PROGRAM KALIMANTAN FORESTS AND CLIMATE PARTNERSHIP DALAM MENGURANGI EMISI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN (STUDI PADA KEGIATAN PERSEMAIAN DESA SEI AHAS) Mochammad Doddy Syahirul Alam Abstract REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) belonged to the main agenda of the countries that have committed to decreasing the emissions. Indonesia as one the country has big role to decreasing the emissions that have large resources especially wetland and forestry. The REDD activity that was held in Indonesia has main location in central Kalimantan. The project is called Kalimantan Forest Climate Partnership. It was held in 7 villages in Kapuas district. The main activity called demontration activity which the real activity is nursery. The nursery activity is the important thing activity, but there are some aspect that was raised like; social structure, performance of the committe, and communication. First, the problem in the field about social structure is the domination of the local the government. The local government almost influences the all programs. Second, the gender performance is still in the low participation. The process of decision making is still dominated by the man. But actually the gender partipation is good enough for maintaining the nursery. Third, the communication process show the some problems like unvalid information, overlapping on job description, complain management that didn’t work. Keyword : REDD, KFCP, Nursery Pendahuluan Ada sekitar 4 miliar hektar hutan di dunia, yang menutupi hampir 30 persen dari wilayah daratan bumi. Sekitar 56 persen dari hutan itu berlokasi di wilayah tropis dan subtropis. Indonesia memiliki hutan tropis ketiga terluas di dunia – hanya Brazil dan Kongo yang mempunyai hutan tropis yang lebih besar. Manusia sejak dulu telah memanfaatkan hutan dan berbagai jasa ekosistem yang ditawarkannya, seperti perlindungan tanah dan penyimpanan air. Sejumlah 1,2 miliar penduduk dunia diperkirakan menggantungkan penghidupan kepada hutan dan sekitar sepertiga total populasi dunia menggunakan bahan bakar biomasa, terutama kayu bakar untuk keperluan memasak dan menghangatkan rumah mereka. Tidak hanya bermanfaat untuk manusia, hutan pun menjadi rumah bagi berbagai spesies lainnya. Menurut catatan Bank Dunia, hutan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang begitu tinggi, yaitu 17 persen dari spesies burung, 16 persen reptil dan hewan amfibi, 12 persen mamalia dan 10 persen tumbuhan di dunia. Dalam perputaran iklim, hutan memiliki peran ganda. Deforestasi dan degradasi hutan melepas karbon
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 1 April 2013
yang tersimpan dalam pohon atau lahan gambut. Diperkirakan jumlah emisinya mencapai antara 17-20 persen total emisi gas rumah kaca dunia, lebih besar daripada emisi sektor transportasi global. Selain itu, hutan yang sehat menyerap karbon dioksida dari atmosfer untuk membantu proses fotosintesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 15 persen dari 32 miliar ton karbon dioksida yang dihasilkan setiap tahun oleh kegiatan manusia diserap oleh hutan. Jadi, ketika hutan rusak, kita rugi dua kali. Kita tidak hanya melepas karbon dari pohon, tetapi juga kehilangan kemampuan hutan untuk menyerap karbon dioksida. Peran hutan menjadi lebih penting lagi dalam kebijakan perubahan iklim di Indonesia. Hutan menutupi antara 86 – 93 juta hektar, atau hampir setengah total wilayah darat negara ini. Menurut data terakhir Kementerian Kehutanan, Indonesia kehilangan 1.18 juta hektar hutan setiap tahunnya. Deforestasi dan perubahan tata guna lahan, termasuk lahan gambut, menghasilkan sekitar 60 persen total emisi Indonesia. Struktur emisi seperti ini membuat Indonesia memilih penanganan deforestasi dan degradasi hutan sebagai salah satu cara utama mengurangi emisi dan menghadapi perubahan iklim. Hal ini sesuai dengan kesepakatan global untuk memasukkan skema REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), yaitu insentif positif bagi negara berkembang yang melindungi hutannya, dalam perjanjian yang akan berlaku sesudah Protokol Kyoto berakhir pada tahun 2012. REDD sendiri telah menjadi agenda utama bagi negara-negara yang telah berkomitmen dalam mengurangi emisi. Indonesia sebagai salah satu negara yang punya peran besar dalam mengurangi emisi dunia serta menjadi negara yang mempunyai aset terbesar berupa kawasan hutan yang harus tetap dilestarikan. Kegiatan Persemaian (Persemaian) yang dilaksanakan dalam kerangka besar program REDD telah berlangsung sejak tahun 2009. Kalimantan Tengah sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang ditunjuk sebagai lokasi pilot project kegiatan REDD yang dilakukan oleh IAFCP (Indonesia – Australia Forest Carbon Partnership) dinilai memiliki potensi besar dalam upaya pengurangan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) pada lahan gambut. Pelaksanaan kegiatan REDD di Kalimantan Tengah dilaksanakan oleh Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) dengan mengambil lokasi di 7 desa di Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas. 7 desa tersebut meliputi Desa Petak Putih, Desa Tumbang Muroi, Desa Katunjung, Desa Sei Ahas, Desa Katimpun, Desa Kalumpang, Dan Desa Mantangai Hulu. Kegiatan di 7 desa tersebut menjadi bagian dari ‘Demonstration Activity’ yang dilaksanakan oleh KFCP. Kegiatan di 7 desa tersebut berfokus pada upaya partisipasi masyarakat guna terlibat dalam kegiatan pelestarian hutan dan lingkungan hidup. Ada beberapa poin yang menjadi kesepakatan antara masyarakat desa dan KFCP. Poin-poin kesepakatan tersebut dituangkan dalam ‘Perjanjian Desa’ yang ditandatangani oleh masing-masing Kepala Desa dan Pimpinan KFCP. Salah satu poin utama dalam ‘Perjanjian Desa’ yaitu 626
Mochammad Doddy Syahirul Alam
Program Kalimantan Forest and Climate Partnership dalam Mengurangi Emisi Deforestasi dan Degradasi Hutan (Studi pada Kegiatan Persemaian Desa Sei Ahas)
bahwa masyarakat diminta untuk tidak melakukan penebangan hutan dan pembalakan liar. Selanjutnya pihak KFCP akan memberikan ‘insentif’ bilamana masyarakat di 7 (tujuh) desa tersebut mau berpartisipasi dalam kegiatan persemaian. Masyarakat didorong dan dirangsang untuk mulai menamam bibit pohon (kayu) yang bisa ditanam di lahan-lahan gambut. Pembahasan utama dalam penelitian ini yaitu pelaksanaan persemaian di Desa Sei Ahas Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Penelitian ini berupaya menyampaikan hasil penggalian informasi di lapangan yakni dari tahap awal kegiatan persemaian dilaksanakan sampai menjelang kegiatan penanaman. Hasil monitoring dan evaluasi dilapangan ada 3 (tiga) aspek penting yang mempengaruhi pelaksanaan persemaian. Ketiga aspek penting tersebut adalah struktur sosial, kinerja gender, dan komunikasi. Pertama, permasalahan di lapangan yang disebabkan oleh struktur sosial di antaranya yaitu isu ‘elit pemerintah desa’ yang selalu lebih dominan dalam pelaksanaan kegiatan persemaian. Dominasi itu muncul dengan berdalih karena sebagian masyarakat tidak peduli terhadap kegiatan persemaian. Selain itu dominasi itu diduga sengaja dilakukan untuk menguasai informasi kegiatan-kegiatan yang mendatangkan keuntungan ekonomis bagi ‘elit pemerintah desa’. Permasalahan yang lain terkait persemaian misalnya yaitu lemahnya peran ketua kelompok dalam mengelola anggotanya. Ketua kelompok berperan hanya seperti ‘tukang stempel’ yang sekedar ikut dan rapat dan ikut mengesahkan atas segala keputusan yang dibuat ditingkat Musyawarah Desa. Ketua kelompok tidak berupaya untuk mengelola anggotanya agar dapat memelihara bibit dengan baik sesuai dengan standar teknis pembibitan sehingga bila bibit yang ditanam tumbuh subur dan memenuhi standar maka akan memberikan keuntungan secara ekonomis. Temuan dilapangan Ketua kelompok persemaian kurang berperan aktif di dalam meningkatkan kapasitas kelompoknya baik dibidang teknis maupun non teknis. Kedua, aspek kinerja gender dalam kegiatan persemaian yang utama yaitu masih minimnya peran perempuan dalam kelompok. Segala proses pengambilan keputusan lebih banyak didominasi oleh laki-laki. Meski pada tataran pelaksanaan khususnya pemeliharaan bibit, peran perempuan cukuplah besar. Bahkan cenderung lebih besar dari peran laki-laki. Akan tetapi bila kita berbicara partisipasi dan kesamaan gender maka seharusnya perempuan juga ikut berperan dalam setiap pengambilan keputusan. Temuan dilapangan perempuan hanya sekedar melaksanakan apa yang sudah disepakati dalam musyawarah desa yang notabene suaranya sudah diwakili oleh laki-laki. Dari 5 (lima) kelompok persemaian di Desa Sei Ahas, tidak satupun ketua kelompoknya perempuan, semuanya laki-laki, 627
