Serial Buku Spiritual Ringan Lintas Agama
Seri 1:
“m a y a b a” mati yang baik
Oleh
ida bagus gede mudita email:
[email protected]
1
Daftar Isi Mayaba, Mati Yang Baik...............................................................................1 Daftar Isi............................................................................................................2 Ucapan Terimakasih.....................................................................................3 Kata Pembuka.................................................................................................4
Sembilan Materi Inti Untuk Mati Yang Baik.........................14 1. Logika Dan Naluri. .............................................................................. ..........14 2.Pengenalan Awal Tentang MATI, Hukum Alam Yang Patut.........35 3. Cara Untuk Akrab Dengan MATI, Dari Layat Sampai Ke .............54 4. Bersih-bersih Pikiran, Permainan Alam Yang Menyenangkan....58 5. Persiapan Menuju MATI Yang Baik , Berakhir Di Sisi Tuhan......69 6. Membaca Wajah Untuk Mencari Jodoh? ...........................................71 7. Bagaimana Kotoran Pikiran Masuk Ke Dalam Pikiran ............74 8. Kotoran Pikiran ( Korpik ), Penyebab Kehancuran.......................128 9. Empatbelas Kotoran Pikiran, Ringan Beberapa Dijinjing..........136 *Korpik 1: Iri, Sirik Atau Dengki.....................................................................137 *Korpik 2: Benci, Bukan Benar-BENar CInta, Tetapi...........................140 *Korpik 3: Dendam, Bagusnya Memang Dipendhem...........................146 *Korpik 4: Kecewa, Bisa Hilang Dengan Ketawa...................................147 *Korpik 5: Tidak Sabaran, Sekarang Bilang, Sekarang.....................149 *Korpik 6: Cemburu, Macem-maCEM Kok DiBURU.............................152 *Korpik 7: Egois, Keakuan, Karena Aku Adalah Tuan........................154 *Korpik 8: Loba, Serakah. Lawan Dari Pemurah..................................155 *Korpik 9: Possesif, Tak Ada Yang Bisa Dibawa MATI........................156 *Korpik 10: Tega, Sebelum MATI-rasa AndaMasih.................................203 *Korpik 11: Sombong, Tong Kosong Tak Ada Isinya............................205 *Korpik 12: Takut, Mengintai Hingga Ke Liang Kubur......................206 *Korpik 13: Malas, Enggan, Belum Masuk Sudah Keluar...................215 *Korpik 14: Fanatik, Kenikmatan Sesaat Yang Menyesatkan..........219 Kata Penutup: Kendala Terberat Ternyata Hanya Enteng........224 Motto: Perenungan....................................................................................250 Potret Penulis:...............................................................................................ii
2
“JALAN TUHAN MENUJU TUHAN”? Dan adakah yang telah mampu menterjemahkan bahwa, “jalan MANA PUN yang akan kita ikuti dengan tekun, niscaya SEMUANYA akan bermuara ke tempat “KEBENARAN YANG SATU”, yaitu ke sisi Tuhan?
Menyadari akan perbedaan dan keberagaman kemampuan diri umat manusia, dan atau umat dari suatu agama (-untuk ukuran komunitas yang lebih kecil-), sudah pada saatnyalah bagi para penganut, kelompok-kelompok penganut, dan para tokoh seagama, untuk masing-masing dengan niat yang tulus, terus berupaya mengkaji ulang hal-hal “yang belum satu” dalam pemahaman dan atau penerapan kaidah-kaidah agama yang dianutnya, duduk bersama dengan hati yang jernih, untuk mencari pemahaman hakiki yang satu! Masalah sebenarnya hanyalah sederhana, yaitu: “Siapa yang harus memulainya lebih dulu?” Ya, NIAT BAIK nan BERSIH inilah yang kiranya diperlukan saat ini! Niat yang benar-benar murni untuk MEMURNIKAN ajaran agama yang tertuang dalam kaidahkaidahnya. Titik! Dari sekian banyaknya kaidah-kaidah yang dimiliki oleh setiap agama, tentulah dimaksudkan Tuhan agar penganutNYA tetap “SATU” dalam pemahaman, kemudian saling bahu-membahu pula dalam usaha dan kiat-kiat penerapannya! Tuhan tidak pernah “MENGANGANKAN” apalagi “MENGINGINKAN” kalau kaidah-kaidah agama (tertentu) yang diturunkanNya, akan DITAFSIRKAN secara BERBEDA bahkan BERTENTANGAN oleh dan dalam kelompok (tertentu) umatnya masing-masing! Agama adalah “bahan ajar” sekaligus “sarana belajar” dengan berbekal tulus-ikhlas, tanpa paksaan dan tekanan (-sekecil dan sehalus apa pun-), tekun dan bersabar, agar dapat menyimak, mengkaji dan memahami ”INTI SARI KEMURNIAN AJARAN TUHAN” dengan benar!
