MORFOLOGI KAMPUNG KALENGAN KELURAHAN BUGANGAN KOTA SEMARANG
Abstract The Existence of the city as a space where people do various activities was being object of discussion that is never completed. Likewise Kampung Kalengan, an urban village in Bugangan Semarang City which is known as home industry area for can/metal craft. This is interesting due to its special historical reconstruction phenomenon which industrial activities were performed at daily home environment. This research made to know the morphological development phenomenon of Kampung Kalengan, through historical approach, by using qualitative method. Space reconstruction analysis showed that the morphology development of Kampung Kalengan can be divided into 5 phases, with indication of industrial units development into the east side, along pre-post construction of Barito Street. Spatial integration between the home environment and industrial units initially was a unity, then become two sides of spatial, but still can’t be separated. It was found that there are external and internal aspects which are taking a part in the morphological formation of Kampung Kalengan, they are accessibility, government’s policy, local wisdom, and adaptability of Bugangan own residents. Keywords: morphology; urban village; industry; qualitative; Kampung Kalengan
1. Pendahuluan Arsitektur dan urban design banyak dipandang sebagai hal-hal yang berkaitan dengan keindahankeindahan bangunan dan desain perkotaannya. Memang tidak salah, namun pandangan tersebut belum menyeluruh (Budihardjo, 1994). Bernard Rudolsky (1965) juga menyatakan bahwa karya lingkungan atau bangunan yang terbentuk secara spontan oleh mereka yang tidak memiliki pendidikan formal arsitektur, ternyata tidak kalah nilainya sebagai karya arsitektur. Indonesia adalah wadah dimana isu ‘kampung kota’ (sebutan untuk kampung-kampung rakyat yang masih berada di wilayah perkotaan) menjadi wacana perkotaan dan ‘arsitektur populis’ yang menarik, dengan 33 provinsi dan 497 kabupaten/kota (398 kabupaten dan 93 kota serta 5 kota administratif dan 1 kabupaten administratif di Provinsi DKI Jakarta) (KOMPAS, 2011). Zahnd (2006) menjelaskan pernyataan Hanan (1996) bahwa 60-70% populasi penduduk di kota-kota Indonesia tinggal di kampung kota mengindikasikan kampung kota memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam perkembangan kota. Selain menjadi potensi, tentu juga memberikan masalah terhadap kotanya. Kajian tentang kampung kota mau tidak mau harus tetap dilakukan, guna perbaikan dan perkembangan kota tersebut. Kampung Kalengan adalah kampung kota di Semarang, yang masuk dalam wilayah administrasi Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur. Sebutan ‘Kampung Kalengan’ memang tidak terdaftar secara administratif, namun sudah dikenal oleh masyarakat sebagai sebuah kumpulan industri rumah tangga dengan kerajinannya yang berbahan kaleng/logam (Suara Merdeka, 2012). Unit-unit usaha industri Kampung Kalengan berkembang dari
lingkungan rumah tinggal dan terjadi dalam rentang waktu tertentu, sekaligus menjadi refleksi kekhasannya. Perkembangan ruang dan dinamika aspek lain yang mengikutinya dapat dipelajari dengan sebuah kajian morfologi ruang. Dari rumusan di atas, maka saya membuat pertanyaan penelitian sebagai berikut: - Bagaimanakah perkembangan morfologi Kampung Kalengan Bugangan Semarang? - Apakah yang melatarbelakangi perkembangan morfologi tersebut? 2. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui fenomena perkembangan morfologi Kampung Kalengan Bugangan Semarang yang terjadi dalam beberapa fase secara kontekstual, dengan sasaran: - Rekonstruksi perkembangan ruang. - Analisis keruangan kampung. - Penggalian hal yang melatarbelakangi perkembangan morfologi yang terjadi. 