PERAN ETIKA DALAM ILMU PENGETAHUAN
Drs. Emrus, M.Si *
Abstract Science activities which do not accompanied by ethics study surely generate damage in various life areas. Even science itself was unable to overcome negative impact which generated by itself. So that ethics is so important in science activity. Ethics is one of the branches of philosophy. Ethics is questioning philosophy about rational base of existing moral systems. Science morally has to be addressed for the kindliness of human being without condescending or altering human reality. Keywords: Ethic, Philosophy, Moral, and Knowledge
PENDAHULUAN Istilah etika tidak asing lagi kita dengar. Etika merupakan cabang filsafat. Etika merupakan salah satu unsur filsafat ilmu. Etika tidak memberikan ajaran nilai melainkan menganalisis kebiasaan-kebiasaan,nilai-nilai,norma-norma dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika berusaha menjawab permasalahan moral. Etika adalah fisafat yang mengkaji dasar rasional dan sistem moral yang belaku dalam setiap perilaku manusia, termasuk aktivitas akademis (keilmuan). Oleh karena itu, aktivitas akademis harus disertai dengan kajian etika. Jika tidak, ilmu dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri,yang bahasa keseharian kita sebut"senjata makan tuan"Sebab,ilmu ibarat"pedang bermata dua'IDi satu sisi ilmu dapat meningkatkan peradaban manusia, di sisi lain jika ilmu ada di tangan manusia yang tidak mengkaji etika ilmu dapat mengancam keseimbangan kehidupan manusia. Misalnya,teknologi sebagai hasil dari ilmu pengetahuan dimanfaatkan membuat senjata dan bom dalam perang,yang sampai sekarang masih berlangsung; propaganda sebagai ilmu praktika dari ilmu komunikasi yang digunakan untuk mengkonstruksi rumors yang dapat menimbulkan ketidak pastian dalam suatu sistem social; ilmu kebidanan dalam kedokteran digunakan untuk aborsi ilegal. Kalau belum dapat digeneralisasi, pada sebagian penerapan ilmu pengetahauan yang tidak disertai dengan kajian etika, telah merusaktatanan kehidupan umat manusia. Hal ini dapat kita lihat pada kerusakan lingkungan akibat penerapan teknologi sebagai hasil dari ilmu pengetahuan pada kegiatan industri. Bahkan kerusakan tersebut tidak dapat diatasi dengan menggunakan teori-teori ilmu pengetahuan itu sendiri.
* Onsen letup .hiru\an Ilmu Komunikasi. hlStP, I ll'H
Vol. 8, No. 1, April 2005
Peran Etika...
81
Menyadari betapa etika sangat penting disertakan dalam pengkajian ilmu pengetahuan, karya tulis ini mencoba menjelaskan peranan etika dalam ilmu pengetahuan. Agar lebih jelas runtut penguraiannya.penulis menyusunnya dengan sistematika sebagai berikut:pengertian dan definisi etika; etika sebagai kajian filsafat; taksonomi etika;fungsi etika; peran etika dalam ilmu pengetahuan; dan kesimpulan.