10
Ucapan Terimakasih Sedianya halaman ini tidak saya tulis karena beberapa alasan. Salah satunya yang terkuat adalah karena dari beberapa nara sumber dan teman-teman diskusi saya, bahkan sejumlah tokoh yang telah menyemangati saya dengan ketulusan hati mereka, semuanya tidak menginginkan saya akan mengucapkan secara tertulis kata terimakasih saya kepada mereka, apalagi lewat media yang nantinya akan beredar luas. Menurut mereka, pengalaman dan pendapat yang mereka sampaikan kepada saya itu, hanyalah ibarat setitik air yang menetes di samudera luas kehidupan yang tidak terbatas, dan penuh dengan ragam fenomena semesta yang selalu muncul dan menyusul tiada hentinya. “Semoga sumbangsih spirit\ual kemanusiaan yang sedikit ini kiranya dapat memberikan manfaat, atau setidaknya boleh dipakai sebagai pembanding bagi siapa pun yang berkenan untuk menyimaknya”. Itulah yang sebenarnya menjadi harapan besar mereka! “Cukup saya katakan lewat hati, maka mereka semua akan dapat menangkap vibrasi ucapan terimakasih saya, walau hanya sebatas tatapan mata atau dengan sekedar senyum tipis sekali pun”. Seperti inilah pesan yang dapat saya tangkap dari bahasa tubuh mereka. Namun untuk menuntaskan keinginan saya, sambil memohon maaf atas segala kekhilafan, dan mengucapkan terimakasih saya yang tulus, maka saya pun memutuskan untuk mengambil dan memanfaatkan semua kesempatan baik ini meski hanya dengan menyebut INISIAL nama-nama mereka saja, yaitu: Isnoe, Ar, Budi, Utta, Kinar, Rahul, Anjar, Dyahneiny, Essy, Widy, dan semua teman-teman diskusi saya yang tidak dapat saya sebutkan satu- persatu. Sungguh baru kali ini saya merasa yang mendapat pelajaran terbaru cara berucap terimakasih yang unik ini. Ternyata bukan semata kata-kata yang dapat mengungkapkan begitu banyak makna! Nah, apalagi? 3
Kata Pembuka Buku ini bukanlah buku pelajaran atau buku bacaan penunjang agama tertentu, melainkan sebuah buku yang coba mengusung sedikit nilai-nilai spiritual, yang lama telah saya himpun, karena dorongan hati kecil saya yang sangat kuat dalam upaya mencari jawab hakiki mengenai beberapa hal menyangkut nilai-nilai kehidupan, yang menurut saya masih banyak sekali menyimpan misteri. Tegasnya, masih saja ada pertanyaan-pertanyaan yang tersisa yang belum bisa terjawabkan, dan selalu saja ada pernyataan-pernyataan dari beberapa sumber yang menurut logika saya belum bisa saya terima, kalau tidak boleh saya katakan tidak bisa menerimanya sama sekali. Salah satu dari beberapa fenomena menarik itu adalah pernyataan atau penjelasan tentang masalah-masalah di sekitar MATI. Itu pula sebabnya maka saya hendak berbagi tentang masalah itu dengan anda melalui buku ini! Awalnya saya berpikir, bahwa karena MATI dan keMATIan itu berlaku universal bagi semua makhluk hidup, dan yang khusus untuk manusia, tidak tergantung dari asal-usul ras, suku, adat istiadat, dan agama, maka sedianya saya ingin mengulasnya dengan semurni-murni logika saya. Namun, ditengah usaha mencari jawab yang dapat “memuaskan kehendak pikiran saya itu”, ternyata masalahnya tidaklah sesederhana yang saya bayangkan, malah justru memicu dan memacu masalah baru berikutnya yang menimbulkan masalah pula. Singkatnya, masalah ini pun seolah “beranak-pinak” masalah-masalah baru, yang ternyata kadang lebih berat dari masalah mula utamanya. Sungguh saya tidak pernah menduga, bahwa membahas tentang MATI ini ujung-ujungnya membawa-bawa juga masalah yang berkaitan dengan agama dan Tuhan! Dua hal ini selalu saja muncul pada saat saya hendak mencoba masuk 4
