PEDOMAN PENULISAN JURNAL ILMIAH
I.
PENDAHULUAN Pada pedoman penulisan jurnal ilmiah ini, setiap mahasiswa harus mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan. Hal ini karena editor tidak akan mengedit bagian substantif dan atau kesalahan format. Editor dan atau pembimbing akan melakukan proses editing hanya dalam keadaan dan kondisi tertentu jika diperlukan. Pedoman ini terdiri dari 2 (dua) bagian, ketentuan umum dan ketentuan khusus. Ketentuan umum memuat tata tulis baku keseluruhan naskah. Sedangkan ketentuan khusus memuat tata tulis setiap bagian yang terdapat dalam naskah.
II. KETENTUAN UMUM 1.
Jenis dan Ukuran Kertas Margin/batas tepi Format file Penggunaan Bahasa
:
HVS A4 (210x297mm)
:
5
Struktur Penulisan
:
6 7 8
Huruf Panjang Naskah Paragraf
: : :
9
Kolom
:
Atas 20 mm, Bawah 20 mm Kiri 30 mm, Kanan 20 mm rtf, doc., docx (tidak diperkenankan dalam bentuk .pdf) Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris Penulisan jurnal ilmiah harus dipilih salah satu, tidak bisa keduanya (Inggris dan Indonesia), kecuali pada abstrak harus dalam dua bahasa (Inggris dan Indonesia). Apabila penulis menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama, maka naskah yang dikirim harus menggunakan bahasa Inggris. Terdiri dari; a. Judul b. Abstrak (Inggris dan Indonesia) beserta kata kunci c. Pendahuluan d. Metode e. Hasil f. Pembahasan g. Kesimpulan h. Saran i. Daftar Pustaka Times New Roman, ukuran 11pt dengan spasi single (1 spasi) 11-13 halaman a. Rata kanan-kiri b. Awal paragraph diberikan indent 7mm c. Jarak antar paragraph 6pt (spacing after) d. Gutter (jarak antar kolom) dibiarkan secara default 2 kolom
2 3 4
: :
III. KETENTUAN KHUSUS A. Judul 1. Jurnal ilmiah bukan merupakan judul skripsi atau tesis (running text), tidak terlalu panjang, padat makna, khas, dan mampu menggambarkan keseluruhan isi naskah.
B.
C.
D.
E.
Ditulis dengan huruf Times New Roman, huruf besar pada setiap awal kata (Capitalize each word), cetak tebal (Bold), 14pt, rata tengah. (Lihat lampiran) 2. Terdiri dari 5-14 kata untuk Bahasa Indonesia dan 5-12 kata untuk Bahasa Inggris. 3. Tidak menggunakan kata klise seperti “Studi tentang….”,”Kajian tentang….”,”Pengaruh…” dan lainnya. 4. Untuk Mahasiswa Pascasarjana: Tulis nama lengkap tanpa gelar, asal instansi (bagi yang sudah bekerja), nomor telepon instansi (bukan telepon selular) dan alamat korespondensi serta email pada bagian baris kepemilikan/kredit. Untuk mahasiswa Diploma dan Sarjana: Tulis nama lengkap tanpa gelar, asal program studi dan alamat email pada bagian baris kepemilikan/kredit. 5. Nama penulis menggunakan font Times New Roman 11pt dengan spasi single cetak tebal (bold) sedangkan korespondensi menggunakan font yang sama ukuran huruf 10pt regular. Abstrak 1. Terdiri dari 1 paragraf untuk masing-masing Bahasa (Indonesia dan Inggris) 2. Memuat maksimal 200 kata (Indonesia dan Inggris) 3. Terdiri dari Pendahuluan, Metode (desain, populasi dan sampel), dan Hasil (apabila terdapat diskusi dan saran, tulis secara singkat) 4. Kata kunci terdiri dari 3-5 kata atau frase (Bahasa Indonesia dan Inggris) dan disusun secara alfabetis. 5. Awal paragraph rata kanan-kiri 6. Menggunakan font ukuran 10pt. Pendahuluan 1. Mengantar pembaca secara langsung pada inti pokok tulisan dengan membuat pernyataan masalah yang dihadapi secara jelas. 2. Memuat 1,5-2,5 halaman dari total panjang artikel 3. Tidak ada kata yang disingkat, kecuali akronim 4. Penulisan akronim harus disesuaikan dengan tata cara penulisan yang benar (EYD) 5. Pada paragraf terakhir dari pendahuluan, menuliskan tujuan penelitian secara umum. 6. Memakai spasi before dan after 6pt 7. Jumlah referensi 6-8 sumber. Metode 1. Bagi penelitian kuantitatif mencakup desain penelitian, populasi, sampel, sumber data, instrument dan prosedur analisa data. 2. Bagi penelitian kualitatif mencakup desain dan jenis penelitian, instrumen penelitian, metode pengumpulan data dan analisis data. 3. Memuat 0,5-1 halaman dari total panjang artikel 4. Tidak ada kata yang disingkat, kecuali akronim 5. Penulisan akronim harus disesuaikan dengan tata cara penulisan yang benar (EYD). 6. Memakai spasi before dan after 6pt. 7. Jumlah referensi 1-2 sumber. Hasil 1. Merupakan temuan penelitian yang disajikan tanpa pendapat. 2. Untuk penelitian yang bersifat kualitatif, maka hasil dan pembahasan digabungkan. 3. Untuk penelitian kuantitatif dan kuantitatif-kualitatif (mix method), maka hasil dan pembahasan dipisah.
