PENINGKATAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK
LAPORAN HASIL PENELITIAN
Disusun oleh: EDI HIDAYAT
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SILIWANGI TASIKMALAYA 2014
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang paling indah dan pantas penulis ucapkan selain ucapan puji dan syukur ke khadirat Alloh SWT., karena atas kehendak-Nya laporan hasil penelitian yang berjudul “PENINGKATAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK” akhirnya dapat diselesaikan. Penelitian ini bertujuan menerapkan suatu pendekatan pembelajaran matematika realistik, sedangkan akibat yang dilihat adalah peningkatan kemandirian belajar siswa yang berada pada sekolah menengah pertama di kota Tasikmalaya. Dalam penyusunan laporan ini, banyak hambatan dan kesulitan yang dihadapi penulis, tetapi berkat uluran tangan, bimbingan, nasehat, dorongan, dan sumbangan pemikirian dari berbagai pihak, kesulitan dan hambatan secara bertahap dapat diatasi. Semoga segala bantuan, bimbingan dan kebaikan dari semua pihak mendapat balasan pahala yang berlipat ganda dari Alloh SWT., serta senantiasa Alloh yang maha pengasih dan penyayang melimpahkan rakhmat dan kasih sayang-Nya bagi kita sekalian. Amiin. Akhirnya, dengan segala kekurangan dan keterbatasan dalam penelitian ini, penulis berharap sekecil apapun temuan dari penelitian ini dapat memperkaya penelitian-penelitian terdahulu sekaligus memberikan inspirasi untuk peneliti selanjutnya.
Tasikmalaya, Desember 2014 Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR
…………………………………………………
i
DAFTAR ISI …………………………………………………………...
ii
I
PENDAHULUAN
1
II
TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN
4
III
4
………………………………
6
………………………………………...
10
Pembelajaran Matematika Realistik
B.
Kemandirian Belajar Siswa
C.
Metode Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN A.
IV
………………………
A.
10 ………………….....
10
a. Hasil Tes Awal Kemandirian Belajar Siswa
…………...
10
b. Hasil Tes Akhir Kemandirian Belajar Siswa
……..........
11
c. Perbandingan Kemandirian Belajar Siswa setelah Mengikuti Pembelajaran Langsung dan Pembelajaran dengan Pendekatan Matematika Realistik …................. d. Pengujian Hipotesis ……………………………...…….
11
Hasil Tes Kemandirian Belajar Siswa
14
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
12
…………………………………………………
14
PENINGKATAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK EDI HIDAYAT Program Studi Pendidikan Matematika FKIP-UNSIL Tasikmalaya
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menerapkan suatu pendekatan pembelajaran matematika realistik, sedangkan akibat yang dilihat adalah peningkatan kemandirian belajar siswa yang berada pada sekolah menengah pertama. Desain penelitian eksperimen yang digunakan adalah desain dua kelompok kontrol pretes-postes. Kelompok eksperimen memperoleh pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik dan kelompok kontrol memperoleh pembelajaran langsung. Untuk mendapatkan data penelitian digunakan instrumen berupa skala kemandirian belajar siswa. Subjek penelitian adalah siswa kelas VII SMPN 4 Tasikmalaya dengan mengambil sampel dua kelas sebagai kelompok eksperimen dan kontrol yang dilakukan dengan cara acak kelas. Analisis data dilakukan secara kuantitatif untuk mengungkap kemandirian belajar siswa. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik lebih baik dibandingkan dengan peningkatan kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran langsung. Pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik memperlihatkan keaktifan dan keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Kata Kunci: Pendekatan pembelajaran matematika realistik, Kemandirian belajar siswa.
I.
PENDAHULUAN Keluhan masyarakat tentang hasil pendidikan yang belum memuaskan sudah
berlangsung sejak lama dan sudah dilalui oleh beberapa kali pergantian pembuat kebijakan di bidang pendidikan, namun situasi masih tetap sama. Usaha perbaikan sudah banyak dilakukan antara lain dengan mengadakan perubahan pada kurikulum, peningkatan kemampuan tenaga pendidik, dan melengkapi sarana dan prasarana. Masyarakat kelihatannya belum merasa puas dengan perubahan-perubahan yang dilakukan pemerintah. Hal ini terbukti dengan banyaknya dan berkelanjutannya keluhan-keluhan dari masyarakat, ditambah lagi dengan adanya penilaian tentang daya saing bangsa yang kurang menggembirakan. Menurut Hamalik (2006) sistem pendidikan yang dimiliki dan dilaksanakan belum mampu mengikuti dan mengendalikan kemajuan teknologi, sehingga dunia pendidikan belum dapat menghasilkan tenaga-tenaga terampil, kreatif, aktif, dan kritis yang sesuai dengan tuntutan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam kurikulum 2006, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika.
