PENGEMBANGAN METODE PENETAPAN KADAR SIKLAMAT BERBASIS KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI GUNA DIIMPLEMENTASIKAN DALAM KAJIAN PAPARAN
BUDI WIBOWOTOMO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis saya dengan judul Pengembangan Metode Penetapan Kadar Siklamat berbasis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Guna Diimplementasikan dalam Kajian Paparan adalah benarbenar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini
Bogor, November 2008
Budi Wibowotomo NIM F251040011
ABSTRACT BUDI WIBOWOTOMO. Modifying Method on Cyclamate Determination based on High Performance Liquid Chromatography utilized in Exposure Assessment. Supervised by HANNY WIJAYA, ROY A. SPARRINGA, and HENDRA ADIJUWANA. Due to the Decree of Chief of National Agency for Drug and Food Control (NADFC) No: HK.00.05.5.1.4547/2004 regarding artificial sweeteners standards in Indonesia, it is considered there is a need of a practically accurate analytical methods to determining sweeteners concentration level on food products. The aim of this research was to develop a method for determining cyclamate content in foods based on High Performance Liquid Chromatography (HPLC) for exposure assessment of cyclamate by Total Diet Study (TDS). Modification including solvent extraction procedure by decreasing pH sample until less than 2 and variable on HPLC mobile phase by applying the ratio of phosphate buffer-methanol as 75:25, 80:20, 85:15. The modified method was utilized to estimate the cyclamate intakes by elementary school children in Surabaya. This was conducted by measuring the cyclamate concentration in foods consumed by the students with TDS approach based on dietary intake data generated previously by National Agency for Drug and Food Control (NADFC). Based on the experiments on food models, the proposed method was achieved by utilize a solvent extraction procedure with modification of pH sample at pH=1 and, HPLC conditions as follow: utilization of ODS RP-18 column (5 μm, 250 x 4.6 mm ID), UV-Vis 200 nm detector and phosphate buffer-metanol in a ratio of 85:15 as mobile phase, at 1 ml/min flow rate and 20 μl injection volume. Parameter of extraction showed a similarity between distribution ratio (D) and distribution coefficient (KD), which is indicating a succesful cyclamate separation from food matrix. The extraction efficiency (%E) within 83.04–94.92%. Direct determination of cyclamate concentration in foods consumed by the elementary school students using the proposed method showed that the cyclamate concentration level varied from 5.06 to 8,882.71 mg/kg. The results gave the estimated exposure of cyclamate about 28.41 mg/kg bw/day (258.27% ADI) with the high consumers (90th percentile) up to 61.60 mg/kg bw/day (560% ADI). The estimated exposure of cyclamate based on maximum national limit by Decree of Chief of NADFC No. HK.00.05.0.1.4547/2004 showed 2.99 mg/kg bw/day (27.21% ADI). On individual exposure of cyclamate showed the median and the mean about 15.62 mg/kg bw/day and 28.41 mg/kg bw/day, respectively. About 58.74% of respondent had cyclamate intake exceeding the ADI value. It is recommended that the present method should be validated through intralaboratory and interlaboratory test at prior before be utilized as a standard method for exposure assessment purposes.
viii
RINGKASAN BUDI WIBOWOTOMO. Pengembangan Metode Penetapan Kadar Siklamat Berbasis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Guna Diimplementasikan dalam Kajian Paparan. Dibimbing oleh HANNY WIJAYA, ROY A. SPARRINGA, dan HENDRA ADIJUWANA. Dikeluarkannya pedoman persyaratan penggunaan pemanis buatan dalam SK Kepala Badan POM No. HK.00.05.0.1.4547/2004 memberikan konsekuensi akan perlunya suatu metode analisis untuk penentuan pemanis buatan pada produk pangan yang praktis dan akurat. Penelitian ini bertujuan mengembangkan metode penetapan kadar siklamat pada produk pangan berbasis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) guna diimplementasikan dalam kajian paparan siklamat dengan metode Total Diet Study (TDS). Percobaan pengembangan metode meliputi pengembangan metode ekstraksi siklamat dari matriks pangan secara ekstraksi cair-cair dengan teknik modifikasi pH (pH 1.0); serta pengembangan fase gerak KCKT dengan menerapkan perlakuan rasio bufer fosfat–metanol yaitu 75:25, 80:20, 85:15. Metode hasil pengembangan kemudian digunakan untuk melakukan estimasi paparan siklamat pada pangan yang dikonsumsi oleh anak sekolah dasar di Surabaya melalui uji konsentrasi sampel pangan dengan metode TDS yang menggunakan data konsumsi pangan yang telah dilakukan oleh Badan POM. Metode penetapan kadar siklamat dengan cara ekstraksi siklamat secara ekstraksi cair-cair dengan modifikasi pH (pH 1.0) dan kondisi optimal KCKT adalah: kolom ODS RP-18 5 μm (250 x 4.6 mm ID), fase gerak bufer fosfat– metanol rasio 85:15, laju alir 1 ml/menit, volume injeksi 20 μl, serta detektor UVVis 200 nm; terpilih sebagai metode yang direkomendasikan berdasarkan percobaan pada model pangan. Parameter ekstraksi menghasilkan rasio distribusi (D) mendekati KD/koefisien distribusi (D ≈ KD), yang mengindikasikan keberhasilan ekstraksi. Efisiensi ekstraksi (%E) model pangan menghasilkan kisaran nilai 83.04-94.92%. Pengukuran konsentrasi siklamat pada pangan anak sekolah menggunakan metode hasil pengembangan menunjukkan kisaran konsentrasi 5.06–8,882.71 mg/kg dan menghasilkan rerata perkiraan paparan siklamat sebesar 28.41 mg/kg bb/hari (258.27% ADI) pada anak sekolah dasar di Surabaya, dengan paparan pengkonsumsi tinggi (persentil 90th) mencapai 61.60 mg/kg bb/hari (560% ADI). Adapun perkiraan paparan siklamat berdasar konsentrasi maksimum dari SK Kepala Badan POM No: HK.00.05.5.1.4547/2004 menunjukkan nilai 2.99 mg/kg bb/hari (27.21% ADI). Untuk perkiraan paparan siklamat pada individu diperoleh nilai median dan mean masing-masing 15.62 mg/kg bb/hari dan 28.41 mg/kg bb/hari. Sebanyak 58.74% responden mempunyai paparan di atas nilai ADI. Direkomendasikan untuk melakukan validasi terhadap metode analisis siklamat hasil pengembangan, baik secara intralaboratory maupun interlaboratory, sebelum diimplementasikan sebagai metode standar dalam kajian paparan.
viii
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
viii
PENGEMBANGAN METODE PENETAPAN KADAR SIKLAMAT BERBASIS KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI GUNA DIIMPLEMENTASIKAN DALAM KAJIAN PAPARAN
BUDI WIBOWOTOMO
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
viii
Judul Tesis
Nama Mahasiswa NIM
: Pengembangan Metode Penetapan Kadar Siklamat berbasis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Guna Diimplementasikan dalam Kajian Paparan : Budi Wibowotomo : F251040011
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M.Sc. Ketua
Ir. Hendra Adijuwana, MST Anggota
Dr. Ir. Roy A. Sparringa, M.App.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, M.S.
Tanggal Ujian : 30 Agustus 2008
Tanggal Lulus :
viii
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Pengembangan Metode Penetapan Kadar Siklamat berbasis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Guna Diimplementasikan dalam Kajian Paparan, bekerjasama dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M.Sc., Dr. Ir. Roy A. Sparringa, M.App.Sc. dan Ir. Hendra Adijuwana, MST selaku pembimbing yang telah memberikan wawasan dan pengarahan serta didikan kepada penulis untuk lebih memperkuat kemandirian sikap sebagai ilmuwan. Terimakasih kepada Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. sebagai dosen penguji atas masukan dalam penulisan tesis ini. Terimakasih disampaikan pula kepada pimpinan dan staf Laboratorium Pangan Balai Besar POM Surabaya, terutama Bapak Cholil Supriadin atas bantuan dan kerjasamanya selama pengumpulan data. Terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Winiati Puji Rahayu, M.S., pimpinan beserta staf Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM RI yang telah banyak membantu selama penelitian. Terimakasih pula kepada keluarga Nono Hery Yunanto, S.Psi., M.Pd di Surabaya dan keluarga Ir. Deded Hermawan, M.Si di Palembang atas dukungannya; juga kepada Dra. Mazarina Devi, M.Si. dan Ir. Soenar Soekopitojo, M.Si atas sharingnya. Terimakasih kepada rekan-rekan IPN 2004: Erni, Reni, Agnani, bu Santi, Marleni, Dorkas, Anggi. Terimakasih pula kepada para teknisi di laboratorium ITP. Tak lupa ungkapan terimakasih yang sangat mendalam penulis sampaikan kepada istri dan anak tercinta, Ibu Suwarni Soedarsono, Bapak Mardisiswoyo (mertua), serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2008
Budi Wibowotomo
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Surakarta pada tanggal 1 September 1968 dari ayah Soedarsono Daryoprayitno (alm) dan ibu Suwarni. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri I Surakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB lewat jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Pada pemilihan jurusan tahun 1988 penulis diterima di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian dan menamatkannya pada tahun 1992. Antara tahun 1993 hingga 1996 penulis bekerja di grup PT. Sumber Kawruh Adi, Jakarta sebagai Management Trainee dilanjutkan sebagai Project Officer. Kemudian pada tahun 1997-1998 penulis bekerja sebagai Analis Laboratorium pada PG Colomadu (PT Perkebunan XV-XVI Persero) Surakarta. Selanjutnya pada tahun 1999 penulis diterima menjadi CPNS di Universitas Negeri Malang dan mengajar di Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik hingga saat ini. Pada tahun 2004 penulis mendapat kesempatan tugas belajar pada jenjang S2 Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana IPB, dengan beasiswa pendidikan dari Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melalui program Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS). Selama perkuliahan, penulis aktif di Forum Mahasiswa Ilmu Pangan (FORMASIP).
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .... ........................................................................................ vi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ........ ........................................................................... viii DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ... ...................................................
ix
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ........................................................................... B. TUJUAN PENELITIAN ....................................................................... C. MANFAAT PENELITIAN ... ...............................................................
1 3 4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. SIKLAMAT .......................................................................................... B. EKSTRAKSI CAIR-CAIR (SOLVENT EXTRACTION) ..................... C. KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) ..................... D. PENETAPAN KADAR SIKLAMAT DENGAN KCKT ..................... E. KAJIAN RISIKO .................................................................................. F. KAJIAN RISIKO SIKLAMAT ......... ................................................... G. MODEL UMUM KAJIAN PAPARAN BTP ....................................... H. TOTAL DIET STUDY DAN PROGRAM PILOT KAJIAN PAPARAN SIKLAMAT .. ...................................................................................... III. BAHAN DAN METODE A. WAKTU DAN TEMPAT ..................................................................... B. BAHAN DAN ALAT ........................................................................... C. METODE PENELITIAN 1. Pengembangan Metode Penetapan Kadar Siklamat ......................... 2. Kajian Paparan Siklamat ................................................................... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGEMBANGAN METODE PENETAPAN KADAR SIKLAMAT 1. Optimasi Fase Gerak KCKT ........ ................................................... 2. Penerapan KCKT pada Model Pangan ............................................ 3. Pengembangan Metode Ekstraksi ................................................... B. KAJIAN PAPARAN SIKLAMAT 1. Analisis Data Konsumsi .................................................................. 2. Penentuan Konsentrasi Siklamat ..................................................... 3. Perkiraan Paparan Siklamat berdasar Kelompok Pangan ............... 4. Perkiraan Paparan Individu .............................................................
5 5 9 12 14 15 21 22
26 26 27 34
44 47 50 54 55 57 60
V. SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 62
viii
DAFTAR PUSTAKA .......... ........................................................................... 64 LAMPIRAN . ................................................................................................... 70
viii
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Eluotropik dan UV cutoff beberapa eluen pada KCKT ............................. 10 2 Kisaran nilai pH beberapa larutan bufer sebagai eluen pada KCKT ...... ... 12 3 Perbedaan antara kajian risiko mikrobiologis dan kajian risiko kimia ... ... 16 4 Program pilot kajian paparan di Indonesia ......... ....................................... 25 5 Penyiapan larutan baku kerja untuk pengukuran siklamat pada model pangan ..... ................................................................................................... 32 6 Penyiapan larutan baku kerja untuk pengukuran siklamat pada pangan anak sekolah dasar di Surabaya .................................................................. 40 7 Parameter uji kualitatif siklamat pada model pangan ..... ........................... 49 8 Hasil optimasi sistem KCKT pada pemisahan siklamat dalam model pangan ..... ................................................................................................... 50 9 Perhitungan kadar siklamat dalam model pangan ....................................... 52 10 Penentuan efisiensi ekstraksi siklamat pada model pangan ........ ............... 52 11 Perkiraan paparan siklamat pada anak sekolah dasar di Surabaya, dengan basis analisis konsentrasi langsung ......... ................................................... 58 12 Perkiraan paparan siklamat pada anak sekolah dasar di Surabaya menggunakan basis konsentrasi maksimum yang diijinkan (SK Kepala Badan POM No. HK.00.05.0.1.4547/2004 ........ ................................................... 59
viii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Proses kajian risiko kimia ........................................................................... 14 2 Bagan alir pengembangan metode penetapan kadar siklamat .................... 27 3 Bagan alir kajian paparan siklamat ......... ................................................... 35 4 Bentuk peak ideal menyerupai kurva normal Gauss .................................. 44 5 Kromatogram standar siklamat pada berbagai komposisi fase gerak bufer fosfat–metanol ............................................................................................ 45 6 Pola kromatogram siklamat pada berbagai model pangan ......................... 48 7 Distribusi frekuensi paparan siklamat pada anak sekolah dasar di Surabaya ......... ................................................................................................... 61
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Penggolongan jenis pangan berdasar Kategori Pangan Indonesia ............... 71 2 Penggolongan jenis pangan berdasar PKMT ...... ....................................... 74 3 Konsentrasi maksimum penggunaan siklamat pada pangan olahan yang digolongkan berdasar Kategori Pangan Indonesia ....................................... 78 4 Perhitungan Ka dan [H+] pada ekstraksi cair-cair siklamat ........ ............... 79 5 Perhitungan LOD dan LOQ siklamat pada model pangan ......................... 81 6 Kurva kalibrasi untuk pengukuran siklamat pada model pangan ............... 82 7 Ringkasan penyusunan food list pada pangan yang dikonsumsi oleh anak sekolah dasar di Surabaya ........................................................................... 83 8 Daftar konsumsi pangan yang mengandung siklamat oleh anak sekolah dasar di Surabaya ....................................................................................... 84 9 Contoh penyusunan shopping list ............................................................... 85 10 Hasil uji kualitatif siklamat pada sampel komposit pangan anak sekolah dasar di Surabaya ....................................................................................... 88 11 Konsentrasi siklamat sampel komposit pangan anak sekolah dasar .......... 89 12 Perhitungan konsentrasi siklamat pada pangan yang dikonsumsi oleh anak sekolah dasar di Surabaya menggunakan metode dan instrumen KCKT sesuai hasil pengembangan metode ........ ....................................... 90 13 Perhitungan LOD dan LOQ siklamat pada sampel pangan anak sekolah dasar di Surabaya ....................................................................................... 91 14 Kurva kalibrasi untuk pengukuran siklamat pada sampel pangan anak sekolah dasar di Surabaya .......... .............................................................. 92 15 Kajian paparan siklamat di beberapa negara ...... ...................................... 93
viii
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ADI (Acceptable Daily Intake) suatu bahan kimia/bahan tambahan pangan (BTP) adalah perkiraan jumlah bahan kimia/bahan tambahan pangan dalam pangan dan atau air minum, yang dinyatakan dengan miligram per kilogram berat badan, yng dapat dikonsumsi setiap hari selama hidup tanpa menimbulkan efek merugikan terhadap kesehatan. Nilai ADI siklamat yang ditetapkan saat ini adalah 11 mg/kg bb/hari Analisis Risiko adalah penetapan tatacara memperkirakan risiko yang berhubungan dengan masalah kesehatan dan mengendalikan risiko tersebut seefektif mungkin. Proses analisis risiko terdiri dari tiga komponen yaitu manajemen risiko, kajian risiko, dan komunikasi risiko Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, baik yang mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi Bahaya (hazard) adalah suatu bahan biologi, kimia atau fisik yang terdapat dalam pangan yang mempunyai pengaruh buruk terhadap kesehatan CAC Codex Alimentarius Commission adalah suatu organisasi bersama yang dibentuk oleh FAO dan WHO dalam hal pengaturan standar pangan internasional untuk membantu negara/pemerintah mencapai tingkat perlindungan konsumen yang cukup melalui praktek perdagangan pangan yang adil CCC Calorie Control Council adalah perkumpulan internasional dari kelompok industri minuman, minuman diet, serta pangan rendah kalori; yang mempunyai jalur komunikasi diantara anggotanya, masyarakat, dan lembaga pemerintah dalam hal pengembangan penelitian ilmiah dan medis serta informasi untuk bidang yang sesuai Derivatisasi peruraian/pemecahan menjadi senyawa turunannya Disosiasi peruraian/pemecahan senyawa kimia Ekstraksi Cair-cair (Solvent Extraction) merupakan salah satu mode pemisahan komponen berdasarkan proses ekstraksi dalam 2 pelarut yang tak saling campur (immiscible)
Elusi proses pengeluaran senyawa dari kolom kromatografi setelah mengalami pemisahan Fase gerak/eluen adalah salah satu komponen kromatografi yang dilewatkan ke dalam kolom dengan membawa senyawa yang akan dipisahkan Fase diam komponen kromatografi yang dilekatkan pada kolom dan melakukan kontak dengan fase gerak untuk menghasilkan pemisahan komponen FSANZ Food Standard Australian and New Zealand adalah suatu badan pemerintah independen yang dibentuk oleh dua negara (Australia dan Selandia Baru), yang bertanggungjawab dalam pengembangan standar pangan untuk keperluan penanganan, formulasi dan pelabelan pangan JECFA Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives, adalah komisi pakar ilmiah internasional yang didirikan oleh FAO dan WHO yang pada awalnya bertugas mengevaluasi keamanan bahan tambahan pangan. Ruang lingkupnya sekarang bertambah meliputi kontaminan, bahan toksik alami dan residu obat-obatan hewan Kajian paparan merupakan evaluasi kualitatif atau kuantitatif terhadap kemungkinan asupan dari bahaya mikrobiologis, kimia atau fisik melalui pangan atau sumber lain yang relevan Kajian risiko merupakan suatu proses evaluasi yang berlandaskan data-data ilmiah terhadap peluang dan tingkat keparahan gangguan kesehatan akibat terpapar bahaya yang terdapat dalam makanan. Proses kajian risiko terdiri dari empat tahapan yaitu identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya, kajian paparan, dan karakterisasi risiko KCKT Kromatografi Cair Kinerja Tinggi merupakan salah satu mode kromatografi yang menggunakan cairan sebagai fase gerak dan dialirkan ke kolom dengan tekanan tinggi, sehingga disebut juga kromatografi cair tekanan tinggi LOD (Limit of Detection) merupakan konsentrasi terkecil suatu senyawa yang dapat terdeteksi secara kualitatif LOQ (Limit of Quantification) merupakan konsentrasi terkecil suatu senyawa yang dapat ditentukan secara kuantitatif
viii
MPLs (Maximum Permitted Levels=konsentrasi maksimum yang diijinkan) adalah tingkat penggunaan BTP maksimum, dinyatakan dalam miligram per kilogram, yang diijinkan untuk ditambahkan ke dalam produk pangan. Konsentrasi maksimum yang diijinkan (MPLs) untuk BTP pemanis buatan di
Indonesia
diatur
dalam
SK
Kepala
Badan
POM
No:
HK.00.05.5.1.4547/2004 dan SNI 01-6993-2004 NOEL No Observed Effect Level merupakan dosis tertinggi senyawa yang tidak menimbulkan efek toksik berdasarkan eksperimen terhadap hewan percobaan Pangan olahan adalah makanan dan atau minuman yang diolah dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan Pangan siap saji adalah makanan dan atau minuman yang diolah dan siap untuk langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan Paparan didefinisikan sebagai total bahan kimia termasuk BTP, dinyatakan dalam miligram per kilogram berat badan, yang dikonsumsi oleh manusia Paparan pengkonsumsi tinggi adalah perkiraan tingkat paparan yang dikonsumsi oleh kelompok konsumen/responden pada nilai-nilai persentil (persentil 90th, 95th, atau 97.5th) Pemanis buatan adalah bahan tambahan pangan (BTP) yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa manis pada produk pangan yang tidak atau sedikit mempunyai nilai gizi atau kalori Resolusi (R) ukuran daya pisah dari dua peak komponen Risiko (risk) adalah kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan dan tingkat gangguan kesehatan sebagai akibat adanya bahaya (hazard) dalam pangan Sampel komposit adalah sampel hasil pencampuran dari beberapa sampel homogen dari beberapa jenis pangan yang berbeda tetapi dalam satu subgroup/foodgroup yang sama Sampel komposit tunggal sampel homogen yang hanya terdiri dari satu jenis pangan SCF
Scientific Committee for Food (European Union) merupakan salah satu komisi Uni Eropa yang bertujuan memberikan saran-saran ilmiah dalam
viii
hal keamanan pangan, toksikologi dan higiene pangan dalam seluruh rantai produksi pangan Solut bahan yang terlarut Solven pelarut TDS (Total Diet Study) merupakan suatu studi/kajian yang memprediksi paparan bahan kimia/BTP melalui pengukuran langsung konsentrasi bahan kimia/BTP pada pangan yang dikonsumsi (as consumed level) oleh suatu populasi Waktu tambat/retention time (tR) adalah waktu yang diperlukan oleh suatu senyawa setelah diinjeksikan ke dalam kolom kromatografi hingga mencapai detektor (terbentuknya peak)
viii
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Meluasnya penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) khususnya pemanis buatan memberikan konsekuensi kepada Pemerintah untuk melakukan pengaturan penggunaannya dalam produk pangan. Hal ini tertuang dalam pedoman persyaratan penggunaan
BTP
pemanis
buatan
yaitu
SK
Kepala
Badan
POM
No:
HK.00.05.5.1.4547/2004 dan SNI 01–6993–2004. Standar ini disusun selain untuk memberikan pedoman penggunaan bagi produsen pangan, juga untuk memberikan perlindungan kepada konsumen terhadap dampak merugikan akibat penyalahgunaan pemanis buatan tersebut (BSN, 2004). Seiring dikeluarkannya peraturan tersebut, terdapat kebutuhan akan suatu metode analisis untuk penentuan BTP pemanis buatan pada produk pangan. Disebutkan bahwa pengambilan contoh dan penyiapan sampel pada masing-masing produk pangan akan sangat berbeda dan khas, sehingga diperlukan pengkajian laboratoris yang lebih rinci (BSN, 2004). Diharapkan dengan adanya metode analisis tersebut, selain dapat digunakan untuk analisis rutin, juga bermanfaat sebagai alat kontrol dalam aspek pengawasan terhadap penggunaan BTP pemanis buatan di masyarakat. Pemanis buatan siklamat hingga saat ini penggunaannya masih banyak menimbulkan kontroversi karena aspek keamanan jangka panjangnya (Ofitserova et al. 2005) yang berpotensi karsinogenik jika terkonversi menjadi cyclohexylamine di dalam saluran pencernaan (Mathlouthi & Bressan, 1993). Di Indonesia pemakaian siklamat dilaporkan sering disalahgunakan dan penggunaannya melebihi batas yang diijinkan (Badan POM, 2004). Hasil penelitian berdasar monitoring Badan POM menunjukkan adanya penggunaan siklamat pada beberapa produk pangan yang melebihi batas maksimum yang diijinkan berdasar Permenkes No.722/1988, yaitu produk sirup (3,430 mg/kg berbanding standar 3,000 mg/kg) dan minuman ringan berperisa (4,836 mg/kg berbanding standar 3,000 mg/kg) (Sintawatie 2006, diacu dalam Indrotristanto 2006). Siklamat (dalam bentuk garam Ca- dan Na-siklamat) umum dipakai sebagai pemanis non kalori dalam produk diet dan kesehatan, serta dalam industri farmasi. Sodium siklamat dilarang di USA dan Kanada, sementara
2
Uni Eropa, Britania Raya, dan CAC (Codex Alimentarius Commission) mengijinkan pemakaiannya (FSANZ, 2007). Dalam kajian paparan BTP, tingkat risiko dilihat dari nilai paparannya yaitu tingkat konsumsi setiap hari per kilogram berat badan, yang dibandingkan dengan tingkat konsumsi yang aman setiap harinya (ADI=Acceptable Daily Intake) (Badan POM, 2005). Semakin besar paparan semakin besar pula risiko terkena bahaya kesehatan akibat konsumsi BTP. Selama ini data tingkat paparan agen bahaya, khususnya bahan kimia/BTP belum banyak ditemui. Padahal hasil dari kajian paparan ini sangat diperlukan untuk mengevaluasi kebijakan di bidang keamanan pangan (Badan POM, 2005). Beberapa hasil kajian paparan siklamat yang telah dilakukan terhadap kelompok anak-anak usia 1–12 tahun (Ilback et al. 2003; FSANZ, 2004; Leth et al. 2007) menunjukkan tingkat paparan siklamat yang melebihi nilai ADI siklamat sebesar 11 mg/kg bb/hari. Studi-studi tersebut menggunakan data konsentrasi BTP dengan cara estimasi, seperti konsentrasi maksimum yang diijinkan (maximum permitted levels=MPLs). Pendekatan MPLs umumnya menghasilkan perkiraan yang lebih tinggi karena diasumsikan semua pangan mengandung BTP dengan jumlah maksimum (JECFA, 2001). WHO pada tahun 1999 merekomendasikan suatu metode kajian paparan yang dapat memprediksi paparan bahan kimia melalui pengukuran langsung konsentrasi bahan kimia pada pangan yang dikonsumsi, yaitu metode TDS (Total Diet Study). Melalui penggunaan metode TDS diharapkan dapat diperoleh suatu tingkat paparan yang lebih mendekati nyata karena mempunyai uncertainty yang rendah (tingkat kepercayaan tinggi). Di Indonesia, penerapan metode TDS telah dilakukan pada program pilot kajian paparan BTP (termasuk siklamat) terhadap murid SD di Malang (Slamet, 2004), dimana untuk penentuan konsentrasi siklamat menggunakan teknik analisis kromatografi gas. Diantara beberapa metode pengukuran siklamat yang telah dilakukan, baik secara
klasik
(gravimetri,
volumetri/titrimetri,
spektrofotometri)
maupun
instrumentasi seperti amperometri, elektroda ion selektif, capillary electrophoresis, dan kromatografi (TLC, HPLC, GC); HPLC (High Performance Liquid Chromatography) atau KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi), merupakan
3
metode yang paling umum dan banyak diamati, karena pada penggunaan fase gerak dan fase stationer yang optimum terbukti mampu memisahkan analit target pada matriks pangan (Choi et al. 2000). Penggunaan KCKT untuk penentuan siklamat– dibanding kromatografi gas–mempunyai keuntungan yaitu senyawa yang dianalisis tidak harus volatil dan analisis dapat dilakukan tanpa pembuatan senyawa turunan (derivatisasi) (Gritter et al. 1991; Johnson & Stevenson, 1991). Sejumlah riset mengenai aplikasi KCKT untuk penetapan siklamat pada matriks pangan telah dilakukan antara lain Schwedt dan Hauck (1988); Hauck dan Kobler, (1990); Ruter dan Raczek (1992); Ofitserova et al. (2005); dengan metode derivatisasi menjadi cyclohexylamine, serta reaksi dengan reagen pewarna (Lawrence, 1987; Choi et al. 2000). Menurut Swadesh (2001), penggunaan reagen pewarna dalam fase gerak berpotensi merusak kolom kromatografi. Metode lain oleh German Food Act (1999) serta Wasik dan Buchgraber (2007), yaitu penetapan kadar siklamat dengan KCKT tanpa proses derivatisasi maupun penambahan reagen pewarna. Berdasarkan
beberapa
pertimbangan
tersebut
dilakukan
penelitian
pengembangan metode penetapan kadar siklamat berbasis KCKT. Metode analisis yang dikembangkan kemudian digunakan untuk menentukan kandungan siklamat pada produk pangan; dan selanjutnya hasil penetapan kadar siklamat ini dipakai sebagai data konsentrasi dalam kajian paparan siklamat. B. TUJUAN Tujuan umum penelitian ini adalah mengembangkan metode penetapan kadar siklamat pada produk pangan yang kemudian digunakan dalam kajian paparan siklamat. Adapun tujuan khususnya antara lain: 1. Melakukan pengembangan
pengembangan metode kuantifikasi siklamat yang meliputi metode ekstraksi siklamat
dari matriks pangan,
serta
pengembangan komposisi fase gerak KCKT. 2. Mengimplementasikan hasil pengembangan metode untuk pengukuran secara langsung konsentrasi siklamat pada sejumlah produk pangan. 3. Menggunakan data konsentrasi siklamat pada produk pangan untuk kajian paparan siklamat.
