaum Muslimin. Bila dilangit ada sesuatu yang menghalangi rukyat, lalu ada seorang dari mereka yang memberitahukan bahwa ia telah melihat hilal, maka cukup dengan kesaksiannya.108 Menurut pandangan dari kalangan Syafi'iyah, bahwa bulan Ramadhan itu ditetapkan dengan rukyat seorang yang adil, sekalipun perihal dirinya tidak diketahui, baik langit dalam keadaan cerah atau ada suatu penghalang yang dapat menyulitkan rukyat. Saksi tersebut disyaratkan dari seorang Muslim yang akil, baligh, merdeka, laki-laki dan adil sekalipun hanya secara lahir. Dan kalangan Syafi'iyah menambahkan bahwa ketentuan ahli nujum dapat dijadikan dasar tetapi hanya kepada dirinya sendiri dan orang yang mempercayainya. Sedangkan untuk orang-orang secara kaffah tidaklah diwajibkan puasa.109 Kalanga Malikiyyah mereka berpendapat bahwa hilal Ramadhan ditetapkan dengan rukyat. Yang demikian itu dibagi menjadi tiga:110 1. Hilal itu dilihat oleh dua orang yang adil. Yang dimaksud adil disini adalah orang laki-laki, merdeka, baligh, akil tidak melakukan dosa besar. 108
. Ibid., h. 18-19
109
. Ibid., h. 19-20
110
. Ibid., h. 20-21
2. Hilal itu dilihat oleh banyak orang yang pemberitaan mereka itu dapat dijadikan dasar pegangan dan dijamin tidak melakukan kesepakatan untuk dusta. 3. Hilal itu dilihat oleh satu orang, akan tetapi rukyat oleh satu orang tidak dapat dijadikan ketetapan kecuali bagi dirinya atau orang yang diberitakannya, bila yang dibertakan tadi tidak mempunyai keperdulian terhadap hilal. Bila ia mempunyai keperdulian terhadap hilal, maka tidak boleh menetapkan bulan Ramadhan dengan rukyat satu orang. Menurut pandangan Ibnu Bathol, ilmu hisab meskipun secara logika kebenarannya dapat dipercaya dan mendekati kebenaran dibandingkan ilmu-ilmu yang lain, namun ia tetap memiliki keterbatasan dalam menangkap pesan Ilahi khususnya untuk menentukan awal bulan Qamariah (awal Ramadan dan Syawal). Al-Bajiy juga mengemukakan pendapat bahwa dalam menetapkan 1 Ramadhan tidak boleh dengan ketentuan dari ahli bintang. Dia - al-Bajiy – menambahkan: “bahwa Ijma’ ulama salaf dapat dijadikan sebagai hujjah untuk membantah pendapat para ahli bintang.111 Menurut Ibnu Nafi’ yang meriwayatkan pandapat Imam Malik, bahwa alImam (kepala negara) yang tidak melaksanakan puasa dengan cara melihat anak
111
600.
. Abu Bakar Muhammad, Terjemahan Subulus Salam”, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1991), h..
bulan, tetapi hanya berdasarkan kepada hisab, maka kepala Negara tersebut tidaklah harus diikuti.112 Menurut pendapat Jumhur, pada hari tidak terlihat bulan maka diikutkan pada perhitungan bulan sebelumnya. Ibnu Umar mengatakan, apabila bulan tak terlihat diawal Ramadhan maka hari itu disebut Yaumusy syak (hari yang meragukan) dan Ramadhan harus jatuh pada hari berikutnya. Ulama Salaf berpendapat, apabila bulan tak terlihat penentuan tanggal dengan menggunakan hisab berdasarkan peredaran bulan dan matahari. Inilah mazhab Imam Mutharaf bin Syakhir dari kalangan tabiin besar. Sedangkan menurut Ibnu Suraij dari Syafi’I, orang yang menggunakan dasar ilmu falak (astronomi) untuk menentukan tanggal satu, yang menurut perhitungannya walaupun bulan tak terlihat, boleh ditetapkan (itsbat) sebagai awal atau akhir Ramadhan. 113 Adapun metode yang dilakukan pemerintah Indonesia – Departemen Agama - ialah melakukan sidang itsbat dengan menghadirkan berbagai kalangan dari organisasi kemasyarakatan. Dan menggumpulkan semua laporan tentang hasil pengamatan dan menawarkan hasil tersebut untuk dijadikan sebagai pedoman. Baik yang menggunakan sistem Hisab maupun dari sistem rukyat.114
112
. Al-Qurtubi, Al-Jaami’ li Ahkam Al-Qur’an, (t.p.: t.p., t.th)
113
. Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Mihammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut: Darul Kitab Islamiyah, t.th), juz. 1, h. 207. 114
. Muhyidin, Kasubdit Pengembangan Syari’ah dan Hisab Rukyat Departemen Agama RI, Jakarta, Wawancara Pribadi, 2 Agustus 2007.
Dari hasil sidang itsbat inilah ditentukan kapan dimulainya puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Namun dalam pelaksanaannya tetap saja sebagian dari masyarakat Indonesia masih ada yang tidak mengikut kepada hasil dari keputusan pemerintah tersebut. C. Aliran-aliran Hisab Rukyat Pada dasarnya sejarah pemikiran Islam sejak awal pertumbuhan hanya adalah sejarah aliran, mazhab atau firqah. 115 Dengan demikian, sejarah pemikiran hisab rukyat tidak bisa lepas pula dari persoalan aliran dan mazhab. Pada zaman modern, ketika umat Islam dihadapkan pada tantangan modernitas dalam segala aspeknya, persoalan hisab rukyat menjadi semakin penting untuk dikaji dan ditelaah ulang. Sebagian kajian yang berkaitan dengan persoalan aliran atau pola pemikiran (paradigma), terlebih dahulu perlu ditinjau aliran-aliran hisab yang ada. Sehubungan dengan hal itu, ada dua masalah besar. Pertama, nama aliran yang diguanakan oleh para pengkaji cukup beragam, nama aliran yang sering digunakan ialah hisab urfi, hisab hakiki, hisab imkanur rukyat dan hisab astronomi. Kedua, perbedaan-perbedaan defenisi. Akibatnya timbul perbedaan pemikiran terhadap masing-masing aliran.116
115
. Muhammad al-Bahiy, Pemikiran Islam dan Perkembangannya, terj. (Jakarta: Risalah, 1985) h. 17. 116
. Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam Di Malaysia (Sejarah dan Aliran), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), Cet.Ke.I, h. 14-15.
Untuk mengatasi dua masalah pokok diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hanya dua aliran saja yang sering dan dianggap tepat penggunaannya. Pembatasan makna dan defenisi perlu dilakukan untuk menghindari kekeliruan.117 Hisab Urfi (`urf = kebiasaan atau tradisi) adalah hisab yang melandasi perhitungannya dengan kaidah-kaidah sederhana. Pada sistem hisab ini perhitungan bulan Qomariyah ditentukan berdasarkan umur rata-rata bulan sehingga dalam setahun Qomariyah umur dibuat bervariasi 29 dan 30 hari. Bulan bernomor ganjil yaitu mulai Muharram berjumlah 30 hari dan bulan bernomor genap yaitu mulai Shafar berumur 29 hari. Tetapi khusus bulan Zulhijjah (bulan 12) pada tahun kabisat Qomariyah berumur 30 hari.118 Tahun kabisat Qomariyah memiliki siklus 30 tahun dimana didalamnya terdapat 11 tahun yang disebut tahun kabisat (panjang) memiliki 355 hari, dan 19 tahun yang disebut basithah (pendek) memiliki 354 hari. Tahun kabisat ini terdapat pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 dan ke 29 dari keseluruhan siklus kabisat selama 30 tahun.119 Dengan demikian kalau dirata-rata maka periode umur bulan (bulan sinodis / lunasi) menurut Hisab Urfi adalah (11 x 355 hari) + (19 x 354 hari) : (12 x 30 tahun) = 29 hari 12 jam 44 menit ( menurut hitungan astronomis: 29 hari 12 jam 44 menit 2,88 detik ). Walau terlihat sudah cukup teliti namun yang jadi masalah 117
. Ibid., h. 15.