Untuk
meningkatkan
keefektifan
pembelajaran,
sekolah
diharapkan
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti komputer, alat peraga, atau media lainnya. Cooney (Sumarmo, 2005) menyarankan reformasi pembelajaran matematika dari pembelajaran belajar meniru (menghapal) ke belajar pemahaman yang berlandaskan pada pendapat knowing mathematics is doing mathematics yaitu pembelajaran yang menekankan pada doing atau proses dibandingkan dengan knowing that. Perubahan pandangan pembelajaran di atas dimaksudkan agar pembelajaran lebih memfokuskan pada proses pembelajaran yang mengaktifkan siswa untuk menemukan kembali (reinvent) konsepkonsep, melakukan refleksi, abstraksi, formalisasi dan aplikasi. Proses mengaktifkan siswa ini dapat dikembangkan dengan membiasakan anak menggunakan berpikir logis atau kemampuan penalarannya untuk memecahkan masalah dalam setiap kegiatan belajarnya. Kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang akan membentuk karakter anak dalam bagaimana berpikir, bagaimana berbuat dan bagaimana bertindak sebagai perwujudan aplikasi pemahaman untuk menjawab segala bentuk kebutuhan dan persoalan yang dihadapinya. Selain itu, proses pembelajaran matematika juga perlu memperhatikan kenyamanan dan perasaan menyenangkan bagi siswa, hal ini dapat dilakukan dengan cara memperlihatkan sikap ramah dalam menanggapi berbagai kesalahan siswa, hindari sikap guru yang menyeramkan (tidak bersahabat), mengusahakan agar siswa dikondisikan untuk bersikap terbuka, usahakan materi matematika disajikan dalam bentuk yang lebih kongkrit, dan gunakan metode serta pembelajaran yang bervariasi. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan minat siswa terhadap matematika yang merupakan modal utama untuk menumbuhkan keinginan dan kesenangan belajar matematika, tanpa minat yang baik dalam diri siswa akan sulit tercipta suasana belajar seperti yang diharapkan. Tumbuhnya minat siswa untuk belajar matematika diharapkan muncul kecenderungan sikap positif terhadap matematika. Pendekatan matematika realistik adalah salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan perubahan tersebut. Hal ini sesuai dengan
pandangan Freudenthal
(Soedjadi, 2004) yang menyatakan bahwa matematika merupakan kegiatan manusia yang lebih menekankan aktivitas siswa untuk mencari, menemukan, dan membangun sendiri pengetahuan yang diperlukan sehingga pembelajaran menjadi terpusat pada siswa.
Pembelajaran matematika realistik merupakan aktivitas sosial sehingga komunikasi terjalin secara optimal, siswa melakukan tidak hanya mendengarkan dan melihat, titik tolak pembelajaran dari kondisi realitas kehidupan siswa, pendekatan yang digunakan dari informal ke formal, konsep yang satu jelas keterkaitannya dengan konsep yang lain, dan siswa beraktivitas dengan bantuan guru. Dalam pembelajaran matematika realistik, kemampuan siswa untuk melakukan aktivitas perlu dilatih dan dibiasakan melalui bimbingan, sehingga siswa mampu menemukan suatu pola atau konsep dengan cara membangun sendiri konsep tersebut. Di samping matematika vertikal yang dipelajari siswa, yaitu keterkaitan antar konsep matematika, kemampuan pemecahan masalah dan pelatihan kemampuan berpikir abstrak, siswa juga dibiasakan belajar matematika horizontal yaitu belajar menggunakan kemampuan matematika dalam bidang studi dan kehidupan sehari-hari, seperti berpikir rasional-rinci-sistematis dan penalaran. Pada dasarnya pendekatan pembelajaran matematika realistik membimbing siswa untuk menemukan kembali konsep-konsep yang pernah ditemukan oleh para ahli matematika. Materi matematika yang disajikan guru dikaitkan dengan peristiwa nyata dalam kehidupan sehari-hari, siswa diberi kesempatan untuk menafsirkan dan mengemukakan gagasan yang mereka temukan. Siswa diberikan kebebasan dalam menyampaikan ide-ide dalam diskusi kelompok, sehingga diharapkan siswa dapat berperan aktif dalam pembelajaran. Guru hanya memfasilitasi pembelajaran, siswa yang harus berperan aktif menyumbangkan pikirannya dalam memecahkan permasalahan yang beraneka ragam. Dengan demikian, diharapkan akan meningkatkan kemandirian belajar dalam matematika. Sumarmo (2004) menyatakan bahwa individu yang belajar matematika dituntut memiliki disposisi matematis yang tinggi, kemudian akan menghasilkan kemampuan berpikir matematis yang diharapkan. Disposisi matematis yang dimaksud terlukis pada karakteristik kemandirian belajar matematika. Kemandirian belajar siswa merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pelaksanaan pembelajaran dan turut menentukan pencapaian hasil belajar siswa, hal ini cukup beralasan karena pembelajaran yang menciptakan situasi pemecahan masalah sangat diperlukan kemandirian siswa dalam belajar. Siswa yang memiliki kemampuan tinggi dalam matematika diasumsikan memiliki kemandirian belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memiliki kemampuan sedang dan rendah. Siswa yang memiliki kemampuan tinggi lebih mampu mengatur waktu dan mengontrol diri dalam berpikir, merencanakan strategi, kemudian melaksanakannya, serta mengevaluasi atau mengadakan refleksi. Hal ini didukung oleh hasil studi Darr dan Fisher (2004) yang
