DIAJUKAN UNTUK UJIAN TERBUKA
DISERTASI
MANTRA TULEMBANG DAN TUPAKBIRING DALAM KEHIDUPAN SUKU MAKASSAR
MUHAMMAD SYAFRI BADARUDDIN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
i
DIAJUKAN UNTUK UJIAN TERBUKA
DISERTASI
MANTRA TULEMBANG DAN TUPAKBIRING DALAM KEHIDUPAN SUKU MAKASSAR
MUHAMMAD SYAFRI BADARUDDIN NIM 1190171013
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI LIGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
MANTRA TULEMBANG DAN TUPAKBIRING DALAM KEHIDUPAN SUKU MAKASSAR
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Doktor, Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana
MUHAMMAD SYAFRI BADARUDDIN NIM 1190171013
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI LIGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
iii
LEMBAR PENGESAHAN DISERTASI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL,…………………….2015
Promotor,
Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S. NIP 19551231 198303 1 431
Kopromotor I,
Kopromotor II,
Prof. Dr. Tadjuddin Maknun, S.U. NIP 19541231 198101 1 014
Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum. NIP 19610212 198803 1 001
Mengetahui, Ketua Program Studi Doktor Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. Aron Meko Mbete NIP 19470723 197903 1 002
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K). NIP 19590215 1985 102 001
iv
Disertasi telah diuji pada Ujian Tertutup pada Tanggal, 1 Oktober 2015
Panitia Ujian Disertasi, Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 3225/UN.14.4/HK/2015 Tanggal, 29 September 2015
Susunan Panitia Penilai Disertasi Program Doktor (S-3) Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Ketua Anggota
: Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S. : 1. Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S. (Promotor) 2. Prof. Dr. Tadjuddin Maknun, S.U., M.A, (Kopromotor I) 3. Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum, (Kopromotor II) 4. Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S. 5. Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. 6. Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U. 7. Dr. I Wayan Suardiana, M.Hum.
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini, Nama
: Muhammad Syafri Badaruddin
NIM
: 1190171013
Program Studi
:
Pendidikan
Doktor
(S-3)
Linguistik
Program
Pascasarjana Universitas Udayana
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Disertasi ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari ternyata terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan PERMENDIKNAS RI. No. 17 Tahun 2001 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku. Denpasar, ………………..2015 Saya yang membuat Pernyataan,
Muhammad Syafri Badaruddin
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkat dan Rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini dengan baik. Disertasi ini berjudul “Mantra Tulembang dan Tupakbiring dalam Kehidupan Suku Makassar”. Di dalam disertasi ini dikupas bentuk, fungsi, dan makna teks mantra Tulembang dan Tupakbiring di daerah Bukrung-bukrung, Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa dan daerah Pallaklakang, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar. Penelitian ini memahami praktik-praktik masyarakat petani dan nelayan tradisional suku Makassar dalam menggunakan mantra berdasarkan pemahaman masyarakatnya. Dikupas juga nilai-nilai kearifan lokal, perilaku, kepercayaan, sosial, dan budaya, serta peristiwa penuturan mantra agar dapat dipahami dengan baik dari sudut pandang linguistik, dalam hal ini kajian semiotika. Disertasi ini dapat terselesaikan, tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada para pihak yang ikut berkontribusi, sebagai berikut. Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S. selaku promotor yang telah memberikan bimbingan intensif dan komprehensif, dengan penuh kesabaran sehingga disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Terima kasih juga atas motivasi yang tinggi dan nasihat yang selalu mengingatkan penulis untuk menjadi Doktor yang penuh kerendahan hati dan mempunyai keberanian mengungkapkan kebenaran.
vii
Prof. Dr. Tadjuddin Maknun, S.U. selaku ko-promotor I, yang telah memberikan bimbingan serta masukan secara teoretis untuk penyempurnaan disertasi ini. Tidak lupa motivasi tanpa lelah yang membuat penulis lebih percaya diri untuk menyelesaikan disertasi ini sesuai dengan waktu yang direncanakan. Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum., selaku ko-promotr II, yang selalu gigih dan sabar dalam membimbing, mengarahkan, dan mendorong, serta memberi masukan yang relevan berupa ide-ide konstruktif dan kritis. Koreksi dan komentar menjadi cambuk bagi penulis untuk tetap semangat dan maju sehingga disertasi ini dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD. KEMD., selaku Rektor Universitas Udayana, yang telah memberikan izin untuk mengikuti pendidikan (S-3) Linguistik pada Program Pascasarjana Universitas Udayana serta memberikan bantuan untuk penelitian disertasi ini. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Direktur Program Pascasarjana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S. (K), Prof. Dr. Made Budiarsa, MA selaku Asisten Direktur I dan Prof. Dr. Made Sudiana Mahendra, Ph.D sebagai Asisten Direktur II telah memberikan kesempatan untuk menggunakan fasilitas akademis yang diberikan sehingga studi yang ditempuh menjadi lancar. Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S. sebagai Dekan Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana memberi semangat untuk tetap melanjutkan penulisan disertasi penulis. Terima kasih juga atas dukungan moral selama penelitian disertasi ini.
viii
Prof. Dr. Aron Meko Mbete selaku Ketua Program Studi Doktor (S-3) Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana karena masukan yang telah diberikan, baik kapasitasnya sebagai ketua program maupun pribadi terkait perkembangan bahasa dan sastra. Dr. Drs. A.A. Putu Putra, M. Hum., sebagai Sekretaris Program penulis sampaikan terima kasih atas bantuan dan saransarannya. Seluruh staf pengajar Program Studi Doktor (S-3) Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana, seperti: Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S., Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum., Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U., Prof. Dr. I Made Suastika, S.U., Prof. Dr. I Nyoman Weda Kesuma, M.S., Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M. Litt., Prof. Dr. I Dewa Komang Tantra, M.Sc., Ph.D., yang telah memberikan masukan dan semangat selama masa kuliah. Terima kasih atas ilmu yang diajarkan baik secara makro maupun mikro yang bermanfaat, terutama dalam hal kebahasaan dan kesastraan. Terima kasih juga penulis tujukan kepada Dr. Pudentia, MPSS, Ketua KTL Pusat Jakarta, telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Sandwich di Leiden University, Netherland. Demikian pula, penulis berterima kasih kepada Prof. Dr. Aone Van Engelenhoven yang memberi kuliah dan arahan selama berada di universitas Leiden sehingga penulisan disertasi ini terarah. Tim penguji, seperti Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S., Prof. Dr. Tadjuddin Maknun, S.U., Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum., Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.Hum., Prof. Dr. I Made Suastika, S.U., Prof. Dr. Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U., Prof. Dr. I Nyoman Weda Kesuma, M.S., dengan kesungguhan hati memberikan masukan yang bermanfaat dan berharga sehingga disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik.
