MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATA PELAJARAN IPA DI KELAS IV SD NEGERI NO. 064983 MEDAN WESLY SILALAHI* DAN EFRILLA YUSTIANA SIREGAR** *Dosen Jurusan PPSD/ Prodi PGSD FIP Unimed ** Mahasiswa Jurusan PPSD/ Prodi PGSD FIP Unimed ABSTRAK Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV SD Negeri No. 064983 Medan yang berjumlah 34 orang. Objek dalam penelitian ini adalah hasil belajar dalam pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran Problem Solving. Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data adalah tes dan lembar observasi.Tes digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa, observasi digunakan untuk melihat aktivitas siswa pada saat pembelajaran berlangsung yang menggunakan model pembelajaran Problem Solving. Dari hasil analisis data pada pre test diperoleh 26 orang siswa (76,47%) yang belum tuntas dalam belajar dan sebanyak 8 orang siswa (23,53%) yang telah mencapai standart ketuntasan belajar dengan nilai rata-rata 59,4. Dari hasil analisis data pada siklus I diperoleh sebanyak 19 orang siswa (55,88%) yang belum tuntas dan sebanyak 15 orang siswa (44,12%) yang mencapai ketuntasan belajar dengan nilai rata-rata 62,94. Sedangkan hasil tes pada siklus II diperoleh sebanyak 4 orang siswa (11,76%) belum tuntas dan sebanyak 30 orang siswa (88,24%) yang mencapai ketuntasan belajar dengan nilai rata-rata 77,64. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada observasi kegiatan guru siklus I nilai yang diperoleh yaitu 78,57 dan pada siklus II 96,43. Pada observasi kegiatan siswa, nilai yang diperoleh pada siklus I yaitu 70 dan pada siklus II 95. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan model pembelajaran Problem Solving dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV SD Negeri No. 064983 Medan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan model pembelajaran Problem Solving dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi gaya tarik dan gaya dorong. Kata kunci : Hasil Belajar, Problem Solving, dan Pelajaran IPA.
PENDAHULUAN Pelajaran IPA mempunyai peranan yang sangat penting di dalam pendidikan.Tujuan yang hendak dicapai dalam belajar IPA di sekolah dasar adalah membentuk siswa yang memiliki sikap kritis, cermat, objektif, serta memiliki rasa ingin tahu yang besar. Dalam proses pembelajaran mencari ilmu memang menggunakan kemampuan pikiran untuk menalarkannya. Jadi dalam melaksanakan aktifitas ilmiah yang merupakan proses pembelajaran kognitif, seseorang atau kita harus memiliki tujuan yaitu mencari kebenaran dan mencari penjelasan yang terbaik.
Aktivitas ilmiah ini harus bersamaan dengan penelitian. Pada umumnya mata pelajaran IPA dianggap sebagai pelajaran yang sulit dan membosankan sehingga hal ini mengakibatkan hasil belajar para siswa menjadi rendah. Dan akhirnya siswa cenderung untuk mengambil jalan pintas dengan cara menyontek dan hal ini menimbulkan kebiasaan yang pada akhirnya merusak moral siswa. Aktivitas belajar merupakan tahapan perubahan tingkah laku individu yang melibatkan proses kognitif dan didukung oleh ranah psikomotorik, dimana ranah psikomotorik meliputi: mendengar,
14
melihat dan mengucapkan, sedangkan perubahan akibat belajar adalah kemampuan kognitif. Perubahan itu semua merupakan hasil belajar siswa. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan guru kelas IV SD Negeri No. 064983 Medan pada tanggal 10 Januari 2014 pukul 14.00 menyatakan bahwa siswa lebih cenderung acuh tak acuh dan kebanyakan bermain dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti terhadap proses pembelajaran tersebut, dapat dilihat bahwa guru hanya menggunakan model ceramah dalam proses pembelajaran sehingga terkesan membosankan. Selain itu, guru juga tidak menggunakan media sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran sehingga masih banyak siswa yang kurang memahami materi yang diajarkan guru. Guru juga kurang melibatkan siswa secara aktif dalam belajar IPA.Hal ini tampak dari kurangnya aktivitas atau keterlibatan siswa dalam belajar. Selama proses pembelajaran siswa di dalam kelas hanya cenderung mendengarkan penjelasan guru, membuat catatan, menghafal, dan mengerjakan tugas jika hanya dimintai guru. Hal itu menyebabkan penguasaan konsep dan kriteria ketuntasan minimal belajar mereka tidak mencapai standar kriteria ketuntasan minimal belajar yaitu >70, sedangkan secara klasikal nilai ratarata yang diperoleh < 70 dari jumlah murid 38. Oleh karena itu, kondisi seperti ini tentunya perlu ditingkatkan secara efektif dan efisien. Untuk itu seorang guru harus benar-benar memiliki kompetensi dalam memilih model, strategi, dan model pembelajaran yang tepat secara efektif dan efisien dalam mengajarkan isi materi pelajaran kepada siswa untuk mencapai
