I LAPORAN KASUS I
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP Treatment of Lung Oedema in VSD and VAP Sepsis
Maria Irawaty
ABSTRACT Lung oedema is a high frequent case in ICU, including cardiogenic or non cardiogenic (ARDS). Invasive hemodinamic monitoring is needed to dis!nguish both of those types, it is also needed to treat this case. This case report shows a woman, 26 years old, post sec!o caesarea, admitted with lung oedema on VSD disorder. Along the inpa!ent period, she got VAP sepsis. It is important to dis!nguish lung oedema cause of cardiogenic or ARDS (VAP), and how to treat her in ICU that has no invasive hemodynamic monitoring device. Keywords: Oedema, VSD, VAP, sepsis ABSTRAK Edema paru cukup sering terjadi di ICU, baik kardiogenik maupun non kardiogenik (ARDS). Membedakan kedua jenis edema paru tersebut membutuhkan pemantauan hemodinamik invasif. Begitu pula dalam penatalaksanaannya sangat diperlukan pemantauan parameter hemodinamik. Laporan kasus ini melaporkan seorang wanita, 26 tahun, paska seksio sesarea yang masuk dengan edema paru dengan penyakit dasar kelainan jantung VSD dan selama perawatan mengalami sepsis VAP. Yang menjadi masalah dalam penatalaksanaan kasus ini adalah membedakan edema paru ini sebagai kardiogenik atau ARDS ( akibat VAP ) dan bagaimana penatalaksanaannya di ICU yang !dak dilengkapi dengan pemantauan hemodinamik invasif. Kata kunci: Edema, VSD, VAP, sepsis PENDAHULUAN Pemantauan hemodinamik merupakan faktor yang sangat pen!ng di ICU dan merupakan salah satu faktor pen!ng yang menentukan keberhasilan dalam mengelola kasus-kasus kriris di ICU. Seper! diketahui, !dak semua ICU di Indonesia diperlengkapi dengan pemantauan hemodinamik invasif. Banyak ICU hanya memiliki CVP sebagai sarana pemantauannya. Untuk beberapa kasus, CVP dikombinasi dengan manuver lain (PLR) cukup memadai, tetapi untuk kasus-kasus tertentu khususnya yang berhubungan dengan jantung (gagal jantung, edema paru kardiogenik, tamponade, dan lain-lain) maka keterbatasan tersebut cukup menyulitkan. Edema paru cukup sering terjadi di ICU, baik kar-
diogenik maupun non kardiogenik (ARDS). Kedua jenis edema paru ini berbeda secara patogenesis dan patofisiologi meskipun secara klinis sulit dibedakan. Bahkan sering kedua jenis edema paru ini terjadi bersamaan. Membedakan kedua jenis edema paru tersebut membutuhkan pemantauan hemodinamik invasif, seper! diketahui secara definisi ARDS harus memenuhu syarat PAOP < 18. Begitu pula dalam penatalaksanaannya sangat diperlukan pemantauan parameter hemodinamik. Laporan kasus ini melaporkan seorang wanita, 26 tahun paska seksio sesarea yang masuk dengan edema paru dengan penyakit dasar kelainan jantung VSD dan selama perawatan mengalami sepsis VAP. Kondisi sepsis pada kasus ini sulit teratasi meskipun sudah mendapatkan terapi an!bio!ka sesuai hasil kultur, mengalami rekurensi dan superinfeksi lalu kemudian meninggal. Yang menjadi masalah dalam penatalaksanaan kasus ini adalah membedakan edema paru ini sebagai kardiogenik atau ARDS ( akibat VAP ) dan bagaimana penatalaksanaannya di ICU yang !dak dilengkapi dengan pemantauan hemodinamik invasif. ILUSTRASI KASUS Pasien adalah Ny. M, 26 tahun, masuk RS (IGD) pada tanggal 31/1/10 jam 02.00 dan masuk ICU pada tanggal 31/ 1/10 jam 05.00 dengan keluhan utama sesak napas. Sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit (MRS), pasien sering merasa sesak terutama bila melakukan pekerjaan rumah sehari-hari. Sejak 1 hari sebelum MRS pasien merasa sesak yang semakin bertambah berat. Sesak !dak disertai batuk, demam dan !dak berbunyi. Beberapa jam sebelum MRS OS merasa sesak semakin bertambah hebat. Pasien hamil cukup bulan, ANC teratur ke bidan. Sejak usia kehamilan 4 bulan pasien dikatakan darah !nggi. Riwayat kaki bengkak, air kencing berbuih disangkal. Gerak janin masih dirasakan, pandangan kabur disangkal. Riwayat penyakit dahulu pasien sebagai berikut. Sejak kecil dikatakan denyut jantung OS tampak keras. Sejak 3 tahun ini os sering merasa sesak bila malam hari sehingga harus !dur dengan 2 bantal. Pemeriksaan Fisik dan penunjang (masuk ICU): Pasien dari Kamar Operasi pasca-SC. Tampak sakit berat, kesadaran DPO, TD 150/87, Nadi 150x/menit/ RR
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 52•
Maria Irawaty Alumnus Program Pendidikan Intensive Care Universitas Indonesia RSCM
MARIA IRAWATY
16x/m dengan bagging 02 10 l/menit, SO2 100%. Suhu 36,8C.CVP 16. Paru, sonor seluruh paru, auskultasi ditemukan ronki basah diseluruh paru. Jantung , tampak pulsasi di parasternal, epigastrium dan ictus cordis. Ictus melebar, tak kuat angkat,thrill +, Pulsasi di PS kiri , thrill +, konfigurasi jantung membesar ke kiri dan kanan, pinggang jantung mendatar. BJ I-II, murmur sistolik ejeksi di SIC ¾ grade 4/6.Pungtum maksimum di PS Kiri. Abdomen, Rata, supel , hepar dan lien tak teraba, pekak sisi normal dan pekak alih !dak ada, bising usus (-). Ekstremitas tak sianosis, clubbing (-), hangat. Tabel 1. Pemeriksaan laboratorium Hb/Ht/L/Tr 13,6/41/22700/186000 SGOT/SGPT/GDS 100/30/161
H4 Pasien dilaporkan sputumnya berbercak darah merah muda, dengan gambar rontgen edema paru kesan berkurang ,infiltrat bertambah. Direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan ulang lekosit dan procalcitonin. H5 Hemodinamik stabil tanpa topangan, suhu > 38, sputum purulen tetapi lekosit menurun dibandingkan hari pertama ( 11000), dengan procalcitonin meningkat ( 1,99). Pasien didiagnosis mengalami VAP dengan faktor risiko MDR dan diberi an!bio!k meropenem dan gentamicin sebagai empiris untuk VAP, tetapi an!bio!ka belum terbeli. Indeks oksigenisasi rela!f baik ( stabil > 250) dan topangan ven!lator dapat diweaning menjadi CPAP +5/40%.
