Prosiding Seminar Nasional Matematika Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 24 Juli 2011
EKSPERIMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) DAN NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) PADA MATERI POKOK SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL DITINJAU DARI AKTIVITAS BELAJAR SISWA SMP NEGERI SE-KABUPATEN GROBOGAN Oleh : Noviana Dini Rahmawati Dari : Universitas Muhammadiyah Semarang (UNIMUS) ABSTRACT Noviana Dini Rahmawati, S850809313. Experimentation of Cooperative Learning Model using Teams Games Tournament (TGT) Type and Numbered Heads Together (NHT) on Linear Equations System in Two Variables Material be Viewed from Student Learning Activity of Junior High School in Grobogan Regency. 1st advisor: Prof. Dr. Budiyono, M.Sc., 2nd advisor: Drs. Sutrima, M.Si. Thesis. Mathematics Education Department, Postgraduate Program of Sebelas Maret University Surakarta. 2011. The aim of this study is to determine: (1) Whether TGT learning model provides better mathematics learning achievement than NHT learning model (2) Whether students’ mathematics learning achievement with high activity is better than middle activity ones and students’ mathematics learning achievement with middle activity is better than low activity ones (3) In each activity level (low, middle and high) which gives better mathematics learning achievement, the learning model of TGT or NHT (4) In each model (TGT and NHT), which gives mathematics learning achievement better, students with high, middle or low activity ones. This research is a quasi experiment with 2×3 factorial design. The population of this research were all of 8th grade students of Junior High School in 2010 – 2011 academic year of Grobogan Regency. The selection of the samples was done by stratified cluster random sampling. The samples were drawn from the students of SMPN 3 Purwodadi, SMPN 2 Purwodadi and SMPN 6 Purwodadi. The number of respondents in this research was 225 students. The instruments used to collect data are mathematics achievement test and student learning activity questionnaire. Data analysis technique used unbalance two ways analysis of variance. The conclusions of the research are: (1) TGT learning model provides better mathematics learning achievement than NHT learning model, (2) Students’ mathematics learning achievement with high activity is better than low activity ones, students’ mathematics learning achievement with middle activity is better than low activity ones, students’ mathematics learning achievement with high and middle activity are the same. (3) In each activity level (low, middle and high) TGT learning model gives mathematics learning achievement better than NHT learning model (4) In each model (TGT and NHT), students’ mathematics learning achievement with high activity is better than low activity ones, students’ mathematics learning achievement with high activity and middle activity are the same. Keywords: TGT, NHT, Learning Activity ABSTRAK Noviana Dini Rahmawati, S850809313. Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) dan Numbered Heads Together (NHT) Pada Materi Pokok Sistem Persamaan Linear Dua Variabel Ditinjau Dari Aktivitas Belajar Siswa SMP Negeri Se Kabupaten Grobogan. Pembimbing I: Prof. Dr. Budiyono, M.Sc., Pembimbing II: Drs. Sutrima, M.Si. Tesis. Program Studi Pendidikan Matematika, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2011. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Apakah model pembelajaran TGT dapat memberikan prestasi belajar matematika lebih baik daripada model pembelajaran NHT (2) Apakah siswa beraktivitas belajar tinggi mempunyai prestasi lebih baik daripada siswa beraktivitas belajar sedang dan apakah siswa yang beraktivitas belajar sedang mempunyai prestasi lebih baik daripada siswa beraktivitas belajar rendah (3) Pada masing-masing tingkatan aktivitas belajar (tinggi, sedang, rendah), manakah yang memberikan prestasi belajar matematika lebih baik, model pembelajaran TGT atau NHT (4) Pada masing-masing model pembelajaran (TGT dan NHT), manakah yang memberikan prestasi belajar matematika lebih baik, siswa beraktivitas belajar tinggi, sedang atau rendah. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental semu dengan desain penelitian 2x3. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas VIII SMP Negeri Tahun Ajaran 2010-2011 di Kabupaten
98
Noviana Dini Rahmawati/Eksperimentasi Model Pembelajaran
Grobogan. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara stratified cluster random sampling. Sampel penelitian ini adalah siswa dari SMPN 3 Purwodadi, SMPN 2 Purwodadi, dan SMPN 6 Purwodadi. Banyak anggota sampel dalam penelitian ini adalah 225 siswa. Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data adalah tes prestasi belajar dan angket aktivitas belajar siswa. Teknik analisis data pada penelitian ini adalah Analisis Variansi Dua Jalan Dengan Sel Tak Sama. Kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) Model pembelajaran TGT menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran NHT. (2) Prestasi belajar matematika pada siswa beraktivitas tinggi lebih baik dibanding dengan siswa yang beraktivitas rendah, prestasi belajar matematika pada siswa beraktivitas sedang lebih baik dibanding dengan siswa beraktivitas rendah, prestasi belajar matematika pada siswa beraktivitas tinggi sama baiknya dibanding dengan siswa beraktivitas sedang. (3) Pada masing-masing kategori aktivitas (rendah, sedang dan tinggi), model pembelajaran TGT memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada model pembelajaran NHT. (4) Pada masing-masing model pembelajaran TGT dan NHT prestasi belajar siswa beraktivitas tinggi lebih baik daripada prestasi belajar siswa beraktivitas rendah dan prestasi belajar siswa beraktivitas sedang sama baiknya dibanding dengan siswa beraktivitas tinggi. Kata kunci: TGT, NHT, Aktivitas Belajar
