1
Latar Belakang Masalah Era globalisasi yang berimplikasi terhadap pola sosial budaya masyarakat yang semakin terbuka dan kritis Pegawai Negeri sipil sebagai pelayan publik dituntut untuk dapat mempertahankan kredibilitasnya, melaksanakan fungsi pelayanan
masyarakat
yang
lebih
profesional
dan
tanggap
terhadap
permasalahan yang dihadapi. Sesuai dengan tujuan otonomi daerah, maka pendayagunaan Pegawai Negeri Sipil sebagai ujung tombak penyelenggaraan pemerintahan yang nota bene adalah tugas pelayanan masyarakat harus ditangani dan dikelola secara cermat, terintegrasi dan berkesinambungan agar tidak menimbulkan permasalahan-permasalahan. Salah satu langkah kongkrit yang harus di usahakan untuk mempertahankan kredibilitas tersebut adalah dengan meningkatkan kinerja dan potensi yang ada pada Pegawai Negeri Sipil seoptimal mungkin. Dalam kondisi sekarang, peningkatan potensi dan kinerja seorang pegawai negeri sipil sebagai aparatur daerah tidak seperti yang di inginkan atau diharapkan, hal ini dapat dilihat atau terjadi pada PNS di kota Banjarmasin. Secara teori peningkatan potensi dan kinerja PNS berjalan sesuai yang direncanakan, seperti perbaikan aspek-aspek kehidupan masyarakat dan peningkatan tingkat pendidikan para PNS. Akan tetapi secara fakta dari segi hasil atau kenyataan dilapangan peningkatan potensi dan kinerja pegawai tidak berdampak luas terhadap fungsinya pada masyarakat dan masyarakat pun tidak merasakan dampak kemajuan atau kepuasan dari fungsi pemerintah. Contoh permasalahan
ini
terlihat
seperti
“Walikota
Banjarmasin,
mengingatkan
apraturnya untuk memperbaiki kinerjanya, terutama yang menyangkut pelayanan kepada masyarakat.” (Banjarmasin Post, 2005), “Kasus-kasus korupsi para
2
pejabat pemkab dan pemko Kal-Sel” (Banjarmasin Post, 2005), “Prihatinnya pelayanan kesehatan keluarga miskin di Banjarmasin”(Banjarmasin Post, 2005). Kurangnya potensi dan kinerja tersebut berdasarkan pengamatan dari penulis dan fenomena yang terjadi pada Pegawai Negeri Sipil di Kalimantan Selatan, kota Banjarmasin khususnya, disebabkan mereka (rata-rata) meningkatkan kinerja dan kredibilitas atau potensi hanya untuk mencapai harga diri yang di inginkan. Padahal idealnya pencapaian harga diri dapat di iringi dengan peningkatan potensi dan kinerja yang ada dalam diri mereka. Seperti yang di ungkapkan Maslow (1994) bahwa mengembangkan harga diri yang positif bukan hanya soal membuat diri anda sendiri bahagia. Jjika anda berharap untuk bebas, itu adalah suatu tugas yang harus anda lakukan dengan sungguh-sungguh. Jika tidak, anda hanya dapat mengharapkan harga diri yang rendah. Pernyataan lain dari Maslow (Winardi, 2001) mengemukakan bahwa kebutuhan pokok akan penghargaan ini, apabila dimanfaatkan secara tepat, dapat menyebabkan timbulnya kinerja ke-organisasian yang luar biasa. Copersmith (Borualogo, 2004) menyebutkan harga diri atau self esteem adalah sebagai penilaian pribadi yang dilakukan individu mengenai perasaan berharga atau berarti dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya. Baron dan Bryne (Mayasari dan Rochman, 2000) mengungkapkan harga diri adalah sebagai penilaian terhadap diri sendiri yang sering dilakukan seseorang, yang dapat dibuat dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki orang lain sebagai pembanding sejauh mana diri itu berharga dan dapat dihargai. Seiring dengan itu, Mccall dan Simmons (Alicia dan Peter, 2002) mengungkapkan self esteem adalah suatu alasan atau prinsip dalam perilaku seseorang untuk suatu hal yang penting dalam interaksinya.
