PELESTARIAN KAWASAN BERSEJARAH KESULTANAN MELAYU RIAU-LINGGA DI PULAU PENYENGAT KEPULAUAN RIAU Risqiana Dani, Antariksa, Septiana Hariyani Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jl Mayjend Haryono No. 167 Malang 65145, Telp. (0341) 551611-551615 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penurunan apresiasi lingkungan terhadap karakter lokal di kawasan bersejarah Pulau Penyengat, baik dari segi budaya masyarakatnya maupun peninggalan bersejarah menjadi suatu alasan untuk melakukan studi ini. Studi ini bertujuan mengidentifikasi karakter khas Pulau Penyengat sebagai kawasan bersejarah berdasarkan identifikasi elemen pembentuk citra kawasan, menganalisis penyebab perubahan dan kerusakan bangunan dan lingkungan bersejarah berdasarkan faktor fisik dan non fisik serta mengevaluasi kinerja pelestarian yang sudah dilaksanakan berdasarkan penilaian makna kultural bangunan. Didapatkan bahwa penyebab utama dari perubahan dan kerusakan bangunan dan lingkungan bersejarah di Pulau Penyengat adalah kurangnya perawatan (faktor fisik) dan juga komitmen pemerintah (faktor non fisik). Berdasarkan penilaian makna kultural dapat dikelompokkan bangunan bersejarah ke dalam tiga kelompok dengan rincian: bangunan bersejarah potensial tinggi sebanyak tujuh bangunan dan diarahkan untuk preservasi, bangunan bersejarah potensial sedang sebanyak lima bangunan dan diarahkan untuk konservasi serta bangunan bersejarah potensial rendah sebanyak delapan bangunan dan diarahkan untuk rehabilitasi. Kata kunci: Pelestarian, kawasan bersejarah, bangunan bersejarah ABSTRACT The degrading of environtment appreciation to local character at the historical site in Penyengat Island, from the culture of the society side as well as its historical remains has become one good reason for conducting this study. The targets of this study first is to identify the typical character of Penyengat Island as historical site based on identification element form the site’s image. Second, to analyze the causes of the changes and the damage of building and historical site based on their physical and non physical factors. The last is to evaluate the performance of the conservation that has been conducted based on the evaluation of the cultural meaning of building. It is found out that the main cause of the changes and the damage of building and historical site in Penyengat island is the lack of conservation (physical factor) and goverment’s commitment (non physical factor). Regarding to the evaluation of the cultural meaning of building, historical buildings can be gruoped into three groups with the following details: seven high potential historical buildings are recommended for preservation, five middle potential hirtorical buildings are recommended for conservation, eight less potential historical buildings are recommended for rehabilitation. Keywords: conservation, historical site, historical buildings.
Pendahuluan Sebuah kota dalam pertumbuhannya memiliki kawasan lama sebagai awal dari pertumbuhannya sekaligus sebagai pusat pertumbuhan dan sejarah kota. Kehadiran bangunan-bangunan bernilai historis dan arsitektonis menampilkan cerita visual yang menunjukkan sejarah dari suatu tempat, mencerminkan perubahan-perubahan waktu tata cara kehidupan dan budaya dari penduduknya. Tanpa adanya warisan arsitektur yang terpelihara masyarakat akan merasa terasing dari asal-usul lingkungannya, tidak punya orientasi pada masa lampau. Warisan budaya kota atau yang disebut dengan urban arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
135