PENDAHULUAN Matematika merupakan cabang ilmu yang bertujuan untuk mendidik siswa menjadi manusia yang dapat berfikir logis, kritis dan rasional serta menduduki peranan penting dalam dunia pendidikan. Matematika sebagai dasar ilmu-ilmu yang lain. Pada kenyataannya, matematika perlu mendapatkan perhatian khusus karena masih ada anggapan bahwa matematika adalah mata pelajaran yang menakutkan, sulit dan tidak menarik bagi siswa. Banyak orang beranggapan bahwa matematika hanya didapatkan di sekolah. Akibatnya, matematika tidak terlihat sebagai sesuatu yang biasa digunakan orang dalam kehidupan sehari-hari tetapi sebagai suatu syarat yang harus dipelajari di sekolah. Sebagian orang menganggap pelajaran matematika tidak menyenangkan dan sulit (The National Research Council, 1989 dalam Ezeife, 2002: 176-187). Mutu pendidikan Indonesia terutama mata pelajaran matematika, masih rendah. Salah satu data pendukung pendapat tersebut adalah data UNESCO yang menunjukkan bahwa peringkat matematika Indonesia berada di deretan 34 dari 38 negara. Jumlah jam pengajaran matematika di Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan Malaysia dan Singapura. Siswa kelas VIII di Indonesia rata-rata mendapat 169 jam pelajaran matematika sedangkan Malaysia hanya 120 jam dan Singapura 112 jam. Kenyataannya, prestasi Indonesia berada jauh di bawah kedua negara tersebut. Prestasi matematika siswa Indonesia hanya memperoleh skor rata-rata 411 sedangkan Malaysia mencapai 508 dan Singapura 605. Data tersebut telah menunjukkan bahwa waktu yang dihabiskan siswa Indonesia di sekolah tidak sebanding dengan prestasi yang diraih (Zainurie, 2007). Selain itu, rendahnya prestasi belajar siswa pada mata pelajaran matematika SMP di Kabupaten Grobogan dapat dilihat pada Ujian Nasional tahun ajaran 2008/2009. Masih banyak siswa yang tidak lulus karena nilai matematikanya kurang dari 5,25 seperti distandarkan pemerintah. Nilai rata-rata Ujian Nasional mata pelajaran matematika diantara 4,25 dan 6,99 terdapat 18 dari 97 SMP di Kabupaten Grobogan. Selain itu terdapat SMP di Kabupaten Grobogan yang memiliki angka ketidaklulusan mencapai 11,23%. Kegagalan UN banyak pada bidang studi matematika sehingga guru harus memahami sepenuhnya materi yang akan disampaikan dan memilih model pembelajaran yang tepat dalam penyampaian materi (Dinas Pendidikan Kabupaten Grobogan, 2009). Alternatif penggunaan model pembelajaran adalah cooperative learning (pembelajaran kooperatif) dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan berbeda. Model pembelajaran ini mempermudah siswa dalam memahami dan menemukan masalah yang sulit dengan berdiskusi. Pembelajaran kooperatif juga mendorong siswa untuk lebih aktif dalam mengemukakan pendapat dan pertanyaan. Tipe pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan adalah Teams Games Tournament (TGT) dan Numbered Heads Together (NHT).
99
Prosiding Seminar Nasional Matematika Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 24 Juli 2011
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) Diantara model pembelajaran TGT dan model pembelajaran NHT, model pembelajaran manakah yang dapat memberikan prestasi belajar lebih baik pada materi SPLDV?, (2) Apakah siswa beraktivitas belajar tinggi mempunyai prestasi lebih baik daripada siswa beraktivitas belajar sedang dan apakah siswa yang beraktivitas belajar sedang mempunyai prestasi lebih baik daripada siswa beraktivitas belajar rendah?, (3) Pada masing-masing tingkatan aktivitas belajar (tinggi, sedang, rendah), manakah yang memberikan prestasi belajar matematika lebih baik, model pembelajaran TGT atau NHT?, (4) Pada masingmasing model pembelajaran (TGT dan NHT), manakah yang memberikan prestasi belajar matematika lebih baik, siswa beraktivitas belajar tinggi, sedang atau rendah? KAJIAN PUSTAKA 1. Prestasi Belajar Matematika Menurut Sutratinah Tirtonegoro (2001: 43), prestasi belajar adalah penilaian hasil usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai setiap anak dalam periode tertentu. Prestasi belajar atau hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar (Mulyono Abdurrahman, 2003: 37). Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil dari proses belajar dalam waktu tertentu yang ditandai perubahan tingkah laku dan dapat dinyatakan dalam bentuk nilai atau angka. Sedangkan, prestasi belajar matematika adalah hasil kegiatan belajar matematika dalam menemukan penyelesaian dengan ide-ide sistematis dan dinyatakan dalam bentuk angka, huruf maupun kalimat yang dicapai dalam periode tertentu. 2. Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) Charlton, Williams dan McLaughlin (2005: 66-72) mengemukakan bahwa pembelajaran dengan games dapat membuat siswa lebih aktif dan merasa senang untuk belajar. Pembelajaran tersebut terlihat menarik ketika penjelasan guru dikombinasikan dengan games sehingga penyampaian materi menjadi lebih cepat tersampaikan. TGT merupakan salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang menggunakan turnamen akademik, kuis-kuis dan sistem skor kemajuan individu, dimana para siswa berlomba sebagai wakil tim mereka dengan anggota tim lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti mereka (Slavin, 2008: 164). Adapun lima komponen dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah sebagai berikut: a. Presentasi kelas Presentasi kelas digunakan guru untuk memperkenalkan materi pelajaran dengan pengajaran langsung, diskusi ataupun audiovisual. Fokus presentasi pada kelas menyangkut materi pokok dan teknis pembelajaran yang akan dilaksanakan. b. Tim Tim terdiri dari 4 sampai 6 peserta didik anggota kelas dengan kemampuan yang berbeda. Anggota tim mewakili kelompok yang ada di kelas dalam hal kemampuan akademik, jenis kelamin atau ras. c. Game/ Permainan Permainan didesain untuk menguji pengetahuan yang dicapai peserta didik dan biasanya disusun dalam pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan materi dalam presentasi kelas. Permainan dilakukan oleh 3 atau 4 peserta didik yang berkemampuan setara dan masing-masing mewakili tim yang berbeda. Kelengkapan permainan kebanyakan berupa pertanyaan dan kunci jawaban serta dilengkapi dengan kartu bernomor. Seorang peserta didik mengambil kartu bernomor, membaca pertanyaan dari nomor terambil yang sesuai dan berusaha menjawab pertanyaan. Peserta didik lain boleh menantang apabila mempunyai jawaban yang berbeda. d. Turnamen/ Pertandingan
100
Noviana Dini Rahmawati/Eksperimentasi Model Pembelajaran
Turnamen adalah saat dimana permainan berlangsung. Biasanya turnamen dilaksanakan pada akhir setiap minggu atau unit setelah guru memberikan presentasi kelas dan setiap tim telah berhasil dengan lembar kegiatan siswa. Dalam turnamen 3 atau 4 peserta didik yang setara dan mewakili tim yang berbeda bersaing dalam turnamen. Persaingan setara ini memungkinkan peserta didik dari semua tingkatan kemampuan awal menyumbangkan nilai maksimum bagi timnya. Penempatan siswa pada meja turnamen dapat digambarkan sebagai berikut:
TEAM A A-1 A-2 A-3 A-4 Tinggi Sedang Sedang Rendah Meja Turna men 1
Meja Turna men 2
Meja Turna men 4
Meja Turna men 3
A-1 A-2 A-3 A-4 Tinggi Sedang Sedang Rendah
A-1 A-2 A-3 A-4 Tinggi Sedang Sedang Rendah
TEAM B
TEAM C
e. Penghargaan kelompok (Team Recognition) Langkah pertama sebelum memberikan penghargaan kelompok adalah menghitung rerata skor kelompok. Untuk memilih rerata skor kelompok dilakukan dengan cara menjumlahkan skor yang diperoleh oleh masing-masing anggota kelompok dibagi dengan banyaknya anggota kelompok. Pemberian penghargaan didasarkan atas rata-rata poin yang didapat oleh kelompok tersebut. Dimana penentuan poin yang diperoleh oleh masingmasing anggota kelompok didasarkan pada jumlah kartu yang diperoleh. 3. Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) Model pembelajaran tipe kepala bernomor (Numbered Heads Together) dikembangkan oleh Spencer Kagan pada tahun 1992. Model ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu, model ini juga mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerja sama. Menurut Anita Lie (2005: 60) langkah-langkah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT yaitu sebagai berikut: a. Siswa dibagi dalam kelompok. Setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor. b. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya. c. Kelompok memutuskan jawaban yang dianggap paling benar dan memastikan setiap anggota kelompok mengetahui jawaban ini. d. Guru memanggil salah satu nomor. Siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerja sama mereka. 4. Aktivitas Belajar Siswa Menurut Montessori dalam (Sardiman, 2001: 94) menegaskan bahwa anak itu memiliki tenaga untuk berkembang sendiri. Pendidik berperan sebagai pembimbing dan pengamat perkembangan anak didiknya. Pembentukan diri seorang anak, yang lebih banyak melakukan aktivitas adalah anak itu sendiri.
101
Prosiding Seminar Nasional Matematika Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 24 Juli 2011
Adapun indikator keadaan keaktifan siswa dalam pembelajaran menurut Nana Sujana dalam Suharno, Sukardi, Chodijah, Suwalni (1999: 10) dijelaskan sebagai berikut: (1) adanya aktivitas belajar siswa secara individual untuk penerapan konsep, prinsip dan generalisasi, (2) adanya aktivitas belajar siswa dalam bentuk kelompok untuk memecahkan masalah, (3) adanya partisipasi siswa dalam melaksanakan tugas belajarnya, (4) adanya keberanian siswa dalam mengajukan pendapatnya, (5) adanya aktivitas belajar menganalisis, penilaian dan kesimpulan, (6) setiap siswa dapat mengomentari dan memberi tanggapan pendapat siswa lain, (7) adanya kesempatan bagi setiap siswa untuk menggunakan berbagai sumber belajar yang tersedia, (8) adanya upaya bagi setiap siswa untuk menilai hasil belajar yang dicapai, (9) adanya upaya siswa untuk bertanya guru & atau meminta pendapat siswa yang lainnya dalam upaya kegiatan pembelajaran. Macam-macam aktivitas belajar yang dilakukan tiap siswa berbeda-beda. Aktivitas belajar siswa yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah mengacu pada pendapat Nana Sujana yang telah diuraikan di atas yaitu persiapan dan partisipasi dalam mengikuti pelajaran matematika, mencatat, mengerjakan tugas pembagian waktu belajar, mengatasi kesulitan belajar matematika, menggunakan sumber belajar yang tersedia, mempelajari kembali dan belajar secara kelompok/individu. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dipilih adalah penelitian eksperimental semu karena tidak memungkinkan untuk mengontrol dan atau memanipulasi semua variabel yang relevan. Kelompok eksperimen 1 menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT sedangkan kelompok eksperimen 2 menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Pada akhir eksperimen, kedua kelompok tersebut diukur prestasi belajarnya dengan menggunakan alat ukur yang sama yaitu soal tes prestasi belajar pada materi pokok Sistem Persamaan Linear Dua Variabel. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas VIII SMP Negeri Tahun Ajaran 2010-2011 di Kabupaten Grobogan. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara stratified cluster random sampling. Sampel penelitian ini adalah siswa dari SMPN 3 Purwodadi, SMPN 2 Purwodadi, dan SMPN 6 Purwodadi. Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data adalah tes prestasi belajar dan angket aktivitas belajar siswa. Teknik analisis data pada penelitian ini adalah Analisis Variansi Dua Jalan Dengan Sel Tak Sama. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Uji Keseimbangan Data yang digunakan kemampuan awal adalah nilai matematika ulangan mid semester 1. Hasil analisis uji t pada tingkat signifikansi = 0,05 dapat dilihat pada tabel rangkuman di bawah ini: Tabel 4.4 Rangkuman Uji Keseimbangan Kemampuan Awal t obs t tabel Kelas Keputusan Kesimpulan Eksperimen 1 >< Eksperimen 2
0,075
1,960
H O diterima
Sama Rerata
2. Data Hasil Uji Coba Instrumen a. Uji Validitas Instrumen Tes Prestasi Belajar Tes prestasi belajar matematika yang diujicobakan sebanyak 35 butir soal. Setelah uji validitas oleh para pakar validator maka semua butir soal dapat digunakan untuk memenuhi semua kriteria penelaahan uji validitas. b. Uji Reliabilitas Instrumen Tes Prestasi Belajar Hasil perhitungan indeks reliabilitas tes prestasi belajar dari 30 butir soal yang dipakai dengan menggunakan rumus Kuder-Richardson (KR-20) sebesar 0,8820. Hal ini
102
Noviana Dini Rahmawati/Eksperimentasi Model Pembelajaran
menunjukkan bahwa tes reliabel karena indeks reliabilitas instrumen tes lebih besar dari sama dengan 0,7. c. Uji Tingkat Kesukaran Butir Soal Tes Prestasi Belajar Setelah dilakukan perhitungan tingkat kesukaran menunjukkan bahwa 35 butir telah memenuhi syarat karena indeks tingkat kesukarannya lebih dari sama dengan 0,30 atau kurang dari sama dengan 0,70. d. Uji Daya Pembeda Butir Soal Tes Prestasi Belajar Setelah dilakukan perhitungan daya pembeda menunjukkan bahwa dari 35 butir soal uji coba ada 5 butir soal yang tidak memenuhi syarat karena indeks daya pembedanya kurang dari 0,3 yaitu butir soal nomor 15, 18, 22, 32, 33. Dengan demikian, selain 5 butir soal tersebut layak dipakai untuk tes prestasi belajar. Berdasarkan kriteria tingkat kesukaran dan daya beda butir soal yang digunakan, maka butir soal yang tidak memenuhi ada 5 butir soal yaitu nomor 15, 18, 22, 32 dan 33. Sedangkan butir soal yang dipakai dalam pengambilan data prestasi belajar hanya 30 nomor yaitu nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 16, 17, 19, 20, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 34 dan 35. e. Uji Validitas Butir Soal Angket Aktivitas Belajar Matematika Angket aktivitas belajar matematika yang diujicobakan sebanyak 40 butir soal. Setelah dilakukan uji validitas oleh para pakar validator serta mempertimbangkan saran dari para pakar validator untuk melakukan revisi pada beberapa butir soal angket, setelah direvisi, maka semua butir soal angket dapat digunakan untuk penelitian karena telah memenuhi semua kriteria penelaahan uji validitas. f. Uji Reliabilitas Instrumen Angket Aktivitas Belajar Matematika Hasil perhitungan indeks reliabilitas instrumen angket aktivitas belajar matematika dengan menggunakan rumus Alpha sebesar 0,88. Indeks reliabilitas instrumen angket aktivitas belajar matematika ini lebih dari sama dengan 0,7 sehingga instrumen angket dapat dipakai. g. Uji Konsistensi Internal Butir Soal Angket Aktivitas Belajar Perhitungan menggunakan rumus korelasi momen produk dari Karl Pearson, dari 40 butir soal angket diperoleh 10 butir soal angket yang mempunyai indeks konsistensi internal kurang dari 0,3 yaitu butir soal angket nomor 5, 10, 12, 14, 23, 28, 31, 33, 34 dan 40, sehingga butir angket tersebut tidak dipakai. Selain 10 butir soal angket tersebut layak dipakai untuk angket aktivitas belajar matematika. 3. Deskripsi Data Penelitian a. Data Prestasi Belajar Siswa Pada Materi SPLDV Data prestasi belajar siswa pada materi SPLDV untuk kelompok kelas TGT dapat dilihat pada Lampiran 25. Berdasarkan data penelitian yang dikumpulkan diketahui bahwa prestasi belajar tertinggi pada kelas TGT adalah 96,67 dan terendah adalah 33,33, sehingga rentangan nilainya 63,34. Rata-rata 67,89, median 73,33, modus 83,33 dan simpangan baku 17,04. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tersebut cukup menyebar. .Berdasarkan data penelitian yang dikumpulkan diketahui bahwa prestasi belajar tertinggi pada kelas NHT adalah 90,00 dan terendah 23,33, sehingga rentangan nilainya 66,67. Rata-rata 58,91, median 60,00, modus 63,33 dan simpangan baku 15,21. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai yang diperoleh dari pembelajaran NHT lebih banyak yang mengumpul pada rata-rata dibanding dengan nilai-nilai yang diperoleh dari pembelajaran TGT. Pembelajaran dengan model NHT ada kecenderungan menghasilkan nilai-nilai yang lebih seragam dibanding nilai-nilai yang diperoleh dari pembelajaran dengan model TGT.
