LAPORANTAHUNAN SKIM HIBAH BERSAING
MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN E-PROCUREMENT DALAM MEWUJUDKAN TRANSPARANSI PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH DI SUMATERA UTARA Tahun Ke 2 (Dua) Dari Rencana 2 (Dua) Tahun Ketua NIDN Anggota I NIDN Anggota II NIDN
: Dra. Februati Trimurni, M.Si : 0012026602 : Dra. Asima Yanty Sylvania Siahaan, M.A, Ph.D :0026016404 : Dra. Dayana, M.Si :0028076003
Dibiayai oleh DIPA Direktorat Penelitian Pengabdian Kepada Masyarakat Tahun Anggaran 2015, sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Hibah Penelititan bagi Dosen Perguruan Tinggi Batch I Universitas Sumatera Utara Nomor: 120/SP2H/PL/Dit.Litabmas/II/2015, tangga 05 Pebruari 2015
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA NOVEMBER 2015 1
2
RINGKASAN Kebijakan e-procurement di Indonesia merupakan salah satu bentuk reformasi di bidang pengadaan yang tujuannya diantaranya untuk meningkatkan transparansi, efisiensi dan akuntabilitas dalam pengadaan barang/jasa. E-procurement dapat dilakukan dengan metode e-tendering dan e-purchasing dengan menggunakan e-katalog. Kajian mengenai model implementasi kebijakan e-procurement dalam mewujudkan transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di Sumatera Utara menjadi semakin mendesak dan relevan sehubungan dengan tuntutan dan kebutuhan pengadaan barang/jasa secara elektronik yang terus meningkat ditengah karakteristik Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai yang berbeda serta dinamika birokrasi lokal yang terbatas. Judul penelitian ini ”Model Implementasi Kebijakan e-Procurement Dalam Mewujudkan Tranparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara.” Di tahun pertama tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan model implementasi kebijakan e-procurement dalam mewujudkan transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Dengan menggunakan metode kualitatif ditemukan model implementasi kebijakan e-procurement terdiri dari tiga faktor yaitu landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia terutama berkaitan dengan kapasitas dan budaya organisasi. Penelitian di tahun kedua ini bertujuan melihat seberapa besar pengaruh model implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa. Karena itu digunakan metode kuantitatif untuk mencari besarnya pengaruh kedua variabel tersebut. Tujuan lainnya, mendeskripsikan tahapan atau proses e-procurement baik dengan menggunakan metode e-tendering maupun e-purchasing di tiga lokasi penelitian dan menjelaskan model implementasi kebijakan e-procurement bekerja dalam mewujudkan transparansi pengadaan barang/jasa. Dua tujuan penelitian terakhir ini menggunakan metode kualitatif dan pendekatan studi kasus. Karena itu dipilih Dinas Kesehatan Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai sebagai lokasi dari studi kasus penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi, dokumentasi dan studi pustaka. Capaian hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh model implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa di tiga lokasi penelitian sebesar 14.8%. Selain itu ketiga faktor dari model implementasi kebijakan eprocurement belum bekerja dengan optimal sehingga transparansi pengadaan belum sepenuhnya terwujud di tiga lokasi penelitian. Temuan lainnya, pengadaan dengan metode e-purchasing lebih diminati dari pada e-tendering di Dinkes Kabupaten/Kota di tiga lokasi penelitian. Hal ini karena metode e-purchasing dengan menggunakan ekatalog jauh lebih aman bagi pegawai yang bertanggung jawab di bidang pengadaan. -------Kata Kunci :Model Implementasi Kebijakan, e-procurement, transparansi
3
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian tahun kedua yang berjudul “Model Implementasi Kebijakan e-Procurement Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara”. Penelitian ini merupakan salah satu tugas dari Tri Dharma Perguruan Tinggi disamping pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat. Sumber dana penelitian ini berasal dari DIPA Universitas Sumatera Utara Tahun Anggaran 2014, sesuai dengan Surat Perjanjian
Pelaksanaan
Penugasan
Penelitian
Hibah
Bersaing
Nomor;
1082/UN5.1.R/KEU/2014, tanggal 17 Pebruari 2014. Dalam menyelesaikan penelitian ini penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1.
Bapak Prof.Dr.Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
2.
Bapak Dr.Ir. Harmein Nasution, MSIE selaku Ketua LP3M Bidang Penelitian USU Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari isi maupun teknik penyusunannya. Akhir kata penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Medan, November 2015 Penulis,
Dra Februati Trimurni, M.Si Dra Asima Yanty Sylvania Siahaan, M.A., Ph.D Dra Dayana, M.Si
4
DAFTAR ISI HALAMANSAMPUL HALAMAN PENGESAHAN RINGKASAN…………………………………………………………………………….….... i PRAKATA…………………………………………………………………………………..... ii DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….......iii DAFTAR TABEL…………………………………………………………………………...... v DAFTAR BAGAN......................................................................................................................vi DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………….....vii DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………………….......viii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………..........1 1.0 Latar Belakang Penelitian……………………………………………………………........... 1 1.1 Perumusan Masalah…………………………………………………………………............. 5 BAB II Model Implementasi Kebijakan dan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 2.0 Implementasi Kebijakan Sebagai Sebuah Model................................................................... 6 2.1 Bekerjanya Model Kebijakan Publik...................................................................................... 7 2.2 Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.................................................................. 9 2.3Pengaruh Model Implementasi Kebijakan E-Procurement Terhadap................................... 12 2.4 Hipotesis Penelitian................................................................................................................ 16 2.5 Definisi Konsep...................................................................................................................... 16 2.6 Definisi Operasional............................................................................................................... 17 2.7 Peta Jalan Penelitian............................................................................................................... 18 BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN…………………………………….......... 20 3.0 Tujuan Penelitian................................................................................................................... 20 3.1 Manfaat Penelitian.................................................................................................................. 20 BAB IV METODE PENELITIAN………………………………………………………........... 21 4.0Metode Penelitian Kuantitatif .........…………………………………………..……........... 21 4.0.1Populasi dan Sampel Penelitian ...........……………………………………….......... 21 4.0.2 Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………………........ 23 4.0.3Teknik Analisis Data ……………………………………………………………...... 23 4.0.4 Koefisien Determinan.................................................................................................. 23 4.1 Metode Penelitian Kualitatif................................................................................................... 25 4.1.1 Penentuan Informan.................................................................................................... 25 4.1.2 Teknik Wawancara...................................................................................................... 25 4.1.3 Teknik Observasi......................................................................................................... 25 4.1.4 Studi Kasus.................................................................................................................. 26 4.1.5 Teknik Analisis Data................................................................................................... 26 4.2 Catatan Penelitian................................................................................................................... 26 BAB V Model Implementasi E-Procurement..................................... ……………………......... 31 5.0Pengantar.....................………………………………………………................................... 31 5.1Deskripsi Lokasi Penelitian.................................................................................................... 32 5.1.0 Lokasi dan Wilayah Kota Medan................................................................................. 32 5.1.1 Lokasi dan Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai....................................................... 33 5.1.2 Lokasi dan Wilayah Kota Binjai.................................................................................. 33 5.1.3 Dasar Hukum Terbentuknya ULP Barang/Jasa di Tiga Lokasi Penelitian.................. 33 5.1.4 Dasar Hukum Terbentuknya LPSE di Tiga Lokasi Penelitian..................................... 34 5.2 Interpretasi dan Analisis Data................................................................................................ 35 5.3 Perubahan Terbaru Regulasi Pengadaan............................................................................... 42 5.4Organisasi Pengadaan ……………………………………………….................................... 44 5
5.4.0Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran....................................................... 44 5.4.1Pejabat Pembuat Komitmen........…………................................................................ 45 5.4.2Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan.............................................................. 47 5.4.3 Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan................................................................... 50 5.5Kebijakan e-Procurement Sebuah Reformasi Di Bidang Pelayanan……………..…........... 51 5.6 Pokja ULP dan PPK: Posisi Strategis di Era Keterbukaan?...……….................... .............. 53 5.7 Kebijakan e-Procurement: Sebuah Pandangan Pesimistis Dari Penyedia?.................... 58 5.8Transparansi dalam Implementasi E-Procurement di Provinsi Sumatera Utara.............66 5.9 E-Procurement di Dinas Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera Utara.............................. 85 5.9.0 E-Tendering.......................................................................................................... 86 5.9.1 E-Purchasing......................................................................................................... 87 5.9.2 Pengadaan Langsung............................................................................................. 91 5.9.3 E-Procurement di Dinkes Kabupaten/Kota........................................................... 92 BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA……………....................................................... 102 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................................... 103 7.0 Kesimpulan.................................................................................................................................. 103 7.1 Saran............................................................................................................................................ 107 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………............ 109 LAMPIRAN
6
DAFTAR TABEL
Tabel 1.0
Peta Jalan Penelitian..................................................................................... 18
Tabel 4.0
Instansi/Bagian Responden.......................................................................... 21
Tabel 4.1
Kota/Kabupaten Responden......................................................................... 21
Tabel 4.2
Jabatan Responden....................................................................................... 22
Tabel 4.3
Frekuensi Mengikuti Diklat.......................................................................... 22
Tabel 4.4
Usia Responden............................................................................................ 22
Tabel 4.5
Pendidikan Responden.................................................................................. 22
Tabel 5.0
Memahami Secara Umum Inti Perpres No. 54 Tahun 2010......................... 36
Tabel 5.1
Memahami Pasal Demi Pasal Perpres No. 54 Tahun 2010.......................... 36
Tabel 5.2
Penafsiran dan Pemahaman yang Berbeda Dari Pelaksanaan Perpres.......... 37
Tabel 5.3:
Infrastruktur Dalam Mendukung Kegiatan E-procurement........................... 37
Tabel 5.4
Penguasaan SDM Terhadap TI Berbasis Komputer...................................... 38
Tabel 5.5
Kekhawatiran Untuk Memiliki Sertifikasi Pengadaan.................................. 38
Tabel 5.6
Transparansi Pada Sistem Pengadaan Secara Elektronik.............................. 39
Tabel 5.7
Transparansi Pada Sistem Pengadaan Barang/Jasa...................................... 39
Tabel 5.8
Regulasi Tentang Pengadaan Barang/Jasa Yang Jelas................................. 40
Tabel 5.9
Infrastruktur Pengadaan Barang/Jasa Yang Memadai.................................. 40
Tabel 5.10
Pentingnya Peran Penyelenggara Pengadaan............................................... 41
Tabel 5.11
Model Summary............................................................................................. 41
7
DAFTAR BAGAN
Bagan 4.0
Tahapan Penelitian Tahun Kedua................................................................ 24
Bagan 5.0
Struktur Organisasi LPSE........................................................................... 34
Bagan 5.1
Perangkat ULP............................................................................................ 47
Bagan 5.2
Struktur Organisasi Pengadaan Melalui Penyedia Barang/Jasa.................. 50
8
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5.3
Alur Proses Rekanan Melalui Sistem LPSE.................................... 58
Gambar 5.4
LPSE Kota Medan: Nama Lelang, Agency, Tahap dan HPS........... 68
Gambar 5.5
Informasi Lelang di LPSE Kabupaten Serdang Bedagai................. 70
Gambar 5.6
Hasil Evaluasi Peserta Lelang di LPSE Kota Medan....................... 71
Gambar 5.7
Harga Penawaran di LPSE Kota Medan........................................... 72
Gambar 5.8
Informasi Pemenang Lelang di LPSE Kota Medan.......................... 73
Gambar 5.9
Regulasi Berkaitan Dengan e-Procurement di LPSE Kota Binjai.... 75
Gambar 5.10
Pengumuman Pengadaan di LPSE Kabupaten Serdang Bedagai...... 76
Gambar 5.11
Pengumuman Pemenang Lelang........................................................ 78
Gambar 5.12
Tahap Lelang Saat Ini........................................................................ 79
Gambar 5.13
Jumlah Peserta/Penyedia Yang Mengikuti Lelang............................ 81
Gambar 5.14
E-Catalogue Obat Pemerintah........................................................... 88
Gambar 5.15
Ruang LPSE Pemerintah Kota Medan.............................................. 95
Gambar 5.16
Ruang LPSE Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai..................... 95
Gambar 5.17
Ruang LPSE Pemerintah Kota Binjai................................................ 96
9
DAFTAR LAMPIRAN
1. Biodata Peneliti 2. Artikel 1 3. Artikel 2 4. Pedoman Wawancara 5. Angket/Kuesioner 6. Variabel X dan Variabel Y 7. Surat pengantar penelitian dari Lembaga Penelitian USU 8. Surat rekomendasi penelitian dari Litbang Pemko Medan 9. Surat izin penelitian dari Pemko Binjai 10. Surat izin penelitian dari Pemkab Serdang Bedagai 11. Surat undangan seminar hasil penelitian dari Bappeda Pemkab Serdang Bedagai
12. Academic Paper Acceptance Letter 13. Surat pernyataan ketua peneliti/pelaksana 14. Surat keterangan selesai penelitian dari Litbang Pemko Medan 15. Surat keterangan selesai penelitian dari Pemkab Serdang Bedagai 16. Surat keterangan selesai penelitian dari Pemko Binjai 17. Dokumentasi hasil ekspose penelitian di Bappeda Serdang Bedagai
10
BAB I PENDAHULUAN
1.0 Latar Belakang Penelitian Pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) dapat dikatakan merupakan kegiatan penting dari suatu pemerintahan. Karena melalui pengadaan barang/jasa maka pembangunan sarana dan prasarana dari suatu negara dapat terpenuhi. Mengingat pentingnya hal ini, maka kegiatan pengadaan barang/jasa perlu dilaksanakan lebih efektif dan efisien, mengutamakan penerapan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat, transparan, dan berlaku adil bagi semua pihak. Harapan ini tidak berlebihan mengingat jumlah pengadaan barang/jasa di lembaga-lembaga pemerintah rata-rata mencapai 15%-30% dari Gross Domestic Product (GDP), sebuah angka yang besar. Persentase yang besar dari pengadaan barang/jasa ini tidak dapat dihindari menjadi peluang terjadinya korupsi di sektor pengadaan barang/jasa dan terbukti mendominasi kasus-kasus korupsi lainnya di Indonesai yakni sebesar 61% (Penelitian Pusat Kajian dan Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada pada tahun 2013)1. Proses pengadaan barang/jasa juga merupakan kasus dugaan korupsi yang paling banyak diusut dan ditangani oleh institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak 96 kasus atau mencapai 40.9 % sejak tahun 2004 hingga 2011 2. Sementara berdasarkan kajian Indonesia Corruption Watch, pelaku korupsi pengadaan barang/jasa ini berasal dari berbagai kalangan baik swasta, kepala dinas, bupati dan kepala daerah seperti gubernur 3. Mengingat rawannya bidang pengadaan barang/jasa ini terhadap perekonomian negara maka dilakukan reformasi di bidang pengadaan dari sistem yang manual ke sistem pengadaan secara elektronik (e-procurement). Pengadaan barang/jasa secara manual ini mempertemukan langsung pihak-pihak yang terkait dalam pengadaan yakni panitia pengadaan dan penyedia barang/jasa. Pertemuan-pertemuan antara panitia pengadaan dan penyedia ini tidak dapat dipungkiri menimbulkan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Sementara melalui sistem e-procurement intensitas pertemuan antara panitia 1
http://jogja.tribunnews.com/2014/01/27/korupsi-tertinggi-berada-di-sektor-pengadaan-barang-dan-jasa/. Diakses 24 Oktober 2013, Jam 11.15 WIB. 2 http://beritasore.com/2012/04/10/korupsi-pengadaan-paling-banyak-ditangani-kpk/. Diakses 19 April 2013, Jam 21.00 WIB. 3 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52cbfe8f5c500/pengadaan-barang-dan-jasa-dominasi-kasuskorupsi-di-2013. Diakses 24 Oktober 2013, Jam 11.44 WIB.
11
pengadaan dan penyedia dapat diminimalisir sehingga penyimpangan yang sering mewarnai proses pengadaan barang/jasa dapat ditekan atau bahkan dicegah. Tujuan dari pelaksanaan e-procurement salah satunya adalah mewujudkan transparansi dan efisiensi dalam pengadaan (Perpres No. 4 Tahun 2015). Kota Surabaya sebagai salah satu best practices dalam pelayanan publik menempatkan sistem implementasi e-procurement sebagai best practice yang inovatif, bertujuan untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi dan transparansi proses pengadaan barang dan jasa. Implementasi e-procurement ini berhasil menghemat 20-30% anggaran untuk pelayanan publik(Partnership for Democratic Local Governance in Southeast Asia, 2003)4. Sementara di Kementerian Keuangan RI, pelaksanaan e-procurement berhasil menghemat anggaran, mengurangi tingkat kebocoran dan menjamin keterbukaan. Kontribusi penghematan anggaran diperoleh sampai 18.4% pada tahun 2009 5. Selanjutnya pengadaan barang/jasa di Kementerian Perhubungan tahun 2015 dengan nilai pagu sebesar Rp 1,4 triliun, sementara nilai transaksinya Rp 1,17 triliun. Ini artinya ada penghematan Rp 230 miliar.6 Namun sebenarnya best practices dari pelayanan e-government di Indonesia masih sangat kurang. Banyak faktor yang menyebabkan, seperti belum memadainya kapasitas SDM pengelola teknis, keterbatasan infrastruktur pendukung, lemahnya regulasi dan kelembagaan, terbatasnya dukungan anggaran pemerintah, serta rendahnya komitmen dan keseriusan dari para pemimpin di berbagai level pemerintahan 7. Masalah yang hampir sama ditemukan pada implementasi e-procurement di Indonesia, seperti belum adanya ketegasan tentang peraturan hukum yang menjadi payung hukum dari proses e-procurement sehingga standar baku mengenai tata kelola proses e-procurement baik dari segi rantai birokrasi, waktu, penggunaan teknologi informasi dan sumber daya manusia belum ada. Selain itu, komitmen pimpinan tertinggi maupun jajaran di tingkat menengah masih rendah akibat kurangnya dukungan politik yang pada akhirnya memicu pada merebaknya korupsi di bidang pengadaan barang/jasa. Terakhir, tantangan dari
4
Democratic Local Governance in Southeast Asia (DELGOSEA). 2014. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). 2009. 6 http://www.lkpp.go.id/v3/#/read/3614. Diakses 16 Juni 2015, Jam 15.20 WIB. 7 Pramusinto, Agus dan Erwan Agus Purwanto. 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Penerbit Gava Media, Jian-UGM, MAPUGM. Yogyakarta. 5
12
panitia pengadaan, penyedia, legislatif dan infrastruktur yang sangat terbatas, seperti mahalnya biaya internet tidak dapat diremehkan juga8. Sementara, di beberapa negara EU pelaksanaan e-procurement tidak lepas dari berbagai permasalahan. Studi terhadap transparansi e-procurement menemukan data diterbitkan dalam bentuk pdf dan html bukan dalam bentuk database. Ini artinya data tersedia dalam berbagai volume buletin yang terpisah sehingga sulit untuk menelusuri fase-fase dalam procurement. Di Hungaria publik harus membuka setiap buletin jika ingin mengetahui berapa tender yang dimenangkan, berapa nilai tender dan apakah nilai tender telah sesuai dengan kontrak. Di Czechs transparansi dalam e-procurement masih terbatas, hal ini dapat dilihat dari ketiadaan statistik dan ringkasan dari procurement serta informasi mengenai justifikasi pemenang di website, namun data atau informasi dapat diperoleh secara individual. Baik di Polandia maupun di Czech modifikasi kontrak tidak diterbitkan, tetapi dapat diminta oleh siapa saja yang ingin mengetahui. Slovakia merupakan negara yang menyelenggarakan e-procurement sangat transparan yaitu dengan menayangkan update data dalam format yang mudah untuk diproses. Tersedia juga database online yang menyediakan informasi mengenai seluruh kontrak yang telah disepakati (Lederer, 2012)9. Kebijakan e-procurement di Indonesia diawali dengan keluarnya Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Beberapa tahun kemudian, diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang menandakan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 beserta Perubahannya resmi dicabut dan tidak berlaku efektif mulai tahun 2011. Tidak lama berselang, terbit Perpres Nomor 35 Tahun 2011 yang merupakan Perubahan Pertama atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Selanjutnya dilakukan perubahan kedua dan ketiga yakni Perpres Nomor 70 Tahun 2012 dan Perpres No. 172 Tahun 2014. Kemudian diawal tahun 2015, keluar Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Penjelasannya yang telah diundangkan pada tanggal 16 Januari 2015. Perubahan peraturan beberapa kali ini bertujuan untuk kesempurnaan kebijakan ini karena di masa yang akan datang, semua belanja pemerintah dilakukan dengan menggunakan elektronik.
8
http://politik.kompasiana.com/2013/03/09/implementasi-e-procurement-sebagai-inovasi-pelayanan publik541293.html. Diakses 21 April 2013, Jam 20.15. 9 Lederer, 2012.
13
Namun setelah berjalan lebih dari satu dekade, kegiatan pengadaan secara elektronik ini belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, masih ditemukan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme sebagaimana disebutkan diawal. Sementara kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik baru dimulai pada tahun 2011 di Pemerintah Kota Medan dan Kabupaten Serdang Bedagai serta tahun 2013 di Kota Binjai sehingga menarik untuk diteliti. Kajian mengenai model implementasi kebijakan e-procurement ini menjadi semakin mendesak dan relevan karena tuntutan dan kebutuhan pengadaan secara elektronik yang terus meningkat ditengah perbedaan karakteristik Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai serta keterbatasan dinamika birokrasi lokal. Selain itu penelitian ini menggunakan studi kasus untuk dapat melihat kasus-kasus yang berkaitan dengan proses dan transparansi pengadaan barang/jasa secara elektronik yang terjadi di Dinas Kesehatan Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Kasus-kasus ini cukup kompleks dan riskan karena menyangkut banyak pihak dan anggaran yang besar. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dipilih menjadi lokasi dari studi kasus ini karena instans ini bertanggungjawab di bidang kesehatan yang merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat di tingkat kabupaten/kota. Salah satu tujuan dari pelaksanaan e-procurement adalah mewujudkan transparansi dan efisiensi dari pengadaan barang/jasa. Namun sebagaimana dijelaskan di atas, dari hasil beberapa survey di Indonesia, efisiensi dari penggunaan e-procurement lebih banyak didiskusikan dari pada tujuan lainnya seperti transparansi. Sementara dari hasil penelitian tahun pertama ada hubungan antara model implementasi kebijakan eprocurement dan transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai 10. Ini artinya salah satu cara mewujudkan transparansi pengadaan barang/jasa adalah melalui landasan hukum, infrastruktur dan sumberdaya manusia sebagai sebuah model implementasi kebijakan e-procurement. Namun penelitian tersebut tidak mencari seberapa besar pengaruh keduanya. Maka untuk tujuan inilah penelitian tahun kedua ini dilakukan, selain dua tujuan lainnya yakni melihat proses e-procurement dan transparansi pengadaan serta menjelaskan bekerjanya model implementasi kebijakan e-procurement.
10
Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty. 2014. “Model Implementasi Kebijakan E-Procurement Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara”. Penelitian Tahun Pertama. Skim Hibah Bersaing. Universitas Sumatera Utara.
14
Penelitian ini menjadi lebih menarik karena model implementasi kebijakan eprocurement dilihat dari faktor-faktor landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia yang benar-benar berasal dari kondisi real di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menggunakan model implementasi kebijakan yang berasal dari negaranegara barat yang belum tentu sesuai dengan kondisi real kabupaten/kota di Indonesia khususnya di Provinsi Sumatera Utara, serta beberapa penelitian mengenai eprocurement yang fokus kajiannya pada teknologi informasi.
1.1 Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1.1.1 Seberapa besar pengaruh landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia secara bersama-sama sebagai sebuah model implementasi kebijakan eprocurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia? 1.1.2 Bagaimana proses e-procurement baik dengan metode e-tendering maupun metode e-purchasing di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia? 1.1.3 Bagaimana proses e-procurement dalam mewujudkan transparansi pengadaan barang/jasa dilihat dari model implementasi kebijakan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia?
15
BAB II MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN E-PROCUREMENT DAN TRANSPARANSI PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
2.0 Implementasi Kebijakan Sebagai Sebuah Model Dalam proses kebijakan publik, implementasi merupakan tahapan yang paling penting karena merupakan sebuah tahapan dimana alternatif yang telah ditetapkan diwujudkan dalam tindakan yang nyata. Hal ini karena implementasi kebijakan merupakan rantai yang menghubungkan antara formulasi kebijakan dan hasil (outcome) kebijakan yang diharapkan. Dengan demikian tanpa adanya implementasi, suatu kebijakan akan sia-sia karena hanya berupa konsep semata. Implementasi kebijakan bila dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan sebuah kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.11 Karena implementasi dipandang sebagai sebuah alat maka didalam pengimplementasian suatu kebijakan terdapat beberapa variabel atau faktor yang menentukan pencapaian dari tujuan kebijakan tersebut. Keberadaan variabel-variabel atau faktor-faktor ini dapat mendukung proses implementasi kebijakan namun sebaliknya dapat pula menghambat pelaksanaan kebijakan. Karena banyak dan kompleksnya faktorfaktor dalam implementasi kebijakan ini maka diperlukan sebuah model konseptual (conceptual model) untuk membantu menganalisis atau mengevaluasi sehingga implementasi kebijakan dapat mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. Menurut Thomas R. Dye (1972) 12 “A model is a simplified representation of some aspect of the real world.” Sementara Rendall B. Ripley (1985)13 mengatakan “The major utility of any model is that it simplities complex reality in ways that can be readily understood.” Melalui sebuah model, variabel-variabel atau faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan dapat disederhanakan sehingga mudah untuk dipahami. Penyederhanaan ini penting karena dari begitu banyak variabel atau faktor, sebenarnya tidak semua dominan mempengaruhi implementasi sebuah kebijakan. Dengan demikian suatu model hanya terdiri dari beberapa variabel atau faktor saja yang dominan dapat mempengaruhi implementasi suatu kebijakan. Manfaat lain dari suatu model adalah 11 12 13
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo. Dye, Thomas R. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, Inc. Ripley, Randall B. 1985. Policy Analysis in Political Science. Chicago: Nelson Hall, Inc.
