PARTISIPASI POLITIK SEBAGAI REFLEKSI DARI PENDIDIKAN SIPIL HONG KONG STUDI KASUS: UMBRELLA MOVEMENT Suryawati, Vania Tirza, Xuc Lin Universitas Bina Nusantara, Jalan Kemanggisan Ilir III/45, Kemanggisan/Palmerah, 021-5327630 E-mail: 1;
[email protected];
[email protected]@gmail.com
ABSTRACT
Umbrella Movement is a movement that is dominated by students in Hong Kong. This movement is caused by the policy of Beijing government on 31st August 2014 about the election of chief-executive position in Hong Kong at 2017. The purpose of this study is to cognize the relation of civic education system in Hong Kong with the students’ activeness who participate in political participation. Research method applied was qualitative method. Analysis was done by the explanation of Umbrella Movement background and its relation with Hong Kong education history, then followed by Hong Kong civic education analysis. It is concluded there’re factors contained in the application of civic education in Hong Kong that become the factors driving the activity of political participation of the students through Umbrella Movement, such as extra curricular activities and service learning. Keywords: Umbrella Movement, political participation, civil education ABSTRAK
Umbrella Movement merupakan sebuah gerakan yang didominasi kaum pelajar Hong Kong karena kebijakan pemerintah Beijing pada tanggal 31 Agustus 2014 mengenai mekanisme pemilihan umum kepala eksekutif Hong Kong di tahun 2017. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan sistem pendidikan sipil Hong Kong dengan keaktifan kaum pelajar dan mahasiswa dalam berpartisipasi politik. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Analisis dilakukan dengan penjelasan mengenai latar belakang Umbrella Movement dan hubungannya dengan sejarah pendidikan Hong Kong, kemudian dilanjutkan dengan analisis pendidikan sipil Hong Kong. Melalui analisa ini, disimpulkan bahwa adanya faktor-faktor didalam penerapan pendidikan sipil Hong Kong yang menjadi salah satu faktor pendorong keaktifan partisipasi politik kaum pelajar lewat Umbrella Movement, seperti kegiatan ekstra kulikuler dan service learning. Kata kunci: Umbrella Movement, partisipasi politik, pendidikan sipil
1
2
PENDAHULUAN Pada tanggal 31 Agustus 2014, pemerintah Beijing mengeluarkan kebijakan mengenai mekanisme pemilihan umum kepala eksekutif Hong Kong di tahun 2017. Dengan munculnya kebijakan tersebut, pada September 2014 munculah sebuah gerakan yaitu Umbrella Movement yang didominasi kaum pelajar dan mahasiswa. Aksi ini dimotivasi atas dasar kekhawatiran akan kebebasan yang kian merosot oleh kawasan bekas koloni Inggris ini. Padahal pada tanggal 19 Desember 1984, China dan Inggris telah mendatangani Sino-British Joint Declaration. Perjanjian ini berisi prinsip “one-country, two-system” supaya Hong Kong dapat mempertahankan sistem kapitalis dan gaya hidupnya. Deklarasi bersama itu menyatakan bahwa sistem sosial dan ekonomi di Hong Kong tidak akan berubah, demikian pula cara hidup warganya selama 50 tahun. Namun terjadinya banyak pergerakan membuktikan bahwa deklarasi ini masih tidak dapat memberikan rasa aman terhadap masyarakat Hong Kong. Puluhan ribu pelajar dan mahasiswa memulai aksi Umbrella Movement pada 22 September 2014 dengan melakukan aksi boikot tidak masuk kelas. Para dosen dan guru pun mendukung dengan membuka kelas terbuka untuk belajar di jalanan. Para warga mendukung dengan ikut turun memblokade jalan dan menduduki kawasan-kawasan penting: Admiralty (pusat pemerintahan), Causeway Bay (pusat perbelanjaan), dan Mong Kok (pusat bisnis dan lalu lintas paling sibuk di Hong Kong) sehingga menyebabkan kelumpuhan ekonomi. Banyaknya kaum pelajar dan mahasiswa yang bergabung dalam aksi Umbrella Movement menunjukkan bahwa pendidikan merupakan suatu pertanda kuat akan keterlibatan masyarakat. David E. Campbell, dalam jurnal penelitiannya mengutip pernyataan Putnam (2000) : “Pendidikan merupakan salah satu prediktor yang paling penting, bahkan merupakan yang paling penting dari banyak bentuk partisipasi sosial termasuk pemungutan suara sampai keanggotaan asosiasi, dari menduduki komite lokal sampai mengadakan pesta makan malam hingga mendonorkan darah. Hal yang sama berlaku untuk pria dan wanita dan untuk semua ras hingga generasi. Pendidikan, secara singkat, merupakan prediktor keterlibatan masyarakat yang sangat kuat.” Karena pendidikan merupakan suatu pertanda kuat akan keterlibatan masyarakat, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai partisipasi politik yang juga termasuk dalam partisipasi masyarakat sebagai refleksi pendidikan sipil Hong Kong dalam studi kasus: Umbrella Movement. Dalam penelitian ini, tinjauan pustaka yang digunakan berasal dari Mandey (2014) yang menyatakan bahwa tuntutan demokrasi muncul dari kalangan pelajar, mahasiwa dan akademisi. Di kalangan kelompok pelajar, Alex Chow dan Lester Shum memimpin Federasi Pelajar Hong Kong, sedangkan Joshua Wong memimpin gerakan Scholarism. Ketiganya ditahan saat para pelajar mulai turun ke jalan menggelar protes. Pendukung gerakan aksi demokrasi terutama berasal dari kalangan pelajar dan mereka yang berpenghasilan lebih dari USD 100.000. Selain itu, Fang Jun dan Xiong Xianjun (2010) dalam bukunya menuliskan bahwa pada masa penjajahan Inggris, melalui percobaan untuk melaksanakan program pendidikan bahasa Inggris serta pendidikan dalam pengetahuan ilmiah membuat para generasi muda Hong Kong mengakui akan kebudayaan Inggris, bahkan mereka menjadi bagian dari “misionaris pro-Inggris” dan melalui mereka untuk memperluas pengaruh budaya Inggris terhadap China. Selain itu, dalam aspek pendidikan, pihak yang berwewenang atas pendidikan Hong Kong selalu mempertahankan pandangan mengenai “kebebasan berpikir” dan “pendidikan netral”, tidak pernah memunculkan gagasan pendidikan yang terpusat. Print, Ornmstorn dan Nielsen (2002) juga berpendapat kurikulum pendidikan sipil menggunakan metode pengajaran yang aktif, seperti bermain peran, drama, dan pengambilan keputusan dalam kelompok. Semuanya ini akan memiliki dampak yang relatif besar masing-masing orang. Secara khusus seperti yang disampaikan oleh Purta, Lehmann, Oswald dan Widmar (2001).