118
. Mutoha, http://groups.yahoo.com/group/rukyatulhilal/, 1 Muharram 1427 H, h. 2.
119
. Ibid
adalah aturan 29 dan 30 serta aturan kabisat tidak menujukkan posisi bulan yang sebenarnya dan hanya pendekatan.120 Oleh sebab itulah maka hisab ini tidak bisa dijadikan acuan untuk penentuan awal bulan yang berkaitan dengan ibadah misalnya Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah. Hisab Taqribi (Taqrobu = pendekatan, aproksimasi) adalah sistem hisab yang sudah menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematik namun masih menggunakan rumus-rumus sederhana sehingga hasilnya kurang teliti. Sistem hisab ini merupakan warisan para ilmuwan falak Islam masa lalu dan hingga sekarang masih menjadi acuan hisab di banyak pesantren di Indonesia. Hasil hisab Taqribi akan sangat mudah dikenali saat penentuan ijtimak dan tinggi hilal menjelang 1 Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah yaitu terlihatnya selisih yang cukup besar terhadap hitungan astronomis modern. Beberapa kitab falak yang berkembang di Indonesia yang masuk dalam kategori Hisab Taqribi misalnya: Sullam al Nayyirain, Ittifaq Dzatil Bainy, Fat al Rauf al Manan, Al Qawaid al Falakiyah dsb.121 Hisab Haqiqi (Haqiqah = realitas atau yang sebenarnya) menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematik menggunakan rumus-rumus terbaru dilengkapi dengan data-data astronomis terbaru sehingga memiliki tingkat
120
. Ibid., h. 3
121
. Ibid., h. 4
ketelitian yang tinggi. Sedikit kelemahan dari sistem hisab ini adalah penggunaan kalkulator yang mengakibatkan hasil hisab kurang sempurna atau teliti karena banyak bilangan yang terpotong akibat digit kalkulator yang terbatas.122 Beberapa sistem hisab Haqiqi yang berkembang di Indonesia diantaranya: Hisab Hakiki, Tadzkirah al Ikhwan, Badi'ah al Mitsal dan Menara Kudus, Al Manahij al Hamidiyah, Al Khushah al Wafiyah, dsb.123 Hisab
Haqiqi
Tahqiqi
(Tahqiq
=
pasti)
sebenarnya
merupakan
pengembangan dari sistem hisab Haqiqi yang diklaim oleh penyusunnya memiliki tingkat akurasi yang sangat-sangat tinggi sehingga mencapai derajat "pasti". Klaim seperti ini sebenarnya tidak berdasar karena tingkat "pasti" itu tentunya harus bisa dibuktikan secara ilmiah menggunakan kaidah-kaidah ilmiah juga. Namun sejauh mana hasil hisab tersebut telah dapat dibuktikan secara ilmiah sehingga mendapat julukan "pasti" ini yang menjadi pertanyaan.124 Namun demikian hal ini merupakan kemajuan bagi perkembangan sistem hisab di Indonesia. Sebab sistem hisab ini ternyata sudah melakukan perhitungan menggunakan komputer serta beberapa diantaranya sudah dibuat dalam bentuk software/program komputer yang siap pakai.125
122
. Ibid
123
. Ibid
124
. Ibid., h. 4-5
125
. Ibnu Rasyid, “Software Untuk Melihat Bulan”, Xpresi, 7 Oktober 2007, h. 38.
Hisab Kontemporer/Modern yaitu sistem hisab ini yang menggunakan alat bantu komputer yang canggih menggunakan rumus-rumus yang dikenal dengan istilah algoritma. Beberapa diantaranya terkenal karena memiliki tingkat ketelitian yang tinggi sehingga dikelompokkan dalam High Accuracy Algorithm. Adapun aliran hisab yang berkembang di Indonesia sampai saat ini ialah aliran hisab Urfi dan aliran hisab Hakiki.126 Hisab Urfi ialah sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran
rata-rata
bulan
mengelilingi
bumi
dan
ditetapkan
secara
konvensional.127 Sistem seperti ini ditetapkan oleh khalifah Umar bin Khattab r.a. (17 H) sebagai acuan untuk menyusun kalender Islam abadi.128 Sistem hisab ini tak ubahnya seperti kalender Syamsiyah (miladiyah), bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada tahun-tahun tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari. Sehingga sistem hisab ini tidak bisa digunakan dalam menentukan awal bulan Qamariyah untuk pelaksanaan ibadah (awal dan akhir Ramadhan), karena menurut sistem ini umur bulan Sya'ban dan Ramadhan adalah tetap, yaitu 29 hari untuk Sya'ban dan 30 hari untuk Ramadhan.
126
. Depag RI, Pedoman perhitungan Awal Bulan Qamariyyah, (Jakarta: Ditbinbapera, 1995), cet. III, h. 7. 127
128
. Ibid
. Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), cet. I, h. 81.
Sebagai catatan, hisab urfi ini tidak hanya dipakai di wilayah Indonesia saja. Akan tetapi sudah digunakan diseluruh dunia Islam. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan terbukti bahwa sistem hisab ini kurang akurat digunakan untuk penentuan waktu ibadah (awal Ramadhan, awal Syawal dan awal Dzulhijjah).129 Penyebabnya karena perata-rataan peredaran bulan tidaklah tepat sesuai dengan penampilan hilal (new-moon) pada awal bulan. Hisab Hakiki ialah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya.130 Menurut sistem ini umur tiap bulan tidaklah konstan dan juga tidak berurutan, melainkan tergantung posisi hilal setiap bulan. Artinya boleh jadi dua bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau bisa juga 30 hari. Bahkan bisa jadi bergantian. Ada beberapa aliran dalam menetapkan awal bulan Qamariyah dengan menggunakan sistem hisab hakiki. Paling tidak ada dua aliran yang besar, yaitu: 1. aliran yang berpegang kepada ijtima semata, dan 2. aliran yang berpegang kepada posisi hilal diatas ufuk. 1. Aliran Ijtimak Semata yaitu aliran yang menetapkan bahwa awal bulan Qamariyah itu mulai masuk ketika terjadinya ijtimak (conjunction).131
129
. Maskufa, Memahami Tarikh Mesehi dan Hijri, h. 74.
130
. Depag, Pedoman perhitungan Awal Bulan Qamariyyah, h. 7.
131
. Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), jilid 2, h. 676.