KAIDAH-KAIDAH atau AYAT-AYAT, atau apa pun namanya yang terdapat dalam KITAB SUCI suatu agama, itu pastilah SEGALA SESUATU YANG SANGAT LUHUR DAN SUCI, serta mengandung nilai-nilai KEBENARAN MUTLAK dari AJARAN-AJARAN TUHAN. Hanya pada tingkat “kemampuan cerna” MANUSIA sajalah yang memang berbeda karena masing-masing TENGAH dalam usaha dan proses MENUJU “ke sana”, untuk pada akhirnya akan DAPAT meyakininya dengan TUNTAS , dan (baru akan) BERHENTI pada “PEMAHAMAN BENAR YANG SATU”! “TAN HANA DHARMA MANGRUA, BHINNEKA TUNGGAL IKA”, begitulah “Mpu Tantular” berujar dalam bukunya “Nagara Kertagama” untuk menegaskan bahwa “TIDAK ADA KEBENARAN YANG MENDUA, (dan) BERAGAM atau BERBEDA (tetapi) ITU SATU (jua)”!
Ungkapan di atas kiranya masih sangat relevan untuk diterapkan atas masalah ini. Bahkan inilah sesungguhnya wujud dari rasa terimakasih dan syukur kita kepada Tuhan yang telah “menunjuk” beberapa “Utusan Tuhan” sejak ribuan tahun silam untuk “menerima wahyu-wayuNya” yang kemudian dipercaya untuk membawa, mengenalkan, dan mengembangkannya dalam wujud beragam (-atau beberapa-) agama kepada seluruh umat manusia di dunia ini. “Tuhan Maha Mengetahui” akan perbedaan watak, budaya, dan adat istiadat manusia di setiap “Areal” (wilayah, tempat), “Era” (masa, waktu), dan “Realitas” (kondisi nyata) kehidupannya, sehingga “Maha Bijaksanalah Tuhan” yang telah menurunkan bermacam agama melalui “utusanNya” masing-masing, agar manusia dapat menentukan pilihan yang sesuai dengan kenyamanan “NURANI BATINNYA” masing-masing pula. Namun mampukah umat manusia yang sepanjang kurun waktu ribuan tahun silam ini telah belajar tentang kesucian nurani dan kecintaannya kepada Tuhan, menunjukkan “perilaku” terimakasih kepada Tuhan atas segala ciptaanNya, termasuk dapat “MENANGKAP MAKNA” terhadap diturunkanNya beberapa agama ke dunia ini? Bahwa, “semua agama” yang diturunkan Tuhan ke dunia ini, adalah MASING-MASING merupakan
9
Perbedaan pemahaman terhadap suatu kaidah agama memang sangat lumrah terjadi diantara para penganut, bahkan diantara kelompok penganut dari SATU agama tertentu sekali pun! Jika hal ini sampai dibiarkan berlarut-larut, maka ini akan makin luas merugikan bukan saja banyak kelompok penganut, tetapi juga dapat berdampak lebih dalam lagi kepada hal-hal yang akan bertendensi mencederai kesucian dan kemurnian agama itu sendiri! Bayangkan kalau dari “setiap SATU kaidah agama”, bukan saja hanya dipahami secara “berbeda”, tetapi bahkan sampai saling “bertentangan” pula oleh masing-masing penganutnya! Ini akan dapat berdampak sangat luas dan dalam terhadap keutuhan dan kerukunan INTERN umat agama yang bersangkutan! Pembelaan terhadap sebuah keyakinan sangatlah bervariasi dan tidak jarang bisa menjurus ke arah “perseteruan fisik”. Ini adalah sebuah “ilustrasi” tingkah laku yang sungguh sangat tercela dan terlalu “amat” kekanak-kanakan! Ingatlah bahwa keyakinan itu adalah sebuah produk pikiran, yang terbesar dipengaruhi oleh logika pribadi ”orang-perorang”!