3. Morfologi Kampung Kota Kampung kota didefinisikan sebagai bentuk permukiman perkotaan khas Indonesia dengan ciri ikatan kekeluargaan yang erat, kondisi fisik bangunan dan lingkungan kurang baik dan tidak beraturan, dan berbagai permasalahan lainnya (Suryandari, 2007). Kampung kota biasanya terbentuk secara organis dan tanpa arahan formal. Kostov (1991) memandang fenomena pembentukan ruangnya bercirikan organic pattern, melalui alur waktu dan kehidupan keseharian, fungsi dan bentuk menjadi satu kesatuan bersama, tidak dapat dipisahkan secara jelas antara kepentingan individu/privat maupun kepentingan umum/publik. Menurut Rossi (1982), morfologi adalah usaha dalam mendeskripsikan suatu urban artefak, dengan
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/September 2013/111
1
penggambaran perkembangannya. Menurut Shultz dalam Zahnd (1999), melakukan kajian morfologi akan berkaitan dengan kualitas figurasi melalui penghubungan pola-pola, hirarki ruang maupun hubungan ruang yang satu dengan ruang lainnya. Mengkaitkan antara ruang kampung dengan pembahasan morfologi ternyata sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Carmona et.al. (2003), dimana kajian morfologi didefinisikan sebagai kajian tentang bentuk dan proses terbentuknya suatu permukiman atau perkampungan, yang menekankan pada analisis evolusi perubahan permukiman. Beberapa elemen pembentuk morfologi ruang, yaitu:
-
4. Materi dan Metode Penelitian dilakukan di kawasan Kampung Kalengan dengan luas ±7,5 Ha, terletak di dalam wilayah Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang. Cakupan penelitian membahas ruang kampung dalam lingkup meso. Setelah melakukan mini tour dan dengan memperhatikan sasaran penelitian, diperoleh rumusan unit analisis
Gambar 1. Lokasi Penelitian dilihat dari Kawasan Kota Semarang sebagai penelitian (Sumber: Dinas Tata Ruang Kota Semarang – CADpengarah Kota Semarang, 2013)dan dasar pembentuk garis
Land use (penggunaan lahan) Elemen ini bersifat temporer, dapat dijadikan dasar untuk membangun kembali dan merencanakan fungsi baru dari suatu bangunan yang akan dibuat. - Building structures (tipe dan massa bangunan) Massa bangunan memiliki peran yang kuat dalam membentuk struktur kawasan dan jaringan jalan, dan sering menjadi refleksi dari kawasan itu sendiri. - Plot pattern (pola kapling) Pola kapling dapat berubah karena adanya aktivitas jual beli kapling. Pengurangan akibat pembagian kapling, atau penambahan akibat penggabungan kapling biasa terjadi dalam suatu kawasan. - Street pattern (pola-pola jalan/sirkulasi) Jaringan jalan merupakan elemen morfologi yang cukup mudah terlihat perkembangannya, baik melanjutkan pola yang sudah ada, atau terbentuk pola baru melalui suatu proses. Selain keempat elemen tersebut, perubahan
2
dominasi aktivitas industri ternyata juga berpengaruh terhadap perkembangan morfologi sebuah kampung (Priyatmono, 2009).
JAP Vol.1 No.1 Sep. 2013
besar pertanyaan-pertanyaan dalam wawancara. Dirumuskan bahwa kajian tentang ruang kampung tidak hanya membicarakan elemen fisik, namun juga aspek nonfisik seperti sosial, budaya, dan ekonomi, sesuai keadaan kontekstual. Berikut yang menjadi unit analisis penelitian. - Elemen perkembangan ruang kampung • skema sirkulasi • penggunaan lahan • massa bangunan - Komponen Fisik penyusun ruang kawasan kampung • ruang halaman/lapangan • ruang jalan - Komponen Non Fisik penyusun ruang • aspek sosial ekonomi • aspek sosial budaya Kajian morfologi dilakukan melalui pendekatan historis dengan metode kualitatif, dimana objek penelitian tidak akan dilepaskan dari konteksnya dan