4. Memakai spasi before dan after 6pt 5. Data disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan gambar dengan jumlah maksimal 5-7. 6. Untuk penelitian kualitatif dengan pendekatan semiotika, maksimal gambar yang diperbolehkan tidak lebih dari 10 gambar. 7. Memuat urutan tabel atau gambar sebelum judul, misalnya “Tabel 1. xxx”, “Tabel 2. xxx”, dst.. 8. Apabila terdapat sumber (bukan merupakan hasil karya penulis), cantumkan sumbernya. 9. Judul tabel atau gambar ditulis menggunakan huruf Times New Roman, 11pt 10. Isi tabel ditulis menggunakan huruf Times New Roman, 10pt, spasi 1 11. Judul tabel ditulis di atas tabel. 12. Penulisan tabel tidak boleh terbagi menjadi 2 (dua) halaman. 13. Sumber tabel harus dicantumkan jika berasal dari data sekunder atau data penelitian orang lain, dan dicantumkan di bawah tabel. 14. Penggunaan tabel dan grafik, dapat dilihat pada contoh: Tabel 1. Summary of physical parameters. No
Segments
1 2 3 4 5
A-B B-C C-D D-E E-F
Length (km) 25 75.15 44.75 72.5 21.25
Elevation (meter) 30 10 50 10 10
15. Penggunaan garis tebal pada tabel, hanya digunakan pada judul dan batas bawah tabel (lihat contoh). 16. Panjang maksimal 2-4 halaman. F. Pembahasan 1. Pembahasan menguraikan secara tepat dan argumentatif hasil penelitian dengan teori dan penelitian terdahulu yang relevan. 2. Panjang tulisan 3-5 halaman. 3. Penggunaan referensi 10-15 sumber. 4. Memakai spasi before dan after 6pt. G. Kesimpulan 1. Memaparkan kesimpulan dari hasil penelitian (buah pemikiran peneliti), bukan merupakan copy paste dari hasil penelitian. 2. Paparan ditulis dengan jelas dan terarah. 3. Menggunakan Bahasa yang efektif, singkat dan jelas. 4. Penulisan kesimpulan tidak boleh menggunakan pointers (berupa poin-poin), tetapi harus dalam bentuk naratif 5. Panjang tulisan 0,5 halaman. 6. Memakai spasi before dan after 6pt H. Saran 1. Saran yang dikemukakan dapat berupa tindakan praktis penerapan teori baru atau mungkin manfaat kelanjutan penelitiannya. 2. Bila dinyatakan keterbatasan penelitian, maka sebaiknya terdapat kesinambungan dengan menyampaikan saran untuk penelitian selanjutnya. 3. Memakai spasi before dan after 6pt
I. Daftar Pustaka 1. Menggunakan gaya Vancouver, yaitu berdasar Author-Number. 2. Times New Roman 11 pt. 3. Minimal 15-25 kepustakaan (60% dari jurnal ilmiah dan 40% berasal dari buku sumber). 4. Batasan tahun referensi diterbitkan maksimal 5 tahun terakhir, kecuali bagi referensi yang terbatas. 5. Penggunaan nomor kutipan ditulis superskrip (contoh: …..kalimat1.) 6. Apabila kutipan lebih dari 2 nomor, maka ditulis berurutan (contoh: ….kalimat1,2,5.) 7. Pada penulisan bagian judul referensi, diawali dengan huruf besar saja (Capitalize Each Word) dan tidak per kata. Contoh: Pedoman pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan (benar), bukan Pedoman Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan (salah). 8. Bila nama penulis kurang atau sama dengan 6 orang, maka nama penulis ditulis semua. Apabila >6 penulis, maka penulis selanjutnya ditulis “et al”. Contoh: Riski AG, Baron TH, Davilla NE, Eugene DH, Kawashi T, Kholdun TH, et al. Pedoman akreditasi rumah sakit kelas C. Jakarta: FK UNI; 2015. 9. Contoh daftar pustaka gaya Vancouver dapat dilihat di bawah ini pada lampiran 1.
