LAPORAN HASIL PENELITIAN
PENGARUH PERUBAHAN FISIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN DI KAWASAN PUSAT KERAJAAN BONE MASA SILAM TERHADAP SPIRIT DAN CITRA URBAN CULTURE KOTA WATAMPONE, SULAWESI SELATAN
MORFOLOGI KOTA DAN SITUS-SITUS ARSITEKTURAL KERAJAAN BONE DI KAWASAN KOTA BERSEJARAH WATAMPONE Peneliti: Ketua : Dr. Giosia Pele Widjaja, IAI. Anggota : Dr. Yohanes Karyadi Kusliansjah, IAI.
Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan
PENGANTAR Sulawesi Selatan, khususnya kota bersejarah Watampone merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki nilai sejarah, budaya dan arsitektur kota yang kaya sebagai salah satu kota kerajaan Bone, yang pernah berjaya pada masanya. Hasil penelitian ini yang telah berhasil menemukenali karakteristik morfologi kota dan situs-situs arsitektural peninggalan kerajaan Bone di kawasan kota bersejarah Watampone. Hasil penelitian ini juga diharapkan tidak hanya untuk menambah khasanah pengetahuan dalam bidang arsitketur kota, khususnya terkait dengan kota-kota kerajaan di Indonesia, melainkan juga dapat memberikan informasi mengenai hal-hal penting terkait artefak dan situs-situs arsitektural yang penting untuk dilestarikan dan dimanfaatkan dalam rangka pembangunan berkelanjutan di kawasan kota bersejarah Watampone. Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala dukungan yang telah diberikan kepada LPPM Unpar yang telah mendanai penelitian ini dan seluruh pihak di kota Watampone yang telah memberikan data, informasi dan kesempatan untuk melaksanakan penelitian ini dengan baik dan lancar. Terima kasih pula kepada Direktoral Kementerian Pekerjaan Umum di Jakarta yang telah mengundang Penulis sebagai narasumber dalam acara penyusunan rencana tata bangunan dan lingkungan kawasan Watampone. Salam Sejahtera bagi kita semua,
Dr. Giosia Pele Widjaja, IAI.
Dr. Yohannes Karyadi Kusliansjah, IAI.
vi
PHYSICAL ENVIRONMENT SETTLEMENT CHANGE EFFECT IN THE CENTER OF THE BONE KINGDOM PAST SPIRIT AND IMAGE URBAN CULTURE WATAMPONE, SOUTH SULAWESI
MORPHOLOGY AND ARCHITECTURAL SITES OF BONE KINGDOM IN WATAMPONE HISTORIC DISTRICT Abstract The historic district of Watampone is the heart of the capital of Bone Regency. This historic district was a town-walled of the Central Bugis Kingdom of Bone. Now, the development phenomena of Watampone has an impact on occurre the physical environment or changes in the urban morphology which resulted in increasingly waning image of Watampone as historic district in South Sulawesi. Nevertheless, the old district of this still leaves some of the city's heritage (urban heritage). This research aims to identify of morphology and architectural sites of the Bugis Kingdom of Bone remains which still exist as well as it’s influence on the image of the historic district of Watampone until today. The results of this study found that physical, morphological Watampone region is no longer shows the remains of the royal city of Bugis Bone in the past. However, sites of architectural heritage Bone royal past that still survive are still enough to support the region's image as a historic city neighborhood. Urban mophology and architectural sites attributes of Bone Kingdom in Historic City Region Watampone which is the key aspects of identity and architectural image of the region, namely the expression of physical design, reflects the cultural identity and values. Keywords: Historic District, Urban Morphology and Architectural Sites.
vii
PENGARUH PERUBAHAN FISIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN DI KAWASAN PUSAT KERAJAAN BONE MASA SILAM TERHADAP SPIRIT DAN CITRA URBAN CULTURE KOTA WATAMPONE, SULAWESI SELATAN
MORFOLOGI DAN SITUS-SITUS ARSITEKTURAL KERAJAAN BONE DI KAWASAN KOTA BERSEJARAH WATAMPONE Abstrak Kawasan Kota Bersejarah Watampone merupakan jantung ibukota Kabupaten Bone. Kawasan Kota Bersejarah ini pada masa silam merupakan sebuah kota benteng pusat kerajaan Bugis Bone. Kini, Gejala perkembangan kota Watampone pada saat ini telah berdampak pada terjadinya perubahan fisik lingkungan atau morfologi kawasan yang mengakibatkan semakin memudarnya citra kota Watampone sebagai kawasan bersejarah di Sulawesi Selatan. Namun demikian, kawasan kota tua ini masih menyisakan beberapa warisan kota (urban heritage). Penelitian ini bertujuan untuk menemukenali morfologi dan situs-situs arsitektural peninggalan kerajaan Bugis Bone yang masih bertahan hingga saat ini serta pengaruhnya terhadap citra kawasan kota bersejarah Watampone pada saat ini. Hasil penelitian ini menemukan bahwa secara fisik, morfologi kawasan Watampone sudah tidak memperlihatkan lagi sisa-sisa kota kerajaan Bugis Bone pada masa silam. Namun demikian, situs-situs arsitektural peninggalan kerajaan Bone masa silam yg masih bertahan hingga kini masih cukup mendukung citra kawasan ini sebagai kawasan kota bersejarah. Atribut morfologi dan situs-situs arsitektural kerajaan Bone pada Kawasan Kota Bersejarah Watampone yang merupakan aspek penentu identitas dan citra arsitektural kawasan. yaitu pada ekspresi desain fisik, mencerminkan identitas budaya dan nilai sejarahya.
Kata Kunci: Kawasan Kota Bersejarah, Morfologi Kota dan Situs Arsitektural.
viii
DAFTAR ISI
Lembar pengesahan
ii
Bukti Pelaksanaan Seminar
iii
Lembar Penyelesaian Kegiatan Penelitian
iv
Pengantar
vi
Abtract
vii
Abstrak
viii
Daftar Isi
ix
BAB 1 PENDAHULUAN
1
1.1.
Latar Belakang
1
1.2.
Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
2
1.3.
Lokus Penelitian
2
1.4.
Metoda Penelitian
5
1.5.
Sistematika Pembahasan Laporan Penelitian
6
BAB 2 KAWASAN KOTA BERSEJARAH: TINJAUAN TEORITIK
7
2.1.
Kawasan Kota Bersejarah
7
2.2
Identitas Kota
14
2.3.
Citra Kota
17
2.4.
Hubungan Antara Identitas dan Citra Kota
20
BAB 3 SEJARAH KERAJAAN BUGIS BONE DAN PERKEMBANGAN KOTA WATAMPONE PADA ERA PRA-KOLONIAL DAN KOLONIAL.
22
3.1.
Sejarah Kerajaan Bugis Bone
22
3.1.1. Pra Kolonial: Awal Pembentukan Kerajaan Bugis Bone
22
3.1.2. Kerajaan Bugis Bone Menjadi Kerajaan Islam
31
3.1.3. Kerajaan Bugis Bone Pada Masa Kolonial Belanda
37
3.2.
Perkembangan Kota Watampone sebagai Pusat Kerajaan Bugis Bone
75
3.2.1. Kawerang sebagai Embrio Kota Kerajaan Bugis Bone
76
3.2.2. Dari Kawerang menjadi Kota Benteng Lalebbata
80
3.2.3. Dari Lalebbata menjadi Kota Watampone
82
ix
BAB 4
MORFOLOGI DAN SITUS-SITUS ARSITEKTUR KERAJAAN BONE DI KAWASAN KOTA BERSEJARAH WATAMPONE
83
4.1.
Morfologi Kawasan Watampone
83
4.1.1.
Peruntukan Lahan Kawasan
87
4.1.2.
Intensitas Pembangunan dan Tata Massa Bangunan
91
4.1.3.
Ruang Terbuka Kawasan
94
4.1.4.
Sarana Pemerintahan dan Pelayanan Umum
96
4.1.5.
Sarana Pendidikan
100
4.1.6.
Sarana Kesehatan
102
4.1.7.
Sarana Peribadatan
104
4.1.8.
Sarana Perdagangan dan Niaga
106
4.1.9.
Sarana Ruang Terbuka, Taman dan Lapangan Olah Raga
109
4.2.
BAB 5
4.1.10. Sarana Perumahan
112
Situs-Situs Arsitektural Peninggalan Kerajaan Bugis Bone
114
4.2.1.
Situs Manurunge
116
4.2.2.
Situs Tanah Bangkalae
117
4.2.3.
Situs La Pawawoi Saoraja
117
4.2.4.
Situs Bola Soba
122
4.2.5.
Situs Makam Raja-Raja Bone
124
4.2.6.
Situs Masjid Tua Al-Muhajidin
124
4.2.7.
Situs Patung Arung Palakka
125
KESIMPULAN
Daftar pustaka
126
129
Lampiran: Pertanggungjawaban keuangan penelitian
x
REKAPITULASI ANGGARAN PENELITIAN 4.1. Rekapitulasi Pembiayaan Penelitian No.
Uraian
Jumlah ** LPPM 3.520.000 3.000.000 4.400.000 1.080.000
1 Gaji Peneliti dan Upah Surveyor 2 Bahan Habis Pakai dan Peralatan 3 Perjalanan Survei 4 Lain-lain Jumlah Biaya ** termasuk pajak 10,5%
Total
12.000.000
4.2. Gaji dan Upah
1
Peneliti
1
Jumlah Jam/Minggu 1*
2
Anggota peneliti
1
1*
40.000
960.000
1 1 surveyor
1* 4**
35.000 12.500
840.000 400.000 3.520.000
No.
Pelaksana Kegiatan
3 Anggota peneliti 4 Petugas Survei Jumlah Biaya *dihitung
Jumlah
Honor/ Jam 50.000
Biaya (Rp.) 1.320.000
untuk 6 bulan; 4 minggu per bulan ** per hari/ 8jam
4.2. Bahan Habis Pakai dan Peralatan No.
Bahan
Volume
1 Beli peta dan buku data kota 2 Bi.penyusunan peta digital kota 3 Buku memo surveyor 4 Beli map folder Alat tulis + CD 5 4 Kertas HVS 80 grm 5 Tinta printer Jumlah Biaya
1 1 2 2 1 1 rim 1
Biaya Satuan (Rp.) 500000 1500000 50.000 25.000 25.000 125.000 700.000
Biaya (Rp.) 500.000 1.500.000 100.000 50.000 25.000 125.000 700.000 3.000.000
4.3. Perjalanan Survei No. Tujuan 1 Taxi kota Bandung 2 Travel Bdg-Cirebon pp 3 Konsumsi perjalanan tim 4 Hotel 5 Taxi di kota Cirebon Jumlah Biaya
Volume 2 2 x2 2x2 2 2
Biaya Satuan (Rp.) 50.000 500.000 150.000 450.000 400.000
Biaya (Rp.) 100.000 2.000.000 600.000 900.000 800.000 4.400.000
xi
4.4. Lain-lain No.
Uraian Kegiatan
Penelusuran bahan pustaka+ Print Biaya administrasi, 2 korespondensi, telepon 3 Snack penelitian 6 Pengurusan perijinan survei Pencetakan print dummy 7 laporan Color+BW Fotocopy laporan(1 exp. terdiri 8 100 lembar 1 muka, HVS, 80 gram) Print color 30 lb isi laporan Penjilidan laporan tahun 9 pertama Jumlah Biaya 1
Volume
Biaya Satuan (Rp.)
Biaya (Rp.)
1
150.000
150.000
1
100.000
100.000
4x6 4 perijinan
5000 50.000
120.000 200.000
1
150.000
3 exp.
150/lb
45.000
3 exp
90000
270.000
3 exp.
15000
45.000 1.080.000
xii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.
LATAR BELAKANG
Kawasan Kota Bersejarah Watampone merupakan jantung atau pusat dari ibukota Kabupaten Bone. Kawasan Kota Bersejarah ini pada masa silam merupakan kota Benteng pusat kerajaan Bone. Kini, kawasan ini telah menjadi kawasan kota tua dan masih menyisakan beberapa warisan kota (urban heritage). Namun tidak sedikit dari bangunan dan elemen-elemen spesifik kota Watampone tersebut tidak dapat dinikmati karena telah banyak yang dihancurkan dan diganti dengan bangunan-bangunan bergaya modern tanpa konsep yang jelas dan memiliki nilai arsitektur yang lebih rendah dibanding dengan bangunan yang dihancurkan.
Dalam perkembangannya sampai saat ini, di kawasan Kota Bersejarah Watampone ini pusat kegiatan didominasi oleh perkantoran pemerintahan Kabupaten Bone, sentra ekonomi, pendidikan dan layanan umum lainnya. Pusat konsentrasi kota akan terjadi pada kawasan ini pada jam sibuk dari pagi hingga sore. Kota Watampone juga melakukan pembenahan guna memaksimalkan pelayanan umum dan pengembangan kota.
Dengan
menggunakan
jantung
kota
sebagai
sentralisasi
perkantoran
pemerintahan kabupaten Bone, maka kawasan ini sangat efesien dalam menunjang kota. Kecenderungan umum yang terjadi pada kawasan kota bersejarah Watampone ini, antara lain telah terjadi gejala: 1. Pembangunan fisik lingkungan perkotaan yang berlangsung dengan cepat sehingga cenderung tidak terkendali dan mengarah pada pembentukan wilayah kumuh, yang tidak serasi, tidak efisien, tidak nyaman, dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang tidak memadai. 2. Pembangunan fisik akan berlangsung secara parsial sehingga akan membentuk “pulau-pulau” (enclave) kawasan baru tidak membentuk suatu tata ruang kota yang serasi dan tidak memiliki citra visual yang baik.
1
1.2.
RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini terletak pada adanya gejala perkembangan kota yang demikian pada akhirnya berdampak pada terjadinya perubahan fisik lingkungan permukiman yang terjadi di kawasan Pusat kerajaan Bone Masa Silam di kota Watampone. Hal ini dalam perkembangannya berdampak lebih jauh terhadap mulai memudarnya identitas dan citra kota Watampone sebagai kawasan bersejarah di Sulawesi Selatan. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka muncul pertanyaan Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah untuk : 1.
Mengidentifikasi morfologi dan situs-situs arsitektural peninggalan kerajaan Bugis Bone yang masih bertahan hingga saat ini.
2.
1.3.
Mengidentifikasi citra kawasan kota bersejarah Watampone pada saat ini.
LOKUS PENELITIAN
Lokasi penelitian ini berada kota Watampone yang berada di provinsi Sulawesi Selatan dan juga merupakan ibukota Kabupaten Bone. Kota Watampone terletak di 174 km ke arah Timur dari ibukota Provinsi Sulawesi Selatan yaitu Kota Makassar. Secara geografis Kota Watampone terletak pada 04 0 13’-150 07’ LS dan 1190 45’ – 1200 30’ memiliki luas wilayah kurang lebih 126,35 km2, dengan batas-batas administrasi di sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Awangpone, Timur berbatasan dengan Teluk Bone, Selatan berbatasan dengan Kecamatan Barebbo dan Palakka dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Palakka. Lokus penelitian ini adalah sebuah kawasan historis yang dahulu merupakan kawasan pusat kerajaan Bone yang ditandai batasnya oleh jalur-jalur jalan kota yang dahulunya merupakan bangunan dinding benteng kerajaan.
2
Gambar 1.1. Konteks dan lokasi kawasan penelitian di Kota Watampone Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan
3
Gambar 1.2. Delineasi Kawasan yang menjadi lokus penelitian
Lokus penelitian ini ditetapkan dengan dasar bahwasannya kawasan tersebut merupakan kawasan bersejarah. Parameter yang menentukan urgensinya adalah kawasan bersejarah Watampone ini merupakan warisan budaya tersebut tergolong sangat memenuhi kriteria konservasi yakni usianya telah bahkan lebih dari satu abad. Selain itu kawasan tersebut juga memiliki potensi sebagai suatu locus solus maka kawasan tersebut memiliki nilai lebih yang merekam peristiwa-peristiwa penting yang berhubungan dengan sejarah sosial, ekonomi dan atau peristiwa politik baik yang berskala lokal, regional, nasionai hingga internasional. Selain itu pula, penetapan lokus penelitian didasarkan pada keutuhan dan eksistensi keseluruhan morfologi bangunan, path, batas tepian, tetenger, distrik, nodes, ketinggian bangunan.
4
1.4.
METODE PENELITIAN
Penelitian kualitatif deskriptif ini menggunakan pengetahuan morfologi kota sebagai pendekatan dan alat analisis dengan prosedur pengumpulan data dan analisa sebagai berikut : 1.4.1. Prosedur pengumpulan data:
Mengumpulkan landasan teori dan data mengenai objek dengan studi literatur / kepustakaan.
Ilmu mengenai morfologi dan citra kota dalam arsitektur banyak terdapat dalam literatur. Data-data mengenai objek sejenis pun banyak terdapat dalam literatur, maka sebelum mengumpulkan data objek dari lapangan, pembahasan mengenai objek sejenis dipelajari terlebih dahulu, sebagai perbandingan dengan objek di lapangan.
Mengumpulkan data-data
objek
dengan survey lapangan.
Yakni
dengan
mengamati objek secara langsung. Melihat kegiatan masyarakat yang bermukim di kawasan pusat kerajaan Bone masa silam pada saat ini, melihat proses bermukimnya.
Pengambilan gambar/ foto dengan menggunakan kamera.
1.4.2. Prosedur analisis data: 1. Analisis Deskriptif pada objek yang di bahas. Mendeskripsikan lingkungan permukiman, unsur-unsur lingkungan permukiman seperti rumah, fasilitas umum, fasilitas sosial serta sarana dan prasarana lainnya dan lain-lain yang tampak pada kehidupan sehari-hari. Mendeskripsikan bentuk dan pola fisik lingkungan permukiman serta faktor-faktor yang mempengaruhi citra kota Watampone pada saat ini. 2. Analisis Kualitatif, yakni didasarkan pada perbandingan antara studi literatur dengan keadaan sesungguhnya di lapangan. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan pertimbangan bahwa penelitian mengenai kawasan kota bersejarah pada umumnya lebih memiliki kaitan dengan nilai-nilai keejarahan dan nilai-nilai sosio kultural yang memiliki makna dan nilai heterogen serta pengertian simbol-simbol tradisi yang bersifat metaforik yang berpengaruh terhadap citra kotanya.
5
1.5.
SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Laporan penelitian ini disusun dengan sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab 1 Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, lokus penelitian, metoda penelitian dan sistematikan pembahasan laporan penelitian. Bab 2 Kawasan Kota Bersejarah: Kajian Teori. Bab ini berisi telaah teoritik guna memberikan wawasan mengenai pemahaman tentang kawasan kota bersejarah dan hubungannya dengan citra dan identitas kota. Bab 3 Sejarah Kerajaan Bone dan Perkembangan Kota Watampone dari era Pra Kolonial hingga masa Kolonial. Bab ini berisi penjelasan tentang sejarah kerajaan Bone masa silam, dari mulai masa awal pembentukannya hingga berada di bawah kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Penjelasan tentang aspek kesejarahan ini dilakukan melalui metoda desk-study dengan menelaah kajian-kajian sejarah kerajaan Bone yang telah ada dan kemudian disusun kembali untuk kepentingan penelitian ini. Penjelasan aspek kesejarahan ini sangat penting guna memberikan wawasan mengenai latar konteks, baik dari aspek politik dan kekuasaan serta sosial budaya yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap perkembangan kotanya. Materi di dalam bab ini selanjutnya membahas tentang perkembangan kota Watampone dari mulai masa awal pembentukannya hingga berada di bawah kekuasaan kolonial Hindia Belanda yang telah berubah-ubah nama dari Kawerang sebagai embrio kota, berubah menjadi Lalebata sebagai kota benteng dan akhirnya menjadi Watampone sebagai kota pusat kerajaan Bone. Bab 4 Morfologi dan Situs-Situs Arsitektural Pembentuk Citra Kawasan Kota Bersejarah Watampone pada era Post-Kolonial. Bab ini berisi penjelasan dari hasil analisis morfologi kawasan yang membedah unsur-unsur pembentuk kawasan seperti tata guna lahan, sarana dan prasarana kawasan, jaringan jalan, ruang terbuka, tata bangunan dan arsitektur bangunan termasuk bangunan-bangunan situs peninggalan kerajaan Bone masa silam. Telaah morfologi ini memberikan masukan bagi interpretasi tentang citra kawasan kota bersejarah Watampone ini di masa sekarang. Bab 5 Kesimpulan, berisi sintesa dari hasil penelitian ini dan menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini.
6
BAB 2 KAWASAN KOTA BERSEJARAH : TINJAUAN TEORITIK
2.1. KAWASAN KOTA BERSEJARAH
Kawasan Kota Bersejarah dan Konservasi Kawasan bersejarah atau kota lama di Indonesia mengalami tekanan pembangunan. Sudah bukan rahasia umum, bahwa aset budaya berupa bangunan dan kawasan kota lama/tua terancam oleh modernisasi. Pembangunan kota yang kurang dapat mengakomodasi kepentingan budaya, hanya berkonsentrasi pada fokus pembangunan ekonomi, seringkali mengakibatkan kota tidak lagi menyisakan warisan bersejarah, berupa bangunan dan kawasan lama sebagai tandatanda/penciri peradaban. Atas dasar pertimbangan dinamika pembangunan dan dampak pembangunan berupa potensi hilangnya warisan sejarah tersebut, maka sudah selayaknya dilakukan sejumlah upaya perlindungan. Pelestarian memang dilematis, pada satu sisi mencoba mempertahankan, namun di sisi lain justru harus mengakomodasi perubahan. Pengendalian perubahan merupakan salah satu hal penting dalam proses perlindungan aset bersejarah.
Implementasi
kegiatan
konservasi,
sebagai
payung
dari
kegiatan
pelestarian,
sebagaimana kerap diberitakan, masih bersifat trial dan eror, dan belum diformulasikan sebagai sebuah kebijakan publik. Sejumlah upaya telah dilakukan, namun memang persoalan implementasi di lapangan tidak mudah dan masih membutuhkan proses pematangan. Kriteria penetapan, penggolongan serta tindakan seperti apa yang mesti dilakukan, sejauhmana intervensi boleh dilakukan, seberapa besar perubahan dizinkan, serta implikasi terhadap setting lingkungan masih menyisakan sejumlah pertanyaan, misalnya adakah dampak terhadap keutuhan struktur/morfologi kawasan akibat sisipan bangunan baru (infill) selain persoalan visual? Selain itu ada perbedaan perlakuan (treatment) yang mendasar antara objek konservasi berupa bangunan tunggal dengan objek konservasi berupa kawasan.
7
Perbedaan ini juga menimbulkan sejumlah catatan, yang perlu dituntaskan. Sehubungan dengan hal tersebut, UU 11/2010 Cagar Budaya secara eksplisit sudah menyatakan keberadaan kawasan cagar budaya, namun operasionalisasi dan implementasi proses perlindungan masih terbuka lebar. Sejumlah kecil kota besar memang sudah memiliki daftar bangunan/kawasan yang dilindungi, namun implementasinya belum secara eksplisit merujuk kepada arahan yang baku. Sebagai sebuah wacana pelestarian berbasis kawasan (area-based conservation), bukanlah sesuatu yang baru, karena Konvensi UNESCO 1972 tentang kategori cultural heritage juga menyatakan adanya situs (sites), selain kelompok bangunan (groups of building) dan monumen (monuments). Hingga saat ini dalam praktek kegiatan pelestarian masih masih bersifat eksperimental.
Berbeda dengan museum, kota merupakan sebuah organisme hidup, dan kota memuat segala cerita kehidupan masyarakatnya, sehingga tidak mungkin me-museum-kan kota. Cerita akan tanda-tanda peradaban tersebut mesti dipertahankan untuk dapat diteruskan kepada generasi selanjutnya. Oleh karenanya, tanda-tanda berupa kawasan kota lama sudah semestinya dan perlu dimanfaatkan kembali, sebagai penyertaan fabric kedalam kerangka modernisasi. Di dalam pemanfaatan tersebut, perlu ada penafsiran, yakni memberi makna kembali melalui perubahan dan penyesuaian fungsi dan aktivitas. Pada dasarnya, perubahan dan penyesuaian fungsi/aktivitas dan fisik menjadi bagian utama dalam kegiatan pelestarian. Hal ini mengindikasikan adanya proses belajar dan bagaimana keberlanjutan artefak dapat sekaligus menjadi bagian dari kebutuhan kontemporer. Hal yang sulit dihindari adalah sebuah keniscayaan, bahwa konservasi harus menjadi kerangka kebijakan modernisasi, selaian kenyataan bahwa kegiatan pelestarian tidak bisa dilepaskan di dalam konteksnya, yakni masyarakat itu sendiri. Terkait dengan kemiripan peran museum sebagai wadah penyimpan memori kolektif, makalah ini membahas potensi kota dan kemungkinan pendekatan dalam memanfaatkan tanda-tanda peradaban untuk memperkaya kualitas kota.
Menurut Ouf (2001) selama lima dekade terakhir konservasi lingkungan perkotaan (urban conservation) telah berkembang secara signifikan menjadi bagian dari disiplin rancang kota (urban design), yang secara khusus menangani upaya-upaya perlindungan kawasan kota tua/bersejarah. Awalnya, kawasan kota lama/bersejarah hanya dianggap sebagai 8
tempat (locus) bagi monumen atau objek arsitektur yang dilestarikan. Konservasi lingkungan perkotaan ini ternyata juga menarik minat para perancang dan pengelola kota, yang perduli terhadap pembentukan identitas kota dengan nilai kesejarahan sebagai bagian dari identitas kota yang otentik. Selain itu, khususnya dalam dekade terakhir ini, terindikasi meningkatnya peran perancang kota (urban designer) dan tumbuhnya pemahaman baru tentang urban heritage juga membawa kebaharuan dalam pendekatan praksis dan teoretis pada kajian lingkungan perkotaan.
Diskursus terkini tentang pelestarian lingkungan perkotaan (urban conservation) tidak lagi sekedar dibatasi pada upaya mempertahankan keaslian (authenticity) 2 sejarah kota, namun justru lebih banyak membahas penciptaan pengalaman urban (experience) yang khas serta tetap memiliki identitas kesejarahan. Oleh karena itu, upaya untuk mewujudkan sebuah sense of place dinilai jauh lebih penting ketimbang hanya sekedar melakukan restorasi (detail) elemen fisik urban. Penciptaan suasana (experience) ini bisa dilakukan melalui tindakan-tindakan sbb.: a. pemilihan kawasan-kawasan (bersejarah) kota yang perlu
dilestarikan,
b.
pemilihan
bagian
kota
yang
penting
bagi
upaya
pelestarian/konservasi, dan c. melalui pemilihan elemen-elemen khas urban, misalnya RTH, badan air, aktivitas dlsb., yang memang perlu dipertahankan. Terkait bahasan urban conservation di atas, Punter dan Carmona (1997), menegaskan bahwa gagasan tentang kelestarian kualitas ruang kota (urban space) telah mewarnai diskusi tentang pelestarian/konservasi lingkugan perkotaan (urban conservation) modern.
Wacana ini bertolak dari kondisi, bahwa dari pengalaman internasional kegiatan pelestarian lingkungan perkotaan (urban conservation) memang memperlihatkan adanya kepentingan yang berseberangan (conflicting interest) antara displin arkeologi dan displin rancang kota (Ouf, 2001). Arkeologi memiliki fokus kajian pada restorasi monumen sebagai objek, sedangkan disiplin rancang kota (urban design) secara tegas menyatakan pentingnya kelestarian semangat zaman (spirit of the past) melalui kualitas ruang kota. Meski demikian, pada prakteknya Ouf (1999) melihat adanya potensi kolaborasi antara arkeolog, perencana kota, arsitek, arsitek lanskap dan perancang kota demi terujudnya pengalaman urban yang utuh dan memiliki identitas kesejarahan. Untuk mencapai tujuan tersebut masing-masing disiplin, maka berbeda dengan pemahaman dunia Barat tentang 9
authenticity yang lebih menekankan pada ranah material/fisik, Larkham (1996) menjelaskan bahwa otentisitas, khususnya pemahaman di dunia Timur, tidak sekedar berada pada tataran material objek (fabric). Konsep authenticity (keaslian) justru dipahami pada aspek kelestarian dari tradisi dan teknik membangun, serta pada kelestarian fungsi/pemakaian yang menjamin kelangsungan/keberadaan artefak tersebut. Pendlebury (2009) dan Orbașli (2008) mencontohkan dengan kasus kuil Shinto di Jepang. Penghancuran dan rekonstruksi bangunan yang terjadwal dinilai, sebagaimana tersirat di dalam Dokumen Nara (1994), sebagai sebuah upaya pelestarian tradisi membangun yang tidak melulu kepada budaya material (tangible), serta mengilustrasikan siklus kehidupan yang sesungguhnya yang sarat makna (intangible).
Arkeolog dan arsitek perancang kota, harus bisa menerima kenyataan adanya diversifikasi upaya tentang metodologi, yang bervariasi dari mulai pekerjaan restorasi monumen, rehabilitasi bangunan, pembuatan replika bangunan yang telah hancur, dan bahkan hingga kepada upaya pelestarian kawasan/situs. Pada realitanya, pelestarian kawasan bersejarah kota (urban heritage conservation) memang bukan sekedar upaya untuk mempertahankan dan menciptakan hubungan visual yang harmonis antara bentuk-bentuk lama dan baru. Pemanfaatan bangunan-bangunan tua pada kawasan bersejarah memiliki kontribusi penting dalam upaya peningkatan kualitas kawasan, dan sekaligus membuka peluang proses apresiasi budaya. Oleh karenanya, penciptaan sense of place lebih dari hanya sekedar mengembalikan keaslian (authenticity) kawasan kota.
Intervensi fisik (new in-fill developments) justru harus dibuat lebih bermakna dan responsif, demi terjaminnya keberlanjutan sosial, budaya dan lingkungan. Artinya, pelestarian melalui intervensi fisik mesti dipahami pula sebagai sebuah upaya atau kegiatan berkelanjutan dalam membentuk lingkungannya. Diskusi tentang urban conservation ini mengungkapkan adanya pergeseran substansi desain sebagai sekedar “penampilan eksternal”. Perhatian tidak sekedar pada bahasan ranah townscape, tetapi mencakup ranah publik dan ruang publik, serta pergeseran fokus kepada persepsi publik dan penciptaan pengalaman/suasana yang ditawarkan oleh keberadaaan bangunan dan ruang kotanya.
Pergeseran dan
perubahan tersebut
berkaitan dengan perkembangan
pendekatan pelestarian kontemporer, dimana fokus tidak lagi hanya pada bangunan 10
tunggal, tetapi secara substansi dan spatial meluas, karena adanya pertimbangan fungsional maupun kesadaran dari aspek ekologis. Hal ini menjadi sebuah legitimasi bahwa adanya perubahan, pergeseran dan perluasan makna, membutuhkan pengkajian dan pengujian ulang terhadap kebijakan perlindungan yang ada (Jokilehto, 1999). Dalam hal ini maka, perancang kota perlu lebih kritis ketika membaca/menafsirkan otentisitas di dalam konteks urban, mengingat kompleksitas urban sebagai objek dan keberhasilan untuk mencapainya. Singkatnya, konservasi lingkungan perkotaan dianggap berhasil bila bersifat responsif dan memiliki kontribusi nyata. Pelestarian Berbasis Kawasan Kualitas tempat yang khas memang tidak sekedar dibentuk oleh bangunan saja, tetapi juga oleh elemen rancang kota lainnya seperti: pola dan struktur jalan, jalur pedestrian dan batasbatas kawasan, material bangunan dan bahan penutup jalan, fungsi bangunan campuran khusus, ruang-ruang publik dan privat, seperti misalnya kebun, taman, daerah/ruang hijau, pepohonan dan street furniture, yang secara keseluruhan memiliki kontribusi signifikan, termasuk aktivitas khas dan semua elemen pentinglainnya yang diyakini juga merupakan bagian dari karakter cagar budaya (Burgess dan Tuvey, 2005). Dengan demikian, pelestarian berbasis kawasan4 diperlukan untuk melindungi kawasan berkarakter, baik karena pertimbangan rona (setting) lingkungan dan/atau makna yang memiliki kontribusi signifikan. Bila dikaitkan dengan pemikiran keberlanjutan dalam pembangunan kota, pelestarian berbasis kawasan ini, di negara-negara industri, bertalian erat dengan model-model pembangunan
Perlu dipahami bahwa skala intervensi pada pelestarian kawasan cagar budaya kota lebih kompleks dibandingkan dengan pelestarian bangunan tunggal. Oleh karena itu dalam konteks authenticity akan sangat sulit intervensi dalam skala kawasan kota (urban setting) dibandingkan
dalam
skala
bangunan.
Pada
kenyataannya
keinginan
untuk
mempertahankan keaslian lingkungan kota masih sangat dominan, ketimbang upaya untuk menawarkan pengalaman urban. Tantangan kedepan justru bagaimana pelestarian kawasan cagar budaya bisa dilakukan untuk memperkuat pengalaman urban yang khas (urban authenticity) tanpa harus mengorbankan kondisi eksisting dari keaslian detail arsitektural, komunal dan fitur urban lainnya 4 Bila dicermati dari tinjauan sejarah perkembangannya, pelestarian berbasis kawasan termasuk kedalam fase akhir kegiatan 11
pelestarian,
yang
tentu
saja
lebih
kompleks
dibanding
pada
tahap
awalnya
(Martokusumo/Zulkaidi, 2014; Martokusumo, 2011 dan Larkham, 1996).
Di dalam model pembangunan tersebut terdapat juga upaya-upaya penguatan kemampuan kota/tempat dalam menjaga kelangsungan struktur sosial-ekonominya. Selanjutnya, elemen rancang kota (urban design elements) akan digunakan untuk menciptakan wadah bagi keberlanjutan struktur sosial-ekonomi kawasan. Dengan demikian, upaya-upaya untuk membangun kota yang berkelanjutan seharusnya juga didasari oleh motivasi untuk menciptakan lingkungan yang berkualitas, termasu penguatan jejaring sosialekonomi kawasan. Dalam konteks ini, Moughtin (2005) ingin mengingatkan kembali bahwa selaian aspek fungsional, kualitas lingkungan perkotaan juga turut ditentukan oleh nilai-nilai estetika. Berbeda penanganan pada pelestarian bangunan (architectural conservation) yang bersifat lebih sederhana, maka penciptaan kawasan pelestarian
lingkungan
perkotaan
(urban
conservation)
memerlukan
sejumlah
pertimbangan.