heritage adalah objek-objek dan kegiatan di perkotaan yang memberi karakter budaya yang khas bagi kota yang bersangkutan. Warisan budaya menjadi penting mengingat gencarnya kegiatan modernisasi dan globalisasi kota-kota di dunia yang bila tidak dikendalikan akan memberikan wajah kota yang sama di setiap kota (Adhisakti, 2001). Warisan budaya Melayu perlu dipertahankan karena merupakan jati diri Bangsa Melayu. Pentingnya pelestarian terhadap suatu kebudayaan, termasuk kebudayaan Melayu adalah agar kebudayaan itu tidak tenggelam di tengah kemajuan teknologi informasi. Adanya penurunan apresiasi lingkungan terhadap pelestarian karakter lokal di kawasan bersejarah Pulau Penyengat, baik dari segi budaya masyarakatnya maupun peninggalan bersejarah. Diperkuat dengan adanya kegiatan pelestarian yang telah dilaksanakan dengan berbagai permasalahannya, menjadi suatu alasan untuk melakukan studi pelestarian terhadap kawasan bersejarah ini. Masalah yang dirumuskan dari Pelestarian Kawasan Bersejarah Kesultanan Melayu Riau-Lingga di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau adalah: bagaimana karakteristik Pulau Penyengat sebagai kawasan bersejarah dan karakteristik kegiatan pelestarian yang dilaksanakan di kawasan tersebut? Apakah penyebab perubahan, kerusakan bangunan dan lingkungan bersejarah serta bagaimana kinerja pelestarian yang dilaksanakan di kawasan tersebut? Selanjutnya, studi ini bertujuan untuk: mengidentifikasi karakter khas Pulau Penyengat sebagai kawasan bersejarah meliputi aspek sejarah kawasan, karakteristik kondisi bangunan bersejarah, sosial, budaya dan ekonomi masyarakat serta elemen citra kawasan, mengidentifikasi karakteristik kegiatan pelestarian yang dilaksanakan di kawasan bersejarah Pulau Penyengat, mengidentifikasi dan menganalisis penyebab perubahan dan kerusakan bangunan dan lingkungan bersejarah serta menganalisis dan mengevaluasi kinerja pelestarian yang sudah dilaksanakan berdasarkan penilaian makna kultural bangunan dan kawasan, dan penilaian pendapat pihak terkait berdasarkan metode Importance Performance Analysis (IPA).
Metode Penelitian 1. Lokasi studi Wilayah studi merupakan keseluruhan Pulau Penyengat. Pulau Penyengat terletak pada administrasi Kota Tanjungpinang, termasuk dalam wilayah Kecamatan Tanjungpinang Kota. Kawasan ini adalah bekas pusat pemerintahan Kesultanan Melayu Riau-Lingga yang juga dikenal sebagai gudang intelektual Kesultanan Melayu Riau-Lingga, tempat kebudayaan Melayu diukir, dengan dimulainya sejarah tulismenulis dan pada akhirnya menjadi sebuah kelurahan. Peninggalan bersejarah kawasan meliputi mesjid, empat buah kompleks makam, bekas istana, dan benteng. Wilayah studi merupakan kawasan dengan pola penggunaan lahan campuran yang terdiri atas permukiman, pendidikan, serta ruang terbuka hijau dengan luas ± 3,5 km2 (Gambar 1). 2. Metode pengumpulan data a. Survey Primer Observasi lapangan; Teknik wawancara; dan Teknik Kuisioner. b. Survey Sekunder Studi kepustakaan; dan Organisasi/instansi. 3. 1. 136
Pemilihan Sampel Purposive sampling arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
a.
Sampel bangunan bersejarah 15 buah bangunan milik pemerintah sebagai cagar budaya; b. Pemilik/pengelola bangunan bersejarah 15 orang; dan c. Instansi terkait. 2. Accidental sampling a. Masyarakat pemilik bangunan non bersejarah 87 orang; dan b. Wisatawan 100 orang.
Gambar 1. Wilayah studi. 4. Metode Analisis Data a. Metode deskriptif Aspek perancangan kota meliputi: Penggunaan (land use); Kondisi bangunan; dan Sirkulasi dan parkir. Selanjutnya menganalisis elemen pembentuk citra kawasan : Jalur (path); Kawasan (district); Batas (edge); Tengeran (landmark); Simpul (node); Figure/ground; Linkage; dan Place. b. Metode evaluatif Penilaian Makna Kultural yang terdiri dari penilaian estetika, kejamakan, kelangkaan, keluarbiasaan, peranan sejarah, memperkuat citra kawasan. Evaluasi kinerja pelestarian Evaluasi kinerja pelestarian yang dilaksanakan di kawasan bersejarah Pulau Penyengat juga menggunakan metode IPA (Importance Performance Analysis). arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
137
Hasil dan Pembahasan 1. a.