103
Prosiding Seminar Nasional Matematika Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 24 Juli 2011
b. Data Aktivitas Belajar Siswa Data aktivitas belajar siswa diperoleh dari angket aktivitas belajar matematika terhadap responden yang telah terpilih secara acak sebagai sampel. Namun secara global dapat dideskripsikan seperti pada tabel sebagai berikut: Tabel 4.6 Deskripsi Skor Aktivitas Belajar Matematika Pada Masing-masing Model Pembelajaran Skor Aktivitas Siswa TGT NHT Skor terendah 60 60 Median 80 79 Modus 81 89 Skor tertinggi 109 106 n 112 113 79,90 78,84 X 100,49 69,67 S2 10,02 8,35 S Setelah angket aktivitas diberi skor, selanjutnya data skor tersebut dikelompokkan kedalam 3 kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Cara pengelompokan siswa menjadi 3 kategori adalah sebagai berikut: 1) Kategori tinggi : 2) Kategori sedang
:
3) Kategori rendah
:
dengan: = deviasi standar atau simpangan baku 4. Uji Prasyarat Analisis a. Uji Normalitas Hasil uji normalitas dan prestasi belajar siswa pada materi SPLDV dengan menggunakan metode Liliefors diperoleh: Tabel 4.8 Hasil Uji Normalitas Prestasi Belajar Lobs Ltabel Uji Normalitas Keputusan Uji Prestasi belajar dengan model 0,0810 0,0837 Normal TGT (A1) Prestasi belajar dengan model 0,0749 0,0833 Normal NHT (A2) Prestasi belajar pada siswa 0,0631 0,1074 Normal beraktivitas rendah (B1) Prestasi belajar pada siswa 0,0585 0,0877 Normal beraktivitas sedang (B2) Prestasi belajar pada siswa 0,1009 0,1194 Normal beraktivitas tinggi (B3)
b. Uji Homogenitas Untuk menguji apakah sampel-sampel dalam penelitian ini berasal dari populasi yang homogen (mempunyai variansi sama) digunakan metode Bartlett. Hasil perhitungan diperoleh rangkuman harga statistik seperti dalam tabel berikut: Tabel 4.9 Uji Homogenitas Pada Masing-masing Kelompok
104
Noviana Dini Rahmawati/Eksperimentasi Model Pembelajaran
Jenis yang diuji
2 obs
2 tabel
Keputusan Uji
Antara prestasi belajar dari kelas TGT dan kelas NHT.
1,4426
3,8410
Homogen
Antara prestasi belajar dari kelompok siswa beraktivitas rendah, sedang dan tinggi.
2,6820
5,9910
Homogen
Berdasarkan tabel di atas ternyata prestasi belajar matematika antara kelas TGT dan kelas NHT berasal dari populasi yang homogen, demikian juga antara kelompok siswa beraktivitas rendah, sedang dan tinggi berasal dari populasi yang homogen. 5. Analisis Data a. Hasil Uji Anava Hasil perhitungan analisis variansi dua jalan dengan frekuensi sel tak sama dan taraf signifikan 0,05 dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.10 Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Fobs F Sumber JK dk RK Model 3626,6669 1 3626,6669 15,8265 3,84 Pembelajaran (A) Aktivitas (B) 8817,3728 2 4408,6864 19,2392 3,00 Interaksi (AB) 95,1726 2 47,5863 0,2077 3,00 50184,2358 219 229,1518 Galat 62723,4481 224 Total Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Pada efek utama A (model pembelajaran) mempunyai harga statistik uji Fa Ftabel
2)
3)
maka H OA ditolak. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan prestasi belajar siswa pada materi SPLDV ditinjau dari penggunaan model pembelajaran matematika. Pada efek utama B (aktivitas belajar siswa) mempunyai harga statistik uji Fb Ftabel maka H OB ditolak. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan prestasi belajar matematika pada materi SPLDV ditinjau dari aktivitas belajar siswa. Pada efek interaksi AB (antara baris dan kolom) mempunyai harga statistik uji Fab Ftabel maka H OAB tidak ditolak (diterima). Hal ini berarti tidak terdapat interaksi yang signifikan antara model pembelajaran terhadap prestasi belajar matematika dan juga antara aktivitas belajar siswa terhadap prestasi belajara matematika pada materi SPLDV.
b. Uji Scheffe Untuk Analisis Variansi Dua Jalan Dengan Sel Tak Sama 1) Uji scheffe untuk komparasi antar baris tidak perlu dilakukan. Karena hanya ada dua baris saja maka hanya melihat besar rataan marginal pada masing-masing baris. 2) Uji scheffe untuk komparasi antar kolom hasilnya seperti pada tabel berikut: Tabel 4.11 Uji Scheffe Komparasi Antar Kolom Komparasi Keputusan Fobs Ftabel
.1 vs .2 .1 vs .3 .2 vs .3
17,8047
6,00
H O Ditolak
34,5159
6,00
H O Ditolak
5,8563
6,00
H O Diterima
Kesimpulan:
105
Prosiding Seminar Nasional Matematika Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 24 Juli 2011
a) Pada .1 vs .2 , karena H O ditolak maka kolom satu dan kolom dua mempunyai beda rataan yang signifikan. b) Pada .1 vs .3 , karena H O ditolak maka kolom satu dan kolom tiga mempunyai beda rataan yang signifikan. c) Pada .2 vs .3 , karena H O diterima maka kolom dua dan kolom tiga mempunyai beda rataan yang tidak signifikan. 6. Pembahasan Hasil Penelitian a. Hipotesis pertama Dari analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama diperoleh Fa = 15,8265 dan
F0,05;1, 219
= 3,84. Ini berarti bahwa
Fa
merupakan anggota daerah kritik,
Fa DK F / F F0,05;1, 219 F / F 3,84 sehingga H 0 A ditolak.
