PEMANFAATAN RUMPUT LAUT Gracilaria verrucosa SEBAGAI PRODUK BAKTO AGAR DAN APLIKASINYA DALAM MEDIA PERTUMBUHAN MIKROORGANISME
SKRIPSI
LUTHFA JAMILAH F34080065
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
i
UTILIZATION OF Gracilaria verrucosa SEAWEED AS A BACTO AGAR PRODUCT AND ITS APPLICATION IN MICROBIAL GROWTH MEDIA
Luthfa Jamilah1), E. Gumbira Sa’id1), dan Purwoko1) 1)
Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology and Engineering, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor West Java Indonesia
ABSTRACT Gracilaria verrucosa is a kind of seaweed cultivated in brackish water with water salinity of 6-14 ppt. Gracilaria produces a primary compound hydrocoloid metabolite called agarophyt. The aim of this study was to utilize Gracilaria as a bacto agar product with three methods of drying and also to apply bacto agar as a gelling agent in the microbial growth media. The source of Gracilaria sp used in this study was a seaweed that is cultivated by farmers in the village of Langen Sari, Subang. Characterization of raw materials included analysis of moisture content, ash content, protein content, fat content, and carbohydrate content. Acid treatment was carried out before the extraction processing which the acid treatment used of 1% CH3COOH. Temperature and extraction time constant were used at a temperature of 90oC for 45 minutes. Drying methods were done with three, oven dryer, spray dryer, and drum drier. The application of bacto agar as microbial growth media was applying the product by growing yeast and bacteria. Nutrient Agar has been used as a media for the growth of bacteria and Potato Dextrose Agar has been used as a media for the growth of yeast. The inoculation of microbial cultures performed in the plate agar media. In the plate agar media, syneresis occurred when the incubation was accomplished for 48 hours. Therefore additional tests were performed to determine the concentration of the bacto agar to reduce syneresis by testing the addition of gel strength with bacto concentration to 1.5%, 2%, and 2.5%. Keywords : Gracilaria verrucosa, bacto agar, spray drier, drum drier
ii
Luthfa Jamilah. F34080065. Pemanfaatan Rumput Laut Gracilaria verrucosa Sebagai Produk Bakto Agar dan Aplikasinya Dalam Media Pertumbuhan Mikroorganisme. Di bawah bimbingan E. Gumbira Sa’id dan Purwoko.
RINGKASAN Rumput laut merupakan salah satu komoditas pertanian hasil budidaya laut yang dapat dihandalkan, mudah dibudidayakan dengan investasi relatif tidak besar dan mempunyai prospek pasar yang baik. Menurut Anggadiredja et al. (2006), rumput laut baru termanfaatkan sebesar 9,7% dari potensi lahan yang ada. Volume impor olahan rumput laut per tahun adalah 596 ton agar-agar, 200 ton karaginan, dan 1.275 ton alginat. Jenis rumput laut yang digunakan dalam penelitian ini adalah Gracilaria verrucosa. Jenis Gracilaria paling banyak digunakan karena selain harganya murah dan mudah diperoleh, juga mampu menghasilkan agar-agar tiga kali lipat dari jenis lainnya. Salah satu potensi rumput laut yang dimiliki oleh rumput laut jenis Gracilaria adalah menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut agarofit. Agarofit dapat dimanfaatkan menjadi bakto agar yang merupakan agen pembentuk gel pada media agar pertumbuhan mikroorganisme. Bakto agar merupakan agar yang telah dimurnikan dengan mereduksi kandungan pigmenpigmen pengotor dan kandungan bahan-bahan asing (organik dan inorganik) serendah mungkin sehingga dapat mendukung pertumbuhan mikroorganisme secara umum. Bakto agar yang digunakan sebagai kultur media memiliki beberapa karakteristik yaitu memiliki kekuatan gel, tingkat elastisitas, kejernihan dan stabilitas yang baik. Bakto agar memiliki kisaran kekuatan gel antara 400 - 500 g/cm2 untuk reguler grade, 500 – 65 g/cm2 untuk standard grade dan di atas 650 g/cm2 untuk premium grade (FAO, 2004). Tujuan penelitian ini adalah : (1) Memanfaatkan potensi rumput laut jenis Gracilaria sebagai produk bakto agar dengan menggunakan perlakuan asam. (2) Mengetahui karakteristik bakto agar yang dihasilkan oleh tiga jenis alat pengering, yaitu pengering oven, pengering drum, dan pengering semprot. (3) Mengaplikasikan bakto agar sebagai agen pembentuk gel dalam media pertumbuhan mikroorganisme. Rumput laut Gracilaria sp yang digunakan dalam penelitian ini merupakan rumput laut yang dibudidayakan oleh petani di Desa Langen Sari, Kabupaten Subang. Karakterisasi bahan baku penelitian meliputi analisa kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar protein, kadar serat, dan kadar koarbohidrat by difference. Adapun hasil yang diperoleh adalah kadar air 10.56%, kadar abu 35.10%, kadar protein 9.28%, kadar lemak 0.48% dan kadar karbohidrat 36.64%. Perlakuan asam dilakukan sebelum proses ekstraksi, menggunakan larutan asam asetat 1%. Suhu dan waktu ekstraksi yang digunakan konstan adalah yaitu pada suhu 90oC selama 45 menit. Rendemen tepung bakto agar yang dihasilkan oleh pengering oven adalah 9.94%, rendemen tepung bakto agar yang dihasilkan dengan pengering semprot adalah 2.43%, dan rendemen tepung bakto agar yang dihasilkan dengan pengering drum adalah 7.23%. Kadar air yang diperoleh dari ketiga jenis pengeringan berkisar antara 14.40-6.53%. Kadar abu yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 3.31-6.27%. Nilai pH pada bakto agar yang dihasilkan berkisar antara 5.53-6.09, dan kadar sulfat yang dihasilkan oleh bakto agar berkisar antara 1.79-3.92%. Analisis kekuatan gel pada produk bakto agar menunjukkan bahwa kekuatan gel yang dihasilkan pada konsentrasi 1.5% bernilai antara 122.8-203.0 g/cm2. Mengingat rendahnya kekuatan gel yang dihasilkan, maka dilakukan formulasi gel untuk tahapan selanjutnya. Formulasi gel terpilih adalah campuran pada konsentrasi gel 2.5%. Nilai kekuatan gel pada konsentrasi 2.5% adalah 185.5-330.7 g/cm2.
iii
Aplikasi bakto agar pada pembuatan media Nutrient Agar dengan menggunakan perlakuan pengering oven menghasilkan jumlah sel E. coli sebanyak 3.1x 108 CFU/g. Pada perlakuan pengering semprot diperoleh jumlah sel E. coli sebanyak 4.1 x 108 CFU/g dan pada pengering drum jumlah sel E. coli yang diperoleh 2.2 x 108 CFU/g. Pada kontrol Nutrient Agar, diperoleh jumlah sel E. coli sebesar 4.2 x 108 CFU/g. Pada pembuatan media Potato Dextrose Agar dengan perlakuan pengering oven, diperoleh jumlah sel khamir adalah 6.5 x 10 8 CFU/g. Pada perlakuan pengering semprot diperoleh jumlah sel khamir adalah 6.9 x 108 CFU/g dan pada pengering drum jumlah sel khamir diperoleh 7.5 x 108 CFU/g. Pada kontrol Potato Dextrose Agar, diperoleh jumlah sel khamir sebesar 5.7 x 108 CFU/g. Produk bakto agar yang dihasilkan oleh ketiga jenis pengeringan sudah dapat menumbuhkan mikroorganisme yang diinginkan. Penambahan nutrien pada media terbukti dapat menumbuhkan mikroorganisme yang ingin diuji.
iv
PEMANFAATAN RUMPUT LAUT Gracilaria verrucosa SEBAGAI PRODUK BAKTO AGAR DAN APLIKASINYA DALAM MEDIA PERTUMBUHAN MIKROORGANISME
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh LUTHFA JAMILAH F34080065
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
v
Judul Skripsi
Nama NIM
: Pemanfaatan Rumput Laut Gracilaria verrucosa Sebagai Produk Bakto Agar dan Aplikasinya Dalam Media Pertumbuhan Mikroorganisme : Luthfa Jamilah : F34080065
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Sa’id, MA.Dev) NIP. 19550521 197903 1002
(Drs. Purwoko, MSi) NIP. 19590710 197903 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen
(Prof.Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP. 19621009 198903 2 001
Tanggal lulus : 7 Desember 2012
vi
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Pemanfaatan Rumput Laut Gracilaria verrucosa Sebagai Produk Bakto Agar dan Aplikasinya Dalam Media Pertumbuhan Mikroorganisme” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2013 Yang membuat pernyataan
Luthfa Jamilah F34080065
vii
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2013 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, Baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
viii
BIODATA PENULIS
Luthfa Jamilah. Dilahirkan di Padang, tanggal 11 Januari 1990 dari ayah dr. M. Hadis (alm) dan ibu Lidia Tri Putri SSi, MM. Riwayat pendidikan penulis dimulai di TK Pertiwi I Padang, SDS Setia Yayasan Prayoga Padang, SMP Negeri 1 Bogor, dan SMA Negeri 1 Bogor. Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi masuk IPB) pada Prog Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan seperti menjadi asisten Praktikum Bioproses, Teknik Optimasi, dan Teknologi Bahan Penyegar pada tahun 2012. Penulis aktif dalam berorganisasi selama masa perkuliahan sebagai pengurus Himpunan Profesi Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian (HIMALOGIN) pada periode 2009-2010 yang menjabat sebagai staf Departemen Public Relation. Tahun 2011 penulis melaksanakan kegiatan Praktik Lapang di PT. Kraft Ultrajaya Indonesia, Padalarang-Bandung. Selama masa Praktik Lapang penulis mempelajari aspek Teknologi Proses Produksi dan Penerapan Hazard Analytical Critical Control Point (HACCP) pada produk olahan keju cheddar. Pada tahun 2012, penulis melakukan penelitian dalam rangka memperoleh gelar sarjana. Judul penelitian yang dilakukan penulis adalah “Pemanfaatan Rumput Laut Gracilaria verrucosa Sebagai Produk Bakto Agar dan Aplikasinya Dalam Media Pertumbuhan Mikroorganisme”.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia yang diberikan kepada penulis, sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul “Pemanfaatan Rumput Laut Gracilaria verrucosa Sebagai Produk Bakto Agar dan Aplikasinya Dalam Media Pertumbuhan Mikroorganisme” dilaksanakan di Laboratorium TIN FATETA IPB dan Laboratorium Pilot Plant, PAU IPB Bogor sejak bulan Maret hingga September 2012. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu, mendukung, dan membimbing penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga penyusunan skripsi ini berjalan dengan lancar, yaitu kepada para personalia di bawah ini : 1.
Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Sa’id, MA. Dev selaku dosen pembimbing akademik utama yang telah memberikan dorongan, arahan, dan bimbingan yang sangat bermanfaat selama penelitian.
2.
Drs. Purwoko, M.Si selaku pembimbing kedua yang telah memberikan dorongan, arahan, dan bimbingan yang sangat bermanfaat selama penelitian. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan arahan kepada penulis dalam penyempurnaan skripsi. Kedua orangtua tercinta, Ibunda Lidia Tri Putri dan Ayahanda Dudi S. Hendrawan, serta adik M. Luthfi Hendrawan dan Lunadia Jamilah , yang telah memberikan dukungan secara moral dan material. Abi Gustama dan Sabilla Ramadhani selaku teman satu bimbingan yang telah membantu dan memberikan motivasi kepada penulis Shiella Fanny E. dan Bunga Cahyaputri selaku sahabat penulis yang selalu membantu, menemani dan memberikan motivasi kepada penulis. Ibu Egnawati, Bapak Gunawan, Bapak Dicky, Bapak Nurwanto, dan Ibu Sri selaku teknisi yang telah membantu penulis selama penelitian berlangsung. Seluruh teman-teman TIN 45 yang selalu memberikan motivasi dan dorongan selama penulis melaksanakan penelitian.
3. 4.
5. 6. 7. 8. 9.
Semua pihak yang telah membantu dan mendorong terselesaikannya penelitian serta kerja sama dalam penyusunan skripsi selama ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini kemungkinan masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap kritik dan saran yang membangun bagi perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Januari 2013
Luthfa Jamilah
x
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. DAFTAR ISI ............................................................................................................................ DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................... DAFTAR TABEL .................................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................ I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG ............................................................................................... 1.2. TUJUAN .................................................................................................................... 1.3. RUANG LINGKUP ................................................................................................... 1.4. MANFAAT PENELITIAN ........................................................................................ II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 RUMPUT LAUT GRACILARIA VERRUCOSA ......................................................... 2.2 AGAR-AGAR ............................................................................................................. 2.2.1. Struktur Kimia Agar-Agar ............................................................................... 2.2.2. Pembentukan Gel Agar-Agar ........................................................................... 2.3. BAKTO AGAR.......................................................................................................... 2.4. PROSES PEMBUATAN BAKTO AGAR ................................................................ 2.4.1. Pemberisihan dan Pencucian ............................................................................ 2.4.2. Perendaman ...................................................................................................... 2.4.3. Praperlakuan Ekstraksi .................................................................................... 2.4.4. Ekstraksi ........................................................................................................... 2.4.5. Pemurnian Filtrat Agar ..................................................................................... 2.4.6. Pengeringan ...................................................................................................... III. METODE PENELITIAN 3.1. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN .................................................................. 3.2. BAHAN DAN ALAT ................................................................................................ 3.3. TATA LAKSANA PENELITIAN ............................................................................. 3.3.1. Karakterisasi Bahan Baku ................................................................................ 3.3.2. Proses Ekstraksi dan Absorbsi Agar-Agar ....................................................... 3.3.3. Proses Pengeringan Filtrat Bakto Agar ............................................................ 3.3.4. Karakterisasi Produk Bakto Agar ..................................................................... 3.3.5. Aplikasi Produk Bakto Agar ............................................................................ 3.4. RANCANGAN PERCOBAAN ................................................................................. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISITIK RUMPUT LAUT GRACILARIA VERRUCOSA ..................... 4.2. EKSTRAKSI BAKTO AGAR ................................................................................... 4.2. KARAKTERISTIK TEPUNG BAKTO AGAR ........................................................ 4.2.1. Rendemen Bakto Agar ..................................................................................... 4.2.2. Kadar Air.......................................................................................................... 4.2.3. Kadar Abu ........................................................................................................ 4.2.4. Nilai pH ............................................................................................................ 4.2.5. Kadar Sulfat .....................................................................................................
Halaman x xi xiii xiv xv 1 3 3 3 4 6 8 9 10 11 11 11 11 12 13 14 16 16 16 16 17 20 20 20 21 23 24 26 27 27 28 29 29
xi
4.2.6. Kekuatan Gel ................................................................................................... 4.4. Aplikasi Produk Bakto Agar ...................................................................................... V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ............................................................................................................ B. SARAN ........................................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. LAMPIRAN .............................................................................................................................
Halaman 30 31 35 35 36 39
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Rumput laut jenis Gracilaria verucossa ................................................................. 5 Gambar 2. Struktur Molekul Agar ........................................................................................... 9 Gambar 3. Skema Proses Pembuatan Bakto Agar Dengan Pengering Semprot dan Pengering Drum ...................................................................................................................... 18 Gambar 4. Skema Proses Pembuatan Bakto Agar Dengan Pengering Oven ............................ 19 Gambar 5. (a) Pengering Semprot (Spray Drier); (b) Pengering Rak; (c) Pengering Drum (Drum Drier) ........................................................................................................... 20 Gambar 6. Rumput Laut Gracilaria verrucosa dalam bentuk kering ...................................... 23 Gambar 7. Nutrient Agar (aplikasi penelitian) ......................................................................... 31 Gambar 8. Potato Dextrose Agar (aplikasi penelitian) ............................................................ 32
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kandungan kimia rumput laut kering ......................................................................... Tabel 2. Komposisi kimia Gracilaria sp. ................................................................................. Tabel 3. Standar Mutu Agar-Agar ............................................................................................ Tabel 4. Standar Mutu Salah Satu Jenis Agar-Agar di Jepang ................................................. Tabel 5. Unit Gula Penyusun Agar-Agar ................................................................................. Tabel 6. Standar Mutu Agar Bakto Serva Menurut ISO 9001 ................................................. Tabel 7. Tabel Analisis Ragam (ANOVA) .............................................................................. Tabel 8. Hasil Analisis Proksimat Gracilaria verrucosa Kering ............................................. Tabel 9. Hasil Pengukuran Viskositas (T = 50oC) ................................................................... Tabel 10. Karakteristik Fisik Bakto Agar ................................................................................ Tabel 11. Hasil Analisis Kimia Produk Bakto Agar ................................................................ Tabel 12. Tingkat Kejernihan Bakto Agar Dalam Tahap Aplikasi .......................................... Tabel 13. Hasil Uji Total Mikroorganisme ..............................................................................
