Mendukung Keistimewaan Yogyakarta Melalui Perspektif Keilmuan Multidisiplin Guna Membangun Kemandirian Bangsa Reviewer
:
Prof. Dr. Hartono, DEA., DESS Prof. Ir. Suryo Punvono, MA.Sc., Ph.D Prof. Dr. Syamsul Hadi, SU Prof. Dr. M. Baiquni, M.A Dr. Wening Udasmoro, DEA Dr. Ir. Donny Widianto, M.Sc
Penyelaras Bahasa : Pradiastuti Punvitorosari, SS Desain Cover
: Pudji Widodo, M.Kom
Layouter
:
Tim Kreatif Lintang Pustaka Utama
Cetakan I
:
Oktober, 2014
Penerbit
:
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Anggota IKAPI 077/DIY/2012
Alamat
:
J1. Teknika Utara, Pogung, Sleman, Yogyakarta 55281 Telp. (0274) 564239, Fax. (0274) 564239
Email
:
[email protected]
Website
:
http://pasca.ugm.ac.id
ISBN
:
978-602-8683-02-9
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun, termasuk fotocopy, tanpa izin tertulis dari penerbit dan atau penulis.
KATA PENGANTAR ................................................................. DAFTAR IS1 .................................................................................. ISTIMEWA DALAM PARADOKS: MENELISIK KEARIFAN LOKAL UNTUK INFRASTRUKTUR KEBUDAYAAN............................................................................ Plcrwo Santoso PERAN KEARIFAN LOKAL KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT DALAM PENGELOUAJY KERAGAMAN .......................................... Samslcl Maarif Ridho Ajflcddin Ranto Praja H. PENDIDIKAN KARAKTER KHAS YOGYAKARTA: TANTANGAN BAG1 DUNIA PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT................................................................. Dicky SoJan Jeanny Dbewayani Rabmadi Aglcs Setiawan DINAMIKA PERSEPSI NILAI LUHUR KEJAWAAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KONTEKS HUBUNGAN ANTAR-IMAN .................................................. Siti Syamsiyatlcn Leonard C.Epafras Hendriklcs Palcllcs Kalcnang
..
.-
.
-
MENDUKUNG KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
v
ix
1
25
47
81
PERAN KEARIFAN LOKAL KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT DALAM PENGEL0LAA.N KERAGAMAN
Samszrl Maarg Ridho Afifaddin, dan Ranto Praja H. Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Email:
[email protected]
ABSTRACT Tbis research dismssses a model of divern> managmnt bused 071 /OLU/ wzkdom of Keraton k'ogyakartn. Itjo~'14se.r on the ar~fiite~fure of Kemtotz Aose ydolic meirzinqs borne, no1a/J are related to duerip managen?e)zI.ourfndngs show that h a / m>hmas en~$ri)zedirz the firaton has etfecbie4 inpired the ~wcces4fillrnanagemmt .f'dversig b Egyakurfu.The /omlairdomhasfikyedi%@or#ant ro/es in matlagiing Z'o~~arubrtaph~radsticsoie~ forso~ia/harmoty.Loca/wisdomin thisresear~h is rief ned as a so~io-crr/tzira/~stm that a ~vmmunigdq/ys to achiew itsideah 6e. and sodchrig). Such a ~ ~ n c p z a l ~ a t4' i ohn~ u l ~ d is om based on ')vor/duiew"e)zm%@asnig who/e irieasandprucifcesof' a commwnig. It is aho~ttideas a)rdprafi~zs of ~'osmi~~ bahn~ing.It is aho wed us n theoretica/fmeworork: that consists of three basi~. eiemeni3(the .re,$ the other selues, and rehtiomi!?$ of' the fwo) und three ~.hses of data (gm6o.hor obsetvab/ejmsthe archite~fnrec j ' fira~otz,intt'pretatio~zor meaning making Cy individuals on those ymboh, and the broader context of the ~ummuni~). E%@/yi)zg theframework, this research observes that Egvakartapeoples' attitudes atzd behaviors of' actping and debrating duerig are so~ialman$istations of a cosmo/ogyas etuhrined itz Keraton of k'ogyukatfa. ~ ~ ~ S ~ I E I Z ~ S J J
Keywords: Local wisdom, Diversity management, Kesrrltanan Yogyakarta.
ABSTRAK Penelitian ini membahas kearifan lokal Keraton Yogyakarta sebagai basis pengelolaan keragaman. Fokus kajiannya adalah arsitektur Keraton yang pemaknaannya (sebagian) terkait dengan gagasan pengelolaan keragaman. Penelitian ini menunjukkan bahwa kearifan lokal sebagairnana tertailam dalam ke-Keraton-an Yogyakarta memiliki peran yang efektif dalam pengelolaan keragaman. Ia (sebagai alat yang digunakan) efektif dalam menciptakan kerukunan sosial antar warga Yogyakarta yang sangat plural. Kearifan lokal dalam penelitian ini hdefinisikan sebagai suatu sistem sosial budaya yang digunakan komunitas dalam mencapai cita-citanya (seperti kohesifitas dan solidaritas). Konsep kearifan lokal tersebut dibangun dari konsepsi
MENnl IKI IN(: UFlcrlhaclrrA
vnrvn
mrr
-