3 Mereka berpendapat bahwa percakapan yang menyebabkan isu-isu kontroversial, pertukaran pendapat, menunjukkan suatu sikap, toleransi, saling menghormati pendapat yang berbeda, dukungan terhadap keadilan sosial dan lain sebagainya yang pengajaran kelasnya bersifat terbuka, sering terkait dengan sikap dan kemampuan untuk mendidik masyarakat menjadi masyarakat yang aktif. Tinjauan pustaka terakhir yaitu berasal dari Lai dan Wu (2003) yang menemukan bahwa pembelajaran yang berdasarkan pengalaman (experiential learning) adalah cara yang efektif dalam belajar pendidikan sipil. Hal ini mencakup berbagai macam partisipasi pelajar dalam pengambilan keputusan, seperti pertemuan pelajar atau organisasi pelajar lainnya. Robinson (2000) juga menunjukkan bahwa pembelajaran yang berdasarkan pengalaman dan program pelajaran pelayanan (service learning) dapat menekankan ulasan tingkat politik dan keadilan sosial, serta secara efektif dapat mendorong kepribadian pelajar, pengembangan interpersonal pelajar dan masyarakat yang aktif. Melalui studi kasus Umbrella Movement, penulis akan menganalisa hubungan antara pendidikan sipil Hong Kong dengan partisipasi politik untuk mengetahui bagaimana terjadinya Umbrella Movement, pendidikan sipil yang dimiliki Hong Kong serta hubungan antara Umbrella Movement dengan pendidikan sipil Hong Kong. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang dan kronologi dalam Umbrella Movement, pendidikan sipil di Hong Kong dan hubungan antara pendidikan sipil Hong Kong dengan partisipasi politik yang menjadi salah satu pendorong terjadinya Umbrella Movement. Penulis berharap agar para pembaca dapat memahami pengaruh pendidikan sipil terhadap partisipasi politik. Melalui penelitian ini penulis juga berharap agar penelitian ini dapat menjadi pembuka untuk penelitian yang akan datang.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan bantuan studi pustaka yaitu dari buku elektronik, artikel, jurnal dan hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan topik penelitian penulis. Pertama, penulis akan mencari beberapa data informasi mengenai Umbrella Movement untuk memahami pengertian, latar belakang, peserta serta tujuan dari Umbrella Movement. Selanjutnya penulis akan mencari data informasi mengenai pendidikan sipil Hong Kong termasuk kurikulum yang hingga pendidikan moral. Selanjutnya, semua data informasi ini akan dihubungkan dengan teori civic education dan partisipasi politik yang menjadi bagian dari pendidikan.
HASIL DAN BAHASAN 1.
Latar belakang Umbrella Movement
China dan Inggris bersama-sama menandatangani Deklarasi Sino-British Joint pada 19 Desember 1984. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa dibawah prinsip satu negara dua sistem,
4 pemerintah China memastikan bahwa sistem sosialisme yang dijalankan di China tidak akan diimplementasikan di daerah khusus Hong Kong yang menganut sistem sosial kapitalis dan cara hidup di daerah khusus Hong Kong tidak akan berubah selama 50 tahun. Pada 31 Agustus 2014 pemerintah pusat China mengeluarkan kebijakan baru tentang mekanisme pemilihan kepala eksekutif Hong Kong ditahun 2017 yang menyatakan bahwa kandidat calon kepala eksekutif harus disetujui terlebih dahulu oleh panitia pemilihan umum yang terdiri dari pejabat, oligarki (kelompok elit masyarakat), dan tokoh-tokoh pro-Beijing. Dengan diterbitkannya mekanisme baru tersebut munculah sebuah gerakan yang sebagian besar digerakkan oleh kaum pelajar dan mahasiswa/i yaitu Umbrella Movement. Hal ini diperkuat dengan hasil survei Short Message Peer-to-Peer Protocol (SMPP) dari kelompok peneliti Umbrella Movement yang diketuai oleh Jin Peiwei. Hasil survei menunjukkan bahwa 1.436 peserta yang ikut dalam Umbrella Movement, 61% berasal dari kalangan mahasiswa/i. Survei tersebut juga menunjukkan rentan umur peserta Umbrella Movement didominasi dengan 31.8% berumur 26-35 tahun dan 26.7% berusia 18-25 tahun. Perkerjaan dari peserta Umbrella Movement didominasi dengan 26.7% pelajar dan mahasiswa/i, 10.9% dengan pekerjaan sebagai profesional, 8.1% bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Alasan ikut dalam Umbrella Movement, sebanyak 90.5% demi mempertahankan hak pilih universal dan nominasi masyarakat, 76.5% untuk mempertahankan pemerintahan yang demokrasi, 69.4% karena menganggap dirinya sebgai masrayarat Hong Kong, 65.8% untuk mendukung dan melindungi para pelajar, 65.5% untuk melawan kekerasan yang digunakan oleh pihak polisi, dan 65% menuntut untuk menarik kembali keputusan mengenai mekanisme pemilihan kepala eksekutif 2017. 22 September 2014 pada pagi hari, para pelajar melaksanakan aksi boikot tidak masuk kelas dalam skala besar. Pada saat itu, pancaran sinar matahari yang begitu terik membuat pelajar satu persatu mulai menggunakan payung karena takut terpancar sinar matahari dan aksi pelajar ini dilihat sebagai tindakan manja. Namun, digunakannya payung sebagai alat pelindung dari semprotan merica telah dilakukan pertama kali pada 27 September 2014 subuh hari. Para pelajar berada di luar pusat pemerintahan melawan para polisi. Kemudian pada 28 September 2014, pihak polisi menembakkan 87 gas air mata dan para demonstran membentuk payung untuk menangkis semprotan tersebut. Media barat menamakan aksi ini sebagai Umbrella Revolution atau revolusi payung. Namun jika dilihat dari pihak Beijing, kata revolusi merupakan kata yang sangat reaksioner dan juga merupakan kata yang sangat sensitif. Para pelajar Hong Kong demi menghindari memprovokasi China, maka mengubahnya menjadi Umbrella Movement atau gerakan payung. Pada saat gerakan ini dimulai, salah satu anggota Aliansi Demokratik untuk Perbaikan dan Kemajuan Hong Kong, Liang Zhixiang, menyatakan bahwa beliau menganggap payung sebagai senjata. Namun banyak masyarakat yang tidak sependapat dengannya dan merasa bahwa ditangan para pelajar tidak ada senjata besi, payung hanya digunakan untuk melindungi diri dari semprotan merica yang disemprotkan oleh petugas kepolisian, hal ini perlu didukung dan dilindungi. Sebuah gambar yang mengejutkan dunia yaitu: seorang pria berpakaian hitam ditengah ketebalan asap, kedua tangannya memegang dua payung hitam, mengungkapkan ketidakberdayaannya, namun tetap memiliki keberanian untuk melawan. Dalam bahasa daerah Guang Dong, “memegang payung” memiliki dua arti, pertama yaitu membuka payung, yang kedua yaitu mendukung. Lagu “Angkatlah Payung” merupakan lirik yang ditulis oleh Lin Xi dan merupakan lagu yang digunakan pada saat demonstran berlangsung. Para demonstran yang menduduki wilayah dengan menyanyikan : ”Bersama-sama mengangkat payung, bersama-sama membuka payung”, memberitahu masyarakat untuk bersatu dan mendukung gerakan tersebut. Gerakan ini muncul karena masyarakat Hong Kong yang menjadi wilayah bekas koloni Inggris ini memiliki kekhawatiran terhadap hak kebebasan yang dikontrol dan dibatasi. Para pendukung Umbrella Movement menolak keputusan pemerintah pusat China tentang kebijakan mekanisme pada pemilihan kepala eksekutif Hong Kong pada tahun 2017 dan masyarakat tetap menginginkan demokrasi dan hak pilih universal. Menurut jaringan berita televisi China – New Tang Dynasty Television (NTDTV), Umbrella Movement ini tidak memiliki pemimpin dan tidak memerlukan pemimpin karena semua orang dengan berbagai macam profesi, karena kedisiplinan, kualitas masyarakat dan perjuangan hak pilih universal tetap akan berlanjut dan masyarakat Hong Kong telah menuliskan kisah tentang proses masyarakat tiongkok dalam memperjuangkan demokrasi.