proses belajar mengajar yang diharapkan. Contohnya yaitu dalam pemilihan model pembelajaran yang tepat dalam proses belajar mengajar. Model pembelajaran merupakan seluruh rangkaian penyajian materi ajar yang meliputi segala aspek sebelum, sedang, dan sesudah pembelajaran yang dilakukan guru serta segala fasilitas yang terkait yang digunakan secara langsung atau tidak langsung dalam proses belajar mengajar. Sebagai seorang guru, tentunya mengetahui model-model pembelajran di sekolah sangatlah penting. Tanpa mengetahui model-model pembelajaran, kecil kemungkinan proses belajar mengajar dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, untuk mendorong keberhasilan guru dalam proses belajar mengajar guru seharusnya mengerti akan fungsi dan langkah-langkah pelaksanaan model pembelajaran. Dalam hal ini, penulis meneliti apakah terjadi peningkatan terhadap hasil belajar IPA pada siswa melalui penerapan model pembelajaran problem solving dengan memanfaatkan media/alat peraga. Melalui pembelajaran problem solving diharapkan dapat memberikan solusi dan suasana baru yang menarik dalam proses pembelajaran IPA. Pembelajaran problem solving ini dimana para siswa yang bekerja, berpikir untuk menyelesaikan materi yang diajarkan dengan alat bantu media/alat peraga. Problem solving dipandang sebagai suatu proses untuk menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya mengatasi situasi yang baru. Problem solving tidak hanya sekedar sebagai bentuk kemampuan menerapkan aturan-aturan yang telah dikuasi melalui kegiatan-kegiatan belajar
15
terdahulu, melainkan lebih dari itu merupakan proses untuk mendapatkan aturan pada tingkat yang lebih tinggi. Siswa juga senantiasa tidak hanya mengharapkan bantuan dari guru serta siswa, termotivasi belajar cepat dan akurat dalam menyelesaikan materi pelajaran. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul: "Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Problem Solving Pada Mata Pelajaran IPA di Kelas IV SD Negeri No. 064983 Medan T.A 2013/2014." METODE Pada hakikatnya dalam pembelajaran IPA dibutuhkan suatu kegiatan yang melibatkan siswa dalam memecahkan suatu masalah karena tidak semua materi pelajaran yang disajikan oleh guru dapat dimengerti siswa jika hanya disampaikan melalui ceramah. Menurut Rusman (2010:230) “masalah dapat mendorong keseriusan, inquiry, dan berfikir dengan cara yang bermakna dan sangat kuat (powerful)”. Oleh karena itu, agar siswa memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah, guru hendaknya mampu merancang suatu model pembelajaran yang tepat dan mampu menumbuhkan keterampilan siswa tersebut. Menurut Tan (dalam Rusman, 2010:229), Strategi pembelajaran berbasis masalah merupakan inovasi dalam pembelajaran karena dalam proses belajar mengajar, kemampuan berfikir siswa betul-betul dioptimalisasikan melalui proses kerja kelompok atau tim yang sistematis, sehingga siswa dapat
memberdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan kemampuan berfikirnya secara berkesinambungan”. Selanjutnya menurut Bound dan Felleti (dalam Jauhar, 2011:88), “pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan untuk membelajarkan siswa untuk mengembangkan keterampilan berfikir dan keterampilan memecahkan masalah, belajar peranan orang dewasa yang otentik serta menjadi pelajar mandiri”.Sedangkan menurut Duch (dalam Riyanto, 2010:285), “pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang menghadapkan peserta didik pada tantangan belajar untuk belajar”. Siswa aktif bekerja sama di dalam kelompok untuk mencari solusi permasalahan dunia nyata. Menurut Sanjaya (2009:212), “strategi pembelajaran berbasis masalah dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah”. Model pembelajaran problem solving tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyakbanyaknya kepada siswa, akan tetapi dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berfikir, memecahkan masalah, keterampilan intelektual, dan belajar tentang berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan siswa dalam pengalaman dunia nyata atau simulasi, dan menjadi pembelajar yang mandiri. Problem solvingadalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan masalah dan memecahkan berdasarkan data dan informasi yang akurat, sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat dan cermat. Dimana anak didik lebih
