MANHAJ KRITIK MATAN ‘Ā’ISYAH RA
Niki Alma Febriana Fauzi Mahasiswa Tafsir-Hadits Universitas Ahmad Dahlan.
[email protected]
Abstract: This paper discussed the methods used by ‘Ā’isyah as benchmark in criticizing matan hadith. The accusation against Islam about the lack of methodology in the study of hadith criticism, especially matan criticism, has forced contemporary Islamic scholars to create a method that can be used to criticize the substance of hadith. Indeed, the principles in criticized matan hadith have been made and used by ‘Ā’isyah. The ‘Ā’isyah manhaj of matan criticism has been tested the reliability. The writer concluded that the methodology of ‘Ā’isyah manhaj of matan criticism was proven reliable for tested the authenticity of hadith by used the correspondence of truth and coherence theories in philosophical epistemology as the method of analysis.
Keywords: Correspondence theory, Coherence theory, the Matan critic Abstrak: Makalah ini membahas metode yang digunakan oleh 'Ā'isyah sebagai patokan dalam mengkritik matan hadis. Tuduhan terhadap Islam tentang kurangnya metodologi dalam studi kritik hadits, terutama kritik matan, telah memaksa ulama Islam kontemporer untuk menciptakan sebuah metode yang dapat digunakan untuk mengkritik substansi hadis. Memang, prinsip-prinsip dalam mengkritik hadits matan telah dibuat dan digunakan oleh 'Ā'isyah. The 'Ā'isyah manhaj kritik matan telah diuji reliabilitas. Penulis menyimpulkan bahwa metodologi 'Ā'isyah manhaj kritik matan terbukti dapat diandalkan untuk menguji keaslian hadits dengan menggunakan korespondensi kebenaran dan koherensi teori dalam epistemologi filsafat sebagai metode analisis.
Kata Kunci: Teori korespondensi, Teori koherensi, Kritik matan
116 |
MUWÂZÂH, Volume 5, Nomor 1, Juli 2013
penting
Pendahuluan Otentitas
hadis
telah
menjadi
perhatian para sarjana Islam klasik sejak
untuk
mendapat
pengujian
(Syamsul Anwar, 2011: 32-44). Melihat
kritikan-kritikan
tajam
masa awal Islam. Untuk itu mereka
tersebut, sarjana Islam kontemporer tidak
membuat kriteria bagi suatu hadis apakah
tinggal diam, dan kemudian mencoba
hadis tersebut dapat diterima sebagai alat
merumuskan sebuah metode (manhaj)
legitimasi
itu
untuk menguji aspek internal suatu hadis,
mencakup kriteria eksternal (al-khārijī)
khususnya dari segi substansi matannya.
dan internal (al-dākhilī) (Ibn aṣ-Ṣalāh,
Uji internal hadis semacam ini, dalam
1406/1986: 11-12).
perkembangannya, lazim disebut dengan
atau
tidak.
Kriteria
Namun dalam perjalanan panjang
nama kritik matan hadis. Ṣalāḥuddīn al-
diskursus hadis, kriteria ini mendapat
Adlabī dan Musfir ad-Dumainī adalah dua
sorotan bahkan kritikan tajam dari para
nama sarjana Islam kontemporer yang
sarjana barat dan tidak sedikit pula sarjana
mencoba merumuskan kaidah-kaidah uji
Islam, karena kriteria ini dianggap -
validitas internal hadis atau kaidah kritik
meskipun mencakup dua unsur kriteria -
matan hadis. Dua karya mereka secara
hanya menekankan pada uji eksternal, dan
berurutan ialah Manhaj Naqd al-Matn
cenderung mengabaikan pada uji internal.
‘inda ‘Ulamā’ al-Ḥadīṡ an-Nabawī dan
Hal demikian sesungguhnya dapat dimaklumi karena memang para sarjana
Maqāyīs Naqd Mutūn as-Sunnah. Al-Adlabī
dalam
karyanya
uji
memaparkan bahwa substansi dari suatu
validitas internal hadis lebih menekankan
hadis tidak boleh bertentangan dengan (a)
pada format matan; apakah ada tambahan
al-Qur’an, (b) hadis yang telah diterima
(ziyādah), sisipan (idrāj), pembalikan
keotentikannya, (c) akal, dan (d) sejarah.
(iqlāb) atau pengurangan (nuqshān) yang
Selain itu juga harus mengindikasikan
dapat mengakibatkan adanya pertentangan
bahwa hadis itu adalah kalam Rasulullah
dalam hadis atau antar hadis yang
(Al-Adlabī,
kemudian akan berimplikasi terhadap
Sementara
lemahnya suatu hadis. Mereka (sarjana
antara kriteria yang dimiliki ahli hadis dan
Islam klasik) sedikit sekali - untuk
fukaha. Menurutnya, di kalangan ahli
mengatakan
-
hadis suatu hadis akan menjadi daif
memberikan perhatian terhadap substansi
karena mengandung unsur inkoherensi,
matan hadis yang sebenarnya tidak kalah
yaitu bertentangan dengan (a) al-Qur’an,
Islam
klasik
ketika
tidak
melakukan
sama
sekali
Manhaj Kritik Matan ‘A’isyah RA (Niki Alma Febriana Fauzi)
1403
H/1983:
ad-Dumainī
238).
membedakan
| 117
(b) hadis atau sunah yang telah terbukti
Istri baginda Rasul yang terkenal kritis
otentik, (c) hadis atau sunah yang telah
dan cerdas ini bisa dikatakan merupakan
mapan, (d) bahasa arab yang benar, (f)
seorang
fakta sejarah, prinsip dan kaidah syariah
kontribusi
yang sudah tetap, dan (g) akal sehat (Ad-
pengembangan ilmu hadis, khususnya
Dumainī, tt: 109-261). Sedangkan di
yang berkaitan dengan kritik internal.
kalangan fukaha, matan hadis adalah
Bahkan berdasarkan pembacaan penulis
makbul apabila koheren, dan sebaliknya
selama ini, tidak berlebihan jika dikatakan
ditolak apabila bertetangan dengan (a) al-
‘Ā’isyah-lah orang pertama yang menjadi
Qur’an, (b) hadis yang telah terbukti
pendiri tonggak utama kaidah kritik matan
otentik, (c) ijmak, (d) praktik sahabat, (e)
dalam dikursus ilmu hadis (Jīhān Rif‘at
qiyas, (f) prinsip umum syari’ah, dan (g)
Fauzī,
kelaziman dalam hal yang umum terjadi
1375/1955: 1- 2).
(Ad-Dumainī,
tt:
263-482).
Kriteria-
sahabat
yang
memberikan
signifikan
dalam
1421/2001: 3-5 dan Aż-Żahabī,
Dalam tulisan ini penulis mencoba
kriteria inilah yang sekarang menjadi
menguraikan
apa
saja
metode
acuan utama para sarjana dan ilmuwan
dijadikan tolok ukur ‘Ā’isyah dalam
dalam melakukan penelitian matan untuk
mengkritisi matan hadis? dan kemudian
mendapatkan suatu berita yang benar dari
setelah diketahui, pertanyaan selanjutnya
suatu hadis. Kriteria-kriteria tersebut pada
adalah
satu sisi dianggap bisa memfilter berita-
(mauṡūqiyyah) tolok ukur tersebut?.
bagaimanakah
yang
reliabitas
berita yang tidak otentik dan pada sisi yang lain dapat tetap mengawal dan
A. Biografi Singkat ‘Ā’isyah ra.
menjaga kebenaran suatu berita yang terkandung dalam suatu hadis. Jauh
perempuan dari Abū Bakr ibn Abū
dirumuskannya
Quḥāfah Ūṡman ibn ‘Āmir ibn ‘Amr ibn
kriteria-kriteria penelitian matan oleh
Ka‘b ibn Sa‘ad ibn Taim ibn Marrah ibn
sarjana Islam kontemporer seperti tersebut
Ka‘b ibn Lu’ai, seorang sahabat besar
di atas, sesungguhnya prinsip-prinsip dari
yang diberi gelar aṣ-ṣiddīq (Ibn ‘Abd al-
kriteria tersebut telah diaplikasikan sejak
Barr,
zaman sahabat dan dilakukan oleh sahabat
bernama Ummu Rūmān binti ‘Āmir ibn
sendiri.
yang
‘Uwaimir ibn ‘Abd asy-Syams ibn ‘Ītab
menerapkannya, nama ‘Ā’isyah binti Abī
Ażinah al-Kināyah (Ibn al-Aṡir, t.t.: VII:
Bakr adalah nama yang paling masyhur.
186). Nama ‘Ā’isyah diambil dari kata al-
118 |
sebelum
‘Ā’isyah adalah salah satu anak
Dari
sekian
sahabat
1423/2002:.
779-781).
Ibunya
MUWÂZÂH, Volume 5, Nomor 1, Juli 2013
‘Aisy. Ada juga yang berpendapat diambil
yang menjadi penyakit masyarakat Mekah
dari
ketika itu (Jīhān Rif‘at Fauzī, tt: 18).
kata
1421/2001:
‘Aisyah 6).
dengan
Masa kecil yang dilalui ‘Ā’isyah
beberapa laqab (julukan). Ḥumairā’, Binti
sedikit berbeda dengan masa kecil anak-
aṣ-ṣiddīq dan Binti Abī Bakr adalah
anak sebayanya. Di umurnya yang masih
julukan-julukan yang biasa digunakan
amat belia, ia sudah harus menjadi
untuk memanggilnya. Sementara kunyah-
seorang istri bagi seorang lelaki yang
nya
sangat mulia. Tepat ketika umurnya
(nama
Ia
(Az-Zarkasyī, dijuluki
panggilan)
ialah
Ummu
menginjak
‘Abdillāh (Jīhān Rif‘at Fauzī, tt: 9). ‘Ā’isyah terlahir di tengah keluarga
tahun
ke-6,
Rasulullah
menjadikannya istri (Mullākhāṭir, 1405:
yang telah diterangi cahaya gemilang
th).
