ARTIKEL KHUSUS
Penggunaan Ventilasi Mekanik dengan Proteksi Paru
Ninin Agusfiarini, Tinni Trihartini Maskoen, Tatang Bisri
Pendahuluan
Pada tahun 1929, ventilator tipe Drinker and Shaw tank merupakan mesin bertekanan negatif (negative-pressure tank ventilator) pertama yang digunakan secara luas sebagai ventilasi mekanik untuk merawat pasien dengan poliomielitis paralitik atau dikenal sebagai iron lung.1-3 Ventilasi mekanik ini memberikan tekanan subatmosfer eksternal pada dada dan abdomen pasien untuk menghasilkan aliran udara dan ventilasi.2 Mesin ini memiliki silinder logam yang meliputi pasien secara keseluruhan sampai daerah leher. Sebuah pompa hampa akan membuat tekanan negatif di dalam ruangan yang menghasilkan ekspansi dada pasien. Perubahan ini akan menyebabkan berkurangnya tekanan intrapulmonal dan memungkinkan masuknya udara ke dalam paru. Pada saat mesin dihentikan, tekanan negatif yang bekerja pada dada akan turun hingga nol dan daya elastisitas dada dan paru memungkinkan terjadinya ekshalasi pasif. Ventilasi dilakukan terhadap pasien tanpa menggunakan pipa endotrakeal ataupun trakeostomi.1,4 Walaupun alat ini sangat diperlukan dalam mengatasi keadaan yang bersifat mengancam nyawa pasien, mode ventilasi ini tidak praktis dan tidak nyaman bagi pasien serta ada keterbatasan akses yang cukup serius untuk perawatan pasien, yaitu:1,2,4 1. Tidak dapat dilakukan penghisapan sekret karena trakea terintubasi. 2. Tidak dapat meneruskan tekanan intrapulmonal dari yang moderat menjadi tekanan yang lebih Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Rumah Sakit Hasan Sadikin - Bandung Korespondensi :
[email protected] 152
tinggi (akibatnya pasien dengan paru yang stiff atau mengalami obstruksi jalan napas tidak dapat melakukan ventilasi adekuat). 3. Keterbatasan akses untuk merawat atau melakukan tindakan darurat lainnya terhadap tubuh pasien karena ventilasi mekanik menutupi seluruh tubuh pasien, kecuali kepala. Penggunaan ventilasi mekanik dengan tekanan positif secara intensif mencapai momentumnya selama terjadi epidemi polio di Skandinavia dan Amerika Serikat pada awal tahun 1950-an.1 Di Kopenhagen, Henry Lassen dan Bjorn Ibsen adalah ahli anestesi yang merupakan perintis penggunaan ventilasi mekanik bertekanan positif pada saat terjadi epidemi poliomielitis.2,5 Perkembangan peralatan perangkat keras yang memungkinkan untuk ventilasi mekanik yang efektif, juga terjadi realisasi bertahap bahwa ventilasi dengan mode tunggal tidak dapat diaplikasikan secara universal pada semua pasien, patologi yang bersifat individual atau pada pasien tertentu dengan tahap evolusi patologi paru yang bervariasi.5 Meskipun ventilasi mekanik tidak diragukan lagi dalam mengatasi keadaan yang mengancam nyawa, namun ternyata juga dapat mengakibatkan kerusakan paru yang merupakan hasil dari metoda nonfisiologisnya dalam proses pertukaran gas yang efektif.5 Masalah iatrogenik ini dikenal sebagai ventilator-induced lung injury (VILI) dan walaupun hal ini merupakan masalah pada pasien yang memerlukan ventilasi mekanik akibat berbagai alasan, tetap merupakan bagian yang penting sebagai konsekuensi dari trauma.5 Kerusakan paru yang disebabkan oleh ventilasi mekanik kemungkinan akibat overdistensi alveoli, terbuka dan kolaps jalan napas distal yang berulang. Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Ninin Agusfiarini, Tinni Trihartini Maskoen, Tatang Bisri
