Prakata Seperti yang pernah dituliskan dalam INFO PPH Edisi 1, Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang Berkeadilan Jender dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPTPKKTP) merupakan sistem terpadu yang menunjukan proses keterkaitan antar instansi/pihak yang berwenang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan akses pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi korban dalam setiap proses peradilan kasus kekerasan terhadap perempuan. Salah satu pihak yang terkait dalam SPPT-PKKTP adalah pendamping korban secara psiko-sosial dan medis. Adalah kenyataan bahwa hal mengenai kehadiran pendamping bagi perempuan korban kekerasan dan perempuan “pelaku” belum diatur dalam KUHAP. Di antara penegak hukum sendiri, meski belum melembaga, beberapa tahun terakhir, telah mulai ada inisiatif untuk menerima keberadaan pendamping dalam proses peradilan. Hingga pada tanggal 22 September 2004, sejak kelahiran UU R.I. No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), peran (relawan) pendamping memiliki landasan hukum yang kuat dalam hal penanganan kasus KDRT. Semakin disadarilah pentingnya kehadiran pendamping di sisi perempuan korban dan perempuan “pelaku”. Hal ini juga ditegaskan dengan pentingnya pendamping dalam SPPT-PKKTP. Kehadiran pendamping diharapkan mendukung agar perempuan diposisikan sebagai pelaku utama (subyek), bukan sebagai pelengkap (objek) yang hanya diambil pengakuannya saja. Sebagai subyek ia berhak didengar keterangannya, mendapatkan informasi atas upaya hukum yang berjalan, dipertimbangkan rasa keadilan yang ingin diperolehnya dan dipulihkan situasi dirinya atas perampasan hakhaknya dan kekerasan yang dialaminya. Dengan kata lain, peran pendamping memastikan agar perempuan ditempatkan sebagai subyek dalam SPPTPKKTP...
Dari Redaksi MITRA... Terimakasih atas sambutan yang hangat dari para mitra atas terbitnya INFO PPH edisi 1. Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan di sana sini. Namun tidak mengurangi semangat dalam mensosialisasikan paradigma baru dalam hukum. Kali ini kami hadir kembali dengan tema Pendampingan dalam SPPT-PKKTP. Beberapa pemikiran tentang tema tertuang dalam rubrik-rubrik berikut: Fokus, mengambil judul ”Pendampingan, Sebuah Proses Penguatan dan Pemberdayaan dalam Sistem Peradilan.” Penulis adalah Ratna Batara Munti, saat ini sebagai Direktur LBH APIK memaparkan pengalaman LBH APIK dalam melakukan pendampingan bagi perempuan korban kekerasan baik secara ligitasi dan non-ligitasi. SPPT-PKKTP, yang merupakan nafas dari INFO PPH, melanjutkan bahasan SPPT-PKKTP meliputi: (1) Pendamping dan SPPT-PKKTP; (2) Kerja Sama Pendamping dan Aparat Penegak Hukum Dalam SPPT-PKKTP; (3) Kerja Sama Pendamping dan Aparat Penegak Hukum Dalam SPPT-PKKTP. Skema SPPT-PKKTP, terdapat revisi pada skema SPPTPKKTP dalam INFO PPH edisi 1. Perubahan terutama terdapat pada bagian tengah. Hal ini dimaksudkan bahwa pusat dari SPPT-PKKTP adalah korban, pendamping dan advokat, berbeda dengan yang tertuang paad edisi 1 dimana pusat hanya pada korban. Kemudian garis interaksi menunjukkan adanya hubungan saling terbuka dan tidak kaku dalam upaya hukum yang berkeadilan jender bagi perempuan korban. Potret, menghadirkan sosok Ridwan Mansyur, S.H., hakim aktif pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. “Pendampingan dalam proses persidangan adalah salah satu upaya keaktifan hakim dalam mengungkap bukti-bukti materiil,” ujarnya. Moment, adalah rekaman rangkaian kegiatan program Penguatan Penegak Hukum selama periode April 2005. Instrumen, adalah lanjutan dari UU P-KDRT meliputi hakhak korban dan peran dari pihak kepolisian, advokat, pengadilan, dan tenaga kesehatan.
Salam, Demikianlah menu edisi kali ini. R. Valentina Sagala, S.E., S.H. Koordinator Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan
Salam Kemitraan Perempuan dan Penegak Hukum. Redaksi
Kritik, saran dan usulan dapat dialamatkan ke redaksi INFO PPH d.a. Komnas Perempuan jl Latuharhari No. 4B Menteng, Jakarta Telp. (021) 390 3963 Fax. (021) 390 3922 Email:
[email protected] [email protected] Pemesanan dapat dilakukan melalui surat maupun email dengan melampirkan nama dan alamat lembaga yang bersangkutan. Publikasi ini adalah bagian dari Serial Publikasi Kemitraan Perempuan dan Penegak Hukum
Redaksi Penanggungjawab Pemimpin Redaksi Redaksi Kontributor Editor Desain dan layout Penerbit
: Kamala Chandrakirana, M.A. : R. Valentina Sagala, S.E., S.H. : Qorihani, S.S. Danielle Samsoeri, S.H. : Ratna Batara Munti, S.Ag. M.Si. Qorihani, S.S. : Arimbi Heroepoetri, S.H., L.LM. : Paragraph (
[email protected]) : Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan, Komnas Perempuan
Fokus
PENDAMPINGAN, SEBUAH PROSES PENGUATAN DAN PEMBERDAYAAN DALAM SEBUAH SISTEM PERADILAN Ratna Batara Munti, S.Ag., M.Si.
W
acana mengenai hak-hak korban dan khususnya, pendampingan bagi korban dalam sistem peradilan kita dapat dikatakan belum mendapat perhatian yang memadai. Meski wacana hak asasi manusia (HAM) sudah jauh berkembang, tetapi fokusnya lebih pada melindungi hak-hak pelaku ketimbang korban. Sementara, salah satu prinsip yang paling fundamental di dalam sistem hukum kita adalah prinsip “kesamaan di muka hukum (the equality before the law)’. Prinsip ini memberi jaminan terhadap setiap manusia untuk diperlakukan sama di hadapan hukum, termasuk dengan sistem peradilan. Selanjutnya, prinsip kedua yang sangat berkaitan adalah “pemberian bantuan hukum sebagai salah satu HAM”2. Bantuan hukum adalah upaya hukum yang diminta oleh klien atau diberikan oleh lembaga bantuan hukum sebagai cerminan bahwa setiap manusia yang terkena masalah hukum, sementara dirinya dalam keadaan buta hukum, adalah bagian tak terpisahkan dari jaminan atas perlindungan manusia oleh kesewenang-wenangan aparatur hukum dalam melaksanakan tugasnya. Kedua prinsip yang fundamental ini, tidak otomotis bisa berlaku bagi setiap orang. Tidak saja dalam implementasinya, tetapi bahkan dalam rumusannya sekalipun bisa saja bertentangan. Dalam rumusan KUHAP misalnya, kedua prinsip tersebut telah sejak awal dibatasi aksesnya hanya untuk pihak tertentu saja, dalam hal ini pihak tersangka/terdakwa/terpidana. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Dikotomi Masyarakat--Individu Selama ini hukum dilihat sebagai monolitis, normativepositivistik yang menempatkan kepentingan masyarakat (publik) vis a vis kepentingan pelaku (individu/perorangan). Kejahatan dan pelanggaran terhadap korban dianggap sebagai kejahatan dan pelanggaran terhadap publik. Dalam konteks ini, pelaku dipandang sebagai individu yang otonom yang dilindungi kepentinganya berhadapan dengan kepentingan publik. Negara harus menjamin perlindungan atas HAM pelaku. Sebaliknya, posisi korban tidak dilihat otonom sebagaimana pelaku. Pendekatan yang dikotomistik ini mengabaikan posisi korban yang memiliki kepentingannya sendiri. Khususnya bagi korban perempuan, seringkali kejahatan semata-mata dilihat sebagai pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku bukan pelanggaran terhadap integritas tubuhnya. Dalam KUHP misalnya, pasal-pasal yang jelas-jelas merupakan kejahatan 1. 2.