2. 2.1
Hubungan konflik pendidikan sipil Hong Kong terhadap Umbrella Movement
Umbrella Movement sebagai reaksi terhadap ketakutan ibu pertiwi Pada 5 Mei 2011, “Moral and National Education Curriculum Guide (Primary 1 to Secondary 6)” yang diterbitkan, menjelaskan bahwa tujuan pembelajaran dengan ruang lingkup nasional adalah "untuk memelihara identitas nasional sebagai pusat inti,… melalui situasi belajar yang sistematis,
5 mengarahkan siswa untuk mengeksplorasi peluang dan tantangan pembangunan nasional, membuat penilaian yang baik dan masuk akal,… bersedia demi kesejahteraan negara dan masyarakat, memperkuat persatuan dan harmoni serta peduli terhadap perasaan bangsa." dan menyarankan sekolah untuk mengadakan pelajaran mingguan untuk mempelajari pendidikan moral dan nasional. Tapi pada 21 Agustus 2011, Scholarism untuk pertama kalinya melakukan demonstrasi anti pencucian otak (anti-brainwashing) untuk meminta agar menarik kembali pelajaran pendidikan nasional. Sekitar 200 orang berpartisipasi dalam aksi ini dan telah mengumpulkan lebih dari dua puluh ribu tanda tangan orang-orang yang juga menolak keputusan terkait pendidikan nasional. Dari penelitian mengenai guru sekolah dasar dan menengah terkait pelajaran pendidikan moral dan pendidikan nasional, ditemukan bahwa 85% dari responden guru mengatakan bahwa konsultasi kurikulum tidak cukup. Pada 30 April 2012, pemerintah mengumumkan revisi baru dari panduan kurikulum pendidikan moral dan nasional. Di dalamnya ditetapkan bahwa sekolah dasar kelas satu hingga SMP kelas tiga harus membuat pelajaran mandiri dan berkembang dalam kurun waktu tiga tahun. Ketentuan tersebut nantinya harus ditentukan oleh keinginan dari pihak Beijing. Pendidikan moral mengajarkan siswa untuk memiliki moral yang baik dan pendidikan nasional menggerakkan pelajar Hong Kong agar memiliki kesetiaan terhadap daratan China. Pada akhir Juni 2012, Dinas Pendidikan Pusat Nasional (Qing Yi) mengirimkan buku pedoman China untuk pengajaran mengenai kondisi negara atau lebih sering disebut dengan “China Model”. Buku pedoman ini dikirim ke sekolah-sekolah dan dijelaskan mengenai bagaimana menentukan dasar tema pengajaran meskipun rincian isi kurikulum belum ditentukan. Kurikulum baru ini sama seperti pendidikan patriotik yang diajarkan di China yang menggambarkan kelompok penguasa China yang “progresif, tanpa pamrih dan memiliki rasa kesatuan”. Hal ini mendapat kritikan dahsyat dari masyarakat, para pelajar melihat buku pedoman ini sebagai indoktrinasi dan pencucian otak. Mereka mulai membentuk gerakan untuk menolak keputusan itu. Para orang tua mengadakan pertemuan untuk pertama kali dan bersama-sama menandatangani pernyataan menuntut penarikan pelajaran pendidikan nasional. Pada 29 Juli 2012, orang tua, pelajar, dan perkumpulan masyarakat sosial lainnya bergabung dengan serikat masyarakat untuk menolak pendidikan nasional hingga memobilisasi puluhan ribu demonstran. Pada keesokan harinya, Scholarism mulai bergerak menempati departemen pemerintah yang terletak di Admiralty. Pelajar dan peserta lainnya melakukan mogok makan. Pada saat gerakan berakhir, pemerintah pun akhirnya mundur, menarik kembali pendidikan nasional dan tidak mengijinkan sekolah untuk memperkenalkan kurikulum baru yang dibuat sendiri oleh sekolah. Umbrella Movement merupakan puncak dari proses panjang demokratisasi di Hong Kong. Pelajar, yang mengambil peran utama dalam kampanye politik sejak tahun 1970, sekali lagi telah mengambil peran utama dalam Umbrella Movement. Sistem koloni pemerintahan Inggris membuat revolusi demokrasi Hong Kong menjadi lambat. Di sisi lain, kekuasaan pemerintah China khawatir akan kekuasaan yang lebih besar yang ada di pemerintah Hong Kong dan juga efek dari potensi kekuasaan tersebut. 2.2 Umbrella Movement yang menjadi refleksi dari pendidikan sipil Hong Kong 2.2.1 Tiga masa sejarah pendidikan Hong Kong Pendidikan sipil dan pendidikan nasional dalam perkembangan Hong Kong dapat dibagi menjadi tiga periode. Sebelum tahun 1997, Hong Kong di bawah pemerintahan Inggris selalu menghindari konsep "nasional". Tujuan pendidikan sipil pada saat itu adalah “menjaga stabilitas sosial dan mendorong rasa tanggung jawab terhadap sosial.” Peraturan pendidikan menetapkan pengajaran dan semua aktivitas sekolah tidak boleh melibatkan hal politik. Pelajaran pendidikan sipil yang asli telah diganti menjadi mata pelajaran ekonomi dan mata pelajaran masalah publik, menekankan pada pengenalan pemerintah namun tidak mendukung partisipasi politik, bahkan mengecilkan topik-topik mengenai penyelesaian masalah politik. Hingga pada tahun 1996 sebelum Hong Kong kembali ke China, pemerintah Inggris-Hong Kong mengeluarkan “The Guidlines on Civic Education in Schools”, yaitu panduan pendidikan sipil. Dalam panduan tersebut pertama kali dijelaskan tujuan pendidikan sipil yaitu untuk “mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, ikut aktif berpartisipasi dalam urusan publik..., menggunakan hakhak sipil hingga memenuhi kewajiban sebagai warga negara.” Inti dari panduan ini adalah menekankan demokrasi, aturan hukum, pendidikan hak asasi manusia, pendidikan dalam berpikir kritis dan lain sebagainya. Pada tahun 1984, pemerintah merevisi pelajaran ekonomi dan pelajaran masalah publik dengan ditambahkannya diskusi yang berhubungan dengan perwakilan pemerintah. Pada awal kembalinya Hong Kong ke China, pemerintah daerah khusus mulai memudarkan pendidikan sipil dan meletakkan pendidikan sipil di dalam kerangka pendidikan moral. “Pendidikan sipil” diubah menjadi “pendidikan moral dan pendidikan sipil” dengan penggabungan dari pendidikan sipil, pendidikan seks, pendidikan agama, moral dan budi pekerti, dan pendidikan kesehatan, sehingga dapat mengurangi elemen politik. Dalam laporan kurikulum “Learning to Learn: The Way Forward in