16
beraktivitas dalam proses pembelajaran dan mencari dari apa yang diajarkan pada materi pembelajaran. Model pembelajaran problem solving adalah strategi belajar mengajar dengan memberi tekanan pada terselesaikannya suatu masalah secara menalar. Berpikir, memecahkan masalah, dan menghasilkan sesuatu yang baru adalah kegiatan yang kompleks dan berhubungan erat satu dengan yang lain. Suatu masalah memerlukan pemecahan yang tanpa berpikir dan banyak memerlukan pemecahan yang baru bagi individu atau kelompok.Sebaliknya, menghasilkan sesuatu (benda-benda, gagasan-gagasan) yang baru bagi seseorang, menciptakan sesuatu, itu mencakup pemecahan masalah. Pada hakikatnya, program pembelajaran bertujuan tidak hanya memahami dan menguasai apa dan bagaimana suatu terjadi, tetapi juga memberi pemahaman dan penguasaan tentang "mengapa hal itu terjadi". Berpijak pada permasalahan tersebut, maka model pembelajaran pemecahan masalah (problem solving) menjadi sangat penting untuk diajarkan. Dengan menggunakan model pembelajaran problem solving (pemecahan masalah), siswa diharapkan untuk aktif menemukan autentik, menyelidiki masalah, kerjasama dalam kelompok serta menghasilkan karya atau peragaan. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah adalah model pembelajaran yang digunakan guru agar dapat melibatkan siswa aktif dalam pembelajaran dengan cara menghadirkan masalah dunia nyata dan memberikan pemicu masalah agar siswa berusaha menelaah masalah yang
diberikan sehingga siswa mampu untuk menyelesaikannya. Menurut Jauhar (2011:89), sintaks (tahapan) pembelajaran berbasis masalah yaitu: 1. Tahap-1: Orientasi siswa pada masalah. Guru menjelaskan tujuanpembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukanfenomena atau demonstrasi untuk memunculkan masalah, memotivasisiswa terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih. 2. Tahap-2: Mengorganisasikan siswa untuk belajar. Guru membantu siswauntuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yangberhubungan dengan masalah tersebut. 3. Tahap-3: Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahanmasalah. 4. Tahap-4: Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Guru membantusiswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai sepertilaporan, video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugasdengan temannya. 5. Tahap-5: Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Guru membantu siswa untuk untuk melakukan refleksi atau evaluasiterhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan. Menurut Sanjaya (2009:218), pembelajaran problem solving memiliki beberapa kelebihan antara lain:
17
a) Pembelajaran berbasis masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran; b) Dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa; c) Dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa; d) Dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata; e) Dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan, disamping itu juga dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya; f) Bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa mata pelajaran IPA pada dasarnya merupakan cara berfikir dan sesuatu yang harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari buku-buku saja; g) Dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa h) Dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berfikir kritis dan mengembangkan kemampuan untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru; i) Dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata, dan; j) Dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir. Di samping kelebihan diatas, menurut Sanjaya (2009:219), pembelajaran
berbasis masalah juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya: a) Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba; b) Keberhasilan model pembelajaran berbasis masalah membutuhkan cukup waktu untuk persiapan, dan; c) Tanpa pemahaman mengapa siswa berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka siswa tidak akan belajar apa yang ingin mereka pelajari. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil belajar merupakan hasil yang didapat dari seseorang setelah melakukan aktivitas belajar. Hasil belajar siswa dapat dilihat dari hasil yang telah diperoleh siswa melalui tes yang diberikan guru setelah proses pembelajaran selesai. Tes ini dapat melihat sejauh mana kemampuan siswa memahami materi pelajaran yang diberikan oleh guru.Setelah itu dengan adanya tes maka guru juga dapat mengetahui apakah pengajaran yang diberikan kepada anak didiknya berhasil atau tidak.Apabila 65% siswa memperoleh nilai sesuai dengan ketentuan ketuntasan belajar, maka guru tersebut dapat dikatakan berhasil dalam melakukan pengajaran. Namun pada kenyataannya, hasil yang diperoleh siswa masih rendah.Pada saat peneliti melihat di lapangan, masih banyak ditemukan siswa yang pasif dan hanya menerima informasi dari guru saja, bahkan masih banyak siswa yang tidak berani bertanya kepada guru walaupun sebenarnya mereka belum mengerti dengan materi yang diajarkan guru.Semua