3
Faktor yang mempengaruhi pencapaian harga diri seorang PNS di kota Banjarmasin yaitu jabatan (kekuasaan) atau motif berkuasa. Maslow (As’ad 1982) mengungkapkan tentang tingkatan kebutuhan manusia tersebut dengan five hierarchy theory, yang salah satunya adalah esteem needs (kebutuhan akan harga diri). Situasi yang ideal adalah apabila prestige itu timbul akan prestasi, orang berprestasi biasanya juga akan jadi penguasa. McCelland (Mulyani, 1984) mengungkapkan bahwa seseorang yang memiliki motif berkuasa yang tinggi cenderung memiliki harga diri yang tinggi. Sejalan dengan itu, Lindgren (Mulyani, 1984) berpendapat motif berkuasa lebih mementingkan martabat (prestige). Dapat dikatakan bahwa motif berkuasa ini adalah dorongan untuk menguasai dan untuk memanipulasi orang lain untuk dapat mencapai martabat. Dalam kamus psikologi kekuasaan adalah kemampuan atau otoritas (wewenang) untuk mengontrol orang lain, kekuatan sosial atau derajat dimana seseorang memiliki suatu sifat. Veroff (Mulyani, 1984) mengungkapkan motif berkuasa adalah suatu disposisi yang mengarahkan perilaku menuju ke penguasaan
dan
pengontrolan
orang
lain.
Lindgren
(Mulyani,
1984)
menggambarkan motif berkuasa sebagai suatu kebutuhan untuk mendominasi dan untuk mengontrol orang yang dikuasai. Maslow (1994) mengemukakan semua orang dalam masyarakat kita (dengan beberapa pengecualian patologis) mempunyai kebutuhan dan keinginan akan penilaian mantap, berdasar dan bermutu tinggi, akan rasa hormat diri, atau harga diri, dan penghargaan dari orang lain. Kebutuhan tersebut diwujudkan dalam bentuk, status, ketenaran dan kemuliaan, dominasi, pengakuan, perhatian, arti yang penting, martabat, atau apresiasi. Pemenuhan kebutuhan akan harga diri
4
membawa perasaan percaya pada diri sendiri, nilai, kekuatan, kapabilitas, dan kelaikan, perasaan dibutuhkan dan bermanfaat bagi dunia. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di uraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empiris hubungan antara motif berkuasa dan harga diri pada Pegawai Negeri Sipil di Kota Banjarmasin. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian secara ilmiah adalah memperkaya penelitian-penelitian psikologi, khususnya penelitian-penelitian di bidang psikologi sosial dan Psikologi lainnya pada umumnya. Hasil penelitian yang diperoleh agar dapat berguna sebagai referensi, bahan kajian atau pembanding bagi peneliti-peneliti berikutnya yang ingin mengkaji masalah yang berkaitan dengan harga diri dan motif berkuasa pada Pegawai Negeri Sipil. Secara
praktis
manfaat
penelitian
ini
adalah
diharapkan
instansi
pemerintahan akan mendapatkan informasi tentang adanya motif berkuasa pada Pegawai Negeri Sipil di Banjarmasin untuk mencapai harga diri. Apa tujuan mereka untuk memperdalam ilmu pengetahuan (pendidikan) dan meningkatkan pangkat atau jabatan. Selain itu sebagai aparatur daerah yang mempunyai fungsi pelayanan terhadap masyarakat untuk dapat meningkatkan kredibilitasnya. Harga Diri 1. Pengertian Harga Diri (Self Esteem) Harga diri adalah salah satu aspek kepribadian yang berperan bagi pemenuhan kebutuhan–kebutuhan seseorang. Karena dari harga diri orang akan dapat melihat dirinya. Copersmith (Borualogo, 2004) mendefinisikan harga diri
5
atau self esteem adalah sebagai penilaian pribadi yang dilakukan individu mengenai perasaan berharga atau berarti dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya. Secara garis besar harga diri adalah evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, dimana individu menyakini dirinya sendiri sebagai individu yang mampu, penting dan berharga. Bacham dan O’Malley (Leslie, 1997) mengungkapkan harga diri adalah sebagai penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri, bagaimana seseorang menganggap dirinya sendiri dari berbagai titik pandang yang berbeda-beda, apakah sebagai orang yang berharga atau tidak. Seiring dengan itu, Ziller (Robinson dan Sharver, 1973) mengatakan harga diri adalah suatu konsep yang pasti dalam kehidupan sosial individu. Baron dan Bryne (Mayasari dan Rochman, 2000) mengungkapkan harga diri adalah sebagai penilaian terhadap diri sendiri yang sering dilakukan seseorang, yang dapat dibuat dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki orang lain sebagai pembanding sejauh mana diri itu berharga dan dapat dihargai. 2. Ciri-Ciri Harga Diri Ciri-ciri orang yang memiliki harga diri yang tinggi berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh adalah: a. Berpotensi. Longmore dan Demaris (Alicia dan Peter, 2002) mengungkapkan seorang yang merasa dirinya berharga mempunyai kemampuan yang lebih baik dibandingkan yang menganggap dirinya tidak berharga, sekalipun dalam keadaan yang tidak menguntungkan tapi dapat berbuat efektif. Coopersmith (Borualgo, 1989) mengungkapkan individu yang mempunyai harga diri tinggi adalah individu yang puas atas kemampuan dirinya, akan bereaksi terhadap stimulus dari lingkungan.
