Artikel
OPTIMALISASI FUNGSI KELUARGA UNTUK MENANGGULANGI PROBLEMATIKA REMAJA Oleh : Dra. Nukmah Fatkhiyati
Jumlah penduduk di Indonesia pada kelompok umur remaja (10-24 tqhun) sesuai sensus Penduduk tahun 2010 kurang lebih 64 juta atau 27,6%, dari total penduduk Indonesia. Jumlah yang banyak ini memerlukan perhatian khusus dari semua pihak, apalagi usia remaja adalah masa pancaroba, masa pencarian jati diri, ditambah lagi dengan arus globalisasi dan informasi yang kian tak terkendali, mengakibatkan perilaku hidup remaja menjadi tidak sehat yang selanjutnya berdampak, seperti seks pranikah, narkoba dan kegiatan negatif lainnya. Bagi warga DIY, hasil penelitian yang dilakukan oleh Presidium SMA Kolese De Brito Yogyakarta di tahun 1994 lalu yang menyatakan bahwa 22% pelajar di DIY menyetujui hubungan seks diluar nikah, sungguh mengagetkan. Betapa tidak! Meskipun mereka baru dalam taraf menyetujui (yang mungkin belum melakukan), namun bukan hal yang tidak mungkin jika pandangan atau persepsi merupakan pernyataan sikap pribadipribadi yang akan terus berlanjut menjadi perbuatan atau perilaku nyata. Jika ini terjadi berarti merupakan suatu pertanda adanya pergeseran nilai moral pada generasi muda yang akan mengancam kedudukan DIY sebagai kota budaya dan kota pendidikan yang menjunjung tinggi nilai etika dan moral. Lebih-lebih menurut pakar/psikolog keadaan ini semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hasil penelitian terakhir, Pusat Studi Kriminologi Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta menemukan 26,35 persen dari 846 peristiwa pernikahan telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah di mana 50 persen di antaranya menyebabkan kehamilan. Dengan demikian permasalahan ini tidak dapat dianggap sepele. Karena hal tersebut mengisyaratkan jika tidak segera ditangani secara serius dapat mengakibatkan generasi muda DIY pada masa mendatang akan mengalami suatu masa “kebobrokan moral” di mana hubungan seks diluar nikah sudah tidak menjadi barang tabu (pantangan yang harus dihindari) tetapi akan menjadi suatu kebiasaan yang sangat sulit dihapuskan. Jadi bukan hal yang mustahil jika nantinya nilai kesucian / kesakralan perkawinan terongrong dan terkikis habis. 1
Kenyataan diatas baru merupakan salah satu sisi muram kenakalan remaja (yang masih merupakan potensi). Sebab dalam kehidupan sehari-hari sudah berkali-kali kejadian perbuatan amoral dilakukan oleh remaja dan anak-anak. Sudah tak terhitung berapa kali peristiwa memperihatinkan seperti pemerkosaan, perkelahian, pencurian, perampokan, bahkan pembunuhan yang dilakukan remaja yang mestinya diharapkan mampu menjadi pemimpin bangsa di kemudian hari. Boleh jadi, kejadian tersebut pernah menimpa dilingkungan sekitar kita. Yang lebih memprihatinkan, kenakalan remaja tersebut justru banyak terjadi pada kalangan keluarga berada, yang nota bene kebutuhan hidup secara fisik sudah tercukupi atau mungkin malah lebih. Memang harus diakui, kenakalan remaja saat ini sudah merebak dimana-mana. Meskipun belum mencapai titik kritis yang membahayakan stabilitas negara namun patut diwaspadai. Sebab ada kecenderungan, trend kenakalan remaja sekarang sudah mengarah kepada tindak kekerasan dan brutalisme. Yang menjadi persoalan sekarang adalah mengapa kenakalan semakin melekat di kalangan remaja? Apakah semata-mata karena masa remaja adalah masa “Storm and Drug” yang penuh dengan berbagai gejolak dan goncangan jiwa? Atau karena faktor-faktor lain yang bersifat ekstrinsik? Tulisan ini berusaha untuk mengungkapkan seberapa besar pengaruh faktor keluarga terhadap kenakalan remaja, terutama kaitannya dengan fungsi remaja.
