PENGEMBANGAN MODEL RANCANGAN IRIGASI TETES PADA SISTEM IRIGASI AIRTANAH DANGKAL YANG BERKELANJUTAN DI KABUPATEN NGANJUK – JAWA TIMUR
PRASTOWO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PENGEMBANGAN MODEL RANCANGAN IRIGASI TETES PADA SISTEM IRIGASI AIRTANAH DANGKAL YANG BERKELANJUTAN DI KABUPATEN NGANJUK – JAWA TIMUR
PRASTOWO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Teknik Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Model Rancangan
Irigasi
Tetes
pada
Sistem
Irigasi
Airtanah
Dangkal
yang
Berkelanjutan di Kabupaten Nganjuk- Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2007
Prastowo NIM F.161030112
ABSTRACT PRASTOWO. Development of Trickle Irrigation Design Model for Sustainable Shallow Groundwater Irrigation System in Nganjuk Regency, East Java. Under direction of SOEDODO HARDJOAMIDJOJO, BAMBANG PRAMUDYA, and KUKUH MURTILAKSONO. The exploitation of groundwater for irrigation in Indonesia has not yet yield even maximum benefit relatively, necessitating efforts to increase the performance of groundwater irrigation networks. One of these efforts is the improvement of irrigation efficiency through the application of frugal water technology in irrigation. The objective of this research is to develop a model for designing trickle irrigation within sustainable shallow groundwater irrigation systems that can ensure an adequate supply of water for plant growth, while taking into consideration the conservation of shallow groundwater, the need for a high level of irrigation efficiency, and financial feasibility. The technical performance of shallow groundwater irrigation schemes (SGWIS) has been evaluated by using the parameters of well efficiency, pump operation, and irrigation efficiency. Research indicates that well efficiency is around 55-77% with optimum discharge of 4–12 l/s. Relatively, the performance of pump operation was not optimum, and the irrigation efficiency varied at 49-81%. Based on existing criteria, the technical performance of SGWIS in the research area was relatively better than in other regions of Indonesia. However, it might be possible to enhance performance, either by the improvement of pump operation management, the conveyance system, or the technology of irrigation application. The design criteria of trickle irrigation have been developed, and include the water sufficiency criterion, the hydraulics criterion, and the financial criterion. These criteria could be developed as a design standard for trickle irrigation systems in shallow groundwater irrigation schemes. The results of analysis indicate that the water requirement values for secondary/horticultural crops are 0.60 – 0.67 l/s.ha. In order to achieve an irrigation coverage which is greater or equal to the influenced area, the efficiency of the shallow groundwater irrigation network must be increased by a minimum of 80%. The total provision of irrigation water varied between 4.9 and 20.7 mm per application, with the interval of irrigation at 1 – 3 days. The potential irrigation coverage area ranges from 4.5 to 13.5 ha/well. The hydraulic design criteria of sub-unit has been developed into some tables, nomogram, and computer programme, and includes parameters of diameter and length of manifold and lateral pipelines. The financial feasibility of the application of trickle irrigation in the shallow groundwater irrigation network depends on the size of the irrigation service area and the type of crops cultivated. The breakeven point for trickle irrigation for watermellon crops is an area of 3.4 ha in Pehserut Village and 10.19 ha in Kapas Village, while for chilis the area is 2.84 ha in Pehserut and 8.53 ha in Kapas Village. For an irrigation service area of 13.5 ha, the internal rate of return (IRR) values for the application of trickle irrigation for chili and watermelon crops are 55% and 42% respectively. Key words: hydraulics criteria, irrigation efficiency, pumps operation, shallow groundwater, water sufficiency, financial feasibility
RINGKASAN PRASTOWO. Pengembangan Model Rancangan Irigasi Tetes Pada Sistem Irigasi Airtanah Yang Berkelanjutan di Kabupaten Nganjuk - Jawa Timur. Dibimbing oleh SOEDODO HARDJOAMIDJOJO, BAMBANG PRAMUDYA, dan KUKUH MURTILAKSONO. Pemanfaatan airtanah untuk irigasi di Indonesia relatif belum memberikan manfaat yang maksimum, di antaranya diperlukan upaya peningkatan kinerja jaringan irigasi airtanah. Salah satu upaya tersebut adalah peningkatan efisiensi irigasi, melalui penerapan teknologi irigasi hemat air. Tujuan umum penelitian adalah untuk mengembangkan model rancangan irigasi tetes pada sistem irigasi airtanah dangkal yang berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian adalah untuk 1) mengembangan kriteria kecukupan air untuk memperoleh suatu rancangan irigasi tetes yang dapat menjamin kecukupan air bagi pertumbuhan tanaman dengan mempertimbangkan konservasi airtanah dangkal, 2) mengembangkan kriteria hidrolika untuk memperoleh suatu rancangan irigasi tetes yang mempunyai efisiensi irigasi tinggi, dan 3) mengembangkan kriteria finansial untuk memperoleh suatu rancangan irigasi tetes yang layak secara finansial. Kinerja teknis jaringan irigasi airtanah (JIAT) dangkal telah dievaluasi dengan parameter efisiensi sumur, operasi pompa, dan efisiensi irigasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi sumur berkisar antara 55-77% dengan debit pemompaan optimum sebesar 4 l/det di Desa Pehserut dan 12 l/det di Desa Kapas. Kinerja pengoperasian pompa relatif belum optimum, dan efisiensi irigasi bervariasi antara 49-81%. Kinerja teknis JIAT dangkal di lokasi penelitian relatif lebih baik dibanding dengan daerah lain di Indonesia. Namun demikian, kinerja JIAT dangkal tersebut masih dapat ditingkatkan melalui perbaikan pengelolaan pompa, perbaikan sistem penyaluran air irigasi maupun teknologi aplikasi irigasi. Model rancangan irigasi tetes pada sistem irigasi airtanah dangkal yang berkelanjutan telah dapat dikembangkan dalam bentuk koefisien, tabel nomogram, dan program komputer. Dengan model rancangan tersebut, perancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal dapat dilakukan dengan lebih mudah dan sistematis, untuk memperoleh suatu rancangan irigasi tetes yang dapat menjamin kecukupan air irigasi, mengendalikan muka airtanah, mempunyai efisiensi irigasi tinggi, dan layak secara finansial. Kriteria rancangan irigasi tetes yang telah dikembangkan meliputi kriteria kecukupan air, kriteria hidrolika, dan kriteria finansial. Kriteria rancangan tersebut dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi referensi rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai satuan kebutuhan air untuk tanaman palawija/hortikultura sebesar 0,60 – 0,67 l/det.ha. Untuk mencapai luas layanan irigasi lebih besar atau sama dengan luas areal terpengaruh, efisiensi irigasi JIAT dangkal harus ditingkatkan minimal sebesar 80%. Jumlah pemberian air irigasi bervariasi antara 4,9 – 20,7 mm per aplikasi dengan interval irigasi 1 – 3 hari. Luas layanan irigasi potensial berkisar antara 4,5 – 13,5 ha/sumur.
Kriteria rancangan hidrolika sub-unit telah dapat dikembangkan dalam bentuk tabel, nomogram, dan program komputer, meliputi diameter dan panjang pipa manifold serta diameter dan panjang pipa lateral. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan spesifikasi penetes, Ha= 50-150 kPa dan qa= 1,412,42 l/jam, diameter pipa lateral yang sesuai dengan bentuk dan ukuran petakan lahan sawah pada JIAT dangkal di lokasi penelitian adalah 13 mm dan 19 mm. Dengan diameter pipa lateral tersebut, diameter pipa manifold yang memenuhi persyaratan hidrolika adalah 40 mm, 50 mm dan 65 mm. Kelayakan finansial penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal tergantung pada luas layanan irigasi (LLI) dan jenis tanaman yang dibudidayakan. Titik impas areal layanan irigasi tetes untuk tanaman semangka adalah seluas 3,4 ha di Desa Pehserut dan 10,19 ha di Desa Kapas, sedangkan untuk tanaman cabe seluas 2,84 ha di Desa Pehserut dan 8,53 ha di Desa Kapas. Pada tingkat LLI sebesar 13,5 ha, nilai internal rate of return (IRR) penerapan irigasi tetes untuk tanaman cabe dan semangka masing-masing sebesar 55% dan 42%. Dengan batasan persyaratan teknis dan kondisi kepemilikan lahan oleh petani, kriteria rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal hanya dapat diterapkan apabila pengelolaan sumur/pompa dilakukan secara kelompok. Hal ini berarti bahwa penerapan model rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal masih memerlukan pengaturan kelembagaan pengelolaan di tingkat usahatani. Penerapan model rancangan irigasi tetes yang telah dikembangkan dalam penelitian ini diharapkan dapat menjamin keberlanjutan pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi, dengan mengendalikan keseimbangan antara ketersediaan airtanah sebagai suatu sumberdaya dan debit pemompaan sumur sebagai suatu kebutuhan. Model rancangan tersebut merupakan suatu perangkat yang dapat digunakan untuk mendukung pemanfaatan airtanah untuk irigasi yang secara teknis dapat dikerjakan, layak secara finansial, dan berwawasan lingkungan. Kata-kata kunci : kriteria hidrolika, efisiensi irigasi, operasi pompa, airtanah dangkal, kecukupan air, kelayakan finansial
Judul Disertasi
: Pengembangan Model Rancangan Irigasi Tetes pada Sistem Irigasi Airtanah Dangkal yang Berkelanjutan di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur
Nama
: Prastowo
NIM
: F.161030112
Program Studi
: Ilmu Keteknikan Pertanian
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Soedodo Hardjoamidjojo, M.Sc Ketua
Prof.Dr.Ir. Bambang Pramudya, M.Eng Anggota
Dr.Ir. Kukuh Murtilaksono, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Armansyah H. Tambunan
Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 31 Juli 2007
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayahNya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini berjudul ”Pengembangan Model Rancangan Irigasi Tetes pada Sistem Irigasi Airtanah Dangkal yang Berkelanjutan di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur”, yang merupakan hasil penelitian penulis selama tahun 2005 – 2006. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyempurnakan metode perencanaan dan perancangan irigasi tetes, untuk meningkatkan efisiensi sistem irigasi airtanah dangkal yang berkelanjutan. Ucapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah membantu penyusunan disertasi ini, antara lain kepada: 1. Prof.Dr.Ir. Soedodo Hardjoamidjojo, MSc selaku ketua Komisi Pembimbing 2. Prof.Dr.Ir. Bambang Pramudya, M.Eng selaku anggota Komisi Pembimbing 3. Dr.Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. selaku anggota Komisi Pembimbing 4. Dr.Ir. Nora H.Pandjaitan, DEA selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup 5. Dr.Ir. Basuki Hadimoelyono, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka 6. Dr.Ir. Surya Darma Tarigan, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka 7. Bupati Kabupaten Nganjuk 8. Rektor Institut Pertanian Bogor 9. Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor 10. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 11. Ketua Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian, Sekolah Pascasarjana IPB 12. Ketua Departemen Teknik Pertanian, Fateta IPB 13. Kepala Bagian Teknik Tanah dan Air, Dep TEP Fateta IPB 14. Isteriku Nurlaela Mustafa, serta anak-anakku Isa Budiwan dan Musa Darmawan 15. Karib kerabat dan rekan-rekan penulis: Pak Kudang, Pak Suhatmono, Pak Sukarsono, Pak Poerwantono, Sutoyo, Sarwoto, Supriyanto, Liyantono, Gerald, Sanz, dan Slamet. Disertasi ini dipersembahkan kepada orang tua penulis, alm Bapak Sailillah Hardjosuwito dan almh Ibu Sianah, serta mertua penulis alm Bapak Mustafa Zahri dan Ibu Zubaidah, juga kepada isteri dan anak-anakku tersayang. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi pembangunan pertanian dan pengairan di Indonesia. Bogor, Agustus 2007
Prastowo
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Nganjuk pada tanggal 17 Februari 1958 sebagai anak ke-dua dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Sailillah Hardjosuwito dan Ibu Sianah. Tahun 1975 penulis lulus dari SMA Negeri Nganjuk dan pada tahun 1976 melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor. Gelar Sarjana Mekanisasi Pertanian diperoleh pada tahun 1980 di Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1989 penulis melanjutkan studi S2 di bidang teknik irigasi di Center for Irrigation Engineering, Katholieke Universiteit Leuven Belgium, dan lulus pada bulan Juli tahun 1991. Tahun 2003 penulis melanjutkan studi program doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis menikah pada tanggal 5 Januari 1986 dengan Nurlaela Mustafa, dan dikaruniai dua anak laki-laki, yaitu Isa Budiwan (21 tahun) dan Musa Darmawan (12 tahun). Sejak lulus pendidikan sarjana hingga tahun 1986, penulis bekerja di proyekproyek transmigrasi, perusahaan konsultan pertanian, dan kontraktor pembukaan lahan perkebunan. Mulai tahun 1986 penulis menjadi staf pengajar pada Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dan mengajar mata kuliah Teknik Irigasi dan Drainase, Rancangan Irigasi Curah dan Irigasi Tetes, Rancangan Prasarana Pengelolaan Lahan dan Air, Teknik Suplai Air, serta Sistem Manajemen Lingkungan. Selain mengajar, penulis juga aktif melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat, khususnya di bidang pengairan dan lingkungan.
viii
© Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya
ix
DAFTAR ISI
I
II
III
IV
DAFTAR ISI ……………………………………………………….
ix
DAFTAR TABEL …………………………………………………………
xi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………
xii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………
xiv
KETERANGAN SIMBOL ………………………………………………
xvi
PENDAHULUAN …………………………………………………………
1
1.1. Latar Belakang ……………………………………………………
1
1.2. Rasional ...................................................................................
7
1.3. Tujuan ......................................................................................
8
1.4. Kebaharuan Penelitian (Novelty) ..............................................
10
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
11
2.1. Airtanah dan Jaringan Irigasi Airtanah .....................................
11
2.2. Jaringan Irigasi Tetes ...............................................................
14
2.2.1. Komponen Irigasi Tetes ................................................
14
2.2.2. Faktor-faktor Rancangan Irigasi Tetes ..........................
15
2.2.3. Prosedur Rancangan Irigasi Tetes ................................
16
2.3. Pompa Air .................................................................................
22
2.4. Kebutuhan Air Irigasi ...............................................................
24
2.5. Kelayakan Finansial Proyek Pertanian .....................................
30
METODOLOGI .................................................................................
34
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .....................................................
34
3.2. Pendekatan Konseptual ...........................................................
34
3.3. Metode Pengumpulan Data ......................................................
35
3.4. Metode Analisis Data ...............................................................
38
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................
41
4.1. Kinerja Jaringan Irigasi Airtanah Dangkal ................................
41
4.1.1. Karakteristik Akifer dan Sumur ......................................
41
4.1.2. Pompa Air dan Areal Layanan Irigasi …………………...
45
4.1.3. Pola Tanam dan Aplikasi Irigasi …………………………
49
4.1.4. Biaya Irigasi ………………………………………………..
50
x
4.2. Kriteria Rancangan Irigasi Tetes pada Jaringan Irigasi
V
Airtanah Dangkal ………………………………………………….
59
4.2.1. Kriteria Kecukupan Air Irigasi ……………………………
60
4.2.2. Kriteria Hidrolika Pipa dan Hidrolika Pompa ................
70
4.2.3. Kriteria Kelayakan Finansial .........................................
79
4.2.4. Sintesa Kriteria Rancangan Irigasi Tetes .....................
86
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
90
5.1. Kesimpulan ...............................................................................
90
5.2. Saran ........................................................................................
91
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
92
LAMPIRAN .......................................................................................
97
xi
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
Jari-jari pengaruh sumur ……………………………………………
13
Tabel 2
Koefisien tanaman (kc) palawija...............................................
25
Tabel 3
Metode pengumpulan data ……………………………………
37
Tabel 4
Kriteria rancangan hipotetik sistem irigasi tetes .....................
40
Tabel 5
Hasil uji pemompaan ..............................................................
41
Tabel 6
Karakteristik akifer dan sumur ................................................
42
Tabel 7
Nilai LLIact dan LAT …………………………………………….
46
Tabel 8
Jumlah pemberian air irigasi aktual ……………………………
51
Tabel 9
Hasil perhitungan satuan kebutuhan air (SKA) ......................
52
Tabel 10
Rekapitulasi perhitungan efisiensi irigasi ................................
54
Tabel 11
Perbandingan nilai LLIact, LLIpot, dan LAT ……………………
55
Tabel 12
Hasil perhitungan biaya irigasi ................................................
58
Tabel 13
Nilai beberapa parameter rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal dari segi kecukupan air ………………………………
63
Tabel 14
Spesifikasi teknis penetes ......................................................
71
Tabel 15
Contoh tabel penentuan panjang maksimum pipa lateral dan pipa manifold dengan tipe penetes point source A .................
75
Tabel 16
Ukuran sub-unit irigasi tetes pada JIAT dangkal ....................
78
Tabel 17
Rangkuman hasil training dan hasil validasi pendugaan panjang lateral dan panjang manifold dengan jaringan syaraf tiruan ........................................................................................
Tabel 18 Tabel 19
80
Nilai incremental cost dan incremental benefit penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal …………………………………
83
Hasil perhitungan IRR (incremental 2 musim) penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal ...............................................
85
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1
Kilas-jejak penelitian tentang penerapan irigasi tetes …………
7
Gambar 2
Diagram alir perumusan masalah ………………….…………...
9
Gambar 3
Penampang melintang tipe sumur gravitasi pada tanah homogen …………………………………………………………...
12
Gambar 4
Skema jaringan irigasi airtanah dangkal ..................................
13
Gambar 5
Komponen dan tata letak tipikal sistem irigasi tetes …………..
14
Gambar 6
Prosedur rancangan irigasi tetes .............................................
18
Gambar 7
Distribusi head tekanan pada sub unit .....................................
19
Gambar 8
Hubungan head tekanan dan variasi debit penetes .................
19
Gambar 9
Hubungan antara kecepatan spesifik, bentuk impeller, efisiensi, dan tipe pompa .........................................................
22
Gambar 10
Kurva debit-head pada sambungan pompa dengan sumur ......
23
Gambar 11
Skema neraca air tanah pada daerah perakaran ....................
28
Gambar 12
Pengaruh terhadap titik impas apabila biaya tidak tetap per unit berkurang ..........................................................................
32
Gambar 13
Kerangka pemikiran dan lingkup penelitian .............................
35
Gambar 14
Grafik penentuan debit pemompaan optimum .........................
43
Gambar 15
Skema perkiraan jari-jari pengaruh ..........................................
47
Gambar 16
Skema rasio Qa/Qc dan rasio Ha/Hs pada kurva H-Q pompa ....
49
Gambar 17
Penampang melintang lahan tanaman padi sawah dan hortikultura ...............................................................................
51
Gambar 18
Nilai SKA dengan skenario pergeseran jadwal tanam .............
53
Gambar 19
Variasi nilai LLIpot dengan skenario pola tanam dan efisiensi irigasi ........................................................................................
57
Gambar 20
Skema neraca air tanah pada daerah perakaran di lokasi penelitian ..................................................................................
61
Gambar 21
Nomogram penentuan nilai LLIpot penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal .............................................................................
63
Gambar 22
Nomogram penentuan nilai LLIpot penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal sesuai dengan lama operasi (Ta) dengan nilai Ud=0,6 l/det.ha .........................................................................
65
Gambar 23
Nomogram penentuan lama irigasi sesuai dengan debit penetes dengan spasi penetes 0,5mx0,5m, Ud=0,6 l/det.ha ....
66
xiii Gambar 24
Nomogram penentuan LBI penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal dengan spasi penetes 0,5 m x 0,5 m ……...................
67
Gambar 25
Grafik hasil perhitungan jumlah pemberian irigasi dan interval irigasi ........................................................................................
68
Gambar 26
Grafik hubungan antara panjang lateral dengan debit penetes(Øl = 13mm; Ha= 3,5 m; qa=1,41 l/jam; spasi penetes = 0,5 m) ....................................................................................
72
Gambar 27
Grafik hubungan antara panjang lateral dengan tekanan kerja penetes (Øl = 13mm; Ha= 3,5 m; qa=1,41 l/jam; spasi penetes = 0,5 m) ....................................................................................
72
Gambar 28
Grafik hubungan antara panjang manifold dengan tekanan kerja (Øl = 13mm; Ha=3,5 m; qa=1,41 l/jam; spasi penetes=0,5 m) .............................................................................................
73
Gambar 29
Contoh nomogram untuk menentukan ukuran pipa manifold dan pipa lateral ........................................................................
76
Gambar 30
Skema tata letak irigasi tetes pada JIAT dangkal ....................
78
Gambar 31
Sensitivitas nilai titik impas luas areal irigasi tetes pada JIAT dangkal terhadap penurunan keuntungan usahatani ...............
84
Gambar 32
Sensitivitas nilai IRR penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal terhadap penurunan usahatani ………………………..
86
Gambar 33
Diagram model rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal ....
88
xiv
KETERANGAN SIMBOL ac
persentase reduksi tenaga akibat elevasi lokasi dan iklim (persamaan 16)
d
kedalaman kotor maksimum air irigasi yang harus diberikan setiap aplikasi, mm (persamaan 32, 33, 35)
dn
kedalaman bersih air irigasi yang diberikan per irigasi untuk memenuhi kebutuhan konsumtif tanaman, mm (persamaan 31)
dx
kedalaman bersih maksimum air per irigasi, mm (persamaan 29, 30)
fa
Interval irigasi aktual, hari (persamaan 31, 35)
fr
faktor untuk menjaga bilamana tenaga penggerak beroperasi terus-menerus pada kapasitas maksimum = 1,1 – 1,2 (persamaan 16)
fx
interval irigasi maksimum, hari (persamaan 30)
g
percepatan gravitasi = 9,81 m/det2 (persamaan 16)
h
ketinggian elevasi air sumur, diukur dari dasar/formasi kedap, L (persamaan 1)
h
total head dinamik - TDH, m (persamaan 15, 16)
i
tingkat suku bunga yang berlaku (persamaan 39, 40, 41, 42)
kc
koefisien tanaman (persamaan 19)
ky
nilai faktor respon hasil tanaman
m
nomor urut data setelah data diurut dari yang terbesar ke data yang terkecil (persaman 22)
n
jam penyinaran aktual hasil pengukuran, jam/hari (persamaan 21)
n
jumlah tahun pengamatan (persaman 22)
n
jumlah tahun (persamaan 39, 40, 41, 42)
n
jumlah produk yang dihasilkan, unit/tahun (persamaan 37)
P
faktor tanaman, yaitu fraksi air tanah tersedia yang siap digunakan untuk evapotranspirasi tanaman (persamaan 28)
q
debit penetes, l/jam (persamaan 5)
qa
rata-rata debit penetes yang diukur/dirancang, l/jam (persamaan 34)
xv
r
jari-jari sumur, L (persamaan 1)
t
tahun ke 1, 2, 3, ...., n (persamaan 39, 40, 41, 42)
x
eksponen debit penetes (persamaan 5)
A
luas lahan yang akan diirigasi, ha (persamaan 36)
Bt
manfaat tahun ke- (persamaan 39, 40, 41)
C
faktor koreksi yang tergantung pada kelembaban rata-rata dan bulan (persamaan 20)
Ct
biaya tahun ke- (persamaan 39, 40, 41`)
D
diameter pipa, mm
E
beda elevasi pompa dengan lahan tertinggi, m (persamaan 14)
Ea
efisiensi pemberian air, % (persamaan 24, 26)
Ec
efisiensi penyaluran air irigasi, % (persamaan 23, 26)
Ef
efisiensi irigasi (persamaan 17, 18, 26, 43)
Ep
efisiensi pompa (persamaan 15)
Eu
efisiensi pemakaian air, % (persamaan 25, 26)
Es
efisiensi irigasi musiman, % (persamaan 3, 4)
ETc
evapotranspirasi tanaman, mm/hari (persamaan 17, 18, 19)
ETo
evapotranspirasi acuan, mm/hari (persamaan19, 20)
ETact
evapotranspirasi aktual, mm/hari
ETcrop
evapotranspirasi potensial, mm/hari
EU
keseragaman emisi, % (persamaan 3, 4, 32)
F
biaya tetap, Rp/tahun (persamaan 37, 38)
G
volume kotor air irigasi yang diberikan per tanaman per operasi, l/hari (persamaan 33, 34)
H
ketinggian static water level diatas dasar/formasi kedap, L (persamaan 1)
H
head tekanan kerja pada penetes, m (persamaan 5)
Ha
head tekanan yang memberikan debit penetes qa, m (persamaan 5, 14)
xvi Ha
head tekanan pompa aktual, m
Hf1
kehilangan head akibat gesekan sepanjang pipa penyaluran dan distribusi, m (persamaan 14)
Hf2
kehilangan head pada sub unit (m), besarnya 20 % dari Pa (persamaan 14)
Hm
kehilangan head pada sambungan-sambungan dan katup, m (persamaan 14) head tekanan yang memberikan debit penetes qn dengan EU rancangan, m (persamaan 6)
Hn
Hs
head untuk faktor keamanan (m), besarnya 20 % dari total kehilangan head (persamaan 14)
Hs
head spesifikasi pompa, m
Hv
velocity head (m), besarnya 0,3 m (persamaan 14)
In
laju pemberian air irigasi, mm/jam (persamaan 35)
IR
air untuk penyiapan lahan, mm/hari (persamaan 17)
IRR
internal rate of return, %
IUCN
International Union for the Protection of Nature and Natural Resources
IWR
irrigarion water requirement; kebutuhan air irigasi, mm
JIAT
jaringan irigasi airtanah
K
konduktivitas hidrolik, L/T (persamaan 1)
Kd
koefisien debit, suatu konstanta yang mencirikan suatu penetes (persamaan 5)
Kt
incremental net benefit pada tahun-tahun awal ketika arus kas negatif (persamaan 42)
LR
leaching requirements, kebutuhan air irigasi untuk pencucian media tanam, mm
LRt
rasio kebutuhan pencucian pada irigasi tetes (persamaan 4)
LAT
luas areal terpengaruh, ha
LBI
luas blok irigasi
LLIact
luas layanan irigasi aktual, ha
xvii LLIpot
luas layanan irigasi potensial, ha (persamaan 43)
MT
musim tanam
MAD
fraksi pengurangan air tanah yang diijinkan untuk keperluan manajemen Irigasi (persamaan 29)
N
maksimum jam penyinaran yang memungkinkan, jam/hari (persamaan 21)
Np
jumlah emiter per tanaman (persamaan 34)
Ns
jumlah stasiun dioperasikan (persamaan 36)
Nt NFR
incremental net benefit setiap tahun setelah arus masuk positif (persamaan 42) kebutuhan air irigasi, mm/hari (persamaan 17, 18)
P
perkolasi, mm/hari (persamaan 17)
P
probabilitas, % (persaman 22)
P
harga jual, Rp/unit produk (persamaan 37, 38)
Pd
persentase permukaan tanah yang tertutup oleh kanopi tanaman pada siang hari, % (persamaan 2)
Pd
tenaga yang diperlukan, kW (persamaan 15, 16)
Pw
persentase areal yang terbasahi, % (persamaan 29)
Q
debit pompa, m3/det (persamaan15, 16)
Qa
Debit pemompaan aktual, l/det
Qc
kapasitas pemompaan, l/det
Qs
debit sumur, l/det
Qs
kapasitas sistem yang dibutuhkan, l/det (persamaan 36)
Qsa
kapasitas sumber air, l/det
Qopt
debit pemompaan optimum, l/det (persamaan 43)
R
jari-jari pengaruh, L (persamaan 1)
R
penerimaan, Rp/tahun (persamaan 37)
Ra
radiasi eksternal dalam ekivalen evapotranspirasi, mm/hari (persamaan 21)
Re
curah hujan efektif, mm/hari (persamaan17, 18)
xviii RAW
readyly available water; air tanah siap tersedia, mm/m kedalaman tanah (persamaan 28)
Rs
radiasi matahari, mm/hari (persamaan 20)
Sc
storativity, m2/hari
Se
jarak antar penentes dalam satu lateral, m (persamaan 36)
Sl
jarak antar lateral, m (persamaan 36)
Sp, Sr
jarak tanaman, m x m (persamaan 33)
Sfc
kadar air tanah pada kondisi kapasitas lapang, mm/m kedalaman tanah (persamaan 27) (persamaan 27)
Swp
kadar air tanah pada kondisi titik layu permanen, mm/m kedalaman tanah (persamaan 27)
SH
beda elevasi sumber air dengan pompa, m (persamaan 14)
SKA
satuan kebutuhan air irigasi, l/det.ha (persamaan 43)
T
titik impas jumlah produk yang dihasilkan, unit/tahun (persamaan 38)
Ta
lama irigasi selama masa penggunaan puncak jam/hari (persamaan 34, 35)
Td
laju transpirasi harian rata-rata pada bulan dengan penggunaan air tanaman puncak dengan irigasi tetes, mm/hari (persamaan 2, 30, 31)
TR
rasio transmisi pada periode penggunaan puncak (persamaan 32)
Tr
rasio transmisi musiman (persamaan 4)
TAW
total available water; total air tanah tersedia, mm/m kedalaman tanah (persamaan 27, 28)
Ud
perkiraan konvensional rata-rata laju penggunaan air konsumtif harian pada bulan dengan penggunaan air tanaman puncak untuk tanaman dengan kanopi penuh, mm/hari (persamaan 2)
V
biaya tidak tetap, Rp/unit produk (persamaan 37, 38)
W
konstanta yang tergantung pada suhu dan ketinggian (persamaan 20)
Wa
kapasitas tanah menahan air, mm/m (persamaan 29)
Wd
jumlah air yang sampai di areal pertanian, l/det (persamaan 23, 24, 25)
xix Wi
jumlah air yang dialirkan dari sumber air, l/det (persamaan 23)
Ws
jumlah air yang tersimpan dalam zona perakaran selama pemberian air, l/det (persamaan 24)
Wu
jumlah air yang digunakan oleh tanaman (persamaan 25)
WT
waktu tanam
WLR
air untuk penggantian lapisan, mm/hari (persamaan 17)
Z
kedalaman perakaran tanaman, m (persamaan 29)
Øl
diameter pipa lateral, mm
Øm
diameter pipa manifold, mm
∆Hl
variasi head tekanan pada pipa lateral, m
∆Hm
variasi head tekanan pada pipa manifold, m
∆Hs
variasi head tekanan yang diijinkan pada sub unit yang akan memberikan nilai EU yang diinginkan, m (persamaan 6)
η
efisiensi pompa yang diharapkan (persamaan 16)
ηd
efisiensi tenaga penggerak (persamaan 16)
ηred
efisiensi reduksi = 0,96 - 0,98 (persamaan 16)
π
konstanta = 3,14 (persamaan 1)
ρ
kerapatan jenis air yang dipompa = 1000/kg/m3 (persamaan 16)
1
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pemerintah Republik Indonesia telah melakukan upaya untuk mencapai swasembada pangan khususnya beras, melalui pembangunan jaringan irigasi yang meliputi program-program rehabilitasi, pembangunan prasarana irigasi baru, dan pencetakan sawah. Saat ini terdapat lebih dari 5 juta hektar sawah irigasi, terdiri dari sawah irigasi teknis, semi teknis, dan sawah irigasi sederhana (Departemen Pekerjaan Umum 2007). Namun demikian masih terdapat ratusan ribu hektar lahan yang tidak dimanfaatkan, yang tersebar di Pulau Jawa dan daerah lainnya. Beberapa faktor yang menyebabkan kondisi tersebut antara lain adalah kondisi topografi lahan dan sifat fisik tanah yang tidak memungkinkan untuk pengembangan irigasi permukaan, kondisi iklim wilayah yang relatif kering, serta debit sumber air yang terbatas. Pemerintah juga telah mengembangkan jaringan irigasi airtanah (JIAT) di beberapa provinsi, di antaranya di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Namun demikian tidak semua wilayah mampu memanfaatkan JIAT tersebut secara optimal. Hal ini karena pembangunan JIAT tidak diikuti dengan perbaikan teknologi dan manajemen budidaya pertanian dan sistem irigasi. Pemanfaatan airtanah untuk irigasi perlu didukung dengan penerapan pola tanam yang optimum dan pengelolaan air irigasi di tingkat usahatani (Departemen Pekerjaan Umum 1994). Di Indonesia, potensi airtanah untuk irigasi sebagian besar terletak di Provinsi Jawa Timur, dengan areal layanan irigasi seluas 108,000 ha atau 64.3% dari total areal irigasi airtanah secara nasional. Sekitar 61% akifer airtanah dangkal dimanfaatkan untuk irigasi melalui pembangunan sumur-sumur bor atau sumur-sumur pantek. Hasil studi yang dilakukan oleh Departemen Pertanian (1998) menunjukkan bahwa pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi belum memberikan manfaat yang maksimal. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi irigasi JIAT dangkal di Indonesia sekitar 60%. Menurut hasil penelitian Harjoko (1998), efisiensi irigasi JIAT dangkal di Kabupaten Madiun sebesar 59%, meliputi efisiensi penyaluran irigasi dengan sistim saluran terbuka sebesar 91 % dan efisiensi aplikasi irigasi dengan sistim alur sebesar 65 %. Hasil studi Departemen
2
Pertanian (1998) menunjukkan bahwa dari segi kecukupan air irigasi, rata-rata persentase kecukupan air pada JIAT dangkal yang tersebar di 22 kabupaten berkisar antara 36 – 84% pada musim tanam ke-dua (MT-2) dan 40 – 83% pada musim tanam ke-tiga (MT-3). Di samping nilai efisiensi irigasi yang relatif rendah, kinerja JIAT dangkal juga ditunjukkan oleh debit pemompaan yang umumnya lebih kecil dari debit optimum sumur. Dari segi pemanfaatan airtanah untuk irigasi, debit pemompaan tersebut menunjukkan bahwa luas layanan irigasi aktual cenderung lebih kecil dari luas potensial areal yang dapat diairi. Parameter kinerja JIAT dangkal yang juga penting diperhatikan adalah tersedianya head tekanan pompa air yang telah terpasang. Sebagian besar pompa air pada JIAT dangkal dioperasikan pada tingkat debit-head yang belum optimal (Departemen Pertanian 1998). Hasil uji pemompaan di beberapa wilayah di Indonesia menunjukkan bahwa nilai jari-jari pengaruh sumur bervariasi antara 38 – 1246 m. Dilihat dari segi konservasi airtanah, terdapat indikasi bahwa pengembangan sumur dangkal di beberapa wilayah tersebut cenderung semakin menurunkan muka airtanah. Hal ini karena jarak antar sumur yang ada relatif lebih kecil dibanding dengan jari-jari pengaruh sumur (Susatya 1998). Selain disebabkan oleh debit pemompaan yang berlebihan serta jarak antar sumur yang relatif dekat, penurunan muka airtanah dangkal juga diakibatkan oleh adanya kerusakan daerah tangkapan hujan, terutama akibat berkurangnya vegetasi penutup lahan di daerah hulu. Sejak tahun 1996, di beberepa wilayah di Kabupaten Nganjuk - Jawa Timur, pompa pada sumur dalam (deep wells) harus diturunkan 1 – 3 meter di bawah permukaan tanah untuk dapat menaikkan airtanah pada musim kemarau. Pada tahun 1998 pompa harus diturunkan 1 – 5 meter di bawah permukaan tanah untuk dapat menaikkan air pada musim kemarau. Beberapa sumur dangkal (shalow wells) tidak dapat dieksploitasi pada musim kemarau karena kedalaman muka air sumur yang relatif dalam, yaitu 12 – 20 meter. Eksploitasi airtanah dengan jarak antar sumur yang rapat (lebih kecil dari jarak optimum) telah meningkatkan penurunan muka airtanah (Liyantono et al. 2005).