1
terhadap integritas tubuh perempuan, seperti perkosaan, pelecehan seksual, perdagangan perempuan, secara semena-mena dimasukkan begitu saja sebagai pelanggaran terhadap kesopanan atau kesusilaan yang berarti tekanannya pada rasa susila masyarakat yang dilanggar. Sejak korban diakomodasi dalam kepentingan masyarakat yang dalam konteks ini diwakili oleh negara (Jaksa) maka kepentingan korban sudah diandaikan terwakili sedemikian rupa oleh peran Jaksa. Pada prakteknya alihalih merepresentasikan korban, Kejaksaan sebagai institusi lebih mewakili dirinya sendiri ketimbang berbicara atas nama kepentingan korban. Melalui berbagai pengalaman pendampingan dan program pemantauan di berbagai daerah, LBH-APIK Jakarta merasakan betapa kebutuhan dan kepentingan korban ketika berhadapan dengan sistem hukum selalui tidak terpenuhi bahkan seringkali justru didiskualifikasi sejak persentuhan awal korban dengan hukum. Jaksa seringkali tidak melakukan komunikasi dengan korban yang notabene diwakilinya. Ini saja sudah menjadi tanda tanya besar bagaimana jaksa bisa mengetahui kebutuhan korban bila untuk berkomunikasi saja sudah tidak ditempuh jaksa. Bahkan informasi mengenai perkembangan kasus dan kapan persidangan berjalan sering luput diinformasikan kepada korban. Dalam membuat dan menetapkan tuntutan pun tanpa mempertimbangkan kondisi korban, tidak menggali apa yang sesungguhnya menimpa korban. Karena itu tidak heran dalam berkas dakwaan jauh dari harapan dan realitas pengalaman korban. Seperti, fakta bahwa terjadi peristiwa perkosaan dialihkan menjadi semata-mata peristiwa pencabulan. Tuntutan hukuman menjadi lebih rendah hanya dalam hitungan bulan saja.
Antara Azas Legalitas VS Kenyataan Sosial Diskriminasi perlakuan yang dialami korban dalam sistem peradilan kita juga terkait dengan instrumen hukum (substansi hukum) yang sejak awal memang telah mendiskualifikasi korban. Baik dalam hukum materilnya maupun formil, yang dimuat dalam KUHP dan KUHAP, yang sejauh ini sangat menjadi acuan utama bagi setiap aparat penegak. Sementara di dalam kedua aturan tersebut, banyak hal yang diskriminatif terhadap perempuan korban kekerasan. Seperti aturan mengenai perkosaan yang sempit dan sangat membatasi pengalaman kekerasan seksual yang dialami perempuan.
Direktur LBH APIK Jakarta Bisri, Ilhami, “Sistem Hukum Indonesia” (Rajawali Pers, Jakarta, 2004)
1
Fokus Juga aturan pembuktian yang mensyaratkan adanya kesaksian dari dua orang karena adanya prinsip “satu saksi bukan saksi” dan seringkali yang dituntut adalah kesaksian yang melihat langsung kejadian. Faktanya, kekerasan yang dialami oleh perempuan jauh lebih luas dan kompleks dari segi bentuk dan cara yang digunakan. Tuntutan kesaksian di luar diri korban dan pelaku hampir tidak mungkin terjadi mengingat kejadian seringkali juga hanya diketahui oleh korban dan pelaku. Baik karena lokasi kejadian yang tidak di ruang publik maupun adanya relasi domestik termasuk relasi intim seksual yang tidak mudah diintervensi oleh pihak luar. Pasal 285 KUHP yang mengatur delik perkosaan telah membatasi perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai perkosaan, yakni mesti di luar perkawinan dan ada ancaman atau kekerasan yang itu harus dibuktikan secara fisik. Selain itu menuntut adanya unsur penetrasi dalam sebuah perkosaan dan pembuktian diarahkan untuk terpenuhinya unsur tersebut. Intinya hal-hal yang terjadi di luar ketentuan yang sudah diatur dalam hukum materil dan formil tidak akan pernah dipertimbangkan menjadi dasar keputusan yang penting. Inilah yang termaktub dalam apa yang disebut sebagai prinsip atau azas legalitas. Penerapan prinsip legalitas menjadi ciri khas pendekatan hukum monolitis dan normative-positivistik. Pendekatan ini melihat fakta dari apakah ada aturannya atau tidak, dan dianalisis dengan standar sejauh mana peraturan tersebut bisa diterapkan. Fakta seolah hadir dalam vacuum social dan tidak melihat bahwa ada struktur sosial budaya yang melandasi, bahkan aparat hukum yang menerapkan hukum pun tidak lepas dari struktur sosial yang berlaku. Dalam budaya patriarkhi dimana struktur sosial yang dibangun berangkat dari campuran antara gagasan yang phallosentris 3 , moralitas mainstream-konvensional, dan bias kepentingan kelas menengah, menjadi tidak heran bila sistem hukum yang dilahirkan sangat mendiskualifikasi perempuan, tubuh dan seksualitasnya. Hal ini terlihat secara gamblang dalam rumusan maupun praktek hukum, sebagaimana yang ditunjukkan dari pengalaman penanganan kasus dan pemantauan yang dilakukan oleh LBH-APIK Jakarta bekerja sama dengan para mitra kerjanya di berbagai daerah, antara lain sebagai berikut:
Aparat belum sepenuhnya sensitive terhadap korban dan masih menganggap masalah KTP khususnya kekerasan seksual yang berdampak traumatis bagi perempuan dan utamanya anak perempuan sebagai kasus kejahatan biasa. Seperti: dalam kasus pencabulan di bawah umur (5 tahun) yang terjadi di wilayah Jakarta Timur, korban dipertemukan dengan tersangka sehingga ketakutan dan kembali mengalami trauma. Metode konfrontir atau pemeriksaan yang dilakukan bersama-sama korban dengan tersangka dominan digunakan. (Jakarta, Menado).