Karakteristik kawasan bersejarah Pulau Penyengat Sejarah perkembangan Pulau Penyengat Sejarah Pulau Penyengat dimulai sejak berabad-abad yang lalu. Dulunya pulau ini merupakan tempat persinggahan para pelaut dikarenakan di pulau ini tersedia banyak air tawar. Menurut cerita, Penyengat berasal dari kata sengat, karena dulu para pelaut yang sedang mengambil air bersih di pulau itu selalu diserang semacam lebah. Letaknya yang strategis sangat baik bagi pertahanan negeri Riau. Pada tahun 1803 Pulau Penyengat telah dibina dari sebuah pusat pertahanan negeri menjadi tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda Kesultanan Riau-Lingga. Pada tahun 1900 Sultan RiauLingga memindahkan pusat kerajaan ke Pulau Penyengat. Di antara Kesultanan Melayu yang pernah berdiri di kawasan Riau, Kesultanan Riau-Lingga menyumbangkan peran terbesar pada perkembangan bahasa Melayu, terutama sebagai bahasa tulis. Salah satu karakter peradaban yang dipengaruhi ajaran Islam adalah menyebarnya kemampuan dan tradisi tulis baca pada semua kalangan, bukan hanya di kalangan kerajaan. Tokoh intelektual yang paling dikenal adalah Raja Ali Haji yang telah melahirkan karya-karya besar seperti Gurindam Dua Belas, Tuhfat alNafis, Bustan Al-Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa yang menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua franca (bahasa perhubungan). Maraknya perkembangan dunia tulis menulis di Riau-Lingga juga didukung oleh tersedianya sarana pendukung seperti percetakan dan penerbitan Mathbaah al-Riuwiyah dan kelompok diskusi yang paling terkenal adalah Rusdiyah Club. Peranan Pulau Penyengat berakhir tatkala Sultan Riau-Lingga terakhir Sultan Abdul Rahman Muazam Syah meninggalkan Pulau Penyengat mengungsi ke Singapura karena tidak bersedia menandatangani kontrak yang isinya menghilangkan hak dan kekuasaan raja. Sultan memerintahkan kepada rakyatnya untuk menghancurkan bangunanbangunan yang ada agar tidak diduduki oleh Belanda. Itulah sebabnya sisa-sisa kebesaran dan keagungan Kerajaan Riau-Lingga sudah pupus hanya tinggal puing-puing. Diantara puing-puing yang ada, masih dapat ditandai, antara lain (Gambar 2 sampai dengan Gambar 6) : • Sebuah mesjid yang terawat dengan baik; • Empat buah kompleks makam; • Dua buah bekas istana dan beberapa buah gedung lama; dan • Benteng, sumur, dan sebagainya.
Gambar 2. Mesjid Raya Penyengat (kiri) dan Makam Engku Puteri Hamidah
138
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
Gambar 3. Makam Raja Haji Fisabilillah (kiri) dan Makam Raja Ja’afar.
Gambar 4. Makam Raja Abdurrahman (kiri) dan Makam Embung Fatimah.
Gambar 5 Bekas Istana Raja Ali Marhum Kantor (kiri) dan Gedung Tengku Bilik.
Gambar 6. Gedung Mesiu dan Perigi Puteri. b.
Karakteristik fisik Berdasarkan hasil analisis karakteristik fisik (Nasruddin 2001 dan Lynch 1960) didapatkan sebagai berikut: • Penggunaan lahan di kawasan bersejarah Pulau Penyengat masih didominasi oleh ruang terbuka. Permukiman terkonsentrasi pada pinggir pantai. • Gaya bangunan tradisional meliputi bentuk dan gaya rumah penduduk terbagi dua yaitu: bangunan di pinggir pantai umumnya berpanggung dan berpelantar serta bangunan di daratan umumnya menggunakan pondasi umpak dan berpanggung. Bentuk dan gaya bangunan bersejarah merupakan perpaduan antara gaya Timur Tengah dan Melayu.
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
139
• •
Pola jaringan jalan di Pulau Penyengat adalah jaringan linier serta organis, tidak memiliki pedestrian, dikarenakan badan jalan yang tidak begitu luas. Lahan khusus parkir juga tidak terdapat pada jalan-jalan di Pulau Penyengat. Landmark pada kawasan bersejarah Pulau Penyengat adalah Mesjid Raya Penyengat, dan fungsi kawasan yang paling menonjol adalah fungsi cagar budaya.
