PENDAHULUAN
Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan.
Jumlah penduduk
miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebanyak 39,05 juta (17, 75 %). Sebagian besar penduduk miskin, sekitar 63,41 persen berada di pedesaan, umumnya bergantung pada sektor pertanian. Selama periode tahun 1993-2003 terjadi kecenderungan peningkatan jumlah rumah tangga pertanian dan jumlah petani gurem di pedesaan Jawa dan luar Jawa. Sebagian besar petani gurem (75 %), berada di pedesaan Jawa dan seluruhnya tergolong miskin. Kemiskinan petani gurem di pedesaan yang sepertinya tidak kunjung terselesaikan.
Salah satu
penyebabnya bahwa kebijakan pertanian pemerintah yang tidak tepat. Baik dalam pendekatan yang dilakukan maupun pemilihan bentuk program seringkali tidak mengakomodir secara langsung kepentingan rumah tangga miskin. Upaya pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan melalui program pengentasan kemiskinan seperti KUT, IDT, Raskin dan BLT
secara empiris
terbukti tidak efektif dan banyak kasus menemui kegagalan. Kondisi ini terjadi terutama disebabkan oleh adanya penyimpangan yang dilakukan oleh penerima program dalam pelaksanaan program-program tersebut. Penyelewengan tersebut terjadi antara lain disebabkan karena kesengajaan para pelakunya dan kebijakan yang terlalu berorientasi pada proyek. Menjadi hal yang sulit dalam keadaan seperti ini lalu kepentingan rumah tangga miskin berharap dapat terakomodir.
Hal inilah yang pada akhirnya
menyebabkan implementasi program tidak partisipatif dan mengabaikan modal sosial atau energi sosial lokal (sumberdaya manusia, jaringan sosial, kelembagaan). Kondisi ini menyebabkan proses perencanaan dan implementasi program/proyek tersebut mengabaikan partisipasi keluarga miskin sebagai subyek utama. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, program-program pembangunan hanya dinikmati oleh golongan lapisan elit desa dan kerabat-kerabatnya yang secara sosial-ekonomi relatif mampu.
1
Kondisi ini selaras dengan apa yang dikemukakan Chambers (1987) bahwa jaringan kekerabatan dan koneksi kelompok lapisan elit pedesaan kerapkali menjadi “jaring penangkap” bagi bantuan-bantuan yang diperuntukan bagi keluarga-keluarga miskin. Pendekatan politik pembangunan di pedesaan masih bias elit desa, baik elit aparat pemerintahan desa maupun elit yang menguasai faktor-faktor produksi di pedesaan.
Kebijakan dan implementasi pembangunan
pertanian di pedesaan pada masa pemerintahan Orde Baru lebih banyak ditekankan pada upaya peningkatan produksi pangan (terutama beras) yang dilakukan secara terpusat, searah (top-down) dan seragam. Sebagaimana halnya program revolusi hijau yang didasarkan pada penyebaran “teknologi baru” berupa bibit unggul dan penambahan pemakaian pupuk dan bahan kimia, meskipun berhasil meningkatkan produksi pangan (beras) nasional, namun karena tanpa didukung dengan pembangunan kapasitas diri manusia dan kapasitas kelembagaan lokal yang kuat, pada akhirnya
memberikan gambaran tidak mampu
mempertahankan keberlanjutan swasembada beras. Meskipun pemerintah di masa lalu telah berupaya membangun kelembagaan di tingkat desa (seperti kelompok tani, pemerintahan desa dan KUD), namun karena dibentuk dan dijalankan secara terpusat, maka kelembagaan-kelembagaan tersebut cenderung berorientasi pada kepentingan supra-desa dan memarginalkan kepentingan masyarakat strata bawah. Kondisi seperti ini, digambarkan oleh Sayogyo (1982) sebagai proses modernisasi yang tidak diiringi dengan proses pembangunan (modernization without development). Pendekatan pembangunan pertanian di masa lalu juga cenderung menekankan pada pembangunan “perangkat keras” dan input teknologi yang relatif tinggi. Fokus utama pembangunan sumberdaya manusia dan pengembangan kelembagaan lokal, adalah manusia atau masyarakat.