3
Hasil studi Departemen Pertanian (1998) merekomendasikan perlunya upaya untuk meningkatkan kinerja JIAT dangkal, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumur dan pompa air, peningkatan efisiensi irigasi serta pengaturan pola tanam. Salah satu upaya peningkatan efisiensi irigasi yang dapat dilakukan adalah melalui penerapan teknologi irigasi hemat air. Dalam penerapan teknologi irigasi tersebut, di samping mempertimbangkan faktor kecukupan
air
irigasi
untuk
pertumbuhan
tanaman,
juga
harus
mempertimbangkan faktor konservasi airtanah, supaya pemanfaatannya dapat berkelanjutan. Penerapan teknologi irigasi di beberapa negara telah mengalami pergeseran seiring dengan berbagai masalah pengelolaan air irigasi.
Sistem
irigasi saluran terbuka telah berubah kearah sistem perpipaan. Sistem irigasi permukaan (genangan, border, dan alur) berubah kearah sistem irigasi bertekanan, yaitu irigasi curah atau irigasi tetes. Di Indonesia, efisiensi irigasi dengan sistem genangan sekitar 40 – 45%, sedangkan dengan sistem alur sekitar 60 - 65%. Di masa mendatang, efisiensi irigasi di Indonesia harus dapat ditingkatkan untuk mengantisipasi kekurangan air irigasi selama musim kemarau. Penerapan irigasi curah dan irigasi tetes diharapkan dapat meningkatkan efisiensi irigasi masing-masing sekitar 75% dan 90%. (Departemen Pekerjaan Umum 1994). Penerapan irigasi curah dan irigasi tetes di Indonesia belum berkembang secara luas, yaitu masih terbatas pada usahatani komersial.
Dilihat dari
perkembangannya, sistem irigasi curah relatif lebih awal digunakan dibanding dengan irigasi tetes.
Penerapan teknologi irigasi bertekanan ini memerlukan
dukungan dalam pemilihan jenis tanaman, masa tanam, dan pengelolaan air irigasi di tingkat usahatani.
Pemilihan jenis tanaman harus memperhatikan
prospek pemasaran, yaitu mempunyai nilai ekonomi tinggi dan jaminan pemasaran. Pemerintah Republik Indonesia telah memberikan perhatian yang serius terhadap komoditas pertanian non beras, yang tidak terbatas pada komoditas pendukung industri pertanian (seperti tanaman perkebunan dan palawija), namun juga yang mempunyai peluang pasar domestik maupun antar pulau. Dukungan pemerintah juga dinyatakan dengan adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Pertanian, serta upaya pemerintah dalam
4
mengelola komoditas unggulan di setiap wilayah, khususnya dalam perbaikan mekanisme pasar. Kebijakan pemerintah tersebut akan menjadi faktor penting dalam penerapan sistem irigasi tetes.
Hal ini karena sistem irigasi tetes dapat
digunakan sebagai alternatif untuk: 1.
Mendayagunakan lahan tidur yang mempunyai keterbatasan debit sumber air menjadi lahan produktif
2.
Meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber-sumber
air
yang
telah
dikembangkan 3.
Menyelesaikan masalah konflik kepentingan pemakaian air di masa mendatang Hasil studi Departemen Pekerjaan Umum (1994) menyatakan bahwa
penerapan irigasi tetes di masa mendatang merupakan salah satu alternatif untuk mengantisipasi upaya peningkatan efisiensi pemakaian air irigasi. Ditinjau dari aspek teknis, yaitu karakteristik fisik lahan, agroklimat dan sumber air, sistem irigasi tetes mempunyai prospek untuk dikembangkan di beberapa wilayah yang tidak terjangkau (tidak memungkinkan digunakannya) sistem irigasi gravitasi, dan atau di beberapa wilayah dengan keterbatasan sumber air. Namun demikian untuk penerapannya di tingkat petani masih perlu perintis karena adanya sejumlah faktor yang perlu dipertimbangkan. Beberapa kendala penerapan sistem irigasi tetes di tingkat petani adalah terbatasnya pengetahuan teknis dan manajemen serta kemampuan finansial. Oleh karena itu, studi Departemen Pekerjaan Umum (1994) juga memberikan rekomendasi bahwa penerapan irigasi tetes di tingkat petani di Indonesia perlu dirintis dan dikembangkan secara bertahap melalui pengkajian lebih mendalam. Salah satunya adalah perlu dilakukan penelitian untuk menguji kriteria pengembangan serta mendapatkan kriteria rancangan irigasi tetes, termasuk rancangan tata letak dan rancangan hidrolika. Penerapan sistem irigasi tetes tergolong relatif baru di Indonesia, khususnya pada tingkat petani. petugas
penyuluh
Oleh karena itu, petani (bahkan mungkin
irigasi/pertanian)
belum
mengenal
sistem
irigasi
ini.
Keterbatasan pengetahuan teknis sistem irigasi ini merupakan salah satu kendala yang secara bertahap perlu diatasi. Penerapan irigasi tetes memerlukan
5
optimasi luasan areal yang harus dilayani, sedangkan kepemilikan/pengusahaan lahan garapan petani cenderung tidak seragam dan relatif sempit. Secara teoritis, efisiensi irigasi tetes lebih tinggi dibanding dengan efisiensi irigasi permukaan maupun irigasi curah, yaitu lebih besar dari 95%.
Hal ini
karena di samping dapat mengurangi kehilangan air berupa perkolasi dan limpasan, sistem irigasi tetes hanya memberikan air pada daerah perakaran, sehingga mengurangi kehilangan air irigasi pada bagian lahan yang tidak efektif untuk pertumbuhan tanaman. Namun demikian dalam aplikasinya, nilai efisiensi irigasi tetes yang relatif tinggi hanya dapat dicapai apabila memenuhi dua syarat, yaitu rancangan yang benar dan operasi yang tepat. Beberapa hasil penelitian tentang efisiensi irigasi tetes menunjukkan bahwa penerapan irigasi tetes di Indonesia belum mencapai efisiensi irigasi yang tinggi. Berikut ini adalah beberapa contoh kasus penerapan irigasi tetes di Indonesia: o
Efisiensi irigasi tetes untuk budidaya tanaman melon di Bogor sebesar 17% (Departemen PU 1994)
o
Efisiensi irigasi tetes untuk budidaya tanaman tomat dengan sistem hidroponik di Bandung sebesar 74-79% (Apriliani 2005)
o
Efisiensi irigasi tetes di Daerah Irigasi Seropan, Gunung Kidul – DIY sebesar 72-82% (Widayanti 2003)
o
Efisiensi irigasi tetes untuk budidaya tanaman tomat dan paprika dengan sistem hidoponik di Bogor, masing-masing
sebesar 67% dan 70%
(Nuruszaman 1996) o
Efisiensi irigasi tetes (micro spray) pada sistem aeroponik di Bogor sebesar 91-97% (Prastowo et al. 2007c) Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1994), pada tahap awal
pengembangan, sistem irigasi tetes dapat diterapkan pada daerah yang memenuhi kriteria pengembangan, yaitu di Provinsi-provinsi Sumatera Barat, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Irian Jaya.
Kriteria pengembangan tersebut meliputi aspek
agroklimat, sumberdaya lahan, sumber air, dan aspek kelembagaan usahatani. Salah satu kriteria pengembangan yang penting diperhatikan adalah adanya potensi airtanah untuk irigasi.
Pada tahap awal, sistem irigasi tetes dapat
6
diterapkan pada JIAT yang telah dikembangkan oleh petani maupun oleh pemerintah. Beberapa topik penelitian tentang penerapan irigasi tetes di Indonesia telah mulai dilakukan sejak tahun 1990an, di antaranya mengenai prospek penerapan irigasi tetes, kinerja jaringan, spesifikasi teknis penetes, hidrolika pipa dan pompa, serta penelitian tentang faktor-faktor rancangan yang berkaitan dengan hubungan tanah, air dan tanaman.
Kilas jejak (roadmap) penelitian tentang
penerapan irigasi tetes disajikan pada Gambar 1 (Prastowo et al. 2007). Berkaitan dengan upaya peningkatan efisiensi irigasi JIAT dangkal melalui penerapan irigasi tetes, maka penelitian tentang kriteria rancangan, merupakan hal yang penting untuk dilakukan sebagai upaya persiapan dalam penerapan teknologi irigasi tetes di masa mendatang. Kabupaten Nganjuk dipilih sebagai lokasi penelitian, dengan pertimbangan bahwa daerah ini tergolong wilayah dengan iklim relatif kering. Selain itu, pemanfaatan airtanah untuk irigasi di daerah ini relatif telah berkembang dengan baik untuk budidaya tanaman bernilai ekonomi tinggi. Pengembangan jaringan irigasi airtanah (JIAT) di Kabupaten Nganjuk mulai dilakukan secara intensif pada Tahun 1975, melalui pembuatan sumur-sumur dangkal maupun sumur-sumur dalam. Jumlah sumur pompa airtanah di Kabupaten Nganjuk sebanyak 5.033 unit yang tersebar di 20 wilayah kecamatan (Lampiran 1). Hasil penelitian Liyantono et al. (2005) menunjukkan bahwa pemanfaatan airtanah dangkal di sebagian wilayah di Kabupaten Nganjuk telah melebihi kemampuan akifer. Menurut Linsley et al. (1986) apabila beberapa sumur saling berdekatan, kerucut depresinya akan saling melewati, sehingga penurunan muka airtanah semakin besar dan debit sumur semakin kecil. Menurut Prastowo et al. (2007), pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi di Kabupaten Nganjuk pada umumnya dilakukan pada musim kemarau, yaitu musim tanam ke-dua (MT-2) dan musim tanam ke-tiga (MT-3). Tanaman yang biasa dibudidayakan pada musim tanam tersebut adalah palawija (kedelai, jagung) dan hortikultura (cabai, bawang merah, semangka, melon, sayuran). Rata-rata curah hujan tahunan di Kabupaten Nganjuk sebesar 2.285 mm/tahun dengan 90 hari hujan per tahun. Curah hujan rata-rata bulanan sebesar 190,4 mm/bulan, dengan fluktuasi yang relatif tinggi sepanjang tahun. Menurut klasifikasi iklim Oldeman, tipe iklim di Kabupaten Nganjuk termasuk tipe C3,
7
dengan 5 bulan kering (Juni–Oktober) dan 6 bulan basah (November–April). Hal ini berarti bahwa wilayah ini hanya dapat ditanami satu kali padi dan satu kali palawija dalam setahun, tetapi hal tersebut tergantung dari persediaan air yang ada. Topik Penelitian
Kriteria rancangan irigasi tetes pada JIAT Kinerja JIAT • Pola tanam • Efisiensi irigasi Kinerja jaringan irigasi tetes yang telah ada • Keseragaman • Efisiensi irigasi Wilayah potensial untuk penerapan irigasi tetes di Indonesia Hidrolika pompa (H, Q, NPSH, Eff) Spesifikasi teknis penetes (Ha, Qa, Kd, x) Hidrolika pipa (H, Q, Dia, L) Hubungan tanah, air, dan tanaman (pF curve, TAW, MAD, RAW, Rz, ETc, ky)
Sebelum 1990
1990 - 1995
1995 - 2000
Setelah 2000
Tahun Gambar 1. Kilas-jejak penelitian tentang penerapan irigasi tetes 1.2. Rasional Penerapan irigasi tetes untuk meningkatkan efisiensi JIAT dangkal yang berkelanjutan memerlukan rancangan yang benar dan operasi yang tepat. Penentuan luas layanan irigasi dan blok irigasi harus dilakukan dengan mempertimbangkan kecukupan debit sumur untuk memenuhi kebutuhan air irigasi bagi pertumbuhan tanaman. Selain itu, faktor kedalaman muka airtanah juga perlu dipertimbangkan, untuk mengendalikan penurunan muka airtanah yang masih dapat diterima. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan kriteria
8
kecukupan air dalam rancangan irigasi tetes yang dapat menjamin ketersediaan air tanah untuk pertumbuhan tanaman. Efisiensi irigasi tetes yang tinggi hanya dapat dicapai apabila rancangan jaringan perpipaan memenuhi persyaratan hidrolika jaringan sub-unit serta persyaratan hidrolika pompa. Meskipun perhitungan rancangan hidrolika pipa dan pompa tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa rumus matematik, namun dalam prakteknya masih relatif sulit dilakukan oleh karena memerlukan ilmu pengetahuan yang khusus dan dilakukan dengan metode cobaralat. Oleh karena itu, pengembangan kriteria hidrolika dalam rancangan irigasi tetes sangat diperlukan untuk memudahkan proses perhitungan, khususnya bagi para praktisi di lapangan. Keberlanjutan
pemanfaatan
airtanah
dangkal
untuk
irigasi,
selain
ditentukan oleh faktor teknis, juga ditentukan oleh faktor finansial, kelembagaan dan aspek sosial. Kelayakan finansial pengoperasian JIAT dangkal oleh petani sangat diperlukan untuk menjamin keberlanjutan usahatani yang dilakukan. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan kriteria kelayakan finansial yang diintegrasikan dengan kriteria kecukupan air dan kriteria rancangan hidrolika, untuk memperoleh suatu rancangan irigasi tetes yang layak secara teknis maupun finansial. Dengan demikian, dalam upaya meningkatkan efisiensi JIAT dangkal melalui penerapan irigasi tetes, perlu dikembangkan suatu model rancangan irigasi tetes yang meliputi dan mengintegrasikan beberapa kriteria rancangan tersebut di atas. Sintesa terhadap kriteria rancangan tersebut perlu dilakukan untuk membangun tahapan rancangan yang lebih sederhana dan sistematis. Gambar 2 menyajikan diagram alir perumusan masalah yang merupakan rangkuman latar belakang dan rasional penelitian. 1.3. Tujuan Tujuan umum penelitian adalah untuk mengembangkan model rancangan irigasi tetes pada sistem irigasi airtanah dangkal yang berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian adalah untuk:
• peningkatan efisiensi irigasi
• pengaturan pola tanam
• pengelolaan sumur dan pompa air
Permasalahan/kesulitan: Rancangan yg benar Operasi yang tepat
Efisiensi irigasi tetes yg telah diterapkan: Hidroponik (67-79%) Aeroponik (91-97%) Lahan terbuka di Bogor (<20%) Lahan terbuka di Yogya (72-82%)
Irigasi tetes pada sistem irigasi airtanah dangkal yang berkelanjutan dengan kriteria rancangan: Jaminan kecukupan air irigasi Konservasi airtanah dangkal Keseragaman & efisiensi yg tinggi Layak secara finansial
kemampuan finansial
manajemen
pengetahuan teknis &
Kendala di tingkat petani:
Irigasi tetes merupakan alternatif upaya peningkatan efisiensi irigasi
Sistem irigasi tetes di Indonesia
Gambar 2 Diagram alir perumusan masalah
JIAT dangkal semakin menurunkan muka airtanah
terpengaruh
Jarak sumur < 2R pengaruh LLI aktual < Areal
Diperlukan upaya untuk meningkatkan kinerja JIAT dangkal :
JIAT dangkal belum memberikan manfaat yang maksimal
Qaktual < Qspec TDHaktual < TDH spec Luas layanan irigasi LLI aktual < LLI potensial
Kinerja JIAT dangkal di Indonesia
9
10
1. Mengembangkan kriteria kecukupan air untuk memperoleh suatu rancangan irigasi tetes yang dapat menjamin kecukupan air bagi pertumbuhan tanaman dengan mempertimbangkan konservasi airtanah dangkal 2. Mengembangkan kriteria hidrolika untuk memperoleh suatu rancangan irigasi tetes yang mempunyai efisiensi irigasi tinggi 3. Mengembangkan kriteria finansial untuk memperoleh suatu rancangan irigasi tetes yang layak secara finansial. 1.4. Kebaharuan Penelitian (Novelty) Dalam
jangka
panjang,
hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
menyempurnakan metode perencanaan dan perancangan penerapan irigasi tetes, untuk meningkatkan efisiensi sistem irigasi airtanah dangkal yang berkelanjutan. Dalam jangka pendek, hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah suatu kriteria rancangan yang dapat digunakan sebagai standar rancangan, yang menyajikan suatu konsep serta beberapa koefisien dan metode analisis dalam perancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat menyumbangkan beberapa hal yang baru (novelty) terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi, di antaranya adalah: 1. Konsep dan metode penentuan luas layanan irigasi dalam sistem irigasi airtanah dangkal yang berkelanjutan. 2. Metode analisis dalam bentuk tabel, nomogram, dan program komputer untuk mempermudah perhitungan beberapa parameter rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal. 3. Beberapa koefisien dalam perancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal, yang meliputi satuan kebutuhan air irigasi, debit dan tekanan kerja penetes, luas blok irigasi, ukuran sub-unit, serta titik impas luas layanan irigasi.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Airtanah dan Jaringan Irigasi Airtanah Airtanah terbentuk dari bagian air hujan yang jatuh pada permukaan tanah dan bergerak menembus lapisan yang lebih dalam, mengisi rongga tanah atau batuan sampai pada akhirnya timbul kembali pada permukaan tanah, menggabung pada sungai, danau, atau laut.
Terdapat dua macam airtanah,
yakni airtanah bebas dan airtanah tertekan. Airtanah bebas, atau biasa disebut juga sebagai airtanah dangkal, ialah airtanah pada lapisan pengandung air (akifer) yang tidak tertutup oleh lapisan kedap. Airtanah pada lapisan akifer yang tertutup oleh lapisan kedap mendapat tekanan dan disebut airtanah tertekan atau airtanah dalam (Sosrodarsono dan Takeda 1979). Sumur dapat diklasifikasikan sebagai sumur gravitasi, sumur artesis, atau kombinasi antara sumur gravitasi dan sumur artesis, tergantung pada tipe akifer yang memasok air. Sumur gravitasi mempunyai muka airtanah tidak tertekan. Pada umumnya sumur berupa sumur dangkal dan sumur dalam. Apabila muka airtanah memotong permukaan tanah oleh karena adanya lapisan kedap (impervious), akan muncul mata air atau rembesan. Pada areal dengan muka airtanah mendekati permukaan tanah, kolam galian (dugout ponds or open pits) dengan kedalaman di bawah muka airtanah, secara praktis dapat berfungsi sebagai cadangan air (water storage). Bilamana elevasi air dalam lubang sumur naik di atas muka airtanah (groundwater table), akan terkondisi sumur artesis. Berdasarkan definisi tersebut, sumur artesis
tidak selalu berupa flowing well,
yaitu sumur yang airnya mengalir dengan sendirinya. (Schwab et al. 1981). Penampang melintang suatu sumur yang dibuat pada lapisan tanah homogen di atas formasi kedap disajikan pada Gambar 3. Dalam kondisi static, elevasi air sumur akan naik mencapai muka airtanah (water table).
Apabila
pemompaan dimulai, elevasi sumur akan menurun, sehingga mengalirkan airtanah bebas di sekitar sumur. Jarak antara sumur dengan titik dimana muka airtanah statik (static water table) tidak menurun disebut jari-jari pengaruh (radius of influence).
Laju aliran ke dalam suatu sumur gravitasi dihitung dengan
persamaan berikut (Schwab et al. 1981) :
Q=
(
Π K H2 − h 2 R log r
)
(1)
12
dimana, Q : laju aliran, L3/T K : konduktivitas hidrolik, L/T H : ketinggian static water level di atas dasar/formasi kedap, L h : ketinggian elevasi air sumur, diukur dari dasar/formasi kedap, L R : jari-jari pengaruh, L r : jari-jari sumur, L π : konstanta (3,14) Jari-jari pengaruh yang disajikan pada Tabel 1. merupakan estimasi yang didasarkan pada tekstur dan karakteristik akifer lainnya. Oleh karena debit bervariasi sesuai dengan logaritma jari-jari pengaruh, suatu kesalahan estimasi jari-jari pengaruh, akan berpengaruh pada perhitungan debit. Persamaan (1) juga menunjukkan bahwa nilai debit adalah proporsional dengan logaritma diameter sumur (Schwab et al. 1981). Di Indonesia, jari-jari pengaruh pada pengembangan sumur-sumur airtanah dangkal untuk irigasi berkisar antara 38 – 1246 m (Departemen Pertanian 1998).
Lampiran 2 menyajikan nilai hasil
pengukuran karakteristik airtanah dangkal di beberapa wilayah di Indonesia.
Permukaan tanah
Garis tengah sumur
2r = Diameter sumur
Muka air tanah pada saat pemompaan Kurva drawdown
Drawdown =H-h
Muka air tanah
Muka air sumur R Jari-jari pengaruh
Dalam sumur
Penurunan muka air sumur
Muka air tanah statik
H
Lapisan lulus air
Lapisan kedap
Gambar 3 Penampang melintang tipe sumur gravitasi pada tanah homogen
13
Tabel 1 Jari-jari pengaruh sumur Tekstur dan formasi tanah o o o o
Formasi pasir halus dengan liat dan debu Formasi pasir halus s/d sedang, bersih & bebas dari liat dan debu Formasi pasir kasar dan kerikil halus, bebas dari liat dan debu Pasir kasar dan kerikil, bebas liat dan debu
Jari-jari pengaruh (m) (ft) 30 - 90 100 – 300 90 - 180
300 – 600
180 - 300
600 – 1000
300 - 600
1000 – 3000
Sumber : Bennison (1947) diacu dalam Schwab et al. (1981)
Konstruksi jaringan irigasi airtanah dangkal terdiri atas sumur, pompa air dan penggeraknya, serta sistem penyaluran/distribusi air ke petak sawah. Pada sumur-sumur pantek (bor) yang dikembangkan petani, umumnya pipa hisap (suction pipe) pompa merupakan pipa (casing) sumur, sehingga diameter pompa sama dengan diameter sumur. jambang.