Ur/cr/Na/K/Cl/
31/1,5/135/5,4/102
H 6-9
AGD PaO2/FiO2
7,14/62,2/125/-11,1/19,1/96,3 200
Suhu semakin meningkat ( 38-39) dengan WOB yang meningkat, ven!lasi mekanik kembali dengan mode PS 10/+8/40%. An!bio!ka empiris sudah terbeli.
Assesment Pasca SC, edema Paru ec curiga Penyakit Jantung Katup, Dd/ PEB Rencana KAEN 3B, puasa CF (CF = clear fluid) 60 cc, MC (MC = makanan cair) 30 cc/jam, morfin bolus 2 mg dilanjutkan 1 mg/jam, dormicum 1 mg/jam, elevasi 30-45, rani!din 2x 50 mg IV, respirasi : PC 16/14x/+8/60%, Amoxyclav 3x1 gram. Catatan Kemajuan H1 Hemodinamik !dak stabil, cenderung turun ( MAP 50-60mmHg). Pasien diberi loading koloid 500cc/1jam yang diulang , tetapi CVP dan tekanan darah cenderung turun, Kemudian OS diberi vasopresor noradrenalin sampai 0,8ucg/kg/min dan dobutamin 10ucg/kg/menit sehingga MAP dapat dipertahankan 65-70 mmHg. Respirasi ditopang dengan mode PC18/50%/16x/menit/+10/50%. Saturasi stabil 90-100%. Ra!o PaO2/FiO2 200 . Mode ven!lator kemudian menjadi PSIMV 15/10x/50%/+5 /PS 14. H 2-3 Hemodinamik membaik, vasopresor dan inotropik di!trasi turun dan kemudian di hen!kan hari ke!ga. Respirasi ditopang dengan ven!lasi mekanik dengan mode SIMV 12/10x/50%/+5/PS 12 dan di weaning sampai PS 6/+5/40%. Ra!o PaO2/FiO2 288.SvcO2 72,2% Pasien mendapatkan furosemid 3x20mg untuk mempertahankan balans nega!ve. Pasien dilakukan ekhokardiografi dengan hasil kesan LVH, AS mild, PE mild EF 80%, LV fungsi baik . Hasil tersebut !dak sesuai dengan penampilan klinis pasien. Direncanakan untuk melakukan TEE. Pada hari ke!ga suhu tubuh cenderung naik ( 38,5), sputum berubah menjadi purulen, tetapi leukosit cenderung turun dibandingkan saat masuk( 11700). Pasien dicurigai sebagai VAP, direncanakan untuk memeriksa procalcitonin dan rontgen thoraks ulang.
H 10 TEE dengan hasil VSD perimembranosa+AR mild L to R shunt. Direncanakan untuk melakukaan AMVO.Hari ini juga keluar hasil kultur sputum yaitu acinetobacter baumanii An!bio!ka kemudian dideekskalasi sesuai hasil kultur resistensi test yaitu ampicilin sulbactam. H 12 Rontgen thorax tampak perburukan, kesan infiltrat bertambah , suhu masih di atas 38, tetapi jumlah lekosit cenderung turun ( 10460 ). Dipikirkan apakah VAP yang memburuk atau edema parunya yang bertambah. Dilakukan pemeriksaan pro BNP, procalcitonin dan kultur ulang. An!bio!ka rencana digan! dengan piperacilin tazobactam 4x4,5gram,dan dosis NTG dinaikkan menjadi 10ucg/menit dengan terlebih dahulu mengambil bahan kultur ulang. Direncanakan untuk trakeostomi. H 13 Hasil ProBNP 707 sedangkan Procalcitonin <0,5. Dosis NTG di!trasi naik sampai 10ug/min. An!bio!ka masih dilanjutkan karena suhu badan cenderung turun setelah an!bio!ka digan!. H 14 Hb 8,5, dan SVcO2 65, dilakukan transfusi PRC 500cc. Suhu sudah !dak febris ( stabil < 37,5 C) H-16 SVcO2 71 ,ProBNP 445. NTG di!trasi turun sampai 5mcg/min. Pewarnaan gram dan kultur sputum !dak ditemukan pertumbuhan kuman. Rontgen Thorax ulang infiltrat bertambah dibandingkan rontgent hari keduabelas. H 17 PCT 0.779, an!bio!ka tetap dilanjutkan. Topangan ven!lasi mekanik dapat diweaning menjadi PS 10/PEEP 5/ fio2 40%.
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 53•
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
H 18 Dilakukan trakeostomi. Pasca trakeostomi dilakukan pengkajian kesiapan weaning dan didapatkan hasil SBI 24/0,24= 100, dengan PS6 PEEP 5, maka diputuskan untuk melanjutkan weaning dengan T-Test. Hari Ke 19 pasien dapat bernafas dengan nasal kanul 4l/menit, suhu tubuh cenderung turun, nilai procalcitonin menjadi 0,646. Kesan VAP mengalami perbaikan tetapi an!bio!ka piperacilin – tazobactam tetap diteruskan karena Procalcitonin masih > 0,1.
Kausa : infark miokard, hipertensi, penyakit jantung katup,eksaserbasi gagal jantung sistolik /diastolik dan lainnya. - Nonkardiogenik/edema paru permeabilitas meningkat. Kausa : ALI dan ARDS Walaupun penyebab kedua jenis edema paru tersebut berbeda, namun membedakannya terkadang sulit karena manifestasi klinisnya yang mirip. Kemampuan membedakan penyebab edema paru sangat pen!ng karena berimplikasi pada penanganannya yang berbeda 1
H 20 Rontgen thorak ulang dan didapatkan kesan infiltrat bertambah,, diberikan terapi an! jamur preemp!f dengan memberikan flukonazol 400 mg dilanjutkan 200mg/ hari. H 23 -27 Pasien tampak lebih sesak, ra!o PaO2/Fio2 288, suhu kembali 39C ,lekosit 12000, procalcitonin meningkat menjadi 0,85, rontgen thorax perburukan ( nilai CPIS 6), tetapi nilai pro BNP semakin turun ( 343pg/ml). Hasil kuktur ulang didapatkan A.baumanii sensi!f dengan an!bio!ka golongan aminoglycoside dan levofloksacin. Cefoperazone/ sulbactam intermediate. An!bio!ka digan! menjadi amikasin 750 mg dan sulperazon 2x2gram. Hari ke 26 suhu turun ( 36,7-37,4 C) , procalcitonin turun menjadi 0,685 .Topangan ven!lasi mekanik dapat dikurangi menjadi PS 6/PEEP 5/FIO2 40%. Diambil kultur ulang untuk evaluasi.
Patofisiologi Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama melalui celah kecil antara sel endotel kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar inter!sial pada keadaan normal !dak dapat masuk ke ruang alveolar hal ini disebabkan epitel alveolus terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ke!ka cairan memasuki ruang inter!sial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh sistem limfa!k ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrosta!k yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrosta!k kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradient tekanan onko!k protein.