Terkait hal ini, Ouf (2001) menjelaskan bahwa identitas fisik kesejarahan dari sebuah rona kota dapat berasal dari koridor jalan, massa bangunan, dan keseluruhan karakter kotanya. Dengan demikian, sebagai konsekuensinya, fokus dari kegiatan pelestaruan lingkungan perkotaan adalah sbb. (Martokusumo/Zulkaidi, 2014): a. Dapat berupa pendekatan berbasis elemen sirkulasi/jalan, dimana upaya pelestarian akan tertuju pada penanganan bangunan dan fitur-fitur urban sepanjang sebuah koridor utama, b. Merujuk kepada bangunan dan fitur-fitur urban yang berada di dalam sebuah kawasan tertentu (kota) yang berkembang dengan batas-batas yang jelas (area-based conservation atau area-bound approach), dan c. Berkaitan dengan penerapan konsep sense of place pada sebuah kawasan (inti) urban tertentu, untuk membentuk suasana pelestarian yang kuat serta mendukung upayaupaya lanjut pelestarian. Prospek Pelestarian Pengelolaan bangunan dan lingkungan bersejarah memerlukan komitmen dan partisipasi yang luas. Memang tidak mudah untuk menempatkan pelestarian menjadi bagian dari kerangka politik kebijakan modernisasi pembangunan. Melihat hakekatnya, pelestarian acapkali dianggap merupakan hambatan pembangunan dan modernisasi. 12
Dengan meningkatnya kompleksitas dan dinamika pembangunan persoalan ini menjadi semakin jelas. Bagaimanapun, sebagaimana terlihat pada realitasnya, mengakomodasi permasalahan sosial, ekonomi, ekologi serta aspek terkait lainnya dalam paket kegiatan konservasi memerlukan upaya ekstra. Dalam hal ini diperlukan kecermatan, kepekaan dan daya cipta. Mengedepankan pembangunan budaya dan peradaban tidaklah berarti solusi para arsitek terhadap masalah pelestarian bangunan lama boleh mengabaikan kehidupan ekonomi setempat. Selain harus menjadi bagian dari apresiasi budaya, kegiatan pelestarian ini harus mengakomodasi kepentingan ekonomi juga. Dari berbagai kajian empiris, upaya pelestarian ini lekat dengan usaha memulihkan kembali kawasan-kawasan yang telah jenuh (urban regeneration). (Hurley, 2010; Timothy dan Nyaupane, 2009 dan Logan et al., 2002) Penguatan ekonomi yang terarah dapat memperkuat kestabilan sturktur sosial yang pernah ada, melalui program penguatan komunitas lokal.
Pada dasarnya, kawasan pelestarian lingkungan perkotaan (urban conservation area) mencakup elemen signifikan urban, yakni bangunan dan ruang (kota) sebagai sebuah kesatuan unik, yang mencerminkan karakter kawasan dan identitas tempat. Pelestarian arsitektur/architectural conservation (Orbașli, 2008) kini memposisikan dirinya sebagai sebuah disiplin keilmuan di antara sains material pelestarian dan pengelolaan berkelanjutan dan lingkungan binaan bersejarah (cagar budaya). Meski tidak harus selalu terkait dengan objek bangunan tungal, pertimbangan untuk pelestarian kelompok bangunan (ensemble) atau pun kawasan urban menjadi lebih kompleks.
Kawasan kota bersejarah sebagai Living Museum Dalam pemahaman inilah, keterkaitan antara keberadaan bangunan dan eksistensi masyarakatnya selalu menuntut interpretasi baru. Dengan demikian, seharusnya bangunan dan lingkungan lama sebagai aset budaya tidak lagi dianggap sebagai artefak sejarah belaka (komoditas), tetapi juga sebagai bagian dari proses investasi kegiatan lainnya yang mampu memberi perspektif kehidupan baru. Upaya untuk merelevankan dengan kebutuhan masa kini merupakan sebuah upaya pemberian makna baru bagi keberadaan objek pelestarian tersebut. Hanya dengan cara inilah, maka upaya untuk menyertakan objek pelestarian sebagai bagian dari kerangka modernisasi dapat diimplementasikan untuk dapat terus merespons dinamika. Sebagai konsekuensi logis, 13
para arsitek dan perencana atau pun para penentu kebijakan kota, harus mau membuka wawasan ekstra dan lebih sensitif terhadap isu-isu sosial dan ekologi dalam persoalan bangunan dan lingkungan lama/cagar budaya.
Relasi dan peran kota (bersejarah) terkait dengan potensi sebagai wadah/penyimpan tanda-tanda perdaban. Meski secara analogis terdapat kemiripan peran dengan museum sebagai tempat penyimpan, kota memiliki peran/persoalan yang lebih kompleks. Sebagai organisme hidup, dinamika kota sebagai lingkungan hidup sangat tinggi dan berbeda dengan museum. Namun demikian memori kolektif sebuah kota yang direpresentasian melalui bangunan dan kawasan bersejarah boleh jadi menjadi penciri sejarah panjang kota tersebut. Tidaklah berlebihan bila kota sebagai bentuk peradaban perlu menjaga dan melindungi tanda-tanda peradabannya. Selanjutynay ditegaskan kembali bahwa, berbeda dengan kegiatan pelestarian bangunan, pelestarian lingkungan perkotaan merujuk kepada kawasan ataupun daerah di perkotaan yang dinilai memiliki signifikansi tertentu.
Pernyataan signifikansi ini disusun dari apresiasi terhadap konteks dan rona kota (urban setting) tersebut. Mengingat kompleksitas dan pengalaman empiris kegiatan pelestarian menunjukkan bahwa tantangan kedepan justru bagaimana pelestarian kawasan cagar budaya bisa dilakukan untuk memperkuat pengalaman urban yang khas tanpa harus mengorbankan kondisi eksisting dari keaslian detail arsitektural, komunal dan fitur urban lainnya. Makalah ini juga menawarkan pendekatan pelestarian berbasis kawasan (areabased conservation). Pendekatan ini adalah cara untuk menjaga aset kota yang memiliki kontribusi signifikan terhadap pembentukan kualitas (bagian) kota. Selain itu arahan perancangan, sebagai bagian dari mekanisme pengendalian, dan dukungan partisipasi luas dari komunitas dan stakeholders menjadi konsekuensi yang harus ditindaklanjuti. 2.2. IDENTITAS KOTA
Kawasan kota bersejarah sebagai suatu lingkungan fisik memiliki berbagai aspek yang dapat mengangkat, mengembangkan dan mencirikan kota itu sendiri, seperti nilai historis dan aspek-aspek yang bersifat faktual lainnya yang membuahkan suatu identitas bagi kota. Identitas kota memang harus merupakan sesuatu yang spesifik, yang dapat 14
membedakan satu kota dengan kota lainnya. Dalam hal ini masing-masing lingkungan (kota) tentu memiliki identitas, sesuatu yang melahirkan karakter (ciri khas) yang membedakan dengan kota lainnya. Suatu kota seharusnya memiliki sesuatu yang khas dan orisinil yang nantinya akan membentuk identitas kotanya. Hal ini tentu akan menjadikan pulse (kemenarikan) bagi kotanya.
Identity is the extent to wich a person can recognize or recall a place as being distinct from other places as having vivid, or unique, or at least a particular, character of its own. Dari defenisi ini, dapat dikatakan bahwa identitas adalah suatu kondisi saat seseorang mampu mengenali atau memanggil kembali (ingatan) suatu tempat yang memiliki perbedaan dengan tempat lain karena memiliki karakter dan keunikan. Identitas adalah hal mendasar yang sanagt penting. Hal ini dikarenakan identitas adalah sesuatu yang digunakan untuk mengenali, membedakan suatu tempat dengan tempat lainnya Kevin Lynch, Good City Form (1984;131) Identitas kota bisa berwujud fisik atau non-fisik, aktifitas sosial, nilai ekonmis, atau pengejawantahan politik. Seorang pengamat bisa menangkap berbagai bentuk identitas dari suatu kota maupun kawasan, baik itu berwujud fisik maupun nonfisik. Kemampuan menangkap adanya identitas kota tergantung dari latar belakang si pengamat, yang menurutnya lebih menarik dan mudah untuk diingat dan dijadikan ciri akan dijadikannya sebagai identitas kawasan tersebut. Bisa dikatakan tergantung dari kesukaan atau selera dan sudut pandang si pengamat pada informasi-informasi yang ingin diambilnya (benda-benda fisik atau hal lain yang bersifat non-fisik seperti sosial, ekonomi, budaya). Kemudian informasi tadi digunakan untuk mengenali kawasan tersebut dengan cara memberikan makna dan perasaan pada kawasan tersebut.
Hal ini merupakan salah satu yang membuat perbedaan ketika menangkap suatu identitas (subyektifitas) identitas sebuah kota atau kawasan dapat muncul dengan sendirinya, dapat pula diciptakan. Kota bisa berkembang diikuti pertambahan populasi dan bentuk fisiknya. Tentu hal ini juga memiliki dampak pada identitas. Karena identitas dapat berwujud bermacam-macam, tak tertutup kemungkinan bahwa perkembangan kota bisa melahirkan identitas baru. Bisa saja suatu pembangunan sesuatu hal yang bersifat monumental akan membuat identitas baru suatu kawasan (baik itu direncanakan untuk dijadikan identitas maupun tidak), bisa saja suatu perilaku sosial masyarakat yang baru dalam suatu 15
kawasan membuat suatu budaya baru yang ditangkap masyarakat sebagai hal yang mencirikan atau memberikan identitas terhadap kawasan tersebut. Idenitas kota yang berwujud fisik adalah segala sesuatu yang bersifat fisik yang bisa djadikan pengidentifikasi kawasan tersebut. Identitas fisik yang mudah ditangkap oleh pengamat adalah suatu objek yang dijadikan acuan (point of reference) terhadap kawasannya. Bangunan yang bersifat besar, mudah dilihat dan monumental biasanya dijadikan pengamat sebagai acuan (landmark).
Secara tidak langsung hal ini menjadikannya obyek yang mudah diingat yang mencirikan kawasannya. Tidak hanya itu, hal lain yang bersifat fisik lainnya seperti halte, jalan, funitur kota, pavement, jembatan dan banyak hal lainnya juga bisa menjadi identitas kota secara fisik. Identias kota yang bersifat non-fisik merupakan identitas kota yang dibuat oleh perilaku warga kotanya. Identitas tersebut bisa merupakan faktor sosial, ekonomi dan budaya. Suatu aktifitas sosial yang berbeda dengan banyak kawasan pada umumnya akan memberikan identitas yang lebih mudah ditangkap oleh pengamat. Misalnya seperti aktifitas perjudian di kota Las Vegas dimana masyarakat pada ummnya melihat aktifitas tersebut sebagai sesuatu yang berbeda, melihat dan berasumsi perjudian identik dengan kota Las Vegas dan sebaliknya. Selain itu juga ada faktor budaya seperti acara adat ngaben di daerah Bali yang masih dilakukan sampai sekarang, yang memberikan identitas bagi daerah Bali itu
Banyak orang mengatakan bahwa Bali juga daerah yang kental dengan unsur pariwisatanya yang ditandai dengan banyaknya wisatawan lokal maupun mancanegara yang datang. Kedua hal ini bukan hal yang salah dalam suatu identitas, karena keduanya merupakan suatu fakta yang bisa mengidentifikasikan daerah Bali. Sebagaimaa dikatakan sebelumnya, hal yang lebih menonjol untuk menjadi suatu identitas bagi seorang pengamat tergantung dari sudut pandang dan seleranya dalam menangkap informasiinformasi yang paling menonjol di kawasan tersebut. Identitas kota atau kawasan tidak harus merupakan suatu hal yang selalu sama. Sebab identitas kota juga bisa berubah sejalan dengan waktu. Tidak bisa dipungkiri, bahwa kota mampu berkembang menjadi kota yang lebih besar, kota yang lebih baik maupun menjadi kota yang lebih buruk. Hal ini memungkinkan pudarnya identitas yang melekat sebelumnya pada suatu kota oleh 16
sesuatu yang baru, yang lebih emiliki attestation yang lebih dibanding identitas sebelumnya. Misalnya identitas fisik suatu kawasan bisa berubah dengan adanya pembangunan-pembangunan yang bersifat fisik pada kawasan tersebut. Hal kecil seperti pemasangan reklame (papan iklan) akan berpengaruh sedikit banyak pada identitas kota secara fisik. Tapi tidak hanya identitas kota yang bersifat fisik yang dapat berubah, identitas kota yang dibentuk masyarakatnya pun dapat berubah. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masuk, cukup memberikan pengaruh besar pada kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat suatu kota atau kawasan
2.3. CITRA KOTA
Sifat dasar dan karakteristik bentuk kota telah menjadi perhatian bagi para pendidik, profesi dan peneliti untuk mengamatinya. Mereka pada umumnya mempunyai wacana dan persepsi yang berbeda-beda mengenai sifat dasar dan karakteristik bentuk kota. Ungkapan “bentuk kota” adalah terminologi yang sangat teknis yang digunakan oleh para akademisi dan para profesi dari berbagai cabang kajian ilmu perkotaan (urban studies). Mereka masingmasing mempunyai pendekatan yang beragam untuk mengetahui terminologi dan pengertian yang berbeda-beda. Antropologi, Geografi, dan Arsitektur adalah tiga disiplin ilmu yang tertarik di dalam mempelajari hasil fenomena pertumbuhan dan perkembangan suatu kota. Wacana dan kerangka konsep tiga ilmu ini dapat digunakan untuk menjelaskan bentuk struktur fisik dan perkembangan kota dari cabang ilmu lainnya, seperti perencanaan kota (urban planing) dan perancangan kota (urban disain). Kedua cabang ilmu ini mengartikan bentuk kota sebagai struktur bangunan dan ruang yang tangible atau nyata dan sebagai aspek-aspek kehidupan masyarakat yang intangible atau tidak nyata dari suatu kota Bambang Heryanto, roh dan citra kota (2011 ; 13)
Untuk memperlihatkan bentuk suatu kota yang merupakan hasil dari nilai kehidupan , John Brickerhoff Jackson (1984;12) menulis dalam bukunya, “Founding Vernacular Landscape”, 17
bahwa bentuk kota “adalah citra dari kehidupan kemanusiaan kita yaitu kerja keras, harapan yang tinggi dan kebersamaan untuk saling berkasih sayang. “dalam pandangan ini, kota adalah suatu tempat tinggal manusia yang merupakan menifestasi dari hasil perencanaan dan perancangan, yang dipenuhi oleh berbagai unsur seperti bangunan, jalan, dan ruang terbuka. Dengan demikian, suatu kota adalah hasil dari nilai-nilai perilaku manusia dalam ruang kota yang membuat pola kontur visual dari lingkungan alam. Walaupun suatu kota akan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, perkembangan tersebut meliputi beberapa aspek antara lain: fisik, sosial budaya, ekonomi, politik dan teknologi. Perkembangan kota adalah suatu proses perubahan keadaan perkotaan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda.
Namun sifat dasar dan karakteristik bentuk kota memiliki ciri-ciri dan bentuk tersendiri masing-masing kota. Masing-masing kota di dunia ini memiliki peta, namun jika peta-peta tersebut dibandingkan, perbedaan masing-masing peta kota tidak begitu tampak terlihat karena kebanyakan orang akan memakai kriteria-kriteria lain untuk mengingat identitas, struktur, dan arti kawasan perkotaan daripada peta kota. Dalam hasil studinya tentang perbedaan tiga kota : Boston, Los Angeles, dan New Jersey di Amerika Serikat; Kevin Lynch (1960) dalam Bambang Heryanto, 2011: 13 menyatakan bahwa suatu citra (Image) kota adalah hasil dari suatu kesan pengamatan masyarakat terhadap unsur-unsur yang nyata dan tidak nyata. Mendasari kesan-kesan masyarakat, Lynch membuat kategori bentuk kota dalam 5 unsur. Dalam mengartikan suatu kota, Lynvch menyatakan kota adalah sesuatu yang dapat diamati – dimana letak jalur jalan, batas tepian, distrik atau kawasan, titik temu, dan tetengernya dapat dengan mudah dikenali dan dapat dikelompokkan dalam pola keseluruhan bentuk kota (Lynch, 1960:47). Sehingga kelima elemen tersebut adalah Path (jalur), Edge (tepian), District (kawasan), Node (simpul), serta Landmark (tetenger). 1. Path (jalur) adalah elemen yang paling penting dalam citra kota. Kevin Lynch menemukan dalam risetnya bahwa jika elemen ini tidak jelas, maka kebanyakan orang meragukan citra kota secara keseluruhan. Path merupakan rute-rute sirkulasi yang biasanya digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara umum, yakni jalan, gang-gang utama, jalan transit, lintasan kereta api, saluran, dsb. Path memiliki identitas yang lebih baik kalau memiliki tujuan yang besar (misalnya ke stasiun, tugu, 18
alun-alun), serta ada penampakan yang kuat (misalnya fasade gedung, pohon besar, sungai), atau ada belokan/tikungan yang jelas. 2. Edge (tepian) adalah elemen linear yang tidak dipakai/dilihat sebagai Path. Edge berada pada batas antara dua kawasan tertentu dan berfungsi sebagai pemutus linear, misalnya pantai, tembok, batasan antara lintasan kereta api, sungai, topografi,dsb. Edge lebih bersifat sebagai referensi daripada misalnya elemen sumbu yang bersifat koordinasi (Linkage). Edge merupakan penghalang walaupun kadang-kadang ada tempat untuk masuk. Edge merupakam pengakhiran dari sebuah District atau batasan sebuah District dengan yang lainnya. Edge memiliki identitas yang lebih baik jika kontinuitas tampak jelas batasnya. Demikian pula fungsi batasnya harus jelas : membagi atau menyatukan. 3. Node (simpul) merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis dimana arah atau aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitas yang lain, misalnya persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan, atau bagian kota secara keseluruhan dalam skala makro misalnya pasar, taman, Square, dsb. Ciriciri Node : - Pusat kegiatan - Prtemuan beberapa ruas jalan - Tempat pergantian alat transportasi Tipe Node : - Junction Node, misalnya stasiun bawah tanah, stasiun kereta api utama. - Thematic Concentration, berfungsi sebagi Core, Focus, dan simbol sebuah wilayah penting - Junction dan Concentration 4. District (kawasan) merupakan kawasan-kawasan kota dalam skala dua dimensi. Sebuah kawasan / District memiliki ciri khas yang mirip (baik dalam hal bentuk, pola, dan wujudnya), dan khas pula dalam batasnya, dimana orang merasa harus mengakhiri atau memulainya. District dalam kota dapat dilihat sebagai referensi Interior maupun Eksterior. District mempunyai identitas yang lebih baik jika batasnya dibentuk dengan jelas tampilannya dan dapat dilihat homogen, serta fungsi dan posisinya jelas (introver/ekstrover atau berdiri sendiri atau dikaitkan dengan yang lain). 5. Landmark (tetenger) merupakan lambang dan symbol untuk menunjukkan suatu bagian kota, biasanya dapat berupa bangunan gapura batas kota (yang menunjukkan letak batas bagian kota), atau tugu kota (menunjukkan ciri kota atau kemegahan suatu kota), patung atau relief ( menunjukkan sisi kesejarahan suatu bagian kota), atau biasa pula berupa gedung dan bangunan tertentu yang memiliki suatu karakteristik tersendiri yang hanya dimiliki kota tersebut. Sehingga keberadaan suatu Landmark mampu 19
menunjukkan dan mengingatkan orang tentang tetenger suatu kota. 3 unsur penting Landmark : - Tanda fisik berupa elemen fisual - Informasi yang memberikan gambaran tepat dan pasti - Jarak yang dikenali Adapun kriteria Landmark: - Unique memorable Bentuk yang jelas atau nyata (Clear Form) - Identiafiable - Memiliki hirarki fisik secara visual 2.4. KAITAN ANTARA IDENTITAS DAN CITRA KOTA
Kita membuat image kita terhadap dunia berdasarkan informasi-informasi dari kepekaan atau indera-indera kita. Image terlahir dari interprestasi manusia, dengan menggunakan daya imagibilitas yang dimiliki manusia. Penginderaan adalah proses pertama yang dilakukan manusia untuk mencari identitasnya, untuk mengenali dan membedakan lingkungannya dari penginderaan tersebut, manusia pun memberikan makna dan perasaan dalam suatu tempat dibutuhkan adanya jejak atau kesan yang diberikan terhadap lingkungan tersebut, karena hubungan yang efektif antara seseorang dengan lingkungan terbentuk dari 59 “bekas” (Imprints) yang ditinggalkan pada suatu lingkungan. Bekas inilah yang memberikan makna yang akan menghasilkan Image seseorang terhadap suatu lingkungan, memberikan arti dan makna di dalam bentuk suatu interprestasi (Image). Kevin Lynch What Time is This Place, 1972;163 menyatakan bahwa citra bisa terbentuk dengan sendirinya, tapi bisa juga dibuat. Seperti telah dipaparkan sebelumnya, hal ini serupa dengan identitas. Suatu Image (citra) bisa secara sengaja dibuat atau secara tidak sengaja. Contoh Image yang sengaja dibentuk adalah jika suatu kawasan menyebarluaskan informasi yang mudah ditangkap menjadi suatu Image (baik itu hal yang bersifat faktual atau non-faktual) akan wilayahnya agar diketahui masyarakat secara luas melalui media-media komunikasi. Maka yang terjadi adalah penggunaan dari informasi yang didapatkan oleh suatu individu atau masyarakat dan dijadikan sebagai dasar untuk memberikan interprestasi dalam bentuk suatu Image. Keterbatasan dan perbedaan
akan
informasi
yang
masuk
membuat
seorang
pengamat
bisa
menginterprestasikan suatu daerah menjadi berbeda dengan pengamat lainnya. Lain halnya jika Image yang terbentuk dengan sendirinya. Ia berasal dari kondisi faktual kawasan tersebut, baik secara fisik maupun non-fisik. Kondisi faktual yang dirasakan dan dialami langsung oleh pengamat memiliki dampak yang lebih tajam dalam pembentukan 20
Image nya, karena lingkungan yang dirasakannya tadi adalah suatu bentuk yang terkait satu sama lain antara kondisi fisik dan manusianya.
Menurut Tito Alfani (2008;20), menyatakan bahwa faktor waktu juga berpengaruh terhadap Identitas dan Citra sebagaimana yang dikutip dari buku Kevin Lynch (1960), The Image of The City yang mengatakan bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi image suatu daerah yaitu : 1. Identitas, seseorang terlebih dahulu bisa mengidentifikasikan suatu kawasan/tempat tersebut menjadi sesuatu yang spesifik, mengenali dan bisa menemukan perbedaan dengan yang lain (Individuality or Oneness) 2. Struktur, seseorang bisa melihat hubungan-hubungan atau pola dari suatu objek dengan objek lainnya (Pattern Relation) 3. Makna, objek tersebut harus memiliki makna atau arti, baik itu secara fungsi maupun emosional Untuk membentuk suatu Image suatu daerah dibutuhkan terlebih dahulu pemahaman tentang identitas kawasan tersebut. Identitas itu sendiri adalah suatu informasi yang terlihat dari kondisi fisik dan non-fisik yang dapat dirasakan, yang memberikan ciri bagi kawasan tersebut. Pengidentifikasian tidak hanya berbentuk interprestasi yang didapat dari apa yang dirasakan tapi juga dari siapa yang mengatur kawasan itu, siapa yang membuatnya, bagaimana pengaturannya dan makna apa yang dimilkinya. Informasi yang didapat dari pengidentifikasian tadi diubah menjadi suatu interprestasi (Image) yang bertujuan memudahkan seseorang dalam memahami atau memberikan makna dalam suatu kawasan.
Citra kawasan kota bersejarah yang baik adalah sesuatu yang jelas dan mengikutsertakan atau mengajak pengamatnya, mempunyai struktur yang kokoh, fleksibel dan memiliki jangkauan yang luas serta memungkinkan untuk perkembangan dan eksploitasi lebih lanjut Tito Alfani, Pengaruh Waktu Terhadap Identitas dan Image, (2008 ; 18-20).
21
BAB 3 SEJARAH KERAJAAN BUGIS BONE DAN PERKEMBANGAN KOTA WATAMPONE PADA ERA PRA KOLONIAL HINGGA KOLONIAL BELANDA Bab ini akan menjelaskan sejarah kerajaan Bugis Bone sebagai latar dan konteks untuk memahami perkembangan kota Watampone. Penelaahan sejarah kerajaan Bugis Bone dan perkembangan kota Watampone ini akan mengambil konteks waktu pada masa pra kolonial dan masa kolonial Belanda.
3.1. SEJARAH KERAJAAN BUGIS BONE
3.1.1. PRA KOLONIAL : AWAL PEMBENTUKAN KERAJAAN BUGIS BONE
Bugis merupakan suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Secara umum, daerah Sulawesi Selatan sebelum abad ke-13, dapat dikatakan daerah yang masih gelap dengan data sejarah. Penciptaan sejarahnya kemudian didasari pada cerita yang berbau mitos yang dimainkan oleh para dewa-dewa yang menempatkan manusia sebagai orang yang tidak berperan apa-apa. Setelah permulaan abad ke-14, sejarah daerah Sulawesi Selatan mulai menempatkan manusia sebagai pemegang peran dan pelaku dalam sejarahnya dengan menganggap bahwa
22
mereka ini adalah keturunan To Manurung, seseorang yang tidak diketahui asalusulnya.
Menurut Epos I La Galigo pembentukan pemerintahan awal di Sulawesi Selatan bermula berkat hasil keputusan sepasang dewa terpenting yang memerintah dunia atas, yaitu Datu PatotoE dan Datu PalingE, dengan sepasang dewa yang memerintah dunia bawah, yaitu Guru ri Selleng dan Sinau Toja. Keputusan ini kemudian menciptakan adanya dunia antara, bumi tempat pemukiman manusia. Selanjutnya diceritakan bagaimana Batara Guru diturunkan (To Manunrung pertama), putra penguasa “dunia atas” bersama dayang-dayangnya, dinaikkannya putri dari penguasa bawah, yaitu We Nyili Tino (Totompo pertama) untuk dipersunting oleh Batara Guru. Dalam perkembangannya kemudian terbentuklah pemerintah di bumi ini.
Pemerintahan keturunan Batara Guru dan We Nyili Tino adalah pemerintahan para dewa, karena kedua peletak dasar pemerintahan itu adalah putra dan putri dewa. Namun demikian periode pemerintahan para dewa ini tidaklah berlangsung lama, karena setelah generasi ke tujuh, keturunan para dewa itu kembali ke dunia kedewaan mereka. Sepeninggal para dewa ini, keadaan menjadi tidak menentu. Sering terjadi perkelahian di antara manusia karena ketiadaan pemimpin yang dapat menjaga ketertiban dan keamanan. Periode ini digambarkan sebagai suatu keadaan yang seraba kacau yang diibaratkan sebagai kehidupan ikan di laut, ikan yang besar dan kuat memakan ikan-ikan yang kecil dan lemah (Si anre bale tauE). Keadaan yang kacau dan tidak menentu ini kemudian dapat teratasi berkat adanya petunjuk dari sang dewa, yang diberikan lewat benda suci yang diturunkan sebagai symbol kehadiran para dewa. Benda suci itu dikenal dengan nama gaukang.
Riwayat penemuan benda itu dikisahkan sebagai suatu kejadian yang aneh bin ajaib. Mereka percaya bahwa benda itu adalah benda titisan dewa (benda suci), sehingga menjadikan benda itu di puja dan disembah. Selain itu jugabenda ini dipandang memiliki kekuatan yang luar biasa yang di perkirakan dapat melindungi masyarakat: baik dari hal-hal yang tampak maupun yang tidak kelihatan. Dalam perkembangan sejarahnya, penemu gaukang itu ditempatkan sebagai pemimpin mereka, dan tempat dimana benda itu ditemukan dipandang sebagai pusat bumi (possitana), tempat didirikan perkampungan yang pertama.
23
Benda yang dinyatakan sebagai gaukang ini adalah sebuah benda yang aneh. Menurut Kooreman, gaukang itu dapat saja berupa sepotong kayu, atau kadangkadang senjata atau perisai dengan ciri dan kekhususan tertentu. Misalnya saja gaukang di Galesong berbentuk sebuah batu dengan rupa mirip manusia. Di Bantaeng berupa sebuah patung emas kecil yang berbentuk manusia dengan alat vital laki-laki yang besar, sebaliknya di Polongbangkeng dan Moncongkomba, berupa buah kappa (sejenis umbi liar) dan sebuah bendera dengan gambar seekor ular naga. Sebagai rasa hormat dan ketaatan, anggota komunitas yang terpaut pada gaukang memberikan persembahan berupa senjata, perhiasan, peralatan rumah tangga, dan lain sebagainya. Persembahan itu dianggap sebagai tanda kebesaran atau atribut kebesaran dari gaukang. Atribut kebesaran yang dipersembahkan itu disebut alebbireng atau Arajang (Bugis) atau kalompoang (Makassar) benda titisan dewa yang dipuja, dihormati, dan ditaati itu oleh masyarakat dipandang sebagai pemilik utama kekuasaan dan tanah.
Asal mula Arajang atau kalompoang yang bersifat ilahi dan historis telah menjelmakan suatu kekuasaan sacral yang memberikan pada pihak yang memegangnya supremasi dan kemampuan untuk memerintah. Sebagai tanda hormat, masyarakat menyediakan sebidang tanah terbaik yang merupakan hak penuh bagi kalompoang dan pemiliknya. Tanah tersebut dinamakan butta kalompoang yang memiliki dua fungsi. Pertama, sebagai tanah pesawahan yang diperuntukkan bagi kerajaan. Kedua, sebagai tempat pelaksanaan upacara ritual tanah sebelum melakukan penanaman.
Oleh karena itu, benda ini dipandang sebagai benda yang merupakan persyaratan untuk semua kekuasaan dan kewenangan. Benda ini merupakan jaminan legimitasi karena memberikan kesaksian, bahwa pemegang telah memiliki kekuasaan sebagai yang berasal dari kekuatan yang menugasi alam semesta ini. Gaukang inilah yang memiliki tanah, sedang karaeng atau arung sebenarnya tidak lain hanya pengganti atau penjaga gaukang tersebut. Gaukanglah yang mengatur segalanya, kekuasaan yang ada pada karaeng atau arung sebenarnya dipinjam dari kekuasaan yang ada pada gaukang itu.
Pemegang ornament ini dengan wewenang kekuatan ilahi telah menempatkan dirinya sebagai pusat pengendali kekuatan masyarakat, sekaligus menjadi imam yang mengkultuskan kekuatan ilahi. Dalam hubungan inilah, penduduk senantiasa
24
menunjukkan kekuatan, kepatuhan, hormat serta menyatakan dirinya sebagai pengabdi kepada pemimpin. Sikap yang demikian ini melahirkan konsep kasuwiyang, yaitu berupa kewajiban-kewajiban penyerahan tenaga kerja dari penduduk untuk kepentingan penguasa dan menyerahkan sebagian dari produksi mereka.
Sebagai pemilik gaukang, ia beserta keturunannya kemudian menjadikan benda ini sebagai warisan turun temurun, yang lambat laun tetapi pasti menjadikan mereka sebagai suatu kelompok yang memiliki kekuasaan penuh dalam komuitasnya. Mereka kemudian menduduki lapisan tinggi dalam masyarakat dalam memiliki hak-hak istimewa yang tidak lagi dipersoalkan oleh komunitas gaukang itu. Mereka menjadi lapisan bangsawan, yang dalam tingkah laku politik dan sosial diperlakukanlain dari masyarakat lainnya, yaitu to-maradeka (orang merdeka). Hubungan yang tidak seimbang yang ada dalam komunitas ini kemudian melahirkan hubungan patronklien dalam masyarakat.
Dalam kehidupan sosial-politik-pemilik gaukang dan keturunannya berada pada lapisan atas. Mereka adalah golongan bangsawan pada komunitas gaukang, dengan pemimpin mereka disebut karaeng atau arung, dan masyarakat yang berada dalam komunitas ini disebut kekaraengan. Dalam kehidupan politik (kekuasaan), hubungan antara satu kekaraengan dengan lainnya, tidaklah harmonis. Keadaan ini disebabkan karena keinginan mereka untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar lagi. Elain itu juga dengan makin bertambahnya pengikut, berarti pula makin bertambahnya kebutuhan akan tanah, yang dipandang sebagai lambing kekayaan. Keadaan yang demikian ini menjadi satu faktor yang membuat hubungan satu kekaraengan dengan kekaraengan yang lainnya tidak harmonis. Timbul perselisihan, pertengkaran, dan bahkan peperangan di antara mereka. Untuk mengatasi hal ini, mereka kemudian bersepakat untuk membentuk suatu federasi dengan menampilkan satu dewan hadat, yang diketuai oleh salah seorang di antara mereka anggota dewan hadati terdiri dari para pemimpin kekaraengan.
Sebelum Kerajaan Bugis Bone terbentuk, kerajaan ini terbentuk atas beberapa kelompok-kelompok anang (kaum) yang diikat oleh rasa seketurunan dari seorang nenek moyang tertua dalam sistem kepemimpinan patrimonial. Jumlah kelompok anang tersebut ada tujuh kelompok atau wanua. Kelompok itu adalah : 1. Wanua Ujung, 2. Wanua Tibojong, 3. Wanua Ta, 4. Wanua Tanette Riattang, 5. Wanua Tanete
25
ri Awang, 6. Wanua ponceng dan 7. Wanua Macege. Antara satu kelompok dengan kelompok lainnya hidup terpisah. Mereka menjalankan roda pemerintahannya secara otonom. Dalam perkembangan kemudian, baik oleh pertambahan penduduk dan usaha untuk mengembangkan wilayahnya, maupun untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya, antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sering muncul permusuhan sering diakhiri dengan peperangan antara mereka. Kelompok yang kuat mengalahkan kelompok yang lemah. Keadaan yang demikian sering terjadi sehingga ketentraman bagi mereka merupakan suatu yang jarang terjadi.
Periode kekacauan yang terjadi di Tanah Bone ini dapat terselesaikan berkat kedatangan seorang To Manurung yang tidak diketahui asal mulanya. Kedatangan mereka ini seolah-olah dinantikan oleh rakyat yang ingin kedamaian. Hal yang demikian ini juga terjadi pada hamper seluruh kerajaan besar di Sulawesi Selatan. Mengenai kedatangan To Manurung, sang penyelamat yang dapat mententramkan keadaan yang serba chaos, dilukiskan penuh dengan peristiwa yang amat mencekam. Dalam Lontara diceritakan bahwa suasana Tanah Bone sebelum kedatangan To Manurung gelap gulita karena alam yang sangat tidak bersahabat. Ketika itu hujan dan petir sambung menyambung selama tujuh hari tujuh malam lamanya. Selama itu rakyat dalam ketakukan, dan tidak tahu apa yang harus dipebuat dengan keadaan yang seperti itu. Setelah tujuh hari tujuh malam keadaan yang demikian itu berlangsung, keadaan menjadi reda, penduduk Tanah Bone sekonyong-konyong melihat seseorang yang berpakaian kuning muncul di tengah padang yang luas. Mereka kemudian mendatangi makhluk tersebut. Mereka heran darimana asal muasalnya makhluk itu. Mereka menduga bahwa makhluk itu berasal dari surge. Oleh karena tidak diketahui asal usulnya mereka bersepakat untuk menamakannya To Manurung. Kepada orang yang disangka To Manurung itu mereka menyampaikan hasratnya agar orang tersebut tetap tinggal dan menjadi penguasa di negeri itu.