Keluarga sebagai Lingkungan Pertama dan Utama Lingkungan keluarga adalah lingkungan yang pertama kali dikenal anak remaja sebelum mengenal lingkungan sekolah dan masyarakat. Oleh karenanya, dalam hubungannya dengan perkembangan anak, keluarga sering dikenal dengan sebutan primary group. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat. Mengapa? Menurut John Locke, yang berdiri disisi aliran Empiris dengan teorinya “Tabola Rasa” (Tabola = Meja, Rasa = Lilin, Tabola Rasa = Meja berlapis lilin) menyatakan bahwa anak-anak ibarat meja yang berlapis lilin atau kertas yang putih bersih tanpa goresan apapun. Karena keluarga merupakan lingkungan anak yang pertama, maka keluarga pulalah yang akan menggores pertama kali pada meja berlapis lilin atau kertas yang putih bersih tadi. Sehingga dapat kita maklumi bersama jika keluarga akan banyak menentukan kepribadian anak.
2
Keluarga juga merupakan lingkungan yang utama bagi anak. Sebab di lingkungan keluarga anak akan menghabiskan sebagian besar waktunya. Menurut perhitungan sementara ahli, anak akan tinggal di lingkungan keluarga tidak kurang dari 60% dari keseluruhan waktu dalam sehari yang 24 jam. Jadi sangat wajar kiranya jika lingkungan keluarga akan menjadi cermin yang baik terhadap sikap, kepribadian, dan tindakan anak di masyarakat. Berkaitan dengan ini Fromm berpendapat bahwa anak yang dibesarkan dalam keluarga yang bersuasana demokratik, perkembangannya lebih “luwes” dan dapat menerima kekuasaan secara rasional. Sebaliknya anak yang dibesarkan dalam suasana keluarga otoriter, perkembangannya akan terhambat dan memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang harus ditakuti dan bersifat magi. Hal ini akan menimbulkan sikap tunduk secara membuta kepada kekuasaan, atau justru sikap menentang kekuasaan. Penelitian Sheldon dan Eleanor Glueck menunjukkan bahwa anak nakal berasal dari keluarga yang bersikap menolak atau acuh tak acuh terhadap anak. Anak-anak nakal yang berasal dari keluarga yang bersikap menolak ini umumnya mempunyai sikap curiga terhadap orang lain dan suka menentang kekuasaan. Mereka tidak lagi terkesan oleh hukuman, karena sudah terlalu banyak mengalami hukuman dari orang tuanya.
Fungsi Keluarga yang Melemah Sebagai lingkungan yang menentukan sebagian besar sikap, kepribadian dan perilaku anak, jelas dapat diperkirakan bahwa keluarga mempunyai berbagai fungsi yang sangat dominan mempengaruhi perkembangan anak. Singgih D. Gunarsa dalam bukunya “Psikologi untuk Keluarga” menyatakan bahwa keluarga tidak hanya berfungsi terbatas selaku penerus keturunan saja, melainkan banyak fungsi-fungsi lain yang diperankan sehingga banyak hal-hal mengenai kepribadian anak dapat dirunut dari keluarga. Secara hakekat, keluarga memiliki delapan fungsi yang harus diperankan secara lengkap agar dapat membentuk kepribadian anak yang baik dan berbudi pekerti luhur. Delapan fungsi tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Fungsi keagamaan, yang dapat diwujudkan dalam bentuk keimanan, ketaqwaan dan aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat.
2.
Fungsi sosial budaya, yang dapat dicerminkan dari sikap saling menghargai, patuh pada kaidah dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat serta negara.
3
3.
Fungsi cinta kasih, tercermin dalam kehidupan yang harmonis, rukun dan bertanggung jawab.
4.
Fungsi melindungi yang menumbuhkan rasa aman dan kehangatan yang tiada batasbandingan baik lahir maupun batin.