Karena hanya ada dua baris saja maka tinggal memperhatikan besar rataan marginal pada masing-masing baris. Untuk rataan marginal prestasi belajar matematika pada baris pertama (TGT) adalah 67,75 sedangkan rataan marginal prestasi belajar matematika pada baris kedua (NHT) adalah 59,44. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran matematika pada materi SPLDV dengan model kooperatif tipe TGT menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik dibanding dengan prestasi belajar yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Hasil perhitungan rataan marginal selengkapnya disajikan dalam tabel berikut: Tabel 4.12 Rataan Masing-masing Sel Aktivitas Belajar Model Rataan Pembelajaran Marginal Rendah Sedang Tinggi TGT 58.33 69.74 75.17 67.75 NHT 51.85 60.07 66.41 59.44 Rataan Marginal 55.09 64.90 70.79 Model belajar cooperative learning mendorong peningkatan kemampuan siswa dalam memecahkan berbagai permasalahan yang ditemui selama pembelajaran. Siswa dapat bekerja sama dengan siswa lain dalam menemukan dan merumuskan alternatif pemecahan terhadap masalah materi pelajaran yang dihadapi (Etin Solihatin, 2007: 5). Sehingga pemilihan model pembelajaran yang tepat sangat diperlukan dalam penyampaian materi untuk mencapai prestasi yang lebih baik. Sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Nuzulia Mufida (2010) menyimpulkan bahwa prestasi belajar siswa dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGT lebih baik dibandingkan dengan prestasi belajar siswa dengan model konvensional. Pada pembelajaran kooperatif tipe NHT, siswa saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Namun, dalam pelaksanaannya siswa lebih banyak tergantung dengan jawaban teman yang lebih pandai dan kurang berusaha memberikan ide pada saat guru memanggil salah satu nomor siswa dalam suatu kelompok. Sebaliknya, pembelajaran kooperatif tipe TGT mampu membuat siswa lebih tertarik dan tidak merasa bosan belajar matematika. Selain belajar, siswa juga dikelompokkan dalam game atau turnamen sehingga siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran. Siswa saling berdiskusi dan dapat membantu siswa yang memiliki kesulitan belajar untuk mencapai suatu tingkat pemahaman tentang materi pelajaran. Setiap siswa saling belajar dan mengajar serta termotivasi dengan konsep sebuah tim. Dengan demikian, mereka saling bekerjasama untuk menjadikan semua anggota timnya mendapatkan prestasi yang lebih baik.
106
Noviana Dini Rahmawati/Eksperimentasi Model Pembelajaran
b. Hipotesis Kedua Dari analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama diperoleh Fb = 19,2392 dan
F0,05; 2, 219 = 3,00. Ini berarti bahwa
Fb
merupakan anggota daerah kritik,
Fb DK F / F F0,05;2, 219 F / F 3,00 sehingga H 0 B ditolak.
Adanya tiga baris maka perlu dilanjutkan dengan uji scheffe untuk komparasi antar kolom. Hasil uji scheffe untuk komparasi antar kolom dapat dirangkum dalam tabel berikut:
Tabel 4.13 Hasil Uji Scheffe Komparasi Antar Kolom Komparasi Keputusan HO H1
.1 vs .2 .1 vs .3 .2 vs .3
.1 = .2 .1 = .3 . 2 = .3
.1 .2 .1 .3 . 2 .3
H O Ditolak H O Ditolak H O Diterima
Keterangan: .1 : rataan prestasi belajar siswa yang beraktivitas rendah.
.2 : rataan prestasi belajar siswa yang beraktivitas sedang. .3 : rataan prestasi belajar siswa yang beraktivitas tinggi.
Dengan berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa: 1) Pada .1 vs .2 , H O ditolak. Hal ini berarti bahwa secara signifikan ada perbedaan antara rataan prestasi belajar siswa beraktivitas rendah dengan prestasi belajar siswa beraktivitas sedang. Model pembelajaran memberikan efek yang berbeda terhadap prestasi belajar siswa beraktivitas rendah dan sedang. Hal tersebut dikarenakan oleh rataan marginal pada kolom satu adalah 55,09 dan rataan marginal pada kolom dua adalah 64,90. Dengan demikian, siswa yang beraktivitas sedang mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik dibanding prestasi belajar pada siswa yang beraktivitas rendah, baik pada pembelajaran dengan model TGT maupun model NHT. 2) Pada .1 vs .3 , H O ditolak. Hal ini berarti bahwa secara signifikan ada perbedaan antara rataan prestasi belajar siswa beraktivitas rendah dengan prestasi belajar siswa beraktivitas tinggi. Model pembelajaran memberikan efek yang berbeda terhadap prestasi belajar siswa beraktivitas rendah dan tinggi. Hal tersebut dikarenakan oleh rataan marginal pada kolom satu adalah 55,09 dan rataan marginal pada kolom tiga adalah 70.79. Dengan demikian, siswa yang beraktivitas tinggi mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik dibanding prestasi belajar pada siswa yang beraktivitas rendah, baik pada pembelajaran dengan model TGT maupun model NHT. 3) Pada .2 vs .3 , H O diterima. Hal ini berarti bahwa rataan prestasi belajar siswa beraktivitas sedang dengan prestasi belajar siswa beraktivitas tinggi mempunyai perbedaan yang tidak signifikan. Dengan kata lain, model pembelajaran tidak memberikan efek yang berbeda terhadap prestasi belajar siswa beraktivitas sedang dan tinggi. Siswa-siswa yang beraktivitas sedang mempunyai prestasi belajar matematika yang sama baiknya dibanding dengan prestasi belajar pada siswa yang beraktivitas tinggi, baik pada pembelajaran dengan model TGT maupun model NHT. Terdapat perbedaan antara hasil penelitian dengan hipotesis maupun penelitian oleh Hendrijanto (2008) yang menyatakan bahwa siswa beraktivitas tinggi mempunyai prestasi lebih baik daripada siswa beraktivitas sedang dan siswa yang beraktivitas
107
Prosiding Seminar Nasional Matematika Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 24 Juli 2011
sedang mempunyai prestasi lebih baik daripada siswa beraktivitas rendah. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Menurut pandangan konstruktivisme, belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri siswa dengan faktor ekstern atau lingkungan. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru melainkan siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi (Akhmad Sudrajat, 2008). Dalam pelaksanaan tes prestasi belajar pada penelitian ini, faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi yaitu pengaturan tempat duduk peserta tes. Walaupun sudah diatur waktu pelaksanaan tes pada kelas model pembelajaran TGT dan model NHT dalam satu sekolah dilaksanakan secara bersamaan, namun karena pengaturan tempat duduk dalam satu meja diduduki dua peserta tes sehingga sulit untuk bisa menjamin siswa tidak bekerjasama dalam mengerjakan tes. Selain itu ada kecenderungan siswa beraktivitas sedang untuk bekerjasama dengan siswa beraktivitas tinggi untuk mendapatkan prestasi yang lebih baik. Dengan demikian, prestasi belajar matematika siswa beraktivitas sedang mendapatkan prestasi yang lebih baik dari semestinya sehingga perbedaan antara prestasi belajar matematika siswa beraktivitas sedang dan tinggi tidak signifikan. Jika dicermati untuk setiap kategori aktivitas maka pada siswa beraktivitas tinggi, ternyata prestasi belajarnya ada yang tinggi, sedang maupun rendah. Hal tersebut juga terjadi pada siswa yang mempunyai aktivitas sedang dan rendah. Hal ini dikarenakan bahwa prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh banyak faktor baik intern maupun ekstern. Meskipun siswa beraktivitas tinggi tetapi faktor yang lain tidak mendukung tentu saja bisa mendapatkan prestasi belajar rendah. Sebaliknya, siswa beraktivitas rendah jika faktor yang lain sangat mendukung maka bisa saja mendapatkan prestasi belajar yang lebih baik. c. Hipotesis Ketiga dan Keempat Dari hasil perhitungan anava dua jalan dengan sel tak sama diperoleh, Fab = 0,2077 dan F0,05; 2, 219 = 3,00. Ini berarti bahwa Fab bukan merupakan anggota daerah
kritik, Fb DK F / F F0,05;2, 219 F / F 3,00 sehingga H 0 AB tidak ditolak.
Dengan demikian tidak ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan aktivitas belajar matematika terhadap prestasi belajar matematika pada materi SPLDV. Karakteristik perbedaan antar baris maupun antar kolom konsisten. 1) Karena tidak ada interaksi maka karakteristik perbedaan prestasi belajar antar sel dalam kolom yang sama, akan sama juga dengan karakteristik perbedaan marginal barisnya. Secara marginal rataan prestasi belajar pada baris pertama 67,75 dan pada baris kedua adalah 59,44. Dengan demikian pada masing-masing kategori aktivitas (rendah, sedang dan tinggi), penggunaan model pembelajaran TGT menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik dibanding dengan penggunaan model pembelajaran NHT. Hal ini berbeda dengan hipotesis yang ketiga yang menyatakan bahwa pada tingkatan aktivitas tinggi dan sedang model pembelajaran kooperatif tipe TGT memberikan prestasi belajar yang lebih baik daripada model kooperatif tipe NHT dan pada tingkatan aktivitas rendah kedua model pembelajaran sama efektifnya. Perbedaan antara hipotesis dengan hasil penelitian dapat dijelaskan dari proses pelaksanaan kedua model pembelajaran tersebut. Ditinjau dari kajian teori, model pembelajaran TGT dan NHT termasuk tipe pembelajaran kooperatif, tetapi skenario kegiatan pembelajarannya yang berbeda ternyata membawa pengaruh yang berbeda sekali.
