Mitos Demit dan Magi Dukun: Posisinya dalam Strategi Budaya Oleh Made Pramono1 Abstrak Mitos dan magi merupakan satuan-satuan budaya yang meskipun termarjinalisasi oleh konsep-konsep sain modern, namun memiliki eksistensi dan sekaligus fungsi yang relevan dengan kodrat budaya manusia. Secara sederhana, mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang, sedangkan magi lebih condong berorientasi penguasaan sesama manusia atau proses-proses/daya kekuatan alam lewat beberapa kepandaian. Melalui kajian antropologis kefilsafatan, tulisan ini mencoba mengungkap makna, fungsi, dan posisi mitos demit dan magi dukun dalam strategi kebudayaan. Kata Kunci: mitos demit, magi dukun, strategi budaya 1. Demit dan Dukun Sebutan-sebutan demit atau dukun sampai sekarang masih sering bisa didengar, terutama di daerah pelosok Jawa. Hal ini tak luput dari tayangan-tayangan komersial televisi/media massa yang secara langsung dan tak langsung menyuburkan wacana ini di masyarakat luas. Sebuah website beralamat GhostStudy.com, merupakan sebuah contoh media informasi yang secara sistematik membahas tuntas perburuan informasi tentang seluk-beluk hantu atau demit ini, baik yang berasal dari Asia, maupun belahan dunia lain. Perkembangan informasi yang intensif dan ekstensif, termasuk tentang demit, mau tak mau menuntut perhatian publik, terutama komunitas ilmiah, untuk tidak sekedar mengangggap fenomena demit secara sambil lalu, namun sifat keuniversalan demit dengan berbagai variasinya ini menuntut ilmuwan melihatnya sebagai jejak realitas yang merupakan lokus permasalahan penelitian ilmiah. Sebutan demit (atau dalam bahasa Indonesia makhluk halus) biasanya mengacu pada beberapa jenis “penampakan”, antara lain: memedi (harfiah, tukang menakutnakuti), lelembut (makhluk halus), dan tuyul. Memedi hanya menggangu atau menakutnakuti, tapi biasanya tidak merusak benar. Memedi laki-laki disebut gendruwo dan yang perempuan disebut wewe (yang menggendong anak kecil). Biasanya ditemukan pada 1
Made Pramono adalah dosen FIK dan koordinator MPK&K Filsafat Ilmu UNESA.
1
malam hari dan seringkali tampak dalam wujud orangtua atau keluarga lainnya, hidup atau mati, kadang-kadang malahan menyerupai anak sendiri. Lelembut berbeda dari memedi, entitas ini dapat menyebabkan seseorang jatuh sakit atau gila. Modus operandi lelembut masuk ke dalam tubuh orang. Apabila orang tersebut tidak diobati oleh dukun asli Jawa, ia bisa gila, dan bahkan mati. Dokter dengan latar belakang pendidikan Barat sering kali bias dan dibingungkan oleh sakit akibat ulah lelembut ini, dan biasanya tidak dapat melakukan apa-apa terhadap pasien tersebut. Oleh karena lelembut sama sekali tidak tampak, ia tidak mengambil wujud salah seorang keluarga sebagaimana yang dilakukan memedi, tetapi ulah mereka bisa sangat berbahaya bagi manusia. Jenis ketiga adalah tuyul, yang secara sederhana adalah ”anak-anak yang bukan manusia”. Mereka tidak mengganggu, menakuti orang, atau membuatnya sakit; sebaliknya, mereka bisa saja disenangi dan bahkan “dipelihara” oleh manusia, karena dengan berpuasa dan bersemadi, manusia “pemilik” tuyul bisa cepat kaya dengan menyuruh mereka untuk mencuri uang (Geertz, 1981:19-20). Sebagaimana demit, dukun juga ada beberapa macam: dukun bayi, dukun pijat, dukun prewangan (medium), dukun calak (sunat), dukun wiwit (ahli upacara panen), dukun temanten (ahli upacara perkawinan), dukun petungan (ahli meramal angka), dukun sihir atau juru sihir, dukun susuk (spesialis mengobati dengan menusukkan jarum emas di bawah kulit), dukun japa (tabib yang mengandalkan mantra), dukun jampi (tabib yang menggunakan tumbuhan dan berbagai obat asli), dukun siwer (spesialis dalam mencegah kesialan, misalnya mencegah hujan jika ada hajatan), dukun tiban (tabib yang kekuatannya temporer dan merupakan hasil dari kerasukan roh). Tetapi dari itu semua, maka yang terpenting adalah yang mampu menjalankan beberapa keahlian sekaligus, yang disebut dukun biasa, atau hanya dukun saja (Geertz, 1981:116-117).