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 1 April 2013
sehingga dari contoh yang sederhana ini saja sudah cukup menggambarkan dominasi laki-laki dalam kegiatan persemaian di Desa Sei Ahas. Aspek ketiga yaitu komunikasi, hal ini menjadi kunci keberhasilan dari semua aktivitas ‘Demonstration Activity’ yang dilaksanakan di Desa Sei Ahas. Komunikasi yang dimaksudkan disini yaitu penyampaian informasi yang melibatkan pihak–pihak/organisasi yang terkait dengan kegiatan persemaian seperti : KFCP (Manajer Kontrak, CE, Tim Refo, Tim Payment) dan Masyarakat Desa (Kepala Desa, Tim Pengelola Kegiatan, Tim Pengawas, Kader Desa). Permasalahan yang sering muncul yaitu pola komunikasi yang tidak jelas, informasi yang tidak valid, informasi yang berubah-ubah, dan yang paling penting yaitu aspirasi dan keluhan masyarakat yang tidak terserap. Beberapa permasalahan tersebut tentu secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi terhadap tingkat partisipasi masyarakat desa maupun keberhasilan program itu sendiri. Tujuan Tujuan penelitian adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana struktur sosial berpengaruh terhadap keberhasilan kegiatan persemaian. 2. Untuk mengetahui bagaimana kinerja gender berpengaruh terhadap keberhasilan kegiatan persemaian. 3. Untuk mengetahui dampak sosial program persemaian bagi masyarakat Desa Sei Ahas. 4. Untuk mengetahui bagaimana komunikasi berpengaruh terhadap keberhasilan kegiatan persemaian. 5. Untuk mengetahui faktor yang menentukan keberhasilan program persemaian. Kajian Pustaka REDD+, singkatan dari Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, merupakan suatu mekanisme global yang bertujuan untuk memperlambat perubahan iklim dengan memberikan kompensasi kepada negara berkembang untuk melindungi hutannya. Skema ini mulai menjadi perdebatan yang hangat sejak Papua Nugini dan Costa Rika menjabarkan proposal pengurangan emisi deforestasi pada diskusi perubahan iklim pada tahun 2005. Indonesia maju untuk memperjuangkan REDD pada konvensi perubahan iklim di Bali tahun 2007, di mana ide tersebut telah berkembang dengan mengikutsertakan isu ‘degradasi hutan’. Berbagai usul penambahan isu tentang agroforestri dan pertanian juga muncul. REDD berkembang lebih jauh lagi -- tanda ‘plus’ di belakangnya menambahkan konservasi dan pengelolaan hutan secara lestari, pemulihan hutan dan penghutanan kembali, serta peningkatan cadangan karbon hutan. REDD+ berjalan cepat menjadi faktor penting dalam berbagai negosiasi internasional karena dianggap sebagai salah satu cara paling 628
Mochammad Doddy Syahirul Alam
Program Kalimantan Forest and Climate Partnership dalam Mengurangi Emisi Deforestasi dan Degradasi Hutan (Studi pada Kegiatan Persemaian Desa Sei Ahas)
murah untuk memperlambat laju perubahan iklim. Modelnya menuruti prinsip ‘common but differentiated responsibility’, di mana negara maju, yang menghasilkan banyak emisi dalam proses industrialisasi dan untuk menopang gaya hidup, menyediakan dana dan teknologi untuk negara berkembang sebagai bentuk komitmen mengurangi dampak emisi karbon mereka. Walaupun gagasannya tampak sederhana, implementasi di lapangan jauh lebih sulit. Tantangan-tantangan besar di dalam mekanisme ini termasuk bagaimana mengukur karbon secara akurat, bagaimana memastikan dana sampai ke komunitas hutan dengan transparan dan efisien, siapa yang akan bertanggung jawab apabila hutan ternyata tetap rusak, serta sumber pendanaan. Lebih dari 30 (tiga puluh) model tentang bagaimana REDD+ seharusnya dilaksanakan telah diajukan oleh berbagai negara dan organisasi non pemerintah. Dalam konvensi perubahan iklim terakhir di Cancun tahun 2010, dunia telah sepakat untuk memasukkan REDD+ dalam mekanisme yang akan berlaku setelah Protokol Kyoto berakhir di tahun 2012. Dana sudah mulai mengalir, misalnya dari Norwegia, yang berkomitmen untuk mengucurkan dana sampai US$ 1 miliar untuk Indonesia di bawah payung REDD+. Indonesia menjadi salah satu negara terdepan dalam persiapan REDD+ dengan mengeluarkan berbagai peraturan terkait dan mencanangkan propinsi Kalimantan Tengah sebagai propinsi percontohan. Rencana Aksi Nasional mengamanatkan adanya moratorium penebangan hutan, yang juga merupakan bagian dari kesepakatan dengan Norwegia, serta pembenahan tata kelola hutan secara keseluruhan. Seperti yang dikatakan di atas bahwa proses suatu kebijakan salah satunya adalah formulasi kebijakan berupa langkah yang dilakukan setelah pemilihan alternatif. Langkah tersebut dapat berupa suatu programprogram yang akan dilaksanakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘Program’ berarti rancangan mengenai asas serta usaha yang akan dilaksanakan. Dengan demikian program dapat dikatakan sebagai sebuah rencana yang didalamnya mencakup sejumlah usaha yang ingin dilakukan meski tidak semuannya dapat terealisasikan. Sebuah program besar dapat didefinisikan sebagai rencana komprehensif yang meliputi penggunaan macam-macam sumber untuk masa yang akan datang dalam sebuah pola yang terintegrasi dan menetapkan suatu urutan masing-masing tindakan tersebut dalam rangka usaha untuk mencapai sasaran-sasaran yang ditetapkan. Charles O Jones dalam bukunya Public Policy menjelaskan program adalah cara yang disahkan untuk mencapai tujuan, kebijakan-kebijakan, prosedur-prosedur, peraturan-peraturan, pemberian tugas, langkah-langkah yang harus diambil, sumber-sumber yang harus dimanfaatkan dan elemen629
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 1 April 2013
elemen lain yang diperlukan untuk melaksanakan arah dan tindakan tertentu (Jones.O,1991). Program ini biasanya dijabarkan atau dirinci dalam sejumlah proyek dan didukung oleh anggaran. Widavsky mengungkapkan dalam batasan yang paling umum, penganggaran diartikan sebagai pengalihan sumber daya finansial bagi kemanfaatan serta mencapai tujuan untuk manusia. Oleh karena itu sebuah anggaran dapat dicirikan sebagai serangkaian tujuan dengan daftar harga terlampir. Sebuah program berisi tindakan yang diusulkan oleh yang berwenang dalam rangka mencapai sasaran yang ditetapkan dari sebuah kebijakan. Program akan ada apabila kondisi permulaan yaitu tahapan ‘apabila’ dari hipotesis kebijakan telah dirumuskan. Kata ‘program’ sendiri menegaskan perubahan (konversi) dari suatu hipotesis tersebut telah disahkan, sedang derajat keterlaksanaan konsekuensi atau akibat yang diharapkan (yang merupakan tahapan ‘selanjutnya’) disebut penerapan. Selanjutnya program itu juga memperlihatkan : 1. Langkah-langkah utama yang perlu dipersiapkan untuk mencapai suatu tujuan. 2. Urutan/anggota yang bertanggungjawab untuk setiap langkah. 3. Urutan serta pengaturan langkah. Namun, sebaik apapun program tanpa ada implementasi, mustahil sasaran dan tujuan-tujuan yang dikehendaki dapat tercapai. Udologi mengatakan pelaksanaan kebijakan adalah suatu yang penting bahkan jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan, kebijakan-kebijakan akan sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan rapat dalam arsip kalau tidak diimplementasikan (Abdul Wahab, 1991). Hasil implementasi kebijakan adalah kinerja kebijakan. Pada saat inilah diperlukan evaluasi kebijakan. Evaluasi yang pertama berkenaan dengan kinerja kebijakan, yaitu berkenaan dengan seberapa jauh kebijakan mencapai hasil yang diharapkan. Selanjutnya, dilakukan evaluasi secara pararel pada implementasi kebijakan, rumusan kebijakan, dan lingkungan tempat kebijakan dirumuskan, diimplementasikan, dan berkinerja. Hasil evaluasi menentukan apakah kebijakan dilanjutkan ataukah membawa isu kebijakan yang baru, yang mengarah pada dua pilihan : diperbaiki atau revisi kebijakan, ataukah dihentikan, penghentian kebijakan. (Riant Nugroho, 2011) Evaluasi adalah kegiatan untuk menilai tingkat kinerja suatu kebijakan. Evaluasi baru dapat dilakukan kalau suatu program sudah berjalan cukup waktu. Memang tidak ada batasan waktu yang pasti kapan sebuah program harus dievaluasi (AG Subarsono, 2009). Evaluasi dilakukan karena tidak semua program meraih hasil yang diinginkan. Seringkali terjadi, program gagal meraih maksud atau tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Budi Winarno, 2002). Penilaian keberhasilan/kegagalan program berdasarkan indikator-indikator yang telah ditentukan. Indikatorindikator untuk mengevaluasi program biasanya menunjuk pada 2 (dua) 630