H 28-31 Mulai H-28 suhu kembali naik sampai 39C, procalcitonin dan lekosit kembali meningkat ( 1,217 dan 16890) direncanakan menggan! an!bio!ka dengan tygaciclin tetapi !dak terbeli. Ra!o PaO2/FIO2 150, topangan ven!lator di!ngkatkan menjadi SIMV 12/12/PEEP 6/FIO2 60% PS 10. SVcO2 < 70 ( 55 à 49) . Hemodinamik menurun menjadi < 65 mmHg, CVP 7-14, takikardi ( 120-140) Pada AGD didapatkan SID -9 . Pasien dikaji mengalami perburukan ( severe sepsis, dengan hipotensi kemungkinan syok sepsis). Rontgen Thoraks hari ke 30 menunjukkan siluet jantung yang bertambah besar ( pembesaran biventrikuler bertambah) dan pertambahan infiltrat. Pasien dicurigai mengalami disfungsi miokard yang bertambah karena sepsis berat. Pasien mendapatkan norepinefrin dan dobutamin,NTG dan furosemid dihen!kan. Hemodinamik semakin turun dan akhirnya meninggal pada hari ke 31. Hasil kultur terakhir (specimen tanggal): Chryseomonas luteola , dengan an!bio!k yang sensi!f amikacin dan tygaciclin. TINJAUAN PUSTAKA Edema Paru Edema paru didefinisikan sebagai terakumulasinysa cairan di inter!sial dan alveolus. Penyebab Edema Paru 1,2 : - Kardiogenik atau edema paru hidrosta!k atau edema hemodinamik
Gambar 1. Patofisiologi edema Paru ( diku!p dari Loraine et al. NEJM 2005 : 353: 2791)
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 54•
MARIA IRAWATY
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena peningkatan tekanan hidrosta!k yang cepat dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvascular.(Gambar 1B). Peningkatan tekanan hidrosta!k di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVED) dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan ventrikel kiri ( 18 – 25 mmHG) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang ruang intersisial peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih !nggi (>25) maka cairan edema akan menembus epitel paru,membanjiri alveolus.(gambar 1b) Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut : • Meningkatnya konges! paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung. • Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan melalui mekanime interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri. • Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung. Edema paru kardiogenik ini merupakan bagian dari spectrum klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai : munculnya gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang !dak normal. European Society of Cardiology (ESC) membagi AHFS menjadi 6 klasifikasi yaitu : ESC 1 : Acute Decompensated Heart Failure ESC 2 : Hypertensive Acute Heart Failure ESC 3 : Pulmonary oedema ESC 4 : Cardiogenic Shock ESC 5 : High output Failure :AHF pada sepsis ESC 6 : Right Heart Failure Bila edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrosta!k maka sebaliknya, edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus.(1C) Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki kadar protein !nggi karena membran pembuluh darah lebih permeable untuk dilewa! oleh protein plasma. Akumulasi cairan edema ditentukan oleh keseimbangan antara kecepatan filtrasi cairan ke dalam paru dan kecepatan cairan tersebut dikeluarkan dari alveoli dan intersisial. Diagnosis Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa kemiripan. Edema intersisial menyebabkan sesak dan takipne. Alveolus yang penuh cairan menyebabkan hipoksemia arteri dan dapat disertai batuk dan sputum kemerahan ( frothy). - Anamnesis Anamnesis dapat menjadi petunjuk kearah kausa edema paru, misalnya adanya riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan CHF.
-
-
-
Pemeriksaan fisik Terdapat takipnu, ortopnu (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi, akral dingin dengan sianosis, menggunakan otot bantu nafas, frophy sputum, ronki basah dan terdapat wheezing. Khususnya pada edema paru kardiogenik terdapat JVP meningkat, gallop, bunyi jantung 3 dan 4 dan terdapat edema perifer. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang relevant diperlukan untuk mengkaji e!ologi edema paru. Pemeriksaan tersebut melipu! diantaranya pemeriksaan hematologi (complete blood count), fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah, troponin I dan Brain Natriure!c pep!de (BNP). Brain Natriu!c Pep!de (BNP) dan prekursornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan dengan PAOP, LEVEDP dan LVEF . Khususnya pada pasien gagal jantung menggunakan pro BNP dengan nilai 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan sensi!fitas 91% dan spesifisitas 93%.1.Richard dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling Pressure. 2 Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis ru!n untuk menegakkan CHF berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi CHF Eropa dan Amerika ( AHA Guidelines).3 Buk! peneli!an menunjukkan bahwa Pro BNP/ BNP memiliki nilai prediksi nega!f dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit lainnya. Rontgent Paru Gambaran rontgent paru dapat dipakai untuk membedakan edema paru kardiogenik dari edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema !dak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah tehnik juga dapat mengurangi sensi!vitas dan spesifisitas rontgent paru, seper! rotasi, inspirasi, ven!lator, posisi pasien dan posisi film.1.
Tabel 2. Beda Gambaran Radiologi edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik Gambaran Radiologi Ukuran Jantung Lebar pedikel Vaskuler Distribusi Vaskuler Distribusi Edema Efusi pleura Peribronchial Cuffing Garis septal Air bronchogram
Edema Kardiogenik
Edema Non Kardiogenik
Normal atau membesar Biasanya Normal Normal atau melebar Biasanya normal Seimbang Normal/seimbang rata / Sentral Patchy atau perifer Ada Biasanya !dak ada Ada Biasanya !dak ada Ada Biasanya !dak ada Tidak selalu ada Selalu ada
diku!p dari Loraine et al. NEJM 2005 : 353: 2793 • Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 55•
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
-
-
Ekhokardiografi Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kiri. Ekhokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab edema paru. Kateterisasi pulmonal Pengukuran tekanan baji pulmonal ( Pulmonary artery occlusion pressure/PAOP) dianggap sebagai pemeriksaan baku emas untuk menentuksn penyebab edema paru akut. Lorraine dkk mangusulkan suatu algoritma pendekatan klinis untuk membedakan kedua jenis edema tersebut ( gambar 2). Disamping itu, ada sekitar 10% pasien dengan edema paru akut dengan penyebab mul!ple. Sebagai contoh, pasien syok sepsis dengan ALI , dapat mengalami kelebihan cairan karena resusitasi yang berlebihan. Begitu juga sebaliknya, pasien dengan gagal jantung konges! dapat mengalami ALI karena pneumonia.1