16
dapat menunjukkan variabel atau faktor penting dari suatu implementasi kebijakan. Ini memberikan kemudahan baik bagi pelaksana maupun perumus kebijakan untuk melihat lebih fokus pada variabel atau faktor tersebut yang bisa saja membuat kebijakan tersebut berhasil atau gagal diimplementasikan. 2.1 Bekerjanya Model Implementasi Kebijakan Publik Tiga komponen dasar yang biasanya dimiliki oleh kebijakan publik, yaitu tujuan yang hendak dicapai, sasaran yang spesifik dan cara mencapai sasaran tersebut. Cara mencapai sasaran inilah yang disebut dengan implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan bukanlah proses yang sederhana, tetapi sangat kompleks dan rumit yang dipengaruhi oleh berbagai faktor baik faktor individual maupun organisasional. Beragam model telah dikaji oleh para ahli dalam melihat proses implementasi kebijakan publik. Dalam setiap model implementasi masing-masing ahli menemukan faktor-faktor tertentu yang
saling
berhubungan
satu
dengan
lainnya
dan
mempengaruhi
tujuan
implementasinya.Dengan demikian, perlu diketahui bagaimana faktor-faktor atau variabel-variabel itu bekerja dalam sebuah model implementasi kebijakan. Grindle memperkenalkan model implementasi sebagai proses politik dan administrasi. Model tersebut bekerja dengan menggambarkan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh beragam aktor, dimana keluaran ditentukan oleh baik materi program yang telah dicapai maupun melalui interaksi para pembuat keputusan dalam konteks politik administratif. Proses politik dapat terlihat melalui proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai aktor kebijakan, sedangkan proses administrasi terlihat melalui proses umum mengenai aksi administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Sementara Van Meter dan Van Horn mengembangkan cara bekerjanya Model Proses Implementasi Kebijakan. Keduanya berpendapat bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan dalam bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur implementasi. Keduanya juga mengembangkan tipologi kebijakan menurut: jumlah perubahan yang akan dihasilkan dan jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan mengenai tujuan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam proses implementasi, yang selanjutnya melahirkan enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi. Variabel pertama adalah standar dan sasaran kebijakan. Setiap kebijakan publik harus mempunyai standar dan sasaran kebijakan yang jelas dan terukur supaya tujuan dari suatu
kebijakan dapat terwujud. Apabila standar dan sasaran kebijakan jelas akan 17
membuat kebijakan tidak bias sehingga tidak terjadi multi-interpretasi ataupun menimbulkan kesalahpahaman dan konflik diantara para agen implementasi. Variabel kedua yaitu sumber daya. Pengimplementasian kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya materi (material resources) dan sumber daya metoda (method resources). Dari ketiga sumber daya tersebut, yang paling penting adalah sumber daya manusia, karena disamping sebagai subjek implementasi kebijakan juga termasuk objek kebijakan publik. Ketiga, hubungan antar organisasi. Dalam banyak program implementasi kebijakan, sebagai realitas dari program kebijakan perlu hubungan yang baik antar instansi yang terkait. Komunikasi dan koordinasi memegang peranan penting karena merupakan salah satu urat nadi dari sebuah organisasi agar program-programnya dapat direalisasikan.Selain itu, variabel keempat adalah
karakteristik agen pelaksana. Implementasi
kebijakan
dapat mencapai
keberhasilan maksimal dengan cara mengidentifikasi karakteristik agen pelaksana yang mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi. Hal ini berkaitan dengan variabel kelima yaitu disposisi implementor. Dalam implementasi kebijakan, sikap atau disposisi implementor dibedakan menjadi tiga, yaitu respon implementor terhadap kebijakan, kondisi yakni pemahaman terhadap kebijakan yang telah ditetapkan dan intens disposisi implementor yakni preferensi nilai yang dimiliki tersebut.Variabel terakhir adalah kondisi lingkungan sosial, politik dan ekonomi. Hal ini mencakup sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan apakah mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan. Model implementasi kebijakan e-procurement yang ditemukan pada penelitian sebelumnya terdiri dari tiga variabel atau faktor14.Landasan hukum sebagai faktor pertama menunjukkan bahwa sebuah kebijakan memerlukan landasan hukum yang jelas serta kelembagaan yang tetap. Sistem pengadaan secara elektronik ini dilandasi dengan beberapa peraturan yang salah satunya adalah
Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun
2015.Berlakunya sistem pengadaan secara elektronik juga memberikan kewajiban bagi pemerintah daerah untuk membentuk Lembaga Pengadaan Sistem Elektronik (LPSE) dan
14
Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty. 2014. “Model Implementasi Kebijakan E-Procurement Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara”. Penelitian Tahun Pertama. Skim Hibah Bersaing. Universitas Sumatera Utara.
18
Unit Layanan Pengadaan (ULP) di daerah. Kedua lembaga ini berfungsi untuk melancarkan proses pengadaan barang/jasa secara elektronik di daerah (kabupaten dan kota). Faktor kedua dari model implementasi kebijakan e-procurement adalah infrastruktur. Infrastruktur mencakup sarana dan prasarana seperti perangkat keras, diantaranya server dan jaringan komunikasi serta piranti lunak. Penggunaan teknologi, sistem dan prosedur yang baku, pengaturan jadwal dan waktu yang ketat merupakan hal yang penting diketahui oleh semua pihak baik oleh penyedia maupun penyelenggara eprocurement. Peranan infrastruktur amat dibutuhkan sebagai alat untuk mencapai tujuan kebijakan. Faktor ketiga yaitu sumber daya manusia berkaitan dengan kapabilitas dan budaya organisasi. Kapabilitas sumber daya manusia disini berhubungan dengan penguasaan TI yang berbasis komputer, karena kegiatan e-procurement identik dengan penggunaan TI. Selain itu diperlukan budaya organisasi yang adil, tidak diskriminatif dan jauh dari praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) untuk memperlancar kegiatan e-procurement. Bekerjanya model implementasi kebijakan e-procurement ini mempengaruhi terwujudnya transparansi pengadaan barang/jasa. Sementara model implementasi ini bekerja tergantung pada tiga faktor tersebut. Kebijakan e-procurementyang lahir dari suatu landasan hukum tidak dapat berfungsi optimal tanpa adanya infrastruktur yang memperlengkapi pelaksanaan sistem pengadaan secara elektronik dansumber daya manusia sebagai faktor penggerak kebijakan. Selanjutnya pemanfaatan teknologi yang canggih harus diimbangi oleh kemampuan sumber daya manusia penyelenggara. Karenanya, sumber daya manusia sebagai penyelenggara harus memiliki kemampuan TI berbasis komputer yang handal. Apabila sumber daya penyelenggara sudah memiliki kapabilitas dalam TI dan mampu menafsirkan peraturan dengan tepat, maka dapat terbentuk budaya organisasi yang adil dan jauh dari praktek-praktek KKN.
2.2 Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Sebagai Tujuan Pelaksanaan E-Procurement Pengadaan secara elektronik (e-procurement) merupakan salah satu bentuk dari pelayanan e-government. Definisi yang cukup sederhana dari e-procurement diberikan oleh Van Weele (1994)15 yaitu “The use the Internet Tecnology in the process of providing, that is, buying and selling of goods and sevices”. Sama dengan definisi diatas, 15
Van Weele, A., 1994. “Purchasing Management: Analysis, Planning and Practice”. London. UK: Chapman & Hall.
19
Turban dkk (2006)16mengatakan bahwa “e-procurement refers to the purchase of goods and services for organizations”. Definisi berikutnya difokuskan pada implementasi eprocurement di organisasi pemerintahan yang mengatakan “e-procurement refers to the use of electronic communications and transaction processing by government institutions and other public sector organisations when buying supplies and services or tendering public works”.17Beberapa pengertian e-procurement di atas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengertian e-government. Pelayanan yang dilakukan keduanya menggunakan Teknologi Informasi (TI) yang berbasis komputer. Hanya bedanya eprocurement fokus pada proses pengadaan, pembelian dan penjualan barang/jasa sementara jangkauan e-government lebih luas karena menyangkut kategori publish, interact dan transact. Banyak alasan dan manfaat penggunaan e-procurement,Vaidyadkk (2006)18 mengatakane-procurement digunakan karena adanya tuntutan dari manajemen sektor publik untuk transparan, efisien dan efektif dalam memberikan pelayanan. Eprocurementjuga menjadi temaumum daribanyak organisasidi negara maju dan berkembang untuk mempromosikan transparansidan good governance. Dalam hal inieprocuremant dijadikan sebagai sebuah instrument dari reformasi sektor publik 19. Sementara Mitchell (2000)20 mendefinisikan e-procurement dengan membandingkannya dengan metode pengadaan yang tradisional dimana pengadaan secara elektroniklebih baik karena dapat mengintegrasikan proses dari rantai pasokan yang masuk(darikonsumenke pemasokdankembali lagike konsumen) denganlancar, waktu yang tepatdandapat dilakukan secaraberulang-ulang.Sedangkan Kelman (1990)21mengkategorikan tiga karakteristik dalam sistem pengadaan barang dan jasa di organisasi pemerintah yakni equity, integrity, economy and efficiency. Ekuitasyakni menyediakanakses yang adil bagi
16
Turban, E., King, D., Lee, J. and Viehland, D. 2006. Electronic Commerce: A Managerial Perspective. Pearson/Prentice-Hall, Englewood Cliffs. NJ. 17 E-Procurement of Golden Book and Good Practice, Final Report. 2013. This report was prepared for DG MARKT by PwC EU Services EESV Contract reference: MARKT/2011/097/C4/OP LOT2 Version: v1.3 Project. 18 Vaidya, K., Sajeev, A.S.M. & Callender, G. 2006. “Critical Factors that Influence e-Procurement Implementation Success in the Public Sector”. Journal of Public Procurement, 6 (1&3), 70-99. 19 E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in Public Service Delivery. Report of the Expert Group Meeting. Department of Economic and Social Affairs. 4-5 October 2011. United Nations Headquarters, New York. 20 Mitchell, K. 2000. “Instituting E-Procurement in the Public Sector”. Government Finance Review. 16 (1), 9-12. 21 Kelman, S. 1990. “Procurement and Public Management: The Fear of Discretion and the Quality of Government Performance”. Washington, DC. The AEI Press.
20
penyedia; integritasyakniadanya kejujuran dalam proses pengadaan; ekonomi dan efisiensiyakni mendapatkan hargaterendah dengan kualitas yang diinginkan. Sebagaimana di jelaskan di atas banyak alasan dan tujuan dari pelaksanaan eprocurement dan salah satu diantaranya adalah mewujudkan tranparansi. Transparansi (transparency) itu sendiri adalah sebuah prinsip yang menjamin kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan baik itu berkaitan dengan informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya serta hasil-hasil yang dicapai. Dengan demikian adanya transparansi dapat menjadi entry point bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang apa yang dilakukan pemerintah. Selain itu, masyarakat juga dapat melakukan checks and balances terhadap apa yang dilakukan pemerintah tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Clem (2010: 4)22bahwa transparansi sebagai “Government should provide citizens with information about
what
their government
is doing so that
government
can be held
accountable.”Pengertian Clem di atas memberikan pemahaman yang sangat luas terhadap makna transparansi, dimana pemerintahharus menyediakan informasi kepada warga negara tentangapa yang pemerintah lakukan. Dengan demikian pemerintah dapat mempertanggung jawabkan apa yang sedang dikerjakan. Namun pemaknaan transparansi di lingkungan pemerintahan tidak seluas pendapat Clem diatas. Memangmerupakan kewajiban bagi pemerintah untuk memberikan informasi ke publik tentang apa yang pemerintah lakukan, tetapi pemerintah juga memiliki kategori informasi yang harus dirahasiakan dari masyarakat, seperti menyangkut rahasia negara, informasi intelijen, membahayakan negara, kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat, hak-hak pribadi, rahasia jabatan dan lainnya (Pasal 17 Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik). Sementara menurut Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 5 bahwa transparansi merupakan salah satu prinsip dari pengadaan secara elektronik selain efisiensi, efektif, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel. Selanjutnya di Penjelasan Perpres No.54 tahun 2010 dikatakan bahwa transparan berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh penyedia barang/jasa yang berminat
22
Clem, Constance,. 2010. “Government Online: Improving Service and Engaging Communities”. Ark in Association with Inside Knowledge.
21
serta oleh masyarakat pada umumnya. Jadi tranparansi disini selain dimaknai agar ketentuan dan informasi dapat diketahui secara luas oleh masyarakat umum tetapi juga ketentuan dan informasi tersebut harus bersifat jelas. Pentingnya hal ini karena proses pengadaan barang/jasa pemerintah menyangkut belanja negara yang menggunakan keuangan negara.Karena itu proses pengadaan barang/jasa perlu dikelola dengan benar, sehingga
diperoleh
barang/jasayang
terjangkau
dan
berkualitas
serta
dapat
dipertanggung-jawabkan baik dari segifisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah danpelayanan masyarakat. Berkaitan dengan penjelasan perpres diatas mengenai transparansi, maka pendapat Heald (dalam Bannister dan Connoly, 2011)23mengenai pengkategorian tranparansi tepat digunakan untuk melihat transparansi di website LPSE terutama di tingkat kabupaten/kota. Heald mengkategorikan tiga hal dalam membicarakan transparansi
yakni
transparansi
data,
transparansi
proses
dan
transparansi
keputusan/kebijakan. Transparansi data berhubungan dengan angka dan fakta-fakta pemerintah, seperti biaya penyediaan (memproses data hingga mudah diakses dan dipahami
masyarakat);
misinterpretasi
data
atau
informasi;
resiko
terhadap
masyarakat/anonimitas. Transparansi proses berkaitan dengan ketersediaan informasi dari berbagai proses pemerintahan, mulai dari pembuatan keputusan hingga produk keputusan. Transparansi ini menjadikan seluruh tahapan dalam proses jelas, menunjukkan dimana proses suatu transaksi tertentu dapat ditemukan dan menjelaskan mengapa langkah-langkah tertentu harus dilaksanakan. Transparansi keputusan atau kebijakan menguraikan alasan (rasionalitas) dari keputusan-keputusan, dan/atau tindakan-tindakan dan kebijakan pemerintah.
2.3
Pengaruh
Model
Implementasi
Kebijakan
E-Procurement
Terhadap
Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Transparansi (transparency) dapat diartikan sebagai keterbukaan pemerintah dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya publik
kepada
pihak-pihak
yang
membutuhkan
informasi.Dengan
demikian
pemerintahharus menyediakan informasi selengkap-lengkapnya kepada warga negara tentangapa yang pemerintah lakukan. Karena hal ini sebagai bentuk pertanggungjawaban
23
Bannister, Frank and Connolly, Regina. 2011. "The Trouble with Transparency: A Critical Review of Openness in e-Government," Policy & Internet: Vol. 3: Iss. 1, Article 8. Policy Studies Organization. http://www.psocommons.org/ policyandinternet / vol3 / iss1/art8.
22
pemerintah kepada masyarakat atau warga negaranya.Berkaitan dengan transparansi pengadaan barang/jasa beberapa pertanyaaan yang perlu dan sering diajukan, yaitu: What is being procured?Who is eligible to bid?How to bid?What are the evaluation criteria?Who
has
got
the
award?At
What
cost?What
is
the
quality
of
24
work/product/service? Namun ada beberapa hal yang tidak bisa dipertanyakan atau tidak bisa dibuka kepada masyarakat umum. Hal ini sejalan dengan Pasal 17, UndangUndang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Di Indonesia pentingnya prinsip transparansi dapat dilihat dalam azas-azas umum penyelenggaraan negara sebagaimana diatur oleh UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Selain itu dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang merupakan regulasi yang strategis guna mewujudkan demokratisasi dalam kerangka menuju kesejahteraan rakyat. Dalam regulasi ini, negara harus membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi
yang benar,
jujur,
dan
tidak
diskriminatif
mengenai
penyelenggaraan negara. Hal ini berarti setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik. Jadi semua pengelolaan badan-badan publik, dalam proses penyelenggaraan negara dan pemerintahan, wajib dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Akses terhadap informasi ini akan menimbulkan partisipasi masyarakat sebagai penerima pelayanan publik. Dengan demikian transparansi berkaitan dengan hak sebagai warganegara. Tujuan utama transparansi dalam konteks pengadaan barang/jasa ialah agar semua pihak yang ambil bagian dalam kegiatan ini bisa mendapatkan informasi yang jelas untuk mengetahui cara, sarana dan proses yang diperlukan untuk mendefinisikan kontrak, syarat-syarat memenangkannya dan mengurusnya. 25 Transparansi membuka akses ke informasi agar ada persaingan yang fair dan memungkinkan pengawasan berjalan efektif. Karena itu transparansi dalam pengadaan barang/jasa publik menuntut lima syarat: 1.
Tersedianya akses ke informasi yang berkaitan dengan aturan-aturan dan prosedurprosedur serta kesempatan mengikuti pengadaan barang/jasa.
24
http://himachaldit.gov.in/file.axd?file=2010%2F5%2Fe-ProcurementConcepts.pdf. Diakses 22 April 2013. Jam 20.00. 25 OECD, 2007: Integrity in Public Procurement dalam Haryatmoko. 2011. “Etika Publik”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
23
2.
Informasi harus jelas, konsisten dan relevan sehingga calon penyedia dan kontraktor memahami proses pengadaan barang/jasa secara baik, tidak merasa dipermainkan dan memperoleh jaminan perlakuan yang adil. Informasi yang jelas akan menjamin tingkat persaingan penyedia dan menghindarkan kolusi.
3.
Standardisasi proses yang memungkinkan kontrol kebijakan melalui benchmark. Melalui benchmark, keputusan-keputusan bisa dibandingkan sehingga memudahkan kontrol internal dan melacak pelanggaran atau penyimpangan dari praktek yang normal.
4.
Keputusan-keputusan penting didalam pengadaan barang/jasa terdokumentasi dengan baik dan mudah diakses. Semua keputusan dalam setiap tahap tender harus dicatat untuk memudahkan audit atau pemeriksaan publik. Catatan-catatan ini disimpan sampai beberapa tahun kedepan setelah penentuan pemenang kontrak sehingga bila terdapat
revisi dari keputusan-keputusan pemerintah
maka
memungkinkan untuk melakukannya. 5.
Penerapan sistem teknologi informasi dalam
e-procurement menjadi alat
transparansi. Penggunaan sistem ini dapat memudahkan pekerjaanmengaudit, yang sangat bermanfaat untuk membuat revisi dan evaluasi kebijakan pengadaan barang/jasa. Dengan demikian penggunaaan sistem ini menjamin semua aktivitas pengadaan barang/jasa sesuai dengan perencanaan dan budget, serta semua informasi yang diperlukan tersedia dan bisa dilacak. Menurut OECD dalam Fighting Corruption and Promotion Integrity in Public Procurement (2005)26 agar pengadaan barang/jasa berkualitas harus ada persaingan antar penyedia. Cara untuk menarik minat banyak penyedia, maka aturan dan prosedur harus terbuka dan adil. Tiga cara yang dapat dilakukan untuk menarik minat sebanyak mungkin penyedia sehingga tercipta persaingan dalam kegiatan e-procurement. Pertama, pemerintah mengumumkan persaingan terbuka melalui publikasi di media atau pemberitahuan online. Perubahan atau perbaikan kontrak harus dengan alasan yang bisa dibenarkan dan ditulis untuk memudahkan audit. Selain itu, komunikasi antara pemerintah dengan calon penyedia harus dibangun untuk menumbuhkan saling percaya. Kedua, pemerintah menetapkan statuta dan regulasi yang dirancang dengan standar yang sama. Aturan dan prosedur baik itu berkaitan dengan metode tender, spesifikasi, kriteria seleksi, keputusan pemenang tender, serta alasan-alasan mengapa peserta lain kalah
26
Haryatmoko. 2011. “Etika Publik”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
24
dalam tender, termasuk penyingkapan kepentingan pribadi pejabat publik. Selain itu standar yang sama juga dituntut kepada semua calon penyedia seperti memiliki sumber daya finansial yang memadai, mempunyai catatan kinerja yang baik di masa lalu, catatan integritas yang memuaskan dan menerapkan etika bisnis. Ketiga, sebelum berlaku efektif, aturan-aturan ini harus dipublikasikan lebih dulu untuk mendapatkan masukan atau perbaikan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Menjamin agar revisi tidak memihak, maka lembaga independen diminta memberi masukan dan koreksi. Setelah revisi dilakukan, baru aturan-aturan ini bisa diberlakukan. Sementara Haryatmoko (2011) berpendapat bahwa transparansi pengadaan barang/jasa membutuhkan pejabat publik yang kompeten. Pejabat publik ini haruslah secara khusus mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa dan meniti karier di bidang pengadaan. Karena itu pemerintah harus menjamin agar pejabat publik memenuhi tuntutan kompetensi ini yakni menguasai seluk-beluk pengadaan barang/jasa, termasuk didalamnya memiliki integritas pribadi. Selain itu insentif dan kondisi yang baik dalam hal gaji, bonus, jenjang karier serta pengembangan diri perlu dijamin. Dengan jaminan seperti ini dimaksudkan agar yang mengemban jabatan itu sungguh seorang profesional. Karena pengadaan barang/jasa membutuhkan tenaga profesional yang kompeten baik secara teknis, leadership maupun etis. Salah satu cara mewujudkan transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah adalah dengan tersedia dan bekerjanya faktor landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia sebagai sebuah model implementasi kebijakan
e-procurement.
Implementasi kebijakanmerupakan suatu proses yang dinamis yang mencakup semua interaksi dari ketiga faktor tersebut. Landasan hukum mengenai e-procurement yang jelas dan tidak berubah-ubah memudahkan pegawai (sumber daya manusia) untuk memahaminya. Selain itu penguasaan sumberdaya manusia terhadap teknologi informasi serta integritas yang kuat terhadap pekerjaan dapat memudahkan pegawai untuk melakukan kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Selanjutnya keterkaitan antara faktor-faktor dari model implementasi kebijakan e-procurement ini mempengaruhi transparansi pengadaan barang/jasa.27 Ini artinya transparansi akan terwujud bila landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia termasuk kapabilitas dan budaya organisasi secara keseluruhan sebagai sebuah model
27
Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty. 2014. “Model Implementasi Kebijakan E-Procurement Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara”. Penelitian Tahun Pertama. Skim Hibah Bersaing. Universitas Sumater Utara.
25
implementasi kebijakan tersedia dan bekerja dengan optimal. Landasan hukum berupa aturan main dalam pengadaan secara elektronik dan peraturan berkaitan dengan pembentukan institusi teknik harus jelas. Kapabilitas sumber daya manusia yang menguasai TI dan budaya organisasi yang terbuka, adil dan bebas dari praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta siap menerima keberadaan e-procurement dan ketersediaan infrastruktur dalam menunjang kebijakan e-procurement. Sebaliknya bila ketiga faktor ini tidak tersedia dan bekerja dengan optimal maka sulit mewujudkan salah satu tujuan dari pelaksanaan e-procurement yaitu transparansi pengadaaan barang/jasa pemerintah.
2.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum berdasarkan fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data28. Hipotesis yang diajukan peneliti adalah sebagai berikut: a.
Hipotesis nol (Ho) Tidak ada pengaruh ketiga faktor secara bersama-sama sebagai sebuah model implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di Provinsi Sumatera Utara.
b.
Hipotesis Kerja (Ha) Ada pengaruh ketiga faktor secara bersama-sama sebagai sebuah model implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di Provinsi Sumatera Utara.
2.5 Definisi Konsep Menurut Singarimbun (1995: 33) 29, konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu yang menjadi pusat perhatian. Dengan demikian untuk mendapatkan batasan yang jelas dari masing-masing konsep yang diteliti, maka perlu pendefinisian dari konsep tersebut:
28 29
Sugiyono. 2007. “Penelitian Administrasi Negara”. Bandung: Alfabeta. Singarimbun, Masri. Metode Penelitian Surve. 2006. Jakarta: LP3ES.
26
1.
Model implementasi kebijakan e-procurement yang terdiri dari landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia berkerja dengan saling mempengaruhisatu dengan lainnya dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik.
2.
Transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah adalah sebuah keterbukaan dalam pelayanan pengadaan barang/jasa pemerintah yang terdiri dari transparansi data, transparansi proses dan transparansi keputusan/kebijakan.
2.6 Definisi Operasional Definisi operasional adalah unsur-unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel, sehingga dalam pengukuran ini dapat diketahui indikator-indikator apa saja yang melekat dalam variabel tersebut. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y). 1.
Model implementasi kebijakan e-Procurement (Variabel Bebas (X)), dengan tiga dimensi: landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia. Ketiga dimensi ini dielaborasi menjadi beberapa indikator, sebagai berikut: a.
Pemahaman
dan
penerapan
regulasi
mengenai
pengadaan
barang/jasa
pemerintah. b.
Peranan dan ketersediaan infrastruktur dalam pelaksanaan e-Procurement.
c.
Kualitas dan kuantitas SDM sebagai penyelenggara e-Procurement.
d.
ULP dan LPSE sebagai lembaga penyelenggaran e-Procurement
e.
Penting dan sulitnya RUP dalam implementasi pengadaan barang/jasa pemerintah.
f.
Sertifikasi pengadaan sebagai salah satu syarat penyelenggara pengadaan barang/jasa pemerintah.
2.
g.
Penyetaraan gender dalam keanggotaan Pokja.
h.
Hambatan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah (Variabel Terikat (Y)), dengan tiga dimensi: tranparansi data, proses dan keputusan/kebijakan. Ketiga dimensi ini dielaborasi menjadi beberapa indikator penelitian, sebagai berikut: a.
Pemahaman
sistem
pengadaan
secara
elektronik
dalam
menciptakan
transparansi. b.
Dampak transparansi bagi penyelenggara dan penyedia. 27
c.
Manfaat transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
d.
Prasyarat mewujudkan transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah.
e.
Transparansi data dan informasi.
f.
Transparansi dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah.
g.
Transparansi pengambilan keputusan pemenang dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
2.7 Peta Jalan Penelitian Beberapa penelitian mengenai e-procurement sudah dilakukan baik di dalam maupun luar negeri, diantaranya: Tabel 1.0 Peta Jalan Penelitian Tahun
Judul/Peneliti/Jurnal
Hasil
Critical Factors That Influence Eprocurement Implementation Success in The Public Sector (Kishor Vaidya, ASM Sajeev, Guy Callender,Journal of Public Procurement, Volume 6, Issues 1 & 3, 70-99). Studi Penerapan E-procurement Pada Proses Pengadaan di Pemerintah Kota Surabaya (Wahyu Hary Wijaya, Retno Indryani, Yusronia Eka Putri; Master Paper ITS).
Implementation Perspectives: Organization & Management, Practices & Processes, Systems & Technology.
2009
Persepsi Pengguna Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Pada Pemerintah Kota Yogyakarta Terhadap Implementasi Sistem Eprocurement (Ika Akyuna Nightisabha, Djoko Suhardjanto, Bayu Tri Cahya; Jurnal Siasat Bisnis).
Ada perbedaan persepsi antara panitia pengadaan barang/jasa dan penyedia barang/jasa. Sehingga e-procurement dikatakan tidak berhasil.
2012
E-procurement: Myth or Reality? (Clifford Mc Cue and Alexandru V.Roman; Journal of Public Procurement, Volume 12, Issue 2, 212-238).
Public procurement has not yet led to significant transformative changes. Unsuitability of software platforms, organizational resistance, lack of strategic systems’ integration and failure to involve public procurement professionals in the design of e-procurement systems were identified as the primary obstacles of effectively
2006
2009
Ada pengaruh antara variabel pemusatan manajemen yang lebih baik, menciptakan proses pengadan yang bersih transparan dan dapat diterima, dan meningkatkan kepuasan klien dan variabel mengurangi biaya per tenderdan mengurangi waktu proses pengadaan.
28
implementing digital Procurement. 2012
E-procurement Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Untuk Mewujudkan Akuntabilitas di kota Yogyakarta (Kodar Udoyono; Jurnal Studi Pemerintahan Volume 3 Nomor 1 Februari).
Dimensi pertama fisibilitas dalam pengadaan barang/jasa: regulatif, teknokratis dan administratif, politik, dan kebutuhan masyarakat. Kedua, dimensi akuntabilitas dalam pengadaan barang/jasa: regulatif, politik, dan keuangan. Jadi, implementasi E-procurement di kota Yogyakarta fisibel tapi tidak akuntabel.
2014
Model Implementasi Kebijakan E- Tiga faktor dari model kebijakan eprocurement di Pemerintah Kota Medan, procurement di Pemerintah Kota Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Bedagaiyaitu landasan hukum, infrastruktur Serdang Bedagai. dan sumber daya manusia. Implementasi model kebijakan e-procurement di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagaiyang menghasilkan proses „hybrid‟ dari kebijakan e-procurement. Hambatan pelaksanaan model kebijakan eprocurement tersebut di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai.
2015
Model Implementasi Kebijakan Eprocurement di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai.
2016
Model Implementasi Kebijakan E- Evaluasi dari model implementasi kebijakan e-procurement tersebut di Pemerintah Kota procurement di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Bedagai. Serdang Bedagai. Perbandingan model implementasi kebijakan e-procurement di tiga lokasi penelitian.
Seberapa besar pengaruh landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia secara bersama-sama sebagai sebuah model implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di Sumatera Utara? Bagaimana proses e-procurement baik dengan metode e-tendering maupun metode epurchasing di Dinkes Kabupaten/Kota, Sumatera Utara? Bagaimana proses e-procurement dalam mewujudkan transparansi pengadaan barang/jasa dilihat dari model implementasi kebijakan di Dinkes Kabupaten/Kota, Sumatera Utara?
