PENGGUNAAN KULIT KAYU PINUS DAN GEL DAUN LIDAH BUAYA SEBAGAI BIOREGULATOR DAN BIOFUNGISIDA PADA PEMBIBITAN PANILI Oleh I MADE SUKERTA DAN I KETUT SUMANTRA Jurs. Agroekoteknologi, Fak. Pertanian Univ. Mahasaraswati Denpasar
ABSTRACT The research with aimed to know the effect of pine bark, aloe vera leaf gel and their interactions on seedling growth of vanilla and attack intensity of Fusarium sp have been done from June to October 2010, used a randomized block design with Factorial pattern, with 3 replications. The results showed that no significant interaction between the provision of pine bark and aloe vera gel on seedling growth of vanilla and attack intensisty of Fusarium sp. The giving of pine bark alone is not able to increase seedling growth of cuttings of vanilla and lower intensity of Fusarium sp. Aloe vera gel could increased the seedling growth of vanilla, but no significant different on attack intensity of Fusarium sp. Aloe vera gel 50% could increased the root length, root dry weight and shoot dry weight respectively 72.6%, 57.9% and 65.7% compared to without aloe vera gel. Keywords : pinus, lidah buaya, bibit panili
PENDAHULUAN
Pengembangan panili (Vanilla planifolia Andrews) di daerah-daerah yang berpotensi sering mengalami hambatan karena kurang tersedianya bibit bermutu dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Perbanyakan tanaman panili yang umum dilakukan oleh petani adalah dengan stek dengan ukuran minimal lima ruas. (Hartmann dan Kester, 1978; Purseglove, 1988 dan Ashley, 1980). Cara ini reletif kurang efisien mengingat perkembangan areal dan kebutuhan bibit semakin meningkat, oleh karena itu perlu dipikirkan penggunaan stek pendek.
Namun demikian penggunaan stek
pendek umumnya dihadapkan pada permasalahan kurangnya keberhasilan tumbuh dan kurangnya ketegaran tanaman yang dihasilkan (Rosita dkk., 1991). Hal ini sangat Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 1
dipengaruhi oleh keseimbangan antara kandungan hormon auksin, karbohidrat dan nitrogen (Andriance dan Brison, 1967). Hartman dan Kester (1983) mengatakan auksin berpengaruh sangat nyata terhadap pembentukan akar stek. Pertumbuhan dan jumlah akar meningkat jika kadar auksin lebih tinggi dari sitokinin endogen (Tomkins dan Hall, 1991). Yang et al. (1993) menyatakan bahwa auksin eksogen berpengaruh kuat dalam pemanjangan batang, meskipun pengaruhnya sangat pendek yaitu 3 sampai 5 jam. Zat pengatur tumbuh dari kelompok auksin yang banyak dipergunakan untuk merangsang pertumbuhan akar diantaranya Indole Butyric Acid (IBA), Indole Acetic Acid (IAA), dan Napthalene Acetic Acid (NAA) (Kusumo, 1984; Sunaryo dan Sudarsono, 1977). Zat pengatur tumbuh tersebut harganya relatif mahal dan sulit diperoleh di pasaran bebas. Oleh karena itu perlu dicari alternatif zat pengatur tumbuh yang dapat terjangkau oleh petani. Penggunaan kulit kayu pinus dan gel daun lidah buaya sebagai zat pengatur tumbuh (bioregulator ) merupakan alternatif yang perlu dicoba dan dipertimbangkan, karena bahan-bahan tersebut sangat mudah diperoleh dengan harga yang murah. Biasanya kulit kayu adalah limbah industri kayu yang ditumpuk begitu saja, dan bila tumpukannya sudah menggunung lalu dibakar. Demikian pula untuk memperoleh gel daun lidah buaya, karena hampir sebagian besar penduduk menanamnya di halaman rumah. Deroes (1990) menemukan bahwa semua stek persik yang ditanam di media kulit kayu pinus menunjukkan persentase berakar dan indeks perakaran sangat nyata lebih tinggi daripada stek-stek yang ditanam pada media vermikulit, tanpa ada perbedaan yang nyata antara konsentrasi IBA yang digunakan.
Hess (1959, dalam
Deroes, 1990) menyebutkan bahwa kulit kayu pinus dapat sebagai auksin ko-faktor, dan menemukan faktor
itu adalah senyawa fenol. Senyawa fenol dari kelompok
catechol dan pyrogalol mempercepat pembentukan akar pada stek kacang buncis. Jika senyawa-senyawa tersebut diberikan ke stek bersama-sama auksin, pembentukan akar lebih cepat dan lebih baik (Hess, 1962, dalam, Daroes, 1990). Penggunaan gel daun lidah buaya sebagai bioregulator telah dicoba pada beberapa jenis tanaman. Sundahri (1994) menyatakan bahwa pemberian gel lidah buaya (Aloe vera, L.) secara linier cenderung meningkatkan pertumbuhan akar stek kumis kucing pada konsentrasi 0 – 12 % dengan perendaman 10 jam.Hal ini diduga karena Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 2
gel lidah buaya mengandung zat pengatur tumbuh terutama auksin, asam amino, vitamin dan mineral yang mampu mendorong pertumbuhan stek (Sundahri, 1994). Sedangkan pada stek panili dengan konsentrasi 50 % dapat meningkatkan pertumbuhan jumlah daun, berat kering tunas, dan panjang akar. Namun bila konsentrasinya ditingkatkan lebih dari 50 %, variabel – variabel pertumbuhan tanaman panili tersebut menurun (Sumantra, 2002). Masalah yang dihadapi untuk mendapatkan konsentrasi gel lidah buaya 50 % diperlukan bahan baku cukup banyak, sehingga perlu dicoba dikombinasikan dengan penggunaan kulit kayu pinus sebagai bahan baku bioregulator. kombinasi dari kedua bahan tersebut belum diketahui
Namun demikian
pengaruhnya terhadap
pertumbuhan bibit stek panili di pembibitan. Tanaman panili selalu mengalami gangguan baik di lapangan maupun di pembibitan yang disebabkan oleh jamur fusarium oxysporum (Arya, 1996 dan Santoso, 1988).
Kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit ini telah
mengakibatkan menurunnya nilai eksport dan pendapatan petani. Patogen ini dapat menular dan menyebar melalui bibit / stek (Tombe et al., 1985). Penyebaran penyakit busuk batang melalui tanah mempunyai arti yang lebih penting karena sering dijumpai stek yang ditanam pada bekas tanaman yang terserang tidak lama kemudian juga akan mati karena pangkal batangnya membusuk (Semangun, 1988). Penggunaan fungisida seperti Menzate dan Dithane M-45 pada bibit sangat dianjurkan untuk mencegah serangan penyakit busuk batang panili di pembibitan. Penggunaan fungisida sintetis di atas sangat membahayakan pemakai dan keseimbangan lingkungan karena berpengaruh buruk terhadap kesehatan dan kelestarian lingkungan. Di samping adanya kenyataan bahwa harga dari fungisida tersebut relatif mahal dan sulit dijangkau oleh petani. Senyawa fenolik alami pada kulit kayu beberapa tanaman merupakan senyawa yang efektif untuk mencegah meluasnya infeksi akibat serangan jamur (Margaret dan Brian, 1981). Sundahri dkk. (1996) menyatakan bahwa gel lidah buaya (Aloe vera) ternyata mampu mencegah gangguan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Lebih lanjut Hok (1988) menyatakan bahwa gel lidah buaya dapat mengendalikan infeksi bakteri secara efektif dengan biaya yang sangat murah. Disisi lain, penelitian mengenai penggunaan kulit kayu pinus dan gel lidah buaya sebagai bioregulator madasupun sebagai biofungisida pada pembibitan panili belum banyak dilaporkan. Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
3
Berdasarkan uraian di atas permasalahan dapat dirumuskan adalah apakah pemberian kulit kayu pinus, pemberian gel lidah buaya dan kombinasinya dapat meningkatkan pertumbuhan bibit panili dan dapat menekan intensitas serangan fusarium oxysporum pada
pembibitan panili. Penelitian ini dilaksanakan dengan
tujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kulit kayu pinus, pemberian gel daun lidah buaya serta interaksinya
terhadap pertumbuhan bibit panili dan intensitas
serangan fusarium oxysporum.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di desa Ayunan, Abiansemal-Badung dengan ketinggian tempat + 350 m di atas permukaan laut, mulai dari bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Nopember 2010. Bahan penelitian yang dipergunakan meliputi : stek panili, kulit kayu pinus, daun lidah buaya, tanah bekas tanaman panili yang terserang Fusarium oxysporum, aquades, plastik bening, blabat, , tanah, pasir dan pupuk kandang.. Alat penelitian yang dipergunakan meliputi : pisau stek, blender, meteran, neraca, petridis, tabung reaksi, dan lain-lain. Percobaan ini mempergunakan rancangan Acak Kelompok dengan pola faktorial yang diulang sebanyak tiga kali. Perlakuan terdiridari dua faktor yaitu pemberian kulit kayu pinus dan konsentrasi gel lidah buaya. Faktor kulit kayu pinus terdiri dari dua taraf yaitu tanpa kulit kayu pinus dan diberi kulit kayu pinus. Sedangkan konsentrasi gel lidah buaya terdiri dari : 0 % ( tanpa gel lidah buaya), 25 %, 50 %, 75 % dan 100 %. Adapun model matematik dari percobaan ini adalah : Yijk = U + Bi + Kj + Tk + KjTk + Eijk dimana : Yijk
4
= Parameter yang diamati.
U
= rata-rata umum
Bi
= pengaruh dari blok ke-i
Kj
= pengaruh perlakuan ke-j dari faktor kulit kayu pinus
Tk
= pengaruh perlakuan ke – k konsentrasi gel lidah buaya Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
KjTk = pengaruh interaksi antara kulit kayu pinus dengan konsentrasi gel lidah buaya Eijk
= galat percobaan.
Media pembibitan terdiri atas tanah pasir dan pupuk kandang dengan perbandingan 3 : 2 : 1 yang sebelumnya diseterilkan terlebih dahulu, selanjutnya dimasukkan ke dalam polybag berukuran 15 x 25 cm. Perlakuan kulit kayu pinus sebagai bioregulator dan sebagai biofungisida diambil dari bagian batangnya, yang sebelumnya dirajang dan dihaluskan , kemudian diaduk dalam media tanah, pasir dan pupuk kandang. Setiap kantong yang diperlakukan diisi 500 g. kulit kayu. Sebelum stek panili ditanam dalam polybag terlebih dahulu direndam dalam larutan gel lidah buaya. Larutan tersebut diperoleh dengan mengupas kulit daun dan dagingnya diblender, untuk selanjutnya dikonsentrasikan pada level yang diperlakukan yaitu 0%, 25 %, 50 %, 75 % dan 100%. Dengan cara menambah aquades. Pada perlakuan 0 % tidak terdapat ekstrak gel daun lidah buaya, sedangkan konsentrasi 100 % tanpa pengenceran dengan aquades. Kemudian stek direndam selama 10 jam. Setiap unit perlakuan terdiridari 10 (sepuluh) stek. Pemeliharaan tanaman dititikberatkan pada upaya mempertahankan temperatur dan kelembaban media pembibitan dengan mengatur melalui penyiraman. Peubah tanaman yang diamati meliputi persentase stek tumbuh, panjang tunas, jumlah tunas per stek, jumlah dan panjang akar, berat akar, berat tunas dan ratio tunas akar. Aspek perlindungan tanaman yang diamati meliputi intensitas penyakit busuk batang dan persentase tanaman terserang. Data hasil penelitian diolah dengan analisis ragam. Apabila dari hasil analisis menunjukkan pengaruh nyata sampai sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5 %.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara pemberian kulit kayu pinus dengan gel daun lidah buaya menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap persentase setek tumbuh, jumlah daun per tunas, jumlah tunas, panjang tunas, panjang akar, berat kering akar, berat kering tunas, ratio tunas akar, persentase tanaman sakit dan intensitas serangan Fusarium. Hal ini menunjukkan bahwa Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 5
pemberian gel lidah buaya dan pemberian kulit kayu pinus berpengaruh secara terpisah. Hal ini diduga bahwa bahan aktif yang terdapat dalam kulit kayu pinus belum menunjukan aktivitas kimiawinya dalam memacu maupun menghambat intensitas serangan Fusarium, karena memerlukan waktu untuk melakukan proses mineralisasi untuk melepas bahan-bahan aktif yang terkandung dalam kulit pinus. Pemberian kulit kayu pinus sebagai bioregulator tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap persentase setek tumbuh, jumlah tunas, jumlah daun per tunas, panjang tunas, panjang akar, berat kering akar, berat kering tunas, dan ratio tunas akar. Demikian juga pemberian kulit kayu pinus berpengaruh tidak nyata terhadap
persentase tanaman sakit dan intensitas serangan Fusarium. Terdapat
kecenderungan bahwa pemberian 500 g kulit kayu pinus menyebabkan penurunan terhadap persentase tanaman sakit dan intensitas serangan berturut-turut 8,1 % dan 6,04 % dibandingkan dengan tanpa pemberian (Tabel 1). Terdapat kecenderungan bahwa peran kulit kayu pinus sebagai bioregultaor dapat meningkatkan persentase setek tumbuh, jumlah tunas, jumlah daun, panjang tunas, dan panjang akar masing-masing 0,34 %, 1,16 %, 1,16, 0,22 %, 1,71 % dan 1,71 % dibandingkan dengan tanpa pemberiaan ( Tabel 1 ). Terhadap berat kering akar dan berat kering tunas, pemberiaan kulit kayu pinus cenderung meningkatkan variable-variabel tersebut berturut-turut 2,5 %, dan 2,38 % dibandingkan dengan tanpa pemberiaan (Tabel 1) Tabel 1. Pengaruh tunggal dari pemberian kulit kayu pinus dan gel daun lidah buaya terhadap pertumbuhan bibit dan intensitas serangan Fusarium
Perlakuan
%
tase
Jumlah
Jumlah
Panjang
Panjang
Berat
Berat
Ratio
Inten sitas
stek
tunas
daun
tunas
akar
kering
kering
tunas/
serangan
tumbuh
(buah)
(helai)
(cm)
(cm)
akar
tunas
akar
(skor)
(g)
(g)
A0
95,80a
1,96a
8,58a
30,86a
23,44a
0,75a
1,48a
1,946a
2,62a
A1
96,13a
2,33a
8,68a
30,93a
23,84a
0,77a
1,50a
1,943a
2,57a
BNT 5%
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
B0
91,83b
1,75c
7,51b
27,83c
16,73d
0,57d
1.08d
1,876c
2,71a
B1
98,83a
2,33b
9,75a
34,50a
26,83b
0,88b
1,63b
1,840c
2,58a
B2
98,66a
2,83a
9,90a
34,75a
28,88a
0,90a
1,79a
1,978b
2,63a
6
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
B3
97,00a
2,33b
8,26b
29,58b
26,21b
0.83b
1,58b
1,885c
2,63a
B4
93,5b
1,50d
7,71b
27,83c
19,53c
0,62c
1,35c
2,146a
2,45a
BNT 5%
3,05
tn
0,87
1,49
1,67
0,016
0,06
0,08
tn
Analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian gel lidah buaya berpengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap pertumbuhan bibit. Pemberiaan gel lidah buaya 50 % mampu meningkatkan pertumbuhan yang meliputi jumlah tunas, jumlah daun, panjang tunas, panjang akar, berat kering akar dan berat kering tunas berturut-turut masing-masing 11,04%, 61,71%, 31,82%, 24,86%, 72,6%, 57,89% dan 65,74% dibandingkan dengan kontrol. Pengaruh ini diduga disebabkan oleh kuatnya kompetisi antara calon akar dengan calon tunas dalam memperebutkan cadangan makanan maupun hormone tumbuh terutama auksin. Fenomena ini menyebabkan calon akar mampu memobilisasi faktor tumbuh tersebut ke pangkal stek atau pada ruas-ruas stek yang terbenam di dalam tanah. Kondisi ini memungkinkan bagian-bagian stek yang berada di dalam tanah menjadi lebih muda kembali (dedifrentiation) sehingga sel-sel parenchyma lebih terpacu untuk memperpanjang akar. Hal ini terlihat pada Tabel 1 bahwa pemberian gel lidah buaya 50 % dapat meningkatkan secara nyata panjang akar, berat kering akar dan berat kering tunas masing-masing 72,6 %, 57,9% dan 65,7 % dibandingkan dengan tanpa gel lidah buaya. Terbentuknya akar merupakan kunci keberhasilan pembiakan vegetatif dengan stek. Hartman dan Kester (1978) menyatakan bahwa ada beberapa tahapan yang dilalui selama perkembangan terbentuknya akar yaitu adanya diferensiasi sel yang diikuti oleh migrasi dari meristem sel, kemudian terjadi diferensiasi sel untuk membentuk primordial akar yang terakhir adalah pertumbuhan akar baru. Meningkatnya pertumbuhan akar berarti akan makin aktif menyerap air dan unsur hara untuk menunjang proses fisiologi dalam tanaman. Hal ini terlihat bahwa dengan konsentrasi gel lidah buaya 50 % jumlah daun dan berat kering tunas meningkat masing-masing 31,82 % dan 65,74 % dibandingkan dengan tanpa pemberiaan gel lidah buaya (Tabel 1). Keadaan ini menunjukkan bahwa senyawa-senyawa yang terkandung di dalam gel lidah buaya mampu sebagai bioregulator pada stek panili. Senyawa-senyawa tersebut adalah polisakarida terutama glukomanan, asam-asam amino, enzim, asam krisofan,
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
7
vitamin, mineral, hormone tumbuh terutama auksin yang dapat memacu pertumbuhan stek (Afzal et al., 1991).
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan : 1. Interaksi antara pemberiaan kulit kayu pinus dengan pemberian gel lidah buaya tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan bibit stek panili dan intensitas serangan dari Fusarium sp. 2. Pemberiaan kulit kayu pinus secara tunggal tidak mampu meningkatkan pertumbuhan bibit stek panili dan menurunkan intensitas serangan Fusarium sp. 3. Pemberian gel lidah buaya meningkatkan pertumbuhan bibit stek panili, namun tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan Fusarium sp. Pemberian gel lidah buaya 50% meningkatkan pertumbuhan panjang akar, berat kering akar dan berat kering tunas berturut-turut 72,6%, 57,9% dan 65,7% dibandingkan dengan tanpa gel lidah buaya. 4. Untuk meningkatkan pertumbuhan stek panili dan efisiensi bahan dapat dilakukan pemberiaan gel lidah buaya 50 %. Namun demikian untuk memantapkan penelitian ini perlu dikaji tentang tingkat kedewasaan daun gel lidah buaya apa bila dipergunakan sebagai bioregulator dan biofungisida sebab diduga komposisi senyawa yang dikandungnya berbeda. Jumlah
bahan kulit kayu sebagai
bioregulator dan biofungsida perlu dikaji lebih lanjut terutama waktu aktifitas mineralisasi dan jumlah yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Arya, N. 1996. Pengendalian Terpadu Busuk Batang Panili di Daerah Bali. Fak. Pertanian Unud., Denpasar. Ashley, J. 1980. The Culture of Vanilla in Uganda. World Crops 32(5): Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 8
p. 121 – 129. Deroes, K.M. 1990. Auksin Ko-faktor pada Kulit Kayu Pinus Sebagai Pembentukan Akar Stek Peach. Prosiding Simposium
Perangsang
Hortikultura 13 – 14
Nop. 1990. Fak’ Pertanian UNBRAW. 274 – 281. Grainge, M. and Ahmed, S. 1987.
Hand Book of Plants With Pest – Control
Properties. John Wiley & Sons. 469 p. Hartman, H.T. and D.E. Kester, 1983. Plant Propagation Principles and Practices. Prentice Hall, New Jersey, 727 p. Hok, Y. 1988. Pengaruh Ekstrak Residu Daun Lidah Buaya terhadap Biakan Bakteri
Staphylococcus aureus secara in Vitro. Laporan Penelitian.
FMIPA Unair, Surabaya. Isbandi, Djoko, 1983. Pertanian
Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Fakultas
Universitas Gajahmada, Yogyakarta. 259 h.
Kumar, H.D; H.N. Singh. 1975. Plant Metabolism. The Macmillan Press Ltd, London and Basingstoke. P. 256 – 274. Leopold, A.C. and P.E. Kriedemann. 1988. Plant Growth and Development.
Tata
Mc. Grow Hill, New Delhi, 545 p. Margaret L. Vickey and Bria Vicky. 1981. Secondary Plant Metabolism. Univ.Park Press, Ballimore. p 157 – 181. Purseglove, J.W.; E.G. Brown;C.L. Green; and Robbins. 1988. Sepcies Vol 2.
Jhon
Wiley and Sons, New Work. 813 p. Rosita, S. Solahuddin, dan Q Mutaqim. 1991. Pengaruh Air Kelapa dan Triakontanol terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Stek Panili. LITTRI
Pemberitaan
XVI (3) : h 123 – 127.
Rosman, R., 2005. Status dan Strategi Pengembangan Panili di Indonesia. Persvektif 4
(2): h. 43 – 54.
Santoso, H.B. 1989. Panili, Budidaya dan Analisa Ekonomi. Sinar Baru, Bandung. 72 h. Sumantra, K. 2002. Pengaruh Gel Aloe Vera Terhadap Pertumbuhan Stek Panili. Mahawidya Saraswati (56): 17 -19 . Sundahri. 1994. Efektivitas Gel Lidah Buaya Terhadap Perakaran Stek Kumis Kucing. Laporan Penelitian, FAPERTA UNEJ. 11 h. Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
9
Sundahri, H.B. Setyawan, dan S.Kardi. 1996. Efektivitas Gel Lidah Buaya sebagai Zat Perangsang pada Distribusi Sifat Pertumbuhan Stek
Pendek
Panili. Laporan Hasil Penelitian PPSLPT – ADB. 28 h. Suprapta, D.N. Pertanian
2001.
Pengembangan Pestisida Nabati Untuk Mendukung
Organik.
Makalah Seminar Pertanian Organik dan Prospek
Pengembangannya di Bali.
Fakultas Pertanian
Universitas Udayana,
Denpasar. 8 h. Tombe, Mesak; D. Sitepu, H. Sastraatmadja dan S. Sastrasuwignyo. 1985. Kemungkinan Pengendalian Penyakit Busuk Batang Panili Secara Biologi. Risalah Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Jakarta 29 – 31 Oktober 1985. Tomkins,
J.P.
and
Hall.
1991.
Stimulation of
Alfalfa
Bud
and
Shoot
Development With Cytokinin. Agronomi Journal 83 (3) : 577 – 581 pp. Yang, T.D.M. Law and P.J. Davies. 1993.
Magnitude and Kinetics of Stem
Elongation Induced by Exogenous Indole – 3 – Acetic Acid in Intact Light Grown Pea Seedling. Plant Physiology 102 (3) : 717 – 724 pp.