6
b. Berhasil. Coopersmith (Borualogo, 1989) mengemukakan individu dengan harga diri yang tinggi adalah individu yang berhasil, dapat menyelesaikan tugas-tugas dan permasalahannya dengan baik. c. Memahami diri sendiri. Frey dan Carlock (Koentjoro, 1989) mengungkapkan orang dengan harga diri tinggi
mampu menghargai dan menghormati diri
sendiri, berpandangan bahwa dirinya sejajar dengan orang lain. Cenderung tak menjadi perfect, mengenali keterbatasan dan berharap untuk tumbuh. Memahami secara realistic,
mengetahui kekuatan dan keterbatasan diri,
berusaha meningkatkan dan memperbaiki diri. d. Mampu mengontrol diri. Coopersmith (Borualogo, 1989) menyatakan individu dengan harga diri tinggi mampu mengontrol perilaku dirinya. Baumeister, et al (Alicia dan Peter, 2002) mengungkapkan orang yang mempunyai harga diri yang tinggi biasanya mempunyai perasaan dan emosi yang stabil. e. Kritis. Coopersmith (Borualogo, 1989) mengemukakan orang yang memiliki harga diri merasa memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya, kritis terhadap permasalahan yang dihadapi. Sehingga mereka cenderung mampu menangani kritik-kritik yang ada dalam lingkungannya dan mampu mengekspresikan pendapatnya. 3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Diri Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi harga diri adalah: a Keluarga Adler (2004) mengemukakan Ibu adalah orang yang sering dikenakan pada seorang anak, orang yang dengan siapa kita biasanya menghabiskan tahuntahun kita yang paling mudah dipengaruhi, sehingga ajaran-ajaran yang positif dan negatif dapat dengan mudah diserap pada saat tersebut. Keadaan
7
keluarga yang kurang harmonis antara bapak, ibu, dan anak sangat mempengaruhi perkembangan anak dalam kehidupan sosialnya pada masa dewasa, dimana seorang anak mulai menginginkan kebebasan untuk mencari jati dirinya sendiri. Selain itu, tinggi rendahnya harga diri yang dimiliki oleh orang tua juga sangat mempengaruhi tinggi rendahnya harga diri seorang anak ketika berinteraksi terhadap lingkungan sosialnya (Adler, 2004). b Konsep dan Nilai-nilai Symond, dkk (Koentjoro, 1989) mengemukakan berkembangnya harga diri dimulai sejak kemampuan persepsi individu mulai berfungsi melalui sejumlah nilai yang didapat dari interaksi sosialnya. Apabila konsep dan nilai-nilai tersebut dalam konteks yang salah/negatif, maka seseorang akan mempunyai tingkat harga diri yang rendah dalam kehidupan sosialnya. Karena kebanyakan orang dewasa menganut konsep-konsep, nilai dan keyakinan yang salah, semua ini diteruskan melalui sikap, tindakan dan reaksi seperti suatu penyakit menular. c Eksternal Faktor eksternal biasanya berupa keinginan-keinginan/kebutuhan-kebutuhan yang ingin dicapai untuk dapat memperoleh dan meningkatkan gengsi atau harga diri. Maslow (1994) mengemukakan semua orang dalam masyarakat kita mempunyai kebutuhan akan rasa hormat diri, atau harga diri, dan penghargaan dari orang lain. Perwujudan kebutuhan tersebut seperti status, ketenaran dan kemuliaan, dominasi, pengakuan, perhatian, arti yang penting, martabat, atau apresiasi. Seiring dengan itu, Mulder (Mulyani, 1984) mengemukakan kaum tani di Asia Tenggara, termasuk petani Jawa untuk
8
mengangkat gengsi/martabat mereka memilih menjadi seorang pegawai negeri, bukan petani. d Kebudayaan Maslow (1994) mengemukakan dua kebudayaan yang berbeda dapat memberikan dua cara pemuasan suatu keinginan tertentu, seperti harga diri yang sama sekali berbeda. Dalam masyarakat yang satu, orang memperoleh harga diri karena menjadi pemburu yang tangguh; dalam masyarakat lainnya karena menjadi dukun obat ternama atau prajurit yang berani, atau seorang yang sama sekali tidak beremosi dan sebagainya. e Lingkungan Harga diri dapat dicapai melalui bagaimana kita dapat dapat berinteraksi dengan
lingkungan
dan
bagaimana
seseorang
dapat
menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang ada pada lingkungannya. Lingkungan meliputi sekolah, tempat bermain/nongkrong, dan tempat tinggal. Adler (2004) mengemukakan ajaran yang salah di sekolah, yang diberikan oleh guru akan berdampak pada perilaku yang negatif ketika seseorang berinteraksi dengan kehidupan sosialnya, dimana perilaku tersebut dapat menimbulkan perasaan rendah diri. Seiring dengan itu, Koentjoro (1989) mengemukakan akibat dari rasa frustasi individu karena merasa tidak mampu menghadapi berbagai macam masalah yang timbul dalam kehidupannya dan pelarian atas ketidakmampuannya yang negatif, maka individu akan mempunyai harga diri yang rendah. f Penampilan fisik. Masters dan Johnson (Mayasari dan Rochman, 2000) mengemukakan perubahan fisik yang diikuti dengan perubahan sosial dan psikologis yang