4
C. HIPOTESIS Pengembangan
metode
penetapan
kadar
siklamat
berbasis
KCKT
menghasilkan suatu metode kuantifikasi siklamat yang dapat diimplementasikan pada pangan anak sekolah dasar. Selanjutnya hasil pengukuran konsentrasi siklamat pada pangan anak sekolah dasar dengan metode yang dikembangkan dapat digunakan dalam penentuan tingkat paparan siklamat secara lebih tepat/akurat. . D. MANFAAT Dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh suatu metode kuantifikasi siklamat yang relatif cepat, akurat, serta mudah dalam penanganan; sehingga dapat digunakan untuk analisis rutin sehari-hari pada berbagai produk pangan maupun sebagai alat kontrol dalam monitoring penggunaan siklamat. Hasil penetapan kadar siklamat yang berfungsi sebagai data konsentrasi akan dimanfaatkan dalam kajian paparan dengan metode TDS. Selanjutnya melalui kajian paparan siklamat ini dapat diperoleh suatu informasi untuk penentuan perkiraan tingkat risiko siklamat serta dapat digunakan sebagai suatu model kajian risiko BTP, khususnya pada pemanis buatan.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. SIKLAMAT Siklamat merupakan nama grup yang meliputi senyawa kimia cyclamic acid, sodium cyclamate, dan calcium cyclamate, dengan rumus molekul C6H12NO3S. Siklamat merupakan bahan kimia sintetis yang dibuat dari cyclohexylamine melalui proses sulfonasi dari chlorosulfonic acid dan sulfamic acid, yang diikuti dengan netralisasi dengan hidroksida (Branen et al. 1990). Larutan siklamat stabil terhadap panas, cahaya dan udara dalam rentang pH yang lebar. Sifat fisikokimia beberapa senyawa siklamat antara lain asam siklamat mempunyai solubilitas cairan baik (1 g/7.5 ml) bersifat asam kuat dengan pH 10% larutan cair 0.8–1.6. Sodium dan kalsium siklamat bersifat elektrolit kuat, terionisasi dengan kuat dalam larutan encer, serta mempunyai sedikit kapasitas bufer. Garam siklamat dalam bentuk kristal mudah larut air (1 g/4–5 ml) pada konsentrasi jauh melebihi normal, serta mempunyai kelarutan terbatas dalam minyak dan pelarut non polar (Furia, 1980). Analisis siklamat lebih jauh dengan KCKT dijelaskan pada subbab D. Siklamat stabil terhadap suhu tinggi dan suhu rendah serta mudah larut dalam air sehingga banyak digunakan sebagai pemanis non kalori dalam produk-produk minuman, confectionery, dessert, makanan diet, serta produk olahan buah sayur. Siklamat mempunyai intensitas kemanisan 30x sukrosa, tidak memberikan after taste, serta mempunyai efek sinergis pada penggunaan dengan sakarin pada perbandingan 10:1 (Branen et al. 1990). Kajian keamanan siklamat dapat dilihat pada subbab F. B. EKSTRAKSI CAIR-CAIR (SOLVENT EXTRACTION) Sebelum analisis siklamat menggunakan KCKT, perlu dilakukan preparasi untuk memisahkan siklamat dari matriks pangan. Tahap preparasi dilakukan dengan metode solvent extraction (ekstraksi cair-cair). Ekstraksi cair-cair merupakan metode pemisahan komponen dalam 2 pelarut yang tak saling campur (immiscible). Salah satu pelarut–biasanya air
6
yang merupakan pelarut umum–dikenal sebagai fase cairan, sedangkan pelarut lain (umumnya pelarut organik) bertindak sebagai fase organik. Pelarut organik bisa menggunakan yang berdensitas lebih tinggi atau lebih rendah daripada air (Schenk et al. 1990). Mekanisme ekstraksi cair-cair dapat dijelaskan dengan pengandaian suatu pelarut organik ditambahkan kedalam cairan mengandung komponen O (larut pelarut organik) dan W (larut air) (Schenk et al. 1990). Diasumsikan pelarut organik berdensitas lebih kecil daripada air. Setelah
proses
pengocokan dalam waktu tertentu untuk mencapai kesetimbangan, sebagian besar komponen O akan berpindah ke fase organik. Akan tetapi karena O juga sedikit larut dalam air, sejumlah kecil komponen tetap berada di fase cairan. Sebaliknya dengan komponen W yang tidak larut pelarut organik, akan tetap berada dalam pelarut awal. Jika setelah sekali ekstraksi komponen O tidak terekstrak sempurna (99%), ekstraksi dapat diulangi dengan pelarut organik yang baru. Hal ini disebut multiple-step extraction (Schenk et al. 1990). Menurut Nur dan Adijuwana (1989), distribusi solut (bahan terlarut) di antara dua fase akan mengikuti hukum Nernst, yaitu perbandingan konsentrasinya pada suhu tertentu merupakan suatu konstanta kesetimbangan yang disebut koefisien distribusi (KD):
KD = [S]E / [S]O KD [S]E, [HS]E [S]O, [HS]O
atau KD = [HS]E / [HS]O ..... (1)
= koefisien distribusi = konsentrasi solut dalam fase pengekstrak = konsentrasi solut dalam fase awal
Koefisien distribusi hanya mempertimbangkan salah satu spesies molekul atau ion. Adapun dalam ekstraksi suatu asam lemah HS
yang
terdisosiasi dengan Ka = [H+]O [S-]O / [HS]O ; yang ingin diketahui adalah distribusi solut, tanpa memandang bentuknya, yang tersebar pada kedua fase. Untuk itu perlu didefinisikan suatu besaran baru yaitu rasio distribusi (D): Konsentrasi total solut dalam fase organik [HS]E D = ---------------------------------------------------- -------------------Konsentrasi total solut dalam fase air [HS]O + [S-]O
.....(2)
7
Dengan sedikit modifikasi dan substitusi KD dan Ka ke persamaan D, diperoleh hubungan antara KD dan D sebagai berikut :
D = KD / {1 + (Ka/[H+]o)}
.....(3)
Persamaan (3) menunjukkan bahwa pada pH rendah ([H+] tinggi), nilai D semakin besar dan mendekati KD, yang berarti sebagian besar asam HS terdapat dalam lapisan organik. Adapun pada pH tinggi ([H+] rendah), nilai D cenderung kecil sehingga sebagian besar asam HS terdapat dalam lapisan air (Nur & Adijuwana, 1989; Handley, 1991). Jika dilihat sistem solven (pelarut) dan solut (terlarut)-nya, di dalam fase organik asam HS diduga mengalami polimerisasi sebagai berikut: HS fase cair
HS
(HS)2 fase organik
Peters et al. (1974) dalam salah satu pengamatannya mengemukakan, pada proses ekstraksi asam karboksilat dengan pelarut benzen, asam dalam fase cair tidak terdisosiasi jika pH kurang dari 2. Dalam pemilihan pelarut organik diperlukan beberapa pertimbangan yaitu: kesesuaian pelarut dengan substansi yang diekstrak, kecepatan pembentukan emulsi dengan air; serta secara jelas berbeda densitasnya dengan air (densitas 1.00 g/ml) sehingga dapat membentuk lapisan terpisah. Beberapa pelarut organik dengan nilai densitasnya antara lain : kloroform (1.40 g/ml), diklorometan (1.31 g/ml), tributil fosfat (0.98 g/ml), benzene (0.88 g/ml), metil isobutil keton (0.80 g/ml), dan eter (0.71 g/ml) (Schenk et al. 1990). Tingkat ekstraksi dapat ditentukan dari beberapa faktor: polaritas solven, pH campuran, volume solven dan sampel, serta metode kontak (Snyder & Kirkland, 1999). Umumnya, ekstraksi maksimum dicapai dengan solven yang mempunyai polaritas (P’) serupa dengan nilai P’ komponen yang dikehendaki. Jadi untuk ekstraksi komponen nonpolar digunakan heksan (P’=0.1), toluen (P’=2.4) dan etil eter (P’=2.8). Sebaliknya untuk komponen lebih polar digunakan aseton (P’=5.1), asetonitril (P’=5.8), atau metanol (P’=5.1). Nilai pH dapat diatur baik untuk komponen yang tidak terionisasi
8
(pH rendah untuk asam, pH tinggi untuk basa) atau senyawa yang mengion. Pada komponen yang tidak mengion, ekstraksi dengan solven nonpolar umum digunakan; sedangkan untuk komponen ion dapat digunakan solven pengekstrak air atau alkohol/air-ditambah asam atau basa. Pada analisis dengan kromatografi cair, proses ekstraksi termasuk dalam prosedur sample cleanup (pemurnian sampel) (Snyder & Kirkland, 1999). Sampel yang akan dianalisis dengan kromatografi harus diubah dalam bentuk terlarut, sehingga komponen yang tak larut (polimer sintetis ikatan silang, cat/tinta, material inorganik taklarut air, jaringan tanaman atau hewan) harus dipisahkan terlebih dahulu. Alasan utama dilakukannya ekstraksi dalam analisis kimia adalah
untuk mengisolasi/mengkonsentratkan analit yang
diinginkan, atau memisahkan dari spesies pengganggu (interferensi) (Harris, 1999). Aplikasi ekstraksi cair-cair secara simultan dengan KCKT diteliti oleh Breithaupt (2004) pada penentuan karotenoid sebagai pewarna aditif pangan. Karotenoid diekstrak dari matriks pangan dengan campuran pelarut organik (metanol/etil asetat/petroleum encer), menggunakan
instrumen ASE
(accelerated solvent extraction). Selanjutnya residu
dilarutkan dalam
MTBE/metanol, dan langsung diinjeksikan ke KCKT. Analisis recovery (penemuan kembali) menghasilkan konsentrasi karotenoid berkisar 94–100%. Kesimpulan menunjukkan kesesuaian ASE untuk dapat mengekstrak karotenoid dari berbagai macam matriks pangan sehingga dapat digunakan pada analisis rutin. Roch et al. (1995) melakukan penelitian metode ekstraksi cair-cair yang digabungkan dengan solid phase clean-up (SPC) dan KCKT pada analisis aflatoksin kacang tanah. Ekstraksi dilakukan dengan pelarut aseton-air (85+15), dilanjutkan tahap SPC memakai eluen kloroform. Residu yang dihasilkan setelah penguapan kloroform dilarutkan dalam pelarut air– asetonitril dan diinjeksikan ke kolom KCKT. Analisis penemuan kembali menghasilkan kisaran 74.1–82.1% dan koefisien variasi 4.4–4.7. Dinyatakan bahwa keberadaan matriks sampel tidak memberikan efek signifikan terhadap presisi metode, yang ditunjukkan dengan kurva kalibrasi yang linier.
9
C. KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) Kromatografi didefinisikan sebagai suatu teknik pemisahan komponen dalam campuran melalui proses kesetimbangan (ekuilibrium) yang dihasilkan dari partisi atau penyerapan (adsorpsi) diantara dua fase yang berlainan, yaitu fase diam (stationary phase) yang mempunyai luas permukaan dan fase bergerak (mobile phase) yang selalu kontak dengan fase pertama (Johnson & Stevenson, 1991). Campuran komponen dipisahkan dengan cara melewatkan sampel–yang dibawa oleh fase gerak–pada fase diam. Derajat pemisahan ditunjukkan oleh laju pergerakan tiap komponen dengan kecepatan
yang
berbeda. Pada saat tercapai kesetimbangan, komponen akan terdistribusi diantara fase diam dan fase gerak. Prinsip dasar untuk mengoptimalkan kromatografi dalam proses pemisahan ialah mencari kondisi yang menyebabkan perbedaan laju perpindahan paling besar. Pemisahan paling baik diperoleh pada keadaaan fase diam mempunyai luas kontak maksimal dan fase gerak berpindah dengan cepat untuk meminimalkan efek difusi (Gritter et al. 1991). Untuk memperoleh permukaan fase diam yang luas digunakan adsorben (penjerap) berupa serbuk halus; sedangkan untuk memacu pergerakan fase gerak digunakan tekanan tinggi. Kondisi ini menghasilkan teknik kromatografi cair yang disebut kromatografi cair tekanan tinggi (KCTT = HPLC/High Performance Liquid Chromatography); yang kemudian diubah menjadi kromatografi cair kinerja tinggi, disingkat KCKT (tetap HPLC). Beberapa kelebihan KCKT dibandingkan metode kromatografi cair lain, yaitu: (Johnson & Stevenson, 1991) a. cepat, waktu analisa lazim kurang dari 1 jam. Banyak analisis dapat dilakukan dalam 15-30 menit, b. daya pisah baik, c. peka, detektor unik. Detektor serapan UV dapat mendeteksi berbagai senyawa dalam jumlah nanogram (10-9 g); d. kolom dapat dipakai kembali, e. ideal untuk molekul besar dan ion,
10
f. mudah memperoleh kembali cuplikan. g. pelarut mudah dihilangkan (dengan penguapan) Dalam KCKT, sebagai fase diam umum digunakan suatu partikel silika berpori mikro yaitu C18 (ODS=octadecylsilane) (Harris, 1999). Adapun untuk fase gerak dilihat dari kemampuan relatifnya mengelusi solut. Kemampuan elusi relatif fase gerak dinyatakan dengan eluent strength (Tabel 1), yang merupakan ukuran penyerapan energi. Semakin besar eluent strength, semakin cepat solut terelusi dari kolom (Harris, 1999). Tabel 1 Eluotropik dan UV cutoff beberapa eluen pada KCKT Eluen
Eluent strength
Heksan Toluen Kloroform Dietil eter Asetonitril Tetrahidrofuran Metanol
UV cutoff
0.01 0.22 0.26 0.43 0.52 0.53 0.70
195 284 245 215 190 212 205
Sumber : Harris (1999)
Di antara dua fase yang berperan, salah satu selalu harus lebih polar daripada yang lain. Jika yang lebih polar fase diam disebut kromatografi normal
(normal-phase
chromatography),
sedangkan
jika
fase
diam
kepolarannya lebih rendah dikenal sebagai kromatografi fase balik (reversedphase chromatography) (Gritter et al. 1991).
Pada tipe normal-phase
chromatography, semakin polar fase gerak semakin tinggi eluent strength; sedangkan untuk tipe reversed-phase chromatography, semakin lemah kepolaran eluen semakin besar eluent strength (Harris, 1999). Urutan elusi pada kromatografi fase balik juga bisa dikaitkan dengan sifat kehidrofobikan solut yang meningkat. Semakin mudah solut larut dalam air, makin cepat komponen tersebut terelusi (Johnson & Stevenson (1991). Kromatografi fase balik mempunyai keuntungan dapat mengeliminasi adanya peak tailing karena fase diam mempunyai sedikit sisi aktif yang memiliki daya absorpsi kuat terhadap solut penyebab tailing. Kromatografi
11
fase balik juga kurang sensitif terhadap adanya impurities polar seperti air dalam eluen (Harris, 1999). Dalam sistem kromatografi fase balik, eluen polar dan/atau campurannya lebih umum digunakan. Pasangan yang paling lazim dipakai ialah air dengan metanol dan air dengan asetonitril (Johnson & Stevenson, 1991). Metanol merupakan senyawa sangat murni, mudah didapat, dan menghasilkan pemisahan yang baik; sedangkan asetonitril mempunyai viskositas rendah sehingga meningkatkan keefisienan kolom, serta mudah bercampur dengan solut non polar. Kelebihan lain penggunaan asetonitril dan metanol adalah daya elusi tinggi, namun tidak mempunyai daya absorpsi terhadap pancaran sinar detektor, khususnya di atas panjang gelombang 200 nm (Krstulovic & Brown, 1982; Swadesh, 2001). Kebanyakan pemisahan dalam kromatografi fase balik disusun oleh larutan bufer atau air sebagai eluen awal. Penggunaan bufer diperlukan dalam pemisahan senyawa polar karena pada pH tertentu dapat merubah retensi senyawa melalui kesetimbangan kedua (Krstulovic & Brown, 1982). Larutan bufer juga dapat menekan pengionan dari komponen yang mengandung senyawa ion (Johnson & Stevenson, 1991). Konsentrasi garam dalam bufer dibuat relatif tinggi untuk menghindari puncak asimetrik dan band splitting yang diakibatkan oleh lambatnya laju komponen proton dan ekuilibrium kedua lain. Penggunaan bufer (Tabel 2) hendaknya memperhatikan faktor: kapasitas pH (kisaran 2–8), secara optik transparan, kompatibel dengan eluen organik, dapat meningkatkan derajat kesetimbangan, serta potensi untuk masking terhadap grup silanol pada permukaan adsorben. Bufer asetat tidak banyak digunakan karena rendahnya efisiensi kolom akibat pembentukan kompleks nonpolar antara ion asetat dan solut bermuatan tertentu. Halida juga dihindari karena efek merusaknya terhadap komponen stainless steel pada kolom (Krstulovic & Brown, 1982). Analisa kualitatif pada KCKT dilakukan dengan membandingkan waktu tambat (retention time) atau volume tambat senyawa murni dengan waktu/volume tambat komponen yang dikehendaki. Waktu/volume tambat
12
yang diperoleh dari senyawa murni menunjukkan identitas senyawa (Gritter et al. 1991), sehingga cuplikan yang mempunyai waktu/volume tambat di sekitar waktu/volume tambat senyawa murni diduga kuat mengandung komponen senyawa tersebut. Tabel 2 Kisaran nilai pH beberapa larutan bufer sebagai eluen pada KCKT Sistem buffer H3PO4/KH2PO4/K2HPO4/KOH Asam asetat/Na-asetat Asam asetat/NH4-asetat/NH4OH NH4-bikarbonat/NH4-karbonat/NH4OH Na-bikarbonat/Na-karbonat/NaOH H3BO3/Na3BO3/NaOH
pH 2–12 3–6 3–9 3–10 9–11 7–11
Sumber : Krstulovic & Brown (1982)
Kromatografi kuantitatif menunjukkan kadar relatif masing-masing komponen terhadap komponen lain, atau kadar mutlak jika menggunakan baku pembanding. Metode kuantitatif dipakai untuk penetapan kadar cuplikan secara rutin, sebagai bagian dari pengendalian mutu (Gritter et al. 1991). Perhitungan kuantitatif didasarkan pada perbandingan luas atau tinggi puncak komponen dengan baku pembanding (Johnson & Stevenson, 1991). Dalam praktek, biasanya dibuat kurva kalibrasi dari larutan baku dengan rentang konsentrasi tertentu, kemudian luas puncak senyawa yang tak diketahui ditentukan dengan interpolasi. D. PENETAPAN KADAR SIKLAMAT DENGAN KCKT Sejumlah riset mengenai aplikasi KCKT pada siklamat telah banyak dilakukan. Secara garis besar, prosedur yang umum digunakan adalah derivatisasi siklamat menjadi senyawa turunannya (cyclohexylamine) dan reaksi dengan reagen yang dapat menghasilkan warna. Pada proses derivatisasi, Schwedt dan Hauck (1988) menggunakan ophthaldialdehyde (OPA) untuk mengoksidasi siklamat. Deteksi pada spektrum UV 242 nm menghasilkan kisaran konsentrasi 2–400 mg/l dengan RSD 4%. Ruter dan Raczek (1992) yang juga menggunakan OPA menghasilkan limit
13
deteksi 0.5–5 mg/kg dengan RSD 1.0–2.6% dan rata-rata penemuan kembali 90%. Hauck dan Kobler (1990) yang mempelajari penetapan siklamat pada pangan kaya protein menggunakan NBDF (4-fluoro-7-nitrobenzofuran) sebagai pengoksidasi, menghasilkan LOD 5 mg/kg dan tingkat penemuan kembali berkisar 88–104%. Lehr (1991) yang meneliti prosedur KCKT untuk penetapan siklamat pada minuman jus buah, menggunakan derivat reagen sodium hypochlorite dengan eluen metanol-air (80:20)
serta laju alir 1
ml/menit. Ofitserova et al. (2005) mempelajari penetapan pemanis buatan golongan
sulfonamide
pada
produk
pangan, -3
hexadecyltrimethyl-ammonium bromide 10
menggunakan
reagen
M dan 1,6 diphenyl-1,3,5-
hexatriene 4 x 10-6 M, dengan suhu reaktor 400C serta laju alir 0.3 ml/menit. Kebanyakan metode derivatisasi tersebut menggunakan pereaksi yang spesifik dan kurang umum untuk aplikasi KCKT. Ditambah dengan masalah ketersediaan yang terbatas, terutama di Indonesia; sehingga kemungkinan sulit untuk dikembangkan. Lawrence (1987) menggunakan metode ekstraksi pasangan ion secara postcolumn dengan berbagai pewarna berbeda (methylene blue, methyl violet dan violet crystal) pada panjang gelombang 546 nm. Konsentrasi siklamat 20 ng pada minuman dapat dideteksi dengan mudah. Lawrence dan Charbonneau (1988) pada penelitian penetapan beberapa pemanis buatan pada makanan diet (diet pudding, dessert toping), menerapkan teknik ekstraksi pasangan ion antara siklamat dengan reagen pewarna secara postcolumn. Adapun Choi et al. (2000) yang mempelajari penetapan siklamat pada pangan kalori rendah, menggunakan pewarna merah metil dalam campuran fase gerak metanol dan bufer fosfat, sehingga siklamat dapat dideteksi pada panjang gelombang UV. Hasil uji penemuan kembali menunjukkan kisaran nilai 93.2–99.2%. Menurut Swadesh (2001) pemakaian reagen pewarna dalam kolom kromatografi dapat menyebabkan destruksi partikel silika sehingga menurunkan kinerja partikel sebagai fase diam. Studi kolaboratif berbagai laboratorium yang diacu oleh German Food Act (1999) serta Wasik dan Buchgraber (2007) mencoba mengembangkan prosedur analisis siklamat dengan KCKT tanpa melakukan reaksi derivatisasi
14
maupun penambahan agen pewarna pada siklamat. Pengembangan metode oleh German Food Act (1999) yang menggunakan komposisi fase gerak metanol dan bufer fosfat, belum mencakup prosedur pemisahan siklamat dan baru diterapkan terbatas untuk sampel minuman ringan. Adapun metode Wasik dan Buchgraber (2007) yang menggunakan komposisi fase gerak metanol dan bufer format dan detektor ELSD (Evaporative Light Scattering Detector), sudah menerapkan prosedur ekstraksi yaitu SPE, tetapi sebagai sampel masih memakai standar siklamat. E. KAJIAN RISIKO Kajian paparan adalah salah satu komponen kajian risiko yang merupakan elemen penting analisis risiko. Kajian risiko pada dasarnya merupakan evaluasi ilmiah terhadap peluang dan tingkat keparahan gangguan kesehatan akibat terpapar bahaya yang terdapat dalam makanan. Proses kajian risiko–dalam hal ini kajian risiko kimia–terdiri dari empat tahap (Gambar 1) yaitu identifikasi bahaya (hazard identification), karakterisasi bahaya (hazard characterization), kajian paparan (exposure assesment) dan karakterisasi risiko (risk characterization) (Sparringa & Rahayu, 2004). IDENTIFIKASI BAHAYA (Bahaya kimia)
KARAKTERISASI BAHAYA
KAJIAN PAPARAN (Evaluasi asupan/paparan dan konsentrasi)
(Evaluasi pengaruh bahaya dan kajian dosis-respon)
KARAKTERISASI RISIKO (Integrasi 3 komponen dan penentuan risk estimate/perbandingan dengan standar ADI )
Gambar 1 Proses kajian risiko kimia (Sparringa & Rahayu, 2004).
