MANAJEMEN HUTAN
Prof. Dr. Ir. Supratman, MP. Prof. Dr. Ir. Syamsu Alam, MS.
Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan Fakultas Kehutanan - Universitas Hasanuddin
Kata Pengantar Mata Kuliah ”Manajemen Hutan” merupakan salah satu mata kuliah yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, baik mahasiswa pada Program Studi Manajemen Hutan maupun pada Program Studi Teknologi Hasil Hutan. Rata-rata jumlah mahasiswa yang ikut pada kuliah ini adalah 120 sampai 150 orang. Untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan pembelajaran serta untuk mempermudah mengorganisir pelaksanaan perkuliahan dengan metode Student Center Learning (SCL), sejak dua tahun terakhir ini, mahasiswa dibagi menjadi dua kelas sehingga rata-rata jumlah mahasiswa pada setiap kelas adalah 60 – 75 orang. Pembagian kelas tersebut membawa konsekwensi penyajian materi perkuliahan yang mungkin dapat berbeda antara satu kelas dengan kelas yang lainnya apabila dilakukan oleh dosen yang berbeda, terutama apabila jadwal kelas tersebut paralel sehingga tidak memungkinkan satu orang dosen melaksanakan kuliah di dalam dua kelas yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan Buku Ajar yang menjadi pegangan bagi anggota tim pengajar dan mahasiswa di dalam pelaksanakan kuliah. Buku Ajar ini dihimpun dari Hand Out yang terserak yang selama ini telah digunakan oleh tim pengajar pada setiap kali perkuliahan. Hand Out tersebut diedit, ditambah, ataupun dikurangi materinya kemudian distrukturkan menjadi Bab-Bab sesuai dengan Garis-Garis Besar Rancangan Pembelajaran (GBRP) yang telah disusun sebelumnya, menghasilkan Buku Ajar yang anda baca pada saat ini. Ide untuk menulis Buku Ajar ini sejatinya telah lama dipikirkan, namun tidak dapat diwujudkan. Tuntutan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran serta adanya dukungan yang kuat dari Pimpinan Fakultas Kehutanan, dan pimpinan universitas pada saat ini telah memicu semangat tim pengajar untuk mewujudkan ide yang terpendam tersebut. Atas dukungan ini, kami ucapkan terima kasih. Harapan kami, semoga kehadiran Buku Ajar ini dapat melengkapi pustaka mahasiswa dan menjadi pemicu bagi penulis untuk menyusun Buku Ajar yang lebih berkualitas. Tamalanrea, Agustus 2009 Tim Penulis
i
Deskripsi Singkat : Mata kuliah ini membahas pengertian dan ruang lingkup manajemen hutan, beberapa konsep dasar untuk pengelolaan hutan lestari, preskripsi pengelolaan hutan, konsep pengaturan hutan, dan analisis keputusan di dalam manajemen hutan. Tujuan Umum : 1. 2. 3.
Memahami konsep-konsep dasar pengelolaan hutan Mampu meningkatkan produktivitas dan dan nilai eknomi sumberdaya hutan Mampu menata unit-unit pengelolaan hutan sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan
Tujuan Khusus 1. 2. 3.
Memahami kaidah-kaidah ilmiah pengelolaan hutan Mampu mengembangkan manfaat dan jasa sumberdaya hutan Mampu merencanakan, menganalisis, dan melaksanakan pengelolaan hutan sesuai prinsip-prinsip bisnis dan prinsip-prinsip kelestarian
ii
DAFTAR ISI Halaman Bab I
Pendahuluan A. B. C.
BaB II
BAB III
Pengertian dan Ruang Lingkup Manajemen Hutan................ Tujuan dan Fungsi Manajemen Hutan.................................... Aspek-aspek Teknis, Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan dalam Manajemen Hutan..................................................................
1 3 4
Sejarah Pengelolaan Hutan A.
Penambangan Kayu (Timber extraction)...............................
8
B.
Pengelolaan Kebun Kayu........................................................
10
C.
Pengelolaan Sumberdaya Hutan.............................................
13
D.
Pengelolaan Ekosistem Hutan................................................
16
E.
Evaluasi Pengelolaan Hutan............................................
17
F.
Kehutanan Masyarakat (Community Forestry): Konsep Pengelolaan Hutan Mutakhir .................................................
18
G.
Pertanyaan dan Tugas............................................................
22
Review Teori Dasar Pengelolaan Hutan A.
Konsep Tegakan dan Hutan....................................................
24
B.
Konsep Silviks, Silvikultur, dan Struktur Tegakan...................
29
C.
Konsep Riap (Increment)........................................................
31
D.
Konsep Hutan Normal............................................................
36
E.
Konsep Rotasi.........................................................................
40
F.
Konsep Kelestarian ................................................................
46
iii
BAB IV
Preskripsi Pengelolaan Hutan A.
BAB V
51
B.
Pengertian Preskripsi Pengelolaan Hutan............................. Elemen-elemen Dasar Membangun Preskripsi Pengelolaan Hutan.....................................................................................
C.
Beberapa Pengertian..............................................................
58
Unit Pengelolaan Hutan A.
Hirarki Wilayah Pengelolaan Hutan ......................................
61
B.
Unit Manajemen Hutan..........................................................
63
C.
Organisasi Unit Manajemen Hutan......................................... Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai Suatu Unit Manajemen Hutan.......................................................... Desain Unit Pengelolaan Kehutanan Berbasis Masyarakat: Contoh Kasus..........................................................................
66
D. E. BAB VI
BAB VII
53
69 77
Pengaturan Hasil Hutan A.
Dasar-Dasar Pengaturan Hasil Hutan......................................
107
B.
Metode Pengaturan Hutan Seumur........................................
108
Analisis Keputusan Manajemen Hutan A.
Kerangka Kerja untuk Membuat Keputusan .........................
127
B.
Pernyataan Masalah dan Penulisan Persamaan.....................
128
C.
Identifikasi Masalah................................................................
130
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Pokok Bahasan Tujuan Umum
: Pendahuluan : Memahami pengertian dan ruang lingkup manajemen hutan
Tujuan Instruksional Khusus
: Selesai mempelajari Bab I, mahasiswa/i mampu menjelaskan: (1) pengertian dan ruang lingkup manajemen hutan, (2) tujuan dan fungsi manajemen hutan, (3) aspekaspek teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan manejemen hutan
.
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Manajemen Hutan Manajemen dapat diartikan sebagai seni, ilmu, dan proses untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan melalui kegiatan dengan orang lain. Manajemen Hutan, dalam pandangan luas, adalah integrasi faktor-faktor biologi, sosial,
ekonomi,
dan
faktor-faktor
lain
yang
mempengaruhi
keputusan
pengelolaan hutan. Setiap sesuatu mempengaruhi sesuatu yang lain dalam pengelolaan hutan, oleh karena itu, seseorang harus mengetahui segala sesuatu untuk membuat keputusan. Hal ini mungkin benar, tetapi hanya pada tingkatan tertentu. Pandangan yang luas tersebut tidak diadopsi pada mata kuliah ini sebab kebutuhan pengetahuan tersebut tidak mungkin dicapai dan karena keputusan manajemen hutan tidak dibuat segera saat ini, tetapi melalui proses yang panjang. Pada hirarki yang lebih rendah, manajemen hutan didefisikan sebagai seluruh keputusan yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan 1|Buku Ajar Manajemen Hutan
hutan secara berkelanjutan. Pengertian ini lebih banyak berfokus pada pengetahuan yang digunakan secara langsung untuk mengelola suatu areal hutan. Hal ini berarti bahwa personal manajemen adalah bagian dari manajemen hutan karena manajemen hutan menggunakan orang, mechanical enggineering adalah juga bagian dari manajemen hutan karena dalam manajemen hutan menggunakan mesin-mesin. Kadang-kadang interaksi sosial juga termasuk bagian dari manajemen hutan. Pengertian yang kedua ini juga tidak diadopsi pada mata kuliah ini karena pengetahuan yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan tersebut tidak mesti dikuasai oleh manajer hutan, akan tetapi dapat saja diperoleh melalui tenaga ahli yang dipekerjakan atau disewa sebagai konsultan. Secara historis, manajemen hutan pada dasarnya terkait dengan aspek biologi dan aspek silvikultur dari hutan. Defenisi ini diturunkan dari filosofi biologi sebagai aspek dasarnya. Kadang-kadang defenisi manajemen hutan juga mencakup pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), inventarisasi, dan aspekaspek kehutanan yang lain. Hal ini semua merupakan bagian integral dari manajemen hutan. Namun demikian, sebagai suatu profesi, ilmu manajemen hutan telah berkembang menjadi suatu bidang yang terpisah dari aspek-aspek tersebut di atas. Materi Mata Kuliah Manajemen Hutan yang ditulis di dalam buku ajar ini membatasi kajiannya pada dua hal yaitu: (1) mengkaji kaidah-kaidah ilmiah pengelolaan hutan, dan (2) mengkaji aspek-aspek teknis membangun dan mengelola unit-unit pengelolaan hutan. Oleh karena itu, pengertian manajemen hutan yang diadopsi pada mata kuliah ini adalah aplikasi prinsip-prinsip ilmiah dan teknis kehutanan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip bisnis dan sosial untuk mencapai satu atau beberapa tujuan. Aspek-aspek Sosial, Bisnis, dan Teknis dalam Mengelola Hutan, disajikan pada Tabel 1.
2|Buku Ajar Manajemen Hutan
Tabel 1. Aspek-Aspek Sosial, Bisnis, dan Teknis dalam Mengelola Hutan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Aspek Sosial dan Bisnis Ekonomi Organisasi dan Administrasi Keuangan Akuntansi Statistik Pemasaran Hukum Bisnis Perburuhan Real Estate Ilmu social dan Politik
Aspek Teknis Silvika dan Silvikultur Inventarisasi Logging Teknologi Kayu Patrhology Entomology Perlindungan Hutan Wildlife Rekreasi Hutan Civil Enginering
Tidak seorangpun yang bisa menguasai semua bidang ilmu tersebut di atas,
dan
hal
ini
menggambarkan
bahwa
manajemen
hutan
dalam
pelaksanaannya bersifat kolektif. Seorang manajer hutan perlu memiliki pengetahuan dasar dan aplikasi dari semua bidang ilmu di atas dan menguasainya sebisa mungkin.
B. Tujuan dan Fungsi Manajemen Hutan 1. Tujuan Manajemen Hutan Hutan dikelola untuk tujuan serbaguna, dengan tujuan akhir adalah untuk mendapatkan nilai manfaat bersih total yang paling tinggi. Pengelolaan hutan untuk tujuan produksi kayu, harus memperhatikan dan mendukung (compatible) tujuan lain, seperti DAS, wildlife, rekreasi, dll. Pada beberapa kasus, penggunaan kawasan hutan bertentangan (incompatible) dengan tujuan pengelolaan yang lain seperti pengelolaan areal penggembalaan di dalam kawasan hutan terkadang tidak compatible dengan pengelolaan hutan untuk tujuan produksi kayu.
Hal ini mengharuskan pengelola hutan membuat
keputusan tentang prioritas penggunaan lahan hutan. Manajemen hutan membutuhkan pengkajian dan aplikasi teknik-teknik analisis untuk membantu memilih alternatif manajemen yang memberikan kontribusi terbaik bagi pencapaian tujuan pengelolaan hutan.
3|Buku Ajar Manajemen Hutan
Tujuan pengelolaan hutan sangat tergantung pada tujuan pemilik hutan dan situasi ekonomi yang ada pada wilayah dimana hutan tersebut berada. Pada kawasan hutan negara, tujuan pengelolaan hutan sangat ditentukan oleh faktor politik dan tingkat kepentingan terhadap areal hutan. Tingkat kepentingan tersebut terkadang tidak dapat diukur dalam satuan ukuran nilai uang. Pengelolaan hutan negara biasanya lebih banyak difokuskan pada perlindungan tata air yang dibayar dengan kelestarian supply air, dan dikeola dengan tujuan serba guna. Sedangkan hutan milik dikelola dengan tujuan untuk menghasilkan barang dan jasa yang biasanya terfokus pada total produksi dan total benefit yang dapat diperoleh dari lahan hutan tersebut. 2. Fungsi Manajemen Hutan Pengelolaan hutan lestari harus mencakup beberapa fungsi yaitu fungsi teknis,
komersil,
finansial,
personial,
fungsi
administrasi,
dan
fungsi
kepemimpinan. Fungsi teknis dalam manajemen hutan diarahkan untuk mencapai tujuan teknis, fungsi komersiil untuk mencapai tujuan ekonomi (berkaitan dengan pasar), fungsi finansiil untuk mencapai tujuan finansial (berkaitan dengan biaya dan pendapatan), fungsi personil
berkaitan
dengan
kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia (SDM), fungsi administrasi merupakan fungsi penunjang, berkaitan dengan pengembangan, dan fungsi kepemimpinan berkaitan dengan unsur-unsur manajemen (POAC).
C. Aspek-aspek Teknis, Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan dalam Manajemen Hutan Untuk merlaksanakan fungsi-fungsi tersebut di lapangan, seorang manajer hutan harus memperhatikan aspek-aspek teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan, sebagai berikut: 1. Aspek Teknis Kegiatan
manajemen
hutan
pada
dasarnya
berkaitan
dengan
pemanfaatan hutan sebagai sumberdaya alam dan sebagai suatu ekosistem. Kegiatan manajemen hutan akan dan harus berkaitan dengan kegiatan-kegiatan teknis yaitu, penanaman, pemeliharaan, perlinduingan hutan, pemanenan hutan, 4|Buku Ajar Manajemen Hutan
pengolahan hasil hutan (industri pengolahan hasil hutan, dan pemasaran hasil hutan. Untuk dapat mewujudkan aspek-aspek tersebut di atas dalam pelaksanaan kegiatan manajemen hutan secara operasional di lapangan diperlukan penguasaan pengetahuan teknis kehutanan. 2. Aspek Sosial Ekonomi Kegiatan manajemen hutan pada dasarnya adalah kegiatan pengusahaan hutan. Oleh karena itu, aspek-aspek perusahaan yaitu aspek ekonomi dan aspek keuangan sangat erat hubungannya dengan manajemen hutan. Untuk dapat melaksanakan dan mewujudkan aspek teknis manajemen hutan, dibutuhkan investasi (SDM, peralatan dan teknologi) dan analisis-analisis ekonomi dan finansial. Hal ini terutama karena manajemen hutan berkaitan dengan dimensi waktu yang panjang untuk dapat menghasilkan produk serta harus bertumpu pada prinsip kelestarian sebagai prinsip dasar pengelolaan hutan. Untuk dapat mewujudkan manajemen hutan lestari diperlukan adanya perencanaan yang efisien dan rasional. 3. Aspek Lingkungan Pengelolaan hutan disamping memanfaatkan hutan sebagai sumberdaya alam, harus pula memperhatikan sisi lain dari hutan yaitu sebagai Ekosistem (ekosistem hutan). Secara operasional, pengelolaan hutan akan memanfaatkan ekosistem hutan. Ini berarti bahwa dalam manajemen hutan harus diperhatikan pula pengaruh pemanfaatan tersebut terhadap komponen ekosistem hutan yang terdiri dari “tanah-biologi hutan-iklim/lingkungan”. Pengelolaan hutan utamanya hutan alam tropis lembab (tropical rain forest) yang kaya akan jenis penyusun tegakannya, harus diperhatikan
pula
adanya “keanekaragaman hayati” didalamnya dalam perspektif jangka panjang.
5|Buku Ajar Manajemen Hutan
Latihan Soal-soal: 1. Jelaskan pengertian dan ruang lingkup mata kuliah manajemen hutan 2. Jelaskan tujuan dan fungsi manajemen hutan 3. Jelaskan aspek-aspek teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan manejemen hutan Rujukan: Davis, K.P. 1978. Forest Management (Valuation and Regulatino). Mc. Graw-Hill, Inc. Manila. Junus. M. 1984. Dasar Umum Ilmu Kehutanan. Buku I. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Indonesia Timur. LEPHAS Leuschener. W. A. 1984. Introduction to Forest Resource Management. Joh Wiley and Sons. Inc. Lawrence. S. D., K.N. Johnson. 1987. Forest Managament. Mc. Graw-Hill. Inc. Soedirman. S. 1997. Buku Ajar Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman. Samarinda
6|Buku Ajar Manajemen Hutan
BAB II
SEJARAH PENGELOLAAN HUTAN Wilayah Pengelolaan Provinsi Wilayah Pengelolaan Kabupaten
Pokok Bahasan
: Sejarah Pengelolaan Hutan
Tujuan Umum
: Memahami sejarah pengelolaan hutan nasional dan dunia
Tujuan Instruksional Khusus
: Selesai mempelajari Bab I, mahasiswa/i Kriteria Kelembagaan mampu: (1) menjelaskan perkembangan sejarah pengelolaan hutan, (2) mengevaluasi sejarah pengelolaan hutan, dan (3) menjelaskan konsep pengelolaan hutan mutakhir.
Secara garis besar, bentuk pengusahaan hutan yang pernah dilakukan, khususnya di negara- negara maju, dari dulu sampai sekarang dapat dibedakan menjadi tiga atau empat macam (Simon, 1999), yaitu: (1) penambangan kayu, (2) pengelolaan hutan tanaman, (3) pengelolaan sumberdaya hutan, dan (4) pengelolaan ekosistem hutan. Penambangan kayu dan pengelolaan hutan tanaman tergolong pada strategi kehutanan konvensional, sedangkan pengelolaan sumberdaya hutan dan pengelolaan ekosistem hutan termasuk dalam strategi kehutanan sosial. Perbedaan pokok antara kedua strategi pengelolaan hutan tersebut terletak pada tujuan pengelolaan dan system perencanaan yang digunakan, dengan segala konsekuensi dan implikasinya.
7|Buku Ajar Manajemen Hutan
Unit Pengelolaan
Pengelolaan hutan berarti pemanfaatan fungsi hutan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara maksimal. Pada waktu masyarakat manusia belum mengenal hubungan komersil secara luas, hutan hanya dimanfaatkan sebagai tempat untuk mengambil bahan makanan, nabati ataupun hewani, atau tempat mengambil kayu untuk membuat rumah tempat tinggal dan untuk sumber energy. Hutan juga sering ditebang untuk memperluas tempat pemukiman, lahan pertanian, atau mengamankan wilayah dari gangguan binatang buas.
A. Penambangan Kayu (Timber extraction) 1. Penambangan kayu di Lembah Eufrat dan Tigris Penambangan kayu di daerah ini sudah dimulai dilakukan sekitar tahun 2000 SM, yaitu pada masa kerajaan Babylonia. Karena sudah berlangsung lama, maka sangat sedikit informasi yang tersedia untuk melukiskan lebih mendalam tentang penambangan kayu di Babylonia ini beserta kerusakan hutan yang ditimbulkannya. Salah satu cirri kejayaan suatu negara adalah tingginya intensitas perdagangan
yang
dilakukan
masyarakat
negara
tersebut,
termasuk
perdagangan kayu. Secara konvensional, kayu diperlukan untuk bahan konstruksi rumah, alat-alat pertanian dan alat transportasi darat maupun air. Karena tidak diikuti dengan usaha permudaan kembali, maka timber extraction di Mesopotamia ini berakhir dengan kehancuran hutan. Bahkan begitu beratnya tingkat kerusakan hutan tersebut , daerah yang semula terkenal dengan kesuburannya itu akhirnya sebagian berubah menjadi padang rumput, bahkan padang pasir sampai sekarang. 2. Penambangan Kayu di Eropa Tengah dan Barat Penambangan kayu di daerah ini mulai dilakukan sekitar abad ke-3, yaitu pada waktu kekaisaran Romawi mulai mengembangkan wilayah jajahannya ke seluruh Eropa Tengah dan Barat.
Negara yang paling banyak mengalami
kegiatan ini, dan oleh karena itu juga paling besar menerima dampak negative, adalah Jerman. Jalan raya yang menghubungkan Roma-Frankfurt sekarang ini adalah jalan yang dulu digunakan untuk kepentingan mengontrol daerah jajahan 8|Buku Ajar Manajemen Hutan
itu oleh Romawi, di sepanjang jalan ini relatif lebih banyak jumlah kota atau pusat pemukiman, yang dulu merupakan pusat-pusat kegiatan penebangan kayu dan pos-pos untuk mengontrol daerah jajahan. Perkembangan pengelolaan hutan yang sangat berarti sehubungan dengan kerusakan hutan akibat penambangan kayu di Eropa Tengah dan Barat adalah diumumkannnya Undang-Undang Kehutanan di Perancis, terkenal dengan Ordonance de Melun , pada tahun 1376 oleh raja LUIS XIV (OSMASTON, 1966 dalam SIMON, 1999). Untuk mendukung kegiatan pengelolaan hutan yang baik, seperti yang dikehendaki oleh jiwa Undang-Undang itu, kemudian Perancis mendirikan sekolah kehutanan.
Di sini barangkali pengeruh Universitas Al Hambra di
Cordoba memang ada, karena banyak pula pemuda Perancis yang kemudian ikut menuntut ilmu ke Spanyol. Setelah
Ordonance de
Melun
pada
mengeluarkan Forest Act , yang kemudian
482
Kerajaan
Inggris juga
disempurnakan lagi pada Tahun
1543 (OSMASTON, 1966 dalam SIMON, 1999).
Pada periode berikutnya,
pendidikan kehutanan lebih berkembang di Jerman. Akademi kehutanan di Tarrant dikenal sebagai sekolah tinggi kehutanan yang pertama di dunia. Oleh karena itu, secara konsepsional Jerman juga tampil menjadi negara yang berhasil memperbaiki kerusakan hutan akibat penambangan kayu di Eropa. Masalah ini akan dibahas lagi dalam paragraf-paragraf selanjutnya. 3. Penambangan Kayu di Indonesia Penambangan kayu di Eropa dilakukan oleh pemerintah kolonial. Hal ini terulang lagi di Negara-negara Asia, Afrika dan Amerika latin sampai masa perang dunia II. Bnagsa-bangsa Eropa banyak yang keluar dari tanah airnya mencari tanah jajahan, seperti Inggris, Spanyol Italia, bahkan juga bangsabangsa kecil seperti Belanda, Belgia dan Portugal. Di negara jajahan itu, para penjajah menguras sumberdaya apa saja yang dapat dijual dengan memperoleh kekayaan, termasuk hutan. Itu pulalah yang dilakukan Belanda di Indonesia. Oleh karena itu, penjajah bangsa Belanda juga sangat giat melakukan penambangan kayu. 9|Buku Ajar Manajemen Hutan
B. Pengelolaan Kebun Kayu Kerusakan hutan akibat Timber extraction kemudian mulai dipikirkan benar-benar agar tidak berkepanjangan.
Bahkan, kerusakan hutan telah
menyadarkan orang Jerman akan perlunya permudaan kembali kawasan hutan bekas tebangan agar produksi kayu dapat lestari. Oleh karena itu, salah satu hikmah yang dirumuskan Jerman dari tragedy kerusakan hutan itu adalah munculnya istilah kelestarian hasil, yang konon sudah mulai dikenal pada abad ke-9. Istilah kelestarian hasil telah mendorong perlu adanya pengaturan tebangan yang baik sehingga jumlah hasil kayu yang dipungut setiap tahun tidak terlalu bervariasi. Dari sini, selanjutnya rimbawan Jerman berhasil menemukan berbagai macam metode pengaturan hasil yang dipergunakan untuk mengatur etat tebangan. Adanya metode permudaan dan metode pengaturan hasil ini, setelah jangka waktu yang cukup panjang, membentuk elemen-elemen pengelolaan hutan modern yang berlandaskan pada kelestarian hasil hutan (sustained yield principles). Berdasarkan semua pengalaman tersebut, maka pada tahun 1816 HEINRICH VON COTTA dapat menyelesaikan sebuah buku yang berjudul Anweisung zum Waldbau (petunjuk silvikultur). Dlam tulisannya, COTTA menjelaskan secara sistematik metode pengaturan hasil yang sudah dipraktekkan secara luas di Jerman sejak beberapa abad terakhir. Oleh karena itu, selanjutnya dikenal ada
metode COTTA atau metode Periodik Blok, yang
nama aslinya adalah Periodic Yields with A Regeneration Block method. Beberapa waktu sebelumnya GEORG LUDWIG HARTIG, guru COTTA, telah menulis buku yang menerangkan perlunya pembagian wilayah sebagai dasar penyusunan organisasi lapangan untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan yang efisien.
Dalam tulisan HARTIG itu, juga ditekankan perlunya
pembuatan hutan monokultur dengan system silvikultur tebang habis dengan permudaan buatan. Walaupun ide HARTIG tentang hutan monokultur itu segera ditentang pada ekolog dan rimbawan konservasionis, misalnya KARL HAYER (MANAN, 1988 dalam SIMON, 1999), karena alas an perkembangan hama dan 10 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
penyakit tetapi para praktisi kehutanan lebih menyukai metode HARTIG karena monokultur lebih mudah dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Nampaknya, monokultur juga akan menghasilkan kayu lebih tinggi karena jumlah pohon komersial yang ditanam perhektar lebih baik. Pada awal abd ke-18, yaitu pada tahun 1710, seorang ahli kehutanan Jerman lainnya, HANS CARL VON CARLOWITZ, menulis buku dengan judul Silvicultura economika (ekonomi silvikultur).
Di dalam buku ini, CARLOWITZ
menerangkan keuntungan yang diperoleh dari penanaman hutan satu jenis (monokultur) untuk mewujudkan apa yang dinamakan Sustained yield forestry. Gagasan CARLOWITZ inilah yang dielaborasi lebih lanjut oleh HARTIG dan muridnya COTTA. Gagasan hutan tanaman monokultur dengan 1 daur itu menjadi lebih kokoh lagi setelah pada tahun 1849 FAUSTMAN menulis rumus daur dinansial. Dengan dirumuskannya system pengelolaan hutan seperti itu, seolah-olah Jerman telah memproklamirkan system pengelolaan kebun kayu, yang kelak menjadi acuan pembangunan hutan di seluruh dunia.
Selanjutnya, semua
kegiatan teknik kehutanan mulai dari pembuatan tanaman pemeliharaan sampai pemanenan dengan segala kelengkapannya terus mengalami kemajuan. Paling tidak selama lebih dari dua abad, yaitu abad ke-18 sampai pertengahan abad ke20, Jerman memang menjadi kiblat ilmu kehutanan seluruh negara di dunia (PELUSO, 1993). Di Indonesia, system Jerman diterapkan untuk membangun hutan jati yang rusak akibat timber extraction selama masa VOC dan awal pemerintahan Hindia Belanda. Ciri-ciri system pengelolaan hutan dari Jerman tersebut adalah:
Pada umumnya merupakan hutan tanaman monokultur dengan system silvikultur tebang habis dan permudaan buatan.
Karena monokultur, maka untuk kesederhanaan dalam perencanaan digunakan konsep Kelas Perusahaan (Planning unit) yang sekaligus berlaku sebagai alat pengendali kelestarian hasil.
11 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Satuan kelas perusahaan adalah unit perencanaan yang dinamakan Bagian Hutan, yang untuk hutan jati di Jawa luasnya berkisar antara 4.000 – 6.000 ha.
Untuk pengaturan hasil digunakan konsep daur tunggal. Pada mulanya daur tunggal itu ditetapkan dengan criteria teknik, tetapi kemudian diganti dengan daur financial setelah FAUSTMANN menemukan rumus perhitungan yang monumental pada tahun 1949. Konsep pengelolaan hutan yang dimaksudkan itu berkembang pesat
sejak abad ke-17, terutama karena beberapa keuntungan yang secara teoritik memang cukup memberi harapan, yaitu:
Perencanaannya sederhana dan oleh karena itu mudah dan murah.
Pelaksanaan pengelolaan juga lebih mudah dan biaya yang murah sehingga diharapkan diperoleh keuntungan uang yang tinggi.
Konsep kelas perusahaan menguntungkan bagi pengadaan bahan baku industry yang pada waktu itu di Jerman masih terbatas menggunakan jenis tertentu saja. Walaupun
konsep
yang
ditentukan
dengan
lebih
memperhatikan
kepentingan ekonomi itu sejak awal sudah ditentang oleh ekolog dan kaum konservasionis, tetapi sebagaimana lazimnya, pertimbangan ekonomi hampir selalu diunggulkan karena jangkauan waktunya hanya untuk jangka pendek, dibanding dengan pertimbangan lingkungan yang relatif lebih abstrak dan bersifat jangka panjang. Kekurangan-kekurangan system tersebut:
Tegakan monokultur rentan terhadap gangguan hama dan penyakit karena keragaman hayati menjadi sangat miskin sehingga ekosistem hutan tidak lagi stabil.
Fungsi perlindungan terhadap lingkungan berkurang banyak karena pembangunan hutan hanya ditekankan pada produktivitas kayu yang setinggi mungkin.
Tidak dapat memaksimumkan produktivitas kawasan hutan karena system pengelolaan seragam untuk areal yang relative luas (satu kelas perusahaan),
12 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
tanpa memperhatikan ragam sifat fisik wilayah, pengaruh social ekonomi masyarakat, dan potensi pasar. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan masyarakat, termasuk di negara sedang berkembang yang dulu merupakan Negara jajahan bangsabangsa Eropa, kekurangan hutan tanaman monokultur semakin dapat dipahami secara luas. Di lain pihak, kemajuan teknologi yang selalu menyertai pembangunan di mana pun, justru menuntut peran hutan sebagai pelindung ekosistem dan lingkungan hidup. Di samping itu juga dituntut agar fungsi hutan untuk menjadi sumberdaya yang selalu menyajikan berbagai macam keperluan masyarakat, seperti yang diberikan oleh hutan alam klimaks, dapat diwujudkan kembali.
C. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Pengelolaan hutan untuk menghasilkan kayu berkembang pesat di negara-negara maju, khususnya Eropa Barat dan Amerika Utara, sepanjang abad ke-18 dan 19. Sistem pengelolaan kebun kayu itu, yang menempatkan kelesatarian hasil sebagai landasannya, dikenal sebagai sistem pengelolaan hutan modern. Di Jawa, system tersebut juga dapat dilaksanakan dengan sukses untuk membuat hutan tanaman jati. Landasan politis ini telah digariskan oleh DAENDELS tahun 1811, persiapannya dirumuskan Tim MOLLIER yang mulai bekerja pada tahun 1849, sedangkan pelaksanaan operasionalnya baru berjalan mulai tahun 1898 setelah usulan BRUINSMA tentang organisasi territorial yang dinamakan vesterij diterima oleh pemerintah pada tahun 1892 (LUGT, 1933 dalam SIMON, 1999). Pada waktu sistem Timber Management itu dirumuskan, keadaan social ekonomi masyarakat di Pulau Jawa masih jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Perubahan keadaan social-ekonomi maupun kemajuan iptek tersebut menyebabkan konsep kebun kayu yang disusun pada akhir abad ke-19 itu tidak lagi sinkron (gayut) dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat pada akhir abad ke-20 ini. Selama dekade 1950-an pengelolaan kebun kayu mulai menghadapi masalah-masalah baru yang berkaitan dengan masalah-masalah social-ekonomi 13 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
masyarakat di sekitar hutan. Dari kondisi lambatnya perkembangan penanganan masalah tersebut sehingga timbul gangguan keamanan yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan. Hal tersebut berdampak di seluruh dunia termasuk pulau Jawa yang telah dibangun dengan sukses selama periode 1898-1942 (periode timber management pertama). Pada Kongres Kehutanan Dunia V denga tema Multiple Use of Forest Land dan Kongres Kehutanan Dunia VIII tahun 1978 dengan tema Forest for People,
yang rimbawan telah menyadarinya dan memberi reaksi yang tepat
terhadap perubahan tersebut. Sayangnya aplikasi konsep baru itu di lapangan sangat lambat sehingga selama periode itu, bahkan sampai sekarang, laju kerusakan hutan tersebut meningkat. Dengan lahirnya istilah social forestry (kehutanan sosial) pada Kongres Kehutanan Dunia VIII tahun 1978, maka pengelolaan kebun kayu yang semula dianggap sebagai bentuk pengelolaan hutan modern telah berubah menjadi strategi pengelolaan hutan modern telah berubah menjadi strategi pengelolaan kehutanan konvensional (conventional forestry).
Dalam strategi pengelolaan
hutan yang baru ini ada tiga perbedaan yang penting dibanding dengan sistem konvensional (kebun kayu), yaitu:
Tujuan pengelolaan hutan tidak hanya untuk menghasilkan kayu pertukangan, melainkan untuk memanfaatkan sumberdaya kawasan hutan bagi semua jenis hasil hutan yang dapat dihasilkan di tempat yang bervariasi menurut lokasi.
Orientasi pengelolaan hutan berubah dari kepentingan untuk memperoleh keuntungan financial bagi perusahaan ke kepentingan dan kebutuhan masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal di dalam dan kawasan hutan.
Berbeda dengan pengelolaan kebun kayu yang berskala luas dengan konsep kelas perusahaan untuk satu bagian hutan sebagai unit, dalam strategi kehutanan social bentuk pengelolaan hutan beragam sesuai dengan sifat fisik wilayah mikro dan pengaruh sosial (management regiems), untuk memaksimumkan produktivitas tiap jengkal kawasan hutan. Satuan wilayah mikro yang diambil di sini adalah unit kegiatan tahunan, khususnya pekerjaan
14 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
tanaman, yang pada hutan jati di jawa dapat diidentikkan dengan petak (compartment) dengan luas sekitar 30-40 ha saja. Karena tujuan pengelolaan hutan tidak lagi hanya menghasilkan kayu pertukangan, melainkan hasil apa saja yang tersedia di tempat dan sesuai dengan kondisi fisik wilayah maupun tuntunan sosial-ekonomi masyarakat, maka bentuk pengelolaan hutan ini dinamakan Pengelolaan Sumber Daya Hutan (Forest Resource Management). Bagi forest resource management, konsep timber management dengan kelas perusahaan monokultur, dan daur tunggal akan
membatasi upaya
mencapai produktivitas maksimumnkarena konsep yang lama itu sama sekali tidak fleksibel, tidak dapat menyesuaikan dengan kondisi mikro. Oleh karena itu, yang cocok adalah konsep management regimes, polikutur, daur ganda dan satuan regime dalam petak. Dengan demikian, perubahan dari timber management ke
forest resource management
benar-benar memerlukan
perubahan dalam semua aspek perencanaan maupun pelaksanaan pengelolaan. Tujuan penerapan sistem pengelolaan yang beragam dalam bentuk berbagai regimes adalah untuk memaksimumkan produktivitas tiap jengkal kawasan hutan disesuaikan dengan kondisi tanah dan lahan serta faktor lingkungan setempat yang mempengaruhinya. Kalau konsep kelas perusahaan dibandingkan dengan konsep Management Regimes, masing-masing mempunyai keuntungan dan kelemahan. Keuntungan konsep Management regimes:
Karena polikultur, tegakan lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit;
Tegakan polikultur berpengaruh lebih baik terhadap lingkungan, termasuk aspek hidro-orologi dan kehidupan satwa;
Hasil yang diperoleh dari hutan akan semakin beragam (diversifikasi) sehingga menguntungkan konsumen maupun produsen. Kekurangan konsep Management regimes:
Perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lebih sulit. Setiap daerah memerlukan rencana tersendiri disesuaikan dengan kondisi tersebut;
15 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Karena titik (1) di atas, maka diperlukan kualifkasi tenaga perencana maupun pengelola yang lebih baik;
Kalau rencana dan pelaksanaan pengelolaan di lapangan kurang professional, keuntungan perusahaan justru menurun. Keuntungan dan kelemahan konsep Kelas perusahaan merupakan
kebalikan dari konsep Management Regimes tersebut.
D. Pengelolaan Ekosistem Hutan Sesuai kodratnya, peranan pohon yang paling utama adalah untuk menjaga ekosistem permukaan planet bumi ini.
Oleh karena itu, dengan
semakin banyaknya jumlah penduduk serta produk teknologi, fungsi lindung akan menjadi lebih penting dibanding dengan fungsi ekonomi yang diharapkan dari hutan. Dalam kondisi seperti ini, tidak mustahil bahwa fungsi ekonomi akan berubah menjadi hasil sampingan (side products), sedang hasil utama yang diharapkan dari hutan adalah fungsi perlindungan lingkungan. Pada tahap ini, bentuk pengelolaan hutan akan berubah menjadi tingkatan yang sangat kompleks, yaitu Pengelolaan Ekosistem Hutan (Forest Ecosystem Management). Dikaitkan dengan masukan (input) yang diperlukan dan keluaran (output) yang dihasilkan, maka ilmu yang diperlukan untuk membangun sistem pengelolaan ekosistem hutan benar-benar masih amat jauh dari yang sekarang tersedia. Namun demikian, bukan berarti bahwa konsep ini belum dapat dimulai sampai sekarang, karena fenomena-fenomena yang terdapat di lapangan dapat dikaji dan ditiru untuk model awal.
Alternatif lain untuk menyusun rekayasa
system pengelolaan ekosistem hutan adalah dengan mengembangkan sedikit demi sedikit konsep pengelolaan sumberdaya hutan, dengan menggeser titik berat keluaran dari fungsi ekonomi ke fungsi perlindungan lingkungan. Dalam pengelolaan ekosistem hutan, kepentingan lingkungan hidup lebih diutamakan,
sedangkan
sampingan saja.
keuntungan
finansial
dipandang
sebagai
hasil
Oleh karena itu, untuk merancang pengelolaan ekosistem
hutan diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat lengkap. Inilah
16 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
kendala utama yang dihadapi oleh perencana yang pada umumnya hanya berbekal ilmu teknik kehutanan saja.
E. Evaluasi Pengelolaan Hutan Seperti yang terjadi sejak dulu kala pertentangan tentang peranan hutan antar kepentingan selalu dimenangkan oleh kepentingan ekonomi.
Puncak
perkembangan yang terlahir itu adalah lahirnya badan-badan internasional seperti ITTO (International Timber Tride Organization). Di samping terjadinya aksi boikot oleh masyarakat dan LSM di Negara maju terhadap penjualan kayu yang ditebang dari hutan alam, ITTO lalu membuat aturan-aturan utuk membatasi laju pengrusakan hutan oleh para pengusaha perkayuan, sambil mendorong perbaikan sistem pengelolaan hutan yang dilaksanakan di negaranegara sedang berkembang, khususnya yang memiliki hutan alam tropika. Namun begitu jauh sebenarnya baik LSM maupun ITTO belum memiliki konsep yang bersifat operasional untuk memperbaiki pelaksanaan pengelolaan hutan oleh negara-negara sedang berkembang. Oleh karena itu, aturan-aturan itu hanya cenderung memberi tekanan kepada negara-negara pemilik hutan tropika agar yang bersangkutan mencari sendiri jalan pemecahan untuk memperbaiki system pengelolaan hutan yang harus dilaksanakan.
Hal ini
disebabkan karena elemen ilmu yang diperlukan untuk memperbaiki sistem pengelolaan hutan tropika yang sebagian besar telah rusak karena penebangan untuk memenuhi permintaan bahan baku industry perkayuan milik atau menjadi kebutuhan Negara maju itu sebenarnya belum tersedia. Agar supaya di kemudian hari dilaksanakan penilaian yang obyektif tentang rencana dan pelaksanaan suatu pengelolaan hutan, maka dipikirkan adanya landasan teori objektif pula. Pada dasarnya tujuan pengelolaan hutan harus mengacu pada bagaimana perumusannya untuk memaksimumkan manfaat yang disediakan oleh hutan.
Begitu pula aplikasinya harus tidak
menyimpang dari rencana yang selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip agro-ekosistem tentang produktivitas, stabilitas, kelestarian dan keadilan.
17 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
F. Kehutanan Masyarakat (Community Forestry): Konsep Pengelolaan Hutan Mutakhir Konsep pemikiran kehutanan masyarakat berkembang setelah kebijakan industrialisasi kehutanan yang bersifat ekonomi-sentrik gagal. Hal ini ditandai dengan tingginya laju degradasi hutan dan kemiskinan masyarakat di dalam dan disekitar hutan. Kegagalan kebijakan industrialisasi kehutanan mendorong terjadinya pergeseran paradigma pembangunan kehutanan, yaitu: dari state based forest management ke community based forest management, dari timber oriented ke forest ecosystem management, dari big scale business ke small owner scale business, dari eksploitasi ke rehabilitasi dan konservasi, dari pendekatan sektoral ke pendekatan regional (sistem), dan dari sistem pengelolaan yang seragam ke sistem pengelolaan spesifik berdasarkan potensi lokal (Alam, 2003). Kehutanan masyarakat (community forestry) adalah sistem pengelolaan hutan yang berintikan partisipasi rakyat, artinya rakyat diberi wewenang merencanakan dan merumuskan
sendiri apa
yang mereka
kehendaki.
Sedangkan pihak lain menfasilitasi rakyat untuk dapat menumbuhkan bibit, menanam, mengelola, dan melindungi sumberdaya hutan milik mereka, agar rakyat memperoleh keuntungan maksimum dari sumberdaya hutan dan mengelolanya secara berkelanjutan (FAO, 1995). Desmond F. D. (1996), mengemukakan bahwa kehutanan masyarakat adalah pengendalian dan pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, yang terpadu dengan system pertanian masyarakat. Definisi Desmond F. D. ini lebih radikal dibanding dengan definisi FAO (1995) karena menghilangkan pernyataan perlunya pihak lain memberikan advis dan input needed kepada masyarakat lokal. Namun demikian, kedua definisi tersebut mempunyai kesamaan yaitu tidak mempersoalkan status lahan (kawasan hutan atau bukan kawasan hutan), tetapi menekankan kepada siapa pengelolanya. Hal inilah yang membedakan konsep kehutanan masyarakat (community forestry) dengan konsep Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang digalakkan pemerintah Indonesia. 18 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Konsep hutan kemasyarakatan (forest community) atau disingkat HKm pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah pada tahun 1995 dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995, kemudian direvisi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998, kemudian direvisi lagi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 865/Kpts-II/1999, dan revisi terakhir adalah Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001. Intisari konsep kehutanan masyarakat dari beberapa keputusan menteri tersebut adalah membangun sistem pengelolaan hutan negara yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokok hutannya. Kebijakan terakhir pemerintah yang terkait dengan konsep kehutanan masyarakat adalah Program Social Forestry. Di dalam Peraturan Menteri Kehutanan No: PP.01/Menhut-11/2004 dijelaskan pengertian Social Forestry adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan. Program Social Forestry, dengan demikian, pada dasarnya berintikan kepada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa di dalam dan di sekitar hutan melalui suatu sistem pengelolaan hutan yang menempatkan masyarakat desa sebagai pelaku utama, mitra kerja, dan sebagai pihak yang harus mendapat bagian kesejahteraan yang memadai dari kegiatan pengelolaan hutan. Program Social Forestry mengedepankan partisipasi masyarakat desa sebagai unsur utama dalam pengelolaan hutan. Social
Forestry
mengandung
makna
yaitu
rangkaian
kegiatan
pengembangan dan pengurusan hutan negara dan hutan hak yang dilakukan sendiri oleh pemiliknya/masyarakat dengan fasilitasi dari semua stakeholder terkait, serta memperhatikan prinsip-prinsip pengusahaan hutan. Forestry mengandung makna sebagai suatu tatanan sistem, sedangkan kata social mempunyai dimensi yang bermacam-macam, yaitu (Kartasubrata, J., 2003): 1. sosial dalam artian konsep perhutanan sosial mendukung integrasi ekonomi, ekologi, dan kelestarian. 19 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
2. sosial dalam hal keterpaduan dalam masyarakat. Fungsi kunci yang berhubungan dengan sumberdaya hutan seperti pengambilan keputusan, pengawasan,
pengelolaan,
investasi,
dan
pemanfaatan
hasil
tidak
terkonsentrasi di tangan institusi pemerintah dan pemegang konsesi (swasta) saja, akan tetapi terdistribusi ke masyarakat. 3. sosial dalam hal ditetapkan secara sosial, yang berarti situasional dan dinamis. 4. sosial dalam hal suatu bentuk kehutanan yang menjadi acuan masyarakat secara politis, sosial, institusional, dan ekonomis. Pada dasarnya istilah kehutanan masyarakat (community forestry) dan social
forestry
jika
dikaitkan
dengan
latar
belakang
permasalahannya
menunjukkan kesamaan maksud yaitu, (Alam, 2003): 1. menggeser paradigma pembangunan kehutanan dari atas dan tersentralisasi menuju
pembangunan
kehutanan
yang
mengutamakan
kontrol
dan
keputusan dari masyarakat lokal. 2. Mengubah sikap dan keterampilan rimbawan dari pelindung hutan terhadap gangguan manusia menjadi bekerja bersama masyarakat. Campbel (1997) dalam Suhardjito, dkk. (2000) mengusulkan 20 langkah pergeseran yang diperlukan untuk menerapkan konsep kehutanan masyarakat, sepeti disajikan pada Tabel 2.
20 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Tabel 2. Pergeseran yang Diperlukan untuk Menerapkan Konsep Kehutanan Masyarakat dari
menuju A. Sikap Dan Orientasi 1. Pengendalian Dukungan/Fasilitasi 2. Penerima Manfaat Mitra 3. Pengguna Pengelola 4. Pembuatan keputusan unilateral Partisipatif 5.Orientasi Penerimaan Orientasi sumberdaya 6. Keuntungan nasional Orientasi keadilan local 7. Diarahkan oleh rencana Proses belajar/evolusi B. Institusional Dan Adninistratif 8. Sentralisasi Desentralisasi 9. Manajemen (Perencanaan, pelaksanaan, Kemitraan monitoring) oleh pemerintah 10. Top down Partisipatif/negosiatif 11. Orientasi target Orientasi proses 12. Anggaran kaku untuk rencana kerja besar Anggaran fleksibel 13. Aturan-aturan untuk menghukum Penyelesaian konflik C.Metode Manajemen 14. Kaku Fleksibel 15. Tujuan Tunggal Tujuan Ganda 16. Keseragaman Keanekaragaman 17. Produk tunggal Produk beragam 18. Silvikultur tunggal Silvikultur spesifik local 19. Tanaman Regenerasi alam 20. Tenaga kerja/buruh/ pengumpul Manajer/pelaksana/pemroses/ pemasar
Sumber: Suhardjito, dkk. (2000) Implementasi konsep kehutanan masyarakat di lapangan dijumpai dalam beberapa istilah yang merupakan varian dari konsep dasar kehutanan masyarakat, antara lain (Suhardjito, dkk., 2000): 1. Collaborative Forest Management, adalah: pengelolaan kawasan hutan tertentu dengan pola kemitraan yang melibatkan berbagai stakeholders (pemerintah,
pengusaha,
mengembangkan
dan
masyarakat
kesepakatan-kesepakatan
lokal). yang
Para
stakeholders
menjelaskan
peran,
tanggung jawab, dan dan hak-haknya dalam mengelola sumberdaya hutan. Kesepakatan-kesepakatan tersebut paling tidak meliputi, (1) kejelasan kawasan hutan dan tata batasnya, (2) lingkup pemanfaatan dan pemanenan hutan, (3) penetapan dan pengakuan atas peran, tanggung jawab, dan hak 21 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
masing-masing stakeholders, (4) prosedur pengambilan keputusan dan menyelesaikan konflik, (5) membuat rencana pengelolaan yang detail dan utuh. 2. Co-management, sama dengan Collaborative Forest Management, hanya berbeda dalam model partisipasinya, dimana dalam Co-management bentuk partisipasinya sampai pada proses-proses politik dan proses pengambilan keputusan. 3. Joint Forest Management (JFM), adalah: kerangka manajemen hutan yang mendorong kemitraan antara Departemen Kehutanan dengan kelembagaan lokal dan anggota masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan untuk mengembangkan pola yang saling menguntungkan dan bertanggung jawab terhadap sumberdaya hutan yang dikelola. Di India, JFM memberikan akses penuh hasil hutan bukan kayu kepada masyarakat, dan 20 - 50% bagi hasil untuk kayu pada saat panen. Untuk menghindari terjadinya kerancuan definisi, maka perlu adanya suatu rumusan dasar yang menjadi penciri dari konsep kehutanan masyarakat yaitu, (Suhardjito, dkk., 2000): 1. Masyarakat lokal mampu mengambil peran utama dalam pengelolaan hutan, dengan cara-cara yang cocok dan sesuai dengan tujuan serta nilai-nilai lokal. 2. Masyarakat
lokal
mempunyai
hak-hak
yang
sah
dalam
mengelola
sumberdaya hutan. 3. Pengelolaan hutan mengkaitkan secara simultan tujuan-tujuan lingkungan, ekonomi, dan sosial. 4. Kemitraan
dan pengembilan keputusan oleh masyarakat lokal merupakan
ciri minimum dari kehutanan masyarakat.
G. Pertanyaan dan Tugas 1. Jelaskan perkemangan sejarah pengelolaan hutan 2. Jelaskan konsep pengelolaan hutan mutakhir 3. Jelaskan satu bentuk pengelolaan hutan yang anda ketahui
22 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Rujukan: Simon. 1993; Hutan Jati dan Kemakmuran: Problematika dan Strategi Pemecahannya. Aditya Media. Yogyakarta. Simon, 1995; Pengelolaan Hutan Kolaboratif FKKM, 1998.
23 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
BAB III
REVIEW TEORI DASAR PENGELOLAAN HUTAN
Wilayah Pengelolaan Provinsi
Pengurusan
Wilayah Pengelolaan Kabupaten
Unit Pengelolaan
Pengelolaan
1. Perencanaan Kehutanan 2. Pengelolaan 3. Litbang, Diklat Luh 4. Pengawasan
1. 2. 3. 4. 5.
Tata hutan Pemanfaatan Rehabilitasi Perlindungan Konservasi
Hak : Review TeoriKawasan Dasar ada Pengelolaan Hutan
Pokok Bahasan
Kriteria Kelembagaan
Kawasan tdk ada Hak
IUPHHK Ijin Lain
Tujuan Umum
Kawasan Konflik : Memahami dasar-dasar teori yang berkaitan dengan system pengelolaan hutan lestari
Tujuan Instruksional Khusus
: Selesai mempelajari Bab III, mahasiswa/i mampu menjelaskan: (1) konsep hutan seumur, hutan tidak seumur, hutan normal, riap, rotasi, dan konsep kelestarian.
Untuk dapat mengelola hutan dengan baik, diperlukan dasar-dasar teori yang berkaitan dengan system pengelolaan hutan. Dasar-dasar teori yang dimaksud mencakup teori tentang pengelolaan hutan pada umumnya dan elemen-elemen dasar pengelolaan hutan.
A. Konsep Tegakan dan Hutan Berikut ini akan dikemukakan beberapa konsep dasar yang terkait dengan tegakan dan hutan: 1. Tegakan (Stand) adalah kesatuan pohon-pohon atau tumbuhan lain yang menempati suatu areal tertentu dan yang memiliki komposisi jenis (species), umur, dan kondisi yang cukup seragam untuk dapat dibedakan dari hutan
24 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
atau kelompok tumbuhan lain di sebelah atau sekitar areal tersebut. Tegakan merupakan unit dasar suatu perlakuan silvikultur. 2. Tegakan tidak Seumur (Even-aged stand) adalah tegakan yang terdiri dari pohon-pohon yang berumur sama atau paling tidak berada dalam kelas umur yang sama. Smith (1962) menyebutkan bahwa suatu tegakan dianggap seumur kalau perbedaan umur antara pohon-pohon yang paling tuadan yang paling muda tidak melebihi 20% panjang daur (rotasi). Sebenarnya dalam hutan yang dipermudakan secara alamsukar sekali dijumpai tegakan yang terdiri dari pohon-pohon yang berumur sama. Oleh karena itu mungkin lebih tepat kalau kita katakana bahwa tegakanseumur adalah tegakan yang terdiri dari pohon-pohon dengan perbedaan umur antara pohon yang paling muda dan yang paling tua yang diperbolehkan adalah 10 sampai 20 tahun. Namun demikian, apabila tegakan tersebut tidak akan ditebang sebelum berumur 100 – 200 tahun, maka perbedaan umur yang diperbolehkan mencapai 25% dari umur daur atau rotasi. 3. Tegakan tidak Seumur (Uneven-aged stand) adalah tegakan yang terdiri dari pohon-pohon dengan perbedaan umur antara pohon yang paling tua dengan pohon yang paling muda paling sedikit sebesar tiga kelas umur. Jadi dalam tegakan tidak seumur terdapat paling sedikit tiga kelas umur. 4. Kelas umur (age class) adalah salah satu dari rangkaian selang (interrval) waktu yang menyusun rentangan umur (life span) pohon hutan. Jadi rentangan umur pohon hutan dibagi ke dalam beb erapa selang waktu . Di Indonesia, biasanya panjang selang waktu tanaman hutan adalah 5 atau 10 tahun. Untuk jenis pohon yang rumbuh cepat panjang selang waktu hanya 1 tahun. Biasanya tiap jenis pohon ditetapkan panjang selang waktui yang sama. Untuk Albizia falcataria panjang selang waktu ditetapkan 1 tahun, Pinus merkusii 5 tahun, Tectona grandis yang tumbuh lebih lama 10 tahun. 5. Hutan Seumur (Even-aged Forest) adalah hutan yang terdiri atas tegakantegakan seumur, meskipun perbedaan umur yang sangat besar (lebih dari ¼
25 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
rotasi) antara pohon-pohon dalam suatu tegakan dengan pohon-pohon dalam tegakan lainnya. Contoh: Suatu hutan terdiri dari 4 tegakan yaitu A, B, C, dan D. Tiap tegakan tersebutadalah
tegakan
seumur.
Kemudian
kita
padategakan A terdapat pohopohon yang berumur
perhatikan
bahwa
60 tahun dan pada
tegakan C terdapat pohon-pohon yang berumur 10 tahun. Kalau diketahui pula bahwa hutantersebut mempunyairotasi 80 tahun, apakah hutantersebut masihdapat dikatakan hutan seumur? Jawabannya adalah benar hutan tersebut adalah hutan seumur. Hal ini disebabkan karena tiap tegakan dalam hutan tersebut adalah tegakan seumur, meskipun perbedan umur antara pohon dalam suatu tegakan dengan pohon dalam tegakan yang lain melebihi ¼ rotasi. 6. Hutan Tidak Seumur (Uneven-aged Forest) adalah hutan yang terdiri dari tegakan-tegakan tidak seumur. Contoh: Suatu hutan terdiri dari tegakan-tegakan A, B, C, dan D. Hutan tersebut dapat dikatakan tidak seumur kalau tegakan A tidak seumur, tegakan B tidak seumur, tegakan C tidak seumur, dan tegakan D tidak seumur. 7. Dinamika Tegakan. Dinamika suatu tegakan didasarkan atas prinsip-prinsip ekologi yang telah memberikan sumbangan kepada sifat dasar dari tegakan tersebut, seperti suksesi, kompetisi, toleransi,dan konsep zona optimum. Faktor-faktor inilah yang secara lansung mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan dari tegakan yang dibangun. Pertumbuhan tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan tinggi, diameter, dan volume dari tegakan yang telah dibangun. Faktor-faktor tersebut selanjutnya akan mempengaruhi apakah tegakan itu tegakan seumur atau tegakan tidak seumur. Tegakan seumur dan tegakan tidak seumur inilah yang menentukan sistem silvikultur yang akan dibangun. Berikut ini, diuraikan secara singkat tentang prinsip-prinsip ekologi yang telah memberikan sumbangan kepada sifat dasar dari tegakan, yaitu: a. Suksesi Hutan 26 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Suksesi tumbuhan adalah pergantian suatu komunitas tanaman pada suatu areal oleh komunitas tanaman lain. Suksesi primer mulai dari permukaan bumi yang tidak ditumbuhi tanaman, kemudian terjadi perkembangan pergantian ke arah yang lebih maju, dan akhirnya mencapai tahap ekspresi ekologi yang paling tinggi yang disebut klimaks. Apabila perjalanan suksesi tadi mundur akibat adanya ganguan seperti api, penebangan oleh peladang berpindah, maka penyembuhan ke arah tahap sebelum datangnya gangguan disebut suksesi sekunder. Suksesi primer terjadi karena adanya pergantian sekelompok spesies oleh yang lainnya yang disebabkan oleh perkembangan dalam ekosistem itu sendiri, sedangkan suksesi sekunder terjadi karena pengaruh kekuatan luar yang meruah ekosistem seperti pengrusakan hutan, dan lain-lain. Rimbawan pada umumnya mengelola tegakan yang sedang berada dalam perkembangan suksesi sekunder. Malahan banyak spesies pohon-pohon membentuk
komponen-komponen
tahap
perkembanmgan
di
bawah
klimaks, danseringkali usaha utama rimbawan adalah menghalangi tendensi dari suatu komunitas maju ke arah spesies-spesies pembentuk klimaks. Setiap wilayah hutan memiliki ciri-ciri komunitas pohon-pohonan tertentu, dan rimbawan menggunakan praktek-praktek silvikultur untuk mempertahankan suatu tahap perkembangan dalam rentetan perjalanan suksesi sehingga tujuan pengelolaan hutandapat dipenuhi. b. Kompetisi Kompetisi adalah suatu proses yang bergerak maju karena setiap spesies memiliki kemampuan yangberbeda dalam suatu lingkungan tertentu, dan spesies yang kurang mampu mengadakan penyesuaian akan hilang dari persaingan. Agar sukses dalam persaingan, suatu spesies harus memiliki sumber biji yang cukup, tempat perkecambahan biji yang cocok, keadaan pertumbuhan yang cukup, dan tidak memiliki kelemahan utama dalam terhadap serangan penyakit, hama, dan binatang yangdapat merintangi kelansungan hidupnya. 27 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Dalam proses kompetisi ini, suatu spesies dapat menempatkan dirinya sebagai spesies yang dominan dan bahkan suatu spesies dapat menggantikan spesies lainya sehingga terdapat suatu proses saling ganti mengganti antarberbagai spesies. c. Toleransi Suksesi bergerak maju karena spesies yang menyerang lebih mampu bersaing dalam lingkungan yang sedang berubah. Toleransi dalam kehutanan diartikan sebagai kapasitas relatif suatu pohon untuk bersaing dalam keadaan cahaya yang rendah dan persaingan akar yang tinggi. Pohon-pohon yang toleran memperbanyak diri dan membentuk lapisan tanah bawah tajuk dari pohon-pohon yang kurang toleran dan bahkan di bawah naungannya sendiri. Pohon-pohon yang tidak toleran memperbanyak diri dengan sukses hanya pada daerah-daerah terbuka dimana terdapat tajuk yang terbuka lebar. Tentunya terdapat spesies yang sangat toleran, toleran, tingkat menengah, tidak toleran, dan sangat tidak toleran.
Pengetahunamengenai
persaingan dan pertumbuhan
toleransi
dan
implikasinya
terhadap
adalah suatu hal yang mendasar untuk
memperoleh sistim silvikultur yang baik dan mendasar pula bagi setiap keputusan kita dalam pengelolan hutan. d. Zone Optimum Zone optimum adalah tempat dimana suatu spesies tertentu sering dijumpai pada berbagai macam tanah dan tempat tumbuh (site).
