PENERAPAN DEKONVOLUSI SPIKING DAN DEKONVOLUSI PREDIKTIF PADA DATA SEISMIK MULTICHANNEL 2D DI LAUT FLORES
ALFRIDA ROMAULI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penerapan Dekonvolusi Spiking dan Dekonvolusi Prediktif Pada Data Seismik Multichannel 2D di Laut Flores adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Alfrida Romauli NIM C54110079
ABSTRAK ALFRIDA ROMAULI. Penerapan Dekonvolusi Spiking dan Dekonvolusi Prediktif pada Data Seismik Multichannel 2D di Laut Flores. Dibimbing oleh HENRY M MANIK dan SUBARSYAH. Salah satu tujuan prosesing data seismik adalah untuk menghilangkan atau mengurangi noise dari reverberasi dan multiples serta mempertinggi rasio sinyal terhadap noise. Penelitian ini menggunakan data lintasan 16 di Laut Flores yang berekstensi SEG-Y. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – Maret 2015 di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL), Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dekonvolusi spiking dan dekonvolusi prediktif. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis perbedaan penampang seismik hasil poststack migration dengan menggunakan dekonvolusi prediktif dan dekonvolusi spiking. Hasil yang didapat yaitu kedua dekonvolusi dapat meningkatkan rasio sinyal terhadap noise pada data namun dekonvolusi prediktif dapat memberikan hasil lebih baik dalam meningkatkan rasio sinyal terhadap noise. Penampang migrasi dengan menggunakan dekonvolusi baik spiking maupun prediktif memberikan hasil yang tidak jauh berbeda, namun multiple tidak dapat dihilangkan dengan menggunakan dekonvolusi prediktif disebabkan karena pengaruh ekor signature yang tidak teratur akibat sinkronisasi airgun saat akuisisi kurang efektif. Kata kunci: dekonvolusi, dekonvolusi prediktif, dekonvolusi spiking, rasio sinyal terhadap noise, trace
ABSTRACT ALFRIDA ROMAULI. Application of Spiking Deconvolution and Predictive Deconvolution on 2D Seismic Multichannel Data in Flores Sea. Supervised by HENRY M MANIK and SUBARSYAH. One of the goals of seismic data processing is to eliminate or reduce the noise of reverberation and multiples as well as enhance the signal to noise ratio. This study uses data line 16 in the Flores Sea extension SEG-Y. The research was conducted in February – March 2015, in Marine Geology Institute, Bandung. The method used in this study is spiking deconvolution and predictive deconvolution. This study was conducted to analyze the differences in seismic migration poststack results using predictive deconvolution and spiking deconvolution. The results obtained are both deconvolution can increase the signal to noise ratio in the data. Migration using both spiking and predictive deconvolution results are not much different, and the multiple cannot be attenuated using predictive deconvolution because the influence of irregular signature tail due to synchronization airgun at the time of acquisition is less effective. Keywords: deconvolution, predictive deconvolution, spiking deconvolution, signal to noise ratio, trace
PENERAPAN DEKONVOLUSI SPIKING DAN DEKONVOLUSI PREDIKTIF PADA DATA SEISMIK MULTICHANNEL 2D DI LAUT FLORES
ALFRIDA ROMAULI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Penulis mengucap syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas penyertaan dan rancangan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Penerapan Dekonvolusi Spiking dan Dekonvolusi Prediktif pada Data Seismik Multichannel 2D di Laut Flores”. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Henry M. Manik, S.Pi, M.T, Ph.D selaku dosen pembimbing, dan juga kepada Bapak Subarsyah S.Si, M.T selaku pembimbing anggota yang telah memberikan saran dalam penyelesaian tugas akhir ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada orang tua yang selalu memberikan dukungan doa, moral dan materiil, seluruh staf pengajar dan administrasi Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK), serta teman-teman baik di ITK maupun diluar ITK. Penulis menyadari bahwa penelitian ini jauh dari kesempurnaan oleh karena itu apabila terdapat kesalahan dalam penulisan penulis mohon maaf. Kritik dan saran sangat diharapkan demi penyempurnaan penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat memberikan ilmu yang bermanfaat.
Bogor, September 2015 Alfrida Romauli
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN
1
Tujuan Penelitian METODE
2 2
Waktu dan Lokasi Penelitian
2
Bahan
2
Alat
2
Prosedur Analisis Data
3
Prapemrosesan Data Seismik
4
Pemrosesan Data Seismik
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
9
Geometri
9
Analisis Spektral
11
Analisis Kecepatan
12
Dekonvolusi
14
Wiggle Trace
17
Analisis Spektral Dekonvolusi
18
Poststack Time Migration
21
SIMPULAN DAN SARAN
23
Simpulan
23
Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
23
RIWAYAT HIDUP
25
DAFTAR TABEL 1.