15
Identifikasi bahaya merupakan proses identifikasi terhadap bahaya kimia serta evaluasi terhadap kemungkinan bahaya tersebut jika terdapat dalam pangan. Karakterisasi bahaya adalah evaluasi kualitatif atau kuantitatif mengenai pengaruh bahaya terhadap kesehatan jika terdapat dalam pangan. Tahap kajian paparan merupakan evaluasi kualitatif atau kuantitatif terhadap kemungkinan asupan dari bahaya kimia melalui pangan atau sumber lain yang relevan. Adapun karakterisasi risiko didefinisikan sebagai perkiraan bahaya yang berdampak buruk terhadap kesehatan yang terjadi pada populasi tertentu, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, berdasarkan kegiatan identifikasi bahaya, karakteristik bahaya, dan kajian paparan yang telah dilakukan (Barraj & Petersen, 2004). Pada tahap karakterisasi risiko, semua data dari tiga tahap terdahulu digabung untuk mendapatkan respon terhadap masalah yang timbul. Hasil karakterisasi risiko merupakan suatu perkiraan risiko (risk estimate) tentang kemungkinan dan keparahan pengaruh buruk pada suatu populasi, yang disertai dengan penjelasan mengenai tingkat ketidakpastian (uncertainty) (Kusumaningrum et al. 2004). Berdasarkan obyeknya, kajian risiko dapat dibedakan menjadi kajian risiko kimia dan kajian risiko mikrobiologis (Tabel 3). Kajian risiko kimia menitikberatkan
pada
keberadaan
bahan
kimia,
seperti
BTP,
cemaran/kontaminan kimiawi maupun residu obat-obatan ternak; sedangkan kajian risiko mikrobiologis menitikberatkan pada evaluasi kemungkinan munculnya efek terhadap kesehatan setelah terpapar dengan mikroba patogen atau dengan media yang mengandung mikroba patogen (Sparringa & Rahayu, 2004). F. KAJIAN RISIKO SIKLAMAT Kajian risiko BTP dilakukan untuk menjamin bahwa asupan aditif pangan dari semua sumber tidak melebihi ADI (Acceptable Daily Intake). Acceptable Daily Intake adalah perkiraan asupan BTP–dinyatakan dalam basis berat badan–yang dapat dikonsumsi setiap hari sepanjang hidup tanpa menimbulkan risiko terhadap kesehatan (JECFA, 1982). Pada kajian risiko BTP, diperlukan data yang relevan tentang spesifikasi, toksikologi, jumlah
16
aditif dalam bahan pangan dan perkiraan asupannya. Pengembangan ADI untuk aditif pangan didasarkan hasil penelitian terhadap hewan percobaan dan manusia dengan memperhitungkan faktor keamanan (safety factor) (Sparringa et al. 2004). Tabel 3 Perbedaan antara kajian risiko mikrobiologis dan kajian risiko kimia Komponen
Kajian risiko kimia
Kajian risiko mikrobiologis
Kegunaan
- Penentuan genotoksisitas - Perkiraan tingkat aman - Penentuan waktu ‘with holding’ untuk penggunaan yang berakibat tidak signifikan pada kesehatan
Identifikasi bahaya
- Struktur kimia bahan - Bukti toksisitas (uji hewani dan diturunkan pada dosis NOEL) NOEL yang diturunkan dari uji hewani dengan faktor keamanan, ADI
- Karakterisasi risiko dalam bentuk peluang terjadinya penyakit atau kematian - Mengkaji pengaruh perubahan produksi atau pengolahan pangan pada risiko - Mengembangkan standar pangan - Membuat limit kritis untuk HACCP - Bahan bahaya ditentukan - Bukti penyebab penyakit dari investigasi (KLB) atau studi epidemiologi - Data studi sukarelawan manusia, model hewani & investigasi KLB untuk perkiraan tingkat cemaran - Umumnya berupa modelling yang kompleks - Determinasi prevalensi dan tingkat cemaran patogen pada saat konsumsi - Perhitungan dinamika pertumbuhan dan kematian mikroba - Dasar studi surveilan,simulasi, modeling Investigasi skenario untuk menentukan pengaruh perubahan proses terhadap risiko Perkiraan risiko dalam peluang terjadi penyakit/kematian (jumlah kasus per tahun, per 100 000 populasi, atau per 100 000 porsi pangan, dsb
Karakterisasi bahaya Kajian dosisrespon Kajian pemaparan
Karakterisasi risiko
- Asumsi konsumsi pangan berdasarkan uji hewani - Menghitung MRL dengan ADI - Penentuan set waktu untuk menjamin MRL tidak terlampaui
Harus merupakan risiko yang tidak signifikan jika tercapai regulatory compliance
Sumber : Sparringa & Rahayu (2004)
Pemanis siklamat dipilih sebagai studi kasus karena pemakaian siklamat dilaporkan selalu disalahgunakan dan penggunaannya melebihi batas yang diijinkan (Badan POM, 2004). Siklamat pertamakali diproduksi secara komersial di AS pada tahun 1950 dan kemudian meluas diproduksi di berbagai negara termasuk Jepang, Jerman, Spanyol, Taiwan, serta Brasil (Branen et al. 1990). Natrium siklamat termasuk BTP yang dapat
17
menimbulkan tumor walaupun memiliki tingkat kemanisan yang tinggi dan enak rasanya (Beck, 1980). Kontroversi penggunaan siklamat bermula dari ditemukannya kasus tumor kandung kemih pada beberapa tikus percobaan yang diberi siklamat dosis tinggi (CCC, 2006). Pada Oktober 1969 siklamat secara resmi dilarang pemakaiannya di Amerika Serikat dan beberapa negara membatasi penggunaannya. Penelusuran bukti-bukti ilmiah baru tahun 1970 hingga 1978 mengindikasikan tidak terdapatnya sifat karsinogenik dari siklamat sehingga JECFA (1982) menetapkan keamanan konsumsi siklamat oleh manusia. Pada tahun 1984, FDA (Food and Drug Administration) menegaskan bahwa berdasar sejumlah (75 studi) eksperimen terhadap hewan percobaan menunjukkan keseluruhan hasil tidak mengindikasikan siklamat dan hasil metabolitnya (sikloheksilamin) bersifat karsinogenik (JECFA, 2001; CCC, 2006). Saat ini siklamat telah meluas penggunaannya di lebih dari 50 negara. Oleh Codex Alimentarius, siklamat dimasukkan sebagai BTP yang diijinkan (untuk pemanis buatan). Dalam bentuk garam sodium dan kalsium, siklamat diperbolehkan pemakaiannya di Uni Eropa dan Inggris sebagai pemanis dalam berbagai produk pangan, termasuk tabletop sweeteners. Sementara pemakaian siklamat
masih
dilarang
di
Amerika
Serikat;
Kanada
membatasi
penggunaannya hanya sebagai tabletop sweeteners (FSANZ, 2007). 1. Identifikasi Bahaya Risiko bahaya kimia sangat dipengaruhi oleh hubungan dosisrespon yang tergantung pada perbedaan jumlah bahan kimia yang tercerna dan
variasi
dalam
respon
konsumen.
Beberapa
aspek
yang
dipertimbangkan adalah aspek biokimia, studi toksikologi dan studi epidemiologi. Metabolisme siklamat terjadi di usus besar yaitu pengubahan menjadi sikloheksilamin (cyclohexylamine) oleh mikroorganisme. Jumlah maksimum konversi siklamat menjadi sikloheksilamin sekitar 63%, sementara 37% siklamat yang dikonsumsi akan diserap oleh tubuh (Branen et al. 1990; FSANZ, 2007)).
18
Studi toksikologi meliputi efek toksisitas akut, toksisitas jangka pendek, toksisitas jangka panjang/karsinogesitas, genotoksisitas dan toksisitas reproduktif (Sparringa et al. 2004).
Nilai toksisitas akut
siklamat yang dapat membahayakan kesehatan dinyatakan sebagai LD-50 (lethal median dose) adalah 12,000 mg/kg bb (Beck, 1980). Studi toksisitas yang dilakukan Ershoff (1972) menunjukkan tikus muda yang diberi natrium siklamat dosis 25,000; 50,000; dan 100,000 mg/kg; mengalami gangguan pertumbuhan, alopesia bulu dan diare. Pengamatan Green dan Schnider (1980) pada tikus putih yang diberi natrium siklamat konsentrasi 20,000 mg/kg selama 10 minggu, menunjukkan kasus nekrosis ginjal, perdarahan, pembentukan endapan kalsium pada duktus papilaris,
papilla renalis, hyperplasia papilla
renalis, pelvis renalis, papiloma, karsinoma pada pelvis renalis, ureter dan kantong kemih. Pada studi karsinogenisitas, observasi Gaunt et al. (1976) diacu dalam JECFA (1982), terhadap tikus yang diberi sikloheksilamin hidroklorida (CHA.HCl) berkadar 0; 600; 2,000; dan 6,000 mg/kg selama 104 minggu; menunjukkan tidak terdapat indikasi efek tumorigenic pada semua level diet. Tingkat tanpa pengaruh buruk (no-effect level) ditemukan pada dosis 600 mg/kg berdasar efek terhadap testis. Dosis ini oleh JECFA pada tahun 1980 kemudian ditetapkan menjadi 100 mg/kg bb untuk sikloheksilamin. Penelitian Takayama et al. (2000) berupa studi toksisitas jangka panjang dan karsinogenik terhadap kera yang diberi dosis 100 dan 500 mg/kg sodium siklamat 5 kali seminggu selama 24 tahun, menunjukkan beberapa kasus kelainan testis (atrophy, focal germ cell aplasia, focal spermatogenic interruption) serta
kasus sporadis malignant tumour
(carcinoma, adenocarcinoma, leiomyoma). Kasus-kasus tersebut terjadi setelah 20 tahun, sehingga disimpulkan tidak terdapat bukti secara jelas efek toksik dan karsinogenik sodium siklamat. Data toksisitas jangka panjang digunakan untuk mengidentifikasi tingkat dosis tertinggi tanpa pengaruh buruk (NOEL= No Observed Effect
19
Level). JECFA (1982) menyatakan penetapan NOEL siklamat dapat ditentukan setelah mempertimbangkan faktor : (1) tingkat tanpa pengaruh buruk
pada tikus diperoleh 100 mg/kg bb, (2) perkiraan siklamat
terabsorpsi 37% dan 63% lainnya diubah oleh flora usus, (3) tingkat konversi siklamat menjadi sikloheksilamin sebesar 30%, dan (4) perbandingan
mol siklamat dengan mol sikloheksilamin adalah 2:1.
Sehingga NOEL siklamat menjadi 1,100 mg/kg bb [(100 x 2) / (0.63 x 0.3)]. Studi mutagenik,
genotoksisitas/mutagenisitas
(cytogenetic,
aktivitas
sintesis DNA) oleh Brusick et al. (1989) pada tikus
menyebutkan bahwa Ca-siklamat tidak berpengaruh aktif secara genetik pada konsentrasi maksimum, yang mengindikasikan bahwa Ca-siklamat dan cyclohexylamine tidak secara langsung mempengaruhi sifat intrinsik genotoksisitas. Sejumlah studi toksikologi siklamat pada beberapa populasi manusia menggunakan dosis 0–16 g/hari dan periode pengujian 1-213 hari. Hasil studi menunjukkan bahwa tidak terdapat peningkatan risiko terkena kanker (JECFA, 1982). 2. Karakteristik Bahaya Berdasarkan uji toksikologi jangka panjang pada tikus dengan NOEL siklamat 1,100 mg/kg bb dan mempertimbangkan faktor keamanan 100, maka perkiraan ADI untuk siklamat adalah 11 mg/kg bb/hari (JECFA, 1982). Sebelumnya pada tahun 1967, JECFA menetapkan temporary ADI siklamat sebesar 50 mg/kg bb/hari, kemudian pada tahun 1977 direkomendasikan menjadi 4 mg/kg bb/hari dinyatakan sebagai cyclamic acid. Pada tahun 2000 SCF (Scientific Committee on Food) mengusulkan batas keamanan siklamat menjadi 7 mg/kg bb/hari, dengan perhitungan metabolisme siklamat 85% dan faktor keamanan 32 (SCF, 2000). Akan tetapi FSANZ (2007) menyatakan bahwa tingkat konversi 85% merupakan konversi maksimum yang sangat konservatif, yang diperoleh dari metabolisme siklamat pada suatu hari tertentu terhadap satu
20
orang tertentu (Renwick et al.2004). Jika menggunakan konversi rata-rata 7 hari sebesar 58% serta faktor keamanan 32, akan diperoleh nilai ADI yang mendekati sama dengan JECFA ADI yaitu 10.78 mg/kg bb/hari. Untuk itu FSANZ menyatakan tetap menggunakan acuan nilai JECFA ADI sebesar 11 mg/kg bb/hari. 3. Kajian Paparan Kajian paparan di Swedia terhadap kelompok anak-anak (0-12 tahun) menghasilkan perkiraan asupan siklamat yang jauh melebihi ADI (317% ADI) (Ilback et al. 2003). Perkiraan asupan didasarkan pada kemungkinan terburuk (worst-case calculation) terhadap konsentrasi maksimum yang diijinkan (maximum permitted levels/MPLs). Di Australia, pada anak kelompok usia 2–11 tahun rerata paparan siklamat dan paparan pengkonsumsi tinggi (persentil 95th) masing-masing 50% dan 200% ADI; sedangkan pada kelompok usia 12–17 tahun, paparan pengkonsumsi tinggi siklamat mencapai 245% ADI (FSANZ, 2004). Kajian paparan siklamat di Denmark menunjukkan perkiraan asupan pengkonsumsi tinggi (persentil 90th) pada anak usia 1–3 tahun mendekati nilai ADI 7 mg/kg bb/hari; dan pada anak usia 1–10 tahun jauh melebihi ADI (persentil 99th) (Leth et al. 2007). Di Indonesia, kajian paparan siklamat dilakukan dalam program pilot project. Bahasan lengkapnya dapat dilihat pada subbab H. 4. Karakterisasi Risiko Karakterisasi risiko menetapkan estimasi risiko secara kuantitatif atau kualitatif. Karakterisasi risiko BTP berhubungan dengan tingkat paparan yang dibandingkan dengan ADI. Suatu bahan tambahan pangan dianggap aman apabila penggunaan secara intensif menghasilkan asupan total kurang dari atau sama dengan ADI (Sparringa et al. 2004). Rata-rata perkiraan asupan harian siklamat di beberapa negara (kecuali Indonesia) dilaporkan berkisar 24–100% ADI (Lampiran 15), sehingga bisa dinyatakan bahwa tingkat asupan siklamat berada pada tingkat yang cukup aman.
21
G. MODEL UMUM KAJIAN PAPARAN BTP Paparan didefinisikan sebagai total BTP
yang dikonsumsi oleh
manusia. Untuk memperkirakan tingkat paparan bahan tambahan pangan, JECFA (Joint FAO/WHO Expert Committe on Food Additives) menggunakan tiga pendekatan yaitu perkiraan per kapita, perkiraan dari survei konsumsi pangan dan analisis bahan tambahan pangan dengan metode TDS (Total Diet Study). TDS merupakan metode untuk melakukan suatu kajian paparan/studi yang memprediksi paparan bahan kimia melalui analisis kontaminan, BTP, bahan berbahaya dan atau zat gizi dalam sampel pangan, yang didasarkan pada data konsumsi pangan dalam suatu populasi (market basket study) (Egan et al. 2002; Sparringa & Fardiaz, 2002). Kajian paparan mengkombinasikan data konsumsi pangan dengan data tingkat penggunaan dalam pangan. Hasil perkiraan tersebut kemudian dibandingkan dengan health reference (ADI). Secara umum persamaan dalam kajian paparan adalah (JECFA, 2001): konsumsi x konsentrasi bahan kimia Paparan =
.......(4) Berat badan (kg)
Data konsumsi pangan dapat diperoleh melalui survei konsumsi pangan, baik tingkat nasional, rumah tangga atau individu. Data dari survei konsumsi pangan individu merupakan data yang paling sesuai untuk kajian paparan. Data konsentrasi dapat diperoleh dari data pengawasan pemerintah, data surveilan, data survei industri, atau data konsentrasi dengan estimasi, seperti MPLs. Contohnya, peraturan CAC tentang pemakaian BTP pada pangan, maksimum penggunaan siklamat berkisar 100–2,000 mg/kg (JECFA, 2001). Pendekatan MPLs umumnya menghasilkan perkiraan yang lebih tinggi (overestimate) karena diasumsikan semua pangan mengandung bahan tambahan dengan jumlah maksimum. Pendekatan
data
kosentrasi
dengan
metode
MPLs/konsentrasi
maksimum yang diijinkan lebih efektif digunakan dalam kajian paparan di
22
luar negeri dimana terdapat kepatuhan tinggi terhadap regulasi. Pendekatan MPLs menghasilkan perkiraan paparan yang overestimate, sehingga untuk perkiraan paparan yang sesungguhnya akan lebih kecil. Suatu hasil survei di Australia menunjukkan paparan tinggi (persentil 95th) konsumsi siklamat pada kelompok usia 12–17 tahun melebihi ADI (245% ADI). Hasil kajian paparan ini dijadikan dasar usulan skenario perubahan regulasi penggunaan siklamat. Standar konsentrasi siklamat pada minuman berperisa direkomendasikan untuk diubah dari MPLs 600 mg/kg menjadi 300 mg/kg. Diharapkan dengan pengurangan MPLs ini, semua pengkonsumsi produk yang mengandung siklamat masih dibawah ADI, termasuk pengkonsumsi tinggi (persentil 95th). Dinyatakan juga bahwa meskipun terdapat pengurangan konsentrasi siklamat, hal ini masih memungkinkan industri minuman berperisa untuk menghasilkan produk yang layak (FSANZ, 2004). Serupa dengan hal itu, Uni Eropa juga melakukan revisi penggunaan siklamat pada minuman berperisa dari 400 mg/kg menjadi 250 mg/kg (FSANZ, 2004). Hal ini didasarkan pada suatu kajian model diet di Inggris yang menunjukkan bahwa beberapa anak usia 1 ½ dan 4 ½ tahun mempunyai asupan siklamat dua kali nilai ADI. Di Indonesia asumsi pendekatan MPLs menghasilkan perkiraan yang overestimate belum tentu berlaku. Hal ini terlihat pada program monitoring Badan POM terhadap pemakaian BTP (termasuk siklamat) dan kontaminan, menggunakan acuan MPLs berdasar Permenkes No. 722/1988. Hasil inspeksi menunjukkan beberapa sampel pangan mengandung pemanis buatan siklamat melebihi batas maksimum yang diijinkan yaitu produk sirup dan minuman ringan berperisa, masing-masing
3,430 mg/kg dan 4,836 mg/kg (standar
3,000 mg/kg) (Sintawatie 2006, diacu dalam Indrotristanto 2006). H. TOTAL DIET STUDY DAN PILOT PROJECT KAJIAN PAPARAN SIKLAMAT TDS (Total Diet Study) merupakan metode pengukuran konsentrasi bahan kimia termasuk BTP melalui analisis langsung pada pangan yang dikonsumsi (as consumed level) pada suatu populasi. Sejak tahun 1999 TDS direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan dalam kajian paparan, karena
23
keakuratan tinggi dan ketidakpastian.yang rendah (WHO, 1985). Metode TDS dilakukan dengan cara melibatkan campuran pangan atau tunggal yang merepresentasikan diet spesifik untuk populasi umum atau populasi terpilih. Pangan dibeli dari toko-toko pengecer kemudian dilakukan preparasi, dimana jenis pangan dari kelompok pangan yang sama digabung sesuai dengan proporsi pada diet dan selanjutnya dianalisis keberadaan bahan tambahan pangannya. Total asupan perhari diperkirakan dengan mengalikan konsentrasi bahan tambahan pangan pada setiap kelompok pangan dengan rerata konsumsi grup tersebut dan selanjutnya dijumlahkan untuk menghitung asupan pada semua grup (Badan POM, 2005). Di Indonesia, program pilot kajian paparan telah dilaksanakan oleh Badan POM sejak tahun 2002 terhadap BTP dan kontaminan. Pelaksanaan program dilakukan melalui tahapan: pengembangan metode kajian paparan BTP berdasarkan batas maksimum yang diijinkan (MPLs) (2002), kajian paparan BTP pada murid SD dengan metode TDS (2002–2003), pilot project survei konsumsi pangan individu terpadu untuk tujuan kajian paparan dan gizi (2003–2004), persiapan TDS di Indonesia (2004–2006), kajian paparan BTP dan kontaminan pada murid SD (2006–2007), dan implementasi TDS di Indonesia (2007–2009) (Sparringa & Rahayu, 2006). Pada tahap awal yaitu pengembangan metode kajian paparan berdasarkan batas maksimum yang diijinkan, dilakukan survei terhadap 192 responden dari 15 provinsi dengan metode 24 hour food diary. Rata-rata paparan siklamat berdasar Permenkes No. 722/1988 dinyatakan aman. (Sparringa & Fardiaz, 2002). Pilot project survei konsumsi pangan individu terpadu untuk tujuan kajian paparan dan gizi yang dilakukan terhadap 270 responden keluarga di Bogor dengan metode 24 hour food dietary recall dan food diary menunjukkan rerata paparan siklamat berdasar Permenkes No. 722/1988 berkisar 11.29–12.74 mg/kg bb/hari (102–116% ADI) pada kelompok anak usia 6–12 tahun dan paparan pengkonsumsi tinggi (persentil 95th) sebesar 34.64 mg/kg bb/hari (315% ADI) (Sarifudin, 2004). Hal ini menunjukkan masih adanya potensi penyimpangan terhadap penggunaan siklamat di Indonesia.
