Papua Cerdas, @bukuntukpapua Oleh : Dayu Rifanto
Adalah bapak, yang memutuskan untuk menerima panggilan menjadi guru di Papua pada awal tahun 1970 yang membuat akhirnya kami sekeluarga tinggal di Papua sampai dengan sekarang. Sebagian besar saudara saya masih tetap tinggal di Papua. Saya sendiri lahir dan besar di Nabire, sebuah kota kabupaten kecil yang terletak di leher Pulau Papua. Rumah kami saat itu lumayan dekat dengan bandara. Masih begitu melekat dalam ingatan saya dimana masa kecil kami; saya dan teman-teman yang sering kami isi dengan menongkrongi langit di dekat bandara untuk sekedar melihat pesawat menukik ke atas mengawali penerbangan dan yang lainnya menukik ke bawah untuk mendarat. Twin otter yang paling sering terlihat selain pesawat-pesawat dari MAF dan MISI yang sering berlatih. Burung-burung besi ini selalu membuat saya begitu takjub pada saat itu. Para pilot dengan berani dan level adrenalin tinggi, mampu berlatih dengan mematikan mesin saat pesawat berputar-putar di udara. Menukik dengan cepat dan seketika itu, mesin pesawat dinyalakan kembali. Meraung-raung demi mencapai kembali kestabilannya.
Dari delapan bersaudara, sayalah anak bungsu dalam keluarga. Bapak awalnya guru SD Negeri Kota Lama, Nabire. Namun, kemudian fungsinya ditarik dan menjadikannya staf pendidikan pada departemen pendidikan dan kebudayaan Nabire. Dari TK sampai dengan SMA, saya hanya berpijak pada tanah Nabire. Pada pertengahan tahun 1999-lah saya memutuskan untuk menjalani sebuah transisi hidup yang biasa disebut dengan ‘merantau’. Jogjakarta adalah titik tuju saya untuk menempuh level pendidikan tinggi dan menyandang status mahasiswa. *** “Sudah. Kamu kuliah saja di Jayapura, Day. Itu Universitas Cenderawasih juga bagus, kok.” Kata salah satu kakak saya. Tak ada satu pun dari mereka yang rela melepas kepergian saya menuju tanah rantau yang terlalu jauh.
“Biarkan saya untuk keluar dari tanah Papua beberapa tahun, kak. Nantinya, saya juga akan kembali untuk tanah Papua.” Itulah satu dari beberapa alasan saya yang akhirnya menghantarkan saya menapaki tanah Jogjakarta. Di tanah baru inilah, saya menemui rumah kedua. Tempat dimana saya mengenal dan memulai gerakan peduli ini.
Magnet-magnet sekondisi memang tak mudah untuk disangkal. Saat kuliah, saya dipertemukan dengan teman-teman seperantauan dari Nabire, dan salah satunya adalah Longginus Pekey. Longgi, begitulah kami memanggilnya. Mahasiswa Universitas Sanatha Dharma jurusan pendidikan Sejarah. “Longgi, kamu lulus kuliah rencananya mau ke mana lagi?” Tanya saya saat sedang berkumpul dengan teman-teman senasib seperantauan dari Nabire. “Saya sepertinya akan kembali ke Papua untuk mengajar. Lalu kamu, Day?” “Mungkin saya akan coba mencari peruntungan di Jakarta.” Begitulah jawaban singkat dari saya. Benar saja. Setelah kelulusan kuliah dan masing-masing menemukan jalan baru demi melanjutkan hidup yang semakin menukik ke atas seperti pesawat-pesawat yang saya dan temanteman lihat pada masa kecil, Longgi dan beberapa kawan yang resmi menjadi guru, memilih kembali ke Papua. Sesuai target, saya pun akhirnya bekerja di Jakarta dan mengembara lagi menuju Semarang. Jarak tak begitu tega memutuskan hubungan emosional bertahun-tahun antar mantan mahasiswa rantau seperti kami. Tetap saling kontak dengan mereka membuat saya lebih sering merindukan tanah Papua. Entah, seperti ada sesuatu yang menarik-narik saya untuk melakukan sesuatu atau pun sekedar kembali ke tanah Papua. Membaca berita di internet sudah menjadi sebuah kebiasaan saya pada waktu senggang. Saya sempat membaca sebaris berita yang berisi tentang penggunaan internet di Indonesia yang menyentuh angka 63 Juta pengguna. Survei APJII pun menunjukkan, penduduk berusia 12 - 34 tahun mendominasi pengguna Internet di Indonesia dengan porsi 64,2 persen. Sedangkan kelompok pengguna berusia 20-24 tahun mencapai 15,1 persen dari total pengguna dengan trend yang semakin meningkat. Media sosial yang booming di tahun 2012 semakin menarik perhatian