Penyampaian keinginan itu dalam lontara dilukiskan sebagai berikut : “ya, Tuanku yang kami hormati. Kami ini dating menghadap di bawah duli tuanku, dengan penuh pengharapan yang amat tinggi: kami mohon kiranya tuanku hendaklah tidak balik “ke kahyangan” lagi. Tinggallah tuanku ini di negeri kami ini agar tuankulah merajai kami semua. Segala kehendak tuanku, perintah tuanku, kami laksanakan. Walaupun anak kami: istri kami, jika tuanku tidak mengingininya kami juga ikut tidak
26
menyukainya. Sekiranya tuanku menetap bersama kami, maka tuankulah yang kami rajakan diantara kami.
Orang yang disangka To Manurung itupun menjawab : “sungguh baiklah itu katamu itu. Namun sesungguhnya aku tidak dapat engkau jadikan raja, karena aku ini seorang hamba sahaya jua. Tetapi seandainya engkau semua menghendaki seorang raja, baiklah jikalau orang yangmerajaiku, engkau nobatkan menjadi rajamu”.
Tanya jawab antara orang yang dianggap To Manurung dengan para matowa itu kemudian memutuskan untuk menghadap pada To Manurung yang sebenarnya. Setelah para ketua anang itu bertemu dengan To Manurung yang sebenarnya, mereka pun kemudian menyampaikan hasratnya, dan To Manurung juga menyetujuinya. Dengan kedatangan raja yang pertama itu, dimulailah masa yang dikenal oleh rakyat Bone sebagai masa kerajaan yang berlangsung sampai 1905.
Akhirnya antara To Manurung dengan ketua anang mengangkat janji sumpah setia di hadapan bakal raja mereka. Ketujuh wanua yang dipimpin oleh seorang matowa itu kemudian menjalin satu kesatuan yang disebut dengan Matowa PituE. Mereka ini kemudian dipusatkan di Kerajaan Bugis Bone. Kemudian didirikan satu istana. Sebagai ibukota yang disebut Kawerang Tana Bone (ikatan tanah Bone yang berlangsung dari raja Bone pertama sampai ke-9, La Pattawe MattinroE ri bettung, kira-kira akhir abad ke-16 (1590). Dalam perkembangan berikutnya Kawerang Tana Bone berkembang menjadi Watampone yang berarti pusat Bone. Para matowa yang terdiri sebanyak tujuh orang kemudian membentuk satu badan musyawarah bertujuh yang disebut dengan Matowa Pitue. Ketujuh matowa ini selain bertindak sebagai anggota Dewan Pemerintahan, mereka juga masih tetap menjalankan pemerintahan atas wanua asalnya secara otonom.
Sistem kawerang di Kerajaan Bugis Bone berlangsung dari Raja Bone yang pertama sampai Raja Bone yang pertama sampai Raja Bone yang ke-9, La Pattawe, MattinroE ri bettung, kira-kira pada abad ke-16 (1590). Setelah itu di Kerajaan Bugis Bone terjadilah instensifikasi pemusatan kekuasaan dalam satu bentuk negara kesatuan Tanah Bone. Ketika itu aparat pemerintahan diperluas untuk menampung makin banyaknya keturunan To Manurung yang harus di beri tempat dalam pemerintahan.
27
Para Matoa Pitue yang sebelumnya masih menjabat sebagai anggota dewan dan juga sekaligus bertindak sebagai kepala wanua, melepaskan fngsinya sebagai kepala wanua. Mereka ditarik kepusat pemerintahan. Penarikan mereka ke pusat kekuasaan Tanah Bone (Kerajaan Bugis Bone). Dewan Matowa Pitu kemudian dirubah menjadi Ade PituE. Dewan inilah yang kemudian bertindak sebagai Dewan Menteri Kerajaan Bugis Bone. Mereka inilah yang kemudian melakukan kekuasaan eksekutif di samping menjadi penyambung lidah rakyat terhadap raja.
Anggota Dewan Ade PituE ini tetap memakai gelar arung seperti gelar yang telah diikrarkan ketika adanya perjanjian dengan To Manurung. Dalam menjalankan tugasnya, mereka mempunyai fungsi dan tugas masing-masing, sebagai berikut : 1.
Arung Macege bertugas dalam bidang pemerintahan umum.
2.
Arung Ponceng membawahi bidang urusan keamanan dan pertahanan.
3.
Arung Tibojong bertugas dalam bidang kehakiman
4.
Arung Tanete ri attang, mengurus soal pembangunan dan pekerjaan umum
5.
Arung Tanete ri awing, mengurus soal keuangan dan ekonomi
6.
Arung Ta, mengurus pengajaran dan pendidikan
7.
Arung Ujung, mengurus soal penerangan dan kerohanian.
Pada perkembangan berikutnya, yaitu pada masa Kerajaan Bugis Bone di perintah oleh seorang ratu, dibentuk satu jabatan baru yang dikenal dengan nama tomarilalang, yang sekaligus menjabat sebagai ketua Ade PituE. Secara pelan tapi pasti, Kerajaan Bugis Bone semakin meluas dengan masuknya kerajaan-kerajaan lain. Perluasan wilayah yang dilakukan oleh Kerajaan Bugis Bone dijalankan dengan penaklukan dan juga dengan jalan sukarela. Daerah-daerah taklukan tersebut kemudian diikat melalui perkawinan yang dilakukan oleh putra-putri Kerajaan Bugis Bone dengan bangsawan yang terdapat di daerah tersebut.
Selain memilki wilayah inti, Kerajaan Bugis Bone juga memiliki beberapa derah jajahan. Daerah jajahan (palili)atau jerajaan-kerajaan kecil itu antara lain : 1.
Citta dengan pemukiman-pemukiman utamanya adalah lempong, UwungaE, Belawa, Kampiri, Data Talloq, Mardewala dan Barang.
2.
Bone Tangnga terdiri dari :
28
a. Wilayah Palakka, dengan pemukiman-pemukiman utama adalah Cinennung, Passempa, Urang, yang secara keseluruhan juga disebut TellumpanuaE (tiga negeri). b. Wilayah Awampone, dengan pemukiman-pemukiman utama adalah Paccing, Matuju, Jailling, Cumpiega dan Unra, yang secara keseluruhan disebut juga LimampanuaE. c. Wilayah Cina, dengan pemukiman-pemukiman utama adalah kamplebu, Ula Pao, Welanreng, Buki, Laju, Pationgi, yang secara keseluruhan disebut Attangala. d. Wilayah Barobo, dengan pemukiman-pemukiman utama adalah wawonglangi, Cinnong, Mene Galung, Lampoko, dan Bajo dan secara keseluruhan disebut juga Awangala.
3.
Ajanggala atau Lili ri aja, yang terdiri atas : a. Wilayah “Ettu Payung Tanre” (tujuh paying tinggi) dengan pemukimanpemukiman utama : Mampu, Sailong, Timurung, Amali, Ulaweng, Bengo, dan Panre. b. Wilayah Limampanua (lima negeri) dengan pemukiman-pemukiman utama adalah Oting, Lanca, Ulo, Palongki dan Tajong. c. Wilayah PattangkaiE, dengan pemukiman-pemukiman utama adalah Mampu-riAja, Mam-ri Awa, Kung dan Sijalling. d. Wilayah TellumpanuaE dengan pemukiman-pemukiman utama Sura-Sura, Alinge dan Teamusu. e. Wilayah Lappa-ri-Aja, juga dinamai Ennengergi Bila-Bila, dengan tempat pemukiman Utama Libureng, Macerra, Bulu, Tea, Campaga dan Bariengeng. f. Wilayah PattampidangE, dengan tempat-tempat pemukiman utama adalah Lamoncong, Sanrego, Teko dan Beru. g. Wilayah Ennenge Bila-Bila-ri-Lau, dengan tempat-tempat pemukiman utama adalah Balli, Mico, Sancerang, Sonrong, Toja dan Saweng.
4.
Lili ri Lau terdiri atas : a. Wilayah Sibulu, dengan tempat-tempat pemukiman utamanya adalah Patrio, Kaju, Cinnong, Sampobia, Kalibong, Panelli, Bulu dan Balieng. b. Wilayah Wawo-Bulu-ri-Awang dengan tempat-tempat pemukiman utamanya adalah Towang, Pationgi, Lemo, Paoaka, Sunaba, Alla dan Cenrana.
29
c. Wilayah Tellu-Limpo-ri-Awang, dengan tempat-tempat pemukiman utamanya adalah Mare, Salangketo dan Tonro. d. Wilayah Awang-Tangka, dengan tempat-tempat pemukiman utama Meru, Salomekko, Cina, Pattimpeng, Bulu Tana, Cani dan Gona.
Selain yang disebutkan di atas, terdapat 14 tempat pemukiman lainnya yang bukan atau tidak termasuk palili yakni, Malle, Pajakka, Karalla, Aralla, Bulo, Awo, Kawarrang, Callu, Biru, Balakang, Bulu, Maloi, Maduri, dan Saga.
Dalam perkembangan selanjutnya, Kerajaan Bugis Bone makin luas dengan bertambahnya beberapa kerajaan lainnya yang berada di sekitar kekuasaan. KerajaanKerajaan kecil itu secara sukarela menyatakan bersedia bergabung karena dikalahkan dalam satu peperangan. Kerajaan-Kerajaan yang ditaklukan itu dipersatukan dengan Kerajaan Gowa. Kerajaan-kerajaan ini disebut dengan palili, wilayah yang dikuasai karena perang. Untuk memantapkan dan memperluas wilayah kekuasaan keturunan Tomanung, pemerintah pusat melakukan pengiriman putra-putri bangsawan ke daerah-daerah. Pada umumnya mereka dikawinkan dengan penguasa-penguasa local. Hal ini membuat kerajaan-kerajaan kecil memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan pemerintah pusat. Meskipun demikian, dalam banyak hal ketaatan itu lebih banyak dipengaruhi wilayah yang berdekatan dengan kerajaan inti tersebut. Makin dekat dengan
kekuasaan
pusat,
makin
dekat
pula
hubungan
emosional
dan
pengontrolannya, demikian pula sebaliknya.
Kerajaan Bugis Bone merupakan penguasa utama kerajaan-kerajaan Bugis yang ada di daerah pedalaman. Kerajaan Bugis Bone bersama dengan Kerajaan Wajo dan Soppeng pernah melakukan kesepakatan untuk membangun satu kekuatan 1582.
Mereka membangun satu perjanjian yang
pada
dikenal dengan perjanjian
Tellumpoccoe. Kekuatan yang dibangun ini setidaknya untuk sementara dapat menghalangi upaya yang dilakukan oleh Kerajaan Bugis Bone yang cenderung meluaskan wilayah pengaruh dan kekuasaannya. Persekutuan yang dibangun ini tidak dapat bertahan lama. Ketika Islam dijadikan agama resmi Kerajaan Gowa di awal abad ke-17, dilakukan sejumlah aktifitas untuk mengembangkan ajaran agama Islam. Usaha itu dapat tantangan berat dari kerajaan-kerajaan yang tergabung dalam Tellumpoccoe. Meskipun demikian, kerajaan-kerajaan itu satu persatu takluk di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa dan menerima Islam sebagai agama resmi di kerajaan tersebut.
30
3.1.2. KERAJAAN BUGIS BONE MENJADI KERAJAAN ISLAM Raja Gowa ke-10 bernama I Manriogau’ Dg. Bonto Karaeng Lakiung Karaeng Tunipallangga Ulaweng dan Raja Gowa ke-11 bernama Dg. Marumpa Karaeng Data atau Karaeng Tunibatta. Raja Bone ke-7 bernama La Tenri Rawe BongkangE. Baik Raja Gowa ke-10 maupun Raja Bone ke-7 sama-sama memiliki
keberanian
berperang. Peperangan ini berlangsung pada awal pertengahan abad ke-16 selama tujuh tahun. Adapun sebagai pemicu timbulnya peperangan adalah bermula dari kekalahan ayam Raja Gowa melawan ayam Raja Bone dalam suatu sabung ayam yang di selenggarakan oleh Raja Bone di Bone. Tidak lama sesudah kejadian itu Raja Gowa lalu menyatakan perang melawan Kerajaan Bugis Bone sebagai wujud ketidakpuasannya atas kekalahan ayam sabungannya melawan ayam sabungan Raja Bone.
Pernyataan itu segera disusul dengan pengerahan laskar dalam jumlah yang besar dipimpin langsung oleh Raja Gowa ke-10. Terjadilah pertempuran sengit kedua kerajaan itu, sebab sebelumnya Bone sudah melakukan persiapan menghadapi Gowa apabila sewaktu-waktu menyerang sebagai balas dendam atas kekalahan ayam sabungannya tersebut. Dalam pertempuran itu Raja Gowa I Manriogau’ Dg. Bonto Karaeng Lakiung mendapat cedera sehingga raja bersama laskarnya mundur ke negerinya.
Dua tahun kemudian Raja Gowa ke-10 itu kembali lagi bersama laskarnya menyerang Kerajaan Bugis Bone. Kali ini Gowa mengerahkan laskarnya dalam jumlah yang lebih besar dari yang sebelumnya. Raja Gowa membuat benteng pertahan di Walenna. Peperangan berlangsung seru selama tujuh hari yang mengakibatkan, korban tewas dan luka-luka kedua pihak yang tidak sedikit jumlahnya. Pertempuran berakhir karena Raja Gowa ke-10 I Manriogau’ Dg. Bonto Karaeng Lakiung jatuh sakit dan harus segera kembali ke Gowa bersama laskarnya. Penyakitnya ini merupakan penyebab kematiannya dalam tahun 1565 yang setelah wafatnya ia digelar Tunipallangga Ulaweng. Adapun pengganti I Manriogau’ Dg. Bonto Karaeng Lakiung ini adalah saudaranya sendiri bernama I Tajibarani Dg. Marumpa Karaeng Data’ atau Tunibatta sebagai Raja Gowa ke-11. Sementara di Bone tampuk pimpinan kerajaan masih tetap di tangan
31
Raja Bone ke-7 La Tenri Rawe BangkengE. I Tajibarani Dg. Marumpa Karaeng Data’ meneruskan peperangan melawan Bone yang telah dirintis oleh saudaranya. Serangan Raja Gowa ke-11 ini mengerahkan pasukan dalam jumlah yang jauh lebih besar dari pada yang pernah dikerahkan oleh Raja Gowa ke-10. Ambisi Raja Gowa ke-11 untuk menguasai Kerajaan Bugis Bone sangat tinggi, sehingga dalam waktu yang relative singkat Laskar Gowa telah dapat menduduki sejumlah daerah Kerajaan Bugis Bone. Raja Gowa membangun benteng pertahanannya di Pappolo untuk menghadang serangan Bone dari segala penjuru. Raja Bone pun La Tenri Rawe Bangkange sejak awal sudah siap menghadapi serangan balasan dari Kerajaan Gowa atas kematian Raja Gowa ke-10. Raja Bone menggerakkan laskarnya dalam jumlah yang lebih besar sebelumnya. Kegigihan laskar Gowa untuk merebut Kerajaan Bugis Bone itu, ditangkis habis-habisan oleh Laskar Bone dengan berbagai cara dan taktik. Oleh karena itu pada akhirnya Laskar Gowa dapat diatasi oleh Laskar Kerajaan Bugis Bone ketika Laskar Gowa sedang mabuk-mabukan menghalau ternak rampasannya ke arah negeri Gowa. Kejadian ini tidak sedikit Laskar Gowa yang jatuh korban tewas dan luka-luka akibat dari pukulan mundur yang dilakukan oleh Laskar Bone. Raja Gowa I Tajibarani Dg. Marumpa Karaeng Data’ tidak dapat lolos dari kejaran Laskar Bone sampai terpancung yang dilakukan oleh seorang
prajurit Bone bernama La Tunru
menyebabkan Raja Gowa itu gugur saat itu juga (1565). Raja Gowa ke-11 setelah wafat lazim disebut “Tunibatta” artinya “yang terpancung”.
Selang beberapa hari kemudian datang Raja Tallo Dg. Padulung ke Bone dengan maksud menyampaikan sikap Kerajaan Gowa terhadap situasi konflik yang dihadapi kedua kerajaan itu. Adapun sikap Kerajaan Gowa yang dimaksud adalah “Kerajaan Gowa hanya menginginkan kebaikan dan bukan kejahatan atau permusuhan”. Sikap tersebut diterima baik oleh Raja Bone dalam hal ini diwakili oleh Kajao La Liddong. Maka keesokan harinya Kajao La Liddong dan beberapa pengikutnya dari pembesar Kerajaan Bugis Bone pergi menemui Raja Tallo Dg. Padulung Mangkubumi Kerajaan Gowa yang sewaktu itu mengambil tempat di Caleppa. Setelah itu kemudian kedua pihak mengadakan perundingan yang menghasilkan tiga ketetapan yaitu : a.
Daerah yang membentang sampai ke sungai Walanae di sebelah barat dan daerah-daerah yang membentang sampai ke Ulaweng di sebelah utara masuk ke dalam wilayah Kerajaan Bugis Bone.
32
b.
Sungai Tangka dijadikan perbatasan daerah kekuasaan Bone dan Gowa. Di sebelah utara masuk dalam kekuasaan Kerajaan Bugis Bone di sebelah selatan masuk ke dalam kekuasaan Kerajaan Gowa.
c.
Cenrana masuk Kerajaan Bugis Bone.
Perjanjian itu lazimnya disebut oleh orang Gowa Ulukanaya ri Caleppa (perjanjian di Caleppa tahun 1565). Pengganti Raja Gowa ke-11, I Tajibarani Karaeng Data’ adalah putranya sendiri yang bernama Manggorai Dg. Mammeta Kr. Bonto Langkasa sebagai Raja Gowa ke-12. Setelah pelantikan atas dirinya sebagai Raja Gowa ke-12, maka Raja Gowa yang baru itu membuat suatu perjanjian persaudaraan dengan Raja Bone La Tenrirawe Bangkange. Isi perjanjian yang telah disepakati oleh kedua pihak antara lain : “bahwa musuh-musuh dari salah seorang diantara mereka adalah musuh-musuh mereka bersama orang-orang Gowa yang masuk ke Bone seperti datang ke negerinya sendiri dan orang-orang Bone yang datang ke Gowa seperti datang ke negerinya sendiri. Dengan perjanjian tersebut kedua pihak menganggap berakhirlah konflik antara Bone dan Gowa
Perang Soppeng-Bone Peperangan ini terjadi karena pembangkangan kedua daerah yaitu, Lamatti dan BuloBulo yang pernah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Arung Palakka (ditaklukkan) terhadap perjanjian yang pernah disepakati bersama dengan pihak Kerajaan Bugis Bone, sekaligus implikasi politik dimana Lamatti dan Bulo-Bulo berbalik membantu dan bersekutu dngan Kerajaan Gowa. Petta MalampeE Gemme’na mendapat berita dari Daemang (selaku pembawa pesan atas nama Arung Palakka) yang mendengar bahwa laskar orang Makassar yang telah dalam perjalanan menuju Bulo-Bulo dan Lamatti akan menyerang Bugis, Kemudian menyepakati untuk berkeumpul di daerah Meru dengan orang-orang Soppeng untuk menyongsong pasukan perang Gowa dan Lamatti. Pada hari pertama, pihak Kerajaan Gowa tercatat lebih dari 50 orang korban, sedang pihak Pattiro terdapat sebanyak 100 orang yang terbunuh. Karena tidak diberi kesempatan
mengatur
posisi,
maka
orang-orang
Soppeng
dan
Bone
pun
mengundurkan diri ke Salo Mekko, dan pasukan Kerajaan Gowa pun masuk ke wilayah Bulo-Bulo, sedang pasukan gabungan Soppeng dan Bone kembali ke daerah Pattiro.
33
Hari kedua peperangan, pasukan Gowa mengundurkan diri ke seberang sungai Tangka karena mereka telah dilumpuhkan. Dan pasukan Soppeng dan Bone mengejar mereka hingga kocar-kacir dan jalan satu-satunya adalah meloloskan diri kembali ke Gowa melalui perahu. Sehingga peperangan ini berakhir dengan kekalahan pasukan Kerajaan Gowa. Setelah peperangan itu, pasukan gabungan Kerajaan Bugis Bone dan Soppeng berpisah di Pattiro. Dimana Arung Palakka bersama pasukannya menuju ke Bulukumba, sementara pasukan Kerajaan Soppeng berangkat ke daerah Berru.
Kerajaan Bugis Bone menjadi kerajaan terakhir yang diserang oleh kerajaan Gowa karena menolak menerima agama Islam. Sewaktu kerajaan Soppeng dan Wajo menerima Islam, Raja Bone ke-10, We Tenri Tuppu (1602-1611) secara diam-diam berangkat ke Sidenreng untuk bertemu dengan Adattuang Sidenreng La Patiroi yang sudah memeluk agam Islam. Tidak berapa lama berada di Sidenreng, ia jatuh sakit dan meninggal, kemudian di kenal dengan gelar Matinroe ri Sidenreng.
La Tenri ri Ruwa diangkat menjadi Raja Bone ke-11 menggantikan We Tenri Tuppu pada tahun 1611. Sultan Alauddin, Raja Gowa ketika itu berkunjung ke bone untuk memberi penghormatan atas pelantikan itu. Dalam kunjungan itu juga dibicarakan tentang bagaimana sebaiknya sikap Kerajaan Bugis Bone terhadap Islam. Pada prinsipnya ajakan yang dilontarkan oleh Sultan Alauddin dapat diterima, namun ia sendiri tidak dapat memutuskan karena ada Dewan Adat di Kerajaan Bugis Bone yang memutuskan segala sesuatu tentang jalannya pemerintahan di Kerajaa Bone.
Dalam salah satu pertemuan yang dilakukan antara Raja Bone dan Ade Pittu dan pembesar-pembesar kerajaan lainnya, Raja Bone mengatakan : “wahai
rakyatku…
Sultan
Kerajaan
Gowa
telah
datang
sendiri
mengunjungi kita sekalian. Kebaikan yang tiada taranya… Oleh sebab itu adalah suatu keutamaan dan kemuliaan bagi Kerajaan Bugis Bone, bilaman kita sekalian menerima seruan baginda Sultan, supaya memeluk Islam. Bahwa menolak ajakan yang baik, akan sama artinya dengan siap mengadakan perlawanan”.
Ajakan yang dilontarkan oleh Raja Bone tidak mendapat respon positif dari Dewan Ade Pitu, dan para pembesar-pembesar kerajaan. Hal ini sangat mengecewakannya karena sebagai seorang raja, penolakan itu dapat berarti bahwa kesetiaan rakyat
34
sudah mulai memudar. Selain itu ada kekhawatiran dari Raja Bone bahwa penolakan itu juga dapat berakibat pecahnya perang antara Kerajaan Bugis Bone dan Gowa. Jika ini terjadi, kemungkinan besar Kerajaan Bugis Bone akan bernasib sama dengan dua sekutunya terdahulu yang tidak berdaya melawan Kerajaan Gowa.
Raja Bone Bersama Keluarga dan para pengikut yang masih setia padanya mengungsi ke Pattiro. Di tempat yang baru ini pula ia mencoba sekali lagi menyerukan agar rakyat Bone dapat menerima ajaran Islam, namun gagal. Oleh karena itu ia memutuskan untuk bertindak pasif dan lebih banyak mengurung diri di dalam kediamannya. Tampaknya, apa yang dilakukan oleh Raja Bone sudah tidak lagi memperlihatkan rakyat Bone. Oleh karena itu para Dewan Ade itu mngadakan musyawarah untuk mengambil jalan menyelesaikan masalah yang timbul dalam musyawarah itu diputuskan bahwa Raja Bone harus diturunkan dari tahta kerajaan. Untuk menyampaikan hasil musyawarah itu diutus To Alaungeng menghadap Raja Bone. “Bahwa hamba ini diutus oleh Rakyat Bone menghadap Puatta MangkauE, menyampaikan bahwa dalam hal ini bukanlah rakyat yang tidak menyukai Puatta, tetapi Puattalah yang tidak menyukai kami sekalian, bahwa pada dewasa ini negeri Bone sedang dalam kesusahan tetapi meskipun demikian Puatta tinggalkan juga.”
Raja Bone pun memutuskan untuk turun tahta dan mengutus utusan ke Kerajaan Gowa untuk menyampaikan apa yang sedang dihadapinya. Sultan Alauddin kemudian mengutus Karaeng Pettung untuk menjemput Raja Bone di Patirro. Pada tahun 1611 La Tenri Ruwa memutuskan menerima agama Islam dan diberi gelar Adamulmarhum Kalinul awalul Islam. Ia meninggalkan Bone dan tinggal di Makassar dekat dengan kediaman Dato ri Bandang. Hijrahnnya La Tenri Ruwa ke Makassar berarti tahta Kerajaan Bugis Bone kosong. Oleh karena itu Dewan Ade PituE Kerajaan Bugis Bone melakukan musyawarah untuk mencari penggantinya. Mereka memutuskan untuk mengangkat La Tenripale Arung Timurung sebagai Raja Bone ke-12 (1611-1625).
Pada awal pemerintahannya, La Tenri dihadapkan pada satu permasalahan besar yaitu menolak Islam. Sikap Kerajaan Bugis Bone ini dalam banyak hal amat sulit dipertahankan. Di samping karena ambisi Kerajaan Gowa itu didukung oleh kekuatan militer yang besar dan kuat yang telah pun ditunjukkan ketika mengalahkan Soppeng
35
dan Wajo, bantuan dari sekutu Bone yang tergabung dalam TellumpoccoE sudah tidak bisa
diharapkan
lagi.
Satu-satunya
jalan
yang
harus
dilakukan
adalah
mempertahankan diri. Kerajaan Bugis Bone tidak dapat berbuat banyak dalam menghadapi serangan yang dilancarkan oleh Gowa. Kerajaan Bugis Bone akhirnya mengakui kekalahannya dan bersedia menerima Islam sebagai agama kerajaan 1611 (20 Ramadhan 1020 H). setelah kekalahan Bone, Raja Bone lebih banyak menghabiskan waktunya di Makassar karena beliau bersahabat dengan Raja Gowa.
Dewan Ade PituE Kerajaan Bugis Bone memutuskan untuk mengangkat La Maddaremmeng menjadi raja yang ke-13 (1625-1640) di Kerajaan Bugis Bone. Pada masa pemerintahannya beliau menaruh perhatian dalam memajukan dan memperluas wilayah Kerajaan Bugis Bone. Kota Lalengbata diperluas dengan cara membuka tanah-tanah baru di sebelah timur dan selatan kota Lalengbata. Seperti perkiraan semula, Kerajaan Bugis Bone setelah melakukan beberapa kali perlawanan, akhirnya menyerah. Kerajaan Gowa tidak menuntut banyak dari Kerajaan Bugis Bone seperti yang diduga semula. Kerajaan Gowa hanya menginginkan bahwa agama Islam diterima sebagai agama resmi di Kerajaan Bugis Bone. Pada 23 November 1611 agama Islam diikrarkan sebagai agama resmi di Kerajaan Bugis Bone.
Meskipun dalam banyak hal Dewan Ade PituE menolak untuk menerima agama Islam, namun rakyat di Kerajaan Bugis Bone tidak seluruhnya bersikap menolak. Dalam banyak hal rakyat Bone juga sudah bersentuhan dengan ajaran ini jauh sebelumnya. Oleh karena itu perlawanan yang dilakukan oleh Bone dapat dianggap satu perlawanan yang tidak secara serius dilakukan. Raja Bone, La Tenri Ruwa juga hanya sekedar menjalankan tugas yang dipikulkan kepadanya oleh Dewan Ade PituE. Melihat jalannya perang yang berlangsung singkat, dan juga penyebaran agama Islam yang begitu pesat di Bone, diperkirakan bahwa penolakan itu lebih dikarenakan kekhawatiran dari Dewan Ade PituE dalam mempertahankan kekuasaannya.
Dalam Lontarak Bone dituliskan bahwa setelah Kerajaan Bugis Bone kalah, kerajaan Gowa tidak menuntut banyak pada Kerajaan Bugis Bone, sebagaimana layaknya pemenang yang berhak menentukan apa saja kepada pihak yang kalah. Kerajaan Gowa hanya menginginkan pembesar-pembesar Kerajaan Bugis Bone mengucapkan kedua kalimat syahadat sebagai tanda menerima agama Islam. Bahkan dalam perkembangan berikutnya, kedua kerajaan ini tampil sebagai kerajaan yang
36
bersahabat. Dalam hal penerapan ajaran Islam, Kerajaan Bugis Bone melakukannya dengan sangat konsekuen. Dalam Lontarak Gowa juga ditemukan beberapa catatan yang memperlihatkan perilaku Mangkubumi Kerajaan Gowa, Karaeng Matowaya dalam upayanya menyebarkan agama Islam. Disebutkan bahwa ketika beliau mengalahkan
kerajaan-kerajaan
Bugis
yang
tergabung
dalam
persekutuan
TellumpoccoE, ia tidak menuntut ganti rugi ataupun pembayaran pajak pada pihak yang kalah perang. Bahkan, beliaulah yang membagi-bagikan kepada rakyat yang ditaklukan pakaian dan harta lainnya sebagai hadiah. Perang Raja Gowa Ke-10 Dengan Raja Bone Ke-7 Kerajaan Bugis Bone dipertengahan abad ke-17 pernah takluk dalam kekuasaan Kerajaan Gowa, Kerajaan Bugis Bone diperintah oleh To Bala, seorang wakil Kerajaan Gowa yang ditempatkan di Kerajaan Bugis Bone. Namun pada tahun 1667 berhasil dibebaskan oleh Arung Palakka setelah Kerajaan Gowa takluk dalam perang besar yang terjadi ditahun 1666. Perjanjian Bungaya yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 menghilangkan seluruh harapan Kerajaan Gowa untuk menjadi penguasa besar di wilayah Sulawesi Selatan. Setelah berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Kerajaan Gowa, Kerajaan Bugis Bone mengambil posisi yang dimainkan oleh Kerajaan Gowa sebelumnya. Lewat Arung Palakka dan para penggatinya Kerajaan Bugis Bone mengambil posisi yang dimainkan oleh Kerajaan Bugis Bone menjadi satu-satunya kerajaan yang sangat kuat di wilayah ini.
3.1.3. KERAJAAN BUGIS BONE PADA MASA KOLONIAL BELANDA
Pada masa Inggris berkuasa, Kerajaan ini juga muncul sebagai penggerak untuk menolak kehadiran inggris di Sulawesi Selatan. Timbul sejumlah perang antara Inggris di satu pihak dengan Kerajaan Bugis Bone beserta sekutu-sekutunya di pihak lain. Sewaktu Belanda berupaya kembali berkuasa pada tahun 1816, timbul sejumlah perlawanan yang juga dimotori oleh Kerajaan Bugis Bone. Pemerintah Hindia Belanda terpaksa menggunakan kekerasan untuk mengatasi konflik yang muncul antara Bone dengan Belanda yang tidak menghasilkan keputusan politik yang berarti. Pada tahun 1859-1860 sekali lagi pecah perang antara Bone dan Belanda. Kali ini Kerajaan Bugis Bone kalah dan statusnya berubah menjadi kerajaan pinjaman. Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Achmad Singkeru Rukka menjadi raja di Kerajaan Bugis Bone.
37
Pada tahun 1905 pecah perang lagi antara Kerajaan Bugis Bone dengan Belanda. Kerajaan Bugis Bone ketika itu diperintah oleh La Pawawoi Karaeng Seregi. Perang kali ini juga dimenangkan oleh Belanda. Kerajaan Bugis Bone menjadi taklukan Belanda.
Struktur Pemerintahan Kekuasaan pusat pada Kerajaan Bugis Bone secara historis dan budaya tergantung pada mitos raja. Hampir seluruh kerajaan-kerajaan besar yang ada di Sulawesi Selatan menarik garis lurus pada mitos To Manurung sebagai legimitasi atas kekuasaannya. Raja dan pengganti-penggantinya semuanya mengacu pada mitos tersebut. Meskipun diakui bahwa alam demokrasi telah hidup pada masa lalu di kerajaan ini, namun patut dicatat bahwa seluruh raja yang berkuasa di kerajaan ini memiliki hubungan darah dengan raja pertama.
Secara politik, Kerajaan Bugis Bone terdiri atas kumpulan ratusan desa yang sekitar 2/3 bergabung dalam wanau ini bisa bersifat sangat lepas, nominal belaka, sampai ikatan kuat di bawah kekuasaan raja atau adat. Dengan kekecualian pada wanua yang lemah, semua ini memiliki ikatan sosial dari kelompok keluarga, desa, wanua dan kerajaan, sebagai inti dan pinggiran.
Pada tahun 1863, J.A.Bakkers telah membuat uraian mengenai peta politik Kerajaan Bugis Bone. Menurutnya, ada perbedaan yang jelas antara inti dan pinggiran dalam struktur politik di kerajaan ini. Inti Kerajaan Bugis Bone terletak di dan sekitar Istana Watampone, sebuah tempat rendah dimana kaum bangsawan membentuk tujuh kursi dewan adat kerajaan ditempatkan. Ketujuh itu adalah Macege, Ta, Tanete Ri Attang, Tanete Ri Awang, Ujung, Ponceng, dan Tibojong. Semua desa dan wanua lainnya dianggap pinggiran. Dalam istilah Bone semua itu disebut palili atau vassal.
Struktur pmerintahan Kerajaan Bugis Bone sebelum kerajaan ini jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1860 terdiri atas :
Raja Raja yang berkuasa di Kerajaan Bugis Bone berasal dari keturunan To Manurung, sebagai raja pertama. Semua raja penggantinya diakui dan dipercaya sebagai keturunan langsung dari raja pertama. Raja di Kerajaan Bugis Bone bergelar Arung
38
Pone (raja di pusat Bone). Biasa juga ia digelar dengan “petta MangkauE” (raja yang berkuasa dan duduk di atas tahtakerajaan). Sebelum jatuhnya kerajaan ini ke tangan Belanda pada 1860, raja diangkat atas dasar musyawarah dan mufakat oleh Dewan Hadat sesuai dengan system aristokrasi. Sesudah itu raja diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda sesuai pasal 26 dari perjanjian yang mentandatangani pada 13 februari 1860.
Kedudukan raja tidak hanya diperuntukkan khusus kepada seorang laki-laki, tetapi terbuka untuk perempuan. Penunjukkan seorang yang akan menduduki tahta kerajaan khusus diperuntukan bagi mereka yang memiliki darah To Manurung. Oleh karena darah dan keturunan yang lebih diperhatikan maka dalam sejarahnya yang panjang, kerajaan ini pernah di kendalikan oleh enam orang raja perempuan. Selain itu jika ditelaah lebih rinci lagi raja-raja yang pernah memerintah kerajaan ini, tidak selalu putra mahkota, yang menduduki tahta kerajaan secara turun temurun dari ayah kepada anaknya. Syarat terpenting penunjukkan seseorang untuk menduduki tahta kerajaan adalah kemurnian darahnya. Persyaratan itu dianggap sebagai suatu hal yang tidak dapat di gugat. Hal ini dikarenakan putra-putri keturunan Tuo Manurung telah difungsikan secara maksimal. Putra-putri Kerajaan Bugis Bone telah tersebar hamper pada setiap wilayah Kerajaan Bugis Bone. Untuk menjaga agar kekusaan tetap berada dalam tangan mereka, persyaratan darah dalam penentuan seseorang menduduki tahta kerajan mutlak dipenuhi.