6 Curriculum Development” tahun 2001, disebutkan lima nilai dari pendidikan moral dan pendidikan sipil, yaitu ketekunan, menghormati orang lain, tanggung jawab, identitas nasional dan komitmen dengan mengintegrasikan pelajar melalui misi sekolah dan tujuan dalam pendidikan moral itu sendiri. Buku laporan ini menyarankan agar di berbagai bidang pembelajaran, mata pelajaran dan pengalaman pembelajaran yang terkait, sekolah dapat menambahkan elemen pembelajaran pendidikan moral dan pendidikan nasional serta berharap dalam kurun waktu sepuluh tahun, pelajar dapat mencapai nilainilai tersebut. Laporan praktek pemerintahan tahun 2007 untuk pertama kalinya secara terus terang menyatakan bahwa “pemerintah wilayah khusus Hong Kong akan berusaha menjalankan pendidikan nasional” untuk membuat generasi muda “memiliki semangat untuk memenangkan kemuliaan bagi negara dan bangsa dan berkontribusi pada negara.” Dokumen laporan ini juga menetapkan jam pembelajaran, seperti pada tahap sekolah dasar harus menggunakan 19% dari waktu belajarnya untuk melaksanakan pendidikan moral dan pendidikan sipil. Sejak saat itu penekanan pada indoktrinasi emosional dalam pendidikan nasional dikembangkan semaksimal mungkin. 2.2.2 Kurikulum pendidikan sipil Hong Kong Wang Shiwei dan Huang Wei (2010) menjelaskan bahwa selain pemahaman intelektual, kemampuan untuk berpartisipasi dan sikap sipil tidak hanya menitikberatkan pada “apa” konten dari pendidikan sipil, pendidikan sipil juga harus mendidik individu untuk tahu “bagaimana” berpartisipasi dan memiliki kemampuan tersebut, dan karena itu partisipasi langsung seperti di kelas, sekolah maupun wilayah kecil publik merupakan tempat-tempat yang terpenting untuk mendidik sikap partisipasi pelajar. Prinsip pembelajaran partisipatif seperti ini, sejalan dengan konsep “learning by doing” dari Dewey. Dewey menyatakan, di dalam proses pelaksanaan dan partisipasi yang dilakukan, pelajar menjadi masyarakat yang berkualitas yang terus melakukan perubahan ke arah lebih baik. Wang Shi Wei dan Huang Wei percaya bahwa kondisi ini terjadi karena keterlibatan langsung masyarakat melalui pembelajaran partisipatif berkaitan dengan tiga aspek lain dari pendidikan sipil, yaitu dalam hal kognitif dan pemahaman, melalui kontak dengan praktek nyata, pembelajaran partisipatif memberikan siswa pengalaman yang nyata dan baru, merangsang pelajar untuk berpikir tentang topik-topik yang berkaitan dengan demokrasi, kemanusiaan, keadilan sosial dan lain sebagainya. Dalam aspek kognitif, masyarakat menuju ke tahap perkembangan yang lebih tinggi. Jika guru dapat membimbing pelajar untuk melaksanakan diskusi dan analisa yang terencana maka hal itu akan mendorong pelajar memiliki perkembangan dalam kemampuan untuk berpikir dan menganalisa dengan kritis. Dalam proses partisipasi yang dilakukannya, pelajar bisa mendapatkan banyak pengalaman pribadi dan dalam proses refleksi yang dalam, pengalaman langsung dengan hal-hal yang dipelajari di dalam kelas akan memiliki interaksi yang sangat baik sehingga dapat membuat pelajar memperdalam pemahaman tentang topik terkait. Dalam hal kemampuan untuk berpartisipasi, dalam rangka untuk menyelesaikan tugas, pelajar akan memobilisasi semua pengetahuan mereka, mencoba berbagai metode untuk memecahkan masalah, dan secara aktif berkomunikasi dengan personil yang relevan, sehingga mendorong peningkatan kemampuan pelajar dalam menyelesaikan masalah yang realistis. Refleksi, deskripsi, diskusi dan lain sebagainya yang terjadi didalam kelas dapat mendorong pelajar memiliki perkembangan dalam komunikasi, mengungkapkan sesuatu dan kemampuan menjelaskan yang rasional. Dalam hal sikap masyarakat, partisipasi yang realistis memberikan kesempatan untuk menguji dan merevisi sikap pelajar untuk memungkinkan pelajar mampu di dalam sikap melayani, sikap terhadap kehidupan dalam kehidupan nyata sehingga dapat membuat mereka memikirkan kembali sikap kelayakan dan ketahanan mereka di dunia yang nyata. Pembelajaran partisipatif juga memberi mereka kesempatan untuk belajar memahami masalah sosial yang realistis dari sisi kerumitannya, memahami kesulitan perkembangan pekerjaan yang nyata, menghapusan prasangka dan keras kepala, menyelesaikan tugas dengan sangat baik dan cepat sehingga harus mengembangkan semangat kerja tim, menjaga sikap rendah hati dan sikap pertemanan, belajar dengan latar belakang, nilai-nilai dan cara hidup yang berbeda dalam menyelesaikan masalah, serta bersama-sama menciptakan kondisi simbiosis mutualisme demi masa depan yang lebih baik. Dalam hal praktek partisipasi masyarakat, pembelajaran partisipatif memberi pelajar kesempatan berpartisipasi secara aktual, pelajar dapat bergerak sendiri bahkan melihat hasil dari usahanya, memenuhi komitmennya dalam berpartisipasi. Setelah melakukan praktek layanan masyarakat, mereka mendapat pengakuan dan pujian dari orang lain, sehingga pelajar akan mengetahui bahwa usaha mereka dapat membawa perubahan positif, dalam hatinya memiliki perasaan terharu dan sukacita, menumbuhkan keinginan untuk belajar berpartisipasi di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat sehingga gerakan partisipasi masyarakat yang dilakukan pelajar dapat terus berkembang.