Halaman 6 6 7 8 8 10 21 23 25 26 26 32 33
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Prosedur Analisis Bahan Baku dan Karakteristik Produk bakto Agar ................. 40 Lampiran 2. Penampakan Fisik Produk Bakto Agar ................................................................ 44 Lampiran 3. Data Hasil Analisa Fisiko Kimia Bakto Agar ...................................................... 45 Lampiran 4. Hasil Analisis Varian Pengaruh Faktor Jenis Pengeringan terhadap Rendemen Bakto Agar .......................................................................................................... 48 Lampiran 5. Hasil Analisis Varian Pengaruh Faktor Jenis Pengeringan terhadap Kadar Air Bakto Agar ........................................................................................................... 49 Lampiran 6. Hasil Analisis Varian Pengaruh Faktor Jenis Pengeringan terhadap Kadar Abu Bakto Agar ........................................................................................................... 50 Lampiran 7. Hasil Analisis Varian Pengaruh Faktor Jenis Pengeringan terhadap Nilai pH Bakto Agar ........................................................................................................... 51 Lampiran 8. Hasil Analisis Varian Pengaruh Faktor Jenis Pengeringan terhadap Kadar Sulfat Bakto Agar ........................................................................................................... 52 Lampiran 9. Hasil Analisis Varian Pengaruh Faktor Jenis Pengeringan terhadap Kekuatan Gel Bakto Agar [2.5%] ......................................................................................... 53 Lampiran 10. Hasil Analisis Varian Pengaruh Faktor Jenis Pengeringan terhadap Pertumbuhan Mikroorganisme ................................................................................................... 54 55 Lampiran 11. Penampakan Koloni E. coli, S. cerevisiae, dan Kontrol Negatif........................
xv
I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wilayah pesisir dan pantai Indonesia yang luas memiliki potensi rumput laut yang cukup besar. Rumput laut merupakan salah satu komoditas pertanian hasil budidaya laut yang dapat diandalkan, mudah dibudidayakan dengan investasi relatif tidak besar dan mempunyai prospek pasar yang baik. Rumput laut merupakan salah satu hasil perikanan laut yang dapat menghasilkan devisa negara dan merupakan sumber pendapatan masyarakat pesisir. Sampai saat ini, sebagian besar rumput laut diekspor dalam keadaan kering dan baru sebagian diolah menjadi agar-agar. Menurut Anggadireja (2006), volume impor olahan rumput laut per tahun adalah 596 ton agaragar, 200 ton karaginan, dan 1.275 ton alginat. Beberapa jenis rumput laut penghasil agar di Indonesia adalah kades (Gelidium sp), Bludru (Rhodymenia Cilialata), bulu merak (Gelidiella sp), dan agar merah (Gracilaria sp). Berdasarkan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2011), perkembangan produksi rumput laut selama empat tahun ini mengalami kenaikan rata-rata sebesar 30,57% dan pada tahun 2010 lalu kenaikannya sebesar 32,11%. Bila ditelaah secara tonase, produksi rumput laut adalah sekitar satu juta ton pada tahun 2010, 800.000 ton pada tahun 2009 dan sekitar 500.000 ton pada tahun 2008. Rumput laut pada awal perkembangannya hanya dibudidayakan di beberapa provinsi saja. Produksi terbesar berada di provinsi Sulawesi Selatan. Namun, perkembangan budidaya rumput laut dan teknik budidaya yang mudah, membuat perkembangan produksi rumput laut menjadi sangat pesat. Saat ini rumput laut sudah dapat dibudidayakan hampir di seluruh provinsi Indonesia. Jenis rumput laut yang digunakan dalam penelitian ini adalah Gracilaria verrucosa, yaitu jenis rumput laut yang dibudidayakan di air payau dengan salinitas air yang berkisar diantara 15-25 ppm dan pH yang berkisar antara 7,0-8,7. Jenis Gracilaria merupakan jenis yang paling banyak digunakan karena selain harganya murah dan mudah diperoleh, juga mampu menghasilkan agar-agar tiga kali lipat dari jenis lainnya (Al-Bahri 2012). Salah satu potensi rumput laut yang dimiliki oleh rumput laut jenis Gracilaria adalah menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut agarophyt (agarofit). Agarofit dapat dimanfaatkan sebagai penghasil agar-agar yang dapat diolah menjadi bakto agar untuk keperluan laboratorium mikrobiologi. Fungsi utama agar-agar adalah sebagai bahan penstabil, pengemulsi, pengisi, penjernih, dan pembentuk gel, yang digunakan oleh beraneka ragam jenis industri sesuai kebutuhannya. Bakto agar adalah agar-agar yang memiliki kualitas tertentu sehingga memungkinkan untuk digunakan dalam keperluan mikrobiologi, misalnya media untuk pertumbuhan mikroorganisme. Sampai saat ini keperluan bakto agar dalam negeri masih sepenuhnya mengandalkan dari impor, meskipun produksi rumput laut penghasil agar di dalam negeri cukup tinggi. Menurut Winarno (1990), produksi bakto agar belum mencukupi kebutuhan di dalam negeri. Salah satu solusi adalah dengan membuat bakto agar produksi dalam negeri dengan karakteristik mutu yang diharapkan sama dengan bakto agar impor. Ekstraksi agar-agar Gracilaria sudah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Hasil penelitian tentang ekstraksi agar yang telah dilakukan umumnya baru menghasilkan agar untuk food grade dan belum memenuhi kriteria untuk bakto agar. Dalam proses ekstraksi agar-agar digunakan pelarut asam pada suhu tinggi. Agar-agar merupakan merupakan polisakarida yang mudah
1
terhidrolisis menjadi monosakarida dalam suasana asam, karena suasana asam bersifat katalisator. Larutan asam yang digunakan pada penelitian ini adalah larutan CH3COOH 1%. Dalam proses pembuatan bakto agar, perlu dilakukan pemurnian filtrat agar untuk mereduksi bahan pengotor yang tidak ikut tersaring. Pada proses pemurnian agar-agar, digunakan kitosan yang berfungsi sebagai absorben untuk memperoleh filtrat agar yang lebih murni. Pada penelitian Abdullah (2004), proses pengeringan pembuatan bakto agar dengan absorben kitosan dilakukan dengan menggunakan pengering oven. Penggunaan pengering oven membutuhkan waktu pengeringan yang lebih lama dan menghasilkan kadar air yang tinggi. Untuk itu, perlu dilakukan modifikasi proses pengeringan filtrat bakto agar agar diperoleh tepung bakto agar yang memiliki karakteristik yang baik. Pada penelitian ini, proses pengeringan filtrat bakto agar dikeringkan dengan tiga jenis alat pengering yaitu pengering semprot (spray drier), pengering drum (drum drier), dan pengering oven (oven drier) sebagai pembanding hasil produk bakto agar. Pengering semprot dan pengering drum merupakan alat pengering yang dapat mengubah bentuk suatu produk dari bentuk cairan atau pasta menjadi bentuk kering berupa tepung. Produk akhir yang dihasilkan dengan alat pengering semprot berupa tepung, butiran, atau gumpalan (Master 1979), sedangkan produk akhir yang dihasilkan dengan alat pengering drum berupa lapisan kering yang selanjutnya digiling menjadi bubuk yang lebih halus (Desrosier 1988). Penggunaan pengering semprot dan pengering drum dapat memepersingkat beberapa tahapan. Tahapan pengolahan seperti proses gelifikasi, proses pembekuan, dan proses thawing dapat dihilangkan sehingga, setelah filtrat bakto agar diperoleh proses pengeringan bakto dapat dilanjutkan, dan waktu pembuatan bakto agar menjadi lebih singkat. Aplikasi produk bakto agar dilakukan dengan menumbuhkan bakteri Escherichia Coli dan Saccharomyces cerevisiae. Pengujian dilakukan dengan melakukan uji Total Plate Count dalam media agar cawan. Bakto agar digunakan sebagai agen pembentuk gel dalam aplikasinya sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Beberapa syarat nutrisi harus dipenuhi untuk mendukung pertumbuhan mikroorganisme, misalnya dengan penambahan nutrient broth dan nutrient agar yang dapat digunakan sebagai media pertumbuhan dasar. Parameter mutu produk bakto agar yang dihasilkan oleh pengering oven, pengering drum, dan pengering semprot dilakukan dengan pengujian terhadap kadar air, kadar abu, kadar sulfat, nilai pH, rendemen, dan kekuatan gel. Oleh karena itu, penelitian pembuatan bakto agar dengan menggunakan tiga metode pengeringan dan aplikasinya dalam media pertumbuhan mikroorganisme dilakukan untuk mengetahui karakteristik dari produk bakto agar dan untuk mengetahui pertumbuhan mikroorganisme yang diujikan.
2
1.2
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Memanfaatkan potensi rumput laut jenis Gracilaria sebagai produk bakto agar dengan menggunakan perlakuan asam. 2. Mengetahui karakteristik bakto agar yang dihasilkan oleh tiga jenis pengering, yaitu pengering oven, pengering drum, dan pengering semprot. 3. Mengaplikasikan bakto agar sebagai agen pembentuk gel dalam media pertumbuhan mikroorganisme.
1.3
Ruang Lingkup
Penelitian ini difokuskan pada pemanfaatan rumput laut Gracilaria verrucosa dalam pembuatan bakto agar dengan menggunakan pelarut asam yang dilanjutkan dengan pengeringan filtrat dengan menggunakan tiga jenis alat pengering. Bakto agar yang dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi sebagai produk akhir. Selain itu, pada penelitian ini dilakukan formulasi untuk menentukan formula bakto yang cocok dalam pembuatan agar media untuk pertumbuhan mikroorganisme.
1.4
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui proses ekstraksi dan pengeringan filtrat rumput laut jenis Gracilaria verrucosa menjadi bakto agar terbaik dan formula terbaik pada bakto agar dalam proses aplikasinya dalam pertumbuhan mikroorganisme yang diinginkan.
3
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Rumput Laut Gracilaria verrucosa
Rumput laut Gracilaria verrucosa adalah rumput laut yang termasuk pada kelas alga merah (Rhodophyta) dengan nama daerah yang bermacam-macam, seperti: sango-sango, rambu kasang, janggut dayung, dongi-dongi, bulung embulung, agar-agar karang, agar-agar jahe, bulung sangu dan lain-lain. Rumput laut marga Gracilaria banyak jenisnya, masing-masing memiliki sifat-sifat morfologi dan anatomi yang berbeda serta dengan nama ilmiah yang berbeda pula, seperti: Gracilaria confervoides, Gracilaria gigas, Gracilaria verucosa, Gracilaria lichenoides, Gracilaria crasa, Gracilaria blodgettii, Gracilaria arcuata, Gracilaria taenioides, Gracilaria eucheumoides, dan lain sebagainya (Anggadiredja 2006). Rumput laut Gracilaria umumnya mengandung agar, atau disebut juga agarofit sebagai hasil metabolisme primernya. Agar-agar diperoleh dengan melakukan ekstraksi rumput laut pada suasana asam atau basa serta diproduksi dan dipasarkan dalam berbagai bentuk, misalnya, agar-agar tepung, agar-agar kertas dan agar-agar batangan dan diolah menjadi berbagai bentuk penganan (kue), puding, jelly, dan dijadikan bahan tambahan dalam industri farmasi. Kandungan serat agar-agar relatif tinggi, sehingga agar-agar dikonsumsi pula sebagai makanan diet. Melalui proses tertentu agar-agar diproduksi juga untuk kegunaan di laboratorium sebagai media kultur bakteri atau kultur jaringan (Angkasa et al. 2011). Menurut Dawson (1946), yang dikutip oleh Soegiarto et al. (1978), rumput laut jenis gracilaria memiliki sistematika klasifikasi sebagai berikut : Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Rhodophyta : Rhodophyceae : Gigartinales : Gracilariaceae : Gracilaria : Gracilaria sp.
Di Indonesia jenis rumput laut penghasil agr-agar yang telah dimanfaatkan dan memiliki prospek cukup baik adalah Gracilaria sp, Gelidiella sp, dan Gelidium sp (Sedijoprapto 1997). Genus Gracilaria paling banyak digunakan karena selain jenis tersebut murah harganya dan mudah diperoleh. Keunggulan Gracilaria lainnya adalah warnanya yang putih sedangkan Gelidium berwarna cokelat kusam. Menurut Ahda et al. (2005), keistimewaan rumput laut Gracilaria adalah dapat dibudidayakan di tambak. Pemanenan dilakukan jika rumput laut tersebut sudah cukup umur yaitu setelah 90 hari dan panen berikutnya setelah rumput laut berumur 60 hari. Gambar 1 memperlihatkkan bentuk rumput laut jenis Gracilaria verrucosa yang baru dipanen di Desa Langensari, Kabupaten Subang.
4
Gambar 1. Rumput Laut jenis Gracilaria verrucosa (Al-Bahri 2012) Ciri-ciri umum rumput laut marga Gracilaria adalah bentuk thallus yang memipih atau silindris, membentuk rumpun dengan tipe percabangan yang tidak teratur, thallus menyempit pada pangkal percabangan. Sifat substansi thallus Gracilaria seperti tulang rawan (cartilagenous). Ujungujung thallus pada umumnya meruncing, permukaannya halus atau berbintil-bintil. Garis tengah thallus berkisar antara 0,5-4,0 mm. Panjang dari Gracilaria dapat mencapai 30 cm atau lebih. Ciri khusus secara morfologis memiliki duri yang tumbuh berderet melingkari thallus dengan interval yang bervariasi sehingga membentuk ruas-ruas thallus di antara lingkaran duri (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 1990). Goodwin (1974) mengungkapkan bahwa warna merah pada rumput laut kelas Rhodophyceae disebabkan oleh adanya senyawa biliprotein dalam bentuk fikosianin dan fikoeritrin. Selanjutnya kadi dan Atmadja (1988) mengemukakan bahwa G. verrucosa mempunyai warna hijau kemerahan. Warna pada rumput laut ini disebabkan oleh klorofil, karoten, dan biliprotein. Seperti pada alga kelas lainnya, morfologi rumput laut Gracilaria tidak memiliki perbedaan antara akar, batang dan daun. Tanaman ini berbentuk batang yang disebut dengan thallus dengan berbagai bentuk percabangannya. Secara alami Gracilaria hidup dengan melekatkan thallusnya pada substrat yang berbentuk pasir, lumpur, karang, kulit kerang, karang mati, batu maupun kayu, pada kedalaman sampai sekitar 10 sampai 15 meter di bawah permukaan air yang mengandung garam laut pada konsentrasi sekitar 12-30 ppt. Sifat-sifat oseanografi, seperti sifat kimia-fisika air dan substrat, macamnya substrat serta dinamika atau pergerakan air, merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan pertumbuhan Gracilaria (Angkasa et al. 2011). Gracilaria membutuhkan substrat sebagai tempat menempel agar tetap pada tempatnya dan membutuhkan sinar matahari untuk proses fotosintesisis. Gracilaria umumnya tumbuh lebih baik di tempat yang dangkal daripada di tempat dalam. Substrat tempat melekat dapat berupa batu, pasir, lumpur, dan lain-lain. Kebanyakan lebih menyukai intensitas cahaya matahari yang tinggi. Suhu merupakan faktor penting untuk pembiakan dan pertumbuhan. Suhu optimum untuk pertumbuhan adalah antara 20-28oC dan tumbuh pada kisaran kadar garam yang tinggi. Dalam keadaan basah, dapat bertahan hidup di atas permukaan air (exposed) selama satu hari (Aslan 1991). Persentase kandungan agar-agar pada Gracilaria berbeda-beda menurut jenis dan lokasi pertumbuhannya, serta tergantung pada umur, bibit, lingkungan, metode budidaya, panen dan cara penanganan primer, sehingga mempunyai tingkat mutu dan harga yang berbeda-beda pula. Umumnya kandungan agar-agar Gracilaria berkisar antara 16-45% (Kadi dan Atmadja 1988). Komposisi kimia rumput laut bervariasi tergantung pada jenis spesies, tempat tumbuh dan musim (Winarno 1990). Beberapa komponen-komponen utama yang terdapat dalam makroalga laut adalah karbohidrat (gula atau vegetable gum), protein, lemak, dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa-senyawa garam natrium dan kalium. Rumput laut juga mengandung vitamin, seperti vitamin
5
A (β-karoten), B1, B2, B6, B12, dan vitamin C serta mengandung mineral seperti kalium, kalsium, fosfor, natrium, zat besi, dan iodium (Anggadiredja et al. 2006). Komposisi kimia dari rumput laut kering dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan komposisi kimia Gracilaria dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Kandungan kimia rumput laut kering Parameter
Kandungan (per 100 g bahan)
Karbohidrat (g)
83,5
Protein (g)
1,3
Lemak (g)
1,2
Serat (g)
2,7
Abu (g)
4,0
Kalsium (mg)
756,0
Besi (mg)
7,8
Fosfor (mg)
18,0
Natrium (mg)
115,0
Kalium (mg)
107,0
Thiamin (mg)
0,01
Riboflavin (mg)
0,22
Niasin (mg)
0,20
Sumber : FAO (1972) dalam Fitri (1992) Tabel 2. Komposisi kimia Gracilaria sp. Parameter
Kandungan (%) Gracilaria sp
Kadar air
a
Gracilaria spb
19,01
14,55-24,09
c
Protein
4,17
Karbohidrat
42,49
-
Lemak
9,54
0,11-0,37
Serat kasar
10,51
-
Abu
14,18
7,64-13,75
Agar-agar a
3,05-4,05
b
74,36-97,55 c
Sumber : Soegiarto et al. (1978), Susanto et al. (1978), 6,25 x total N
2.2
Agar-Agar
Agar-agar adalah produk ekstraksi rumput laut merah (agarophyte) (Winarno, 1990). Agaragar disebut sebagai gelosa atau gelosa bersulfat dengan rumus molekul C6H10O5 atau (C6H10O5)n H2SO4. Selain mengandung polisakarida sebagai senyawa utama, agar-agar juga mengandung kalsium dan mineral lainnya (Angka dan Suhartono 2000). Menurut Chapman dan Chapman (1980), agarophyte yang paling penting adalah jenis Gelidium sp, Gracilaria sp, Pterocladia sp, Acanthopeltis japonica dan Ahnfeltis plicata. Agar-agar merupakan kompleks polisakarida linier yang mempunyai berat molekul 120.000, tersusun dari beberapa jenis polisakarida, antara lain: 3,6-anhidro Lgalaktosa, D-galaktopiranosa dan sejumlah kecil metil D-galaktosa.
6
Agar-agar adalah produk kering tidak berbentuk (amorphous), mempunyai sifat seperti gelatin. Alga laut makro kelompok agarophyte molekul agar-agar terdiri dari rantai linier galaktan. Galaktan adalah polimer dari galaktosa. Dalam menyusun senyawa agar-agar, galaktan dapat berupa rantai linier yang netral maupun sudah berasosiasi dengan metil atau asam sulfat. Galaktan yang sebagian monomer galaktosanya membentuk ester dengan metil disebut agarosa sedangkan galaktan yang tersesterkan dengan asam sulfat disebut agaropektin. Agar-agar yang diperdagangkan di pasaran umumnya dijual dalam bentuk kering dengan deskripsi sebagai berikut : warnanya putih sampai kuning pucat, berbau khas agar-agar, serta dikemas dalam bentuk tepung, batangan, serpihan, butiran atau lembaran seperti kertas. Agar-agar yang diperdagangkan terdapat dalam berbagai bentuk, seperti dalam bentuk granula, bubuk, batang kuning pucat dan tidak berbau. Di Indonesia standar mutu agar-agar sudah dicantumkan dalam Standar Industri Indonesia (SII) pada Tabel 3. Spesifikasi fisik agar-agar juga dideskripsikan dalam ”Food Chemical Codex” (1981) yang meliputi kandungan arsen, kadar abu tidak larut asam, kadar abu total, gelatin, logam berat, bahan asing tidak larut, timah, susut pengeringan, pati dan penyerapan air. Persyaratan spesifikasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Standar Mutu Agar-Agar Persyaratan Spesifikasi SII(a) Kadar air maks. (%) 15 – 21 Kadar abu maks. (%) 4 Abu tak larut asam maks. (%) Gelatin Pati Karbohidrat (galaktosa) (%) 30 Logam berat maks. (ppm) Negatif Arsen maks. (ppm) Negatif Bahan asing tidak larut maks. (%) Timah maks. (ppm) Susut pengeringan maks. (%) Penyerapan air Zat warna tambahan Yang diizinkan untuk makanan dan minuman Sumber : (a) Departemen Perindustrian (1978) (b) Food Chemical Codex III (1981)
FCC(b) 6.5 0.3 Negatif Negatif 10 3 1 10 20 Negatif -
Agar-agar yang diekspor dari Jepang juga memasukkan parameter lain selain yang dideskripsikan oleh SII dan FCC sebagai penentu mutunya. Parameter tersebut adalah warna, keseragaman, dan kekuatan gel. Tabel 4 menunjukkan standar mutu salah satu tingkat mutu agar-agar ekspor Jepang.