PENGERTIAN ETIKA Etika, atau kesopanan,atau istilah apapun yang digunakan untuk menentukan sesuatu itu baik atau tidak baik sesuai dengan ukuran masyarakat sudah tidak asing lagi kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. K.Bertens (1994:3) berpendapat, kata-kata seperti etika, etis, dan moral tidak terdengar dalam ruang kuliah saja dan tidak menjadi monopoli kaum cendikiawan. Di luar kalangan intelektual pun disinggung tentang halhal seperti itu. Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, K.Bertens (1994:4) menjelaskan istilah etika pun berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuktunggal mempunyai banyak artktempattinggal yang biasa;padang rumput.cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah:adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah etika yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 S.M.) sudah dipakai untuk menunjukan filsafat moral. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal kata ini, maka etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Pendapat yang sama dikemukakan tim dosen filsafat ilmu, UGM (1996:33).Menurut mereka, etika sebagai cabang filsafat juga disebut filsafat moral (moral philosophy). Secara etimologi, etika berasal dari kata Yunani ethos = watak. Sedang moral berasal dari kata Latin mos, bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamak mores artinya sama dengan kebiasaan. Istilah etika atau moral dalam bahasa Indonesia dapatdiartikan kesusilaan. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1988), etika dapat dibedakan dengan tiga arti, yaitu: (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenan dengan akhlak; (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. K. Bertens (1994:6), mengemukakan ada tiga arti etika, yaitu: (1) nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya; (2) kumpulan asas atau nilai moral; (3) ilmu tentang yang baik atau buruk. Untuk mengerti tentang etika, penelusuran secara etimologis seperti tersebut di atas sangat tidak memadai, bahkan bisa menyesatkan, karena penelusuran istilah etika baru pada tataran harafiah. Menelusuri arti etimologis saja, kata K.Bertens (1994:4), belum cukup untuk mengerti apa yang dimaksud dengan istilah etika. Etika, menurut A. Kuswari (1988:30) adalah ajaran filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia, baik dan buruk, dan yang membedakan dengan mahluk hidup yang lain.
82
Peran Etika...
Vol. 8, No. I.April2005
Pakar lain, Frans Magnis-Suseno (1995:13), mengemukakan etika dapat dipandang sebagai sarana orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertidak? Pada.karyanya yang lain, Franz Magnis-Suseno (1989:17), mengatakan etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya fikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik. Sedangkan K. Bertens (1994:15), berpendapat etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas. Juga dapat disebut etika merupakan ilmuyang menyelidikitingkah laku moral.Ajaran moral.menurut Fransz Magnis - Suseno (1992:31) adalah rumusan sistematik terhadap anggapananggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban-kewajiban manusia. Sedangkan etika merupakan ilmu tentang norma-norma, nilai-nilai dan ajaran-ajaran moral. Dengan demikian, etika dapat dididefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang moral dengan menggunakan budi dan daya fakir untuk memecahkan masalah bagaimana manusia hidup kalau mau menjadi baik.
ETIKA SEBAGAI KAJIAN FILSAFAT Etika sebagai salah satu cabang filsafat sudah tentu merupakan kajian hlsafat.Tim dosen filsafat ilmu, UGM (2001:31), menguraikan ada tiga jenis persoalan filsafat yang utama yaitu persoalan tentang keberadaan, persoalan tentang pengetahuan, persoalan tentang nilai-nilai. Persoalan nilai-nilai (values). Nilai-nilai dibedakan menjadi dua, nilainilai kebaikan tingkah laku dan nilai-nilai keindahan. Nilai-nilai kebaikan tingkah laku bersangkutan dengan cabang filsafat etika. Nilai-nilai keindahan bersangkutan dengan cabang filsafat estetika.Tulisan ini tidak membahas yang terakhirtersebut. Sedangkan filsafat merupakan ilmu kritis dan etika merupakan salah satu cabang filsafat. Jadi, etika pun juga menggunakan pendekatan kritis. Dengan demikian, etika merupakan salah satu komponen pikir dari filsafat ilmu. Nina Winangsih Syam (2002:22) mengatakan, komponen lain dari filsafat ilmu yang paling penting adalah komponen pikir. Komponen pikir terdiri atas etika, logika, dan estetika. Komponen ini bersinergi dengan aspek kajian ontologi, epistemologi, dan akasiologi sehingga menghasilkan poros pikir filsafat yang digemakan oleh Aritoteles, yaitu ethos, phatos dan logos. Mengenai ketiga hal tersebut Nina Winangsih Syam (2002:22), menjelaskan ethos mengajarkan para ilmuan tentang pentingnya rambu-rambu normatif dalam pengembangan ilmu yang merupakan kunci utama bagi hubungan antara produk ilmu dengan user atau masyarakat; phatos menynagkut unsur afeksi (rasa) yang menumbuhkan improvisasi dalam pengembangan ilmu; logos yang membimbing para ilmuan untuk mengambil keputusan yang didasarkan pada pemikiran nalar dan rasional. Jadi, filsafat merupakan akar ilmu komunikasi (penulis: ilmu pengetahuan) di mana salah satu komponen pikirnya adalah etika. Dalam pembahasannya.etika mempunyai metodeatau cara. Franz Magnis-Suseno (1989:18), berpendapat cara pendekatan dalam etika adalah pendekatan kritis. Etika tidak
Vol. 8, No. 1, April 2005
Peian Etika...