saya ketika melihat begitu banyak gerakan dan komunitas yang menggunakan media sosial sebagai motor penggerak untuk menjejaringkan banyak orang. Mulai dari kelas-kelas belajar gratis yang luar biasa dari @akademiberbagi, ada juga @idbercerita yang membuat saya begitu kagum, dan masih banyak sekali inisiatif-inisiatif kreatif yang diawali dengan sosial media sebagai alat pengenal ke khalayak ramai. Ada yang terus bergerak maju dan semakin bermanfaat, ada juga yang bergerak mundur perlahan dan tenggelam. Di pertengahan tahun 2012 itu juga, saya menerima telepon dari Longgi di Nabire. “Dayu, saya sedang punya niat untuk membuat rumah baca gratis untuk anak-anak di sini. Minat baca mereka masih sangat minim. Hanya, ada satu kendala dari niatan saya membuat rumah baca ini; Buku. Kamu tahu sendiri, kan? Sangat sulit untuk memiliki buku bacaan di sini. Apalagi dalam jumlah yang banyak dan beragam. Kamu punya solusi?” tanya Longgi yang dari suaranya, terdengar penuh harap akan solusi yang bisa saya tawarkan untuk niat kuat dan mulianya ini; Mencerdaskan anak Papua. Saya langsung tersentak. Seperti ditampar. Sampai sekarang, saya belum berbuat banyak untuk tanah Papua. Mungkin lewat Longgi, saya pun bisa ikut berbuat sesuatu untuk Papua. Batin saya. “Begini, kawan. Mungkin saya bisa coba komunikasikan dengan teman-teman di sini. siapa tahu, mereka tertarik untuk membantu dengan donasi buku, bahkan mengajak orang lain untuk ikut berdonasi.” “Oke. Saya tunggu kabar selanjutnya, Day. Semoga teman-teman di sana tergerak dan mau ikut bergerak.” Obrolan kami berakhir dengan sama-sama berharap, ada yang bisa mendukung ide ini dengan donasi buku ke Papua. Teman-teman di Jawa tempat saya tinggal, perlu tahu tentang rumah baca di Papua. Mungkin, mereka bisa membantu walau pun sedikit. Jika Longgi mengalami kesulitan, maka sebisa mungkin akan saya bantu dengan menceritakan kisahnya kepada orang lain dan semoga mereka tergerak hatinya untuk membantu. Bagaimana agar bercerita kepada orang banyak dengan waktu saya yang tak banyak? Media sosial adalah tempat bercerita terbaik tanpa harus bertemu dan menghabiskan banyak waktu. akun twitter @bagi2buku adalah awal saya bergerak. Awalnya hanya untuk menceritakan kesulitan yang Longgi hadapi di Nabire. Tersusunlah sebuah karangan indah bernama konsep yang coba saya pelajari dan olah secara mandiri, jika mentok, ada tuan google
untuk bertanya. Saya mulai memposisikan penggunaan mind map program, berlanjut ke ranah konsep alur kegiatan, hingga menemukan jalur dimana satu dengan yang lainnya dapat dihubungkan. Banyak waktu mulai saya porsikan untuk menatap interface twitter agar sosialisasi gerakan tersebut tetap berjalan konsisten. Sebagian waktu lainnya saya sisihkan untuk menyelesaikan thesis. Kebetulan pada saat itu, saya sedang dalam proses menuju gelar S2 di Universitas Diponegoro Semarang. Saya memutuskan untuk tinggal di Jogjakarta agar lebih fokus menyelesaikan thesis saya, dan pada saat itu pun, salah-satu kakak saya sedang tinggal di Jogjakarta. *** Marco namanya. Satu dari beberapa teman baru di twitter yang merespon gerakan ini dengan begitu antusias. Ia pun mengajak saya untuk bertemu dan berbicara lebih jauh tentang gerakan ini. Marco tertarik untuk ikut bergerak. Saya punya teman