Konstruksi sumur yang ada adalah tanpa
Distribusi air dari sumur ke petak sawah dilakukan dengan
menggunakan pipa PVC, selang plastic, dan atau saluran terbuka.
Panjang
pipa/selang penyaluran umumnya tidak lebih dari 100 m, namun pada beberapa daerah, panjang pipa/selang penyaluran mencapai 200-400 m. Skema jaringan irigasi airtanah dangkal disajikan pada Gambar 4. Teknologi aplikasi irigasi yang diterapkan adalah irigasi permukaan dengan sistem basin/genangan untuk tanaman padi dan sistem furrow/alur untuk tanaman palawija (Departemen Pertanian 1998). Pipa/selang
¯i
Aplikasi Irigasi
Pompa Air
¯o L
A
H D
Keterangan : D : Kedalaman Sumur (m) H : Muka Air Sumur (m) L : Jarak sumur/pompa dengan areal layanan irigasi (m) A : Luas layanan irigasi(ha) ¯ i : Diameter pipa hisap (inci) ¯ o: Diameter pipa tekan (inci)
Gambar 4 Skema jaringan irigasi airtanah dangkal
14
2.2. Jaringan Irigasi Tetes 2.2.1. Komponen Irigasi Tetes Irigasi tetes merupakan cara pemberian air pada tanaman secara langsung, baik pada permukaan tanah maupun di dalam tanah melalui tetesan secara sinambung dan perlahan pada tanah di dekat tumbuhan. Setelah keluar dari penetes (emiter), air menyebar ke dalam profil tanah secara horisontal maupun vertikal akibat gaya kapilaritas dan gravitasi. Luas daerah yang dibasahi emiter tergantung pada besarnya debit keluaran, jenis tanah (struktur dan tekstur), kelembaban tanah dan permeabilitas tanah (Prastowo dan Liyantono 2002). Keseragaman aplikasi irigasi tetes pada dasarnya tergantung pada keseragaman debit penetes. Dengan demikian, strategi rancangan sistem irigasi tetes difokuskan pada pencapaian keseragaman emisi yang diinginkan. Metode irigasi tetes meliputi aplikasi surface atau subsurface drip, spray, bubbles, dan hose-basin. Komponen irigasi tetes yang biasanya digunakan adalah stasiun pompa, pengatur tekanan, pipa utama dan sub utama, pipa lateral, penetes, katup-katup, sambungan-sambungan, dan peralatan tambahan lainnya. Untuk semua tipe irigasi tetes, pipa lateral disambungkan pada pipa pemasok air yang disebut manifold. Gambar 5 menunjukkan skema komponen dasar dan tata letak sistem irigasi tetes (Keller and Bliesner 1990).
Gambar 5 Komponen dan tata letak tipikal sistem irigasi tetes (Keller and Bliesner 1990)
15
2.2.2. Faktor-faktor Rancangan Irigasi Tetes Sistem
irigasi
tetes
biasanya
dirancang
dan
dioperasikan
untuk
mengalirkan tetesan air irigasi secara sinambung dan membasahi hanya sebagian lapisan olah. Oleh karena itu, prosedur perhitungan yang digunakan untuk metode irigasi yang lain harus disesuaikan, untuk menghitung kebutuhan air dan pengendalian salinitas, kedalaman irigasi, dan frekuensi irigasi. Persentase areal terbasahi, Pw, dibandingkan dengan areal tanam, tergantung pada volume dan debit setiap penetes, jarak (spasi) penetes, dan tipe tanah. Pw ditentukan dengan perkiraan areal rata-rata terbasahi pada kedalaman 150-300 mm di bawah penetes dibagi dengan total areal tanam yang diairi. Nilai
Pw
umumnya berkisar antara 33-67%. (Keller and Bliesner 1990). Irigasi tetes merupakan metode irigasi yang memadai dan efisien, dengan aplikasi irigasi yang dapat mempertahankan konsentrasi garam-garam dalam airtanah pada kondisi minimum.
Aplikasi harian dan pencucian yang cukup
dapat menjaga konsentrasi garam dalam airtanah hampir sama dengan konsentrasi dalam air irigasi (Keller and Bliesner 1990). Irigasi tetes mengurangi kehilangan air berupa evaporasi hingga jumlah yang minimum, sehingga transpirasi tanaman secara praktis diperhitungkan sebagai seluruh air yang dikonsumsi oleh tanaman. Dengan demikian perkiraan jumlah air yang dikonsumsi tanaman pada sistem irigasi tetes harus dimodifikasi. Laju transpirasi pada irigasi tetes merupakan fungsi dari nilai laju penggunaan konsumtif yang dihitung secara konvensional dan perkembangan kanopi tanaman. Persamaan sederhana untuk memperkirakan laju transpirasi harian puncak rata-rata adalah sebagai berikut (Keller and Bliesner 1990) : Td = Ud { 0.1 (Pd)0.5 }
(2) dimana, Td : laju transpirasi harian rata-rata pada bulan dengan penggunaan air tanaman puncak dengan irigasi tetes, mm/hari Ud : perkiraan konvensional rata-rata laju penggunaan air konsumtif harian pada bulan dengan penggunaan air tanaman puncak untuk tanaman dengan kanopi penuh, mm/hari Pd : persentase permukaan tanah yang tertutup oleh kanopi tanaman pada siang hari, %
16
Keller and Bliesner (1990) menyatakan bahwa kedalaman bersih maksimum air irigasi per aplikasi, dx, adalah kedalaman air yang akan mengganti kekurangan kadar air tanah ketika kekurangan kadar air tanah tersebut sama dengan management-allowed deficit, MAD). Nilai dx dihitung sebagai kedalaman air irigasi untuk seluruh areal, namun demikian persentase areal terbasahi, Pw, harus diperhitungkan. Dengan demikian tambahan air irigasi harus diberikan untuk mengganti kehilangan air berupa perkolasi yang tidak dapat dihindari. Kehilangan air dalam bentuk perkolasi ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pencucian. Pada persamaan berikut, perkolasi musiman lebih kecil dari atau sama dengan kebutuhan pencucian, yaitu Tr ≤ Es = EU
1,0
(1,0 - LR t )
sehingga (3)
Apabila perkolasi yang tidak terhindarkan lebih besar dari kebutuhan pencucian, maka kelebihan tersebut merupakan kehilangan air irigasi. Oleh karena itu bila Tr >
1,0
(1,0 - LR t )
, efisiensi irigasi musiman dapat diperkirakan dengan
persamaan: E
s
=
EU T r (1.0 − LR
t
)
(4)
dimana, : efisiensi irigasi musiman, % Es EU : keseragaman emisi, % Tr : rasio transmisi musiman : kebutuhan pencucian dengan irigasi tetes LRt Nilai efisiensi sistem irigasi perlu diketahui untuk menentukan hubungan antara jumlah kotor irigasi dan penambahan bersih irigasi ke daerah perakaran. Keseragaman emisi adalah hal yang penting, oleh karena merupakan salah satu komponen efisiensi irigasi. Komponen efisiensi irigasi lainnya adalah beberapa kehilangan air yang terjadi selama operasi sistem irigasi (Keller and Bliesner 1990). 2.2.3. Prosedur Rancangan Irigasi Tetes Data yang harus dikumpulkan untuk memulai perhitungan rancangan irigasi tetes disajikan pada Lampiran 3. Format tersebut dikembangkan sebagai petunjuk untuk pengumpulan data lapangan yang diperlukan. Untuk keperluan
17
rancangan hidrolika jaringan perpipaan, sejumlah perhitungan lainnya harus dibuat, yaitu meliputi spasi penetes, debit penetes rata-rata, tekanan penetes rata-rata, variasi head yang diijinkan, dan jam operasi per musim.
Tahapan
untuk menghitung faktor-faktor tersebut disajikan pada Lampiran 4. Lembar data tersebut merupakan petunjuk yang berguna dan menyajikan format untuk mencatat hasil-hasil berbagai perhitungan coba-ralat dan perhitungan akhir (Keller and Bliesner 1990). Prosedur rancangan irigasi tetes telah dikembangkan oleh Prastowo dan Liyantono (2002) seperti yang tertera pada Gambar 6. Perhitungan rancangan hidrolika sub unit merupakan tahapan kunci dalam proses desain irigasi tetes. Persyaratan hidrolika jaringan perpipaan harus dipenuhi untuk mendapatkan penyiraman yang seragam, yaitu nilai keseragaman emisi irigasi tetes (emission of uniformity) harus > 95 %. Mengingat jumlah dan spesifikasi emitter maupun jenis dan diameter pipa yang sangat beragam, maka perhitungan rancangan hidrolika sub unit harus dilakukan dengan metoda coba-ralat. Gambar 7 menunjukkan skema distribusi head tekanan pada sub unit. Rancangan hidrolika jaringan perpipaan irigasi tetes didasarkan pada hidrolika aliran pipa.
Ada dua konsep efisiensi irigasi yang dipengaruhi oleh
rancangan sistem irigasi tetes, yaitu efisiensi distribusi dan efisiensi aplikasi. Efisiensi distribusi menentukan sejauhmana keseragaman air irigasi yang didistribusikan melalui
sistem
irigasi tetes ke
lahan.
Efisiensi aplikasi
menunjukkan sejauhmana air irigasi diberikan secara tepat, yaitu persentase air yang diberikan yang tersimpan dalam daerah perakaran, sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaannya untuk pertumbuhan tanaman (Nakayama and Buck 1986). Head tekanan, Hn, yang memberikan debit penetes, qn untuk penetes tertentu, dapat ditentukan dari persamaan 5. Gambar 8 menunjukkan hubungan antara head tekanan dan variasi debit penetes. q = Kd Hx dimana, q : debit penetes, l/jam Kd : koefisien debit, suatu konstanta yang mencirikan suatu penetes H : head tekanan kerja pada penetes, m x : eksponen debit penetes
(5)
18
Menyusun Nilai Faktor-faktor Rancangan
Membuat Skema Lay out dan Menetapkan Luas Sub Unit dan Blok Irigasi
Karakteristik Hidrolika pipa : • Nomogram Hazen William • Faktor Reduksi (outlet) • K minor Losses
Perhitungan Rancangan Hidrolika Sub Unit : 1. Lateral a. Panjang b. Jumlah penetes per lateral 2. Manifold a.Panjang b.Jumlah lateral per manifold
∆H pada lateral ≤ 11% Ha dan ∆H pada manifold ≤ 9%Ha
Tidak
Spesifikasi teknis penetes • qa, Ha • Radius pembasahan • Laju penyiraman • Emission of Uniformity (EU) • Jarak/spasi penetes
• Modifikasi Lay-out • Ubah diameter pipa • Ganti spesifikasi penetes
Ya Finalisasi Lay-out (Optimalisasi)
Perhitungan TDH dan Kapasitas Sistem (Qs)
Penentuan : • Jenis dan Ukuran Pompa • Jenis dan Kekuatan Tenaga Penggerak
Pompa/mesin tersedia di pasaran/lapangan
Tidak
Ya Selesai
Gambar 6 Prosedur rancangan irigasi tetes (Prastowo dan Liyantono 2002)
19
Gambar 7 Distribusi head tekanan pada sub unit (Keller and Bliesner 1990)
Gambar 8 Hubungan head tekanan dan variasi debit penetes (Keller and Bliesner 1990) Dari nilai Ha dan Hn variasi head tekanan yang dapat diijinkan pada sub unit, ∆Hs, dapat dihitung untuk keperluan rancangan dengan rumus berikut:
20
∆Hs = 2.5 (Ha – Hn)
(6)
dimana, ∆Hs : variasi head tekanan yang diijinkan pada sub unit yang akan memberikan nilai EU yang diinginkan, m : head tekanan yang memberikan debit penetes qa, m Ha Hn : head tekanan yang memberikan debit penetes qn dengan EU rancangan, m Kehilangan head tekanan pada pipa lateral dan pipa manifold dapat dihitung dengan rumus berikut (Keller and Bliesner, 1990) Untuk pipa kecil (< 125 mm) : J = 7,89 x 107 x (Q1,75 / D4,75)
(7)
Tanpa outlet : hf = J x (L / 100)
(8)
Dengan outlet : hf = J F (L / 100)
(9)
Untuk sambungan : hl = Kr x 8,26 x 104 x (Q2 / D4)
(10)
dimana : J : gradien kehilangan head (m/100 m), hf : kehilangan head akibat gesakan (m), hl : kehilangan head akibat adanya katup dan sambungan (m), Q : debit sistem (l/det), D : diameter dalam pipa (mm) F : koefesien reduksi Kr : koefesien resistansi L : panjang pipa (m) Setiap sambungan akan menyebabkan tambahan kehilangan head. Tambahan kehilangan ini dapat digabungkan dan dinyatakan sebagai J’: J’ = J (Se + fe) / Se) dimana : J : gradien kehilangan head ekivalen dari lateral berpenetes (m/100 m) : jarak antar sambungan penetes (m) Se fe : kehilangan akibat sambungan penetes
(11)
21
Besarnya kehilangan head pada leteral dapat dihitung dengan persamaan berikut: hf = J’ F L /100
(12)
Nilai F (faktor reduksi) dapat dihitung dengan persamaan : 1 1 (b – 1)0,5 F = ------------- + -------- + -------------b+1 2N 6N2
(13)
dimana : b = eksponen aliran (1,75) N = jumlah outlet sepanjang pipa Besarnya total head dinamik (TDH) dihitung dengan persamaan : TDH = SH + E + Hf1 + Hm + Hf2 + + Hv + Ha + Hs
(14)
dimana : SH : beda elevasi sumber air dengan pompa (m) E : beda elevasi pompa dengan lahan tertinggi (m) : kehilangan head akibat gesekan sepanjang pipa penyaluran dan Hf1 distribusi (m) Hm : kehilangan head pada sambungan-sambungan dan katup (m) : kehilangan head pada sub unit (m), besarnya 20 % dari Pa Hf2 Hv : velocity head (m), besarnya 0,3 m Ha : tekanan operasi penetes (m) Hs : head untuk faktor keamanan (m), besarnya 20 % dari total kehilangan head Untuk memenuhi nilai EU rancangan, head tekanan harus berada antara Hn dan (Hn+ ∆Hs).
Apabila ∆Hs perhitungan terlalu kecil untuk mengimbangi
kehilangan tekanan akibat gesekan dan perbedaan elevasi, perlu dilakukan penyesuaian dengan pilihan sebagai berikut:
o Memilih penetes yang lain yang mempunyai nilai v dan atau x lebih kecil o Menggunakan lebih banyak penetes per tanaman untuk meningkatkan Np o Menggunakan penetes yang berbeda atau mengatur kembali sistem untuk memperoleh Ha yang lebih tinggi, atau
o Menyesuaikan kebutuhan EU rancangan
22
2.3. Pompa Air Dari berbagai tipe pompa air yang tersedia, pompa sentrifugal, pompa aksial, dan pompa aliran campuran adalah yang biasa digunakan. Dari tiga tipe pompa tersebut, seleksi pompa dilakukan dengan selang karakteristik debit dan head. Indeks tipe pompa yang biasa digunakan adalah kecepatan spesifik (Churh 1944, diacu dalam Schwab et al. 1981). Gambar 9 menunjukkan efisiensi pompa sebagai fungsi dari kecepatan spesifik. Pompa sentrifugal adalah ekonomis dari segi biaya dan sederhana dalam konstruksi, menghasilkan debit yang relatif mantap.
Pompa ini
mempunyai kapasitas debit relatif kecil, mudah dioperasikan, dan cocok untuk menangani sedimen. sumur.
Pompa ini harus dipasang/disambungkan (fitted) pada
Dengan mem-plot kurva debit-head untuk pompa dan kurva debit-
drawdown untuk sumur, interseksi dua kurva tersebut memberikan kapasitas operasi. Contoh kurva untuk tipe instalasi pompa di lapangan disajikan pada Gambar 10 (Schwab et al. 1981).
100
> 10000 gpm
Efisiensi
90 80 70
500 – 1000
1000 – 3000
200 – 500
3000 –
100 – 200 60
< 100 gpm 1 gpm = 0.063 L/s
50 40 500
1000
2000 3000 5000 Kecepatan Spesifik (rpm)
10000
Mixed flow
15000
Propeler (axial flow)
Gambar 9 Hubungan antara kecepatan spesifik, bentuk impeller, efisiensi, dan tipe pompa (Schwab et al. 1981). Tenaga yang dibutuhkan untuk pemompaan dihitung dengan rumus (Schwab et al. 1981) : Pd =
9,79 Q h Ep
dimana, Pd : (input) tenaga yang dibutuhkan di pompa, kW (1 kW = 1,34 HP)
(15)
23
: debit, m3/det : total head dinamik (TDH), m : efisiensi pompa (dalam desimal)
80
Kapasitas (m3/det) 0.04 0.06
Kapasitas-head pompa
70
Pompa turbin sumur dalam 870 rpm
80
20 60
15
10
Head (ft)
Head (m)
60 50
40
Efisiensi sistem
40
20
30
0
Kapasitas-head sumur
20
10
5 10
Brake horsepower
12 8 4 0
5 0
0
0
Efisiensi, %
25
0.02
0
2
4 6 8 Kapasitas (100 gpm)
10
HP
Q h Ep
12
Gambar 10 Kurva debit-head pada sambungan pompa dengan sumur (Schwab et al. 1981) Suatu alat/mesin yang dapat menghasilkan torsi penggerak pada poros pompa dapat digunakan sebagai tenaga penggerak (driver). Tenaga penggerak yang umum digunakan adalah motor listrik dan motor bakar (disel). Pemilihan tenaga penggerak harus dilakukan berdasarkan pertimbangan teknis dan ekonomi maupun kesesuaiannya. Tenaga penggerak tidak boleh dioperasikan secara terus menerus pada kapasitas maksimum, tetapi pada beban 85-90%. Tenaga dari suatu tenaga penggerak dapat dihitung dengan rumus (Wijdieks and Bos 1985) : Pd
= ρ ⋅ g ⋅ Q ⋅ h η ⋅ ηd ⋅ η red
× (100 + ac 100
dimana, Pd η ηd ηred
: tenaga yang diperlukan, watt : efisiensi pompa yang diharapkan : efisiensi tenaga penggerak : efisiensi reduksi (0,96 to 0,98)
) ×
fr
(16)
24
ac fr g h Q
ρ
: persentase reduksi tenaga akibat elevasi lokasi dan iklim : faktor untuk menjaga bilamana tenaga penggerak beroperasi terusmenerus pada kapasitas maksimum (1,1 – 1,2) : percepatan gravitasi (9,81 m/det2 : Head (m) : debit (m3/det) : kerapatan jenis air yang dipompa (1000/kg/m3)
2.4. Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan air irigasi di sawah ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu penyiapan lahan (pengolahan tanah), penggunaan konsumtif (kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman), perkolasi dan rembesan, penggantian lapisan air, curah hujan efektif, dan efisiensi irigasi. Perhitungannya adalah sebagai berikut (Departemen PU 1986) : Kebutuhan air irigasi untuk padi sawah : NFR =
(ETc+ P + IR + WLR - Re ) Ef
(17)
Kebutuhan air irigasi untuk palawija : NFR =
(ETc- Re) Ef
(18)
dimana : NFR Etc P IR WLR Re Ef
: kebutuhan air irigasi (mm/hari) : evapotranspirasi tanaman (mm/hari) : perkolasi (mm/hari) : air untuk penyiapan lahan (mm/hari) : air untuk penggantian lapisan (mm/hari) : curah hujan efektif (mm/hari) : efisiensi irigasi Menurut Doorenbos and Pruitt (1977) diacu dalam Raes (1989a), besarnya
evapotranspirasi tanaman dapat dihitung dengan rumus berikut : ETc
= kc x ETo
dimana : ETc kc ETo
: evapotranpirasi tanaman (mm/hari) : koefisien tanaman : evapotranspirasi acuan (mm/hari)
(19)
25
Besarnya evapotranspirasi acuan dapat dihitung dengan metode/rumus empiris,
seperti metode Radiasi,
Penman, Blaney-
evapotranspirasi (Raes et al. 1989a).
Criddle dan panci
Pendugaan evapotranspirasi acuan
dengan metode radiasi digunakan bila suhu udara dan penyinaran matahari diketahui, yang dinyatakan dengan persamaan berikut : ETo = c x (W x Rs)
(20)
dimana: ETo : evapotranspirasi acuan (mm/hari) c : faktor koreksi yang tergantung pada kelembaban rata-rata dan bulan Rs : radiasi matahari ( mm/hari) W : konstanta yang tergantung pada suhu dan ketinggian Nilai Rs dinyatakan dengan persamaan :
n Rs = 0,25 + 0,5 × Ra N
(21)
dimana: n : jam penyinaran aktual hasil pengukuran (jam/hari) N : maksimum jam penyinaran yang memungkinkan (jam/hari) Ra : radiasi eksternal dalam ekivalen evapotranspirasi (mm/hari) Nilai koefisien tanaman (kc) tergantung pada jenis tanaman dan periode pertumbuhan tanaman. Nilai koefisien tanaman berbeda-beda untuk tiap tanaman. Besarnya koefisien tanaman palawija untuk periode ½ bulanan tertera pada Tabel 2. Tabel 2 Koefisien tanaman (kc) palawija Tanaman Kedelai Jagung Kacang Tanah Bawang Buncis
1 0,30 0,30 0,40 0,50 0,30
2 0,75 0,59 0,51 0,51 0,70
Periode ½ bulanan 3 4 5 1,00 1,00 0,82 0,96 1,05 1,02 0,66 0,85 0,95 0,69 0,90 0,95 0,80 1,00 0,90
6 0,45 0,95 0,95
7
0,50
0,75
Sumber : FAO (1977) diacu dalam Departemen PU (1986)
Curah hujan efektif adalah bagian dari hujan total yang dapat digunakan oleh tanaman untuk memenuhi evapotranspirasi dan keperluan lainnya (pencucian racun atau leaching, dan perkolasi). Besarnya hujan efektif umumnya diduga dengan hujan yang terjadi pada periode tertentu (curah hujan andalan)
26
dengan peluang terlewati 80%. Perhitungan curah hujan andalan dengan menggunakan metode distribusi Weilbull dinyatakan dengan persamaan berikut (Departemen PU, 1986). P =
(22)
m x 100 % n+1
dimana : P : probabilitas (%) n : jumlah tahun pengamatan m : nomor urut data setelah data diurut dari yang terbesar ke data yang terkecil Konsep efisiensi irigasi terdiri atas efisiensi penyaluran, efisiensi pemberian air, efisiensi penyimpanan, dan efisiensi irigasi total (Schwab et al. 1981). Ec =
Wd Wi
x 100
(23)
Ea =
Ws Wd
x 100%
(24)
Eu =
Wu Wd
x 100%
(25)
Ef = Ec x Ea atau Ef = Ec x Eu
(26)
dimana : Ec : efisiensi penyaluran air irigasi(%) Ea : efisiensi pemberian air (%) Eu : efisiensi pemakaian air (%) Ef : efisiensi irigasi total (%) Wd : jumlah air yang sampai di areal pertanian (l/det) Wi : jumlah air yang dialirkan dari sumber air (l/det) Ws : jumlah air yang tersimpan dalam zona perakaran selama pemberian air (l/det) Wu : jumlah air yang diperlukan/digunakan oleh tanaman (l/det) Kapasitas tanah menahan air tersedia untuk tanaman berpengaruh secara langsung terhadap kedalaman dan frekuensi irigasi.
Total air tanah tersedia
merupakan perbedaan antara kadar air tanah pada kondisi kapasitas lapang dan titik layu permanen. Air tanah siap tersedia adalah bagian dari total air tanah tersedia yang siap diserap oleh akar tanaman. Kadar air tanah tersedia tersebut dapat dihitung dengan persamaan berikut (Raes 1989b): TAW = Sfc – Swp
(27)
RAW = p x TAW
(28)
27
dimana, TAW : total air tanah tersedia, mm/m kedalaman tanah RAW : air tanah siap tersedia, mm/m kedalaman tanah Sfc : kadar air tanah pada kondisi kapasitas lapang, mm/m kedalaman tanah Swp : kadar air tanah pada kondisi titik layu permanen, mm/m kedalaman tanah p : faktor tanaman, yaitu fraksi air tanah tersedia yang siap digunakan untuk evapotranspirasi tanaman Gambar 11 menyajikan skema neraca air tanah pada daerah perakaran, yang menjelaskan tiga kondisi ketersediaan air tanah untuk tanaman, yaitu (Raes et al. 1987): 1. Kadar air tanah telah melampaui kapasitas lapang sehingga terjadi aliran airtanah dalam bentuk perkolasi. Kondisi ini akan terjadi bilamana pasokan air (dapat berupa curah hujan, air irigasi, dan atau aliran airtanah ) melebihi jumlah air yang diperlukan untuk mencapai kapasitas lapang. 2. Kadar air tanah tersedia untuk tanaman sebesar TAW, yaitu bilamana kadar air tanah berada antara kapasitas lapang dan titik layu permanen. Namun untuk keperluan manajemen irigasi, hanya sebagian air tanah tersebut yang siap tersedia untuk tanaman, sebesar RAW. 3. Kondisi air tanah tidak tersedia untuk tanaman, yaitu bilamana kadar air tanah sama dengan atau lebih kecil dari titik layu permanen. Pada kondisi ini tanaman akan mati (layu permanen). Kedalaman bersih maksimum air irigasi yang dapat diberikan per irigasi pada suatu tekstur tanah tertentu dinyatakan dengan persamaan (Keller and Bliesner 1990) :
MAD Pw dx = × × Wa × Z 100 100 dimana :
(29)
dx : kedalaman bersih maksimum air per irigasi (mm) MAD : fraksi pengurangan air tanah yang diijinkan untuk keperluan manajemen irigasi Pw : persentase areal yang terbasahi (%) Wa : kapasitas tanah menahan air (mm/m) Z : kedalaman perakaran tanaman (m)
28
Hari ke Kondisi 3
Interval irigasi
Titik layu permanen Kondisi 2 (TAW) Titik kritis Jumlah irigasi RAW
Perkolasi
Kapasitas lapang Kondisi 1
kadar air tanah
Gambar 11 Skema neraca air tanah pada daerah perakaran (Raes et al. 1987) Interval irigasi maksimum dapat dihitung dengan persamaan : fx =
dx Td
(30)
dimana : fx : interval irigasi maksimum (hari) Td : transpirasi harian rata-rata pada periode penggunaan puncak (mm/hari) dihitung dengan persamaan (3) Kedalaman bersih air irigasi yang diberikan pada setiap operasi irigasi dihitung dengan persamaan : dn = Td x fa
(31)
dimana : dn : kedalaman bersih air irigasi yang diberikan per irigasi untuk memenuhi kebutuhan konsumtif tanaman (mm) fa : interval irigasi aktual (hari) Dalam menentukan interval irigasi aktual, pertimbangan aspek manajemen harus didasarkan pada dn ≤ dx. Kebutuhan air irigasi untuk setiap kali irigasi harus memperhitungkan rasio transpirasi dan jumlah air untuk pencucian. Oleh
29
karena itu, kedalaman kotor maksimum air irigasi yang harus diberikan setiap irigasi menjadi (L Rt ≤ 0,1 atau Tr ≥ d = 100 × dn ×
0,9
(1,0 − LRt )
:
TR Eu
(32)
Volume kotor air irigasi yang harus diberikan per tanaman untuk setiap operasi irigasi dihitung dengan persamaan berikut : G = d x Sp x Sr
(33)
dimana : G : volume kotor air irigasi yang diberikan per tanaman per operasi (l/hari) Sp, Sr : jarak tanaman (m x m) Waktu yang dibutuhkan untuk pemberian air irigasi selama masa penggunaan puncak dihitung dengan persamaan : Ta =
G (Np × qa )
(34)
dimana : Ta : lama irigasi selama masa penggunaan puncak (jam/hari) Np : jumlah emiter per tanaman qa : debit emiter rata-rata (l/jam). Laju pemberian air irigasi dihitung dengan persamaan : ln =
d (Ta × fa )
(35)
dimana : In : laju pemberian air irigasi (mm/jam) Syarat yang harus dipenuhi dalam menentukan nilai In
adalah In ≤ f,
dimana f adalah laju infiltrasi tanah. Kapasitas sistem yang dibutuhkan untuk mengairi suatu lahan tertentu dihitung dengan persamaan : Qs =
2,778 A q a (Ns × Sl × Se )
(36)
30
dimana : Qs A Ns Sl Se
: kapasitas sistem yang dibutuhkan (l/det) : luas lahan yang akan diirigasi (ha) : jumlah stasiun dioperasikan : jarak antar lateral (m) : jarak antar penentes dalam satu lateral (m)
2.5. Kelayakan Finansial Proyek Pertanian Dalam analisis proyek, tujuan analisis adalah untuk menyajikan standar perbandingan antara biaya (cost) dan manfaat (benefit) yang didefinisikan. Secara sederhana, suatu biaya adalah sesuatu yang mengurangi tujuan proyek, sedangkan manfaat adalah sesuatu yang memberikan kontribusi terhadap tujuan proyek.