ix
Staf administrasi Program Studi Doktor (S-3) Linguistik, Program Pascasarjana, Universitas Udayana, seperti: Nyoman Sadra, S.S., I Gusti Ayu Putu Supadmini, Nyoman Adi Trian, I Ketut Ebuh, S.Sos., Ni Nyoman Sukartini, Dra. Ni Nyoman Sumerti, penulis ucapkan terima kasih atas dukungannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas layanan administrasi yang telah diberikan sejak awal perkuliahan hingga selesai disertasi ini. Rektor Universitas Hasanuddin, Dekan Fakultas Sastra Universitas Universitas Hasanuddin, Ketua Jurusan Sastra Inggris Universitas Hasanuddin atas kesempatan untuk diberikan studi S-3 di universitas Udayana. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas dukungan moral serta telah memberikan izin bebas dari tugas akademis selama kuliah dan proses penyelesaian disertasi ini. Kawan-kawan seangkatan Dr. Ni Putu Parmini, M. Hum., Dr. Luh Putu Puspawati, M.Hum., Dra. Novena Sujiwo, M.Hum., Drs. Ader Laipe, M.Hum., atas segala dukungan dan motivasi yang diberikan sehingga disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Demikian pula, teman-teman dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, seperti: Drs. Alwi Rachman, Drs. Raden Assegaf, M.A., Drs. A Lukmanulhakim Jaya, M.A., Dr. Andjarwati Sadik, M.A., Dra. Nadirah Mahaseng, M.A,. Dra. Marlaeny Rajuni, M.A., Dr. Nasmila Imran, M. Hum., Dr. Sukmawati Idris, M.Hum., Dr. Khamsinah Darwis, M. Hum., Prof. Dr. Muhammad Darwis, M.S., Prof. Dr. Nurhayati Rahman, M.S., Prof. Dr. Rasyid Akaba, M.S., Dr. Ayub Khan, M. Hum., Drs. Abdul Madjid M. Hum, Dr. Suryadi Mappangara, M. Hum atas dukungan moral dan waktunya untuk sejenak
x
berdiskusi dalam menyelesaikan disertasi ini. Penulis berdiskusi dengan mereka setiap penulis pulang ke Makassar dan mendapat banyak masukan dari mereka. Prof. Dr. M.L. Manda, M.A, M. Phil., dan Dra. Sri Sulastri atas arahan dan dukungan serta bantuan buku-buku penelitian sehingga disertasi ini dapat terselesaikan tepat waktu. Terima kasih kepada Melania Dharmasetiana, Dicky Dharmasetiana, Elly Dharmasetiana atas bantuan fasilitas selama penulisan disertasi ini dan telah memberi dorongan untuk menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih penulis haturkan kepada H. Refdi M. Nur dan Hj. Ernawati di Ambon sering memberi bantuan, motivasi, nasihat dan telah menjadi sahabat serta saudara selama ini. Haji Muhammad Ibrahim (almarhum) dan Hajjah Nimmi Gulam Ibrahim serta Hajjah Arnia Daud Hafids di Denpasar Bali yang telah memberikan dukungan baik materil maupun moril guna menyelesaikan disertasi ini. Dalam kesempatan ini, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Haji Abdul Hamid, B.A. dan Hajjah Hasnah Badaruddin Hamid, Hajjah Saenab Badaruddin, Hajjah Sitti Fatimah Badaruddin, Hajjah Syamsiah Badaruddin, Hajjah Nurhayati Badaruddin, Akhmad Badaruddin, S.T., Said Badaruddin, dan Thamrin Badaruddin telah menjadi teman-teman diskusi khususnya bahasa Makassar yang terdapat dalam mantra Tulembang dan Tupakbiring. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas dukungan moral dari saudara-saudaraku. Ucapan terima kasih juga dihatukan kepada Isteri tercinta, Iriani Marriam B.Sc., dan ketiga buah hatiku Sastyani Syafri, S.E., dr Muh. Siddiq Syafri, S.Ked., Muh. Syahdan Syafri, S.H., dan anak menantuku dr. Arie Kurniaty M. Noor,
xi
S.Ked., serta cucunda Akhmad Haedar Zacky, dan Muh. Noor Aydin Siddiq atas doa, ketulusan, kesabaran, dan motivasi. Terima kasih kepada istri Iriani Marriam atas dorongan yang begitu luhur sehingga disertasi ini dapat terselesaikan. Beberapa tokoh masyarakat Baso Daeng Sila, Akhmad Daeng Naba Bumbung Daeng Gassing, Maddatuang Daeng Ngagu, Sandy Daeng Sanre, Karaeng Tarang, Karaeng Tompo, Azis Daeng Tiro, Asram Daeng Bani atas segala informasi yang diberikan selama penelitian di lapangan sehingga disertasi ini dapat terselesaikan tepat waktu. Terakhir, terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama menjalankan penelitian disertasi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Segala saran dan kritikan yang membangun dari para pembaca yang cerdas dan kritis sangat diharapkan dan dihargai untuk perbaikan disertasi ini. Semoga disertasi ini berguna dan bermanfaat bagi para akademisi ataupun yang membutuhkan.
Denpasar,
2015
Muhammad Syafri Badaruddin
xii
ABSTRAK MANTRA TULEMBANG DAN TUMPAKBIRING DALAM KEHIDUPAN SUKU MAKASSAR
Mantra adalah bentuk kesusastraan yang paling tua di Indonesia sebagai aspek kebudayaan lama yang masih bertahan sampai sekarang, bahkan masih digunakan oleh masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional Makassar menggunakan mantra sesuai dengan tujuannya. Mantra menanam padi atau mantra bercocok tanam disebut mantra Tulembang, sedangkan mantra melaut atau menangkap ikan disebut mantra Tupakbiring. Mantra berupa ucapan atau perkataan yang dapat mendatangkan kekuatan gaib. Kekuatan tersebut bertujuan untuk memberikan kekuatan bagi manusia dalam menjalankan berbagai kegiatan. Wujudnya berupa puji-pujian terhadap sesuatu yang gaib atau pun sesuatu yang dianggap harus dikeramatkan, seperti: dewa-dewa, roh-roh, binatang-binatang ataupun Tuhan, biasanya diucapkan oleh sanro/dukun dan pinati/pawang. Berkaitan dengan judul penelitian ini, maka dirumuskan empat masalah penelitian, sebagai berikut: (1) bagaimanakah struktur teks mantra Tulembang dan Tupakbiring; (2) bagaimanakah fungsi dan variasi teks mantra Tulembang dan Tupakbiring; (3) Bagaimanakah makna teks mantra Tulembang dan Tupakbiring; dan (4) bagaimanakah strategi pewarisan teks mantra Tulembang dan Tupakbiring. Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui struktur teks mantra Tulembang dan Tupakbiring; (2) untuk mengetahui fungsi teks mantra Tulembang dan Tupakbiring; (3) untuk mengetahui makna teks mantra Tulembang dan Tupakbiring; dan (4) untuk mengetahui strategi pewarisan dalam mantra Tulembang dan Tupakbiring. Metode penelitian menggunakan analisis semiotika, yang mengedepankan kualitatif interpretatif sehingga memberikan kesimpulan yang komprehensif mengenai hasil penafsiran dan pemahaman yang telah dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teks mantra Tulembang dan Tupakbiring pada umumnya menggunakan Basmallah dan Assalamualaikum sebagai pembuka. Batang tubuh memuat permohonan kepada Sang Pencipta, dan penutup menggunakan puji-pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad. Penggunaan bahasa lebih menonjol metaforis (analogis) dengan sentuhan mitologi dan religi. Wacana naratif lebih didominasi oleh wacana sugestif. Bentuk wacana lebih banyak terlihat sebagai monolog dan dialog. Mantra cenderung lebih bebas dalam hal suku kata, baris, ataupun persajakan. Karakteristik kesatuan teks mantra Tulembang lebih didominasi oleh rima tidak sempurna dan rima alterasi. Hal ini tampak pada fungsi teks mantra, melalui fungsi teologi, religius, sosial, dan budaya ditemukan sebagai sarana interaksi komunikasi dengan sang Maha Pencipta dan penghargaan kepada manusia. Teks mantra ditemukan kandungan makna: pengakuan, pengharapan, kebersihan (kesucian) diri dan hati, ketenangan, dan kepuasan batiniah. Strategi pewarisan bersifat vertikal dan horisontal.