Para pengikut aliran ini mengemukakan adagium yang terkenal "Ijtima'u anNayyiraini Isbatu Bayna asy-Syahraini" (bertemunya dua benda yang bersinar (matahari dan bulan) merupakan pemisah diantara dua bulan).132 Ketika awal bulan (new-moon) yang ditetapkan oleh aliran ijtimak semata ini sama sekali tidak memperhatikan rukyat. Artinya tidak mempermasalahkan apakah hilal bisa dilihat atau tidak dengan mata telanjang. Dengan kata lain, aliran ini semata-mata berpegang kepada astronomi murni. Dalam astronomi dikatakan bahwa bulan baru itu terjadi sejak saat matahari dan bulan dalam keadaan ijtimak.133 Jadi menurut aliran ini ijtimak merupakan pemisah antara dua bulan Qamariyah yang berurutan waktu yang berlangsung sebelum terjadinya ijtimak termasuk bulan sebelumnya, sedang waktu yang berlangsung sesudah ijtimak termasuk bulan baru. Dalam wilayah empiris jarang sekali ditemukan yang secara murni memegang criteria ini. Ketika menentukan awal bulan Qamariyah, aliran ini biasanya memadukan saat ijtimak tersebut dengan fenomena alam lain. Sehingga kriteria tersebut diatas menjadi berkembang dan akomodatif.134 Fenomena alam
132
. Izzuddin, Fiqh Hisab Hisab Rukyat Di Indonesia (Upaya Penyatuan Mazhab Rukyah dengan Mazhab Hisab), h.79. 133
. Toruan M.S.L., Pokok-pokok Ilmu Falak, (Semarang: Banteng Timur, 1961), h. 86.
134
. Ibid., h. 87
yang dihubungkan dengan saat ijtimak itu tidak hanya satu, sehingga aliran ijtimak semata ini terbagi lagi dalam sebuah aliran yang sangat kecil lagi. 2. Ijtimak dan Posisi Hilal Diatas ufuk Pengikut ini mengatakan bahwa awal bulan Qamariyah dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtimak dan hilal pada saat itu sudah berada diatas ufuk. Dengan demikian, secara umum kriteria yang dijadikan dasar untuk menetapkan awal bulan Qamariyah oleh para pengikut ini ialah Pertama, awal bulan Qamariyah dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtimak. Kedua, hilal sudah berada diatas ufuk pada saat matahari terbenam.135 Tetapi khususnya di Indonesia, didalam memahami dan mengaplikasikan pesan-pesan yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya, untuk menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal yaitu dengan memunculkan tiga arus utama "mazhab", yaitu pertama, mazhab rukyat yang digagas oleh organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia (Nahdlatul Ulama), kedua, mazhab hisab wujudul hilal dengan sponsor utama ialah oraganisasi Muhammadiyah, dan ketiga, mazhab imkanur rukyat yang dipelopori oleh pemerintah.136
135
. Izzuddin, Fiqh Hisab Hisab Rukyat Di Indonesia (Upaya Penyatuan Mazhab Rukyah dengan Mazhab Hisab), h. xi-xii. 136
. Ibid
Namun bukan berarti aliran hisab yang telah disebutkan diatas ditinggalkan begitu saja. Bahkan dalam prakteknya, mazhab hisab yang terakhir ini menggunakan metode seperti yang telah diuraikan diatas. Dengan melihat adanya aliran hisab rukyah di Indonesia ini, maka kalau kita lihat dari kasat mata yaitu sangat nihil kemungkinan untuk terjadinya suatu hal yang sama dalam hal hari dan tanggalnya dalam menjalankan ibadah Ramadhan dan Syawal. Karena bagaimanapun juga, aliran merupakan suatu kepercayaan bagi diri manusia itu sendiri. Tetapi adakalanya sama dan ini hanya dimungkinkan saja bertepatan hasil dari observasi/penelitian semua aliran tersebut.
BAB IV PUTUSAN PEMERINTAH DALAM MENETAPKAN 1 (SATU) RAMADHAN DAN 1 (SATU) SYAWAL BERDASARKAN QAIDAH FIQHIYYAH A. Upaya Pemerintah Dalam Penyatuan Pendapat Mengenai Penetapan Awal Bulan Hijriyyah Dibentuknya suatu negara merupakan salah satu upaya untuk menciptakan ketertiban, perdamaian dan kebersamaan.137 Didalam sebuah negara, kedudukan pemerintah memang sangat urgent – idealnya – pemerintah merupakan ulir amri yang harus dipatuhi dan ditaati segala kebijakannya. Seperti telah diuraikan pada bab terdahulu, bahwa pemerintah adalah penerus setelah Nabi wafat dalam hal penegakan syari'at. Pada masa Nabi Muhammad SAW kedudukan Nabi tidak hanya sebagai pemimpin agama, tetapi Nabi juga sebagai pemimpin negara (kepala negara). Menurut sebagian pendapat, awal mulanya umat Islam mendirikan sebuah negara yaitu bersamaan dengan hijrahnya Nabi dari Makkah menuju Yathrib (kini kota tersebut adalah Madinah).138 Dan setelah sekitar dua tahun Nabi menetap di Madinah, dibentuklah suatu peraturan atau perundang-undangan yang saat ini kita kenal dengan Piagam Madinah. Salah satu tujuan dibentuknya Piagam Madinah adalah upaya untuk mengatur kehidupan dan hubungan antar komunitas, baik
137
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran), (Jakarta: UI Press, 1993), h. 4. 138
. Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 9-10.
pemimpin negara dengan rakyatnya, rakyat dengan rakyat dan juga rakyat Muslim dengan kaum Yahudi.139 Beranjak dari histori kepemimpinan umat Islam, kalau kita telaah, sesungguhnya Nabi memberikan suatu
contoh rujukan bagaimana cara
menciptakan good government. Nabi tidak hanya memberikan contoh yang baik terhadap seorang kepala negara, tetapi Nabi juga menyuruh agar rakyat disuatu negara harus mentaati peraturan ataupun undang-undang yang telah ditetapkan sebagai upaya untuk menciptakan kebersamaan dalam bermasyarakat. Mengharuskan warga negara atau rakyat taat kepada pemimpin juga disebut dalam sejarah kepemimpinan khalifah Saidina Umar r.a., beliau mengatakan 'ikutilah saya selagi saya memerintah dijalan Allah dan mengikuti sunah Rasulullah, dan perbaikilah saya seandaninya berbuat jelek’.140 Bahkan keharusan untuk taat kepada pemimpin juga diterangkan dalam al-Qur'an: Allah SWT berfirman:
(٥٩:٤ /"ءXَﻡْ;ِ ﻡُِْْ )اTُْْلُ وَ أُوِْ= ا.;ُِْْا اmََ وَأCُِْْا اmََ ءَاﻡَُْا أ1ِْیd.َ" اOAَیTَی Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu… Kalau kita sedikit mengamati tentang makna yang terkandung dalam ayat diatas, maka sangat jelas bahwa ada keharusan untuk mentaati segala perintah Allah dan Rasul-Nya, kata 139
. Ibid
140
. Ibid., 29
yang merupakan fi'il
amr dari kata =ََm yang berarti 'taat'. Adapun taat kepada Allah dan Rasul disini melingkupi segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Allah dan RasulNya. Akan tetapi lain halnya dalam taat kepada ulil amri atau pemerintah. Diharuskan taat kepada ulil amri hanya sebatas selama ulil amri tidak menyuruh untuk berbuat hal yang dilarang oleh syari'at ataupun maksiat kepada Allah. Namun semuanya itu akan nihil hasilnya apabila kedudukan sebagai pemerintah hanya dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan – baik pribadi maupun kelompok – dan sudah tidak ada lagi jaminan untuk menciptakan suatu kerukunan yang mengglobal. Seperti yang dikatakan Ibnu Abi Rabi', bahwa salah satu tujuan pembentukan negara adalah untuk melengkapi kehidupan yang akan memberikan kebahagiaan, menjamin kerukunan dan keserasian antar hubungan bermasyarakat dan untuk menjamin pelaksanaan peraturan-peraturan agar tercipta kehidupan yang sejahtera.141 Dalam hal taat kepada perintah pemimpin, Nabi juga menyebutkan dalam sabdanya:
ِ َ =َ اَْ;ْء:"لJ Iَ أﻥ. ََِ وIَْ َ ُCَ َ= اN Dِ3.ِ ا1َ ،"َُOَْ ُCُ َُ;َ رَِ=َ ا1ْْ إِﺏ1َ َgَْ َ َP ٍ0َِSَِِْنْ أُﻡِ;َ ﺏUَP ،ٍ0َِSَِْْﻡَ;َ ﺏqُ" أَنْ ی.ِ إ،ِRِ;َ وَ آ.lَ/ََِْ" أP ،ُ0َ"._َ وَاgَْ.Xْ ِْ اXُْا 142
( X ﻡR )رو.َ0َ "َm َrَو
141
. Somad Zawawi, dkk, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Tri Sakti, 2004), h. 140.
