MODUL PERKULIAHAN
Media Massa dan Persoalan Identitas
Fakultas
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Penyiaran
Tatap Muka
11
Abstract As a sign, identity exists and thrives in some relationship aspects, including political environment, economic environment and social environment. In some cases, identity can be a problem, such as identity problems of minority in Indonesia. Throughout human history, identity problems have showed the violence of certain identities. This paper attempts to explore the power of mass media and identity problems by using some critical views of identity, such as Stuart Hall’s view of identity.
Kode MK
Disusun Oleh
MK
A. Sulhardi, S. Sos, M,Si
Kompetensi Mengembangkan pemahaman terhadap bagaimana media massa memaknai identitas dan melakukan modifikasi identias.
MEDIA MASSA DAN PERSOALAN IDENTITAS Apa itu identias Jika merujuk pada Wikipedia yang dijelaskan oleh Stella Ting Toomey maka identitas dapat dijelaskana sebagai
refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender,
budaya, etnis dan proses sosialisasi. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita. Sementara itu, Gardiner W. Harry dan Kosmitzki Corinne melihat identitas sebagai pendefinisian diri seseorang sebagai individu yang berbeda dalam perilaku, keyakinan dan sikap. Identitas berawal dari teori identitas sosial yang dikemukakan oleh Henri Tajfel dan John Turner pada tahun 1979. Teori tersebut awalnya dikembangkan untuk memahami dasar psikologis dari diskriminasi antarkelompok Tajfel dan Turner berusaha untuk mengidentifikasi kondisi minimal yang akan membawa anggota dari suatu kelompok untuk melakukan diskriminasi terhadap anggota kelompok lain. Jenis identitas a. Identitas seksual Identitas seksual mengacu pada identifikasi seseorang dengan berbagai kategori seksualitas.Bisa berupa heteroseksual, gay, lesbian dan biseksual. Identitas seksual yang kita miliki akan mempengaruhi apa yang kita konsumsi. Program televisi apa yang akan kita lihat atau majalah apa yang akan kita baca. Identitas seksual juga dapat mempengaruhi pekerjaan seseorang. b. Identitas gender Identitas gender merupakan pandangan mengenai maskulinitas dan feminitas dan apa arti menjadi seorang laki-laki atau perempuan. Arti menjadi seorang perempuan atau laki-laki sangat dipengaruhi oleh pandangan budaya. Misalnya saja kegiatan yang dianggap lebih maskulin atau lebih feminism. Ungkapan gender tidak hanya mengkomunikasikan siapa kita, tetapi juga mengkonstruksi rasa yang kita inginkan. Identitas gender juga ditunjukkan oleh gaya komunikasi. Gaya komunikasi perempuan sering digambarkan sebagai suportif, egaliter, personal dan disclosive, sedangkan gaya komunikasi laki-laki digambarkan sebagai kompetitif dan tegas. c. Identitas pribadi Identitas pribadi merupakan karakteristik unik yang membedakannya dengan orang lain. Setiap orang mempunyai identitas pribadinya masing-masing sehingga tidak akan sama
‘13
2
Media and Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