Setelah
pernikahannya
Islam. Dia memiliki saudara perempuan
Rasulullah
bernama Asmā’ binti Abī Bakr (Ibn ‘Abd
kemudian langsung tinggal bersama Nabi.
al-Barr, tt: 871-873) dan saudara laki-laki
Nabi dengan penuh kebijaksanaan melihat
bernama ‘Abd ar-Rahmān ibn Abī Bakr
bahwa saat itu ‘Ā’isyah memang masih
(Ibn al-Aṡir, tt: III, 362-365). Kedua
belum saatnya menjadi istri ‘seutuhnya’.
orang tuanya termasuk orang-orang yang
Oleh karenanya Rasulullah ketika itu
paling awal masuk Islam (as-sābiqūna al-
mempersilahkan kepada ‘Ā’isyah untuk
dihelat,
dengan
‘Ā’isyah
tidak
risalah
tinggal bersama orang tuanya terlebih
Rasulullah kepada masyarakat Mekah saat
dahulu. Baru ketika umurnya 9 tahun,
itu (Jīhān Rif‘at Fauzī, tt: 12). ‘Ā’isyah
tinggallah ‘Ā’isyah bersama Nabi di
lahir di kota tersebut (Mekah) sekitar
Madinah dalam satu atap rumah dan Nabi
tahun keempat kenabian (Jīhān Rif‘at
mulai ‘mempergaulinya’.
awwalūn)
setelah
datang
dalam
Dalam perjalanan rumah tangganya
lingkungan keluarga Arab asli yang
bersama manusia terbaik, Muḥammad ibn
terhormat. Kehormatan tersebut didapat
‘Abdullāh, ‘Ā’isyah bukan tanpa cobaan.
dari garis keturunan ayahnya yang masih
Predikatnya sebagai istri dari musuh
tergolong keluarga kabilah Taim, yang
nomor satu kaum kafir Quraisy dan orang
notabene salah satu kabilah bangsawan di
munafik, membuatnya menjadi sasaran
Mekah.
empuk mereka. Cobaan paling berat yang
Fauzī,
tt:
16).
Ia
Keberadaanya
tumbuh
di
tengah
lingkungan tersebut, membuat ‘Ā’isyah
menimpa
‘Ā’isyah
adalah
ketika
ia
tidak pernah menyentuh kemusyrikan
difitnah oleh ‘Abdullāh ibn Ubai ibn Salūl, salah seorang munafik di zaman
Manhaj Kritik Matan ‘A’isyah RA (Niki Alma Febriana Fauzi)
| 119
Nabi. Oleh ‘Abdullāh ibn Ubai ibn Salūl,
6). Peperangan inilah yang disebut dengan
‘Ā’isyah
serong
perang Jamāl, yang terjadi di Irak pada
dengan Ṣafwān ibn Mu‘aṭṭal. Peristiwa
pertengahan bulan Jumadil Akhir tahun 36
yang sering disebut Ḥadīṡ al-Ifki (kejadian
H. Satu peperangan yang berdampak
dusta) ini terjadi setelah kaum muslimin
sangat besar terhadap peradaban Islam
selesai perang dengan Bani Muṣṭaliq pada
sampai saat ini (‘Abd al-Mun‘im al-Ḥifnī,
bulan Syakban tahun ke-5 H, yang diikuti
tt: 779-788).
difitnah
melakukan
Akhirnya, pada hari selasa tanggal
pula oleh orang-orang munafik. Pada saat fitnah
itu
membebaskannya
menyebar,
Allah
17 Ramadan tahun 58 H, Allah swt.
dari
dusta
memanggil
tuduhan
‘Ā’isyah
untuk
berjumpa
tersebut dengan menurunkan firman-Nya
dengan-Nya. Di atas bumi Madinah,
surat an-Nūr ayat 11-26 (Abd al-Mun‘im
‘Ā’isyah menghembuskan nafas terakhir
al- ifnī, 1423/2003: 336-337). Firman
dalam keadaannya
Allah ini membebaskan dan membuktikan
sejati. Ia dimakamkan di suatu daerah
bahwa ‘Ā’isyah adalah seorang wanita
bernama Baqī‘ dan dihadiri oleh banyak
suci yang tidak pernah terkotori oleh
kaum muslimin ketika itu, dengan Abū
perbuatan keji (Jīhān Rif‘at Fauzī,tt: 32).
Hurairah yang bertindak menjadi imam
Setelah diuji dengan berita dusta yang dituduhkan kepadanya dalam Ḥadīṡ al-Ifki, selang beberapa waktu lamanya
atas
sebagai
permintaannya
muslimah
sendiri
sebelum
berpulang (Az-Zarkasyī,tt: 11). ‘Ā’isyah
benar-benar
telah
‘Ā’isyah mengalami kembali ujian yang
memberikan sumbangsih besar bagi umat
tidak kalah besar dan berat dari peristiwa
Islam.
tersebut. Adalah peristiwa yang dikenal
gemilang
dengan al-fitnah al-kubrā (fitnah besar).
Muḥammad. Semoga ampunan dan rida
Berawal
Allah selalu tercurah padanya.
dari
terbunuhnya
Khalifah
Ia
meninggalkan untuk
jejak-jejak
diteladani
umat
‘Uṡmān, timbullah perpecahan di antara para sahabat. Di satu sisi ada kelompok Ṭalḥah
dan
Zubair
yang
mendapat
B. Sisi Keistimewaan ‘Ā’isyah ra. ‘Ā’isyah adalah perempuan yang
dukungan dari ‘Ā’isyah, dan di sisi lain
istimewa
dan
ada kelompok ‘Alī ibn Abī Ṭālib. Dua
keutamaan.
Seorang
Badruddīn
Az-Zarkasyī,
kelompok
yang
bertemu
dalam
pepeperangan sengit ini memperebutkan posisi Khalifah (Harun Nasution, 2002: 120 |
memiliki ulama
banyak bernama
menghimpun
keutamaan-keutaman ‘Ā’isyah tersebut sebanyak 40 (Az-Zarkasyī, tt: 17-55). MUWÂZÂH, Volume 5, Nomor 1, Juli 2013
Selain
itu,
‘Ā’isyah
juga
termasuk
adalah
seorang
wanita
yang
taat
perempuan yang memiliki kecerdasan
beribadah, dermawan, zuhud dan warak
intelektual yang tinggi. Kebersamaan
(Az-Zarkasyī, tt: 49).
‘Ā’isyah
yang
cukup
lama
dengan
Keselarasan
antara
kecerdasan,
Rasulullah merupakan salah satu faktor
keutamaan dan kesalehahan ‘Ā’isyah
dominan mengapa ia memiliki kecerdasan
inilah yang menjadikannya sebagai wanita
seperti itu. Perempuan yang dinikahi
yang begitu istimewa dan menempati
Rasulullah
banyak
posisi yang tidak tergantikan di sisi
menyerap dan menimba ilmu langsung
Rasulullah saw.. ‘Ā’isyah menjadi simbol
dari ayahnya sendiri, Abū Bakr aṣ-Ṣiddīq
wanita muslimah yang cerdas, salehah dan
dan sang suami, Rasulullah (Az-Zarkasyī,
memiliki kekritisan. Meskipun demikian
tt: 11).
harus tetap diakui bahwa ‘Ā’isyah juga
sejak
kecil
ini,
itupun
adalah manusia biasa yang pasti pernah
tidak terbatas hanya dalam satu bidang
berbuat kekeliruan dan kesalahan, karena
ilmu an sich, namun mencakup beberapa
ia adalah manusia biasa yang tidak
bidang. Di antara bidang ilmu yang
maksum.
Keintelektualan
‘Ā’isyah
dikuasai ‘Ā’isyah antara lain: faraid (AdDārimī, 1421/2000), IV: 1887, hadis no.
C. Kritik Matan ‘Ā’isyah ra
291), kedokteran (Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī,
Dalam konteks penelitian hadis,
t.t.: VIII, 140), genealogi (Aż-Żahabī, t.t:
menguji validitas sanad adalah hal mutlak
II, 183), syair (Jīhān Rif‘at Fauzī, tt: 41),
pertama
yang
fikih (‘Abd al-Barr, tt: 920), tafsir (Sa‘īd
seorang
peneliti.
Fayīz ad-Dakhīlī, 1409/1989: 567-572)
peneliti terhadap sebuah hadis akan sia-sia
dan hadis (Jīhān Rif‘at Fauzī, tt: 41).
belaka
jika
harus
dilakukan
Penelitian
sebelumnya
oleh
seorang ia
tidak
akan
melakukan uji validitas sanad terlebih
kecerdasan
dahulu. Kalaupun matannya sahih dan
intelektual di atas rata-rata orang pada
terbebas dari pertentangan, namun jika
umumnya, tanpa didukung oleh kualitas
sanad atau jalur transmisi yang membawa
keagamaan (kesalehahan) yang dimiliki.
materi hadis itu tidak valid, maka hadis
Hal tersebut juga berlaku pada ‘Ā’isyah,
tersebut tidak dapat diterima dan dijadikan
istri baginda Rasul. Di balik keutamaan
hujah. Oleh karenanya dalam hal ini
dan
melakukan uji validitas sanad sebelum
Seseorang memiliki
tidak
keutamaan
kecerdasaanya,
mungkin dan
‘Ā’isyah
adalah
seorang wanita yang sangat salehah. Ia
melakukan
Manhaj Kritik Matan ‘A’isyah RA (Niki Alma Febriana Fauzi)
penelitian
matan
adalah
| 121
keniscayaan yang harus dilaksanakan oleh
itu, dan dilakukan oleh para sahabat
seorang
sendiri, khususnya juga oleh ‘Ā’isyah
peneliti
hadis
(Kadarusman,
2005: 109-111).
yang menjadi figur central dalam tulisan
Lalu pertanyaannya, apakah pada
ini.
periode sahabat ketika sanad itu belum terlalu
panjang,
‘Ā’isyah
telah
Para sahabat besar seperti Abū Bakr, ‘Umar ibn al-Khaṭṭab, ‘Uṡman ibn ‘Affān
mempraktekan uji validitas sanad atau
dan
kritik sanad? Penting untuk diketahui
mempraktekan
terlebih dahulu, bahwa penelitan sanad
metode mereka masing-masing untuk
pada masa awal Islam (periode sahabat)
memastikan validitas dari sebuah hadis.
berbeda
penelitian-penelitian
Misalnya ketika ‘Umar mendengar hadis
sanad yang ada pada zaman sekarang. Bila
yang disampaikan oleh Ubai ibn Ka’ab.