142
. Imam Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), cet. II,
h. 723.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., dari Nabi SAW beliau bersabda: "Seorang Muslim wajib mematuhi yang dia senangi ataupun tidak (terpaksa), kecuali jika dia diperintah untuk melakukan maksiat. Apabila diperintah untuk maksiat, tidak ada kewajiban patuh dan taat”. (H.R. Muslim). Taat kepada putusan pemerintah tidak hanya sebatas masalah muamalah saja, tetapi masalah ibadah – dalam hal ini penentuan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal – juga memaksa umat Islam untuk selalu bermazhab kepada pemerintah. Penyatuan kepada mazhab pemerintah bukan berarti mempersempit ruang berpikir umat Islam. Tetapi adalah upaya menciptakan ukhuwah Islamiyah sangat lebih penting dari pada selalu beradu ijtihad dan menyebabkan tidak adanya keharmonisan dalam hidup bernegara. Masalah penentuan kapan mulainya ibadah puasa dilaksanakan dan kapan pula diakhiri, termasuk salah satu masalah yang sangat besar dalam Islam, sebab puasa adalah salah satu dari pada rukun Islam yang lima. Ini akan dilakukan oleh semua orang dari segala umur dan tingkat intelektual yang berbeda-beda. Oleh karena itu, jauh-jauh hari Rasulullah SAW sudah memberikan pedoman yang amat jelas, yaitu hanya dengan melihat anak bulan. Dan Rasulullah juga menggumpulkan para sahabat untuk berkumpul disuatu tempat guna melihat bulan pada petang hari tanggal 29 (malam 30 hari bulan Sya’ban).143 Hal yang
143
. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama, (Jakarta: Tarbiyah,
sederhana yang mudah dilakukan, tanpa perlu mempelajari teori-teori yang sukar untuk dipahami. Adanya perbedaan pandangan dalam menentukan awal bulan Qamariyah, utamanya Ramadhan dan Syawal di Indonesia, dianggap sudah lumrah terjadi karena dipicu oleh tiga arus utama mazhab, pertama, mazhab imkanur rukyah yang dimunculkan oleh pemerintah, kedua, mazhab hisab wujudul hilal dengan sponsor utamanya adalah Muhammadiyah, dan ketiga, mazhab rukyah yang dipresentasikan oleh organisasi kemasyarakatan Islam Nahdlatul Ulama (NU).144 Namun perlu untuk dijelaskan bahwa perberdaan ini terjadi bukan dikarenakan adanya keegoan sepihak dari pada mazhab-mazhab diatas, tetapi lebih diberatkan kepada hasil penelitian mereka terhadap hadist Rasulullah seputar Ramadhan dan juga melihat sisi kontemporernya.145 Perselisihan dalam menetapkan hilal memang tidak bisa dihindari dengan mudah begitu saja, disatusisi kelompok rukyat (Nahdlatul Ulama) berkesimpulan bahwa penetapan dalam menetukan awal Ramadhan dan Syawal khususnya – yang berkaitan dengan hilal – prakteknya lebih banyak menekankan nash alQur'an dan Sunnah, meskipun hisab juga dijadikan pedoman dalam penentuan awal Ramadhan dan awal Syawal, tetapi hanya sebatas alternative.146 Disatu sisi
144
. Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah “Menyatukan NU & Muhammadiyah Dalam Penentuan Awal Ramdhan, Idul Fitri dan Idul Adha”, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. xiv. 145
. Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah, h. xvi . Wawancara Pribadi dengan Arwani Faisal. (Wakil Ketua Lajnah Bastshul Masail Nahdlatul Ulama). Jakarta, 31 Juli 2007. 146
hisab sebagai alternative, tapi sisi lain hisab dijadikan sebagai pemandu untuk menentukan kapan hilal itu terjadi. Adapun dalil dari al-Qur'an yang digunakan oleh kelompok rukyat ini ialah surat al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi:
(١٨٥:٢ /;ةQ3 )ا...ُIُْSَْ َP َ;ْO.?ِ&َ ﻡُُِْ اOَ< ْ1ََP... Artinya: …"barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu"… Dan hadist yang digunakan adalah: 147
("ئX اR )روا...ِIَِْ_ِ;ُوْا ِ;ُؤْیPَِ وَاIَُِْﻡُْا ِ;ُؤْیN...
Artinya:…"berpuasalah kamu setelah melihat bulan dan berbukalah setelah melihat bulan"… (H.R. An-Nasaai). Organisasi kemasyarakatan Islam Nahdlatul Ulama (NU), berpendapat, bahwasanya, masalah penentuan awal Ramadhan dan Syawal merupakan masalah khilafiyah, jadi tidak dibenarkan adanya campur tangan dari pemerintah.148 Permasalahan khilafiyah dalam Islam terbagi dalam dua kategori. Pertama, yang membahas masalah individual, seperti batalnya wudhu karena persentuhan kulit antara pria dan wanita. Kedua, yang bersifat massal (jama'i), seperti penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Untuk permasalahan pada contoh kedua, masalah khilafiyah ini berpotensi untuk menimbulkan disintegrasi umat. 147
. Imam Muhammad bin Isma'il Al-Kahlani, Subulus Salam, (t.t: t.p., t.h.), Jus. 2, h. 152.
148
. Wawancara Pribadi, Faisal.
Dalam disiplin ilmu fikih, untuk masalah khilafiyah kedua tersebut, pemerintah wajib melakukan intervensi guna menjaga keutuhan umat. Dan apabila pemerintah sudah mengambil keputusan, maka perbedaan pendapat sudah tidak ada lagi.149 Sedangkan Majlis Tarjih Muhammadiyah berpendapat bahwa berpuasa bulan Ramadhan dan Id Fitrah itu dengan ru’yah dan tidak berhalangan dengan hisab. Apabila Ahli Hisab menetapkan bahwa bulan belum tampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyatannya ada orang yang melihat pada malam itu juga, maka mereka menetapkan bahwa yang muktabar adalah ru’yatlah.150 Pada dasarnya, organisasi Muhammadiyah menggunakan metode dalil yang tidak berbeda dengan aliran lainnya, hanya saja cara penafsiran Muhammadiyah dengan yang lainnya yang menyebabkan adanya perbedaan. Adapun dalil yang digunakan adalah ayat al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 185. Allah Swt berfirman:
(١٨٥:٢ /;ةQ3 )ا...ُIُْSَْ َP َ;ْO.?ِ&َ ﻡُُِْ اOَ< ْ1ََP... Artinya: …"barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu"…
...ََ"بXِ>َْ وَا1ِْDXُ ﻡََ"زِلَ َِْ َُْاَ َ&دَاRَر.&َJ.ََ;َ ﻥُْرًاوQَْ َِ"ءً وَاnْ.?َ اZََ^ ِْيd.هَُا (٥:١٠/n)یﻥ 149
150
. Ali Mustafa Yaqub, Undang-undang Hari Raya, Gatra, no. 11 (Januari 2007), h. 31.