Mochammad Doddy Syahirul Alam
Program Kalimantan Forest and Climate Partnership dalam Mengurangi Emisi Deforestasi dan Degradasi Hutan (Studi pada Kegiatan Persemaian Desa Sei Ahas)
aspek : aspek proses dan hasil. Aspek proses menunjuk bahwa apakah selama implementasi program, seluruh pedoman program telah dilakukan secara konsisten oleh para implementor di lapangan? Aspek hasil menunjuk apakah program yang diimplementasikan telah mencapai hasil seperti yang telah ditetapkan (output dan outcomes), (Dwiyanto Indiahono, 2009). Evaluasi memiliki beberapa tujuan yang dapat dirinci sebagai berikut. 1. Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan. 2. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat diketahui berapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan. 3. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan. Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur berapa besar dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu kebijakan. 4. Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif. 5. Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian target. 6. Sebagai bahan masukan (input) untuk kebijakan yang akan datang. Tujuan akhir dari evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik. Pertanyaan utama yang harus mendapatkan jawaban adalah kenapa perlu ada evaluasi? Bukankah dengan diimplementasikan suatu kebijakan sudah cukup, karena evaluasi hanya membuang biaya dan tenaga. Tentu saja untuk keperluan jangka panjang dan untuk kepentingan keberlanjutan (sustainable) suatu program, evaluasi sangat diperlukan. Dengan evaluasi, kebijakan-kebijakan ke depan akan lebih baik dan tidak mengurangi kesalahan yang sama. Berikut ini diberikan beberapa argumen perlunya evaluasi: 1. Untuk mengetahui tingkat efektivitas suatu kebijakan, yakni seberapa jauh suatu kebijakan mencapai tujuannya. 2. Mengetahui apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal. Dengan melihat tingkat efektivitasnya, maka dapat disimpulkan apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal. 3. Memenuhi aspek akuntabilitas publik. Dengan melakukan penilaian kinerja suatu kebijakan, maka dapat dipahami sebagai bentuk 631
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 1 April 2013
pertanggungjawaban pemerintah kepada publik sebagai pemilik dana dan mengambil manfaat dari kebijakan dan program pemerintah. 4. Menunjukkan pada stakeholders manfaat suatu kebijakan. Apabila tidak dilakukan evaluasi terhadap sebuah kebijakan, para stakeholders, terutama kelompok sasaran tidak mengetahui secara pasti manfaat dari sebuah kebijakan atau program. 5. Agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Pada akhirnya, evaluasi kebijakan bermanfaat untuk memberikan masukan bagi proses pengambilan kebijakan yang akan datang agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sebaliknya, dari hasil evaluasi diharapkan dapat ditetapkan kebijakan yang lebih baik. Michael Borus (dalam Solahuddin Kusumanegara, 2002) berpendapat bahwa ada 3 (tiga) tipe evaluasi kebijakan/ program yaitu : (1) Evaluasi proses, yaitu tipe evaluasi yang berusaha menjawab pertanyaan bagaimanakah program berjalan? Evaluasi proses disebut juga pertanyaan apa yang telah dilakukan suatu program? Atau akibat apa yang terjadi dengan adanya suatu program? (2) Evaluasi dampak disebut juga evaluasi summatif. (3) Analisis strategis, berupaya menjawab pertanyaan seberapa jauh efektivitas program dalam mengatasi masalah sosial dibandingkan dengan program-program lain untuk masalah yang sama? Untuk melakukan evaluasi yang baik dengan margin kesalahan yang minimal beberapa ahli mengembangkan langkah-langkah dalam evaluasi kebijakan. Salah satu ahli tersebut adalah Edward A. Suchman (Budi Winarno, 2002). Suchman mengemukakan 6 (enam) langkah dalam evaluasi kebijakan, yakni: (1) mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi; (2) analisa terhadap masalah; (3) deskripsi dan standarisasi kegiatan; (4) pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi; (5) menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab yang lain; (6) beberapa indikator untuk menentukan keberadaaan suatu dampak. Analisa kebijakan sebagaimana tersebut di atas terdapat 1 (satu) aspek kajian yang menjadi salah satu fokus pembahasan dalam penelitian ini yakni aspek gender. Menurut Suyatno dalam (suyatno.blog.undip.ac.id) gender adalah : 1. Melihat perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi karakteristik, sikap dan perilaku masing-masing dalam konteks sosial budaya, berbeda dengan seks yang hanya melihat perbedaan tersebut dari sudut jenis kelamin saja. 2. Konstruksi sosial yang membedakan peran dan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat yang dilatarbelakangi kondisi sosial budaya. 3. Konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial budaya masyarakat. 632
Mochammad Doddy Syahirul Alam
Program Kalimantan Forest and Climate Partnership dalam Mengurangi Emisi Deforestasi dan Degradasi Hutan (Studi pada Kegiatan Persemaian Desa Sei Ahas)
Konsep gender terus mengalami perkembangan dalam kehidupan sosial masyarakat, salah bentuknya adalah konsep kesetaraan gender yang saat ini banyak dituntut oleh kaum perempuan di berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Masih menurut Suyatno Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Pendapat lain datang dari Siti Azizah dalam (sitiazizah.lecture.ub.ac.id) Kesetaraan Gender adalah sebuah kondisi yang dapat menjamin bahwa kesempatan dapat diperoleh semua orang baik perempuan dan laki-laki. Setiap perempuan dan laki-laki dapat mengaktualisasikan potensi dan hak mereka sebagai manusia, sehingga dapat berpartisipasi dan berkontribusi di semua bidang kehidupan manusia dan memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati hasil yang diperoleh. Namun demikian juga diperlukan sebuah proses di mana perempuan dan laki-laki mendapatkan kesempatan yang sama tetapi tetap fair bagi keduanya disesuaikan dengan kondisi kodrati mereka. Proses tersebut disebut dengan Gender Equity atau disebut juga Keadilan Gender. Metode Penelitian Jenis Penelitian Penelitian yang dilaksanakan di Desa Sei Ahas dapat disebutkan jenisnya berdasarkan pendekatan, tingkat eksplanasi, dan jenis datanya (Sugiyono,2002:4). Penelitian ini menggunakan pendekatan evaluasi formatif yaitu ingin mendapatkan feedback dari suatu aktivitas dalam proses, sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan program atau output. Adapun pendekatannya adalah deskriptif yaitu di mana penelitian yang dilakukan ini terhadap variabel mandiri, yaitu tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan dengan variabel yang lain. Untuk jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Penelitian dengan pendekatan evaluasi formatif berusaha membatasi lingkup pembahasan pada beberapa aspek yakni : struktur sosial, kinerja gender, dampak sosial, komunikasi dan faktor penentu keberhasilan persemaian.