CONTOH: JURNAL PENULISAN JURNAL ILMIAH (S1)
Hubungan Kadar Debu dan Kondisi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian ISPA Budi Candra Kirana1, Ardiansyah2 1,2
Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju Jln. Harapan Nomor 50, Lenteng Agung – Jakarta Selatan 12610 Telp: (021) 78894045, Email:
[email protected]
Abstrak ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada masyarakat. ISPA masih menempati urutan teratas dari data 10 besar penyakit di wilayah kerja Puskesmas Klapanunggal. Emisi partikel debu ke udara oleh pabrik semen dalam proses semen ataupun tranportasi merupakan pencemaran terhadap lingkungan yang perlu diwaspadai, bahan pencemar ini bisa masuk kedalam rumah melalui ventilasi atau atap rumah. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor kondisi lingkungan pemukiman yang memicu kejadian ISPA dan mengetahui ada tidaknya perbedaan kondisi lingkungan pemukiman pada masyarakat yang mengalami ISPA di wilayah Puskesmas Kecamatan Klapanunggal .Populasi penelitian ini adalah masyarakat yang bertempat tinggal di Kecamatan Klapanunggal. Jenis penelitian dengan disain cross sectional, Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah dihitung dalam menggunakan rumus Lemeshow,S. Dimana ditentukan nilai n sebanyak 95 sampel. Data penelitian ini adalah kuesioner dan observasi. Penelitian ini dianalisis menggunakan analisis data secara univariat dilakukan. Disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara kadar debu (PM 10) dengan kejadian ISPA pada masyarakat di mana masyarakat yang tinggal dslam lingkunganpemukiman tidak memenuhi syarat (> 70 % µg/m3) beresiko 3,383 kali untuk mengalami ISPA dibanding dengan masyarakat yang tinggal dalam lingkungan pemukiman dengan kadar debu (PM10) memenuhi syarat (≤ 70% µg/m3). Kata kunci: Debu, Lingkungan Pemukiman, ISPA Abstract ARI (Acute Respiratory Infection) is a disease that often occurs in the community. In the area of health centers located around Klapanunggal cement plant X, ARI still tops the list of the top 10 diseases in the data Puskesmas Klapanunggal. Emissions of dust particles into the air by cement factories in the process of cement or tranfortasi is that environmental pollution is exacerbated, the contaminants can enter the home through roof vents or home. This study aims to identify factors that trigger the condition neighborhoods ARI incidence and determine whether there is a difference in the community residential environment that is experienced in the area of District Health Clinics ARI Klapanunggal.The population of this studyis that people who live in the village of Kembangkuning in District Klapanunggal. Type of research is the crosssectional design, number of samples in this study were calculate dusing the formula Lemeshow, S.Where thevalue ofnis determinedby 95samples.The data of thisstudywere questionnairesandobservation. This stud analyzed data using univariate analysi sperformed to describethe characteristics of eachi ndependent and dependent variables. The results showed that the variables significantl yassociated with the incidence of respiratory infectioninthe community’s dust (OR =3.383, 95% CI) andventilation (OR =2.900, 95% CI). Concluded that there isa significant relationship between the amount of dust (PM10) with ARIincidence incommunities where people living not eligible (>70% μg/m3) are at risk for experiencing ARD3,383 times compared with people who live in neighborhoods with higher levels of dust(PM10) qualified(≤ 70% μg/m3). Key words: Dust, EnvironmentalSettlements, ARI
Pendahuluan Pencemaran udara merupakan faktor penting dalam pencemaran lingkungan, pencemaran udara yang terjadi meliputi pencemaran udara di luar ruangan (outdoor air pollution) dan pencemaran udara dalam ruangan (indoor air pollution). Pencemaran udara luar ruangan sumber utamanya adalah dari emisi kendaraan bermotor dan asap industri, sedangkan pencemaran udara dalam ruangan sumbernya antara lain dari kegiatan penghuni dan pencemar dari luar.1 Udara merupakan faktor yang penting dalam kehidupan, namun dengan meningkatnya pembangunan fisik kota dan pusat-pusat industri, kualitas udara telah mengalami perubahan. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan pencemaran udara yaitu masuknya zat pencemar berbentuk gas-gas dan partikel kecil (aerosol) ke dalam udara, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan atau mempengaruhi kesehatan manusia. Peningkatan pencemaran udara terutama terjadi di daerah perindustrian, perdagangan dan padat kendaraan. Konsentrasi pencemaran udara di beberapa kota besar dan daerah industri Indonesia dapat menyebabkan danya gangguan pernafasan, iritasi pada mata dan telinga, serta timbulnya penyakit tertentu.2 Partikel yang masuk aveoli akan menimbulkan reaksi radang sehingga menyebabkan daya kembang paru dibatasi Pembatasan daya kembang paru dapat dinilai dengan beberapa parameter fungsi paru yaitu FVC dan FEV1. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara Partikulat Melayang PM2,5 dengan dampak kesehatan lebih tinggi dari pada PM10, itu disebabkan karena pada PM 2,5 berisikan sebagian besar berbagai macam logam dan jenis asam berbahaya. Diperkuat dengan penelitian mengenai polusi udara dan fungsi paru diantara orang dewasa di Roma menunjukkan penurunan pada indikator fungsi paru (FVC dan FEV1) berhubungan dengan peningkatan konsentrasi partikulat.2 Pembangunan berwawasan lingkungan bertujuan untuk meningkatkan kesejahtraan dan tarap hidup masyarakat dengan sedikit mungkin memberikan dampak negatif terhadap lingkungan sebagai akibat penggunaan sumber daya alam dan
pembangunan industri. Selain dampak penting pembangunan industri adalah perubahan kualitas lingkungan antara lain yang disebabkan oleh pencemaran udara.3 Baku mutu debu pada udara ambien di Indonesia diatur dalam keputusan menteri kesehatan tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Sesuai dengan Surat Keputusan tersebut, nilai baku mutu konsentrasi debu maksimal ditetapkan 10 mg/m3 untuk waktu pengukuran rata-rata 8 jam.4 Debu adalah partikel zat kimia padat yang disebabkan oleh kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan, dan lain-lain dari benda, baik organik maupun anorganik misalnya batu, kayu, bijih logam, batu bara, butir-butir zat, dan sebagainya.5 Mekanisme penimbunan debu dalam paru-paru dapat terjadi pada saat menarik nafas, dimana udara yang mengandung debu masuk kedalam paru-paru. Debu yang berukuran antara 5-10 mikron akan ditahan oleh saluran pernafasan bagian atas, sedangkan yang berukuran 3-5 mikron ditahan oleh bagian tengan jalan pernafasan. Partikelpartikel yang besarnya antara 1 dan 3 mikron akan ditempatkan langsung dipermukaan alveoli paru. Partikel-partikel yang berukuran 0,1 mikron tidak begitu mudah hinggap pada permukaan alveoli, oleh karena partikel dengan ukuran yang demikian tidak mengendap di permukaan. Debu yang yang partikel-partikelnya berukuran kurang dari 0,1 mikron bermassa terlalu kecil, sehingga tidak mengendap di permukaan alveoli atauselaput lendir, oleh karena gerakan brown yang menyebabkan debu demikian bergerak ke luar masuk ke alveoli.6 Desa Kembang Kuning Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor merupakan daerah letaknya berhadapan langsung dengan kawasan industri pabrik semen X yang ada di wilayah Kecamatan Klapanunggal. Kawasan industri pabrik semen merupakan industri pertambangan yang termasuk dalam kategori industri berat dengan kegiatan utama berupa pembuatan Semen industri pertambangan ini akan menghasilkan limbah ke lingkungan baik dalam bentuk padat, cair maupun udara, terutama dalam prosesnya akan menyebabkan
terjadi pencemaran udara berupa partikulat. Masyarakat Desa Kembang Kuning merupakan populasi yang merasakan akibat adanya pencemaran dari industri tersebut. Hal ini yang membuat mereka menjadi populasi yang beresiko tinggi terkena pajanan debu dari aktifitas industri tersebut. Pengaruh-pengaruh tersebut antara lain membahayakan kesehatan manusia, menurunkan kualitas lingkungan dan mempengaruhi kualitas material. Besarnya pengaruh-pengaruh ini merupakan fungsi dari distribusi ukuran partikel, konsentrasi dan komposisi fisik dan kimia partikulat. Pencemaran udara yang bersumber dari adanya aktifitas kegiatan industri dan kendaraan bermotor di Kabupaten Bogor kian lama kian terasa seiring dengan aktifitas lalu lintas dan pertambahan jumlah kendaraan.7 Salah satu gangguan yang mungkin disebabkan oleh pencemaran kualitas udara dalam ruangan (indoor air quality) adalah ISPA. ISPA dapat meliputi bagian atas saja dan bahkan bagian bawah seperti laringitis, tracheobronchitis, bronchitis dan pneumonia. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernafasan akut yang meliputi saluran pernafasan bagian atas seperti rhinitis, fharingitis, dan otitis serta saluran pernafasan bagian bawah seperti laryngitis, bronchitis, bronchiolitis dan pneumonia, yang dapat berlangsung selama 14 hari. Batas waktu 14 hari diambil untuk menentukan batas akut dari penyakit tersebut. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung sampai alveoli beserta organ seperti sinus, ruang telinga tengah dan pleura.8 Pada umumnya suatu penyakit saluran pernafasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan.Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernafasan dan mungkin meninggal.Bila sudah dalam kegagalan pernafasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernafasan.9
Faktor lingkungan memegang peranan yang penting dalam menentukan terjadinya proses interaksi antara host dengan agent dalam proses terjadinya penyakit. Secara garis besarnya lingkungan terdiri dari lingkungan fisik, biologis dan sosial.Keadaan fisik sekitar manusia berpengaruh terhadap manusia baik secara langsung maupun tidak terhadap lingkungan–lingkungan biologis dan lingkungan sosial manusia. Lingkungan fisik (termasuk unsur kimia) meliputi udara, kelembaban, air dan pencemaran udara. Berkaitan dengan ISPA adalah termasuk air borne disease karena salah satu penularannya melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan.10 Kasus rawat jalan penyakit ISPA merupakan penyakit yang masih termasuk golongan 10 besar penyakit di Rumah Sakit. di lihat dari golongan umur 0-28 hr berjumlah 266 jiwa (23,52 %), golongan umur 28 hr - <1 thn berjumlah 1.769 jiwa (27,99 %), golongan umur 1-4 thn berjumlah 2.877 jiwa (14,52 %), golongan umur 5 – 44 tahun berjumlah 4.383 jiwa (14,52 %) golongan umur 45 – 69 th berjumlah 512 jiwa (4,66 %) dan > 70 thn berjumlah 70 (2,31%).11 Data pengukuran kualitas udara untuk parameter debu (TSP) yang diambil oleh9, pada wilayah pemukiman di kelurahan Pulau Buluh berhadapan langsung dengan kawasan industri Shipyard diketahui konsentrasi TSP sebesar 257 µg/m3. Kadar debu tersebut telah melampaui ambang batas baku mutu kadar debu sesuai PP No 41 Tahan 1999 yaitu sebesar 230 µg/m3. Sedangkan hasil rekapan tahunan data penyakit pada Puskesmas Klapanunggal menunjukkan gejala penyakit yang paling banyak dikeluhkan masyarakat Kecamatan Klapanunggal adalah penyakit ISPA, Pada tahun 2012 jumlah pasien ISPA yang tercatat adalah 505 orang, sedang untuk tahun 2013 tercatat 650 orang. Sebagian gejala-gejala mereka adalah batuk-batuk yang lama (lebih dari 1 bulan), batuk kering tidak berdahak, tapi kemudian berdahak, sesak nafas terutama pada aktifitas, sehingga mengurangi kemampuan kerja sehari hari kedua penyakit ini merupakan sebagian dari penyakit yang disebabkan adanya pencemaran udara.12 Dari hasil laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor tahun 2011 berdasarkan pola penyakit penderita rawat
jalan di Puskesmas Kabupaten Bogor penyakit ISPA merupakan urutan no satu dari 10 bear penyakit. Berdasrkan golongan umur 0- 28 hr jumlah kasus ISPA sebanyak 1.304 jiwa (40,33%), golongan umur 29 hr - <1 th berjumlah 55.747 jiwa (46,65 %), golongan umur 1- 4 th berjumlah 114.546 jiwa (46,20%), golongan umur 5 – 44 th berjumlah 285,744 jiwa (32,17 %), golongan umur 45 – 69 th berjumlah 80,959 jiwa (19.31 %), dan >70 th berjumlah 9.629 Jiwa (17,71 %).13 Topik penelitian ini sebatas pada pengukuran kualitas udara di sekitar udara pabrik dengan konsentrasi pengukuran parameter debu serta pengamatan kejadian gejala penyakit saluran pernapasan dikalangan penduduk sekitar pabrik semen di Desa Kembang Kuning Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor.14 Definisi lain mengatakan debu merupakan salah satu polutan yang dapat mengganggu kenikmatan kerja. Debu juga dapat mengakibatkan gangguan pernafasan bagi pekerja pada industri-industri yang berhubungan dengan debu pada proses produksinya. Debu juga sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara (suspended particulate metter/SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500 mikron. Polutan merupakan bahan-bahan yang ada di udara yang dapat membahayakan kehidupan manusia.15 Dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui hubungan tingkat Kadar debu dan kondisi lingkungan rumah terhadap kejadian ISPA sekitar pabrik semen x KecamatanKlapanunggal Kabupaten Bogor Tahun 2014 Metode Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yang digunakan untuk mendeskripsikan atau memberikan gambaran dengan menggunakan tekhnik penelitian kuantitatif, yaitu penelitian yang datanya dikumpulkan dan disajikan dalam betuk angka-angka. Penelitian ini, menggunakan kuesioner sebagai alat untuk menggumpulkan data. Populasi dari penelitian ini adalah semua masyarakat yang berada di wilayah Kecamatan Klapanunggal sebanyak 87.564 Jiwa Tahun 2014. Penelitian ini akan meneliti