. Wawancara Pribadi dengan Amiruddin. (Majlis Tarjih Muhammadiyah). Jakarta, 14 September 2007.
Artinya: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)”. Hadist Rasulullah SAW
ٌgْXِ ُ;ْO.?َ )ا:ََ"لJ َ. ََِ وIَْ َ ُCَ =َ اN ِC رَُْلَ ا. أَن:"َُOَْ ُCِ َُ;َ رََِ ا1ِْ ﺏCْ&ِ ا3َ ْ1َ R) روا.(َ1ِْ8" َ َ8 َة.& َِآِْ ُْا اT َP ُْْ َ َ . ُW ِْنU َP ،ُRْ = َ ;َو.َ/ ُْﻡُْاS َ َ َP ،ً0 َ َْ َْ;ُوْنX َِو 151
(["ري3ا
"Dariwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a., bahwa Rasulullah SAW. bersabda: "satu bulan itu bisa 29 hari, maka janganlah kamu berpuasa Ramadhan sebelum kamu melihat hilal dan apabila langit berawan (sehingga kamu tidak melihat hilal), maka genapkanlah Sya’ban 30 hari”. Dalam menetapkan hilal dan wajibnya puasa dengan segala keperluan yang berkaitan dengannya tidak disyaratkan adanya keputusan dari qadli ataupun pemerintah. Akan tetapi bila hakim memutuskan tetapnya hilal dengan cara apa saja yang ada dalam mazhabnya, maka seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa, sekalipun sebagian mazhab ada yang tidak sependapat, dan hal ini difokuskan karena keputusan qadli atau pemerintah dapat menghapuskan perselisihan. 152
151
. Al-Imam Zainudin Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih AlBukhari: “At-Tajriid Ash-Shariih li Ahaadits Al-Jaami’ Ash-Shahih. Penerjemah Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 424. 152
. Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib Al-Arba'ah, (Cairo: Mathba'ah AlIstiqamah, t.th), h. 23.
Namun cara yang sesuai menurut Sunnah dalam menentukan awal Ramadhan dan Syawal adalah melalui rukyat. Ilmu hisab hanya dapat digunakan sebagai pedoman sementara, namun ketetapan akhir haruslah dibuktikan melalui rukyat.153 Dasar kewajiban masyarakat untuk menaati keputusan pemerintah ialah ayat: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan kepada ulil amr (pemerintah) kamu" (An-Nisaa: 59). "Mereka juga wajib bersatu dan dilarang bercerai-berai". (Ali Imran: 103). Pada dasarnya ketetapan dalam penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal di Indonesia dilakukan melalui sidang itsbat yang dibentuk oleh Departemen Agama dengan dihadiri oleh berbagai unsur masyarakat seperti ahli hisab rukyat, ormas islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al Washliyah, Dewan Dakwah Indonesia, Mathlaul Anwar, MUI, para pakar astronomi dari Boscha ITB, LAPAN, BMG, Ahli hisab rukyat perorangan, Bakosurtanal, Planetarium Jakarta, Oceanografi TNI AU dan Duta Besar Negara Islam.154 Dalam sidang tersebut, pertama-tama akan disampaikan laporan dari berbagai pakar. Rujukan yang paling penting adalah laporan dari tim Hisab dan Rukyat dari seluruh tanah air yang melaporkan hasil pemantauan dan observasi terhadap bulan dari Aceh sampai Merauke. Baik dari petugas Pengadilan Agama, 153
154
. Fikri Mahmud, “Metode Penentuan Hari Raya”, Riau Pos, 9 Oktober 2007, h. 4.
. Taufiq Kamil, “Sidang Itsbat, 1 Syawal Ditentukan Hari ini”, artikel diakses pada 30 November 2007 dari http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/11/12/brk,2004111202,id.html.
Pengadilan Tinggi Agama maupun Kanwil Agama. Karena negara Indonesia dalam hal ini menggunakan prinsip wilayatul hukmi (wilayah hukum).155 Hasil yang diterima, akan disampaikan oleh Menteri Agama dalam Sidang Itsbat, lalu diberi tanggapan, didiskusikan dan disimpulkan. Jika telah diperoleh kesimpulan maka diputuskan menjadi keputusan Pemerintah lalu diumumkan.156 Namun hal yang terjadi dilapangan, Departemen Agama selaku pemerintah bertindak hanya sebagai penawar atas hasil dari sidang itsbat tersebut, tetapi tidak ada suatu paksaan kepada siapapun untuk mengikuti atau tidak terhadap apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah.157 Memang dalam nash baik al-Qur'an maupun hadits-hadits Nabi tidak disebutkan tentang beberapa kriteria ketinggian hilal dalam menentukan awal Ramadhan dan Syawal. Disinilah diperlukannya peran para ulama dan umara dalam menjawab permasalahan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Menurut Pemerintah hilal dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syaratsyarat berikut:158
155
. Wawancara Pribadi, Faisal.
156
. Wawancara Pribadi dengan Muhyidin. (Kasubdit Pengembangan Syari'ah dan Hisab Rukyat Departemen Agama RI). Jakarta, 2 Agustus 2007. 157
. Ibid
158
. Ibid
1. Ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horizon tidak kurang dari 2° dan 2. Jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3°. Atau 3. Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang dari 8 jam selepas ijtimak berlaku. Disamping itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan pesan (tausyiah) terkait dengan adanya perbedaan dalam penetapan 1 Syawal 1428 H, bahwasanya masyarakat diminta untuk menunggu hasil sidang itsbat yang digelar oleh Badan Hisab dan Rukyat (BHR) Depag.159 Pesan tersebut berdasarkan pada ketentuan keputusan fatwa MUI No. 2/2004 tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Salah satu dari ketentuan tersebut ialah kewajiban masyarakat menaati penetapan 1 Syawal sesuai sidang itsbat.160 Sedangkan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah jauh-jauh hari telah menetapkan 1 Syawal jatuh pada 12 Oktober 2007. Ini didasarkan pada maklumat No. 03/MLM/I.0/2007 tentang penetapan 1 Syawal 1428 H, yang merujuk pada hisab hakiki wujudul hilal yang mereka pedomani.161 Dan untuk Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) masih menunggu hasil dari sidang itsbat.
159
. Ichwan Sam, “MUI Serukan Umat Tunggu Sidang Itsbat”, Riau Pos, 11 Oktober 2007,
160
. Ibid
161
. Ibid.
h. 1-2.
Sedangkan menurut ketua komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Riau, Hajar Hasan, menyerukan agar umat Islam saling menghargai dalam menyikapi perbedaan ini. Beliau mengatakan “Berbeda soal waktu shalat Id bukan hal yang besar, tetapi ukhuwah jauh lebih penting”.162 Seperti yang dilakukan oleh segenap rakyat Malaysia, bahwa barang siapa yang berlebaran dilaur ketetapan kerajaan, maka ia akan ditangkap polisi. Sementara di Brunei Darussalam, perbedaan lebaran dinilai sebagai tindakan subversive kerana dianggap melawan kebijakan Sultan.163 Ungkapan yang menyerukan kepada persatuan persepsi dalam masalah ini juga disampaikan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nasaruddin Umar dalam Kompas disebutkan, ”shalat Id itu sunnah, apakah tidak bisa menanti saudara sebangsa agar kita dapat shalat secara bersama".164 Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memprakarsai pertemuan Ulama Komisi Fatwa MUI seluruh Indonesia bersama pimpinan organisasi Islam tingkat pusat, melakukan pembahasan tentang bagaimana cara menyatukan lebaran. Dalam pertemuan tersebut, terbentuk tiga butir keputusan yang sangat strategis, yaitu:165
162
. Hajar Hasan, “MUI Imbau Warga Saling Menghormati”, Riau Pos, 11 Oktober 2007, h.