dengan identitas orang lain. Pengaruh budaya juga turut mempengaruhi identitas pribadi seseorang. Orang yang berasal dari budaya individualistis seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat berusaha untuk menunjukkan perbedaan dirinya dengan orang lain. Sementara itu, orang yang berasal dari budaya kolektif cenderung menonjolkan keanggotaan mereka kepada orang lain. Identitas pribadi juga bisa diartikan sebagai aturan moral pribadi atau prinsip moral yang digunakan seseorang sebagai kerangka normatif dan panduan dalam bertindak. d. Identitas agama Identitas agama merupakan dimensi yang penting dalam identitas seseorang. Identitas tersebut merupakan pemberian secara sosial dan budaya, bukan hasil dari pilihan individu. Hanya pada era moderm, identitas agama menjadi hal yang bisa dipilih, bukan identitas yang diperoleh saat lahir. Identitas agama ditandai dengan adanya ritual yang dilakukan oleh pemeluk agama tersebut. Identitas agama juga ditandai dengan busana yang dipakai. e. Identitas nasional Identitas nasional merujuk pada kebangsaan seseorang. Mayoritas dari masyarakat mengasosiasikan identitas nasional mereka dengan negara di mana mereka dilahirkan. Akan tetapi, identitas nasional dapat juga diperoleh melalui imigrasi dan naturalisasi. Identitas nasional biasanya menjadi sering diucapkan saat seseorang berada di negara lain. Orang yang identitas nasionalnya berbeda dari tempat ia dilahirkan pada akhirnya akan mulai mengadopsi aspek identitas nasional yang baru. Namun, hal ini tergantung pada keterikatan pada negara yang baru tersebut. Sementara itu, orang yang secara permanen tinggal di negara lain mungkin akan mempertahankan identitas negara tempat ia lahir. Identitas dalam Cultural Studies Dalam tulisannya di “Cultural Identity and Diaspora”, Stuart Hall memberikan pengertiannya kritisnya tentang identitas. Ia adalah suatu produksi, bukan esensi yang tetap dan menetap. Dengan begitu, identitas selalu berproses, selalu membentuk, di dalam—bukan di luar— representasi. Jika melihat pengertian ini maka pandangan fatalistik yang menganggap bahwa ada ‘otoritas’ dan ‘otenstisitas’ atas identitas merupakan premis yang keliru. Keberadaannya tidak bisa berdiri sendiri. Ia ntidak menyebutkan apa-apa tampa pertaliannya dengan yang lain. Identitas hanya bisa ditandai dalam perbedaan sebagai suatu bentuk representasi dalam sistem simbolik maupun sosial, untuk melihat diri sendiri tidak seperti yang lain. Dalam tambahan yang lain Identitas selalu dalam proses menjadi dan tidak akan pernah selesai
‘13
3
Media and Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
secara final. identitas merupakan sesuatu yang secara aktual terbentuk melalui proses tidak sadar yang melampaui waktu, bukan kondisi yang terberi begitu saja dalam kesadaran semenjak lahir. Jika pemahaman ‘identitas’ diletakkan dalam analisis pascastruktural, ia bisa menyerupai dengan pemahaman teoritik tentang fenomena ‘tanda’. Identitas adalah sebuah persoalan ‘bahasa’ dan ‘tanda’. Sebagai sebuah tanda, maka identitas bukanlah simbol aktual. Ia adalah abstraksi konseptual yang merujuk pada entitas tanda yang lain. Misalkan kita menyebut identitas “Saya seorang Muslim’, tidak akan pernah menunjuk makna pada dirinya sendiri. Makna tentang identitas ‘Saya seorang Muslim’ tidak dihasilkan dari ‘esensi’ pada dirinya sendiri. Makna tanda akan diperoleh dari luar dirinya sendiri.8 Dalam pemahaman fundamental yang dikembangkan oleh Saussure, makna tanda diperoleh dari ‘sistem perbedaan’. Jika merujuk dalam kasus identitas yang dicontohkan di atas maka ‘seorang Muslim’ sekaligus identitas itu ingin mengatakan bahwa ia berbeda dengan ‘seorang Kristen, seorang Hindu atau seorang Yahudi’. Identias tersebut selalu ingin merujuk pada sesuatu di luar dirinya (referensial). Maka perubahan pada rujukan dan tanda-tanda lain yang ada di luar sekaligus akan mempengaruhi makna dari tanda. Namun pada pengalaman ketika terjadi ‘krisis identitas’ dimana seseorang mengalami problem disparitas dan keterpisahan dengan