tingkat kadar debu dan kondisi lingkungan rumah terhadap kejadian ISPA di sekitar pabrik semen X. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel dalam penelitian adalah masyarakat yang tinggal dalam jarak 1000 meter dari pabrik semen yaitu di Desa Kembang Kuning Kecamatan Klapanunggal. Dari laporan tahunan puskesmas klapanunggal di peroleh data sebagai berikut prevalensi ISPA adalah 45 % jadi jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah jika peneliti presisi mutlak sebesar 10 % dengan derajat kepercayaan 95 % sebanyak 95 Orang. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini dengan mempergunakan data primer berupa kuesioner. Kuisioner yang dipergunakan sebelumnya diuji coba dulu. Uji coba dilakukan dengan cara mengambil 10 responden yang mengalami penyakit ISPA untuk mengisi kuisioner dilakukan di Puskesmas Klapanunggal. Cara pengumpulan data alat pengukur data yang dipakai dalam penelitian ini adalah: 1. Kadar debu ambien (PM10) di ukur dengan menggunakan Elektonik Presipitator/EP1 Type 424). Dengan Sistim Online yang sudah di tanfer melalui komputer, sehingga penulis tinggal melihat data di komputer. Baru kemudian peneliti bergerak menuju masyarakat yang menjadi sampel tersebut 2. Pengukuran suhu dengan menggunakan thermometer 3. Pengukuran hygrometer
Kelembaban
dengan
4. Untuk ventilasi dan kepadatan hunian dengan menggunakan meteran. Pengolahan data dilakukan melalui proses editing data, koding, cleaning data dan prosecing. Hasil Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden (62,1%) mengalami ISPA. Dari variabel yang diteliti menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak memenuhi syarat dalam hal kadar debu rumah,
kepadatan hunian rumah, ventilasi rumah, suhu rumah, dan kelembaban rumah (Tabel 1). Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan variabel yang diteliti Variabel ISPA
Kategori Ya Tidak Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat
Debu
Kepadatan Hunian
Ventilasi
Suhu
Kelembaban
ventilasi rumah setelah diuji statistik menghasilkan pvalue = 0,034 yang berarti ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA. Hasil analisis lebih lanjut didapatkan OR= 2,900 artinya responden yang ventilasi rumahnya tidak memenuhi syarat beresiko 2,900 kali menderita ISPA dibandingkan responden yang ventilasi rumahnya memenuhi syarat.
n 36 59 58
% 37,9 62,1 61,1
37
38,9
23
24,2
72
75,8
Sedangkan variabel kepadatan hunian, suhu, dan kelembaban tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kejadian ISPA. Hal ini berdasarkan nilai Pvalue yang lebih dari 0,05 (Tabel 2).
57
60
Pembahasan
38
40
Hubungan Debu Dengan Kejadian ISPA
54
56,8
41
43,2
59
62,1
36
57,9
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel kadar debu rumah berhubungan secara signifikan dengan kejadian ISPA. Dibuktikan secara statistik dengan pvalue = 0,017. Variabel ini dapat memperbesar risiko untuk kejadian ISPA lebih dari 3 kali (OR = 3,383) dibandingkan responden yang kadar debu rumahnya memenuhi syarat. Begitu pun dengan variabel
Dari hasil penelitian ini, diketahui 37 responden dengan kadar debu yang memenuhi syarat yang tidak menderita penyakit ISPA adalah sebesar 8 (21,6%) responden dan dari 58 responden dengan kadar debu yang tidak memenuhi syarat yang “ya” menderita penyakit ISPA adalah sebesar 30 (51,7%) responden. Dan berdasarkan hasil uji statistic didapat p-value (p = 0,017), bahwa “Ada hubungan antara debu dengan kejadian ISPA”. Dalam kasus pencemaran udara baik dalam maupun di luar gedung (indoor and out door pollution) debu merupakan campuran dari berbagai bahan dengan ukuran dan bentuk yang relatif berbeda-beda dan sering dijadikan salah satu indikator pencemaran yang digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya, baik terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja.
