KATA PENGANTAR Bismillahirahmaanirahim Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat serta anugrah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efektivitas
Kinerja
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
Dalam
Bidang
Penindakan.” Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhamad SAW, yang telah mengenalkan tentang tujuan hidup yang sebenarnya. Selanjutnya, dalam kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1.
Dr. Asep Saefuddin Jahar, MA selaku Dekan fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta.
2.
Drs. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH selaku ketua program studi Ilmu Hukum, Ibu Euis Nurlaelawati, MA., Ph.D selaku Dosen Pembimbing Akademik atas segala petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.
3.
Drs. H.A Basiq Djalil, SH., MA dan Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah membimbing dan mengarahkan hingga selesai penulisan skripsi ini.
4.
Segenap Dosen serta staf karyawan fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5.
Segenap staf Perpustakaan Fakultas syariah dan hukum, staf Perpustakaan Utama UIN syarif Hidayatullah Jakarta serta staf yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini. vi
6.
Ayahanda Sayyid Abdul Muthalib Alaydrus dan Ibunda Munira Syihab yang selalu berusaha dan berdoa memberikan yang terbaik untuk penulis., semoga Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan Iman Islam dan mengasihi keduanya.
7.
Permata hatiku kedua Putri ku Shahzanan dan Aqila serta adik-adik ku, Farwah, Hanunah, Jawad, Qaswar, dan Zahira serta keluarga besar yang selalu memberikan doa untuk kesuksesan penulis.
8.
Habib Alidien Assegaf dan semua anggota Majlis pengkajian atas segala doa dan bantuannya.
9.
Keluarga besar Sayyid Ali bin Hassan Alkaff untuk segala doa dan dukungan untuk penulis.
10.
Keluarga besar Habib Rizieq bin Hussein Syihab dimana telah memberikan petunjuk serta amanah untuk penulis supaya melanjutkan pendidikan dalam bidang ilmu hukum.
11.
Sahabat spesial saya Ahmad Farobi, Irfan Kamil Siregar, Benu Pangestu, Ali Abubakar Alattas,Ahmad Zaki Alattas, Ibrahim Alattas, Ahmad Yusuf Alaydrus, Abdullah Umar Alkaff yang telah memberikan semangat dan waktunya untuk memberikan dukungan moril bagi penulis.
12.
Sahabat Ilmu Hukum angkatan 2008, 2009, 2010, terutama Jajang Indra, Mustafa Bintoro, Hadi Nurfakar, Miki Firmansyah,serta sahabat–sahabat lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
vii
Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan segenap para akademisi dan masyarakat pada umumnya. Jakarta
Maret 2015
Muhammad Syafiq Ridho
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING..................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI..........................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN............................................................................
iv
ABSTRAK.......................................................................................................
v
KATA PENGANTAR....................................................................................
vi
DAFTAR ISI....................................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN …………………………………………….
1
A.
Latar Belakang Masalah ……………………………….
1
B.
Pembatasan Dan Perumusan Masalah ………………...
4
C.
Tujuan Dan Manfaat Penelitian ……………………….
4
D.
Metode Penelitian ……………………………………..
5
E.
Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ………………….
9
BAB II
NEGARA HUKUM, DEMOKRASI, dan PEMBERANTASAN KORUPSI ……………………………………………………...
BAB III
13
A.
Pengertian Negara Hukum.. ……………………………… 13
B.
Pengertian Demokrasi………….. ………………………… 18
C.
Pengertian dan Pemberantasan Korupsi ...…………………20
D.
Peradilan Tindak Pidana Korupsi ……………………...
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI ………………….. ix
26 31
BAB IV
A.
Latar Belakang Berdirinya …………………………
31
B.
Tugas dan Wewenang ………………………………….
37
C.
Struktur Organisasi …………………………………….
42
EFEKTIVITAS KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENINDAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI…….. A.
Larangan Korupsi dalam Al-Qur’an dan Hadits..........
B.
Penindakan Tindak Pidana Korupsi Oleh KPK Menurut Sistem Hukum Indonesia.............................................................
C.
49
50
Efektivitas Penindakan Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ……………………
BAB V
49
55
PENUTUP A.
Kesimpulan …………………………………………
68
B.
Saran ………………………………………………..
69
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
x
DAFTAR LAMPIRAN
1. Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi 2. TEMPO, Edisi 4 Januari 2009 3. Al-Qur’an
xi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Salah satu masalah yang sangat serius terjadi di Indonesia adalah masalah korupsi. Korupsi telah menjadi penyakit yang muncul perlahan-lahan sebagai momok yang dapat membawa kehancuran bagi perekonomian Negara. Diakui atau tidak, praktik korupsi yang terjadi dalam bangsa ini telah menimbulkan banyak kerugian tidak saja bidang ekonomi, maupun juga dalam bidang politik,sosial budaya,maupun keamanan.1 Untuk menanggulangi masalah korupsi ini, pemerintah membuat sebuah Badan Anti Korupsi yang independen. Kemandirian Badan Anti Korupsi sangat diperlukan untuk memungkinkan badan tersebut melaksanakan fungsi-fungsinya secara efektif dan mandiri.2 Ide pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya diawali oleh Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan itu mengamanatkan kepada DPR dan pemerintah untuk lebih progresif dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.3 1
Deni Setyawati, KPK Pemburu Koruptor, Cet I, (Yogyakarta: Pustaka Timur 2008), hal. 1
2 Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Cet.1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal.6.
1
2
Amanat pembentukan KPK termuat dalam aturan peralihan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Cikal bakal KPK semakin jelas dengan disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.4 Sepanjang 2013, jumlah laporan pengaduan masyarakat yang telah ditelaah, dilakukan tindak lanjut ke pihak-pihak terkait. Pertama, terdapat 581 laporan masyarakat yang diteruskan ke Internal KPK. Kedua, 222 laporan masyarakat yang diteruskan dengan penyampaian surat kepada instansi berwenang. Ketiga, 1.737 laporan masyarakat yang disampaikan kembali ke pelapor untuk dimintakan keterangan tambahan dan berkas-berkas yang masih dalam proses telaah dan perbaikan hasil telaah.5 Kegiatan penyelidikan KPK pada tahun 2013 dilaksanakan terhadap 81 kasus. Sementara itu, kegiatan penyidikan dilaksanakan sebanyak 102 perkara, yang terdiri dari perkara sisa tahun 2012 sebanyak 32 perkara dan perkara tahun 2013 sebanyak 70 perkara. Kegiatan penuntutan dilaksanakan sebanyak 73 perkara, yang terdiri dari perkara sisa tahun 2012 sebanyak 32 perkara dan perkara 2013 sebanyak 41 perkara.6 Jika kita mengacu pada data di atas, maka dari 581 laporan yang diteruskan ke 3
Selanjutnya penulis akan menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi dengan singkatan KPK.
4
Selanjutnya penulis akan menyebut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan singkatan UU PTPK. 5
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahun 2013, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2014), hal.68. 6
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahun 2013, hal.68.
3
internal KPK, hanya 41 perkara yang sampai pada proses penuntutan. Ini berarti hanya sekitar 7% perkara yang dapat ditangani KPK sampai ke tahap penuntutan. Sistem pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK terus mengalami kemajuan yang signifikan, terutama dalam hal sasaran pelaku korupsinya. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya para kader partai politik pengusung pemerintah yang menjadi tersangka kasus korupsi, seperti yang terjadi pada para kader partai yang memenangi pemilu 2009. Hal tersebut merupakan penerapan semangat anti korupsi yang digalakan oleh pemerintah periode 2009 sampai 2014, dimana fokus pemberantasan korupsi menjadi hal yang paling utama. Setelah pergantian pemerintahan, kembali terjadi friksi antara dua lembaga yang seharusnya saling bahu membahu untuk melakukan pemberantasan korupsi, yaitu lembaga Polisi Republik Indonesia dan KPK itu sendiri. Dilatarbelakangi oleh pemilihan calon Kapolri, dimana calonnya ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK. yang kemudian merembet kepada penetapan wakil pimpinan KPK serta Ketua KPK sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Kegaduhan tersebut telah menimbulkan melunturnya semangat pemberantasan korupsi. Melihat keadaan demikian patut diamati bagaimana pejalanan lembaga KPK dalam menangani kasus korupsi kedepannya. Karena seharusnya semua lembaga Negara saling mendukung untuk melaksanakan semangat pemberantasan korupsi guna terciptanya kesejahteraan bangsa. Dari permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti efektifitas KPK dalam penindakan, dengan mengangkat judul :
4
“Efektivitas
Kinerja
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
Dalam
Bidang
Penindakan” B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.
Pembatasan Masalah Untuk menghindari kekeliruan dalam memahami masalah yang dibahas, maka
penulis akan membatasi permasalahan yang sesuai dengan judul skripsi ini. Pembahasan dalam skripsi ini hanya mengenai penelitian seputar efektivitas KPK dalam bidang penindakan hingga ke peradilan Tipikor, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. 2.
Rumusan Masalah Dalam praktek di lapangan, ada beberapa keputusan maupun kasus yang
masih dalam penyelidikan KPK tidak dapat berjalan dengan maksimal. Hal ini terjadi karena ada beberapa faktor baik dari internal KPK maupun eksternal KPK itu sendiri. Penanganan kasus korupsi seringkali mengalami jalan buntu (dead lock) karena terjadi perebutan antar instansi, padahal kewenangan KPK jelas diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 semestinya kasus-kasus yang ditangani KPK bisa terselesaikan dengan baik tanpa hambatan apapun. Untuk menjelaskan secara detail permasalahan yang akan dibahas dan tepat pada jalur pembahasan, maka rumusan tersebut penulis rangkum dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut : a.
Apa saja wewenang KPK dalam penindakan tindak pidana korupsi?
b.
Bagaimana efektivitas KPK dalam penindakan tindak pidana korupsi?
5
c.
Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kinerja KPK dalam bidang penindakan tindak pidana korupsi?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian Sejalan dengan batasan dan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan: a.
Untuk mengetahui wewenang KPK dalam penindakan tindak pidana korupsi.
b.