Mengacu pada Hayami
(1985), jika kondisi lingkungan sosial dimana inovasi teknologi akan diterapkan ditandai dengan adanya distribusi kekayaan dan kekuasaan yang timpang (masalah struktural), maka perbaikan kelembagaan menjadi penting dan sangat dibutuhkan. Agar pencapaian penyebaran menjadi lebih luas, sehingga inovasi teknologi bukan saja memberi sumbangan, pada pertumbuhan melainkan juga pemerataan hasilnya.
2
Kemiskinan merupakan isu dan masalah sangat strategis dalam pembangunan masyarakat pedesaan di Indonesia, dalam hal ini berkorelasi positif atau erat kaitannya dengan masalah pangan. Masalah ketahanan pangan yang dihadapi masyarakat pedesaan ini, tidak hanya terbatas pada sistem produksi (ketersediaan), melainkan juga pada sistem distribusi dan sistem konsumsi (Dewan Ketahanan Pangan, 2006). Hal pokok yang dihadapi pada sistem ketersedian pangan di Indonesia adalah laju peningkatan produksi (penyediaan) pangan nasional belum mampu mengejar laju peningkatan kebutuhan pangan penduduk. Kondisi ini ditunjukkan dengan adanya ketergantungan negara kita terhadap impor pangan pada beberapa komoditas pangan tertentu (seperti beras, gandum dan kedelai) yang masih relatif tinggi. Dalam sistem distribusi pangan, kita masih dihadapkan pada masalah terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan yang dapat menjangkau seluruh wilayah terutama daerah terpencil. Sistem distribusi pangan untuk mengatasi kerawanan pangan disamping masih belum tertata dengan baik, juga belum bekerja secara efektif. Harga pangan yang sampai ke tingkat rumah tangga tidak menunjukan harga yang sebenarnya karena prasarana dan kelembagaan pasar belum mampu menjamin terciptanya sistem distribusi yang adil, merata dan terjangkau. Pada akhirnya hal ini berakibat pada semakin lemahnya kemampuan rumah tangga (terutama rumah tangga petani miskin) untuk dapat mengakses pangan secara cukup dan terjangkau. Daya beli serta penguasaan atau pemilikan lahan juga menjadi penyebab serius terjadinya kerawanan pangan di pedesaan. Pola konsumsi masyarakat Indonesia hingga saat ini masih belum mampu mendukung ketahanan pangan.
Secara umum hal ini ditunjukkan dengan
ketergantungan yang masih sangat tinggi terhadap beras. Kebijakan pemerintah masa lalu yang berusaha mempertahankan harga beras relatif rendah ikut mendorong terjadinya pergeseran pola konsumsi masyarakat pada beras. Program diversifikasi pangan selain tidak optimal juga menunjukan gejala salah arah, yaitu ditunjukkan adanya pergeseran pola konsumsi kearah diversifikasi pangan berbasis gandum.
3
Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan rumah tangga petani di pedesaan adalah melalui program Aksi Mandiri Pangan dengan sasaran wilayah adalah desa rawan pangan dan rumah tangga miskin sebagai penerima manfaat program. Program ini sudah dimulai sejak tahun 2006, salah satunya di Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.
Program mapan
berpontensi menjadi kelembagaan yang bisa mempertemukan kepentingan rumah tangga miskin dengan pihak supradesa. Oleh karena itu dalam permasalahan penelitian yang ingin diketahui adalah; bagaimana keberpihakan terhadap kepentingan rumahtangga petani miskin dalam pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal
untuk
mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan di pedesaan ?