Beberapa bukti yang ada menunjukkan ada manfaat strategi ventilasi mekanik yang bersifat protektif terhadap paru dengan menggunakan PEEP atau inspirasi yang memanjang untuk mempertahankan volume alveolar, membatasi volume tidal, dan peak airway pressures. Hal ini akan menyebabkan peningkatan PaCO2 (permissive hypercapnia). Pengukuran serial terhadap tahanan jalan napas dan volume tidal memungkinkan compliance paru menjadi optimal. Compliance menunjukkan pengembangan (recruitment) alveoli dan mengurangi risiko overdistensi.6,7 Strategi Ventilasi Mekanik untuk Proteksi Paru Strategi ventilasi mekanik protektif paru telah dikenal secara luas pada tahun 1990-an dalam penatalaksanaan pasien dengan gagal respirasi akut yang berat. Beberapa publikasi baik secara klinis maupun eksperimental, telah menguji beberapa komponen yang dianggap penting dan berpengaruh besar terhadap kondisi klinik. Komponen penting tersebut adalah menghindari overdistensi alveoli, diterimanya target gas darah yang realistik dan terutama permissive hypercapnia, mempertahankan volume alveolar, dan mencegah terjadinya stres yang berhubungan dengan cyclical end-expiratory collapse dan re-ekspansi paru pada volume paru yang rendah. Terdapat dua kesepakatan utama yang dihasilkan dalam konferensi tentang ventilasi pada gagal napas akut dan telah dilaporkan pada tahun yang sama, yaitu direkomendasikannya inspiratory plateau pressure (Pplat) <35 cmH2O dan tekanan maksimal transalveolar < 25–30 cmH2O.8 Penelitian terhadap hewan percobaan menunjukkan bahwa cedera fisik paru selama ventilasi mekanik terjadi melalui 2 cara, yaitu menghambat cedera regangan dari membuka dan menutupnya alveoli yang sakit secara berulang dan meningkatkan cedera regangan yang disebabkan karena distensi yang berlebihan saat inspirasi akhir yang merupakan kombinasi dari volume tidal yang diberikan dan regangan dasar (PEEP).9 Untuk memperkecil kemungkinan terjadinya cedera tersebut, dilakukan pemberian PEEP yang cukup untuk mengembangkan alveoli yang “recruitable”, sementara itu di saat yang sama tidak memberikan sejumlah PEEP pada alveoli yang lebih sehat agar tidak mengalami overdistensi yang tidak diperlukan; menghindari kombinasi PEEP/VT yang menyebabkan overdistensi sebagian paru yang tidak diperlukan pada akhir inspirasi, secara umum hal ini dapat diketahui dengan peningkatan plateau Volume 2 Nomor 3 Juli 2012
pressure (tekanan alveoli di akhir inspirasi) >35 cmH2O.2 Pengukuran mekanik paru yang lebih baik dapat diperkirakan dengan menggunakan static pressurevolume (PV) curves dan hal ini dapat ditambah dengan penggunaan tekanan pleura/esofagus untuk mengukur abnormalitas dinding dada. Namun monitor klinis yang mudah dan akurat untuk pengukuran PV statis ini tidak tersedia secara luas.9 Risiko terjadinya cedera paru dengan volume pengembangan yang besar telah mendorong dilakukannya beberapa penelitian klinis untuk mengevaluasi penggunaan volume tidal yang lebih rendah pada ventilasi tekanan positif. Penelitian terbesar dilakukan terhadap 800 pasien ARDS yang membandingkan ventilasi dengan volume tidal 6 mL/ kg dan 12 mL/kg yang mengunakan predicted body weight (berat badan dengan volume paru normal). Ventilasi dengan volume tidal rendah berhubungan dengan penurunan mortalitas 9% (absolut) pada saat end-inspiratory “plateau pressure” < 30cmH2O.3 Volume rendah atau ventilasi protektif paru saat ini direkomendasikan untuk semua pasien ARDS, namun didapatkan bukti bahwa VILI juga dapat terjadi pada keadaan selain ARDS. Oleh karena itu ventilasi untuk melindungi paru dengan volume tidal rendah dipertimbangkan sebagai strategi yang menguntungkan dan bermanfaat pada semua pasien dengan gagal napas akut. Strategi ini didisain untuk mencapai dan mempertahankan volume tidal 6 mL/ kg (menggunakan predicted body weight pasien). Berikut ini adalah protokol untuk ventilasi protektif paru. 1) Pilih mode assist-control dan FiO2 100%; volume tidal awal (VT) diatur 