7
Spesifikasi Warna Keseragaman
Tabel 4. Standar Mutu Salah Satu Jenis Agar-Agar di Jepang Tingkat mutu Superior No.1 No.2 No.3 Putih Putih kekuningan Putih kekuningan Kuning cokelat Seragam mutu Seragam mutu Kurang seragam Tidak seragam dan ukuran dan ukuran
Kekuatan gel (g/cm2) Kadar air (%) Protein (%) Abu (%) Bahan tidak meleleh pada air mendidih Sumber : Okazaki (1971)
>600
>350
>250
>150
< 22 < 0.5 < 4.0
< 22 < 1.5 < 4.0
< 22 < 2.0 < 4.0
< 22 < 3.0 < 4.0
< 0.5
< 2.0
< 3.0
< 4.0
2.2.1 Struktur Kimia Agar-Agar Agar-agar merupakan salah satu dari gum polisakarida yang telah lama dikenal dan merupakan koloid hidrofilik yang diekstrak dari alga laut tertentu dari kelas Rhodophyceae (Peterson dan Johnson 1978). Struktur agar-agar terdiri atas dua komponen utama, yaitu agarosa dan agaropektin dalam jumlah yang bervariasi (Glicksman 1983). Unit gula dasar penyusun agar-agar dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Unit Gula Penyusun Agar-Agar Agar
Unit Gula Penyusun
Agarosa
D-galaktosa L-galaktosa 3,6-anhidrogalaktosa D-xilosa
Agaropektin
D-galaktosa L-galaktosa 3,6-anhidrogalaktosa D-xilosa Galaktosa sulfat Asam piruvat Sumber : Glicksman (1983) Agarosa merupakan komponen pembentuk gel yang netral dan tidak mengandung sulfat (Furia 1975). Agarosa bersifat netral yang merupakan pengulangan dari unit-unit agarobiosa. Agarobiosa sebagai gel esensial, merupakan fraksi dari agar yang mempunyai bobot molekul lebih dari 10.000 Dalton bahkan lebih dari 150.000 Dalton dengan kandungan sulfat yang rendah ≤ 0.5% (Armisen et al. 2000). Agarosa merupakan suatu komponen agar yang responsif terhadap pembentukan gel. Agarosa bersifat netral yang terdiri dari susunan unit dasar berulang dari agarobiosa disakarida yang disusun oleh rantai 1,4 dan 3,6 –amhidro-L-galaktosa dan 1,3-D-galaktosa. Agarosa juga mengandung metil-D-galaktosa dalam bentuk 6-O-metil-D-galaktosa yang jumlahnya berkisar antara 1-20% atau 4-
8
o-metil-galaktosa, semuanya tergantung pada spesies alga merah itu sendiri (Glicksman 1983). Adapun Agaropektin merupakan suatu polisakarida sulfat yang tersusun dari agarosa dengan variasi ester asam sulfat; asam D-glukoronat dan sejumlah kecil asam piruvat. Kandungan sulfat bervariasi pada setiap jenis rumput laut dan biasanya sekitar 5-10% (Peterson dan Johnson 1978). Agaropektin sisa dari agarobiosa mempunyai bobot molekul < 20.000 Dalton (14.000 Dalton) dengan komponen sulfat yang lebih besar 5-8% (Armisen et al. 2000). Struktur molekul agar-agar dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Molekul Agar (Phillip 2000) 2.2.2 Pembentukan Gel Agar-Agar Sifat gel agar-agar dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi, pH, kandungan gula, dan ester sulfat (Selby dan Wynne 1973). Penurunan pH akan menyebabkan kekuatan gel semakin berkurang (Glicksman 1983). Semakin tinggi kandungan gula akan menyebabkan gel menjadi keras dengan kohesifitas tekstur yang yang lebih rendah (Glicksman 1983). Peningkatan kandungan sulfat dalam agar-agar akan mengurangi kekuatan gelnya (Chapman dan Chapman 1980). Menurut Glicksman (1983), peningkatan kekuatan gel dapat dihubungkan dengan peningkatan kadar agarosa atau penurunan kadar sulfat serta peningkatan kadar 3.6-anhydro-L-galaktosa. Karakteristik pembentukan gel agar-agar disebabkan oleh tiga buah atom H pada residu 3.6-anhydroL-galaktosa yang memaksa molekul-molekul untuk membentuk struktur ”heliks”. Interaksi antar struktur heliks menyebabkan terbentuknya gel. Penggantian senyawa 3.6-anhydro-L-galaktosa oleh Lgalaktosa sulfat menyebabkan kekacauan dalam struktur heliks dan dalam keadaan seperti ini kekuatan gel yang terendah terbentuk. Kekuatan gel yang lebih tinggi akan diperoleh bila grup sulfat dikonversi menjadi senyawa 3.6-anhydro-L-galaktosa, perlakuan alkali dapat mempercepat konversi senyawa tersebut diatas. Gel agar-agar bersifat reversibel terhadap suhu, dimana pada suhu di atas titik leleh fase gel akan berubah menjadi fasa sol dan sebaliknya. Tetapi fasa transisi dari gel ke sol atau dari sol ke gel tidak berada pada suhu yang sama. Suhu pembentukan gel (gelling point) berada jauh di bawah suhu saat gel meleleh (melting point). Perbedaan yang jauh anatara suhu leleh dan suhu pembentukan gel disebut dengan gejala histeresis (Glicksman 1983). Daya gelasi agar-agar juga tergantung pada cara produksi, jenis algae, kandungan sulfat dan perbandingan agarosa terhadap agaropektin. Agar-agar yang berasal dari rumput laut Gracilaria mempunyai kekuatan gel yang lebih rendah dari Gelidium (Chapman 1970). Agar-agar tidak larut dalam air dingin, tetapi larut dalam air panas. Pada suhu 32-39°C terbentuk gel dan tidak meleleh dibawah suhu 35°C (Soegiarto et al. 1978). Agar-agar dengan kemurnian tinggi tidak larut pada suhu 25°C, larut dalam air panas, etanol amida dan formalin. Gel agar-agar dapat dibentuk dalam larutan yang sangat encer yang mengandung fraksi 1% agar-agar. Karakteristik gel agar-agar bersifat rigid, rapuh, mudah dibentuk dan memiliki titik leleh tertentu.
9
Kekuatan gel agar-agar sangat tergantung pada perbandingan kandungan agarosa terhadap agaropektin, gel yang terbentuk akan semakin kuat (Winarno 1990). Gel agar-agar bersifat thermoreversible, yaitu pada suhu diatas titik leleh fase gel akan berubah menjadi fase sol dan sebaliknya, tetapi fase transisi tidak terjadi pada suhu yang sama. Gel agar-agar bersifat cukup stabil. Gel yang dibuat dari agar-agar dengan kekuatan gel yang tinggi dapat memiliki kestabilan yang sama dengan agar-agar kering jika disterilisasi dan disimpan secara hermatis. Gel agar-agar lebih stabil dibandingkan gel dari koloid alami lain karena hanya ada sedikit mikroorganisme dan enzim yang dapat mendegradasinya (Selby dan Wynne 1973).
2.3
Bakto Agar
Bakto agar merupakan agar yang telah dimurnikan dengan mereduksi kandungan pigmenpigmen pengotor dan kandungan bahan-bahan asing (organik dan inorganik) serendah mungkin sehingga dapat mendukung pertumbuhan mikroba secara umum (Abdullah 2004). Pemanfaatan sebagai media kultur mikroorganisme tersebut belum berubah sejak Dr. Robert Koch memakai pertama kalinya tahun 1982 untuk kultur media bakteri tuberkulosa. Dengan kemajuan teknik rekombinasi DNA dan fusi sel, maka kegiatan seleksi, kloning dan propagasi mikroorganisme yang direkayasa juga dilakukan dalam media agar (Rasyid et al. 1998). Bakto agar biasa digunakan untuk media kultur bakteri patogen maupun bakteri non-patogen. Sebanyak 1/6 dari total produksi agar-agar yang ada di Amerika Serikat digunakan untuk keperluan mikrobiologi sebagai media kultur bakteri (FAO 1990). Permintaan pasar internasional untuk agaragar yang digunakan sebagai media kultur bakteri terus meningkat. Pemanfaatan bakto agar untuk bidang mikrobiologi di dalam negeri juga semakin meningkat. Namun produksi bakto agar belum mencukupi kebutuhan di dalam negeri. Salah satu solusi adalah dengan membuat bakto agar produksi dalam negeri dengan karakteristik mutu yang diharapkan sama dengan bakto agar impor (Winarno 1990). Beberapa syarat nutrisi yang harus dipenuhi dalam media pertumbuhan bakteri sehingga dapat mendukung penguraian autotrof anorganik oleh bakteri pengurai anorganik, seperti vitamin dalam konsentrasi tinggi dan faktor–faktor tumbuhnya oleh bakteri patogen dan bakteri asam laktat. Oleh sebab itu, perlu diformulasikan suatu media yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme secara umum, contohnya adalah penambahan nutrient broth dan nutrient agar yang dapat digunakan sebagai media pertumbuhan dasar (Abdullah 2004) Bakto agar yang digunakan sebagai kultur media memiliki beberapa karakteristik yaitu memiliki kekuatan gel, tingkat elastisitas, kejernihan dan stabilitas yang baik. Tabel 6 menunjukkan satandar mutu dari agar bakto Serva menurut ISO 9001. Tabel 6. Standar Mutu Agar Bakto Serva Menurut ISO 9001 Analisis
Nilai Standar Mutu
Kekuatan gel (g/cm2, 1.5%gel)
400-900
Kadar air (%)
<15
Kadar abu (%)
<6,5
Nilai pH 5,5-7 Sumber : Gelrite (2003) dalam Abdullah (2004)
10
2.4
Proses Pembuatan Agar-Agar
Pengolahan rumput laut menjadi agar-agar umumnya melalui beberapa tahapan yaitu pembersihan dan pencucian, perendaman dan pemucatan, pra-perlakuan asam, perebusan atau ekstraksi, penyaringan, penjedalan, dan pendinginan (Indriany 2000). Berikut ini adalah penjelasan singkat rincian proses diatas. 2.4.1 Pembersihan dan Pencucian Rumput laut dibersihkan dan dicuci untuk menghilangkan batu-batuan, kerikil, lumpur, kerang dan benda-benda asing lainnya. Setelah dicuci, rumput laut harus segera dikeringkan sehingga kandungan airnya mencapai 20%. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya proses fermentasi yang dapat menurunkan mutu dan kandungan agar-agar. Pengeringan dapat dilakukan dengan sinar matahari. Penjemuran juga dimaksudkanuntuk menghilangkan warna dari rumput laut (Putro 1991). 2.4.2 Perendaman dan Pemucatan Perendaman dimaksudkan untuk melanjutkan pembersihan rumput laut dari kotoran-kotoran yang mungkin masih melekat. Perlakuan ini juga bertujuan untuk melunakkan jaringan rumput laut agar memudahkan ekstraksinya. Perendaman ini dapat dilakukan sekaligus dengan proses pemucatan (Indriany 2000). Pada proses pemucatan, rumput laut direndam dalam larutan pemucat selama beberapa waktu disertai proses pengadukan (Indriany 2000). Larutan pemucat yang umum digunakan adalah larutan kalsium hipoklorit (CaOCl3) 1% dengan lama perendaman 30 menit (Amnidar 1989), larutan kapur tohor (CaO) 0,5% selama 5-10 menit (Nasran 1993), dan NaOCl 1% selama 30 menit ( Kosasih dan Suprijatna 1967). Larutan pemucat yang digunakan pada penelitian ini adalah larutan kapur tohor (CaO) 0,5% selama 5-10 menit. Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Nasran et al. (1991), Asmarita (2000), dan Indriany (2000), larutan tersebut memberikan hasil pemucatan yang baik terhadap bahan baku. Untuk menghilangkan bau bahan pemucat yang digunakan, rumput laut dicuci sambil diremas-remas dan dibilas dengan air bersih. 2.4.3 Praperlakuan Ekstraksi Praperlakuan sebelum ekstraksi adalah proses perendaman rumput laut yang dilakukan sebelum ekstraksi untuk mempermudah proses ekstraksi, serta untuk meningkatkan mutu rendemen produk agar-agar yang dihasilkan. Praperlakuan dapat dilaksanakan dengan menggunakan larutan alkali atau asam (Irawati 1994). Proses perendaman dengan asam bertujuan untuk memecah dinding sel, sehingga agar-agar mudah diekstrak. Selain itu larutan asam tersebut diharapkan dapat menghancurkan dan melarutkan kotoran sehingga rumput laut lebih bersih. Larutan asam yang dapat digunakan pada perlakuan asam selain asam sulfat dapat juga digunakan asam asetat, asam sitrat, buah asam, dan daun asam (Winarno, 1990). Pada penelitian yang telah dilakukan Ameidy (1992) dengan menggunakan CH3COOH 1% pada ekstraksi agar-agar rumput laut jenis Gracilaria verrucosa sebagai perlakuan asam telah terbukti dapat meningkatkan rendemen dan kekuatan gel agar-agar yang dihasilkan. Demikian pula percobaan yang dilakukan Priatama (1989), mendapatkan nilai kekuatan gel yang tertinggi pada Gracilaria sp dengan menggunakan larutan CH3COOH 3% pada praperlakuan asam. Secara umum praperlakuan asam dapat memperpendek waktu ekstraksi serta meningkatkan rendemen dan kekuatan gel agar-agar yang dihasilkan (Matsuhashi 1977).
11
Praperlakuan dengan alkali tidak selalu diikuti dengan peningkatan kekuatan gel. Praperlakuan dengan alkali dapat menurunkan kekuatan gel agar-agar dari 138 gr/cm2 (tanpa perlakuan alkali) menjadi 110 gr/cm2 (Whyte dan Englar, 1980 dalam Amnidar 1989) sedangkan menurut Cho et al. (1975), praperlakuan dengan asam terhadap Gracilaria sp ternyata dapat menurunkan kandungan abu, total sulfur dan nitrogen serta dapat meningkatkan kekuatan gel agar-agar. 2.4.4 Ekstraksi Ekstraksi agar-agar dari rumput laut dilakukan dengan air panas pada suhu didih. Hal ini didasarkan pada sifat kelarutan agar-agar, yaitu larut hanya dalam air panas dan tidak larut dalam air dingin (Furia 1975). Semua proses ekstraksi agar-agar dalam dunia perdagangan (secara komersial) umumnya menggunakan air panas dengan suhu (90-150) oC, yang kemudian diikuti dengan proses filtrasi dan pembekuan (Wheaton dan Lawson 1985). Dalam proses ekstraksi diperlukan suasana sedikit asam, yang bertujuan untuk mengontrol pH karena pH dapat mempengaruhi kualitas agar-agar yang dihasilkan. Keasaman (pH) larutan ekstraksi harus diatur kurang lebih 6.5 dengan penambahan sedikit asam (Chapman 1970). Proses ekstraksi dapat pula dilakukan pada pH netral atau tanpa penambahan asam, karena diduga pada pH netral ini proses ekstraksi akan lebih mudah dan dapat dilakukan pada pH kurang lebih 7, suhu 100oC, selama 1-4 jam. Tetapi ekstraksi pada pH netral ini dilakukan hanya untuk rumput laut yang telah mengalami proses praperlakuan asam (Matsuhashi 1977). Produksi agar-agar dari rumput laut selain dipengaruhi oleh musim, juga dipengaruhi oleh lama waktu perebusan (waktu ekstraksi) (Chapman 1970). Waktu pendidihan yang terlalu lama dapat mengakibatkan degradasi hidrolitik yang berlebihan, meskipun pada proses normal degradasi hidrolitik tidak dapat dihindari seluruhnya (Matsuhashi 1977). Pemasakan rumput laut dilakukan dalam suatu bejana dengan meggunakan air bersih (Winarno 1990). Banyaknya air yang digunakan sebagai pengekstrak dalam proses pemasakan agar-agar bervariasi menurut beberapa versi, tergantung jumlah dan jenis bahan baku rumput laut yang digunakan. Rumput laut jenis keras, seperi Gelidium sp membutuhkan air pengekstraksi yang relatif banyak dibandingkan rumput laut lunak seperti Gracilaria sp, sebab untuk memecah diding sel rumput laut yang keras dibutuhkan luas permukaaan kontak antara dinding sel dengan air pengekstrak yang besar (Sukamulyo 1989). Kisaran jumlah air untuk ekstraksi dapat bervariasi antara tujuh kali berat rumput laut sampai dengan 15 atau 20 kali berat rumput laut kering (Matsuhashi 1977). Lama ekstraksi umunya berlangsung selama 45 menit (Winarno 1990), kadang-kadang sampai 2-4 jam tergantung teknik pengadukannya. Setelah proses ekstraksi selesai, larutan agar-agar langsung disaring (filtrasi) dalam keadaan panas. Untuk memperoleh hasil ekstraksi yang tinggi maka pada waktu penyaringan dapat dilakukan pemerasan atau pengepresan (Chapman 1970). Filtrat agar hasil penyaringan kemudian ditampung di tempat penampungan, sedangkan ampasnya masih dapat diekstraksi kembali satu atau dua kali. Gel yang terbentuk kemudian dibekukan, dan dicairkan (thawing). Air yang mencair akan membawa serta kotoran yang menyebabkan kekeruhan (Kosasih dan Suprijatna 1967).