Analisis proyek mencoba mengidentifikasi dan menilai biaya dan
manfaat
yang
akan
meningkat
dengan
proyek
yang
diusulkan,
serta
membandingkannya dengan kondisi tanpa proyek. Perbedaan tersebut adalah
incremental net benefit yang diperoleh dari investasi proyek. Pendekatan ini tidak sama bila dibandingkan dengan kondisi sebelum dan sesudah proyek (Gittinger 1982). Biaya proyek-proyek pertanian adalah termasuk barang-barang fisik, tenaga kerja, lahan, biaya kontingensi, pajak, jasa penagihan, dan sunk costs. Manfaat yang dapat dihitung (tangible benefits) dari suatu proyek pertanian dapat diperoleh dari peningkatan nilai produksi maupun penurunan biaya.
Form
khusus untuk menyajikan tangible benefits tidak selalu tersedia, dan cara menilainya mungkin relatif sulit. peningkatan perubahan
produksi, tempat
Yang termasuk tangible benefits adalah
perbaikan
penjualan,
kualitas,
perubahan
perubahan bentuk
waktu
produk
penjualan,
(grading
and
processing), penurunan biaya melalui mekanisasi, penurunan biaya transport, pencegahan losses, dan jenis-jenis lain tangible benefits (Gittinger 1982). Pada dasarnya data yang digunakan dalam studi ekonomi adalah tidak sederhana dan tidak menentu oleh karena data tersebut merupakan perkiraan kondisi mendatang. Analisis breakeven (titik impas) berguna apabila seseorang harus membuat keputusan atas beberapa alternatif yang sangat sensitif terhadap peubah atau parameter, dan peubah atau parameter tersebut sulit diperkirakan. Melalui analisis titik impas, seseorang dapat menyelesaikan/mengetahui nilai peubah atau parameter tersebut.
Nilai peubah tersebut dikenal sebagai titik
31
impas (breakeven point). Apabila seseorang kemudian dapat memperkirakan hasil aktual dari peubah tersebut akan lebih tinggi atau lebih rendah dari titik impas, maka alternatif terbaik akan dapat dilihat. Berikut adalah contoh peubah yang umum dalam analisis titik impas, yang berguna dalam pengambilan keputusan (DeGarmo et al. 1979) : 1. Pendapatan (Revenue). Mengetahui pendapatan tahunan yang dibutuhkan untuk sama (impas) dengan biaya tahunan. 2. Tingkat pengembalian (Rate of return).
Mengetahui tingkat pengembalian
dimana dua alternatif sama-sama diharapkan. 3. Nilai sisa (Salvage value).
Mengetahui nilai mendatang atas penjualan
kembali barang-barang bekas. 4. Umur peralatan (Equipment life).
Mengetahui waktu penggunaan yang
diperlukan untuk suatu alternatif. 5. Jam operasi (Hours of operation). Mengetahui jam penggunaan per tahun atas suatu alternatif, atau atas dua alternatif yang sama-sama diharapkan. Biaya, yang mungkin linier atau non-linier,
umumnya terdiri atas dua
komponen – tetap dan tidak tetap-. Biaya tetap (fixed costs-FC), meliputi biaya gedung/bangunan, asuransi, fixed overhead or indirect costs, beberapa tenaga kerja terbatas, dan pengembalian modal. Biaya tidak tetap (variable costs-VC), termasuk tenaga kerja langsung, bahan-bahan, tenaga kerja pendukung dan tidak langsung, kontraktor, pemasaran, iklan/promosi, dan jaminan. Komponen biaya tetap biasanya konstan untuk semua nilai peubah, sehingga nilainya tidak tergantung pada perbedaan tingkat produksi maupun skala kerja. Biaya tidak tetap akan berubah sesuai dengan tingkat produksi, skala kerja, dan peubah lainnya. Pada beberapa besaran peubah, hubungan pendapatan dan total biaya akan berpotongan untuk menunjukkan titik impas, QBE seperti terlihat Gambar 12 (Blank and Tarquin 1998). Rumus perhitungan titik impas adalah sebagai berikut (Pramudya dan Nesia Dewi 1992): R = n(P-V) – F Bila n = T, maka R = 0 sehingga T =
Dimana, F : biaya tetap (Rp/tahun) V : biaya tidak tetap (Rp/unit produk)
(37)
F (P − V )
(38)
32
n : jumlah produk yang dihasilkan (unit/tahun) P : harga jual (Rp/unit produk) R : penerimaan (Rp/tahun) T : titik impas jumlah produk yang dihasilkan (unit/tahun)
R TC Titik impas
TC saat VC berkurang
Titik impas pada saat VC berkurang
Maksimalisasi Keuntungan Rugi
Laba Qtitik impas Qtitik impas Q unit per tahun
Gambar 12 Pengaruh terhadap titik impas apabila biaya tidak tetap per unit berkurang Tehnik discounting mengarahkan penentuan diterima atau tidaknya suatu proyek untuk diimplementasikan, yang mempunyai beragam bentuk arus waktu dan selang waktu yang berbeda. Alat yang umum digunakan untuk hal ini adalah menyusun pengurangan biaya atas manfaat dari tahun ke tahun, untuk memperoleh arus incremental net benefit – sehingga disebut sebagai cash flowdan kemudian men-discount-nya. Pendekatan ini akan memberikan satu dari tiga kriteria (discounted cash flow measures of project worth), yaitu net present
worth (NPV), internal rate of return (IRR), atau net benefit-investment ratio (N/K ratio).
Kriteria yang lain adalah untuk menentukan nilai sekarang (present
worths) dari arus biaya dan arus manfaat secara terpisah, dan kemudian membagi nilai sekarang manfaat dengan nilai sekarang biaya untuk memperoleh nilai benefit cost ratio – B/C. (Gittinger 1982). Perbandingan antar kriteria investasi (discounted measures of project
worth) disajikan pada Lampiran 6., sedangkan rumus matematik dari kriteria investasi tersebut adalah sebagai berikut (Gittinger 1982):
33
Net Present Worth (NPV): t= n
NPV =
B
∑ (1 t=1
t
− C
t
− i)
(39)
t
Internal rate of return (IRR) adalah nilai discount rate (i) yang membuat NPV = 0 t= n
NPV =
∑
t=1
Bt − C t = 0 (1 − i )t
(40)
Benefit-cost ratio: t= n
B
∑ (1 − i ) C ∑ (1 − i ) t
t
B/C rasio =
t =1 t= n
t
(41)
t
t =1
Net benefit-investment (N/K) ratio: t= n
N
∑ (1 − i ) K ∑ (1 − i ) t
t
N/K rasio =
t =1 t= n
t
t
t =1
Dimana, Bt Ct Nt Kt t n i
: manfaat tahun ke-t : biaya tahun ke-t : incremental net benefit setiap tahun setelah arus masuk positif : incremental net benefit pada tahun-tahun awal ketika arus kas negatif : tahun ke 1,2, …,n : jumlah tahun : tingkat suku bunga yang berlaku
(42)
34
III.
METODOLOGI
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Nganjuk Provinsi Jawa Timur, mulai Bulan April 2005 sampai dengan Bulan Januari 2007. Lokasi pengumpulan data lapangan
adalah
jaringan
irigasi
airtanah
(JIAT)
dangkal
yang
telah
dikembangkan dengan jenis tanaman bernilai ekonomi tinggi dan mempunyai intensitas tanam lebih dari 200%, di Kecamatan Sukomoro. Peta lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 6.
3.2. Pendekatan Konseptual Lingkup penelitian ini meliputi tiga kelompok kegiatan, yaitu : 1. Penelitian tentang faktor-faktor rancangan irigasi tetes, meliputi iklim, sifat fisik tanah, faktor tanaman, dan debit sumber air. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jumlah pemberian air irigasi dan interval irigasi. 2. Penelitian tentang kinerja jaringan irigasi airtanah dangkal, untuk memberikan gambaran tentang kinerja JIAT dangkal, yaitu meliputi karakteristik akifer dan sumur, operasi pompa, areal layanan irigasi, pola tanam, aplikasi irigasi, kebutuhan air irigasi, efisiensi irigasi, analisa usahatani, dan biaya irigasi. 3. Penelitian persyaratan hidrolika irigasi tetes dengan mempertimbangkan spesifikasi teknis penetes (emitter), pipa, dan pompa air.
Penelitian ini
mengembangkan suatu kriteria hidrolika yang memenuhi persyaratan untuk memperoleh keseragaman dan efisiensi irigasi yang tinggi. Dengan mengintegrasikan hasil dari ke tiga penelitian tersebut, selanjutnya diperoleh rumusan tentang kriteria rancangan irigasi tetes yang meliputi: 1. Kriteria kecukupan air irigasi 2. Kriteria rancangan hidrolika 3. Kriteria kelayakan finansial Kriteria rancangan ini diarahkan untuk dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan investasi pembangunan jaringan irigasi tetes, serta sebagai standar rancangan irigasi tetes pada jaringan irigasi airtanah dangkal. Kerangka pemikiran dan lingkup kegiatan penelitian disajikan pada Gambar 13.
35
Penelitian faktorfaktor rancangan irigasi tetes
Iklim Debit sumur Sifat fisik tanah Faktor tanaman
Kriteria kecukupan air irigasi
Penelitian kinerja JIAT dangkal
Karakteristik akifer & sumur Pompa & areal layanan irigasi Pola tanam & aplikasi irigasi Kebutuhan air irigasi & efisiensi irigasi Analisa usahatani & biaya irigasi
Penelitian persyaratan hidrolika irigasi tetes
Hidrolika pipa sub unit Hidrolika pompa
Kriteria rancangan hidrolika
Kriteria kelayakan finansial
Sintesa kriteria rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal Gambar 13 Kerangka pemikiran dan lingkup penelitian
3.3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang dilakukan meliputi pengamatan lapang, pengukuran, pengambilan contoh tanah, wawancara, dan pengumpulan data sekunder. Metode pengumpulan data dirangkum pada TabeL 3. 1. Iklim; Data iklim dikumpulkan dari data pengamatan 10 tahun terakhir, meliputi curah hujan, suhu udara, kelembaban nisbi, tekanan udara, kecepatan angin, radiasi matahari, ketinggian dan letak geografis stasiun iklim. 2. Sifat fisik tanah; Data sifat fisik tanah mencakup tekstur tanah dan kadar air tanah, diperoleh melalui pengambilan contoh tanah dan analisis laboratorium. 3. Faktor-faktor tanaman; Data faktor-faktor tanaman meliputi kedalaman perakaran, koefisien tanaman, fraksi air tanah tersedia, toleransi tanaman,
36
dan tahap pertumbuhan tanaman.
Data tersebut diperoleh melalui
pengumpulan data sekunder. 4. Debit sumur ; Karakteristik sumur dan karaktersitik akifer ditentukan melalui uji pemompaan (pumping test), mencakup uji bertingkat (step drawdown test) dan uji menerus (continuous test), dengan metode seperti pada Lampiran 7. 5. Pola tanam dan intensitas tanam; Data pola tanam dan intensitas tanam dikumpulkan melalui pengamatan lapang, wawancara, dan data sekunder. Data tersebut mencakup jenis tanaman, jadwal tanam, dan luas areal tanam, pada musim hujan dan musim kemarau. 6. Jadwal irigasi; Data jadwal irigasi yang diterapkan oleh petani pada jaringan irigasi airtanah dangkal dikumpulkan melalui pengamatan
lapang dan
wawancara, untuk mengetahui jumlah dan interval pemberian air irigasi. 7. Analisa usahatani; Data analisa usahatani diperoleh melalui wawancara dengan petani dan dari data sekunder, sesuai dengan pola tanam yang ada. 8. Tata letak jaringan/perpipaan; Data ini dikumpulkan melalui pengamatan lapang dan data sekunder.
Oleh karena sebagian besar jaringan irigasi
airtanah dangkal tidak dilengkapi dengan jaringan perpipaan, maka pengamatan lapang difokuskan pada sistem saluran distribusi yang telah dikembangkan oleh petani. 9. Stasiun pompa; Data stasiun pompa meliputi spesifikasi teknis pompa dan tenaga penggeraknya, debit pemompaan, jadwal operasi pompa, biaya investasi dan biaya operasi, serta luas layanan irigasi. Data ini dikumpulkan melalui pengamatan, pengukuran, wawancara dan data sekunder. 10. Efisiensi irigasi; Efisiensi irigasi meliputi efisiensi penyaluran dan efisiensi aplikasi. Data ini diperoleh melalui pengukuran kehilangan air irigasi di saluran, jumlah pemberian air irigasi aktual, dan kadar airtanah sebelum dan sesudah irigasi. 11. Spesifikasi teknis komponen irigasi tetes; Data spesifikasi teknis penetes, pipa, pompa dan tenaga penggeraknya, dikumpulkan melalui pengumpulan data sekunder, yang difokuskan pada komponen irigasi yang banyak/umum digunakan dan tersedia di pasaran.
Analisa usahatani
Tata letak perpipaan Pengoperasian pompa Efisiensi irigasi
o
o o o
3. Spesifikasi teknis penetes, pipa, dan pompa
Jadwal irigasi
o
2. Kinerja jaringan irigasi airtanah dangkal o Pola tanam dan intensitas tanam
o
o o o o o o o o o o
Jenis data 1. Faktor-faktor dan data rancangan irigasi tetes o Iklim o o Sifat fisik tanah o o Faktor-faktor tanaman o o Debit sumur o
Tabel 3 Metode pengumpulan data
Data sekunder
Pengamatan lapang, wawancara, dan data sekunder Wawancara Data sekunder Pengamatan lapang Wawancara Wawancara Data sekunder Pengamatan lapang Pengamatan lapang, pengukuran, dan wawancara Pengukuran
Data sekunder Contoh tanah dan analisis laboratorium Data sekunder Uji pemompaan
Metode pengumpulan data
o o
o o o o o o o o o o
o o o o
Kabupaten Nganjuk Jakarta dan Surabaya
8 JIAT dangkal 65 petani Kec. Sukomoro 8 JIAT dangkal 65 petani 65 petani Kec. Sukomoro 8 JIAT dangkal 65 JIAT dangkal 8 JIAT dangkal
Kabupaten Nganjuk 8 JIAT dangkal 3 JIAT dangkal
Lokasi
33
38
3.4. Metode Analisis Data Analisis data yang dilakukan meliputi analisis ketersediaan air tanah, kebutuhan air irigasi, karakteristik akifer dan sumur, efisiensi pemompaan, areal layanan irigasi, efisiensi irigasi, persyaratan hidrolika irigasi tetes, dan analisis kelayakan finansial. 1. Analisis kadar air tanah tersedia; a. Perhitungan total air tanah tersedia (TAW) pada daerah perakaran tanaman, dengan persamaan (27) b. Perhitungan air tanah siap tersedia (RAW) pada daerah perakaran berdasarkan faktor tanaman yang diijinkan, dengan persamaan (28) 2
Analisis kebutuhan air irigasi; a. Perhitungan kebutuhan air tanaman berdasarkan pola tanam dan kondisi iklim, dengan persamaan (19), (20), dan (21). b. Perhitungan curah hujan andalan dengan persamaan (22). c. Perhitungan kebutuhan air irigasi pada jaringan irigasi airtanah dangkal sesuai dengan pola tanam yang diterapkan, dengan persamaan (17) dan (18). d. Perhitungan kebutuhan air irigasi pada sistem irigasi tetes, dengan persamaan (29) sampai dengan persamaan (36).
3. Analisis karakteristik akifer dan sumur;
o
Perhitungan efisiensi sumur, debit pemompaan optimum (Qopt- l/det), transmisivitas (T- m2/hari), kapasitas jenis (specific capacity, Sc- m2/hari), konduktivitas hidrolika (K- m/hari), dan jari-jari lingkaran pengaruh (R- m), dengan menggunakan persamaan (1) dan persamaan pada Lampiran 8.
4. Analisis efisiensi pemompaan;
o
Perhitungan efisiensi pemompaan dengan parameter rasio Qa/Qc dan rasio Ha/Hs serta membandingkannya pada kurva head-debit seperti pada Gambar 10.
5. Analisis areal layanan irigasi; a. Perhitungan luas areal layanan irigasi aktual (LLIact) berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara b. Perhitungan luas areal layanan irigasi potensial (LLIpot) berdasarkan satuan kebutuhan air irigasi dan debit sumur
39
c. Perhitungan luas areal terpengaruh (LAT) berdasarkan nilai jari-jari pengaruh sumur d. Perhitungan
kerapatan
populasi
sumur
dengan
parameter
rasio
LAT/LLIact dan rasio LLIact/LLIpot 6. Analisis efisiensi irigasi;
o
Perhitungan efisiensi irigasi pada jaringan irigasi airtanah dangkal, dengan persamaan (23) sampai dengan persamaan (26)
7. Analisis persyaratan hidrolika irigasi tetes; a. Perhitungan kehilangan head tekanan pada pipa lateral dan pipa
manifold, dengan persamaan (7) sampai dengan persamaan (13). b. Pembuatan persamaan regresi dan kurva hubungan antara panjang pipa lateral dan head tekanan kerja penetes, serta hubungan antara panjang pipa manifold dan head tekanan kerja, berdasarkan kehilangan head tekanan pada pipa, yang dihitung dengan persamaan (7) sampai dengan persamaan (13). c. Pembuatan persamaan regresi dan kurva hubungan antara panjang pipa lateral dan debit penetes, berdasarkan kehilangan head tekanan pada pipa, dihitung dengan persamaan (7) sampai dengan persamaan (13). d. Penyusunan tabel untuk penentuan panjang maksimum pipa lateral dan pipa manifold yang memenuhi persamaan (5) dan (6) e. Pembuatan nomogram untuk penentuan panjang maksimum pipa lateral dan pipa manifold yang memenuhi persamaan (5) dan (6) f.
Pembuatan program komputer dengan tehnik komputasi numerik dan aplikasi jaringan syaraf tiruan (artificial neural network)
8. Analisis kelayakan finansial; a. Perhitungan biaya usahatani dan biaya irigasi b. Perhitungan titik impas luas layanan irigasi dengan persamaan (37) dan (38) serta analisis sensitivitasnya c. Perhitungan kriteria investasi IRR dengan persamaan (40) serta analisis sensitivitasnya 9. Sintesa kriteria rancangan yang mencakup kriteria kecukupan air irigasi, kriteria rancangan hidrolika, dan kriteria kelayakan finansial Parameter dan indikator setiap kriteria rancangan tersebut tertera pada Tabel 4.
3. Kriteria kelayakan finansial
2. Kriteria rancangan hidrolika
1. Kriteria kecukupan air irigasi
Kriteria rancangan
Titik impas o Luas layanan irigasi minimum – ha per JIAT Kriteria investasi o IRR - %
Ukuran pipa manifold dan lateral o Diameter pipa manifold & lateral – mm atau in o Panjang maximum pipa manifold & lateral - m o Jumlah maximum lateral pada subunit - unit o Jumlah maximum penetes per lateral – unit Karakteristik H-Q o Debit operasi pompa optimum – l/det o Total head dinamik - m
Parameter Karakteristik sumur o Debit sumur optimum – l/det o Jari-jari pengaruh, R - m Pola tanam dan intensitas tanam o Jenis tanaman o Jadwal tanam dan musim tanam o Luas areal tanam – ha Kebutuhan air tanaman, CWR o Evapotranspirasi tanaman - mm/bulan o Kebutuhan air untuk leaching -mm/aplikasi o Satuan kebutuhan air, SKA - l/det/ha Efisiensi irigasi - %
Tabel 4 Kriteria rancangan hipotetik sistem irigasi tetes
Luas layanan irigasi lebih besar dari luas titik impas Nilai IRR ≥ tingkat bunga yang berlaku
Koefisien keseragaman dan atau efisiensi distribusi irigasi lebih besar atau sama dengan 95% (EU ≥ 95%)
Evapotranspirasi aktual sama dengan evapotranspirasi potensial (ETact = ETcrop)
Indikator
40
41
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kinerja Jaringan Irigasi Airtanah Dangkal 4.1.1. Karakteristik Akifer dan Sumur Akifer air tanah dangkal di daerah penelitian merupakan akifer bebas yang berada pada kedalaman 2-32 m dengan ketebalan akifer 6-24 m. Karakteristik akifer dan karakteristik sumur ditentukan berdasarkan hasil uji pemompaan, yaitu uji pemompaan bertingkat dan uji pemompaan menerus. Hasil uji pemompaan tersebut adalah debit pemompaan (Q), drawdown (Sw), waktu pemompaan dan waktu kenaikan muka air tanah. Hasil uji pemompaan disajikan Tabel 5. Tabel 5 Hasil uji pemompaan Deskripsi Muka airtanah (m dpt) Kedalaman sumur (m dpt) Uji pemompaan bertingkat Debit pemompaan (l/det) Waktu pemompaan (menit) drawdown (m) Waktu kambuh (menit) Kenaikan muka airtanah uji kambuh (m dpt) Uji pemompaan menerus Debit pemompaan (l/det) Waktu pemompaan (menit) drawdown (m) Waktu kambuh (menit) Kenaikan muka airtanah uji kambuh (m dpt)
Desa Kapas 1,46 32
Desa Pehserut 0,60 8,50
2,63 – 6,63 60 - 120 5,99 180 0,12
2,79 – 6,60 60 - 120 3,93 180 0,91
6,86 420 5,72 420 0,24
6,86 420 3,68 420 1,01
Keterangan: dpt – di bawah permukaan tanah
Debit pemompaan bertingkat bervariasi antara 2,63 – 6,63 l/det dengan waktu pemompaan tiap tahap berkisar antara 60-120 menit. Perbedaan waktu pemompaan tiap tahap terjadi karena waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi tunak (steady) untuk tiap sumur berbeda. Besarnya drawdown antara 3,93 - 5,99 m. Kenaikan muka airtanah pada uji kambuh bertingkat antara 0,12 0,91 m dengan waktu kambuh 180 menit. Debit pemompaan menerus sebesar 6,86 l/det dengan waktu pemompaan 420 menit. Besarnya drawdown antara 3,68 – 5,72 m. Waktu kambuh pada uji pemompaan menerus adalah 420 menit
42
dengan kenaikan muka airtanah antara 0,24–1,01m. Grafik hasil uji pemompaan disajikan pada Lampiran 8 dan Lampiran 9. Hasil perhitungan nilai karakteristik akifer bebas dan karakteristik sumur dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai transmisivitas akifer bebas berkisar antara 671272 m2/hari. Apabila dibandingkan dengan batasan klasifikasi akifer untuk pengembangan irigasi, menurut Bureau of Reclamation, US Department of Interior (1977), diacu dalam Suharyadi (1989), nilai transmisivitas akifer bebas di Desa Pehserut termasuk kelas kurang karena nilai T kurang dari 300 m2/hari. Nilai transmisivitas akifer di Desa Kapas tergolong tinggi untuk pengembangan irigasi, oleh karena nilai T lebih besar dari 1.000 m2/hari. Hasil penelitian Suharyadi (1989) di Sub DAS Opak D.I. Yogyakarta menunjukkan bahwa nilai transmisivitas akifer berkisar antara 13 – 2.683 m2/hari.
Adapun hasil studi
Departemen Pertanian (1998) menunjukkan bahwa nilai transmisivitas akifer dangkal di beberapa wilayah di Indonesia bervariasi antara 75 – 3.431 m2/hari. Tabel 6 Karakteristik akifer dan sumur Deskripsi Populasi Sumur Kedalaman Sumur (m) Jenis Sumur Diameter Sumur (mm) Karakteristik akifer Jenis Akifer Tebal Akifer (m) T (m2/hari) Sc (m2/hari) K (m/hari) R (m) Karakteristik Sumur Effisiensi Sumur (%) Qoptimum MH (l/det) Qoptimum MK (l/det)
Desa Kapas 113 32 Pantek 100
Desa Pehserut 25 8 Pantek 50
Akifer bebas 24 1272 161 41,6 200
Akifer bebas 6 67 95 3,3 118
77 13,5 12
55 5 4
Nilai konduktivitas hidrolik berkisar antara 3,3 - 41,6 m/hari. Nilai ini menunjukkan bahwa kedua akifer tersebut tersusun atas bahan yang berbeda. Menurut Linsley dan Franzini (1989) nilai konduktivitas hidrolik dari bahan yang tersusun oleh pasir berada pada kisaran 41 m/hari, sedangkan untuk bahan yang tersusun oleh batu pasir memiliki konduktivitas pada kisaran 4,1 m/hari. Hasil studi Departemen Pertanian (1998) menunjukkan bahwa nilai konduktivitas
43
hidrolika akifer dangkal di beberapa wilayah di Indonesia bervariasi antara 3 222 m/hari. Nilai kapasitas jenis akan berubah dengan berubahnya debit pemompaan dan waktu pemompaan. Nilai kapasitas jenis dari akifer bebas di lokasi penelitian bervariasi antara 95 m2/hari hingga 161 m2/hari, sedangkan efisiensi sumur sekitar 55-77%. Nilai ini berarti bahwa efisiensi sumur relatif tinggi (>50%), dan menunjukkan bahwa konstruksi sumur pada lokasi tersebut tergolong baik dengan penempatan saringan yang tepat pada akifer yang disadap. Hasil penelitian Departemen Pertanian (1998) menunjukkan bahwa sebagian besar sumur dangkal di Indonesia (75%) memiliki nilai efisiensi sumur lebih besar dari 50 % (relatif efisien), sedangkan sisanya (25%) tergolong tidak efisien. Nilai debit pemompaan optimum dipengaruhi oleh nilai transmisivitas akifer, konstruksi sumur, dan penempatan saringan pada akifer yang disadap. Debit pemompaan optimum di Desa Kapas sebesar 12 l/det pada musim kemarau dan 13,5 l/det pada musim hujan, sedangkan debit pemompaan optimum di Desa Pehserut sebesar 4 l/det pada musim kemarau dan 5 l/det pada musim hujan. Debit pemompaan optimum di Desa Kapas relatif lebih tinggi dibanding dengan di Desa Pehserut.
Dengan debit pemompaan tersebut, penurunan muka
airtanah (drawdown) di Desa Kapas dan Desa Pehserut masing-masing sebesar 6,0 m dan 2,5 m. Perbedaan nilai debit pemompaan optimum di lokasi penelitian ini sesuai dengan perbedaan nilai transmisivitas maupun konduktivitas hidrolika pada ke dua lokasi tersebut. Grafik penentuan debit pemompaan optimum disajikan pada Gambar 14. Desa Pehserut
Desa Kapas
12
32 10
Penuruna n (m)
Penurunan (m)
28 24 20
8
6
16 12
4
8 2
4 0
0
0
0,005
0,01
0,015
0,02
0,025
Debit Pemompaan (m3/det)
0,03
0.003
0.006
0.009
0.012
Debit Pemompaan (m³/det)
Gambar 14 Grafik penentuan debit pemompaan optimum
0.015
44
Hasil penelitian Departemen Pertanian (1998) menunjukkan bahwa nilai debit optimum di daerah lain di Indonesia berkisar antara 3,0-13,0 l/det pada musim kemarau dan 3,0-13,2 l/det
pada musim hujan. Debit optimum
merupakan acuan debit pemompaan yang dapat dilakukan dalam pemanfaatan sumur air tanah dangkal sepanjang tahun. Dalam pemanfaatan airtanah untuk irigasi yang berkelanjutan harus ditentukan besaran debit pemompaan dari suatu zone pengelolaan airtanah pada periode waktu tertentu.
Namun demikian, oleh karena beragamnya kondisi
hidrogeologi dan iklim, terutama pada wilayah yang telah mengalami penurunan muka airtanah, maka pengelolaan pemanfaatan airtanah perlu dilakukan pada skala mikro/lokal, bahkan pada tingkat petani.