Penatalaksanaan Penatalaksanaan Edema Paru Non Kardiogenik (ARDS) a. Supor!f Mencari dan menterapi penyebabnya. Yang harus dilakukan adalah : o Suport Kardiovaskular o Terapi Cairan o Renal Suport
o
Pengelolaan Sepsis
b. Ven!lasi Menggunakan Ven!lasi protec!ve lung atau protocol ven!lasi ARDS net. Penatalaksanaan Edema Paru kardiogenik Sasarannya adalah : • Mencapai oksigenisasi adekwat. • Memelihara stabilitas hemodinamik • Mengurangi stress miokard dengan menurunkan preload dan a%erload. Penatalaksanaan : § Posisi setengah duduk § Oksigen terapi § Morphin IV 2,5mg § Diure!k § Nitroglycerine § inotropik Buk! peneli!an menunjukkan bahwa pilihan terapi yang terbaik adalah : Vasodilator intravena sedini mungkin (Nitroglycerine , nesiri!de, nitropruside ) dan diure!ka dosis rendah. Nitroglycerine merupakan terapi lini pertama pada semua pasien AHF dengan tekanan darah sistolik > 95100mmHg dengan dosis 20µg/min sampai 200µg /menit (Rekomensi ESC IA). Bahkan dosis yang sangat rendah ( < 0,5µg/kg/min) dari nitroglycerin akan menurunkan LVED
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 56•
MARIA IRAWATY
dan LVES tanpa turunnya tekanan darah dn perfusi perifer.4 Bila dibandingkan dengan diure!k maka nitroglycerin memiliki beberapa keuntungan yaitu lebih efek!f dalam mengontrol edema paru berat dengan profil hemodinamik yang lebih stabil, penurunan wall stress dan LVEDP yang lebih cepat tanpa menurunkan CO.4 VAP Kema!an pasien yang dirawat di ICU !dak hanya disebabkan oleh penyakit dasarnya tetapi juga oleh infeksi nosokomial. Pneumonia merupakan salah satu infeksi nosokomial yang tersering, yang terjadi pada lebih dari 27% pasien penyakit kri!s. Sebagian besar nosokomial pneumonia berhubungan dengan pemakaian ven!lator mekanik (VAP). VAP didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi 48 jam setelah intubasi endotrakeal dan penggunaan alat ven!lasi mekanik.5 Diagnosis Diagnosis Klinis Melakukan diagnosis VAP memerlukan kecurigaan klinis yang !nggi ditambah dengan pemeriksaan klinis, radiologi dan mikrobiologi dari sekresi jalan napas.Biasanya kecurigaan akan adanya VAP !mbul jika pada pasien ditemukan infiltrat paru yang progresif, leukositosis, demam dan sekresi trakeobronkial yang purulen. Sayangnya, !dak seper! CAP, kriteria klinis pneumonia di atas memiliki nilai diagnosis yang terbatas pada kasus VAP yang sudah tegak. Fabregas dkk melalukan peneli!an yang membandingkan kriteria klinis tersebut di atas dengan hasil histologi dan kultur jaringan paru post mortem. Peneli!an tersebut melaporkan bahwa kriteria diagnosis tersebut memiliki sensi!fitas 69% dan spesifisitas 75%. Jika ke!ga variable klinis tersebut dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis maka sensi!fitasnya turun menjadi 23% dan sebaliknya jika hanya satu kriteria yang digunakan maka spesifitasnya turun menjadi 33%. Ke!dakakuratan kriteria klinis tersebut dapat dimenger! karena sekresi trakeobronkial purulen sering terjadi pada pasien yang menggunakan ven!lasi mekanik tanpa disertai pneumonia. Demikian pula halnya dengan tanda sistemik dari pneumonia, seper! demam dan lekositosis, dapat merupakan akibat sitokin proinflamasi yang sering terjadi pada trauma, pembedahan, ARDS, DVT dan infark paru. Pada pasien ARDS, sensi!fitas kriteria klinis tersebut labih rendah lagi. Bell et al melaporkan bahwa terdapat sekitar 46% false nega!ve VAP pada pasien-pasien dengan ARDS. Konsekuensinya, kecurigaan VAP pada pasien ARDS harus lebih !nggi. Bahkan satu kriteria klinis VAP, hemodinamik yang tak stabil tanpa penyebab yang jelas, dan perburukan analisa gas darah sudah seharusnya melakukan pemeriksaan lebih lanjut kearah VAP.6 Untuk menambah spesifisitas diagnosis VAP maka Pugin dkk mengusulkan sistem skoring terhadap kriteria klinis tersebut ( Clinical pulmonary infec!on score/CPIS). Jika CPIS > 6 maka berkorelasi baik terhadap adanya VAP.Tapi sayang, data dari beberapa peneli!an lain menunjukkan ternyata spesifisitas sistem skoring ini pun rendah. Sing dkk mengusulkan modifikasi CPIS yang !dak
berdasarkan kultur tetapi dengan menggunakan pewarnanaan gram dari spesimen BAL. Dengan demikian , spesifisitasnya meningkat. 7 Pemeriksaan Radiologi Hasil pemeriksaan Radiografi paru juga memiliki masalah dalam hal nilai sensi!fitas dan spesifisitasnya. Kwalitas film yang kurang baik membuat hasil Chest X Ray semakin !dak akurat. Peneli!an yang dilakukan terhadap 26 pasien bedah menemukan bahwa 26% pasien dengan rontgen thoraks normal ditemukan infiltrat pada hasil pemeriksaan CT scan. Secara keseluruhan spesifisitas gambaran radioopaq pada C Xray hanya 27%-35%. Pemeriksaan Mikrobiologi Pemeriksaan mikrobiologi berupa pewarnaan gram, kultur sekresi trakea nonkwan!ta!f dan semikwan!ta!f merupakan pemeriksaan yang mudah untuk dilakukan. Tetapi pemeriksaan ini hanya menambah sedikit saja nillai sensi!fitas dan spesifisitas diagnosis klinis.( 82% dan 27%). Pedoman penatalaksanaan VAP yang dikeluarkan oleh ATS merekomendasikan kultur kwan!ta!f dari sekresi aspirasi endotrakeal atau sampel dari bronkoskopi maupun bukan.5,6 Tabel 2. Kriteria klinik CPIS untuk Diagnosis Pneumonia Variabel 0 1 2 Suhu 0 C
≥36,1 - ≤ 38,4 ≥ 4000 - ≤ 11000
≥ 38,5 - ≤ 38,9 < 4000 - > 11000
≥ 39 - ≤ 36
Sekresi
Tidak ada
Ada, non purulen
Ada purulen
PaO2/FIO2
>240 atau ARDS
Foto toraks
Tidak ada infiltrate
Infiltrate d i f u s / patchy
Mikrobiologi
Tidak ada, tumbuh lambat
Tumbuh sedang atau cepat : tambah 1 poin jika sama dengan gram
Lekosit
<4000> 11000 + band > 500
< 240 , bukan ARDS Terlokalisir
Diku!p dari PorzecanskinI,Bowton DL. Chest 2006; 130: 597-604 Terapi Prinsip pemilihan an!bio!k pada HAP didasarkan pada ada !daknya faktor risiko resisten mul! obat (MDR) yaitu : • Terapi an!mikroba dalam 90 ha! terakhir. • Telah dirawat 5 hari atau lebih • Frekwensi resistensi an!bio!k di komunitas/unit
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 57•
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
• •
rawat rumah sakit !nggi.. Adanya faktor risiko HCAP Immnunosupresi
ser ke kiri dengan murmur pansistolik, dan diastolic rumble dan bunyi jantung 3 akibat meningkatnya aliran di mitral. Pasien dengan nonrestrik!f besar eisenmenger VSD biasanya akan ditemui adanya sianosis sentral, jari tabuh disertai tanda-tanda hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan. Tindakan Penutupan Penutupan VSD dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara pembedahan dan transcatheter. Indikasi !ndakan bedah penutupan VSD adalah : • VSD yang bermakna ( Qp/Qs > 1,5 : 1 ) • Tekanan sistolik pulmonal > 50mmHg • Adanya pembesaran ventrikel dan atrium kanan. • Memburuknya fungsi jantung kiri tanpa adanya hipertensi pulmonal.