Jika seorang raja memiliki putra atau putri yang bukan berasal dalam darah yang sama, biasanya akan dicari saudara dari sang raja untuk menggantikannya, atau istri sang raja tersebut. Dalam sejarah Bone hal yang demikian sering ditemukan misalnya saja Ratu Bone Besse Kajuara, raja Kerajaan Bugis Bone ke-27, yang menduduki tahta kerajaan karena menggantikan suaminya, Arung Pugi. Demikian pula Arung Pugi, Raja Bone ke-26, menduduki tahta Kerajaan Bugis Bone karena menggantikan saudaranya Arung Panyili, Raja Bone ke-25.
To-Marilalang To-marilalang artinya orang di dalam. Jabatan To-marilalang dapat disejajarkan dengan Perdana Menteri sekarang ini. Dalam struktur pemerintahan, To-marilalang mengetahui anggota Hadat Aru Pitue. Ia diangkat dan di berhentikan oleh raja. Setelah Kerajaan Bugis Bone menjadi kerajaan pinjaman pada tahun 1860 dan seterusnya
39
jatuh dibawah kekuasaan Belanda pada 1905,
To-marilalang
diangkat dan
diberhentikan oleh pemerinta Hindia Belanda berdasarkan pasal 27 Perjanjian Palakka. Seorang To-marilalang bertugas mengatur semua urusan mengenai pengadilan, polisi dan rumah tangga pemerintah. Seseorang menduduki jabatan ini haruslah keturunan bangsawan, dan salah seorang dari neneknya pernah menjabat kepala pemerintahan. Semasa menjabat jabatan tersebut ia tidak berhak untuk diangkat menjadi raja. To-marilalang adalah juga Arung Ujung atau lazim disebut dengan To-marilalang Malolo, yang mengepalai seluruh palili atau raja-raja kecil. Semua perintah raja disampaikan kepada palili lewat To-marilalang Malolo. Penghasilan To-marilalang bersumber pada hasil sejumlah besar lahan sawah yang harus dikerjakan dan dipanen oleh penduduk. Juga melalui denda yang dibebankan, dan biaya peradilan dalam kasus pidana dan perdata. Denda itu bisa berupa uang, emas, senjata, benda atau kerbau, menurut hokum adat Bone (Rappang Bone), dan juga penyerahan wajib dari hasil hutan dan tanaman.
Anggota-Anggota Hadat Hadat Kerajaan Bugis Bone lazim disebut Arung PituE, beranggotakan tujuh orang yaitu : 1.
Arung Ujung yang merangkap sebagai To-marilalang Malolo
2.
Arung Tanete Riattang
3.
Arung Ta
4.
Arung Tabojong
5.
Arung Ponceng
6.
Arung – Tanete ri Awang
7.
Arung Macege
Jabatan Arung Pitu ini merupakan jabatan turun temurun yang diwariskan dari lini perempuan ataupun lini laki-laki, dan biasanya jabatan ini diturunkan dari ayah ke putra atau putrinya. Dalam menjalankan tugasnya, baik To-marilalang maupun anggota Hadat membawahi beberapa bidang pekerjaan demi untuk kepentingan raja dan rakyat banyak. Mereka ini membawahi beberapa sector, kecuali yang berhubungan dengan perdagangan, perhubungan laut, bea cukai, keagamaan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan perkawinan. Anggota Hadat Pitu adalah juga anggota pengadilan negeri. Mereka ini masing-masing memiliki seorang pembantu yang disebut sulewatang yang juga memiliki pembantu yang disebut mado. Tugas mereka adalah
40
sebagai pengganti apabila yang bersangkutan berhalangan untuk menghadiri undangan atau persidangan. Pendapatan atau pemasukan keuangan anggotan Hadat diperoleh dari sebagian denda dalam kasus pidana, hasil sejumlah lokah ikan yang dijalankan oleh penduduk bagi mereka, dan upeti yang biasanya diantar langsung oleh penduduk.
Jemma Tongeng Dia adalah pimpinan dari Suro PatappuloE (kurir yang berjumlah 40 orang), yang bertugas menyampaikan berita atau amanat kepada pihak-pihak tertentu yang disampaikan oleh raja maupun pejabat-pejabat kerajaan. Oleh karena tugasnya itu, seorang Jemma Tongeng dianggap mengetahui banyak perihal perintah raja atau majelis, karena itu ia harus hadir dalam setiap majelis untuk memberikan penjelasanpenjelasan. Ia juga berkewajiban untuk memastikan bahwa mereka yang telah diundang dapat hadir dalam pertemuan tersebut.
Anrong Guru Anak Karaeng Anrong Guru ini bertugas mendidik putra-putri raja. Ia bertanggung jawab kepada kepala pemerintahan.
Tomalompona Towangke Ia mengepalai seluruh Towangke, yaitu keturunan semua prajurit yang dengan setia telah mendampingi Arung Palakka ke Batavia pada tahun 1666. Mereka ini merupakan pasukan pengawal istana, baik dalam keadaan perang maupun dalam keadaan damai.
Anrong Guru Pukalawing Epu Mereka ini mengepalai dayang-dayang yang bertugas melayani raja baik di istana maupun dalam perjalanan. Dayang-dayang ini diambil dari kampung-kampung. Jumlah mereka sebanyak empat orang.
Suro (suro seppuloEdua) Pesuruh atau utusan ini berjumlah 12 orang dan bertugas mengantarkan surat-surat dan perintah, baik di dalam maupun di luar negeri. Jumlah mereka sebenarnya sebanyak 40 orang, tetapi jarang hadir dalam jumlah yang lengkap. Tugas mereka sama seperti halnya suro-suro lainnya, akan tetapi berbeda dari segi tongkatnya yang bengkok seperti ular. Terdapat juga suro atau pesuruh untuk mengambil sesuatu di
41
daerah-daerah palili. Pada dasarnya semua suro merupakan penghubungan yang menangani komunikasi antara pusat pemerintahan dan daerah atau sebaliknya antara raja dengan pejabat-pejabat kerajaan.
Perenung Bertugas menaympaikan pesan-pesan raja secara lisan kepada pangeran-pangeran. Mereka ini berada di bawah pimpinan kepala pemerintahan.
Juru bahasa Juru bahasa di Kerajaan Bugis Bone terdiri atas dua orang penerjemah ke bahasa Melayu
Juru Tulis Juru Tulis Kerajaan Bugis Bone ada dua orang. Seorang bertugas untuk juru tulis surat-surat resmi, seorang lagi khusus juru tulis pribadi raja yang ditujukan kepada anggota keluarga atau sahabatnya.
Selain itu untuk daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang terletak jauh dari pusat kerajaan, terdapat beberapa jabatan dengan fungsi masing-masing. Struktur pemerintahan di daerah-daerah itu sangat berkaitan dengan keluasan daerah dan adanya hubungan yang erat dengan pusat kerajaan. Jabatan-jabatan yang ada di wilayah tersebut antara satu dan lainnya tidak sama. Misalnya pada wilayah Lanca. Wilayah Lanca terbagi atas dua bagian, yaitu Lanca ri laud an Lanca ri Aja. Struktur kekuasaan yang ada di wilayah ini terdiri atas Arung Lanca ri Lau, Arung Lanca ri Aja, Madanrang, Pabbicara LappaE dan Pabbicara KassiE
Lain halnya dengan wilayah Ulu, Struktur kekuasaan yang ada di daerah ini terdiri atas: 1.
Arung Ulu
2.
Salampe
3.
Madanrang
4.
Sulewatang Ulu
5.
Pabbicara Ulu
6.
Mado Pongka
42
Konflik Bone Dengan Belanda (1835-1859)
Serangan Belanda yang dilancarakan pada tahun 1824-1825 tidak menghasilkan putusan politik yang tuntas tentang Kerajaan Bugis Bone. Oleh karena itu hubungan diantara keduanya di abad XIX dapat diibaratkan bagaikan telur diujung tanduk. 1. Konflik di Pantai Barat Sulawesi Karena merasa masih berotonomi penuh, Kerajaan Bugis Bone memperluas wilayah pengaruhnya pada daerah-daerah yang berada di pantai barat Sulawesi, utamanya di sekitar teluk Tomini, satu daerah yang diperoleh karena bantuan yang diberikan kepada Speelman di tahun 1667. Di daerah ini tampaknya kurang mendapat pengawasan yang berarti dari pemerintah Hindia Belanda, karena perhatiannya yang lebih pada jazirah Sulawesi Selatan dan juga pulau Jawa.
Setelah agresi yang pertama dapat dikatakan gagal karena tidak menghasilkan keputusan politik yang pasti, konflik antara Kerajaan Bugis Bone dan Belanda terus berlangsung walaupun tidak sampai menimbulkan perang. Kedua kekuatan ini, terutama yang disebutkan terakhir, berupaya untuk sedapat mungkin menahan diri agar tidak terlalu banyak melibatkan diri dalam hal ikhwal kerajaan-kerajaan pribumi. Perang besar yang terjadipada tahun 1825 dan kemudian diikuti dengan “perang dingin” akhirnya dapat diselesaikan pada tahun 1837 ketika Raja Bone bersedia untuk menandatangani perjanjian dengan beberapa persyaratan.
Pada masa pemerintahan Arung Pugi (1845-1857), hubungan Belanda dengan Kerajaan Bugis Bone tiba pada titik yang amat mengkhawatirkan jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Arung Pugi adalah Raja Bone yang berpendirian tegas dan memiliki kepribadian yang teguh. Meskipun pada awal pemerintahannya hubungan itu berjalan dengan baik, ditandai dengan pengiriman utusan ke Makassar untuk menandatangani perjanjian, namun demikian hubungan itu makin buruk di tahun-tahun mendatang. Hal ini dikarenakan Arung Pugi adalah termasuk salah seorang bangsawan Bone yang tidak senang akan kehadiran Belanda. Dalam beberapa kesempatan, Arung Pugi menunjukkan pendiriannya, misalnya ia tegas menolak kehadiran pemerintah Belanda sebagai penengah untuk menyelesaikan perang suksesi yang terjadi di Kerajaan Soppeng.
43
Kekhawatiran Belanda terhadap setiap usaha yang dilakukan oleh Kerajaan Bugis Bone
untuk
membangun
kekuatannya
kembali,
merupakan
sisi
lain
dari
meningkatkannya ketegangan antara Belanda dan Bone. Pada tanggal 17 Oktober 1839 di Singapura, surat kabar Free Presh, no. 42 memberitakan bahwa Kerajaan Bugis Bone telah meminta bantuan kepada pemerintah Inggris agar dapat membantunya untuk tetap mempertahankan kerajaannya sebagai satu kerajaan bebas. Jika pemberitaan itu dianggap benar, keadaan ini merupakan preseden buruk bagi Belanda. Sebaliknya akan sangat menguntungkan pemerintah Inggris yang pada gilirannya akan menjadikan Singapura semakin maju. Selain itu hal ini dapat memberikan gambaran bahwa dalam banyak hal Kerajaan Bugis Bone diliputi oleh rasa ketidakpuasan atas perlakuan Belanda saat ini yang secara paksa yang telah menguasai bidang politikdan ekonomi lewat sejumlah perjanjian.
Pada tahun 1846 timbul perselisihan antara pemerintah Hindia Belanda dengan Kerajaan Bugis Bone sehubungan dengan pernyataan pemerintah menyangkut gelar yang diperuntukan bagi Gubernur Makassar menjadi Gubernur Celebes. Perubahan ini berkaitan erat dengan dicanagkannya pelabuhan bebas di tahun 1846. Konsekwensi dari pernyataan ini adalah terbukanya daerah oleh pihak luar. Pengalaman telah memperlihatkan bahwa orang-orang Inggris selalu berupaya untuk melakukan satu kerjasama dengan kerajaan-kerajaan lain, baik itu berhubungan dengan ekonomi maupun politik, seperti di yang di lakukan oleh James Brooke dalam tahun 1840 dengan Kerajaan Bugis Bone dan Wajo. Oleh karena itu menjelang pelaksaan kebijaksaan pelabuhan bebas, Raja Belanda mengumumkan perubahan gelar Gouferneur Van Makassar (Gubernur Makassar) menjadi Gouferneur Van Celebes En Onderhoorighheden (Gubernur Celebes dan daerah taklukannya) pada bulan November 1846. Di harapkan dengan perubahan gelar ini, tidak saja akan menguntungkan Belanda dari segi politik dan ekonomi, tetapi juga hal itu setidaknya telah menutup kemungkinan pihak lain menanamkan kekuasaannya daerah ini.
Perubahan gelar ini di mata Kerajaan Bugis Bone merupakan suatu hal yang tidak bisa di terima. Perubahan itu dapat di anggap sebagai tanda bahwa Kerajaan Bugis Bone yang ada sekarang ini menjadi bawahan pemerintah Hindia-Belanda. Oleh sebab itu Kerajaan Bugis Bone mengambil tindakan tegas dengan menyatakan kontrak perjanjian yang telah di tandatangani sebelumnya berakhir pada Tahun 1846. Ketidakpuasaan Kerajaan Bugis Bone terhadap pernyataan sepihak yang di lakukan
44
oleh pemerintah Belanda, di wujudkan dengan melarang pedagang-pedangang Bone untuk melakukan transaksi perdagangan dengan Makassar. Larangan ini tidak saja di peruntukan khusus untuk Kerajaan Bugis Bone saja, tetapi juga menyangkut pedagang-pedagang dari Kerajaan Wajo dan Luwu.
Selain itu Kerajaan Bugis Bone juga mencoba untuk mengundang kerajaan-kerajaan yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Bugis Bone, dengan cara mengirim bila-bila kepada beberapa kerajaan yang memiliki hubungan darah dengan Kerajaan Bugis Bone. Tujuannya adalah untuk bersama-sama membangun kekuatan bagi menghadapi Belanda. Tindakan yang di lakukan Kerajaan Bugis Bone mendapat tantangan dari pemerintah Hindia-Belanda, karena melanggar isi perjanjian Bungaya yang di perbaharui 1824.
Dari data perdagangan diketahui bahwa akibat yang kurang bersahabat yang di tunjuka Kerajaan Bugis Bone terhadap pemerintah Hindia-Belanda, juga berpengaruh pelayaran niaga penduduk ke pelabuhan asing, khususnya pelayaran dari Makassar ke Singapura. Jika pada Tahun 1844 di ketahui jumlah perahu dari Sulawesi yang mengunjungi kota pelabuhan sebanyak 110, dan ini tampaknya menurun pada 1860 menjadi 40 perahu, dan kemudiaan meningkat kembali pada Tahun 1837. Berkurangnya para pedang dari Makassar yang mengunjungi Singapura, mungkin di sebabkan banyaknya pedagang yang langsung berkunjung ke Singapura tanpa menyinggahi perlabuhan Makassar.
Hubungan perdagangan yang makin lancar dengan pelabuhan Singapura membuat Makassar semakin merosot. Hubungan dagang secara langsung yang di lakukan orang Bugis tanpa menyinggahi pelabuhan Makasaar sangat merugikan pemerintah Hindia-Belanda. Keadaan yang kurang menguntungkan ini memaksa Gubernur Jendral J.J. Rochussen berangkat sendiri ke Daerah ini untuk melihat lebih dekat apa sesungguhnya yang terjadi. Namun
demikian
apa
yang
hendak
diketahuinya
tidak
membuahkan
hasil
sebagaimana yang diharapkan. Akhirnya ia kembali ke Batavia. Namun demikian, sebelum berangkat pulang, Rochussen membuat sebuah nota yang diserahkan kepada
Gubernur
Makassar
mengenai
wawasan
dan
pendapatnya
tentang
kepentingan-kepentingan perdagangan dan kenegaraan yang perlu di jadikan tuntutan
45
dan petunjuk pelaksanaan. Nota ini kemudian menjadi prinsip dasar dalam penyelesaian masalah Bone. Nota itu berbunyi antara lain : a. Gubernur Jenderal menyetujui secara menyeluruh dasar pemikiran untuk sejauh mungkin tidak mencampuri perselisihan-perselisihan yang timbul dan terjadi diantara raja-raja di Sulsel, karena campur tangan Gubernemen dalam hal tersebut, pada umumnya tidak di dukung dengan kelengkapan dan informasi mengenai situasi yang sedang terjadi, dan senantiasa bertentangan dengan keinginan salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berselisih; campur tangan sedemikian itu biasaanya tidak berguna karena biaya yang harus di keluarkan, tidak di konpensasi oleh Gubernur. b. Perbedaan wawasan antara bekas VOC dan pemerintah Hindia-Belanda harus di anggap sebagai akibat waktu, perubahaan keadaan dan persetujuan antara Nedherland dan Inggris Raya pada persetujuan London 1824, di mana Stelsel monopoli VOC di nyataka hapus selama-lamanya. c. Keuntungan yang segera dapat di petik Inggris dari hapusnya Stelsel monopoli itu, ialah di bukanya sebuah pelabuhan bebas di Ujung Barat kepulauan Nusantara, di mana dengan mudah dapat diturunkan hasil-hasil Bumi dari Indonesia dan di tukar dengan produk-produk Eropa dan Cina; hendaknya jangan di lupakan bahwa pemerintah tidak
mengubris hal tersebut, tetapi
sebaliknya mempertahankan dan mempersulit bea masuk dan bea keluar. d. Tidaklah mengherankan apabila orang-orang Bugis membawa barang-barang daganganya ke Singapura, atau orang-orang asing menjemput barang-barang itu ke pelabuhan-pelabuhan Celebes sehingga perdagangan Makassar menjadi suram, lebih-lebih lagi dengan di keluarkanya larangan perdagangan budakbudak sebagai salah satu komoditi perdagangan yang paling banyak memberikan keuntungan.
Dalam situasi demikian itu dan upaya yang tidak tepat guna untuk dengan segera memperluas kekuasaan, maka satu-satunya jalan untuk menangkal pengaruh dari luar dan menghidupkan serta menguatkan pengaruh kita sendiri ke dalam adalah menyatakan Makassar sebagai pelabuhan bebas/terbuka. Hal ini dimaksudkan agar Makassar dapat kembali menjadi pusat perdagangan seperti sedia kala.
Nota yang ditinggalkan Gubernur Jenderal J.J. Rochussen telah menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil tindakan dalam berhubungan dengan kerajaan-
46
kerajaan local di daerah ini. Meskipun demikian, kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Hindia Belanda bukan berarti membiarkan Kerajaan Bugis Bone beserta sekutu-sekutunya untuk bertindak lebih jauh, yang pada akhirnya akan dapat mengganggu kewibawaan pemerintah Hindia Belanda.
2. Konflik di Pantai Timur Sulawesi
Hubungan antara Kerajaan Bugis Bone dan Belanda tidak menunjukkan kemajuan yang berarti sampai pada tahun 1838. Kesediaan Raja Bone, Arung Panyili untuk memulihkan kembali jabatan to-marilalang kepada Arung Sinri, dan kesediannya untuk ikut serata dalam Perjanjian Bungaya yang diperbaharui pada tahun 1824, telah menimbulkan ketidaksenangan pada sebagian golongan bangsawan di Kerajaan Bugis Bone. Golongan bangsawan di Kerajaan Bugis Bone. Golongan bangsawan Bone yang tidak senang hubungan itu dipelopori oleh Arung Kajuara yang akhirnya menimbulkan perang saudara di Kerajaan Bugis Bone. Namun perang saudara yang terjadi di Kerajaan Bugis Bone dapat di selesaikan dan berkhir pada tahun 1843 dengan kemenangan di pihak golongan yang anti terhadap Belanda. Keadaan yang demikian itu juga mengakibatkan To-marilalang Arung Sinri La Mappangara terpaksa melarikan diri ke Maros.
Setelah kematian Arung Panyili, karena tidak mempunyai keturunan, akhirnya diangkatlah Arung Pugi. Pengangkatan Arung Pugi sebagai Raja Bone telah memperluas lagi golongan yang anti terhadap Belanda, karena Arung Pugi termasuk golongan yang anti terhadap Belanda sebelumnya. Pengaruh dan kekuasaan Bone yang sangat dikekang dengan isi perjanjian Bungaya, telah mendorong Kerajaan Bugis Bone untuk mengalihkan pandangannya pada wilayah pantai Timur Sulawesi, satu wilayah yang secara tradisional sangat dekat dengan Bone. Tidak saja oleh sejarahnya yang panjang, tetapi juga secara geografis wilayah ini penting dilihat dari aspek politik dan ekonomi. Daerah ini sangat strategis bagi perluasan Kerajaan Bugis Bone yang kini kekuasaanya di daratan Sulawesi telah dikekang oleh Belanda lewat perjanjianperjanjian.
Daerah-daerah yang terletak di Pantai Timur Sulawesi sejak dulu memiliki hubungan yang baik dengan Kerajaan Bugis Bone. Pedagang-pedagang Bugis sangat berperan dalam jalur lalu lintas perdagangan di kawasan ini. Peran aktif yang dimainkan oleh
47
para pedagang Bugis menjadikan orang Bugis memiliki pengaruh yang luas. Jabatan Syahbandar tidak sedikit diduduki oleh orang-orang Bugis. Namun seperti diketahui, kehadiran orang Bugis sering menimbulkan ketidakpuasan banyak pihak karena tingkah laku politik yang dimainkannya sering diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak tahun 1840-an, di wilayah ini sering terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan kecil yang mencoba untuk memisahkan diri dari Kerajaan Ternate. Gejolak yang terjadi di daerah tersebut sering kali melibatkan orang Bugis Bone. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di daerah ini dapat dikatakan sebagai akibat kurangnya perhatian yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada kawasan ini. Kurangnya perhatian menyebabkan kewibawaan Belanda yang sebelumnya di bangun lewat kekerasan kini semakin memudar. Bajak-bajak laut yang berkeliaran di perairan ini sangat mengganggu aktifitas perdagangan. Misalnya, ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh raja Tombuku, dua orang bangsawan Bugis, yaitu Daeng Mangkala dan Daeng Palili, terlibat dalam pemberontakan itu.
Menjelang dicanangkannya pelabuhan Makassar sebagai pelabuhan bebas pada tahun 1846, pemerintah Hindia Belanda mulai memperhatikan wilayah pantai Timur Sulawesi. Perhatian tidak saja ditujukan untuk memberantas bajak-bajak laut yang berkeliaran di perairan pantai timus Sulawesi, tetapi juga sehubungan dengan makin meluasnya pengaruh yang dimainkan oleh Bone, terutama dalam hal keterlibatan orang-orang Bugis dalam pemberontakan-pemberontakan yang terjadi dalam wilayah kekuasaan Ternate.
Pada tahun 1846, Raja Banggai telah melalukan pemberontakan untuk melepaskan diri dari kerajaan Ternate. Pemberontakan yang dilancarkan oleh Raja Banggai mendapat bantuan dari beberapa orang Bugis yang diketahui oleh Oewa Mustakim dari Togian serta para kawula dari Moton dan Parigi. Pemberontakan ini merupakan pemberontakan yang ketiga yang dilakukan oleh Banggai. Tindakan yang dilakukan oleh Banggai memaksa Ternate untuk mengambil tindakan bagi menghukum Raja Banggai. Tindakan yang dilakukan oleh Ternate menyebabkan raja Banggai melarikan diri ke Buton, namun kemudian karena tidak begitu merasa aman, akhirnya memutuskan untuk mencari perlindungan ke Kerajaan Bugis Bone. Menurut laporan dari kepala katip Mandon Museng (salah satu bagian dari Kerajaan Banggai) tertanggal 18 November 1848, diketahui bahwa syahbandar di Banggai yang diketahui
48
oleh orang Bugis Bone berusaha untuk menarik para kepala distrik Banggai masuk ke dalam Kerajaan Bugis Bone, dan juga untuk memasukkan wilayah Ternate ke Kerajaan Bugis Bone.
Surat residen Ternate tanggal 10 Desember 1848 menyampaikan beberapa bukti bahwa Raja Bone berulang kali mencoba untuk mendorong Raja Tambuku dan Banggai untuk menjatuhkan Kerajaan Ternate. Hasutan-hasutan yang dilakukan oleh Kerajaan
Bugis
Bone
terhadap
wilayah-wilayah
itu
pada
akhirnya
akan
menguntungkan Kerajaan Bugis Bone sendiri. Pemberontakan Banggai mengundang Belanda untuk memperhatikan wilayah yang terdapat di kawasan ini. Laporan-laporan yang masuk ke Gubernur Celebes telah memberikan keyakinan seolah-olah Syahbandar di Tojo diam-diam dilaksanakan oleh Raja Bone. Keadaan yang demikian ini membuat hubungan Bone dengan Belanda berada dalam ketidakpastian. Untuk itu pada tanggal 30 Desember 1848, Gubernur Celebes mengirim surat kepada Raja Bone bernomor 512/I Z, yang berisi beberapa penjelasan tentang daerah tersebut. Dalam surat itu di jelaskan bahwa : 1. Dalam perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667 yang dimuat pada pasal 17, telah ditegaskan bahwa wilayah-wilayah yang terdapat di teluk Tomini dan di Pantai Timur Sulawesi secara sah berada di bawah wewenang Sultan Ternate. 2. Pada tanggal 7 Juli 1683, sebagai akibat kekalahan Ternate melawan VOC pada tahun 1680, wilayah-wilayah itu diserahkan kepada VOC dan perdamaian dicapai pada tahun 1682. 3. Wilayah-wilayah itu kemudian dipinjamkan kembali kepada Balante, Tomaiki dan Tambuku di Sulawesi dan juga beberapa pulau termasuk Banggai. 4. Belanda tidak mengetahui apakah VOC atau pemerintah Belanda yang berkuasa telah menyerahkan kekuasaan sah atas daerah ini, baik semua atau sebagian, kepada salah satu leluhur Raja Bone ataupun kepada orang lain. Namun perlu ditegaskan bahwa pemerintah Hindia Belanda merasa perlu memberitahukan bahwa guna mempertahankan kekuasaan yang sah atas daerah ini, persahabatan dengan Kerajaan Bugis Bone tetap dapat dijalin dengan syarat bahwa Raja Bone dapat mengakui apa yang terjadi wilayah Belanda dan memerintahkan semua kawula Bone untuk mencegah segala penguasaan atas daerah ini.
49
Meskipun surat Gubernur Celebes tertanggal 30 Desember 1848 telah menjelaskan bahwa Kerajaan Bugis Bone dalam segala hal tidak memiliki kekuasaan atas daerahdaerah yang di tuntutnya, namun Kerajaan Bugis Bone telah memberikan beberapa argumentasi sehubungan dengan tuntutannya. Dalam suratnya tertanggal 2 April 1849 yang di tujukan kepada Gubernur Celebes, secara panjang lebar Raja Bone mengulas tentang hak-hak yang dimilikinya secara tradisional, terutama kerjasama yang dilakukan sewaktu memenangkan perang melawan Kerajaan Gowa yang diakhiri dengan perjanjian Bungaya 1667. Menurut Raja Bone, keududukan Sultan Ternate dengan Kerajaan Bugis Bone adalah sama. Oleh karena itu apa yang diperoleh oleh kerajaan Ternate yang termuat dalam pasal 17 Perjanjian Bungaya 1667, seharusnya juga Kerajaan Bugis Bone termasuk di dalamnya. Hal itu dipertegas kembali bahwa Bone merupakan sekutu tertua dari Belanda.
Surat Kerajaan Bugis Bone yang ditujukan kepada Gubernur Celebes di pandang mengandung hal-hal yang tidak dimengerti. Terdapat dualism dalam pemahaman tentang isi perjanjian Bungaya (1667) dan juga tentang sekutu tertua. Menurut Pemerintah Hindia Belanda, Kerajaan Bugis Bone menuntut terlalu banyak dari apa yang seharusnya diperoleh sehubungan dengan kerjasamanya dengan VOC menjatuhkan Kerajaan Gowa. Pendirian tegas Kerajaan Bugis Bone membuat pemerintah Hindia Belanda mengirim surat sekali lagi ke Kerajaan Bugis Bone. Dalam suratnya tertanggal 13 Juni 1849, No. 167 I Z, pemerintah Hindia Belanda telah enjelaskan sehubungan dengan pasal 17 Perjanjian Bungaya tahun 1667. Dalam surat itu dijelaskan bahwa Pemerintah Hindia belanda tidak memahami apa yang dimaksud oleh Kerajaan Bugis Bone. Keadaan yang demikian ini menyebabkan hubungan Belanda dan Kerajaan Bugis Bone semakin meruncing.
Untuk mengatasi hubungan yang kian meruncing ini, kedua belah pihak menyetujui untuk menyelesaikan masalah itu. Pemerintah Hindia belanda telah menegaskan bahwa tuntutan Kerajaan Bugis Bone sama sekali tidak mendasar dan tidak bisa dipenuhi. Pemerintah Belanda berusaha untuk menyelesaikan masalah ini dengan jalan damai, namun perang dianggap sebagai sesuatu tindakan yang mendesak. Kekuatan laut akan dilaksanakan untuk menjaga agar kekuasaan Belanda dan Ternate di daerah ini dalam keadaan aman, dan akan ditekankan penghindaran gangguan perdagangan Bugis di daerah ini.
50
Hubungan yang kurang baik antara Bone dan Belanda tetap berjalan meskipun keduanya tetap mempertahankan pendirian masing-masing. Pada tanggal 12 Mei 1852 pemeritah Hindia Belanda sekali lagi mengirim surat kepada Kerajaan Bugis Bone. Isi suratnya tetap menekankan bahwa tidak ada gunanya Kerajaan Bugis Bone mempersoalkan kekuasaan di wilayah pantai Timur Sulawesi yang merupakan hak milik yang sah pemerintah Hindia Belanda sesuai dengan Perjanjian Bungaya 1667. Jika hal ini tidak mendapatkan perhatian yang serius dari Kerajaan Bugis Bone, pemerintah Hindia belanda akan bertindak, jika perlu dengan menggunakan kekerasan. Namun desakan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda tidak mengubah sedikitpun pendirian Kerajaan Bugis Bone. Lewat suratnya tertanggal 16 September 1852, 16 Agustus 1853 dan 5 April 1854, Kerajaan Bugis Bone secara tegas mengatakan bahwa Bone dan Bukan Belanda yang berhak atas daerah pantai timur Sulawesi dan pulau-pulau yang terletak di sekitarnya.
Konflik yang muncul antara Bone dan pemerintah Hindia Belanda semakin meruncing dengan munculnya pemukiman-pemukiman baru orang Bugis, terutama di daerah Kaeli, Pantai Selatan Teluk Tomini, dan kepulauan Togian. Menurut Kolonel Van den hart, bekas Gubernur Sulawesi, jika perluasan ini tidak ditanggulangi dengan cepat, pemerintah Hindia Belanda akan mengalami kesulitan yang lebih besar. Menurutnya, pemukiman orang-orang Bugis itu sebenarnya adalah wilayah milik Belanda yang diperoleh karena perang melawan Bone. Pada tahun 1854, ia mengusulkan untuk menaklukan Pare-Pare, Teluk Suppa, Pahu, dan Parigi, serta menempatkan satuansatuan tempur di wilayah tersebut. Penguasaan daerah ini tidak saja sebagai upaya untuk memblokade Kerajaan Bugis Bone, tetapi juga karena daerah-daerah ini merupakan daerah yang sangat potensi dari segi ekonomi. Menurut Van den Hart, Celebes pada masa itu menghasilkan pertahunnya 100 ribu pikul kopi yang berasal dari derah-daerah Bone, Wajo, Gowa, Bantaeng, Mandar, Sidenreng, yang hamper seluruhnya mengalir ke Singapura. Selain itu ditekankan pula bahwa Residen Manado dalam laporannya mengatakan, bahwa daerah-daerah pesisir Teluk Tomini dan kepulauan Togian menghasilkan emas, penyu, teripang, kain cita, tembakau, sagu, lilin, sarang burung, dan lain sebagainya. Hasil-hasil seluruhnya dikirim ke Singapura dan ditukarkan dengan alat-alat dari besi, senjata, dan bahan peledak yang kesemuanya itu menghidupkan perdagangan antara Inggris dan Tana Bugis.
51
Mengenai maslah wilayah tersebut, Kerajaan Bugis Bone bersikeras bahwa daerahdaerah itu secara tradisional menjadi milik Kerajaan Bugis Bone. Namun demikian tekanan-tekanan yang demikian kuat dari Belanda membuat Kerajaan Bugis Bone tidak berdaya sama sekali. Di samping yang dibicarakan di atas, pada bulan Februari 1852 muncul ketegangan antara Raja Bone Arung Pugi dan pemerintah Hindia Belanda sehubungan dengan matinya Daeng Magassing pada tanggal 12 Februari 1852. Pada tahun1847 Daeng Magassing, pamong Bonerate yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Bugis Bone, ditangkap karena dituduh bekerjasama dengan perompak-perompak laut. Letnan Satu Du Cloux berangkat ke Bonerate untuk menyelidiki hal itu. Penyelidikan yang dilakukan tidak mendapatkan keterangan yang berarti. Oleh karena itu Daeng Magassing dibebaskan. Dalam bulan Oktober 1851 Daeng Magassing kembali ditahan atas tuduhan bahwa ia terlibat dalam perampokan yang terjadi di Bawean. Ia kemudian di bawa ke Makassar untuk penyelidikan lebih lanjut. Dalam penyelidikan yang dilakukan terhadap Daeng Magassing ternayata tidak dapat dibuktikan bahwa ia terlibat dalam perampokan itu. Oleh karenanya untuk penyelidikan lebih lanjut ia dibawa ke Surabaya. Tindakan yang dilakukan oleh Belanda ini menimbulkan kemarahan Raja Bone. Tindakan yang dilakukan oleh Belanda dianggap sebagai suatu penhinaan bagi Kerajaan Bugis Bone. Akhirnya Belanda memutuskan untuk membebaskan Daeng Magassing. Namun sebelum dibebaskan, Daeng Magassing secara misterius meninggal dalam penjara. Meskipun pemerintah Hindia Belanda telah menyatakan rasa penyesalannya dan meminta maaf atas kejadian tersebut, namun Raja Bone sangat terpukul mengenai kejadian ini.