Untuk mengetahui efektivitas KPK dalam penindakan tindak pidana korupsi.
c.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kinerja KPK dalam bidang penindakan tindak pidana korupsi.
2.
Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk: a.
Secara teoritis, memberikan penjelasan tentang sejauh mana keefektivan KPK dalam menyelesaikan tindak pidana korupsi.
b.
Secara
praktis,
memberikan
masukan
kepada
para
praktisi
ketatanegaraan mengenai formulasi KPK yang ideal. Penelitian ini juga diharapkan dapat meningkatkan kinerja KPK. c.
Secara akademis, penelitian ini merupakan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum di Universitas
6
Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi bahan untuk meneletian lanjutan. D.
Metode Penelitian 1.
Tipe Penelitian Jenis penelitian dalam skripsi ini merupakan tipe penelitian hukum normatif
(normative legal reseach). Penelitian ilmiah ini dimaksudkan untuk menentukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Metode ini sering disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen, yakni menggunakan peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum dan pendapatpendapat sarjana hukum terkemuka.7 2.
Pendekatan Penelitian Beberapa pendekatan yang dilakukan di dalam penelitian ini, antara lain
sebagai berikut: a.
Pendekatan Perundang-undangan Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan
perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Pendekatan ini dilakukan untuk meneliti peraturan-peraturan yang aturan penormaannya menjelaskan tentang KPK.8 b. 7
8
Pendekatan Konsep
Afif Fauzi Abbas, Metode Penelitian, (Ciputat: Adelia Press, 2010), hal.157
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet.IV, (Malang: Bayumedia, 2008), hal.303.
7
Ide tentang sebuah Badan Anti Korupsi yang efektif diharapkan dapat terwujud dengan adanya pendekatan konsep. Pendekatan ini berfungsi untuk memahami konsep dan ide membentuk Badan Anti Korupsi yang ideal dengan melihat poin positif dan negatif dari lembaga tersebut. c.
Pendekatan Sejarah Pendekatan sejarah dapat membuat peneliti memahami hukum secara
lebih mendalam. Dengan mengetahui latar belakang dan sejarah suatu lembaga, maka dapat diketahui permasalahan apa saja yang dihadapai dan mempengaruhi kinerja atau efektivitas lembaga tersebut.9 3.
Sifat penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yang berarti mengungkapkan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Selain itu juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian.10 4.
Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer data
sekunder serta data pendukung lainnya atau tersier. Data primer adalah data yang diperoleh langsung oleh pengumpul data dari objek risetnya, sedangkan data sekunder
9
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, hal.318.
10
Zainuddin Ali, Metode penelitian Hukum, Cet II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 105.
8 adalah semua data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek yang diteliti.11 Kedua sumber data tersebut adalah: a.
Data primer, yaitu data yang diperoleh dari sumbernya, baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti.
b.
Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan.
c.
Data Tersier Data tersier merupakan data yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap data primer dan sekunder, seperti kamus hukum, Black’s Law Dictionary, Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan lain sebagainya.
5.
Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data
kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian.12
11
Sonny Sumarno, Metode Riset Sumber Daya Manusia, Cet.I, (Yogyakarta: Graha Ilmu), hal. 69
12
Zaenuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, hal.107.
9
6.
Metode analisis data Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa hasil studi literer
(kepustakaan). Oleh karena itu penelitian ini dapat dikatagorikan sebagai penelitian hukum kegiatan
untuk
normatif, pengolahan mengadakan
data pada
sistematisasi
terhadap
hakikatnya
merupakan
bahan-bahan
hukum.
Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.13 7.
Pedoman penulisan Adapun sebagai pedoman dalam penulisan proposal penelitian ini,
penulis mempergunakan buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013. E.
Tinjauan (Review) Studi Terdahulu Penelitian mengenai kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi merupakan isu yang cukup banyak dan menarik untuk dibahas secara lebih mendalam. Untuk menghindari kesamaan dalam pembahasan mengenai isu yang akan diangkat dalam skripsi ini, terutama dalam hal penindakan oleh KPK maka penulis menyajikan beberapa penelitian yang berkaitan, antara lain: Penelitian dengan Judul Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia dan Independent Commision Againts Corruption (ICAC) Hongkong (Studi Komparasi Kinerja dalam Bidang Penindakan) yang ditulis oleh Hadi Nur Pakar.14
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.I, (Jakarta: UI Pres, 1986), hal.251.
10
Dalam penelitian ini dihasilkan kesimpulan bahwa Secara umum kinerja KPK di bidang penindakan tindak pidana korupsi cukup baik, sedangkan kinerja ICAC secara keseluruhan sangat baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja KPK dan ICAC adalah kerangka hukum, visi dan misi, kualitas pimpinan, kohesi antara pencegahan dan penindakan, dan dukungan dana.
Buku dengan judul Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi yang ditulis oleh Akil Mochtar, S.H.,M.H.15 Permasalahan yang menjadi fokus utama dalam buku ini adalah mengenai penerapan ketentuan pembalikan beban pembuktian berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, serta mengenai kosep pembuktian pembalikan beban pembuktian dalam pembentukan sistem hukum pembuktian pada masa yang akan datang. Hasil penelitian dalam buku ini adalah penerapan ketentuan pembalikan beban pembuktian berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi, diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, belum efektif karena belum diperkuat oleh hukum acara tersendiri sehingga dalam proses persidangan perkara korupsi, hakim belum dapat menerapkan ketentuan tersebut.
14 Hadi Nur Pakar, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia Dan Independent Commision Againts Corruption (ICAC) Hongkong (Studi Komparasi Kinerja dalam Bidang Penindakan) (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarifhidayatullah Jakarta, 2012) 15
Akil Mochtar, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009)
11
Konsep pembalikan beban pembuktian dalam sistem hukum pembuktian pada masa yang akan datang harus sejalan dengan konvensi anti korupsi PBB 2003 (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006) dan konvensi kejahatan transnasional terorganisir tahun 2000 (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009) serta harus dapat digunakan
sebagai
sarana
hukum
untuk
mempercepat
proses
pemulihan
kerugian/perekonomian Negara (asset recovery) dengan menjangkau aset terdakwa hasil korupsi yang disembunyikan dinegara lain, dan memudahkan pembuktian dalam delik gratifikasi serta kasus-kasus korupsi yang besar. Dalam buku dengan Judul Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yang ditulis oleh Ermansjah Djaja, menjelaskan tentang identifikasi tindak pidana korupsi dalam kajian yuridis normatif Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 versi undangUndang Nomor 30 Tahun 2002. Komisi pemberantasan Korupsi meliputi kajian yuridis normatif Undang-undang Nomor. 30 Tahun 2002 tentang KPK, kajian yuridis normatif Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK, kajian yuridis normatif Peraturan KPK Nomor 05 Peraturan KPK Tahun 2002 tentang Kode Etik Pegawai, badan-badan pemberantasan korupsi sebelum KPK. Serta pembahasan mengenai sistem pembuktian dalam peradilan tindak pidana korupsi dan pembahasan mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi di berbagai Negara. 16
16
Ermansjah Djaya, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2008)
12
Tesis dengan judul Sinergi antara Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia yang disusun oleh Hendar Rasyid Nasution. 17 Penelitian menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan mengenai wewenang dan peran KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Sangat penting untuk membangun koordinasi yang baik antara KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Selain itu, kesepahaman antar lembaga tersebut penting untuk menghindari rivalitas yang negatif. Jika hal ini tidak segera diselesaikan, maka agenda pemberantasan Korupsi kemungkinan akan terbengkalai. Apalagi selama ini penanganan kasus korupsi seringkali mengalami jalan buntu (dead lock) karena terjadi perebutan antar instansi. Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa bahasan mengenai Efektivitas Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Bidang Penindakan, belum ada yang membahas secara spesifik mengenai kewenangan penindakan yang dimiliki oleh KPK.
17
Hendar Rasyid Nasution, Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, (Medan: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, 2010)
BAB II NEGARA HUKUM, DEMOKRASI, dan PEMBERANTASAN KORUPSI A.
Negara Hukum Negara merupakan organisasi tertinggi di antara satu kelompok atau beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu hidup di dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.1 Terdapat beberapa pengertian yang diberikan oleh para sarjana sebagaimana dikutip oleh Max Boli Sabon, dkk sebagai berikut : a.
Aristoteles, negara (polis) adalah persekutuan dari keluarga dan desa guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya.
b.
Jean Bodin, suatu persekutuan keluarga-keluarga dengan segala kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang berdaulat.
c.
Hugo Grotius, negara adalah suatu persekutuan yang sempurna dari orang-orang yang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum.
d.
Bluntschi, negara adalah diri rakyat yang disusun dalam suatu organisasi politik di suatu daerah tertentu.
e.
Hans Kelsen, negara adalah suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan tata paksa.
1
M. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Edisi Revisi), (Jakarta: Penerbit Renaka Cipta, 2000), hal. 64.
13
14
f.
Woodrow Wilson, negara adalah rakyat yang terorganisir untuk hukum dalam wilayah tertentu.
g.
Diponolo, negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang berdaulat yang dengan tata pemerintahan melaksanakan tata tertib atau suatu umat di suatu daerah tertentu.2
Keberadaan Negara memiliki tugasnya tersendiri terutama untuk melindungi setiap kepentingan dan hak-hak dari para warga Negara tersebut. Selain itu Negara harus mampu untuk mengimbangi antara kepentingan pemerintahan dan kepentingan Negara untuk rakyat. Tidak dibenarkan mengorbankan salah satu dari kepentingan tersebut, karena pada dasarnya setiap kepentingan merupakan bentuk dari usaha untuk kesejahteraan rakyat. Tugas negara menurut faham modern sekarang ini (dalam suatu Negara Kesejahteraan atau Social Service State), adalah menyelenggarakan kepentingan umum untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan yang sebesar-besarnya berdasarkan keadilan dalam suatu Negara Hukum.3 Guna memfasilitasi serta membatasi setiap perilaku penyelenggara Negara dalam menjalankan tugasnya maka diperlukan sebuah pedoman untuk menjadi sebuah dasar. Secara umum pedoman dasar tersebut dikenal sebagai hukum, dan memungkinkan menjadikan Negara tersebut sebagai Negara hukum. 2 Max Boli Sabon, dkk, Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 25 3 Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, (Bandung: Alumni, 1985), hal. 110.