5.
Fungsi reproduksi yang merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan untuk menyumbang kesejahteraan umat manusia.
6.
Fungsi sosialisasi/pendidikan yang dapat diukur dari kemampuan membaca dan menulis serta dapat meningkatkan kualitas pendidikan keluarga.
7.
Fungsi ekonomi, yang dapat diwujudkan dalam bentuk mempunyai mata pencaharian dan hidup berkecukupan.
8.
Fungsi pembinaan lingkungan, yang diwujudkan keluarga yang mampu menempatkan diri secara serasi, selaras dan seimbang dalam keadaan yang berubah secara dinamis. Namun perlu disadari bersama, bahwa akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, tuntutan zaman, serta pengaruh budaya barat yang liberal yang telah menyebabkan keluarga tidak dapat memerankan fungsinya sebagaimana proporsi yang sebenarnya dengan skala prioritas yang pas. Pada saat-saat sekarang ini, banyak fungsifungsi keluarga yang sudah melemah dan sering dilupakan orang. Perkembangan intelektual akan perkembanga lingkungan seorang anak seringkali dilepaskan dan bahkan dipisahkan dengan masalah keluarga. Hal-hal semacam inilah yang sering menimbulkan masalah sosial, karena kehilangan pijakan. Keluarga sudah seringkali kehilangan peranannya. Lihat saja, betapa komunikasi yang hangat antara ayah, ibu, dan anak-anak semakin menghilang. Mereka terlena dalam kekayaan ekonomi yang sebenarnya akan meracuni anak kandungnya sendiri. Hal inilah yang oleh Paul Wachel dalam bukunya yang berjudul “The Proverty of The Affluence” disebut sebagai “kemiskinan orang-orang kaya” (pernah dimuat di KR, 20 Januari 1994). Orang tua sekarang sudah terlalu sibuk memburu uang dan kekayaan, karena beranggapan bahwa dengan harta mereka akan dapat membahagiakan anak. Tetapi mereka lupa bahwa anak bukan hanya memerlukan kebutuhan materiil saja, tetapi juga kasih sayang, perhatian, dorongan dan orang tua di sisinya. Di kala anak sukses dan berhasil, orang tua harus memberi penghargaan dan pujian. Sebaliknya ketika ia gagal orang tua perlu memberi dukungan moril supaya anak tiddak rendah diri dan merasa tidak berguna. 4
Orang tua harus membantu anak dalam menemukan dan mengatasi kelemahankelemahannya supaya ia bisa bangkit dan maju. Dalam situasi yang “hemat waktu” dengan berprinsip “Time is money” guna mencari harta sebanyak-banyaknya, menyebabkan waktu orang tua tersita penuh dan hampir tak pernah untuk bertemu anak. Akibatnya fungsi-fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, fungsi sosialisasi dan fungsi pembinaan lingkungan semakin melemahh dan menghilang. Saat ini sudah banyak kasus, bahwa ketidakhadiran orang tua selama waktu yang agak lama telah menjadi penyebab utama pendidikan anak berantakan dan morat-marit. Belum lagi masalah keagamaan dan nilai-nilai moral yang seharusnya dianut anak juga semakin kabur, sehingga sikap “menghalalkan” segala cara untuk memperoleh kesenangan menjadi kecenderungan yang dipilih. Kehadiran orang tua yang “sesaat” yang mestinya dapat dimanfaatkan untuk memberi perhatian dan kasih sayang, namun tak urung sering digunakan untuk membentak-bentak dan memarahi anak yang membuatnya frustasi, ketakutan yang amat sangat, perasaan rendah diri, tak berguna dan sebagainya. Akibatnya anak merasa tak terlindungi, merasa sendiri dan terasing (alienasi). Hal inilah yang menjadi penyebab utama anak-anak/remaja keluar rumah mencari “pelarian” dengan cara begadang di jalanan, mulai akrab dengan minuman keras/mabuk-mabukan, ganja, morphin, seks, dan kekerasan. Kalau sudah begini, kita bisa merenung apalah artinya harta yang melimpah jika anak-anak berantakan. Anak yang seharusnya dapat “mikul dhuwur mendhem jero” ternyata hanya dapat mendhem jeronya saja yang berarti menenggelamkan orang tua ke dalam lembah kehinaan dan penderitaan. Ini tidak dapat dibiarkan terus, karena akan menjadi penyakit akut yang mengganas di seluruh lingkungan masyarakat kita. Tidak pandang bulu pada keluarga kita.