menghasilkan bahwa kemampuan belajar mandiri berkorelasi tinggi dengan keberhasilan belajar siswa. Hasil penelitian lain disampaikan oleh Hisyam (2006) dan Hastutiningsih (2007) bahwa terdapat hubungan positif antara kemandirian belajar dengan hasil belajar siswa. Berdasarkan uraian di atas, mendorong penulis untuk melakukan penelitian yang memfokuskan pada penerapan pendekatan pembelajaran matematika realistik terhadap kemandirian belajar siswa sekolah menengah pertama. Permasalahan yang diungkap adalah apakah peningkatan kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik lebih baik dibandingkan dengan peningkatan kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran langsung? II. TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN A. Pembelajaran Matematika Realistik Pembelajaran matematika realistik pertama kali dikembangkan oleh Institut Freudenthal di Negeri Belanda, berdasarkan pandangan Freudenthal. Ide utamanya adalah siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan dunia nyata atau real world. Menurut Gravemeijer (1994) terdapat tiga prinsip utama dalam pembelajaran matematika realistik yaitu: (1) Guided Reinvention and Progressive Mathematization (penemuan terbimbing dan bermatematika secara progressif, (2) Didactical Phenomenology (penomena pembelajaran), dan (3) Self-developed Models (pengembangan model mandiri). Prinsip penemuan terbimbing, siswa diarahkan untuk menemukan sendiri konsep matematika dengan bantuan menyelesaikan berbagai masalah kontekstual. Sedangkan prinsip bermatematika secara progressif adalah bermatematika secara horizontal dan vertikal. Aktivitas matematisasi secara horizontal, siswa diharapkan mampu mengidentifikasi masalah kontekstual sehingga dapat ditransfer ke dalam masalah bentuk matematika berupa model, diagram, tabel (model informal) untuk lebih dipahami. Sedangkan aktivitas matematisasi vertikal, siswa menyelesaikan bentuk matematika formal atau non formal dari masalah kontekstual dengan menggunakan konsep, operasi dan prosedur matematika yang berlaku. Prinsip penomena pembelajaran, menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Topik-topik matematika dikenalkan
dengan mempertimbangkan kecocokan aplikasi konteks dalam pembelajaran dan kecocokan dampak dalam proses penemuan kembali konsep matematika dari masalah kontekstual. Prinsip
pengembangan
model mandiri,
berfungsi untuk
menjembatani antara
pengetahuan matematika non formal dengan matematika formal. Model matematika dikembangkan secara mandiri berdasarkan model-model matematika yang telah diketahui siswa. Siswa dihadapkan pada masalah kontekstual dari situasi, kemudian ditemukan model dari (model of) situasi tersebut (bentuk informal) dan selanjutnya diikuti dengan penemuan model untuk (model for) dari bentuk tersebut (bentuk formal), sehingga siswa mendapatkan penyelesaian masalah dalam bentuk pengetahuan matematika yang standar. Sesuai dengan ketiga prinsip di atas, dalam proses pembelajaran matematika realistik perlu memperhatikan
lima karakteristik pembelajaran (Gravemeijer, 1994) yaitu: (1)
menggunakan masalah kontekstual; (2) menggunakan model; (3) menggunakan kontribusi dan produksi siswa; (4) interaktif; (5) keterkaitan (intertwinment). 1. Menggunakan Masalah Kontekstual Masalah kontekstual dalam pembelajaran matematika realistik yang diberikan kepada siswa harus memperhatikan pengalaman awal siswa, mudah dibayangkan oleh siswa, sesuai dengan kesiapan siswa, dekat dengan kehidupan sehari-hari, dapat menjadi penghubung antara topik matematika yang dipelajari dengan lingkungan dan pengalaman siswa. Melalui masalah kontekstual diharapkan dapat membantu siswa untuk memahami makna dan kegunaan matematika, serta memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan pemahaman terhadap matematika berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya. 2. Menggunakan Model Siswa
akan
mengubah
permasalahan
kontekstual
yang
diberikan
menjadi