sistem pemerintahan "demokrasi" pasca-kemerdekaan (McCarthy, 2005; Bebbington, dkk. 2004; Kato, 1989). Penggantian atau mungkin tepatnya penghapusan sistem politik dan pemerintahan tramsional tentu tidak hanya berdampak pada kehidupan poliak masyarakat. Sejarah pemerintahan paska-kolonial salah satunya adalah sejarah "pembumi-hangusan" tradisi (lokal) yang meliputi budaya dan pandangan dunia (LI, 2002; Erb 2003). Berbagai praktik-praktik lokal oleh negara bersama kelompok-kelompok agama dunia, khususnya Islam dan Kristen, dipahami, lgambarkan, dipresentaslkan, dan diperlakukan sebagai praktik primitif, terbelakang, dan bahkan "mugrik" atau "kajr," dan karenanya harus ditinggalkan karena dianggapnya tidak sesuai dengan gagasan dan cita-cita pembangunanisme dan juga ajaran-ajaran agama dunia (Hideharu, 2006; Li, 2001; Spyer, 1996; Ihgston, 1991). Kearifan-kearifan lokal nusantara akibatnya menjadi seakan asing, tidak dtkenal saat ini karena generasi belakang ddarang mewarisinya. Demikianlall yang terjadi di hampir seluruh wilayah nusantara (Davidson, 2007). Yogyakarta ternyata beda. Jika negara berhasil mengacaukan kearifan-kearifan lokal di widayah lain, ia "gagal" l Yogyakarta. DIY tegar dengan tradisi dan kearifan lokalnya. Pengesahan UUIC DIY tidak terbatas pada penetapan sistem politik dan pemerintahan. UUK DIY, sekalipun secara eksphsit tidak ltuliskan, mencakup (penetapan) budaya, dan pandangan dunia. Berbagai tradisi ke-Yogyakarta-an tetap berlangsung dengan semarak yang melaluinya keanfan-kearifan lokal lsemaikan dan direproduksi. Banyak kalangan menemukan bahwa kearifan lokal "dibasrni" tidak hanya oleh negara, tetapi juga kekuatan lain seperti modernisasi, globalisasi, dan berbagai gagasan-gagasan yang menyertainya. Yang disebut terakhlr bahkan sedng ltunjukkan jauh lebih gencar dan berpengaruh (Smith-Hefner, 2009; Sutton, 2006; Keane, 2002; Pelras, 1998). Di banyak tempat, misalnya melalui proyek pariwisata, pnkukpraktik lokal mash eksis, tetapi eksistensinya justru lebh menonjolkan gagasan modernisme dan globalisme, atau lebih tepatnya lebih mengedepankan tujuan pragrnatismenya (Adams, 2006; 1998; 1997; Dahles, 2002; Erb, 2000; 1998; Shaw, 1999). Tarian-tarian tradisional, misalnya, dtampllkan untuk kepentingan ekonomi semata, sehngga
pandangan dunia yang mencakup keseluruhan gagasan dan praxis suatu komunitas. Ia adalah gagasan dan prakdk keseirnbangan kosmos (cosmic balance). Kearifan lokal, tiga elemen dalam penelitian ini, juga digunakan sebagai kerangka teori yang me& dasar (diri/individu, diri/in&vidu lain, dan relasi antar keduanya) dan tiga kelas data (simbol atau format yang dapat diobservasi--LirsitekturKeraton, interpretasi atau pemaknaan individu-individu terhadap simbol atau format tersebut, dan konteks yang leblh luas-pola budaya komunitas). Dengan kerangka teori tersebut, penelitian ini menyimpulkan bahwa sikap dan prilaku penerimaan dan perayaan keragaman warga Yogyakarta adalah manifestasi kosmologi sebagaimana tertanam dalam keKeraton-an.
Kata Kunci: Kearifan Zoh& Pengelolaan keragaman, Kesrltanan Yogyakarta.
PENGANTAR Pasca disahkannya Undang-Undang Keistimewaan (UUK) Daerah IstimewaYogyak~rta(DMyang bensi 16 bab dan 51 pasal dengan luna aspek keistimewaan: meka.nisme pengsian jabatan kepala daerah D N dengan penetapan di DFRD, kelembagaan pemelintah DIY, bidang pertanahan, kebudayaan, dan tam ruang (Tribun Jogja, 4 Desember 2012), D N semakin menunjukkan h y a sebagai daerah yang berbeda dengan daerah lain di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sikap penolakan yang sempat muncul di kalangan anggota DPR-RI saat ini tidak lagi didengarkan. DIY sudah ditetapkan sebagai daerah yang memLWd sistem pohtik, khususnya terkait kepala daerah, d m ditetapkan sebagai bagian dari sistem NKRI. DIY adalah satu-satunya daerah di negara republik ini yang tetap mempertahankan sistem pemedntahan "tradisional" yang diwarisi sebelum kemerdekaan. Fakta pohtik nasional di atas tentu mengundang pertanyaan kritis. Sejarah menunjukkan bahwa sistem kesultanan sebagaimana adanya di D N juga pernah terdapat di wilayah lain. Wilayah-dyah lain di seluruh nusantara memiliki sistem politik dan pemerintahan "tradisional" sebelum kemerdekaan. Bahkan, pada masa penjajahan Belanda, sistem pohtik tradisional atau adat pemah lsokong oleh penjajah sebagai salah satu cara untuk menghalang lajunya gerakan-gerakan pemberontak, utamanya dari kelompok Islam (Burns, 2004; Laffan, 2003; Benda, 1958; 1955). Akan tetapi, pemerintahan psca-kolonial telah berhasil menggantikan sistem pohnk dan pemedntahan tradisional atau kerajaan sebelum kemerdekan (Curnmings, 2007; 2002; Caldwell, 1995) dengan MENDUKUNG KElSTlMEWAAN YOGYAKARTA
1
MENOUKUNG KEISTIMEWAAN YOGVAKARTA
m
cita komunitas, apapun itu adalah uta-dta kolektlf yang disepakati oleh individu-individu anggota komunitas. Setiap komunitas, indmdu-ind~du anggota komunitas selalu memiliki kepentmgm-kepentinganyang s h g k a l i berbeda atau bahkan bertentangan antara satu dengan yang kuuya. Akan tetapi, dengan sistem atau instrumen yang d m d h komunitas kepentingan individu yang beragam dapat diserap menja& bagian cita-cita kolektif. Cita-uta kolektif seperti kohesi dan solidaritas bahkan menja& bagian atau menjadi satu dengan kepentingan indivldy apapun profesi dan statusnya. Ia adalah "kearifan" karena ia menciptakan uta-dta kolekbf dan kepenhgan individu sebagai dua elemen yang tak terpisahkan. Kata "lokal" di sisi lain menandiil kekhususan "kearifan." Suatu sistem yang dLniIrki oleh suatu komunitas tidak dapat dianggap unjversal yang dapat diaplikasikan h manapun. Ia hanya dapat &pahami dan diaplikaslkan di mana ia dibentuk dan direproduksi. rllasannya akan lebih jelas pada uraian keanfan lokal sebagai kerangka teori. Sebagai kerangka teori, kearifan lokal ddasarkan pada apa yang oleh Robert Redfield (1952) sebut s e b a e pandangan dunia (worWyew). Pandangan dunia adalah konsep tentang hakikat dunia yang mencakup sebuah sistem dan prinsip-prinsip nilai (teori) dan sekahgus komponenkomponen praksis sebagai manifestasi teod Sistem dan prinsip ntlai yang mencakup presuposisi metafisika adalah dasar bag tindakan yang membentuk praksis (selwLgus manifestasi h) Teori . dan praksis adalah dua komponen pandangan dunia yang tak terpisahkan (RIathai, 1992, 32). Robert Redfield (1952, p. 30) menjelaskan bahwa pandangan dunk itu adalah sebuah perspektif dalam melihat "dunia" di mana manusia (seharusnya) hdup di dalamnya dan/atau bersamanya. Pandangan dun$ adaah gambaran atau penjelasan oleh suatu komunitas tentang "didy(the na dan penlakunya, tentang wujud-mjud lam yang berbeda, tetapi terkait dengan &yay yaitu manusia m e h t dirinya dalam suatu kesatuan relasi dengan (dii/wujud) yang lain. Ia adalah kurnpulan gagasan yang memberi jawaban terhadap pertanyaan: siapa saya? Dengan siapa saya hidup? dan bagaimana relasi antara wujud-wujud (saya dan yang lainnya)? Dalam konsep pandangan dunia, diri adalah 'pusat' (asis) dunia. Penjelasan Redfield tentang worldiew dkembangkan oleh A. Irving Hallowell (2002/1960). Hallowell menjelaskan bahwa identifikasi diri dan gagasan kontekstual tentangnya adalah esensial dalam kehidupan
leblh menguntungkan plhak yang mengorganislr yang me& modal dibanding pe& dan pelaku tarian-tarian. Dengan pengesahan UUK Dri, Yogyakarta dapat "1010s~' dad eksploitasi modernisme, globalisme, dan kapitalisme. Yogyakarta tidak berarti anti-modernisasi dan globalisasi, tetapi karena kehadiran kesultanan dan berbagai perangkatnya yang tetap menjah otoritas (simbolik) dalam sistem kehidupan di Yogyakarta, modernism, dan globalisme justru menjadi "sarana" persemaian serta reproduksi kearifan lokal Yogyakarta (bandingkan Sutton, 2006). Seorang p e n s Jawa mengungkapkan sebagai berikut: "Berbeda dengan tarian Solo yang sudah berkembang dengan berbagai 'asimilasi' tarian modern, (struktur) tarian Yogyakarta hingga hari ini masih tetap bertahan. Ia m a s h 'setia' mengacu pada Keraton." Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam suatu kesempatan di bulan Februari 2013 juga pernah menegaskan, "Kita tidak bisa menghmdari modernitas dan globalisasi. Kita harus menerimanya karena di dalamnya ada hal-ha1 positif yang bisa diadopsi. Tapi penerirnaan terhadapnya ddak boleh melunturkan "jad did" kita. "Jati diri" kita harus tetap utuh karena jika tidak, kita pasti terjerumus."
Kearifan lokal Yogyakarta, terlepas dari interaksinya yang intensif dengan modernitas dan globalisasi, merupakan kunci bagi kelanjutan ke-Yogyakarta-an sebagaimana adanya sekarang. Kearifan lokal adalah fondasi yang melandasi respon reaktif masyarakat Yogyakarta ketika anggota DPR-RI mempenoalkan keistimewaan Yogyakarta. Kearifan lokal adalah landasan b a g disahkannya UUK DIY oleh pemerintah pusat. la tetap menjadi otoritas alternatif yang tak tergantikan bagi keistimewaan Yogyakarta.
Keaangka Konseptual Teori, Definisi, dan Kerangka Metodologis Kearifan Lokal Pada rnakalah inl, kearifan lokal dipaharm sebagi sebuah "insaumen" yang terditi dari rangkaian ide atau gagasan dan praknk yang dimiliki dan dtpnakan oleh suatu komunitas dalam mencapai cita-citanya, seperti kohesi dan solidaritas. Kearifan lokal adalah sebuah sistem sosial-budaya komunitas. Secara harfiah, suatu sistem soslal budaya &anggap "arif" atau sistem tersebut adalah bentuk "keatifan" karena dengannya suatu komunitas mampu hidup dan bertahan sesuai dengan dta-dtanya. Citan a s ~ IUI n ~ING
UFICTIMEWAAN YOGYAKARTA
1
MENDUKUNG KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
Ada tiga kelas data dalam kearifan lokal sebagai kerangka teori. Pertama adalah suatu "format yang dapat diobservasi." Untuk kelas data h i , keraton kesultanan Yogyakarta adalah contohnya sebagai fokus kajian dalam makalah ini. Keraton sebagai benda fisik yang dapat iobservasi adalah sarana museurnisasikeanfan lokal Yogyakarta, seperti akan dijelaskan. Ia menyimpan makna-makna filosofis terkait dengan pandangan dunia kesultanan Yogyakarta yang tidak hanya dipahami oleh Sultan, tetapi juga warga Yogyakarta secara urnurn. Kedw, Interpretasi individu terhadap makna-makna yang terkandung dalam bangunan arsitektur Keraton adalah bagian dari data-data kelas dua. Penelitian yang didasari oleh kerangka teori ini, mengoleksi data dari berbagai individu, b a k sultan, abdi dalem, maupun warga Yogyakarta yang tinggal di luar Keraton. Ketka adalah kelas data yang mencakup skop yang lebih has. Data inimencakup konteks-konteks seperti agama, bisnis, politik, pendidikan, dan lain-lain yang dikaitkan dengan makna ke-Keraton-an oleh para informan. Tiga kelas data tersebut yang dianalisis secara terkait menunjukkan, pada akhknya bahwa praktik komunitas adalah bentuk malvfestasi sosial dad pandangan dunia atau konsep kosmos (~osmoiogiculmanifeitiotz). Pengelolaan keragaman, yang didasarkan pada konsep pandangan dullla yang tertanam dalarn arsitektur Iceraton Yogyakarta adalah manifestasi kosmologs.