Selain persoalan di atas, hubungan antara pemerintah Hindia Belanda dan Kerajaan Bugis Bone juga di nodai dengan pengibaran bendera Belanda yang dilakukan secara terbalik diwilayah Kerajaan Bugis Bone. Berita tentang pengibaran bendera Belanda secara terbalik pertama kali di sampaikan oleh Ramberge, utusan pemerintah Belanda yang membawa sepucuk surat untuk Raja Bone pada bulan Oktober 1855. Selama mengadakan pembicaraan yang dilakukan di Palatte, sebuah pulau yang terletak di teluk Bone, ia melihat banyak kapal-kapal yang berlayar di perairan Bone yang mengibarkan bendera Belanda secara terbalik yang menurut informasi yang diterimanya dilakukan atas anjuran Arung Pugi. Hal ini disampaikan kepada pemerintah Hindia Belanda di Makassar. Berita yang sama mengenai pengibaran bendera yang dilakukan secara terbalik juga disampaikan oleh Ince Jaya.
52
Pada tahun 1856, Ince Jaya, seorang kurir dan juga sekaligus seorang zending, diutus ke Kerajaan Bugis Bone untuk membawa sepucuk surat sehubungan adanya keputusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 6 Agustus 1856, No. 43, yang berisi tentang masuknya Kerajaan Tello dalam kekuasaan Belanda. Namun pada waktu yang bersamaan, terlebih dahulu ada seorang kurir dari Buton yang sedang beraudiensi dengan Raja Bone. Oleh karena itu Ince Jaya harus menunggu sampai utusan Buton itu kembali. Ince Jaya pada tanggal 22 November 1856 tiba di Kerajaan Bugis Bone dan baru diberi waktu untuk menghadap pada tanggal 18 Desember. Waktu yang cukup lama, yaitu dari tanggal 22 November sampai tanggal 18 Desember, oleh pemerintah Belanda dianggap sebagai suatu penghinaan bagi Belanda. Selain itu hal ini dapat berarti bahwa Pemerintah Hindia Belanda sama sekali tidak memiliki hak di Kerajaan Bugis Bone.
Sebagai satu bangsa besar yang sejak lama telah menanamkan kekuasaannya di daerah ini, pemerintah Belanda merasa sangat dilecehkan dengan adanya beritan tentang bendera Belanda yang dikibarkan secara terbalik di perairan “Teluk Bone”. Hal itu memicu Belanda untuk mengambil tindakan tegas terhadap Kerajaan Bugis Bone yang dinilai telah menjatuhkan kewibawaan dan martabat pemerintah Belanda. Gubernur Makassar, kolonel De Brauw mengajukan satu usul untuk melancarkan satu agresi militer untuk melancarkan satu agresi militer untuk menghukum Kerajaan Bugis Bone, mengusir Raja Bone dan mengangkat Arung Palakka sebagai raja.
3. Persiapan agresi Militer
Perang dingin yang muncul antara Kerajaan Bugis Bone dan Belanda tampaknya kini semakin panas. Tingkah laku politik yang dimainkan oleh Kerajaan Bugis Bone dianggap oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai sesuatu yang membahayakan. Hal itu tidak saja dipandang sebagai ujian terhadap kewibawaan Belanda, tetapi juga dipandang sangat merugikan kepentingan ekonomi pemerintah Hindia Belanda. Blokade perdagangan dan larangan berdagang orang Bugis ke Makassar yang diterapkan oleh Kerajaan Bugis Bone sangat memukul pendapatan pemerintah Hindia Belanda. Selain itu sikap yang ditunjukkan oleh Bone dalam hal, seperti yang diuraikan terdahulu, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil tindakan tegas. Untuk mengatasi jangan sampai hal-hal tersebut berlanjut tanpa terkendali, pemerintah
53
Hindia Belanda mencanangkan satu kebijaksanaan untuk melakukan agresi militer ke Kerajaan Bugis Bone, sekutu tertua pemerintah Hindia Belanda di daerah ini.
Berita pengibaran Belanda yang dilakukan secara terbalik di perairan Bone telah menimbulkan kemarahan pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Mr. duymaer van Twist telah mengambil langkah-langkah untuk menanggapi usulan van Brauw dengan mengajukan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : 1. Seandainya Kerajaan Bugis Bone merupakan sekutu dan bukannya seorang raja yang bertahta di atas wilayah yang dipinjamkan kepadanya oleh pemerintah Hindia Belanda,
yang
menolak
mempermalukan pemerintah,
mempertanggungjawabkan maka
pernyataan
perang
tindakan-tindakannya dapat
diumumkan
kepadanya secara terbuka, tetapi untuk menurunkannya dari tahta Kerajaan Bugis Bone harus dikalahkan dengan ekspedisi militer. 2. Apabila disepakati untuk mnegadakan ekspedisi, maka suatu perubahan secara sederhana terhadap Perjanjian Bungaya tahun 1824 tidak dapat diterima, tetapi apabila keadaan menghendaki tuntutan yang lebih banyak maka akan diminta ganti rugi dalam bentuk daerah kekuasaan atas biaya yang telah dikeluarkan selama peperangan berlangsung. Selanjutnya apabila diadakan perjanjian baru maka haruslah dituntut, melepaskan dengan segera semua hak atas wilayah-wilayah yang terletak di Teluk Tomini. 3. Memasukkan Arung Palakka, yang telah menyeberang memihak Bone, ke dalam ekspedisi militer, adalah suatu kebijakan yang kurang waspada karena sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa sekutu macam itu itu oleh setiap rakyat Bone dianggap sebagai pengkhianat. Atas pertimbangan yang dikeluarkan tersebut, komandan Angkatan Darat pemerintah Hindia Belanda dalam bulan Januari 1857 telah mempersiapkan dua batalion infantri, satu kompi kavaleri, setengah Bateri artileri medan, setengah Bateri artileri gunung, satu kompi tentara campuran dan 1000 kuli.
Persiapan untuk melancarkan agresi ke Kerajaan Bugis Bone terhalang karena timbulnya gejolak perlawanan di Palembang, Pantai Barat Borneo, Bali, Timor dan perhatian yang lebih besar yang harus ditumpukan pada Pulau Jawa. Meskipun agresi Belanda terhadap Kerajaan Bugis Bone gagal dilaksanakan, namun berita mengenai rencana tersebut telah diketahui luas. Kerajaan Bugis Bone mencoba menggalang kerajaan-kerajaan lain memiliki ikatan kekerabatan dengan Kerajaan Bugis Bone.
54
Kerajaan Soppeng, Wajo dan Luwu berjanji akan membantu dengan seluruh kekuatan jika Bone diserang.
Setelah kematian Raja Bone Arumpugi pada tanggal 14 Februari 1857, Dewan Ade Pitu Kerajaan Bugis Bone sepakat melantik istrinya, Besse Kajuara (janda Arumpugi) untuk menggantikannya. Pada masa pemerintahan Arumpugi, sudah tampak gejala tentang ketidaksenangan para penguasa di Kerajaan Bugis Bone terhadap orang Belanda. Penggantian itu memberi harapan pada Belanda bahwa hubungan yang kurang harmonis ini mungkin dapat diperbaiki. Namun, harapan itu tampaknya tinggal harapan. Konflik antara keduanya tidak mereda, bahkan menunjukkan instensitas yang tinggi. Besse Kajuara malah memperlihatkan sikap lebih keras pada pemerintah Hindia Belanda. Kapal-kapal yang melayari daerah Kerajaan Bugis Bone diinstruksikan untuk mengibarkan bendera Belanda dalam keadaan terbaik.
Sewaktu Gubernur Sulawesi dan Daerah taklukan mengadakan perjalan dinas ke selayar, Bulukumba, dan Bantaeng, disampaikan berita bahwa Besse Kajuara telah menginstruksikan agar semua kapal layar yang berlayar dalam wilayah kekuasaanya diwajibkan untuk mengibarkan bendera Belanda secara terbalik. Setelah diadakan penelitian dan mengintrogasi beberapa orang kepala wanua dan para pedagang hal itu terbukti benar. Sehubungan dengan hal itu Pemerintah Belanda mengirim sepucuk surat kepada Ratu Bone pada tanggal 4 Desember 1857 untuk meminta penjelasan sehubungan dengan persoalan tersebut. Surat itu dibawa oleh kurir Ince jaya, dan dari hasil pembicaraan sehubungan dengan bendera tersebut diketahui, bahwa perintah itu berlaku bagi semua kapal yang melewati perairan kekuasaan Kerajaan Bugis Bone. Di akhir pembicaraan mengenai hal tersebut, Ratu Bone menitipkan pesan kepada Gubernur Sulawesi bahwa cara yang digunakan di Kerajaan Bugis Bone adalah urusan dalam negeri Kerajaan Bugis Bone. Mengenai tindakan itu tidak ada yang berhak untuk mencampurinya.
Hasil pembicaraan Ince Jaya dengan pembersar Kerajaan Bugis Bone disampaikan kepada Gubernur Sulawesi. Pemerintah Hindia Belanda terpukul dan terhina atas ucapan dari Ratu Bone. Namun, pemerintah Hindia Belanda tidak mempunyai bukti karena hasil pembicaraan itu disampaikan secara lisan. Oleh karena itu, Pemerintah Hindia Belanda mengirim sepucuk surat lagi untuk menanyakan apakah yang
55
disampaikan oleh Ince Jaya itu benar dan juga untuk mendapatkan jawaban sehubungan dengan peristiwa bendera di Teluk Bone.
Surat kedua dari Gubernur Sulawesi tidak lagi diantar oleh Ince Jaya tetapi oleh Ramberge. Pada tanggal 25 Agustus 1858 Kerajaan Bugis Bone menbalas surat tersebut. Dalam jawaban tersebut Ratu Bone mengatakan bahwa ia tidak tahu menahu tentang bendera tersebut, namun jawaban yang diterima tidak memuaskan Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 13 November 1858 memutuskan untuk mengadakan rapat staf guna memberikan saran mengenai kekuatan tempur yang diperlukan, karena kekuatan yang ada di Makassar tidak mencukupi, yang akhirnya diputuskan untuk mendatangkan pasukan dari Jawa.
Pada tahun 1858 terjadi sengketa antara Baso Batu Puteh (penguasa di Mario-riWawo dan Datu Bakka, bekas suami Datu Tanete). Sengketa ini diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk diselesaikan, yang kemudian di menangkan oleh Datu Bakka. Baso Batu Puteh kemudian meminta bantuan Kerajaan Bugis Bone untuk menyerang Datu Bakka. Tindakan yang dilakukan Bone menimbulkan kemarahan bagi pemerintah Hindia Belanda. Belanda menganggap bahwa Bone telah menganggu kewibawaan pemerintah Hindia Belanda.
Agresi militer Belanda tahun 1859-1860 dilakukan dalam dua tahapan. Tahap pertama dilakukan dalam di bawah pimpinan Mayor Jenderal Steinmetz dan wakilnya Kolonel Inf. Waleson serta P.J.B. de Perez sebagai Komisaris urusan Celebes. Selain kekuatan tempurnya didapatkan oleh sekutu-sekutu Belanda yang ada di daerah ini, juga disiapkan dari Pulau Jawa. Agresi militer ini dilakukan untuk menghancurkan Kerajaan Bugis Bone yang dianggap sering membangkang dan membuat ulah. Agresi ini terdiri atas : 1. Angkatan darat yang terdiri atas infantry batalion ke-3 di bawah pimpinan Mayor Kloesmeijer, infantri batalion ke-10 di bawah pimpinan Letnan Kolonel Smits dan batalion ke-14 di bawah pimpinan Mayor Belle. Selain itu juga dilengkapi dengan satu skuadron kavaleri di bawah pimpinan Ritmeester Royen, separuh meriam 6 pon (dua kanon dan 3 howitser dan separuh meriam 3 pon) dua kanon dan dua hotwitser dan dilengkapi dengan empat mortir tangan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Kellerman, satu kompi sappeurs. Dan satu seksi perakit di bawah Kapten Versteeg.
56
2. Angkatan Laut terdiri dari satu buah Korvert Medusa, dan delapan kapal uap dan tiga kapal layar. Selain itu dipersiapkan juga satu detasemen mariner, enam perahu cepat yang berkekuatan 200 marinir dan kalasi yang dipersiapkan untuk operasi darat. Untuk angkutan pasukan, bahan-bahan kebutuhan, amunisi, kuli dan sebagainya di sewa 20 buah kapal dagang, 12 buah perahu mayang dan delapan tongkang dengan awaknya untuk keperluan transportasi. Agresi militer untuk penaklukan Bone diberangkatkan dari Batavia pada tanggal 11 Januari 1859. Batalion ke-3 dan ke-10 meninggalkan semarang pada tanggal 13 Januari 1859, sedangkan batalion ke-14 meninggalkan Surabaya pada tanggal 20 Januari tahun yang sama. Kapal Prinses Amalia dari angkatan Laut yang dijadikan kapal komandan telah lebih dahulu meninggalkan Surabaya, yaitu pada tanggal 12 Januari 1859. Tujuan pertama mereka adalah mendarat di Bantaeng.
Perjalanan mereka tidak berlangsung dengan mulus. Kapal Princes Amalia terpaksa bersandar di Madura untuk menurunkan sebagian angkutannya karena cuaca yang tidak menguntungkan. Musim hujan dan gelombang yang cukup besar ternyata menghalangi perjalanan kapal ini. Sebagian dari muatannya dipindahkan ke atas kapal Gedeh, Phoenix dan Groningen. Kapal ini kemudian tiba di Makassar pada 19 Januari 1859.
Agresi militer Belanda secara berturut-turut muali memasuki Teluk Bantaeng antara 22 Januari sampai 3 Februari. Kapal perang Princes Amalia tiba keesokan harinya, dan sehari kemudian berlabuh pula kapal perang Gedeh. Pada tanggal 25 Januari tiba kapal perang Admiral van Kinsbergen dan Rembang. Pada tanggal 26 Januari tiba kapal rumah sakit Arcadia dan Onderkerk Amstel serta kapal-kapal perbekalan Waterloo dan Neptunus. Pada hari yang sama juga merapat kapal perang Groningen yang menyeret kapal angkut Electra dengan muatan kuda-kuda kavaleri. Seluruh kapal untuk agresi ke Kerajaan Bugis Bone seluruhnya telah memasuki Teluk Bantaeng pada 3 Februari 1859. 4. Penyerangan Ke Kerajaan Bugis Bone
a. Penyerangan di awal tahun 1859 Sehari sebelum pemberangkatan pasukan Belanda yang di pimpin oleh Kolonel Waleson untuk mengadakan pengintaian kekuatan lawan di Sinjai, pimpinan agresi ke
57
Kerajaan Bugis Bone, Mayor Jenderal E. Steinmentz telah mengeluarkan perintah hariannya sebagai berikut : “officeren, onderofficeiren en manschappen!”De koningin van Boni heft Nederland’s souvereiniteit op Celebes aangerand, de afgevaardingen der regeering op eene beledingende wijze ontvangen en onze nationale vlag gehoond. “Voor dit alles zal van haar genoegdoening geeischt, en zij, ingeval
van
weigering
der
haar
gestelde
voor
warden,
tot
die
genoegdoening gedwongen worden. “benoemd tot commandant en chef van de te Celebes aan wegize troepen en van de krijgsmacht, die tot dat einde voor Bonthain vereenigd is, heb ik het bevel daarover heden aanvaard. “gegeven ter reede van Bonthain aan boord van Z.M. stoomschip, ‘Amsterdam den 24 Januari 1859. De General Majoor Commandant en chef der Bonische expeditie (w.g.) E. Steinmentz
Terjemahan Bebas : “perwira, Biantara dan Prajurit! “Ratu Bone telah merusak kedaulatan pemerintah Belanda di Celebes, menerima utusan-utusan pemerintah dengan cara-cara yang menghina, dan membalik bendera kebangsaan Belanda. “Untuk semua ini akan diminta pertanggungan jawab dan apabila semua
persyaratan
yang
diajukan
kepadanya
di
tolak,
maka
pertanggungan jawab itu akan dipaksakan. “Diangkat sebagai komandan dan Kepala Ekspedisi serta satuan tempur yang ada di Celebes yang kini menyatu di teluk Bantaeng, pemerintah itu kini saya laksanakan. “Dikeluarkan di Teluk Bantaeng di atas kapal Perang “zm. Amsterdam, tanggal 24 Januari 1859. Major Jenderal Komandan dan Pimpinan Ekspedisi bone E. Steinmentz.
Keesokan harinya, 25 Januari 1859, Kolonel Waleson bersama dengan kapal-kapal “Johanna Gertruida”. “Elizabeth”, “Alblaserdam” (kapal ini mengangkut batalion III infantri), kapal perawatan medis “Arcadia”, dan kapal Vivres, kapal perbekalan “Neptunus” meninggalkan Bantaeng. Kepada Kolonel Waleson ditugaskan untuk mengadakan pengintaian, terutama atas kekuatan musuh yang ada di Sinjai namun 58
diingatkan untuk tidak boleh memancing pertempuran terhadap Bone sebelum adanya pernyataan perang. Ada dua hal yang di harapkan dengan pengintaian ke daerah Sinjai. Pertama untuk mendapatkan kepastian bahwa semua kapal angkut dapat tiba di teluk Bone tanpa mengalami hambatan. Kedua adalah agar Kerajaan Bugis Bone tidak mengetahui secara pasti sasaran serangan (Sinjai atau Bone), sehingga Kerajaan Bugis Bone harus memecah kekuatan tempurnya untuk mengawasi kedua tempat tersebut.
Setelah seluruhnya berjalan lancar dan sesuai dengan perkiraan semula, seluruh pasukan Belanda bertolak meninggalkan Bantaeng, dan seluruhnya telah tiba di Sinjai pada 3 Februari. Keesokan harinya, tanggal 4 Februari konvoi pasukan ini bergerak kearah Utara menuju BajoE. Setelah melewati perjalanan kurang lebih dua hari, agresi yang dipimpin oleh E. Steinmentz tiba di pelabuhan BajoE pada 6 Februari. Setibanya di pelabuhan BajoE pasukan Belanda melakukan pengintaian dan mengutus utusan kepada Raja Bone dengan membawa surat yang berisi ultimatum itu berbunyi sebagai berikut : 1. Menuntut supaya Arumpone beserta pembesar-pembesarnya meminta ampun kepada wakil pemerintah Hindia Belanda atas tindakan-tindakan mereka yang anti Belanda dan supaya Ratu Belanda sebagai Rajanya yang tertinggi. 2. Agar pemerintah dan rakyat Kerajaan Bugis Bone mengibarkan bendera Belanda dan menghormatinya dengan 21 kali tembakan meriam bilamana Mayor Jenderal Steinmetz sebagai wakil pemerintah Hindia Belanda mendarat di BajoE dan sampai di Watampone, ibukota Kerajaan Bugis Bone. 3. Supaya Ratu bersama Dewan Pemerintahannya (Arung PituE) menandatangani perjanjian Bungaya yang telah diperbaharui pada tahun 1824. 4. Ratu Bone diberi waktu 3 X 24 jam untuk menjawab dan menerima tuntutan.
Ultimatum yang diberikan Belanda ternyata tidak menggoyahkan pendirian Kerajaan Bugis Bone. Hal ini di pandang sangat mengecewakan, dan berarti pula bahwa apa yang dilakukan Kerajaan Bugis Bone selama ini dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Berdasarkan hasil pengintaian yang dilakukan oleh pihak Belanda diputuskan untuk melakukan pendaratan di BajoE. Strategi yang dicanangkan adalah pertamatama mengusahakan agar pasukan Kerajaan Bugis Bone terbagi dua kekuatannya. Oleh karena itu sebagian armada Belanda berlayar ke BajoE dan lainnya bergerak ke arah Tanjung Pattiro. Setelah batas waktu ultimatum itu tidak di gubris oleh pihak
59
Kerajaan Bugis Bone, maka pada tanggal 11 Februari perang dilancarkan. Taktik yang digunakan oleh Belanda ternyata telah mengecoh sebagian dari Laskar Kerajaan Bugis Bone, sehingga kekuatan Bone kini terpecah dua, dan sebagian besar dari pasukannya dikerahkan ke Patirro. Akibatnya pendaratan yang dilakukan di BajoE berjalanlancar, kampong-kampung yang berada disekitarnya dengan mudah direbut. Dalam peristiwa ini korban yang jatuh dari pihak Belanda sebanyak satu orang kelasi Eropah tewas, masing-masing satu kelasi Eropa dan satu orang kelasi pribumi terluka.
Setelah menaklukan Bajoe, pemerintah Hindia Belanda mendirikan perkemahan sebagai basis untuk melakukan penyerangan selanjutnya. Antara tanggal 12 sampai dengan 15 Februari, dilakukan lagi pengintaian untuk merebut Watampone, pusat Kerajaan Bugis Bone. Penyerangan terhadap Watampone dipimpin langsung oleh Mayor Jenderal Steinmetz, yang memutuskan untuk bergerak ke barat daya dan setelah itu ke barat laut untuk mendobrak dari belakang ibukota Bone. Penyerangan yang dilakukan oleh Steinmetz tampaknya kurang berhasil. Pengintaian yang dilakukan sebelumnya ternyata tidak tuntas, karena rintangan alam tampkanya banyak yang menghambat
majunya
pasukan
Belanda.
Meskipun
tidak
banyak
mendapat
perlawanan karena pasukan Bone melangkah mundur ketika pasukan bergerak maju, namun pasukan Belanda menemui banyak rintangan alam, terutama payau-payau yang ditamani dengan pohon jagung. Laskar-laskar Kerajaan Gowa yang mengenal medan pertempuran dan taktik perang gerilya yang dilakukan, memaksa Belanda untuk menggerakkan segala kemampuannya, terutama dengan penambahan personil perang. Satu persatu kampung-kampung yang berada di sepanjang perjalanan menuju kota Watampone jatuh ketangan Belanda. Serdadu-serdadu Belanda beserta sekutunya-sekutunya merampok dan membakar
kampong-kampung yang berhasil
diduduki. Persenjataan yang lengkap dan taktik perang yang jitu yang diterapkan Belanda memaksa laskar-laskar Bone mundur ke Kampung Lona. Pertempuran yang terjadi di Lona menunjukkan keunggulan Belanda, karena perang berakhir dengan kekalahan pihak Bone. Kampung Lona dibumi hanguskan. Dalam perang yang terjadi ini Letnan I Infantri van Wielik Scjhelhout, seorang kopral bangsa Eropa, seorang serdadu Eropa dan enam serdadu bumiputera meninggal, sedangkan yang luka-luka adalah Letnan I Kavaleri van Der Heijde dan 11 orang bawahannya.
Di medan pertempuran lainnya, yaitu di Cenrana pasukan Belanda berhasil menduduki wilayah ini dengan berhasil perlawanan dari kekuatan Bone. Pasukan Bone menderita
60
kerugian yang besar dan harus meninggalkan meriam besar. Pada pihak Belanda dua orang meninggal dan Sembilan yang lainnya menderita luka-luka, termasuk Letnan Laut Gravenhorst. Meskipun berhasil menduduki Cenrana, namun serangan mendadak yang dilakukan oleh pasukan Bone sangat merepotkan Belanda. Medan perang yang belum dikenal benar menjadi kendala lain bagi pasukan Belanda untuk memaksa Raja Bone mematuhi ultimatum yang telah diberikan. Untuk menjaga kemungkinankemungkinan yang tidak diinginkan diputuskan untuk membangun satu benteng di Sungai Cenrana, yang kemudian tidak jadi dilakukan karena aliran sungau yang sempit kelak akan menghalangi masuk keluarnya kapal-kapal kecil. Akhirnya diputuskan untuk membuat benteng di BajoE, tempat yang dijadikan basis pertahanan dalam penyerangan ke Watampone.
Dari sinilah pasukan Belanda memulai penyerangan terhadap pusat pemerintahan Kerajaan Bugis Bone di Watampone. Penyerangan itu di awali dengan tindakan penghacuran daerah-daerah pinggiran. Dalam pelaksanaannya pasukan Belanda terlibat dalam kontak senjata yang dahsyat yang di kampung Malu. Ketika pasukan Belanda bertemu dengan pasukan Bone yang berjumlah kurang lebih 2000 orang. Pada pertempuran itu pasukan Kerajaan Bugis Bone terdesak mundur dan diporakporandakan oleh pasukan Beland, sehingga pihak Belanda dapat menata strategi pengepungan Watampone dari arah barat laut dan barat daya. Penguasaan kota malu oleh pasukan Belanda melapangkan jalan untuk menyerang kota Bone dengan perkiraan bahwa perlawanan-perlawanan yang kurang berarti yang dihadapi Belanda merupakan taktik yang dilakukan oleh Bone untuk menghimpun tenaga demi mempertahankan pusat kota. Oleh karena itu Kolonel Waleson memerintahkan pasukan artileri untuk menembaki pusat kota Bone. Namun setelah beberapa kali penembakan, dan gerak maju pasukan Belanda tidak mendapatkan perlawanan, diketahui bahwa perbentengan Kerajaan Bugis Bone telah ditinggalkan, dan tanpa perlawanan yang berarti kota Bone diduduki Pasukan Bone telah meninggalkan ibu kota, dan dengan mudah pasukan Belanda membakar kota Bone tidak terkecuali masjid. Setelah menghancurkan kota Bone pasukan Belanda kembali ke benteng mereka di BajoE. Kerugian yang diderita dalam Penyerangan ini tercatat berjumlah 15 orang (tewas dan luka). Untuk menghukum Bone, rakyat Bone dipaksa untuk membangun benteng dengan maksud dapat diselesaikan sebelum musim hujan. Jika ini dapat dilakukan maka pekerjaan ini dianggap berhasil dan agresi dapat ditarikl kembali. Namun demikian perkiraan Kolonel Waleson ini tidak sejalan dengan
61
pemikiran pejabat teras Belanda yang ada di Makassar dan di Batavia. Kepada Kolonel Waleson diberitahukan lewat surat yang diterima pada tanggal 10 April, bahwa tidak ada penarikan pasukan sebelum adanya keputusan politik. Keputusan ini berarti bahwa pasukan Belanda harus tinggal lebih lama lagi di Bajoe untuk merampungkan benteng pertahanan. Setelah benteng yang dibangun selesai pada tanggal 11 April 1859, pasukan agresi Belanda yang dipimpin oleh Kapten Reukeno ditugaskan untuk tetap tinggal di benteng sampai adanya keputusan politik yang pasti.
Kondisi alam yang tidak bersahabat, musim hujan yang mulai tiba, menyebabkan kondisi kesehatan pasukan Belanda mulai terganggu. Wabah penyakit seperti kolera, disentri dan demam yang menyerang pasukan Belanda tidak saja menyebabkan kematian yang cukup banyak pada pihak Belanda, tetapi juga melemahkan tenaga pasukan. Akibat kondisi yang demikian ini, pasukan Belanda tidak lagi mengadakan penyerangan untuk menuntaskan misinya seperti dikehendaki oleh pemerintah pusat Hindia Belanda. Dalam keadaan yang demikian ini, agresi yang dilakukan oleh Kolonel Steinmetz dianggap gagal. Serangan-serangan balik yang dilakukan oleh Kerajaan Bugis Bone merepotkan Belanda. Segala penjuru Kerajaan Bugis Bone di kepung, baik dari utara maupun dari selatan. Pasukan dari Makassar dengan jumlah sebanyak 500 orang bertugas memasuki daerah Bone. Pasukan ini dipimpin oleh komando Mayor Ardesch yang terdiri atas 100 orang Eropa dari battalion zeni Celebes dan Manado, kompi keempat dan kelima dari battalion pribumi, satu kesatuan artileri yang terdiri atas satu perwira dan 23 orang untuk melayani dua pelempar mortar dan Sembilan anggota kavaleri.
Usaha keras yang dilakukan oleh Belanda terhambar oleh kondisi alam yang tidak bersahabat. Selain karena kedudukannya secara geografis amat sulit untuk ditundukkan lewat selatan, dengan datangnya musim hujan, Belandan mengalami kesulitan untuk melakukan serangan. Musim hujan menyebabkan keadaan kesehatan pasukan Belanda sangat memperihatinkan, ditambah pula dengan merebaknya wabah penyakit kolera. Keadaan itu melandasi keputusan yang ditetapkan pada bulan April yang memutuskan untuk meninggalkan Bajoe dan kembali ke Makassar. Sewaktu diadakan insfeksi pada tanggal 26 Mei, terbukti bahwa kekuatan agresi militer Belanda tinggal 210 pasukan, pasukan ini lemah dan letih sehingga tidak mungkin bias bertempur lagi. Pada battalion ke-14, terbukti kondisi kesehatannya tidak jauh berbeda.
62
Oleh karena itu, diputuskan untuk menggantinya dengan mengirim kompi Afrika dari battalion 2 yang berkekuatan 100 orang Eropa dan 200 pribumi dari Semarang.
Sepeninggal pasukan Belanda, keadaan di Bone dan daerah-daerah sekitarnya bergolak. Terjadi kerusuhan di Tanete, Mario-riwawo, Soppeng, Lamuru, Wajo dan daerah-daerah yang terletak di bagian Selatan. Kekacauan yang terjadi ini merupakan perwujudan dari solidaritas yang dilakukan olehkerajaa-kerajaan Bugis lainnya atas agresi militer yang dilakukan oleh Belanda terhadap Bone. Akibatnya, Belanda terpaksa mencegah serangan-serangan dari daerah utara, sehingga untuk sementara serangan terhadap Kerajaan Bugis Bone ditangguhkan. 5. Penyerangan di Akhir Tahun
Serangan yang dilakukan di awal tahun 1859 ternyata tidak menghasilkan satu putusan politik yang pasti bagi Belanda. Keadaan cuaca dan wabah penyakit menjadi satu kendala yang sangat berarti, sehingga serangan militer yang sudah di persiapkan dengan matang menjadi gagal. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyusun satu kekuatan baru untuk menuntaskan tugas yang belum selesai ini.
Pada 3 November 1859, tiba di Makassar armada dan pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Jenderal jan van Swieten, komandan Indische leger dan kepala stafnya Mayor Inf. Staring. Pasukan yang dikirim terdiri atas (angkatan darat) battalion 4 yang dipimpin oleh Mayor Kroesen, batalion 11 dipimpin oleh Mayor Jalink, dan batalion 5 oleh Mayor Heisterkamp. Pasukan ini juga dilengkapi dengan batalion Garsinum Celebes dan Manado. Kesatuan Kavaleri terdiri dari pasukan kavaleri Salatiga dan pasukan kavaleri Celebes yang dipimpin oleh Mayor Wolff. Selain pasukan angkatan darat, agresi militer ini juga dilengkapi dengan kekuatan angkatan angkatan laut yang terdiri atas kapal uap Gadeh, Admiral van Kinsberger, Madura, dan juga Phoenix, korvet uap Madusa, kapal uap baling-baling Sumbing dan Bali. Korvet Rembang Padang, dan Lansier.
Selain pasukan Belanda, agresi ini mendapat bantuan dari Arung Palakka yang berhasil meloloskan diri dari Pasempa bersama-sama pengikutnya ke Makassar untuk menemui wakil pemerintah Belanda. Dari pihak pasukan Arung Palakka dipersiapkan sejumlah 200 orang pengikutnya. Pada tanggal 19 November 1859, pasukan Belanda
63
yang dipersiapkan di Bulukumba diberangkatkan menuju daerah Kajang dan Sinjai. Penguasaan daerah Kajang dan Sinjai dari segi geografis di pandang perlu demi mempersempit wilayah penyerangan atas Kerajaan Bugis Bone. Seperti yang telah dilakukan agresi militer pada tahun 1825. Pada tahun itu, diketahui bahwa Sinjai merupakan sekutu daki Kerajaan Bugis Bone, dan Bone memiliki pengaruh yang besar di wilayah tersebut. Penaklukan Sinjai setidaknya dapat mengurangi bantuan bantuan kepada Kerajaan Bugis Bone. Oleh karena itu, pasukan agresi militer ke Bone ini menempuh jalan darat menuju Sinjai. Seteleah daerah Sinjai, pengawasan selanjutnya atas daerah ini diserahkan kepada Arung Palakka. Pasukan Belanda terus bergerak untuk menduduki pusat-pusat terpenting Kerajaan Bugis Bone yang berada di daerah perbukitan yang dianggap sangat kuat.
Setelah menguasai Sinjai, pasukan Belanda kemudian menuju Bajoe dan menguasai daerah tersebut. Pada 6 Desember 1859 pasukan Belanda dipersiapkan untuk menyerang Watampone. Dalam penyerangan ke Watampone, pasukan agresi ini mendapat perlawanan yang seru dari laskar Bone. Tidak jarang terjadi pertempuran satu lawan satu. Orang Bugis yang dianggap gagah berani telah memberikan perlawanan yang cukup berarti kepada Belanda. Berkat persenjataan yang lengkap, disertai taktik perang yang jitu, tampaknya keberanian bukan jaminan untuk memperoleh kemenangan. Pasukan Belanda dengan tiga kompi dari batalion 4 di bawah pimpinan Kapten van Ons, berhasil mengusir keluar laskar Kerajaan Bugis Bone. Pertempuran seru ini menelan korban Mayor Kroesen, yang kemudian di kebumikan di Palakka. Selain Mayor Kroesen, gugur juga putra mahkota Kerajaan Bugis Bone, yaitu La pamadeng Rukka.
Arung Palakka bersama pasukannya juga tiba dari Sinjai untuk membantu pasukan Belanda sesuai renana yang disepakati. Akhirnya pada hari itu juga, Watampone berada dalam kekuasaan Belanda. Ketika ibu kota Kerajaan Bugis Bone tampak berhasil diduduki oleh pasukan agresi Belanda, pada tanggal 6 Desember Ratu Bone beserta pembesar-pembesar Kerajaan Bugis Bone mengungsi keluar. Taktik ini digunakan oleh Bone demi untuk menghindari makin banyaknya korban yang jatuh. Disadari bahwa kekuatan tempur pihak lawan jauh lebihkuat dibandingkan dengan kekuatan Kerajaan Bugis Bone. Selain itu taktik pecah belah yang dimainkan oleh Belanda ternyata membawa hasil. Achmad Singkeru Rukka telah memberikan banyak
64
bantuan kepada Belanda, tidak saja dengan jumlah pasukan perang tetapi juga tentang kekuatan perang Kerajaan Bugis Bone.
Setelah menduduki Kota Watampone, pasukan agresi militer Belanda dipecah menjadi 2 kelompok. Satu kelompok yang dipersiapkan untuk menyerang Palakka dan sebagian lain bergerak menuju kearah Pasempe. Dua daerah yang dianggap sangat kuat sebagai benteng pertahanan Kerajaan Bugis Bone yang berada di perbukitan. Van Swieten bersama pasukannya melakukan penyerangan ke Passempe, namun ternyata daerah itu juga telah ditinggalkan oleh laskar Bone. Kekuata Kerajaan Bugis Bone sekarang lumpuh. Tidak ada perlawanan yang berarti yang dapat dilakukan lagi. Dewan Ade PituE secara sepihak menyatakan tunduk kepada pemerintah Belanda dan bersedia menerima pernyataan dari pihak Belanda bahwa Ratu Pancai Tana Besse Kajuara dipecat dari kedudukannya sebagai Raja Bone. Akhirnya Besse Kajuara terpaksa meninggalkan Passempe dan mengungsi ke Suppa, tempat kelahirannya.