Perumusan Masalah Dari berbagai penelitian diperoleh gambaran bahwa upaya pemerintah untuk mengatasi masalah kerawanan pangan dan pengentasan kemiskinan hingga saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kepentingan rumah tangga petani masih terabaikan, baik dalam kegiatan perumusan konsep kebijakan maupun dalam implementasinya di lapangan. Pada masa pemerintahan orde baru, program-program pertanian cenderung dirancang secara terpusat, searah (top-down) dan seragam. Selain itu orientasi pembangunan pertanian didominasi dan bertumpu pada kegiatan fisik dan bantuan modal melalui kredit. Dalam upaya meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan petani termarginalkan. Kondisi ini menyebabkan tidak adanya titik temu atau harmonisasi antara kepentingan negara/pemerintah dengan kepentingan petani. Bahwasanya
upaya penanggulangan kemiskinan rumah tangga petani
gurem tidak dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan terpusat, searah (top-down)
dan
seragam
untuk
seluruh
wilayah,
melainkan
harus
terdesentralisasi, partisipatif, spesifik dan beragam sesuai dengan tipe sosialbudaya, ekonomi masyarakat dan ekologi setempat.
4
Selain itu, kebijakan-kebijakan pembangunan di bidang ketahanan pangan seyogyanya dapat mempertemukan dan mengharmoniskan antara aparat kepentingan pemerintah dengan kepentingan rumah tangga petani. Agar kedua kepentingan tersebut dapat bertemu dan harmonis, maka harus ada kelembagaan yang menyediakan ruang yang luas untuk mendialogkan dua kepentingan tersebut. Dalam pengertian, baik mulai dari tahap perencanaan, implementasi dan hingga tahap evaluasi, seluruh pihak yang terlibat, terutama kepentingan petani gurem di akomodir secara aktif dan intensif di dalamnya. Program aksi mandiri pangan (Mapan) sebagai salah satu program pengentasan kemiskinan rumah tangga petani dan kerawanan pangan, yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat melalui pendayagunaan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal pedesaan, hadir dengan bentuk dan model baru. Program Mapan adalah suatu kegiatan strategis yang menjadi andalan pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan di wilayah pedesaan, dimana perwujudan ketahanan pangan nasional dimulai dari pemenuhan pangan di wilayah terkecil (pedesaan) sebagai basis kegiatan pertanian dimana rumah tangga miskin sebagai penerima manfaat program.
Secara aturan, langkah-langkah
pelaksanaan program ini bisa dikatakan sudah bercirikan memberdayakan rumah tangga petani miskin di pedesaan. Berdasarkan konsepnya, melalui program aksi mandiri pangan diharapkan masyarakat desa mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produkstif dari hari kehari, secara berkelanjutan. Upaya tersebut dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternatife peluang dan pemecahan masalah serta melatih untuk mampu mengambil keputusan
dalam
memanfaatkan
sumberdaya
alam
secara
efisien
dan
berkelanjutan sehingga mencapai kemandirian. Lokasi penelitian ini adalah Desa rawan pangan di Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah, yaitu Desa Jambakan Kecamatan Bayat.
Desa rawan Pangan adalah kondisi suatu daerah dimana
masyarakat atau rumah tangga dengan tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian besar masyarakatnya.