24
Berdasar hal itu dilakukan kajian paparan dengan pendekatan data konsentrasi menggunakan metode TDS, dengan pertimbangan lebih cost effective dibanding metode lain seperti data survei industri dan data surveilan. Pada kajian paparan BTP terhadap 72 murid SD di Malang, diterapkan pengukuran kadar siklamat dengan instrumen kromatografi gas sebagai pendekatan data konsentrasi dengan metode TDS. Adapun untuk pendekatan data konsumsi, digunakan metode survei 24 hour food dietary recall dan food diary. Hasil kajian menunjukkan rerata paparan siklamat sebesar 26.4 mg/kg bb/hari (240% ADI) (Slamet, 2004). Ringkasan program pilot kajian paparan disajikan pada Tabel 4. Hasil-hasil
program pilot kajian paparan tersebut menunjukkan
kecenderungan tingkat asupan siklamat yang melebihi ambang batas keamanan
(ADI). Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan kajian
paparan siklamat dengan metode TDS terhadap populasi anak sekolah dasar di Surabaya. Sebagai pendekatan data konsentrasi dilakukan pengukuran kadar siklamat dengan instrumen KCKT. Keuntungan penggunaan KCKT dibanding kromatografi gas adalah senyawa yang dianalisis tidak harus volatil dan analisis dapat dilakukan tanpa proses derivatisasi. Untuk pendekatan data konsumsi digunakan hasil survei konsumsi pangan Badan POM RI dengan metode Food Frequency Questionnaire (FFQ) yang telah didesain untuk pelaksanaan TDS Nasional dan bukan hanya untuk siklamat saja tetapi juga TDS untuk kontaminan, BTP dan zat gizi.
Tabel 4. Program pilot kajian paparan di Indonesia No. 1
Program Pengembangan Metode Kajian Paparan BTP berdasarkan MPLs (Sparringa & Fardiaz, 2002) Kajian Paparan BTP pada Murid SD di Malang (Slamet, 2004)
Tahun 2002
2
Survei Konsumsi Pangan Terpadu untuk Kajian Paparan dan Gizi di Bogor (Sarifudin, 2004)
2003
4
Pilot Project Survei Konsumsi Pangan pada Murid SD di Surabaya untuk Persiapan TDS Nasional
2006
3
2002
Data konsumsi 24 h food diary method (7 hari)
Data konsentrasi MPLs (Permenkes No. 722/1988)
24 h food dietary - Direct (GC) recall dan food - MPLs (Permenkes No. diary method (6 722/1988) hari) 24 h food dietary MPL (Permenkes No. recall dan food 722/1988) diary method (3 hari)
FFQ (Food Frequency Questionnaire)
Direct (KCKT) dan MPLs (SK Ka Badan POM No:HK.00.05.5.1.4547/2004)
-
Hasil Rerata paparan siklamat aman
- Rerata paparan siklamat = 26.4 mg/kg bb/hari (240% ADI) - Rerata paparan siklamat = 8.5 mg/kg bb/hari (77.27% ADI) - Rerata paparan siklamat = 11.29– 12.74 mg/kg bb/hari (102–116% ADI) - Paparan pengkonsumsi tinggi (persentil 95th) siklamat = 34.64 mg/kg bb/hari (315% ADI) Akan dikaji dalam penelitian ini
III. BAHAN DAN METODE A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB; Laboratorium Pangan Balai Besar POM Surabaya, dan Badan POM RI Jakarta mulai Agustus 2006 hingga April 2008. B. BAHAN DAN ALAT Bahan penelitian ini terdiri dari standar siklamat (kemurnian 99.78%), petroleum-eter, larutan H2SO4 10%, larutan NaCl jenuh, kertas pH, air destilata (bebas ion), metanol (HPLC grade), larutan bufer fosfat pH 4.6 (0.5 ml H3PO4 dilarutkan hingga 1 l dengan air, ditambahkan 17 g KH2PO4), gula pasir, tepung terigu, telur, bubuk agar. Digunakan juga data sekunder hasil Survei Konsumsi Pangan Badan POM RI terhadap 716 anak sekolah dasar dari 31 SD di wilayah Surabaya tahun 2006; serta berbagai sampel produk pangan hasil survei konsumsi. Alat-alat
yang
dipergunakan
antara
lain
sejumlah
peralatan
laboratorium dari gelas (beker glass, gelas piala, pipet, corong, gelas ukur, labu takar), corong pemisah, timbangan, neraca analitik, blender atau mortar, mixer, kertas saring Whatman No.4, membran millipore 0.45 μm, ultrasonic bath, tabung vial, serta seperangkat instrumen KCKT. C. METODE PENELITIAN Penelitian terdiri dari 2 bagian yaitu pengembangan metode penetapan kadar siklamat dan kajian paparan siklamat. Eksperimen pengembangan metode dilakukan terhadap food model (model pangan). Metode terpilih hasil pengembangan kemudian digunakan untuk mengukur konsentrasi siklamat pada sampel pangan hasil survei. Selanjutnya, data konsentrasi digabung dengan data konsumsi pangan anak sekolah dasar untuk menentukan perkiraan paparan siklamat pada populasi anak sekolah dasar di Surabaya.
27
1. Pengembangan Metode Penetapan Kadar Siklamat Percobaan pengembangan metode penetapan kadar siklamat dilakukan berbasis instrumen KCKT dan dilaksanakan dalam dua tahap yaitu pengembangan fase gerak KCKT dan pengembangan metode ekstraksi siklamat dari matriks pangan. Pada pengembangan fase gerak KCKT, yang menggunakan bufer fosfat dan metanol, diterapkan perlakuan pengubahan rasio fase gerak untuk memperoleh pemisahan siklamat yang optimal. Sebagai indikator adalah waktu retensi (tR), faktor kapasitas (k’), dan resolusi (R). Untuk pengembangan metode ekstraksi digunakan prosedur ekstraksi cair-cair dengan suatu modifikasi
yaitu mengubah
kondisi pH larutan sampel hingga pH 1 untuk menghasilkan
tingkat
ekstraksi siklamat yang optimal. Parameter keberhasilan ekstraksi adalah koefisien distribusi (KD), rasio distribusi (nilai D) dan persen terekstrak (%E). Bagan alir bagian ini dapat dilihat pada Gambar 2. Model pangan (Na-siklamat)
Standar siklamat
Dilarutkan dalam air (Na+ + [siklamat]- )
+ H2SO4 hingga pH 1 [H-siklamat]aq
sistem KCKT (komposisi fase gerak bufer fosfat – metanol 75:25, 80:20, 85:15)
ekstraksi dengan pelarut organik [H-siklamat]org
optimasi puncak dan luas area
Metode terpilih Gambar 2 Bagan alir pengembangan metode penetapan kadar siklamat
28
a) Penentuan Fase Gerak KCKT 1) Spesifikasi KCKT Prosedur Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dengan mode fase terbalik ini mempunyai spesifikasi sebagai berikut: Kolom
: Oktadesilsilane RP-18, ukuran partikel 5 μm, dimensi 250 mm x 4.6 mm ID
Spesifikasi
: HPLC Shimadzu Prominence LC-20AD
Fase gerak
: Bufer fosfat (KH2PO4) pH 4.6 : Metanol
Laju aliran
: 1 ml/menit
Tekanan
: 75–78 kgf/cm3
Detektor
: UV-Vis 200 nm; suhu oven 400C
LC mode
: low pressure; tipe isokratik
Volume penyuntikan : 20 μl 2) Rasio Fase Gerak Pada kromatografi fasa terbalik yang menggunakan fase gerak polar, untuk menghasilkan pemisahan siklamat (polar), kepolaran sistem fase gerak diatur sedemikian rupa sehingga siklamat dapat terelusi. Dalam komposisi fase gerak bufer fosfat dan metanol, hal ini dilakukan dengan mengubah-ubah rasio metanol. Perlakuan rasio fase gerak yang dilakukan adalah bufer fosfat (KH2PO4):Metanol = 75:25, 80:20, 85:15. Kondisi optimal yang diinginkan mengacu pada prinsip pemisahan sebaik mungkin dengan waktu analisis seminimal mungkin (Zhu et al. 2005). Percobaan optimasi fase gerak dilakukan dengan larutan standar siklamat. 3) Pengamatan -
Waktu retensi komponen yang diamati (tR)
-
Waktu retensi komponen tidak ditahan (tm)
-
Faktor kapasitas (k’) : (tR - tm) / tm
-
Resolusi (R)
b) Pengembangan Metode Ekstraksi Proses ekstraksi dalam analisis siklamat ini terutama ditujukan untuk menghilangkan berbagai komponen pangan seperti pati, protein,
29
lipida,
pewarna
dan
sebagainya,
sehingga
memudahkan
analisis
selanjutnya dengan KCKT. Dalam sistem ekstraksi cair-cair, siklamat terdapat sebagai fase cairan dan sebagai fase organik adalah eter. Selama ekstraksi, terjadi perpindahan/distribusi siklamat dari fase cairan ke fase organik. 1) Pembuatan Model Pangan Untuk keperluan percobaan pengembangan metode ekstraksi dibuat tiga macam model pangan yang mewakili bentuk pangan yaitu pangan cair (minuman ringan), semi padat (puding/agar), dan pangan padat (roti). Proses pembuatan model pangan sebagai berikut: (i) Minuman Ringan (Ningrum, 2005) Dimasukkan 25 g sukrosa (10%), 250 mg benzoat (0.1%), dan 250 mg asam askorbat (0.1%) dalam 250 ml air kemudian diaduk merata. Dipanaskan hingga 80
0
C selama 10 menit, sambil
ditambahkan 250 mg Na-siklamat sehingga diperoleh konsentrasi 1,000 mg/l (250 miligram siklamat dalam 250 mililiter larutan). Selanjutnya larutan disaring kemudian dimasukkan botol gelap dan kedap udara. (ii) Puding/agar (Ningrum, 2005) Duapuluh empat gram (12%) gula dilarutkan dalam 200 ml air. Kemudian dimasukkan 1.4 g bubuk agar (0.7%) dan 320 mg Nasiklamat (konsentrasi 1,600 mg/l), lalu dipanaskan hingga mendidih. Setelah
didinginkan hingga suhu sekitar 60 0C dan
penambahan sedikit flavor serta pewarna, lalu dimasukkan cetakan dan disimpan di wadah gelap serta kedap cahaya. (iii)Roti Limapuluh gram telur (20%) bersama 75 g gula pasir (30%) dikocok merata, lalu dimasukkan 75 g tepung terigu (30%) sedikit demi sedikit sambil ditambahkan 50 g air (20%). Adonan diaduk hingga kalis/homogen, lalu dimasukkan 500 mg Na-siklamat sehingga konsentrasi 2,000 mg/kg (500 miligram dalam 250 gram
30
adonan). Selanjutnya adonan dituang ke cetakan lalu dikukus hingga matang. 2) Ekstraksi Cair-Cair Sejumlah 20–25 gram atau mililiter sampel model pangan ditimbang, dimasukkan gelas piala 100 ml dan ditambah ± 50 ml air kemudian diaduk hingga homogen [Vo]. Kemudian ditambah larutan H2SO4 10% hingga pH 1. Selanjutnya dimasukkan corong pemisah, ditambah 20–25 ml eter, kemudian dikocok/digoyang kira-kira 20 kali hingga terbentuk 2 lapisan yaitu lapisan eter diatas, sampel dibawah. Pengocokan dapat dibantu dengan shaker selama 15 menit. Cairan eter sangat volatil/ mudah menguap sehingga tiap kali habis mengocok hendaknya tutup/kran corong pemisah dibuka hati-hati untuk mengeluarkan uap. Lapisan eter dipisahkan dari fraksi cairan sampel dan dicuci 2 kali setiap kali dengan 10 ml air. Untuk membantu pembentukan lapisan, ditambahkan 20 ml NaCl jenuh untuk menghindari emulsifikasi. Air cucian dikumpulkan bersama fraksi cairan sampel kemudian ekstraksi diulangi kembali 2 kali, setiap kali dengan 20–25 ml eter dan dishaker 15 menit. Ekstrak eter hasil tiap kali ekstraksi dikumpulkan pada gelas piala 100 ml, lalu diuapkan fraksi eternya sampai hampir kering. Selanjutnya sisa penguapan dilarutkan dalam pelarut (metanol) dan ditetapkan hingga tanda tera pada labu takar 50 ml [VE]. Larutan ini sudah berfungsi sebagai larutan uji dan siap diinjeksikan ke instrumen KCKT. 3) Uji Kualitatif (Identifikasi) Uji kualitatif siklamat umumnya dilakukan dengan metode sodium nitrite test (AOAC, 1999), tetapi dalam penelitian ini identifikasi dilakukan sekaligus dengan instrumen KCKT. Sebelumnya ditentukan terlebih dahulu nilai LOD (Limit of Detection). LOD adalah konsentrasi terkecil suatu senyawa yang dapat terdeteksi secara
31
kualitatif
(WHO, 1985; Snyder, 1997). Penentuan nilai LOD
berdasarkan prosedur kalibrasi. Prosedur uji kualitatif dengan KCKT dilakukan berdasarkan hasil pengembangan komposisi fase gerak KCKT, yang diperoleh sebagai berikut: Kolom
:
Oktadesilsilane RP-18, ukuran partikel 5 μm, dimensi 250 mm x 4.6 mm ID
Fase gerak
:
Larutan KH2PO4 pH 4.6 : Metanol 85 : 15
Laju aliran
:
1 ml/menit
Volume penyuntikan
:
20 μl
Detektor
:
UV-Vis, 200 nm
Keberadaan siklamat
ditentukan dengan membandingkan
waktu retensi sampel yang diduga mengandung siklamat dengan waktu retensi standar siklamat (Wasik & Buchgraber, 2007). Jika sampel menghasilkan puncak dengan waktu retensi disekitar waktu retensi standar siklamat maka dapat diduga sampel pangan tersebut positif mengandung siklamat. 4) Uji Kuantitatif/Pengukuran Konsentrasi Siklamat Sebelum dilakukan pengukuran konsentrasi siklamat, perlu ditetapkan terlebih dahulu nilai LOQ (Limit of Quantification), yaitu konsentrasi terkecil suatu senyawa yang dapat ditentukan secara kuantitatif (WHO, 1985; Snyder, 1997). Nilai LOQ suatu instrumen perlu diketahui untuk menentukan konsentrasi terendah senyawa yang terdapat dalam sampel yang bisa diukur oleh instrumen tersebut. Penentuan nilai LOQ didasarkan seperti prosedur kalibrasi. Untuk persiapan kalibrasi dibuat larutan baku induk dengan cara melarutkan 1.0423 g standar siklamat pada pelarut metanol hingga volume 100 ml, sehingga diperoleh konsentrasi 10,423 mg/l (ppm). Adapun sebagai larutan uji digunakan cairan hasil ekstraksi. Sebanyak 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 ml larutan baku induk dipipet dan dimasukkan dalam labu takar 50 ml, kemudian diencerkan
32
dengan metanol sampai tanda tera sehingga diperoleh serangkaian larutan baku kerja seperti tertera di Tabel 5. Selanjutnya larutan baku kerja disaring dengan membran filter 0.45 um dan dihampaudarakan dengan ultrasonic bath, sebelum siap diinjeksikan. Tabel 5 Penyiapan larutan baku kerja untuk pengukuran siklamat pada sampel model pangan No.
1 2 3 4 5 6 7 8
Volume labu takar, V1 (ml)
Volume pengambilan baku induk, V2 (ml) a
50 50 50 50 50 50 50 50
Konsentrasi baku kerja, M1 (mg/l) b
1 2 3 4 5 6 7 8
208.46 416.92 625.38 833.84 1,042.30 1,250.76 1,459.23 1,667.68
a) Konsentrasi baku induk (M2) = 10,423 mg/l
b) M1 = (V2 x M2) / V1 Larutan baku kerja dan larutan uji masing-masing disuntikkan secara terpisah kedalam instrumen KCKT yang telah dicapai kondisi optimalnya. Urutan injeksi dimulai dari larutan baku kerja konsentrasi terendah ke konsentrasi tinggi, kemudian dilanjutkan dengan larutan uji. Dari serangkaian larutan baku kerja dibuat kurva kalibrasi dengan memplot peak area pada sumbu y dengan konsentrasi pada sumbu x. Kemudian dibuat garis lurus berdasar persamaan y = ax + b, dimana a adalah slope dan b nilai intersep yang memotong sumbu y (Wasik & Buchgraber, 2007). Jika kurva menunjukkan garis lurus, maka persamaan garis kurva kalibrasi dapat digunakan untuk perhitungan konsentrasi siklamat pada cairan ekstrak. Respon kromatogram yang diukur adalah peak area siklamat dalam cairan ekstrak (Wasik & Buchgraber, 2007). Apabila peak area pada ekstrak melebihi peak area tertinggi larutan baku kerja maka dilakukan pengenceran terhadap cairan ekstrak kemudian hasil pengenceran dianalisis kembali.
33
Kadar siklamat ditentukan dengan mengintegrasi peak area larutan uji pada persamaan kurva kalibrasi. Konsentrasi siklamat cairan ekstrak dihitung dengan persamaan: (Wasik & Buchgraber, 2007) R–b Ce =
........ (5) a
dimana :
R a b Ce
= = = =
peak area respon siklamat slope intersep konsentrasi siklamat pada cairan ekstrak (mg/l)
Adapun perhitungan kadar siklamat pada sampel menggunakan rumus : mg [S]
Ce x V1 x V3
mg x l x ml
M x V2
l x kg x ml
= kg
.....(6)
Ce = konsentrasi siklamat pada ekstrak, hasil persamaan (5) M = berat sampel yang diambil untuk ekstraksi (kg) V1 = volume larutan hasil ekstraksi, misal 0.05 l V2 = volume larutan ekstrak untuk pengenceran, misal 10 ml V3 = volume akhir hasil pengenceran, misal 50 ml 5) Pengamatan Parameter Ekstraksi -
[S]E
: konsentrasi siklamat dalam fase organik
-
[S]O
: konsentrasi siklamat dalam fase cair
-
pH
: indikator kertas pH
-
[V]E
: volume akhir fase pengekstrak
-
[V]O
: volume awal sampel
-
Koefisien Distribusi (KD)
-
Rasio Distribusi (D) : KD / {1+(Ka/[H+])}
: [S]E / [S]O
Siklamat terekstrak/terdistribusi ke dalam fase organik jika nilai D mendekati nilai KD. -
Persen terekstrak (%E): {[S]E VE / ([S]E VE + [S]O VO)} x 100 Kriteria (%E) adalah 95–105% untuk analit sejumlah 1,000 mg/kg (Swartz & Krull, 1997).
34
2. Kajian Paparan Siklamat Penelitian kajian paparan melibatkan 2 variabel utama yaitu data konsumsi pangan dan data konsentrasi. Data konsumsi menunjukkan banyaknya (gram atau mililiter) pangan yang dikonsumsi oleh responden dalam sehari.. Penentuan data konsumsi diperoleh melalui tahapan: analisis data konsumsi yang telah dilakukan Badan POM RI (2006), penyusunan food list, daftar konsumsi pangan, shopping list, dan food sampling. Adapun data konsentrasi menunjukkan kadar (dalam mg/kg) siklamat yang terkandung dalam pangan yang dikonsumsi oleh responden. Data konsentrasi diperoleh melalui pengukuran langsung konsentrasi siklamat pada pangan yang dikonsumsi; menggunakan prosedur ekstraksi dan instrumen KCKT dari hasil pengembangan metode analisis siklamat. Selanjutnya data konsumsi dan data konsentrasi
digabungkan untuk
menetapkan perkiraan paparan siklamat pada responden. Perkiraan paparan siklamat dapat dibedakan menjadi perkiraan paparan berdasar jenis/kelompok pangan serta perkiraan paparan individu. Sebagai data tambahan adalah berat badan responden. Bagan alir bagian ini disajikan pada Gambar 3. a) Penentuan Data Konsumsi 1) Analisis Data Konsumsi Data hasil survei berupa data pangan yang dikonsumsi oleh responden. Survei Konsumsi Pangan dilakukan oleh Badan POM RI terhadap 716 anak sekolah dasar di wilayah Surabaya, dengan metode Food Frequency Questionnaire (FFQ)-weighing; yang sebelumnya diperoleh melalui tahap pra-survei menggunakan metode Food Recall dan Food Diary. Survei FFQ bertujuan menentukan jenis pangan yang sering dikonsumsi. Data konsumsi berisi porsi konsumsi dan frekuensi konsumsi yang masih dinyatakan dalam satuan rumahtangga (URT) sehingga harus diubah menjadi satuan standar yaitu kg/hari (JECFA, 2001). Pengubahan satuan porsi konsumsi dilakukan melalui daftar konversi
35
Data sekunder hasil survei konsumsi Tabulasi dan pengolahan data Food List
Screening (kemungkinan mengandung pemanis)
tidak manis
out
manis
Daftar Konsumsi Pangan Penggolongan berdasar Kategori Pangan dan PKMT
Shopping List Food Sampling
Uji Kualitatif
negatif
positif
Pengkompositan Metode terpilih dari bagian Pengembangan Metode (analisis langsung dengan KCKT)
out
Data Konsumsi
Ekstraksi Analisis Kuantitatif Data Konsentrasi
Penetapan Tingkat Paparan Gambar 3 Bagan alir kajian paparan siklamat.
36
URT yang diperoleh dari Badan POM RI. Adapun untuk pengubahan besaran frekuensi konsumsi ke satuan harian dilakukan secara sederhana yaitu untuk frekuensi mingguan dibagi 7, sedangkan untuk bulanan dibagi 30. 2) Daftar Pangan (Food List) Food List
memuat daftar pangan yang dikonsumsi oleh
responden, berisi informasi berat porsi konsumsi dan frekuensi konsumsi. Penyusunan food list dilakukan dengan cara mengkompilasi macam pangan dengan jumlah responden sehingga dihasilkan daftar berat porsi konsumsi dan frekuensi konsumsi untuk masing-masing responden. Data porsi konsumsi tiap jenis pangan diperoleh dengan menjumlahkan porsi konsumsi masing-masing responden, sedangkan rata-rata porsi konsumsi (per hari) didapatkan dari pembagian jumlah porsi konsumsi dengan jumlah responden. Frekuensi konsumsi tiap jenis pangan juga diperoleh dengan penjumlahan frekuensi konsumsi masing-masing
responden,
dan
rata-rata
frekuensi
konsumsi
didapatkan dari pembagian jumlah frekuensi konsumsi dengan jumlah responden. 3) Daftar Konsumsi Pangan Food List masih memuat keseluruhan macam pangan yang dikonsumsi oleh responden. Jadi ada jenis makanan pokok (nasi, bubur, lontong dll); lauk, sayur, kudapan, dan sebagainya. Adapun untuk keperluan analisis siklamat ini yang ingin diketahui adalah konsumsi jenis pangan yang mengandung siklamat saja. Untuk itu dari informasi food list perlu dilakukan pemilihan/ penyortiran (screening). Penyortiran pertama dilakukan secara sederhana yaitu memilih pangan yang berasa manis (kemungkinan mengandung pemanis buatan). Jadi bahan pangan segar seperti buah segar dan sayur tidak diikutsertakan karena diduga tidak mengandung siklamat.