10
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
PELESTARIAN TANAMAN BAMBU SEBAGAI UPAYA REHABILITASI LAHAN DAN KONSERVASI TANAH DI DAERAH SEKITAR MATA AIR PADA LAHAN MARGINAL DI BALI TIMUR Oleh : I DEWA NYOMAN RAKA, I G.N. ALIT WISWASTA, I MADE BUDIASA
ABSTRAK
Dewasa ini pemerintah telah menggalakkan upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah seperti penghijauan dan reboisasi. Kegiatan itu dimaksudkan untuk mempertahankan kesuburan tanah, memulihkan lahan kritis, serta memperbaiki tata air. Upaya perbaikan lahan yang telah rusak tersebut dapat dilakukan dengan melestarikan tanaman bambu sebagai tanaman reboisasi dan rehabilitasi. Dengan melestarikan bambu, lahan yang telah rusak akan kembali memberikan fungsinya dengan baik dalam waktu yang cukup cepat, sehingga sumberdaya alam hutan, tanah dan air dapat berdaya guna dan berhasil guna bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui partisipasi masyarakat dalam pelestarian tanaman bambu untuk menanggulangi lahan marginal/kritis di Bali Timur, (2) membuat bahan kampanye ke masyarakat berupa Leaflet terkait tanaman bambu dalam upaya menanggulangi lahan kritis, (3) membuat bahan ajar yang terkait konservasi untuk kalangan mahasiswa. Penelitian ini adalah penelitian, field experiment dan survei, sampel ditentukan secara purposive sampling di 30 desa yang memiliki kawasan lahan marginal/kritis di Bali Timur. Hasil Penelitian menemukan partisipasi masyarakat dalam pelestarian tanaman bambu untuk menanggulangi lahan marginal/kritis 76,00% kuat, dan melalui demplot tanaman bambu diketahui terjadi peningkatan debit air sebesar 10%. Disarankan kepada pemerintah desa untuk turut berperan aktif melalui pembuatan awig-awig desa dalam pelestarian tanaman bambu untuk menanggulangi lahan marginal/ kritis. Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
11
Kata kunci : Lahan Marginal, Tanaman Bambu, Partisipasi Masyarakat
PENDAHULUAN
Lahan kritis adalah lahan yang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena mengalami proses kerusakan fisik, kimia, maupun biologi yang pada akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, pemu-kiman dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Lahan kritis juga disebut sebagai lahan
marginal yaitu lahan yang memiliki beberapa faktor pembatas, sehingga hanya sedikit tanaman yang mampu tumbuh. Faktor pembatas yang dimaksud adalah faktor lingkungan yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman, seperti unsur hara, air, suhu, kelembaban dan sebagainya. Jika terdapat salah satu saja faktor pembatas pertumbuhan tanaman tersebut yang kurang tersedia, maka tumbuhan juga akan sulit untuk hidup (dalam keadaan tercekam). Petani yang tidak dapat bercocok tanam karena lahannya marginal atau kritis, selain
penghasilannya
berkurang,
pengeluarannya
bertambah
banyak
untuk
merehabilitasi lahannya yang tidak produktif tersebut. Oleh karenanya, fungsi sumberdaya alam seperti lahan dan mata air perlu dilestarikan agar dapat memberikan manfaat yang optimal. Perlu adanya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah secara intensif terutama pada lahan di sekitar mata air dengan berbagai jenis tanaman seperti tanaman bambu dan rumput akar wangi. Pelaksanaan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) di Bali sampai lima tahun terakhir telah berhasil dilaksanakan dalam bentuk reboisasi seluas 825 ha, dan yang berhasil kurang dari separuhnya yaitu hanya 350 ha. Rendahnya tingkat keberhasilan usaha rehabilitasi dan konservasi tanah yang telah dilakukan tersebut disebabkan dalam pelaksanaan rehabilitasi mengalami kendala seperti : (1) anggaran yang tersedia sangat terbatas, (2) waktu pelaksanaan terlalu pendek, (3) dalam memilih lokasi kegiatan tidak memperhatikan potensi yang ada, dan (4) pemilihan tanaman tidak sesuai dengan kesesuaian tempat tumbuh dari tanaman yang akan dikembangkan. Daerah-daerah yang memiliki lahan kering di Bali secara administratif meliputi Kabupaten Buleleng (kecamatan Kubutambahan, Sawan, Buleleng, Sukasada, Banjar, Seririt, Busungbiu); Kabupaten Tabanan (kecamatan Pupuan); Kabupaten Bangli Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 12
(kecamatan Kintamani); dan Kabupaten Karangasem (keca-matan Kubu, Abang, dan Karangasem) dengan total luas wilayah 70.424 ha mempunyai lahan kritis 240 ha dan potensi kritis mencapai 10.615 ha (Departemen Kehutanan, 2005). Lahan kering di Kabupaten Bangli dan Karangasem ada dua macam yaitu lahan kering produktif yang luasnya sekitar 40 % dari luas lahan kering yang ada, yang dari segi agroekoklimat dapat diusahakan sebagai lahan pertanian/ perkebunan terutama tanaman jeruk, kopi dan tanaman keras lainnya untuk Kabupaten Bangli dan tanaman salak, kelapa dan tanaman keras lainnya untuk Kabupaten Karangasem. Sebagian lagi sekitar lebih kurang 60 % dari luas lahan kering yang ada merupakan lahan marginal atau lahan kritis yang dapat diusahakan oleh petani jika ada air atau hanya pada musim hujan saja.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Bambu Bambu merupakan tanaman yang secara botanis dapat digolongkan pada famili Gramineae (rumput). Bambu mudah menyesuaikan diri dengan kondisi tanah dan cuaca yang ada, serta dapat tumbuh pada ketinggian sampai dengan 3800 m di atas permukaan laut. Bambu tumbuh berumpun dan memiliki akar rimpang, yaitu semacam buhul yang bukan akar maupun tandang. Bambu memiliki ruas dan buku. Pada setiap ruas tumbuh cabang-cabang yang berukuran lebih kecil dibandingkan dengan buluhnya sendiri. Pada ruas-ruas ini, tumbuh akar-akar yang memungkingkan untuk memperbanyak tanaman dari potongan-potongan setiap ruasnya, disamping tunas-tunas rimpangnya. Bambu merupakan tanaman yang memiliki banyak kegunaan mulai dari benda kerajinan, bahan makanan, bahan industri, sampai kepada bahan konstruksi. Diantara pemanfaatan bambu antara lain digunakan sebagai topi, kursi, meja, lemari, alat musik angklung, sayur (rebung), kertas, dan bahan bangunan. Kegunaan ini tidak hanya dikenal dibeberapa negara saja melainkan hampir di seluruh dunia sejak dahulu kala. Setidaknya ada tiga kelebihan bambu jika dibandingkan dengan tanaman kayukayuan antara lain: 1) Tumbuh dengan Cepat Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
13
Bambu merupakan tanaman yang dapat tumbuh dalam waktu yang singkat dibandingkan dengan tanaman kayu-kayuan. Dalam sehari bambu dapat bertambah panjang 30-90 cm. Rata-rata pertumbuhan bambu untuk mencapai usia dewasa dibutuhkan waktu 3-6 tahun. Pada umur ini, bambu memiliki mutu dan kekuatan yang paling tinggi. Bambu yang telah dipanen akan segera tergantikan oleh batang bambu yang baru. Hal ini berlangsung secara terus menerus secara cepat sehingga tidak perlu dikhawatirkan bambu ini akan mengalami kepunahan karena dipanen. Berbeda dengan kayu, setelah ditebang akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menggantinya dengan pohon yang baru.
2) Tebang Pilih Bambu yang telah dewasa yakni umur 3-6 tahun dapat dipanen untuk digunakan dalam berbagai keperluan. Dalam pemanenan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan metode tebang habis dan tebang pilih. Tebang habis yaitu menebang semua batang bambu dalam satu rumpun baik batang yang tua maupun yang muda. Metode ini kurang menguntungkan karena akan didapatkan kualitas bambu yang berbeda-beda dan tidak sesuai dengan yang diinginkan, selain itu akan memutuskan regenarasi bambu itu sendiri. Metode tebang pilih adalah metode penebangan berdasarkan umur bambu. Metode ini sangat efektif karena akan didapatkan mutu bambu sesuai dengan yang diinginkan dan kelansungan pertumbuhan bambu akan tetap berjalan. 3) Meningkatkan Volume Air Bawah Tanah Tanaman bambu memiliki akar rimpang yang sangat kuat. Struktur akar ini menjadikan bambu dapat mengikat tanah dan air dengan baik. Dibandingkan dengan pepohonan yang hanya menyerap air hujan 35-40% air hujan, bambu dapat menyerap air hujan hingga 90 %. Berkaitan dengan upaya penghijauan, maka tanaman hijau yang sebaiknya ditanam adalah tanaman bambu, bukan tanaman kayu-kayuan ataupun buah-buahan. Alasan ini berdasarkan pada prediksi seorang ahli iklim NASA bernama dr. H. J. Zwally yang mengatakan bahwa hampir semua es di kutub utara akan lenyap pada akhir musim panas 2012 akibat pemanasan global. Tanaman bambu dapat tumbuh dengan cepat yang hanya membutuhkan waktu sekitar tiga tahun saja, dibandingkan Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 14
dengan tanaman kayu-kayuan dan buah-buahan yang memerlukan waktu yang cukup lama untuk mencapai usia dewasa. Selain itu, dalam hal penyerapan Karbon Dioksida, bambu lebih banyak menyerap Karbon Dioksida dari pada tanaman kayu-kayuan ataupun buah-buahan. Studi menunjuk-kan bahwa satu hektar tanaman bambu dapat menyerap lebih dari 12 ton karbon dioksida di udara. Ini merupakan jumlah yang cukup besar. Dengan melestarikan hutan bambu, berarti kita telah memiliki mesin penyedot karbon dioksida dalam kapasitas yang besar
Lahan Marginal Menurut Suprapto dkk. (2000), lahan marginal pada umumnya merupakan lahan kurus akan unsur hara, ketersediaan air terbatas hanya tergantung dari curah hujan yang ada. Petani pada lahan ini pada umumnya petani kecil dengan perekonomian rendah dan pendapatan rendah sehingga sangat berpengaruh dalam berusahatani yang masih tradisional dan subsisten. Lebih lanjut dinyatakan bahwa petani pada lahan marginal pada umumnya hanya mengandalkan hujan sebagai sumber air untuk berusahatani sehingga saat musim kemarau hampir sebagian besar lahan diberakan. Keadaan seperti ini menyebabkan tingkat produktivitas lahan dan pendapatan petani menjadi rendah. Seiring dengan meningkatnya teknologi dibidang pertanian, maka telah diperkenalkan beberapa teknik penyediaan air seperti pompanisasi, penampungan air hujan dengan cubang, dan teknik pemanenan air hujan dengan embung yang dapat dipergunakan untuk kebutuhan rumah tangga dan berusahatani. Munculnya lahan-lahan marginal ini akibat dari penanganan konservasi tanah dan air yang masih sangat minim, bahkan tidak ada sama sekali. Selain dari perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat pedalaman, maraknya penebangan hutan secara liar telah mengakibatkan semakin luasnya lahan-lahan marginal.
Konservasi Tanah dan Air Menurut Sitanala Arsyad (1989), Konservasi Tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukkannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Sedangkan konservasi Air menurut Deptan (2006) adalah upaya penyimpanan air secara maksimal pada musim penghujan dan pemanfaatannya secara Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 15
efisien pada musim kemarau. Konservasi tanah dan konservasi air selalu berjalan beriringan dimana saat melakukan tindakan konservasi tanah juga di lakukan tindakan konservasi air. Konservasi tanah dan air merupakan cara konvensional yang cukup mampu menanggulangi masalah erosi, kekurangan air dan kahat unsur hara. Dengan menerapkan sistem konservasi tanah dan air diharapkan bisa menanggulangi erosi, menyediakan air dan meningkatkan kandungan hara dalam tanah serta menjadikan lahan tidak kritis lagi. Ada 3 (tiga) metode dalam melakukan konservasi tanah dan air yaitu metode fisik dengan pegolahan tanahnya, metode vegetatif dengan memanfaatkan vegetasi dan tanaman untuk mengurangi erosi dan penyediaan air serta metode kimia yaitu memanfaatkan bahan-bahan kimia untuk mengawetkan tanah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan sebagai penelitian field experiment, dan survei, dilakukan deskripsi fakta terhadap partisipasi masyarakat dalam pelestarian tanaman bambu untuk menanggulangi lahan marginal/kritis di Bali Timur, serta pembuatan experiment berupa demonstrasi plot budidaya tanaman bambu. HASIL DAN PEMBAHASA
Keberadaan Mata Air di Lokasi Penelitian Berdasarkan survai lapangan yang telah dilakukan mengenai keberadaan mata air di tempat lokasi penelitian ternyata jumlah mata air yang ada adalah sebagai berikut : di Kabupaten Karangasem meliputi Kecamatan Kubu sebanyak 6 mata air, 2 mata air telah ada pendistribusian/perpipaan, 3 mata air ternyata airnya surut atau tidak berair pada musim kemarau, Kecamatan Abang ada 4 mata air, 1 mata air telah ada perpipaan/pendistribusian dan 2 mata air ternyata airnya surut atau tidak berair pada musim kemarau; di Kabupaten Bangli, Kecamatan Kintamani ada 4 mata air, 1 mata air telah ada perpipaan/ pendistribusian, dan 2 mata air dalam keadaan tidak berair pada musim kemarau. Kebanyakan mata air dengan debit air yang cukup besar berada dekat daerah hutan dan bahkan di dalam hutan. 16
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Kendala yang dihadapi masyarakat untuk memperoleh air disebabkan ketersediaan air yang sangat terbatas, ketersediaan air hanya bergantung dari curah hujan yang ada. Keadaan curah hujan pada daerah tersebut di atas berkisar antara 1.200 – 1.400 mm per tahun dengan musim penghujan yang pendek antra 4 – 5 bulan dan bervariasi mulai dari bulan Nopember – Desember dan berakhir bulan Maret – April.
Demplot Tanaman Bambu di Sekitar Mata Air di Lokasi Penelitian Melalui demplot tanaman bambu dengan berbagai jenis tanaman bambu yang memiliki nilai khususnya bagi masyarakat Hindu Bali, nampak bahwa setelah sepuluh bulan sejak penanaman terjadi peningkatan debit air pada sumber mata air didekat demplot, namun belum menunjukkan kondisi yang signifikan. Peningkatan terjadi kurang dari 10% hal ini disebabkan curah hujan yang masih rendah, disamping akar tanaman bambu belum cukup banyak/signifikan untuk menyerap/menahan air hujan. Jenis tanaman bambu yang ditanam pada demplot meliputi : (1) bambu jajang aya (Gigantochloa aya), merupakan jenis bambu ukuran besar dan memiliki ketinggian sampai dengan 15 meter dan diameter 12 sentimeter, (2) bambu jajang taluh (Gigantochloa taluh), merupakan jenis bambu yang memiliki warna batang hijau keputih-putihan, dan (3) bambu kedampal (Sahizostachyum cestaneum), merupakan jenis bambu yang memiliki batang pendek dan buluh tipis, warna batang hijau Berdasarkan pengamatan dilapangan, nampak bahwa pelestarian tanaman bambu merupan langkah yang sangat tepat dalam upaya penanggulangan sumber mata air pada lahan marginal di Bali Timur, karena dalam pelestariannya tidak dibutuhkan waktu yang cukup lama karena bambu dapat mencapai usia dewasa pada umur 3-6 tahun. Selain itu, penanaman bambu tidak memerlukan biaya yang cukup besar seperti kayu-kayuan karena tanaman bambu merupakan tanaman rakyat yang mudah dan murah didapatkan dibandingkan dengan kayu-kayuan. Disamping hal tersebut tanaman bambu memiliki akar rimpang yang sangat kuat. Struktur akar ini menjadikan bambu dapat mengikat tanah dan air dengan baik. Dibandingkan dengan pepohonan yang hanya menyerap 35-40% air hujan, bambu dapat menyerap air hujan hingga 90 %.
Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Tanaman Bambu Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
17
Analisis deskriptif tentang partisipasi masyarakat dalam pelestarian tanaman bambu meliputi (1) partisipasi dalam perencanaan, (2) partisipasi dalam pelaksanaan, dan (3) partisipasi dalam pemanfaatan.
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pelestarian tanaman bambu Perencanaan memegang peranan yang sangat penting dalam suatu kegiatan karena keberhasilan suatu kegiatan tergantung dari perencanaan yang disusun sebelumnya. Dimensi partisipasi di dalam perencanaan kegiatan pelestarian tanaman bambu meliputi (1) pencurahan atau sumbangan pikiran yaitu pemberian gagasangagasan yang berhubungan dengan perencanaan kegiatan, yang mana gagasan tersebut bisa diterima sebagai masukan (input) bagi keberhasilan suatu perencanaan, (2) pencurahan atau sumbangan materiil yaitu besarnya materiil atau dana yang disumbangkan pada perencanaan, dan (3) pencurahan atau sumbangan tenaga yaitu besarnya atau banyaknya tenaga yang dicurahkan (ikut bekerja) pada perencanaan kegiatan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, nampak bahwa sebagian besar (69,70%) partisipasi masyarakat dalam perencanaan kegiatan pelestarian tanaman bambu termasuk dalam kategori tinggi, masyarakat hampir semuanya tahu kenapa kegiatan pelestarian tanaman bambu perlu dilaksanakan, dan masyarakat secara aktif telah membuat perencanaan kegiatan pelestarian tanaman bambu khususnya di lahan marginal di Bali Timur. Hal ini disebabkan masyarakat mengetahui bahwa tanaman bambu mampu menyerap air hujan, disamping itu masyarakat memahami bahwa tanaman bambu merupakan salah satu jenis tanaman yang paling banyak digunakan masyarakat Bali dalam kehidupan sehari-hari. Hampir di setiap upacara keagamaan, bambu pasti digunakan, baik daun maupun batangnya.
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pelestarian tanaman bambu Sama halnya dengan perencanaan, dimensi partisipasi di dalam pelaksanaan kegiatan pelestarian tanaman bambu mencakup : (1) pencurahan atau sumbangan pikiran, (2) pencurahan atau sumbangan materiil, (3) pencurahan atau sumbangan tenaga pada pelaksanaan kegiatan tersebut. 18
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Berdasarkan hasil penelitian, nampak bahwa lebih dari dua pertiga responden (70,20 %) partisipasi masyarakat dikategorikan cukup tinggi dalam pelaksanaan kegiatan pelestarian tanaman bambu. Masyarakat telah mengetahui
manfaat yang
diperoleh dari kegiatan pelestarian tanaman bambu, masyarakat juga telah mengetahui bahwa kegiatan pelestarian tanaman bambu bermanfaat bagi pendidikan generasi muda di masa mendatang, karena tanaman bambu dapat meningkatkan debit air pada sumber mata air di sekitar lahan marginal, sehingga tanah dapat lebih produktif. Namun, pemerintah diharapkan dapat memberikan
sosialisasi atau penyuluhan yang lebih
intensif lagi mengingat lahan marginal di Bali Timur yang cukup luas.
Partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan pelestarian tanaman bambu Pada umumnya besarnya partisipasi seseorang atau sekelompok orang dalam suatu kegiatan sangat tergantung pada sejauh mana maksud dan tujuan dari kegiatan tersebut dan sejauh mana pula dapat memberikan manfaat bagi kepentingannya. Dalam hal ini manfaat penerapan kegiatan pelestarian tanaman bambu apakah memberikan kontribusi yang besar secara finansial bagi masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian, nampak bahwa hanya 9,09% partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan kegiatan pelestarian tanaman bambu berada dalam kategori rendah, dengan kata lain 90,01% dalam katagori tinggi. Hal ini disebabkan motivasi masyarakat cukup kuat untuk memanfaatkan kegiatan pelestarian tanaman bambu sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan ketersediaan air pada lahan marginal di Bali Timur.
Partisipasi masyarakat secara kumulatif dalam kegiatan pelestarian tanaman bambu Partisipasi masyarakat terhadap kegiatan pelestarian tanaman bambu secara komulatif dapat diukur berdasarkan hasil akumulasi dari (1) partisipasi dalam perencanaan kegiatan, (2) partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan, dan (3) partisipasi dalam pemanfaatan kegiatan. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan masih ada masyarakat (12,12%) yang memiliki katagori rendah dalam kegiatan pelestarian tanaman bambu. Oleh karena itu partisipasi masyarakat terhadap kegiatan pelestarian tanaman bambu harus terus Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 19
ditingkatkan, guna mencapai tujuan yang dinginkan yaitu ketersediaan air pada lahanlahan marginal di daerah Bali Timur, sehingga lahan-lahan marginal dapat lebih produktif dalam peningkatan produksi nasional.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu : 1) Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pelestarian tanaman bambu dalam katagori tinggi 2) Demplot tanaman bambu pada umur 10 bulan dari penanaman telah mampu meningkatkan debit air, meskipun belum cukup siginifikan. Saran – Saran Berdasarkan hasil kesimpulan
dan pembahasan dapat disarankan hal-hal
sebagai berikut : 1) Pembinaan dan penyuluhan perlu dilaksanakan lebih intensif guna lebih meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pelestarian tanaman bambu 2) Untuk keberhasilan tindakan kegiatan pelestarian tanaman bambu di Daerah Bali Timur, maka dalam pemilihan jenis tanaman bambu agar dipilih jenis tanaman bambu yang diperkirakan paling banyak dan telah biasa dikembang-kan oleh penduduk setempa.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I W Sandi., 2006. Study of Monitoring Land Use Cahanges and Erosion in the Highland of Bali. Ph..D. Thesis Graduate School of Science and Technoloy, CHIBA University, Japan Arsyad, S., 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB Press, Bogor Asdak, C., 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Penerbit Gajah 20
Mada University Press, Yogyakarta Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Bank Dunia, 1993, Rumput Vetiver. Pagar Hidup Penahan Erosi. Terjemahan Yayasan Ekoturin – East Proverty Project Bali – Indonesia. Cusack, V., 1999, Bamboo World. The Growing and Use of Clumping Bamboos. Kangaroo Press NSW – Australia. Darmadi, 1995. Dasar-dasar Pengelolaan DAS. Balai Teknologi Pengelolaan DAS, Badan Litbang Kehutanan, Bahan Alih Teknologi Stasiun Pengamat Arus Sungai II, Surakarta. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Informasi Teknik Rehabilitasi dan Konservasi Tanah. Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta. Departemen Kehutanan, 1994. Pedoman Penyusunan Pola Rahabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rahabilitasi Lahan, Jakarta. Departemen Kehutanan, 1998. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rahabilitasi Lahan, Jakarta. Departemen Kehutanan, 2006. Peta Lahan Kritis Wilayah
Propinsi Bali. Balai
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Unda Anyar, Denpasar. Dinas Kehutanan, 2002. Statistik Dinas Kehutanan Propinsi Bali Tahun 2002. Denpasar. Dradjad, M., 2004. Rehabilitasi Lahan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Kompetensi Pendidikan Tinggi dan Penelitian Ilmu Tanah di Indonesia, Yogyakarta, 4-6 Agustus 2004. Gunamanta, Pande Gede, 2002. Identifikasi Karakteristik Lahan Kering Sebagai Acuan Perencanaan Konservasi Tanah dan Air di DAS Unda Anyar Bali. Agritrop Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, Vol. 21, No 1 Maret 2002. Fakultas Pertanian Unud Denpasar. http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global. Pemanasan Global. 13 Oktober 2008. http://library.usu.ac.id/download//fp/hutan-ridwanti4/pdf. Pemanfaatan Bambu di Indonesia. 22 Juli 2008. http://www.pemanasanglobal.net/. Global Warming Mengancam Keselamatan Planet Bumi. 13 Oktober 2008. Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
21
EFFECTIVENESS OF ALOE VERA GEL AND COCONUT WATER AS A BIOREGULATOR ON SEED GERMINATION OF DENDROBIUM ORCHID I KETUT SUMANTRA AND I KETUT WIDNYANA Agroecotechnology Departement, Facultay of Agriculture, Mahasaraswati University
ABSTRACT The study aimed to determine the effect of concentration of coconut water and aloe vera gel on seed germination of Dendrobium orchid was done in Tissue Culture Laboratory Unmas Denpasar, from the month of April to August 2010. The research method using nested completely randomized design with 3 replications. Treatment additions bioregulator on VW medium consisting of coconut water with a concentration of 0 ml/l, 150 ml/l, 200 ml/ l, 250 ml/l and 300 ml/l, and aloe vera gel with a concentration of 0 g/l, 5 g/l, 10 g/l, 15 g/l and 20g/l. Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 22
The results showed that there were no initial differences in germination and percentage germination between VW medium given coconut water and given aloe vera gel. VW medium fed coconut water 150 ml/l and 200 ml/l gave the early germination and highest germination percentage. While the VW medium given aloe vera gel 5 g/l and 10 g/l gives the fastest initial germination and the highest germination percentage. To speed up germination and increase the percentage of seed germination of Dendrobium in the culture medium in-vitro with VW, may be the addition of coconut water 150 -200 ml/l or with leaves of aloe vera gel with a concentration of 5-10 g /l. INTRODUCTION
The island of Bali as one of the major tourist destination in Indonesia, to be able to provide a variety of tourism facilities, either in relation to the provision of tourism facilities, services and provision for tourists such as orchids. Effendi (1994) mentions that the demand for ornamental plants and cut flowers in each year has increased no less than 10 percent. Consumer tastes towards ornamental plants and orchids are determined by the manufacturer and trends overseas. At this time the dominant preference orchid is Dendrobium species (34%), followed by Oncidium Golden Shower (26%), Cattleya (20%) and Vanda (17%) and other orchids (3%) while many orchid flower color selection influenced by the purpose of its use (Widiastoety, 2004 ). Dendrobium orchid preferred by many konsunmen because it has high economic value in addition suitable developed at warm area and fresh live of the flowers bloom up to 30 days. For consumers, all of the Dendrobium characteristics is not easily replaced by other plants, and the price is not too exspensive. In the development of orchid plants, the important thing to note is the provision of seedlings. The propagation of orchid plants could done by vegetative and generative. Propagation through vegetative considered less effective, because the number of puppies produced is very limited. On multiplication by genaratif, main problem faced is the time for seed germination long enough . This is because the size of orchid seeds are very small and has no food reserves in the endosperm as early seed germination. Besides, the germination of orchid seeds in conditions in vivo showed low germination at less than 1% (Gunawan, 2002). One way that can be done is to germination of orchid seeds in vitro using growth media. The growth medium used for germination of orchids is a medium Vacint and Went (VW). In VW's media, the culturis often add growth Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
23
hormones to speed up seed germination and also to determine the direction of plant growth and development. In everyday life, synthetic growth regulators are still difficult to find and the price is relatively expensive, so need to look for other alternatives. One of the natural plant growth regulator (bioregulator) are easy and cheap to obtain is the leaf of aloe vera gel. In the implementation of tissue culture, the addition of coconut water is commonly used. While granting leaves of aloe vera gel in vitro culture has not been widely reported.The use of Aloe vera leaf gel as a bioregulator were tested on several types of plants. Sundahri (1994) stated that aloe vera gel (Aloe vera, L.) concentration of 0-12% in a linear increase root growth in cuttings of cat whiskers. This is presumably because the aloe vera gel contains plant growth regulators, especially auxin, amino acids, vitamins and minerals that could encourage the growth of cuttings (Sundahri, 1994). While on vanilla cuttings with a concentration of 50% can increase the amount of leaf growth, shoot dry weight and root length. However, if the concentration is increased more than 50%,
the growth of vanilla variables are
decreased (Sumantra, 2002). Based on the above description, the problem are: (1) Is the provision of coconut water and aloe vera gel could increased seed germination of Dendrobium orchid. (2) What is the ideal concentration of each bioregulator. (3) Which of these two kinds bioregulator (coconut water and aloe vera gel) is effective in promoting seed germination of dendrobium orchids This study aims to: (1) To determine the influence of the concentration of coconut water and aloe vera leaf gel on seed germination of Dendrobium orchid. (2) To know one of the two bioregulator, which can provide a better germination.