pemahaman identitas dirinya, premis tentang ‘makna tanda sebagai sistem perbedaan’ bisa seakan-akan dimaknai sebagai berbeda. Kondisi krisis memaksa seseorang atau masyarakat untuk mencari afirmasi persamaan dari identitas pada dirinya. Identitas kemudian menjadi sesuatu yang amat penting dan berharga ketika manusia atau masyarakat mengalami krisis atasnya. Eric Fromm memberikan catatan penting bahwa pada titik inilah ‘identifikasi’ menyamakan diri dengan identitas yang lain menjadi sangat penting. Cara ini untuk menghindari kondisi ‘keterasingan diri’ dari dunia di luar dirinya. Stigmatisasi dan Dominasi atas Identitas : Sebuah Kasus Dalam hidup sosialnya, manusia pada dasarnya memiliki ‘atribut’ atau “identitas’ baik diberikan maupun diciptakan sendiri. Kebertahanan identitas banyak ditentukan oleh berbagai faktor pengaruh yang hadir. Ia bisa dicipta sekaligus bisa dimatikan. Ia bisa cepat tumbuh tetapi juga bisa melenyap dengan begitu cepatnya. Identitas sebagai bentuk ‘tanda’ mengandung makna dan nilai-nilai dalam dirinya. Nilai dan makna itu terbangun sejalan dengan dialektika makna itu dalam interaksinya dengan nilai yang lain. Kemungkinan hadirnya konflik identitas bisa sering terjadi. Stigma cenderung muncul dalam ruang interaksi identitas yang berjalan timpang. Stigmatisasi bisa berkembang hanya ketika komponen
‘13
4
Media and Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
‘pengawasan sosial’ dikenakan pada identitas-identitas tertentu yang tidak diinginkan,11 Ketika ada kuasa yang menolak perbedaan, mendominasi, memonopoli, memberi pembatasan secara fisik maupun moral dan tidak membiarkan perorangan untuk mengembangkan potensi identitasnya, maka ruang subur bagi stigmatisasi akan mudah bersemi. Meminjam pengertian Erving Goffman, stigmatisasi adalah gambaran adanya sikap, perilaku atau sistem yang tidak memberi ruang adanya perbedaan. Yang berbeda tidak diberi tempat. Yang berbeda akan menjadi ‘cacat’. Coleman bahkan memberi penegasan analisis bahwa stigmatisasi adalah bentuk ‘penghakiman nilai dari kelompok yang dominan, yakni, mereka yang mempunyai kuasa di dalam konteks kultur tertentu terhadap mereka yang tidak diinginkan. Dalam pandangan Coleman, ada tiga variabel penting yang menjadi penyebab munculnya ‘stigmatisasi’. Pertama, adalah “ketakutan”. Oleh berbagai sebab, manusia cenderung untuk “takut terhadap perbedaan-perbedaan”, “takut terhadap masa depan”, dan “takut akan tidak dikenal”. Konsekuensinya, subjek individu menggambarkan dengan sinis apa yang dimaknai sebagai ‘yang tak dikenal’ atau ‘yang berbeda’. Kedua, adalah “meniru-niru” sebuah kecenderungan manusia untuk menggolong-golongkan dengan identitas orang lain. Kecenderungan ‘meniru’ ini bagian dari cara manusia menginterpretasikan diri dan sekaligus ia akan membuka jarak identitas berbeda yang tidak disukai. Inilah wajah kepentingan ‘identitas’ yang bisa hadir dalam dua wajah yang masing-masing bisa bertentangan. Identitas bisa saja menjadi cara efektif untuk ‘afirmasi’ dan ‘integrasi’, tetapi ia juga bisa menjadi cara ampuh untuk ‘konfrontasi’ sekaligus ‘penguasaan atas yang lain’. Katagorisasi ini sekaligus bisa memperuncing relasi sosial yang ada, apalagi jika ditambah dengan variabel ketiga yakni ketatnya ‘pengawasan’. Stigmatisasi sering dipakai untuk menjaga ‘hirarki sosial’ di mana hirarki yang dominan akan menguasai hirarki yang lebih rendah. Meminjam pengertian dasar di atas, ‘stigma’ memberikan pemahaman menarik tentang situasi bagaimana individu atau kelompok sosial