Pemecahan Kenakalan remaja sekarang memang telah membuat orang tua pusing tujuh keliling. Sebab mengatasi kenakalan remaja pada saat ini dengan kekerasan sama halnya menjadikan bumerang bagi orang tua itu sendiri. Bukan tidak mungkin kekerasan orang tua akan dibalas anak dengan kekerasan pula. Bahkan lebih keji. Ada sedikit ketenangan bagi kita, bahwa masalah keluarga telah menjadi perhatian utama pemerintah (khususnya BkkbN). Namun berbagai tantangan dan masalah akan 5
menghadang secara beruntun. Penanganan yang tidak pas justru akan menjadikan anak semakin brutal. Lebih-lebih jika kita cermati, masalah kenakalan remaja belum memiliki perhatian dalam porsi yang cukup meski dampak kebrutalannya semakin terlihat jelas. Oleh sebab itu, sangat diperlukan kerjasama yang baik antara berbagai instansi terkait (BKKBN, Depdiknas, Depag,, Aparat Keamanan, dan sebagainya) dengan institusi masyarakat, tokoh masyarakat/ulama, dan masyarakat sendiri untuk mengatasi masalah ini agar tidak merebak ke mana-mana. Tetapi untuk “menumpas” kenakalan remaja sampai ke akar-akarnya harus dimulai dari keluarga. Keluarga harus menjadi tempat bernaung yang nyaman bagi anak. Merupakan tempat yang baik untuk berkreasi dan berprestasi. Orang tua harus dapat memberi ayoman di kala anak susah, tetapi juga dapat memberi batasan yang tegas kala tindakan anak mulai menyimpang dari norma. Oleh sebab itu, benar juga apa yang dikatakan Kung Futze, bahwa dalam membenahi kebobrokan remaja harus dimulai dengan menegakkan wibawa keluarga. Tiap-tiap anggota keluarga mesti tahu terlebih dahulu akan hak dan kewajibannya. Semua kebiasaan buruk harus diluruskan secara tegas tanpa raguragu. Sementara ini ada suatu saran yang cukup baik dipertimbangkan guna mengatasi masalah kenakalan remaja yang dikemukakan oleh Prof Dr. H. Haryono Suyono, mantan Menteri Kependudukan/Kepala BKKBN. Beliau menyarankan perlu segera diupayakan pembuatan buku manual untuk orang tua sebagai pedoman dalam mendidik anak-anaknya agar menjadi insan yang tidak saja cerdas dan trampil, tetapi juga bertaqwa, berkepribadian luhur dan mneghargai etika. Namun dari kesemuanya itu, ada satu hal yang patut menjadi catatan bagi kita bahwa upaya mengatasi kenakalan remaja harus dimulai dari pembenahan fungsi keluarga agar sesuai dengan porsinya. Dan ini harus diawali dari pembenahan diri orang tua itu sendiri. Sehingga “pitutur” apa yang dikatakan orang tua kepada anaknya memang betulbetul dapat dilihat anak dengan mata kepala sendiri pada perilaku orang tuanya. Orang tua harus mampu mmenjadi figur yang baik di mata anak-anak. Sebab hanya dengan cara itu anak akan menghargai dan menghormati orang tuanya, yang nota bene akan merupakan potensi besar orang tua untuk diakui keberadaannya secara wajar di mata anak sekaligus sebagai orang tua yang patut dihormati dan dipatuhi perintah-perintahnya.
6
Dra Nukmah Fatkhiyati - Koordinator PKB Kecamatan Lendahi, Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintahan Desa Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Kulonprogo
7