LAPORAN TAHUNAN
MODEL INVESTASI PROGRAM PENYEDIAAN BENIH DAN PAKAN IKAN MANDIRI
Tim Peneliti Budi Wardono Tajerin Rikrik Rahadian Tikkyrino Kurniawan Hakim Miftakhul Huda Lathifatul Rosyidah Freshty Yulia Artatiani
PUSAT PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
2016
LEMBAR PENGESAHAN Satuan Kerja (Satker)
: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Judul Kegiatan
: Model Investasi Program Penyediaan Benih dan Pakan Mandiri
Status
: Baru
Pagu Anggaran
: Rp. 340.000.000
Tahun Anggaran
: 2016
Sumber Anggaran
: APBN/APBNP DIPA Satker Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2016
Penanggung Jawab Output
: Ir. Budi Wardono, MP NIP. 19670816199403 1 001
Penanggung Jawab Kegiatan
: Ir. Budi Wardono, MP NIP. 19670816199403 1 001
Jakarta,
Desember 2016
Penanggung Jawab Output (PPO)
Penanggung Jawab Pelaksana Output (PPJO)
Ir. Budi Wardono, MP NIP. 19670816199403 1 001
Ir. Budi Wardono, MP NIP. 19670816199403 1 001
Mengetahui/Menyetujui: Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Dr. Tukul Rameyo Adi NIP. 19610210 199003 1 001
i
RINGKASAN Penelitian model investasi penyediaan perbenihan dan pakan ikan mandiri merupakan salah satu kegiatan strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sistem usaha perikanan budidaya sebagian tergantung pada penyediaan benih dan pakan ikan. Perhatian pemerintah yang besar terhadap upaya kemandirian pakan dan perbenihan diwujudkan melalui programprogram bantuan kepada masyarakat. Besarnya ketergantungan pada pakan komersial telah menyadarkan pemerintah untuk meningkatkan kemandirian pakan ikan melalui gerakan pakan ikan mandiri (Gerpari). Sistem investasi usaha pakan dan perbenihan mengahadapi berbagai ketidakpastian yang menyebabkan munculnya resiko-resiko yang dihadapi pelaku usaha. Tujuan penelitian ini adalah: a. Mengkaji profil/kinerja usaha perbenihan dan pakan mandiri b. Mencari faktor internal dan eksternal pada usaha pembenihan ikan dan pakan mandiri c. Mencari/menghitung NPV-Resiko dan perilaku usaha dengan simulasi monte carlo pada usaha pembenihan dan pakan ikan mandiri d. Membuat model bisnis investasi pengembangan usaha perbenihan ikan dan pakan mandiri Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan model-model investasi perbenihan dan pakan mandiri dengan
memasukkan unsur-unsur ketidakpastian
dan resiko-resiko
kedalam model. Model yang dihasilkan dapat memberikan berbagai alternatif model investasi perbenihan dan pakan ikan mandiri sesuai dengan karakteristik tipologi dan keragaan sumberdaya, karakteristik manajemen pengelolaan dan karakteristik SDM.. Hasil yang diperoleh menunjukkah bahwa kinerja pabrik pakan ikan mandiri belum dapat mencerminkan kinerja “yang baik”. Faktor utama adalah tidak terpenuhinya kontinyuitas usaha dan rendahnya produktifitas pabrik pakan dibandingkan dengan kapasitas produksi. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut antara lain kondisi mesin pakan yang tidak memenuhi standar sesuai kapasitasnya, bisnis plan pabrik pakan tidak disiapkan dengan baik, kemampuan inovasi pengelola pabrik pakan yang belum optimal ditambah dengan permodalan yang masih kurang. Analisis NPV-resiko merupakan salah satu analisis untuk mengetahui kelayakan investasi dengan mempetimbangkan berbagai resiko usaha yang dihadapi oleh para pelaku ii
usaha perbenihan dan pakan ikan mandiri. Hasil analisis dengan menggunakan data saat ini (existing condition) menggambarkan bahwa usaha pabrik pakan mandiri memberikan NPVresiko negative dengan resiko yang tinggi. Kondisi ini menggambarkan bahwa pada kondisi saat ini investasi pabrik pakan mandiri tidak menarik bagi investor untuk menanamkan modal untuk usaha pakan ikan mandiri. Hasil simiulasi montecarlo menghasilkan berbagai scenario agar usaha pakan ikan mandiri menarik bagi investor. Hal-hal yang bias dilakukan adalah meningkatkan produktifitas dan kontinyuitas usaha. Peningkatan kontinyuitas dan produktifitas pada tingkat 60 % telah mampu meningkatkan NPV-resiko menjadi positif, yang mengindikasikan usaha pabrik pakan ikan mandiri menarik bagi investor. Faktor inernal dan eksternal yang dapat mempengaruhi kinerja pabrik pakan dan perbenihan dipengaruhi oleh berbagai factor. Hasil analisis SWOT (faktor internal dan eksternal) memberikan hasil berupa strategi-strategi untuk meningkatkan kinerja pabrik pakan dan perbenihan. Hasil analisis SWOT digunakan sebagai input dalam melakukan penyusunan model binsis pakan ikan dan perbenihan yang diperbaiki. Model Bisnis yang diperbaiki berdasrkan hasil analisis SWOT merupakan usahausaha yang dapat dilakukan agar kinerja usaha pabrik pakan menjadi meningkat. Dalam model bisnis yang diperbaiki memfokuskan pada strategi-strategi pada masing-masing aspek. Ke Sembilan aspek dalam model bisnis yang diperbaiki lebih difokuskan sehingga benarbenar menjadi acuan yang dapat meningkatkan kinerja usaha. Model yang dihasilnya mengacu pada model umum dengan karakteristik tertentu yang mencerminkan perbedaan pola/model. Secara umum terdapat tiga pola dalam mobel bisnis investasi pakan yaitu model/pola “jogjanan’, model/pola “kamparan” dan model/pola Anjongan. Ketiga pola/model tersebut mempunyai karakteristik yang khas yang terbentuk karena karakteristik ekosistem usaha perikanan budidaya, karakteristik manajemen pengelolaannya dan karakteristik SDM. Masing-masing model/pola tersebut mempunyai kelebihan masing-masing , Saran rekomendasi yang disampaikan adalah perlunya identifikasi yang lebih spesifik kepada calon penerima sebelum bantuan program dilaksanakan terkait dengan: karakteristik usaha budidaya, karakteristik ekosistem, karakteristik SDM dan karakteristik manajemen pengelolaan. Ketiga karakteristik tersebut akan mempunyai pola yang berbeda sehingga model yang disarankan juga berbeda. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut antara lain kondisi mesin pakan yang tidak memenuhi standar sesuai kapasitasnya, bisnis plan pabrik pakan tidak disiapkan dengan iii
baik, kemampuan inovasi pengelola pabrik pakan yang belum optimal ditambah dengan permodalan yang masih kurang.
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN........................................................................................................ i RINGKASAN............................................................................................................................ ii DAFTAR ISI..............................................................................................................................v 1.
2.
PENDAHULUAN..............................................................................................................1 1.1.
Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2.
Tujuan..........................................................................................................................6
1.3.
Keluaran...................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................8 2.1.
Status Perikanan Indonesia...................................................................................... 8
2.2.
Pakan Ikan................................................................................................................9
2.3.
Bahan Baku Pakan................................................................................................. 10
2.4.
Kebijakan dan Desain Gerakan Pakan Mandiri (GERPARI)................................ 12
2.5.
Perbenihan............................................................................................................. 15
2.6.
Kelayakan Usaha Pembenihan dan Pakan Mandiri............................................... 16
2.6.1. Analisis Kelayakan Usaha Pembenihan.................................................................18 2.6.2. Analisis Kelayakan Usaha Pakan Mandiri.............................................................19
3.
2.7.
Sumber Pembiayaan Usaha Kecil Menengah............................................................21
2.8.
Efisiensi Teknis......................................................................................................22
2.9.
Model Usaha Investasi Industri Pakan Ikan dan Pengelolaannya......................... 24
2.10.
Manajemen pengelolaan Pakan............................................................................. 25
METODOLOGI PENELITIAN.......................................................................................28 3.1.
Kerangka Pemikiran.................................................................................................. 28
3.2.
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data........................................................................ 29
3.3.
Metode Analisis Data................................................................................................ 32
3.4.
Waktu dan Lokasi Penelitian.....................................................................................43 v
4.
5.
GAMBARAN UMUM.....................................................................................................45 4.1.
Keragaan Usaha Perbenihan Kabupaten Subang dan Purwakarta.............................45
4.2.
Keragaan Kinerja Perikanan Kabupaten Muaro Jambi............................................. 52
4.3.
Kab. Brebes............................................................................................................... 58
4.4.
Kondisi Existing Perikanan Gunungkidul................................................................. 66
4.5.
Kab. Cirebon..............................................................................................................73
4.6.
Gambaran Umum Indramayu.................................................................................... 74
HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................................78 5.1.
Kinerja Usaha Pakan Mandiri................................................................................... 78
5.1.1.
Analisis Kelayakan Finansial-Resiko Usaha Pakan Mandiri Model “Jogjanan” 82
5.1.2.
Analisis Kelayakan Finansial-Resiko Usaha Pakan Mandiri Model “Anjongan” 95
5.2.
Kinerja Usaha Perbenihan....................................................................................... 106
5.2.1.
Analisis Kelayakan Finansial-Resiko Usaha Perbenihan Ikan Mas................ 106
5.2.2.
Analisis Kelayakan Finansial-Resiko Usaha Perbenihan Ikan Nila................ 115
5.2.3.
Analisis Kelayakan Finansial-Resiko Usaha Perbenihan Ikan Lele. Error!
Bookmark not defined. 5.2.4.
Analisis Kelayakan Finansial-Resiko Usaha Perbenihan Ikan Patin Error!
Bookmark not defined. 5.3.
6.
Analisis Model Bisnis Investasi Perbenihan Dan Pakan Ikan Mandiri...................125
5.3.1.
Model Bisnis Pakan Ikan Mandiri Model “Jogyaan”.......................................... 125
5.3.2.
Model Bisnis Investasi Pakan Model “Kamparan”............................................. 147
5.3.3.
Model Bisnis Investasi Pakan Model “Anjongan”.............................................. 159
5.3.4.
Model Bisnis Penyediaan Benih Ikan..................................................................172
KESIMPULAN.............................................................................................................. 185
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 186
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Perkembangan Produksi Perikanan Nasional 2009-2014........................................8
Tabel 2.
Matriks Tujuan, Jenis dan Sumber Data, Metode Pengumpulan serta Analisis Data
pada Model Investasi Penyediaan Benih dan Pakan Mandiri.................................................. 30 Tabel 3.
Blok bangunan pembentuk canvas business model...............................................36
Tabel 4.
Lokasi penelitian....................................................................................................44
Tabel 5.
Pelaku Usaha Perikanan di Purwakarta Tahun 2015............................................. 48
Tabel 6.
Produksi Benih di Kabupaten Purwakarta Tahun 2015.........................................49
Tabel 7.
Jumlah Penggunaan Sarana Produksi Pembenihan Ikan Air Tawar per Triwulan,
Tahun 2015...............................................................................................................................50 Tabel 8.
Penggunaan Sarana Produksi Perikanan di Purwakarta Tahun 2015.................... 50
Tabel 9.
Produksi Perikanan di Purwakarta Tahun 2015.....................................................51
Tabel 10.
Luasan kolam di Kab.Muaro Jambi, 2011-2015................................................56
Tabel 11.
Jumlah KJA di Kawasan Minapolitan diKab. Muaro Jambi, 2011-2015.......... 57
Tabel 12.
Perkembangan jumlah produksi ikan budidaya menurut jenis komoditas di Kab.
Muaro Jambi, 2011-2015......................................................................................................... 57 Tabel 13.
Perkembangan jumlah produksi ikan budidaya Kawasan Minapolitan di Kab.
Muaro Jambi, 2011-2015......................................................................................................... 58 Tabel 14.
Jumlah Mesin pellet Pakan Mandiri di Kawasan Minapolitan Kab. Muaro Jambi,
2011-2015
58
Tabel 15.
Potensi / Lahan Tambak di Kabupaten Brebes Tahun 2014....................... 59
Tabel 16.
Luas Lahan Kolam Ikan dan Jumlah RTP dalam Tahun 2014.................. 60
Tabel 17.
Produksi Perikanan Kabupaten Brebes Tahun 2014................................... 61
Tabel 18.
Produksi Tangkapan Ikan yang Dilelang di 12 TPI..................................... 61
Tabel 19.
Perkembangan Produksi Tambak dan Jenisnya Tahun 2014..................... 62
Tabel 20.
Perkembangan Produksi Kolam dan Jenisnya Tahun 2014........................ 63
Tabel 21.
Perkembangan Produksi di Perairan Umum Tahun 2014...........................64
Tabel 22.
Perkembangan Produksi Benih Ikan di Kab. Brebes...................................65
Tabel 23.
Produksi Perikanan Budidaya di Kab Cirebon..................................................73 vii
Tabel 24.
Jumlah Pelaku Usaha Perikanan di Kab. Indramayu......................................... 74
Tabel 25.
Jumlah Produksi Perikanan Menurut Subsektor Perikanan di Kab. Indramayu 75
Tabel 26.
Produksi Budidaya Perikanan di Kab. Indramayu Tahun 2015.........................75
Tabel 27.
Formula Paakan Ikan Produksi Pabrik Pakan Ikan Mandiri.............................. 79
Tabel 28.
NPV Klasik Hasil Kelayakan Investasi Pabrik Pakan Ikan Mandiri................. 80
Tabel 29.
Asumsi Distribusi Variabel Ketidakpastian....................................................... 82
Tabel 30.
Kebutuhan Investasi Usaha Pakan Ikan Model “Jogjanan”....................... 83
Tabel 31.
Kebutuhan Bahan Baku Perhari.................................................................... 84
Tabel 32.
Kebutuhan Bahan Pembantu Perhari............................................................84
Tabel 33.
Kebutuhan Tenaga Kerja................................................................................85
Tabel 34.
Rangkuman Asumsi Resiko Usaha Pakan Ikan Mandiri Model “Jogjanan”
pada kondisi eksisting............................................................................................................ 86 Tabel 35.
Rata-rata Hari Kerja, Produksi dan Penerimaan Kas Hasil Simulasi
Montecarlo 89 Tabel 36.
Rata-rata Keuntungan Usaha Pertahun Serta Tingkat Resiko Kerugian
Usaha Pakan Ikan Mandiri Model “Jogjanan” Hasil Simulasi Montecarlo.................... 89 Tabel 37.
Rata-rata NPV Usaha Pertahun Serta Tingkat Resiko Kerugian Usaha
Pakan Ikan Mandiri Model “Jogjanan” Hasil Simulasi Montecarlo................................91 Tabel 38.
Hasil Simulasi Analisis ResikoUsaha Pabrik Pakan Ikan Model “Jogjanan”....93
Tabel 39.
Kebutuhan Investasi Usaha Pakan Ikan Model “Anjongan”...................... 95
Tabel 40.
Kebutuhan Bahan Baku Perhari.................................................................... 96
Tabel 41.
Kebutuhan Bahan Pembantu Perhari............................................................97
Tabel 42.
Kebutuhan Tenaga Kerja................................................................................98
Tabel 43.
Rangkuman
Asumsi
Resiko
Usaha
Pakan
Ikan
Mandiri
Model
“Anjongan” pada kondisi eksisting...................................................................................... 99 Tabel 44.
Rata-rata Hari Kerja, Produksi dan Penerimaan Kas Hasil Simulasi
Montecarlo 101 Tabel 45.
Rata-rata Keuntungan Usaha Pertahun Serta Tingkat Resiko Kerugian
Usaha Pakan Ikan Mandiri Model “Anjongan” Hasil Simulasi Montecarlo.................102 Tabel 46.
Rata-rata NPV Usaha Pertahun Serta Tingkat Resiko Kerugian Usaha
Pakan Ikan Mandiri Model “Anjongan” Hasil Simulasi Montecarlo.............................104 Tabel 47.
Hasil Simulasi Analisis ResikoUsaha Pabrik Pakan Ikan Model “Anjongan” 105
Tabel 48.
Kebutuhan Investasi Usaha Pembenihan Ikan Mas (larva)...................... 106
Tabel 49.
Biaya Operasional Usaha Pembenihan Ikan Mas............................................ 107 viii
Rangkuman Asumsi Resiko Usaha Pembenihan Ikan Mas Segmen Larva
Tabel 50.
107 Rata-rata Hari Kerja, Produksi dan Penerimaan Kas Hasil Simulasi
Tabel 51.
Montecarlo 110 Rata-rata Keuntungan Usaha Pertahun Serta Tingkat Resiko Kerugian
Tabel 52.
Usaha Pebenihan Ikan Mas Hasil Simulasi Montecarlo.................................................. 110 Tabel 53.
Blok bangunan pembentuk canvas business model......................................... 125
Tabel 54.
Model-Model Dasar Pengelolaan Pabrik Pakan Ikan Mandiri........................ 131
Tabel 55.
Matrik Kondisi Model Bisnis Saat ini (Kondisi Eksisting)Error!
Bookmark
not defined. Tabel 56.
Faktor Internal Model Bisnis Pakan Ikan Kabupaten Gunungkidul................ 137
Tabel 57.
Nilai rataanSkor Hasil Analisis SWOT faktor Internal....................................139
Tabel 58.
Hasil Nilai Rataan Skor Faktor Eksternal........................................................ 139
Tabel 59.
Faktor Internal Model Bisnis Pakan Ikan Model “Kamparan”........................ 150
Tabel 60.
Faktor Eksternal Model Bisnis Pakan Ikan......................................................151
Tabel 61.
Nilai rataanSkor Hasil Analisis SWOT faktor Internal....................................151
Tabel 62.
Faktor Internal Model Bisnis Pakan Ikan Model “Anjongan”.........................162
Tabel 63.
Faktor Eksternal Model Bisnis Pakan Ikan......................................................162
Tabel 64
Nilai rataanSkor Hasil Analisis SWOT faktor Internal....................................... 164
Tabel 65
Hasil Nilai Rataan Skor Faktor Eksternal............................................................165
Tabel 66.
Kekuatan dan Kelemahan Pabrik pakan ikan Mandiri.....................................167
Tabel 67.
Faktor Internal dan Eksternal Usaha Pembenihan Ikan Mas........................... 174
Tabel 68.
Nilai Rataan Skor Hasil Analisis SWOT Faktor Internal Usaha Pembenihan
Ikan Mas
174
Tabel 69.
Nilai Rataan Skor Hasil Analisis SWOT Faktor Internal Usaha Pembenihan
Ikan Mas
175
ix
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20. Gambar 21. Gambar 22. Gambar 23. Gambar 24. Gambar 25. Gambar 26.
Produsen utama tepung ikan di Dunia..............................................................11 Perkembangan harga tepung ikan dan tepung kedelai di pasar Internaisonal tahun 2007-2015.......................................................................11 Kebutuhan Pakan Ikan Nasional tahun 2009-2015.......................................... 12 Investasi pakan ikan di skala kecil dan medium di Mesir Tahun 2012 (ElSayed, 2014)...................................................................................................25 Kerangka Pemikiran penelitian Model Investasi Penyediaan Benih dan Pakan Mandiri................................................................................................ 28 Tahapan penyusunan modle Bisnis Canvas..................................................... 40 Bisnis Model Canvas (BMC)........................................................................... 43 Sebaran lokasi kolam indukan dan Kolam Pemijahan di Kab. Subang Tahun 2015.....................................................................................................46 Sebaran lokasi kolam larva/benih di Kab Subang, tahun 2015........................47 Perkembangan Jumlah Benih ikan yang dijual di Subang tahun 2015.......... 47 Perkembangan nilai produksi benih di Subang tahun 2015........................... 48 Jaringan pengembangan pakan lokal dan pengembangan perikanan budidaya yang difasilitasi KIMBIs di Kabupaten Gunungkidul.................... 70 Kumulatif Probabilitas Margin Usaha Pakan Ikan Model “Jogjanan”.................................................................................................... 90 Kumulatif Probabilitas NPV Usaha Pakan Model “Jogjanan” Hasil Simulasi Montecarlo.....................................................................................92 Kumulatif Probabilitas Margin Usaha Pakan Ikan Model “Anjongan”................................................................................................. 103 Kumulatif Probabilitas NPV Usaha Pakan Model “Anjongan” Hasil Simulasi Montecarlo...................................................................................104 Kumulatif Probabilitas Margin Usaha Pembenihan Ikan Mas segmen larva............................................................................................... 111 Business Model Canvas................................................................................125 Alur Analisis BMC Pabrik Pakan................................................................ 130 Matrik Model Bisnis yang Diperbaiki.........................................................143 Proses Bisnis Pakan Ikan Mandiri................................................................145 Konsep Pengembangan Usaha Pakan Ikan Mansiri dengan Pendekatan Klaster.......................................................................................................... 146 Matrik Kondisi Model Bisnis Saat ini (Kondisi Eksisting) Model “Kamparan”..................................................................................................148 Matrik Model Bisnis yang Diperbaiki..........................................................156 Matrik Kondisi Model Bisnis Saat ini (Kondisi Eksisting) Model “Anjongan”...................................................................................................160 Matrik Model Bisnis yang Diperbaiki..........................................................169
x
1. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang
Perkembangan perikanan budidaya dalam dua dekade terakhir ini lebih cepat dari
penangkapan sehingga produksi budidaya melampaui produksi perikanan tangkap sejak tahun 2010. Masih luasnya lahan yang potensial untuk budidaya memberikan harapan akan meningkatnya produksi budidaya di waktu yang akan datang. Salah satu implementasi pembangunan perikanan budidaya adalah paket kebijakan peningkatan produksi KP dan pendapatan masyarakat dengan konsep minapolitan dengan metode peningkatan value chain dari produk perikanan yang mempunyai aktivitas utama antara lain: 1. Peningkatan produksi budidaya, 2. Sistem pembenihan berkualitas, 3. Sistem kesehatan lingkungan dan penanggulangan penyakit ikan, 4. Sistem pengadaan pakan ikan nasional, 5. Pemberdayaan Masyarakat, dan 6. Pembangunan infrastruktur (Sunoto, 2010 dalam BBPSEKP, 2012). Implementasi kebijakan minapolitan untuk peningkatan produksi dengan peningkatan pembenihan berkualitas, dan pembangunan pakan ikan nasional karena benih dan pakan adalah input produksi yang paling penting dalam budidaya ikan. Sunoto (2010) dalam BBPSEKP (2012) menyebutkan bahwa aspek strategis pembangunan perikanan budidaya yang harus dilihat meliputi 1. Peningkatan produksi budidaya (terdiri dari input produksi yang meliputi benih, pakan dan sarana produksi perikanan lainnya serta Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB)), 2. Sistem pembenihan berkualitas yang dihasilkan dari induk yang berkualitas dan mempunyai sertifikasi, 3. Sistem kesehatan lingkungan dan penanggulangan penyakit ikan (bebas dari penyakit dan pencemaran yang dapat menimbulkan penyakit untuk ikan), 4. Sistem pengadaan pakan ikan nasional (baik secara pakan buatan dan pakan alami yang berbahan laku lokal dan mempunyai protein tinggi sehingga harga dapat ditekan), 5. Pemberdayaan Masyarakat (baik secara berkelompok maupun sendiri untuk menyokong budidaya baik dari sarana-prasarana, produksinya, pemasaran hingga pengolahan jika dibutuhkan), dan 6. Pembangunan infrastruktur (infrastruktur yang dibutuhkan berupa saluran pengairan dan pembuangan, jalan untuk distribusi hingga infrastruktur listrik). Produksi perikanan budidaya di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 14.521.349 ton atau senilai Rp 109.784 miliar. Selama kurun waktu 2010 hingga 2014, rata-rata peningkatan produksi budidaya mencapai 23,74%, sedangkan khusus budidaya air tawar mengalami kenaikan produksi rata-rata per tahun mencapai 22,23% (KKP, 2015). 1
Benih dan pakan merupakan input utama dalam usaha perikanan budidaya. Komponen biaya pakan dan benih dapat mencapai 90 persen dari total biaya usaha budidaya ikan (Rahmani et al. 2011). Kebutuhan pakan ikan dan udang secara nasional pada tahun 2015 mencapai 9,27 juta ton dimana 49 % merupakan kebutuhan pakan ikan air tawar seperti ikan mas, nila, gurame, patin dan lele (KKP, 2015), dengan target produksi perikanan budidaya 2015 sebanyak 16,9 juta ton. Kebijakan pemerintah untuk mencapai pertumbuhan perikanan budidaya yang ditargetkan dengan membuat kebijakan Gerakan kemandirian pakan ikan (Gerpari) terutama di sentra-sentra produksi budidaya perikanan. Produksi pakan ikan Indonesia tahun 2013 sebesar 1,1 juta ton, dibutuhkan tepung ikan sebesar 100.000 ton yang 75.000 tonnya diperoleh dari impor (KKP, 2014). Sedangkan tahun 2014 kebutuhan tepung ikan mencapai 90.000 ton, dan impor tepung ikan Indonesia cukup besar sekitar 80.000 ton dengan nilai mencapai US$ 480 juta atau Rp 5,7 triliun. Beberapa permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam penyediaan benih ikan diantaranya adalah masih terbatasnya inovasi bibit unggul, kebutuhan benih ikan yang sangat tinggi, dan masih terbatasnya sumber daya manusia dalam penyediaan benih ikan yang cukup dalam hal kuantitas dan kualitas. Tantangan dalam upaya pengembangan usaha budidaya juga dihadapkan pada minimnya pemanfaatan lahan budidaya yang tersedia. Pemanfaatan lahan budidaya air tawar hingga tahun 2014 hanya 14,70% atau 327.995 Ha dari total potensi 2.230.500 Ha. Sementara itu, menurut Kristanto (2007) pertambahan jumlah penduduk berperan dalam penyempitan lahan budidaya air tawar akibat persaingan dengan keperluan lain seperti pemukiman, industri, dan transportasi. Intensifikasi perikanan budidaya air tawar juga dihadapkan pada kenyataan ketersediaan air yang makin menurun baik dalam jumlah maupun kualitas. Novriadi (2015) menyebutkan bahwa terdapat empat tantangan utama pengembangan usaha budidaya di Indonesia yaitu ketersediaan benih berkualitas, ketersediaan pakan dengan bahan baku lokal, dukungan teknologi, dan kebijakan pemerintah yang pro pembudidaya. Pertumbuhan perikanan budidaya yang cepat membutuhkan teknologi yang intensif seiring dengan keterbatasan lahan dan pasokan air yang ada (Bosma and Verdegem 2011). Intensifikasi usaha budidaya dapat dilakukan dengan optimalisasi ketersediaan input seperti pakan dan benih sehinggga upaya penyediaan input secara berkelanjutan menjadi penting untuk diperhatikan. Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam penyediaan benih ikan diantaranya adalah keterbatasan informasi mengenai aspek teknis dan teknologi pembenihan dalam 2
menghasilkan benih yang berkualitas. Selain itu informasi dalam investasi pembenihan ikan masih minim sehingga jumlah pelaku usaha pembenihan ikan masih terbatas. Pemerintah selama ini belum mengoptimalkan potensi bahan
baku lokal untuk
pemenuhan kebutuhan bahan baku pabrik pakan. Pengembangan pabrik pakan lebih berorientasi pada industri pakan komersial.
Pemerintah baru menyadari
pentingnya
kemandirian pakan ikan melalui program Gerapakan Pakan Ikan Mandiri (Gerpari) . Program Gerpari bertujuan untuk meningkatkan kemandirian pakan melalui produksi pakan ikan mandiri berbasis masyarakat.
Pendekatan yang dilakukan adalah dengan meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk dapat memproduksipakan ikan secara mandiri dengan memanfaatkan kelimpahan bahan baku lokal. Sampai saat ini masih sangat sedikit model bisnis pengembangan pabrik pakan mandiri. Pabrik pakan mandiri yang ada selama ini belum banyak mendapat perhatian pemerintah. Usaha pakan mandiri diusahan sendiri oleh perorangan/kelompok dengan kemampuan finansial dan kualitas pakan yang seadanya. Gerpari diharapkan mampu meningkatkan kemandirian pabrik pakan yang dikelola oleh masyarakat dengan memberikan bantuan berupakan mesin dan peralatan serta bahan baku. Pabrik pakan merupakan industri yang memerlukan penguasaan teknologi yang relatif sulit dikuasai oleh masyarakat pelaku usaha. Pabrik pakan memerlukan keahlian dalam hal permesinan, formula pakan dan penyediaan bahan baku. Disamping hal tersebut sampai saat ini belum ada mesin pakan ikan dengan kualitas baik yang tersedia dipasaran. Mesin-mesin yang ada biasanya dengan kinerja belum optimal. Kebutuhan bahan baku pakan nasional sebagian besar masih berasal dari bahan baku impor, sehingga berdampak pada tingginya harga pakan. Kebutuhan pakan ikan nasional saat ini lebih banyak dipenuhi oleh pakan ikan komersial yang sebagian besar bahan bakunya merupakan impor. Mengatasi hal itu, pemerintah berupaya mendorong penurunan harga pakan dengan memenuhi kebutuhan bahan baku lokal. Indonesia sangat kaya akan bahan baku pengganti tepung ikan, sehingga ketergantungan akan tepung ikan impor harus dikurangi melalui pengoptimalan subtitusi tepung ikan atau bahan baku pakan berbahan baku lokal. Tepung ikan sebagai bahan baku utama pakan ikan di Indonesia sebagain besar berasal dari impor. Tahun 2013 saja impor tepung ikan mencapai 60.200 ton dengan nilai USD74 juta (KKP, 2014). Ada tiga negara besar penyuplai tepung ikan impor ke Indonesia yaitu Chile, Vietnam, dan Tiongkok. 3
Karakteristik pembudidaya benih kebanyakan hanya dilakukan oleh perorangan dan dilakukan dalam skala kecil. Usaha pembudidaya biasanya juga dilakukan hanya sebagai pekerjaan sampingan. Budhiman (2007) menyatakan bahwa pembudidaya ikan air tawar mayoritas merupakan pembudidaya dengan skala usaha kecil dan bersifat individu ataupun berekelompok. Kebanyakan usaha budidaya dilakukan secara tradisional dan dilakukan secara turun temurun dari generasi sebelumnya. Produktivitas benih juga tergantung pada kelengkapan fasilitas yang mereka miliki. Hal ini biasanya hanya dimiliki oleh kelompok dengan jumlah anggota sebanyak 25-60 orang. Hanya sedikit sekali pembudidaya yang mampu menyediakan sendiri fasilitas pendukung dalam usaha pembenihan dikarenakan minimnya modal yang mereka miliki, sehingga seringkali berdampak pada kemampuan pembudidaya dalam memenuhi stok benih secara kontinyu. Pemerintah akan mendorong pembudidaya ikan air tawar ke level pelaku Usaha Mikro dan Kecil Menengah (UMKM)), salah satu upaya yang dilakukan adalah meningkatkan pendapatan pembudidaya dengan menaikkan margin usahanya. Pelaku usaha bisa mempunyai margin yang cukup untuk membayar investasi, biaya produksi, membayar upah karyawan dan bahkan melakukan investasi untuk mengembangkan usahanya. Dampak investasi dapat menjadi multiplier effect, yang pada akhirnya memberikan keuntungan bagi semua pihak yang berkecimpung dalam usaha perikanan budidaya. Untuk menjamin mutu tersebut, pemerintah dituntut untuk berupaya menghasilkan benih yang unggul/bersertifikat. Berdasarkan data Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2014, jumlah unit perbenihan yang bersertifikat sebanyak 320 unit, jumlah pembudidayaan ikan tersertifikasi dan memenuhi standar 8.000 unit. Jumlah tersebut masih harus terus ditingkatkan dengan mempertimbangkan luas wilayah Indonesia yang luas. Usaha pembenihan juga tidak luput dari penggunaan teknologi yang mampu mendorong peningkatan kualitas maupun kuantitas benih. Teknologi pembenihan diarahkan untuk menghasilkan benih yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan, cuaca maupun penyakit. Mantau dkk (2002) menyebutkan bahwa tersedianya teknologi pembenihan oleh petani ikan akan mendorong dihasilkannya benih yang berkualitas dan menjamin kontinuitas pasokan benih sesuai permintaan. Teknologi dalam menghasilkan benih berkualitas banyak dikaji oleh peneliti diantaranya melalui penggunaan rumah pemijahan dan happa untuk menghasilkan serta penggunaan pakan larva yang berkualitas (Mantau, 2002), pengaturan lalu litas plasma nutfah ikan, pengembangan perikanan berbasis masyarakat melalui pembinaan kelembagaan kelompok pembudidaya (Sukadi, 2004). 4
Peningkatan produksi yang tinggi harus dapat ditunjang dengan ketersediaan benih yang berkualitas dan pakan mandiri yang memenuhi standar. Kecukupan dan ketersedian dua input utama tersebut mempunyai aspek strategis secara nasional karena akan mendukung kebijakan pemerintah dalam kedaulatan, yaitu kemandirian pakan ikan. Ketersediaan benih yang berkualitas merupakan faktor utama dalam menunjang peningkatan jumlah produksi perikanan budidaya di Indonesia. Ketersediaan benih yang cukup dalam hal kuantitas dan kualitas selain memberikan output hasil produksi yang maksimal juga diharapkan memberikan efisiensi biaya produksi dalam budidaya ikan. Investasi perbenihan dan pakan mandiri menghadapi ketidakpastian yang tinggi sehingga menimbulkan resiko usaha yang tinggi. Ketidakpastian tersebut terkait dengan harga input (bahan baku), harga output dan produksi. Model yang dikembangkan akan menerapkan resiko yang dihadapi oleh para pelaku usaha. Dalam model dikembangkan dengan memasukan unsur resiko harga input, harga output dan resiko output. Tujuan memasukkan unsur resiko adalah agar pelaku usaha bisa memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan resiko yang dihadapi. Adanya unsur resiko dalam perhitungan model investasi ini diharapkan mampu memberikan jalan bagi para pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya. Dalam analisis dengan memasukkan unsur resiko kemudian dilakukan anlisis kepekaan model tehadap resiko-resiko yang mungkin terjadi. Hasil penelitian tentang model kebijakan investasi perbenihan dan pakan mandiri merupakan salah satu kunci untuk peningkatan produksi perikanan budidaya dan sekaligus sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan dalam bidang kedaulatan pakan. Penelitian Model Investasi Program Penyediaan Benih dan Pakan Mandiri dilaksanakan dalam rangka menunjang Program Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), khususnya Direktorat Perbenihan dan Direktorat Pakan. Melihat kemampuan dan keragaman permaslaahan yang dihadapi, salah satu model pengembangan pabrik pakan secara mandiri dapat didekati dengan model kluster (Wardono et al, 2015) dalam model tersebut dihasilkan dari kegiatan riset aksi KIMBis di Kabupaten Gunungkidul tahun 2012-2015. Model Kluster dilakukan dengan adanya spesialisasi masingmasing sub kegiatan yaitu spesialisi penyedia bahan baku, spesialisasi produksi dan formula, spesialisasi pengguna/pemanfaat, spesialisasi workshop/perbengkelan.Model pengembangan pakan ikan mandiri dengan pendekatan KLUSTER dalam kawasan tententu melibatkan berbagai subsistem dengan spesialisasi dalam proses produksi pakan. Spesialisasi tersebut meliputi subsistem penyedia bahan baku pakan; sub sistem formulator dan produksi pakan (untuk induk, benih dan pembesaran) yang memenuhi SNI, subsistem pemasaran, subsistem 5
workshop dan perbengkelan dan sub sistem jejaring usaha. Spesialisasi menciptakan inovasi baru pada setiap subsistem, sehingga subsistem-subsistem tersebut lebih efektif dan efisien. Spesialisasi ini mampu menghindarkan terjadinya persaingan antar para pelaku usaha, karena setiap subsistem mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Pengembangan pabrik ikan mandiri berdasarkan potensi sumberdaya lokal mampu meningkatkan perekonomian masyarakat, khususnya subsektor perikanan budidaya. Pengembangan pakan ikan mandiri mampu mensinergikan antar sub sistem perikanan budidaya dari hulu ke hilir (perbenihan, pembesaran, pemasaran, pasca panen dan kuliner). Pakan ikan mandiri mampu meningkatkan nilai tambah usaha perikanan budidaya sekaligus sebagai sumber multiplier effect baik ke hulu dan ke hilir. Beberapa strategi yang dilakukan untuk memperkuat peranan kelembagaan pakan ikan mandiri antara lain Program Pengembangan SDM kelompok sasaran, Program Pengembangan Kelembagaan Kelompok, dengan Pembentukan Koperasi Perikanan sebagai wadah usaha masyarakat perikanan, kerjasama dengan pemda dan pihak swasta dan pelaku usaha, Pengembangan Usaha Produktif, dan Penyediaan Informasi tentang IPTEK yang tepat guna. Pendekatan strategi diatas dapat mendorong terwujudnya kemandirian pakan yang dapat mendorong peningkatan usaha perikanan budidaya yang kompetitif, menguntungkan dan mampu menjadi penggerak perekonomian lokal/wilayah.
1.2.
Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan permasalahaan, penelitian ini bertujuan : a. Mengkaji profil/kinerja usaha perbenihan dan pakan mandiri b. Mencari faktor internal dan eksternal pada usaha pembenihan ikan dan pakan mandiri c. Mencari/menghitung NPV-Resiko dan perilaku usaha dengan simulasi monte carlo pada usaha pembenihan dan pakan ikan mandiri d. Membuat model bisnis investasi pengembangan usaha perbenihan ikan dan pakan mandiri
1.3.
Keluaran
a. Profil klasifikasi dan kebutuhan investasi usaha perbenihan dan pakan mandiri b. Strategi-strategi berdasarkan hasil SWOT analisis c.
Kelayakan inevstasi dengan penerapan NPV at risk pada perbenihan ikan dan pakan ikan mandiri sebagai indikator pengambilan keputusan investasi 6
d. Model bisnis usaha perbenihan dan pakan ikan mandiri
7
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Status Perikanan Indonesia
Potensi luas areal budidaya air tawar saat ini tercatat 2.830.540 Ha, termasuk potensi
di perairan umum daratan (sungai dan danau), dengan tingkat pemanfaatan 302.130 Ha (10,7%) (KKP, 2015). Kecilnya pemanfaatan potensi budidaya air tawar disebabkan karena belum terkelolanya secara optimal potensi tersebut akibat tumpang tindihnya pemanfaatan potensi lahan budidaya air tawar, serta belum terbukanya secara mudah akses menuju kawasan potensil budidaya air tawar tersebut. Perikanan budidaya selama 5 tahun terakhir tumbuh lebih dari 20 % per tahun (KKP, 2015). Jika melihat data capaian volume produksi berdasarkan komoditas, produksi rumput laut masih mendominasi produksi perikanan budidaya secara keseluruhan yaitu 70,47%, sedangkan ikan hanya 25,44%, dan udang 4,07% (total produksi perikanan budidaya diluar rumput laut sebesar 4,286 juta ton). Hasil produksi budidaya ikan didominasi produksi budaya air tawar dibandingkan budidaya air laut yaitu sebesar 2.521.156,56 ton atau 68,24%. Tingginya pertumbuhan produksi perikanan harus didukung oleh ketersediaan input yang mencukupi dari segi jumlah dan kualitias. Perkembangan produksi perikanan budidaya Indonesia tahun 2009-2014 seperti pada Tabel 1.
Pemerintah telah menetapkan target
produksi yang akan dicapai pada tahun 2019, sehingga diperlukan strategi kebijakan untuk mendukung tercapainya target produksi tersebut. Peningkatan produksi ikan secara nasional yang sangat tinggi harus diimbangi pemenuhan input utama berupa benih dan pakan ikan. Input utama usaha budidaya adalah benih dan pakan. Tabel 1. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Perkembangan Produksi Perikanan Nasional 2009-2014
Jenis Rumput laut Udang Kerapu Kakap Bandeng Ikan Mas Nila Lele Patin Gurame Lainnya Total produksi ikan + Rumput laut Total produksi ikan
2009 2.963.556 33.806 5.073 64 328.288 249.279 323.389 144.755 109.685 46.254 193.826
2010 3.915.017 380.972 10.398 5.738 421.757 282.695 464.191 242.811 147.888 56.889 349.568
2011 5.170.201 400.385 1.058 5.236 467.449 332.206 567.078 337.577 229.267 64.252 344.731
2012 6.514.854 415.703 1.195 6.198 518.939 374.366 695.063 441.217 347 84.681 26.558
2013 9.298.474 645.955 18.864 6.735 627.333 412.703 914.778 543.774 410.883 94.605 326.801
2014 10.234.357 592.219 1.243 4.439 621.393 48.411 912.613 61.312 403.133 10.818 535.355
4.708.565
6.277.924
7.928.962
9.675.551
13.300.905
14.521.349
1.745.009
2.362.907
2.758.761
3.160.697
4.002.431
4.286.992
Sumber: KKP, 2015 8
Kedua input tersebut menjadi berkontribusi terhadap biaya produksi 60-80% dari total biaya. Naylor et al, 2001 merekomendasikan pengembangan perikanan budidaya melalui empat hal yaitu: a) mendorong budidaya kea arah spesiaes yang lebih rendah konsumsi pakan seperti ikan dengan diet herbivora atau omnivora, b). meningkatkan manajemen pakan dan efisiensi dalam sistem perikanan budidaya dan mengembangkan pengganti bahan pakan yang bersumber dari ikan, c). mengembangkan sistem budidaya ikan terpadu yang menggunakan beberapa spesies untuk mengurangi biaya dan limbah sekaligus meningkatkan produktifitas dan d). mempromosikan praktek budidaya yang ramah lingkungan dan pengelolaan sumber daya.
2.2.
Pakan Ikan
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kini fokus untuk terus menurunkan harga
pakan yang beredar di pasaran. Salah satunya, dengan meningkatkan produksi pakan mandiri yang dilakukan masyarakat. Peningkatan produksi pakan mandiri diharapkan
mampu
mengurangi ketergantungan terhadap produksi pakan industri. Kebutuhan pakan nasional saat ini masih bergantung pada produksi pakan ikan industri. Harga pakan yang masih tinggi, menyebabkan biaya produksi perikanan budidaya menjadi lebih mahal, dimana sekitar 70 persen biaya produksi budidaya dihabiskan untuk pakan. Upaya peningkatan produksi pakan mandiri diharapkan mampu mengurangi biaya produksi pakan. Penurunan share pakan mandiri sebesar 20 persen dari 70 persen biaya pakan, akan memberikan dampak yang cukup besar. Usaha peningkatan pakan mandiri dilakukan dnegan mendorong daerah untuk melakukan inovasi dengan potensi alam
tersedia.
Pemanfaatan pakan mandiri difokuskan untuk budidaya ikan air tawar, karena saat ini konsumsi pakan untuk budidaya di air tawar masih lebih banyak. Kebutuhan pakan ikan untuk budidaya ikan di air tawar mencapa 200 ribu ton per tahun. Pengembangan pakan ikan mandari saat ini masih ada tiga masalah yang jadi penghambat yaitu: (1) masih belum adanya hasil identifikasi oleh akademisi terkait bahan baku yang bisa dimanfaatkan untuk menjadi pakan mandiri. (2) jikapun sudah bisa teridentifikasi, masih belum diketahui bagaimana pasokan bahan baku tersebut untuk produksi pakan mandiri. (3) problem mekanisasi, tidak mungkin mengolah bahan baku dengan tangan, diperlukan bantuan mesin untuk pengolahannya secara masif. 9
Kemandirian pakan ikan mandiri bisa mendorong ketahanan industri perikanan budidaya nasional. Hal itu, karena pakan mandiri ini dari segi harga bisa lebih murah dari harga pakan ikan industri komersial. Dukungan pemerintah yang cukup masif, diharapkan Pakan mandiri bisa berkembang dan secara bertahap dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku pakan.
2.3.
Bahan Baku Pakan
Indonesia memiliki sumberdaya alam yang sangat mendukung untuk pengembangan
pakan ikan mandiri guna mengurangi ketergantungan akan pakan pabrikan yang sangat bergantung kepada bahan baku impor, dalam hal ini tepung ikan. Data produksi pakan pellet mandiri saat ini tercatat 35.000 ton dari 1,3 juta ton (2,7%) dari keseluruhan pakan ikan yang digunakan untuk produksi 2,6 juta ton ikan air tawar (KKP, 2015). Diprediksi pada tahun 2019, dengan target produksi ikan air tawar 6,5 juta ton, sehingga dihasilkan limbah untuk menghasilkan pakan sebanyak 592 ribu ton pakan pellet mandiri dari 5,92 juta ton (10%) dari total keseluruhan kebutuhan pakan. Beberapa bahan tepung pakan yang dapat digunakan sebagai pengganti tepung ikan impor antara lain (a) Tepung maggot (ulat lalat hitam/black soldier) menggunakan media PKM (palm kernel meal) dari kebun sawit, (b) Daging kerang hijau, (c) Ikan rucah atau ikan sisa olahan, (d) Ikan pemakan plankton yang nilai ekonominyaa rendah di masyarakat, (e) Bahan fermentasi berbagai tumbuhan serta (f) Cacing lumbricus dengan media sampah organik. Kebutuahan bahan baku pakan ikan sebagain besar dipenuhi dari tepung ikan dan bungkil kedelai sebagai sumber protein utama. Saat ini produsen utama tepung ikan adalah Peru dan Chili (Gambar 1). Indonesia selama ini menggantungkan kebutuhan bahan baku tepung ikan dari impor.
10
Gambar 1.
Produsen utama tepung ikan di Dunia
Sumber: Harga tepung ikan dan tepung kedelai sebagai bahan baku utama pakan mengalami kenikan dari tahun ke tahun (Gambar 2). Kenaikan bahan baku akan mendorong kenaikan harga pakan, karena sebagian besar tepung ikan berasal dari impor. Kebutuhan bahan baku dan harga yang semakin meningkat mengakibatkan harga pakan komersial dalam negeri semakin naik.
Sumber: Oilworld Blomberg, 2015 Gambar 2. Perkembangan harga tepung ikan dan tepung kedelai di pasar Internaisonal tahun 2007-2015 11
Secara nasional menurut Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) kebutuhan pakan ikan untuk budidaya dari tahun 2009-2015 selalu meningkat (Gambar 3). Untuk mengantisipasi kebutuahan pakan ikan maka perlu peningkatan kemandirian pakan ikan dengan memanfaatkan bahan baku dalam negeri.
Gambar 3.
Kebutuhan Pakan Ikan Nasional tahun 2009-2015
Sumber: GPMT Hasil kajian Badan Koordinasi Penanaman Modal Sumatera Barat dengan Universitas Andalas, pendirian pabrik pakan ikan layak untuk dibangun di Sumatera Barat dengan memperhatikan ketersediaan bahan baku dan potensi permintaan. Kabupaten Agam sebagai lokasi pabrik. Didukung oleh RTRW Kabupaten Agam yang telah menetapkan beberapa kecamatan sebagai daerah untuk pengembangan industri besar. Pabrik pakan dari aspek finansial nilai IRR sebesar 27%. Nilai ini lebih besar dibandingkan tingkat bunga diskonto yang diasumsikan sebesar 8%. Artinya, secara finansial pun pendirian pabrik pakan ikan dapat dikatakan layak di Sumatera Barat.
2.4.