2.
Karakteristik kegiatan pelestarian Kegiatan pelestarian yang sudah dilaksanakan meliputi pembentukan badan khusus untuk mengelola Pulau Penyengat sebagai kawasan bersejarah. Selanjutnya dikeluarkannya Masterplan Pengembangan Pariwisata Pulau Penyengat terdapat arahan pengembangan perkampungan dan lokasi wisata budaya dan cagar budaya. Di tingkat kota di keluarkannya Masterplan Pulau Penyengat sebagai Kawasan Cagar Budaya yang bertujuan memberikan arahan dan pedoman mengenai pengembangan ruang kawasan budaya dan pariwisata dan telah diselesaikannya penyusunan rancangan perda tentang cagar budaya Kota Tanjungpinang.
3.
Penyebab perubahan dan kerusakan bangunan dan lingkungan bersejarah Kegiatan pelestarian di Pulau Penyengat sudah dilaksanakan sejak tahun 1980, sudah ada kegiatan seperti memperbaiki bangunan yang masih bisa diselamatkan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu bangunan-bangunan tersebut sudah mulai mengalami kerusakan. Perubahan dan kerusakan bangunan bersejarah mulai dari perubahan dalam bentuk kecil yang tidak merubah karakter asli bangunan hingga perubahan dan kerusakan yang menyebabkan perubahan karakter bangunan. Beberapa contoh perubahan bangunan bersejarah di Pulau Penyengat, antara lain: perubahan warna cat pada Mesjid Raya Penyengat, perubahan model atap pada kompleks makam Engku Puteri Hamidah, Makam Raja Haji Fi Sabilillah sudah diberi atap dan porselin, Di atas situs Rusdiyah Club dan situs-situs bersejarah lainnya sudah banyak yang ditempati oleh permukiman penduduk (Gambar 7 sampai dengan Gambar 9).
Gambar 7. Perubahan warna cat pada Mesjid Raya Penyengat.
Gambar 8 Perubahan model atap pada kompleks makam Engku Puteri Hamidah.
140
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
Gambar 9. Makam Raja Haji Fi Sabilillah diberi atap dan porselin. Berdasarkan hasil kuesioner kepada responden dan wawancara kepada ahli diketahui bahwa penyebab fisik utama dari perubahan bangunan bersejarah adalah kurangnya perawatan (Catanese & Synder, 1992). Setelah adanya kegiatan pelestarian, bangunan-bangunan bersejarah yang ada dibiarkan begitu saja, pengurus yang ditunjuk hanya untuk beberapa buah bangunan seperti makam dan masjid. Selanjutnya faktor non fisik yang paling mempengaruhi adalah komitmen pemerintah. Pentingnya komitmen pemerintah dalam menetapkan bangunan bersejarah sebagai cagar budaya untuk dilindungi yang kemudian melakukan tindakan pelestarian sesuai dengan kondisi yang ada. Namun, kondisi di lapangan pemerintah sudah menetapkan beberapa bangunan bersejarah sebagai cagar budaya yang harus dilindungi, tetapi konsep dari pelestarian yang sebenarnya belum dilaksanakan. Konsep pelestarian seperti, perlindungan, penyelamatan fisik, pemeliharaan, pemugaran dan lain-lain. 4. a.
Evaluasi kinerja pelestarian di kawasan bersejarah Pulau Penyengat Makna kultural bangunan Analisis penilaian makna kultural dilakukan untuk memperoleh bangunan-bangunan bersejarah yang potensial untuk dilestarikan bertujuan untuk mendapatkan klasifikasi bangunan yang menjadi dasar penentuan bentuk pelestarian pada setiap bangunan. Menggunakan metode skoring berdasarkan enam kriteria, antara lain: estetika (a), kejamakan (b), kelangkaan (c), keluarbiasaan (d), peranan sejarah (e) dan citra kawasan (f). Berdasarkan hasil analisis bangunan dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu bangunan potensial tinggi, potensial sedang, dan potensial rendah (Gambar 13). Didapatkan tujuh bangunan potensial tinggi (Mesjid Raya Penyengat, Kompleks Makam Engku Hamidah, Kompleks Makam Raja Haji Fi Sabilillah, Kompleks Makam Raja Ja’afar, Kompleks Makam Raja Abdurrahman, Gudang Mesiu dan Perigi puteri) (Gambar 10).