Dalam prakteknya, perlu
disepakati batas (band-width) muka airtanah, yaitu batas atas sebagai target muka airtanah yang harus dicapai setelah masa imbuh (recovery), yaitu pada akhir periode pemompaan, serta batas bawah sebagai batas maksimum penurunan muka airtanah (drawdown) selama periode pemompaan pada musim kemarau (AGDEWR 2004). Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa pemompaan airtanah dangkal untuk irigasi juga memberikan kontribusi terhadap pengisian airtanah. Kondisi tersebut terjadi bilamana terdapat kelebihan pemberian air irigasi yang mengalir sebagai air garvitasi, sehingga menunjukkan adanya sirkulasi pemanfaatan air tanah dangkal untuk irigasi. Elhassan et al. (2003) menyebutkan bahwa secara umum, areal tanaman padi dan areal tanaman bukan padi memberikan kontribusi yang relatif sama terhadap pengisian kembali (recharge) akifer airtanah dangkal (tahunan) pada suatu wilayah tertentu. Persentase untuk sumber-sumber pengisian
kembali
akifer
dangkal
terhadap
total
pengisian
(kasus
di
Nasunogahara-Jepang) adalah 42% dari areal tanaman padi, dimana 25% nya berasal dari sawah irigasi airtanah, 17% dari sawah irigasi konvensional (saluran Daerah Irigasi), 45% dari areal tanaman bukan padi, dan 13% dari aliran bawah tanah yang berasal dari sungai. Jari-jari pengaruh (R) dapat diperkirakan berdasarkan tekstur dan karakteristik akifer (Schwab et al. 1981). Dalam penelitian ini, jari-jari pengaruh dihitung berdasarkan hasil uji pemompaan, yaitu sebesar 118-200 m. Nilai ini digunakan untuk menghitung luas areal terpengaruh (LAT) akibat pemompaan sumur. Areal terpengaruh diasumsikan berbentuk lingkaran sesuai dengan
45
bentuk depresi muka airtanah akibat pemompaan. Asumsi ini juga digunakan oleh Qi Lu and Sato (2007) meskipun mempunyai beberapa kelemahan, yaitu karena kondisi aliran airtanah yang radial simetris, horisontal, dan aliran mantap berbeda dengan kondisi aktual di lapangan. Hasil penelitian Susatya (1998) menunjukkan bahwa nilai jari-jari pengaruh di Kabupaten Kediri, sekitar 30 km ke arah selatan dari lokasi penelitian, sebesar 138 m.
4.1. 2. Pompa dan Areal Layanan Irigasi Luas areal layanan irigasi di lokasi penelitian adalah 1,1-9,4 ha/sumur, dengan rasio sumur/pompa sebesar satu, yang berarti bahwa setiap sumur dilayani oleh satu pompa. Pada tahun 2005, populasi pompa air untuk irigasi airtanah dangkal di Kabupaten Nganjuk sebanyak 5.033 buah dengan areal layanan irigasi rata-rata seluas 7,3 ha/pompa.
Bentuk petakan lahan sawah
pada umumnya adalah empat pesegi panjang dengan ukuran panjang 40-60 m dan lebar 20-40 m. Tingkat kepadatan populasi pompa dapat dilihat dari perbandingan antara perkiraan luas areal terpengaruh dengan luas layanan irigasi, seperti yang tertera pada Tabel 7. Luas areal terpengaruh (LAT) dapat lebih kecil atau lebih besar dari luas areal layanan irigasi aktual (LLIact) maupun luas layanan irigasi potensial (LLIpot). Nilai rasio LAT/LLIact di lokasi penelitian lebih besar dari satu, yaitu sebesar 4,09 di Desa Kapas dan 1,32 di Desa Pehserut. Nilai tersebut menunjukkan bahwa populasi sumur di wilayah ini relatif padat/jenuh, karena jarak antar sumur lebih pendek dari diameter pengaruh (2R). Nilai rasio LAT/LLIact di Desa Kapas lebih tinggi dibanding di Desa Pehserut, menunjukkan bahwa pemanfaatan airtanah untuk irigasi di Desa Kapas relatif lebih intensif. Hal ini sesuai dengan nilai debit pemompaan optimum di Desa Kapas yang relatif lebih besar dibanding dengan debit pemompaan optimum di Desa Pehserut. Pemanfaatan airtanah untuk irigasi secara intensif di lokasi penelitian diperkirakan telah menyebabkan kerucut depresi muka airtanah saling melewati (overlap). Apabila kondisi tersebut terus berlangsung, maka dapat diperkirakan bahwa dimasa mendatang muka airtanah akan semakin menurun dan debit sumur akan semakin kecil.
Sejak tahun 1994, seiring dengan meningkatnya
jumlah pompa (Lampiran 1), muka airtanah dangkal di beberapa wilayah di Kabupaten Nganjuk telah mengalami penurunan sedalam 1 – 2 meter sehingga
46
penempatan pompa air pada JIAT dangkal perlu disesuaikan. Menurut Todd (1980), laju pemompaan pada suatu cekungan airtanah dangkal (shallow
groundwater basin) seharusnya tidak melebihi nilai debit aman (perennial yield atau safe yield) supaya tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, sosial, atau ekonomi. Tabel 7 Nilai LLIact dan LAT Deskripsi LLIact (ha/sumur) LAT (ha/sumur) Rasio LAT/LLIact
Desa Kapas 3,07 12,56 4,09
Desa Pehserut 3,31 4,37 1,32
Gambar 15 memperlihatkan skema perkiraan jari-jari pengaruh di lokasi penelitian. Areal layanan irigasi dengan nilai rasio LAT/LLIact <1 terletak di bagian pinggir, yaitu meliputi sekitar 12% luas areal tanam. Menurut Andren (2007), penurunan muka airtanah di Dane County dan Madison USA telah terjadi sejak tahun 1990an, yang menyebabkan kenaikan biaya pemompaan dan penurunan debit aliran airtanah yang menuju mata air, sungai, dan lahan basah. Penurunan muka airtanah juga menyebabkan aliran airtanah menuju danau telah berbalik menjadi aliran air danau menuju akifer. Oleh karena itu, selain
upaya
pengendalian daerah resapan airtanah (recharge area), diperlukan juga upaya pengendalian debit pemompaan supaya tidak melebihi kemampuan akifer. Kumar
(2002)
menyatakan
bahwa
untuk
mengendalikan
dampak
penurunan muka airtanah di wilayah Murrumbidge – Australia, diperlukan beberapa upaya, yaitu: perbaikan pemantauan kualitas airtanah, penutupan sumur-sumur yang tidak terpakai dan tidak efisien, pembaharuan strategi pemompaan untuk meminimalkan salinisasi akifer, serta pengaturan debit pemompaan untuk meminimalkan salinisasi lahan pada daerah irigasi. Salah satu indikator dampak penurunan muka airtanah adalah perubahan kualitas airtanah dalam kaitannya dengan pemompaan airtanah dalam. Hasil penelitian Bahar (2000) di Kecamatan Campaka, Purwakarta – Jawa Barat menunjukkan bahwa pemompaan airtanah telah menyebabkan perubahan kualitas airtanah, antara lain adalah penurunan pH, penurunan kandungan kalium dan klorida, serta peningkatan kandungan magnesium, natrium, dan besi.
47
Gambar 15 Skema perkiraan jari-jari pengaruh Pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi di daerah penelitian perlu diimbangi dengan upaya pengisian kembali (recharge) akifer melalui rehabilitasi daerah resapan serta pengaturan jarak antar sumur. Hal ini penting dilakukan untuk mengendalikan muka airtanah agar tidak terus menurun, untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatannya di masa mendatang. Secara teknis, upaya rehabilitasi daerah resapan dapat dimulai dengan penataan ulang tata ruang wilayah, khususnya di daerah hulu.
Pengaturan jarak antar sumur harus
didukung oleh hasil pengukuran dan analisis karakteristik akifer dan karakteristik sumur pada setiap zona pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi. Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1977), (1980), pertimbangan teknis dalam pengembangan
diacu dalam Prastowo jaringan irigasi airtanah
adalah sebagai berikut: 1. Secara topografi, lokasi sumur memungkinkan untuk irigasi gravitasi 2. Muka airtanah tidak boleh menurun sampai kedudukan pompa yang mungkin, yang letaknya di atas penyaring yang terpasang pada akifer yang berproduksi 3. Jarak
antar sumur harus memperhitungkan gangguan sumur serta
penurunan muka air tanah regional
48
4. Penurunan airtanah yang disebabkan kebocoran hendaknya tidak melampaui kedalaman akifer tak tertekan yang disadap dengan sumur gali untuk rumah tangga Dari berbagai tipe pompa air yang tersedia, pompa sentrifugal, pompa aksial, dan pompa aliran campuran adalah yang biasa digunakan (Wijdieks and Bos 1985). Pompa air yang umum digunakan oleh petani di lokasi penelitian adalah tipe sentrifugal ukuran 75 mm (3 inci), dengan debit aktual berkisar 2,610,0 l/det. Pompa ini digerakkan oleh mesin penggerak 7-8,5 HP.
Hasil
penelitian Departemen Pertanian (1998) menunjukkan bahwa tipe pompa air yang umum digunakan adalah jenis sentrifugal dengan berbagai merk, berdiameter 40 – 100 mm (1,5-4,0 inci). Debit pemompaan bervariasi antara 6-10 l/det untuk pompa diameter 75 mm dan 19 l/det untuk pompa 100 mm. Mesin penggerak pompa yang digunakan umumnya adalah mesin diesel (bahan bakar solar) dengan daya berkisar antara 4-16 HP dan mesin bensin dengan daya 3-5 HP. Penelitian kinerja operasi pompa air difokuskan pada analisis rasio debit aktual dan kapasitas pompa (rasio Qa/Qc) serta rasio head aktual dengan head spesifikasi pompa (rasio Ha/Hs). Parameter tersebut untuk melihat sejauhmana pompa air yang telah ada dioperasikan secara optimum di lapangan. Nilai rasio Qa/Qc dan rasio Ha/Hs selengkapnya tertera pada Lampiran 10 dan disajikan dalam bentuk kurva H-Q pompa pada Gambar 16. Hasil pengukuran dan perhitungan menunjukkan bahwa rasio Qa/Qc berkisar antara 0,17 – 0,48 sedangkan rasio Ha/Hs sekitar 0,32 – 0,41. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kinerja operasi pompa relatif belum optimum. Sesuai dengan spesifikasi teknisnya, debit pompa maksimum sebesar 13,3 21,7 l/det sedangkan total head dinamik pompa sebesar 19 - 25 m. Dengan nilai rasio Qa/Qc dan rasio Ha/Hs tersebut, berarti bahwa kapasitas debit pompa dan head tekanan yang belum dimanfaatkan masing-masing sekitar 4,77 – 11,50 l/det dan 5,27 – 11,05 m. Adanya head tekanan pada JIAT dangkal yang belum dimanfaatkan secara optimal ini, memungkinkan penerapan sistem irigasi tetes tanpa perlu melakukan investasi pompa dan tenaga penggeraknya.
49
H s = H maks
Efisiensi maksimum
H potensial
∆H
Efisiensi (%)
Head
Efisiensi aktual
H (m)
H aktual
∆Q
Q aktual
Q optimum
Q maks = Qs (l/det)
Debit Gambar 16 Skema rasio Qa/Qc dan rasio Ha/Hs pada kurva H-Q pompa Nilai debit pemompaan sangat bervariasi, sesuai dengan ukuran pompa yang digunakan oleh petani. Secara umum dapat dilihat adanya kecenderungan bahwa debit pemompaan di Desa Pehserut cenderung lebih besar dibanding dengan debit optimum sumur.
Hal ini berarti bahwa ukuran pompa yang
digunakan di desa ini relatif lebih besar dari spesifikasi teknis yang diperlukan. Debit pemompaan di Desa Kapas relatif lebih kecil dari debit optimum sumur. Oleh karena rasio Qa/Qc ≤ 1 maka efisiensi pemompaan di lokasi penelitian ini masih dapat ditingkatkan. Namun demikian peningkatan debit pemompaan di Desa Kapas harus diikuti dengan pengaturan jarak antar sumur untuk menghindari penurunan muka airtanah yang berlebihan. Pengukuran total air tanah tersedia dilakukan pada lapisan tanah dengan kedalaman 0-20 cm, 20-40 cm, dan 40-60 cm. Hasil analisis air tanah tersedia dapat dilihat pada Lampiran 14. Nilai total air tanah tersedia berkisar antara 7,43 – 14,21% dengan nilai rata-rata sebesar 9,99% basis volume. Hal ini berarti bahwa kemampuan menahan air tanah di lokasi penelitian relatif kecil, oleh karena tekstur tanahnya yang relatif kasar (Keller and Bliesner 1990).
4.1.3. Pola Tanam dan Aplikasi Irigasi Pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi berpotensi menciptakan kesempatan bagi petani untuk melakukan perubahan pola tanam, meningkatkan
50
intensitas tanam, penerapan teknologi budidaya yang lebih baik, meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi di beberapa wilayah di Indonesia telah dapat meningkatkan intensitas tanam menjadi 200-280 persen (Departemen Pertanian 1998). Pola tanam di lokasi penelitian sangat bervariasi, yaitu sedikitnya terdapat 14 pola tanam dengan intensitas tanam berkisar antara 300 – 400 persen.
Namun demikian
berdasarkan luas areal tanamnya, pola tanam yang banyak diterapkan oleh petani adalah: 1. padi – padi - jagung - kacang hijau; 2. padi – bawangmerah – cabe – bawangmerah; 3. padi – bayam/melon/semangka – kacang panjang/bawangmerah;
4. padi-bawang merah-bawang merah-bawang merah 5. padi – bawangmerah – jagung - bawangmerah. Terdapat tiga metode pemberian air irigasi permukaan, yaitu irigasi genangan (basin irrigation), irigasi border (border irrigation), dan irigasi alur (furrow irrigation) (Kay 1989). Teknologi aplikasi irigasi yang diterapkan pada JIAT dangkal di lokasi penelitian adalah irigasi permukaan dengan sistem genangan untuk tanaman padi dan sistem alur untuk tanaman palawija. Penampang melintang petakan lahan sawah untuk tanaman padi, palawija, dan hortikultura disajikan pada Gambar 17. Gambaran umum tentang persepsi dan sikap petani di lokasi penelitian terhadap penerapan irigasi tetes diperoleh melalui wawancara dan diskusi kelompok terfokus. Dari pertimbangan aspek teknis budidaya tanaman, petani cenderung menolak penggunaan irigasi tetes untuk tanaman bawang merah. Petani juga cenderung menolak penggunaan irigasi tetes untuk budidaya sayuran oleh karena prospek pemasaran sayuran yang relatif belum terjamin. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan ke lima pola tanam tersebut di atas, penerapan irigasi tetes di lokasi penelitian diarahkan untuk budidaya tanaman semangka, cabe, dan melon. Jumlah pemberian air irigasi dan interval irigasi sangat tergantung pada musim tanam, jenis tanaman dan luas areal yang diairi. Pada musim hujan atau musim tanam pertama (MT-1), pompa air tidak dioperasikan karena kebutuhan air tanaman padi telah terpenuhi oleh air hujan dan jaringan irigasi air permukaan.
Pada musim tanam kedua (MT-2), pompa dioperasikan untuk
51
memberikan air irigasi tanaman padi, palawija, dan atau hortikultura, dengan interval irigasi 3-5 hari. Pada musim tanam ketiga (MT-3), pompa dioperasikan untuk memberikan air irigasi tanaman palawija (jagung dan kedelai) dan hortikultura (bawang merah, melon, cabe, dan semangka), dengan interval irigasi 1-2 hari. Jumlah pemberian air irigasi aktual di lokasi penelitian tertera pada Tabel 8.
Apabila jumlah pemberian air irigasi tersebut dibandingkan dengan
produksi aktual masing-masing tanaman, maka diperoleh nilai jumlah air yang diperlukan per satuan produk (water productivity), yaitu sebesar 0,24 m3/kg jagung, 0,44 m3/kg kedelai, 0,40 m3/kg bawang merah, 0,14 m3/kg melon, 1,08 m3/kg cabe, dan 0,24 m3/kg semangka. Arah masuknya air
0
Galengan
Arah keluarnya air
Lahan sawah dengan tanaman padi
Arah masuknya air
Galengan
Arah keluarnya air
Bedengan
Lahan sawah dengan tanaman hortikultura
Gambar 17 Penampang melintang lahan tanaman padi sawah dan hortikultura Tabel 8 Jumlah pemberian air irigasi aktual Jenis tanaman Jagung Kedelai Bawang merah Melon Cabe Semangka
Jumlah pemberian air (mm/musim) MT-2 MT-3 144 144 108 112 451 497 225 311 367 522 225 311
Kebutuhan air irigasi dihitung berdasarkan 14 pola tanam, masing-masing dengan 7 skenario jadwal tanam, seperti yang disajikan pada Lampiran 11, 12, dan 13.
Rekapitulasi hasil perhitungan satuan kebutuhan air (SKA) di lokasi
52
penelitian tertera pada Tabel 9, yaitu berkisar antara 0,60 - 1,16 l/det.ha yang terjadi pada periode Bulan Mei-Juni dan Bulan Agustus-September. Nilai SKA tersebut merupakan nilai kebutuhan air maksimum setengah bulanan dengan pola tanam tertentu, dengan awal musim tanam kedua (MT-2) pada Bulan AprilMei. Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan nilai SKA yang relatif besar antara berbagai alternatif pola tanam. Nilai SKA terbesar adalah bila diterapkan pola tanam dengan tanaman padi pada MT-2, yaitu sekitar 0,97 – 1,16 l/det.ha.
Apabila pada MT-2 ditanami kombinasi padi/palawija atau
padi/hortikultura, maka nilai SKA lebih kecil, yaitu sebesar 0,85 l/det.ha. Nilai SKA terkecil adalah apabila pada MT-2 ditanami palawija atau hortikultura, yaitu sekitar 0,60-0,67 l/det.ha. Perbedaan nilai SKA tersebut disebabkan oleh nilai koefisien (kc) tanaman padi serta kebutuhan air untuk pengolahan tanah pada budidaya tanaman padi yang relatif tinggi. Hasil perhitungan SKA yang dilakukan dengan 7 skenario jadwal tanam seperti pada Lampiran 13 dan Gambar 18 menunjukkan bahwa apabila terjadi pergeseran jadwal tanam, maka nilai SKA menjadi lebih besar dibanding dengan SKA pada kondisi normal, yaitu sebesar 0,90 – 1,37 l/det.ha. Tabel 9 Hasil perhitungan satuan kebutuhan air irigasi (SKA ) No
Pola tanam
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Padi-padi-jagung-kac.hijau Padi-bawang merah-jagung-bawang merah Padi-bawang merah-cabe-bawang merah Padi-bawang merah-bawang merah-bawang merah Padi-bayam/melon/semangka-kac.panjangg/bawang merah Padi-padi-kacang tanah Padi–padi-jagung Padi–padi/jagung-jagung Padi-padi/kedelai-jagung Padi-padi/kedelai Padi–padi/kedelai–bawang merah Padi–padi/kedelai–jagung–bawang merah Padi-padi-bawang merah Padi-kedelai-bawang merah
SKA (l/det/ha) 0,97 0,67 0,61 0,61 0,63 1,16 1,16 0,85 0,85 0,60 0,63 0,85 1,12 0,63
53
Pola Tanam padi-padi-jagung-kacang hijau
SKA (l/det.ha)
1,20 0,90
Maksimum Normal
0,60 0,30 0,00 WT+3
WT+2
WT+1
WT-0
WT-1
WT-2
WT-3
WT-2
WT-3
WT-2
WT-3
WT-2
WT-3
WT -2
WT -3
Pola Tanam padi-baw ang-jagung-baw ang
SKA (l/det.ha)
1,20 0,90
Maksimum Normal
0,60 0,30 0,00 WT+3
WT+2
WT+1
WT-0
WT-1
Pola Tanam padi-baw ang-cabe-baw ang
SKA (l/det.ha)
1,20 0,90 0,60
Maksimum Normal
0,30 0,00 WT+3
WT+2
WT+1
WT-0
WT-1
Pola Tanam padi-baw ang-baw ang-baw ang
SKA (l/det.ha)
1,20
Maksimum
0,90 Normal
0,60 0,30 0,00 WT+3
WT+2
WT+1
WT-0
WT-1
Pola Tanam padi-bayam/melon-kacang panjang/baw ang 1,50 SKA (l/det.ha)
1,20
Maksimum
0,90 Normal
0,60 0,30 0,00 WT +3
WT +2
WT +1
WT -0
WT -1
Gambar 18 Nilai SKA dengan skenario pergeseran jadwal tanam
54
Efisiensi irigasi merupakan suatu kriteria yang umum digunakan untuk menguraikan tentang kehilangan air pada irigasi permukaan.
Efisiensi irigasi
menunjukkan hubungan antara kebutuhan air tanaman dengan jumlah air irigasi yang diberikan (Kay 1989). Efisiensi irigasi dalam penelitian ini meliputi efisiensi penyaluran air irigasi dan efisiensi penggunaan air konsumtif. Perhitungannya adalah bagian air yang dipompa dari sumur dan dialirkan ke petakan lahan, yang efektif digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Hasil perhitungan efisiensi irigasi disajikan pada Lampiran 15. Nilai efisiensi irigasi sangat bervariasi, yaitu berkisar antara 57-81% di Desa Kapas dan 49-67% di Desa Pehserut, seperti tertera pada Tabel 10. Efisiensi irigasi di Desa Kapas relatif lebih tinggi dibanding di Desa Pehserut. Namun demikian secara umum nilai rata-rata efisiensi irigasi di lokasi penelitian relatif sama dengan efisiensi irigasi pada lokasi lainnya di Indonesia. Rendahnya nilai efisiensi irigasi di sebagian areal di lokasi penelitian oleh karena adanya kehilangan air pada sistem penyaluran, perkolasi, dan evaporasi di saluran antar bedeng. Kehilangan air berupa perkolasi dan evaporasi terjadi selama selang pemberian air irigasi, yaitu 3-5 hari pada MT-2 dan 1-2 hari pada MT-3.
Di
bagian wilayah Kabupaten Madiun, yaitu wilayah yang berdekatan dengan lokasi penelitian, nilai efisiensi irigasi airtanah dangkal sebesar 59% (Harjoko 1998). Di Indonesia, efisiensi irigasi permukaan pada umumnya sekitar 60% (Departemen PU, 1994). Tabel 10 Rekapitulasi perhitungan efisiensi irigasi Nomor sampel JIAT dangkal 1 2 3 4 Rata-rata
Efisiensi irigasi (%) Desa Kapas Desa Pehserut
81,3 58,6 60,0 57,1 64,2
67,2 49,0 56,2 59,2 57,9
Luas layanan irigasi (LLI) potensial untuk setiap alternatif pola tanam dapat dihitung berdasarkan debit optimum pemompaan hasil uji pemompaan, efisiensi irigasi, dan SKA dengan rumus berikut: LLIpot =
(Qopt × Ef ) SKA
(43)
55
dimana, LLIpot : luas layanan irigasi potensial (ha) Qopt : debit pemompaan optimum (l/det) Ef : efisiensi irigasi SKA : satuan kebutuhan air irigasi (l/det.ha) Variasi nilai LLIpot sesuai dengan skenario pola tanam dan efisiensi irigasi disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 19.
Sesuai dengan nilai SKA,
terdapat 3 skenario pola tanam, yaitu: 1. Pola tanam dengan tanaman palawija atau hortikultura pada MT-2 2. Pola tanam dengan kombinasi padi/palawija atau padi/hortikultura pada MT-2 3. Pola tanam dengan tanaman padi pada MT-2 Dari Gambar 19 terlihat bahwa dengan efisiensi irigasi seperti pada Tabel 10 maka LLIpot di Desa Pehserut berkisar antara 1,69 – 4,01 ha, sedangkan di Desa Kapas seluas 5,17 – 14,56 ha. Nilai rasio LAT/LLIpot dan LLIact/LLIpot disajikan pada Tabel 11. Nilai LAT dihitung berdasarkan nilai jari-jari pengaruh (R), sedangkan nilai LLIpot dihitung berdasarkan debit optimum sumur hasil uji pemompaan. Rasio LAT/LLIpot sebesar 0,86 – 2,43 di Desa Kapas dan 1,09 – 2,59 di Desa Pehserut. Nilai rasio LAT/LLIpot tersebut memberi gambaran bahwa peningkatan luas layanan irigasi di lokasi penelitian sangat tergantung pada luas areal terpengaruh. Hal ini berarti bahwa jari-jari pengaruh merupakan faktor pembatas yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan luas layanan irigasi. Dalam kondisi debit sumur mencukupi, luas layanan irigasi harus diupayakan agar tidak kurang dari LAT. Sebaliknya apabila debit sumur tertentu tidak mencukupi untuk mengairi areal layanan irigasi seluas areal terpengaruh, maka pembangunan sumur baru di wilayah ini harus berjarak minimal sama dengan dua kali jari-jari pengaruh. Tabel 11 Perbandingan nilai LLIact, LLIpot, dan LAT Deskripsi LLIact (ha/sumur) LLIpot (ha/sumur) LAT (ha/sumur) Rasio LAT/LLIact Rasio LAT/ LLIpot Rasio LLIact/LLIpot
Desa Kapas 3,07 5,17 – 14,56 12,56 4,09 0,86 – 2,43 0,21 – 0,59
Desa Pehserut 3,31 1,69 – 4,01 4,37 1,32 1,09 – 2,59 0,83 – 1,96
56
Nilai rasio LLIact/LLIpot sebesar 0,21 – 0,59 di Desa Kapas dan 0,83 – 1,96 di Desa Pehserut. Nilai rasio LLIact/LLIpot di Desa Kapas lebih kecil dari satu, berarti bahwa luas layanan irigasi pada JIAT dangkal di lokasi ini masih dapat ditingkatkan melalui upaya pemanfaatan debit optimum sumur secara maksimal. Debit pemompaan aktual di Desa Kapas relatif lebih kecil dibanding dengan debit pemompaan optimum, yaitu sebesar 12 l/det pada musim kemarau. Di samping pertimbangan optimasi pemanfaatan debit sumur, upaya peningkatan LLIact perlu dilakukan oleh karena pertimbangan konservasi airtanah dangkal, sehingga nilai rasio LAT/LLIact dapat diperkecil dari 4,09 menjadi ≤ 1. Nilai rasio LLIact/LLIpot di Desa Pehserut cenderung ≥ 1, berarti bahwa luas areal layanan irigasi aktual pada JIAT dangkal cenderung telah melampaui luas layanan irigasi potensial. Dengan demikian dilihat dari segi kecukupan air irigasi dan konservasi airtanah dangkal, luas layanan irigasi di lokasi ini relatif sulit untuk ditingkatkan. Dari segi kecukupan air irigasi, nilai rasio LLIact/LLIpot pada suatu JIAT dangkal seharusnya ≤ 1 sehingga kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman dapat terpenuhi. Dari segi konservasi airtanah dangkal, seharusnya nilai rasio LAT/LLIpot ≤ 1 untuk menghindari tumpang tindih kerucut depresi muka airtanah. Untuk memperoleh kondisi tersebut, beberapa upaya teknis yang dapat dilakukan antara lain adalah: 1. Pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi pada MT-2 maupun MT-3 tidak diarahkan untuk tanaman padi. 2. Mengurangi jumlah/kepadatan populasi sumur dangkal sehingga rasio LAT/LLIact maupun rasio LAT/LLIpot ≤ 1, melalui upaya pengelolaan sumur dan pompa secara terpadu. LLIact harus diupayakan tidak melebihi LLIpot namun tidak kurang dari LAT (LAT ≤ LLIact ≤ LLIpot). 3. Meningkatkan efisiensi irigasi terutama apabila upaya butir (1) dan (2) tersebut sulit dilakukan. Dari Gambar 19 dapat dilihat bahwa nilai LAT ≤ LLIact ≤ LLIpot hanya dapat dicapai apabila efisiensi irigasi dapat ditingkatkan sesuai dengan pola tanam yang diterapkan, yaitu: a. Di Desa Kapas; apabila efisiensi irigasi dapat ditingkatkan menjadi minimum 73% untuk skenario pola tanam (1) dan 89% untuk skenario pola tanam (2)
57
b. Di Desa Pehserut; apabila efisiensi irigasi dapat ditingkatkan menjadi minimum 73% untuk skenario pola tanam (1) dan 93% untuk skenario (2) Menurut Hansen et al. (1979), nilai efisiensi irigasi permukaan pada umumnya sekitar 60%,
sedangkan menurut Keller (1990), efisiensi irigasi
permukaan dengan sistem alur dapat ditingkatkan hingga 65 – 85% melalui penerapan jadwal irigasi yang tepat.