Kebijakan dan Desain Gerakan Pakan Mandiri (GERPARI)
Target produksi perikanan budidaya tahun 2015 sebesar 17,9 juta ton. Sedangkan
empat tahun ke depan, yakni pada 2019, produksi perikanan budidaya ditargetkan mencapai 31,32 juta ton. Rinciannya: 9,15 juta ton (29,22 %) berasal dari ikan/udang dan 70,78 % berasal dari rumput laut (KKP, 2016). Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) akan 12
mendorong penerapan total akuakultur yaitu penerapan teknologi di semua rantai nilai produksi budidaya mulai hulu sampai hilir, seperti benih, induk, pakan, sarana dan prasarana, dan lain-lain. Upaya mengurangi ketergantungan terhadap pakan komersial yang semakin mahal, pemerintah menggulirkan program Gerakan pakan mandiri (GERPARI). Gerpari bertujuan untuk membantu pembudidaya ikan bisa bangkit dan bersaing dalam pengembangan usaha. Gerpari penekananya pada budidaya ikan air tawar seperti budidaya nila, ikan mas, lele, patin dan lain-lainya. Program GERPARI berupaya mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku pakan impor, dengan lebih memanfaatkan bahan baku lokal. Pemerintah melalui DJPB akan mendorong pembentukan Kelompok Pakan Mandiri. Gerpari diharapkan mampu menekan ketergantungan terhadap pakan komersial, dimana biaya pakan merupakan biaya yang terbesar. Kegiatan gerakan pakan ikan mandiri berbasis pada kelompok pembudidaya ikan, khususnya Pokdakan untuk budidaya air tawar. Melalui kelompok tersendiri maka pembinaan akan lebih fokus sehingga menghasilkan produk pakan yang berkualitas. Kelompok Pakan Mandiri nantinya bisa dibagi dalam beberapa zona seperti Zona I untuk sentra sumber bahan baku pakan, Zona II untuk produksi pakan mandiri dan Zona III untuk penyimpanan. Penggunaan bahan baku lokal juga diharapkan mendorong perusahaan pakan ikan untuk mengurangi pemakaian bahan baku impor. Bahan impor akan menyebabkan harga pakan mahal, sehingga memberatkan pembudidaya. GERPARI muncul sebagai solusi, pengelola pakan mandiri adalah kelompok-kelompok pakan di luar pembudidaya, sehingga diharapkan akan muncul lapangan kerja baru di sentra-sentra perikanan budidaya. Efeknya bagi perekonomian daerah akan cukup besar. Penggunaan bahan lokal untuk memproduksi pakan diharapkan akan meningkatkan keuntungan dan kesejahteraan pembudidaya ikan. Melalui GERPARI akan akan menekan penggunaan pakan komersial hingga di bawah 60 %, sehingga pembudidaya dapat melakukan usahanya dengan lebih optimal dan menguntungkan. Bahan baku pakan ikan dapat berasal dari nabati maupun hewani. Bahan nabati antara lain: jagung, dedak halus, bungkil kacang tanah, sawit dan jagung, dan eceng gondok. Bahan hewani antara lain: tepung ikan, tepung darah ternak. Ketersediaan bahan baku lokal yang memenuhi kebutuhan industri pakan ikan komersial masih sangat terbatas, hal tersebut mendorong produsen pakan mengimpor bahan baku pakan. Total impor bahan baku pakan selama tahun 2014 mencapai 276.950 ton dengan nilai US$ 196.734.000. Faktor lain penyebab tingginya harga pakan adalah belum adanya industri pakan pada sentra-sentra perikanan budidaya. Sehingga pakan harus didatangkan dari daerah lain yang 13
menyebabkan tingginya biaya transportasi. Pemerintah mendorong pembuatan pakan ikan secara mandiri melalui program GERPARI. Kebijakan untuk mendorong pembuatan pakan ikan secara mandiri mempunyai kelebihan antara lain dengan kekayaan hasil alam dan limbah industri di Indonesia, banyak bahan yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ikan. Kelebihan lainnya kemandirian pembudidaya akan meningkat karena tidak lagi tergantung pada pakan pabrikan. Keunggulan utama yaitu dapat menekan biaya produksi karena pembudidaya dapat mengatur bahan baku yang digunakan sesuai ketersediaan serta harga yang berlaku di daerahnya. Beberapa kelemahan dan tantangan yang sering ditemukan antara lain : terbatasnya pengetahuan pembudidaya mengenai teknologi produksi pakan mandiri, rendahnya kuantitas, kualitas serta kontinuitas bahan baku lokal alternatif yang digunakan, tidak tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan, serta efisiensi produksi yang berimplikasi pada efisiensi biaya produksi serta rendahnya kualitas pakan yang dihasilkan. Pakan ikan mandiri diarahkan untuk memanfaatkan berbagai alternatif bahan baku lokal yang tersedia di sekitar pembudidaya. Bahan baku yang tersedia melimpah sepanjang waktu akan mampu menjaga stabilitas pasokan dan harga murah, sehingga menekan biaya. Pertimbangan lainnya adalah tidak bersaing dengan bahan pangan bagi manusia sehingga membahayakan ketahanan pangan masyarakat sekitar, serta bukan bahan baku atau dimanfaatkan industri atau sektor lain, misalnya bahan baku pakan ternak. Bahan baku lokal dapat berasal dari nabati maupun hewani. Bahan baku nabati antara lain : jagung, dedak halus, bungkil kacang tanah, minyak nabati (kelapa sawit dan jagung), hijauan ( azola, turi, lamtoro, talas, singkong, kacang dan eceng gondok. Sedangkan bahan baku hewani antara lain tepung ikan (berasal dari ikan rucah atau limbah industri pengolahan ikan), tepung darah (berasal dari limbah pemotongan hewan dengan kandungan protein kasar yang tinggi, namun miskin isoleusin, kalsium dan fosfor; pemakaian maksimum 5%), tepung keong mas, kadar protein sekitar 57,58% dengan kandungan asam amino tinggi dan merupakan laternatif terbaik pengganti tepung ikan, protein sel tunggal (algae) mempunyai kandungan protein 30-80% sehingga dapat dijadikan alternatif pengganti sumber protein tepung ikan. Saat ini beberapa alternatif bahan baku lokal masih dalam taraf pengembangan antara lain : magot atau larva dari serangga yang dapat diproduksi alternatif yang digunakan, tidak tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan, serta efisiensi produksi yang berimplikasi pada efisiensi biaya produksi serta rendahnya kualitas pakan yang dihasilkan.
Melihat
besarnya kebutuhan pakan ikan dan mahalnya harga pakan ikan pabrikan membuat usaha 14
pembuatan pakan ikan mandiri skala industri rumahan (home industry) dinilai cukup menjanjikan dan dijadikan sebagai solusi para pembudidaya untuk mengurangi biaya pakan yang sangat tinggi. Pembudidaya ikan dapat mengembangkan pembuatan pakan ikan mandiri menjadi usaha kelompok maupun komersial, dengan memperhatikan peraturan Peredaran Pakan Ikan dari Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Usaha pakan skala industri rumahan cukup prospektif, selama mampu menjamin ketersediaan.
2.5.
Perbenihan
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memacu pengembangan sistem
perbenihan melalui pemberlakuan jaminan mutu terhadap semua fungsi sistem perbenihan perikanan. Langkah yang ditempuh penerapan teknologi dan prasarana produksi yang modern, penggunaan induk unggul dan pakan berkualitas. Sementara regulasi dan iklim usaha yang terkait dengan sistem perbenihan disederhanakan untuk mendukung terciptanya benih unggul nasional. Industrialisasi perbenihan nasional merupakan salah satu komponen dan kunci utama dalam pencapaian target pembangunan perikanan Indonesia. Benih sebagai salah satu sarana produksi utama berperan penting dan strategis sebagai penentu produktifitas dan kualitas hasil perikanan. Dalam beberapa tahun kedepan kebutuhan benih akan selalu meningkat, maka pemerintah telah melakukan beberapa upaya antara lain pengembangan Broodstock Centre untuk pengembangan induk unggul, menggalakkan penggunaan induk unggul, mendorong peningkatan kemampuan Unit Pembenihan Rakyat (UPR) maupun Harchery skala rumah tangga, sertifikasi cara pembenihan yang baik (CPIB), penerapan standarisasi, pelayanan informasi dan pendataan perbenihan secara akurat dan relevan, pengembangan unit penedederan/pentokolan benih/benur di kawasan budidaya, peningkatan kinerja unit pembenihan pemerintah dan swasta, serta pendistribusian induk dan benih unggul. Dalam upaya mengatasi sistem pendistribusian pemerintah telah melakukan pemetakan sentra produksi benih. Pemetaan dilakukan untuk berbagai komoditas utama. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya peningkatan perbenihan nasional melalui revitalisasi dan industrialisasi. Ketersediaan benih tidak hanya mempertimbangkan aspek kuantitas, namun juga kualitas. Untuk memenuhi standar benih yang berkualitas, diperlukan sertifikasi yang dapat 15
menjamin mutu benih yang dihasilkan. Usaha pembenihan masih banyak dilakukan secara perorangan, usaha pembenihan ikan merupakan usaha yang feasible dengan R/C ratio lebih dari 2 yang menunjukkan bahwa usaha pembenihan merupakan usaha yang menguntungkan (Lutfiyah, Karyadi dan Suratiningsih, 2012). Untuk mendorong ketersediaan benih berkualitas, hal yang penting untuk dilakukan adalah mewujudkan kemandirian masing-masing wilayah di Indonesia untuk menghasilkan induk dan benih unggul sehingga tidak memilki ketergantungan penyediaan stok benih dan indukan dari daerah lain. Peningkatan kualitas benih dapat dilakukan melalui pemilihan strain, seleksi, hybridisasi/persilangan, dan atau pemijahan strain yang tidak sedarah untuk menghindari inbreeding (Tave (1993); Piper et at (1982) dan Dunham (2004) dalam Kristanto 2007). Sementara itu, Kristanto (2007) menambahkan bahwa penyediaan benih bermutu dilakukan dengan memperhatikan beberapa factor yaitu 1) cara pemijahan,2) pendederan,3 ) pembesaran (monokultur, polikultur, akuaponik), 4) manajemen pakan, 5) penyakit
(infeksius, non-infeksius) maupun pengendalian penyakit (pendekatan inang,
pendekatan lingkungan, dan pendekatan patogenitas).
2.6.
Kelayakan Usaha Pembenihan dan Pakan Mandiri
Menurut Gittinger (1986), secara umum aspek – aspek yang diteliti dalam studi
kelayakan meliputi aspek teknis, aspek institusional-organisasi-manajerial, aspek pasar, aspek finansial, aspek sosial, dan aspek ekonomi. Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), aspekaspek yang diteliti dalam studi kelayakan terdiri dari aspek pasar, aspek teknis, aspek finansial, aspek manajemen, aspek hukum, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Penelitian ini akan mengkaji mengenai aspek finansial. Studi aspek keuangan bertujuan untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan, dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan, seperti keterbatasan dana, biaya modal, kemampuan untuk membayar kembali dana tersebut dalam waktu yang telah ditentukan dan menilai apakah usaha akan dapat terus berkembang (Umar 2005). Kriteria investasi yang digunakan yaitu net present value (NPV), internal rate of return (IRR), net benefit/cost ratio (Net B/C), payback period (PP). Net present value (NPV) adalah selisih antara present value dari investasi dengan nilai sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih (aliran kas operasional maupun aliran kas terminal) di masa yang akan datang. Untuk menghitung nilai sekarang perlu ditentukan 16
tingkat bunga yang relevan (Umar 2005). Salah satu keunggulan dari penggunaan NPV ialah arus kas yang didasarkan pada konsep nilai waktu (time value of money). Penilaian pada suatu usaha, apabila NPV sebesar nol menyiratkan bahwa arus kas usaha sudah mencukupi untuk membayar kembali modal yang diinvestasikan dan memberikan tingkat pengembalian yang diperlukan atas modal tersebut. Jika nilai NPV kurang dari nol maka arus kas tidak mencukupi untuk membayar kembali modal yang diinvestasikan sehingga usaha tersebut di tolak. Namun, apabila usaha memiliki NPV positif maka usaha tersebut menghasilkan lebih banyak kas dari yang dibutuhkan untuk menutup utang dan memberikan pengembalian yang diperlukan kepada pemegang saham perusahaan. Oleh karena itu, sebaiknya perusahaan mengambil usaha/bisnis yang memiliki NPV positif. Semakin besar nilai NPV maka semakin baik kegiatan tersebut dilakukan. NPV at risk merupakan salah satu kriteria dalam pengambilan keputusan investasi dari sisi finansial. NPV at risk digunakan untuk menentukan kriteria investasi dengan melibatkan unsur ketidakpastian dan resiko yang mempengaruhi cash flow dari inevstasi. Selanjutnya untuk mengetahui sejauh mana pengaruh perubahan komponen manfaat dan biaya dari investasi dilakukan analisis swithing value dan analisis sensitifitas. Internal rate of return (IRR) adalah suatu metode yang digunakan untuk mencari tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan di masa datang, atau penerimaan kas, dengan mengeluarkan investasi awal (Umar, 2005). IRR digunakan untuk membuat peringkat usulan investasi dengan menggunakan tingkat pengembalian atas investasi yang dihitung dengan mencari tingkat diskonto yang menyamakan nilai sekarang dari arus kas masuk proyek yang diharapkan terhadap nilai sekarang biaya proyek atau sama dengan tingkat diskonto yang membuat NPV sama dengan nol (Sumastuti 2009). Net benefit cost ratio (Net B/C) adalah penilaian yang dilakukan untuk melihat tingkat efisiensi penggunaan biaya berupa perbandingan jumlah nilai bersih sekarang yang positif dengan jumlah nilai bersih sekarang yang negatif. Nilai Net B/C menunjukkan besarnya tingkat
tambahan
manfaat
pada
setiap
tambahan
biaya
sebesar
satu
rupiah
(Husnan&Suwarsono 2000). Jika nilai Net B/C menunjukkan lebih besar dari satu maka gagasan usaha atau proyek layak untuk dijalankan. Namun, jika Net B/C menunjukkan angka kurang dari satu maka gagasan usaha atau proyek tidak layak dilakukan karena tidak memberikan keuntungan dari kegiatan yang dilaksanakan. Nilai Net B/C sama dengan satu berarti cash in flows sama dengan cash out flows, maka gagasan usaha tidak memiliki keuntungan maupun kerugian, dalam present value disebut dengan break even point (BEP) (Ibrahim 2003). 17
Payback period (PP) adalah suatu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi (initial cash investment) dengan menggunakan aliran kas. Dengan kata lain, PP merupakan rasio antara initial cash investment dengan cash inflow yang hasilnya merupakan satuan waktu. Selanjutnya nilai rasio ini dibandingkan dengan maximum payback period yang dapat diterima (Umar 2005). Apabila PP lebih pendek waktunya dari maximum payback period maka usulan investasi dapat diterima. Apabila PP melebihi maximum payback period maka proyek tersebut ditolak. Kelemahan PP ialah tidak memperhatikan konsep nilai waktu dari uang dan juga tidak memperhatikan aliran kas masuk setelah payback. Analisis sensitivitas (switching value) bertujuan untuk melihat apa yang akan terjadi dengan hasil analisis usaha jika ada suatu kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya/benefit (Kadariah 1999). Analisis sensitivitas memaksa manajer bisnis untuk menghasilkan sebanyak mungkin variabel yang belum diketahui dan mengungkapkan taksiran yang menyesatkan atau tidak tepat (Umar 2005). Setiap kemungkinan yang terjadi harus di analisis kembali dan dilihat pengaruhnya terhadap usaha. Pada bidang pertanian, proyek-proyek sensitif berubah-ubah akibat empat masalah utama, yaitu harga, keterlambatan pelaksanaan, kenaikan biaya, dan hasil (Gittinger 1986). Analisis switching value merupakan perhitungan untuk mengukur sensitivitas perubahan maksimum yang dapat menyebabkan usaha masih layak untuk dijalankan. Perubahan ini mengacu kepada berapa besar perubahan terjadi sampai dengan nilai NPV sama dengan nol, IRR sama dengan discount rate, Net B/C sama dengan satu. Kelayakan berdasarkan NPV standard belum mempertimabangkan resiko yang dihadapi oleh pelaku usaha. Memperhitungkan resiko dalam analisis merupakan hal utama yang harus dimasukkan atau diperhitungkan dalam analisis usaha. Resiko merupakan bagian yang harus dikelola sehingga pengaruhnya bisa diminimalkan. Dalam analisis ini akan dilakukan analisi resiko NPV risk pada usaha pakan dan usaha perbenihan. Analisis ini dilakukan agar diketahui macam-macam resiko yang dihadapi dan bagaimana mengelola resiko tersebut.
2.6.1. Analisis Kelayakan Usaha Pembenihan Pengembangan usaha perikanan budidaya bergantung pada berbagai faktor salah satunya adalah tersedianya induk dan benih bermutu. Induk dan benih bermutu merupakan salah satu sarana produksi yang mutlak dipenuhi untuk menentukan keberhasilan usaha budidaya. Permintaan benih ikan yang tinggi menyebabkan munculnya peluang usaha bagi 18
pembenihan ikan yang selama ini masih didominasi oleh produsen benih skala besar. Hal ini disebabkan ketersediaan benih ikan yang masih terbatas, karena selama ini produksi benih ikan belum banyak dikuasai oleh para petani mengingat dalam kegiatan produksi harus membutuhkan keterampilan dan alat bantu tersendiri. Berdasarkan uraian tersebut diatas usaha pembenihan ikan dianggap sebagai salah satu usaha yang prospektif dan layak untuk dikaji lebih lanjut. Beberapa penelitian sebelumya terkait dengan analisis kelayakan usaha pembenihan ikan telah dilakukan dengan metode pemilihan lokasi penelitian analisis kelayakan yang dilakukan oleh Athemalem (2001), Dwirosyadha (2008), Bukit (2007), Rahmawati (2011) dan Armayuni (2011) adalah secara sengaja (purposive). Semua peneliti tersebut menganalisis kelayakan usaha pembenihan ikan patin. Segmentasi ukuran benih patin yang diteliti dari ke lima peneliti tersebut berbeda-beda, tetapi ke empatnya menganalisis investasi usaha pembenihan patin dengan menggunakan data primer dan sekunder. Metode analisis finansial biasanya menggunakan kriteria investasi. Penelitian sebelumnya juga menunjukan variabel yang digunakan dalam analisis finansial seperti: Net Present Value (NPV), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), Internal Rate of Return (IRR), dan Payback Period (PP), hal tersebut sesuai dengan penelitian Dwirosyadha (2008), Bukit (2007), Rahmawati (2011) dan Armayuni (2011). Hasil penelitian analisis finansial ada juga yang menggunakan variabel Break Event Point, seperti yang dilakukan oleh Athemalem (2001) dan Rahmawati (2011) dan Witoko et al (2013) . Dari ke lima penelitian yang sudah dipaparkan diatas, walaupun dengan segmen usaha dan permasalahan yang berbeda cenderung menunjukan hasil yang menyatakan usaha pembenihan ikan patin layak untuk dijalankan.
2.6.2. Analisis Kelayakan Usaha Pakan Mandiri Berkembangnya perikanan air tawar perlu didukung oleh tersedianya bahan baku pakan ikan yang dijual secara komersial, atau biasa disebut dengan pellet, yang memadai. Lebih dari separuh biaya yang dikeluarkan bagi produksi ikan air tawar adalah berupa pengadaan pellet. Tingginya kebutuhan pellet telah mengakibatkan terjadinya asymmetric price, yaitu mudahnya harga pellet naik namun sulit untuk turun. Dalam rangka efisiensi biaya produksi budidaya perikanan yang merupakan faktor terbesarnya adalah berasal dari komponen penggunaan pakan sehingga Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya telah menetapkan kebijakan Gerakan Pakan Mandiri (GERPARI) yaitu gerakan pakan ikan mandiri yang menggunakan bahan baku lokal. Untuk itu diperlukan 19
adanya pengembangan pakan mandiri yang dilakukan oleh Kelompok Pembuat Pakan Ikan Mandiri/Pokdakan. Kegiatan tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat sebesarbesarnya kepada pembudidaya ikan dengan tersedianya pakan untuk pembudidaya ikan khususnya air tawar dengan jumlah dan harga yang memadai. Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Nomor : 67/PER-DJPB/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Pakan Ikan tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Pakan Ikan Mandiri Tahun 2015, kegiatan ini ditujukan kepada Kelompok Pembuat Pakan Ikan Mandiri/Pokdakan melalui fasilitasi bantuan bahan baku pakan Ikan. Bantuan tersebut sebagai stimulasi usaha yang dimanfaatkan sesuai RDKK melalui swakelola dan menjadi tanggung jawab sepenuhnya oleh
Kelompok Pembuat Pakan Ikan
Mandiri/Pokdakan dibawah bimbingan dan pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota. Pemanfaatan mesin pembuat pakan ikan oleh Kelompok Pembuat Pakan Ikan Mandiri/Pokdakan pada umumnya belum dapat memanfaatkan secara optimal dikarenakan oleh keterbatasan kemampuan SDM, ketersediaan bahan baku, teknologi, produksi pakan ikan mandiri yang belum maksimal. Menurut Agustina (2009), menunjukka pada sektor peternakan pangsa pakan terhadap total biaya produksi mencapai 70%, sementara itu biaya bahan baku mencapai 85-90% dari total pakan. Sedangkan pangsa biaya lainnya seperti DOC (bibit) hanya mencapai 13%. Di sisi lain, 83% produksi pakan dialokasikan untuk unggas, 7% untuk budidaya ikan, 6% untuk babi, 1% untuk pakan ternak lainnya. Dengan demikian, tingginya pangsa pakan terhadap biaya produksi pada usaha ternak di Indonesia mengindikasikan bahwa produk pakan memiliki prospek yang menjanjikan selaras dengan berkembangnya industri pakan sebagai pendukung dari pembangunan dalam dunia peternakan. Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan bahwa struktur pasar dari industri pakan ternak di Indonesia merupakan oligopoli longgar dimana penggabungan empat perusahaan terbesar memiliki pangsa pasar rata-rata sebesar 41,33 persen. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan nilai rata-rata Minimum Efficiency Scale industri pakan ternak Indonesia pada tahun 1981-2005 yaitu sebesar 16,61 persen yang berarti hambatan untuk masuk pasar termasuk tinggi. Dengan market share tersebut, maka perusahaan sudah memiliki market power atau sudah mampu mempengaruhi pasar pakan ternak di Indonesia.
20
2.7.
Sumber Pembiayaan Usaha Kecil Menengah
Pembiayaan adalah salah satu jasa pokok perbankan yang berupa pemberian fasilitas
penyediaan modal bagi pemenuhan kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Pembiayaan menurut sifat penggunaanya dibagi menjadi pembiayaan produktif dan pembiayaan konsumtif. Pembiayaan produktif ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, penigkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi. Pembiayaan konsumtif digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif sehingga akan abis (Antonio, 1999). Menurut Antonio (1999), pembiayaan produktif menurut keperluannya dibedakan atas pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi. Pembiayaan modal kerja dimaksudkan untuk meningkatkan produki secara kuantitatif (jumlah dan hasil produksi) dan kualitatif (peningkatan kualitas produksi) serta untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place suatu barang. Pembiayaan ini merupakan salah satu atau kombinasi dari pembiayaan likuiditas, pembiayaan piutang dan pembiayaan persediaan. Pembiayaan investasi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan barang modal serta fasilitas lainnya, misalnya rehabilitasi, perluasan usaha ataupun pendirian proyek baru. Suyatno et al (1991) menyatakan bahwa sumber-sumber pembiayaan dapat diperoleh dari lembaga keuangan. Lembaga keuangan berdasarkan Undang-Undang Pokok Perbankan No.14 Tahun 1976 terbagi atas lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non Bank. Lembaga keuangan bank meliputi Bank Indonesia serta Bank umum dan bank perkreditan rakyat yang menerapkan prinsip-prinsip operasinalisasi secara konvensional dan secara syariah. Lembaga keuangan bukan bank meliputi pasar modal, pasar uang, koperasi, asuransi, pegadaian dan dana pension. Tujuan pembiayaan menurut Muhammad (2005) adalah (1) memaksimalkan laba dengan dukungan dana yang cukup; (2) Meminimilkan risiko yaitu risiko kekurangan modal usaha; (3) Meningkatkan sumberdaya ekonomi; (4) penyeimbangan antara kelebihan dan kekurangan dana. Pada sektor pertanian menunjukkan aksesibilitas petani terhadap sumbersumber permodalan merupakan faktor kritikal. Tidak jarang ditemui bahwa kekurangan biaya merupakan kendala yang menghambat petani dalam mengelola dan mengembangkan usaha tani. Kelembagaan ekonomi pedesaan tidak berkembang baik akibat terlalu banyaknya campur tangan yang cenderung berlebihan dari sistem birokrasi pemerintah. Tindakan ini, pada kenyataannya telah melumpuhkan sebagian kelembagaan lokal yang selama ini
21
berkembang dan berperanan di masyarakat dalam pemerataan pendapatan, termasuk kelembagaan pembiayaan pertanian (Sudaryanto dan Syukur, 2000 dalam Nurmanaf, 2007). Lemahnya
peranan
kelembagaan
pembiayaan
pertanian
tersebut
membawa
konsekuensi semakin terbatasnya akses petani terhadap sumber-sumber pembiayaan (Syukur et al., 2003 dalam Nurmanaf, 2007). Disamping itu, campur tangan pemerintah yang berlebihan juga menciptakan kondisi informasi yang tidak simetris antara sebagian besar masyarakat (dalam hal ini petani) dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini membawa implikasi yang luas berupa rendahnya aksesibilitas pelaku agribisnis terhadap sumberdaya modal, teknologi, peningkatan kemampuan, informasi pasar dan lain sebagainya (Syukur dan Windarti, 2001 dalam Nurmanaf, 2007). Sumber pembiayaan lembaga formal yang menjadi pilihan dan dekat dengan masyarakat di pedesaan adalah bank pemerintah khususnya Bank BRI. Namun bank-bank lain seperti Bank Mandiri, Bank BNI, BPD melalui BPR dan BKK dan lain-lain juga dapat diakses masyarakat. Meskipun di Bank BRI tingkat wilayah penyaluran kredit untuk sektor pertanian relatif kecil, tapi di tingkat Unit Desa porsi kredit mikro pertanian, di beberapa kasus terdapat dalam porsi yang relatif besar. Sementara, kredit mikro informal disalurkan melalui pihak swasta sebagai pelepas uang, seperti bank Plecit/Kangkung (di NTB) dan bank Tuyul (di Jateng). Lembaga-lembaga informal ini umumnya mudah diakses oleh siapa saja yang memerlukan, secara cepat, jarak dekat, waktu dan besar pinjaman sesuai kebutuhan, dengan prosedur sederhana dan tanpa agunan, tapi dengan tingkat bunga yang lebih tinggi. Hubungan pinjaman demikian lebih didasarkan pada kepercayaan ketimbang jaminan seperti halnya institusi pembiayaan komersial (Nurmanaf, 2007).
2.8.
Efisiensi Teknis
Pengukuran efisiensi telah dilakukan oleh Farrell tahun 1957 yang mengajukan
pengukuran
efisiensi
yang
terdiri
dari
dua
komponen: efisiensi
teknis,
yang
merefleksikan kemampuan perusahaan untuk mendapat output maksimum dari satu set input yang
tersedia,
dan efisiensi alokasi,
yang merefleksikan
kemampuan
dari
perusahaan menggunakan input dalam proporsi yang optimal, sesuai dengan harga masingmasingnya. Kedua ukuran efisiensi ini kemudian
dikombinasikan
akan
menyediakan
ukuran total efisiensi ekonomi. Pengukuran efisiensi ini mengasumsikan bahwa fungsi produksi adalah produsen yang efisien secara penuh telah diketahui. Efisiensi teknis berdasarkan
alat analisisnya
dapat
dibedakan
menjadi
dua,
yaitu
menggunakan 22
pendekatan stochastic frontier dan pendekatan perbandingan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) dan Net Profit Marjinal (NPM). Dalam model stochastic frontier, output diasumsikan dibatasi (bounded) dari atas oleh suatu fungsi produksi stokastik. Pada setiap model frontier, simpangan yang mewakili gangguan statistik (statistical noise) diasumsikan independen dan identik dengan distribusi normal. Distribusi yang paling sering disasumsikan adalah setengah normal (half normal). Jika dua simpangan diasumsikan independen satu sama lain serta independen terhadap input, dan dipasang asumsi distribusi spesifik (normal, dan setengah normal secara berturut-turut), maka fungsi likelihood dapat didefinisikan dan penduga maximum likelihood dapat dihitung. Efisiensi
produksi
merupakan banyaknya
hasil
produksi
fisik
yang
dapat
diperoleh dari satu kesatuan faktor produksi atau input (Mubyarto 1989). Menurut Soekartawi (1989) dan Coelli, Rao, dan Battese (1998) berkaitan dengan konsep efisiensi,
dikenal
adanya
tiga konsep
efisiensi,
yaitu
efisiensi
teknis
(technical
efficiency), efisiensi harga/alokatif (price/allocative efficiency), dan efisiensi ekonomis (economic efficicency). Efisiensi teknis berhubungan dengan kemampuan petani untuk menghindari penghamburan dalam memproduksi output semaksimal mungkin dengan sejumlah input tertentu.
Efisiensi
teknis
(technical
efficiency)
akan tercapai jika petani mampu
mengalokasikan faktor produksi yang tersedia untuk menghasilkan produksi yang tinggi. Efisiensi harga/alokatif (price/allocative efficiency) berhubungan dengan kemampuan petani untuk mengkombinasikan input dengan output dalam proporsi optimal pada tingkat harga tertentu. Efisiensi harga/alokatif tercapai apabila petani mendapat keuntungan yang besar
akibat pengaruh harga. Efisiensi ekonomi (economic efficicency) merupakan
kombinasi antara efisiensi teknis dengan efisiensi harga/alokatif. Efisiensi ekonomis akan tercapai apabila efisiensi teknis dan efisiensi harga terpenuhi. Maka produktivitas usaha pertanian akan tercapai jika petani mampu mengalokasikan faktor produksi secara efisiensi teknis dan efisiensi harga. Berkaitan dengan proses produksi, efisien terjadi apabila jika tidak ada lagi alokasi ulang yang dapat meningkatkan produksi salah satu barang tanpa menurunkan produksi barang lain (Nicholson 1999). Asumsi dasar dari
efisiensi adalah untuk mencapai
keuntungan maksimum dengan biaya minimum sehingga dalam
melakukan
produksi,
seorang petani yang rasional akan bersedia menambah input selama nilai tambah yang 23
dihasilkan oleh tambahan input tersebut sama atau lebih besar dengan tambahan biaya yang diakibatkan oleh penambahan sejumlah input tersebut. Dua pendekatan efisiensi menurut Coelli, Rao, dan Battese (1998) yaitu pendekatan alokasi penggunaan input dan alokasi output yang dihasilkan. Pendekatan dari sisi input membutuhkan ketersediaan harga input dan kurva isoquant yang menunjukan kombinasi input yang digunakan untuk menghasilkan output secara maksimal. Sedangkan pendekatan dari sisi output merupakan pendekatan yang digunakan untuk melihat sejauh mana jumlah output secara proporsional dapat ditingkatkan tanpa merubah jumlah input yang digunakan.
2.9.
Model Usaha Investasi Industri Pakan Ikan dan Pengelolaannya
Industri pakan ikan di Mesir melibatkan aktor yang sedikit. El-Sayed (2014) dalam
penelitiannya yang berjudul Value Chain Analysis of Egypt aquaculture, menyebutkan bahwa value chain sektor pakan ikan di Mesir hanya melibatkan empat stakeholder utama yaitu penyedia bahan, produsen pakan, pedagang pakan, dan pembudidaya. Hal yang paling utama adalah bahwa industri pakan ikan di Mesir hampir memiliki kesamaan dengan di Indonesia yaitu sebagian besar bahan pakan berasal dari impor. Sebanyak 90% pakan ikan yang diproduksi berasal dari 50 sektor swasta pabrik pakan ikan yang memproduksi dua jenis pakan yaitu pelet dan pakan ekstrusi yang 85% pakan ikan yang dihasilkan memiliki formulasi protein kasar sebesar 25%. Sedangkan 10% pakan ikan komersil dihasilkan dari 9 pabrik yang memproduksi dengan produk yang dihasilkan hanya berupa pellet yang tak satupun menghasilkan pakan ekstrusi dengan kualitas yang pakan yang rendah. Pendirian pabrik pakan ikan komersial membutuhkan biaya yang mahal dan rumit. Hal ini membutuhkan biaya modal yang besar untuk penyediaan infrastruktur awal dan setup mesin, dan biaya operasional pabrik salah satunya tenaga kerja terampil dan manajemen profesional yang diperlukan untuk mendirikan dan menjalankan perusahaan. Dari hasil penelitian tersebut, hanya ada dua produsen memberikan rincian lengkap tentang modal dan biaya operasional dari pabrik mereka. Model investasi pakan ikan di skala kecil dan medium di Mesir dapat dilihat pada gambar berikut.
24
Gambar 4.
Investasi pakan ikan di skala kecil dan medium di Mesir Tahun 2012 (ElSayed, 2014)
Lebih lanjut, El-Sayed (2014) menyebutkan bahwa ada ada 6 faktor yang yang mepengaruhi bisnis pakan pada sektor akuakultur di Mesir yaitu : 1. Ketergantungan pada bahan baku impor 2. Keterbatasan kapasistas produksi pakan berkualitas 3. Siklus produksi yang tergantung musim 4. Terbatasnya kesempatan untuk menambah tenaga kerja 5. Terbatasnya akses kredit 6. Terbatasnya akses pelatihan Dari keenam faktor tersebut, penulis menyarankan untuk dilakukan enam (6) langkah strategis untuk meningkatkan usaha pakan yaitu: 1. Mengurangi ketergantungan pada akan harga bahan baku pakan yang mahal 2.
Meningkatkan kapasistas produksi pakan berkualitas
3. Menambah kesempatan bekerja pada sektor bisnis pakan 4. Meningkatkan akses kredit 5. Meningkatkan akses pelatihan 6. Memperkuat hukum dan kebijakan lingkungan hidup
2.10. Manajemen pengelolaan Pakan
Robb dan Crampton (2013) dalam tulisannya yang berjudul On-farm feeding and feed
management: perspectives from the fish feed industry menjelaskan bahwa pakan merupakan 25
input utama dalam usaha budidaya ikan, baik dari segi kuantitas maupun harga. Untuk itu, perlu dilakukan pengoptimalisasi interaksi antara pembudidaya dan perusahaan pakan sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ikan. Terjadinya peningkatan permintaan terhadap ikan turut serta meningkatkan permintaan terhadap pakan ikan. Hal ini perlu diimbangi dengan perubahan pergeseran budidaya dari ekstensifikasi menjadi intensifikasi. Intensifikasi ini lebih praktis yakni berupa perubahan pakan dari pelet/pakan komersil namun tetap berupaya untuk mengoptimalkan penggunaan sumberdaya sambil memberian biaya terendah untuk pembudidaya. Perusahaan pakan memiliki tanggung jawab yang kuat untuk mengelola dan mengembangkan prinsip tersebut sehingga pakan dihasilkan memiliki potensi maksimum dalam hal pencapaian
pertumbuhan, kelangsungan hidup, kualitas,
efisiensi. Selain itu juga diperlukan manajemen dalam penyimpanan pakan untuk memaksimalkan nilai sumber daya yang digunakan. Penyimpanan pakan pada bisnis budidaya harus bisa mempertahankan kualitas pakan (dalam kondisi kering dan aman). Lebih lanjut, penulis menjelaskan bahwa dalam memajukan industri akuakultur, pembudidaya juga harus menerapkan manajemen pakan. Pada hari makan, pakan yang digunakan harus sesuai dengan jenis dan ukuran hewan. Jumlah pakan yang diberikan harus dikontrol dan didistribusikan secara merata dan efektif di seluruh unit untuk memungkinkan makan kesempatan untuk semua hewan. Dalam upaya penerapan manajemen pakan, perusahaan penyedia pakan harus ikut berperan dalam memberikan nasihat kepada pembudidaya tentang penerapan good manufacturing practice budidaya, serta membantu memantau kinerja pembudidaya selama proses produksi. Selama proses pendampingan tersebut, juga diperlukan dukungan dari sumber lain seperti pelatihan, skema pemerintah daerah dan proyek bantuan pembangunan. Kemitraan jangka panjang kemitraan antara pakan perusahaan dan petani adalah alat yang kuat untuk menyediakan produksi yang efisien dan penggunaan terbaik dari sumber daya dalam pertumbuhan yang sehat dan bergizi spesies akuakultur. Menurut Robb dan Crampton (2013), selama ini peran perusahaan hanya pada pencapaian visi mereka untuk menjual pakan untuk menghasilkan keuntungan sehingga seringkali model bisnis untuk perusahaan seperti berhenti di titik penjualan. Pada perusahaan pakan dengan skala besar umumnya memiliki ahli gizi yang mampu mengembangkan pakan untuk meningkatkan kualitas atau harga pakan. Mereka juga dapat menggunakan staf teknis untuk mendukung orang-orang penjualan dan pelanggan di luar titik penjualan. Staf teknis harus secara teratur mengunjungi pembudidaya dan aktif memberikan saran dan peluang untuk perbaikan dengan biaya yang tidak mahal. Jika hal tersebut terus 26
menerus dilakukan akan terbangun ikatan yang kuat antara perusahaan pakan dan pelanggan mereka. Pelatihan yang dilakukan oleh staf teknis dapat dikoordinasikan dengan pemerintah setempat atau ahli. Lebih lanjut, penulis menjelaskan bahwa peran perusahaan pakan untuk menghasilkan keuntungan sesuai dengan tujuan perusahaan. Namun, perusahaan pakan juga memiliki
tanggung jawab untuk mengembangkan produk-produk yang dijualnya untuk
mendukung pertumbuhan usaha konsumen pakan/pembudidaya.
27
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1.
Kerangka Pemikiran
Upaya pemerintah untuk mengatasi permasalahan penyediaan benih dan pakan
mandiri telah dilakukan melalui beberapa program berbantuan selama beberapa tahun. Namun demikian program-program tersebut belum dapat mengatasi permasalahan penyediaan benih dana pakan mandiri. Permasalahan yang muncul dalam program berbantuan penyediaan benih dan pakan mandiri akan dikaji melalui penelitian ini. Untuk dapat menjawab permasalahan tersebut maka kerangka pemikiran yang dikembangkan seperti pada Gambar 5.
Peningkatan Produksi Perikanan Budidaya
Model Pengembangan Investasi Perbenihan dan pakan
Keragaan Usaha/Kinerja : Perbenihan dan Pakan Model Bisnis Existing (Saat ini)
Identifikasi dan Analisis Kelayakan Investasi : NPV at Risk (Montecarlo analisis)
Analisis SWOT (Faktor Internal dan Eksternal), dan Strategi Blue Ocean
Model Bisnis yang diperbaiki
Business Model Canvas (BMC): Investasi Penyediaan Benih dan Pakan Mandiri Masa Depan Gambar 5.
Kerangka Pemikiran penelitian Model Investasi Penyediaan Benih dan Pakan Mandiri 28
3.2.
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam rangka mengkaji profil investasi usaha pakan mandiri dan
pembenihan terdiri dari data primer meliputi sejarah perkembangan usaha, skala usaha dan kinerja usaha. Data yang diperlukan dalam rangka menganalisis efisiensi usaha perbenihan ikan dan pakan mandiri adalah data primer yang diperoleh dari wawancara dengan pembenih ikan dan pelaku usaha pakan mandiri terkait kegiatan usaha pembenihan dan pakan mandiri yang meliputi input usaha, output usaha dan biaya usaha. Data yang diperlukan dalam rangka menganalisis faktor penentu keberhasilan usaha perbenihan ikan dan pakan mandiri terdiri dari data primer dan data sekunder. Dalam rangka membuat model bisnis untuk pengembangan usaha perbenihan dan pakan mandiri ditunjang dengan data yang diperoleh dari tujuan pertama sampai dengan ketiga. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur dan wawancara mendalam. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran/koleksi data baik melalui website, instansi terkait seperti dinas perikanan kabupaten/kota, BPS maupun informasi lainnya yang relevan. Penentuan responden dalam rangka mendapatkan data primer untuk menjawab tujuan penelitian dilakukan secara purposive dengan kriteria responden yang mempunyai usaha pembenihan ikan dan pakan ikan mandiri yang dapat ditemui saat pengambilan data dengan mempertimbangkan keterwakilan skala usaha dan karakteristik lokasi maupun komoditas yang diusahakan. Untuk memperoleh data yang diperlukan seperti dijelaskan pada bagian terdahulu, maka akan dilakukan kegiatan desk study, observasi, dan wawancara. Ketiga kegiatan tersebut akan dijelaskan secara singkat pada bagian di bawah berikut (Sugiyono, 2012): a. Desk study (Studi Kepustakaan) Metode pengumpulan data dengan mengadakan tinjauan terhadap beberapa literatur yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, dalam hal ini terkait dengan usaha pada budidaya udang vannamei intensif dan super intensif, teori mengenai investasi dan model-model analisis data yang akan dipergunakan. Tujuan dari desk study adalah agar tim peneliti memiliki konsep yang jelas sebagai pegangan teori dalam pemecahan masalah, menunjang pengolahan data dan mendukung data-data primer dengan cara
29
mencari dan menghimpun serta mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan lingkup permasalahan yang diteliti. b. Observasi Observasi/pengamatan langsung dilakukan terhadap kegiatan budidaya udang vannamei intensif dan super intensif sebagai subjek penelitian, yang diteliti baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menunjang pengumpulan data. c. Wawancara Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data dengan cara melakukan tanya jawab secara langsung dengan pihak perusahaan yang berhubungan dengan objek yang diteliti guna memperoleh informasi yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti, dengan alat bantu berupa kuesioner terstruktur. Pada penelitan ini wawancara dilakukan kepada pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha budidaya udang vannamei intensif dan super intensif. Tabel 2. No. 1.
2.
3
Matriks Tujuan, Jenis dan Sumber Data, Metode Pengumpulan serta Analisis Data pada Model Investasi Penyediaan Benih dan Pakan Mandiri
Tujuan
Topik Data
Jenis Data
Metode Metode Pengumpulan Analisis Data Pelaku usaha, - Observasi Diskriptif KKP - Wawancara (PUSDATIN, - Desk Study Ditjen Budidaya ) Sumber Data
Mengkaji - Sejarah usaha profil/keragaan - Karakteristik usaha pakan usaha mandiri dan - Jumlah dan perbenihan harga input - Jumlah dan harga output Analisis factor - Input produksi Internal dan - Output Faktor produksi Eksternal - Biaya - Harga - Resiko harga input - Resiko harga output - Resiko produksi - Resiko bunga bank
Primer dan Sekunder
Primer dan Sekunder
Pelaku usaha perbenihan dan pakan ikan mandiri
Melakukan analisis kelayakan
Primer dan Sekunder
Pelaku usaha, - Observasi Analisis perbenihan - Wawancara NPV at dan pakan - FGD risk dan
- Input produksi - Output produksi
- Observasi Analisis - Wawancara SWOT
30
No.
Tujuan
Topik Data
Jenis Data
investasi usaha dengan menerapkan NPV at risk pada usaha pembenihan ikan dan pakan mandiri dan
4
- Biaya - Harga - Resiko harga input - Resiko harga output - Resiko produksi - Resiko bunga bank Membuat - Customer model bisnis segment untuk - Value pengembangan propositions pakan mandiri - Channels dan - Customer penyediaan relationships benih - Revenue streams - Key resources - Key activities - Key partnerships
Sumber Data ikan mandiri
Primer dan Sekunder
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Analisis monte carlo
Pelaku usaha, - Observasi Business perbenihan - Wawancara Model dan pakan Canvas - FGD ikan mandiri (BMC)
31
3.3.
Metode Analisis Data
Metode analisis data digunakan untuk menjawab tujuan penelitian, antara lain:
Keragaan usaha pakan mandiri dan perbenihan dianalisis dengan deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis data secara kuantitatif terutama dilakukan dalam rangka mengkaji kinerja usaha dan struktur investasi usaha pembenihan dan usaha pakan ikan mandiri. Analisis data secara kualitatif digunakan dalam rangka mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena yang ditemui pada usaha pembenihan dan pakan ikan mandiri. Analisis kelayakan investasi usaha dengan menerapkan NPV at risk pada usaha pembenihan ikan dan pakan mandiri. Untuk menganalisis kebutuhan investasi, maka akan dilakukan Analisis Finansial. Analisis Finansial adalah analisis yang melihat suatu proyek dari sudut pandang lembaga/badan yang mempunyai kepentingan langsung dalam proyek atau yang menginvestasikan modalnya dalam proyek. Secara sederhana, analisis ini melakukan pembandingan antara uang yang harus dikeluarkan dengan pemasukan uang yang akan diterima, untuk menentukan apakah suatu bisnis akan menguntungkan selama umur operasinya, dengan kata lain layak untuk dijalankan (Muhammad, 2000). Umumnya kelayakan dari suatu usaha akan dilihat dari beberapa Indikator seperti: 1). Net Present Value (NPV); 2). Internal Rate of Returns (IRR); 3). Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio); 4). Payback Period/PP serta 5). Analisis Sensitivitas dan Switching Value. Kelima indikator tersebut akan dijelaskan secara ringkas pada bagian di bawah berikut ini. NPV dan NPV at risk NPV adalah nilai sekarang dari keuntungan bersih yang akan diperoleh di masa mendatang, atau merupakan nilai bersih dari total nilai sekarang arus pengeluaran dengan total nilai sekarang arus pendapatan (Gittinger, 1986) . Istilah nilai sekarang mengacu kepada konsep nilai riil, bahwa nilai uang akan semakin berkurang seiring waktu. Apabila nilai NPV lebih besar dari 0, maka usaha yang dianalisis tersebut layak untuk dijalankan, dan apabila sebaliknya, maka usaha tersebut tidak layak untuk dijalankan. Perhitungan NPV memerlukan perkiraan terperinci berbagai biaya maupun pendapatan yang akan terjadi di masa yang akan datang, dan besaran tingkat bunga yang dijadikan dasar bagi penghitungan nilai sekarang. Adapun rumus penghitungan present value adalah sebagai berikut:
32
Dimana: PV
= Nilai Sekarang;
R
= Arus pendapatan bersih;
r
= suku bunga;
t
= periode waktu.