Catatan: Kolom yang diarsir abu-abu muda (2014) sudah dilakukan penelitian, sementara kolom yang diarsir abu-abu tua (2015) merupakan peta penelitian yang akan diteliti. Tahun 2016 adalah peta yang direncanakan untuk diteliti.
29
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.0 Tujuan Penelitian
3.0.1 Menganalisis pengaruh landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia secara bersama-sama sebagai sebuah model implementasi kebijakan eprocurementterhadap transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di Provinsi Sumatera Utara. 3.0.2 Menganalisis kegiatan e-procurement baik dengan metode e-tendering maupun metode e-purchasing di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. 3.0.3 Menganalisis proses e-procurement dalam mewujudkan transparansi pengadaan barang/jasa dilihat dari model implementasi kebijakan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
3.1 Manfaat Penelitian
3.1.1 Secara subyektif sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, dan kemampuan untuk menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah berdasarkan kajian Ilmu Administrasi Publik. 3.1.2 Secara praktis hasil penelitian ini diharapakn menjadi masukan atau sumbangan pemikiran
bagi
pemerintah
daerah
(Kabupaten
dan
Kota)
dalam
mengimplementasikan kebijakan e-procurement. 3.1.3 Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi Ilmu Administrasi Publik.
30
BAB IV METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan selama dua tahun. Metode yang digunakan dalam penelitian tahun pertama adalah kualitatif, sementara penelitian saat ini adalah penelitian tahun kedua yang dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif.
4.0 Metode Penelitian Kuantitatif Pertanyaaan penelitian nomor satu dari penelitian ini dijawab dengan menggunakan metode kuantitatif yang tujuannya mencari besarnya pengaruh variabel model implementasi kebijakan e-procurement terhadap variabeltransparansi pengadaan barang/jasa. Penelitian ini berlokasi di Kantor Walikota Medan, Kantor Walikota Binjai dan Kantor Bupati Serdang Bedagai serta Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di tiga lokasi penelitian sebagai lokasi dari studi kasus penelitian ini.
4.0.1 Populasi dan Sampel Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga. Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Karena jumlah populasi tidak terlalu besar maka semua populasi dijadikan sampel penelitian. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 64 orang yang selanjutnya diberikan kesempatan untuk mengisi angket penelitian. Namun angket yang kembali hanya 54 set sehingga n dalam penelitian ini 54. Berikut karakteristik dari responden: Tabel 4.0: Instansi/Bagian Responden No. Kategori Jawaban 1 Bagian Administrasi Pembangunan 2 Bagian Perlengkapan dan Aset Total Sumber : Angket, 2015
Frekwensi 41 13 54
Persentase (100%) 75.9 24.1 100
Tabel 4.1: Kota/Kabupaten Responden No. Kategori Jawaban 1 Medan 2 Binjai 3 Serdang Bedagai Total Sumber : Angket, 2015
Frekwensi 24 17 13 54
Persentase (100%) 44.4 31.5 24.1 100
31
Tabel 4.2: Jabatan Responden No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kategori Jawaban Verifikator Staf Helpdesk Penyusun Bahan Laporan Sekretaris Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Kepala ULP Kasubbag Adpem dan Pengendalian Ketua LPSE Pokja ULP Total Sumber : Angket, 2015
Frekwensi 4 21 1 1 4 1 2 1 1 18 54
Persentase (100%) 7.4 38.9 1.9 1.9 7.4 1.9 3.7 1.9 1.9 33.3 100
Tabel 4.3 : Frekuensi Mengikuti Diklat No. 1 2 3 4 5
Kategori Jawaban Belum pernah Satu kali Dua kali Tiga kali Lebih dari tiga kali Total Sumber : Angket, 2015
Frekwensi 7 18 19 2 8 54
Persentase (100%) 13.0 33.3 35.2 3.7 14.8 100
Tabel 4.4: Usia Responden No. 1 2 3 4
Kategori Jawaban 20-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun Total Sumber : Angket, 2015
Frekwensi 18 22 9 5 54
Persentase (100%) 33.3 40.7 16.7 9.3 100
Tabel 4.5: Pendidikan Responden No. 1 2 3 4
Kategori Jawaban SMU Diploma S1 S2 Total Sumber : Angket, 2015
Frekwensi 4 9 35 6 54
Persentase (100%) 7.4 16.7 64.8 11.1 100
32
4.0.2 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penyebaran kuesioner (angket) dan studi kepustakaan. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner bersifat terstruktur dengan menggunakan daftar pertanyaan tertutup. Responden memilih salah satu jawaban dari lima jawaban yang tersedia(Skala Likert). Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang suatu fenomena sosial.30 Pertanyaan dalam angket ini terdiri dari 20 buah untuk variabel bebas dan 20 buah untuk variabel terikat. Sebagai tambahan dari pertanyaan terstruktur tersebut maka diberikan beberapa pertanyaan yang bersifat terbuka yang tujuannya untuk menjelaskan jawaban responden atas pertanyaan terstruktur tersebut. 4.0.3 Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknik analisis kuantitatif dengan menggunakan analisis regresi yang bertujuan untuk mendifinisikan hubungan matematis antara variabel dependen (Y) dengan satu atau beberapa variabel independen (X) (Hair et al, 1995)31. Selanjutnya, dalam pengolahan data statistik digunakan program komputer SPSS (Statistical Package for Social Sciences). Uji F digunakan untuk melihat bagaimana pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Atau untuk menguji apakah model regresi tersebut baik/signifikan atau tidak baik/non signifikan. Uji F dapat dilakukan dengan membandingkan F hitung dengan F tabel, jika F hitung > dari F tabel, (Ho di tolak Ha diterima) maka pengaruh signifikan, hal ini juga ditandai dengan nilai kolom signifikansi (%) < alpha. Sebaliknya jika pengaruh tidak signifikan. Jika pengaruh signifikan maka bisa digunakan untuk prediksi/peramalan, sebaliknya jika non/tidak signifikan.
4.0.4 Koefisien Determinan Koefisien determinan digunakan untuk mengetahui berapa persen besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Perhitungan dilakukan dengan mengkuadratkan nilai koefisien korelasi product moment (rxy) dan dikalikan dengan 100%.
30 31
Sugiyono. 2007. “Penelitian Administrasi Negara”.Bandung: Alfabeta. Hair et al.1995
33
Bagan 4.0: Tahapan Penelitian Tahun Kedua (Metode Kuantitatif dan Kualitatif) Tahapan Kegiatan Model Implementasi Kebijakan eProcurement terdiri dari landasan hukum, infrastruktur dan SDM
Keluaran
Hipotesis: Ho dan Ha
(Variabel X)
Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Indikator Variabel X dan Variabel Y
Angket / Kuesioner
Penyebaran Angket
Data
PengolahanData
Penyajian Data
Pengujian Hipotesis
Hipotesis diterima atau ditolak
Analisis dan Interpretasi Data
Hasil Penelitian: Besar Pengaruh Model Implementasi Terhadap Transparansi Pengadaan
Faktor Model Implementasi Kebijkan e-procurment
Draft Pedoman Wawancara
Draft Temuan Lapangan
Hasil Temuan Lapangan
Draft Analisis Hasil Temuan
Hasil Penelitian dari Metode Kuantitatif dan Kualitatif
Hasil Penelitian: Bekerjanya Model Implementasi Kebijakan Jurnal Kedua Dari Dua Tahun Penelitian 34
4.1 Metode Penelitian Kualitatif Pertanyaan penelitian nomor dua dan tiga dari penelitian ini dijawab dengan menggunakan metode kualitatif. Peneliti mendeskripsikan secara terperinci tahapantahapan dari e-procurement baik dengan metode e-tendering maupun metode epurchasing yang menggunakan e-katalog. Selain itu dideskripsikan juga pemahaman partisipan terhadap transparansi dalam pengadaan barang/jasa secara elektronik. Selanjutnya, peneliti menjelaskan bekerjanya model implementasi kebijakan eprocurement di Dinkes Kabupaten/Kota di tiga lokasi penelitian.
4.1.1 Penentuan Informan Informan dipilih berdasarkan kategori-kategori tertentu seperti pernah bekerja di bidang yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa sebagai Ketua/Sekretaris Bagian Administrasi Pembangunan/LPSE di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai, Ketua/Sekretaris ULP, Ketua/Anggota Pokja, PP, PPK dan KPA di Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai baik yang mempunyai sertifikat pengadaan maupun tidak. Sementara untuk kategori penyedia peneliti menetapkan penyedia yang pernah mengikuti paket lelang di salah satu lokasi penelitian dan merupakan pengusaha lokal yang bernaung dalam sebuah asosiasi pengusaha.
4.1.2 Teknik Wawancara Penelitian ini menggunakan wawancara mendalam (in dept interview) kepada informan yang berasal dari Bagian Administrasi Pembangunan/LPSE dan ULP di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai serta Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai lokasi dari studi kasus penelitian ini. Selain itu wawancara mendalam dilakukan pada penyedia sebagai pengusaha yang mengikuti kegiatan e-procurementdi salah satu lokasi penelitian. Dari hasil wawancara mendalam didapat beberapa tema yang dianggap menarik untuk dianalisis (theme analysis).
4.1.3 Teknik Observasi Observasi yang dilakukan peneliti sesuai dengan data yang dibutuhkan. Karena itu, infrastruktur yang merupakan salah satu faktor dari model implementasi kebijakan eprocurementmenjadi salah satu fokus observasi. Fokus observasi yang lain adalah website LPSE, website LKPP, dan website e-katalog di bidang kesehatan dengan tujuan untuk 35
melihat transparansi data, proses dan keputusan dari sistem e-procurement. Hasil observasi ini selanjutnya dianalisis dengan analisis isi (content analysis).
4.1.4 Studi Kasus Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus. Kasus-kasus dalam kegiatan e-procurement cukup kompleks karena melibatkan beberapa pihak dan cukup riskan di lingkungan pemerintahan karena menyangkut anggaran yang sangat besar. Dengan menggunakan penelitian studi kasus maka disamping dapat menjelaskan seperti apa obyek atau kasus yang diteliti, juga menjelaskan bagaimana keberadaan dan mengapa kasus tersebut dapat terjadi(Yin, 2003)32.
4.1.5 Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif yang dilakukan dengan interaktif dan terus menerus hingga sampai pada titik jenuh. Menganalisis data dengan menggunakan model interaktif33, terdiri dari 3 (tiga) hal utama yaitu: 1.
Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dari lapangan. Reduksi data berlangsung secara terus menerus sejalan pelaksanaan penelitian berlangsung.
2.
Penyajian data, yaitu
sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. 3.
Verifikasi dan penarikan kesimpulan, yaitu penarikan arti data yang telah ditampilkan. Pemberian makna ini tentunya sejauh pemahaman peneliti dan interpretasi yang dibuat.
4.2 Catatan Penelitian Catatan penelitian ini dimulai dari penandatanganan kontrak penelitian dan pencairan dana penelitian tahap pertama pada pertengahan April 2015. Setelah penandatanganan kontrak, peneliti mengurus surat izin penelitian ke lokasi penelitian dengan membawa Surat Tugas yang dikeluarkan oleh Lembaga Penelitian dan
32
Yin, Robert K. 2013. Case study research: Design and methods. New York: Sage Publications Inc. Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial (Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif). Penerbit: Erlangga. Jakarta. 2009. Hal:147 – 150. 33
36
Pengabdian/Pelayanan Kepada Masyarakat Bidang Penelitian USU. Sebelum ke lokasi penelitian, peneliti mengurus surat izin ke Kantor Balitbang dan Bakesbangpol Provinsi Sumatera Utara. Kedua surat ini selanjutnya dibawa ke Litbang Kota Medan dan kemudian keluar surat izin penelitian dari Litbang Kota Medan yang seterusnya diserahkan ke Bagian Administrasi Pembangunan/LPSE dan ULP di Kantor Walikota Medan; Kantor Dinas Kesehatan Kota Medan; Kantor Dinas Pendidikan Kota Medan. Peneliti juga membawa surat izin penelitian dari Kantor Balitbang, Bakesbangpol Provinsi Sumatera Utara dan Bidang Penelitian USU ke DPRD Kota Medan (Banggar). Selain itu, peneliti mengantar surat tugas dari Bidang Penelitian USU ke beberapa asosiasi pengusaha yang ada di Kota Medan. Hal yang sama peneliti lakukan di Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Membutuhkan waktu yang lama untuk mengurus surat izin penelitian ini. Berulang kali ditelepon dan didatangi tempat-tempat yang disebut diatas hanya untuk menanyakan kapan surat izin penelitian selesai sehingga peneliti bisa memulai penelitian yakni melakukan penyebaran angket dan wawancara serta mengumpulkan data sekunder. Pada akhirnya lebih dari satu minggu berselang surat izin penelitian tersebut keluar. Namun beberapa kantor dimana penelitian ini dilakukan mengeluarkan izin penelitian setelah lebih dari dua minggu. Sementara di Dinas Pendidikan Kota Medan surat yang dikirim peneliti tidak direspon hingga pada akhirnya diputuskan studi kasus penelitian hanya dilakukan di Dinas Kesehatan (Dinkes) saja, sementara di Dinas Pendidikan dibatalkan. Meskipun pada saat itu peneliti sudah melakukan wawancara mendalam di Dinas Pendidikan Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai serta mengumpulkan data sekunder. Demikian juga ketika peneliti ingin melakukan wawancara ke DPRD (Banggar) Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai tidak ada respon yang positif. Pada awalnya dilakukan wawancara dengan Sekretariat DPRD Kota Binjai tetapi ketika dilanjutkan hendak mewawancarai ketua/anggota Banggar maka selalu diterima jawaban „yang bersangkutan sedang sibuk‟ atau „tidak ada ditempat‟. Hal yang sama terjadi di DPRD Kabupaten Serdang Bedagai. Karena di kedua lokasi sudah tidak memungkinkan lagi untuk mewawancarai ketua/anggota Banggar DPRD, maka rencana untuk mewawancarai ketua/anggota Banggar DPRD Kota Medan akhirnya dibatalkan. Pengalaman yang hampir sama ditemukan ketika peneliti hendak mewawancarai pegusaha yang pernah menjadi penyedia barang/jasa pemerintah di salah satu lokasi penelitian. Awalnya peneliti telusuri melalui pegawai yang bekerja di Dinkes Kabupaten/Kota untuk mendapatkan alamat pengusaha yang sering atau pernah 37
mengikuti tender di dinkes. Setelah alamat didapat peneliti menuju kantor pengusaha tersebut tetapi sayang pengusaha tersebut tidak bersedia untuk diwawancarai. Karena gagal, peneliti menanyakan alamat pengusaha kepada staf yang bekerja di LPSE Pemerintah Kabupaten/Kota, namun alamat pengusaha tidak tercantum dengan jelas. Akhirnya peneliti pergi ke beberapa asosiasi pengusaha di tiga lokasi penelitian. Cukup sulit dan memakan waktu cukup lama untuk bertemu dengan pengusaha di kantor asosiasi pengusaha. Setelah satu bulan lebih baru peneliti bisa melakukan wawancara. Peneliti juga pada awalnya ingin mewawancarai pengusaha wanita sebagai partisipan penelitian untuk melihat dari perspektif jender. Tetapi karena kesulitan menemui pengusaha wanita dan keterbatasa waktu maka rencana itu di batalkan. Berkaitan dengan penyebaran angket kepada responden juga memakan waktu yang sangat panjang dan melelahkan. Rencana awal penelitian ini, peneliti atau tenaga lapangan mendampingi responden yang sedang mengisi angket. Ini dilakukan supaya jawaban yang diberikan oleh responden benar-benar yang dialaminya jadi bukan asal menjawab. Selain itu bila ada pertanyaan yang membingungkan dapat segera dijelaskan oleh peneliti atau tenaga lapangan. Namun pada akhirnya pendampingan ini tidak dapat dilakukan terutama pada responden yang berlokasi di Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Karena beberapa kali peneliti atau tenaga lapangan datang ke lokasi penelitian, anggota ULP/Pokja sebagai responden tidak ada di tempat. Akhirnya diputuskan, angket ditinggalkan pada seorang pegawai untuk didistribusikan kepada rekan-rekannya (responden lainnya). Setelah hampir dua setengah bulan menunggu maka diputuskan untuk menyetop pengembalian angket dari responden. Alasan penyetopan ini karena waktu yang disediakan peneliti sudah sangat panjang. Selain itu alasan dari responden yang jamak didengar adalah sibuk karena pekerjaan sangat padat sehubungan dengan proses lelang akan dan sedang berlangsung. Pada akhirnya terkumpul lebih kurang 60 set angket, namun setelah di verifikasi maka yang valid hanya 54 set angket. Sebenarnya sebelum angket disebar, tenaga peneliti melakukan survey awal ke tiga lokasi penelitian untuk mencari berapa jumlah populasi dan selanjutnya sampel dari penelitian ini. Sulit untuk mendapat data yang pasti karena anggota Pokja ULP ada yang bersifat tetap dan sementara seperti di Kota Medan, tetapi di Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai istilah ini tidak dikenal. Selain itu ada perbedaan nomenklatur terhadap bagian yang bertanggungjawab di bidang pengadaan di tiga lokasi penelitian. Pada saat itu didapat jumlah populasi sebanyak 120 orang. Namun setelah peneliti mengumpulkan 38
data sekunder dan melakukan wawancara maka jumlah ini tidak akurat karena beberapa orang tidak memenuhi syarat untuk menjadi populasi. Sehingga yang menjadi populasi hanya64 orang. Selanjutnya karena jumlah populasi tidak terlalu besar maka semua populasi ini dijadikan sampel. Selama proses pengumpulan data di lapangan, peneliti dan tenaga lapangan menemukan beberapa hambatan terutama berkaitan dengan ketidakdisiplinan waktu untuk wawancara. Misalnya sudah disepakati untuk bertemu dan melakukan wawancara jam 14.00 WIB pada akhirnya bisa molor 1 atau 2 jam bahkan lebih. Tidak jarang peneliti pulang karena tidak dapat mewawancarai partisipan meskipun sudah ada kesepakatan sebelumnya. Sebagaimana diketahui, isu dalam penelitian ini berkaitan dengan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Sebuah isu yang cukup riskan di lingkungan birokrasi pemerintahan sehingga beberapa partisipan enggan untuk diwawancarai atau mengulur-ulur waktu untuk diwawancarai. Namun peneliti juga menemukan beberapa partisipan yang sangat kooperatif dan memberikan waktu yang cukup panjang untuk diwawancarai sehingga informasi yang didapat sangat banyak dan signifikan. Dalam hal pengumpulan data, peneliti juga menemukan kesulitan terutama berkaitan dengan proses atau tahapan dari pengadaan barang/jasa secara elektronik. Peneliti menemukan data yang berbeda-beda dari masing-masing informan sehingga pada akhirnya pertanyaan dilakukan berulang-ulang atau bahkan menambah partisipan baru yang mengerti akan hal tersebut. Sama halnya dengan pemahaman mengenai transparansi pengadaan. Dibutuhkan wawancara berulang-ulang untuk akhirnya diyakini bahwa memang ada perbedaan pemahaman mengenai arti transparansi di bidang pengadaan. Setelah data dari lapangan didapat maka dibuat transcribenya dan tahap selanjutnya dilakukan analisis terhadap data tersebut. Beberapa data perlu divalidasi, maka digunakan teknik triangulasi dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data seperti observasi website LPSE, wawancara mendalam dan angket. Tidak jarang peneliti harus kembali ke lapangan untuk melakukan wawancara sehingga data benarbenar valid. Sementara untuk data yang berasal dari angket penelitian, digunakan program SPSS dan analisis regresi untuk mendapat besarnya pengaruh kedua variabel. Penulisan laporan hasil penelitian ini tidak mencantumkan identitas partisipan tetapi hanya dalam bentuk kode yaitu MI (Model Implementasi) seperti MI1, MI2 dan seterusnya. Hal ini merupakan kesepakatan awal dengan partisipan ketika wawancara mendalam dimulai dengan menggunakan alat bantu tape recorder. Tujuannya agar partisipan lebih bebas dan terbuka menyampaikan jawaban pertanyaan yang diajukan 39
oleh peneliti dan juga lebih bebas bagi peneliti untuk menganalisis data yang didapat di lapangan. Hal ini dapat dimaklumi karena isu yang diangkat oleh peneliti cukup kompleks karena menyangkut banyak pihak dan cukup riskan karena rentan dengan masalah hukum. Sementara hasil penelitian dengan menggunakan metode kuantitatif yang berbentuk tabel frekwensi tidak akan di tampilkan seluruhnya dalam laporan penelitian ini. Hal ini semata-mata karena keterbatasan waktu dan diyakini tidak akan mengurangi nilai dari hasil penelitian ini. Menyiapkan draft jurnal dan slide untuk seminar juga bagian dari penelitian ini. Sebenarnya semuanya dapat dikerjakan dengan maksimal apabila waktu yang diberikan cukup panjang. Namun hanya dengan waktu tiga bulan sudah dilakukan monev internel (akhir Juli) dengan penilaian hasil penelitian kira-kira 76%, draft jurnal serta slide untuk seminar. Padahal tidak dapat disangkal, untuk menghasilkan tulisan yang berkualitas diperlukan data yang benar-benar lengkap dan valid dari lapangan. Ini artinya diperlukan waktu yang cukup untuk berada dilapangan sehingga penulis dapat lebih mudah menganalisis data tersebut untuk menemukan tema-tema yang menarik yang tentunya dapat memperkaya sebuah tulisan ilmiah.
40
BAB V Model Implementasi Kebijakan e-Procurement: Cara Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara
5.0 Pengantar Penelitian ini berlokasi di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Dari hasil penelitian tahun pertama ditemukan model implementasi kebijakan e-procurement terdiri dari landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia khususnya kapabilitas sumber daya manusia dan budaya organisasi. Ketiga faktor menghasilkan model yang hybrid (semu) karena ketiganya belum berjalan sebagaimana yang diharapkan sehingga transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah sebagai salah satu tujuan dari kebijakan pengadaan barang/jasa secara elektronik belum terwujud. Untuk melihat berapa persentase besarnya pengaruh model implementasi e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di tiga lokasi penelitian, maka digunakan pendekatan kuantitatif. Selain memperoleh besarnya pengaruh dari kedua variabel penelitian, penelitian tahun kedua ini menemukan beberapa isu yang menarik berkaitan dengan pelaksanaan e-procurement di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Beberapa temuan yang didapat dan menjadi tema dalam penelitian ini diantaranya berkaitan dengan reformasi di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah, posisi ULP (Pokja) dan PPK dalam sistem e-procurement, pandangan pengusaha (provider) terhadap kebijakan e-procurement, serta temuan-temuan lainnya. Semua temuan ini didapat melalui penyebaran angket, khusus kepada anggota LPSE dan ULP (Pokja), wawancara yang mendalam (in depth interview) dengan beberapa informan penelitian baik yang berasal dari LPSE, ULP, SKPD yang melakukan pengadaan barang/jasa dalam hal ini Dinkes Kabupaten/Kota, pengusaha (provider) yang ikut melakukan penawaran. Tema lain yang juga dieksplor dalam penelitian tahun kedua ini adalah transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di tiga lokasi penelitian. Tidak mudah mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai transparansi di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah karena baik panitia penyelenggara, SKPD sebagai user maupun pengusaha sebagai penyedia (provider) memiliki perspektif yang berbeda-beda. Karena itu dilakukan wawancara mendalam (in depth interview) berulang-ulang dengan 41
informan penelitian serta digunakan metode analisis isi dan observasi terhadap websitewebsite yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal khususnya di tiga lokasi penelitian. Terakhir, tema yang ditemukan dalam penelitian ini berkaitan dengan tiga aktor dalam kegiatan e-procurement yakni panitia pengadaan dan LPSE/ULP, user (Dinkes Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai) dan providers (penyedia) yang diwakili oleh pengusaha baik yang berada dibawah asosiasi Gapensi maupun Kadin. Di bagian ini dapat dilihat bagaimana model kebijakan e-procurement yang terdiri dari faktor landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia terutama yang berkaitan dengan kapabilitas sumber daya manusia dan budaya organisasi bekerja dalam kegiatan e-procurement terutama dalam metode e-tendering di Dinkes Kabupaten/Kota di tiga lokasi penelitian. Jalinan ketiga faktor dan aktor ini menentukan terwujud tidaknya transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah.
5.1 Deskripsi Lokasi Penelitian Penelitian tahun kedua ini dilakukan di tiga kota/kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yakni Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia terdiri dari 25 Kabupaten, 8 Kota, 325 Kecamatan dan 5.456 Kelurahan/Desa. Sementara studi kasus dari penelitian ini adalah Dinas Kesehatan yang terdapat di tiga lokasi penelitian. Bidang Kesehatan merupakan salah satu pelayanan dasar yang sangat penting bagi masyarakat.
5.1.0 Lokasi dan Wilayah Kota Medan Luas wilayah Kota Medan adalah 265.10 km2atau 3.6 persen dari total luas wilayah Provinsi Sumatera Utara. Secara administratif,Kota Medanberbatasan dengan Selat Malaka di sebelah Utara dan Kabupaten Deli Serdang di sebelah Timur, Barat serta Selatan.Kota Medan sebagai pusat pemerintahan Provinsi Sumatera Utara memiliki posisi strategis baik secara regional maupun nasional. Posisi ini menjadi modal dasar dalam pembangunan kota. Secara administratif Pemerintahan Kota Medan terdiri dari 21 Kecamatan dengan151 Kelurahan, yang terbagi atas 2.001 Lingkungan. Berdasarkan batas wilayah administratif, Kota Medan relatif kecil dibanding kota lainnya, tetapi posisinya sangat penting secara ekonomi regional. 42
5.1.1 Lokasi dan Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu kabupaten yang berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 06 dan Nomor 10 Tahun 2006, Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dari 17 Kecamatan, 243 Desa/Kelurahan definitif. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Dolok Masihul dengan luas 237.417 Km 2 dan Kecamatan terkecil adalah Kecamatan Serbajadi dengan luas 50.690 Km 2. Batasan
wilayah
administrasi
Kabupaten
Serdang
Bedagai
adalah
disebelahUtara terletak Selat Malaka, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Simalungun, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, serta sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Batubara dan Kabupaten Simalungun.
5.1.2 Lokasi dan Wilayah Kota Binjai Kota Binjai memiliki luas lebih kurang 90.23 km2 didiami oleh 285.530 orang, dengan demikian rata-rata kepadatan penduduk Kota Binjai adalah 3.164 orang/km2. Kecamatan yang paling tinggi kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Binjai Kota yakni sebanyak 9.354 orang/km2 sedangkan yang paling rendah/ jarang adalah Kecamatan Binjai Selatan yakni sebanyak 1.968 /km2. Secara administratif Pemerintah Kota Binjai terdiri dari 5 Kecamatan dan 37 Kelurahan. Wilayah Kota Binjai sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat dan Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sei Bingei, Kabupaten Langkat dan Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang serta sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Selesai, Kabupaten Langkat.
5.1.3 Dasar Hukum Terbentuknya Unit Layanan Pengadan (ULP) Barang/Jasa Pemerintah di Tiga Lokasi Penelitian Unit Layanan Pengadan (ULP) Barang/Jasa Pemerintah Kota Medan dibentuk berdasarkan Peraturan Walikota Medan No. 52 Tahun 2012 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Kota Medan. Sementara ULP di Kabupaten Serdang Bedagai diatur dalam Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2011 tentang Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Serdang Bedagai. ULP di Kota Binjai disusun berdasarkan Peraturan Walikota Binjai Nomor 21 43
Tahun 2013 tentang Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Kota Binjai. Tidak ada perbedaan antara susunan organisasi, tugas dan fungsi ULP Kota Medan, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai.