Pada tempat
tumbuh yang paling baik, spesies tersebut mencapai ukuran, umur, dan berbagai sifat baik yang maksimum. Ukuran, umur, dan sifat-sifat baik tersebut menurun pada zone-zone yang lebih dingin atau lebih panas. Pada zone
optimum
tersebut
spesies
yangbersangkutan
paling
mudah
memperbanyak diri. Suatu spesies yang toleran kemungkinan besar akan membentuk suatu klimaks pada zone optimumnya.
28 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
B. Konsep Silviks, Silvikultur, dan Struktur Tegakan Silviks adalah studi sejarah hidup dan ciri-ciri umum pohon-pohon hutan dan tegakan-tegakan dengan memberikan perhatian utama terhadap faktorfaktor lingkungan sekitarnya. Silvikultur adalah ilmu dan seni dalam usaha menanam, menumbuhkan, memelihara, memungut hasil, dan melaksanakan permudaan hutan berdasarkan pengetahuan silviks dalam pengelolaan hutan. Dengan kata lain, silvikultur adalah ilmu dan seni penerapan silviks dalam manajemen hutan. Struktur tegakan adalah susunan tegakan berdasarkan umur, kelas diameter, tajuk, dan kelas pohon lainnya. Dinamika tegakan dituntun oleh prinsip-prinsip ekologi yang memberikan sifat dasar dari tegakan seperti, suksesi, kompetisi, toleransi, dan konsep zona optimum. Preskripsi silvikultur seyogyanya diberikan setelah kita mengetahui dinamika tegakan serta tipe hutan yang akan dikelola. Terdapat beberapa pandangan pakar tentang sistem silvikultur dalam hubungannya dengan pengelolaan hutan, yaitu:
Sistem silvikultur hendaknya dibuat dimana sistem itu akan digunakan, tidak dirakit dan dibawa dari hutan lain (David, M. Smith, 1986)
Dalam pengelolaan hutan kita tidak dapat menggunakan satu macam sistem silvikultur karena di dalam hutan terdapat fluktuasi (Hendrikson dan K. Sanojea, 1975).
Penggunaan sistem silvikultur yang sederhana memang enak, tetapi jangan sampai hutan alam diganti dengan tegakan sederhana hanya karena tegakan pengganti itu mudah dimengerti (David M Smith, 1986). Secara umum, sistem silvikultur dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Sistem Silvikultur Tebang Habis Keuntungan:
Operasi pembalakan terkonsentrasi di areal kecil, tetapi volume kayu besar
Kerusakan akibat pembalakan terhadap tegakan mudah dicegah
Kerusakan pohon akibat tumbang oleh angin dihindari
29 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Tanaman baru terdiri jenis intoleran, bebas persaingan dengan tegakan tua
Metode sederhana, praktis, dan mudah
Tegakan seumur, murni, dan teratur, tumbuh cepat
Pelaksanaan
dengan
tumpangsari
dapat
meningkatkan
pendapatan
masyarakat di sekitar hutan Kerugian:
Memusnahkan penutup tanah, iklim mikro berubah, lahan terbuka, gulma tumbuh meluas
Perlindungan terhadap erosi berkurang, juga tanah mudah lonsor terutama pada lapangan miring
Secara estetika kurang baik pemandangannya
Bahaya kebakaran meningkat karena angin dan panas terik
Tidak semua jenis dan ukuran pohon laku dijual
Hutan baru yang seumur dan murni kurang resistent terhadap penyakit, hama, dan kebakaran
Terbentuk humus yang susunanya didominasi oleh unsur tertentu
Unit cost penanaman per ha lebih mahal
b. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Keuntungan:
Perlindungan terhadap tempat tumbuh dan permudaan
Terjadi penutupan tajuk vertikal
Perlindungan terhadap hama dan penyakit
Secara estetika lebih baik
Permudaan alam jenis toleran dipermudah
Penyesuaian dengan situasi pasar kayu
Tegakan tak seumur lebih baik bagi habitat satwa
Menjamin kelestarian produksi pada kawasan kecil
Penjarangan dapat dilakukan simultan dengan pemanenan
Unit cost permudaan per ha lebih murah
30 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Kerugian:
Produksi kecil, tetapi areal penebangan luas sehingga pengangkutan mahal
Kerusakan terhadap tegakan sisa
Memusnahkan sumber plasma nutfah/genetika yang baik
Bentuk pohon kurang baik karena ruang tumbuh luas pada umur tua
Permudaan jenis toleran lebih banyak dari pada intoleran
Memerlukan kecakapan profesional tinggi dari pelaksana
Tertutup terhadap penggembalaan ternak
Kurang menyerap tenaga kerja dalam operasinya
Permudaan
alam
lebih
sulit
diatur,
demikian
pula
tindakan
pemeliharaan/pembebasan. Peran silvikultur dalam pengelolaan hutan adalah adanya keuntungankeuntungan yang diperoleh dengan tercapainya tujuan-tujuan praktek silvikultur. Praktek silvikultur tersebut berupa:
Pengendalian komposisi tegakan
Pengendalian kerapatan tegakan
Pembangunan areal yang tidak produktif
Perlindungan hutan
Pengendalian rotasi dan siklus tebang
Tercapainya efisiensi kerja
Perlindungan tanah dan manfaat tidak lansung hutan
C. Konsep Riap (Increment) Riap adalah pertambahan diameter, bidang dasar (basal area), tinggi, volume, mutu, atau nilai suatu pohon atau tegakan selama jangka waktu tertentu. Riap kasar (Gross increment) menunjukkan nilai yang belum dikurangi dengan suatu factor yang disebabkan oleh mortalitas atau kemunduran mutu. Sedang riap netto adalah nilai yang diperoleh setelah pengurangan factor tersebut. Di Indonesia, riap biasanya dinyatakan dalam m3/ha/tahun. 31 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Riap merupakan tulang punggung ilmu manajemen hutan, yang bertujuan untuk menghasilkan kayu. Tanpa informasi tentang riap, suatu rencana pengelolaan hutan tidak lebih dari sekedar petunjuk untuk menghadapi pekerjaan-pekerjaan di lapangan, dan bukan merupakan suatu rencana yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan pengelolaan. Biasanya riap dipakai untuk menyatakan pertambahan volume pohon atau tegakan per satuan waktu tertentu, menyatakan pertambahan nilai tegakan, menyatakan pertambahan diameter atau tinggi pohon
setiap tahun.
Pada
bagian ini, pembicaraan akan dibatasi pada riap pohon dan riap tegakan. 1. Riap Individu Pohon Untuk individu pohon akan dibahas riap diameter, riap tinggi, dan riap volume. Riap diameter biasanya diwakili oleh riap diameter stinggi dada. Riap diameter merupakan salah satu komponen yang penting dalam menentukan riap volume. Alat yang paling banyak dipakai untuk mengukur riap diameter adalah “bor riap”. Tetapi alat ini hanya efektif untuk mengukur riap pohon yang mempunyai lingkaran tahun yang jelas. Sebagian besar jenis pohon yang berasal dari hutan tropika basah tidak mempunyai lingkaran tahun yang nyata dan pembentukan lingkaran pertumbuhan tidak berkaitandengan siklus tahunan. Riap diameter tiap tahun dapat dikur dari lebar antara lingkaran tahun tertentu. Lingkaran tahun dapat dipakai juga untuk menghitung umur pohon. Riap Tinggi juga mempunyai peranan dalam perhitungan ripa volume, terutama untuk tegakan yang masih muda. Ada empat cara untuk menentukan riap tinggi, yaitu: a. Menaksir atau mengukur panjang ruas tahunan. Cara ini hanya dapat dipakai untuk spesies tertentu saja terutama spesies dari daerah temperate dan boreal. b. Analisis tinggi (height analysis)
terhadap pohon yang ditebang. Dengan
menghitung lingkaran tahun pada penampang lintang pohon untuk berbagai ketinggian, akan dapat diketahui pertambahan tinggi selama periode waktu 32 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
tertentu. Cara ini dapat dilakukan untuk semua spesies yang mempunyai lingkaran tahun. c. Mengukur pertambahan tinggi pohon selama periode waktu tertentu. Pengukuran tinggi dapat menggunakan hypsometer. Cara ini dapat dilakukan untuk semua jenis pohon, tetapi memerlukan waktu yang lama untuk menunggu sampai pada pengukuran yang kedua. d. Menentukan riap tinggi dengan kurva tinggi. Kurva tinggi untuk semua spesies bergantung pada umur. Sampai umur tertentu, pohon sudah tidak lagi tumbuh meninggi, dan sejak itu volume pohon hanya dipengaruhi oleh riap diameter. Riap volume pohon adalah pertambahan volume selama jangka waktu tertentu. Dalam teori, riap volume dapat ditentukan secara tepat dengan mengurangi volume pada akhir periode (B) dengan volume pohon tersebut pada awal peroide (A). 2. Riap Tegakan Riap volume suatu tegakan bergantung pada kepadatan (jumlah) pohon yang menyusun tegakan tersebut (degree of stocking), jenisnya, dan kesuburan tanahnya. Riap volume suatu pohon dapat dilihat dari kecepatan tumbuh diameter, yang setiap jenis, biasanya mempunyai nilai (rate) yang berbeda-beda. Untuk semua jenis pada waktu muda mempunyai kecepatan tumbuh diameter yang tinggi. Kemudian, semakin tua semakin menurun, sampai akhirnya berhenti. Untuk hutan tanaman, biasanya
pertumbuhan diameter mengikuti
bentuk hurup S (sigmoid), karena pada mulanya tumbuh agak lambat, kemudian cepat, lalu menurun. Lambatnya pertumbuhan diameter pada waktu muda disebabkan oleh perlakuan terhadap tanaman yang rapat, untuk menghindari percabangan yang berlebihan dan penjarangan yang belum memberi hasil (tending thinnings). Kalau suatu tegakan tidak meriap lagi, maka dikatakan hutan tersebut sudah mencapai klimaks. Jadi mulai saat itu dan seterusnya riap tegakan sudah sama dengan nol. Riap volume suatu tegakan selama satu daur dapat dibedakan atas: riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment = MAI), riap rata-rata 33 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
periodik (Periodic Annual Inbcrement) = PAI), dan riap rata-rata berjalan (Current Annual Increment = CAI). Contoh: Suatu hutan tanaman pada umur 40 tahun, hutan tersebut mempunyai volume 120 m3/ha, maka sampai umur 40 tahun, hutan tersebut mempunyai MAI = 120/40 = 3 m3/ha/tahun. Kalau pada umur 14 tahun, tanaman mempunyai volume 45 m3/ha, dan pada umur 15 tahun menjadi 49 m 3/ha, maka CAI hutan pada umur 15 tahun adalah 49 m 3/ha – 45 m3/ha = 4 m3/ha/tahun. Bila pada umur 20 tahun, volume tegakan itu menjadi 66,5 m 3/ha, maka PAI tegakan antara umur 15 sampai 20 tahun adalah (66,5 – 49)/5 = 3,5 m3/ha/tahun. Volume (m3/ha)
MAI
CAI
R maksimum
Umur (th)
Gambar 1. Penentuan Panjang Rotasi Berdasarkan Riap Tegakan Titik potong antar grafik MAI dan CAI merupakan umur sewaktu tegakan mencapai riap volume maksimal. Dalam penentuan daur, umur tersebut ditetapkan sebagai daur volume maksimal.
34 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Tugas: Uraikan proses/cara perhitungan angka-angka yang tertera pada kolom 5 s/d kolom 11. Kemudian Gambarkan Kurva MAI dan CAI berdasarkan hasil perhitungan tersebut. Apa kesimpulan yang saudara dapatkan dari hasil perhitungan dan kurva tersebut?
Age (a)
1 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
Main crop.
Volume Thinngi Total ngs
MAI Total production
V
T
V+T
V + ∑T
2 500 1700 3670 5700 7960 10350 12550 14290 15780 16990
3
4 500 1760 4030 6270 8960 11640 13980 15650 16640 17700
5 500 1760 4090 6690 9950 13630 17260 20360 22710 24630
60 360 570 1000 1290 1430 1360 860 710
35 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
CAI
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
V + ∑T a 6 17 44 82 111 142 170 192 204 206 205
V+T a 7 17 44 81 104 128 145 155 156 151 147
V a 8 17 42 73 95 114 129 139 143 143 142
V”+T”-V’ 10 9
V”+T”-(V’-T’) 10 10
V”-V’ 10 11
126 233 260 326 368 363 310 255 192
126 227 224 269 268 234 167 99
120 197 203 226 239 220 174 149 121
D. Konsep Hutan Normal Bersamaan dengan perkembangan konsep kelestarian, sepanjang abad 19 berkembang pula konsep hutan normal, yang kemudian menjadi salah satu instrument untuk melaksanakan pengelolaan hutan. Lahirnya konsep hutan normal tidak lepas dari harapan setelah pelaksanaan system pengaturan hasil yang paling sederhana yaitu metode annual coupe atau vak-werk (Belanda). Dari sistem pengaturan hasil ini dibayangkan akan terbentuk hutan dengan susunan umur yang teratur. Hutan normal dapat didefinisikan sebagai hutan yang dapat mencapai dan menjaga derajat kesempurnaan hutan untuk memenuhi ketentuan sesuai dengan tujuan pengelolaan. Secara ideal, hutan normal merupakan tegakan dengan persebaran kelas umur yang merata dan riap yang maksimal. Tebangan tahunan atau priodik pada hakekatnya harus sama dengan riap untuk jangka waktu yang bersangkutan. Dengan demikian, hasil kayu yang maksimal dapat diperoleh sepanjang waktu tanpa membahayakan hasil di masa datang, dan oleh karena itu kelestarian hasil hutan dapat dipertahankan. Misalkan kelas perusahaan kayu pertukangan dengan luas 500 ha dikelola dengan rotasi 25 tahun. Dengan metode annual coupe, di seluruh kawasan hutan tersebut akan dibuat 25 petak kerja diberi batas dan nomor permanen mulai dari petak 1 sampai 25. Secara skematis pembagian kawasan hutan ke dalam petak-petak kerja tersebut dilukiskan pada Gambar 2. Setiap tahun akan dilakukan tebangan pada petak kerja secara berurutan, kemudian diikuti dengan permudaan kembali pada tahun berikutnya. Kalau penebangan dimulai pada tahun 2003, maka pada tahun 2028 di seluruh kawasan hutan telah terbentuk hutan-hutan seumur pada setiap petak. Umur tegakan di seluruh kawasan hutan bervariasi dari 1 sampai 25 tahun. Angkaangka yang tertulis di setiap petak kerja pada Gambar 2 menunjukkan umur tegakan di petak yang bersangkutan setelah pelaksanaan tebangan seluas 1 daur. Susunan tegakan seperti itu, yang terdiri atas berbagai umur yang komplit dari satu tahun sampai umur masak tebang dan luas masing-masing juga sama, 36 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
dapat dilukiskan dalam bagan koordinat yang menghubungkan antara umur dan volume tegakan tiap kelas umur. Lukisan ini digambarkan pada Gambar 3 . Tiap petak dalam Gambar 3 menunjukkan volume tegakan yang dibentuk setelah satu tahun. Oleh karena itu tegakan yang baru berumur satu tahun dilukiskan oleh satu kotak, dan seterusnya sampai tegakan yang berumur 25 tahun dilukiskan oleh 25 kotak pula. Tahun 2003-2028 1
2
3
4
5
10
9
8
7
6
11
12
13
14
15
20
19
18
17
16
21
22
23
24
25
Tahun 2029-2054 25
24
23
22
21
16
17
18
19
20
15
14
13
12
11
6
7
8
9
10
5
4
3
2
1
Gambar 2. Pembagian Kawasan Hutan Pada Hutan Normal
Dengan melihat susunan kelas umur seperti di atas, maka hutan normal dapat didefinisikan sebagai tegakan yang mempunyai susunan kelas umur yang merata, mulai kelas umur 1 sampai akhir daur, dalam keadaan penuh dan mempunyai kondisi pertumbuhan yang maksimal. Setiap kelompok umur tegakan mempunyai luas atau potensi pertumbuhan normal yang sama sehingga tebangan tahunan selalu menghasilkan kayu yang maksimal dan sama volumenya. Hutan normal merupakan hutan yang tertata penuh (fully regulated), dan potensi kayunya juga dalam keadaan normal. Disini terkandung pengertian 37 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
bahwa semua individu pohon di dalam hutan normal tersebut dalam keadaan pertumbuhan yang baik dan sehat. Semua pohon memperoleh ruang tumbuh yang optimal, tidak ada yang dalam keadaan tertekan. Hutan dengan potensi kayu yang normal berarti mempunyai kepadatan tegakan maksimal, sesuai dengan tujuan pengelolaan, keadaan tempat tumbuh dan variable hutan lainnya. Hutan normal akan menjaga pertumbuhan tegakan di masa datang dengan sebaran kelas umur atau kelas diameter pohon serta riap yang sesuai dengan tujuan pengelolaan. Oleh karena itu, kriteria yang menentukan pengertian hutan normal adalah: (1) tendon tegakan normal, (2) sebaran kelas umur normal, dan (3) riap tegakan normal. Untuk mencapai hutan normal, diperlukan pemilihan yang tepat tentang system pengaturan hasil dan teknik silvikultur yang akan dipakai. Perlakuan silvikultur untuk memelihara tegakan harus direncanakan pada waktu yang tepat dan dengan cara yang memadai, sehingga setiap tempat tumbuh atau kelompok hutan akan dalam keadaan penuh oleh jenis yang cocok dengan kondisi tempat tumbuh tersebut. Tegakan akan dijarangi secara periodik utuk memberikan ruang tumbuh yang optimal bagi tegakan tinggal, dan untuk mencapai riap yang maksimal sesuai dengan dimensi kayu atau umur yang diperlukan oleh tujuan pengelolaan tertentu. Dalam kenyataan, hutan normal yang ideal seperti itu sebenarnya tidak pernah dapat dicapai, walaupun dengan biaya yang mahal dan usaha yang maksimal sekalipun. Oleh karena itu, hutan normal sebagai alat untuk mencapai keuntungan yang optimal tidak lagi dipegang teguh secara kaku. Untuk menghindari ketidak luwesan konsep hutan normal tersebut, Davis (1966) memperkenalkan istilah yang lebih fleksibel, yaitu hutan dalam keadaan tendon penuh (full-stocked forest). Suatu table hasil dapat dibuat untuk melukiskan perkembangan volume standar suatu tegakan yang dalam keadaan penuh. Bukan volume maksimal sebagaimana pendapat umum selama ini.
38 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Volume (m3/ha)
1
2
3
4 5
6
7 8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Umur
Gambar 3. Susunan Kelas Umur Tegakan Hutan Normal
Untuk system pengelolaan hutan yang lebih intensif, istilah yang dipakai adalah hutan yang tertata penuh (fully-regulated forest) . Dalam hal ini, hutan dengan tendon penuh diharapkan dapat dicapai pada suatu waktu tertentu, khususnya pada akhir daur. Selama jangka waktu satu daur tersebut, hutan 39 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
dapat dikelola dengan teratur untuk memperoleh manfaat hutan yang maksimal sesuai dengan kebutuhan dan keadaan setempat.
E. Konsep Rotasi 1. Pengertian Rotasi adalah jangka waktu dalam tahun yang diperlukan oleh suatu jenis tanaman untuk mencapai umur masak tebang, dihitung sejak jenis tersebut ditanam. Nampak dari definisi tersebut bahwa konsep rotasi dipakai untuk pengelolaan hutan dengan tujuan menghasilkan kayu dari tegakan seumur. Untuk tegakan tidak seumur, istilah yang dipakai untuk arti yang sama dengan rotasi adalah siklustebangan (cutting cycle). Istilah yang bersifat umum untuk mengganti dua istilah tersebut adalah daur.
2. Macam-Macam Daur Dalam
pengelolaan
hutan
seumur,
menentukan
panjang
rotasi
mempunyai peranan yang sangat penting karena berpengaruh terhadap efisiensi dan efektifitas tujuan pengelolaan. Pada buku-buku teks kehutanan klassik, selalu disebutkan ada enam macam kriteria untuk menentukan panjang rotasi, yang kemudian menunjukkan nama daur yang bersangkutan, yaitu: a. Daur Fisik, yaitu daur yang berimpitan dengan kemampuan suatu jenis untuk dapat bertahan hidup secara alami. Kadang-kadang juga diartikan atau disamakan dengan waktu sampai suatu jenis masih mampu untuk menghasilkan biji yang dapat tumbuh menjadi anakan yang sehat. Definisi tersebut menunjukkan bahwa daur fisik sama sekali tidak berkaitan dengan masalah ekonomi. Daur fisik jenis pohon hutan umumnya sangat panjang dan karena itu tidak mempunyai nilai praktis. Jelasnya, daur yang dipakai untuk suatu jenis tertentu tidak lebi panjang dari daur fisiknya. b. Daur Silviukultur, yaitu jangka waktu yang diperlukan oleh suatu jenis pohon utuk mulai dapat melakukan permudaan kembali dengan baik. Apabila jenis tersebut biasa melakukan permudaan dengan biji, maka daur silvikultur 40 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
berarti jangka waktu yang diperlukan oleh jenis tersebut untuk mulai menghasilkan biji yang dapat digunakan untuk permudaan kembali. Jadi kebalikan dari daur fisik, maka daur silvikultur merupakan batas terendah yang digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan daur suatu jenis pohon. Daur suatu jenis tidak boleh lebih pendek dari daur silvikulturnya. Bagaimana bila cara permudaan dengan kultur jaringan? Maka praktis daur silvikultur menjadi tidak mempunyai arti lagi. c. Daur Teknik, yaitu umur pada waktu suatu jenis yang diusahakan sudah dapat menghasilkan kayu yang dapat digunakan untuk tujuan tertentu. Jadi bergantung pada tujuan pengusahaannya, jenis daur ini dapat panjang atau pendek. Misalnya, daur untuk kayu bakar dan pulp pada umumnya pendek, tetapi daur untuk kayu pertukangan seringkali amat panjang. d. Daur Volume Maksimum, yaitu umur tegakan dimana hasil kayu tahunan mencapai volume yang tertinggi. Disini tidak hanya dihitung hasil dari tebangan akhir saja tetapi juga termasuk seluruh hasil penjarangan yang pernah dilakukan sampai umur tersebut.
Daur hasil kayu maksimum ini
merupakan konsep daur yang paling penting yang mempunyai nilai praktis, dan paling banyak dipakai di lapangan. Panjang daur volume maksimum tercapai pada saat umur tegakan dimana terjadi perpotongan antara kurva riap rata-rata tahunan (MAI) dan CAI (lihat Gambar 1). e. Daur pendapatan maksimum, juga dinamakan daur rente hutan maksimum (the highest forest rental). Pada umur tersebut suatu hutan tanaman akan menghasilkan pendapatan bersih maksimum. Rara-rata pendapatan bersih tahunan dapat dihitung dengan rumus: FR = Yr + ∑Tr – C – r.a r Dimana: FR = rata-rata pendapatan tahunan bersih (Rp/ha/tahun) Yr = Nilai hasil tebangan akhir pada umur daur (Rp/ha) Tr = Nilai hasil penjarangan sampai akhir daur (Rp/ha) C = biaya pembuatan tanaman (Rp/ha) r = panjang rotasi (tahun) a = biaya administrasi rata-rata (Rp/ha/tahun) 41 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Karena dasar perhitungannya adalah hasil kayu, maka panjang daur ini hampir sama dengan panjang daur volume maksimum. Bedanya adalah variasi harga kayu. Contoh: Perhitungan Rata-rata Pendapatan Tahunan bersih (Annual Forest Rent), dari Tegakan Seumur Pinus dengan site Indeks 100. Umur (th)
Nilai Tegakan Kotor ($)
20 30 40 50 60 70 80
22 174 510 721 834 918 993
Biaya Pembangunan Hutan ($)* 40 53 66 79 92 105 118
Nila Bersih Tegakan ($/acre) -18 121 444 642 742 813 875
Forest Rent ($/acre) -0,9 4,0 11,1 12,8 12,4 11,6 10,9
Keterangan: Biaya pembangunan hutan terdiri atas biaya pembangunan pada tahun pertama sebesar $ 14/acre, dan biaya pemeliharaan sebesar $1,3/acre/tahun f. Daur keuntungan maksimum disebut juga daur financial, yaitu umur tebangan hutan tanaman yang dapat menghasilkan keuntungan tertinggi dalam nilai uang. Di kehutanan, keuntungan dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu dari nilai harapan lahan (Land /expectation Value = LEV) dan dari hasil finansial. Nilai harapan lahan adalah nilai yang didasarkan pada pendapatan bersih yang dapat diperoleh dari suatu lahan, dihitung pada tingkat bunga tertentu. Di Kehutanan, pendapatan tidak diperoleh pada setiap tahun, melainkan secara periodik pada tahun-tahun tertentu. Oleh karena itu, pendapatan untuk waktu yang akan datang perlu didiskon pada tahun perhitungan. Rumus untuk perhitungan ini, pertama kali dikemukakan oleh Faustman pada tahun 1849. Rumus tersebut adalah sebagai berikut:
42 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Yr + Ta (1 + i)
r-a
+ Tb (1 + i)
LEV =
r-a
r
+ I [ (1 + i) – 1] – C (1 + i) i
r-a
– Sa (1 + i)
r-a
r
– e [ (1 + i) – 1] i
r
(1 + i) – 1
dimana: LEV = nilai harapan lahan Yr = pendapatan pada umur rotasi (Rp/ha) Ta, Tb, dst = nilai bersih penjarangan pada tahun ke-a, tahun ke-b, dst. I = Pendapatan tahunan yang diperoleh dari perumputan, perburuan, dll. C = Biaya pembangunan hutan pada tahun ke-a Sa, Sb, dst = Biaya pemeliharaan pada tahun ke-a, tahun ke-b, dst. e = Biaya tahunan, seperti pajak, administrasi, dll. r = panjang rotasi i = suku bunga Rumus Faustman tersebut di atas, sekarang banyak dimodifikasi, sehingga lahir rumus baru yang dapat disebut rumus “Neo- Faustman”, seperti rumus tanah kosong, rumus biaya pemeliharaan tegakan terkecil, dan rumus nilai jual maksimum.
43 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Contoh: Perhitungan LEV dari Tegakan Seumur Pinus dengan site Indeks 100, Suku bunga 3% (Davis, 1966, halaman 239).
Umur Tegakan (th)
(a)
Biaya Pembangunan Tegakan ($) Nilai Biaya pada umur Tahun rotasi Pertama (setelah dikompound) (b) (c)
Biaya Tahunan ($)
Biaya Tahunan (d)
(a) (1 + i)r-1 20 30 40 50 60 70 80
14 14 14 14 14 14 14
24.55 32,99 44.34 59.59 80.08 107.62 144.63
1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3
44 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Biaya Pendapatan Pendapatan Nilai Biaya Total pada Total pada Bersih pada Tahunan Umur Umur Umur pada umur Rotasi ($) Rotasi ($) Rotasi ($) rotasi (setelah dikompound) (e) (f) (g) (h) (d) (1 + i )r – 1 i
(c) + (e)
34.93 61.85 98.02 146.64 211.97 299.77 417.77
59 95 142 206 292 407 562
(g) – (f) 22 174 510 721 834 918 993
37 79 368 515 542 511 431
Nilai Harapan Lahan (LEV) (i) (h) -------------(1 + i)r – 1 46 55 163 152 111 74 45
3. Menentukan Daur Sebelum menentukan panjang daur yang akan dipakai untuk suatu kelas perusahaan, perlu ditetapkan terlebih dahulu jenis daur mana yang akan dianut. Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan tujuan pengelolaan. Secara garis besar, pertimbangan-pertimbanan memilih tipe daur dalam hubungannya dengan tujuan pengelolaan adalah sebagai berikut:
Bila tujuan pengelolaan lebih mengutamakan perolehan manfaat nonekonomi dari hutan (mengatur supply jasa hutan) seperti, satwa liar, rekreasi, dan lain-lain semacam itu, maka daur silvikultur dan daur fisik akan lebih baik.
Bila tujuan pengelolaan dititikberatkan untuk menghasilkan kayu, baik kayu pertukangan maupun kayu bakar, daur teknik dan daur volume maksimum akan merupakan alternatif yang paling tepat.
Untuk tujuan pengelolaan yang mengutamakan keuntungan dalam nilai uang (untuk
mengatur pengembalian
uang),
digunakan
rotasi
pendapatan
maksimum atau daur finansial. Disamping tujuan pengelolaan, panjang daur juga ditentukan oleh faktorfaktor antara lain: besarnya riap atau percepatan pertumbuhan pohon penyusun tegakan, tujuan akhir penggunaan kayu, kondisi tapak hutan, dan jenis pohon yang ditanam. Davis (1966) mengklasifikasi beberapa faktor yang berpengaruh terhadap panjang daur ke dalam dua kelompok yaitu faktor fisik dan faktor financial, yaitu,
Jenis produk apa yang diperlukan atau yang dapat dijual dengan keuntungan tertinggi (aspek demand).
Produktifitas hutan, atau apa yang dapat ditanam (aspek supply). Dalam klasifikasi tersebut, biaya maupun penghasilan dimasukkan ke
dalam dua kelompok itu (fisik dan finansial) yang harus diintegrasikan yang kemudian daur ditentukan sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan. Dalam hal ini, tiga faktor yang harus diperhatikan, yaitu:
45 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
nilai produk, berkaitan dengan ukuran dan kualitas yang menguntungkan untuk dijual, (tapi nilai di sini terlepas dari nilai financial) dan pada umur berapa akan diperoleh nilai tertinggi pada suatu tujuan pengelolaan tertentu.