umat manusia, dan kepatutan perilaku merupakan orientasi kogflltif oleh sang "did" terhadap yang lain. Pandangan dunia, bag Hallowell adalah kesatuan pikiran, nilai, dan tindakan yang dibangun oleh masyarakat. Manusia, apapun budayanya, senantiasa mengonstruksi persepsi sebagai landasan orientasi kognitifnya terhadap kosmos @. 19). Hallowell sebagaimana Redfield menyimpukan bahwa "tindakan diri" adalah elemen paling penting dalam pandangan dunia @. 20). Dengan kata lain, manusia dalam tindakannya selalu sadar akan efek tindakannya terhadap kosmos karena selalu mengorientasikantindakan dan penlakunya terhadap kosmos (dunia yang ipeaepsikan). Secara rinci, pandangan dunia sebagaimana dijelaskan di atas terdiri dari tiga elemen dasar: h i (the sejn, yang lain (the other selve~),dan relasi yang dikonsepkan serta dpraktekkan oleh diri (the re&. Sang drti ddarn menentukan persepsi danperilaku yang tepat selalu menyesuaikan duinya dengan dunia yang dipersepsikannya.Did yang telah mengenal yang lain (the other J'elt~es)juga perlu membangun persepsi dan perilaku tertentu agar ia tetap damai dalam dunia yang dipenepslkan. Konsepsi dm, dalam pandangan dunia, selalu menegaskan bahwa hanya dengan menjarnin kedamaian yang lain (the other seiws), kedamaian sang diri (the sejn dapat tercapai. I
MENDUKUNG KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
Kearifan Lokal dan Pengelolaan Keragaman di Yogyakarta Kearifan lokal Yogyakarta berpusat pada keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Iceraton Yogyakarta karenanya menjadi entrypoint untuk memaharni keistimewaan Yogyakarta yang direflekslkan dalam berbagai aktivitas kehdupan masyarakat Yogyakarta. Kearifan lokal lnilah yang menjadi subyek dalam penelitian ini. Oleh karena itu, manifestasi kearifan lokal Yogyakarta di banyak tempat mencakup isu politik, ekonomi, seni, agama, dan berbagai isu lainnya, penelitian ini dbatasi pada isu pengelolaan keragaman. Yogyakarta had ini adalah salah satu kota di Indonesia yang tingkat keragamannya sangat tinggi. hkan tetapi, berbeda dengan kota-kota lam, ia populer sebagai kota aman dan nyaman. Yogyakarta bahkan telah dipromosikan sebagai "Cig oj' Tolerance." Beberapa kejadian belakangan
I
..
.
MENDUKUNG KElSTlMEWAAN YOGYAKARTA
I
1
seperti peristiwa Cebongan, penyerangan terhadap diskusi bersama Irsyad Manji di kantor LGS, kasus di gunung IOdul terkait perayaan parka, penyerangan terhadap aktivis gereja di Sleman, dan lain-lain tentu saja dapat dijadlkan sebagai anti-tesis terhadap city of tolerance oleh sebagian orang, tetapi tentu tidak proporsional jika melihat sejarah panjang dan kompleksitas keragaman masyarakat Yogyakarta. Pada tanggal'20 Maret 2013 dt acara Wednesday Forum Agarna dan Lintas Budaya dan Inter-Religous Relations, Sekolah Pascasajana UGM, Argo Twikromo,Dosen Universitas AunaJaya mempresentasikan bahxva sejak dulu Icerajaan Mataram telah merayakan keragaman. Dia menunjukkan beberapa foto yang mengdustrasikan bahwa di setiap acara pertunjukan tradisi, Sultan selalu mengundang tokoh-tokoh kerajaan dari penjuru nusantara. Tokoh-tokoh kerajaan tersebut tidak hanya dtundang untuk menyaksikan pertunjukan tradisi Yogyakarta, tetapi juga dirninta untuk mempertunjukkan tradisi mereka. Fakta sejarah itu, bag Tunkromo menunjukkan mklusivitas, penghargaan, dan perayaan keragaman oleh Sri Sultan dan masyarakat Yogyakarta. Bila mengamatiYogyakarta hari ini, penyejarahan perayaan keragarnan di atas menjadt masuk akal. Yogyakarta han ini sebagai kota budaya dan wisata, juga sebagai kota pelajar telah didatangi dm dtpenuhtoleh pendatang dari penjuru nusantara, bahkan mancanegara yang berlatar-belakang suku, bahasa, agama, dan ras, termasuk paham ideolog yang berbedabeda. Dengan berbagai komunitas daspora dari berbagai daerah yang mendmninya, Yogyikarta adalah kota dengan masyarakatnya yang beragam atau plural serta kompleks. Yogyakarta kompleks karena keragaman indvidu d m kelompok atau komunitas tentu menciptakan keragaman kepentingan. Konteks ke~agamankepentingan, dibanyak tempat, gesekan sosial sehgkdt tidak terhindarkan. Benturan kepentingan-kepentingan ekonomi, poliak, dan bahkan agama seringld menyebabkan konfl~k komunal berdarah sebagaimana telah terjadi dl beberapa tempat seperti d~hmbon, Maluku, Poso, Sampang, dan d . banyak ~ daerah terutarna ketika PILICADA dhksanakan. Yogyakarta cenderung relatif aman. IConfleksitas keragaman, tetapi aman dan nyaman teiltu menpdikasikan adanya pengelolaan keragaman yang efeknf. Sekah la$ isu uulah yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini pengelolaan keragarnan berdasatkan kearifan lokal. MENDUKUNG KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
Merujuk pada latar belakang dt atas, tulisan ini menjelaskan bagaimana konsep dan praktifk kearifan lokal yang melekat pada kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan menunjukkan peran sentral Kesultanan dalam mengelola keragaman dI Yogyakarta. Selain itu, juga dbahas respon masyarakat terhadap peran Kesultanan untuk elit dan massa sebagai basis modal sosial.
Kosmologi Keraton dan Pengelolaan Keragaman Bagian ini fokus pada konsep pengelolaan keragaman yang dlbangun berdasarkan pada kosmologi Keraton. Data-datanya diperoleh dari interpretasi atau pemaknaan terhadap arsitektur Iceraton, bagian pertama dan kerangka keanfan lokal Pemaknaan tersebut jug3 dapat disebut sebagai landasan kearifan lokal dalam pengelolaan keragaman. Istana Keraton saat ini merupakan salah situs wisata paling penting di Yogyakarta. Setiap harinya, Keraton seklu ramai dengan tu.ris, balk nasional maupun mancanegara. Bagi beberapa orang yang melayani pengunjung/turis, fungsi wisata Keraton adalah penerimaan terhadap keragaman. Siapapun boleh berkunjung dan menikmati sajian budaya kr-Keraton-an. Penerimaan terhadap keragaman adalah pentkg sebagaimana dipesankan oleh Keraton. Setiap manusla pada dasarnya adalah sarna dan me& tujuan hidup yang sama sehingga perlu dihormati dan dihargai. Pelayan tersebut lebih lanjut menegaskan bahwa melayani pengunjung yang beragam adalah pengabdian, dan pengabdtan adalah pendapatan, yaitu member1 sekaligus menedma. Itulah salah satu makna menedma dan menghargai keragaman. Penjelasan lain dari pelayan lainnya adalah keragaman manusia bang tampak dari para turis) menunjukkan keragaman hidup yang setiap individu jalani. Apablla keragaman dapat dikelola seperti terjadi dakm Keraton (tampak sangat kompleks karena berbagai macam orang, tetapi teratur karena ada prosedur), hidup ini tidak hanya kaya, tetapi juga indah. Bag para pelayan turis di Keraton bahwa I<eraton adalah cerminan hdup, rujukan hidup, dan tujuan hidup (dala~nartian bahwa manusia seharusnya menjalani hdup sesuai pesan-pesan yang tertuang dalam kosmologi Keraton). Suasana hidup Iceraton adalah bentuk manifestasi sosial kosmologi Kenton yang tidak hanya menghargai, tetapi juga merayakan keragaman.