18
Nilai
Jumlah Siswa
90-100 70-89 50-69 30-49 0-29 Jumlah
8 23 3 34
Persentase Jumlah Siswa 23,53% 67,65% 8,82% 100%
Keterangan Tuntas Belum tuntas Belum tuntas -
Dari tabel terlihat bahwa terdapat 26 orang siswa (76,47%) yang belum mencapai ketuntasan dalam belajar dan sebanyak 8 orang siswa (23,53%) yang telah mencapai standart ketuntasan belajar. Untuk lebih jelas nilai yang diperoleh siswa dapat dilihat pada diagram berikut:
30 25 20 15 10 5 0
Banyak Siswa
ini disebabkan karena guru masih menerapkan pembelajaran konvensional yang umumnya menggunakan metode ceramah. Akibatnya, guru yang lelah dalam mengajar sedangkan siswa kurangantusias mendengarkan penjelasan yang disampaikan oleh guru, bahkan pembelajaran seperti ini hanya menghasilkan siswa yang pasif dan kurang kreatif.Padahal dalam setiap pembelajaran minat dan motivasi belajar siswa harus ditumbuhkan terlebih dahulu. Dengan adanya minat belajar, tentunya siswa akan termotivasi untuk belajar yang ditunjukkan dengan keseriusannya mendengarkan materi pelajaran yang dijelaskan oleh guru. Jika siswa serius belajar maka guru akan lebih mudah dalam memberikan materi pelajaran kepada siswa. Apabila siswa sudah serius untuk belajar maka hasil belajar siswa juga akan meningkat. Untuk mengetahui tingkat persentase ketuntasan klasikal maka dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Persentase Hasil Belajar Siswa Pada Pre Test
76,47 %
23,53 %
0-69 70-100
Nilai
Gambar 1. Diagram Hasil Belajar Siswa Pada Pre Test Berdasarkan gambar 1. diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam memahami materi gaya tarik dan gaya dorong berdasarkan tingkat keberhasilan secara keseluruhan masih tergolong rendah atau belum tuntas yaitu mencapai 76%. Untuk dapat meningkatkan hasil belajar siswa, maka peneliti akan melanjutkan penelitian ke siklus I. Pada siklus I, hasil yang diperoleh belum memuaskan karena hanya 15 orang siswa (44,12%) yang mencapai ketuntasan belajar dan 19 orang siswa (55,88%) yang tidak tuntas. Namun setelah dilakukan perbaikan pada siklus II ternyata terjadi peningkatan. Dari 15 orang siswa (44,12%) yang mencapai ketuntasan belajar pada siklus I ternyata meningkat pada siklus II menjadi 30 orang siswa (88,24%) yang mencapai ketuntasan belajar dan sebanyak 4 orang siswa (11,76%) belum tuntas belajar. Dari penjelasan di atas, perubahan nilai siswa pada saat pre test, post tes siklus I, dan post tes siklus II dapat dilihat pada tabel berikut:
19
Tabel 2. Daftar Nilai Siswa Pre Test, Siklus I, dan Siklus II 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Kode Siswa 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Pre Test 60 60 60 50 50 60 70 60 80 60 30 60 60 60 60 50 80 60 50 60 80 80 50 40 60 40 80 70 50 60 50 80 50
Siklus I 80 60 60 50 50 70 70 60 80 70 30 60 60 80 60 50 80 70 50 60 90 80 50 40 70 40 80 70 50 60 50 80 50
Siklus II 90 80 70 70 80 80 90 80 80 80 60 70 80 90 80 80 90 80 70 80 100 90 70 60 80 60 90 80 70 70 60 80 70
Keterangan Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Belum tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Belum tuntas Tuntas Belum tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Belum tuntas Tuntas Tuntas
60 80 80 Tuntas 2020 2140 2640 59,41 62,94 77,64 23,52 %
44,11 %
88,23 %
Tuntas
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa siswa yang tuntas belajar pada Pre Test sebanyak 8 orang siswa (23,53%), yang tuntas pada siklus I sebanyak 15 orang siswa (44,12%), dan yang tuntas pada siklus II sebanyak 30 orang siswa (88,24%). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan model pembelajaran problem solving pada pelajaran IPA materi pokok gaya tarik dan gaya dorong di kelas IV SD Negeri No. 064983 Medan, pembelajaran berhasil diterapkan dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Untuk lebih jelas peningkatan hasil belajar siswa dapat dilihat pada tabel dan diagram batang berikut: Tabel 3. Peningkatan Nilai RataRata Siswa No
Jenis Tes
1.
Pre Test
Nilai RataRata 59,41
2.
Post Tes Siklus I
62,94
3.