xiii
Kata kunci: struktur teks, fungsi teks, makna teks, strategi pewarisan, mantra
xiv
ABSTRACT Tulembang and Tupakbiring mantra in the life of Makassarese
Mantra is the oldest form of literature in Indonesia as long cultural aspect which still survives until now and is still used by traditional communities. Makassarese Traditional Societies use mantra according to their needs. Mantra for planting rice or mantra for cultivation is called Tulembang mantra, while mantra for fishing is called Tupakbiring mantra. The mantra is in the form of expressions or words can bring magic power. The power aims to provide strength for human in performing various activities. The forms can be praises to something to be considered as sacred such as gods, spirits, animals, or God usually uttered by sanro (shaman) and pinati (one who has magic power to perform something). Associated with the above conditions, four research issues could be formulated, namely: (1) how is the text structure of Tulembang and Tupakbiring mantras; (2) how are the functions and variations of Tulembang and Tupakbiring mantras; (3) how are the meaning of the texts of Tulembang and Tupakbiring mantras; and (4) How is the strategy of inheritance of Tulembang and Tupakbiring mantras. The aim of the study was to find out the text structure, the function and variation, the meaning of Tulembang and Tupakbiring mantra, and the inheritance strategy. The analysis used in the study was semiotics. This emphasizes the qualitative interpretative providing a comprehensive conclusion regarding the interpretation and understanding of the results. The results of the study indicate that the text structures of Tulembang and Tupakbiring mantra generally use Basmalah and Assalamualaikum as opening, content containing a request to Allah and prophet Muhammad and more prominent uses of metaphorical language (analogical) with a touch of mythology and religion. Narrative discourse is more dominated by suggestive discourse. The discourse is more on monolog and dialog. The mantra tends to be free in terms of syllables, lines, and rhymes. The unity of the mantra text is more dominated by irregular rhyme and alteration. The functions are theological, religious, social, and cultural as a means of communication with the creator and as a respect to human beings. The meaning contains acknowledgement, hope, sanctity of self and heart, serenity, and inner satisfaction. The strategy of inheritance is vertical and horizontal.
Keywords: Text Structure, Function text, the meaning of the text, inheritance strategy, mantra
xv
RINGKASAN DISERTASI MANTRA TULEMBANG DAN TUPAKBIRING DALAM KEHIDUPAN SUKU MAKASSAR Salah satu wujud kebudayaan yang terdapat di Sulawesi Selatan adalah mantra. Mantra ada di dalam upacara ritual sebelum menanam padi dan melaut yang dilakukan oleh masyarakat tradisional Makassar. Mantra adalah bentuk kesusastraan yang paling tua di Indonesia sebagai aspek kebudayaan lama yang masih bertahan sampai sekarang, bahkan masih digunakan oleh masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional Makassar menggunakan mantra sesuai dengan tujuannya. Mantra menanam padi atau mantra bercocok tanam disebut mantra Tulembang, sedangkan mantra melaut atau menangkap ikan disebut mantra Tupakbiring. Kepercayaan adanya kekuatan gaib selalu mendorong masyarakat tradisional Makassar untuk merealisasikan kekuatan tersebut ke dalam wujud nyata untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam kehidupan masyarakat tradisional Makassar, mantra digunakan dalam berbagai adat, yaitu ketika upacara ritual menanam padi (mantra Tulembang) dan ritual musim melaut (mantra Tupakbiring). Mantra yang terdiri atas dua macam tersebut tidak terlepas dari komunitas suku masyarakat, yaitu komunitas yang tinggal di dataran dan komunitas yang tinggal di daerah pesisir pantai. Masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pegunungan atau disebut sebagai Tulembang atau Turaya, sedangkan masyarakat yang bertempat tinggal di pantai disebut sebagai Tupakbiring (Maknun, 2006:1-2). Hal ini yang membentuk dua jenis mantra dalam suku Makassar. Mantra Tulembang dan Tupakbiring perlu dilestarikan dan diadakan penggalian nilai-nilai luhur budaya daerah untuk memperkaya budaya Nusantara. Mantra Tulembang dan Tupakbiring mengandung unsur bahasa, sastra, budaya, dan kehidupan suku Makassar yang bersifat religius, serta filosopis. Oleh karena itu, inventarisasi dan dokumentasi mantra dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan khususnya, dan di Indonesia pada umumnya penting untuk mendapat perhatian. Mantra Tulembang dan Tupakbiring dapat dijadikan sebagai teks sastra, karena menggunakan bahasa sebagai mediumnya dan memiliki sistem tanda yang mempunyai makna. Ratna (2006:97) mengatakan bahwa dengan perantaraan tanda-tanda, proses kehidupan manusia menjadi lebih efisien. Dengan perantaraan tanda-tanda, manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, bahkan dengan makhluk di luar dirinya. Oleh karena itu, mantra Tulembang dan Tupakbiring sebagai salah satu jenis puisi lama menarik untuk dikaji dari aspek semiotika. Mantra merupakan suatu karya sastra, yaitu sastra lisan dan di dalam mantra itu banyak terdapat tanda-tanda, baik yang berupa ikon, indeks, maupun simbol yang dapat dikaji melalui teori semiotika. Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka dirumuskan empat masalah penelitian, yaitu : (1) bagaimanakah struktur teks mantra Tulembang dan Tupakbiring; (2) bagaimanakah fungsi dan variasi teks mantra Tulembang dan
xvi
Tupakbiring; (3) bagaimanakah makna teks mantra Tulembang dan Tupakbiring; dan (4) bagaimakah strategi pewarisan dalam mantra Tulembang dan Tupakbiring. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui mantra Tulembang dan Tupakbiring dengan kajiannya mencakup struktur teks, fungsi teks, makna teks, dan strategi pewarisan. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan memberikan gambaran mengenai mantra Tulembang dan Tupakbiring serta menambah pengetahuan, yaitu ilmu sastra dari sudut pengkajian sastra tradisional terutama yang menyangkut mantra Tulembang dan Tupakbiring. Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat akademik dalam pengembangan teori sastra lisan, terutama untuk memberikan sumbangan pengetahuan, baik terhadap mantra Tulembang dan Tupakbiring maupun bentuk-bentuk sastra lisan lainnya. Penelitian ini diharapkan dapat membuka ruang apresiasi, penghayatan dan pemahaman terhadap salah satu genre suku Makassar yang kelak memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia, khususnya sastra lisan yang masih hidup dan berkembang di masyarakat. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat praktis sebagai motivasi bagi peneliti sastra lisan suku Makassar agar mengarahkan perhatian pada jenis sastra lisan lainnya. Selain itu, diharapkan menjadi bahan dokumentasi, rujukan bagi peneliti dan sebagai usaha melestarikan serta mengembangkan sastra lisan yang telah ada untuk pemerintah daerah Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar. Hasil penelitian ini, juga diharapkan memberikan gambaran bagi masyarakat mengenai kebudayaan atau sastra lisan suku Makassar. Menurut Bartlett (1965:244-245) sastra lisan merupakan sastra yang diperdengarkan. Sastra lisan merupakan karya sastra daerah yang diekspresikan oleh berbagai suku bangsa di Indonesia. Hutomo (1986) menyatakan bahwa sastra lisan berciri: (1) anonim; (2) materi cerita kolektif, tradisional, dan berfungsi khas bagi masyarakatnya; (3) mempunyai bentuk tertentu dan varian; (4) berkaitan dengan kepercayaan; dan (5) hidup pada masyarakat yang belum mengenal tulisan. Endraswara (2003:251), sastra lisan yang dikaji sebaiknya yang di daerah terpencil karena di daerah yang demikian keberadaan sastra lisan relatif utuh dan murni sebab fasilitas teknologi dan mobilitas masyarakat pendukungnya terbatas. Sastra lisan yang kuat berada di daerah terpencil. Kuatnya sastra lisan di daerah terpencil disebabkan penduduknya berdaya baca rendah dan kuat dalam memegang tradisi. Kedua faktor tersebut, menurut Sudikan (1989:58), membuat sastra lisan lebih kuat daripada sastra tulis. Mantra terdapat dalam kesusastraan daerah di seluruh Indonesia. Mantra berhubungan dengan sikap religius manusia, untuk memohon sesuatu dari Tuhan. Oleh karena itu, diperlukan kata-kata pilihan yang paling gaib, yang oleh penciptanya dipandang kontak dengan Tuhan. Kata-kata yang terdapat dalam suatu mantra memiliki kekuatan gaib apalagi kalau dibacakan dengan khusuk dan keyakinan. Mantra diucapkan untuk menggugah pikiran seseorang untuk kembali ke jalan yang benar atau sebaliknya (Monier-William, 2012, http//sanskrit.inria.fr//MW/195.html). Mantra dituturkan secara turun-temurun dari mulut ke mulut. Mantra mementingkan rima dan ritme. Dalam mantra, ritme dan makna kata-katalah yang diutamakan, sedangkan rima tidak terlalu diperhatikan. Mantra sering diucapkan