2. Mitos dan Magi Cerita-cerita tentang demit tersebut dituturkan dari generasi ke generasi tanpa diketahui sumber asal-usulnya, sehingga hal tersebut lebih merupakan suatu mitos. Mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang, tapi mitos lebih dari sekedar reportase mengenai peristiwa-peristiwa 2
yang menggetarkan atau menghibur seperti sebuah kisah tentang dunia dewa-dewa atau dunia-dunia gaib, namun mitos juga memberikan arah pada kelakuan manusia (Peursen, 1988:37). Mitos demit ini dapat dimasukkan ke dalam tipe mitos-mitos dewadewa/makhluk-makhluk ilahi atau ke dalam mitos-mitos asal-usul menurut pembagian tipe-tipe mitos dari Mircea Eliade (Hary Susanto, 1987:76-85). Salah satu jenis dari lelembut yaitu yang disebut danyang adalah suatu roh yang menetap pada suatu tempat yang disebut punden, mereka tidak menyakiti orang melainkan malah melindunginya. Danyang dianggap sebagai roh-roh tokoh sejarah yang sudah meninggal yang dihubungkan dengan asal-usul suatu tempat: misalnya pendiri desa tempat tinggal atau orang pertama yang membabat tanah (Geertz, 1981:32). Fungsi mitos itu antara lain untuk menyadarkan manusia bahwa ada kekuatankekuatan ajaib, walaupun tidak memberikan bahan informasi mengenai kekuatankekuatan itu, tapi membantu manusia menghayati daya-daya sebagai kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan (Peursen, 1988:38). Mitos tersebut memberikan kepada yang percaya satu rangkaian jawaban yang sudah tersedia untuk pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari berbagai pengalaman yang muncul mirip tekateki, dalam kerangka mana bahwa hal-hal yang ganjil nampaknya tak bisa dihindari (Geertz, 1981:35). Fungsi yang lain, menurut Mircea Eliade, adalah sebagai jaminan eksistensi dunia dan manusia. Mitos melukiskan lintasan-lintasan Yang Kudus (transenden) ke dalam dunia dan karena lintasan itulah maka dunia terbentuk dan ditetapkan menjadi seperti sekarang ini. Seperti juga diketahui, keadaan manusia sampai sekarang ini, dapat mati, mempunyai jenis kelamin, menjadi makhluk budaya, juga merupakan akibat campur tangan pada dewa dan makhluk supranatural lainnya. Oleh karena mitos bertalian dengan tindakan dan manifestasi kekuatan-kekuatan kudus dewa dan makhluk supranatural lainnya, maka mitos sering menjadi model bagi semua tindakan manusia yang bermakna (Hary Susanto, 1987:91). Peursen menambahkan satu lagi fungsi mitos, yang mirip dengan fungsi ilmu pengetahuan dan filsafat alam pikiran modern, yakni bahwa mitos memberikan “pengetahuan tentang dunia”. Lewat mitos manusia memperoleh keterangan3
keterangan, bukan menurut arti kata modern, memberikan keterangan tentang terjadinya dunia, hubungan antara dewa-dewa/makhluk supranatural, asal-usul kejahatan, dan lainlain (Peursen, 1988:41). Penghayatan keagamaan merupakan pintu gerbang paling mulus bagi keberadaan magi dan mitos. Dalam penghayatan keagamaan populer acapkali muncul masalah magisme keagamaan. Umumnya magisme itu timbul karena adanya harapan seseorang kepada kejadian supernatural untuk diri sendiri atau orang lain, sebagai cara tepat memperoleh suatu manfaat seperti kesembuhan, keamanan, kekayaan, dan lainlain. Pangkal magisme itu ialah kepercayaan tentang mukjizat atau keramat, sebab kedua hal ini oleh agama memang diakui adanya. Tetapi sebenarnya magisme muncul akibat pemahaman yang salah tentang mukjizat dan keramat. Oleh karena itu yang menjadi masalah, dan yang dihadapi