Bagian VIII
Industri Batubara Indonesia
T
otal produksi batubara Indonesia saat ini adalah 450-500 juta ton/ tahun. Dengan perhitungan total produksi katakanlah 400 juta ton/ tahun, maka dalam waktu kurang dari 70 tahun ke depan cadangan batubara Indonesia diperkirakan habis. Sekiranya kita ingin mempunyai cadangan batubara lebih dari 70 tahun, maka ada dua cara yang bisa dilakukan. Pertama, dengan membatasi penggunaan batubara. Kedua, cadangan batubara Indonesia harus bertambah. Ini artinya, harus ditemukan cadangan batubara yang baru. Dari total produksi yang ada, sekitar 20%-nya digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Selebihnya, yakni 80%, diekspor. Rendahnya konsumsi batubara di dalam negeri karena konsumsi batubara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) masih relatif rendah demikian juga untuk industri lainnya. Pembangkit listrik itu sendiri mengkonsumsi sekitar 80% dari total konsumsi batubara di dalam negeri. Selain untuk PLTU, batubara digunakan sebagai sumber energi untuk pabrik semen, pabrik tekstil, dan juga industri kecil. Terkait dengan jaminan pasokan batubara untuk konsumsi dalam negeri, menurut Supriatna hal ini tidak akan ada masalah karena ada Domestic Market Obligation (DMO). “Jadi semua perusahaan siap menyuplai |
59
|
Birokrat Pertambangan Berjiwa Wirausaha | Supriatna Suhala
batubara untuk perusahaan-perusahaan dalam negeri.” Sekalipun demikian, masih banyak permasalahan yang harus diselesaikan. Pertama, pemerintah saat ini sedang berusaha melakukan renegosiasi kontrak dan menambah berbagai pungutan baik itu melalui cara menaikkan royalti dan menambah pajak, yang hal-hal tersebut tidak ada di dalam kontrak. Kedua, adalah adanya pungutan-pungutan dari sektor-sektor lain terutama dari sektor kehutanan. Bahkan pungutan-pungutan tersebut sampai naik hingga 110-300%, yang tentunya sangat membebani pengusaha batubara. Ketiga adalah banyaknya praktik-praktik ilegal yang dilakukan oleh perusahaan batubara. Contoh praktik ilegal tersebut di antaranya adalah dengan menjual hasil tambangnya ke perusahaan dagang (trader) yang legal. Dengan demikian, perusahaan tersebut dapat melakukan penjualan hasil tambang secara legal sekalipun barang dagangannya sebagian merupakan hasil pertambangan ilegal. “Itu sekarang menjadi masalah, makanya KPK turun tangan untuk menyelesaikan.” Untuk mengatasi dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas tambang khususnya di area hutan, Supriatna menyarankan agar area tersebut ditanami pohon kembali sekiranya aktivitas tambang telah selesai. “Ya ditanam lagi. Manusia dengan segala akal dan budinya bisa membuat lebih baik, bisa nanam pohon lebih banyak, bisa membuat landscape lebih indah asal ada kemauan dan komitmen. Tidak ada masalah. Secara teknologi tidak ada masalah. Itu masalah moral. Masalah kemauan. Masalah komitmen.” Tentang perundang-undangan, bagi Supriatna sudah sama baiknya dengan negara-negara maju. Dengan kata lain, tidak ada masalah regulasi. Lebih ke arah masalah komitmen atas penegakan hukum yang ada. “Jadi apa bedanya undang-undang lalu lintas di Indonesia dengan Singapura atau dengan di New York? Tidak ada bedanya. Sama,” tegasnya. Supriatna melihanya lebih ke arah komitmen. “Apakah orangnya punya komitmen atau tidak?” Lalu ia memberi contoh, kalau di suatu lokasi dilarang untuk berhenti, maka kita sebagai pengguna jalan juga harus tidak berhenti di lokasi tersebut. Demikian juga kalau dilarang parkir di trotoar, seharusnya hal demikian tidak dilakukan. Jadi, menurutnya, untuk penegakan hukum, orangnyalah yang harus dididik. |