Sementara itu, bantuan psikologis dan atau penguatan terhadap korban dalam proses
2
peradilan masih dianggap sesuatu yang ‘mahal’ atau tidak penting. Meskipun korban sudah sangat menderita secara psikis dan juga terkadang secara fisik terlihat tidak sehat, pemeriksaan aparat tetap berlangsung. Korban tidak diberi/ditawarkan bantuan psikologis atau bantuan lainnya dalam rangka penguatan kondisi korban, bahkan kendati korban adalah anak-anak dan sudah ada RPKnya (Jakarta Timur, Jakarta Barat, Menado) .
Pendekatan “victim blaming” dan “victim participating” terhadap korban masih sangat dominan dalam merespon kasus kekerasan seksual. Seperti adanya kecendrungan menerapkan pasal pencabulan dalam kasus perkosaan; Aparat menyalahkan korban dengan mengatakan: “perempuan juga yang salah kenapa kalian tidak mau menjerit ..kan bisa minta tolong”. Dalam pemeriksaan polisi mengarahkan keterangan korban dan menyudutkan. Dalam persidangan, Hakim mengeluarkan opini pribadinya terhadap korban serta bersikap merendahkan korban, misalnya dengan pertanyaan: “apakah kamu lakukan atas dasar suka sama suka”, “kamu pacaran nggak sama pelaku”, apakah kamu pernah berhubungan intim dengan yang lainnya sebelum pelaku”
Stigma dan pelabelan citra negatif terhadap korban sebagai ‘bukan perempuan baik’ masih kental dalam benak aparat ketika menangani kasus KTP yang korbannya berada di lokasilokasi tertentu seperti diskotek. Dalam pemeriksaan kasus perdagangan anak (dimana korban disekap dan diperkosa serta dipaksa menghisap shabu-shabu), polisi justru tidak sensitive dan mencantumkan keterangan bahwa korban adalah perempuan nakal dan menerima uang dari pelaku. Dengan adanya stigma dan pencitraan yang negatif ini, membuat realitas kekerasan yang menimpa korban tidak diakomodir. Bahkan kendati ada bukti-bukti mendukung (seperti visum). Korban juga suka dilecehkan selama pemeriksaan.
Aparat juga masih sering membujuk bahkan menekan korban untuk berdamai dengan pelaku. Contoh: dalam kasus pelecehan seksual dan penipuan janji kawin /inkar janji. Khususnya, dalam kasus Pelecehan seksual, seperti kasus dosen yang melecehkan mahasiswinya (Kaltim), selain upaya damai yang ditawarkan aparat, korban juga dipojokkan dengan pernyataan-pernyataan diskriminatif dan bias, seperti “apakah kamu tidak malu dan tidak menyesal apabila kasus ini diperpanjang?”, “bagaimana kuliahmu apabila kasus ini diproses?” . Dalam kasus pemaksaan hubungan
3. Cara pandang yang androsentris, dimana penis (phallus) dipandang sebagai simbol kekuasaan dan dipercayai bahwa atributatribut maskulinitas merupakan norma-norma bagi rumusan-rumusan kultural, termasuk rumusan hukum sebagai produk kultural. Phallocentrisme yang merupakan sumber dari penindasan perempuan adalah dasar dari patriarkhi yang mewarnai tatanan politik, sosial, ekonomi, hukum dan budaya masyarakatnya. (Smart, Carol, 1978).
Fokus seksual oleh pacar (dating violence) atau oleh orang yang sebelumnya berkenalan baik dengan korban, aparat tidak menggali fakta adanya pemaksaan hubungan seksual, tetapi malah mengarahkan penyelesaian secara damai (pernikahan). Aparat juga lebih suka menerapkan pasal 335 KUHP (perbuatan tidak menyenangkan) ketimbang pasal perkosaan. Pelaku juga tidak ditahan.
Selain itu, aparat seringkali mensyaratkan kesaksian orang luar atau bahkan barang bukti yang secara logika sulit ditemukan. Contoh, polisi bersikeras meminta barang bukti berupa dirigen minyak tanah dan korek api, meskipun kejadian tersebut sudah 9 bulan yang lalu. Jaksa menekankan keharusan adanya saksi yang melihat langsung sehingga kasus tidak dapat ditindaklanjuti (kasus pencabulan anak dibawah umur di Jakarta Timur). Jaksa juga cendrung mengabaikan hak korban yang sudah diatur dalam hukum seperti tidak menggabungkan dakwaan dengan tuntutan ganti kerugian bagi korban yang menderita luka cukup parah, atau tidak memberi informasi kepada korban mengenai peluang tersebut. Seperti dalam kasus penganiayaan istri yang berhasil dipantau di Jakarta Barat dan Kalimantan Timur. Terakhir, seringkali Jaksa maupun hakim membuat dakwaan/putusan yang tidak sesuai dengan realitas kekerasan yang terjadi tanpa mempertimbangkan kondisi korban.
Kebutuhan Pendampingan bagi Korban KTP: Sebuah Realitas Pengalaman Di tengah fenomena sistem peradilan dengan berbagai permasalahan substansial tersebut, kebutuhan perempuan sebagai korban kekerasan terhadap pendampingan merupakan suatu hal yang mutlak. Seorang pendamping dibutuhkan untuk menjembatani antara kebutuhan korban dengan sistem peradilan yang tidak berpihak pada korban. Ia bisa mengumpulkan informasi yang dibutuhkan korban dan melakukan lobby-lobby kepada aparat hukum untuk mendesakkan kepentingan korban agar terakomodir dalam setiap proses peradilan
yang ditunjukkan dalam berkas-berkas hukum maupun sikap-sikap aparat ketika menangani korban. Merujuk pada pengalaman sehari-hari mendampingi korban, apa yang paling menjadi kebutuhan dan merupakan hak mendasar bagi korban, adalah mendapatkan informasi dalam setiap penanganan kasus dan mendapatkan penguatan secara psikologis selama dalam proses peradilan. Korban perlu didampingi sejak di kepolisian hingga persidangan. Hakim seharusnya memberikan kemudahan bagi pendamping korban untuk mendampingi korban di persidangan. Bahkan, diperlukan terobosan dalam hukum acara yang memberikan kemudahan untuk korban bersaksi di luar pengadilan atau di luar kantor kepolisian apabila kondisi korban tidak mungkin dihadirkan dalam persidangan/dalam proses BAP di kantor polisi. Kepolisian perlu pro aktif untuk menggali fakta-fakta dengan metode ‘menjemput bola’ yakni tidak menekankan seluruh beban pembuktian pada korban dan dapat memahami kondisi traumatis korban. Selain itu, metode konfrontir harusnya tidak digunakan tanpa adanya kesiapan dan penguatan bagi korban. Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 yang diperjuangkan kelompok perempuan sejak tahun 1997, telah memperkenalkan istilah pendampingan di dalam sistem hukum kita, yakni diartikan sebagai upaya untuk memberikan penguatan dan pemulihan bagi korban baik dalam bentuk konseling, terapi, bantuan hukum maupun advokasi. Selain itu, UU ini menegaskan bahwa pendampingan merupakan hak korban yang harus dipenuhi. Dalam pasal 10 secara lebih luas di sebutkan bahwa korban berhak mendapatkan: perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya; pelayanan kesehatan; penanganan secara khusus; pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap proses pemeriksaan serta hak untuk mendapatkan pelayanan bimbingan rohani. Penegasan atas hak-hak korban tersebut merupakan sebuah terobosan di dalam paradigma sistem hukum pidana kita. Hal ini merupakan sebuah perkembangan penting dan harus benar-benar merubah pendekatan hukum yang selama ini bahkan sampai saat ini cenderung monolitis.