ke dalam ranah “spiritual” seperti sekarang ini. Dan ternyata, ini sangat tidak mungkin untuk dihindari atau dihindarkan! Hanya karena dari mula saya memang berniat untuk mencari jawabnya, maka semua ini saya anggap sebagai sebuah “tantangan”, dan bukan sebagai “halangan” untuk dapat saya mengatasinya. Saya pun masih tetap bersikukuh untuk membahas masalah ini dengan lebih mengutamakan peran analisa logika, walau saya menyadari tidak akan bisa luput samasekali dari sentuhan kaidah-kaidah agama dan Tuhan, seperti yang telah saya katakan tadi! Bahkan kedua hal ini pun pada akhirnya mendapat porsi yang “terkesan cukup banyak” dalam usaha saya untuk membantu “mengurai” masalah pokok yang bertalian dengan judul buku ini! Dan untuk keperluan itu pulalah anda saya harapkan agar dapat bersabar dan jangan sampai terbawa hanyut oleh uraian tambahan saya yang panjang tentang “beberapa hal lain”, sebelum pada akhirnya masuk kepada pokok permasalahan yang sebenarnya!
Nah, berpijak dari kesamaan dan satunya pemahaman kita terhadap “kekuasaan Tuhan”, maka secara logika, mestinya perbedaan pemahaman ini tidak perlu terjadi atau dibesarbesarkan apalagi sampai menimbulkan ajang perseteruan fisik yang “memalukan” itu!
Kemampuaan seseorang untuk dapat menerima, menolak, atau menjelaskan sebuah fenomena, memang sangat beragam. Ada yang cepat, ada yang lamban, ada juga yang selalu raguragu. Dalam sebuah cengkrama dengan empat atau lima orang teman, misalnya, seringkali tanpa kita sadari awal mulanya, pembicaraan tiba-tiba saja mengarah kepada hal-hal yang menyinggung masalah keyakinan, yang kerap “memancing” silang pendapat atas pemahaman kita dalam menyikapi sebuah fenomena kehidupan. Obyek pembicaraan pun kadang bisa berubah menjadi sangat menarik, apalagi setelah “dibumbu” dengan gurauan atau ejekan pertemanan yang bisa menambah akrabnya suasana. Namun tidak jarang bahwa pembicaraan pun kadang bisa menjadi serius dan “memanas”, apalagi kalau diulas berdasarkan atas ragam pandangan dari berbagai latar belakang keilmuan, pengalaman hidup, analisa logika, bahkan kerap dengan menyitir dan memapar kaidah-kaidah agama dan
8
5
LOGIKA itu terbentuk oleh adanya PENGETAHUAN dan PENGALAMAN, sedangkan pengetahuan dan pengalaman bisa berkembang karena adanya berbagai FENOMENA dan MASALAH KEHIDUPAN. Akan halnya fenomena dan masalah, terjadinya adalah akibat adanya KESADARAN MANUSIA untuk BERINTERAKSI DENGAN ALAM SEMESTA, termasuk SEMUA ISI dan RAGAM KEHIDUPAN di dalamnya, yang kesemuanya itu tidak lain TERCIPTA OLEH KEKUASAAN TUHAN!
pemahaman tentang Tuhan yang beragam pula. Akhirnya perbedaan pendapat pun terjadi, dan seperti biasa, jawabnya adalah selalu “klasik”, bahwa “perbedaan” memang bukan untuk disamakan atau dipersamakan, disatukan atau dipersatukan! Namun, PERBEDAAN ini pun, tetap BUKAN merupakan suatu “KESALAHAN”, apalagi “KEJAHATAN”, karena dalam banyak hal justru “PENGAKUAN” terhadap adanya perbedaan ini, nantinya akan dapat menjadi “PENGUKUHAN” atas kemungkinan munculnya “SEBUAH SATUAN KEKUATAN BARU” yang sangat dahsyat, yang bisa saja muncul dari dalam diri anda! Saya mohon anda cermat dalam menyimak “TENDENSI” pernyataan yang BERKONOTASI SANGAT POSITIF INI, dan yang mungkin memerlukan sedikit “PERENUNGAN“ anda pula!