7 Tahun 2001, Departemen Pendidikan Hong Kong melalui laporan kurikulum “Learning to Learn: The Way Forward in Curriculum Development” menyatakan bahwa setiap sekolah harus “memberikan pengalaman yang kondusif bagi pelajar untuk perkembangan pribadi yang utuh”. Dalam laporan kurikulum ini di bab 4 mengenai pembelajaran, pengajaran dan penilaian yang efektif tertulis bahwa sekolah harus “menyediakan lingkungan yang diperlukan bagi para pelajar di abad ke-20 seperti sekolah, ruang kelas, lingkungan sosial, keluarga, fasilitas lingkungan, internet dan tempat kerja. Beberapa kondisi lingkungan ini membuat pelajar mendapatkan pengalaman belajar yang relevan, nyata dan bermakna”. Hal ini dapat dicapai dengan menerapkan experiential learning. Poin yang utama dari experiential learning adalah memberikan pengalaman bagi pelajar dengan cara membiarkan pelajar untuk terlibat langsung dalam lingkungan masyarakat. Hal ini sama dengan konsep “learning by doing” yang sudah dijelaskan di atas. Experiential learning bisa dilakukan dengan kegiatan ekstra kurikuler dan service learning: 1. Ekstra kurikuler Munculnya kegiatan ekstra kurikuler di sekolah Hong Kong diawali oleh keributan akibat kenaikan tarif angkutan umum Star Ferry pada bulan April 1966 yang didominasi oleh pelajar muda. Keributan ini mencerminkan ketidakpuasan sosial pelajar muda. Masalah ini menarik perhatian pemerintah pada saat itu. Awal September 1967, Departemen Pendidikan mengumumkan semua sekolah dasar negeri harus mengadakan “Pelatihan Pendidikan Moral” setiap hari. Tujuan pelatihan ini antara lain mendidik pelajar untuk memiliki sikap yang baik terhadap sekolah, keluarga, dan masyarakat dan mendorong pelajar agar memiliki pemikiran yang kritis terhadap berbagai masalah. Ini merupakan awal dari pendidikan sipil di Hong Kong. Sejak keributan Star Ferry, pemerintah Hong Kong bersama dengan Inggris secara aktif campur tangan mendorong sekolah untuk mengatur kegiatan ekstra kurikuler dan bahkan langsung dilaksanakan oleh pemerintah untuk melampiaskan energi pemuda ke dalam kegiatan tersebut untuk mencapai tujuan kontrol sosial. Pemerintah memandang kegiatan ekstra kurikuler ini sebagai sarana pelatihan pemuda dengan mempromosikan kegiatan-kegiatan pemuda, berbagai macam jenis olahraga yang dipromosikan dengan ekspansi yang besar. Selain kegiatan rekreasi budaya dan olahraga, pemerintah dan organisasi masyarakat lainnya membimbing pelajar untuk menggunakan waktu luang mereka untuk berpartisipasi dalam pelayanan masyarakat. Oleh sebab itu, organisasi pelayanan sosial pelajar yang besar secara terus menerus dibentuk untuk mendukung rencana partisipasi pelajar muda dalam pekerjaan pelayanan sosial. Tahun 1970-an, layanan pemuda dari kegiatan rekreasi dan pelatihan kepemimpinan secara bertahap dikembangkan untuk mencegah munculnya masalah sosial dan untuk mengembangkan karakter, kepemimpinan, tanggung jawab sipil, dan penggunaan waktu luang pemuda, serta mendorong pelajar untuk berpartisipasi aktif dalam program pelayanan masyarakat. Sejak tahun 1999, sekolah-sekolah di Hongkong mulai membangun sekolah ekstra kurikuler. Pada saat itu, banyak sekali sekolah di Hong Kong menggunakan pendidikan drama sebagai pendekatan yang mendasar untuk menerapkan mata pelajaran di dalam kurikulum. Beberapa sekolah berinisiatif untuk mempersiapkan guru drama mereka dengan keterampilan dan pengetahuan. Pendidikan drama menggunakan cara belajar yang berbasis pengalaman (experiential learning). Hasil dari pembelajarannya adalah pemahaman melalui pengalaman belajar. Seorang mahasiswa dari Hong Kong Art School, Chan Yuklan, membuat sebuah penelitian untuk memahami keuntungan pendidikan drama terhadap pelajar. Dari penelitiannya, kita bisa mengetahui: 1) Pendidikan drama dapat membantu pelajar untuk lebih percaya diri. Keterampilan lisan menjadi topik dalam kelompok kecil yang diwawancarai. Sebagian besar murid dalam pendidikan drama merasa lebih aktif dan merasakan suasana yang santai, 2) Banyak murid menyatakan, pendidikan drama meningkatkan motivasi mereka untuk memperoleh pengetahuan sebagai hasil belajar. Beberapa pelajar sekolah menengah atas (SMA) menjelaskan bahwa melalui pengalaman drama mereka, mereka mendapat pengetahuan yang lebih mendalam. Dengan kata lain, pelajar mendapat perasaan yang sesungguhnya dari imajinasi mereka. Pelajar mengenal hal ini sebagai pengetahuan yang “baru”, pengetahuan yang tidak didapat dari buku teks. 3) Pendidikan drama membuat pelajar memahami situasi kehidupan yang nyata. Dari tiga hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan drama sebagai kegiatan ekstra kurikuler pelajar, dapat membantu pelajar mengembangkan kemampuan berkomunikasi mereka. Pendidikan drama juga dapat membantu pelajar memahami dan merasakan situasi kehidupan yang nyata. Hal ini membuat pelajar memahami beberapa masalah utama masyarakat. 2. Pelajaran Layanan (Service Learning) Hatcher dan Bringle (1997: 153-158) menuliskan bahwa service learning adalah “sebuah pendidikan yang berdasarkan pengalaman, berdasarkan partisipasi pelajar dalam masyarakat dan
8 refleksi dari partisipasi mereka masing-masing sebagai proses untuk mendapatkan inti dari pelajaran, memahami kedisiplinan dan kebutuhan masyarakat, serta meningkatkan hubungan tanggung jawab masyarakat”. Li Rongan (2004) menganggap bahwa dalam pelaksanaan service learning, sekolahsekolah harus megutamakan kegiatan-kegiatan seperti berikut: siswa melakukan kegiatan “relawan kecil” untuk menyediakan layanan bagi masyarakat tunanetra, cacat mental dan masyarakat senior, dan juga bekerja sama dengan rumah sakit untuk mengadakan kampanya anti merokok, dan lain-lain. Tahun 2001 di dalam laporan perkembangan kurikulum Hong Kong, service learning disebut sebagai strategi pelaksanaan pendidikan sipil, namun fokusnya masih pada pelayanan atau kegiatan amal. Awal munculnya service learning ditelusuri oleh seorang sarjana terkenal, John Dewey. John percaya bahwa masyarakat demokratis membutuhkan karakter masyarakat yang mau berpartisipasi. Cara yang terbaik untuk mencapai hal tersebut adalah melalui pembelajaran di sekolah dan di masyarakat. Banyak ahli percaya, dengan cara belajar ini dapat membantu pelajar menghargai dan mengejar sejumlah kegiatan masyarakat dan dapat mengembangkan rasa tanggung jawab pelajar sebagai bagian dari masyarakat. Kegiatan seperti ini juga dianggap dapat mempromosikan kode etik dalam komunikasi dan mengembangkan keterampilan pelajar. Service learning juga dapat memberikan pengaruh kepada para pelajar, misalnya motivasi pelajar, prestasi akademik, pemikiran yang tinggi, harga diri, pembangunan sosial, pelayanan masyarakat, keinginan dan ketertarikan untuk berpartisipasi di dalam kegiatan relawan dalam sebuah komunitas, pemahaman tentang isu-isu, keterampilan motorik, komitmen untuk mencapai keadilan sosial, dan nilai-nilai demokrasi dan idealism. Eyler dan Giles (1999) membuktikan bahwa service learning sebagai salah satu metode pembelajaran partisipatif dapat memiliki makna positif untuk pendidikan sipil di dalam lima wilayah. Mereka mengambil tiga sampel untuk diteliti: penelitian pada 1. 