sekarang
harus
‘Umar barulah bersedia menerima riwayat
menelusuri biografi dan penilaian para
hadis dari Ubai, setelah para sahabat yang
ulama
dengan seorang
al-jarḥ
peneliti
‘Alī
ibn
Abī
kritik
Ṭālib sanad
telah dengan
terhadap
lain, di antaranya Abū Żarr menyatakan
seorang perawi ke dalam berbagai kitab
telah mendengar pula hadis Nabi tentang
tarājim dan ṭabāqāt (kitab biografi), maka
apa yang dikemukakan oleh Ubai tersebut
pada periode sahabat hal-hal seperti ini
(Syuhudi Ismail, 2005: 45-6). Tidak hanya
tidak
itu,
wa
dilakukan.
at-ta‘dīl
Beberapa
sebabnya,
Abū
Mūsā
al-Asy‘arī
antara lain bahwa kitab-kitab biografi
meriwayatkan
tersebut baru muncul pada sekitar abad
perintah kepada seseorang agar pulang
ke-2 H, (Muhammad Zubayr Siddiqi,
apabila setelah tiga kali salam tidak
2002: 84), jauh setelah periode sahabat
dijawab oleh empunnya rumah, juga
berakhir. Selain itu, karena materi hadis
dimintai saksi oleh ‘Umar. Ketika itu Ubai
yang baru terdistribusi di antara para
ibn Ka‘ab yang menjadi saksi baginya
sahabat (Fu’ad Jabali, 2010: 39-62) dan
(Al-Jawābī, t.t.: 103).
sedikit dari tabiin, serta predikat sahabat
‘Alī ibn Abī Ṭālib juga tak jauh berbeda
yang semuanya ‘ādil (bermoral tinggi)
ketika menerima riwayat hadis. Secara
(Barmawi
2004:328-329)
umum, ‘Alī barulah bersedia menerima
membuat penelitian sanad pada periode
riwayat hadis Nabi setelah periwayat
tersebut belum terlalu detail dan tersistem
hadis yang bersangkutan mengucapkan
seperti sekarang. Namun demikian, benih-
sumpah,
Mukri,
sebuah
bahwa
hadis
ketika tentang
Kemudian sikap
hadis
yang
benih kritik sanad telah ada sejak periode 122 |
MUWÂZÂH, Volume 5, Nomor 1, Juli 2013
disampaikannya itu benar-benar berasal
(kurang hafal) terhadap riwayat, sehingga
dari Nabi (Syuhudi Ismail, 2005:. 49).
mereka meriwayatkannya dengan tidak
Dari sini dapat diketahui bahwa para
benar; (3) Pemahaman yang kurang tepat
sahabat telah menggunakan beberapa
terhadap
metode untuk memastikan keotentikan
mengetahui
sebuah hadis, seperti dengan pengambilan
sehingga tidak dapat membedakan mana
sumpah dan meminta saksi dari sahabat
hadis yang sifatnya ‘ām (general word),
yang lain. Metode seperti ini merupakan
khās (specific term), muqayyad (confined)
bentuk kehati-hatian (iḥṭiyāṭ) mereka
atau muṭlaq (unrestricted word): (5) tidak
dalam menerima suatu hadis dari seorang
mengetahui
perawi.
diriwayatkannya
Adapun yang dilakukan ‘Ā’isyah
sebagian
hadis;
asbāb
(4)
al-wurūd
bahwa
hadis
telah
tidak hadis,
yang
di-mansūkh
(dihapus); dan (6) kurangnya pengetahuan
dalam hal ini agak sedikit berbeda dengan
sahabat
apa yang dilakukan oleh para sahabat.
diriwayatkannya, sehingga mereka salah
Kritik sanad yang dilakukan oleh ‘Ā’isyah
dalam berfatwa (Jīhān Rif‘at Fauzī, tt: 84).
telah lebih ‘berani’ bila dibandingkan dengan
yang
menitikberatkan
lain. pada
mengungkapkan
‘Ā’isyah
bagaimana
kekeliruan
ia yang
dilakukan sahabat. Hal ini bukan berarti bahwa ‘Ā’isyah menuduh dusta kepada
Satu
terhadap
contoh
hadis
misalnya
yang
ketika
‘Ā’isyah mengkritik Abū Hurairah dalam riwayat berikut.
ﻞ َأﺑُﻮ َﺧ َ ﺸ َﺔ َﻓ َﺪ َ ﻋ ْﻨ َﺪ ﻋَﺎ ِﺋ ِ ل ُآﻨﱠﺎ َ ﻋ ْﻠ َﻘ َﻤ َﺔ ﻗَﺎ َ ﻦ ْﻋ َ ن ا ْﻣ َﺮَأ ًة ث َأ ﱠ ُ ﺤﺪﱢ َ ﺖ اﱠﻟﺬِي ُﺕ َ ﺖ َأ ْﻥ ْ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َﻓﻘَﺎَﻟ
para sahabat yang membawa hadis secara
ﻄ ِﻌ ْﻤﻬَﺎ َوَﻟ ْﻢ ْ ﻄ ْﺘﻬَﺎ َﻓَﻠ ْﻢ ُﺕ َ ﺖ ﻓِﻲ ِه ﱠﺮ ٍة َﻟﻬَﺎ َر َﺑ ْ ﻋﺬﱢ َﺑ ُ
keliru. Akan tetapi dalam hal ini ia hanya
ﺹﻠﱠﻰ َ ﻲ ﺱ ِﻤ ْﻌ ُﺘ ُﻪ ِﻣ ْﻨ ُﻪ َﻳ ْﻌﻨِﻲ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ َ ل َ ﺴ ِﻘﻬَﺎ ؟ َﻓﻘَﺎ ْ َﺕ
berusaha
menjelaskan
apa
yang
menurutnya benar, demi terjaganya sunah
ل َأﺑِﻲ َ ﻋﺒْﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ َآﺬَا ﻗَﺎ َ ل َ ﺱﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ اﻟﱠﻠ ُﻪ
Nabi. Terbukti para sahabat yang dikritisi
ن ﺖ ا ْﻟ َﻤ ْﺮَأ ُة ؟ ِإ ﱠ ْ ﻞ َﺕ ْﺪرِي ﻣَﺎ آَﺎ َﻥ ْ ﺖ َه ْ َﻓﻘَﺎَﻟ
‘Ā’isyah
ن ﺖ آَﺎ ِﻓ َﺮ ًة َوِإ ﱠ ْ ﺖ آَﺎ َﻥ ْ ا ْﻟ َﻤ ْﺮَأ َة َﻣ َﻊ ﻣَﺎ َﻓ َﻌَﻠ
adalah
mereka
yang
tidak
diragukan lagi integritas akhlaknya (Nicky Alma Febriana Fauzi, 2012: 20-21). Mengenai tersebut
kekeliruan
disebabkan
karena
ن ْ ﻦ َأ ْ ﻞ ِﻣ ﺟﱠ َ ﻋ ﱠﺰ َو َ ﻋﻠَﻰ اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﻦ َأ ْآ َﺮ ُم َ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ
sahabat
ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ِ ﻦ َرﺱُﻮ ْﻋ َ ﺖ َ ﺣ ﱠﺪ ْﺛ َ ُﻳ َﻌ ﱢﺬ َﺑ ُﻪ ﻓِﻲ ِه ﱠﺮ ٍة َﻓِﺈذَا
beberapa
ث ُ ﺤﺪﱢ َ ﻒ ُﺕ َ ﻈ ْﺮ َآ ْﻴ ُ ﺱﱠﻠ َﻢ ﻓَﺎ ْﻥ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺹﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ
faktor: (1) kesalahan sahabat dalam meriwayatkan hadis; (2) sahabat lupa
Manhaj Kritik Matan ‘A’isyah RA (Niki Alma Febriana Fauzi)
| 123
،XVI
:م
1995/هـ1416
،)أﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ
.(10727 ﺣﺪﻳﺚ رﻗﻢ424 Artinya: “Dari ‘Alqamah, ia berkata: Kami sedang berada bersama ‘Ā’isyah, lalu Abū Hurairah datang. ‘Ā’isyah lantas berkata
(kepadanya):
Engkau
yang
mengatakan bahwa perempuan disiksa karena seekor kucing yang ia ikat, lalu ia tidak memberinya makan dan minum? Abū Hurairah menjawab: Aku mendengar darinya, yaitu Nabi saw.. ‘Abdullāh berkata:
Ayahku
mengatakan
tahu
siapa
Sesungguhnya
perempuan
perempuan
itu? yang
melakukan itu adalah perempuan kafir, dan sungguh orang mukmin itu lebih mulia di sisi Allah dari pada orang yang diazab karena kucing tersebut. Oleh karena
itu
tentang
ketika
Rasulullah
menggunakan kata-kata seperti: akhṭa’a (ia telah salah), lam yaḥfaẓ (ia tidak hafal) dan nasiya (ia lupa) (Aḥmad, tt: XLI, 277, hadis no. 24758.), untuk menilai sosok perawi
(sanad)
yang
menyampaikan
sebuah hadis. Kata-kata tersebut bila dilihat dari perspektif ilmu al-jarḥ wa atta‘dīl dapat digolongkan ke dalam bentuk
jarḥ (celaan), meskipun sesungguhnya pada periode sahabat ilmu ini belum lahir.
yang
demikian juga. ‘Ā’isyah berkata: Apakah engkau
Dalam kesempatan lain, ‘Ā’isyah sering
engkau
berbicara
saw.
(hadis),
perhatikanlah apa yang engkau katakan.”
