16 MEMBANGUN MANAJEMEN PENGETAHUAN DENGAN MEDIA PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI DI SEKOLAH Rudiana Staf Pengajar STKIP Bina Mutiara Sukabumi Jl. Pembangunan (Salakaso) Desa Pasir Halang Kotak Pos 01 Kec. Sukaraja Sukabumi Telp: (0266) 6243531
[email protected] Abstrak Tujuan penulisan makalah ini adalah mengurai pengelolaan pengetahuan di sekolah dengan media pembelajaran yang berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Manajemen pengetahuan (knowledge management) merupakan salah satu konsep penting dalam pengembangan manajemen sebuah organisasi dalam konteks persaingan global. Penerapan konsep ini umumnya ditujukan untuk membangun basis pengetahuan sebagai sumber daya organisasi karena dalam konteks persaingan tersebut, suatu organisasi, tidak lagi bisa semata mengandalkan kemampuan individu tertentu dalam peningkatan kinerjanya. Dalam konteks lembaga pendidikan, terutama sekolah sebagai lembaga produsen pengetahuan, manajemen pengetahuan ini adalah sebuah keharusan. Untuk itu, lembaga pendidikan, terutama sekolah, harus mampu mengembangkan penggunaan TIK sebagai media penyokong praktik belajar-mengajar, serta membangun suatu bentuk sistem informasi berbasis teknologi yang sangat besar manfaatnya untuk peningkatan kinerja dan daya saing sekolah. Kata Kunci: Manajemen Pengetahuan, Media Pembelajaran, Penyebaran Pengetahuan, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Sekolah.
PENDAHULUAN “Innovations are created primarily by investment in intangibles. When such investments are commercially successful, and are protected by patents or first-mover advantages, they are transformed into tangible assets creating corporate value and growth.”— Baruch Lev, Intellectual Capital guru in Intangibles Menjelang millenium ketiga, terdapat berbagai wacana manajemen yang mengemuka untuk peningkatan kinerja dan daya saing organisasi. Hal ini umumnya didasarkan pada pertimbangan bahwa pada abad ini, persaingan antar organisasi, baik privat ataupun publik, baik yang berorientasi bisnis dan profit ataupun nirlaba, sudah bersifat global. Oleh karena itu, organisasi yang tidak dapat mengelola segenap sumber daya dan meningkatkan kapabilitasnya, tidak akan bisa bertahan di tengah-tengah persaingan tersebut. Nonaka dan Takeuchi (1995: 34) dalam hal ini misalnya menjelaskan bahwa pada abad ke-21 yang seringkali dirujuk sebagai era pengetahuan (knowledge era) terdapat banyak literatur manajemen stratejik, terutama yang membahas bagaimana implementasi berbasis sumber daya (resource based implementation) sebagai cara yang paling efektif dalam menunjang keberhasilan sebuah organisasi. Dalam konteks ini, salah satu bentuk sumber daya organisasi
yang umumnya belum dikelola dengan baik adalah pengetahuan. Uriarte (2008: 8) dalam hal ini menulis: “Knowledge is one of the most important assets of any organization. Unfortunately, very few are able to harness this asset in a meaningful way. Even fewer are organizations that are able to optimize the use of this important asset” (pengetahuan adalah salah satu aset terpenting bagi setiap organisasi. Sayangnya, hanya sedikit yang mampu memanfaatkan aset ini dalam cara yang bermakna, dan lebih sedikit lagi organisasi yang mampi memaksimalkan penggunaan aset penting ini). Pengetahuan sejatinya merupakan salah satu sumber daya yang paling berharga, tidak hanya bagi individu, tetapi juga bagi sebuah organisasi dalam menunjang keberhasilan dan kinerjanya di tengah persaingan. Setiap orang pada abad pengetahuan ini dituntut untuk dapat belajar dan meningkatkan kapasitas intelektualnya agar dapat bersaing dan mendapatkan kesuksesan. Hal yang sama juga berlaku bagi organisasi ataupun perusahaan. Seluruh organisasi, apapun bentuknya, memiliki kewajiban untuk memahami arti penting dari ilmu pengetahuan sebagai modal yang paling berharga dalam pengembangan dan keberlangsungan organisasi bersangkutan. Oleh karena itu, konsep manajemen pengetahuan (knowledge management) menjadi salah satu konsep yang harus diterapkan dalam sebuah organisasi. Pengetahuan adalah dasar bagi perkembangan dan inovasi. Pengetahuan adalah modalitas yang membuat sebuah organisasi dapat bertahan meski terjadi pergantian pengurus atau kepemilikan, dan pengetahuan adalah sumber daya