535 orang di 20 perguruan tinggi pada sebelum tahun 1993 sampai setelah tahun 1995, wawancara pada 67 orang di tahun 1995, dan penelitian pada 66 orang di tahun 1996. Ketiga hasil dari penelitian menyatakan bahwa service learning terhadap perkembangan pelajar tercermin di dalam lima bidang di bawah ini: 1) Aspek nilai – sesuatu yang harus saya lakukan. Pelajar yang belajar dengan belajar layanan partisipasi (participation service) menunjukan bahwa pelajar lebih menunjukkan kepedulian dan tanggung jawab terhadap masyarakat, lebih memandang penting hak masyarakat, juga bersedia bekerja untuk mengubah kebijakan dan sistem untuk mengejar keadilan sosial, 2) Aspek pengetahuan – saya tahu apa yang harus saya lakukan dan mengapa. Pelajar lebih memahamai masalah-masalah sosial, tahu bagaimana menerapkan apa yang telah mereka pelajari di kelas untuk memecahkan masalah-masalah sosial, pada saat yang sama, mereka menunjukkan analisis yang lebih rasional dan dapat berpikir kritis, 3) Aspek kemampuan – saya tahu bagaimana melakukannya. Pelajar menunjukkan strategi yang lebih baik dalam memecahkan masalah-masalah sosial, meningkatkan sikap kepemimpinannya dan kemampuan berkomunikasi. 4) Aspek efektivitas – sesuatu yang bisa saya lakukan, dan mengetahui apa yang saya lakukan bisa membawa perbedaan. Pelajar mengetahui keefektivitasan dari pekerjaan layanan mereka, menyadari bahwa upaya mereka dapat membawa perubahan. Pada saat yang sama, dengan keefektivitasan di lakukan terhadap komunitas kecil mereka, komunitas mereka pun dapat membantu mereka untuk memecahkan masalah mereka sendiri. 5) Aspek komitmen – sesuatu yang harus dan bisa saya lakukan. Setelah melakukan pelayanan (sosial) selama satu minggu, 75% pelajar mengatakan bahwa akan terus berpartisipasi dalam layanan sosial di semester berikutnya. 2.2.3 Pengaruh dari hasil pendidikan sipil Hong Kong terhadap Umbrella Movement Melalui penelitian mengenai masyarakat internasional dengan identitas masyarakat di tahun 2009; Hong Kong meneliti 108 sekolah dan 4. 540 pelajar yang dilakukan pada Desember 2008 hingga Juni 2009. Laporan tersebut berdasarkan bahan informasi dari guru dan pelajar. Hong Kong melaporkan bahwa masyarakat muda adalah masyarakat yang sangat rasional, sebagian besar dari mereka memilih demonstrasi damai, 90,2% setuju untuk tidak melakukan protes kekerasan, lebih dari 90 persen menentang untuk menduduki gedung-gedung publik (92,3%), memblokir lalu lintas (82,8%), dan semprot pernis. Namun, ketika ditanya lebih detail apakah akan melakukan demonstrasi secara damai, mereka menentukan metode (55,6% setuju; 44,4% menentang). Ada beberapa anak muda warga Hong Kong tertarik dengan politik, namun pelajar Hong Kong sangat tertarik pada politik, permasalahan sosial dan kemampuan diri sendiri sebagai masyarakat. Survei memperlihatkan bahwa skor dari pelajar Hong Kong lebih tinggi sedikit dari skor secara Internasional. Dalam hal potensi diri, sebagian besar merasa di dalam kelas dapat mengutarakan pendapat (53.2%), menulis surat kabar (59.2%), menonton siaran debat di televisi (67,5%), membentuk organisasi pelajar (60,2%), berada pada posisi sebagai pemilih dalam sebuah pemilihan
9 (57,8%), pengutarakan pendapat (68,2%) dan mendiskusikan berita yang ada di koran (72,2%). Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat beberapa ahli. Banyak ahli percaya bahwa pendidikan sipil Hong Kong telah berkembang, pendidikan sipil saat ini berbeda dari sebelumnya. Seperti pendidikan demokrasi dan pendidikan hak asasi manusia, keduanya ada didalam "Guidelines on Civic Education" tahun 1996, tapi sekarang keduanya sudah tidak ada didalam dokumen “Learning to Learn: The Way Forward in Curriculum Development” tahun 2001. Dalam dokumen tahun 2001 ini, pendidikan sipil telah diubah namanya menjadi pendidikan moral dan pendidikan sipil untuk menekankan pada perubahan penjelasan tersebut.. Isi dari dokumen ini yaitu memperkenalkan hubungan antara pribadi dengan pendidikan interpersonal, pendidikan keluarga dan pendidikan moral; untuk menggantikan unsur-unsur hak asasi manusia dan demokrasi. Pada tingkat operasional, penelitian menunjukkan bahwa terlepas dari panduan asli yang diusulkan, sekolah cenderung menerapkan apa yang mereka suka. Ini berarti bahwa isi politik di dalam panduan tersebut tidak mendapatkan penjelasan yang baik, penjelasan mengenai pengajaran formal dari kurikulum demokrasi juga sangat jarang (Lee, 2003: 591-607). Liang Enrong dan Ruan Weihua (2011) percaya bahwa melihat masalah ini, pada kenyataannya pendidikan sipil di sekolahsekolah Hong Kong sebenarnya tidak cukup mempersiapkan untuk masyarakat muda. Lee (2003) juga menunjukkan bahwa pelajar Hong Kong "memiliki kecenderungan untuk menghindari politik yang radikal." Namun demikian, sebagian besar pelajar Hong Kong berpartisipasi dalam Umbrella Movement. Ini berarti bahwa, meskipun kurangnya pendidikan sipil, beberapa pelajar telah menjadi sangat aktif secara sosial dan politik, yang tampaknya telah siap menjadi masyarakat demokratis. Mengenai identitas nasional, hasil survey menunjukkan bahwa pelajar Hong Kong memiliki berbagai macam identitas nasional: dari 82.5%, sebagian besar menganggap dirinya sebagai masyarakat China dengan hasil 49.2% setuju dan 41.5% sangat setuju. Dari 83.3% sebagian besar menganggap dirinya sebagai China-Hong Kong dengan hasil 41.8% setuju, 41.5% sangat setuju. Dari 91.1% juga menganggap dirinya sebagai masyarakat Hong Kong dengan hasil 47.6% setuju dan 43.6% sangat setuju. Disaat yang sama, 86.1% menganggap dirinya sebagai masyarakat global dengan hasil 48.2% setuju dan 37.8% sangat setuju. Hasil ini dikarenakan oleh latar belakang Hong Kong yang sangat khusus dan Hong Kong memiliki citra yang beragam, yaitu Hong Kong merupakan bagian dari China, Hong Kong merupakan kota internasional, dan di sisi lain Hong Kong merupakan wilayah “lokal”. Hal ini menyebabkan sebagian besar warga Hong Kong memiliki berbagai macam identitas nasional, dan identitas ini