Sekilas PPH Program Penguatan Penegak Hukum atau PPH adalah kerja kermitraan antara Komnas Perempuan, LBH APIK Jakarta, DERAP-Warapsari dan Convention Watch-PKWJ UI yang didukung oleh European Commission. Secara paralel dan intensif kemitraan juga melibatkan Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian, AAI (Asosiasi Advokat Indonesia) dan IPHI (Ikatan Penasehat Hukum Indonesia) untuk mengembangkan sebuah Sistem Peradilan Pidana Terpadu Yang Berkeadilan Jender dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP). Tim Pelaksana • • • • • •
Danielle Samsoeri, S.H. Indri Oktaviani, S.Sos Jumi Rahayu, S.H. Kombes Pol (P) Irawati Harsono Ajun Kombes Pol (P) Titien Pamudji Lim Sing Meij, M.Hum
• • • • •
Qorihani, S.S. Ratna Batara Munti, S.Ag., M.Si. R. Valentina Sagala, S.E., S.H. Dr. Sulistiowati Irianto Virlian, S.H.
3
SPPT-PKKTP
PENDAMPINGAN DALAM 1 SPPT-PKKTP R. Valentina Sagala, S.E., S.H.2
S
istem Peradilan Pidana Terpadu yang Berkeadilan Jender dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) merupakan sistem terpadu yang menunjukan proses keterkaitan antar instansi/pihak yang berwenang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan akses pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi korban dalam setiap proses peradilan kasus kekerasan terhadap perempuan. Salah satu pihak yang terkait di dalamnya adalah pendamping korban secara medis, psiko-sosial dan hukum (advokat dan paralegal).
Kerja Sama Pendamping dan Aparat Penegak Hukum Dalam SPPT-PKKTP Pada dasarnya, dalam SPPT-PKKTP, diharapkan adanya kerja sama antara pendamping dengan aparat penegak hukum lainnya. Hal ini dikarenakan dalam sistem ini, perempuan korban kekerasan dan perempuan “pelaku” ditempatkan sebagai subyek. Dan karena kehadiran pendamping bagi perempuan korban merupakan kebutuhan korban, maka pendamping menjadi hadir bersama-sama dengan korban dalam setiap proses penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Pendamping dan SPPT-PKKTP Mengapa pendamping perempuan korban kekerasan dan perempuan “pelaku” menjadi sangat penting dalam SPPT-PKKTP?(Lihat Bagan SPPT-PKKTP, red) Karena kehadiran pendamping merupakan kebutuhan korban, dimana korban akan diposisikan sebagai pelaku utama (subyek), bukan sebagai pelengkap (obyek) yang hanya diambil pengakuannya saja. Sebagai subjek ia berhak didengar keterangannya, mendapatkan informasi atas upaya-upaya hukum yang berjalan, dipertimbangkan rasa keadilan yang ingin diperolehnya dan dipulihkan situasi dirinya atas perampasan hak-haknya dan kekerasan yang dialaminya. Dalam sistem peradilan, pentingnya kehadiran “pendamping” dapat kita lihat di tiap proses peradilan. Misalnya pada waktu pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di Kepolisian, kehadiran dari relawan pendamping/advokat diharapkan dapat membantu agar korban lebih terbuka mengungkapkan fakta yang terjadi. Perempuan korban diharapkan tidak merasa takut, sebab dalam proses tersebut, petugas polisi dan relawan pendamping/advokat telah tercipta suasana kondusif. Pendampingan ini bertujuan memudahkan tugas polisi untuk membuat berkas perkara, sekaligus membuka peluang bagi pemecahan masalah bagi terhambatnya arus informasi yang selama ini dirasakan oleh korban/ keluarga/ relawan pendamping korban/advokat.
A. Penanganan terhadap Perempuan sebagai Korban Pemeriksaan di Tingkat Penyelidikan dan Penyidikan a. Pihak kepolisian berkoordinasi dengan relawan pendamping serta LSM untuk memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban melalui penyediaan rumah aman/shelter. a. Dalam pengungkapkan fakta, Polri dapat melibatkan relawan pendamping/advokat. Untuk itu pihak Polri dapat membuat kerja sama dengan lembaga penyedia layanan pendampingan korban agar setiap kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dapat dengan segera didampingi oleh relawan pendamping/advokat. b. Ada koordinasi antara jaksa dengan korban dan relawan pendamping/advokat sebelum Jaksa menyusun Surat Dakwaan. Untuk ini perlu ada administrasi khusus perkara tindak pidana kejahatan dan kekerasan terhadap perempuan yang memberikan ruang bagi jaksa untuk memanggil dan bertemu dengan korban dan relawan pendamping/advokat. c. Jaksa wajib menginformasikan tentang subtansi surat dakwaan dan meminta masukan dari korban dan relawan pendamping/advokat tentang substansi surat dakwaan.
Dalam setiap proses persidangan kasus kekerasan terhadap perempuan, hakim diharapkan aktif menanyakan keberadaan pendamping dan memperbolehkan pendamping hadir di samping korban selama proses persidangan. Hakim diharapkan dapat menerima masukan dari pendamping mengenai kondisi kejiwaan korban, sehingga pada saat persidangan hakim dapat mengetahui dengan jelas bagaimana memperlakukan korban dengan “baik” dalam rangka mengungkapkan fakta-fakta yang sebenar-benarnya selama proses persidangan kasusnya berlangsung.