Parameter akusisi lintasan 16
5
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Peta Lokasi Penelitian di Laut Flores Alur pengolahan data seismik pada penelitian Spesifikasi parameter SEG-Y input Shot gather line-16, garis merah menunjukkan garis pemotongan trace untuk picking top-mute Subflow dekonvolusi prediktif dengan decon operator length 190 ms dan operator prediction distance 30 ms Picking kecepatan dan koreksi NMO dengan metode semblance Wiggle trace geometri, kotak merah menunjukkan campuran sinyal dan noise, kotak biru menunjukkan noise instrumen Output geometri yang telah diperbesar (zoom) Analisis spektral tanpa dekonvolusi(a) domain waktu, (b) spektrum amplitudo, (c) domain F-X, dan (d) domain fasa Picking kecepatan dengan menggunakan metode semblance pada CDP 1001 Wiggle trace geometri, garis merah merupakan picking gate autokorelasi Parameter test dengan beberapa decon operator length Autokorelasi geometri Wiggle trace dekonvolusi spiking Wiggle trace dekonvolusi prediktif Analisis spektral dekonvolusi spiking Analisis spektral dekonvolusi prediktif Migrasi tanpa penerapan dekonvolusi, bingkai merah merupakan refleksi yang tidak kontinu Migrasi dengan penerapan dekonvolusi spiking, bingkai merah menunjukkan multiple pada penampang seismik Migrasi dengan penerapan dekonvolusi prediktif, bingkai merah menunjukkan multiple yang tidak teratenuasi
3 4 5 6 7 8 10 11 12 13 15 16 17 18 18 20 20 22 22 22
PENDAHULUAN Penggunaan seismik refleksi di laut telah menjadi suatu kegiatan yang sering dilakukan dengan berbagai tujuan, yaitu untuk memetakan lapisan bawah permukaan. Metode seismik refleksi memanfaatkan sumber getaran yang berasal dari alat peledak yaitu airgun. Setelah sumber suara ditembakkan maka gelombang akan mengalami penjalaran dalam medium dan energi dari gelombang seismik akan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor jarak, redaman dan gangguan lain. Gelombang seismik akan dipantulkan dan dibiaskan oleh batas perlapisan batuan kemudian diterima oleh receiver. Data seismik yang terekam merupakan data berdasarkan fungsi waktu. Data yang terekam tersebut terdiri dari gelombang refleksi, gelombang langsung dan noise yang terjadi selama akuisisi. Gelombang seismik yang merambat di permukaan bumi juga akan mengalami proses filter bumi sehingga amplitudo gelombang seismik sumber akan melemah. Sinyal seismik yang terekam (trace) merupakan hasil konvolusi antara sinyal sumber dan reflektifitas bumi dan juga gangguan-gangguan selama proses akuisisi. Peristiwa konvolusi menyebabkan resolusi rekaman seismik menjadi berkurang karena bentuk gelombang sumber akan mengalami perubahan terhadap filter bumi. Selain itu pengurangan resolusi data seismik juga disebabkan oleh noise dan multiple yang bercampur dalam trace. Data seismik dari proses geofisika lapangan memiliki karakteristik data dan gangguan (noise) yang tidak dapat dipisahkan. Noise yang terkandung dalam rekaman seismik memberikan tampilan efek lapisan semu dan rekaman data yang kurang baik. Padahal data seismik yang ideal seharusnya menampilkan gelombang refleksi yang dapat memberikan informasi penampang seismik bawah permukaan laut. Tanpa adanya proses lanjutan yang memadai, data seismik tidak akan mendapatkan penggambaran bawah permukaan yang sesungguhnya. Peran metode seismik diperlukan sebagai usaha dalam perolehan refleksi bawah permukaan yang sebenarnya. Penampang seismik yang jelas dan beresolusi tinggi dapat diperoleh dengan pengolahan data seismik. Salah satu tujuan pemrosesan data seismik adalah untuk mengurangi noise dan multiples (Egbai dan Ekpekpo 2012) sehingga mempertinggi signal to noise ratio (SNR). Kualitas rekaman seismik dapat dinilai dari rasio sinyal refleksi terhadap sinyal gangguan. Pengolahan data seismik dilakukan untuk meningkatkan sinyal dan melemahkan sinyal gangguan (noise) sehingga refleksi data seismik yang diperlukan meningkat dan gangguan dapat ditekan serta memperbaiki resolusi vertikal pada trace seismik (Kearey et al. 2002). Peningkatan resolusi rekaman seismik dapat dilakukan dengan menerapkan berbagai macam metode. Peningkatan resolusi dapat dilakukan salah satunya dengan mengaplikasikan dekonvolusi pada rekaman seismik. Dekonvolusi merupakan suatu proses inverse dari konvolusi yang menghilangkan efek filter bumi pada gelombang sumber. Selain itu dekonvolusi dapat menghilangkan noise dan multiple yang terkandung dalam rekaman seismik. Metode dekonvolusi yang dipilih untuk meningkatkan resolusi penampang seismik pada penelitian ini adalah dengan dekonvolusi prediktif dan dekonvolusi
2 spiking. Dekonvolusi prediktif merupakan proses mengaplikasikan informasi dari awal trace seismik untuk memprediksi sistem noise dan multiple. Sedangkan dekonvolusi spiking mengubah wavelet seismik menjadi spike. Kedua metode ini diharapkan dapat menghasilkan penampang seismik yang lebih representatif dengan berkurangnya kehadiran noise yang mengganggu interpretasi data serta mampu meningkatkan resolusi penampang seismik.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil penampang refleksi seismik dengan penerapan dekonvolusi prediktif dan dekonvolusi spiking serta menentukan jenis dekonvolusi yang mampu meningkatkan kualitas signal to noise ratio (snr) pada data seismik laut di perairan Flores.
METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Seismik Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL), Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bandung, Jawa Barat. Lokasi penelitian berada di Laut Flores. Akuisisi data dilakukan oleh P3GL pada Mei 2012. Lintasan yang digunakan pada penelitian ini adalah Lintasan 16. Peta lintasan survey dan batimetri pada perairan Flores dapat dilihat pada gambar 1. Peta batimetri diperoleh melalui citra satelit SRTM NASA pada tahun 2010. Bahan Penelitian ini menggunakan data seismik berekstensi SEG-Y yang merupakan hasil perekaman pada akuisisi data seismik Laut Flores pada lintasan 16. Kegiatan survey akuisisi dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL) menggunakan kapal Geomarin III. Akuisisi dilaksanakan pada bulan Mei 2012 di Kepulauan Nusa Tenggara. Alat Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah perangkat keras bersistem operasi Linux dan perangkat lunak Promax 2D Version 5000.0.0 ©Landmark Graphics Corporation 1989-2008. All Rights Reserved, dan ArcGIS 10.
3
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Laut Flores Prosedur Analisis Data Tahapan pengolahan data yang dilakukan antara lain yaitu tahap prapemrosesan dan pemrosesan. Tahapan prapemrosesan terdiri dari penugasan geometry, editing, dan dekonvolusi. Tahap pemrosesan terdiri dari analisis kecepatan, koreksi NMO, penumpukan, dan migrasi. Gambar 2 merupakan diagram alir pengolahan data seismik penelitian.
4
Raw data Geometri
Editing
Dekonvolusi Spiking
Prediktif
Analisis Kecepatan
Stacking
Migrasi
Gambar 2. Alur pengolahan data seismik pada penelitian Prapemrosesan Data Seismik Prapemrosesan sinyal seismik adalah langkah awal dalam urutan pengolahan data seismik. Tahapan ini bertujuan untuk memperbaiki parameter fisik dari input melalui penyusunan geometri dan penguatan sinyal-sinyal refleksi. Tahapan prapemrosesan terdiri dari input data, geometry assignment, editing dan picking, dan dekonvolusi. Input data Pengolahan data seismik diawali dengan proses input data Line FLRS-16 yang bertipe SEG-Y. Format bertipe SEG-Y merupakan format data yang sebelumnya telah mengalami proses. Gambar 3 menunjukkan spesifikasi parameter SEG-Y input.