15
Profesor Utrecht membedakan antara Negara Hukum Formil atau Negara Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materiil atau Negara Hukum Modern. Negara Hukum Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiil yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. 4 Negara hukum ialah negara dimana pemerintah dan semua pejabat-pejabat hukum mulai dari Presiden, hakim, jaksa, anggota-anggota legislatif, semuanya dalam menjalankan tugasnya di dalam dan di luar jam kantornya taat kepada hukum. Taat kepada hukum berarti menjunjung tinggi hukum, dalam mengambil keputusankeputusan jabatan menurut hati nuraninya, sesuai dengan hukum. 5 Negara hukum ialah negara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur oleh Undang-Undang yang telah ditetapkan semula dengan bantuan dari badan pemberi suara rakyat.6 Unsur-unsur Negara Hukum menurut Freidrich Julius Stahl yang diilhami oleh Immanuel Kant adalah : a.
Berdasarkan dan menegakkan hak-hak asasi manusia
b.
Untuk dapat melindungi hak asasi dengan baik maka penyelenggaraan negara harus berdasarkan trias politica
4
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Jakarta, 1962), hal. 9.
5
O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970), hal. 36.
6
Sudargo Gautama, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1973), hal. 13.
16
c.
Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang
d.
Apabila pemerintahan yang berdasarkan Undang-Undang masih dirasa melanggar
hak
asasi
maka
harus
diadili
dengan
peradilan
administrasi.7 Arief Sidharta, merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur dan asas-asas Negara Hukum itu secara baru, yaitu meliputi lima hal sebagai berikut: a.
Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity).
b.
Berlakunya asas kepastian hukum. Negara Hukum untuk bertujuan menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan
c.
Berlakunya Persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law) Dalam Negara Hukum, Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu, atau memdiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu.
d.
Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan.8
7
Astim Riyanto, Teori Konstitusi, (Bandung: Yapemdo, 2006), hal. 274.
8 B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II, November 2004, hal.124125
17
Muhammad Tahir Azhary, memberikan sebuah penggambaran mengenai Negara hukum dengan pandangan dari sistem hukum Islam yang dikenal sebagai Nomokrasi Islam yang memiliki cirri-ciri ataupun prisip sebagai berikut: a.
Prinsip kekuasaan sebagai amanah;
b.
Prinsip musyawarah;
c.
Prinsip keadilan;
b.
Prinsip persamaan;
c.
Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
d.
Prinsip peradilan yang bebas;
e.
Prinsip perdamaian;
f.
Prinsip kesejahteraan;
g.
Prinsip ketaatan rakyat.9
Selain itu, menurut Bagir Manan menjelaskan mengenai unsur-unsur terpenting dari negara hukum, yang terdiri dari : a.
Ada UUD sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara pemerintah dan warganya.
b.
Ada pembagian kekuasaan (machtenscheiding) yang secara khusus menjamin suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka.
c.
Ada pemencaran kekuasaan negara atau pemerintah (spreiding van de staatsmacht).
9
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 85
18
d.
Ada jaminan terhadap hak asasi manusia.
e.
Ada jaminan persamaan dimuka hukum dan jaminan perlindungan hukum.
f.
Ada asas legalitas, pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus didasarkan atas hukum (undang-undang).10
Negara hukum memberikan sebuah perlindungan yang nyata terhadap kepentingan individu rakyatnya agar tidak berbenturan dengan kepentingan Negara. Salah satu bentuk jaminan kepentingan serta kebabasan individu dalam Negara hukum adalah demokrasi. Bukan demokrasi yang kebablasan dengan kehendak kebebasan, tetapi demokrasi yang menjungjung tinggi cita Negara hukum itu sendiri. B.
Demokrasi Demokrasi merupakan konsep keterbukaan sebuah pemerintahan dalam Negara. Demokrasi memberikan peluang sebesar-besarnya bagi partisipasi dari setiap unsure Negara, terutama dari rakyat. Menjungjung tinggi asas kesamaan bagi setiap rakyat untuk menetukan masa depan negaranya. Tidak hanya bertumpu kepada kaum mayoritas, bangsawan, ataupun kaum lain yang memiliki pengaruh besar. Secara umum pelaksanaan demokrasi harus berpegang kepada prinsip-pris yang telah ditentukan. Hal tersebut merupakan kehendak agar demokrasi berjalan sesuai dengan apa yang telah dicitakan sebelumnya. Prinsip-prinsip dalam asas demokrasi itu antara lain, yaitu: 10
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hal.35
19
a.
Adanya mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang diselenggarakan secara berkala;
b.
Pemerintah bertanggung jawab dan dapat dimintai pertanggung jawaban oleh badan perwakilan rakyat;
c.
Semua warga Negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik dan mengontrol pemerintah;
d.
Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional oleh semua pihak;
e.
Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat;
f.
Kebebasan pers dan lalu lintas informasi;
g.
Rancangan
undang-undang
harus
dipublikasikan
untuk
memungkinkan partisipasi rakyat secara efektif. Demokrasi yang dinamis diimbangi oleh hukum yang menjamin kepastian. Tetapi, menurut Brian Tamanaha, sebagai “a procedural mode of legitimation” demokrasi juga mengandung keterbatasan-keterbatasan yang serupa dengan “formal legality”. Seperti dalam “formal legality”, rezim demokrasi juga dapat menghasilkan hukum yang buruk dan tidak adil. Karena itu, dalam suatu sistem demokrasi yang berdasar atas hukum dalam arti formal atau rule of law dalam arti formal sekali pun, tetap dapat juga timbul ketidakpastian hukum. Jika nilai kepastian dan prediktabilitas
20
itulah yang diutamakan, maka praktek demokrasi itu dapat saja dianggap menjadi lebih buruk daripada rezmi otoriter yang lebih menjamin stabilitas dan kepastian. 11 Semangat demokrasi untuk menjamin kepasatian hukum dalam sebuah Negara sangat berkaitan erat dengan sistem pemberantasan korupsi. Dimana, pemerintahan yang cenderung tertutup dan jauh dari pirinsip demokrasi memungkinkan untuk menjadi pemerintahan yang korup. Maka dengan adanya demokrasi dan keterbukaan dalam pemerintahan dapat menjamin keberlangsungan semangat pemberantasan korupsi. C.
Pemberantasan Korupsi 1.
Pengertian Korupsi Menurut Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan
kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolute. Dengan maksud dan tujuan untuk mengingatkan bahwa di manapun dibelahan bumi ini kekuasaan selalu sangat rentan terhadap tindak pidana korupsi.12 Perbuatan korupsi dapat dipengaruhi oleh perilaku buruk para pelakunya, dengan dimaksudkan busuk atau rusak adalah moral atau akhlak dari oknum yang melakukan perbuatan korupsi tersebut.13.
11
Marjanne Termoshuizen-Artz, “The Concept of Rule of Law”, Jurnal Hukum Jentera, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Jakarta, edisi 3-Tahun II, November 2004, hal. 83-92. 12
Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Mandar Maju, 2010), hal.
13
Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Pengakan Hukum, (Jakarta : Kompas, 2001), hal.67
19
21
Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek bergantung daripada disiplin ilmu yang dipergunakan sebagaimana yang dikemukakan oleh Benveniste, korupsi didefinisikan 4 jenis : a.
Discretionary corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktek-praktek yang dapat diterima oleh para anggota organisasi. Contoh : seorang pelayanan perizinan tenaga kerja asing, memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada “calo”, atau orang yang bersedia membayar lebih
b.
Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu. Dengan memanipulasi aturan yang didukung oleh kelemahan undang-undang dengan memanfaatkan keadaan darurat dari pada proses pegadaan barang dan jasa untuk Negara.
c.
Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud
untuk
memperoleh
keuntungan
pribadi,
melalui
penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Contoh : dalam sebuah persaingan tender, seorang panitia lelang memiliki kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu, secara terselubung atau terangterangan ia mengatakan bahwa untuk memenangkan tender, peserta harus bersedia memberikan uang “sogok” atau “semir” dalam jumlah tertentu.
22
d.
Ideological
corruption,
ialah
jenis
korupsi
illegal
maupun
discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. Contoh : Penjualan asset BUMN untuk mendukung pemenangan pemilihan umum dari partai politik tertentu adalah contoh dari jenis korupsi ini.14 Seperti halnya hukum bagi para pencuri, Islam juga mengenal hukum untuk larang melakukan perbuatan korupsi. Bentuk dan macam korupsi dijelaskan pula dalam pandangan hukum Islam antara lain : a.
Sariqah, yaitu orang yang mengambil sesuatu secara sembunyisembunyi dari tempat yang dilarang mengambil dari tempat tersebut atau pencuri. Jadi syaratnya harus ada unsur mengambil yang bukan haknya, secara sembunyi-sembunyi, dan juga mengambilnya pada tempat yang semestinya. Kaitannya dengan pencurian uang Negara adalah tidak boleh, karena uang negara tersebut adalah untuk kesejahteraan umum.
b.
Ghulul, yaitu penyalahgunaan jabatan, misalnya menerima hadiah, komisi, atau apapun namanya yang tidak halal dan tidak semestinya dia terima.
c.
Riswah, (risywah) atau suap yang bisa membungkam seseorang dari kebenaran. Suap bisa terjadi apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi.