633
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 1 April 2013
Sumber Data Penelitian ini sumber datanya yaitu sebagai berikut. a. Data Primer yaitu data utama yang dijadikan landasan penulis penelitian. Data diperoleh dari narasumber dengan melakukan wawancara dan pengamatan langsung. Narasumber yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi : 1. Aparat desa : 2 orang 2. Tokoh masyarakat : 2 orang 3. Orang miskin : 2 orang 4. Pendatang/penduduk yang jauh : 2 orang 5. Kepala rumah tangga perempuan : 2 orang 6. Golongan intelektual : 2 orang 7. Ketua dan anggota kelompok : 2 orang x 5 kelompok = 10 orang persemaian 8. Kelompok kontra : - (tidak ada) 9. LSM Lokal : - (tidak ada) 10. Fasilitator/CE/kader desa : 7 orang 11. Tim Pengelola Kegiatan (TPK) : 2 orang 12. Tim Pengawas (TP) : 2 orang Total : 33 orang Penelitian ini melibatkan responden sejumlah 33 (tiga puluh tiga) orang, akan tetapi tidak semua hasil wawancara disajikan dalam laporan penelitian ini. Penelitian melakukan salah satu tahapan dalam penelitian yakni reduksi data. Reduksi data yaitu proses penyortiran data di mana data tersebut cukup diwakili oleh satu responden yang memiliki pendapat yang sama. Reduksi data ini ditujukan agar tidak terjadi pengulangan kalimat/pendapat yang sama. b. Data sekunder yaitu data pendukung yang digunakan oleh penulis sebagai pelengkap untuk menelaah segi-segi subyektif dari penelitian yang dianalisis. Teknik Pengumpulan Data Dengan mengacu pada ketentuan penelitian kualitatif, maka dalam pengumpulan data yang diperlukan peneliti menggunakan teknik antara lain : 1. Depth Interview, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mendatangi dan mengadakan komunikasi atau bertatap muka dengan narasumber. Peneliti dalam hal ini mewawancarai secara langsung responden sebagaimana data primer tersebut di atas dengan cara menggali informasi secara lebih mendalam. 2. Observasi, yaitu pengamatan langsung terhadap obyek yang akan diteliti sehingga peneliti dapat melihat dan memperoleh gambaran obyek yang diteliti secara nyata dan benar. Pada tahap ini peneliti memperhatikan dan mencermati setiap akitivitas masyarakat terkait dengan program persemaian. 634
Mochammad Doddy Syahirul Alam
Program Kalimantan Forest and Climate Partnership dalam Mengurangi Emisi Deforestasi dan Degradasi Hutan (Studi pada Kegiatan Persemaian Desa Sei Ahas)
3. Dokumentasi, yaitu untuk melengkapi data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi, peneliti mengambil beberapa gambar kegiatan, mempelajari arsip dan dokumen-dokumen yang telah ada. Yang dilakukan oleh peneliti yaitu memotret aktivitas-aktivitas masyarakat terkait persemaian. Teknik Analisa Data Penelitian ini menggunakan teknik yang berbentuk kualitatif, yaitu suatu teknik analisa yang menjelaskan dan menjabarkan hasil penelitian secara kualitatif. Analisa tersebut dilakukan mulai awal dan dilakukan secara terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung. Moleong (2005:103) mengartikan analisa data sebagai proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan proposisinya. Hasil Studi Pada Kegiatan Persemaian Di Desa Sei Ahas Struktur Sosial Yang Mempengaruhi Kegiatan Persemaian Pelaksanaan program persemaian di Desa Sei Ahas dimulai sejak bulan agustus 2011, sehingga ketika penelitian ini dilaksanakan program persemaian sudah berjalan selama 4 (empat) bulan. Sedangkan di beberapa desa bagian hulu sudah dimulai sejak bulan Juli 2011. “Akan lebih baik kalo pelaksanaan secara bersama-sama sehingga
bisa bertukar informasi dengan desa lain. Satu hal yang menjadi ganjalan kami yakni, ketika mulainya saja sudah terlambat maka otomatis persiapan pembentukan kelompok dan penentuan lokasi persemaian juga terlambat. Saya rasa keterlambatan ini menjadi tanggung jawab tim KFCP “. (wawancara bendahara TPK, 8 Desember 2011) Proses pembentukan struktur sosial di kelompok persemaian sedikit banyak dipengaruhi oleh keterlambatan dimulainya kegiatan persemaian di Desa Sei Ahas. Struktur sosial yang dimaksud oleh peneliti dalam hal ini yaitu pranata-pranata sosial yang terkait dalam kegiatan persemaian seperti organisasi (TPK, TP, Kelompok Persemaian) dan Peraturan (ketentuan teknis, protokol, ketentuan administrasi, dan ketentuan keuangan). Pendapat lain yang memperkuat pendapat tersebut di atas disampaikan oleh Koordinator TP : 635
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 1 April 2013
“Dengan awal kegiatan yang terlambat, maka masyarakat calon anggota persemaian membentuk kelompok dengan sedikit tergesagesa. Kenapa tergesa-gesa karena diminta oleh tim KFCP untuk dilakukan dengan cepat. Tidak hanya itu pembentukan TPK dan TP pun menurut saya juga terasa tergesa-gesa. Dengan kondisi demikian permasalahan sering muncul pada formasi atau komposisi anggota persemaian. Yang saya maksudkan disini yaitu keterwakilan seluruh elemen masyarakat. Begitu kelompok persemaian terbentuk ada beberapa kelompok masyarakat yang merasa tidak pernah diajak atau diinfokan tentang pembentukan kelompok tersebut. Saya perhatikan juga untuk proses pembentukan kelompok persemaian oleh TPK sepertinya kurang maksimal, saya rasa waktu sosialisasinya sangat singkat sekali.” (wawancara, 8 Desember 2011) Satu faktor yang sangat berpengaruh dalam proses pembentuk struktur sosial yakni “waktu”. Masyarakat merasa bahwa waktu yang diberikan kepada mereka untuk bisa menyusun struktur sosial persemaian dengan baik yang mewakili seluruh elemen masyarakat desa dirasa sangat kurang sekali. Tentu pendapat ini sangatlah relatif. Tim KFCP merasa waktu yang diberikan kepada masyarakat desa sudah sangat cukup. Tim KFCP tentu sudah memperhitungkan segala sesuatunya. Sebagaimana pendapat dari tim reforestasi berikut ini.