83
memberikanajaran, melainkan memeriksakebiasaan-kebiasaan,nilai-nilai,norma-norma dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggungjawaban dan mau menyingkapkan kerancuan. Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral begitu saja melainkan menuntut agar pendapat-pendapat moral yang dikemukakan dipertanggungjawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral. Dia (1992:27), juga menambahkan etika dimengerti sebagai refleksi kritis atas segala claim normative dan ideologis. Sehubungan dengan itu,pada bagian lain Franz Magnis-Suseno (1992:42), berpendapat etika adalah ilmu yang kritis. Etika tidak boleh dicampurkan dengan sebuah sistem moralitas. Etika adalah fisafat yang mempertanyakan dasar rasional sistem-sistem moralitas yang ada. Etika menyediakan sarana rasional untuk mempertanyakan keabsahan norma-norma moral dan merumuskan syarat-syarat keabsahannya. Menurut K.Bertens (1994:4), etika baru menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat-seringkali tanpa disadari-mejadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral. Sebagai suatu ilmu, etika juga mempunyai obyek kajian.Tim dosen filsafat ilmu UGM (2001:33), mengatakan objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia. Perbuatan yang dilakukan secara sadar dan bebas. Sedangkan objek formal etika adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidak bermoral dari tingkah laku tersebut. Dengan demikian, perbuatan yang dilakukan secara tidak sadar dan tidak bebas tidak dapat dikenai penilaian bermoral atau tidak bermoral. Dengan demikian, menurut mereka (2001:33) persoalan-persoalan dalam etika diantaranya adalah: (1) Apa yang dimaksud baik atau buruk secara moral? (2) Apa syaratsyarat sesuatu perbuatan dikatakan baik secara moral? (3) Bagaimana hubungan antara kebebasan kehendak dengan perbuatan-perbuatan susila? (4) Apa yang dimaksud dengan kesadaran moral? (5) Bagaimanakah peranan hati nurani (conscience) dalam setiap perbuatan manusia? (6) Bagaimanakah pertimbangan moral berbeda dari dan bergantung pada suatu pertimbangan yang bukan moral? Khusus mengenai baik buruk, dari sekian banyak filosof yang berteori tentang tidakan benaryang baik,M.W.Martin dan R.Schinzinger (Noeng Muhadjir, 2001:278-80), mengelompokkan menjadi empat teori.Teori pertama: Penganut teori utilitarian seperti Mill dan Brandt,tindakan benaryang baik adalah tindakan yang menghasilkan kebaikan pada lebih banyak orang. Utilitarian berpendapat bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang memberikan kebahagiaan.Teori kedua:lmmanuel Kant mengemukakan bahwa manusia berkewajiban melaksanakan moral imperatif. Pada satu sisi, dengan moral imperatif, manusia masing-masing bertindak baik, bukan karena ada pemaksaan, melainkan karena sadar tindakan tidak baik orang lain, mungkin merugikan kita. Pada sisi lain.dengan moral imperatif tersebut semua orang menjadi saling mengakui otonominya. Teori ketiga: Teori ini lebih dikenai sebagai teori etika hak azasi manusia. Pada John Locke (1632-1704) hak azasi ditafsirkan sangat individualistic Hak kebebasan individual,
84
Peran Etika...