dilihat dalam kerangka holistik (Muhadjir, 1996). Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui beberapa cara, yaitu: 1. Observasi Observasi di lapangan dilakukan dengan mendata objek fisik spasial, aktivitas beserta pelaku pengisi ruang kampung diwaktu dan hari yang berbeda (pagi, siang, malam, weekday, weekend) sehingga tidak hanya gambaran fisik ruang kampung yang diperoleh, namun juga pola kehidupan warga kampung yang mengisinya. 2. Wawancara • wawancara terstruktur, memperoleh informasi yang sama untuk setiap responden, seperti datadata kepemilikan ruang dan unit usaha, jumlah unit usaha, dan lain-lain. • wawancara terbuka, dilakukan secara lebih mendalam dengan pedoman garis-garis besar pertanyaan yang ingin disampaikan. Hasil wawancara dituangkan dalam catatan lapangan. Catatan lapangan, menurut Bogdan dan Biklen (1982) dalam Moleong (2000), adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif. Catatan lapangan dikumpulkan dan diberi kode-kode untuk mempermudah pengelompokkan informasi. Teknik wawancara dilakukan dengan bantuan recorder sehingga proses penggalian informasi bisa lebih fokus, tanpa harus banyak terbagi dengan aktivitas mencatat jawaban dari informan. Target yang akan dicapai adalah terkumpulnya informasi mengenai perkembangan kampung dan berbagai aspek non fisik. 3. Dokumentasi Dengan foto-foto lapangan, sketsa suasana lingkungan, rekam audio dan video, dan penggalian dokumen-dokumen instansi pemerintahan dan informan. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah sebagai berikut: • Daftar pertanyaan wawancara terstruktur • Daftar acuan pertanyaan wawancara terbuka • Alat tulis dan kelengkapannya • Kamera foto • Recorder • Alat ukur ruang (meteran) • Foto udara objek penelitian • Peta
JAP Vol.1 No.1 Sep.2013
Gambar 2. Format Catatan Lapangan Penelitian Morfologi Kampung Kalengan Bugangan (Sumber: Rumusan Peneliti, 2013).
5. Sejarah Kampung Kalengan Cikal bakal Kampung Kalengan ini bermula ketika Mbah Pon dan Mbah Saleh, warga lingkungan rumah tinggal Bugangan, membuat produk kebutuhan rumah tangga seperti ember, angklo, dan kompor sumbu yang berbahan dasar seng di tahun 1950-an. Penduduk sekitar sebagian tertarik untuk belajar membuat produk yang sama, dan akhirnya menjadi pengrajin perkalengan dengan membuka usaha mandiri. Rentang waktu hingga 1980-an, perkembangan pesat Kampung Kalengan terdengar sampai ke ibukota, ditandai dengan kunjungan wakil presiden Adam Malik tahun 1982 sekaligus memprakarsai pameran produk pengrajin Kampung Kalengan. 6. Keadaan Sosial Budaya Kampung Kalengan memiliki hubungan sosial budaya yang cukup terjalin, baik sesama pengrajin perkalengan, atau antar pengrajin dengan penduduk permukiman Bugangan. Keberadaan paguyuban pengrajin Kampung Kalengan, BINA WARGA, hadir sebagai simbol budaya guyub dalam kehidupan bersosial antar pengrajin, dengan kegiatan rutin arisan setiap bulan secara bergilir di rumah anggota pengrajin. Diarisan tersebut, biasanya membicarakan kegiatan keseharian di Kampung Kalengan, dan kelangsungan koperasi BIWA KOPIN yang dibentuk oleh anggota paguyuban.
Gambar 3. Aktivitas Pengrajin membuat Produk
3
1966
Perkalengan (Sumber: Survai Lapangan, 2012).
1970
1970-an 1971 1971-1972 1971 1972 1974
Gambar 4. Berbagai Produk Pengrajin Berbahan Dasar Kaleng (Sumber: Survai Lapangan, 2012).
1975 1976 1977-1978 1978-an 1980 1982 1982-an 1982-an 1987-1988 1990 1990-an
Gambar 5. Rumah Asli di antara Rumah-Rumah Modern (Sumber: Survai Lapangan, 2013).