“Meski relatif terlambat dibandingkan dengan pelaksanaan persemaian di desa lain sebenarnya waktu yang diberikan kepada masyarakat Desa Sei Ahas sangatlah cukup, waktu dari bulan Juli sampai bulan Agustus kami rasa cukup untuk mempersiapkan struktur sosial (organisasi) pengelola persemaian”.(wawancara, 8 Desember 2011) Mereka sudah beberapa kali berkoordinasi dengan pemerintah desa dan tokoh masyarakat, dan memang seakan-akan tidak ada masalah. Masyarakat dengan didampingi oleh pemerintah desa dianggap mampu menyusun struktur sosial yang dibutuhkan dalam program persemaian ini. Akan tetapi fakta berbicara lain, peneliti berpendapat dengan kapasitas pemerintah desa dan masyarakat desa belum mampu untuk menyusun struktur sosial yang baik yang mewakili seluruh elemen masyarakat dan mampu mendorong partisipasi masyarakat. Ada beberapa kelompok yang ditinggal dalam proses pembentukan struktur sosial tersebut yakni masyarakat yang tinggal jauh diujung desa, golongan intelektual (guru, mantri, bidan), dan golongan lansia. Ketiga elemen masyarakat tersebut lebih banyak diluar struktur sosial yang ada. Mungkin golongan lansia boleh ditinggalkan atau tidak perlu dilibatkan dalam kegiatan teknis persemaian akan tetapi pendapat dan pemikiran mereka mungkin masih bisa dimanfaatkan. Berdasarkan pertimbangan 636
Mochammad Doddy Syahirul Alam
Program Kalimantan Forest and Climate Partnership dalam Mengurangi Emisi Deforestasi dan Degradasi Hutan (Studi pada Kegiatan Persemaian Desa Sei Ahas)
teknis mungkin golongan lansia boleh ditinggalkan sama sekali, akan tetapi bagaimana dengan masyarakat yang tinggal diujung desa, apakah mereka tidak memiliki hak yang sama dengan masyarakat yang tinggal dekat dengan pemerintahan desa. Fakta dilapangan mereka sebenarnya mau dan mampu untuk terlibat kegiatan persemaian sepanjang hal tersebut dikomunikasikan kepada mereka dengan cara-cara yang baik. Sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh salah satu masyarakat tinggal diujung desa berikut ini :
“Selama ini kami belum pernah diundang secara langsung untuk baik lisan maupun tulisan untuk mengikuti kegiatan persemaian sebagaimana yang mereka lakukan. Kami merasa tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan persemaian dan kami pun tidak bisa berbuat apa-apa. Kami merasa ada perbedaan perlakuan antara warga yang tinggal dekat dengan kepala desa dengan warga yang tinggal di ujung desa”. (wawancara, 10 Desember 2011) Yang terakhir golongan intelektual, golongan ini sama sekali diluar struktur sosial yang ada. Keberadaaan mereka seperti hanya dibutuhkan untuk tugas-tugas fungsional sesuai profesinya. Golongan intelektual (guru dan tenaga medis) sebenarnya mau dan ingin menyampaikan aspirasinya karena mereka punya sudut pandang yang lain baik dari aspek kesehatan maupun pendidikan. Struktur sosial yang mempengaruhi jalannya persemaian yang dimaksud oleh peneliti yaitu komposisi elemen masyarakat yang ada di organisasi TPK, TP, dan kelompok persemaian.
“Untuk keanggotaan TPK mekanisme pemilihannya yaitu dicalonkan oleh Kepala Desa untuk kemudian dipilih oleh masyarakat dalam forum musyawarah desa. Untuk TP keanggotaannya terdiri dari beberapa aparat desa seperti Kaur yang ada dibawah Kepala Desa dan unsur Badan Permusyawaratan Desa, sehingga memang keanggotaan TP keseluruhan berasal dari aparat desa. Untuk keanggotaan kelompok pembibitan ini memang diupayakan seluruh elemen masyarakat bisa terlibat. Dan memang kami aparat desa juga ikut menjadi bagian anggota kelompok pembibitan secara tidak langsung yakni nama istri atau suami dari aparat desa masuk menjadi anggota persemaian. Kami aparat desa yang keluarganya menjadi anggota pembibitan berusaha untuk menjalankan perannya masing-masing. Kami tidak mencampuri terlalu dalam soal urusan internal kelompok pembibitan. Karena masing-masing kelompok 637
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 1 April 2013
pembibitan yang ada di Desa Sei Ahas sudah ditunjuk Ketua Kelompoknya. Sehingga Ketua Kelompoklah yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan internal kelompoknya”. ( wawancara koordinator TP, 8 Desember 2011). Penetapan kelompok persemaian di Desa Sei Ahas menjadi beberapa kelompok didasarkan pada kesepakatan bersama masyarakat dalam forum musyawarah desa. Tim KFCP pada dasarnya menyerahkan semuanya kepada masyarakat tentang jumlah kelompok dan struktur sosial yang ingin dibangun. Di desa lain dimungkin bahwa pengelolaan persemaian itu berdasarkan KK (kepala keluarga), akan tetapi di Desa Sei Ahas memilih untuk berkelompok. Dari hasil musyawarah desa ditetapkan sebanyak lima kelompok persemaian di Desa Sei Ahas. Ada 4 (empat) kelompok di RT 01 dan 1 (satu) kelompok di RT 02. Dari komposisi kelompok yang demikian peneliti merasakan sebuah kejanggalan, mengapa kelompok persemaian lebih banyak ada di RT 01 dibanding RT 02. Hal tersebut akan peneliti bahas pada sub pembahasan berikutnya. Hal yang menarik untuk dianalisa terkait dengan penyusunan kelompok yaitu “dinamika kelompok” pada masing-masing persemaian tersebut. Ketua kelompok dalam persemaian yaitu satu-satunya “peran” yang ada selain anggota kelompok, sehingga dinamika kelompok akan muncul bila seorang “Ketua” memainkan perannya. Berikut pendapat Kepala Desa :
“Kalo saya ditanya apa peran dari seorang Ketua kelompok persemaian, tentu secara sederhana saya akan menjawab “tugasnya yaitu memimpin dan mengatur anggota kelompoknya”. Akan tetapi kalo saya mengamati, sebenarnya Ketua kelompok yang ada ini tidak banyak perannya. Bahkan ada yang tidak berperan samasekali. Mengapa demikian, saya perhatikan mereka juga tidak pernah melakukan pertemuan-pertemuan tingkat kelompok. Rata-rata anggota persemaian bekerja sendiri memelihara bibitnya dan terkesan Ketua kelompok pun bekerja sendiri. Ketua kelompok sepertinya tidak pernah memberikan arahan apapun kepada anggota tentang teknis pemeliharaan maupun yang lain-lain” (wawancara, 19 Desember 2011) Pendapat senada juga disampaikan oleh Ketua Kelompok I ketika ditanya oleh peneliti tentang perannya sebagai Ketua, maka beliau berpendapat :
“Kegiatan yang kami laksanakan semenjak saya dipilih oleh mereka menjadi Ketua, yaitu hanya memberikan informasi yang saya dapat dari TPK maupun tim KFCP, informasi tersebut dapat berupa pencairan dana, jadwal Musdes, atau teknis pembibitan. Kalo yang lain-lain kami tidak pernah. Pertemuan di tingkat kelompok selama 638
Mochammad Doddy Syahirul Alam
Program Kalimantan Forest and Climate Partnership dalam Mengurangi Emisi Deforestasi dan Degradasi Hutan (Studi pada Kegiatan Persemaian Desa Sei Ahas)
ini belum pernah kami laksanakan. Saya melihat kelompok yang lain juga tidak pernah, sehingga saya tidak berani untuk berinisiatif….” (wawancara, 8 Desember 2011) Menyimak pendapat-pendapat tersebut di atas terkait peran Ketua kelompok persemaian, maka peneliti dapat memberikan beberapa tanggapan berdasarkan tinjauan teori yang ada. Menurut Dr. Kartini Kartono dalam bukunya “Pemimpin dan Kepemimpinan” bahwa dengan ditunjuknya seorang pemimpin bagi sebuah kelompok dimaksudkan agar dapat menciptakan sebuah “dinamika kelompok” yang baik yang mendukung terhadap penguatan struktur sosial yang ada. Dinamika kelompok kita pahami sebagai sebuah kondisi yang bebas bergerak berkreasi baik secara mandiri maupun berkelompok dengan tetap memperhatikan kepentingan dan tujuan kelompok. Seorang pemimpin dalam kelompok sebenarnya memiliki beberapa tugas (Kartini, 2010) yaitu : 1. Memelihara struktur kelompok, menjamin interaksi yang lancar, dan memudahkan pelaksanaan tugas-tugas. 2. Menyinkronkan ideologi, ide, pikiran, dan ambisi anggota-anggota kelompok dengan pola keinginan pemimpin. 3. Memberikan rasa aman dan status yang jelas kepada setiap anggota, sehingga mereka bersedia memberikan partisipasi penuh. 4. Memanfaatkan dan mengoptimasikan kemampuan, bakat, dan produktivitas semua anggota kelompok untuk berkarya dan berprestasi. 5. Menegakkan peraturan, larangan, disiplin dan norma-norma kelompok agar tercapai kepaduan/cohesiveness kelompok; meminimalisir konflik dan perbedaan-perbedaan. 6. Merumuskan nilai-nilai kelompok dan memilih tujuan-tujuan kelompok, sambil menentukan sarana dan cara-cara operasional guna mencapainya. 7. Mampu memenuhi harapan, keinginan, dan kebutuhan-kebutuhan para anggota, sehingga mereka merasa puas. Juga membantu adaptasi mereka terhadap tuntutan-tuntutan eksternal di tengah masyarakat dan memecahkan kesulitan-kesulitan hidup anggota kelompok setiap harinya. Jika ketua kelompok dapat berfungsi sebagaimana mestinya maka dinamika di dalam kelompok persemaian dapat terbangun. Semangat gotong royong dan kebersamaan dapat dipupuk jika ketua mampu memotivasi dan menggerakkan anggotanya. Dan yang paling penting kesalahan informasi dan misinterpretasi terhadap program dapat dihindari.