Gambar 3. Algoritme Penatalaksanaan HAP/VAP/HCAP (ATS IDSA 2005) Pemberian an!bio!k empiris spektrum luas harus diiku! dengan deekskalasi berdasarkan data klinis dan mikrobiologi serial untuk mencegah munculnya resistensi an!bio!ka di rumah sakit. Keberhasilan terapi sangat menentukan angka mortalitas VAP dan ini sangat dipengaruhi oleh: 1. Pemilihan an!bio!k empiris yang !dak sesuai 2. Pemberian an!bio!k yang terlambat Ventrikel Septal Defect (VSD) Pada dasarnya septum ventrikel dibagi menjadi !ga yaitu : inlet, trabecular dan outlet. VSD dikelompokkan berdasarkan lokasi dan tepinya menjadi 3 7 : - Muscular VSD : batasnya adalah miokard dan lokasinya bisa trabekular, inlet dan outlet. - Membranous VSD : lokasinya berada di inlet, outlet dan trabekular dan dibatasi oleh daun katup AV dan katum arterial. - Dolby commi&ed subarterial VSD, berada di outlet dan dibatasi oleh jaringan ikat katup aorta dan pulmonal VSD restrik!f !dak akan menyebabkan gangguan hemodinamik dan dapat menutup secara spontan, sedangkan VSD besar (non restriksi) biasanya disertai overload ventrikel kiri, yang progresif menjadi peningkatan tekanan pulmonal dan selanjutnya shunt kira ke kanan. Selanjutnya bila resistensi pulmonal meningkat akan menjadi sindrom Eisenmenger. Gambaran Klinis VSD Dewasa Pasien dewasa dengan VSD restrik!f kecil biasanya asimptoma!k. Pemeriksaann fisik ditemui adanya murmur pansistolik frekuensi !nggi dengan punktum maksimum di garis parasternal kiri se!nggi interkostal 3-4. Pasien dengan VSD restrik!f sedang sering merasa sesak setelah dewasa, yang kemungkinan dicetuskan oleh fibrilasi atrial. Pada pemeriksaan fisik akan ditemui apeks jantung yang berge-
Indikasi rela!f: - Adanya VSD perimembran atau VSD outlet dengan aorta regurgitasi yang sedang dan berat. - Endokardi!s berulang. - Jika ada hipertensi pulmonal berat justru operasi !dak memungkinkan. Disfungsi Miokard pada Sepsis Disfungsi miokard pada sepsis didefinisikan sebagai keadaan rendahnya cardiac index atau adanya disfungsi jantung berdasarkan pemeriksaan ekokardiografi pada sepsis berat. Disfungsi miokard pada sepsis ini sering tampil dengan CO yang normal karena berkurangnya SVR dan a#erload dan walaupun disfungsi miokard cukup berat namun CO dipertahankan rela!f baik oleh dilatasi ventrikel dan takikardi. Peneli!an menunjukkan hanya sekelompok kecil yang dengan CO turun. Adanya disfungsi miokard ini disertai peningkatan angka kema!an menjadi 70-90% bila dibandingkan kema!an pada sepsis tanpa gangguan fungsi kardiovaskular 20%.8 Adapun mekanisme terjadinya disfungsi miokard ini bukan disebabkan oleh kelainan struktur atau hipoperfusi miokard tetapi mul!faktorial yaitu : - Toksin bakteri - Sitokin : TNF ά˙, IL 1β, IL 6 - Mediator - Cardiodepressant factors - Oxygen reac!ve species - Katekolamin Diagnosis Secara klinis ditegakkan dengan ditemukannya perubahan biventrikel dengan penurunan EF pada pemeriksaan ekokardiografi dan skin!grafi radionuclide. Buk! secara histopatologi ditemukan adanya miokardi!s inter!sial dengan terganggunya compliance ventrikel dan fungsi diastolik. Yang menjadi kekhasan disfungsi miokard pada sepsis adalah adanya dilatasi biventritrikel.Fungsi ventrikel kanan juga terganggu sebagai akibat peningkatan a#erload ventrikel kanan oleh hipertensi pulmonal sekunder yang disebabkan oleh lesi akut di paru dan atau adanya ARDS. Disamping itu, fungsi ventrikel kanan terganggu juga sebagai akibat menurunnya kontrak!litas ventrikel kanan. Seper! sudah dibahas di atas bahwa CO yang meningkat !dak
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 58•
MARIA IRAWATY
dapat menyingkirkan disfungsi miokard pada sepsis.8,9 BNP yang merupakan marker CHF dan troponin I dan T yang merupakan biomarker iskemi miokard juga telah banyak diteli! perannya pada disfungsi miokard pada sepsis. Beberapa peneli!an kecil melaporkan adanya hubungan antara peningkatan Troponin dan disfungsi ventrikel kiri pada sepsis. Troponin jantung juga dilaporkan berkorelasi dengan lamanya hipotensi dan intensitas terapi vasopresor. Troponin juga dihubungkan gengan peningkatan derajat beratnya sepsis (berdasarkan SAPS II, APACHE II) dan peningkatan risiko kema!an . Sehingga, cukup beralasan jika memasukkan Troponin dalam pemantauan pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis untuk prognosis dan meningkatkan kewaspadaan terhadap adanya disfungsi jantung.9 Tidak demikian halnya dengan BNP. Peneli!an-peneli!an yang ada !dak menunjukkan hasil yang seragam, sehingga BNP !dak dapat dipakai dalam mendiagnosis adanya disfungsi ventrikel pada sepsis. Eveluasi menyeluruh dengan ekokardiografi lebih dianjurkan daripada pemeriksaan BNP..9 Akhir-akhir ini, beberapa peneli!an menunjukkan bahwa Pro BNP lebih baik daripada BNP/ANP sebagai marker disfungsi miokard dan sebagai penentu prognosis pada pasien sepsis. Peneli!an-peneli!an tersebut menunjukkan adanya korelasi antara pro BNP dan LVSWI pada pasien dengan sepsis. Roch dkk meneli! 39 pasien syok sep!k dengan ven!lator mekanik. Mereka melaporkan bahwa kadar BNP pada non survivor lebih !nggi dibanding yang survivor ( p = 0,002).Angka pro BNP > 13600 pg/ml selama 24 jam dilaporkan merupakan prediktor mortalitas ICU dengan sensi!fitas 73% dan spesifisitas 83% (AUC 0,8). Walaupun demikian dibutuhkan peneli!an lebih lanjut untuk menentukan peran Troponin dan Pro BNP dalam menentukan derajat beratnya penyakit dan dalam menentukan terapi.