tertentu telah terkatagorikan secara negatif sebagai ”liyan” oleh mereka yang menguasai kendali identitas. Katagori negatif membentuk penjara makna dan sekaligus bekerja untuk melakukan batasan-batasan terhadap ‘korban’. Stigma membentuk ’katagori-katagori’ dan ’identitas-identitas’ bagi orang-orang yang dikenainya.14 Katagori-katagori tersebut, bahkan pada prakteknya sudah keluar jauh dan mengalami penyimpangan sekaligus pembiasan. Dalam praktik stigmatisasi, ”liyan” akan selalu diawasi dan dikontrol. ”Liyan’ adalah musuh. Ia adalah entitas antagonistik yang bisa mengganggu eksistensi identitas yang sudah mapan. Mekanisme kontrol, dalam efek yang
‘13
5
Media and Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
lain mendorong ’korban’ selalu merasa diawasi. Seperti efek penjara ’panopticon’, ketakutan korban sasaran dan sekaligus target terpentingnya. ‘Stigma’ di banyak kesempatan bisa membangun ‘mitos’. ’Mitos’ yang dipahami sebagai ”cerita yang dianggap benar” tetapi ”tidak diakui sebagai benar”. Mitos awalnya bisa digambarkan pada pemaparan kisah dan kejadian dramatis tentang kekuatan-kekuatan adimanusiawi yang bekerja dalam pembentukan alam semesta. Mitos juga bisa berbentuk bangunan ’metafora’ untuk mendiskripsikan sesuatu yang dianggap benar meskipun masih bisa diperdebatkan kebenarannya. Stigma bisa mengacu pada “narativisasi”. Sebuah pengertian tentang pembentukan klaim kebenaran. Klaim yang bekerja dalam cerita, narasi dan wacana. Ia diciptakan tuntuk mendukung kepentingan ideologi tertentu.15 Kepentingan akhirnya adalah kondisi ketaatan dan kepatuhan masyarakat. Jika dilihat pada aspek psikologis trauma, stigmatisasi bisa berarti sebagai modus dominasi kekuasaan. Ia bekerja melalui politik makna yang tersebar dalam ruang-ruang gagasan, pengetahuan dan wacana. Mengacu pada pengertian dasarnya, ‘stigma’ bisa dimaknai sebagai problem ’politik identitas’. Memberi ‘stigma’ bisa diartikan memberi ‘label buruk’ dan ‘label negatif’ bagi individu. ‘Labelisasii’ dan ‘penandaan’ terhadap individu atau masyarakat bisa dijalankan dengan berbagai praktik diskursif. Harapannya, masyarakat menerima apa yang menjadi tujuan dari ’labelisasi’ tersebut. Apa yang diulang terus-menerus selanjutnya bisa menjadi kebenaran. Dibandingkan dengan fenomena ‘stereotype’, pemahaman tentang stigma memberi pengertian berbeda, terutama berkait dengan kepentingan yang dibangun. Jika ’stereotype’ beroperasi pada diskursus yang bisa berarti positif dan negatif, ’stigma’ digunakan untuk menjelaskan kondisi-kondisi diskurus yang negatif dan cenderung merusak. Media Massa dan Koomidifikasi Identitas Tentu cukup penting untuk meletakkan posisi media massa terutama dalam sejarah perkembangan
kontemporer saat
ini
untuk meninjau perubahan-perubahan
dalam
pembentukan identitas-identitas baru dalam masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, citra-citra baru banyak dibangun oleh media. Media massa juga merupakan mesin angkut dan media produksi gaya hidup yang sangat luar biasa. Dengan laur biasa ia mampu menjadi magnet kesadaran dan citra diri atas apa yang harus dilakuakan individu. Media massa menjadi tempat rujukan terpenting abad ini. Poin inilah yang akan dieksplorasi lebih lanjut. Kecuali mengupas lebih lanjut tentang beberapa dimensi perkembangan media massa, yang lebih terpenting lagi adalah relasinya dengan ‘nasib identitas’ yang sedang dibincangkan dalam paper ini dan kian lama bertalian pada rujukan entitas tunggal yakni dominasi makna yang dibangun oleh ‘media massa’.