12
2.4.5 Pemurnian Filtrat Agar Permasalahan yang ada selama ini adalah metode produksi agar yang menghasilkan kadar sulfat yang masih tinggi. Kadar sulfat pada agar merupakan komponen yang dapat mengganggu, baik dalam penggunaan maupun dalam penyimpanan. Salah satu alternatif proses produksi yaitu melalui metode absorbsi impuriti dalam ekstraksi olek kitosan sebagai absorben sehingga dapat menghasilkan agar-agar bermutu tinggi untuk keperluan media kultur (Suptijah 2010). Absorbsi merupakan suatu proses dimana suatu partikel terperangkap ke dalam suatu media dan seolah-olah menjadi bagian dari keseluruhan media tersebut. Absorbsi terdiri dari dua jenis yaitu absorbsi fisika dan absorbsi kimia. Absorbsi fisika dicirikan dengan tarik menarik antara absorbat dan absorben sangat lemah dengan energi kurang dari 40 Kj/mol dan antar keduanya tidak membentuk senyawa kimia. Absorbsi fisika umumnya reversible dan irreversible. Sifat ini ditemukan dalam batas antar muka kimia dengan medium gas, dimana ikatan yang terjadi diakibatkan dari gaya Van Der Walls dan gaya London (Prutton 1982). Absorbsi kimia (chemosorbtion) ditandai dengan pertukaran elektron/electron exchange antara absorbat dengan absorben. Interaksi yang terjadi sangat kuat sehingga terbentuk senyawa kimia dengan energi ikatnya sekitar 300 Kj/mol (Nieuwenhuizen dan Barendez 1987). Akibat dari berbagai perlakuan, ikatan dalam absorbsi fisik dan kimia dapat lepas, proses ini disebut desorbsi. Absorben adalah padatan berpori dengan berbagai ukuran. Contoh absorben yang sudah banyak digunakan diantanya: kitosan, bentonit, zeolit, tanah diatomea dan arang aktif. Suatu absorben dapat memisahkan molekul berdasarkan ukurannya (Suptijah 2012) Kitosan adalah produk alami turunan dari kitin, polisakarida yang ditemukan dalam eksoskeleton krustasea seperti udang, rajungan dan kepiting. Kitosan diperoleh melalui proses dasitilasi kitindengan perlakuan alkali. Kitin merupakan polisakarida panjang yang tidak bercabang, bernama 2-asetil-2-amino dioksi-D-glukosa, yang monomernya berikatan satu sama lain melalui ikatan 1-4. Kitin diproduksi dari kulit udang melalui proses isolasi dan purifikasi yang didahului proses demineralisasi dan dilanjutkan dengan proses deproteinasi (Muzzarelli 1977). Kerangka utama penyusun kitin dan kitosan adalah grup heksosa (glukosa) sama dengan selulosa, oleh karena itu kitin kitosan dikelompokan pada selulosa alam tetapi mempunyai muatan berlawanan dengan selulosa lainnya. Polimer kitin atau kitosan terdiri dari 2000-3000 monomer, sehingga menpunyai banyak muatan yang akan mempengaruhi sifat biologi dan sifat fungsionalnya melalui kemampuan berikatan dengan molekul lain (Ornum 1992). Proses penyerapan berhubungan dengan adanya gugus hidrofilik (OH) dalam molekul kitosan, sehingga kitosan mempunyai kemampuan untuk mengikat air dan bahan-bahan yang tersuspensi dalam air. Berdasarkan tinjauan pustaka, Olin et al. (1996) dan Bailey et al. (1997) telah mengidentifikasi penyerap yang murah untuk penanganan kontaminasi logam berat pada air dan limbah cair. Mereka mengidentifikasi dua belas penyerap yang potensial untuk Pb, Cd, Cu, Zn, dan Hg, diantaranya kitosan mempunyai kapasitas serapan yang tinggi untuk ion-ion metal (Masri et al. 1974). Kitosan mengikat atau mengkelat sejumlah logam lima kali lebih besar dari kitin. Hal ini ditandai oleh adanya grup amino bebas (NH3+) dalam kitosan (Muzarelli 1977). Kitosan bersifat sebagai pembentuk kelat (zat pengikat) yang dapat mengikat logam dalam bentuk ikatan kompleks sehingga dapat mengalahkan sifat dan pengaruh negatif dari logam berat yang terdapat dalam suatu bahan. Molekul atau ion dengan pasangan elektron bebas dapat membentuk kompleks dengan ion logam, karena itulah senyawa-senyawa yang mempuyai dua atau lebih gugus fungsional seperti –OH, -SH, -COOH, -PO3H2, -C=O, -NR2, -S- dan –O- dapat mengkelat logam
13
dalam lingkungan yang sesuai. Proses pengikatan logam diatas merupakan proses keseimbangan pembentukan kompleks ion logam dengan sekuestran (Winarno 1993). Melalui reaksi pengikatan (chelating), kitosan mampu menyerap logam berat, hal ini dimungkinkan dengan adanya gugus CH2OH dan NHCOCH3, yang merupakan gugus reaktif dari kitosan yang dapat mengikat ion logam, Abdullah (2004) menggunakan kitosan sebagai bahan pemurni pada bakto agar. Pada penelitiannya diperoleh bahwa penggunaan kitosan dengan perlakuan 1% dengan waktu absorbsi 45 menit, menghasilkan bakto agar yang paling optimum (mendekati standar Difo bacto agar) yaitu kadar abu 3,45%, kadar air 16,89%, kekuatan gel 341,01 gram/cm2, dan nilai pH sebesar 5,88. 2.4.6 Pengeringan Proses pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: metode pembekuan yang diikuti dengan thawing dan dilanjutkan dengan pengeringan atau dengan cara dikeringkan dengan menggunakan tekanan (Matsuhashi 1977). Pengeringan lebih baik dilakukan dengan menggunakan oven sehingga mempercepat proses pengeringan dan menurunkan kadar air yang terkandung didalamnya (Kosasih dna Suprijatna 1967). Tujuan dari pengeringan adalah mengurangi kadar air bahan sampai batas tertentu sehingga perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti. Hal tersebut menyebabkan bahan yang dikeringkan dapat mempunyai waktu simpan yang lama (Aschtanasia 2010). Indriany (2000) menggunakan pengering semprot dan pengering drum dalam modifikasi proses pembuatan tepung agar-agar. Pengering semprot yang terbaik dilakukan pada suhu inlet dan outlet sebesar 180oC dan 85oC dengan tekanan semprot 3 bar dimana pada perlakuan ini dihasilkan kekuatan gel dan derajat putih yang lebih baik, sedangkan pada pengering drum, perlakuan terbaik dihasilkan pada kecepatan putaran drum 8,6 rpm dan tekanan uap 3 bar. 1. Pengering Semprot (SprayDrier) Pengering semprot merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang merubah bentuk suatu produk dari bentuk cairan, bubur menjadi bentuk kering berupa tepung, butiran, atau gumpalan (Master 1979). Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan pengering semprot yang uatama adalah tidak hanya dapat mengeringkan bahan dengan sangat cepat (waktu total padatan di dalam pengering dapat kurang dari 30 detik) tetapi juga menghasilkan produk yang kondisinya seragam. Selain itu, produk juga akan menjadi kering tanpa bersentuhan dengan permukaan logam panas. (Badger dan Banchero 1988). Terdapat tiga elemen penting dalam pengering semprot, yaitu atomizer, ruang pengering, dan sistem pengumpul partikel-partikel kering yang dihasilkan. Masing-masing elemen tersebut memerlukan kondisi tertentu yang sangat tergantung pada sifat bahan tersebut. Pengering semprot terdiri dari empat tahap proses yaitu : (1) penyemprotan bahan melalui alat penyemprot atau atomisasi, (2) kontak antara partikel hasil atomisasi dengan udara pengering, (3) penguapan air dari bahan, dan (4) pemisahan bubuk kering dengan aliran udara yang membawanya (Master 1979). Larutan dengan viskositas tinggi yang akan dikeringkan, dilewatkan melalui lubang kecil (nozzle) dan disemprotkan ke dalam ruang pengering. Penyemprotan bahan dapat dilakukan melalui cairan yang berputar dengan kecepatan tinggi, dimana zat cair akan menguap dengan cepat karena permukaan kontak yang luas dan udara kering yang bersuhu tinggi (Taib et al. 1988).
14
Proses pengeringan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suhu, kecepatan volumetrik aliran udara pengering, kelembaban udara, kadar air awal, dan tekanan. Untuk produk yang berbeda, kondisi pengering semprot yang digunakan berbeda pula. Untuk produk susu, suhu pengering semprot yang digunakan berkisar antara 170oC sampai 200oC, sedangkan untuk produk kopi dan teh, suhu yang umum digunakan adalah 250oC. Untuk produk buah-buahan, suhu yang umum digunakan berkisar antara 135oC sampai dengan 180oC (Master 1979). 2. Pengering Drum (Drum Drier) Alat pengering drum digunakan untuk mengeringkan bahan dalam bentuk bubur atau larutan. Drum berputar pada sumbu horizontal dan dipanaskan secara internal dengan uap air atau medium pemanas lain. Kelebihan yang dimiliki alat pengering drum yaitu laju pemanasan yang tinggi serta penggunaan panas yang cukup ekonomis. Sedangkan kekurangan yang utama adalah produk yang dikeringkan hanya dapat berupa cairan atau bubur dan memiliki ketahanan terhadap suhu tinggi dalam waktu singkat. Faktor- faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan dan kandungan uap air akhir dari partikel-partikel produk pada pengeringan drum adalah kecepatan putaran drum, tekanan uap air atau temperatur media pemanas, dan ketebalan lapisan produk (Brennan et al. 1974). Produk yang akan dikeringkan dimasukkan melalui bagian atas drum sehingga terbentuk lapisan yang tipis. Pengeringan dapat dilakukan di dalam udara terbuka atau dalam keadaan hampa udara. Produk yang kering dilepaskan dari permukaan drum dengan menggunakan pisau pengikis. Selanjutnya, lapisan yang kering tersebut digiling menjadi bubuk yang halus (Desrosier 1988). Prinsip pengeringan dengan menggunakan alat pengering drum adalah logam drum kosong yang berputar perlahan, dan dipanaskan secara internal oleh tekanan uap hingga suhunya menjadi 120170oC. Bahan akan dikeringkan pada tiap permukaan drum dalam bentuk lapisan tipis. Pada drum tunggal, pembentukan lapisan tipis dilakukan dengan mencelupkan drum pada bubur atau larutan yang akan dikeringkan, sedangkan pada drum ganda, larutan dimasukkan dari bagian atas pada daerah antara dua drum. Pengeringan berlangsung pada saat drum berputar. Drum berputar dengan arah yang berlawanan. Ketebalan lapisan dapat diatur dengan cara mengatur jarak antara kedua permukaan drum (Heldman et al. 1981). Produk kering akan dipindahkan dari permukaan drum dengan menggunakan pisau pada saat perputaran drum mencapai titik 2/3-3/4 sejak bahan pertama kali dimasukkan ke dalam pertemuan dua permukaan drum (Brennan et al. 1974).
15
III. METODE PENELITIAN
3.1. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret 2012 hingga September 2012. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Pilot Plant, PAU, Institut Pertanian Bogor.
3.2. BAHAN DAN ALAT Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian ini adalah rumput laut jenis Gracilaria verrucosa dalam bentuk kering yang diperoleh dari Desa Langensari, Kabupaten Subang. Bahan lain yang digunakan pada proses ekstraksi rumput laut adalah larutan CaO 0.5%, larutan asam asetat (CH3COOH) 1%, air destilata, dan kitosan serpih. Bahan yang digunakan untuk analisa produk adalah nutrient broth, potato dextrose broth, bacto difco, larutan H2O2 (1:10), larutan AgNO3 0.1N, larutan HCl 0.2N, dan larutan BaCl2 10%. Bahan yang digunakan uuntuk karakterisasi bahan baku rumput laut adalah katalis CuSO4 dan Na2SO4, indikator mengsel,H2SO4 pekat, asam borat, larutan NaOH 6N, larutan H2SO4 0.02N, larutan H2SO4 0.325N, NaOH 1.25N, hexane, dan alkohol. Alat-alat yang digunakan dalam proses ekstraksi rumput laut adalah gelas piala, wadah (baskom), timbangan, panci aluminium, kompor, termometer, batang pengaduk, sudip, kain saring, hydraulic press (alat pengepres), laboratory mill, aluminium foil, dan plastik HDPE. Alat yang digunakan pada tahap analisa produk akhir dan karakterisasi bahan baku adalah cawan aluminium, cawan porselen, labu kjeldahl, labu lemak, soxhlet, erlenmeyer, pipet tetes, desikator, labu takar, pipet Mohr, gelas ukur, gelas arloji, oven, kertas saring, kondensor, penangas air, pH meter Beckman, alat ukur gel strength, tabung reaksi, jarum inokulasi, cawan petri, kapas, dan autoklaf.
3.3. TATA LAKSANA PENELITIAN Tahapan awal dari penelitian ini adalah karakterisasi bahan baku rumput laut jenis Gracilaria verrucosa. Setelah proses karakterisasi, selanjutnya dilakukan proses ekstraksi agar dengan perlakuan pra ekstraksi menggunakan larutan asam. Setelah proses ekstraksi, diperoleh filtrat agar yang akan dimurnikan dengan penambahan kitosan yang berfungsi sebagai absorben. Filtrat agar yang telah dimurnikan selanjutnya akan dikeringkan dengan menggunakan tiga jenis pengering yaitu pengering semprot, pengering drum, dan pengering oven. Dari ketiga jenis pengering tersebut diperoleh tiga jenis bakto agar yang selanjutnya dikarakterisasi untuk mengetahui karakteristik dari masing-masing produk. Tahapan akhir dari penelitian ini adalah proses aplikasi bakto agar sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Dalam proses aplikasinya, dilakukan formulasi untuk menentukan konsentrasi gel yang dapat ditambahkan agar menjadi media pertumbuhan mikroorganisme. 3.3.1. Karakterisasi Bahan Baku Gracilaria verrucosa Karakterisasi awal bahan baku dilakukan untuk mengetahui sifat fisik dan kimia dari rumput laut jenis Gracilaria verrucosa yang digunakan pada penelitian ini. Analisis yang dilakukan adalah analisa kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar serat, dan kadar karbohidrat. Prosedur analisisnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
16
3.3.2. Proses Ekstraksi dan Absorbsi Bakto Agar Setelah bahan baku dikarakterisasi, tahapan penelitian selanjutnya adalah ekstraksi rumput laut hingga diperoleh filtrat agar-agar. Rumput laut Gracilaria verrucosa terlebih dahulu dipisahkan dari kotoran berupa kerang dan batu-batuan yang menempel, setelah itu, rumput laut ditimbang sebanyak 100 g dalam setiap proses ekstraksinya. Selanjutnya dilakukan proses pencucian dengan air mengalir dan direndam dengan larutan CaO 0,5% selama lima menit. Setelah proses perendaman dengan larutan CaO, rumput laut kembali dicuci dengan air mengalir, dan dilanjutkan dengan proses perendaman dengan larutan asam asetat 1% (CH3COOH 1%) selama 60 menit. Setelah proses perendaman dengan larutan asam, selanjutnya dilakukan proses pencucian dengan air mengalir hingga pH netral. Rumput laut yang sudah netral selanjutnya dipotong-potong dan diekstrak dengan menggunakan air destilata. Perbandingan rumput laut dengan air destilata adalah 1:20 (b/v). Ekstraksi dilakukan pada suhu 80-90oC selama 45 menit. Proses penyaringan dilakukan dengan menggunakan alat pompa hidrolik (hydraulic press) tanpa menggunakan panas. Filtrat yang diperoleh selanjutnya dimurnikan dengan menggunakan kitosan 1% selama 45 menit, dan kemudian dilakukan penyaringan agar diperoleh filtrat yang lebih murni. Skema proses proses ekstraksi dan absorbsi dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4. 3.3.3. Proses Pengeringan Filtrat Bakto Agar Pengeringan filtrat agar-agar dilakukan dengan tiga jenis pengering yaitu pengering semprot, pengering drum, dan pengering rak (oven). Pada jenis pengering semprot, filtrat langsung di keringkan dalam kondisi panas ke dalam alat pengering semprot. Suhu inlet dan outlet yang digunakan adalah 180oC dan 85oC dengan tekanan semprot tiga bar. Pada jenis pengering drum, filtrat agar juga lagsung dikeringkan dalam keadaan panas dengan menggunakan kecepatan putaran drum 8,6 rpm dan tekanan uap tiga bar. Filtrat agar yang akan dikeringkan dengan menggunakan oven, sebelumnya dilakukan penjedalan dengan suhu freezer selama satu malam. Proses gelifikasi diteruskan dengan proses thawing dan kemudian dikeringkan di dalam oven dengan suhu 45-50oC. Setelah kering, dilanjutkan dengan proses penepungan dengan laboratory mill. Gambar 5 memperlihatkan alat pengering yang digunakan pada proses pengeringan bakto agar. 3.3.4. Karakterisasi Produk Bakto Agar Pada produk akhir dilakukan analisis fisik, kimia, dan mikrobiologis. Analisis fisik yang dilakukan meliputi pengukuran kekuatan gel dan perhitungan jumlah rendemen yang dihasilkan. Analisis kimia yang dilakukan meliputi pengukuran kadar air, kadar abu, pengukuran nilai pH, dan kadar sulfat. Analisis mikrobiologi dilakukan dengan uji kuantitatif total bakteri (Total Plate Count / TPC) ke produk bakto agar. Prosedur analisisnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
17
Rumput laut Gracilaria kering
Pencucian dengan air Perendaman dan pemucatan CaO 0.5 % (5 menit)
Pencucian Pra perlakuan asam (asam asetat 1%), t = 1 jam Pencucian Penghancuran Ekstraksi (T = 80o-90oC, t = 45 menit) Perbandingan air dengan rumput laut 20 : 1 Filtrasi
Ampas
Absopsi khitosan [ 1%] t = 45 menit
Filtrasi
Ampas Kitosan dan Kotoran
Pengeringan dengan Pengering Semprot dan Pengering Drum
Bakto Agar
Gambar 3. Skema Proses Pembuatan Bakto Agar Dengan Pengering Semprot dan Pengering Drum
18
Rumput laut Gracilaria kering
Pencucian dengan air
Perendaman dan pemucatan CaO 0.5 % (5 menit)
Pencucian Pra perlakuan asam (asam asetat 1%), t = 1 jam Pencucian Penghancuran Ekstraksi (T = 80o-90oC, t = 45 menit) Perbandingan air dengan rumput laut 20 : 1
Filtrasi
Ampas
Absopsi khitosan [ 1%] t = 45 menit
Filtrasi
Ampas Kitosan dan Kotoran
Pengeringan dengan Pengering Semprot dan Pengering Drum
Bakto Agar
Gambar 4. Skema Proses Pembuatan Bakto Agar Dengan Pengering Oven
19
(a)
(b)
(c)
Gambar 5. (a) Pengering Semprot (Spray Drier); (b) Pengering Rak; (c) Pengering Drum (Drum Drier)
3.3.5. Aplikasi Produk Bakto Agar Aplikasi dari produk bakto agar dilakukan dengan membuat Nutrient Agar dan Potato Dextrose Agar untuk keperluan analisa Total Plate Count. Dalam proses aplikasi ini, dilakukan formulasi penambahan konsentrasi bakto agar untuk mendapatkan proporsi kekuatan gel yang baik formulasi kekuatan gel diujikan pada konsentrasi 1.5%, 2%, dan 2,5%. Nutrient Agar dibuat dengan menambahkan Nutrient Broth dan bakto agar dalam air destilata. Selanjutnya Nutrient Agar akan diujikan untuk menumbuhkan mikroorganisme E. coli. Potato Dextrose Agar dibuat dengan menambahkan Potato Dextrose Broth dengan bakto agar dalam air destilata dan kemudian diujikan untuk menumbuhkan mikroorganisme khamir.
3.4
RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan satu faktor perlakuan pengeringan dengan tiga jenis alat pengering dengan dua kali pengulangan. Perlakuan pengeringan yang digunakan adalah sebagai berikut : O = Pengering oven, dengan suhu 45-50oC selama 24 jam. S = Pengering semprot, dengan suhu inlet 180oC dan suhu outlet 85oC, dan tekanan semprot 3 bar. D = Pengering drum, dengan kecepatan putaran drum 8,6 rpm dan tekanan uap 3 bar. Analisis Ragam (ANOVA) merupakan metode statistika untuk menguji signifikansi perbedaan dari dua atau lebih nilai rata-rata. Pada dasarnya metode ini merupakan proses aritmatika untuk membagi keragaman (jumlah kuadrat) total menjadi kompoen-kompenennya yang berhubungan dengan sumber keragaman yang diketahui. Bentuk hipotesis yang akan diuji ialah : H0 : μ1 = μ2 = … = μt (nilai rata-rata dari semua perlakuan adalah sama) H1 : minimal ada satu nilai rata-rata yang tidak sama dengan yang lainnya
20
Hasil perhitungan pada Analisis Ragam ditampilkan dalam bentuk tabel seperti yang terlihat dalam Tabel 7 berikut : Tabel 7. Tabel Analisis Ragam (ANOVA) Sumber Keragaman
Derajat Bebas (db)
Jumlah Kuadrat (JK)
Kuadrat ratarata (KT)
F Hitung
Perlakuan
t-1
JKP
KTP
F
Error
t(r-1)
JKG
KTG
Total
rt-1
JKT
Keterangan : t = jumlah perlakuan r = jumlah ulangan dalam setiap perlakuan Nilai-nilai jumlah kuadrat, kuadrat rata-rata dan F hitung dicari dengan rumus-rumus sebagai berikut :
∑
Keterangan : Yij = data pada perlakuan ke-1 dan ulangan ke-j Yi =total data pada perlakuan ke-i Y.. = total data keseluruhan Statistik uji yang digunakan adalah uji-F. F hitung merupakan nilai F yang diperoleh dari hasil perhitungan j dan merupakan rasio dari dua nilai dugaan yang bebas dari ragam yang sama. Selanjutnya F hitung ini dibandingkan dengan F tabel, yakni nilai-nilai yang ada pada tabel distribusi F pada derajat bebas yangs esuai dan taraf nyata yang telah ditentukan. Jika F hitung>F tabel, maka keputusannya adalah tolak H0 dan terima H1, sedangkan jika F hitung ≤ F tabel maka keputusannya adalah terima H0. Apabila pengujian ANOVA menghasilkan penolakan terhadap H0 maka pengujian dapat dilanjutkan untuk mengetahui nilai rata-rata dari perlakuan mana saja yang berbeda signifikan. Uji lanjut yang digunakan adalah uji beda nyata terkecil (LSD). LSD merupakan kriteria uji untuk
21
menentukan signifikan atau tidaknya selisih antara dua rata-rata perlakuan yang dibandingkan. Nilai LSD dicari dengan rumus : √
Keterangan : tα/2 = nilai distribuai t-student pada taraf nyata α dan derajat bebas galat Keputusan ujinya jika selisih antara dua rata-rata perlakuan yang dibandingkan lebih besar dari LSD maka dinyatakan berbeda signifikan pada tingkat kepercayaan (100 - α)%, sebaliknya jika lebih kecil dari LSD maka tidak berbeda signifikan.