5.1.4 Dasar Hukum Terbentuknya Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE) di Tiga Lokasi Penelitian Pembentukan lembaga pelaksana e-procurement di Indonesia didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Untuk mengimplementasikan kebijakan ini maka LPSE Kota Medan mengeluarkanPeraturan Walikota Medan No. 38 Tahun 2011 tentang Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE) Kota Medan. Sementara di Kabupaten Serdang Bedagai dikeluarkan Keputusan Bupati Serdang Bedagai Nomor 312/810/Tahun 2014 tentang Pembentukan Tim Layanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Serdang Bedagai. Di Kota Binjai dikeluarkan Keputusan Walikota Binjai Nomor 816-367/K/2014 tentang Tim Layanan Pengadaan Secara Elektronik Kota Binjai. Tidak terdapat perbedaan susunan organisasi, tugas dan fungsi LPSE di tiga lokasi penelitian.
Bagan 5.0: Struktur Organisasi LPSE
Sementara alamat, nomor telepon, email dan website LPSE sebagai berikut: LPSE Kota Medan-Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah Kota Medan Jl. Kapten Maulana Lubis No.2 Medan, Sumatera Utara Helpdesk : (061) 4537949 Email :
[email protected] Website : lpse.pemkomedan.go.id/ LPSE Kabupaten Serdang Bedagai-Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Jl. Negara No. 300 Kec. Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara Helpdesk : (0621) 441671/081376704014 44
Email Website
:
[email protected] : lpse.serdangbedagaikab.go.id/
LPSE Kota Binjai-Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah Kota Binaji Jl.Jenderal Sudirman No.6 Binjai Helpdesk : (061) 8821748 Fax : (061) 8830076 Email :
[email protected] Website : lpse.binjaikota.go.id/ Tugas LPSE adalah sebagai penyelenggara sistem pelayanan pengadaan barang/jasa secara elektronik serta memfasilitasi ULP/Pejabat Pengadaan dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Sebagai sebuah unit kerja, LPSE
dibentuk
di
seluruh
Kementerian/Lembaga/Satuan
Kerja
Perangkat
Daerah/lnstitusi lainnya (K/L/D/I). Pembentukan LPSE didasarkan pada Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa pemerintah dimana ketentuan teknis operasional dari peraturan ini diatur dalam Peraturan Kepala LKPP Nomor 2 Tahun 2010 tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik. Selain perpres diatas, LPSE juga wajib memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. LPSE menggunakan SPSE (Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Secara Elektronik) sebagai aplikasi e-procurement yang dikembangkan oleh LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah). LKPP merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan dibentuk berdasarkan Perpres No 106 Tahun 2007. LKPP bekerja sama dengan Lembaga Sandi Negara yang berfungsi untuk enkripsi dokumen serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembanguna yang berfungsi untuk sub sistem audit. Layanan yang tersedia dalam Sistem Pengadaan Secara Elektronik adalah e-tendering sesuai dengan Peraturan Kepala LKPP Nomor 1 Tahun 2011 tentang Tata Cara ETendering serta e-Catalogue yang merupakan sistem informasi elektronik yang memuat berbagai penyedia barang/jasa pemerintah, proses audit secara online, dan tata cara pembelian barang/jasa melalui katalog elektronik.
5.2 Interpretasi dan Analisis Data: Pengaruh Model Implementasi Kebijakan eProcurement Terhadap Transparansi Pengadaan Barang/Jasa di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai
45
Landasan hukum merupakan salah satu faktor dari model implementasi kebijakan e-procurement. Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa merupakan salah satu landasan hukum mengenai pengadaan yang telah direvisi beberapa kali. Revisi perpres ini yang terbaru adalah Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Penjelasannya yang telah diundangkan pada tanggal 16 Januari 2015.Landasan hukum selain sebagai pedoman atau tata cara dalam pelaksanaan kegiatan pengadaan secara elektronik juga merupakan sumber hukum dari pembentukan institusi-institusi yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa. Tabel 5.0: Memahami Secara Umum Inti Perpres No. 54 Tahun 2010 dan Revisi Terbaru Menjadi Perpres No. 4 Tahun 2015 No 1 2 3 4 5
Kategori Jawaban Sangat Memahami Memahami Cukup Memahami Kurang Memahami Tidak Memahami Total Sumber: Angket, 2015
Frekwensi 2 35 11 5 1 54
Persentase (100%) 3.7 64.8 20.4 9.3 1.9 100
Dari tabel diatas hanya 2% dan 35% pegawai yang sangat memahami serta memahami garis besar peraturan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Persentasi ini sangat tidak memuaskan karena seharusnya pegawai yang bertanggung jawab di sektor pengadaan sudah sangat memahami peraturan mengenai pengadaan barang/jasa, setidak-tidaknya inti atau garis besar dari perpres tersebut. Tidak ada alasan bagi pegawai untuk tidak memahami perpres tersebut, meskipun hampir setiap tahun perpres ini direvisi. Tabel 5.1: Memahami Pasal Demi Pasal Perpres No. 54 Tahun 2010 Serta Revisi Terbaru No 1 2 3 4 5
Kategori Jawaban Sangat Memahami Memahami Cukup Memahami Kurang Memahami Tidak Memahami Total Sumber: Angket, 2015
Frekwensi 23 24 6 1 54
Persentase (100%) 42.6 44.4 11.1 1.9 100
46
Bila dilihat dari jawaban responden terhadap pasal demi pasal dari perpres tentang pengadaan ini maka tidak seorangpun yang sangat memahami, sementara tidak sampai 50% yang memahami. Sebanyak 13% kurang dan bahkan tidak memahami sama sekali perpres itu secara detail. Ini menjadi pekerjaaan rumah bagi LPSE untuk lebih intens melakukan pelatihan tentang pengenalan dan pemahaman perpres sehingga setiap pegawai yang bertanggungjawab di bidang pengadaan mengerti dan memahami benarbenar peraturan ini. Karena penguasaan pada peraturan dapat memperlancar pekerjaan. Tabel 5.2: Penafsiran dan Pemahaman yang Berbeda Dari Pelaksanaan Perpres Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah No 1 2 3 4 5
Kategori Jawaban Sangat Jarang Terjadi Jarang Terjadi Cukup Sering Terjadi Sering Terjadi Sangat Sering Terjadi Total Sumber: Angket, 2015
Frekwensi 2 24 14 14 54
Persentase (100%) 3.7 44.5 25.9 25.9 100
Berkaitan dengan penafsiran dan pemahaman yang berbeda-beda terhadap perpres tentang pengadaan, jawaban yang diberikan responden cukup mengejutkan. Sangat sering terjadi perbedaan penafsiran terhadap perpres ini yakni sebesar 25.9% dan sering terjadi penafsiran sebesar 25.9%. Tidak heran bahwa transparansi pengadaan barang/jasa belum maksimal terwujud karena model implementasi kebijakan eprocurement yang salah satu faktornya adalah landasan hukum belum maksimal bekerja. Tabel 5.3: Infrastruktur Dalam Mendukung Kegiatan E-procurement No 1 2 3 4 5
Kategori Jawaban Sangat Memadai Memadai Cukup Memadai Kurang Memadai Tidak Memadai Total Sumber: Angket, 2015
Frekwensi 5 37 6 6 54
Persentase (100%) 9.3 68.5 11.1 11.1 100
Infrastruktur merupakan salah satu faktor selain landasan hukum dan sumber daya manusia dalam model implementasi kebijakan e-procurement. Berkaitan dengan infrastruktur hanya 9.3% mengatakan sangat memadai, sementara 68.5% mengatakan 47
memadai. Infrastruktur yang dimaksud disini seperti unit komputer, kapasitas server, ruang bidding dan lain sebagainya. Meskipun masih sederhana tetapi setidaknya fasilitas yang mendasar untuk kegiatan pengadaan sudah tersedia dan sangat membantu bagi pegawai yang bekerja di bagian pengadaan. Tabel 5.4: Penguasaan SDM Terhadap TI Berbasis Komputer No 1 2 3 4 5
Kategori Jawaban Semua Menguasai Sebagian Besar Menguasai Sebagian Menguasai Sedikit Menguasai Sangat Sedikit Menguasai Total Sumber: Angket, 2015
Frekwensi 12 19 17 4 2 54
Persentase (100%) 22.2 35.2 31.5 7.4 3.7 100
Faktor terakhir dari model implementasi kebijakan e-procurement adalah sumber daya manusia. Sistem pengadaan secara elektronik ini sudah pasti identik dengan Teknologi Informasi (TI) berbasis komputer. Karena itu setiap pegawai yang bekerja di bidang pengadaan seharusnya menguasai hal ini. Namun dalam tabel di atas sebanyak lebih kurang 40% pegawai tidak terlalu menguasai TI. Hal ini tidak mengherankan karena dari hasil wawancara dengan seorang partisipan sebenarnya hampir setiap tahun dilakukan pelatihan berkaitan dengan TI tetapi banyak pegawai yang tidak sungguh-sungguh mengikutinya. Menyiasati hal ini Ketua ULP yang bertanggung jawab dalam pembentukan Pokja memberikan kesempatan kepada pegawai yang menguasai TI untuk menjadi ketua Pokja, sementara yang kurang atau tidak menguasai TI hanya sebagai anggota Pokja. Hal ini supaya kegiatan pengadaan barang/jasa tidak menjadi terhambat. Tabel 5.5: Kekhawatiran Untuk Memiliki Sertifikasi Pengadaan Karena Besarnya Tanggungjawab Sebagai Penyelenggara Pengadaan No 1 2 3 4 5
Kategori Jawaban Sangat Tidak Khawatir Tidak Khawatir Khawatir Cukup Khawatir Sangat Khawatir Total Sumber: Angket, 2015
Frekwensi 2 18 24 10 54
Persentase (100%) 3.7 33.3 44.4 18.6 100
48
Dari tabel diatas hanya 3.7% responden sangat tidak khawatir memiliki sertifikasi pengadaan. Ini artinya hanya sedikit pegawai yang sangat siap menjadi panitia pengadaan. Padahal memiliki sertifikasi pengadaan merupakan suatu kebanggaan tersendiri karena tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk mendapat sertifikat tersebut. Namun rasa bangga memiliki sertifikasi ini dikalahkan dengan kekhawatiran berhadapan dengan pekerjaan yang cukup riskan. Tabel 5.6: Transparansi Pada Sistem Pengadaan Secara Elektronik Lebih Baik Dibandingkan Dengan Sistem Manual No 1 2 3 4 5
Kategori Jawaban Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju Total Sumber: Angket, 2015
Frekwensi 26 28 54
Persentase (100%) 48.1 51.9 100
Salah satu tujuan reformasi pengadaan barang/jasa adalah mewujudkan transparansi pengadaan dari manual ke elektronik. Proses pengadaan barang/jasa secara elektronik ini dianggap lebih transparan dari pada proses pengadaan secara manual, karena semua kegiatan dan proses pengadaan ditampilkan di website LPSE sehingga siapa saja mempunyai akses untuk melihatnya. Jawaban responden sangat meyakinkan bahwa pengadaan secara elektronik dapat mewujudkan tranparansi pengadaan dan tidak seorangpun menjawab kurang setuju, tidak setuju apalagi sangat tidak setuju bahwa proses pengadaan barang/jasa secara elektronik tidak bertujuan untuk mewujudkan transparansi. Tabel 5.7: Transparansi Pada Sistem Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik Memberi Rasa Aman Kepada Pegawai No 1 2 3 4 5
Kategori Jawaban Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju Total Sumber: Angket, 2015
Frekwensi 9 43 2 54
Persentase (100%) 16.7 79.6 3.7 100
Pertemuan antara panitia pengadaan dan penyedia hampir tidak ada pada sistem pengadaan secara elektronik, karena semuanya dilakukan secara online. Hal ini 49
dirasa sangat menguntungkan bagi pegawai karena memberikan rasa aman kepada mereka dalam menjalankan pekerjaannya. Sebanyak 16.7% sangat setuju dan 79.6% setuju bahwa pengadaan secara elektronik memberikan rasa aman bagi pegawai (panitia pengadaan). Berbeda dengan pengadaan secara manual, panitia pengadaan dan penyedia dapat bertemu ketika proses pengadaan barang/jasa sedang berlangsung sehingga tidak dapat dihindari munculnya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Tabel 5.8: Regulasi Tentang Pengadaan Barang/Jasa Yang Jelas Dapat Mewujudkan Transparansi Dalam Pengadaan No 1 2 3 4 5
Kategori Jawaban Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju Total Sumber: Angket, 2015
Frekwensi 11 37 4 2 54
Persentase (100%) 20.4 68.5 7.4 3.7 100
Regulasi tentang pengadaan barang/jasa pemerintah yang jelas atau tidak ditafsirkan secara-berbeda-beda dapat memberikan pengaruh positif bagi terwujudnya transparansi pengadaan, dengan jawaban sangat setuju 20% dan setuju 68.5%. Persentase ini tinggi yang membuktikan bahwa responden sangat menyadari bahwa perlu pemahaman yang sama atas regulasi pengadaan sehingga tidak menimbulkan kesimpanggsiuran ketika melakukan kegiatan e-procurement dan ketika berhadapan dengan penyedia. Penyedia dengan mudah mengatakan tidak ada transparansi di kegiatan pengadaan bila penyelenggara pengadaan memberikan penjelasan yang berbeda-beda berkaitan dengan regulasi yang berisi tentang tata cara dan persyaratan lelang serta ketentuan-ketentuan lelang lainnya. Tabel 5.9: Infrastruktur Pengadaan Barang/Jasa Yang Memadai Dapat Mewujudkan Transparansi Dalam Pengadaan No 1 2 3 4 5
Kategori Jawaban Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju Total Sumber: Angket, 2015
Frekwensi 1 19 18 14 2 54
Persentase (100%) 1.9 35.2 33.3 25.9 3.7 100
50
Pada Tabel 5.9 transparansi dikaitkan dengan infrastruktur pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Hanya sekitar 37.1% sangat setuju dan setuju bahwa ada kaitan antara ketidaksiapan infrastruktur dengan tidak terwujudnya transparansi pengadaan barang/jasa. Persentase ini jauh lebih kecil dibandingkan Tabel 5.8. Ini artinya pengaruh landasan hukum (regulasi) tentang pengadaan barang/jasa jauh lebih besar dalam mewujudkan transparansi pengadaan dibanding infrastruktur. Selanjutnya sebesar 25.9% menjawab tidak setuju dan bahkan 3.7% menjawab sangat tidak setuju bahwa infrastruktur pelaksanaan pengadaan dapat mempengaruhi terwujudnya transparansi pengadaan barang/jasa. Tabel 5.10: Pentingnya Peran Penyelenggara Pengadaan Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah No 1 2 3 4 5
Kategori Jawaban Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju Total Sumber: Angket, 2015
Frekwensi 25 16 13 54
Persentase (100%) 46.3 29.6 24.1 100
Tabel 5.10 menunjukkan bahwa ada hubungan antara penyelenggara pengadaan dan transparansi pengadaan barang/jasa dengan jawaban responden sebesar 46% sangat setuju dan 29.6% setuju . Tidak ada responden yang menjawab tidak setuju dan sangat tidak setuju. Ini artinya dibandingkan dengan landasan hukum dan infrastruktur, maka sumber daya manusia penyelenggara memberikan kontribusi paling besar terhadap terwujudnya transparansi pengadaan barang/jasa yakni sebesar 75.9% menjawab sangat setuju dan setuju. Tabel 5.11: Model Summary Model
1
R
,384a
R Square ,148
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
R Square Change
,131
3,63819
,148
Change Statistics F df1 df2 Change 9,005
1
52
Sig. F Change ,004
Sumber: Hasil Pengolahan Dengan Statistik, 2015 Salah satu tujuan penelitian ini adalah melihat seberapa besar pengaruh model implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa. Untuk mencari seberapa besar pengaruh ini maka digunakan analisis regresi dengan pengolahan data statistik menggunakan program komputer SPSS (Statistical Package 51
for Social Sciences).Uji F digunakan untuk menguji apakah model regresi tersebut baik/signifikan atau tidak baik/non signifikan. Dengan derajat kepercayaan 98% maka diperoleh R Square sebesar 0.148. Selanjutnya dengan menggunakan rumus korelasi determinan maka diperoleh angka sebesar 14.8% (Tabel 5.11). Ini berarti model implementasi kebijakan e-procurement yang terdiri dari faktor landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia mempengaruhi secara signifikan transparansi pengadaan barang/jasa di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai, sebesar 14.8%. Sementara sisanya sebesar 85.2% merupakan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi transparansi pengadaan barang/jasa, seperti komitmen dan kualitas kepemimpinan, kondisi sosial, ekonomi dan politik, dukungan publik, komunikasi, koordinasi dan lain-lain yang bukan merupakan fokus dari penelitian ini. Prinsip pengadaan barang/jasa secara elektronik menurut Perpres No. 4 Tahun 2015 adalah efisien, efektif, transparan, terbuka, bersih, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel. Beberapa survey yang dilakukan di Indonesia menunjukkan kontribusi dari efisiensi atau penghematan anggaran yang paling dominan didiskusikan dalam implementasi pengadaan barang/jasa secara elektronik. Di Kota Surabaya, pelaksanaan e-procurement berhasil meningkatkan efektivitas, efisiensi dan transparansi, dan kontribusi penghematan anggaran diperoleh sebesar 20-30% dari anggaran untuk pelayanan publik (Partnership for Democratic Local Governance in Southeast Asia, 2003).Di Kementerian Keuangan RI, pelaksanaan e-procurement berhasil menghemat anggaran, mengurangi tingkat kebocoran dan menjamin keterbukaan. Sumbangan penghematan anggaran diperoleh sampai 18.4% pada tahun 2009. Sementara di Kementerian Perhubungan RI, nilai pagu pengadaan barang/jasa tahun 2015 sebesar Rp 1,4 triliun, sedangkan nilai transaksinya Rp 1,17 triliun. Ini artinya ada penghematan sebesar
Rp 230 miliar (Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah/LKPP).
5.3 Perubahan Terbaru RegulasiPengadaan Barang/Jasa Pemerintah: Beberapa Poin Penting Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan awal munculnya sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik (e-procurement) di Indonesia. Selanjutnya beberapa tahun kemudian, pada tanggal 6 Agustus 2010 diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang menandakan Keppres 52
Nomor 80 Tahun 2003 beserta Perubahannya resmi dicabut dan tidak berlaku efektif mulai tahun 2011. Tidak lama berselang, terbit Perpres Nomor 35 Tahun 2011 yang merupakan Perubahan Pertama atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Selanjutnya pada tanggal 31 Juli 2012 ditandatangani Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dua tahun berselang, pada tanggal 1 Desember 2014 diundangkan Perpres No. 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Kemudian diawal tahun 2015, Presiden Jokowi menandatangani Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Penjelasannya yang telah diundangkan pada tanggal 16 Januari 2015. Perubahan yang sudah dilakukan beberapa kali terhadap perpres tentang pengadaan barang/jasa dapat dilihat dalam arti yang positif yakni sebagai bentuk kepedulian pemerintah untuk membenahi sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik di Indonesia. Pembenahan ini diperlukan karena diharapkan untuk tahuntahun yang akan datang, semua belanja pemerintah dilakukan dengan menggunakan elektronik. Namun bila dilihat dari kacamata penyelenggara atau panitia pengadaan barang/jasa maka perubahan peraturan yang hampir setiap tahunnya dilakukan memberikan beban tambahan bagi mereka. Selain harus memahami dan menguasai peraturan dengan teliti, mereka juga dituntut untuk mempelajarinya dengan cepat, karena jadwal tender atau lelang yang sudah didepan mata. Hal yang sama juga berlaku bagi penyedia (provider) karena harus meluangkan waktu untuk mempelajari peraturan yang direvisi berkali-kali, disela-sela kesibukan mereka menjalankan usahanya. Salah satu poin yang menarik dari perubahan perpres ini berkaitan dengan pasal 106 ayat (1) baik dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 dan Perubahannya maupun Perpres No. 4 Tahun 2015. Pada Perpres No. 54 Tahun 2010 dikatakan bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah “dapat” dilakukan secara elektronik. Sementara pada Perpres No. 4 Tahun 2015, pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan secara elektronik. Penghilangan kata “dapat” di Perpres No. 4 Tahun 2015 menandakan awal berlakunya penggunaan elektronik dalam pengadaan barang/jasa di Indonesia. Dengan kata lain, menjadi suatu kewajiban bagi K/L/D/I untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik sesuai dengan ketentuan yang ada.
53
Poin menarik lainnya, baik Perpres No. 54 Tahun 2010 dan Perubahannya maupun Perpres No. 4 Tahun 2015 Pasal 106 ayat (2) mengatakan bahwa pengadaan barang/jasa secara elektronik dilakukan dengan cara e-tendering atau e-purchasing. Hal ini berarti diluar keduanya seperti penunjukkan langsung dan pengadaan langsung tidak dilaksakan secara elektronik melainkan dilaksanakan secara non elektronik. Namun perbedaannya di Perpres No. 54 Tahun 2010 belum diatur dengan jelas hal-hal yang berkaitan dengan e-tendering dan e-purchasing. E-tendering itu sendiri merupakan tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang terdaftar pada sistem pengadaan elektronik dengan cara menyampaikan satu kali penawaran dalam waktu yang telah ditentukan (Pasal 1 angka 39 Perpres No. 4 Tahun 2015). Sementara e-purchasing merupakan tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem katalog elektronik(Pasal 1 angka 41 Perpres No. 4 Tahun 2015). Selanjutnya di Pasal 109 Perpres No. 4 Tahun 2015, ruang lingkup e-tendering meliputi proses pengumuman pengadaan barang/jasa sampai dengan pengumuman pemenang yang dilaksanakan dengan menggunakan sistem pengadaan secara elektronik yang diselenggarakan oleh LPSE. Pihak-pihak yang terlibat dalam e-tendering adalah PPK, ULP/Pejabat Pengadaan, dan Penyedia Barang/Jasa. Sementara dalam melakukan e-purchasing diperlukan sistem katalog elektronik (e-catalogue) yang diselenggarakan oleh LKPP. Sistem katalog elektronik ini sekurang-kurangnya memuat informasi teknis dan harga barang/jasa yang ditetapkan oleh Kepala LKPP. Setelah berlakunya Perpres No. 4 Tahun 2015 maka K/L/D/I wajib melakukan e-purchasing terhadap barang/jasa yang sudah dimuat dalam sistem katalog elektronik sesuai dengan kebutuhan K/L/D/I. E-purchasing dilaksanakan oleh Pejabat Pengadaan/PPK atau pejabat yang ditetapkan oleh Pimpinan Instansi/Institusi.
5.4 Organisasi Pengadaan: Pihak-Pihak Terkait Dengan Pengadaan Barang/Jasa Menurut Perpres No. 54 Tahun 2010 yang telah direvisi beberapa kali dan terbaru menjadi Perpres No. 4 Tahun 2015 pada Pasal 7 dikatakan bahwa organisasi pengadaan barang/jasa untuk pengadaan melalui penyedia barang/jasa terdiri dari: a.
PA/KPA;
b.
PPK;
c.
ULP/Pejabat Pengadaan; dan
d.
Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan 54
5.4.0 Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Pengguna Anggaran(PA) menurut Pasal 1 angka 5 Perpres No. 4 Tahun 2015 adalah
pejabatpemegang
kewenangan
penggunaan
anggaran
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yangdisamakan pada Institusi lain Pengguna APBN/APBD. Selanjutnya menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1) tentang Perbendaharaan Negara yang menjadi konsideran dari Perpres No. 54 Tahun 2010 bahwa gubernur, bupati/walikota selaku Kepala Pemerintah Daerah serta Kepala SKPD bagi SKPD yang dipimpinnya dapat menjadi PA. Namun karena PA memiliki beban pekerjaan atau rentang kendali organisasi yang besar seperti menetapkan Rencana Umum Pengadaan, mengumumkan secara luas Rencana Umum Pengadaan paling kurang di website K/L/D/I, menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), menetapkan Pejabat Pengadaan dan menetapkan Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan maka PA pada Pemerintah Daerah dapat mengusulkan 1 (satu) atau beberapa orang kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan sebagai KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) sebagai mana tertuang dalam Pasal 9. Pasal 1 angka 6 Perpres No. 4 Tahun 2015 mendefinisikan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN atau ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD. Jadi jika kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) merupakan instansi pengguna anggaran, maka KPA adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian kewenangan pengguna anggaran dalam melaksanakan sebagian tugas dan fungsi SKPD. Dengan perkataan lain, KPA merupakan pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kuasa atau wewenang PA, dimana kewenangan yang dimiliki oleh KPA sesuai dengan apa yang dilimpahkan oleh PA. PA dapat mengusulkan siapa saja baik yang memiliki jabatan struktural maupun fungsional untuk menjadi KPA. Selanjutnya Kepala Daerah menetapkanpejabat yang diusulkan PA untuk menjalankan kuasa sebagai KPA (Pasal 10 Ayat 2). Di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, yang dipilih menjadi lokasi dari studi kasus penelitian ini, Kepala Dinas (Kadis) Kabupaten/Kota yang menjadi PA, selanjutnya Kadis Kesehatan mengajukan satu atau beberapa nama ke Bupati/Walikota untuk ditetapkan sebagai KPA di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tersebut. Namun untuk tingkat pemerintah daerah, yang menjadi PA adalah Bupati/Walikota, sedangkan KPA adalah kepala dinas (SKPD) kabupaten/kota. 55
5.4.1 Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Di dalam Pasal 12Perpres No. 4 Tahun 2015, PA/KPA menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untukmelaksanakan Pengadaan Barang/Jasa. Dengan demikian, PPKadalahpejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang memiliki tugas pokok dan kewenangan sebagai tertuang dalam Pasal 11 ayat 1 yakni: a.
menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang meliputi: 1) spesifikasi teknis Barang/Jasa; 2) Harga Perkiraan Sendiri (HPS); dan 3) rancangan Kontrak.
b.
menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;
c.
menandatangani Kontrak;
d.
melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa;
e.
mengendalikan pelaksanaan Kontrak;
f.
melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA;
g.
menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan Berita Acara Penyerahan;
h.
melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan; dan
i.
menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
Selain tugas pokok dan kewenangan di atas PPK dapat: a.
mengusulkan kepada PA/KPA: 1) perubahan paket pekerjaan; dan/atau 2) perubahan jadwal kegiatan pengadaan;
b.
menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis (aanwijzer) untuk membantu pelaksanaan tugas ULP; dan
c.
menetapkan besaran Uang Muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia Barang/Jasa. Dari uraian mengenai tugas pokok dan kewenangan PPK di atas, maka tidak
berlebihan bila PPK memegang peranan sentral terhadap pengadaan barang/jasa pemerintah, karenamemiliki tanggung jawabyang besar baik secara administrasi, teknis maupun finansial (Perpres No. 4 Tahun 2015 Pasal 7).Sedangkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk 56
mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara. Karena besarnya tanggung jawab yang diemban oleh PPK maka seorang yang menjadi PPK baik yang memiliki jabatan struktural atau eselon harus memiliki persyaratan teknis maupun manajerial sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 ayat (2), antara lain memiliki integritas, disiplin tinggi, tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk melaksanakan tugas. Selain itu mampu mengambil keputusan, bertindak tegas, memiliki keteladanan dalam sikap perilaku dan tidak pernah terlibat KKN serta memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa.