permasalahan matematik, representasi inilah yang disebut sebagai pemodelan. Penggunaan pemodelan diharapkan siswa dapat menemukan hubungan antara bagian-bagian masalah kontekstual dan mentransfernya ke dalam model matematika melalui penskemaan, perumusan, serta pemvisualan. Pemodelan yang dimaksud bisa berupa lambang-lambang matematik, skema, grafik, diagram, manipulasi aljabar, serta yang lain. Dengan demikian, pemodelan berperan sebagai penghubung antara masalah kontekstual, matematika informal (matematisasi horizontal) dan matematika formal (matematisasi vertical). Sesuai dengan pendapat Gravemeijer (1994) yang menyatakan bahwa pemodelan merupakan jembatan untuk mengubah masalah kontekstual menjadi bentuk formal. Salah satu karakteristik
pembelajaran matematika realistik inilah yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematik. 3. Menggunakan Kontribusi dan Produksi Siswa Sumbangan pemikiran dari siswa dapat menjadikan pembelajaran lebih konstruktif dan produktif, dimana siswa dituntut untuk dapat memproduksi dan mengkonstruksi sendiri model secara bebas melalui bimbingan guru. Guru membimbing siswa sampai mampu merefleksi bagian-bagian penting dalam belajar, sehingga mampu mengkonstruksi model dari informal sampai ke bentuk formal. Strategi informal yang berupa penggunaan skema, grafik, diagram, manipulasi aljabar, algoritma, dan prosedur pemecahan masalah kontekstual sebagai sumber inspirasi dalam mengkonstruk pengetahuan matematika formal diharapkan dapat berkembang ke arah yang positif. Tumbuhnya sikap positif yang dimiliki siswa terhadap matematika, maka karakteristik kontribusi dan produksi siswa dapat dikembangkan. 4. Interaktif Interaksi yang terjadi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan guru dengan siswa merupakan bagian penting dalam pembelajaran matematika realistik. Interaksi yang terjadi dalam pembelajaran matematika realistik antara lain, dapat berupa negosiasi secara eksplisit, intervensi kooperatif, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi dan evaluasi sesama siswa dan guru. Interaksi digunakan siswa untuk memperbaiki atau memperbaharui model-model yang dikonstruksi, sehingga diperoleh model yang tepat. Guru menggunakan interaksi untuk membimbing siswa, sehingga siswa memahami konsep matematika formal. Interaksi sebagai salah satu karakteristik pembelajaran matematika realistik sangat memungkinkan siswa untuk dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematik. Kegiatan interaksi dalam pembelajaran akan tergambar melalui observasi pembelajaran, yang dipandang sebagai alat untuk memotret kejadian pembelajaran di kelas. 5. Keterkaitan (Intertwinment) Karakteristik berikutnya dalam pembelajaran matematika realistik adalah keterkaitan. Konsep yang dipelajari siswa melalui pembelajaran matematika realistik harus berupa hubungan dengan konsep atau materi lain dalam matematika atau dengan pelajaran yang lain. Matematika bukanlah suatu pengetahuan yang bercerai berai melainkan merupakan suatu ilmu pengetahuan yang utuh dan terpadu.
B. Kemandirian Belajar Siswa Para ahli psikologi memberikan pengertian kemandirian belajar yang beragam, diantaranya pendapat Zimmerman (1989) mendefinisikan kemandirian belajar sebagai derajat metakognisi, motivasional, dan perilaku individu di dalam proses yang dijalani untuk mencapai tujuan belajar. Winne (1997) menyatakan bahwa kemandirian belajar mencakup kemampuan strategi kognitif, belajar untuk belajar dan belajar sepanjang masa. Sedangkan Knain dan Turmo (2000) menyatakan bahwa kemandirian belajar adalah suatu proses yang dinamik dimana siswa membangun pengetahuan, keterampilan, dan sikap pada saat mempelajari konteks yang spesifik. Untuk itu siswa perlu memiliki berbagai strategi belajar, pengalaman menerapkannya dalam berbagai situasi, dan mampu merefleksi secara efektif. Kemudian, Wolters, Pintrich, dan Karabenick (2003) menegaskan bahwa kemandirian belajar adalah suatu proses konstruktif dan aktif dimana siswa menentukan tujuan dalam belajar, dan mencoba untuk memonitor, mengatur, dan mengendalikan kognisi, motivasi, dan perilaku dengan dibimbing dan dibatasi oleh tujuan dan karakteristik kontekstual dalam lingkungan. Menurut Montalvo dan Torres (2004) kemandirian belajar yaitu gabungan antara keterampilan dan kemauan. Demikian pula menurut Sumarmo (2004: 1) kemandirian belajar merupakan proses perancangan dan pemantauan diri yang seksama terhadap proses kognitif dan afektif dalam menyelesaikan suatu tugas akademik. Hargis (Sumarmo, 2004: 1) menekankan bahwa kemandirian belajar bukan merupakan kemampuan mental atau keterampilan akademik tertentu, tetapi merupakan proses pengarahan diri dalam mentransformasi kemampuan mental ke dalam keterampilan akademik tertentu. Menurut Zimmerman (Pape et al., 2003) terdapat tiga tahap kemandirian dalam belajar yaitu: 1.