60
|
Turunnya Permintaan Batubara Internasional Belakangan ini, harga batubara di pasaran dunia anjlok. “Sekarang ini merupakan harga terendah dalam delapan tahun terakhir.” Harga tersebut ditentukan oleh pasokan dan permintaan (supply and demand) yang ada. Namun demikian, mekanismenya dijalankan di pasar komoditi melalui penawaran dan lelang. Supriatna lalu memberikan contoh bagaimana mekanisme supply and demand terjadi. Misalnya batubara ditawarkan seharga Rp 70 tetapi belum ada pembeli yang berminat karena harganya dianggap terlalu tinggi, maka kemudian harga tersebut diturunkan oleh penjual. Kemudian penjual mencoba menawarkan kembali dengan harga Rp 69, lalu menunggu respon dari pembeli. Sekiranya belum juga ada yang membeli, maka akan diturunkan lagi ke angka Rp 67. Sekiranya ada pembeli yang bersedia dengan harga tersebut, maka itulah harga sesungguhnya dari batubara. Turunnya harga batubara di pasar internasional dipicu oleh turunnya permintaan batubara dari Cina, yang merupakan negara konsumen terbesar batubara dunia. Mayoritas ekspor batubara dari Indonesia ditujukan ke negara Tirai Bambu tersebut. Turunnya permintaan dari Cina terjadi karena negara tersebut akan meningkatkan penggunaan gas, nuklir, dan energi dari air untuk mencukupi kebutuhan energinya. Untuk energi air, mereka membuat hidro power dengan membendung Sungai Yangtze. Pasokan gas akan lebih banyak didapatkan dari Siberia. Meningkatnya penggunaan gas di Cina dipicu oleh meningkatnya jumlah kelas menengah di negera tersebut. Sebagai ilustrasi, saat sebuah keluarga masih dalam kondisi ekonomi miskin, mereka cukup menggunakan kayu sebagai bahan bakar. Ketika perekonomian meningkat, mereka memilih menggunakan kompor. Setelah lebih kaya, mereka akan menggunakan gas atau malah kompor listrik. Di Indonesia memang masih jarang orang kaya menggunakan kompor listrik. Kebanyakan dari mereka masih menggunakan gas. “Orang kaya itu kalau masak sudah pakai listrik karena bersih dan tidak mungkin meledak,” ujar Supriatna. Dengan meningkatnya perekonomian rakyat Cina di mana mereka ingin menggunakan energi yang lebih bersih, permintaan atas batubara |
61
|
Birokrat Pertambangan Berjiwa Wirausaha | Supriatna Suhala
mengalami penurunan. Negara itu dulu mengkonsumsi batubara sejumlah 4 miliar ton/tahun. Sekarang ini, kebutuhan mereka hanya 3,6 miliar ton/tahun. Padahal, di lain pihak, Cina juga merupakan negara produsen batubara terbesar di dunia dengan produksi sebesar 3,8 miliar ton/tahun. Produsen terbesar kedua di dunia adalah Amerika Serikat dengan total produksi sebesar 1 miliar ton/tahun. Negara tersebut, setelah ditemukannya sumber gas alam yang besar di negaranya mulai mengkampanyekan ‘War on Coal’ yang dimotori oleh Presiden Obama. Sang Presiden memerintahkan bank-bank Amerika Serikat untuk tidak lagi memberi fasilitas kredit kepada usaha-usaha yang terkait dengan batubara. Kebijakan tersebut tidak hanya berlaku domestik, tetapi juga pembiayaan yang dilakukan di luar Amerika. Bahkan, Amerika yang dulunya tidak mau menandatangani Kyoto Protocol, sekarang ini akan memenuhi agenda-agenda dari protocol yang concern terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan.