oleh berbagai gerakan permurnian agama seperti gerakan Wahabi di Jazirah Arabia, ialah pandangan keagamaan yang terbentuk dari pengertian yang salah tentang mu'jizat dan keramat. Dalam buku-buku keagamaan populer yang banyak dijual di kalangan rakyat, terdapat berbagai unsur religio-magisme seperti dimaksudkan di atas. Di antara bukubuku itu yang paling terkenal ialah kitab Mujarrabat. Kitab ini banyak beredar dalam terjemah Jawanya yang ditulis dalam huruf Pego (Arab Jawa). Contoh religiomagisme dari kitab ini ialah yang bersangkutan dengan apa yang dinamakan "Ayat Limabelas" yang lebih bertendensi doa atau harapan. Tetapi harapan tersebut benarbenar menjadi bersifat magis, karena seorang yang awam akan melakukannya tanpa sama sekali mengerti makna ayat yang dibacanya, dan karena "japamantra" itu menggunakan unsur keagamaan (ayat al-Qur'an), maka ia serta merta dirahasiakan sebagai punya makna religi, dan jadilah ia sebuah religio-magisme (Nurcholis, dalam Artikel Yayasan Paramadina, 2002: 2). Memang mitos bertalian dengan magi, tapi keduanya mempunyai perbedaanperbedaan. Mitos lebih mirip dengan pemujaan religius, sedangkan magi lebih condong guna menguasai sesama manusia atau proses-proses/daya kekuatan alam lewat beberapa kepandaian, seperti dukun (Peursen, 1988:50-51).Walaupun dukun ada yang benarbenar mampu melakukan hal-hal yang luar biasa, tetapi pertahanan mereka yang 4
sebenarnya dan dasar prestise mereka adalah kemampuannya dalam mengobati (Geertz, 1981:123). Dalam proses pengobatan ada tiga elemen yaitu obat, mantra dan “kondisi pemberi obat”, suatu kekuatan batin sang dukun, kemampuannya untuk memusatkan pikiran sedemikian rupa, hingga mantra itu sampai ke telinga Tuhan atau roh kembar yang melindungi si pasien. Ada beberapa perbedaan penekanan tentang ketiga elemen tersebut, Malinowski menemukan mantra sebagai bagian yang esensial dari apa yang mereka sebut “praktik-praktik magi”, sedangkan Evan-Pritchard menemukan bahwa di kalangan orang Azasde yang pokok adalah obatnya sendiri (Geertz, 1981:127). Menurut Malinowski magi mempunyai suatu tujuan, dalam pengejaran tujuan tersebut upacara magi dilakukan. Dalam magi tujuan serta prinsip yang mendasarinya selalu jelas, lurus, dan pasti. Magi mempunyai teknik tersendiri dan terbatas: mantra, ritus, kondisi pelaku yang selalu membentuk tritunggal. Dengan demikian magi melengkapi kemampuan praktis manusia dan karenanya berfungsi untuk meritualkan optimisme manusia, untuk mempertebal keyakinan mengalahkan rasa takut. Radcliffe Brown menambahkan bahwa memang situasi bahaya melahirkan ritus magi, tapi ritus itu juga dapat menimbulkan rasa bahaya, maka menurutnya fungsi magi adalah melindungi dan menenangkan kecemasan yang ditimbulkan oleh situasi ritus tersebut (O’Dea, 1992:16-19). Dalam penelitiannya tentang kasus seorang dukun (syaman) bernama Quesalid, Levy-Strauss menemukan bahwa dalam teknik penyembuhan terdapat tiga pengalaman. Pertama, pengalaman si syaman sendiri, apakah panggilannya sebagai dukun tersebut sungguh-sungguh; kedua, pengalaman si sakit yang mungkin mengalami perbaikan kondisi atau tidak; ketiga, pengalaman masyarakat yang turut ambil bagian dalam tindakan penyembuhan tersebut (Strauss, 1997:86-87). Dalam teknik penyembuhan ini yang terjadi adalah sebaliknya dari teknik psikiatri Barat, karena dalam hal ini dukun (syaman)-nya yang aktif, ia melagukan cerita-cerita yang didengar pasien demi kesembuhannya.