14
Suyatno. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 17
23
Unsur-unsur suap meliputi, pertama, yang disuap (Al-Murtasyi); kedua, penyuap (Al-Rasyi); dan ketiga, suap (Al-Risywah).15 2. Tindak Pidana Korupsi Istilah korupsi masuk dalam istilah yuridis di Indonesia dimulai pada tahun 1957 saat tindak pidana korupsi diatur dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957, Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957, Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/011/1957, Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958, dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958.16 Peraturan militer ini muncul karena militer mengganggap tidak ada kelancaran dalam dalam usaha memberantas perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara sehingga perlu ada tata kerja yang dapat menerobos kemacetan usaha pemberantasan korupsi. Tujuan diadakannya peraturan penguasa perang ini agar perbuatan korupsi yang saat itu merajalela dapat diberantas dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Berdasarkan penjelasan atas bagian I Umum dari UndangUndang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption yaitu : 15 “Korupsi dan Pemberantasannya Dalam Perspektif Hukum Islam”. Artikel diakses dari http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/korupsi-dan-pemberantasannya-dalam-perspektif-hukum-islam-studi-kasusindonesia 16
Topo Santoso, Urgensi Pembenahan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Dalam Mewujudkan Good Governance, (Jakarta: Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia-Badan Pembinaan Hukum Nasional PUSLITBANG, 2011), hal.3.
24
“Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan iritegritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan
berkelanjutan
sehingga
memerlukan
langkah
langkah
pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat intemasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi”. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Stafrecht) sebagai salah satu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordasi dan diundangkan dalam Staatblad 1915 Nomor 752, tanggal Oktober 1915.17 Dalam Undang-Undang anti korupsi terkini khususnya dalam Pasal 1 angka 1 Bab Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan tentang pengertian tindak pidana korupsi : 17
hal. 8
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, (Balikpapan : Sinar Grafika, 2008),
25
“Tidak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.” Ditambah lagi dengan tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa: “setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini”. Kemudian pengertian tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juga terdapat di dalam Pasal 1 angka 3 Bab Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 : “Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Mengenai pembatasan, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memberikan batasan tentang pengertian Tindak Pidana Korupsi dengan cakupan yang lebih luas sehingga meliputi
26
berbagai tindakan termasuk tindakan ”penyuapan”, yang dapat dipahami dari bunyi teks pasal-pasalnya, kemudian mengelompokannya ke dalam beberapa rumusan delik. D.
Peradilan Tindak Pidana Korupsi Ada sejumlah lembaga yang memiliki peran dalam pencegahan dan penanggulangan korupsi, antara lain: Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Pengadilan, Badan Pemeriksaan Keuangan, serta BPKP, dan juga Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Berikut ini beberapa unsur yang menjadi bagain dalam Peradila Tindak Pidana Korupsi menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tindak Pidana Korupsi, antara lain: a.
Hakim adalah Hakim Karier dan Hakim ad hoc.
b.
Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi.
c.
Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam Undang- Undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi.
d.
Penuntut Umum adalah penuntut umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
27
Mengenai kedudukannya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum.18 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. 19 Sementara itu, khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap kotamadya yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.20 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi dimana kewenangannnya adalah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara : a.
Tindak pidana korupsi;
b.
Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau
c.
Tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.21
Begitupun dengan keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga memiliki kewenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi seperti yang tertuang dalam pasal 6, dimana 18
Pasal, 2 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tindak Pidana Korupsi
19
Pasal 3, Ibid.
20
Pasal 4, Ibid.
21
5 dan 6, Ibid.
28
merupakan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh warga Negara Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia.22 Seperti peradilan umum lainnya, Peradilan Tindak pidana Korupsi memiliki susunan yang sama. Susunan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas pimpinan, Hakim, dan panitera.23 Di dalam Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga diatur tentang hukum acara yang dalam beberapa hal berbeda dengan hukum acara umum. Dalam Pasal 25 dinyatakan bahwa: “Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.” Mengenai Masa waktu dalam proses penanganan perkara tindak pidana korupsi diatur pula dalam pasal 29 Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yaitu perkara diperiksa, diadili, dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama paling lama 120 hari kerja sejak tanggal pelimpahan perkara ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.24 Proses banding dalam hal lanjutan guna menanggapi putusan pengadilan sebelumnya diatur dalam Pasal 30 hingga Pasal 32 yang mengatur mengenai batasan
22
23 24
Pasal 7, Ibid. Pasal 8, Ibid. Pasal 29 Undang-Undang No. 46 Tahun 2009
29
waktunya. Seperti berbunyi pada Pasal 30 Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bahwa pemeriksaan tingkat banding dalam masa 60 hari kerja dihitung sejak tanggal berkas perkara dterima Pengadilan Tinggi dapat diperiksa dan diputuskan. Lalu pada pasal 31 disebutkan pada pemeriksaan tingkat kasasi dapat diperiksa dan diputus dalam waktu 120 hari kerja sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung . Serta ditegaskan lagi pada Pasal 32 jika putusan pengadilan dimintakan peninjuan kembali, pemeriksaan perkara diperiksa dan diputus paling lama 60 hari kerja sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung. Di luar Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang No. 46 tahun 2009) di atas, kita juga harus melihat ketentuan dalam Undang- Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Undang-Undang No. 30 Tahun 2002). Di dalam upaya penanggulangan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi didukung dengan ketentuan yang bersifat strategis antara lain: a.
Perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik;
b.
Wewenang untuk penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara.
Mengenai hukum acara dalam memproses perkara tindak pidana korupsi secara lebih luas diatur di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-
30
Undang No. 31 Tahun 1999. Khusus mengenai alat bukti, menurut undang-undang ini, alat bukti petunjuk mengalami perluasan, yaitu di samping yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksmili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
BAB III KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI A.
Latar Belakang Berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi Jika kita lihat kembali lembaran sejarah Indonesia, ternyata berbagai peraturan telah dikeluarkan dan berbagai lembaga telah dibentuk oleh pemerintah untuk memberantas korupsi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3.1. 1.
Pemberantasan Korupsi dari Masa ke Masa
Tahun 1957
Produk Hukum
Lembaga
Keterangan
Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/061957
1958
Peraturan
Pemberantasan
Korupsi Penguasa Perang Pusat No.PRT/Peperpu/013/1958 1960
UU No. 24/Prp/1960 tentang pemberantasan korupsi
1967
Keppres
No.228/1967 Tim
tanggal 2 Desember 1967
Tugas:
Membantu
Pemberantasan
pemerintah memberantas
Korupsi
korupsi (pencegahan dan
31
32
penindakan) 1970
Keppres No.12/1970 tanggal Komisi 31 Januari 1970
Empat Tugas:
(Januari
menghubungi
Mei pejabat
1970)
atau
instansi,
swasta sipil atau militer; memeriksa
dokumen
administrasi dan
pemerintah
swasta;
bantuan
meminta
aparatur
pusat
dan daerah. Komite
Anti Tugas: kegiatan diskusi
Korupsi
(2 dengan pemimpin partai
bulan)
politik
dan
bertemu
presiden. 1977
Inpres No.9/1977
Operasi
Tugas:
Penertiban
pungutan liar, penertiban
(1977-1981)
uang siluman, penertiban aparat
pembersihan
pemda
dan
departemen. 1982
Tim
TPK dihidupkan kembali
Pemberantasan
tanpa keluarnya Keppres
Korupsi
yang baru.
33
1998
Tap MPR No.XI/MPR/1998 tentang Pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. UU No. 31/1999 tentang Penyelenggaraan
Negara
yang bersih dan bebas KKN. Keppres No.27/1999
Komisi
Tugas:
pemeriksaan
Pemeriksa
kekayaan pejabat negara.
Kekayaan
Lembaga ini
Penyelenggara
menjadi
Negara
pencegahan dalam Komisi
sub
kemudian bagian
Pemberantasan Korupsi. 2000
PP No. 19/2000
Tim
Gabungan Tugas:
Pemberantasan
mengungkap
kasus-kasus korupsi yang
Tindak
Pidana sulit ditangani Kejaksaan
Korupsi
(2000- Agung.
2001)
Berdasarkan
putusan hak uji materiil (judicial review/toetsingrecht) Mahkamah
Agung
TGPTPK terpaksa bubar.
34
2002
UU No.30/2002
Komisi
Tugas: Menyelidiki kasus
Pemberantasan
korupsi yang nilainya di
Korupsi
( atas Rp 1 Milyar dan
Desember 2003) menarik
perhatian
masyarakat;
melakukan
koordinasi, penegak
supervisi
hukum
penanganan
dalam korupsi;
memonitor penyelenggaraan negara; melakukan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan
kasus korupsi; melakukan upaya
pencegahan
korupsi. 2004
Keppres No. 59/2004
Pengadilan
Wewenang:
Tipikor
dan
memeriksa
memutus
korupsi penuntutannya
kasus yang diajukan
oleh KPK 2005
Keppres 11/2005
Tim KoordinasiTugas:
Koordinasi
35
Pemberantasan
penyelidikan, penyidikan,
Tipikor
penuntutan kasus korupsi yang ditangani kejaksaan; menelusuri, mengamankan korupsi pengembalian
aset untuk kerugian
negara secara optimal.1
2.
Dasar Hukum Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam pembentukan sebuah lembaga Negara secara umum membutuhkan
dasar hukum sebagai dasar pembentukannya. Seperti halnya Mahkamah Konstitusi yang langsung diamanatkan pembentukannya oleh hasil dari pada amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka KPK juga memiliki dasar hukum dalam pembentukannya, yaitu : a.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi,Kolusi,dan Nepotisme dalam Pasal 2 angka 6 huruf a, yaitu : “Arah kebijakan pemberantasan korupsi,kolusi dan nepotisme adalah membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk
1
Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, tt), hal.27.
36
membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.2 b.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam pasal 43 ayat 1 disebutkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak berlaku dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku,dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
c.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
d.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
e.
Undang-Undang
Nomor
30
Tahun
2002
tentang
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam pasal 2, yaitu : “Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi”. f.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2003 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2
Benu Pangestu, Independensi Yuridis Komisi Pemberantasan Korupsi (Telaah Teoritis dan Praktis), (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013) hal.20.
37
g.
Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK.
B.
Tugas Dan Wewenang Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu : kepastian hukum,keterbukaan,akuntabilitas,kepentingan umum dan proposionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR, dan BPK. Adapun tugas KPK adalah : 1.
Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
2.
Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3.
Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
4.
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.3
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : 1.
Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
3
Pasal 6 Undang-Undang KPK.
38
2.
Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3.
Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
4.
Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan
5.
Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.4
Dalam
melaksanakan
tugas
supervisi,
KPK
berwenang
melakukan
pengawasan,penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.5 Dalam melaksanakan wewenang tersebut, KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.6 Dalam pengambil alihan tersebut, KPK wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam
4
Pasal 7 Undang-Undang KPK.
5
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang KPK.
6
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang KPK.
39
waktu paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK.7 Penyerahan dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan wewenang kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada KPK. 8 . Pengambil alihan penyidikan dan penuntutan tersebut dilakukan dengan alasan : 1.
Laporan
masyarakat
mengenai
tindak
pidana
korupsi
tidak
ditindaklanjuti; 2.
Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
3.
Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
4.
Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
5.
Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; dan
6.
Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilakukan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.9
7
Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KPK.
8
Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang KPK.
9
Pasal 9 Undang-Undang KPK.
40
Selanjutnya dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan KPK berwenang: 1.
Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
2.
Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri;
3.
Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
4.
Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
5.
Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
6.
Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;
7.
Menghentikan
sementara
suatu
transaksi
keuangan,
transaksi
perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
41
8.
Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangakapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri; dan
9.
Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan panangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.10
Dalam melaksanakan tugas pencegahan, KPK berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut: 1.
Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara;
2.
Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
3.
Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;
4.
Merancang
dan
mendorong
terlaksananya
program
sosialisasi
pemberantasan tindak pidana korupsi; 5.
Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
6.
Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.11
Dalam melaksanakan tugas monitor, KPK berwenang untuk:
10
Pasal 12 Undang-Undang KPK.
11
Pasal 13 Undang-Undang KPK.
42
1.
Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah;
2.
Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi; dan
3.
Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan. 12
C.
Struktur Organisasi KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima orang, yakni seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Kelima pimpinan KPK tersebut merupakan pejabat negara, yang berasal dari unsur pemerintahan dan unsur masyarakat. Pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial. 13 Pimpinan KPK membawahkan empat bidang, yang terdiri atas bidang Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data serta Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Masing-masing bidang tersebut dipimpin oleh seorang deputi. KPK juga dibantu Sekretariat Jenderal yang dipimpin seorang Sekretaris
12
Pasal 14 Undang-Undang KPK.
13
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahun 2013, hal.6.
43
Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan KPK.14 Dalam struktur keorganisasian KPK terdapat unsur yang meliputi Deputi dan Direktorat Komisi Pemberantasan Korupsi 15 1.
DEPUTI BIDANG PENCEGAHAN Fungsi: pendaftaran dan pemeriksaan laporan harta kekayaan penyelenggara
negara; penerimaan laporan dan penetapan status gratifikasi; penyelenggaraan pendidikan anti korupsi; sosialisasi pemberantasan korupsi, dan kampanye anti korupsi. Dalam deputi bidang pencegahan ini terdapat beberapa unsur lainnya yaitu: a.
Direktorat
Pendaftaran
dan
Pemeriksaan
Laporan
Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara Fungsi: memantau dan klarifikasi harta kekayaan penyelenggara negara; meneliti laporan atau pengaduan masyarakat; menyelidiki harta kekayaan penyelenggara negara yang diduga korupsi; mencari bukti untuk penyelidikan penyelenggara negara yang diduga korupsi; dan meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut. b.
14
15
Direktorat Gratifikasi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahun 2013, hal.6.
Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi,tt), hal.63.
44
Fungsi: penelitian laporan dan pengaduan masyarakat; identifikasi penerimaan gratifikasi; pencarian bukti; penyerahan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada Menkeu. c.
Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Fungsi: sosialisasi peran dan fungsi KPK; pendidikan dan pelatihan manajemen
kinerja
masyarakat
dan
di
swasta;
instansi
pemerintah,
penyelenggaraan
BUMN/BUMD,
seminar,
workshop
antikorupsi; menyusun dan menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan; penyusunan dan pengembangan materi pendidikan dan pelatihan; evaluasi pelaksanaan; menjalin kerjasama dengan lembaga antikorupsi di luar negeri. d.
Direktorat Penelitian dan Pengembangan Fungsi: analisis kebutuhan; penelitian dan pengembangan manajemen kinerja sektor publik; penelitian dan pengembangan kode etik anti korupsi; kerjasama penelitian dengan instansi lain; evaluasi dan penyusunan laporan; pengumpulan, pengidentifikasian, pengkajian kasus-kasus korupsi; penelitian produk hukum yang tidak mendukung pemberantasan korupsi; penelitian dan penilaian praktik dan prosedur lembaga dan pemerintah daerah yang rawan korupsi; penelitian dan pengembangan lain.
45
e.
Sekretaris Deputi Bidang Pencegahan Fungsi: menyiapkan rumusan kebijakan teknis kesekretariatan koordinasi dengan semua satuan kerja; pengumpulan pencatatan dan penyusunan laporan pelaksanaan rencana dan program kerja; pelaksanaan ketatausahaan.
2.
DEPUTI BIDANG PENINDAKAN Fungsi: perumusan kebijakan teknis kegiatan justifikasi; perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan tindakan hukum lain dan pengadministrasiannya; memberi saran, pendapat dan pertimbangan hukum kepada Pimpinan KPK. Dalam deputi ini terdapat beberapa direktorat yaitu: a.
Direktorat Penyelidikan Fungsi: perumusan rencana dan program kerja penyelidikan; perumusan kebijakan teknis; penerimaan, analisis dan penelitian informasi, pengaduan, laporan dan menyiapkan pendapat dan saran; pelaksanaan penyelidikan dan penghentian penyelidikan; penyampaian saran kepada Deputi agar penyelidikan dapat ditingkatkan ke penyidikan dan usul penghentian penyelidikan; kerjasama koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis kepada satuan tugas penyelidik tipikor.
b.
Direktorat Penyidikan
46
Fungsi: perumusan rencana dan program kerja; perumusan kebijakan teknis; penerimaan, analisis dan penelitian hasil penyelidikan; penyidikan dan pemberkasan perkara; penyampaian saran agar penyidik ditingkatkan ke penuntutan; pengambil alihan penyidikan yang dilakukan kepolisian atau kejaksaan; pembinaan kerjasama dan koordinasi penyidikan; pemberian bimbingan kepada satuan tugas. c.
Direktorat Penuntutan Fungsi: perumusan kebijakan teknis penyempurnaan berkas perkara untuk dilakukan penuntutan; penerimaan perkara dan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti, melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim, putusan pengadilan, serta tindakan hukum lain; pengambil alihan penuntutan yang sedang dilakukan kepolisian atau kejaksaan; pemantauan jalannya persidangan dan menelaah tuntutan jaksa penuntut umum; bimbingan teknis kepada satuan tugas.
d.
Sekretaris Deputi Bidang Penindakan Fungsi: perumusan kebijakan teknis kesekretariatan; koordinasi dengan semua satuan kerja; penyusunan laporan pelaksanaan rencana dan
program
kerja;
pelaksanaan
ketatausahaan;
pengelolaan
administrasi perkara, barang bukti dan tahanan; pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas.
47
3.
DEPUTI BIDANG INFORMASI DAN DATA Fungsi: penyusunan rencana dan program pengelolaan data dan informasi
serta pengembangan sistem informasi; pengolahan datan dan informasi; analisis hasil pelaksanaan program dan kegiatan KPK; pengembangan jaringan informasi dengan instansi pemerintah dan masyarakat; monitor upaya pencegahan dan penindakan korupsi pada instansi negara. Dalam Deputi ini juga terdapat beberapa direktorat, yaitu: a.
Direktorat Pengelolaan Informasi dan Data Fungsi: penyusunan rencana; pengumpulan dan pengolahan data; penyiapan bahan analisis kinerja KPK; penyelenggaraan administrasi basis data.
b.
Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasa Antar Komisi dan Instansi Fungsi: penyusunan rencana dan pengembangan sistem aplikasi; pengembangan teknologi informasi; pengembangan dan pemeliharaan jaringan informasi dengan instansi pemerintah dan masyarakat.
c.
Direktorat Monitor Fungsi: pengkajian sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara; perumusan saran KPK kepada pimpinan lembaga negara untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi, perumusan
48
laporan KPK kepada Presiden, DPR dan BPK, bila saran perubahan KPK tidak diperhatikan. d.
Sekretaris Deputi Bidang Informasi dan Data Fungsi: perumusan kebijakan teknis; koordinasi semua satuan kerja; penyusunan
laporan
pelaksanaan
kerja
dan
program
kerja;
pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas. 4.
DEPUTI BIDANG PENGAWASAN INTERNAL Fungsi : perumusan kebijakan pengawasan di lingkungan KPK; pengawasan
internal dan pemrosesan pengaduan masyarakat; pemberian saran kepada Pimpinan KPK atas hasil pengawasan internal dan pemrosesan pengaduan masyarakat. Dalam Deputi ini juga terdapat beberapa direktorat penunjang, yaitu: a.
Direktorat Pengawasan Internal Fungsi: pemeriksaan ketaatan, efisiasi dan efektifitas pelaksanaan tugas dan kegiatan unit kerja di lingkungan KPK; evaluasi pelaksanaan program kerja.
b.
Direktorat Pengaduan Masyarakat
Fungsi: pemeriksaan khusus terhadap indikasi penyimpangan unit kerja dan SDM KPK;
pemprosesan pengaduan masyarakat
terkait
pegawai
KPK maupun
penyelenggara negara; pelimpahan hasil pemeriksaan kepada Deputi Penindakan.
BAB IV EFEKTIVITAS KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENINDAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. LARANGAN KORUPSI DALAM AL-QUR”AN DAN HADITS Perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullah (AlQur’an) maupun haditsRasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Di dalam Kitabullah, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
ٖت ﺑِﻤَﺎ َﻏ ﱠﻞ ﯾ َۡﻮ َم ٱﻟۡ ﻘِ َٰﯿ َﻤ ۚ ِﺔ ﺛُ ﱠﻢ ﺗُ َﻮﻓ ٰﱠﻰ ﻛُﻞﱡ ﻧَﻔۡ ﺲ ِ َوﻣَﺎ ﻛَﺎنَ ﻟِﻨَﺒِ ﱟﻲ أَن ﯾَ ُﻐ ﱠۚﻞ َوﻣَﻦ ﯾَﻐۡ ﻠ ُۡﻞ ﯾَ ۡﺄ ١٦١ َﻣﱠﺎ َﻛ َﺴﺒ َۡﺖ َوھُﻢۡ َﻻ ﯾُﻈۡ ﻠَﻤُﻮن “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu ..” [Ali-Imran : 161] Selain itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta manusia dengan cara yang batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya.