5.4.2 Unit Layanan Pengadaan (ULP)/Pejabat Pengadaan Unit
Layanan
Pengadaan
(ULP)
adalah
unit
organisasi
Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa yang bersifatpermanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unityang sudah ada (Perpres No. 4 Tahun 2015 Pasal 1 angka 8). Sementara Pejabat Pengadaan adalah personil yang ditunjuk untukmelaksanakan Pengadaan Langsung. Baik anggota ULP maupun Pejabat Pengadaandapat berasal dari pegawai negeri,baik dari instansi sendiri maupun instansi lainnya. Selanjutnya pada Pasal 4 dikatakan bahwa Perangkat Organisasi ULP ditetapkan sesuai kebutuhan, setidak-tidaknya terdiri atas:kepala;sekretariat;staf pendukung; dankelompok kerja.Ini artinya setiap kabupaten/kota memiliki perangkat ULP yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan daerah atau beban kerja dari ULP di masing-masing kabupaten/kota. Kepala ULP adalah pejabat pimpinan tinggi pratama ataujabatan administrator atau jabatan pengawas. Sementara sebagai personil ketatausahaan/sekretariat adalah jabatan administrator atau jabatan pengawasatau jabatan pelaksana atau pejabat fungsional. Serta yang menjadi anggota ULP yakni pejabat
fungsional
umum
atau
jabatanpelaksana
atau
pejabat
fungsional
keahlian/tertentu. Bagan 5.1: Perangkat ULP Kepala ULP Staf Pendukung
Sekretariat
Kelompok Kerja (Pokja)
57
Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) yang merupakan perangkat organisasi ULP dapat dikatakan menjadi ujung tombak berjalannya proses eprocurenment,karena Pokjamerupakan pihak yang ditunjuk dan dipersiapkan sebagai panitia pengadaan yang akan memutuskan penyedia mana yang akan dimenangkan dalampelaksanaan lelang secara elektronik. Di Kota Medan, ULP terdiri dari Pokja yang sifatnya tetap dan tidak tetap. Pokja tetap berasal dari Bagian Perlengkapan dan Aset Pemerintah Kota Medan, sementara Pokja tidak tetap keanggotaannya berasal dari beberapa SKPD yang ada di Kota Medan. Hal yang sama ditemukan di Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai, namun bedanya yang menjadi anggota Pokja tetap berasal dari fungsional Bagian Pengadaan Barang/Jasa (BPJ). Dikatakan tidak tetap karena tidak selalu ikut dalam semuapaket lelang. Selain itu keanggotaannya juga berganti-ganti
sehingga
Surat
Keputusan
(SK)
sebagai
Pokja
tidak
tetap
harusdiperbaharui setiap tahunnya.Saat ini Pokja tetap ULP Pemko Medan berjumlah 17 orang,sementara Pokja yang tidak tetap atau yang berasal dari SKPD yang ada di Kota Medan berjumlah 11orang. Di Kota Binjai jumlah Pokja tetap 16 orang sedang di Kabupaten Serdang Bedagai berjumlah 20 orang. Proses pengrekrutan Pokja ULP diawali dengan permintaan Kepala ULP kepada SKPD untuk mengirimkan pegawainya menjadi salah satu tim di Pokja tidak tetap. Sama dengan Kota Medan, di Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai penetapan Pokja dipilih berdasarkan usulan dari SKPD atau Kepala Dinas yang ada di Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai. Jadi tidak semua SKPD memiliki wakil di ULP kota/kabupaten. Karena itu, seseorang yang berasal dari SKPD X bisa saja terlibat dalam pelelangan di SKPD Y, tetapi untuk SKPD X orang tersebut diposisikan sebagai koordinator sementara di SKPD Y, yang bersangkutan hanya sebagai anggota Pokja. Setelah ULP menerima beberapa orang yang berasal dari wakil SKPD untuk menjadi anggota Pokja, maka tahap selanjutnya Ketua ULP melakukan seleksi siapa yang berhak menjadi koordinator Pokja dan anggota Pokja dalam sebuah paket lelang. Karena
memang
salah
satu
tugas
dari
Ketua
ULP
adalah
menugaskan/menempatkan/memindahkan anggota Pokja sesuai dengan beban kerja masing-masing Pokja ULP dan mengusulkan pemberhentian anggota Pokja yang ditugaskan di ULP (Perpres No. 4 Tahun 2015). Selain melihat latar belakang yang kuat atas jenis lelang yang akan dilakukan, Ketua ULP juga melihat pengalaman kerja dalam 58
menentukan tim dalam Pokja ULP. Anggota yang mempunyai latar belakang serta pengalaman kerja yang tinggi akan menduduki posisi koordinator Pokja. Sebaliknya yang belum mempunyai pengalaman diposisikan sebagai anggota tim. Tujuannya agar proses pengadaan barang/jasa dapat berjalan dengan lancar. Tahapan terakhir, Ketua ULP mengeluarkan SK Pokja dan membuat SPT (Surat Perintah Tugas) kepada anggota Pokja (Wawancara dengan MI10, 4 Juni 2015). Salah satu tugas pokok dan tanggungjawab Pokja ULP adalah melakukan verifikasi terhadap spesifikasi teknis barang/jasa dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang sudah ditetapkan oleh PPK dari SKPD yang hendak melakukan lelang (Pasal 11 ayat (1)). PPK menyerahkan HPS dan spesifikasi yang masih global ke Pokja beserta dengan dokumen pengadaan sesuai dengan spesifikasi yang dimiliki dinas/SKPD. Namun dapat terjadi Pokja mengusulkan kepada PPK untuk mengubah HPS dan spesifikasi teknis pekerjaan (Perpres No. 4 Tahun 2015). Dalam keadaan seperti ini Ketua ULP tidak dapat mencampuri keputusan Pokja tersebut. Karena Ketua dan Sekretaris ULP tidak mempunyai hak untuk mengubah HPS yang diserahkan PPK ke Pokja ULP. Mereka hanya bisa melihat atau memantau prosesnya saja. Proses secara langsung hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang punya user ID. Sebenarnya Ketua dan Sekretaris ULP juga mempunyai user ID, tetapi hanya sekedar bisa melihat informasi di website LKPP. Selama proses pengadaan, tidak ada komunikasi antara Ketua dan Sekretaris ULP dengan Pokja. Artinya Ketua dan Sekretaris ULP tidak mempunyai hak untuk mencampuri proses yang dilaksanakan oleh Pokja.Jadi kalau ada masalah di Pokja dalam kaitan dengan proses lelang, maka yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya adalah Pokjasendiri. Kepala ULP hanya berurusan dengan masalah administrasi, mengawasi seluruh kegiatan pengadaan barang/jasa di ULP dan melaporkan apabila ada penyimpangan dan/atau indikasi penyimpangan. Setelah selesai proses pengadaan, Pokja akan melaporkan hasilnya kepada Kepala ULP dan selanjutnya LPSE mengumumkan hasil tersebut melalui sistem SPSE. Dari uraian di atas jelaslah mengapa Ketua ULP tidak memerlukan sertifikat pengadaan dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Namun akan berbeda bila Ketua ULP merangkap Pokja maka wajib baginya untuk memiliki sertifikat pengadaan. Sejalan dengan amanat Perpres No 4 Tahun 2015 bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi Kepala ULP/Anggota Pokja ULP/Pejabat Pengadaan adalah memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan. 59
Persyaratan sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa ini dapat dikecualikan untuk Kepala ULP yang tidak merangkap anggota Kelompok Kerja ULP.
5.4.3 Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) Menurut Perpres No. 4 Tahun 2015 Angka 8, Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) adalahpanitia/pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA yangbertugas memeriksa dan menerima hasil pekerjaan. Anggota PPHPini berasal dari pegawai negeri, baik dari instansi sendiri maupun instansi lainnya. Namun ada pengecualian bagi anggotaPanitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan pada Institusi lainPengguna APBN/APBD atau Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola,dapat berasal dari bukan pegawai negeri. Tugas utama PPHP sebagaimana tertuang dalam pasal 18 Perpres No. 54 Tahun 2010 dan Perubahannya adalah melakukan pemeriksaan/pengujian hasil pekerjaan pengadaan barang/jasa sesuai yang tercantum dalam dokumen kontrak, yang mencakup kesesuaian jenis, spesifikasi teknis, jumlah/volume/kuantitas, mutu/kualitas, waktu dan tempat penyelesaian pekerjaan apakah sesuai dengan yang tertuang dalam kontrak atau tidak, serta membuat berita acara hasil pemeriksaan dan pengujian tersebut.Sehingga seorang PPHP harus memahami setiap spesifikasi barang/jasa yang akan diadakan dan memahami setiap jenis-jenis kontrak yang digunakan. Apabila didalam pemeriksaan/pengujian dibutuhkan tenaga teknis maka KPA dapat membentuk tim teknis/menunjuk tenaga ahli untuk membantu tugas PPHP. Bagan 5.2: Struktur Organisasi Pengadaan Melalui Penyedia Barang/Jasa
Pengguna Anggaran (PA)
KPA
PPK
KPA
ULP/Pejabat Pengadaan
KPA
Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) 60
Sumber: Modul LKPP, 201034
5.5 Kebijakan e-Procurement: Sebuah Reformasi di Bidang Pelayanan Publik Pengadaan barang/jasa secara elektronik merupakan salah satu bentuk pelayanan publik. Dalam hal ini organisasi publik sebagai pihak yang memberikan pelayanan yakni aparatur pemerintahan yang bertanggungjawab di bidang pengadaan barang/jasa beserta segenap kelengkapan kelembagaannya. Sementara yang menjadi penerima pelayanan publik adalah penyedia (provider) yakni pengusaha (badan hukum) yang ikut melakukan penawaran dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah. Pelayanan publik di bidang pengadaan telah mengalami perubahan atau reformasi secara signifikan terutama setelah berlakunya Perpres No. 54 Tahun 2010 atau berakhirnya Kepres No. 80 Tahun 2013. Reformasi pelayanan di bidang pengadaan barang/jasa ini salah satu tujuannya adalah untuk mewujudkankan transparansi pengadaan barang/jasa yang sebelumnya dirasakan sangat tidak transparan karena kegiatan-kegiatan dalam pengadaan barang/jasa tidak diketahui secara terbuka oleh publik terutama calon penyedia (provider). Berlakunya Perpres No. 54 Tahun 2010 menjadi awal perubahan dari sistem pengadaan secara manual ke sistem elektronik (e-procurement). Dengan demikian, sisteme-procurementini merupakan penyempurnaan dari sistem pelelangan secara manual. Di dalam sistem yang manual, pelelangan harus dipersiapkan dengan hal-hal yang cukup merepotkan. Seperti yang terjadi di salah satu lokasi penelitian dimana harus disediakan polisi di tempat atau lokasi pelelangan untuk menghindari terjadinya tindakan-tindakan yang anarkis yang dilakukan oleh penyedia. Selain itu, tindakantindakan teror sering mewarnai jalannya proses pelelangan. Hal ini terjadi karena tidak adatrust yang terbangun diantara panitia penyelenggara dan penyedia. Bahkan beberapa penyediamemiliki pemikiran bahwa ada pengarahan pemenang terhadap sekelompok penyedia yang merupakan saingan mereka. Hal lain yang terjadi pada proses pelelangan secara manual adalah mudahnya untuk menyampaikan keberatan secara langsung kepada panitia penyelenggara, sehingga pelelangan yang ada berjalan alot, bertele-tele dan tidak sistematis. Namun saat ini tindakan tersebut bisa ditekan bahkan tidak ada sama sekali setelah keberadaan sistem elektronik (Wawancara dengan MI5,5 Mei 2015). 34
Modul Pelatihan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. LKPP. 2010. Dikutip 13 Juni 2015. Jam 14.02 WIB.
61
Proses pelelangan secara elektronik di tiga lokasi penelitian dalam perjalanannyamemiliki kelebihan dan kekurangan.Salah satu kelebihan dari kebijakaneprocurement dalam implementasinyaadalah dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas karena prosesnya sangat terbuka sehingga mendorong persaingan yang sehat, adil dan non-diskriminatif antar pelaku usaha yang pada akhirnya efisiensi dan efektifitas belanja negara dapat terwujudkan. Hal ini juga didukung dengan sistem yang memiliki kapabilitas untuk berinteraksi dan berfungsi dengan sistem lain tanpa batasan akses atau implementasi(interopabilitas) serta Jaminan Keamanan Data (security) sehingga proses pengadaan secara elektronik dapat berjalan efisien dan efektif. Kelebihan lain yang sangat nyata terlihat adalah proses pengadaan secara elektronik lebih aman dan nyaman dibanding pengadaan secara manual. Tidak perlu lagi mempersiapkan keamanan yang berlebihan karena dijamin tidak ada tindakantindakan yang anarkis dan tidak sistematis. Nyaman, karena sangat sederhana dan penawaran bisa dilakukan di mana saja selama tersedia akses internet yang memadai. Selain itu proses secara elektronik ini cukup efisien karena tidak membutuhkan banyak anggaran untuk mengumukan lelang dan hasil lelang di media cetakkarena dapat langsung diakses diwebsite LPSE, proses pencatatan penawaran jugatidak memerlukan banyak kertas. Kekurangan yang ada dari sistem elektronik diakui sangat sedikit terutama pada kemampuan SDM, baik sebagai penyedia maupun panitia, yang berurusan langsung dalam sistem pengadaan barang/jasa. Apabila penyedia tidak memahami sistem komputerisasi, maka terkendalalah proses pelelangan karena mereka pasti tidak dapat mengikuti proses yang ada. Selain itu, e-procurement memang diciptakan untuk mempermudah proses pelelangan, sehingga tidak pernah ada keluhan atau pernyataan tidak setuju dari pihak penyedia meskipun kebanyakan dari pihak merekalah yang menghadapi kesulitan (Wawancara dengan MI5, 5 Mei 2015; MI1, 21 Mei 2015). Sementara tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam pengadaan barang/jasa secara manual dan elektronik adalah sama, yakni sebagai berikut: Pengumuman lelang; Pendaftaran dan pengambilan dokumen; Penjelasan dokumen dan perubahan dokumen; Dokumen penawaran dan pembukaan dokumen penawaran; Evaluasi penawaran; Evaluasi kualifikasi; Usulan calon pemenang; Penetapan pemenang; Pengumuman pemenang; Sanggah hasil lelang; Penujukan penyedia barang/jasa; dan Penandatangan kontrak.Semua tahapan ini pada dasarnya sama. Perbedaannya hanya tidak ada lagi pertemuan langsung antara penyedia dan panitia pengadaan di sistem pengadaan secara 62
elektronik. Pertemuan dengan penyedia hanya dilakukan apabila pemenang harus menandatangani kontrak setelah ditetapkan menjadi pemenang lelang. Jadi di dalam sistem yang baru interaksi hanya dapat dilakukan melalui komunikasi online. Proses pelelangan secara elektronik menjadi harapan baru bagi pihak yang berkecimpung di dalamnya, baik itu penyedia maupun panitia pengadaan, dengan cara tetap memelihara prinsip efisien, efektif, terbuka, transparan, adil, tidak diskriminatif dan akuntabilitas. Transparansebagai salah satu prinsip dari pelayanan publik dan juga prinsip dari pengadaan barang/jasa secara elektronik yang menjadi fokus dalam penelitian ini haruslah menjadi pegangan agar kepercayaan pada sistem tetap terjaga.
5.6 Pokja ULP dan PPK: Posisi Strategis di Era Keterbukaan? Kelompok Kerja ULP (Pokja ULP) atau Pokja adalah kelompok kerja yang terdiri dari pejabat fungsional pengadaan yang berjumlah gasal dan beranggotakan paling kurang 3 (tiga) orang. Jumlah ini dapat ditambah sesuai dengan kompleksitas pekerjaan,seperti pekerjaan yang memerlukan teknologi tinggi atau mempunyai risiko tinggi. Pokja yang menentukan peserta lelang (penyedia) menjadi pemenang. Dengan demikian tugas Pokja adalah mulai dari proses perencanaan pemilihan penyedia sampai dengan proses pemilihan dan hasil akhir berupa penetapan pemenang dari pengadaan barang/jasa
yang
dilaksanakan.Tahapan
selanjutnya,ULP
menyampaikan
hasil
pemilihan kepada PPK untuk diberikan Surat Penunjukan Penyedia Barang Jasa (SPPBJ) dan menandatangani kontrak antara penyedia dengan PPK.Sebagaimana dikatakan di dalam Perpres No. 4 Tahun 2015 Pasal 17 ayat (2), tugas pokok dan kewenangan Kelompok Kerja ULP (Pokja ULP) adalah: a.
menyusun rencana pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
b.
menetapkan Dokumen Pengadaan;
c.
menetapkan besaran nominal Jaminan Penawaran;
d.
mengumumkan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di website K/L/D/I masingmasing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta menyampaikan ke LPSE untuk diumumkan dalam Portal Pengadaan Nasional;
e.
menilai
kualifikasi
Penyedia
Barang/Jasa
melalui
prakualifikasi
atau
pascakualifikasi; f.
melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga terhadap penawaran yang masuk; dan lain sebagainya;
63
g.
menjawab sanggahan; menetapkan Penyedia Barang/Jasa; menyampaikan hasil Pemilihan dan salinan dokumen Pemilihan Penyedia Barang/Jasa kepada PPK; menyimpan dokumen asli pemilihan Penyedia Barang/Jasa; membuat laporan mengenai proses pengadaan kepada Kepala ULP. Uraian di atas menjelaskan posisi Pokja sangat menentukan dalam proses
pengadaan barang/jasa. Beberapa poin penting yang ditemukan dilapangan adalah berkaitan dengan penilain Pokja terhadap kualifikasi penyedia barang/jasa serta evaluasi administrasi, teknis dan harga yang dilakukan Pokja terhadap penawaran yang masuk. Kedua tugas ini memberikan posisi yang strategis bagi Pokja. Dikatakan strategis karena hasil dari penilaian dan evaluasi Pokja inilah yang menentukan seseorang menjadi pemenang lelang atau tidak. Berbeda dengan posisi LPSE yang hanya mengumumkan informasi mengenai lelang termasuk kualifikasi barang/jasa yang dikehendaki
serta
kemudian
mengumumkan
pemenang
lelang
melalui
portalnya.Sementara bila dikaitkan dengan posisi Pokja, maka Ketua ULP tidak dapat menghalangi Pokja yang ingin melakukan survey bila ada kecurigaan dan keraguan terhadap penetapan HPS yang telah dilakukan oleh PPK.Karena dalam sebuah proses lelang, Pokja sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap Kepala ULP. Sementara PPK menurut Pasal 11 (poin a sampai i) memiliki tugas pokok dan kewenangan yang tidak kalah strategisnya dibanding Pokja. Tugas pokok dan kewenangan ini menjadikan posisi PPK strategis dalam proses pengadaan barang/jasa selain Pokja ULP. Namun bedanya PPK bisa mengajukan pergantian Pokja dalam sebuah pelelangan.Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa Pokja berhak menentukan peserta lelang (provider) menjadi pemenang. Namun keputusan ini dapat dianulir oleh PPK dengan cara mengusulkan kepada PA/KPA. Jadi bila PA/KPA sependapat dengan PPK maka SPPBJ tidak dapat ditandatangani. Selanjutnya bila tidak ada juga kesepakatan antara PPK dan Pokja maka PPK bisa mengajukan pergantian Pokja kepada PA/KPA. Dari penjelasan di atas peranan PPK juga sangat besar dalam e-procurement. Karena itu pejabat yang memiliki posisi sebagai PPK tidak sembarangan. Bahkan dari hasil temuan di lapangan kata-kata “pejabat yang menduduki posisi PPK harus bisa mengamankan proses pengadaan yang sedang berlangsung” sangat jamak didengar. Penentuan pejabat yang berhak menempati posisi ini adalah kewenangan dari pejabat yang menjadi KPA. Sedangkan KPA bisa saja pimpinan dari SKPD yang mengajukan pengadaan proyek. Dengan demikian tidak heran bahwa posisi sebagai PPK selain 64
memenuhi kriteria Pasal 12 Perpres No. 4 Tahun 2015 juga memiliki „kedekatan‟ dengan KPA dan PA. Bahkan karena rentan dengan tekanan-tekanan baik yang datang dari Pokja maupun penyedia maka bisa saja posisi sebagai KPA sekaligus menjadi PPK. Namun di alam keterbukaan seperti saat ini, posisi strategis yang dimiliki oleh Pokja ULP dan PPK tidak serta merta dapat dengan mudah disalahgunakan. Lembagalembaga seperti Inspektorat, BPK, LSM, media massa dan masyarakat menjadi pengawas yang selalu siap sedia mengawasi segala gerak-gerik Pokja dan PPK khususnya bila sedang berlangsung lelang pengadaan. Sedikit ditemukan kesalahan lembaga-lembaga ini tidak segan untuk mengangkat isu tersebut kepermukaan melalui pemberitaan di media massa bahkan bisa juga sampai ke pengadilan. Demikian juga penyedia terutama yang bermodal besar siap siaga memantau proses lelang yang sedang berlangsung dengan menyebarkan orang-orangnya sebagai mata-mata. Sementara secara legal formal, Perpres No. 4 Tahun 2015 Pasal 17 ayat (2) poin g mengakomodir tuntutan penyedia bila dirasa terdapat ketidakadilan atau ketidakjelasan berkaitan dengan proses pengadaan. Dikatakan dalam poin g bahwa penyedia yang tidak lulus kualifikasi dapat melakukan sanggah terhadap keputusan yang diambil oleh Pokja.Dengan
demikian
PokjaULP
melalui
SPSE
bertanggungnjawab
untuk
menjelaskan kepada penyedia yang tidak lulus kualifikasi.Alasan-alasan yang diberikan kepada penyedia harus bisa meyakinkan penyedia yang tidak terpilih. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip dari e-procurementyakni transparan, terbuka, bersaing, adil dan tidak diskriminatif. Posisi Pokja dan PPK yang strategis ini juga menjadi sumber “ketakutan” terkait perannya dalam proses pengadaan barang/jasa yang sangat lekat dengan resiko hukum. Sebagaimana dikatakan di atas, Inspektorat, BPK, LSM dan media massa adalah beberapa lembaga pengawas formal dan informal yang selalu menjadi momok bagi siapapun yang mempunyai posisi sebagai Pokja dan PPK.Bahkan tidak sedikit dari penyedia yang curiga dengan keputusan yang diambil oleh Pokja atau PPK. Karena itu tidak mengherankan banyak pegawai SKPD yang sengaja “buang badan” untuk tidak terlibat dalam proses pengadaan barang/jasa (Wawancara dengan MI11, 4 Juni 2015; MI1, 21 Mei 2015;MI3, 27 Mei 2015; MI6,1 Juni 2015). Salah satu cara yang dilakukan untuk menghindari duduk di posisi-posisi penting ini adalah dengan sengaja menggagalkan ujian untuk mendapatkan sertifikat pengadaan. Perlu diketahui bahwasanya pelatihan dan ujian untuk memperoleh sertifikasi tidaklah sulit, apalagi ada semacam modul atau kisi-kisi soal yang diberikan 65
sebelum mengikuti tes. Salah seorang anggota Pokja ULP mengatakan, “ujian dalam pengambilan sertifikat pengadaan cukup sulit, karena tahun lalu dari 104 yang mengikuti hanya 16 orang yang lulus. Tapi bila ditelisik lebih dalam bukanlah materi soal yang sulit akan tetapi ada keengganan dari peserta untuk menang.”Salah satu alasannya adalah karena menjadi Pokja ULP atau PPK memiliki tanggung jawab yang besar dan rentan terhadap KKN (Wawancara dengan MI6, 1 Juni 2015). Selain dekat dengan resiko hukum, posisi sebagai Pokja khususnya yang tidak tetap belum dihargai dengan kecilnya honorarium yang didapat dari sebuah paket lelang. Honorarium yang ditentukan untuk Pokja tertulis di dalam Permenkeu No. 53/PMK.02/2014 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2015 yang berfungsi sebagai batas tertinggi. Berdasarkan peraturan di atas, honorarium panitia pengadaan barang/jasa dan pokja ULP diberikan sesuai dengan nilai pagu pengadaan dengan menyesuaikan batas tertinggi nilainya. Contohnya pada pembangunan rumah dinas dokter di Dinas Kesehatan dengan nilai pagu Rp 245 juta. Permenkeu mengatur batas tertinggi honorarium untuk nilai pagu di atas 200 juta s.d. 500 juta adalah Rp 850.000. Karena nilai pagu pengadaan adalah Rp 245 juta maka setiap anggota Pokja ULP hanya mendapat honor Rp 508.000. Besaran honorarium ini tentunya tidak sebanding dengan beban pekerjaan, resiko pekerjaan dan beban mental dari panitia pengadaan ((Wawancara dengan MI9, 4 Juni 2015). Selain jumlah honor yang kecil, pekerjaan di Pokja dirasakan sangat menyita waktu karena harus bekerja selama 24 jam. Ditambah lagi jam kerjanya yang tidak lazim karena jam kerja yang paling aman adalah sekitar jam 10 atau 11 malam. Bahkan bila sedang melakukan pelelangan, Pokja tidak bekerja di kantor dinas, melainkan di rumah posko yang disediakan oleh pemerintah. Fungsi rumah posko ini adalah untuk kenyamanan kerja dan mengurangi resiko ancaman dari penyedia. Ada kalanya Pokja menginap di rumah posko khususnya pada waktu akan menerbitkan berita acara penetapan pemenang lelang karena memang harus dilakukan pukul 12 malam (Wawancara dengan MI9, 4 Juni 2015). Berisikonya tugas menjadi panitia pengadaan secara elektronik memang menjadi momok yang menakutkan, akan tetapi semua kembali kepada orangnya. Di awal LPSE Kota Medanterbentuk pada tahun 2011, banyak pegawaiyang enggan ikut di dalam kepanitiaan. Namun akhir-akhir ini, animo untuk menjadi panitia pengadaan barang/jasa sudah semakin meningkat. Salah satu buktinya adalah dengan semakin tingginya keinginan pegawai/SKPD mengikutipelatihan untuk mendapatkan sertifikasi 66
pengadaan. Sehingga regenerasi untukmenduduki posisi Pokja ULP pun akhirnya berjalan sebagaimana yang diharapkan. Selain itu kinerja yang ditunjukkan oleh Pokja ULP di Kota Medan, baik yang tetap maupun tidak tetap, sudah cukup terorganisir pada saat ini. Masing-masing anggota Pokja telah bekerjasama dengan baik dalam menjalankan kegiataneprocurement. Meskipun beberapa paket tidak selalu ada hubungannya dengan backgroundanggota Pokja karena anggota Pokja berasal dari berbagai SKPD, namun mereka tetap mampu menangani dan memilah barang/jasa apa yang boleh dimenangkan. Hal ini karena jam terbang mereka yang sudah banyak sehingga mereka mengerti. Selain itu mereka juga dibantu oleh deskripsi spesifikasi barang yang ada. Pendapat
yang
hampir
sama
disampaikan
oleh
seorang
partisipan.
“Keengganan para peserta ujian sertifikasi menjadi anggota Pokja adalah tidak beralasan. Penyelenggaraan lelang maupun penyedia sebenarnya akan berjalan baik bila dijalankan sesuai dengan prosedur yang ada. Adapun tindakan-tindakan berisiko dalam pengadaan biasanya dalam halmark-up atau menggelembungkan HPS. Seperti yang terjadi di Dinkes Provinsi Sumatera Utaradalam pengadaan alat-alat.Panitia pengadaan dan PPKpasti ada hubungan dengan masalah ini, karena merekalah merupakan pihak yang mengetahui dan menyetujui spesifikasi dan HPS yang telah disusun” (Wawancara dengan MI9, 4 Juni 2015). Karena penting, beresiko dan strategisnya posisi Pokja ULP dan PPK, maka persyaratan untuk menjadi Pokja ULP dan PPK diakomodir dalam perpres tentang pengadaan barang/jasa. Cukup banyak persyaratannya diantaranya adalah memiliki integritas, disiplin tinggi dan sertifikat pengadaan barang/jasa. Dari beberapa persyaratan tersebut yang nomor satu disebutkan adalah memiliki integritas. Ini artinya persoalan pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia sangat strategis sehingga organisasi pengadaan barang/jasa menempatkan integritas pada poin yang pertama. Galer35 mengatakan “Integrity is what we say, what we do, and what we say we do.” Jadi seseorang yang memiliki integritas harus menjaga konsistensi antara apa yang ia katakan dan apa yang ia lakukan. Ketika apa yang dikatakan tidak sesuai atau sejalan dengan apa yang dilakukan maka seseorang itu dapat dikatakan tidak jujur atau tidak berintegritas. Ketidakjujuran ini pada akhirnya akan meruntuhkan kredibilitas seseorang, karena kredibilitas dibangun dari sikap jujur yang konsisten. Dengan
35
Galer, Don. http://thinkexist.com/quotes/don_galer/. Dikutip 17 Juni 2015. Jam 10.00 WIB.