37
Screening
tahap
kedua
dilakukan
dengan
cara
tidak
mengikutsertakan kelompok pangan yang dikonsumsi dalam jumlah sangat kecil, namun tetap mempertimbangkan kemungkinan pangan tersebut mengandung siklamat. Pertama-tama besaran porsi konsumsi perlu diubah menjadi jumlah konsumsi harian, dengan cara mengalikan dengan besaran frekuensi konsumsi. Misalnya konsumsi minuman ringan 1 botol 3 kali sebulan, maka jumlah konsumsi harian adalah (1 botol @ 300 ml) x (3/30) = 0.03 ml per hari. Setelah itu konsumsi harian tiap jenis pangan diurutkan berdasar konsumsi harian yang paling besar, kemudian dihitung total konsumsi harian seluruh pangan. Selanjutnya berdasar total konsumsi harian tersebut ditentukan batas 5% dari total konsumsi. Pangan dengan konsumsi harian ≤ 5% total konsumsi tidak dimasukkan daftar. Pangan hasil pemilihan tahap kedua selanjutnya digunakan sebagai basis penentuan Daftar Konsumsi Pangan. Selanjutnya pangan yang terpilih dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu pangan olahan dan pangan siap saji. Pangan olahan meliputi pangan dengan kode registrasi : MD (pangan nasional), ML (pangan impor), SP/PIRT (pangan produksi skala rumahtangga), dan pangan tidak terregistrasi. Adapun pangan siap saji (SS) adalah makanan dan atau minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan. Daftar Konsumsi Pangan mengandung informasi berat (porsi) konsumsi (kg), frekuensi konsumsi, dan jumlah konsumsi (kg/hari). Kolom berat konsumsi dan frekuensi konsumsi diambil dari Food List, sedangkan kolom jumlah konsumsi merupakan perkalian dari berat konsumsi dengan frekuensi konsumsi. Selanjutnya informasi jumlah konsumsi (kg/hari) akan dipakai sebagai data tingkat konsumsi; selain digunakan sebagai dasar pengambilan pangan pada tahap Food Sampling. Jumlah Konsumsi = Berat (Porsi) Konsumsi x Frekuensi Konsumsi
38
4) Shopping List Shopping list berisi daftar pangan yang akan disampling. Daftar ini memuat jumlah konsumsi masing-masing untuk seluruh jenis pangan yang diindikasikan mengandung siklamat, baik pangan olahan maupun pangan siap saji (Badan POM, 2005). Dalam daftar ini dilakukan pengelompokan pangan menurut foodgroup/subgroup-nya berdasar penggolongan Kategori Pangan Indonesia (Lampiran 1). Kategori Pangan Indonesia mempunyai kode penggolongan dari C01 (Produk–produk Susu) hingga C16 (Pangan Komposit). Jenis pangan
olahan
dapat
langsung
dikelompokkan
ke
dalam
foodgroup/subgroup (C01 hingga C15); misalnya yoghurt, es krim, susu bubuk digolongkan pada C01 Produk-produk Susu; sedangkan sirup, minuman isotonik, minuman karbonasi dimasukkan kelompok
C14
Minuman Ringan non Alkohol. Adapun untuk pangan siap saji, karena tidak
tercantum
dalam
Kategori
Pangan
Indonesia,
maka
dikelompokkan semua dalam golongan C16 Pangan Komposit dan Pangan yang Tidak Termasuk C01-C15. Selanjutnya dalam golongan tersebut, pangan siap saji dikelompokkan lagi berdasar penggolongan Makanan Tradisional (PKMT, 1990) (Lampiran 2). Proporsi masingmasing pangan dalam suatu foodgroup ditentukan berdasar jumlah konsumsi. 5) Pengambilan/Pembelian Sampel (Food Sampling) Pembelian sampel pangan didasarkan pada proporsi jumlah konsumsi masing-masing dalam foodgroup/subgroup pada shopping list. Banyaknya pengambilan berkisar 50-100 g. Banyaknya pangan yang diambil selain harus memperhitungkan proporsi berat dalam foodgroup, juga diperkirakan dengan kebutuhan pengkompositan. Sampel dengan kode registrasi MD dan ML dapat diambil pada tempat yang berbeda dari tempat responden membeli, dengan ketentuan merek sampel harus sama. Adapun untuk sampel SP/PIRT, pangan tidak teregistrasi, dan siap saji; diambil dari pedagang dimana responden membeli sampel tersebut.
39
Khusus
pangan
siap
saji,
pembelian
hendaknya
memperhitungkan dengan waktu analisis; karena pangan siap saji umumnya mempunyai daya awet rendah, sehingga waktu pembelian tidak terlalu lama dengan waktu analisis. Setelah dibeli, terhadap pangan siap saji harus segera dilakukan penanganan dalam hal wadah dan kondisi penyimpanan. Untuk produk kering/padat/berlemak disimpan dalam desikator atau wadah gelas yang dilengkapi dengan silikagel; sedangkan untuk produk cair/sirup/beku disimpan dalam refrigerator/freezer. Atau jika memungkinkan langsung dilakukan pengkompositan untuk menghindari kerusakan lebih lanjut. b) Uji Kualitatif Siklamat Uji kualitatif kandungan siklamat dilakukan dengan prosedur dan instrumen sesuai hasil pengembangan metode analisis siklamat. Termasuk dalam uji kualitatif adalah melakukan penentuan LOD. Uji kualitatif dalam kajian paparan juga berfungsi sebagai tahapan screening dimana sampel yang menunjukkan uji negatif tidak dianalisis lebih lanjut. c) Persiapan Sampel 1) Pengkompositan (Food group Composites) Pengkompositan adalah pencampuran beberapa jenis pangan yang termasuk dalam subgroup yang sama, dengan perbandingan yang proporsional. Pendekatan foodgroup composites dilakukan manakala jumlah sampel banyak dan sumberdaya terbatas, maka dengan pengkompositan akan mengurangi jumlah sampel yang dianalisis (WHO, 1985). Sebelum dilakukan pengkompositan, masing-masing jenis pangan dihomogenkan terlebih dahulu. Pencampuran tiap jenis pangan dengan pangan lain dalam satu subgroup/food group dilakukan secara proporsional berdasar jumlah konsumsi. Misalnya akan dibuat 100 g komposit produk susu dimana berdasar tingkat konsumsinya adalah susu bubuk 40%, yoghurt 30%, dan es krim 40%; maka pengkompositan dilakukan dengan mencampur susu bubuk 40 g (40%x100), yoghurt 30 g (30%x100), dan es krim 40 g (40%x100).
Khusus
pangan
yang
dikonsumsi
dalam
jumlah
40
banyak/dominan dalam satu subgroup/food group (≥ 80%) dilakukan pengkompositan tunggal. Berat keseluruhan pangan yang akan dikomposit diperkirakan 500 g. Sisa pangan homogen dapat disimpan sebagai cadangan. Untuk
jenis
pangan
olahan
(MD/ML–SP/PIRT),
sebelum
dikomposit berdasar subgroup/food group yang sama, masing-masing dikomposit tersendiri berdasar merk (first-level aggregation). Setelah diperoleh komposit merk untuk masing-masing pangan, dilakukan pengkompositan dengan pangan lain dalam subgroup/food group yang sesuai (second-level aggregation). Untuk pangan siap saji (SS) pengkompositan langsung dilakukan berdasar bahan dasar penyusun utamanya. 2) Ekstraksi Proses ekstraksi dilakukan berdasar hasil pengembangan metode yang dilakukan pada penelitian bagian 1. d) Penentuan Konsentrasi Siklamat pada Sampel Pangan Anak Sekolah Dasar Penentuan konsentrasi siklamat pada sampel (termasuk penetapan LOQ) juga dilakukan berdasar hasil pengembangan metode pada penelitian bagian 1. Hanya pada prosedur kalibrasinya digunakan larutan baku kerja seperti Tabel 6. Tabel 6 Penyiapan larutan baku kerja untuk pengukuran siklamat pada pangan anak sekolah dasar di Surabaya No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Volume labu takar, V1 (ml)
10 50 50 50 50 50 50 50 50
Volume pengambilan baku induk, V2 (ml) a
1c 0.25 0.5 1 2 3 4 5 6
Konsentrasi baku kerja, M1 (mg/l) b
1.50 15.00 30.00 60.00 120.00 180.00 240.00 300.00 360.00
a) Konsentrasi baku induk (M2) = 3,000 mg/l b) M1 = (V2 x M2) / V1 c) khusus larutan no.1 volume pengambilan dari baku kerja no.2
41
e) Penetapan Tingkat Paparan pada Anak Sekolah Dasar di Surabaya Perhitungan tingkat paparan melibatkan dua data utama yaitu data konsumsi dan data konsentrasi bahan kimia. Data konsumsi diperoleh dari Daftar Konsumsi Pangan yang memuat jumlah konsumsi rata-rata per hari, sedangkan data konsentrasi bahan kimia berasal dari analisis kuantitatif siklamat. Untuk penetapan tingkat paparan diperlukan juga data berat badan responden (kg). 1) Perkiraan Paparan berdasar Jenis dan Kelompok Pangan Perkiraan paparan tiap kelompok pangan ditentukan dari konsentrasi rata-rata dalam setiap kelompok dikalikan dengan rata-rata konsumsi kelompok pangan tersebut, kemudian dibagi rata-rata berat badan responden. Adapun perkiraan paparan per jenis pangan diperoleh dari perkalian konsentrasi tiap kelompok pangan dengan rata-rata konsumsi per jenis pangan yang bersangkutan, dibagi rata-rata berat badan responden. (rata-rata konsumsi )foodgroup x (konsentrasi)foodgroup § Perkiraan Paparan = ---------------------------------------------------------tiap kelompok pangan rata-rata berat badan responden (rata-rata konsumsi )jenis pangan x (konsentrasi)foodgroup § Perkiraan Paparan = ---------------------------------------------------------per jenis pangan rata-rata berat badan responden Selanjutnya dilakukan juga perkiraan paparan menggunakan konsentrasi maksimum yang diijinkan berdasar SK Kepala Badan POM No: HK.00.05.5.1.4547/2004 (Lampiran 3). Perkiraan paparan total diperoleh dari penjumlahan paparan setiap jenis pangan. Hasil perkiraan paparan tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai ADI siklamat. §
Perkiraan Total Paparan = Σ Paparan keseluruhan jenis pangan
§
(Perkiraan Paparan)Total/Jenis Pangan Perkiraan Paparan = ------------------------------------------ x 100% (% ADI) nilai ADI
42
2) Perkiraan Paparan Individu Untuk memperoleh perkiraan paparan individu perlu ditentukan terlebih dahulu perkiraan paparan tiap kelompok pangan yang dikonsumsi oleh masing-masing individu anak sekolah dasar. Perkiraan paparan masing-masing kelompok pangan yang dikonsumsi tiap individu ditentukan dari tingkat konsumsi individu anak sekolah dasar terhadap kelompok pangan tersebut dikalikan dengan konsentrasi rata-rata tiap kelompok pangan, dan dibagi berat badan individu yang bersangkutan. Selanjutnya total perkiraan paparan, yang merupakan perkiraan
paparan
masing-masing
individu,
diperoleh
dari
penjumlahan paparan setiap kelompok pangan yang dikonsumsi oleh individu tersebut. (konsumsi individu)foodgroup x (konsentrasi)foodgroup § Paparan Individu = ---------------------------------------------------------tiap kelompok pangan berat badan individu § Total Paparan Individu = Σ Paparan seluruh kelompok pangan yang dikonsumsi oleh masing-masing individu Total perkiraan paparan individu dapat dinyatakan berdasar keseluruhan responden atau hanya memperhitungkan responden yang mempunyai tingkat paparan (consumer’s only). Data perkiraan paparan individu dapat digunakan untuk mendeskripsikan tingkat paparan pada suatu populasi. Interpretasi data paparan individu meliputi: (i) Distribusi Frekuensi (Mattjik, 2002) Distribusi frekuensi disini adalah gambaran sebaran nilai paparan masing-masing individu anak sekolah dasar, berupa frekuensi tiap selang paparan yang disajikan dalam bentuk histogram batang. Program Excel-nya adalah: Distribusi Frekuensi = FREQUENCY [range data, interval paparan]
43
(ii) Mean (Mattjik, 2002) Mean (nilai tengah) merupakan ukuran pemusatan data yang menimbang data menjadi dua kelompok data yang memiliki massa yang sama. Program Excel-nya adalah: N
1 x = N
∑
xi atau AVERAGE [range data]
i=1
(iii) Median (Walpole, 1992) Median merupakan nilai pengamatan yang tepat di tengahtengah dari segugus data setelah diurutkan dari yang terkecil sampai terbesar. Program Excel-nya adalah: Median =
X(n+1)/2
atau MEDIAN [range data]
(iv) Persentil (Walpole, 1992; Mattjik, 2002) Persentil adalah nilai-nilai yang menyekat gugus data menjadi 100 bagian yang sama. Nilai-nilai itu dilambangkan dengan P1, P2,...,P99 yang menyatakan bahwa 1% dari seluruh data terletak di bawah P1, 2% terletak di bawah P2,..., 99% terletak di bawah P99. Dalam kajian paparan ini nilai persentil digunakan untuk melihat kelompok paparan pengkonsumsi tinggi yaitu pada persentil 90. Program Excel-nya adalah: Persentil = PERCENTILE [range data, nilai persentil]
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGEMBANGAN METODE PENETAPAN KADAR SIKLAMAT 1. Optimasi Fase Gerak KCKT Hasil pemisahan pada kromatografi umumnya ditunjukkan dengan kromatogram,
yang
menampilkan
puncak/peak
dari
komponen.
Kesempurnaan peak dilihat dari bentuknya yang menyerupai bentuk kurva Gauss (Gambar 4) (Johnson & Stevenson, 1991). Pada Gambar 5A terlihat bahwa penggunaan komposisi fase gerak bufer fosfat–metanol (75:25) belum dapat memunculkan peak siklamat, sedangkan pada rasio bufer fosfat–metanol (80:20) sudah mulai terbentuk puncak tapi belum sempurna (Gambar 5B). Pembentukan puncak yang optimal terjadi pada komposisi fase gerak bufer fosfat–metanol (85:15) (Gambar 5C).
Gambar 4 Bentuk peak ideal menyerupai kurva normal Gauss (Johnson & Stevenson, 1991) Dari pola kromatogram Gambar 5 tersebut dapat diduga bahwa terdeteksinya puncak siklamat terjadi akibat penurunan fraksi metanol. Pada saat siklamat memasuki kolom terjadi distribusi (partisi) terhadap fase diam dan fase gerak Pada rasio bufer fosfat–metanol (75:25), tingkat kepolaran sistem fase gerak masih mempunyai afinitas yang besar terhadap siklamat sehingga tidak terjadi partisi siklamat dengan fase diam yang kurang polar. Akibatnya belum muncul peak pada rasio ini karena
45
(A)
Absorbansi
1
μ 2.5
μ
μ
5.0 7.5 Waktu retensi (menit)
μ 10.0
2
1
Absorbansi
(B)
μ 2.5
μ
μ
5.0 7.5 Waktu retensi (menit)
μ 10.0
1
Absorbansi
(C)
2
μ 2.5
μ
μ
5.0 7.5 Waktu retensi (menit)
μ 10.0
Gambar 5 Kromatogram standar siklamat pada berbagai komposisi fase gerak bufer fosfat–metanol: (A) 75:25, (B) 80:20, (C) 85:15. (1) peak injeksi; (2) peak siklamat
46
siklamat tidak tertahan oleh fase diam. Pada komposisi bufer fosfat– metanol
(80:20),
terdapat
pengurangan
fraksi
metanol
sehingga
menurunkan kepolaran sistem fase gerak (meningkatkan kehidrofobikan). Hal ini berakibat menurunnya afinitas fase gerak terhadap siklamat dan meningkatkan distribusi siklamat pada fase diam.
Selanjutnya pada
komposisi bufer fosfat–metanol (85:15), sistem fase gerak mempunyai kepolaran tertentu yang dapat membuat kesetimbangan distribusi/partisi siklamat diantara fase gerak dan fase diam, sehingga menghasilkan elusi siklamat secara optimal. Dalam sistem kromatografi fase balik, daya elusi (eluent strength) berbanding terbalik dengan kepolaran fase gerak. Semakin lemah kepolaran eluen, semakin besar eluent strength (Harris, 1999). Komposisi fase gerak optimal yang dihasilkan menyerupai komposisi fase gerak yang digunakan oleh Wasik dan Buchgraber (2007) yaitu metanol–bufer formiat–aseton (11:82:7). Johnson dan Stevenson (1991) menyatakan bahwa komposisi fase gerak yang umum dipakai dalam sistem kromatografi fase balik adalah metanol–air/bufer, disamping asetonitril– air. Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam kromatografi fase balik, urutan elusi berkaitan dengan sifat kehidrofobikan solut yang meningkat. Semakin hidrofobik suatu senyawa, semakin lama terelusi; atau makin mudah solut larut dalam air, makin cepat senyawa tersebut terelusi. Adanya bufer diketahui dapat membantu daya hidrofobik sistem karena sifatnya yang dapat menekan terjadinya pengionan (Johnson & Stevenson, 1991). Diantara larutan bufer,
bufer potasium dihidrogen
fosfat merupakan eluen pilihan; terutama dengan digunakannya detektor UV dalam sistem kromatografi cair, karena rendahnya penyerapan sinar UV (Brown, 1993). Akan tetapi reagent grade potasium dihidrogen fosfat juga mengandung sejumlah impurities penyerap sinar UV yang dapat menyebabkan peningkatan baseline seiring dengan kenaikan konsentrasi gradien eluen. Pada berbagai pemakaian instrumen KCKT, detektor UV merupakan detektor yang banyak digunakan, karena sebagian besar solut
47
mampu menyerap sinar ultraviolet (Harris, 1999). Brown (1993) menyatakan pada penggunaan kromatografi cair penting bahwa baik eluen maupun segala impurities tidak memiliki serapan yang kuat pada panjang gelombang UV detektor. Sistem kromatografi fase balik cukup baik digunakan untuk pemisahan molekul netral berberat molekul rendah atau senyawa organik bermuatan (Harris, 1999). Kemudahan pengoperasian sistem kromatografi ini terletak pada lemahnya energi permukaan dari fase terikat sehingga kekuatan tarik menarik antara molekul solut, fase diam, dan fase gerak juga lemah (Krstulovic & Brown, 1982). Karakteristik solut pada sistem kromatografi fase balik dapat meliputi solut hidrofobik maupun polar. Hal ini memungkinkan untuk analisa sejumlah besar substansi dengan beragam polaritas dan berat molekul. Disamping keunggulan tersebut, kolom kromatografi fase balik juga mempunyai keterbatasan, diantaranya kisaran pH yang luas untuk stabilitas yaitu 2.0–7.5 (Johnson & Stevenson, 1991). Hal ini berarti jika digunakan eluen dengan pH sangat rendah dapat merusak ikatan Si-C, sementara penggunaan solven sangat basa (pH > 8) dapat memicu disolusi matriks silika. Oleh karena itu dalam susunan fase gerak umumnya digunakan larutan bufer/penyangga. Problem lain adalah tingkat cakupan yang kurang menyeluruh dari permukaan silika; serta terdapatnya permukaan grup silanol (Si-OH). 2. Penerapan KCKT pada Model Pangan Dalam analisis komponen dengan KCKT, parameter yang umum diamati adalah waktu retensi. Waktu retensi (tr) merupakan waktu yang diperlukan oleh suatu komponen setelah diinjeksikan ke dalam kolom kromatografi hingga komponen tersebut mencapai detektor (Harris, 1999). Dalam uji kualitatif/identifikasi, waktu retensi merupakan identitas yang menunjukkan adanya komponen dalam campuran (Johnson & Stevenson, 1991). Akan tetapi dalam penentuan kriteria pemisahan dan puncak kromatogram umumnya ditunjukkan dengan parameter faktor kapasitas (k’). Kriteria pemisahan yang baik yaitu bila menghasilkan nilai k’
48 1
Absorbansi
(A)
2
μ
μ
2.5
μ
5.0 7.5 Waktu retensi (menit)
μ 10.0
1
Absorbansi
(B)
2 μ
μ
2.5
μ
5.0 7.5 Waktu retensi (menit)
μ 10.0
1
Absorbansi
(C)
2 μ 2.5
μ
μ
5.0 7.5 Waktu retensi (menit)
μ 10.0
Gambar 6 Pola kromatogram siklamat pada berbagai model pangan: (A) minuman ringan, (B) puding/agar, (C) roti. (1) peak injeksi; (2) peak siklamat
49
berkisar 0.5–20.0.Hasil uji kualitatif siklamat pada sampel model pangan dapat dilihat pada Gambar 6 dan Tabel 7. Tabel 7 Parameter uji kualitatif siklamat pada model pangan Waktu Retensi (tR) (menit) 7.081 7.055 7.031
Model pangan Minuman Ringan Puding / Agar Roti a *
Resolusi (R) 3.974 6.378 4.168
Faktor kapasitas (k’)a 3.05 3.03 3.02
k’ = (tR - tm) / tm* tm (metanol) ≤ 1.75
Parameter resolusi dari ketiga model pangan juga menunjukkan hasil yang sangat baik (R > 3). Resolusi atau daya pisah merupakan ukuran kemampuan instrumen untuk menunjukkan dua puncak yang terpisah dari dua komponen yang berbeda (Johnson & Stevenson, 1991). Penentuan daya pisah tergantung faktor lebar puncak dan jarak antara maksimum puncak. Dalam prakteknya jarang dilakukan perhitungan daya pisah. Lebih sering hanya melihat bentuk puncak dan menaksir harga R berdasarkan bentuknya itu. Kriteria yang umum adalah: jika daya pisah 0.4 atau kurang, puncak tidak menunjukkan pemisahan komponen. Jika daya pisah 0.5 atau lebih, pemisahan komponen dapat diidentifikasi dengan jelas. Pada umumnya diperlukan daya pisah sekitar 1.0 untuk melihat pemisahan yang jelas dari dua komponen. Faktor
lain
yang
merupakan
ukuran
pemisahan
adalah
keasimetrikan pita/band, yang dinyatakan dengan faktor asimetri yaitu perbandingan parameter A (difusi eddy) dengan B (difusi longitudinal). Kriteria band yang baik adalah mempunyai faktor asimetri berkisar 0.9– 1.5. Pada kromatogram penelitian ini data parameter A dan B tidak diukur. Akan tetapi bila dilihat dari bentuknya, band yang dihasilkan masih tergolong simetris, sehingga bisa dikatakan cukup memenuhi kriteria. Ringkasan optimasi sistem KCKT dapat dilihat pada Tabel 8.
50
Tabel 8 Hasil optimasi sistem KCKT pada pemisahan siklamat dalam model pangan Parameter
Hasil
k’ k’ ≤ 3 Resolusi (R) R Σ 2 b) Tekanan (P) 1064 lb/in2 c) Faktor asimetrik memenuhi syarat d) a) Tabel 7 kolom 3 b) Tabel 7 kolom 2 c) Konversi dari 75 kgf/cm2 d) Pengamatan secara visual e) Harris (1999) a)
Kriteria e) 0.5 ≥ k’ ≥ 20 RΣ2 P ≥ 2000 lb/in2 0.9 ≥ f.asym ≥ 1.5
3. Pengembangan Metode Ekstraksi Prosedur ekstraksi cair-cair pada siklamat (fase cairan, densitas dianggap ≤ 1.00 g/ml) menggunakan pelarut organik eter (densitas 0.71 g/ml). Hal ini dengan pertimbangan bahwa pada metode ekstraksi cair-cair terjadi kontak langsung antara 2 fase yang berlainan, sehingga untuk optimasi ekstraksi digunakan solven yang immiscible dengan air dan densitasnya lebih kecil sehingga dapat membentuk lapisan terpisah yang jelas. Solven lain yang tergolong immiscible dan densitasnya lebih kecil dari air adalah toluen (0.87 g/ml) dan heksan (0.65 g/ml) (Snyder & Kirkland, 1999); sedangkan solven yang berdensitas lebih tinggi dari air adalah kloroform (1.40 g/ml), diklorometan (1.31 g/ml) dan karbon tetraklorida (1.59 g/ml). Selain itu, salah satu faktor penentu tercapainya ekstraksi maksimum adalah kesesuaian polaritas (P’) antara solven dan solut (Snyder & Kirkland, 1999). Komponen non polar umumnya menggunakan solven dengan P’ rendah seperti heksan (P’=0.1), toluen (P’=2.4), atau eter (P’=2.8); sedangkan komponen polar dapat menggunakan aseton (P’=5.1), asetonitril (P’=5.8), atau metanol (P’=5.1). Pada ekstraksi siklamat (polar) ini digunakan solven non polar yaitu eter. Meskipun sepintas bertentangan, hal tersebut dapat dilakukan dengan cara menurunkan pH larutan sampel untuk mencegah disosiasi siklamat dan memperbesar distribusi siklamat ke fase organik sehingga diperoleh tingkat ekstraksi yang maksimum. Dalam fase cairan, siklamat (asam lemah) akan terionisasi sebagian. Adanya penambahan larutan H2SO4 10% menyebabkan terjadi
51
peningkatan [H+] (efek ion senama) sehingga kesetimbangan bergeser ke arah kiri, yang berarti terjadi penekanan proses ionisasi (Lampiran 4). Bentuk molekul siklamat dalam fase cairan adalah (HS)aq yang relatif tidak polar, dan selama ekstraksi dapat berpindah ke fase organik dengan bentuk (HS)org. Selanjutnya siklamat akan terpolimerisasi menjadi [(HS)org]2. Mekanismenya adalah sebagai berikut: (HS)aq
(HS)org
fase cair
[(HS)org]2
fase organik
Percobaan pengembangan metode ekstraksi dilakukan pada model pangan sebelum diterapkan pada produk pangan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas metode yang dikembangkan. Model pangan adalah pangan contoh yang sengaja dibuat dan ditambahkan dengan siklamat konsentrasi tertentu. Efektivitas atau efisiensi ekstraksi dapat ditentukan dengan melihat tingkat penemuan kembali atau persen terekstrak (%E), yaitu perbandingan konsentrasi siklamat hasil analisis dengan konsentrasi siklamat awal (Prasetyaningtias, 2003). Perhitungan kadar siklamat pada model pangan disajikan pada Tabel 9, sedangkan Tabel 10 merupakan ringkasan pengamatan terhadap parameter ekstraksi. Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa nilai D hampir sama dengan KD. Nilai
KD menunjukkan
kecenderungan
senyawa
siklamat
untuk
terdistribusi ke dalam fase organik; sedangkan D merupakan ukuran perbandingan distribusi siklamat dalam fase cairan dan fase organik. Besaran nilai D yang mendekati KD (D ≤ KD) mengindikasikan bahwa dalam proses ekstraksi terjadi perpindahan/distribusi hampir semua molekul/bentuk siklamat dari fase cairan ke dalam fase organik. Ini berarti dalam fase cairan siklamat tidak mengalami disosiasi/pengionan, dan hal tersebut dapat terjadi jika proses ekstraksi dilakukan pada pH rendah (1–2) (Nur & Adijuwana, 1989).