5
Gambar 3. Spesifikasi parameter SEG-Y input Geometry assignment Tahapan ini merupakan tahap pengkondisian data lapang dengan data yang digunakan sesuai dengan parameter pada saat akuisisi data agar data yang diolah sesuai dengan geometri yang ada di lapang. Informasi pada geometri merupakan identitas (header) dari trace seismik dan menjadi suatu atribut yang vital untuk tahap-tahap selanjutnya. Parameter akuisisi data ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter akusisi lintasan 16 Parameter akusisi Shot Interval Channel Interval Near/Minimum Offset Nominal Source Depth Nominal Receiver Depth Number of Shots Sail Line Azimuth
Nilai 37.5 meter 12.5 meter 96 meter 4 meter 7 meter 3230 180˚
Editing dan Picking Tahapan ini merupakan tahap seleksi terhadap trace data seismik yang buruk atau rusak saat akuisisi data sehingga tidak dipergunakan pada proses selanjutnya. Proses yang dilakukan adalah muting. Muting adalah proses untuk membuang sinyal-sinyal gelombang langsung. Pada tahap ini juga dilakukan pemilihan gate dekonvolusi dan gate autokorelasi yang digunakan untuk proses dekonvolusi. Picking deconvolution gate dilakukan dua kali yaitu pada puncak dan dasar. Proses puncak dilakukan picking setelah gelombang pertama sedangkan proses dasar dilakukan pemilihan pada batas waktu yang ditetapkan. Deconvolution gate dilakukan untuk menentukan interval waktu pada sinyal yang
6 akan diproses. Untuk melakukan picking decon gate maka pada proses editing dipilih menu picking kemudian Pick Miscellaneous Time Gate lalu pick pada top gate dan bottom gate. Sinyal yang berada pada top dan bottom gate adalah sinyal yang mengalami dekonvolusi. Autokorelasi dan top mute dilakukan pada puncak setelah gelombang pertama. Proses topmute dilakukan pada data untuk memotong sinyal kolom perairan yang tidak terlibat dalam pemrosesan data selanjutnya. Gambar 4 menunjukkan picking top-mute pada data.
Gambar 4. Shot gather line-16, garis merah menunjukkan garis pemotongan trace untuk picking top-mute Dekonvolusi Pada tahapan ini dilakukan dua proses yaitu True Amplitude Recovery (TAR) dan dekonvolusi. TAR dilakukan untuk mengembalikan amplitudo yang teratenuasi. TAR diperlukan untuk mendapatkan amplitudo yang lebih representatif. Dekonvolusi berfungsi untuk menghilangkan pengaruh dari wavelet sumber dari suatu trace seismik. Metode dekonvolusi berdasarkan filter Wiener yang dapat digunakan untuk mengatenuasi multiple (dekonvolusi prediktif) dan menekan wavelet menjadi bentuk yang lebih spike (dekonvolusi spiking) (Lines 1996). Dekonvolusi ini menggunakan perumusan fisis yang rasional dari konvolusi yang dinyatakan sebagai: s(t) = w(t) * e(t)+ n(t) Dengan dekonvolusi Optimum Wiener Filter maka diperoleh persamaan, axb=c sehingga dalam bentuk matriks normalisasi Optimum Wiener Filter yaitu (Peacock dan Treitel 1969):
7
r0 r 1 r2 rn 1 keterangan :
r1
r2
r0
r1
r1
r0
rn 2
rn 3
rn 1 f 0 g 0 rn 2 f1 g1 rn 3 f 2 g 2 r0 f n 1 g n 1
s(t) w(t) e(t) * n(t) a atau rn b atau fn c atau gn
= trace seismik = wavelet = koefisien refleksi = konvolusi = noise = nilai autokorelasi wavelet input = koefisien filter = korelasi silang antara wavelet input dengan output yang diinginkan Hasil dekonvolusi tergantung kepada desain filter yang digunakan. Pada dekonvolusi spiking digunakan nilai operator length yaitu sebesar 190 ms. Pada dekonvolusi prediktif terdapat parameter prediction distance. Pada penelitian ini digunakan nilai prediction distance sebesar 30 ms dengan operator length 190 ms. Flow dekonvolusi prediktif ditunjukkan melalui gambar 6. Pada preprocessing juga dilakukan analisis spektral dengan flow Interactive spectral analysis. Analisis spektral menggunakan transformasi fourier dari data dalam domain waktu didekomposisi kedalam komponen amplitudo dan fasa dalam domain frekuensi.
Gambar 5. Subflow dekonvolusi prediktif dengan decon operator length 190 ms dan operator prediction distance 30 ms Pemrosesan Data Seismik Pemrosesan data seimik terdiri dari analisis kecepatan dan koreksi NMO, stacking, dan migrasi. Pada tahapan ini bertujuan untuk memperbaiki penampang seismik agar lebih representatif dan menyerupai struktur bawah permukaan aslinya.
8 Analisa Kecepatan dan Koreksi NMO Analisis kecepatan bertujuan untuk menentukan kecepatan yang sesuai untuk memperoleh stacking terbaik. Proses ini dilakukan untuk mendapatkan nilai kecepatan gelombang yang dianggap sebagai gelombang primer. Metode yang digunakan untuk analisa kecepatan adalah metode semblance yang menampilkan spektrum kecepatan dan CDP gather secara bersamaan. Proses ini juga dilakukan untuk melakukan koreksi NMO. Koreksi NMO bertujuan untuk menghilangkan faktor jarak (offset) antara sumber dan dalam satu CDP (Common Depth Point). Koreksi NMO diperlukan untuk membawa gelombang refleksi dari pantulan miring ke pantulan yang normal.
Gambar 6. Picking kecepatan dan koreksi NMO dengan metode semblance Stacking Stacking merupakan proses menggabungkan trace-trace data seismik berdasarkan CDP menjadi satu display. Display tersebut menggambarkan pola refleksi lapisan bawah permukaan. Stacking dapat meningkatkan rasio sinyal terhadap noise. Input stacking merupakan data yang telah terdekonvolusi dan sebelum masuk tahapan stacking, dilakukan koreksi NMO terlebih dahulu. Koreksi NMO dilakukan untuk menghilangkan pengaruh offset dengan asumsi bumi berlapis datar sehinga gelombang pantul seolah-olah datang dalam arah normal incident. Proses stacking dilakukan pada kedua metode sehingga diperoleh dua penampang seismik melalui metode dekonvolusi yang berbeda. Kedua penampang seismik tersebut dibandingkan untuk mengetahui metode dekonvolusi yang lebih baik.
9 Poststack Time Migration Migrasi merupakan tahapan mengembalikan posisi reflektor yang bergeser ke posisi yang sebenarnya sesuai dengan posisi di bawah permukaan. Banyak faktor yang mempengaruhi penjalaran gelombang seismik dari reflektor sampai ke permukaan akibatnya bentuk citra kadang tidak sesuai dengan struktur aslinya. Migrasi dapat menghilangkan pengaruh penjalaran tersebut seolah-olah berada di titik reflektor. Poststack Time Migration merupakan tahapan dimana proses migrasi dilakukan setelah stacking. Proses migrasi menggunakan metode migrasi Kirchhoff.