NPV at risk dilakukan untuk memasukkan unsur resiko ke dalam perhitunan NPV. Unsur resiko yang diperhitungkan adalah resiko harga input, resiko harga output, resiko produksi, resiko nilai tukar, resiko inflasi. IRR Secara sederhana, IRR menggambarkan besarnya persentase pengembalian modal yang akan diterima oleh seorang investor. Pada dasarnya nilai IRR positif mengindikasikan bahwa investasi yang dilakukan akan memberikan pengembalian atas modal yang dikorbankan, akan tetapi umumnya nilai IRR ini akan diperbandingkan dengan tingkat pengembalian berbagai produk investasi lain seperti tabungan, deposito, surat berharga atau usaha lainnya. Cara perhitungan IRR adalah dengan menggunakan rumus PV pada bagian sebelumnya, dimana akan dicari nilai r yang menghasilkan nilai NPV sebesar 0, seperti di bawah berikut ini:
Net B/C Ratio Net B/C Ratio merupakan perbandingan antara NPV dari arus pendapatan bersih dibandingkan dengan NPV dari arus pengeluaran. Nilai Net B/C Ratio menunjukkan besarnya keuntungan yang akan diperoleh dari setiap Rp. 1 yang dikorbankan. Oleh karena itu, sebuah usaha akan dinilai layak untuk dilaksanakan apabila nilai Net B/C Rationya bernilai positif, yang berarti setiap rupiah yang dikorbankan akan memberikan benefit melebihi pengorbanannya. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : Dimana Net B/C digunakan untuk ukuran tentang efisiensi dalam penggunaan modal. Bila net B/C > 1 usaha dianggap layak untuk diusahakan, jika net B/C < 1 usaha tidak layak untuk diusahakan dan jika net B/C=1 maka biaya yang dikeluarkan sama dengan keuntungan yang didapatkan. 33
Payback Periode Payback periode adalah jumlah tahun yang dibutuhkan untuk menutupi pengeluaran awal. Kriteria ini mengukur kecepatan proyek dalam mengembalikan biaya awal, maka ia menghitung arus kas yang dihasilkan dan bukan besarnya keuntungan akuntansi. Usaha layak untuk dilaksanakan jika payback period lebih kecil dari umur proyek. Secara matematis payback period dapat dirumuskan sebagai berikut : Keterangan : PP = Jumlah waktu (tahun) yang diperlukan untuk mengembalikan modal investasi yang ditanamkan I
= Besarnya biaya investasi yang diperlukan
Ab = Manfaat bersih yang dapat diperoleh pada setiap tahunnya Kriteria kelayakan investasi dilihat berdasarkan PP yang dihasilkan. Apabila nilai PP adalah kurang dari n – lamanya proyek akan dilakukan – mengindikasikan bahwa usaha yang dianalisis tersebut layak untuk dilaksanakan. PP ini mengindikasikan seberapa lama investasi yang dilakukan akan tertutupi oleh penerimaan bersih yang diperkirakan akan diterima, sehingga semakin kecil nilai PP ini, semakin layak sebuah proyek untuk dilaksanakan. Analisis Sensitivitas dan Switching Value Analisis sensitivitas adalah simulasi dampak perubahan berbagai kondisi yang menjadi asumsi perhitungan berbagai indikator analisis finansial yang telah dijelaskan sebelumnya terhadap kelayakan usaha. Pada dasarnya analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat sejauh mana sebuah usaha akan tetap layak dilakukan apabila terjadi perubahan kondisi perekonomian dimasa yang akan datang. Umumnya analisis sensitivitas dilakukan dengan cara merubah berbagai variabel seperti adanya perubahan dari harga satuan barang investasi, harga jual produk, perubahan suku bunga, kegagalan produksi, atau bahkan perubahan berbagai variabel tersebut secara serentak. Sensitivity Analysis
merupakan
( misalnya keputusan investasi ) untuk penggunaan suatu assumsi
suatu mencari
pengujian seberapa
yang dapat ditoleransi
dari
suatu
besar
keputusan
ketidaktepatan
tanpa mengakibatkan tidak
berlakunya keputusan tersebut. Semua keputusan didasarkan atas discount rate yang digunakan, dll.
berbagai assumsi, seperti : keakuratan data,
Jadi, apabila digunakan assumsi yang berbeda,
apakah terjadi perubahan terhadap keputusan yang telah ditetapkan. Sensitivity analysis 34
tujuannya adalah untuk melihat apa yang akan terjadi dengan hasil analisa proyek, jika ada sesuatu kesalahan atau perubahan dalam dasar perhitungan biaya atau benefit. Dengan demikian tujuan utama daripada analisa sensitivitas : a. Untuk memperbaiki cara pelaksanaan proyek yang sedang dilaksanakan b. Untuk memperbaiki design daripada proyek, sehingga dapat meningkatkan
NPV c. Untuk mengurangi resiko kerugihan dengan menunjukkan beberapa tindakan
pencegahan yang
harus diambil
Dalam sensitivity analysis setiap kemungkinan itu harus dicoba, yang berarti bahwa tiap kali harus diadakan analisa kembali. Ini perlu sekali, karena analisa proyek didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang mengandung banyak ketidak-pastian tentang apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang Ada 3 hal yang perlu diperhatikan, antara lain : a. Terdapatnya “ cost overrun “, misalnya kenaikan dalam biaya konstruksi b. Perubahan dalam perbandingan harga terhadap tingkat harga umum, misalnya penurunan harga
hasil produksi
c. Mundurnya waktu / jadwal implementasi Beberapa metode yang dapat dipertimbangkan untuk analisis sensitiftas adalah: nominal range sensitivity; Difference in log Odd Ratio (∆ LOR); Automatic differentiation technique. Selanjutnya dalam penelitian ini juga akan dilakukan uji switching value yang merupakan perhitungan untuk mengukur perubahan maksimum dari perubahan suatu komponen inflow penurunan harga output, penurunan produksi) atau perubahan komponen outflow (peningkatan harga input/peningkatan biaya produksi) yang masih dapat ditoleransi agar bisnis masih tetap layak.
Analisis resiko digunakan untuk menggambarkan situasi pengambilan keputusan dimana unsur-unsur yang mempengaruhi tidak diketahui dengan pasti tapi masih bisa digambarkan dengan distribusi probabilitas. Bila tingkat pengetahuan/informasi pengambil keputusan rendah tentang situasi masa depan, maka dikatakan menghadapi ketidakpastian dan tidak bisa dinyatakan dalam distribusi probabilitas. Nilai ekspektasi dalam pengambilan keputusan yang mempertimbangkan resiko: 1. Memaksimalkan nilai ekspektasi profit 35
2. Meminimumkan nilai ekspektasi ongkos-ongkos Ukuran besarnya risiko:
Variansi; Range; koefisien
Pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan ketidakpastian 1. Situasi pengambilan keputusan tidak pasti 2. Nilai-nilai yang mungkin terjadi diketahui namun probabilitas terjadinya masingmasing nilai tersebut tidak diketahui Tujuan penelitian 4: membuat model bisnis investasi pengembangan usaha perbenihan ikan dan pakan mandiri dianalisis menggunakan canvas business model. Model bisnis investasi pengembangan usaha perbenihan dan pakan mandiri dianalisis menggunakan canvas business model (Osterwalder dan Pigner, 2009). Bisnis model merupakan sebuah model bisnis yang menggambarkan pemikiran tentang bagaimana menciptakan organisasi, memberikan, dan menangkap nilai. Canvas business model dibangun dari sembilan blok bangunan yang dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3.
Blok bangunan pembentuk canvas business model
No Building blocks 1 Customer segments
2
Value propositions
3
Channels
4
Cutomer relathionships
5
Revenue streams
Components Mass market Niche market, Segmented, Diversified, Multi-sided platforms Newness, Performance, Customization, Getting the job done, Design, Brand/status, Price, Cost reduction, Risk reduction, Accessibility, Connience/usability Channnels types, Channel phases Personal assistance, Dedicated personal assistance, Self-service, Automated services, Communities, Co-creation Asset sale, Usage fee, Subscription fees, 36
No Building blocks
6
Key resources
7
Key activities
8
Key partnerships
9
Cost structure
Components Lending/renting/leasing, Licensing, Brokerage fees, Advertising Physical, Intellectual, Human, Financial Production, Problem solving, Platform/network Optimization and economy of scale, Reduction of risk and uncertainty, Acquisition of particular resources and activities Cost-driven, Value-driven, Fixed costs, Variable costs, Economic of scale, Economic of scope
1. Customer segmen menjelaskan siapa calon konsumen/pengguna/pelanggannya dari produk yang dihasilkan, kemudian baru menawarkan produk yang sesuai dengan siapa pelanggannya. Sejak awal harus jelas siapa pelanggan yang menjadi target, hal tersebut penting untuk ditetapkan lebih dahulu. Kategori di dalam customer segments yaitu: a)
Mass Market : segmen pasar luas dengan jenis kebutuhan dan masalah yang sama.
b)
Niche Market : segmen pasar yang spesifik.
c)
Segmented: segmen pasar yang memiliki kebutuhan berbeda tetapi dalam satu kategori.
d)
Diversified : segmen pasar yang memiliki kebutuhan atau masalah yang sangat berbeda.
e)
Multi-sided Platform : melayani 2 atau lebih pasar segmen pasar yang saling tergantung.
2. Value proposition, merupakan nilai atau value yang ditawarkan untuk pelanggan. Kelebihan dan keunggulan produk dibanding pesaing adalah hal yang harus dituliskan di value proposition. Value proposition bisa diisi sesuai kategori: a) Newness : produk / jasa yang baru yang belum pernah ditawarkan sebelumnya biasanya banyak ditemukan di dunia teknologi.
37
b) Performance: produk / jasa yang ditawarkan meningkatkan kinerja customer agar menjadi lebih efisien / lebih efektif. c) Customization: produk / jasa yang ditawarkan berbeda / ada pilihan untuk setiap segmen yang memiliki kebutuhan yang beragam/berbeda. d) Getting the Job Done : dengan membeli brg tersebut akan membantu customer menyelesaikan sesuatu. e) Desain (Design) : menawarkan nilai artistik lebih dr sekedar fungsional. f) Status (Brand) : merk yang high class memberi social status kepada pembelinya. g) Harga (Price) : menawarkan harga yang bersaing atau sesuai dengan ciri customer segmennya. h) Hemat (Cost reduction) : produk / jasa yang ditawarkan membantu customer mengefisienkan biaya pemakaian. i) Meminimasi Resiko (Risk reduction) : menawarkan produk /
jasa yang
meminimalkan risiko yang ditanggung customer seperti garansi. j) Akses (Accessibility) : mempermudah akses customer terhadap produk / jasa yang ditawarkan. k) Kenyamanan (Convenience/usability) : menawarkan produk / jasa yang nyaman dan cenderung mempermudah customer. 3. Channels adalah cara untuk menjangkau customer. Tidak terbatas pada distribusi, tapi juga hal lainnya yang menyebabkan bisnis dan customer bisa bersentuhan. Kategori di dalam channels a) Direct : sales force, web sales, own stores. b) Indirect : partner stores, wholesaler. c) Awareness : tahap awal menginformasikan ke customer. d) Evaluation : cara membantu customer mengevaluasi value proposition yang ditawarkan. e) Purchase : cara-cara customer melakukan pembelian. f) Delivery : cara menyampaikan value proposition (produk/jasa) kepada customer. g) After Sales : customer support setelah terjadi transaksi. 4. Customer relationship, adalah cara-cara yang digunakan untuk berkomunikasi dengan customer segments. Biasanya, banyak orang yang bingung membedakan antara customer relationship atau channels. Kata kuncinya adalah relationship, Customer relationship soal hubungan, kalau channel soal cara menjangkau customer segments. Kategori di dalam customer relationship 38
a) Transactional: beli putus saat itu juga. b) Long-term: hubungan jangka panjang dengan pelanggan. c) Personal Assistance: Ada sales-rep yang melayani pelanggan. d) Self Service: Pelanggan melayani dirinya sendiri, biasanya dibisnis retail. e) Automated Service: Pelanggan bahkan tidak perlu ke toko. 5. Revenue Streams adalah berbagai cara untuk menghasilkan keuntungan dari value proposition. Kategori di dalam revenue stream a) Asset Sale: penjualan produk secara fisik. b) Usage Fee: customer membayar sesuai lamanya menggunakan produk/jasa. c) Subscription Fees: biaya berlangganan. d) Lending/renting/leasing: biaya peminjaman/pemakaian/penggunaan sementara. e) Licensing: biaya ijin pakai jasa / produk. 6. Key Resources, adalah hal-hal paling penting yang harus dipunyai agar key activities bisa dijalankan dan value proposition bisa diberikan pada customer. Key resources pada dasarnya adalah modal. Kategori di dalam key resources a) Physical asset : fasilitas pabrik, gedung-gedung, kendaraan, mesin-mesin. b) Intellectual : brand, hak paten, copyright, database customer dan database partnership, informasi rahasia perusahaan c) Human : tenaga kerja d) Financial : sumber daya keuangan perusahaan cash, credit, obligasi, saham 7. Key Activities, key activities harus diisi dengan kegiatan wajib yang dilakukan oleh perusahaan untuk menghasilkan value proposition yang ditawarkan. Kategori di dalam key activities a) Production : aktivitas merancang, membuat, mengirimkan produk. b) Problem Solving : aktivitas operasi yang biasanya muncul pada perusahaan konsultan, rumah sakit, organisasi penyedia jasa. c) Platform Network : menjadi tempat atau wadah bertemunya dua atau lebih segmen pasar untuk saling berinteraksi/transaksi atau membangun network. 8. Key Partners adalah pihak-pihak yang bisa diajak kerjasama dengan tujuan: Optimization and Economy: motivasi berpartner untuk mengoptimalkan alokasi sumber daya dan aktivitas mengingat sebuah perusahaan tidak perlu memiliki semua sumber daya dan 39
melakukan kegiatannya sendirian. Reduction of Risk and Uncertainty: mengurangi risiko dan ketidakpastian dalam lingkungan persaingan. Acquisition of particular resources and activities: mengakuisisi perusahaan lain untuk meningkatkan kemampuan kinerja perusahaan. Kategori di dalam key partners a) Strategic Alliance between non-competitors: kerjasama dengan perusahaan yang tidak sejenis. b) Coopetition: kerjasama dengan perusahaan kompetitor. c) Joint ventures to develop new business: kerjasama untuk membentuk usaha baru. d) Buyer supplier relationship: hubungan hanya sebagai pembeli dan penjual biasanya terjadi pada motif optimization and economy of scale. 9. Cost structure adalah rincian biaya-biaya terbesar yang harus dikeluarkan untuk melakukan key activities dan menghasilkan value proposition. Kategori di dalam cost structure a) Cost-driven: sensitif terhadap harga bahan baku. b) Value-driven: perusahaan tidak terlalu memikirkan harga produksi/bahan baku karena yang dijual adalah nilai/seni/status/gaya hidup. c) Fixed cost: biaya-biaya tetap yang muncul yang tidak tergantung pada jumlah produksi d) Variable cost: biaya-biaya yang muncul bervariasi sesuai jumlah yang diproduksi Untuk menghasilkan model bisnis canvas digunakan alur analisis sebagai berikut:
Gambar 6. Tahapan penyusunan modle Bisnis Canvas. Sumber : Tim PPM Manajemen (2014) 40
Desain Business Model Canvas (BMC) Langkah-langkah yang dilakukan dalam menyusun Business Model Canvas (BMC): 1. Memetakan model bisnis saat ini, pemetaan dilakukan pada sembilan elemen didasarkan pada kondisi yang sebenarnya terjadi 2. Melakukan analisis SWOT, analisis SWOT dilakukan pada semua elemen dalam model bisnis. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang ada pda saat sekarang. Misalnya: pada elemen costumer segment, kemampuan dalam memilih costumer segment yang mempunyai populasi besar dan menguntungkan dapat diklasifikasikan sebagai kekuatan organisasi. Sebaliknya value prepositions yang tidak dibutuhkan oleh suatu costumer segment yang dibidikdapat dikatan sebagai kelemahan. Pasar yang berpotensi besar dan belum digarap dapat dikatagorikan sebagai peluang. Dilain pihak munculnya pesaing baru dapat mengancam keberadaan organisasi dapat dikatagorikan sebagai ancaman. 3. Melakukan penyempurnaan model bisnisdan atau membuat prototype. Hasil analisis SWOT digunakan dua jenis tujuan yaitu: pertama untuk menyempurnakan Business Model Bisnis (BMC) yang ada saat ini. Tujuan keduan adalah melahirkan prootypeprototype Business Model yang baru. Apabila organisasi belum bisa melangkah dengan prototype yang baru, maka maka dapat menggunakan business model yang disempurnakan. Sedangkan prototype baru dapat digunakan apa bila organisasi telah mampu melaksanakan. Keseluruhan proses ini sebaiknya dilakukan oleh sebanyak mungkin pelaku organisasidan tingkatan dan fungsi yang bervariasi. Pola alur pikir model bisnis pakan ikan mandiri seperti pada Gambar 6.
41
Usaha Pabrik Pakan Ikan Mandiri
Model Bisnis Existing Simulasi-Simulasi model investasi
Kriteria Evaluasi
Alternatif model Investasi (NPV-Resiko)
Analisis SWOT
Strategi Samodera Biru (Blue Ocean)
Faktor Eksternal
Faktor Internal
Strategi Bisnis
Model Bisnis Baru/Yang Gambar 6. Alur pikir model bisnis pakan ikan mandiri Setelah analisis dilakukan dengan mengikuti alur pada Gambar.... makan model bisnis yang dihasilkan bisa berupa Model Bisnis yang disempurnakan dari kondisi awal atau model bisnis masa depan yang benar-benar berubah dari model bisnis eksisting. Model Bisnis Canvas seperti pada Gambar....
42
Gambar 7. Bisnis Model Canvas (BMC) Sumber : Osterwalder dan Pigneur, 2010
3.4.
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama tahun 2016 dengan rincian tahapan kegiatan
penelitian seperti berikut :
Pembuatan ROKP
: sampai dengan akhir Maret
Survey Lapang
: April s/d September
Analisis Data dan Penyusunan Laporan : Agustus s/d November
Upaya penyediaan benih dan pakan mandiri sudah dilakukan oleh Dirjen Perikanan Budidaya melalui berbagai skema program. Melalui program-proram tersebut sudah disalurkan bantuan-bantuan dalam bentuk fisik maupun pembinaan teknis. Program tersebut sudah dilakukan melalui program Tugas Pembantuan dan Dekonsentrasi maupun APBN yang dikelola oleh Satker yang berada di bawah koordinasi Dirjen Perikanan Budidaya. Penelitian ini dilakukan di beberapa lokasi sentra perikanan dan beberapa lokasi yang telah mendapatkan alokasi program bantuan terkait perbenihan dan pakan mandiri. 43
Lokasi yang ditentukan sebagai lokasi penelitian diharapkan mampu memberikan rujukan keberagaman sistem pengelolaan usaha perbenihan dan pakan mandiri yang berkembang di masyarakat. Lokasi penelitian dan dasar pertimbangan pemilihan lokasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.
Lokasi penelitian
No Kabupaten 1 Muaro Jambi 2 3
Kota Pontianak Purwakarta
4
Subang
5
Indramayu
6
Cirebon
7 8
Kota Sukabumi Bogor
9
Brebes
11
Sleman
12
Gunungkidul
13
Bandar Lampung
Provinsi Jambi
Justifikasi pemilihan lokasi Sentra perikanan budidaya di Sumatera, tipologi budidaya lahan gambut dan lokasi pengembangan pakan mandiri Kalbar Daerah strategis perbatasan dan lokasi pengembangan pakan mandiri Jabar Sentra perikanan budidaya di Jawa Barat, salah satu pusat penyedia benih ikan di Jawa Barat Jabar Sentra perikanan budidaya sistem air deras dan telah lama berkembang dengan tipologi pegunungan Jabar Revitalisasi tambak yang sudah banyak tidak berproduksi dengan tipologi pantai dan lokasi pengembangan pakan mandiri Jabar Revitalisasi tambak yang sudah tidak berproduksi dengan tipologi pantai Jabar Terdapat UPT DJP sebagai salah satu penghasil benih unggul di Jawa Barat Jabar Salah sentra penghasil benih di Jawa Barat dan Nasional Jateng Kebutuhan pasar ikan budidaya air tawar yang besar khususnya untuk memenuhi permintaan kebutuhan usaha pecel lele DIY Sentra perikanan budidaya dengan lahan kering dan lokasi pengembangan pakan mandiri DIY Sentra perikanan budidaya dengan lahan kering dan lokasi pengembangan pakan mandiri Lampung Sentra perikanan budidaya
Program bantuan Pakan, Benih Pakan Pakan, Benih Pakan, Benih Pakan, Benih
Pakan, Benih Pakan, Benih Benih Pakan, Benih
Pakan, Benih Pakan, Benih Pakan, Benih
44
4. GAMBARAN UMUM 4.1.
Keragaan Usaha Kabupaten Subang dan Purwakarta
Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta merupakan kawasan di kawasan utara
Provinsi Jawa Barat. Kedua wilayah tersebut dikenal sebagai salah satu sentra perikanan budidaya ikan air tawar di Jawa Barat Terutama komoditas ikan Nila dan Ikan Mas. Produksi utam perikanan berupa ikan nila dan ikan mas. Peningkatan produksi ikan di kedua Kabupaten tersebut didukung adanya sentra-sentra perbenihan ikan yang ada di kedua Kabupaten. Di kabupaten Subang lebih dominan perbenihan ikan mas dari pada ikan Nila, sedangkan di Kabupaten Purakarta lebih dominan perbenihan ikan nila. Kelembagaan perbenihan di kedua Kabupaten tersebut sudah sangat mapan, terutama dukungan kelmbagaan/Institusi Balai Perbenihan milik Propinsi Jawa Barat yang berada di Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta. Kabupaten Subang mempunyai potensi perikanan darat dan laut. Potensi budidaya ikan air tawar di Kabupaten Subang terdiri dari kolam air tenang seluas 546 ha terdapat di seluruh kecamatan diantaranya Kecamatan Pagaden, Legonkulon, Subang, Kalijati, Purwadadi, Pabuaran. Sedangkan pembenihan ± 6.855.115 m2, dan kolam air deras serta mina padi seluas 4.997 ha diantaranya terdapat di Kecamatan Sagalaherang, Jalancagak, Cisalak, Tanjungsiang. Komoditi unggulan perikanan air tawar ini adalah ikan mas dan nila. Kabupaten Purwakarta hanya mempunyai sumberdaya perikanan darat, baik perikanan tangkap maupun budidaya. Jumlah pelaku usaha perikanan di Kabupaten Purwakarta tahun 2015 mencapai 14.459 orang dengan rincian dapat dilihat pada tabel berikut. Pada tahun 2012 produksi perikanan air tawar
Kabupaten Subang mencapai
17.210,637 ton yang terdiri dari : kolam air tenang sebanyak 11.624,31 ton; sawah/mina padi sebanyak 51,19 ton; Running Water/kolam air deras sebanyak 5.138,26 ton; perairan umum sebanyak 396,877 ton. Dengan sumberdaya alam yang demikian kaya atas potensi perikanan, menjadikan Kabupaten Subang sebagai salah satu sentra produksi ikan air tawar. Pembenihan ikan, di Kabupaten Subang terdapat 1 unit BBI, 3.749 UPR dengan melibatkan 1 orang manajer, 3 orang teknisi dan 20.650 orang buruh. Beberapa kecamatan yang mempunyai UPR terbanyak berurutan adalah Kec. Pagaden (836), Pagaden Barat (800), Pabuaran (408), Cibogo (370), Dawuan (320), dan Subang (272). Sedangkan sebaran buruh 45
pembenih sebanyak 20.650 orang, 76 persen diantaranya tersebar di lima kecamatan yaitu Pagaden, Pagaden Barat, Pabuaran, Cibogo, dan Dawuan. Fasilitas kolam pembenihan di Subang terdiri dari kolam induk sebanyak 220 petak (13.600m2), kolam pemijahan sebanyak 995 petak (98.934 m2) dan kolam larva/benih sebanyak 11.857 petak (9.069.974 m2). Sebaran lokasi kolam indukan di Subang dapat dilihat pada gambar berikut. Pada usaha pembenihan ikan di Purwakarta terdapat dua sumber produksi benih utama yaitu yang berasal dari BBI dan yang berasal dari UPR. Produksi benih dari UPR sampai dengan tahun 2015 masih mendominasi produksi benih di Purwakarta dengan produksi 318.628.000 ekor atau lebih dari 98% produksi benih Kab. Purwakarta. Komoditas ikan nila dan mas merupakan hasil utama produksi benih di Purwakarta. Perkembangan produksi benih di Kabupaten Purwakarta dapat dilihat pada tabel berikut.
Induk
Pemijahan
Gambar 8.
Sebaran lokasi kolam indukan dan Kolam Pemijahan di Kab. Subang Tahun 2015 Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa Kecamatan Pabuaran membunyai
luas lahan indukan terbesar di Kab Subang dengan memberikan kontribusi mencapai 83%. Sementara itu kolam pemijahan terluas di Kabupaten Subang terdapat di Kecamatan Pagaden Barat yang mencapai 90.000 m2. Lokasi kolam larva tersebar pada 17 kecamatan diantara 30 kecamatan yang ada di Kabupaten Subang. Lokasi kecamatan yang memiliki luas kolam larva/benih terluas adalah kecamatan Pabuaran yang hampir mencapai 75 % dari total luas kolam larva/benih di Kab. Subang.
46
Gambar 9.
Sebaran lokasi kolam larva/benih di Kab Subang, tahun 2015
Jumlah produksi benih ikan di Kabupaten Subang Tahun 2015 mencapai 5.437.351.600 ekor yang didominasi oleh benih ikan mas sebanyak 5.204.266.700 (95%) diikuti dengan ikan lele, patin, nila dan gurame. Sebagian besar produksi benih di Subang untuk memenuhi kebutuhan usaha budidaya KJA di Waduk Jatiluhur dan Waduk Cirata.
Gambar 10.
Perkembangan Jumlah Benih ikan yang dijual di Subang tahun 2015
Nilai Produksi Benih Ikan Air Tawar yang dijual di Subang dalam tahun 2015 mencapai lebih dari 1,5 triliun rupiah dengan perkembangan setiap triwulan dapat dilihat pada gambar berikut.
47
Gambar 11.
Perkembangan nilai produksi benih di Subang tahun 2015
Besarnya nilai produksi dipengaruhi oleh jumlah produksi benih dan hargabenih di pasaran. Nilai produksi terbesar pada 2015 berada pada triwulan terakhir dimana permintaan benih cenderung mengalami peningkatan sehingga nilai produksi juga mengalami peningkatan. Tabel 5. Pelaku Usaha Perikanan di Purwakarta Tahun 2015 No I
Lapangan Usaha / Obyek
%
2015
1.
Pembenih/Penangkar
3.100
3.100
0,00
2.
Kolam Air Tenang
6.210
3.125
(49,67)
3.
Kolam Air Deras
0
0
0,00
4.
Kolam Jaring Apung
3.405
2.945
(13,53)
5.
Sawah Perikanan
0
0
0,00
12.715
9.170
(27,88)
2.070
2.593
25,26
Nelayan / Penangkapan 1.
Waduk
2.
Situ / Danau
941
380
(59,6)
3.
Sungai
263
248
(1,90)
3.274
3.221
(1,62)
Jumlah III
2014
Pembudidaya Ikan
Jumlah II
Banyaknya (Orang)
Rumah Tangga Buruh Perikanan 1.
Pembenih/Penangkar
1.200
1.200
0,00
2.
Kolam Air Tenang
1.950
750
(61,54)
3.
Kolam Air Deras
0
0
0,00
4.
Kolam Jaring Apung
246
218
(11,38)
48
5.
Sawah Perikanan
Jumlah Jumlah I + II + III + IV
0
0
0,00
3.368
2.168
(35,63)
15.085
14.559
(3,49)
Sebaran jumlah produksi benih selama tahun 2014 dan 2015 di Kabupaten Purwakarta meningkat sebesar 1.15 %. Produksi benih yang dihasilkan berasal dari benih BBI dan benih UPR (Tabel ). Produksi benih BBI adalah benih nila sedangkan produksi benih UPR meliputi Lele, Nila, mas dan ikan lainnya. Tabel 6. Produksi Benih di Kabupaten Purwakarta Tahun 2015 Produksi Benih No
Jenis Ikan
BBI(x1.000 ekor) 2014
Jumlah Produksi
Produksi Benih %
2015
UPR(x1.000 ekor) 2014
2015
%
Benih(x1.000 ekor) 2014
2015
%
1. Mas
0
0
0,00
117.000
120.300
2,82
117.000
120.300
2,82
2. Nila
4.954
5.100
2,95
173.000
155.796
(9,94)
177.954
160.896
(9,90)
3. Lele
0
0
0,00
22.850
38.560
68,75
22.850
38.560
68,75
4. Ikan Lainnya
0
0
0,00
2.258
3.972
75,91
2.258
3.972
75,91
4.954
5.100
2,95
315.108
318.628
320.062
323.728
1,15
JUMLAH
1,11
Usaha perikanan di Purwakarta sebenarnya lebih didominasi oleh usaha pembesaran ikan. Usaha pembesaran ikan utamanya dilakukan pada karamba jaring apung dan membutuhkan pakan yang besar sehingga kebutuhan pakan ikan di Purwakarta cukup tinggi. Beberapa penggunaan sarana produksi perikanan di Purwakarta dapat dilihat pada tabel berikut. Sarana produksi utama yangdigunakan dalam usaha pembenihan ikan meliputi indukan, pakan dan pupuk. Jumlah indukan yang digunakan dalam usaha pembenihan di Subang sepanjang tahun 2015 mencapai 475.015 ekor indukan. Selain itu kebutuhan pakan juga cukup besar dalam usaha pembenihan di Subang yang mencapai 271.867 ton selama tahun 2015. Pembenih ikan di Subang juga menggunakan pupuk untuk meningkatkan kesuburan kolamnya baik menggunakan pupuk organik maupun anorganik. Perkembangan penggunaan sarana produksi usaha pembenihan ikan di Subang selama tahun 2015 dapat dilihat pada tabel berikut.
49
Tabel 7.
Jumlah Penggunaan Sarana Produksi Pembenihan Ikan Air Tawar per Triwulan, Tahun 2015
Sarana Produksi 1. Induk (ekor) :
TW I 121.396,80
Ikan Mas
103.950,00
Nila
TW II
122.838,00
97.254,00
90.054,00
99.058,00
9.350,00
8.190,00
9.008,00
34.628,00
24,00
29,00
30,00
108,00
2.404,00
2.320,00
2.552,00
9.692,00
10.074,00
11.082,00
12.190,00
40.271,80
67.555,13
63.080,57
69.385,54
82.642,57
73.460,06
87.233,83
82.642,57
73.460,06
87.233,83
2.416,00
Lele
6.925,80
2. Pakan (ton) : Pelet
71.846,35
3. Pupuk (ton) : Organik
91.825,08
Anorganik
91.825,08
Jumlah
111.675,00
25,00
Patin
TW IV
119.106,00
8.080,00
Gurame
TW III
475.015,80 390.316,00
271.867,59
335.161,54 335.161,54
Tabel. 8 Menunjukkan penggunaan sara dan prasara pendukung sistem perbenihan di Kabupaten Purwakarta Tabel 8. Penggunaan Sarana Produksi Perikanan di Purwakarta Tahun 2015 Penggunaan Saprokan No
Jenis
Sawah Perikanan
Jaring Apung
Kolam
Jumlah
1
Pakan Rucah (Kg)
0,00
975,00
354,00
1.329,00
2
Pakan Pelet (Kg)
0,00
70.614,00
2.341,00
72.955,00
3
Pakan Dedak (Kg)
0,00
0,00
34,00
34,00
4
Lainnya (Kg)
0,00
73,00
116,50
189,50
Tahun 2015
0,00
71.662,00
2.845,00
74.507,50
Tahun 2014
0,00
69.488,00
2.802,00
72.290,00
%
0,00
3,12
1,54
3,18
4
Pupuk Organik (Kg)
0,00
0,00
23,50
23,50
5
Pupuk Anorganik (Kg)
0,00
0,00
10,00
10,00
6
Kapur (Kg)
0,00
0,00
21,00
21,00
50
7
Tahun 2015
0,00
0,00
54,50
54,50
Tahun 2014
0,00
0,00
77,00
77,00
%
0,00
0,00
(29,22)
(29,22)
BBM (L)
0,00
46.000,00
720,00
46.720,00
Tahun 2015
0,00
46.000,00
720,00
46.720,00
Tahun 2014
0,00
54.000,00
760,00
54.760,00
%
0,00
(14,81)
(5,26)
(14,68)
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa kebutuhan pakan pelet masih terus meningkat terutama digunakan untuk memenuhi permintaan budidaya ikan di KJA. Sementara itu kebutuhan sarana produksi untuk kolam jauh lebih sedikit dibandingkan yang diperlukan KJA. Penggunaan sarana produksi oleh pembudidaya maupun nelayan memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi perikanan yang di daratkan di Kabupaten Purwakarta. Pada tabel berikut dapat diketahui besarnya perkembangan produksi perikanan di Purwakarta menurut tipologi perikanan utama yang ada di Purwakarta. Tabel 9.
Produksi Perikanan di Purwakarta Tahun 2015
No Jenis Obyek 1. Waduk 2. Situ 3. Sungai Jumlah
Luas Areal (Ha)
Produksi (ton) 2014
2015
%
10.049,00
696,88
832,69
1,95
222,00
35,86
32,46
(9,48)
81,65
6,33
14,85
134,60
10.352,65
739,07
880,00
19,08
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa produksi tahun 2015 mengalami peningkatan dibanding tahun 2014. Peningkatan produksi terutama disumbang dari perikanan waduk dan sungai. Sistem perbenihan di kedua kabupaten tersebut sudah mapan baik dari segi manajemen dan kelembagaan, namun tidak dengan pakan mandiri. Program peningkatan kemandirian pakan baru saja dicanangkan. Selama ini pakan ikan selalu tergantung pada pakan ikan komersial. Kesadaran yang snagat terlambat tersebut menyebabkan produksi pakan ikan mandiri baik dari segi manejemen dan kelembagaan masih sangat tertinggal bila dibandingkan dengan sistem perbenihan.
51
Program pakan mandiri di Kabupaten Subang dan Purwakarta mengikuti program nasiolan yang dicangkan tahun 2015 barupa gerakan pakan ikan mandiri (Gerpari). Sebelum program tersebut pengadaan pakan ikan oleh masyarakat belum mendapat perhatian dari pemerintah secara serius. Padahal pakan merupakan salah satu komponen penting dalam sistem industri perikana budidaya. Kesadaran pemerintah tentnag pentingnya kemandairian pakan di wujudkan dengan program Gerpari. Pemerintah memberikan bantuan permesinan kepada kelompok-kelompok pembuidaya ikan. Namun demikian program tersebut masih jauh dari sempurna. Banyak permasalahan yang dihadapi baik dari segi teknis, manajemen dan pengembangan pasar. Badan Litbang KP sejak tahun 2011 telah mengembangkan teknologi pakan ikan mandiri dibeberapa lokasi, selain pengembangan teknologi Badan litbang KP telah mengembangkan model pengembangan usaha pakan ikan. Salah satu lokasi yang sudah mendapatkan sentukan teknologi dan kelembagaan usaha adalah di Kabupaten Gunungkidul. Model yang dihasilkan dengan sistem kluster diharapkan menadi permodelan pengembangan pakan ikan dilokasi lain.
Mengingat kondisi sosial budaya dan kondisi tipologi usaha
yang berbeda-beda tentu penerapan model kluster memerlukan penyesuian-penyesuaian.
4.2.
Keragaan Usaha Perikanan Kabupaten Muaro Jambi
Kabupaten Muaro Jambi mempunyai potensi perikanan yang besar terutama
perikanan darat dengan komoditas utama ikan patin. Berkembangnya usaha budidaya ikan diikuti dengan berkembangya unit usaha pendukungnya seperti penyediaan benih maupun pakan ikan. Namun suplai benih ikan patin masih didominasi dari luar Muaro Jambi seperti Kota Jambi, Palembang, Lampung, dan Jawa Barat. Benih patin lokal berasal dari UPR yang berada di Kumpeh Ulu dan BPBAT Sungai Gelam. Benih patin yang dihasilkan dari BPBAT biasanya didederkan oleh pendeder di wilayah Kota Jambi untuk selanjutnya dibeli oleh pembudidaya ikan patin untuk ditebar di kolam pembesaran. Sedangkan UPR yang berada di Kumpeh Ulu menyediakan benih dalam ukuran yang untuk didederkan lagi maupun yang sudah siap untuk ditebar di kolam pembesaran. Selain pembenihan, unit usaha pendukung budidaya ikan patin adalah penyediaan pakan mandiri. Beberapa pembudidaya ikan telah mempunyai perlengkapan untuk memproduksi pakan sendiri sehingga lebih menghemat biaya operasional budidaya jika dibandingkan harusmembeli pakan dari pabrikan. Namun perkembangan produksi budidaya ikan patin saat ini mengalami permasalahan khususnya terkait dengan pemasaran. Produksi ikan yang dihasilkan sulit untuk dipasarkan karena 52
sedikitnya permintaan. Ikan patin yang dihasilkan pembudidaya biasanya dijual dalam ukuran sekitar 5 ons. Menurunnya permintaan ikan patin kepada pembudidaya di Muaro Jambi merupakan dampak dari semakin berkembangnya usaha budidaya ikan patin di daerah lain. Permintaan dalam wilayah lokal juga terbatas dan cenderung rendah jika ikan dari sungai sedang mengalami musim puncaknya. Kondisi saat ini diperkirakan suplai produksi ikan patin di Kab. Muaro Jambi mencapai 30 ton per hari dengan rincian 10 ton untuk pasar lokal dan 20 ton dikirim ke luar kota seperti ke Tebo, Muara Bungo, Surolangun, Merangin, Riau, Linggau, Sekayu, dan Bengkulu. Usaha budidaya ikan yang berkembang di Muaro Jambi selain patin adalah budidaya ikan lele. Usaha pembesaran ikan lele didukung dengan ketersediaan penyedia benih lele di Desa Pudak Kec. Kumpeh Ulu yang sudah berkembang sejak tahun 2010. Investasi yang dipperlukan dalam usaha pembenihan lele diantaranya kolam indukan dari tembok, kolam pemijahan dari terpal, kolam tanah yang dilengkapi dengan jaring waring. Selain itu diperlukan sarana pendukung seperti ijuk, serokan, bak sortir, blong dan beberapa perlengkapan lainnya. Jenis ikan lele yang dikembangkan adalah lele sangkuriang yang indukannnya diperoleh dari BPBAT Sungai Gelam. Produksi benih berkisar satu juta ekor dalam setahun dengan permintaan paling banyak pada Bulan Desember sampai dengan Maret dan permintaan sedikit pada Bulan Juni sampai dengan Oktober. Banyaknya permintaan pada Bulan Desember sampai dengan Maret diduga sebagai imbas berkurangnya pasokan ikan dari sungai. Benih yang dihasilkan dipasarkan terutama untuk memenuhi kebutuhan pembudidaya ikan lele di Kec. Kumpeh Ulu saja, danhanya sedikit yang dikirim ke kecamatan lain seperti Sekernan. Upaya yang dilakukan oleh Balai Perikanan Budidaya Budidaya Air Tawar (BPBAT) Sungai Gelam adalah Pengembangan Pakan Buatan Sendiri berbahan Baku Lokal, yang telah dirintis sejak tahun 2004. Pengembangan pakan buatan sendiri berbahan baku lokal ini, dimulai dengan mencari sumber-sumber berbagai bahan yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pakan ikan dengan kriterian : berbasis industri (kopra, kelapa sawit, padi, dll), berbasis limbah dari industri olahan, memiliki kandungan nutrient yang baik, tidak berkompetisi dengan kebutuhan manusia, tidak mengandung racun, dan ketersediaan berlimpah dengan harga bersaing. Saat ini BPBAT mempunyai pabrik pakan mandiri berkapasitas besar yang mampu berproduksi 2 ton per jam. Pabrik pakan dengan kapasitas besar ini dibangun tahun 2015 dan efektif produksi mulai Bulan Februari 2016 dengan produksi yang masih terbatas sambil menunggu proses regristrasi dan syarat administrasi lainnya agar dapat memenuhi permintaan konsumen. Total biaya investasi bangunan, perlengkapan mesin, dan modal 53
bahan baku awal mencapai 8 milyar rupiah dengan 3,5 milyar diantaranya untuk perlengkapan mesin. Sumber pengadaan merupakan APBN DJPB tahun 2015. Keberadaan pabrik pakan BPBAT diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pakan dengan harga murah baik bagi BPBAT maupun pembudidaya ikan sekitar. Saat ini operasional produksi pakan melibatkan 4 orang karyawan/teknisi dan dalam satu hari mampu menghasilkan produksi pakan sebanyak 5 ton dengan operasional usaha selama 5 jam. Kendala yang dihadapi pengelola pakan pabrik BPBAT adalah belum jelasnya regulasi yang mengatur keberlanjutan usaha kedepannya. Salah satu kawasan minapolitan di Muaro Jambi adalah di Sungai Gelam khususnya di Desa Tangkit Jaya. Usaha budidaya ikan di Kawasan Desa Tangkit Jaya mencapai 4000 kolam, namun saat ini yang terisi kolam diperkirakan hanya 30 persen saja. Sedikitnya kolam ikan yang terisi sebagai akibat rendahnya permintaan dan harga ikan Patin sehingga banyak pembudidaya ikan yang menderita kerugian. Dalam memenuhi kebutuhan pakan, para pembudidaya juga menggunakan pakan hasil produksi sendiri untuk menunjang pakan komersial. Mesin pakan yang digunakan pembudidaya ikan saat ini merupakan hasil rakitan yang diproduksi oleh bengkel wilayah sekitar dengan kapasitas produksi mencapai 2 ton per hari. Satu set perlengkapan mesin pakan madiri diperlukan biaya investasi sekitar 40 juta rupiah. Namun saat ini operasi produksi pakan belum berjalan lagi karena masih menunggu ketersediaan salah satu bahan baku yang belum datang. Di wilayah Tangkit Jaya sendiri saat ini hanya tersisa enam pabrik pakan mandiri dengan kapasitas produksi masing-masing pabrik berkisar antara 1 sampai dengan 2 ton. Pabrik pakan yang ada di Tangkit Jaya dalam memperoleh bahan baku diperoleh melalui usaha masing-masing, namun tetap menjalin koordinasi antar pembudidaya sehingga kebutuhan bahan baku dapat dipenuhi. Beberapa bahan baku utama seperti ikan rucah diperoleh dari Tanjung Jabung, jika tidak tersedia maka diperoleh dari wilayah lain seperti Lampung dan Jakarta. Sistem operasional usaha pembuatan pakan mandiri di Tangkit Jaya menggunakan teknik yang sederhana dengan mengaduk dan menggiling bahan baku yang sudah dicampur dengan komposisi tertentu. Hasil pakan mandiri di Tangkit Jaya denganpakan protein 25% dapat dijual seharga 5200 per kg lebih murah Rp2.300 dibanding dengan pakan pabrikan komersil yang dijual di pasar sebesar Rp7.500 per kg. Jika digunakan sendiri maka lebih hemat lagi Rp500 per kg nya karena biaya produksi pakan hanya sekitar Rp4.700 per kg. Perikanan Budidaya di Kab. Muaro Jambi mempunyai potensi yang besar terutama untuk komoditas ikan Patin dan Nila, selain itu produksi perikanan yang juga relatif berkembang di Muaro Jambi adalah ikan lele dan gurame. Pembangunan perikanan budidaya 54
di Muaro Jambi dilaksanakan melalui program minapolitan yang difokuskan di empat kecamatan diantara 11 kecamatan yang ada di wilayah Muaro Jambi. Keempat wilayah kecamatan wilayah minapolitan di Muaro Jambi adalah Kecamatan Kumpeh Ulu, Jambi Luar Kota, Sungai Gelam, dan Sekernan. Jumlah RTP budidaya di kawasan minapolitan mencapai 2.262 RTP dengan jumlah RTP terbanyak terdapat di Kec. Kumpeh Ulu yang mencapai 812 RTP. Sentra perikanan di Kec Kumpeh Ulu meliputi Desa Pudak, Kota karang, Lobak, dan Tarikan. Sementara itu jumlah tenaga kerja perikanan budidaya yang berada di kawasan minapolitan pada tahun 2015 mencapai 8.205 orang dengan jumlah tenaga kerja terbanyak terdapat di Kec. Kumpeh Ulu yang mencapai 3.248 orang (40%). Media budidaya utama di Muaro Jambi terdiri dari kolam dan KJA. Kolam khususnya untuk usaha budidaya patin dan lele, sedangkan KJA biasanya untuk budidaya ikan nila. Luas lahan kolam yang ada di Kab. Muaro Jambi pada tahun 2015 mencapai 480,75 hektar dengan luas lahan kolam terluas berada di Kecamatan Kumpeh Ulu yang mencapai 242,15 hektar (50%) diikuti dengan Kec. Sungai Gelam yang mencapai 173,5 hektar (36%). Sementara itu KJA tersebar di lima kecamatan yaitu Sekernan, Jaluko, Kumpeh, Maro Sebo, dan Taman Rajo. Jumlah KJA di Muaro Jambi tahun 2015 mencapai 4.391 unit dengan jumlah terbanyak terdapat di Kec. Jaluko yang mencapai 4.138 unit (94%). Kab. Muaro Jambi yang didukung dengan jumlah sarana prasarana perikanan budidaya dan sumber daya manusia yang cukup besar sehingga menghasilkan produksi perikanan budidaya yang cukup besar pula. Produksi perikanan budidaya pada tahun 2015 mencapai 24.679 ton dengan ikan Patin yang memberikan kontribusi produksi terbesar mencapai 15.228,4 ton (62%) diikuti dengan produksi ikan Nila yang mencapai 6.017 (24%). Produksi perikanan budidaya di kawasan minapolitan mencapai 21.913,4 ton atau memberikan kontribusi sebesar 89 persen terhadap produksi perikanan budidaya di Kab. Muaro Jambi. Produksi perikanan budidaya terbanyak di kawasan minapolitan terdapat di Kec. Kumpeh Ulu mencapai 9.832 ton (45% dari produksi perikanan budidaya). Besarnya produksi perikanan budidaya di Muaro Jambi belum didukung dengan ketersediaan benih dari wilayah lokal. Kebutuhan benih ikan khususnya patin banyak didatangkan dari luar wilayah Kab. Muaro Jambi seperti Kota Jambi, Palembang, Lampung, dan Jawa Barat. Produksi benih patin lokal diperkirakan hanya mampu memenuhi 10 persen kebutuhan pembudidaya ikan patin di Muaro Jambi. Sedangkan untuk kebutuhan benih ikan nila lebih banyak didatangkan dari luar kota seperti dari daerah Musi rawas. Benih dari lokal hanya dihasilkan oleh satu UPR dan satu BBI dan diperkirakan hanya mampu memenuhi 40% kebutuhan pembudidaya ikan nila di Muaro Jambi. Jumlah hatchery di Kab. Muaro 55
Jambi sekitar 14 unit yang tersebar di Kec Kumpeh Ulu (6 unit), Jaluko (4 unit), Sekernan (2 unit), dan Sungai Gelam (2 unit). Produksi benih yang dihasilkan di Kawasan minapolitan pada tahun 2015 mencapai 20.158.800 ekor dengan produksi terbanyak berada di Kec. Jambi Luar Kota yang mencapai 13.321.000 ekor (66%). Usaha budidaya ikan di Muaro Jambi khususnya jenis ikan patin, saat ini dihadapkan pada permasalahan rendahnya permintaan ikan jika dibandingkan dengan kapasitas produksi yang dihasilkan. Semakin banyaknya usaha budidaya patin di daerah lain sehingga menyebabkan penawaran ikan patin di pasaran berlebih dan harga ikan menjadi rendah. Saat ini sedang dicoba untuk memasarkan ikan patin ke Batam, namun permintaan ukuran per ekor ikan mencapai 1 kg ikan sedangkan produksi ikan di Muaro Jambi biasanya hanya sekitar 0,5 kg per ekor, sehingga diperlukan penambahan umur pemeliharaan sekitar 2 bulan lagi yang tentunya menambah beban biaya yang harus dikeluarkan pembudidaya. Pasar Batam diperkirakan mampu menampung satu ton ikan patin per hari. Beberapa upaya pengolahan ikan seperti pembuatan abon ikan, kerupuk juga sudah dilakukan namun belum banyak menyerap produksi ikan budidaya dan terkendala masalah pemasaran hasil produk ikan olahannnya. Selain itu usaha pengolahan filet ikan juga sedang dikembangkan namun masih terkendala juga dengan pemasaran produk yang dihasilkan karena jika untuk pasar lokal, preferensi masyarakat lebih menyukai ikan segar sedangkan kalau dikirim keluar daerah produk ikan filet yang dihasilkan kurang mampu bersaing dengan produk dari daerah lain dalam harga karena lokasi yang cukup jauh dari pasar. Jumlah mesin pellet mandiri di kawasan minapolitan Muaro Jambi tahun 2015 mencapai 101 unit dengan jumlah terbanyak terdapat di Kumpeh Ulu sebanyak 63 unit diikuti dengan Sungai Gelam yang mencapai 32 unit. Investasi yang diperlukan untuk penyediaan satu unit mesin pelet lengkap sekitar 60 juta rupiah. Tabel 10.