َو َﻻ ﺗَ ۡﺄ ُﻛﻠُﻮٓ ْا أَﻣۡ َٰﻮﻟَﻜُﻢ ﺑَﯿۡ ﻨَﻜُﻢ ﺑِﭑﻟۡ َٰﺒ ِﻄ ِﻞ َوﺗُﺪۡ ﻟُﻮ ْا ﺑِﮭَﺎٓ إِﻟَﻰ ٱﻟۡ ُﺤﻜﱠﺎمِ ﻟِﺘَ ۡﺄ ُﻛﻠُﻮ ْا ﻓَﺮِﯾﻘٗ ﺎ ﻣ ۡﱢﻦ ١٨٨ َس ﺑِ ۡﭑﻹِﺛۡ ﻢِ َوأَﻧﺘُﻢۡ ﺗَﻌۡ ﻠَﻤُﻮن ِ أَﻣۡ َٰﻮ ِل ٱﻟﻨﱠﺎ “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”[Al-Baqarah : 188] Juga firman-Nya.
ِﻻ أَن ﺗَﻜُﻮنَ ﺗِ َٰﺠ َﺮةً ﻋَﻦ ٓ ٰ ٓﯾَﺄَﯾﱡﮭَﺎٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَا َﻣﻨُﻮ ْا َﻻ ﺗَ ۡﺄ ُﻛﻠُﻮٓ ْا أَﻣۡ َٰﻮﻟَﻜُﻢ ﺑَﯿۡ ﻨَﻜُﻢ ﺑِﭑﻟۡ َٰﺒ ِﻄ ِﻞ إ ﱠ ٢٩ ﺗَﺮَاضٖ ﻣﱢﻨﻜ ُۡۚﻢ و ََﻻ ﺗَﻘۡ ﺘُﻠُﻮٓ ْا أَﻧﻔُ َﺴﻜ ُۡۚﻢ إِنﱠ ﻛَﺎنَ ﺑِﻜُﻢۡ َر ِﺣﯿﻤٗ ﺎ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil..’[An-Nisa : 29] 49
50
Dengan bahasa yang lugas, Rasulullah menegaskan َھﺪَاﯾَﺎا ْﻟ ُﻌﻤﱠﺎ ِل: “Hadiah yang diterima para pejabat atau pemegang kebijakan adalah ghulul (korupsi).”1 B. Penindakan Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Menurut Sistem Hukum Indonesia Pemberantasan korupsi di Indonesia diatur melalui beberapa peraturan perundang-undangan, di antaranya UU no. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU no. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perumusan Undang-Undang tersebut tidak terlepas dari tuntutan pada saat itu sebagai suatu upaya peralihan dari orde baru menuju orde reformasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk sebagai salah satu upaya pemerintah memberantas tindak pidana dan budaya korupsi yang telah melekat pada pejabat Negara sebagai warisan peninggalan orde baru.Dalam memberantas tindak pidana korupsi, KPK memiliki tugas untuk melakukan penindakan. Upaya penindakan yang dilakukan oleh KPK dilaksanakan oleh Wakil Ketua KPK bidang penindakan yang membawahi 3 (tiga) sub-bidang, yakni sub-bidang penyelidikan, sub-bidang penyidikan dan sub-bidang penuntutan. Masing-masing dari tiap sub-bidang ini akan membawahi beberapa satuan tugas yang diperlukan. Penindakan tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam UU no. 30 tahun 2002,meliputipenyelidikan,penyidikan dan penuntutan. Haltersebutsebagaimana yang telah dijelaskan dalam pasal 6 poin C, dimana KPK bertugasuntuk
1
Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, no. hadis 22495
51
melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.2 Bahkan dalam pasal 8 ayat 2 dijelaskan pula bahwa KPK dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terkait tindak pidana korupsi yang tengah dilakukan oleh lembaga hukum lain (Kepolisian dan Kejaksaan). 3Hal tersebut menunjukan bahwa KPK memiliki kedudukan istimewa dalam hal penindakan tindak pidana korupsi. Pengambilalihan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana yang disebutkan diatas dilakukan dengan alasan sebagai berikut: 1. Laporan masyarakat terkait tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti 2. Proses penanganan tindak pidana korupsi yang berlarut-larut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan 3. Penanganan tindak pidana korupsi yang ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya 4. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi 5. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi akibat pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif yang ikut campur, atau 6. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan menyulitkan penanganan tindak pidana korupsi.4
2
Lihat Pasal 6 butir C UU no. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 3
Lihat Pasal 8 Ayat 2 UU no. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 4
Lihat Pasal 9 UU no. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
52
Selanjutnya dalam pasal 11 dijelaskan terkait prasyarat suatu tindak pidana korupsi yang dapat ditindak KPK, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara dan pihak lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan/atau penyelenggara Negara 2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan/atau 3. Paling sedikit merugikan Negara sebesar satu milyar rupiah.5 Dalam melakukan penindakan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 6 huruf C, KPK memiliki wewenang sebagai berikut : 1. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan 2. Memerintahkan kepada instansi terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri 3. Meminta keterangan kepada bank dan lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa 4. Memerintahkan kepada bank dan lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait 5. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan tersangka dari jabatannya
5
Lihat pasal 11 UU no. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
53
6. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait. 7. Menghentikan
sementara
transaksi
keuangan,
transaksi
perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsensi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang diperiksa 8. Meminta bantuan Interpol atau instansi penegak hukum di Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan dan penyitaan barang bukti di luar negeri 9. Meminta bantuan kepolisian dan instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan terkait dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.6 Dalam
melakukan
penindakan
tindak
pidana
korupsi,
baik
berupa
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK tunduk terhadap Kitab UndangUndang Gukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai penerapan asas hukum lex specialis derogate lex generale, dimana KUHAP berkedudukan sebagai aturan hukum yang utama dan rujukan kecuali ada aturan hukum khusus yang mengatur lain. Salah satu aturan umum yang dikesampingkan adalah pasal 7 ayat 2 KUHAP. Yang menjelaskan bahwa “Yang dimaksud dengan penyidik dalam ayat ini adalah
6
Pasal 12 UU no. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
54
misalnya pejabat bea cukai, pejabat imigrasi, pejabat kehutanan yang melakukan tugas penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undangundang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing”.7 Pasal tersebut dikesampingkan karena menurut undang-undang no. 30 tahun 2002, pejabat khusus yang berwenang melakukan penyidikan terkait tindak pidana korupsi adalah penyidik KPK, baik terkait dengan bidang kehutanan, bea cukai, maupun bidang-bidang khusus lainnya.8 Dalam menjalankan proses penyidikan, penyidik KPK mendapatkan hak istimewa, khususnya dalam hal penyitaan, dimana penyidik KPK diperkenankan melakukan penyitaan tanpa mendapat persetujuan dari kepala Pengadilan Negeri dan cukup dengan pembuatan berita acara penyitaan. KPK dapat melimpahkan dan mengambil alih penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dari lembaga yang memiliki wewenang penyidikan dan penuntutan (dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan).Dalam hal KPK melimpahkan perkara tindak pidana korupsi kepada kepolisian dan kejaksaan, maka kedua instansi tersebut dalam menjalankan fungsinya wajib melakukan koordinasi dan melaporkan perkembangan perkara kepada KPK. Sedangkan dalam hal kedua instansi tersebut melakukan penyidikan paling sedikit 14 hari sebelum KPK memulai penyidikan maka kedua instansi tersebut harus menghentikan penyidikan yang dilakukan dan menyerahkan perkaranya agar ditangani oleh KPK.
7
Lihat Pasal 7 Ayat 2 UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
55
Dalam menangani perkara tindak pidana korupsi, KPK dilarang mengeluarkan SuratPerintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3).Hal ini berartidalam hal perkara tindak pidana korupsi tidak berlaku asas oportunitas dalam penuntutan berbeda dengan asas yang dianut oleh kejaksaan dan system penuntutan di indonesia. Di Indonesia, sistem penuntutan oportunitas berarti jaksa berhak untuk mengesampingkan perkara dengan alasan kepentingan umum. UU kejaksaan mengartikan kepentingan umum sebagai suatu yang sangat sempit yakni kepentingan Negara atau masyarakat.9
C. Efektivitas Penindakan Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Bila berbicara terkait efektivitas, maka tidak akan lepas dari besarnya output yang dihasilkan dari suatu unit kerja tertentu. Dalam hal efektivitas penindakan tindak pidana korupsi, maka perlu diketahui hasil kerja yang dihasilkan oleh KPK, khususnya bagian deputi penindakan sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia. Sepanjang tahun 2013, setidaknya KPK telah melakukan 7 langkah strategis guna meminimalisir perilaku korup penyelenggara Negara, langkah strategis tersebut berupa : 1.
KPK terus mendorong pemberian sanksi yang tegas kepada pelaku korupsi dengan jalan menambah tuntutan dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) guna memberikan efek jera kepada pelaku
9
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004, cet.4), h. 35
56
tindak pidana korupsi.Penambahandelik pencucian uang dalam perkara korupsi sejalan dengan kualifikasi Ghulul dalam fiqh Jinayah,dimana
menurutRawasQala’arji
danHamidSadiq
Qunaibi,Ghulul adalah mengambil sesuatu dan menyembunyikan nya dalam hartanya.10Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ghulul sejalan dengan yang disampaikan dalam surah aliimran ayat 161, yang awalnya hanya terbatas dalam rampasan harta perang dan berkembang menjadi tindakan curang dan khianatr terhadap harta-harta lain. Salah satu sanksi terhadap pelaku Ghulul pada zaman rasulullah SAW adalah dengan mempermalukannya dihadapan allah dengan cara tidak menshalatkan jenazahnya.11 2.