Fungsi
dukun
di
sini
adalah
menyumbangkan
pemberian
“pengetahuan/arti” kepada pasien yang kekurangan “pengetahuan/arti”, fungsi dukun di sini tidaklah individual tapi dalam suatu persekutuan yang terbentuk dalam suatu ritual magi. Magi di sini membentuk suatu pemikiran yang integral antara pasien, publik, dan 5
syaman, ketiganya membentuk suatu relasi sebab-akibat antara perawatan dan penyembuhan. Karena alasan inilah maka Quesalid yang pada mulanya ingin membuktikan penipuan dalam praktik syaman ini akhirnya justru percaya pada magi (Baal, 1988:137).
3. Strategi Budaya Jawa Penghayatan keagamaan populer merupakan agregat idiom keagamaan orang umum yang mengandung unsur-unsur magisme dengan bungkus keagamaan, atau bahkan magisme yang telanjang. Mungkin saja magisme itu timbul karena berpangkal kepada pengertian yang keliru tentang mu'jizat dan keramat, jadi memiliki "akar yang absah." Magisme dalam pengertiannya sebagai kemampuan untuk bertindak dan menimbulkan efek supernatural, ada yang dibenarkan oleh agama, ada yang tidak, dan ada pula yang netral, yang nilainya tergantung kepada kegunaannya. Tetapi magisme sebagai "mindset" jelas tidak dapat dibenarkan. Ia tidak saja mempunyai efek peninabobokan yang membuat orang hidup pasif, tapi juga menyimpangkan orang dari perhatian yang lebih sungguh-sungguh kepada hukum kodrat yang
menguasai
hidupnya dan yang harus dipahami serta dipedomani dalam menjalani hidup itu. Mitos dan magi tersebut merupakan salah satu strategi kebudayaan, yang dengan menggunakan bahasa Peursen, terutama berada pada tahap mistis. Pada tahap ini sikap manusia adalah merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya (Peursen, 1988:18). Strategi kebudayaan adalah suatu “pengelolaan konsep budaya” atau “peralatan konsep budaya”, yaitu suatu alat atau sarana, bukan tujuan tersendiri, bukan pertama-tama sebagai suatu usaha teoritis yang muluk-muluk, tapi guna pengarahan pragmatis, guna merenungkan kebudayaan kita selama ini, guna menilai perkembangan kebudayaan kita. Kebudayaan yang merupakan ciri khas seluruh kehidupan manusia pada dasarnya adalah ketegangan, ketegangan antara “imanensi” (serba terkurung) dengan “transendensi” (yang mengatasi sesuatu, berada di luar sesuatu), ketegangan diantara proses-proses hidup (imanensi) dengan penilaian terhadap alamnya dan merubahnya (transendensi), kebertautan antara manusia dan kekuasaankekuasaan di sekitarnya, antara imanensi dan transendensi (Peursen, 1988:15/27). 6
Tahap-tahap dalam strategi kebudayaan itu hanyalah berbeda atau berlainan sifatnya, yaitu berlainan dalam cara hubungan antara imanensi dan transedensi, tidaklah berarti setiap tahap lebih tinggi atau lebih baik dari tahap yang lainnya, seperti yang telah dinyatakan Strauss di atas bahwa suatu magi merupakan suatu bentuk pemikiran tertentu. Tylor juga menyatakan hal yang sama, mitos sebenarnya diatur oleh pola pemikiran rasional yang serupa dengan pola perkembangan pemikiran tentang bahasa dan penemuan matematika. Mitos terletak pada fondasi sebenarnya dari akal manusia, cenderung mengikuti hukum-hukum yang berasal dari penghubungan ide-ide secara logis. Mitos menerangkan fakta-fakta alam dan kehidupan dengan bantuan analogi dan