RESEARCH METHOD This research was conducted at Tissue Culture Laboratory of the University Mahasaraswati Denpasar, starting in April-August 2010. The research was conducted with experimental methods. The design used was a completely randomized design with nested patterns (Nested Experiment) or RAL nested with three replicatio. Two types of bioregulator who tried the coconut water and aloe vera leaf gel. Coconut water treatment consisted of 4 levels which are: coconut water 0 ml / l (A0 = control), coconut water 150 ml / l (A1), coconut water 200 ml / l (A2), coconut water 250 ml / l Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 24
(A3 ) and coconut water 300 ml / l (A4). While the leaves of aloe vera gel bioregulator consisted of: Aloe vera gel 0 g / l (B0), leaves of aloe vera gel 5 g / l (B1), aloe vera leaf gel of 10 g / l (B2), leaves of aloe vera gel 15g / l (B3), and the leaves of aloe vera gel 20 g / l (B4). The materials used include medium Vacint and Went (VW), coconut water, aloe vera leaf gel, sugar, 0.1 N NaOH, 0.1 N HCL, alcohol 70%, aquades sterile, chlorox, betadine, spritus, activated charcoal, fish emulsion, paper label, aluminum foil, paper indicator, dendrobium orchid seeds, paper towels, rubber, plastics isolatif. The tools used include laminar air flow cabinets (LAF), analytic scales, culture bottles, bottle stock, measuring cups, pipettes, stirring rods, autoclaf, blander, spray bottles, Bunsen lamp, glass chemistry, petri dish, scapel, tweezers, sowerspoon, funnel, erlenmayer, stationery, timer. Implementation of activities consists of several stages: Making Media consists of several activities: a) Make a stock solution of VW and enter each stock solution into the flask peck. b) Each flask is then added to the treatment material that is bioregulator coconut water and aloe vera leaf gel separately. c) Dilute solution at point b with aquades sterile until the specified limits. d) Adjust the pH of the media in order to reach pH 5.5, raise low pH by adding NaOH 0.1 N and high pH lower by 0.1 N HCL. e) While stirring pour the gelatin that has been weighed, the volume of solution to be added 1000 ml. f) Continue stirring, heat the solution on the stove or hot plate until the agar dissolves. g) Solvent is then inserted into the culture bottles with medium thickness approximately 1.5 cm. h) Close the bottle culture with heat-resistant rubber lid or with aluminum foil. i) Sterilize the above media in the autoclave at a temperature of 121
o
C with a
pressure of 17.5 psi for 20 minutes.Sowing seeds of orchids. j) Rinse the seeds of orchids with cotton wool soaked in alcohol 95%, cut the base of the fruit so clean from dirt. k) Dip fruit orchids in 95% alcohol for 1 minute. l) Using tweezers, baked on spritus lights until a few moments so sterile. Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
25
m) In petridish sterile, using a sterile scalpel blade, the fruit is opened to facilitate taking the seeds. n) With using long tweezers, grab the orchid seeds and carefully, and culture the seeds on media that has been prepared in advance. o) Inkubasikan culture results in a culture room at a temperature of 25
o
C, light
intensity from 1500 to 2000 lux with radiation 12 hours /24. Observations were germination time and germination percentage. Obtained data were processed by analysis of manner. If the results of the analysis showed significantly then continued with Least Significant Difference test (LSD) at 5% level.
RESULTS AND DISCUSSION
The results showed that there is no difference between the addition of coconut water with the addition of aloe vera leaf gel on the germination time and percentage of germination of Dendrobium orchid seeds. The addition of coconut water and aloe vera gel on VW medium, orchid seeds germinate 7.2 weeks after sowing, seeds germination with an average of 94% The results showed that the addition of aloe vera leaf gel and coconut water separately on VW medium can increase the percentage of germination and time of seed germination of Dendrobium than without the provision. VW medium plus coconut water 150 ml/l, 200 ml/l, 250 ml/l and 300 ml/l initial seed germination to 7 weeks after sowing (WAS), while without giving coconut water early germination occurred at 8 weeks after sowing. VW medium supplemented 150 ml / l and 200 ml / l, the percentage of germination reached 100%. Medium is added to 250 ml of coconut water / l and 300 ml / l, germination percentage of 98% and 95% respectively, whereas without the addition of coconut water lowest germination percentage is 80% (Figure 1 and Figure 3).
26
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
b a
b a
a
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
b a
a
a
a
Time Germ Percen Germ
a
0 ml/l
Figure 1.
b a
a
a
a
a
150 ml/l 200 ml/l 250 ml/l 300 ml/l
Germination of
a
time
Dendrobium
(WAS) orchid
and seeds
percentage on
germination
different
(%)
concentrations
of coconut water
This shows that with the provision of coconut water to speed up the germination of seeds. Coconut water contains many complex organic materials that are often needed for plant growth and development, it contains the hormone cytokinin 5.8 mg / l, auxin 0.07 mg / l and giberilin very little and other compounds that can stimulate the germination and growth (Morel , 1974). VW medium supplemented with aloe vera gel produce different germination time and germination percentage differently. VW medium without aloe vera gel takes longer than 1 week with Aloe vera gel initial germination 7 MST. Granting leaves of aloe vera gel on VW medium give different values of germination percentage. VW medium supplemented aloe vera gel 5 g / l and 10 g / l produced the highest germination percentage ie 100% respectively. Addition of 15 g / l and 20 g / l, germination percentage of 98% and 90% respectively, whereas without Aloe vera leaf gel the lowest greminatiom percentage of 80% (Figure 2 and Figure 4).
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
27
b a
b a
a
100 a
a
b a
a
b a
a
a
80 60 Time Germ 40 20
Percen Germ a
a
0 g/l
5 g/l
a
a
a
10 g/l
15 g/l
20 g/l
0
Figure 2. Germination time (WAS) percentage germination (%) Dendrobium orchid seeds at a difference concentration of aloe vera leaf gel.
This is thought that aloe vera gel contains a natural regulator of auxin as well as other compounds. Both natural and synthetic auxin can be used to stimulate and accelerate the formation of roots and to improve the quality and quantity of roots (Hartman and Kester, 1983). Leopold and Kriedemenn (1988) states that auxin functions in cell differentiation among the leaves and stems and roots at the base of cuttings. Auxin at high concentrations promote the synthesis of ethylene, whereas ethylene inhibits cell elongation at concentrations higher than the optimum concentration. Aloe vera pulp containing pulp alonin and sap. Gum pulp composed of polysaccharides (glucomannan), krisofan acid, protease enzyme, a number of vitamins, minerals and amino acids. Amino acids make up proteins function to help substitute the damaged cells. Vitamins and minerals into the driving circuit triggers biochemical processes necessary in the healing process. Acid krisofan promote healing of damaged cells, while glucomannan in cooperation with the bacterial enzyme can break the intruder pretease (Sundahri et al., 1996; Afzal et al., 1991).
28
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Figure 3. Performance of Dendrobium growth on VW medium with the addition of coconut water with different concentrations.
Figure 4. . Performance of Dendrobium growth on VW medium with the addition of aloe vera gel with different concentrations.
CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS
The results can be concluded as follows: 1. There were no initial differences in germination and percentage germination between VW
medium given coconut water and given aloe vera leaf gel.
2. VW medium fed coconut water 150 ml / l and 200 ml / l gave the early germination of the fastest and highest germination percentage. 3. VW medium given aloe vera gel 5 g / l and 10 g / l gives early germination of the fastest and highest germination percentage. To speed up germination and increase the percentage of seed germination of Dendrobium in the medium culture in-vitro with VW, could used coconut water 150 -200 ml / l or with leaves of aloe vera gel with a concentration of 5-10 g / l.
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
29
REFERENCES
Bey,Y., W Syafii, dan N. Ngatifah.2005. Pengaruh Pemberian Giberilin pada Media Vacin dan
Went terhadap Perkecambahan Biji Anggrek Bulan
(Phalaenopsis amabilis BL) secara invitro. Jurnal Biogenesis.Vol 1(2):5761 Dinas Pertanian Provinsi Bali. 2005. Laporan Statistik Pertanian Tanaman Pangan Tahun 2005. h. 230. George, Edwin F. and Paul D. Sherrington, 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Eversley, Basingstoke Hants. England. Gunadi, T. 1985. Anggrek Untuk Pemula, Angkasa, Bandung. Gunawan, L. Winata. 1987. Teknik Kultur Jaringan . Laboratorium Kultur Jaringan PAU Bioteknologi IPB, Bogor. Gunawan, 1989. Budidaya Anggrek. Penebar Swadaya, Jakarta. Hartman, H.T. and D.E. Kester, 1983. Plant Propagation Principles and Practices. Prentice Hall, New Jersey, 727 p. Hok, Y. 1988. Pengaruh Ekstrak Residu Daun Lidah Buaya terhadap Biakan Bakteri Staphylococcus aureus secara in Vitro. Laporan Penelitian. FMIPA Unair, Surabaya. Leopold, A.C. and P.E. Kriedemann. 1988. Plant Growth and Development. Tata Mc. Grow Hill, New Delhi, 545 p. Rosita, S. Solahuddin, dan Q Mutaqim. 1991. Pengaruh Air Kelapa dan Triakontanol terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Stek Panili. Pemberitaan LITTRI XVI (3) : h 123 – 127. Sumantra, K. 2002. Pengaruh Gel Aloe Vera
Terhadap Pertumbuhan Stek Panili.
Mahawidya Saraswati (56): 17 -19 . Sundahri. 1994. Efektivitas Gel Lidah Buaya Terhadap Perakaran Stek Kumis Kucing. Laporan Penelitian, FAPERTA UNEJ. 11 h. Sundahri, H.B. Setyawan, dan S.Kardi. 1996. Efektivitas Gel Lidah Buaya sebagai Zat Perangsang pada Distribusi Sifat Pertumbuhan Stek Pendek Panili. 30
Laporan Hasil Penelitian PPSLPT – ADB. 28 h. Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Widiastoety Darmono. 2004. Bertanam Anggrek. Penebar Swadaya, Jakarta. 75 h.
MODEL FOR DEVELOPING HOME INDUSTRY TIGER GROUPER HATCHERY FIRMS (HSRT) IN BALI: An Overview on Economic and Maricultural Perspective By CENING KARDI, AND PUTU SUJANA
ABSTRACT The high demand to grouper seeds in domestic and international market had pushed the mass grouper seeds production in Gerokgak District, Bali. At the first research, there were gaps between the average actual hatchery productivity of Tiger grouper (Epinephelus fuscoguttatus) hatchery firms with the potentially achievable productivity. This research then aimed for improving the productivity by determination of economic efficiency and optimum inputs combination. The research utilized data which were collected with survey to 41 samples of hatchery firms in Gerokgak District. The result in dry season: the average technical efficiency was 0.88903; the price efficiency was 1,554; and the economic efficiency was 1,381. In wet season the average technical efficiency was 0,72055; the price efficiency was 6,469, and the economic efficiency 4,661. The optimum inputs combination in dry season was grouper eggs 750 thousands pieces; pellet 6,0 kg; artemia 40 cans; mysid shrimp 660 sacks; rotifer 61 sacks; and workers 5 men. In wet season was grouper eggs 500 thousands pieces; pellet 6,0 kg; artemia 21 cans; mysid shrimp 210 sacks; rotifer 46 sacks; and workers 3 men. These optimum inputs could make meaningful contributions toward rising productivity and profitability of the Tiger grouper hatchery firms. Besides that, close attention should be given to improving managerial ability of the farmers and to preparing adroit hatchery workers through education and training. Keywords: efficiency
coastal communities, grouper, hatchery, technical efficiency, economic
INTRODUCTION
Coastal and sea resources could be trade on national economic improvements. Various potential resources continuously explorated and developed, included in coastal cultivation, with potential product, groupers. Groupers cultivation should be developed due to its excellent economic value, and besides that it could lessen coral reef Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 31
destructions (Hanafi et al., 2002). Groupers cultivation in Indonesia included hatchery (producing seeds/juveniles), and raising fishes in basket net in sea (producing groupers for consumtion). Each of the two producing stages could be a stand alone business. The high demand to fresh Tiger groupers (Epinephelus fuscoguttatus) in international market (Hongkong, Singapore, Japan and China) had pushed dramatically the development of the home industry Tiger grouper hatchery firms in Bali, where its centre for productions located all along the coastal area in Gerokgak District, Buleleng Regency (about 1.200 grouper hatchery firms had been operating in this area). The successfulness of mass seeds/juveniles production here had extended positive impacts of increasing: non fuel export, labors absorption, incomes for coastal communities, and prevention to criminal action of environment damages in coastal area. In the Year 2007 the total product of Tiger grouper juveniles in Bali was 9.387.200 pieces (6.954.500 pieces were sold in domestic trading, and 2.432.700 pieces were exported). The total value of these juveniles trading was 11.264,64 millions rupiahs (The Fishes Quarantine Office-Ngurah Rai Denpasar, 2008). The research of Kardi (2007) clarified that the average juveniles production of 31 samples home industry Tiger grouper hatchery firms in dry season was 33.780 pieces per cyclus production (the time period from disseminating grouper eggs till juveniles harvest was ±50 days), with average grouper eggs dissemination of 420 thousands pieces or the sintasan level was 9,86% and coefficient of variance was 48,6% (high variously). Its average profit was Rp 6.150.000,- per cyclus production. According to the research of
Giri et al. (2006) at fishery experiment station in
Gerokgak, the average sintasan of Tiger grouper juveniles in dry season was 15,50%, and in wet season was 12,25% with average profit Rp 9.350.000,- per cyclus. The productivity of the home industry Tiger grouper hatchery firms in Gerokgak District were very variously and enough lower than the productivity at experiment station, as well as their profitability. This yield gap could be caused by some factors. According to Widodo (1989) higher production level is dependently on: behaviour and ability of farmers, inputs level applicated, socioeconomic factors (managerial ability, education, and farmer’s off-hatchery job) and climate (dry or wet season). Identification the role of these factors was expected to give some advantages in the efforts to enhance technical efficiency, price efficiency and economic efficiency of Tiger grouper Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 32
hatchery firms and to develope the firms. Therefore, this research was conducted with aims: (1) to analyze the technical efficiency among the Tiger grouper hatchery farmers; (2) to analyze the economic efficiency of the Tiger grouper hatchery firms; (3) to analyze cost and return (R/C) of the Tiger grouper hatchery firms; (4) to analyze socioeconomic factors influence the juveniles production of the hatchery firms; and (5) to obtain the optimum inputs combination for Tiger grouper hatchery firms. Each analysis was done for production in dry and wet season.
RESEARCH METHODS
Theoretical framework of input efficiency The comprehension of efficiency in producing is that efficiency is ratio output per input refers to achieve maximum output within a set of inputs, that the higher output ratio means the higher efficiency. Efficiency is the best usage inputs in producing product (Shone, Rinald in Susantun, 2000). Farrel (1957) distinguished efficiency into three, those: (1) technical efficiency, (2) alocative or Price efficiency, and (3) economic efficiency. Technical efficiency deals with input-output relationship. It is output per unit of input where inputs are aggregated in some manner. According to: Richmont (1974), Aigner et al. (1977) Battese and Corra (1977) and Collie (1955) in Zen et al. (2002), Frontier production function represents usage of technology extensively by companies in an industri. Model of frontier production function is proposed for measurement of technical efficiency in a company. The model can be written as: Y = f (Xi, ) exp i
(1)
Where is a set of estimated parameter. Xi is input, and i = vi + ui. The error is supposed negative and increasing due to intersection of normal distribution
with
average nol dan positive variance u2. This describe technical efficiency of a company. On the other word error vi assumed has normal distribution with average nol dan variance positive u2, that describing error of measurement interrelated with uncontrolled factors in relation with production.
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
33
Technical efficiency can be measured using parameter of ratio that given by as follow (Battese and Corra (1997) in Zen et al. (2002)): = (u2) /(2)
(2)
Where 2 = u2 + v2 and 0 1
(3)
Jondrow et al. (1982) in Zen et al. (2002) and Squires et al. (2003) noted condition of average ui and i as: E (uii) = (u v / ).{[f(i -1) / (1 – F(i -1 ))] - (i -1)}
(4)
Where i is a sum of vi and ui, = (u2 + v2)1/2 , is a ratio u/v , each f and F is standard normal density and distribution function that evaluated at i -1. The measurement of technical efficiency for each companies can be calculated with TEi = exp [E(uii)] , and so 0 TEi 1. According to Nicholson (1995) price efficiency is achieved when the ratio marginal value productivity per input price (NPMXi/PXi) or ki = 1. This condition requires NPMX equal with price of production factor X or it can be written as bYPy / X = PX
(5)
or bYPy / X PX = 1,
(6)
where PX = price of production factor X. Economic efficiency (EE) denotes a product of technical efficiency (TE) and price efficiency (PE) (Susantun, 2000). Hence economic efficiency can be achieved when both efficiencies are achieved, so it can be written as EE = TE.PE
(7)
Data and analytical methods This study utilized data from the intensive study conducted in 7 villages of grouper seeds/juveniles producing area in Gerokgak District, Bali. The main data collection were conducted with survey to 41 samples of hatchery firms in the 7 villages. On each of 41 Tiger grouper hatchery firms was measured: quantities of fixed inputs and variable inputs and production; inputs and production price; and socioeconomic factors (farmer’s managerial ability, education, and farmer’s off-hatchery job).
34
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Cobb-Douglas production function was choosed as functional relationship between Tiger grouper juveniles production and its variable inputs. The log normal form of its production function was as Ln Y = α + 1LnX1 + 2LnX2 + 3LnX3 + 4LnX4 + 5LnX5 + 6LnX6
(8)
Estimation of this production function used Maximum Likelihood Estimation (MLE) method in Software Frontier 4.1. Concerning socioeconomic factors (farmer’s managerial ability, education, and farmer’s off-hatchery job), the effect of these factors on juveniles production of Tiger grouper hatchery firms was analyzed with model Cobb-Douglas production function as: Ln Y = α + 1Ln X1 + 2Ln X2 + 3Ln X3 + 4Ln X4 + 5Ln X5 + 6Ln X6 + 7Ln X7 + 8Ln X8 + 9Ln eX9
(9)
Estimation of this function used Ordinary Least Square (OLS) method in Software SPSS 15
Table 1. Definition of operational variables for juveniles production function Variable
Code
Definition
Measurement scale
Production
LnY
Logarithm of juveniles production per cyclus
pieces
Grouper egg
Ln X1
Logarithm of Grouper eggs per cyclus
Thousand pieces
Pellet feed
Ln X2
Logarithm of pellet feed per cyclus
kg
Artemia
Ln X3
Logarithm of artemia per cyclus
can
Mysid shrimp
Ln X4
Logarithm of mysid shrimp per cyclus
sack
Rotifer
Ln X5
Logarithm of rotifer per cyclus
sack
Worker
Ln X6
Logarithm of workers per cyclus
men
Education
Ln X7
Logarithm of formal education
ordinal
Managerial ability
Ln X8
Logarithm of technical efficiency
-
Farmer’s off-hatchery job
X9
Farmer with or without off-hatcery job
Nominal (With =1; Without = 0)
RESULTS AND DISCUSSION
The technical efficiency of grouper juveniles production The average grouper juveniles production of 41 samples Tiger grouper hatchery firms in dry season was 59.791 pieces/cyclus production. They disseminated grouper eggs with average 571951 pieces, so these grouper hatchery firms only could produce Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 35
juveniles with average survival rate or sintasan 10,74% (lower than average sintasan at experiment station 15,5%). The result of frontier production function analysis on the grouper juveniles production in dry season (Table 2) indicated that factors pellet feed (X2), mysid shrimp (X4), rotifer (X5), and workers (X6) were significant. Among these factors, rotifer (X5) with negative regression coefficient indicated negative effect on juveniles production do to excessively utilization. Too more supply of rotifers impeded Nannochloropsis oculatas reproduction. Nannochloropsis oculatas were significant fitoplanktons as initial natural feed for well growing of grouper larvas . Therefore, the stunted Nannochloropsis oculata reproduction by excessively utilization of rotifers decreased the juveniles production. Here the hatchery farmers should controle the utilization of rotifers. On the contrary the factors pellet feed (X 2), mysid shrimp (X4), and workers (X6) with positive regression coefficients indicated that utilization of these factors could be increased to make more viable larvas to be juveniles (increasing sintasan).
Table 2.
The result of estimating frontier production function on the Tiger grouper juveniles production in dry season
Variable
Coeficient
t-ratio
Significance
Constant
8,31638
4.7887
0,00003*
LnX1 (Grouper egg)
0,25216
1.4201
0,16442ns
LnX2 (Pellet feed)
0,20063
2.5464
0,01544*
LnX3 (Artemia)
0,03609
0.2790
0,78189ns
LnX4 (Mysid shrimp)
0,18473
2.0166
0,05000*
LnX5 (Rotifer)
-0,62503
-3.1258
0,00355*
LnX6 (Workers)
0,37674
3.5169
0,00123*
Log likelihood
33,65936
Average technical efficiency (TE)
0.88903
Average technical inefficiency (1-TE)
0.11097
Return to scale (RTS)
0,42532
Informations:
36
Agrimeta,
*
= significant;
ns
= non significant
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
The description for technical efficiency and technical inefficiency of 41 samples Tiger grouper hatchery firms in dry season (Figure 1) depicted that the managerial ability among the hatchery farmers in acclimating technology to produce grouper juveniles was enough variously. The average technical efficiency (TE) of the grouper hatchery firms was 0,88903 (Table 2), with average actual production (QY) 59.791 pieces/farmer, but its average potential production (QQ) was 67.174 pieces/farmer. This case indicated that the actual juveniles production was lower than potential juveniles production, so it was very required some efforts to increase juveniles production. The average technical efficiency = 0,88903 was lower than 1 (one) yet, indicated that the technical efficiency among the Tiger hatchery farmers in dry season was not efficient, so it was possible to add the quantity of some inputs which allocated to increase juveniles production. The average technical inefficiency (1-TE) = 0,11097 indicated some failures to use hatchery equipments and to allocate some variable inputs in achieving maximum juveniles production. Figure 1.
The technical efficiency and technical inefficiency of 41 samples Tiger grouper hatchery firms in dry season
Technical efficiency/Inefficiency
1. 2 1 0.. 8
Tech efficiency
0.. 6
Tech
0.. 4
inefficiency
0.. 2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 91 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 0 1 2 3 4 5 6Hatchery 7 8 9 0 1farmer 23456789012345678901
The average juveniles production of the grouper hatchery firms in wet season was 56.558 pieces/cyclus production. They disseminated grouper eggs with average 560.975 pieces, so these they only could produce grouper juveniles with average Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 37
sintasan 10,42% (lower than average sintasan at experiment station 12,25%). The result of frontier production function analysis on the grouper juveniles production in wet season (Table 3) indicated that factors artemia (X3), mysid shrimp (X4), rotifer (X5), and workers (X6) were significant. Among these factors, mysid shrimp (X 4) with negative regression coefficient indicated negative effect on the juveniles production do to excessively utilization. Too more feed of mysid shrimps made defected digestion in grouper seeds. It was caused by complication in digesting shell of mysid shrimps, accumulation of these shells in digestion increased the mortality of the seeds. Here the hatchery farmers should controle the utilization of mysid shrimps. On the contrary, the factors artemia (X3), rotifer (X5) and workers (X6) with positive regression coefficients indicated that utilization of these factors could be increased to make increasing sintasan. The description for technical efficiency and technical inefficiency of 41 samples Tiger grouper hatchery firms in wet season (Figure 2) depicted that the managerial ability among the grouper hatchery farmers in acclimating technology to produce grouper juveniles in wet season was very variously and more variously than the managerial ability in dry season. The average technical efficiency (TE) of these 41 Tiger grouper hatchery firms was 0,72055, with average actual production (QY) 56.558 pieces/farmer, but its average potential production (QQ) was 78.390 pieces/farmer. This case indicated that the actual juveniles production was lower than potential juveniles production, so it was very required some efforts to increase juveniles production.
Table 3.
The result of estimating frontier production function for the Tiger grouper juveniles production in wet season
38
Variable
Coeficient
t-ratio
Significance
Constant
9.08944
10,2262
0,00000*
LnX1 (Grouper egg)
0.15507
1,3768
0,17732ns
LnX2 (Pellet feed)
0.16365
0,3556
0,72427ns
LnX3 (Artemia)
0.31655
1,7654
0,08622*
LnX4 (Mysid shrimp)
-0.65045
-2,2068
0,03398*
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
LnX5 (Rotifer)
0.51251
2,3534
0,02435*
LnX6 (Workers)
0.57042
6,1489
0,00000*
Log likelihood
4,36202
Average technical efficiency (TE)
0,72055
Average technical inefficiency (1-TE)
0,27945
Return to scale (RTS)
1,06775
Informations:
*
= significant;
ns
= non significant
The average technical efficiency (TE) = 0,72055 indicated that the technical efficiency of the Tiger hatchery firms in wet season was inefficient, so it was possible to add the quantity of some inputs which allocated to increase juveniles production. The average technical inefficiency (1-TE) = 0,27945 indicated some failures to use hatchery equipments and to allocate some variable inputs in achieving maximum juveniles production. This inefficiency was more seriously than inefficiency of production in dry season.
Figure 2. The technical efficiency and technical inefficiency of 41 sample grouper hatchery firms in wet season
1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2
efficiency/inefficiency
Technical efficiency/inefficiency
Tiger
Tech efficiency Tech inefficiency
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920212223242526272829303132333435363738394041 Hatchery farmerefficiency Price/allocative efficiency and economic
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
39
The result of allocative efficiency analysis for the grouper juveniles production in dry season (Table 4) indicated that the ratio marginal value productivity per input price for several inputs: grouper egg, pellet feed, mysid shrimp, and workers were lack of efficient (> 1), but inputs: artemia, and rotifer were not efficient (< 1). The average allocative efficiency of these 6 inputs (PE) was 1,554, and so the economic efficiency (EE = TE x PE) was 1,381 (not efficient). Therefore, to improve the total efficiency or to achieve economic efficient (production and profit closely to maximum level) for the home industry Tiger grouper hatchery firms in dry season, the allocation of the inputs: grouper egg, pellet feed, mysid shrimp, and workers should be increased, but allocation of the inputs: artemia, and rotifer should be decreased.
Table 4.
The price/allocative efficiency and economic efficiency of the Tiger grouper hatchery firms in dry season
Variabel
Regression Coeficient
Ratio NPMx /Px
Efficiency
LnX1 (Grouper egg)
0,25216
19,58213
PE
=
1,554
LnX2 (Pellet feed)
0,20063
11,62090
TE
=
0,889
LnX3 (Artemia)
0,03609
0,33313
EE
=
1,381
LnX4 (Mysid shrimp)
0,18473
3,57054
LnX5 (Rotifer)
-0,62503
-28,85790
LnX6 (Workers)
0,37674
3,07536
The result of allocative efficiency analysis for grouper juveniles production in wet season (Table 5) indicated that the ratio marginal value productivity per input price for several inputs: grouper egg, pellet feed, artemia, rotifer and workers were lack of efficient (> 1), but input mysid shrimp was not efficient (< 1). The average allocative efficiency of these 6 inputs (PE) was 6,469, and so the economic efficiency (EE = TE x PE) was 4,661 (not efficient).