-
Pemeriksaan Fisik : ditemukan tanda-tanda kelainan jantung: konfigurasi jantung yang membesar, murmur pansistolik di SIC 3-4 di linea parasternal kiri. Pada paru ditemukan adanya ronki basah sedang bilateral. - Pemeriksaan penunjang : Rontgent thorax ditemukan adanya kardiomegali, dan tanda tanda edema paru. Gambaran edema paru yang ditemukan pada pasien ini adalah infiltrat yang letaknya di sentral dan adanya garis Kerley B line. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkam pro BNP yang meningkat > 500 pg/ml ( Nilai pro BNP hari ke 12 adalah 700 pg/ml). Coqut dkk melaporkan bahwa nilai Pro BNP < 500 ng/l memprediksi !dak adanya disfungsi jantung dengan sensi!fitas 89% dan spesifisitas 43%.. Nilai pro BNP < 500 ini sesuai dengan hasil yang dilaporkan oleh peneli! lainnya. Kekuatan nilai diagnoss!k Pro BNP ini terletak pada prediksi nega!fnya terhadap diagnosis CHF dan semakin bermakna bila dikombinasi dengan variable diagnosis lainnya. 10 Pada pasien ini penyakit jantung yang mendasari kejadian edema paru ini adalah VSD perimembranous. Berdasarkan TEE didapatkan bahwa !pe dari VSD ini adalah perimembranous. Jika dilihat dari gambaran klinisnya maka !pe VSD kasus ini adalah VSD nonrestriksi dengan LV overload sehingga menimbulkan shunt kiri ke kanan. Perubahan fungsi kardiovaskuler pada kehamilan dan postpartum juga berperan pada kejadian edema paru kardiogenik kasus ini disamping adanya kelainan jantung bawaan tersebut. Seper! diketahui pada kehamilan dan pasca persalinan terjadi beberapa perubahan pada curah jantung, volume darah, frekwensi denyut jantung, tekanan darah , resistensi vaskuler, konsumsi oksigen dan massa sel darah merah.( tabel 3)12 Tabel 3. Perubahan Hemodinamik Selama Kehamilan
Terapi Depresi fungsi miokard dengan turunnya curah jantung merupakan penyebab pen!ng dari kema!an pada pasien sepsis. Resusitasi cairan yang tepat merupakan terapi utama. Berdasarkan panduan Surviving Sepsis Campaign, dobutamin merupakan pilihan untuk inotropik dan untuk meningkatkan curah jantung pada pasien sepsis berat dan syok sep!k, dan jika perlu disertai vasopresor pada pasien dengan tekanan pengisian yang adekuat dan tekanan arteri dan CO yang turun.
Parameter Curah jantung
Persalian Meningkat 50%
Meningkat 3050%
Meningkat 300-500cc !ap kontraksi Meningkat Meningkat
Volume darah Frekuensi jantung Tekanan darah SVR VO2 RBC mass
Meningkat 1520x/menit T u r u n 5-10mmHg Turun Meningkat 20% Meningkat 1520
PEMBAHASAN 1. Edema Paru Kardiogenik Saat masuk ICU, pasien didiagnosis sebagai edema paru kardiogenik pada wanita pasca seksio sesarea dan curiga penyakit jantung katup. Diagnosis edema paru kardiogenik pada kasus ini ditegakkan berdasarkan : - Anamnesis : Riwayat sesak nafas yang semakin memberat dengan bertambah beratnya beban fisik, dan adanya keluhan ortopneu. Pasien masuk RS dengan keluhan sesak napas hebat .
Kehamilan Meningkat 3050%
Meningkat Meningkat
Postpartum Meningkat 6080% dalam 15-20menit Turun ke baseline Turun ke baseline Turun ke baseline Turun ke baseline Turun ke baseline
Diku!p dari Baldisseri MR.FINK Pada wanita dengan kelainan jantung yang berat, perubahan hemodinamik tersebut di atas dapat mengancam nyawa, mengakibatkan meningkatnya mortalitas dan morbiditas maternal dan janin. Mortalitas wanita hamil dengan penyakit jantung yang !dak berat < 1% tetapi akan menjadi 50% bila disertai hipertensi pulmonal atau pe-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 59•
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
nyakit jantung siano!k. Umumnya wanita hamil penderita kelainan jantung dengan fungsional class NYHA I-II, dapat mentoleransi perubahan hemodinamik tersebut. Namun kema!an akibat jantung pada wanita hamil dengan FC NYHA III-IV adalah 85%.12 Seper! diketahui bahwa prinsip penanganan edema paru kardiogenik adalah : - Memelihara oksigenisasi adekuat dan stabilisasi hemodinamik. - Mengurangi preload dan a%erload - Koreksi faktor pemberat dan penyakit dasarnya. Melihat kompleksnya kasus ini ( wanita postpartum dangan fc NYHA III-IV, sepsis VAP) maka evaluasi hemodinamik ( LVEDP,PAOP, PAP,PVR dll) waktu demi waktu sangatlah diperlukan. Parameter tersebut di atas diperlukan dalam penatalaksanaan dan pemantauan terapi pada kasus CHF terutama di ICU. Pada kasus ini dengan kondisi ICU yang !dak memungkinkan melakukan pemantauan hemodinamik invasif maka dipakai analisa SVcO2 dan kadar pro BNP serial. Beberapa peneli!an menunjukkan adanya hubungan nilai BNP/pro BNP dengan PAOP. Sementara peneli!an lain melaporkan hal sebaliknya. Jadi buk! peneli!an belum kuat untuk mendukung nilai pro BNP/BNP dalam menggan!kan pemantauan hemodinamik pada kasus di ICU.10 Pro BNP merupakan pep!da yang dihasilkan oleh ventrikel. S!mulus fisiologis utama sekresi BNP adalah volume dan pressure overload. Menurunnya kadar BNP dihubungkan dengan perbaikan hemodinamik, menurunnya preload dan resistensi perifer (SVR).10 Berdasarkan data tersebut maka semula dipikirkan untuk menggunakan pro BNP serial sebagai surrogate marker hemodinamik. Sayangnya, waktu paruh yang panjang (2 jam) menyebabkan kadar pro BNP akan bermakna jika diperiksa se!ap 12 jam. Seharusnya lebih tepat jika memeriksa kadar BNP yang memiliki waktu paruh lebih pendek (20 menit) sebagai pemantauan terapi. Lagipula adanya variasi intraindividu ( jam ke jam atau hari ke hari) membatasi kemaknaan kadar proBNP dipakai sebagai pemantauan terapi.13 Pasien ini mendapatkan terapi standard CHF yaitu : - Mencapai oksigenisasi adekwat. - Memelihara stabilitas hemodynamik - Mengurangi stress miokard dengan menurunkan preload dan a%erload dengan diure!c dan NTG. Inotropik diberikan berdasarkan nilai SPO2 dan SVcO2. Terapi diure!k dan NTG di!trasi sesuai klinis dan hasil pro BNP yang diulang se!ap kali terjadi perburukan klinis ( mundurnya mode ven!lator, ronki yang bertambah, ra!o P/F, dan rontgen thoraks). Pasquate dkk meneli! 53 pasien rawat jalan dengan diagnosis CHF . Mereka melaporkan bahwa kebutuhan dosis diure!k yang semakin besar berkorelasi dengan peningkatan kadar pro BNP yang diperiksa serial dan menurun pada kasus dengan perbaikan klinis. Kelemahan serial pro BNP sebagai guidance terapi pada kasus ini adalah karena pemeriksaannya !dak dapat dilakukan secara bedsite dan memerlukan waktu sekitar 5-6 jam, disamping harganya yang mahal. 2,10. Sehingga dosis diure!k dan NTG lebih dulu di!trasi hanya berdasarkan tampilan