639
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 1 April 2013
Analisa Kinerja Berdasarkan Gender Berdasarkan hasil observasi dan wawancara mendalam dengan ketua maupun anggota kelompok peran perempuan/wanita dirasakan peneliti bukan menjadi sebuah masalah atau kendala dalam program persemaian. Fakta dan data dilapangan menunjukkan untuk partisipasi kelompok perempuan terhadap proses pengambilan keputusan di tingkat forum musyawarah desa dianggap peneliti cukup bagus. Sebagaimana nampak dari data yang disampaikan pada laporan I dari 3 (tiga) kali pertemuan/Musdes/FGD tingkat kehadiran perempuan berkisar 22% - 50%, sehingga hal ini dianggap sebagai kondisi cukup bagus terkait partisipasi perempuan dalam persemaian.
“Kami kaum perempuan berbagi tugas dengan kaum lelaki. Untuk kaum lelaki mereka bertugas mencari bibit di hutan. Sedangkan kami kaum perempuan bertugas memasukkan bibit kedalam polybag, menyiram dan memupuk bibit secara rutin. Sesekali kaum lelaki juga membantu menyiram dan memupuk bibit. Sebenarnya kami berpendapat bahwa kegiatan pembibitan bersifat penghasilan sampingan saja bagi kami. Sehingga cukup kaum perempuan saja yang lebih banyak mengerjakannya. Kaum lelaki lebih banyak bekerja mengurus kebun karet dan rotan, karena disitulah penghasilan utama kami”. (wawancara anggota kelompok V, 14 Desember 2011) Ternyata mereka secara alami telah melakukan pembagian tugas untuk pengelolaan bibit. Dengan adanya program persemaian ini tentu kaum perempuan memiliki tambahan kesibukan dalam pekerjaan, dan sekaligus bisa membantu kaum lelaki untuk menambah penghasilan dari insentif yang didapatkan dari program persemaian ini. Secara nominal mungkin tidak terlalu besar, namun dari sisi lain kegiatan ini meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kaum perempuan sehingga kedepan mereka lebih berdaya guna dan berhasil guna. Secara perlahanlahan peran laki-laki dan perempuan dalam mencari nafkah akan berada dalam posisi yang sejajar, sehingga tidak ada lagi diskriminasi atau marjinalisasi terhadap kaum perempuan. Dampak Ekonomi Dan Sosial Kegiatan Persemaian Seyogyanya kita menetapkan dulu aspek apa saja yang ingin kita cermati dan sajikan dalam penelitian ini. Dalam hal ini peneliti mencermati dari aspek pendapatan, nilai dan sikap sosial, dan mobilitas sosial. Aspek pendapatan menjadi hal utama yang selalu dibicarakan oleh masyarakat Desa Sei Ahas. Secara implisit memang program ini tidak dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam jangka pendek. Program ini lebih banyak untuk bagaimana merubah paradigma matapencaharian masyarakat desa dari yang tadinya bekerja menebang 640
Mochammad Doddy Syahirul Alam
Program Kalimantan Forest and Climate Partnership dalam Mengurangi Emisi Deforestasi dan Degradasi Hutan (Studi pada Kegiatan Persemaian Desa Sei Ahas)
hutan dan merambah hutan bergeser menjadi bekerja dibidang lain yang tetap memberikan keuntungan secara ekonomis bagi masyarakat. Dalam berkegiatan tim KFCP mengandalkan istilah “Demonstration Activity” sebagai usaha “uji coba”, yang berusaha merangsang masyarakat untuk merubah paradigmanya dengan menggunakan istilah “insentive” program persemaian. Dan akhirnya “insentif” inilah yang selalu dibicarakan dan ditunggu-tunggu dikalangan masyarakat desa. Peneliti secara objektif memberikan tanggapan positif bagi program persemaian ini. Fakta di lapangan menunjukkan semenjak program persemaian ini masuk ke Desa Sei Ahas maka ada aliran dana (uang tunai) yang masuk ke desa. Mulai dari dana operasional pembibitan, dana pemeliharaan, dana musyawarah desa, dana untuk honor TP dan TPK. Dari aspek ekonomi semakin banyak aliran dana yang masuk secara perlahan akan meningkatkan daya beli masyarakat. Semakin daya beli meningkat, volume perdagangan juga akan meningkat. Kalau volume perdagangan meningkat maka perekonomian desa tentu akan mengalami kemajuan. Singkat kata, multiplayer efek lah yang terjadi di Desa Sei Ahas sebagai dampak dari kegiatan persemaian. Program persemaian secara tidak langsung telah menyerap energi, pikiran dan waktu bagi segenap elemen masyarakat, seperti anggota TP, anggota TPK, Kader Desa, dan Pemerintah Desa. Memang sekilas hal tersebut cukup melelahkan dan terkadang membosankan. Sebenarnya program persemaian ini sangat memberikan manfaat bagi masyarakat desa. Mengapa demikian, karena masyarakat diajak untuk ikut dalam sebuah proses pembelajaran. Banyak hal pembelajaran yang dilakukan seperti; belajar untuk mengelola uang, belajar untuk memecahkan masalah, belajar untuk berfikir efektif dan efisien, belajar untuk mengelola bibit secara berkualitas, belajar untuk mengambil keputusan, belajar untuk berani mengambil risiko dan belajar untuk mengelola konflik yang ada di masyarakat agar menjadi hal konstruktif bagi sistem sosial yang ada. Aspek terakhir yang menjadi bagian dari dampak sosial yaitu mobilitas sosial. Semenjak program persemaian ini masuk ke Desa Sei Ahas, banyak sekali orang berdatangan ke sini. Dari berbagai pihak tidak hanya dari tim KFCP saja, ada juga pemerintah kecamatan, wartawan, pejabat Pemkab Kapuas, dan masih banyak lagi. Selain itu dengan program adanya program persemaian ini masyarakat yang tergabung dalam TPK dan TP juga sering pergi keluar daerah untuk mengikut berbagai pertemuan dan pelatihan terkait persemaian yang dilaksanakan oleh KFCP.
641
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 1 April 2013
“Saya semenjak jadi Ketua TPK sangat seringkali mengikuti pertemuan dan pelatihan di Kapuas dan beberapa desa di sekitar Kecamatan Mantangai. Banyak hal yang saya dapatkan khususnya pengetahuan tentang pengelolaan persemaian ini. Selain saya, sering kami pergi bersama dengan anggota TP untuk mengikuti kegiatan yang sama. Selain kesibukan mengikuti pelatihan dan pertemuan diluar daerah. Kami dan pemerintah desa juga bertambah kesibukannya karena seringkali harus memfasilitasi tim KFCP maupun tim peninjau lainnya untuk melaksanakan musyawarah desa. dari bulan Agustus sampai dengan bulan Desember ini kami memang sangat sibuk sekali”. (wawancara ketua TPK, 8 Desember 2011) Analisa Gaya Fasilitator Dan Cara Komunikasi KFCP Gaya fasilitator dan cara komunikasi KFCP menjadi poin penting yang menentukan keberhasilan program persemaian ini. Gaya dan cara menjadi sebuah kesatuan dalam aspek pembahasan yaitu “komunikasi”. Diperlukannya analisa terhadap gaya fasilitator dengan pertimbangan bahwa peran fasilitator dirasa sangat penting dalam pelaksanaan program. Pada tahap laporan kedua ini peneliti kembali menyajikan data perbedaan pendapat atau persepsi antara masyarakat dan KFCP. Dalam hal ini peneliti sajikan dalam bentuk tabel berikut ini. Bila kita menyimak tabel persepsi tersebut di atas nampak bahwa terjadi gap antara KFCP dan masyarakat (persemaian). Gap yang dimaksud oleh peneliti disini yaitu perbedaan pandangan atau pendapat terhadap aspek Teknis, Kelembagaan, dan Komunikasi. Secara khusus peneliti telah melakukan interview dengan tim Reforestasi tentang berbagai permasalahan yang terjadi di Desa Sei Ahas. Pendapatnya adalah sebagai berikut.