Therefore, to improve the total efficiency or to
achieve economic efficient in wet season, the allocation: grouper egg, pellet feed, 40
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
rotifer and workers should be increased, but the allocation of the input mysid shrimp should be decreased.
Table 5. Price/allocative efficiency and economic efficiency of Tiger grouper hatchery firms in wet season
Variabel
Regression
Ratio NPMx /Px
Efficiency
Coeficient LnX1 (Grouper egg)
0,15507
11,61410
EH
=
6,469
LnX2 (Pellet feed)
0,16365
8,53220
ET
=
0,720
LnX3 (Artemia)
0,31655
2,84428
EE
=
4,661
LnX4 (Mysid shrimp)
-0,65045
-12,24290
LnX5 (Rotifer)
0,51251
23,66714
LnX6 (Workers)
0,57042
4,40462
The cost and return of the Tiger grouper hatchery firms
The average return of 41 samples Tiger grouper hatchery firms in dry season was Rp 77.728.585,-. Its average cost was Rp 42.011.476,-, so the average profit of the firms was Rp 35.717.110,-/cyclus production, with standard deviation Rp 12.273.513,/cyclus production or the coefficient of variance was 34,36% (not so much variously). The whole process of Tiger grouper hatchery firm for one cyclus production (from preparation for hatchery means and equipments till crop and packaging) needed time 4 (four) months, so the average profit per month was Rp 8.929.000,-. The average return in wet season was Rp 73.525.780,-. Its average cost was Rp 41.230.784,-, so the average profit of the firms was Rp 32.294.996,-/cyclus production, with standard deviation Rp 17.804.839,-/cyclus production or the coefficient of variance was 55,13% (enough variously), so the average profit per month was Rp 8.073.750,-.
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
41
The effect of socioeconomic factors on the grouper juveniles production
The effect of the factor managerial ability of the hatchery farmers was very significant on the grouper juveniles production in dry season, but the factors formal education and farmer’s off-hatchery job were not significant.
Eventhough some
hatchery farmers had low education (SD or SMP) and they had off-hatchery jobs, but these two cases not caused the juveniles production in low quantity due to not bad their managerial ability.
The managerial ability was very dominant to determine the
successfulness to produce juveniles in high productivity, which was indicated by its coefficient elasticity 1,265 (>1). Management for hatchery firm denoted as the ability of a farmer to determine, to organize and to coordinate inputs application as efficient as possible. The measurement for the success of this firm management was productivity per input or productivity of the firm. The gist of this matter, a hatchery farmer was not only as a worker but also as manager to order organization of producing juveniles in totality manner. The effect of factors managerial ability and formal eduction were very significant on the grouper juveniles production in wet season, but the factor farmer’s off-hatchery job were not significant. The running of hatchery firm in wet season was rather more intricated than the running in dry season, due to the declining quality of the coastal watter (purity, plankton riches, sterility from pathogen) during the wet season. So the capability to analyze of the farmers with higher formal education influenced the higher juveniles production.
Optimum inputs combination for Tiger grouper hatchery firm
From all appearances the grouper hatchery practices were different only among farmers not among hatchery locations or hatchery techniques. Therefore, the point of optimum inputs combination here was projected from the graph of the sum technical efficiency plus profit hatchery firm (per Rp 100.000.000,-) possessed by each of 41 hatchery farmers. The result were presented in the Appendices. The highest sum of technical efficiency plus profit hatchery firm for the juveniles production in dry season was 1,596 which achieved by the hatchery farmer Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 42
number 15. The empirical data of the farmer number 15 that he applicated inputs combination of XD = (X1 ; X2 ; X3 ; X4; X5 ; X6) = (750.000; 6; 40; 660; 61; 5), and so the optimum inputs combination for the Tiger grouper hatchery firm in dry season were: grouper eggs = 750 thousands pieces; pellet feed = 6 kg; artemia = 40 cans; mysid shrimp = 660 sacks; rotifer = 61 sacks; and workers = 5 men. In the same manner the highest value in wet season was 1,714 which achieved by the farmer number 13. This farmer applicated inputs combination of XW =
(X1;
X2; X3; X4; X5; X6) = (500.000; 6; 21; 210; 46; 3), and so the optimum inputs combination in wet season were: grouper eggs = 500 thousands pieces; pellet feed = 6 kg; artemia = 21 cans; mysid shrimp = 210 sacks; rotifer = 46 sacks; and workers = 3 men.
Implication
The analysis of marinecultural production especially for grouper hatchery production had become an important step in the formulation of marinecultural policy. It was an internal part of the development policy making because of the strategic position of grouper hatcheries to push the development of raising groupers companies and to alleviate the poor of the coastal communities. The policy objective was often to identify the possibilities for increasing output, while conserving some resource uses, particularly under development policy which emphasizes sustainable marine resources and cultivation with secure fishes product. Concerning the developing home industry Tiger grouper hatchery firms, the excessively allocation of inputs artemia and rotifer in the Tiger grouper hatchery firms in dry season should be changed to increase the allocation of the inputs pellet feed, mysid shrimp, and workers, while for the excessively allocation of the input mysid shrimp in wet season should be changed to increase the allocation of the inputs pellet feed, artemia, and workers. The hatchery farmers whose production capacity of disseminating Tiger grouper eggs about 750 thousands pieces in dry season should allocate pellet feed = 6,0 kg, artemia = 40 cans, mysid shrimp = 660 sacks, rotifer = 61 sacks, and worker = 5 men. The hatchery farmers who had production capacity of disseminating Tiger grouper eggs about 500 thousands pieces in wet season should Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 43
allocate pellet feed = 6,0 kg, artemia = 21 cans, mysid shrimp = 210 sacks, rotifer = 46 sacks, and workers = 3 men. The local governments in cooperating with finance institutions or banks should prepare soft loan to new hatchery doers whose human capital to run hatchery firm was sufficient. As well as to prepare adroit back-yard hatchery workers through education and training to the local human resources in coastal communities in Bali.
References
The Fishes Quarantine Office-Ngurah Rai Denpasar, 2008. Statistik Produksi Benih Ikan Kerapu di Bali yang Diperdagangkan Antar Pulau dan Diekspor Tahun 2004-2007. Denpasar: The Fishes Quarantine Office-Ngurah Rai. Farrel, M.J., 1957. “The Measurement of Productive Efficiency”. Journal of The Royal Statistical Society, Series A, Part 3, 120: 253-581. Giri, N.A., K. Suwirya, dan M. Marzuqi, 2006. Pembenihan Ikan Kerapu Macan Gerokgak: Balai Besar Riset Perikanan dan Budidaya Laut Gondol. Hanafi, A., Awal Subandar, dan Kris Sunarto, 2002. Urgensi Kajian Lingkungandan Tata Ruang Kawasan Pesisir dalam Mendukung Pengembangan
Budidaya
Kerapu Berkelanjutan. Jakarta: Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Budidaya Pertanian, BPPT. Kardi, C., 2007. Strategi Memaksimumkan Profit Usaha Pembenihan Ikan Kerapu Macan melalui Pengendalian Input dan Produksi di Kecamatan
Gerokgak.
Gerokgak: BBRPBL Gondol Nicholson, W., 1995. Teori Mikro Ekonomi. Prinsip Dasar dan Perluasan.
Edisi
Kelima. Terjemahan: Daniel Wirajya. Jakarta: Binarupa Aksara. Panayotou, T., 1985. Production Technology and Economic Efficiency. A Conceptual Framework. (ed. T. Panayotou) Small-scale fisheries in Asia. Ottawa, Canada: IDRC. Pappas, J.L. and Mark Hirschey, 1993. Managerial Economics. Orlando-Florida: Harcourt Brace College Publishers. Squires, D.; I.H. Omar; Yongli Jeon; K. Kuperan; and Indah Susilowati, 2003. “Exces 44
Capacity and Sustainable Development in Java Sea Fisheries”. Environment Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
and Development Economics 8: 105-127. Cambridge University Press: United Kingdom. Susantun, I., 2000. “Fungsi Keuntungan Cobb-Douglas dalam Pendugaan Efisiensi Ekonomi Relatif”. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 21(2), 149-161. Sutanto, H.A. dan Indah Susilowati, 2006. “Analisis Efisiensi Alat Tangkap Gillnet di Kabupaten
Pemalang Jawa Tengah”. Jurnal Ekobis. 7(1), 1-16.
Viswanathan; I.H. Omar; Yongli Jeon; K. Kuperan; James Kirkley; Dale Squires; and Indah Susilowati, 2001. “Fishing Skill in Developing Country
Fisheries:
The Kedah Malaysia Trawl Fishery”. Marine Resource Ekonomics. 16 (4). Widodo, S.
1989.
Production Efficiency of Rice Farmers in Java Indonesia.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Zen et al., 2002. “Technical Efficiency of The Drifnet and Payang Seine (Lampara) Fisheries in West Sumatra, Indonesia”. Journal of Asian
Fisheries
Science.
15, 97-106.
Appendices The Graphs for technical efficiency; profit ; and sum of technical efficiency plus profit of the juveniles production in dry season
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
45
1.8
1.4 1.2 Profit+TE
1
TE 0.8
Profit
0.6 0.4
E
Profit/TE/Profit+TE
1.6
0.2 0 1
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41
Hatchery farmer
The Graphs for technical efficiency; profit ; and sum of technical efficiency plus profit of the juveniles production in wet season 2 1.8
Profit/TE/Profit +TE
1.6 1.4 1.2
Profit + TE TE Profit
1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41
Hatchery farmer
KONTRIBUSI KEARIFAN LOKAL TERHADAP KONSERVASI LAHAN KRITIS
46
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Oleh I MADE TAMBA
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) mengetahui penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah; dan 2) mengetahui kontribusi kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah. Populasi penelitian ini adalah seluruh petani yang ada diwilayah Desa Batur Tengah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode quota sampling, yaitu sebanyak 30 orang petani yang tergabung dalam kelompok tani dan 30 orang petani yang tidak tergabung dalam kelompok tani Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1) Penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah berada dalam kategori baik. 2) Kontribusi penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah berada dalam kategori cukup tinggi. 3) Faktor pendukung penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah adalah faktor dukungan masyarakat, pemerintah, pengamalan warga terhadap falsafah Tri Hita Karana dan landasan operasional “paras paros selulung subayantaka sarpanaya”. 4) Faktor penghambat penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah adalah hambatan ekonomi, teknologi, kelembagaan dan hambatan fisik. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut. Kepada warga masyarakat agar meningkatkan kualitas penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis sehingga kontribusi penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis menjadi lebih tinggi Kepada Bendesa adat agar melaksanakan kearifan local secara lebih bijaksana. Kepada Pemerintah Daerah melalui Camat Kintamani agar lebih intensif memantau penerapan kearifan local dalam konservasi lahan kritis. PENDAHULUAN
Latar Belakang Sumber daya hutan dan lahan sebagai sumber kekayaan alam yang penting untuk suatu kehidupan, perlu dikelola dengan baik agar bermanfaat bagi masyarakat dengan tetap menjaga kelangsungan fungsi dan kemampuannya.
Pendayagunaan
dilakukan secara rasional disertai upaya pelestarian sebagai perwujudan dari pembangunan berwawasan lingkungan dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas. Sehubungan dengan hal itu, pengelolaan dan pengembangannya diarahkan untuk mempertahankan keberadaan dan keseimbangan yang dinamis melalui berbagai usaha perlindungan, rehabilitasi dan pemeliharaan. Hal itu dimaksudkan agar pemanfaatan Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
47
sumber daya alam, utamanya hutan dan lahan tidak menimbulkan gangguan terhadap ekosistem, yang antara lain mengakibatkan terjadinya lahan kritis. Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif lagi untuk mendatangkan hasil atau dapat dikatakan lahan itu kurang sekali manfaatnya bagi lingkungan hidup, sehingga kerugian yang diakibatkan oleh lahan kritis dapat bersifat individual maupun massal. Petani yang tidak dapat bercocok tanam karena lahannya gersang, selain penghasilannya berkurang, pengeluarannya bertambah banyak untuk merehabilitasikan lahannya yang tidak produktif. Lahan kritis dapat terjadi baik di luar kawasan hutan maupun di dalam kawasan hutan. Oleh karenanya, fungsi sumberdaya alam seperti lahan perlu dilestarikan agar dapat memberikan manfaat yang optimal. Propinsi Bali terdiri dari 8 (delapan) kabupaten dan 1 (satu) kota mempunyai luas wilayah keseluruhan 5.632,86 Km2 dengan lahan kritis seluas 307.035 Ha dan dari luasan lahan kritis tersebut 127.706 ha berada didalam kawasan hutan. Pelaksanaan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) pada Daerah Aliran Sungai (DAS) di Bali sampai lima tahun terakhir telah berhasil dilaksanakan dalam bentuk reboisasi seluas 825 ha. Pembuatan hutan rakyat seluas 2.334,4 ha dan rehabilitasi teras 2.390 ha (Departemen Kehutanan, 2006). Namun kenyataannya kerusakan lahan (lahan kritis) khususnya di daerah DAS ada kecendrungan semakin meningkat (0,089% per tahun). Pada tahun 2002 lahan kritis mencapai luasan 286.938 ha yaitu 107.422 ha dalam kawasan hutan dan 179.496 ha di luar kawasan hutan. Pada tahun 2005 meningkat 1.275 ha menjadi 287.213 ha yaitu di dalam kawasan hutan 107.442 ha dan 179.771 ha di luar kawasan hutan. Rendahnya tingkat keberhasilan usaha rehabilatiasi dan konservasi tanah yang telah dilakukan tersebut (hanya 350 ha dari 825 ha lahan yang direhabilitasi) disebabkan dalam pelaksanaan rehabilitasi mengalami kendala seperti :(1) anggaran yang tersedia untuk pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah sangat terbatas, sehinga kegiatan yang dilakukan hanya berupa bantuan bibit kepada masyarakat
dan tanpa pembuatan teras sesuai kaidah konservasi, tetapi hanya
memanfaatkan teras yang telah dimiliki masyarakat, serta waktu penanaman yang kurang memperhatikan curah hujan sehingga persentase tumbuh tanaman konservasi rendah (< 50%), (2) pelaksanaan kegiatan waktunya terlalu pendek sehingga dalam tahapan pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan jadwal, (3) dalam memilih lokasi Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 48
kegiatan tidak memperhatikan spesifik lokal, karakteristik dari wilayah seperti biofisik, sosial ekonomi masyarakat dan potensi yang ada, dan (4) pemilihan tanaman untuk kegiatan tidak sesuai dengan kesesuaian tempat tumbuh dari tanaman yang akan dikembangkan sehingga sangat mempengaruhi persentase tumbuh tanaman. Upaya penanganan lahan kritis di Propinsi Bali sudah dilakukan melalui kegiatan Reboisasi dan Penghijauan, namun hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan, dan bahkan akhir-akhir ini pertambahan lahan kritis cenderung meningkat. Salah satu indikatornya yaitu fluktuasi aliran sungai yang kontras, distribusi air yang tidak merata sepanjang tahun dan tingginya kandungan sidementasi Jika dicermati, masyarakat Bali sesungguhnya telah memiliki kearifan lokal untuk menjaga keberadaan lingkungan. Ada penghormatan terhadap lingkungan yang dibuktikan dengan adanya konsep Tri Hita Karana, Tri Angga (Kepala, badan dan kaki), Tri Mandala (utama, madya, nista), Tat Twam Asi, Tumpek Bubuh, Tumpek Uduh, dan Tumpek Kandang. Namun sayangnya dalam kehidupan kini, kearipan lokal bali tersebut sepertinya dipertanyakan kontribusinya terhadap pelestarian lingkungan termasuk konservasi lahan kritis. Tingkat kerusakan hutan tinggi akibat illegal logging dapat menjadi salah satu contohnya. Begitu juga halnya banyak lahan-lahan kritis yang muncul akibat dari eksploitasi atau pemanfaatan oleh manusia yang berlebihan tanpa memperhatikan etika lingkungan sehingga terjadi degradasi lahan yang cukup serius.
Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah ? 2. Bagaimana kontribusi kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah ?
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah. Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
49
2. Untuk mengetahui kontribusi kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah.
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Batur Tengah. Lokasi penelitian ini dipilih secara purposive dengan dasar pertimbangan bahwa (1) Desa Batur Tengah merupakan salah satu lokasi dari beberapa lokasi diadakannya kegiatan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah di Kabupaten Bangli. (2) Dalam konservasi lahan kritis masyarakat Desa Batur Tengah berpedoman pada aspek-aspek kearifan lokal.
Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah seluruh petani yang ada diwilayah Desa Batur Tengah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode quota sampling, yaitu sebanyak 30 orang petani yang tergabung dalam kelompok tani dan 30 orang petani yang tidak tergabung dalam kelompok tani.
Metode Pengumpulan Data Data dikumpulkan dalam penelitian ini ada 2 (dua), yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer merupakan data yang diproleh dengan cara survey atau
wawancara langsung dengan
petani responden yang berpedoman pada daftar
pertanyaan (kuisioner) yang telah disusun sebelumnya sebanyak 25 pertanyaan. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari instansi atau lembaga terkait yang berhubungan dengan topik penelitian.
Analisis Data Penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sedangkan kontribusi penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis dianalisis secara deskriptif kuantitatif dengan menggunakan skala 3 (tiga).
50
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penerapan Kearipan Lokal Dalam Konservasi Lahan Kritis Konsepsi Tri Hita Karana telah mengajarkan masyarakat Bali untuk memelihara dan berpegang pada nilai keseimbangan, keberlanjutan, keteladanan dan toleransi, sehingga kehidupan di alam dapat terjaga. Upaya untuk menjaga adanya keseimbangan harus terus digelorakan menuju kualitas kehidupan yang lebih baik. Keseimbangan dalam konteks kearifan local yang merujuk pada Budaya Bali harus dipahami dari konsep skala-niskala . Dalam melaksanakan konservasi lahan kritis masyarakat Desa Batur Tengah tidak hanya memperhatikan aspek skala namun juga memiliki keyakinan yang kuat terhadap aspek niskala. Responden melakukan penanaman pohon tidak semata ingin mendapatkan imbalan secara skala tetapi juga secara niskala. Penerapan kearifan local dalam konservasi lahan kritis dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1) Penancapan ranting pohon pada pangkal pohon yang ditebang pada setiap penebangan pohon mengandung makna bahwa setiap penebangan pohon harus disertai upaya penanaman kembali untuk mengganti pohon yang ditebang. Disini nilai keberlanjutan sangat kasat mata untuk memelihara keseimbangan alam. Satu tindakan yang arif dan bijaksana mengandung nilai yang berganda baik bagi keberlanjutan maupun keseimbangan alam. Bagi masyarakat Desa Batur Tengah tindakan ini sepenuhnya dilakukan dalam aktivitas kesehariannya. Hal ini terlihat jelas, karena anggota kelompok wira usaha secara berkesinambungan melakukan usaha pembibitan tanaman hutan. Tidak sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan bibit tanaman hutan yang digunakan sebagai pengganti tanaman yang telah ada, karena bibit tanaman hutan tersedia sepanjang tahun. Hal ini terjadi karena Kelompok Tani Wira Usaha telah menjadikan usaha pembibitan tanaman hutan generating
bagi
kelompoknya.
Penanaman
sebagai salah satu income pohon
hari
ini
dapat
diinterpretasikan sebagai tabungan bagi generasi mendatang. Karena pohon yang baru ditanam akan memberikan manfaat besar beberapa tahun yang akan datang dan dapat dinikmati oleh generasi penerus. Budaya menanam kembali Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 51
pada setiap penebangan pohon telah terinternalisasikan dalam masyarakat Desa Batur Tengah. Menurut penuturan responden, tidak ada masyarakat yang secara terpaksa atau dipaksa untuk menanam pohon. Kesadaran menanam pohon terlahir dari relung hati masyarakat yang secara kebetulan mereka berada pada daerah yang memiliki lahan kritis. 2) Penebangan pohon yang didasarkan atas hari baik. Hal ini mengandung makna bahwa penebangan pohon harus dilakukan secara beraturan atau tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Hari-hari menebang pohon tidak boleh secara acak. Dalam kehidupan masyarakat Desa Batur Tengah terdapat suatu pandangan kosmis dimana manusia merasakan dirinya hanya sebagai unsure kecil saja yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha besar. Pandangan kosmos mendasari hubungan harmonis antara makrokosmos dengan mikrokosmos guna mewujudkan ketentraman bathin dalam kehidupan. Sesuai dengan sifat kehidupan sosioreligius masyarakat Hindu maka penduduk Desa Batur Tengah selalu merujuk pada
penggunaan “dewasa” dalam
kehidupannya. Kata “dewasa” adalah bahasa Sansekerta yang artinya sorga, langit, hari. Jadi dewasa artinya hari pilihan atau hari baik. Dalam perkembangan selanjutnya diinterpretasikan bahwa “dewasa” adalah pemilihan hari baik untuk menuju jalan yang mulia berdasarkan peredaran benda benda langit di ruang angkasa. Memilih hari baik, tidak akan sempurna adanya, namun ada saja kekurangannya. Masyarakat Desa Batur Tengah percaya bahwa jika dalam perhitungan sudah didapat lebih banyak nilai baik, berarti sudah bisa dijadikan dewasa. Untuk menyempurnakan dan mentralisir hal-hal yang buruk, maka masyarakat setempat melakukan upacara “pamarisudan halaning dewasa”. Kenyataan ini memberi makna bahwa masyarakat Desa Batur Tengah sangat mengapresiasi hari baik untuk melakukan aktivitas menebang pohon. Dengan demikian penebangan pohon tidak dilakukan secara semena-mena yang berarti bahwa tindakan tersebut mengandung muatan konservasi. Karena sesungguhnya tindakan konservasi lahan kritis tidak diartikan sebagai tindakan yang sama sekali nihil terhadap tindakan penebangan pohon. Sumber daya hutan boleh saja ditebang namun harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhatikan 52
unsure waktu dan disertai upaya nyata penanaman kembali sebagai pengganti Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
pohon yang ditebang. Disini nampak unsure kearifan local penduduk Desa Batur Tengah, yang berupaya menjadikan dusun dan daerah sekitarnya sebagai kawasan yang tidak lagi terperangkap dalam label daerah lahan kritis. Khusus untuk menebang bambu masyarakat setempat tidak berkenan melakukannya pada hari Minggu. Para Tetua Masyarakat Desa Batur Tengah memiliki pengalaman panjang berkenaan dengan keberadaan tanaman bambu, sehingga mereka sampai pada kesimpulan praktis yang mengandung muatan konservasi lahan, yaitu pohon bambu tidak boleh ditebang pada hari Minggu. Suatu kenyataan yang kasat mata akan terjadi bila pohon bambu ditebang pada hari Minggu, yakni beberapa bulan kemudian pohon bambu yang masih tertinggal pada rumpun tersebut akan mengeluarkan bunga. Keluarnya bunga pada pohon bambu menandakan bahwa rumpun bambu tersebut akan segera mati. Oleh karena itu, maka masyarakat Desa Batur Tengah telah mengapresiasi fakta tersebut dengan tidak melakukan penebangan bambu pada hari Minggu. Dengan demikian muatan konservasi lahan kritis telah
melekat pada perilaku
masyarakat Desa Batur Tengah. 3) Penanaman pohon dilakukan berdasarkan hari baik. Bagi masyarakat Desa Batur Tengah, menanam pohon dilakukan pada hari baik mengandung makna bahwa penanaman pohon disamping memilih hari baik juga memperhatikan musim hujan. Walaupun ada hari baik untuk menanam pohon, tetapi tidak bersamaan dengan musim hujan, maka penanaman pohon tidak dilakukan. Jadi penanaman pohon hanya dilakukan pada hari baik yang jatuh pada musim hujan. Penanaman pohonpun dilakukan dengan memperhatikan kemiringan lahan. Jika lahannya miring maka dilakukan terasering. Dengan demikian masyarakat Desa Batur Tengah telah mengapresiasi aspek teknis dan non teknis dalam melakukan konservasi lahan kritis. 4) Pelaksanaan upacara Tumpek Bubuh secara khidmat. Lingkungan hidup sebagai sumber kesejahteraan hidup manusia menjadi kewajiban manusia untuk memeliharanya. Untuk itu hendaknya diupayakan adanya perilaku untuk mensejahterakan alam dan isinya. Usaha untuk melestarikan alam dan isinya telah menjadi kewajiban manusia sebagaimana diisyaratkan di dalam rgveda VI.48.17 dan Yayurveda VI.22 : “Janganlah menebang pohon-pohon itu, karena Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 53
mereka menyingkirkan pencemaran. Janganlah mencemari air dan janganlah menyakiti atau menebang pohon-pohon itu”. Perilaku masyarakat Bubung Kelambu untuk memelihara dan melestarikan alam lingkungan dengan menyelamatkan semua yang hidup di sekitar lingkungannya diwujud nyatakan dengan melestarikan hutan lindung, menebang pohon secara bijaksana, menanam pohon pelindung dan pohon yang bermanfaat bagi kehidupannya, baik untuk kepentingan pembangunan fisik maupun untuk kepentingan upacara adapt dan keagamaan. Pemeliharaan terhadap kelestarian lingkungan dimaknai sebagai
satu tatanan perilaku dalam mewujudkan “Moksartam jagadhita”.