klinis. Angka serial pro BNP pasien ini cenderung semakin turun, H-13 707 pg/ml , H-17 445pg/ml , H-21: 468pg/ml dan H-26: 345pg/ml . Jika melihat !ter pro BNP semakin turun maka kemungkinan gangguan fungsi jantung pasien ini rela!f perbaikan. Kemungkinan pasien ini mengalami perburukan oksigenisasi dan kemudian meninggal bukan disebabkan terutama oleh edema paru kardiogeniknya tetapi oleh VAP nya yang belum berhasil diatasi. Angka serial BNP/ Pro BNP ini juga dihubungkan dengan angka survival pasien. BNP/Pro BNP memprediksi prognosis buruk jika meningkat tajam.10,13 Keadaan sepsis dapat menyebabkan depresi miokard sehingga semakin memperburuk kerja jantung pasien ini dan disertai semakin meningkatnya mortalitas menjadi 70-90%. Kadar pro BNP !dak dapat dipakai dalam mendiagnosis adanya disfungsi miokard pada sepsis sehingga walaupun kadar pro BNP pasien ini semakin turun kemungkinan terjadinya perburukan fungsi miokard tetap ada. Bila dilihat rontgent thorax terakhir siluet jantung tampak semakin membesar.Untuk menegakkannya seharusnya diperiksa kadar troponin T/I. 9 Hasil AGD pada pasien ini selalu dalam keadaan alkalosis metabolik, yang disebabkan hipoalbumin dan hipokloremia. Hipokloremia ini terjadi karena pemberian furosemid terus menerus. Seper! diketahui, keadaan alkalosis hipokloremia ini dapat mempersulit proses weaning alat ven!lasi mekanik. Menyadari hal tersebut kemungkinan pasien ini deficit cairan intravaskuler dinilai dengan menggunakan PLR yang ternyata !dak respon. Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan BJ urin yang ternyata hasilnya dalam batas normal. Berdasarkan data-data tersebut maka dosis furosemid diturunkan sampai menjadi 2x20mg po ( hal ini didukung dengan semakin turunnya nilai pro BNP). Seper! sudah dibahas di !njauan pustaka, bahwa nitrogliserin memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan pemberian diure!k sebagai lini pertama terapi edema paru kardiogenik.Nitrogliserin lebih cepat dan efek!f dalam mengontrol edema paru berat tanpa menurunkan CO dengan profil hemodinamik yang stabil. Sementara diure!k dapat menurunkan GFR, ak!fasi neurohumoral, semakin bertambahnya vasokonstriksi dan semakin menurunkan isi sekuncup. Beberapa peneli!an mennunjukkan bahwa dosis !nggi loop diure!c meningkatkan angka rawat inap dan mortalitas. Disamping itu, yang perlu diingat adalah bahwa !dak semua edema paru disertai keadaan overload cairan. Pasien ini mendapatkan diure!k yang lama, dengan jumlah yang cukup besar dan pemberian yang sering dengan cara bolus intravena sehingga menimbulkan gangguan hemodinamik, keseimbangan cairan dan alkalosis hipokloremik. 1. VAP Sepsis Pasien saat masuk RS !dak ada riwayat demam dan gejala adanya infeksi paru ( batuk purulen ), walaupun sudah menunjukkan tanda-tanda SIRS ( lekositosis 22700, takikardi 150x/menit dan takipnea). Memasuki hari ke 3 , suhu tubuh semakin naik ( 37,8-38,3), pada pemeriksaan paru ditemukan ronki bertambah di kedua lapang paru, dengan pemerik-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 60•
MARIA IRAWATY
saan laboratorium lekosit 11520 dan procalcitonin 1,92.Pasien didiagnosis dengan VAP. Jika dilihat dari onset terdiagnosisnya VAP terjadi < 5 hari maka kasus ini termasuk VAP early onset tetapi karena pasien ini mendapat an!bio!ka selama 4 hari terakhir (An!bio!k profilaksis seksio sesarea yang terus diberikan) maka pasien ini termasuk VAP dengan risiko !nggi kuman MDR sehingga pilihan an!bio!ka empirisnya sesuai dengan VAP late onset adalah meropenem dan gentamisin,dengan mengambil bahan sputum dari aspirasi endotrakeal sebelumnya. Hari perawatan ke 10 keluar hasil kultur sputum, yang hasilnya adalah Acinetobacter baumanii. Acinetobacter Baumanii merupakan salah satu an!mikroba yang disebut sebagai Difficult to treat (DTT). Mikroba yang termasuk DTT adalah P auroginosa, Oxacillin resisten Staphylococcus aureus dan Acinetobacter baumanii. An!bio!k kemudian dideekskalasi dengan ampicillin sulbactam. Pemakaian an!bio!ka profilaksis operasi yang diteruskan sampai hari keempat, an!bio!k empiris yang diteruskan sampai lebih dari 3 hari ( karena hasil kultur jadi setelah 5 hari) merupakan faktor yang perperan terhadap terjadinya infeksi oleh bakteri DTT. Peneli!an melaporkan bahwa separuh dari kasus infeksi oleh mikroba DTT disebabkan oleh pemakaian an!bio!ka yang !dak sesuai dengan pedoman penggunaan an!bio!ka.12 Sejumlah peneli!an menunjukkan bahwa adanya infeksi bakteri DTT ini merupakan penentu survival pasien. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan serial procalcitonin, dan lekosit , rontgen thoraks untuk mengevaluasi nilai CPIS. Hanya disayangkan bahwa rontgent thorax !dak selalu dapat diulang karena keterbatasan dana. Pada hari ke 30 pasien jatuh menjadi sepsis berat ( sepsis yang disertai disfungsi organ, hipoperfusi dan hipotensi). Disfungsi organ yang terjadi melipu! hipoksemia ( PaO2/FIO2 < 300). Laktat pada hari ke 30 ini belum sempat diperiksa, tetapi jika kita melihat AGD maka terdapat unmeassured anion ( kira-kira -9), yang kemungkinan adalah laktat. Menjelang hari ke 31, MAP turun menjadi < 65. Sangat disayangkan pasien ini !dak dilakukan resusitasi cairan terlebih dahulu tetapi hanya menaikkan dosis dobutamin dan norepinefrin saat SVcO2 turun ( 49%). Se!daknya mungkin saat itu dapat dilakukan passive leg raising untuk menilai apakah pasien ini masih respon respon terhadap cairan. Pasien kemudian meninggal pada hari ke 31. Pasien ini juga diduga mengalami perburukan fungsi jantung akibat semakin memburuknya sepsis VAP. Kecurigaan ini didukung oleh semakin membesarnya siluet jantung secara bermakna bila dibandingkan rontgent thoraks hari ke 27. Turunnya kadar pro BNP ( 468-343) !dak dapat menyingkirkan kemungkinan tersebut. Disamping itu keadaan hipoksemia/desaturasi juga berperan dalam menyebabkan memburuknya fungsi jantung pasien ini. Infeksi yang !dak terkontrol walaupun an!bio!k empiris sudah diberikan sesuai guidelines VAP dan sesuai pola kuman di ICU RSCM dan didekskalasi sesuai hasil kultur, hal ini kemungkinan disebabkan oleh : 1. Hasil kultur sputum yang !dak kwan!ta!f , sehing-