Tabel 2. Kejadian ISPA berdasarkan debu, kepadatan hunian, ventilasi, suhu, dan kelembaban ISPA Variabel Debu Kepadatan Hunian Ventilasi Suhu Kelembaban
Kategori Tidak Memenuhi Syarat Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat Memenuhi Syarat
Tidak n 28 8 8 28 27 9 24 12 26 10
% 48.3 21.6 34.8 38.9 47.7 23.7 44.4 29.3 44.1 27.8
Ya n 30 29 15 44 30 29 30 29 33 26
% 51.7 78.4 65.2 61.1 52.6 76.3 55.6 70.7 55.9 72.2
OR
Pv
3,383
0.017
-
0.915
2.900
0.034
-
0.195
-
0.171
Pengaruh debu terhadap kesehatan itu sendiri sangat berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat yang berada di lingkungan industri tersebut. Hal ini perlu adanya pencegahan terhadap pengaruh debu itu agar tidak dapat menimbulkan penyakit ISPA lebih banyak lagi. Partikel debu yang berdiameter > 10 μ yang disebut coarse particle merupakan indikator yang baik tentang adanya kelainan saluran pernafasan, karena adanya hubungan yang kuat antara gejala penyakit saluran pernafasan dengan kadar partikel debu di udara. Menurut peneliti, salah satu faktor predisposisi yang dapat memnyebabkan menderita penyakit ISPA adalah kadardebu. Kadar debu yang berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayanglayang di udara, kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan. Hubungan Kepadatan Kejadian ISPA
Hunian
dengan
Dari hasil penelitian ini, diketahui 72 responden yang kepadatan hunian rumahnya memenuhi syarat yang tidak menderita penyakit ISPA adalah sebesar 28 (38,9%) responden dan dari 23 responden yang kepadatan hunian rumahnya tidak memenuhi syarat yang ya menderita penyakit ISPA adalah sebesar 15 (65,2%) responden. Dan berdasarkan hasil uji statistic didapat p-value (p = 0,915), bahwa “Tidak ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA”. Penelitian ini juga sejalan dengan yang dilakukan oleh Diana Maryani tentang hubungan antara kondisi lingkungan dengan kejadian ISPA di Kelurahan Bandarharjo Semarang 2012 yang menunjukkan tidak ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA dengan p value =0,137 (p value> 0,05) Rumah yang tidak sehat dapat menjadi reservoir penyakit bagi seluruh lingkungan, jika kondisi tidak sehat bukan hanya pada satu rumah tetapi pada kumpulan rumah (lingkungan pemukiman). Timbulnya permasalahan kesehatan dilingkungan pemukiman pada dasarnya disebabkan karena tingkat kemampuan ekonomi yang rendah, karena rumah dibangun berdasarkan kemampuan penghuninya.7
Luas ruang tidur minimal 8 M2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu kamar tidur. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya oksigen di dalam ruangan sehingga daya tahan penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan seperti ISPA.1 Tingkat kepadatan hunian tempat tinggal yang tinggi dapat menyebabkan tingginya tingkat pencemaran lingkungan.Sehingga angka kesakitan semakin meningkat. Hal ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi angka kesakitan di daerah perkotaan lebih tinggi daripada angka kesakitan di pedesaan karena tingkat kepadatan penduduk dan pencemaran lingkungan di kota lebih tinggi daripada di desa. Kepadatan hunian dalam suatu rumah sangat rentan terhadap suatu penyakit terutama bagi masyarakat yang memiliki luas ruangan yang sempit atau tidak sesuai dengan persyaratan rumah sehat. Hubungan Ventilasi dengan Kejadian ISPA Dari hasil penelitian ini, diketahui 38 responden yang ventilasi rumahnya memenuhi syarat yang tidak menderita penyakit ISPA adalah sebesar 9 (23,7%) responden dan dari 57 responden yang ventilasi rumahnya tidak memenuhi syarat yang ya menderita penyakit ISPA adalah sebesar 30 (52,6%) responden. Dan berdasarkan hasil uji statistic didapat p-value (p = 0,030), bahwa “Ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA”. Penelitian ini juga sejalan dengan yang dilakukan oleh Safitri Liana Rahyuni yang menunjukkan adanya hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Jekulo Kudus dengan p value =0,001 (p value< 0,05). Luas ventilasi merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat menjadi faktor risiko penyakit ISPA mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu sebagai sarana untuk menjamin kualitas dan kecukupan sirkulasi udara yang keluar dan masuk dalam ruangan. Ventilasi adalah proses udara segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun buatan.10 Luas ventilasi alamiah yang permanen minimal adalah 10% dari luas lantai.Ventilasi
yang memenuhi syarat dapat menghasilkan udara yang nyaman dengan temperatur 220C dan kelembaban 50-70%.8 Secara umum penilaian ventilasi rumah dapat dilakukan dengan cara melihat indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah lebih dari sama dengan 10% dari luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah kurang dari 10% dari luas lantai rumah.10 Semakin kecilnya ventilasi dalam rumah maka sirkulasi udara dalam ruangan tidak baik.Begitu juga dengan pentilasi yang tidak menggunakan skrin atau penangkap debu maka debu dari luar rumah dapat masuk kedalam kamar ini juga menjadi faktor penyebab timbulnya penyakit ISPA. Hubungan Suhu Dengan Kejadian ISPA Dari hasil penelitian ini, diketahui 41 responden yang suhu rumahnya memenuhi syarat yang tidak menderita penyakit ISPA adalah sebesar 12 (29,3%) responden dan dari 54 responden yang suhu rumahnya tidak memenuhi syarat yang ya menderita penyakit ISPA adalah sebesar 30 (55,6%) responden. Dan berdasarkan hasil uji statistic didapat p-value (p = 0,195), bahwa “Tidak ada hubungan antara suhu dengan kejadian ISPA”. Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 1830°C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumahdibawah 18°C atau di atas 30°C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor resiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali. Suhu dalam ruangan berperan untuk menjaga rumah dalam kelembaban optimal untuk membebaskan bakteri dan virus.11 Kualitas udara yang kurang baik dapat memicu berbagai penyakit yang berhubungan dengan saluran pernapasan, termasuk ISPA. Kualitas udara yang baik dalam rumah diantaranya harus memenuhi beberapa ketentuan diantaranya kelembaban udara dalam rumah berkisar antara 40-70%, suhu udara yang nyaman berkisar antara 180-300 Celcius, dan pertukaran udara = 5 kaki.