52
Tabel 9 Perhitungan kadar siklamat dalam model pangan Minuman Ringan 0.250
Parameter 1. Berat model pangan 1) 2. Penambahan Na-siklamat (mg) 3. Konsentrasi siklamat pada model pangan [S]FM (mg/kg) 4. Peak area rata-rata (y) 2) 5. Penimbangan sampel untuk ekstraksi (g) (B) 6. Pengenceran (e)
1) 2) 3) 4) 5)
Roti 0.250
251.00
320.00
504.20
1004.00
1600.00
2016.80
95261
137510
190286
12.9891
13.4262
13.5201
50
50
50
7. Persamaan kurva kalibrasi (Lampiran 5 & 6) 3 8. Kadar siklamat hitung (x) 4 9. Kadar siklamat sampel [S]E
Puding /Agar 0.200
y = 386.86x – 514.91 247.573
356.783
493.204
953.00
1328.68
1823.96
5)
kg untuk pangan padat dan semi padat; liter untuk pangan cair data lengkap tidak ditampilkan hasil analisis KCKT terhadap larutan baku kerja Tabel 5 x = {y – (-514.91)} / 386.86
(x * e) / B Tabel 10 Penentuan efisiensi ekstraksi siklamat pada model pangan Parameter
1. [S]E (Tabel 9, no 9) 1
Minuman Ringan 953.00
Puding /Agar
Roti
1328.68
1823.96
271.32
192.00
2. [S]O ([S]FM – [S]E) 1
51.00
3. pH larutan sampel
kertas pH berwarna ungu (pH ≤ 1)
+
4. [H ] siklamat 2 5. VE (ml) 6. VO (ml) 7. KD 3 8. Ka (asam siklamat) 2 9. D 4 10. %E 5 1) 2) 3) 4) 5)
2.803 x 10 -5 50 50 18.69 18.50 94.92
3.546 x 10 -5 50 50 4.89 3.162 x 10 -7 4.84 83.04
3.981 x 10 -5
50 50 9.50 9.41 90.47
mg/kg untuk pangan padat dan semi padat; mg/l untuk pangan cair berdasar contoh perhitungan di Lampiran 4 [S]E / [S]O KD / {1+(Ka/[H+])} {[S]E VE / ([S]E VE + [S]O VO)} x 100
53
Untuk parameter %E pada masing-masing model pangan terlihat bahwa efisiensi ekstraksi puding/agar paling rendah dan kurang memenuhi kriteria (95–105%). Ini berarti kemungkinan proses ekstraksi masih kurang optimal untuk diterapkan pada pangan jenis puding/agar. Harris (1999) menyatakan jika kondisi ekstraksi menunjukkan recovery/penemuan kembali yang belum memadai walaupun sudah menggunakan polaritas dan pH yang sesuai, kadar penemuan kembali dapat ditingkatkan dengan penggunaaan volume solven yang lebih besar atau penerapan teknik succesive/ continuous extraction. Akan tetapi bila dibandingkan hasil penelitian lain, efisiensi ekstraksi yang diperoleh sudah cukup memadai. Breithaupt (2004) yang mengekstrak karotenoid secara ekstraksi cair-cair menghasilkan tingkat penemuan kembali 94-100%. Roch et al. (1995) pada ekstraksi aflatoksin dari kacang tanah dengan metode ekstraksi cair-cair memperoleh tingkat penemuan kembali berkisar 74.1–82.1%. Adapun Hanine et al. (1995) yang mengekstrak acotinic acid dari industri gula menggunakan ekstraksi cair-cair menghasilkan tingkat penemuan kembali lebih dari 98%. Secara teoritis, proses ekstraksi yang dilakukan secara multi-step extraction (volume pengekstrak 3x25 ml) terbukti lebih efektif daripada single-step extraction (volume pengekstrak 1x75 ml) (Handley, 1999; Harris, 1999), sesuai persamaan [Aaq]n = {(Vaq/(Vorg K + Vaq))n} [Aaq]o .....(7) atau qn
V1 n = ---------------V2 + KV2
.....(8)
Jika diamati dari sistem pangannya, terlihat juga dari Tabel 10 bahwa nilai D dan %E sistem pangan ½ padat (puding/agar) lebih kecil dibanding sistem pangan padat (roti). Padahal umum diketahui bahwa sistem pangan padat lebih kompleks dibanding pangan cair maupun pangan ½ padat, dan pangan ½ padat lebih kompleks dibanding pangan cair; sehingga jika diterapkan suatu proses pemisahan atau ekstraksi,
54
kemungkinan akan lebih mudah atau lebih besar hasilnya pada sistem pangan ½ padat dibanding sistem pangan padat. Adanya perbedaan hasil ini diduga disebabkan faktor sifat matriks pangan yaitu: (Dickinson & Stainsby, 1982; Sikorsky, 2002) •
aktivitas air (aw)
•
net electrical charge (dari rantai samping dan ionisasi gugus akhir)
•
interaksi kimia (interaksi hidrofobik, ikatan hidrogen, ikatan ion, dan ikatan kovalen)
B. KAJIAN PAPARAN SIKLAMAT 1. Analisis Data Konsumsi Berdasarkan pengolahan data konsumsi serta screening tahap I dan II, diperoleh 65 jenis pangan yang terindikasi mengandung pemanis. Setelah diidentifikasi menggunakan metode hasil pengembangan berbasis KCKT dihasilkan 24 jenis pangan yang positif mengandung siklamat. Ke24 pangan tersebut kemudian dikelompokkan menurut foodgroup/ subgroup-nya dan dikomposit menjadi 11 sampel komposit yang terdiri dari 7 sampel komposit pangan olahan dan 4 sampel komposit pangan siap saji. Hasil analisis data konsumsi berupa food list, daftar konsumsi pangan, dan shopping list disajikan pada Lampiran 7, 8, 9; sedangkan hasil uji kualitatif dapat dilihat pada Lampiran 10. Pada daftar konsumsi pangan
(Lampiran 8) diketahui bahwa
jumlah konsumsi harian pangan yang mengandung siklamat oleh anak sekolah dasar adalah 187.729 g/hari/orang, yang terbagi atas konsumsi pangan siap saji sebesar 105.093 g/hari/orang dan konsumsi pangan olahan sebesar 82.636 g/hari/orang Jumlah ini lebih tinggi dari konsumsi harian makanan jajanan yang mengandung siklamat oleh murid SD di Malang (Slamet, 2004) sebesar 70.750 g/hari/orang. Menurut jenis pangannya, konsumsi harian terbesar adalah teh dalam kemasan (39.108 g/hari/orang) diikuti es cincau dan es dawet masing-masing 27.522 g/hari/ orang dan 26.586 g/hari/orang. Untuk
55
frekuensi konsumsi, permen keras merupakan pangan yang paling sering dikonsumsi yaitu 0.669 kali per hari atau kira-kira 20 kali sebulan. 2. Pengukuran Kadar Siklamat Pangan Anak Sekolah Dasar Data konsentrasi pada kajian paparan dengan metode TDS umumnya dinyatakan berdasar analisis terhadap sampel komposit dengan pertimbangan meminimalkan jumlah sampel yang dianalisis (WHO, 1985). Meskipun demikian, penggunaan sampel komposit mempunyai keuntungan dalam hal kemampuannya menentukan perkiraan asupan hanya dengan menganalisis sejumlah kecil sampel. Penentuan konsentrasi siklamat pada sampel pangan anak sekolah dasar dilakukan berdasarkan
metode hasil pengembangan. Hasil
pengukuran siklamat pada sampel komposit menunjukkan kisaran konsentrasi antara 5.06 mg/kg (komposit Kudapan Ketan) hingga 8,882.71 mg/kg (komposit Minuman Santan) (Lampiran 11), dengan limit deteksi (LOD) 2.75 mg/kg dan limit kuantifikasi (LOQ) 9.17 mg/kg (Lampiran 13 dan 14). Nilai konsentrasi ini diperoleh dari hasil uji kuantitatif sampel komposit setelah memperhitungkan dengan tingkat recovery (penemuan kembali) yang dihasilkan dari penelitian bagian pertama (Tabel 10). Hasil ini tidak jauh berbeda dibandingkan laporan penelitian lain pengukuran siklamat pada sampel pangan dengan KCKT yang menunjukkan tingkat penemuan kembali berkisar 88–101% dan LOD antara 0.4–5.0 mg/lt (Hauck & Kobler, 1990; Ruter & Raczek, 1992; Li & Yin, 1999: Choi et al., 2000). Di
Indonesia,
penyalahgunaan,
baik
pemakaian tujuan
siklamat
masih
penggunaannya
banyak maupun
terjadi tingkat
pemakaiannya. Dalam standar pemanis buatan (SK Kepala Badan POM No: HK.00.05.5.1.4547/2004), maksimum penambahan siklamat pada produk pangan diatur berkisar 250–3,000 mg/kg; sehingga dengan adanya metode kuantifikasi ini dapat dimanfaatkan dalam monitoring penggunaan siklamat sesuai standar tersebut. Berdasar perbandingan dengan standar diketahui bahwa tiga kelompok pangan menunjukkan konsentrasi siklamat di atas ambang batas yang diijinkan
yaitu komposit minuman coklat
56
(1,601.50 mg/kg dibanding standar 500 mg/kg), komposit minuman ringan (6,483.17 mg/kg dibanding standar 1,000 mg/kg), serta komposit minuman santan (8,882.71 mg/kg dibanding standar 250 mg/kg). Pada proses pengkompositan terdapat satu kelemahan mendasar yaitu adanya dilution efect. Sampel komposit terdiri dari beberapa jenis pangan yang dicampur dengan proporsi tertentu. Pangan dengan konsentrasi siklamat tinggi tetapi proporsinya kecil,
ketika dicampur
dengan pangan yang mengandung siklamat rendah tetapi proporsinya tinggi maka konsentrasinya menjadi lebih kecil. Hal ini mengakibatkan jika diukur tidak terdeteksi (dibawah LOD) karena terdapat faktor pengenceran (WHO, 1985). Kendala lain dari proses pengkompositan adalah ketidakmampuan suatu set sampel komposit untuk merepresentasikan variasi diet dari segmen yang berbeda pada suatu populasi, misalnya perbedaan kelompok umur, etnik, dan lain-lain (WHO, 1985). Data yang diperoleh dari suatu set sampel komposit dibatasi hanya untuk memperhitungkan asupan dari segmen populasi yang diwakili oleh sampel diet tersebut. Jadi dalam kasus kajian paparan ini, model pengkompositan pangan anak sekolah dasar di Surabaya hanya dapat digunakan untuk memperkirakan paparan pada populasi tersebut yaitu kelompok anak-anak usia 6–12 tahun. Adapun jika diperlukan untuk program TDS Nasional, harus disusun skema/rancangan sampel komposit yang berbeda-beda sesuai target populasi. 3. Perkiraan Paparan Siklamat berdasar Kelompok Pangan Penetapan perkiraan paparan dengan metode TDS menerapkan pengukuran langsung konsentrasi siklamat pada pangan yang dikonsumsi. Uji langsung konsentrasi siklamat pada sampel pangan dilakukan berdasarkan metode hasil pengembangan. Hasil perhitungan menunjukkan perkiraan paparan siklamat pada anak sekolah dasar (usia 6-12 tahun) di Surabaya diperoleh
sebesar
28.41 mg/kg bb/hari (258.27% ADI)
(Tabel 11), dengan paparan pengkonsumsi tinggi (persentil 90th) adalah 61.60 mg/kg bb/hari (560% ADI). Tingkat paparan ini hampir sama dengan perkiraan paparan BTP pada 72 murid SD di Malang dengan
57
metode analisis langsung (Gas Chromatography), yang menghasilkan rerata paparan siklamat sebesar 26.4 mg/kg bb/hari (240% ADI) (Slamet, 2004). Di Indonesia, kebutuhan uji langsung konsentrasi BTP pada sampel pangan menjadi penting, mengingat sering terjadinya penyimpangan terhadap batas penggunaan BTP (dalam hal ini siklamat). Adanya penyalahgunaan ini dapat menyebabkan interpretasi hasil yang berbeda pada kajian paparan, jika perhitungan paparan menggunakan acuan konsentrasi berdasar standar (metode MPLs). Ini dibuktikan dengan perkiraan paparan siklamat yang berdasarkan SK Kepala Badan POM No: HK.00.05.5.1.4547/2004 (Tabel 12) diperoleh tingkat paparan yang aman/di bawah ADI yaitu 2.99 mg/kg bb/hari (27.21% ADI). Adapun pada kajian paparan dengan metode TDS yang menerapkan pengukuran langsung dihasilkan tingkat paparan 28.41 mg/kg bb/hari, yang melebihi ADI (258.27% ADI). Di negara maju dengan tingkat kepatuhan relatif tinggi terhadap regulasi, studi estimasi paparan BTP dapat menggunakan data konsentrasi dengan metode MPLs. Penggunaan metode MPLs yang mengasumsikan konsumsi BTP pada pangan dalam jumlah maksimum, akan menghasilkan perkiraan paparan yang overestimate, sehingga tingkat asupan yang sesungguhnya diperkirakan lebih kecil. Hasil kajian paparan siklamat di negara lain secara umum memiliki rata-rata paparan di bawah nilai ADI, kecuali Swedia dan Australia yang paparan pengkonsumsi tingginya melebihi ADI. Perbandingan hasil kajian paparan di beberapa negara disajikan pada Lampiran 15. Dilihat berdasar jenis pangan, tingginya paparan siklamat pada anak sekolah dasar di Surabaya terutama disebabkan besarnya kontribusi paparan dari komposit pangan minuman coklat, minuman ringan, dan minuman santan. Jenis pangan es cincau dan es dawet secara individu menunjukkan tingkat paparan hampir 80% ADI. Diringkas secara umum dari Tabel 11 diketahui bahwa
golongan pangan siap saji (SS)
menyumbang sebagian besar paparan (83.36%) dibanding pangan olahan
58
Tabel 11 Perkiraan paparan siklamat pada anak sekolah dasar di Surabaya, dengan basis analisis konsentrasi langsung Konsumsi a) (g/hari/org)
Jenis Komposit Komposit MINUMAN COKLAT Komposit CONFECTIONERY 1. Permen Lunak 2. Permen Karet 3. Permen Keras Komposit BAKERI ISTIMEWA - Wafer - Biskuit - Donat Komposit ROTI MANIS Komposit MINUMAN RINGAN 1. Sari Buah 2. Minuman Isotonik 3. Minuman Karbonasi 4. Sirup 5. Minuman Serbuk
10.160
Konsentrasi b) (mg/kg) 1,601.50 83.28
0.0109 0.0107 0.0109
Paparan c) (mg/kg bb/hari) 0.5832
% ADI d) 5.3018
0.000033 0.000032 0.000033
0.0003 0.0003 0.0003
0.00082 0.00047 0.00135 0.03751
0.0075 0.0043 0.0123 0.3410
0.7371 1.2220 1.6910 0.1236 0.6713
6.7008 11.1095 15.3724 1.1238 6.1029
0.1853 0.0193 0.0004
1.6847 0.1758 0.0035
0.0086 0.0018
0.0785 0.0161
39.01 0.589 0.337 0.965 7.818
133.86 6,483.17
3.172 5.259 7.277 0.532 2.889 132.21
Komposit KOPI, TEH, MIN. HERBAL 1. Teh dalam Kemasan 2. Kopi Bubuk KUDAPAN KETAN (Bakpia) KUDAPAN BERAS a. Kue Lapis b. Serabi
39.108 4.080 1.893 6.427 1.318 20.974
KUDAPAN BUAH2AN (Kolak Pisang) MINUMAN BERSANTAN a. Es Cincau b. Es Dawet c. Es Teler d. Es Puter/Nong-Nong MADU
5.06 37.50
164.28
0.1378
1.2529
8,882.71 27.522 26.586 11.169 6.924 2.260 187.729
TOTAL
TOTAL (consumer’s only=711 resp)
a) Lampiran 8 kolom 5 b) Lampiran 11 kolom 4 Konsumsi x Konsentrasi c) Paparan = -------------------------------- ; 1000 x 27.9* Paparan d) % ADI = ------------- X 100% ; 11*
*
*
14.85 -
8.7624 8.4644 3.5560 2.2044 0.0013 28.4102
79.6579 76.9488 32.3268 20.0404 0.0122 258.2747
30.7804
279.8214
berat badan rata-rata hasil survei
Nilai ADI siklamat menurut JECFA
59
Tabel 12 Perkiraan paparan siklamat pada anak sekolah dasar di Surabaya berbasis konsentrasi maksimum yang diijinkan (SK Kepala Badan POM No: HK.00.05.5.1.4547/2004) Konsumsi (g/hari/org) a
Jenis Komposit Komposit MINUMAN COKLAT Komposit CONFECTIONERY 1. Permen Lunak 2. Permen Karet 3. Permen Keras Komposit BAKERI ISTIMEWA - Wafer - Biskuit - Donat Komposit ROTI MANIS Komposit MINUMAN RINGAN 1. Sari Buah 2. Minuman Isotonik 3. Minuman Karbonasi 4. Sirup 5. Minuman Serbuk
10.160
Konsentrasi (mg/kg) b 500 500
0.0109 0.0107 0.0109
3000
KUDAPAN BUAH2AN (Kolak Pisang)
TOTAL
0.0002 0.0012 0.0002
0.0018 0.0105 0.0018
0.589 0.337 0.965 7.818
0.0422 0.0242 0.0692 0.5604
0.3838 0.2196 0.6289 5.0948
2000 1000
3.172 5.259 7.277 0.532 2.889
0.1137 0.1885 0.2608 0.0191 0.1036
1.0336 1.7136 2.3711 0.1734 0.9414
0.0000 0.0000 0.1086
0.0000 0.0000 0.9869
0.3686 0.0756
3.3507 0.6871
0.1880
1.7085
0.2466 0.2382 0.1001 0.0620 0.0405 2.9934
2.2419 2.1657 0.9098 0.5640 0.3682 27.2123
39.108 4.080 1.893
1600 e 1600 e
6.427 1.318 20.974
250 f
27.522 26.586 11.169 6.924 2.260 187.729
500 h -
b)
Lampiran 8 kolom 5 Berdasar SK Kepala Badan POM No: HK.00.05.5.1.4547/2004
c)
Paparan = (Konsumsi x Konsentrasi) / 1000 x 27.9* *
berat badan rata-rata hasil survei * Nilai ADI siklamat menurut JECFA
d)
% ADI = (Paparan / 11*) x 100% ;
e)
Modifikasi Lampiran 3, No.kategori pangan C07.2.1 Modifikasi Lampiran 3, No.kategori pangan C04.1.2.8 Modifikasi Lampiran 3, No.kategori pangan C03.0 Modifikasi Lampiran 3, No.kategori pangan C11.4
f) g) h)
1.6553
250 g
MINUMAN BERSANTAN a. Es Cincau b. Es Dawet c. Es Teler d. Es Puter/Nong-Nong MADU a)
% ADI d
2000
Komposit KOPI, TEH, MIN. HERBAL 1. Teh dalam Kemasan 2. Kopi Bubuk KUDAPAN KETAN (Bakpia) KUDAPAN BERAS a. Kue Lapis b. Serabi
Paparan (mg/kg bb/hari) c 0.1821
60
(MD/ML, SP/PIRT) yaitu 16.64%. Pada golongan pangan siap saji, kontribusi terbesar paparan siklamat berasal dari kelompok minuman santan yaitu 99.42%; sedangkan untuk pangan olahan, kontribusi terbesar paparan siklamat berasal dari kelompok minuman ringan sebesar 84.26%. Hasil ini serupa dengan temuan Slamet (2004) yang menyebutkan bahwa kontribusi terbesar paparan siklamat (± 63%) berasal dari kelompok pangan jajanan jenis minuman/es. Sementara survei FSANZ (2007) pada anak kelompok usia 2-11 tahun memperlihatkan kontribusi pangan utama terhadap paparan siklamat berasal dari minuman ringan berperisa (intensely sweetened soft-drink) sebesar 60% dan cordials 51%. Pada kajian paparan dengan metode TDS yang umumnya menggunakan sampel komposit, identifikasi sumber paparan yang dominan hanya dapat diperkirakan berdasar kelompok pangannya (foodgroup), sedangkan jika ingin mengetahui sumber paparan sesungguhnya dapat dilakukan melalui analisis lebih lanjut terhadap masing-masing pangan anggota kelompok (Gao, 2004). 4. Perkiraan Paparan Individu Berdasar pengolahan data sederhana diperoleh beberapa statistik paparan individu yaitu nilai tengah (median) 15.62 mg/kg bb/hari dan rerata (mean) 28.41 mg/kg bb/hari. Frekuensi tertinggi paparan siklamat dari 715 responden anak sekolah dasar di Surabaya berada pada rentang 10.00–20.00 mg/kg bb/hari yaitu 232 responden (Gambar 7). Sebanyak 58.74% responden
(± 420 anak) memiliki paparan diatas nilai ADI.
Sementara survei kajian paparan siklamat di Australia terhadap 3,529 responden anak usia 2-11 tahun menunjukkan sekitar 16-19% responden memiliki paparan siklamat melebihi ADI (FSANZ, 2007). Tingginya paparan siklamat pada kasus anak sekolah dasar di Surabaya ini perlu mendapat perhatian mengingat kelompok anak-anak tergolong populasi risiko tinggi (mempunyai paparan tinggi), disebabkan konsumsi per kg berat badan lebih tinggi dibanding orang dewasa (FSANZ, 2007). Selain itu, anak-anak juga cenderung memiliki proporsi
61
konsumsi pilihan terhadap pangan yang mengandung siklamat tinggi seperti minuman ringan, jeli, cordials dan lain-lain.
232
240 220
Frekuensi (Jumlah responden)
200 180 160
150
140 122 120 100 72
80
63
60 40 20
23
15
22
14
2
0 0.00
1.00
5.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00 150.00
> 150
Kisaran paparan (mg/kg bb/hr)
Gambar 7 Distribusi frekuensi paparan siklamat pada anak sekolah dasar di Surabaya
62
V. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Kondisi optimal kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) fase balik untuk penetapan siklamat diperoleh pada rasio fase gerak bufer fosfat–metanol (85:15), dengan waktu retensi sekitar 7.0 menit. Parameter k’ ≤ 3 dan resolusi (R) 3.9–6.3 menunjukkan kriteria pemisahan yang cukup baik. Penggunaan solven non polar yaitu eter pada ekstraksi cair-cair siklamat yang polar dapat dilakukan dengan memodifikasi penambahan
larutan H2SO4 10% untuk
mengatur kondisi larutan sampel menjadi pH 1. Proses ekstraksi pada
model pangan menunjukkan keberhasilan
dengan diperolehnya rasio distribusi (D) minuman ringan, puding/agar, roti berturut-turut sebesar 18.50, 4.84, dan 9.41; sedangkan koefisien distribusi (KD) masing-masing adalah 18.69, 4.89, dan 9.50. Untuk tingkat efisiensi ekstraksi (%E) diperoleh: minuman ringan 94.92%, puding/agar 83.04%, roti 90.47%. Proses ekstraksi cair-cair masih kurang optimal untuk pangan jenis puding/agar. Pengukuran kadar siklamat pada sampel komposit pangan anak sekolah berdasarkan metode hasil pengembangan menunjukkan kisaran konsentrasi antara 5.06–8,882.71 mg/kg. Nilai ini menghasilkan perkiraan paparan siklamat pada anak sekolah dasar di Surabaya sebesar 28.41 mg/kg bb/hari, yang melebihi ADI (258.27% ADI); dengan paparan pengkonsumsi tinggi (persentil 90th) mencapai 61.60 mg/kg bb/hari (560% ADI). Estimasi paparan siklamat berdasar uji langsung tersebut menunjukkan interpretasi kajian paparan yang berbeda jika dibandingkan estimasi paparan siklamat berdasar SK Kepala Badan POM No: HK.00.05.5.1.4547/2004) yang menghasilkan nilai di bawah ADI yaitu 2.99 mg/kg bb/hari (27.21% ADI). Perkiraan paparan individu menunjukkan nilai tengah (median) 15.62 mg/kg bb/hari dan rerata (mean) 28.41 mg/kg bb/hari. Sebanyak 58.74% responden dari 715 anak sekolah dasar di Surabaya
memiliki paparan
siklamat di atas nilai ADI, dengan frekuensi tertinggi paparan individu (232 responden) berada pada rentang paparan siklamat 10.00–20.00 mg/kg bb/hari.