Pemeriksaan di Tingkat Pengadilan 1. Diharapkan adanya kebijakan yang memuat tentang : a. Majelis hakim/hakim bersama-sama Jaksa dan korban serta relawan pendamping/advokat menentukan jadwal sidang yang tetap sehingga korban tidak menunggu waktu terlalu lama untuk bersidang. b. Pengadilan menyediakan ruang tunggu khusus untuk korban dan relawan
1
4
2
Lihat juga Kertas Kebijakan “Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang Berkeadilan Jender dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan”, 2005, disusun oleh Komnas Perempuan, LBH-APIK Jakarta, LBPP DERAP-Warapsari, dan Convention Watch-PKWJ UI, atas dukungan European Commission. Aktivis Perempuan, Koordinator Divisi Reformasi Hukum Komnas Perempuan, Email:
[email protected]/
[email protected]
SPPT-PKKTP
2.
3.
pendamping/advokat. Ruang tunggu khusus ini sangat perlu untuk menghindari adanya konflik atau tekanan dari terdakwa/keluarga terdakwa/pihak yang mendukung atau pro dengan terdakwa pada diri korban, serta menghindari korban dari publik. c. Majelis hakim/hakim memperkenankan korban untuk didampingi oleh relawan pendamping/pekerja sosial/advokat korban dalam pemeriksaan terhadap diri korban. d. Majelis hakim harus menetapkan pemeriksaan atas diri korban dilakukan tanpa kehadiran terdakwa di ruang persidangan apabila korban menginginkannya atau apabila relawan pendamping korban/psikolog yang mendampingi korban menyatakan untuk itu. Pembela/advokat terdakwa harus menyetujui ketetapan majelis hakim/hakim tersebut. e. Majelis hakim/hakim harus menerima penangguhanan persidangan yang diajukan jaksa (penuntut umum) apabila menurut penuntut umum setelah mendapat masukan dari relawan pendamping korban/advokat korban mengenai kondisi korban yang dianggap tidak mampu untuk diperiksa f. Majelis hakim/hakim harus menerima permohonan jaksa yang ingin menghadirkan saksi psikolog atau relawan pendamping korban yang sejak terjadinya kekerasan telah melakukan konseling atas diri korban guna mengetahui tentang kondisi atau situasi (penderitaan dan trauma) yang dialami korban setelah mengalami kekerasan dari terdakwa. Dalam menyusun Surat Tuntutan, jaksa harus menginformasikan tentang subtansi Surat Tuntutan dan meminta masukan dari korban dan relawan pendamping/advokat korban atas substansi Surat Tuntutan tersebut. Dalam hal waktu penahanan pelaku telah habis, pihak Rutan dan Lapas dapat segera memberitahukan kepada penuntut umum, keluarga atau pun kepada relawan pendamping korban serta kepada korban sendiri.
B. Penanganan terhadap Perempuan Sebagai ‘Pelaku’ Pemeriksaan di Tingkat Penyidikan 1. Saat menangkap “pelaku”, diharapkan polisi segera memberitahukan hak-hak tersangka seraya mencarikan pendamping bagi “pelaku”. Apabila “pelaku” berasal dari keluarga tidak mampu, petugas kepolisian dapat dengan segera mencarikan penasehat hukum bagi “pelaku” dari organisasi advokat atau dari LBH-LBH yang peduli dengan penegakan hak-hak perempuan. 2. Tersedia advokat yang berperspektif gender dan memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada “pelaku” yang tidak mampu membayar jasa advokat. 3. Penyidik dapat menghargai keberadaan pendamping bagi “pelaku” bahkan mampu menyediakan relawan pendamping/psikolog yang
4.
5.
6.
memahami kekerasan terhadap perempuan bagi “pelaku” apabila melihat kondisi “pelaku” dalam keadaan shock berat. Pendamping dianggap sebagai mitra dan dapat saling mendukung. Pada saat “pelaku” masuk ke Rutan/Lapas selama proses pemberkasan, kesempatan bagi “pelaku” untuk bertemu dan berkomunikasi secara bebas dengan penasehat hukum/relawan pendamping (pihak-pihak di luar keluarga korban) tidak dibatasi. Petugas Rutan/Lapas dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi “pelaku”, tidak memperlakukan “pelaku” sama dengan narapidana lainnya. Jaksa harus mengeluarkan surat keterangan dapat mengunjungi “pelaku” di ruang tahanan atas permintaan penasehat hukum/advokat “pelaku” dan relawan pendamping “pelaku” Jaksa harus segera menyerahkan atau mengirimkan salinan surat penahanan atas diri “pelaku” kepada penasehat hukum/advokat “pelaku” atau keluarga “pelaku” dan relawan pendamping “pelaku”.
Pemeriksaan di Tingkat Pengadilan 1. Apabila “pelaku” ditahan selama proses pemeriksaan di tingkat pengadilan, pengadilan harus menyediakan ruang yang cukup bagi “pelaku” untuk bertemu dengan penasehat hukum/advokat, relawan pendamping dan keluarga korban selama menunggu jadwal persidangan dan menunggu waktu untuk “dikembalikan” ke ruang tahanan. 2. Jaksa dan penasehat hukum “pelaku” harus saling berkomunikasi mengenai adanya informasi tentang jadwal persidangan sehingga penasehat hukum “pelaku” dan relawan pendamping dapat memberi penguatan moril kepada “pelaku” dan keluarga “pelaku”. 3. Dalam hal membuat tuntutan, jaksa/penuntut umum mempertimbangkan latar belakang permasalahan atau akar masalah perkara berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh “pelaku”, saksi, psikolog atau relawan pendamping dan psikiater yang disampaikan di dalam persidangan. 4. Apabila “pelaku” merasa tidak sanggup secara psikologis untuk dapat menghadiri sidang, penasehat hukum/advokat “pelaku” dan pendamping dapat langsung memberikan argumen kepada hakim dan dapat disertai dengan surat hasil pemeriksaan psikolog/psikiater mengenai kondisi “pelaku”. Dalam Proses Eksekusi atau Menjalani Putusan Pengadilan 1. Salinan putusan dapat segera dikirimkan oleh ketua panitera kepada masing-masing pihak tidak terbatas pada penasehat hukum dan penuntut umum serta Rutan/Lapas namun juga buat keluarga atau pendamping dari “pelaku”. Pihak penasehat hukum/pendamping dapat secara aktif untuk mengajukan permohonan untuk mendapatkan salinan putusan tersebut. 2. Pihak pengadilan dapat segera menurunkan
5
SPPT-PKKTP
3.
4.
berita acara pelaksanaan putusan pengadilan langsung kepada jaksa, kepala Rutan/Lapas serta kepada penasehat hukum/pendamping dari korban untuk dapat dengan segera dilaksanakan. Dapat selalu memberikan kebebasan kepada terpidana untuk dapat bertemu dan berkomunikasi dengan bebas baik dengan keluarga, pandamping maupun semua pihak yang berusaha untuk menolong terpidana. Pihak Rutan/Lapas dan hakim pengawas dan pengamat wajib selalu memantau keadaan diri terpidana dan dapat melaporkan perkembangan-
Moment
perkembangan yang terjadi kepada penasehat hukum/pendamping. Demikianlah dapat terlihat peran penting pendamping dalam mewujudkan SPPT-PKKTP. Di seluruh tahapan peradilan, peran seorang (relawan) pendamping dalam menguatkan korban, mendukung, membantu korban memaparkan kekerasan yang dialaminya, sangatlah penting. Dan yang terpenting, kehadiran pendamping menguatkan korban menjadi subyek dalam SPPT-PKKTP. Hal inilah yang menjadi jiwa, dasar, dan semangat dari SPPT-PKKTP.