organisasi yang paling berharga untuk dikembangkan. Manajemen pengetahuan (knowledge management) sendiri, mengutip Kimiz Dalkir (2005: 4), umumnya diartikan sebagai suatu pendekatan kolaboratif dan integratif dalam menciptakan, mengambil, menata, mengakses, dan menggunakan berbagai bentuk aset intelektual (knowledge management is a collaborative and integrated approach to the creation, capture, organization, access and use of an enterprise’s intellectual assets). Pendekatan ini banyak digunakan oleh berbagai organisasi baik yang bersifat publik ataupun privat, dalam rangka memaksimalkan segenap sumber daya yang dimilikinya yang tidak lagi berfokus pada sumber daya material semata. Upaya ini umumnya juga dilandasi oleh kesadaran bahwa tingkat persaingan usaha dan bisnis hari ini semakin sengit. Oleh karena itu, setiap organisasi dituntut untuk dapat berinovasi, menjadi kreatif, agar dapat membuka peluang dan mengembangkan eksistensinya di tengah persaingan tersebut. Inovasi dan kreativitas ini tidak akan datang sendirinya. Ia merupakan buah dari pengelolaan aset-aset intelektual yang berkelanjutan yang dilakukan oleh organisasi bersangkutan. Hal ini pula yang kemudian dirumuskan dalam konsep manajemen pengetahuan. Suatu organisasi yang telah menerapkan konsep manajemen pengetahuan dalam praktik manajemennya, tidak akan menggantungkan kinerjanya pada kapabilitas personal. Kreativitasnya tidak akan berkurang meski ditinggalkan oleh pegawainya. Inovasi tetap berlanjut, meski kehilangan personel dengan kemampuan di atas rata-rata. Manajemen pengetahuan membuat modal intelektual yang dimiliki organisasi terlembagakan dengan baik dan dapat diakses kapan saja manajemen organisasi tersebut membutuhkannya. Manajemen pengetahuan membuat lini kerja dalam manajemen menjadi lebih efektif sekaligus efisien karena mereka dapat belajar dan membuat standar tertentu dari data kerja terdahulu. Secara lebih rinci, Dalkir (2005: 20) menyebutkan bahwa manfaat dari penerapan manajemen pengetahuan bagi organisasi adalah sebagai berikut: (1) membantu pelaksanaan strategi 17
organisasi (helps drive strategy); (2) membantu organisasi dalam menyelesaikan permasalahan secara cepat (solves problems quickly); (3) membantu organisasi dalam menyebarkan teknik pekerjaan terbaik (diffuses best practices); (4) meningkatkan kapasitas pengetahuan yang terkandung dalam produk dan jasa (improves knowledge embedded in products and services); (5) menumbuhkan berbagai gagasan dan meningkatkan peluang inovasi (cross-fertilizes ideas and increases opportunities for innovation); (6) memungkinkan organisasi untuk berada di garis terdepan dalam persaingan yang lebih baik (enables organizations to stay ahead of the competition better); dan (7) membangun ingatan organisasi(builds organizational memory). Tuntutan tentang perlunya pengelolaan pengetahuan ini berlaku bagi semua jenis organisasi, tidak hanya perusahaan-perusahaan dengan orientasi bisnis dan profit, tetapi juga organisasi publik, seperti lembaga-lembaga pendidikan. Dalam konteks lembaga pendidikan, terutama sekolah, tuntutan tersebut menjadi semakin besar karena sekolah pada dasarnya merupakan locus pengembangan ilmu pengetahuan dan pembentukan generasi baru sebagai tenaga kerja mandiri yang nantinya akan bersaing secara global. Mikulecka & Mikulecky (2000: 160), misalnya menulis bahwa pada lembaga pendidikan di mana penelitian dan pengembangan praktik pembelajaran memiliki peran yang besar, manajemen pengetahuan akan menempati posisi yang penting dalam prosesnya (in universities where research and development studies play an important role, knowledge management has a very critical position in the process). Lembaga pendidikan, terutama sekolah tidak saja diharuskan memiliki manajemen kelembagaan yang lebih berorientasi pada pengelolaan segenap modalitas intelektualnya, tetapi juga diharapkan mampu memberikan contoh yang baik dalam hal pengelolaan pengetahuan tersebut bagi organisasi lainnya. PEMBAHASAN A. Manajemen Pengetahuan di Sekolah Membangun manajemen pengetahuan pada dasarnya adalah memahami arti dari pengetahuan dan bagaimana menggunakannya secara efektif. Pengetahuan dalam konsep ini merupakan satuan yang lebih dari sekadar data atau informasi. Uriarte (2008: 1-4), dalam hal ini menjelaskan bahwa terdapat perbedaan level pemahaman di antara ketiganya. Data diartikan sebagai angka atau huruf tanpa konteks tertentu (context dependent); informasi adalah sekumpulan data yang memiliki korelasi dan konteks pemahaman tertentu; sedangkan pengetahuan adalah kumpulan informasi yang dapat dipahami pola-pola dan implikasinya yang dapat menciptakan konteksnya sendiri. Dalam bagan berikut:
18
Context Independence Wisdom Understanding principles Knowledge Understanding patterns Information Understanding relations Data
Understanding
Sumber: Filemon A. Uriarte Jr., 2008: 2 Bagan 1. Perkembangan Konseptual Data Menjadi Pengetahuan
Pada bagan tersebut, dapat dilihat bahwa data merupakan satuan konseptual terkecil yang menjadi dasar bagi informasi dan bergerak selaras konteks dan pemahaman untuk menjadi pengetahuan hingga pada tingkat tertingginya menjadi hikmah atau kearifan (wisdom). Pembangunan manajemen pengetahuan dalam fondasinya dimulai dari pemahaman konseptual tentang data, informasi, dan pengetahuan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa ketiganya terdapat pada setiap organisasi, namun memiliki perbedaan makna dan penggunaan yang besar. Dalam konteks manajemen sebuah organisasi, pengetahuan ini dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu pengetahuan tacit (tacit knowledge) dan pengetahuan eksplisit (explicit knowledge). Pengetahuan tacit adalah pengetahuan yang terdapat pada diri seseorang, berupa keahlian, keterampilan, atau wawasan tertentu, yang diakumulasikan melalui proses pembelajaran, interaksi, dan pengalaman. Pengetahuan tacit ini sulit untuk diformalisasikan, direkam, atau diartikulasikan karena ia mencakup wawasan subjektif (subjective insights), intuisi (intuition), dan dugaan-dugaan (conjenctures) (Uriarte, 2008: 4-5). Adapun pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang terdapat pada berbagai hal dalam organisasi, seperti fasilitas, produk, proses, layanan, dan sistem. Jenis pengetahuan ini, merepresentasikan suatu bentuk akumulasi perjalanan organisasi yang disimpan sehingga dapat diakses, dibaca, dan dipelajari setiap saat. Pengetahuan eksplisit umumnya dikodifikasikan dan tersimpan dalam dokumen, database, website, email, arsip-arsip organisasi, buku-buku pelajaran, kurikulum, laporan kegiatan, dan lain sebagainya (Uriarte, 2008: 6). Kedua jenis pengetahuan ini merupakan hasil dari interaksi ataupun inovasi yang memungkinkan suatu organisasi untuk merespons situasi atau menjawab tantangan yang sedang dihadapi. Suatu pengetahuan hanya dapat bermakna dan bermanfaat bagi organisasi, jika ia dapat diciptakan (created), disebar atau dibagikan (shared), serta dikelola dan digunakan (managed). Tantangan utama bagi organisasi terkait hal ini umumnya adalah bagaimana mereka dapat melakukan sharing atau penyebaran pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang kepada yang lain (tacit knowledge). Pada sebuah organisasi, termasuk sekolah, umumnya terdapat beberapa individu tertentu yang memiliki kelebihan dalam hal pengetahuan (keterampilan, keahlian, kemampuan) dibandingkan individu yang lain. Jika suatu organisasi hanya bergantung pada keahlian atau keterampilan yang dimiliki individu-individu tersebut, 19
maka ia tidaklah cukup. Oleh karena itu, dalam manajemen pengetahuan, keahlian, dan keterampilan yang dimiliki individu tertentu itu harus disebarkan dan dikelola pada individu lainnya sehingga setiap lini kerja organisasi mampu bekerja dengan keahlian dan keterampilan yang serupa. Hal ini juga yang menjadi salah satu tujuan penting dari penerapan manajemen pengetahuan di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Berdasarkan hal itu pula, maka dalam membangun manajemen pengetahuan pada sebuah organisasi, termasuk juga lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah, terdapat tiga praktik utama sebagai rumusan strategisnya, yakni: (1) praktik penciptaan pengetahuan melalui proses konversi pengetahuan (creation or acquisition of knowledge); (2) penyebaran pengetahuan (sharing of knowledge); dan (3) pengelolaan atau pemanfaatan pengetahuan (managing and using knowledge) demi kepentingan jangka panjang organisasi (lihat juga acuan model dari McShane & Von Glinow untuk proses manajemen pengetahuan dalam McShane & Von Glinow, Organizational Behavior, 2008). Penciptaan pengetahuan adalah proses penemuan pengetahuan melalui berbagai praktik yang berkaitan dengan konversi pengetahuan tacit dan pengetahuan eksplisit secara relasional. Nonaka (1994: 19) dalam hal ini menjelaskan bahwa penciptaan pengetahuan dalam sebuah organisasi pada dasarnya dapat dilakukan melalui proses konversi antara pengetahuan tacit dan pengetahuan eksplisit (“..knowledge is created through conversion between tacit and explicit knowledge..”). Menurutnya, penciptaan pengetahuan melalui proses konversi tersebut dapat dilakukan melalui empat model konversi, yaitu: 1. Sosialisasi (socialization), yakni model konversi dari pengetahuan tacit ke pengetahuan tacit yang lain (from tacit knowledge to tacit knowledge). Konversi ini bisa dilakukan antara satu individu kepada individu yang lain, ataupun kepada kelompok individu, melalui suatu proses yang bukan bersifat verbal atau dokumentasi tertulis, seperti sosialisasi antar pekerja atau melalui observasi dan imitasi seseorang kepada yang lain. 2. Kombinasi (combination), yaitu konversi dari pengetahuan eksplisit ke pengetahuan eksplisit(from explicit knowledge to explicit knowledge). Konversi ini dilakukan dengan cara menggabungkan bentuk-bentuk pengetahuan eksplisit menjadi pengetahuan yang lebih kompleks dan komprehensif. Ia juga dapat dilakukan melalui proses interaksi sosial dengan menggunakan bahasa (a result of social interaction through language). 3. Eksternalisasi (externalization), yakni konversi dari pengetahuan tacit ke pengetahuan eksplisit (from tacit knowledge to explicit knowledge). Eksternalisasi ini mengacu kepada proses artikulasi dan pengkodean dari pengetahuan tacit untuk kemudian dikonversi menjadi pengetahuan eksplisit. Dalam prosesnya, keberhasilan konversi ini bergantung pada penggunaan metafor, model, ataupun analogi. 4. Internalisasi (internalization), yakni model konversi dari pengetahuan eksplisit ke pengetahuan tacit (from explicit knowledge to tacit knowledge). Konversi ini dilakukan dengan cara mentransformasikan pengetahuan eksplisit menjadi pengetahuan tacit melalui proses belajar. dan praktik (learning by doing). Model-model konversi di atas disebut juga dengan model SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization). Dalam konteks sekolah, praktik konversi ini sebenarnya dapat dilakukan baik melalui kegiatan PBM ataupun melalui proses interaksi sosial yang dibangun di lingkungan sekolah. Penggunaan model SECI dari Nonaka dalam konteks sekolah ini bisa dilihat pada bagan berikut: 20
Pengetahuan Tacit Pengetahuan Tacit
SOSIALISASI
Pengetahuan berasal dan dikembangkan pada kalangan pengajar/guru
Sekolah/guru menginternalisasikan pengetahuan dalam tindakan praktis
EKSTERNALISASI
Pengetahuan Eksplisit
Pengetahuan Tacit Pengetahuan Tacit
INTERNALISASI
Para guru membagi pengetahuan eksplisit baik kepada siswa ataupun guru lain
Sekolah/guru memasukkan pengetahuan dalam struktur modal
Pengetahuan Eksplisit
KOMBINASI Pengetahuan Eksplisit
Pengetahuan Eksplisit
Sumber: Diadaptasi dari E.C.K. Cheng, 2015: 16 Bagan 2. Penerapan Model SECI dalam Konteks Sekolah
Pada bagan tersebut, proses konversi pengetahuan yang termuat dalam SECI berlangsung secara berkesinambungan untuk mengembangkan modalitas pengetahuan di sekolah sebagai suatu bentuk organisasi dengan manajemen tersendiri. Proses konversi pengetahuan ini yang terdapat pada model SECI dari Nonaka ini sebenarnya sudah juga memuat praktik berikutnya dari manajemen pengetahuan, yaitu penyebaran pengetahuan (sharing of knowledge) dan penggunaan atau pengelolaan pengetahuan (using and managing knowledge). Praktik penyebaran pengetahuan ini misalnya ditemukan pada bagaimana para pengajar atau guru memberikan pengetahuan pada siswa dalam proses belajar mengajar atau pada bagaimana pengetahuan didiskusikan dan disosialisasikan dalam konteks interaksi sosial di lingkungan sekolah. Penerapan model SECI dalam proses konversi pengetahuan juga dapat diterapkan secara lebih praktis dalam konteks pembelajaran, seperti bisa dilihat pada bagan berikut:
21
Memilih topik pelajaran
Identifikasi objek pelajaran tentatif
Diagnosis kesulitan belajar pada siswa
Menetapkan objek pelajaran dan aspek kritis
SOSIALISASI
EKSTERNALISASI
Diseminasi dan pelaporan hasil
Evaluasi dampak dari pembelajaran
Evaluasi hasil dari pembelajaran
Merancang penelitian pelajaran Siklus pengajaran yang berbeda
Implementasi dan observasi pelajaran
INTERNALISASI
Siklus pelajaran lain
KOMBINASI
Sumber: Diadaptasi dari E.C.K. Cheng, 2015: 17 Bagan 3. Penerapan Model SECI dalam Konteks Pembelajaran
Penerapan model SECI dalam konteks praktik pembelajaran di sekolah seperti dapat dilihat pada bagan 3, dapat berbeda-beda bergantung pada kebutuhan dan konteks kultural dari sekolah bersangkutan. Model yang sama juga dapat diterapkan pada siklus kegiatan lain yang terdapat di sekolah. Praktik penyebaran pengetahuan (sharing of knowledge) ini penting agar semua elemen atau lini fungsional dan struktural yang terdapat di sekolah, ataupun organisasi lain, bisa memiliki ‘pengetahuan’ dengan tingkat yang seimbang satu sama lain. Sedang pada praktik yang ketiga, yakni pemanfaatan dan pengelolaan pengetahuan dengan cara-cara yang lebih bermakna (using knowledge inmeaningful ways), maka hal ini umumnya dilakukan dengan mendasarkan pada tujuan dari proses belajar dan nilai-nilai pengetahuan itu sendiri. Pengelolaan pengetahuan sendiri merujuk pada proses keseluruhan dari model konversi pengetahuan sebagai fondasi dari manajemen pengetahuan yang terdapat pada sekolah atau bentuk-bentuk organisasi lainnya. Adapun penggunaannya sudah mulai terekam dari praktik penyebaran pengetahuan yang terdapat pada proses belajar-mengajar, atau pada pembuatan putusan dan pemilihan tindakan praktis. Dalam konteks organisasi lain, seperti perusahaan, praktik penggunaan pengetahuan ini dapat dilihat pada setiap tugas pokok manajemen, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengendalian, kepemimpinan, hingga evaluasi. Membuat putusan manajemen berdasarkan referensi historis organisasi yang terdapat dalam databases, misalnya berarti menggunakan pengetahuan eksplisit dengan cara yang memiliki makna untuk organisasi bersangkutan. Demikian pula praktik-praktik lain yang terdapat dalam manajemen sebuah organisasi yang sejatinya tidak akan terlepas dari kebutuhan akan pengetahuan. Pembangunan suatu bentuk manajemen pengetahuan melalui model SECI, seperti di atas, juga harus disertai dengan strategi-strategi tertentu. E.C.K. Cheng dengan mengutip 22
Hansen et. al. (2015: 20) dalam hal menyatakan bahwa strategi manajemen pengetahuan dapat dibagi ke dalam dua kategori utama, yaitu: (1) kodifikasi untuk penyimpanan pengetahuan (codification for knowledge storing); dan (2) penyebaran pengetahuan melalui interaksi antar individu (interpersonal interactive knowledge sharing). Kodifikasi pengetahuan sendiri menekankan kapabilitas penyimpanan, penyebaran, dan penggunaan pengetahuan eksplisit organisasi yang terdokumentasikan, sedangkan penyebaran pengetahaun melalui interaksi interpersonal menekankan pentingnya penggunaan dialog, jaringan sosial, termasuk juga pembentukan kelompok-kelompok kerja atau komunitas fungsional tertentu. Dalam konteks sekolah, kedua kategori strategi ini dapat dijalankan secara bersama-sama, seperti pembuatan sistem informasi dan database sekolah, komputerisasi pelajaran, pembentukan kelompok tugas siswa, dan hal-hal lain yang mendukung pada proses kodifikasi dan penyebaran pengetahuan. Terkait dengan stategi manajemen pengetahuan tersebut, yakni praktik kodifikasi dan penyebaran pengetahuan, maka salah satu unsur penting yang harus diperhitungkan keberadaannya adalah media pendukung, terutama media berbasis teknologi. Basis teknologi ini, meski tidak disebutkan sebagai syarat mutlak dalam penerapan manajemen pengetahuan, namun dalam praktiknya, penggunaan basis teknologi untuk meningkatkan kinerja manajemen pada sebuah organisasi, adalah hal yang jamak dilakukan. Apalagi mengingat besarnya pengaruh dan dampak dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi terhadap dunia manajemen dan bisnis global itu sendiri. Oleh karena itu, wajar kiranya jika basis teknologi yang tentu mempermudah proses pembangunan manajemen pengetahuan dan penerapan strateginya, digunakan dengan sebaik-baiknya. Dalam konteks sekolah, media di sini, yang paling utama adalah media pembelajaran dan media penyokong untuk kegiatan storing (penyimpanan) dan dokumentasi pengetahuan. B.
Media Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi Penggunaan media pada proses belajar-mengajar adalah hal yang cukup lumrah dalam dunia pendidikan. Hal ini, terutama didasarkan pada manfaat dan fungsi dari media itu sendiri yang memberikan kemudahan, baik bagi para guru ataupun siswa dalam memberikan dan memahami pelajaran yang disampaikan. Kata media sendiri berasal dari bahasa latin medium yang secara harfiah berarti tengah, perantara, atau pengantar. Atau dengan kata lain media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan. Dalam aktivitas pembelajaran di sekolah, media dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat membawa informasi dan pengetahuan dalam interaksi yang berlangsung antara pendidik dengan peserta didik. Media pembelajaran ini bisa bersifat auditif (mengandalkan kemampuan suara), media visual (mengandalkan tampilan atau gambar), dan media audiovisual (kombinasi dari suara dan gambar). Fungsi umum dari penggunaan media dalam proses belajar-mengajar yang ada di lingkungan sekolah ini umumnya adalah sebagai berikut: 1. Proses belajar-mengajar akan menjadi lebih menarik perhatian siswa sehingga dapatmenumbuhkan motivasi belajar pada peserta didik. 2. Materi pembelajaran yang disampaikan melalui media akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh para siswa, dan memungkinkan mereka untuk menguasai tujuan pembelajaran secara lebih baik. 23
3.
Media memungkinkan para guru untuk mengembangkan dan memilih metode pengajaran yang lebih variatif dalam proses belajar-mengajar. Para guru pada akhirnya tidak terjebak dalam metode pengajaran semata berupa komunikasi verbal melaluiceramah. Hal ini nantinya akan membuat siswa tidak mudah untuk mengalami kejenuhan dalam proses belajar di sekolah, dan guru bisa lebih menghemat waktu dan energi mereka. 4. Media memungkinakan para siswa untuk lebih banyak melakukan kegiatan belajar, tidak hanya terbatas pada mendengarkan uraian guru, tetapi mereka juga bisa melakukan aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, dan mendemonstrasikan lainnya melalui media pembelajaran tersebut. Keberadaan media pembelajaran ini umumnya berkembang seiring dengan perkembangan teknologi itu sendiri. Pada hari ini misalnya, ada banyak media pembelajaran yang menggunakan basis teknologi, seperti komputer, recorder, dan DVD interaktif. Hal ini menunjukkan bagaimana pentingnya peranan basis teknologi dalam menunjang kegiatan yang berbasis pada penciptaan dan penyebaran pengetahuan yang terdapat di sekolah. Dalam konteks penerapan strategi manajemen pengetahuan, media berbasis teknologi ini bahkan menjadi salah satu faktor kunci untuk implementasi manajemen pengetahuan. Rodrigues & Pai (dalam Kai Wing Chu et.al., 2011: 142), misalnya merunut 8 (delapan) faktor kunci terkait implementasi manajemen pengetahuan, yakni: Tabel 1. Faktor Kunci dalam Implementasi Manajemen Pengetahuan Key Dimensions Descriptions Leadership & Support Management team’s support of an organization’s KM (Knowledge Management) activities. Technology & Effectiveness of the organization’s IT infrastructure and the Infrastructure appropriation of an organization’s technology utilization. Knowledge Creation Knowledge creation in the workplace. Acquisition & Methods to improve organization member’s knowledge Learning searching and learning. Dissemination & Enablers and facilitations of transferring knowledge and Transfer information within the organization. Application & Employee’s attitudes and requirements for applying Exploitation knowledge and putting it into practice. People Competency Effects of employees’ personal skills and competencies regarding handling KM. Sharing Culture Enablers and facilitations of building positive culture for knowledge-sharing. Sumber: Kai Wing Chu, et.al., 2011: 142
Pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa teknologi dan infrastruktur atau basis teknologi merupakan salah satu dari beberapa elemen kunci dalam implementasi manajemen pengetahuan. Faktor-faktor kunci lainnya adalah kepemimpinan (leadership), penciptaan pengetahuan (knowledge creation), akuisisi dan pembelajaran (acquisition and learning), diseminasi dan transfer pengetahuan (dissemination and transfer), aplikasi dan eksploitasi 24
(application and exploitation), kompetensi individu (people competency), dan budaya berbagi (sharing culture). Basis teknologi dalam manajemen pengetahuan ini berfungsi sebagai perangkat pendukung untuk penciptaan, penyimpanan, penyebaran, dan pengelolaan pengetahuan. Infrastruktur teknologi untuk hal itu dapat ditemukan bentuknya pada komputer jaringan, internet dan intranet, server dan database, aplikasi dan software untuk sharing informasi dan pengetahuan serta pedoman kerja, mesin-mesin produksi, dan lain sebagainya. Dalam konteks media pembelajaran sebagai perangkat pendukung untuk penerapan strategi manajemen pengetahuan di sekolah, penggunaan basis teknologi ini umumnya disebabkan karena pertimbangan-pertimbangan berikut: 1. Teknologi tidak dibatasi oleh ruangan kelas, ia bisa menjangkau sudut lain dari dunia melalui jaringan yang dibangun dengan baik. 2. Teknologi tidak memandang latarbelakang sosio-ekonomi dari seseorang. Dalam hal ini, seseorang bisa dengan bebas menggunakan perangkat tertentu, tanpa pembedaan. Dengan kata lain, teknologi menyediakan kesempatan dan peluang yang sama untuk setiap orang. 3. Teknologi lebih cocok dan menarik minat dari siswa hari ini yang hidup di tengah arus perkembangan budaya populer, sebagai dampak dari globalisasi dan modernisasi. 4. Teknologi memiliki caranya tersendiri untuk memberikan kemudahan baik bagi siswa ataupun guru dalam konteks transfer atau sharing pengetahuan. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipahami mengapa banyak media pembelajaran yang ada hari ini lebih memilih bentuk-bentuk media berbasis teknologi. Terlepas dari hal itu, penggunaan media pembelajaran berbasis teknologi ini hanya akan terbatas pada fungsionalitas umum dari media itu sendiri, selama ia tidak dimasukkan dalam kerangka strategis manajemen pengetahuan. Karena itu, sudah saatnya penggunaan media pembelajaran berbasis teknologi yang ada di sekolah, lebih diarahkan untuk membangun manajemen pengetahuan, terutama untuk mendukung proses konversi pengetahuan yang terdapat pada model SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization) seperti dijelaskan sebelumnya. Penggunaan media pembelajaran berbasis teknologi dalam konteks penerapan SECI dalam manajemen pengetahuan, pada dasarnya dapat dilakukan dengan cara-cara berikut: 1. Pada proses sosialisasi atau transfer resiprokal antar pengetahuan tacit, media pembelajaran bisa diarahkan sebagai perangkat observasi atau imitasi (percontohan), sehingga ia misalnya bisa menghasilkan suatu bentuk rekaman kinerja seseorang untuk dijadikan pelajaran bagi yang lain. 2. Pada proses eksternalisasi atau proses konversi pengetahuan tacit ke dalam pengetahuan eksplisit, media pembelajaran bisa dijadikan perangkat terjemah dan dokumentasi dari dialog yang terjadi antar individu dalam suatu interaksi sosial, agar hasilnya dapat dipelajari oleh individu lainnya. 3. Pada proses kombinasi atau konversi pengetahuan eksplisit ke pengetahuan eksplisit yang lebih kompleks dan komprehensif, maka media memiliki peran penting sebagai perangkat kumulatif dan sirkulatif dari berbagai informasi dan pengetahuan yang tersimpan di database sekolah. 4. Pada proses internalisasi atau konversi pengetahuan eksplisit menjadi pengetahuan tacit, peran media dalam hal ini adalah sebagai perangkat yang umumnya digunakan 25
dalam konteks belajar-mengajar, pengerjaan tugas, diskusi dan dialog, atau bentukbentuk agenda pembelajaran dan pendidikan lainnya. Meski memiliki peranan yang penting, namun peranan penting dari media pembelajaran berbasis teknologi dalam konteks penerapan manajemen pengetahuan di sekolah ini, hanya dapat diwujudkan jika guru atau siswa memahami dengan baik bagaimana mengoperasikan atau mengaplikasikan media tersebut dengan cara yang tepat. Oleh karena itu, keterampilan dalam pengoperasian atau pengaplikasian media pembelajaran juga dapat dilakukan melalui proses konversi pengetahuan yang terdapat pada model SECI tersebut. Penggunaan media pembelajaran berbasis teknologi hanyalah satu dari sekian banyak hal yang dapat dilakukan untuk membangun manajemen pengetahuan yang baik di sekolah. Apa yang lebih penting dari rumusan-rumusan teoritis dan aplikatif tersebut adalah komitmen dan kesadaran penuh akan pentingnya manajemen pengetahuan di sekolah oleh segenap pihak yang terlibat dalam gerak manajemen dan aktivitas belajar-mengajar di sekolah itu sendiri. Tanpa komitmen dan kesadaran penuh tentang hal tersebut, maka manajemen pengetahuan sulit untuk dibangun, meski dalam bentuknya yang paling sederhana. KESIMPULAN Pengetahuan adalah modal kita semua untuk menghadapi tantangan dan tuntutan hidup di tengah perubahan zaman yang tidak dapat teramalkan. Modalitas yang juga dibutuhkan oleh setiap organisasi untuk menghadapi persaingan. Oleh karena itu, ia harus dikelola dengan baik. Bahkan pengetahuan tidak cukup hanya dikelola, tetapi ia juga harus diciptakan, disebarkan, dan dimanfaatkan untuk kehidupan besama yang lebih baik sebab pengetahuan tidak akan pernah jika ia disebarkan. Pengetahuan justru bertambah luas ketika ia dibagi dan dinikmati oleh banyak orang. Pengetahuan juga hanya dapat memberi kemanfaatan pada kehidupan jika ia digunakan dengan tujuan yang baik, cara yang baik, dan orang-orang yang baik. Hal itulah yang menjadi poin paling penting dari manajemen pengetahuan. Mengelola pengetahuan dengan baik adalah sebuah investasi untuk kehidupan dan peradaban yang lebih baik di masa depan. Oleh karena itu, sekolah sebagai ruang pembentukan generasi baru yang nantinya menjadi subjek sejarah dan peradaban, harus dapat menjadi contoh dari bagaimana pengetahuan ini diciptakan, dikelola, disebarkan, dan akhirnya digunakan, untuk kemudian membentuk individu, masyarakat, dan bangsa yang mampu unggul di tengah persaingan. Sebagai sebuah organisasi, sekolah pada akhirnya dituntut untuk memiliki nilai-nilai keunggulan bersaing yang tinggi, bukan dalam tujuan untuk memperoleh keuntungan secara ekonomis yang sebesar-besarnya, tetapi lebih dari itu, bagaimana menjadikan pengetahuan yang dikelolanya bisa menjadi bagian inheren dalam setiap gerak organisasi dan aktivitas yang dijalankannya. “of central importance is the changing nature of competitive advantage - not based on market position, size and power as in times past, but on the incorporation of knowledge into all of an organization's activities.”—Leif Edvinsson, Swedish Intellectual Capital guru in Corporate Longitude
26
DAFTAR PUSTAKA E.C.K. Cheng. 2015. Knowledge Management for School Education. New York: Springer. Filemon A. Uriarte, Jr. 2008. Introduction to Knowledge Management, A Brief Introduction to The Basic Elements of Knowledge Management for non-Practitioners Interested in Understanding The Subject. Jakarta: ASEAN Foundation. I. Nonaka. 1994. “A Dynamic Theory of Organizational Knowledge Creation,” dalam Organization Science, Vol. 5, No. 1, February, 1994. ________ dan H. Takeuchi. 1995. The Knowledge-Creating Company. New York: Oxford University Press. J. Mikulecka & P. Mikulecky. 2000. “University Knowledge Management, Issues and Prospects” dalam Djamel A. Zighed, Jan Komoroswki, Jan Zykow, Principles of Data Mining and Knowledge Discovery 4th European Conference Proceedings. Lyon, France: Springer-Verlag Publisher. Kai Wing Chu, Minhong Wang, Allan H.K. Yuen. 2011. “Implementing Knowledge Management in School Environment: Teachers' Perception,” dalam Knowledge Management & E-Learning: An International Journal, Vol. 3, No. 2, 2011. Kimiz Dalkir. 2005. Knowledge Management in Theory and Practice. UK: Elsevier Inc. Ronald Maier. 2007. Knowledge Management Systems, Information and Communication Technologies for Knowledge Management. New York: Springer. Steven L. McShane dan Mary Ann Von Glinow 2008. Organizational Behavior. 4thEdition. New York: McGraw-Hill/Irwin.
27