22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Rumput Laut Gracilaria verrucosa Rumput laut jenis Gracilaria verrucosa merupakan jenis rumput laut merah yang menghasilkan agar-agar atau disebut agarofit. Gracilaria verrucosa yang digunakan berusia sekitar 1,5 bulan dan dibudidayakan pada air payau dengan salinitas air enam ppt. Rumput laut yang digunakan sudah dalam bentuk kering. Bentuk rumput laut yang dikeringkan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Rumput Laut Gracilaria verrucosa dalam bentuk kering Rumput laut memiliki karakter yang berbeda tergantung dari jenis dan tempat budidaya. Untuk mengetahui karakter rumput laut Gracilaria verrucosa yang digunakan, maka dilakukan analisisis proksimat pada rumput laut Gracilaria verrucosa kering. Analisis proksimat yang dilakukan merupakan analisis proksimat yang terdiri dari kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat by difference. Hasil analisis proksimat dari rumput laut Gracilaria verrucosa kering dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Analisis Proksimat Gracilaria verrucosa Kering Parameter Uji Kandungan Kadar Air (% bb) 10.56 Kadar Abu (% bb)
35.10
Kadar Lemak (% bb)
0.48
Kadar Protein (% bb)
9.28
Kadar Serat (% bb)
8.42
Karbohidrat by difference (% bb)
36.64
Berdasarkan hasil analisis proksimat rumput laut Gracilaria verrucosa kering pada Tabel 7 diketahui bahwa rumput laut tersebut memiliki kadar air 10.56% (bb). Rumput laut gracilaria dimanfaatkan dalam kondisi kering dalam proses pembuatan agar-agar. Hal ini bertujuan untuk memudahkan proses transportasi bahan baku dari tambak ke industri pengolahan agar-agar. Kadar air pada rumput laut kering berpengaruh pada mutu dari rumput laut tersebut. Tingginya kadar air pada rumput laut kering dapat mengakibatkan mutu rumput laut yang rendah. Adanya kandungan air yang tinggi pada bahan baku dapat menyebabkan rendahnya rendemen yang dihasilkan dan juga rendahnya kandungan agarofit sehingga berpengaruh pada kekuatan gel yang dihasilkan. Nilai kadar abu yang
23
dihasilkan adalah 35.10% (bb), yang tergolong cukup tinggi. Tingginya kadar abu yang terdapat pada bahan dapat disebabkan karena proses pengeringan yang dilakukan secara langsung dibawah sinar matahari di jalan setapak sekitar tambak, sehingga memungkinkan adanya kontaminasi oleh pasir dan benda asing lainnya. Nilai kadar lemak dan protein berturut-turut adalah 0.48% (bb) dan 9.28% (bb). Menurut Kadi dan Atmadja (1988), kandungan utama pada rumput laut jenis gracilaria adalah agaragar (agarofit) yang berkisar antara 16-45% tergantung jenis dan lokasi pertumbuhannya. Nilai kadar serat dan karbohidrat berturut-turut adalah 8.42% (bb) dan 36.64% (bb). Dari hasil analisis, kadar karbohidrat merupakan nilai tertinggi yang terdapat pada bahan baku. Karbohidrat yang terkandung pada bahan baku merupakan unit polisakarida penyusun agar-agar sebagai senyawa utama yang dimanfaatkan pada penelitian ini. 4.2. Ekstraksi Bakto Agar Dalam penelitian ini, untuk memperoleh ekstrak agar-agar, bahan baku terlebih dahulu dicuci dengan air mengalir karena bahan baku berupa rumput laut kering masih dalam keadaan tercampur dengan bahan pengotor lainnya seperti pasir, debu, kerang, batu-batuan dan lain sebagainya. Untuk membantu proses penghilangan kotoran dan juga menghilangkan pigmen klorofil pada bahan baku, digunakan perendaman dengan larutan CaO 0.5% selama lima menit. Larutan CaO berfungsi sebagai agen swelling, dimana dalam proses perendaman, rumput laut menjadi mengembang, sehingga pengotor yang menempel pada thalus terlepas dan mengendap dibawah permukaan wadah perendaman. Perendaman dengan larutan CaO juga bertujuan untuk melunakkan jaringan rumput laut sehingga proses ekstraksi menjadi lebih mudah. Perlakuan perendaman dengan larutan asam asetat 1% selama 60 menit sebelum proses ekstraksi bertujuan untuk meningkatkan rendemen dan kekuatan gel pada produk akhir. Selain itu, proses perendaman dengan asam ini juga bertujuan untuk memecah dinding sel rumput laut sehingga memudahkan proses ekstraksi agar-agar. Larutan asam asetat ini juga dapat menghancurkan dan melarutkan kotoran sehingga rumput laut menjadi lebih bersih. Proses ekstraksi dilakukan dengan menambahkan air destilata dengan perbandingan air dengan rumput laut adalah 20 : 1. Ekstraksi rumput laut dilakukan dengan pemanasan bersuhu 80o-90oC selama 45 menit. Proses filtrasi dilakukan dengan menggunakan alat pengepresan hidrolik tanpa menggunakan suhu. Sisa pengotor yang masih terdapat pada filtrat bakto agar diserap dengan bantuan absorben kitosan dengan konsentrasi kitosan 1%. Menurut Suptijah (2012), proses penyerapan berhubungan dengan adanya gugus hidrofilik (-OH) dalam molekul kitosan, sehingga kitosan mempunyai kemampuan untuk mengikat air dan bahan-bahan yang tersuspensi dalam air. Kitosan bersifat sebagai pembentuk kelat (zat pengikat) yang dapat mengikat logam dalam bentuk ikatan kompleks sehingga dapat mengalahkan sifat dan pengaruh negatif dari logam berat yang terdapat dalam suatu bahan. Filtrat agar yang telah dimurnikan selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan tiga jenis pengering yaitu pengering oven, pengering semprot, dan pengering drum. Pada perlakuan dengan pengering oven, sebelum dikeringkan, filtrat bakto agar terlebih dahulu didiamkan dengan suhu freezer selama satu malam. Gelifikasi dilakukan dengan cara mencetak filtrat hasil pemurnian pada loyang dan selanjutnya dibiarkan pada suhu ruang hingga terbentuk gel dan kemudian dimasukkan ke dalam freezer. Selanjutnya dilakukan proses thawing untuk mengurangi jumlah ikatan air pada bakto agar dan memudahkan pada proses pengeringan. Pengeringan dengan oven dilakukan pada suhu 4550oC. Bakto agar yang telah kering selanjutnya dilakukan proses penepungan dengan menggunkan laboratory mill.
24
Pada jenis pengering semprot, setelah filtrat bakto agar diperoleh dari hasil pemurnian, filtrat bakto agar langsung dikeringkan dengan menggunakan suhu inlet 180oC dan suhu outlet 85oC dengan tekanan semprot tiga bar. Pada jenis pengering drum, filtrat agar juga lagsung dikeringkan dalam keadaan panas dengan menggunakan kecepatan putaran drum 8,6 rpm dan tekanan uap tiga bar. Filtrat agar yang dimasukkan dalam alat pengering semprot merupakan suatu larutan dengan kekentalan (viskositas) tertentu. Menurut Guiseley et al. (1980) viskositas merupakan daya aliran molekul dalam sistem larutan. Prinsip dari pengukuran viskositas adalah mengukur ketahanan gesekan antara dua molekul yang berdekatan. Faktor kekentalan perlu diperhatikan dalam proses pembentukan tepung agar-agar, terutama dengan menggunakan pengering semprot. Larutan yang terlalu kental akan sulit disemprot oleh nozzle dan bahkan dapat menyumbat nozzle. Jika terjadi pembekuan filtrat di dalam nozzle maka akan terjadi suatu hambatan dalam proses pengeringan. Oleh sebeb itu, sewaktu akan di semprot filtrat agar-agar yang telah membeku dipanaskan terlebih dahulu hingga mencair. Viskositas yang diperoleh berbeda pada suhu yang berbeda-beda. Semakin tinggi suhu, maka viskositasnya semakin rendah. Filtrat agaragar dapat dengan mudah disemprotkan pada viskositas rendah untuk menghindari terjadinya penyumbatan nozzle dan agar filtrat dapat disemprot dengan baik (Indriany 2000). Pada penelitian ini, filtrat agar yg telah dimurnikan disimpan dalam blower dengan suhu 50oC yang bertujuan untuk menjaga kondisi filtrat agar tetap hangat sebelum dimasukkan ke dalam pengering semprot. Viskositas filtrat diujikan dengan menggunakan alat pengukuran viskositas brookfield pada suhu 50oC. Hasil pengujian menunjukkan bahwa viskositas filtrat pada suhu 50oC adalah 22 cps. Tabel 9 memperlihatkan data hasil pengukuran viskositas pada suhu 50oC. Tabel 9. Hasil Pengukuran Viskositas (T = 50oC) Sampel
Viskositas (cP)
A1
21
A2
25
A3
20
Rata-rata
22
Standar Deviasi
2.65
Prinsip dari metode pengeringan dengan menggunakan pengering semprot adalah filtrat agaragar yang akan dikeringkan, dimasukkan ke dalam ruang pengering dalam bentuk dikabutkan atau disemprotkan yang kemudian akan kontak dengan udara yang dipanaskan. Tepung yang telah terbentuk langsung dipindahkan ke dalam ruang pengering. Butiran halus (tepung) yang bercampur dengan udara kemudian akan dipisahkan di dalam ruang pemisah uadar dan tepung (separator) (Indriany 2000). Faktor kekentalan bukanlah hal yang penting untuk jenis pengering drum. Semakin kental filtrat akan semakin mempermudah proses dan semakin baik produk yang diinginkan. Filtrat agar-agar yang akan dikeringkan dimasukkan ke dalam pertemuan antara dua permukaan drum yang telah dipanaskan dengan tekanan uap hingga suhunya menjadi 120o-170oC. Pengeringan akan berlangsung ketika drum berputar dan produk kering dipindahkan dari permukaan drum dengan menggunakan pisau pada saat perputaran drum telah mencapai titil 2/3-3/4 sejak bahan pertama kali dimasukkan ke dalam dua permukaan drum (Brennan et al. 1974).
25
4.2. Karakteristik Tepung Bakto Agar Produk yang dihasilkan pada penelitian ini berbentuk bubuk atau tepung. Produk yang berbentuk tepung memiliki kelebihan yaitu kadar air rendah sehingga lebih awet disimpan, praktis dalam penggunaannya, serta memudahkan dalam proses pengemasan dan pengangkutan. Tepung bakto agar yang dihasilkan dengan pengering oven bebentuk butiran-butiran kristal halus berwarna opaque. Warna tepung yang dihasilkan menyerupai warna asal filtrat bakto agar yang berwarna opaque. Tabel 10 dan Lampiran 2 memperlihatkan karakteristik bakto agar yang dihasilkan oleh ketiga perlakuan pengeringan. Tabel 10. Karakteristik Fisik Bakto Agar Jenis Pengering
Karakteristik Bakto Agar
Pengering Oven
Bau agar-agar segar, tekstur halus (++) dan kering, warna opaque
Pengering Semprot
Bau agar-agar segar, tekstur halus (+++) dan kering, warna putih susu
Pengering Drum
Bau agar-agar segar, tekstur halus (+) dan kering, warna opaque
Keterangan : tanda plus (+) menunjukkan tingkat kehalusan tepung bakto agar Tepung bakto agar yang dihasilkan dengan alat pengering semprot berbentuk tepung halus dan warna tepung putih susu. Menurut Bluestein et al. (1989), filtrat agar-agar yang disemprotkan pada aliran udara panas dan waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan cukup singkat, sehingga dapat meminimalkan proses kegosongan pada jenis pengering semprot. Tepung yang dihasilkan dengan pengering drum menghasilkan produk yang agak kasar sehingga memerlukan proses penggilingan untuk memperoleh tepung yang lebih halus. Tepung bakto agar yang dihasilkan oleh pengering oven menghasilkan tepung yang agak halus dan berbentuk kristal berwarna opaque. Produk bakto agar yang diperoleh dari tiga jenis pengering dilakukan analisis kimia yang meliputi analisis rendemen bakto agar, kadar air, kadar abu, nilai pH, kadar sulfat dan kekuatan gel agar. Hasil karakteristik kimia produk bakto agar dapat dilihat pada Tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Hasil Analisis Kimia Produk Bakto Agar Parameter
Jenis Pengeringan Pengering Oven
Pengering Semprot
Pengering Drum
Rendemen (% bk)
9.93c
2.43a
7.22b
Kadar air (% bk)
14.03b
9.11b
7.42a
Kadar abu (% bk)
4.39a
6.26b
5.03b
Nilai pH
5.58a
5.96a
5.73a
Kadar sulfat (% bk)
1.86a
3.82b
3.48b
317.75a
241.95a
274.90a
Kekuatan gel (g/cm2)
26
4.2.1 Rendemen Bakto agar Rendemen bakto agar dihitung berdasarkan perbandingan antara bobot bakto agar kering dengan bobot rumput laut kering yang digunakan. Bahan baku yang digunakan dalam setiap ulangannya berjumlah 100 gram rumput laut kering. Berdasarkan data hasil penelitian, rendemen bakto agar yang diperoleh masih tergolong kecil. Dari ketiga jenis pengeringan, rendemen bakto agar yang paling tinggi dihasilkan oleh pengering oven. Rendemen bakto agar yang dihasilkan oleh pengering oven adalah 9.93% , pengering semprot 2.43% , dan pengering drum 7.22% . Analisis ragam pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa ketiga perlakuan pengeringan pada α=0.05 memberikan pengaruh yang signifikan terhadap rendemen bakto agar yang dihasilkan. Rendemen yang dihasilkan berbeda-beda pada setiap jenis pengering. Rendemen bakto agar tertinggi diperoleh melalui jenis pengering oven. Pengering oven menggunakan suhu yang tidak terlalu tinggi yaitu 50oC. Pada jenis pengering ini, kemungkinan terjadinya kehilangan bobot sangat sedikit. Hal ini disebabkan karena dalam proses pengeringannya filtrat agar yang telah menjadi gel diletakkan langsung diatas wadah aluminium dan kemudian langsung dikeringkan, sehingga rendemen bakto agar yang dihasilkan mendapatkan hasil yang paling tinggi. Pada pengering drum, filtrat agar dikeringkan langsung pada lempengan drum yang bersuhu lebih dari 90oC. Pada alat pengering drum, hasil produk tepung banyak mengalami kehilangan bobot pada alat pengering tersebut. Tekstur tepung yang dihasilkan lebih ringan dan sangat mudah terbang, sehingga hal tersebut juga dapat mengurangi rendemen bakto agar. Namun demikian, rendemen yang dihasilkan masih cukup baik dibandingkan dengan rendemen yang dihasilkan oleh pengering semprot. Pada pengering semprot yang menghasilkan rendemen yang sangat kecil, dilakukan pada suhu tinggi yaitu pada suhu inlet 180oC dan suhu outlet 85oC namun dengan kontak waktu yg cukup cepat. Tingkat kekentalan filtrat yang masuk melalui pengering semprot cukup kental, sehingga sering terjadi penyumbatan pada nozzle karena terdapatannya lapisan tipis gel agar pada nozzle. Kendala teknis tersebut mengakibatkan proses pengeringan terhenti dan filtrat agar banyak yang terbuang. Analisis rendemen produk bakto agar yang diperoleh melalui ketiga proses pengeringan yaitu oven, drum, dan semprot memiliki jumlah rendemen yang berbeda. Oleh karena itu, untuk menghasilkan bakto agar dengan rendemen yang baik, tidak disarankan untuk menggunakan jenis pengering semprot. Jenis pengering semprot tidak cocok untuk jenis filtrat bakto agar. Jenis pengering oven atau drum memiliki nilai rendemen yang tinggi sehingga cocok digunakan untuk proses pengeringan filtrat agar. 4.2.2 Kadar Air Berdasarkan hasil pengujian kadar air pada bakto agar diperoleh bahwa kadar air tertinggi diperoleh pada bakto agar yang dihasilkan dengan pengering oven. Pada jenis pengering oven, kadar air yang dihasilkan adalah 14.03%. Pada jenis pengering semprot, kadar air yang dihasilkan adalah 9.11%. Pada jenis pengering drum, kadar air yang dihasilkan adalah 7.42%. Analisis ragam pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa semua perlakuan pengeringan pada α=0.05 memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar air bakto agar yang dihasilkan. Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan dengan menggunakan pengering drum berbeda signifikan dengan perlakuan pengeringan lainnya. Pembuatan bakto agar pada penelitian ini menggunakan jenis pengering secara mekanik. Menurut Taib et al. (1988), pada pengeringan secara mekanik, faktor-faktor seperti suhu, kelembaban
27
udara, dan aliran udara dapat mempengaruhi proses pengeringan yang berlangsung. Faktor-faktor tersebut diduga sebagai penyebab terjadinya perbedaan kadar air pada produk bakto agar. Nilai kadar air yang terdapat pada bakto agar sudah memenuhi standar mutu bakto agar Serva menurut ISO 9001 yang dikutip dalam Abdullah (2004). Kadar air yang diperbolehkan adalah ≤ 15%. Menurut Winarno (1995), semakin sedikit kandungan kadar air dalam bahan maka kemungkinan kerusakan bahan oleh mikroorganisme akan semakin kecil. Kadar air mempengaruhi daya tahan suatu bahan dan menunjukkan kestabilan serta indeks mutu bahan pangan. Kandungan air dalam bahan akan mempengaruhi daya tahan bahan terhadap serangan mikroorganisme. Bakto agar yang diperoleh melalui pengeringan drum, kadar airnya dipengaruhi oleh tekanan uap, suhu permukaan drum, dan waktu kontak (Indriani 2000). Kadar air yang dihasilkan oleh pengering drum memiliki nilai yang rendah karena tekanan uap yang tinggi, suhu permukaan drum yang lebih tinggi, dan waktu kontak sehingga penguapan air yang terjadi lebih banyak. Bakto agar yang diperoleh dengan pengering oven memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengering drum dan semprot. Pengering oven menggunakan suhu yang tidak terlalu tinggi yaitu pada suhu 50oC, sehingga jumlah air yang terdapat pada bahan tidak teralu banyak teruapkan seperti pada jenis pengering lainnya. Bakto agar yang diproses dengan pengering semprot, kadar airnya dipengaruhi oleh suhu inlet dan outlet pada pengering semprot. Suhu inlet yang tinggi menentukan kapasitas dari pengeringan. Dengan suhu inlet yang lebih tinggi, maka efisiensi panas dari pengering akan semakin tinggi pula, dan jumlah air yang diuapkan akan semakin banyak. Walaupun efisiensi yang tinggi akan tercapai bila suhu inlet semakin tinggi, namun ada batasan suhu tertinggi yang masih dapat digunakan untuk dapat menghasilkan produk terbaik. Peningkatan suhu pada outlet akan menurunkan kandungan air pada aliran udara pengering konstan (Indriany 2000). 4.2.3 Kadar Abu Nilai kadar abu yang diperoleh berkisar antara 4.39-6.26%. Bakto agar yang dihasilkan dari perlakuan pengering oven, semprot, dan pengering drum adalah 4.39%, 6.26%, dan 5.03%. Analisis ragam pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa semua perlakuan pengeringan baik pengering oven, pengering semprot, atau pengering drum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar abu pada bakto agar yang dihasilkan. Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa perlakuan pengering oven berbeda signifikan dengan perlakuan pengering semprot dan pengering drum. Abu atau mineral merupakan komponen yang tidak mudah menguap pada waktu pembakaran dan pemijaran senyawa organik atau bahan alam, sedangkan kadar abu dalam bahan pangan ditetapkan dengan menimbang sisa mineral sebagai hasil pembakaran bahan organik (Fardiaz 1986). Kadar abu yang terkandung dalam suatu produk menunjukkan tingkat kemurnian produk tersebut. Tingkat kemurnian dipengaruhi oleh komposisi dan kandungan mineral. Unsur-unsur mineral seperti natrium, khlor, kalsium, fosfor, magnesium, belerang, dan sebagainya, yang dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Pada proses pembakaran, bahan-bahan organik akan terbakar, sedangkan zat anorganik tidak terbakar tapi membentuk abu (Abdullah 2004). Kadar abu yang diperbolehkan pada standar bacto Difco adalah maksimum 6.5%. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa produk bakto agar dari ketiga jenis perlakuan pengeringan tersebut telah memenuhi standar yang diperbolehkan pada parameter kadar abu. Hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat pengotor pada filtrat agar telah tereduksi oleh absorben kitosan.