Berpikir jauh ke depan. Siswa merencanakan kemandirian perilaku dengan cara menganalisis tugas dan menentukan tujuan-tujuan.
2.
Performansi dan kontrol. Siswa memonitor dan mengontrol perilakunya sendiri, kesadaran, motivasi, dan emosi.
3.
Refleksi diri. Siswa menyatakan pendapat tentang kemajuan sendiri dan merubahnya sesuai dengan perilaku mereka. Selanjutnya Paris dan Winograd (2004) menegaskan, tiga karakteristik utama dari
kemandirian belajar yaitu kesadaran berpikir, penggunaan strategi, dan motivasi yang terhambat. Masing-masing karakteristik tersebut dipaparkan berikut:
1. Kesadaran Berpikir Pengertian metakognisi menurut Paris dan Winograd (2004) yaitu berpikir tentang berpikir. Aspek-aspek dari metakognisi ketika mengembangkan kompetensi seseorang pada
self-appraisal
(menilai-diri)
dan
self-management
(mengatur-diri),
dan
mendiskusikan bagaimana aspek-aspek dari pengetahuan ini dapat membantu mengarahkan upaya siswa ketika mereka belajar. Kemudian Bandura (Paris dan Winograd, 2004) menekankan bahwa kemandirian belajar melibatkan tiga proses yang saling berkaitan: observasi-diri, evaluasi-diri, dan reaksi-diri. 2. Penggunaan Strategi Penggunaan strategi dalam kemandirian belajar adalah melibatkan urutan yang berkembang dari seseorang, untuk belajar, mengendalikan emosi, mengejar tujuan, dan sebagainya. Paris, Lipson, dan Wixson (1983) (Paris dan Winograd, 2004) menyatakan bahwa ada tiga komponen aspek penting metakognitif dari strategi, sering merujuk pada pengetahuan deklaratif (apa yang disebut dengan strategi), pengetahuan prosedural (bagaimana strategi bekerja), dan pengetahuan kondisional (kapan dan mengapa suatu strategi diterapkan). Mengetahui ketiga karakter strategi dapat membantu siswa untuk membedakan taktik yang produktif dari counter-productive, dan kemudian menerapkan strategi yang sesuai. Ketika siswa „menjadi strategis‟, mereka akan memperhatikan opsiopsi sebelum memilih strategi untuk menyelesaikan masalah. Pilihan ini merupakan kemandirian belajar, karena merupakan hasil dari analisis kognitif dari opsi-opsi alternatif untuk melakukan problem solving. 3. Motivasi yang Terhambat Motivasi yang terhambat merupakan aspek ketiga dari kemandirian belajar, karena belajar memerlukan upaya dan pilihan. Kemandirian belajar melibatkan keputusan motivasional tentang tujuan suatu aktivitas, perasaan ketidakmampuan dan menilai tugas, persepsi diri tentang kemampuan untuk menyelesaikan tugas, dan keuntungan potensial dari keberhasilan atau pertanggungjawaban atas kegagalan. Kesadaran dan refleksi dapat mengarah pada berbagai tindakan, bergantung pada motivasi siswa. Selanjutnya, Paris dan Winograd (2004) mengelompokkan dua belas prinsip kemandirian belajar ke dalam empat kategori: 1. Menilai diri mengarah pada pemahaman belajar yang lebih dalam. Menilai diri secara periodik akan bermanfaat bagi guru dan siswa, karena merupakan refleksi pada pembelajaran yang dinamik.