Idealisme yang ditunjukkan dalam berbagai sastra suci Weda dan sebagaimana diungkapkan di dalam Lontar Purana Bali (dalam Wiana, 2002) bahwa di dalam memelihara dan melestarikan kehidupan alam, agar berpegang pada Sad Kerta diantaranya Samudra Kerti, Wana Kerti, dan Danu Kerti yang bermakna upaya untuk memelihara kelestarian hutan, samudra dan danau sebagai sumber air telah diupayakan untuk diwujud nyatakan oleh masyarakat Bubung Kelambu. Masyarakat Desa Batur Tengah di dalam memelihara pelestarian alam disertai dengan upacara ritual keagamaan seperti pelaksanaan Rerahinan Tumpek Bubuh (atau juga disebut Tumpek Penguduh, Tumpek Wuduh,, Tumpek Wariga-Pengatag) secara khidmat. 5) Konservasi lahan kritis dituangkan dalam Peraturan Banjar. Bagi masyarakat Desa Batur Tengah peraturan banjar merupakan wahana untuk mewujudkan keharmonisan
hubungan
antar
anggota
banjar.
Untuk
mewujudkan
kemarmonisan hubungan, maka harus ada ketaatan dari anggotanya untuk mematuhi aturan tersebut. Namun bagi anggota masyarakat Bubung Kelambu, aturan tersebut tidak menjadi penghalang untuk melakukan aktivitas, karena mereka terbiasa melakukan aktivitas secara normative. Oleh karena itu peraturan tidak dirasakan sebagai sesuatu yang membatasui aktivitasnya, karena aktivitas yang dilakukan berada pada ranah normative. Masyarakat beranggapan bahwa ada atau tanpa peraturan yang berkaitan dengan konservasi lahan kritis, perilakunya tetap seperti demikian. 6) Kegiatan konservasi lahan kritis dianggap sebagai yadnya. Menjadi kewajiban 54
bagi masyarakat Desa Batur Tengah untuk melaksanakan aktivitas konservasi Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
lahan kritis disertai dengan kegiatan yadnya. Yadnya sebagai pusat terciptanya dan terpeliharanya alam semesta dan segala isinya. Tuhan menciptakan yadnya sebagai dasar kehidupan semua mahluk ciptaanNya. Oleh karena itu untuk melakukan harmonisasi hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya dilakukan aktivitas yadnya. Kesejahteraan sesungguhnya merupakan hak hakiki semua mahluk, dan kesejahteraan tersebut akan dapat diwujudkan jika ajaran agama dilaksanakan dengan baik. Yadnya yang dilakukan memberikan vibrasi terpadu yang efek multipliernya sangat besar terutama pada aspek kesejahteraan masyarakat. 7) Kegiatan konservasi lahan kritis menciptakan hubungan antar warga yang lebih harmonis. Harmonisasi hubungan antar warga menjadi sangat penting ditengah gejolak pergaulan antar dan antara banjar yang acapkali memanas. Toleransi antar sesama sangat penting untuk diresapi agar tidak menimbulkan perpecahan yang terkadang disebabkan oleh masalah sepele. Melalui ketentraman suasana lingkungan sebagai pencerminan dari pelaksanaan konservasi lahan kritis akan terlahir harmonisasi hubungan antar sesama warga dan bahkan pada tataran yang lebih luas. Keberhasilan konservasi lahan kritis memberikan vibrasi yang besar terhadap pencitraan suasana hati para warga masyarakat. Rasa kedamaian yang menghiasi kehidupan hari-hari
warga masyarakat, maka yang
bersangkutan akan mampu mengelola suasana hatinya secara bijaksana. Orang bijak mengatakan bahwa kebijakan harus teruji pada situasi kritis. Kalau dalam situasi yang bersifat kritis (dalam konteks lahan kritis) orang mampu mengelola suasana hatinya secara bijaksana, maka orang tersebut telah layak dikatakan bijaksana. Tindakannya tidak terperangkap pada perbuatan yang bersifat kontraproduktif (misalnya merusak hutan). Harmonisasi hubungan antar warga menjadi prioritas bagi warga Desa Batur Tengah, sehingga kegiatan konservasi lahan kritis tidak terkendala oleh perilaku keseharian warga dusun. 8) Pemeliharaan kelestarian hutan merupakan jembatan menuju sorga. Sorga bagi masyarakat Bubung Kelambu dimaknai sebagai suatu keadaan yang tentram, damai, dan sejahtera. Jika hutan lestari berarti sumber air akan terpelihara, kesuburan lahan akan terjaga, yang berdampak positif terhadap eksistensi usaha tani maupun ternak dan akhirnya bermuara pada meningkatnya kesejahteraan Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 55
masyarakat. Upaya masyarakat Desa Batur Tengah untuk memelihara kelestarian hutan telah dilakukan secara
berkesinambungan.
Menurut
responden, tidak pernah dijumpai adanya kasus warga Desa Batur Tengah yang melakukan illegal logging. Jangankan menebang pohon yang berada pada kawasan konservasi lahan kritis, menebang pohon yang berada di lahan miliknya sendiri selalu melakukan koordinasi dengan keluarga dengan memilih hari baik. Oleh karena itu, pemeliharaan kelestarian hutan telah dijadikan aktivitas keseharian warga Desa Batur Tengah, yang mana hal ini terbukti dari keberadaan vegetasi di daerah ini yang kerapatannya semakin meningkat. Hasil analisis terhadap jawaban responden dalam penerapan kearifan lokal untuk konservasi lahan kritis
menunjukkan bahwa sebagian besar (63,33%) responden
berada dalam kategori penerapan kearifan lokal yang tinggi. Tidak ada responden yang penerapan kearifan lokalnya berada dalam kategori rendah. Hanya sebesar 36,67% responden yang berada dalam kategori cukup tinggi dalam hal penerapan kearifan lokal. Hal ini member makna bahwa penerapan kearifan lokal telah dijadikan pengawal perilaku responden di Desa Batur Tengah. Dalam kehidupan sehari-hari responden berpegang pada perilaku normatif yang telah membudaya pada masyarakat Desa Batur Tengah. Menurut pengakuan responden, ada perasaan berdosa apabila mereka melakukan perbuatan yang bertentangan atau bersebrangan dengan perilaku normatif. Dengan demikian perilaku normatif pada masyarakat Desa Batur Tengah telah melembaga secara permanen dan menjadi rujukan semua warganya. Pantang bagi warga masyarakat untuk berperilaku menyimpang. Kelembagaan masyarakat Desa Batur Tengah telah diyakini mampu memberikan insentif ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan warganya. Kelembagaan yang ada telah memiliki roh yang kuat yang tercermin dari tingkat keberdayaan masyarakat menghadapi tantangan perkembangan global.
Kontribusi Kearifan Lokal terhadap Konservasi Lahan Kritis Penerapan kearifan local dinilai oleh warga Desa Batur Tengah memberikan dampak positif terhadap upaya konservasi lahan kritis. Tradisi-tradisi yang melandasi perilaku masyarakat untuk memperbaiki kualitas lingkungan tetap dipelihara. Terlebih lagi tradisi-tradisi tersebut tidak memerlukan penafsiran kembali untuk penerapannya. Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 56
Tidak ada tradisi yang bersifat menalar yang sakral. Tidak ada satupun responden yang memberikan jawaban bahwa penerapan kearifan local tidak efektif. Sebagian besar responden menyatakan bahwa penerapan kearifan local cukup efektif dalam melakukan konservasi lahan kritis. Secara visual dapat diamati bahwa kondisi lingkungan di Desa Batur Tengah menampakkan panorama yang semakin membaik. Luas areal lahan kritis semakin berkurang, kondisi lahan semakin hijau dengan kepadatan vegetasi semakin meningkat. Sebagian besar responden menyatakan bahwa penanaman pohon pada hari baik memperlihatkan hasil yang lebih baik. Tradisi memilih hari baik untuk melakukan penanaman pohon telah menjadi pegangan hidup masyarakat Desa Batur Tengah. Secara nyata perbuatan ini telah teruji di lapangan. Pohon yang ditanam pada hari baik biasanya terhindar dari gangguan ternak, hama dan penyakit bahkan tindakan warga masyarakat yang berperilaku menyimpang. Seolah tanaman tersebut terlindung dari bencana yang kerap terjadi secara sporadic. Ada kekuatan yang tidak nampak atau ada semacam invisible hand yang melindungi tanaman tersebut. Pertumbuhan pohonpun menampakkan laju yang lebih baik. Fenomena ini telah dikenali oleh masyarakat secara komprehensif dan telah dikomunikasikan kepada generasi penerusnya untuk selalu diamalkan dalam kehidupan dimasa mendatang. Para tetua yang mahir wariga dengan penuh kesabaran hati mentransmisikan pengetahuannya kepada anak cucunya. Bahkan ada sejumlah generasi muda Desa Batur Tengah yang mencoba mendokumentasikan metode pemilihan hari baik berdasarkan perhitungan wariga yang berbasis teknologi informasi. Penebangan pohon pada hari baik dipersepsikan oleh respoden menampakan hasil yang lebih baik. Sebagian besar responden menyatakan bahwa penebangan pohon pada hari baik memperlihatkan hasil yang lebih baik. Menurut responden kayu yang ditebang pada hari baik yang kemudian digunakan untuk bahan bangunan tidak cepat rusak. Ada responden yang menyatakan berdasarkan pada pengalamannya bahwa kayu yang ditebang pada hari baik terhindar dari gangguan rayap, walaupun kayu tersebut tidak diberikan perlakuan khusus agar tahan terhadap serangan rayap. Walaupun hal ini masih memerlukan kajian lebih lanjut, namun responden merasakan manfaat yang sangat signifikan ketika mereka menggunakan hari baik untuk menebang pohon Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
57
terutama yang akan dijadikan bahan bangunan, baik rumah tempat tinggal maupun bangunan tempat suci. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis berada dalam kategori cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari persentase pencapaian skor terhadap skor maksimal yang mencapai 68,73 %. Secara kuantitatif sebagian besar responden berada dalam kaegori cukup tinggi dalam hal kontribusi penerapan konservasi lahan kritis. Pada tataran persepsi responden, kontribusi penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis cukup baik. Derajat ketepatan penerapan kearifan lokal disinyalir berdampak pada besaran kontribusinya, sehingga pada tingkat penerapan yang relatif terarah mengakibatkan kontribusi yang relative lebih baik terhadap konservasi lahan kritis. Keyakinan responden bahwa kehidupan memiliki dimensi waktu (Tri Semaya Kala) melahirkan pikiran yang menganggap konservasi lahan kritis sebagai kewajiban. Aktivitas konservasi yang dilakukan pada masa lalu akan berdampak pada masa kini dan masa yang akan datang. Demikian juga tindakan konservasi yang dilakukan pada masa kini akan memberikan dampak yang besar pada kualitas kehidupan yang akan datang. Kesadaran yang tinggi dari responden bahwa hidup bukan hanya hari ini, namun juga pada masa yang tidak terkira didepan, menambah semarak aktivitas pelestarian lingkungan terutama yang berkaitan dengan konservasi lahan kritis.
Faktor Pendukung Penerapan Kearifan Lokal Dalam Konservasi Lahan Kritis Keberhasilan penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis tidak terlepas dari keberadaan faktor pendukung. Adapun sejumlah faktor pendukung penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis teridentifikasi sebagai berikut : 1) Faktor tingginya dukungan warga masyarakat Desa Batur Tengah melaksanakan konservasi lahan kritis yang berlandaskan ajaran dharma. 2) Visi kelompok tani Wira Usaha yang secara lugas mencantumkan Tri Hita Karana sebagai dasar merujudkan pertanian maju, meningkatkan fungsi hutan dan kesejahteraan petani. Warga masyarakat Bubung Kelambu percaya bahwa kesuburan adalah merupakan karunia dari Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, sehingga warga berusaha memelihara hubungan yang 58
harmonis dengan Sang Pencipta dalam manifestasinya sebagai Dewi Kesuburan Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
melalui persembahan upacara-upacara yang dilaksanakan pada Pura-Pura setempat. Warga juga percaya bahwa kesuburan yang ingin dicapai tidak dapat diusahakan secara sendiri-sendiri atau memerlukan kerjasama, sehingga warga berusaha menjalin hubungan yang harmonis antar warga yang diwujudkan melalui sangkepan/rapat-rapat warga. Warga Desa Batur Tengah juga percaya bahwa segala kemakmuran itu adalah datangnya dari bantuan alam lingkungan sekitarnya sehingga kelompok tani dan warga dusun berusaha menjalin hubungan yang harmonis dengan alam lingkungannya. 3) Tingginya pengamalan warga masyarakat terhadap landasan operasional dusun yaitu “Paras paros selunglung sabayantaka sarpanaya” yang berarti segala baik buruk, berat ringan dipikul bersama. Betapa tingginya rasa toleransi warga untuk mensukseskan pelaksanaan suatu aktivitas termasuk upaya penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis. 4)
Faktor dukungan pemerintah daerah dari tingkat kabupaten, kecamatan, dan bahkan desa. Dukungan tersebut diwujudkan dalam bentuk bantuan dana, material, maupun dukungan moril.
Faktor Penghambat Penerapan Kearifan Lokal Dalam Konservasi Lahan Kritis Teridentifikasi sejumlah faktor penghambat merintangi penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis, yaitu : 1) Hambatan ekonomi, yaitu kurangnya pendanaan yang dapat dimanfaatkan untuk penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis. Kegiatan konservasi lahan kritis melalui penerapan kearifan lokal tidak lepas dari masalah pendanaan, karena kegiatan tersebut membutuhkan dana yang memadai. Aksesibilitas
warga
terhadap
sumber-sumber
pendanaan
yang
dapat
dimanfaatkan untuk konservasi lahan kritis masih terbatas. Kepedulian investor terhadap pelestarian lingkungan masih sangat rendah, terbukti tidak adanya investor yang mau berkolaborasi dengan warga dalam melaksanakan konservasi lahan kritis. 2) Hambatan teknologi. Masyarakat menganggap bahwa teknologi yang mereka gunakan untuk menerapkan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis masih Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
59
sangat sederhana, karena mereka melakukannya secara manual. Belum ada upaya enginering dalam penerapan kearifan lokal. 3) Hambatan kelembagaan. Lembaga adalah organisasi atau norma yang mengatur kehidupan warga masyarakat. Di Desa Batur Tengah tidak semua warganya tergabung dalam kelompok tani, sehingga terjadi disparitas antara warga yang tergabung dalam kelompok dengan warga yang tidak tergabung dalam kelompok. Warga yang tergabung dalam kelompok memiliki visi dan misi yang jelas dalam melaksanakan konservasi lahan kritis termasuk melalui konsep kearifan lokal. Sementara warga yang tidak tergabung dalam kelompok tani kurang terarah dalam melangkah untuk menerapkan kearifan lokal. 4) Hambatan fisik, yakni curamnya medan yang menjadi lokasi konservasi lahan kritis, sehingga menghambat warga dalam menerapkan kearifan lokal. Untuk menuju lokasi konservasi lahan kritis yang relatif sulit, warga seringkali semangatnya terpatahkan oleh kesulitan medan, meskipun sesungguhnya mereka telah siap dengan konsep kearifan lokal.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1) Penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah berada dalam kategori baik. 2) Kontribusi penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah berada dalam kategori cukup tinggi. 3) Faktor pendukung penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah adalah faktor dukungan masyarakat, pemerintah, pengamalan warga terhadap falsafah Tri Hita Karana dan landasan operasional “paras paros selulung subayantaka sarpanaya” 4) Faktor penghambat penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah adalah hambatan ekonomi, teknologi, kelembagaan dan hambatan fisik. 60
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut : -
Kepada warga masyarakat agar meningkatkan kualitas penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis sehingga kontribusi penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis menjadi lebih tinggi.
-
Kepada Bendesa adat agar melaksanakan kearifan local secara lebih bijaksana.
-
Kepada Pemerintah Daerah melalui Camat Kintamani agar lebih intensif memantau penerapan kearifan local dalam konservasi lahan kritis.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan, 2005. Rencana Teknik Lapangan Rahabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RTL RLKT) DAS Saba Daya. Balai Pengelolaan DAS Unda Anyar, Denpasar. Departemen Kehutanan, 2006. Peta Lahan Kritis Wilayah
Propinsi Bali. Balai
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Unda Anyar, Denpasar.
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
61
AFFECTIVITY OF APPLICATION TIME OF FUNGI TRICHODERMA SPP IN CONTROLLING WITHERED DISEASE OF FUSARIUM OXYSPORUM TO RED CHILI PLANT IN A LARGE AREA. Oleh FARIDA HANUM DAN NI PUTU PANDAWANI Faculty of Agriculture, Mahasaraswati University Denpasar
ABSTRACT Research that untitled “Affectivity of application time of fungi Trichoderma SPP in controlling withered disease of Fusarium Oxysporum to red chili plant in a large area“ The result of the research shows that treatment of fungi Trichoderma SPP application to chili plant when breeding produce height of plant and highest amount of leaf that are 103,25 cm and 209,00 sheets which actually higher 26,45% and 21,89% are compared with control (without application), and also actually higher in a row 11,14%; 14,15%; 10,80%; and 6,49%; 11,98%; 13,11% if compared with time of application fungi Trichoderma SPP in 1, 2, and 3 weeks before planting. The biggest safety of cultivation fruit weight per plot and percentages of cultivation result is held in treatment of fungi Trichoderma SPP application when 62
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
breeding that reaches 8,080kg and 45,69% but treatment of fungi Trichoderma SPP application in 1, 2, and 3 weeks before planting reaches 5,971 kg; 7,240kg; 6,073 kg and 7,66%; 30,54%, and 9,51%. Fungi Trichoderma SPP application when breeding produces the higher affectivity in controlling withered disease of Fusarium Oxysporum to red chili plant with lowest attack intensity that is 10,71% but fungi Trichoderma SPP application in 1, 2, and 3 weeks before planting produces attack intensity in a row 25,00%; 14,28%; and 27,38%. Key word: Efectiveness, Metarhizium anisopliae, Oryctes rhinoceros. L.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penyakit utama yang menyerang tanaman cabai merah adalah penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum var. vasinfectum. Serangan permulaan penyakit layu Fusarium terjadi pada leher batang bagian bawah yang bersinggungan dengan tanah. Bagian tersebut akan membusuk dan berwarna coklat. Infeksi menjalar ke keperakaran yang menyebabkan akar busuk basah. Gejala penyakit pada bagian tanaman di atas tanah adalah terjadinya kelayuan daun-daun mulai dari bagian bawah dan serangan layu Fusarium umum terjadi di pembibitan ( Sumarni, 1996 ). Pengendalian penyakit layu Fusarium dengan menggunakan fungisida merupakan cara yang paling imum dilakukan oleh petani. Cara ini telah dilakukan selama bertahun-tahun, namun belum memberikan hasil yang mantap, disamping itu penggunaan fungisida yang tidak bijaksana dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan, gangguan terhadap kesehatan manusia, hewan dan mikroorganisme yang menguntungkan. Di samping itu pengendalian dengan menanam varietas tahan belum mampu memberikan hasil panen yang tinggi ( Suryaningsih, 1994 ). Sejalan dengan perkembangan iptek yang telah maju, maka perlu diupayakan alternatip pengendalian lain seperti pengendalian hayati dengan memanfaatkan agen antagonis
seperti salah
satunya
adalah cendawan
Trichoderma spp. Cendawan Trichoderma spp. merupakan cendawan yang bersifat antagonis terhadap cendawan yang bersifat patogen pada tanaman. Cendawan Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
63
Trichoderma spp. memiliki tiga sifat antagonistk yaitu kompetisi, antibiosis dan mikroparasitisme. Kompetisi terjadi ketika dua atau lebih mikroorganisme saling berkompetisi dalam memperebutkan kebutuhan hidup yang sama. Sifat kompetisi antara agens antagonis dengan patogen penyakit memegang peranan penting dalam pengendalian penyakit (Meity,1995). Berdasarkan hal diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Efektivitas Waktu Aplikasi Cendawan Trichoderma spp. dalam Pengendalian Penyakit Layu Fusarium oxysporum Tanaman Cabai Merah di Lapang“ yang dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Pertanian Unmas Denpasar untuk kegiatan persiapan bahan penelitian yaitu pembiakan cendawan dan di kebun cabai di Dusun Uma Desa, Desa Peguyangan Kaja, Kecamatan Denpasar Timur untuk kegiatan penelitian lapang.
Perumusan Masalah Berdasarkan pernyataan diatas dan diketahui juga bahwa ada beberapa kendala dalam pengendalian hayati menggunakan agensia hayati yaitu tidak diperhatikannya situasi ekologi yang sangat kompleks dari suatu agensia dimana proliferasi atau pertumbuhan agensia di lapang sangat menentukan efektifitas pengendalian. Sejalan dengan hal tersebut, maka masalah yang akan dicarikan jawabannya dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1).
Apakah perbedaan dari waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp.yaitu saat pembibitan dan saat setelah tanam aka berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman cabai merah di lapang
2).
Apakah perbedaan dari waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp.akan berpengaruh terhadap Intensitas serangan penyakit layu F. Oxysporum pada tanamaN cabai merah di lapang
3).
Apakah perbedaan dari waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp. akan berpengaruh terhadap produksi tanaman cabai merah di lapang
4).
Saat aplikasi yang efektip dari cendawan Trichoderma spp. ke lapang untuk pengendalain penyakit layu Fusarium oxysporum pada tanaman cabai merah dilapang.
Tujuan Penelitian Agrimeta, 64
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
1) Mengetahui waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp.yang tepat apakah saat pembibitan atau saat setelah tanam akan memberikan pertumbuhan terbaik dari tanaman cabai merah di lapang 2) Mengetahui waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp.yang tepat apakah saat pembibitan atau saat setelah tanam akan memberikan produksi tertinggi dari tanaman cabai merah di lapang 3) Mengetahui waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp.yang tepat apakah saat pembibitan atau saat setelah tanam dalam pengendalian penyakit layu Fusarium sehingga dihasilkan intensitas serangan penyakit terendah dari tanaman cabai merah di lapang
METODE
Rancangan Penelitian Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan termasuk
kontrol dan 6 ulangan sehingga jumlah plot / satuan
percobaan sebanyak 5 x 6 = 30 petak. Denah penelitian dan denah contoh plot penelitian tertera pada Gambar 1dan Gambar 2. Perlakuan yang dimaksud adalah : TB
= Aplikasi cendawan Trichoderma spp. saat pembibitan
T3
= Aplikasi cendawan Trichoderma spp. 3 minggu sebelum tanam
T2
= Aplikasi cendawan Trichoderma spp. 2 minggu sebelum tanam
T1
= Aplikasi cendawan Trichoderma spp. 1 minggu sebelum tanam
T0
= Kontrol ( Tanpa aplikasi cendawan Trichoderma spp.)
Pelaksanaan Penelitian di Laboratorium Pembiakan Cendawan dari isolat murni pada PDA ke Media Beras Beras dicuci dan dikukus selama ± 45 menit. Beras yang telah dimasak dituang di atas nampan, selanjutnya dibiarkan sampai dingin, Setelah dingin media beras dimasukkan ke dalam kantong plastik, kira-kira seperempat bagian dari panjang kantong. Media disterilkan/dikukus dalam panci selama 1 jam (dihitung setelah air mendidih), Setelah dingin media siap diinokulasikan dengan biakan Trichoderma Sp Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 65
dan dilakukan dalam incase (kotak inokulasi), Setelah diinokulasi, mulut kantong streples untuk memberi ruangan udara. Media lalu disimpan pada kondisi ruangan yang tidak terkena cahaya matahari langsung. Miselium cendawan akan memenuhi media dalam waktu 7-10 hari dan siap untuk dipindahkan pada media sekam. Pembiakan ini diatur disesuaikan dengan kebutuhan perlakuan waktu aplikasi.
Pembiakan cendawan dari media beras ke media sekam Starter cendawan Trichoderma spp pada media padat beras yang telah tumbuh langsung diblender bersama media beras hingga menyerupai tepung. Sementara itu sekam
dikukus ± 1 jam dan didinginkan. Tepung Trichoderma
dilarutkan ke dalam 500 ml air dan dicampurkan pada 1 kg sekam yang sudah steril, dan diaduk sampai rata. lalu kita masukan ke dalam kantong plastik dan kita rekatkan pada kedua ujungnya, selanjutnya disimpan pada rak penyimpanan. Inkubasi selama 35 hari, sampai miselium menutupi media sekam secara merata selanjutnya siap diaplikasikan ke lapang. Agar umur cendawan pada media sekam yang digunakan sama untuk semua perlakuan waktu aplikasi yaitu 5 hari, maka saat pembiakan cendawan ke media sekam diatur disesuaikan dengan perlakuan waktu aplikasi. Pelaksanaan Penelitian di Lapang Pembibitan Benih cabai setelah direndam dalam air selama ± 24 jam langsung ditanam pada polybag kecil ukuran 8 cm x 10 cm yang telah diisi media campuran dari 10 kg tanah, 5 kg pupuk kandang dan 80 gr pupuk NPK dengan satu bibit per polybag. (Rukmana, 1994).Untuk perlakuan aplikasi Trichoderma spp. pada pembibitan, disiapkan 6 x 14 = 84 buah polybag yang masing-masing telah diisi media campuran di atas ditambah 0,5 kg media sekam biakan cendawan Trichoderma spp.per polybag (BPTPH Bali, 2001). Jumlah seluruh bibit yang diperlukan adalah 6 x 5 x 14 = 420 buah Setelah tumbuh umur 23 hari bibit siap dipindahkan ke lapangan.