9
akan
membawa
perilaku
seseorang
dalam
menilai
diri
sendiri
dan
mensejajarkan ‘siapa saya’ dengan ‘bagaimana orang lain melihat saya’. Penilaian terhadap diri sendiri inilah yang membentuk harga diri seseorang berkaitan dengan penampilan fisik. Biasanya seorang laki-laki menunjukkan dengan penampilan kekuatan yang dimiliki pada orang lain, sementara seorang wanita menunjukkan kecantikan yang dimilikinya (Adler, 2004). Motif Berkuasa 1. Pengertian Motif Berkuasa Ahli-ahli psikologi berpendapat bahwa dalam diri individu ada sesuatu yang menentukan perilaku, yang bekerja dengan cara tertentu untuk mempengaruhi perilaku tersebut. Faktor penentu perilaku tersebut disebut juga degan motif. Menurut Sherif dan Sherif (Sarwono, 2002) menyebutkan motif adalah istilah generik yang meliputi semua faktor internal yang mengarah ke berbagai jenis perilaku yang bertujuan, semua pengaruh internal seperti kebutuhan (needs) yang berasal dari fungsi-fungsi organisme, dorongan dan keinginan, aspirasi, dan selera sosial yang bersumber dari fungsi-fungsi tersebut. Sejalan dengan itu, As’ad (1982; 1999) mengemukakan bahwa motif biasanya didefinisikan sebagai kebutuhan (need), keinginan (want), dorongan (drives), atau desakan hati (impuls) dalam diri individu. Motif diarahkan pada tujuan, yang mungkin sadar atau tidak sadar. Motif ini timbul dan menguasai aktivitas seseorang serta menentukan arah yang umum dari tingkah laku individu. Sherif dan Sherif (Sarwono, 2002) membagi motif menjadi dua berdasarkan asalnya, sebagai berikut :
10
a. Motif biogenik. Motif ini berasal dari proses fisiologik dalam tubuh yang dasarnya adalah mempertahankan ekuilibrium dalam tubuh sampai batasbatas tertentu dan proses ini disebut “homeostasis”. b. Motif sosiogenik. Motif ini timbul karena perkembangan individu dalam tatanan sosialnya dan terbentuk karena hubungan antar-pribadi, hubungan antarkelompok atau nilai-nilai sosial, dan pranata-pranata. Motif sosiogenik ini sangat tergantung pada proses belajar. McCelland (Safaria, 2004) mengungkapkan bahwa motif prestasi, motif afiliasi, dan motif berkuasa merupakan salah satu motif yang ada pada individuindividu yang disebutnya sebagai motif sekunder. Motif sekunder ini merupakan kebutuhan yang muncul akibat proses belajar, manusia memiliki kebutuhan ini diakibatkan hasil interaksi dengan lingkungan . Motif sekunder ini merupakan motif-motif yang sangat penting ditekankan dalam organisasi, dikembangkan, dan ditumbuhkan, karena motif-motif ini menentukan keberhasilan suatu organisasi. Seperti yang di ungkapkan oleh McCelland tentang motif sekunder yang mana salah satunya adalah motif berkuasa. Berkuasa berasal dari kata kekuasaan, menurut Zenden (Charles, 2000) menyebutkan kekuasaan adalah sebagai kemampuan seseorang atau kelompok untuk mewujudkan kehendaknya dalam hubungan antar manusia meskipun boleh jadi mengakibatkan penolakan dari orang atau kelompok lain. Weber (Soekanto, 1990) menyebutkan kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau kelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauankemauannya
sendiri,
dengan
sekaligus
menerapkan
tindakan-tindakan
perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu. Sejalan dengan
11
itu, Adler (As’ad, 1999) memandang bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk menggunakan atau mengatur aktivitas-aktivitas orang lain untuk memuaskan maksud-maksud seseorang. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain (As’ad, 1982). McCelland (Safaria, 2004) dengan teori-teorinya tentang motif berkuasa (nPo) mendefinisikan
kekuasaan
sebagai
kebutuhan
seseorang
untuk
dapat
mempengaruhi, mengatur, dan mengontrol orang lain. McCelland (Siagian, 1989) mengemukakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan menampakkan diri pada keinginan untuk mempunyai pengaruh terhadap orang lain, karena penelitian dan pengalaman memang menunjukkan bahwa setiap orang ingin berpengaruh terhadap orang lain dengan siapa Ia melakukan interaksi. Lindgren (Mulyani, 1984) mengemukakan motif berkuasa sebagai suatu kebutuhan untuk mendominasi dan untuk mengontrol orang yang dikuasai dan lebih mementingkan martabat (prestige). Dapat dikatakan bahwa motif berkuasa ini adalah dorongan untuk menguasai dan untuk memanipulasi orang lain untuk dapat mencapai martabat. Sejalan dengan itu, Veroff (Mulyani, 1984) mengungkapkan dalam mengontrol orang lain ini orang yang mempunyai motif berkuasa
yang
tinggi
juga
memanipulasinya.