HASIL DAN PEMBAHASAN Geometri Proses geometri merupakan proses memasukkan informasi lapang pada software sesuai dengan parameter pada saat akuisisi data. Penyesuaian data pada geometri dilakukan dengan Inline geom header load untuk menghasilkan data yang telah memiliki informasi lapang. Output geometri berupa gabungan trace seismik yang ditampilkan dengan wiggle trace. Wiggle trace merupakan tampilan dari tipe tembakan data seismik yang memiliki informasi amplitudo yang berubah terhadap waktu. Tampilan wiggle trace pada gambar 7 ditampilkan dengan urutan FFID pada timegate 3300 ms hingga 8000 ms dalam two way traveltime (TWT). Pada wiggle trace, peristiwa refleksi ditandai dengan amplitudo gelombang yang besar dan terkonsentrasi pada bagian atas sub-permukaan. Hasil perekaman seismik refleksi akan selalu mengandung noise. Pada tampilan wiggle trace pada gambar 7 menampilkan noise acak yang bercampur dengan sinyal refleksi sehingga akan menurunkan kualitas rekaman seismik. Noise juga terlihat setelah peristiwa refleksi yang memiliki amplitudo yang tinggi dan bentuknya tidak koheren. Selain itu trace menunjukkan adanya channel yang tidak merefleksikan amplitudo gelombang seismik yang ditandai kotak berwarna biru yaitu pada recording channel nomor 54. Peristiwa ini merupakan noise yang terjadi karena kerusakan kanal saat akuisisi sehingga disebut noise instrumen (Yilmaz 1987). Trace seismik dipengaruhi oleh wavelet yaitu gabungan source signature, recording filter, refleksi permukaan dan respon hydrophone. Source signature merupakan karakteristik gelombang yang dihasilkan sumber gelombang seismik, yaitu airgun. Signature seismik yang terdiri dari beberapa airgun mungkin saja dapat berubah terhadap ketidak-stabilan geometri array airgun. Signature akan mempengaruhi keefektifan penerapan dekonvolusi karena dekonvolusi kurang efektif diterapkan pada data dengan bentuk ekor signature yang tidak teratur.
10
Gambar 7. Wiggle trace geometri, kotak merah menunjukkan campuran sinyal dan noise, kotak biru menunjukkan noise instrumen Refleksi terjadi karena ada perbedaan impedansi akustik pada dua lapisan. Perbedaan impedansi akustik pada bagian sub-permukaan dasar laut menunjukkan adanya material-material yang berbeda antar lapisan. Perbedaan material-material lapisan tersebut pada suatu trace seismik terdisplay dalam warna hitam yang menyatakan amplitudo seismiknya. Noise dan sinyal pada wavelet seismik dapat dibedakan melalui bentuk tubuh gelombangnya. Suatu sinyal seismik biasanya memiliki bentuk puncak (peak) dan lembah (through) yang jelas pada tubuh gelombangnya sedangkan noise tidak memiliki bentuk tubuh gelombang yang jelas. Tampilan wiggle trace diperbesar pada gambar 8 sehingga terlihat dengan jelas bentuk tubuh gelombang seismik dengan polaritas yang terbalik sehingga kenaikan impedansi akustik dilambangkan dengan puncak (peak) pada trace seismik. Selain itu gelombang seismik termasuk kedalam jenis konversi SEG yang ditandai dengan bentuk gelombang yang menghadap ke kanan (Yilmaz 2001).
11
Gambar 8. Output geometri yang telah diperbesar (zoom) Analisis Spektral Rekaman seismik merupakan rekaman amplitudo dalam rentang waktu tertentu. Amplitudo dari beberapa trace adalah sebuah kombinasi dari sejumlah faktor yaitu kekuatan tembakan, respon hidrofon, jarak dari trace, densitas, perbedaan kecepatan pada bidang reflektor dan noise (Mukaddas 2005). Sinyal dapat dilihat secara khusus melalui karakter gelombang yaitu amplitudo, frekuensi dan fasa. Analisis spektral memperlihatkan frekuensi dominan yang terkandung pada data sehingga desain frekuensi dapat ditentukan. Pada umumnya rentang frekuensi pada data laut berkisar 0-100 Hz (Elboth 2010), namun besarnya juga dapat bergantung pada frekuensi kekuatan source dan kondisi bawah permukaan. Analisis spektral didapatkan melalui subflow Interactive Spectral Analysis. Gambar 8 merupakan hasil analisis spektral dari geometri pada lintasan 16. Analisis spektral menunjukkan wavelet pada domain waktu dan transformasinya menjadi komponen-komponen t-x, spektrum amplitudo, domain F-X, dan spektrum fasa. Spektrum amplitudo (gambar 9(b)) menunjukkan hubungan antara sumbu x sebagai frekuensi dan sumbu y sebagai dBPower yang merepresentasikan amplitudo wavelet seismik. Spektrum amplitudo ini mengandung informasi keberadaan noise dan sinyal yang terdapat pada data. Gambar 9 merupakan analisis spektral pada geometri sebelum dilakukan preprocessing. Pada spektrum amplitudo pada gambar 9(b) terlihat nilai amplitudo tertinggi sinyal yaitu -60 dB pada frekuensi 80 Hz.