1992 1992-1993 1994-1998
Pembongkaran rumah-rumah tepi Banjir Kanal Timur, Jalan Bugangan Raya sudah ada Bapak Mulyoto datang Bapak Marino ikut kerja dengan pengrajin (usia 18 tahun) Masalah rob dan genangan air Pembongkaran kios-kios di dekat pasar Regol Perbaikan kali dan tanggul kanal Bekas benteng di bantaran Banjir Kanal Timur Bapak Mulyoto menikah Mulai pembangunan Jalan Barito Peresmian Jalan Barito Pengrajin memulai usaha mandiri Pembongkaran tanah pemakaman Pengrajin mulai mendirikan ‘emplekemplek’ PT. Djamin membuat LIK Pindahnya sebagian unit usaha ke LIK Bugangan Baru Pameran Kampung Kalengan diprakarsai wakil presiden RI Adam Malik Pendirian ‘emplek-emplek’ oleh pengrajin Pelebaran Jalan Barito, Pembangunan SDN Bugangan 02 Pembangunan jalan arteri di selatan Mulai ada kios-kios unit usaha di Jalan Barito Penertiban sesuai perda oleh panitia (pembagian kapling dan pembuatan batas trotoar) Perbaikan jalan (KIP) oleh pemerintah daerah Pembangunan jalan arteri SoekarnoHatta
3.1.i 3.2.a 1.1.g 3.5.b, 4.3.f 3.3.j 3.3.k 3.5.l 3.2.b 1.2.g, 1.2.h, 3.3.o 3.3.o 1.2.c 4.4m, 6.4.c 1.2.j 3.3.q 3.4.c, 3.4.e, 3.4.g, 4.2.c, 4.2.g, 7.2.l 3.4.n, 3.4.o, 7.3.d 1.2.j, 3.5.c, 3.5.d, 4.5.h 4.4.m 3.3.p 1.3.d, 3.5.c 4.2.n, 4.5.j, 7.1.d 4.4.h 3.4.p
(Sumber: Survai Lapangan, 2013)
Gambar 6. Arisan Paguyuban BINA WARGA Kampung Kalengan (Sumber: Survai Lapangan, 2013).
7. Hasil dan Pembahasan Dari fakta dan informasi yang diperoleh, dilakukan penyusunan runtutan peristiwa berkaitan dengan Kampung Kalengan sebagai berikut (bagian yang diblok menandakan peristiwa yang cukup penting). Tabel 1 Urutan Peristiwa terkait Perkembangan Kampung Tahun
Peristiwa
Kode
Pra 1950an 1950-an
Mbah Pon dan Mbah Saleh sudah memiliki pengalaman kerajinan Ayah Bapak Soleman sudah membuat kerajinan ember, dalam satu masa dengan Mbah Pon dan Mbah Saleh Pemindahan pasar Regol
3.2.m
1960-1963
4
JAP Vol.1 No.1 Sep. 2013
3.2.m 3.3.h
Data di atas kemudian dikelompokkan dalam dua tipe yaitu peristiwa fisik keruangan dan non-fisik keruangan. Diperoleh bahwa perkembangan Kampung Kalengan dapat dibagi ke dalam 5 fase yang memiliki kekhasan dan pertimbangan masing-masing, yaitu: - Fase I, sebagai masa embrio lahirnya Kampung Kalengan (1950an-1965) - Fase II, sebagai masa pertumbuhan pertama Kampung Kalengan (1966-1973) - Fase III, sebagai masa perkembangan Kampung Kalengan (1974-1987) - Fase IV, sebagai masa penstabilan Kampung Kalengan (1988-1994) - Fase V, sebagai masa eksisting Kampung Kalengan saat ini (1995-2013) Perkembangan ruang Kampung Kalengan direkam kemudian dituangkan dalam bentuk rekonstruksi ruang kampung dengan beberapa analisis sketsa untuk menggambarkan kondisi pada tiap fase. Rekonstruksi tersebut menjadi modal utama dalam analisis morfologi ruang yang dipaparkan dalam uraian berikut. a) Morfologi Kampung Kalengan
Morfologi Fase I Fase I adalah fase embrio Kampung Kalengan di dalam lingkungan rumah tinggal Bugangan, dimana Mbah Pon dan Mbah Saleh sebagai perintisnya. Lingkungan rumah tinggal Bugangan masih sangat alami, dengan kerapatan bangunan yang jarang dan kondisi lingkungan buruk. Semakin ke barat, kondisi lingkungan semakin baik karena dekat dengan Jalan Citarum Raya sebagai akses paling utama, sedangkan semakin ke timur, kondisi lingkungan semakin buruk karena faktor topografi dan masih belum adanya ruang jalan di tepi sungai (masih berupa rumah-rumah penduduk). Morfologi Fase II Fase II diawali dengan pembongkaran rumah-rumah di tepi Banjir Kanal Timur Semarang yang menyebabkan berubahnya struktur keruangan, walaupun belum diikuti dengan perubahan fungsi yang signifikan. Dalam masa ini, unit-unit usaha Kampung Kalengan semakin bertambah di dalam lingkungan rumah tinggal Bugangan mengingat banyaknya pengrajin yang membuka usaha mandiri dan mulai munculnya para pendatang dari luar Kota Semarang untuk bekerja di Bugangan.