‘13
6
Media and Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Dimensi kekuasaan media massa tidak sekedar pada pesan yang dibawa tetapi juga keseluruhan entitas pengaturannya yang selama ini dibangun. Pertama, apa yang dibawa dan apa yang disusun dalam pesan-pesan media tentu saja amat ditentukan oleh kepemilikan kekuasaan atas media massa. Ada rasionalitas ekonomi politik yang bertalian dengan rasionalitas pesan yang kemudian tercermin. Pesan media dalam logika ini lebih cenderung merujuk pada siapa yang berkuasa untuk menentukan setiap tanda, setiap teks dan setiap bahasa yang tepat untuk disiarkan. Tentu ada dinamika ‘tanda’ selanjutnya ketika pesan itu sudah diterbitkan atau disiarkan. Masyarakat bukan entitas pasif sama sekali. Masyarakat juga bukanlah tabula rasa yang kosong untuk sekedar diisi. Ia juga entitas kreatif yang juga menemukan ‘kebermaknaan’ sebuah ‘tanda’ atau ‘pesan’. Namun demikian, dalam dominasi media massa selama ini, ada keterbatasan-keterbatasan kreatifitas karena, beberapa hal. Pertama, ruang referensi sebagai rujukan sudah banyak terdominasi oleh apa yang kemudian sudah terkontaminasi media massa; Kedua, institusi media massa bukanlah ruang yang netral tetapi juga terisi banyak motivasi kecenderungan yang sudah dibentuk sedemikian rupa; Ketiga, ketiadaan akses yang adil bagi semua untuk menentukan apa dan bagaimana pesan harus disusun membuat, masyarakat mau tidak mau harus mengunyah dan menelan sesuatu yang sudah terberi oleh media massa. Dalam proses yang panjang, ia akan membangun relasi ketergantungan yang amat erat pada media massa. Titik ketimpangan inilah yang akan mencuatkan problem tersendiri. Tak berkuasanya masyarakat untuk terlibat secara penuh menentukan bagaimana isi media selalu menjadi celah kosong yang dimanfaatkan media. Apalagi ketika masyarakat sudah begitu tergantung dan terikat oleh kebutuhan akan media massa. Tidak sedikit kasus-kasus konflik identitas yang meluas juga terpicu oleh efek-efek yang tidak terhindarkan dari sebuah pemberitaan media massa. Bahkan dalam hal tertentu, konflik telah menjadi ‘komoditas menguntungkan ’ kecuali konten-konten yang lain seperti berita-berita tentang sensasi dan pornografi. Kontroversi tentang KPK, Kepolisian dan Kejaksaan yang hangat bulan-bulan ini begitu meluasnya menjadi pemberitaan utama dan ikut mendorong berbagai perluasan konflik tersendiri dalam masyarakat. Kesan realitas kedua yang ditampilkan media massa seakan justru telah menjadi ‘realitas’ itu sendiri yang orisionil. Ketika masyarakat menonton dan menyimak perkembangan pemberitaan oleh berbagai media massa, seakan apa yang dibaca, apa yang didengar dan apa yang dilihat sebagai realitas apa adanya. Pada kenyataannya, apa yang media tampilkan hanyalah realitas kedua yang sudah banyak mengalami perubahan baik dalam teknis penyampaian, editing ataupun juga karena dimensi ruang media itu sendiri. Apa yang kita lihat dan dengar bukanlah ‘realitas sesungguhnya’ tetapi sekumpulan kode bahasa yang khusus dan termodifikasi dalam kemampuan teknologi audio visual maupun cetak yang menyerupai gambaran ‘13
7
Media and Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