8 mL/kg dengan menggunakan predicted body weight (PBW) pasien, pada pria: PBW=50+[2,3 x (tinggi badan dalam inci–60)] dan pada wanita: PBW=45,5+[2,3xtinggi badan dalam inci–60)]; 2) Laju napas (respiratory rate [RR]) yang dipilih untuk mencapai ventilasi semenit sebelum ventilasi mekanik tidak boleh lebih dari 35x/menit; 3) Positive end-expiratory pressure (PEEP) yang diberikan 5–7 cmH2O; 4) Pengurangan VT 1 mL/kg setiap 2 jam sampai VT=6 mL/kg ; 5) Mengatur FiO2 dan PEEP untuk mempertahankan PaO2 > 55 mmHg atau SaO2 > 88% ; 6) Bila VT kurang dari 6 mL/kg, diukur a. Plateau pressure (Ppl) dan b. PCO2 dan pH arterial.2 Bila Ppl > 30 cm H2O atau pH < 7.30, mengikuti protokol ARDS. Sedangkan protokol ventilasi volume rendah pada ARDS adalah sebagai berikut:2 Tujuan VT = 6 mL/kg, Ppl < 30 cm H2O, pH = 7,30– 7,45 I. Tahap pertama : 1) Menghitung PBW pasien (sep153
Penggunaan Ventilasi Mekanik dengan Proteksi Paru
erti protokol di atas), 2) VT awal diatur sampai 8 mL/kg PBW, 3) PEEP yang diberikan 5–7 cm H2O, 4) VT dikurangi 1 mL/kg setiap 2 jam sampai VT=6 mL/kg PBW. II. Tahap kedua : Bila VT < 6 mL/kg, diukur Ppl (Target Ppl < 30 cmH2O. Bila Ppl > 30 cm H2O, VT diturunkan bertahap 1 mL/kg sampai Ppl turun di bawah 30 cmH2O atau VT turun sampai 4 mL/kg. III. Tahap ketiga. Monitor gas darah arteri untuk asidosis respiratorik dengan target : a) pH=7,30– 7,45; b) Jika pH 7,15–7,30, laju respirasi dinaikkan sampai pH > 7,30 atau RR=35x/menit; c) Bila pH < 7,15, RR dinaikkan sampai 35x/menit, jika pH masih < 7,15, VT dinaikkan bertahap 1 mL/kg sampai pH > 7,15. Strategi untuk proteksi paru tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu:9 Mode
Secara umum, pada keadaan gagal napas berat diberikan ventilasi dengan mode assist-control (ACV). Hal ini untuk menjamin bahwa semua napas dengan tekanan positif yang diberikan oleh ventilasi mekanik akan menimbulkan usaha napas yang sebenarnya. Kemampuan assist dari ACV ini memungkinkan untuk menimbulkan/memicu napas pasien. Hal ini membantu untuk mengontrol CO2 dan memperbaiki kenyamanan pasien. Jika didapatkan drive respirasi yang tidak tepat atau napas bantuan yang dicetuskan pada pasien tidak nyaman, mungkin diperlukan sedasi dan/ atau paralisis sehingga hanya napas kontrol yang diberikan dari ACV. Dalam hal ini harus diingat bahwa bagaimanapun juga bila tidak didapatkan secara jelas disinkronisasi antara pasien dengan ventilasi mekanik, meskipun setiap usaha untuk membuat napas bantuan menjadi lebih nyaman, tindakan paralisis untuk mengeliminasi aktivitas otot sebaiknya dihindari. Sama halnya tindakan paralisis dan ventilasi kontrol yang dilakukan secara rutin untuk menurunkan konsumsi O2 (VO2) sebaiknya dihindari karena potensi terjadinya penurunan VO2 pada umumnya kecil dan risiko timbulnya miopati yang lama merupakan hal yang penting. Pemilihan antara ventilasi dengan pressure atau volume targeted untuk bantuan secara menyeluruh tergantung pada : A. Kondisi klinis : Ventilasi dengan volume targeted (volume assist-control ventilation/VACV) menjamin volume tidal tertentu, sehingga klinisi dapat mengontrol ventilasi semenit yang berlebihan dan CO2 clearance. Tahanan jalan napas dan alveolar merupakan variabel yang dapat meningkat atau menurun tergantung pada perubahan 154