xvii
oleh penggunanya untuk keselamatan dan harapan (Maknun, 2012:56). Menurut Anwar, (2005:213), mantra biasanya dapat mendatangkan daya gaib, jampi, dan pesona. Hehahia dan Farlin (2008:274), mantra dianggap mengandung kekuatan. Mantra perlu dilihat dari segi struktur atau bentuknya. Dilihat dari segi bentuknya mantra sebagai karya sastra yang sarat dengan rima tersusun secara indah dengan diksi-diksi yang terpilih dan kuat, yang dianggap mempunyai kekuatan gaib. Yunus (1981) mengatakan bahwa hal utama yang dipentingkan dalam sebuah mantra adalah bukannya bagaimana dapat memahaminya, akan tetapi bagaimana dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan manusia. Dalam mantra sebagaimana puisi pada umumnya terdapat dua bentuk atau pola, yaitu bentuk bebas dan bentuk terikat. Bentuk bebas adalah pola yang tidak terikat dengan jumlah kata, baris maupun bait, dan jumlah baris setiap bait, maupun dari rima dan persajakan (Jalil dan Elmustian, 2002:49). Bentuk terikat mementingkan jumlah lirik, jumlah kata pelarikannya, dan kesamaan rima (Hamidy, 1993:58). Menurut Bascom (http//www.jstor.org/stable/536411/accessed :20/07/2011) ada empat fungsi sastra lisan, yaitu: (1) sebagai bentuk hiburan; (2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata atau lembaga-lembaga kebudayaan; (3) sebagai alat pendidikan anak; dan (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya. Variasi teks sebagai proses penciptaan. Menurut Badrun (2014:15), dalam sastra lisan, khususnya mantra bergantung pada kebiasaan masyarakat pemilik tradisi. Secara teoretis, proses penciptaan mengandung unsur hafalan, pola rima, dan formulaik. Dikatakan hafalan karena mantra diturunkan dengan syarat tertentu, pola rima karena mantra penekanan pada permainan bunyi. Dikatakan formulaik karena mantra diberikan dengan pembiasaan diri untuk mendengar. Jacobson (1971:71), salah seorang pakar linguistik meneliti pembelajaran dan fungsi bahasa, memberi penekanan pada dua aspek dasar struktur bahasa yang diwakili oleh gambaran metafor retoris (kesamaan) dan metonimia (kesinambungan). Bagi Jacobson, bahasa memiliki enam macam fungsi, yaitu: (1) fungsi emotif (emotive), pengungkap keadaan pembicara; (2) fungsi referensial (referential)), pengacu pesan; ((3) fungsi puitik (poetic), penyandi pesan ; (4) fungsi metalinguistik (metalinguistics), penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan; (5) fungsi konotif (conative), pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak; (6) Fungsi fatik (phatic), pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak. Fungsi puitik mengarahkan segenap upaya dan perhatian pada unsur-unsur teks (Jakobson, 1896:43). Guna mempelajari bahasa puitis, Jakobson mempergunakan konsep polaritas dan konsep ekuivalensi. Pada konsep polaritas diambil dari teori Saussure tentang hubungan sintagmatis dan asosiatif (paradigmatis). Konsep ini memperlihatkan oposisi biner metafora dan metonomia. Metafora bersifat paradigmatis, sedangkan metonimia bersifat sintagmatis. Keduanya mendasari proses pembentukan tanda-tanda bahasa atas seleksi dan kombinasi. Atas dasar itu, fungsi puitik memberikan definisi sebagai fungsi untuk memanfaatkan seleksi dan kombinasi untuk menigkatkan ekuivalensi (Kridalaksana, 2005:49).
xviii
Ciri-ciri bahasa puitik tidak hanya termasuk dalam ilmu bahasa, tetapi juga termasuk dalam semua teori mengenai tanda, yaitu semiotika umum. Pernyataan ini berlaku bagi semua variasi bahasa karena dalam bahasa ada beberapa wilayah yang erat kaitannya dengan sistem-sistem tanda yang lainnya, bahkan dengan semua sistem itu (ciri-ciri pansemiotik) (Budiana, dkk., 2008:40). Berbeda halnya dengan linguistik, kadang-kadang didengar bahwa bahasa puitik ada kaitannya dengan evaluasi (Kridalaksana, 2005:50). Jakobson menyatakan fungsi puitis tidak hanya terbatas pada puisi, melainkan pada (dalam) semua penggunaan bahasa atau dengan kata lain bila akan mempelajari fungsi puitis, maka linguistik tidak boleh membatasi pada puisi saja (Rokhmansyah, 2014:68). Makna teks dalam mantra merupakan penandaan kebahasaan yang mengandung makna simbolik (Maknun, 2012:34). Makna simbolik baik tersurat maupun tersirat akan merepresentasikan konstruk realitas dan identitas kehidupan masyarakat pemiliknya. Menurut Ratna (2006:97), perantaraan simbol-simbol tersebut menjadikan manusia dapat berinteraksi atau berkomunikasi dengan sesamanya ataupun zat di luar dirinya. Untuk itu, dalam penelitian ini, pembacaan makna teks mantra dilakukan secara heuristik dan hermeneutika agar ditemukan satuan makna yang terpadu dan utuh. Semiotika merupakan ilmu tentang tanda-tanda yang mempelajari fenomena sosial budaya termasuk sastra sebagai sistem tanda (Preminger, 1974:980). Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk formal tanda itu dalam bahasa berupa satuan bunyi atau huruf dalam sastra tulis. Penanda adalah artinya yaitu apa yang ditandai oleh penanadanya itu. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda serta petandanya, maka ada tiga jenis tanda, yaitu: ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan ada hubungan yang bersifat alamiah yaitu penada sama dengan petandan. Misalnya, gambar rumah pada peta yang menunjukkan bahwa rumah yang ditandai (petanda) menandai rumah yang sesungguhnya. Indeks adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan adanya hubungan alamiah yang bersifat kausalitas. Misalnya asap menandai api, mendung menandai hujan. Simbol adalah tanda yang menanda tidak menunjukkan adanya hubungan alamiah, hubungannya arbiter (semau-maunya) berdasarkan konvensi. Sebagian besar tanda bahasa berupa simbol. Di samping ketiga tanda itu, ada tanda yang disebut dengan simtom (gejala) yang petandanya belum pasti. Misalkan suhu panas orang sakit tidak menunjukkan penyakit tertentu (Culler, 1981). Dalam semiotika terdapat dua sistem yang dapat diidentifikasi yaitu (1) sistem semiotik tingkat pertama (first order semiotics) dan sistem semiotik tingkat kedua (second order semiotics) (Preminger, 1974:981-982). Khususnya teori semiotika, Riffaterre (1978:166) mengatakan bahwa pembacalah yang bertugas untuk memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tandatanda itu akan memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya. Ketidaklangsungan ekspresi merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak langsung, tetapi dengan cara
xix