Penerapan sistem irigasi tetes tipe
drip/spray dapat mencapai efisiensi irigasi sebesar 75 – 90%. Desa Kapas
18,00 16,00
LLI pot (ha)
14,00 LLI pot = LAT
12,00 10,00
(1)
8,00
(2) 6,00
(3)
4,00 2,00 0,00 0
20
40
60
80
100
Efisiensi irigasi (%)
6.00
Desa Pehserut LLI pot (ha)
5,00 LLI pot = LAT
4,00
(1)
3,00
(2)
2,00
`
(3) 1,00 0,00 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Efisiensi irigasi (%)
(1) MT2- palawija/hortikultura (2) MT2- padi/palawija/hortikultura (3) MT2- padi
Gambar 19 Variasi nilai LLIpot dengan skenario pola tanam dan efisiensi irigasi
58
4.1.4. Biaya Irigasi Biaya investasi irigasi airtanah meliputi biaya pompa, mesin penggerak, pipa-pipa penyaluran, konstruksi sumur dan rumah pompa. Perhitungan biaya irigasi airtanah dangkal di lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 16 dan rekapitulasinya tertera pada Tabel 12. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa biaya irigasi bervariasi menurut jenis tanaman, yaitu berkisar antara Rp 1.022.000,-/ha.musim
untuk
tanaman
semangka
hingga
Rp
2.010.000,-
/ha.musim untuk tanaman cabe. Analisa usahatani tanaman bawang merah, melon, semangka, dan cabe disajikan pada Lampiran 17. Biaya irigasi pada MT-3 relatif lebih tinggi dibanding dengan biaya irigasi pada MT-2 oleh karena jumlah pemberian air atau lama pemompaan per musim pada MT-3 relatif lebih besar dibanding pada MT-2. Apabila dibandingkan dengan rata-rata harga jual produk, biaya irigasi airtanah per satuan produk berkisar antara 2,5 – 5,0 %. Namun bila dibandingkan dengan total biaya produksi, maka proporsi biaya irigasi airtanah adalah sebesar 12 - 19 %. Hasil penelitian Departemen Pertanian (1998) di beberapa lokasi di Indonesia menunjukkan bahwa proporsi biaya irigasi airtanah berkisar antara 3-20% dari total biaya produksi. Tabel 12 Hasil perhitungan biaya irigasi Deskripsi Biaya tetap (Rp/jam) Biaya tidak tetap (Rp/jam) Biaya total (Rp/jam) Biaya irigasi
Rp/m3 air irigasi Rp/ha (MT-2) Rp/ha (MT-3) Rp/kg produk (MT-2) Rp/kg produk (MT-2)
Biaya irigasi Semangka 574 8.161 8.735
Cabe 574 8.161 8.735
347
347
1.022.000 1.078.000 51 54
1.272.000 2.010.000 177 279
59
4.2. Kriteria Rancangan Irigasi Tetes pada Jaringan Irigasi Airtanah Dangkal Sesuai dengan tujuan penelitian, kriteria rancangan yang dikembangkan dalam penelitian ini dibatasi pada
tiga kriteria rancangan, yaitu kriteria
kecukupan air irigasi, kriteria rancangan hidrolika, dan kriteria kelayakan finansial. Parameter rancangan dihitung berdasarkan kinerja JIAT dangkal di lokasi penelitian, yang selanjutnya dikembangkan menjadi suatu model rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal. Pengembangan kriteria kecukupan air dimaksudkan untuk memastikan bahwa rancangan irigasi tetes yang dibangun dapat menjamin kecukupan air irigasi untuk pertumbuhan tanaman. Indikatornya adalah nilai evapotranspirasi aktual sama dengan evapotranspirasi potensial (ETact = ETcrop). Pengembangan kriteria rancangan hidrolika dimaksudkan untuk mencapai keseragaman debit penetes dan efisiensi distribusi irigasi yang tinggi, dengan indikator nilai koefisien keseragaman lebih besar atau sama dengan 95% (EU ≥ 95%). Kriteria kelayakan finansial dikembangkan untuk melihat apakah rancangan irigasi tetes dapat diterima dari segi finansial, dengan indikator nilai IRR ≥ tingkat suku bunga yang berlaku. Asumsi yang digunakan dalam perhitungan parameter rancangan adalah sebagai berikut: 1. Ditinjau dari segi kondisi tanah, sumber air, tanaman, dan petani, lokasi penelitian memenuhi persyaratan kesesuaian penerapan teknologi irigasi tetes 2. Topografi lahan sawah relatif datar 3. Nilai parameter kinerja JIAT dangkal di lokasi penelitian menggambarkan kondisi aktual di lapangan 4. Jenis tanaman yang bernilai ekonomi tinggi dan mempunyai prospek untuk dikembangkan adalah semangka dan cabe 5. Perhitungan parameter rancangan irigasi tetes ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman, sesuai dengan debit sumber air yang tersedia 6. Spesifikasi teknis penetes yang dipilih adalah yang relatif banyak digunakan dari berbagai tipe penetes yang ada di pasaran 7. Harga-harga dan tingkat suku bunga yang digunakan dalam analisis finansial masih berlaku hingga saat ini
60
8. Uji validasi hasil kriteria rancangan secara menyeluruh tidak dilakukan mengingat biaya yang relatif besar 9. Kriteria rancangan yang telah dibangun dalam penelitian ini, selanjutnya dapat dikembangkan lebih lanjut dengan keragaman nilai peubah (variable) kebutuhan air irigasi, debit sumur, jari-jari pengaruh, spesifikasi penetes, jenis pipa, tingkat harga, dan tingkat suku bunga.
4.2.1. Kriteria Kecukupan Air Irigasi Tingkat kecukupan air irigasi dapat dilihat dari neraca air irigasi, yang merupakan perbandingan antara debit tersedia dengan kebutuhan air irigasi (irrigation water requirements - IWR). Apabila debit tersedia lebih besar atau sama dengan kebutuhan air irigasi, maka kebutuhan air pada suatu daerah irigasi dapat dipenuhi. Sebaliknya, jika debit tersedia lebih kecil dari kebutuhan air irigasi, maka akan terjadi kekurangan air irigasi pada areal yang bersangkutan. Apabila terjadi kekurangan air pada suatu sistem irigasi, maka pilihan upaya yang dapat dilakukan adalah pengurangan luas tanam, modifikasi pola tanam dan masa tanam, serta rotasi teknis dengan sistem golongan. Dalam penelitian ini, pengertian kecukupan air adalah apabila kebutuhan air untuk tanaman dapat dipenuhi oleh air irigasi dari sumur dangkal yang dipompa dengan debit sebesar debit optimum (Qopt). Pemenuhan kebutuhan air tanaman dapat diartikan bahwa kadar air tanah siap tersedia (RAW) selalu berada pada kondisi lebih besar dari kebutuhan air tanaman sehingga dapat menjamin nilai evapotranspirasi aktual sama dengan evapotranspirasi potensial (ETact = ETcrop). Perhitungan neraca air (water balance) penting dilakukan untuk mengetahui kebutuhan air irigasi. Jumlah dan waktu pemberian air irigasi merupakan faktor yang sangat menentukan rancangan jaringan irigasi tetes. Kebutuhan air irigasi dihitung dengan persamaan (28), (29), dan (31).
Pada jaringan irigasi tetes,
selain kebutuhan air irigasi tersebut (dx), juga perlu ditambahkan air untuk pencucian garam-garam tanah pada daerah perakaran (LR – leaching
requirements). Gambar 20 menyajikan skema neraca air tanah pada daerah perakaran di lokasi penelitian.
61
fa = 1 hari
Hari ke fa = 4 hari
Titik layu permanen TAW=53,55 mm
Titik kritis dx=RAW=21,42 mm
dn1 = 4,67 mm
Kapasitas lapang
dn4 = 18,66 mm
kadar air tanah
Gambar 20 Skema neraca air tanah pada daerah perakaran di lokasi penelitian Dari Gambar 20 dapat dilihat dua ilustrasi jumlah dan interval pemberian air irigasi untuk memenuhi ketersediaan air tanah bagi tanaman, yaitu: 4. Dengan interval irigasi (fa) selama 4 hari, maka jumlah air irigasi bersih (dn4) yang harus diberikan adalah sebesar 18,66 mm 5. Dengan interval irigasi (fa) selama 4 hari, maka jumlah air irigasi bersih (dn4) yang harus diberikan adalah sebesar 18,66 mm Nilai RAW sebesar 21,42 mm merupakan batas maksimum jumlah pemberian air irigasi bersih (dx), untuk menghindari kehilangan air berupa perkolasi. Melalui pengaturan interval dan jumlah pemberian air irigasi tersebut maka kondisi kadar air tanah di daerah perakaran dapat dipertahankan pada kondisi siap tersedia, yaitu berada diantara titik kritis dan kapasitas lapang. Air irigasi harus diberikan bilamana kadar air tanah telah mencapai titik kritis. Apabila air irigasi diberikan pada saat kadar air tanah telah melampaui (lebih kecil dari) titik kritis, maka tanaman akan mengalami stress sehingga produksi tanaman per satuan luas (yield) cenderung menurun. Menurut Sapei (1986), keberhasilan irigasi tetes ditentukan oleh penyebaran kadar air tanah di daerah perakaran yang menunjang pertumbuhan tanaman.
Zur (2005)
menyatakan bahwa volume air yang terbatas dari suatu lapisan tanah yang dibasahi dengan irigasi tetes adalah sangat penting untuk diperhatikan. Volume
62
air tanah tersebut menunjukkan jumlah air tanah yang tersimpan di daerah perakaran, dimana dimensi kedalaman air terkait dengan kedalaman perakaran, sedangkan dimensi lebar pembasahan terkait dengan spasi penetes dan pipa lateral. Sifat fisik tanah yang sangat berpengaruh pada neraca air tersebut adalah tekstur tanah.
Selain itu, tekstur tanah juga mempengaruhi laju infiltrasi dari
curah hujan maupun dari irigasi. Pengaruh kedalaman solum tanah pada neraca air terutama berkaitan dengan kedalaman perakaran tanaman dan aliran airtanah.
Bilamana kedalaman solum tanah lebih besar dari kedalaman
perakaran, maka nilai total kadar air tanah ditentukan oleh kedalaman perakaran, dan pada kondisi kelebihan air tanah akan terjadi perkolasi.
Namun bila
sebaliknya, maka nilai kadar air tanah ditentukan oleh kedalaman solum tanah, dan pada kondisi kelebihan air tanah cenderung terjadi aliran airtanah -
subsurface flow -. Dari segi kecukupan air, nilai parameter rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 13 dengan rincian perhitungan seperti pada Lampiran 18. Luas areal layanan irigasi potensial (LLIpot) dihitung berdasarkan nilai SKA, debit optimum sumur (Qopt) dan skenario efisiensi irigasi, dengan mempertimbangkan luas areal terpengaruh (LAT). Dari hasil perhitungan tersebut dapat dikembangkan suatu nomogram untuk menentukan nilai LLIpot seperti yang disajikan pada Gambar 21 dan Lampiran 19. Ditinjau dari aspek konservasi airtanah dangkal, pertimbangan luas areal terpengaruh perlu dilakukan untuk mengendalikan laju penurunan muka airtanah pada musim kemarau. Hasil penelitian Bahar (2000) menunjukkan bahwa laju penurunan rata-rata muka airtanah pada musim kemarau sebagai dampak pengambilan airtanah adalah sebesar 0,186 m/tahun dan semakin lama perubahannya semakin kecil. Dengan keterbatasan sumberdaya dan teknologi, peningkatan produktivitas tanaman akan mengalami kejenuhan setelah sumur airtanah berumur lebih dari sepuluh tahun. Pembangunan nomogram pada Gambar 21 dilandasi oleh pertimbangan bahwa dalam pemanfaatan airtanah untuk irigasi, maka luas areal terpengaruh harus dijadikan faktor pembatas, untuk mengendalikan penurunan muka airtanah. Dengan demikian pada setiap besaran debit pemompaan tertentu, luas
63
areal layanan irigasi tidak hanya ditentukan oleh satuan kebutuhan air dan efisiensi irigasi, namun juga dibatasi oleh jari-jari pengaruh pemompaan sumur. Tabel 13 Nilai beberapa parameter rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal dari segi kecukupan air Parameter rancangan
Nilai
Penggunaan konsumtif harian, Ud (mm/hari) Transpirasi harian rata-rata pada periode penggunaan puncak, Td (mm/hari)
o o
5,18 – 5,79 4,67 – 5,21
o o
Kedalaman maksimum air irigasi, dx (mm) Interval irigasi maksimum, fx (hari)
21,42 4,1 – 4,6
o o
Interval irigasi aktual, fa (hari) Kedalaman bersih air irigasi, dn (mm)
1–4 4,67 – 18,66
o o o o o o
Kedalaman kotor air irigasi, d (mm) Volume kotor air irigasi per tanaman, G (l/hari)
4,91 – 20,74 9,82 - 41,47
Lama penyiraman, Ta (jam) Kapasitas sistem, Qs (l/det)
o
Luas blok irigasi, LBI (ha)
0,31 – 19,2 4 – 12 4 – 12 4,49 -15,04 0,18 – 8,64
Kapasitas sumber air, Qsa (m3/hari) Luas maksimum areal irigasi, LLIpot (ha)
Ta=19 jam/hari; Ud =0,6 l/det/ha, Desa Pehserut
95% 90% 85%
14
80%
LLI pot (ha)
12
16 14 12
10
10
8
8
6
6
4
4
2
2
0
0 0
2
4
6
8
10
12
Debit sumur-Qs (l/det)
Gambar 21 Nomogram penentuan nilai LLIpot penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal
LAT (ha)
16
64
Pada sub-bab 4.1.3. telah diuraikan bahwa LLIact harus diupayakan tidak melebihi LLIpot namun tidak kurang dari LAT, atau LAT ≤ LLIact ≤ LLIpot. Oleh karena itu, nomogram tersebut merupakan salah satu metode baru dalam penentuan luas areal layanan irigasi, dengan kriteria rancangan kecukupan air irigasi
dan
konservasi
airtanah
dangkal.
Kriteria
kecukupan
air
mempertimbangkan nilai satuan kebutuhan air dan efisiensi irigasi, sehingga debit pemompaan suatu sumur dapat dimafaatkan untuk mengairi luasan areal tertentu. Batasan luas areal terpengaruh merupakan kriteria yang mengarah kepada upaya konservasi airtanah dangkal, sehingga dengan luas areal layanan irigasi tertentu, jumlah dan jarak antar sumur dapat dibatasi untuk mencegah pemompaan
airtanah
dangkal
yang
berlebihan
(over
pumping)
serta
mengendalikan laju penurunan muka airtanah. Penggunaan nomogram pada Gambar 21 dapat diilustrasikan pada kasus penentuan LLIpot di lokasi penelitian.
Di Desa Pehserut, dengan nilai LAT
sebesar 4,37 ha dan debit sumur (Qs) sebesar 4 l/det, maka dapat ditentukan bahwa nilai LLIpot ≥ 4,37 ha hanya dapat dicapai apabila efisiensi irigasi ditingkatkan menjadi ≥ 80% untuk nilai Ud sebesar 0,6 l/det.ha dan ≥ 90% untuk nilai Ud sebesar 0,67 l/det.ha. Demikian pula halnya pada kasus di Desa Kapas, dengan nilai LAT sebesar12,56 ha dan debit sumur (Qs) sebesar 12 l/det, dapat ditentukan bahwa nilai LLIpot ≥ 12,56 ha hanya dapat dicapai apabila efisiensi irigasi ditingkatkan menjadi ≥ 80% untuk nilai Ud sebesar 0,6 l/det.ha dan ≥ 90% untuk nilai Ud sebesar 0,7 l/det.ha. Dalam penerapan irigasi tetes, nilai LLIpot ditentukan oleh lama pemberian air irigasi (Ta - jam/hari) seperti yang disajikan pada Gambar 22 dan Lampiran 20. Secara teoritis, lama operasi irigasi tetes maksimum dalam sehari adalah selama 21,6 jam/hari atau 90% dari 24 jam (Keller 1990). Dalam penelitian ini, Ta maksimum pada periode kebutuhan puncak diasumsikan sebesar 19,2 jam/hari, atau 80% dari 24 jam dalam sehari.
Nomogram pada Gambar 22
dikembangkan dari nomogram pada Gambar 21, yaitu untuk menentukan nilai LLIpot sesuai dengan lama operasi (Ta) yang biasa dan mampu diterapkan oleh petani.
Dengan demikian nomogram pada Gambar 21 bersifat generik dan
lebih lengkap dibanding pada Gambar 20, oleh karena dapat digunakan untuk perhitungan LLIpot pada berbagai daerah dengan nilai Ta yang beragam.
65
Efisiensi irigasi 80 %; Ud= 0.6 l/det.ha 14
Ta
12
19 jam/hari 18 jam/hari 16 jam/hari
LLI pot (ha)
10
14 jam/hari 12 jam/hari
8
10 jam/hari
6
8 jam/hari 6 jam/hari
4 2 0
0
2
4
6
8
10
12
14
Debit sumur-Qs (l/det)
Gambar 22 Nomogram penentuan nilai LLIpot penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal sesuai dengan lama operasi (Ta) dengan nilai Ud=0,6 l/det.ha Nomogram pada Lampiran 20 dapat digunakan untuk menentukan nilai LLIpot secara lebih mudah, berdasarkan nilai Qs dan Ta. Dari nomogram tersebut terlihat bahwa untuk mencapai nilai LLIpot ≥ 4,37 ha di Desa Pehserut dan LLIpot ≥ 12,56 ha di Desa Kapas diperlukan waktu operasi pada periode puncak selama 19 jam/hari. Lama pemberian air irigasi dihitung dengan persamaan (33) dan (34). Dari hasil perhitungan ini dapat dikembangkan suatu nomogram seperti pada Gambar 23 dan Lampiran 21.
Dengan menggunakan nomogram tersebut, maka
penentuan lama irigasi dan interval irigasi dapat lebih mudah dilakukan, berdasarkan nilai qa dan spasi penetes. Ada kecenderungan bahwa semakin besar debit penetes dan atau semakin kecil spasi penetes, maka lama pemberian
irigasi
semakin
kecil.
Hasil
penelitian
Hermawan
(2003)
menyimpulkan bahwa penyebaran kadar air tanah pada irigasi tetes yang diberikan secara kontinyu dengan satu penetes akan semakin lebar bila debit pemberian air diperbesar atau pemberian semakin lama. Dengan menggunakan nomogram pada Lampiran 21, terlihat bahwa apabila spasi penetes 0,5 m x 0,5 m dan 1,0 m x 0,5 m, maka interval irigasi yang dapat diterapkan adalah 1 – 7 hari dengan Ta ≤ 12 jam/hari pada periode kebutuhan air puncak. Apabila spasi penetes 1,0 m x 2,0 m dan 2,0 m x 2,0 m,
66
maka interval irigasi untuk debit penetes (qa) sebesar 2 l/jam adalah 1 – 3 hari. Namun untuk qa = 4 l/jam, interval irigasi dapat lebih lama, yaitu 1 – 6 hari. Nomogram tersebut juga menunjukkan bahwa tipe penetes dengan debit ≤ 1 l/jam relatif tidak sesuai digunakan untuk irigasi tetes pada JIAT dangkal, terutama untuk tanaman dengan jarak tanam 1,0 m x 2,0 m atau lebih. 0.5x0.5, 0.6 6
[a] [b] [c] [d]
Lama irigasi-Ta (jam/hari)
5
4
80% 85% 90% 95%
q2a q2b q2c q2d
3 q4a q4b q4c
2
q4d
1
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Interval irigasi-fa (hari)
Gambar 23 Nomogram penentuan lama irigasi sesuai dengan debit penetes dengan spasi penetes 0,5 m x 0,5 m, Ud = 0,6 l/det.ha Penentuan blok irigasi merupakan tahapan awal yang sangat penting dalam rancangan irigasi tetes (Prastowo dan Liyantono 2002). Luas blok irigasi (LBI- ha) dihitung dengan persamaan (36) dan disajikan dalam bentuk nomogram pada Gambar 24 dan Lampiran 22.
Nomogram tersebut lebih memudahkan
dalam penentuan nilai LBI berdasarkan debit sumur, debit penetes, dan spasi penetes. Nilai LBI di Desa Pehserut dengan debit penetes 2 l/jam dan spasi penetes 0,5 m x 0,5 m dapat ditentukan yaitu seluas 0,09 ha, sedangkan
nilai
LBI di Desa Kapas seluas 0,27 ha. Apabila spasi penetes lebih besar, misalnya 1 m x 2 m, maka nilai LBI seluas 0,72 ha di Desa Pehserut dan 2,16 ha di Desa Kapas. Rancangan blok irigasi berkaitan dengan penentuan jumlah dan interval irigasi. Jumlah dan interval irigasi harus sesuai dengan jumlah dan ukuran blok irigasi sehingga dapat menjamin ketersediaan air tanah untuk tanaman (Raes et
67
al. 1987). Jumlah dan interval pemberian air irigasi dihitung dengan persamaan (27) sampai dengan persamaan (32), dan hasilnya disajikan pada Gambar 25. Nomogram pada Gambar 25 bersifat generik, namun perlu penyesuaian garis faktor pembatas (dx), yaitu jumlah pemberian air irigasi maksimum pada setiap aplikasi irigasi. Nilai dx ditentukan oleh kadar air tanah, kedalaman perakaran tanaman, persentase areal yang terbasahi, dan manajemen irigasi.
1,2 q = 1 l/det
1,0
LBI (ha)
0,8
0,6
q = 2 l/det
0,4
q = 3 l/det q = 4 l/det q = 5 l/det
0,2
0,0 0
2
4
6
8
10
12
14
Debit sumur-Qs (l/det)
Gambar 24 Nomogram penentuan LBI penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal dengan spasi penetes 0,5 m x 0,5 m Nomogram pada Gambar 25 dibangun dengan nilai Ud
sebesar 0,60
l/det.ha dan 0,67 l/det.ha. Oleh karena nilai satuan kebutuhan air irigasi tersebut dihitung dari beragam pola tanam aktual di lapangan serta skenario perubahan jadwal tanam yang mungkin terjadi (lihat Lampiran 12), maka nilai Ud sebesar 0,60 l/det.ha dan 0,67 l/det.ha dapat direkomendasikan masing-masing sebagai nilai SKA tanaman palawija atau hortikultura pada MT-2 dan MT-3. Dalam penilitian ini, nilai kedalaman bersih maksimum air per irigasi (dx) adalah sebesar 21,42 mm. Dengan batasan nilai dx tersebut, dari Gambar 25 dapat ditentukan nilai interval irigasi tetes di lokasi penelitian berkisar antara 1 – 3 hari. Jumlah pemberian air irigasi bervariasi sesuai dengan efisiensi irigasi, yaitu berkisar antara 4,9 – 20,7 mm per aplikasi irigasi. Nilai interval irigasi
68
menentukan jumlah blok irigasi dalam rancangan jaringan irigasi tetes. Dengan frekuensi satu kali aplikasi irigasi per hari, maka jumlah blok irigasi di lokasi penelitian adalah 1 – 3 blok irigasi. ud=0,6 l/det.ha 80%
Jumlah irigasi-d (mm)
30
85%
90% 95%
25
dx = 21,42 mm 20
15
10
5
0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
7
8
Interval (hari) ud=0,67 l/det.ha 80%
Jumlah irigasi-d (mm)
30
85% 90% 95%
25
dx = 21,42 mm 20
15
10
5
0 0
1
2
3
4
5
6
Interval (hari)
Gambar 25 Grafik hasil perhitungan jumlah pemberian irigasi dan interval irigasi Dengan aplikasi irigasi tersebut di atas, jumlah air irigasi per satuan produk tanaman (water productivity) adalah sebesar 0,17 m3/kg untuk tanaman semangka dan 0,77 m3/kg untuk tanaman cabe. Apabila dibandingkan dengan teknologi aplikasi irigasi yang diterapkan saat ini, yaitu sistim alur, hal ini berarti bahwa penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal akan dapat memberikan penghematan air irigasi sebesar 0,70 m3/kg tanaman semangka dan 0,32 m3/kg tanaman cabe.
69
Sebagai perbandingan, di sub DAS Mkoji -Tanzania, penambahan interval irigasi untuk tanaman jagung lebih dari yang biasanya, yaitu 7 hari, akan menyebabkan penurunan produktivitas tanaman yang nyata sebagai akibat dari berkurangnya jumlah pemberian air irigasi. Jadwal irigasi yang optimal, yang meminimalisasi
penurunan
hasil
dan
kebutuhan
air
tanaman,
serta
memaksimalisasi pengurangan perkolasi, adalah interval irigasi 9 hari dengan pemberian air irigasi 50 mm dan interval irigasi 10 hari dengan pemberian air 55 mm (Igbadun et al. 2006). Sementara di Tamilnadu-India (seperti halnya di Indonesia), sistem rotasi irigasi telah banyak diterapkan, dengan interval irigasi 4-7 hari tergantung pada kondisi tanah, curah hujan, jenis tanaman, dan masa pertumbuhan tanaman (Anbumozhi et al. 2001). Dalam penelitian ini, pengembangan kriteria kecukupan air dimaksudkan untuk memastikan bahwa jaringan irigasi tetes yang akan dibangun dapat menjamin kecukupan air irigasi untuk pertumbuhan tanaman. Namun demikian, dalam kondisi debit sumber air terbatas, ada kecenderungan bahwa air irigasi yang
diberikan
tidak
mencukupi
kebutuhan
air
tanaman,
sehingga
evapotranspirasi aktual (ETa) lebih kecil dibanding evapotranspirasi potensial (ETcrop). Hal ini berarti bahwa nilai Td, dn, d, dan G tidak dapat dipenuhi sesuai yang dibutuhkan. Dengan demikian, maka tanaman cenderung dalam keadaan
stress sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Pengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman ini tergantung pada jenis tanaman serta besaran dan frekuensi kejadian kekurangan air. Kondisi tersebut akan sangat mempengaruhi rancangan pengoperasian jaringan irigasi tetes, yaitu dalam penentuan jumlah pemberian air dan interval irigasi. Dalam kondisi kekurangan air, bila ketersediaan air dapat dikontrol, maka jadwal irigasi diarahkan untuk meminimisasi defisit air pada setiap masa pertumbuhan dengan nilai faktor respon hasil (ky) tinggi. Bila ketersediaan air tidak dapat dikontrol, maka jenis tanaman dan jadwal tanam harus dirancang sedemikian rupa sehingga pada tahap pertumbuhan dengan nilai ky tinggi tidak terjadi kekurangan air irigasi. Dalam kondisi pemberian air irigasi yang terbatas dan merata sepanjang masa pertumbuhan tanaman, tanaman dengan nilai ky tinggi akan cenderung mengalami penurunan produktivitas yang lebih besar dibanding tanaman dengan ky rendah. Selain jenis tanaman, nilai faktor ky juga berbeda untuk setiap masa pertumbuhan tanaman tertentu.
70
Secara umum, tanaman cenderung sensitif terhadap kondisi defisit air pada masa pembungaan (flowering period) dan awal pembentukan buah/hasil (early
yield formation). Hasil penelitian Cumulus (1992) menunjukkan bahwa secara berturut-turut, kebutuhan air untuk tanaman melon dengan sistem hidroponik meningkat dimulai dari periode vegetatif (kc = 0,81), dan diikuti pada periode pembungaan (kc = 0,97) serta puncaknya terjadi pada periode pembentukan buah (kc = 1,16). Pada periode pematangan buah (kc = 0,85) kebutuhan airnya akan menurun kembali.
4.2.2. Kriteria Hidrolika Pipa dan Hidrolika Pompa Hidrolika penetes yang menunjukkan hubungan antara tekanan kerja dan debit
penetes
dinyatakan
dengan
persamaan
(4).