Penggunaan Batubara dan Teknologi Batubara Batubara sangat potensial sebagai bahan bakar pengganti BBM untuk pembangkit-pembangkit listrik milik PLN dan milik perusahaan swasta. Sampai saat ini, pembangkit listrik yang ada sekitar 30% masih digerakkan oleh energi BBM. Dengan biaya yang dikeluarkan untuk pembangkit listrik dengan sumber energi BBM sekitar 36 sen USD, sementara harga jual listrik ke pelanggan PLN hanya sekitar 7 sen USD, wajar saja kalau PLN selalu rugi. Dengan penggunaan batubara sebagai bahan baku energi, Supriatna yakin, sekalipun harga batubara meningkat dua kali lipat, PLN akan tetap untung. Pertanyaannya kemudian adalah, kenapa PLN tidak menggunakan batubara sebagai sumber energi pembangkit listrik miliknya? Menurutnya, hal tersebut terjadi karena selama ini PLN telah menginvestasikan dana yang besar dengan memilih pembangkit listrik berenergi BBM. Teknologi ini dipilih karena pada zaman pemerintahan Soeharto, dana pinjaman yang diperoleh dari skema Government-toGovernment umumnya mensyaratkan Indonesia untuk menggunakan teknologi tertentu. Jadi pinjaman itu sifatnya mengikat. “Soeharto pinjam |
62
|
ke Jepang. Boleh pinjam, tetapi harus menggunakan diesel merek Mitsubishi. Kita ingin memakai geotermal tidak diperbolehkan karena mereka juga ingin jualan baranganya. Begitu kita pinjam ke Amerika, boleh, tapi harus memakai mesin General Electric. Begitu juga pinjaman ke Jerman dan Perancis. Akhirnya ada dua puluh delapan merek yang dipakai di PLN. Hal itu berarti sparepart-nya harus dua puluh delapan jenis yang berbeda. Dengan demikian membuat tidak efisien.” Supriatna berharap, ke depannya, pemerintah melalui PLN dapat setahap demi setahap mengubah pemilihan teknologi pembangkit listrik dari yang berbahan bakar BBM menjadi pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Terlebih lagi, teknologi untuk pemanfaatan batubara sebagai sumber bahan bakar tergolong sederhana. Prinsipnya, batubara hasil penambangan dicuci, karena ada kemungkinan batubara tersebut bercampur dengan tanah. Penambangan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi yang sederhana semisal cangkul. Tentunya untuk skala besar, dibutuhkan bantuan alat-alat berat. Setelah itu, batubara tersebut dicuci dan digiling untuk menghasilkan ukuran tertentu. Setelah dikeringkan, batubara tersebut langsung dapat digunakan sebagai sumber energi dengan cara dibakar. Supriatna berharap, ke depan lembaga penelitian semacam Puslitbang tekMIRA dapat melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan dengan fokus, misalnya meningkatkan (upgrading) kualitas batubara. Batubara yang tersisa di Indonesia sekarang ini kebanyakan mempunyai nilai kalori yang rendah. Agar kualitas pembakaran meningkat, batubara dengan kadar kalori rendah harus ditingkatkan kualitasnya terlebih dahulu. Kualitas batubara yang rendah ini disebabkan karena kandungan air yang ada di dalam batubara tersebut tinggi. “Bagaimana mengusir air dari batubara itu? Sebetulnya ini gampang dilakukan, yaitu dengan pemanasan. Tapi problemnya adalah batubara itu mempunyai sifat seperti kerupuk, kalau dibiarkan di udara terbuka selama satu jam saja akan melempem. Melempem itu akibat ada air yang masuk ke dalamnya. Dia punya sifat absorben,” beber Supriatna.
|
63
|
Birokrat Pertambangan Berjiwa Wirausaha | Supriatna Suhala
Berbeda dengan kerupuk yang dapat dimasukkan ke dalam toples untuk mencegahnya melempem, batubara tidak bisa menggunakan cara tersebut karena volumenya mencapai puluhan, ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan ton. “Bagaimana kita bisa membungkus batubara dengan volume 50 juta ton? Kalau dilakukan pengepakan seperti semen, harga batubara bakalan mahal.” Dengan demikian, isu untuk pengepakan batubara sebenarnya bukan pada teknologinya, tetapi lebih kepada aspek ekonominya. Secara teknologi, untuk menghindari melempemnya batubara, dapat dilakukan penyemprotan minyak pada batubara karena sifat minyak yang mencegah udara yang mengandung air masuk ke dalam batubara. Bahan lain yang dapat digunakan sebagai pelapis adalah oli atau aspal. Namun demikian, harga batubara yang telah dilapisi minyak tersebut akan meningkat. Sekali lagi, permasalahannya bukan terletak