Gambar 10. Bangunan bersejarah potensial tinggi. Bangunan potensial sedang (Gedung Tengku Bilik, Istana Raja Ali Marhum Kantor, Kompleks Makam Embung Fatimah, Benteng Bukit Kursi dan Parit pertahanan) (Gambar 11). arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
141
Gambar 11. Bangunan bersejarah potensial sedang. Bangunan potensial rendah antara lain: Bekas Istana Kedaton, Situs Rusdiyah Club, Gedung Tabib, Gedung Hakim, Istana Bahjah, Istana Laut, Benteng Tanjung Nibung dan Bukit Penggawa (Gambar 12 dan Gambar 13).
Gambar 12. Bangunan bersejarah potensial rendah.
Gambar. 13. Analisis bangunan.
142
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
b.
Evaluasi berdasarkan kriteria kegiatan pelestarian Berdasarkan hasil analisis evaluasi kegiatan pelestarian berdasarkan kriteria kegiatan pelestarian (Nasruddin, 2001) adalah sebagai berikut: •
Kesadaran dan Inisiatif Kesadaran dan inisiatif pemerintah daerah terhadap pentingnya kegiatan pelestarian sudah mulai tampak. Adanya Keputusan Gubernur Kepulauan Riau Nomor 11 tahun 2006 tentang pembentukan badan pengelola kawasan wisata budaya dan sejarah Pulau Penyengat dan melalui pemerintah Kota Tanjungpinang, Pulau Penyengat menjadi prioritas. Pemerintah Propinsi Kepulauan Riau telah mengeluarkan Rencana Induk Masterplan Pengembangan Pariwisata Pulau Penyengat yang akan mendukung kegiatan pelestarian kawasan bersejarah. Namun, kesadaran dari pihak masyarakat secara umum dinilai masih kurang. Tidak adanya kegiatan yang biasa dilakukan masyarakat terkait dengan pelestarian bangunan bersejarah. • Dasar hukum Keberadaaan perda mengenai pelestarian di kawasan bersejarah Pulau Penyengat menjadi sangat penting untuk menghambat terjadinya pengrusakan bangunan bersejarah. Dengan adanya Perda diharapkan dapat memberikan kejelasan mengenai kriteria bangunan yang layak dilestarikan bahkan menyertakan daftar bangunan bersejarah yang dilindungi oleh pemerintah. Badan Pengelola Kawasan Wisata Budaya dan Sejarah Pulau Penyengat yang dibentuk Gubenur adalah lembaga yang berada di tingkat Daerah Propinsi yang ditugaskan dan dimaksudkan untuk merencana, memelihara dan mengembangkan Pulau Penyengat sebagai kawasan wisata budaya dan sejarah dengan memperhatikan situs cagar budaya dan sejarah yang ada di Pulau Penyengat. •
Konsep perencanaan Konsep rencana kegiatan pelestarian dalam Masterplan Pengembangan Pariwisata Pulau Penyengat meliputi: 1. Aspek perlindungan bangunan-bangunan cagar budaya; 2. Pengembangan kegiatan di situs-situs cagar budaya dan perkampungan; dan 3. Menghidupkan kegiatan-kegiatan dan program perbaikan kampung. Masterplan Pulau Penyengat sebagai Kawasan Cagar Budaya menyebutkan konsep penanganan benda cagar budaya di Pulau Penyengat khususnya artefak yang masih ada diarahkan untuk kepentingan sejarah, budaya, pariwisata dan ekonomi. •
Organisasi dan realisasi Pelaksanaan kegiatan pelestarian dimotori oleh Bappeko Tanjungpinang bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Kota Tanjungpinang dan saling berkoordinasi dengan Dinas Pariwisata Propinsi Kepulauan Riau. Kendala utama dalam pelaksanaan kegiatan pelestarian adalah masih rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dimiliki pemerintah khsususnya dalam bidang pelestarian. Ketidakjelasan organisasi pelaksana juga menjadi kendala kegiatan pelestarian. Kurangnya koordinasi antar dinas-dinas terkait membuat pelaksanaan kegiatan menjadi kurang terarah. Pelaksanaan selama ini lebih bersifat insidental dengan membentuk tim kerja lintas instansi yang membutuhkan waktu lama dalam pelaksanaan suatu kegiatan yang akhirnya menyebabkan kegiatan pelestarian menjadi tidak fokus. •