12
Gambar 9. Analisis spektral tanpa dekonvolusi(a) domain waktu, (b) spektrum amplitudo, (c) domain F-X, dan (d) domain fasa Grafik sinyal amplitudo (gambar 9(b)) memperlihatkan hasil perekaman dengan frekuensi dan amplitudo yang rendah. Noise terdapat pada semua frekuensi dalam rekaman seismik. Menurut Krail (2010) kondisi cuaca dan gelombang dapat menjadi penyebab pengurangan refleksi amplitudo serta mempengaruhi stabilitas geometri. Spektrum fasa pada gambar 9(d) memperlihatkan bentuk fasa yang energinya terkonsentrasi pada bagian awal wavelet. Pada gambar juga memperlihatkan campuran sinyal dan noise memiliki fasa yang lebih tinggi pada bagian awal sinyal sehingga dapat disebut sebagai minimum-phase. Spektrum fasa minimum memiliki energi tunda yang menurun dari awal hingga akhir wavelet sehingga energi wavelet terkonsentrasi pada bagian awal. Pada spektrum fasa minimum, sinyal memiliki fasa yang tinggi dan noise memiliki nilai fasa yang rendah. Menurut Yilmaz (2001) dekonvolusi spiking dan dekonvolusi prediktif efektif diterapkan pada wavelet yang fasanya minimum. Minimum-phase wavelet memiliki inverse yang berbentuk minimum-phase juga sehingga bentuk fasa ini yang ideal untuk diterapkan dekonvolusi baik spiking maupun prediktif. Bandpass filter dapat digunakan untuk menghilangkan noise yang tidak diinginkan (Elboth et al. 2009) sehingga Ormsby bandpass dengan rentang frekuensi 10-15-70-80 Hz diterapkan pada data. Selain proses filtering dilakukan True Amplitude Recovery (TAR) untuk mengembalikan energi yang hilang akibat terserap oleh filter bumi. Proses penentuan nilai TAR dilakukan dengan test parameter dalam TAR dengan menggunakan beberapa nilai intensitas sebagai pembanding. Nilai TAR yang digunakan pada penelitian adalah -1 dB/sec. Analisis Kecepatan Metode yang digunakan dalam melakukan analisa kecepatan adalah dengan metode semblance. Semblance merupakan salah satu atribut koherensi
13 pembentuk spektrum kecepatan yang mewakili hubungan kecepatan dengan koreksi NMO-nya. Nilai semblance merupakan rasio energi keluaran dengan energi masukan sinyal seismik yang telah dikoreksi NMO. Hal ini berarti nilai semblance mewakili hasil koreksi NMO yang paling tepat. Metode semblance menampilkan kecepatan dalam kontur warna serta menggunakan atribut semblance panel. Selanjutnya picking warna dilakukan untuk melihat koherensi maksimum dari setiap pantulan utama pada waktu tertentu. Warna yang mewakili koherensi maksimum adalah warna merah sedangkan warna biru mewakili koherensi minimum. Warna dengan koherensi maksimum menunjukkan respon amplitudo yang kuat.
Gambar 10. Picking kecepatan dengan menggunakan metode semblance pada CDP 1001 Pada data terdapat 17592 CDP dan analisa dilakukan pada beberapa CDP saja karena picking kecepatan akan diinterpolasikan ke semua CDP. Analisa kecepatan dilakukan pada setiap kenaikan 500 nomor CDP sehingga didapatkan 35 panel semblance yang dianalisa, menunjukkan nilai kecepatan yang di plot pada domain kecepatan dan waktu. Dalam melakukan picking kecepatan, titik picking yang dipilih tidak hanya melihat kontur warna pada semblance namun juga memperkirakan titik picking yang dapat meluruskan refektor. Dalam metode ini function dan dynamic stack panel digunakan untuk membantu dalam melakukan pemilihan kecepatan. Function stack panel dan dynamic stack panel membantu dalam melihat pola kemenerusan refleksi untuk koreksi NMO. Pada gambar 10 terlihat bahwa pola kontur kecepatan memiliki kecenderungan bertambah terhadap waktu. Namun pada waktu 2800 ms – 3400 ms terjadi penurunan kecepatan karena titik picking yang dipilih diutamakan meluruskan reflektor. Jadi picking kecepatan dapat dilakukan terkonsentrasi pada refleksi primer dan tetap mempertimbangkan korelasi dengan koreksi NMO. Sehingga titik picking tidak selalu pada semblance dengan warna yang memiliki koherensi maksimum. Selain itu picking juga tidak dilakukan pada data yang dianggap
14 multiple (Rahadian 2011). Sehingga diperlukan konsentrasi tinggi pada tahapan ini karena multiple terlihat menyerupai reflektor. Pertambahan kecepatan terhadap kedalaman sesuai dengan teori bahwa semakin bertambah kedalaman maka impedansi akustik akan semakin besar. Hal ini berhubungan terhadap material pengisi pori batuan (air, minyak dan gas) atau porositas yang mempengaruhi kecepatan. Kecepatan juga berperan dalam menghasilkan resolusi penampang yang baik karena dengan pertambahan kecepatan maka resolusi akan semakin rendah. Pada kedalaman yang semakin dalam maka bumi sebagai suatu filter akan mengatenuasi frekuensi tinggi dan diikuti dengan kecepatan yang semakin besar. Kedua fenomena tersebut justru akan memperburuk resolusi. Jadi untuk meningkatkan resolusi vertikal seismik maka faktor kecepatan dan frekuensi harus diperhatikan. Karena tidak ada yang dapat dilakukan terhadap faktor kecepatan maka faktor frekuensi saja yang dapat diubah melalui processing data. Dekonvolusi Gelombang seismik yang merambat mengalami efek filter oleh bumi, sehingga mengakibatkan amplitudo gelombang seismik menjadi menurun. Selain itu efek perambatan gelombang lainnya adalah adanya noise dan multiple yang mengganggu interpretasi data. Proses dekonvolusi diperlukan untuk pengompresan wavelet sehingga memperoleh estimasi dari reflektifitas lapisan bumi dan menghilangkan karakter wavelet sumber. Selain itu dekonvolusi dapat meningkatkan resolusi temporal. Tipe dekonvolusi yang digunakan pada penelitian ini adalah dekonvolusi spiking dan dekonvolusi prediktif. Keefektifan dekonvolusi sangat tergantung dari operator filter yang didesain. Dekonvolusi spiking menggunakan operator filter yang sudah didesain untuk membentuk wavelet sesuai dengan reflektifitas. Pada dekonvolusi spiking parameter yang digunakan yaitu operator length. Sedangkan pada dekonvolusi prediktif digunakan dua parameter yaitu prediction distance (gap) dan operator length. Kedua parameter ini didapatkan dari hasil autokorelasi pada trace data seismik. Pemilihan parameter dekonvolusi bergantung kepada karakteristik autokorelasi trace seismik. Maka dari itu penting untuk memilih jendela autokorelasi (gate) yang digunakan untuk memprediksi parameter dekonvolusi. Menurut Yilmaz (2001) jendela autokorelasi yang dibuat terbatas pada rekaman yang memiliki refleksi primer. Picking jendela autokorelasi dilakukan dalam format shot gather ditunjukkan pada gambar 11.