5
Keberadaan kelembagaan lokal di desa berfungsi sebagai panutan berperilaku dalam menjaga keutuhan masyarakat setempat baik dalam kehidupan beragama, berekonomi maupun juga berpolitik serta dalam berinteraksi dengan pihak luar desa. Bahwasanya, secara sosiologis suatu kondisi desa miskin terjadi bukan karena mentalitas penduduk yang malas bekerja sehingga menjadi miskin dan tidak mampu memenuhi kebutuhannya, tetapi terjadi karena masalah struktural yaitu kelembagaan yang dapat memfasilitasi proses kemandirian tidak pernah dibangun keberadaannya. Kelembagaan lokal yang terdapat di pedesaan telah memainkan peranannya dalam ikut menggiatkan aktivitas perekonomian dengan menggerakkan, memberdayakan dan memandirikan masyarakat sekitarnya dengan semua potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki. Kaitannya dengan pola-pola hubungan yang berpusat pada aktivitas masyarakat dalam
mengentaskan
kemiskinan
dan
pemenuhan
kebutuhan
pangan,
kelembagaan lokal mampu mengoptimalkan kekuatan-kekuatan sosiologis berupa modal-modal
sosial,
kekuatan
tindakan-tindakan
kolektif,
kepemimpinan
ekonomi, juga kemampuan membangun jaringan dengan pihak-pihak luar sehingga terjadi kolaborasi yang menguntungkan antara kekuatan-kekuatan lokal dengan institusi-institusi lainnya. Oleh karena itu perlu upaya untuk mengkaji, bagaimana program ketahanan pangan lokal untuk mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan? Hal menarik adalah ketika dalam suatu masyarakat sudah terbangun kelembagaan ketahanan pangan, kemudian terjadi interaksi dengan masuknya intervensi dari pemerintah dalam upaya pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal, maka pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana pengaruh kepentingan berbagai aktor dalam program pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal ? Kepentingan rumah tangga miskin adalah hal utama yang harus diperhatikan dalam berbagai program pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal. kepentingan
Sehingga sangat penting untuk mengkaji sejauh mana rumah
tangga
petani
miskin
dijadikan
dasar
untuk
mengevaluasi pencapaian program ketahanan pangan lokal ?
6
Pada akhirnya penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan konsep bagaimana melihat dimensi
kepentingan
dalam pengelolaan kelembagaan
ketahanan pangan lokal serta interaksinya dengan program pemerintah (mapan) pada suatu komunitas yang mengembangkan partisipasi masyarakat pedesaan melalui kelembagaan lokal setempat. Dalam konteks pembangunan, membangun sebuah kemandirian masyarakat pedesaan harus didasarkan dan berbasis pada kelembagaan lokal yang terdapat dalam suatu wilayah tersebut.
Belum
berhasilnya program penanggulangan rawan pangan yang telah dilakukan selama ini karena tidak diiringi dengan perubahan kelembagaan yang ada.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan pokok penelitian adalah menganalisis kelembagaan ketahanan pangan lokal dan interaksinya dengan program Mapan dalam upaya pengentasan kemiskinan dan sejauh mana program tersebut mampu menjadi ruang untuk mendialogkan berbagai kepentingan yang berbeda. Secara khusus, penelitian ini bertujuan : 1. Mengkaji pelaksanaan program ketahanan pangan lokal untuk mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan 2. Menganalisis pengaruh berbagai kepentingan (ekonomi, sosial, politik) aktor dalam program pengembangan Kelembagaan ketahanan pangan lokal 3. Mengkaji sejauh mana kepentingan rumah tangga petani miskin dijadikan dasar untuk mengevaluasi pencapaian program ketahanan pangan lokal
7
Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini terutama bagi penulis adalah memperkaya pengalaman penelitian dan kegiatan keilmuan, disamping dapat mengetahui lebih banyak tentang konsep dimensi kepentingan dalam emberdayaan masyarakat di desa rawan pangan. Pengetahuan tentang dimensi kepentingan ini dapat dijadikan sebagai informasi tambahan bagi peneliti lain yang berminat mengkaji tema ini lebih dalam. Kegunaan hasil penelitian juga untuk masukan kepada pemerintah dalam melakukan evaluasi terhadap program mandiri pangan yang sekarang masih berjalan.
Terdapat lebih dari 100 kabupaten rawan pangan di Indonesia yang
didalamnya terdapat kelembagan lokal pengelolaan ketahanan pangan yang barangkali berkondisi sama secara politik maupu ekonomi dengan lokasi penelitian ini, namun masing-masing masyarakat mempunyai respon sendirisendiri.
Salah satunya adalah daerah penelitian ini, yaitu desa Jambakan,
Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Hal ini tentunya akan menjadi pengalaman dan pengetahuan tersendiri bagi peneliti baik secara kuantitas maupun secara kualitas, khususnya yang terkait dengan tema pokok yang diangkat dalam penelitian ini.
8