163
. Ali Mustafa Yaqub, Udang-undang Hari Raya, Gatra, no.11 (Januari 2007): h. 31.
164
. Nasaruddin Umar, Idul Adha 20 Desember, Kompas, 13 Desember 2007, h.15 . Wawancara Pribadi, Muhyidin
13.
165
1. Yang berhak menetapkan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 1 Zulhijjah untuk wilayah kesatuan Republik Indonesia adalah Menteri Agama Republik Indonesia. 2. Dalam menetapkan hal tersebut, Menteri Agama menggunakan metode hisab dan rukyat. Dan, 3. Umat Islam Indonesia wajib menaati keputusan Menteri Agama dalam hal tersebut. Keputusan itu kemudian diformalkan dalam bentuk fatwa MUI nomor 2 tahun 2004. Namun disisi lain sangat perlu kiranya kita ketahui bahwa itsbat al-'amm (penetapan secara umum) tentang hilal Ramadhan dan Syawal oleh Qadli atau pemerintah atas dasar hisab tanpa dihasilkan ru'yat al-hilal atau istikmal adalah tidak dibenarkan oleh Mazhab Empat.166 Dalam hukum Islam, Tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak secara eksplisit diterangkan oleh al-Qur'an dan Hadist. B. Qaidah-qaidah Fiqhiyyah Yang Berkaitan Dengan Kebijakan Pemerintah
166
. Munawir Abdul Fatah, Tradisi Orang-orang NU, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007), Cet.III, h. 215.
167
.0َ>َ ْXَْ"ِِ ﻡَُْطٌ ﺏ0.ُِ;فُ اِْﻡَ"مُ َ =َ ا.;َSَ
"Tindakan seorang pemimpin terhadap yang dipimpin (rakyat) harus berdasarkan pada kemaslahatan" Kaidah ini memberikan pengertian bahwa setiap tindakan atau kebijakan yang dibuat oleh seorang pemimpin yang menyangkut dan mengenai hak-hak rakyat harus dikaitkan dengan kemaslahatan rakyat banyak dan ditujukan untuk mendatangkan suatu kebaikan.168 Terkait hal ini, Asjmuni A. Rahman juga menambahkan, kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin dalam menyikapi persoalan yang berhubungan dengan rakyat tidak boleh menyimpang dari ajaran Islam dan harus melihat sisi kemaslahatannya.169 Contoh: Penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal yang terkadang berbeda pelaksanaan dalam wilayah Indonesia, sering kali hal ini menimbulkan suatu polemik dimasyarakat. Jadi, agar tidak terjadi polemik yang berkepanjangan, maka dibutuhkanlah peran pemerintah dalam menyikapi masalah ini. 170
.َُ ا[ِ َفgَPْ;ََامٌ وَیEُُِْْ اْ>َ"آِِ إ/
167
. Al-Imam Jalaluddin 'Abdur Rahman ibn Abi Bakri As-Suyuti, Al-Ashbah wan Nazdahir fil Furuu', (Beirut: Dar al-Fikri,t.th), h. 84. 168
. Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h 124.
169
. Asjmuni A. Rahman, Kaidah-kaidah Fiqh “Qawaid Fiqhiyyah”, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), Cet I, h. 62. 170
h. 90-91.
. Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002),
“Keputusan pemerintah bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan” Perbedaan dalam berpendapat pada wacana fiqh merupakan suatu hal yang lumrah, tetapi apa bila perbedaan itu dapat menimbulkan perpecahan, maka menurut kaidah ini hakim (pemerintah) dapat melakukan intervensi (apabila diperlukan) untuk mengatasi perbedaan tersebut.171 Tegasnya fiqh menghendaki campur tangan pemerintah dalam hal-hal menyangkut persoalan kemasyarakatan dengan tujuan untuk penyeragaman dalam amaliah.172 Adapun contoh pada masalah ini dapat merujuk pada qaidah sebelumnya karena kedua kaidah ini berhubungan dengan kebijakan hakim (pemerintah). 173
.0َ.َ>ُاََْ"دَةُ ﻡ
"Sesuatu yang menjadi kebiasaan dapat dijadikan hukum" Adat ialah segala apa yang telah dikenal manusia sehingga hal itu menjadi suatu kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan mereka baik berupa perkataan atau perbuatan.174 Contoh: Kebiasaan yang dilakukan Rasulullah dan para Khulafa arRasyidun dalam menetapkan 1 Ramadhan dan 1 Syawal ialah dengan cara rukyah
171
. Ibid., h. 90
172
. Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan (Masalah Perkawinan), (Jakarta: Firdaus, 2003), h.
173
. Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi, h. 64
174
. Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyyah, h. 93.
13-14.
atau menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari. Dan kebiasaan ini dapat diikuti oleh masyarakat muslim di dunia dalam hal yang sama. 175
َُالEُ;ُرُ ی.Yا
“Kemadlaratan harus dihilangkan” Menurut kaidah ini, bahwasanya syari’at Islam menyuruh umat manusia untuk menjauhkan diri dari kemudharatan, baik perorangan maupun masyarakat guna menghindari diri dari sifat yang merugikan.176 Contoh: Ada dua orang yang melakukan hari raya yang berbeda harinya, salah satu pihak memilih dengan jalan hisab dan yang satunya mengikut kepada imbauan pemerintah, lantas terjadi pertentangan yang menyebabkan mereka menjadi kurang rukun. Sedangkan apabila mereka memilih jalan untuk ikut kepada imbauan pemerintah, maka kemungkinan besar hal itu tidak akan terjadi. Maka mengambil jalan untuk mengikut kepada pemerintah adalah diharuskan. 177
Do.?"ُِوْلُ ﺏEَُ َ" ی1ِْQََا
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan karena keraguan” Maksud dari kaidah ini adalah seseorang dapat dikatakan telah meyakini terhadap perkara manakala perkara itu telah ada bukti atau keterangan yang
175
. Ibid., h. 38.
176
. Ibid., h. 68
177
. Ibid., h. 38
ditetapkan oleh panca indera atau dalil. 178 Jadi apabila seseorang telah meyakini terhadap suatu perkara, maka yang telah diyakini ini tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan (hal-hal yang masih ragu-ragu). Contoh: Dalam pengamatan hilal, apabila seorang pengamat tersebut yakin bahwa ia telah melihat hilal, tetapi ada keraguannya bahwa hilal belum ada, maka yang diambil ialah keyakinan mana yang menguatkan ia pada hal itu. 179
ﻡُ;َاَ"ةُ اْ[ِ َ ف
"Menghindari perselisihan" Contoh: Adapun contoh dari kaidah ini dapat merujuk kepada kaidah sebelumnya, yaitu َُالEُ;ُرُ ی.Yا. Maksud dari kaidah ini ialah agar menghindari segala hal yang dapat menimbulkan perselisihan, dan diharuskan mencari jalan keluar agar jangan sampai melibatkan diri pada masalah khilafiyah. Karena mencari jalan keluar dari perselisihan adalah jalan yang sangat baik dan bijak. C. Analisa/Kedudukan Putusan Pemerintah Dalam Tinjauan Qaidah Fiqhiyyah Seperti telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, bahwasanya didalam alqur'an, ada sebagian permasalahan yang tidak dengan secara rinci diterangkan tentang maksud dan hukumnya, dan sunnah Rasulullah yang memberikan bayan
178
179
. Ibid., h. 51-52
. Abu al-Qasim bin Muhammad bin at-Tawaniy, Al-Is'aaf bi al-Talab Mukhtashar Syarah al-Manhaj al-Muntakhab, (Mesir: Al-Ahliyah, 1975), cet. I, h. 31.