.
-
MENDUKUNG KElSTlMEWAANYOGYAKARTA
Fungsi wisata Keraton yang menjadi ti& poin bertemunya berbagai macam orang (terciptanya suasana dan pemahaman keragaman, yang dalam istllah lain dapat disebut multtkulturalis) juga termanifestasi dalam konteks yang lebh luas, untuk daerah Yogyakarta. Seorang informan menerangkan bahwa posisinya yang berada di antara (Jawa) Timur dan ('Jawa) Barat membuat Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai ''tit& persinggungan." Warga Yogyakarta sudah terbiasa dan telah menikmati perbedaan. Pertemuan dengan yang berbeda dalam sejarah panjangnya bahkan telah mengajarkan warga Yogyakarta akan kedinamisan budaya. Memang terdapat pakem budaya yang menegaskan keunikan dan keistimewaan Yogyakarta, tetapi sifat elastis dalam implementasinya menunjukkan &I& budaya. Penjelasan tersebut menegaskan bahwa prinsip kearifan lokai adalah ia efektif pada lokus dan tempusnya. Sekali lag, fenomena keragaman Yogyakarta merupakan manifestasi kosmolog Keraton. Penjelasan detaiI tentang Keraton sebagai manifestasi kosmos telah ddakukan oleh Timoty E. Behrend (1989). Menurutnya, berbagai bangunan dalam Iceraton dan sekitarnya didasarkan pada struktur kosmos orang Jawa (p. 175). Setiap bagian struktur merepresentasikan bagian kosmos. Sebagai representasi kosmos, Iceraton kemudian dipahami sebagai pusat dunia (axis mundz) dan merupakan miniatur dunia (Pigeaud, 1930; Stxtterheim, 1937). Ia merupakan cerminan makrokosmos. Behrend bahkan menjelaskan bahwa manifestasi kosmologi terdapat pada arsitektur bangunan, upacara, tarian, dan lain-lain. Semua itu dirancang sesuai dengan kosmologi orang Jawa. Dijelaskan bahwa Keraton merupakan cerminan makrokosmos. Ada lirna cincin sirkular yang sirnetris sebagai respon terhadap divisi dunia: keraton, kuthagara, negara agung, mancanegera, dan pesisir, dan keraton sendiri adalah pusatnya (p. 117). Uraian Behrend seturut dengan beberapa penelitian lainnya, yaitu Konsep kosmos orang Jawa, khususnya yang termanifestasi dalam arsitektur Keraton Yogyakarta mengdustrasikan konsep mandala merupakan satu poin pusat dikelilingi oleh empat poin lain yang tersebar secara simetris d i empat arah penjuru angn (Widayatsari, 2002; Djono dkk., 2012). Konsep mandala seperti ini b a g Heine-Geldern (1942) adalah karakter kosmolog~yang tersebar & Asia Tenggara. MENDUKUNG KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
...
-
Berbeda dengan peneliti sebelumnya, Mark Woodward (2011) berpendapat bahwa keraton Yogyakarta tidaklah dibangun berdasarkan konsep mandala atau rangkaian lingkaran konsentris. Arsitektur dan format geometris keraton adalah h e a r yang memiliki rangkaian pos-pos dengan ilustrasi perjalanan yang mengarah pada pusat utaraselatan. Woodward bahkan menegaskan bahwa struktur kosrmk yang dgambarkan dalam keraton Yogyakarta adalah struktur dari salah satu vadan mistisisme Islam atau formulasi perjalanan mistis menuju manusia semputna (p. 137-8). Di samping perbedaan tersebut, para Sarjana di atas sepakat bahwa sebagai representasi fisik dari makrokosmos, Keraton Yogyakarta menempati posisi sentral dalam horizon permlaran, kebudayaan, dan peradaban masyarakat Yogyakarta. Karakternya dbedakan dengan yang lain. Ia "saktal" sementara yang lam "profan" (meminjam istilah Wiade, 1968). Behrend lebih lanjut menjelaskan bahwa posisi sentral keraton tidak hanya terefleksi dari aspek fisiknya, tetapi juga aspek non-fislk seperti adat istiadat, bahasa, dan pakaian khusus yang diasosiaslkan dengannya. Arunya bahwa manifestasi kosmologi terdapat pada arsitektur bangunan, upacara, tarian, bahasa, perilaku, dan -lain-lain. Semua itu menegaskan posisi sentral Keraton (1989, p. 178). Penelitian ini tidak mengura~kansecara rinci struktur Keraton Yogyakarta sebagaimana telah dilakukan oleh pcneliti-pcneliti sebelumnya. Di sini, uraian difokuskan pada kosmologi ICeraton Yogyakarta khususnya terkait dengan pengelolaan keragaman. Akibatnya, hanya beberapa bagian struktur Keraton Yogyakarta yang maknanya terkait dengan konsep pengelolaan keragaman. Keraton dipandang sebagai pusat dunia dan raja atau sultan dipahami sebagai pusat Keraton. Sultan adalah inkarnasi pusat. Poslsinya sebagaimana gelar yang melekat padanya,pakwbztwa11aadalah "pasak semesta" (Behrend, 1989, p.178). Sebagaimana Keraton, sultan sebagai pusat dipahami berbeda dari orang lain. Melalui berbagai protokol ke-Ieraton-an, sultan berkut fungsi dan perannya semuanya merepresentasikan sakralitas dirinya. Wawancara dengan Sultan Hamengkubuwono S menjelaskan bahwa fungi dan tanggung jawabnya sebagai pehdung dan pengayom yang harus menjamin keamanan bagi setiap rakyatnya. Itulah fungsi dan peran sultan sebagai representasi MENDUKUNG KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
..
.
.