Berdasarkan
cara
penempatannya pada lateral, penetes dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu penetes line-source dan penetes point-source. Termasuk dalam tipe penetes
point-source di antaranya penetes long-path, source orifice, vortex dan pressure compensating. Penetes yang termasuk tipe line-source di antaranya porous pipe, double walled pipes, soaker hose dan porous plastics tubes (Jensen, 1983). Dari hasil kajian terhadap beberapa tipe penetes yang relatif banyak tersedia di pasaran, dapat dirangkum spesifikasi teknis penetes dengan karakteristik hubungan q-H seperti yang disajikan pada Tabel 14. Tekanan kerja penetes tipe point-source berkisar antara 50 – 150 kPa dengan debit penetes 1,41 – 4,96 l/jam, sedangkan tekanan kerja penetes tipe
line-source berkisar antara 50 – 140 kPa dengan debit penetes 1,10 – 2,20 l/jam. Penetes tipe line-source pada umumnya mempunyai spasi penetes pada lateral yang relatif tetap sesuai dengan pabrikan, yaitu 11cm, 20-22cm, 30-32cm, 44cm, 50cm, 64cm, dan 100cm. Selain tipe penetes dengan spesifikasi tersebut, juga dijumpai beberapa tipe lain meskipun relatif tidak banyak digunakan di lapangan. Analisis kriteria hidrolika dalam penelitian ini dibatasi pada penetes tipe drip dengan spesifikasi seperti pada Tabel 14. Kehilangan head pada sub unit, yaitu pada pipa lateral dan pipa manifold, dibatasi tidak lebih dari
20%
tekanan kerja penetes (∆H ≤ 20% Ha), yang
dihitung dengan persamaan (6), (9) dan (13) (Karmeli et al. 1985).
Untuk
menjaga keseragaman air irigasi sepanjang lateral, maka pemilihan dimensi pipa harus diupayakan menghasilkan variasi debit ≤ 10% dan variasi tekanan akibat
71
kehilangan head tekanan dan perbedaan elevasi pada pipa lateral, ∆Hl ≤ 11% Ha. Perhitungan kehilangan head pada pipa manifold serupa dengan perhitungan kehilangan head pada pipa lateral, namun debit yang dihitung adalah debit dari tiap lateral, yaitu debit yang keluar dari setiap outlet pada pipa manifold. Untuk memperoleh keseragaman debit lateral yang tinggi, maka besarnya kehilangan
head tekanan dan perbedaan elevasi pada pipa manifold, ∆Hm ≤ 9% Ha (Keller dan Bliesner 1990). Tabel 14 Spesifikasi teknis penetes Penetes tipe line source qa (l/jam) Ha (kPa) Tipe A Tipe B 50 1,10 1,60 55 1,15 1,65 60 1,20 1,70 70 1,30 1,80 80 1,35 1,85 100 1,50 2,00 120 1,60 2,10 140 1,70 2,20 Keterangan: Ha - tekanan kerja penetes; qa - debit penetes Penetes tipe point source qa (l/jam) Ha (kPa) Tipe A Tipe B 50 1,41 2,96 75 1,73 3,58 100 1,99 4,10 125 2,22 4,56 150 2,42 4,96
Kriteria hidrolika irigasi tetes telah dapat diterapkan pada rancangan irigasi tetes untuk tanaman semangka pada jaringan irigasi perpipaan yang sudah terpasang di Daerah Irigasi Seropan, dengan melakukan modifikasi bentuk dan ukuran petakan lahan sesuai dengan kepemilikannya (Prastowo et al. 2007a). Hasil penelitian Adirahardja (1993) menunjukkan bahwa pada rancangan irigasi tetes dengan kehilangan head pada pipa manifold dan pipa lateral sebesar 24,5% dan 23,1%, menghasilkan nilai keseragaman emisi (EU) sebesar 65 – 82%. Pada rancangan yang lain, kehilangan head pada sub-unit sebesar 52,5%, yaitu 16,1% pada pipa manifold dan 36,4% pada pipa lateral, menghasilkan nilai keseragaman emisi sebesar 61-81%. Solomon (1978) menyebutkan bahwa distribusi debit penetes pada suatu sub-unit dapat dihitung berdasarkan penurunan tekanan kerja pada penetes dan variasi karakteristik penetes sesuai pabrikan.
Variasi koefisien penetes
merupakan pertimbangan yang penting dalam perancangan irigasi tetes. Dalam penelitian ini, hasil perhitungan kehilangan head pada pipa lateral dikembangkan dalam bentuk grafik seperti yang disajikan pada Gambar 26 dan Gambar 27.
72
Gambar tersebut menunjukkan salah satu contoh hubungan antara distribusi tekanan kerja penetes dengan debit pada pipa lateral, untuk spesifikasi penetes dan spasi tertentu. Hasil perhitungan kehilangan head pada pipa manifold juga dikembangkan dalam bentuk grafik seperti yang disajikan pada Gambar 28. Grafik tersebut telah dibangun untuk berbagai spesifikasi teknis penetes, dan disajikan secara lengkap pada Lampiran 23 dan Lampiran 24. Hubungan antara panjang lateral dan debit penetes 1,79
102% y (32 mm)= -1E-09x3 + 2E-06x2 - 0,0006x + 1,78 y (25 mm)= -4E-09x3 + 4E-06x2 - 0,001x + 1,78
101%
1,77 Debit penetes (l/jam)
1,76
a
y (19 mm) = -2E-08x3 + 1E-05x2 - 0,0016x + 1,78 y (13 mm) = -2E-07x3 + 4E-05x2 - 0,0033x + 1,78
100%
1,75 1,74
99%
1,73 98%
1,72 1,71
Persentase terhadap q
1,78
97%
1,70
25 mm
19 mm
13 mm
32 mm
1,69
96% 0
50
100
150
200
250
300
350
Panjang lateral (m)
Gambar 26 Grafik hubungan antara panjang lateral dengan debit penetes (Øl = 13mm; Ha= 3,5 m; qa=1,41 l/jam; spasi penetes = 0,5 m)
Hubungan antara panjang lateral dan tekanan kerja penetes 7,4
106% 3
2
y (32 mm) = -2E-08x + 2E-05x - 0,0078x + 7,30
104%
y (25 mm) = -6E-08x3 + 5E-05x2 - 0,0116x + 7,30 102%
y (19 mm) = -3E-07x3 + 0,0001x2 - 0,019x + 7,30 7,0
3
2
y(13 mm) = -2E-06x + 0,0005x - 0,0395x + 7,30
100%
6,8
98% 96%
6,6
Persentase terhadap Ha
Tekanan kerja penetes (m)
7,2
94% 6,4 25 mm
19 mm
13 mm
92%
32 mm
6,2
90% 0
50
100
150
200
250
300
350
Panjang lateral (m)
Gambar 27 Grafik hubungan antara panjang lateral dengan tekanan kerja penetes (Øl = 13mm; Ha= 3,5 m; qa=1,41 l/jam; spasi penetes = 0,5 m)
73
Hubungan antara panjang manifold dan tekanan kerja (Ha= 3.5 m; diameter lateral = 13 mm ; spasing 0,5m x 0,5m) 3,90
tekanan kerja lateral (m)
3,80
3,70
3,60
25 mm
3,50
51 mm
63 mm
89 mm
76 mm
38 mm
3,40 0
10
20
30
40
50
60
70
80
panjang manifold (m)
Gambar 28 Grafik hubungan antara panjang manifold dengan tekanan kerja (Øl = 13mm; Ha=3,5 m; qa=1,41 l/jam; spasi penetes=0,5 m) Dengan menggunakan grafik pada Lampiran 23 dan Lampiran 24, panjang maksimum pipa lateral maupun pipa manifold dapat ditentukan dengan relatif mudah, berdasarkan distribusi tekanan kerja penetes maupun variasi debit penetes yang dikehendaki.
Hasil penelitian
Provenzano et al (2005)
menunjukkan bahwa dengan spesifikasi penetes tertentu, panjang maksimum pipa lateral dapat ditentukan, dengan perbedaan nilai kehilangan tekanan pada lateral sebesar ≤ 2,4% dari tekanan inlet pada ujung pipa lateral. Prosedur tersebut dikembangkan dengan asumsi debit outlet sepanjang pipa lateral konstan, serta variasi head tekanan masih dalam selang yang ditentukan oleh pabrikan. Hasil analisis kriteria hidrolika pipa lateral dan pipa manifold tersebut melengkapi tabel yang telah dikembangkan oleh Kizer (1995), yaitu hasil analisis panjang maksimum pipa lateral pada irigasi drip, untuk spasi penetes 12 inci, 24 inci, dan 36 inci, dengan debit penetes 0,22 – 1,00 galon/jam. Diamater pipa yang digunakan 5/8 inci dan 7/8 inci, dengan asumsi keseragaman emisi sebesar 85% dan 90%.
Hasil penelitian ini juga telah melengkapi metode analisis
hidrolika pipa lateral yang dikembangkan oleh Hathoot (1993) maupun metode rancangan sub-unit yang dikembangkan oleh Srinivasan and Guimaraes (1996). Hathoot (1993) mengembangkan metode perhitungan debit penetes berdasarkan
74
perubahan tekanan kerja penetes pada pipa lateral, sedangkan Srinivasan and Guimaraes (1996) mengembangkan metode rancangan sub-unit, meliputi kriteria rancangan sub-unit dengan pertimbangan persyaratan hidrolika dan ekonomi. Parameter yang
diperhitungkan adalah tata letak, distribusi tekanan kerja
penetes, debit penetes, spasi penetes, dan biaya satuan perpipaan. Dari Lampiran 23 dan Lampiran 24 selanjutnya telah dapat dikembangkan suatu kriteria hidrolika sub unit irigasi tetes dalam bentuk tabel dan nomogram. Contoh tabel dan nomogram tersebut disajikan pada Tabel 15 dan Gambar 29, sedangkan tabel dan nomogram selengkapnya disajikan pada Lampiran 25, 26, 27 dan Lampiran 28. Dengan demikian penelitian ini telah dapat membangun suatu model kriteria rancangan hidrolika yang lebih sederhana, yang dapat digunakan sebagai standar rancangan hidrolika, untuk melengkapi dan menyederhanakan proses rancangan irigasi tetes, khususnya pada JIAT dangkal. Tabel 15 dan nomogram pada Gambar 29 merupakan metode baru dalam penentuan ukuran sub-unit irigasi tetes, yang dibangun dari hasil perhitungan hidrolika sepanjang pipa lateral dan pipa manifold
seperti yang disajikan pada
Lampiran 23 dan Lampiran 24. Tabel dan nomogram tersebut dikembangkan dengan memenuhi persyaratan kehilangan head pada pipa lateral, ∆Hl ≤ 11% Ha, dan kehilangan head pada pipa manifold, ∆Hm ≤ 9% Ha. Dengan demikian, pengulangan perhitungan coba-ralat yang biasa dilakukan dalam prosedur rancangan irigasi tetes tidak diperlukan lagi. Di samping itu, ukuran sub-unit yang optimum secara langsung dapat ditentukan dengan cara memilih diameter pipa lateral dan pipa manifold terkecil, yang memberikan ukuran sub-unit sesuai dengan ukuran petakan lahan. Sebagai suatu metode perhitungan, tabel dan nomogram tersebut dapat dikembangkan lebih lanjut untuk berbagai penetes dengan spesifikasi teknis yang berbeda dengan yang tertera pada Tabel 15. Dengan menggunakan tabel dan nomogram tersebut, penentuan ukuran sub-unit yang memenuhi persyaratan hidrolika dapat dilakukan dengan cara yang sederhana, relatif lebih mudah, dan sistematis. Parameter rancangan hidrolika yang dapat ditentukan dengan tabel dan nomogram tersebut adalah ukuran pipa
manifold dan pipa lateral, yang meliputi parameter: 1. diameter pipa manifold dan lateral – mm 2. panjang maksimum pipa manifold dan lateral - m
75
3. jumlah maksimum lateral pada sub unit - unit 4. jumlah maksimum penetes per lateral – unit Tabel 15 Contoh tabel penentuan panjang maksimum pipa lateral dan pipa manifold dengan tipe penetes point source A
Ha(m) Ha(psi) qa (l/jam)
3,50 5,00 1,41
D(mm) Lmax(m) 13 62,00 19 123,50 25 202,00 32 295,50 Manifold (D lateral = 13 mm) 25 8,00 40 17,00 50 27,50 65 40,00 75 54,45 90 70,00 Manifold (D lateral = 19 mm) 25 5,00 40 10,50 50 17,50 65 25,00 75 34,50 90 45,00 Manifold (D lateral = 25 mm) 25 3,50 40 8,00 50 13,00 65 18,50 75 25,50 90 33,00 Manifold (D lateral = 32 mm) 40 6,00 50 9,50 65 14,00 75 20,00 90 25,50
Spasi penetes 0,5x0,5 m 7,00 10,50 14,10 10,00 15,00 20,00 1,73 1,99 2,22 Lateral Lmax(m) Lmax(m) Lmax(m) 69,50 73,00 75,00 137,50 145,50 149,50 225,50 237,00 244,50 329,50 346,50 357,00
17,60 25,00 2,42 Lmax(m) 77,00 152,50 250,00 365,00
9,00 17,00 28,00 41,00 56,00 73,50
8,50 18,00 28,50 42,50 57,00 74,50
8,50 17,50 29,00 42,00 57,50 74,50
9,00 18,00 29,00 42,50 58,00 75,50
5,50 11,00 18,50 26,00 35,50 47,00
6,00 11,00 18,50 26,50 36,50 47,50
6,00 11,00 19,00 27,50 37,00 48,00
6,00 11,50 18,50 27,00 37,50 48,00
4,00 8,00 13,50 19,50 26,50 34,00
4,00 8,50 13,00 19,50 27,00 34,50
4,50 8,00 13,50 19,50 27,00 35,00
4,50 8,00 13,50 20,00 27,50 35,50
6,00 10,50 15,00 20,50 26,50
6,00 10,00 15,50 20,50 27,00
6,50 10,50 15,00 21,00 27,00
6,50 10,50 15,50 21,50 27,50
Panjang Maksimum Pipa Lateral - Lmax (m)
0 0,00
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
debit penetes- q (l/jam)
1,0
2,0
3,0
0
6.25
150
12.50
18.75
tekanan kerja penetes- H (kPa)
100
spasi penetes 2m x 2m
31.25
2,42 2,22 1.99 1,73 1,41
qa (l/jam)
1,41
2,42 2,22 1,99 1,73
spasi penetes 0,5m x 1m dan 0,5m x 0,5m
spasi penetes 1m x 2m dan 1m x 1m
qa (l/jam)
1,41
1,73
2,42 2,22 1,99
qa (l/jam)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0,0
0
12.5
1,0
2,0
3,0
100
150
50.0
62.5
200
Diameter Pipa Manifold - D (mm)
37.5
tekanan kerja penetes- H (kPa)
25.0
50
Spesifikasi Penetes
Gambar 29 Contoh nomogram untuk menentukan ukuran pipa manifold dan pipa lateral
25.00
200
Diameter Pipa Lateral - D (mm)
50
Spesifikasi Penetes
75.0
87.5
1,41
2,42
qa (l/jam)
1,41
2,42
qa (l/jam)
1,41
2,42
qa (l/jam)
1,41
2,42
D pipa lateral 32 mm
D pipa lateral 25 mm
D pipa lateral 19 mm)
D pipa lateral 13 mm
qa (l/jam)
Penentuan Panjang Maksimum Pipa Manifold (Bahan PVC) dalam Desain Sub-Unit Irigasi Tetes Spasi Penetes (emiter) 0,5m x 0,5m
Nomogram
Panjang Maksimum Pipa Manifold - Lmax (m)
Nomogram
Penentuan Panjang Maksimum Pipa Lateral (Bahan PE) dalam Desain Sub-Unit Irigasi Tetes
debit penetes- q (l/jam)
76
77 Diameter pipa lateral maupun pipa manifold dipilih sekecil mungkin, untuk memperoleh ukuran sub-unit dengan menggunakan tabel atau nomogram.
Melalui
prosedur tersebut, ukuran sub-unit yang memenuhi persyaratan hidrolika dapat dirancang sesuai dengan ukuran petakan sawah, dengan cara yang relatif mudah. Panduan penggunaan nomogram secara ringkas disajikan pada Lampiran 29. Selanjutnya ukuran sub-unit tersebut merupakan acuan dalam rancangan tata letak irigasi tetes, dan disesuaikan dengan satuan luas blok irigasi (LBI) yang telah ditentukan dengan nomogram pada Gambar 23 dan Lampiran 22. Dengan demikian dalam satu blok irigasi dapat terdiri dari satu atau lebih sub-unit. Skema tata letak jaringan irigasi tetes pada JIAT dangkal disajikan pada Gambar 30. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan spesifikasi penetes, Ha= 50-150 kPa dan qa= 1,41-2,42 l/jam, diameter pipa lateral yang sesuai dengan bentuk dan ukuran petakan lahan sawah pada JIAT dangkal adalah 13 mm dan 19 mm. Dengan diameter pipa lateral tersebut, diameter pipa manifold yang memenuhi persyaratan hidrolika adalah 40 mm, 50 mm, 65 mm dan 75 mm.
Oleh karena itu, ditinjau dari kriteria
hidrolika, alternatif ukuran sub unit irigasi tetes yang disarankan pada JIAT dangkal adalah beberapa kombinasi panjang maksimum pipa lateral dan pipa manifold seperti pada Tabel 16. I-Pai Wu (1997) menyatakan bahwa keseragaman irigasi tetes tidak hanya dipengaruhi oleh rancangan hidrolika, tetapi juga ditentukan oleh variasi spesifikasi teknis penetes (pabrikan), penyumbatan, karakteristik hidrolika tanah, dan spasi penetes. Pengaruh rancangan hidrolika akan relatif kecil apabila dalam kondisi ada penyumbatan. Apabila tidak ada penyumbatan, variasi debit penetes 10 – 20% dalam rancangan hidrolika akan mengurangi koefisien keseragaman sekitar 8%, yaitu dari 93% menjadi 85%, dengan cara mengatur spasi penetes sebesar setengah diameter pembasahan. Apabila didasarkan atas spesifikasi teknis pompa air yang telah terpasang pada JIAT dangkal, kapasitas debit pompa dan head tekanan yang belum dimanfaatkan masing-masing sekitar 4,77 – 11,50 l/det
dan 5,27 – 11,05 m.
Dengan demikian
spesifikasi teknis penetes yang sesuai adalah penetes dengan tekanan kerja 50 – 75 kPa. Pemilihan tipe dan spesifikasi teknis penetes harus dilakukan secara tepat supaya tidak diperlukan lagi investasi pompa air dan atau prasarana tambahan untuk menambah head tekanan. Apabila tekanan kerja penetes lebih besar dari head tekanan
78 yang tersedia, maka diperlukan penyesuaian stasiun pompa dengan penambahan sistem reservoir dan head tekanan tambahan berupa pompa atau head elevasi (water tower). Skema jaringan irigasi tetes pada JIAT dangkal dengan tambahan head tersebut disajikan pada Lampiran 32.
Filter
Pompa Sentrifugal
Pipa Utama
Sumur Pipa Sub Utama
Pipa manifold Pipa lateral
Sub-unit Blok irigasi
Gambar 30 Skema tata letak irigasi tetes pada JIAT dangkal Tabel 16 Ukuran sub-unit irigasi tetes pada JIAT dangkal Diameter pipa lateral (mm) Tipe point-source 13 Tipe-A 19 13 Tipe-B 19 Tipe line-source Tipe-A 13 19 Tipe-B 13 19 Tipe penetes
Panjang pipa lateral (m)
Panjang pipa manifold (m) D=40mm D=50mm
D=65mm
D=75mm
62 123 38 76
17 10 14 9
27 17 23 15
40 25 33 21
54 34 46 29
29 59 23 48
-
12 7 7 4
16 11 10 6
25 16 14 9
79 Dalam penelitian ini, kriteria hidrolika sub unit irigasi tetes juga dikembangkan dalam bentuk program komputer dengan tehnik komputasi numerik dan aplikasi jaringan syaraf tiruan (artificial neural network) yang telah dikembangkan oleh Rudiyanto et al. (2003). Pengembangan model tersebut dimaksudkan untuk menyediakan perangkat perhitungan secara cepat dan relatif mudah apabila tabel dan nomogram kriteria hidrolika akan dikembangkan lebih lanjut untuk berbagai spesifikasi penetes. Teknik komputasi numerik hidrolika sub unit irigasi tetes dikembangkan dari persamaan (7), (9), dan (13), dengan masukan (input) data tipe penetes, debit penetes (l/jam), tekanan kerja penetes (m),
jarak penetes (m), jarak lateral (m), ukuran
petakan/lahan: panjang (m) dan lebar (m), diameter pipa lateral (mm), diameter pipa manifold (mm), dan harga pipa (Rp/4m).
Keluaran (output) yang dihasilkan adalah
panjang maksimum pipa lateral (m) dan panjang maksimum pipa manifold (m) dengan tiga alternatif ukuran, tata letak, dan biaya pipa sub unit. Tampilan program (input – output) dan kode sumber program perhitungan tersebut disajikan pada Lampiran 30. Model rancangan hidrolika sub unit irigasi tetes telah dikembangkan dengan jaringan syaraf tiruan, dengan lapis masukan (input layer) terdiri atas 6 unit, yaitu debit penetes (l/jam), jarak penetes (m), jarak lateral (m), tekanan kerja penetes (m), diameter pipa lateral (mm) dan diameter pipa manifold (mm).
Lapis keluaran (output layer)
dalam model ini terdiri atas 2 unit, yaitu panjang maksimum pipa lateral (m) dan panjang maksimum pipa manifold (m).
Jumlah unit pada lapis tersembunyi (hidden layer)
sebanyak 12 unit, sehingga terdapat 96 pembobot. Arsitektur jaringan syaraf tiruan, nilai pembobot, hasil training, dan hasil validasi disajikan pada Lampiran 31 dan dirangkum pada Tabel 17. 4.2.3. Kriteria Kelayakan Finansial Perbedaan analisis finansial dan analisis ekonomi adalah pada definisi struktur biaya (incremental cost) dan manfaat (incremental benefit), dan bukan pada metode analisis (kriteria investasi) nya.
Analisis finansial dan analisis ekonomi adalah
komplementer. Analisis finansial dilihat dari sudut pandang partisipan proyek secara individu, sedangkan analisis ekonomi dari sudut pandang masyarakat. Analisis finansial untuk mengetahui sejauhmana akibat finansial dari suatu rencana proyek terhadap setiap (berbagai) partisipan yang terlibat dalam proyek.
Panjang manifold
Panjang manifold (R = 0,996)
2
y = 1,0025 x + 0,1223
(R = 0,9983)
2
y = 1,0062 x – 0,1492
(R = 0,9957)
2
y = 1,0029 x – 0,1016
(R = 0,9988)
(R = 0.9869)
2
y = 0.985x + 0.9716
(R = 0.9976)
2
y = 0.9922x + 0.6073
(R = 0.9933)
2
y = 1.0042x - 0.0949
(R = 0.9984)
2
y = 1.0034x - 0.4693
2
y = 1,0025 x – 0,5572
Tipe B 575 345 115 115
Point source
1955 1155 400 400
Tipe A
(R = 0.9882)
2
y = 0.9542x + 1.0316
(R = 0.975)
2
y = 1.0236x - 1.4006
(R = 0.9903)
2
y = 1.0057x - 0.1023
(R = 0.9845)
2
1955 1155 400 400
Tipe B
2
(R = 0.9836)
y = 1.0449x - 0.3656
2
(R = 0.9971)
y = 1.0071x - 0.8622
2
(R = 0.9887)
y = 1.0032x - 0.0255
2
(R = 0.9977)
y = 1.0044x - 0.4251
Line source
y = 1.0006x - 0.0211
Tipe penetes
575 345 115 115
Tipe A
Keterangan : y – nilai hasil perhitungan x – nilai pendugaan dengan jaringan syaraf tiruan
o
Hasil validasi o Panjang lateral
o
Jumlah data o total o untuk data training o untuk validasi o untuk kontrol Hasil training o Panjang lateral
Deskripsi
Tabel 17 Rangkuman hasil training dan hasil validasi pendugaan panjang lateral dan panjang manifold dengan jaringan syaraf tiruan
80
81
Dalam proyek pertanian, yang termasuk partisipan antara lain adalah petani, perusahaan agribisnis, lembaga-lembaga pelaksana proyek, dan (mungkin) lembaga keuangan.
Adapun analisis ekonomi untuk mengetahui
sejauhmana proyek yang direncanakan akan memberikan kontribusi secara signifikan pada pengembangan ekonomi secara keseluruhan, serta seberapa besar kontribusi tersebut sehingga dapat dijadikan justifikasi dalam penggunaan sumberdaya yang diperlukan proyek. Sudut pandang analisis ekonomi adalah masyarakat secara keseluruhan (Gittinger 1982). Ada tiga pembeda yang sangat penting dalam analisis finansial dan analisis ekonomi, yaitu: 1. Pajak dan subsidi; Dalam analisis finansial, pajak merupakan biaya (cost), sedangkan subsidi merupakan manfaat (benefit) bagi partisipan secara individu. Sebaliknya, dalam analisis ekonomi, pembayaran pajak merupakan manfaat (benefit) bagi masyarakat, sedangkan pemberian subsidi merupakan biaya (cost). 2. Harga;
Dalam analisis finansial menggunakan harga pasar, sedangkan
dalam analisis ekonomi menggunakan shadow prices atau accounting prices. 3. Bunga modal; Dalam analisis ekonomi, bunga modal tidak dipisahkan atau dikurangkan terhadap manfaat (benefit), namun dalam analisis finansial, bunga modal mungkin dikurangkan terhadap manfaat (benefit). Dalam penelitian ini, analisis finansial lebih tepat digunakan. Hal ini karena penerapan irigasi tetes pada jaringan irigasi airtanah dangkal cenderung akan dilakukan oleh petani, dan bukan merupakan proyek pemerintah. Penggunaan kriteria kelayakan finansial sebagai salah satu kriteria rancangan, akan sangat berpengaruh pada persepsi dan sikap petani dalam memilih teknologi aplikasi irigasi.
Biaya investasi merupakan tanggungjawab petani sebagai upaya
perbaikan teknologi aplikasi irigasi, yaitu dari teknologi irigasi permukaan/alur menjadi irigasi tetes. Dengan demikian struktur biaya dan manfaat dihitung dari sudut petani saja. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa analisis ekonomi tidak perlu dilakukan. Kelayakan investasi irigasi tetes dalam penelitian ini diartikan sebagai kelayakan finansial dari suatu perubahan penerapan teknologi aplikasi irigasi, dari sistem irigasi permukaan/alur dengan JIAT dangkal menjadi irigasi tetes. Dengan demikian arus kas yang disusun merupakan incremental cash flow,
82
antara kedua sistem irigasi tersebut. Arus kas biaya dihitung berdasarkan selisih antara biaya irigasi tetes dengan biaya irigasi permukaan/alur (incremental cost), sedangkan arus kas manfaat dihitung berdasarkan besarnya penambahan keuntungan usahatani akibat adanya penambahan luasan areal yang terairi (incremental benefit). Biaya investasi irigasi tetes sebesar Rp 32.737.100,-/ha untuk tanaman cabe dan Rp 43.069.950,-/ha untuk tanaman semangka (Lampiran 33). Perhitungan pada Lampiran 34 menunjukkan bahwa biaya irigasi tetes untuk tanaman cabe sebesar Rp 10.221.600,-/ha/th, terdiri atas biaya tetap sebesar Rp 6.629.300,-/ha/th dan biaya tidak tetap sebesar Rp 3.592.300,-/ha/th.
Biaya
irigasi tetes untuk tanaman semangka sebesar Rp 11.315.800,-/ha/th, terdiri atas biaya tetap sebesar 8.721.700,-/ha/th dan biaya tidak tetap sebesar Rp 2.594.100,-/ha/th. Hasil penelitian Mardamas (1986) menunjukkan bahwa penerapan irigasi pompa air di Kabupaten Wajo - Sulawesi Selatan berpengaruh secara nyata terhadap produksi, produktivitas tanaman, dan pendapatan petani sebagai akibat adanya pertambahan luas areal tanam pada musim kemarau.