§
Kompetisi Moot Court di Jogjakarta pada tanggal 25-27 April 2005 dilanjutkan dengan Dialog Publik Moot Court Berperspektif Keadilan Jender: Miniatur SPPT-PKKTP pada tanggal 28 April 2005 di Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Jogjakarta. Kompetisi diikuti oleh 6 Universitas se-Yogyakarta dan sekitar, dengan tujuan mengupayakan internalisasi SPPT-PKKTP ke kalangan akademisi dan calon penegak hukum.
§
RTD Revisi KUHAP yang Berperspektif Jender dilaksanakan pada tanggal 6 April 2005 di Hotel Ibis Tamarind, Jakarta. RTD merupakan langkah kedua dalam merumuskan kertas posisi untuk melakukan revisi terhadap KUHAP dengan perspektif Jender. RTD mengundang ahli dari unsur akademisi, yaitu Niken Savitri S.H., (Universitas Katolik Parahyangan, Bandung), dan Junaidi S.H. (Universitas Indonesia), serta melibatkan jaringan kerja dari LSM dan kalangan akademisi yang melakukan kerja advokasi kebijakan yang berperspektif jender, seperti LBH APIK Jakarta, Koalisi Perempuan Indonesia, Institut Perempuan, Kakilima, Yayasan Pulih, Kalyanamitra, ELSAM, Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Convention Watch-PKWJ UI, LBPP DERAP-Warapsari.
§
RTD Pengintegrasian Pro-Bono Bagi Penanganan Kasus KTP dalam Kode Etik Organisasi Advokat dilaksanakan pada tanggal 19 April 2005 di Komnas Perempuan. RTD bertujuan memetakan implementasi UU Advokat berkenaan dengan pro-bono (bantuan cuma-cuma) khusus untuk korban KTP. RTD mengundang beberapa asosiasi advokat seperti AAI (Asosiasi Advokat Indonesia) IPHI (Ikatan Penasehat Hukum Indonesia), Law Ladies Associate, LBH APIK Jakarta, LBH Pers, PIELS, E-LAW, Institut Perempuan, Convention Watch-PKWJ UI. [Q]
Serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upaya mensosialisasikan SPPT-PKKTP selama bulan April 2005 adalah: § Dialog Publik bertema Moot Court Berperspektif Keadilan Jender: Sebuah Miniatur SPPT-PKKTP dilaksanakan pada tanggal 24 Maret 2005 di Hotel Ambhara, Jakarta. Kegiatan ditujukan untuk mensosialisasikan upaya menginternalisasikan perspektif jender ke lingkungan akademisi yang telah dilakukan melalui Kompetisi Moot Court Berperspektif Jender (November 2004, yang diikuti oleh 7 Universitas se-Jakarta, Banten dan Bandung). Panduan Moot Court dan Kompetisi Moot Court yang Berkeadilan Jender diluncurkan pada kesempatan ini. Seminar diisi narasumber: Deliana Sayuti S.H., Ratna Batara Munti, S.Ag., Ridwan Mansyur S.H., Dr. Sulistyowati, dengan moderator: R. Valentina Sagala, S.E., S.H.
§
6
Seminar Nasional tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang Berkeadilan Jender dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) dilaksanakan pada tanggal 18 April 2005 di Hotel Atlet Centurty Park, Jakarta. Seminar dihadiri oleh penegak hukum, pemerintah, LSM dan media massa. Kertas Kebijakan SPPT-PPKTP diluncurkan pada kesempatan ini. Seminar diisi narasumber: Asnifriyanti Damanik, S.H., Ratna Batara Munti, S.Ag., Ridwan Mansyur S.H, dengan moderator: R. Valentina Sagala, S.E., S.H. Seminar ini dibuka oleh Ketua Komnas Perempuan, Kamala Chandrakirana.
Potret
Ridwan Mansyur, S.H. “Pendampingan dalam proses persidangan adalah salah satu upaya keaktifan hakim dalam mengungkap bukti-bukti materiil.” Sosok Ridwan Mansyur, S.H. di kalangan rekan-rekan LSM pendampingan/penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) adalah sosok penegak hukum yang progesif dalam melakukan pembaharuanpembaharuan di bidang hukum, terutama untuk kepentingan pembelaan HAM, khususnya pada perempuan korban kekerasan. Namanya kerap menjadi rujukan bagi pencarian keadilan dalam sebuah proses persidangan. Berikut obrolan singkat INFO PPH dengan beliau. Komnas Perempuan mencatat peningkatan kasus KTP dari tahun ke tahun. Bagaimana Bapak melihat kondisi ini sebagai penegak hukum? Seperti juga Komnas Perempuan mencatat peningkatan tersebut, di PN Jakarta Pusat juga, kasus KTP yang di tangani semakin meningkat. Saya melihat fenomena ini dari dua sisi. Pertama, masyarakat semakin menyadari apabila ada kekerasan yang menimpanya, mereka mengerti bahwa ada ruang untuk diselesaikan secara hukum. Mungkin ini pengaruh infromasi yang semakin dapat diakses oleh masyarakat. Mereka jadi tahu bahwa layak untuk memperjuangkan hak-hak. Sudah mulai berani untuk melapor. Kedua, adalah bagaimana penegak hukum merespon dengan objektif dengan persoalan KTP dengan pemahaman yang konkret dan menempatkan perempuan korban pada posisi yang selayaknya dibela. Kemajuan lain yang saya catat, bahwa banyak korban mulai memperhatikan pemulihan bagi dirinya. Tuntutannya tidak hanya sekedar menghukum pelaku atau terdakwa. Selain itu korban ingin terlibat dalam setiap proses peradilan, meminta dikembalikan hakhaknya, juga agar pemberitaan kasusnya tidak terekspos di media massa. Intinya, korban lebih ekspresif dalam menuntut hak-haknya dan mengungkap fakta yang sebenarnya. Kecendrungan kemajuan tersebut, apa penyebabnya? Saya pikir karena adanya pendampingan yang intensif pada korban. Ketika korban ditemani baik di luar maupun di dalam persidangan, setidaknya korban jadi mengetahui hak-haknya. Karena saya tahu persis komunikasi yang terjalin antara korban dan pendamping di luar persidangan. Seperti siapa-siapa yang akan hadir di persidangan, proses apa yang akan terjadi, apa-apa saja yang menjadi wewenang hakim-jaksa, apa saja hak-hak korban. Jadi korban terinformasi dengan baik, sehingga dia siap ketika kasusnya disidangkan. Bagi saya hal tersebut membantu dalam proses pemeriksaan. Sehingga saya mengijinkan korban didampingi baik di luar maupun di dalam persidangan. Soal pendampingan, banyak hakim menganggap bahwa hal tersebut tidak tertuang dalam KUHAP, sehingga menolak kehadirannya.