-
i I
i
I
ucrrlau cu~~rr~puri, rrra~apcIjuailarl scralljuulya a u l a r ~Kcmuuaan. Level mi adalah keseimbangan lahir batin, integritas, dan budi pekerti. Level ini adalah landasan bagi pencapaian kesempurnaan (insan kamio, tujuan utama perjalanan yang disimbolkan oleh tugu. Sebagai fungsi vlkarnasi kosmos, Sultan harus membimbing dan melindungi masyarakat, tanpa membeda-bedakan mereka agar semua dapat menempuh perjalanan sarnpai ke tugu (Level inran kamio. Sultan harus terbuka untuk berbagai identitas warganya. Seorang informan bahkan menggunakan figur Sultan yang menikah dengan seorang yang tidak berasal dari golongan "darah biru" untuk menunjukkan keterbukaan dalam mengakui dan menghargai keragaman sebagai manifestasi kosmolog. Untuk itu, Sultan menegaskan bahwa ia wajib berbicara benar, berpikir benar, dan bertindak benar. Bagian initelah men@ landasan keanfan lokal dalam pengelolaan keragaman yang tertanam pada arsitektur Keraton, termasuk fungsi, peran, dan tanggung jawab Sultan sebagai bagian yang melekat pada struktur Keraton. Bagian berikutnya akan menjelaskan beberapa konteks dl luar tetapi terkait dengan Keraton. Konteks-konteks tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam kerangka teon merupakan skop luas yang tak terpisahkan dad kearifan lokal, termasuk berbagai interpretasi dan pemaknaan warga Yogyakarta. D i bagan tersebut merefleksikan korniunen warga dalam menpplementasikan keadfan lokal terkait dengan pengelolaan keragaman.
Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Keragaman di Yogyakarta Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa manifestasi kosmologi Keraton tidak hanya terdapat pa& arsitektur bangunan, tetapi juga pada upacara, tarian, bahasa, pedaku, dan lain-lain. Dalam pengungkapan yang berbeda, kosmologi yang tertanam dalam arsitektur I<eraton adalah rujukan sekaligus tujuan dad berbagai prakbk oleh subyek Keraton, warga Yogyakarta. Apa yang akan diuraikan pada bagian ini adalah bentuk efektivitas sistem sosial budaya (kearifan lokal) yang mengrkat indlvidu-individu (warga Yogyakarta) dalarn mencapai cita-citanya. Upacara ritual rnisalnya, & antara beragam makna dan maksud dad pelaksanaannya salah satunya adalah sebagai bentuk perayaan
keragaman, atau paling tidak sebagai sarana pengelolaan keragaman bagi warga Yogyakarta. Dalam kehidupan masyarakat di Yogyakarta upacara ritual adalah bagian dalam hidup. Upacara ritual dimaknai sebagai praktik keagamaan merupakan interaksi dengan sang pencipta; praktik sosial merupakan interaksi dengan srsama manusia, dan interaksi antara manusia dengan hgkungan (Suryoddogo dl&, 2012, p. 159). Untuk upacara Keraton, Kadipaten Pakualaman merupakan penyelenggara upacara adat. Setidaknyaterdapat dun pembagian upacara di Kadipaten Pakualaman. Pertama adalah upacara adat yang berkaitan dengan alur kehidupan seperti pra-kelahiran hingga kematian dan kedua adalah upacara peringatan. Pada perayaan peringatan terdapat beberapa bentuk seperti peringatan terhadap kehidupan, keagamaan, peringatan terhadap benda, dan lingkungan (Suryodilogo dkk, 2012, p. 160). Upacara peringatan termasuk peringatan hari kelahiran Sn Paduka Paku Alam, Garehek Mulad, Garebek SuwaA dan Garebeg Besar, penghormatan benda pusaka seperti upacarajanzaran atau siraman pusaka, Labuhan, dan lain-kin (Abdullah, 2002, pp. 27-30). Selain upacara yang dilakukan dl Keraton, upacara yang di luar Keraton juga bermacam-macam. Upacara a h hidup sangat beragam clan SeLanzetun addah salah satu yang sangat popular. Beberapa informan menjelaskan bahwa unsur penting dalam upacara n t ~ aadalah l mengenali clan berelasi dengan orang-orang. Upacara adalah sarana silaturrahrm dan melnperbanyak teman. "Kita sangat senang kedatangan orang, apalagi orang baru, ketika mensponsori upacara ritual seperti Selametan, kenduren, dan lain-lain," cerita seorang informan. Seorang krtua RW menjelaskan bahwa momen paling efektif mengenali orang baru adalah ketika upacara ritual. Alasannya karena upacara merupakan momen religiusitas sekaligus sosial dan budaya. Pada momen upacara, sedap indlvidu yang terlibat dtanggap berada dalam satu ikatan identitas. I<etua RW tersebut menceritakan bahwa setiap orang baru yang datang dan berdomisih di daerahnya selalu diundang untuk ikut ritual, terlepas apapun agamanya. Tentu saja terdapat ritual yang khusus untuk agama tertentu, dan untuk ritual tersebut memang dikhususkan untuk yang agamanya sesuai. Akan tetapi, ritual seperti Selametan adalah untuk siapa saja dengan tujuannya adalah untuk mengajak sang pendatang baru untuk segera menyatukan diri dengan komunitas.
MENDUKUNG KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA Melalui Perspektif Keilmuan Multidisiplin Guna Mernbangun Kernandirian Bangsa
i
D
l
8
.