63
B. SARAN Perlu dipertimbangkan penerapan metode ASE (Accelerated Solvent Extraction) atau SPE (Solid Phase Extraction) yang hanya memerlukan 5–10 ml pelarut untuk sekali ekstraksi, guna mengurangi kebutuhan pelarut (20–25 ml/esktraksi), walaupun untuk itu perlu memperhitungkan dengan biaya investasi peralatan. Percobaan pengembangan metode ini masih terbatas menggunakan tiga macam model pangan, sehingga untuk lebih memperluas cakupan disarankan menggunakan model pangan yang lebih beragam seperti pangan berlemak atau berbagai pangan emulsi. Direkomendasikan untuk melakukan validasi terhadap metode hasil pengembangan, baik secara intralaboratory maupun interlaboratory, sebelum diimplementasikan sebagai metode standar dalam kajian paparan. Perlu dikembangkan lebih jauh penggunaan metode TDS, sebagai dasar penetapan karakterisasi risiko BTP dan juga untuk evaluasi kebijakan dalam bidang keamanan pangan di Indonesia.
64
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1999. Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Ed ke-16. Virginia: AOAC Inc. [Badan POM] Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Direktorat Surveilan dan Keamanan Pangan. 2005. Modul Total Diet Study (TDS). Jakarta: Badan POM. [Badan POM] Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Direktorat Surveilan dan Keamanan Pangan. 2004. Surat Keputusan Kepala Badan POM RI No: HK.00.05.5.1.4547 tentang Peraturan Teknis Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Badan POM. Bär A, Bierman C. 1992. Intake of intense sweeteners in Germany. Z Ernahrungswiss 31(1):25-29. [terhubung berkala]. http://www. ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez [10 Juli 2007]. Barraj LM, Petersen BJ. 2004. Food consumption data in microbiological risk assessment. J Food Protec 67(9):1972-1976. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004. Standar Nasional Indonesia Nomor : 01-6993-2004 tentang Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan. Jakarta: Deprindag. Beck MH. 1984. Non Nutritive Sweeteneers Saccharine and Cyclamate. Ed ke-2. Florida : CRC Press Inc. Branen AL, Davidson PM, Salminen S. 1990. Food Additives. New York: Marcel Dekker Inc. Breithaupt, DE. 2004. Simultaneous HPLC determination of carotenoids used as food coloring additives: applicability of accelerated solvent extraction. Food Chem 86:449 – 456. Brown PR. 1993. High Pressure Liquid Chromatography : Biochemical and Biomedical Applications. New York : Academy Press. Brusick D, Cifone M, Young R, Benson S. 1989. Assessment of the genotoxicity of calcium cyclamate and cyclohexylamine. Environ Mol Mutagen 14:3 abstrak [terhubung berkala] http://toxsci.oxfordjournals.org/cgi [30 April 2006].
65
[CCC] Calorie Control Council. 2006. Calcium cyclamate, sodium cyclamate and cyclohexylamine. [terhubung berkala]. http://www.caloriecontrolcouncil [7 Sept 2006]. Choi MMF, Hsu MY, Wong SL. 2000. Determination of cyclamate in low-calorie foods by high-performance liquid chromatography with indirect visible photometry. Analyst 125:217-220. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ sites/entrez [3 Sept 2006]. Egan SK, Tao SSH, Pennington JAT, Borlinger PM. 2002. US Food and Drug Administration TDS : Intake of Nutritional and Toxic Elements. Food Addit Contam 19:103-125. Ershoff BM. 1972. Comparative Effect of Purified Diet and Stock Ration on Sodium Cyclamate in Rats. Experimental Biology and Medicine 141:857862. [FSANZ] Food Standards Australia New Zealand. 2007. Review of cyclamate permissions. Draft Assessment Report. [terhubung berkala].http://www. foodstandards.gov.au/standardsdevelopment [7 Agustus 2007]. [FSANZ] Food Standards Australia New Zealand. 2004. Review of cyclamate permissions. Initial Assessment Report. [terhubung berkala]. http://www. foodstandards.gov.au/standardsdevelopment [7 Agustus 2007]. Furia TE, editor. 1980. Handbook of Food Additives. Ohio:The Chemical Rubber Co. Gao J. 2004. The 2000 Chinese Total Diet Study: Methodology and Results. Presented in The 3rd International Workshop on Total Diet Studies 14-21 May 2004, Paris, France, World Health Organization (WHO). http://www.who.int/entity/foodsafety/publications/chem/TDS_Paris_2004 _en.pdf [7 Agustus 2007] German Food Act. 1999. Foodstuff – Determination of cyclamate – High performance liquid chromatography method. The CEN (European Committee for Standardization. http://www.cenorm.be/catweb/cwsen. htm [10 Juli 2007]. Gritter RJ, Bobbitt JM, Schwarting AE. 1991. Pengantar Kromatografi. Padmawinata K, penerjemah ; Bandung : Penerbit ITB. Terjemahan dari : Introduction to Chromatography. Handley AJ. 1999. Extraction Methods in Organic Analysis. Sheffield:Sheffield Academic Press.
66
Hanine H, Conte T, Mourgues J. 2005. Recovery of acotinic acid from stimulated aqueous effluents of the sugar-cane industry through liquid-liquid extraction. Biores Tech 52:33-36. Harris DC. 1999. Quantitative Chemical Analysis. Fifth Ed. New York:Freeman and Co. Hauck M, Kobler H. 1990. Determination of cyclamate in complex matrix using HPLC after column derivatization with 4-fluoro-7-nitrobenzofurazan. Z Lebensm Unters Forsch 191(4-5):322-324. [terhubung berkala]. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ sites/entrez [3 Sept 2006]. Ilback NG, Alzin M, Jahri S, Enghardt-Barbieri H, Busk L. 2003. Estimated intake of the artificial sweeteners acesulfame-K, aspartame, cyclamate and saccharin in a group of Swedish diabetics. Food Addit Contam 20:2 abstrak [terhubung berkala]. http://toxsci.oxfordjournals.org/cgi [30 April 2006]. Indrotristanto, N. 2006. Risk Assessment Activities in Indonesia. [Thesis] Australia: School Of Chemical Sciences And Engineering, The University Of New South Wales. [JECFA] Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additive. 2001. Guidelines for the Preparation of Working Paper on Intake of Food Additive. Geneva: JECFA FAO/WHO. [JECFA] Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additive. 1982. Calcium cyclamate, sodium cyclamate and cyclohexylamine. WHO FAS 17. Geneva:WHO. Johnson EL, Stevenson R. 1991. Dasar Kromatografi Cair. Padmawinata K, penerjemah ; Bandung : Penerbit ITB. Terjemahan dari : Basic Liquid Chromatography. Krstulovic AM, Brown PR. 1982. Reversed-Phase High-Performance Liquid Chromatography : Theory, Practice, and Biomedical Applications. New York: John Wiley & Sons. Kusumaningrum HD, Rahayu WP, Sparringa RA. 2004. Prinsip Kajian Risiko secara Kuantitatif. Jakarta: Badan POM. Lawrence JF. 1987. Use of post-column ion-pair extraction with absorbance detection for the liquid chromatographic determination of cyclamate and other artificial sweeteners in diet beverages. Analyst 112:879-881. [terhubung berkala]. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ sites/entrez [3 Sept 2006].
67
Lawrence JF, Charbonneau CF. 1988. Determination of seven artificial sweeteners in diet food preparation by reverse-phase liquid chromatography with absorbance detection. J Assoc Off Anal Chem 71(5):934-937. [terhubung berkala]. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ sites/entrez [3 Sept 2006]. Lehr M. 1991. Simple and specific HPLC procedure for determination of cyclamate in fruit juice beverages after conversion to N,Ndichlorocyclohexylamine. Z Lebensm Unters Forsch 187(2):127-129. [terhubung berkala]. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ sites/entrez [7 Sept 2006]. Leth T, Fabricius N, Fagt S. 2007. Estimated intake of intense sweeteners from non-alcoholic beverages in Denmark. Food Addit Contam 24(3):272-235. [terhubung berkala]. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ sites/entrez [10 Juli 2007]. Li Z, Yin Y. 1999. A rapid separation and quantification of sodium cyclamate in food by ion-pair reversed-phase high performance liquid chromatography. Se Pu 17(3):278-9. Mathlouthi M, Bressan C. 1993. Low-Calorie Foods and Food Ingredients. Glasgow:Blackie. Ningrum A. 2005. Stabilitas Zat Pewarna Alami dari Daun Erpa (Aerva sp) dalam Model Minuman Ringan dan Puding Agar. [Skripsi] Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nur A, Adijuwana H. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologis. Bogor: PAU Pangan dan Gizi. Ofitserova M, Nerkar S, Pickering M. 2005. Artificial sulfonamide sweeteners in food products. Food & Bev Adv Sup:55. http://www.pickeringlabs.com [3 Sept 2006]. [PKMT] Pusat Kajian Makanan Tradisional. 1990. Kumpulan Makanan Tradisional II. Bogor: PKMT IPB. Prasetyaningtias A. 2003. Validasi dan Verifikasi Metode Analisis. [Makalah] Pelatihan Teknis Analisis dengan Instrumen, Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional, Jakarta:Badan POM RI. Renwick AG, Thompson JP, O’Shaughnessy M, Walter EJ. 2004. The metabolism of cyclamate to cyclohexylamine in humans during long-term administration. Toxicol Appl Pharmacol 196(3):367-380.
68
Roch OG, Blunden G, Coker RD, Nawaz S. 1995. The validation of a solid phase clean-up procedure for the analysis of aflatoxins in groundnut cake using HPLC. Food Chem 52:93 – 98. Ruter J, Raczek DI. 1992. Sensitive and selective HPLC methods with prechromatographic derivatization for the determination of cyclamate in foods. Z Lebensm Unters Forsch 194(6):520-523. [terhubung berkala]. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ sites/entrez [3 Sept 2006]. Sarifudin, A. 2004. Kajian Paparan Bahan Tambahan Pangan Berdasarkan Data Konsumsi Pangan Individu di Kabupaten Bogor. [Skripsi] Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [SCF] Scientific Committee on Food. 2000. Revised opinion on cyclamic acid and its sodium and calcium salts. Di dalam: [FSANZ] Food Standards Australia New Zealand. 2007. Review of cyclamate permissions. Draft Assessment Report. [terhubung berkala]. http://www.foodstandards. gov.au/standardsdevelopment [7 Agustus 2007]. Schenk GH, Hahn RB, Hartkopf AV. 1990. Introduction to Analytical Chemistry. 2nd Ed. Toronto:Allyn and Bacon Inc. Schwedt G, Hauck M. 1988. A new HPLC procedure for cyclamate in food with pre-chromatographic derivatization. Z Lebensm Unters Forsch 187(2):127129. [terhubung berkala]. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ sites/entrez [7 Sept 2006]. Sintawatie, I. (2006) Pengembangan Database Bahan Tambahan Pangan dan Kontaminan untuk Kajian Risiko. [Skripsi] Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Slamet R. 2004. Kajian Paparan Bahan Tambahan Pangan dan Bahan Berbahaya dengan Metode Total Diet Study [Tesis] Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Snyder LR, Kirkland JJ, Gladch JL. 1997. Practical HPLC Method Development. Ed ke-2. New York:John Wiley and Sons Inc. Sparringa RA. 2002. Pengantar Surveilan Keamanan Pangan. Di dalam: Badan POM, editor. Surveilan Keamanan Pangan. Jakarta: Badan POM, Deputi Bidang Pengawasan Pangan dan Bahan Berbahaya. Sparringa RA, Fardiaz D. 2002. Development of Food Diary Method: Self Assessment of Exposure Level to Food Additives, Presented in The 2nd ASEAN Food Safety Standards Harmonization Workshop, Kuala Lumpur, Malaysia, ILSI SEA.
69
Sparringa RA, Kusumaningrum HD, Rahayu WP. 2004. Aplikasi Kajian Risiko Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Badan POM. Sparringa RA, Rahayu WP. 2004. Prinsip-prinsip Analisis Risiko. Jakarta: Badan POM. Sparringa RA, Rahayu WP. 2006. Food Contamination Monitoring Programme and Preparation of the Total Diet Study in Indonesia, Presented in The 4th International Workshop on Total Diet Studies 23-27 October 2006, Beijing, China, World Health Organization (WHO). http://www. who.int/entity/foodsafety/publications/chem/TDS_Beijing_2006_en.pdf [7 Agustus 2007]. Swadesh JK. 2001. HPLC:Practical and Industrial Applications. Second Ed. Washington:CRC Press. Swartz ME, Krull IJ. 1997. Analytical Method Development and Validation. New York: CRC Press. http://books.google.co.id/images/cleardot.gif [7 Agustus 2007]. Takayama S et al.. 2000. Long-term toxicity and carcinogenicity study of cyclamate in nonhuman primates. Toxicol Sci 53:1 abstrak [terhubung berkala]. http://toxsci.oxfordjournals.org/cgi [30 April 2006]. Walpole R. 1992. Pengantar Statistik. Edisi ketiga. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama. Wasik A, Buchgraber M. 2007. Foodstuff – Simultaneous determination of nine sweeteners by high performance liquid chromatography and evaporative light scattering detection. Validated method. European Commission, Directorate-General Joint Research Centre, Institute for Reference Materials and Measurements, Geel, Belgium. http://www.irmm.jrc.be/ html/activities/ food_additives/index.htm [10 Juli 2007]. [WHO] World Health Organization. 1985. Guidelines for The Study of Dietary Intakes of Chemical Contaminants. Geneva: WHO. Zhu Y, Guo Y, Ye M, James FS. 2005. Separation and simultaneous determination of four artificial sweeteners in food and beverages by ion chromatography. J Chromatogr A 1085:143 – 146.
70
Lampiran
71
Lampiran 1. Penggolongan pangan berdasar Kategori Pangan Indonesia
01.0
Produk-Produk Susu, Kecuali yang Termasuk Kategori 02.0 01.1 Susu dan Minuman Berbasis Susu 01.2 Susu Fermentasi dan Produk Susu Hasil Hidrolisa Enzim Renin (Tawar) 01.3 Susu Kental dan Tiruannya 01.4 Krim (Tawar) dan Sejenisnya, Termasuk Semua Krim Atau Krim Tiruan Berbentuk Cair, Semicair, atau Semipadat. 01.5 Susu Bubuk dan Krim Bubuk dan Bubuk Tiruan (Tawar) 01.6 Keju dan Keju Tiruan 01.7 Makanan Pencuci Mulut Berbahan Dasar Susu (Misalnya Es Susu, Puding, Buah atau Yogurt Berperisa) 01.8 Whey dan Produk Whey, Selain Keju Whey
02.0
Lemak, Minyak, dan Emulsi Minyak 02.1 Lemak dan Minyak yang Tidak Mengandung Air 02.2 Emulsi Lemak Terutama Tipe Emulsi Air Dalam Minyak 02.3 Emulsi Lemak Selain Kategori 02.2 02.4 Makanan Penutup Atau Pencuci Mulut Berbasis Lemak
03.0
Es yang dapat dimakan (es lilin, es mambo)
04.0
Buah-Buahan dan Sayuran (Termasuk Jamur, Umbi, Kacang-kacangan Termasuk Kacang Kedelai, dan Lidah Buaya), Rumput Laut, Biji-Bijian 04.1 Buah-Buahan 04.1.1 Buah-Buahan Segar 04.1.2 Buah Olahan 04.2 Sayuran (Termasuk Jamur, Akar, Umbi, dan Aloe Vera) Rumput Laut, Kacang-Kacangan dan Polong-Polongan Serta Biji-Bijian 04.2.1 Sayuran, Kacang-Kacangan dan Biji-Bijian Segar Umumnya Bebas Dari Bahan Tambahan Pangan 04.2.2 Sayuran, Rumput Laut, Kacang-Kacangan dan Biji-Bijian Olahan
05.0
Confectionery 05.1 Produk kakao dan coklat termasuk coklat imitasi dan pengganti coklat 05.2 Confectionery meliputi permen keras dan lunak, nougats,dll diluar produk pangan kategori 05.1 dan 05.4 05.3 Permen karet 05.4 Dekorasi (misalnya untuk bakery), Topping (non-buah) dan saus manis
72
06.0
Serealia dan Produk-Produk Serealia yang Merupakan Produk Turunan Dari Biji Serealia, Akar-Akaran dan Umbi-Umbian, Kacang-Kacangan, Polong-Polongan dan Empulur (Bagian dalam Batang Tanaman), Selain Produk-Produk Bakeri Pada Kategori Pangan 07.0 06.1 Biji-Bijian Utuh, Patahan, atau Serpihan 06.2 Tepung-Tepungan dan Pati-Patian 06.3 Serealia Untuk Sarapan, Termasuk Rolled Oats 06.4 Pasta dan Mi Serta Produk Sejenisnya (Misalnya Rice Paper, Vermiseli Beras/Bihun) 06.5 Makanan Penutup Berbasis Serealia dan Pati (Misalnya Puding Nasi, Puding Tapioka) 06.6 Tepung Panir (Misalnya Untuk Melapisi Permukaan Ikan atau Daging Ayam) 06.7 Kue Beras (Jenis Oriental 06.8 Produk-Produk Kedelai
07.0
Produk Bakeri 07.1 Roti dan Produk Bakeri Tawar dan Premix 07.2 Produk bakeri istimewa (manis, asin, gurih)
08.0
Daging dan olahan daging, termasuk daging unggas dan daging hewan buruan 08.1 Daging unggas dan hewan buruan segar 08.2 Daging unggas dan hewan buruan olahan, utuh atau potongan 08.3 Produk olahan daging unggas dan hewan buruan yang dihancurkan 08.4 Edible casing
09.0
Ikan dan Produk Perikanan Termasuk Moluska, (Kerang, Bekicot atau Siput Laut), Crustacea (Kepiting dan Udang) dan Echinoderma (Teripang) 09.1 Ikan dan Produk Perikanan Segar, Termasuk Moluska, Crustacea dan Echinoderma 09.2 Ikan dan Produk Perikanan Lainnya Termasuk Moluska, Crustacea dan Echinoderma yang Sudah Mengalami Pengolahan 09.3 Ikan dan Produk Perikanan Termasuk Moluska, Crustaceans dan Echinoderma yang Semi Awet 09.3 Ikan dan Produk Perikanan Awet, Meliputi Ikan dan Produk Perikanan yang Dikalengkan atau Difermentasi
10.0
Telur dan Produk-produk Telur 10.1 Telur Segar 10.2 Produk telur 10.3 Telur yang Diawetkan 10.4 Makanan Penutup Berbahan Dasar Telur (Misalnya Custard)
11.0
Pemanis, Termasuk Madu 11.1 Gula mentah dan gula dimurnikan (rafinasi) 11.2 Gula merah, tidak termasuk dalam kategori pangan 11.1.3
73
11.3 11.4 11.5 11.6
Larutan gula dan sirup, juga gula invert (sebagian), termasuk treacle dan molasses Gula dan sirup lainnya Madu Pemanis buatan
12.0
Garam, Rempah-Rempah, Sup, Saus, Salad, Produk-Produk Protein 12.1 Garam 12.2 Herba, Rempah-Rempah, Bumbu (Termasuk Pengganti Garam) dan Kondimen (Misalnya Bumbu Mi Instan) 12.3 Vinegar 12.4 Mustard 12.5 Sup dan kaldu 12.6 Saus dan Produk Sejenis 12.7 Produk Oles Untuk Salad (Misalnya Salad Makaroni, Salad Kentang) dan Sandwich, Tidak Mencakup Produk Oles Berbasis Coklat dan Kacang yang Termasuk Kategori Pangan 04.2.2.5 Dan 05.1.3 12.8 Kamir Dan Produk Sejenis. 12.9 Produk protein
13.0
Produk pangan untuk keperluan gizi khusus 13.1 Formula untuk bayi dan formula lanjutan 13.2 Makanan bayi dan anak dalam masa pertumbuhan 13.3 Makanan diet khusus untuk keperluan kesehatan, termasuk untuk bayi dan anak-anak 13.4 Formula diet untuk pelangsing dan penurun berat badan 13.5 Makanan diet (suplemen pangan untuk diet) yang tidak termasuk produk kategori pangan 13.1-13.4 13.6 Suplemen pangan
14.0
Minuman, Tidak Termasuk Produk Susu 14.1 Minuman Ringan Tidak Beralkohol 14.2 Minuman Beralkohol, Termasuk Minuman Serupa yang Bebas Alkohol atau Rendah Alkohol
15.0
Makanan ringan siap santap 15.1 Makanan ringan-berbahan dasar kentang, serealia, tepung atau pati (dari umbi-umbian dan kacang-kacangan) 15.2 Olahan kacang-kacangan termasuk kacang terlapisi dan campuran kacang 15.3 Makanan ringan berbasis ikan
16.0
Pangan komposit dan pangan yang tidak termasuk kategori
01-15
74
Lampiran 2. Penggolongan pangan berdasar PKMT (1990) Kode
K