15
Gambar 11. Wiggle trace geometri, garis merah merupakan picking gate autokorelasi Reflektivitas merupakan proses acak sehingga sebuah autokorelasi trace seismik dianggap hampir sama dengan autokorelasi wavelet seismik (Dey 1999). Melalui autokorelasi dapat dideteksi periode yang berulang antara sinyal dan keberadaan noise. Desain parameter dekonvolusi umumnya ditentukan melalui autokorelasi. Suatu autokorelasi seismik memiliki transient zone yang merupakan zona peralihan pertama saat autokorelasi memiliki amplitudo yang besar kembali sehingga durasi waktu transient zone menjadi nilai operator length. Nilai operator length sendiri menunjukkan panjang wavelet refleksi primer yang bersifat tidak dapat diprediksi. Gambar 13 merupakan autokorelasi geometri seismik sepanjang 500 ms. First transient zone dari gambar 13 ditunjukkan pada waktu 140 ms dan second transient zone ditunjukkan pada waktu 190 ms. Menurut Dondurur dan Hakan (2012) operator length antara 10% hingga 25% dari panjang trace menghasilkan dekonvolusi yang sesuai. Penentuan nilai operator length terbaik dapat ditentukan melalui trial and error yaitu dengan melihat perbandingan analisis spektral, wiggle trace, dan stack. Gambar 12 merupakan parameter test hasil perbandingan beberapa decon operator length. Melalui hasil parameter test dihasilkan parameter operator length terbaik yaitu 190 ms. Operator length yang lebih besar dari 190 ms kurang efektif dalam menekan wavelet.
16
Gambar 12. Parameter test dengan beberapa decon operator length Parameter prediction distance untuk dekonvolusi prediktif secara teori dipilih berdasarkan second zero crossing. Second zero crossing pada gambar 13 berada pada waktu 30 ms. Second zero crossing dipilih karena dapat menghilangkan short-path multiple. Penggunaan prediction distance pada second zero crossing akan meninggalkan wavelet yang berbentuk lobe negatif dan lobe positif. Dekonvolusi prediktif dengan menggunakan prediction distance yang lebih pendek dapat membuang energi lebih besar, yang diharapkan dapat menghilangkan reverberasi (Yilmaz 2001). Sehingga desain filter untuk dekonvolusi prediktif pada penelitian ini adalah operator length 190 ms dan prediction distance 30 ms. Faktor white noise juga berpengaruh pada kualitas dekonvolusi untuk mencegah ketidak-stabilan hasil dekonvolusi. White noise factor yang digunakan pada prapemrosesan data biasanya antara 0 hingga 1%. White noise factor yang digunakan pada penelitian ini adalah 0.1%. Semakin kecil faktor white noise yang dibutuhkan maka resolusi data seismik semakin baik (Perez dan David 2000). Hasil penerapan operator white noise akan terlihat pada hasil spektrum amplitudonya.
17
Gambar 13. Autokorelasi geometri Wiggle Trace Suatu trace seismik merupakan suatu konvolusi dari wavelet sumber dengan reflektor series. Dekonvolusi diterapkan pada data seismik untuk membentuk wavelet agar menghasilkan bentuk wavelet yang spike. Maka dari itu hasil penerapan dekonvolusi dapat dilihat melalui wiggle trace. Gambar 14 merupakan wiggle trace setelah penerapan dekonvolusi spiking sementara gambar 15 merupakan gambar wiggle trace setelah penerapan dekonvolusi prediktif. Wiggle trace dengan penerapan dekonvolusi jika dibandingkan dengan wiggle trace geometri (gambar 7) menunjukkan hasil yang lebih bersih dari noise. Output geometri yang lebih banyak mengandung noise disebabkan belum diterapkannya proses preprocessing yang menghilangkan efek filter bumi dan mengembalikan amplitudonya yang telah hilang sebelumnya. Sehingga output geometri masih mengandung noise filter bumi. Jika kedua wiggle trace dekonvolusi pediktif dan dekonvolusi spiking dibandingkan maka terlihat bahwa wiggle trace dengan penerapan dekonvolusi prediktif menampilkan trace yang lebih bersih dari noise dibandingkan dengan wiggle trace pada dekonvolusi spiking. Perbedaan keduanya terlihat jelas pada first break yang lebih baik pada dekonvolusi prediktif. Hasil dekonvolusi prediktif menunjukkan wiggle trace yang lebih bersih dari noise. Dengan dekonvolusi prediktif terlihat bahwa wavelet telah terkompresi dengan lebih baik.
18
Gambar 14. Wiggle trace dekonvolusi spiking
Gambar 15. Wiggle trace dekonvolusi prediktif Analisis Spektral Dekonvolusi Analisis spektral dari dekonvolusi spiking diperlihatkan melalui gambar 16 dan analisis spektral dekonvolusi prediktif diperlihatkan melalui gambar 17. Kedua gambar tersebut memperlihatkan spektrum amplitudo dan spektrum fasa masing-masing dekonvolusi. Hasil analisis spektral menunjukkan perubahan energi wavelet jika dibandingkan dengan output geometri (gambar 9). Secara keseluruhan spektrum amplitudo memperlihatkan amplitudo noise dapat dilemahkan dan amplitudo sinyal dapat dikuatkan. Penguatan amplitudo sinyal menunjukkan bahwa wavelet telah dipersingkat sehingga menghasilkan resolusi yang lebih baik pada penampang seismik (Yilmaz 2001). Pada spektrum amplitudo geometri (gambar 9) terlihat bahwa nilai power sinyal mencapai ± -60 dB. Pada spektrum amplitudo dekonvolusi spiking (gambar 15) jika dibandingkan dengan spektrum amplitudo dekonvolusi prediktif pada
19 gambar 16 menunjukkan nilai power yang berbeda. Pada dekonvolusi spiking nilai power sinyal yaitu sebesar ± -10 dB. Sementara nilai power sinyal dengan penerapan dekonvolusi prediktif yaitu sebesar ± -1 dB. Peningkatan energi trace setelah dekonvolusi merupakan salah satu keberhasilan dekonvolusi yaitu wavelet mengalami pemendekan. Spektrum fasa pada gambar 16 dan 17 menggambarkan spektrum minimum pada domain frekuensi (minimum phase) yaitu nilai fasa tertinggi merupakan fasa sinyal dan nilai fasa rendah merupakan fasa noise. Pada gambar 16 kisaran nilai fasa yaitu antara ± -70 radian hingga ± 70 radian. Pada gambar 17 dengan penerapan dekonvolusi prediktif kisaran nilai fasa yaitu ± -85 radian hingga ± 65 radian. Bentuk wavelet dengan fasa minimum merupakan bentuk wavelet yang ideal karena bentuk wavelet fasa minimum memiliki fasa yang tinggi dan terkonsentrasi di bagian awal sementara pada bagian akhir fasa memiliki nilai yang rendah. Sesuai dengan teori oleh Yilmaz (2001) bahwa bentuk fasa yang minimum pada geometri akan menghasilkan inverse yang berbentuk fasa minimum juga. Sementara pada bagian akhir fasa pada dekonvolusi prediktif yaitu berada pada kisaran ± 10 radian hingga ± -35 radian. Dekonvolusi spiking yang memiliki kisaran fasa ± 20 radian hingga ± -20 radian. Kisaran nilai fasa akhir terkecil menggambarkan keefektifan dekonvolusi dalam menekan efek noise. Dekonvolusi spiking memiliki kisaran fasa akhir yang lebih kecil dibandingkan dengan dekonvolusi prediktif. Hal ini tidak sesuai dengan teori dalam Zhu dan Wang (2013) yang menyatakan bahwa dekonvolusi prediktif mampu menekan multiple dan reverberasi. Pada spektrum amplitudo juga terlihat perbedaan power pada frekuensi tinggi padahal sebelumnya bandpass filter sudah diterapkan untuk menghindari noise frekuensi rendah dan noise frekuensi tinggi. Spektrum amplitudo memiliki power yang lebih tinggi pada dekonvolusi spiking daripada dekonvolusi prediktif. Sedangkan jika dibandingkan dengan power pada output geometri, power pada dekonvolusi spiking memperlihatkan peningkatan power pada frekuensi tinggi yaitu memiliki nilai power noise dengan batas atas ± -32 dB. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan pada dekonvolusi prediktif yang memiliki nilai power noise dengan batas atas ± -50 dB. Sementara pada output geometri (gambar 9) memperlihatkan nilai power noise sebesar ± -80 dB. Peningkatan power pada frekuensi tinggi yang dianggap noise pada dekonvolusi spiking membuktikan bahwa dekonvolusi spiking meningkatkan amplitudo noise berfrekuensi tinggi. Hal ini sesuai dengan Yilmaz (2001) yang menyatakan bahwa dekonvolusi spiking tidak selalu dapat diaplikasikan pada data lapang karena akan meningkatkan noise berfrekuensi tinggi pada data. Sementara pada dekonvolusi prediktif (gambar 17) memiliki power noise yang lebih rendah daripada dekonvolusi spiking. Hal ini merupakan efek dari penerapan prediction distance sehingga noise berfrekuensi tinggi dapat ditekan dan tetap mempertahankan spektrum sinyal. Hal tersebut membuktikan bahwa dekonvolusi prediktif lebih baik dalam menekan noise dan meningkatkan sinyal. Menurut Elboth (2010) noise berfrekuensi tinggi merupakan multiple yang disebabkan material sub-permukaan yang keras. Menurut Ekasapta (2008) noise berfrekuensi tinggi merupakan noise acak dan ditandai dengan bentuk fasa yang tidak sama. Spektrum amplitudo kedua dekonvolusi menunjukkan bahwa pertambahan power sinyal akan meningkatkan power noise juga. Namun pertambahan power
20 noise tertinggi adalah dengan penerapan dekonvolusi spiking pada data dengan peningkatan sinyal yang lebih rendah daripada dekonvolusi prediktif. Sementara itu dengan penerapan dekonvolusi prediktif sinyal dapat dipertinggi dengan noise yang dapat lebih ditekan. Maka dari itu dekonvolusi prediktif lebih baik diterapkan daripada dekonvolusi spiking karena sinyal dapat lebih meningkat dan noise dapat lebih ditekan.
Gambar 16. Analisis spektral dekonvolusi spiking
Gambar 17. Analisis spektral dekonvolusi prediktif Pada bagian awal spektrum amplitudo pada masing-masing dekonvolusi juga masih terlihat adanya noise berfrekuensi rendah namun memiliki amplitudo cukup tinggi. Ciri ini menandakan adanya swell noise atau noise lain yang disebabkan oleh kondisi cuaca yang buruk yang terkandung dalam data (Elboth 2010). Jika dibandingkan dengan spektrum amplitudo output geometri pada gambar 9(b) noise ini telah mengalami penekanan dengan penerapan dekonvolusi. Pada
21 spektrum amplitudo terlihat noise berada pada frekuensi ≤ ± 10 Hz. Noise berfrekuensi rendah juga dapat disebabkan gerakan streamer. Pada frekuensi ± 1 Hz terlihat noise yang amplitudonya lebih tinggi dari amplitudo sinyal. Noise ini disebabkan adanya variasi tekanan hidrostatis (Parrish 2005 dalam Elboth 2010). Poststack Time Migration Rasio sinyal terhadap noise dapat dipertinggi dengan menjumlahkan trace sedangkan migrasi digunakan untuk memperbaiki posisi reflektor ke posisi yang sebenarnya. Dekonvolusi spiking umumnya digunakan untuk mempersingkat wavelet sehingga resolusi penampang seismik akan meningkat. Gambar 18 merupakan migrasi tanpa penerapan dekonvolusi sebagai perbandingan hasil migrasi dengan menggunakan dekonvolusi spiking dan dekonvolusi prediktif. Penampang seismik hasil penerapan dekonvolusi spiking (gambar 19) dan dekonvolusi prediktif (gambar 20) membentuk pola reflektifitas struktur bawah permukaan yang ditamplikan dalam waktu tempuh gelombang TWT antara 3200 ms hingga 4500 ms yang menunjukkan titik reflektor dengan variasi amplitudo untuk setiap reflektor secara vertikal. Lingkaran merah pada gambar 18 menunjukkan ketidak-stabilan yang terjadi saat akuisisi seismik di lapang sehingga menghasilkan beberapa refleksi yang muncul dan saling bertumpuk pada permukaan bawah laut. Selain itu refleksi bawah permukaan terlihat tidak kontinu dan waktu kemunculan refleksi menjadi berubah. Pada gambar hasil dekonvolusi spiking (gambar 19) menunjukkan adanya multiple lintasan panjang pada data. Keberadaan multiple pada gambar 19 menunjukkan penerapan dekonvolusi spiking belum mampu untuk menekan multiple. Hal ini sesuai dengan teori bahwa dekonvolusi spiking diterapkan pada data seismik untuk mengembalikan bentuk wavelet dan tidak mampu untuk menekan multiple. Karena dekonvolusi spiking menekan wavelet menjadi bentuk yang ideal pada data sehingga menyebabkan bentuk wavelet yang lebih spike. Hasil penampang seismik dengan menggunakan dekonvolusi spiking menunjukkan kemenerusan lapisan yang terputus-putus sehingga akan sulit dalam proses interpretasinya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Bestari (2012) bahwa dekonvolusi spiking belum mampu menghilangkan efek multiple. Gambar 20 merupakan penampang seismik dengan penerapan dekonvolusi prediktif. Dekonvolusi prediktif diterapkan pada data seismik untuk menghilangkan noise yang bersifat periodik dalam domain waktu, yaitu multiple dan reverberasi. Pada gambar 20 dasar laut dan multiple terlihat kuat dan kontinu. Namun setelah diperhatikan pada hasil migrasi, multiple muncul pada waktu 140 ms hingga 160 ms setelah water bottom sepanjang line FLRS-16. Multiple yang terlihat pada hasil migrasi tidak bersifat periodik yaitu prediktabilitasnya tidak konstan. Multiple ini tidak dapat dihilangkan secara keseluruhan dengan dekonvolusi. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Bestari (2012) bahwa dekonvolusi prediktif mampu menghilangkan efek multiple dan meminimalkan efek noise sehingga menampakkan bidang-bidang patahan. Jika dibandingkan dengan penampang hasil dekonvolusi spiking terlihat bahwa hasil penampang seismik dengan dekonvolusi prediktif tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan. Hal ini disebabkan bentuk ekor signature yang tidak teratur akibat sinkronisasi array airgun di lapang yang kurang efektif.