Vol. 8, No. 1, April 2005
pada hak negatifnya menjadi: tidak mencampuri kehidupan orang lain. A.I. Melden (1977) berpendapat hak moral kebebasan individu mempunyai saling keterkaiatan antar individu sehingga hak atas kebaikan komunitas dibutuhkan. Hak tersebut termasuk pula hak memberitahu produk iptek yang merugikan komunitas. Teori keempat: leuri keutamaan dan jalan tengah yang baik. Aristoteles mengetengahkan tentang tendensi memiliki jalan tengah yang baik antar terlalu banyak (ekses) dengan terlalu sedikit (defisiensi).Keberanian merupakan jalan tengah antara kenekatan dengan kepengecutan. Kejujuran merupakan jalan tengah antara membukakan segala yang menghancurkan dengan menyebunyikan segala sesuatu.Teori ini disebut teori keutamaan moral.. SenadadenganM.W.MartindanR.Schinzinger,A.Kuswari(1988:31 ),mengemukakan aliran dalametika:(1) Aliran etika naturalisme, berpendapat bahwa kebahagiaanmanusia diperoleh dengan menurutkan panggilan alami (fitrah) dari kejadian mansia itu sendiri. Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang sesuai dengan sifat alami manausia. Contoh aliran ini ialah aliran filsafat Stoa, yang dapat merasakan bahwa dirinya sebagian dari alam fitrah (nature); (2) Aliran etika hedonisme, berpendapat bahwa perbuatan yang baik adalah perbuatan yang menimbulkan kenikmatan. Hedonisme ini ada dua, yaitu hedonisme spiritualisme adalah hedonisme yang bersandar pada kenikmatan rohani, dan hedonisme materialistis sensualitas, hedonisme yang bersandar pada kenikmatan jasmani. Contoh aliran ini adalah aliran hedonisme kaum epikurisme; (3) Aliran etika utilitarisme, berpendapat bahwa yang menilai baik dan buruk perbuatan itu dilihat kecil besarnya manfaat bagi manusia.Tokoh aliran ini John Stuar Mill; (4) Aliran etika idealisme, berpendapat bahwa perbuatan manusia haruslah tidak terikat pada sebab akibat lahir, tetapi setiap perbuatan manusia haruslah berdasarkan pada prinsip kerohaniaan yang lebih tingi.Contoh aliran ini ialah ajaran etika kantianisme dari Immanuel Kant; (5) Aliran etika vitalisme, berpendapat bahwa yang baik ialah orang yang kuat, dapat memaksakan dan melangsungkan kehendaknya yang berkuasa dan sanggup menjadikan dirinya selalu ditaati oleh orang-orang lemah; (6) Aliran etika theologies, berpendapat bahwa ukuran baik dan buruk dalam tingkah laku manusia diukur dengan pertanyaan: Apakah dia sesuai dengan perintah Tuhan atau tidak.
TAKSONOMI ETIKA Taksonomi (pengelompokan) etika dapat dilakukan berdasarkan pendekatan yang digunakan. A. Kuswari (1988: 30-31) membagi etika dalam tiga macam: (1) Etika Deskriptif; menjelaskan pengalaman moral dengan cara deskriptif. (2) Etika normatif; berusaha menjelaskan dan merumuskan pertimbangan yang dapat diterima tentang apa yang harus ada dalam pilihan dan penilaian. (3) Etika Metaetika; analisis etika, serta cara berpikiryang dipakai dalam membenarkan peryataan-peryataan etika. Contohnya; apa arti buruk itu? Mengenai pembagian etika tersebut, K. Bertens (1994:15-20), mengemukakan ada tiga pendekatan dalam etika. Pertama, etika deskriprif. Etika ini melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya, adat kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika des-
Vol. 8, No. I.April 2005
Peran Etika...