bersifat koeksistensi, bukan bersifat satu pihak. Penulis menganggap bahwa latar belakang Hong Kong yang sangat khusus ini menyebabkan masyarakat Hong Kong memiliki identitas nasional yang beragam dan lebih aktif terhadap hak kesetaraan. Ketertarikan pelajar Hong Kong terhadap topiktopik sosial dan masyarakat yang mampu mengembangkan kemampuan dirinya seharusnya memiliki hubungan yang pasti dengan pendidikan sipil. Mereka berani untuk mengungkapkan pendapat, aktif dalam kegiatan, melakukan diskusi, mengejar hak kesetaraan dan lain sebagainya, hal ini membuktikan karakter demokrasi dari masyarakat Hong Kong. Banyak para ahli menunjukkan, ada banyak faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan politik pelajar, diantaranya merupakan sekolah. Yan Leungwing (2006) melakukan survei untuk mempelajari bagaimana sekolah mempengaruhi partisipasi politik pelajar. Yan telah mewawancarai 19 siswa berusia 14-20 tahun, mereka merupakan pelajar SMA dan mahasiswa/i yang aktif berpartisipasi dalam demonstrasi skala besar. Yan juga mewawancarai empat guru mata pelajaran sipil. Yan pertama bertanya kepada pelajar apa definisi dari masyarakat aktif. Mereka menunjukkan sikap konservatif dan pandangan radikal yang bersikap kompromi. Beberapa pandangan konservatif menjelaskan tugas masyarakat untuk melakukan yang terbaik menurut pekerjaannya masing-masing, mematuhi hukum, lebih memahami dan peduli pada masyarakat, berkontribusi pada kepentingan umum. Beberapa pandangan radikal menjelaskan tugas masyarakat untuk memeriksa pemerintah, seperti dalam pemilihan umum, menulis tanggapan terhadap kebijakan publik, membentuk demonstrasi, memprotes hukum yang tidak rasional. Selain itu, sebagian besar dari mereka melalui berbagai bentuk kegiatan partisipasi demonstrasi melaksanakan ide-ide meradikali masyarakat aktif. Yan mengatakan: "Pengetahuan dan praktek ini memiliki makna yang dalam di dalam perkembangan masyarakat demokrasi dan sesuai dengan perubahan demokrasi Hong Kong. Kontribusi yang diberikan oleh empat orang guru pendidikan sipil kepada perkembangan politik pelajar sangat signifikan, Mereka memiliki kepribadian serupa yang berdampak besar bagi pelajar. Pengetahuan mereka luas dan dalam, berpikiran terbuka, kritis dan kompeten untuk menantang pelajar berpikir dari perspektif yang berbeda. Mereka juga menunjukkan kekhawatiran terhadap masalah sosial, politik dan pelajar. Secara umum, keempat guru tersebut menggunakan masalah dasar sebagai metode mengajarkan pelajaran yang berhubungan dengan pendidikan sipil,
10 seperti pendidikan umum, pendidikan sipil dan pendidikan hidup. Mereka pandai dalam menantang pelajar untuk berpikir suatu permasalahan dari perspektif yang berbeda. Beberapa pelajar memberikan respon baik terhadap metode pengajaran yang diberikan gurunya. Para pelajar menjawab bahwa metode dengan menggunakan masalah yang mendasar membuat mereka berpikir dan menganalisis suatu masalah, daripada diberikan jawaban yang tepat secara langsung. Ketika ditanya tentang strategi mengajar, seorang guru menjelaskan: "Selain memberikan informasi kepada pelajar, kami ingin memciptakan kesempatan bagi pelajar untuk membahas masalah disaat itu." Yan menyatakan, guru yang mengajarkan mata pelajaran sipil cenderung fokus pada perkembangan seperti ini agar dapat menghasilkam masyarakat yang demokratis. Dari penelitian yang dilakukan oleh Yan, Yan menyimpulkan bahwa sekolah dapat menjadi faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangna politik pelajar, membantu pelajar untuk memahami konsep politik yang sempit menjadi luas. Kelompok pelajar yang diteliti ini sangat tertarik dan mampu untuk melakukan partisipasi politik. Pemahaman konsep politk mereka menjadi luas, misalnya melayani kelompok yang lemah, menuliskan tanggapan terhadap dokumen konsultatif, berpartisipasi dalam perkumpulan masyarakat dan demonstrasi.
SIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian penulis mengenai partisipasi politik sebagai refleksi dari pendidikan sipil Hong, penulis bisa berpendapat bahwa berdasarkan buku laporan “The Way Forward in Curriculum Development” tahun 2001 sebenarnya pendidikan sipil di sekolah-sekolah Hong Kong kurang dipersiapkan bagi masyarakat muda yang demokratis. Walaupun isi program pendidikan telah diperkenalkan oleh Departemen Pendidikan Hong Kong, tetapi pada implementasinya, sekolah cenderung menerapkan apa yang mereka suka. Ini berarti bahwa isi politik bimbingan tidak dijelaskan dengan baik. Walau demikian, penerapan pendidikan sipil di sekolah-sekolah Hong Kong melalui experiential learning dalam mengajarkan pendidikan sipil dapat membantu efektivitas pelajar dalam partisipasi politik. Dengan experiential learning membuat pelajar dapat mengalami kondisi lingkungan sosial yang nyata, memahami masalah-masalah sosial di masyarakat dan membuat pelajar dapat berpartisipasi secara langsung di lingkungan sosial. Experiential learning dapat dilakukan melalui kegiatan ekstra kurikuler dan pelajaran layanan. Selain itu, karakteristik guru sipil yang efektif telah diidentifikasi. Kerakteristik ini termasuk pada berpikiran terbuka, berpengetahuan luas dan dalam, bersedia untuk peduli dan terlibat dalam permasalahan sosial, bersedia untuk peduli kepada pelajar dan karakteristik lainnya.Faktor-faktor tersebut menyebabkan pelajar Hong Kong telah menjadi sangat aktif secara sosial dan politik, tingkatan partisipasi politik yang juga sangat tinggi dan menjadi aktif untuk melakukan partisipasi politik. Umbrella Movement adalah bukti efektivitas pendidikan sipil di Hong Kong. Umbrella Movement merupakan puncak dari proses panjang demokratisasi di Hong Kong, dan perdebatan dari pendidikan sipil Hong Kong juga termasuk menjadi keberhasilan besar dari demokratisasi. Tidak peduli Hong Kong dilihat dari perspektif masyarakatnya maupun dari perspektif secara global, Hong Kong dari dulu hingga sekarang dianggap sebagai kota elegan dan memiliki masyarakat yang rasional. Pada saat pengembalian Hong Kong, masyarakat Hong Kong berharap dapat mendapatkan nilai nasionalisme yang diingankan. Tapi harapan ini pupus ketika pemerintah pusat China mengeluarkan keputusan tentang susunan komite penyeleksian pemilihan kepala eksekutif tahun 2017. Pemerintah pusat China memiliki kekuasaan eksekutif, pemerintah khusus Hong Kong seharusnya mencari kepala pemerintah pusat dan mempertimbangkannya. Keputusan ini dengan cepat membuat munculnya gerakan demokrasi, para demonstran meminta agar dapat memiliki kesempatan untuk memilih nominasinya, memilih kepala eksekutifnya sendiri.