Pernyataan sepihak yang diikrarkan oleh Dewan Ade PituE meskipun oleh Belanda dianggap sudah cukup untuk menguasai Bone, namun terdapat kesulitan dalam menentukan penggantinya, karena alat-alat kebesaran dari Kerajaan Bugis Bone dibawa
pergi
bersama
Besse
Kajuara.
Setelah
berulang
kali
mengadakan
perundingan, akhirnya pada tanggal 20 januari 1860, alat-alat kebesaran Kerajaan Bugis Bone diserahkan kepada Belanda.
Kepergian Besse Kajuara dari Kerajaan Bugis Bone membuat pengaruh Singkeru Rukka semakin bertambah besar. Pemerintah Belanda tidak mempunyai kesulitan untuk mendudukannya sebagai raja di Kerajaan Bugis Bone. Pemerintah Belanda kemudian atas kesepakatan dengan Dewan Ade PituE, melantik Achmad singkeru Rukka Arung Palakka menjadi raja di Kerajaan Bugis Bone pada tahun 1860. Kekalahan Kerajaan Bugis Bone, merupakan era baru dalam sejarah Kerajaan Bugis Bone. Kekbebasan yang selama ini pada Kerajaan Bugis Bone berakhir pada tahun 1860. Kekalahan yang diderita oleh pasukan Kerajaan Bugis Bone tidak saja karena persenjataan yang tidak seimbang, tetapi juga karena Kerajaan Bugis Bone dari dalam telah terpecah belah. Dewan Ade PituE Kerajaan Bugis Bone yang secara sepihak mengaku tunduk kepada pasukan Belanda yang di pimpin oleh van Swieten telah menghapus harapan dari pihak Kerajaan Bugis Boneyang mencoba untuk membangun basis kekuatan kembali jauh didaerah pedalaman Kerajaan Bugis Bone.
65
Pengungsian besar-besaran dengan menarik mundur pasukan dan juga Ratu Bone, seperti yang dilakukan pada perang do tahun 1824-1825, kali ini tidak membuahkan hasil yang diharapkan.tampkanya para penasehat Ratu Bone yang duduk dalam Dewan Ade PituE merasa tidak mampu menghadapi pasukan agresi Belanda yang memiliki persenjataan lengkap serta pasukan tempur yang lebih terlatih. Penyerangan dari laut dan darat telah melumpuhkan kekuatan Kerajaan Bugis Bone. Bantuan yang diharapkan dari Kerajaan-kerajaan Bugis lainnya mengalami kegagalan, karena Belanda lebih dulu mempersempit wilayah pertempuran.
Kekalahan yang dialami Bone dengan pernyataan kalah dari Dewan Ade PituE hanya membantu sedikit, yaitu Kerajaan Bugis Bone tidak di jadikan sebagai daerah takluk, tetapi dijadikan sebagai kerajaan pinjaman.sekutu Belanda Achmad Singkeru Rukka dilantik menjadi Raja Kerajaan Bugis Bone pada tahun 1860. Dalam banyak hal pemerintah Hindia Belanda tidak mencampuri urusan Kerajaa Bone, akan tetapi yang berhubungan dengan politik, misalnya pergantian raja dan pelantikan To-marilalang harus sepengetahuan dan persetujuan dari pihak pemerintah Hindia Belanda. 6. Konflik Kerajaan Bugis Bone Dengan Inggris Di Wilayah Timur Dan Utara Sulawesi Selatan
Inggris berkuasa di Hindia Belanda Pada tahun 1811-1816. Gubernur Jenderal Inggris adalah Sir Stafford Raffles. Pada tanggal 6 Maret 1812 serah terima dilakukan di Makassar. Beberapa kerajaan mengambil baik kesempatan ini untuk membina hubungan yang lebih baik, diantara Kerajaan Gowa, Soppeng, dan Sidenreng, untuk menggandeng persahabatan dengan pemerintah asing yang baru ini. Konflik intern yang terjadi dikerajaan Gowa pada decade terakhir abad ke-18 sebagai akibat campur tangan Kerajaan Bugis Bone dalam urusan intern Kerajaan Gowa menjadikan kerajaan ini kurang berdaya dalam menyelesaikan masalahnya, baik konflik intern maupun konflik antara kerajaan di Sulawesi Selatan.sementara itu, Kerajaan Sidenreng yang merupkan sekutu kerajaan Gowa ketika perang Makassar (1666-1669) berlangsung, setelah itu senantiasa menjadi kerajaan taklukan dari Kerajaan Bugis Bone, harus melepaskan hak penguasaannya terhadap pelabuhan Pare-Pare yang kini direbut oleh Kerajaan Bugis Bone.
66
Lain masalah yang dihadapi Kerajaan Gowa dan Kerajaan Sidenreng, lain pula masalah yang dihadapi Kerajaan Soppeng. Kerajaan Soppeng adalah Kerajaan yang bersahabat dan banyak membantu Kerajaan Bugis Bone ketika Perang Makassar berlangsung,
tetapi setelah itu bukan saja senantiasa menjadi wilayah pengaruh
kekuasaan Kerajaan Bugis Bone, tetapi bahkan sejak Arung Palakka di nobatkan menjadi Datu (raja) Soppeng pada tahun1676, sejak itu pula setiap Datu(raja) Soppeng harus ada pertalian kekerabatan dengan Raja Bone, kalau perlu Raja Bone merangkap menjadi Datu(raja) Soppeng. Keadaan ini terus berlangsung terus sampai inggris mengambil alih kekuasaan daerah ini dari tangan Belanda. Alasan-alasan inilah yang dapat dikedepankan mengapa ketiga kerajaan ini membangun persahabatan dan senantiasa bersedia membantu pemerintah Inggris di Makassar dalam menghadapi kerajaan-kerajaan yang menentang kehadiran Pemerintah Inggris di Sulawesi Selatan.
Meskipun kerajaan Gowa, Soppeng, dan Sidenreng menentukan sikapnya bersahabat dan senantiasa membantu Pemerintah Inggris di Makassar, tetapi pada pihak lain Kerajaan Bugis Bone, Tanete dan Suppa, tidak mengurangi intensitas sikap menentangnya terhadap kehadiran Pemerintah Inggris si Sulawesi Selatan. Khusus untuk wilayah Maros dan sekitarnya, Kerajaan Bugis Bone membangun kerjasama dengan Kerajaan Tanete dan Kerajaan Suppa untuk mempertahankan wilayah itu dari seraangan inggris dan sekutu-sekutunya. Kerajaan tanete yang berbatasa dengan Maros menerima baik ajakan kerjasama itu,sedangkan Kerajaan Suppa menyatakan kesediaannya membantu Kerajaan Bugis Bone selain karena Datu (raja suppa), Sultan Adam, adalah ipar Raja Bone, Toappantunru Arung Palakka, juga mengharapkan bantuan Bone untuk mempertahankan pelabuhan Bacukiki, sebuah pelabuhan sebelah selatan pelabuhan Pare-Pare.
Setelah Inggris dan sekutu-sekutunya berhasil merebut pelabuhan Pare-Pare, pada tahun 1814, kemudian disewakan kepada Kerajaan Sidenreng, maka Kerajaan Wajo menyatakan kesediaannya membantu kerajaan ini untuk mempertahankan wilayah Bulukumba. Keberpihakan kerajaan Wajo yang demikian itu, karena Kerajaan Bugis Bone melarang para pelayar niaga asal Wajo menggunakan pelabuhan Makassar, dan mengiring mereka untuk menggunakan pelabuhan Bulukumba dan pelabuhanpelabuhan yang terletak disepanjang teluk Bone, seperti Pelabuhan Bantaeng, Pelabuhan Bulukumba, Pelabuhan Manggarabombang, Pelabuhan BajoE, Pelabuhan
67
Pallima dan Pelabuhan Siwa, yang semuanya berada di bawah penguasaan Kerajaan Bugis Bone.
Sikap Kerajaan Bugis Bone dan sekutu-sekutunya yang senantiasa menentang pemerintah inggris di Sulawesi Selatan menyebabkan timbulnya konflik antara kedua belah pihak di wilayah Maros, Bantaeng, dan Bulukumba. Meskipun inggris mendapat bantuan dari Kerajaan-kerajaan yang bersahabat, tetapi hingga akhir kekuasaannya didaerah ini Inggris tidak dapat menghapuskan pengaruh kekuasaan Kerjaan Bone di tiga wilayah itu. Konflik diantara kedua belah pihak menjadikan Sulawesi Selatan menjadi kurang aman selama pemerintahan Inggris (1812-1816). Demikian juga, blokade perdagangan yang dilakukan oleh Kerajaan Bugis Bone dan sekutu-sekutunya membuat pelabuhan Makassar yang telah dinyatakan oleh Inggris sebagai pelabuhan bebas tetap sepi, baik dari kunjungan pelayar niaga, lokal, maupun pelayar niaga asing.
7. Perang Bone-Belanda (1859-1860),
Dalam catatan sejarah kolonial, peristiwa ini dikenal dengan ekspedisi Belanda ke Bone. Pada Januari 1859 armada Belanda bersama pasukannya di bawah pimpinan Jenderal Mayor Steinmetz mulai bergerak menuju ke Bone. Pada 3 Februari 1859 sebagaian besar dari armada itu telah berkumpul di Sinjai. Keesokan harinya bergeraklah armada itu menuju ke BajE (Bone), sedangkan sebagiannya melakukan pemeriksaan sepanjang sungai Cenrana yang ternyata sudah dipertahankan dan diperkuat oleh orang-orang Bone siap siaga untuk berperang melawan Belanda. Setelah Jenderal Steinmetz tiba dipelabuhan BajoE, maka pada tanggal 6 Februari 1859 beliau mengirim utusan kepada Arumpone dengan membawa surat yang bersifat ultimatum terakhir yang berbunyi sebagai berikut : 1. Menuntut supaya Arumpone beserta pembesa-pembesarnya meminta ampun kepada wakil pemerintah Belanda atas tindakan-tindakannya yang sangat anti Belanda dan supaya ratu bersama rakyatnya yang mengakui raja sebagai rajanya yang tertinggi. 2. Agar supaya pemerintah dan rakyat Kerajaan Bugis Bone mengibarkan bendera Belanda dan menghormatinya dengan 21 kali tembakan meriam bilamana Jenderal Steinmetz sebagai wakil pemerintah Belanda mendarat di BajoE sampai di Watampone, ibukota Kerajaan Bugis Bone.
68
3. Agar ratu bersama Dewan Pemerintahnya (Arung PituE) menandatangani perjanjian Bungaya yang telah diperbaharui pada tahun 1824. 4. Arumpone diberi waktu 3x24 jam untuk menjawab dan menerima tuntutan.
Bilamana tidak diberi jawaban atas surat ultimatum untuk tuntutan di point keempat, maka pasukan-pasukan Belanda menyerang Bone. Atas ultimatum itu, ratu sama sekali tidak sudi memberikan jawaban, malah baginda segera memrintahkan rakyatnya bersiap siaga untuk melawan mati-matian. Daerah-daerah bawahan dan daerahdaerah tetangganya, terutama yang termasuk dalam lingkungan yang disebut TellumpoccoE (Bone, Wajo, dan Soppeng), dikirimi bila-bila yaitu utusan-utusan untuk meminta bantuan laskar. Laskar Bone sendiri sudah siap-siaga dengan alat-alat perlengkapannya di sepanjang pantai BajoE di Bawah pimpinan Petta PunggawaE (Panglima tertinggi dari Angkatan Perang Kerajaan Bugis Bone) ketika itu.
Lima hari kemudian, tepatnya pada tanggal 11 Februari, Jenderal Steinmetz memaklumatkan perang terhadap Kerajaan Bugis Bone. Bersamaan dengan itu, beliau bersama dengan pasukan-pasukannya mendarat di BajoE disertai dengan tembakantembakan meriam yang hebat. Pihak Bone juga membalasnya dengan tembakantembakan meriam yang tidak kurang hebatnya. Pada penyerangan itu Belanda mengerahkan 10 batalyon pasukan infantry bersama divisi marininr pendaratan ditambah kekuatan tiga ponder battery dan satu kompi Sappours.
Pertempuran-pertempuran di daratan antara pasukan-pasukan Belanda melawan laskar-laskar Bone berlangsung sangat sengit. Dari kedua belah pihak banyak yang korban, terutama di pihak Bone yang persenjataannya serba kuno. Dari pihak Belanda tewas 15 orang dan banyak yang luka-luka. Sementara pertempuran-pertmpuran berlangsung, Belanda sibuk mendirikan sebuah benteng pertahanan di BajoE. Rumahrumah rakyat di dalam dan di sekeliling BajoE dan di Bukaka di bakar oleh pasukanpasukan Belanda. Pada 7 Maret 1859 kampung-kampung yang menuju kea rah sungai Panyula dibakar oleh pasukan-pasukan Belanda. Untuk mencegah agar supaya tidak terlalu banyak rakyat Bone yang tewas karena persenjataan Belanda yang jauh lebih kuat dan modern , ditambah pula oleh adanya penghianatan dari pihak atau golongangolongan rakyat tertentu dari rakyat Bone yang memihak kepada Belanda, maka laskar Bone yang setia kepada rajanya terpaksa mengundurkan diri dari BajoE dan sekitarnya. Setelah itu, mereka kemudian masuk ke pedalaman yang tidak begitu jauh
69
dari BajoE dengan tekad untuk meneruskan perlawanannya. Harta benda dari Arumpone di TippuluE habis dibakar oleh Belanda.
Melihat bahwa Watampone ibukota Kerajaan Bugis Bone tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi, maka untuk menjaga jangan sampai ibukota itu hancur oleh karena pertempuran-pertempuran, Arumpone bersama anggota-anggota pemerintahannya terpaksa mengambil keputusan untuk segera meninggalkan ibukota dan dijadikan kota terbuka.
Baginda
bersama
anggota-anggota
pemerintahannya
menyingkir
ke
Pasempe, sebuah daerah yang terletak di sebelah barat Watampone yang puluhan kilometer jauhnya dari ibukota. Di sanalah baginda bersama pembesar-pembesar kerajaannya yang setia melanjutkan perlawanannya terhadap Belanda.
Oleh karena Belanda melihat bahwa perang gerilya yang dilancarkan oleh laskar Bone di daerah-daerah pedalaman yang berpusat di Passempe sangat hebat, maka untuk menjaga jangan sampai terlalu banyak korban tewas dan luka-luka di antara pasukanpasukannya, Belanda terpaksa membatasi serangan-serangannya. Dengan bertempat di dalam benteng yang baru selesai didirikan pada 11 April 1859, sebahagian kecil dari pasukan Belanda tinggal d BajoE di bawah pimpinan Kapten Reukeno berupaya terus agar dalam waktu yang tidak begitu lama Arumpone bersama rakyatnya terpaksa menyerah. Siasat yang paling utama dijalankan oleh Belanda ialah adu domba.
Di samping hebatnya perang gerilya yang diadakan oleh laskar Bone, sebagaimana yang disebutkan di atas, pasukan-pasukan Belanda pada waktu itu mengalami juga serangan penyakit malaria dan kolera, sehingga banyak diantara mereka yang sakit dan mati. Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, maka dalam bulan April itu juga Jenderal Steinmetz bersama armadanya dan sebahagian besar pasukannya meninggalkan BajoE kembali ke Makassar. Hanya sebahagian kecil pasukannya berada di BajoE, sebagaimana yang sudah di jelaskan di atas. Dalam hubungan ini dapatlah dikatakan bahwa serangan besar-besaran dari belanda dari Belanda terhadap Bone mengalami kegagalan yang sangat mengecewakan bagi pemerintah Belanda.
Belanda tidak putus asa. Mereka berusaha terus menjalankan siasat adu dombanya, terutama antara Ahmad Singkerru Rukka Arung Palakka di satu pihak dengan Arumpone Besse Kajuara di lain pihak. Menurut riwayat, Ahmad Sinkerru Rukka telah
70
mencoba merebut kekuasaan di Bone semasa pemerintahan Arumpone La Prenrengi MatinroE ri Ajabbenteng pada 1852, akan tetapi percobaan itu gagal. Karena itu beliau disingkirkan oleh Arumpone tersebut keluar dari daerah Bone. Konon kabarnya beliau disingkirkan ke daerah Sinjai.
Selanjutnya sewaktu Besse Kajuara menjadi Arumpone, barulah beliau kembali ke Bone, akan tetapi beliau senantiasa saja dicurigai dan diperlakukan sebagai orang yang dikuasai oleh Arumpone. Walaupun demikian, beliau sempat pula mengadakan perhubungan dengan pemimpin tentara Belanda, di BajoE. Pada bulan Juli 1859 beliau mendapat kesempatan meloloskan diri dari Passempe dan bersama dengan pengikutpengikutnya berangkat ke Makassar untuk menemui wakil pemerintah Belanda di sana. Gubernur Makassar segera mengadakan perundingan-perundingan dengan Ahmad Singkerru Rukka dengan maksud untuk mencapai perdamaian dengan Arungpone Besse Kajuara. Akan tetapi, perundingan-perundingan itu gagal.
Di lain pihak, Baginda Besse Kajuara yang senantiasa didampingi oleh iparnya, To Angcele Arung Amali Tumarilaleng Lolo di Bone, tetap menolak berdamai dengan Belanda.
Baginda
semakin
giat
memperkuat
amgkatan
perangnya
untuk
mempertahankan kehormatan negeri dan rakyatnya. Baginda mendirikan bentengbenteng pertahanan di perbatasan Bone bagian selatan, menunggu seranganserangan hebat dari arah manapun dari pihak Belanda. Sementara itu, pemerintah Belanda di Betawi giat mempersiapkan pengiriman-pengiriman pasukan tentara yang lebih kuat ke Makassar untuk menyerang Bone secara besar-besaran.
Dalam bulan November 1859 tibalah di Makassar armada dan pasukan-pasukan Belanda di bawah pimpinan dari Letnan Jenderal I. Van Zwieten komandan dari Indischeleger. Kekuatan-kekuatan yang akan dikerahkan ke bone terdiri dari 3 kompi infantry, 27 orang tentara penunggang kuda, satu seksi bespannen drieponders, dua mortier dan 21 sappours di bawah pimpinan kepala staf Mayor Starring, batalyon infantry di bawah pimpinan Mayor Kroesen, batalyon ke-14 dari pasukan infantry, satu skadron cavalerie, satu seksi houwitsers, satu kompi sauppeurs dab pasukan-pasukan pendudukan di Selebes, sedangkan di laut (zeemacht) yang terdiri dari tiga buah kapal, (stoomschepen), satu buah koevet, dua buah bukken dan enam kapal penjelajah yang berada di bawah komado kapiten letnan laut J.J. Westerouwen van Meeteren, Ahmad
71
Singkerru Rukka bersama 200 orang pengikutnya dan asisten residen Bakker bersama 1.000 orang tentara pembantu (hulptroepen).
Jenderal Van Zwieten menetapkan rencana supaya terlebih dahulu menaklukan daerah-daerah Kajang dan Sinjai, dipisahkannya Kerajaan Bugis Bone dan diberikannya sebagai pinjaman kepada Ahmad Singkerru Rukka. Sesudah itu barulah menyerbu masuk ke Bone sebagaimana jalan pikiran oleh Jenderal tersebut, untuk menduduki Watampone, begitupun Passempe dan Pompanua, dan bila mana usahausaha untuk mendekati pemerintah pusat Kerajaan Bugis Bone tidak berhasil, barulah diadakan serangan secara besar-besaran untuk menghancurkan Bone. Selanjutnya ia hendak memblokir pantai dan memperlakukan perahu-perahu Bone sebagai musuh sampai nanti tercapai perjanjian perdamaian dengan Bone.
Sesuai rencana tersebut, maka Belanda mempersiapkan sebuah pasukan di Bulukumba yang ditugaskan berangkat dengan berjalan kaki ke Sinjai, menyerang kubu-kubu pertahanan musuh di tempat-tempat yang dilaluinya dan menaklukkan daerah Kajang dan Sinjai. Pada 19 Nopember 1859 berangkatlah pasukan tersebut dan sementara itu seluruh armada berlayar menuju ke Sinjai untuk menyerang daerah itu dari laut.
Pada 21 November 1859 Jenderal Van Zwieten tiba di perairan bagian depan Sinjai. Pada keesokan harinya. Tanggal 24 November 1859, beliau memerintahkan para anak buahnya untuk menembaki Mangngarabombang dan Balangnipa. Laskar Bone yang ada di kedua tempat tersebut membalasnya dengan tembakan-tembakan meriam dan senapan. Pada 24 November 1859 itu pula, mendaratlah 200 orang prajurit dari divisi pendaratan di bawah hujan peluru dari laskar Bone. Oleh karena tembakan meriam Belanda terlalu hebat, maka laskar Bone yang ada di Mangngarabombang dan Balangnipa terpaksa meninggalkan tempatnya dan menyingkir jauh masuk ke pedalaman agar luput dari bahaya maut. Pertempuran-pertempuran kecil di daerah Sinjai yang meliputi beberapa keregenan (bekas kerajaan-kerajaan), seperti Bulo-Bulo, Lamatti, Tondong, Manimpahoi dan Manipi, hanya berlangsung beberapa hari lamanya dan berakhir dengan kemenangan di pihak Belanda.
Oleh
Belanda
diangkatlah
Kapten Wiegend
menjadi komandan
militer
dan
Gezaghebber sebagai komandan sipil atas daerah Sinjai yang berkedudukan di
72
Balangnipa, sedangkan La Pawawoi Karaeng Segeri, putra dari Ahmad Singkerru Rukka Arung Palakka, diangkat sebagai kepala untuk daerah-daerah Sinjai (sepanjang yang diriwayatkan, mulanya Ahmad Singkerru Rukka menjadi raja (Arung) di BuloBulo. Kemudian barulah La Pawawoi Karaeng Segeri diangkat oleh Belanda menjadi raja di seluruh Bulo-Bulo).
Pada 27 November berangkatlah lebih dahulu batalyon ke-11 di bawah pimpinan Mayor Stering ke BajoE untuk mendirikan bivak agar dapat ditempati nantinya oleh induk pasukan yang akan berangkat ke sana. Setelah seluruh pasukan Belanda tiba di BajoE, maka pada 6 Desember 1859 pasukan-pasukan Belanda yang dilengkapi dengan persenjataan yang kuat bergerak dari BajoE menuju ke Watampone untuk menduduki kota ini. Pertempuran-pertempuran terjadi dengan hebat. Korban dari kedua belah pihak banyak yang berjatuhan dalam pertempuran-pertempuran itu. Dari pihak Belanda gugur anatara lain Mayor Kroesem (mayor ini dikuburkan di Palakka), sedangkan dari pihak Bone gugur antara lain Pamadeng Rukka, putra mahkota Kerajaan Bugis Bone.
Sebagian antara Belanda bergerak ke Palakka dan sebagian menuju Passempe di bawah pimpinan jenderal van Swieten sendiri. Oleh karena Arumpone Besse Kajuara melihat bahwa laskarnya tidak mampu lagi mengadakan perlawanan terhadap Belanda yang kekuatannya pada waktu itu luar biasa hebatnya, maka untuk menjaga jangan sampai terlalu banyak rakyat yang gugur dan menderita kerugian harta benda, baginda mengambil keputusan untuk segera meninggalkan Passempe dan daerah Bone. Baginda beserta pengikut-pengikutnya yang setia menyingkir masuk ke daerah Soppeng dengan membawa benda-benda Arajang Bone. Sementara itu kira-kira 50 orang kepala desa di bawah pimpinan dari seorang Dewan Arung Pitu di Bone datang menyerah kepada pimpinan tentara Belanda.
Pada 9 Desember 1859 Jenderal van Swieten dengan tiga kompi pasukan infantri dan satu pleton pasukan berkuda berangkat ke Passempe, yang sebelumnya telah diperkuat oleh pemerintah Kerajaan Bugis Bone. Jenderal itu tiba di tempat tersebut yang sedang dalam keadaan kosong, karena telah ditinggalkan oleh Besse Kajuara. Esok harinya Jenderal Belanda tersebut kembali ke Palakkad an kemudian mengambil keputusan untuk memberangkatkan pasukan-pasukannya ke Pompanua dan ia mengadakan pula perbaikan jalanan menuju ke arah Palakka sampai ke Nico. Pada 14
73
Desember 1859, berangkatlah Sembilan setengah kompi pasukan infantri, bersama pasukan artileri dan kavaleri ke Pompanua. Ahmad Singkerru Rukka juga turut serta bersama tiga buah kapal penjelajah melalui Cenrana menuju Pompanua.
Sementara itu pengaruh dan kekuasaan Ahmad Singkerru Rukka Arung Palakka bertambah besar, sedangkan pengaruh dan kekuasaan Arumpone Besse Kajuara terus kabur, teruatama karena baginda meniggalkan rakyatnya dalam keadaan perang. Olehnya itu rakyat Bone memberi nama kepadanya Petta Mpelaiyengngi Passempe (raja yang meninggal di Passempe). Soppeng dan Wajo yang tadinya simpati kepada Arumpone Besse Kajuara, kini cenderung berpihak pada Belanda dan Ahmad Singkerru Rukka. Beberapa anggota Dewan Arung Pitue menempatkan dirinya pula di pihak Belanda dan Ahmad Singkerru Rukka beserta rakyat Bone yang sama sekali menyerah. Setelah berulang kali diadakan perundingan, barulah pada tanggal 20 Januari 1860 benda-benda Arajang yang telah dibawa oleh baginda Besse Kajuara diserahkan oleh dua orang anggota Dewan Arung PituE kepada pimpinan tentara Belanda di Bone. Dengan kembalinya benda-benda Arajang itu, barulah pemerintah Belanda dapat mengadakan pemilihan Arumpone yang baru sebagai pengganti dari Baginda
Besse
Kajuara.
Sewaktu
utusan Kerajaan
Soppeng
datang
untuk
mengadakan kontak politik dengan Gubernemen Belanda, Ahmad Singkerru Rukka dipilih oleh anggota-anggota dewan Arung PituE yang hadir ketika itu dan memilihnya menjadi Arumpone sebagai pengganti dari baginda Besse Kajuara.
8. Daftar Raja-Raja Bone Hingga Masa Kolonial Belanda
1. Manurungnge Rimatajang Matasilompoe (1330 - 1365) 2. La Ummasa Petta Panre Bessie (1365 - 1368) 3. La Saliu Kerang Pelua (1368 - 1470) 4. We Benrigau Mallajangnge Ri Cina (1470 - 1510) 5. La Tenri Sukki Mappajunge (1510 - 1535) 6. La Ulio Botoe Matinroe Ri Itterung (1535 - 1560) 7. La Tenri Rawe Bongkange Matinroe Ri Gucinna (1560 - 1564) 8. La Icca Matinroe Ri Addenenna (1564 - 1565) 9. La Pattawe Matinroe Ri Bettung (1565 - 1602) 10. La Tenri Tuppu Matinroe Ri Sidenreng (1602 - 1611) 11. La Tenri Ruwa Sultan Adam Matinroe Ri Bantaeng (1611 - 1616)
74
12. La Tenri Pale Matinroe Ri Ri Tallo (1616 - 1631) 13. La Maddaremmeng Matinroe Ri Bukaka (1631 - 1644) 14. La Tenri Waji Arung Awang Matinroe Ri Siang ( Pangkep) (1644 - 1645) 15. La Tenri Tatta Daeng Serang Malampee Gemmena Arung Palakka (1645 - 1696) 16. La Patau Matanna Tikka Matinroe Ri Nagauleng (1696 - 1714) 17. Batari Toja Sultan Sainab Sakiyatudding (1714 - 1715) 18. La Padassajati To Appaware Sultan Sulaeman Petta Ri Jalloe (1715 - 1718) 19. La Pareppa To Sappewali Sultan Ismail Matinroe Ri Somba Opu (1718 - 1721) 20. La Panaongi To Pawawoi Arung Mampu Karaeng Bisei (1721 - 1724) 21. Batari Toja Datu Talaga Arung Timurung (1724 - 1749) 22. La Temmassonge To Appawali Sultan Abdul Razak Matinroe Ri Malimongeng (1749 - 1775) 23. La Tenri Tappu Sultan Achmad Saleh Matinroe Ri Rompegading (1775 - 1812) 24. To Appatunru Sultan Ismail Muhtajuddin Matinroe Ri Laleng Bata (1812 - 1823) 25. I Mani Ratu Arung Data Sultan Rajituddin Matinroe Ri Kessi (1823 - 1835) 26. La Mappaseling Sultan Adam Najamuddin Matinroe Ri Salassana (1835 - 1845) 27. La Parenrengi Sultan Akhmad Muhiddin Arung Pugi Matinroe Ri Ajang Benteng (1845 - 1857) 28. We Tenri Waru Sultanah Ummulhuda Pancaitanah, Besse Kajuara Pelaingi Pasempe (1857 - 1860) 29. Achmad Singkerukka Sultan Achmad Idris Matinroe Ri Paccing (1860 - 1871) 30. Fatima Banri Datu Citta Matinroe Ri Bolamparena (1871 - 1895) 31. Lawawowoi Karaeng Sigeri Matinroe Ri Bandung (1895 - 1905) 32. Lamappanyukki Sultan Ibrahim Matinroe Ri Gowa (1931 - 1946) 3.2.
PERKEMBANGAN KOTA WATAMPONE SEBAGAI PUSAT KERAJAAN BUGIS BONE
Kota Watampone berdiri, tumbuh dan berkembang sebagai sebuah kota penting dalam konstelasi sejarah perkembangan Kerajaan Bugis Bone sebagaimana telah dibahas pada bagian 3.1. Sekitar abad 10 Masehi Bone hanya sebuah wilayah kecil di tepi Teluk Bone. Luasnya 4 km2. Terletak di dataran yang sedikit lebih tinggi dibanding daerah sekitar sehingga disebut Tanete. Namun Bone purba berada dalam wilayah kerajaan Wewangriu Zaman Lagaligo. Berdasarkan Lontarak, Bone adalah nama Bugis kuno yang berarti Pasir, Karena tanahnya berpasir warna kekuning-kuningan.
75
Sehingga Bone dahulu disebut Tanah Bone atau tanah yang berpasir. Adapun bukit pasir yang dimaksud kawasan Bone sebenarnya adalah lokasi Bangunan Mesjid Raya sekarang ini letaknya persis di Jantung Kota Watampone Ibu Kota Kabupaten Bone tepatnya di Kelurahan Bukaka.Sebutan tersebut berakhir pada zaman Belanda tahun 1940an.
3.2.1. KAWERANG SEBAGAI EMBRIO KOTA KERAJAAN BUGIS BONE
Ketika kerajaan Bone berdiri pada tahun 1330 M. Ada 7 wanua bergabung manjadi persekutuan yaitu 1.Wanua Ponceng, 2. Wanua Taneteriattang, 3. Wanua Tanete Riawang, 4. Wanua Ta, 5. Wanua Macege, 6.Wanua Ujung dan 7. WanuaTibojong. Ketujuh wanua ini bersatu dalam panji WorongporongE. Bendera Bintang Tujuh menandakan tujuh negeri di bawah kepemimpinan Raja Bone pertama bergelar MatasiLompoE (Penguasa / penjaga Laut dan tanah ). Tetapi awal terbentuk kerajaan Bone ada beberapa wanua lain yang tidak bergabung dan cukup disegani pada waktu itu seperti Biru, Cellu, dan Majang. Sedang Bukaka atau Ciung kemungkinan masuk dalam wanua Tanateriawang. Kerajaan ini mulai membangun wilayahnya dengan ibukota
Kawerang. Berada dalam wanua Tanete Riattang. Ditepi sungai Bone.
Sungai yang ramai digunakan oleh penduduk Bone sebagai alur transportasi penting untuk menghubungkan wanua lain. Hulunya ada dua dekat Anrobiring di Palakka dan Palengoreng sedang muaranya di Toro Teluk Bone.
Kota Kawerang sebagai pusat pemerintahan berasal dari nama tumbuhan Awerang yang banyak tumbuh disekitar sungai Bone.(Sekarang terletak di jalan ManurungE.). Sejenis ilalang dan senang tumbuh pada tanah lembab dan berair. Tingginya kurang lebih 2 meter. Mempunyai bunga jambul putih. Karena dominan tumbuh di daerah tersebut
penduduk
menyebut kampung
Kawerang berasal dari kata Engka-
Awerang. Kemudian berubah sebutan menjadi Kawerang. Sama dengan kampungkampung lain seperti Kajuara karena Engka-Ajuara dan Kading karena Engka-Ading. Kawerang selanjutnya diartikan Ikatan Persekutuan Tana Bone
Di kota inilah Istana Raja Bone Pertama ManurungE ri Matajang berdiri. Istana menghadap sungai (letaknya sekarang diduga sekitar Jalan raya dibelakang kantor Korem Toddopuli). Dalam lontara dikatakan bahwa istana itu berdiri dengan cepat sebelum Bulisanya mengering. Bulisa adalah sisa kulit kayu yang masih basah.
76
Bahkan ditempat ini pulalah 7 matoa bermusyawarah membentuk satu ikatan dalam pemerintahan Bone. Sistim pemerintahan ini disebut juga kawerang sesuai tempat musyawarah dilaksanakan.. Sistim Kawerang masing-masing matoa tetap menjadi penguasa diwilayahnya dan sekaligus menjadi dewan pemerintahan Kerajaan Bone. Dan ini hanya berlangsung sampai Raja Bone 9 La Pattawe MatinroE Ri Bettung (Bulukumba) kira-kira pada tahun 1569.
Kawerang sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Bone. Luas pada awalnya hanya sekitar sungai. Kemudian lambat laun berkembang seluruh wanua Taneteriattang termasuk wanua Tibojong diseberang sungai .Seiring kemajuan kerajaan Bone batas wilayah wanua Taneteriattang Kira kira sekarang
adalah Batas Kantor Korem
membelok ke jalan Tamrin sampai sungai dan jalan ManurungE. Pada Pemerintahan Raja
Bone
pertama
lebih
memfocuskan
pada
pembuatan
aturan
aturan
kemasyarakatan dan Hukum ditegakkan. Juga menjalin hubungan dengan Kerajaankerajaan tetangga yang besar dan lebih tua seperti Kerajaan Awangpone, Pattiro, Palakka, dan Cina. Sebagai politik assiajingeng untuk meredam kembalinya zaman sianre bale dan Permaisuri Raja Bone I adalah ManurungE Ri Toro mempunyai anak 4 orang yaitu La Umasa, I Pattanra wanua,We Tenri Salogo dan We Aratiga. Kemudian anaknya bernama Laumasa menggantikan ayahnya . Pada zaman Raja Laumasa Raja Bone ke 2 berkuasa (1365-1398). Kota kawerang berkembang, baik jumlah penduduk maupun pemukiman sehingga kota meluas seluruh wilayah Tanete Riattang dan arah perkembangan kota mulai begeser ke wanua Macege sebagai kampung industry pembuatan alat-alat pertanian dan senjata, utamanya Parang Cege. Parang cege, adalah parang yang bentuknya lebar . Macege berarti tempat pembuatan parang. Bahan baku besi didatangkan dari Kelling dekat Lampoko. Raja Bone ke 2 La Umasa yang hobby dan ahli dalam pembuatan alat senjata dari besi. Mendirikan Istana di wilayah macege sehinggah ramai penduduk bermukim utamanya dekat kediaman baginda di Lassonrong. Disekitar sumur lassonrong. Lassonrong berasal dari nama istana raja La Umasa mempunyai beranda di belakang istana dan istana di kelilingi gundukan tanah liat diatasnya pagar bambu yang runcing sebagai benteng. Inilah yang disebut Sonrong. LaSonrong berarti istana yang mempunyai beranda belakang dan pagar benteng. Diberanda belakang istana tempat malanro atau menempa besi milik Baginda.