Hubungan Kelembaban Dengan Kejadian ISPA Dari hasil penelitian ini, diketahui 36 responden yang kelembaban rumahnya memenuhi syarat yang tidak menderita penyakit ISPA adalah sebesar 10 (27,8%) responden dan dari 59 responden yang kelembaban rumahnya tidak memenuhi syarat yang ya menderita penyakit ISPA adalah sebesar 33 (55,9%) responden. Dan berdasarkan hasil uji statistic didapat p-value (p = 0,171), bahwa “Tidak ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian ISPA”. Penelitian ini juga sejalan dengan yang dilakukan oleh Diana Maryani tentang hubungan antara kondisi lingkungan dengan kejadian ISPA di Kelurahan Bandarharjo Semarang 2012 yang menunjukkan tidak ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian ISPA dengan p value =0,064 (p value> 0,05). Kelembaban rumah yang tinggi dapat mempengaruhi penurunanan daya tahan tubuh seseorang dan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama penyakit infeksi.Kelembaban juga dapat meningkatkan daya tahan hidup bakteri. Kelembaban dianggap baik jika memenuhi 40-70% dan buruk jika kurang dari 40% atau lebih dari 70%.8 Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang tidak lancar akanmempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah sehingga kelembaban udaranya tinggi.Sebuah rumah yang memiliki kelembaban udara tinggi memungkinkan adanya tikus, kecoa dan jamur yang semuanya memiliki peran besar dalam pathogenesis penyakit pernafasan.9 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai diperoleh kesimpulan bahwa ISPA masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang belum ditangani dengan baik. Faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA adalah kadar debu rumah dan ventilasi rumah. Sedangkan faktor faktor kepadatan hunian, suhu, dan kelembaban rumah tidak menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik.
Daftar Pustaka 1. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2005 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Jakarta; 2005. 2. Mukono HJ. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran Pernafasan. Surabaya: Airlangga University Press; 2008. 3. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah. Pengertian Pencemaran Udara. Jakarta; 2006. 4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2008 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Jakarta; 2008. 5. Suma‟mur PK. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung; 1996. 6. Balai Tekhnik kesehatan lingkungan dan P2M kelas 1 Batam 2007 pengukuran kualitas Udara dan Pemngukuran Debu. 2007. 7. Sumantri A. Kesehatan Lingkungan. Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Jakarta; 2007. 8. Departemen Kesehatan, Direktorat Jendral PPM & PL. Rencana Kerja Jangka menengah Nasional penanggulangan
9.
10.
11.
12.
13.
14.
pneumonia Balitatahun 2005 – 2009. Jakarta; 2005. Dinas Kesehatan kabupaten Bogor. Profil Kesehatan Kabupaten Bogor tahun 2013. Bogor; 2013. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Jakarta; 2004. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah. Pengendalian Pencemaran Udara. Jakarta; 2006. Notoatmodjo S. Pendidikan Kesehatan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2007. Lubis I, Sumantri A, Lubis ZS. dan Moechlas. Pola Pengobatan dan Faktor Resiko Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Bayi dan Balita SKRT 2002. Jakarta; 2002. Departemen Kesehatan. Direktorat Jendral PPM & PL. Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut, Jakarta.Kepmenkes RI No 829 tahun 1999. Tentang kesehatan perumahan tahun 1999. Jakarta; 2006.
15. Buston. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: PT. Rineka
Tidak Cipta.