a. Menganalisis gaya dan strategi belajar, membandingkannya dengan yang lain, meningkatkan kesadaran akan cara-cara belajar yang berbeda. b. Mengevaluasi apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui, melihat kedalaman pemahaman tentang pokok-pokok materi, mempromosikan upaya yang efisien. c. Penilaian diri dari proses belajar dan out-come secara periodik, adalah suatu kebiasaan yang bermanfaat untuk dikembangkan, karena akan meningkatkan pengendalian kemajuan, menstimulasi strategi yang diperbaiki, dan meningkatkan perasaan selfefficacy. 2. Mengatur diri dalam berpikir, berupaya, dan meningkatkan pendekatan yang fleksibel pada pemecahan masalah yang adaptif (menyesuaikan diri), tekun, pengendalian diri, strategis, dan berorientasi tujuan. a. Mentargetkan tujuan yang sesuai dan dapat dicapai tetapi menantang, paling efektif dipilih siswa. b. Mengatur waktu dan sumber-sumber melalui perencanaan yang efektif dan pengontrolan, merupakan faktor penting dalam mengatur prioritas, mengatasi frustasi, dan dengan tekun menyelesaikan tugas. c. Mereviu belajar sendiri, merevisi pendekatan, atau bahkan memulai sesuatu dari yang baru, memonitor diri dan komitmen pribadi untuk mencapai kinerja standar tinggi. 3. Self-regulation dapat diajarkan dengan berbagai cara. Dikarenakan kemandirian belajar fleksibel dan adaptif, berbagai strategi yang berbeda dan motivasi dapat ditekankan pada siswa yang berbeda. Self-regulation dapat diajarkan dengan pengajaran secara eksplisit, refleksi langsung, dan diskusi metakognisi; dapat ditingkatkan secara tidak langsung, dengan pemodelan dan aktivitas yang memerlukan analisis reflektif dari belajar, mengevaluasi, membuat peta, dan mendiskusikan buktibukti dari pertumbuhan seseorang; terpilih dalam pengalaman naratif dan identitas dari setiap individual. 4.
Belajar adalah bagian dari kehidupan seseorang, dan sebagai akibat dari karakter seseorang. Dengan pandangan ini, kemandirian belajar dibangun oleh karakter dari kelompok yang diikutinya. a. Bagaimana individu memilih untuk menilai dan memonitor perilaku mereka, umumnya konsisten dengan identitas yang mereka pilih dan inginkan. b. Memperoleh perspektif sendiri pada pendidikan dan belajar, menyediakan suatu kerangka kerja naratif, yang akan memperdalam kesadaran pribadi dari selfregulation.
c. Partisipasi dalam suatu komunitas yang reflektif akan meningkatkan banyak dan kedalaman pengujian kebiasaan self-regulation seseorang. Menurut Frank dan Robert (1988) kemandirian belajar merupakan kemampuan diri untuk memonitor pemahamannya, untuk memutuskan kapan ia siap diuji, untuk memilih strategi pemrosesan informasi yang kuat dan sejenisnya. Kemandirian mencakup tiga tahap kegiatan yakni sebelum, selama, dan sesudah melaksanakan tugas belajar. C. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimen, adapun desain eksperimen yang digunakan adalah desain dua kelompok kontrol pretes-postes. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa sekolah menengah pertama (SMP) Negeri di Kota Tasikmalaya. Populasi dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tingkat perkembangan kognitif siswa SMP masih pada tahap peralihan dari operasi kongkrit ke operasi formal, sehingga cocok untuk diterapkan pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik. Subyek penelitian adalah siswa kelas VII SMP Negeri 4 Tasikmalaya, sedangkan yang menjadi sampel penelitian yaitu kelas VII F sebagai kelompok eksperimen dan kelas VII D sebagai kelompok kontrol. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Tes Kemandirian Belajar Siswa Untuk mengetahui sejauhmana peningkatan kemandirian belajar siswa dalam matematik, maka dilakukan dua kali tes yaitu tes awal dan tes akhir. a. Hasil Tes Awal Kemandirian Belajar Siswa Tes awal kemandirian belajar siswa untuk mengetahui sejauhmana kemandirian belajar siswa yang dimiliki siswa sebelum pembelajaran dilakukan. Setelah dilakukan pengolahan data hasil tes awal kemandirian belajar siswa, diperoleh: (1) untuk kelompok eksperimen, skor terrendah ( x min ) sebesar 2,7, skor tertinggi ( x maks ) sebesar 3,9, rata-rata (
x ) sebesar 3,30 dan deviasi standar (s) sebesar 0,25 ; dan (2) untuk kelompok kontrol, skor terrendah ( x min ) sebesar 2,7, skor tertinggi ( x maks ) sebesar 4,0, rata-rata ( x ) sebesar 3,24 dan deviasi standar (s) sebesar 0,28. Berdasarkan hasil pengolahan data menunjukkan rata-rata tes awal kemandirian belajar siswa pada kelompok eksperimen dan kontrol berbeda. Namun untuk mengetahui signifikansi ada atau tidak adanya perbedaan rata-rata tes awal kemandirian belajar siswa