REFERENSI Alexis, L. (2012). Hong Kong School Year Starts with Hunger Strikes.CNN: http://edition.cnn.com/2012/09/04/world/asia/hong-kong-national-education-protests Almond, G. & S. Verba. (1989 [1963]). The Civic Culture: Political Democracy in Five Nations. Newbury Park: Sage Publications Battistoni, Richard M. (1997). Wad R (ed.). Service Learning in a Democratic Society: Essential Practice for K- 12 Programs, in Community Service Learning a Guide to including Service in the Public School Curriculum. Albany, New York: Suny
11 Converse,P.E. (1972). Change in the American Electorate. Campbell and P.E.Converse (eds.). The Human Meaning of Social Change. New York: Russell Sage D. Putnam, R. (2000). Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New York: Simon and Schuster Eyler, J. & Giles, D. E. (1999). Where's the Learning in Service - Learning?. San Francisco: JosseyBass Hatcher, J. A., & Bringle, R. G. (1997). Reflection: Bridging the Gap between Service and Learning. College Teaching Ichilov. (1990). Political Socialization, Citizenship Education and Democracy. Orit (ed.). New York: Columbia University Joyce, L. (2012). Thousands Protest China’s Plans for Hong Kong Schools. The New York Times:
HYPERLINK "http://www.nytimes.com/2012/07/30/world/asia/thousands-protestchinas-curriculum-plans-for-hong-kong-schools.html" \t "_blank" http://www.nytimes.com/2012/07/30/world/asia/thousands-protest-chinas-curriculum-plansfor-hong-kong-schools.html Lai, P. S., & Wu, S. W. (2003). Democratic Citizenship and School Civic Education: An Initial Study of Civic Education in Students’ Unions in Hong Kong Schools. Hong Kong: Youth Research Journal Lee, W. O. (2003). Students’ Concepts and Attitudes Toward Citizenship: The Case of Hong Kong. Hong Kong: International Journal of Educational Research Ortmann, S. (2015). The Umbrella Movement and Hong Kong's Protracted Democratization Process. London: Routledge Mandey, A. (2014). Hong Kong Coba Membangkang dari China Soal Pilkada. http://m.news.viva.co.id/news/read/543148-hong-kong-coba-membangkang-dari-china-soalpilkada Print, M., Ornstrom, S, & Nielsen, H. (2002). Education for Democratic Processes in Schools and Classrooms: The Case of Denmark. European: European Journal of Education Purta, T. J., Lehmann, R., Oswald, H., & Schulz,W. (2001) Citizenship and Education in TwentyEight Countries. Amsterdam: International Association for the Evaluation of Educational Achievement Robinson, T. (2000). Service Learning as Justice Advocacy: Can Political Scientists Do Politics? Rosenstone, S. J., & Hansen, J. M. (1993). Mobilization,Participation, and Democracy in America. NewYork: Macmillan Publishing Company Yan Wing Leung . (2006).Citizenship Teaching and Learning: How Do They Become Socially/ Politically Active? Case Studies of Hong Kong Secondary Students’ Political Socialisation. Citized: HYPERLINK "http://www.citized.info" http://www.citized.info Verba, S., Schlozman, K. L., & Brady, H. (1995). Voice and Equality: Civic Voluntarism in American Politics. Cambridge: Harvard University Press. Yates, M., & Youniss, J. (1998). Community Service snd Political Identity Development in Adolescence. Chicago: Journal of Social Issues Youniss, J., & Yates, J. (1997). Community Service and Social Responsibility in Youth. Chicago: University of Chicago Press , ,
蔡铭津. 杜威实验主义的教育思想对国小-团体活动-教学的启示[M].树德科技大学学报 2000. 董秀兰. 民主国家的政治教育-基本观念的澄清[M]. 人文及社会科学教育通讯 1995. 方骏、 熊贤君. 香港教育史[M]. 湖南: 湖南人民出版社, 2010. 黄政杰. 民主教育与课程[M]. 教师天地, 1994. 江义德. 析论我国当前的公民教育[R], 1989. 简毓玲. 落实国民小学民主法治教育之途径[M]. 教师天地, 1994. 戎雪兰. 民主的公民教育与中国的政治改革[M], 1992. 李荣安. 中学公民教育: 多元化的校本实践[M]. 香港: 商务印书馆, 2004. 李晓菁. 审议式班会对学生民主行为能力之影响评估[M]. 国立花莲师范学院过敏教育研究所, 2014. 彭沋森. 国中生政治社会化[M]. 国立师范大学三民主义研究所, 1985. 张秀雄. 公民教育的一个与实践[M]. 师大书苑有限公司, 1998. 梁恩荣、阮卫华. 道德教育与政治教育的结合[M], 2001.
12
苏彦华. 政治社会化与学校公民教育的关系及影响[M]. 东海大学政治学系研究所, 2014. 吴迅荣、梁恩荣. 香港初中推行公民教育的现况[R]. 香港教师中心学报, 2004. 杨东平. 新公民读本[M]. 北京大学出版社, 2005. 杨仲镛. 学校政治社会化之探讨[R], 1999. 俞可平. 中国公民社会: 概念、分类与制度环境[R]. 中共中央党校学报, 2007. RIWAYAT PENULIS Suryawati lahir di kota Jakarta pada tanggal 13 Maret 1993. Penulis menamatkan pendidikan SMA di SMAN 64 Jakarta pada tahun 2011. Vania Tirza lahir di Jakarta pada tanggal 25 Juni 1993. Penulis menamatkan pendidikan SMA di SMAK Kalam Kudus pada tahun 2011. Xuc Lin lahir di kota Jakarta pada tanggal 19 Januari 1979. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Darma Persada dalam bidang Sastra China pada tahun 2001 dan menamatkan pendidikan S2 di Huaqiao University dalam bidang Chinese Modern and Contemporery Literature pada tahun 2010. Saat ini bekerja sebagai Subject Content Specialist bidang Chinese Literature di Binus University.