MENDUKUNG KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA -- .- -
D
Penjelasan Pak RW seturut dengan beberapa informan yang menegaskan bahwa prinsip budaya orang Yogyakarta terkait keragaman adalah siapapun orangnya akan diterima dengan hangat dan hormat selama orang tersebut bersedia mengadaptasikan din dengan budaya Yogyakarta, yang asasnya saling menghargai. Pada kontekslain,seorang informan menggunakan simbol blangkon yang bendoi bun (muncul di belakang) dan kens bang dishpan dt punggung) untuk menjelaskan keterbukaan pada orang lain yang berbeda, tetapi kewaspadaan tetap harus terjaga. Ardnya orang yang berbeda akan diterima secara hangat, tetapi orang tersebut perlu menghargai adat Yogya. Prinsip tersebut mengdustrasikan kearifan lokal sebagai upaya untuk menyeimbangkan kosmos. Untuk keseimbangan kosmos, kepentingan individu (dalam hal ini, orang baru/lain) harus menyatu dalam kepentingan kolekdf. James J. Spillane (2007) menemukan fenomena perhotelan Yogyakarta yang memunculkan isu keragaman, atau dalam istilah yang digunakannya lintas-budaya: para manager hotel, pegawai hotel dan orang Indonesia, khususnya Jawa, dan tuds internasional. Bagi Spdane bahwa pertemuan keaga unsur tersebut yang masing-masing dengan latar belakang (logka) budaya dan kepentingan yang berbeda memerlukan pemahaman lintas-budaya, tetapi ternyata ha1 tersebut tidak pernah dikelola dan diatasi secara langsung. Fakta itu secara teoritis tentu saja merupakan tantangan dalam relasi bisnis. Akan tetapi, Spdane menegaskan bahwa warga Yogyakarta sudah terbiasa dengan keragaman, para pegawai hotel di Yogyakarta tidak hanya terbuka kepada tamu-tamu asing mereka, tetapi juga sangat tertarik untuk mengetahui latar belakang, termasuk budaya mereka. Kedatangan turis asing di Yogyakarta bahkan dilihatnya sebagai semata bagian dad kehidupan keragaman yang telah mereka rayakan. Dengan kata lain, Spdane memberi penilaian posidf bahwa perayaan terhadap keragaman sudah menjadi bagian dari kehdupan masyarakat Yogyakarta, s e h g g a pertemuan antara budaya yang sering menciptakan benturan (c/ash) (Huntington, 1996) justru semakin memperkaya kehidupan keYogyakarta-an. Spillane menyaksikan efektivitas kearifan lokal dalam praktik bisnis warga Yogyakarta. Pada konteks lain, kearifan lokal Yogyakarta dalam pengelolaan keragaman juga ditemukan efektif untuk komunitas keturunan rncr.Int IKI lNe
YFICTIMCWAAN YCIGYAKARTA
Tionghoa. Komunitasini yang dalam sejarah Indonesia telah mengalami bukan hanya perlakuan d i s h a s i , tetapi bahkan kekerasan. Secara umum, hndreas Susanto (2010) menggambarkan bahwa orang-orang Cina di Indonesia telah membentuk empat model aslmilasi sebagai respon terhadap tekanan rezim Orde Baru, yaitu asimilasi alarni, aslmilasi oportunis, asirmlasi simbolik, dan asimilasi kosmopolitan. Berbeda dengan orang-orang Cina d~tempat lain, mayoritas Gina di Yogyakarta menganut asimilasi alami (mereka yang percaya bahwa ha1 yang biasa untuk berasirnilasi dengan komunitas lokal), dan aslrnilasi kosmopolitan (mereka yang melihat diri mereka sebagai warga Indonesia secara utuh dengan mengidentifikasi diti sebagai orang urban modern, dan bukan secara etnik) @. 87). Pada karyanya yang lain, Susanto (2008) juga menunjukkan Yogyakarta juga sebagai kota "istirnewa" bagi komunitas Cina bila dibandingkan dengan kota-kota lain dt Indonesia. Dia mendokumentasikan sejarah kelam masyarakat Cina khususnga pada tahun 1998an. Pada masa itu, aksi-aksi kekerasan terhadap orangorang Cina terjadi di mana-mana seperti di Jakarta, Solo, dan lainlain. Di Yogyakarta, sebaliknya, tidak tampak adanya kebencian gang terekspresi secara pub& apalagi kekerasan fisik terhadap orang-orang Cina. Yogyakarta bahkan menunjukkan situasi yang kontras. Spanduk yang menuliskan 'Yogya Anti-Kerusuhan, Jailgan Bakar," Gerakan Reformasi Damai yang ditandatangani oleh Sultan justru tampak di banyak ruang pub& (p. 147). Pada masa itu, rumor berkembang bahwa ancaman aksi kekerasan akan datang dari luar Yogyakarta. Masyarakat, dalam merespon rumor tersebut, mengorganisir diri di kampungkampung mcreka dengan memasang patrol-patrol, sementara pihak militer, dan polisi menjaga perbatasan secara ketat. Di beberapa tempat strategis, pihak kepolisian mendwikan pos-pos keamanan di seluruh kota (p. 148). Kajian Susanto menunjukkan bahwa keamanan dan kenyamanan telah dikelola dt Yogyakarta sehingga perayaan keragaman tetap berlangsung bahkan dalam situasi seperti dtgambarkan dt atas.
I
SIMPULAN &&el ini dan peneliiian yang ingin menunjukkan potensi keaifan lokal dalam pengelolaan keragaman daripada menunjukkan kondisi obyektif dari kehdupan sosial Yogyakarta yang plural Itulah sebabnya, M E N D U K U N G KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
I
pernaparan ch atas hanya fokus pada realitas-realtttas yang dipakai sebagai rujukan implementasi konsep (kearifan lokal). Peneliti inenyadari bahwa ada beberapa realitas s o s d yang kontras dengan kearifan lokal keraton terkait dengan pengelolaan keragaman, seperti peristiwa Cebongan, penyerangan sekelompok orang terhadap diskusi Irsyad Mandji, ancarnan serangan terhadap kelompok Syiah, rentetan kekerasan menjelang pilpres 2014, dan seterusnya, tetapi semua itu sengaja tidak dbahas hanya karena alasan fokus kajian dan kasus-kasus tersebut tidak dapat dipaharni sebagill anti-tesis terhadap kearifan lokal keraton. Kearifan lokal adalah sebuah sistem yang hidup, berproses, berkembang, dan bertransforrnasi karena selalu merespon konteks. Sebagaisistem yang berproses, ia tentu saja selalu tertantang, dan bahkan tidak kebal pada kegagalan. 1Cearifa.nlokal harm &at dalam konteks tersebut. Poin penting yang ditunjukkan dalam penelitian ini adalah terdapatnya sistem pengelolaan keragaman yang popular dl kalangan warga. Sebuah sistem yang sudah menjadi bagian tradisi bahkan identitas warga. Fakta ini tentu penting diperhatikan karena efektivitas panggunaan suatu sistem sangat ditentukan oleh dukungan subyeknya. Seperti diuraikan di atas, sekalipun interpretasi warga Yogyakarta terhadap kosmologi keraton terkait keragaman sangat beragam dan keragamannya justru menunjukkan kekayaan daripada pertentangan. Pemaknaan simbol dan praktiknya berbeda, tetapi semuanya diarahkan pada tujuan yang sarna, yaitu tujuan kolektivitas.
DAFTAR PUSTAKA Adams, K. 1997. T o u ~ touristic g 'Trimadonas": Tourism, Ethnicity, and National Integration in Sulawesi, Indonesia. Tozrn'sm, EEthnicig, and the State in Asian and Panfi~.Son'etics, 155-179.
Benda, H. 1955. Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942-45. Pacific Affairs 28(4), 350-362.
. 1958. Christiaan Snouck Hurgronje and the Foundations of Dutch Islamic Policy in Indonesia. The Journal of Modern History, 30(4), 338.
I
Burns, P. 2004. The Leiden Legacy: Concepts of Law in Indonesia. Leiden: IUTLV. Caldwell, I. 1995. Power, State and Society among the Pre-Islamic Bugis. Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, 151,396-421. Cumrnings, W 2002. Making Blood White: HistoricalTransformations in Early Modern Makassar. Honolulu: University of Hawaii Press. 2007. Islam, Empire and Makassarese Historiography in the Reign of Sultan Ala'uddm (1 593?1639).Journal of Southeast
Asian Studies, 38(03), 197-214. Dahles, H. 2002. The Politics of Tour Guidmg: Image Management in Indonesia. Annals of Tourism Research, 29(3), 783-800. Davidson, J. S., & Henley, D. (Eds.). 2007. The Revival of Tradition in Indonesian Politics: the Deployment of Adat from Colonialism to Indigenism. London, New York: Routledge. Djono, Tri Prasetyo, Slamet S. 2012. Nilai Mearifan Lokal Rumah TradlsionalJawa, Jurnal Humaniora 24 Eliade, M. 1968. The Sacred and the Profane: The Nature of Religion (W R. Trask, Trans.). New York: Harcourt, Brace & World, Inc. Erb, M. 1998. Tourism Space in Manggarai, Western Flores, Indonesia: the House as a Contested Place. Singapore Journal of Tropical Geography, 19(2), 177-192. 2000. UnderstandingTourists: Interpretations from Indonesia. Annals of Tourism Research, 27(3), 709-736.
Adams, K. 1998. Domestic Tourism and Nation-Building in South Sulawesi. Indonesia and the Malay World, 26(75), 77-96.
.2003. 'Uniting the Bodies and Cleansing the Village': Conflicts Over Local Heritage in a Globalizing World. Indonesia and the Malay World, 31 (89), 129-139.
Adams, K. 2006. Art as Politics: Re-crafting Identities, Tourism, and Power in Tana Toraja, Indonesia. Honolulu: University of Hawai'i Press.
Hallowell, A. I. 2002; 1960. Ojibwa Ontology, Behavior, and World View In G. Harvey (Ed.), Reading in Indigenous Religions (pp. 17-49). New York: Continuum.
Bebbington, A., Dharmawan, L., F a h , E., & Guggenheim, S. 2004. V h g e Politics,Cultureand Community-DrivenDevelopment: Insghts from Indonesia. Progress in Development Studies, 4,187-205.
Hideharu, U. 2006. Between Xdat and iigama: The Future of the Religous Role of the Balinese Shadow Puppeteer, Dalang. Asian and African Area Studes, 5(2), 121-136
MENDUKUNG KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
MENDUKUNG KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
1
Huntington, S. I? 1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, New York: Simon & Schuster. James J. Spillane 2007/ Managing Diversity in the Hotel Industry: the Case of Yogyakarta, Indonesia. Pariwisata: Jurnal Ilmiah. Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti. Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat 12 (2): 93-114 Kato, T. 1989. Different Fields, Similar Locusts: Adat Communities and the Village Law of 1979 in Indonesia. INDONESIA, 47,89-114. Keane, W. 2002. Sincerity, "Modernity," and the Protestants. Cultural Anthropology, 17(1), 65-92. Kingston, J. B. 1991. Manipulating Tradition: The State, Adat, Popular Protest, and Class Conflict in Colonial Lampung. INDONESLA, 51, 21-45. Laffan, M. F. 2003. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Winds. Oxford and New York: Routledge. Li, T. M. 2001. Masyarakat Adat, Difference, and the Limits of Recoption in Indonesia's Forest Zone. Modern Asian Studies, 35(03), 645-676.
. 2002. Ethnic Cleansing, Recursive Ihowledge, and the Dilemmas of Sedentarism. UNESCO, 362-371. l\1asyud,M., S. Rizal P., & Najib A. 2001. Social Resources for Civility and Participation: the Case of Yogyakarta, Indonesia. In Hefner, R. (ed.) The Politic of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship 111 Malaysia, Singapore and Indonesia, Honolulu: University of Hawdi Press. Mathai, M. P. 1992; 2010. Gandhi's World-View: A Study. Mahatma Gandhi University, Kerala, India. hlcCarthy,J. 2005. Between Adat and State: Institutional Arrangements On Sumatra's Forest Frontier. Human Ecology, 33(1), 57-82. McIGllop. Rosemary, Robson. 2003. The Iceraton, Leiden: IUTLV Press: 2003 Pelras, C. 1998. Bugis Culture: a Tradition of Modernity. Living through Histories: Culture, History and Social Life in South Sulawesi. Canberra. S, 19-28.
Shaw, B. 1999. 'Sun, Sand and Sale': Enclave Tourism and Local Entreprenuerslup in Indonesia. Current Issues in Tourism, 2(1), 68-81. Smith-Hefner, N. J. 2009. Language Shift, Gender, and Ideologies of Modernity in Central Java, Indonesia. Journal of Linguistic Anthropology, 19(1), 57-77. Spyer, P. 1996. Diversity with a Difference: Adat and the New Order in Aru (Eastern Indonesia). Cultural Anthropology, 11 (I),15-50. Stutterheim. 1937. Het zinrijke Watenverk van Djalatoenda. TE3G 77: 221 Surjohudojo. 1966. Traditional Yogyakarta in a Changing World. Workmg paper Center of S.E.A. Studies, Monash University. Susanto, Andreas. 2010 Diversity in Compliance: Yogyakarta Chinese and the New Order Assimilation Policy. Dalam Marleen Dieleman, Juliette Koning, Peter Post (editors) Chinese Indonesians and R e p e Change. Brill. Pp. 65-90
__-___-_______. 2008. Vnder the Umbrell of the Sultan: Accommodation of the Chnese in Yogyakarta During Indonesia's New Order. The Radboud University, Nijmegen. Sutton, R. 2006. Tradition Serving Modernity? the Musical Lives of a Makassarese Drummer. ASIAN MUSIC, 37(1), 1. Suyatmi, 2008. Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta, Yogyakarta: KEPEL PRESS Timoty E. B. 1989. Keraton and cosmos in traditional Java, Archipel 37: 173-187. Tribun Jogja, 4 Desember 2012 Turner, V 1967. The Forest of Symbols: Aspects of Ndembu Ritual. Ithaca and London: Cornell University Press. Wahyukismoyo, H. 2008. hIerajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengkubuwono 1% Yogyakarta: Dharmakaryadhika Publishcr Widayatsari, S. 2002 Tata Ruang Rumah Bangsawan Yogyakarta; Dimensi Teknik Arsitektur 30(2): 122 - 132 Woodward, M. 2011. Java, Indonesia and Islam. New York: Springer.
Pigeaud. 1930. Bezoek van den Iceraton van Z.H. den Soesoehoenan. Djawa 10:45. Redfield, Robert. 1952. "The Primitive World View. Proceedmg of the American Phdosophical Society. 96: 30-6 MENDUKUNG KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
MENDUKUNG KElSTlMEWAAN YOGYAKARTA
-