dilakukan analisis statistik pengujian perbedaan rerata dua sampel. Karena data kemandirian belajar siswa berupa data ordinal, maka pengujian hipotesis menggunakan uji Mann-Whitney. Selanjutnya pengujian perbedaan rerata yang dilakukan terhadap skor tes awal kemandirian belajar siswa kedua kelompok menghasilkan harga Zhitung = -1,687 dan p = 0,092 lebih besar dari 0,05, jadi Z hitung berada pada daerah penerimaan H0. Ini berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan kemandirian belajar siswa antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dengan demikian, tidak terdapat perbedaan kemandirian belajar siswa dalam matematika pada kedua kelompok sebelum diberikan perlakuan. b. Hasil Tes Akhir Kemandirian Belajar Siswa Tes akhir digunakan untuk mengetahui sejauhmana kemandirian belajar yang dimiliki siswa setelah pembelajaran berlangsung. Setelah dilakukan pengolahan data hasil tes akhir kemandirian belajar siswa, diperoleh: (1) untuk kelompok eksperimen, skor terrendah ( x min ) sebesar 3,5 , skor tertinggi ( x maks ) sebesar 4,5, rata-rata ( x ) sebesar 3,97 dan deviasi standar (s) sebesar 0,275 ; dan (2) untuk kelompok kontrol, skor terrendah ( x min ) sebesar 2,9, skor tertinggi ( x maks ) sebesar 4,2, rata-rata ( x ) sebesar 3,47 dan deviasi standar (s) sebesar 0,298. Berdasarkan hasil pengolahan data menunjukkan rata-rata tes akhir kemandirian belajar siswa pada kelompok eksperimen dan kontrol berbeda. Namun untuk mengetahui signifikansi ada atau tidak adanya perbedaan rata-rata tes akhir kemandirian belajar siswa dilakukan analisis statistik pengujian perbedaan rerata dua sampel. Karena data kemandirian belajar siswa berupa data ordinal, maka pengujian hipotesis menggunakan uji Mann-Whitney. Selanjutnya pengujian perbedaan rerata yang dilakukan terhadap skor tes akhir kemandirian belajar siswa kedua kelompok menghasilkan harga Zhitung = -6,073 dan p = 0,000 lebih kecil dari 0,05, jadi Z hitung berada pada daerah penolakan H0. Ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan kemandirian belajar siswa antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dengan demikian, terdapat perbedaan kemandirian belajar siswa dalam matematika pada kedua kelompok setelah diberikan perlakuan. c. Perbandingan Kemandirian Belajar Siswa setelah Mengikuti Pembelajaran Langsung dan Pembelajaran dengan Pendekatan Matematika Realistik Hasil analisis perbandingan gain ternormalisasi kemandirian belajar siswa terhadap 40 siswa kelompok eksperimen dan 40 siswa kelompok kontrol disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Rekapitulasi Gain Ternormalisasi Kemandirian Belajar Siswa Tingkat N-Gain Tinggi Sedang Rendah Jumlah
Kelompok Eksperimen Frekuensi % 0 0% 31 77,5% 9 22,5% 40 100%
Kelompok Kontrol Frekuensi % 0 0% 0 0% 40 100% 40 100%
Tabel 1 menunjukkan bahwa gain ternormalisasi kemandirian belajar siswa, pada kelompok eksperimen terdapat 31 orang (77,5%) kategori sedang, 9 orang (22,5%) kategori rendah, dan tidak ada seorangpun yang mecapai kategori tinggi. Sedangkan pada kelompok kontrol seluruh responden (100%) hanya mencapai kategori rendah. Berdasarkan analisis data persentase tingkat N-Gain di atas dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemandirian belajar siswa kelompok eksperimen lebih baik dari kelompok kontrol. Kemandirian belajar siswa kelompok eksperimen mempunyai rata-rata gain 0,38 kategori sedang dan rata-rata kelompok kontrol 0,11 kategori rendah. Rata-rata gain ternormalisasi kemandirian belajar siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berbeda. Namun untuk mengetahui signifikansi ada tidaknya perbedaan rata-rata gain ternormalisasi kemandirian belajar siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan analisis statistik pengujian perbedaan rerata dua sampel, dalam hal ini menggunakan uji Mann-Whitney. d. Pengujian Hipotesis Berdasarkan hasil pengujian perbedaan rerata yang dilakukan terhadap gain ternormalisasi kemandirian belajar siswa kedua kelompok menghasilkan harga Zhitung = 7,611 dan p = 0,000 lebih kecil dari 0,05, jadi Z hitung berada pada daerah penolakan H0. Ini berarti peningkatan kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik lebih baik dibandingkan dengan peningkatan kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran langsung.