D. Menguji Hadis Dengan Al-Qur’an Tolok ukur pertama yang digunakan ‘Ā’isyah dalam menilai matan hadis adalah
mengujinya
dengan
al-Qur’an
(Jīhān Rif‘at Fauzī, tt: 116). Al-Qur’an adalah kitab suci yang telah terjamin keotentikannya (QS 15: 9). Ia menjadi sumber utama ajaran Islam yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Ia tidak hanya sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi
‘Ā’isyah dalam hadis tersebut mengkritik sosok Abū Hurairah sebagai perawi hadis (sanad). Abū Hurairah dianggapnya
tidak
memperhatikan
konteks ketika Nabi mengucapkan hadis tersebut (asbāb al-wurūd), sehingga hadis yang seharusnya cakupannya muqayyad (confined) menjadi
124 |
dipahami
muṭlaq
Abū
(unrestricted
Hurairah word).
juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, serta manusia dengan alam sekitar. Bila dilihat dari segi kekuatan hukum, segalanya.
al-Qur’an Setiap
berada yang
di
atas
menyimpang
apalagi bertentangan dengan al-Qur’an bisa dipastikan bahwa ia adalah sesuatu yang salah. Begitu pula hadis, meskipun ia sama-sama menjadi sumber ajaran Islam, MUWÂZÂH, Volume 5, Nomor 1, Juli 2013
akan tetapi dari segi otoritas, hadis berada di bawah al-Qur’an. Hal ini juga dipahami dengan sangat baik oleh ‘Ā’isyah, bahwa sesuatu yang benar pasti tidak akan
ض َوﻟَﺎ ﻓِﻲ ِ ﻦ ُﻣﺼِﻴ َﺒ ٍﺔ ﻓِﻲ ا ْﻟَﺄ ْر ْ ب ِﻣ َ َأﺹَﺎ ﺧ ِﺮ اﻟْﺂ َﻳ ِﺔ )أﺣﻤﺪ ِ ب { ِإﻟَﻰ ﺁ ٍ ﺴ ُﻜ ْﻢ ِإﻟﱠﺎ ﻓِﻲ ِآﺘَﺎ ِ َأ ْﻥ ُﻔ رﻗﻢ
197
،XLIII :دون اﻟﺴﻨﺔ،ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ
bertentangan satu sama lain. Oleh karena
(26088
itu tolok ukur pertama yang digunakan
Artinya: “Dari Abū Ḥassān al-A‘raj, ia
‘Ā’isyah dalam mengkritisi sebuah hadis adalah menguji materi yang terkandung dalam hadis dengan apa yang termaktub di dalam al-Qur’an. Sehingga konsekuensi dari penggunaan tolok ukur ini adalah menegasikan bertentangan
hadis-hadis atau
yang
menyimpang
dari
ketentuan yang telah ada dalam al-Qur’an. Contoh hadis yang dikritik ‘Ā’isyah dengan menggunakan tolok ukur ini adalah hadis tentang perempuan, binatang ternak
dan
rumah
sebagai
sumber
kesialan.
ﺧﻠَﺎ َ ﻦ َد ِ ﺟَﻠ ْﻴ ُ ن َر ج َأ ﱠ ِ ﻋ َﺮ ْ ن ا ْﻟَﺄ َ ﺣﺴﱠﺎ َ ﻦ َأﺑِﻲ ْﻋ َ
berkata:
Ada
dua
orang
laki-laki
mendatangi ‘Ā’isyah kemudian berkata (kepadanya): Sungguh Abū Hurairah pernah bercerita bahwa Nabi saw. pernah bersabda: Sesungguhnya kesialan itu ada pada perempuan, binatang ternak dan rumah. Ia berkata: Sebagiannya terbang ke langit dan sebagiannya di bumi. Lalu ‘Ā’isyah berkata: Demi Dzat yang telah menurunkan al-Qur’an kepada Abū alQāsim (Rasulullah), tidak seperti ini apa yang dikatakan Nabi, akan tetapi Nabi bersabda: Orang-orang Jahiliyah itu berkata:
Kesialan
itu
ada
pada
ن ث َأ ﱠ ُ ﺤﺪﱢ َ ن َأﺑَﺎ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ُﻳ ﺸ َﺔ َﻓﻘَﺎﻟَﺎ ِإ ﱠ َ ﻋﻠَﻰ ﻋَﺎ ِﺋ َ
perempuan, rumah dan binatang ternak.
ل ُ ن َﻳﻘُﻮ َ ﺱﱠﻠ َﻢ آَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺹﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﻲ اﻟﱠﻠ ِﻪ َﻥ ِﺒ ﱠ
Kemudian ‘Ā’isyah membacakan ayat:
ل َ ﻄ َﻴ َﺮ ُة ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻤ ْﺮَأ ِة وَاﻟﺪﱠا ﱠﺑ ِﺔ وَاﻟﺪﱠا ِر ﻗَﺎ ِإ ﱠﻥﻤَﺎ اﻟ ﱢ
“Tidaklah suatu musibah yang menimpa bumi dan diri kalian kecuali telah
ﺷ ﱠﻘ ٌﺔ ﻓِﻲ ِ ﺴﻤَﺎ ِء َو ﺷ ﱠﻘ ٌﺔ ِﻣ ْﻨﻬَﺎ ﻓِﻲ اﻟ ﱠ ِ ت ْ َﻓﻄَﺎ َر
ditetapkan di dalam kitab ...” sampai
ﻋﻠَﻰ َ ن َ ل ا ْﻟ ُﻘﺮْﺁ َ ﺖ وَاﱠﻟﺬِي َأ ْﻥ َﺰ ْ ض َﻓﻘَﺎَﻟ ِ ا ْﻟَﺄ ْر
akhir ayat ini.”
ﻲ ﻦ َﻥ ِﺒ ﱠ ل َوَﻟ ِﻜ ﱠ ُ ن َﻳﻘُﻮ َ ﺱ ِﻢ ﻣَﺎ َه َﻜﺬَا آَﺎ ِ َأﺑِﻲ ا ْﻟﻘَﺎ
‘Ā’isyah dalam riwayat di atas
ن َ ل آَﺎ ُ ن َﻳﻘُﻮ َ ﺱﱠﻠ َﻢ آَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺹﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ اﻟﱠﻠ ِﻪ
mengkritik apa yang telah diriwayatkan
ﻄ َﻴ َﺮ ُة ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻤ ْﺮَأ ِة ن اﻟ ﱢ َ ﻞ ا ْﻟﺠَﺎ ِهِﻠ ﱠﻴ ِﺔ َﻳﻘُﻮﻟُﻮ ُ َأ ْه
oleh Abū Hurairah mengenai sumber
ﺸ ُﺔ } ﻣَﺎ َ ت ﻋَﺎ ِﺋ ْ وَاﻟﺪﱠا ِر وَاﻟﺪﱠا ﱠﺑ ِﺔ ُﺛﻢﱠ َﻗ َﺮَأ
kesialan
yang
ada
pada
tiga
hal;
perempuan, binatang ternak dan rumah. Menurut
‘Ā’isyah
Manhaj Kritik Matan ‘A’isyah RA (Niki Alma Febriana Fauzi)
hadis
tersebut | 125
bertentangan dengan al-Qur’an surat al-
E. Menguji Validitas Hadis Dengan
Ḥadīd ayat 22 yang menyatakan bahwa
Hadis Lain
segala musibah yang menimpa manusia
‘Ā’isyah adalah istri Nabi yang
dan yang terjadi di dunia ini tidak lain
cukup lama hidup bersama Nabi. Apa
telah dituliskan oleh Allah sebelumnya.
yang ia lihat, ia dengar dan ia dapat dari
Apa
Rasulullah
Nabi tentu berasal dari pergaulannya
bersumber dari wahyu, sehingga tidak
bersama Nabi yang berkesinambungan
mungkin ia mengucapkan sesuatu yang
dan holistis. Hal ini tentu berbeda dengan
bertentangan dengan Kalamullah. Oleh
siapa saja, termasuk para sahabat yang
karenanya untuk membuktikan bahwa
tidak memiliki kesempatan seperti apa
hadis
Abū
yang dimiliki ‘Ā’isyah tersebut. Dengan
Hurairah itu keliru, ‘Ā’isyah mengujinya
kesempatan yang dimiliki ‘Ā’isyah dan
dengan ayat al-Qur’an tersebut. Terbukti
juga
ada konteks atau latar belakang dari hadis
intelektualnya yang tinggi, membuat apa
tersebut yang hilang, sehingga pembacaan
yang ia peroleh dari Nabi lebih bisa
terhadap hadis menjadi keliru. ‘Ā’isyah
dipertanggungjawabkan dan lebih dapat
yang
dipercaya.
yang
datang
yang
dari
diriwayatkan
mengetahui
kapan
oleh
Rasulullah
ditunjang
oleh
kecerdasaan
tersebut
Tolok ukur kedua yang dipakai
mengembalikan konteks yang hilang ke
‘Ā’isyah dalam menilai suatu matan hadis
tempat asalnya.
adalah dengan menguji hadis tersebut
mengucapkan
hadis
Riwayat tersebut mencerminkan
dengan hadis lain yang ia ketahui (Jīhān
luasnya pemahaman ‘Ā’isyah terhadap
Rif‘at
suatu hadis. Bahwa tidak mungkin suatu
menggunakan tolok ukur ini, ‘Ā’isyah
hadis yang valid bertentangan dengan
terkadang melakukannya dengan cara
hukum-hukum
yang
mengkombinasikannya dengan al-Qur’an
termaktub dalam al-Qur’an (Yūsuf al-
secara bersama-sama (Jīhān Rif‘at Fauzī,
Qaradhāwī, 1423 H/2002: 113). ‘Ā’isyah
tt: 153) atau melakukannya murni dengan
juga memberikan contoh betapa kita harus
cara menguji hadis dengan hadis (Jīhān
dapat memahami sebuah hadis secara
Rif‘at Fauzī, tt: 158).
atau
penjelasan
Fauzī,
tt:
120).
Dalam
menggugurkan
Contoh hadis yang dikritik ‘Ā’isyah
konteks kapan dan di mana hadis itu
dengan menggunakan tolok ukur ini
terucap dari lisan Nabi.
adalah hadis tentang sai termasuk dari
komprehensif
tanpa
rukun haji.
126 |
MUWÂZÂH, Volume 5, Nomor 1, Juli 2013
ﻋ ْﻨﻬَﺎ َ ﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ َﺿ ِ ﺸ َﺔ َر َ ﺖ ﻋَﺎ ِﺋ ُ ﺱَﺄ ْﻟ َ ﻋ ْﺮ َو ُة ُ ل َ ﻗَﺎ
dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar
ﺼﻔَﺎ ن اﻟ ﱠ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َﺕﻌَﺎﻟَﻰ }ِإ ﱠ َ ﺖ َﻗ ْﻮ ِ ﺖ َﻟﻬَﺎ َأ َرَأ ْﻳ ُ َﻓ ُﻘ ْﻠ
Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka
ﺖ َأ ْو َ ﺞ ا ْﻟ َﺒ ْﻴ ﺣﱠ َ ﻦ ْ ﺷﻌَﺎ ِﺋ ِﺮ اﻟﱠﻠ ِﻪ َﻓ َﻤ َ ﻦ ْ وَا ْﻟ َﻤ ْﺮ َو َة ِﻣ
tidak ada dosa baginya mengerjakan sai
{ف ِﺑ ِﻬﻤَﺎ َ ﻄ ﱠﻮ ن َﻳ ﱠ ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َأ َ ح َ ﺟﻨَﺎ ُ ﻋ َﺘ َﻤ َﺮ َﻓﻠَﺎ ْا
antara keduanya.” Maka demi Allah,
ف َ ن ﻟَﺎ َﻳﻄُﻮ ْ ح َأ ٌ ﺟﻨَﺎ ُ ﺣ ٍﺪ َ ﻋﻠَﻰ َأ َ َﻓﻮَاﻟﱠﻠ ِﻪ ﻣَﺎ
tidak ada dosa pula bagi seorang pun untuk tidak melakukan tawaf antara Safa
ﻦ َ ﺖ ﻳَﺎ ا ْﺑ َ ﺲ ﻣَﺎ ُﻗ ْﻠ َ ﺖ ِﺑ ْﺌ ْ ﺼﻔَﺎ وَا ْﻟ َﻤ ْﺮ َو ِة ﻗَﺎَﻟ ﺑِﺎﻟ ﱠ
dan Marwah. ‘Ā’isyah berkata : Sungguh
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َ ﺖ َآﻤَﺎ َأ ﱠو ْﻟ َﺘﻬَﺎ ْ ن َه ِﺬ ِﻩ َﻟ ْﻮ آَﺎ َﻥ ﺧﺘِﻲ ِإ ﱠ ْ ُأ
jelek apa yang engkau katakan wahai
ف ِﺑ ِﻬﻤَﺎ َ ﻄ ﱠﻮ َ ن ﻟَﺎ َﻳ َﺘ ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َأ َ ح َ ﺟﻨَﺎ ُ ﺖ ﻟَﺎ ْ آَﺎ َﻥ
anak
saudariku.