Menurut saya, meskipun tidak ada dalam KUHAP, tapi kan juga tidak ada larangan. Apakah karena sepenggal kalimat dalam UU kita malah mengabaikan asas dari UU? Salah satu asas hukum pidana bahwa hakim harus aktif, hakim harus menemukan kebenaran materiil di dalam pemeriksaan perkara pidana. Berbeda dengan perkara perdata bahwa hakim bisa lebih pasif, lebih ke arah formalitas, artinya pihak penggugat cukup mengajukan bukti-bukti, maka cukup menurut hakim. Tetapi dalam perkara pidana, apabila seseorang mengaku pada persidangan pertama bahwa ia membunuh, tidak bisa begitu saja, perkara tetap berlanjut dengan menghadirkan saksi-saksi. Hakim harus memcari bukti materiil bahwa ia membunuh. Kalau benar dia membunuh sampai tingkat apa perbuatan pembunuhan yang dilakukannya. Maka kalau kita mendengar saksi dalam keadaan sakit, atau sebelumnya diwanti-wanti, diancam ketika dia akan bersaksi di persidangan, kesaksiannya akan sangat berbeda. Ini bisa bahaya. Maka hukuman yang diputuskan juga bisa jauh dari yang selayaknya. Kalo tidak ada hakim yang progresif dan proaktif, ya sudahlah. Untuk itu banyak dalam penyelesaian perkara sebenarnya bukan jawaban bagi korban dalam mencari keadilan. Menurut saya diskresi (discreacy) sangat dimungkinkan untuk penyelesaian perkara pidana. Pendampingan dalam proses persidangan adalah salah satu upaya keaktifan hakim dalam mengungkap bukti-bukti materiil. UU P-KDRT telah menyebutkan secara eksplisit tentang peran pendamping, meskipun hanya dalam kasus kekerasan lingkup rumah tangga. Sayangnya sampai saat ini perkara-perkara yang memakai UU P-KDRT di PN Jakarta Pusat belum ada. Kami menyambut baik UU P-KDRT, setidaknya sejak saat ini tidak ada alasan lagi untuk tidak memakainya. Sebelum ada UU P-KDRT, memang ada perbedaan pendapat ketika saya mengijinkan pendamping masuk ke pengadilan. Ada sebagian hakim, malah jaksa, tidak membolehkan dengan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya. Dikatakan bahwa yang boleh didampingi oleh penasehat hukum adalah terdakwa dan tersangka. Sementara KDRT atau kekerasan yang korbannya
7
Potret perempuan atau anak tidak mengarah pada satu titik yang memberi keadilan bagi korban. Sehingga beberapa hakim termasuk saya, membolehkan pendampingan. Konsepnya, walaupun tidak diatur oleh UU, tetapi untuk kepentingan mengungkapkan fakta dalam rangka mencari kebenaran materiil dalam rangka proses pemeriksaan perkara pidana, tidak ada halangan sepanjang itu juga tidak ada larangan. Sehingga demi mengungkapkan kebenaran materiil, alangkah baiknya saksi atau korban didampingi -apakah oleh anggota keluarga atau profesional, seperti penasehat hukum- hanya untuk memberikan kekuatan, rasa percaya diri untuk memberikan keterangan sebenarnya, apa yang dialami, dirasakan, didengar pada apa yang saat itu terjadi. Sehingga saat itu saya melihat lebih efektif dengan upaya pendampingan. Terutama yang korbannya adalah perempuan atau perkara-perkara dalam rumah tangga, yang korban harus bersaksi tentang perbuatan yang dilakukan orangtua, abang, paman, atau kakeknya. Kadang keterangan di BAP dan di persidangan, berbeda. Banyak faktor, misalnya karena sudah terlalu lama, kondisi psikologis yang berbeda. Banyak juga korban yang tidak mau hadir di persidangan karena takut atau malu, kondisi tersebut yang memaksa saya mencari jalan agar korban merasa nyaman bersaksi dipersidangan. Hakim tidak punya pilihan lain selain harus memeriksa korban, karena yang tahu keterangan sebenarnya yang korban, khususnya untuk perkara-perkara KDRT, tidak banyak yang dilihat orang lain. Meskipun bisa dengan menghubungkan keterangan saksi dengan keterangan saksi yang lain, tapi tidak pada peristiwa sebenarnya. Korban tetap membutuhkan orang yang bisa menguatkannya untuk menceritakan hal yang sebenarnya terjadi. Seperti apa batasan gerak pendamping? Biasanya selama sidang belum berlangsung, pendamping menginformasikan apa yamg akan terjadi di persidangan. Aktivitas tersebut memberikan kemungkinan yang lebih baik daripada korban tidak didampingi sama sekali. Saya malah mengijinkan mereka hadir di persidangan, untuk misalnya memegang tangannya. Hal ini membantu sekali, bahkan korban dengan hanya melihat wajah si pendamping saja, dia merasa kuat sehingga mau bicara. Dan bisa sangat membantu proses persidangan. Pendamping membantu menguatkan secara psikologis. Sebelum ada LSM atau organisasi pendamping, saya meminta juga agar si korban didampingi oleh ibunya, kakaknya. Saya sekarang senang sekali kalo ada lembaga yang secara profesional mendampingi dia, apalagi telah dilembagakan dalam UU PKDRT. Yang banyak juga memang kekerasan yang korbannya perempuan bukan dalam lingkup rumah tangga. Nah ini yang belum diatur. Sehingga lembaga terobosan, bahwa pendampingan tidak dilarang oleh KUHAP, saya mendorong agar disosialisasikan. Saat ini beliau juga aktif sebagai pengajar bagi calon hakim, khususnya dalam proses beracara. Peluang tersebut dimanfaatkan oleh beliau untuk memasukkan pemahaman jender dan mendorong calon hakim untuk melakukan upayaupaya terobosan hukum yang dapat memberi keadilan bagi khususnya perempuan korban. Karena perkara KTP membutuhkan pemahaman tidak cuma dari segi hukum, maka apa syarat minimal bagi hakim dalam penanganan kasus KTP? Kualifikasi hakim untuk kasus KTP; pertama, punya ketertarikan pada bidang ini. Mayoritas saat ini hakim perempuan banyak
8
yang menangani KTP. Tapi setidaknya kalo tidak hakim ketua, ya hakim anggota. Karena sensitivitas perempuan bisa dimunculkan karena sama-sama perempuan, misalnya. Kedua, pemahaman sensitivitas jender. Mereka harus punya pengetahuan, ketertarikan. Memang kurikulum sendiri nggak ada. Masih intervensi pengajarnya bukan lembaga. Meski sudah ada SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung, red) mengenai pemidanaan hukuman yang setimpal untuk perkara-perkara yang disertai pemerkosaan, tapi tetap yang diperlukan adalah hakim yang punya perhatian pada kasus KTP. Sehingga ketika ketua pengadilan ingin mendistribusikan perkara-perkara, sudah terbayang hakim mana yang akan memprosesnya. Untuk perkara anak, HAM dan Niaga telah ada SK (Surat Kepustusan, red) dari MA bagi hakim yang berhak memeriksa di persidangan. Sayangnya untuk kasus yang korbannya perempuan belum ada. Syaratnya dia harus pernah mengikuti pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan isu-isu