lain (Pradopo, 2005:124). Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Penggantian arti (displacing of meaning) menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora itu bahasa kiasan yang mengumpamakan atau mengganti sesuatu hal dengan tidak mempergunakan kata pembanding: bagai, seperti, bak, dan sebagainya. Metonimi merupakan bahasa kiasan yang digunakan dengan memakai nama atau ciri orang atau sesuatu barang untuk menyebutkan hal yang bertautan dengannya. Penyimpangan arti (distorting of meaning) adalah penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa ditujukan untuk membentuk kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Riffaterre (1978:2) mengemukakan bahwa penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu: ambiguitas, kontradiksi, dan Nonsense. Penciptaan arti (creating of meaning) ditimbulkan melalui enjambement, homologue, dan tipografi (Riffaterre, 1978:2). Penciptaan arti merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna di dalam puisi. Jadi, penciptaan arti merupakan organisasi teks di luar linguistik (Ratna 2010:105). Hermeneutika adalah studi pemahaman, khususnya tugas pemahaman teks. Hermeneutika mencakup dua fokus perhatian yang berbeda dan saling berinteraksi, yaitu: (1) peristiwa pemahaman teks; (2) persoalan yang mengarah mengenai apa pemahaman interpretasi itu (Palmer, 1969:8). Hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Definisi lain, hermeneutika metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks untuk dicari arti dan maknanya. Metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian di bawa ke masa depan. Maka hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti (Sumaryono, 1999:2). Ratna (2009:19) mengungkapkan bahwa pembicaraan stilistika dalam analisis karya sastra difokuskan pada batasan deskripsi penggunaan khas bahasa, seperti: inversi, hiperbola, litotes, dan sebagainya. Secara etiologis, stlistika memiliki pemaknaan dari kata stilistik atau stil (style) yang diartikan sebagai ilmu tentang gaya. Gaya merupakan salah satu cabang ilmu dalam bidang kritik sastra yang relevansinya terkandung dalam semua teks, bukan bahasa tertentu atau bukan semata-mata teks sastra. Dengan kata lain, stilistika berkaitan dengan pengertian ilmu tentang gaya dalam karya sastra. Menurut Atmazaki (2007:152) stilistika sebenarnya merupakan salah satu pendekatan dalam kritik sastra, yaitu kritik sastra yang menggunakan linguistik sebagai dasar kajian. Kajian stilistika berkaitan dengan bagaimana kata-kata tersebut menimbulkan efek dan makna tertentu. Analisis stilistika ini merupakan pendekatan struktural, sehingga analisis ini boleh dimulai dari unsur kebahasaan manapun. Stilistika dalam kaitannya dengan studi retorika haruslah merupakan suatu pencarian filosofis tentang bagaimana kata-kata bekerja atau berpengaruh dalam wacana. Adapun Leech dan Short menyebut unsur stil dengan istilah stylistics categories. Menurut mereka unsur stil terdiri atas kategori leksikal,
xx
gramatikal, figures of speech, konteks, dan kohesi. Kemudian, Nurgiyantoro (1995:290) mengatakan bahwa unsur retorika meliputi pemajasan, penyiasatan struktur kalimat, dan pencitraan. Dengan demikian, stil atau gaya bahasa terdiri atas unsur leksikal, gramatikal, kohesi, dan retorika. Dalam penelitian ini unsur gaya bahasa yang digunakan adalah unsur retorika. Pembahasan unsur-unsur gaya bahasa yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah unsur retorika yang meliputi: pemajasan, penyiasatan struktur kalimat, dan pencitraan. Pembahasan mantra dalam penelitian ini terdiri atas analisis struktur dan isi mantra. Analisis struktur mantra terdiri atas analisis semiotik dan rima atau bunyi bahasa mantra dengan pembacaan heuristik. Analisis isi mantra terdiri atas analisis makna yang dilakukan dengan pembacaan retroaktif atau hermeneutik yang terdapat dalam mantra. Struktur mantra disebut unsur pembentuk mantra yang bisa diamati secara visual, sedangkan dalam isi mantra disebut sebagai makna keseluruhan yang tersembunyi di balik struktur mantra. Pewarisan mantra dikaitkan dengan syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang dapat mewarisi mantra serta kondisi dan syarat yang harus dipenuhi ketika mantra tersebut diwariskan serta dibacakan. Rancangan penelitian ini dari metode semiotika bersifat kualitatif interpretatif, yakni “menafsirkan” dan “memahami kode” di balik tanda dan teks tersebut dan memberikan kesimpulan yang komprehensif mengenai hasil penafsiran dan pemahaman yang telah dilakukan. Data utama atau data primer sebagai data dasar digunakan untuk mendeskripsikan aspek bentuk dan variasi, serta fungsi yang terkandung dalam mantra. Data primer berupa hasil wawancara dengan beberapa tokoh adat serta pembaca mantra. Data sekunder berupa dokumentasi. Secara struktur teks mantra Tulembang dan Tupakbiring, dianalisis menggunakan komposisi naratif teks, satuan wacana naratif teks, dan karakteristik kesatuan teks. Komposisi naratif mantra Tulembang rata-rata didominasi oleh komponen salam pembuka, nama sasaran, sugesti, dan visualisasi dan simbol. Penggunaan bahasa lebih didominasi oleh analogis (metafora) dengan sentuhan mitologi dan religi. Komposisi tersebut sebagai bentuk permohonan dan kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Mantra Tupakbiring secara komposisi naratif tidak semua mempunyai salam pembuka dan penutup secara Islami. Kekuatan mantra terletak pada muatan isi (makna). Komponen yang sering muncul hampir sama dengan mantra Tulembang, yakni komponen nama sasaran, sugesti, visualisasi dan simbol. Namun, penekanan dalam mantra ini adalah komponen nama sasaran dan tujuan. Penggunaan bahasa lebih menonjol metaforis (analogis) dengan sentuhan mitologi. Fungsi dan variasi teks mantra, adalah fungsi teologi, sosial, dan budaya. Fungsi teologi teks mantra Tulembang memiliki filosofi tentang ketuhanan yang tinggi. Artinya, secara teologi mantra Tulembang difungsikan sebagai sarana interaksi komunikasi dengan sang Maha Pencipta. Kepercayaan adanya kekuasaan melebih kemampuan manusia menjadi pondasi dalam menciptakan mantra ini. Fungsi teologi mantra Tulembang tercermin dalam kalimat pertama sampai lima (mantra Appasuki Pakjeko), kalimat pertama, dua, dan tiga (mantra Aklessero Ase), kalimat lima, enam, sembilan, dan duabelas (mantra Akbine), kalimat dua
xxi
sampai lima (mantra Pammula Annanang Ase), kalimat kedua (mantra Annanang Ase), kalimat salam pembuka (mantra Rappo Ase), dan kalimat kedua (mantra Appa Sulapa Nikutanang), yang semua berisikan perenungan. Variasi teks dalam mantra Tulembang lebih banyak mengandung unsur hafalan, pola, rima, dan formulaik. Unsur hafalan karena merupakan proses pewarisan berdasarkan sistem pewarisan struktur vertikal (hafalan teks dengan sistem turun-temurun). Pola rima mantra ini cenderung penekanan pada permainan bunyi yang berulang-ulang. Formulaik diterima berdasarkan kebiasaan diri yang dilakukan masyarakat pemiliknya. Fungsi dan variasi teks mantra Tupakbiring hampir sama dengan mantra Tulembang. Fungsi teologi teks mantra Tupakbiring didominasi oleh nama Allah Ta-Alah (mantra satu, dua, lima, enam, dan tujuh). Namun, berbeda dengan Tulembang, mantra Tupakbiring dari ketujuh mantra hanya mantra ketujuh yang menggunakan kalimat Barakkah Lailaha Illallah. Namun demikian, secara teologi, mantra Tupakbiring sama dengan mantra Tulembang, yakni sebagai sarana interaksi komunikasi dengan Sang Maha Pencipta. Fungsi sosial mantra Tupakbiring yang sering muncul adalah fungsi proyeksi angan-angan suatu kolektif. Fungsinya untuk mengharapkan hasil laut yang berlimpah dan menghadapkan keselamatan mengingat kondisi laut sulit ditebak iklimnya. Fungsi budaya mantra Tupakbiring sebagai pengesahan budaya. Fungsi tersebut sebagai bentuk perwujudan kepercayaan terhadap adanya kekuatan kosmik yang menguasai alam semesta. Variasi teks dalam mantra Tupakbiring hampir sama dengan mantra Tulembang, yakni lebih didominasi oleh unsur hafalan, pola, rima, dan formulaik. Teks mantra Tulembang dan mantra Tupakbiring juga dianalisis melalui unsur teologi, sosial, dan budaya. Makna teologi mantra Tulembang bahwa Allah menjadi pondasi bagi keyakinan masyarakat petani tradisional suku Makassar untuk mengharapkan keberkahan rezeki. Dengan kata lain, secara teologi, mantra Tulembang mengandung makna: pengakuan, pengharapan, kebersihan (kesucian) diri dan hati, ketenangan, dan kepuasan batiniah. Mantra Tupakbiring, secara teologi mempunyai makna pengakuan bahwa tidak ada kekuatan yang menandingi Allah Ta-Alah, penguatan batin, pendekatan kepada Tuhan agar terlindungi dari marabahaya, dan mengandung ajaran berbuat baik dan meninggalkan yang keji dan jahat. Secara teologi, mantra Tulembang mempunyai makna pengharapan keberkahan. Sebagian besar mantra Tulembang menggunakan simbol-simbol suci Islami sebagai mediasi. Mantra Tupakbiring secara teologi juga mempunyai makna yang hampir sama, yakni menggunakan simbol-simbol Islami, seperti mengharapkan rezeki yang halal, Makna halal. Merupakan konsep dari ajaran Islam (mantra Pappalakku). Ketidakberdayaan manusia dan kekuatan Allah TaAlah (mantra Dallekku), dilindungi dari mara bahaya (mantra Songkang Bala dan mantra Appasuluki Kodia), sebagai semangat dan keselamatan (mantra Loloanna Sombalakku), dan permohonan kesehjateraan bagi semua awak perahu dan perahunya (mantra Gosse dan mantra Bunoanna Jukuka).