Luasan kolam di Kab.Muaro Jambi, 2011-2015
56
Tabel 11.
Jumlah KJA di Kawasan Minapolitan diKab. Muaro Jambi, 2011-2015
Tabel 12. Perkembangan jumlah produksi ikan budidaya menurut jenis komoditas di Kab. Muaro Jambi, 2011-2015
57
Tabel 13. Perkembangan jumlah produksi ikan budidaya Kawasan Minapolitan di Kab. Muaro Jambi, 2011-2015
Tabel 14. Jumlah Mesin pellet Pakan Mandiri di Kawasan Minapolitan Kab. Muaro Jambi, 2011-2015
4.3.
Keragaan Usaha Perikanan Kabupaten Brebes
Kabupaten Brebes mempunyai potensi Perikanan yang cukup luas dan potensial meliputi : 1. Perikanan Laut, panjang pantai + 53 Km 2. Perikanan Air Payau 3. Perikanan Air Tawar 4. Perikanan Perairan umum Perikanan Laut terdiri dari 2 jenis, yaitu Penangkapan dan Budidaya Laut. Dari kedua jenis usaha / kegiatan tersebut baru penangkapan yang berhasil dikembangkan di Kabupaten Brebes, sedangkan budidaya ikan laut baru mulai dikembangkan, disebabkan faktor-faktor penunjang budidaya yang belum sempurna. Oleh karena itu dibutuhkan suatu penelitian yang lebih khusus dengan metode / teknologi tertentu sehingga budidaya ikan laut dapat lebih berkembang. Usaha perikanan laut di Kabupaten Brebes, terpusat pada wilayah Kecamatan Bulakamba, Losari, Tanjung, Wanasari dan Brebes. Alat tangkap yang dominan adalah Jaring Kejer, Jaring Gemplo, Trammel Net, dan Jaring Udang. Komoditas unggulan untuk jenis penangkapan di Kabupaten Brebes adalah teri nasi, kembung, udang, pirik, sriding, kembung, dan layur. Perikanan Air Payau berbentuk usaha budidaya tambak. Luas Tambak Kabupaten Brebes 12.748,16 Ha dan terdapat di 58
sepanjang Pantura di 5 Kecamatan yaitu Kecamatan Brebes, Wanasari, Bulakamba, Tanjung dan Losari. Komoditas andalan untuk budidaya tambak dalam tahun 2014 adalah udang , rumput laut, bandeng. Sebagian besar pembudidaya menerapkan sistem polikultur
rumput laut,
bandeng, dan udang. Hal ini disebabkan karena penerapan teknologi budidaya sistem sirkulasi tertutup yang sudah cukup berhasil dan mulai diterapkan oleh para pembudidaya, serta adanya upaya-upaya perbaikan mutu lingkungan tambak yang sebagian telah menunjukkan hasil. Potensi/Lahan tambak di 5 Kecamatan di Kabupaten Brebes dalam Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 15. Potensi / Lahan Tambak di Kabupaten Brebes Tahun 2014 No.
KECAMATAN / DESA
LUAS ( Ha )
JUMLAH RTP
Kecamatan Brebes - Randusanga Wetan - Randusanga Kulon - Kaligangsa Wetan - Limbangan Wetan - Kaliwlingi - Kedunguter Jumlah
503,07 1.190,36 23,36 165,34 1.549,21 52,66 3.484,00
230 941 30 92 303 27 1.623
2.
Kecamatan Wanasari - Sawojajar Jumlah
1.310,58 1.310,58
275 275
3.
Kecamatan Bulakamba - Bangsri - Pulogading - Grinting - Pakijangan Jumlah
633,30 375,70 699,32 35,04 1.743,36
203 61 148 3 415
4.
Kecamatan Tanjung - Krakahan - Pengaradan - Trengguli - Tanjung Jumlah
678,57 1.583,66 63,27 229,50 2.555,00
107 533 29 44 713
5.
Kecamatan Losari - Prapag Kidul - Prapag Lor - Limbangan - Karangdempel - Kecipir
679,94 300,88 705,28 404,25 336,12
229 120 63 106 330
1.
59
- Pangabean - Losari Lor Jumlah Jumlah Total
56,43 100,94 2.583,84 12.748,16
91 62 1.001 4.027
Budidaya ikan di kolam dilakukan oleh petani di wilayah Kecamatan Brebes Selatan terutama Kecamatan Salem, Bantarkawung, Paguyangan, Sirampog, Bumiayu dan Tonjong. Luas Lahan kolam ikan dalam tahun 2014 dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 16. Luas Lahan Kolam Ikan dan Jumlah RTP dalam Tahun 2014 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
KECAMATAN
LUAS ( Ha )
RTP
Salem Bantarkawung Bumiayu Paguyangan Sirampog Tonjong Larangan Ketanggungan Banjarharjo Losari Tanjung Kersana Bulakamba Wanasari Jatibarang Songgom Brebes
49,97 14,21 19,76 12,60 1,52 5,28 0,66 0,19 1,57 0,12 1,78 1,11 0,09 0,19 0,39 0,18 4,77
892 101 100 86 42 67 5 4 22 9 23 29 17 10 13 16 23
Jumlah
114,40
1.459
Perairan umum dikembangkan untuk pemanfaatan perairan waduk dengan usaha budidaya ikan dalam keramba apung dan pelaksanaan kegiatan penebaran benih ikan (restocking). Waduk di Kabupaten Brebes ada 2 buah yaitu : - Waduk Malahayu di Desa Malahayu Kec. Banjarharjo, Luas : 702 Ha - Waduk Penjalin di Desa Winduaji Kec. Paguyangan, Luas : 125 Ha Jumlah Nelayan di perairan umum : 691 orang. Komoditas ikan : ikan karper, tawes, nila, patin dan lain-lain. Kebijaksanaan yang diambil dalam peningkatan produksi perikanan dan kelautan Kabupaten Brebes diarahkan kepada tercapainya produksi baik volume maupun nilainya dengan berorientasi pasar dan sesuai dengan potensinya. 60
Adanya beberapa upaya yang ditempuh dalam menggali usaha penangkapan di laut, budidaya air payau, budidaya air tawar, dan pemanfaatan perairan umum, yaitu melalui ekstensifikasi, intensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi di bidang perikanan.Produksi perikanan Kab. Brebes dalam tahun 2014 dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 17. Produksi Perikanan Kabupaten Brebes Tahun 2014 No. 1.
Asal Produksi Penangkapan di Laut (TPI dan di luar TPI) Penangkapan di Perairan Umum (Waduk dan Sungai) Budidaya - Kolam - Tambak JUMLAH
2. 3.
Jumlah Produksi (Kg) 2.924.513
Nilai produksi (Rp.) 24.947.673
291.318
3.410.327
2.898.510 59.567.620 65.681.961
40.608.097.000 273.328.400.000 313.964.855.000
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa produksi ikan tertinggi berasal dari usaha budidaya air payau (tambak), kemudian disusul usaha penangkapan di laut, penangkapan di perairan umum dan budidaya air tawar (kolam). Tingginya produksi usaha budidaya air payau (tambak) disebabkan luas lahan yang cukup memadai dan potensial, teknologi yang sebagian mulai dikuasai dan kesiapan petambak itu sendiri (bukan sambilan). Penangkapan di laut telah lama diusahakan dan sangat tergantung pada daerah fishing ground serta upaya penangkapan, sedangkan pemanfaatan perairan umum dan budidaya air tawar telah mulai berkembang. Usaha penangkapan ikan di laut diarahkan pada daerah-daerah penangkapan (fishing ground) yang potensial dan komoditas yang mempunyai pangsa pasar serta memiliki nilai ekonomis penting yang tinggi terutama komoditas ekspor. Produksi perikanan tangkap di laut diperoleh dari hasil pelelangan di 11 TPI yang ada di Kabupaten Brebes dilihat pada tabel berikut. Tabel 18. Produksi Tangkapan Ikan yang Dilelang di 12 TPI NO 1 2 3 4 5 6 7
NAMA TPI Kluwut Kaliwlingi Pulolampes Sawojajar Pesantunan Krakahan Pengaradan
Produksi ( Kg ) 1.066.426 13.890 1.192.080 22.788 234.331 277,307
Nilai ( Rp. ) 9.418.604 203.299 5.614.380 378.244 4.586.967 1.981.819 61
8 9 10 11 12
Prapag Kidul Prapag Lor Karang Dempel Grinting Kaligangsa JUMLAH
37.491 32.117 48.084 -
1.159.990 860.250 744.121 -
2.924.514
24.947.673
Jenis ikan yang banyak dilelang antara lain : petek, pari, beloso, dan cumi-cumi. Peningkatan hasil produksi ikan yang dilelang dan jumlah raman yang diperoleh mengindikasikan bahwa ada peningkatan pengetahuan dan kesadaran nelayan untuk melelang hasil tangkapannya di Tempat Pelelangan Ikan yang telah tersedia. Kebijakan perikanan budidaya diarahkan untuk mengembangkan perikanan budidaya yang berdaya saing, ramah lingkungan dan berkelanjutan, melalui strategii intensifikasi, ekstensifikasi, revitalisasi dan diversifikasi budidaya. Kebijaksanaan dalam usaha budidaya di tambak diarahkan pada penerapan teknologi tradisional plus dan berwawasan lingkungan dengan manajemen produksi yang mengarah kepada efisiensi biaya operasional dan perawatan. Kebijaksanaan ini diambil sebagai upaya perbaikan dan pemulihan terhadap potensi yang telah lama diusahakan, dengan harapan dapat meningkatkan produksi dan menjamin kelestarian. Kondisi ini akan menciptakan iklim usaha budidaya tambak yang bernilai ekonomis, kondusif dan stabil. Perkembangan produksi tambak dan jenisnya tahun 2014 dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 19. Perkembangan Produksi Tambak dan Jenisnya Tahun 2014 No 1. 2. 3. 4. 5.
Komoditas Rumput Laut Bandeng Udang Windu Udang Vaname Ikan lainnya Jumlah
Produksi (Ton) 47.171,80 10.217,70 753,23 1.191,44 59.334,17
Nilai Produksi (Rp.000) 47.171.800 122.612.424 45.193.740 53.614.800 268.592.764
Secara umum komoditas yang dibudidayakan di tambak adalah bandeng, udang, rumput laut dan kepiting. Sedangkan komoditas yang lain berupa nila dan hasill sampingan dari tambak.
62
Budidaya di kolam di Kabupaten Brebes telah berkembang. Secara umum potensi kolam hampir ada di setiap Kecamatan di Brebes, namun yang cukup potensial perkembangannya berada pada wilayah Brebes bagian selatan. Kebijaksanaan pengembangan budidaya ikan air tawar diarahkan pada pemeliharaan diversifikasi komoditas yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, pangsa pasar yang kuat, cepat tumbuh dan berkembang. Sedangkan untuk daerah yang sumber airnya kurang diarahkan pada pemeliharan pada jenis ikan labirin. Perkembangan produksi kolam di Brebes dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 20. Perkembangan Produksi Kolam dan Jenisnya Tahun 2014 No
Jenis Ikan Budidaya
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Mas/Karper Nila Tawes Lele Gurame Nilem Tambakan Patin Lainnya JUMLAH Produksi Tahun 2013
Jumlah Produksi (Ton) 94,25 564,31 147,08 1.967,77 31,95 25,99 4,06 14,76 2.850,17 2.960,92
Nilai Produksi (Rp.000) 1.885.000 6.771.690 1.764.960 27.548.780 958.512 519.700 24.500 265.590 39.738.732 45.001.606
Dari tabel di atas menunjukan bahwa secara umum perkembangan poduksi kolam di Kabupaten Brebes mengalami peningkatan sebesar 60% dan nilai produksi meningkat sebesar 72,84 % dari tahun lalu. Peningkatan disebabkan karena beberapa faktor, antara lain : peningkatan produktivitas lahan,serta peningkatan pengetahuan pembudidaya tentang sistem CBIB. Perairan umum di Kabupaten Brebes meliputi waduk dan sungai. Ada dua buah waduk yang cukup luas, yaitu Waduk Malahayu dan Waduk Penjalin. Waduk menyimpan sumberdaya bagi masyarakat di sekitar waduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Produksi perairan umum di Kabupaten Brebes dapat dilihat pada tabel 15. Perairan umum di Kabupaten Brebes meliputi waduk dan sungai. Ada dua buah waduk yang cukup luas, yaitu Waduk Malahayu dan Waduk Penjalin. Waduk menyimpan sumberdaya bagi masyarakat di sekitar waduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Produksi perairan umum di Kabupaten Brebes dapat dilihat pada tabel berikut.
63
Tabel 21. Perkembangan Produksi di Perairan Umum Tahun 2014 No
Jenis Ikan
Produksi (Ton)
Nilai Produksi (Rp.)
1.
Gabus
8,89
172.675.000
2.
Mujair
8,102
81.020.000
3.
Nila
24,987
2.868.436.000
4.
Mas
1,423
30.565.000
5.
Betutu
2,365
82.600.000
6.
Patin
7,058
89.100.000
7.
Lele
-
-
8.
Ikan Lainnya
9,815
142.801.000
9.
Udang Air Tawar
3,818
71.685.000
29,318
3.538.882.000
JUMLAH
Dari tabel 15 dapat dilihat bahwa secara umum produksi di perairan umum didominasi oleh ikan nila. Jumlah produksi dibandingkan tahun lalu menurun cukup tajam, hal ini disebabkan menurunnya jumlah restocking ikan, sedangkan ikan alami yang besar di lingkungan waduk mengalami pertumbuhan yang relatif lama. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes mengelola Balai Benih Ikan (BBI) dan Unit Pembenihan Rakyat (UPR) yaitu : 1) Balai Benih Ikan (BBI) Malahayu di Desa Malahayu Kec. Banjarharjo. Luas tanah 39.853 M2, Luas Kolam 32 petak : 13.710 M2, jenis ikan yang ada Tawes, Karper dan Nila. 2) Balai Benih Ikan (BBI) Jatirokeh di Desa Jatirokeh Kec. Songgom. Luas tanah 9.040 M2 dan Luas Kolam 9 petak : 6.309 M. Unit Pembenihan Rakyat (UPR) di Kec. Salem, Tonjong dan Bantarkawung. Jenis ikan yang ada : Mas, Tawes dan Lele Dumbo. UPR di Kabupaten Brebes sebanyak 25 unit. Produksi benih ikan dari BBI dan UPR di Brebes dapat dilihat pada tabel berikut.
64
Tabel 22. Perkembangan Produksi Benih Ikan di Kab. Brebes No
Jenis Benih
Jumlah Produksi (x 1000 ekor)
1.
Mas
565,50
2.
Nila
1.301,62
3.
Tawes
1.103,10
4.
Lele
7.871,08
5.
Gurami
6.
Bandeng
25.544,26
JUMLAH
36.423,90
38,34
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa produksi benih ikan dalam tahun 2014 meningkat sangat drastis dibanding tahun 2013. Hal ini disebabkan karena adanya penambahan induk komoditas ikan bagi UPR dan BBI Lokal dan adanya peningkatan sarana prasarana BBI di Kab. Brebes. Beberapa pemasalahan dan hambatan yang dihadapi oleh sektor perikanan dan kelautan dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Bidang Perikanan Laut
Tingkat pemanfaatan perikanan di perairan pantai ( Pantura ) sudah semakin padat ( padat tangkap ) / populasi ikan semakin menurun.
Pengetahuan dan ketrampilan nelayan masih terbatas dan tradisional.
Sedimentasi yang tinggi menyebabkan pendangkalan di muara sungai sehingga menggangu lalu lintas kapal ke TPI / PPI.
Terbatasnya permodalan nelayan sehingga berkembang sistem ijon yang merugikan nelayan.
Belum adanya sistem informasi pasar yang terpadu.
Belum memadainya coldstorage lokal sehingga pada saat ikan melimpah harga ikan jatuh.
Masih adanya penggunaan alat tangkap yang dilarang.
2. Bidang Usaha Perikanan Air Payau / Tambak
Sedimentasi yang tinggi yang menyebabkan pendangkalan saluran tambak.
Sulitnya mencari benih ikan yang unggul dan benar benur murni.
Tingginya harga saprodi dan terbatasnya modal yang dimiliki petani. 65
Masih kurangnya kesadaran petani dalam penerapan budidaya ramah lingkungan.
Rusaknya ekosistem lingkungan pesisir/pantai dan areal pertambakkan.
3. Bidang Usaha Perikanan air Tawar
Masih rendahnya tingkat pengetahuan dan ketrampilan petani kolam.
Usaha budidaya perikanan air tawar/kolam masih merupakan usaha sambilan.
Kapasitas produksi benih dari BBI dan UPR belum optimal sehingga banyak benih disuplai dari luar Kabupaten Brebes.
Tingginya harga saprokan dan permodalan terbatas.
Untuk beberapa komoditas pemasaran masih sulit
4. Bidang Usaha Perikanan Perairan Umum
Diversifikasi usaha perikanan perairan umum belum banyak dilakukan oleh masyarakat sekitar waduk seperti usaha budidaya ikan dengan keramba jaring apung, jaring tancap dll.
Masih banyak nelayan perairan umum menggunakan alat tangkap jaring bermata jaring kecil sehingga ikan-ikan kecil ikut tertangkap.
Masih rendahnya kesadaran nelayan perairan umum menggunakan alat tangkap yang diijinkan untuk dioperasikan.
Belum adanya tata ruang waduk sehingga penggunaan area waduk untuk berbagai usaha belum teratur.
4.4.
Keragaan Usaha Perikanan Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Sleman
Gunungkidul merupakan salah satu wilayah paling kering di Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta, dan sering disebut daerah miskin. Melihat kondisi iklim tersebut memang Gunungkidul layak disebut daerah kering, sehingga produksi perikanan tidak berkembang. Namun dengan berjalannnya waktu, perikanan budidaya mulai dikenal dan dimasyarakatkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Gunungkidul. Sumberdaya perikanan, terutama perikanan budidaya, mulai mendapat perhatian yang cukup signifikan dari pemerintah daerah, khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gunungkidul. Selain sumber air yang terbatas, beberapa hal yang menghambat perkembangan perikanan budidaya antara lain : tingginya harga pakan komersial, sistem perikanan budidaya yang masih tradisional, dan jumlah kepemilikan kolam yang terbatas. Produksi perikanan budidaya meningkat dari tahun ketahun, pada tahun 2010 total produksi 3.073,25 ton, pada tahun 2011 naik menjadi 3.768,37 ton, pada tahun 2012 naik 66
produksi ikan budidaya sebesar 4.860,31 ton (Dinas KP Gununkidul, 2015). Produksi perikanan budidaya sebagian besar berasal dari hasil budidaya kolam (dengan sentra prosukdi di kecamatan Ponjong, Semin, Karangmojo, dan Playen), budidaya pada telaga (terutama pada kecamatan-kecamatan yang berada di wilayah/bagian selatan kabupaten Gunungkidul. Menurut data statistik, luas kolam air tawar 3.100 ha, perairan umum (telaga, cekdam, sungai, dan genangan air) seluas 904 ha, dan luas tambaknya 20 ha. RTP yang terlibat sebanyak 6.261. Budidaya perikanan air tawar yang saat ini mulai digalakkan adalah lele karena lele, nila, dan gurame yang merupakan jenis ikan yang mudah budidayaka. Program yang digalakkan adalah budidaya ikan lele lahan kering yang saat ini sedang menjadi andalan utama. Potensi yang cukup tinggi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan dan kelautan dijadikan program pengembangan perikanan dalam bentuk bantuan berbagai program dan paket. Dilihat dari target benih yang diproduksi di Kabupaten Gunungkidul selama lima tahun terakhir juga mengalami kenaikan cukup tajam, apabila tahun 2011 targetnya 45 juta ekor, maka pada tahun 2015 ditargetkan 108 juta ekor (Dinas KP Gunungkidul, 2015). Jumlah produksi benih apabila digunakan untuk pembesaran di Gunungkidul maka diperlukan jumlah pakan yang cukup besar. Sebagaian besar biaya dalam budidaya ikan adalah untuk biaya pakan, sekitar 60 % biaya produksi terkosentrasi untuk pakan. Tingginya prosentasi biaya pakan merupakan salah satu peluang usaha pakan ikan mempunyai prospek usaha yang bagus. Usaha pakan ikan yang bersumber pada potensi bahan baku lokal menjadi salah satu daya tarik lain, sehingga pakan ikan bisa berkembang disuatu wilayah. Adanya potensi bahan baku dan berkembangnya perikanan budidaya disuatu wilayah merupakan kombinasi yang merangsang tumbuhnya industri pakan ikan mini berbahan baku lokal. Pakan ikan bisa dari bahan kaya protein baik hewani maupun nabati, dengan syarat misalnya, mengandung nutrisi tinggi, mudah diperoleh, mudah diolah. Bahan baku yang umum digunakan adalah jagung dedak padi, bungkil keledai, dedak gandum, tepung ikan, minyak sawit, mineral dan asam amino. Komposisi tiap bahan diramu sesuai kebutuhan jenis ikan. Pakal ikan lokal yang memanfaatkan produk lokal, sehingga harga pakan ikan bisa lebih murah 25-35 % dari harga pakan ikan yang dibuat dengan bahan baku import. Peluang terlihat dari besarnya kebutuhan pasar pasokan ikan untuk mencukupi kebutuhan konsumen masih belum memadai. Pakan ikan merupakan komponen utama dalam usaha perikanan menjadi suatu hal yang penting. Saat ini harga pakan ikan mencapai Rp. 7.500 / kg. Tingginya harga pakan diakibatkan oleh ketergantungan bahan baku dari luar 67
negeri. Impor tepung ikan sebagai bahan baku mencapai 50.000 – 60.000 ton/ tahun, sekitar 50 % dan total kebutuhan. Industrialisasi Perikanan Budidaya di Gunungkidul Kebijakan pemerintah untuk menjadi penghasil produk perikanan utama dunia didukung dengan berbagai program, program minapolitan merupakan kebijakan strategis yang ditetapkan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan. Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu lokasi percontohan minapolitan, khususnya untuk komoditas ikan lele. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain: pembinaan, pelatihan dan pendampingan kepada pokdakan. Program yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan antara lain : bantuan terpal; paket benih unggl; pakan ikan unggul; paket budidaya, sarana produksi (mesin pelet, pompa air, bak penampungan, material pembuatan kolam dsb; bantuan modal usaha melalui Pengembangan Usaha Mina Pedesaan/PUMP). Dilihat dari data statistic produksi perikanan budidaya selama 3 tahun terakhir mengalami peningkatan cukup signifikan. Produksi perikanan budidaya dari tahun ke tahun meningkat dari tahun ketahun, pada tahun 2010 total produksi 3.073,25 ton, pada tahun 2011 naik menjadi 3.768,37 ton, pada tahun 2012 naik produksi ikan budidaya sebesar 4.860,31 ton (Dinas KP Gununkidul, 2015). Produksi perikanan budidaya sebagian besar berasal dari hasil budidaya kolam (dengan sentra prosukdi di kecamatan Ponjong, Semin, Karangmojo, dan Playen), budidaya pada telaga (terutama pada kecamatan-kecamatan yang berada di wilayah/bagian selatan kabupaten Gunungkidul. Menurut data statistik, luas kolam air tawar 3.100 ha, perairan umum (telaga, cekdam, sungai, dan genangan air) seluas 904 ha, dan luas tambaknya 20 ha. RTP yang terlibat sebanyak 6.261. Budidaya perikanan darat yang saat ini mulai digencarkan adalah lele karena lele merupakan jenis ikan yang mudah dikembangbiakkan, serta tidak memerlukan perawatan intensif. Program yang digalakkan adalah budidaya ikan lele lahan kering yang saat ini sedang tren. Potensi yang cukup tinggi ini ditangkap oleh Dinas Kelautan dan Perikanan dan kelautan dan masyarakat secara antusias menyambut program ini. Dilihat dari target benih yang diproduksi di Kabupaten Gunungkidul selama lima tahun terakhir juga mengalami kenaikan cukup tajam, apabila tahun 2011 targetnya 45 juta ekor, maka pada tahun 2015 ditargetkan 108 juta ekor (Dinas KP Gunungkidul, 20125). Jumlah produksi benih apabila digunakan untuk pembesaran di Gunungkidul maka diperlukan jumlah pakan yang cukup besar. 68
Potensi Pakan Lokal Bahan baku yang telah diidentifikasi dari kegiatan IPTEKMAS tahun 2011 ada sebanyak 23 jenis bahan baku yang sudah teridentifikasi yang berpotensi menjadi bahan baku pakan lokal. Bahan baku menurut NCR (1993) telah distandarisasi untuk mengetahui kualitas bahan baku. Bahan baku yang telah diidentifikasi dari segi potensi jumlah dan kualitasnya menunjukan bervariasi. Bahan baku dapat dapat digunakan sebagai bahan baku pakan ikan apabila dari segi harga murah. Sumber bahan baku selain diperoleh dari sekitar lokasi juga diperoleh dari beberapa daerah lain yang ada disekitar lokasi. Kerjsama sama antar daerah Pawonsari (Pacitan, Wonogiri dan Wonosari/Gunungkidul) dimana diketiga kabupaten tersebut ada klinik iptek mina bisnis (KIMBis) menjadikan kerjasama pengadaan bahan baku menjadi lebih mudah. Para pelaku dengan difasilitasi oleh KIMBis telah mengadakan kontak bisnis pengadaan bahan baku untuk pabrik pakan mina bisnis. Dari kabupaten Pacitan pengurus pabrik pakan mini memperoleh bahan baku tepung ikan dari Wonogiri tersedia bahan baku minyak ikan. Untuk emncukupi kebutuhan bahan baku selain dibangun melalui jaringan kerjasama antar daerah Pawonsari, juga di fasilitasi oleh KIMBis yang berada dilokasi lain, salah satunya di kabupaten Tegal. Adanya jaringan pengadaan bahan baku yang difasilitasi KIMBis memudahkan pengurus pabrik pakan dalam menjamin keterediaan bahan baku. Jaringan pengadaan bahan baku dan pengembangan jaringan usaha perikanan budidaya yang difasilitasi KIMBis di Kabupaten Gunungkidul dapat dilihat seperti pada alur gambar 1.
69
Gambar 12.
Jaringan pengembangan pakan lokal dan pengembangan perikanan budidaya yang difasilitasi KIMBIs di Kabupaten Gunungkidul
(Sumber: Wardono, 2013) Sunarno (2010) menyatakan karena sifat dinamik ketersediaan bahan baku maka penggunaan komposisi bahan baku tergantung kepada proses pengolahan dan ketersediaan bahan tersebut. Dinamika pengadaan bahan baku menjadi salah satu poin kritis dalam usaha pengembangan pabrik pakan lokal. Oleh karena itu penguatan jaringan dalam pengadaan bahan baku menjadi salah satu komponen penting. Melalui jaringan kerjasama KIMBis yang berada di berbagai daerah membantu memudahkan dalam pengadaan bahan baku. Kerjsama regional ini diharapkan sebagai pilar utama pengembangan pabrik pakan mini diberbagai daerah. Pabrik Pakan Ikan Mini “NGUDI HASIL” Pabrik pakan ikan mini mulai dikembangkan oleh Dinas Kelautandan Perikanan, keseriusan dilakukan dengan adanya paket-paket bantuan mesin pencetak pelet yang diberikan kepada kelompok-kelompok pembudidaya ikan yang berda disentra-sentra produksi ikan seperti di Kecamatan Ponjong, Nglipar dan beberapa lokasi lainnya. Dalam perkembangannya pioneer-pioner pabrik pakan lokal ini banyak menghadapi kendala antara lain kekurangan bahan baku, kekerangan modal dan belum berkembangnya manajemen yang 70
baik. Kondisi ini menyebabkan beberapa pabrik pakan tidak dapat berproduksi. Melalui kegiatan IPTEKMAS pada tahun 2011, telah direvitalisasi pabrik pakan mini, salah satunya yang dikelola oleh kelompok Ngudi Hasil di desa Genjahan, Kecamatan Ponjong. Melalui renovasi ini telah dilakukan melalui sosialisasi dan pelatihan pembuatan pakan yang melibatkan para pelaku pembuat pakan, pemangku kepentingan yang terkait. Menurut Suprayudi (2010) kualitas pakan ditentukan oleh kualitas bahan baku penyusun pakan, formulasi dan proses pembuatan pakan. Formulasi pakan merupakan salah satu komponen penting yang harus dikuasai agar pabrik pakan menghasilkan kualitas pakan yang baik. Diperlukan seorang formulator yang benar-benar menguasi teknis formula pakan ikan, salah satu kunci keberhasilan pabrik pakan adalah keberadaan seorang formulator yang handal. Pabrik pakan ikan yang dikelola oleh kelompok “NGUDI HASIL” dengan menggunakan sumberdaya bahan baku lokal dengan kapasita produksi 2000 kg/hari, mempunyai Keunggulan : 1). Dikleola oleh kelompok masyarakat yang tergabung dalam kelompok “NGUDI HASIL” kelompok ini merupakan pembudidaya ikan yang merasa bahwa usaha budidaya ikan tidak dapat mengandalkan pakan komersial. Kesadaran tersebut akhirnya membulatkan tekad untuk bisa mandiri pakan dengan membuat pabrik pakan skala mini dengan menggunakan bahan baku yang berasal dari daerah sekitar. 2). Potensi produksi maksimal 1-2 ton/hari; mengikat kebutuhan pakan ikan lokal yang berkualitas, mala pabrik pakan mini diproduksi dengan kualitas yang bagus. Menurut hasil analisis laboratotium jurusan Perikanan UGM, kandungan protein pakan ikan lokal untuk pembesaran mencapai 36.97 %. Kandungan protein ini lebih besar dari protein pakan ikan komersial. 3). Pabrik pakan NGUDI HASIl dibangun disentra pengembangan perikanan budidaya desa Genjahan, Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunungkidul, sehingga keberadaanya dapat diterima oleh masyarakat setempat. 4). Para pembudidaya ikan yang berada di desa Genjahan sebagian telah menggunakan pakan ikan lokal. Hasil demplot pada kolam lele, pakan lokal menunjukkan kinerja yang cukup baik. Meskipun pakan lokal belum dapat diterima sepenuhnya diterima oleh pelaku usaha budidaya, namun dengan adanya demplot-demplot dan pendampingan yang dilakukan secara terus menerus pakan ikan lokal diharapkan mampu menggeser penggunaan pakan komesial; 5). Sudah dikenal oleh masyarakat setempat/lokal maupun masyarakat pembudidaya dari luar daerah. Keberadaan pabrik pakan lokal sudah mulai dikenal oleh masyarakat disekitar pabrik maupun diluar lokasi. Bahkan beberapa pembudidaya di luar daerah telah melakukan pembelian pakan lokal produksi pabrik “Ngudi Hasil” 6). Harga jual pakan lebih murah dari pakan komersial. Dengan menggunakan formula yang memenuhi standar SNI, produk pakan lokal harganya jauh lebih murah dari pada pakan 71
komersial. Menurut hasil analisis pakan lokal bisa lebih murah 30-40 % dari pakan komersial. Kemampuan bersaing pakan lokal dikarena pakan menggunakan bahan baku yang banyak tersedia di lokasi sehingga mengurangi biaya transport bahan baku. Sampai saat ini usaha untuk pengembangan pabrik pakan lokal masih mengalami kendala antara lain, belum bisa menjaga kontinuitas produksi, hal ini disebabkan beberapa hal yang saling berkaitan, pengadaan bahan baku yang belum kontinyu dan keterbatasan biaya serta belum lancarnya sistem pembayaran merupakan beberapa hal yang menjadi penghambat perkembangan pabrik pakan mini. Namun dengan semakin berkembangnya usaha perikanan budidaya dan semakin percayanya para pembudidaya dengan kualitas dan efektifitas pakan hasil pabrik mini, menjadi keberlanjutan usaha pabrik pakan mini berbasis bahan baku lokal tetap mempunyai prospek yang bagus. Dalam implementasi dilapangan telah dilakukan demplot - demplot penggunaan pakan lokal baik yang dilakukan oleh kelompok maupun secara mandiri oleh para pelaku usaha budidaya. Salah satu kelompok pembudidaya yang secara rutin telah menggunakan pakan lokal adalah kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan) Tirtomoyo yang berada di dusun Susukan II, Desa Genjahan, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul. Pokdakan tersebut membuat demplot yang dikelola oleh kelompok, dan anggota-anggotanya menggunakan pakan lokal secara mandiri. Penggunaan pakan ikan lokal merupakan salah satu implementasi dari prinsip-prinsip blue economy yang menjadi salah satu program kementerian kelautan dan perikanan. Pakan ikan berbahan baku lokal dengan memanfaatkan bahan baku dan limbah usaha (tepung ikan, tepung MBS dll) merupakan pemanfaatan limbah sebagai bahan baku pakan lokal. Penerapan prinsip blue economy ini dapat mengurangi limbah yang yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan pakan lokal. Pakan lokal yang dihasilkan berupan pakan induk (dengan kadar protein tinggi) dan pakan pembesaran dengan kadar protein sesuai peruntukannya (ikan lele, nila dan gurame) dengan kadr protein yang berbeda-beda. Penerapan pakan lokal juga mampu memberikan manfaat luas bagi para pelaku usaha budidaya ikan, hal ini terbukti penggunaan pakan lokal mampu nenekan biaya sebesar 2030% sekaligus meningkatkan keuntungan para pelaku. Selain itu jaringan bahan baku pakan mampu menggerakkan ekonomi secara regional antar wilayah. Adanya putaran bahan baku dan pakan ikan lokal tersebut mampu menggerakkan ekonomi sekaligus dapat memberikan nilai tambah secara ekonomi. Usaha pengembangan pabrik pakan dilakukan dengan 1). Pendaftaran produksi pakan agar bisa dipasarkan lebih luas, pendaftaran mutlak perlu dilakukan agar mendapatkan 72
pengakuan secara hokum pada produk yang dihasilkan; 2). Meningkatkan manajemen usaha dengan membentuk kelembagaan usaha, pengembangan pabrik pakan lokal harus dikelola secara profesonal, pengembangan kelembagaan usaha dalam bentuk koperasi atau yayasan menjadi prioritas dan saat ini sedang diproses. 3). Membentuk jaringan pengadaan bahan baku melalui jaringan Klinik Iptek Mina Bisnis (KIMBis) di Kabupaten Pacitan, Wonogiri, Tegal dan beberapa daerah lainnya yang mempunyai potensi bahan baku; 4). Memperluas jaringan pasar produk pakan lokal. Melalui jaringan KIMBis beberapa lokasi memerlukan produk pakan yang dihasilkan oleh pabrik pakan mini NGUDI HASIL. Secara teknis, indikator kualita pakan ditentukan oleh feed convertion ratio (FCR), selain mencerminkan kandungan nutrisi dalam pakan, nilai FCR juga mengisyaratkan efiensi pemanfaatan oleh ikan (Sunarno, 2013). Pakan lokal hasil produksi Ngudi Hasil, telah menghasilkan beberapa formula sesuai kebutuhan. Untuk Pakan ikan pembesaran kandungan proteinnya 36,97 % yang berarti berada diatas rata-rata pakan komersial. Pada periode awal pengembangan pabrik pakan lokal, ketersediaan bahan baku secara kontinyu menjadi titik kritis keberhasilan pengembangan parbik pakan lokal. Faktor inilah yang menjadi penentu apakah suatu pabrik pakan bisa tetap berproduksi dan bisa tetap berkelanjutan.
4.5.
Gambaran Umum Perikanan Kab. Cirebon
Kabupaten Cirebon mempunyai potensi perikanan
darat (kolam
dan
waduk),
perikanan tambak, dan perikanan Laut. Kecamatan kapetakan adalah kecamatan dengan produksi perikanan tambak terbesar, 4.361,42 ton, dengan luas 2.035,24 Ha. Tabel 23. Produksi Perikanan Budidaya di Kab Cirebon Jenis ikan
Produksi (ton) 2010
2011
2012
2013
2014
Mas
137,01
131,99
195,07
239,32
151,58
Tawes
28,00
33,45
32,81
115,20
26,60
Mujair
370,50
268,07
262,66
508,57
129,76
Nilem
8,46
14,02
26,54
203,00
112,57
Gurami
174,83
186,59
270,08
249,70
381,61
Sepat Siam
33,40
11,11
128,80
10,00
8,53
Tambakan
80,50
72,87
67,08
54,95
37,15
Nila
328,38
329,51
429,96
1.139,80
264,35
73
Lele Lainnya Patin
4.6.
636,21
890,70
2.420,17
2.534,00
1.304,71
5.510,00
39,00
25,51
-
6,48
13,34
15,03
39,23
150,45
76,75
7.320,63
1.992,34
3.897,91
5.204,99
2.500,09
Gambaran Umum Kabupaten Indramayu
Kabupaten Indramayu terletak di pesisir utara Pulau Jawa, yang melalui
11kecamatan dengan 36 desa yang berbatasan langsung dengan laut dengan panjang garis pantai 147 Km. Sektor perikanan di Kabupaten Indramayu mempunyai potensi yang besar. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah pelaku usaha perikanan yang selalu meningkat dalam sepuluh tahun terakhir. Pada tahun 2005 jumlah pelaku usaha perikanan di Indramayu mencapai 68.166 orang dan terus meningkat menjadi 84.833 orang pada tahun 2015. Subsektor perikanan tangkap pada tahun 2015 masih mendominasi jumlah pelaku usaha perikanan di Indramayu yaitu mencapai 40.655 orang atau 48 % dari total pelaku usaha perikanan di Indramayu. Selanjutnya pelaku usaha perikanan budidaya di tambak dan kolam juga cukup banyak terdapat di Kab. Indramayu. Perkembangan jumlah pelaku usaha perikanan di Kab. Indramayu dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 24. Jumlah Pelaku Usaha Perikanan di Kab. Indramayu
Perkembangan produksi perikanan di Kab. Indramayu terjadi secara dinamis dan terus mengalami peningkatan. Namun tren peningkatan produksi perikanan budidaya jauh lebih besar daripada perikanan tangkap. Bahkan, pada tahun 2015 produksi perikanan budidaya di tambak lebih tinggi dibandingkan dengan produksi perikanan tangkap laut. Besarnya perkembangan jumlah produksi perikanan menurut subsektor perikanan dapat dilihat pada tabel berikut. 74
Tabel 25. Jumlah Produksi Perikanan Menurut Subsektor Perikanan di Kab. Indramayu
Kabupaten Indramayu mempunyai potensi perikanan yang besar baik dari perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Produksi perikanan budidaya pada tahun 2015 mencapai 263.450 ton yang terdiri dari 185.141 ton dari budidaya di tambak dan 78.308 ton dari budidaya di kolam. Sentra budidaya tambak terutama terdapat di kecamatan Cantigi, Pasekan dan Sindang, sedangkan sentra perikanan budidaya terutama terdapat di kecamatan Losarang, Cantigi dan Pasekan. Besarnya produksi perikanan budidaya di Indramayu didukung dengan berkembangnya usaha pembenihan baik untuk memenuhi kebutuhan budidaya kolam maupun tambak. Usaha pembenihan yang ada di Indramayu pada umumnya menghasilkan benih lele, udang, dan bandeng. Benih lele terutama dihasilkan oleh UPR yang terdapat di daerah Kecamatan Gabus. Benih lele yang dihasilkan oleh UPR di Kecamatan Gabus pada umumnya dijual pada umur 4-12 hari dan memenuhi sebagian besar permintaan benih oleh pembudidaya ikan lele di Kab. Indramayu. UPR udang yang ada di Indramayu pada umumnya memperoleh naupli dari daerah Cilacap, Pangandaran untuk selanjutnya dibesarkan sampai usia sekitar 2 minggu dan selanjutnya dijual kepada petani budidaya tambak udang terutama yang berada di wilayah Kab. Indramayu. Tabel 26. Produksi Budidaya Perikanan di Kab. Indramayu Tahun 2015
75
Sebagai daerah penghasil perikanan budidaya yang besar, Kab. Indramayu memerlukan dukungan ketersedian input perikanan budidaya yang murah dan berkelanjutan. Salah satu input yang penting dalam usaha budidaya perikanan di Indramayu adalah pakan yang merupakan komponen biaya usaha yang relatif besar. Mengingat besarnya komponen biaya untuk pakan maka sebagian kecil pembudidaya ikan mulai mencari alternatif pakan pabrikan yang harganya cukup mahal dengan melakukan usaha mendirikan pabrik pakan mandiri. Beberapa usaha pakan mandiri yang sudah mulai berkembang diantaranya berada di Kec. Gantar dan Desa Brondong, Pasekan. Bahan baku pakan mandiri cukup tersedia di Kab. Indramayu. Walaupun ketersedian bahan baku pakan cukup tersedia di Kab.Indramayu namun saat ini pengusaha pakan mandiri di Kec. Gantar masih mendatangkan bahan baku 76
tepung ikan dari daerah lain seperti Brebes dan Pandeglang. Namun salah satu pengusaha pakan mandiri di Indramayu sudah menghasilkan tepung ikan yang berasal dari ikan rucah yang diperoleh di sekitar pendaratan ikan di Indramayu. Kendala yang dihadapi pengusaha pakan mandiri di Indramayu diantaranya adalah lokasi gudang pakan mandiri yang relatif dekat dengan pemukiman berakibat pada kurang diterimanya usaha pakan mandiri oleh masyarakat karena mengganggu ketertiban masyarakat khususnya terkait dengan bau ikan. Hal ini seperti yang dialami pengusaha pakan mandiri di Kec. Gantar yang pernah memproduksi tepung ikan namun karena usahanya menghasilkan bau yang kurang menyenangkan sehingga mendapatkan penolakan dari warga. Namun pada usaha pakan yang ada di Brondong sampai saat ini masih menghasilkan tepung ikan sendiri dan masih terus berlangsung karena lokasi pabrik yang jauh dari pemukiman warga sehingga tidak mengganggu kepentingan warga
77
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.
Kinerja Usaha Pakan Mandiri
Analisis Kelayakan Usaha Perbenihan dan Pakan (NPV dan NPV at risk) Penghitungan kelayan investasi sesuai metodologi yang biasa digunakan adalah
dengan memperhitungkan nilai NPV, IRR, PP dan BC Ratio. Penghitungan kriteria tersebut tanpa memperhitungkan berbagai ketidakpastian dan resiko yang dihadapi oleh para pelaku usaha. Asumsi dasarnya adalah usaha dapat dilakukan resiko dan ketidakpastian yang nihil. Untuk menghitung kelayakan investasi secara klasik perhitungan dasar yang harus dilakukan adalah Biaya Operasional Pakan Ikan Mandiri Biaya Tetap Secara umum, biaya operasional yang dikeluarkan untuk usaha pakan mandiri terdiri dari biaya tetap dan variabel. Biaya tetap, sesuai dengan namanya, bernilai tetap, tidak tergantung dengan tingkat operasional yang dilakukan. Dengan kata lain, pada usaha pakan mandiri, berapa pun tingkat produksi yang dilakukan, tidak akan merubah besaran biaya tetap yang dikeluarkan. Berdasarkan definisi tersebut, maka pada usaha pakan ikan mandiri yang dijadikan objek penelitian, biaya tetap ini akan terdiri dari: 1) Tanah dan Banguna/Asset; 2) Angsuran Pinjaman; dan 3) Mesin produksi, 4) alat pengering. Umur ekonomi masingmasing biaya tetap berbeda-beda. Dari hasil perhitungan, usaha pakan ikan mandiri secara total akan mengeluarkan biaya tetap pertahun sebesar Rp. 365.000.000,-. Biaya Variabel Berbeda dengan biaya tetap, nilai dari biaya variabel pertahun usaha pakan ikan mandiri akan berubah-ubah mengikuti tingkat produksi pakan yang dilakukan. Adapun jenisjenis biaya yang tergolong kedalam biaya Variabel pada usaha tersebut adalah: 1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Besaran dari PPN ini adalah sebesar 10% dari nilai penjualan yang terjadi; 2. Pajak Penghasilan. Besaran Pajak Penghasilan ini adalah sebesar 15% dari keuntungan yang diperoleh; 3. Bahan baku. Besaran nilai biaya baku akan terkait langsung dengan tingkat produksi pakan. Bahan baku yang digunakan ada bebeerapa macam tergantung ketersediaan. Namun sebagai patokan adalah kulitas produk yang dihasilkan harus memenuhi standar SNI produk pakan ikan dan tergantung tingginya kandungan prodtein pakan ikan yang dihasilkan.Biaya bahan pembantu yang terdiri listrik, 78
Solar, Air, Karung yang dikeluarkan terpengaruh juga oleh produksi yang dilakukan. 4. Biaya Bahan bakar yang digunakan untuk operasional pabrik pakan 5. Biaya Tenaga Kerja, yang digunakan selama proses produksi pakan ikan. Perhitungan produksi pakan ikan dengan menggunakan formula Tabel... untuk menghasilkan produksi pakan ikan dengan kandungan protein minal 28 %. Formula kapan seperti Tabel diperoleh biaya produksi sebesar Rp. 4.220.25/kg. Tabel 27. Formula Paakan Ikan Produksi Pabrik Pakan Ikan Mandiri
Total Biaya Variabel yang timbul untuk pabrik pakan dapat dilihat pada tabel 7.. Komponen biaya variabel yang paling dominan dalam kandungan total biaya variabel adalah bahan baku untuk tepung ikan, tepung kedelai, dan dedak/bekatul.. Hasil analisis klasik ditampilkan pada Tabel.....
79
Tabel 28. NPV Klasik Hasil Kelayakan Investasi Pabrik Pakan Ikan Mandiri
Model NPV at Risk Investasi usaha pakan mempunyai ketidakpastian yang menyebabkan timbulnya resiko yang dihadapi oleh para pelaku usaha. Kriteria kelayakan investasi secara klasik tidak mampu menerangkan/menangkap fenomena yang terjadi tersebut. Oleh karena itu dikembangkan model yang mampu mengakomodasi perhitungan resiko-resiko yang dimasukkan ke dalam model dengan melakukan analisis NPV at risk. NPV at risk pada prinsipnya menggambarkan bagaimana resiko-resko yang dihadapi oleh pelaku dapat diakomodir dalam model dan dapat diperhitungkan. Langkah-langkah yang dilakukan bisa digambarkan sebagai berikut.