Gambar 8. Kondisi Fisik Ruang Jalan Lingkungan pada Fase I-II (Sumber: Analisis, 2013).
Gambar 9. Sketsa Tipe Rumah pada Fase I-II (Sumber: Analisis, 2013). Tabel 2 Perkembangan Keruangan Kampung Kalengan Fase I - V
(Sumber: Survai Lapangan, 2013)
Gambar 7. Sketsa Lingkungan Tepi Kanal pada Fase Awal (Sumber: Analisis, 2013).
JAP Vol.1 No.1 Sep.2013
5
Tabel 3 Perkembangan Sirkulasi dan Penggunaan Lahan Kampung Kalengan Fase I - V
(Sumber: Analisis, 2013)
Morfologi Fase III Pembangunan Jalan Barito (1974) mulai merubah struktur aktivitas penduduk dan pengrajin sehingga tidak sepenuhnya bertumpu pada Jalan Citarum Raya di sebelah barat, melainkan mulai memanfaatkan Jalan Barito sebagai jalur alternatif aktivitas (supplay & demand). Jalan dan pembagian bentuk ruang terbukti menjadi penentu arah perkembangan sebuah place/tempat, termasuk dalam aspek sosial dan ekonominya (Scheer-Ferdelman, 2001). Kampung Kalengan semakin berkembang hingga dikenal sampai keluar Kota Semarang. Puncaknya tahun 1982, wakil presiden Adam Malik berkunjung untuk meresmikan pameran produk perkalengan di Kampung Kalengan Bugangan. Mulai tahun 1980-an PT. Djamin (developer) membuat LIK (Lingkungan Industri Kecil) Bugangan Baru sebagai tempat usaha alternatif bagi pengrajin. Sebagian pengrajin mencoba untuk membuka usaha di LIK, namun selang beberapa bulan, mereka kembali ke Bugangan karena berbagai faktor baik ekonomi, aksesibilitas, dan sosial. Morfologi Fase IV Fase IV, banyak dilakukan perbaikan dan pelebaran
6
JAP Vol.1 No.1 Sep. 2013
jalan dan lingkungan Bugangan oleh pemerintah. Jalan Barito menjadi jalan utama dan jalur alternatif bagi kendaraan-kendaraan bermotor dari arah utaraselatan/sebaliknya. Tahun 1992, terjadinya penertiban unit-unit usaha Kampung Kalengan sesuai Perda Semarang dengan melakukan pembagian kapling usaha dan pembuatan trotoar sebagai batas kapling usaha dengan jalan. Perkembangan unit usaha di Jalan Barito semakin pesat, tetapi masih banyak menyisakan lahan kosong di kanan dan kiri unit usaha sekaligus sebagai usaha penggalakkan taman untuk mendukung Semarang Adipura. Morfologi Fase V Pada fase V, unit-unit usaha tumbuh sampai memenuhi tepi Jalan Barito dengan menyisakan beberapa ruang terbuka untuk beberapa fungsi. Rumahrumah di tepi Jalan Barito berevolusi menjadi tempattempat unit usaha, selaras dengan perkembangan industrialisasi. Fakta tersebut dipandang sebagai tradisi lokal (Dufaux, 2000). Ruang terbuka biasanya dibuat untuk TPS (Tempat Pembuangan Sementara) berukuran sekitar 5x7m di beberapa lokasi. Terbentuknya gang-gang kecil di
setiap seberang gapura Jalan Bugangan I-V menuju ke arah sungai sebagai jalur sirkulasi ke sungai. b) Untuk menjawab pertanyaan penelitian kedua, diperlukan pembahasan mengenai latarbelakang yang mempengaruhi perkembangan morfologi tersebut. Saya mencoba menganalisis pola perkembangan ruang jalan, persebaran penggunaan bangunan dan tempat usaha, peristiwa-peristiwa yang sering diingat-dibicarakan warga kampung yang disesuaikan dengan fakta dokumen-peta, sehingga dirumuskan dua aspek hal yang melatarbelakanginya perkembangan morfologi Kampung Kalengan, yaitu sebagai berikut. Aspek Eksternal • Aksesibilitas, Aspek aksesibilitas menjadi penting terhadap morfologi Kampung Kalengan fase III, IV, dan V. Jalan Barito yang mulai dibangun tahun 1974 (fase III) mempengaruhi