28
4.2.4 Nilai pH Nilai pH media pertumbuhan mikroorganisme sangat mempengaruhi jasad renik yang dapat tumbuh. Jasad renik pada umumnya dapat tumbuh pada kisaran pH 3-6 dan mendekati netral. Bakto agar yang dihasilkan oleh perlakuan pengering oven, pengering semprot, dan pengering drum menghasilkan nilai pH 5.58, 5.96, dan 5.73. Analisis ragam pada Lampiran 7 menunjukkan bahwa semua perlakuan pengeringan baik pengering oven, pengering semprot, dan pengering drum tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai pH pada bakto agar yang dihasilkan. Berdasarkan data tersebut, nilai pH tidak memberikan pengaruh terhadap jenis pengringan, hal ini disebabkan oleh seluruh proses ekstraksi menggunakan praperlakuan yang sama yaitu perendaman dengan larutan asam asetat 1%. Standar mutu nilai pH agar bakto serva yang ditetapkan dalam ISO 9001 berkisar antara 5.5-7 (Gelrite 2003 dalam Abdullah 2004). Berdasarkan data hasil pengujian, nilai pH yang dihasilkan dari ketiga jenis pengering berkisar antara 5.58-5.96, sehingga nilai pH yang dihasilkan oleh ketiga perlakuan pengeringan ini sudah memenuhi standar bakto agar yang sudah komersial yaitu mendekati netral. 4.2.5 Kadar Sulfat Sulfat merupakan salah satu zat pengotor dalam agar-agar yang dapat menghambat proses terbentuknya gel. Penurunan kadar sulfat dalam penelitian ini dilakukan dengan perlakuan sebelum ekstraksi yaitu dengaan proses perendaman dengan larutan asam asetat 1%. Selain itu, penurunan kadar sulfat juga dilakukan dengan penambahan absorben kitosan sebanyak 1% dalam filtrat agar selama 45 menit pada tahap pemurnian. Berdasarkan data hasil pengujian, kadar sulfat yang dihasilkan oleh perlakuan pengering oven adalah 1.86%. Pada perlakuan pengering semprot kadar sulfat yang dihasilkan adalah 3.82%, sedangkan kadar sulfat yang dihasilkan oleh pengering drum adalah 3.48%. Pada pengujian ini, kontrol yang berupa bakto agar Difco juga diuji kadar sulfatnya. Hasil pengujian kadar sulfat pada kontrol bakto agar Difco adalah 0.73%. Analisis ragam pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa semua perlakuan pengeringan baik pengering oven, pengering semprot, maupun pengering drum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar sulfat pada bakto agar yang dihasilkan. Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan dengan menggunakan jenis pengering oven berbeda signifikan dengan jenis pengering semprot dan pengering drum. Pada pengering semprot dan pengering drum, filtrat bakto agar berkontakan dengan suhu yang cukup tinggi, diduga dapat berpengaruh pada kadar sulfat yang dihasilkan. Meskipun pengeringan dilakukan dengan suhu tinggi, namun waktu kontak alat pengering dengan filtrat bakto agar cukup singkat sehingga sulfat yang tertinggal pada filtrat ikut terbawa pada tepung bakto agar. Hasil penelitian Abdullah (2004), tepung bakto agar yang diperoleh dengan perlakuan asam asetat 1% dan absorbsi kitosan selama 45 menit menghasilkan kadar sulfat 1.1% (dengan pengering tray). Kadar sulfat yang dihasilkan masih tergolong tinggi. Pada produk bakto agar yang dihasilkan pada penelitian ini, nilai kadar sulfat yang mendekati bakto agar kontrol adalah bakto agar dengan perlakuan pengering oven.
29
Kadar sulfat dalam agar dapat dipengaruhi oleh perbedaan jenis dan asal rumput laut, metode ekstraksi, serta umur panen. Peningkatan umur panen dapat memberi respon terhadap penurunan kandungan sulfat (Suryaningrum 1988). Proses ekstraksi mempengaruhi kadar sulfat dari rumput laut karena pada proses ekstraksi komponen agar yang berisis sulfat keluar dari sel rumput laut. Gugus sulfat pada alga penghasil agar terakumulasi pada dinding sel dari alga. Sulfat terikat bersama-sama dengan agar dan gugus sulfat disekresikan oleh badan golgi dari sel alga penghasil agar (Phillip dan William 2000). Sulfat yang terdapat pada salah satu komponen pembentuk agar yaitu agaropektin sebagai garam sulfat dalam rumput laut. Menurut Abdullah (2004), kandungan sulfat yang tinggi dapat membuat agar pada media pertumbuhan mikroorganisme berubah warna pada proses inkubasi. Perubahan warna dapat menghalangi penyerapan nutrien dan menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme tidak optimum. 4.2.6 Kekuatan Gel Pengujian kekuatan gel pada produk bakto agar dilakukan dengan melarutkan bakto agar dalam air hangat dengan konsentrasi 1.5% sesuai dengan konsentrasi bakto agar Difco yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil pengujian, kekuatan gel yang diperoleh dengan menggunakan pengering oven, pengering semprot, dan pengering drum adalah 203 g/cm2, 122.8 g/cm2, dan 138.1 g/cm2. Sebagai kontrol, dilakukan juga pengujian terhadap kekuatan gel pada bakto agar Difco. Dari hasil pengujian diketahui bahwa kekuatan gel pada bakto agar Difco adalah 404.4 g/cm2. Secara keseluruhan, nilai kekuatan gel yang dihasilkan jauh di bawah kekuatan gel bakto agar Difco. Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi rendahnya kekuatan gel. Menurut Suryaningrum (1989), kekuatan gel dapat dipengaruhi oleh bahan baku rumput laut yang digunakan, habitat (tempat tumbuh) rumput laut, musim, cara budidaya, umur panen, dan juga metode ekstraksi yang digunakan. Kontrol bakto agar yang digunakan merupakan bakto agar yang sudah komersial yaitu bakto agar Difco yang dibuat dari ekstrak rumput laut jenis Gelidium (Manual Difco 2012). Formulasi konsentrasi gel dilakukan untuk memperoleh kekuatan gel yang dapat mendekati nilai kekuatan bakto agar Difco. Pada penelitian ini, produk bakto agar diaplikasikan pada pembuatan media pertumbuhan mikroorganisme. Konsentrasi bakto agar diformulasikan pada konsentrasi 2% dan 2.5%. Kekuatan gel yang dihasilkan dengan perlakuan pengering oven pada konsentrasi 2% adalah 282.9 g/cm2 sedangkan pada konsentrasi 2.5% adalah 330.7 g/cm2. Kekuatan gel yang dihasilkan dengan perlakuan pengering semprot pada konsentrasi 2% adalah 185.5 g/cm2 dan pada konsentrasi 2.5% adalah 222.2 g/cm2. Kekuatan gel yang dihasilkan dengan perlakuan pengering drum pada konsentrasi 2% adalah 214 g/cm2, sedangkan pada kionsentrasi 2.5% nilai kekuatan gelnya adalah 280 g/cm2. Berdasarkan data hasil formulasi, kekuatan gel yang mendekati bakto agar Difco adalah bakto agar yang diperoleh melalui pengering oven dengan konsentrasi 2.5%. Dalam tahapan penelitian selanjutnya, aplikasi produk bakto agar akan diujikan dengan konsentrasi 2.5% disetiap produk bakto agar. Berdasarkan data hasil formulasi, kekuatan gel yang mendekati bakto agar Difco adalah bakto agar yang diperoleh melalui pengering oven dengan konsentrasi 2.5%. Analisis ragam pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa semua perlakuan pengeringan baik pengering oven, pengering semprot, ataupun pengering drum pada konsentrasi 2.5% tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai kekuatan gel bakto agar yang dihasilkan. Berdasarkan data tersebut, perlakuan pengeringan dengan pengering oven, semprot, maupun pengering drum tidak merusak kekuatan gel yang terdapat pada filtrat awal bakto agar. Kekuatan gel yang dihasilkan oleh perlakuan pengering oven merupakan gel yang paling baik diantara semua perlakuan pengeringan. Metode pengeringan dengan menggunakan pengering jenis
30
oven atau tray merupakan metode pengeringan yang diterapkan pada industri agar-agar. Suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi, sehingga dapat mengurangi kerusakan pada agar-agar. Hasil kekuatan gel yang diperoleh dengan menggunakan pengering semprot tidak jauh berbeda dengan kekuatan gel yang dihasilkan oleh pengering drum. Menurut Buckle (1987), produk yang dihasilkan dengan pengering semprot akan mengalami kerusakan yang kecil karena waktu pengeringan yang singkat dan terjadinya pendinginan pada waktu penguapan yang berlangsung selama pengeringan. Bila kekuatan gel yang dihasilkan antara pengering semprot dan drum tidak terlalu berbeda maka dapat dikatakan bahwa bakto agar mengalami kerusakan yang kecil dan perlakuan pengeringan tidak mempengaruhi kekuatan gel yang dihasilkan.
4.3
Aplikasi Produk Bakto Agar
Media berfungsi untuk menumbuhkan mikroorganisme, isolasi, memperbanyak jumlah, menguji sifat-sifat fisiologi dan perhitungan jumlah mikroorganisme, dimana dalam proses pembuatannya harus disterilisasi dan menerapkan metode aseptis untuk menghindari kontaminasi pada media. Produk bakto agar yang dihasilkan oleh ketiga jenis pengering diaplikasikan dalam pembuatan media pertumbuhan mikroorganisme. Bakto agar dimanfaatkan sebagai agen pembentuk gel. Dalam penggunaannya sebagai agar mikrobiologi, perlu tambahan nutrisi untuk mendukung pertumbuhan mikroorganisme. Pada penelitian ini, aplikasi pembuatan media dilakukan untuk membuat Nutrient Agar dan Potato Dextrose Agar. Nutrient Agar (NA) merupakan media umum yang digunakan untuk pertumbuhan mayoritas dari mikroorganisme heterotrof. Media ini juga merupakan media sederhana yang dibuat dari ekstrak daging, pepton, dan agar. Nutrient Agar merupakan salah satu media umum yang digunakan dalam prosedur bakteriologi seperti uji biasa dari air, produk pangan, untuk membawa stok kultur, untuk pertumbuhan sampel pada uji bakteri, dan untuk mengisolasi organisme dalam kultur murni. Dalam penelitian ini , Nutrient Agar dibuat dengan melarutkan nutrient broth dengan bakto agar 2.5% dalam air hangat. Nutrient broth memiliki kandungan yang sama dengan Nutrient Agar, namun digunakan sebagai media pertumbuhan mikroorganisme dalam bentuk cair. Gambar 7 memperlihatkan Nutrient Agar yang diperoleh dari penambahan nutrient broth dengan bakto agar konsentrasi 2.5%.
Gambar 7. Nutrient Agar (aplikasi penelitiian) (Dari kiri ke kanan : perlakuan pengering semprot, drum, oven, dan kontrol bakto Difco) Potato Dextrose Agar (PDA) digunakan untuk menumbuhkan atau mengidentifikasi yeast (khamir) dan kapang. Potato dextrose agar mengandung sumber karbohidrat dalam jumlah cukup yaitu terdiri dari 20% ekstrak kentang dan 2% glukosa sehingga baik untuk pertumbuhan kapang dan
31
khamir tetapi kurang baik untuk pertumbuhan bakteri. Dalam penelitian ini, potato dextrose agar dibuat dengan melarutkan Potato dextrose broth dengan bakto agar 2.5% dalam air hangat. Potato dextrose broth memiliki kandungan yang sama dengan potato dextrose agar, namun digunakan sebagai media pertumbuhan mikroorganisme dalam bentuk cair untuk menumbuhkan induk kapang atau khamir. Gambar 8 merupakan potato dextrose agar yang diperoleh dari penambahan potato dextrose broth dengan bakto agar konsentrasi 2.5%.
Gambar 8. Potato Dextrose Agar (aplikasi penelitian) (Dari kiri ke kanan : perlakuan pengering drum, oven, semprot dan kontrol bacto Difco) Kejernihan dari bakto agar yang diaplikasikan pada media agar-agar menunjukkan hasil kejernihan yang sedikit keruh dibandingkan dengan kontrol bacto Difco. Hal ini dapat disebabkan bakto agar yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki kadar sulfat yang tinggi dibandingkan dengan bakto agar Difco. Kekeruhan yang terjadi juga dapat disebabkan oleh proses filtrasi atau penyaringan yang tidak maksimal sehingga terdapat beberapa zat pengotor yang ikut masuk pada filtrat bakto agar. Tabel 12 memperlihatkan tingkat kejernihan produk bakto agar pada aplikasinya dalam pembuatan nutrient agar dan potato dextrose agar. Tabel 12. Tingkat Kejernihan Bakto Agar dalam Tahap Aplikasi Perlakuan Pengeringan
Tingkat Kejernihan NB + Bakto Agar
PDB + Bakto Agar
Pengering Oven
++++
++++
Pengering Semprot
+++
+++
Pengering Drum
++
++
+++++
+++++
Kontrol Bakto Difco
Keterangan : tanda plus (+) menunjukkan tingkat kejernihan Kejernihan yang palik baik terdapat pada bakto agar yang dihasilkan oleh jenis pengering oven. Pada jenis pengering oven, kadar sufat yang dihasilkan merupakan kadar sulfat yang paling rendah nilainya dibandingkan dengan kadar sulfat yang dihasilkan oleh bakto agar dari jenis pengering lainnya, sehingga tingkat kejernihannya hampir mendekati kontrol bakto agar Difco. Bakto agar selanjutnya diujikan pada uji total mikroorganisme (Total Plate Count). Menurut Fardiaz (1992), uji total mikroba pada aplikasi media kultur dilakukan karena mikroorganisme merupakan salah satu kelompok jasad renik yang sangat penting yang berhubungan dengan bahan
32
pangan pada manusia. Semua mikroorganisme yang tumbuh pada makanan bersifat heterotropik, yaitu membutuhkan zat organik untuk pertumbuhannya. Jika mikroorganisme tumbuh pada bahan pangan, mikroorganisme tersebut dapat menyebabkan perubahan pada penampakan maupun komposisi kimia serta cita rasa pangan tersebut. Pada penelitian ini, media Nutrient Agar digunakan untuk menguji total mikroorganisme pada pertumbuhan bakteri E. coli, sedangkan media Potato Dextrose Agar digunakan untuk menguji total mikroba pada khamir. Tabel 13 memperlihatkan jumlah sel E.Coli dan S. cerevisiae pada uji total mikroorganisme. Tabel 13. Hasil Uji Total Mikroorganisme Perlakuan Pengeringan
Jumlah sel E.Coli (CFU/g)
Jumlah sel S. cerevisiae (CFU/g)
NB + Bakto Agar
PDB + Bakto Agar
Pengering Oven
3.1 x 10
6.5 x 108
Pengering Semprot
4.1 x 108 a
6.9 x 108 a
Pengering Drum
2.2 x 108 a
7.5 x 108 a
Kontrol Bakto Agar
4.2 x 108 a
5.7 x 108
Kontrol Negatif
8a
-
a
a
-
Analisis ragam pada Lampiran 10 menunjukkan bahwa semua perlakuan pengeringan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan E. coli ataupun S. cerevisiae. Jumlah sel E. coli pada uji total mikroorganisme memiliki jumlah diantara (2.2 - 4.1) x 108 CFU/g. Kontrol Nutrient Agar, diperoleh jumlah sel E. coli sebesar 4.2 x 108 CFU/g. Pada perlakuan pengering semprot diperoleh jumlah sel E. coli sebesar 4.1 x 108 CFU/g yang memiliki jumlah sel yang hampir mendekati kontrol. Jumlah sel S. cerevisiae pada uji total mikroorganisme memiliki jumlah diantara (6.5 – 7.5) x 108 CFU/g. Berdasarkan data hasil pengujian, jenis pengering oven memiliki jumlah sel yang hampir mendekati kontrol. Produk bakto agar yang diaplikasikan pada penelitian ini, sudah mampu menumbuhkan mikroorganisme yang diinginkan. Jumlah sel yang ditunjukkan pada Tabel 9, memperlihatkan bahwa bakto agar dengan konsentrasi 2.5% dan penambahan nutrien dapat menumbuhkan E. coli dan S. Cerevisiae. Kontrol negatif (bakto agar tanpa diberi tambahan nutrisi baik PBD atau NB) menunjukkan bahwa tidak ada pertumbuhan mikroorganisme baik E.coli ataupun S. cerevisiae pada saat proses inkubasi. Hasil Koloni S. cerevisiae terbentuk setelah mengalami inkubasi selama 72 jam pada media potato dextrose agar. Seri pengenceran induk khamir dilakukan hingga pengenceran seri 10-7. Inokulasi dilakukan dengan metode tuang dengan seri pengenceran 10-6 dan 10-7. Koloni khamir berbentuk bulat, menyebar terpisah, dan memliki ukuran yang cukup besar dibandingkan dengan koloni bakteri E. coli. Koloni bakteri E. coli terbentuk setelah mengalami inkubasi selama 24 jam pada media nutrient agar. Seri pengenceran induk E. coli dilakukan hingga pengenceran seri 10-7. Inokulasi dilakukan dengan metode tuang dengan seri pengenceran 10-6 dan 10-7. Koloni bakteri yang dihasilkan berbentuk bulat, namun ukuran koloni yang lebih kecil dibandingkan dengan koloni khamir yang dihasilkan dan dapat dilihat pada Lampiran 11. Pada tahap aplikasi, seri pengenceran 10-6 dan 10-7 pada S. cerevisiae ataupun bakteri E. coli sudah dapat menumbuhkan sel mikroorganisme baru dengan terbentuknya koloni pada agar cawan. Jumlah koloni yang dihasilkan oleh seri pengenceran 10-6 lebih banyak dibandingkan dengan seri pengenceran 10-7 pada khamir ataupun E.coli. Rekap data jumlah koloni dan perhitungan jumlah sel
33
yang dihasilkan pada tahap aplikasi ini dapat dilihat pada Lampiran 2. Dalam tahap aplikasi, produk bakto agar yang dihasilkan oleh ketiga jenis pengeringan sudah dapat menumbuhkan mikroorganisme. Bakto agar yang dihasilkan pada penelitian ini digunakan sebagai pemadat media atau agen gelifikasi media. Penambahan nutrien pada media terbukti dapat menumbuhkan mikroorganisme yang ingin diuji. Pada karakterisasi bahan sebelumnya, telah diujikan bahwa pH pada bakto agar menunjukkan nilai yang hampir mendekati pH netral untuk mendukung pertumbuhan mikroorganisme.