Fenomena
individu
yang
mempunyai motif berkuasa ini adalah bahwa individu tersebut menganggap dirinya sebagai orang yang dapat membuat keputusan bagi orang lain. 2. Ciri-Ciri Motif Berkuasa McCelland (As’ad, 1999 dan Safaria, 2004) mengemukakan orang-orang yang memiliki motif berkuasa memiliki ciri-ciri, di antaranya adalah : a. Suka menolong. Orang yang memiliki motif berkuasa dalam hubungan organisasi berusaha untuk mengeksploitasi kawan kerjanya dan suka
12
menolong orang lain, karena dengan menolong akan merasa dirinya kuat dan yang ditolong adalah orang yang lemah. b. Aktif. Orang yang memiliki motif berkuasa biasanya suka masuk organisasi dan sangat aktif terhadap organisasi Ia berada. c. Mengumpulkan kekayaan. Pada orientasi kekuasaan orang-orang yang memiliki motif berkuasa suka mengumpulkan dan mencari barang-barang yang dianggap dapat menambah kekuatan dan kekuasaan pada dirinya, dan juga untuk dapat memenuhi kebutuhan yang diinginkan sebagai bentuk pemuasan diri. d. Mencerminkan prestige. Orang yang memiliki motif berkuasa berperilaku untuk mencerminkan martabat, dengan tujuan agar dirinya adalah seorang yang berharga, diakui, dihormati dan diterima oleh orang lain. e. Dominan. Orang yang mempunyai motif berkuasa yang tinggi akan menunjukkan sikap dominasi yang kentara atau sangat tampak seperti ingin menguasai forum, menjadi pemimpin, mengatur dan mempengaruhi orang lain, dan ingin pendapatnya diikuti orang-orang. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data numerik (angka) yang diolah dengan metode statistika. Metode pegumpulan data yang dilakukan adalah metode skala (alat ukur). Skala pengukuran yang digunakan adalah Skala Motif Berkuasa dan Skala Harga Diri yang dibuat sendiri oleh penulis. Subjek Penelitian Subjek penelitian yang di ambil adalah Pegawai Negeri Sipil pria dan wanita pada instansi pemerintahan yang ada di Kota Banjarmasin. Subjek yang dipilih
13
adalah dengan latar belakang pendidikan minimal SLTA atau yang sederajat yang telah bekerja minimal 4 tahun, dengan usia 22-60 tahun. Menurut penulis dengan latar belakang tersebut seorang PNS mulai paham, sudah paham dan sangat memahami sistem yang ada di Pemerintahan dan mempunyai ke inginan untuk berkuasa (menaikkan jabatan/pangkat) atau sudah pernah berkuasa (sebelumnya pernah mempunyai keinginan untuk menaikkan jabatan/pangkat). Pembahasan Hasil analisis data dengan analisa statistik korelasi Product Moment dari Pearson, menunjukkan bahwa besarnya koefisien korelasi antara variabel harga diri dan motif berkuasa adalah sebesar rxy = 0.569 dengan p= 0.000 atau p < 0.05. Pada tabel tanda ** menunjukkan bahwa koefisien korelasi tersebut signifikan pada taraf kepercayaan 99%. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara harga diri dan motif berkuasa pada Pegawai Negeri Sipil di kota Banjarmasin. Artinya Semakin tinggi harga diri yang dimiliki seorang PNS, maka semakin tinggi pula motif berkuasa yang dimiliki seorang PNS. Sebaliknya, semakin rendah harga diri seorang PNS, maka semakin rendah pula motif berkuasa seorang PNS. Hal ini menunjukkan hipotesis diterima. Dari hasil uji linearitas terhadap variabel harga diri dan motif berkuasa diperoleh hasil F = 53.169 dengan p = 0.000 karena p < 0.05 maka dapat dikatakan bahwa variabel harga diri dan motif berkuasa mempunyai korelasi yang linear, hal ini menunjukkan tinggginya harga diri seorang PNS searah dengan tingginya motif berkuasa seorang PNS. Subjek penelitian memiliki motif berkuasa untuk meningkatkan harga diri/memperoleh harga diri yang tinggi pada
14
instansi pemerintahan selama jenjang kariernya sebagai seorang pegawai negeri sipil. Berdasarkan nilai rata-rata empris skor harga diri subjek dan skor kategorisasi harga diri yaitu 120.17 ( 112 < X = 136 ), hal ini menunjukkan bahwa subjek penelitian memiliki tingkat harga diri yang tinggi. Sementara itu berdasarkan nilai rata-rata empiris skor motif berkuasa dan skor kategorisasi motif berkuasa yaitu 106.03 (83.6 < X = 106.4), hal ini menunjukkan bahwa subjek penelitian memiliki tingkat motif berkuasa yang sedang Kontribusi variabel motif berkuasa terhadap harga diri adalah 0.324. Hal ini menunjukkan bahwa motif berkuasa mempengaruhi harga diri sebesar 32.4% pada PNS kota Banjarmasin. Sisanya sebesar 67.6% merupakan faktor lain yang berasal dari dalam dan luar diri subjek penelitian yang memungkinkan memberikan pengaruh terhadap harga diri. Seperti yang dikemukakan oleh Maslow (1994) bahwa semua orang dalam masyarakat kita (dengan beberapa pengecualian patologis) mempunyai kebutuhan dan keinginan akan penilaian mantap, berdasar dan bermutu tinggi, akan rasa hormat diri, atau harga diri, dan penghargaan dari orang lain. Kebutuhan tersebut diwujudkan dalam bentuk, status, ketenaran dan kemuliaan, dominasi, pengakuan, perhatian, arti yang penting, martabat, atau apresiasi. Pemenuhan kebutuhan akan harga diri membawa perasaan percaya pada diri sendiri, nilai, kekuatan, kapabilitas, dan kelaikan, perasaan dibutuhkan dan bermanfaat bagi dunia. Seperti yang di ungkapkan Bapak Djaseran sekretaris Bappeda Kal-Sel dan beberapa temannya pada penulis, bahwa pencapaian jabatan bagi dirinya bukan dikarenakan faktor harga diri, tetapi lebih kepada bentuk prestasi.