mekanik paru atau usaha napas pasien. Perburukan mendadak pada compliance atau tahanan dapat mengakibatkan peningkatan tahanan jalan napas dan alveoli secara tiba-tiba. Ventilasi dengan pressure targeted tidak menjamin volume tetapi mengontrol tahanan jalan napas. Volume merupakan variabel yang tergantung dan akan berubah sesuai dengan mekanika paru atau usaha napas pasien. Adanya perburukan compliance dan tahanan yang mendadak pada ventilasi ini akan menyebabkan hilangnya sejumlah volume. Ventilasi ini juga mempunyai variabel yang akan memperbaiki percampuran gas dan mempengaruhi usaha napas pasien menjadi lebih selaras. Tujuan klinis yang akan dicapai : Jika CO2 clearance merupakan hal yang utama dan kenyamanan pasien serta compliance paru bukan masalah (seperti pada cedera paru ringan dengan lesi massa di cerebral), maka VACV lebih dipilih untuk digunakan. Di lain pihak, bila terdapat risiko tinggi terjadinya overdistensi dan/atau sinkronisasi pasien lebih merupakan masalah daripada CO2 clearance (seperti pada ARDS berat dengan fungsi jantung dan neurologis yang normal), maka ventilasi pressure targeted merupakan pilihan yang tepat. Pengaturan volume tidal dan frekuensi
Napas tidal dalam hubungannya dengan tekanan awal sebaiknya diatur agar plateau pressure <35 cmH2O (atau indikator lainnya menunjukkan tidak terjadi overdistensi). Pada umumnya hal tersebut berhubungan dengan volume tidal yang diberikan (8–10 mL/kg), walaupun mungkin sebenarnya diperlukan VT yang rendah (5–6 mL/kg). Strategi terdahulu menggunakan VT yang lebih tinggi untuk mencegah atelektasis. Namun dengan strategi PEEP yang telah dipahami dan risiko overdistensi yang telah dimengerti dengan lebih baik, hal tersebut kini sudah mulai ditinggalkan. Pengaturan frekuensi pada ventilasi mekanik umumnya digunakan untuk mengontrol CO2. Frekuensi awal yang normal dan dapat diterima adalah antara 12–20x/menit. Peningkatan frekuensi akan meningkatkan ventilasi semenit dan secara umum akan meningkatkan CO2 clearance. Di saat yang sama, sejumlah udara akan terjebak dan akan bertambah akibat waktu ekspirasi yang tidak adekuat. Pada kondisi ini, ventilasi semenit akan berkurang (ventilasi dengan pressure targeted) atau tahanan jalan napas akan meningkat (VACV). Secara umum, hal ini akan terjadi pada saat frekuensi napas
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Ninin Agusfiarini, Tinni Trihartini Maskoen, Tatang Bisri
sekitar 35x/menit, walaupun dapat juga terjadi pada frekuensi yang lebih rendah jika rasio I:E tinggi atau time constant saat pengosongan paru (tahanan x compliance) sangat tinggi. PEEP/FiO2
Tujuan terapi PEEP adalah untuk mengembangkan alveoli yang ”recruitable” agar tidak terjadi overdistensi pada alveoli yang sehat. Rekruitmen yang dilakukan oleh PEEP terutama dengan mencegah pengempisan dan kolapsnya alveoli yang terbuka oleh napas tidal. Hal ini ditambah dengan manuver rekruitmen volume selama 1–2 menit di mana PEEP yang diberikan sebesar 15–25 cmH2O dan kemudian kembali lagi ke pengaturan yang optimal. Untuk menentukan pengaturan yang optimal, ada dua kriteria yang dapat digunakan, yaitu: a. Kriteria mekanik : Penilaian terhadap usaha untuk memastikan bahwa PEEP dapat merekruit alveoli yang ”recruitable”, namun tidak menyebabkan overdistensi pada alveoli yang telah direkruit. Ada dua pendekatan yang dilaporkan: 1) Menggunakan kurva PV untuk mengatur kombinasi PEEP/VT antara perubahan di titik atas dan bawah. Modifikasi dari pendekatan konvensional yang statis adalah menggunakan aliran inspirasi yang sangat lambat dan kemudian mengukur perubahan di titik atas dan bawah yang dihasilkan dari kurva PV yang dinamis. Dapat juga ditambah dengan pengukuran tekanan esofagus untuk mengetahui mekanik dinding dada, seperti yang telah disebutkan sebelumnya; 2) Menggunakan penambahan PEEP yang bertahap untuk menentukan tingkat PEEP yang memberikan compliance terbaik. b. Kriteria pertukaran gas : Berdasarkan kurva titrasi PEEP (setelah dilakukan rekruitmen volume) untuk menentukan FiO2 terendah yang dapat dicapai. Pendekatan lain dengan menggunakan algoritma yang dibuat untuk memberikan nilai PaO2 yang adekuat dengan FiO2 minimal. Algoritma PEEP/FiO2 biasanya merupakan latihan secara empiris dalam keseimbangan antara SaO2 dan FiO2 serta tergantung pada persepsi klinisi tentang toksisitas relatif tekanan toraks yang tinggi, FiO2 yang tinggi dan SaO2 yang rendah. Secara umum, cedera parenkim paru biasanya