34
V.
5.1
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Rumput laut Gracilaria verrucosa dapat diolah menjadi bakto agar dengan perlakuan pra ekstraksi yang menggunakan asam asetat. Pengeringan bakto agar dilakukan dengan menggunakan pengering oven, pengering semprot, dan pengering drum. Rendemen bakto agar yang paling tinggi dihasilkan oleh perlakuan pengering oven yaitu 9.94%. Rendemen yang dihasilkan oleh pengering semprot dan drum adalah 2.43% dan 7.23%. Kadar air yang diperoleh dari ketiga jenis pengeringan berkisar antara 14.03-7.42%. Kadar abu yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 3.31-6.27%. Nilai pH pada bakto agar yang dihasilkan berkisar antara 5.53-6.09. Kadar sulfat yang dihasilkan oleh bakto agar berkisar antara 1.79-3.92% yang dapat dikategorikan cukup besar dibandingkan dengan kontrol bakto agar Difco yang bernilai 0.73%. Nilai kadar air, kadar abu, dan nilai pH yang diperoleh menujukkan bahwa pembuatan bakto agar dengan menggunakan ketiga jenis pengering sudah memenuhi standar bakto agar Serva menurut ISO 9001. Nilai kekuatan gel pada produk bakto agar menunjukkan bahwa kekuatan gel yang dihasilkan pada konsentrasi 1.5% bernilai antara 122.8-203 g/cm2. Nilai kekuatan gel pada konsentrasi 2.5% adalah 185.5-330.7 g/cm2. Kekuatan gel terendah dihasilkan oleh perlakuan pengering semprot dan kekuatan gel tertinggi dihasilkan oleh perlakuan pengering oven. Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap rendemen, kadar air, kadar abu, dan kadar sulfat, dan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai pH dan kekuatan gel. Aplikasi pembuatan media dilakukan untuk membuat Nutrient Agar dan Potato Dextrose Agar. Jumlah sel E. coli pada uji total mikroorganisme memiliki jumlah diantara (2.2 - 4.1) x 108 CFU/g. Jumlah sel S. cerevisiae pada uji total mikroorganisme memiliki jumlah diantara (6.5 – 7.5) x 108 CFU/g. Hasil analisis ragam menunujukkan bahwa perlakuan pengeringan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Produk bakto agar yang diaplikasikan pada penelitian ini, sudah mampu menumbuhkan mikroorganisme yang diinginkan. Jumlah sel tersebut menunjukkan bahwa bakto agar dengan konsentrasi 2.5% dan penambahan nutrien dapat menumbuhkan mikrooganisme E. coli dan S. Cerevisiae.
5.2
SARAN
Dalam penelitian “Pemanfaatan Rumput Laut Gracilaria verrucosa Sebagai Produk Bakto Agar”, penulis menyarankan beberapa hal untuk penelitian selanjutnya, yaitu : 1.
Kadar sulfat yang dihasilkan masih tinggi, sehingga perlu dilakukan pencarian metode penurunan kadar sulfat, sehingga dapat menghasilkan kekuatan gel yang baik.
2.
Pemanfaatan rumput laut jenis Gracilaria verrucossa sebagai produk agar ataupun bakto agar dapat dilakukan penggandaan skala pada penelitian selanjutnya. Disarankan untuk menggunakan jenis pengering oven atau drum dalam proses pembuatan bakto agar.
35
DAFTAR PUSTAKA Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Official Anayitycal of Chemist. Arlington, Virginia, USA: Published by The Association of Official Analytical Chemist, Inc. Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc. Abdullah A. 2004. Pengaruh Penambahan Khitosan terhadap Mutu Agar Bakto (Bacto Agar). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. 75 pp. Aschtanasia Y. 2010. Manajemen mutu pada proses pengeringan ikan teri nasi (Stolephorus spp). http://fpk.unair.ac.id/webo/kuliah-pdf/MANAJEMEN%20MUTU%20PADA%20PROSES% 20PENGERINGAN%20(PP)%20%5BCompatibility%20Mode%5D.pdf. [28 Juni 2012]. Amnidar. 1989. Mempelajari Pengaruh Konsentrasi NaOH dan Waktu pada Perlakuan Alkali terhadap Mutu Agar-Agar dari Rumput Laut Gracilaria verrucosa. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. 70 pp. Anggadireja J.T, Zatnika A, Purwoto H, Istini S, 2006. Rumput Laut. Jakarta : Penebar Swadaya. Angka S.L., Suhartono M.T. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. PKSPL Institut Pertanian Bogor. Bogor. Angkasa W.I, Purwoto H, Anggadireja J.T. 2011. Teknik Budidaya Rumput Laut. http://kenshuseidesu.tripod.com/id49.html [28 Desember 2011] Armeidy. 1992. Pengaruh Konsentrasi Asam dan Lama Perendaman terhadap Rendemen dan Mutu Agar Gracilaria verrucosa. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Armisen. R. Galatas F. 2000. Agar in Hand Book of Hydrocolloid. Phillip GO William PA. Ed. England. Woodhead PublishingLtd.p 230-245 Aslan L. M. 1991. Budidaya Rumput Laut. Yogyakarta. PT Kanisius. Atmaja W. S. 1991. Potensi dan Spesifikasi Junis Rumput Laut di Indonesia. Makalah pada Prosiding Temu Karya Ilmiah Teknologi Pasca Panen Rumput Laut, 11-12 Maret. Buku II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta. Hal 1-13. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Jakarta. Badan Standarisasi Nasional. 1992. Cara uji makanan dan minuman SNI 01-2891-1992. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Badger W.L, Banchero J.T. 1988. Introduction of Chemical Engineering. Mc Graw Hill Kongakusha, Ltd. Bailey S E. Olin T J. Bricka R M and Adrian D D. 1997. Review of Potentially Low Cost Sorbents for Heavy Metals. Water Researches. 33. No 11 pp 2469-2474. Bluestein P.M, Labuza T.P. 1989. Pengaruh Turunnya Kadar Air Terhadap Zat Gizi. Di Dalam Evaluasi Gizi pada pengolahan Pangan. Editor R.S. harris dan E. Karmas. Terjemahan S. Achmandi. Penerbit ITB Bandung. Brennan J.G. 1974. Food Engineering Operation. Applied Science Publ. Ltd. London. Buckle KA. 1987. Ilmu Pangan. Penerbit UI. Jakarta. Chapman V.J. 1970. Seaweeds and Their Uses. Methen and Co.Ltd. New York. Chapman V.J and D.J Chapman, 1980. Seaweed and Their Uses. Chapman and Hill. London, 333 pp. Desrosier N. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Ui Press. Jakarta.
36
Eskin H.A.M., Henderson H.M., and Towsend R.J., 1971. Biochemistry of Food. Academic Press, Inc., Orlando, Florida. FAO. 1990. Training Manual on Gracilaria Culture and Seaweed Processing in China. http://www.fao.org/docrep/field/003/AB730E/AB730E00.htm. [11 Juni 2012] Fardiaz D, Apriyantono A, Budiyanto S, dan Puspitasari NL. 1986. Penuntun Praktikum Analisa Pangan. Jurusan teknologi Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fitri E. 1992. Isolasi Agarosa dengan Metode Polietilen likol (PEG Method) dari Agar-Agar Gracilaria sp. Skripsi Teknologi Industri Pertanian. IPB. Bogor. Food Chemical Codex. 1981. Carrageenan. National Academy Press Washington. p 74 -75. Furia T. E. 1980. Handbook of Food Additives Volume I. 2nd Edition. CRC Press Inc. Boca-Raton, Florida. Glicksman M. 1983. Food Hydrocolloids. Vol. II. CRC Press. Inc. Boca Raton, Florida. 199 p. Guiseley KB, Stanley NF, Whitehouse PA. 1980. Carrageenan. Di dalam: Davids RL (editor). Hand Book of Water Soluble Gums and Resins. New York, Toronto, London: Mc Graw Hill Book Company. p 125-142. Goodwin, T. W. 1974. Carotenoids and Billiprotein dalam Algal Physiology and Biochemistry. Editor W. D. P Steward. Blackwell Scientific Publication. London. Heldman D. R, Singh R P. 1981. Food Processing Engineering. AVI Publ Co, Inc. Westport. Connecticut. Indriany R. 2000. Modifikasi Proses Pembuatan Tepung Agar-agar dengan Menggunakan Pengering Semprot (Spray Dryer) dan Pengering Drum (Drum Dryer). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB. Bogor. Irawati A. 1994. Pengaruh Jumlah Air dan Waktu Ekstraksi terhadap Rendemen dan Mutu Tepung Agar-agar dari Rumput Laut Gracilaria sp. Skripsi. Fakultas Perikanan, IPB. Bogor. Kadi A. dan W. S. Atmadja. 1988. Rumput Laut (Algae) : Jenis, Reproduksi, Budidaya, dan Pasca Panen. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI. Jakarta. 71 hal. Kosasih R., dan E. Suprijatna. 1967. Pembuatan dan Pemurnian Agar-agar. Komunikasi No.4. Akademi Kimia Analis. Bogor. Master k. 1979. Spray Drying Handbook. John Wiley and Sons Co. New York. Phillip G.O, William P.A. 2000. Handbook of Hydrocolloids. CRC Press. WoodHead Publishing Limited. Cambridge. England. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 1991. Prosiding Temu Skripsi Teknologi Pasca Panen Rumput Laut, 11-12 Maret. Buku II. Departemen Pertanian. 172 hal. Priatama, H. D. 1989. Mempelajari Pengaruh Penambahan NaOH dan KCl terhadap Rendemen dan Mutu Agar-agar dari Rumput Laut Gracilaria sp. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Rasyid A., R. Rachmat, dan Murniasih T. 1998. Karakterisasi Polisakarida Agar dari Gracilaria sp. Dan Gelidium sp. Makalah disajikan dalam Forum Komunikasi I. Ikatan Fikologi Indonesia (IFI). Serpong, 8 September 1999. p. 57 – 62 Renn D.W. 1986. Uses of Marine algal in biotechnology and Industry. Dalam Workshop on Marine Algal Biotechnology, National Academic Press, Washington D.C. 108p. Selby H.H. and W.H. Wynne, 1973. Agar Dalam Industrial Gums. R.L Whistler and J.M BeMiller (eds.), Academic Press, New York, 807p. Soegiarto A., W.S. Atmadja, Sulistijo dan H. Mubarak, 1978. Rumput Laut (Algae); Manfaat, Potensi dan Usaha Budidayanya. Lembaga Oseanologi Nasional LIPI, Jakarta, 61 hal.
37
Sukamulyo S. 1989. Mempelajari Cara Ekstraksi dengan Pra Perlakuan Asam dalam pembuatan Agar-Agar dari Gelidium sp. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian. IPN. Bogor. Suptijah P, Hardjito L, Haluan J, Wijaya M.T. 2010. Kitosan Sebagai Absorben Impurity Dalam Pembuatan Agar Media. Jurnal Sumberdaya Pertanian Vol. 4 No.2. IPB. Bogor Suptijah P. 2012. Pengembangan Kitosan Sebagai Absorben Impurity Dalam Aplikasi Pemurnian Agar dan Karagenan. Skripsi. Fakultas Perikanan, IPB. Bogor. Suryaningrum T.D. 1988. Kajian Sifat-Sifat Mutu Komoditi Rumput Laut Budidaya Jenis E. Cottoni dan E. Spinosum. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Suryaningrum T.D, J. T. Murtini, S. Wibowo dan M. Suherman. 1994. Kajian Sifat Fisik dan Organoleptik Tepung Agar-agar dari Rumput Laut Gracilaria Tambak. Jurnal Penelitian Pasca Panen Perikanan No. 83 Hal. 1-12. Susanto M, Lappas P, dan S. Endang, 1978. Penelitian Agar-Agar pada bermacam-macam Jenis Sango-Sango (Rumput Laut) di Sepanjang Pantai Makasar. Balai Penelitian Kimia, Ujung Pandang, 31 hal. Taib G, Sa’id E.G, Wiraatmadja S. 1988. Operasi Pengering Pada pengolahan Hasil Pertanian. PT Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Walpole R.E. 1993. Pengantar Statistika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Winarno F.G. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 112 pp. Winarno F.G. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Utama. Jakarta.