Analisis dapat dilakukan dengan menggunakan sofhware tertentu misalnya @RISK versi 7 atau menggunakan microsofe exel. Review model adalah identifikasi awal seperti pada NPV klasik (hasil NPV klasik digunakan sebagai basic dalam penghitungan NPV at risk. Menurut Ye dan Tion (2000) penghitungan NPV at risk menggunakan cah flow yang terbatas pada perhitungan sebelum pajak.. Asumsi yang digunakan dalam model NPV at Risk a. Cash flow yang diperhitungkan adalah cash flow yang dihitung setelah pengurangan pajak (net cash flow after tax) sehingga terlihat bagaimana kinerja aliran keuangan suatu proyek secara lebih baik. 80
b. Penentuan fungsi distribusi variabel resiko yang tidak mempunyai kecukupan data historis didasarkan atas penilaian secara subjektif dengan pertimbangan hasil wawancara dengan ahli sehingga output yang dihasilkan akan lebih relevan mengingat ketepatan suatu output akan tergantung dari penentuan fungsi distribusi variabelvariabel resikonya. Identifikasi Komponen Cash Flow dan Asumsinya Komponen arus kas (cash flow) dalam investasi terdiri dari aliran kas masuk (cash inflow) yang merupakan unsur pendapatan operasi dan arus keluar (cash outflow) yang merupakan unsur beban atau biaya. Hal lain yang perlu diperhitungkan adalah pengenaan pajak baik pajak bumi dan bangunan (PBB) maupun pajak penghasilan dengan ketentuan tarif yang diberlakukan pada kegiatan usaha tersebut dan biaya depresiasi peralatan yang diperhitungkan dalam laporan laba/rugi. Komponen pendapatan diperoleh dari penjualan produk berupakan pakan ikan. Kenaikan pendapatan dipengaruhi oleh kenaikan laju inflasi yang dapat mempengaruhi harga jual produk yang dihasilkan. Pengembangan Model Cash Flow Pengembangan model cash flow ditujukan untuk menjelaskan bagaimana keterkaitan atau hubungan antar variabel, sehingga terbentuk model cash flow yang merepresentasikan model secara keseluruhan. Ketidakpastian biaya dan penerimaan dari usaha akan mempengaruhi posisi cash flow yang dihasilkan. Adapun pengembangan model model cash flow yang dibuat dapt diuraikan sebagai berikut: 1. Menentukan biaya investasi, yaitu biaya yang muncul dari pembelian dan pembangunan sarana produksi usaha pakan. 2. Menentukan besarnya revenue/pendapatan/penerimaan yang tergantung dari besarnya jumlah produksi dikalikan harganya. 3. Menentukan penyesuaian terhadap besarnya harga jual produk pakan di tahun berikutnya yang dipengaruhi oleh perubahan inflasi. 4. Menentukan besarnya volume produksi pakan dalam kondisi dalam kondisi ketidakpastian, yang menyebabkan terganggunya produksi pakan. Besarnya produksi sesuai dengan pengamatan/survey lapang. 5. Menentukan besarnya ketidakpastian biaya operasional usaha yang dapt dirumuskan dengan: 6. Menentukan besarkanya kas bersih dari operasional setelah dikurangi pajak. Kas bersih hasil operasional merupakan cash flow usaha yang dirumuskan sebagai berikut Rumus 81
7. Menghitung Net Present Value setelah didiskon denga WACC. Disconto cash flow menggunakan Weighted Average Cost of Capital (WACC) dengan pertimbangan memasukkan struktur permodalan yaitu rasio utang dan equity dalam menentukan discount ratenya. Penerapan WACC dalam penelitian ini dengan menentukan cost of debt berdasarkan tingkat suku bunga pinjaman yang berlaku dan cost of equity berdasarkan penilaian secara subyektif dari pemilik modal (investor). WACC merupakan rata-rata tertimbang dari cost of equity dan cost of debt yang dihitung setelah pajak. Pengukuran fungsi probabilitas variabel resiko merupakan suatu cara untuk merepresentasikan ketidakpastian suatu kejadian dari variabel acak yang ditentukan dari ketersediaan data yang ditentukan dari ketersediaan data. Fungsi probabilitas fungsi resiko tergambar seperti pada Tabel berikut. Tabel 29. No
Asumsi Distribusi Variabel Ketidakpastian
1 2 3
Variabel Ketidakpastian Laju inflasi (%) BI Rate Volume produksi
4 5
Kegagalan produksi Biaya operasional
Fungsi Distribusi Probabilitas Lognormal (empiris) Normal (empiris) Lognormal (empiris)
Sumber data
Web site BI Website BI Mean untuk tiap ouput diperoleh dari data produksi Normal (Subjektif) Estimasi subjektif Log normal Mean dari data produksi (subjektif)
Asumsi yang digunakan dalam menentukan fungsi distribusi probabilistik adalah variabel resiko karena ketidakcukupan data. 5.1.1. Analisis
Kelayakan
Finansial-Resiko
Usaha
Pakan
Mandiri
Model
“Jogjanan” Kebutuhan Investasi Berbagai asumsi investasi yang harus dikeluarkan untuk memulai berusaha memproduksi pakan ikan model “Jogjanan” dapat dilihat pada tabel 1. Secara total, Investasi bagi usaha ini memerlukan pengeluaran sebesar kurang lebih 350.000.000,-. Porsi Investasi terbesar dikeluarkan untuk mendirikan bangunan sebesar 46% dari total investasi, sisanya sebesar 43% untuk penyediaan lahan pabrik, 8% untuk penyediaan dua unit mesin dan 3% untuk penyediaan satu unit alat pengering. 82
Setiap unit mesin yang dimiliki memiliki kapasitas produksi sebanyak 300 Kg perhari kerja. Dengan dua buah mesin yang dimiliki, maka usaha pakan Model “Jogjanan” ini akan memiliki kapasitas produksi maksimum sebanyak kurang lebih 600 Kg pakan perhari. Dari kapasitas maksimum tersebut, saat ini usaha pakan Model “Jogjanan” baru beroperasi ratarata sebanyak 350 Kg/hari. Tabel 30. Item
Kebutuhan Investasi Usaha Pakan Ikan Model “Jogjanan” Harga Satuan (Rp.)
Lahan Bangunan Mesin Alat Pengering Total Sumber: Data Primer
150.000 160.000.000 15.000.000 10.000.000
Volume Satuan Umur Ekonomi 1000 1 2 1
m2 Unit Unit Unit
1000 10 3 1
Total Biaya (Rp.) 150.000.000 160.000.000 30.000.000 10.000.000 350.000.000
Kebutuhan Operasional Setelah melakukan investasi, agar usaha pakan ikan dapat berproduksi, maka perlu dipenuhi berbagai kebutuhan Operasional, yang akan dibahas terperinci pada bagian di bawah berikut ini. Bahan Baku
Kebutuhan operasional utama yang harus terpenuhi adalah bahan baku bagi proses
produksi. Bahan baku ini merupakan bahan utama yang diproses dan menjadi bagian dari produk yang dihasilkan. Tabel 2 menunjukkan berbagai bahan baku yang dibutuhkan, harga satuan, jumlah serta total biaya bahan baku yang harus dikeluarkan untuk memproduksi Pakan sebanyak rata-rata 350 Kg/Hari. Secara Total, untuk memproduksi pakan ikan sebanyak itu akan mengeluarkan biaya bahan baku senilai Rp. 1.505.372,-. Komponen bahan baku yang paling dominan dari total tersebut adalah Tepung Ikan dengan porsi sebanyak 60%. Selain itu sebanyak 15% dari total tersebut juga akan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan akan Dedak Halus, dan 15% untuk Bungkil Kopra. Sedangkan sisanya sebanyak 10% akan dipergunakan untuk penyediaan Minyak Cumi, Multi Vit, Tapioka dan Phytase.
83
Tabel 31.
Kebutuhan Bahan Baku Perhari
Item
Harga (Rp.)
Tepung Ikan Bungkil Kopra Dedak Halus Minyak Cumi Multi Vit Binder (Tapioka) Phytase (Enzym) Total
Kebutuhan
Satuan
164,5 70,0 106,7 1,7 1,7 4,8 0,4
Kg/hari Kg/hari Kg/hari Kg/hari Kg/hari Kg/hari Kg/hari
5.5 3.2 2.1 17 35 7.5 58
Total Biaya (Rp./Hari) 904.737 223.997 224.172 29.75 61.249 36.093 25.375 1.505.372
Sumber: Data Primer Bahan Pembantu
Selain bahan baku, proses produksi juga akan membutuhan beberapa bahan yang
membantu kelancaran proses akan tetapi tidak menjadi bagian dari produk yang dihasilkan. Bahan semacam itu umumnya disebut bahan pembantu. Tabel 3 menunjukka daftar bahanbahan pembantu yang dibutuhkan, harga, volume, satuan dan total biaya bahan pembantu yang harus dikeluarkan perhari berproduksi. Secara total, dalam sehari berproduksi, usaha pakan ini akan mengeluarkan biaya sebanyak Rp. 257.945,70. Dari total tersebut, sebanyak 85% akan dialokasikan untuk kebutuhan bahan bakar berupa Solar. Sedangkan 15% sisanya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan atas listrik, LPG dan Karung. Tabel 32.
Kebutuhan Bahan Pembantu Perhari
Item Solar Listrik
Harga (Rp.)
7500 1.365
LPG Karung Total Sumber: Data Primer
17.000 2.250
Volume
Satuan 30 L/hari Kwh/hari 0,18 1 Tabung/hari
Total (Rp./hari) 225.000,0 245,7
7 Karung/hari
15.750,0
17.000,0
257.945,7
Tenaga Kerja
Komponen terakhir yang dibutuhkan untuk melakukan produksi pakan ikan adalah
Tenaga kerja. Tenaga kerja ini, selain dibutuhkan untuk mengoperasikan mesin dan alat-alat 84
yang telah dimiliki, juga untuk proses manajemen. Oleh Karena itu, usaha pakan ikan membutuhkan dua macam tenaga kerja, yaitu buruh dan Manajer. Tabel 4 menunjukkan kebutuhan tenaga kerja, Biaya Satuan, Volume, Satuan dan Total Biaya yang harus dikeluarkan. Pemanfaatan buruh pada proses produksi akan menimbulkan biaya berupa upah, dengan besaran Rp. 200 perkilogram pakan yang dihasilkan. Secara total, setiap hari produksi, maka usaha pakan ikan ini akan mengeluarkan biaya upah sebanyak Rp. 70.000,-. Berbeda dengan buruh, bayaran bagi manajer tidak terikat dengan jumlah pakan yang dihasilkan. Bayaran tersebut akan diberikan setiap bulannya, oleh Karena itu usaha pakan ini harus mengeluarkan biaya berupa gaji manajer sebanyak Rp. 2.500.000,- perbulan. Tabel 33.
Kebutuhan Tenaga Kerja
Item Upah Produksi Gaji Manajer Produksi Sumber: Data Primer
Biaya Satuan 200 2.500.000
Volume Satuan 350 Orang/Kg
Total
1 Orang/bln
70.000/hari 2.500.000/bln
Penerimaan Usaha Penerimaan usaha pakan ikan mandiri ini hanya berasal dari penjualan pakan hasil produksinya. Dari hasil wawancara dengan pengurus usaha, diperoleh informasi bahwa harga jual yang dikenakan atas produk yang dihasilkan adalah sebesar Rp. 6.462/Kg. Dengan berbagai asumsi seperti yang telah dikemukakan terdahulu, maka diperkirakan dalam satu tahun akan diproduksi sebanyak kurang lebih 70 ton Pakan Ikan. Dari kedua informasi tersebut, maka dapat diperkirakan hasil penerimaan usaha kotor pertahun dari usaha pakan ikan Model “Jogjanan” ini adalah sebesar kurang lebih Rp. 450 Juta. Resiko Usaha Selain berbagai asumsi biaya dan penerimaan seperti yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, agar kajian yang dilakukan dapat mengakomodir adanya ketidakpastian baik dari segi internal maupun eksternal usaha, maka dibutuhkan berbagai informasi terkait resiko yang dihadapi usaha pakan ikan Model “Jogjanan” ini. Dari hasil survey yang dilakukan, telah teridentifikasi beberapa ketidakpastian pencetus resiko yang umumnya dihadapi. Secara garis besar terdapat tiga hal yang terkait dengan resiko usaha pakan Ikan, yaitu: Keberlanjutan Produksi, Kapasitas Produksi dan Penerimaan Kas.
85
Tabel 5 telah merangkum informasi hasil survey di Propinsi DIY (Sleman dan Gunungkidul) terkait berbagai asumsi resiko yang dihadapi usaha pakan ikan mandiri di Propinsi DIY (Sleman dan Gunungkidul). Pada bagian selanjutnya dapat dicermati juga pembahasan terkait bagaimana masing-masing angka resiko pada tabel 5 tersebut telah ditentukan. Tabel 34. Rangkuman Asumsi Resiko Usaha Pakan Ikan Mandiri Model “Jogjanan” pada kondisi eksisting Range Bawah
Range Atas
Rata-rata
Kontinyuitas
50%
75%
180
Kapasitas
35%
80%
575
100%
100%
Produksi/hari Kelancaran Pembayaran Sumber: Olahan Data Primer Ketidakpastian Keberlanjutan Produksi
Resiko ini terkait dengan seberapa banyak hari dalam setahun usaha bersangkutan
dapat melakukan kegiatan produksi dibandingkan dengan potensi maksimum hari kerja dalam satu tahun. Ketidakpastian ini dapat terjadi sebagai akibat dari berbagai faktor, baik internal maupun internal. Kurang-lancarnya pasokan bahan baku dan rendahnya permintaan merupakan beberapa faktor eksternal yang biasanya mengganggu keberlanjutan produksi. Dari sisi internal, kerusakan mesin, kemampuan merawat mesin serta kurangnya modal untuk membiayai kegiatan produksi merupakan beberapa faktor internal yang biasanya mengganggu keberlanjutan produksi. Rendahnya tingkat keberlanjutan usaha tidak selalu berdampak pada terjadinya kerugian, akan tetapi umumnya resiko ini akan mengakibatkan semakin kurang-tertariknya investor untuk berinvestasi di suatu usaha sebagai akibat dari rendahnya Net Present Value (NPV) yang diperoleh. Rendahnya NPV menggambarkan rendahnya pengembalian dari usaha atas investasi yang dilakukan. Selain itu rendahnya tingkat keberlanjutan usaha dapat juga berdampak terhadap meningkatnya kemungkinan terjadi NPV negatif, yang mengindikasikan ketidakberlanjutan dari usaha pada jangka panjang. Sebagai asumsi dasar, usaha pakan ikan mandiri Model “Jogjanan” dalam satu minggu melakukan lima hari produksi, sehingga jika dalam satu tahun terdapat 48 minggu, maka secara maksimum dapat mencapai 240 hari produksi. Dari wawancara yang dilakukan, 86
telah diperoleh informasi bahwa di lokasi ini, dalam setahun hanya melakukan kegiatan produksi lima hari setiap minggunya, dalam 10 bulan. Informasi tersebut menunjukkan besaran tingkat keberlanjutan produksi di lokasi ini, yaitu sebesar 200 hari dari 240 hari, atau 83,33%. Ketidakpastian Tercapainya Kapasitas Produksi
Resiko ini terjadi pada proses produksi, yang diketahui dari adanya penyimpangan
jumlah yang diproduksi perhari dari maksimum kapasitas produksi perhari yang terpasang. Seperti halnya resiko keberlanjutan produksi, resiko ini dipengaruhi oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Ketersediaan bahan baku serta rendahnya permintaan merupakan pencetus resiko dari sisi eksternal. Sedangkan kondisi mesin, keterampilan buruh serta kurangnya modal untuk berproduksi merupakan beberapa faktor pencetus resiko dari sisi internal. Munculnya resiko ini dapat berdampak terhadap rendahnya keuntungan yang diperoleh serta tidak menariknya usaha bagi investor akibat dari rendahnya NPV. Meskipun tidak selalu berdampak terhadap munculnya kerugian, akan tetapi meningkatkan kemungkinan terjadinya nilai NPV negatif. Selain tidak menarik untuk investor, NPV negatif juga mengindikasikan bahwa usaha tidak akan bisa berkelanjutan pada jangka panjang akibat dari tidak mampunya usaha untuk melakukan re-investasi untuk menggantikan berbagai mesin yang sudah dimakan usia. Dari hasil wawancara dengan pengurus usaha pakan mandiri di lokasi ini, diperoleh informasi bahwa kapasitas mesin yang terpasang memungkinkan untuk dilakukan produksi sebanyak 800 Kg perhari. Dari hasil olahan data yang diperoleh, umumnya usaha pakan Ikan Model “Jogjanan” ini memproduksi sebanyak 400 Kg – 500 Kg dalam sehari. Dari data yang diperoleh maka dapat dihitung kapasitas produksi yang tercapai berkisar antara 37,5% hingga 50%. Ketidakpastian Penerimaan Kas
Resiko ini umumnya tinggi terjadi pada usaha yang menerapkan sistem penjualan
piutang. Penerapan sistem penjualan piutang, terutama apabila pembayaran diterima setelah pembudidaya melakukan panen, cenderung meningkatkan frekuensi tidak terbayarnya piutang. Hal ini berkaitan adanya resiko eksternal yang tidak dapat dikendalikan, berupa kegagalan panen, fluktuasi harga ikan dan/atau bahkan moral hazard. Dari hasil wawancara dengan pengurus usaha pakan ikan di lokasi ini dilakukan secara sistem piutang dengan pembayaran dipotong langsung pada saat penjualan hasil panen. 87
Permintaan pakan ikan umumnya datang dari para pembudidaya di sekitar lokasi usaha yang mayoritas terkumpul dalam satu kelompok usaha perikanan. Baiknya hubungan antara penyuluh dari dinas dengan kelompok pembudidaya mengakibatkan rendahnya kemungkinan terjadinya kegagalan panen. Sehingga resiko tidak diterimanya kas adalah sebesar 0%, atau dengan kata lain kelancaran penerimaan kas dari usaha pakan ikan di lokasi ini dapat dinilai sebesar 100%. Analisis Usaha-Resiko Analisis sensitifitas digunakan untuk melihat dampak dari suatu keadaan yang berubah-ubah terhadap dampak suatu analisis. Tujuannya untuk melihat kembali hasil analisis suatu kegiatan investasi atau aktifitas ekonomi apabila terjadi suatu kesalahan atau adanya perubahan di dalam perhitungan biaya dan manfaat. Faktor-faktor resiko yang digunakan dalam penelitian ini meliputi parameter perubahan harga-harga input, penurunan/kenaikan harga output dan penurunan jumlah produksi. Input yang dimaksud adalah input variabel yang digunakan dalam proses produksi seperti tepung ikan, bekatul, minyak ikan, tepung tapioka, vitamin, dll. Perubahan parameter ini diperkirakan akan mempengaruhi tingkat kelayakan usaha. Cash flow yang digunakan dalam analisis sensitifitas adalah cash flow yang tidak dipengaruhi oleh adanya ketidakpastian dan resiko bisnis. Analisis sensitifitas pada dasarnya merupakan analisis untuk memprediksi tingkat kelayakan jika terjadi perubahan-perubahan dari elemen cash flow. Besarnya perubahan-perubahan diperoleh dari data perubahan yang terjadi pada kegiatan usaha pakan ikan mandiri. Menurut Gittinger (1986) suatu variabel pada analisis sensitifitas adalah nilai pengganti (swithing value). Suatu pengujian dalam penggunaan nilai pengganti yang dilakukan oleh peneliti harus menentukan berapa besarnya proporsi manfaat yang akan turun akibat manfaat sekarang neto menjadi nol. Nilai nol merupakan titik/nilai dimana tingkat pengembalian ekonomi menjasi sama persis dengan discount rate dan perbandingan manfaat investasi netto menjadi nol. Setelah dijabarkan berbagai asumsi bagi analisis yang telah dilakukan, maka pada bagian ini akan dibahas hasil analisis Usaha-Resiko dari usaha pakan ikan mandiri di Lokasi DIY (Sleman dan Gunungkidul). Analisis Usaha-Resiko pada prinsipnya adalah analisis usaha dengan sedikit modifikasi berupa dimasukannya berbagai resiko sebagai faktor penimbang dari keberlanjutan suatu usaha. Oleh karena itu, sebelum analisis usaha, akan 88
dilakukan terlebih dahulu simulasi Montecarlo sebagai gambaran dari adanya ketidak pastian pada usaha pakan ikan di Propinsi DIY (Sleman dan Gunungkidul). Dalam Simulasi Montecarlo Usaha Pakan Ikan ini, telah dilakukan 40.000 kali iterasi secara acak berdasarkan sebaran normal dengan hasil seperti tertera pada tabel 6; Rata-rata angka Produksi Harian sebanyak 459 Kg/Hari; Hari Produksi Pertahun sebanyak 191 Hari/Tahun; dan Penerimaan Kas Pertahun adalah sebesar Rp. 98,9 Juta Pertahun. Ketiga angka tersebut akan dipergunakan sebagai input dalam penyusunan analisis usaha-resiko yang pada akhirnya akan menghasilkan rata-rata Angka Keuntungan Usaha Pertahun serta NPV. Bagian selanjutnya akan membahas lebih terperinci mengenai Keuntungan Usaha serta NPV yang diperoleh. Tabel 35. Rata-rata Hari Kerja, Produksi dan Penerimaan Kas Hasil Simulasi Montecarlo RATA-RATA SATUAN HARI KERJA
191
Hari/Th
PRODUKSI PERHARI
459
Kg/Hari
PENERIMAAN KAS
932.923.488
Rp./Th
Sumber: Simulasi Montecarlo Rata-rata Keuntungan Usaha Pada tabel 7 dapat dilihat informasi yang dihasilkan simulasi, yaitu Rata-rata Keuntungan Usaha dan Tingkat Resiko Kerugian dari usaha Pakan Ikan Mandiri Model “Jogjanan”. Dengan menerapkan berbagai asumsi resiko pada bagian terdahulu pada proses simulasi, diperoleh Rata-rata keuntungan pertahun usaha pakan ikan mandiri Model “Jogjanan” pada angka Rp. 98,9 Juta, dengan standar deviasi sebesar 48 juta. Adapun angka keuntungan pertahun paling rendah yang dapat terjadi adalah sebesar Rp, 10,70 Juta, sedangkann angka keuntungan pertahun paling tinggi yang dapat terjadi adalah sebesar Rp. 225,8 Juta. Hasil simulasi pada tabel 7 juga menunjukkan bahwa sepanjang berbagai asumsi yang telah dinyatakan pada bagian terdahulu tidak berubah, maka dapat dipastikan bahwa usaha pakan ikan mandiri Model “Jogjanan” ini akan memberikan keuntungan bagi pelakunya. Rentang rata-rata keuntungan pertahun yang berkisar antara Rp. 10,70 Juta hingga Rp. 225,8 Juta menunjukkan bahwa usaha pakan ikan Model “Jogjanan” 100% akan memberikan keuntungan. Sehingga, seperti juga dapat dilihat pada tabel 7, tingkat Resiko kerugian dari usaha pakan mandiri di lokasi tersebut adalah 0%. Tabel 36. Rata-rata Keuntungan Usaha Pertahun Serta Tingkat Resiko Kerugian Usaha Pakan Ikan Mandiri Model “Jogjanan” Hasil Simulasi Montecarlo 89
Rata-rata STDev
99,057,244.40 48,468,926.72
Max
225,888,129.22
Min
10,537,656.90
Resiko Negatif
0%
Sumber: Simulasi Montecarlo Kumulatif Probabilitas Keuntungan Usaha
Gambar 1 menunjukkan seberapa besar probabilitas terjadinya nilai keuntungan
pertahun tertentu dari usaha pakan mandiri Model “Jogjanan”. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa usaha tersebut 100% akan menghasilkan keuntungan, dengan rentang antara Rp. 10 juta hingga Rp. 225,9 Juta. Dari gambar tersebut juga dapat dilihat bahwa angka probabilitas keuntungan akan semakin rendah seiring dengan semakin tinggi angka keuntungan. Sebagai ilustrasi, probabilitas bagi terjadinya keuntungan di atas Rp. 80 juta adalah sebesar 100%; probabilitas terjadinya keuntungan di atas Rp. 100 Juta akan berada pada kisaran 48%; dan probabilitas terjadinya keuntungan di atas Rp. 150 Juta adalah 15%. Sumber: Analisis Montecarlo Besarnya nilai margin usaha tahunana dan rata-rata NPV Tahunan apabila digambarkan secara grafik dapat dilihat seperti pada Gambar 1 dan Gambar 2
Gambar 13.
Kumulatif Probabilitas Margin Usaha Pakan Ikan Model “Jogjanan”
Sumber: Simulasi Montecarlo
90
Rata-rata NPV
Tabel 8 menunjukkan angka-angka hasil simulasi terkait analisis finansial dari usaha
pakan mandiri Model “Jogjanan”. Berdasarkan berbagai Asumsi Resiko yang telah dikemukakan, diperoleh rata-rata NPV usaha senilai Rp. -238 Juta, dengan standar deviasi sebesar 41 juta. Selain itu, diperoleh angka NPV paling rendah yang dapat terjadi senilai Rp. -310 Juta, sedangkan angka NPV tertinggi yang dapat terjadi adalah senilai Rp. -167 Juta. Hasil simulasi juga membawa pada kesimpulan bahwa tanpa adanya perubahan dari berbagai asumsi resiko yang dipergunakan pada proses simulasi, usaha ini sepenuhnya tidak akan memenuhi syarat finansial untuk dijalankan. Rentang angka NPV dari Rp. -310 Juta hingga Rp. -167 Juta menunjukkan terdapat probabilitas sebesar 100% bahwa usaha ini akan menghasilkan nilai NPV lebih kecil dari 0, seperti tertera pada tabel 8. Temuan tersebut menggambarkan bahwa penerimaan usaha pakan Ikan mandiri Model “Jogjanan” tidak mampu untuk memberikan pengembalian atas investasi yang dilakukan sehingga menjadi tidak menarik bagi investor dan usaha tersebut tidak akan mampu bertahan pada jangka panjang tanpa adanya bantuan dalam hal investasi.
Tabel 37. Rata-rata NPV Usaha Pertahun Serta Tingkat Resiko Kerugian Usaha Pakan Ikan Mandiri Model “Jogjanan” Hasil Simulasi Montecarlo
Sumber: Simulasi Montecarlo
Kumulatif Probabilitas NPV
Gambar 2 menunjukkan kumulatif probabilitas berbagai nilai NPV dari usaha pakan
ikan mandiri Model “Jogjanan”. Dapat dilihat bahwa NPV kumulatif yang terjadi berada pada rentang antara Rp. -561,8 Juta hingga Rp. 209,7 juta Juta, hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan berbagai asumsi seperti yang telah dikemukakan, nilai kumulaitif NPV hanya sebesar kurang 10% akan terjadi nilai NPV positif, sisanya nilai kumulataif NPV (90 %) memberikan nilai NPV negatif, atau probabilitas dari terjadinya nilai NPV positif adalah sebesar 10%. Gambar 2 juga menunjukkan bahwa probabilitas terjadinya NPV berbanding terbalik dengan nilai NPV yang terjadi. Sebagai ilustrasi, probabilitas dari terjadinya NPV 91
negatif lebih besar dari Rp. 0 Juta adalah 90%; probabilitas terjadinya NPV positif (0 juta – Rp. 250 juta hanya sebesar 10 %. Artinya probabilitas NPV akan bernilai negative (tidak memberikan pengembalian usaha bagi pengusaha sebesar 90%.
Gambar 14.
Kumulatif Probabilitas NPV Usaha Pakan Model “Jogjanan” Hasil Simulasi Montecarlo
Sumber : Simulasi Montecarlo
Simulasi Ulang Simulas ulang dimaksudkan untuk mendapatkan alternative-alternatif dengan melakukan simulas montecarlo ulang dengan melakukan perubahan-perubahan pada variable yang dianggap sensisitf untuk mendapatkan kondisi dimana usaha pakan layak dilakakan baik dalam jangka pendek maupaun jangka panjang. Resmulasi dilakukan perubahan variable yang berbeda-beda sebnyak 4 kali. Perubahan variable yang dilakukan dalam simulasi untuk mendapatkan angka NPV kumulatif sebesar 0 atau mendekati 0, maksudnya adalah mendapatkan kondisi minimal agara usaha pabrik pakan ikan dalam jangka panjang memberikan nilai yang positif. Perubahan pada T1 (melakukan perubahan tingkat produktifitas (dimana variable lain dianggap konstan); T2 (perubahan kenaikan pada harga jual sebesar Rp. 500,-); T3(perubahan pada penurunan harga jual menjadi Rp. 7750 dan tingkat produktifitas naik menjadi 50%; T4(Penurunan harga menjadi Rp. 7000 disertai dengan perubahan produktifitas dan kontinyuitas hari kerja). Hasil Simulasi disajikan pada Tabel 38.
92
Tabel 38. Hasil Simulasi Analisis ResikoUsaha Pabrik Pakan Ikan Model “Jogjanan” No. 1 2 3 4 5 6
Uraian Harga (Rp) Kontinyuitas (%) Produktifitas (%) Hari Kerja (Hari) Jumlah Produksi (kg) Kelancaran pembayaran (%) Margin (juta Rp.) NPV (Juta Rp).
T-O 7500 50/83 35/80 192 461
T-1 7500 50/83 72/80 192 606
T-2 8000 50/83 50/83 191 460
T-3 7760 50/83 50/83 192 520
T-4 7000 80/95 95/98 252 771
100
100
100
100
100
151,3 0,1
217,2 0,14
7 99,56 162,1 141,6 8 -249,7 0,42 0 9 10 Sumber: Analisis data primer dengan Simulasi Montecarlo
Hasil analisis resimulasi tersebut menunjukkan perubahan-perubahan yang mungkin dilakukan untuk mendapatkan kondisi minimal usaha pabrik pakan ikan menjadi menarik bagi investor. Hal tersebut terkait strategi yang akan dilakukan oleh pelaku usaha pabrik pakan agar usahanya menguntungkan. Strategi pertama yang dilakukan bisa berupa menaikkan harga jual pakan pada tingkat produksi seperti waktu T-0 (waktu awal), dengan menaikkan kapastas produksi dari 35 % menjadi 50 % menunjukan nilai margin sebesar Rp. 162, 1 juta dan NPV >0. Strategi kedua dengan menaikkan harga jual sebesar Rp. 500 menjadi Rp.8000, akan menhasilkan margin Rp, 141,6 juta dan NPV>0. Kenaikan harga tersebut masih jauh dibawah harga pasaran, sehingga strategi tersebut bisa diterapkan apabila pelaku usaha tidak melakukan upaya peningkatan produktifitas maupun jumlah hari kerja. Upaya peninhkatan harga yang relative lebih kecil menjadi Rp. 7760, menyebabkan terjadinya peningkatan produktifitas usaha menjadi 50 %. Peningkatan tersebut menhasilkan margin Rp. 151,8 juta dan NPV > 0. Strategi kedua menurunkan harga menjadi Rp. 7000, strategi ini akan menimbulkan konsekuaensi yaitu berupa peninhkatan produktifitas menjadi 95 %
dari kapasitas dan
kontinyuitas usaha menjadi 80 %. Dengan menurunkan harga jual sebesar Rp. 500 maka pelaku usaha dituntut untuk meningkatkan kapasitas dan hari kerja mendekati kapasitas maksimal terpasang. Strategi ini akan menhasilkan margin usaha paling ebsar yaitu sebesar Rp. 217,2 juta per tahun dan NPV > 0.
93
Kesimpulan Model “Jogjanan” Dari hasil analisis Finansial-Resiko atas usaha pakan ikan mandiri Model “Jogjanan”, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Beberapa resiko yang dihadapi oleh usaha pakan ikan mandiri di Propinsi DIY (Sleman dan Gunungkidul) adalah sebagai berikut: 1). Keberlanjutan Produksi sebesar 83,33%; 2). Kapasitas Produksi Terpakai pada kisaran 37,5% hingga 50%; dan 3). Kelancaran penerimaan kas sebesar 100%; 2. Dari sisi keuntungan operasional (Margin usaha), maka usaha pakan ikan mandiri Model “Jogjanan” ini memiliki resiko kerugian yang sangat rendah, sebesar 0%, dengan rata-rata keuntungan sebesar Rp. 98 Juta pertahun; 3. Dari sisi finansial, usaha pakan ikan mandiri Model “Jogjanan” ini ternyata sangat tidak layak untuk dijalankan, terdapat resiko yang sangat tinggi atas terjadinya NPV negatif, yaitu sebesar 900%, dengan rata-rata NPV sebesar Rp. – 251 Juta; 4. Fenomena diatas menggambarkan bahwa, pada saat berbagai asumsi yang berlaku tidak berubah, usaha pakan ikan mandiri Model “Jogjanan” akan memberikan keuntungan di jangka pendek, akan tetapi keuntungan yang diperoleh tersebut tidak akan cukup untuk mengembalikan berbagai investasi dan re investasi yang telah dan harus dilakukan. Kondisi tersebut mengakibatkan investor akan kesulitan untuk menerima pengembalian dari investasi awal yang dilakukannya, dan pengusaha juga akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan re-investasi pada saat berbagai Kapital yang dimiliki sudah dimakan usia. 5. Agar usaha pakan bisa menarik investor dalam jangka panjang namun diperlukan beberapa kabijakan program yaitu: a. Diperlukan re evaluasi dalam kebijakan pengembangan pakan ikan mandiri yaitu: mempertimbangkan kembali beberapa biaya investasi terutama pengadaan bangunan dan pengadaan tanah. Investasi yang dimasukkan dalam analisis hanya investasi pengadaan mesin. b. Meningkatkan kinerja usaha pakan antara lain meningkatkan produksi mendekati kapasitas mesin terpasang c. Meningkatkan kontinyuitas jumlah hari kerja per tahun produksi pakan ikan. d. Melakukan simulasi ulang untuk mendapatkan kondisi minimal agar usaha pabrik pakan menjadi menarik bagi investor. Keputusan strategi mana yang akan diterapkan tergantung strategi bisnis pelaku usaha dalam menghadapi berbagai kondisi yang terjadi dilapangan. 94
5.1.2. Analisis Kelayakan Finansial-Resiko Usaha Pakan Mandiri Model “Anjongan” Kebutuhan Investasi Berbagai asumsi investasi yang harus dikeluarkan untuk memulai berusaha memproduksi pakan ikan model “Anjongan” dapat dilihat pada tabel 1. Secara total, Investasi bagi usaha ini memerlukan pengeluaran sebesar kurang lebih 350.000.000,-. Porsi Investasi terbesar dikeluarkan untuk mendirikan bangunan sebesar 46% dari total investasi, sisanya sebesar 43% untuk penyediaan lahan pabrik, 8% untuk penyediaan dua unit mesin dan 3% untuk penyediaan satu unit alat pengering. Setiap unit mesin yang dimiliki memiliki kapasitas produksi sebanyak 300 Kg perhari kerja. Dengan empat mesin (dua rusak) buah mesin yang dimiliki, maka usaha pakan Model “Anjongan” ini akan memiliki kapasitas produksi maksimum sebanyak kurang lebih 1000 Kg pakan perhari. Dari kapasitas maksimum tersebut, saat ini usaha pakan Model “Anjongan” baru beroperasi rata-rata sebanyak 350 Kg/hari.
Tabel 39. Kebutuhan Investasi Usaha Pakan Ikan Model “Anjongan” A.I. Investasi Lahan Bangunan Mesin Alat Pengering Sumber: Data Primer
Nilai 100,000 500,000,000 50,000,000 10,000,000
Volum e 1000
M2
Umur Ekonomis 1000
1
Unit
15
2
Unit
5
1
Unit
1
710,000,000 100,000,000 500,000,000 100,000,000 10,000,000
Kebutuhan Operasional Setelah melakukan investasi, agar usaha pakan ikan dapat berproduksi, maka perlu dipenuhi berbagai kebutuhan Operasional, yang akan dibahas terperinci pada bagian di bawah berikut ini. Bahan Baku 95
Kebutuhan operasional utama yang harus terpenuhi adalah bahan baku bagi proses produksi. Bahan baku ini merupakan bahan utama yang diproses dan menjadi bagian dari produk yang dihasilkan. Tabel 2 menunjukkan berbagai bahan baku yang dibutuhkan, harga satuan, jumlah serta total biaya bahan baku yang harus dikeluarkan untuk memproduksi Pakan sebanyak rata-rata 350 Kg/Hari. Secara Total, untuk memproduksi pakan ikan sebanyak itu akan mengeluarkan biaya bahan baku senilai Rp. 1.505.372,-. Komponen bahan baku yang paling dominan dari total tersebut adalah Tepung Ikan dengan porsi sebanyak 60%. Selain itu sebanyak 15% dari total tersebut juga akan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan akan Dedak Halus, dan 15% untuk Bungkil Kopra. Sedangkan sisanya sebanyak 10% akan dipergunakan untuk penyediaan Minyak Cumi, Multi Vit, Tapioka dan Phytase. Tabel 40. Kebutuhan Bahan Baku Perhari 1. Bahan Baku: Tepung Ikan Tepung Kedele Dedak Padi Bungkil Kelapa Tepung Jagung Tepung Tapioka
Harga/kg
%
5,000
50,409
9,000
12,602
2,800
25,204
2,800
25,204
7,000
1,260
8,000 Tepung bungkil Sawit 1,800 Miyak Jagung 35,000 Vit Premix 17,000 Mineral 6,500
5,041 2,520 1,260 945 1,575
Kg/th
40.00%
Kg/th
10.00%
Kg/th
20.00%
Kg/th
20.00%
Kg/th
1.00%
Kg/th
4.00%
Kg/th
2.00%
Kg/th
1.00%
Kg/th
0.75%
Kg/th
1.25%
96
Tabel. Kebutuhan input pabrik pakan ITEM TEPUNG IKAN BUNGKIL KOPRA DEDAK HALUS MINYAK CUMI MULTI VIT BINDER (TAPIOKA) PHYTASE (ENZYM) TOTAL Sumber: Data Primer
HARGA (RP.)
KEBUTUHAN
5.500
164,5
3.200
70,0
2.100
106,7
17.000
1,7
35.000
1,7
7.500
4,8
58.000
0,4
SATUAN TOTAL BIAYA (RP./HARI) Kg/hari 904.737 Kg/hari 223.997 Kg/hari 224.172 Kg/hari 29.750 Kg/hari 61.249 Kg/hari 36.093 Kg/hari 25.375 1.505.372
Bahan Pembantu Selain bahan baku, proses produksi juga akan membutuhan beberapa bahan yang membantu kelancaran proses akan tetapi tidak menjadi bagian dari produk yang dihasilkan. Bahan semacam itu umumnya disebut bahan pembantu. Tabel 3 menunjukka daftar bahanbahan pembantu yang dibutuhkan, harga, volume, satuan dan total biaya bahan pembantu yang harus dikeluarkan perhari berproduksi. Secara total, dalam sehari berproduksi, usaha pakan ini akan mengeluarkan biaya sebanyak Rp. 257.945,70. Dari total tersebut, sebanyak 85% akan dialokasikan untuk kebutuhan bahan bakar berupa Solar. Sedangkan 15% sisanya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan atas listrik, LPG dan Karung. Tabel 41. Kebutuhan Bahan Pembantu Perhari No
Uraian
1 Solar 2 Listrik 3 LPG 4 Karung Sumber: Data Primer
Harga satuan 7500 1364.8 17000 2250
Kebutuhan 3025.871 54.46568 201.7247 2523.166
Jumlah L/th Kwh/th Tabung/th Karung/th
22,694,031 74,335 3,429,320 5,677,124
97
Tenaga Kerja Komponen terakhir yang dibutuhkan untuk melakukan produksi pakan ikan adalah Tenaga kerja. Tenaga kerja ini, selain dibutuhkan untuk mengoperasikan mesin dan alat-alat yang telah dimiliki, juga untuk proses manajemen. Oleh Karena itu, usaha pakan ikan membutuhkan dua macam tenaga kerja, yaitu buruh dan Manajer. Tabel 4 menunjukkan kebutuhan tenaga kerja, Biaya Satuan, Volume, Satuan dan Total Biaya yang harus dikeluarkan. Pemanfaatan buruh pada proses produksi akan menimbulkan biaya berupa upah, dengan besaran Rp. 200 perkilogram pakan yang dihasilkan. Secara total, setiap hari produksi, maka usaha pakan ikan ini akan mengeluarkan biaya upah sebanyak Rp. 70.000,-. Berbeda dengan buruh, bayaran bagi manajer tidak terikat dengan jumlah pakan yang dihasilkan. Bayaran tersebut akan diberikan setiap bulannya, oleh Karena itu usaha pakan ini harus mengeluarkan biaya berupa gaji manajer sebanyak Rp. 2.500.000,- perbulan. Tabel 42. Kebutuhan Tenaga Kerja Item Biaya Satuan Upah Produksi 200 Gaji Manajer Produksi 2.500.000 Sumber: Data Primer
Volume 350
Satuan Orang/Kg
Total 70.000/hari
1
Orang/bln 2.500.000/bln
Penerimaan Usaha Penerimaan usaha pakan ikan mandiri ini hanya berasal dari penjualan pakan hasil produksinya. Dari hasil wawancara dengan pengurus usaha, diperoleh informasi bahwa harga jual yang dikenakan atas produk yang dihasilkan adalah sebesar Rp. 7500/Kg. Dengan berbagai asumsi seperti yang telah dikemukakan terdahulu, maka diperkirakan dalam satu tahun akan diproduksi sebanyak kurang lebih 126,2 ton Pakan Ikan. Dari kedua informasi tersebut, maka dapat diperkirakan hasil penerimaan usaha kotor pertahun dari usaha pakan ikan Model “Anjongan” ini adalah sebesar kurang lebih Rp. 944,7 Juta. Resiko Usaha Selain berbagai asumsi biaya dan penerimaan seperti yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, agar kajian yang dilakukan dapat mengakomodir adanya ketidakpastian baik dari segi internal maupun eksternal usaha, maka dibutuhkan berbagai informasi terkait resiko yang dihadapi usaha pakan ikan Model “Anjongan” ini. Dari hasil survey yang dilakukan, telah teridentifikasi beberapa ketidakpastian pencetus resiko yang umumnya
98
dihadapi. Secara garis besar terdapat tiga hal yang terkait dengan resiko usaha pakan Ikan, yaitu: Keberlanjutan Produksi, Kapasitas Produksi dan Penerimaan Kas. Tabel 5 telah merangkum informasi hasil survey di Propinsi Kalimantan Barat (Pontianak) terkait berbagai asumsi resiko yang dihadapi usaha pakan ikan mandiri di Propinsi Kalimantan Barat (Pontianak). Pada bagian selanjutnya dapat dicermati juga pembahasan terkait bagaimana masing-masing angka resiko pada tabel 5 tersebut telah ditentukan. Tabel 43. Rangkuman Asumsi Resiko Usaha Pakan Ikan Mandiri Model “Anjongan” pada kondisi eksisting Range Bawah
Range Atas
Rata-rata
Kontinyuitas
50%
80%
187
Kapasitas
35%
80%
575
100%
100%
Produksi/hari Kelancaran Pembayaran Sumber: Olahan Data Primer Ketidakpastian Keberlanjutan Produksi Resiko ini terkait dengan seberapa banyak hari dalam setahun usaha bersangkutan dapat melakukan kegiatan produksi dibandingkan dengan potensi maksimum hari kerja dalam satu tahun. Ketidakpastian ini dapat terjadi sebagai akibat dari berbagai faktor, baik internal maupun internal. Kurang-lancarnya pasokan bahan baku dan rendahnya permintaan merupakan beberapa faktor eksternal yang biasanya mengganggu keberlanjutan produksi. Dari sisi internal, kerusakan mesin, kemampuan merawat mesin serta kurangnya modal untuk membiayai kegiatan produksi merupakan beberapa faktor internal yang biasanya mengganggu keberlanjutan produksi. Rendahnya tingkat keberlanjutan usaha tidak selalu berdampak pada terjadinya kerugian, akan tetapi umumnya resiko ini akan mengakibatkan semakin kurang-tertariknya investor untuk berinvestasi di suatu usaha sebagai akibat dari rendahnya Net Present Value (NPV) yang diperoleh. Rendahnya NPV menggambarkan rendahnya pengembalian dari usaha atas investasi yang dilakukan. Selain itu rendahnya tingkat keberlanjutan usaha dapat juga berdampak terhadap meningkatnya kemungkinan terjadi NPV negatif, yang mengindikasikan ketidakberlanjutan dari usaha pada jangka panjang. Sebagai asumsi dasar, usaha pakan ikan mandiri Model “Anjongan” dalam satu minggu melakukan lima hari produksi, sehingga jika dalam satu tahun terdapat 48 minggu, 99
maka secara maksimum dapat mencapai 240 hari produksi. Dari wawancara yang dilakukan, telah diperoleh informasi bahwa di lokasi ini, dalam setahun hanya melakukan kegiatan produksi lima hari setiap minggunya, dalam 10 bulan. Informasi tersebut menunjukkan besaran tingkat keberlanjutan produksi di lokasi ini, yaitu sebesar 200 hari dari 240 hari, atau 80%. Ketidakpastian Tercapainya Kapasitas Produksi Resiko ini terjadi pada proses produksi, yang diketahui dari adanya penyimpangan jumlah yang diproduksi perhari dari maksimum kapasitas produksi perhari yang terpasang. Seperti halnya resiko keberlanjutan produksi, resiko ini dipengaruhi oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Ketersediaan bahan baku serta rendahnya permintaan merupakan pencetus resiko dari sisi eksternal. Sedangkan kondisi mesin, keterampilan buruh serta kurangnya modal untuk berproduksi merupakan beberapa faktor pencetus resiko dari sisi internal. Munculnya resiko ini dapat berdampak terhadap rendahnya keuntungan yang diperoleh serta tidak menariknya usaha bagi investor akibat dari rendahnya NPV. Meskipun tidak selalu berdampak terhadap munculnya kerugian, akan tetapi meningkatkan kemungkinan terjadinya nilai NPV negatif. Selain tidak menarik untuk investor, NPV negatif juga mengindikasikan bahwa usaha tidak akan bisa berkelanjutan pada jangka panjang akibat dari tidak mampunya usaha untuk melakukan re-investasi untuk menggantikan berbagai mesin yang sudah dimakan usia. Dari hasil wawancara dengan pengurus usaha pakan mandiri di lokasi ini, diperoleh informasi bahwa kapasitas mesin yang terpasang memungkinkan untuk dilakukan produksi sebanyak 1000 Kg perhari. Dari hasil olahan data yang diperoleh, umumnya usaha pakan Ikan Model “Anjongan” ini memproduksi sebanyak 300 Kg – 600 Kg dalam sehari. Dari data yang diperoleh maka dapat dihitung kapasitas produksi yang tercapai berkisar antara 30% hingga 60%. Ketidakpastian Penerimaan Kas Resiko ini umumnya tinggi terjadi pada usaha yang menerapkan sistem penjualan piutang. Penerapan sistem penjualan piutang, terutama apabila pembayaran diterima setelah pembudidaya melakukan panen, cenderung meningkatkan frekuensi tidak terbayarnya piutang. Hal ini berkaitan adanya resiko eksternal yang tidak dapat dikendalikan, berupa kegagalan panen, fluktuasi harga ikan dan/atau bahkan moral hazard. Dari hasil wawancara dengan pengurus usaha pakan ikan di lokasi ini dilakukan secara sistem piutang dengan pembayaran dipotong langsung pada saat penjualan hasil panen. 100
Permintaan pakan ikan umumnya datang dari para pembudidaya di sekitar lokasi usaha yang mayoritas terkumpul dalam satu kelompok usaha perikanan. Baiknya hubungan antara penyuluh dari dinas dengan kelompok pembudidaya mengakibatkan rendahnya kemungkinan terjadinya kegagalan panen. Sehingga resiko tidak diterimanya kas adalah sebesar 0%, atau dengan kata lain kelancaran penerimaan kas dari usaha pakan ikan di lokasi ini dapat dinilai sebesar 100%. Analisis Usaha-Resiko Setelah dijabarkan berbagai asumsi bagi analisis yang telah dilakukan, maka pada bagian ini akan dibahas hasil analisis Usaha-Resiko dari usaha pakan ikan mandiri di Lokasi Kalimantan Barat (Pontianak). Analisis Usaha-Resiko pada prinsipnya adalah analisis usaha dengan sedikit modifikasi berupa dimasukannya berbagai resiko sebagai faktor penimbang dari keberlanjutan suatu usaha. Oleh karena itu, sebelum analisis usaha, akan dilakukan terlebih dahulu simulasi Montecarlo sebagai gambaran dari adanya ketidak pastian pada usaha pakan ikan di Propinsi Kalimantan Barat (Pontianak). Dalam Simulasi Montecarlo Usaha Pakan Ikan ini, telah dilakukan 40.000 kali iterasi secara acak berdasarkan sebaran normal dengan hasil seperti tertera pada tabel 6; Rata-rata angka Produksi Harian sebanyak 575 Kg/Hari; Hari Produksi Pertahun sebanyak 187 Hari/Tahun; dan Penerimaan Kas Pertahun adalah sebesar Rp. 994,7 Juta Pertahun. Ketiga angka tersebut akan dipergunakan sebagai input dalam penyusunan analisis usaha-resiko yang pada akhirnya akan menghasilkan rata-rata Angka Keuntungan Usaha Pertahun serta NPV. Bagian selanjutnya akan membahas lebih terperinci mengenai Keuntungan Usaha serta NPV yang diperoleh. Tabel 44. Rata-rata Hari Kerja, Produksi dan Penerimaan Kas Hasil Simulasi Montecarlo RATA-RATA
SATUAN
HARI KERJA
187
Hari/Th
PRODUKSI PERHARI
675
Kg/Hari
PENERIMAAN KAS
944.752.500
Rp./Th
Sumber: Simulasi Montecarlo Keuntungan Usaha Rata-rata Keuntungan Usaha Pada tabel 7 dapat dilihat informasi yang dihasilkan simulasi, yaitu Rata-rata Keuntungan Usaha dan Tingkat Resiko Kerugian dari usaha Pakan Ikan Mandiri Model “Anjongan”. Dengan menerapkan berbagai asumsi resiko pada bagian terdahulu pada proses 101
simulasi, diperoleh Rata-rata keuntungan pertahun usaha pakan ikan mandiri Model “Anjongan” pada angka Rp. 144,9 Juta, dengan standar deviasi sebesar 80,43 juta. Adapun angka keuntungan pertahun paling rendah yang dapat terjadi adalah sebesar Rp, 34,23 Juta, sedangkann angka keuntungan pertahun paling tinggi yang dapat terjadi adalah sebesar Rp. 397,96 Juta. Hasil simulasi pada tabel 7 juga menunjukkan bahwa sepanjang berbagai asumsi yang telah dinyatakan pada bagian terdahulu tidak berubah, maka dapat dipastikan bahwa usaha pakan ikan mandiri Model “Anjongan” ini akan memberikan keuntungan bagi pelakunya. Usaha pakan ikan di Anjongan menunjukkan 100% akan memberikan keuntungan. Tingkat Resiko kerugian dari usaha pakan mandiri di lokasi tersebut adalah 0%. Tabel 45. Rata-rata Keuntungan Usaha Pertahun Serta Tingkat Resiko Kerugian Usaha Pakan Ikan Mandiri Model “Anjongan” Hasil Simulasi Montecarlo Rata-rata
144,9 juta
STDev
80,4 juta
Max
397,96 juta
Min
34,23 juta
Resiko Negatif
0%
Sumber: Simulasi Montecarlo Kumulatif Probabilitas Keuntungan Usaha Gambar 1 menunjukkan seberapa besar probabilitas terjadinya nilai keuntungan pertahun tertentu dari usaha pakan mandiri Model “Anjongan”. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa usaha tersebut 100% akan menghasilkan keuntungan, dengan rentang antara Rp. 34,23 juta hingga Rp. 397,96 Juta. Dari gambar tersebut juga dapat dilihat bahwa angka probabilitas keuntungan akan semakin rendah seiring dengan semakin tinggi angka keuntungan. Sebagai ilustrasi, probabilitas bagi terjadinya keuntungan di atas Rp. 116 juta adalah sebesar 70%; probabilitas terjadinya keuntungan di atas Rp. 150 Juta akan berada pada kisaran 60%; dan probabilitas terjadinya keuntungan di atas Rp. 2000 Juta adalah 33%. Besarnya nilai margin usaha tahunana dan rata-rata NPV Tahunan apabila digambarkan secara grafik dapat dilihat seperti pada Gambar 1 dan Gambar 2
102
Gambar 15.