Sesungguhnya
ayat
tersebut jika pengertiannya seperti yang
ن ْ ﻞ َأ َ ﺖ ﻓِﻲ ا ْﻟَﺄ ْﻥﺼَﺎ ِر آَﺎﻥُﻮا َﻗ ْﺒ ْ َوَﻟ ِﻜ ﱠﻨﻬَﺎ ُأ ْﻥ ِﺰَﻟ
engkau
ﻏ َﻴ ِﺔ اﱠﻟﺘِﻲ آَﺎﻥُﻮا ِ ن ِﻟ َﻤﻨَﺎ َة اﻟﻄﱠﺎ َ ﺴِﻠﻤُﻮا ُﻳ ِﻬﻠﱡﻮ ْ ُﻳ
berkonsekuensi) tidak ada dosa bagi siapa
ج ُ ﺤ ﱠﺮ َ ﻞ َﻳ َﺘ ﻦ َأ َه ﱠ ْ ن َﻣ َ ﻞ َﻓﻜَﺎ ِ ﺸﱠﻠ َ ﻋ ْﻨ َﺪ ا ْﻟ ُﻤ ِ َﻳ ْﻌ ُﺒﺪُو َﻥﻬَﺎ
saja yang tidak melakukan tawaf antara
takwilkan,
(tentu
itu
akan
keduanya. Akan tetapi (sebenarnya) ayat
ﺱَﻠﻤُﻮا ْ ﺼﻔَﺎ وَا ْﻟ َﻤ ْﺮ َو ِة َﻓَﻠﻤﱠﺎ َأ ف ﺑِﺎﻟ ﱠ َ ن َﻳﻄُﻮ ْ َأ
tersebut turun berkenaan dengan orang-
ﺱﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺹﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﺱَﺄﻟُﻮا َرﺱُﻮ َ
orang Anshar ketika dahulu sebelum
ج ُ ﺤ ﱠﺮ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ِإﻥﱠﺎ ُآﻨﱠﺎ َﻥ َﺘ ْﻋ َ َ ﻚ ﻗَﺎﻟُﻮا ﻳَﺎ َرﺱُﻮ َ ﻦ َذِﻟ
masuk Islam, mereka berteriak sambil bertalbiyah kepada berhala Manat yang
ل اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﺼﻔَﺎ وَا ْﻟ َﻤ ْﺮ َو ِة َﻓَﺄ ْﻥ َﺰ ﻦ اﻟ ﱠ َ ف َﺑ ْﻴ َ ن َﻥﻄُﻮ ْ َأ
dulu mereka sembah di daerah Musyallal;
ﺷﻌَﺎ ِﺋ ِﺮ َ ﻦ ْ ﺼﻔَﺎ وَا ْﻟ َﻤ ْﺮ َو َة ِﻣ ن اﻟ ﱠ َﺕﻌَﺎﻟَﻰ }ِإ ﱠ
sehingga orang yang berihram merasa
ﻋ ْﻨﻬَﺎ َ ﻲ اﻟﱠﻠ ُﻪ َﺿ ِ ﺸ ُﺔ َر َ ﺖ ﻋَﺎ ِﺋ ْ اﻟﱠﻠ ِﻪ{ اﻟْﺂ َﻳ َﺔ ﻗَﺎَﻟ
berdosa melakukan tawaf (sai) antara Safa dan Marwah. Dan ketika mereka
ﺱﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺹﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ﻦ َرﺱُﻮ ﺱﱠ َ َو َﻗ ْﺪ
telah masuk Islam, mereka bertanya
ك َ ن َﻳ ْﺘ ُﺮ ْ ﺣ ٍﺪ َأ َ ﺲ ِﻟَﺄ َ ف َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ َﻓَﻠ ْﻴ َ ﻄﻮَا اﻟ ﱠ
kepada Rasulullah saw. perihal tersebut.
،)اﻟﺒﺨﺎرى
Mereka
رﻗﻢ
158-157
َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ
ف َ ﻄﻮَا اﻟ ﱠ
،II :م2002/هـ1422 .(1634
Artinya: “Urwah berkata: Aku bertanya kepada ‘Ā’isyah ra., maka aku katakan kepadanya: Apa pendapatmu mengenai firman Allah swt.: “Sesungguhnya Safa
berkata:
Wahai
Rasulullah,
sesungguhnya kami merasa berdosa jika melakukan tawaf di Safa dan Marwah. Maka
(kemudian)
Allah
menurunkan
ayat: “Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah (dan seterusnya ayat ini).” ‘Ā’isyah ra. berkata : “Dan sungguh Rasulullah saw. telah
Manhaj Kritik Matan ‘A’isyah RA (Niki Alma Febriana Fauzi)
| 127
mentradisikan tawaf (sai)
di
antara
keduanya. Maka tidak boleh bagi seorang
mengukur (Ahmad Warson Munawwir, 1997:. 1177-1178). Prisnip-prinsip dasar Islam juga
pun untuk meninggalkan tawaf di antara
digunakan oleh Ā’isyah, karena tolok ukur
keduanya.”
ini termasuk dalam ketetapan Allah yang Dalam dialog antara ‘Ā’isyah dan
bersifat qaṭ‘ī (pasti, definitive proof) dan
‘Urwah seperti yang tergambar dalam
tidak dapat terkalahkan oleh dalil yang
hadis tersebut, ‘Ā’isyah menggunakan
sifatnya
metode uji validitas hadis dengan hadis
Prinsip dasar Islam yang digunakan oleh
secara murni. Ia menguji riwayat yang
‘Ā’isyah dalam menguji suatu hadis
mengatakan
dengan
bertujuan agar maksud-maksud syariat
riwayat yang ia ketahui bahwa sai itu
(Maqāṣid asy-Syarī‘ah) dapat tercapai.
wajib, sehingga menjadi salah satu rukun
Dari
dalam
menunjukkan
tidak
haji.
pendapat
wajib
‘Ā’isyah ‘Urwah
sai
mengeliminir dengan
cara
ẓannī
(dugaan,
perspektif
speculative).
ini
sesungguhnya
kepada
kita
bahwa
kesadaran akan urgensi menjaga Maqāṣid
menyampaikan asbāb an-nuzūl ayat (latar
asy-Syarī‘ah
belakang atau sebab turunnnya ayat)
diperlihatkan oleh ‘Ā’isyah. Hal tersebut
tersebut.
dapat
sebenarnya
terlihat
melalui
telah
kritik-kritiknya
terhadap hadis yang terkesan menegasikan F. Menguji Hadis Dengan Qiyas Dan Prinsip Dasar Islam
yang paling jelas adalah hadis tentang
Di samping al-Qur’an dan sunah (hadis), ‘Ā’isyah juga menggunakan tolok ukur qiyas dan prinsip-prinsip dasar yang terdapat
dalam
ajaran
Islam
untuk
menguji validitas sebuah hadis (Jīhān Rif‘at
Fauzī,
tt:
125).
dimensi Maqāṣid asy-Syarī‘ah. Contoh
Qiyas
yang
dimaksud dalam hal ini bukanlah qiyas dalam pengertian Ushul Fikih (Wahbah az-Zuḥailī, 1406/1986, I: 603), melainkan qiyas dalam arti bahasa, yang berarti membandingkan, mempersamakan atau
lewatnya perempuan yang membatalkan salat
seseorang,
paparkan
pada
yang bagian
akan
penulis
berikutnya.
Sehingga berdasarkan alur pikir Ā’isyah, apabila ada hadis yang dalam hal ini sifatnya
ẓannī
bertentangan
dengan
prinsip dasar Islam, maka hadis tersebut tidak dapat diterima atau paling tidak bermakna lain. Contoh hadis yang dikritik ‘Ā’isyah dengan menggunakan tolok ukur ini adalah hadis tentang lewatnya perempuan,
128 |
MUWÂZÂH, Volume 5, Nomor 1, Juli 2013
anjing
dan
khimar
yang
dapat
ْ ﻋ ْﻨ ِﺪ ِر ِ ﻦ ْ ﻞ ِﻣ ﺴﱡ َ َﻓَﺄ ْﻥ دون،ﺟَﻠ ْﻴ ِﻪ )اﻟﺒﺨﺎرى
membatalkan salat.