Faktor hutan, yang mencakup: physical produvtivity (site indeks), pathological factors, entomological factor, silvicultural factor.
Pandangan ekonomi, yaitu keberartian waktu (terkait dengan aspek financial).
F. Konsep Kelestarian 1. Karakterisitik Sumberdaya Hutan Hutan pada dasarnya mempunyai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, yaitu hutan sebagai sumberdaya alam dan hutan sebagai suatu ekosistem. Hutan sebagai sumberdaya alam, dengan karakteristik, dapat diperbaharui, mempunyai fungsi manfaat serbaguna (multi use resources), bergam antara satu tempat dengan tempat lainnya (divers), potensial (berukuran besar, sebagai populasi). Sedangkan hutan sebagai ekosistem, dengan karaktersitik, sangat kompleks, bersifat labil (mudah terpengaruh oleh peruahan), dan beragam (divers). Dengan demikian, dalam memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan pembangunan, maka karakteristik atau sifat hutan sebagai sumberdaya alam dan ekosistem harus menjadi pertimbangan utama secara proporsional. Pertumbuhan penduduk yang pesat, menyebabkan kebutuhan terhadap lahan dan hasil hutan juga meningkat. Peningkatan ini tidak hanya dalam jumlah (kuantitasnya), tetapi juga dalam jenisnya serta kualitasnya. Untuk dapat memenuhi meningkatnya kebutuhan akan hasil-manfaat tersebut, maka intensifikasi dan cara-cara pemanfaatan hutan juga harus ditingkatkan. Dalam waktu yang bersamaan terdapat perkembangan global yang menyertainya.
2. Konsep Kelestarian Pada kondisi seperti diuraikan di atas, dengan mempertimbangkan sifatsifat hutan (sebagai SDA dan sebagai ekosistem) maka dikembangkan suatu 46 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
prinsip dasar dalam pemanfaatan hutan yang dikenal sebagai Prinsip Kelestarian (Sustainable Principle). Berdasarkan perkembangannya, dikenal dua prinsip kelestarian, yaitu: prinsip hasil (yield principle), dan
prinsip manajemen
(management principle). 1. Prinsip Hasil (yield principle) Prinsip ini dikembangkan untuk pertama kalinya dalam pengelolaan hutan di Jerman, dimana dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan akan hasil dan manfaat hutan yang terus meningkat, maka hasil-manfaat hutan merupakan dasar utama pengelolaan hutan. Dengan demikian, prinsip hasil adalah prinsip dalam pengelolaan hutan yang mendasarkan pada pertimbangan hasil yang diperoleh dari hutan sebagai dasar utamanya. Dalam sejarah pengetrapannya, terdapat beberapa bentuk prinsip hasil, yaitu: a. Prinsip hasil yang lestari (sustainable yield principle) Pengelolaan hutan dengan prinsip hasil lestari mengupayakan hasil (yield) yang diperoleh dari hutan kurang lebih sama dari waktu ke waktu (tahun ke tahun atau rotasi ke rotasi). Prinsip ini dapat dicapai apabila terdapat keseimbangan
antara
riap
(increment)
dari
tegakan
hutan
dengan
pemanenannya (harvesting). Keseimbangan ini merupakan persyaratan minimal yang harus dipenuhi untuk mewujudkan kelestarian hasil. Dengan demikian, masukan yang sangat penting dan mendasar untuk mewujudkan tercapainya prinsip kelestarian hasil adalah besarnya riap. Riap adalah besarnya pertambahan tumbuh dimensi pohon-tegakan (diameter, tinggi, volume) menurut ruang dan waktu. Satuan yang sering digunakan dalam menyatakan riap adalah m3/ha/tahun. Terdapat banyak cara untuk mengukur besarnya riap tegakan, salah satu yang sering dipergunakan adalah dengan melakukan pengamatan-pengukuran secara berurutan (continuous forest measurement) pada plot permanent (Petak Ukur Permanen = PUP). 47 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Sehubungan dengan riap tegakan sebagai masukan yang mendasar dalam mewujudkan kelestarian hasil, maka setiap HPH diharuskan membuat PUP di areal bekas tebangan. Dengan mengetahui riap tegakan tinggal, maka dapat ditentukan besarnya
jangka waktu rotasi tebangan (cutting cycle) dan
besarnya jatah tebang tahunan (JTT = AAC) pada rotasi kedua. b. Prinsip hasil yang selalu meningkat (progressive yield principle) Disamping hasil yang diperoleh dari hutan (utamanya kayu) berlangsung kurang lebih sama dari waktu ke waktu, pengelola hutan berupaya lebih lanjut untuk meningkatkan hasil yang diperoleh dari hutan dari waktu ke waktu. Jadi bersifat progressif. Dengan demikian, prinsip hasil yang selalu meningkat adalah prinsip pengelolaan hutan yang mengupayakan hasil yang akan diperoleh dari hutan akan terus meningkat dari waktu ke waktu (tahun ke tahun, rotasi ke rotasi). Prinsip ini dapat dicapai dengan meningkatkan potensi tegakan per satuan luasnya, atau dengan kata lain riap tegakan harus ditingkatkan per satuan luas per satuan waktu, melalui: 1) Penerapan teknik silvikultur yang tepat, misalnya melalui penjarangan (thinning) yang tepat, pemupukan, dll. 2) Pemilihan bibit unggul melalui program-program kultur jaringan (tissue culture), pemuliaan pohon (tree improvement), dan rekayasa teknologi biologi (biotechnology). c. Prinsip hasil yang maksimal (maximum yield principle) Dengan semakin meningkatnya kebutuhan terhadap hasil hutan, maka upaya untuk mendapatkan hasil secara progressif masih belum dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Pada saat yang bersamaan teknologi pemanfaatan hasil hutan juga mengalami peningkatan, yang ditopang dengan berkembangnya IPTEKS pemanfaatan hasil hutan. Melalui teknologi pemanfatan hasil hutan, yaitu memproses-mengolah hasil hutan menjadi produk jadi atau setengah jadi, diharapkan nilai dari hasil 48 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
hutan akan meningkat dan maksimal. Dengan demikian, prinsip hasil maksimal
adalah
prinsip
pengelolaan
hutan
yang
mengupayakan
diperolehnya nilai maksimal dari sumberdaya hutan. Untuk mendapatkan nilai maksimal tersebut, beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah: 1)
industrialisasi pengolahan hasil hutan untuk mendapatkan nilai tambah (value added).
2)
Intensifikasi pemanfaatan hasil hutan sehingga diperoleh volume hasil hutan yang lebih besar (memperkecil volume limbah)
3)
Diversifikasi pemanfaatan hasil hutan
Dengan demikian, prinsip ini menekankan pada peningkatan nilai dibanding peningkatan produksi hasil hutan. 2. Prinsip Manajemen Hutan Lestari (Sustainabel Forest Management) Pengelolaan kelestarian
hasil
hutan
seyogyanya
tidak
tetapi
harus
mempertimbangkan
pula
hanya
mempertimbangkan dampak
dari
pemanfatan hasil tersebut. Oleh karenanya, pengelolaan hutan mempunyai dimensi yang lebih luas (multidimentional principle). Berbeda dengan prinsip kelestarian hasil, prinsip pengelolaan hutan secaralestari perlu dan harus mempertimbangkan aspek-aspek yang lebih luas, yaitu: a. Kelestarian sumberdaya hutan (resource security) b. Kelestarian produksi (cointinuity of production) c. Kelestarian lingkungan (environment) d. Kelestarian keanekaragaman hayati (biodiversity) e. Kelestarian sosekbud masyarakaty (socio-economic and culute) Dengan demikian, pada prinsip manajemen, aspek kelestarian hasil merupakan salah satu bagian saja dari kegiatan pengelolaan hutan. Untuk
49 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
mewujudkan kelestarian pemanfaatan hutan, semua aspek di atas harus dipertimbangkan secara komprehensif. 3.6 Bahan Disuksi 3.7 Bacaan/Rujukan: Davis, K.P. 1978; Lawrence. S. D., K.N. Johnson. 1987; Leuschener. W. A. 1984; Junus. M. 1984; Jerram. M.R.K. 1980. 3.8 Latihan Soal-Soal
50 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
BAB IV Wilayah Pengelolaan Provinsi
1. Perencanaan Kehutanan 2. Pengelolaan 3. Litbang, Diklat Luh 4. Pengawasan
PRESKRIPSI PENGELOLAAN HUTAN Pengurusan
Wilayah Pengelolaan Kabupaten
Unit Pengelolaan
Pokok Bahasan
Pengelolaan
1. 2. 3. 4. 5.
Tata hutan Pemanfaatan Rehabilitasi Perlindungan Konservasi
: Preskripsi Pengelolaan Hutan Kawasan ada Hak
Tujuan Umum
IUPHHK : Menganalisis preskripsi pengelolaan hutan. Kriteria Kelembagaan Kawasan tdk ada Hak Ijin Lain Kawasan Konflik
Tujuan Instruksional Khusus
: Selesai mempelajari Bab IV, mahasiswa/i mampu: (1) menjelaskan tiga elemen dasar membangun preskripsi pengelolaan hutan, (2) membangun, menilai, dan mengaplikasikan preskripsi-preskripsi pengelolaan pada suatu tegakan
A. Pengertian Preskripsi Pengelolaan Hutan Preskripsi
pengelolaan
hutan
adalah
seperangkat
diimplementasikan pada suatu tegakan untuk mencapai hasil
kegiatan
yang
tertentu yang
diinginkan. Penanaman, penjarangan, permudaan, pemanenan, pemupukan, dan lain-lain adalah contoh kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan struktur vegetasi dan hasil kayu yang diinginkan. Membangun, menilai, dan mengaplikasikan preskripsi-preskripsi pada suatu tegakan adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh professional kehutanan dimana pada aktivitas tersebut teori-teori dan prinsip-prinsip pengelolaan hutan diaplikasikan dalam dunia nyata.
51 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Pengembangan
preskripsi
telah
dilakukan
dalam
perencanaan
pengelolaan hutan saat ini. Preksripsi tertentu yang diterapkan pada suatu tipe lahan bersama-sama dengan prediksi hasil secara kuantitatif dan perkiraan hasil yang lain apabila preskripsi tersebut diimplementasikan merupakan building block dari model perencanaan dan skedul pembangunan hutan moderen yang sebenarnya. Perumusan preskripsi perlu mengintegrasikan strategi klassifikasi lahan, pengetahuan dasar dan aplikasi silvikultur, teknik-teknik prediksi pertumbuhan, nilai-nilai ekonomi, dan terknik analisis pengambilan keputusan dari ahli ekonomi manajemen. Contoh:
Terdapat penggergajian kayu kecil, tegakan campuran pinus pada
tanah yang peka erosi, kelerengan kurang dari 30%, site indeks lebih besar dari 100, dan basal area lebih besar dari 200 ft 2 per acre, eksploitasi menggunakan traktor, melakukan penjarangan komersial untuk menurunkan basal area menjadi 140 ft2 per acre, rotasi 30 tahun, melakukan regenerasi dengan jenis Dougles-fir. Prediksi hasil dari kegiatan regenerasi ini adalah 15.000 board feet (Mbd ft) sawn timber dan 600 ft3 kayu pulp hasil penjarangan, 34 Mbd ft sawn timber dan 1.200 ft3 kayu pulp dari hasil tebangan akhir pada tegakan yang ada saat ini, dan 64 Mbd ft pada tebangan akhir dari hasil regenerasi. Preskripsi pengelolaan hutan yang baik harus berpedoman pada empat hal yaitu: 1. Keutuhan dan kelanjutan ekologi. Preskripsi pengelolaan hutan harus mepertimbagkan berbagai
fungsi
lingkungan maupun jasa-jasa yang diberikan oleh hutan antara lain, pemeliharaan keanekaragaman hayati hutan, perlindungan daerah aliran sungai, pemeliharaan fungsi daur ulang zat hara yang penting, perlindungan iklim mikro dan iklim setempat, dan lain-lain. 2. Penggunaan produk dan jasa hutan oleh manusia secara berkelanjutan dan adil. Preskripsi pengelolaan hutan mempertimbangkan ciri-ciri ekologi, faktorfaktor sosial dan demografi, serta potensi ekonomi pada setiap unit manajemen. Biaya-biaya dan manfaat-manfaat ekonomi baik perlindungan 52 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
maupun produksi hutan sama-sama dipikul masyarakat setempat, sektor swasta, dan pemerintah. 3. Pengelolaan terpadu pada skala yang tepat. Hutan dikelola dalam suatu kerangka perencanaan wilayah, pengambilan keputusan dan pengelolaan yang memperhitungkan permukiman manusia di sekitarnya, tanah-tanah pertanian, dan berbagai macam kegiatan ekonomi. Pertimbangan-pertimbangan ekologi dan sosial menentukan ukuran wilayah pengelolaan. Pemerintah, masyarakat, swasta, dan kepentingan-kepentingan lain bersama-sama merumuskan pilihan-pilihan pengelolaan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan baik pada kawasan hutan maupun pada lahan-lahan masyarakat dan mengatasi masalah-masalah penggunaan lahan. 4.
Keikutsertaan
yang
adil
dan
bijaksana
oleh
semua
pihak
yang
berkepentingan. Memberikan kewenangan dan hak atas informasi dan partisipasi kepada semua pihak yang berkepentingan dalam proses
perumusan keputusan-
keputusan pengelolaan dan kebijakan kehutanan. B. Elemen-elemen Dasar Membangun Preskripsi Pengelolaan Hutan Pernyataan pada uraian Bagian A menggambarkan tiga elemen esensial dari preskripsi pada suatu lahan hutan, yaitu: 1. Klasifikasi Lahan (Land – type Classification) Klassifikasi lahan menggambarkan paket atau tipe-tipe lahan menurut lokasi, potensi tegakan, kerapatan, jenis, tanah, kelerengan, dan atribut-atribut lahan yang lain. Disini kita membuat keputusan tentang keseragaman (homogenitas) dan keberagaman (heterogenitas) lahan/wilayah. Mengklasifikasi lahan ke dalam unit-unit pengelolaan yang homogen memungkinkan kita untuk menggeneralisir hasil antara areal yang diamati
53 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
dan dipelajari dengan areal yang tidak diamati tetapi mempunyai kondisi yang sama dengan areal yang diamati. Untuk mendapatkan areal yang homogen perlu mempertimbangkan tidak hanya karakteristik fisik dan vegetasi, tetapi juga karakteristik pembangunan Contoh: Areal hutan seluas 1000 acre, dengan karakteristik sebagai berikut: a. Karakteristik fisik: 1) kelerengan (2 kelas), yaitu: moderate (0 – 30%) curam (> 30%) 2) wilayah DAS (2 kelas) Elk creek Fish creek b. araktersitik vegetasi 1) Penutupan lahan (3 kelas) soft woods hard woods Grasses 2) Potensi tegakan (2 kelas) diameter rata-rata < 14 inci diameter rata-rata > 1 inci c. Karakteristik pembangunan 1) Jarak dari jalan raya (2 kelas) < 200 ft dari jalan > 200 ft dari jalan Karakteristik tersebut dapat dilihat pada Gambar 4, 5 dan Gambar 6.
54 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
55 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Dengan karakteristik tersebut di atas: a. Berapa unit manajemen homogen yang dapat anda bangun? Untuk menjawab pertanyaan ini, anda harus melakukan overlay Gambar 4, Gambar 5, dan Gambar 6. Hasilnya disajikan pada Gambar 7.
56 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
b. Dari sejumlah unit manajemen homogen yang anda dapatkan pada soal a, berapa unit manajemen yang secara aktual dapat dikelola? Kenapa? c. Bagaimana preskripsi pengelolaan unit manajemen yang anda telah bangun? 2. Skedule kegiatan (Management activity schedule) Skedule kegiatan menggambarkan tata waktu (timing), metode, dan kondisikondisi terhadap vegetasi dan sumberdaya yang lain yang akan dimanipulasi atau diperlakukan untuk mencapai hasil yang diinginkan, mencakup: aturanaturan eksploitasi (logging rules), schedule penjarangan dan pemanenan hasil (timber thinning and harvest schedule), dan teknik regenerasi (regeneration technique for the next tree crop). 3. Prediksi Pertumbuhan dan Hasil (Quantitiative growth and yield projection), Hal ini menggambarkan secara numeric berapa banyak kayu yang diharapkan dari penebangan komersial khususnya volume yang akan ditebang pada penjarangan dan tebangan akhir dari tegakan yang ada sekarang dan tegakan berikutnya dari hasil regenerasi.
57 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Pernyataan preksripsi tersebut di atas dapat dibuat lebih detail, akan tetapi ketiga elemen preskripsi di atas diperlukan untuk mengelola dan merencanakan sebuah hutan dengan berbagai cara kuantitiatif
yang masuk
akal. Setiap elemen mempunyai keputusan pengelolaan (decision management) yang sesuai yang harus dibuat pada awal perencanaan, yaitu: a. Bagaimana mengorganisir dan mengklassifikasi hutan menurut karakteristik vegetasi, fisik, dan karaktersitik pembangunan ke dalam tipe-tipe tegakan atau manajemen unit? b. Berapa banyak dan alternative preskripsi
pengelolaan apa yang dapat
dipertimbangkan pada setiap tipe/paket tegakan tertentu? c. Metode dan data empirik apa yang dapat digunakan untuk membuat prediksi kuantitatif terhadap pertumbuhan dan hasil? Pedoman untuk menjawab pertanyaan ini pada akhirnya akan tergantung pada tujuan pemilik hutan dan jumlah waktu, dana, dan detail analisis yang dicurahkan untuk merencanakan dan mengelola hutan tersebut. Sebagai contoh, jika pemilik adalah spekulan tanah, dengan tujuan murni adalah tujuan financial dan tidak mau mengorbankan waktu dan uang pada pengelolaan dan perencanaan, maka sangat sedikit preskripsi
dan kelas-kelas tegakan yang
akan diterapkan. Namun demikian, pada kasus dimana perencanaan sangat intensif dan tujuan yang ingin dicapai adalah multiple-output, seperti pada pengelolaan hutan lindung, maka diperlukan klasifikasi lahan yang detail, banyak pilihan preskripsi untuk setiap kelas, dan prediksi kuantitatif terhadap berbagai macam output. C. Beberapa Pengertian 1. Hutan adalah seperangkat lahan yuang mempunyai atau dapat mempunyai vegetasi pohon dan dikelola sebagai suatu kesatuan untuk mencapai tujuan pemilik (Synonyms: Ownership, management unit, planning unit).
58 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
2. Karakteristik fisik adalah seperangkat atribut yang digunakan untuk mencirikan aspek-aspek fisik alami yang permanent dari lahan hutan, yang meliputi, topografi, tanah, iklim, hydrology, tipe habitat. 3. Karakteristik Vegetasi adalah seperangkat atribut yang digunakan untuk mencirikan pohon dan vegetasi lainnya yang tumbuh pada lahan hutan meliputi, tinggi, umur, basal area, volume, diameter rata-rata, distribusi diameter, kerapatan tajuk, jenis, tipe penutupan, tipe komunitas. 4. Karakteristik pembangunan adalah seperangkat atribut yang digunakan untuk mencirikan organisasi, pembangunan, dan aksesibilitas lahan hutan untuk digunakan manusia, meliputi kepemilikan, jalan, bangunan, batas wilayah administrasi, dan batas-batas fisik. 5. Tipe tegakan (stand type) adalah lahan hutan yang mempunyai kombinasi dan rentang atribut fisik, vegetasi, dan karakterstik pembangunan yang sama yang dipilih untuk mengklasifikasi hutan ke dalam tipe-tipe yang homogen (Synonim: land type, site type, condition class, forest type, analysis area). 6. Tegakan
(Stand)
adalah
lahan
yang
secara
geografis
berdekatan,
mempunyai tipe tegakan yang sama, dan lebih besar dari pada ukuran lahan minimum (Synonim: homogenous land unit, capability unit, ecological land unit, logging unit). 7. Management Unit adalah lahan yang berdekatan secara geografis, yang terdiri atas satu atau lebih tipe tegakan dan biasanyadibatasi dengan batasbatas DAS, kepemilikan, atau batas-batas wilayah administrasi dengan tujuan untuk
menempatkan
dan
menerapkan
preskripsi-preskripsi.
Sebuah
manajemen unit biasanya lebih besar dari suatu tegakan (stand) dan dicirikan secara khusus oleh adanya banyak tipe tegakan dan tegakan individu. (Synonim: heterogenous planning unit, allocation and scheduling zone, administrative area). 8. Standand atand-type prescription adalah suatu schedule aktivitas (treatmen budidaya,
pemanenan,
atau
kegiatan-kegiatan
yang
lain)
yang
diimplementasikan padasautu tegakan atau tipe tegakan untuk mencapai hasil
tertentu yang diinginkan. Penanaman, penjarangan, permudaan,
59 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
pemanenan, pemupukan, dll adalah aktivitas khusus yang dilakukan untuk mencapai struktur vegetasi dan hasil kayu yang diinginkan. 9. Management unit prescription adalah tambahan terhadap preskripsi untuk tipe tegakan individu, suatu preskripsi manajemen unit mempertimbangkan keutuhan (integrity) spasial dari manajemen unit. Dia dapat menskedule lokasi dan rangkain pembangunan jalan, kelompok tegakan yang akan ditebang, dan strategi keruangan (spatial strategy) dan aktivitas untuk melindungi atau meningkatkan air, wildlife, amenity, dan nilai-nilai lain dalam manajemen unit. Rujukan: Lawrence. S. D., K.N. Johnson. 1987. Latihan Soal-Soal
60 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
BAB V Wilayah Pengelolaan Provinsi
1. Perencanaan Kehutanan 2. Pengelolaan 3. Litbang, Diklat Luh 4. Pengawasan
UNIT PENGELOLAAN HUTAN Pengurusan
Wilayah Pengelolaan Kabupaten
Unit Pengelolaan
Pokok Bahasan
Pengelolaan
1. 2. 3. 4. 5.
Tata hutan Pemanfaatan Rehabilitasi Perlindungan Konservasi
: Unit Pengelolaan Hutan Kawasan ada Hak
Tujuan Umum
IUPHHK
: Memahami pengorganisasian kawasan Ijin Lain Konflik hutan menjadiKawasan unit-unit pengelolaan hutan lestari.
Kriteria Kelembagaan
Tujuan Instruksional Khusus
Kawasan tdk ada Hak
: Selesai mempelajari Bab V, mahasiswa/i mampu: (1) menjelaskan pentingnya kawasan hutan diorganisir menjadi unit-unit pengelolaan, (2) membangun unit-unit pengelolaan hutan terkecil dan efisien sesuai karakteristik sumberdaya hutan
A. Hirarki Wilayah Pengelolaan Hutan Ada dua kegiatan mendasar dalam pembangunan hutan dan kehutanan yaitu, kegiatan pengurusan (bestuur) dan kegiatan pengelolaan (beheer). UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memberi uraian pokok mengenai kegiatan pengurusan pada Pasal 10 dan uraian pokok mengenai kegiatan pengelolaan pada Pasal 21. Pasal 10 ayat (2) menyebutkan empat kegiatan pengurusan hutan yaitu: perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan
pendidikan
dan
latihan,
serta
penyuluhan
kehutanan,
pengawasan. Sedangkan Pasal 21 menyebutkan empat kegiatan pengelolaan, yaitu, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan 61 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan perlindungan hutan dan konservasi alam. Undang-Undang No. 41/1999 membagi hirarki wilayah pengelolaan hutan menjadi tiga, yaitu wilayah provinsi, wilayah kabupaten/kota, dan unit pengelolaan. Wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi adalah seluruh kawasan hutan dalam wilayah tingkat provinsi yang dapat dikelola secara lestari. Wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota yaitu seluruh kawasan hutan dalam wilayah tingkat kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari. Sedangkan unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil pada hamparan lahan hutan sebagai wadah kegiatan pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Wilayah pengelolaan hutan provinsi dan kabupaten/kota merupakan wilayah pengurusan hutan, sedangkan wilayah unit pengelolaan hutan merupakan wadah kegiatan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan yang meliputi kegiatan-kegiatan: (1)
perencanaan
pengelolaan,
(2)
pengorganisasian,
(3)
pelaksanaan
pengelolaan, dan (4) pengendalian dan pengawasan. Dengan demikian, wilayah provinsi dan kabupaten/kota merupakan infrastruktur untuk memberikan pelayanan terhadap unit pengeloaan sebagai struktur, sedangkan pemerintah mempunyai posisi sebagai suprastruktur yang memberikan pelayanan baik kepada infrastruktur maupun struktur dalam pengelolaan hutan. Dilihat dari sisi kelembagaan, terdapat lima tingkatan kelembagaan kehutanan yaitu, tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota, tingkat unit pengelolaan, serta tingkat pemanfaatan (manajemen tegakan/standing stock.
62 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
B. Unit Manajemen Hutan 1. Konsep Dasar Sumberdaya hutan dituntut untuk memikul banyak fungsi yaitu fungsi ekologi, fungsi ekonomi, dan fungsi sosial. Oleh karena sifatnya yang sensitif terhadap perlakuan, maka sebidang lahan kawasan hutan tidak akan mampu memikul semua fungsi tersebut secara simultan. Hal ini menyebabkan kawasan hutan harus dibagi menjadi unit-unit manajemen yaitu, unit manajemen hutan konservasi untuk misi ekologi, unit manajemen hutan tanaman untuk misi ekonomi, dan unit manajemen hutan produksi untuk misi ekologi dan ekonomi. Berdasarkan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan utama membentuk unit manajemen, terdapat beberapa pengertian unit manajemen sebagai berikut: a. Davis (1966). Unit manajemen hutan atau unit kelestarian hasil adalah suatu unit pengelolaan untuk menghasilkan produksi hasil hutan secara lestari dengan
tujuan
pencapaian
keseimbangan
antara
pertumbuhan
dan
pemungutan hasil setiap tahun atau setiap periode tertentu. Unit manajemen dalam pengertian ini berfokus pada pengelolaan unit-unit tegakan untuk menghasilkan kayu secara lestari. b. Davis dan Johnson (1987). Unit manajemen hutan adalah areal hutan dengan luasan tertentu yang terdiri atas sejumlah unit-unit lahan homogen yang dikelola untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu. Unit-unit lahan homogen penyusun unit manajemen tersebut diklasifikasi berdasarkan karakteristik fisik (seperti kelerengan, daerah aliran sungai), karakteristik vegetasi (seperti penutupan, potensi hasil hutan), dan karakterisitik pembangunan (seperti aksesibilitas wilayah). Unit manajemen dalam pengertian ini berfokus pada pengelolaan unit-unit lahan yang homogen secara terintegrasi untuk tujuan tertentu. 63 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
c. Noordwik V. M, dkk, (2003). Unit manajemen adalah unit-unit usaha yang terdapat pada suatu wilayah yang dikelola secara terintegrasi dengan unitunit usaha yang ada di luar wilayah sebagai suatu unit pengelolaan. Luas suatu unit manajemen tergantung kepada kondisi spesifik wilayah, karakter sumberdaya di dalam dan di luar wilayah unit manajemen, serta pola-pola aliran lateral relatif (patterns of lateral flow relatif) antara unit-unit usaha yang ada di dalam unit manajemen Lingkup unit manajemen dalam pengertian ini lebih luas yakni mengintegrasikan wilayah. d. Mosher (1986) juga memandang unit manajemen dari sisi wilayah pelayanan, yaitu keterkaitan unit-unit usahatani dari suatu wilayah dengan wilayah lain dalam hal
penyediaan pelayanan pasar hasil usahatani dan
pasar faktor-faktor poduksi serta pelayanan lainnya yang tekait dengan usahatani. Konsep lokalitas usahatani dan distrik usahatani yang dikemukaan oleh Mosher adalah konsep unit manajemen, dengan fokus pada wilayah pelayanan. Dalam hal ini, suatu unit manajemen dibangun berdasarkan hubungan-hubungan fungsional antara satu wilayah desa dengan pusatpusat pelayanan di wilayah lainnya yang menyediakan fasilitas-fasilitas usahatani dan pasar produksi usahatani. e. Clutter, dkk. (1983). Unit manajemen atau disebut sebagai cutting unit yaitu unit-unit pengelolaan hutan yang terkecil sebagai wadah untuk melaksanakan preskripsi pengelolaan. Kondisi biofisik setiap unit manajemen yang berbedabeda menyebabkan intensitas pengelolaan setiap unit manajemen juga berbeda.
Bentuk pengelolaan
pada
setiap
unit manajemen disebut
management regime. Pada pengelolaan hutan tanaman jati di Jawa, istilah cutting unit disebut petak. f. Christaller (1933). Membagun unit menajamen berdasarkan pendekatan efisiensi biaya untuk mendapatkan pelayanan (produsen-konsumen). Dalam hal ini Christaller membagi dua wilayah unit manajemen yaitu range dan threshold. Range adalah wilayah unit manajemen dimana konsumen berhadapan dengan biaya transpor yang tinggi untuk mendapatkan pelayanan pada suatu tempat. Sedangkan threshold adalah wilayah unit 64 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
manajemen dimana produsen hanya mendapatkan keuntungan normal untuk menutupi biaya operasonalnya untuk memberikan pelayanan. g. Unit manajemen dalam konsep hutan kemasyarakatan adalah wilayah pengelolaan
hutan
kemasyarakatan
yang
ditetapkan
berdasarkan
pertimbangan ketergantungan masyarakat setempat terhadap kawasan hutan di sekitarnya dan potensi hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat setempat.