xxii
Makna sosial mantra Tulembang adalah gotong-royong (mantra Appasuki Pakjeko), kebersamaan dalam prosesi (mantra Aklessero Ase), dukungan (mantra Akbine), hubungan erat (mantra Pammula Annanang Ase). Di samping itu, ada makna penyemangat masyarakat yang menanam padi agar tangguh dan tidak mudah lelah karena proses menanam adalah aktivitas yang berat (mantra Annanang Ase), pemanggilan semangat para masyarakat yang menanam padi agar disertai doa para makhluk suci (mantra Rappo Ase), dan kebersamaan (mantra Appa Sulapa Nikutanang). Mantra Tupakbiring secara sosial mempunyai makna gotong-royong (mantra Pappalakku), penyemangat para masyarakat dan mendoakan sesama (mantra Dallekku, mantra Songkang Bala dan mantra Gosse), kebersamaan (mantra Loloanna Sombalakku dan mantra Appasuluki Kodia), dan rasa solidaritas masyarakat (mantra Bunoanna Jukuka). Secara budaya, mantra Tulembang mempunyai makna pelestarian, pewarisan, dan mempercayai sesuatu yang hidup (tanah, sungai, padi, dan hewan) memiliki roh (mantra Appasuki Pakjeko), membawa keberuntungan (mantra Aklessero Ase), mengharapkan keberkahan dengan memanggil atau mengundang para manusia dari seluruh penjuru ketika menabur benih (mantra Akbine, mantra Pammula Annanang Ase, dan mantra Appa Sulapa Nikutanang), dan mengharapkan perlindungan pada sesuatu yang dianggap suci (mantra Annanang Ase dan mantra Rappo Ase). Mantra Tupakbiring secara budaya mempunyai makna mengharapkan keberkahan rezeki ikan terbang (mantra Pappalakku), pemeliharaan alam (mantra Dallekku dan mantra Gosse), tolak bala (mantra Songkang Bala, mantra Loloanna Sombalakku, dan mantra Appasuluki Kodia), dan keberkahan (mantra Bunoanna Jukuka). Strategi pewarisan mantra Tulembang dilakukan secara vertikal, yakni hanya diturunkan kepada anak laki-laki saja secara kekerabatan atau dari kakek sampai ke cucu atau dari bapak ke anak. Strategi pewarisan ini tidak dapat diwariskan kepada orang lain walau sekerabat. Dengan kata lain, strategi pewarisan mantra Tulembang tidak dapat diwariskan secara horisontal kepada orang lain, meskipun itu dalam satu kekerabatan. Namun demikian, jika memiliki anak perempuan tetap dapat diwariskan. Strategi pembacaan mantra Tulembang kurang beragam, yakni secara tempat dan waktu hanya dilakukan dalam upacara ritual dan penyampaian di rumah. Pelaku (penyapa) hanya memiliki garis keturunan atau pawang masih dalam kekerabatan. Pembacaan mantra dilakukan melalui garis keturunan dan pawang (guru didikan) yang masih memiliki hubungan darah. Strategi pelestarian masih dilakukan secara alamiah karena hasil bumi hanya dinikmati sendiri (tidak dijual). Strategi pemberdayaan masih bersifat pewarisan turun-temurun secara heirarki dan dilakukan oleh hanya para leluhurleluhur dengan penyampaian secara lisan. Upaya tersebut dilakukan dengan dituturkan, didengarkan dan dihayati secara bersama-sama melalui peristiwa tertentu, dengan maksud dan tujuan tertentu. Strategi pewarisan mantra Tupakbiring lebih bersifat terbuka, yakni bersifat vertikal (secara heirarki) dan horizontal. Secara heirarki diturunkan kepada anak laki-laki, namun tidak dapat diturunkan kepada anak perempuan. Pelestarian boleh diwariskan kepada kerabat dekat laki-laki atau tenaga kerja lakilaki dalam satu kampung yang turut dalam sawi (awak perahu). Hal ini didasari
xxiii
bahwa kerabat keluarga maupun tetangga harus memiliki hubungan dengan dasar perasaan saling menjaga martabat, kehormatan, dan tenggang rasa. Pertama, mantra Tulembang dan mantra Tupakbiring memiliki struktur tersendiri dalam teks mantra. Mantra Tulembang berbeda dengan mantra Tupakbiring. Mantra Tulembang mempunyai struktur teks yang terdiri atas salam pembuka dengan kalimat basmallah dan assalamualaikum, batang tubuh lebih banyak berupa permohonan keberkahan dan penolakan bala, dan penutup menggunakan puji-pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad. Mantra Tupakbiring lebih bebas dalam struktur teks, pembuka lebih banyak diawali penyebutan nama bayangan pembaca mantra, batang tubuh lebih banyak memuat permohonan keselamatan dan pengusiran hal yang jahat (tolak bala). Struktur tersebut tidak pernah berubah dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Struktur teks kedua mantra mempunyai variasi hafalan teks, pola rima, dan formulaik. Kedua, pada awal pembacaan mantra selalu dibuka dengan ungkapan pembuka sebagai penghormatan kepada Allah dan penghargaan kepada pesapa. Di samping penghormatan tidak jarang disertai pula dengan ungkapan yang merendahkan diri. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat petani dan nelayan tradisional suku Makassar menjunjung tinggi sikap tenggang rasa dan menghargai orang lain. Ketiga, di dalam mantra Tulembang dan Tupakbiring banyak pengulangan bunyi dan formulaik. Hampir semua mantra yang diteliti mempunyai pengulangan bunyi yang sama. Formula yang ditemukan, salah satu formula yang unik adalah formula yang terjadi pada kalimat. Formula kalimat ditemukan pada penggunaan nama pembaca mantra. Keempat, mantra Tulembang dan Tupakbiring sampai sekarang masih memiliki fungsi bagi masyarakat pemiliknya dan masih bertahan hingga sekarang. Kedua mantra tersebut memiliki fungsi teologi, sosial, dan budaya. Kedua mantra tersebut berfungsi sebagai pengendali sosial. Fungsi ini tercermin pada teks yang selalu menghimbau kepada umat manusia untuk selalu menjaga dan melestarikan alam. Selain itu, himbauan untuk selalu berlaku rendah hati merupakan representasi kontrol sosial. Fungsi kedua mantra sebagai media komunikasi kepada Sang Maha Pencipta, sebagai bentuk kepuasan batiniah bagi penyapa dan pesapa mantra. Kelima, sistem pewarisan masih bersifat alamiah, dengan hubungan vertikal heirarki (mantra Tulembang) dan vertikal-horisontal (mantra Tupakbiring). Selain itu, belum ada upaya Pemerintah Daerah secara maksimal untuk melestarikan budaya mantra suku Makassar ini. Temuan ini penting dipahami dan dipedomani oleh tokoh masyarakat terutama generasi muda di Kabupaten Makassar agar dapat memelihara dan melestarikan kebudayaan daerah miliknya terutama mantra. Bagi pembaca dan peneliti selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai perbandingan dalam pembahasan yang sama.