“Kalo saya boleh berpendapat, keberhasilan program persemaian di Desa Sei Ahas ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor sosial dan faktor teknis. Kedua faktor tersebut secara konsep mempunyai bobot yang idealnya sama. Akan tetapi fakta dilapangan faktor sosial-lah yang lebih dominan mempengaruhi terhadap seluruh kinerja program persemaian ini. Berbagai keluhan yang disampaikan oleh masyarakat terkait dengan teknis persemaian, sebenarnya sudah kita respon dan masyarakat sudah kita berikan pembekalan teknis persemaian. Kami selalu berusaha untuk siap ditempat (di Sei Ahas) bilamana dibutuhkan. Tapi untuk diketahui bersama bahwa kami mempunyai tugas juga selain di Desa Sei Ahas. Sehingga jika tidak ada permintaan untuk pendampingan teknis dari masyarakat, maka kami anggap tidak ada permasalahan. Hal tersebut tidak akan terjadi gap yang besar bila peran CE bisa maksimal. CE-lah yang 642
Mochammad Doddy Syahirul Alam
Program Kalimantan Forest and Climate Partnership dalam Mengurangi Emisi Deforestasi dan Degradasi Hutan (Studi pada Kegiatan Persemaian Desa Sei Ahas)
bertanggung jawab dalam menjembatani kebutuhan komunikasi antara masyarakat dan KFCP. CE juga dibantu oleh Kader Desa. Saya berpendapat CE di Desa Sei Ahas belum berperan secara maksimal.” (wawancara, 10 Desember 2011) Cara Komunikasi Dan Gaya Fasilitasi Yang Dianggap Terbaik Oleh Masyarakat Dari hasil wawancara mendalam dapat disimpulkan secara tidak langsung bahwa cara komunikasi dan gaya fasilitasi yang telah dilakukan adalah cukup baik.
“Cara komunikasi dan gaya fasilitasi yang telah dilakukan oleh KFCP saat ini sebenarnya cukup baik. KFCP selalu berusaha untuk mengkomunikasikan keinginan atau kebijakan yang diambil kepada masyarakat. Akan tetapi yang seringkali menjadi kendala adalah, terlalu banyak pihak/elemen KFCP yang masuk ke Desa Sei Ahas. Sehingga masyarakat cenderung kebingungan sebenarnya siapa yang bertanggungjawab penuh terhadap kegiatan persemaian ini. Seringkali terjadi kesimpangsiuran informasi, karena yang menyampaikan orangnya berbeda-beda alias berganti-ganti orang. Masyarakat juga bingung dengan begitu banyak elemen KFCP seperti CE, Kader Desa, Tim Refo, Tim Payment, Manajer Kontrak, Manajer Komunikasi. Kami bingung kepada siapa kami harus berkeluh kesah jika terjadi permasalahan. Saya berpendapat orang atau pihak-pihak yang datang ke Sei Ahas agar lebih disederhanakan sehingga apapun permasalahan kami, itu bisa ditampung dan ditindaklanjuti saat itu juga”. (wawancara mantir/mantan kepala desa, 22 Desember 2011) Menanggapi permasalahan tersebut di atas dibutuhkanlah sebuah sistem informasi yang dapat mendukung proses manajemen. Sebagaimana yang disampaikan oleh Siagian (2011) bahwa ada peran sistem informasi dalam proses manajemen, yakni : 1. Peranan yang bersifat “interpersonal” Peranan yang bersifat interpersonal antara lain dimaksudkan untuk menumbuhsuburkan iklim solidaritas dan kebersamaan dalam organisasi. 2. Peranan informasional, dalam kedudukannya selaku unsur pimpinan dalam organisasi, manajemen menjadi pemantau arus informasi dalam organisasi, disamping peranan selaku penerima dan pembagi informasi. 643
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 1 April 2013
3.
Peranan selaku pengambil keputusan, peranan tersebut muncul karena manajemen memiliki wewenang untuk bertindak selaku : (a) peredam ketenangan; (b) penentu alokasi sumber daya; (c) selaku perunding. Dapat dipastikan bahwa adakalanya suatu organisasi dihadapkan pada suatu ketidaktenangan karena, misalnya, terjadi perubahan yang tidak dapat diduga sebelumnya. Memang sering ditekankan bahwa manajemen yang tangguh adalah manajemen antisipatif sehingga tidak sering dihadapkan kepada suasana “pendadakan”. Penekanan demikian benar dan meskipun mengatakannya jauh lebih mudah ketimbang melaksanakannya. Artinya, sematang-matangnya perkiraan masa depan dilakukan, unsur ketidakpastian selalu ada.
Faktor Yang Menentukan Keberhasilan Program Persemaian Beberapa faktor yang menentukan keberhasilan program persemaian adalah sebagai berikut. 1. Penyampaian teknis pembibitan yang jelas dan baku. Meski fakta-fakta penelitian menunjukkan bahwa aspek sosial lebih dominan dalam program persemaian, bukan berarti aspek teknis diabaikan. Aspek teknis pembibitan menjadi hal penting juga terhadap keberhasilan program persemaian ini. Teknis pembibitan khususnya cara-cara pemeliharaan sangat perlu untuk dibuat dengan jelas dan mudah oleh masyarakat. Sebisa mungkin dibuat semacam buku kecil sebagai pedoman dalam pemeliharaan dan penanaman bibit persemaian. Sehingga masyarakat dapat dengan mudah melaksanakan pemeliharaan bibit dan penanaman. 2. Penguatan peran kelembagaan desa (TPK, TP,Ketua Kelompok,Kader Desa, Pemdes). Peran kelembagaan desa yang meliputi TPK, TP, Ketua Kelompok, Kader Desa, dan Pemerintah Desa sangat penting dalam mensukseskan program persemaian ini. Penguatan peran yang dimaksud peneliti dalam hal ini yaitu peningkatan kapasitas diri yang meliputi pengetahuan dan keterampilan pengelolaan program persemaian. KFCP bertanggungjawab memastikan setiap anggota lembaga desa tersebut memahami maksud, tujuan, dan mekanisme baku pelaksanaan program persemaian. 3. Penguatan peran supporting unit KFCP (Manajer Kontrak, CE, Tim Refo, Tim Payment). Peran support unit menjadi hal sangat vital terhadap keberhasilan program. Terbukti bila salah unit seperti CE tidak berperan maksimal yang terjadi akan banyak muncul berbagai macam permasalahan sosial yang disebabkan oleh kesalahpahaman atau miskomunikasi antara masyarakat dan KFCP. Dan diharapkan juga setiap anggota dari personil dari supporting unit harus memahami permasalahan/mekanisme dalam 2 (dua) aspek yakni Teknis dan Sosial, dalam porsinya masing-masing. Dengan demikian diharapkan akan dapat menanggapi setiap 644
Mochammad Doddy Syahirul Alam
Program Kalimantan Forest and Climate Partnership dalam Mengurangi Emisi Deforestasi dan Degradasi Hutan (Studi pada Kegiatan Persemaian Desa Sei Ahas)
permasalahan yang ditemui di lapangan sesegera mungkin tanpa harus menunggu waktu yang lebih lama. 4. Sistem informasi yang memadai sebagai tumpuan pelaksanaan program. Sistem informasi yang memadai dalam hal ini adalah sebuah rangkaian sistem informasi yang melibatkan elemen KFCP dan elemen masyarakat. Memadai yang dimaksudkan disini yaitu sebuah sistem informasi yang mudah diakses oleh masyarakat desa dengan media-media atau sarana yang ada di Desa Sei Ahas. Satu hal lain yaitu sistem informasi ini harus mampu secara responsif menanggapi setiap keluhan dan aspirasi masyarakat. Sistem informasi ini bisa diwujudkan dalam bentuk unit info dan pengaduan. Penguatan peran supporting unit KFCP (Manajer Kontrak, CE, Tim Refo, Tim Payment). Kesimpulan 1. Struktur sosial persemaian yang ada di Desa Sei Ahas terbentuk dalam waktu yang cukup singkat dan memiliki komponen yang hampir sama dengan desa lain yakni terdiri atas TPK, TP, Pemdes, Ketua Kelompok, dan Anggota Kelompok Persemaian. 2. Kinerja gender menunjukkan hal yang positif dalam program nursery ini. Produktivitas kerja dan keterlibatannya dalam program ini dirasakan cukup baik, dan perannya dirasakan nyata oleh para lelaki. 