77
Pada masa pemerintahan Baginda banyak melakukan pengembangan wilayah baik dengan peperangan maupun dengan cara perkawinan. Baginda menaklukkan wanua Biru diselatan , wanua Cellu di timur dan Wanua Anrobiring dekat macege dan juga wanua Majang. Tahun 1398 Raja LaUmasa mangkat dan dimakamkan di jeppeE. Kampong yang ditumbuhi pohon Jeppe. Pohonnya besar dan tinggi menjulang. Sekarang wilayah itu sekitar jalan Ahmad Yani watampone. Semasa hidupnya Laumasa bergelar Petta Panre BessiE dan juga bergelar Petta To Molaiye Panreng (Yang pertama di makamkan) gelar anumerta. Baginda juga yang pertama bergelar Mangkau. Mengambil
tradisi leluhurnya ketika Bone purba sebagai kerajaan
Wewangriu bergelar Mangkau. Laumasa mempunyai anak dua bernama To Suwalle dan To Salawakkang. Tetapi tidak menjadi Raja. Justru yang menggantikan La Umasa adalah kemanakannya. Anak Raja Palakka. bernama La Saliyu Karempaluwa. Raja termudah dalam sejarah Kerajaan Bone.
LaSaliyu Karempalua sebagai Raja Bone ke 3 (1398-1470) ,dikisahkan , penculikan dirinya ketika masih bayi usia baru beberapa hari atas perintah Raja Bone Laumasa. untuk menggantikannya Karena anak Laumasa tidak memenuhi syarat menjadi Raja. Lalu hasil musyawarah Matoa Pitu yang Pantas menjadi Raja adalah anak Raja Palakka La Pattikkeng sebab Ibunya adalah Saudara Laumasa anak dari ManurungE Anak Pattola.. Hanya antara Raja Palakka La Pattikkeng dengan Raja Bone masih dalam pertikaian. Itulah sebabnya terjadi penculikan yang dipimpin oleh To Suwalle dan To Salawakkang. Kisahnya perjalanan pulang dari Palakka setelah menculik bayi LaSaliyu oleh Sepupunya, anak dari Laumasa sempat beristirahat disuatu telaga untuk memercikkan air dan membasuh muka bayi La Saliyu. Bayi itu bergerak bangun (Cokkong) maka disebutlah sumur itu Lacokkong dan kemudian menjadi tradisi turun temurun setiap anak Raja yang dilahirkan wajib mandikan air lacokkong.
Masa pemerintahan Lasaliyu Kota Kawerang melebar ke Taneteriawang. Karena ditempat itu berdiri Pasar hadiah dari Ayah LaSaliyu Raja Palakka. Pasar tersebut sekarang menjadi Pusat pertokoan di dekat Tanah BangkalaE sebagai Pusat kota Watampone . Dan Istana Raja Bone ke 3 LaSaliyu berdiri berdampingan dengan Pasar didepan istana dibuat alun alun disebut Tanah BangkalaE. Dahulu berfungsi sebagai tempat berkumpul masyarakat mendengarkan informasi dari Raja atau Pejabat Istana. Kemudian akhirnya menjadi tempat pelantikan Raja-Raja Bone yang dimulai dari Raja Bone ke 4 We Benrigau. Tanah BangkalaE dijadikan pula pusat
78
Bone. Possi Tanah. Maka perkembangan kota Kawerang meluas mulai Wanua Tanteriatang, Macege utamanya Lassonrong, Tibojong dan Wanua Taneteriawang disebut To Kawerang maksudnya orang kota. Pusat pemerintahan Bone. Adapun batas wanua Tante riawang Termasuk taman bunga dan sampai batas bukaka dan batas di laccokkong sekarang.
Ketika Raja Bone Lasaliyu masih kanak-kanak, maka kedua sepupunya melaksanakan pemerintahan dengan tugas masing-masing: a.
To Suwalle bertugas mewakili Raja Bone urusan pemerintahan kedalam sebagai Tomarilaleng kedalam sebagai Tomarilaleng I Kerajaaan Bone
b.
To Salawakka bertugas mengatur urusan pemerintahan keluar dan ini merupakan MakkedangngE Tanah I dari Kerajaan Bone.
Dalam pelaksanaan sehari-hari keduanya dibantu oleh para Matoa dari tujuh Wanua, setelah menanjak dewasa Raja Lasaliyu mengendalikan pemerintahan, namun tetap dibantu oleh kedua kakak sepupunya. Pada saat berangkat berperang atau kunjungan daerah (kerajaan palili)selalu membawa bendera dan panji WorongporongE dan CellaE juga baginda membagi Bone dalam tiga wilayah sesuai dengan pembagian bendera yaitu: a.
Bendera
WorongporongE:
mambawahi
negeri
Matajang,
Mataangin
(Maroanging), Bukaka, Bukaka tengah (kampong tengngaE), Kawerang , Palengoreng dan Mallayirang (Mallari) dikordinasi oleh Matoa Matajang. b.
CellaE riAtau yaitu yang memakai umbul merah disebelah kanan dari bendera WorongporoE
dipergunakan
oleh
rakyat
dari
:
Paccing,
Tanete
(dekat
Palenggoreng), Lemo-Lemo ( Desa Carebbu ), Masalle (dekat Melle), Macege, dan Belawa (dekat Maccope). Dipimpin oleh To Suwalle digelar Kajao Ciung. c.
CellaE ri Abeyo yaitu Negeri yang memakai umbul merah di sebelah kiri dari WorongporoE: Araseng, Ujung, Ponceng, Ta’, Katumpi, Padacengnga (desa padaidi dekat passippo) dan Madello (dekat desa Mico). Dipimpin oleh To Salawakka digelar Kajao Araseng.
Dalam Lontara disebutkan bahwa Raja ini menaklukkan Negeri Palengoreng (sebelah selatan Biru), Sinri (dekat Majang), Sancoreng (ponre), Cerowali, Apala, Bakke Tanete(cina), Attang Salo(dekat Katumpi), Soga, Lampoko, Lemoape, Bulu(dekat Cerowali), Parippung, dan Lompu, Limampanuwa ri Lau-Ale. Dan pada masa itu
79
Palakka disatukan dengan Kawerang. Juga beberapa wanua datang bergabung secara sukarela. Sehingga kerajaaan-kerajaan tua seperti Cina, Pattiro, Awangpone, Barebbo dan Palakka sudah bergabung dengan Bone. Baginda membuat perkampungan disebelah utara Kawerang dekat sungai Panyula dan LImpenno (muara sungai dekat Toro) sebagai tempat pelabuhan bagi perahu-perahu kerajaan di tambatkan bersama tempat tinggal pendayung dan petugas perahu Raja.
3.2.2. DARI KOTA KAWERANG MENJADI KOTA BENTENG LALEBBATA Raja Bone ke 6 La Uliyo BoteE (1535-1560) adalah pendiri benteng kota sekaligus peletak sistim perkotaan yang tangguh sebagai kota yang mandiri dan modern pada zamannya. Baginda dikenal pandai cermat dalam perencanaan. Pada masa berkuasa baginda didampingi seorang penasehat terkenal Kajao Laliddong yang sering dijuluki Lamellong. Kajao Laliddong yang dipercayakan mengarsiteki sekaligus pimpro dalam pembangunan kolosal membangun benteng Kota. Sehingga ada ungkapan ceritra rakyat
bone
bahwa
“Cicengmi
narenreng tekkengna
kajaoLaliddong
natepui
bentengE”.
Lalebbata Kota Benteng
Benteng atau dalam bahasa bugis Lalebbata ini dibuat dari tanah liat diambil dari bukit bukaka. Benteng ini rata-rata tingginya 5 meter. Tebal dinding atas kurang lebih 2 meter dan Tebal dinding bawah (pondasi)15 meter. Sepanjang dinding luar benteng ditanami pohon bambu dan berbagai jenis pohon berfungsi untuk menahan dan mengikat tanah benteng. Bahan Pembuatannya diambil dari sebagian tanah bukaka. Tapi dinding benteng bagian utara dan timur disamping dari Tanah Liat juga diambil dari tanah disekitar atau didalam wilayah benteng untuk dijadikan persawahan. Tehnik pada pembangunan benteng tidak memakai alat perekat tetapi tekhnik sederhana susun timbun yang mengikuti kontur tanah. Bukan terbuat dari batu merah atau dinding dari batu gunung yang sudah dipahat. Walau ada sebagian benteng memakai batu utamanya dibagian Pintu utama keluar. Bentuk benteng Bone awalnya segi empat panjang. Kemudian Raja berikutnya melakukan penambahan tinggi benteng dan dipertebal dinding benteng oleh Raja Bone Latenrirawe .Hal inilah nama Kota Kawerang berubah menjadi Lalebbata. Sesuai bentuk kota yang baru dengan adanya benteng dan meluas hampir semua wilayah wanua pitu masuk dalam area benteng.
80
Pada 1630 Raja Lamadderemmeng berkuasa mengalami pelebaran Benteng sebelah Timur dan Utara dan menambah bastion-bastion dekat SalekoE.Bentuk sudut benteng melingkar sebagai bastion dan dipasang meriam-meriam besar. Apalagi suasana politik ketika itu memanas dengan kebijakan Baginda penghapusan perbudakan.dan Model
Benteng berubah dari segi empat panjang menjadi
trapezium.Selain ada pintu Utama Benteng (seppa benteng) juga disetiap sisi benteng ada pintu-pintu untuk akses masuk bagi penduduk. Benteng ini dibuat sebagai alat pertahanan juga sebagai pusat pemerintahan. Oleh karena sumber kekuasaan berada di istana maka keletakan benteng juga berperan untuk pertahanan pusat-pusat hunian dan sumber daya yang ada disekitarnya. Jejak Benteng
Jika menyelusuri Benteng dimulai dari sudut sebelah selatan kota, benteng berdiri diatas jalan Kalimantan sekarang terus ke timur melewati pinggir jalan Kawerang melalui persawahan dekat sungai Bone .Ditempat itu berdiri bastion. Lalu ke timur lagi dekat jalan Paramuka disebut Diattang Benteng. Kemudian membelok ke Utara dan disudut benteng itu terdapat Sumur(bubung) LoppoE digunakan untuk persediaan air bagi prajurit Bone. Keutara benteng melalui persawahan dekat mesjid jalan Bajoe dan disebut Seppa BentengE. Dan membelok ke arah barat diatas jalan, pada sudut benteng membulat sebagai bastion tetapi ada pula pelebaran benteng dekat Salekoe juga berdiri Bastion-bastion. Diatas jalan menuju Bukaka membelok ke utara kira-kira 200 meter kearah barat menuju bukaka dekat bubung Lagarowang. Komplek kuburan KalokkoE masuk dalam benteng. Disebut Awang bent Dari Bukaka menuju ke selatan antara jalan Makmur dengan jalan Benteng adalah bekas benteng dan bertemu di jalan Kalimantan dekat Kantor Dinas Kesahatan. Benteng-benteng ini hancur akibat peperangan utamanya dalam perang Bone dengan Belanda. Pada tahun 1920an benteng-benteng ini umunya diambil tanahnya dijadikan jalan raya seperti bagian selatan kota Watampone benteng itu dijadikan jalan Kalimantan sekarang dan begitupula Lapangan Persibo ditimbun dari tanah benteng yang dahulu adalah persawahan.
81
3.2.3. DARI KOTA BENTENG LALEBBATA MENJADI KOTA WATAMPONE Ibukota Lalebbata kerajaan Bone berakhir tahun 1905. Ketika Tentara Belanda menaklukkan Bone dengan hasil musyawarah pada tanggal 24 Agustus 1905. Kota Lalebbata berubah menjadi Watampone pada musyawarah Ade Pitu bersama Hindia Belanda di Bola SubbiE Istana Raja Lapawawoi Karaeng Sigeri. Istana kebanggaan Kerajaan Bone. Berukir dan besar menghadap Taman Raja atau sekarang Taman Bunga. Kemudian Istana ini di pindahkan di Makassar dab erdiri didepan karebosi sebagai tanda penaklukan Bone. Dan kembali ke Bone pada tahun 1922 atas permintaan Rakyat Bone Tetapi sayangnya Istana Bola SubbiE tidak utuh lagi. Watampone yang berarti Pusatnya Bone. Zaman pemerintahan Hindia Belanda Penataan Kota dibangun. Area kota ditata mulai Wilayah ekonomi, Agama dan pendidikan, pemerintahan dan kalangan bangsawan. Jalan-jalan dibuat, Pohon Asam dan Kenari ditanam di pinggir jalan. Taman ditata seperti Koning Plein atau Taman Raja sekarang jadi Taman Bunga. Dan bangunan bangunan berciri Kolonial didirikan. Istana Raja Bone dibangun untuk menggantikan Istana Bola SubbiE menjadi Kantor Dewan Adat Pitu(Perpustakaan Daerah sekarang). Yang dipersiapkan Raja Bone La Mappanyukki pada tahun 1930 (Meseum Lapawaoi sekarang) Bola Soba dipindahkan di jalan Veteran sebagai markas Marsose dan dididrikan Rumah Pejabat Hindia Belanda dengan sebutan Tuan Petoro Bottoa(Controler Residen).Dan Tangsi-tangsi militer dan juga Rumah Sakit.
Bone telah berusia 681 tahun tetapi jauh dari usia itu Tanah Bone telah ada dengan penduduknya.Sudah tiga kali pergantian nama Ibukota sejak tahun 1330 – sampai sekarang . Tetapi penduduknya masih tetap dan senang menyebut ibukotanya dengan sebutan Bone. Kota Watampone telah menyimpan sejarah
panjang dengan
penduduknya tetapi tidak memperlihatkan suatu kota sarat sejarah masa lalu apalagi sebagai ibukota kerajaan Bugis terbesar. Oleh karena itu saatnya sekarang bangunanbangunan tua bersejarah dan situs-situs perlu dipertahankan dan dilindungi sebagai identitas kota tua.
82
BAB 4 MORFOLOGI DAN SITUS-SITUS ARSITEKTURAL PEMBENTUK CITRA KAWASAN KOTA BERSEJARAH WATAMPONE PADA ERA POST-KOLONIAL 4.1. MORFOLOGI KAWASAN WATAMPONE
Pada saat ini, kota Watampone adalah sebuah kota yang berada di provinsi Sulawesi Selatan dan juga merupakan ibukota Kabupaten Bone. Kota Watampone terletak di 174 km ke arah Timur dari ibukota Provinsi Sulawesi Selatan yaitu Kota Makassar. Secara geografis Kota Watampone terletak pada 040 13’-150 07’ LS dan 1190 45’ – 1200 30’ Memiliki luas wilayah kurang lebih 126,35 km2, dengan batas-batas administrasi di sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Awangpone, Timur berbatasan dengan Teluk Bone, Selatan berbatasan dengan Kecamatan Barebbo dan Palakka dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Palakka.
Keadaan topografi Kota Watampone secara umum berada pada ketinggian 0-25 meter dari atas permukaan laut dengan kemiringan lereng antara 0 - 2%, 5 – 10%, dan 10 – 20%. Kondisi tersebut mengakibatkan pada wilayah Kota Watampone termasuk areal lahan relatif datar sampai bergelombang. Keadaan permukaan lahan kota ini bervariasi mulai dari landai, bergelombang hingga curam. Daerah landai dijumpai sepanjang pantai dan bagian Utara, sementara di bagian Barat dan Selatan umumnya bergelombang hingga curam. Jenis tanah yang ada di Kabupaten Bone terdiri dari tanah Aluvial, Gleyhumus, Litosol, Regosol, Grumosol, Mediteran dan Renzina. Jenis tanah didominasi oleh tanah Mediteran seluas 67,6 % dari total wilayah, kemudian Renzina 9,59 % dan Litosol 9 %. Penyebaran jenis tanahnya dapat dijelaskan sebagai berikut: sepanjang Pantai Timur Teluk Bone ditemukan tanah Aluvial.
Sebelum tahun 2003, kota ini memiliki status kota administratif dengan 3 kecamatan yaitu Kecamatan Tanete Riattang, Tanete Riattang Barat dan Tanete Riattang Timur dengan jumlah kelurahan sebanyak 24 kelurahan. Semenjak penghapusan kota administratif akibat berlakunya UU Pemerintahan Daerah, berdasarkan PP no. 33/2003, penatalaksanaan kota Watampone dilakukan oleh Kabupaten Bone. Pada saat ini, Kota ini memiliki populasi lebih dari 80.000 jiwa penduduk.
83
Kota Watampone
Gambar 4.1. Kota Watampone dalam konteks Kabupaten Bone dan Provinsi Sulawasi Selatan (Sumber peta: RTRW Kab Bone 2011-2031)
84
Kawasan Perencanaan RTBL Watampone
Gambar 4.2. Lokasi Kawasan Perencanaan dalam konteks Kota Watampone (Sumber peta kota: RTRW Kabupaten Bone 2011-2031)
85
Secara umum, kawasan yang dahulunya merupakan kawasan Pusat Kerajaan kota Watampone ini memiliki batas-batas fisik kawasan sebagai berikut:
Sebelah Utara dibatasi oleh Jalan Beringin – Jalan Ahmad Yani – Jalan M.H. Tamrin
Sebelah Timur dibatasi oleh Jalan Kawerang – Jalan Jendral Sudirman.
Sebelah Selatan dibatasi oleh Jalan Soekawati
Sebelah Barat dibatasi oleh Jalan Gn. Semeru – Jalan Gn. Klabat dan Jalan B. Kajuara
Jl. Beringin
Jl. Gn. Sem eru
Jl. HM Tamrin Jl. Ka w er an g Jl. B. Kajuara
Jl. Soekawati
Jl. Je n d. Su di r m an
Gambar 4.3. Delineasi Kawasan RTBL Watampone (Sumber foto udara: Google Earth, 2012)
86
4.1.1. PERUNTUKAN LAHAN KAWASAN
Fungsi kawasan perkotaan Watampone pada saat ini adalah sebagai salah satu Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) di Sulawesi Selatan. Sebagai Pusat Kegiatan Wilayah, maka fungsi utama Kawasan Perkotaan Watampone adalah sebagai ibukota Kabupaten Bone, sebagai Pusat Pemerintahan Kabupaten, dan sebagai Pusat Pelayanan Sosial dan Ekonomi. Selain itu, Kawasan Perkotaan Watampone sebagai PKW, memiliki peran dan fungsi yang diberikan sesuai dengan potensi dan kemampuan wilayah, yang meliputi: Sistem transportasi regional terpadu (darat, laut dan udara), Pusat pelayanan Pemerintahan dan pendidikan, Pelayanan Jasa sosial dan ekonomi, Pusat pelayanan Jasa kepariwisataan, Pusat Permukiman, serta Pusat pelayanan umum. Dengan demikian, kebijakan pemanfaatan ruang untuk kawasan perencanaan di Kota Watampone diarahkan untuk fungsi utama pelayanan pemerintahan, perdagangan
dan
pariwisata
dengan
kegiatan
pendukungnya
adalah
perkantoran, pendidikan, permukiman, dan pelayanan umum.
Berdasarkan karakteristik fisik lingkungannya serta kecenderungan kegiatan yang telah berlangsung, maka dapat diidentifikasikan adanya 3 pola utama penggunaan lahan di kawasan Watampone ini yaitu :
Fungsi hunian yang mendominasi lahan-lahan kawasan Watampone ini.
Fungsi komersial yang terdapat pada lahan-lahan di bagian utara kota, di tepi jalan Veteran dan Jalan Masjid; serta di bagian selatan kota, yaitu di tepi jalan Sukowati dan Jalan H. Agus Salim. Selain itu terdapat penyebaran fungsi komersial di tepi jalan B. Kajuara.
Fungsi perkantoran yang terkonsentrasi di bagian Utara kota (dekat taman bunga Arung Palakka dan Lapangan Merdeka), di tepi jalan A. Yani, MH. Thamrin dan Jend Sudirman. Perkantoran yang dimaksud didominasi oleh perkantoran pemerintahan.
Selain 2 fungsi yang telah disebutkan di atas, pada kawasan ini terdapat pula fungsifungsi yang tidak mendominasi secara kuantitas, tapi cukup penting bagi kawasan ini. Fungsi-fungsi tersebut adalah:
Fungsi pendidikan yang tersebar di lahan-lahan permukiman.
Fungsi Hiburan/wisata yang juga tersebar di kawasan perencanaan.
Fungsi Tempat ibadah yang tersebar di lahan-lahan permukiman.
87
Gambaran umum tempat-tempat yang menjadi magnet kegiatan kawasan dijelaskan lebih lanjut, sebagai berikut.
Gambar 4.4. Pemanfataan Lahan Eksisting.
88
1. Kompleks Taman Bunga Arung Palakka
Kompleks Taman Bunga Arung Palakka ini merupakan daerah yang padat dengan sejarah kota Watampone. Dipercaya bahwa daerah ini merupakan pusat kerajaan Bone pada jaman dahulu yang ditandai dengan adanya Situs Pelantikan Raja Bone, Kompleks kantor Bupati yang konon merupakan lokasi bangunan kerajaan Bone, Lapangan Merdeka yang melambangkan kemerdekaan Indonesia.
Taman Bunga
Arung Palakka sendiri merupakan penghormatan terhadap Arung Palakka, salah satu pahlawan Indonesia. Selain itu, terdapat Masjid Raya Watampone dan Masjid Mujahiddin yang konon dibangun pada tahun 1930an.
Gambar 5.3. Gambaran Kondisi Fisik Kompleks Taman Arung Palaka 2. Kompleks Eks Pasar Sentral (area komersial)
Kompleks Eks Pasar Sentral ini merupakan area komersial baru yang menggantikan pasar tradisional, dan sampai saat ini belum sepenuhnya dioperasikan sesuai dengan fungsi dan kapasitas pelayanannya. Fungsi utama kompleks Eks Pasar Sentral adalah sentra wisata kuliner. Di depan Sentra Wisata Kuliner ini terdapat pusat perbelanjaan
89
kota yang cukup besar, yaitu Mall Bone Trade Center. Daerah di sekitar sentra wisata kuliner ini adalah ruko-ruko komersial.
Gambar 5.3. Gambaran Kondisi Fisik Kompleks Pasar Sentral
3. Kompleks Situs Manurunge dan Bola Soba
Situs Manurunge dan Bola Soba merupakan 2 situs yang terletak di bagian Selatan kota Watampone, agak jauh dari pusat kerajaan Raja Bone. Kedua situs ini juga merupakan situs yang penting dalam sejarah kota Watampone. Situs Manurunge adalah lokasi tempat terjadinya kontrak pemerintahan antara rakyat Tana Bone dengan Manurung E. Ri Matajang (Raja Bone 1) pada tahun 1330. Sedangkan Situs Bola Soba merupakan rumah bangsawan Bone (yang juga merupakan prototipe rumah Bugis di Sulawesi Selatan. Pada Situs Bola Soba, terdapat 2 rumah dengan kondisi fisik yang berbeda; bola soba yang satu belum direnovasi sedangkan yang lainnya sudah direnovasi.
Gambar 5.3. Gambaran Kondisi Fisik Kompleks Situs Manurunge & Bola Soba
90
4.1.2. INTENSITAS PEMBANGUNAN DAN TATA MASSA BANGUNAN
Tidak ada data mengenai kepadatan atau intensitas bangunan eksisting. Tetapi karena kondisi eksisting pemanfaatan lahan kawasan Kota Watampone merupakan kawasan yang sebagian besar lahannya merupakan permukiman, maka bab ini akan membahas intensitas bangunan dari kepadatan penduduk kawasan perencanaan yang dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 4.1. Rata-rata kepadatan penduduk per km2 menurut kecamatan di Kabupaten Bone th. 2008 KECAMATAN
8
JUMLAH LUAS AREA (KM2) 53,68
8 8
23,79 48,88
DESA/KEL
TANETTE RIATTANG BARAT TANETTE RIATTANG TANETTE RIATTANG TIMUR
PENDUDUK
37,594
RATA-RATA PENDUDUK KEPADATAN PER PENDUDUK (KM2) DESA/KEL. 4,699 700
43,793 37,752
5,474 4,719
1,841 772
Sumber: Kabupaten Bone dalam Angka, 2008.
Dari tabel 4.1, dapat terlihat bahwa kawasan perencanaan kota Watampone yang termasuk kecamatan Tanette Riattang merupakan kecamatan yang mempunyai kepadatan penduduk 1841 orang per m2 yang berarti intensitas atau kepadatan bangunan cukup tinggi seperti yang terlihat pada gambar 4.5.
Secara umum, kawasan perencanaan merupakan kawasan yang sebagian besar lahannya sudah terbangun. Keberadaan bangunan-bangunan di kawasan ini terkonsentrasi secara linear di sepanjang jalan, baik jalan arteri primer maupun lokal sekunder. Tata bangunan berupa kompleks bangunan hanya terdapat pada kompleks eks pasar sentral.
Tinggi bangunan di kawasan ini rata-rata memiliki ketinggian bangunan satu lantai dan maksimum 3 lantai. Ketinggian bangunan 3 lantai kebanyakan merupakan ruko (rumah toko). Tipologi bangunan yang ada rata-rata merupakan bangunan landed house (bangunan tungaal dengan halaman di sekitarnya), rumah panggung Bugis yang terbuat dari kayu, rumah baru yang terbuat dari beton serta rumah toko. Dengan perbedaan ketinggian dan tipologi bangunan tersebut, maka tata bangunan di kawasan ini belum membentuk suatu street picture yang baik yang sangat dibutuhkan kawasan dalam membentuk karakter kawasan melalui penataaan bangunannya. 91
Gambar 4.5. Gambaran Kepadatan Bangunan di kawasan Perencanaan.
92
Gambar 4.6. Gambaran Karakter Bangunan kawasan Perencanaan.
93
4.1.3. RUANG TERBUKA KAWASAN
Secara umum, kawasan perkotaan Watampone merupakan kawasan yang sebagian besar lahannya sudah terbangun sehingga ruang-ruang terbuka relatif tidak banyak. Beberapa bentuk ruang terbuka di kawasan ini yaitu : 1. Ruang terbuka taman yang terkonsentrasi pada bagian utara kota, yang berupa Taman Bunga Arung Palakka dan Lapangan Merdeka. 2. Ruang terbuka yang berupa lapangan olahraga tenis dan sepakbola serta lapangan eks Pasar Sentral. 3. Ruang terbuka linear berupa jalur-jalur jalan yang pada saat ini masih minim tata hijaunya. 4. Ruang terbuka koridor sungai
Gambar 4.7. Gambaran Kondisi Ruang Terbuka (Taman, Lapangan dan Jalur Hijau dekat Sungai)
94
1
2
4 3
Gambar 4.8. Ruang Terbuka. (1) Taman Arung Palaka dan Taman Merdeka, (2) lapangan Olah Raga (3) Halaman Kompleks Bola Soba dan (4) Plaza Pasar Sentra
95
4.1.4. SARANA PEMERINTAHAN DAN PELAYANAN UMUM
Sarana Pemerintahan merupakan sarana untuk melakukan kegiatan pelayanan pemerintahan terhadap masyarakat dan perkantoran pemerintahan. Fasilitas yang terdapat di Kota Watampone antara lain; kantor bupati, kantor dinas/instansi peternakan,
pendidikan,
tata
ruang,
tanaman
pangan,
sosial,
kesehatan,
kesejahteraan sosial, perhubungan, kebersihan dan pertamanan, kantor militer/polisi, kantor kecamatan serta kantor kelurahan. Seperti yang dapat dilihat pada gambar 6.5, jumlah sarana pemerintahan yang ada di kawasan ini adalah 22 sarana pemerintahan dan sebarannya terkonsentrasi di sekitar Jalan S.Hasanuddin dan Jalan Jend. A. Yani/di sekitar Taman Bunga Arung Palakka di dekat Kantor Dinas Bupati.
Gambar 4.9.Kantor dinas bupati yang dibuat berdasarkan bentuk rumah raja Bone.
Gambar 4.11. Kantor Dinas Perhubungan
Gambar 4.10. KPUD Watampone
Gambar 4.12. Kantor Polisi Militer
96
Gambar 4.13. Sebaran Sarana Pemerintahan di kawasan Watampone.
97
Secara fisik, kondisi kantor-kantor pemerintahan seperti yang dapat dilihat pada gambar 4.9 – 4.12 berada dalam kondisi baik. Sedangkan untuk jumlah sarana kantor pemerintahan, tidak ada data mengenai kebutuhan tersebut.
Sarana pelayanan umum yang dimaksud disini meliputi bank, kantor pos, kantor telpon, kantor pelayanan pajak dan perpustakaan daerah. Dari peta sebaran sarana pemerintahan (gambar 4.13) dan sarana pelayanan umum (gambar 4.14) di kota Watampone, dapat disimpulkan bahwa sebaran sarana pemerintahan dan pelayanan umum letaknya berdekatan, terutama di daerah Taman Bunga Arung Palakka. Selain itu, pelayanan umum berupa bank, SPBU dan kantor pelayanan pajak terletak di area komersial kota, yaitu di dekat Pasar Sentral. Adapun jumlah ketersediaan sarana pelayanan umum yang teridentifikasi pada peta sebaran adalah sebagai berikut:
Tabel 4.2. Ketersediaan Sarana Pelayanan Umum SARANA PELAYANAN UMUM Bank Kantor Pos Telkom Polsek PLN SPBU Kantor Pelayanan Pajak Perpustakaan Daerah
98
JUMLAH 6 1 1 1 1 1 1 1
Pasar Sentral
Gambar 4.14. Sebaran Sarana Pelayanan Umum di kawasan perencanaan.
99
4.1.5 SARANA PENDIDIKAN Pelayanan fasilitas pendidikan sangat menentukan mutu dan tingkat pendidikan masyarakat, oleh sebab itu memerlukan ketersediaan pelayanan yang tidak hanya dari segi kuantitas tetapi juga memperhatikan ketersediaan prasarana pendidikan, tenaga pengajar serta kurikulum pendidikan yang disajikan. Fasilitas pendidikan yang ada di Kota Watampone dapat dilihat pada Tabel berikut ini.
Tabel 4.3. Jumlah dan Jenis Fasilitas Pendidikan di Kota Watampone No 1 1 2 3 4 5
Jenis Fasilitas Pendidikan Jumlah (Unit) 2 3 TK Negeri/Swasta 57 SDN/Swasta/MI 77 SLTP/Swasta/MTs 14 SLTA/Swasta/MA 11 PT 5 Jumlah 164 Sumber : Kabupaten Bone Dalam Angka, 2007
Persentase (%) 4 34,76 46,95 8,54 6,71 3,04 100,00
Tabel 4.4. Jumlah dan Jenis Fasilitas Pendidikan di kawasan Perencanaan No 1 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Fasilitas Pendidikan Jumlah (Unit) 2 3 Taman Kanak-Kanak 2 Madrasah Ibtidaiyah (SD) 1 SD & SMP Kristen 2 SD Negri 6 Kejar Paket A, B 1 Madrasah Tsanawiyah (SMP) 2 Madrasah Aliyah (SMA) 1 Jumlah 164 Sumber : Kabupaten Bone Dalam Angka, 2007
100
Gambar 4.15. Sebaran Sarana Pendidikan di kawasan Watampone.
101
Kondisi sarana pendidikan sudah cukup memadai seperti yang dapat dilihat dari gambar di bawah ini:
Gambar 4.16. Kondisi sarana pendidikan SD Negri 10 Manurunge di Jalan Andalas yang memperlihatkan kondisi bangunan SD yang cukup baik.
4.1.6. SARANA KESEHATAN Ditinjau dari lingkup pelayanan, sarana kesehatan Kota Watampone terdiri dari rumah sakit, puskesmas, posyandu, rumah bersalin, apotik, toko obat hingga praktek dokter (tabel 4.5). Namun, lokasi rumah sakit tidak berada pada kawasan perencanaan. Adapun sebaran sarana kesehatan pada kawasan perencanaan dapat dilihat pada gambar 4.17.
Tabel 4.5. Jumlah dan Jenis Fasilitas Kesehatan di Kota Watampone No 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Fasilitas Kesehatan Jumlah (Unit) 2 3 Rumah Sakit 1 Puskesmas 3 Pustu 2 Posyandu 75 Klinik KB 10 Praktek Dokter 33 Praktek Bidan 15 Apotek 17 Toko Obat 20 Jumlah 176 Sumber : Kabupaten Bone Dalam Angka, 2007
102
Persentase (%) 4 0,57 1,70 1,14 42,61 5,68 18,75 8,52 9,66 11,37 100,00
Upaya untuk memenuhi pelayanan kesehatan kepada masyarakat ditentukan oleh jumlah dan kualitas pelayanan fasilitas kesehatan. Jumlah dan kualitas yang dimaksud berkaitan dengan jumlah fasilitas, jangkauan, pelayanan, tenaga dan peralatan medis.
Gambar 4.17. Sebaran Sarana Kesehatan di kawasan Watampone.
103
4.1.7. SARANA PERIBADATAN
Mayoritas penduduk Kota Watampone menganut Agama Islam dan sebagian kecil menganut agama Kristen, Hindu dan Buddha. Jumlah penduduk menurut agama dapat dilihat pada Tabel dibawah ini. Tabel 4.6. Jumlah Penduduk Menurut Agama di Kota Watampone Dirinci Menurut Kecamatan Jumlah Penduduk (Jiwa) Islam Kristen Hindu 1 2 3 4 5 1 Tanete Riattang 41.603 1.227 140 2 Tanete Riattang Timur 37.153 3 Tanete Riattang Barat 36.405 514 2 Jumlah 691.956 1.741 142 Sumber : Kabupaten Bone Dalam Angka, 2007 No
Kecamatan
Buda 6 112 70 182
Dari jumlah penduduk menurut agama di kota Watampone ini, maka dapat disimpulkan fasilitas peribadatan yang paling banyak kebutuhannya adalah agama Islam. Jumlah dan jenis fasilitas peribadatan di kota Watampone dapat dilihat pada tabel 4.7. Sedangkan sebaran sarana peribadatan di kawasan perencanaan dapat dilihat pada gambar 4.18.