ga mikroorganisme yang dihasilkan bukan penyebab infeksi sebenarnya. Guidelines VAP ATS merekomendasikan pemeriksaan kultur kwan!ta!f. Hasil kultur yang nonkwan!ta!f atau semikwan!ta!f memiliki spesifisitas yang rendah ( 27%) , kita !dak tahu jika mikroorganisme tersebut merupakan penyebab infeksi atau hanya kolonisasi.5 2. Pasien mengalami paralisis system immune ( CARS), sehingga !dak mampu mengeliminasi infeksi primer. Dengan demikian terapi juga seharusnya diarahkan untuk mens!mulasi sistem imun seper! interferon γ atau GM CSF yang dalam hal ini !dak mungkin dilakukan karena keterbatasan dana dan sarana. 15 Status nutrisi yang !dak baik juga berperan pada keadaan sepsis yang sulit diatasi ini. Pasien masuk RS dalam keadaan status nutrisi yang kurang, dan selama perawatan berat-badan dan lingkar lengan atas tampak semakin berkurang. Seper! diketahui bahwa otot skeletal merupakan tempat penyimpanan glutamine. Berkurangnya massa otot yang sangat bermakna menunjukkan telah terjadinya defisiensi glutamine yang disebabkan sepsis yang berkepanjangan. Roth dkk pada tahun 1982 melaporkan bahwa sepsis menyebabkan sangat berkurangnya glutamine otot dan hal ini berhubungan dengan survival.Oleh karena itu maka intervensi terapi nutrisi yang mengandung glutamine, selenium, zinc dan coper kemungkinan berperan pada kasus ini.16 SIMPULAN 1. Penatalaksanaan edema paru berbeda sesuai !penya: edema paru kardiogenik atau non kardiogenik. 2. Pro BNP dapat dipakai untuk membantu mendiagnosis kemungkinan adanya disfungsi jantung sebagai e!ologi keadaan distress pernapasan, karena memiliki nilai prediksi nega!f yang !nggi tetapi !dak dapat dipakai sebagai penentu terapi. 3. Kadar pro BNP dikombinasi dengan hasil temuan klinis lainnya (MAP, SPO2, SVcO2, PLR dll) dapat dipakai untuk menentukan terapi pada pengelolaan pasien di ICU dengan sarana yang terbatas. 4. Nitrogliserin lebih terpilih sebagai terapi edema paru kardiogenik 5. Jika dibandingkan diure!k karena lebih efek!f dalam mengontrol edema paru tanpa menurunkan CO dan hemodinamik lebih stabil. 6. Hasil kultur yang nonkuan!ta!f atau semikuan!ta!f memilikI spesifisitas yang rendah ( 27%) , kita !dak tahu jika mikroorganisme tersebut merupakan penyebab infeksi atau hanya kolonisasi. 7. Pemberian an!bio!ka yang !dak tepat dan sesuai terapi standar merupakan faktor risiko infeksi oleh bakteri Difficult to treat. DAFTAR PUSTAKA 1. Lorraine B,Ma+hay. Acute pulmonary edema. N Eng J Med 2005: 353 : 2788-96 2. Pasquate et al. Plasma surfactant B : A novel Biomarker
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 61•
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
3.
4. 5.
6.
7.
8.
9. 10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
in Chronic Heart Failure. Circula!on 2004 : 110 : 10911096 ACC/AHA 2005 Guideline Update for diagnosis and managemen CHF in the adult summary ar!cle. Circula!on 2005;112;1825-1852 Kruger W, Ludwan A. Acute Heart Failure. Birkhauser.2009. Berlin: 48-65 ATS IDSA. Guidelines for the Management of adults with Hospital acquired, Ven!lator associated and Healthcare associated Pneumonia. Am J Respir Crit Care Med 2005; 171 : 388-416 Koenig SM, Truwit JD. Ven!lator Associated Pneumonia: Diagnosis , treatment and preven!on. Clinical Microbiology Review. 2006 : 63-57 Webb GD et al. Diseases of The Heart, Percardium, and Pulmonary Vasculature Bed. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP eds. Brawnwald’s Heart Disease. A textbook of Cardiovascular Medicine. Vol 2.8th ed. Philadelphia: Sanders elsivier.2008 p.1583-1585. Maeder M etal. Sepsis associated Myocardial dysfunc!on : diagnos!c and prognos!c impact of cardiac troponin and natriure!c pep!des. Chest 2006; 129 ; 13491366 Morsch RD etal. Sepsis and myocardial dysfunc!on. Einstein. 2006;4(4): 338-342 Collinson PO. Commentary Natriure!c pep!de determina!on in cri!cal care medicine: part of rou!ne clinical prac!ce of research test only. Cri!cal Care 2009 : 13 : 105 Reichlin T, Noveanu M, Mueller C. Use of Natriure!c pep!des in the emergency department and the ICU. In Vincent ed. Year Book of Intensive care and emergency medicine. 2009.Berlin Heidelberg: Springer 2009.p. 523-527 Baldisseri MR. Cardiovascular and endocrinologic changes Associated with Pregnancy. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL etc eds. Textbook of Cri!cal Care 5th ed.Philadelphia : Sanders elsivier 2005. p. 1535-39 Prahash et al. B type Natriure!c pep!de: A diagnos!c, prognos!c, and therapeu!c tool in heart failure. American Journal of Cri!cal Care. 2004 ; 13 : 46-55 Garcin, Leone,Antorini, Charvet et al. Non adherence to guidelines an avoidable cause of failure of empirical an!microbial therapy in the presence of difficult to treat bacteria. Intensive Care Med. 2010 :36:75-82 Monneret,et al. Monitoring Immune disfunc!ons in the sep!c pa!ent : A New Skin for the old ceremony. Mol Med 2008 : 14: 64-78 Berger MT, Chlorelo RL. An!oxidant supplementa!on in sepsis and systemic inflammatory response syndrome. Crit Care Med 2007;5,No 9 (suppl): S584-589
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 62•