Persiapan Lahan dan Aplikasi Trichoderma spp. Lahan pertanaman cabai yang akan dipergunakan untuk percobaan dibersihkan dari gulma, digemburkan dan dibuatkan 6 petak besar sebagai ulangan / kelompok dengan ukuran masing-masing 7 m x 15 m. Setiap petak besar dibagi menjadi 5 plot Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 66
sebagai perlakuan dengan ukuran masing-masing 1,5 m x 5 m dan jarak antar plot 1m. Penempatan perlakuan pada setiap ulangan dilakukan secara acak dengan memasang kode perlakuan dan ulangan. Pemupukan dasar dilakukan 1 minggu sebelum tanam dan sebelum mulsa plastik dipasaang dengan dosis pertanaman Urea 20 gr, TSP 30 gr, KCl 30 gr dan ZA 50 gr (Rukmana, 2001) Waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp. dilakukan sesuai dengan perlakuan yaitu TB, T3, T2, T1, dengan dosis 0,5 kg pertanaman. Jumlah tanaman per plot (perlakuan = 14) , sehingga aplikasi perplot sebanyak 14 x 0,5 kg = 7 kg.
Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Penanaman di lapangan dilakukan setelah bibit umur 23 hari dengan satu bibit perlubang dan jarak tanan 60 cm x 70 cm (Rukmana, 2001) Pemeliharaan tanaman meliputi kegiatan pengairan, penyiangan, pemasangan ajir dan pemupukan. Pengairan dilakukan dengan penggenangan sehari sampai setinggi plot setiap minggu atau sesuai keadaan. Pemupukan ke dua dilakukan saat tanaman umur 50 (hari setelah tanam) yaitu dengan cara disiram dengan larutan pupuk NPK 5 kg/200 liter air dan dosis ± 500 ml per tanaman. Pemupukan ini dilakukan setiap 2 mg sampai panen. Pengamatan dan Analisis Data Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman (cm), jumlah daun pertanaman (helai), Intensitas serangan penyakit layu F. oxysporum (%) dan berat panen buah per plot (Kg). Pengamatan dilakukan setiap minggu hingga panen. Untuk parameter tinggi tanaman dan jumlah daun diukur dari rerata 5 sampel tanaman per plot, pengambilan sampel dengan cara diacak Berat panen buah diukur dari hasil panen per plot ( per 7,5 m² ). Panen dilakukan bertahap 3-4 kali selang 2-3 hari mulai umur 105 hst. Intensitas serangan penyakit ditentukan dari rerata seluruh tanaman yaitu 14 tanaman per plot. Intensitas serangan penyakit dihitung dengan rumus sbb: (Anonimus, 2000). A I
=
____________ X 100 % A+B
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
67
Keterangan : I = Intensitas serangan (%) A = Jumlah tanaman terserang B = Jumlah tanaman yang diamati Data hasil pengamatan perminggu dari masing-masing parameter disusun dalam bentuk tabel dan dianalisis sesuai dengan Rancangan penelitian yang digunakan yaitu RAK dan uji lanjutan beda nilai rerata dengan BNT pada taraf uji 5% ( Hanafiah, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinggi Tanaman Cabai Pengamatan umur 4 mst. tinggi tanaman tertinggi terjadi pada perlakuan TB yaitu 31,66 cm dan terendah terjadi pada perlakuan T1 yaitu 29,01 cm yang tinggi berturut-turut pada pengamatan 4, 6 dan 8 mst. setinggi 43.87 cm; nyata lebih tinggi 24 dari kontrol (T 0) yaitu 27,.76 cm. Pengamatan umur 6, 8 dan 10 minggu setelah tanam,
tinggi tanaman tertinggi juga terjadi pada perlakuan TB yaitu berturut-turut mencapai 51,00 cm; 83,88 cm dan 103,25 cm sedangkan terendah juga terjadi pada perlakuan T1 yaitu berturut-turut 44,77 cm; 65,20 cm dan 93,18 cm, tetapi selalu lebih tinggi dari kontrol (T 0) yang hanya mencapai 43,87 cm; 63,98 cm dan 81,65 cm (Tabel 2). Tabel 2. Pengaruh Perlakuan Waktu Aplikasi Cendawan Trichoderma spp. terhadap Tinggi Tanaman Cabai (cm)
No .
68
Umur Tanaman (mst)
Perlakuan
4
6
8
10
1.
TB
31.66 a
51.00
a
83.88 a
103.25 a
2.
T3
29.86 b
47.60
b
74.12 b
92.90
b
3
T2
29.46 c
45.70
c
67.45 c
90.45
b
4
T1
29.01
44.77
d
65.20 d
93.18
b
Agrimeta,
d
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
5
T0
27.76 e
BNT 5%
0.18
43.87 0.38
e
63.98 d
81.65
1.53
c
3.85
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh hurup yang sama pada kolom yang sama menujukan berbeda tidak nyata pada tarap uji BNT 5% .
Jumlah Daun Tanaman Cabai Pengamatan umur 4 mst. jumlah daun tertnggi terjadi pada perlakuan T2 yaitu 33,13 helai dan terendah terjadi pada perlakuan T1 yaitu 32,23 helai yang tidak nyata lebih tinggi dari kontrol (T 0) yaitu 30,73 helai.. Pengamatan umur 6, 8 dan 10 minggu setelah tanam, jumlah daun tertinggi terjadi pada perlakuan TB yaitu berturutturut mencapai 78,50 helai; 157,60 helai dan 209,00 helai sedangkan jumlah terendah juga terjadi pada perlakuan T1 yaitu berturut-turut 66,23 helai; 123,66 helai dan 184,70 helai, tetapi selalu lebih tinggi dari kontrol (T 0) yang hanya mencapai jumlah berturut-turut pada pengamatan 4, 6 dan 8 mst. sebanyak 66,23 helai; 114,86 helai dan 171,46 helai. (Tabel 3).
Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Waktu Aplikasi Cendawan Trichoderma spp. terhadap Jumlah Daun Tanaman Cabai ( helai/tanaman )
No .
Umur Tanaman (mst)
Perlakuan
4
6
8
10
1.
TB
32.90 a
78.50 a
157.60 a
209.00 a
2.
T3
33.13 a
73.53 b
144.66 b
196.26 b
3
T2
33.43 a
73.93 ab
136.23 c
186.63 c
4
T1
32.23 ab
66.23 c
123 66 d
184.76 c
5
T0
30.73 b
67.26 c
114.86 e
171.46 d
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
69
BNT 5%
1.63
4.66
4.81
6.69
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh hurup yang sama pada kolom yang sama menujukan berbeda tidak nyata pada tarap uji BNT 5%
Gambar 3. Pengaruh perlakuan waktu aplikasi cendawan terhadap tinggi tanaman
Tinggi Tanaman (cm)
120 100 TB
80
T3 T2
60
T1 40
T0
20 0 4 MST
6 MST
8 MST
10 MST
Umur Tanaman (mst)
Gambar 4. Pengaruh perlakuan waktu aplikasi cendawan terhadap jumlah daun
Jumlah daun (helai/tanaman)
250
70
200 TB 150
T3
100
T2 T1 T0
50 0
Agrimeta, 4 MST
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
6 MST
8 MST
10 MST
Umur Tanaman (mst)
Intensitas Serangan Penyakit Layu F. oxysporum Perlakuan waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp pada tanaman cabai memberikan pengaruh yang
berbeda sangat nyata (P < 0,01) terhadap parameter
intensitas serangan penyakit yaitu pada pengamatan umur 4, 6, 8 dan 10 minggu setelah tanam. Pada pengamatan umur 10 mst, perlakuan TB memberikan intensitas serangan penyakit terendah yaitu 10,71 % yang berbeda nyata dengan semua perlakuan lain. Sedangkan intensitas serangan tertinggi terjadi pada perlakuan T0 yaitu 27,38 % yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan T1 dan T3 yaitu masing-masing 25,00 %, tetapi berbeda nyata
dengan perlakuan
T2 dan
TB yaitu 14,28 % dan 10,71 %
(Table 5).
Tabel 5. Pengaruh Perlakuan Waktu Aplikasi Cendawan Trichoderma spp. terhadap Intensitas Serangan Penyakit Layu F. oxysporum pada Tanaman Cabai (%)
No .
Umur Tanaman (mst)
Perlakuan
4
6
1.
TB
0.00
2.
T3
10.71 a
Agrimeta,
b
3.57
8 c
20.23 a
9.52
10 d
10.71 c
23.81 b
25.00 a
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
71
3
T2
1.19
b
10.71 b
14.28 c
14.28 b
4
T1
8.33
a
16.66 ab
23.81 b
25.00 a
5
T0
8.33
a
22.61 a
27.38 a
27.38 a
7.02
3.14
3.36
BNT 5%
8.51
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh hurup yang sama pada kolom yang sama menujukan berbeda tidak nyata pada tarap uji BNT 5% .
Gambar 5. Pengaruh perlakuan waktu aplikasi cendawan terhadap intensitas serangan
Intensitas serangan (%)
30 25 TB
20
T3 15
T2 T1
10
T0
5 0 4 MST
6 MST
8 MST
10 MST
Umur Tanaman (mst)
Berat Panen Buah per Plot Perlakuan waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp pada tanaman cabai memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P < 0,01) terhadap parameter berat panen buah per plot buah. Panen dilakukan bertahap pada buah cabai yang telah merah mulai umur 85 - 95 hari setelah tanam .
Gambar 6. Pengaruh perlakuan waktu aplikasi cendawan terhadap berat panen buah 9 Agrimeta, en (Kg/7,50 m 2)
72
8 7 6 5 4
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Persentase Berat Panen Terselamatkan Persentase berat panen terselamatkan
adalah persentase peningkatan hasil
panen pada perlakuan dibandingkan dengan hasil panen pada kontrol ( tanpa aplikasi Trichoderma spp.). Perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp pada saat pembibitan dapat menyelamatkan hasil terbesar karena serangan penyakit layu yaitu mencapai sebesar 45,69 %. Pada perlakuan aplikasi T3 hasil panen yang terselamatkan paling kecil yaitu 7,66 % yang kemudian meningkat pada perlakuan T1; T2 dan tertinggi pada perlakuan TB yaitu berturut-turut sebesar 9,51 %; 30,54 % dan 45,69 %.(Tabel 6).
Tabel 6. Pengaruh Perlakuan Waktu Aplikasi Cendawan Trichoderma spp. terhadap Berat panen buah dan Persentase hasil panen terselamatkan
Parameter No
Perlakuan
Berat panen buah
Persentase panen buah
(Kg/ 7,5 m²)
terselamatkan (%)
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
73
1.
TB
8,080
a
45,69
2.
T3
5,971
c
7,66
3
T2
7,240
b
30,54
4
T1
6,073 c
9,51
5
T0
5,546 c
0
BNT 5%
Keterangan
0,543
-
: Nilai yang diikuti oleh hurup yang sama pada kolom yang sama menujukan berbeda tidak nyata pada tarap uji BNT 5% .
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaruh waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp. terhadap parameter yang diamati
memberikan pengaruh yang
berbeda nyata (p < 0,05) sampai berbeda sangat nyata (P < 0,01) pada semua parameter. Ditinjau dari parameter tinggi tanaman pada umur 4; 6; 8 dan 10 minggu setelah tanam, perlakuan waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp. pada tanaman cabai dalam pengendalian penyakit layu , perlakuan waktu aplikasi saat pembibitan selalu menyebabkan tanaman tertinggi yaitu berurutan 31,66 cm ; 51,00 cm; 83,88 cm dan 103,25 cm dan tanaman terendah selalu terjadi pada tanpa pemberian cendawan Trichoderma spp. yaitu berurutan 27,76 cm; 43,87 cm; 63,98 cm dan 81,65 cm . Bila dibandingkan dengan ketiga perlakuan waktu aplikasi yaitu 3 mst; 2 mst dan 1 mst, ternyata tampak bahwa perlakuan aplikasi saat pembibitan juga selalu menyebabkan tanaman yang tertinggi pada setiap umur pengamatan dan tanaman terendah selalu terjadi pada perlakuan aplikasi 1 mst. Ditinjau dari parameter intensitas serangan penyakit layu Fusarium oxysporum pada semua perlakuan di pengamatan perminggu, jumlah tanaman terserang penyakit layu adalah 0 (tanaman belum ada terserang penyakit) pada umur tanaman 2 mst, selanjutnya serangan penyakit mulai terjadi pada umur 3 mst yaitu pada perlakuan Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 74
tanpa aplikasi cendawan Trichoderma spp. (T0), aplikasi cendawan Trichoderma spp satu minggu sebelun tanam (T1) dan aplikasi cendawan Trichoderma spp tiga minggu sebelum tanam (T3), sedangkan pada perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp. dua minggu sebelum tanam (T2) serangan penyakit layu baru terjadi pada umur 4 mst dan pada perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp saat pembibitan (TB) serangan penyakit layu baru terjadi pada umur 5 mst. Dari hasil pengamatan tersebut tampak bahwa perlakuan aplikasi saat pembibitan memberikan ketahanan terhadap penyakit layu paling tinggi pada awal pertumbuhan tanaman yang terlihat dari munculnya serangan penyakit mulai umur 5 mst sedangkan pada perlakuan lain serangan penyakit telah muncul mulai umur 3 mst. Pada setiap waktu pengamatan perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp saat pembibitan (TB) selalu memberikan intensitas serangan penyakit paling rendah yaitu nyata lebih rendah dari perlakuan tanpa aplikasi (T0), aplikasi
1 (T1) dan 3
minggu sebelum tanam (T3), tetapi tidak nyata lebih rendah dari perlakuan aplikasi 2 minggu sebelum tanam (T2). Intensitas serangan penyakit pada akhir pengamatan yaitu umur 10 minggu terendah terjadi pada perlakuan saat pembibitan yaitu 10,71 % nyata lebih rendah dibandingkan dengan semua perlakuan lain yaitu 14,28 % pada perlakuan aplikasi 2 minggu sebelum tanam, 25,00% pada perlakuan aplikasi 1 dan 3 minggu sebelum tanam dan 27,38 % pada perlakuan tanpa aplikasi cendawan Trichoderma spp. Serangan penyakit layu terus berlanjut terjadi sampai umur tanaman 9 mst dan pada pengamatan terakhir umur 10 mst pada semua perlakuan sudah tidak ada lagi perkembangan jumlah tanaman terserang penyakit. Hal ini terjadi mungkin ketahanan tanaman terhadap penyakit layu sudah semakin tinggi sebagai akibat dari pengaruh aktivitas cendawan Trichoderma spp yang telah diaplikasikan, dan ini berhubungan dengan pendapat Meity,1995 yang menyatakan bahwa
cendawan Trichoderma spp.
memiliki tiga sifat antagonistic yaitu kompetisi, antibiosis dan mikroparasitisme. Kompetisi terjadi ketika dua atau lebih mikroorganisme saling berkompetisi dalam memperebutkan kebutuhan hidup yang sama. Sifat kompetisi antara agens antagonis dengan
patogen
penyakit
memegang
peranan
penting
dalam
pengendalian
penyakit..Antibiosis terjadi ketika Trichoderma spp. melepaskan zat toxik yang bersifat antibiosis terhadap organisme lain yang berintegrasi langsung. Organisme antagonis Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 75
hidup dan tumbuh pada isi sel inang yang telah mati. Cendawan Trichoderma spp menghasilkan antibiotik, lisis dan enzim hidrolitik yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan organisme lain yang beritegrasi dengannya . Selanjutnya tampak bahwa dari hasil penelitian parameter tinggi tanaman, jumlah daun dan intensitas serangan penyakit memberikan pengaruh yang sejalan degan berat buah panen per plot, dimana jumlah buah panen tertinggi dicapai pada perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp saat pembibitan yaitu 8,080 kg yang nyata lebih tinggi dari semua perlakuan T2; T1; T3 dan T0 dengan hasil panen masingmasing 7,240 kg; 6,073 kg; 5,971 kg dan 5,546 kg. Demikian pula perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp pada saat pembibitan dapat menyelamatkan hasil buah cabai terbesar karena serangan penyakit layu Fusarium oxysporum yaitu mencapai nilai 45,69 %.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp pada tanaman cabai saat pembibitan menghasilkan tinggi tanaman dan jumlah daun tertinggi yaitu 103,25 cm dan 209,00 helai, yang secara nyata lebih tinggi 26,45 % dan 21,89 % dibandingkan dengan kontrol (tanpa aplikasi), dan juga nyata lebih tinggi berturut-turut
11,14%;
14,15%;
10,80%
dan
6,49%;11,98%;13,11%
dibandingan dengan waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp 1, 2, dan 3 minggu sebelum tanam. 2. Berat buah panen per plot dan persentase hasil panen terselamatkan terbesar terjadi pada perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp. saat pembibitan yaitu mencapai 8,080 kg dan 45,69 % sedangkan perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp 1, 2, dan 3 minggu sebelum tanam mencapai 5,971 kg; 7,240 kg; 6,073 kg dan 7,66 %; 30,54 % dan 9.51 %. 3. Aplikasi cendawan Trichoderma spp. saat pembibitan paling menghasilkan efektivitas tertinggi dalam pengendalian penyakit layu Fusarium oxysporum pada tanaman cabai dengan intensitas serangan terendah yaitu 10,71 %, sedangkan 76
aplikasi cendawan Trichoderma spp 1, 2, dan 3 minggu sebelum tanam Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
menghasilkan intensitas serangan berturut-turut mencapai 25,00 %; 14,28 % dan 27,38 % .
Saran Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa dalam usaha pengendalian penyakit layu Fusarium oxysporum dengan agent hayati cendawan Trichoderma spp. pada tanaman cabai di lapangan sebaiknya aplikasi cendawan dilakukan saat pembibitan agar diperoleh efektivitas pengendalian yang optimum, disamping itu juga perlu dilakukan penelitian serupa pada lokasi perkebunan dengan iklim dan musim yang sangat berbeda dengan lokasi penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adiyoga. W. 1996. Produksi dan Konsumsi Cabai Merah Dalam Teknologi Produksi Cabai Merah. Balitsa. Lembang : 4 – 13. Anon, 2001. Petunjuk Teknis Pengembangan dan Penerapan Pestisida Nabati dan Agen hayati. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Bali dan BPTPH VII. Bali. Anon, 2004. Data Statistik Pertanian. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi. Bali. Cahyono, 1996. Usaha Tani Cabai Merah yang Berhasil. CV. Aneka. Solo Duriat. A. S. 1990. Efikasii Beberapa Fungisida terhadap Penyakit Fusarium pada Tanaman Cabai Merah ( Capsicum annuum L. ). Bul. Panel. Hort. Vol.XIX No. 2 : 112 – 119. Hanafiah, K A, 1995, Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang. Mety, S. Sinaga, 1995, Pengendalian Hayati Patogen Tumbuhan. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura. Jakarta. Pracaya, 1994. Budidaya Tanaman Cabai Merah da n Segala Permasalahannya. Penebar Swadaya. Bandung. Rukmana, 1994. Budidaya Cabai Hibrida Sistem Mulsa Plastik. Kanisius. Jakarta. Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
77
Semangun, Haryono. 1989. Penyakit -penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. Semangun. 1989. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gajahmada University Press. Sujatmika. 1990. Hama dan Penyakit. Dua Musuh Utama Petani Cabai. Trubus No. 27 Tahun III. Sumarni. 1996. Budidaya Tanaman Cabai Merah dalam Teknologi Produksi Cabai Merah. Balitsa, Lembang : 31 – 34. Suryaningsih. E, Sutarya. R dan Duriat. A. S. 1996. Penyakit Tanaman Cabai Merah dalam Teknologi Produksi Cabai Merah. Balitsa, Lembang : 64 – 83. Tjahyadi, 1990. Bertanam Cabai. Kanisius. Jakarta
DUKUNGAN MASYARAKAT DAN DAYA DUKUNG BIOFISIK TERHADAP KEBERHASILAN PELAKSANAAN REHABILITASI 78
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
LAHAN DAN KONSERVASI TANAH DI DAERAH SEKITAR MATA AIR PADA LAHAN MARGINAL DI BALI TIMUR Oleh I MADE BUDIASA, I G.N. ALIT WISWASTA, I DEWA NYOMAN RAKA
ABSTRAK
Dewasa ini pemerintah telah menggalakkan upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah seperti penghijauan dan reboisasi. Kegiatan itu dimaksudkan untuk mempertahankan kesuburan tanah, memulihkan lahan kritis, memperbaiki tata air dan membina perilaku masyarakat, sehingga sumberdaya alam hutan, tanah dan air dapat berdaya guna dan berhasil guna bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Akan tetapi fakta menunjukan luas lahan kritis ada kecendrungan semakin meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mem-peroleh Model Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) yang efektif dan efisien untuk menanggulangi lahan marginal/kritis di Bali Timur, (2) membuat bahan kampanye ke masyarakat berupa Leaflet dalam upaya menang-gulangi lahan kritis, (3) membuat bahan ajar yang terkait konservasi untuk kalangan mahasiswa. Penelitian ini adalah penelitian, field experiment, laboratorium dan survei, sampel ditentukan secara purposive sampling di 30 desa yang memiliki kawasan lahan marginal/kritis di Bali Timur. Hasil Penelitian menemukan dukungan masyarakat ditinjau dari aspek sosial ekonomi terhadap keberhasilan tindakan RLKT 56,00% kuat. Daya dukung biofisik menemukan bahwa rerata curah hujan di wilayah Kubu mencapai 1.233 mm per tahun, di wi1ayah Abang curah hujan 1.481 mm per tahun, dan di wilayah Kintamani rerata curah hujan 1.796 mm per tahun. Kepekaan erosi tanah daerah penelitian berkisar agak tinggi sampai tinggi. Penggunaan lahan didominasi oleh penggunaan tegalan dan kebun campuran, dan di bagian/daerah berlereng curam didominasi oleh semak belukar, dan berdasarkan hasil matching/mencocokkan antara kualitas lahan dengan persyaratan tumhuh tanaman yang dievaluasi, kesesuaian lahan aktualnya ter-golong tidak sesuai sampai sesuai bersyarat, sedangkan secara potensial dari cukup sesuai, sesuai bersyarat sampai tidak sesuai. Kata kunci : Lahan Marginal, Dukungan Masyarakat, Daya Dukung Biofisik.
PENDAHULUAN Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
79
Lahan marginal atau lahan kritis adalah lahan yang kurang/tidak produktif lagi untuk mendatangkan hasil atau dapat dikatakan lahan itu kurang sekali manfaatnya bagi lingkungan hidup, sehingga kerugian yang diakibatkan oleh lahan kritis dapat bersifat individual maupun massal. Petani yang tidak dapat bercocok tanam karena lahannya marginal atau kritis, selain penghasilannya berkurang, pengeluarannya bertambah banyak untuk merehabilitasi lahannya yang tidak produktif tersebut. Oleh karenanya, fungsi sumberdaya alam seperti lahan dan mata air perlu dilestarikan agar dapat memberikan manfaat yang optimal. Perlu adanya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah secara intensif terutama pada lahan di sekitar mata air dengan berbagai jenis tanaman seperti tanaman bambu dan rumput akar wangi. Pelaksanaan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) di Bali sampai lima tahun terakhir telah berhasil dilaksanakan dalam bentuk reboisasi seluas 825 ha, dan yang berhasil kurang dari separuhnya yaitu hanya 350 ha. Rendahnya tingkat keberhasilan usaha rehabilitasi dan konservasi tanah yang telah dilakukan tersebut disebabkan dalam pelaksanaan rehabilitasi mengalami kendala seperti : (1) anggaran yang tersedia untuk pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah sangat terbatas, (2) pelaksanaan kegiatan waktunya terlalu pendek sehingga dalam tahapan pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan jadwal, (3) dalam memilih lokasi kegiatan tidak memperhatikan spesifik lokal, karakteristik dari wilayah seperti biofisik, sosial ekonomi masyarakat dan potensi yang ada, dan (4) pemilihan tanaman untuk kegiatan tidak sesuai dengan kesesuaian tempat tumbuh dari tanaman yang akan dikembangkan
sehingga
sangat
mempengaruhi
persentase
tumbuh
tanaman
(Departemen Kehutanan, 2004). Daerah-daerah yang memiliki lahan kering di Bali secara administratif meliputi Kabupaten Buleleng (kecamatan Kubutambahan, Sawan, Buleleng, Sukasada, Banjar, Seririt, Busungbiu); Kabupaten Tabanan (kecamatan Pupuan); Kabupaten Bangli (kecamatan Kintamani); dan Kabupaten Karangasem (kecamatan Kubu, Abang, dan Karangasem) dengan total luas wilayah 70.424 ha mempunyai lahan kritis 240 ha dan potensi kritis mencapai 10.615 ha (Departemen Kehutanan, 2005). Lahan kering di Kabupaten Bangli dan Karangasem ada dua macam yaitu lahan kering produktif yang luasnya sekitar 40 % dari luas lahan kering yang ada, yang dari segi agroekoklimat dapat diusahakan sebagai lahan pertanian/ perkebunan terutama Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 80
tanaman jeruk, kopi dan tanaman keras lainnya untuk Kabupaten Bangli dan tanaman salak, kelapa dan tanaman keras lainnya untuk Kabupaten Karang-asem. Sebagian lagi sekitar lebih kurang 60 % dari luas lahan kering yang ada merupakan lahan marginal atau lahan kritis yang dapat diusahakan oleh petani jika ada air atau hanya pada musim hujan saja.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Daerah Lahan Kering Tantangan terbesar bagi pengelolaan sumberdaya alam adalah menciptakan untuk selanjutnya memperhatikan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan keberlanjutan pemanfaatan dan keberadaan sumber daya alam. Pengelolaan daerah lahan kering diharapkan dapat memberikan kerangka kerja ke arah tercapainya pembangunan yang berkelanjutan. Sumberdaya alam berupa hutan, tanah, air merupakan kekayaan alam yang harus tetap lestari, sehingga pengelolaan terhadap sumberdaya alam dengan satuan unit pengelolaan berupa daerah lahan kering untuk diberdayakan harus dilaksanakan secara hati-hati dan bijaksana, sehingga dapat mendukung tercapainya kesejahteraan masyarakat yang lestari (Departemen Kehutanan, 1999). Tekanan terhadap sumberdaya alam disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk dengan segala aktivitasnya seperti pada pengelolaan sumberdaya lahan kering. Masih sering dijumpai dalam pengelolaan sumberdaya lahan kering yang belum mempertimbangkan kelas kemampuan lahannya dan penerapan teknik konservasi tanah yang baik dan benar. Akhirnya sering timbul kondisi lahan yang mengalami degradasi dan berubah menjadi lahan kritis yang mengancam kesejahteraan rakyat banyak. Terhadap kondisi tersebut di atas diperlukan upaya-upaya untuk memulihkan dan mempertahankan fungsi lahan kembali, yang biasa dikenal dengan upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT)
Konsep Pengelolaan Lahan Selama ini, pengalaman yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan lahan seringkali dibatasi oleh batas-batas yang bersifat politis/ Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 81
administratif (negara, provinsi, kabupaten), dan oleh karenanya, batas-batas ekosistem alamiah kurang banyak dimanfaatkan. Padahal kita sadar bahwa kekuatan alam seperti banjir dan tanah longsor tidak mengenal batas-batas politis. Sebaliknya bahwa aliran air (banjir), tanah longsor, erosi, migrasi ikan dan organisme akuatis lainnya serta pencemaran air berlangsung menurut batas-batas daerah aliran sungai (ekologis).