108
Noviana Dini Rahmawati/Eksperimentasi Model Pembelajaran
Pada pembelajaran dengan model NHT yang menggunakan kartu bernomor, ternyata pelaksanaannya efektif pada pertemuan pertama sampai ketiga dan tidak begitu efektif pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Hal ini dapat diamati dari sikap beberapa siswa yang hanya menyontoh jawaban teman disaat guru memanggil salah satu nomor siswa untuk menjawab soal dalam diskusi kelompok. Dengan demikian, setiap anggota dalam suatu kelompok belum benar-benar memahami materi diskusi. Namun sebaliknya pada pembelajaran TGT yang menggunakan bermain game dan turnamen ternyata menarik perhatian siswa dan pelaksanaannya lebih efektif. Hal ini dapat diamati, saat siswa aktif berdiskusi dalam kelompok dan berusaha memahami materi untuk persiapan pelaksanaan turnamen. Siswa mendapat giliran mengambil kartu bernomor yang kemudian membaca dan menjawab soal dengan baik. Siswa yang memiliki jawaban berbeda, diberi kesempatan untuk menantang dan siswa yang memiliki jawaban benar, berhak menyimpan kartu yang diambil tadi. Setelah pertandingan selesai, setiap siswa kembali ke kelompoknya masing-masing dan guru membaca perolehan skor dari tiap kelompok. Siswa yang mendapat skor tinggi, merasa bangga tetapi siswa yang mendapat skor rendah merasa tertantang lagi untuk pertandingan (turnamen) berikutnya. Sehingga siswa lebih tertarik untuk lebih memahami materi yang diberikan untuk pertemuan berikutnya. Hal inilah yang menyebabkan bahwa prestasi belajar menggunakan model TGT lebih baik dibanding dengan prestasi belajar menggunakan model NHT, ini terjadi pada semua kategori aktivitas baik rendah, sedang maupun tinggi. 2) Karakteristik perbedaan antar kolom juga konsisten maka berarti karakteristik perbedaan prestasi belajar antar sel dalam baris yang sama, akan sama juga dengan karakteristik perbedaan marginal kolomnya. Berdasarkan pada pembahasan hipotesis kedua ( H OB ), maka dapat disimpulkan bahwa pada model pembelajaran TGT maupun NHT, siswa beraktivitas sedang mempunyai prestasi belajar lebih baik dibanding siswa beraktivitas rendah, siswa beraktivitas tinggi mempunyai prestasi belajar lebih baik dibanding siswa beraktivitas rendah dan siswa beraktivitas sedang mempunyai prestasi belajar yang sama baiknya dibanding dengan prestasi belajar siswa beraktivitas tinggi. KESIMPULAN 1. Pembelajaran materi SPLDV dengan menggunakan model kooperatif tipe TGT menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan dengan prestasi belajar yang menggunakan model kooperatif tipe NHT. 2. a. Prestasi belajar matematika pada siswa yang mempunyai aktivitas tinggi lebih baik dibanding dengan prestasi belajar pada siswa yang mempunyai aktivitas rendah. b. Prestasi belajar matematika pada siswa yang mempunyai aktivitas sedang lebih baik dibanding dengan prestasi belajar pada siswa yang mempunyai aktivitas rendah. c. Prestasi belajar matematika pada siswa yang mempunyai aktivitas tinggi sama baiknya dibanding dengan prestasi belajar pada siswa yang mempunyai aktivitas sedang. 3. Pada masing-masing kategori aktivitas (rendah, sedang dan tinggi), model pembelajaran TGT memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada prestasi belajar matematika menggunakan model pembelajaran NHT. 4. a. Pada model pembelajaran TGT, prestasi belajar siswa beraktivitas tinggi lebih baik daripada prestasi belajar siswa beraktivitas rendah dan prestasi belajar siswa beraktivitas sedang sama baiknya dibanding dengan siswa beraktivitas tinggi. b. Pada model pembelajaran NHT, prestasi belajar siswa beraktivitas tinggi lebih baik daripada prestasi belajar siswa beraktivitas rendah dan prestasi belajar siswa beraktivitas sedang sama baiknya dibanding dengan siswa beraktivitas tinggi.
109
Prosiding Seminar Nasional Matematika Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 24 Juli 2011
SARAN 1. 2. 3.
Sebagai bahan masukan bagi guru untuk memilih model pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam menyampaikan materi SPLDV. Sebaiknya para siswa melakukan persiapan belajar lebih baik dalam mengikuti pembelajaran matematika baik menggunakan model kooperatif tipe TGT maupun NHT. Penelitian ini mungkin dapat dijadikan sebagai perbandingan untuk penelitian selanjutnya karena hanya terbatas pada materi SPLDV. Oleh karena itu, dimungkinkan untuk dilakukan penelitian pada pokok bahasan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA Akhmad Sudrajat. 2008. Teori Belajar Konstruktivisme. Dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/20/teori-belajar-konstruktivisme/, diakses 9 Januari 2011. Anita Lie. 2005. Cooperative Learning”Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas”. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Charlton, B., Williams, R. L dan McLaughlin, T.F. 2005. Educational Games: A Technique to Accelerate the Acquisition of Reading Skills of Children with Learning Disabilities. International Journal of Special Education. Volume 20, Number 2, page 66-72. Etin Solihatin. 2007. Cooperative Learning. Jakarta : Bumi Aksara. Ezeife, A.N. 2002. Mathematics and Culture Nexus: The Interactions of Culture and Mathematics in an Aboriginal Classroom. International Education Journal. Volume 3, Number 3, page 176-187. Hendrijanto. 2008. Efektifitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Terhadap Prestasi Belajar Matematika Pada Pokok Bahasan Persamaan dan Fungsi Kuadrat Ditinjau Dari Aktivitas Belajar Siswa. Tesis, Surakarta: UNS (Tidak diterbitkan). Mulyono Abdurrahman. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Nuzulia Mufida. 2010. Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT Pada Pokok Bahasan Bangun Ruang Sisi Lengkung Ditinjau dari Gaya Belajar Siswa Kelas IX MTs Negeri Se Kabupaten Klaten Tahun Pelajaran 2009/2010. Tesis, Surakarta: UNS (Tidak diterbitkan). Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Slavin, R.E. 2008. Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Terjemahan: Nurulita Yusron. Bandung: Nusa Media. Suharno, Sukardi, Chodijah, Suwalni. 1999. Belajar dan Pembelajaran II. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta. Sutratinah Tirtonegoro. 2001. Anak Supernormal dan Program Pendidikannya. Jakarta: Bina Aksara. Zainurie. 2007. Prestasi Pendidikan Matematika Indonesia. Dalam http://zainurie.wordpress.com/2007/05/14/pakar-matematika-bicara tentang prestasipendidikan-matematika-indonesia, diakses 20 Oktober 2010.
110