KPK terus berupaya meningkatkan penanganan perkara korupsi dengan jalan memperkuat jaringan koordinasi dan supervise terhadap lembaga terkait, khususnya kepolisian dan kejaksaan
3.
Meningkatkan upaya pencegahan tindak pidana korupsi dengan aktif mengampanyekan gerakan anti korupsi dengan berbagai media, diantaranya adalah film dengan menyelenggarakan festival film anti korupsi dan kampanye pemilukada berintegritas
4.
KPK berupaya meningkatkan masifitas upaya pencegahan korupsi dikalangan penyelenggara Negara dengan adanya program gratifikasi, dimana penyelenggara Negara wajib melaporkan setiap barang yang diterima sebagai hadiah.
10
Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: AMZAH, 2011), hal. 81
11
Ibid, hal. 82
57
5.
KPK senantiasa melakukan studi terkait pola bisnis dan usaha, khususnya di bidang hulu, seperti minerba, kehutanan dan lain sebagainya guna memahami potensi korupsi yang terjadi di bidang tersebut
6.
KPK juga melakukan transformasi dalam pemberantasan korupsi dengan membentuk Anti Corruption Cleaning House (ACCH) sebagai wadah bagi keluarga untuk membentuk keluarga anti korupsi sekaligus menanam sifat anti korupsi kepada anak sejak dini. Selain itu KPK juga meluncurkan Kanal KPK sebagai wadah dan saluran radio streaming bagi pihak-pihak yang ingin mengadukan dan turu serta secara aktif dalam pemberantasan korupsi
7.
Dalam rangka penguatan secara kelembagaan, KPK juga melakukan konsolidasi SDM berupa pembentukan kode etik KPK, dan pembangunan gedung baru guna memaksimalkan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.
Selama tahun 2013, KPK mendapat apresiasi dari berbagai pihak atas kinerjanya, hal tersebut ditunjukkan dengan penghargaan yang didapatkan oleh KPK, diantaranya adalah Magsaysay awards 2013 di Filipina, dimana penghargaan ini diberikan kepada individu atau organisasi yang menyebarluaskan integritasnya dan membawa dampak serta pengaruh yang demokratis bagi masyarakat secara luas.
58
Selanjutnya ada penghargaan sebagai lembaga pilihan public dan situs kementrian dan lembaga terfavorit. Serta mendapat nilai A dalam akuntabilitas kerja serta mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK dalam pengelolaan keuangan.12 Dalam
hal
penindakan,
efektivitas
KPK
bisa
dibilang
cukup
membanggakan, dimana pada tahun 2013 secara keseluruhan terdapat 81 penyelidikan (7 penyelidikan per bulan), 112 penyidikan (10 penyidikan per bulan) serta 73 penuntutan (6 penuntutan per bulan). Berdasarkan angka diatas terdapat 40 kasus korupsi yang telah memiliki kekuatan hukum yang bersifat tetap dan dieksekusi (3 eksekusi per bulan).Hal tersebut ditambah dengan setoran kepada keuangan Negara lebih dari 125 milyar.13 Pencapaian tersebut meningkat ketimbang tahun sebelumnya dimana KPK mampu melakukan penyelidikan selama tahun 2012 mencapai 77 kasus (6 penyelidikan per bulan), 72 penyidikan (6 penyidikan perbulan), 63 penuntutan (5 penuntutan per bulan), 28 kasus yang telah mendapatkan kekuatan hukum yang bersifat final (2 kasus per bulan) serta 32 eksekusi (2 eksekusi per bulan).14 Peningkatan yang terjadi pada tahun 2013 tidak terlepas dari 7 langkah strategis yang dilakukan oleh KPK, khususnya dalam hal pengatan sumber daya KPK, dimana sepanjang tahun 2013 KPK mengangkat 22 penyidik baru dan menerima 160 pegawai baru. Sehingga total pegawai KPK pada tahun 2013 12
Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan KPK 2012, (Jakarta: Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK, 2013), hal. 9 13
Ibid, h. 12
14
Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan KPK 2012, (Jakarta: Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK, 2013), hal. 63-73
59
sebanyak 995 orang, meningkat disbanding tahun sebelumnya yang hanya berjumlah 674 orang. Dalam halpenanganan perkara, maka diserahkan ke polisi, jikasudah sampai pada penuntutanakan dilimpahkan pada pengadilannegeri (umum), dan fungsinya akan lebih berorientasi pada pencegahan, tidak adapenindakan. Pelimpahan perkara ke pengadilan umum itulah yang dikhawatirkankarena selama ini, hukuman yang diberikan oleh pengadilan negeri pada umumnyasangat ringan, dan bahkan punya kecenderungan, sebagiannya di bebaskan.15 Fakta
ini
akan
berbeda jika
dibandingkan dengan putusan di
PengadilanTipikor. Menurut catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun2005-juni 2008 ada sekitar 1184 terdakwa kasus korupsi yang dibawa ke pengadilanumum, dan ada sekitar 450 terdakwa divonis bebas. Keadaan sebaliknya ada diPengadilan Tipikor, sebagian besar atau hampir tidak ada terdakwa korupsi yangdiadili di Pengadilan Tipikor dinyatakan lolos dari tuntutan korupsi (tanpa pandangbulu). Sebagian besar putusan yang dijatuhkan atau vonis pengadilan, ratarataselama 5 (lima) tahun dan/atau sebagian besarnya sesuai tuntutan dan cenderungmelebihi tuntutan yang ada. Misalnya, dalam kasus korupsi besar yang diungkap: Abdullah Puteh, yang dituntut 8 tahun, akhirnya dihukum 10 tahun; NazaruddinSjamsuddin yang dituntut 8 tahun 5 bulan, ternyata divonis 7 tahun 15
Topo Santoso, Urgensi Pembenahan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Dalam Mewujudkan Good Governance, (Jakarta:Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia-Badan Pembinaan Hukum Nasional PUSLITBANG, 2011), Hal.9.
60
penjara;Rakhimin Dahuri dituntut 6 tahun, divonis 7 tahun; Rusdihardjo dituntut 2 tahun 6bulan, divonis 2 tahun; Urip Tri Gunawan di tuntut 15 tahun, divonis 20 tahun;Mulya W Kusuma dituntut 3 tahun, divonis 2 tahun 7 bulan, Syaukani H.R dituntut 7tahun divonis 18 bulan; Irawady Yunus dituntut 6 tahun, divonis 8 tahun; ArtalytaSuryani dituntut 5 tahun, divonis 5 tahun dan Burhanuddin Abdullah dituntut 8 tahun divonis 5 tahun.16 Peningkatan kinerja KPK, khususnya dalam hal penindakan, dirasakan penulis belum mencapai titik maksimal. Setidaknya terdapat tiga indicator yang menunjukan hal tersebut, diantaranya adalah: 1.
Minimnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh KPK Tidak bisa dimungkiri, bahwa hingga saat ini KPK masih mengalami permasalahan klasik, yakni kekurangan tenaga, baik tenaga penyelidik dan penyidik, maupun tenaga penuntut umum.Sehingga hingga saat ini KPK masih amat tergantung untuk mendapatkan tenaga tersebut dari instansi lain (kepolisian dan kejaksaan).Hal tersebut tentunya membawa dampak positif dan negative, dimana dampak positifnya adalah KPK tidak perlu lagi melatih penyelidik, penyidik dan penuntut umum karena sudah terlatih. Akan tetapi hal tersebut juga membawa dampak besar, dimana tenaga yang biasanya didatangkan dari instansi lain memiliki kecenderungan sulit melepaskan pengaruh instansi lamanya. Hal tersebut tercermin dengan kesulitan yang dihadapi
16
TEMPO, Edisi 4 Januari 2009.
61
KPK dalam mengungkapkan kasus korupsi didalam instansi kepolisian dan kejaksaan.Bahkan KPK seakan tak berdaya tatkala kepolisian menarik penyidiknya dari KPK sebagai akibat dari KPK yang hendak mengusut kasus korupsi ditubuh kepolisian. Bila dibandingkan dengan institusi pemberantasan korupsi di Negara lain, sumber daya yang dimiliki oleh KPK masih sangat ketinggalan disbanding Negara lain. Salah satunya adalah NACC (National Anti Corruption Commision), lembaga pemberantasan korupsi serupa KPK di Thailand, yang memiliki 1300 pegawai yang hanya bertugas untuk melakukan pencegahan, penyelidikan, penyidikan minus penuntutan. Yang menarik adalah Thailand hanya berpopulasi sebesar 64.700.000 jiwa, sehingga bila diperbandingkan jumlah pegawai NACC terhadap penduduknya sebesar 1:50000 (setiap 50000 warga Negara Thailand terdapat 1 pegawai NACC), sedangkan di Indonesia perbandingannya sebesar 1:245000 (setiap 245000 warga Negara Indonesia terdapat 1 pegawai KPK).17 Hal lebih baik ditunjukkan oleh ICAC (Independent Commisions Against Corruption), lembaga anti korupsi serupa KPK di hongkong, yang memiliki 1300 pegawai dari jumlah penduduk hongkong sebesar 7.071.600 jiwa, sehingga perbandingannya
17
Ibid, hal. 43
62
sebesar 1:5500 (setiap 5500 warga hongkong terdapat 1 pegawai ICAC).18 Perbandingan tersebut menunjukan betapa beratnya tanggung jawab dan beban pekerjaan yang diterima oleh pegawai KPK dalam memberantas dan menjangkau korupsi diseluruh wilayah Indonesia yang luasnya jauh lebih besar dari Thailand dan hongkong. 2.