xxiv
GLOSARIUM
akbine
aklessoro ase
ampatinroko ampamtamai angkatekneangi anrong tumalassukannu
anlaloi biseangko appaksulapak
appasuluki kodia
appasuki pakjeko assengngak assengtongko
bintoeng pakliserannu biseang patorani
battungaseng mako mae
bobokaraeng
: memilih bibit/mencabut bibit di area yang telah tumbuh. Bibit tersebut dipilih lalu diikat dalam satu kesatuan dan siap untuk ditanam di sawah yang telah dibajak. : menurunkan bibit dari tempat penyimpanan padi di atas plafon rumah lalu ditanam sebagai bibit. : menidurkanmu layaknya pengantin baru. : memasukkan ke dalam peti uangku. : membahagiakan untuk dinikmati bersama : Bunda/Ibu yang melahirkanmu diibaratkan benih padi yang ditanam oleh petani. : bilamana ada orang berniat jahat terhadap perahuku maka Allah menyelamatkannya. : menurut kepercayaan petani tradisional Makassar empat arah selalu membawa berkah terhadap sawahnya. : mengeluarkan hal-hal yang jahat dalam perahu nelayan atas bantuan Sang Maha Kuasa. : membajak sawah secara tradisonal dengan menggunakan dua ekor kerbau. : kenali aku dan aku mengenalimu juga diucapkan ketika naik ke perahu sebelum melaut. : diibaratkan bulir padi seperti bintang bersih dan jernih. : perahu yang dipakai untuk menangkap tuing-tuing/ikan terbang. Sebelum perahu melaut para nelayan mengadakan upacara adat untuk memohon restu dari Tuhan agar diberi rezeki dan keselamatan selama berlayar di laut. : datanglah kalian semua memberi semangat kepada semua bulir padiku agar bernas dan tidak puso. : Gunung Bawakaraeng adalah gunung yang dianggap suci dan sebagai simbol pembawa rezeki baik petani maupun nelayan.
xxv
cinikka na kucinik tongko
: lihatlah aku perahu dan saya juga akan memandangmu marilah kita bekerjasama dalam mencari rezeki di laut. dalleku hallakku : rezeki halalku sebagai sesuatu yang penting dalam agama atau kepercayaan setempat. imanrembassang doangngangak : rembassa artinya menerobos jadi imanrembassang, adalah penyebutan nama perahu Nabi Nuh yang melawan banjir bandang pada saat itu. Dengan kata lain, imanrembassang akan selamat mencari rezeki bersama nelayan. iyakking : penyebutan untuk Ikan Terbang dalam budaya Makassar tidak pernah menyebut nama objek yang akan menjadi tujuan atau rezeki misalnya tuing-tuing/ikan terbang. kau jeknek nabbi Hillerek nabbino : Nabi Khaidir dikenal sebagai Nabi air dan dekat dengan para petani yang selalu membutuhkan air untuk irigasi sawahnya lebak junnuko-lebak satinjaiko : mandi junub wajib hukumnya dalam agama Islam karena diharapkan hati yang bersih akan mengundang rezeki yang banyak bagi para nelayan. lompobattang : Gunung Lompobattang ini juga sebagai pasangan gunung Bawakaraeng dipercaya oleh para petani dan nelayan membawa rezeki khusus bagi nelayan. Dengan menyebut kedua nama gunung tersebut akan mendatangkan ikan terbang dan telurnya ke dalam pakkaja. loloanna Sombalakku : tali layarku diibaratkan sebagai nyawa nelayan. malaekak patanna buluk : malaikat yang punya gunung (bawakaraeng dan lompobattang). nabbita : merujuk kepada Nabi Muhammad SAW napanaungkonabbi : kamu diturunkan oleh Nabi dalam hal ini Nabi Muhammad napatimboko malaekak : padi ditumbuhkan oleh malaikat dan diharapkan padi tumbuh subur. narurungang malaekak : beriringan dengan malaikat yang mendoakanmu sehingga bulir padi bernas tidak puso. natambaiko malaekak : malaikat menumbuhkan dan melipat gandakan hasil panen. pahara : Nabi penjaga rumput laut.
xxvi
pakkaja
pemali
pakangkangngimma pattantanna Rasulullah ridulang-dulang pallunnu rigaddonna Allah Taalah ripallakka bulaengnu
ripoccikna biseangku risulapak ampakna biseangku ritallung bulanga kisicinik ruhu ilapi songka/sungka bala tallasak kulamung tanairikmako yaccing
: alat penangkap ikan yang kedua ujungnya terdapat lubang yang memakai klep. Alat ini hanya dipakai untuk menangkap tuingtuing/ikan terbang. Penangkapan ikan terbang biasanya berlangsung dari bulan April – Juli setiap tahun. Setiap perahu pattorani memuat sawi/awak perahu yang dipimpin oleh punggawa/juragan. Punggawa duduk dibagian belakang perahu sebagai juru mudi dan satu sawi bertindak sebagai juru bantu dan duduk di bagian depan perahu untuk melihat batu karang dan mengatur layar. Tiga sawi bertugas menurunkan pakkaja ke laut dan mereka bertugas mengambil ikan dan telur ikan terbang di dalam pakkaja. Satu orang sawi bertugas untuk memasak. : seorang nelayan harus mengikuti aturan yang menjadi ketentuan dalam tradisi menangkap tuing-tuing/ikan terbang yaitu harus bersih dan selalu mengingat Allah. : genggamkan aku dengan rezeki yang banyak secepatnya. : Perahu yang dilindungi oleh Nabi Muhammad : kuturunkan engkau padi di atas nampan tempat masakmu. : rezeki datang dan ditempatkan di kamarnya Allah Taalah. : Padi ditempatkan di atas plafon rumah karena padi dianggap sebagai pendukung utama dalam kehidupan petani. : di pusatnya perahu nelayan melakukan kegiatan penangkapan ikan. : di empat bagian perahu dilindungi oleh Allah Taalah. : di tiga mendatang kita bertemu padi untuk dipanen. : ruh Ilahi berdiri di pusat perahu nelayan. : tolak bala atau jauhkan dari marabahaya yang akan menimpa perahu nelayan. : bibit hidup kutanam sebenarnya bibit padi yang dimaksudkan. : padi yang telah dipanen tidak kena hembusan angin lagi dan padi tersebut ditempatkan di atas plafon rumah.
xxvii
tanararangko
tulembang tumaboyanu tumallassukkannu
tumappajarinu
tupakbiring turaya
uk
yaccing
yakkung
yamming yukkung
: padi yang telah dipanen tidak disinari matahari lagi karena telah diistirahatkan di atas plafon rumah. : orang tinggal di daratan tinggi / pegunungan dan daratan rendah/lembah. : orang datang mencarimu sehingga padi puso. : orang melahirkanmu biasa disebut anrong/bunda dan diibaratkan sebagai tanah yang menumbuhkan bibi padi. : orang yang membuatmu sering disebut mange/ayah dan diibaratkan sebagai seorang petani. : orang yang hidup di daerah pesisir biasanya disebut nelayan. : orang gunung biasanya menempati daerah pegunungan atau orang berasaal dari daerah timur. : rambut diibaratkan seperti gosse/ rumput laut oleh nelayan. Bahkan dalam mantra gosse dikatakan sisa rambutnya Nabi Hawa. : nama padi disebutkan dalam mantra oleh petani dengan harapan bibit padi subur dan cepat berkembang. Itulah sebabnya petani pemali/pantang menyebut langsung nama padi. : aku sebagai petani menyebut diri yakkung agar dapat dipersatukan dengan yaccing oleh yukkung Tuhan. : bayangan pembaca mantra dalam mantra Tupakbiring : engkau/penyebutan nama Tuhan dengan nama kesayangan suku Makassar.