Kumulatif Probabilitas Margin Usaha Pakan Ikan Model “Anjongan”
Sumber: Simulasi Montecarlo NPV Rata-rata NPV Tabel 8 menunjukkan angka-angka hasil simulasi terkait analisis finansial dari usaha pakan mandiri Model “Anjongan”. Berdasarkan berbagai Asumsi Resiko yang telah dikemukakan, diperoleh rata-rata NPV usaha senilai Rp. – 528,1 Juta, dengan standar deviasi sebesar 309,1 juta. Selain itu, diperoleh angka NPV paling rendah yang dapat terjadi senilai Rp. -930,6 Juta, sedangkan angka NPV tertinggi yang dapat terjadi adalah senilai Rp. 412,8 Juta. Hasil simulasi juga membawa pada kesimpulan bahwa tanpa adanya perubahan dari berbagai asumsi resiko yang dipergunakan pada proses simulasi, usaha ini sepenuhnya tidak akan memenuhi syarat finansial untuk dijalankan. Rentang angka NPV dari Rp. 412,8 Juta hingga Rp. -930,6 Juta menunjukkan terdapat probabilitas sebesar 88,21 bahwa usaha ini akan menghasilkan nilai NPV lebih kecil dari 0, atau hanya sebesar 11,79 % yang memberikan probabilitas nilai NPV kumulatif > 0, seperti tertera pada tabel 8. Temuan tersebut menggambarkan bahwa penerimaan usaha pakan Ikan mandiri Model “Anjongan” tidak mampu untuk memberikan pengembalian atas investasi yang dilakukan sehingga menjadi tidak menarik bagi investor dan usaha tersebut tidak akan mampu bertahan pada jangka panjang tanpa adanya bantuan dalam hal investasi.
103
Tabel 46. Rata-rata NPV Usaha Pertahun Serta Tingkat Resiko Kerugian Usaha Pakan Ikan Mandiri Model “Anjongan” Hasil Simulasi Montecarlo Rata-rata
(528,1) juta
STDev
309,1 juta
Max
412,8 juta
Min
(930,6 juta
Resiko Negatif
88,21%
Sumber: Simulasi Montecarlo Kumulatif Probabilitas NPV Gambar 2 menunjukkan kumulatif probabilitas berbagai nilai NPV dari usaha pakan ikan mandiri Model “Anjongan”. Dapat dilihat bahwa NPV kumulatif yang terjadi berada pada rentang antara Rp-930,6 Juta hingga Rp. 412,8 juta Juta, hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan berbagai asumsi seperti yang telah dikemukakan, nilai kumulaitif NPV hanya sebesar kurang 10% akan terjadi nilai NPV positif, sisanya nilai kumulataif NPV (88,21 %) memberikan nilai NPV negatif, atau probabilitas dari terjadinya nilai NPV positif adalah sebesar 11,79%. Gambar 2 juga menunjukkan bahwa probabilitas terjadinya NPV berbanding terbalik dengan nilai NPV yang terjadi.
Gambar 16.
Kumulatif Probabilitas NPV Usaha Pakan Model “Anjongan” Hasil Simulasi Montecarlo
Sumber : Simulasi Montecarlo
104
Simulasi Ulang Simulas ulang dimaksudkan untuk mendapatkan alternative-alternatif dengan melakukan simulas montecarlo ulang dengan melakukan perubahan-perubahan pada variable yang dianggap sensisitf untuk mendapatkan kondisi dimana usaha pakan layak dilakakan baik dalam jangka pendek maupaun jangka panjang. Resmulasi dilakukan perubahan variable yang berbeda-beda sebnyak 4 kali. Perubahan variable yang dilakukan dalam simulasi untuk mendapatkan angka NPV kumulatif sebesar 0 atau mendekati 0, maksudnya adalah mendapatkan kondisi minimal agara usaha pabrik pakan ikan dalam jangka panjang memberikan nilai yang positif. Perubahan pada T1 (melakukan perubahan tingkat produktifitas (dimana variable lain dianggap konstan); T2 (perubahan kenaikan pada harga jual sebesar Rp. 500,-); T3(perubahan pada penurunan harga jual menjadi Rp. 7750 dan tingkat produktifitas naik menjadi 50%; T4(Penurunan harga menjadi Rp. 7000 disertai dengan perubahan produktifitas dan kontinyuitas hari kerja). Hasil Simulasi disajikan pada Tabel 47. Tabel 47. Hasil Simulasi Analisis ResikoUsaha Pabrik Pakan Ikan Model “Anjongan” No.
Uraian
T-O
1
Harga (Rp)
7500
7500
8000
8000
2
Kontinyuitas (%)
50/80
50/83
50/80
50/83
3
Produktifitas (%)
35/80
79/80
54/80
50/83
4
Hari Kerja (Hari)
187
201
187
192
5
Jumlah
575
846
671
726
100
100
100
100
144,9
280
247,7
303,4
Produksi
T-1
T-2
T-3
(kg) 6
Kelancaran pembayaran (%)
7
Margin (juta Rp.)
8
NPV (Juta Rp).
(528,10)
>0
>0
>0
9
Resiko Margin
0
0
0
0
10
Resiko NPV
88,21
50,41
51,85
53,42
Sumber: Analisis data primer dengan Simulasi Montecarlo Hasil analisis resimulasi tersebut menunjukkan perubahan-perubahan yang mungkin dilakukan untuk mendapatkan kondisi minimal usaha pabrik pakan ikan menjadi menarik 105
bagi investor. Hal tersebut terkait strategi yang akan dilakukan oleh pelaku usaha pabrik pakan agar usahanya menguntungkan. Strategi pertama yang dilakukan bisa berupa menaikkan produktifitas pabrik pakan pada tingkat produksi menjadi 79 % dari kapasitas produksi. Strategi pertama ini akan menghasilkan margin usaha Rp. 280 juta/tahun dengan resiko 0 dan NPV >0. Strategi kedua dengan menaikkan harga jual sebesar Rp. 500 menjadi Rp.8000. Strategi ini akan menhasilkan nilai margin usaha Rp, 247,7 juta/tahun dan NPV>0. Kenaikan harga tersebut masih jauh dibawah harga pasaran, sehingga strategi tersebut bisa diterapkan.
Upaya
peningkatan harga menjadi Rp. 8000 disertai dengan meningkatkan produktifitas menjadi 50% akan menghasilkan nilai margin Rp. 303,4 juta/tahun dan NPV > 0.
5.2.
Kinerja Usaha Perbenihan
5.2.1. Analisis Kelayakan Finansial-Resiko Usaha Perbenihan Ikan Mas
Kebutuhan Investasi Berbagai asumsi investasi yang harus dikeluarkan untuk memulai pembenihan ikan mas dilihat pada tabel 1. Secara total, Investasi bagi usaha ini memerlukan pengeluaran investasi sebesar kurang lebih 47.000.000,-. Porsi Investasi terbesar dikeluarkan untuk penyediaan lahan. Tabel 48. Kebutuhan Investasi Usaha Pembenihan Ikan Mas (larva) Komponen Investasi
Harga Satuan (Rp.)
Volume
Satuan
Lahan
70,000
Bangunan
5,000,000
1 Unit
10 5,000,000
Kolam
2,000,000
3 Unit
10 6,000,000
Sarana Pendukung
1,000,000
1 set
500 M2
Umur Total Biaya Ekonomi (Rp.) 1000 35,000,000
2 1,000,000 47,000,000
Sumber: Data Primer Kebutuhan Operasional Biaya opersional yang diperlukan dalam rangka usaha pembenihan ikan mas dalam setahun diantaranya meliputi pengadaan indukan, pakan untuk benih dan pakan untuk indukan dan upah tenaga kerja pembantu. 106
Tabel 49. Biaya Operasional Usaha Pembenihan Ikan Mas Jenis biaya Indukan Jantan Indukan Betina Pakan benih Pakan indukan Garam Obat
Satuan Kg/th Kg/th Kg/th kg/th kg/th paket/th Orang Hari/th Jumlah
Upah Produksi
Nilai Harga satuan 100 30,000 40 55,000 12 9,750 56 8,000 5
30,000
22
70,000
Total biaya (Rp/tahun) 3,000,000 2,200,000 117,000 448,000 150,000 1,540,000 7,455,000
Penerimaan Usaha Usaha pembenihan segmen larva dengan jumlah indukan sebagaimana disebutkan di atas biasanya dilakukan sebanyak 24 kali pemijahan dalam setahun dan mampu menghasilkan larva sebanyak 12,99 juta ekor dan dijual dengan harga Rp2 per ekor atau dalam setahun nilai penjualan larva mencapai Rp25.982.000 Resiko Usaha Selain berbagai asumsi biaya dan penerimaan seperti yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, agar kajian yang dilakukan dapat mengakomodir adanya ketidakpastian baik dari segi internal maupun eksternal usaha, maka dibutuhkan berbagai informasi terkait resiko yang dihadapi usaha pembenihan ikan mas segmen larva ini. Dari hasil survey yang dilakukan, telah teridentifikasi beberapa ketidakpastian pencetus resiko yang umumnya dihadapi. Secara garis besar terdapat tiga hal yang terkait dengan resiko usaha pakan Ikan, yaitu: Keberlanjutan Produksi, Kapasitas Produksi dan Penerimaan Kas. Tabel 5 telah merangkum informasi hasil survey di Kab. Subang terkait berbagai asumsi resiko yang dihadapi usaha pembenihan ikan mas di Subang. Pada bagian selanjutnya dapat dicermati juga pembahasan terkait bagaimana masing-masing angka resiko pada tabel 5 tersebut telah ditentukan. Tabel 50. Rangkuman Asumsi Resiko Usaha Pembenihan Ikan Mas Segmen Larva Range Bawah 85% 85%
Kontinyuitas Kapasitas Produksi/siklus Kelancaran Pembayaran Sumber: Olahan Data Primer
95%
Range Atas 100% 95%
Rata-rata 22 585,319
100%
107
Ketidakpastian Keberlanjutan Produksi
Resiko ini terkait dengan seberapa banyak siklus produksi dalam setahun usaha
bersangkutan dapat melakukan kegiatan produksi dibandingkan dengan potensi maksimum siklus produksi maksimum dalam satu tahun. Ketidakpastian ini pada umumnya disebabkan oleh kondisi cuaca yang mempengaruhi ketersediaan air yang sesuai dengan kebutuhan teknis pemijahan.Selain itu dipengaruhi oleh naik turunnya permintaan ikan yang biasanya berkurang ketika musim penghujan tiba. Rendahnya tingkat keberlanjutan usaha tidak selalu berdampak pada terjadinya kerugian, akan tetapi umumnya resiko ini akan mengakibatkan semakin kurang-tertariknya investor untuk berinvestasi di suatu usaha sebagai akibat dari rendahnya Net Present Value (NPV) yang diperoleh. Rendahnya NPV menggambarkan rendahnya pengembalian dari usaha atas investasi yang dilakukan. Selain itu rendahnya tingkat keberlanjutan usaha dapat juga berdampak terhadap meningkatnya kemungkinan terjadi NPV negatif, yang mengindikasikan ketidakberlanjutan dari usaha pada jangka panjang. Ketidakpastian Tercapainya Kapasitas Produksi
Resiko ini terjadi pada proses produksi, yang diketahui dari adanya penyimpangan
jumlah yang diproduksi per siklus dari maksimum kapasitas produksi persiklus. Resiko ketidakpastian tercapainya kapasitas produksi biasanya terjadi karena adanya serangan penyakit, penanganan produksi yang kurang baik, maupun kondisi cuaca ekstrim. Munculnya resiko ini dapat berdampak terhadap rendahnya keuntungan yang diperoleh serta tidak menariknya usaha bagi investor akibat dari rendahnya NPV. Meskipun tidak selalu berdampak terhadap munculnya kerugian, akan tetapi meningkatkan kemungkinan terjadinya nilai NPV negatif. Selain tidak menarik untuk investor, NPV negatif juga mengindikasikan bahwa usaha tidak akan bisa berkelanjutan pada jangka panjang akibat dari tidak mampunya usaha untuk melakukan re-investasi untuk menggantikan berbagai mesin yang sudah dimakan usia. Ketidakpastian Penerimaan Kas
Resiko ini umumnya tinggi terjadi pada usaha yang menerapkan sistem penjualan
piutang. Penerapan sistem penjualan piutang, terutama apabila pembayaran diterima setelah pembudidaya melakukan panen, cenderung meningkatkan frekuensi tidak terbayarnya piutang. Hal ini berkaitan adanya resiko eksternal yang tidak dapat dikendalikan, berupa kegagalan panen, fluktuasi harga ikan dan/atau bahkan moral hazard. Sejauh ini penjualan 108
larva ada yang dijual secara tunai ada juga yang dibayarkan dalam jangka waktu. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan pembenih disebutkan bahwa tingkat kelancaran pembayaran hasil produksi larva mencapai 95% ke atas. Analisis Usaha-Resiko Analisis sensitifitas digunakan untuk melihat dampak dari suatu keadaan yang berubah-ubah terhadap dampak suatu analisis. Tujuannya untuk melihat kembali hasil analisis suatu kegiatan investasi atau aktifitas ekonomi apabila terjadi suatu kesalahan atau adanya perubahan di dalam perhitungan biaya dan manfaat. Faktor-faktor resiko yang digunakan dalam penelitian ini meliputi parameter perubahan harga-harga input, penurunan/kenaikan harga output dan penurunan jumlah produksi. Input yang dimaksud adalah input variabel yang digunakan dalam proses produksi seperti harga pakan, harga indukan, harga obat-obatan. Perubahan parameter ini diperkirakan akan mempengaruhi tingkat kelayakan usaha. Cash flow yang digunakan dalam analisis sensitifitas adalah cash flow yang tidak dipengaruhi oleh adanya ketidakpastian dan resiko bisnis. Analisis sensitifitas pada dasarnya merupakan analisis untuk memprediksi tingkat kelayakan jika terjadi perubahan-perubahan dari elemen cash flow. Besarnya perubahanperubahan diperoleh dari data perubahan yang terjadi pada kegiatan usaha pakan ikan mandiri. Menurut Gittinger (1986) suatu variabel pada analisis sensitifitas adalah nilai pengganti (swithing value). Suatu pengujian dalam penggunaan nilai pengganti yang dilakukan oleh peneliti harus menentukan berapa besarnya proporsi manfaat yang akan turun akibat manfaat sekarang neto menjadi nol. Nilai nol merupakan titik/nilai dimana tingkat pengembalian ekonomi menjasi sama persis dengan discount rate dan perbandingan manfaat investasi netto menjadi nol. Hasil analisis Usaha-Resiko dari usaha pembenihan ikan mas di Subang dilakukan melalui simulasi Montecarlo sebagai gambaran dari adanya ketidak pastian pada usaha pembenihan ikan mas. Dalam Simulasi Montecarlo Usaha Pakan Ikan ini, telah dilakukan 40.000 kali iterasi secara acak berdasarkan sebaran normal dengan hasil seperti tertera pada tabel 6; Rata-rata angka Produksi per siklus sebanyak 585.347 larva per siklus; jumlah siklus per tahun mencapai 22 kali dengan penerimaan mencapai Rp 25,978,296. Ketiga angka tersebut akan dipergunakan sebagai input dalam penyusunan analisis usaha-resiko yang pada akhirnya akan menghasilkan rata-rata Angka Keuntungan Usaha Pertahun serta NPV. Bagian 109
selanjutnya akan membahas lebih terperinci mengenai Keuntungan Usaha serta NPV yang diperoleh. Tabel 51. Rata-rata Siklus Usaha, Produksi dan Penerimaan Kas Usaha Pembenihan Ikan Mas Hasil Simulasi Montecarlo Rata-rata Satuan Siklus usaha
22
Siklus/Th
Produksi per siklus
585.347
Ekor/siklus
Penerimaan kas
25.978.296
Rp./Th
Sumber: Simulasi Montecarlo Rata-rata Keuntungan Usaha Pada tabel 7 dapat dilihat informasi yang dihasilkan simulasi, yaitu Rata-rata Keuntungan Usaha dan Tingkat Resiko Kerugian dari usaha benih ikan mas segmen larva. Dengan menerapkan berbagai asumsi resiko pada bagian terdahulu pada proses simulasi, diperoleh Rata-rata keuntungan pertahun usaha pembenihan ikan mas pada angka Rp. 18,88 Juta, dengan standar deviasi sebesar Rp. 1,42 juta. Adapun angka keuntungan pertahun paling rendah yang dapat terjadi adalah sebesar Rp. 15,44 Juta, sedangkan angka keuntungan pertahun paling tinggi yang dapat terjadi adalah sebesar Rp. 22,48 Juta. Hasil simulasi pada tabel 7 juga menunjukkan bahwa sepanjang berbagai asumsi yang telah dinyatakan pada bagian terdahulu tidak berubah, maka dapat dipastikan bahwa usaha pembenihan ikan mas segmen larva ini akan memberikan keuntungan bagi pelakunya. Rentang rata-rata keuntungan pertahun yang berkisar antara Rp. 15,44 Juta hingga Rp. 22,48 Juta menunjukkan bahwa usaha ini 100% akan memberikan keuntungan. Sehingga, seperti juga dapat dilihat pada tabel 7, tingkat Resiko kerugian dari usaha pembenihan ikan di lokasi tersebut adalah 0%. Tabel 52. Rata-rata Keuntungan Usaha Pertahun Serta Tingkat Resiko Kerugian Usaha Pebenihan Ikan Mas Hasil Simulasi Montecarlo Parameter average stddev min max resiko negatif
Nilai 18.817.743 1.423.506 15.359.543 22.534.072 -
Sumber: Simulasi Montecarlo 110
Kumulatif Probabilitas Keuntungan Usaha
Gambar 1 menunjukkan seberapa besar probabilitas terjadinya nilai keuntungan
pertahun tertentu dari usaha pembenihan ikan mas. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa usaha tersebut 100% akan menghasilkan keuntungan, dengan rentang antara Rp. 15,44 Juta hingga Rp. 22,48 Juta. Dari gambar tersebut juga dapat dilihat bahwa angka probabilitas keuntungan akan semakin rendah seiring dengan semakin tinggi angka keuntungan. Sebagai ilustrasi, probabilitas bagi terjadinya keuntungan sekitar Rp. 15,44 juta adalah sebesar 100%; probabilitas terjadinya keuntungan sekitar Rp. 17,87 Juta akan berada pada kisaran 72,59%; dan probabilitas terjadinya keuntungan sekitar Rp. 22,48 Juta adalah 0,0025%. Besarnya nilai margin usaha tahunan apabila digambarkan secara grafik dapat dilihat seperti pada Gambar 1
Gambar 17.
Kumulatif Probabilitas Margin Usaha Pembenihan Ikan Mas segmen larva
Sumber: Simulasi Montecarlo Rata-rata NPV Tabel menunjukkan angka-angka hasil simulasi terkait analisis finansial dari usaha pembenihan ikan mas (larva). Berdasarkan berbagai Asumsi Resiko yang telah dikemukakan, diperoleh rata-rata NPV usaha senilai Rp. – 528,1 Juta, dengan standar deviasi sebesar 309,1 juta. Selain itu, diperoleh angka NPV paling rendah yang dapat terjadi senilai Rp. -930,6 Juta, sedangkan angka NPV tertinggi yang dapat terjadi adalah senilai Rp. 412,8 Juta. Hasil simulasi juga membawa pada kesimpulan bahwa tanpa adanya perubahan dari berbagai asumsi resiko yang dipergunakan pada proses simulasi, usaha ini sepenuhnya tidak 111
akan memenuhi syarat finansial untuk dijalankan. Rentang angka NPV dari Rp. 412,8 Juta hingga Rp. -930,6 Juta menunjukkan terdapat probabilitas sebesar 88,21 bahwa usaha ini akan menghasilkan nilai NPV lebih kecil dari 0, atau hanya sebesar 11,79 % yang memberikan probabilitas nilai NPV kumulatif > 0, seperti tertera pada tabel 8. Temuan tersebut menggambarkan bahwa penerimaan usaha pakan Ikan mandiri Model “Anjongan” tidak mampu untuk memberikan pengembalian atas investasi yang dilakukan sehingga menjadi tidak menarik bagi investor dan usaha tersebut tidak akan mampu bertahan pada jangka panjang tanpa adanya bantuan dalam hal investasi. Tabel 53. Rata-rata NPV Usaha Pertahun Serta Tingkat Resiko Kerugian Usaha pembenihan ikan mas (larva) Hasil Simulasi Montecarlo Rata-rata
4,89 juta
STDev
7,72 juta
Max
26,4 juta
Min
(14,63) juta
Resiko Negatif
28,15%
Sumber: Simulasi Montecarlo Kumulatif Probabilitas NPV Gambar 2 menunjukkan kumulatif probabilitas berbagai nilai NPV dari usaha pembenihan ikan mas (larva). Dapat dilihat bahwa NPV kumulatif yang terjadi berada pada rentang antara Rp -14,63 Juta hingga Rp. 26,4 juta. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan berbagai asumsi seperti yang telah dikemukakan, nilai kumulaitif NPV sebesar 71,85% akan terjadi nilai NPV positif, sisanya nilai kumulataif NPV (28,15 %) memberikan nilai NPV negatif, atau probabilitas dari terjadinya nilai NPV positif adalah sebesar 71,85%.
112
Gambar 18.
Kumulatif Probabilitas NPV Usaha Pembenihan Ikan Mas (laarva) Hasil Simulasi Montecarlo
Sumber : Simulasi Montecarlo Simulasi Ulang Simulasi ulang dimaksudkan untuk mendapatkan alternatif-alternatif dengan melakukan simulas montecarlo ulang dengan melakukan perubahan-perubahan pada variable yang dianggap sensisitif untuk mendapatkan kondisi dimana usaha pakan layak dilakakan baik dalam jangka pendek maupaun jangka panjang. Resimulasi dilakukan perubahan variable yang berbeda-beda sebanyak 4 kali. Perubahan variabel yang dilakukan dalam simulasi untuk mendapatkan angka NPV kumulatif sebesar 0 atau mendekati 0, maksudnya adalah mendapatkan kondisi minimal agara usaha perbenihan ikan mas (larva) dalam jangka panjang memberikan nilai yang positif. Perubahan pada T1 (melakukan perubahan harga jual benih menjadi Rp 1,9 per ekor (dimana variable lain dianggap konstan); T2 (perubahan produktivitas pada kisaran 75%-85%); T3(perubahan pada kenaikan harga jual menjadi Rp. 2,5 per ekor dan tingkat produktifitas turun dalam kisaran 75%-85%; Hasil Simulasi disajikan pada Tabel 54
113
Tabel 54. Hasil Simulasi Analisis ResikoUsaha Perbenihan Ikan Mas (larva) No.
Uraian
1
Harga (Rp)
2
T-O
T-1
T-2
T-3
2
1,9
2
2,5
Kontinyuitas (%)
85-100
85-100
85-100
85-100
3
Produktifitas (%)
85-95
85-95
75-85
75-85
4
Siklus Produksi per
22
22
22
22
12,99
12,99
11,54
11,54
100
100
100
100
18,83
17,96
15,91
21,70
4,98
0,069
(11,44)
21,22
0
0
0
0
27,52
50,53
93,78
0,07
tahun (kali) 5
Jumlah
Produksi
(juta ekor) 6
Kelancaran pembayaran (%)
7
Margin (juta Rp.)
8
NPV (Juta Rp).
9
Resiko Margin (%)
10
Resiko NPV (%)
Sumber: Analisis data primer dengan Simulasi Montecarlo Hasil analisis resimulasi tersebut menunjukkan perubahan-perubahan yang mungkin dilakukan untuk mendapatkan kondisi minimal usaha perbenihan ikan mas (larva) menjadi menarik bagi investor. Hal tersebut terkait strategi yang akan dilakukan oleh pelaku usaha perbenihan ikan mas (larva) agar usahanya menguntungkan. Pada kondisi eksisting (T-0), usaha perbenihan ikan mas (larva) mampu memberikan margin usaha sebesar Rp 18,83 juta dengan artian bahwa dalam jangka pendek usaha perbenihan layak untuk diusahakan. Selain itu pada kondisi eksisting juga dihasilkan nilai NPV yang positif, hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang usaha perbenihan ikan mas (larva) dapat dinyatakan layak, namun ada kemungkinan tidak layak sebanyak 27,52%. Pada skenario kedua (T-1), diantisipasi terjadi perubahan harga benih menjadi Rp. 1,9 per ekor. Hal ini berakibat pada berkurangnya nilai rata-rata margin usaha menjadi Rp 17,96 juta, sedangkan nilai NPV mendekati nol yang berarti merupakan titik kritis usaha tersebut dapat dikatakan layak dalam jangka panjang. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa pada harga Rp 1,9 usaha ini masih dapat dinyatakan layak dalam jangka panjang (dengan catatan asumsi lainnya tetap). Pada skenario ketiga (T-2) digunaka untuk menggambarkan resiko produksi berkurang menjadi pada kisaran 75%-85% dari produktivitas optimal. Dengan 114
asumsi variabel yang lain dianggap tetap, maka usaha perbenihan ikan mas pada skenario ini dinyatakan tidak layak dalam jangka panjang karena nilai NPV bernilai negatif. Adapun peluang mengalami nilai NPV yang negatif mencapai 93,78%. Pada skenario keempat (T-3), nilai kisaran produktivitas berkurang menjadi 75%-85% dari produktivitas optimal, tetapi diiringi dengan kenaikan harga jual benih ikan yang naik menjadi Rp 2,5 per ekor. Pada kondisi ini, usaha perbenihan ikan mas (larva) dapat dinyatakan layak dalam jangka panjang dengan peluang terjadinya kerugian hanya sebesar 0,07%.
5.2.2. Analisis Kelayakan Finansial-Resiko Usaha Perbenihan Ikan Nila Kebutuhan Investasi Berbagai asumsi investasi yang harus dikeluarkan untuk memulai pembenihan ikan nila dilihat pada tabel 1. Secara total, Investasi bagi usaha ini memerlukan pengeluaran investasi sebesar kurang lebih 47.000.000,-. Porsi Investasi terbesar dikeluarkan untuk penyediaan lahan. Tabel 55. Kebutuhan Investasi Usaha Pembenihan Ikan Nila Komponen Investasi
Harga Satuan (Rp.)
Volume
Satuan
Lahan
70,000
Bangunan
5,000,000
1 Unit
10 5,000,000
Kolam
2,000,000
3 Unit
10 6,000,000
Sarana Pendukung
1,000,000
1 set
500 M2
Umur Total Biaya Ekonomi (Rp.) 1000 35,000,000
2 1,000,000 47,000,000
Sumber: Data Primer Kebutuhan Operasional Berbagai asumsi investasi yang harus dikeluarkan untuk memulai pembenihan ikan nila dilihat pada tabel 1. Secara total, investasi bagi usaha ini memerlukan pengeluaran investasi sebesar kurang lebih 47.000.000,-. Porsi Investasi terbesar dikeluarkan untuk penyediaan lahan.
115
Tabel 56. Biaya Operasional Usaha Pembenihan Ikan Nila Komponen Lahan Bangunan Kolam Waring Tabung Sarana pendukung Indukan Jumlah
Volume 1000 1 1 2 1 1 1
Satuan M2 Unit Unit Unit Unit Unit paket
Harga Satuan 50,000 5,000,000 2,000,000 1,000,000 750,000 1,000,000 4,000,000
Nilai (Rp) 50,000,000 5,000,000 2,000,000 2,000,000 750,000 1,000,000 4,000,000 64,750,000
Kebutuhan Operasional Benih yang telah berumur tujuh sampai dengan delapan hari ditebar di kolam pendederan. Pakan alami harus sudah tersedia di kolam saat dilakukan penebaran. Padat penebaran benih ikan nila sebanyak 75 - 100 ekor/m2. Penebaran larva sebaiknya dilakukan pagi atau sore hari pada saat suhu udara rendah. Pendederan dilakukan selama tiga sampai dengan empat minggu. Pada umur tersebut benih ikan sudah mencapai ukuran tiga sampai dengan lima cm. Selama pendederan benih ikan selain mendapatkan makanan alami di kolam juga diberi pakan tambahan yang halus seperti dedak. Biaya opersional yang diperlukan dalam rangka usaha pembenihan ikan nila dalam setahun diantaranya meliputi pengadaan indukan, pakan untuk benih dan pakan untuk indukan dan upah tenaga kerja pembantu. Tabel 57. Biaya Operasional Usaha Pembenihan Ikan Nila Komponen Pupuk Pakan Pakan benih Obat Kapur Plastik Oksigen karet Upah Produksi
Volume 300 2200 1964 5 15 5 3 1 18
Satuan Harga Satuan Nilai (Rp) kg/tahun 1,000 300,000 kg/tahun 6,500 14,300,000 kg/th 9,000 17,677,253 paket/tahun 20,000 100,000 kg/tahun 10,000 150,000 kg/tahun 25,000 125,000 tabung/tahun 60,000 180,000 kg/tahun 32,000 32,000 Orang Hari/th 75,000 1,350,000
116
Penerimaan Usaha Usaha pembenihan nila menghasilkan jenis produk benih pada berbagai ukuran. Produk yang paling kecil adalah larva selanjutnya benih ukuran 2-3 yang diperoleh pada usia 30 hari, benih ukuran 3-5 dengan usia pemeliharaan 40 hari, benih ukuran 5-8 yang dipelihara usia 70 hari dan yang paling besar 8-12 yang dihasilkan dari pemeliharaan selama 90 hari. Total penjualan benih berbagai ukuran selama setahun sebanyak 824.470 ekor dengan nilai penerimaan sebesar Rp 59.598.285. Tabel 58. Penerimaan Usaha Pembenihan Ikan Nila di Purwakarta dalam Setahun Jenis Produksi
Jumlah (ekor) 400,000 36,000 93,312 83,608 215,551 828,470
Larva Benih uk 2-3 Benih uk 3-5 Benih uk 5-8 Benih uk 8-12 Jumlah
Harga satuan Nilai (Rp) (Rp/ekor) 10 4,000,000 40 1,440,000 75 6,998,400 100 8,360,755 180 38,799,130 59,598,285
Resiko Usaha Selain berbagai asumsi biaya dan penerimaan seperti yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, agar kajian yang dilakukan dapat mengakomodir adanya ketidakpastian baik dari segi internal maupun eksternal usaha, maka dibutuhkan berbagai infornilai terkait resiko yang dihadapi usaha pembenihan ikan nila ini. Dari hasil survey yang dilakukan, telah teridentifikasi beberapa ketidakpastian pencetus resiko yang umumnya dihadapi. Secara garis besar terdapat tiga hal yang terkait dengan resiko usaha benih ikan nila, yaitu: Keberlanjutan Produksi, Kapasitas Produksi dan Penerimaan Kas. Tabel 5 telah merangkum infor nilai hasil survey di Kab. Purwakarta terkait berbagai asumsi resiko yang dihadapi usaha pembenihan ikan nila di Purwakarta. Pada bagian selanjutnya dapat dicermati juga pembahasan terkait bagaimana nilai-nilai angka resiko pada tabel 5 tersebut telah ditentukan. Tabel
59.
Rangkuman Asumsi Resiko Usaha Pembenihan Ikan Nila
Kontinyuitas Kapasitas Produksi/siklus Kelancaran Pembayaran
Range Bawah 75% 80% 95%
Range Atas 100% 95%
Rata-rata 4 138.328
100%
117
Sumber: Olahan Data Primer Ketidakpastian Keberlanjutan Produksi
Resiko ini terkait dengan seberapa banyak siklus produksi dalam setahun usaha
bersangkutan dapat melakukan kegiatan produksi dibandingkan dengan potensi maksimum siklus produksi maksimum dalam satu tahun. Ketidakpastian ini pada umumnya disebabkan oleh kondisi cuaca yang mempengaruhi ketersediaan air yang sesuai dengan kebutuhan teknis pemijahan.Selain itu dipengaruhi oleh naik turunnya permintaan ikan yang biasanya berkurang ketika musim penghujan tiba. Rendahnya tingkat keberlanjutan usaha tidak selalu berdampak pada terjadinya kerugian, akan tetapi umumnya resiko ini akan mengakibatkan semakin kurang-tertariknya investor untuk berinvestasi di suatu usaha sebagai akibat dari rendahnya Net Present Value (NPV) yang diperoleh. Rendahnya NPV menggambarkan rendahnya pengembalian dari usaha atas investasi yang dilakukan. Selain itu rendahnya tingkat keberlanjutan usaha dapat juga berdampak terhadap meningkatnya kemungkinan terjadi NPV negatif, yang mengindikasikan ketidakberlanjutan dari usaha pada jangka panjang. Ketidakpastian Tercapainya Kapasitas Produksi
Resiko ini terjadi pada proses produksi, yang diketahui dari adanya penyimpangan
jumlah yang diproduksi per siklus dari maksimum kapasitas produksi persiklus. Resiko ketidakpastian tercapainya kapasitas produksi biasanya terjadi karena adanya serangan penyakit, penanganan produksi yang kurang baik, maupun kondisi cuaca ekstrim. Munculnya resiko ini dapat berdampak terhadap rendahnya keuntungan yang diperoleh serta tidak menariknya usaha bagi investor akibat dari rendahnya NPV. Meskipun tidak selalu berdampak terhadap munculnya kerugian, akan tetapi meningkatkan kemungkinan terjadinya nilai NPV negatif. Selain tidak menarik untuk investor, NPV negatif juga mengindikasikan bahwa usaha tidak akan bisa berkelanjutan pada jangka panjang akibat dari tidak mampunya usaha untuk melakukan re-investasi untuk menggantikan berbagai mesin yang sudah dimakan usia. Ketidakpastian Penerimaan Kas
Resiko ini umumnya tinggi terjadi pada usaha yang menerapkan sistem penjualan
piutang. Penerapan sistem penjualan piutang, terutama apabila pembayaran diterima setelah pembudidaya melakukan panen, cenderung meningkatkan frekuensi tidak terbayarnya piutang. Hal ini berkaitan adanya resiko eksternal yang tidak dapat dikendalikan, berupa 118
kegagalan panen, fluktuasi harga ikan dan/atau bahkan moral hazard. Sejauh ini penjualan benih didominasi transaksi secara tunai. Hanya sebagian kecil yang melalui pembayaran berjangka, khususnya untuk penjualan larva yang dibeli oleh pendeder yang berada di sekitar pembenih. Berdasarkan hasil wawancara dengan pembenih disebutkan bahwa tingkat kelancaran pembayaran hasil produksi benih mencapai 95% ke atas. Analisis Usaha-Resiko Analisis sensitifitas digunakan untuk melihat dampak dari suatu keadaan yang berubah-ubah terhadap dampak suatu analisis. Tujuannya untuk melihat kembali hasil analisis suatu kegiatan investasi atau aktifitas ekonomi apabila terjadi suatu kesalahan atau adanya perubahan di dalam perhitungan biaya dan manfaat. Faktor-faktor resiko yang digunakan dalam penelitian ini meliputi parameter perubahan harga-harga input, penurunan/kenaikan harga output dan penurunan jumlah produksi. Input yang dimaksud adalah input variabel yang digunakan dalam proses produksi seperti harga pakan, harga indukan, harga obat-obatan. Perubahan parameter ini diperkirakan akan mempengaruhi tingkat kelayakan usaha. Cash flow yang digunakan dalam analisis sensitifitas adalah cash flow yang tidak dipengaruhi oleh adanya ketidakpastian dan resiko bisnis. Analisis sensitifitas pada dasarnya merupakan analisis untuk memprediksi tingkat kelayakan jika terjadi perubahan-perubahan dari elemen cash flow. Besarnya perubahanperubahan diperoleh dari data perubahan yang terjadi pada kegiatan usaha pakan ikan mandiri. Menurut Gittinger (1986) suatu variabel pada analisis sensitifitas adalah nilai pengganti (switching value). Suatu pengujian dalam penggunaan nilai pengganti yang dilakukan oleh peneliti harus menentukan berapa besarnya proporsi manfaat yang akan turun akibat manfaat sekarang neto menjadi nol. Nilai nol merupakan titik/nilai dimana tingkat pengembalian ekonomi menjadi sama persis dengan discount rate dan perbandingan manfaat investasi netto menjadi nol. Hasil analisis Usaha-Resiko dari usaha pembenihan ikan nila di Purwakarta dilakukan melalui simulasi Montecarlo sebagai gambaran dari adanya ketidak pastian pada usaha pembenihan ikan nila. Dalam Simulasi Montecarlo Usaha Pakan Ikan ini, telah dilakukan 40.000 kali iterasi secara acak berdasarkan sebaran normal dengan hasil seperti tertera pada tabel 6; Rata-rata angka Produksi per siklus sebanyak 138.328 ekor per siklus; jumlah siklus per tahun mencapai 4 kali dengan penerimaan dalam setahun mencapai Rp 59.598.285. 119
Ketiga angka tersebut akan dipergunakan sebagai input dalam penyusunan analisis usaharesiko yang pada akhirnya akan menghasilkan rata-rata Angka Keuntungan Usaha Pertahun serta NPV. Bagian selanjutnya akan membahas lebih terperinci mengenai Keuntungan Usaha serta NPV yang diperoleh. Tabel 60. Rata-rata Siklus Usaha, Produksi dan Penerimaan Kas Hasil Simulasi Montecarlo RATA-RATA SATUAN SIKLUS USAHA
4
Siklus/Th
PRODUKSI PER SIKLUS
138.328
Ekor/siklus
PENERIMAAN KAS
59.598.285
Rp./Th
Sumber: Simulasi Montecarlo Rata-rata Keuntungan Usaha Pada tabel 7 dapat dilihat infornilai yang dihasilkan simulasi, yaitu Rata-rata Keuntungan Usaha dan Tingkat Resiko Kerugian dari usaha benih ikan nila. Dengan menerapkan berbagai asumsi resiko pada bagian terdahulu pada proses simulasi, diperoleh Rata-rata keuntungan pertahun usaha pembenihan ikan nila pada angka Rp. 25,46 Juta, dengan standar deviasi sebesar Rp. 4,30 juta. Adapun angka keuntungan pertahun paling rendah yang dapat terjadi adalah sebesar Rp. 15,76 Juta, sedangkan angka keuntungan pertahun paling tinggi yang dapat terjadi adalah sebesar Rp. 36,23 Juta. Hasil simulasi pada tabel 7 juga menunjukkan bahwa sepanjang berbagai asumsi yang telah dinyatakan pada bagian terdahulu tidak berubah, maka dapat dipastikan bahwa usaha pembenihan ikan nila ini akan memberikan keuntungan bagi pelakunya. Rentang rata-rata keuntungan pertahun yang berkisar antara Rp. 15,76 Juta hingga Rp. 36,23 Juta menunjukkan bahwa usaha ini 100% akan memberikan keuntungan. Sehingga, seperti juga dapat dilihat pada tabel 7, tingkat Resiko kerugian dari usaha pembenihan ikan di lokasi tersebut adalah 0%. Tabel 61. Rata-rata Keuntungan Usaha Pertahun Serta Tingkat Resiko Kerugian Usaha Pebenihan Ikan Nila Hasil Simulasi Montecarlo Parameter average stddev min max resiko negatif
Nilai 25.463.270 4.301.891 15.764.865 36.226.613 -
Sumber: Simulasi Montecarlo 120
Kumulatif Probabilitas Keuntungan Usaha
Gambar 1 menunjukkan seberapa besar probabilitas terjadinya nilai keuntungan
pertahun tertentu dari usaha pembenihan ikan nila. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa usaha tersebut 100% akan menghasilkan keuntungan, dengan rentang antara Rp. 15,76 Juta hingga Rp. 36,23 Juta. Dari gambar tersebut juga dapat dilihat bahwa angka probabilitas keuntungan akan semakin rendah seiring dengan semakin tinggi angka keuntungan. Sebagai ilustrasi, probabilitas bagi terjadinya keuntungan sekitar Rp. 15,79 juta adalah sebesar 99,99%; probabilitas terjadinya keuntungan sekitar Rp. 21,69 Juta akan berada pada kisaran 81,97%; dan probabilitas terjadinya keuntungan sekitar Rp. 33 Juta adalah 4,18%.
Besarnya nilai margin usaha tahunan apabila digambarkan secara grafik dapat dilihat seperti pada Gambar 1 9
Gambar 19.
Kumulatif Probabilitas Margin Usaha Pembenihan Ikan Nila
Sumber: Simulasi Montecarlo Rata-rata NPV Tabel 8 menunjukkan angka-angka hasil simulasi terkait analisis finansial dari usaha pembenihan ikan nila. Berdasarkan berbagai Asumsi Resiko yang telah dikemukakan, diperoleh rata-rata NPV usaha senilai Rp. 42,91 Juta, dengan standar deviasi sebesar Rp. 24,23 juta. Selain itu, diperoleh angka NPV paling rendah yang dapat terjadi senilai Rp. 11,77 Juta, sedangkan angka NPV tertinggi yang dapat terjadi adalah senilai Rp. 103,57 Juta. Hasil simulasi juga membawa pada kesimpulan bahwa tanpa adanya perubahan dari berbagai asumsi resiko yang dipergunakan pada proses simulasi, usaha ini memenuhi syarat 121
kelayakan finansial jangka panjang untuk dijalankan. Rentang angka NPV yang bernilai negatif sampai dengan Rp. -11,77 Juta dengan nilai probabilitas sebesar 2,56% menunjukkan bahwa usaha pembenihan ikan nila berpeluang mengalami kerugian secara finansial jangka panjang sebesar 2,56% disamping peluang keberhasilan/kelayakan usaha jangka panjang dengan nilai NPV maksimal Rp. 103,57 Juta. Kondisi ini menunjukkan bahwa secara jangka panjang usaha pembenihan ikan mampu memberikan keuntungan usaha termasuk pengembalian nilai investasi yang ditanamkan. Tabel 62. Rata-rata NPV Usaha Serta Tingkat Resiko Kerugian Usaha pembenihan ikan nila Hasil Simulasi Montecarlo Rata-rata
42,91 juta
STDev
24,23 juta
Max
103,57 juta
Min
(11,77) juta
Resiko Negatif
2,56%
Sumber: Simulasi Montecarlo Kumulatif Probabilitas NPV Gambar 20 menunjukkan kumulatif probabilitas berbagai nilai NPV dari usaha pembenihan ikan nila. Dapat dilihat bahwa NPV kumulatif yang terjadi berada pada rentang antara Rp -11,77 Juta hingga Rp. 103,57 juta. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan berbagai asumsi seperti yang telah dikemukakan, nilai kumulatif NPV sebesar 97,44% akan terjadi nilai NPV positif, sisanya nilai kumulatif NPV (2,56 %) memberikan nilai NPV negatif, atau probabilitas dari terjadinya nilai NPV positif adalah sebesar 97,44%.
122
Gambar 20.