tersebut, seperti saya pernah beberapa kali ikut pelatihan HAM dan teknik-teknik menyidangkan sidang HAM, maka mendapat SK sebagai hakim untuk perkara HAM. Untuk SK sebagai hakim untuk perkara perempuan, saya harap Komnas Perempuan bisa mendorong agar MA mengeluarkannya. Pelatihan-pelatihan pendukung tersebut, bagaimana prosedurnya? Di-support lembaga, biasanya kalau ada undangan, maka MA akan akan menunjuk hakim-hakim untuk yang berminat untuk mempunyai kemampuan dan pemahaman tertentu. Jadi SK akan diterbitkan berdasarkan banyaknya sertifikat-sertifikat pelatihan yang pernah diikuti. Jumlahnya tidak perlu banyak, minimal dalam satu pengadilan ada dua saja, sudah cukup. Nah anggotanya kan bisa diakses/sharing kepada yang lain. Maka perspektif jender bisa disosialisasikan kepada hakim yang lainnya. Disamping SEMA Pendamping saya juga mendorong adanya SK khusus untuk hakim yang dapat menangani kasus KTP. RPK juga saya desak agar ada di tiap POLRES, tidak usah terlalu bagus, cukup ada satu meja dan bangku lah, itu sudah memberikan image kepada korban untuk melapor. Bagaimana dengan jaksa? Masih banyak yang nggak mau pake UU P-KDRT. Masih banyak yang takut, saya pikir kenapa takut? Sebenarnya bisa apabila ada beberapa dakwaan, salah satunya memakai UU P-KDRT, sedang yang lain pakai KUHP. Kan beracaranya tetap memakai KUHAP. Tokoh seperti Bismar (Hakim Bismar Siregar, red), saya anggap sebagai hakim pertama yang punya concern terhadap kasus yang korbannya perempuan. Korbannya waktu itu korban rayuan gombal. Dia melakukan terobosan dengan menterjemahkan vagina sebagai barang, agar dapat menjerat si pelaku dengan ancaman yang lebih tinggi dan memberikan kepercayaan kepada perempuan bahwa yang dia laporkan dihukum. Diperlukan hakim dan jaksa yang berani melakukan terobosan dari pada terpaku pada KUHAP. Di KUHAP tidak ada ruang bagi korban untuk mendapat hak-haknya. Hanya ada satu pasal bahwa korban didahulukan pemeriksaannya, yang lain tidak. Saya kutip pernyataaan Bismar , ternyata orang yang berkoarkoar pada hukum ternyata tidak memberikan keadilan bagi korban. Sehingga saya dalam memproses sebuah kasus tidak hanya berdasar pada hukum semata-mata tapi juga dengan nurani.[Q]
SKEMA SPPT-PKKTP Wujud Sistem Peradilan Pidana yang berkeadilan Jender untuk Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT - PKKTP)
TANGGUNG JAWAB NEGARA
Rutan/Lapas
Hakim
Advokat
Pelanggaran Hukum
Penanganan Kasus
Pendamping
Jaksa
Polisi
TANGGUNG JAWAB MASYARAKAT
Keterangan : Hubungan dari setiap pihak yang terlibat dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan berkaitan satu sama lain, tidak kaku, dan terbuka terhadap setiap usaha/ tindakan-tindakan khusus di dalam mengupayakan hukum yang berkeadilan jender bagi para perempuan korban.
RALAT INFO PPH edisi 1 terdapat kesalahan pada penulisan kolom POTRET yaitu Nama Lengkap: Deliana Sayuti Idmujoko, S.H. seharusnya Deliana Sayuti Ismudjoko, S.H. Kemudian pada kolom MOMENT,.....dengan Bapak Iskandar Kamil S.H. Kabid Pidana Khusus Anak.... seharusnya ... Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI. Atas kesalahan tersebut, redaksi menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
9
INSTRUMEN Pada INFO PPH edisi 1 terdahulu, INFO PPH telah memuat beberapa pasal dalam UU R.I. No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang mengatur definisi KDRT, asas dan tujuan, ruang lingkup dan bentuk-bentuk KDRT. Berikut ini adalah lanjutannya: 5. Hak-hak korban KDRT Pasal 10, menyebutkan hak-hak korban KDRT adalah: a). Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; b). Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; c). Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; d). Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan e). Pelayanan bimbingan rohani. 6. Peran dari pihak kepolisian, advokat, pengadilan, pemerintah dan masyarakat Pasal 16 s/d 20 menyebutkan peran kepolisian, yaitu: • Memberikan Perlindungan Sementara pada korban, terhitung dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam. Dan pemberian Perlindungan Sementara ini diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima; • Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam Kepolisian wajib meminta Surat Penetapan Perintah Perlindungan dari Pengadilan; • Pihak Kepolisian juga berkewajiban untuk segera melakukan penyelidikan terhadap laporan yang sudah diterimanya (laporan tentang terjadinya KDRT). Pasal 25 menyebutkan peran advokat, yaitu: a) Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan; b) Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau c) Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya. Pasal 28, 30 s/d 32 menyebutkan peran pihak pengadilan dalam memberikan Perintah Perlindungan terhadap korban KDRT, adalah: • Mengeluarkan Surat Penetapan yang berisi Perintah Perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain; • Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk menetapkan suatu kondisi khusus yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi atau mengintimidasi korban; • Perintah perlindungan akan diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, dan Perintah Perlindungan ini dapat diperpanjang. Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan dapat diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhirnya masa berlaku. Pasal 11 menyebutkan kewajiban pemerintah, yaitu: a). Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga; b). Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; c). M e n y e l e n g g a r a k a n a d v o k a s i d a n s o s i a l i s a s i t e n t a n g k e k e r a s a n d a l a m r u m a h t a n g g a ; d). Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender. Pasal 13 menyebutkan kewajiban pemerintah daerah untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban dengan mengupayakan: a). Penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian; b). Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani; c). Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan d). Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban. Pasal 15 menyebutkan peran masyarakat, yaitu bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a). Mencegah berlangsungnya tindak pidana; b). Memberikan perlindungan kepada korban; c). Memberikan pertolongan darurat; dan d). Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
10