Beberapa aktivitas pengelolaan lahan yang diselenggarakan di
daerah hulu seperti kegiatan pengelolaan lahan yang mendorong terjadinya erosi, pada gilirannya dapat menimbulkan dampak di daerah hilir (dalam bentuk pendangkalan sungai atau saluran irigasi karena pengendapan sedimen yang berasal dari erosi di daerah hulu). Konsep pengelolaan lahan yang baik perlu didukung oleh kebijakan yang dirumuskan dengan baik pula. pengelolaan
lahan
seharusnya
Dalam hal ini kebijakan yang berkaitan dengan mendorong
dilaksanakannya
praktek-praktek
pengelolaan lahan yang kondusif terhadap pencegahan degradasi tanah dan air. Harus selalu disadari bahwa biaya yang dikeluarkan untuk rehabilitasi lahan jauh lebih mahal daripada biaya yang dikeluarkan untuk usaha-usaha pencegahan dan perlindungan lahan (Departemen Kehutanan, 2004).
Lahan Marginal Menurut Suprapto dkk. (2000), lahan marginal pada umumnya merupakan lahan kurus akan unsur hara, ketersediaan air terbatas hanya tergantung dari curah hujan yang ada. Petani pada lahan ini pada umumnya petani kecil dengan perekonomian rendah dan pendapatan rendah sehingga sangat berpengaruh dalam berusahatani yang masih tradisional dan subsisten. Lebih lanjut dinyatakan bahwa petani pada lahan marginal pada umumnya hanya mengandalkan hujan sebagai sumber air untuk berusahatani sehingga saat musim kemarau hampir sebagian besar lahan diberakan. Keadaan seperti ini menyebabkan tingkat produktivitas lahan dan pendapatan petani menjadi rendah. Seiring dengan meningkatnya teknologi dibidang pertanian, maka telah diperkenalkan beberapa teknik penyediaan air seperti pompanisasi, penampungan air hujan dengan cubang, dan teknik pemanenan air hujan dengan embung yang dapat dipergunakan untuk kebutuhan rumah tangga dan berusahatani. 82
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Konservasi Tanah dan Air Konservasi adalah usaha penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan mem-perlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan. Sedangkan pengertian konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak pada musim hujan dan terdapat cukup air pada musim kemarau (Merit, 2006).
Konservasi tanah dan air
merupakan dua hal yang saling berhubungan erat sekali.
Dukungan Masyarakat dalam Pengelolaan Lahan Mengingat keberhasilan pengelolaan lahan yang pada akhirnya ditentukan oleh manusianya, maka aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat mempunyai peranan penting untuk dijadikan prioritas utama dalam pengelolaan lahan. Prinsip sosial ekonomi dalam melaksanakan RLKT (Departemen Kehu-tanan, Perkebunan, 1998) meliputi : 1) Tindakan RLKT harus cocok untuk keadaan sosial ekonomi setempat. 2) Petani/masyarakat kemungkinan perlu biaya kredit untuk melakukan RLKT untuk kegiatan yang manfaatnya tidak dapat langsung dinikmati oleh masyarakat. 3) Untuk petani miskin harus diintroduksikan tindakan RLKT yang murah dan mudah dilaksanakan. 4) Petani yang sudah memahami dampak dari erosi terhadap lahannya akan lebih tertarik untuk melakukan tindakan RLKT dari pada petani yang belum tahu atau tidak merasakan pengaruh dari erosi. 5) Kegiatan RLKT yang akan diterapkan seharusnya dipilih oleh petani bersama-sama dengan penyuluh. Dari uraian-uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa keberhasilan RLKT sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi masyarakat, yaitu : Tingkat ketergantungan penduduk terhadap lahan, yang terdiri dari luas pemilikan lahan, status pemilikan lahan, diversifikasi mata pencaharian, distribusi alokasi waktu kerja dan Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
83
tradisi/ kebiasaan khusus. Tingkat adopsi petani terhadap teknologi konservasi serta keberadaan dan aktivitas kelembagaan yang ada (Departemen Kehutanan, 1998).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan sebagai penelitian field experiment, labora-torium dan survei, dilakukan deskipsi fakta, dari aspek sosial yaitu dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan faktor-faktor karakteristik masyarakat yang berhubungan dengan dukungan masyarakat terhadap keberhasilan pelaksanaan RLKT pada lahan marginal di Bali Timur. Sedangkan dari aspek teknis yaitu kondisi biofisik seperti; iklim yaitu curah hujan dan intensitas hujan, topografi yaitu panjang dan kemiringan lereng (slope), sifat tanah yaitu, kemantapan agregat tanah, jenis struktur dan tekstur tanah serta kedalaman tanah, jenis dan keberadaan vegetasi, selanjutnya untuk memperoleh model rehabilitasi lahan dan konservasi tanah yang efektif dan efisien untuk menganggulangi lahan marginal dibuat experiment berupa demons-trasi plot.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dukungan Masyarakat terhadap Keberhasilan Tindakan RLKT di Daerah Sekitar Mata Air Pada Lahan Marginal di Bali Timur
Hasil penelitian menemukan peringkat dukungan masyarakat yang ditinjau dari aspek sosial ekonomi terhadap tindakan RLKT di daerah sekitar mata air pada lahan marginal di Bali Timur menunjukkan 17,83% termasuk dalam kategori sangat kuat, 56,00 % dalam katagori kuat, 16,33% sedang dan 7,00 % dalam kategori kurang dan hanya 2,84% dalam kategori sangat kurang. Hal ini menun-jukkan bahwa jika dukungan dari aspek sosial ekonomi masyarakat ter-hadap keberhasilan tindakan RLKT akan berhasil dilakukan dan permasalahan-nya sekarang sangat tergantung dari cara mensosialisasikannya dan dari aspek bio-fisiknya yang harus disesuaikan dengan keadaan daerah yang bersangkutan. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 84
cukup tinggi. Ini dapat dibuktikan dari rata-rata luas pemilikan lahan mencapai 0,92 ha yang sebagian besar dengan status sebagai hak milik, bermata pencaharian sebagai petani pemilik penggarap dengan waktu alokasi kerja sebagian besar adalah bertani penuh. Sehingga tindakan RLKT merupakan tindakan yang sangat penting bagi mereka karena menyangkut masalah kontinyuitas atau berkesinambungannya sumber mata pencaharian mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup beserta keluarganya. Rusaknya lahan mereka berarti hilang pula sumber mata pencaharian mereka.
Faktor-faktor Karakteristik Masyarakat yang berhubungan dengan Keberhasilan Tindakan RLKT di Daerah Sekitar Mata Air Pada Lahan Marginal di Bali Timur.
Faktor-faktor karakteristik yang dianalisis hubungannya dengan keber-hasilan tindakan RLKT adalah umur responden, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga dan luas penguasaan lahan. Umur petani mempunyai hubungan sangat nyata dengan keberhasilan tindakan RLKT karena X2-hitung 141,3527 lebih besar dari X2-tabel 31,9999 pada taraf nyata 1%, dengan derajat hubungan lemah (=0,1057). Hal ini menunjukkan adanya kecendrungan semakin tua usia petani semakin kuat dukungannya terhadap keberhasilan RLKT di daerah sekitar mata air pada lahan marginal di Bali Timur. Petani sangat menyadari bahwa lahan harus dikelola dengan bijak-sana secara berkesinambungan agar produktivitas lahan optimal. Disamping itu, hampir sebagian besar petani dalam usia produktif (15 th s/d 65 th) dan hanya sebagian kecil saja tergolong dalam usia kurang produktif (>65 th). Jumlah anggota keluarga mempunyai hubungan sangat nyata dengan keberhasilan tindakan RLKT di daerah sekitar mata air pada lahan marginal di Bali Timur, karena X2-hitung 152,9403 lebih besar dari X2-tabel 31,9999 pada taraf nyata 1%, dengan derajat hubungan lemah (=0,1292). Pendidikan responden menunjukkan hubungan yang sangat nyata dengan dukungan masyarakat terhadap keberhasilan tindakan RLKT, karena X2-hitung 141,0685 lebih besar dari X2-tabel 31,9999 pada taraf nyata 1%, dengan derajat hubungan lemah (=0,1714). Ini berarti pendidikan mempunyai perbedaan dukungan Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
85
terhadap keberhasilan tindakan RLKT. Semakin tinggi pendidikan petani berarti semakin kuat dukungannya terhadap keberhasilan RLKT. Walaupun pendidikan petani relatif rendah namun sudah cukup beragam bahkan ada sudah tamat perguruan tinggi Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang semakin besar perhatiannya terhadap pelestarian sumberdaya
utamanya sumberdaya pertanian
(lahan). Luas penguasaan lahan menunjukkan hubungan yang nyata dengan dukungan masyarakat terhadap keberhasilan tindakan RLKT di daerah sekitar mata air pada lahan marginal di Bali Timur, karena X2-hitung 133,3116 lebih besar X2-tabel 31,9999 pada taraf nyata 1%, dengan derajat hubungan lemah -0,0363. Ini berarti ada kecenderungan semakin luas lahan yang dimiliki semakin kuat dukungan masyarakat terhadap keberhasilan tindakan RLKT. Ini dapat dilihat dari koefisien derajat hubungan yang positif.
Daya Dukung Biofisik
Hasil penelitian menemukan bahwa Wilayah Kecamatan Kubu suhu rerata tahunannya 26,25°C, wilayah Kecamatan Abang 25,80°C, dan wilayah Kecamatan Kintamani suhu rata-rata 26,40°C. Secara umum kualitas lahan regim temperatur di semua wilayah penelitian tergolong sangat sesuai sampai cukup sesuai untuk semua jenis tanaman yang dievaluasi. Rerata curah hujan untuk wilayah Kubu mencapai 1.233 mm per tahun dengan jumlah rerata bulan kering 6 bulan; wi1ayah Abang rerata bulan kering 5-6 bulan dan curah hujan 1.481 mm per/tahun dan wilayah Kintamani rerata bulan kering 6 bulan dengan rerata curah hujan 1.796 mm per tahun. Lamanya bulan kering di ketiga wilayah yang bersangkutan, menyebabkan kualitas lahan ketersediaan air tergolong cukup sesuai sampai sesuai bersyarat untuk komoditas/ tanaman jati, nangka, mangga dan pasture, sedangkan untuk komoditas lainnya tergolong sesuai - cukup sesuai. Kualitas lahan retensi hara ditentukan oleh karakteristik KTK tanah, pH tanah, C-organik. Kapasitas Tukar Kation (KTK) secara umum tergolong rendah sampai sedang, pH tanah tergolong agak masam sampai netral, dan C-organik tergolong rendah 86
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
sampai sangat rendah. Kualitas lahan retensi hara di daerah penelitian secara keseluruhan tergolong cukup sesuai untuk pengembangan komoditas yang dievaluasi. Hasil penelitian juga menemukan kepekaan erosi tanah daerah penelitian berkisar agak tinggi sampai tinggi. Tingginya kepekaan erosi tanah di daerah penelitian berkaitan dengan rendahnya kandungan bahan organik serta tingginya kandungan pasir halus dan debu. Tingkat bahaya erosi yang tergolong berat sampai sangat berat merupakan faktor pembatas dalam kesesuaian lahan untuk berbagai penggunaan. Hasil matching/mencocokkan antara kualitas lahan dengan persyaratan tumhuh tanaman yang dievaluasi, kesesuaian lahan aktualnya tergolong tidak sesuai sampai sesuai bersyarat. Sedangkan secara potensial dari cukup sesuai, sesuai bersyarat sampai tidak sesuai. Sebagai faktor pembatas yang cukup berat untuk beberapa komoditas pertanian antara lain : lereng, tingkat bahaya erosi, kedalaman efektif tanah dan adanya singkapan batuan yang cukup tinggi di beberapa satuan lahan. Tekstur tanah yang agak kasar sampai kasar di wilayah Kecamatan Kubu, Abang, dan Kintamani serta lamanya bulan kering bersifat sebagai faktor pembatas untuk beberapa komoditas yang dievaluasi
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu : 1)
Dukungan sosial ekonomi masyarakat terhadap tindakan RLKT diperoleh 17,83 % termasuk dalam kategori sangat kuat, 56,00% kuat, 16,33 % sedang dan 7,00% dalam kategori kurang dan hanya 2,84% dalam kategori sangat kurang.
2)
Faktor karakteristik masyarakat yang mempunyai hubungan nyata dengan tindakan RLKT adalah umur, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan dan luas pemilikan lahan.
3)
Rerata suhu tahunan di Kecamatan Kubu 26,25°C, wilayah Kecamatan Abang 25,80°C, dan wilayah Kecamatan Kintamani suhu rata-rata 26,40°C.
4)
Rerata curah hujan di wilayah Kubu mencapai 1.233 mm per tahun dengan rerata bulan kering mencapai 6 bulan, di wi1ayah Abang curah hujan 1.481 mm per Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 87
tahun dengan rerata bulan kering 5-6 bulan, dan di wilayah Kintamani rerata curah hujan 1.796 mm per tahun dengan rerata bulan kering 6 bulan. 5)
Kepekaan erosi tanah daerah penelitian berkisar agak tinggi sampai tinggi.
6)
Penggunaan lahan didominasi oleh penggunaan tegalan dan kebun campuran, dan di bagian/daerah berlereng curam didominasi oleh semak belukar
7)
Berdasarkan hasil matching/mencocokkan antara kualitas lahan dengan persyaratan tumhuh tanaman yang dievaluasi, kesesuaian lahan aktualnya tergolong tidak sesuai sampai sesuai bersyarat. Sedangkan secara potensial dari cukup sesuai, sesuai bersyarat sampai tidak sesuai
Saran – Saran Berdasarkan hasil kesimpulan
dan pembahasan dapat disarankan hal-hal
sebagai berikut : 1) Pembinaan dan penyuluhan lebih dintensifkan guna lebih meningkatkan peran serta masyarakat dalam melaksanakan upaya-upaya RLKT. 2) Untuk keberhasilan tindakan RLKT di lahan kering di Daerah Bali Timur, maka dalam pemilihan jenis komoditas yang dipilih adalah
jenis tanaman yang
diperkirakan paling mendekati kesesuaian secara agroekologi, serta paling banyak dan telah biasa dikembangkan oleh penduduk setempat serta mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I W Sandi., 2006. Study of Monitoring Land Use Cahanges and Erosion in the Highland of Bali. Ph..D. Thesis Graduate School of Science and Technoloy, CHIBA University, Japan Arsyad, S., 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB Press, Bogor Asdak, C., 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Penerbit Gajah Mada University Press, Yogyakarta Bank Dunia, 1993, Rumput Vetiver. Pagar Hidup Penahan Erosi. Terjemahan Yayasan Ekoturin – East Proverty Project Bali – Indonesia. Cusack, V., 1999, Bamboo World. The Growing and Use of Clumping Bamboos. 88
Kangaroo Press NSW – Australia. Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Darmadi, 1995. Dasar-dasar Pengelolaan DAS. Balai Teknologi Pengelolaan DAS, Badan Litbang Kehutanan, Bahan Alih Teknologi Stasiun Pengamat Arus Sungai II, Surakarta. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1998. Konservasi Tanah dan Air. Sekretariat Tim Pengendali Pusat Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Jakarta. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Informasi Teknik Rehabilitasi dan Konservasi Tanah. Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta. Departemen Kehutanan, 1994. Pedoman Penyusunan Pola Rahabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rahabilitasi Lahan, Jakarta. Departemen Kehutanan, 1998. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rahabilitasi Lahan, Jakarta. Departemen Kehutanan, 2003. Laporan Tahunan. Balai Pengelolaan DAS Unda Anyar, Denpasar. Departemen Kehutanan, 2004. Laporan Hasil Monitoring dan Evaluasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2004. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Balai Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Unda Anyar,
Denpasar Departemen Kehutanan, 2005. Rencana Teknik Lapangan Rahabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RTL RLKT) DAS Saba Daya. Balai Pengelolaan DAS Unda Anyar, Denpasar. Departemen Kehutanan, 2006. Peta Lahan Kritis Wilayah
Propinsi Bali. Balai
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Unda Anyar, Denpasar. Dinas Kehutanan, 2002. Statistik Dinas Kehutanan Propinsi Bali Tahun 2002. Denpasar. Donie, S., 1997. Peran Pola Pengelolaan Hutan Rakyat terhadap Konservasi Tanah dan Sosial Ekonomi Masyarakat di DAS Solo. Buletin Teknologi Pengelolaan DAS, Ujung Pandang. Dradjad, M., 2004. Rehabilitasi Lahan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Kompetensi Pendidikan Tinggi dan Penelitian Ilmu Tanah di Indonesia, Yogyakarta, 4-6 Agustus 2004. Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
89
Gunamanta, Pande Gede, 2002. Identifikasi Karakteristik Lahan Kering Sebagai Acuan Perencanaan Konservasi Tanah dan Air di DAS Unda Anyar Bali. Agritrop Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, Vol. 21, No 1 Maret 2002. Fakultas Pertanian Unud Denpasar. Lembaga Penelitian Unpad, 1994. Aspek Sosial Ekonomi Dalam Pengelolaan DAS Terpadu. Ddalam Lokarya Pencaran Pengelolaan DAS Terpadu Ditjen RRL Departemen Kehutanan, Cisarua 24-25 Maret 1994. Merit, I Nyoman., 2006. Konservasi Tanah dan Air Dalam Pengembangan Pertanian Lahan Kering. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Kering Menuju Petani Sejahtera yang dilaksanakan oleh Program Pascasarjana Unud di Denapasar, tanggal 22 Juli 2006 Setyarso, A., 1999. Analisis Kebijaksanaan Pemanfaatan Sumber Daya Alam. Makalah pada Lokakarya Nasional Kebijaksanan Pengelolaan DAS, Bogor. Soekanto S., 1997. Sosiologi Suatu Pengantar. Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Sudjana, 1975. Metode Statistika, Penerbit Tarsito, Bandung. Sulistiawati, Ni Putu Anom., 2003. Prediksi Erosi, Perencanaan Konserasi Tanah dan Air di Daerah Hulu DAS Buleleng. Tesis Program Pascasarjana Unud,Denpasar Sumarna, Anang., 1987. Bamboo. Penerbit Angkasa. Bandung. Suprapto, Maha putra, Mery Alam Tina Sinaga, Sudaratmaja, dan Sumartini, 2000. Pengkajian Sistem Usahatani Tanaman Pangan Di Lahan Marginal. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Suratman, 2002. Prediksi Erosi dan Pengendaliannya di Daerah Aliran Sungai Tukad Sumaga dan Tukad Grokgak Buleleng. Tesis Program Pascasarjana Unud, Denpasar Wibowo, S., 2003. Kebijakan Pengelolaan DAS Bersama Masyarakat. Surili, Bandung. Wibowo, S., 2004. Masalah Degradasi Lahan dan Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Prosiding Kongres Nasional V Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia dan Seminar Degradasi Hutan dan Lahan. Yogyakarta, 10 – 11 Desember 2004
90
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Widarto, B., 2004. Prediksi Tingkat Bahaya Erosi dan Upaya Konservasi Tanah di Daerah Aliran Sungai Tukad Ngis Karangasem. Tesis Program Pascasarjana Unud, Denpasar Zaeni, W.A., 1987. Konsep-konsep Dasar Sosiologi Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Kali Konto Project ATA 206 Phase III.
KAJIAN TENTANG PELESTARIAN SUBAK DITINJAU DARI AKTIVITASNYA YANG BERLANDASKAN KONSEP TRI HITA KARANA Oleh I KETU ARNAWA
Abstrak
Pada hakekatnya subak merupakan suatu sistem dan himpunan petani sawah yang bertujuan mengatur tata pengairan sebaik-baiknya berdasarkan asas gotong royong yang murni, tanpa membedakan asal, kedudukan, dan golongan para anggotanya. Subak sebagai aset keunikan budaya Bali yang telah dikenal di manca negara perlu dijaga kelestariannya. Penelitian ini menggunakan analisis deskriftif dan analisis logistik. Hasil penelitian menemukan aktivitas subak masih cukup lestari, subak yang tidak mengalami alih fungsi lahan lebih lestari jika dibandingkan dengan subak yang mengalami alih fungsi lahan. Unsur-unsur Tri Hita Karana, yaitu parhyangan, pawongan dan palemahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kelestarian subak, penyelesaian konflik dapat diselesaikan dengan konsep parasparos selunglung sebayantaka sarpanaya artinya segala baik buruk, berat ringan dipikul bersama Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
91
Kata Kunci : Pelestarian, Subak,
PENDAHULUAN
Arus modernisasi dan teknologi telah menimbulkan konflik pada sistem subak di Bali, yaitu proyek-proyek jaringan tersier yang dilaksanakan departemen Pekerjaan Umum (PU) sejak akhir tahun 1970-an dengan merubah sistem bangunan-bagi (tembuku) dari sistem numbak menjadi sistem ngerirun, perubahan itu tidak serasi dengan sosio-kultural masyarakat setempat. Subak tidak memiliki kewenangan untuk merombak bangunan-bagi milik proyek (pemerintah) tersebut, karena dapat dikenakan sanksi tindak pidana. Untuk tetap menjaga harmoni, subak mengatasi kendala tersebut dengan cara tidak memanfaatkan bangunan-bagi yang dibangun proyek, dan tetap memanfaatkan bangunan- bagi yang lama (Sutawan, dkk 1984) Demikian pula halnya dengan diperkenalkannya padi varietas unggul yang berumur pendek, tetapi banyak menggunakan pupuk kimia, pestisida dan herbisida telah mengamcam kelestarian subak. Penggunaan pupuk dan obat-obatan pertanian secara
berlebihan
telah
menimbulkan
pencemaran
lingkungan,
terancamnya
keanekaragaman hayati (biodiversity) pada lahan sawah, memburuknya kesehatan para petani akibat dari keracunan dari penggunaan pestisida (Drysdale and Zimmerman, 1995 dalam Sutawan, 2005) Di Kabupaten Bangli alih fungsi lahan produktif cenderung semakin meningkat, sehingga areal sawah semakin berkurang. Jika hal ini terus berlangsung dikhawatirkan akan mengancam keberadaan subak itu sendiri. Kajian empirik yang dikemukakan di atas, mengimplikasikan bahwa kajian terhadap kelestarian subak di Bangli menjadi masalah sangat penting karena di satu pihak Subak sebagai lembaga yang bersifat Sosio-Agraris-Religius di Bali menghadapi beberapa permasalahan seperti semakin menyempitnya areal sawah (subak), semakin menurunnya kuantitas dan kualitas air irigasi, Serta arus modernisasi dan perubahan teknologi cukup tinggi melanda aspek kehidupan masyarakat, padahal kelestarian subak merupakan faktor utama keberadaan sektor pertanian. Oleh karenanya, diperlukan kajian imperik terhadap kelerstarian subak di Bali. Dengan demikian dapat diketahui apakah subak itu masih lestari jika Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 92
dilihat dari aktivitasnya yang berlandaskan Tri Hita Karana yang teridiri dari unsur parhyangan, pawongan, palemahan dan keadaan fisik jaringan irigasinya serta sistem pengelolaan air irigasinya. Beberapa jawaban yang diharapkan dalam paper ini. Pertama yaitu kelestarian subak dilihat dari aktivitasnya yang berlandaskan Tri Hita Karana, kedua bagaimana unsur-unsur Tri Hita Karana mempengaruhi kelestarian subak, ketiga aktivitas apa yang dilakukan subak untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dewasa ini.
METODE
Model Analisis Penelitian ini menggunakan 2 metode analisis data, yaitu analisis deskriptif dan analisis regresi logistik. Analisis deskriptif digunakan untuk memberi gambaran mengenai responden dan kelestarian subak. Analisis regresi logistik (logit) digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel-variabel parhyangan (X1), pawongan(X2), palemahan (X3), kondisi fisik jaringan irigasi (X4) dan sistem pengelolaan air irigasi (X5) terhadap kelestarian subak.
Analisis deskriftif Analisis ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, jumlah anggota keluarga, penguasahaan luas lahan. Kelestarian subak dideskripsikan aktivitasnya dengan unsur-unsur Tri Hita Karananya, kondisi jaringan irigasinya, sistem pengelolaan airnya. Interpretasi dalam analisis ini didasarkan pada ouput analisis yang berupa tabel frekuensi jawaban responden terhadap pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan karakteristik responden dan aktivitas subak yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana.
Analisis Regresi Logistik Model logit adalah model regresi yang dirancang secara khusus
untuk
menganalisis regresi dengan variabel dependen berupa variabel probabilitas, yaitu variabel yang nilainya berkisar antara 0 hingga 1. Model logit memungkinkan estimasi Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 93
persamaan regresi yang dapat menjaga agar hasil prediksi variabel dependennya tetap berada di rentang nilai 0 hingga 1. Penelitian ini menggunakan analisis regresi model logit yang diperlukan untuk menjawab apakah responden menjawab faktor-faktor yang mempengaruhi pelestarian subak, yaitu aktivitas subak yang berhubungan unsur parhyangan, unsur pawongan, unsusr palemahan, kondisi jaringan irigasi dan sistem pengelolaan air irigasi mempunyai pengaruh terhadap kelestarian subak.