Wilayah pengelolaan ini terdiri atas sejumlah unit-unit lokasi
sebagai unit usaha yang dikelola oleh kelompok masyarakat (Departemen Kehutanan, 2001). h. Unit manajemen dalam konsep social forestry adalah Areal Kerja Social Forestry (AKSF) yang ditata secara mikro menjadi blok-blok dengan mempertimbangkan aturan-aturan dan arahan-arahan tentang penataan ruang seperti RTRWP, RTRWK, dan TGHK/Padu Serasi serta peta penunjukan
kawasan.
Blok-blok
tersebut
menjadi
dasar
untuk
mengembangkan usaha-usaha yang berhubungan dengan pemanfaatan hutan/lahan secara optimal dan lestari (Departemen Kehutanan, 2003). Berdasarkan uraian pengetian unit manajemen di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu unit manajemen hutan mencakup tiga kesatuan yaitu, kesatuan areal/wilayah, kesatuan pekerjaaan, dan kesatuan organisasi.
2. Tujuan Pembangunan Unit Manajemen Hutan Pembangunan unit manajemen bertujuan untuk menata hutan, agar di dalamnya dapat dilakukan usaha yang berbentuk perusahaan yang memenuhi persyaratan kekekalan hutan dan kekekalan perusahaan. a. Azas Kekekalan Hutan Hutan merupakan kekayaan alam yang berbentuk dan terbentuk sebagai masyarakat (tumbuhan dan hewan). Masyarakat hutan tidak terbentuk sekali jadi, melainkan melalui evolusi yang panjang, dimulai dari pelapukan batuan sampai mencapai masyarakat hutan klimaks yang seimbang. Masyarakat yang klimaks ini bersifat kekal, kalau ada sebagian yang mati atau rusak segera akan 65 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
ditutup oleh pertumbuhan berikutnya. Sifat kekal dari bentuk hutan klimaks merupakan pedoman pokok dari perusahaan hutan. Hal ini didorong oleh sifat yang khas bagi perusahaan hutan yaitu rentabilitasnya rendah dan jangka waktu usahanya panjang. b. Azas Kekekalan Perusahaan Hutan Peniruan kekekalan hutan alam di dalam hutan tanaman belum memenuhi persyaratan kekekalan hutan, karena perusahaan hutan bukan hanya terdiri atas penanaman dan penebangan saja, tetapi juga mencakup pemeliharaan, pengamaman, pengangkutan, pasar, jalan angkutan, dan lain-lain. Semua aktifitas tersebut terkait dengan modal dan waktu yang memiliki nilai ekonomi. Hal ini menuntut adanya hasil yang optimal untuk setiap aktivitas pengelolaan hutan.
C. Organisasi Unit Manajemen Hutan Pelaksanaan berbagai kegiatan pengelolaan hutan mengharuskan pembentukan organisasi administratif yang eksis di lapangan (on-the ground administrative organisation) dan pembagian unit manajemen hutan ke dalam unit-unit kerja (workable units). Tangung jawab organisasi tersebut adalah: •
melaksanakan tujuan-tujuan dan kebijakan-kebijakan pengelolaan hutan di lapangan.
•
melaksanakan berbagai sistem pengaturan, skedule penebangan dan kegiatan pengelolaan lainnya (seperti identifikasi tegakan dan areal yang ditebang atau perlakuan-perlakuan lainnya yang diperlukan) secara efektif.
•
Mengukur kinerja dan mengevaluasinya untuk menjadi masukan
pada
kegiatan pengelolaan di masa datang. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan organisasi hutan adalah: •
Establishment and maintenance of land ownershif
•
Future acquisition plans
•
Scope and character of work to be done
•
Work load and supervision
•
Marketing area
66 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
•
Topography
•
Character of the forest
•
Inventory and record keeping needs Suatu unit manajemen hutan dapat dibagi menjadi
unit-unit kerja
(workable units) sebagai berikut . 1. Working circle Working circle merupakan unit utama dari pengelolaan hutan, yang memiliki batas-batas yang jelas, yang biasanya batas-batas tersebut didasarkan pada topografi, luasan yang cukup untuk menyediakan produk hasil hutan secara lestari untuk mensuplai permintaan hasil hutan dari industri atau masyarakat. Working circle merupakan suatu unit perencanaan (regulatory planning unit). Wilayah suatu working circle biasanya overlapping dengan wilayah administrasi pemerintahah, yaitu bisa mencakup beberapa wilayah administrasi kecamatan. Perusahaan-perusahaan besar dapat membagi working circle mejadi sejumlah operating unit, dimana setiap operating unit tersebut dikelola untuk tujuan kelestarian. Luas satu working circle tergantung ketersediaan tenaga kerja di lapangan. Apabila tenaga kerja tersebar luas, maka unitnya luas, demikian pula sebailiknya. 2. Administratif working circle Administratif working circle adalah suatu areal yang terdiri atas satu atau lebih kepemilikan yang dikelola sebaga suatu unit dibawah satu perencanaan pengelolaan.
3. Economic working circle Economic working circle adalah suatu areal hutan yang mensuplay pusat pasar atau pusat industri tetapi tidak perlu dibawah satu kepemilikan atau satu unit manajement. 4. Working Group 67 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Working group sekelompok unit-unit pengelolaan hutan yang mempunyai manajemen silvikultur dan rotasi yang sama 5. Block Blok adalah divisi/bagian administratif utama dari hutan, biasanya didasarkan pada topografi dan di dalamnya terdapat petak-petak dan areal tebangan. Blok biasanya merupakan unit-unit administrasi pengelolaan atau kelompok-kelompok unit. Kadang-kadang, blok ditunjukkan dengan homogenitas geografi atau kesatuan unit-unit operasi (operating entity). Di dalam working circle terdapat satu atau lebih blok, tergantung kebutuhan dan keadaan di lapangan. 6. Compartment and logging chance Adalah unit organisasi atau bagian kecil dari areal hutan untuk tujuan orientasi, administrasi, dan operasi silvikultur, dan memiliki batas-batas tertentu baik batas alam maupun batas buatan. Compartment (Petak) merupakan unit dasar di dalam blok. Ukuran petak sangat bervariasi dari 5 acre sampai ratusan acre tergantung kondisi lapangan. Kebutuhan atas petak tegantung intensitas praktek pengelolaan. Petak dibutuhkan untuk pengelolaan hutan intensif. Logging Chance (petak tebangan) adalah petak dimana akan dilakukan penabangan. Petak tebangan ditentukan oleh kombinasi faktor topogafi dan transportasi serta cukup untuk mengidentifikasi areal di dalam blok atau unit pengelolaan lain yang lebih besar. 7. Stand or subcompartment Stand atau sib compartment adalah bagian dari petak yang membutuhkan perlakuan yang berbeda dengan bagian lainnya di dalam petak tersebut, dan berdasarkan pada karakteristik tegakan. Perlakuan silvikultur diterapkan pada sub compartment atau tegakan
68 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
D. Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai Suatu Unit Manajemen Hutan 1. Masalah Pengelolaan Hutan Pengurusan kehutanan sesuai dengan Undang-undang No 41/1999 tentang Kehutanan terdiri dari kegiatan-kegiatan perencanaan kehutanan , pengelolaan, penelitian dan pengembangan, Diklat dan penyuluhan, serta pengawasan. Dari keseluruhan kegiatan tersebut, implementasi kegiatan perencanaan di lapangan masih cukup lemah, sehingga menyebabkan lemahnya kontrol penyelenggaraan kehutanan secara keseluruhan. Kegiatan perencanaan tersebut meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana kehutanan. Lemahnya kegiatan perencanaan tersebut antara lain berupa lemahnya implementasi pembentukan wilayah pengelolaan hutan dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai wadah kegiatan pengelolaan hutan yang terdiri dari tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi alam. Akibat kondisi tersebut, dalam pengelolaan hutan produksi, kegiatan pemanfaatan hutan lebih dominan daripada kegiatan rehabilitasi, sehingga kerusakan hutan produksi terusmenerus meningkat. Permasalahan pembangunan kehutanan seperti maraknya illegal logging, luasnya kawasan hutan yang tidak dibebani hak (tidak ada pengelola), buruknya kinerja pemegang IUPHHK, perambahan/konflik kawasan dan sebagainya yang menyebabkan terdegradasinya hutan, sampai saat ini masih terus berlangsung meskipun telah banyak upaya-upaya yang telah dilakukan. Hal tersebut ditengarai disebabkan karena upaya-upaya yang dilakukan tersebut masih terbatas pada upaya penyelesaian terhadap gejala masalah (simptomatik) yang
69 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
bersifat parsial dan belum menjangkau pada penyelesaian masalah yang mendasar (fundamental). Salah satu masalah mendasar yang sampai saat ini masih belum terselesaikan
adalah
masalah
kelembagaan,
yang
antara
lain
belum
terbentuknya Unit Pengelolaan Hutan dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) baik pada kawasan hutan produksi, lindung maupun konservasi, khususnya di luar P. Jawa. Dalam jangka menengah dan panjang, investasi yang kini telah dijalankan oleh Departemen Kehutanan berupa gerakan rehabilitasi hutan dan lahan maupun investasi swasta dalam pembangunan hutan tanaman dalam suatu kesatuan wilayah tertentu, seharusnya perlu disinkronkan guna menjadi berbagai bentuk kelas perusahaan untuk memenuhi aneka ragam kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Sinkronisasi saat ini belum dapat diwujudkan karena KPH sebagai unit perencanaan (planning unit) dan sebagai unit menajemen (management unit) belum dapat diwujudkan secara riil di tingkat tapak. Berdasarkan uraian di atas, maka pembentukan KPH merupakan upaya untuk
mewujudkan
kondisi
pemungkin
(enabling
conditions)
dicapainya
pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan, dan oleh karena itu perlu diupayakan percepatan pembentukan KPH di tingkat tapak dengan kejelasan tujuan, wilayah kelola dan institusi pengelolanya, sehingga laju degradasi hutan dapat di perkecil. Tekad untuk membangun KPH tersebut telah dimandatkan di dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang lebih lanjut ditegaskan kembali di dalam PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, yang pelaksanaannya diatur melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 230/KptsII/2003 tentang Pembentukan KPHP yang secara teknis diatur melalui keputusan Kepala Badan Planologi Kehutanan No. SK.14/VII-PW/2004 tentang Pedoman Pelaksanaan KPHP.
70 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Pembentukan KPHP (dalam pengertian disain) telah dan sedang dalam proses pelaksanaan dengan mengacu pada prosedur pembentukan KPHP berdasarkan peraturan perundangan tersebut di atas, yang meliputi tahapan : a. Penyusunan Rancang Bangun KPHP, yang dilaksanakan oleh Gubernur; b. Arahan Pencadangan, yang diberikan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan rancang bangun yang diajukan oleh Gubernur; c. Pembentukan, yang harus disusun oleh Bupati berdasarkan Arahan dari Menteri Kehutanan yang selanjutnya Gubernur mengusulkan penetapannya kepada Menteri Kehutanan; d. Penetapan, Menteri menetapkan KPHP berdasarkan usulan pembentukan dari Gubernur. Tahap berikutnya setelah proses Penetapan KPHP adalah pembentukan institusi pengelola unit KPHP, sehingga akan terbangun wujud riil KPHP di tingkat tapak yang antara lain meliputi penetapan wilayah pengelolaan dan institusi pengelola/kelembagaan serta jenis aktifitasnya. Untuk dapat mewujudkan pembangunan KPHP tersebut diperlukan mobilisasi sumberdaya, yang penganggarannya dapat didukung melalui APBN, APBD
maupun sumber lain.
Mobilisasi ini akan sangat tergantung dari
kehendak para pihak/ stakeholders (pemerintah, pemerintah pusat, masyarakat, dunia usaha dsb) untuk menempatkan pembangunan KPH ini pada posisi yang memiliki urgensi tinggi. Adapun tahapan mobilisasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (Hariadi K, 2005) :
71 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
KONSEP KPHP : Dileniasi KPHP Kesepahaman di tingkat prinsip 2 Legalitas
MULAI
MASALAH LAPANGAN : Rehabilitasi Hutan dan Lahan Pengelolaan DAS Perhutanan Sosial Pengembangan Hutan Alam Pengembangan Hutan Tanaman Konservasi Kawasan
SOSIALISASI / AUDIENSI DENGAN LEMBAGA DONOR
KPHP SEBAGAI STRATEGI PEMECAHAN MASALAH KELEMBA GAAN
ANGGARAN NON PEMERINTAH
PENGAITAN DENGAN PROGRAM KEGIATAN SETIAP UNIT KERJA / LEMBAGA
STANDAR OPERATING PROSEDUR
USULAN , PENETAPAN , DAN PEMBIAYAAN KEGIATAN
MONITORING DAN EVALUASI
IDENTIFIKASI SOLUSI MASALAH LAPANGAN Kelembagaan Kebijakan
Gambar 8. Langkah Mobilisasi 2. Paradigma Pembangunan Pemanfaatan hutan alam di Indonesia secara besar-besaran dimulai dengan pemberian ijin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di luar P Jawa. Pemegang ijin HPH di dalam pelaksanaan kegiatannya menggunakan azas kelestarian “sustained yield” yang berorientasi pada kelestarian hasil hutan kayu, yang kurang memperhatikan keberadaan masyarakat di dalam dan disekitar hutan. Paradigma “timber based management” yang melandasi pelaksanaan operasional HPH tersebut ternyata dalam perkembangannya tidak lagi mampu menjawab tuntutan kelestarian yang menghendaki keseimbangan antara kelestarian fungsi produksi/ekonomi, ekologi dan sosial.
Kondisi tersebut
mendorong terjadi perubahan paradigma dari “timber based management” menjadi “resources based management”. Dengan demikian pembangunan KPH harus juga berlandaskan pada paradigma resources based management. Pengelolaan hutan pada dasarnya menjadi kewenangan Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah, yang dalam kondisi tertentu dapat dilimpahkan kepada 72 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
BUMN yang bergerak di bidang kehutanan, baik berbentuk Perum, Perjan, maupun Persero yang pembinaannya di bawah Menteri. (Penjelasan pasal 21 UU 41). Wilayah pengelolaan hutan provinsi dan kabupaten/kota merupakan wilayah pengurusan hutan di provinsi dan kabupaten/kota yang mencakup kegiatan-kegiatan: a. b. c. d.
perencanaan kehutanan; pengelolaan hutan; penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan; pengawasan. (Penjelasan pasal 26 ayat 2 PP 44). Unit Pengelolaan Hutan merupakan kesatuan pengelolaan hutan terkecil
pada hamparan lahan hutan sebagai wadah kegiatan pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Penjelasan pasal 28 ayat 1 PP 44). Pasal 32 PP 44 mengatur bahwa pada setiap Unit Pengelolaan Hutan dibentuk institusi pengelola yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan yang meliputi: a.
perencanaan pengelolaan;
b.
pengorganisasian;
c.
pelaksanaan pengelolaan; dan
d.
pengendalian dan pengawasan. Berdasarkan
Kepmenhut
No
230/2003
pasal
8
ayat
5,
kriteria
kelembagaan pembentukan KPHP meliputi pemantapan, penataan atau peningkatan kelembagaan pada kawasan hutan produksi yang: a.
telah dibebani hak diatasnya;
b.
tidak dibebani hak; dan atau
c.
ada konflik di dalam kawasan hutan produksi, baik telah dibebani hak maupun tidak dibebani hak. Selanjutnya pada ayat 7 pasal 12 Kepmenhut No 230/2003 ditetapkan
standar pembentukan kelembagaan diatur melalui pemantapan kelembagaan, 73 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
penataan
kelembagaan,
peningkatan
kelembagaan
atau
pembentukan
kelembagaan sebagai berikut: a.
Bagi kawasan hutan produksi yang telah dibebani hak/izin di atasnya, ditempuh dengan menetapkan pemegang hak/izin sebagai inti KPHP dan melakukan pemantapan kelembagaan dengan kelembagaan pemegang hak/izin yang sudah ada;
b.
Bagi kawasan hutan produksi yang tidak ada hak/izin diatasnya, ditempuh dengan melakukan penataan atau pembentukan kelembagaan baru sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
c.
Bagai kawasan hutan produksi yang ada konflik diatasnya dilakukan dengan peningkatan kelembagaan pada hutan produksi yang ada hak/izin diatasnya atau pembentukan/penataan kelembagaan baru pada hutan produksi yang tidak dibebani hak untuk mencari solusi konflik dalam kerangka pengelolaan hutan produksi lestari.
74 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Posisi pengurusan dan pengelolaan hutan berdasarkan peraturan perundangan dapat digambarkan sebagai berikut :
Wilayah Pengelolaan Provinsi
1. Perencanaan Kehutanan 2. Pengelolaan 3. Litbang, Diklat Luh 4. Pengawasan
Pengurusan Wilayah Pengelolaan Kabupaten
Unit Pengelolaan
1. 2. 3. 4. 5.
Pengelolaan
Tata hutan Pemanfaatan Rehabilitasi Perlindungan Konservasi
Kawasan ada Hak Kriteria Kelembagaan
IUPHHK Ijin Lain
Kawasan tdk ada Hak Kawasan Konflik
Ganbar 9. Posisi Pengurusan dan Pengelolaan Hutan Untuk dapat melaksanakan mandat pengelolaan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku yang berlandaskan pada paradigma “resources based
management”,
kelembagaan
maka
pengelolaan
diperlukan
hutan
yang
pembangunan/penyempurnaan berintikan
pada
pembangunan
kelembagaan KPH. Pembangunan kelembagaan tersebut dapat melalui pemantapan kelembagaan, penataan kelembagaan, peningkatan kelembagaan atau pembentukan kelembagaan. Sebagai konsekuensi dari kewenangan pemerintah dan atau pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan, maka organisasi KPH seharusnya memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut : •
Organisasi KPH merupakan organisasi Pemerintah atau Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota;
•
Organisasi KPH merupakan unit organisasi yang diisi oleh personal yang memiliki kompetensi di bidang pengelolaan hutan yang memadai untuk melaksanakan kegiatan tata hutan dan perencanaan hutan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi dan reklamasi, perlindungan hutan dan konservasi alam;
75 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
•
Organisasi KPH ditetapkan oleh Pemerintah dan atau Pemerintah Provinsi dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan;
•
•
Organisasi KPH dipimpin oleh Kepala KPH yang bertangungjawab atas : –
pelaksanaan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;
–
penyelenggaraan pengelolaan hutan.
Dalam melaksanakan tanggung jawab, Kepala KPH berkewajiban : –
menjabarkan kebijakan nasional, provinsi dan kabupaten/kota untuk diimplementasikan di lapangan;
–
melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian;
–
melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan
–
membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan Untuk dapat mewujudkan bentuk riil KPH di tingkat tapak maka diperlukan
upaya penguatan kapasitas organisasi KPH, yang antara lain sebagai berikut: •
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota : –
membiayai inisiasi pembangunan KPH dan infrastrukturnya seperti lembaga diklat, sertifikasi SDM, pengelolaan konflik, keamanan hutan, pemberantasan illegal loging, dengan dana APBN dan APBD
–
menggunakan KPH sebagai penguatan sistem pengurusan hutan untuk mewujudkan
integrasi
program
kehutanan
nasional,
provinsi
dan
kabupaten. –
melaksanakan pengendalian terhadap KPH sesuai dengan kewenangan masing-masing
–
menetapkan sistem penilaian kinerja sebagai dasar evaluasi kinerja organisasi KPH sesuai kewenangan masing-masing.
•
Penilaian kinerja KPH dilaksanakan oleh Pemerintah atau lembaga independen yang ditunjuk.
76 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Agar
organisasi
KPH
dapat
berjalan
sesuai
dengan
tujuan
pembentukannya, maka diperlukan dukungan sumberdaya manusia (SDM). Untuk itu diperlukan adanya kebijakan SDM (SDM Policy)
untuk tingkat
Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota guna memenuhi kebutuhan SDM organisasi KPH. membiayai
Kejelasan dan ketersediaan sumber anggaran untuk
kegiatan
organisasi
KPH
perlu
dirancang
sejak
awal
pembentukannya. Penting untuk diperhatikan, guna mendukung percepatan pembangunan KPH khususnya di kawasan hutan produksi yang tidak dibebani hak/izin di atasnya,
diperlukan
adanya
komitmen
dari
semua
pihak
untuk
mengkonvergensikan kegiatan dan koherensi program pembangunan kehutanan ke dalam wilayah pengelolaan KPHP yang akan dibangun.
Konvergensi
kegiatan dan koherensi program tersebut harus dimulai dari tahapan perencanaan maupun pelaksanaan baik di tingkat pusat maupun daerah.
E. Desain Unit Pengelolaan Kehutanan Berbasis Masyarakat: Contoh Kasus Desain unit pengelolaan yang dibahas pada bagian ini adalah hasil penelitian disertasi penulis dengan kasus pada pengelolaan hutan kemiri rakyat di Kabupaten
Maros. Desain unit pengelolaan dalam hal ini tidak hanya
mempertimbangkan
faktor
homogenitas
wilayah
fisik,
tetapi
juga
mempertimbangkan homogenitas wilayah ekonomi, dan homogenitas wilayah sosial. Dalam hal ini yang dipertimbangkan adalah struktur wilayah pengelolaan hutan, struktur wilayah pedesaan, analisis keterkaitan struktur tersebut dengan degradasi hutan. Struktur kelembagaan unit pengelolaan hutan disrumuskan berdasarkan hasil analisis struktural menggunakan metode Interpretative Structural Modelling (ISM). 1. Analisis Wilayah dan Pengelolaan Hutan Kabupaten Maros Struktur wilayah pengelolaan hutan Kabupten Maros tidak efektif dan efisien untuk mengelola sumberdaya hutan secara lestari. Konflik antara 77 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
masyarakat setempat yang mengklaim hak-haknya atas tanah dan sumberdaya hutan dengan pemerintah meningkat secara konsisten sejak 10 tahun terakhir. Ketidakpastian penguasaan dan kepemilikan atas tanaman masyarakat di dalam kawasan hutan menyumbang kepada degradasi hutan dan lahan serta pada banyak kejadian menyebabkan terjadinya kekerasan. Akar permasalahan tersebut adalah ketidakpastian aturan main yang ditetapkan oleh institusi kehutanan sampai pada tingkat lapangan. Institusi kehutanan mengklaim kewenangan
atas
kawasan
hutan,
tetapi
tidak
mampu
menunjukkan
kemampuannya mengelola kawasan hutan yang luas tersebut serta tidak mampu menyediakan jaminan penguasaan serta pengelolaan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Degradasi hutan Kabupaten Maros menunjukkan kecenderungan terus terjadi. Degradasi kawasan hutan pada saat ini telah mencapai 34,2%. Hal ini menunjukkan perlunya mengelola faktor-faktor yang terkait untuk menanggulangi degradasi hutan. Struktur wilayah pedesaan hutan Kabupaten Maros 53,8% termasuk kategori desa relatif tertinggal, sektor kehutanan merupakan sektor unggulan di beberapa desa yang saling terkait dengan sektor unggulan lainnya di wilayah pedesaan, serta adanya keterkaitan ekonomi antar wilayah desa yang membentuk hirarki wilayah pasar. Berdasarkan hasil analisis-analisis tersebut di atas, maka untuk mengelola sumberdaya hutan secara lestari di Kabupten Maros perlu dibangun unit pengelolaan hutan sebagai suatu struktur yang akan melaksanakan infrastruktur yang dibangun oleh institusi kehutanan Kabupaten Maros serta melaksanakan pengelolaan hutan di lapangan. Sebagai suatu struktur, maka unit pengelolaan tersebut berfungsi memberikan pelayanan publik kehutanan kepada unit-unit usaha kehutanan masyarakat. Struktur tersebut harus pula dikelola secara mandiri, sehingga selain berfungsi sebagai unit pelayanan publik kehutanan, stuktur juga harus mengelola sumberdaya hutan di wilayahnya sebagai suatu unit usaha yang terintegrasi dengan unit-unit usaha kehutanan masyarakat. 78 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Pembangunan unit pengelolaan kehutanan masyarakat diarahkan untuk membangun aglomerasi ekonomi antara unit usaha kehutanan masyarakat dengan struktur unit pengelolaan hutan sehingga diperoleh keuntungan ekonomi karena kedua unit tersebut didekatkan secara spasial. Aglomerasi ini diharapkan mengembangkan unit usaha kehutanan masyarakat dan membangun jaringan diantara desa-desa dalam wilayah unit pengelolaan sebagai suatu wilayah fungsional. Tujuan pembangunan unit pengelolaan hutan adalah memberikan pelayanan publik kehutanan kepada masyarakat dan mengelola sumberdaya hutan di wilayah Kabupaten Maros secara sehat yaitu sumberdaya hutan mampu berfungsi optimal, prospektif yaitu produktifitas dan kualitas produk tinggi, efisien yaitu biaya pengelolaan yang murah, kompetitif yaitu mampu berkompetisi dengan sektor lain, dan lestari yaitu hutan, masyarakat, dan pemerintah. 2. Desain Unit Pengelolaan Hutan Desain unit pengelolaan hutan berbasis masyarakat mencakup aspekaspek, wilayah pengelolaan,
preskripsi pengelolaan, aspek ekonomi, dan
kelembagaan pengelolaan. Wilayah contoh adalah wilayah pengemangan kehutanan Camara yang mencakup tiga kecamatan yaitu Kecamatan Camba, Mallawa, dan Kecmatan Cenrana. a. Wilayah Pengelolaan Wilayah
pengelolaan
hutan
dibangun
berdasarkan
pendekatan
homogenitas fisik, homogenitas wilayah administrasi, dan homogenitas wilayah fungsional yaitu keterkaitan ekonomi antar wilayah desa. Kerangka desain wilayah pengelolaan disajikan pada Gambar 10. 1) Unit Pengelolaan Wilayah unit pengelolaan mencakup seluruh kawasan hutan di wilayah Camara seluas 32.181 ha, terdiri atas hutan lindung seluas 13.164 ha, hutan produksi terbatas seluas 5.534 ha, hutan produksi seluas 6.441 ha, dan hutan konservasi seluas 7.042 ha. Wilayah unit pengelolaan dapat pula mencakup areal di luar kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat sebagai unit-unit usaha hutan rakyat. Wilayah unit pengelolaan mengikat secara ekonomi, ekologi, 79 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
dan sosial seluruh desa dalam wilayah Camara dalam hal pengurusan dan pengelolaan sumberdaya hutan. Berdasarkan hasil analisis hirarki wilayah pedesaan hutan, serta keterkaitan ekonomi antar desa-desa dalam wilayah Camara, maka Desa Cempaniga Kecamatan Camba merupakan pusat pertumbuhan wilayah Camara. Oleh karena itu, Desa Cempaniga akan dipilih sebagai pusat wilayah unit pengelolaan hutan wilayah Camara.
80 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Kawasan Hutan dan Lahan Wilayah Administrasi Wilayah Pengembangan Kehutanan Struktur Wilayah Pengelolaan Hutan (UU No. 41/1999)
Struktur Wilayah Unit Pengelolaan
Wilayah Unit Pengelolaan
Analisis Wilayah Pasar Analisis Lokasi
Wilayah Sub Unit Pengelolaan
Analisis Wilayah Pasar Analisis Lokasi Permintaan Total Spasial
Wilayah Administrasi Sosial Ekonomi Masyarakat
Blok Kelestarian Desa
Analisis Lokasi
Wilayah Administrasi Kelompok Lahan Homogen
Unit Kelestarian Dusun
Analisis Kelompok Usaha Masyarakat
Unit Lahan Homogen
Unit Pemanfaatan
Wilayah Administrasi Sosial Ekonomi Masyarakat
Unit Usaha Keluarga
Gambar 10. Kerangka Desain Wilayah Unit Pengelolaan Kehutanan Masyarakat 81 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
2) Sub Unit Pengelolaan Untuk efisiensi dan efektifitas operasional unit pengelolaan, maka wilayah unit pengelolaan dibagi menjadi beberapa wilayah sub unit pengelolaan. Pembagian wilayah sub unit pengelolaan didasarkan pada pertimbanganpertimbangan sebagai berikut: a) Wilayah pasar secara spasial, mengacu kepada hasil analisis keterkaitan ekonomi antar wilayah desa hutan. b) Permintaan total spasial, dalam hal ini jumlah penduduk dan luas wilayah pelayanan. c) Biaya transportasi untuk mendapatkan pelayanan publik kehutanan. d) Jenis dan aktivitas produksi unit-unit usaha kehutanan, hal ini terkait dengan sektor unggulan desa hasil analisis spesialisasi wilayah desa. e) Radius antara pusat pelayanan dengan desa-desa yang dilayani, hal ini terkait dengan efisiensi pelayanan. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka wilayah pengelolaan Camara dibagi menjadi 4 wilayah sub unit pengelolaan, yaitu: a) Wilayah Sub Unit Pengelolaan Tellumpanuae. Pusat wilayah sub unit ini adalah Desa Tellumpanuae, yang akan melayani Desa-Desa: Tellumpanuae, Baruage, Samaenre, Uludaya, dan Desa Bentenge. b) Wilayah Sub Unit Pengelolaan Sabila. Pusat wilayah sub unit ini adalah Desa Sabila, yang akan melayani Desa-Desa: Sabila, Gattarang Matinggi, Wanua Waru, Batu Putih, Padaelo, dan Desa Mattampapole. c) Wilayah Sub Unit Pengelolaan Cempaniga. Pusat wilayah sub unit ini adalah Desa Cempaniga, yang akan melayani Desa-Desa: Cempaniga, Timpuseng, Pattanyamang, Pattiro Deceng, Mario Pulana, Cenrana, Sawaru, dan Desa Benteng. d) Wilayah Sub Unit Pengelolaan Limampoccoe. Pusat wilayah sub unit ini adalah Desa Limampoccoe, yang akan melayani Desa-Desa: Limampoccoe, Labuaja, Rompegading, Baji Pamai, Lebbotengngae, Cenrana Baru, dan Desa Laiya. 82 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Setiap wilayah sub unit pengelolaan tersebut mengikat secara ekonomi, ekologi, dan sosial desa-desa dalam wilayahnya dalam hal pengurusan dan pengelolaan hutan. Setiap wilayah sub unit pengelolaan diharapkan akan berkembang menjadi suatu wilayah aglomerasi yang saling terintegrasi dengan wilayah sub unit pengelolaan lainnya. Integrasi tersebut diharapkan wilayah sub unit pengelolaan berkembang lebih luas dan kompleks yang pada saatnya nanti akan membentuk jaringan, hirarki, dan sistem wilayah pengurusan dan pengelolaan sumberdaya hutan yang efisien. Integrasi wilayah pengelolaan tersebut meliputi, integrasi unit usaha (integrated farming), integrasi wilayah pelayanan (authority), integrasi wilayah ekosistem DAS (ecosystem), dan integrasi wilayah desa (region administration). Karaktersitik masing-masing wilayah sub unit pengelolaan disajikan pada Tabel 3, sedangkan sebaran wilayah unit pengelolaan disajikan pada Gambar 11. Tabel 3. Karaktersitik Wilayah Sub Unit Pengelolaan Hutan Wilayah Unit Pengelolaan Camara Wilayah Sub Unit Pengelolaan
Jum. Desa
Luas Wil. (ha)
Tellumpanuae Sabila Cempaniga Limampoccoe Total
5 6 8 7 26
10.902 12.689 14.536 18.097 56.224
Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsinya
HL 3.780 317 1.396 7.671 13.164
HPT
HP
HK
Jumlah (ha)
(%) Hutan
Jum. KK
0 1.570 1.613 2.351 5.534
246 2.106 2.259 1.830 6.441
2.059 4.835 0 148 7.042
6.085 8.828 5.268 12.000 32.181
55,8 82,0 36,2 66,3 57,2
869 1.559 3.786 3.509 9.723
Rasio HP/ KK
0,3 2,5 1,0 1,2 1,2
Data pada Tabel 3 menunjukkan rasio hutan produksi (HP dan HPT) dengan jumlah kepala keluarga (KK) antara 0,3 sampai 2,5. Rasio ini menunjukkan luas maksimal hutan produksi yang dapat dikelola oleh setiap KK pada masing-masing wilayah sub unit pengelolaan, apabila diasumsikan bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat dibatasi pada kawasan hutan produksi saja. Implikasi perbedaan rasio tersebut adalah penerapan preskripsi pengelolaan yang berbeda pada setiap wilayah sub unit pengelolaan.