gerak. “Kira-kira, apa yang bisa menjadi ciri khas kita? Minimal nama dari akun twitter yang akan menjadi nama gerakan. Kalau bisa, nama tersebut bisa lebih spesifik untuk membantu teman-teman di Papua dalam membuat rumah baca dengan bantuan buku dari sini. Dari media sosial.” Itulah masukan dari Marco mengawali diskusi yang kita mulai setelah ritual berkenalan seperti manusia normal lainnya saat awal bertemu. “Spesifiknya, kita menjaring orang untuk mendonasikan buku, titik tuju pengiriman bukunya ke Papua.” Setelah berfikir beberapa saat, saya kembali melanjutkan. “Bagaimana kalau namanya Buku untuk Papua?” Marco mengangguk sepakat dengan begitu bersemangat. Segera saya keluarkan laptop dari ransel yang saya bawa dan membuka akun twitter @bagi2buku. Kursor tertuju pada perintah edit profil. @bagi2buku saya ganti dengan nama @bukuuntukpapua “Wah. Akun ini sudah ada. Bagaimana kira-kira?” Tanya saya pada Marco. “Coba hilangkan satu huruf dari dua huruf U di antara buku dan untuk. Yang pertama, kepraktisan nama, dan yang kedua, agar bisa membedakan dengan akun twitter @bukuuntukpapua tersebut. ”Oke. Saya coba.” Respon saya singkat dan segera saya hilangkan satu huruf. “Nah! Nama ini belum dipakai.“
Setelah pertemuan itu, tercetuslah nama gerakan, bersamaan dengan nama akun twitter baru; @bukuntukpapua. Twitter saja sangat tak cukup. Akhirnya saya melebarkan sayap gerakan ini dengan membuat fanpage bukuntukpapua di facebook beserta website menggunakan domain www.bukuntukpapua.org. Dengan menggunakan bantuan media ini, kami berusaha memfasilitasi mereka yang ingin peduli. Setelah berjalan hampir setengah tahun, ada respon dari teman-teman @rumahbacapanter di Depok pada akhir tahun 2012 untuk mendonasikan 500 buku. Ini tidak boleh saya sia-siakan! Saya pun memutuskan untuk berangkat dari jogja ke jakarta demi mengambil buku-buku tersebut. Dengan modal kenalan di Jakarta saat saya bekerja dulu, datang bantuan lainnya berupa kesediaan untuk bukunya dititipkan pada mereka. Dari sana, saya gabungkan pula beberapa buku yang saya miliki untuk dikirim ke Longgi di Nabire. Koleksi buku baru di rumah baca Longgi. *** Waktu terus berjalan, gerakan ini semakin berkembang walau perlahan. Satu per satu rumah baca, kami bantu dengan buku. Respon positif pun semakin banyak berdatangan ketika temanteman dari berbagai kota ingin terlibat membantu Bukuntukpapua. kami pun dengan rasa syukur mempersilakan mereka untuk ikut bergerak bersama, baik dalam membantu rumah-rumah baca yang membutuhkan bantuan buku, maupun menyelenggarakan kelas cerdas; salah-satu program inisiatif saya dan teman-teman volunteer. Sebuah kelas belajar yang terinspirasi dari @akademiberbagi. Dari kegiatan ini pun, para volunteer di berbagai kota bisa belajar mengelola komunitas secara mandiri. Benefit lainnya adalah ketika peserta yang datang untuk ikut belajar di kelas cerdas, dapat membawa buku sebagai tiket masuk. Tujuannya jelas; untuk didonasikan kepada rumah baca di Papua. Para Volunteer dan mereka yang terlibat pun bisa belajar dan mengasah berbagai kemampuan melalui kelas cerdas yang menjadi salah-satu inti kegiatan Bukuntukpapua. Dalam mengelola gerakan ini pun, kamu menyusun tiga pilar dari @bukuntukpapua, dimana ada komunitas yang berjejaring di berbagai kota, ada rumah baca yang terbantu dari buku dan volunteer bukuntukpapua di rumah-rumah baca di Papua, dan yang ketiga adalah adanya media yang memberitakan dan menyebarluaskan setiap inisiatif kami. Buku berhasil menjadi media yang saling menghubungkan. Volunteer di Papua sendiri tidak berusaha menggantikan peran guru dan rumah baca tidak menggantikan peran pendidikan formal.