22
Gambar 18. Migrasi tanpa penerapan dekonvolusi, bingkai merah merupakan refleksi yang tidak kontinu
Gambar 19. Migrasi dengan penerapan dekonvolusi spiking, bingkai merah menunjukkan multiple pada penampang seismik
Gambar 20. Migrasi dengan penerapan dekonvolusi prediktif, bingkai merah menunjukkan multiple yang tidak teratenuasi
23
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penerapan dekonvolusi pada data seismik laut Flores lintasan 16 memperlihatkan pada analisis spektral dekonvolusi prediktif lebih efektif untuk meningkatkan sinyal dan menekan noise dibandingkan dengan dekonvolusi spiking. Pada hasil penampang migrasi, dekonvolusi prediktif dan dekonvolusi spiking tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan. Dekonvolusi prediktif tidak mampu mengatenuasi multiple pada data seismik FLRS-16 karena dekonvolusi menjadi kurang efektif diterapkan pada data dengan ekor signature yang tidak teratur.
Saran Penerapan dekonvolusi pada tahapan preprocessing (prestack deconvolution) belum dapat mengatenuasi multiple. Maka dari itu diperlukan penelitian lanjutan dengan menerapkan dekonvolusi pada tahapan processing yaitu deconvolution after stack (das) dan deconvolution after migration (dam). Selain itu dekonvolusi dapat diterapkan pada domain radon (τ-p) dan domain radial (r-t) untuk memisahkan noise dengan refleksi primer terlebih dahulu sehingga noise dapat lebih teratenuasi. Data sintetik dapat digunakan sebagai pembanding data lapang untuk menganalisa penerapan dekonvolusi secara teoritis.
DAFTAR PUSTAKA Bestari, SA. 2012. Penerapan Metode Dekonvolusi Pada Data Seismik Laut [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Dey AK. 1999. An Analysis of Seismic Wavelet Estimation [Thesis]. Alberta (CA): University of Calgary Dondurur D, Hakan K. 2012. Swell Noise Suppression by Wiener Prediction Filter. Appl. Sci. Geo. 80:91-100. Egbai JC, Atakpo E, Aigbogun CO. 2012. Predictive Deconvolution in Seismic Data Processing in Atala Prospect of Rivers State, Nigeria. Adv. Appl. Sci. Res. 3(1):520-529. Ekasapta A. 2008. Wavelet Seismik. http://asyafe.wordpress.com/ [Diunduh : 1 Juni 2015]. Elboth T, Herrmansen. 2009. Attenuation in Marine Seismic Data. SEG Techincal Program Extended Abstracts. 28(1):3312-3316. Elboth T. 2010. Noise in Marine Seismic Data. University of Oslo: Norway.
24 Harjumi M, Taufiq R. 2014. Analisis Perbandingan Parameter Gap pada Tahap Dekonvolusi dalam Pengolahan Data Seismik 2D Darat. Prosiding Seminar Nasional Geofisika 2014. Makassar. Kearey P, Michael B, Ian H. 2002. An Introduction to Geophysical Exploration Third Edition. Blackwell Science Ltd. Oxford (UK). Krail PM. 2010. Airguns: Theory and Operation of The Marine Seismic Source. University of Texas: Texas. Lines L. 1996. Suppression of Short-Period Multiples – Deconvolution or Model Based Inversion?.Canadian Journal of Exploration Geophysics. 32(1):6372. Mukaddas A. 2005. Analisis Perbedaan Penampang Seismik Antara Hasil Pengolahan Standar dengan Pengolahan Preserved Amplitude. Mektek. 7(3):141-147. Perez MA, David CH. 2000. Multiple Attenuation via Predictive Deconvolution in The Radial Domain. The 12th Annual Research Report of the CREWES Project. Peacock KL, Treitel S. 1969. Predictive deconvolution: theory and practice. Geophysics. 63:155-169. Rahadian. 2011. Penerapan Metode Surface Related Multiple Elimination dalam Optimalisasi Pengolahan Data Seismik 2D Marine [Tesis]. Bandung (ID): Institut Tekonologi Bandung. Xiao C, John B, James B, Zhihong C. 2013. Multiple Supression: A Literature Review. CREWES Research Report. Yilmaz Ö. 1987. Seismic Data Processing. Tulsa (US). Society of Exploration Geophysics. Tulsa (US). Yilmaz Ö. 2001. Seismic Data Analysis Processing, Inversion, and Interpretation of Seismic Data Volume 1. Society of Exploration Geophysics. Tulsa (US). Zhu S, Bin W. 2013. Adaptive Predictive Deconvolution Technique in Marine Seismic Data Processing. Advances in Information Service and Sciences. 5(10):1041-1049.
25
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Alfrida Romauli, merupakan putri dari pasangan Bapak Alm. Alfred Tampubolon dan Ibu Reni Shinta Dame. Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 10 Maret 1993. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pada tahun 2011 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 10 Bogor. Tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tertulis. Selama di IPB penulis menerima beasiswa pendidikan sarjana dari Badan Usaha Milik Negara pada tahun 2013 hingga tahun 2014, kemudian penulis menerima beasiswa Bidikmisi pada tahun 2014. Penulis pernah mengikuti kepanitiaan Kebaktian Awal Tahun Ajaran (KATA) tahun 2012 sebagai anggota divisi danus PMK IPB. Pada tahun 2013 penulis pernah menjadi juara 3 dalam kompetisi IPB Art Contest (IAC) untuk kategori Perkusi. Penulis pernah mengikuti praktek kerja lapang untuk mengamati kegiatan pembesaran ikan bawal bintang (Trachinotus blochii) di Balai Perikanan Budidaya Laut Batam di Pulau Setoko, Kepulauan Riau. Untuk menyelesaikan studi di departemen ITK penulis telah menyelesaikan skripsi dengan judul “Penerapan Dekonvolusi Spiking dan Dekonvolusi Prediktif Pada Data Seismik Laut Multichannel 2D di Laut Flores”.