realitas. Walaupun sebanarnya ia tidak akan pernah menyamai atau mewujud seperti realitas itu sendiri. Ketika rujukan terhadap pembentukan identitas adalah realitas yang sudah terkomodifikasi dalam kepentingan-kepentingan tertentu yang jarang disadari oleh masyarakat dan diterima begitu saja menjadi kebenaran, maka di titik inilah persoalan terbesar dari ‘krisis identitas’ yang timpang dan dominatif. Kesadaran ‘nomenclatura’ terhadap rujukan media massa inilah yang membuat manusia akan rentan terhadap letupan-letupan krisis tertentu yang dimainkan media massa. Bagaimana selanjutnya kita bisa keluar dari kesadaran "nomenclatura" di dalam ruang-ruang "simulacrum" yang sudah terdominasi media massa? Inilah persoalan yang bisa jadi penting untuk kita diskusikan. Kesadaran "nomenclatura" sangat dipengaruhi oleh pandangan luas bahwa "di dalam teks, pesan, atau tanda terdapat substansi". Apakah demikian? Ataukan sebenarnya teks tersebut hanyalah menunjukan pada sifat bahasa yang ‘abriter’. Dengan teks itu sebenarnya ia ingin merujuk pada "pengertian yang lain" dan bukan pada makna dirinya sendiri. Meminjam para pemikir "poststrukturalis" dalam memahami teks, tanda ataupun identitas seperti Lacan, Norman Fairclough, Sara Mills, Michel Foucoult atau para pemikiran Gramscian, penting untuk mengembangkan prinsip kesadaran yang harus digunakan dalam memahami identitas yakni tiga kesadaran : Yakni kesadaran kultural, relasional dan formal. Sebuah identitas selalu akan dipengaruhi oleh perkembangan konteks ruang yang lain seperti kebudayaan politik, ekonomi dll. Identitas juga selalu merujuk pada relasi-relasi dengan kepentingan- kepentingan yang lain. Sebuh teks bahasa juga hanyalah ungkapan "forma" tertentu dalam merujuk dan menunjuk sesuatu. Dan sama sekali dalam tiga kesadaran ini, kultus "nomenclatura" harus dibuang jauh-jauh. Bisa dibayangkan kalau spirit ini menjadi tradisi bertutur dan rujukan wacana masyarakat, yang semula hanyalah problem sepele dan biasa bisa menjadi pemicu lahirnya konflik yang lebih besar. Krisis kesadaran semacam
ini
biasanya
justru
banyak
menguntungkan
bagi
siapa
yang
mampu
mengendalikan dan menguasi media. Walaupun prinsip ini kadangkala tidak bisa selalu berjalan dalam logika yang sempurna. Transformasi dan perkembangan identitas yang dibangun media massa kadang bertumbuh cepat dan melesat melebihi dari apa yang dibayangkan sebelumnya sebelum ada kehadiran media massa. (modul kuliah ini disadur dari makalah yang berjudul uasa Media Massa dan Politik Identitas Kuasa Media Massa dan Politik Identitas Oleh : ST Tri Guntur Narwaya, M.Si tulisan asli dapat dilihat di http://rumahkebudayaan.blogspot.co.id/2011/01/kuasa-mediamassa-dan-politik-identitas.html)
‘13
8
Media and Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka Barker, Chris. Cultural Studies: Theory and Practices. London: SAGE Publication. Diterjemahkan
oleh
Nurhadi
(2011)
dengan
Judul
Cultural
Studies:
Teori
&
Praktik.Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2000. Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociology of Knowledge. London: Penguin Books, Inc. 1967. Dines, Gail dan Jean M. Humez (ed). Gender, Race, and Class in Media : A TextReader.Thousand Oaks, California: SAGE Publication, Inc. 2003. Erving Goffman (1963). Stigma: Notes on the management of spoiled identity. New York: Simon & Schuster, Inc.
Hall, Stuart. (ed) 1997. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices (Culture, Media and Identities Series). London, California, New Dehli: SAGE Publication, Inc. John B. Thompson, 2004 Kritik Ideologi Global. (terj : Haqqul Yaqin), Yogyakarta, Penerbit IRCISOD. L M Coleman. (1986). Stigma: An enigma demystified. In S. C. Ainlay, G. Becker, & L M. Coleman (Eds.), The dilemma of difference (pp. 211-232). New York: Plenum Press Tony Thwaites, Llyod Davis dan Warwick Mules, 2009 Introduction Cultural and Media Studies (terjemahan), Penerbit jalasutra, Yogyakarta, 2009,
‘13
9
Media and Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id