pada aspek teknologinya, tetapi aspek ekonominya. Selama harganya tidak kompetitif dibandingkan dengan bahan bakar lainnya, maka batubara tidak akan bisa diterima oleh pasar. Supriatna punya kiat jitu untuk mengetahui apakah teknologi yang ada itu ekonomis atau tidak. Mudah saja caranya, yakni dengan melihat apakah teknologi tersebut ada di pasaran atau tidak. Jika belum terdapat di pasar, maka bisa disimpulkan secara umum kalau teknologi itu belum ekonomis. Supriatna pernah diundang oleh sebuah perusahaan Korea dan Cina. Di sana mereka sesumbar, bahwa pusat penelitiannya berhasil menciptakan teknologi yang dapat meningkatkan nilai kalori batubara atau dapat membuat batubara tidak melempem. Supriatna sangsi. “Jadi benar, kalau baru keluar dari plant-nya itu, kadar airnya itu turun misalnya dari 40 ke 20 atau 15. Saya bilang ke mereka bukan kadar yang diukur begitu keluar dari plant-nya tetapi diukur setelah batubara tersebut ditempatkan di udara terbuka setelah satu, dua, atau tiga minggu. Bahkan kalau perlu setelah tiga bulan. Kalau bisa, disimpan di udara terbuka di Indonesia yang mempunyai humidity lebih tinggi.” Nyatanya, tidak ada teknologi yang lulus sampai sekarang. Artinya, teknologi tersebut belum ‘proven’ (terbukti). Bagi Supriatna, ketimbang kita memikirkan teknologi yang digunakan untuk meningkatkan nilai kalori batubara, lebih baik batubara berkalori |
64
|
rendah digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Batubara tersebut tinggal dibakar saja, misalnya untuk energi pembangkit listrik. Serendah apapun kalorinya, batubara tetap bisa dibakar. Tinggal kita membuat pembangkit listrik di sekitar sumber batubara tersebut. “Jadi tidak perlu diekspor batubaranya. Kalau mau diekspor, kita bisa mengekspor listriknya dengan menggunakan kabel laut ke Singapura atau ke Malaysia, misalnya.” Supriatna sampai pada kesimpulan demikian karena upaya untuk meningkatan kalori batubara tersebut telah lama dilakukan oleh manusia. Sampai sekarang belum juga ketemu teknologi yang tepat dan ekonomis. Pada zaman revolusi industri, Jerman dan Inggris juga telah mengupayakannya. Tetapi sampai sekarang belum juga ada hasil yang memuaskan. Apa yang mereka lakukan dengan batubara adalah dengan membakar di lokasi batubara tersebut ditambang.
Masa Depan Pertambangan Batubara Menurut Supriatna, masa depan pertambangan batubara di Indonesia akan tetap baik. Sebab tidak semua negara mempunyai sumber energi yang cukup. Artinya, tidak semua negara mempunyai cadangan batubara dan gas, dan tentunya tidak semua negara mempunyai kemampuan dan kemauan untuk menggunakan energi nuklir. Setidaknya untuk negaranegara Asia dan Afrika, mereka masih menggunakan batubara sebagai salah satu sumber energi mereka. Sekalipun batubara sering dikaitkan dengan polusi yang ditimbulkannya, menurut Supriatna tidak ada masalah secara teknologi untuk mengatasi hal tersebut. Yang lebih menentukan dalam pemilihan jenis energi, lebih berdasarkan pertimbangan ekonomi. Supriatna memberikan contoh, pemilihan gas yang dilakukan oleh Obama menurutnya karena pertimbangan nilai ekonomis, di mana pemanfaatan gas akan lebih murah karena tidak memerlukan proses yang rumit. “Ada barang yang lebih murah. Kalau gas itu kan tidak perlu diapa-apain, tinggal colok saja dari dalam tanah keluar dibakar udah bersih dia. Dan tidak ada abu.” Ia lalu memberikan contoh penggunaan energi dengan memanfaatkan |
65
|
Birokrat Pertambangan Berjiwa Wirausaha | Supriatna Suhala
panas matahari yang secara teknologi tidak mempunyai kendala yang berarti. Teknologinya sudah tersedia. Namun demikian, dari sisi biaya masih terlalu mahal. “Bikin listrik dari energi matahari itu kan, bersih. Secara teknologi tidak ada masalah. Tapi mampukah Anda membayar 100 kali lebih mahal?” tanya Supriatna dengan nada retorik. Melihat kondisi ekonomi kebanyakan rakyat Indonesia, pemilihan sumber energi juga selayaknya mempertimbangkan biaya yang harus dibayar oleh masyarakat. Idealnya memang kita menggunakan energi yang bersih, tetapi kondisinya masyarakat belum siap untuk melakukannya. Ia mengibaratkan, dengan kondisi ekonomi saat ini, belum saatnya bagi kita untuk membicarakan masalah taman atau toilet yang bagus. Rakyat saat