Kumulatif Probabilitas NPV Usaha Pembenihan Ikan Nila Hasil Simulasi Montecarlo
Sumber : Simulasi Montecarlo Simulasi Ulang Simulasi ulang dimaksudkan untuk mendapatkan alternatif-alternatif dengan melakukan simulasi montecarlo ulang dengan melakukan perubahan-perubahan pada variabel yang dianggap sensitif untuk mendapatkan kondisi dimana usaha pakan layak dilakakan baik dalam jangka pendek maupaun jangka panjang. Resimulasi dilakukan perubahan variabel yang berbeda-beda sebanyak 3 kali. Skenario T-1 menunjukkan perubahan variabel yang dilakukan dalam simulasi
untuk mendapatkan angka NPV kumulatif sebesar 0 atau
mendekati 0, maksudnya adalah mendapatkan kondisi minimal agar usaha perbenihan ikan nila dalam jangka panjang memberikan nilai yang positif. Perubahan pada T2 (melakukan perubahan produktivitas usaha yang menurun pada kisaran 75%-85% (dimana variabel lain dianggap konstan);
T3 (perubahan
produktivitas pada kisaran 65%-85. Hasil Simulasi
disajikan pada Tabel…
Tabel 63. Hasil Simulasi Analisis ResikoUsaha Perbenihan Ikan Nila No.
Uraian
T-O
T-1
T-2
T-3
1
Harga (Rp/ekor)
112,6
93,75
112,6
112,6
2
Kontinyuitas (%)
75-100
75-100
75-100
75-100
3
Produktifitas (%)
80-95
80-95
75-85
65-85
4
Siklus Produksi per
4
4
4
4
405.527
405.527
370.531
347.053
100
100
100
100
tahun (kali) 5
Jumlah
Produksi
(ekor) 6
Kelancaran
123
pembayaran (%) 7
Margin (juta Rp.)
25,46
17,83
21,84
19,40
8
NPV (Juta Rp).
42,91
(0,22)
22,71
9,11
9
Resiko Margin (%)
0
0
0
0
10
Resiko NPV (%)
2,56
51
16,69
37,33
Sumber: Analisis data primer dengan Simulasi Montecarlo Hasil analisis resimulasi tersebut menunjukkan perubahan-perubahan yang mungkin dilakukan untuk mendapatkan kondisi minimal usaha perbenihan ikan nila menjadi menarik bagi investor. Hal tersebut terkait strategi yang akan dilakukan oleh pelaku usaha perbenihan ikan nila agar usahanya menguntungkan. Pada kondisi eksisting (T-0), usaha perbenihan ikan nila mampu memberikan margin usaha sebesar Rp 25,46 juta dengan artian bahwa dalam jangka pendek usaha perbenihan layak untuk diusahakan. Selain itu pada kondisi eksisting juga dihasilkan nilai NPV yang positif, hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang usaha perbenihan ikan nila dapat dinyatakan layak, namun ada kemungkinan tidak layak sebanyak 2,56%. Pada skenario kedua (T-1), diantisipasi terjadi perubahan harga benih menjadi Rp. 93,75 per ekor. Hal ini berakibat pada berkurangnya nilai rata-rata margin usaha menjadi Rp 17,83 juta, sedangkan nilai NPV mendekati nol yang berarti merupakan titik kritis usaha tersebut dapat dikatakan tidak layak dalam jangka panjang. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa pada harga rata-rata Rp 93,75 usaha ini mulai dinyatakan tidak layak dalam jangka panjang (dengan catatan asumsi lainnya tetap). Pada skenario ketiga (T-2) digunakan untuk menggambarkan resiko produksi berkurang menjadi pada kisaran 75%-85% dari produktivitas optimal. Dengan asumsi variabel yang lain dianggap tetap, maka usaha perbenihan ikan nila pada skenario ini masih dinyatakan layak dalam jangka panjang karena nilai NPV bernilai positif (Rp.22,71 juta). Adapun peluang mengalami nilai NPV yang negatif mencapai 16,69%. Pada skenario keempat (T-3), nilai kisaran produktivitas berkurang menjadi 65%-85% dari produktivitas optimal. Pada kondisi ini, usaha perbenihan ikan nila masih dapat dinyatakan layak dalam jangka panjang tetapi dengan peluang terjadinya kerugian lebih besar yaitu sebesar 37,33%.
124
5.3.
Analisis Model Bisnis Investasi Perbenihan Dan Pakan Ikan Mandiri
5.3.1. Model Bisnis Pakan Ikan Mandiri Model “Jogyaan”
Model bisnis investasi pengembangan usaha perbenihan dan pakan mandiri dianalisis
menggunakan canvas business model (Osterwalder dan Pigner, 2009). Bisnis model merupakan sebuah model bisnis yang menggambarkan pemikiran tentang bagaimana menciptakan organisasi, memberikan, dan menangkap nilai. Canvas business model dibangun dari sembilan blok bangunan yang dapat dilihat pada Gambar berikut
Gambar 21.
Business Model Canvas
Sumber : Osterwalder dan Pigneur, 2010 Masing-masing blok dapat dijelaskan seperti pada Tabel.... Dalam Blok pembentuk Model Bisnis mempunyai kaitan satu dengan yang lain. Penjelasan masing-masing belok seperti Tabel 64 Tabel
64.
Blok bangunan pembentuk canvas business model.
No Building blocks 1 Customer segments 2
Value propositions
Components/Aspect Mass market, Niche market, Segmented, Diversified, Multi-sided platforms Newness, Performance, Customization, Getting the job done, Design, Brand/status, Price, 125
No Building blocks 3 4
Channels Cutomer relathionships
5
Revenue streams
6
Key resources
7
Key activities
8
Key partnerships
9
Cost structure
Components/Aspect Cost reduction, Risk reduction, Accessibility, Connience/usability Channnels types, Channel phases Personal assistance, Dedicated personal assistance, Self-service, Automated services, Communities, Co-creation Asset sale,Usage fee, Subscription fees, Lending/renting/leasing, Licensing, Brokerage fees, Advertising Physical, Intellectual, Human, Financial Production, Problem solving, Platform/network Optimization and economy of scale, Reduction of risk and uncertainty, Acquisition of particular resources and activities Cost-driven, Value-driven, Fixed costs, Variable costs, Economic of scale, Economic of scope
Customer segmen menjelaskan siapa calon konsumen/pengguna/pelanggannya dari produk yang dihasilkan, kemudian baru menawarkan produk yang sesuai dengan siapa pelanggannya. Sejak awal harus jelas siapa pelanggan yang menjadi target, hal tersebut penting untuk ditetapkan lebih dahulu. Kategori di dalam customer segments yaitu: Mass Market : segmen pasar luas dengan jenis kebutuhan dan masalah yang sama. Niche Market : segmen pasar yang spesifik. Segmented: segmen pasar yang memiliki kebutuhan berbeda tetapi dalam satu kategori. Diversified : segmen pasar yang memiliki kebutuhan atau masalah yang sangat berbeda. Multi-sided Platform : melayani 2 atau lebih pasar segmen pasar yang saling tergantung. 2. Value proposition, merupakan nilai atau value yang ditawarkan untuk pelanggan. Kelebihan dan keunggulan produk dibanding pesaing adalah hal yang harus dituliskan di value proposition. Value proposition bisa diisi sesuai kategori: Newness : produk / jasa yang baru yang belum pernah ditawarkan sebelumnya biasanya banyak ditemukan di dunia teknologi. Performance: produk / jasa yang ditawarkan meningkatkan kinerja customer agar menjadi lebih efisien / lebih efektif. Customization: produk / jasa yang ditawarkan berbeda / ada pilihan untuk setiap segmen yang memiliki kebutuhan yang beragam/berbeda. 126
Getting the Job Done : dengan membeli barang tersebut akan membantu customer menyelesaikan sesuatu. Desain (Design) : menawarkan nilai artistik lebih dr sekedar fungsional. Status (Brand) : merk yang high class memberi social status kepada pembelinya. Harga (Price) : menawarkan harga yang bersaing atau sesuai dengan ciri customer segmennya. Hemat (Cost reduction) : produk / jasa yang ditawarkan membantu customer mengefisienkan biaya pemakaian. Meminimasi Resiko (Risk reduction) : menawarkan produk / jasa yang meminimalkan risiko yang ditanggung customer seperti garansi. Akses (Accessibility) : mempermudah akses customer terhadap produk /
jasa yang
ditawarkan. Kenyamanan (Convenience/usability) : menawarkan produk /
jasa yang nyaman dan
cenderung mempermudah customer. 3. Channels adalah cara untuk menjangkau customer. Tidak terbatas pada distribusi, tapi juga hal lainnya yang menyebabkan bisnis dan customer bisa bersentuhan. Kategori di dalam channels Direct : sales force, web sales, own stores. Indirect : partner stores, wholesaler. Awareness : tahap awal menginformasikan ke customer. Evaluation : cara membantu customer mengevaluasi value proposition yang ditawarkan. Purchase : cara-cara customer melakukan pembelian. Delivery : cara menyampaikan value proposition (produk/jasa) kepada customer. After Sales : customer support setelah terjadi transaksi. 4. Customer relationship, adalah cara-cara yang digunakan untuk berkomunikasi dengan customer segments. Biasanya, banyak orang yang bingung membedakan antara customer relationship atau channels. Kata kuncinya adalah relationship, Customer relationship soal hubungan, kalau channel soal cara menjangkau customer segments. Kategori di dalam customer relationship Transactional: beli putus saat itu juga. Long-term: hubungan jangka panjang dengan pelanggan. Personal Assistance: Ada sales-rep yang melayani pelanggan. Self Service: Pelanggan melayani dirinya sendiri, biasanya dibisnis retail. Automated Service: Pelanggan bahkan tidak perlu ke toko. 127
5. Revenue Streams adalah berbagai cara untuk menghasilkan keuntungan dari value proposition. Kategori di dalam revenue stream Asset Sale: penjualan produk secara fisik. Usage Fee: customer membayar sesuai lamanya menggunakan produk/jasa. Subscription Fees: biaya berlangganan. Lending/renting/leasing: biaya peminjaman/pemakaian/penggunaan sementara. Licensing: biaya ijin pakai jasa / produk. 6. Key Resources, adalah hal-hal paling penting yang harus dipunyai agar key activities bisa dijalankan dan value proposition bisa diberikan pada customer. Key resources pada dasarnya adalah modal. Kategori di dalam key resources Physical asset : fasilitas pabrik, gedung-gedung, kendaraan, mesin-mesin. Intellectual : brand, hak paten, copyright, database customer dan database partnership, informasi rahasia perusahaan Human : tenaga kerja Financial : sumber daya keuangan perusahaan cash, credit, obligasi, saham 7. Key Activities, key activities harus diisi dengan kegiatan wajib yang dilakukan oleh perusahaan untuk menghasilkan value proposition yang ditawarkan. Kategori di dalam key activities Production : aktivitas merancang, membuat, mengirimkan produk. Problem Solving : aktivitas operasi yang biasanya muncul pada perusahaan konsultan, rumah sakit, organisasi penyedia jasa. Platform Network : menjadi tempat atau wadah bertemunya dua atau lebih segmen pasar untuk saling berinteraksi/transaksi atau membangun network. 8. Key Partners adalah pihak-pihak yang bisa diajak kerjasama dengan tujuan: Optimization and Economy: motivasi berpartner untuk mengoptimalkan alokasi sumber daya dan aktivitas mengingat sebuah perusahaan tidak perlu memiliki semua sumber daya dan melakukan kegiatannya sendirian. Reduction of Risk and Uncertainty: mengurangi risiko dan ketidakpastian dalam lingkungan persaingan. Acquisition of particular resources and activities: mengakuisisi perusahaan lain untuk meningkatkan kemampuan kinerja perusahaan. Kategori di dalam key partners Strategic Alliance between non-competitors: kerjasama dengan perusahaan yang tidak sejenis. 128
Coopetition: kerjasama dengan perusahaan kompetitor. Joint ventures to develop new business: kerjasama untuk membentuk usaha baru. Buyer supplier relationship: hubungan hanya sebagai pembeli dan penjual biasanya terjadi pada motif optimization and economy of scale. 9. Cost structure adalah rincian biaya-biaya terbesar yang harus dikeluarkan untuk melakukan key activities dan menghasilkan value proposition. Kategori di dalam cost structure Cost-driven: sensitif terhadap harga bahan baku. Value-driven: perusahaan tidak terlalu memikirkan harga produksi/bahan baku karena yang dijual adalah nilai/seni/status/gaya hidup. Fixed cost: biaya-biaya tetap yang muncul yang tidak tergantung pada jumlah produksi Variable cost: biaya-biaya yang muncul bervariasi sesuai jumlah yang diproduksi Mendesain Business Model Canvas Langkah-langkah yang dilakukan dalam menyusun Business Model Canvas (BMC): 4. Memetakan model bisnis saat ini, pemetaan dilakukan pada sembilan elemen didasarkan pada kondisi yang sebenarnya terjadi 5. Melakukan analisis SWOT, analisis SWOT dilakukan pada semua elemen dalam model bisnis. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang ada pda saat sekarang. Misalnya: pada elemen costumer segment, kemampuan dalam memilih costumer segment yang mempunyai populasi besar dan menguntungkan dapat diklasifikasikan sebagai kekuatan organisasi. Sebaliknya value prepositions yang tidak dibutuhkan oleh suatu costumer segment yang dibidikdapat dikatan sebagai kelemahan. Pasar yang berpotensi besar dan belum digarap dapat dikatagorikan sebagai peluang. Dilain pihak munculnya pesaing baru dapat mengancam keberadaan organisasi dapat dikatagorikan sebagai ancaman. 6. Melakukan penyempurnaan model bisnisdan atau membuat prototype. Hasil analisis SWOT digunakan dua jenis tujuan yaitu: pertama untuk menyempurnakan Business Model Bisnis (BMC) yang ada saat ini. Tujuan keduan adalah melahirkan prootypeprototype Business Model yang baru. Apabila organisasi belum bisa melangkah dengan prototype yang baru, maka maka dapat menggunakan business model yang disempurnakan. Sedangkan prototype baru dapat digunakan apa bila organisasi telah mampu melaksanakan. Keseluruhan proses ini sebaiknya dilakukan oleh sebanyak mungkin pelaku organisasidan tingkatan dan fungsi yang bervariasi. Penggunaan alat bantu kertas berperekat akan sangat mempermudah proses menghasilkan BMC.
129
Gambar 22.
Alur Analisis BMC Pabrik Pakan
Bisnis Model Canvas Usaha Pakan Ikan Mandiri Sebelum
melakukan
klasifikasi/pengelompokan
analisis
BMC
perlu
terlebih
dahulu
dilakukan
sistem pengelolaan pabrik pakan berdasar beberapa kriteria.
Pengelompokan dilakukan untuk lebih menyederhanakan model dasar pabrik pakan ikan mandiri. Hasil pengelompokan dilakukan menjadi tiga kelompok besar yaitu: model Jogjanan, model Kamparan dan Model Anjongan. Klasifikasi model bisnis pabrik pakan ikan seperti pada
130
Tabel 65. No
Model-Model Dasar Pengelolaan Pabrik Pakan Ikan Mandiri
Model Pengelolaan
1.
“Jogjanan”
2.
“Kamparan”
3.
“Anjongan”
Lokasi Gunungkidul, Sleman, Sukabumi, Subang, Indramayu, Brebes Kampar, Muara Jambi Purwakarta
Pontianak Lampung
Sistem budidaya dan Jenis Komoditas Perikanan budidaya: kolam, lahan kering, air deras, sungai. Komoditas: lele, mas, nila Perikanan budidaya: kolam, KJA Waduk : Patin, Nila, Mas
Sungai, rawa, kolam: patin, lele, nila,
Sumber: Analisis data primer, 2016 a.
Karakteristik Dukungan yang kuat pada kapasitas SDM, model cluster. Model tidak sentitif terhadap guncangan pada salah satu elemen, karena dibangaun berdasar kluster dengan sub-sub cluster Dukungan permintaan pakan yang tinggu untuk budidaya (deman driven). Karakteristiknya sangat kuat dari sisi permintaan, sehingga selama permintaan masih tinggi pabrik pakan akan tetap survive. Kuncinya pengelola mampu mencari sumbersumber bahan baku di luar lokasi Jaringan yang kuat antar pelaku usaha, pengelolaan oleh koperasi. Karakteristik dibanguan berdasarkan jaringan dengan para pelaku usaha yang ada dibeberapa daerah lain.
Model “Jogjanan” Pabrik pakan ikan mandiri “Ngudi Hasil” berdiri atas kesadaran dari para pelaku
usaha akan mahalnya pakan komersial. Pada tahap awal parbik pakan mandiri ini menggunakan bahan baku yang ada disekitar lokasi dan belum dilakukan secara berkelanjutan. Pada thun 2011 dan 2012, pabrik pakan mendapat bantuan berupa mesin pencetak pakan ikan dari Dinas KP Kabupaten Gunungkidul dan Dinas KP Propinsi DIY. Melalui kegiatan IPTEKMAS yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya telah dilakukan revitalisasi pabrik pakan yang berupa : 1). Perbaikan mesin pakan ikan; 2). Bimbingan teknis pembuatan pakan lele efisien dan ekonomis; sesuai dengan SNI, dan 3. Pendampingan teknologi selama proses pembuatan pakan dan 4). Pengujian produksi pakan (Sunarno, 2012). Selain caontoh yang ada di Gunungkidul, contoh pabrik pakan Koperasi Astropakanik di Kabupaten Sleman merupakan contoh kasus lain. Strategi Program Pakan Ikan Mandiri Kebijakan pemerintah untuk menjadi penghasil produk perikanan utama dunia didukung dengan berbagai program, program minapolitan merupakan kebijakan strategis yang ditetapkan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan. Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu lokasi percontohan minapolitan, khususnya untuk komoditas ikan lele. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain: pembinaan, pelatihan dan pendampingan 131
kepada pokdakan. Program yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan antara lain: bantuan terpal; paket benih unggul; pakan ikan unggul; paket budidaya, sarana produksi (mesin pelet, pompa air, bak penampungan, material pembuatan kolam dsb; bantuan modal usaha melalui Pengembangan Usaha Mina Pedesaan/PUMP). Dilihat dari data statistik produksi perikanan budidaya selama 3 tahun terakhir mengalami peningkatan cukup signifikan. Produksi perikanan budidaya dari tahun ke tahun meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2010 total produksi 3.073,25 ton, pada tahun 2011 naik menjadi 3.768,37 ton, pada tahun 2012 naik produksi ikan budidaya sebesar 4.860,31 ton (Dinas KP Gunungkidul, 2013). Produksi perikanan budidaya sebagian besar berasal dari hasil budidaya kolam (dengan sentra produksi di kecamatan Ponjong, Semin, Karangmojo, dan Playen), budidaya pada telaga (terutama pada kecamatan-kecamatan yang berada di wilayah/bagian selatan kabupaten Gunungkidul. Pengembangan perikanan budidaya mulai digencarkan adalah lele karena lele merupakan jenis ikan yang mudah dikembang biakkan, serta tidak memerlukan perawatan intensif. Potensi yang cukup tinggi ini ditangkap oleh Dinas Kelautan dan Perikanan dan kelautan dan masyarakat secara antusias menyambut program ini. Dilihat dari target benih yang diproduksi di Kabupaten Gunungkidul selama lima tahun terakhir juga mengalami kenaikan cukup tajam, apabila tahun 2011 targetnya 45 juta ekor, maka pada tahun 2015 ditargetkan 108 juta ekor (Dinas KP Gunungkidul, 2013). Jumlah produksi benih apabila digunakan untuk pembesaran di Gunungkidul maka diperlukan jumlah pakan yang cukup besar. Sunarno (2010) menyatakan karena sifat dinamik ketersediaan bahan baku maka penggunaan komposisi bahan baku tergantung kepada proses pengolahan dan ketersediaan bahan tersebut. Dinamika pengadaan bahan baku menjadi salah satu poin kritis dalam usaha pengembangan pabrik pakan mandiri. Oleh karena itu penguatan jaringan dalam pengadaan bahan baku menjadi salah satu komponen penting. Melalui jaringan kerjasama KIMBis yang berada di berbagai daerah membantu memudahkan dalam pengadaan bahan baku. Kerjasama regional ini diharapkan sebagai pilar utama pengembangan pabrik pakan mandiri di berbagai daerah. Secara teknis, indikator kualitas pakan ditentukan oleh feed convertion ratio (FCR), selain mencerminkan kandungan nutrisi dalam pakan, nilai FCR juga mengisyaratkan efisiensi pemanfaatan oleh ikan (Sunarno, 2012). Menurut Suprayudi (2010) kualitas pakan ditentukan oleh kualitas bahan baku penyusun pakan, formulasi dan proses pembuatan pakan. 132
Pakan lokal hasil produksi Ngudi Hasil, telah menghasilkan beberapa formula sesuai kebutuhan. Untuk Pakan ikan pembesaran kandungan proteinnya 28 - 36,97 % yang berarti memenuhi standar SNI.
Pada periode awal pengembangan pabrik pakan mandiri,
ketersediaan bahan baku secara kontinyu menjadi titik kritis keberhasilan pengembangan parbik pakan mandiri. Faktor inilah yang menjadi penentu apakah suatu pabrik pakan bisa tetap berproduksi dan bisa tetap berkelanjutan. Program-program pembangunan wilayah di Indonesia dengan menerapkan strategi dari sisi
pasokan (supply-side strategy), yaitu program pengembangan kawasan yang
didasarkan atas keunggulan-keunggulan komparatif berupa upaya-upaya peningkatan produksi dan produktivitas kawasan yang didasarkan atas pertimbangan oprimalisasi daya dukung (carrying capacity), kapabilitas (capability) dan kesesuaian (suitability) sumberdaya wilayah (Rustiadi, et al. 2009). Demikian halnya dengan industri perikanan budidaya masih menggunakan pendekatan strategi tersebut, dimana sumber pertumbuhan masih didasarkan pada kapasitas sumberdaya lokal. Pendekatan strategi tersebut mempunyai kelemahan yaitu terjadinya keterbatasan permintaan (demand trap) baik domestik maupun dari luar daerah. Pendekatan strategi supply-side sebagai salah satu pilihan strategi yang mempunyai kelemahan, maka ada strategi alternatif sebagai pilihan yaitu strategi pengembangan dari sisi permintaan (demand side). Strategi demand-side dikembangkan dengan mendorong pertumbuhan permintaan akan barang dan jasa (Rustiadi et al. 2009). Keberlanjutan pabrik pakan ikan mandiri, berdasarkan hasil penelitian mempunyai kecenderungan pada penerapan strategi demand side, dimana usaha pakan ikan mandiri akan mampu berkelanjutan (sustainanbility) apabila sudah tumbuh industri perikanan budidaya disuatu
kawasan.
Tumbuhnya
usaha
perikanan
budidaya
akan
berdampak
pada
meningkatkanya permintaan pakan. Sehingga usaha pakan ikan mandiri dapat tumbuh karan produksinya terserap untuk pengembangan perikanan di suatu kawasan. Pengembangan pabrik pakan akan lebih mempunyai kecenderungan berhasil apabila sudah ada industri perikanan budidaya yang berkembang. Langkah-Langkah Strategis membangun Model Bisnis 1. Analisi Kondisi Eksisting Bantuan mesin pakan ikan disalurkan melalui kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Selama periode 2011-2014 telah ada 9 kelompok (Tabel 1) yang menerima bantuan mesin pakan ikan. Kondisi dari kelompok-kelompok penerima mesin pakan ikan 133
sebaguan besar tidak operasional karena berbagai masalah teknis dan non teknis. Sampai saat ini baru ada dua kelompok yang mempunyai mesin cetak vertikal, yaitu kelompok Ngudi Hasil Kecamatan Ponjong dan Kelompok Mina Mulya Kecamatan Nglipar. Kedua kelompok tersebut saat ini dijadikan perintis pembuatan pabrik pakan mandiri. Kapasitas pabrik pakan tersebut masing-masing mampu memproduksi 1-2 ton perhari. Setelah dilakukan analisis permasalahan dimana salah satu yang menyebabkan pabrik pakan tidak operasional adalah masalah pengelolaan dan penguasaan teknis. Setelah masalah tersbut diketahui maka pengembangan pakan ikan mandiri dengan menggunakan pendekatan spesialisasi kelompok, dimana setiap kelompok mempunyai spesialisasi tersendiri. Kelompok-kelompok dengan spesialisasi produksi, spesialisasi penyedia bahan baku, spesialisasi pengembangan pasar dan jaringan dan spesialisasi pengguna. Sebagai wadah usaha makan dibentuk lembaga usaha koperasi Perikanan Mina Desa Kabupaten Gunungkidul. Pabrik pakan yang dikelola masing-masing kelompok ternyata tidak efektif, karena masing-masing kelompok harus mengusahakan bahan baku dan memproduksi pakan ikan sendiri-sendiri. Oleh karena itu pabrik pakan kemudian direformulasi melalui pendekatan “cluster”. Pendekatan cluster tersebut dilakukan agar pabrik pakan bisa berproduksi secara kontinyu dan tidak terjadi persaingan sesama kelompok produsen pakan ikan. Sistem klaster tersebut dibuat dengan berdasarkan potensi dari masing-masing kelompok. Cluster kelompok produksen bahan baku khusus menyediakan bahan baku yang akan digunakan oleh kelompok/cluster produksi pakan ikan. Kemudian kelompok yang khusus memproduksi pakan ikan, kelompok tersebut khusus memproduksi pakan ikan dengan menggunakan suplai bahan baku yang diproduksi oleh kelompok produsen bahan baku. Kelompok produsen pakan ikan mempunyai kemampuan dalam hal formulasi pakan ikan (pakan induk, pakan pembesaran dan pakan benih). Kelompok lainnya adalah kelompok pengguna pakan ikan yang diproduksi oleh kelompok produsen pakan ikan. Selain menggunakan produksi pakan ikan yang sudah dicetak dalam bentuk pelet, kelompok pengguna juga bisa membeli pakan ikan dalam bentuk pra cetak yang sudah diformula. Bahan baku yang sdah siap dicetak dapat dicetak menggunakan mesen pelet yang dimiliki oleh kelompok. Kelebihan pabrik pakan sistem kluster tersebut antara lain: tidak ada persaingan sesama kelompok, dan masingmasing kelompok bisa tumbuh menjadi usaha yang berkelanjutan dan bisa saling membesarkan. Akan muncul inovasi-inovasi baru yang bisa diterapkan agar usaha pabrik pakan lebih efisien. 134
Bahan baku yang telah diidentifikasi dari kegiatan IPTEKMAS tahun 2011 ada sebanyak 23 jenis bahan baku yang sudah teridentifikasi yang berpotensi menjadi bahan baku pakan lokal (Sunarno, 2012). Bahan baku yang telah diidentifikasi menunjukkan variasi dari segi potensi jumlah dan kualitasnya. Bahan baku dapat digunakan sebagai bahan baku pakan ikan apabila dari segi harga murah dan dari segi kualitas memenuhi syarat. Sumber bahan baku selain diperoleh dari sekitar lokasi juga diperoleh dari beberapa daerah lain yang ada disekitar lokasi. Kerjasama sama antar daerah Pawonsari (Pacitan, Wonogiri dan Wonosari/Gunungkidul) dapat mempermudah dalam pengadaan bahan baku. Jaringan bahan baku tersebut telah dikembangkan menjadi bisnis pengadaan bahan baku. Potret/Identifikasi kondisi Eksisting Pabrik Pakan Potret kondisi saat ini mempunyai tujuan untuk dapat menyempurnakan model bisnis yang telah ada pada saat ini (PPP Manajemen, 2010). Pemotretan untuk mengetahui konsisi saat ini yang menggambarkan kondisi sebenarnya bukan gambaran kondisi ideal yang diinginkan. Salah satu keuntungan dari potret yang melibatkan stake holder pelaku adalah bisa diketahui keadaan sebenarnya yang terjadi di lapangan. Matrik hasil potret BMC saat ini seperti disajikan pada Tabel....
135
Gambar 23.
Matrik Kondisi Model Bisnis Saat ini (Kondisi Eksisting)
Berdasarkan kondisi eksisting tersebut dimana telah dipetakan unsur-unsur atau elemn-elemen dalam model bisnis. Langkah selanjutnya adlah melakukan analisis SWOT terhadap kodisi eksiting tersebut. Analisis SWOT digunakan sebagai salah satu landasan dalam membangun model bisnis yang diperbarui atau model bisnis baru pada masa depan. Hasil analisis SWOT dan teknis strategi Blue Ocean digunakan untuk membuat atau memperbaiki model bisnis yang sudah ada (Kim dan Maulborgne, 2016).
136
Anlisis SWOT Analisis SWOT merupakan salah satu alat analisis untuk perumusan strategi dan formulasi rekomendasi yang dipilih. Strategi merupakan alaat untuk mencapai tujuan, dimana konsepnya selalu berkembang dalam beberapa dekade. Beberapa konsep strategi dikemukakan oleh Chandler (1962), Learned, Christensen, Andrews dan Guth (1965). Argyris (1985), Steiner dan Miner (1977), Porter (1985), Andrews (1980 dan Chafe (1985), Hamel dan Prahadad (1995). Matrik Bobot Faktor Internal dan Eksternal Analisis SWOT dibuat matrik faktor Internal dan faktor Eksternal, Faktor internal memuat kekuatan dan kelemahan yang berasal dari dalam organisasi. Faktor eksternal memuat peluang dan tantangan. Setelah teridentifikasi semua elemen dalam faktor internal dan faktor eksternal, kemudian dilakukan analisis pembobotan untuk mengetahui berapa bobot masing-masing elemen. Tabel 66.
Faktor Internal Model Bisnis Pakan Ikan Kabupaten Gunungkidul
137
Tabel 67.
Faktor Eksternal Model Bisnis Pakan Ikan
Identifikasi faktor internal dan ekstersebut sebagai dasar untuk menentukan pembobotan dari masing-masing elemen. Membobotan dilakuan berdasrakan kuesioner atau melalui FGD dari para ekspert dan pelaku usaha yang terlibat dalam usaha pakan ikan mandiri. Setelah bobot masing-masing elemen diketahui, langkah selanjutnya adalah membuat perhitungan nilai pada masing-masing elemen sebagai berikut:
138
Tabel 69.
Nilai rataanSkor Hasil Analisis SWOT faktor Internal
Hasil Model Bisnis yang diperbaiki Hasil analisis SWOT sebagai salah salah kriteria untuk perbaikan model bisnis saat ini menjadi model bisnis yang diperbaiki.
Tabel 70.
Hasil Nilai Rataan Skor Faktor Eksternal
139
Kekuatan dan Kelemahan Pabrik pakan ikan Mandiri
140
Gambar 24.
Peta Strategi SWOT Pakan Ikan Mandiri Model Jogjanan
141
Tabel 71.
Strategi Pengembangan Usaha Pakan Mandiri Model Jogjanan
142
Gambar 25.
Matrik Model Bisnis yang Diperbaiki
143
Model bisnis hasil perbaikan merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja dari model bisnis yang sudah ada saat ini. Dalam model bisnis yang diperbaiki menggambarkan perubahan-perubahan atau perbaikan pada elemen-elemen sebagai berikut. Value Prepositions (1), yang menggambarkan nilai dari produk pakan yang dihasilkan. Pada kondisi perbaikan value preposition menggambarkan perlunya memasukkan pakan ikan yang berkualitas. Pakan yang dihasilkan tidak saja murah tetapi berkualitas untuk memenuhi kebutuhan pembudidaya. Custumer segmen (2) menggambarkan siapa target utama dari produk pakan ikan yang dihasilkan. Perbaikan pada elemen ini adalah memasukkan kebutuhan pakan ikan pembudidaya lokal cukup banyak. Hal ini memberikan rangsangan tersendiri bagi pabrik pakan untuk dapat meningkatkan produksi pakan agar bisa mencukupi permintaan pasar lokal yang cukup besar. Costumer relationship (3), elemen ini menggambarkan bagimana pabrik pakan menjaga dan meningkatakn hubungan baik dengan custumer/pengguna pakan. Layananlayanan dan jaminan yang diberikan agar pengguna percaya dengan produk yang dihasilkan. Hubungan pelanggan menjamin adanya kualitas pakan yang dihasilkan, layanan pengantaran produk pakan yang dibeli pelanggan dan percontohan/demplot agar pengguna pakan percaya terhadap kualitas produk. Chanels (4), agar pakan yang diproduksi dapat sampai dengan baik kepada pengguna pada awalnya layanan diberikan melalui kelompok-kelompok pembudidaya yang ada disekitar pabrik pakan. Untuk meningkatkan penetrasi pangsa pasar maka saluran yang digunakan menggunanan penyaluran melalui hubungan/organisasi antar daerah (Pawonsari: Pacitan, Wonogiri dan Wonosari/Gunungkidul) serta melalui forum pakan DIY. Kedua saluran tersebut diharapkan mampu meningkatkan pangsa pasar keluar dearah dimana terdapat sentra-sentra budidaya. Key actifities (5), terdapat tiga unsur utama dalam key actifities agar dapat menjamin pabrik berkelanjutan. Aktifitas kunci tersebut adalah aktifitas produk pakan dalam bentuk formula/adonan, pakan cetak dan pakan untuk umpan mancing, pakan untuk indukan dan pakan untuk benih. Aktifitas kunci berikutnya adalah kemampuan SDM dalam memperbaiki mesin. Kemampuan ini merupakan aset yang sangat berharga dimana biasanya pabrik pakan akan mengalami banyak masalah mesin. Adanya kemampuan perbaikan mesin dapat menjamin parbik pakan dapat beroperasi secara kontinyu sehingga bisa meningkatkan kontinyuitas usaha dan jjumlah rai kerja mesin. Pada gilirannya dapat meningkatkan performa pabrik secara keseluruhan. Salah satu key activities yang menjadi penciri pabrik 144
pakan ini adalah adanya kegiatan operasional pabrik pakan dengan pendekatan Cluster. Pendekatan cluster memungkinkan jaringan pabrik pakan mempunyai beberapa sub cluster mulai dari penyedia row materian bahan baku, penyedia bahan baku (dalam bentuk tepung/bahan setengah jadi), sub cluster pencetaka pakan dan dukungan dari perbengkelan, permodalan, pemasaran dan lain-lain. Model cluster dapat digambarkan dalam skema pada Gambar....
Gambar 26.
Proses Bisnis Pakan Ikan Mandiri
145
Gambar 27.
Konsep Pengembangan Usaha Pakan Ikan Mansiri dengan Pendekatan Klaster
Key resources (6), dalam model bisnis yang diperbaiki selain mempunyai tiga key resources utama, jga terdapat key resources yaitu produk pakan, formulator dan teknisi yang bersertifikat. Hal ini menunjukkan bahwa key resources tersebut telah diakui secara formal dan kehandalannya tidak diragukan. Keempat key resourses tersebut merupakan asset utama dari pabrik pakan ikan. Resourses tersebut menjadi salah satu kunci sukses dari pabrik pakan dan memungkinkan pabrik pakan berkelanjutan. Keys Patrner (7), terdapat beberapa key partners saat ini yang berhubungan dengan parbik pakan. Untuk meningkatkan kemampuan usaha pabrik pakan maka diperlukan perluasan partner. Partner strategis saat ini yang dapat meningkatkan kinerja pabrik pakan adalah adanya jaringan pakan ikan mandiri (GERPARI). Gerpari merupakan lembaga bagi pelaku usaha
pabrik pakan ikan untuk beroragnisasi. Kemampuan organisasi GERPARI untuk
memberikan warna dalam kebijakan pakan ikan nasional akan menjadaikan jaringan pabrik pakan semakin kuat dan dapat memberikan posisi tawar bagi pengambil kebijakan. Dukunagn iptek dari Litbang KP dan jaringan antar daerah di masing-masing lokasi dimana pabrik pakan berada akan semakin memberi kekuatan yang lebih pabrik pakan. Cost structure (8), biaya pabrik pakan akan menentukan bagimana kinerja pabrik pakan. Dalam mendesain BMC elemen cost structure didesain pada tahap paling akhir. Alasannya adalah bahwa semua bisnis yang beroperasi pasti membutuhkan biaya. Struktur biaya akan lebih mudah dirancang apabila semua elemen sudah didesain. Biaya-biaya yang akan muncul dalam elemen-elemen dalam model BMC akan diperhitung setelah semua elemen diketahui. Semua aspek/elemen dalam BMC memerlukan biaya, menciptakan dan memberikan nilai (Value prepositions dan Chanell) kepada pelanggan, menjaga hubungan baik dengan pelanggan (Costumer realtionships), upaya memperoleh pendapatan (Revenue stream), menjalankan aktivitas bisnis (Key Activities), mendapatkan dan mengelola sumber daya (Key Resiurces) serta bekerja sama dengan mitra (Key Partners) semua membutuhkan biaya. Efisiensi biaya pada pabrik pakan skala kecil menjadi salah satu kunci sukses agar pabrik pakan mampu bersaing dan tetap bertahan. Dukungan dan kemampuan formulator dan teknisi mesin mampu meningkatkan efisiensi usaha pakan ikan sehingga mampu menenkan biaya operasional. Pabrik pakan ikan menggunakan pendekatan cost driven dimana usaha pakan ikan dengan harga murah menjadi salah satu daya tarik bagi pembudidaya. Usaha budidaya pakan ikan sebagian besar biayanya didominasi pengeluaran untuk pakan ikan. 146
Pakan ikan yang murah dan mempunyai kualitas memenhi standar SNI (cost drivent) dapat merangsang pembudidaya menggunakan pakan ikan mandiri. Osderwalder dan Pigniur (2010) menjelaskan ada dua macam/jenis cost structure yaitu Cost-driven dan value-driven. Model bisnis yang menekankan pada Cost Driven akan berupaya untuk meminimalisasi biaya agar struktur biaya menjadi ramping. Misalnya dengan menetapkan sekmen pelanggan yang sensitive harga (low-budget) menawarkan value preposition murah, mengurangi SDM dan mengalihdayakan non aktifitas inti. BMC yang menekankan pada Value-cost adalah usaha yang tidak terlalu mempertimbangkan efisiensi biaya. Sasaran utama adalah memberikan kepuasan kepada pelanggan dengan memberikan pelayanan premium. Upaya yang dilakukan adalah menetapkan segmen pelanggan yang tidak sensitif harga. Value preposition yang menawarkan kemewahan dan pelayanan personalized. Revenue Streams (9), Sumber-sumber penerimaan usaha bersumber utama dari penerimaan hasil penjualan pakan ikan kepada konsumen/pelanggan. Selama ini sumber tersebut merupakan satu-satunya sumber penerimaan pabrik pakan. Perlu dikembangkan usaha-usaha lain yang dapat menjadi sumber penerimaan usaha. Sumber-sumber penerimaan baru tersebut antara lain, sumber penerimaan dari usaha perbaikan mesin pabrik pakan. Keahlian ini dibangun dari kemampuan pelaku untuk memperbaiki mesin-mesin pakan, baik mesin pakan tenggelam maupun mesin pakan terapung. Kemampuan perbaikan mesin pakan apung diperoleh dari pengelaman pelaku usaha dengan menggunakan mesin pakan ikan apung yang dibeli dari Tiongkok. Pengalaman bongkar pasang mesin tersebut menjadikan sumber pengetahuan bari pelaku usaha sehingga mempunyai kemampuan untuk memperbaiki mesin pakan ikan yang rusak.
5.3.2. Model Bisnis Investasi Pakan Model “Kamparan”
Potret/Identifikasi kondisi Eksisting Pabrik Pakan Model “Kamparan” Kabupaten Kampar merupakan salah satu sentra perikana budidaya di Propinsi Riau.
Sentra-sentra usaha budidaya berada di beberapa kecamatan di Kabupaten Kampar. Sistem usaha perikanan budidaya dapat dibedakan menjadi 3 maca yaitu budidaya kolam dengan sumber air irigasi atau sumber air tanah/artesiis, perikana buidaya KJA di Waduk dan KJA di Sungai. Komoditas utama adalah ikan patin dan ikan mas dan nila. Pakan ikan sebagin besar dibuat secara mandiri oleh para pelaku usaha budidaya. Usaha pakan ikan mendukung usaha budidaya terutama ikan patin yang permintaannya sangat tinggi. 147
Dari segi kualitas pakan ikan di Kampar dirasa masih kurang berkualitas karean ahanya berasal dari dedak dan ikan kering/ikan rucah. Namun karena tingginya permintaan maka usaha pabrik pakan ini dapat berkelanjutan. Setiap usaha pabrik pakan bias memproduksi 2-3 ton perhari yang digunakan untuk kebutuhan kolam miliknya dan kolam kelompok yang menjadi binaan. Potret kondisi saat ini mempunyai tujuan untuk dapat menyempurnakan model bisnis yang telah ada pada saat ini (PPP Manajemen, 2010). Pemotretan untuk mengetahui konsisi saat ini yang menggambarkan kondisi sebenarnya bukan gambaran kondisi ideal yang diinginkan. Salah satu keuntungan dari potret yang melibatkan stake holder pelaku adalah bisa diketahui keadaan sebenarnya yang terjadi di lapangan. Matrik hasil potret BMC saat ini seperti disajikan pada Tabel....
Gambar 28.
Matrik Kondisi Model Bisnis Saat ini (Kondisi Eksisting) Model “Kamparan”
Berdasarkan kondisi eksisting tersebut dimana telah dipetakan unsur-unsur atau elemn-elemen dalam model bisnis. Langkah selanjutnya adlah melakukan analisis SWOT terhadap kodisi eksiting tersebut. Analisis SWOT digunakan sebagai salah satu landasan 148
dalam membangun model bisnis yang diperbarui atau model bisnis baru pada masa depan. Hasil analisis SWOT dan teknis strategi Blue Ocean digunakan untuk membuat atau memperbaiki model bisnis yang sudah ada (Kim dan Maulborgne, 2016). Hasil pemetaan kondisi saat menggambarkan kondisi usaha yang terjadi saat ini, dimana terdapat kekuatan dan kelemahan (factor internal); adanya peluang dan ancaman (factor eksternal). Pemetaan kondisi dasar (saat ini) bermanfaat sebagai acuan dasar dalam melakukan perbaikan atas model bisnis yang ada. Anlisis SWOT Analisis SWOT merupakan salah satu alat analisis untuk perumusan strategi dan formulasi rekomendasi yang dipilih. Strategi merupakan alaat untuk mencapai tujuan, dimana konsepnya selalu berkembang dalam beberapa dekade. Beberapa konsep strategi dikemukakan oleh Chandler (1962), Learned, Christensen, Andrews dan Guth (1965). Argyris (1985), Steiner dan Miner (1977), Porter (1985), Andrews (1980 dan Chafe (1985), Hamel dan Prahadad (1995). Matrik Bobot Faktor Internal dan Eksternal Analisis SWOT dibuat matrik faktor Internal dan faktor Eksternal, Faktor internal memuat kekuatan dan kelemahan yang berasal dari dalam organisasi. Faktor eksternal memuat peluang dan tantangan. Setelah teridentifikasi semua elemen dalam faktor internal dan faktor eksternal, kemudian dilakukan analisis pembobotan untuk mengetahui berapa bobot masingmasing elemen. Dalam matrik factor internal ini dipaparkan kekuatan dan kelemahan pabrik pakan. Paparan kekuatan dan kelemahan pabrik pakan menggunakan pendekatan unsur/elemen penyusuna model bisnis sehingga memudahkan dalam membuat alur untuk perbaikan model bisninya. Terdapat 9 elemen, sehngga pada matrik kekuatan juga terdapat Sembilan poin kekuatan dan 9 poin kelemahan yang dihadapi oleh pabrik pakan saat ini. Matrik SWOT pada factor eksternal terdiri dari sembilan indicator peluang dan ancaman.
149
Tabel 72.
Faktor Internal Model Bisnis Pakan Ikan Model “Kamparan”
Uraian masing-masing indicator pada factor internal dan factor eksternal kemudian dilakukan pembobotan. Pembobotan dilakukan dengan cara FGD dengan memanfaatkan data lapngan yang dikumpulkan dari hasil wawancara. Hasil pembobotan tersebut menunjuukkan besarnya peran dari masing-masing indikator pada masing-masing faktor.
150
Tabel 73.
Faktor Eksternal Model Bisnis Pakan Ikan
Identifikasi faktor internal dan eksternal tersebut sebagai dasar untuk menentukan pembobotan dari masing-masing elemen. Membobotan dilakuan berdasrakan kuesioner atau melalui FGD dari para ekspert dan pelaku usaha yang terlibat dalam usaha pakan ikan mandiri. Setelah bobot masing-masing elemen diketahui, langkah selanjutnya adalah membuat perhitungan nilai pada masing-masing elemen sebagai berikut: Tabel 74.
Nilai rataanSkor Hasil Analisis SWOT faktor Internal
151
Hasil FGD dengan menggunakan data-data hasil survey lapangan kemudian dituangkan untuk menghitung rataan skor hasil SWOT. Hasil rataan skor tersbut akan digunakan untuk menentukan strategi perbaikan model bisnis pakan ikan. Untuk mempermudah dalam pemtaan strategi perbaikan maka dituangkan dalam diagram SW-OT. Strategi perbaikan menggunakan pendekatan Tabel 75.
Hasil Nilai Rataan Skor Faktor Eksternal
152
Hasil Model Bisnis yang diperbaiki Hasil analisis SWOT sebagai salah salah kriteria untuk perbaikan model bisnis saat ini menjadi model bisnis yang diperbaiki. Strategi pendekatan yang digunakan adalah strategi SO yaitu strategi dengan menggunakan kekuatan yang dipunyai untuk memanfaatkan peluang yang ada. Strategi ST yaitu strategi menggunakan kekuatan untuk mengurangi atau meminimalisir ancaman, strategi WO yaitu strategi mengurnagi kelemahan menggunakan peluang yang terjadi, dan strategi WT yaitu strategi mengurangi kelemahan dan meminimalisir ancaman. Strategi baru tersebut dapat dilihat pada Tabel….
153
Tabel 76.
Strategi perbaikan Kekuatan dan Kelemahan Pabrik pakan ikan Mandiri
154
Sumber: Hasil analisis data
155
Berdasarakan hasil analisis matri SWOT tersebut kemudian dilakukan perbaikan pada model bisnis yang sudah disuse sebelumnya (Tabel….)
Gambar 29.
Matrik Model Bisnis yang Diperbaiki
Model bisnis hasil perbaikan merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja dari model bisnis yang sudah ada saat ini. Dalam model bisnis yang diperbaiki menggambarkan perubahan-perubahan atau perbaikan pada elemen-elemen sebagai berikut. Value Prepositions (1), yang menggambarkan nilai dari produk pakan ikan yang dihasilkan. Pada kondisi perbaikan value preposition menggambarkan perlunya memasukkan pakan ikan yang berkualitas, saat ini pakan ikan yang dihasilkan kurang berkualitas. Pakan lebih bertujuan untuk memenuhi kebutuhan belum menjamin kualitas pakan yang diproduksi.