Gol Nomor Jenis KUDAPAN ATAU JAJANAN Kudapan Berbahan Dasar Ketan K.01 K.01.001 Alen-Alen K.01.002 Awuk-Awuk K.01.003 Bugis K.01.004 Candil K.01.005 Getas K.01.006 Gemblong K.01.007 Jadah K.01.008 Jenang K.01.009 Dodol K.01.0010 Ketan Bubuk Dele K.01.0011 Klepon K.01.0012 Krasikan K.01.0013 Lemper K.01.0014 Lopis ketan K.01.0015 Madu mongso K.01.0016 Mendut K.01.0017 Moto kebo K.01.0018 Lepet ketan K.01.0019 Onde-onde K.01.0020 Opak K.01.0021 Putu Tegal K.01.0022 Rengginang K.01.0023 Semar mendem K.01.0024 Wajik Ketan Kudapan Berbahan Dasar Beras K.02 K.02.001 Arem-arem K.02.002 Cara bikang K.02.003 Geplak K.02.004 Jongkong K.02.005 Cucur K.02.006 Kue lapis K.02.007 kue mangkok K.02.008 Meniran K.02.009 Nagasari K.02.0010 Putu mayang K.02.0011 Rempeyek bayam K.02.0012 Serabi Berbahan dasar Terigu/Gandum/Sagu K.03 K.03.001 Bakwan
75
K.04
K.05
K.06
K.07
K.03.002 Cakue K.03.003 Ganasturi K.03.004 Kue lumpur K.03.005 Lumpia goreng K.03.006 Martabak telur K.03.007 Pastel K.03.008 Pilus K.03.009 Risoles Berbahan dasar Singkong K.04.001 Cenil K.04.002 Getuk K.04.003 Jemblem K.04.004 Keripik Singkong K.04.005 Lapis kanji K.04.006 Rondo royal K.04.007 Sawut K.04.008 Tiwul Berbahan dasar Ubi Jalar K.05.001 Carang mas K.05.002 Keremes K.05.003 Kue Talam K.05.004 Lemet K.05.005 Timus K.05.006 Ubi jalar goreng Berbahan dasar Buah-buahan K.06.001 Ampyang K.06.002 Carang gesing K.06.003 Geti K.06.004 Grontol K.06.005 Kue Satu K.06.006 Lepet Jagung K.06.007 Manisan Belimbing K.06.008 Manisan Cerme K.06.009 Manisan Pala Basah K.06.0010 Manisan Pala Kering K.06.0011 Papais Pisang K.06.0012 Pisang Goreng K.06.0013 Rempeyek kacang Kudapan berbahan Dasar Lain-lain K.07.001 Asinan Bogor K.07.002 Bakwan Taoge atau Ote-Ote K.07.003 Kacang Bogor Rebus K.07.004 Keripik Oncom
76
K.07.005 K.07.006 K.07.007 K.07.008 MI
Sosis Solo Tahu Berontak Talas Kukus Tempe Goreng Tepung
MINUMAN MI.01 Minuman Bersantan MI.01.001 Angsle MI.01.002 Bajigur MI.01.003 Es Buah Siwalan MI.01.004 Es Camcao (Cincau Hijau) MI.01.005 Es Cincau MI.01.006 Es Dawet/Cendol MI.01.007 Es Doger MI.01.008 Es Godir MI.01.009 Es Puter MI.01.0010 Es Teler MI.01.0011 Wedang Kacang MI.01.0012 Wedang Ublek MI.02 Minuman Sirup MI.02.001 Es Kelapa Muda MI.02.002 Es Kopyor MI.02.003 Es Mambo MI.02.004 Es Selasih MI.02.005 Es Soda Gembira MI.03 Minuman Beraroma Rempah MI.03.001 Aeng Laos MI.03.002 Bandrek MI.03.003 Beras kencur MI.03.004 Gula Asem MI.03.005 Sekoteng MI.03.006 Semelak pace MI.03.007 Sinom MI.03.008 Temulawak MI.03.009 Wedang Jahe MI.03.0010 Wedang Kopi Jahe MI.03.0011 Wedang Kunir MI.03.0012 Wedang Ndongo MI.03.0013 Wedang Ronde MI.03.0014 Wedang Secang MI.03.0015 Wedang Serai MI.04 Minuman Buah-buahan MI.04.001 Es Alpukat MI.04.002 Es Campur
77
MI.05
MI.04.003 Setup Jambu Biji MI.04.004 Wedang/Es Jeruk MI.04.005 Wedang Tomat (Rembang) Minuman Lain-lain MI.05.001 Teh Poci MI.05.002 Wedang Kopi/Kopi Tubruk MI.05.003 Wedang Tape
* Sumber : PKMT (1990)
78
Lampiran 3. Konsentrasi maksimum penggunaan siklamat pada pangan olahan berdasar Kategori Pangan Indonesia No. kategori pangan 03.0 04.1.2.8
05.1 05.2
05.3 07.2.1 07.2.2 11.4 14.1.4.1 14.1.4.2
Kategori pangan Es, termasuk sherbet dan shorbet Bahan baku berbasis buah-buahan, meliputi bubur buah, puree, topping buah dan santan kelapa Produk kakao dan produk coklat termasuk coklat imitasi dan coklat pengganti Kembang gula termasuk permen keras dan permen lunak, nougats, dan lain-lain. Selain dari kategori 05.1, 05.3, 05.4 Permen karet Kue, cookies dan pai (misalnya: yang diisi buahbuahan atau puding) Produk fine bakery lainnya (misalnya: donut, roti gulung manis, scone, dan muffin) Gula dan sirup lainnya (misalnya: xylose, maple syrup, sugar toppings) Minuman berkarbonasi Minuman non-karbonasi, termasuk punches dan ades
Batas penggunaan maksimum (mg/kg) 250 250 500 500 3000 1600 2000 500 1000 1000
• Sumber SNI 01-6993-2004 dan SK Kepala Badan POM No:HK.00.05.5.1. 4547/2004
79
Lampiran 4. Perhitungan Ka dan [H+] pada ekstraksi cair-cair siklamat a) Penentuan Ka siklamat Berdasar informasi Morris (1980), diacu dalam Furia (1980) bahwa 10% larutan Na-siklamat mempunyai pH 6.5, maka: [H+] [H+]
= 10 –pH = 10 -6.5 = 3.162 x 10 -7
Konsentrasi siklamat BM Na-siklamat Mol Na-siklamat Molaritas Na-siklamat
= 10% (b/v) ≤ 1 g/10 ml = 201.22 = 1 g/201.22 = 0.00497 = 0.00497 / 0.01 l = 0.497 M
Persamaan reaksi : (dianggap terionisasi sempurna) Na+ + OH- + H-siklamat 0.497
Na-siklamat + H2O 0.497 H-siklamat 0.497
H+ + [siklamat]3.162 x 10 -7
Ka
[H+] [siklamat]= ---------------------[H-siklamat]
[siklamat]- ≤ [H-siklamat] karena diasumsikan [H-siklamat] mengion semua
Ka
(3.162 x 10 -7) (0.497) = ----------------------------- = 3.162 x 10 -7 (0.497)
b) Penentuan [H+] pada Sampel Minuman Ringan Konsentrasi siklamat yang ditambahkan = 1000 mg/l (1 g) / 201.22 Konsentrasi molar = ------------------- = 0.00497 l Diambil 25 ml sampel dan dicampur air hingga volume 50 ml : 25 Konsentrasi = 0.00497 x ---- = 0.002485 50 H-siklamat 0.002485
H+ x
+ [siklamat]x
80
Ka
[H+] [siklamat]= ---------------------[H-siklamat]
(x) (x) 3.162 x 10 -7 = ------------0.002485 x2 = 7.858 x 10 -10 x [H+] = 2.803 x 10 -5 Sehingga persamaan reaksi pada kondisi kesetimbangan adalah: Setimbang:
H-siklamat 0.002485
H+ + -5 2.803 x 10
[siklamat]2.803 x 10 -5
45
Lampiran 5. Penentuan LOD dan LOQ siklamat pada model pangan No
Pengenceran 1 2 3 4 5 6 7 8
-
KONSENTRASI (ppm) 208.46 416.92 625.38 833.84 1042.3 1250.76 1459.23 1667.68
AREA SAMPEL 80886 158974 240083 322580 404217 486613 563135 642628
AREA HITUNG (Yres) 80130 160775 241420 322064 402709 483354 564003 644644
Yres - Yi 756.0744 1800.7612 1336.5968 515.5676 1507.7320 3258.8964 867.8078 2015.7748 Jumlah =
Yres - Yi 2 571648.4983 3242740.8994 1786491.0058 265809.9502 2273255.7838 10620405.7459 753090.3777 4063348.0443 23576790.3055 3929465.051
* Persamaan kurva kalibrasi : y = 386.86X - 514.91 ; a = 386.86 b = 514.91 R 2 = 0.9999 * Perhitungan ; 386.86 SD res (Sy/x) = Yres - Yi
2
/ (n-2) = 1982.29
514.91 1982.287833
* LOD = 3. (Sy/x)/b : 11.55 mg/kg * LOQ = 10. (Sy/x)/b : 38.50 mg/kg
11.5493 38.4978
46
Lampiran 6. Kurva kalibrasi siklamat pada model pangan
Luas Area (AU)
700000 630000
y = 386.86x - 514.91
560000
R = 0.9999
2
490000 420000 350000 280000 210000 140000 70000 0 0
200
400
600
800
1000
Konsentrasi (mg/kg)
1200
1400
1600
1800
47
Lampiran 7. Ringkasan penyusunan food list pada pangan yang dikonsumsi oleh anak sekolah dasar di Surabaya*
No
Nama
Kg bb
PERMEN LUNAK Porsi Frekue Konsumsi nsi (kg) 0.01 0.4285
1
Djamilah Hamidayanti
12.5
2
Renaldi Arya Pratama
16.0
0.2
0.2857
3
Fina Ulia Farhataini
13.5
0.2
0.1428
4
Choirul Anam
20.0
5
Irfan Ardiansyah
20.5
712
Jevon Jodjana
40.0
0.2
0.0333
0.005
0.0333
713
Angeline Gunawan
34.5
0.2
0.0333
0.0025
1
714
Riza Hafisan Zihai
46.0
0.005
0.0666
715
Kevin Irwanto
44.5
716
Nilatul Afroh
49.0
TOTAL Responden RATA - RATA *
MINUMAN COKLAT Porsi Frekue Konsumsi nsi (kg)
data lengkap tidak ditampilkan
1
0.2
0.0333
0.003
0.2857
28.640
181.86
0.015
363.73
716 27.9
0.005
0.04000
716 0.2540
0.000021
ES PUTER Porsi Frekue Konsumsi nsi (kg) 0.075 0.1 0.075
0.4285
0.075
0.4285
0.03
0.1428
13.472
263.49
716 0.5080
0.0188160
MADU Porsi Frekue Konsumsi nsi (kg) 0.02 0.1428 0.01
1
0.02
0.0333
4.606
251.53
716 0.3680
0.0064334
0.3513
Lampiran 8. Daftar konsumsi pangan yang mengandung siklamat oleh anak sekolah dasar di Surabaya Nama Pangan
Rata-rata Porsi Konsumsi (g) 1
Rata-rata Frekuensi Konsumsi 1 0.254
Rata-rata Konsumsi Harian (g/hari) 2 10.160
1. Minuman Coklat
40.000
2. Permen Lunak
0.0214
0.508
0.0109
3. Permen Keras
0.0163
0.669
0.0109
4. Permen Karet
0.0249
0.429
0.0107
5. Wafer
1.189
0.495
0.589
6. Biskuit
0.991
0.340
0.337
7. Donat
3.955
0.244
0.965
8. Roti Manis
24.732
0.316
7.818
9. Sari Buah
13.955
0.227
3.172
10. Minuman Isotonik
19.563
0.268
5.259
11. Minuman Karbonasi
30.524
0.238
7.277
12. Sirup
3.037
0.175
0.532
13. Minuman Serbuk
4.672
0.618
2.889
106.128
0.368
39.108
10.782
0.378
4.080
7.109
0.266
1.893
25.175
0.255
6.427
8.049
0.164
1.318
110.331
0.190
20.974
20. Es Cincau
91.831
0.299
27.522
21. Es Dawet
112.987
0.235
26.586
22. Es Teler
59.476
0.188
11.169
23. Es Puter/Es Nong-nong
18.816
0.368
6.924
6.433
0.351
2.260
-
-
187.729
14. Teh dalam Kemasan 15. Kopi 16. Bakpia 17. Kue Lapis 18. Serabi 19. Kolak Pisang
24. Madu TOTAL
1) Ringkasan dari Lampiran 7 2) Konsumsi Harian = Porsi Konsumsi x Frekuensi Konsumsi
46
Lampiran 9. Shopping list
Gol A
B C
D
Jumlah Konsumsi (g/hari)
Rata2 Konsumsi (g/hari/orang)
Komposisi Berat (%)
2881.90 4445.74 1340.67 25812.80 631.44 Jumlah
4.03 6.22 1.88 36.10 0.88 49.11
8.21 12.66 3.82 73.51 1.80 100.00
175.43
0.25
100
6594.49 13.45 109.02 491.42 Jumlah Confectionery meliputi Permen Keras, Lunak, dan Permen Karet
10.16 0.02 0.15 0.69 10.08
91.48 0.19 1.51 6.82
6.9309 7.0323 7.1819 Jumlah
0.0109 0.0109 0.0107 0.0296
32.78 33.26 33.96
2017.65 89.81 Jumlah
2.82 0.13 2.95
95.74 4.26
2268.17 1810.04 7920.16 Jumlah
3.17 2.53 11.08 16.78
18.90 15.09 66.01
383.60 223.19 5062.47 635.48 Jumlah
0.589 0.337 7.818 0.965 8.829
6.08 3.54 80.30 10.08
2810.59
3.93
100.00
4179.46 2265.10 6088.24 Jumlah
5.85 3.17 8.52 17.53
33.35 18.07 48.58
2186.29 3860.69
3.172 5.259
17.02 31.23
No.
F
G
H I
J
Nama Makanan
Produk-produk Susu, kecuali Keju, Krim dan Whey 1 C01.1.1.1 Susu UHT 2 C01.2 Susu Fermentasi 3 C01.3.3 Susu Kental Manis 4 C01.5.1 Susu Bubuk 5 C01.7 Es Krim Makanan Penutup (Dessert) berbasis Buah 6 C04.1.2.9 Jeli Agar Produk Kakao dan Coklat 7 C05.1.1 Minuman Coklat 8 C05.1.3 Selai Coklat 9 C05.1.4 Meses Coklat 10 C05.1.4 Coklat Batang
11 12 13 E
Kode Pangan
C05.2 C05.2 C05.3
Permen Lunak Permen Keras Permen Karet
Tepung-tepungan, Pati-patian dan Sereal untuk Sarapan 14 C06.2.2 Maizena 15 C06.3 Sereal Roti dan Produk Bakeri Tawar dan Premix 16 C07.1.1 Roti Tawar 17 C07.1.1 Roti 18 C07.1.4 Tepung Roti Produk Bakeri Istimewa (manis, asin, gurih) 19 C07.2.1 Wafer 20 C07.2.1 Biskuit 21 C07.2.2 Roti Manis 22 C07.2.2 Donat Gula Mentah dan Gula Dimurnikan (Rafinasi) 23 C11.1.1 Gula Putih/Gula Pasir Saus Non-Emulsi 25 C12.6.2 Saus Sambal 26 C12.6.2 Saus Tomat 27 C12.6.2 Kecap Manis Minuman Ringan Tidak Beralkohol 28 C14.1.1.2 Sari Buah 29 C14.1.4.1 Minuman Isotonik
47
Gol
No. 30 31 32
K
L
M
N
Kode Pangan C14.1.4.1 C14.1.4.3 C14.1.4.3
Nama Makanan Minuman Berkarbonasi Sirup Minuman Serbuk
Kopi, The, Minuman Herbal dan Minuman Biji-Bijian serta Sereal Panas, kecuali Coklat 33 C14.1.5 Teh Dalam Kemasan 34 C14.1.5 Kopi Bubuk Makanan Ringan 35 C15.1
Produk Ekstrusi
Jumlah Konsumsi (g/hari) 4939.81 5669.13 1533.08 Jumlah
Rata2 Konsumsi (g/hari/orang) 7.277 0.532 2.889 21.449
26034.70 2697.85 Jumlah
39.108 4.080 44.188
90.61 9.39
116.72
0.16
100.00
1.893 1.893
100.00
6.427 1.318 7.745
78.75 21.25
9.26 17.47 26.73
34.64 65.36
20.974 20.974
100.00
49.08 6.55 55.63
88.23 11.77
27.522 26.586 11.169 6.924 72.231
34.99 29.79 23.79 11.43
46.26 50.73 15.28 112.27
41.21 45.18 13.61
82.83 70.79
26.04 22.25
C.16.0 PANGAN KOMPOSIT (diluar kategori 1-15) KUDAPAN/JAJANAN 1 Kudapan berbahan dasar Ketan Bakpia Jumlah 2 Kudapan berbahan dasar Beras Kue Lapis Serabi Jumlah 3 Kudapan berbahan dasar Terigu/Gandum/Sagu Cake Roti Goreng Jumlah 4 Kudapan berbahan dasar Buah-Buahan Kolak Pisang Jumlah 5 Kudapan berbahan dasar Lain-Lain Bubur Kacang Ijo Puding Jumlah MINUMAN 6 Minuman Bersantan Es Cincau Es Dawet Es Teler Es Puter/Es Nong-nong Jumlah 7 Minuman Sirup Es Kelapa Muda Es Kopyor Es Mambo Jumlah 8 Minuman Beraroma Rempah Sinom Gula Asem
Komposisi Berat (%) 37.16 3.17 15.43
48
Gol
No.
Kode Pangan
Nama Makanan
Jumlah Konsumsi (g/hari)
Jumlah
Rata2 Konsumsi (g/hari/orang) 68.50 95.97 318.10
12.64 14.08 9.78 7.92 13.00 11.20 10.92 10.39 10.08
Jumlah
64.35 71.70 49.81 40.31 66.18 57.05 55.59 52.89 51.34 509.24 120.20 39.71 159.91
75.16 24.84
2.260
100.00
Kunir Asam Temulawak 9
10
Minuman Buah-Buahan Es Jeruk Es Blewah Es Buah Es Campur Setup Jambu Biji Jus Tomat Jus Alpukat Jus Melon Jus Apel
Komposisi Berat (%) 21.53 30.17
Minuman Lain-Lain Es Teh Manis Es Tape Jumlah G04.07
Madu
49
Lampiran 10. Hasil uji kualitatif siklamat pada sampel komposit pangan anak sekolah dasar di Surabaya No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Komposit
Minuman Coklat Confectionery (Permen) Bakeri Istimewa Roti Manis Minuman Ringan Kopi, Teh, & Minuman Herbal Kudapan Ketan (Bakpia) Kudapan Beras (Lapis & Serabi) Kudapan Buah (Kolak Pisang) Minuman Santan Madu Produk Susu Jeli Agar Produk Coklat Tepung & Sereal Roti & Bakeri Gula Saus Non Emulsi Produk Ekstrusi
Kudapan Terigu (Cake & Roti Goreng Kudapan Lain-Lain (Bubur Kacang Hijau) Minuman Sirup Minuman Rempah Minuman Buah Minuman Lain-Lain
Penimbang an Sampel
Pengenceran
Waktu Retensi
Resolusi
20.0240 20.0420 20.0076 20.0699 20.1720 20.0298 22.8000 22.6000
250 250 250 250 250 250 50 50
7.104 6.804 6.937 6.946 6.733 6.938 6.847 6.821
2.393 1.428 1.751 1.143 1.449 1.127 1.091 1.735
20.9000 23.2000 22.2000 20.0666 22.2000 20.0143 20.0599 20.0571 20.0476 20.1140 20.2054 23.3000
50 500 50 250 1250 250 250 250 250 1250 1250 50
6.765 6.724 6.841
1.536 3.432 9.152
23.4000
1250
24.1000 23.8000 22.7000 23.2000
1250 1250 1250 50
SIKLAMAT; tidak terdeteksi pada limit deteksi 2.75 mg/kg
50
Lampiran 11 Konsentrasi siklamat sampel komposit pangan anak sekolah dasar Nama Komposit Komposit Minuman Coklat Komposit Confectionery Komposit Bakery Istimewa Komposit Roti Manis Komposit Minuman Ringan
Kadar Siklamat (mg/kg) a
1,687.21 92.08 43.14 148.01 6,830.14
Konversi (%Recovery) b
94.92 c 90.44 d 90.44 90.44 94.92
Konsentrasi Siklamat (mg/kg) f
1,601.50 83.28 39.01 133.86 6,483.17
Konsentrasi (mg/kg) h
500 500 2,000 2,000 1,000
Komposit Kopi, Teh & 139.28 94.92 132.21 Minuman Herbal 1,600 Komposit Kudapan Ketan 5.60 90.44 5.06g 1,600 Komposit Kudapan Beras 41.46 90.44 37.50 250 Komposit Kudapan Buah 197.84 83.04 164.28 e 250 Komposit Minuman Santan 10,696.91 83.04 8,882.71 500 Madu 17.88 83.04 14.85 a) pengukuran dengan prosedur dan instrumen sesuai hasil pengembangan metode; perhitungan lengkap di Lampiran 12 b) Tabel 10 baris terbawah c) Dianggap mewakili tingkat konversi pangan cair d) Dianggap mewakili tingkat konversi pangan padat e) Dianggap mewakili tingkat konversi pangan semi padat f) (kadar siklamat x konversi) / 100 g) Dianggap berkadar kelumit (trace) (WHO, 1985) h) SK Kepala Badan POM No: HK.00.05.5.1.4547/2004
Lampiran 12. Perhitungan kadar siklamat pangan yang dikonsumsi oleh anak sekolah dasar di Surabaya menggunakan metode dan instrumen KCKT sesuai hasil pengembangan metode No
Komposit
1
Minuman Coklat 2
Confectionery (Permen)
3
Bakery Istimewa 4
Roti Manis 5
Minuman Ringan 6
7
8
9
Kopi, Teh, & Minuman Herbal Kudapan KETAN (Bakpia) Kudapan BERAS (Lapis & Serabi) Kudapan BUAH (Kolak Pisang)
10
Es Cincau 11
Madu *
Peak area
106242 106454 106582 7248 8366 5955 4342 4470 3600 11114 10338 10604 422243 433994 432371 10267 10061 10043 3177 3481 3659 16604 15762 15674 65394 66483 65193 386760 387680 386530 10741 6118 6009
Persamaan kurva kalibrasi
y = ax + b ; a = 776.76 b = 1455.73
{(peak area – b) / a} x (pengenceran / penimbangan sample)
Penimbangan sampel
Kadar siklamat (mg/kg)
Pengenceran
*
20.0240
(10/50)
250
kali
20.0420
(10/50)
250
kali
20.0076
(10/50)
250
kali
20.0699
(10/50)
250
kali
20.1720
(10/50)
250
kali
20.0298
(10/50)
250
kali
22.8000
-
50
kali
22.6000
-
50
kali
20.9000
-
50
kali
23.2000
(5/50)
500
kali
22.2000
-
50
kali
1684.25 1687.66 1689.72 93.02 110.97 72.25 46.43 48.49 34.49 154.88 142.44 146.71 6713.78 6901.27 6875.37 141.58 138.27 137.98 4.86 5.72 6.22 43.15 40.75 40.50 196.92 200.28 196.30 10690.52 10716.05 10684.14 26.92 13.52 13.20
Lampiran 13. Penentuan LOD dan LOQ siklamat pada sampel komposit BAKU INDUK : 150,2 mg/50 ml = 3004 ppm No
Pengenceran
1 (0.5/100) (1/10) 2 (0.5/100) 3 (0.5/50 4 (1/50) 5 (2/50) 6 (3/50) 7 (4/50) 8 (5/50) 9 (6/50)
KONSENTRASI (ppm)
AREA SAMPEL
1.50 15.02 30.04 60.08 120.16 180.24 240.32 300.40 360.48
1384 11463 26100 48605 95415 143394 188344 233388 281199
AREA HITUNG (Yres)
2622.4235 13122.6652 24789.6004 48123.4708 94791.2116 141458.9524 188126.6932 234794.4340 281462.1748
Yres - Yi
Yres - Yi 2
1238.4235 1659.6652 1310.3996 481.5292 623.7884 1935.0476 217.3068 1406.4340 263.1748 Jumlah =
1533692.8149 2754488.5761 1717147.1117 231870.3705 389111.9680 3744409.2143 47222.2453 1978056.5964 69260.9754 12465259.8724 1780751.41
2
* Persamaan kurva kalibrasi : y = 776.76X + 1455.73 ; a = 776.76 b = 1455.73 R = 1.0000 * Perhitungan ; 776.76 SD res (Sy/x) =
Yres - Yi
2
* LOD = 3. (Sy/x)/b : 2.75 mg/kg * LOQ = 10. (Sy/x)/b : 9.17 mg/kg
/ (n-2) = 1334.44
1455.73 2.7501 9.1669
1334.44798
Luas Area (AU)
Lampiran 14. Kurva kalibrasi siklamat pada sampel komposit
00 3 00 0 00 2 70 0 00 2 40 0 00 2 10 0 00 1 80 0 00 0 0 5 1 00 0 0 2 1 0 9 00 0 0 6 00 0 0 3 00 0 0
y = 776.76x + 1455.73 R2 = 1.00
0
50
100
150
200
250
Konsentrasi (mg/kg)
300
350
400
Lampiran 15. Kajian paparan siklamat di beberapa negara Negara
Tahun
Jerman
1988
Swedia
2003
Italia
2000
Metode Survei 24-hours dietary recall Food frequency questionnaire Food frequency questionnaire
Jumlah Respon den
Metode Analisis Konsentrasi
Grup Konsumen
2 291
MPL
Semua umur
2.62 (23.82% ADI)
6.55 (persentil 90th) (59.55% ADI)
Bar & Bierman (1992)
1 120
MPL
0 – 15 tahun Diabetik
≤ ADI
34.87 (317% ADI)
Ilback et al. (2003)
3 982
MPL
remaja
< ADI
< ADI
Leclerq et al. (2004)
Perkiraan asupan (mg/kg bb/hari) Mean
Pengkonsumsi tinggi
22.0 (persentil 95th) (200% ADI) 26.95 (persentil 95th) (245% ADI) 7.0 (persentil 90th) (63.64% ADI) > ADI
Referensi
Australia & New Zealand
2003
7-day food diary
3 529
MPL
2 ∑ 11 tahun 12 – 17 tahun
Denmark
1999
24-hours dietary recall
3 098
MPL
1 – 3 tahun 1- 10 tahun
< ADI < ADI
Indonesia a
2002
24-hours dietary recall
72
Direct measurement (GC)
7 – 12 tahun
26.4 (240% ADI)
-b
Slamet (2004)
2003
24-hours dietary recall
270
MPL
6 – 12 tahun
11.29-12.74 (102-116% ADI)
34.64 (persentil 95th) (315% ADI)
Sarifudin (2004)
2006
Food frequency questionnaire
716
Direct measurement (HPLC)
6 – 12 tahun
28.41 (258.27% ADI)
61.60 (persentil 90th) (560% ADI)
Kajian saat ini
a b
pilot project data tidak tersedia
5.5 (50% ADI) -b
FSANZ (2004)
Leth et al. (2007)