pengrajin untuk memanfaatkan akses tersebut sebagai akses utama aktivitas industri perkalengan, baik produksi, pemasaran, maupun supplay & demand. Ditambah lagi pelebaran Jalan Barito tahun 1988 (fase IV) yang membuat semakin banyaknya unit-unit usaha perkalengan di tepi Jalan Barito. • Kebijakan pemerintah, Kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah beberapa kali memberikan dampak terhadap morfologi Kampung Kalengan, terutama pada fase III, IV, hingga ke-V. (i) Kunjungan wakil presiden Bapak Adam Malik difase III ke Bugangan menjadi bentuk nyata dukungan pemerintah pusat untuk pengembangan Bugangan sebagai kampung industri. Momen tersebut menggugah semangat pengrajin untuk membuka unit-unit usaha baru di lingkungan rumah tinggal Bugangan. (ii) Keluarnya peraturan daerah dari walikota Semarang pada tahun 1992 (fase IV) yang memberikan izin kepada pengrajin
Gambar 10. Plang Identitas Kampung Kalengan (Sumber: Analisis, 2013)
JAP Vol.1 No.1 Sep.2013
Kampung Kalengan untuk membuka unit usaha di tepi Jalan Barito. (iii) Pada fase ke-V, Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Tengah mempatenkan lokasi industri perkalengan tersebut sebagai “Sentra Industri Perkalengan Bugangan Semarang”. Aspek Internal • Kearifan lokal, Inisiatif penduduk Bugangan sendiri sangat menentukan dimulainya perkembangan Kampung Kalengan, terutama pada fase I dan II. Pada fase tersebut kondisi lingkungan Bugangan masih buruk, dan didominasi oleh penduduk berekonomi menengah ke bawah. Namun karena tuntutan ekonomi, sebagian penduduk berkreativitas membuka usaha perkalengan, dan akhirnya diikuti oleh penduduk lainnya. Hal ini menyebabkan tumbuhnya unit-unit usaha perkalengan di dalam lingkungan rumah tinggal Bugangan. • Kemampuan adaptasi penduduk, Sejak fase I-III, sekitar 30 tahun lamanya unit-unit usaha Kampung Kalengan berkembang dan bertahan di dalam lingkungan rumah tinggal. Hal ini menunjukkan adanya kemampuan adaptasi penduduk Bugangan sendiri atas segala aktivitas usaha perkalengan yang mungkin bagi orang lain tidak mudah diterima, misalnya terhadap kebisingan suara produksi dan adanya toleransi keluwesan keruangan. Kemampuan ini sekaligus menjadi nilai dan kekuatan kampung untuk tumbuh dan bertahan sebagai kampung kota yang terus melakukan aktivitas kekhasannya, yakni usaha perkalengan. 8. Kesimpulan a) Perkembangan morfologi Kampung Kalengan Bugangan (dapat dibagi dalam 5 fase) erat kaitannya dengan lingkungan rumah tinggal Bugangan. • Perkembangan unit-unit usaha Kampung Kalengan dari fase I – V mengindikasikan perkembangan ke arah timur, seiring dengan pra-pasca pembangunan Jalan Barito. • Pada Fase I-II, unit usaha Kampung Kalengan berada di dalam lingkungan rumah tinggal. Pada fase III, sebagian unit usaha Kampung Kalengan berada di dalam lingkungan rumah tinggal dan sebagian di tepi Jalan Barito, dan sebagian lagi mencoba membuka usaha di LIK Bungangan Baru. Fase IV-V, hampir seluruh unit usaha Kampung Kalengan berada di sepanjang Jalan Barito. • Integrasi keruangan antara lingkungan rumah tinggal Bugangan dan unit usaha Kampung Kalengan awalnya adalah kesatuan, kemudian menjadi dua sisi keruangan, namun tetap tidak dapat dipisahkan. Fase I
Fase II
7
penelitian fenomenologi lingkungan rumah tinggal Bugangan sebagai ‘raga’ dari aktivitas industri perkalengan sebagai ‘jiwa’-nya.