ﺖ أَﺑ َﺎ ُ ﺱ ِﻤ ْﻌ َ ل َ ﺖ ﻗَﺎ ِ ﻦ اﻟﺼَﺎ ِﻣ ِ ﷲ ْﺑ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ ﻦ ْﻋ َ
.(514 رﻗﻢ109 ،I :اﻟﺴﻨﺔ Artinya:
“Dari
Masrūq,
(ia
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺹﻠﱠﻰ ا َ ﷲ ِ لا ُ ﺱ ْﻮ ُ ل َر َ ﻗَﺎ: ل ُ َذ ﱟر َﻳ ُﻘ ْﻮ
meriwayatkan) dari Ā’isyah, bahwa telah
ﻦ َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ َ ﺲ َﺑ ْﻴ َ ﻞ َوَﻟ ْﻴ ُﺟ ُ ﺹﻠﱠﻰ اﻟﺮﱠ َ ﺱﱠﻠ َﻢ ِإذَا َ
diceritakan kepadanya: Ada sesuatu yang
ﻄ َﻊ َ ﻞ َﻗ ِﺣ ْ ﻄ ِﺔ اﻟ ﱠﺮ َ ﻞ َأ ْو َآﻮَاﺱ ِﺣ ْ ﺧ َﺮ ِة اﻟ ﱠﺮ ِ آَﺂ
bisa membatalkan salat, yaitu: anjing,
،ﺤﻤَﺎ ُر )اﻟﺘﺮﻣﺬى ِ ﺐ وَا ْﻟ َﻤ ْﺮ َء ُة وَاﻟ ُ ﺹﻠَﺎ َﺕ ُﻪ ا ْﻟ َﻜ ْﻠ َ
khimar, dan wanita. Kemudian ‘Ā’isyah berkata:
Kalian
menyamakan
kami
.(338 رﻗﻢ162-161 ،II :دون اﻟﺴﻨﺔ
(wanita) dengan khimar dan anjing!?
Artinya: “Dari ‘Abdullāh ibn aṣ-Ṣamiṭ
Demi Allah, sungguh aku pernah melihat
berkata: berkata:
Aku
mendengar
Rasulullah
Abū
saw.
Żarr pernah
bersabda: Apabila seseorang salat dan di depannya tidak ada semacam tiang setinggi pelana atau penanda setinggi itu, maka batallah salatnya apabila seekor anjing, perempuan, dan khimar melintas
saw.
melakukan
salat,
sedangkan aku tiduran terlentang di atas ranjang di antara beliau dan kiblat. Kemudian tampaklah keperluan bagiku (untuk menyingkir), karena aku takut mengganggu
beliau.
Lalu
aku
pun
berpindah dan tidak menghalangi lagi kedua kakinya ...”
di depannya ...” Hadis
Rasulullah
tersebut
dikritik
oleh
‘Ā’isyah dengan hadis berikut ini:
ﻋ ْﻨ َﺪهَﺎ ﻣَﺎ ِ ﺸ َﺔ ُذ ِآ َﺮ َ ﻦ ﻋَﺎ ِﺋ ْﻋ َ ق ٍ ﺴﺮُو ْ ﻦ َﻣ ْﻋ َ
Hadis
dari
Abū
Żarr
yang
menyatakan bahwa perempuan termasuk salah satu dari tiga hal yang dapat membatalkan salat dikritik matannya oleh
ﺤﻤَﺎ ُر وَا ْﻟ َﻤ ْﺮَأ ُة ِ ﺐ وَا ْﻟ ُ ﺼﻠَﺎ َة ا ْﻟ َﻜ ْﻠ ﻄ ُﻊ اﻟ ﱠ َ َﻳ ْﻘ
Ā’isyah. Pertama kali yang dilakukan
ب ؟! وَاﻟﱠﻠ ِﻪ ِ ﺤ ُﻤ ِﺮ وَا ْﻟ ِﻜﻠَﺎ ُ ﺷﺒﱠ ْﻬ ُﺘﻤُﻮﻥَﺎ ﺑِﺎ ْﻟ َ ﺖ ْ َﻓﻘَﺎَﻟ
‘Ā’isyah ketika mengkritik matan tersebut
ﺱﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺹﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﻲ ﺖ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ُ َﻟ َﻘ ْﺪ َرَأ ْﻳ
adalah
menganalogikan
lewatnya
perempuan di depan orang yang salat
ﻦ ا ْﻟ ِﻘ ْﺒَﻠ ِﺔ َ ﺴﺮِﻳ ِﺮ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻪ َو َﺑ ْﻴ ﻋﻠَﻰ اﻟ ﱠ َ ﺼﻠﱢﻲ َوِإﻥﱢﻲ َ ُﻳ
dengan peristiwa riil yang pernah ia alami
ن ْ ﺟ ُﺔ َﻓَﺄ ْآ َﺮ ُﻩ َأ َ ﺠ َﻌ ًﺔ َﻓ َﺘ ْﺒﺪُو ﻟِﻲ ا ْﻟﺤَﺎ ِﻄ َﻀ ْ ُﻣ
bersama Rasulullah. Bahwa ketika itu
ﺱﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺹﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﻲ ي اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ َ ﺲ َﻓﺄُو ِذ َ ﺟِﻠ ْ َأ
‘Ā’isyah pernah berbaring tiduran di depan Rasulullah yang sedang salat, sehingga posisinya sampai menggangu
Manhaj Kritik Matan ‘A’isyah RA (Niki Alma Febriana Fauzi)
| 129
bil-ḥumuri
Nabi (Jīhān Rif‘at Fauzī, tt: 250). Jika
“syabbahtumūnā
memang benar lewatnya perempuan di
(kalian menyamakan kami dengan khimar
depan
dapat
dan anjing)”. Menyamakan wanita dengan
membatalkan salat orang tersebut, maka
khimar dan anjing adalah salah satu
kalau demikian berarti salat Rasulullah
bentuk
juga batal. Pada kenyataannya, Rasulullah
Kemulian yang telah diberikan Islam,
tetap melanjutkan salatnya dan dengan
menjadi
berarti bahwa salat Rasulullah tidak batal.
disamakan
orang
yang
salat
Kritikan ‘Ā’isyah berhenti
di
situ.
tidak cukup
Setelah
pelecehan luntur
wal-kilāb
terhadap
ketika
dengan
mereka.
kaum
kedua
wanita binatang
tersebut. ‘Ā’isyah yang menyadari bahwa
‘Ā’isyah
maqāshid asy-syarī‘ah harus terus dijaga,
melakukan uji validitas matan dengan
menjadikan prinsip dasar Islam menjadi
menggunakan tolok ukur qiyas, ia lalu
tolok ukur dalam menguji validitas hadis.
mengujinya dengan prinsip dasar Islam (Jīhān Rif‘at Fauzī,: tt: 250) yang telah
G. Teori Kebenaran Korespondensi
menerangkan tentang bagaimana Islam
Dan Koherensi Dalam Studi Kritik
memuliakan wanita. Salah satu tujuan
Hadis
Islam datang adalah untuk mengangkat harkat wanita yang pada saat itu benar-
Hadis secara historis dapat diartikan
benar dalam kehinaan dan kerendahan.
sebagai laporan sejarah yang dibingkai
Islam benar-benar memberikan rahmat
secara formal dalam berbagai macam
dengan
begitu
kitab hadis. Dalam filsafat epistemologi,
mulia. Bahkan dalam nas-nas agama
dikembangkan beberapa teori kebenaran
disebutkan bahwa wanita yang notabene
untuk
dalam hal ini juga merupakan kelompok
pernyataan (laporan) itu valid atau tidak.
manusia, diciptakan dalam bentuk yang
Namun untuk mengkaji kebenaran laporan
paling baik (QS. 95:4) sekaligus menjadi
sejarah - seperti dikutip Syamsul Anwar -
khalifah Allah di muka bumi (QS. 2: 30).
ada dua teori yang dianggap relevan, yaitu
Ini semua adalah prinsip dasar Islam yang
teori korespondensi dan teori koherensi
‘Ā’isyah gunakan untuk mengkritisi suatu
(Syamsul Anwar, tt: 158).
memposisikan
wanita
hadis.
menguji
Teori Dalam
atau
korespondesi
adalah teori yang paling diterima oleh
‘Ā’isyah menggunakan tolok ukur ini
kelompok realis (Titus dkk, 1984: 236).
terindikasi
Teori kebenaran ini mengatakan bahwa
melalalui
tersebut
kebenaran
proposisi
kritik
130 |
hadis
suatu
komentarnya
MUWÂZÂH, Volume 5, Nomor 1, Juli 2013
suatu pernyataan (berita) benar adalah
Solomon, 1992: 232 dan Alan R. White,
apabila pernyataan itu sesuai dengan
1970:102-109).
fakta; dan sebaliknya, apabila tidak sesuai
Pernyataan historis adalah pendapat
dengan fakta, maka pernyataan itu tidak
yang merupakan rekonstruksi yang dibuat
benar.
kebenaran
oleh orang tidak sezaman mengenai suatu
korespondensi adalah penekanan pada
bagian masa silam berdasarkan bukti-
ekuivalensi kebenaran dengan kenyataan
bukti yang ada. Sedangkan hadis bukan
atau fakta (Titus dkk, 1984: 236). John
rekonstruksi, melainkan laporan sezaman
Hospers mengatakan, “A proposition is
(dalam arti laporan dibuat oleh orang yang
true if it corresponds with a fact; for
langsung mengalami peristiwanya) yang
instance, if it is a fact that you have a pet
dialirkan dari generasi ke generasi secara
leopard, and if you say that you have a pet
apa adanya mengenai suatu peristiwa yang
leopard, your statement is true because it
umumnya tunggal. Dengan kata lain,
corresponds with the fact. Truth is
hadis adalah laporan asli oleh saksi
corresponds with fact (John Hospers, An
langsung terhadap peristiwa, sementara
Introduction to Philosophical Analysis
pernyataan historis adalah pendapat yang
(London: Routledge, 1997:115).
dirumuskan
Intinya
teori
Adapun menurut teori kebenaran koherensi,
ukuran
orang
yang
tidak
menyaksikan langsung peristiwa historis.
suatu
Sudah barang tentu dalam beberapa hal
pernyataan (berita) adalah kekoherensinya
terdapat unsur opini dalam hadis itu,
dengan pernyataan-pernyataan terdahulu
karena bagaimanapun laporan sahabat itu
yang
dibuat sejauh kemampuan manusiawinya
sudah
kebenaran
oleh
diterima
kebenarannya
(London: Routledge, 1997:159). Teori
untuk
kebenaran
dilaporkannya. Apalagi dalam banyak
ini
sangat
digemari
oleh
menangkap
kasus
Robert C. Solomon dalam bukunya
maknanya,
Introducing Philoshopy; A Text with
demikian sifatnya tetap berbeda dengan
Readings
menulis
tentang
dilaporkan
yang
kelompok idealis (Titus dkk, 1984: 238).
Integrated
hadis
peristiwa
selain
berdasarkan
hurufnya.