85
kriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan atau subkultur-subkulturtertentu,dalam suatu periode sejarah, dan sebagainya. Karena etika deskriptif hanya melukiskan, tidak memberi penilaian. Kedua, etika normatif: etika ini merupakan bagian terpenting dari etika dan bidang di mana berlangsung diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah-masalah moral. Di sini seorang ahli tidak bertindak sebagai penonton netral, seperti halnya dalam etika deskriptif, tapi melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia.la tidak lagi membatasi diri dengan memandang fungsi prostitusi dalam suatu masyarakat.tapi menolak prostitusi sebagai suatu lembaga yang bertentangan dengan martabat wanita. Ketiga, metaetika: Meta artinya "melebihi" atau "melampaui" Istilah metaetika diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas di sini bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika seolaholah bergerak pada taraf lebih tinggi dari pada perilaku etis,yaitu pada taraf "bahasa etis" atau bahasa yang kita pergunakan di bidang moral.
FUNGSI ETIKA Secara umum dapat kita katakan bahwa etika berfungsi menyediakan orientasi bagi perilaku manusia. Franz Magnis-Suseno (1989:15), menjelaskan fungsi etika dengan memulai sebuah pertanyaan, untuk apa manusia mengembangkan etika? Berbeda dengan ajaran moral, etika tidak mempunyai pretensi untuk secara langsung dapat membuat manusia menjadi lebih baik. Setiap orang perlu bermoralitas, tetapi tidak setiap orang perlu beretika. Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas. Yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasardan kritis. Lebih jauh Franz Magnis-Suseno (1989:15-16), menguraikan ada sekurang kurangnya empat alasan mengapa etika pada zaman kita semakin perlu. Pertama, kita hidup dalam masyarakatyang semakin pluralistik,juga dalam bidang moralitas. Setiap hari kita bertemu orang-orang dari suku,daerah dan agama yang berbeda-beda.Kesatuan tatanan normatif sudah tidak ada lagi. Kita berhadapan dengan sekian banyak pandangan moral yang sering saling bertentangan dan semua mengajukan klaim mereka pada kita. Mana yang akan kita ikuti? Apa yang kita peroleh dari orang tua kita dulu? Moralitas tradisional desa? Moralitas yang ditawarkan melalui media massa? Secara historis, menurut Franz, etika sebagai usaha filsafat lahir dari keambrukan tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu karena pandanganpandanganlamatentangbaikdanburuktidaklagidipercayai.parafilosofmempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia. Situasi itu berlaku pada zaman sekarangjuga, bahkan bagi kita masing-masing.Yangdipersoalkan bukan hanya apakah yang merupakan kewajiban saya dan apa yang tidak, melainkan manakah norma-norma untuk menentukan apa yang harus dianggap sebagai kewajiban. Norma-norma moral sendiri dipersoalkan.Misalnya dalam bidang etika seksual, hubungan anak dan orang tua, kewajiban terhadap negara, etika sopan santun dan pergaulan dan penilaian terhadap harga nyawa manusia terdapat pandangan-pandangan yang sangat berbeda satu sama
86
Peran Etika...
Vol. 8, No. I.April 2005
lain.Untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan pandangan-pandangan moral ini refleksi kritis etika diperlukan. Kedua, kita hidup dalam masa transformasi masyarakat yang tanpa tanding. Perubahan itu terjadi di bawah hantaman kekuatan yang mengenai semua segi kehidupan kita, yaitu gelombang modernisasi. Ketiga, tidak mengherankan bahwa proses perubahan sosial budaya dan moral yang kita alami ini dipergunakan oleh pelbagai fihak untuk memancing dalam air keruh. Mereka menawarkan ideologi-ideologi mereka sebagai obat penyelamat. Etika dapat membuat kita sanggup untuk menghadapi ideologi-ideologi itu dengan kritis dan obyektif dan untuk membentuk penilaian sendiri, agar kita tidak terlalu mudah terpancing. Etika juga membantu agar kita jangan naif atau ekstrem. Kita jangan cepatcepat memeluk segala pandangan yang baru, tetapi juga jangan menolak nilai-nilai hanya karena baru dan belum biasa. Keempat, etika juga diperlukan oleh kaum agama yang pada satu pihak menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka, dan lain pihak sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah.