Fase I
Fase II
Fase III
Gambar 11. Perkembangan Integrasi Keruangan Kampung Kalengan (Sumber: Analisis, 2013)
b) Perkembangan morfologi Kampung Kalengan dilatarbelakangi oleh beberapa aspek yang dirangkum ke dalam dua bagian, yaitu: Aspek Eksternal • Aksesibilitas, perkembangan Jalan Barito berkaitan dengan peningkatan aktivitas supplay & demand kampung. • Kebijakan pemerintah, intervensi terhadap eksistensi Kampung Kalengan. Aspek Internal • Kearifan lokal, keberanian warga menciptakan jatidiri kampung lewat aktivitas industri. • Kemampuan adaptasi penduduk, memperkuat karakter kampung sebagai kampung industri rakyat. 9. Rekomendasi a) Rekomendasi prosedural: • Pengembangan Kampung Kalengan Bugangan harus memperhatikan perjalanan morfologinya agar eksistensi sebagai kampung beridentitas industri rakyat tetap terjaga. • Kampung Kalengan Bugangan memiliki kemampuan adaptasi penduduk yang baik, sehingga memungkinkan untuk dikembangkan sebagai kampung mix use activities. • Kegagalan LIK Bugangan Baru dapat menjadi sumbangan pengetahuan bagi pemerintah bahwa ada beberapa industri (berbasis kampung) yang harus tetap bersinergi dengan kehidupan masyarakatnya. b) Rekomendasi substansial: • Penelitian ini difokuskan pada morfologi ruang dengan pendekatan history, sehingga celah pembahasan seperti peran policy pemerintah dalam pembentukan ruang kampung masih dapat diteruskan untuk dikaji lebih dalam. • Dapat dilakukan penelitian mendalam tentang tipologi bangunan-bangunan di Kampung Kalengan yang mungkin dipengaruhi sekaligus mengalami adaptasi terhadap aktivitas industri. • Kampung Kalengan memiliki indikasi dengan teori genius loci, sehingga dapat dilakukan
8
JAP Vol.1 No.1 Sep. 2013
Ucapan Terima Kasih Saya mengucapkan terimakasih kepada masyarakat dan pengrajin Kampung Kalengan Bugangan Semarang, terutama pada Bapak Soleman dan Mulyoto selaku kepala dan mantan kepala paguyuban kampung atas segala informasi yang diberikan, yang sangat membantu dalam proses penelitian ini. Daftar Referensi Budihardjo, E (1994), Percikan Masalah Arsitektur Perumahan Perkotaan, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Carmona, M. et al. (2003), Public Places-Urban Spaces, Architectural Press: Oxford. Dufaux, F (2000), A New World from Two Old Ones: the Evolution of Montreal’s Tenements. 18501892, Jurnal Internasional: Urban Morphology 4 hal. 9-19. Kostof, S (1991), The City Shaped, London Press. LOK (2011), Jumlah Kota di Indonesia Meningkat 57 Persen Lebih: Pemekaran Daerah, Kompas: 12 Oktober. Moleong, L. J. (1996), Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung. Muhadjir, N (1998), Metode Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta. Priyatmono, A. F. (2009), Studi Kecenderungan Perubahan Morfologi Kawasan di Kampung Laweyan Surakarta, Jurnal Arsitektur dan Perencanaan Vol. 1 No. 1 April hal. 15-21. Rossi, A (1982), The Architecture of The City, Cambridge Mass MIT Press. Rudofsky, B (1965), Architecture Without Architect, Doubleday & Company, Inc., Garden City, New York. Scheer, B.C. dan Daniel Ferdelman (2001), Inner-city Destruction and Survival: the Case of Over-theRhine, Cincinnati, Jurnal Internasional: Urban Morphology 5 hal. 15-27. Suryandari, P (2007), Geliat Nafas Kampung Kota sebagai Bagian dari Permukiman, Jurnal Program Kajian Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Budi Luhur Vol. 3 No. 1 hal. 54-72. Syukron, M (2012), Bugangan Lebih Dikenal dengan Kampung Kalengan, Menjadi Pusat Produksi Kerajinan dari Kaleng, Suara Merdeka: 19 Juli, hal 21&27. Zahnd, M (1999), Perancangan Kota secara Terpadu, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Zahnd, M (2006), Traditional Urban Quarters in Semarang and Yogyakarta, Indonesia, PhDResearch Publication, University of Stuttgart, Germany.