Namun
pernyataan historis yang direkonstruksi
pengertian teori kebenaran koherensi,
oleh sejarawan, karena dalam hadis
“The coherence theory of truth: which
peristiwa
says that a statement or a belief is true if
langsung: sahabat mendengar Nabi saw
and only if it “coheres” or ties in with
bersabda
other statements and beliefs (Robert C.
sesuatu atau memberikan persetujuan
yang dan
Manhaj Kritik Matan ‘A’isyah RA (Niki Alma Febriana Fauzi)
dilaporkan melihatnya
dialami melakukan
| 131
terhadap tindakan sahabatnya (Alan R.
H/2004: 330-331). Mereka tidak mungkin
White, 1970:161-162).
berdusta
Untuk menentukan kebenaran hadis
dengan
mengatasnamakan
Rasulullah.
digunakan metode otentikasi yang dimulai
Predikat sahabat yang telah terjamin
dengan penelitian sanad dan kemudian
moralitasnya (‘adālah-nya) di satu sisi
dilanjutkan
matan.
mengantarkan pada sebuah kesimpulan
Sanad pada hakikatnya bukan sebuah teori
sementara bahwa sanad pada zaman
yang direkonstruksi, melainkan sebuah
tersebut sebenarnya tidak perlu diteliti,
fakta yang terlepas dari subjek yang
sehingga
mengkajinya; sanad itu ada (given),
mereka bisa dipastikan berasal dari Nabi.
meskipun
ditetapkan
Kenyataan bahwa ada sejumlah sahabat,
keabsahannya (established). Namun sekali
dalam hal ini termasuk juga ‘Ā’isyah,
ia dinyatakan sah, maka ia adalah sebuah
yang mengkritik sosok sahabat yang
fakta, dan kebenaran hadis diacukan
meriwayatkan hadis adalah persoalan lain.
kepadanya (Alan R. White, 1970: 162).
Kritik ‘Ā’isyah kepada sahabat bukan
dengan
ia
harus
penelitian
juga
Pada generasi sahabat, distribusi
karena
riwayat
yang
permasalahan akan
dibawa
pada
tetapi
moralitas
hadis baru tersebar di kalangan para
mereka,
sahabat sendiri, dan oleh karenanya belum
persoalan kualitas intelektual. Kritiknya
sampai melewati generasi-generasi yang
terhadap ‘Umar ibn Kha
lain. Sahabat satu misalnya, dalam hal ini
tentu bukan karena moralitas ‘Umar yang
menerima sebuah hadis dan kemudian
cacat, akan tetapi ada aspek lain di mana
menyampaikan hadis tersebut kepada
‘Ā’isyah dalam hal ini lebih ungggul
sahabat yang lain dan begitu terus
dibanding ‘Umar.
sebaliknya. Artinya sanad yang ada pada
Dalam
konteks
lebih
oleh
kepada
ab misalnya,
ini,
‘Ā’isyah
generasi tersebut adalah para sahabat itu
memberikan kritik kepada para sahabat
sendiri, dan bukan yang lain.
yang menjadi sanad pembawa hadis.
Predikat sahabat yang telah terjamin
Kritiknya dilakukan dengan mengoreksi
moralitasnya adalah satu kenyataan yang
dan
unik
ini.
dianggapnya benar, baik tanpa pelabelan,
Bagaimanapun generasi sahabat adalah
maupun dengan cara melabeli salah, lupa
generasi terbaik yang pernah ada dalam
atau
sejarah kehidupan manusia (An-Nawawī,
Tujuannya untuk membuktikan apakah
1405 H/1985: 92-93 dan Al-Qāsimī, 1425
riwayat yang dibawa sahabat itu sesuai
132 |
dalam
pembahasan
kali
menunjukkan
tidak
hafal
riwayat
kepada
yang
mereka.
MUWÂZÂH, Volume 5, Nomor 1, Juli 2013
dengan apa yang bersumber dari Nabi
‘Ā’isyah karena tidak sejalan dengan
(fakta) atau tidak. Artinya, ‘Ā’isyah
salah satu ayat yang terdapat dalam surat
melakukan cross-check antara apa yang
al- adīd,
diberitakan sahabat dengan fakta yang ada
Selanjutnya, hadis yang menceritakan
(sesuatu yang benar-benar bersumber dari
bahwa Nabi pernah melihat Allah dua kali
Nabi). Oleh karenanya tidak berlebihan
juga
jika dalam hal ini dikatakan bahwa
menurutnya
‘Ā’isyah
‘Abbās itu tidak sejalan dengan makna
menerapkan teori kebenaran
korespondensi.
yaitu
dikritik
ayat
oleh hadis
yang
‘Ā’isyah, yang
ke-22.
karena
dibawa
Ibn
zahir dari ayat 103 dari surat al-An‘ām.
Ketika sanad telah diidentifikasi dan
Seharusnya bila hadis itu benar dari Nabi,
ditemukan kekeliruan periwayatan bukan
maka tidak mungkin Nabi mengucapkaan
bersumber pada moralitas sahabat, tetapi
sesuatu yang bertentangan dengan al-
pada
Qur’an. Maka dalam hal ini menurut
persoalan
mereka,
kualitas
maka
intelektual yang
‘Ā’isyah hadis yang isinya tidak selaras
adalah
dengan al-Qur’an, tidak dapat diterima
bagaimana cara mengukur kebenaran
sebagai berita yang berasal dari Nabi
riwayat tersebut bahwa itu adalah otentik
(Jīhān Rif‘at Fauzī, tt: 116).
mengemuka
pertanyaan selanjutnya
berasal dari Nabi? Di
sini
proposisi
Meskipun cara pandang ‘Ā’isyah diperlukan
yang
kebenarannya.
telah
proposisi-
terkesan tekstualis ketika membandingkan
diterima
suatu hadis dengan ayat al-Qur’an, akan
Proposisi-proposisi
ini
tetapi hal tersebut telah menjadi bekal
nantinya akan digunakan untuk mengukur
bagi
kebenaran suatu riwayat, yang indikasinya
senantiasa memahami sebuah hadis di
ialah
bawah payung kebenaran al-Qur’an yang
kekoherensian
riwayat
tersebut
dengan proposisi-proposisi itu.
para
penerus
setelahnya
agar
telah mendapat jaminan dari Allah swt.
‘Ā’isyah dalam melakukan kritik
Melangkah pada tolok ukur kritik
matan menggunakan tolok ukur yang
matan ‘Ā’isyah yang kedua. Dalam hal ini
secara kualitas telah diterima sebagai
akan dianalisis hadis tentang disiksanya
suatu kebenaran, yaitu al-Qur’an, hadis-
mayit karena tangisan keluarganya. Dalam
hadis yang lebih otentik, qiyas dan prinsip
mengkritisi matan hadis tersebut ‘Ā’isyah
dasar
menggunakan dua model kritik secara
Islam.
Hadis
tentang
sumber
kesialan yang terdapat pada perempuan,
bersamaan;
rumah dan binatang ternak dikritik oleh
dengan hadis; dan kedua, menguji hadis
Manhaj Kritik Matan ‘A’isyah RA (Niki Alma Febriana Fauzi)
pertama,
menguji
hadis
| 133
dengan al-Qur’an. Uji validitas hadis
salah satu dari 3 entitas; perempuan,
dengan hadis yang dilakukan ‘Ā’isyah
khimar dan anjing. Hadis ini dikritik oleh
adalah
riwayat
‘Ā’isyah karena tidak sejalan dengan dua
tersebut secara keseluruhan, dalam artian
proposisi sekaligus, yaitu qiyas dan
‘Ā’isyah mengembalikan konteks yang
prinsip dasar Islam tentang kemulian
hilang dalam riwayat tersebut ke tempat
kaum wanita. Peristiwa yang pernah ia
semula. Setelah menguji validitas hadis
alami dengan Nabi ketika ia tidur di
dengan
hadapan
dengan
hadis,
menyebutkan
‘Ā’isyah
mengujinya
Nabi
yang
sedang
salat,
dengan al-Qur’an, sehingga tampaklah
diqiyaskan dengan penyebab batalnya
kontradiksi antara hadis tersebut dengan
salat seseorang yang dilalui oleh seorang
al-Qur’an.
wanita. Dalam peritiwa tersebut Nabi
Kemudian
hadis
yang
menjelaskan tentang tidak wajibnya sai
tidak
antara Safa dan Marwah juga dikritik oleh
karenanya
‘Ā’isyah, karena menurutnya riwayat ini
lewatnya wanita di depan orang yang
bertentangan dengan riwayat lain yang ia
sedang salat juga tidak membatalkan salat
ketahui, yang menjelaskan bahwa sai itu
seseorang tersebut. Logika ini dipakai
wajib dan menjadi salah satu rukun dalam
‘Ā’isyah karena menurutnya apa yang
ibadah haji.
terjadi dan dilakukannya bersama Nabi
Riwayat yang ‘Ā’isyah ketahui itu
adalah
membatalkan menurut
kenyataan
salatnya, ‘Ā’isyah
dan berarti
empirik
yang
adalah riwayat yang ia peroleh langsung
kebenarannya telah diterima. Selain itu
dari Nabi saw., sehingga akurasi kepastian
untuk
bahwa hadis tersebut berasal dari Nabi
pendapatnya, ‘Ā’isyah juga menguji hadis
lebih dapat terjamin, atau dalam istilah
tersebut dengan prinsip dasar Islam
lain riwayat yang ia ketahui lebih bisa
tentang kemulian wanita. Adalah menjadi
dipastikan
Artinya
tidak atau kurang sempurna kemulian
‘Ā’isyah menguji hadis yang dibawa
seorang wanita ketika ia disamakan
sahabat dengan hadis yang lebih otentik.
dengan
keotentikannya.
Selanjutnya tolok ukur terakhir yang
membuktikan
binatang
seperti
khimar. Tujuan ‘Ā’isyah
kebenaran
anjing
dan
melakukan
digunakan ‘Ā’isyah adalah mengukur
kritik dengan menggunakan tolok ukur
kebenaran hadis dengan qiyas dan prinsip
prinsip dasar Islam adalah demi menjaga
dasar Islam. Dalam hal ini sampel hadis
salah satu dimensi maqāshid asy-syarī‘ah,
yang digunakan adalah hadis tentang
yaitu ḥifẓ al-‘irḍ (menjaga kehormatan).
batalnya salat seseorang yang dilewati
Oleh
134 |
karenanya
bila
ada
hadis
MUWÂZÂH, Volume 5, Nomor 1, Juli 2013
bertentangan dengan prinsip dasar Islam,
hadis terlebih dahulu. Kemudian setelah
maka hadis tersebut tidak dapat diterima.
diketahui tolok ukur apa saja yang
Tolok ukur terakhir yang digunakan
dijadikan ‘Ā’isyah sebagai metode dalam
‘Ā’isyah,
dengan
mengkritik hadis dapat diketahui bahwa
prinsip dasar Islam inilah yang sekarang
matode tersebut terbukti reliabel (mauṡūq)
sedang
oleh
untuk
membuktikan
beberapa ulama kontemporer. Benih-benih
hadis.