67
demikian jelaslah mengapa memiliki integritas diletakkan pada nomor pertama dari persyaratan menjadi Pokja dan PPK, karena tanpa memiliki integritas persyaratanpersyaratan lainnya tidak ada artinya. 5.7 Kebijakan e-Procurement: Sebuah Pandangan Pesimistis Dari Penyedia? Menurut Perpres No. 4 Tahun 2015 angka 12 bahwa penyedia barang/jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan barang/pekerjaan konstruksi/jasa konsultansi/jasa lainnya. Dengan demikian baik badan usaha maupun orang perseorang dapat mengikuti pengadaan yang dilakukan oleh K/L/D/I, meskipun dengan persyaratan yang berbeda pula. Salah satu persyaratan bagi penyedia barang/jasa adalah berkaitan dengan memiliki sumber daya manusia, modal, peralatan dan fasilitas lain yang diperlukan dalam pengadaan barang/jasa. Baik penyedia dalam bentuk badan usaha maupun orang perseorangan harus memenuhi persyaratan ini. Sementara khusus untuk badan usaha yangingin mengikuti proses pengadaan barang/jasa wajib memenuhi persyaratan memperoleh paling kurang 1 (satu) pekerjaan sebagai penyedia barang/jasa dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta.Namun hal ini tidak berlaku bagi badan usaha yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun. Persyaratan ini juga tidak berlaku bagi orang perseorangan. Hal ini dimaksudkan agar semua badan usaha maupun orang perseorangan dapat berpartisipasi dalam pelelangan secara elektronik dengan tetap mengikuti proses pengadaan yang dilakukan secara online. Gambar 5.3: Alur Proses Rekanan Melalui Sistem LPSE
Sumber: LPSE Serdang Bedagai, 2015
68
Di proses awal pengadaan secara elektronik,penyedia harus mendaftar melalui SPSE untuk mendapatkan user IDdan password. Meskipunsudah online,tetapimasih memungkinkanterjadi pertemuan langsung antara penyedia dan anggota LPSE dalam proses pendaftaran. Ini dapat terjadi karena ada gangguan jaringan yang menyebabkan penyedia tidak dapat menerima userID dan password sebagai proses awal pendaftaran. Setelah
melakukan
pendaftaran,
panitia
pengadaanmelalui
komunikasionline
menginformasikan dokumen pengadaan bagi calon penyedia. Dokumen ini ditetapkan oleh Pokja ULP/PejabatPengadaan yang memuat informasi dan ketentuanyang harus ditaati oleh para pihak dalam proses pengadaan barang/jasa. Informasi ini diantaranya berkaitan dengan HPS, persyaratan kualifikasi, jenis kontrak, jadwal pelaksanaan lelang dan lain-lain. Berkaitan dengan isi dokumen ini bila ada hal yang perlu dipertanyakan maka penyedia dapat meminta penjelasan (aanwijing) kepada panitia pengadaan. Aanwijzing merupakan proses penjelasan pelelangan yang dilakukan secara online tanpa tatap muka melalui website LPSE. Namun bila tidak memungkinkan memberikan informasi lapangan ke dalam dokumen, maka panitia pengadaan dapat melakukan penjelasan di lapangan atau lokasi pekerjaan. Sebelum memasuki prosesberikutnya, Pokja ULP harus memastikan bahwa calon penyedia tidak tercantum didalam daftar hitam (black list).Daftar hitam adalah daftar yang dibuat oleh K/L/D/I yang memuat identitas penyedia barang/jasa yang dikenakan sanksi oleh PA/KPA berupa larangan mengikuti pengadaan barang/jasa pada K/L/D/Idan/atau yang dikenakan sanksi oleh Negara/Lembaga PemberiPinjaman/Hibah pada kegiatan yang termasuk dalam ruang lingkup Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah36. Tidak sulit bagi panitia pengadaan untuk mengecek nama-nama penyedia yang masuk dalam daftar hitamkarena nama-nama tersebut dimuat dalamPortal Pengadaan Nasional.Sebuah badan usahaatau perseorangan masuk ke dalam black listdapat disebabkan beberapa hal. Tidak hadir dalam penandatanganan kontrak ketika dinyatakan menang dalamsebuah paket lelang. Selain itu dapat pula terjadi karenapenyedia tidak memenuhi isi kontrak, misalnya dengan menyediakan barang kurang dari yang disepakati. Penyebab lainnya karena tidak jelasnya (fiktif) keberadaan penyediatersebut. Selanjutnya pada halaman websiteLPSE, panitia mengumumkan siapa saja penyedia yang dapat mengikuti proses berikutnya dan juga penyedia yang gagal. 36
Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah No. 18 Tahun 2014 tentang Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.Bab I, Pasal 1, Angka 6.
69
Penyedia yang memenuhi kualifikasi dapat dikatakan sebagai peserta lelang dan berhak untuk melakukan penawaran. Pada tahap ini,para peserta lelang harus mempersiapkan dokumen penawaran dalam sebuah file penawaran dan mengunggahdokumen tersebut. Panitia akan membuka dokumen dan melakukan evaluasi penawaran dari semua peserta lelang yangmemasukkan tawaran.Proses evaluasi (administrasi dan teknis, harga, kualifikasi) terhadap file penawaran dilakukan secara manual (off line) di luar SPSE. Setelah proses evaluasiselesai dilakukan, maka proses berikutnya penetapan pemenang lelang oleh PPK melalui SPSE. Calon pemenang lelang bisasatu atau dua peserta, tergantung pada semakin terpenuhuinya persyaratan sebagai pemenang. Sedangkan yang menjadi pemenang adalah satu orang/badan yakniorang/badan yang berhak mengadakan barang/jasa yang diminta sementara calon pemenang pertama dan kedua menjadi pemenang cadangan yang akan menggantikan posisi pemenang apabila terjadi sesuatu yang tidak memungkinkan
bagi
pemenang
dalam
melakukan
kegiatan
pengadaan.
Pengumumandiwebsite LPSEtidakmenjelaskan secara rinci alasan mengapa peserta lelang tersebut menang, namun dapat dilihat tanda atau nilai di kolom administrasi, teknis, harga penawaran dan harga terkoreksi dari peserta tersebut. Setelah pengumuman pemenang, peserta yang merasa keberatan atas penetapan pemenang dapat menyampaikan sanggahan sebanyak satu kali kepada PPK yang dilakukan secara online melalui SPSE satu jam setelah pengumuman pemenang lelang. Sanggahan dari peserta lelang yang merasa keberatanini dijawab PPK setelah batas akhir waktu sanggah yakni lima hariuntuk lelang biasa dan tiga hari untuk lelang cepat. Jawaban dari PPKhanyabisa dibaca oleh peserta yang mengikuti penawaran. Jadi tidak bisa dibaca oleh masyarakat luas atau penyedia yang tidak mengikuti penawaran. Apabila peserta tetap tidak merasa puas atas jawaban PPKmaka pesertadapat melakukan proses sanggah banding. Proses sanggah banding dilakukan di luar SPSE dimana peserta lelang mengirimkan sanggahanya kepada pejabat terkait, misalnya kepala daerah (bupati atau walikota) sebagai PA untuk tingkat pemerintahan daerah. Dalam keadaan seperti ini biasanya bupati atau walikota dengan bantuan panitia pengadaan mencari jalan damai misalnya dengan menjanjikan proyek yang lain atau yang akan datang untuk diserahkan kepada peserta lelang yang gagal tersebut. Karena pada prinsipnya bupati atau walikota tidak ingin permasalahan ini naik kepermukaan. Jadi melalui sanggah banding seperti ini, maka sisi hukumnya tidak tercapai. Namun pada saat ini apabila pesertatetap tidak 70
puas dalam proses sanggah, maka dapat berlanjut melaluijalur hukum di PTUN. Melalui PTUN sisi hukumnya tercapai karena bila ditemukan tindakan pidana (KKN) dalam proses pengadaan, maka panitia pengadaan dapat diajukan ke pengadilan. Karena salah satu persyaratan dalam sistem e-procurement adalah semua pihak yang terlibat harus menandatangani
Pakta
Integritas
yakni
surat
pernyataan
yang
berisi
ikrar
untukmencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme(Wawancara dengan MI2, 21 Mei 2015). Melalui jalur PTUN proses sanggah bisa dikatakan cukup sulit dan memakan biaya karena peserta harus memberikan jaminan sebesar 1% dari jumlah pagu lelang yang sedang berlangsung. Apabila peserta menang dalam putusan PTUN, maka uang jaminan tersebut akan dikembalikan dan bila tidak menang akan masuk ke dalam kas negara.Sementara
menurut
Bapak
Basaruddin
Kepala
Bagian
Administrasi
Pembangunan /LPSE Kota Medan, aktivitas sanggahdi Pemerintah Kota Medan sudah hampir tidak ada. Ini salah satu bukti bahwa keterbukaan proses lelang secara elektronik terlaksana dengan baik. Namun tidak dapat dipungkiri, hal ini dapat pula terjadi karena peserta tidak mau repot menggunakan jalur hukum atau khawatir malah rugi apabila kalah di PTUN. Setelah masa sanggah telah dilalui atau selesai maka peserta lelang yang menjadi pemenang diundang untuk datang ke SKPD dan melakukan penandatangan kontrak dengan PPK.PPK selanjutnya membuat dan menyampaikan Surat Penetapan Pemenang kepada pemenang lelang secara tertulis, sementara pemenang lelang membawa dokumen asli penawaran. Jadi proses pengadaa suatu paket lelang selesai bila PPK telah menetapkan pemenang lelang, panitia pengadaan mengirimkan pengumuman pemenang lelang kepada peserta lelang melalui SPSE dan masa sanggah telah dilalui. Dari uraian diatas proses pengadaan barang/jasa secara elektronik sangat tepat untuk menciptakan transparansi, keterbukaan, persaingan, keadilan/tidak diskriminasi dan akuntabilitas bila dibandingkan dengan pengadaan secara manual. Namun dari perspektif penyedia khususnya pengusaha lokal, reformasi pengadaan barang/jasa ini belum memberikan kemudahan dan keuntungan yang nyata bagi mereka terutama bila dikaitkan dengan semangat otonomi daerah. Karena berlakunya sistem e-procurement menuntut penyedia untuk memiliki keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial dalam menyediakan barang/jasa secara elektronik. Persyaratan-persyaratan ini sangat memberatkan khusus bagi pengusaha lokal yang mempunyai keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial yang terbatas. 71
Kemampuan di bidang teknologi informasi termasuk penguasaan akan komputer bagi sebahagian besar pengusaha lokal masih hal yang langka dan sulit.Dengan demikian, secara teknis proses pengadaan secara elektronik belum terlalu akrab bagi mereka.Bahkan seorang pengusaha yang mempunyai sebuah CV tidak pernah membuka website LPSE untuk melihat informasi mengenai paket-peket pengadaan. Sementara ada penyedia yang mengikuti lelang tetapi tidak mengunggah sama sekali dokumen-dokumen yang diminta dengan alasan tidak mengerti. Mengatasi hal-hal seperti ini, para pengusahaakhirnya memakai dan membayar seseorangyang menguasai teknologi informasi untuk bisa mengikuti penawaran secara elektronik. Selain perlu penguasaan teknologi informasi, sistem pengadaan secara elektronik menjadi lebih terbuka bagi penyedia yang memiliki modal yang kuat. Hal ini menimbulkan kecemburuandiantara para pengusaha khususnya pengusaha lokal yang mempunyai modal terbatas. Karena pada umumnya penyedia yang memiliki modal kuat, perusahaannya memiliki sumber daya manusia dengan kompetensi yang tinggi dalam membuat penawaran secara elektronik. Selain itu, pengusaha dengan modal yang kuat lebih mudah untuk mendapatkan rekomendasi dari agen resmi (distributor) yang menyediakan garansi purna jual. Penyedia yang memiliki rekomendasi (lampiran-surat dukungan) dan mengikuti penawaran akan lebih besar untuk memenangkan sebuah paket lelang.Namun untuk mendapatkan rekomendasi tersebut tidak mudah bagi pengusaha lokal yang memiliki modal dan akses yang terbatas. Karena biasanya hanya ada satu pemasok (distributor) yang memberikan rekomendasi dan tidak semua pengusaha mendapat rekomendasi tersebut. Penguasaan teknologi informasi dan memiliki modal yang kuat, seorang pengusaha juga harus mempunyai jaringan yang kuat di era pengadaan secara elektronik.Sistem pengadaan secara elektronik dianggap masih belum transparan karena ada celah yang membuat KKN “lebih halus” bermain didalamnya.Ada bargaining proyek yaitu dengan memberikan setoran yang dibayar dimuka.Pembayaran dimuka dilakukan untuk menghindari penyedia yang mendapat proyek „nembak‟ tidak menyetor.Hal ini sudah terjadi sejak sistem pengadaan secara manual dan tidak berubah hingga sistem pengadaan secara elektronik. Konspirasi penawaran dapat terjadi dengan cara memberikan setoran kepada pihak penyelenggara. Setoran tanpa jaringan (orang dalam) tidak menjamin dapat memenangkan penawaran. Karena itu, pengusaha yang memiliki jaringan luas dianggap sebagai pengusaha profesional di kalangan penyedia
72
dan biasanya bukan berasal dari pengusaha lokal (Wawancara dengan MI8, 28 Mei 2015). Uraian diatas menjelaskan bagaimana terjepitnya posisi dari pengusaha lokal yang ikut dalam pengadaan secara elektronik. Jika dilihat dari semangat otonomi daerah, potensi untuk belanja barang/jasa pemerintah seharusnya lebih diberikan peluang kepada pengusaha lokal (daerah). Karena dengan begitu, pemerintah ikut dalam pengembangan usaha bagi pengusaha di daerah. Namun faktanya selalu ada dominasi pengusaha dari luar daerah yang biasanya mempunyai sumber daya manusia yang kompeten, modal yang besar serta jaringan yang luas. Hal ini dapat terjadi karena keterbukaan dalam SPSE yang menyebabkan penyedia dari mana saja yang ingin ikut penawaran dapat mendaftarkan diri secara langsung. Sehingga tidak berlebihan bila salah seorang anggota asosiasi penyedia memandang perbedaan terbesar antara sistem pengadaan secara manual dan elektronik terletak pada masalah pemerataan kesempatan mendapat proyek. Bila lelang secara elektronik membuat pengusaha lokal tidak mampu berbuat banyak, maka beda dengan pengadaan langsung yang dilakukan secara non elektronik. Dari kacamata penyedia lokal, pengadaan langsung merupakan domainnyamereka. Meskipun pagunya tidak sebesar lelang secara elektronik namun ini sudah cukup berarti bagi pengusaha lokal. Menurut Perpres No. 4 Tahun 2015 pagu untuk pengadaan langsung paling tinggi senilai Rp 200 juta untuk paket pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dan Rp 50 juta untuk paket pengadaan jasa konsultansi. Biasanya secara tidak langsung kepala daerahatau kepala dinas sebagai PA menentukan kepada siapa saja penawaran diberikan. Sehingga siapapun yang menang semata-mata bukan hanya berdasarkan kualifikasi perusahaan penyedia melainkan jugakarena ada hubungan secara pribadi atau ada setoran yang diberikan (Wawancara dengan MI8, 28 Mei 2015). Terlepas dari adanya pengadaan secara langsung yang cukup menguntungkan bagi pengusaha lokal, namun secara kuantitas jumlah proyek yang di tenderkan tidak sebanding dengan jumlah pengusaha yang ada. Pada awal Kabupaten Serdang Bedagai baru dimekarkan, banyak masyarakat yang membuka CV dengan harapan mendapat proyek dari Pemerintah Daerah atau SKPD yang sedang melakukan lelang. Namun faktanya pada saat ini setelah sistem pengadaan secara elektronik semakin mendominasi proses pengadaan barang/jasa maka ada ribuan CV di kantor pajak PKB-nya dicabut
73
karena tidak aktif. Beberapa CV mengalami penurunan level sehingga hanya proyek dengan pagu yang tidak terlalu besar yang boleh diikuti. Dampak dari berlakunya sistem pengadaan secara elektronik membuat persaingan untuk mengikuti penawaran semakin luas karena penyedia datang bukan hanya berasal dari daerah setempat saja tetapi terbuka luas bagi siapa saja sepanjang memenuhi persyaratan yang ada. Sehingga tidak mengherankan, sistem pengadaan secara manual bagi sebagian pengusaha lokal dirasakan lebih menguntungkan. Ketika pengadaan secara manual diterapkan, pengusaha luar tidak berani masuk karena dihadang oleh pengusaha lokal. Selain itu, sesama pengusaha lokal biasanya ada kesepakatan agar tidak bersama-sama mengikuti penawaran yang sedang dilakukan oleh pemerintahan daerah atau salah satu SKPD. Jadi penyedia yang lain tidak boleh mencolok paket yang sudah diikuti oleh seorang penyedia. Bila masih ada juga penyedia yang hendak ikut lelang pengadaan tersebut maka secara kekeluargaan hal tersebut dibicarakan agar penyedia tersebut mundur dari paket lelang yang sedang berjalan. Dengan demikian pembagian proyek bisa lebih merata dan pengusaha lokal dapat lebih diuntungkan (Wawancara dengan MI1, 21 Mei 2015; MI2, 21 Mei 2015; MI8, 28 Mei 2015). Pendapat yang cukup kontras datang dari salah seorang pengusaha yang kurang setuju dengan sistem pengadaan secara elektronik. “Supaya otonomi daerah dapat dinikmati oleh masyarakat lokal, maka tidak masalah jika para preman kembali „mendatangi‟ panitia pengadaan asal mereka adalah putra daerah tersebut. Karena perputaran uangakan tetap berada di daerah tersebut. Tingkat pertumbuhan ekonomi juga akan lebih baik. Selain itu pengadaan secara manual dirasakan lebih nyaman karena kesempatan bagi pengusaha lokal untuk mengikuti penawaran menjadi lebih terbuka.Dari segi kualitas kerja, pekerjaan dari pengusaha lokal lebih baik daripada pengusaha yang berasal dari luar daerah. Karena ada beban moral sebagai putra daerah untuk membangun dan memelihara daerahnya.” Namun apakah penyedia dalam hal ini pengusaha lokal diabaikan begitu saja di era pengadaan secara elektronik? Seorang partisipan yang mempunyai posisi penting di ULP sangat mengharapkan agar orang daerahlah yang menang dari paket lelang yang ditawarkan, dibandingkan orang dari luar daerah. Karena bagaimanapun juga seharusnya orang daerah yang pertama merasakan keuntungan dari pembangunan di daerahnya. Karena itu ULP tidak menutup mata dengan kemampuan yang terbatas yang dimiliki oleh pengusaha lokal berkaitan dengan sistem pengadaan secara elektronik. 74
Staf ULP dengan tangan terbuka bersedia mengajari penyedia yang mengalami kesulitan berkaitan dengan proses pengadaan secara elektronik. Penyedia juga diundang datang ke ULP bila menghadapi kendala dalam mengunggah dokumen yang kapasitasnya besar. Ruangan yang nyaman dan tertutup juga disediakan bagi penyedia yang datang ke ULP. Namun tidak banyak penyedia yang memanfaatkan kesempatan ini. Selain itu, hampir setiap tahun ULP mengadakan pelatihanberkaitan dengan sistem e-procurement dengan mengundang semua asosiasi pengusaha. Namun sayangnya pihak penyedia kurang merespon undangan ini dengan positif, misalnya dengan mengirim orang-orang yang tidak berkompeten seperti tukang sorong dan tukang angkat batu ke pelatihan tersebut. Begitu pula dengan persyaratan untuk membawa komputer dalam mengikuti pelatihan, selalu saja diabaikan (Wawancara dengan MI10, 4 Juni 2015). Pendapat yang hampir sama datang dari user yang mengatakan banyak penyedia yang menganggap bahwa sistem e-procurement sama dengan pengadaan secara manual. Padahal dengan sistemonline siapa saja terbuka untuk mengikuti lelang dan segala informasi dan tahapan lelang seperti pengumuman, persyaratan, pendaftaran, jadwal lelang dan lain-lain harus dilihat dan dibaca di website LPSE. Karena itu penyedia harus sering mengupdate informasi dari website LPSE kalau tidak mau kehilangan kesempatan mengikuti lelang. Namun yang sering terjadi banyak penyedia yang tidak siap karena malas atau tidak mau capek untuk membuka website LPSE dan mempersiapkan dokumen sesuai jadwal sebagai persyaratan lelang. Penyedia beranggapan toleransi ada ketika dokumen mereka tidak lengkap atau terlambat diunggah dan lain sebagainya. Penyedia lupa bahwa mereka berhadapan dengan sistem yang secara otomatis menolak atau tertutup ketika jadwal waktu yang sudah ditentukan untuk mendaftar atau mengunggah sudah lewat (Wawancara dengan MI4, 10 Agt 2015). Keengganan penyedia untuk datang ke ULP berkaitan dengan fasilitas yang disediakan dalam rangka membantu mengikuti proses pengadaan secara elektronik, ditanggapi pesimis oleh seorang pengusaha dibawah asosiasi Gapensi. “Reformasi pengadaan barang/jasa secara manual ke pengadaan barang/jasa secara elektronik baik adanya tetapi tidak ada artinya bila sumber daya manusia yang menjalankannya tidak berubah. Ini artinya sama saja dengan melegalkan cara-cara yang lama dengan cara yang baru. Mungkin mudah untuk mengubah sistem tetapi tidak gampang untuk mengubah mindset seseorang. Sebagai penyedia ada keinginan untuk benar-benar mengikuti sistem pengadaan secara elektronik, tetapi apakah panitia pengadaan juga 75
mau melakukan hal yang sama? Sulit untuk menyatukan kedua belah pihak selama tidak ada saling percaya diantara keduanya.” Pengadaan secara elektronik memang masih baru namun tidak bisa diabaikan begitu saja dengan cara tidak mau tahu dengan sistem yang baru ini. Apalagi dalam Perpres No. 4 Tahun 2015 jelas dikatakan bahwa L/K//D/I wajib menggunakan eprocuremen. Ini artinya siapa saja penyedia baik dari dalam atau luar daerah yang ingin ikut penawaran harus mengikuti sistem yang baru ini. Agar sistem pengadaan secara elektronik ini dapat mencapai sasarannya yakni menciptakan efisiensi, efektifitas, transparan, terbuka, adil dan tidak diskriminatif serta akuntabel maka perlu dibangun saling percaya diantara penyedia dan penyelenggara pengadaan. Karena kalau tidak, sistem pengadaan yang baru ini yang dirancang dengan sangat luar biasa dan dengan biaya yang besar pula tidak ada bedanya dengan sistem-sistem sebelumnya. 5.8 Transparansi dalam Implementasi e-Procurement di Provinsi Sumatera Utara Dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dikatakan siapa saja yang menjalankan tugas dan fungsi dengan dana yang bersumber dari APBN/APBD dan sumbangan dana publik lainnya diwajibkan untuk menyampaikan informasi tersebut secara terbuka kepada masyarakat. Informasi ini dikecualikan bila membahayakan negara, berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat, hak-hak pribadi serta rahasia jabatan, dan lain sebagainya. Karena Undang-Undang ini bertujuan untuk menjamin hak warga negara mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik dan program kebijakan publik, proses pengambilan keputusan publik dan alasan pengambilan suatu keputusan publik. Selain itu mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik dan mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yakni transparan, efektif dan efisien, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif serta akuntabel. Tujuan dari UU ini sejalan dengan tujuan dari proses pengadaan barang/jasa secara elektronik yakni transparansi, akuntabilitas dan efisiensi proses pengadaan. Pentingnya transparansi sebagai salah satu tujuan dari e-procurement sudah disadari oleh partisipan yang bekerja di LPSE dan ULP di tiga lokasi penelitian di Provinsi Sumatera Utara. Perubahan tender secara manual ke sistem elektronik merupakan usaha untuk mewujudkan transparansi tersebut, selain adil dan akuntabel dalam pengadaan barang/jasa. Hal ini karena kegiatan pengadaan secara elektronik dilakukan secara online sehingga semua pihak dapat melihat apa yang sedang terjadi 76
dalam proses pengadaan tersebut. Dengan demikian praktek-praktek KKN yang sangat riskan dalam proses pengadaan dapat ditekan atau bahkan dihindari. Meskipun penyedia dapat datang ke LPSE ketika menghadapi masalah dalam proses pengadaan, namun hanya bisa bertemu dan dilayani oleh helpdesk. Dengan demikian e-procurement dipandang jauh lebih transparan dari pada proses sebelumnya yang manual. Heald (dalam Bannister dan Connoly, 2011)37memberikan arti transparansi dengan cara membedakannya berdasarkan kategori yang substansi dari kegiatan eprocurement, sehingga cukup relevan digunakan dalam pembahasan dan analisis mengenai transparansi dalam pelaksanaan e-procurement di Provinsi Sumatera Utara. Menurut Heald, e-transparansi dapat dikategorikan dalam transparansi data, transparansi proses dan transparansi keputusan/kebijakan. Transparansi data berkaitan dengan angka dan fakta-fakta pemerintah. Di dalam transparansi data ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yakni biaya yang dibutuhkan untuk memproses data hingga mudah diakses dan dipahami masyarakat; misinterpretasi data/informasi; dan resiko terhadap masyarakat/anonimitas. Selanjutnya, transparansi proses merupakan ketersediaan informasi dari berbagai proses keputusan pemerintahan, mulai dari pembuatan keputusan hingga produk keputusan. Transparansi ini menjadikan seluruh tahapan dalam proses keputusan menjadi jelas, dimana proses suatu transaksi tertentu dapat ditemukan dan mengapa langkah-langkah tertentu harus dilaksanakan. Terakhir, transparansi keputusan atau kebijakan menjelaskan alasan (rasionalitas) dari keputusankeputusan, dan/atau tindakan-tindakan dari kebijakan pemerintah. Berdasarkan observasi website LPSE di tiga lokasi penelitian dapat dikatakan bahwa secara umum ketersediaan data dari pelaksanaan e-procurement sudah lengkap dan transparan. Data yang dapat diakses bukan saja mengenai proses atau tahapan lelang, tetapi juga berkaitan dengan berita seputar pengadaan secara elektronik seperti pemadaman listrik, kerusakan sistem pada server, berita acara penjelasan pekerjaan (aanwizjing), perubahan RUP, dan lain-lain. Bahkan beberapa regulasi yang berkaitan dengan pengadaan secara elektronik dapat diunduh di website LPSE Kota Medan. Namun masih ditemukan data atau informasi yang tidak diperbaharui, seperti di bagian regulasi dan berita sehingga cukup mengganggu bagi yang ingin mengetahui informasi terbaru tentang hal tersebut. Selain itu, terjadi kekosongan data atau informasi seperti di 37
Bannister, Frank and Connolly, Regina. 2011. "The Trouble with Transparency: A Critical Review of Openness in e-Government," Policy & Internet: Vol. 3: Iss. 1, Article 8. Policy Studies Organization. http://www.psocommons.org/policyandinternet / vol3 / iss1/art8.