PERAN ETIKA DALAM ILMU PENGETAHUAN Dalam penjelasan pada bagian ini, ilmu yang dimaksud juga termasuk ilmu komunikasi. Ilmu, menurut Tim Dosen Filsafat Ilmu, (2002:174), bukanlah merupakan pengetahuan yang datang demikian saja sebagai barang yang sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi, ilmu merupakan suatu cara berpikir yang demikian rumit dan mendalam tentang sesuatu objek yang khas dengan pendekatan yang khas pula sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang handal. Disebabkan oleh karena itu pula.ia terbuka untuk diuji siapapun. Dalam sejarah kelahirannya, ilmu ditujukan untuk memudahkan manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Jujun S. Suriasumantri (1999:229), menegaskan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah di samping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi. Namun, perlu disadari bahwa ilmu bukanlah ciptaan manusia. Ilmu adalah suatu ciptaan Tuhan, demikian Herman Soewardi (1999:237). Selanjutnya dia menjelaskan, orang tidak menciptakan ilmu, melainkan mengungkapkan ilmu, atau mencari ilmu. Dalam mengungkapkan ilmu manusia mengkajinya dari sudut ontologi, epistemologi dan aksiologi. Jadi, disini yang berperan mencari ilmu adalah manusia (knower). Secara analitik, Herman Soewardi (1999:246), mengemukakan kemampuan manusia untuk mengetahui itu dapat diuraikan dari tiga hal, yaitu kemampuan kognitif, kemampuan afektif dan kemampuan konatif.
Vol. 8, No. I.April 2005
Peran Etika...
87
Mengenai kemampuan manusia tersebut, Jujun S. Suriasumantri (1999:229), mempertanyakan: Apakah manusia mempunyai penalaran tinggi, lalu makin berbudi? Sebab moral mereka dilandasi analisis yang hakiki, ataukah malah sebaliknya: makin cerdas maka makin pandai pula kita berdusta? Dari tiga kemampuan tersebut kemampuan afektif yang sangat berhubungan dengan moral sebagai kajian etika. Kemampuan afektif (rasa) inilah membuat manusia menjadi manusiawi, atau bermoral atau tidak bermoral dalam segala aktivitas manusia, termasuk kegiatan ke-ilmu-an. Untuk itu, dalam pengembangan ilmu (ilmu komunikasi) harus sesuai dengan firman Tuhan. Jadi, dalam penemuan, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan harus sesuai dengan kehendak Allah. Dengan kata lain, takutakan Allah,menuruti perintah Allah,adalah awal dari pengetahuan.Pengembangan ilmu yang dipandu oleh firman Tuhan membuat ilmu pengetahuan pasti berguna bagi umat manusia. Pada bagian lain Jujun S. Suriasumantri (1999:231) meyakini bahwa dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi, ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri. Atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Kenyataan menunjukkan sebaliknya. Jujun S. Suriasumantri (1999:234) menjelaskan, oleh karena mendapatkan otonomi yang bebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik (ajaran agama bukan lagi sebagai ukuran kebenaran ilmiah) maka dengan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif kemudian disusul dengan penerapan konsep-konsep ilmiah kepada masalah-masalah praktis. Konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkrit yang berupa teknologi. Berbekal konsep mengenai kaitan antara hutan gundul dan bajir, umpamanya, ilmu mengembangkan teknologi untuk mencegah banjir, Bertran Russell menyembut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap"kontemplasi ke manipulasi" Dalam tahap manipulasi inilah menurut Jujun S. Suriasumantri (1999:234) masalah moral muncul kembali namun dalam kaitan dengan faktor lain. Kalau dalam tahap kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau secara filsafat dapat dikatakan, dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan.Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakekat realitas dari obyek yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini, Jujun S. Suriasumantri (1999:235) mengelompokkan para ilmuan ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa
88
Peran Etika...