perbandingan, seperti ketika orang-orang Samoa menyebut antara pertempuran antara pisang raja dan pisang biasa untuk menjelaskan mengapa yang menang sekarang tumbuh tegak, dan yang kalah menggelantungkan kepala (Pals, 2001:38-40). Kemudian murid Tylor, yaitu Frazer, menemukan sesuatu yang lebih sistematis, bahkan “ilmiah” dibandingkan yang ditemukan oleh gurunya. Ia menunjuk bahwa hubungan utama yang dilakukan oleh ahli magi (simpatetik) pada dasarnya ada dua tipe: imitatif, magi yang menghubungkan benda-benda atas dasar prinsip kesaman; dan menular, magi kontak yang berhubungan atas dasar prinsip pelekatan (attachment). Ketika seorang dukun sihir menusukkan peniti ke hati sebuah boneka yang dihiasi dengan kuku jari dan rambut musuhnya, ia membayangkan bahwa hanya dengan kontak, transmisi yang menular, ia dapat menyebabkan kematian bagi korbannya (Pals, 2001:59). Cerita-cerita mitos tentang demit dan magi tentang dukun, terutama di Jawa, juga mengandung apa yang telah disebutkan diatas. Kalau manusia mempunyai roh, kenapa tidak hal itu juga terdapat juga pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, sungai, angin, kemudian mengapa di balik pemandangan alam yang indah ini tidak ada juga roh-roh yang bahkan tidak perlu dihubungkan dengan objek-objek fisik, suatu roh yang murni dan sederhana? Memang harus diakui bahwa mitos-mitos tersebut mulai terkikis dengan datangnya jaman “sains” ini, tapi harus diakui pula bahwa bahkan di kota-kota besarpun, seperti Jakarta dan Surabaya, atau di kota “pendidikan”, seperti Yogyakarta, kisah-kisah seperti masih gampang ditemui di pinggir-pinggir jalan. Itu artinya mitos 7
demit atau magi dukun sebagai suatu strategi budaya Jawa tidaklah lebur di dalam sejarah, walaupun tentu berlangsung dalam suatu kerangka perkembangan sejarah (Peursen, 1988:17). Setiap tahap strategi kebudayaan tidaklah terlalu terpisah dari tahap strategi lainnya, pada setiap strategi kebudayaan selalu “muncul” (walaupun secara marginal) strategi kebudayaan lainnya (Peursen, 1988:23). Begitu juga di Jawa, strategi budaya tahap mitis, mitos demit dan magi dukun, pada jaman “sains” (tahap strategi fungsional, menurut Peursen) ini masih sering “muncul” dengan segala keseraman dan pesonanya. Mungkin benar juga apa yang dikatakan Frazer (Pals, 2001:74), bahwa “sains” adalah juga sejenis magi, hanya saja magi yang tanpa kesalahan.
8
Daftar Pustaka Ball, J. van 1988, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Jilid 2. Jakarta : Gramedia. Geertz, Clifford 1981, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta : Pustaka Jaya. Hary Susanto 1987, Mitos menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta : Kanisius. Nurcholis Madjid 2002, Penghayatan Keagamaan Populer dan Masalah ReligioMagisme. dalam Artikel Yayasan Paramadina, V.38. O’Dea, Thomas F., 1992, Sosiologi Agama, Rajawali bekerjasama dengan YASOGAMA, Jakarta. Pals, Daniel L., 2001, Seven Theories of Religion, Yogyakarta : Qalam. Peursen, C.A. van, 1988, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta : Kanisius. Pritchard, E.E. Evans, 1984, Teori-teori tentang Agama Primitif, Yogyakarta : PLP2M. Strauss, Claude Levy, 1997, Mitos, Dukun, dan Sihir, Yogyakarta : Kanisius.
9