77
kolom alasan dari peserta lelang yang gagal memenangkan paket lelang. Meskipun di paket lelang lainnya informasi tersebut ditemukan. Ketidakkonsistenan ini dapat menimbulkan berbagai spekulasi dari penyedia atau masyarakat umum yang mengakses website LPSE. Informasi mengenai kategori lelang sesuai dengan Perpres No. 4 Tahun 2015 yang terdiri dari Pengadaan Barang, Jasa Konsultasi Badan Usaha, Jasa Konsultasi Perorangan, Pekerjaan Konstruksi dan Jasa lainnya sudah tersedia dalam website LPSE di tiga lokasi penelitian. Bahkan dari penelusuran selanjutnya dapat dilihat informasi mengenai Nama Lelang, Agency, Tahap dan HPS, dan berikutnya dari Nama Lelang dapat ditemukan informasi mengenai Kategori, Jenis Lelang, Metode dan Nilai seperti gambar website LPSE di bawah ini. Gambar 5.4: LPSE Kota Medan: Nama Lelang, Agency, Tahap dan HPS
Sumber: WebsiteLPSE Kota Medan, 201538 Nama lelang berkaitan dengan barang/jasa yang sedang/telah dilakukan pelelangan seperti misalnya pada Gambar 5.4 di atas, “Belanja Pengadaan Mobiler Sekolah Kegiatan Pengadaan Mobiler Sekolah SMA/SMK”. Sementara yang dimaksud dengan agency adalah panitia penyelenggara lelang. Dari gambar website diatas yang menjadi agency adalah Pemerintah Kota Medan. Karena itu paket lelang ini berada di website LPSE Kota Medan. Sedangkan pengertian Tahap disini adalah posisi dari proses lelang dimana dalam satu paket lelang terdiri dari beberapa tahapan. Dalam gambardiatas proses lelang berada pada tahap Pembukaan Dokumen Penawaran, Evaluasi Penawaran, Evaluasi Dokumen dan Kualifikasi. Informasi berikutnya yang 38
http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/lelang?s=0. Dikutip 17 Juli 2015, Jam 12.15 WIB
78
dapat dilihat dalam website LPSE adalah berkaitan dengan nilai HPS, pada gambar website diatas nilai HPS sebesar 5.65 M. Selanjutnya di website LPSE di tiga lokasi penelitian juga menampilkan informasi mengenai: Pengumuman, Peserta, Harga Penawaran dan Pemenang. Informasi mengenai Pengumuman berisi hal-hal yang berkaitan dengan lelang dari mulai kode lelang, nama lelang, tahap lelang saat ini, agency, satuan kerja, kategori, metode pengadaan, metode dokumen, anggaran, nilai pagu paket, jenis kontrak, kualifikasi usaha, lokasi pekerjaan, syarat kualifikasi dan peserta lelang. Data yang disajikan disini cukup lengkap, sistematik dan mudah dimengerti.
79
Gambar 5.5: Informasi Lelang di LPSE Kabupaten Serdang Bedagai Informasi Lelang Kode Lelang Nama Lelang Keterangan Tahap Lelang Saat ini Agency Satuan Kerja Kategori Metode Pengadaan Metode Dokumen Anggaran Nilai Pagu Paket Jenis Kontrak
Kualifikasi Usaha Lokasi Pekerjaan
Syarat Kualifikasi
Peserta Lelang
292378 Pembangunan Kantor UPT BPAT Belidahan Lelang sudah selesai LPSE Kabupaten Serdang Bedagai Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Serdang Bedagai Pekerjaan Konstruksi e-Lelang Pemilihan Langsung Metode Kualifikasi Pascakualifikasi Satu File Metode Evaluasi Sistem Gugur 2015 – APBD Rp 354.450.000,00 Nilai HPS Paket Rp 354.450.000,00 Cara Pembayaran Gabungan Lump Sum dan Harga Satuan Pembebanan Tahun Anggaran Tahun Tunggal Sumber Pendanaan Pengadaan Tunggal Perusahaan Kecil Desa Cempedak Lobang Kec. Sei Rampah - Serdang Bedagai (Kab.) * Ijin Usaha IjinUsaha Klasifikasi TDP MASIH BERLAKU SITU/HO MASIH BERLAKU SIUJK MASIH BERLAKU BG 009 (JASA PELAKSANA UNTUK KONSTRUKSI SBU BANGUNAN GEDUNG LAINNYA) YANG MASIH BERLAKU * Telah melunasi kewajiban pajak tahun terakhir SPT TAHUN 2014 * MEMILIKI NPWP DAN SURAT PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK * MEMILIKI AKTE PENDIRIAN DAN AKTA PERUBAHAN TERAKHIR (JIKA ADA) * MEMPEROLEH PALING SEDIKIT 1 (SATU) PEKERJAAN SEBAGAI PENYEDIA DALAM KURUN WAKTU 4 (EMPAT) TAHUN TERAKHIR BAIK DI LINGKUNGAN PEMERINTAH MAUPUN SWASTA TERMASUK PENGALAMAN SUBKONTRAK, KECUALI BAGI PENYEDIA USAHA MIKRO, USAHA KECIL DAN KOPERASI KECIL YANG BARU BERDIRI KURANG DARI 3 (TIGA) TAHUN * MEMILIKI PENGALAMAN PADA SUBBIDANG JASA PELAKSANA UNTUK KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG LAINNYA * MEMILIKI SURAT KETERANGAN DUKUNGAN KEUANGAN DARI BANK PEMERINTAH/SWASTA MINIMAL SEBESAR Rp. 35.445.000 (tiga puluh lima juta empat ratus empat puluh lima ribu rupiah) * MEMILIKI KEMAMPUAN UNTUK MENYEDIAKAN FASILITAS/PERALATAN/PERLENGKAPAN MELAKSANAKAN PEKERJAAN INI YANG DIBUKTIKAN DENGAN MELAMPIRKAN DUKUNGAN ALAT ATAU BUKTI KEPEMILIKAN * PERSYARATAN LAIN YANG DIPERSYARATKAN DALAM DOKUMEN PENGADAAN 21 peserta [Detil...]
Sumber: WebsiteLPSE Kabupaten Serdang Bedagai, 201539
39
http://lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/lelang/view/292378. Dikutip 17 Juli 2015. Dikutip Jam 12.45 WIB.
80
Setelah informasi mengenai Pengumuman, hasil observasi website LPSE menemukan informasi mengenai Peserta. Tidak semua penyedia lelang bisa lolos menjadi peserta lelang yang dapat mengajukan harga penawaran. Setidaknya untuk menjadi peserta lelang harus lolos dari evaluasi administrasi, teknis, harga penawaran dan harga terkoreksi. Kalau dilihat dari gambar website di bawah ini ada 2 (dua) calon pemenang dan 1 (satu) pemenang. Jumlah calon pemenang tergantung pada kelengkapan persyaratan yang dipenuhi untuk menjadi pemenang. Jadi bisa 3 (tiga), 2 (dua) atau 1(satu) calon pemenang. Gambar 5.6: Hasil Evaluasi Peserta Lelang di LPSE Kota Medan
Sumber: WebsiteLPSE Kota Medan, 201540 Dari penelusuran website LPSE pada kategori Jasa Konsultasi Badan Usaha, Hasil Evaluasi dapat dilihat dari 5 (lima) hal berikut yaitu: Administrasi, Teknis, Skor Teknis, Harga Penawaran dan Harga Terkoreksi. Pada gambar website di atas, nama pemenang dengan tanda bintang berwarna kuning dapat dengan mudah dilihat. Di kolom alasan tidak ada informasi yang ditemukan. Tetapi terlihat pada baris pemenang ada tanda √ di persyaratan administrasi dan teknis serta skor teknis 79.23. Skor ini lebih rendah dari dua pesaingnya. Bila dilihat dari harga penawaran dan harga terkoreksi, maka nilai penawaran dan terkoreksi pemenang lebih rendah dari pesaingnya.
40
http://lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/rekanan/lelangpeserta/293378. Dikutip 21 Juli 2015. Jam 10.00 WIB.
81
Gambar 5.7: Harga Penawaran di LPSE Kota Medan
Sumber: WebsiteLPSE Kota Medan, 201541 Setelah informasi mengenai Pengumuman dan Peserta, hasil observasi dari website LPSE menemukan informasi mengenai Harga Penawaran. Pada gambar website di atas, terlihat informasi dari tiga nama penyedia barang/jasa yang memberi harga penawaran terendah dari sebuah paket lelang. Namun tidak ada penjelasan yang rinci sehingga ketiga penyedia tersebut dapat menetapkan harga penawaran serendah itu. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa penetapan harga penawaran terendah, memberikan kesempatan besar bagi penyedia untuk masuk pada tahap berikutnya. Bahkan kesempatan untuk menjadi pemenang lelang sangat terbuka luas. Sementara informasi mengenai penyedia lainnya yang memberikan harga penawaran tinggi tidak dicantumkan pada website. Ini menunjukkan dari beberapa nama penyedia, hanya 3 (tiga) nama tersebut yang masuk ke proses berikutnya. Dari pandangan penyelenggara pengadaan dan user, hal tersebut di atas sudah menunjukkan adanya transparansi. Transparansi jangan diartikan bahwa semua yang terjadi di dalam proses pengadaan secara elektronik harus dibuka selebar-lebarnya kepada masyarakat umum. Tidak mungkin seorang peserta lelang yang melakukan penawaran dari satu paket lelang akan menguraikan dengan rinci semua isi penawarannya dalam website LPSE. Masyarakat umum atau pesaingnya cukup mengetahui jumlah total dari harga penawarannya, tanpa harus mengetahui rinciannya. 41
http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/rekanan/lelanghargapeserta/1986308. Dikutip 21 Juli 2015. Jam 10.25 WIB.
82
Karena kalau tidak, hal ini dapat dikategorikan melanggar peraturan tentang persaingan usaha. Jadi menurut panitia pengadaan sistem yang baru ini sudah memberikan transparansi bukan saja bagi penyedia tetapi juga bagi masyarakat umum (Wawancara dengan MI1, 21 Mei 2015; MI7, 5 Juni 2015; MI4, 4 Agt 2015). Gambar 5.8: Informasi Pemenang Lelang di LPSE Kota Medan
Sumber: WebsiteLPSE Kota Medan, 201542 Dari penelusuran website LPSE dan seperti gambar diatas, terlihat dengan jelas Nama Pemenang Lelang dengan beberapa informasi berkaitan dengan pemenang dan paket lelang yang dimenangkan seperti alamat dan NPWP pemenang serta kategori dan pagu lelang. Pada laman yang sama juga ada informasi mengenai Hasil Evaluasi Peserta Lelang. Jadi sebenarnya ada dua laman yang berbeda yang mencantumkan nama pemenang dan calon pemenang. Bedanya di laman Informasi Pemenang Lelang (Gambar 5.8) identitas pemenang telah diuraikan dengan cukup rinci, sementara di laman Hasil Evaluasi Peserta Lelang (Gambar 5.6) informasi mengenai identitas pemenang lelang belum diuraikan. Sementara informasi mengenai calon pemenang baik pada laman Informasi Pemenang Lelang dan laman Hasil Evaluasi Peserta Lelang adalah sama, mengenai kekurangan dokumen dari calon pemenang yang dapat ditemukan di kolom alasan. Pengulangan informasi ini dapat diartikan untuk lebih memperjelas bahwa peserta tersebut lebih memenuhi syarat menjadi pemenang dibandingkan peserta lainnya. 42
http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/lelang/pemenang/1986308. Dikutip 21 Juli 2015. Jam 10.35.
83
Dari hasil observasi website LPSE di tiga lokasi penelitian kolom alasan untuk calon pemenang dan bahkan peserta lelang ada yang diisi tetapi ada juga yang tidak diisi. Biasanya yang diisi di kolom alasan ini adalah berkaitan dengan kurang lengkapnya dokumen administrasi dan teknis peserta lelang. Alasan-alasan ini bisa karena tidak melampirkan surat pernyataan bersedia membawa barang yang ditawarkan pada saat klarifikasi dan pembuktian kualifikasi, tidak melampirkan Jaminan Penawaran, tidak ada scan brosur/katalog yang dilegalisir dan lain sebagainya. Ketidakkonsistenan dalam pengisian kolom alasan ini dapat membingungkan masyarakat yang membaca dan dapat juga menimbulkan salah pengertian dari penyedia. Sementara untuk pemenang lelang, kolom alasan sama sekali tidak diisi, ini menunjukkan bahwa pemenang memang layak untuk menjadi pemenang. Namun di bagian pemenang lelang ditemukan informasi mengenai persyaratan administrasi dan teknis dengan tanda √ dan/atau harga penawaran dan harga terkoreksi paling rendah dibanding peserta lainnya. Hal lain yang juga diobservasi diketiga website LPSE adalah tidak semua harga penawaran dari penyedia dicantumkan dalam website LPSE, hanya beberapa penyedia yang memberikan harga penawaran terendah saja yang dicantumkan. Ini artinya seorang penyedia selain mengetahui harga penawaran yang diberikannya, juga dapat melihat harga penawaran dari beberapa penyedia (sebagai pemenang dan calon pemenang) yang tercantum di website LPSE, tetapi tidak mengetahui harga penawaran dari penyedia-penyedia lainnya (lihat Gambar 5.7). Sejalan dengan hasil observasi website LPSE di atas, menurut pandangan user (SKPD)bahwa transparansi adalah bagaimana orang yang berhak bisa mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajibannya. Dengan demikian, seseorang atau masyarakat umum tidak berhak mengetahui secara detail proses lelang berlangsung, sepanjang dia atau masyarakat umum tersebut tidak menjadi penyedia atau peserta lelang. Seorang penyedia juga tidak berhak mengetahui informasi mengenai semua saingannya. Selain itu, penyedia yang gagal di tengah berjalannya proses lelang, jadi belum menjadi peserta lelang yang dapat memberikan harga penawaran, tidak berhak mengetahui mengapa peserta tersebut yang menang dan mengapa peserta yang lain gagal. Namun pandangan ini berbeda dengan pandangan penyedia yang berpendapat bahwa transparansi berarti seorang penyedia dapat mengetahui informasi apa saja dari para pesaingnya dan sebaliknya para pesaingnya dapat mengetahui informasi apa saja mengenai dia (Wawancara dengan MI2, 21 Mei 2015; MI7, 5 Juni 2015).
84
Transparansi data bukan hanya mencakup ketersediaan informasi tentang proses e-procurement tetapi juga harus mencakup informasi lainnya yang relevan dengan proses e-procurement seperti peraturan, kebijakan dan pedoman yang merupakan data penting yang memberikan kejelasan, dasar hukum dan pedoman dalam melakukan pelelangan barang/jasa secara elektronik. Di website LPSE Kota Medan dapat diunduh Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan Kepala LKPP No. 1 Tahun 2011 tentang Tata Cara e-Tendering dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun Perpres No 4 Tahun 2015 sebagai revisi terbaru dari perpres tentang pengadaan barang/jasa pemerintah belum ada dalam website LPSE Kota Medan di bagian Regulasi43. Sementara informasi mengenai peraturan-peraturan yang relevan dengan e-procurement ini belum tercantum sama sekali pada situs LPSE Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai. Gambar 5.9: Regulasi Berkaitan Dengan e-Procurement di LPSE Kota Binjai
Sumber: Website LPSE Kota Binjai, 201544 Alasan utama mengenai tidak dicantumkannya peraturan yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik pada situs LPSE Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai adalah karena LPSE diseluruh Indonesia sudah terintegrasi sehingga publik dapat langsung mengakses situs LKPP untuk mendapatkan
43 44
http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/regulasi. Dikutip 24 Juli 2015. Jam 14.40 WIB. http://lpse.binjaikota.go.id/eproc/regulasi. Dikutip 20 Juli 2015. Jam 11.30 WIB.
85
informasi mengenai kebijakan dan peraturan nasional yang diterbitkan oleh LKPP 45. Namun tidak ada salahnya juga bila setiap LPSE melengkapi websitenya dengan regulasi yang berkaitan dengan pengadaan secara elektronik untuk mempermudah dan mempercepat masyarakat atau penyedia yang memerlukan informasi mengenai pengadaan secara elektronik termasuk regulasi-regulasi yang berkaitan dengan pengadaan tersebut. Jadi implementasi e-procurement selain dapat meningkatkan transparansi publik juga dapat meningkatkan transparansi antar lembaga pemerintahbaik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat.
Gambar 5.10: Pengumuman Pengadaan di LPSE Kabupaten Serdang Bedagai
Sumber: Website LPSE Kabupaten Serdang Bedagai, 201546
Berita seputar pengadaan barang/jasa juga dapat ditelusuri di website LPSE di tiga lokasi penelitian. Beberapa berita ini berkaitan dengan pengumuman mengenai informasi pemadaman listrik, gangguan server akibat terputusnya aliran listrik, ralat RUP, pengumuman pemenang, penjelasan pekerjaaan (aanwizjing) dan sebagainya. Dua diantaranya diuraikan terlebih dahulu disini yakni yang berkaitan dengan informasi pemadaman listrik di LPSE Kabupaten Serdang Bedagai dan gangguan sistem pada server LPSE Kota Medan.
45
Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty Sylvania. 2014. Model Implementasi Kebijakan eProcurement Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara. Hasil Penelitian Tahun Pertama. Skim Hibah Bersaing. Universitas Sumatera Utara. 46 http://lpse.binjaikota.go.id/eproc/publicberita/pengumuman. Dikutip 17 Juli 2015. Jam 22.30.
86
10 Juni 2015 08:52 Informasi Pemadaman Listrik Berdasarkan surat edaran PT. PLN nomor : 0081/DIS.00.02/SRP2015 tanggal 09 Juni 2015 tentang rencana pekerjaan pemeliharaan tahunan trafo daya, Bay trafo daya, kubikel 20KV dan trafo PS serta adanya pemeliharaan jaringan 20 KV untuk daerah Kec. Sei Bamban, Kec. Tj. Beringin, Kec, Sei Rampah dan Kec. T. Mengkudu. Yang akan dilakukan Hari Rabu, 10 Juni 2015. Mulai pukul 08.00 s/d 16.00 WIB. Terkait dengan itu LPSE Kab. Serdang Bedagai akan mengalami gangguan jaringan server LPSE Kab. Serdang Bedagai. Demikian diberitahukan untuk dapat dimaklumi. Terima Kasih.
04 November 2014 15:55 Gangguan Sistem pada Server LPSE Kota Medan Dengan ini diinformasikan bahwa telah terjadi gangguan sistem pada server LPSE Kota Medan pada Senin, 3 Nopember 2014 pukul 16.00 WIB s/d Selasa, 4 Nopember 2014 pukul 15.30 WIB. Saat ini LPSE Kota Medan sudah dapat beraktifitas dengan normal kembali. Diinformasikan juga kepada seluruh panitia yang sedang dalam masa lelang untuk memperhatikan dan mengubah jadwal apabila diperlukan. Demikian diberitahukan untuk dapat dimaklumi. Hormat Kami, LPSE Kota Medan.
Berita mengenai informasi pemadaman listrik di atas dikeluarkan pada tanggal 10 Juni 2015 jam 08.52 sementara pemadaman listrik terjadi pada tanggal yang sama dari jam 08.00-16.00 WIB. Hal yang sama terjadi pada berita mengenai gangguan sistem padaserver LPSE Kota Medan. Seharusnya berita pemadaman listrik seperti ini diberitakan minimal satu hari sebelum pemadaman listrik. Sementara berita mengenai gangguan sistem pada server langsung diinformasikan ketika terjadi gangguan. Karena hal-hal seperti ini dapat menimbulkan spekulasi dari para penyedia bahwa panitia penyelenggara sedang melakukan kecurangan (Wawancara dengan MI2, 21 Mei 2015; MI3, 27 Mei 2015). Berita juga dapat berisi mengenai pengumuman lelang, dimana pengumuman pemenang lelang dilampirkan dalam format pdf, seperti dibawah ini. 19 September 2012 15:54 Pengumuman Pemenang Berdasarkan hasil evaluasi, BAHP dan penetapan, Panitia mengumumkan pemenang paket pekerjaan Penambahan Lajur Gedung Balai PKB Pinang Baris. Attachment: Pengumuman Pemenang Lelang.pdf
Hasil observasi pada website LPSE, berita mengenai Pengumuman Pemenang Lelang berisi tentang paket pekerjaan, total HPS, nama dan alamat perusahaan, NPWP 87
serta harga penawaran terkoreksi dari pemenang lelang. Selanjutnya peserta lelang (calon pemenang) dapat menyampaikan sanggahan secara elektronik melalui aplikasi SPSE atas penetapan pemenang kepada panitia pengadaan barang/jasa, disertai bukti terjadinya penyimpangan. Gambar 5.11: Pengumuman Pemenang Lelang
Sumber: WebsiteLPSE Kota Medan, 201547 Sebagaimana dikatakan Heald diawal selain transparansi data, transparansi proses juga penting dalam pelaksanaan e-procurement. Transparansi proses ditandai dengan ketersediaan informasi di setiap tahap dari proses pengadaan secara elektronik. Berdasarkan observasi website LPSE di tiga lokasi penelitian secara umum dapat dikatakan bahwa proses dari pelaksanaan e-procurement sudah cukup transparan. Diawali dengan observasi mengenai kategori lelang di website LPSE, maka dengan mudah ditemukan kategori lelang yang terdiri dari Pengadaan Barang, Jasa Konsultasi Badan Usaha, Jasa Konsultasi Perorangan, Pekerjaan Konstruksi dan Jasa lainnya. Selanjutnya ditelusuri informasi secara berturut-turut mengenai Nama Lelang, Agency, Tahap dan HPS dalam satu laman sehingga memudahkan bagi siapapun melihatnya. Dari Nama Lelang ini ditemukan informasi mengenai Kategori, Jenis Lelang, Metode dan Nilai. Pada informasi Tahap dapat dilihat tahapan-tahapan lelang yang bisa sampai 10 (sepuluh) ke 23 (dua puluh tiga) tahapan dari sebuah paket lelang. Semua tahapan ini 47
http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/publicberitadetail/356308. Dikutip 20 Juli 2015. Jam 11.45 WIB.
88
dapat dilihat pada website LPSE. Selain itu ada informasi mengenai kapan dimulai dan berakhir tahapan tersebut serta histori perubahan. Kalau ada perubahan maka berapa kali perubahan tersebut yang ditulis dengan tinta berwarna merah, kalau tidak ada perubahan maka tertulis tidak ada. Selanjutnya bila ada perubahan maka ada penjelasan di kolom keterangan, mengapa terjadi perubahan, namun banyak juga ditemukan tidak ada alasan di kolom keterangan atau tidak ada informasi mengapa perubahan terjadi di kolom keterangan. Tulisan tahapan lelang saat ini dibuat dengan warna yang lebih tebal (bold) sehingga memudahkan siapapun yang membaca sudah sampai di tahap mana suatu proses lelang berlangsung. Selain itu ada informasi kapan dimulai dan berakhir tahapan tersebut serta histori perubahan. Kalau ada perubahan, maka berapa kali perubahan tersebut yang ditulis dengan tinta berwarna merah, kalau tidak ada perubahan maka tertulis tidak ada. Selanjutnya bila ada perubahan maka ada penjelasan di kolom keterangan, mengapa terjadi perubahan. Namun, ketidakkonsistenan terjadi karena lebih banyak ditemukan di kolom keterangan tidak ada informasi, pada hal seharusnya ada alasan atau ada informasi mengenai perubahan itu terjadi (Gambar 5.11). Website LPSE juga menampilkan informasi mengenai: Pengumuman, Peserta, Harga Penawaran dan Pemenang yang merupakan proses akhir dari sebuah tahapan lelang. Gambar 5.12: Tahap Lelang Saat Ini
Sumber: WebsiteLPSE Kota Medan, 201548 Selain transparansi data dan proses, Heald juga membahas mengenai transparansi keputusan atau kebijakan yang menjelaskan alasan keputusan atau kebijakan tersebut dibuat atau diambil. Berdasarkan observasi di website LPSE, transparansi keputusan dalam pelaksanaan e-procurement sudah cukup memuaskan.
48
http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/lelang/tahap/2004308. Dikutip 20 Juli 2015. Jam 22.30 WIB.