xxviii
DAFTAR ISI SAMPUL LUAR ............................................................................................... i SAMPUL DALAM ............................................................................................ ii PRASYARAT GELAR ..................................................................................... iii LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. iv PENETAPAN PANITIA PENILAI ................................................................. v PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................................... vi UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ vii ABSTRAK ......................................................................................................... xiii ABSTRACT ........................................................................................................ xiv RINGKASAN .................................................................................................... xv GLOSARIUM....................................................................................................xxiv DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................xxxiv DAFTAR ISI ......................................................................................................xxviii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................xxxii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..........................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................
8
1.3 Tujuan Penelitian .....................................................................................
8
1.3.1 Tujuan Umum ........................................................................................
8
1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................................
9
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................
9
1.4.1 Manfaat Teoretis .....................................................................................
9
1.4.2 Manfaat Praktis .......................................................................................
10
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................
10
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka ..........................................................................................
13
2.2 Konsep Penelitian .....................................................................................
19
2.2.1 Konsep Sastra Lisan ................................................................................
19
2.2.2 Konsep Tradisi Lisan ..............................................................................
21
2.2.3 Konsep Mantra ........................................................................................
24
2.3 Landasan Teori.......................................................................................... .
32
xxix
2.3.1 Struktur Teks Mantra ..............................................................................
32
2.3.2 Fungsi Teks Mantra.................................................................................
37
2.3.3 Fungsi Struktural .....................................................................................
42
2.3.4 Teori Semiotika .......................................................................................
44
2.3.5 Teori Stilistika .........................................................................................
54
2.4 Model Penelitian .......................................................................................
56
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ................................................................................
60
3.2 Sumber Data dan Informan .......................................................................
61
3.3 Instrumen Penelitian .................................................................................
63
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ....................................................
63
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data.............................................................
66
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis ...........................................
67
BAB IV GAMBARAN KEHIDUPAN SUKU MAKASSAR 4.1 Gambaran Wilayah dan Penduduk Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar ....................................................................................
68
4.1.1 Kabupaten Gowa .....................................................................................
68
4.1.2 Kabupaten Takalar ..................................................................................
78
4.2 Gambaran Kehidupan Suku Makasar .......................................................
85
4.2.1 Suku Makassar dan Maritim ...................................................................
86
4.2.2 Bahasa dan Sastra Suku Makassar .........................................................
88
4.2.3 Sistem dan Nilai Sosial Suku Makassar .................................................
89
4.2.4 Sistem Kekerabatan.................................................................................
92
4.2.5 Agama Islam di Sulawesi Selatan ...........................................................
93
4.2.6 Mata Pencaharian ....................................................................................
99
BAB V STRUKTUR TEKS MANTRA TULEMBANG DAN MANTRA TUPAKBIRING 5.1 Struktur Teks Mantra Tulembang ............................................................
101
5.2 Struktur Teks Mantra Tupakbiring ...........................................................
136
xxx
BAB VI FUNGSI DAN VARIASI TEKS MANTRA TULEMBANG DAN TUPAKBIRING 6.1 Fungsi Teologi ..........................................................................................
173
6.1.1 Fungsi Teologi Teks Mantra Tulembang ...............................................
173
6.1.2 Fungsi Teologi Teks Mantra Tupakbiring ..............................................
190
6.2 Fungsi Sosial dan Fungsi Budaya .............................................................
203
6.2.1 Fungsi Sosial dan Fungsi Budaya Mantra Tulembang ............................
203
6.2.2 Fungsi Sosial dan Fungsi Budaya Mantra Tupakbiring .........................
211
BAB VII MAKNA
TEKS
MANTRA
TULEMBANG
DAN
TUPAKBIRING 7.1 Makna Teks Mantra Tulembang ...............................................................
221
7.1.1 Makna Teologi Mantra Tulembang .........................................................
221
7.1.2 Makna Sosial dan Budaya Mantra Tulembang .......................................
234
7.2 Makna Teks Mantra Tupakbiring ..............................................................
242
7.2.1 Makna Teologi Mantra Tupakbiring .......................................................
242
7.2.2 Makna Sosial dan Makna Budaya Mantra Tupakbiring .........................
251
BAB VIII STRATEGI PEWARISAN MANTRA TULEMBANG DAN TUPAKBIRING 8.1 Strategi Pewarisan Mantra Tulembang .....................................................
263
8.1.1 Strategi Pewarisan ...................................................................................
263
8.1.2 Strategi Pembacaan .................................................................................
265
8.1.3 Strategi Pelestarian ..................................................................................
267
8.2 Strategi Pewarisan Mantra Tupakbiring ...................................................
269
8.2.1 Strategi Pewarisan ...................................................................................
269
8.2.2 Strategi Pembacaan .................................................................................
271
8.2.3 Strategi Pelestarian ..................................................................................
275
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan ...............................................................................................
277
9.2 Temuan dan Kontribusi Penelitian............................................................
284
9.3 Saran .........................................................................................................
286
xxxi
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 287 LAMPIRAN ……………………………………………………………….. 297 1) Teks Mantra Tulembang ............................................................................. 296 2) Teks Mantra Tupakbiring ............................................................................ 299 3) Pedoman Wawancara ................................................................................... 303 4) Daftar Nama Informan ................................................................................. 304
xxxii
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1
Model Penelitian ......................................................................
57
Gambar 4.1
Peta Administrasi Kabupaten Gowa ........................................
77
Gambar 4.2
Peta Administrasi Kabupaten Takalar .....................................
83
Gambar 6.1
Melihat hari baik dengan menggunakan Pitika yang dipercayai oleh para petani ...................................................... 174
Gambar 7.1
Bibit yang telah dipilah dan diikat dalam satu-satuan dan siap untuk ditanam di sawah .................................................... 225
Gambar 7.2
Membajak sawah dengan kerbau .............................................
Gambar 7.3
Hasil pembibitan yang akan dipilah dan ditanam dalam sawah yang telah dibajak ......................................................... 238
Gambar 7.4
Padi ditanam dan diberi air secukupnya untuk pertumbuhan padi .......................................................................................... 239
Gambar 7.5
Padi siap dipanen dan diharapkan berisi bulir padi yang bernas ....................................................................................... 241
Gambar 7.6
Para isteri Punggawa Sawi meminta restu dari Tetua Adat, sebelum berlayar menangkap ikan terbang ............................. 243
Gambar 7.7
Sorongang berisi bawang merah, bawang putih, jahe, pala, kayu manis, daun pinang, gambir. Isi Sorongan bermanfaat sebagai obat disebabkan nelayan akan melaut berhari-hari .... 248
Gambar 7.8
Lesung ini digunakan untuk menumbuk dempul yang akan digunakan pada perahu nelayan ............................................... 254
Gambar 7.9
Para Sawi menumbuk dan mengolah adonan dempul yang akan digunakan pada perahu nelayan ...................................... 254
236
Gambar 7.10 Pakkaja alat penangkap ikan yang punya keunikan ikan terbang dapat masuk ke dalam tetapi tidak dapat keluar lagi .. 256 Gambar 8.1.
Strategi Pewarisan Mantra Tulembang....................................
264
Gambar 8.2. Strategi Pewarisan Mantra Tupakbiring ......................................
271
xxxiii