156
Pakan yang dihasilkan tidak saja murah tetapi berkualitas untuk memenuhi kebutuhan pembudidaya. Custumer segmen (2) menggambarkan siapa target utama dari produk pakan ikan yang dihasilkan. Perbaikan pada elemen ini adalah memasukkan kebutuhan pakan ikan pembudidaya lokal cukup banyak. Jumlah permintaan yang sangat besar sehingga kebutuhan pakan yang diproduksi juga sangat besar. Hal ini memberikan rangsangan tersendiri bagi pabrik pakan untuk dapat meningkatkan produksi pakan agar bisa mencukupi permintaan pasar lokal yang cukup besar. Costumer relationship (3), elemen ini menggambarkan bagaimana pabrik pakan menjaga dan meningkatkan hubungan baik dengan custumer/pengguna pakan. Layananlayanan dan jaminan yang diberikan agar pengguna percaya dengan produk yang dihasilkan. Hubungan pelanggan menjamin adanya kualitas pakan yang dihasilkan, layanan pengantaran produk pakan yang dibeli pelanggan. Besarnya permintaan menyebabkanberapapun produksi pakan pasti terserap oleh pasar. Chanels (4), agar pakan yang diproduksi dapat sampai dengan baik kepada pengguna pada awalnya layanan diberikan melalui kelompok-kelompok pembudidaya yang ada disekitar pabrik pakan. Hubungan antara pemilikpakan yang sekaligus sebagai pelaku budidaya ikan dengan para anggotanya sangat kuat. Hubungan ini menuhkan rasa kepercayaan saling membutuhkan antara pemilik pakan degan anggotanya. Key actifities (5), terdapat unsur utama dalam key actifities agar dapat menjamin pabrik berkelanjutan. Aktifitas kunci tersebut adalah aktifitas produk pakan dalam bentuk cetak. Aktifitas kunci berikutnya adalah kemampuan SDM dalam memperbaiki mesin. Kemampuan ini merupakan aset yang sangat berharga dimana biasanya pabrik pakan akan mengalami banyak masalah mesin. Adanya kemampuan perbaikan mesin dapat menjamin parbik pakan dapat beroperasi secara kontinyu sehingga bisa meningkatkan kontinyuitas usaha dan jumlah hari kerja mesin. Pada gilirannya dapat meningkatkan performa pabrik secara keseluruhan. Key resources (6), dalam model bisnis yang diperbaiki selain mempunyai key resources berupa plaku usaha yang sangat berkengalaman dalam bidang budidaya dan pembuatan pakan. Key resurces lainnya adalah besarnya jumlah pelaku budidaya ikan patin di Kampar yang berusaha dalam satunkawasan. JUmlah pelaku usaha yang begitu besar mempunyai dampak yang kuat terhdapa permintaan pakan. Key resourses tersebut 157
merupakan asset utama dari pabrik pakan ikan. Resourses tersebut menjadi salah satu kunci sukses dari pabrik pakan dan memungkinkan pabrik pakan berkelanjutan. Keys Patrner (7), terdapat beberapa key partners saat ini yang berhubungan dengan parbik pakan. Untuk meningkatkan kemampuan usaha pabrik pakan maka diperlukan perluasan partner. Partner strategis saat ini yang dapat meningkatkan kinerja pabrik pakan adalah adanya jaringan pakan ikan mandiri (GERPARI). Gerpari merupakan lembaga bagi pelaku usaha pabrik pakan ikan untuk beroragnisasi. Kemampuan organisasi GERPARI untuk memberikan warna dalam kebijakan pakan ikan nasional akan menjadaikan jaringan pabrik pakan semakin kuat dan dapat memberikan posisi tawar bagi pengambil kebijakan. Dukunagn iptek dari Litbang KP dan jaringan antar daerah di masing-masing lokasi dimana pabrik pakan berada akan semakin memberi kekuatan yang lebih pabrik pakan. Cost structure (8), biaya pabrik pakan akan menentukan bagimana kinerja pabrik pakan. Dalam mendesain BMC elemen cost structure didesain pada tahap paling akhir. Alasannya adalah bahwa semua bisnis yang beroperasi pasti membutuhkan biaya. Struktur biaya akan lebih mudah dirancang apabila semua elemen sudah didesain. Biaya-biaya yang akan muncul dalam elemen-elemen dalam model BMC akan diperhitung setelah semua elemen diketahui. Semua aspek/elemen dalam BMC memerlukan biaya, menciptakan dan memberikan nilai (Value prepositions dan Chanell) kepada pelanggan, menjaga hubungan baik dengan pelanggan (Costumer realtionships), upaya memperoleh pendapatan (Revenue stream), menjalankan aktivitas bisnis (Key Activities), mendapatkan dan mengelola sumber daya (Key Resiurces) serta bekerja sama dengan mitra (Key Partners) semua membutuhkan biaya. Efisiensi biaya pada pabrik pakan skala kecil menjadi salah satu kunci sukses agar pabrik pakan mampu bersaing dan tetap bertahan. Dukungan dan kemampuan formulator dan teknisi mesin mampu meningkatkan efisiensi usaha pakan ikan sehingga mampu menenkan biaya operasional. Pabrik pakan ikan menggunakan pendekatan cost driven dimana usaha pakan ikan dengan harga murah menjadi salah satu daya tarik bagi pembudidaya. Usaha budidaya pakan ikan sebagian besar biayanya didominasi pengeluaran untuk pakan ikan. Pakan ikan yang murah dan mempunyai kualitas memenhi standar SNI (cost drivent) dapat merangsang pembudidaya menggunakan pakan ikan mandiri. Osderwalder dan Pigniur (2010) menjelaskan ada dua macam/jenis cost structure yaitu Cost-driven dan value-driven. Model bisnis yang menekankan pada Cost Driven akan berupaya untuk meminimalisasi biaya agar struktur biaya menjadi ramping. Misalnya dengan menetapkan sekmen pelanggan yang sensitive harga (low-budget) menawarkan value preposition murah, mengurangi SDM dan 158
mengalihdayakan non aktifitas inti. BMC yang menekankan pada Value-cost adalah usaha yang tidak terlalu mempertimbangkan efisiensi biaya. Sasaran utama adalah memberikan kepuasan kepada pelanggan dengan memberikan pelayanan premium. Upaya yang dilakukan adalah menetapkan segmen pelanggan yang tidak sensitif harga. Value preposition yang menawarkan kemewahan dan pelayanan personalized. Revenue Streams (9), Sumber-sumber penerimaan usaha bersumber utama dari penerimaan hasil penjualan pakan ikan kepada konsumen/pelanggan. Selama ini sumber tersebut merupakan satu-satunya sumber penerimaan pabrik pakan. Perlu dikembangkan usaha-usaha lain yang dapat menjadi sumber penerimaan usaha.
5.3.3. Model Bisnis Investasi Pakan Model “Anjongan”
Potret/Identifikasi kondisi Eksisting Pabrik Pakan Model “Anjongan” Pabrik pakan ikan Anjongan dikelola oleh Balai Benih Anongan merupakan salah
satu UPTD Daerah Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kalimantan Barat. Dalam operasionalnya pabrik pakan ini dikelola oleh koperasi pegawai BBIS ANjongan. Potret kondisi saat ini mempunyai tujuan untuk dapat menyempurnakan model bisnis yang telah ada pada saat ini (PPP Manajemen, 2010). Pemotretan untuk mengetahui konsisi saat ini yang menggambarkan kondisi sebenarnya bukan gambaran kondisi ideal yang diinginkan. Salah satu keuntungan dari potret yang melibatkan stake holder pelaku adalah bisa diketahui keadaan sebenarnya yang terjadi di lapangan. Matrik hasil potret BMC saat ini seperti disajikan pada Tabel....
159
Gambar 30.
Matrik Kondisi Model Bisnis Saat ini (Kondisi Eksisting) Model “Anjongan”
Berdasarkan kondisi eksisting tersebut dimana telah dipetakan unsur-unsur atau elemn-elemen dalam model bisnis. Langkah selanjutnya adlah melakukan analisis SWOT terhadap kodisi eksiting tersebut. Analisis SWOT digunakan sebagai salah satu landasan dalam membangun model bisnis yang diperbarui atau model bisnis baru pada masa depan. Hasil analisis SWOT dan teknis strategi Blue Ocean digunakan untuk membuat atau memperbaiki model bisnis yang sudah ada (Kim dan Maulborgne, 2016). Hasil pemetaan kondisi saat menggambarkan kondisi usaha yang terjadi saat ini, dimana terdapat kekuatan dan kelemahan (factor internal); adanya peluang dan ancaman (factor eksternal). Pemetaan kondisi dasar (saat ini) bermanfaat sebagai acuan dasar dalam melakukan perbaikan atas model bisnis yang ada. Anlisis SWOT Analisis SWOT merupakan salah satu alat analisis untuk perumusan strategi dan formulasi rekomendasi yang dipilih. Strategi merupakan alaat untuk mencapai tujuan, dimana konsepnya selalu berkembang dalam beberapa dekade. Beberapa konsep strategi dikemukakan oleh Chandler (1962), Learned, Christensen, Andrews dan Guth (1965). 160
Argyris (1985), Steiner dan Miner (1977), Porter (1985), Andrews (1980 dan Chafe (1985), Hamel dan Prahadad (1995). Matrik Bobot Faktor Internal dan Eksternal Analisis SWOT dibuat matrik faktor Internal dan faktor Eksternal, Faktor internal memuat kekuatan dan kelemahan yang berasal dari dalam organisasi. Faktor eksternal memuat peluang dan tantangan. Setelah teridentifikasi semua elemen dalam faktor internal dan faktor eksternal, kemudian dilakukan analisis pembobotan untuk mengetahui berapa bobot masingmasing elemen.
161
Tabel 77.
Faktor Internal Model Bisnis Pakan Ikan Model “Anjongan”
Tabel 78.
Faktor Eksternal Model Bisnis Pakan Ikan
162
Identifikasi faktor internal dan ekstersebut sebagai dasar untuk menentukan pembobotan dari masing-masing elemen. Membobotan dilakuan berdasrakan kuesioner atau melalui FGD dari para ekspert dan pelaku usaha yang terlibat dalam usaha pakan ikan mandiri. Setelah bobot masing-masing elemen diketahui, langkah selanjutnya adalah membuat perhitungan nilai pada masing-masing elemen sebagai berikut:
163
Tabel 79
Nilai rataanSkor Hasil Analisis SWOT faktor Internal
164
Tabel 80
Hasil Nilai Rataan Skor Faktor Eksternal
Hasil Model Bisnis yang diperbaiki Hasil analisis SWOT sebagai salah salah kriteria untuk perbaikan model bisnis saat ini menjadi model bisnis yang diperbaiki.
165
166
Tabel 81.
Kekuatan dan Kelemahan Pabrik pakan ikan Mandiri
167
168
Gambar 31.
Matrik Model Bisnis yang Diperbaiki
169
Model bisnis hasil perbaikan merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja dari model bisnis yang sudah ada saat ini. Dalam model bisnis yang diperbaiki menggambarkan perubahan-perubahan atau perbaikan pada elemen-elemen sebagai berikut. Value Prepositions (1), yang menggambarkan nilai dari produk pakan yang dihasilkan. Pada kondisi perbaikan value preposition menggambarkan perlunya memasukkan pakan ikan yang berkualitas. Pakan yang dihasilkan tidak saja murah tetapi berkualitas untuk memenuhi kebutuhan pembudidaya. Custumer segmen (2) menggambarkan siapa target utama dari produk pakan ikan yang dihasilkan. Perbaikan pada elemen ini adalah memasukkan kebutuhan pakan ikan pembudidaya lokal cukup banyak. Hal ini memberikan rangsangan tersendiri bagi pabrik pakan untuk dapat meningkatkan produksi pakan agar bisa mencukupi permintaan pasar lokal yang cukup besar. Costumer relationship (3), elemen ini menggambarkan bagimana pabrik pakan menjaga dan meningkatakn hubungan baik dengan custumer/pengguna pakan. Layananlayanan dan jaminan yang diberikan agar pengguna percaya dengan produk yang dihasilkan. Hubungan pelanggan menjamin adanya kualitas pakan yang dihasilkan, layanan pengantaran produk pakan yang dibeli pelanggan dan percontohan/demplot agar pengguna pakan percaya terhadap kualitas produk. Chanels (4), agar pakan yang diproduksi dapat sampai dengan baik kepada pengguna pada awalnya layanan diberikan melalui kelompok-kelompok pembudidaya yang ada disekitar pabrik pakan. Untuk meningkatkan penetrasi pangsa pasar maka saluran yang digunakan menggunanan penyaluran melalui hubungan/organisasi antar daerah (Pawonsari: Pacitan, Wonogiri dan Wonosari/Gunungkidul) serta melalui forum pakan DIY. Kedua saluran tersebut diharapkan mampu meningkatkan pangsa pasar keluar dearah dimana terdapat sentra-sentra budidaya. Key actifities (5), terdapat tiga unsur utama dalam key actifities agar dapat menjamin pabrik berkelanjutan. Aktifitas kunci tersebut adalah aktifitas produk pakan dalam bentuk formula/adonan, pakan cetak dan pakan untuk umpan mancing, pakan untuk indukan dan pakan untuk benih. Aktifitas kunci berikutnya adalah kemampuan SDM dalam memperbaiki mesin. Kemampuan ini merupakan aset yang sangat berharga dimana biasanya pabrik pakan akan mengalami banyak masalah mesin. Adanya kemampuan perbaikan mesin dapat menjamin parbik pakan dapat beroperasi secara kontinyu sehingga bisa meningkatkan kontinyuitas usaha dan jjumlah rai kerja mesin. Pada gilirannya dapat meningkatkan performa pabrik secara keseluruhan. Salah satu key activities yang menjadi penciri pabrik 170
pakan ini adalah adanya kegiatan operasional pabrik pakan dengan pendekatan Cluster. Pendekatan cluster memungkinkan jaringan pabrik pakan mempunyai beberapa sub cluster mulai dari penyedia row materian bahan baku, penyedia bahan baku (dalam bentuk tepung/bahan setengah jadi), sub cluster pencetaka pakan dan dukungan dari perbengkelan, permodalan, pemasaran dan lain-lain. Model cluster dapat digambarkan dalam skema pada Gambar.... Key resources (6), dalam model bisnis yang diperbaiki selain mempunyai tiga key resources utama, jga terdapat key resources yaitu produk pakan, formulator dan teknisi yang bersertifikat. Hal ini menunjukkan bahwa key resources tersebut telah diakui secara formal dan kehandalannya tidak diragukan. Keempat key resourses tersebut merupakan asset utama dari pabrik pakan ikan. Resourses tersebut menjadi salah satu kunci sukses dari pabrik pakan dan memungkinkan pabrik pakan berkelanjutan. Keys Patrner (7), terdapat beberapa key partners saat ini yang berhubungan dengan parbik pakan. Untuk meningkatkan kemampuan usaha pabrik pakan maka diperlukan perluasan partner. Partner strategis saat ini yang dapat meningkatkan kinerja pabrik pakan adalah adanya jaringan pakan ikan mandiri (GERPARI). Gerpari merupakan lembaga bagi pelaku usaha pabrik pakan ikan untuk beroragnisasi. Kemampuan organisasi GERPARI untuk memberikan warna dalam kebijakan pakan ikan nasional akan menjadaikan jaringan pabrik pakan semakin kuat dan dapat memberikan posisi tawar bagi pengambil kebijakan. Dukunagn iptek dari Litbang KP dan jaringan antar daerah di masing-masing lokasi dimana pabrik pakan berada akan semakin memberi kekuatan yang lebih pabrik pakan. Cost structure (8), biaya pabrik pakan akan menentukan bagimana kinerja pabrik pakan. Dalam mendesain BMC elemen cost structure didesain pada tahap paling akhir. Alasannya adalah bahwa semua bisnis yang beroperasi pasti membutuhkan biaya. Struktur biaya akan lebih mudah dirancang apabila semua elemen sudah didesain. Biaya-biaya yang akan muncul dalam elemen-elemen dalam model BMC akan diperhitung setelah semua elemen diketahui. Semua aspek/elemen dalam BMC memerlukan biaya, menciptakan dan memberikan nilai (Value prepositions dan Chanell) kepada pelanggan, menjaga hubungan baik dengan pelanggan (Costumer realtionships), upaya memperoleh pendapatan (Revenue stream), menjalankan aktivitas bisnis (Key Activities), mendapatkan dan mengelola sumber daya (Key Resiurces) serta bekerja sama dengan mitra (Key Partners) semua membutuhkan biaya. Efisiensi biaya pada pabrik pakan skala kecil menjadi salah satu kunci sukses agar pabrik pakan mampu bersaing dan tetap bertahan. Dukungan dan kemampuan formulator dan 171
teknisi mesin mampu meningkatkan efisiensi usaha pakan ikan sehingga mampu menenkan biaya operasional. Pabrik pakan ikan menggunakan pendekatan cost driven dimana usaha pakan ikan dengan harga murah menjadi salah satu daya tarik bagi pembudidaya. Usaha budidaya pakan ikan sebagian besar biayanya didominasi pengeluaran untuk pakan ikan. Pakan ikan yang murah dan mempunyai kualitas memenhi standar SNI (cost drivent) dapat merangsang pembudidaya menggunakan pakan ikan mandiri. Osderwalder dan Pigniur (2010) menjelaskan ada dua macam/jenis cost structure yaitu Cost-driven dan value-driven. Model bisnis yang menekankan pada Cost Driven akan berupaya untuk meminimalisasi biaya agar struktur biaya menjadi ramping. Misalnya dengan menetapkan sekmen pelanggan yang sensitive harga (low-budget) menawarkan value preposition murah, mengurangi SDM dan mengalihdayakan non aktifitas inti. BMC yang menekankan pada Value-cost adalah usaha yang tidak terlalu mempertimbangkan efisiensi biaya. Sasaran utama adalah memberikan kepuasan kepada pelanggan dengan memberikan pelayanan premium. Upaya yang dilakukan adalah menetapkan segmen pelanggan yang tidak sensitif harga. Value preposition yang menawarkan kemewahan dan pelayanan personalized. Revenue Streams (9), Sumber-sumber penerimaan usaha bersumber utama dari penerimaan hasil penjualan pakan ikan kepada konsumen/pelanggan. Selama ini sumber tersebut merupakan satu-satunya sumber penerimaan pabrik pakan. Perlu dikembangkan usaha-usaha lain yang dapat menjadi sumber penerimaan usaha. Sumber-sumber penerimaan baru tersebut antara lain, sumber penerimaan dari usaha perbaikan mesin pabrik pakan. Keahlian ini dibangun dari kemampuan pelaku untuk memperbaiki mesin-mesin pakan, baik mesin pakan tenggelam maupun mesin pakan terapung. Kemampuan perbaikan mesin pakan apung diperoleh dari pengelaman pelaku usaha dengan menggunakan mesin pakan ikan apung yang dibeli dari Tiongkok. Pengalaman bongkar pasang mesin tersebut menjadikan sumber pengetahuan bari pelaku usaha sehingga mempunyai kemampuan untuk memperbaiki mesin pakan ikan yang rusak.
5.3.4. Model Bisnis Penyediaan Benih Ikan
Ikan mas merupakan salah satu komoditas budidaya ikan air tawar yang banyak
dikonsumsi di Indonesia. Produksi budidaya ikan mas selalu mengalami perkembangan dalam sepuluh tahun terakhir. Peluang besar permintaan ikan mas yang semakin meningkat sehingga budidaya ikan mas masih menjanjikan sebagai salah satu usaha masyarakat. Agar perkembangan usaha budidaya ikan mas dapat berkelanjutan maka perlu dukungan input 172
budidaya yang baik. Salah satu input yang berpengaruh terhadap keberhasilan usaha budidaya ikan mas adalah benih ikan. Benih ikan yang berkualitas dan tersedia diharapkan menghasilkan ikan mas konsumsi yang pertumbuhannya cepat dengan tingkat kelulushidupan yang tinggi. Usaha penyediaan benih ikan mas sudah banyak berkembang baik dari balai ikan maupun usaha pembenihan rakyat. Model bisnis usaha pembenihan ikan mas yang ada saat ini dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 32.
Gambar Eksisting BMC Pembenihan Ikan Mas
Analisis SWOT Berdasarkan analisis SWOT dapat diketahui faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi keberlanjutan usaha pembenihan ikan mas. Faktor internal dapat dikelompokkan menjadi faktor internal yang mengandung kekuatan dan faktor internal yang mengandung kelemahan. Adapun faktor eksternal, dikelompokkan menjadi peluang dan ancaman terhadap keberlanjutan usaha pembenihan ikan mas. Hasil identifikasi faktor internal dan eksternal usaha pembenihan ikan mas dapat dilihat pada tabel berikut.
173
Tabel 82.
Faktor Internal dan Eksternal Usaha Pembenihan Ikan Mas FAKTOR INTERNAL
FAKTOR EKSTERNAL
KEKUATAN (Strenght - S)
PELUANG (OPPORTUNITY - O)
S-1. Ketersediaan induk
O-1. Tren permintaan benih
S-2. Teknologi pembenihan
O-2. Preferensi konsumsi ikan air tawar
S-3. Sarana dan prasarana perbenihan
O-3. Dukungan penelitian dan pengembangan
S-4. Ketrampilan pembenih
O-4. Dukungan program pemerintah
S-5. Potensi produksi benih S-6. Kelayakan usaha pembenihan KELEMAHAN (Weakness - W) W-1. Kualitas indukan
ANCAMAN (THREAT - T) T-1. Harga pakan benih
W-2. Penanganan penyakit benih ikan W-3. Sertifikasi usaha perbenihan
T-2. Perubahan lingkungan dan kualitas air T-3. Serangan wabah penyakit
W-4. Akses permodalan usaha
T-4. Persaingan pemasaran
W-5. Jaringan pemasaran
T-5. Tren alih fungsi lahan
W-6. Sistem transportasi benih
Hasil identifikasi faktor internal dan eksternal selanjutnya dilakukan skoring (penilaian) berdasarkan bobot tingkat kepentingan masing-masing unsur pembentuk faktor. Nilai rataan skor hasil analisis SWOT faktor internal dan eksternal usaha pembenihan ikan mas dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 83. Nilai Rataan Skor Hasil Analisis SWOT Faktor Internal Usaha Pembenihan Ikan Mas BOBOT
RATAAN RATING
RATAAN SKOR
S-1. Ketersediaan induk
0.18
3.50
0.63
S-2. Teknologi pembenihan
0.12
3.50
0.63
S-3. Sarana dan prasarana perbenihan
0.08
3.50
0.63
S-4. Ketrampilan pembenih
0.09
3.50
0.63
S-5. Potensi produksi benih
0.05
3.50
0.63
S-6. Kelayakan usaha pembenihan
0.14
3.50
0.63
FAKTOR INTERNAL KEKUATAN (Strenght - S)
Sub Total
0.66
3.50
0.63
KELEMAHAN (Weakness - W) W-1. Kualitas indukan
0.08
3.25
0.26
W-2. Penanganan penyakit benih ikan
0.04
3.25
0.14
W-3. Sertifikasi usaha perbenihan
0.07
3.00
0.21
W-4. Akses permodalan usaha
0.07
2.25
0.15
W-5. Jaringan pemasaran
0.05
2.75
0.13
W-6. Sistem transportasi benih
0.03
2.75
0.13
Sub Total
0.34
2.88
0.17 174
Total
1.00
6.38
0.80
Tabel 84. Nilai Rataan Skor Hasil Analisis SWOT Faktor Internal Usaha Pembenihan Ikan Mas BOBOT
RATAAN RATING
RATAAN SKOR
PELUANG (OPPORTUNITY - O) O-1. Tren permintaan benih
0.20
4.25
0.85
O-2. Preferensi konsumsi ikan air tawar
0.11
3.50
0.38
O-3. Dukungan penelitian dan pengembangan
0.15
3.25
0.48
O-4. Dukungan program pemerintah
0.12
3.50
0.42
FAKTOR EKSTERNAL
Sub Total
3.63
0.58
0.53
ANCAMAN (THREAT - T)
T-1. Harga pakan benih
0.19
3.50
0.67
T-2. Perubahan lingkungan dan kualitas air
0.07
3.25
0.24
T-3. Serangan wabah penyakit
0.04
2.75
0.11
T-4. Persaingan pemasaran
0.07
2.75
0.20
T-5. Tren alih fungsi lahan
0.05
1.75
0.08
Sub Total TOTAL
0.42
1.00
2.80 6.43
0.26 0.79
Berdasarkan nilai rataan skor yang diperoleh selanjutnya dapat dipetakan strategi apa yang harus dilakukan. Dengan mempertimbangakan resultan nilai rataan skor yang diperoleh ternyata strategi yang seharusnya dikembangkan adalah mengoptimalkan kekuatan dan peluang yang dimiliki. Hasil pemetaan strategi yang seharusnya dikembangkan dalam usaha pembenihan ikan mas dapat dilihat pada gambar berikut.
175
Gambar 33. Peta Strategi SWOT Usaha Pembenihan Ikan Mas Model Bisnis Yang diperbaiki Model bisnis hasil perbaikan merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja dari model bisnis yang sudah ada saat ini. Dalam model bisnis yang diperbaiki menggambarkan perubahan-perubahan atau perbaikan pada elemen-elemen sebagai berikut. Value Prepositions (1), yang menggambarkan nilai dari produk benih ikan yang dihasilkan. Pada kondisi perbaikan value preposition menggambarkan perlunya memasukkan unsur benih ikan yang berkualitas baik dalam hal kecepatan pertumbuhan maupun ketahanan dari serangan penyakit. Benih ikan yang dihasilkan tidak saja murah tetapi berkualitas untuk memenuhi kebutuhan pembudidaya. Costumer segmen (2) menggambarkan siapa target utama dari produk benih ikan yang dihasilkan. Perbaikan pada elemen ini adalah memasukkan kebutuhan benih ikan pembudidaya regional cukup banyak. Hal ini memberikan rangsangan tersendiri bagi usaha pembenihan ikan untuk dapat meningkatkan produksi benih agar bisa mencukupi permintaan pasar regional yang cukup besar. 176
Costumer relationship (3), elemen ini menggambarkan bagaimana usaha embenihan ikan menjaga dan meningkatakn hubungan baik dengan costumer/pengguna benih. Layananlayanan dan jaminan yang diberikan agar pengguna percaya dengan produk yang dihasilkan. Hubungan pelanggan menjamin adanya kualitas benih ikan yang dihasilkan, garansi produk jika ada kematian dan bonus atau pemberian benih yang lebih dari jumlah pesanan. Chanels (4), disamping menjual benih ikan langsung ke pembudidaya ikan, pembenih ikan mas juga memasarkan benih melalui agen/pedagang benih. Agar benih yang diproduksi dapat sampai dengan baik kepada pembudidaya ikan pemasaran dibantu oleh pedagang benih yang menghimpun/membeli benih yang dihasilkan pembenih untuk selanjutnya dipasarkan kepada pembudidaya ikan yang memerlukan. Untuk memperluas jangkauan pemasaran dapat dilakukan melalui penjualan online dan didukung dengan promosi di media sosial. Key actifities (5), Aktivitas kunci dalam usaha pembenihan adalah aktvitas produksi benih dan pemasaran. Aktivitas produksi sangat dipengaruhi dengan keterampilan dan pengalaman pembenih dalam pemijahan ikan, dan perawatan larva atau benih yang baru dihasilkan. Selain aktivitas produksi, kegiatan pemaasaran menjadi penting karena tanpa didukkung dengan upaya pemasaran benih yang cukup dapat menyebabkan perkembangan usaha pembenihan tidak berkelanjutan. Key resources (6), Kunci utama usaha pembenihan ikan adalah ketersediaan induk yang berkualitas, ketersediaan sarana pembenihan, kondisi perairan yang sesuai dan keterampilan pembenih ikan itu sendiri. Induk yang berkualitas akan menghasilkan benih yang banyak, pertumbuhannya cepat, ukuran relatif seragam, tahan terhadap serangan penyakit. Sementara itu ketersediaan sarana yang lengkap akan memudahkan setiap tahapan aktivitas dalam pembenihan misalnya sarana kolam untuk pemijahan, pendederan, pemanenan, pengemasan, dan sarana transportasi untuk pengiriman. Keys Patrner (7), partner kunci usaha pembenihan ikan khususnya dari dua aspek yaitu produksi dan pemasaran. Pada aspek produksi, pembenih ikan mas senantiasa berhubungan dengan penyuluh perikanan dan balai benih ikan yang terdapat di sekitar lokasi pembenih ikan. Informasi mengenai teknik produksi, informasi indukan unggul, ketersediaan indukan biasanya dapat diperoleh melalui balai benih ikan atau informasi penyuluh perikanan. Selain itu dari sisi pemasaran, pembenih ikan sering berhubungan dengan agen atau pedagang benih ikan karena lokasi konsumen (pembudidaya ikan mas) berada di luar kota, sehingga penjualan atau pengiriman benih melalui perantara agen/pedagang dirasakan lebih efsien.
177
Cost structure (8), usaha pembenihan pakan tidak memerlukan modal yang besar. Siklus usaha yang pendek berpengaruh terhadap rendahnya biaya yang diperlukan dalam usaha pembenihan ikan. Model bisnis pembenihan ikan
menekankan pada Cost Driven yang
berupaya untuk
meminimalisasi biaya agar struktur biaya menjadi ramping. Misalnya dengan menetapkan segmen pelanggan yang sensitive harga (low-budget) menawarkan value preposition murah, mengurangi SDM dan mengalihdayakan non aktifitas inti. Untuk meningkatkan skala usaha maka mulai dikembangkan akses untuk mendapatkan kredit formal dengan bunga rendah dari perbankan maupun koperasi. Revenue Streams (9), Sumber-sumber penerimaan usaha bersumber utama dari penerimaan hasil penjualan benih ikan kepada konsumen/pelanggan.
Gambar 34.
Perbaikan BMC Bisnis Pembenihan Ikan Mas
5.3.5. Model Bisnis Penyediaan Benih Ikan Nila
Ikan nila merupakan salah satu komoditas budidaya ikan air tawar yang banyak
dikonsumsi di Indonesia. Produksi budidaya ikan nila selalu mengalami perkembangan dalam sepuluh tahun terakhir. Peluang besar permintaan ikan nila yang semakin meningkat sehingga budidaya ikan nila masih menjanjikan sebagai salah satu usaha masyarakat. Agar perkembangan usaha budidaya ikan nila dapat berkelanjutan maka perlu dukungan input 178
budidaya yang baik. Salah satu input yang berpengaruh terhadap keberhasilan usaha budidaya ikan nila adalah benih ikan. Benih ikan yang berkualitas dan tersedia diharapkan menghasilkan ikan nila konsumsi yang pertumbuhannya cepat dengan tingkat kelulushidupan yang tinggi. Usaha penyediaan benih ikan nila sudah banyak berkembang baik dari balai ikan maupun usaha pembenihan rakyat. Model bisnis usaha pembenihan ikan nila yang ada saat ini dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 35.
Eksisting BMC Pembenihan Ikan Nila
Analisis SWOT Berdasarkan analisis SWOT dapat diketahui faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi keberlanjutan usaha pembenihan ikan nila. Faktor internal dapat dikelompokkan menjadi faktor internal yang mengandung kekuatan dan faktor internal yang mengandung kelemahan. Adapun faktor eksternal, dikelompokkan menjadi peluang dan ancaman terhadap keberlanjutan usaha pembenihan ikan nila. Hasil identifikasi faktor internal dan eksternal usaha pembenihan ikan nila dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 85. Faktor Internal dan Eksternal Usaha Pembenihan Ikan Nila 179
FAKTOR INTERNAL
FAKTOR EKSTERNAL
KEKUATAN (Strenght - S)
PELUANG (OPPORTUNITY - O)
S-1. Ketersediaan induk
O-1. Tren permintaan benih
S-2. Teknologi pembenihan
O-2. Preferensi konsumsi ikan air tawar
S-3. Sarana dan prasarana perbenihan
O-3. Dukungan penelitian dan pengembangan
S-4. Ketrampilan pembenih
O-4. Dukungan program pemerintah
S-5. Potensi produksi benih S-6. Kelayakan usaha pembenihan KELEMAHAN (Weakness - W) W-1. Kualitas indukan
ANCAMAN (THREAT - T) T-1. Harga pakan benih
W-2. Penanganan penyakit benih ikan W-3. Sertifikasi usaha perbenihan
T-2. Perubahan lingkungan dan kualitas air T-3. Serangan wabah penyakit
W-4. Akses permodalan usaha
T-4. Persaingan penilaaran
W-5. Jaringan penilaaran
T-5. Tren alih fungsi lahan
W-6. Sistem transportasi benih
Hasil identifikasi faktor internal dan eksternal selanjutnya dilakukan skoring (penilaian) berdasarkan bobot tingkat kepentingan masing-masing unsur pembentuk faktor. Nilai rataan skor hasil analisis SWOT faktor internal dan eksternal usaha pembenihan ikan nila dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 86. Nilai Rataan Skor Hasil Analisis SWOT Faktor Internal Usaha Pembenihan Ikan Nila FAKTOR INTERNAL
BOBOT
RATAAN RATAAN RATING SKOR
KEKUATAN (Strenght - S) S-1. Ketersediaan induk
0.16 0.11 0.06 0.10 0.05 0.13
S-2. Teknologi pembenihan S-3. Sarana dan prasarana perbenihan S-4. Ketrampilan pembenih S-5. Potensi produksi benih S-6. Kelayakan usaha pembenihan Sub Total KELEMAHAN (Weakness - W) W-1. Kualitas indukan
0.60
0.10 0.06 0.08 0.08 0.06 0.03
4.00 3.75 3.25 4.25 3.75 4.25 3.88
0.63 0.40 0.18 0.41 0.17 0.57 0.40 0.35 0.19 0.22 0.19 0.18 0.13 0.21 0.61
Sub Total
0.40
3.50 3.25 2.75 2.50 3.25 2.75 3.00
Total
1.00
6.88
W-2. Penanganan penyakit benih ikan W-3. Sertifikasi usaha perbenihan W-4. Akses permodalan usaha W-5. Jaringan pemasaran W-6. Sistem transportasi benih
180
Tabel 87. Nilai Rataan Skor Hasil Analisis SWOT Faktor Internal Usaha Pembenihan Ikan Nila FAKTOR EKSTERNAL
BOBOT
PELUANG (OPPORTUNITY - O) O-1. Tren permintaan benih O-2. Preferensi konsumsi ikan air tawar O-3. Dukungan penelitian dan pengembangan O-4. Dukungan program pemerintah Sub Total
ANCAMAN (THREAT - T) T-1. Harga pakan benih T-2. Perubahan lingkungan dan kualitas air T-3. Serangan wabah penyakit T-4. Persaingan pemasaran T-5. Tren alih fungsi lahan Sub Total TOTAL
RATAAN RATAAN RATING SKOR
0.16 0.09 0.15 0.13 0.53
0.21 0.08 0.05 0.08 0.05 0.47
1.00
4.00 4.00 3.75 3.75 3.88
0.64 0.36 0.57 0.48 0.52
3.50 3.25 2.75 2.75 2.00 2.85 6.73
0.72 0.27 0.14 0.21 0.10 0.29 0.80
Berdasarkan nilai rataan skor yang diperoleh selanjutnya dapat dipetakan strategi apa yang harus dilakukan. Dengan mempertimbangakan resultan nilai rataan skor yang diperoleh ternyata strategi yang seharusnya dikembangkan adalah mengoptimalkan kekuatan dan peluang yang dimiliki. Hasil pemetaan strategi yang seharusnya dikembangkan dalam usaha pembenihan ikan nila dapat dilihat pada gambar berikut.
181
Gambar 36.
Peta Strategi SWOT Usaha Pembenihan Ikan Nila
Model Bisnis Yang diperbaiki Model bisnis hasil perbaikan merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja dari model bisnis yang sudah ada saat ini. Dalam model bisnis yang diperbaiki menggambarkan perubahan-perubahan atau perbaikan pada elemen-elemen sebagai berikut. Value Prepositions (1), yang menggambarkan nilai dari produk benih ikan yang dihasilkan. Pada kondisi perbaikan value preposition menggambarkan perlunya menilaukkan unsur benih ikan yang berkualitas baik dalam hal kecepatan pertumbuhan maupun ketahanan dari serangan penyakit. Benih ikan yang dihasilkan tidak saja murah tetapi berkualitas untuk memenuhi kebutuhan pembudidaya. Costumer segmen (2) menggambarkan siapa target utama dari produk benih ikan yang dihasilkan. Perbaikan pada elemen ini adalah menilaukkan kebutuhan benih ikan pembudidaya regional cukup banyak. Hal ini memberikan rangsangan tersendiri bagi usaha pembenihan ikan untuk dapat meningkatkan produksi benih agar bisa mencukupi permintaan pasar regional yang cukup besar.
182
Costumer relationship (3), elemen ini menggambarkan bagaimana usaha embenihan ikan menjaga dan meningkatakn hubungan baik dengan costumer/pengguna benih. Layananlayanan dan jaminan yang diberikan agar pengguna percaya dengan produk yang dihasilkan. Hubungan pelanggan menjamin adanya kualitas benih ikan yang dihasilkan, garansi produk jika ada kematian dan bonus atau pemberian benih yang lebih dari jumlah pesanan. Chanels (4), disamping menjual benih ikan langsung ke pembudidaya ikan, pembenih ikan nila juga menilaarkan benih melalui agen/pedagang benih. Agar benih yang diproduksi dapat sampai dengan baik kepada pembudidaya ikan penilaaran dibantu oleh pedagang benih yang menghimpun/membeli benih yang dihasilkan pembenih untuk selanjutnya dipasarkan kepada pembudidaya ikan yang memerlukan. Untuk memperluas jangkauan penilaaran dapat dilakukan melalui penjualan online dan didukung dengan promosi di media sosial. Key actifities (5), Aktivitas kunci dalam usaha pembenihan adalah aktvitas produksi benih dan penilaaran. Aktivitas produksi sangat dipengaruhi dengan keterampilan dan pengalaman pembenih dalam pemijahan ikan, dan perawatan larva atau benih yang baru dihasilkan. Selain aktivitas produksi, kegiatan pemaasaran menjadi penting karena tanpa didukkung dengan upaya penilaaran benih yang cukup dapat menyebabkan perkembangan usaha pembenihan tidak berkelanjutan. Key resources (6), Kunci utama usaha pembenihan ikan adalah ketersediaan induk yang berkualitas, ketersediaan sarana pembenihan, kondisi perairan yang sesuai dan keterampilan pembenih ikan itu sendiri. Induk yang berkualitas akan menghasilkan benih yang banyak, pertumbuhannya cepat, ukuran relatif seragam, tahan terhadap serangan penyakit. Sementara itu ketersediaan sarana yang lengkap akan memudahkan setiap tahapan aktivitas dalam pembenihan misalnya sarana kolam untuk pemijahan, pendederan, pemanenan, pengenilaan, dan sarana transportasi untuk pengiriman. Keys Patrner (7), partner kunci usaha pembenihan ikan khususnya dari dua aspek yaitu produksi dan penilaaran. Pada aspek produksi, pembenih ikan nila senantiasa berhubungan dengan penyuluh perikanan dan balai benih ikan yang terdapat di sekitar lokasi pembenih ikan. Infornilai mengenai teknik produksi, infornilai indukan unggul, ketersediaan indukan biasanya dapat diperoleh melalui balai benih ikan atau infornilai penyuluh perikanan. Selain itu dari sisi penilaaran, pembenih ikan sering berhubungan dengan agen atau pedagang benih ikan karena lokasi konsumen (pembudidaya ikan nila) berada di luar kota, sehingga penjualan atau pengiriman benih melalui perantara agen/pedagang dirasakan lebih efsien.
183
Cost structure (8), usaha pembenihan pakan tidak memerlukan modal yang besar. Siklus usaha yang pendek berpengaruh terhadap rendahnya biaya yang diperlukan dalam usaha pembenihan ikan. Model bisnis pembenihan ikan
menekankan pada Cost Driven yang
berupaya untuk
meminimalisasi biaya agar struktur biaya menjadi ramping. Misalnya dengan menetapkan segmen pelanggan yang sensitive harga (low-budget) menawarkan value preposition murah, mengurangi SDM dan mengalihdayakan non aktifitas inti. Untuk meningkatkan skala usaha maka mulai dikembangkan akses untuk mendapatkan kredit formal dengan bunga rendah dari perbankan maupun koperasi. Revenue Streams (9), Sumber-sumber penerimaan usaha bersumber utama dari penerimaan hasil penjualan benih ikan kepada konsumen/pelanggan.
Gambar 37.
Perbaikan BMC Bisnis Pembenihan Ikan Nila
184
6. KESIMPULAN Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan model-model investasi perbenihan dan pakan mandiri dengan
memasukkan unsur-unsur ketidakpastian
dan resiko-resiko
kedalam model. Model yang dihasilkan dapat memberikan berbagai alternatif model investasi perbenihan dan pakan ikan mandiri sesuai dengan karakteristik tipologi dan keragaan sumberdaya, karakteristik manajemen pengelolaan dan karakteristik SDM. Hasil yang diperoleh menunjukkah bahwa kinerja pabrik pakan ikan mandiri belum dapat mencerminkan kinerja “yang baik”. Faktor utama adalah tidak terpenuhinya kontinyuitas usaha dan rendahnya produktifitas pabrik pakan dibandingkan dengan kapasitas produksi. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut antara lain kondisi mesin pakan yang tidak memenuhi standar sesuai kapasitasnya, bisnis plan pabrik pakan tidak disiapkan dengan baik, kemampuan inovasi pengelola pabrik pakan yang belum optimal ditambah dengan permodalan yang masih kurang. Model yang dihasilnya mengacu pada model umum dengan karakteristik tertentu yang mencerminkan perbedaan pola/model. Secara umum terdapat tiga pola dalam mobel bisnis investasi pakan yaitu model/pola “jogjanan’, model/pola “kamparan” dan model/pola Anjongan. Ketiga pola/model tersebut mempunyai karakteristik yang khas yang terbentuk karena karakteristik ekosistem usaha perikanan budidaya, karakteristik manajemen pengelolaannya dan karakteristik SDM. Masing-masing model/pola tersebut mempunyai kelebihan masing-masing , Saran rekomendasi yang disampaikan adalah perlunya identifikasi yang lebih spesifik kepada calon penerima sebelum bantuan program dilaksanakan terkait dengan: karakteristik usaha budidaya, karakteristik ekosistem, karakteristik SDM dan karakteristik manajemen pengelolaan. Ketiga karakteristik tersebut akan mempunyai pola yang berbeda sehingga model yang disarankan juga berbeda. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut antara lain kondisi mesin pakan yang tidak memenuhi standar sesuai kapasitasnya, bisnis plan pabrik pakan tidak disiapkan dengan baik, kemampuan inovasi pengelola pabrik pakan yang belum optimal ditambah dengan permodalan yang masih kurang.
185
DAFTAR PUSTAKA Arisandi, D.F, Widodo, MS, Yanuhar, Uun. 2015. Trichodermaviride as Starter Fermentation Waste Cow Feces for Nutrition Alternative Catfish (Clariass.). Journal of Life Science and Biomedicine. 5(3) : 75-80, May 30, 2015. Asci, S., J.J. VanSickle dan D. J. Cantliffe. 2014. Risk In Investment Decision Making and Greehouse Tomato Production Expantion in Florida. International Food and Agribusiness Management Review. 17(4). Belton, Ben, and Shakuntala Haraksingh Thilsted. 2014. “Fisheries in Transition: Food and Nutrition Security Implications for the Global South.” Global Food Security 3: 59– 66. Bosma, Roel H., and Marc C J Verdegem. 2011. “Sustainable Aquaculture in Ponds: Principles, Practices and Limits.” Livestock Science 139 (1-2). Elsevier B.V.: 58–68. doi:10.1016/j.livsci.2011.03.017. El-Sayed, A. F.M. (2014). Value chain analysis of the Egyptian aquaculture feed industry. WorldFish, Penang, Malaysia. Project Report: 2014-22. Habibah, Rostikawati, R.T, Heptarina, Deisi. 2013. Pengaruh komposisi gulma air hydrilla (Hydrilla verticillata) dalam ransum ikan gurami terhadap pertumbuhan ikan gurami (Osphronemus gouramy Lac). Program Studi Pendidikan Biologi,FKIP Universitas Pakuan. Hastuti, Sri dan Subandiyono. 2014. Performa produksi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus, burch) Yang dipelihara dengan teknologi Biofloc. 2014. Jurnal Saitek Perikanan Vol. 10 No 1 : 37-42, Agustus 2014. http://ejournal.unpak.ac.id/download.php?file.pdf Irliyandi, Fheby. 2008. Pengaruh padat penebaran 60, 75 dan 90 Ekor/liter terhadap produksi ikan patin Pangasius hypophthalmus Ukuran 1 inci up (3 cm) Dalam sistem resirkulasi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/5132/C08fir.pdf?sequence=4 Kristanto, Anang Hari. 2007. Penguasaan Teknologi Budidaya untuk menghasilkan benih ikan air tawar. Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat. http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/lokakarya/pbadan0714.pdf?secure=1 Laporan Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2014. http://kkp.go.id/assets/uploads/2015/03/LAKIP-KKP-2014.pdf Lutfiyah, Karyadi, & Suratiningsih, S. (2012). Analisis Kelayakan Usaha Pembenihan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Di Desa Ngemplak Lor Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati. Agromedia, 30, 23–34. Mantau, Zulkifli, J.B.M. Rawung, dan Sudarty. 2002. Pembenihan ikan mas yang efektif dan efisien. Jurnal Litbang Pertanian (23) 2, 2002 : 61-66. Novriadi, Romi. Tantagan Untuk Perikanan Budidaya. Artikel.https://www.researchgate.net/publication/271208010_2015_Tantangan_Unt uk_Perikanan_Budidaya. Nur, A. 2007. Analysisi of feeds and fertilizers for sustainable aquaculture development in Indonesia. In M.R Hasan, T.Hecht, S,S. De Silva AND a.g.j. Tacon (EDS). Study and analysis of feeds and fertilizers for sustainable aquaculture development. Fao Fisheries Technical Paper. No. 497, fao. PP.246-267.
186
Putri, Fadhilah Silviana; Zahidah Hasan; dan Kiki Haetami. 2012. Pengaruh pemberian bakteri probiotok pada pellet yang mengandung kaliandra (calliandracalothyrsus) terhadap pertumbuhan benih ikan nila (Oreochromis niloticus), 2012. Jurnal Perikanan dan Kelautan. Vol 3, No. 4. Desember 2012. Hal 283-291. Putra, Iskandar, Setyanto, D.D, Wahjuningrum, Dinamella. 2011. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup Ikan nila oreochromis niloticus dalam sistem resirkulasi. Jurnal Perikanan dan Kelautan 16,1 (2011) : 56-63. Tacon, A.G.J and Metian, Marc. 2008. Global overview on the use of fish meal and fish oil in industrially compounded aquafeeds: Trends and future prospects. Aquaculture 285 (2008) 146–158 Rahmani, U., Syaukat, Y., Fauzi, A., & Hidayat, A. (2011). Internalisasi Biaya Lingkungan pada Budidaya Iikan Karamba Jaring Apung di Waduk Cirata. Indonesian Journal of Agricultural Economics, 2(2), 157–168. Robb,Dave.H.F dan Crampton, Viv O. 2013. On-far m feeding and feed management: erspectives from the fish feed industry. FAO Fisheries and Aquaculture Technical Paper No. 583. Rome, FAO. Halaman 489-518. Sarianti, T. H. Sasongko dan A. Ratnawati. 2008. Aplikasi NPV at Risk Dalam Analisis Kelayakan Finansial Budidaya Jamur Tiram Putih di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jurnal Agribisnis dan Manajemen. V(2) pp 73-86 Sukadi, M. Fatuchri. 2002. Peningkatan Teknologi Budidaya Perikanan. Jurnal Ikhtologi Indonesia Vol. 2. No. 2.Tahun 2004. Wardono, B. Hikmah, S. Saptanto dan A. S. Prabakusuma. 2015. Kewirausahaan Pakan Ikan Mandiri Dengan Pendekatan Kluster Untuk Pengembangan Ekonomi Kawasan (Naskah model rekomendasi,) Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (Tidak diterbitkan) Wardoyo. 1992. “Arah Perkembangan Agroindustri.” In Seminar Nasional Agroindustri III. Yogyakarta (ID). Widiyantara, Galuh. 2009. Kinerja produksi pendederan lele sangkuriang (Clarias Sp.) Melalui penerapan teknologi pergantian air 50%, 100%, dan 150% per hari. Skripsi. Institut Pertanian. Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12374/ C09gbw.pdf;jsessionid=AA23A3D0FD9A27FDC390CBFA9F4F05EC?sequence=2
187