Vol. 8, No. 1, April 2005
ilmu hams bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologi maupun aksiologi. Dalam hal ini tugas ilmuan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya: apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan yang baik, ataukah dipergunakan untuk tujuan yang buruk. Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar Chales Darwin seperti dikutip Jujun S. Suriasumantri (1999:235), adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogianya mengontrol pikiran kita. Jujun S. Suriasumantri, (999:235), menguraikan golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada waktu era Galileo sedangkan golongan kedua mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal hal yakni:(1) ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua Perang Dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan; (2) ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalagunaan; dan (3) ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial (social engineering). Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Penulis sependapat dengan golongan kedua sebagaimana dikemukakan oleh Jujun S. Suriasumantri tersebut. Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu yang dilakukan oleh manusia adalah adanya etika profesi.Tim Dosen Filsafat Ilmu, UGM (2002:176), berpendapat etika profesi -yang merupakan etika khusus dalam etika sosial- mempunyai tugas dan tanggung jawab kepada ilmu dan profesi yang disandangnya. Dalam hal ini, para ilmuwan harus berorientasi pada rasa sadar akan tanggung jawab profesi dan tanggung jawab sebagai ilmuwan yang melatarbelakangi corak pemikiran ilmiah dan sikap ilmiahnya. Norma moral yang secara khusus muncul di antara mereka yang memiliki profesi khusus, Tim Dosen Filsafat Ilmu, UGM (2002:179-180) menambahkan moral ini adalah moral keilmuan yang memiliki ruang lingkup yang secara khusus namun tanggung jawab serta kewajiban moral itu berlaku juga baginya.Hal ini diperlukan dalam rangka menghadapi masa depan yang semakin rumit dan sulit. Hal ini akan menjadi suatu kesulitan yang lebih besar manakala para ilmuwan tidak memiliki cita-cita masa depan tentang peran manusia dan kemanusiaannya. Sebaliknya jika mereka telah siap, maka ia akan dapat menikmati hasil ilmu dan teknologi serta mampu menghindarkan diri dari dampak negatif.
Vol. 8, No. I.April 2005
Peran Etika...
89
Untuk mencapai cita-cita tersebut, kata Tim Dosen Filsafat llmu, UGM, (2002:180), maka pentingnya memiliki moral dan akhlak bagi para ilmuwan. Ideologi negara sebagai moral bangsa dan akhlaq sebagai moral agama perlu melekat bagi para pekerja ilmu itu. Para ilmuwan sebagai orang yang professional dalam bidang keilmuan sudah barang tentu mereka juga perlu memiliki visi moral yaitu khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut juga sebagai sikap ilmiah. Mengenai moral ilmiah menurut Merton sebagaimana yang dikutip oleh Depdikbut (Tim Dosen Filsafat Ilmu, UGM, 2002:180) dinyatakan bahwa ilmu mempunyai sifat universialisme, komunialisme, disinterestedness, dan skeptisisme yang terorganisasi. Menurut Tim Dosen Filsafat Ilmu, UGM, (2002:180-181) moral ilmiah atau sikap ilmiah perlu dimiliki para ilmuan itu antara lain adalah pertama, tidak ada rasa pamrih (disenterstedness), artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi; kedua, bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuan mampu mengadakan pemilihan terhadap pelbagai hal yang dihadapi. Misalnya hipotetis yang beragam, metodologi yang masing-masing menunjukkan kekuatannya masing-masing, atau cara penyimpulan yang satu cukup berbeda walaupun masing-masing menunjukan akurasinya; ketiga, adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indera serta budi (mind); keempat, adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (believe) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian; kelima, adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset, dan akhirnya riset sebagi aktivitas yang menonjol dalam hidupnya; dan akhirnya keenam, seorang ilmuan harus memiliki sikap