83 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Gambar 11. Peta Sebaran Wilayah Unit Pengelolaan Hutan dan Wilayah Sub Unit Pengelolaan Hutan
84 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
3) Blok Kelestarian Desa Sumberdaya hutan yang ada pada desa-desa dalam wilayah sub unit pengelolaan dikelola sebagai satu blok kelestarian. Dengan demikian, terdapat 26 blok kelestarian dalam wilayah unit pengelolaan hutan Camara. 4) Unit Kelestarian Dusun Blok kelestarian desa dibagi menjadi beberapa unit kelestarian (petak permanen)
dengan
pendekatan
wilayah
administrasi
dusun/kampung.
Pendekatan wilayah administrasi dusun dalam menetapkan unit kelestarian, berdasarkan pertimbangan bahwa wilayah dusun memiliki homogenitas yang paling tinggi, yaitu homogenitas fisik, homogenitas ekonomi (unit usaha), dan homogenitas sosial. Unit kelestarian dusun berfungsi sebagai unit administrasi wilayah pengelolaan hutan terkecil yang memonitor kegiatan pengelolaan hutan pada petak-petak permanen yang ada di dalam unit kelestarian. Implikasi apabila dusun dikelola sebagai suatu unit kelestarian adalah wilayah dusun yang saat ini termasuk kawasan hutan seperti Dusun Balanglohe (semuawilayahnya termasuk kawasan hutan), Dusun Takehatu (80% wilayahnya termasuk kawasan hutan), Dusun Mamappang (50% wilayahnya termasuk kawasan hutan), Dusun Maddenge (terdapat 35 KK bermukim di dalam kawasan hutan) dan wilayah dusun lainnya yang berada di dalam kawasan hutan tidak perlu dienclave, akan tetapi ditata sedemikian rupa sehingga wilayah dusun tersebut dapat mendukung fungsi kawasan hutan dimana dusun tersebut berada. Kebijakan enclave yang selama ini dilakukan terhadap wilayah desa yang termasuk dalam kawasan hutan melemahkan kewenangan institusi kehutanan untuk menata wilayah tersebut dalam mendukung fungsi kawasan hutan. Hal ini disebabkan karena kebijakan enclave merubah status kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan sehingga wilayah tersebut tidak dapat dituntut untuk berfungsi hutan, meskipun kondisi fisik wilayah tersebut secara teknis seharusnya berfungsi hutan.
85 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
5) Unit Pemanfaatan Unit kelestarian dusun dibagi menjadi unit-unit pemanfaatan atau unit perlakuan yaitu unit-unit lahan homogen yang dapat menerima satu macam perlakuan, mudah dikenal, dan tempatnya jelas. Unit pemanfaatan atau unit perlakuan tersebut adalah kelompok lahan homogen yang dikelola oleh 10 kelompok tani, dan setiap kelompok tani terdiri atas 10 orang petani. Oleh karena itu, unit pemanfaatan adalah unit usaha yang dikelola oleh kelompok tani. Selain dikelola oleh kelompok tani, unit pemanfaatan juga dapat dikelola oleh lembaga unit pengelolaan sebagai suatu unit usaha komersial. Luas satu unit pemanfaatan
adalah
200
ha.
Desain
pengelolaan
masing-masing
unit
pemanfaatan tergantung pada material tegakan (misalnya tegakan kemiri, tegakan jati, kebun, ladang, dll), dan fungsi kawasan hutan. b. Preskripsi Pengelolaan Preskripsi
pengelolaan
adalah
sejumlah
kegiatan
yang
akan
diimplementasikan pada wilayah unit pengelolaan hutan untuk mencapai hasil tertentu yang diinginkan. Kerangka desain preskripsi pengelolaan disajikan pada Gambar 12.
86 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Preskripsi Pengelolaan
Kawasan Hutan dan Lahan Kondisi Penggunaan Lahan oleh Masyarakat Lansekap Wilayah
Management Regime
Permintaan Lahan Degradasi Hutan Pengangguran Preskripsi pengelolaan hutan oleh masyarakat Produktivitas Lahan
Preskripsi Silvikultur
Klasifikasi Lahan
Analisis Sosial Ekonomi
Gambar 12. Kerangka Desain Preskripsi Pengelolaan Preskripsi pengelolaan hutan di wilayah unit pengelolaan Camara diarahkan untuk mengatasi masalah struktur wilayah pedesaan seperti degradasi hutan, permintaan lahan usahatani masyarakat, pengangguran, meningkatkan produktifitas dan nilai lahan hutan, dan menghasilkan pangan untuk masyarakat di sekitar hutan. Preskripsi pengelolaan meliputi klasifikasi lahan dan preskripsi silvikultur.
87 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
1) Klasifikasi Lahan Berdasarkan hasil analisis tata guna lahan, pengamatan lapangan, dan diskusi dengan masyarakat desa-desa hutan, maka lahan kawasan hutan diklasifikasi untuk mengadaptasikan struktur tataguna lahan paduserasi dengan struktur penggunaan lahan oleh masyarakat. Kawasan hutan diklasifikasi secara vertikal dan secara horisontal. Klasifikasi lahan secara vertikal adalah membagi kawasan hutan menjadi tiga regime yaitu, 1/3 bagian regime puncak, 1/3 bagian regime tengah, dan 1/3 bagian regime bawah. Pembagian secara vertikal menjadi 3 regime ini sesuai dengan lanskap wilayah yang telah dibangun oleh masyarakat, serta mengacu kepada UU N0. 41/1999 pasal 18 yang menyatakan bahwa pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap Daerah Aliran Sungai (DAS) minimal 30% dari luas DAS dengan sebaran yang proporsional guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Klasifikasi lahan secara horisontal membagi kawasan hutan menjadi tiga regime yaitu regime intensif, regime setengah intensif, dan regime tidak intensif. Istilah regime intensif dan tidak intensif terkait dengan intensitas pengelolaan unit usaha pada setiap regime. Luas wilayah masing-masing regime ditentukan oleh faktor-faktor lanskap wilayah desa, jumlah penduduk, jarak permukiman dengan kawasan hutan, dan fungsi kawasan hutan. Klassifikasi lahan tersebut secara sederhana disajikan pada Gambar 13.
88 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Regim Atas Regime Tengah Regim Bawah Regime Intensif
Regime Regime Setengah Tidak Intensif Intensif = Pusat Pemukiman
Gambar 13. Klasifikasi Lahan Unit Pengelolaan Hutan
Klasifikasi lahan seperti pada Gambar 13 menunjukkan adanya regimeregime pengelolaan (management regime) yang bersifat spesifik lokal sesuai struktur wilayah pedesaan hutan. Contoh klasifikasi lahan yang dapat dijumpai pada wilayah pedesaan hutan disajikan pada Gambar 14.
89 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Hutan Permanen
Hutan Kemiri
Kebun Intensif
Sawah
Pemukiman
Gambar 14. Contoh Klasifikasi Lahan Pada Unit Pengelolan Hutan Klasifikasi lahan seperti pada Gambar 14 dapat dijumpai antara lain di Desa Sawaru, Pattiro Deceng, Cenrana, Timpuseng, Limampoccoe, Mario Pulana, Tellumpanuae, dan Desa Rompegading. Klasifikasi lainnya adalah permukiman masyarakat langsung berbatasan dengan kawasan hutan seperti dijumpai di Desa Benteng, Pattiro Deeceng, Barugae, Bentenge, Cenrana, Labuaja, dan lain-lain. Klasifikasi lahan seperti diuraikan di atas telah dipraktekkan oleh masyarakat dengan mempertimbangkan faktor fisik lahan seperti, kelerengan, ketinggian dari muka laut, kesuburan lahan, dan ketersediaan air. Klasifikasi tersebut, saat ini cenderung mengalami perubahan seiring dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat seperti, jumlah penduduk yang meningkat berdampak kepada permintaan lahan yang juga meningkat, aksesibilitas yang meningkat, kemampuan teknologi berusahatani yang meningkat. Dampak perubahan tersebut secara nyata dapat dilihat dari degradasi hutan akibat konversi kawasan hutan menjadi kebun atau ladang.
90 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
2) Preskripsi Silvikultur Hasil analisis hubungan struktur wilayah pedesaan dengan tingkat degradasi hutan ditemukan bahwa desa-desa dengan spesialisasi wilayah adalah sektor kehutanan mengalami degradasi rendah, sedangkan desa-desa dengan spesialisasi wilayah adalah sektor ladang mengalami degradasi hutan tinggi. Oleh karena itu, preskripsi silvikultur hutan diarahkan untuk merubah struktur pola penggunaan lahan ladang menjadi struktur pola penggunaan lahan hutan. Preskripsi silvikultur untuk merubah struktur tersebut harus bersifat sequential system memproduksi tanaman pangan, hasil hutan bukan kayu, dan hasil hutan kayu. Preskripsi pola perladangan masyarakat membangun hutan kemiri adalah contoh preskripsi yang dapat merubah struktur tersebut di atas. Pola perladangan masyarakat membangun hutan kemiri dimulai dengan kegiatan tumpangsari selama tiga tahun pertama dengan areal tumpangsari seluas 0,25 ha. Pembatasan luas areal tumpangsari tersebut menyesuaikan dengan kemampuan petani membuka lahan dan alokasi waktu yang tersedia. Pada tahun ke empat kegiatan tumpangsari berpindah pada areal lain dengan luas yang sama yaitu 0,25 ha. Dengan masa tumpangsari selama 3 tahun dan dengan luas areal yang layak untuk menghidupi setiap KK petani ratarata seluas 2,0 ha, maka setiap KK memerlukan areal berladang berpindah sebanyak 8 areal, yang akan dikelola secara berotasi selama jangka waktu 24 tahun. Siklus pemanfaatan lahan pola tumpangsari disajikan pada Gambar 15.
91 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Areal VI (0,25 ha) Tumpangsari Areal VII tahun 16-18 Areal IV (0,25 ha) (0,25 ha) Tumpangsari Tumpangsari Areal V tahun 10-12 Areal III tahun 19-21 (0,25 ha) (0,25 ha) Tumpangsari Tumpangsari Areal VIII tahun 13-15 Areal II tahun 7 - 9 (0,25 ha) (0,25 ha) Tumpangsari Tumpangsari Areal I tahun 4 - 6 tahun 22-24 (0,25 ha) Tumpangsari tahun 1-3 Gambar 15. Siklus Pemanfaatan Lahan Pola Tumpangsari Areal I dikelola secara tumpangsari dengan pohon kemiri selama 3 tahun pertama, jarak tanam 5 x 5 m atau sebanyak 100 pohon kemiri padasetiap areal ladang tumpangsari. Pada tahun ke 4, kegiatan tumpangsari berpindah ke Areal II selama 3 tahun. Pada tahun ke 7 kegiatan tumpangsari berpindah ke Areal III selama 3 tahun. Dengan demikain, areal seluas 2 ha/KK akan dikelola secara tumpangsari selama 24 tahun. Apabila tanaman tahunan yang ditanam adalah kemiri, maka pada tahun ke 5 kemiri pada areal I sudah mulai berbuah, pada tahun ke 6 kemiri pada Areal II mulai berbuah, dan setersunya sehingga seluruh areal sudah berbuah pada tahun 26.
Usia produktif berbuah pohon kemiri
adalah 15 sampai 25 tahun. Oleh karena itu, sejak tahun ke 26, proses regenerasi pola tumpangsari dapat dilakukan kembali pada Areal I, secara berotasi seperti pada periode I. Demikainlah seterusnya, petani mengelola lahan hutan kemiri seluas 2 ha secara berotasi. 3) Rotasi Faktor jenis tanaman dan luas areal yang dikelola oleh setiap KK mejadi pertimbangan dalam menentukan panjang rotasi. Untuk jenis tanaman kemiri dengan luas areal kelola 2,0 ha/KK dapat mengikuti rotasi seperti pada Gambar
92 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
40, sedangkan untuk jenis tanaman yang lain seperti jati, mahoni, akasia, menyesuaikan dengan rotasi masing-masing jenis. Struktur wilayah pedesaan yang berbeda-beda juga dipertimbangkan dalam menentukan panjang rotasi. Desa-desa dengan tekanan penduduk yang tinggi, maka rotasi pengelolaan dapat dipersingkat, yaitu sesuai kondisi kesuburan lahan untuk dapat dikelola kembali sebagai areal ladang tumpangsari. Dalam hal ini, rotasi pengelolaan tidak mengikuti rotasi teknis atau rotasi ekonomi dari tanaman pohon akan tetapi menyesuaikan masa bera lahan. Sedangkan pada desa-desa dengan tekanan penduduk rendah, maka rotasi pengelolaan hutan dapat mengikuti daur ekonomi tanaman pohon. Penentuan rotasi yang fleksibel sesuai dengan kebutuhan masyarakat terhadap lahan usahatani disebut rotasi sosial. Makna kata sosial adalah situasional dan dinamis sesuai kondisi spesifik wilayah pedesaan hutan, namun tetap mendukung integrasi ekonomi, ekologi dan kelestarian. Hasil wawancara dengan responden diketahui rotasi ladang yang ideal untuk hutan kemiri adalah 10 - 20 tahun. Oleh karena itu, dengan pola tumpangsari seperti pada Gambar 15 dan rotasi 10 tahun, maka luas lahan tumpangsari yang dikelola oleh setiap Kepala Keluarga petani minimal 0,75 ha/KK. c. Aspek Ekonomi Unit Pengelolaan Hutan Dari segi ekonomi, preskripsi silvikultur yang digunakan akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dan kelembagaan unit pengelolaan. Keuntungan ekonomi bagi masyarakat diperoleh dari kegiatan dalam sequential system pembangunan hutan kemiri yaitu kegiatan tumpangsari, pemanenan buah kemiri, dan pemanenan kayu kemiri pada akhir daur. Keuntungan ekonomi bagi lembaga unit pengelolaan diperoleh dari kegiatan pelayanan publik yang diberikan seperti fasilitasi pemasaran, penyediaan faktor-faktor produksi, dan keuntungan dari unit usaha komersial yang dikelola oleh lembaga unit pengelelolaan. Seluruh pendapatan yang dihasilkan dari sequential system perladangan dan pendapatan yang diperoleh oleh lembaga unit pengelolaan hutan dihitung sebagai pendapatan sektor kehutanan. 93 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Hasil
pengamatan
lapangan
dan
wawancara
dengan
responden
menunjukkan sequential system pembangunan hutan kemiri seperti disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa pada tahun 1 sampai dengan tahun 24 dalam sequential system pembangunan hutan kemiri terjadi pergiliran areal tanam dari areal I sampai areal VIII dengan pola perladangan berpindah. Setiap areal tumpangsari dikelola secara intensif selama 3 tahun. Pendapatan masyarakat dari sequential system pembangunan hutan kemiri terdiri atas hasil tanaman tumpangsari yang diperoleh setiap tahun sepanjang rotasi, panen buah kemiri mulai pada tahun 5 yang akan diperoleh terus menerus secara berotasi, dan panen kayu kemiri mulai pada tahun 25 yang juga akan diperoleh terus menerus secara berotasi.
94 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Tabel 4. Kegiatan dalam Sequential System Pembangunan Hutan Kemiri untuk Satu Rotasi 24 tahun No. 1. 2. 3.
4. 5.
6.
Kegiatan Pembukaan lahan, penanaman tanaman tumpangsari dan pohon kemiri pada areal I Penanaman tanaman tumpangsari pada areal I Pembukaan lahan, penanaman tanaman tumpangsari dan pohon kemiri pada areal tumpangsari pada areal II Penanaman tanaman tumpangsari pada areal II Pembukaan lahan, penanaman tanaman tumpangsari dan pohon kemiri pada areal tumpangsari pada areal III Penanaman tanaman tumpangsari pada areal III Pembukaan lahan, penanaman tanaman tumpangsari dan pohon kemiri pada areal tumpangsari pada areal IV Penanaman tanaman tumpangsari pada areal IV Pembukaan lahan, penanaman tanaman tumpangsari dan pohon kemiri pada areal tumpangsari pada areal V Penanaman tanaman tumpangsari pada areal V Pembukaan lahan, penanaman tanaman tumpangsari dan pohon kemiri pada areal tumpangsari pada areal VI Penanaman tanaman tumpangsari pada areal VI Pembukaan lahan, penanaman tanaman tumpangsari dan pohon kemiri pada areal tumpangsari pada areal VII Penanaman tanaman tumpangsari pada areal VII Pembukaan lahan, penanaman tanaman tumpangsari dan pohon kemiri pada areal tumpangsari pada areal VIII Penanaman tanaman tumpangsari pada areal VIII Pemeliharaan pohon kemiri Pemanenan buah kemiri Pemanenan kayu kemiri
95 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Waktu (tahun ke) 1 2-3 4
5-6 7
8-9 10
11 - 12 13
14 - 15 16
17 - 18 19
20 - 21 22
23 - 24 1 - 24 5 - 24 25 – akhir daur
Hasil penelitian diperoleh nilai pendapatan tumpangsari pola berladang berpindah rata-rata sebesar Rp. 1.725.631/tahun dengan luas areal perladangan rata-rata 0,5 ha. Mengacu pada nilai pendapatan tersebut, maka dengan areal tumpangsari seluas 0,25 ha, petani akan mendapatkan pendapatan dari tanaman tumpangsari rata-rata sebesar Rp. 862.815,-/tahun. Hasil penelitian didapatkan pula bahwa umur produkrif pohon kemiri untuk memproduksi buah kemiri adalah 15 – 25 tahun, dengan produksi rata-rata sebesar 1 kg/pohon, sedangkan pada umur 5 – 14 tahun, produksi buah kemiri rata-rata sebesar 0,5 kg/pohon. Produksi buah kemiri pada areal tumpangsari seluas 0,25 ha selama satu rotasi disajikan pada Tabel 6.
96 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Tabel 6. Produksi Buah Kemiri pada Areal Tumpangari Pola Perladangan Berpindahl Luas 0,25 ha, Jarak Tanam 5x5 m Areal Tumpangsari
Produksi Kemiri Menurut Tahun (kg) 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Areal I
V
V
V
V
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
Areal II
V
V
V
V
V
V
V
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
100
100
100
100
100
100
100
Areal III
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
100
100
100
100
Areal IV
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
100
Areal V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
50
50
50
50
50
50
50
50
Areal VI
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
50
50
50
50
50
Areal VII
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
50
50
Areal VIII
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
Jumlah
-
-
-
-
50
50
50
100
100
100
150
150
150
200
250
250
300
350
350
400
450
450
500
550
Keterangan V = Produksi tanaman tumpangsari
97 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Tabel 6 menunjukkan produksi buah kemiri selama satu rotasi perladangan antara 50 kg sampai
550 kg. Harga buah kemiri pada saat
penelitian rata-rata sebesar Rp. 7000,-/kg, yang berarti bahwa pendapatan masyarakat dari buah kemiri selama satu rotasi rata-rata sebesar Rp. 350.000,sampai Rp. 3.850.000, Pada setiap akhir rotasi, masyarakat akan memperoleh pendapatan dari kayu kemiri hasil tebangan untuk persiapan lahan pada regenerasi rotasi berikutnya. Kayu kemiri dijual oleh masyarakat dalam bentuk kayu bantalan dengan harga (dimuat di pinggir jalan) sebesar Rp. 300.000,-/m3 atau dalam bentuk pohon berdiri, dengan harga rata-rata sebesar Rp. 40.000,-/pohon. Cara penjualan yang banyak dipilih oleh masyarakat adalah menjual pohon berdiri, karena harga yang diterima merupakan pendapatan bersih petani. Biaya penebangan dan penyaradan ke pinggir jalan desa ditanggung oleh pembeli. Besarnya pendapatan dari kayu kemiri adalah sebesar Rp. 4000.000,-/tahun, dimulai pada tahun 25 yang akan diperoleh secara berotasi. Nilai pendapatan dalam sequential system kegiatan pembangunan hutan kemiri disajikan pada Tabel 7, dan secara grafis disajikan pada Gambar 16.
98 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Tabel 7. Nilai Pendapatan pada Sequential System Kegiatan Pembangunan Hutan Kemiri Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Nilai Pendapatan (Rp) Tumpangsari Buah Kemiri Kayu Kemiri 862.815 0 0 862.815 0 0 862.815 0 0 862.815 0 0 862.815 350.000 0 862.815 350.000 0 862.815 350.000 0 862.815 700.000 0 862.815 700.000 0 862.815 700.000 0 862.815 1.050.000 0 862.815 1.050.000 0 862.815 1.050.000 0 862.815 1.400.000 0 862.815 1.750.000 0 862.815 1.750.000 0 862.815 2.100.000 0 862.815 2.450.000 0 862.815 2.450.000 0 862.815 2.800.000 0 862.815 3.150.000 0 862.815 3.150.000 0 862.815 3.500.000 0 862.815 3.850.000 0 862.815 2.800.000 4.000.000
99 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Total (Rp) 862.815 862.815 862.815 862.815 863.165 863.165 863.165 1.562.815 1.562.815 1.562.815 1.912.815 1.912.815 1.912.815 2.262.815 2.612.815 2.612.815 2.962.815 3.312.815 3.312.815 3.662.815 4.012.815 4.012.815 4.362.815 4.712.815 7.662.815
9000000
Pendapatan (Rp)
8000000 7000000 6000000 5000000
Tahun
4000000
Pendapatan
3000000 2000000 1000000 0 1
4
7 10 13 16 19 22 25 Tahun
Gambar 16. Pendapatan dalam Sequential System Pengelolaan Hutan Kemiri
Tabel 7 dan Gambar 16 menjelaskan secara lebih informatif tentang nilai pendapatan dalam sequential system pembangunan hutan kemiri yang berasal dari tanaman tumpangsari, buah kemiri, dan kayu kemiri yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tabel tersebut menunjukkan pendapatan yang bersifat berkesinambungan yang diperoleh petani dari pengelolaan hutan kemiri. Pada tahun 25, kegiatan tumpangsari kembali dilakukan pada areal I, dan pada saat yang sama, tegakan kemiri sebanyak 100 pohon yang dibangun pada tahun 1 ditebang, dan pada saat yang sama pula produksi buah kemiri dari petak I tidak diperoleh lagi. Nilai pendapatan dari hasil penebangan pohon kemiri tersebut adalah sebesar Rp. 4.000.000,-/tahun. d. Kelembagaan Kelembagaan unit pengelolaan hutan merupakan struktur yang akan melaksanakan infrastruktur pengurusan dan pengelolaan hutan yang telah dibangun oleh pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten Maros, dengan tetap memperhatikan kelembagaan masyarakat lokal. Sebagai struktur, kelembagaan unit pengelolaan hutan akan
memberikan pelayanan
publik kehutanan kepada masyarakat di wilayahnya dan melakukan kegiatan pengelolaan hutan secara mandiri yang terintegrasi dengan unit-unit usaha kehutanan masyarakat. Oleh karena itu, kelembagaan unit pengelolaan adalah 100 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
pemangku wilayah yang bertanggung jawab atas pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah Camara. Wilayah pelayanan unit pengelolaan ini disebut wilayah pelayanan mikroforestry. Kerangka desain kelembagaan unit pengelolaan kehutanan masyarakat disajikan pada Gambar 17. Desain Kelembagaan
UU No. 41/1999 PP No. 44/2004 Wilayah Administrasi Wilayah Pengembangan Hutan Wilayah Pasar Fungsional
Analisis Lokasi Analisis Struktural Analisis sosial Ekonomi Analisis Kelembagaan
Struktur Kelembagaan Unit Pengelolaan Kehutanan Masyarakat
Gambar 17. Kerangka Desain Kelembagaan Unit Pengelolaan Kehutanan Masyarakat Mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004, Pasal 32 ayat (2) lembaga unit pengeloaan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan
hutan
yang
meliputi,
(1)
perencanaan
pengelolaan,
(2)
pengorganisasian, (3) pelaksanaan pengelolaan, serta (4) pengendalian dan pengawasan. Sebagai konsekwensi dari tanggung jawab tersebut dan dengan mempertimbangkan struktur wilayah pedesaan hutan di wilayah Camara, maka perlu dikembangkan struktur kelembagaan pada unit pengelolaan hutan. Berdasarkan hasil analisis struktur wilayah pedesaan, struktur wilayah pengelolaan hutan, dan hasil analisis model struktural pengelolaan hutan kemiri maka struktur kelembagaan unit pengelolan kehutanan masyarakat terdiri atas, Kepala Unit Pengelolaan yang berkedudukan di Cempaniga, dibantu oleh tenaga-tenaga teknis yang berkedudukan di wilayah sub unit pengelolaan, blok kelestarian desa, dan unit kelestarian dusun. Fungsi masing-masing struktur tersebut diuraikan sebagai berikut:
101 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
1) Kepala Unit Pengelolaan (KUP) Kepala Unit Pengelolaan (KUP) adalah penanggungjawab operasional pengelolaan perpanjangan
hutan
pada
tingkat
tangan dari kepala
unit
pengelolaan
Dinas Kehutanan
yang
merupakan
dan
Perkebunan
Kabupaten Maros. Secara umum fungsi KUP adalah: a)
Melaksanakan administrasi pelayanan publik kehutanan dan pengelolaan hutan pada tingkat wilayah unit pengelolaan.