Volume 2 Nomor 3 Juli 2012
terjadi pada PEEP sekitar 5–25 cmH2O, namun pendapat lain mengatakan bahwa PEEP yang dapat menimbulkan cedera paru pada fase awal adalah 12– 25 cmH2O dan manuver rekruitmen volume sebaiknya dilakukan untuk menjamin rekruitmen yang optimal. Dengan metode tersebut PEEP sebaiknya diturunkan pada saat FiO2 sekitar 0,4. Rasio Inspirasi : Ekspirasi (rasio I:E)
Pengaturan rasio I:E memerlukan beberapa pertimbangan, normal adalah 1:2–1:4. Hal ini memberikan kenyamanan pasien dan pengaturan awal yang biasa digunakan. Penilaian terhadap grafik aliran sebaiknya dilakukan untuk memastikan waktu ekspirasi yang adekuat untuk mencegah terperangkapnya udara. Pada pemanjangan rasio I:E yang harus diperhatikan adalah bila melebihi batas fisiologis yaitu 1:2–1:4, biasanya dilakukan sebagai alternatif untuk meningkatkan PEEP dalam rangka memperbaiki V/Q matching pada keadaan gagal napas yang berat. Pada umumnya diberikan pada pasien dengan plateau pressure dari kombinasi PEEP/VT mencapai 35cmH2O dan terdapat konsentrasi FiO2 yang cenderung toksik. Rasio I:E ini mempunyai beberapa efek, yaitu menghasilkan pemanjangan alveolar-conducting airway gas mixing time, memperlambat waktu pengisian alveoli untuk ventilasi dan rekruitmen. Jika waktu ekspirasi tidak adekuat saat pengosongan paru dapat terjadi terperangkapnya udara dan timbul intrinsik PEEP. Rasio I:E ini bisa memperbaiki pertukaran gas. Bila tidak disertai dengan udara yang terperangkap dapat memperbaiki PO2 (perbaikan PO2 ini sendiri sebenarnya akibat terbentuknya PEEPi). Aspek lain yang harus dipertimbangkan adalah: 1) Udara yang terperangkap menimbulkan efek yang berbeda pada ventilasi dengan pressure targeted atau pada VACV; 2) Pada napas dengan pressure controlled digunakan bentuk aliran awal yang cepat dan pembatasan tekanan, sedangkan pada napas dengan volume targeted dilakukan penambahan jeda inspirasi; 3) Meningkatkan mean airway pressure dan menurunkan pengisian jantung. Udara yang terperangkap akan meningkatkan mean alveolar pressure lebih tinggi dari mean airway pressure, hal ini mengakibatkan pemantauan tekanan intratorakal menjadi lebih sulit; 4) Pemanjangan rasio I:E lebih dari 1:1 juga menimbulkan ketidaknyamanan dan umumnya memerlukan sedasi berat dan/atau pa ralisis. Pendekatan yang digunakan untuk strategi pemanjangan waktu inspirasi ini adalah menghindari 155
Penggunaan Ventilasi Mekanik dengan Proteksi Paru
terperangkapnya udara dan tidak menghasilkan PEEPi, di mana PEEPi lebih banyak terdapat pada bagian paru yang mengalami disfungsi jalan napas dan compliance yang baik dibandingkan dengan bagian alveoli yang stiff dan memerlukan rekruitmen. Hal ini berlawanan dengan PEEP yang diberikan, di mana PEEP tersebut akan disebarkan secara homogen. Volume tidal yang rendah dapat menyebabkan kolaps jalan napas, terutama di akhir ekspirasi. Terbuka dan tertutupnya jalan napas secara berulang di akhir ekspirasi dapat menjadi sumber terjadinya cedera paru (mungkin oleh kekuatan yang berlebihan yang dapat merusak epitel jalan napas). Kolaps jalan napas dapat dikurangi dengan menambahkan PEEP, di mana tekanannya dapat mempertahankan terbukanya sedikit jalan napas di akhir ekspirasi.3 Konsekuensi lain ventilasi volume rendah adalah berkurangnya eliminasi CO2 melalui paru yang akan