Pendanaan Pelestarian yang sudah dilaksanakan selama ini keseluruhan dana bersumber dari pemerintah. Masalah pendanaan merupakan penghambat adanya kegiatan pelestarian di kawasan ini. c. •
Importance Performance Analysis (IPA) Berdasarkan hasil analisis menggunakan metode IPA (Supranto, 2002), perbaikan kinerja pelestarian yang telah dilaksanakan oleh pemerintah di kawasan bersejarah
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
143
Pulau Penyengat dilakukan dengan memprioritaskan beberapa aspek yang dirasakan kurang memuaskan namun dianggap sangat penting untuk segera dilakukan. Beberapa item prioritas utama tersebut juga merupakan beberapa item yang termasuk dalam kategori kurang memuaskan bagi wisatawan dan ahli dan perlu ditingkatkan kinerjanya pada kegiatan pelestarian kawasan bersejarah Pulau Penyengat antara lain: • Mengembalikan kondisi bangunan bersejarah yang telah rusak; • Diperlukan adanya motivasi dari masyarakat; • Peran pemerintah dan LSM dalam kegiatan pelestarian; • Peraturan terkait dengan pelestarian kawasan bersejarah Pulau Penyengat; • Pedoman perkembangan kawasan untuk masa yang akan datang; dan • Insentif dari pemerintah kepada pemilik/pengelola bangunan bersejarah.
Kesimpulan 1.
Karakteristik kawasan bersejarah Pulau Penyengat dan karakteristik kegiatan pelestarian Penggunaan lahan di kawasan bersejarah Pulau Penyengat didominasi oleh ruang terbuka. Permukiman terkonsentrasi pada pinggir pantai. Kegiatan pelestarian yang dilaksanakan meliputi pembentukan badan khusus pengelola Pulau Penyengat, Masterplan Pengembangan Pariwisata Pulau Penyengat dan Masterplan Pulau Penyengat sebagai Kawasan Cagar Budaya. 2. Penyebab perubahan dan kerusakan bangunan dan lingkungan bersejarah dan evaluasi kinerja pelestarian Faktor fisik yang paling mempengaruhi adalah kurangnya perawatan. Faktor non fisik yang paling mempengaruhi adalah komitmen pemerintah dan faktor budaya. Didapatkan dua belas bangunan bersejarah potensial tinggi dan 8 bangunan potensial rendah. Prioritas utama dalam kinerja pelestarian adalah diperlukan adanya motivasi dari masyarakat dan juga peran pemerintah dalam kegiatan pelestarian. 3. Saran Beberapa saran yang dapat digunakan dan disempurnakan adalah sebagai berikut: 1. Perlu adanya penelaahan lebih lanjut terhadap batas-batas serta radius perlindungan terhadap bangunan-bangunan bersejarah, dan jarak yang diizinkan untuk adanya pembangunan. 2. Perlu adanya penelaahan aspek ekonomi, yaitu upaya untuk mejadikan objek pelestarian mampu membiayai dirinya sendiri atau bahkan memberi keuntungan bagi masyarakat setempat. Kejelian dalam melihat nilai-nilai komersialisasi dari suatu objek pelestarian dan mengembangkanya sebagai produk yang dipasarkan merupakan tantangan bagi pihak yang berwenang di bidang pelestarian.
Daftar Pustaka Adhisakti, L. 2001. Mengasah Pusaka dan Desa Menjadi Media Usaha yang Berkilau. Jurnal INSINYUR. XXIII (3). Catanese, A. J., James C. Snyder. 1992. Perencanaan Kota. Jakarta : Erlangga. Lynch, K., The Image of The City. The.M.I.T.Press. Nasruddin. 2001. Konsep Pelestarian Bangunan dan Lingkungan yang Terintegrasi dengan Permukiman Berkembang. Tesis. Tidak diterbitkan. Bandung: ITB 2001. Supranto. 2002. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Copyright © 2008 by antariksa 144
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008