atau penjelasan-penjelasan apabila manusia tidak dapat memahami isi dari alqur'an secara utuh. Abdul Wahab Khallaf dalam kitabnya "Ushul al-Fiqh" disebutkan, "sesungguhnya nash-nash tasyri' yang telah mensyari'atkan hukum terhadap aneka cabang undang-undang, baik perdata, pidana dan lain-lain, termasuk juga didalamnya undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyri' yang kulli yang tidak tertentu dengan sesuatu cabang undang-undang.180 Dari keterangan diatas, dapat kita simpulkan bahwasanya kaidah-kaidah fiqhiyah itu sangat penting, terutama bagi para perancang hukum dan ahli hukum untuk memelihara keadilan dan kemaslahatan masyarakat setiap masa. Bagi para mujtahid dengan berpegang kepada kaidah-kaidah fiqhiyyah, maka akan merasa lebih mudah dalam mengistimbatkan hukum bagi suatu masalah, yaitu dengan menggolongkan kepada masalah yang serupa dibawah suatu kaidah tersebut. Dalam hal ini para fuqaha berkata: "Barangsiapa memelihara ushul berhaklah ia sampai kepada maksud dan barangsiapa memelihara qawa'id pantaslah ia mencapai maksud" dan "Sesungguhnya cabang-cabang masalah fikih itu hanya dapat dikuasai dengan kaidah-kaidah al-fiqhiyah".181
180
. Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Cet. IV, h. 440. 181
. Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyyah, h. 15-16
Pada dasarnya, pemerintah dalam mengambil keputusan penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal lebih menginginkan suatu hasil yang dapat dilaksanakan secara bersamaan. Kendatipun demikian, pemerintah tidak dapat memaksakan kepada umat Islam di Indonesia untuk mengikuti keputusan tersebut. Adapun yang menjadi penyebabnya adalah pertama, keputusan pemerintah hanya bersifat sebagai penawar atas hasil-hasil yang diperoleh dari berbagai macam mazhab atau aliran yang berkembang di Indonesia pada pelaksanaan sidang itsbat. Kedua, kalau dipaksakan mengikut kepada pemerintah, hal ini akan berlawanan dengan Undang-undang Dasar 1945 BAB XI tentang Agama Pasal 29 ayat 2, yang berbunyi:182 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing
dan
untuk
beribadat
menurut
agamanya dan
kepercayaannya itu”. Undang-undang ini dijadikan oleh sebagian kelompok sebagai acuan untuk memegang teguh terhadap ajaran dan keyakinannya dalam beribadah. Jadi selagi Undang-undang Dasar 1945 tersebut tidak dapat untuk dijelaskan secara rinci, maka jalan inilah yang digunakan oleh sebagian kelompok tersebut dalam mempertahankan prinsipnya masing-masing. Contoh: Ada sebagian orang yang percaya bahwasanya keyakinan mereka dalam menetapkan 1 Ramadhan adalah dengan cara melihat hilal dengan mata
182
. Undang-undang Dasar 1945 Republik Indonesia.
telanjang, tanpa menggunakan alat bantu apapun seperti, teropong. Maka keyakinan mereka itu dijadikan sebagai panduan dalam beribadah Ramadhan. Jadi, apabila seluruh umat Islam di Indonesia berpendapat demikian, tentu dan sangat jelas bahwa tidak akan pernah terwujudnya suatu keseragaman dalam amaliyah. Ketiga, belum adanya seperangkat Undang-undang, Kepres, Peraturan Pemerintah atau Inpres yang mengatur secara khusus tentang metode penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Keempat, tidak digunakannya kaidah-kaidah fiqhiyyah sebagai bahan acuan dalam menetapkan hukum, khususnya dalam penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Pada bab sebelumnya juga telah dijelaskan betapa pentingnya memakai kaidah-kaidah
fiqhiyyah
dalam
mengistimbatkan
hukum.
Karena,
dalam
mempelajari seluruh hal yang berhubungan dengan hukum Islam, yaitu al-Quran dan Sunnah sebagai sumber hukum yang disepakati, ushul al-fiqh, kaidah fiqh, merupakan suatu disiplin ilmu yang saling melengkapi.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan diatas, penulis menyimpulkan: 1. Kedudukan qaidah fiqhyyah dalam hukum Islam yaitu dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengidentifikasikan ilmu-ilmu syariah dan hukum yang bersifat praktis yang terus berkembang dari masa ke masa dan juga dapat dijadikan sebagai alat dalam mengistimbatkan hukum Islam. 2. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menetapkan 1 Ramadhan dan 1 Syawal yaitu dengan cara membentuk suatu sidang itsbat yang dihadiri oleh berbagai perwakilan masyarakat dan para pakar hisab rukyat. Dalam penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal di Indonesia pemerintah menggunakan metode imkanur rukyat (dimungkinkan untuk dirukyah). 3. Qaidah fiqhiyyah dalam disiplin ilmu fiqh tentu sangat diperlukan. Terhadap kebijakan pemerintah qaidah fiqhiyyah juga diperlukan sebagai bahan untuk mengistimbatkan hukum Islam guna menetralisir segala perbedaan pendapat, khususnya dalam menetapkan 1 Ramadhan dan 1 Syawal di Indonesia, agar keputusan tersebut dapat dilaksanakan secara bersama dan menghilangkan perbedaan pendapat sehingga dapat menciptakan satu ukhuwah yang lebih kokoh lagi dalam beramaliyah. Sungguhpun demikian, penggunaan qaidah fighiyyah tetap saja tidak optimal disebabkan masing-masing pihak masih berpegang kepada argumentasinya masing-masing.
B. Saran-saran 1. Semua pihak diharapkan dapat memberikan bimbingan dan penyuluhan untuk ikut ketentuan pemerintah. 2. Bagi masyarakat sekiranya dapat menunggu hasil sidang itsbat yang dibentuk oleh Departemen Agama, guna menciptakan suatu ukhuwah yang lebih kokoh dan tidak mengedepankan keinginan sepihak. 3. Dalam sidang itsbat, hasil keputusan pemerintah untuk kedepannya agar tidak hanya sebagai penawar atas hasil yang ditetapkan dalam rapat tersebut, tetapi juga menunjuk satu hasil yang harus diikuti dan agar dapat membuat suatu produk Undang-undang tentang pelaksanaan Ramadhan dan hari raya dan mengoptimalisasikan dalam menggunakan qaidah fiqhiyyah. 4. Dalam menetapkan awal Ramadhan dan Syawal, pemerintah hendaknya menggunakan kaidah-kaidah fiqhiyyah dalam menetapkan suatu hukum, sehingga perbedaan pendapat dapat diminimalisir dan terciptanya ukhuwah Islamiyah. 5. Masalah hisab dan rukyah agar dapat dimasukkan kedalam kurikulum Tsanawiyah dan Aliyah. 6. Mensosialisasikan kedaerah-daerah tentang hisab dan rukyat, seperti melalui khatib-khatib Jumat, kultum-kultum dll.