menyebabkan hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Diperbolehkannya kondisi hiperkapnia yang menetap untuk mempertahankan ventilasi volume yang rendah disebut permissive hypercapnia.2 Mekanikme paru selama bernapas spontan (pengembangan paru secara elastis dan tahanan terhadap aliran pada jalan napas) dapat dimonitor dengan uji fungsi paru. Namun selama ventilasi mekanik, uji tersebut tidak dapat dilakukan dengan mudah. Dalam hal ini, tahanan jalan napas proksimal dapat digunakan untuk menilai fungsi paru.3 Ventilasi mekanik dengan tekanan positif mempunyai ukuran tekanan yang dapat memonitor tahanan jalan napas proksimal pada setiap siklus respirasi. (Gambar 1) Peak pressure pada akhir inspirasi (Ppeak) merupakan fungsi volume pengembangan paru, tahanan aliran jalan napas dan kemampuan elatisitas paru dan dinding dada. Pada volume pengembangan paru yang konstan, peak pressure bervariasi sesuai dengan perubahan tahanan aliran udara dan kemampuan elastisitas paru dan dinding dada, yang dirumuskan sebagai berikut:3 Ppeak ≈ (Tahanan + Elastisitas) Oleh karena itu pada volume pengembangan paru yang konstan peningkatan peak inspiratory pressure menunjukkan peningkatan tahanan jalan napas atau peningkatan kemampuan elastisitas paru (atau keduanya).3 Pada saat volume pengembangan paru tertahan terjadi penurunan tekanan awal jalan napas proksimal dan kemudian mencapai level yang menetap yang disebut plateau pressure pada akhir inspirasi. Karena tidak ada aliran udara 156
saat terciptanya plateau pressure, tekanan bukan merupakan fungsi tahanan aliran dalam jalan napas. Dengan demikian plateau pressure (Pplateau) secara langsung berhubungan dengan kemampuan elastisitas paru dan dinding dada.3 Pplateau ≈ Elastisitas
Oleh karena itu perbedaan antara end-inspiratory peak dan plateau pressure sebanding dengan tahanan aliran jalan napas3 : (Ppeak – Pplateau) ≈ Tahanan jalan napas Di ICU banyak dijumpai pasien yang memerlukan dan tergantung pada ventilasi mekanik mengalami gangguan tiba-tiba pada status kardiopulmonal (hipotensi, hipoksemia atau gangguan napas). Berikut ini digambarkan diagram (Gambar 2) yang menunjukkan bagaimana tahanan jalan napas proksimal dapat digunakan secara cepat untuk mengevaluasi keadaan pasien3 : Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut2 : 1. Bila peak pressure meningkat namun plateau pressure tidak berubah, masalah terdapat pada tahanan jalan napas. Pada keadaan ini yang harus dipikirkan adalah obstruksi trakea, obstruksi jalan napas akibat sekret dan bronkospasme akut. Oleh karena itu penghisapan jalan napas diindikasikan untuk membersihkan sekret dan jika perlu diikuti terapi bronkodilator aerosol. 2. Bila peak dan plateau pressure meningkat, permasalahannya adalah penurunan kemampuan pengembangan paru dan dinding dada. Pada keadaan ini yang harus dipikirkan adalah pneumotoraks, lobar atelectasis, edema paru akut dan pneumonia yang memburuk atau ARDS. Kontraksi aktif dinding dada dan peningkatan tekanan abdomen juga dapat menurunkan kemampuan pengembangan dada. Pada pasien dengan penyakit paru obstruktif yang mengalami takipneu dapat terjadi auto-PEEP yang meningkatkan peak dan plateau pressure. 3. Bila peak pressure menurun, permasalahan dapat terjadi akibat kebocoran udara di dalam sistem (misalnya diskoneksi tubing, kebocoran balon). Pada keadaan ini, paru sebaiknya dipompa secara manual sambil didengarkan ada kebocoran balon. Penurunan peak pressure juga dapat disebabkan karena hiperventilasi, di mana pada pasien terjadi tekanan intratorakal yang negatif untuk menarik udara ke dalam paru. 4. Bila tidak terjadi perubahan peak pressure, hal ini bukan berarti tidak ada perubahan pada mekanik Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Ninin Agusfiarini, Tinni Trihartini Maskoen, Tatang Bisri