etis (ahklak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara. Selain itu, mereka (2002:81) mengatakan norma-norma umum bagi etika keilmuan sebagai mana yang dipaparkan secara normatif berlaku bagi semua ilmuan. Hal ini karena pada dasarnya seorang ilmuan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik, sistem tradisi, atau apa saja yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu.Tujuan ilmu yang dimaksud adalah objektivitas yang berlaku secara universal dan komunal. Di samping etika keilmuan yang berupa sikap ilmiah berlaku secara umum, juga Tim Dosen Filsafat Ilmu, UGM, (2002:81), menambahkan pada kenyataannya masih ada etika keilmuan yang secara spesifik berlaku bagi kelompok-kelompok ilmuan tertentu. Misalnya, etika kedokteran, etika rekayasa, etika bisnis, etika politisi, serta etika-etika profesi lainnya yang secara normatif berlaku dan dipatuhi oleh kelompoknya itu.Taat asas dan kepatuhan terhadap norma-norma etis yang berlaku bagi para ilmuan diharapkan akan menghilangkan kegelisahaan serta ketakutan manusia terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Bahkan diharapkan manusia akan semakin percaya pada ilmu yang membawanya pada suatu keadaan yang membahagiakan dirinya sebagai manusia. Hal ini sudah barang tentu jika pada diri para ilmuan tidak ada sikap lain kecuali pencapaian objektivitas dan demi kemajuan ilmu untuk kemanusiaan.
90
Peran Etika...
Vol. 8, No. 1, April 2005
Dalam profesi jumalistik, misalnya, dikenal adanya kode etik jurnalistik. Kode etik jumalistik yang bersifat "mendunia" dikemukakan oleh Grecisse dan Laitila (Richard Keeble, 2001:15). Mereka mengatakan, some values are evident in codes throughout the world: (1) fairness; (2) the separation of fact and opinion; (3) the need for accuracy linked with the responsibility to correct errors; the deliberate distortion and suppression of information are condemned; (4) maintaining confeidentiality of sources: (5) upholding journalists 'responsibility to guard citizens'right to freedom of expression; (6) recognising a duty to defend the dignity and independence of the profession; (7) protecting people's right to privacy; (8) respecting and seeking after truth; (8) struggling against censorship; (9) avoiding discrimination on grounds of race, sexual orientation, gender, language, religion or political opinions; (10) avoiding conflict of interests (particularly with respesct to political and financial journalist/editors holding shares in companies they report on).
KESIMPULAN Etika adalah ilmu yang mempelajari tentang moral dengan menggunakan budi dan daya fakir untuk memecahkan masalah bagaimana manusia hidup kalau ia mau menjadi baik. Sebagai komponen pikir filsafat, etika mengambil peran dalam mengkaji tingkah laku moral dalam mencari, mengembangkan dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, ilmu dapat digunakan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.
PUSTAKA 1.
Kuswari, 1988. Kamus Istilah Filsafat, Alvagracia, Bandung.
2.
Franz Magnis-Suseno, 1995. Etika Dasar Masalah Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisus,Yogyakarta.
3.
Franz Magnis-Suseno, 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisus, Yogyakarta.
4. Herman Soewardi, 1999. Roda Berputar Dunia Bergulir, Bakti Mandiri, Bandung. 5. Jujun S.Suriasumantri, 1999.F//sa/iflfWmuSebua/iPengonfarPopu/er.Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 6.
K. Bertens, 1994. Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
7.
Noeng Muhadjir, 2001. Filsafat Ilmu PosfModern/sme, Rakesarasin, Yogyakarta.
8.
Nina Winangsih Syam, 2002. Rekonstruksi Ilmu Komunikasi Perspektif Pohon Komunikasi dan Pergeseran Paradigma Komunikasi Pembangunan dalam Era Globalisasi, Departemen Pendidikan Nasional, Universitas Padjadjaran, Bandung.
9.
Richard Keeble, 2001. Ethics for Journalists, Routledge, New York.
Positivisme, PostPositivisme, dan
10. Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2001. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.
Vol. 8, No. 1, April 2005
Peran Etika...
91