Variabel terikat (variabel dependent) Y = 1, jika aktivitas subak yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana, kondisi fisik jaringan irigasi dan sistem pengelolaan air irigasi yang dilakukan oleh subak tetap lestari Y = 0, jika aktivitas subak yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana, kondisi fisik jaringan irigasi dan sistem pengelolaan air irigasi yang dilakukan oleh subak tidak lestari
Variabel bebas (variabel independent) Variabel bebas dalam model ini berfungsi untuk menjelaskan kelestarian subak yang dilihat dari aktivitasnya yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana, variabel tersebut terdiri atas 5, yaitu : 1. X1
= Unsur Parhyangan (aktivitas subak yang berhubungan dengan TuhanNya)
2. X2
=
Unsur Pawongan (aktivitas subak yang berhungan dengan sesama kerama subak)
3. X3 =
Unsur Palemahan (aktiviatas subak yang berhubungan dengan areal usahataninya/alam dan lingkungannya)
4. X4
=
Kondisi fisik jaringan irigasi
5. X5
=
Sistem pengelolaan air irigasi
Kelima variabel tersebut diukur berdasarkan nilai total skor dari pengukuran masing-masing indikator yang dimiliki : Dengan demikian , 94
Prob (Y = 1 x ) = P Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Prob (Y = 0 x ) = 1 - P
………………………………………………(1)
Karena E [ y | x ] = P, maka model regresinya adalah : y = E [ y | x ] + (y - E [ y | x ] ) = P + ε …………………………………….(2) Karena probabilitas (P) harus terletak antara 0 dan 1, maka terdapat pembatasan : 0 ≤ E [ y | x ] ≤ 1 …………………………………………………………….(3) Interpretasi pada model logit menunjukan besarnya probabilitas kelestarian subak ditunjukan oleh persamaan :
e
Prob (Y = 1 | x ) = P
z
1 ez
……………………………………………..(4)
= β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5
Dengan Z
Jika P adalah probabilitas untuk melestarikan subak, maka probabilitas diskontinuitas pelestarian subak adalah : Prob (Y = 0 | x ) = 1- P
1 1 ez
…………………………………………(5)
Dengan demikian, maka L
P 1 P
1 e 1e
z
ez
z
………………………………………………(6)
P 1 P
merupakan
odds ratio, yaitu perbandingan antara probalilitas untuk
tidak melestarikan subak. Sehingga, model logit dalam penelitian ini yang merupakan logaritma natural dari persamaan 6 adalah ; Li = Ln
P 1 P
= y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5
Dimana : Β1 – β5
= Koefisien regresi
P
= Probabilitas petani (krama subak) untuk melestarikan subak
P–1
= Probabilitas petani (krama subak) untuk tidak melestarikan subak
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
95
Data dan Kalibrasi Data yang digunakan bersumber dari 50 orang petani sampel subak di Bangli, 25 sampel berasal dari subak yang tidak mengalami alih fungsi lahan, dan 25 sampel dari subak yang mengalami alih fungsi lahan (penyempitan lahan, penurunan kualitas dan kuantitas air irigasi, perpindahan tenaga kerja ke sektor lain). Subak yang mengalami alih fungsi lahan, Subak Aya kecamatan Bangli. Sedangkan subak yang tidak mengalami alih fungsi lahan, Subak Sala Kecamatan Susut Bangli Pengumpulan data menggunakan koesioner yang disusun berdasarkan kisi-kisi teoritis dalam bentuk skala likert. Penggunaan skala likert dimaksudkan untuk mengetahui aktivitas subak yang berlandaskan Tri Hita Karana, kondisi fisik jaringan irigasi dan sistem pengelolaan air irigasi yang dilakukan oleh subak, yaitu skor 5 = sangat baik, skor 4 = baik; skor 3 = cukup baik; skor 2 = kurang baik dan skor 1 = buruk
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelestarian
Subak Ditinjau Dari Aktivitasnya Yang Berlandaskan Tri Hita
Karana Pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Dewi Sri) oleh krama subak atau petani masih tetap dilaksanakan hanya, di areal persawahan dan pura-pura subak saja dan sudah jarang dilakukan di rumah tangga masing-masing. Hal ini disebabkan petani sangat jarang memiliki lumbung terutama pemujaan terhadap
petani di subak Aya sehingga
Dewi Sri di rumah praktis tidak dapat dilakukan, biasanya
pemujaan dilakukan pada saat menaikan dan penurunan padi dari lumbung, dan petani sudah jarang menyimpan hasil panennya di lumbung karena padi sudah dijual pada saat di sawah dengan sistem tebasan. Sehingga sangat ironis ketika harga beras naik pada musim paceklik petani tidak dapat menikmati justru pedagang yang meraup keuntungan dari keadaan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan pembinaan yang lebih intensif terutama menyangkut masalah pentingnya lumbung keluarga Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 96
Pemasangan sunari, pindekan, ketuklak kepuakan dan petakut aktivitasnya dapat dikategorikan kurang baik, padahal tujuan pemasangan perlengkapan tradisional ini secara spritual diyakini untuk, meningkatkan produksi pertaman, hal ini disebabkan petani kurang memahami lagi makna dari pemasangan perlengkapan tersebut dan dianggap sebagai sarana mengusir hama khususnya burung, sehingga petani menggunakan sarana lainnya seperti dengan membentangkan pita isi kaset bekas, robekan plastik atau kain sebagai sarananya, sehingga nampak tidak asri dan bahkan terkesan kumuh. Peran teruna teruni kurang terorganisasi dan tidak aktif, hal ini karena anggota subak tidak berasal dari satu banjar yang sama sehingga agak kesulitan dalam melakukan koordinasi, disamping itu teruna teruni anggota subak, lebih mengutamakan aktifitasnya di banjarnya masing-masing. Demikim juga mengenai pemahaman cerita rakyat (mitologi) petani banyak tidak mengetahui, ini perlu dibina dan perlu disosialisasikan kepada
teruna-teruni (generasi muda) dan anak-anak sehingga
kelestarian subak tetap dapat dipertahankan. Aktivitas subak yang terkait dengan unsur parhyangan secara umum masih tetap dapat dilakukan, namun ada beberapa petani di subak Aya
aktivitasnya
dikategorikan buruk/tidak baik seperti: penentuan pedewasaan mulai hercocok tanam sudah tidak berpedoman pada sastra agama dan tatenger tajeging bintang tenggala serta bintang kartika sampai condong ke barat. Hal ini disebabkan petani hanya berfikir begitu habis panen, secepatnya untuk bisa melakukan penanaman berikutnya, mungkin hal ini adalah salah satu dampak dari diperkenalkannya padi varietas unggul yang dapat ditanam 3 kali dalam setahun. Demikian pula dengan upacara pada awal proses tanam padi seperti upacara mendak toya, ngendag (mulai bekerja) amuluku (mulai membajak) ngurit dan upacara nandur padi ada beberapa petani aktivitasnya dapat dikategorikan tidak baik. Upacara yang dilaksanakan selama masa pemeliharaan padi di sawah seperti upacara ngerainin padi, ngiseh, mabiya kukung dan ngerasakin masih tetap berjalan dengan baik, demikian juga upacara yang dilaksanakan pada waktu panen diawali dengan caru manyi lalu Dewi Nini (Nyangket) Kelengkapan Bale Subak mulai berkurang misalnya sudah tidak ditemukannya alat pengukur waktu (janggi), papan nama subak sudah kurang lengkap seperti tidak Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 97
ada papan data statistik areal produksi dan data subak. Kegotong-royongan untuk kepentingan subak yang dilaksanakan yaitu hanya 1-2 kali dalam satu musim tanam (MT), hal ini dapat dimengerti karena kebanyakan fasilitas subak seperti saluran air irigasi, tembuku pembagi air dibuat permanen. Demikian pula kegiatan gotong royong untuk kepentingan umum juga sangat jarang dilakukan yaitu hanya satu kali dalam enam bulan. Hal ini perlu mendapatkan perhatian baik dari subak itu sendiri maupun dari pemerintah karena dengan semakin menurunnya aktivitas gotong royong ini berarti pula rasa kebersamaan, rasa saling memiliki diantara anggota subak akan semakin menurun hal ini dapat mengancam keberadaan subak di masa-masa yang akan datang. Anggota subak kurang aktif mencari informasi pertanian, perkebunan, peternakan, kemasyarakatan sosial budaya baik lewat radio maupun televisi atau koran, selanjutnya sudah tidak ditemukan lagi anggota subak menjadi anggota klompencapir. Aktivitas subak yang terkait dengan unsur pawongan yang masih tetap berjalan dengan baik adalah perangkat organisasi subak masih lengkap yaitu ada krama, awigawig tertulis, struktur organisasi. Subak masih tetap melaksanakan sangkedan (rapat) ada suara kentongan/kulkul, menyahcah/absen, memakai bahasa Bali balus/lumrah. Banyak anggota subak di Subak Sala menjadi anggota Koperasi Unit Desa (KUD) dan untuk subak Aya hampir semua anggotanya tidak ada yang menjadi anggota KUD. Realisasi pembayaran PBB cukup baik yaitu mencapai 76 – 100% dari target Pelaksanaan pola tanam ditemukan tidak tertib yaitu tanam padi tidak serempak atau tolak sumur dan ini harus segera ditertibkan karena akan berdampak terhadap serangan hama dan penyakit tanaman yang sulit dikendalikan. Pemasaran basil dilakukan sendiri-sendiri dan belum dilakukan bersama dengan memanfaatkan jasa KUD. Subak sudah jarang memanfaatkan sawah sebagai tempat pemeliharaan ikan (minapadi) hal ini disebabkan karena semakin menurunnya kuantitas air dan umur padi yang relatif pendek yang tidak sesuai dengan masa panen ikan. Padi siap dipanen tetapi ikan belum siap panen sehingga petani mengalami kesulitan dalam mengelolanya. Petani di Subak Aya sudah jarang memanfaatkan potensi peternakannya misalnya pemanfaatan pematang sawah sebagai sumber hijauan makanan ternak, pemanfaatan limbah pertanian untuk makanan ternak, (sapi, itik). Pemanfaatan kotoran Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 98
ternak untuk pupuk dan demikian pula pemanfaatan potensi perkebunannya petani/krama subak sudah jarang memanfaatkannya hal itu mungkin dianggap tidak ekonomis untuk dikelola karena rata-rata luasan lahan dikuasai relatif sempit sehingga petani lebih banyak memanfaatkan waktu luangnya untuk mencari pekerjaan sampingan sebagai tukang atau buruh bangunan, namun sebaliknya dengan petani subak Sala potensi tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik, karena di subak Sala merupakan salah sentra produksi ternak sapi di kabupaten Bangli
Variabel-Variabel yang Berpengaruh Terhadap Kelestarian Subak Subak sebagai organisasi sosio, agraris religius yang berlandaskan Tri Hita Karana, dimana setiap langkah kegiatannya tidak terlepas dari 3 unsur penyebab keseimbangan dan keharmonisannya yaitu unsur parhyangan, pawongan dan palemahan.
Tabel 1 Variabel-Variabel Yang Berpengaruh Terhadap Kelestarian Subak Aya dan Subak Sala Tahun 2009
Subak No
Variabel
Total
Aya
Sala
Rata-
(skor)
(Skor)
rata
Kategori
(Skor) 1
Parhyangan (X1)
49,54
77,47
62,47
Cukup lestari
2
Pawongan (X2)
89,68
161,19
124,01
Cukup lestari
3
Palemahan (X3)
58,54
139,19
123,17
Cukup lestari
4
Kondisi Jaringan Irigasi (X4)
6,00
14,50
10,25
Cukup lestari
5
Sistem Pengelolaan Air (X5)
14,50
33,15
23,83
Cukup lestari
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
99
Subak Sala lebih lestari jika dibandingkan dengan Subak Aya. Berdasarkan Tabel 14 dapat juga disimpulkan,
bahwa petani telah memahami bahwa subak
merupakan kesatuan masyarakat adat yang bersifat sosio-agraris-ekonomis dan religius yang dilandasi falsafah Tri Hita Karana harus dilestarikan dan memelihara nilai-nilai, norma, etika, moral dan adat istiadat yang terkandung didalamnya agar tetap terjaga dan berlanjut sampai anak cucu mereka di masa yang akan datang.
Tabel 2. Hasil Analisis Logit Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Kelestarian Subak β (Koefisien)
Variabel
Signifikansi
Parhyangan (X1)
0,213*
0,000
Pawongan (X2)
0,163*
0,000
Palemahan (X3)
0,973*
0,000
Kondisi Jaringan Irigasi (X4)
0,138*
0,000
Sistem Pengelolaan Air (X5)
0,142*
0,000
Konstanta
-139,311
0,000
Sumber : Analisis data primer, 2009 Keterangan : *) signifikan pada α = 5%
Berdasarkan Tabel 2, maka dihasilkan persamaan logit sebagai berikut : Li =Ln =
P 1 P
= -139,311+0,213X1+0,163X2+0,973X3+0,138X4+0,142X5
Dari persamaan tersebut dapat diketahui probabilitas atau kemungkinan petani melakukan pelestarian subak, pada saat semua variabel bebas bernilai 0, maka probabilitas petani untuk melakukan pelestarian subak 0 persen. Nilai signifikansi pada Tabel 2, dapat diketahui semua variabel signifikan pada tingkat kepercayaan 5%. Unsur Parhyangan memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap kelestarian subak dengan koefisien regresi 0,213 signifikan pada taraf nyata α = 0,05. Unsur Parhyangan adalah pernyataan rasa sujud bakti petani anggota subak , kehadapan Tuhan Yang Mahaesa dalam segala manifestasinya, dilakukan dengan 100
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
berbagai jenis upacara keagamaan atau kegiatan ritual. Berbagai upacara keagamaan yang berkaitan dengan subak ada yang dilakukan secara kolektif atau bersama (tempek atau munduk, subak dan kabupaten/kota) dan ada pula yang dilakukan oleh masingmasing anggota subak secara perorangan. Berbagai jenis upacara keagamaan tersebut dilaksanakan di tempat suci atau tempat pemujaan yang disebut pura, baik pura milik bersama atau milik subak maupun pura milik petani perorangan yang menjadi anggota subak. Unsur Pawongan memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap kelestarian subak dengan koefisien regresi 0,163 signifikan pada taraf nyata α = 0,05. Unsur pawongan adalah hubungan antara manusia dengan manusia sebagai salah satu komponen Tri Hita Karana, diantaranya mencakup anggota atau krama subak, pengurus subak , awig-awig subak, sangkep atau rapat subak, dana subak, gotongroyong tolong menolong dan konflik. Anggota suatu subak adalah petani pemilik/penggarap sawah-sawah yang digarap itu berlokasi di wilayah subak yang bersangkutan. Anggota suatu subak dapat berasal dari beberapa desa, dan petani pemilik penggarap sawah dapat menjadi anggota pada lebih dari satu subak. Unsur Palemahan memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap kelestarian subak dengan koefisien regresi 0,973 signifikan pada taraf nyata α = 0,05. Unsur palemahan konsep ini memberikan arahan bagaimana subak dan anggotanya mengolah dan memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas yang terdiri atas tanah atau lahan pertanian, air irigasi, tanaman dan hewan agar dapat memberikan hasil pertanian secara optimal, menjaga kelestarian alam dapat memberikan kesejahteraan bagi seluruh anggota subak beserta keluarga mereka masing-masing Konsdisi jaringan irigasi memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap kelestarian subak dengan koefisien regresi 0, 138 signifikan pada taraf nyata α = 0,05. Berbagai macam saluran irigasi subak seperti saluran utama (saluran pembawa primer) kalau tertutup (terowongan) dinamakan aungan dan kalau terbuka disebut telabah-gede/telabah aya. Telabah pemaron gede (saluran skunder), telabah pemaron cenik (saluran tersier), telabah pengalapan (saluran kuarter), talikunda (saluran cacing) adalah saluran yang mendistribusikan air secara adil untuk setiap sikut sawah. Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
101
Sistem pengelolaan air irigasi memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap kelestarian subak dengan koefisien regresi 0,142 signifikan pada taraf nyata α = 0,05. Subak sebagai sistem irigasi sekaligus sebagai organisasi para petani dalam bidang irigasi, mempunyai tujuan untuk memberikan kesejahteraan lahir batin (moksa artham jagathita) bagi para anggotanya melalui usaha produksi pangan khususnya beras. Untuk itu diperlukan berbagai kegiatan yaitu, salah satunya manajemen atau pengelolaan air irigasi dalam arti mengatur, membagi, serta mengalirkan air agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para petani anggota subak pada sawahnya masingmasing.
PENUTUP
1) Kelestarian subak jika ditinjau dari aktivitasnya yang berdasarkan konsep Tri Hita Karana adalah cukup lestari, subak yang tidak mengalami alih fungsi lahan lebih lestari jika dibandingkan dengan subak yang mengalami alih fungsi lahan. 2) Variabel-variabel unsur-unsur Tri Hita Karana seperti parhyangan, pawongan dan palemahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kelestarian subak, demikian juga variabel kondisi jaringan irigasi dan sistem pengelolaan irigasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kelestarian subak. 3) Pembinaan dan penyuluhan perlu terus dilakukan, terutama kepada subak yang mengalami alih fungsi lahan, karena banyak aktivitasnya yang kurang baik dan buruk, seperti kegotong-gotong royongan, sistem pengelolaan air irigasi yang merupakan azas esensial dari subak tersebut. Sehingga diharapkan subak dapat berkembang sepanjang jaman dan tetap lestari.
Daftar Pustaka Argawal, H.S., 1998. Modern Micro Economics. 6th resived and anlarged edition. Kornak Publisher PUTLTD Biro Pusat Statistika, 2007. Bali Dalam Angka Bali in Figure. BPS Propinsi Bali, Denpasar 102
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Dixon, J.A., and Hufschmidt, M., 1986. Economic Valuation Techniques For The Environmental: A case Study Workbook, The John Hopkins University Press, Copyright by The East-West Centre, East-West Environment and Policy Institute, All Rights Reserved. Diterjemahkan oleh Sukanto Reksohadiprodjo, Gadjah Mada University Press. Dinas Kebudayaan Bali, 2009. Statistik Kebudayaan Bali. Denpasar Cater, E. 1997. Ecotourism: dimensions of sustainability, paper yang dipresentasikan dalam International Seminar of Ecouturism for Forest Conservation and Community Development, 28-31 January 1997, Chiang Mai, Thailand. Fauzi, Ahmad, 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Gittinger, J.P., 1982. Economic Analysis of Agricultureal Projects, Baltimore, Johns Hopkins University Press Goodland, R. 1996. Environmental sustainability: universal and negotiable. Ecological application, 64:1002-1017. Groendfeldt, David, 2003. Multi-functional roles of irrigation with special reference to paddy cultivation, World Water Council 3rd World Water Forum, Kyoto, Japan. Grumbine, R.E. 1994. What is ecosystem manajemen? Conservation Biology, 8:27-38. Hufschmidt, Maynard M. and David, 1992. Environmental, Natural System, and Development: An Economic Valuation Guide, The John Hopkins University Press, Copyright by The East-West Centre, East-West Environment and Policy Institute, All Rights Reserved. Diterjemahkan oleh Sukanto Reksohadiprodjo, Editor Sugeng Martopo, Cetakan Kedua, Gadjah Mada University Press. Husein, Harun M., 1993. Lingkungan Hidup, Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, PT. Bumi Aksara, Jakarta. Harahab, Nuddin, 2008. Analisis Ekonomi-Ekologi Perencanaan Wilayah Hutan Mangrove. Disertasi Program Pascasarjana Unibraw. Malang. Kwun, Soon-kuk, 2002. Multi-functional roles in paddy fields and on –farm irrigation, World WaterCouncil 3rd World Water Forum, Otsu, Shiga, Japan. Lansing, J.S. 1995. The Balinese. Harcourt Brace College Publisher, Tokyo. Lansing, J.S., J.N. Kremer, V. Gerhart, P. Kremer, A. Arthawiguna, S.P.K. Surata, Suprapto, I.B. Suryawan, I.G. Arsana, V.L. Scarborough, J. Schoenfelder & K. Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 103
Mika. 2001. Analysis volcanic fertilization of Balinese rice paddies. Ecological Economic, 38:383-900. Lansing, J.S. 1995. The Goddess. Prentice Hall, New Jersey (in press). Munasinghe, M., and E. Lutz, 1993.
Environmental Economics and Valuation in
Development Decision Making. Environmental Economics and Natural Resources Management in
Developing Countries, Edited by Mohan
Munasinghe, Compiled by Adelaide Schwab, Committee of International Development Institution on The Environment (CIDIE), Distributed for CIDIE by The World Bank Washington, DC. Mizutani, Masakazu, 2002. Multi-functional roles of paddy field irrigation in the Asia monsoon region,World Water Council 3rd World Water Forum , Otsu ,Shiga, Japan. Minitab, Inc. 1996. Minitab Release 11.12. www.minitab.com Nasendi dan Anwar Afeffendi, 1985. Program Linear dan Variasinya. Penerbit PT. Gramedia Jakarta Odum, W.E., and E.J.Heald, 1975. The Response of Mangrove to man-in-duced environmental stress, pp: 52-62, In Ferguson Wood, E.J., and R.E. Johannes (eds.) Tropical marine pollution, Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam. Pearce David, W. and Turner R. Kerry, 1990. Economic of Natural Resources and Environment, Harvester Weatsheaf New York London, Toronto Sydney Tokyo. Reksohadiprodjo Sukanto dan Andreas Budi P.B., 1997. Ekonomi. Lingkungan, Suatu Pengantar, Edisi Pertama, Cetakan kelima, BPFE, Yogyakarta Sedana, Gede, 1999. Pengembangan Fungsi Subak Dalam Menghadapi Tantangan di Masa Depan. Makalah disampaikan pada Diskusi Terbatas (SITAS) II Kerjasama FP. Undwi dengan Jaringan Komunikasi Irigasi (JKI) di Unmas Denpasar Sudita, Made dan Made Antara, 2006. Nilai Sosial-Ekonomi Air di Kawasan Pura Tirta Empul Desa Manukaya, Kabupaten Gianyar, Bali: Suatu Pendekatan Ekonomi Lingkungan. (dalam Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis “SOCA”, Vol 6 No.2:109-216, Juli 2006), diterbitkan oleh Fakultas Pertanian Universitas 104
Udayana. Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Supardi, I., 1985. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya, Penerbit Alumni, (Cetakan Kedua), Bandung. Suradisastra, K, Sejati, WK, Supriatna, Y, Hidayat, D. 2002. Institutional description of the Balinese subak. Jurnal Litbang Pertanian, 21 (1):7-16. Sutawan, N; M Swara; W Windia; N Sutjipta. 1984. Studi Perbandingan Subak dalam Sistem Irigasi non-PU dan Subak dalam Sistem Irigasi PU (Kasus Subak Timbul Baru dan Subak Celuk, Kab. Gianyar) UNUD Denpasar Sutawan, N, W.Windia, M Swara, G.Sedana, IGM. Putra Marjaya, 1991. Penelitian Aksi Pembentukan Wadah Koordinasi antar Sistem Irigasi (Subak Agung) di wilayah Kabupaten Tabanan dan Buleleng. UNUD Denpasar Sutawan, N., 1996. Struktur dan Fungsi Subak. Makalah Peranan Berbagai Program Pembangunan Dalam Melestarikan Subak di Bali. UNUD Denpasar. Sutawan, N., 2005. Revitalisasi Subak Dalam Memasuki Era Globalisasi. Penerbit Andi Offset. Yogyakarta Sutawan, N., 2007. Organisasi dan Manajemen Subak di Bali. Penerbit Pustaka Bali Post. Denpasar Sutjipta, N dan W. Windia, 1996. Pengaruh Program Pemerintah Terhadap Ketradisionalan Dinamika Kelompok dab Mutu Hidup Anggota Subak. Makalah Peranan Berbagai Program Pembangunan Dalam Melestarikan Subak di Bali, UNUD, Denpasar Surata, S.P.K, I.W.A.A. Wiguna , I.G.M.O. Suprapta & J.S. Lansing. 2004. Respon Biologi Tanaman Padi di Bali terhadap Pengurangan Penggunaan Pupuk Fosfat dan Nitrogen Anorganik. Makalah pada seminar nasional tentang”Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Lokal untuk Mendukung Pembangunan Pertanian” yang diselenggarakan atas kerjasama Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian Departemen Pertanian RI dan BPTP Bali, di Kuta Bali, 6 Oktober 2004. Surata, S.P.K. 2003. Budaya padi dalam subak sebagai model pendidikan lingkungan. Hal. 81-97. Di dalam Kasryno, F., E. Pasandaran & A.M. Fagi (Penyunting). Subak dan Kerta Masa. Kearifan Lokal Pendukung Pertanian Berkelanjutan. Yayasan Padi Indonesia, Jakarta. Surata, S.P.K., & I.W.A.A. Wiguna. 2003. Persepsi wisatawan terhadap fungsi ganda subak. Prosiding Seminar Nasional tentang Revitalisasi Teknologi Kreatif Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 105
dalam Mendukung Agribisnis dan Otonomi Daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Teknologi Pertanian. Denpasar, 7 Oktober 2003 Suhendang, Endang, 1996. Ekologi., Ekologisme, dan Pengendalian Sumberdaya Hutan: Ekologi vs Ekonomi. Gagasan, Pemikiran, dan Karya Ishemat Soerianegara. Dirterbitkan oleh : Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. ISBN:979-95044-2-X Windia I Wayan., 2002. Transformasi Sistem Irigasi Subak yang Berlandaskan Konsep Tri Hita Karana. Disertasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Windia I Wayan., 2006. Transformasi Sistem Irigasi Subak yang Berlandaskan Konsep Tri Hita Karana. Penerbit Pustaka Bali Post, Denpasar.
106
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM