MASALAH PLUTO (Femikhirana) Alkisah, hiduplah seorang mahasiswa filsafat bernama Pluto. Dia adalah anak didik Plato, guru besar di fakultas filsafat yang dikenal arif dan bijaksana. Keberadaan Pluto sendiri mendapatkan perhatian yang cukup khusus, bukan hanya dari Plato melainkan juga dari Socrates, dekan favorit di kampusnya. Pasalnya, baik Plato maupun Socrates kesal dengan sikap Pluto yang kelihatan malas-malasan tiap kali menghadapi pekerjaan maupun persoalan yang rumit. Alasan Pluto bahwa dirinya enggan hidup dalam masalah yang hanya membuat dirinya susah dinilai sudah keterlaluan. Kekhawatiran bahwa dirinya tidak akan kuat menghadapi serentetan masalah diluar kebiasaan pun dirasa tidak beralasan. “Mahasiswa filsafat kok cemen,” mungkin begitu pikir mereka, dan itu pulalah yang membuat mereka kesal. “Bagaimana nanti bila saya menjadi lemah, tak kuat hadapi masalah dan akhirnya mati konyol?” protes Pluto kepada dua professornya tersebut setiap kali disinggung perihal sikapnya. Plato dan Socrates menggeleng-gelengkan kepala. Di satu sisi mereka maklum, namanya calon filsuf memang sewajarnya pintar ngeles. Tetapi di lain sisi, alasan seperti itu sangatlah terkesan dangkal dan konyol. Akhirnya kedua guru besar ini sepakat untuk memberikan tugas khusus sekaligus tugas akhir kepada Pluto. “Apa yang harus saya lakukan?” tanya Pluto. “Mudah… Kamu cukup bertanya apa arti masalah kepada tukang bangunan, tukang jahit, dan tukang masak. Lalu simpulkan menjadi definisi untuk dirimu sendiri,” jawab Plato. Pluto menggerutu, tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Ia harus melaksanakan tugas tersebut karena sudah diancam ‘drop out’ oleh Plato dan Socrates. Pluto pun akhirnya bertekad melakukan tugasnya dengan baik, karena ia juga letih menjadi mahasiswa abadi akibat keengganannya untuk memilih tugastugas yang rumit. Selain dirinya juga merasa tugas akhir ini tidaklah berat, toh ia hanya perlu mewawancarai tukang
bangunan, tukang jahit, dan tukang masak. Lalu, mulailah Pluto bersiap-siap untuk survei di keesokan harinya. Tukang Bangunan Pagi yang cerah. Waktu yang sangat baik bagi Pluto untuk melakukan kunjungan pertama ke tukang bangunan. Datanglah ia ke sebuah proyek bangunan di mana para buruh sedang bersiap-siap untuk bekerja. Lalu Pluto menghampiri salah seorang di antara mereka dan bertanya: “Apa arti masalah bagi Anda?” Tukang bangunan itu tersenyum-senyum sambil mengaduk semen. Lalu ia menjawab, “Kau lihat bangunan megah yang sudah jadi itu, Nak?” Pluto mengarahkan matanya ke bangunan pencakar langit itu. “Lalu?” tanya Pluto campur gemas, karena tukang bangunan yang ditanya malah membalas bertanya. “Kau tahu bahan-bahan apa yang membuat bangunan itu bersatu menjadi kokoh dan indah?” Pluto mengerang dalam hati, “Yaaa… kok aku lagi sih yang ditanya…” Demi gengsi seorang calon filsuf, ia harus bisa menjawab dengan cerdas, “Sebelum menjadi bangunan, tentu mereka adalah semen, batu, pasir,” jawab Pluto. “Kau tahu apa yang membuat semen, batu, dan pasir itu akhirnya menjadi satu kesatuan dan membentuk bangunan?” Walaupun semakin gemas, Pluto masih meladeni tukang bangunan tadi, “Harus ada air untuk mencampur mereka menjadi satu benda padat yang kuat!” Pluto merasa jawabannya sangat cerdas. “Nah… bagiku, masalah itu bagaikan air yang dapat menyatukan semen, batu, dan pasir untuk menjadi bangunan yang kuat. Kau tidak dapat menolak unsur air yang harus ada dalam struktur bangunan. Tetapi kau harus bisa mengetahui komposisi dan kadar air yang tepat, dan sudah ada Ahli Bangunan yang mengatur rumus serta persentase campurannya.
2
Kau lihat, setelah bangunan itu menjadi kokoh, kau tak pernah lagi dapat melihat air di dalam campuran material itu.” Pluto bengong dan akhirnya mengucapkan terima kasih kepada tukang bangunan tadi. Tukang Jahit Siang yang terik, membuat orang berkeringat hebat. Ini yang tidak disukai Pluto, yang dasarnya memang tidak mau menjadi ‘orang susah’, walaupun toh sebenarnya ia selalu menyusahkan ini itu. Dengan keringat yang bercucuran, sampailah ia ke seorang tukang jahit terkenal di kota itu. Untuk mempersingkat waktu, setelah berkenalan, Pluto langsung bertanya, “Apa arti masalah bagi Anda?” Tukang jahit yang sedang makan siang itu terkekeh-kekeh. “Kau lihat baju yang indah itu, Nak?” Pluto melihat karya tukang jahit terkenal itu memang kerenkeren. “Nah, apakah kau tahu bahan-bahan yang diperlukan sebelum menjadi baju seperti itu?” Pluto mengeluh, “Yaaa… Lagi-lagi tanya berbalas tanya.” Tetapi namanya calon filsuf, tentu saja Pluto harus jaim. “Sebelum menjadi baju, ya perlu kain dan benang.” “Lalu? Apa yang dapat menyatukan mereka akhirnya menjadi sebuah pakaian?” Pluto menjawab cepat agar tugas wawancara cepat selesai, “Jarum!” “Nah… bagiku masalah itu bagaikan jarum yang dapat menyatukan kain dan benang agar menjadi pakaian yang bagus. Jarum memang tajam, menusuk-nusuk, tetapi ternyata tanpa jarum yang menikamkan jahitan, pakaian tidak pernah jadi. Tusukan jarum yang menjadi jahitan juga sudah diatur porsinya sesuai pola yang dibuat oleh Disainer Pakaian itu sendiri. Kau lihat, setelah pakaian selesai dan indah, kau tak pernah dapat melihat jarum di dalam baju itu.”
3
Pluto kembali bengong dan akhirnya mengucapkan terima kasih kepada tukang jahit tadi. Tukang Masak Melihat tukang jahit tadi makan siang dengan lahapnya, Pluto ikutan merasa lapar. Untunglah tugas ketiga adalah mewawancarai tukang masak. Pucuk dicinta ulam tiba, ia dapat merasakan nikmatnya masakan koki terkenal di kota itu dengan gratis! Loh kok gratis? Iya, karena tagihannya nanti dimasukkan ke kampusnya sebagai biaya survei. Loh, kok gitu? (ya terserah yang nulis dong hehehe…) Sambil makan, bertanyalah Pluto, “Apa arti masalah bagi Anda?” Tukang masak mengernyitkan dahinya. “Kau tidak tahu rasa makanan yang kau makan, Nak?” Pluto bingung, tapi berusaha menjawab, “Jelas tahu, Pak. Rasanya asin-asin gurih. Wah enak banget nih!” “Bagaimana bila aku tak memberikan bumbu-bumbu pada makanan yang sedang kau makan itu?” tanya tukang masak itu lagi. “Hambar dong…” jawab Pluto. “Jadi, bagiku masalah adalah seperti bumbu yang menyatukan semua bahan makanan menjadi berasa enak. Bumbu harus selalu ada untuk menodai makanan, tetapi porsinya tidak perlu banyak, sudah ada Si Koki yang menakarkan resepnya. Kau lihat, setelah masakan jadi makanan lezat, kau tak dapat melihat lagi bumbu yang pernah ada di santapanmu.” Pluto lagi-lagi bengong. Sambil melongo dia menghabiskan makannya dan akhirnya mengucapkan terima kasih kepada tukang masak tadi. * Plato dan Socrates duduk berhadap-hadapan dengan Pluto. Pluto sudah menceritakan semua definisi masalah menurut versi tukang bangunan, tukang jahit, dan tukang masak. Kedua guru besar itu masih memasang wajah dingin. Mereka 4
masih menanti jawaban kunci tentang kesimpulan akhir dari semua jawaban ketiga tukang itu. Kesimpulan ini yang akan menentukan apakah Pluto akhirnya pantas lulus atau justru akan didepak alias di DO. “Ehm… Jadi kesimpulannya, masalah itu adalah sesuatu yang menyatukan tubuh, pikiran, dan perasaan agar menjadi manusia yang kuat. Masalah pasti selalu ada, tetapi kita tidak perlu takut, tidak perlu susah. Sudah ada Perancang Manusia yang sanggup mengolah masalah sesuai dengan kapasitas kemampuan masing-masing manusia. Lagipula kita akan menjadi manusia yang kuat saat masalah itu mengering, terangkat dan hilang di dalam proses pembentukan kepribadian yang kuat." “Jadi? Sekarang apakah kau akan terus menghindari masalah?” tanya Plato. “Saya mau menghindarpun, masalah pasti ada dan akan datang, Pak Plato,” tegas Pluto. “Tapi hidup dalam masalah itu ‘kan susah, seperti katamu dulu?” tanya Socrates. “Yaaa… Namanya juga masalah, pasti susah, Pak. Kalau gampang, berarti bukan masalah. Kalau mau jadi manusia kuat ya memang harus bisa mengatasi masalah atau kesulitan. Kalau dikit-dikit ngomong susah, ya berarti kita tidak mau mengolah masalah untuk membuat kita menjadi manusia yang kuat dan indah,” tegas Pluto lagi. Kali ini Plato dan Socrates berpandang-pandangan. Mereka akhirnya sepakat dan berkata berbarengan, “Ya, kamu lulus, Pluto!”
5
HAKIKAT DOA (Donny Verdian) Adalah Budi, teman lama yang tua-mudanya kira-kira sama denganku. Teman-teman sering bilang kami ini, Budi dan aku, seperti halnya saudara kembar karena secara fisik dan beberapa kebiasaan serta hobi kami nyaris sama. Tapi dari semua kesamaan yang ada, pembedanya adalah ketika dulu aku sudah harus mulai sibuk bekerja membanting tulang, ia justru sibuk berdoa dan terlibat aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan. Aku sendiri sebenarnya penasaran, apa sih motivasinya untuk bergelut dengan hal-hal berbau agamis dan ‘tak kasat mata’ seperti itu. Kian hari, rasa penasaran itu kian meluap hingga akhirnya aku tak sanggup lagi untuk menahan tanya tentang perilaku doanya. “Bud, kenapa kamu begitu lama berdoa? Apa saja yang kamu katakan dalam doamu itu?” begitu tanyaku. Bukannya sungkan atau risih, ia malah sumringah memberikan jawaban terkait dengan ‘hobinya’ itu. “Wah, Don! Kamu bertanya pada orang yang tepat tapi tidak dengan pertanyaan yang tepat!” jawabnya mantap. “Weleh, kenapa demikian, Bud?” “Banyak, Don! Banyaaak betul yang biasa kukatakan dalam doaku. Saking banyaknya aku bingung mau kasih jawaban yang mana ke kamu!” “Oh begitu… Ya sudah, ndak usah semua lah, Bud. Satu-dua biji saja sebagai contoh!” desakku. “Hmmm, begini… aku selalu berdoa apaaaa saja! Mulai dari keinginanku untuk meminta grand piano baru, keinginanku supaya dicarikan jodoh dari kalangan yang baik-baik dan seiman… sampai keinginanku supaya Tuhan nggak memberikan hujan hari ini.. dan lihatlah! Nggak hujan tho hari ini? Makanya aku bisa main ke rumahmu dengan kondisi langit yang terangbenderang!”
6
Aku pun terdiam dibuatnya. Meski tak sepaham dan tak pula faham atas penjelasannya, aku memilih manggut-manggut saja. Bagiku, tingkah doanya terlalu memusingkan. *** Masa pun berganti. Beberapa lama setelah pertemuan terakhir itu, Budi menghilang. Walau sebenarnya aku juga tak tahu pasti, apakah dia yang menghilang atau justru aku yang menghilang daripadanya saat itu. Hingga pada suatu siang yang kerontang, Budi mendatangi kantorku untuk menemuiku. “Halo Don, apa kabarmu?” wujudnya masih sama seperti yang dulu, meski kulitnya agak sedikit melegam. “Wah baik Mbut eh… Bud hehehe!” tukasku bercanda, sengaja mengganti julukannya dengan olok-olok khas gaya Yogya. Kusodorkan tanganku kepadanya dan kamipun berjabat tangan dengan erat. Setelah berbasa-basi sejenak, aku mengajak dia ke warung angkringan tak jauh dari kantor yang memang buka sejak siang untuk melanjutkan obrolan kami. Dan obrolan pun membuncah ditingkahi saling tukar informasi tentang banyak hal, terutama tentang kawan-kawan lama yang juga telah lama menghilang. Kupikir awalnya pertemuan siang itu bakalan mejadi sekedar temu kangen saja mengingat bahwa kami memang sudah sekian lama tak bertemu. Tetapi tak kusangka, hari itu Budi malah mengajakku berdiskusi tentang hal yang seharusnya justru aku tanyakan kepadanya. “Don, kamu pernah merasa dikecewakan Tuhan?” tanyanya membuka obrolan yang lebih serius di tengah suara deru kendaraan yang wira-wiri di jalanan. “Heh!? Maksudmu, Bud?” aku balik bertanya. “Iya! Pernah nggak, Tuhan nggak menjawab doamu? Atau setidaknya cuek kepadamu?” “Oh…” aku sejenak bingung seperti mencari hilangnya utas tali jawaban di benakku. “Hmmm, dikecewakan sih nggak, justru aku yang sepertinya selalu mengecewakan Tuhan, Bud!” jawabku serius. Aku menatap matanya tetapi mata itu meredup dan mendarat ke bawah. Dia seperti kehilangan sesuatu, tak seperti 7
dulu lagi, di mana sorot matanya adalah pisau tajam yang selalu mampu meyakinkan lawan bicaranya. “Hmmm, gitu ya..? Kok bisa? Kok bisa nggak pernah dikecewakan?” tanyanya lagi mendesak. “Sebentar.. sebentar, Bud… Ini menarik! Kenapa kamu tiba-tiba datang dan bertanya seperti itu?” tanyaku balik sambil membenarkan posisi duduk, kali ini aku benar-benar berhadapan muka dengannya. “Begini, Don… beberapa waktu yang lalu aku merasa sangat dikecewakan Tuhan. Aku sudah minta ini dan itu, terkadang dikabulkan tapi kadang juga diabaikan. Terakhir kali ketika aku sudah tinggal selangkah lagi untuk menikah justru pacarku memutusku, alasannya karena aku belum dapat pekerjaan tetap…” ujarnya. “Lha, kamu sudah pernah meminta Tuhan supaya Ia memberikan pekerjaan tetap apa belum?” tanyaku. “Hmmmm… belum!” jawabnya. “Kenapa nggak minta?” tanyaku mendesak balik. Tiada jawaban darinya. Hening. “Bud… Budi. Aku nggak pernah merasa dikecewakan Tuhan barangkali karena aku nggak pernah meminta terlalu banyak dariNya.” Kata-kataku memecah hening. “Maksudmu?” “Ini soal pola doa. Aku nggak pernah meminta tapi selalu bersyukur untuk apa yang telah diberikanNya! Aku tak pernah minta diberi gitar Gibson atau kamera digital dSLR terbaru sehingga ketika aku belum mendapatkannya ya aku tenang-tenang saja!” “Tapi kan Tuhan tempat segala permohonan ditujukan, Don?” “Ya memang, tapi apa bedanya dengan tempat sampah kalau kamu mengirimkan semua keinginan ketimbang kebutuhanmu padaNya?” aku menjawab sekaligus bertanya balik. Sesaat ia terdiam lagi. Matanya dengan malas menyapu permukaan kayu tempat duduknya, sementara makanan yang sedari tadi tak disentuhnya sudah semakin mendingin. 8
“Hmmmm, benar juga katamu, Don! Lantas bagaimana doamu?” “Doaku? Aku berdoa tak terlalu bertele-tele. Terkadang hanya dalam diam, terkadang dalam tangis, pernah juga aku doa sambil ketawa-tawa, Bud! Aku percaya Tuhan adalah translator yang baik; penerjemah ulung yang mampu membaca semua perasaanku” Ia manggut-manggut. “Aku tak pernah ragu untuk segala apa yang kuperlukan, Bud. Makanya aku tak pernah minta yang nekoneko seperti… hmmm sorry, seperti kamu dulu!” tegasku lagi. “Apa salahku?” sepertinya dia merasa tertuduh. “Aku nggak menyalahkanmu! Tapi aku berpikir ketimbang kamu berdoa minta ini-itu, mendingan kamu berdoa supaya kamu diberi rejeki secukupnya dan semangat untuk melakukan yang terbaik, itu cukup! Jadi ndak peduli kamu kehujanan, kepanasan, kelaparan dan kehausan ataupun kekurangan, Tuhan akan tetap kamu rasakan membimbing setiap langkah dan nafasmu.” “Hmmm…..” Budi terdiam. “Trus masih ada lagi, Bud.” tegasku. “Hmmm?” “Jangan terlalu banyak berdoa kalau untuk bekerja pun bahkan tak sempat! Aku yakin Tuhan senang kamu berdoa tapi Ia juga akan senang kalau tahu bahwa kamu adalah manusia yang giat dan mau menggunakan segala daya serta upaya yang ada padamu untuk berusaha!” jawabku. Budi tak lagi sanggup berkata-kata. Sosok yang dulu kukenal berapi-api itu kini seperti arang kehilangan bara, bagaikan ayam jantan kehilangan tajinya. Sejenak keheningan kubiarkan menguasai ruang di antara kami berdua supaya kata-kataku yang meluncur kepadanya itu tak menggilasnya lebih tandas. Lima belas menit terlewati, aku melihat arloji yang kukenakan.
9
“Bud, sorry aku harus kembali… berdoa!” Budi terkaget-kaget. “Eh, kamu mulai rajin berdoa sekarang?” Matanya membesar. Dalam pertanyaannya kulihat ia sumringah seperti mendapatkan ‘teman’ baru atas kekhawatirannya. “Sejak dulu, sejak kamu sering ngumpet di kamar untuk berdoa, aku telah lebih dulu rajin berdoa!” ujarku. “Oh ya?” dia masih nampak terheran-heran. “Yupe! Tapi bedanya, doaku tidak lewat kata-kata! Doaku ada dalam setiap hasil karyaku, rasa pusing di otakku, degup serta detak jantungku, lelah-letih di ototku, rasa kecutmasam di keringatku serta … serta justru di setiap kata-kata pisuhan dan kecewaku. Di sana…. kuyakin Tuhan mendengarkanku, Bud!” *** Pertemuan itupun mendekati paripurnanya. Waktu terus bergulir dan aku benar-benar harus kembali bekerja. Kami berdiri dan kupeluk dia sebagai seorang sahabat. Tak sepatah katapun kulontarkan lagi kepadanya selain senyum dan sorot mataku yang mencoba menyelami benaknya. Lalu kutinggalkan ia sendirian di warung angkringan itu. Satu hal yang cukup menggetarkan telah kulewati hari itu…
10