وا ا ااب
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya, Mekar Surabaya 2000. Abbas, Ahmad Sudirman. Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah. Cet.I. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004. Abbas, Siradjuddin. Empat Puluh Masalah Agama. Cet. Ke.37. Jakarta: Tarbiyah, 2006. Abdullah, Abdul Rahman Haji. Pemikiran Islam Di Malaysia (Sejarah dan Aliran), cet.I. Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Bahiy, Muhammad.Al Pemikiran Islam dan Perkembangannya. Jakarta: Risalah, 1985. Baqi, Muhammad Fuad ‘Abdul. al-Lu’lu’ wal Marjan, Himpunan Hadits Shahih Yang di Sepakati Oleh Bukhari dan Muslim, Penerjemah Salim Bahreisy. Surabaya: PT. Bina Ilmu, t.th. Dahlan, Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid.II. Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997. Depag, Almanak hisab Rukyat. Jakarta: Proyek Pembinaan Peradilan Agama Islam, 1981. Depag RI. Pedoman perhitungan Awal Bulan Qamariyyah. cet.III. Jakarta: Ditbinbapera, 1995. Djamil, Fathurrahman. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta: Logos Publishing House, 1995. Djazuli, Ahmad. Ilmu Fiqh (Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: Kencana, 2005. Fatah, Munawir Abdul. Tradisi Orang-orang NU. Cet.III.Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007. Glasse, Cyrril. Ensiklopedi Islam Ringkas. terj. cet.ke 2. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Hajjaji, Al-Imam Abi Husaini Muslim Ibn. Shohih Muslim. Juz.II. Kairo: Darul Hayaa Al-Kitab Al-‘Arabiyah, 1236 H. Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Hasan, Hajar “MUI Imbau Warga Saling Menghormati”. Riau Pos, 11 Oktober 2007. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: ttp, 2003. Hosen, Ibrahim. FIQH: Perbandingan Masalah Perkawinan. cet.I. Jakarta: Firdaus, 2003. Iqbal, Muhammad. “Masihkah Kita Berbeda?.” Pekanbaru: T.B. Sanggam, September 2007. Izzuddin, Ahmad. Fiqh Hisab Rukyat Di Indonesia, “Upaya Penyatuan Mazhab Rukyah Dengan Mazhab Hisab”. cet.I. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2003. -------. Fiqh Hisab Rukyah; Menyatukan NU & Muhammadiyah Dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Jakarta: Erlangga, 2007. Jailany, Zubair Al Umar. Al-Khulashah Al-Wafiyah. Kudus: Menara Kudus, t.th. Jaziri, Abdurrahman Al. Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib Al-Arba'ah. Penerjemah Chatibul Umam dan Abu Hurairah. cet.II. Jakarta: Darul Ulum Press, 2002. Jaziri, Abu Bakar Jabir Al. Minhajul Muslim. Penerjemah Fadhli Bahri. Jakarta: Darul Falah, 2001. Kamil, Taufiq. “Sidang Itsbat, 1 Syawal Ditentukan Hari ini”. Artikel diakses pada 30 November 2007 dari http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/11/12/brk,2004111202,id.html. Mahmud, Fikri. “Metode Penentuan Hari Raya”. Riau Pos. 9 Oktober 2007, Maskufa. Ahkam (Jurnal Syari’ah, Hukum dan Pranata) Memahami Tarikh Mesehi dan Hijri: Suatu Perbandingan. No.1. (Juni 2004):76-78. Miri, Djamaluddin. dan Said, Imam Ghazali. Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-1999). cet.III. Jawa Timur: Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) bekerja sama dengan Diantama Surabaya, 2004.
Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi. Jakarta: Rajawali Pers, 2002. Muhammad, Abu Bakar. Terjemahan Subulussalam II. Cet.Ke.1. Surabaya: AlIkhlas, 1991. Mundziri, Al-Hafizh ‘Abdul ‘Azhim bin ‘Abdul Qawi Zakiyuddin. Mukhtashar Shahih Muslim. Penerjemah Achmad zaidun. cet.II. Jakarta: Pustaka Amani, 2003. Munawwir, Achmad Warson. Al-Munawwir: Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997 Mutoha - Anggota BHR DIY - koord. Jogja Astro Club (JAC) - Member Islamic Crescent's Observation Project (ICOP). Artikel diakses pada 30 Nebember 2007 dari http://groups.yahoo.com/group/rukyatulhilal. Musbikin, Imam. Qawa’id al-Fiqhiyyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. M.S.L, Toruan. Pokok-pokok Ilmu Falak. Semarang: Banteng Timur, 1961. Osman, Mohamed Fathi, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan, cet.I. Jakarta: Yayasan Paramadina, 2006. Qahuri, Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Hajar Al-Kinani Al-‘Asqalani Al. Subulu As-Salam. Penerjemah Abu Bakar Muhammad. Surabaya: Al-Ikhlas, 1991. Qurtubi Al. Al-Jaami’ li Ahkam Al-Qur’an. t.p.: t.p., t.th. Rahman, Asjmuni A. Kaidah-kaidah Fiqh “Qawaid Fiqhiyyah”. cet.I. Jakarta: Bulan Bintang, t.th. Rasyid, Ibnu. “Software Untuk Melihat Bulan”. Xpresi, 7 Oktober 2007. Sam, Ichwan “MUI Serukan Umat Tunggu Sidang Itsbat”. Riau Pos, 11 Oktober 2007. Sanhuri As. Tasyri’ al-Usrah. Mesir: Al-Jam’iyyah Al-Misriyyah li Al-Iqtisad AsSiyasi wa Al-Ihsa’ wa at-Tasri’, t.th Shiddiqi, Nourouzzaman, Jeram-jeram Peradaban Muslim. cet.I. Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Shiddieqy, Muhammad Hasbi Ash. Falsafah Hukum Islam. Cet.IV. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran). Jakarta: UI Press, 1993. Suyuti, Al-Imam Jalaluddin 'Abdur Rahman ibn Abi Bakri As. Al-Ashbah wan Nazdahir fil Furuu'. Beirut: Dar al-Fikri, t.th. Tawaniy, Abu al-Qasim bin Muhammad bin At. Al-Is'aaf bi al-Talab Mukhtashar Syarah al-Manhaj al-Muntakhab. Mesir: Al-Ahliyah, 1975. Umar, Nasaruddin. “Idul Adha 20 Desember”. Kompas, 13 Desember 2007. Undang-undang Dasar 1945 Republik Indonesia. Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah Ushuliyyah & Fiqhiyyah “Pedoman Dasar Dalam Istimbath Hukum Islam”. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Wardan, Muhammad. Hisab urfi dan Hakiki. Yogyakarta: Siaran, 1957. Wawancara Pribadi dengan Amiruddin. Jakarta. 14 September 2007. Wawancara Pribadi dengan Arwani Faisal. Jakarta. 31 Juli 2007. Wawancara Pribadi dengan Muhyidin. Jakarta. 2 Agustus 2007. Yanggo, Huzaimah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. cet.III. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003. Yaqub, Ali Mustafa. Undang-undang Hari Raya. Gatra: no.11. (Januari 2007): h.31. Zabidi, Al-Imam Zainudin Ahmad bin Abd Al-Lathif Az. Mukhtshar Shahih AlBukhari: “At-Tajriid Ash-Shariih li Ahaadits Al-Jaami’ Ash-Shahih. Penerjemah Achmad Zaidun. Jakarta: Pustaka Amani, 2002. Zarqa, Al-Syaikh Ahmad Ibn Al-Syaikh Muhammad Al. Syarh Al-Qawa’id AlFiqhiyyat. Damaskus: Dar al-Qalam, 1989. Zarqa', Mustafa Ahmad Al. Al-Madkhal al-Fiqh Al-'Ami. Juz.I. Beirut: Dar al-Fikr, 1967. Zawawi, Somad. dkk. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Tri Sakti, 2004.