Tabel 4.7. Jumlah dan Jenis Fasilitas Peribadatan di Kota Watampone No 1 1 2 3 4 5
Jenis Fasilitas Kesehatan Jumlah (Unit) 2 3 Mesjid 99 Mushallah/Langgar 16 Gereja 2 Pura Vihara Jumlah 117 Sumber : Kabupaten Bone Dalam Angka, 2007
104
Persentase (%) 4 84,62 13,68 1,70 100,00
Gambar 4.18. Sebaran Sarana Peribadatan di kawasan Watampone.
Kondisi sarana peribadatan di kota ini cukup memadai. Oleh karena itu, penyediaan fasilitas peribadatan di kawasan ini lebih ditekankan pada peningkatan kualitas sarana dan prasarananya, seperti rehabilitasi dan perawatan bangunan tempat ibadah, baik
105
skala lingkungan maupun skala yang lebih luas. Kondisi sarana peribadatan kota Watampone dapat dilihat pada gambar-gambar di bawah ini:
Gambar 4.19. Kondisi Masjid Mujahiddin yang terawat.
Beberapa masjid yang ada di kota Watampone ini merupakan masjid bersejarah yang didirikan sejak tahun 1930-an, seperti misalnya Masjid Mujahiddin (gambar 4.19) yang didirikan sejak tahun 1930 dan Masjid Raya Watampone yang dibangun sekitar tahun 1940an.
Gambar 4.20. Gereja Kristen Kalam Kudus.
106
Gambar 4.21. Masjid Hikmah.
4.1.8. SARANA PERDAGANGAN DAN NIAGA
Sarana perdagangan skala kota yang tersedia berupa pasar dan pertokoan (ruko.warung/kaki lima) terkonsentrasi pada 2 area pada kawasan perencanaan (gambar 4.26). Selain itu, ada 3 pusat keramaian sarana perdagangan dan niaga pada kawasan ini, yaitu pada area Pantai Kering (Pujasera Malam hari, Mall Bone Trade Center dan Eks Pasar Sentral. Adapun jumlah fasilitas perdagangan yang ada di kota Watampone dapat dilihat pada tabel 4.8. Tabel 4.8. Jumlah dan Jenis Fasilitas Perdagangan dan Industri di Kota Watampone No Jenis Fasilitas Jumlah (Unit) Persentase (%) 1 2 3 4 1 Pasar Umum 4 10,26 2 KUD 10 25,64 3 Non KUD 23 58,97 4 Industri Kerajinan 2 5,13 Jumlah 39 100,00 Sumber : Kabupaten Bone Dalam Angka, 2007
Gambar 4.22. Ruko di sekitar Pasar Sentral. Sukowati
Gambar 4.24. PKL
Gambar 4.23. Suasana Ruko di Jalan
Gambar 4.25. Mall Bone Trade Center 107
1
2 3
Gambar 4.26. Sebaran Sarana Perdagangan & Niaga di kawasan Watampone.
108
4.1.9. SARANA RUANG TERBUKA, TAMAN DAN LAPANGAN OLAHRAGA
Secara umum, sebaran ruang terbuka, taman dan lapangan olahraga di kawasan perencanaan tidak banyak (gambar 4.28). Yang dimaksud sarana Ruang Terbuka disini adalah taman, lapangan olahraga, jalur hijau di sepanjang jalan/sungai. Permasalahan yang muncul dalam rencana pengembangan ruang terbuka, taman dan lapangan olahraga adalah terbatasnya lahan, mengingat kawasan perencanaan ini merupakan kawasan kota yang lahannya sudah digunakan oleh bangunan dan jalan. Lahan yang masih terbuka dan hijau masih tersedia di luar kawasan perencanaan.
Gambar 4.27. Suasana Taman Bunga Arung Palakka yang dipenuhi pepohonan baik pepohonan rindang maupun pepohonan yang lebih kecil. Sebuah patung Arung Palakka yang tingginya mencapai kurang lebih 7.5 m menjadi fokus dari taman ini.
109
Gambar 4.28. Sebaran Sarana Ruang Terbuka di kawasan Watampone.
110
Gambar 4.29. Suasana Lapangan Merdeka.
Selain 2 taman diatas, terdapat pula 2 lapangan olahraga di kawasan perencanaan ini, yaitu, lapangan tenis dan lapangan sepakbola. Berikut ini adalah gambar suasana kedua lapangan olahraga tersebut.
Gambar 4.30. Suasana Lapangan Tenis Merdeka
111
Gambar 4.31. Suasana Lapangan Sepakbola (Stadion Persibone) yang dibatas pagar setinggi 5 meter.
Gambar 4.32. Jalur hijau di sekitar Sungai kawasan perencanaan.
4.1.10. SARANA PERUMAHAN
Kondisi Sarana Perumahan di kawasan Watampone terdiri dari beberapa jenis rumah, yaitu: rumah panggung, landed house dan rumah ‘modern’ atau rumah yang relatif baru. Sebaran permukiman pada kawasan ini dapat dilihat pada gambar 6.35.
Gambar 4.33. Rumah panggung Bugis (kiri), Rumah ‘modern’ (tengah), Rumah Tunggal (kanan)
112
Gambar 4.34. Sebaran perumahan/hunian di kawawasan Watampone
113
4.2. SITUS-SITUS ARSITEKTURAL PENININGGALAN KERAJAAN BUGIS BONE
Pada kawasan Watampone, terdapat situs-situs budaya yang sekaligus juga menjadi obyek wisata sejarah di Kabupaten Bone yaitu (http://disbudparbone.blogspot.com/ 2012/02/objek-wisata-sejarah-di-kabupaten-bone): 1. Bukit Manurunge, Bukit ini berada di kecamatan Tanete Riattang, ri Matajang. Pada tahun 2007 Januari-Maret telah dikunjungi oleh 41 wisatawan nusantara. 2. Tanah Bangkalae, Tanag Bangkalae berada di kecamatan Tanete Riattang. Pada tahun 2007 Januari-Maret telah dikunjungi oleh 52 wisatawan nusantara dan 2 wisatawan mancanegara. 3. Museum Lapawawoi, Museum ini berada di kecamatan Tanete Riattang. Pada tahun 2007 Januari-Maret telah dikunjungi oleh 126 wisatawan nusantara dan 4 wisatawan mancanegara. 4. Bola Soba, Bola Soba berada di kecamatan Tanete Riattang. Pada tahun 2007 Januari-Maret telah dikunjungi oleh 203 wisatawan nusantara dan 5 wisatawan mancanegara. 5. Kompleks Makam, Makam ini berada di kecamatan Tanete Riattang Kalokkoe. Pada tahun 2007 Januari-Maret telah dikunjungi oleh 24 wisatawan nusantara. 6. Tempat Manurunge, Tempat ini berada di kecamatan Tanete Riattang ri Toro Timur. 7. Bubung Tello, Bubung/sumur ini berada di kecamatan Tanete Riattang. 8. Mesjid Tua, Mesjid ini berada di kecamatan Tanete Riattang. 9. Komp. Makam Mesjid, Makam ini berada di kecamatan Tanete Riattang. Tua Lalebata 10. Makam Laummasa, Makam ini berada di kecamatan Tanete Riattang Panre Bessi 11. Kuburan Petta Bettae, Kuburan ini berada di kecamatan Tanete Riattang Barat, dengan jumlah tenaga kerja 1 orang. Pada tahun 2007 Januari-Maret 2007 telah dikunjungi oleh 11 wisatawan nusantara. 12. Sungai Jeppe’e, Sungai ini berada di kecamatan Tanete Riattang Barat.. 13. Bubung Paranie,
Bubung/sumur ini berada di desa Lemo Ape kecamatan
Palakka. 14. Komp. Makam, Makam ini berada di desa Matuju kecamatan Ponggawae Awangpone 15. Bubung Assingireng,
Bubung/sumur ini berada di desa Unra kecamatan
Awangpone.
114
16. Makam Petta Makkarame, Makam berada di desa Manera kecamatan Salomekko. 17. Makam Laparu, Makam ini berada di desa Nagauleng kecamatan Matannatikka Cenrana, Pada tahun 2007 Januari-Maret telah dikunjungi oleh 452 wisatawan nusantara. 18. Makam Laoleo Boto’e, Makam ini berada di desa Itterung kecamatan Tellu Siattinge. 19. Tugu Malamung patu , Tugu ini berada di desaTelle kecamatan Ajangale 20. Makam Raja-Raja, Makam ini berada di desa lalebata kecamata Watang Lamuru. Lamuru dengan jumlah tenaga kerja 1 orang. Pada tahun 2007 Januari-Maret telah dikunjungi oleh 257 wisatawan nusantara dan 4 wisatawan mancanegara. 21. Makam Datu Salomekko, Musium ini berada di desa Balange kecamatan Salo Mekko Obyek Wisata Alam
Dari 21 situs budaya tersebut di atas. 5 di antaranya terdapat di dalam kawasan Watampone yaitu: Situs Manurunge, Tanah Bangkalae, Museum Lapawowi, Bola Soba, Gedung Pemuda Bone dan Lapangan Merdeka / Arung Palaka. 1. 2. 3. 4. 5.
Tanah Bangkalae Museum La Pawowi Gedung Pemuda Bone Situs Manurunge Bola Soba
Gambar 4.35. Sebaran lokasi situs-situs arsitektur di kawasan Watampone.
115
4.2.1. SITUS MANURUNGE (Manurungnge ri Matajang atau Mata Silompoe) Disinilah tempat terjadi kontrak pemerintah Rakyat Bone (Tujuh raja-raja kecil) dengan Manurung E.rimatajang Raja Bone Pertama pada tanggal 16 April 1330 dan menjadi hari lahirnya Kabupaten Bone. Berada di lokasi Kecamatan Tanete Riatang. Manurung merupakan manusia suci yang turun dari langit. Manurunge adalah pemersatu rakyat yang bertikai saat itu (matoa-mata) ke dalam Kerajaan Bone. Raja Manurung E.ri sebenarnya tidak diketahui asal usulnya sehingga di gelar Manusia Suci yang Turun dari Langit. Berkata rakyat Tana Bone, "agar menetaplah di Tanah Bone dan engkau yang kami angkat menjadi raja untuk memimpin kami, namun anak dan istri kami, bila engkau tidak menyetujuinya, kamipun menurut kepadamu, asalkan engkau .... keselamatan kami dan ....." (tulisan tidak lengkap) dan berkata Manurung E.ri, "Saya menjunjung tinggi di atas kepala saya dan menghargai kata-kata dan persatuanmu untuk mengangkat saya menjadi raja." Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah ade pitue. Manurungnge ri Matajang dikenal juga dengan nama Mata Silompoe. Adapun ade' pitue terdiri dari matoa ta, matoa tibojong, matoa tanete riattang, matoa tanete riawang, matoa macege, matoa ponceng. istilah matoa kemudian menjadi arung. setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh putranya yaitu La Ummasa' Petta Panre Bessie. Kemudian kemanakan La Ummasa' anak dari adiknya yang menikah raja Palakka lahirlah La Saliyu Kerrempelua. pada masa Arumpone (gelar raja bone) ketiga ini, secara massif Bone semakin memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan barat
Gambar 4.36. (kiri) Situs Manurungnge. (kanan) Tulisan aksara Bugis pada Situs. yang artinya “Disinilah tempat terjadinya kontrak Pemerintahan antara rakyat Tana Bone dengan Ma-Nurungge. Ri Matajang Raja Bone 1, 6 April 1330.
116
4.2.2. SITUS TANAH BANGKALAE
Dahulu kerajaan di tanah Sulawesi sering terjadi selisih paham semisal antara Kerajaan Goa, Kerajaan Bone, dan Kerajaan Luwu. Untuk mempersatukannya dibentuklah simbol pemersatu ketiga kerajaan itu. Tanah Bangkalae itu merupakan penyatuan tanah dari 3 kerajaan tersebut dengan tujuan agar ke-3 kerajaan tersebut bersatu. Menjadi tempat pelantikan raja yang dimulai dari Raja Bone saat itu yaitu Raja Bone ke 16. Tanah Bangkalae adalah tanah tempat pelantikan raja, berwarna kemerah-merahan, dan dianggap sebagai Tanah Dewa.
Gambar 4.37. Situs Tanah Bangkalae yang sudah diberi atap sebagai penanda. Selain itu, situs ini juga sudah ditata dengan paving blok dan pagar disekitarnya
4.2.3. SITUS LA PAWAWOI SAORAJA
Merupakan rumah Raja Bone ke-31, Andi Mapparinggi bergelar Lawawowoi Karaeng Sigeri Matinroe Ri Bandung, yang dijadikan sebagian rumahnya dijadikan museum Bugis Bone. Museum ini menjadi tempat penyimpanan benda-benda seni dan budaya tradisional Bugis Bone. Dahulunya pernah menjadi gedung DPRD Kabupaten Bone. Menyimpan gambar raja-raja Bone dan benda-benda duplikat upacara adat istiadat Bone.
117
Gambar 4.38. Museum La Pawawoi yang memperlihatkan ornamen atap bangunannya menyerupai rumah-rumah bangsawan Bugis. Museum La Pawawoi dulunya merupakan istana (Saoraja,red) Raja Bone, A Mappanyukki, saat yang bersangkutan menjadi Raja Bone Ke-34. Museum ini, menyimpan peninggalan Kerajaan Bone, dan terletak di Jalan MH Thamrin, Watampone.
Gambar 4.39. Foto Raja Bone Ke-31 La Pawawoi Karaeng Sigeri dan Jajaran Petinggi Istana Museum ini diberi nama Museum La Pawawoi, karena La Pawawoi Karaeng Sigeri sendiri merupakan Raja Bone Ke 31 pada tahun 1895-1905, yang mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta.
118
Istana Raja Bone ini pun dipugar oleh Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, yang dikerjakan tahun 1679 sampai tahun 1981. dan diresmikan menjadi Museum La Pawawoi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Prof. Dr. Daud Yusuf, pada tahun 1982.
Di museum ini, ada satu peninggalan dari Raja Bone ke II, La Ummasa Petta Mulangnge Panre atau Petta Panre BessiE, yaitu Lanreseng atau landasan untuk menempa besi, yang masih tersimpan dan menjadi koleksi dari Museum La Pawawoi. Raja Bone kedua ini merupakan pandai besi karena dialah yang mula-mula menciptakan dan mengajarkan alat-alat dari besi di Bone. Makamnya terletak di Jalan Ahmad Yani Pusat Kota Watampone.
Lanreseng tersebut merupakan alat yang digunakan untuk membuat berbagai alat-alat dari besi. Tak hanya itu, koleksi lainnya yaitu Bessi Sikoi atau besi yang berupa cincin yang saling mengait satu sama lainnya, milik La Tenri Tata Arung Palakka. Dan piagam penghargaan VOC Belanda kepada Arung Palakka masih tersimpan di Museum La Pawawoi ini. "Piagam itu merupakan bentuk penghargaan VOC Belanda kepada La Tenri Tatta Arung Palakka atas kerjasamanya saat itu (kooperatif dalam artian sebuah strategi), dan piagam itu bertuliskan tinta emas,".
Museum La Pawawoi
memiliki lima ruangan, dan masing-masing ruangan itu,
menyimpan berbagai koleksi peninggalan kerajaan Bone. Di ruangan pertama atau bagian depan dari Museum ini, menyimpan sejumlah koleksi seperti koleksi keramik, peralatan makan para raja, alat tenun, peralatan bissu, peralatan nelayan, serta duplikat bendera Kerajaan Bone.
Ruangan kedua atau bagian tengah museum ini, menyimpan pelaminan, peralatan makan Ade Pitu atau Tujuh dewan adat kerajaan, pakaian adat, dan beberapa koleksi keramik lainnya. Di ruangan ini, berjejer sejumlah peralatan makan yang sengaja ditata secara rapi. Demikian halnya dengan pelaminan di ruangan ini. Sementara itu, di ruangan ketiga menyimpan silsilah Raja Bone, dari Raja Bone pertama, yaitu Manurunge Ri Matajang hingga Raja Ke 33, . Selain itu, di ruangan ini juga menyimpan duplikat rambut Arung Palakka, duplikat mahkota dan pedang, serta photo Raja Bone dan keturunannya. "Photo penangkapan Raja Bone La Pawawoi Karaeng Segeri, dan saat diasingkan di Bandung pun ada di ruangan ini,"
119
Gambar 4.40. Barang-barang peninggalan kerajaan Bone di Museum Lapawawoi
Sedangkan, di ruangan keempat, tersimpan duplikat payung emas Kerajaan Bone, dan perisai kerajaan, kaleo malebu. Dan stempel Kerajaan Bone saat dipimpin Raja Bone ke 30, Fatimah Banri petta Matinroe Ri Bolampare. Stempel itu sendiri, digunakan dalam urusan administrasi kerajaan saat itu. Di ruangan kelima, tersimpan piagam penghargaan VOC Belanda ke Arung Palakka, dan bessi sikoi milik Arung Palakka, serta sejumlah photo Raja Bone dan keturunannya.
Museum Lapawawoi, sering mendapat kunjungan baik dari kabupaten Bone maupun dari daerah lain. Tak hanya itu, pengunjung dari provinsi lain di Indonesia juga kerap
120
mengunjungi museum ini. Bahkan, ada pengunjung yang berasal dari luar negeri, seperti Malaysia, Singapore, Belanda, hingga Prancis. "Umumnya pengunjung yang berasal dari Malaysia dan Singapore itu, masih mempunyai keturunan Bugis". Umumnya, pengunjung yang datang ke museum ini, yaitu pelajar baik di tingkat SD sampai SMA, dan mahasiswa. Mungkin sebagai generasi muda sudah mulai tertarik mengunjungi,nya. terutama anak sekolah dan mahasiswa. Dia berharap, agar masyarakat
paham
sejarah
budaya,
tradisi
dan
pahlawannya,
dan
ikut
melestarikannya. Apalagi, Kabupaten Bone menjadi salah satu ikon pariwisata Sulsel.
Museum Lapawawoi terletak di pusat kota Watampone. Tempat ini menjadi tempat yang paling sering dikunjungi terlebih bagi mereka yang ingin mengetahui lebih dalam tentang kejayaan Bone masa lampau. Di museum ini terdapat berbagai koleksi benda peninggalan Kerajaan Bone yang masih terawatt dengan baik. Benda-benda tersebut merupakan bukti kebesaran Kerajaan Bone pada masa lalu.
Adapun benda-benda yang dipamerkan di museum Lapawawoi antara lain : 1.
Peralatan Upacara Penjemputan
2.
Peralatan Makan untuk Raja
3.
Peralatan Bissu dan Upacara Spiritual
4.
Peralatan Perkawinan
5.
Peralatan Tenun
6.
Peralatan Perang
7.
Duplikat Payung Emas (aslinya disimpan di Museum Arajangnge yang terletak berdampingan dengan Rumah Jabatan Bupati Bone)
8.
Duplikat Selempang Emas (aslinya disimpan di Museum Arajangnge)
9.
Stempel Kerajaan
10. Pakaian Adat 11. Peralatan Nelayan 12. Peralatan Musik Tradisional 13. Duplikat Mahkota Arung Palakka 14. Piagam VOC 15. Koleksi Mata Uang Kuno 16. Koleksi Keramik 17. Koleksi Buku Lontara 18. Koleksi Foto-foto Kerajaan
121
4.2.4. SITUS BOLA SOBA (Soraja Petta Panggawae)
Bola Soba atau dalam bahasa Indonesia yang diartikan rumah persahabatan merupakan salah satu peninggalan sejarah. Berdiri kokoh di ruas Jln Latenritatta, Watampone, bangunan ini sarat dengan nilai-nilai sejarah yang tersirat. Bola Soba merupakan salah satu bangunan bersejarah di Watampone, ibukota Kabupaten Bone. Sepintas lalu, tak ada yang istimewa dengan bangunan yang berdiri di atas lahan seluas hampir 1/2 hektar tersebut.
Dari luar, tampak hanya sekadar bangunan rumah panggung tradisional ala masyarakat Bugis. Rumah yang berbentuk panggung dan biasanya memiliki 3 bagian yaitu bagian atas, tengah dan bawah. Rumah ini menjadi inspirasi bagi pembangunan Rumah Besar (Saoraja). Bagian atas untuk menyimpan (lumbung) padi/makanan. Tempat tinggal ada di bagian tengah. Sejak jaman Belanda sudah jarang dibangun Rumah Adat Bone dengan kayu, lebih banyak dari semen. Sekarang masih tersisa di daerah Watampone.
Gambar 4.41. Bola Soba
Hanya ada papan nama di depan bangunan serta gapura yang mempertegas identitas bangunan tersebut. Memasuki bagian dalam bangunan, tak ada benda-benda monumental yang bisa menjelaskan secara historis bangunan tersebut. Hanya beberapa perlengkapan kesenian, seperti kostum tari dan gong. Setiap hari bangunan Bola Soba ini memang menjadi tempat latihan salah satu sanggar kesenian yang ada di kota ini. Selain itu, di bagian lain ruangan terdapat ‘bangkai’ meriam tua, potret
122
Arung Pallakka, silsilah raja-raja Bone, serta beberapa benda-benda tertentu yang sengaja disimpan pengunjung sebagai bentuk melepas nazar.
Melalui penuturan Abidin (54 tahun), Koordinator Wilayah (Koorwil) Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Bone diceriterakan sejarah bangunan ini. Bola Soba dibangun pada masa pemerintahan Raja Bone ke-30, La Pawawoi Karaeng Sigeri sekitar tahun 1890. Awalnya, diperuntukkan sebagai kediaman raja pada waktu itu,” Selanjutnya, ditempati oleh putra La Pawawoi, Baso Pagilingi Abdul Hamid yang kemudian diangkat menjadi Petta Ponggawae (Panglima perang) Kerajaan Bone. Saat ditempati oleh Petta Ponggawae, maka singkap rumah (timpa’laja) diubah menjadi empat singkap setelah sebelumnya lima singkap. Sebab, dalam tata kehidupan masyarakat Bugis, lima singkap timpa’laja dalam bangunan rumah diperuntukkan bagi rumah raja dan timpa’laja dengan empat singkap untuk putra raja.
Seiring dengan ekspansi Belanda yang bermaksud menguasai Nusantara, termasuk Kerajaan Bone pada masa itu, maka Saoraja Petta Ponggawae ini pun jatuh ke tangan Belanda dan dijadikan sebagai markas tentara. Tahun 1912, difungsikan sebagai mes atau penginapan untuk menjamu tamu Belanda. “Dari sinilah penamaan Bola Soba’ yang berarti rumah persahabatan,” Selanjutnya, Bola Soba’ juga pernah difungsikan sebagai istana sementara Raja Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-31, La Mappanyukki padatahun 1931, menjadi markas Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS), menjadi asrama TNI pada tahun 1957 hingga kemudian dijadikan sebagai bangunan peninggalan purbakala.
Tiga Kali Pindah Lokasi Bola Soba setidaknya telah mengalami tiga kali pemindahan lokasi. Lokasi aslinya, terletak di Jln Petta Ponggawae yang saat ini menjadi lokasi rumah jabatan bupati. Selanjutnya, dipindahkan ke Jln Veteran dan terakhir di Jln Latenritatta sejak tahun 1978, yang peresmiannya dilakukan pada 14 April 1982 oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) saat itu, Prof Dr Daoed Joesoef. Sebagai bangunan peninggalan sejarah, Bola Soba didesain untuk mendekati bangunan aslinya. Namun demikian, beberapa bagian juga mengalami perubahan, baik perbedaan bahan maupun ukurannya”.
Secara umum, Bola Soba yang memiliki panjang 39,45 meter ini terdiri dari empat bagian utama, yakni lego-lego (teras) sepanjang 5,60 meter, rumah induk (21 meter),
123
lari-larian/selasar penghubung rumah induk dengan bagian belakang (8,55 meter) serta bagian belakang yang diperuntukkan sebagai ruang dapur (4,30 meter). Dinding dan tappi, dilengkapi dengan ukiran pola daun dan kembang sebagai ciri khas kesenian Islam dan banji (model swastika) yang diperkenalkan oleh orang Tionghoa”.
Selain sebagai tempat latihan salah satu sanggar musik, Bola Soba yang juga menjadi objek wisata sejarah ini banyak dikunjungi oleh wisatawan, tak hanya dari Kabupaten Bone, bahkan juga dari Jawa, Balikpapan, Kalimantan Timur, Malaysia hingga warga Jerman. Beberapa di antaranya merupakan warga Bone yang merantau dan mengunjungi Bola Soba untuk melepas nazar. Bahkan, beberapa kerap mengaku masih keturunan Raja Bone ke-31, La Mappanyukki dan meninggalkan benda-benda tertentu sebagai bagian dari pelepasan nazar”.
4.2.5. SITUS MAKAM RAJA-RAJA BONE
Makam Raja Bone ke 13 dan 21 Kalokkoe berada di belakang Mesjid Tua AlMujahidin. Makam Raja Bone memang tersebar di Lalebata, Naga Ulun, Luwu, Bukaka, Bantaeng, Makassar, bahkan ada di Tanah Kalibata.
Gambar 4.42. Makam-makam raja-raja Bone
4.2.6. SITUS MASJID TUA AL-MUJAHIDIN
Merupakan salah satu jejak Islam di Tanah Bone. Berada di tengah-tengah kota Watampone. Mesjid ini masih asli dan merupakan salah satu dari jejak Islam di Sulawesi. Memiliki sebuah tembok pertahanan dengan tebal sekitar 1 meter.
124
Gambar 4.43. Mesjid Mujahiddin
4.2.7. SITUS PATUNG ARUNG PALAKKA
Raja pemersatu rakyat Bugis dan wilayah Sulawesi, gagah berani dan mempunyai sifat terpuji. Pahlawan Bone, Pahlawan Kemanusiaan. Arung Palakka yang mengeluarkan masyarakat Bone dari garis kemiskinan dan tindasan kerajaan lain. Benda-benda milik Arung Palakka yang juga merupakan benda-benda pusaka seperti Payung Emas, Payung Perak, Sarung dan Pegangan, serta Selempang/Salimpang Emas (Sembangengpulaweng) yang panjangnya 177 cm dengan berat 5 kg emas murni 24 karat di simpan di Museum Arajang. Setiap tahunnya
dilakukan
pembersihan
benda-benda
bersejarah dan sakral tersebut. Museum ini dibuka setahun sekali pada hari jadi Tanah Bone mengingat banyak benda bersejarah yang sangat perlu dilindungi. Gambar 4.44. Patung Arung Palakka
125
BAB 5 KESIMPULAN Kawasan Watampone merupakan bagian dari laboratorium alam sejarah dan budaya yang sangat kaya baik sebagai sebuah bagian kebudayaan urban kerajaan Islam Sulawesi Selatan, sejarah pergerakan nasional dan kemerdekaan serta kebudayaan Bugis Bone sendiri yang berkembang secara khas dan unik.
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat dijawab beberapa pertanyaan penelitian terkait seperti apakah morfologi kawasan Pusat kerajaan Bone Masa Silam ini pada masa kini?. Secara fisik, morfologi kawasan Watampone sudah tidak memperlihatkan lagi sisasisa kota kerajaan Bugis Bone pada masa silam. Secara fungsional, kawasan ini telah menjadi entitas pariwisata maupun sebagai fasilitas publik lain seperti sekolah, perkantoran, rumah sakit, ruang terbuka hijau dan sebagainya. Secara ekonomi, kekayaan sejarah dan budaya di Kawasan Watampone menjadi daya tarik bagi sektor pariwisata yang bertumpu kepada budaya serta sektor pendidikan untuk tumbuh dan berkembang memberikan nilai ekonomi yang signifikan. Secara sosial, aset pusaka di Kawasan Watampone tidak hanya bermanfaat sebagai aset ekonomi melainkan juga sebagai aset bernilai sosial, seperti konsep magersari pada beberapa aset pusaka milik kerajaan. Namun demikian, situs-situs arsitektural peninggalan kerajaan Bone masa silam yg masih bertahan hingga kini masihncukup mendukung citra kawasan ini sebagai kawasan kota beesejarah.
Selanjutnya adakah situs-situs arsitektural peninggalan kerajaan Bugis Bone yang masih bertahan hingga saat ini? Berdasarkan penelitian ini, pada kawasan Watampone, terdapat situs-situs budaya yang sekaligus juga menjadi obyek wisata sejarah di Kabupaten Bone yaitu: 1. Bukit Manurunge, Bukit ini berada di kecamatan Tanete Riattang, ri Matajang. 2. Tanah Bangkalae, Tanag Bangkalae berada di kecamatan Tanete Riattang. 3. Museum Lapawawoi, Museum ini berada di kecamatan Tanete Riattang. 4. Bola Soba, Bola Soba berada di kecamatan Tanete Riattang. 5. Kompleks Makam Raja-Raja Bone, Makam ini berada di kecamatan Tanete Riattang Kalokkoe. 126
6. Bubung Tello, Bubung/sumur ini berada di kecamatan Tanete Riattang. 7. Mesjid Tua Al Mujahiddin yang berada di kecamatan Tanete Riattang. 8. Komp. Makam Mesjid, Makam ini berada di kecamatan Tanete Riattang. Tua Lalebata
Bagaimana peranan situs-situs arsitektural peninggalan kerajaan Bugis Bone yang masih bertahan tersebut terhadap citra kawasan kota bersejarah Watampone?. Keistimewaan kawasan bersejarah yang meninggalkan sistem Kesultanan Bugis Bone sebagai bagian dari sistem pemerintahan dan sosial budaya merupakan satu-satunya di Indonesia. Keistimewaan ini juga memberikan warna dalam berbagai bentuk pembangunan di Kawasan Watampone termasuk berbagai pusaka yang terkait di dalamnya. Atribut pada Kawasan Kota Bersejarah Watampone yang merupakan aspek penentu identitas dan citra arsitektural kawasan. yaitu :
1. Ekspresi disain fisik Menunjukkan evakuasi panjang kesejahrahan tumbuh kembang kota yang terlihat dari tinggalan berbentuk struktur kota, bentang alam, representasi suatu langgam, wajah jalan, monumen, arsitektur, teknologi, pertukangan, dan/atau seni budaya yang istimewa. Dalam hal ini Kawasan Watampone memiliki evakuasi kesejarahan dalam representasi bentuk tata ruang, tata kota, tata bangunan dan arsitektur mulai dari kota kecil yang disebut Kota Kawerang, kemudian menjadi kota benteng Lalebbata dan terakhir menjadi kota Pusat Kerajaan Bugis Bone yang disebut kota Watampone hingga kota masa pemerintahan kolonial Belanda dan ekspresi arsitektur kontemporer pasca kemerdekaan.
2. Mencerminkan identitas budaya Menampilkan dan menjadi contoh ciri khas lokal dan/atau percampuran antar budaya daerah/bangsa yang tercermin dalam keunikan dan karakteristik suatu tempat dan/atau identitas budaya baik ragawi maupun tak ragawi yang masih ada atau hampir punah. Identitas budaya Kawasan Watampone dalam karakteristik budaya Bugis yang masih tersisa hingga kini, baik dalam bentuk ragawi seperti langgam arsitektur maupun bentuk non ragawi seperti model busana daerah, upacara adat, hingga bahasa tutur dan sastra.
127
3. Bernilai Sejarah Adalah memiliki peran sebagai wadah peradaban, tradisi, gerakan perjuangan bangsa atau kejadian yang istimewa bagi Negara. Kawasan Watampone memiliki nilai sejarah mulai dari budaya kerajaan Islam Bugis, sejarah pergerakan dan kemerdekaan hingga pembangunan dan reformasi.
Upaya konservasi atau perlindungan fisik dan makna kawasan Watampone yang perlu dilakukan adalah : a) Pemahaman terhadap peran pusaka dan dampak positifnya dalam kehidupan sehingga masyarakat memiliki kesadaran untuk melestarikan pusaka; b) Intentarisasi dan dokumentasi berbagai aset pusaka ragawi dan pusaka non ragawi; c) Advokasi, informasi, edukasi dan promosi terhadap upaya pelestarian pusaka baik ragawi maupun non ragawi; d) Perencanaan secara komprehensif terhadap pelestarian pusaka baik ragawi maupun non ragawi; e) Upaya perlindungan secara fisik terhadap aset pusaka ragawi dengan jalan konservasi, preservasi, restorasi serta revitalisasi berbagai aset pusaka ragawi
128
DAFTAR PUSTAKA Burgess, R. dan Tuvey, W. (2005). Urban Conservation Areas Study for the Local and Central City Commercial Areas. Christchurch; Opus International Consultant ltd. Endlebury, J. (2009). Conservation in the Age of Concensus. New York; Routledge Punter, J. and Carmona, M. (1997). The Design Dimension of Planning: Theory, Content and Best Practice for Design Policy. London: E & FN Spon. Hamid, Abu (2012) Kebudayaan Bugis, Makassar: Bidang Sejarah dan Purbakala Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan. Heryanto, Bambang (2011) Roh Dan Citra Kota, Peran Perancangan Kota Sebagai Kebijakan Publik, Surabaya: Brilian Internasional. Hurley, A. (2010). Beyond Preservation. Using public History to Revitalize Inner Cities, Philadelphia, Pennsylvania: Temple University Press Larkham, P.J. (1996). Conservation and the city. London: Routledge Logan, W.S. et.al. (ed.). (2002) The disappearing “Asia” City: Protecting Asia’s Urban Heritage in a Globalizing World. Oxford: Oxford University Press. Lynch, Kevin (1962) The Image Of The City, Massachusette: The Mit Press. Mappangra, Suriadi ed.(2004) Ensiklopedi Sejarah Sulawesi Selatan, Makassar: Bidang Sejarah dan Purbakala Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan. Mappangra, Suriadi ed. (2012), Ensiklopedi Tokoh dan Peristiwa Sejarah Sulawesi Selatan, Makassar: Bidang Sejarah dan Purbakala Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan.Martokusumo, W dan Zulkaidi, D. (2014). Heritage List. Some Notions on Area-based Conservation. Lesson Learned from Bandung. Proceeding on International Conference on Urban and Regional Planning, University Teknologi Malaysia, Skudai, Johor Bahru. Martokusumo, W. (2014). “Pelestarian dan Perencanaan/Perancangan Lingkungan Binaan.
Sejumlah
Catatan
Diskusi
untuk
Konsep
dan
Implementasi
Pelestarian.” Materi diskusi bulanan dewan pakar Badan Pelestarian Pusaka Indonesia, Agustus 2014 Martokusumo, W. (2011). Contesting The Past: Between Authenticity and Urban Conservation. Asean Journal on Hospitality and Tourism. Vol. 10, 1, July, hal. 63-76 P Orbașli, A. (2008). Architectural Conservation. Principles and Practice. Oxford: Backwell Publishing 129
Ouf, A.M.S. (1999). Urban conservation in practice and theory: shifting attitudes, in: Proceedings of Cairo University/Texas A&M University Conference on Planning Education for the 21st Century, 26-28 April Ouf, A.M.S. (2001). Authenticity and the sense of Place in Urban Design. Journal of Urban Design 6/1, 73-86. Rahim, Abdul (2012) Pappaseng: Wujud Idea Budaya Bugis Makassar, Makassar: Bidang Sejarah dan Purbakala Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan,
130