Dengan demikian, peningkatan
kemandirian belajar siswa kedua kelompok berbeda secara signifikan setelah diberikan perlakuan. Kemandirian belajar siswa yang dianalisis adalah inisiatif belajar; mendiagnosis kebutuhan belajar; menetapkan tujuan belajar; mengatur dan mengontrol kinerja atau belajar; mengatur dan mengontrol kognisi, motivasi, perilaku (diri); memandang kesulitan sebagai tantangan; mencari dan memanfaatkan sumber belajar yang relevan; memilih dan menerapkan strategi belajar; mengevaluasi proses dan hasil belajar; serta self-eficacy (konsep
diri). Untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan rata-rata N-Gain masing-masing aspek kemandirian belajar siswa dilakukan analisis statistik pengujian perbedaan rerata dua sampel, yaitu menggunakan uji Mann-Whitney. Berdasarkan hasil perhitungan pengujian perbedaan rerata dua sampel disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Pengujian Perbedaan Rerata N-Gain Tiap Aspek Kemandirian Belajar Siswa Aspek Inisiatif Belajar Kebutuhan Belajar Tujuan Belajar Mengatur Belajar Mengontrol Kognisi Kesulitan Belajar sebagai Tantangan Sumber Belajar Strategi Belajar Evaluasi Konsep Diri
Kelompok Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol
x 0,2423 0,0790 0,1408 0,0898 0,0698 0,0453 0,4665 0,0315 0,5062 0,0703 0,4058 0,1525 0,4642 0,2493 0,3593 0,1275 0,4415 0,1705 0,3570 0,2068
Z hitung
p
-2,284
0,022
-1,335
0,182
-0,419
0,675
-7,562
0,000
-6,675
0,000
-4,599
0,000
-3,419
0,001
-4,791
0,000
-4,827
0,000
-2,689
0,007
Kesimpulan Terdapat Perbedaan Tidak Ada Perbedaan Tidak Ada Perbedaan Terdapat Perbedaan Terdapat Perbedaan Terdapat Perbedaan Terdapat Perbedaan Terdapat Perbedaan Terdapat Perbedaan Terdapat Perbedaan
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis tersebut di atas menunjukkan bahwa peningkatan kemandirian belajar siswa pada aspek kebutuhan belajar dan tujuan belajar tidak signifikan. Dengan demikian, peningkatan kemandirian belajar siswa dilihat dari aspek kebutuhan belajar dan tujuan belajar tidak berbeda secara signifikan setelah diberikan perlakuan. Sedangkan peningkatan kemandirian belajar siswa pada aspek inisiatif belajar, mengatur belajar, mengatur kognisi, memandang kesulitan belajar sebagai tantangan, mencari dan memanfaatkan sumber belajar yang relevan; memilih dan menerapkan strategi belajar; mengevaluasi proses dan hasil belajar; serta self-eficacy (konsep diri) signifikan. Dengan demikian, peningkatan kemandirian belajar siswa pada aspek inisiatif belajar, mengatur belajar, mengatur kognisi, memandang kesulitan belajar sebagai tantangan, mencari dan memanfaatkan sumber belajar yang relevan, memilih dan menerapkan strategi belajar, mengevaluasi proses dan hasil belajar, serta self-eficacy (konsep diri) berbeda secara signifikan setelah diberi perlakuan.
IV. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bagian terdahulu mengenai kemandirian belajar siswa melalui pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik dan siswa yang belajar dengan pembelajaran langsung, diperoleh simpulan sebagai berikut: Peningkatan kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik lebih baik dibandingkan dengan peningkatan kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran langsung. Dengan demikian, pendekatan matematika realistik dapat meningkatkan kemandirian belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA Darr, C dan Fisher, J. (2004). Self-Regulated Learning in Mathematics Class. [Online]. Tersedia:www.arb.nzcer.org.nz/nzcer3/research/Maths/2004SRLthinkingmodels.htm. [15 Juli 2008] Fahinu. (2007). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kemandirian Belajar Matematika pada Mahasiswa melalui Pembelajaran Generatif. Disertasi Doktor pada SPS UPI: Tidak Diterbitkan. Kusnendi. (2008). Model-model Persamaan Struktural Satu dan Multigroup Sampel dengan Lisrel. Bandung: Alfabeta. Meltzer, D.E. (2002). The Relationshif between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics: A Possible Hidden Variabel in Diagnostic Pretest Score. Am. J. Phys. 70(12). American Association of Physics Teacher. Pape, S. J. et al. (2003). “Developing Mathematical Thinking and Self-Regulated Learning: Teaching Experiment in Seventh-Grade Mathematics Classroom”. Journal Educational Studies in Mathematics. 53, 179-202. Paris, S. G. dan Winograd, P. (2004). The Role of Self-Regulated Learning in Contextual Teaching: Principles and Practices for Teacher Preparation 1[1]. [Online] Tersedia: http://www.ciera.org/library/archive/200104/ 0104parwin.htm Pintrich, P. R. (1999). The Role of Motivation in Promoting and Sustaining Self-Regulated Learning. [Online].Tersedia: www.ece.uncc.edu/succeed/journals/PDF-files/ijer-12.pdf Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi Doktor pada SPS UPI: Tidak Diterbitkan. Sumarmo, U. (2004). Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. Makalah Disajikan pada Seminar Pendidikan Matematika di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Yogyakarta Tanggal 8 Juli 2004: tidak diterbitkan.