38
LAMPIRAN
39
Lampiran 1. Prosedur Analisis Bahan Baku dan Karakteristik Produk bakto Agar a) Penetapan Kadar Air dengan Metode Oven (AOAC 2005) Analisis kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Prinsipnya adalah menguapkan molekul air (H2O) bebas yang ada dalam sampel. Kemudian sampel ditimbang sampai didapat bobot konstan yang diasumsikan semua air yang terkandung dalam sampel sudah diuapkan. Selisih bobot sebelum dan sesudah pengeringan merupakan banyaknya air yang diuapkan. Prosedur analisis kadar air sebagai berikut: cawan yang akan digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100-105oC, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 gram dalam cawan yang sudah dikeringkan (B) kemudian dioven pada suhu 100-105oC selama 6 jam lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (C). Tahap ini diulangi hingga dicapai bobot yang konstan. Kadar air dihitung dengan rumus:
b) Penetapan Kadar Abu dengan Metode Oven (AOAC 2005) Analisis kadar abu dilakukan menggunakan metode oven. Prinsipnya adalah pembakaran atau pengabuan bahan-bahan organik yang diuraikan menjadi air (H 2O) dan karbondioksida (CO2) tetapi zat anorganik tidak terbakar. Zat anorganik ini disebut abu. Prosedur analisis kadar abu sebagai berikut: cawan yang akan digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100-105oC, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang sudah dikeringkan (B) kemudian dibakar di atas nyala pembakar sampai tidak berasap dan dilanjutkan dengan pengabuan di dalam tanur bersuhu 550-600oC sampai pengabuan sempurna. Sampel yang sudah diabukan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C). Tahap pembakaran dalam tanur diulangi sampai didapat bobot yang konstan. Kadar abu dihitung dengan rumus:
c) Analisis Kadar Lemak (AOAC 2005) Analisis kadar lemak dilakukan dengan metode sokhlet. Prinsipnya adalah lemak yang terdapat dalam sampel diekstrak dengan menggunakan pelarut lemak non polar. Prosedur analisis kadar lemak sebagai berikut: labu lemak yang akan digunakan dioven selama 30 menit pada suhu 100105 0C, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 gram (B) lalu dibungkus dengan kertas saring, ditutup dengan kapas bebas lemak dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi sokhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak yang telah dioven dan diketahui bobotnya. Pelarut heksan atau pelarut lemak lain dituangkan sampai sampel terendam dan dilakukan refluks atau ektraksi lemak selama 5-6 jam atau sampai palarut lemak yang turun ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut lemak yang telah digunakan, disuling dan ditampung setelah itu ekstrak lemak yang ada dalam labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 100-105 0C selama 1 jam, lalu labu lemak didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C). Tahap
40
pengeringan labu lemak diulangi sampai diperoleh bobot yang konstan. Kadar lemak dihitung dengan rumus:
d) Analisis Kadar Protein (AOAC 1995) Prinsip metode ini adalah senyawa nitrogen diubah menjadi ammonium sulfat oleh H2SO4 pekat. Ammonium sulfat yang terbentuk diuraikan dengan NaOH. Amoniak yang dibebaskan diikat dengan asam borat dan kemudian dititrasi dengan larutan baku asam. Sejumlah 0.1 gram bahan baku dan satu gram katalis (Na2SO4 : CuSO4) dimasukkan ke dalam labu kjedahl, kemudian ditambahkan 2.5 ml H2SO4 pekat. Campuran tersebut kemudian didestruksi sampai cairan dalam labu menjadi jernih. Sampel selanjutnya didinginkan dan ditambahkan sejumlah air secara perlahan-lahan dan didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke alat destilasi yang sudah dibilas dengan air, lalu ditambahkan 15 ml NaOH 50%. Distilat ditampung dengan 25 ml HCl 0.02 N. Destilasi dilakukan sampai volume cairan penampung menjadi dua kali semula. serta indikator mengsel. Hasil destilasi selanjutnya dilakukan titrasi dengan menggunakan H2SO4 0.02 N hingga cairan berwarna ungu. Dengan cara yang sama dibuat blanko. Kadar protein dihitung dengan rumus : (
)
Keterangan : FK = Faktor konversi (6.25 untuk produk perikanan) e) Analisa Kadar Serat Kasar (SNI 01-2891-1992) Prinsip metode ini adalah ekstraksi contoh dengan asam dan basa untuk memisahkan serat kasar dari bahan lain. Sampel yang bebas lemak ditimbang sebanyak dua gram dan dipindahkan ke dalam Erlenmeyer 600 ml. Kemudian ditambahkan 50 ml larutan H 2SO4 1.25% dan dididihkan selama 30 menit dengan pendingin tegak. Selanjutnya ditambahkan NaOH 3.25% sebanyak 50 ml dan dididihkan kembali selama 30 menit. Dalam keadaan panas, saring dengan kertas saring tak berabu (kertas saring whatman) yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kemudian endapan yang tersisa dikertas saring dicuci berturut-turut dengan H2SO4 1.25% panas, air panas, dan etanol 96%. Setelah kertas saring tercuci, angkat kertas saring beserta isinya kemudian dikeringkan ke dalam oven bersuhu 105 oC selama 2 jam. Setelah kering kertas saring ditimbang dan dihitung. Kadar serat kasar dihitung dengan rumus :
Keterangan : A = bobot contoh + kertas saring setelah dioven (gram) B = kertas saring kering (gram) W = bobot contoh (gram)
41
f) Analisis Kadar Karbohidrat (by difference) Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan dengan cara by difference dengan persamaan :
Kadar karbohidrat (%) =100%-(% air+ % abu+ % protein+ % lemak) g) Penetapan Nilai pH (AOAC, 1995) Sampel dalam wadah diukur pHnya dengan menggunakan pH meter. Mula-mula pH meter dinyalakan dan kemudian dimasukkan kedalam buffer 4,31 dan pH 6,86 untuk dikalibrasi. Sampel ditimbang sebanyak 1 gram yang dilarutkan dalam 10 ml akuades dan dimasukkan ke dalam gelas ukur. Setelah itu sampel diukur dengan menggunakan pH meter. Nilai yang diperoleh dari hasil pembacaan pada pH meter selama satu menit atau sampai angka digital yang menunjukkan nilai pH tidak berubah. h) Penetapan Kadar Sulfat (AOAC 1995) Satu gram contoh dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 50 ml asam klorida 0,2 N. Erlenmeyer tersebut dipasangkan ke kondensor, dipanaskan sampai mendidih, dan direfluks selama satu jam. Setelah itu, ditambahkan 25 ml larutan hidrogen peroksida 10 % dan refluks dilanjutkan selama lima jam sampai larutan benar-benar jernih. Larutan hasil refluks dipindahkan dalam gelas piala 600 ml dan dipanaskan sampai mendidih. Tambahkan 10 ml barium klorida 10% setetes demi setetes hingga terbentuk endapan. Endapan yang terbentuk disaring bersih dengan kertas saring bebas abu. Selanjutnya endapan yang terdapat pada kertas saring dicuci dengan akuades hingga bebas klorida. Kertas saring tersebut dikeringkan dalam oven dan diabukan pada suhu 1000oC. Dalam tanur sampai didapatkan abu berwarna putih. Setelah dingin, kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan persentase kandungan sulfat dilakukan dengan rumus sebagai berikut : ( (
)
)
i) Penetapan Kekuatan Gel Larutan agar-agar disiapkan dengan konsentrasi 1,5% kemudian deipanaskan selama 10 menit sambil diaduk. Bobot total sebelum dan sesudah pemanasan dijaga konstan. Larutan panas dimasukkan ke dalam cetakan yang berdiameter 3 cm dan 4 cm. Larutan agar-agar dibiarkan membentuk gel selama satu malam. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat Texture Analyzer model TA-XT2i yang dihubungkan dengan program Texture Expert. Kekuatannya dinyatakan dalam satuan gram force (g/cm2) j) Rendemen Agar-Agar Rendemen agar dihitung berdasarkan bobot rumput laut (anhydrous weed). Perhitungan rendemen agar-agar dilakukan dengan rumus sebagai berikut :
42
k) Viskositas Pengukuran viskositas digunakan Viscometer Brookfield spindle no.2 dengan kecepatan putar 30 rpm. Sampel berupa filtrat bakto agar bersuhu 50oC dimasukkan ke dalam tabung viscometer, kemudian viscometer dinyalakan. Viskositas dipengaruhi oleh jumlah zat terlarut yang ada dalam larutan tersebut. Viskositas dihitung dengan mengalikan hasil pembacaan pada viscometer (dial reading) dengan faktor kali sesuai dengan nomor spindle dan rpm yang digunakan pada viscometer. Nilai viskositas dinyatakan dalam satuan centipoises (cP). l) Uji Mikrobiologi Total Plate Count (Fardiaz 1992) Peralatan yang digunakan untuk perhitungan TPC terlebih dahulu disterikan dengan menggunakan autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit. Peralatan dan bahan yang disterilan harus dilindungi dengan cara membungkus, menyumbat, atau menaruhnya dalam suatu wadah yang tertutup. Dalam perhitungan TPC, digunakan dua macam media yaitu media padat berupa agar dan media cair berupa larutan garam fisiologis (0.9%) yang digunakan untuk pengenceran. Pengenceran dilakukan pada tabung ulir hingga pengenceran 10 -6 atau 10-7. Biakan E.Coli dan khamir sebelumnya diinokulasi dalam nutrient broth dan potato dextrose broth dan diinkubasi pada suhu 36oC selama 24 jam. Pengenceran yang digunakan adalah pengenceran dengan seri 10 -6 dan 107. Seri pengenceran tersebut kemudian diinokulasikan pada agar cawan dengan metode tuang sebanyak 0.1 ml. Setelah dilakukan plating, agar cawan diinkubasikan dalam inkubator bersuhu 36oC selama 48 jam. Setelah 48 jam, dilakukan perhitungan jumlah koloni dengan menggunakan alat colony counter. Perhitungan jumlah sel dapat dihitung dengan rumus :
Keterangan : Satuan perhitungan jumlah sel = CFU/g FP = Faktor seri pengenceran FI = inokulasi biakan yang dituang (ml)
43
Lampiran 2. Penampakan Fisik Produk Bakto Agar No
Gambar
Keterangan
1
Produk bakto agar yang dihasilkan dengan menggunakan pengering oven.
2
Produk bakto agar yang dihasilkan dengan menggunakan pengering semprot.
3
Produk bakto agar yang dihasilkan dengan menggunakan pengering drum.
44
Lampiran 3. Data Hasil Analisa Fisiko Kimia Bakto Agar 1.
2.
Data Rendemen Bakto Agar Jenis Sampel Pengering O11 oven O12 oven Ulangan S11 spray drier 1 S12 spray drier D11 drum drier D12 drum drier O21 oven O22 oven Ulangan S21 spray drier 2 S22 spray drier D21 drum drier D22 drum drier
Data Kadar Air Bakto Agar Jenis Sampel Pengering O11 oven O12 oven Ulangan S11 spray drier 1 S12 spray drier D11 drum drier D12 drum drier O21 oven O22 oven Ulangan S21 spray drier 2 S22 spray drier D21 drum drier D22 drum drier
Rendemen (%) 9.88 8.22 2.17 2.12 4.57 5.99 11.20 10.44 2.63 2.81 8.06 8.34
Kadar Air (%) 14.49 14.30 9.58 9.07 8.87 7.74 13.60 13.73 8.87 8.90 6.84 6.22
45
3.
4.
5.
Data Kadar Abu Bakto Agar Jenis Sampel Pengering O11 oven O12 oven Ulangan S11 spray drier 1 S12 spray drier D11 drum drier D12 drum drier O21 oven O22 oven Ulangan S21 spray drier 2 S22 spray drier D21 drum drier D22 drum drier
Data Nilai pH Bakto Agar Jenis Sampel Pengering O11 oven O12 oven Ulangan S11 spray drier 1 S12 spray drier D11 drum drier D12 drum drier O21 oven O22 oven Ulangan S21 spray drier 2 S22 spray drier D21 drum drier D22 drum drier
Data kadar sulfat bakto agar Jenis Sampel Pengering O12 oven Ulangan S12 spray drier 1 D11 drum drier Kontrol Bakto Difco oven Ulangan O21 2 S22 spray drier D22 drum drier
Kadar Abu (%) 4.26 4.37 6.07 6.46 4.26 5.45 4.51 4.42 6.43 6.08 5.02 5.38
Nilai pH 5.48 5.57 6.11 6.07 5.76 5.70 5.56 5.70 5.59 6.05 5.71 5.74
Kadar Sulfat (%) 1.79 3.71 3.32 0.73 1.92 3.92 3.63
46
6.
Data kekuatan gel bakto agar Konsentrasi Sampel (%)
Ulangan 1
Ulangan 2
7.
Kekuatan Gel (gf)
Waktu (detik)
Jarak pecah (mm)
O11
1.5
203.0
5.145
5.145
O12
2.0
282.9
5.200
5.198
O13
2.5
330.7
4.645
4.624
S11
1.5
122.8
5.015
5.010
S12
2.0
185.5
4.800
4.798
S13
2.5
222.2
4.675
4.675
D11
1.5
138.1
5.805
5.805
D12
2.0
214.0
5.580
5.580
D13
2.5
280.0
5.630
5.630
Kontrol
1.5
404.4
3.150
3.150
O21
2.5
304.8
5.168
5.165
S21
2.5
261.7
5.557
5.557
D21
2.5
269.8
5.581
5.581
Data Perhitungan TPC Perlakuan
Ulangan 1
Ulangan 2
E. coli pengering oven pengering semprot pengering drum Kontrol (NB +Difco) Kontrol Negatif S. cerevisiae pengering oven pengering semprot pengering drum Kontrol (PDB + Difco) Kontrol Negatif E.coli pengering oven pengering semprot pengering drum Kontrol (NB + Difco) Kontrol Negatif S. cerevisiae pengering oven pengering semprot pengering drum Kontrol (PDB + Difco) Kontrol Negatif
Jumlah Koloni 10-6
Jumlah Koloni 10-7
Jumlah Sel-6 (CFU/g)
Jumlah Sel -7 (CFU/g)
41 63 43 84 -
10 10 7 11 -
4.10.E+08 6.30.E+08 4.30.E+08 8.40.E+08 -
2.00.E+08 2.00.E+08 1.40.E+08 2.20.E+08 -
129 110 83 70 -
16 21 73 33 -
1.29.E+09 1.10.E+09 8.30.E+08 7.00.E+08 -
3.20.E+08 4.20.E+08 1.46.E+09 6.60.E+08 -
51 61 21 50 -
6 9 5 6 -
5.10.E+08 6.10.E+08 2.10.E+08 5.00.E+08 -
1.20.E+08 1.80.E+08 1.00.E+08 1.20.E+08 -
79 83 58 64 -
10 21 7 13 -
7.90.E+08 8.30.E+08 5.80.E+08 6.40.E+08 -
2.00.E+08 4.20.E+08 1.40.E+08 2.60.E+08 -
47
Lampiran 4. Hasil Analisis Varian Pengaruh Faktor Jenis Pengeringan terhadap Rendemen Bakto Agar
a. Data Rendemen Bakto Agar Sampel Ulangan I (%) O 9.05 S 2.14 D 6.25
Ulangan II (%) 10.82 2.72 8.20
Rata-rata (%) 9.93 2.43 7.22
Standar Deviasi 1.25 0.41 1.38
b. Hasis Analisis Varian Rendemen Bakto Agar Sumber Keragaman
db
Kuadrat Jumlah
Kuadrat ratarata
F Hitung
Nilai P
F Tabel
Jenis Pengeringan
2
57.77410
28.8871
23.834
0.014
9.552
Error
3
3.6359
1.2119
Total
5
61.4100
* berpengaruh nyata pada α=0.05
c. Hasil Uji Lanjut LSD Rendemen Bakto Agar Nilai LSD = 1.844 Ratarata
S
D
O
2.43
7.225
9.935
S
2.43
0 tn
a
D
7.225
4.795 *
0 tn
b
O
9.935
7.505
0.28*
0 tn
Perlakuan
Notasi a b c
c
Keterangan : O = Perlakuan pengeringan dengan menggunakan pengering oven S = Perlakuan pengeringan dengan menggunakan spray drier D = Perlakuan pengeringan dengan menggunakan drum drier
48
Lampiran 5. Hasil Analisis Varian Pengaruh Faktor Jenis Pengeringan terhadap Kadar Air Bakto Agar
a. Data Kadar Air Bakto Agar Sampel Ulangan I (%) O 14.40 S 9.32 D 8.31
Ulangan II (%) 13.66 8.89 6.53
Rata-rata (%) 14.03 9.11 7.42
Standar deviasi 0.52 0.30 1.26
b. Hasil Analisis Varian Kadar Air Bakto Agar Sumber Keragaman
db
Kuadrat Jumlah
Kuadrat ratarata
F Hitung
Nilai P
F Tabel
Jenis Pengeringan
2
47.1913
23.5957
36.29
0.007
9.552
Error
3
1.9505
0.6502
Total
5
49.1418
* berpengaruh nyata pada α=0.05
c. Hasil Uji Lanjut LSD Kadar Air Bakto Agar Nilai LSD = 0.189 Perlakuan
Rata-rata
D
S
O
7.47
9.105
14.03
D
7.47
0 tn
a
S
9.105
1.635 *
0 tn
O
14.03
6.56 *
0 tn
Notasi a
b
b b
Keterangan : O = Perlakuan pengeringan dengan menggunakan pengering oven S = Perlakuan pengeringan dengan menggunakan spray drier D = Perlakuan pengeringan dengan menggunakan drum drier
49
Lampiran 6. Hasil Analisis Varian Pengaruh Faktor Jenis Pengeringan terhadap Kadar Abu Bakto Agar
a. Data Kadar Abu Bakto Agar Sampel Ulangan I (%) O 4.31 S 6.27 D 4.86
Ulangan II (%) 4.47 6.26 5.20
Rata-rata (%) 4.39 6.26 5.03
Standar Deviasi 0.11 0.01 0.24
b. Hasil Analisis Varian Kadar Abu Bakto Agar Sumber Keragaman
db
Kuadrat Jumlah
Kuadrat ratarata
F Hitung
Jenis Pengeringan
2
3.6336
1.8168
77.15
Error
3
0.0707
0.236
Total
5
3.7042
Nilai P 0.0026
F Tabel 9.552
* berpengaruh nyata pada α=0.05
c. Hasil Uji Lanjut LSD Kadar Abu Bakto Agar Nilai LSD = 6.601 x 10-6 Perlakuan
Rata-rata
O
D
S
4.39
5.03
6.265
O
4.39
0 tn
a
D
5.03
0.64 *
0 tn
Notasi a
b
S 6.26 1.875 * 0 tn b Keterangan : O = Perlakuan pengeringan dengan menggunakan metode oven S = Perlakuan pengeringan dengan menggunakan spray drier D = Perlakuan pengeringan dengan menggunakan drum drier
b b
50
Lampiran 7. Hasil Analisis Varian Pengaruh Faktor Jenis Pengeringan terhadap Nilai pH Bakto Agar
a. Data Nilai pH Bakto Agar Sampel Ulangan I O 5.53 S 6.09 D 5.73
Ulangan II 5.63 5.82 5.73
Rata-rata 5.58 5.96 5.73
Standar Deviasi 0.07 0.19 0.00
b. Hasil Analisis Varian Sumber Keragaman
db
Kuadrat Jumlah
Kuadrat ratarata
F Hitung
Nilai P
F Tabel
Jenis Pengeringan
2
0.1425
0.0713
5.16
0.107
9.552
Error
3
0.0415
0.0138
Total
5
0.1839
* tidak berpengaruh nyata pada α=0.05
51
Lampiran 8. Hasil Analisis Varian Pengaruh Faktor Jenis Pengeringan terhadap Kadar Sulfat Bakto Agar
a. Data Kadar Sulfat Bakto Agar Sampel Ulangan I (%) O 1.79 S 3.71 D 3.32
Ulangan II (%) 1.92 3.92 3.63
Rata-rata (%) 1.86 3.82 3.48
Standar Deviasi 0.09 0.15 0.22
b. Hasil Analisis Varian Kadar Sulfat Bakto Agar Sumber Keragaman
db
Kuadrat Jumlah
Kuadrat ratarata
F Hitung
Nilai P
F Tabel
Jenis Pengeringan
2
4.3877
2.1939
83.79
0.002
9.552
Error
3
0.0785
0.0262
Total
5
4.4663
* berpengaruh nyata pada α=0.05
c. Hasil Uji Lanjut LSD Kadar Sulfat Bakto Agar Nilai LSD = 9.25 x10-6 Perlakuan
Rata-rata
O
D
S
1.855
3.475
3.815
O
1.855
0 tn
a
D
3.475
1.62 *
0 tn
S 3.815 1.96 * 0 tn Keterangan : O = Perlakuan pengeringan dengan menggunakan metode oven S = Perlakuan pengeringan dengan menggunakan spray drier D = Perlakuan pengeringan dengan menggunakan drum drier
Notasi a
b
b b
52
Lampiran 9.
Hasil Analisis Varian Pengaruh Faktor Jenis Pengeringan terhadap Kekuatan Gel Bakto Agar [2.5%]
a. Data Nilai Kekuatan Gel Bakto Agar Ulangan I Sampel (g/cm2) O 330.70 S 222.20 D 280.00
Ulangan II (g/cm2) 304.80 261.70 269.80
Rata-rata (g/cm2) 317.75 241.95 274.90
Standar Deviasi 18.31 27.93 7.21
b. Hasil Analisis Varian Kekuatan Gel Bakto Agar Sumber Keragaman
db
Kuadrat Jumlah
Kuadrat ratarata
F Hitung
Nilai P
F Tabel
Jenis Pengeringan
2
5778.3100
2889.1550
7.42
0.068
9.552
Error
3
1167.5500
389.1833
Total
5
6945.8600
* tidak berpengaruh nyata pada α=0.05
53
Lampiran 10. Hasil Analisis Varian Pengaruh Faktor Jenis Pengeringan terhadap Pertumbuhan Mikroorganisme Hasil Analisis TPC E. coli a. Data TPC (NB + Bakto Agar) Ulangan I Sampel (CFU/g) O 3.05E+08 S 4.15E+08 D 2.85E+08
Ulangan II (CFU/g) 3.15E+08 3.95E+08 1.55E+08
Rata-rata (CFU/g) 3.10E+08 4.05E+08 2.20E+08
b. Hasil Analisis Varian Sumber Keragaman
db
Kuadrat Jumlah
Kuadrat ratarata
F Hitung
Nilai P
F Tabel
Jenis Pengeringan
2
3.423E+16
1.712E+16
5.90229
0.0912
9.552
Error
3
8.70E+15
2.90E+15
Total
5
4.293E+16
* tidak berpengaruh nyata pada α=0.05
Hasil Analisis TPC S. cereviceae a. Data TPC (PDB + Bakto Agar) Ulangan I Sampel (CFU/g) O 8.05E+08 S 7.60E+08 D 1.15E+09
Ulangan II (CFU/g) 4.95E+08 6.25E+08 3.60E+08
Rata-rata (CFU/g) 6.50E+08 6.93E+08 7.53E+08
b. Hasil Analisis Varian Sumber Keragaman
db
Kuadrat Jumlah
Kuadrat ratarata
F Hitung
Nilai P
F Tabel
Jenis Pengeringan
2
1.061E+16
5.304E+15
0.04356
0.95796
9.552
Error
3
3.653E+17
1.217E+17
Total
5
3.759E+17
* tidak berpengaruh nyata pada α=0.05
54
Lampiran 11. Penampakan Koloni E. coli, S. cerevisiae, dan Kontrol Negatif
No.
Gambar
Keterangan
1
Aplikasi produk bakto agar dalam media pertumbuhan mikroorganisme E.coli.
2
Aplikasi produk bakto agar dalam media pertumbuhan mikroorganisme S. cerevisiae.
3
Kontrol negatif produk bakto agar (tanpa diberi NB ataupun PDB).
55