Dimulai
yang dulu dipraktekkan oleh ‘Ā’isyah
‘Ā’isyah
secara sederhana kini telah dielaborasi
kebenaran
lebih jauh dengan mengambil ruh-ruh al-
dilanjutkan dengan kritik matannya yang
Qur’an dan sunah yang mengandung
sejalan dengan teori kebenaran koherensi.
yakni
mengujinya
diperkenalkan
kembali
yang
kebenaran
suatu
dengan
kritik
sanad
selaras
dengan
teori
korespondensi,
kemudian
prinsip-prinsip dasar Islam yang bersifat pasti.
Oleh
karenanya,
sebagaimana
ditekankan Jasser Audah, sebuah hadis
DAFTAR PUSTAKA
yang dulu sudah pernah dinyatakan sahih oleh sebagian ulama bisa dipertanyakan kembali,
jika
makna
hadis
al-Muṭallib, ‘Abd dan Jīhān Rif‘at Fauzī,
tersebut
2001, As-Sayyidah ‘Ā’isyah wa
bertentangan dengan nilai dan prinsip
Tauṡīquhā li as-Sunnah, Kairo :
dasar Islam (Jāser ‘Audah, 2013: 82-84).
Maktabah al-Khānjī, ‘Audah, Jāser, 2013, Al-Maqāṣid Bagi
Penutup
Pemula, Diterjemahkan oleh ‘Ali
Dalam
mengkritik
atau
menilai
validitas matan, ‘Ā’isyah menggunakan tolok ukur (a) al-Qur’an, (b) hadis, (c)
Abdelmon‘im, Yogyakarta : SUKAPress, Abbas, Hasjim, 2004, Kritik Matan Hadis:
qiyas dan prinsip dasar Islam sebagai
Versi
metode
Yogyakarta : Teras
atau
penggunaannya,
manhajnya. ‘Ā’isyah
Dalam
Muhaddisin
dan
Fuqaha,
terkadang
Adlabī, Ṣalāḥuddīn al-, 1983, Manhaj
mengkombinasikan antara satu tolok ukur
Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulamā’ al-
dengan tolok ukur yang lain. Walaupun
Ḥadīṡ an-Nabawī, Beirut : Dār al-
‘Ā’isyah menitikberatkan kritiknya pada
Āfāq al-Jadīdah,
matan, namun pada prakteknya sebelum melakukan
kritik
matan,
‘Ā’isyah
Aḥmad, 1995, Musnad Aḥmad, edisi Syu‘aib
al-Arna’ūṭ
dan
‘Ādil
mengawalinya dengan mengkritik sanad Manhaj Kritik Matan ‘A’isyah RA (Niki Alma Febriana Fauzi)
| 135
Mursyid, , Beirut : Mu’assasah ar-
Istadrakathu
Risālah
Shahabah
Anwar,
Syamsul,
2002,
‘Aisyah karya
‘ala
al-
Badrudin
al-
“Paradigma
Zarkasyi),” dalam majalah Suara
Pemikiran Hadis Modern”, dalam
Muhammadiyah, edisi 14 tahun, h.
Fazlur Rahman dkk, Wacana Studi
20-1.
Hadis Kontemporer, Yogyakarta : Tiara Wacana ________, 2011, Interkoneksi Studi Hadis dan
Suara
Astronomi,
Muhammadiyah, Yogyakarta.
Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī,
Edisi
Muḥammad Zuhair ibn Nāṣir alNāṣir, Beirut : Dār Ṭauq an-Najāh Dakhīlī, Sa‘īd Fayīz ad-, 1989, Mausū‘ah Fiqh
as-Sayyidah
‘Abd
al-Mun‘im
Mausū‘ah
Ummu
al-,
2003,
al-Mu’minīn
‘Ā’isyah binti Abī Bakr, Kairo : Maktabah Madbūl,. Hospers, John, 1997, An Introduction to
Bukhārī, Muḥammad ibn ismā‘īl, 2002, Al-,
Ḥifnī,
‘Ā’isyah;
Ḥayātuhā wa Fiqhuhā, Beirut : Dār
Philosophical Analysis, London : Routledge Ibn ‘Abd al-Barr, Abū ‘Umar Yūsuf ibn ‘Abdillāh ibn Muḥammad, 2002, AlIstī‘āb fī Ma‘rifah al-Aṣḥāb, edisi ‘Ādil Mursyid, Dār al-A’lām. Ibn al-Aṡir, ‘Izzuddīn Abū al-Ḥasan ‘Alī ibn Muḥammad, t.t., Usdu al-Gābah
an-Nafā’is. Dārimī, Abū Muḥammad ‘Abdillāh ibn
fī Ma’rifah aṣ-Ṣaḥabah, edisi ‘Alī
‘Abd ar-Raḥmān ibn al-Faḍl ibn
Muḥammad Mu‘awwid dan ‘Ādil
Bahrām ad-, 2000, Sunan ad-
Aḥmad ‘Abd al-Maujūd, Beirut :
Dārimī, edisi Ḥusain Salīm Asad,
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Riyadh : Dār al-Mugnī li al-Nasyr wa at-Tauzī‘
‘Abd ar-Raḥmān, 1986, ‘Ulūm al-
Dumainī, Musfir ‘Azmullāh Ad-, t.t., Maqāyīs Naqd Mutūn as-Sunnah, Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Su’ud, Riyadh. Fauzi,
Nicky
Febriana,
Romantis (1) (Sebuah Review atas
136 |
al-Ijabah
Ḥadiṡ, Beirut : Dār al-Fikr, Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, t.t., Al-Iṣābah fī Tamyīz aṣ-Ṣaḥābah. Ismail, Syuhudi, 2005, Kaidah Kesahihan
Alma
2012,“Aisyah: Kritikus Hadis yang
Buku
Ibn aṣ-Ṣalāh, Taqiyyuddīn ‘Uṡmān ibn
li
Iradi
Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta : Bulan Bintang
ma
MUWÂZÂH, Volume 5, Nomor 1, Juli 2013
Jabali, Fu’ad, Sahabat Nabi; Siapa, ke
Qaraḍāwī,
Yūsuf
al-,
2002,
Kaifa
Mana, dan Bagaimana?, Jakarta:
Nata‘āmal ma’a as-Sunnah an-
Mizan Publika, 2010.
Nabawiyyah, Kairo : Dār asy-
Jawābī, Muḥammad Ṭāhir al-, t.t., Juhūd al-Muḥaddiṡīn fī Naqd Matn al-
Ḥadīṡ
an-Nabawī
asy-Syarīf,
Muassasāt al-Karīm ibn ‘Abdillāh. Kadarusman,
2005,
Agama,
Relasi
Gender & Feminisme, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Syurūq Qāsimī, Muḥammad jamāluddīn al-, 2004, Qawā‘id
at-Taḥdīṡ
min
Funūn
Muṣṭalaḥ al-Ḥadīṡ, Edisi Muṣṭafā Syaikh
Muṣṭafā,
Beirut
:
Mu’assasah ar-Risālah Siddiqi, Muhammad Zubayr, 2002, “Ulūm
Mukri, Barmawi, 2004, “Critical Study on
al-Hadīts dan Kritik Hadis”, dalam
The Concept of al-Ṣaḥāba Kulluhum
Fazlur Rahman dkk, Wacana Studi
‘Udulun in ‘Ilm al-Ḥadīth,” Jurnal
Hadis Kontemporer, Yogyakarta :
vol.
Al-Jāmi‘ah,
42,
no.2:
Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga
Tiara Wacana Solomon, Robert C., 1992, Introducing
Mullākhāṭir, Khalīl Ibrāhīm, 1405 H,
Philoshopy; A Text with Integrated
Zawāj as-Sayyidah ‘Ā’isyah wa
Readings, Florida : Harcourt Brace
Masyrū‘iyyah
College,
az-Zawāj
al-
Mubakkir wa ar-Radd ‘alā Munkirī Żālik, Madinah.
Tirmiżī, Abū ‘Īsā Muḥammad ibn ‘Īsā ibn Saurah at-, t.t., Sunan At-Tirmiżī,
Munawwir, Ahmad Warson, 1997, Al-
Edisi Aḥmad Muḥammad Syākir,
Munawwir; Kamus Arab-Indonesia,
Beirut : Dār Iḥyā’ at-Turāṡ al-
Surabaya : Pustaka Progresif
‘Arabī
Nasution, Harun, 2002, Teologi Islam;
Titus, dkk., 1984, Persoalan-Persoalan
Aliran-Aliran, Sejarah Analisa dan
Filsafat, Diterjemahkan oleh M.
Perbandingan, Jakarta : UI-Press,
Rasjidi, Jakarta : Bulan Bintang,
Nawawī, Muḥyiddīn ibn Syaraf an-, 1985, At-Taqrīb wa at-Taisīr li Ma‘rifah Sunan al-Basyar wa an-Nażīr, edisi Muḥammad
‘Uṡmān
al-Khasyat,
Beirut : Dār al-Kitāb al-‘Arabī
White, Alan R., 1970, Truth, New York:Anchor Books Żahabī, Syamsuddīn Muḥammad ibn Aḥmad aż-, 1955, Tażkirah al-
Ḥuffaẓ, New Delhi :
Dā’irah al-
Ma‘ārif al-‘Usmānī,
Manhaj Kritik Matan ‘A’isyah RA (Niki Alma Febriana Fauzi)
| 137
Zarkasyī, Muḥammad ibn ‘Abdillāh ibn Bahādur Abū ‘Abdillāh Badruddīn az-, 2001, Al-Ijābah li Īrādi mā Istadrakathu
‘Ā’isyah
‘alā
‘Abd al-Muṭallib, Kairo : Maktabah al-Khānjī, Zuḥailī, Wahbah az-, 2009, At-Tafsīr al-
al-
Munīr fī al-‘Aqīdah wa asy-Syarī‘ah
Shaḥābah, edisi Jīhān Rif‘at Fauzī
wa al-Manhaj, Damaskus : Dār alFikr
138 |
MUWÂZÂH, Volume 5, Nomor 1, Juli 2013