Gambar 1. Tahanan jalan napas proksimal pada akhir tekanan positif pengembangan paru (peak pressure) dan selama inflation-hold maneuver (plateau pressure), yang ditunjukkan dengan tersembunyinya fase ekspirasi dari sirkuit ventilator untuk mencegah pengempisan paru. Tekanan ini dapat digunakan untuk menilai komponen mekanik paru. (Dikutip dari 3)
Gambar 2. Penggunaan tahanan jalan napas proksimal untuk mengevaluasi pasien dengan dekompensasi respirasi akut. (Dikutip dari 3) Volume 2 Nomor 3 Juli 2012
157
Penggunaan Ventilasi Mekanik dengan Proteksi Paru
Tabel 1 : Tahapan pemantauan pasien dengan ventilasi mekanik10 Level 1
- Volume tidal - Ventilasi semenit - Peak inspiratory pressure - Oksigen inspirasi - Elektrokardiogram - Tekanan darah - Pulse oximetry
Level 2 (digunakan bila peak airway pressure > 35-40 cmH2O)
Level 3 (digunakan bila plateau pressure secara terus menerus> 30-35 cmH2O)
- Parameter level 1 - Plateau pressure - End tidal carbon dioxide - Mean airway pressure - Rasio I:E - Compliance statis - Gambaran gelombang tekanan, volume, dan flow
- Parameter level 1 dan 2 - Shunting - Compliance serial - Gradien alveolar-arterial atau PaO2/FiO2 (P/F) - Volume tidal alveolar - Produksi CO2 - Curah jantung
Bila plateau pressure tetap dalam batas aman, penyebab peningkatan tahanan segera dicari dan diterapi (seperti : bronkospasme diterapi dengan bronkodilator), dengan monitoring pada level 2 ini dilanjutkan sampai masalah dapat diatasi.
paru. Sensitivitas tahanan jalan napas proksimal dalam mendeteksi perubahan mekanik paru tidak diketahui. Bila tidak ada perubahan tekanan, sebaiknya dilakukan evaluasi lebih lanjut tanpa membantu tahanan jalan napas proksimal. pemantauan Ventilasi Mekanik
Penggunaan pulse oximetry dan end-tidal carbon dioxide (ETCO2) memungkinkan untuk memantau terus menerus terhadap oksigenasi dan ventilasi selama diberikan ventilasi mekanik. Konsentrasi pada ETCO2 secara kasar sama dengan PaCO2 pada pasien normal, tetapi berbeda pada pasien sakit berat dan mengalami ventilation-perfusion mismatch. Namun demikian monitoring dengan ETCO2 bermanfaat untuk perawatan neurointensive, memindahkan pasien sakit berat dan konfirmasi intubasi trakea. Ventilasi adekuat sebaiknya dikonfirmasi secara reguler dengan analisis gas darah arteri.6 Monitoring terhadap pasien dengan ventilasi mekanik dapat dikelompokkan menurut level parameter yang dipantau, seperti yang tersebut dalam tabel 1.10 Kegagalan sistem respirasi merupakan ketidakmampuan mempertahankan produksi CO2, di mana ventilasi semenit alveolar dipertahankan oleh produksi CO2 untuk mencapai homeostasis. Bila terjadi hubungan terbalik antara produksi CO2 dan ventilasi semenit, maka akan mengakibatkan gagal napas. Pada keadaan normal, produksi CO2 rata-rata 2 mL/kg/menit.10 Respiratory failure index (RFI) adalah ventilasi semenit alveolar dibagi dengan produksi CO2. RFI menghitung ketiga variabel eliminasi CO2, yaitu 158
produksi CO2, ventilasi ruang rugi dan ventilasi semenit. Dengan menggunakan nilai normal dari produksi CO2 dan ventilasi semenit alveolar, maka nilai RFI adalah 30–40 dan bila kurang dari 30 menunjukkan gagal napas.10 Strategi Protektif Paru di Masa Depan Strategi bantuan respirasi yang berpotensi untuk memungkinkan proteksi paru yang makin baik adalah5,7,10 : 1. Ventilasi dengan frekuensi tinggi (High frequency ventilation, HFV). Dengan memberikan tekanan maksimal yang rendah dan tekanan rekruitmen yang tinggi, HFV mungkin merupakan strategi protektif paru yang ‘istimewa’ untuk sistem bantuan ventilator bertekanan positif mengurangi tekanan transpulmonal, memberikan pertukaran gas yang adekuat, volume tidal yang diberikan lebih kecil dari ruang rugi anatomis. Ada 2 macam, yaitu : °° High frequency jet ventilation (HFJV) °° High frequency oscillation (HFO) Kerugian dari kedua sistem tersebut adalah kesulitan dalam humidifikasi, memantau tekanan dan volume yang diberikan dan berpotensi untuk bertambahnya tahanan jalan napas dengan cepat, atau terperangkapnya udara jika terjadi obstruksi aliran keluar selama fase ekspirasi. 