b) Penangung jawab teknis operasional seluruh kegiatan pengelolaan hutan pada wilayah unit pengelolaan. c) Melaksanakan kebijakan pengembangan usaha kehutanan sesuai yang telah digariskan oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan. d) Menetapkan kebijakan sesuai pedoman dan petunjuk teknis yang telah dibuat oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan. e) Menyiapkan rencana jangka panjang, jangka menengah, dan rencana kerja unit pengelolaan dengan persetujuan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan. f) Melakukan kerjasama usaha dengan badan usaha lain yang saling menguntungkan untuk berkembangnya unit pengelolaan dan unit usaha kehutanan masyarakat dengan persetujuan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan. g) Menfasilitasi pembentukan, penguatan, dan pengembangan usaha komersial dan kelompok usaha kehutanan masyarakat. h) Mengkoordinir, mengarahkan, dan memberikan petunjuk teknis kepada para kepala sub unit pengelolaan dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di lapangan. i) Mengelola unit usaha komersial yang terintegrasi dengan unit usaha kehutanan masyarakat. 2) Kepala Sub Unit Pengelolaan (KSUP) Kepala Sub Unit Pengelolaan (KSUP) adalah unit pelaksana teknis pengelolaan hutan yang berada pada wilayah sub unit pengelolaan dan bertanggungjawab terhadap kegiatan pengelolan hutan yang ada dalam 102 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
wilayah sub unit pengelolaan. KSUP menfasilitasi kegiatan administratif dan operasional kegiatan pengelolaan hutan pada tingkat sub unit pengelolaan sesuai kebijakan pengelolaan yang digariskan KUP. Tugas pokok KSUP adalah membangun proses pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat sesuai karakteristik lokal desa (ekonomi, sosial budaya, dan potensi biofisik). Untuk membangun proses tersebut, maka fungsi KSUP adalah sebagai berikut: a) Menfasilitasi tata guna hutan di wilayah sub unit pengelolaan secara partisipatif sebagai prakondisi untuk menciptakan kepastian status dan hak terhadap kawasan hutan yang akan dimanfaatkan berdasarkan keadaan potensi dan keadaan kawasan hutan yang sebenarnya di lapangan. b) Menfasilitasi pembangunan bisnis berbsis kehutanan, menyangkut sub sistem pengadaan dan distribusi input (sarana produksi), pengembangan kegiatan produksi (budidaya), pengolahan hasil, pemasaran hasil, serta kegiatan-kegiatan pendukung seperti penelitian, pelatihan, penyuluhan, dan lain-lain. c) Memberi rekomendasi perizinan usaha sebagai salah satu syarat memperoleh izin usaha dari institusi kehutanan kabupaten Maros. d) Melaksanakan
fungsi
administrasi
terhadap
pelaksanaan
sub
unit
pengelolaan dalam wilayah administrasinya, antara lain menyangkut pembukuan (registrasi), jenis dan jumlah unit usaha yang ada pada sub unit pengelolaan, dan lain-lain. e) Penanggung jawab teknis operasional seluruh kegiatan pengelolaan hutan pada tingkat wilayah sub unit pengelolaan. f) Melakukan koordinasi dengan pemerintah kecamatan dan pemerintah desa dalam hal sinkronisasi pengeloaan areal sub unit pengelolaan dengan tataguna lahan tingkat kecamatan/desa. g) Melakukan koordinasi dan konsultasi kepada Mandor Blok Kelestarian Desa dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan. h) Mengelola unit usaha komersial yang terintegrsi dengan unit usaha kehutanan masyarakat. 103 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
3) Mandor Blok Kelestarian Desa (MBKD) Berdasarkan desain wilayah unit pengelolaan, wilayah desa ditetapkan sebagai satu blok kelestarian yang terdiri atas unit-unit kelestarian dusun. Oleh karena peran kepala desa sangat strategis dalam pengelolan hutan, maka mandor blok kelestarian seyogyanya adalah kepala desa. Fungsi kepala desa sebagai mandor blok kelestarian adalah: a) Memberikan pelayanan publik kepada masyarakat dan kelompok usaha kehutanan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan di tingkat unit kelestarian dusun. b) Melaksanakan kegiatan teknis pengawasan dalam wilayah yang ditugaskan kepadanya c) Membantu KSUP mengelola sumberdaya hutan di desa. d) Membantu KSUP untuk mengembangkan unit usaha komersial dan kelompok usaha kehutanan masyarakat pada unit-unit kelestarian dusun. e) Melakukan
pengawasan
pengelolaan
hutan
oleh
kelompok
usaha
kehutanan masyarakat atau tenaga kerja yang bekerja pada kegiatan pengelolaan hutan di areal unit usaha komersial. f) Menfasilitasi pembentukan dan operasionalisasi kelompok usaha komersial pada unit kelesarian dusun g) Menfasilitasi pembentukan kelompok usaha kehutanan masyarakat pada unit kelestarian dusun termasuk fasilitasi pembuatan, (1) aturan internal kelompok untuk penyelesaian konflik, (2) aturan-aturan menyangkut pengelolan areal, (3) perencanaan lokasi unit usaha kehutanan masyarakat. h) Kelompok tani diluar areal unit usaha komersial dapat melakukan kerjasama dengan mandor dalam hal fasilitasi penyediaan sarana produksi dan pemasaran hasil. Kerjasama ini dimaksudkan untuk meningkatkan keberdayaan petani pada wilayah unit pengelolaan. 4) Unit Kelestarian Dusun Unit kelestarian dusun terdiri atas kelompok-kelompok usaha kehutanan masyarakat. Ketua kelompok pada unit kelestarian dusun bertanggung jawab kepada mandor blok kelestarian desa dalam hal pengelolaan hutan pada unit 104 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
kelestarian dusun. Kelompok usaha kehutanan masyarakat, melakukan pengelolaan unit-unit usaha secara kolektif di dalam dan di luar kawasan hutan, bekerjasama dengan kelembagaan unit pengelolaan. Kelompok usaha kehutanan masyarakat berkewajiban melakukan pengamanan swadaya terhadap areal pada unit kelestarian dusun. 5) Unit Usaha Komersial Unit usaha komersial adalah unit usaha yang dikelola oleh unit pengelolaan. Unit usaha tersebut dapat berupa kegiatan pemanfaatan hasil hutan, rehabilitasi, pemasaran hasil unit-unit usaha masyarakat, penyediaan sarana produksi, dan usaha lainnya. 6) Lembaga Pendukung Merupakan lembaga independen yang dapat mendukung atau menjadi mitra dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan. Lembaga pendukung tersebut terdiri atas, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, LSM, Lembaga Keuangan, dan Dunia Usaha. Lembaga pendukung terutama diperlukan dalam kegiatan penyiapan dan pendampingan masyarakat, peningkatan SDM, permodalan dan pemasaran, pengembangan usaha masyarakat serta penerapan teknologi. e. Keunggulan Desain Unit Pengelolaan Kehutanan Masyarakat Desain unit pengelolaan kehutanan masyarakat memiliki keunggulan dibanding konsep unit pengelolaan hutan yang dipraktekkan pada pengelolaan hutan selama ini seperti unit pengelolaan HPH dan HTI.
Kunggulan tersebut
meliputi: 1) Wilayah unit pengelolaan kehutanan masyarakat mengintegrasikan konsep wilayah homogen, konsep wilayah administrasi, dan konsep wilayah fungsional sehingga pengelolaan menjadi lebih efektif dan efisien. 2) Wilayah unit pengelolaan tidak terbatas pada sutau fungsi kawasan hutan tetapi mencakup seluruh kawasan hutan yang berada di dalam wilayah integrasi tersebut pada ponit (a). 3) Pengelolaan kawasan hutan dapat pula diintegrasikan dengan lahan di luar kawasan hutan yang berpotensi untuk dikelola sebagai hutan rakyat. 105 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
4) Kelembagaan unit pengelolaan hutan terstruktur sampai pada level wilayah administrasi dusun sehingga memudahkan pengawasan. 5) Pengelolaan unit pengelolaan mengacu kepada model struktural pengelolaan hutan yang dipraktekkan oleh masyarakat sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat. 6) Menerapkan konsep rotasi sosial yang fleksibel sesuai kondisi spesifik wilayah pedesaan hutan, namun tetap mendukung integrasi ekonomi, ekologi, dan kelestarian. 7) Pembangunan unit pengelolaan hutan yang berfokus pada membangun wilayah
dan
kelembagaan
pengelola
dapat
menciptakan
kepastian
masyarakat berusaha di dalam kawasan hutan serta meningkatkan peran sektor kehutanan dalam perekonomian wilayah.
Rujukan: Davis, K.P. 1978, Beberapa Kebijakan pemerintah yang terkait dengan Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Latihan Soal-Soal
106 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
BAB VI Wilayah Pengelolaan Provinsi
1. Perencanaan Kehutanan 2. Pengelolaan 3. Litbang, Diklat Luh 4. Pengawasan
PENGATURAN HASIL HUTAN Pengurusan
Wilayah Pengelolaan Kabupaten
Unit Pengelolaan
Pokok Bahasan Tujuan Umum
Pengelolaan
1. 2. 3. 4. 5.
Tata hutan Pemanfaatan Rehabilitasi Perlindungan Konservasi
: PengaturanKawasan Hasil Hutan ada Hak Kriteria Kelembagaan
Tujuan Instruksional Khusus
Kawasan tdk ada Hak : Memahami dasar-dasar dan metode Kawasan Konflik pengaturan hutan.
IUPHHK Ijin Lain
: Selesai mempelajari Bab VI, mahasiswa/i mampu: (1) menjelaskan dasar-dasar pengaturan hutan, (2) menggunakan metode-metode pengaturan pada hutan seumur dan hutan tidak seumur.
A. Dasar-Dasar Pengaturan Hasil Hutan Pengusahaan hutan mempunyai beberapa sifat yang khas, yang membedakannya dengan jenis perusahaan atau bentuk pemanfaatan lahan yang lain. Salah satu sifat khas pengusahaan hutan adalah waktu yang sangat panjang untuk mencapai saat pemanenan. Di lain pihak, pengelolaan hutan selalu didasarkan pada asas kelestarian sumberdaya, yakni pemungutan hasil hutan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mengurangi potensi hasil di lapangan. Kedua hal tersebut mendorong perlunya pengaturan hasil hutan, agar kegiatan pemungutan hasil dapat dilakukan secara terus menerus tetapi tidak menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya hutan, bahkan sedapat mungkin membantu meningkatnya kualitas hutan. Oleh karena itu, 107 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
teori pengaturan hasil hutan juga sudah lahir sejak kegiatan pengelolaan hutan yang berlandaskan asas kelestarian dimulai. Beberapa penulis sepakat bahwa dikeluarkannya “Ordonansi Hutan” oleh Raja Louis XIV di Perancis tahun 1669, merupakan cikal bakal lahirnya pengelolaan hutan yang menganut asas kelestarian. Pengaturan hasil hutan diperlukan untuk menghitung volume kayu yang boleh ditebang pada setiap tahun, agar jumlah tebangan selama periode tertentu sama dengan jumlah riap dari seluruh tegakan. Dengan demikian, pengaturan hasil merupakan bagian kegiatan pengelolaan hutan yang perlu mendapat perhatian. Pertanyaannya adalah bagaimana menentukan besarnya tebangan tahunan agar kelestarian hutan dapat terjamin? Dalam menghitung besarnya tebangan tahunan (Allowable Annual Cut = ACC, atau Jatah Tebangan Tahunan = JTT) diperlukan beberapa masukan (input), antara lain, besarnya potensi tegakan hutan (growing stock), besarnya riap tegakan (increment), luas areal yang dikelola secara efektif, tujuan pengelolan hutan, panjang rotasi, dan sistem silvikultur yang diterapkan (tebang habis atau tebang pilih).
B. Metode Pengaturan Hutan Seumur Suatu hutan dikatakan memiliki aturan seumur apabila hutan tersebut memiliki penyebaran umur – luas areal yang ideal, dimana setiap umur memiliki suatu areal dalam rotasi. Hutan seumur yang teratur ini adalah suatu hutan teoritis, hutan model yang memiliki volume tegakan dan pertumbuhan yang optimal. Hutan model ini memiliki ciri-ciri:
Luas areal atau volume yang sama dipanen setiap tahun
Investasi minimum pada hutan yang sedang tumbuh untuk mendapatkan hasil optimal, tidak ada kelebihan volume kayu yang sedang tumbuh (growing stock) yang dipertahankan
108 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Distribusi umur dan keadan yang paling besar dalam rotasi sehingga resiko kehilangan karena api, serangga dan lain-ain dapat ditekan sampai semaksimal mungkin. Adapun kegunaan konsep hutan model yang teratur tersebut adalah
sebagai berikut:
Sederhana, mudah dipahami, mudah dimengerti
Suatu acuan untuk dibandingkan dan dihubungkan dengan hutan-hutan sebenarnya termasuk distribusi umur dan areal
Hubungan yang tepat antara stok tumbuh, pertumbuhan, volume tegakan, areal tebangan dapat digunakan pada hutan yang sebenarnya. Dengan demikian, diperlukan modifikasi-modifikasi agar hubungan
tersebut dapat dipraktekkan dalam dunia nyata. Semua tindakan
beserta
akibat-akibatnya dapat diperhatikan secara mudah. Akibat-akibat suatu usul program dapat dilihat. Metode untuk melaksanakan tebangan pada hutan-hutan yang memiliki sistim atau aturan tegakan seumur adalah sebagai berikut: a. Metode Berdasarkan Luas Adalah suatu metode untuk menentukan panen tahunan atau panen berkala dari suatu hutan berdasarkan alokasi areal. Hal ini dapat diperlihatkan oleh rumus sebagai berikut: Areal Tebangan Tahunan = Areal hutan total rotasi Dengan demikian, terdapat areal tebangan tahunan yang sama jumlahnya dengan banyaknya tahun dalam rotasi. Setiap tahun hanya akan ditebang hutan yang terletak pada petak tertentu. Tebangan pada tahun-tahun berikutnya akan dilakukan secara berurutan sehingga pada akhir daur seluruh petak yang ada telah mengalami satu kali penebangan. Contoh: 109 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Kawasan hutan seluas 3.200 ha, dengan daur 20 tahun, akan dibagi menjadi 20 petak yang masing-masing luasnya 3.200/20 = 160 ha. Setiap petak akan diberi nomor urut, yang merupakan tanda tentang kapan petak tersebut ditebang. Hasil-hasil yang diperoleh dari aturan luas ini antara lain:
Jika aturan luas ini diteruskan untuk suatu rotasi, maka kita akan dapatkan distribusi umur – luas areal yang sempurna pada rotasi kedua tanpa memperdulikan keadaan sekarang.
Kita memiliki program penebangan yang jelas dan sederhana. Karena kita menebang luas areal yang sama setiap tahun, maka kita dapat menentukan waktu dan tempat penebangan untuk seluruh masa rotasi.
Hasil tahunan dapat melonjak tidak beraturan pada rotasi sekarang, namun hal ini akan teratur pada rotasi kedua.
b. Metode Berdasarkan Volume Adalah suatu metode untuk menentukan panen tahunan atau panen berkala dari suatu hutan berdasarkan volume. Dengan cara ini, kita menentukan volume kayu yang akan ditebang, kemudian menebang secukupnya setiap tahun sampai volume yang diinginkan tercapai. Hal ini berarti, luas areal tebangan tahuan berbeda-beda, tergantung pada variasi kesuburan tanah dan kerapatan tegakan. Untuk itu, dilakukan klasifikasi kesuburan tanah antara subur, sedang, dan kurus atau klasifikasi kerapatan tegakan antara rapat, sedang, dan jarang. Agar diperoleh satuan yang mempunyai potensi volume kayu yang sama, maka ditentukan “luas ekivalen” dengan standar kawasan hutan yang mempunyai kesuburan/kerapatan sedang. Penentuan luas ekuivalen tersebut didasarkan pada hasil normal untuk masing-masing kelas kesuburan/kerapatan tegakan. Contoh: Areal hutan seluas 100.000 ha dikelola dengan rotasi tebang sepanjang 50 tahun. Dari hasil inventarisasi foto udara diperoleh informasi bahwa 40% areal tersebut berkerapatan tinggi dengan potensi 50 m 3/ha. Sedangkan 40% lainnya 110 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
mempunyai kerapatan tegakan sedang dengan potensi sebesar 30 m 3/ha, dan sisanya 20% berupa tegakan dengan kerapatan jarang dengan potensi sebesas 20 m3/ha. a) Berapa etat tebangan luas masing-masing apabila menggunakan aturan luas dan menggunakan aturan volume b) Buat analisis hasil tebangan tahunan. Jawab: a) Etat tebangan : 1) Menggunakan aturan luas: Etat tebangan tahunan
= luas areal Rotasi = 100.000 ha 50 tahun = 2.000 ha/tahun
2) Menggunakan aturan volume Karena kerapatandan potensi hutan tidak sama, maka perlu dilaksanakan penyetaraan terlebih dahulu ke dalam salah satu tingkat kerapatan atau potensinya. Misalnya dilakukan penyetaraan ke dalam kerapatan tiggi (potensi 50 m3/ha), maka hasil penyetaraannya adalahsebagai berikut: Kerapatan tinggi Kerapatan sedang Kerapatan jarang Total hasil penyetaraan
= 50/50 x 40.000 ha = 40.000 ha = 30/50 x 40.000 ha = 24.000 ha = 20/50 x 20.000 ha = 8.000 ha = 72.000 ha
Dengan demikian, etat tebangan tahunan untuk masing-masing kelas kerapatan adalah sebagai berikut:
Kerapatan tinggi Kerapatan sedang Kerapatan jarang
= 1/50 x 72.000 ha = 1.440 ha/tahun = 5/3 x 1.440 ha = 2.400 ha/tahun = 5/2 x 1.440 ha = 3.600 ha/tahun
Sehigga diperoleh hasil perhitungan etat yang tidak sama luas untuk masingmasing kelas kerapatan tegakan. Tegakan dengan kerapatan tinggi ditebang
111 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
dengan luasan yang tekrecil, dan terus meningkat dengan semaki kecilnya tingkat kerapatan tegakan. b) Analisis hasil tebangan tahunan: 1) Menggunakan aturan luas Dengan luas tebangan tahunan sebesar 2000 ha/tahun untuk semua kelas kerapatan, maka akan diperoleh hasil tebangan tahunan sebagai berikut:
Kerapatan tinggi Selama
Kerapatan sedang Selama
Kerapatan jarang Selama
= 2000 ha/tahun x 50 m3/ha = 100.000 m3/tahun = (40.000 : 2000) tahun = 20 tahun = 2000 ha/tahun x 30 m3/ha = 60.000 m3/tahun = (40.000 : 2000) tahun = 20 tahun = 2000 ha/tahun x 20 m3/ha = 40.000 m3/tahun = (20.000 : 2000) tahun = 10 tahun
2) Menggunakan aturan volume Dengan luasan tebangan yang berbeda, maka dapat diperoleh hasil panenan sebagai berikut:
Kerapatan tinggi Selama
Kerapatan sedang Selama
Kerapatan jarang Selama
= 1.440 ha/tahun x 50 m3/ha = 72.000 m3/tahun = (40.000 : 1.440) tahun = 28 tahun = 2.400 ha/tahun x 30 m3/ha = 72.000 m3/tahun = (40.000 : 2.400) tahun = 17 tahun = 3.600 ha/tahun x 20 m3/ha = 72.000 m3/tahun = (20.000 : 3.600) tahun = 5 tahun
112 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Hasil-hasil yang diperoleh dari pengaturan volume adalah:
Apabila terdapat ketidakteraturan distribusi umur – luas areal di dalam hutan sekarang, maka ketidakaturan tersebut akan diteruskan dan mungkin diperbesar pada rotasi berikutnya
Areal yang akan ditebang tidak dapat diketahui dan ditentukan terlebih dahulukarena volume tegakan berubah-ubah
Volume yang ditebang setiap tahun adalah tetap sehingga hal ini dapat menunjukkan adanya kekekalan hasil paling sedikit pada tahun itu
Cara ini tidak memungkinkan adanya penyesuaian terhadap fluktuasi permintaan pasar
Sejumlah volume akan dikorbankan karena beberapategakan sebelum periode pertumbuhannya yang paling baik dan tegakan-tegakan lainnya sudah terlampau tua.
c. Metode Berdasarkan Volume dan Riap Dengan pembuatan luas petak yang berbeda-beda menurut aras kesuburan/kerapatannya, ternyata belum dapat diperoleh volume tebangan yang sama pada setiap tahun. Hal ini disebabkan oleh karena faktor kerapatan sulit diperhitungkan karena sifatnya dapat berubah dalam jangka waktu yang lebih singkat. Disamping itu, menurut pengalaman, penebangan hutan alam telah mulai melahirkan tegakan seumur atau hampir sama umur. Dengan demikian, akan dijumpai tegakan muda, tegakan berumur sedang, dan tegakan tua. Potensi aktual tegakan mudah tentu lebih kecil dibanding tegakan berumur sedang ataupun tegakan tua, tetapi di lain pihak, tegakan muda mempunyai laju pertumbuhan (riap) yang lebih besar dibanding dengan tegakan sedang dan tegakan tua. Dari sini lahirlah metode pengaturan hasil hutan yang didasarkan pada volume dan riap tegakan. Contoh klassik tentang metode pengaturan hasil berdasarkan volume dan riap tegakan ini adalah rumus Von Manthel. Disini, dengan bertambahnya umur, volume tandon tegakan diasumsikan berkembang secara uniform 113 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
menurut garis lurus. Volume tandon tegakan di seluruh kawasan hutan produktif dapat dinyatakan dengan luas segi tiga, dengan alas berupa panjang daur dan tinggi berupa volume tegakan pada akhir daur. Secara umum, rumus untuk menghitung volume tegakan menurut metode Von Manthel adalah sebagai berikut: 2 x GS JTT = ----------r dimana: JTT GS r
= = =
Jatah Tebang Tahunan (m3) Volume tandon tumbuh (actual growing stock) Panjang rotasi (tahun)
Rumus tersebut dapat pula ditulis menjadi: GS = JTT x r x 0,5 yaitu sesuai dengan rumus luas segi tiga yang merupakan perkalian antara alas dengan setengah tinggi.. Contoh: Areal hutan seluas 600 ha, rotasi 40 tahun, dengan distribusi umur-areal yang tidak teratur sebagai berikut:
Kelas Umur
Luas (ha)
Potensi (m3/ha)
% Luas Areal
1 – 10 21 – 30 31 – 40 41 - 50 Jumlah
195 45 210 150 600
2.950 3.520 3.850
32,5 7,5 35,0 25,0 100,0
Total Volume (m3) 132.750 739.200 577.500 1.449.450
Schlagel (1971), berdasarkan hasil penelitiannya mendapatkan Tabel Hasil sebagai berikut:
114 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Umur (tahun) 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Hasil (m3/ha) 2.570 2.950 3.270 3.520 3.700 3.850 3.980 4.080 4.170
Hitung jatah tebangan tahunan dengan menggunakan rumus Von Mantels, sebagai berikut: Yr x R GS = -----------2 2 GS Yr = ---------R Dimana: GS = Growing Stock Yr = hasil yang diperoleh pada umur rotasi R = panjangrotasi atau
Dengan menggunakan rumus di atas, maka jatah tebang tahunan dapat diestimasi sebagai berikut: 2 (1.449.450) JTT = -------------------40 = 72.472 m3 Agar target tebangan dapat terpenuhi (tidak terlambat atau terlalu cepat menebang) maka perlu dibuat tabel pengaturan volume (volume regulation table) sebagai berikut:
115 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Perkiraan Umur Umur Umur Lama Permulaan Akhir Sekarang Penebangan Menebang Menebang (tahun) (tahun) (tahun) (tahun) 41 - 50 31 - 40 21 - 30 1 - 10
10 8 14 12 3 13 9
50 50 48 48 50 33 33
51 49 53 51 44 37 33
Lama waktu penebangan = 8 + 12 + 3 + 9 = 32 tahun Umur pohon termudah yang ditebang adalah 33 tahun Umur pohon tertua yang ditebang adalah 51 tahun
116 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Jangkauan Hasil (m3/ha)
Hasil Ratarata (m3/ha)
Areal dalam Kelas Umur (ha)
3.980 – 4.000 3954 - 3.980 3.928 – 4.040 3.928 – 4.000 3.820 - 3.980 3.420 – 3.592 3.420
3.990 3.967 3.984 3.964 3.900 3.506 3.420
150 150 210 210 45 195 195
Volume Total yang Tersedia untuk Ditebang (m3) 598.500 595.050 836.640 832.440 175.500 683.670 666.920
Lama Berlangsung Penebangan (tahun) 8,3 8 11,5 12 3 9,4 9
Akan tetapi rumus Von Mantel tersebut hanya benar untuk panjang daur tertentu saja (lihat Gambar 4), yaitu pada waktu luas bidang (a) persis sama dengan luas bidang (b), karena grafik perkembangan CAI sebenarnya tidak mengikuti garis lurus, melainkan membentuk sigmoid
Volume
CAI
r Gambar 18. Untuk mengoreksi kesalahan tersebut, Flurry mengitung suatu konstanta yang menggantikan eksponen tinggi segi tiga yang dalam rumus di atas besarnya sama dengan setengah. Konstanta Flurry dihitung dengan rumus: c = V1 + V2 + … + Vr/2 Vr x r dimana: c = konstanta Flurry 117 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Vn= volume tegakan (m3/ha) pada umur n, dengan n berkisar antara 1 tahun sampai akhir daur Vr= volume tegakan (m3/ha) pada akhir daur r = panjang daur (tahun) Metode pengaturan hasil hutan berdasarkan growing stock sebenarnya hanya memberi gambaran kasar tentang taksiran volume tegakan. Rumus Von Monthel mengabaikan sebaran kelas umur dan riap masing-masing. Padahal, sebaran dari tegakan dan riap masing-masing kelas umur tersebut sangat berpengaruh terhadap tebangan tahunan. Pengaturan hasil hutan berdasarkan tandon tegakan dan riap, juga dibuat rumus oleh Heyer (Austria) sebagai berikut: JTT = ia + GS – NG P dimana: JTT Ia GS NG P
= Jatah tebang Tahunan (m3) = riap tahunan (m3) = tandon tegakan lapangan (m3) = tegakan yang diharapkan, diperoleh dari tabel tegakan atau data empirik = jangka waktu perencanan (tahun)
d. Kombinasi Luas dan Volume Pengaturan hasil berdasarkan kombinasi luas dan volume dapat melengkapi kebaikan masing-masing. Oleh karena itu, dapat memecahkan sebagian besar masalah yang dihadapi dalam pengaturan hasil. 2. Pengaturan Hutan Tidak Seumur Hutan tidak seumur terdiri atas tegakan-tegakan yang memiliki pohonpohon yang berbeda umur pada tiap tegakan atau pada tegakan-tegakan tersebut terdapat tiga atau lebih kelas umur yang tercampur pada setiap tegakan. Metode silvikultur yang akan melestariakn sifat-sifat hutan tidak seumur adalah tebang seleksi atau tebang pilih.
118 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Suatu hutan dikatakan memiki aturan tidak seumur apabila terdapat distribusi umur yang ideal dalam setiap tegakan. Di dalam hutan yang demikian, jumlah areal tebangan tahunan adalah sama dengan banyaknya tahun dalam siklus tebangan. Banyaknya variasi umur pohon-pohon dalam suatu areal tebangan tahunan adalah sama dengan siklus tebang. Umur dari pohon-pohon pada setiap areal penebangan tahunan berbedabeda satu sama lain sebanyak jumlah tahun dalam siklus tebangan. Jelas bahwa jumlah pohon-pohon muda akan lebih banyak dari pohon-pohon tua pada setiap areal tebangan tahunan. Pohon-pohon secara sendiri-sendiri atau kelompok pohon-pohon diseleksi dan ditandai pada suatu tegakan tidak seumur pada interval-interval siklus tebangan. Pohon-pohon yang ditandai untuk ditebang didalam tegakan tidak seumur adalah: jenis pohon yang tidak dikehendaki, pohon rusak atau pertumbuhan tidak memadai, jenis pohon yang diinginkan dan telah masak tebang, dan pohon-pohon yang menghalangi atau merintangi pertumbuhan spesies yang lebih baik. Jumlah pohon-pohon pada setiap kelas diameter dalam suatu tegakan dapat dilukis dengan kurva “De Liocourt”. Kurva ini digambar dari Hukum “De Liocourt” yang menyatakan bahwa” perbandingan (ratio) “q” antara jumlah pohon-pohon di dalam kelas-kelas diameter yang berdekatan didalam suatu tegakan tidak seumur adalah suatu bilangan tetap. Dengan demikian, kurva “De Liocourt” ini berbentuk J terbalik sebagai berikut:
119 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
N
Kelas Diameter Rumus dari “Hukum De Liocourt” adalahsebagai berikut: y = k e-ax dimana: y k e x
= jumlah pohon per kelas diameter = suatu konstanta dari suatu distribusi kelasdiameter yang khas = 2,71828183 = kelas diamter Hubungan yang terdapat pada kurva di atas dipergunakan sebagai petunjuk untuk menentukan distribusi jumlah dan besarnya pohon-pohon yang diinginkan dalam tegakan tidak seumur. Selama interval siklus penebangan, pertumbuhan pohon-pohon dalam tegakan tidak seumur menggeser kurva tersebut di atas ke kanan seperti terlihat pada Gambar berikut:
120 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
N
Kelas Diameter Penebangan
pada
setiap
interval
siklus
tebangan
bertujuan
mengembalikan kurva yang baru terbentuk kepada posisinya semula. Dalam praktek, terdapat dua macam cara yang umum digunakan sebagai petunjuk penebangan pada setiap interval tebangan sehingga keadaan atau sifat-sifat tegakan tidak seumur dapat dipertahankan. Kedua cara tersebut adalah “ Metode Stok Tumbuh Tersisa” dan “Metode Pertumbuhan”. a. Metode Stok Tumbuh Tersisa (The Residual Growing Stock Method) Hal utama yang harus diperhatikan dalam metode ini adalah stok tumbuh yang harus ditinggalkan pada saat penebangan. Stok tumbuh tersisa seharusnya memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
Tersebar merata pada seluruh kelas diameter yang diinginkan
Terdiri atas spesies-spesies yang diinginkan
Spesies-spesies yang diinginkan tersebut di atas sedang tumbuh dengan baik
121 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Stok tumbuh tersisa tersebut menggunakan dengan penuh ruang tumbuh selama interval siklus penebangan (sampai penebangan berikutnya). Penebangan pada suatu interval siklus tebangan dapat dilihat pada kurva De Liocourt berikut:
N
Penebangan pada suatu interval siklus tebangan
Kelas Diameter
Pendekatan berdasarkan stok tumbuh tersisa tidak memberikan indikasi mengenai distribusi penebangan diantara berbagai spesies pohon. Metode ini biasanya dipakai dalam pengelolaan hutan yang masih ekstensif. Misalnya hutan alam yang belum tertata, terdiri atas banyak jenis yang tidak semuanya komersial. Dalam hal ini hanya pohon dengan dimater tertentu yang ditebang, karena pohon-pohon yang berdiameter kecil belum laku dijual. Pohon-pohon yang kecil diharapkan akan menyusun tegakan yang akan ditebang pada rotasi berikutnya, dengan syarat pohon-pohon tersebut tidak mengalami kerusakan pada waktu dilakukan penebangan pada rotasi pertama. Besarnya Jatah Tebangan Tahunan dirumuskan sebagai berikut: 122 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
JTT = Growing stock pada saat ini – growing stock sisa yang diinginkan Petunjuk untuk menentukan besarnya growing stok sisa yang diinginkan pada setiap kelas diameter pada setiap tipe hutan dapat diperoleh dari data hasil penelitian. Sebagai contoh adalah table petunjuk Arbogast untuk kayu daun lebar sebagai berikut:
Kelas Diameter (inci) 4 5 6 7 8 9 10
Basal Area Sisa (fit2) 2,7 2,9 2,9 3,2 3,1 3,5 3,8
Kelas Diameter (inci) 11 12 13 14 15 16 17
Basal Area Sisa (fit2) 4,0 3,9 4,6 5,3 4,9 5,6 4,7
Kelas Diameter (inci) 18 19 20 21 22 23 24 +
Basal Area Sisa (fit2) 4,3 5,9 4,4 4,8 5,3 2,9 3,1 85,8
Contoh: Diketahui data potensi hutan sebagai berikut, dengan panjang rotasi 80 tahun, dan siklus tebang 10 tahun.