Menurut studi
Departemen Pertanian (1998), pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi di beberapa wilayah di Indonesia telah dapat meningkatkan pendapatan petani. Hasil analisis titik impas pada Lampiran 35 menunjukkan bahwa nilai titik impas areal irigasi tergantung pada besarnya investasi, yaitu sesuai dengan skala luas layanan irigasi (LLI). Di Desa Pehserut, pada jaringan irigasi tetes dengan LLI
4,5 ha, nilai titik impas areal irigasi tanaman semangka adalah
seluas 3,4 ha dan untuk tanaman cabe seluas 2,84 ha. Di Desa Kapas, pada jaringan irigasi tetes dengan LLI
13,5 ha, titik impas areal irigasi tanaman
semangka seluas 10,19 ha dan untuk tanaman cabe seluas 8,53 ha. Sebagai perbandingan, hasil penelitian Hadimoelyono dan Prastowo (1997) menunjukkan bahwa nilai titik impas penerapan irigasi tetes untuk tanaman palawija sekitar 8,4 – 59,6 ha, sedangkan untuk tanaman hortikultura sekitar 1,4-16,2 ha. Apabila nilai titik impas areal irigasi (LTI) dibandingakan dengan LLI, maka nilai LTI tersebut setara dengan 75% LLI untuk tanaman semangka, dan 63% LLI untuk tanaman cabe. Nilai titik impas ini juga sangat tergantung pada tingkat harga jual hasil panen. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa nilai rasio LTI/LLI = 1 (titik impas luas irigasi sama dengan LLI) masih dapat dicapai pada
83
kondisi penurunan keuntungan usahatani hingga 74% keuntungan normal untuk tanaman semangka, dan 70% untuk tanaman cabe. Penurunan keuntungan usahatani tersebut setara dengan penurunan produktivitas atau tingkat harga hingga 54% untuk tanaman semangka dan 76% untuk tanaman cabe. Hal ini berarti bahwa apabila harga jual atau hasil panen turun melebihi nilai tersebut, maka investasi irigasi tetes tidak layak secara finansial. Hasil analisis sensitivitas rasio LTI/LLI disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 31. Nilai incremental cost penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal dihitung berdasarkan
selisih
antara
biaya
irigasi
tetes
dengan
biaya
irigasi
permukaan/alur, dan hasilnya seperti yang tertera pada Tabel 18. Perhitungan biaya dan manfaat irigasi tetes didasarkan atas luas layanan irigasi (LLI), yang nilainya ditentukan dengan menggunakan nomogram pada Lampiran 20. Nilai LLI irigasi tetes pada JIAT dangkal di lokasi penelitian telah ditentukan, yaitu seluas 4,5 ha di Desa Pehserut dan 13,5 ha di Desa Kapas, dengan asumsi bahwa efisiensi irigasi dapat ditingkatkan menjadi minimal 85%. Tabel 18 juga menyajikan besarnya incremental benefit dari penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal, yaitu sama dengan penambahan luasan areal yang terairi (LLIpot) dikalikan dengan keuntungan usahatani. Penambahan LLIpot di Desa Pehserut seluas 1,2 ha sedangkan di Desa Kapas seluas 10,5 ha. Rincian perhitungan
incremental cost dan incremental benefit disajikan pada Lampiran 36. Tabel 18 Nilai incremental cost dan incremental benefit penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal Tanaman
Deskripsi Semangka
Cabe
Incremental cost Desa Kapas (LLI = 13,5 ha)
o
Biaya investasi (Rp)
581.404.500
441.950.900
o
Biaya operasi (Rp/th)
28.980.000
39.032.000
193.815.000
147.317.000
5.159.820
5.961.000
147.532.400
146.871.000
16.832.600
16.757.000
Desa Pehserut (LLI = 4,5 ha)
o
Biaya investasi (Rp)
o
Biaya operasi (Rp/th)
Incremental benefit (Rp/ha/th) o Desa Kapas (LLI = 13,5 ha) o Desa Pehserut (LLI = 4,5 ha)
84
Tanaman cabe 12,0
Rasio LTI/LLI
10,0
8,0
6,0
4,0
LTI = LLI
2,0
0,0 0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Keuntungan usaha tani (%)
Tanaman semangka 40,0
Rasio LTI/LLI
35,0 30,0 25,0 20,0
LTI=LLI
15,0 10,0 5,0 0,0 0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Keuntungan usaha tani (%)
Gambar 31 Sensitivitas nilai titik impas luas areal irigasi tetes pada JIAT dangkal terhadap penurunan keuntungan usahatani Hasil perhitungan IRR pada Tabel 19 menunjukkan bahwa nilai IRR (incremental 2 musim) yang lebih besar dari nilai suku bunga (discount rate) hanya di Desa Kapas, yaitu dengan skala LLI seluas 13,5 ha dan penambahan LLIpot seluas 10,5 ha.
Di Desa Pehserut, dengan LLI seluas 4,5 ha dan
penambahan LLIpot seluas 1,2 ha, nilai IRR (incremental 2 musim) lebih kecil dari 16%. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal
85
hanya layak secara finansial apabila diterapkan pada JIAT dangkal dengan LLI relatif besar, dimana penambahan areal layanan irigasi lebih besar dari luasan titik impas. Tabel 19 Hasil perhitungan titik impas dan IRR (incremental – 2 musim tanam) penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal Deskripsi
Lokasi Desa Kapas
Desa Pehserut
Nilai Titik Impas (ha)
Semangka
10,19
3,40
Cabe
8,53
2,84
Nilai IRR (%)
Semangka
42%
Cabe
55%
1%
Negatif
Catatan: nilai suku bunga yang berlaku sebesar 16% per tahun
Prastowo (1991) menyatakan bahwa nilai kriteria investasi proyek-proyek irigasi sangat sensitif terhadap perubahan pendapatan usahatani, yaitu perubahan produktivitas dan atau harga jual hasil panen.
Hasil analisis
sensitivitas nilai IRR pada Gambar 32 menunjukkan bahwa kelayakan finansial penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal sensitif terhadap penurunan manfaat (benefit). Penurunan manfaat ini dapat disebabkan oleh berkurangnya nilai LLI dan atau menurunnya keuntungan usahatani akibat menurunnya hasil panen dan atau harga jual hasil panen. Pada skala LLI 13,5 ha di Desa Kapas, penerapan irigasi tetes masih layak secara finansial pada kondisi penurunan manfaat (benefit) hingga 50% untuk tanaman cabe dan 59,5% untuk tanaman semangka.
Kondisi penurunan
manfaat tersebut setara dengan penurunan harga atau produktivitas sebesar 71,5% untuk tanaman cabe dan 72% untuk tanaman semangka. Gambar 32 juga menunjukkan bahwa kelayakan finansial penerapan irigasi tetes untuk tanaman cabe relatif lebih sensitif terhadap penurunan manfaat dibanding untuk tanaman semangka. Hasil perhitungan IRR dan analisis sensitivitasnya disajikan pada Lampiran 37.
86
60%
50%
cabe
IRR
40%
semangka
30%
20% 16% 10%
0% 20%
50.0% 30%
40%
50%
59.5% 60%
70%
80%
90%
100%
Penurunan manfaat
a) sensitivitas IRR terhadap penurunan manfaat (keuntungan usahatani)
60%
50%
IRR
40%
30%
semangka
20% 16% 10% 71.5%
0% 40%
50%
60%
70%
72.0% 80%
90%
100%
Penurunan harga atau produktivitas
b) sensitivitas IRR terhadap penurunan harga atau produktivitas Gambar 32 Sensitivitas nilai IRR penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal
4.2.4. Sintesa Kriteria Rancangan Irigasi Tetes pada JIAT dangkal Kriteria rancangan irigasi tetes yang telah dikembangkan dalam penelitian ini, yaitu meliputi kriteria kecukupan air, kriteria hidrolika, dan kriteria finansial, merupakan masukan yang
sangat berarti untuk menyempurnakan dan
menyederhanakan prosedur rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal. Prosedur rancangan irigasi tetes pada Gambar 6 yang telah dikembangkan oleh Prastowo dan Liyantono (2002) telah dapat disempurnakan, dan disajikan dalam
87
bentuk diagram pada Gambar 33.
Melalui prosedur rancangan tersebut,
perancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal dapat dilakukan dengan lebih sederhana dan sistematis untuk memperoleh suatu rancangan yang dapat menjamin kecukupan air irigasi, mengendalikan muka airtanah dangkal, mempunyai efisiensi irigasi tinggi, dan layak secara finansial. Diagram rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal seperti yang disajikan pada Gambar 33 meliputi empat tahapan analisis, yaitu: 1. Penyusunan faktor-faktor rancangan, meliputi debit sumur, jari-jari pengaruh, kebutuhan air tanaman , spesifikasi penetes, dan spasi penetes. 2. Analisis kecukupan air irigasi, meliputi penentuan luas layanan irigasi, luas dan jumlah blok irigasi, jumlah pemberian irigasi, lama irigasi, dan interval irigasi. 3. Perancangan hidrolika, meliputi penentuan diameter dan panjang pipa lateral, penentuan diameter dan panjang pipa manifold, serta penentuan kebutuhan total head dinamik. 4. Analisis kelayakan finansial, meliputi perhitungan titik impas luas layanan irigasi dan perhitungan IRR. Model
rancangan
irigasi
tetes
pada
JIAT
dangkal
yang
telah
dikembangkan dalam penelitian ini, yaitu dalam bentuk koefisien, tabel, nomogram dan program komputer, dapat digunakan untuk menentukan nilai beberapa parameter rancangan, khususnya pada analisis kecukupan air dan persyaratan
hidrolika
pipa
sub-unit.
Dalam
penerapannya
di
lapangan
diperkirakan akan dijumpai beberapa masalah teknis dan sosial yang berkaitan dengan pencapaian luas layanan irigasi potensial dan pengaturan jarak sumur. Menurut MacKay (2006), ada dua faktor penting yang harus dipertimbangkan, yaitu: pertama, kesulitan pengelolaan airtanah yang bersifat lokal dan regional melalui strategi dan regulasi tingkat nasional; kedua, kebutuhan untuk memperpendek mata rantai dari hasil kajian ilmiah menjadi suatu kebijakan dan regulasi, yang selanjutnya dapat diterapkan di lapangan. Secara teknis, kriteria rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal mensyaratkan bahwa LAT ≤ LLIact ≤ LLIpot.
Di samping itu, titik impas luas
layanan irigasi tetes relatif lebih besar dibanding dengan luas kepemilikan lahan oleh petani, yaitu pada umumnya ≤ 2 ha.
Dari segi konservasi airtanah,
keberlanjutan pemanfaatan airtanah untuk irigasi sangat ditentukan oleh perbandingan antara debit pemompaan aktual dengan debit aman (safe yield)
88 1. Penyusunan faktor-faktor rancangan
2. Analisis kecukupan air irigasi
Debit sumur, Qs (L-7) Jari-jari pengaruh, R (L-7 atau T-1)
Luas areal terpengaruh, LAT 2 (rumus πR )
Data iklim & curah hujan (data sekunder)
Kebutuhan air tanaman, Td (pers 2, koef 0,60,67 lt/det/ha)
Pola tanam (survei)
Luas layanan irigasi optimum, LLIopt (G-21, G-22)
Jumlah Blok Irigasi Jumlah air irigasi kotor, d (pers 32, G-25)
Air tanah tersedia, TAW (pustaka, analisis lab)
Kedalaman bersih maksimum air irigasi, dx (pers 29)
Interval irigasi, fa (pers 30&31, G-23, G-25)
Jarak penetes (sesuai jarak tanam)
Lama irigasi, Ta (pers 34, G-23)
Luas blok irigasi, LBI (G-24)
Bentuk dan ukuran petakan lahan Spesifikasi penetes, Ha, qa (T-14, brosur pabrikan)
3. Rancangan hidrolika Ukuran sub-unit (L25 s/d L28) Diameter lateral, D lat Panjang lateral, L lat Diameter manifold, Dm Panjang manifold, Lm
Tata letak jaringan irigasi tetes (kondisional)
Kapasitas sistem, Qs (pers 36)
Kebutuhan TDH (L-8)
Kebutuhan komponen irigasi tetes (kondisional) 4. Analisis finansial Harga komponen irigasi tetes (survai pasar) Analisa usahatani (L-17)
Biaya irigasi, C (excel)
Manfaat irigasi tetes, (tambahan LLI x P)
Keuntungan usahatani, P (L-17) IRR (excel)
Titik impas, LTI (excel)
Gambar 33 Diagram model rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal
89
sesuai
karakteristik akifer pada zona pemanfaatan tertentu. Menurut Fetter
(1994), debit aman suatu sistem akifer merupakan salah satu aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam program pengelolaan airtanah. Dengan batasan persyaratan teknis dan kondisi kepemilikan lahan oleh petani, kriteria rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal hanya dapat diterapkan apabila pengelolaan sumur/pompa dilakukan secara kelompok. Hal ini berarti bahwa penerapan model rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal masih memerlukan pengaturan kelembagaan pengelolaan di tingkat usahatani. Untuk mengetahui sistem kelembagaan yang tepat, diperlukan penelitian tentang pengelolaan sistem irigasi airtanah berbasis masyarakat. Pembangunan pertanian yang berkelanjutan harus dapat meningkatkan produksi dan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya (Harword, 1990). Penelitian ini telah dapat mengembangkan suatu metode untuk meminimalkan pemakaian airtanah per satuan produk tanaman tertentu. Keberlanjutan pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi ditentukan oleh keseimbangan antara ketersediaan airtanah sebagai suatu sumberdaya dan debit pemompaan sumur sebagai suatu kebutuhan untuk irigasi.
Keseimbangan antara pasokan dan
kebutuhan air tersebut diharapkan dapat dicapai melalui penerapan kriteria kecukupan air dan kriteria hidrolika. Menurut IUCN (1980) diacu dalam Adams (2001), salah satu tujuan dari strategi konservasi dalam pembangunan yang berkelanjutan adalah menjaga sistem penunjang kehidupan dan proses-proses ekologi yang penting, diantaranya adalah sumberdaya air. Dalam usahatani yang berorientasi kepada keuntungan, maka penggunaan kriteria finansial diharapkan dapat menjamin keberlanjutan usaha produksi pertanian yang dilakukan oleh petani.
Kriteria finansial yang dikembangkan
dalam penelitian ini melengkapi kriteria kecukupan air dan kriteria hidrolika yang telah dibangun. Kriteria rancangan tersebut merupakan suatu perangkat yang dapat digunakan untuk mendukung pemanfaatan airtanah untuk irigasi yang secara teknis dapat dikerjakan, layak secara finansial, dan berwawasan lingkungan. Meskipun demikian, apabila ditinjau dari segi-segi pembangunan yang berkelanjutan menurut Brundtland (1987) diacu dalam Adams (2001), yaitu segi ekonomi, sosial, dan lingkungan, maka penerapan hasil penelitian ini secara luas
masih
memerlukan
penelitian
lanjutan,
terutama
tentang
zonasi
pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi dan kelembagaan pengelolaannya.
90
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1. Kinerja jaringan irigasi airtanah (JIAT) dangkal di lokasi penelitian, yang meliputi efisiensi sumur, pengoperasian pompa, efisiensi irigasi, dan intensitas tanam, relatif lebih baik dibanding dengan daerah yang lain di Indonesia. Namun demikian, keberlanjutan pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi hanya dapat dicapai apabila efisiensi irigasi JIAT dangkal dapat ditingkatkan minimal menjadi sebesar 80%. Luas layanan irigasi potensial tersebut berkisar antara 4,5 – 13,5 ha/sumur. 2. Model rancangan irigasi tetes pada sistem irigasi airtanah dangkal yang berkelanjutan telah dapat dikembangkan dalam bentuk koefisien, tabel, nomogram, dan program komputer. Dengan model rancangan tersebut, perancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal dapat dilakukan dengan lebih mudah dan sistematis, untuk memperoleh suatu rancangan irigasi tetes yang dapat menjamin kecukupan air irigasi, mengendalikan muka airtanah, mempunyai efisiensi irigasi relatif tinggi, dan layak secara finansial. 3. Kriteria rancangan irigasi tetes yang telah dikembangkan meliputi kriteria kecukupan air, kriteria hidrolika, dan kriteria finansial, yang
dapat
dikembangkan lebih lanjut menjadi suatu standar rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal, dengan parameter rancangan sebagai berikut: a. Kriteria kecukupan air, mencakup parameter kebutuhan air tanaman (Td), jumlah pemberian air irigasi (d), interval irigasi (fa), lama pemberian air irigasi (Ta), luas layanan irigasi (LLIpot), dan luas blok irigasi (LBI) b. Kriteria hidrolika, mencakup parameter diameter pipa lateral (Ølat), panjang maksimum pipa lateral (Llat), diameter pipa manifold (Øm), dan panjang maksimum pipa manifold (L m). c. Kriteria kelayakan finansial, mencakup parameter titik impas luas layanan irigasi (LTI) dan internal rate of return (IRR). 4. Kelayakan finansial penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal tergantung pada luas layanan irigasi (LLI) dan jenis tanaman yang dibudidayakan. Titik impas areal layanan irigasi tetes untuk tanaman semangka adalah seluas 10,19 ha di Desa Kapas dan 3,4 ha di Desa Pehserut, sedangkan untuk tanaman cabe seluas 8,53 ha di Desa Kapas dan 2,84 ha di Desa Pehserut.
91
Pada tingkat LLI sebesar 13,5 ha, nilai internal rate of return (IRR) penerapan irigasi tetes untuk tanaman cabe dan semangka masing-masing sebesar 55% dan 42%.
4.2.
Saran
1. Perlu dilakukan uji validasi secara menyeluruh di tingkat usahatani, agar kriteria rancangan irigasi tetes yang telah dikembangkan dalam penelitian ini dapat digunakan untuk menyusun standar perencanaan irigasi tetes pada JIAT dangkal. 2. Tabel dan nomogram kriteria kecukupan air dan kriteria hidrolika pipa subunit dalam penelitian ini dapat dikembangkan/digandakan lebih lanjut untuk berbagai spesifikasi penetes. 3. Pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi seharusnya dilakukan secara optimal, yaitu dengan memperhatikan: a. konstruksi sumur yang benar b. jarak antar sumur tidak terlalu rapat (≥ 2R) c. debit pemompaan yang optimum d. untuk irigasi tanaman bukan padi e. mempunyai luas layanan irigasi sebesar LAT ≤ LLIact ≤ LLIpot 4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang: a. Evaluasi debit pemompaan aktual dibandingkan dengan nilai debit aman (safe yield atau perennial yield), serta zonasi pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi b. Kelembagaan pengelolaan irigasi tetes pada JIAT dangkal berbasis masyarakat.
92
DAFTAR PUSTAKA Adams WM. 2001. Green Development: Environment and Sustainability in the Third World. New York: Routledge. Adirahardja I. 1993. Kinerja Penetes dan Rancangan Sistem Irigasi Tetes Pada Lahan Pertanian di Desa Cikarawang, Darmaga, Bogor (skripsi). Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [AGDEWR] Australian Government Department of the Environment and Water Resources, National Groundwater Committee. 2004. Water Level Response Management as a Micro-management Tool. Issue paper 4. www.environment.gov.au/water/groundwater/committee/issuehttp:// 4/index.html [7 Mei 2007] Anbumozhi V, Matsumoto K, Yamaji E. 2001. Sustaining Agriculture through Modernization of Irrigation Tanks: An Opportunity and Challenge for Tamilnadu, India. Agricultural Engineering International: the CIGR Journal of Scientific Research and Development vol. III. Andren AW. 2007. Groundwater Drawdown. Wisconsin: University of Wisconsin, Water Resouces Institute, Department of Natural Resources. Apriliani G. 2005. Kinerja Jaringan Irigasi Tetes Pada Budidaya Tomat Dengan Sistem Hidroponik (skripsi). Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahar YH. 2000. Pengaruh Pengambilan Air Tanah Untuk Irigasi Terhadap Keadaan Air Tanah, Tanah dan Pendapatan Petani (disertasi). Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Blank L, Tarquin A. 1998. Engineering Economy. Singapore: WCB/McGraw-Hill. Cumulus ARSC. 1992. Perencanaan Sistem Irigasi Tetes Untuk Tanaman Melon di PT Hortitek Tropika Sari (skripsi). Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. DeGarmo EP, Canada JR, Sullivan WG. 1979. Engineering Economy. New York: Macmillan Publishing Co. Inc. Departemen Pekerjaan Umum. 1986. Standar Perencanaan Irigasi KP-01 Kriteria Perencanaan Bagian Perencanaan Jaringan Irigasi. Jakarta: Departemen PU. Departemen Pekerjaan Umum. 1994. Prospek Penerapan Irigasi Sprinkler dan Drip di Indonesia (Laporan Studi). Jakarta: Departemen PU.
93
Departemen Pekerjaan Umum. 2007. Dukungan Prasarana Sumber Daya Air Pada Progarm Peningkatan Produksi Beras Dua Juta Ton (Bahan Presentasi Seminar). Jakarta: Masyarakat Hidrologi Indonesia. Departemen Pertanian. 1998. Studi Pengembangan Airtanah Untuk Pertanian Berskala Kecil. Jakarta: Deptan. Elhassan A, Goto A, Mizutani M. 2003. Effect of Conjunctive Use of Water for Paddy Field Irrigation on Groundwater Budget in an Alluvial Fan. Agricultural Engineering International: the CIGR Journal of Scientific Research and Development vol. V. Fetter CW. 1994. Applied Hydrogeology. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Gittinger JP. 1982. Economics Analysis of Agricultural Projects. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press. Hadimoelyono B, Prastowo. 1997. Tinjauan Kelayakan Finansial Penerapan Irrigáis Sprinkler & Drip Pada Lahan Petani. Di dalam: Optimasi Pemanfaatan Air Irigasi Di Tingkat Usahatani Menuju Pertanian Modern. Prosiding Seminar Nasional. Bekasi: HATTA dan KNI-ICID. Hlm 413-423. Hansen VE, Israelsen OW, Stringham GE. 1979. Irrigation Principles and Practices. New York: John Willey and Sons. Inc. Harjoko IY. 1998. Kajian Efisiensi Pemanfaatan Airtanah Dangkal Untuk Irigasi di Kabupaten Madiun – Jawa Timur (skripsi). Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Harwood, RR. 1990. A History of Sustainable Agriculture. Di dalam: Edwards CA, Lal R, Madden P, Miler RH, House G, editor. Sustainable Agricultural Systems. Delray Beach: St. Lucie Press. Hathoot HM. 1993. Analysis and Design of Trickle Irrigation Laterals. Irrigation & Drainage Eng, 119(5): 756-767.
J
Hermawan I. 2003. Kajian Penyebaran Kadar Air Tanah Pada Irigasi Tetes Dengan Pemberian Air Secara Kontinyu dan Terputus (skripsi). Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Igbadun H, Mahoo H, Tarimo A, Salim B. Irrigation Scheduling Scenarios Studies for a Maize Crop in Tanzania Using a Computer-based Simulation Model. Agricultural Engineering International: the CIGR Journal of Scientific Research and Development vol. VIII.
94
I-Pai Wu. 1997. An Assessment of Hydraulic Design of Micro-Irrigation System. J Agric Water Management, p 275-284. http://.sciencedirect.com/science [8 Mei 2007]. Jensen ME. 1983. Design and Operation of Farm Irrigation System. St. Joseph. Michigan: American Society of Agriculture Engineers. Karmeli D, Peri G, Todes M. 1985. Irrigation System : Design anf Operation. Cape Town: Oxford University Press. Kay M. 1989. Surface Irrigation, Systems and Practice. Cranfield Bedford: Cranfield Press, Cranfield Institute of Technology. Keller J. 1990. Modern Irrigation in Developing Countries. Leuven: Katholieke Universiteit Leuven. Keller J, Bliesner RD. 1990. Sprinkle and Trickle Irrigation. New York: An avi Book – Van Nostrand Reinhold. Kizer MA. 1995. Drip (Trickle) Irrigation Systems. Oklahoma: Division of Agricultural Sciences and Natural Resources, Oklahoma State University. http://www.osuextra.com [7 mei 2007] Kumar PB. 2002. Review of Groundwater Use and Groundwater Level Behaviour in the Lower Murrumbidgee Groundwater Management Area 002. New Groundwater Status Report Number 6. South Wales: www.nsw.edu.au/report [6 Mei 2007] Linsley RK, Franzini JB. 1989. Teknik Sumber Daya Air. Jakarta: Penerbit Erlangga. Liyantono, Prastowo, Roh Santoso. 2005. Kajian Karakteristik Akuifer dan Sumur serta Pola Pengembangan Airtanah untuk Irigasi di Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur (Working Paper). Bogor: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor. MacKay H. 2006. Protection and Management of Groundwater-Dependent Ecosystems: Emerging Challenges and Potential Approach for Policy and Management. Aust.J. of Bot. 54(2) 231-237. Mardamas N. 1986. Analisis Ekonomi Irigasi Pompa Air; Kasus di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan (Tesis). Bogor: Fakultas Pasca Sarjana, KPK Institut Pertanian Bogor – Universitas Hasannudin. Nakayama FS, Bucks DA. 1986. Trickle Irrigation for Crop Production, Design, Operation and Management. Amsterdam: Elsevier Science Publishers B.V.
95
Nuruszaman. 1996. Penentuan Jadwal Operasi Jaringan Irigasi Tetes Untuk Budidaya Hortikultura Dalam Rumah Plastik Dengan Media Tanam Kuntan (skripsi). Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Poespowardoyo RS. 1984. Peta Hidrogeologi Indonesia; Lembar Kediri. Bandung: Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Ditjen Pertambangan Umum, Departemen Pertambangan dan Energi. Pramudya B, Nesia Dewi. Bogor.
1992. Ekonomi Teknik.
Bogor: Institut Pertanian
Prastowo. 1980. Analisa Sistem Perencanaan Regional Pemanfaatan Airtanah Untuk Irigasi Di Kecamatan Tanon dan Plupuh, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah (skripsi). Bogor: Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Prastowo. 1991. Appraisal of The Maloso Irrigation Project, Economic and Financial Analysis (Master’s Dissertation). Leuven: Katholieke Universiteit Leuven, Center for Irrigation Engineering. Prastowo, Liyantono. 2002. Prosedur Desain Irigasi Tetes (modul pelatihan). Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Prastowo, Hardjoamidjojo S, Awang YK. 2007a. Rancangan Hidrolika Irigasi Tetes Untuk Tanaman Semangka di Lahan Kelompok Tani Seropan Makmur, Kabupaten Gunung Kidul, DIY. Jurnal Keteknikan Pertanian 21(1): 37-44. Prastowo, Hardjoamidjojo S, Laelasari N. 2007c. Irrigation Efficiency And Uniformity Of Aeroponics System; A Case Study In Parung Hydroponics Farm. Jurnal Keteknikan Pertanian 21(2): siap terbit Prastowo, Hardjoamidjojo S, Pramudya B, Murtilaksono K. 2006. Review on Trickle Irrigation Application in Groundwater Irrigation Schemes. Jurnal Keteknikan Pertanian 20(1): 9-18. Prastowo, Hardjoamidjojo S, Pramudya B, Murtilaksono K. 2007b. Performance of Shallow Groundwater Irrigation Schemes in Nganjuk-East Java, Indonesia. Agricultural Engineering International: the CIGR Journal of Scientific Research and Development vol. IX. Provenzano G, Pumo D, Di Dio P. 2005. Simplified Procedure to Evaluate Head Losses in Drip Irrigation Laterals. J Irrigation & Drainage Eng, 131(6):525532. Qi Lu, Sato M. 2007. Quantitative Hydrogeological Study of an Unconfined Aquifer by GPR along Tuul River in Ulaanbaatar. Sendai: Center for
96
Northeast Asian Studies, Tohoku University. http://db.tohoku.ac.jp/whois/ [6 Mei 2007] Raes D. 1989a. Crop Water Requirements. Leuven.
Leuven: Katholieke Universiteit
Raes D. 1989b. Soil Physics. Leuven: Katholieke Universiteit Leuven. Raes D, Lemmens H, Aelst PV, Bulcke MV, Smith M. 1987. Irrigation Scheduling Information System (IRSIS). Leuven: Katholieke Universiteit Leuven. Sapei A. 1986. Pendugaan Penyebaran Kadar Air Tanah Pada Irigasi Tetes (tesis). Bogor: Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Schwab GO, Frevert RK, Edminster TW, Barnes KK. 1981. Soil and Water Conservation Engineering. New York: John Wiley & Sons. Solomon K. 1978. Trickle Irrigation Uniformity and Efficiency. J Irrigation & Drainage Div, 104(3): 293-306. Sosrodarsono S, Takeda K. 1979. Hidrologi Untuk Pengairan. Jakarta: Pradnya Paramita. Srinivasan VS, Guimaraes JA. 1996. Criteria for The Economic Design of a Sub-unit of a Trickle Irrigation System. J Transaction on Eco & Environ Vol 12. www.witpress.comwww.witpress.com [7 Mei 2007] Suharyadi. 1989. Studi Potensi Air Bawah Tanah – Dalam dan Kemungkinan Pengembangannya Sebagai Tambahan Air Irigasi di Sub DAS Opak, DI Yogyakarta (tesis). Bogor: Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Susatya ZR. 1998. Kajian Potensi Sumur pada Proyek Pengembangan Airtanah Dangkal untuk Pertanian Berskala Kecil (skripsi). Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Todd DK. 1980. Groundwater Hydrology. New York: John Wiley & Sons. Widayanti M. 2003. Efisiensi Irigasi Tetes Pada Lahan Petani; Studi Kasus Daerah Irigasi Seropan, DIY (skripsi). Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wijdieks J, Bos MG. 1985. Pumps and Pumping Stations. Leuven: Katholieke Universiteit Leuven.