Jika suatu ketika anda terlibat dalam “diskusi-diskusi kecil” seperti ini, maka peranserta anda tentu sangat diharapkan, setidaknya untuk bisa memberikan pendapat atau tanggapan tentang masalah yang sedang dibicarakan. Masa anda hanya akan menjadi “pendengar setia” terus? Sesekali anda mesti ikut “angkat bicara” pula dan mengemukakan pendapat anda. Entah dengan menyetujui pendapat yang ini atau yang itu, kan? Atau bahkan anda mungkin mempunyai pendapat lain? Tetapi pernahkah anda sampai membohongi diri hanya untuk sekedar berpura-pura “merasa” YAKIN seperti yang lain, yang agaknya lebih dulu “bisa” atau “telah” YAKIN akan sesuatu hal? Lalu di hadapan mereka anda pun “manthuk-manthuk” tanda meng “iya” kan (-yang sesungguhnya hanya untuk menyatakan bahwa “benar” anda masih ragu?-). Pernahkah pula anda merasa yang seperti orang bodoh karena “lambat mengerti” akan pembicaraan yang sedang berkembang dalam diskusi itu? Atau, “diam-diam” merasa bahwa anda memang benar-benar “telmi”, alias “telat mikir” dalam menyimak arah pembicaraan yang sedang hangat-hangatnya berlangsung? 6
Diskusi-diskusi spiritual semacam ini sepertinya sangat pantas dirintis dan dikembangkan dalam setiap cengkrama keluarga, karena kecuali dapat membina hubungan komunikasi kekeluargaan yang lebih dan makin akrab, juga bagus untuk mengembangkan, mengasah, atau memantapkan pemahaman yang benar tentang banyak hal, seperti berbagai fenomena kehidupan aktual yang sedang dihadapi keluarga, bahkan sampai membahas, memperdalam dan makin memperkuat pengertian terhadap kaidah-kaidah keagamaan sekali pun! KALAU satu atau sebuah KAIDAH AGAMA hanya perlu untuk DIHAFAL atau untuk DIUCAPKAN DENGAN BENAR saja, mungkin kebanyakan orang akan bisa melakukannya sendiri dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, tetapi untuk dapat MEYAKINI maknanya, ini adalah merupakan HAL LAIN BERIKUTNYA yang harus dituntaskan pula, dan ini sangat tidak mungkin untuk ditentukan batas waktunya! Membahasnya secara bersama apalagi dalam suasana keakraban “GUYUB KEKELUARGAAN”, tentulah akan banyak membantu menuju ke arah itu!
Kendala yang muncul kemudian, bukanlah hanya sekedar pada masalah bahasa atau tulisan yang “tersurat” dalam kalimatkalimat, melainkan lebih kepada makna yang “tersirat“ dari pernyataan-pernyataan kalimat dalam kaidah-kaidahnya! Keyakinan yang diperoleh dengan “USAHA SADAR” seperti inilah yang sesungguhnya akan memberikan hasil “PEMAHAMAN DIRI” yang paling sesuai dengan LOGIKA, kukuh dan kekeh menjadi PENDIRIAN atau KEYAKINAN, dan yang BUKAN SAMASEKALI sebagai sesuatu yang hanya “DITELAN MENTAH-MENTAH”, atau bahkan LANGSUNG “dipercaya tanpa diyakini”! Bukankah lebih baik “MEYAKINI” dulu, baru kemudian “MEMPERCAYAINYA”?
Kecuali itu, hal ini sebenarnya adalah suatu pertanda bagus, terutama sekali dalam usaha untuk menghindari terjadinya pemahaman ajaran agama secara “membabi buta”, mendua, meniga, atau beragam, terhadap “satu” kaidah tertentu! 7