Kelas Diameter (inci) 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
35,9 29,9 21,9 12,6 13,4
Luas Bidang Dasar 3,1 4,1 4,4 3,4 4,7
12,6 10,9 7,2 6,3 5,5 5,0
5,5 5,9 4,8 5,0 5,1 5,4
Jumlah Pohon
90 71 98
Kelas Diameter (inci) 15 16 17 18 19
117 125 100 104 107 112
20 21 22 23 24 + Jumlah
Volume (ft3)
123 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
4,1 3,5 4,2 4,0 3,0
Luas Bidang Dasar 5,0 4,9 6,6 7,1 5,9
2,9 2,1 2,3 1,9 2,9 192,1
6,3 5,1 6,1 5,5 9,1 113,0
Jumlah Pohon
Volume (ft3) 106 103 139 149 124 133 106 127 115 191 2,217
Berdasarkandata tersebut di atas, besarnya JTT dapat ditentukan dengan bantuan tabel berikut: Data Aktual Hutan
Kelompok Diameter
Jumlah Pohon
Luas Bidang Dasar 2 (ft )
(1) 4–6 7–9 10 – 12 13 – 15 16 – 18 19 – 21 22 + Jumlah
(2) 87,7 39,6 29,4 14,6 11,7 8,0 7,1 192,1
(3) 11,6 13,6 15,7 15,5 18,6 17,3 20,7 113,0
Kadang-kadang
Volume 3 (ft )
(4) 90 286 329 325 391 363 433 2.217
prosedure
JTT per Acre Rata Luas Bidang Dasar per Pohon 2 (ft ) (5) 0,132 0,352 0,643 1,062 1,590 2,162 2,916 -
di
atas
Volume Ratarata per Bidang Dasar
Bidang Dasar Sisa (Petunjuk Arbogast)
Bidang Dasar 2 (ft )
Jumlah Pohon
Volume Tebangan 3 (ft )
(6) 7,8 21,0 20,0 21,0 21,0 21,0 21,0 -
(7) 8,5 9,8 11,7 14,8 14,6 15,1 11,3 85,8
(8) 3,1 3,8 4,0 0,7 4,0 2,2 9,4 27,2
(9) 23,5 10,8 6,2 0,7 1,5 1,0 3,2 47,9
(10) 24 80 80 15 84 21 67 371
dipersingkat
dengan
menggunakan
pendekatan tebangan total (total cut approach) sebagai berikut:
Luas bidang dasar per acre pada saat ini Luas bidang dasar sisa yang diingikan Luas bidang dasar yang akan ditebang per acre
= 113,0 ft2 = 85,8 ft2 = 27,2 ft2
Volume yang akan ditebang per acre dapat diestimasi sebagai berikut: 27,2 ------ x 2.217 = 534 ft2 113,0 Pendekatan ini tidak memberikan indikasi distribusi diameter pohon yang akan ditebang. b. Metode Pertumbuhan Karena kelestarian dapat berarti tebangan tahunan harus sama dengan riap tahunan, maka volume kayu yang ditebang dapat dihitung dari pertumbuhan (riap berjalan) untuk
seluruh kawasan hutan produktif. Inilah
landasan metode pertumbuhan.
124 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Metode ini kurang menentu dan memerlukan banyak pertimbangan subyektif dari pengelola hutan dan orang yang memberi tanda bagi kayu yang akan ditebang. Secara konsepsional, metode ini sangat sederhana, yaitu: Volume yang ditebang = pertumbuhan x faktor “f” Faktor “f” dapat sama dengan 1, lebih besar dari 1, atau kurang dari 1. Hal-hal yang diperhatikan dalam metode ini adalah sebagai berikut:
Hubungan antara stok tumbuh pada saat ini dengan stok tumbuh yang dikehendaki. Apabila stok tumbuh sekarang terlalu rendah maka faktor “f” seharusnya dikurangi untuk membentuk stok tumbuh. Apabila stok tumbuh sekarang terlalu tinggi maka faktor “f” seharusnya ditambah untuk mengeluarkan stok tumbuh yang berlebihan.
Penyebaran ukuran pohon dalam tegakan. Konsentrasi pohon-pohon dalam suatu batas ukuran diameter yang sempit menunjukkan suatu kecenderungan ke arah tegakan seumur. Dalam keadaan demikian, kita harus memilih secara hati-hati dan cermat data pertumbuhan sebelum faktor “f” dipakai.
Kondisi tegakan. Apabila banyak sekali pohon-pohonan yang masak tebang maka faktor “f” seharusnya ditambah. Metode pengaturan hasil yang menggunakan pertumbuhan sebagai dasar penentuan JTT telah berkembang, seiring dengan berkembangnya rumusrumus
untuk
menaksir
pertumbuhan
(riap
berjalan)
seperti
Paulson,
Hundershagen, Meyer, dan Grosenbaugh. Sebagai contoh akan dikemukakan dua rumus dari latar belakang perkembangan yang berbeda, yaitu rumus Hundershagen (Jerman) yang diciptakan pada abad ke 19, dan rumus Meyer (Amerika Serikat) yang diciptakan pada tahun 1952. Rumus Hundershagen: JTT
= GS x (NY/NG
dimana: JTT GS
= Jatah Tebang Tahunan (m3) = Tandon tumbuh (Actual Growing stock) (m3)
125 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
NY NG
= Riap atau hasil kayu menurut tabel normal (m3/ha) = Tandon tumbuh (Growing stock) menurut tabel normal (m3/ha)
Rumus Meyer: Vn = Vo (1 + It) – a x (1 + Im)n - 1 Im dimana: Vn Vo It Im A N
= volume growing stok yang diharapkan di masa datang = volume growing stok sekarang = compound rate untuk riap dan ingrowth seluruh tegakan = compound rate untuk riap dan tegakan yang komersial untk ditebang = volume tebangan tahunan = jumlah tahun yang dipakai dalam periode penaksiran
Rujukan: Davis, K.P. 1978, Lawrence. S. D., K.N. Johnson. 1987; Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1997; Leuschener. W. A. 1984. Latihan Soal-Soal
126 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
BAB VII Wilayah Pengelolaan Provinsi
1. Perencanaan Kehutanan 2. Pengelolaan 3. Litbang, Diklat Luh 4. Pengawasan
ANALISIS KEPUTUSAN MANAJEMEN HUTAN Pengurusan
Wilayah Pengelolaan Kabupaten
Unit Pengelolaan
Pengelolaan
1. 2. 3. 4. 5.
Tata hutan Pemanfaatan Rehabilitasi Perlindungan Konservasi
Kawasan ada Hak
Pokok Bahasan
Kriteria Kelembagaan
tdk ada Hak : AnalisisKawasan Keputusan Manajemen Hutan
IUPHHK Ijin Lain
Kawasan Konflik
Tujuan Umum
: Memahami dasar-dasar pengambilan keputusan manejemen hutan
Tujuan Instruksional Khusus
: Selesai mempelajari Bab VII, mahasiswa/i mampu: (1) menjelaskan kerangka kerja untuk membuat keputusan, (2) merumuskan masalah pengelolaan hutan.
A. Kerangka Kerja untuk Membuat Keputusan Peran pokok bagi seorang manajer hutan adalah membuat keputusan, memilih berbagai rangkaian alterntif kegiatan. Namun demikian, prasyarat untuk memilih adalah manajer tersebut harus memiliki persepsi bahwa setiap situasi dan issu-issu membutuhkan suatu keputusan. Situasi suatu masalah dapat bersifat jelas nyata seperti industri penggergajian butuh bahan baku kayu, populasi rusa menurun, atau seseorang memiliki perkara hukum untuk menghentikan penggunaan herbisida dalam proses regenerasi hutan. Masalah dapat pula bersifat tidak jelas atau tidak kentara seperti, tingkat suku bunga investasi pembangunan hutan meningkat, kekurangan logs ukuran tertentu kemungkinan terjadi pada 10 tahun ke depan, dan lain-lain. Menyadari 127 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
masalah-masalah tersebut adalah tidak susah, dibutuhkan antisipasi dan respon untuk membuat masalah tersebut menjadi jelas. Pemahaman oleh manajer hutan atas masalah-masalah penting tersebut akan menyebabkan pengelolaan hutan yang efektif. Kebebasan menentukan persepsi atas situasi suatu masalah akan menjadi dasar untuk membuat keputusan yang bijaksana. Untuk mendetailkan suatu masalah dibutuhkan kuantifikasi dan artikulasi terhadap tujuan pemilik lahan hutan dan faktor-faktor pembatas terhadap aktivitas manajer hutan. Tak kalah pentingya pula bahwa penentuan alternatif solusi terhadap suatu masalah membutuhkan identifikasi terhadap pilihan-pilihan rasional yang ada. Biasanya,
manajer
yang
sukses
adalah
manajer
yang
telah
mengidentifikasi dengan benar hal-hal yang terkait dengan tujuan-tujuan, issuissu, dan keterbatasan sumberdaya. Kesuksesan seorang manajer hutan apabila mampu mengidentifikasi dengan benar masalah-masalah yang relevan dengan
tujuan-tujuan,
memberikan
alternatif
issu-issu, solusi
dan
yang
keterbatasan
dapat
dikerjakan
sumberdaya
dan
(workable)
dan
menguntungkan (profitable). Apabila tidak banyak kesalahan terhadap alternatif solusi tersebut (bad decision) maka manajer dapat dengan mudah untuk menelusuri faktor-faktor penyebab apabila terdapat masalah pada tahap awal pelaksanaan kegiatan pengelolaan. Mensetting masalah untuk membuat keputusan melalui proses identifikasi masalah adalah sesuatu yang harus dipelajari dengan baik oleh seorang manajer. Masalah memiliki suatu struktur dan prosedur yang sistematis untuk menjelaskan struktur tersebut.
B. Pernyataan Masalah dan Penulisan Persamaan Pernyataan
masalah
adalah
satu
set
pernyataan
verbal
yang
menggambarkan hubungan timbal balik suatu masalah. Contoh, perhatikan tiga pernyataan verbal yang menggambarkan masalah reboisasi berikut ini:
128 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
1. Tersedia anggaran sebesar $ 500,000 setiap tahun untuk melakukan penanaman secara manual, menggunakan mesin, atau melali udara (aerial methods) pada areal bekas tebangan. 2. Biaya rata-rata untuk penyiapan lahan dan persemaian untuk penanaman secara manual sebesar $ 365 per acre, menggunakan mesin sebesar $ 310 per acre, dan aerial seedling sebesar $ 245 per acre. 3. Kombinasi dari tiga metode penanaman tersebut dapat digunakan tetapi biayanya lebih besar dibanding dilakukan secara manual Untuk merubah tiga pernyataan tersebut menjadi suatu persamaan linier, harus ditentukan variabel dan koefisiennya. Misalkan: b
= anggaran tahunan dalam $ adalah sebesar $ 500,000
X1 = luas areal yang ditanami dengan cara manual X2 = luas areal yang ditanami dengan menggunakan mesin X3 = luas areal yang ditanami dengan menggunakan aerial mesin a1 = biaya penanaman dengan cara manual $ 365/acre a2 = biaya penanaman dengan menggunakan mesin $ 310/acre a3 = biaya penanaman dengan cara aerial $ 245/acre dengan menggunakan variable dan koefisien tersebut di atas, kita dapat menulis tiga pernyataan masalah tersebut ke dalam sutu persamaan implisit sebagai berikut: a1X1 + a2X2 + a3X3 = b atau secara eksplisit sebagai berikut: 365 X1 + 310 X2 + 245 X3 = $ 500,000 (1) Persamaan linier di atas menggambarkan kombinasi X1, X2, X3 yang menggunakan seluruh anggaran sebesar $ 500,000. Seandainya, diasumsikan bahwa seluas 500 acre yang ditanam secara manual, 270 acre ditanam menggunakan mesin, dan 1000 acre dengan aerial adalah salah satu kemungkinan kombinasi metode reboisasi yang akan memberikan kepuasan dengan jumlah anggaran yang ada. Cek kemungkinan kombinasi tersebut, dengan memasukkan variabel yaitu, X1 = 500 , X2 = 270, X3 = 1,000. Substitusi nilai-nilai varibel ke dalam persamaan sebagai berikut: 129 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
365 X1 + 310 X2 + 245 X3 = 500,000 365 (500) + 310 (270) + 245 (1,000) = 500,000 182,500 + 83,700 + 245,000 = 500,000 511.200 ≠ 500,000 Hasil cek di atas, menunjukkan bahwa kombinasi tersebut tidak memberikan hasil yang memuaskan. Bagaimana kombinasi yang memuaskan?
C. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah mencakup satu seri tahapan langkah-langkah dan menggunakan secara konsisten beberapa terminologi penting. Terminologi tersebut adalah decision maker, problem goals, goal criteria, activities, decision variable, problem solution, objective function, constrain, resources constrain, decision maker goal constrains, policy and regulation constraints, problem statement, dan feasibility. 1. Decision Maker Decision maker, yaitu orang yang menetapkan konteks masalah dan membuat keputusan yang dibutuhkan terhadap masalah yang telah ditetapkan. Decision maker tersebut adalah pemilik lahan hutan atau manajer hutan yang diberi kewenangan oleh pemilik lahan untuk melakukan aktivitas
pengelolaan
hutan, memilih kebijakan atau aktivitas apa yang akan dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang ada dan bertanggung jawab terhadap pilihan tersebut. Tujuan dan faktor-faktor pembatas yang relevan dengan masalah harus dipertimbangkan oleh decision maker. 2. Goals Tujuan (goals) merefleksikan apa yang ingin dicapai oleh decision maker. Pada dasarnya suatu masalah dapat mencakup lebih dari satu tujuan yang relevan dengan masalah tersebut. Tujuan sering dinyatakan dalam pernyataan umum seperti:
untuk meningkatkan pendapatan
untuk menciptakan kestabilan ekonomi lokal
untuk menyenangkan atau memuaskan
130 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
untuk menyediakan bahan baku untuk pabrik
untuk menyediakan barang dalam jumlah yang lebih banyak pada jangka waktu yang panjang
untuk membangun jlan dari sini ke sana dengan dampak lingkungan yang minimal
atau tujuan dapatlebih sepsifik seperti:
untuk menciptakan income sebesar $ 50,000 per tahutan selama 10 tahun
untuk memproduksi kayu sebanyak 1,000,000 m3 per tahun dari lahan yang dikelola
untuk memaksimumkan profit
3. Goal Criteria Kriteria tujuan (goal criteria)
adalah ukuran numerik yang ditentukan
untuk menyatakan apakah aktivitas-aktivitas dari pembuat keputusan (decision maker) mendukung tujuan. Untuk mengarahkan tujuan kita harus menemukan suatu kriteria yngmengukur pencapaian tujuan. Contoh: Tujuan: untuk menigkatkan pendapatan Kriteria: pendapatan menigkat setiap tahun dibanding endapatan pada saat ini Tujuan: untuk meningkatkan produksi kayu Kriteria: jumlah kayu yang diproduksi setiap tahun Tujuan: untuk menumbuhkan pohon secara efisien Kriteria: persentase rata-rata pengembalian asset dan dana yangdiinvestasikan dalam menumbuhkan pohon. Terdapat beberapa tujuan yng sulit untuk menentukan kriterianya Contoh: Tujuan: untuk menyenangkan Kriteria: indeks kesenangan, jumlah orang yang sakitkepla setiap tahun Tujuan: memelihara keindahan lingkungan Kriteria: indeks kualitas keindahan (1 – 10) Adanya kriteria yang cocok untuk merepresentasikan tujuan akan memudahkan untuk menguji apakah tujuan dapat dicapai secara operasional. 131 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Manajemen hutan diarahkan kepada tujuan serbaguna ”multiple use”
akan
tetapi sampai saat ini tidak ada kriteria yang telah disepakati untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan tersebut. Multiple use adalah satu
contoh tujuan
jangka pnjangengelolaan hutan yang belum ditemukan kriterainya secara operasional. Perusahaan
swasta
umumnya
memiliki
tujuan
untuk
menjaga
keberlanjutan kepemilikan, stabilitas pendapatan, keamanan supply kayu, atau menjamin untuk tidak tidak terjadinya krisis keuangan. 4. Actiities and Decision Varibles Ide tentang aktivitas dan variabel keputusan (Actiities and Decision Varibles) dapat dengan mudah dibangun dengan suatu contoh. Andaikan suatu masalah yaitu alokasi anggaran pada proyek yang berbeda untuk meningkatkan kesempatan rekreasi pada suatu areal hutan. Tujuan proyek adalah untuk memaksimalkan kesempatan peluang baru berekreasi pada suatu kawasan yang diukur dengan kriteria yaitu penambahan jumlah hari kunjungan (visitor day) pada areal hutan rekreasi yang telah dibangun. Aktivitas adalah jenis atau macam proyek atau sesuatu yang dapat dilakukan untuk membantu mencapai tujuan. Sedangkan variabel keputusan adalah menggambarkan jumlah dari setiap jenis aktivitas yang dilakukan. Untuk masalah rekreasi hutan di atas diasumsikan tiga jenis aktivitas yang dipertimbangkan sebagai berikut: Aktivitas Membangun campsites Memangun boat ramps Membangun trails
Varibel Keputusan X1 jumlah campsites yang dibangun X2 jumlah boat ramps yang dibangun X3 jumlah mile trails yang dibangun
5. Problem Solution Solusi masalah (problem solution) adalah gabungan dari sejumlah aktivitas yang dipilih untuk mencapai tujuan pembuat keputusan (decision maker). Suatu solusi terdiri atas sejumlah tertentu variabel keputusan. Terdapat toga solusi atas contoh masalah rekreasi yaitu:
132 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Aktivitas
Variabel Keputusan
Membangun campsites Memangun boat ramps Membangun trails
X1 X2 X3
A 100 10 0
Solusi B 50 5 30
C 50 0 70
Solusi A misalnya terdiri atas membangun 100 campsites, 10 boat ramps, dan 0 miles trail. 6. Objective Function Fungsi tujuan (objective function) adalah suatu pernyataan matematis dari suatu tujuan yang mengkombinasikan kriteria dari tujuan tersebut dengan variabel keputusan dari suatu masalah. Secara normal, fungsi tujuan ditetapkan untuk membantu pembuat keputusan (decision maker) untuk memaksimalkan sesuatu seperti keuntungan,
pendapatan, atau volume tebangan atau
meminimumkan sesuatu seperti biaya, resiko,atau kerugian. Untuk contoh rekreasi maka: Tujuan: memaksimumkan kesempatan rekreasi pada kawasan hutan Kriteria: tambahan jumlah pengunjung Varibel keputusan: jumlah unit campsites, boat ramps, dan trails yang dibangun (Xi). Fungsi tujuan dapat ditulis sebagai berikut: Maksimumkan Z dimana
Z = u1X1 + u2X2 + u3X3
dengan: Z = jumlah total tambahan pengunjung setiap tahun ui = tambahan pengunjung per unitaktivitas setiap tahun Xi = jumlkah aktivitas yang dilakukan Disini, Z adalah nilai dari fungsi tujuan, pada kasus ini diberikan kriteria yang tepat terhadap tujuan tersebut dan dapat dihitung untuk setiap kemungkinan solusi. Jika nilai ui diketahui, fungsi tujuan dapat ditulis secara eksplisit. Apabila diketahui u1 = 100, u2 = 500, dan u3 = 100, kita dapat tulis sebagai berikut:
133 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Maksimasi Z dimana
Z1 = 100 X1 + 500 X2 + 100 X3
Nilai fungsi tujuan untuk masing-masing dari tiga contoh solusi masalah yang dikemukakan di atas adalah: Z (A) = 100 (100) + 500 (10) + 100 (0) = 15.000 Z (B) = 100 (50) + 500 (5) + 100 (30) = 10.500 Z (C) = 100 (50) + 500 (0) + 100 (70) = 12.000 Solusimasalah yang dipilih adalah yang memiliki nilai Z yang paling tinggi. Oleh karena itu, fungsi tujuan mengarahkan untuk memilih keputusan melalui kombinasi variabel keputusan yang memungkinkan untuk menentukan satu keputusan yang terbaik terhadap pencapaian fungsi tujuan. 7. Constraints Pembatas
(constraints)
adalah
segala
sesuatu
yang
membatasi
pencapaian tujuan. Pembatas adalah selalu ada pada setiap masalah dan perlu diidentifikasi apabila ingin mencoba untuk menyelesaikan suatu masalah dengan baik. Pada suatu masalah, pembatas dpat berupa pembatas input dan output. Pembatas pada umumnya muncul dari tiga sumber yaitu: keterbatasan sumberdaya (resource limitation), tujuan pengambil keputusan (decision maker goal), dan faktor-faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah. Setiap dari tiga sumber pembatas tersebut dapat merupakan gabungan dari pembatas input dan output. a. Resource constraints: meliputi pembatas fisik, teknologi, dan ekonomi yang jumlhanya terbatas, dan macam variabel keputusan yang dapat dipilih sebagai solusi masalah. Ketersediaan anggaran, lahan, tenaga kerja, dan waktu merupkan input poduksi yang umumnya menjadi faktor pembatas. Kembali ke masalah masalah rekreasi, jika jumlah maksimum anggaran yang dapat dibelanjakan untuk konstruksi adalah sebesar $ 60,000, maka faktor pematas anggaran ini dapat ditulis dalam bentuk pertidaksamaan sebagai berikut: c1X1 + c2X2 + c3X3 ≤ 60,000 134 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
dimana c1 adalah biaya konstruksi perunit pad setiap jenis fasilitas. Jika c 1 = $ 5,000, c2 = $ 8,000, dan c3 = $ 1,500, maka pembatas anggaran dapat ditulis secara eksplisit sebagai berikut: 5,000 X1 + 8,000 X2 + 1,500 X3 ≤ 60,000 Persamaan di atas merupakan persamaan gabungandari aktivitas-aktivitas yang tidak melebihi angaran yangtersedia yaitu $ 60,000. b. Decision maker goal:
Seperti yang telah didiskusikan pada bagian fungsi
tujuan, pembuat keputusan secara khas memiliki dua atau lebih tujuan yang relevan. Apabila hanya satu yang dapat digunakan sebagai pedoman fungsi tujuan, maka yang lain harus diformulasikan sebagai pembatas jika hal itu secara formal menytu ke dalam masalah tersebut. Contoh: Untuk memaksimumkan output dari rekreasi hutan, pembuat keputusan mempunyai dua tujuan, menyediakan peluang rekreasi backconutry. Campsites
tidak
menyediakan
peluang
rekreasi
backcountry,
tetapi
dibutuhkan oleh penggunan bckcountry dan boat ramp yaitu rata-rata sebnyak 50 pengguna boat ramp per tahun. Semua pengguna trails membutuhkan backcountry yaitu rata-rata sebanyak 100 pengguna per mile setiap tahun. Kita dapat menyatakan fungsi tujuan yang kedua yaitu maksimisasi Z2, total pengunjung backcountry, dimana: Z2 = 0 X1 + 50 X2 + 100 X3 Untuk memperlakukan suatu tujuan sebagai pembatas, nilai dari tujuan tersebut harus ditentukan. Andaikan Z1 merefleksikan total peluang rekreasi dipilih sebagai pedoman fungsi tujuan dan Z2 mrefleksikan peluang rekreasi pada backcountry dispesifikasi sebagai sesuatu yang dimiliki untuk mencapai nilai minimal $ 3,000. Kemudian formulasi masalah tersebut adalah sebagai berikut:
135 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Formulasi 1 Maksimasi Z1 Z1 = 100 X1 + 500 X2 + 100 X3 Dengan faktor pembatas adalah Z2 ≥ 3,000 atau 0 X1 + 50 X2 + 100 X3 ≥ 3,000 Selanjutnya, apabila Z2 dipilih sebagai pedoman fungsi tujuan, dimana Z 1 merupakan pembatas utama. Jika Z1 dispesifikasi menjadi minimal 5,000 mka masalah kedua adalah: Formulasi 2 Maksimasi Z2 dimana Z2 = 0 X1 + 50 X2 + 100 X3 Z1 ≥ 5,000
Dengan faktor pembatas
atau 100 X1 + 500 X2 + 100 X3 ≥ 5,000 Julah dari formulasi masalah mungkin meningkat dengan cepat menjadi tiga, empat, atau lebih tujuan dimasukkan ke dalam masalah. Mensetting level minimum atau maksimum terhadap suatu tujuan sebagai yang
diperlakukan
sebagai
pembatas
bukanlah
pekerjaan
mudah.
Bagaimana pembuat keputusan mengetahui bahwa minimum 3,000 barang backcountry yangharus disediakan? Spesifikasi ini merupakan keputusan nilai dan harus diputuskan oleh pembuat keptusan. Bahkan pembatas tujuan tersebut diset pada level yangberbeda untuk melihat apa yang terjadi terhadap nilai fungsi tujuan tersebut. Jika Z2 diset secara sukses pada level 2,000, 3000, dan 4,000 berapa nilai maksimum dari Z 1 yang diperoleh pada setiap kasus? Analisis sensitifitas dapat menyediakan informasi yang berguna terhadap keputusan akhir. Memilih tujuan untuk direpresentasikan ke dalam fungsi tujuan merupakan suatu keputusan penting pada saat terdapat tujuan yangbersifat ganda 136 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
(multiple goals). Keputusan terbaik biasanya akan berbeda pada setiap formulasi masalah yang berbeda dan biasanya tidak cukup waktu dan uang untuk menganalisis masalah lapangan yang kompleks untuk semua formulasi yang mungkin dan permutasi level minimum atau maksimum dari pembatas tujuan. Normalnya, tujuan yang terpenting adalah untuk memaksimumkan salah satu dari pendapatan, keuntungan, atau tingkat output agregat, dan hal itu harus ditentukan untuk setiap masalah. c. Policy and regulatory constraints: Kelompok ketiga dari pembatas adalah pembuat keputusan terikat oleh hokum, praturan, kebutuhan politik, dan pngaruh-pengaruh eksternal laianya. Banyak pembatas tersebut disetting pada level minimum untuk output tertentu. Misalnya, manajer wod land memiliki kuota kayu bulanan yang harus disupply ke penggergajian, kebijakan perusahaan tidak mengizinkan menjual kayu ke pembeli dari luar. Pembatas dapat pula terkait dengan input dan teknologi seperti tidak lebih dari 10% wilayah DAS dapat ditebang pada stiap dekade, peraturan lokal bahwa suatu areal campground tertentu akan dibangun, atau herbisida tidak diizinkan digunakan. Pada masalah rekreasi hutan, kebijakan pada level yang lebih tinggi dapat memberi harapan untuk membangun privat campground dengan membatasi pembangunan
public campground tidak lebih dari 40 unit, mengenali kontrk
yang ada pada saat ini untuk membangun paling sedikit 1 boat ramp, dan mengimplementasikan keputusan sebelumnya
untuk memangun paling sedikit
10 campsites baru pada campground tersebut. Pembatas kebijakan ini dapat ditulis sebagai berikut: Maximum campsites X1 ≤ 40 Minimum campsites X1 ≥ 10 Minimum bot ramps X2 ≥ 1 8. Problem Statement Pernyataan masalah formal (formal problem statement) didefinisikan sebagai semua variabel keputusan dan tujuan spesifik, fungsi tujuan, dan semua persamaan
pembatas
yang
dibutuhkan
oleh
pembat
keputusan
untuk
menggambarkan maslaha secara sempurna. Untuk menyimpulkan contoh kita 137 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
(rekreasi), pernyataan masalah formal menggunakan formula pertama yang telah disajkan sebelumnya, terdiri atas 6 persamaan liier ditambah pembatas kebijakan dari variabel keputusan. Tujuan: Maksimasi Z1, dimana: a. Fungsi tujuan :
Z1 = 100 X1 + 500 X2 + 100 X3
b. Anggaran:
5,000 X1 + 8,000 X2 + 1,500 X3 ≤ 60,000
c. Tujuan Backconutry:
50 X2 + 100 X3 ≥ 3,000
d. Maximum campsites:
X1 ≤ 40
e. Minimum campsites:
X1 ≥ 10
f. Minimum bot ramps:
X2 ≥ 1
dimana
X1 = jumlah campsites yang dibangun X1 ≥ 0 X2 = jumlah boat ramp yang dibangun X2 ≥ 0 X3= jumlah mile trails yang dibangun X3 ≥ 0
9. Feasibility Pembatas masalah membutuhkan kelayakan alternatif solusi. Pernyataan sederhana, solusi adalah “layak” jika semua pembatas masalah ditemukan atau memuaskan. Sebaliknya, solusi ”tidak layak” apabila satu atau lebih pembatas masalah tidak memuaskan.
138 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n