Terbatasnya fasilitas sarana dan pra sarana yang dimiliki oleh KPK Keterbatasan sumber daya manusia yang dialami oleh KPK tidak terlepas dari minimya fasilitas penunjang yang dimiliki oleh KPK.Berdasarkan data laporan tahunan KPK tahunan 2012, gedung KPK saat ini sudah tidak layak dan tidak mendukung produktivitas kinerja KPK, dimana gedung KPK saat ini hanya memiliki kapasitas 450 pegawai saja.Sedangkan karena kebutuhan, gedung tersebut dimodifikasi guna menampung sebanyak 700 pegawai. Modifikasi yang dilakukan diantaranya adalah mengubah ruang gelar perkara, ruang rapat dan area parkir motor menjadi ruang kerja, menjadikan gudang sebagai ruang tahanan KPK serta menggunakan container sebagai tempat penyimpanan dokumen.19 Hal tersebut bahkan belum cukup, karena KPK masih harus meminjam satu lantai di gedung kementerian BUMN dan gedung
18
Ibid, hal. 43
19
Ibid, hal. 13
63
UPPINDO untuk menempatkan pegawai KPK.Hal tersebut mengakibatkan kesulitan komunikasi dan koordinasi dalam melaksanakan tugas KPK. Bahkan beberapa kali KPK harus menunda pemeriksaan saksi kasus korupsi akibat ketiadaan ruang pemeriksaan. Hal tersebut diharapkan akan berakhir pada akhir tahun 2015, dimana pada saat itu gedung baru KPK yang dapat menampung hingga 1200 pegawai dijadwalkan akan selesai dibangun. Gedung baru ini diharapkan dapat meningkatkan produktifitas KPK dalam melakukan fungsi penindakan korupsi di Indinesia. 3.
Rendahnya penyerapan pagu anggaran oleh KPK Suatu
instansi
atau
lembaga
Negara
idealnya
mampu
memaksimalkan anggaran yang diperolehnya dari APBN guna menjalankan fungsinya. Sehingga seringkali muncul anggapan dikalangan birokrat bahwa apabila anggaran tidak dihabiskan dikhawatirkan jumlah anggaran yang akan diberikan untuk tahun depan akan berkurang dari tahun sebelumnya. Hal tersebut memunculkan pemborosan anggaran yang tidak perlu pada akhir tahun anggaran.Sebagai salah satu lembaga yang bertujuan menyelamatkan keuangan Negara dari kerugian, KPK memiliki contoh baik dalam penggunaan anggarannya, dimana KPK tidak melakukan pemborosan pada akhir tahun anggaran.
64
Hal tersebut berdampak secara langsung pada penyerapan pagu anggaran KPK, dimana sejak tahun 2011 penyerapan anggaran oleh KPK terbilang rendah. Pada tahun 2011 anggaran yang diserap oleh KPK hanya sebesar 297 milyar rupiah dari total 576 milyar rupiah atau sekitar 51, 53%. Peningkatan terjadi pada tahun 2012 dimana anggaran yang diserap KPK meningkat menjadi 337 milyar rupiah dari total 606 milyar rupiah atau sekitar 55, 55% dan pada tahun 2013 anggaran yang diserap mencapai 468,5 milyar rupiah dari total anggaran mencapai 704 milyar rupiah atau sekitar 66,6%. Daftar table 1. Perbandingan penyerapan anggaran oleh KPK Tahun
Pagu Anggaran
Penyerapan
Presentase
2011
Rp. 576.590.708.000,-
Rp. 297.107.616.984,-
51,53
2012
Rp. 606.668.943.000,-
Rp. 337.024.751.460,-
55,55
2013
Rp. 703.876.268.000,-
Rp. 468.543.958.998,-
66,6
Bisa dibayangkan apabila ketiga factor yang telah disebutkan diatas ditingkatkan, baik dalam hal kualitas SDM, fasilitas sarana dan prasarana serta penyerapan anggaran, maka bukan tidak mungkin efektivitas KPK dalam hal penindakan akan meningkat dan membawa dampak positif bagi perjuangan pemberantasan korupsi.
65
Selain daripada faktor yang disebutkan diatas ada beberapa factor eksternal yang turut mempengaruhi efektifitas KPK dalam menjalankan fungsi penindakan, antara lain: 1.
Peran Serta Masyarakat Dalam upaya pemberantasan korupsi dan pelakunya, peran serta masyarakat berupa partisipasi aktif masyarakat tidak bisa dianggap sebelah mata. Hal ini sangat berpengaruh karena masyarakat dan rakyat Indonesia adalah pemegang kedaulatan tertinggi Negara Indonesia.Bahkan ada seorang ahli hukum yang menyatakan bahwa suara rakyat adalah suara tuhan. Partisipasi aktif masyarakat secara khusus diatur dalam UU no. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU no. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 41 yang menjelaskan bahwa masyarakat berhak dan berkewajiban untuk memberikan dan memperoleh informasi terkait adanya dugaan tindak pidana korupsi; hak untuk mendapatkan pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana korupsi terhadap aparat penegak hukum yang menangani kasus korupsi; hak untuk memberikan masukan dan pendapat secara bertanggung jawab kepada aparat penegak hukum yang menangani tindak pidana korupsi; hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaannya tentang laporan yang diberikan kepada penegak hukum; serta hak untuk mendapat perlindungan hukum
66
dalam
hal
yang
disebutkan
diatas
dan
dipanggil
dalam
penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli. Hal tersebut tentunya amat vital, karena tanpa adanya laporan dari masyarakat, tidak mungkin KPK dapat menjangkau seluruh
kasus
korupsi
Indonesia.Sehingga
yang
Negara
menyebar
diseluruh
berkewajiban
pelosok
memberikan
penghargaan bagi masyarakat yang membantu mengungkapkan perkara tindak pidana korupsi yang terjadi. 2.
Iklim Politik Iklim politik secara tidak langsung juga berpotensi mempengaruhi upaya penindakan yang dilakukan oleh KPK dalam menangani perkara tindak pidana korupsi.Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya jumlah tersangka, terdakwa atau bahkan terpidana kasus korupsi yang berlatar belakang politisi, baik dilingkungan eksekutif maupun legislative.Hal tersebut tentunya tidak lepas dari perubahan sistem demokrasi dan politik yang terjadi di Indonesia selepas memasuki fase reformasi, dimana sistem demokrasi Indonesia dikenal dengan sistem demokrasi biaya tinggi. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD pernah mengungkapkan bahwa “korupsi sekarang ini semakin menggila”. Elit politik bukan berfikir untuk mengurusi masalah bangsa yang penting, misalmengenai upaya memberantas korupsi, justru
67
mengurusi
politik
praktis
untuk
meraih
kemenangan.
Ini
menyedihkan, karena dengan begitu, maka korupsi untuk biaya politik pun akan semakin meningkat.20 Sebagai institusi penegak hukum dalam sistem ketatanegaraan yang baru, KPK memiliki sarana dan prasarana hukum dengan tingkat kewenangan sangat luar biasa atau extra ordinary power yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya.Karena itu, menjadi wajar apabila masyarakat memiliki harapan berlebihan searah dengan kewenangan yang sangat luar biasa dari KPK tersebut. Dengan extra ordinary power yang dimiliki KPK, diharapkan pula, segala bentuk, cara dan aplikasi korupsi dapat dijadikan suatu bahagian tatanan pemberantasan korupsi.21
20
Ibid hal. 51.
21
Indriyanto Seno Aji,Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta : Diadit Media, 2009),
hal. 332
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Dalam hal penindakan KPK dapat melakukan penyadapan, memerintahkan untuk pencegahan terhadap seseorang untuk bepergian ke luar negeri, meminta keterangan kepada bank dan lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa, meminta blokir terhadap rekening terdakwa, meminta pemberhentian terhadap terdakwa, mengetahui kekayaan dan data perpajakan, meminta pihak lain untuk mencari, menahan, bahkan menyita milik pribadi terdakwa. Serta bekerjasama dengan Interpol apabila terdakwa kabur keluar negeri. Secara kasat mata, melihat dari apa yang telah dilakukan KPK selama beberapa tahun kebelakang, maka dapat disimpulkan cukup efektif dalam bidang penindakan. Karena sudah cukup banyak terdakwa yang akhirnya di vonis oleh pengadilan tipikor dengan hukuman yang setimpal. Sementara menurut data laporan KPJ, maka dalam hal penindakan, efektivitas KPK bisa dibilang cukup baik dalam kinerjanya tahun 2013 secara keseluruhan terdapat 81 penyelidikan (7 penyelidikan per bulan), 112 penyidikan (10 penyidikan per bulan) serta 73 penuntutan (6 penuntutan per bulan). Berdasarkan angka diatas terdapat 40 kasus korupsi yang telah memiliki kekuatan hukum yang bersifat tetap 68
70
dan dieksekusi (3 eksekusi per bulan). Hal tersebut ditambah dengan setoran kepada keuangan Negara lebih dari 125 milyar. Secara umum terdapat tiga faktor internal yang mempengaruhi kinerja KPK, yaitu minimnya sumber daya manusia KPK, minimnya sarana dan prasarana serta rendahnya penyerapan anggaran KPK. Selain itu, ada factor eksternal yang sangat berpengaruh dan sangat penting untuk keberlangsungan KPK, antara lain: peran serta masyarakat, serta iklim politik Negara dan koordinasi yang kurang baik antara KPK, Kejaksaan dan Kepolisian sehingga sering terjadi perebutan antar instansi
B.
Saran Dari beberapa kejadian politik negeri ini yang semakin hari justru semakin tidak etis cenderung mementingkan kelompoknya ketimbang kepentingan rakyat. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kejadian sebelumnya terutama yang berkaitan dengan sistem penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Untuk itu penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut: 1.
Perlu dikaji kembali mengenai sistem hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Kerjasama yang baik antara pemerintah, DPR dan yudikatif diharapkan mampu mengembalikan semangat pemberantasan korupsi di negeri ini.
2.
Penguatan lembaga KPK sebagai ujung tombak pembenrantasan korupsi sesuai dengan cita Reformasi, harus didukung secara nyata oleh pemerintah, DPR, maupun pihak yuidkatif. Selain itu peran masyarakat merupakan hal
70
paling pokok karena dari kejadian sebelumnya masyarakatlah yang mampu untuk mendukung KPK tetap bernafas dan melanjutkan tugasnya dalam pemberantasan korupsi.