Sebab, tujuan dari @bukuntukpapua adalah, setiap orang memiliki kewajiban untuk meningkatkan minat baca. Jadi, harapan terbesar kami setelah adanya buku, volunteer di rumah baca pun merasa lebih disupport dengan buku yang beragam. Itu membuat mereka menjadi lebih menikmati bahan bacaan di sela menemani anak-anak membaca. Seringkali saya membayangkan ketika adik-adik atau siapa saja di rumah-rumah baca di Papua yang jatuh cinta dengan membaca, kemudian mereka difasilitasi untuk membuat tulisan-tulisannya sendiri, dibukukan dan disebarluaskan. Ada yang membantu penulisan, kemudian menjadi buku, hingga menjualnya secara mandiri. Setelah senang membaca, kami semua menjadi tergila-gila untuk menulis. Tidak mudah memang. Ini merupakan kegiatan sukarelawan yang tergerak untuk peduli disela kesibukan para penggiat yang rata-rata dari mereka adalah mahasiswa dan pekerja kantoran. Ada yang karena kesibukannya, dengan terpaksa harus ia akhiri langkahnya untuk tak melanjutkan perjalanan di Bukuntukpapua. Tapi, ada yang terus memposisikan sebagian kecil waktunya untuk tetap terlibat dalam komunitas Bukuntukpapua di tengah kesibukannya. Ada kegiatan-kegiatan mingguan dan bulanan yang harus digerakkan tanpa ada yang membayar, mengelola semangat teman-teman, memfasilitasi kegiatan yang membuat para volunteer bisa upgrade pengetahuan selalu melalui kelas cerdas. Namun, selalu ada percik-percik kebahagiaan dari dalam diri saya ketika kegiatan kecil ini mendorong kepedulian banyak orang untuk terlibat dan membantu. Saya dan Longgi tak lagi sendiri dalam membantu anak-anak Papua untuk lebih cerdas. Sudah ada mereka yang dengan ketulusan hatinya menggandeng gerakan Bukuntukpapua untuk membanjiri tanah Papua dengan buku. Saya selalu mencoba untuk memanaskan mesin semangat teman-teman yang terlibat di Bukuntukpapua agar terinspirasi, lalu menelurkan dan menularkan inisiatif-inisiatif mandiri untuk membuat gerakan-gerakan baru. Bukan hanya untuk Papua, tetapi juga untuk Indonesia dengan modal pola gerakan yang mereka pelajari dari Bukuntukpapua dan modal jejaring dengan banyak orang melalui Bukuntukpapua. Dan tentunya, optimalisasi sosial media sebagai penggerak. Sa percaya bahwa pendidikan adalah urusan semua orang. Oleh karenanya, semua dapat terlibat untuk saling membantu. Semua orang bisa baku bantu.
-Selesai-