Post Tes Siklus II
77,64
Peningkatan Nilai Rata-Rata Siswa
Nilai Yang Di Peroleh
No
34. 34 JUMLAH RATARATA KETUNTASAN KLASIKAL
100
59,41
62,94
Pretes
Siklus I
77,64
50
0
Siklus II
Jenis Tes Gambar 2. Diagram Peningkatan Nilai Rata-Rata Siswa
20
Tabel 4. Peningkatan Hasil Belajar Siswa Secara Klasikal No. 1. 2. 3.
Jenis Tes
Nilai RataRata 23,52% 44,11% 88,23%
Pre Test Post Tes Siklus I Post Tes Siklus II
Persentase (%)
Peningkatan Ketuntasan Klasikal 77.64
100 44.11
23.52
0 Jenis Tes
Gambar 3. Diagram Peningkatan Hasil Belajar Siswa Secara Klasikal Dengan menggunakan model pembelajaran problem solving, hasil belajar siswa pada pelajaran IPA menjadi meningkat.Selain itu, penggunaan model pembelajaran problem solving dapat merangsang rasa ingin tahu siswa dalam belajar dan membuat siswa menjadi aktif dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah diuraikan dalam BAB IV dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran problem solving pada mata pelajaran IPA materi pokok gaya tarik dan gaya dorong dapat meningkatkan hasil belajar siswa di kelas IV SD Negeri No. 064983 Medan Tahun Ajaran 2013/2014. 2. Sebelum pelaksanaan tindakan, terlebih dahulu dilakukan Pre Test. Dari nilai
Pre Test siswa memperoleh nilai ratarata kelas sebesar 59,41 dan terdapat sebanyak 26 orang siswa (76,47%) yang tidak tuntas dan sebanyak 8 orang siswa (23,52%) yang tuntas. 3. Setelah pelaksanaan siklus I dengan menerapkan model problem solving diperoleh nilai rata-rata kelas sebesar 62,94 dan terdapat sebanyak 19 orang siswa (55,88%) yang belum tuntas dan sebanyak 15 orang siswa (44,12%) yang mencapai ketuntasan belajar. 4. Setelah pelaksanaan siklus II dengan menerapkan model problem solving diperoleh nilai rata-rata kelas sebesar 77,64 dan terdapat sebanyak 4 orang siswa (11,76%) belum tuntas dan sebanyak 30 orang siswa (88,24%) yang mencapai ketuntasan belajar. 5. Model pembelajaran problem solving dapat memberikan kondisi aktif kepada siswa dan siswa dapat berfikir kritis dan analisis, dan untuk mencari serta menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai. Saran Dari hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka peneliti mengajukan saran sebagai berikut: 1. Guru diharapkan menerapkan model pembelajaran problem solving untuk meningkatkan hasil belajar siswa dan disesuaikan dengan materi yang diajarkan. 2. Kepada guru yang ingin menerapkan model pembelajaran problem solving sebaiknya mengaitkan materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata siswa sehari-hari. 3. Dalam proses belajar mengajar, guru harus lebih mengaktifkan siswa seperti memberikan kesempatan bertanya maupun menjawab pertanyaan,
21
membuat kelompok belajar, mempersentasikan hasil kerja kelompok, dan lain-lain. 4. Model pembelajaran problem solving hendaknya diterapkan secara berkelanjutan baik untuk mata pelajaran IPA maupun mata pelajaran yang lain. 5. Pada peneliti lain yang ingin melakukan penelitian yang sama pada penggunaan model pembelajaran problem solving sebaiknya melakukan penelitian secara tuntas dan dapat mengkombinasikan dengan metode yang lain agar pembelajaran lebih aktif dengan memperhatikan materi pokok yang diajarkan. 6. Bagi peneliti sendiri kiranya hasil penelitian tindakan kelas ini dapat dijadikan suatu keterampilan serta pengetahuan untuk menambah wawasan dalam mendidik siswa khususnya siswa sekolah dasar (SD). RUJUKAN Abdurrahman, M. 2009. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Dewi, Rosmala. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Medan: Dharma. Dimyati dan Mudjiono. 2010. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Djamarah, S.B, dan Zain, A. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Hamalik, O. 2010.Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Jauhar, M. 2011. Implementasi PAIKEM dari Behavioristik. Jakarta: Prestasi Pustakarya.
Nasution, S. 2009. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Riyanto, M. 2010. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana. Rusman. 2010. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sabri, Ahmad. 2010. Strategi Belajar dan Mengajar. Jakarta: Ciputat Proses. Sanjaya, Wina. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.Bandung : Prenada Media Group. Slameto. 2010. Belajardan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta:Rineka Cipta. Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara. Usman, Moh Uzer.2009. Menjadi Guru Professional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
22