3. Secara tidak langsung program nursey cukup memberikan dampak sosial dari aspek pendapatan, nilai dan sikap sosial dan mobilitas sosial, ketiga aspek tersebut mengalami peningkatan secara simultan dalam kurun waktu singkat. 4. Komunikasi yang terjadi selama program persemaian dilaksanakan dinilai “kurang” hal tersebut bisa dilihat dari gap yang muncul antara masyarakat dan KFCP. Gap tersebut terjadi antara aspek sosial dan aspek teknis. Salah satu pemicunya yaitu peran Community Enggagement (CE) yang tidak maksimal. Rekomendasi 1. Perlu dibuat mekanisme evaluasi yang melibatkan semua elemen desa dan tim KFCP secara periodik sebelum program berakhir. 2. Masyarakat desa perlu senantiasa didampingi dalam mengelola persemaian. 3. Perlu melibatkan pihak ketiga sebagai konsultan dalam mencermati dan mengatasi permasalahan antara masyarakat desa dan KFCP secara obyektif. 4. Dibutuhkan sebuah sistem informasi yang handal yang bisa mendukung pengelolaan persemaian. Program persemaian ini tidak lebih sebagai 645
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 1 April 2013
sebuah proses manajemen, secara singkat dapat disampaikan bahwa pada tataran pimpinan/pengambilan keputusan/pemilik konsep harus bisa menyeimbangkan antara konsep/perencanaan dengan pengawasan . Agar kedua hal tersebut seimbang atau setidaknya mendekati seimbang maka unsur pimpinan/pengambil keputusan/pemilik konsep wajib hukumnya untuk sering turun ke lapangan. 5. Ada beberapa faktor penentu keberhasilan program persemaian ini yaitu : (a) penyampaian teknis pembibitan yang jelas dan baku; (b) penguatan peran kelembagaan desa (TPK, TP,Ketua Kelompok,Kader Desa, Pemdes); (c) penguatan peran supporting unit KFCP (Manajer Kontrak, CE, Tim Refo, Tim Payment); (d) sistem informasi yang memadai sebagai tumpuan pelaksanaan program. *** Daftar Pustaka Charles. O. Jones. 1991. Pengantar Kebijakan Publik ( Publik Policy ). Jakarta: CV. Rajawali. Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analisys . Yogyakarta: Gava Media. Kartono, Kartini. 2010. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Rajawali Press. Kusumanegara, Solahuddin. 2010. Model dan Aktor Dalam Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Penerbit Gava Media. Miriam Budiardjo, Tri Nuke Pudjiastuti. 1996. Teori-Teori Politik Dewasa Ini. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Moleong, Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan Keenam Belas Bandung: Remaja Rosdakarya. Nugroho, D. Riant. 2011. Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Sugiyono, DR. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. Siagian. Sondang. Prof. DR. 2011. Sistem Informasi Manajemen. Jakarta:Bumi Aksara. Solichin, Abdul Wahab.1991. Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi ke implementasi kebijaksanaan Negara. Jakarta:Bumi Aksara. Subarsono, AG. 2009. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi . Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Winarno, Budi. 2001. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo. http://www.reddindonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=179&Itemid=67 di akses pada 14 Januari 2013. http://www.reddindonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=180&Itemid=68 di akses pada 14 Januari 2013. sitiazizah.lecture.ub.ac.id, diakses tanggal 24 Maret 2013. suyatno.blog.undip.ac.id, diakses tanggal 24 Maret 2013.
646
Mochammad Doddy Syahirul Alam
Program Kalimantan Forest and Climate Partnership dalam Mengurangi Emisi Deforestasi dan Degradasi Hutan (Studi pada Kegiatan Persemaian Desa Sei Ahas)
Bagan 1. Proses Analisis Data Penelitian Kualitatif PENGUMPULAN DATA
SUMBER-SUMBER DATA
DIPELAJARI DAN DITELAAH
REDUKSI DATA
MENGANALISA DATA
PEMBUATAN ABSTRAKSI
MENYIMPULKAN HASIL PENELITIAN Sumber : Dimodifikasi dari Moleong ( 2005 : 190 )
Tabel 1. Persepsi Pelaksanaan Persemaian No. 1
Aspek TEKNIS : - Penentuan jenis bibit. - Penentuan tinggi bibit. - Pemupukan dan Pemeliharaan. - Pembayaran bibit.
Persepsi Masyarakat dan Persemaian
KFCP
- Ada satu bibit diluar protokol yang diperbolehkan disemaikan, padahal sebelumnya tidak diperbolehkan, yakni bibit katumbu. - Tinggi bibit yang dibayar mulai 10 cm. - Masyarakat tidak pernah diajari cara memupuk dan meyiram bibit.
- Bibit diluar protokol diperbolehkan asalkan jenis kayu yang bisa tumbuh di lahan gambut. Protokol hanya sebagai acuan saja. - Tinggi bibit yang dibayar sudah diturunkan dari 25 cm menjadi 15 cm tetap dibayar untuk termin I. 647
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 1 April 2013
- Masyarakat masih merasa bingung jadwal/waktu pembayaran termin I, termin II, dan termin III.
- Soal pemupukan dan pemeliharaan sudah pernah disampaikan oleh tim refo ke masyarakat melalui TPK. - Soal termin pembayaran bibit bukan kewenangan tim teknis, melainkan kewenangan Tim
Payment.
- Kepastian waktu pembayaran untuk termin I dan termin II memang tidak bisa dipastikan tanggalnya menunggu kesiapan teknis dan hasil verifikasi dari tim refo. 2
KELEMBAGAAN : - TPK. - TP. - Kades. - CE. - Tim Reforestasi. - Kader Desa. - Tim Payment. - BPD. - Mantir. - Kelompok persemaian.
-
-
-
-
TPK cukup berperan. TP cukup berperan. Cukup berperan. CE sering tidak ada ditempat (tidak standby) Tim refo, tidak pernah stay dalam waktu yang cukup lama, sehingga masyarakat kurang punya waktu untuk bertanya. Kader, selama ini kurang bisa menyampaikan aspirasi anggota persemaian. Tim Payment cenderung lambat melakukan pembayaran. BPD cukup berperan Mantir cukup berperan Kelompok Persemaian cukup berperan.
- TPK harusnya bisa lebih berperan dalam menyampaikan informasi teknis pembibitan seperti penentuan bibit, pemupukan, dan pemeliharaan. - CE memang kurang standby dan kurang menyerap aspirasi masyarakat/persemaian. - Tim refo memang tidak harus stay dalam waktu lama tergantung permintaan/kebutuhan dari masyarakat/persemaian. - Kader Desa sebelumnya tidak ada.
3
648
KOMUNIKASI : - Media komunikasi - Arus informasi - Manajemen Komplain
- Hanya menggunakan media komunikasi papan pengumuman di balai desa, pengumuman tertulis yang ditempel di warungwarung, pemberitahuan
- Setiap informasi selalu disampaikan terlebih dahulu melalui TPK. - Tim refo belum pernah mendengar secara langsung keluhan dari
Mochammad Doddy Syahirul Alam
Program Kalimantan Forest and Climate Partnership dalam Mengurangi Emisi Deforestasi dan Degradasi Hutan (Studi pada Kegiatan Persemaian Desa Sei Ahas)
dari mulut ke mulut, pertemuan di balai desa. - Arus informasi memang lebih dominan dari Pemerintah Desa dan TPK. (top down). - TPK dan TP sudah pernah menyampaikan atau mengisi format keluhan yang disampaikan secara tertulis kepada KFCP akan tetapi belum ada tanggapan secara langsung. Masih menunggu konfirmasi dari pihak IAFCP. Info dari : Sekdes.
masyarakat/persemaian. - Soal keluhan melalui format keluhan masih dicek kebenarannya, apakah betul pernah disampaikan ke KFCP atau tidak. Kalau memang pernah sudah sampai di mana tindak lanjutnya.
Sumber : Data Diolah Dari Depth Interview
649