ini masih memikirkan, besok pagi harus makan apa. Kondisi perekonomian rakyat dapat dilihat dari fenomena di mana di warungwarung lebih banyak dijual sampo dalam ukuran sachet ketimbang dalam ukuran yang besar. Hal ini menandakan bahwa daya beli rakyat Indonesia masih rendah. Untuk membeli barang-barang dengan ukuran yang besar, belum tentu gaji mereka, yang biasanya dibayarkan harian atau mingguan akan cukup. Di negara-negara maju dengan tingkat perekonomian tinggi, barang-barang seperti sampo akan dijual dalam ukuran besar karena daya beli mereka tinggi. Dengan demikian, menurut hemat Supriatna, belum saatnya kita membicarakan masalah energi yang bersih. Indikasi belum siapnya masyarakat Indonesia untuk penggunaan bahan bakar yang bersih adalah dengan menaikkan harga bahan bakar atau listrik sampai 50%. Ia yakin, rakyat akan berdemonstrasi menentang keputusan tersebut. “Jadi tidak memungkinkan untuk memikul biaya untuk energi yang bersih. Yang bersih-bersih itu untuk orang Eropa-lah. Orang Eropa mau ngomong soal begitu sudah pantes dia!” cetusnya. Kondisi lingkungan di Eropa pada tahun 1950-an saat perekonomian mereka belum kuat, juga tidak sebersih saat ini. “Kita juga suatu saat nanti bakal begitu. Makanya ekonomi dimajukan dulu. Membuka pekerjaan, biarlah lingkungan sedikit kotor nanti juga bersih. Kita masanya hidup di zaman kotor. Kalau pengin hidup bersih lahirlah 10-20 tahun lagi, jangan sekarang. Betul tidak?”
|
66
|
Sebagai Direktur Eksekutif APBI-ICMA, Supriatna menilai beberapa perusahaan di Indonesia telah berhasil menyelaraskan aspek bisnis batubara yang berusaha untuk mendapatkan keuntungan dan aspek lingkungan yang berusaha agar kerusakan pertambangan batubara dapat diminimalisir. Perusahaan-perusahaan tersebut telah melakukan reklamasi terhadap lahan hasil galian dan juga melakukan Coorporate Social Responsibility (CSR). Perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh pemodal asing dan berorientasi bisnis ke Eropa umumnya mengikuti aturan-aturan yang ada. “Orang Eropa tidak akan membeli hasil tambang kalau hasil audit yang mereka lakukan terhadap perusahaan tersebut menemukan pelanggaran.” Demikian juga perusahaan dari negara Asia semacam Jepang dan Korea, biasanya membeli batubara dengan memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Namun demikian, ia juga menyadari kalau perusahaan-perusahaan yang menjual hasil tambangnya ke Cina dan India banyak yang tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Mereka biasanya hanya menekankan pada harga batubara yang murah. Supriatna juga prihatin terhadap orang Indonesia sendiri yang belum mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap kelestarian lingkungan. Tetapi Supriatna yakin, bahwa suatu saat semua negara akan mengarah ke sana. Setahap demi setahap mereka akan sadar tentang pentingnya mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan. “Jadi kita harus sabar. Orang aktivis lingkungan harus sabar dulu. Bukan tidak mengerti, tapi masalahnya kita belum siap untuk memikul biaya dari aspek ekonomisnya.” Supriatna juga tidak menutup mata terhadap ketidakpedulian sebagian pengusaha batubara terhadap aspek kelestarian lingkungan, tidak semata-mata masalah teknologi dan nilai ekonomis semata. Sebagian dari pengusaha-pengusaha tersebut memiliki sifat rakus. Dengan uang yang dimilikinya, mereka bisa melakukan suap terhadap aparat negara yang seharusnya menjalankan hukum. Jadi, secara legal formal hukum yang ada sudah baik, tetapi masalahnya terletak pada moral dari manusia Indonesia sendiri baik itu pengusaha dan juga aparat penegak hukum. Sebagai Direktur Eksekutif APBI-ICMA, Supriatna tidak akan membela perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran hukum. Dia tidak |
67
|
Birokrat Pertambangan Berjiwa Wirausaha | Supriatna Suhala
segan-segan meminta aparat penegak hukum untuk memenjarakan pengusaha-pengusaha yang melanggar hukum. “Jadi yang gabung dengan kita akan kita urus selama mereka berada di jalur hukum. Kalau mereka telah di jalur hukum dan diganggu, sudah bayar pajak tetapi masih diganggu, sudah berkelakuan baik tapi masih diperlakukan tidak adil, itu bagian asosiasi untuk melakukan pembelaan,” ujarnya tegas.
|
68
|