2. Partial liquid ventilation. O2 yang larut dalam fluorocarbon dapat digunakan untuk melakukan rekruitmen alveoli dan memperbaiki mekanik paru. 3. Penggantian surfaktan. Bila diberikan dalam jumlah yang besar, surfaktan (bersamaan dengan surfaktan yang berikatan dengan protein) dapat memperbaiki mekanik paru. Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Ninin Agusfiarini, Tinni Trihartini Maskoen, Tatang Bisri
4. NO (Nitric Oxide). Merupakan vasodilator pulmonal yang mungkin dapat menyelamatkan paru dari paparan O2 yang tidak perlu. 5. ECMO (Extracorporeal Membrane Oxygenation) Sistem extracorporeal yang dapat mengurangi (atau mengeliminasi) kebutuhan tekanan positif. Kesimpulan
Secara umum, strategi ventilasi protektif paru bertujuan untuk mempertahankan volume alveolar dengan cara menggunakan manuver rekruitmen paru dan PEEP untuk maksimalisasi dan mempertahankan volume alveolar serta menghindari overdistensi alveoli dengan membatasi volume tidal, jalan napas, atau keduanya.6 Penggunaan monitoring merupakan hal yang penting dalam menentukan efektifitas strategi protektif paru. Setiap pasien dengan ventilasi mekanik memerlukan monitoring perawatan intensif. Peralatan manajemen data pasien dapat dihubungkan dengan data yang terdapat pada ventilasi mekanik, monitor respirasi dan monitor jantung agar dapat memberikan gambaran parameter pasien setiap saat. Selain itu, juga membantu klinisi mengetahui hasil dari teknik protektif paru yang telah dilakukan, baik yang ditujukan untuk mengurangi tekanan atau memperbaiki compliance. Daftar Pustaka 1. Byrd RP Jr, Eggleston KL, Takubo T, Roy TM. Ventilation, Mechanical. Medscape J. 2006.
Volume 2 Nomor 3 Juli 2012
2. Lanken PN, Hanson CW, Manaker S. Mechanical ventilation. In: Lanken PN, Hanson CW, Manaker S, eds. The intensive care unit manual. Philadelphia: Saunders. 2001:13-29. 3. Marino PL, Sutin KM. Principles of mechanical ventilation. In: Marino PL, Sutin KM, eds. The ICU book, 3rd ed., Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007;457-70. 4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Critical care. In: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Clinical anesthesiology, 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2006;1029-41. 5. Riley B. Strategies for ventilatory support. British Med Bull. 1999;55(4):806-20. 6. Shelly MP, Nightingale P. ABC of intensive care: Respiratory support. Brit Med J. 1999; 318:1674677. 7. Whiteley SM, Bodenham A, Bellamy MC. Respiratory system. In: Whiteley SM, Bodenham A, Bellamy MC, eds. Intensive care, 2nd ed., Philadelphia: Elsevier Churchill Livingstone. 2004:10231. 8. Keogh BF, Bateman CJ. Lung protective ventilatory strategies-will these prevail in the next millenium?. BJA. 1999;83(6):829-32. 9. Macintyre NR. Mechanical ventilation strategies for lung protection. Presentation at Conference May 1999 Wisconsin Society for Respiratory Care [Accesed at 17 Mei 2008]. http://www.ards.org/ learnaboutards/treatment/ventilator/ventstrategies. html. 10. Yorio P. Lung-protective strategies. RT for Decision Makers in Respiratory Care; February/March 2001 [accesed at 11 Mei 2008].
159