15
Pegawai Negeri Sipil, khususnya yang ada di kota Banjarmasin, menurut Kabag Umum Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan bapak H. Husni, dan menurut beberapa subjek penelitian di kota Banjarmasin memang ada benarnya bahwa orang-orang di kota Banjarmasin memiliki motif berkuasa yang tinggi, seperti ingin menduduki jabatan yang penting dan ia akan melakukan apa saja untuk mencapai keinginan tersebut dan hal itu dilakukan karena pertimbangan sebuah nama/gengsi (martabat) yang ingin diraihnya. Namun ada juga pendapat dari Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Berdasarkan proses hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa hipotesis yang di ajukan penulis diterima atau terbukti, dengan kesimpulan : a. Ada hubungan antara motif berkuasa dan harga diri pada Pegawai Negeri Sipil di kota Banjarmasin. Hubungan tersebut positif, yang berarti semakin tinggi harga diri yang dimiliki seorang PNS di kota Banjarmasin maka semakin tinggi motif berkuasa yang dimiliki seorang PNS di kota Banjarmasin. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah harga diri yang dimiliki seorang PNS di Banjarmasin maka semakin rendah motif berkuasa yang dimiliki seorang PNS di Banjarmasin. b. Berdasarkan diskripsi statistik data penelitian nilai rata-rata empirik harga diri dan nilai rata-rata empirik motif berkuasa dapat diketahui bahwa Pegawai Negeri Sipil di Banjarmasin memiliki tingkat harga diri yang tinggi dan motif berkuasa yang sedang. c. Berdasarkan kontribusi variabel harga diri terhadap motif berkuasa dalam penelitian ini menunjukkan bahwa harga diri pada pegawai negeri sipil di kota
16
Banjarmasin memberikan sumbangan efektif sebesar 32.4 % terhadap motif berkuasa pada pegawai negeri sipil di kota Banjarmasin. 2. Saran a. Bagi subjek peneliti Berdasarkan latar belakang, teoritis penelitian dan hasil penelitian, Pegawai Negeri Sipil dengan tingkat harga diri yang tinggi harus mampu menggunakan motif berkuasa yang dimiliki dengan tujuan yang sesuai dengan hakekatnya. Dengan tingginya harga diri yang dimiliki seorang PNS di kota Banjarmasin, mereka harus mampu meningkatkan potensi dan kinerja mereka dan peningkatan tersebut untuk kepentingan umum, bukan hanya untuk diri sendiri. Kepada para pimpinan daerah dan pimpinan pemerintahan disarankan agar dapat mengelola dan mengamati secara cermat tujuan-tujuan yang di inginkan oleh para Pegawai Negeri Sipil ketika ingin meningkatkan potensi dan ketika ingin memperoleh kedudukan (jabatan) yang di inginkan. Saran ini juga ditujukan pada seluruh aparatur pemerintahan di seluruh Indonesia, baik yang ada di pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah. b. Bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti yang selanjutnya, disarankan dapat meneliti faktor-faktor lain yang mempengaruhi harga diri. Seperti faktor keluarga, prestasi, status ekonomi (kekayaan), dan faktor eksternal lainnya. Disamping itu dapat juga meneliti kebutuhan-kebutuhan apa saja yang yang dapat dipengaruhi oleh motif berkuasa. Disarankan juga dalam melakukan penelitian untuk lebih banyak melakukan observasi dan wawancara. Hal itu untuk dapat memperoleh data yang lebih detail dan mendalam.