89
Melihat transparansi keputusan ini dapat dilakukan dengan mengobservasi website LPSE yang berkaitan dengan Hasil Evaluasi (Gambar 5.6). Seseorang peserta lelang dengan kategori Jasa Konsultasi Badan Usahadikatakan menang bila hasil evaluasinya yakni administrasi dengan tanda √, teknik juga dengan tanda √, skor teknik tinggi dibanding peserta lelang lainnya serta harga penawaran dan harga terkoreksi paling rendah dibanding peserta lainnya. Merujuk pendapat Heald diatas keputusan peserta tersebut menjadi pemenang dapat dikatakan transparan. Karena keputusan diambil dengan rasional berdasarkan data dan proses yang transparan. Namun ketika salah satu unsur dari penilaian evaluasi di atas tidak maksimal maka penentuan pemenang menjadi kurang transparan. Dari hasil penelusuran website LPSE di tiga lokasi penelitian ada pemenang lelang dimana persyaratan administrasi dan teknik bertanda √, nilai penawaran dan terkoreksinya lebih rendah dibanding dengan pesaingnya tetapi skor tekniknya lebih rendah dari pesaingnya (lihat Gambar 5.8). Selain itu, ada juga pemenang memiliki penilaian administrasi dan teknik bertanda √, sementara nilai penawaran dan koreksinya lebih tinggi dari pesaingnya. Hal-hal seperti ini seharusnya dapat dijelaskan dengan rinci dalam website LPSE sehingga tidak menimbulkan spekulasi dari para penyedia. Munculnya spekulasi-spekulasi ini sebenarnya sudah ada pada evaluasi dokumen di tahap awal dari sebuah paket lelang. Meskipun kenyataannya pada tahap evaluasi ini antara panitia penyelenggara dan penyedia tidak saling ketemu. Namun tetap saja menimbulkan spekulasi dari beberapa penyedia bahwa panitia penyelenggara dengan mudah menyingkirkan dokumen mereka karena alasan tidak lengkap sehingga mereka tidak masuk ke tahap berikutnya. Pertanyaan yang jamak didengar, “Siapa yang dapat menjamin bahwa panitia tidak „bermain‟ dalam proses evaluasi dokumen yang dilakukan secara off line?” (Wawancara dengan MI2, 21 Mei 2015). Sementara dari pihak panitia pengadaan mengatakan bahwa tahap evaluasi dokumen memang dilakukan secara off line tetapi mereka tidak mengetahui nama-nama penyedia yang mengikuti lelang. Karena yang mereka evaluasi adalah dokumen-dokumen yang beridentitas Penyedia 1, Penyedia 2 dan seterusnya sehingga untuk melakukan kecurangan sangat kecil (Gambar 5.13). Selanjutnya menurut panitia penyelenggara bahwa beberapa penyedia tidak memanfaatkan tahapan pemberian penjelasan (aanwijzing). Padahal pada tahap ini panyedia dapat bertanya apa saja kepada panitia penyelenggara berkaitan dengan kegiatan pengadaan termasuk persyaratan dokumen
90
yang harus mereka lengkapi. Dengan demikian penyedia dapat mempersiapkan dokumennya dengan lengkap sesuai dengan persyaratan yang diminta. Gambar 5.13: Jumlah Peserta/Penyedia Yang Mengikuti Lelang
Sumber: Website LPSE Kota Medan, 201549 Sementara dari sisi penyedia, proses pengadaan secara elektronik dapat dikatakan transparan bukan semata-mata data atau informasi sudah tersedia dalam website LPSE, namun yang jauh lebih penting adalah transparansi dari alasan-alasan rasional mengapa seseorang menang dalam paket lelang. Cara paling sederhana untuk mendapatkan transparansi keputusan atau kebijakan ini adalah bila panitia pengadaan baik Pokja/ULP maupun PPK adalah orang-orang yang mempunyai integritas dalam melakukan pekerjaannya. Dengan demikian sistem pengadaan secara elektronik dapat dikatakan mencapai sasarannya dalam mewujudkan transparansi bila didukung oleh panitia pengadaan yang memiliki integritas. Tanpa integritas pelaksanaan eprocurement akan tetap dicurigai atau memunculkan spekulasi-spekulasi (Wawancara dengan MI2, 21 Mei 2015; MI3, 27 Mei 2015; MI8, 28 Mei 2015). Kata spekulasi berasal dari bahasa Latin yakni “speculates” yang artinya melihat kedepan, mengamati, dan menelaah. Selanjutnya muncul kata “speculation” dan “speculationis” yakni suatu aktivitas penyelidikan filosofi. Kalimat ini berkembang sebagai "suatu kegiatan berteori tanpa didukung dengan suatu dasar fakta yang kuat.50Sejalan dengan pendapat diatas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) spekulasi merupakan pendapat atau dugaan yang tidak berdasarkan kenyataan; tindakan
49
http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/rekanan/lelangpeserta/2023308. Dikutip 24 Juli 2015. Jam 14.50 WIB. 50 https://id.wikipedia.org/wiki/Spekulasi
91
yang bersifat untung-untungan.51 Bila dikaitkan dengan pelaksanaan lelang secara elektronik maka kata-kata spekulasi ini bisa sangat menganggu bahkan merugikan baik bagi penyelenggara lelang, user maupun penyedia. Bagi penyelenggara lelang dan user imej yang dibangun bahwa sistem eprocurement penuh dengan spekulasi tentunya tidak menguntungkan. Karena itu tidak ada jalan lain selain menampilkan data, proses dan keputusan lelang dengan benarbenar transparan. Data yang tersedia harus lengkap, konsisten dan diperbaharui terus menerus serta tahapan lelang juga harus lengkap, jelas dan sistematik sehingga mudah dimengerti. Bila kedua hal ini benar-benar sudah transparan maka kemungkinan transparansi dalam keputusan dapat terwujud sehingga pada akhirnya tidak memunculkan spekulasi-spekulasi dari pihak penyedia. Sementara pihak penyedia juga tidak sembunyi di balik kata-kata spekulasi ketika gagal sebagai pemenang lelang. Penyedia harus sadar dan siap bahwa pengadaan secara elektronik berbeda dengan pengadaan secara manual. Artinya penyedia harus selalu memperbaharui informasi mengenai pengadaan barang/jasa dari website LPSE. Karena semua informasi lelang termasuk jadwal lelang dan tata cara lelang ada dalam website LPSE. Sistem pengadaan secara elektronik juga menuntut penyedia untuk tepat waktu baik dalam menggunggah dokumen maupun mengikuti proses penjelasan lelang (aanwijzing). Tidak ada istilah bahwa kapan saja bisa mengunduh dan mengunggah dokumen lelang atau kapan saja bisa meminta penjelasan (aanwijzing). Semuannya harus dilakukan sesuai dengan jadwal yang ada di website LPSE. Bila semua pihak menyadari hal ini maka tidak ada lagi yang namanya spekulasi yakni dugaan yang tidak mendasar antara penyedia dan penyelenggara. Selanjutnya penelusuran terhadap laman Berita yang berkaitan dengan aanwijzing (proses pemberian penjelasan) di website LPSE di tiga lokasi penelitian cukup sedikit. Aanwijzing merupakan satu tahapan dalam pelaksanaan e-procurement dimana penyedia mempunyai kesempatan untuk bertanya kepada Pokja ULP tentang segala sesuatu berkaitan dengan proses lelang dengan menggunakan komunikasi online melalui portal LPSE. Aanwijzing ini dilakukan setelah pengumuman lelang di website LPSE, yakni hari ke-tiga sampai hari ke-empat. Jadi sesudah penyedia mengunduh dokumen lelang, tetapi sebelum mengunggah dokumen kualifikasi dan dokumen penawaran. Dalam proses pemberian penjelasan (aanwijzing) ini penyedia yang
51
http://kbbi.web.id/spekulasi
92
bertanya dan Pokja ULP yang menjawab sama-sama tidak saling bertatap muka atau bahkan tidak saling kenal. Komunikasi online ini hanya dapat diikuti oleh penyedia, Pokja ULP, PPK atau yang memiliki user ID dan password, sementara masyarakat umum atau yang bukan penyedia tidak dapat terlibat dalam chatting online ini. 06 Juli 2012 10:43 BA Aanwijzing Pengadaan Mebeleur SMA/SMK Attachment: BA AANWIZJING PENGADAAN MEBELEUR SMA-SMK.pdf
Di dalam penelusuran website LPSE di tiga lokasi penelitian komunikasi online antara penyedia dan Pokja ULP/PPK tidak dapat diakses oleh masyarakat umum. Bahkan rekaman komunikasi online tersebutpun tidak dapat diakses. Informasi yang ditemukan hanya pengumuman mengenai pelaksanaan aanwizjing pada tanggal, bulan dan tahun sekian. Selanjutnya berita mengenai komunikasi online tersebut dituangkan dalam Berita Acara Penjelasan Pekerjaan (aanwizjing) dalam format pdf. Dalam berita acara tersebut ada 3 (tiga) hal yang diinformasikan yaitu waktu dan tempat pelaksanaan, peserta rapat serta acara dan materi rapat penjelasan. Sementara dalam lampiran berita acara penjelasan pekerjaan (aanwizjing), hanya ditemukan gambar website ketika komunikasi online tersebut berlangsung. Karena hanya berbentuk gambar (dua dimensi) dengan ukuran yang terbatas, maka masyarakat umum tidak dapat membaca dengan jelas dan lengkap apa saja percakapan antara peserta (penyedia barang/jasa) dan Pokja ULP atau PPK. Penjelasan pekerjaan (aanwijzing) seperti diuraikan diatas, menurut pandangan panitia pengadaan dan user sudah transparan karena penyedia dapat bertanya apa saja berkaitan dengan proses lelang termasuk penjelasan mengenai dokumen-dokumen yang dibutuhkan kepada Pokja ULP. Dengan demikian penyedia mendapatkan informasi baru dan mengetahui kekurangan dan kelebihan dari dokumennya. Meskipundemikian tidak ada sanksi bila penyedia tidak memanfaatkan proses aanwijzing ini, dalam arti penyedia tersebut tidak dapat digugurkan. Namun dari perspektif penyedia proses aanwijzingpada sistem pengadaan secara elektronik tidak transparan.Karena forum tanya jawab ini dilakukan tanpa tatap muka antara penyedia dan Pokja ULP/PPK. Sementara pada sistem manual, forum tanya jawab ini dilakukan dengan tatap muka sehingga secara spontan seorang penyedia dapat merespon penyedia yang sedang bertanya kepada Pokja ULP atau merespon Pokja 93
ULP yang sedang memberi jawaban kepada seorang penyedia. Penyedia yang satu juga dapat melihat dokumen saingannya, demikian juga sebaliknya. Suasana begini dianggap oleh penyedia lebih terbuka, karena seorang penyedia bisa langsung mengetahui kelebihan atau kekurangan dari dokumennya dan dokumen saingannya. Sementara tidak salah juga bila saingannya mengetahui kelebihan atau kekurangan dokumennya. Hal-hal seperti ini yang membuat penyedia merasa sistem pengadaan secara manual bersifat terbuka dan sebaliknya sistem e-procurement justru bersifat tertutup. Tertutup bagi mereka yang tidak mempunyai user ID dan password serta tertutup bagi penyedia yang kurang akrab dengan komunikasi yang dilakukan secara online (Wawancara dengan MI1, 21 Mei 2015; MI2, 21 Mei 2015; MI6, 1 Juni 2015; MI9, 4 Juni 2015; MI4, 10 Agt 2015). Transparansi pengadaan barang/jasa sebagaimana diuraikan diatas memiliki pemahaman yang berbeda-beda antara panitia penyelenggara dan user di satu sisi dan penyedia di sisi lain. Kalau menurut penyedia semua informasi dapat dilihat dan diketahui termasuk informasi mengenai pesaing seperti pada sistem yang manual. Sementara menurut panitia pengadaan ada hal-hal tertentu yang tidak bisa dibuka kepada penyedia atau penyedia yang gugur di tengah proses pengadaan secara elektronik bahkan kepada masyarakat umum. Misalnya summary lelang yang berisi tentang rincian dari evaluasi administrasi, teknis dan kualifikasi serta rincian dari harga penawaran peserta lelang hanya dapat dilihat oleh pemenang, calon pemenang lelang, Pokja ULP dan PPK. Jadi yang punya ID card atau password saja, karena hal ini dilindungi oleh LKPP. Kalau summary lelang ini dibuka untuk publik dikhawatirkan dapat dipersepsikan berbeda-beda dan ini bisa menimbulkan kekacauan sehingga menghambat jalannya kegiatan pengadaan barang/jasa (Wawancara dengan MI4, 10 Agt 2015). Namun bukan berarti masyarakat umum tidak bisa mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dalam pembelanjaan barang/jasa pemerintah ini. Karena sebenarnya untuk melihat transparansi penggunaan anggaran di instansi pemerintahan dapat juga dilihat dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). DIPA dibuat atau disusun oleh satker pusat dan daerah yang berlaku untuk satu tahun anggaransebagai dasar pelaksanaan kegiatan dan penggunaan anggaran yang berasal dari dana APBN/APBD. DIPA memuat satuan-satuan terukur yang setidaktidaknya memuat informasi mengenai fungsi, subfungsi, program, dan kegiatan; hasil (outcome) yang akan dicapai; indikator kinerja utama program dan indikator kinerja 94
kegiatan; keluaran (output) yang dihasilkan; pagu yang dialokasikan; rencana penarikan dana yang akan dilakukan; dan penerimaan yang diperkirakan dapat dipungut. Pagu dalam DIPA merupakan batas pengeluaran tertinggi yang tidak boleh dilampaui dan pelaksanaannya harus dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian melalui DIPA masyarakat bisa mengetahui secara rinci uang mereka dibelanjakan untuk apa saja, biayanya berapa dan hasil atau manfaatnya apa. Jadi berbeda dengan pengalokasian anggaran di APBN/APBD yang rinciandananya hanya berdasarkan sektor seperti sektor kesehatan, sektor pendidikan dan lain sebagainya. Namun permasalahannya adalah di satu sisi masyarakat belum sepenuhnya menyadari bahwa DIPA dapat menjadi acuan apakah pemerintah sudah melakukan tanggungjawabnya dalam mengelola keuangan negara (masyarakat) atau tidak. Disisi lain tidak mudah juga bagi masyarakat untuk mendapatkan DIPA ini. Karena di lingkungan instansi pemerintah DIPA dianggap seperti dokumen rahasia yang tidak semua orang boleh mengaksesnya. Bahkan di beberapa instansi pemerintahan tidak semua pegawai dapat mengakses DIPA di satkernya. Padahal jelas dalam Surat Edaran Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) No. 1 Tahun 2011 menyatakan bahwa Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAK/L) dan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) merupakan informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala sepanjang tidak memuat informasi yang dikecualikan berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 5.9 E-Procurement di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera Utara Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 Pasal 4 tentang Kesehatan mengatakan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan. Sebagai sebuah hak maka kesehatan sifatnya mutlak yakni setiap manusia (warga negara) menerima apa yang seharusnya diperoleh. Dengan demikian pemerintah harus bertanggung jawab agar hak warga negara dalam hal kesehatan terjamin. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten/Kota merupakan lembaga pemerintahan di tingkat kabupaten/kota yang tugasnya melayani kebutuhan dasar manusia di bidang kesehatan.
Penyelenggaraan
upaya
kesehatan
yang
dilakukan
oleh
Dinkes
Kabupaten/Kotaini membutuhkan sumber daya di bidang kesehatan diantaranya adalah kesediaan farmasi seperti obat-obatan dan alat kesehatan sebagai salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
95
Pemenuhan alat kesehatan dan obat-obatan di Dinkes Kabupaten/Kota dapat menggunakan e-procurement yang secara umum dilakukan melalui metode e-tendering dan e-purchasing dengan memanfaatkan teknologi informasi, disamping pengadaan langsung, penunjukkan langsung dan lain-lain yang bersifat non elektronik. Sesuai dengan Perpres No. 4 Tahun 2015 proses pengadaan barang/jasa pemerintah ini dilakukan dengan lebih sederhana, tidak saja proses pengadaannya dilakukan secara elektronik melalui e-tendering dan e-purchasing, tetapi juga menyederhanakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyedia barang/jasa khususnya didalam mengikuti e-tendering. Pengadaan obat-obatan di lingkungan Dinkes Kabupaten/Kota secara umum dilakukan dengan dua cara. Dinkes Kabupaten/Kota dalam hal ini PPK menerima rencana kebutuhan obat-obatan dari user yakni Puskesmas. PPK selanjutnya membuat Daftar Pengadaan Obat berdasarkan e-katalog obat bagi obat yang sudah tercantum di ekatalog obat dan Daftar Pengadaan Obat diluar e-katalog obat sesuai dengan kebutuhan dan anggaran yang dimiliki. Selanjutnya kedua Daftar Pengadaan Obat ini diserahkan ke Pokja ULP dan proses berikutnya dilakukan dengan menggunakan metode epurchasing untuk obat yang ada di e-katalog obat dan metode e-tendering atau Pengadaan Langsung atau metode lain diluar metode e-purchasing (sesuai dengan Perpres No. 4 Tahun 2015) bagi obat yang belum ada di e-katalog obat.
5.9.0 E-Tendering E-tendering merupakan tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang terdaftar pada sistem pengadaan secara elektronik dengan cara menyampaikan satu kali penawaran dalam waktu yang telah ditentukan (Pasal 1 angka 39 Perpres No. 4 Tahun 2015). Batas pagu dari proses lelang secara elektronik ini sebesar Rp 200juta ke atas. Namun di DinkesKabupaten/Kota pagu untuk sebuah lelang yang bernilai di atas Rp 200 juta tidak terlalu banyak. Karena pada dasarnya lelang secara elektronik ini hanya berhubungan dengan bangunan (infrastruktur) atau barang yang bukan bersifat pabrikan. Sementara barang seperti alat kesehatan yang bersifat pabrikan dan obatobatan dilakukan dengan metode e-purchasing dengan menggunakan e-katalog. Melaluie-tendering semua aktivitas lelang diharapkan berjalan lebih transparan, terstruktur dan sistematis karena dapat diawasi oleh semua pihak.
96
Proses tender di Dinkes Kabupaten/Kota sama dengan yang dilakukan di SKPD lainnya. Sebelum dilakukan pengadaan, Dinkes Kabupaten/Kota dalam hal ini PPK menerima rencana kebutuhan barang/jasa yang berasal dari kebutuhan user, yakni Puskesmas. Selanjutnya PPK membuat HPS dan spesifikasi dari barang/jasa yang akan dipesan. Dalam penentuan HPS, SKPD memberitahukan distributor bahwa akan diadakan pengadaan dan meminta mereka untuk menginformasikan terkait harga barang yang akan dibeli. Pemberitahuan ini sifatnya resmi karena melalui surat dari Dinkes Kesehatan Kabupaten/Kota. Setelah mengetahui harga dari satu distributor maka dicari distributor lain yang memproduksi barang yang sama untuk dibandingkan harga jualnya. Kendala dalam pembuatan HPS dan spesifikasi barang terjadi bila spesifikasi dari distributor tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan atau diminta Dinkes Kabupaten/Kota. Setelah HPS ditetapkan, proses selanjutnya adalah Dinkes Kabupaten/Kota melalui PPK mengusulkan HPS dan spesifikasi barang/jasa ini ke Pokja ULP yang berada di Pemerintahan Kabupaten/Kota untuk diverifikasi. Apabila ada perbedaan dalam penentuan HPS dan spesifikasi barang/jasa, maka Pokja ULP akan memberitahukanDinkes Kabupaten/Kota melalui surat dan selanjutnya dokumen pengadaan akan dikembalikan.Proses lainnya seperti pemasukan dokumen, pemberian penjelasan (aanwijzing), pembukaan dan pengevaluasian dokumen, pengusulan calon pemenang dan penetapan pemenang, sanggah serta pengumuman pemenang dengan menggunakan website LPSE dilakukan seperti proses lelang secara elektronik lainnya.
5.9.1E-Purchasing E-purchasing berbeda dengan e-tendering. E-purchasing merupakan tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem katalog elektronik(Pasal 1 angka 41 Perpres No. 4 Tahun 2015). Pembelian dapat dilakukan bila barang/jasa tercantum dalam katalog LKPP seperti pada e-Cataloque Obat Pemerintah dan e-Catalogue Alat Kesehatan serta menggunakan aplikasi LKPP. Sama seperti konsep belanja online, e-purchasing memastikan pembeli melayani kebutuhan mereka sendiri berdasarkan katalog elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis, dan harga barang tertentu dari berbagai penyedia barang/jasa pemerintah. Jadi pembeli tinggal menyesuaikan kebutuhannya dengan spesifikasi dan harga yang diingankan.
97
Gambar 5.14: E-Catalogue Obat Pemerintah
Sumber: Website LKPP, 201552 Dalam PMK No. 63 Tahun 2014 tentang Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog Elektronik (E-Catalogue) Pasal 3 Ayat 1 dikatakan seluruh Satuan Kerja di bidang kesehatan baik Pusat maupun Daerah melaksanakan pengadaan obat melalui epurchasing berdasarkan katalog elektronik (e-catalogue) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Tujuannya untuk menjamin transparansi, efektifitas dan efisiensi proses pengadaan obat dalam rangka memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Dinkes Kabupaten/Kota lebih banyak melakukan kegiatan pengadaan dengan metode e-purchasing ini dibandingkan dengan metode e-tendering. Karena lebih dominannya kebutuhan obat-obatan dan alat kesehatan yang sifatnya pabrikan dengan pagu paling tinggi sebesar Rp 200 juta. Penggunaan e-katalog memberikan keuntungan yang signifikan bagi Dinkes Kabupaten/Kota. Harga obat e-katalog jauh lebih murah dibawah harga obat non ekatalog. Harga yang lebih murah ini bukan berarti kualitasnya rendah. Namun karena pabrik yang diberi proyek untuk memproduksi obat mendapat kepastian pembeli dalam jumlah besar. Selain itu, harga obat e-katalog lebih murah, karena adanya pemangkasan biaya produksi dan biaya jalur distribusi. Hal lain yang juga menjadi kelebihan dari penggunaan e-katalog adalah cara kerjanya lebih sederhana dan cepat dibanding dengan lelang biasa sehingga mempercepat penyerapan anggaran di SKPD. Selain itu, sistem epurchasing dengan menggunakan e-katalog lebih transparan karena daftar, jenis, spesifikasi teknis serta harga barang dari penyedia ditampilkan secara elektronik dan dapat diakses oleh publik. Terakhir, penggunakan e-katalog lebih memberikan rasa 52
https://katalog-buku.lkpp.go.id/e-katalog-obat/. Dikutip 24 Juli 2015. Jam 16.05.
98
aman kepada pegawai yang bertanggungjawab atas kegiatan pengadaan barang/jasa di Dinkes Kabupaten/Kota (Wawancara denganMI11, 4 Juni 2015; MI7, 5 Juni 2015; MI4, 10 Agt 2015). Namun penggunaan e-katalog tidak terlepas dari beberapa kelemahan. Jumlah obat-obatan e-katalog adakalanya terbatas atau malah kosong. Pesanan yang secara serentak dari pihak Dinas Kesehatan dan RSUD di seluruh Indonesia terhadap jenis obat yang sama menyebabkan pabrik kekurangan stock obat. Selain itu keterlambatan distributor obat memenuhi pesanan Dinkes Kabupaten/Kota juga menjadi masalah yang sering terjadi. Keterlambatan dapat terjadi karena biaya pengiriman ditanggung oleh distributor yang biasanya berdomisili di Jawa. Atas alasan penghematan, distributor mengirim obat-obatan dengan menggunakan paket pengiriman dengan biaya paling murah sehingga di satu sisi distributor tidak mengalami kerugian, namun di sisi lain sangat mungkin terjadi keterlambatan dalam pengiriman. Sebenarnya keadaan seperti ini dipicu oleh harga obat e-katalog yang bersifat nasional. Jadi misalnya harga sebuah obat sebesar Rp 1200,- maka untuk seluruh daerah di Indonesia dari Sumatera sampai Papua harganya sama yaitu Rp 1200,-. Jadi bila menghadapi keterlambatan pengiriman seperti ini, Dinkes Kabupaten/Kota menggunakan cadangan obat yang memang harus dimiliki oleh setiap SKPD di bidang kesehatan. Namun dari sisi penyerapan anggaran hal ini tentunya merugikan SKPD (Wawancara dengan MI11, 4 Juni 2015). Secara teknis administrasi tata cara e-purchasing dengan menggunakan ekatalog juga mempunyai kendala. Proses e-purchasing dilakukan melalui beberapa tahapan seperti pembuatan paket, memasukkan harga barang, mengunduh format standar kontrak, cetak Surat Pesanan (SP) dan sebagainya. Memasukkan data, mengunduhdan mengunggah dokumen ini tidak gampang karena jaringan atau sistem ekatalog tidak mampu atauoverload sehingga membutuhkan waktu yang sangat lama. Karena itu memasukkan data, mengunduhdan mengunggah dokumen dilakukan di malam hari dengan menanggung sendiri biaya internet karena pekerjaan dilakukan diluar kantor dan jam kerja. Kendala lainnya adalah penggandaan dokumen kontrak/perjanjian pembelian yang merupakan proses akhir dari e-purchasing. Dibutuhkan sebanyak 7-9 eksemplar dokumen kontrak/perjanjian pembelian dalam sebuah proses pembelian dengan menggunakan e-katalog. Biaya untuk satu eksemplar lebih kurang Rp 300.000,- , sehingga untuk 9 eksemplar diperlukan dana Rp 2.7 juta,-. Hal ini menjadi masalah karena siapa yang menanggung biaya penggandaan yang cukup besar ini. Tidak ada penjelasan yang lugas di dalam peraturan mengenai biaya 99
penggandaan ini. Mengatasi hal seperti ini, panitia pengadaan di Dinkes Kabupaten/Kota menambah klausal baru yang dibicarakan di awal proses pengadaan bahwa biaya penggandaan kontrak/perjanjian pembelian ditanggung oleh penyedia. Namun ada juga panitia pengadaan di Dinkes Kabupaten/Kota yang membicarakan hal ini hanya secara lisan bahwa biaya penggandaan kontrak/perjanjian pembelian ditanggung oleh penyedia (Wawancara dengan MI11, 4 Juni 2015; MI7, 5 Juni 2015). Pengadaan barang/jasa melalui e-katalog di bidang kesehatan merupakan kerjasama antara Kementerian Kesehatan dan LKPP. Sementara penentuan harga di sistem elektronik ditentukan oleh LKPP bekerja sama dengan pabrikan langsung. Saat ini kelengkapan barang dalam e-katalog sudah cukup banyak dan bervariasi. Tercatat 777 items tercantum di dalamnya, seperti biaya fotocopy/lembar, jaringan wifi, ATK, obat-obatan, kenderaan bermotor dan sebagainya sehingga Dinkes Kabupaten/Kota sangat terbantu dan dimudahkan dalam proses e-purchasing (Wawancara dengan MI6, 1 Juni 2015; MI11, 4 Juni 2015). Pengadaan barang/jasa melalui e-katalog di bidang kesehatan merupakan kerjasama antara Kementerian Kesehatan dan LKPP. Sementara penentuan harga di sistem elektronik ditentukan oleh LKPP bekerja sama dengan pabrikan langsung. Saat ini kelengkapan barang dalam e-katalog sudah cukup banyak dan bervariasi. Tercatat 777 items tercantum di dalamnya, seperti biaya fotocopy/lembar, jaringan wifi, ATK, obat-obatan, kenderaan bermotor dan sebagainya sehingga Dinkes Kabupaten/Kota sangat terbantu dan dimudahkan dalam proses e-purchasing (Wawancara dengan MI11, 4 Juni 2015). Terlepas dari beberapa kelemahan dari motode e-purchasing dengan menggunakan e-katalog, namun secara keseluruhan metode ini lebih diminati dibandingkan e-tendering oleh pegawai yang bertanggungjawab di bidang pengadaan di Dinkes Kabupaten/Kota. Penambahan item dalam e-katalog yang terus dilakukan oleh LKPP memberikan nilai positif sehingga e-procurement melalui metode e-purchasing semakin dominan dikemudian hari. Sebaliknya, e-procurement melalui metode etendering semakin difokuskan pada bangunan infrastruktur dengan pagu yang besar sehingga dapat mempercepat kegiatan pembangunan dan penyerapan anggaran. Rasa aman menggunakan e-katalog ini berbanding lurus dengan semakin sempitnya tindakan untuk melakukan penyalahgunaan wewenang. Karena e-katalog membuat segala sesuatu terang benderang (transparan) yang berakibat pada berkurangnya kebocoran dalam proses pengadaan barang/jasa secara elektronik. Bila di metode e-tenderingmasih 100
memungkinkan untuk mendapat fee dari sebuah penawaran, maka di metode epurchasing dengan menggunakan e-katalog hal ini tidak mungkin lagi terjadi (Wawancara dengan MI3, 27 Mei 2015; MI11, 4 Juni 2015; MI7, 5 Juni 2015; MI4, 4 Agt 2015).
5.9.2 Pengadaan Langsung Pejabat Pengadaan adalah personil yang ditunjuk untuk melaksanakan Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung, dan E-Purchasing (Pasal 1 angka 9, Perpres No. 4 Tahun 2015). Sementara di angka 32 perpres yang sama dikatakan bahwa Pengadaan Langsung adalah pengadaa barang/jasa langsung kepada penyedia barang/jasa, tanpa melalui pelelangan/seleksi/penunjukan langsung. Proses pengadaan langsung ini merupakan salah satu kegiatan pengadaan yang dilakukan dengan pagu paling tinggi Rp 200jutauntuk paket pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dan Rp 50 juta untuk paket pengadaan jasa konsultansi. Karena nominal pagunya tidak besar maka proses pengadaan dilakukan oleh pihak SKPD sendiri dengan membentuk panitia pengadaan yang dilakukan oleh Pejabat Pengadaan. Pengadaan langsung dilakukan salah satu tujuannya karena barang yang dibutuhkan sifatnya mendesak dan hanya memenuhi kebutuhan lokal SKPD, sehingga tidak perlu melalui proses yang memakan waktu seperti lelang biasa. Selain itu, pengadaan langsung secara tersirat berupaya untuk membangun badan usaha daerah melalui perluasan rentang pagu yang ditetapkan pada awalnyaberjumlah paling tinggi Rp 100 juta. Dalam perpres yang baru besaran pagu dinaikkan menjadi paling tinggi Rp 200juta yang bertujuan agar semakin banyak usaha mikro dan usaha kecil terlibat dalam proses pengadaan. Meskipun tidak melalui proses lelang secara elektronik, informasi mengenai pengadaan langsung dapat diketahui melalui Rencana Umum Pengadaan (RUP) dengan menggunakan SiRUP dan ditayangkan melalui situs LPSE. PPK menyusun spesifikasi dan HPS yang disesuaikan dari e-katalogdan harga di daerah, bila barang tersebut sudah ada di e-katalog. Namun bila belum terdapat di e-katalog maka penetapan HPS dan spesifikasi dilakukan seperti di lelang biasa. Proses pemilihan penyedia tidaksulit bagi panitia pengadaan, karena pada umumnya beberapa penyedia yang sering disebut rekanan
sudah
beberapa
kali
bekerjasama
dengan
Dinkes
Kabupaten/Kota
sehinggapenyedia yang memiliki kredibilitas dan track record yang baik sudah dikenal (Wawancara dengan MI1, 21 Mei 2015; MI9, 4 Juni 2015). 101
5.9.3E-procurement di Dinkes Kabupaten/Kota: Bagaimana Model Implementasi Kebijakan Bekerja? Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota merupakan salah satu SKPD yang memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Sebagai instansi pemerintahan yang memberikan pelayanan dasar di bidang kesehatan, maka Dinkes dituntut untuk bekerja secara profesional dengan cara memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan. Banyak cara pemenuhan kebutuhan kesehatan ini diantaranya adalah melalui persediaan obat-obatan dan alat kesehatan. Pemenuhan keduanya dapat dilakukan melalui pengadaan barang/jasa secara elektronik, baik dengan menggunakan e-purchasing maupun e-tendering. Di Dinkes Kabupaten/Kota, metode e-purchasing dengan menggunakan e-katalog lebih dominan dilakukan dibandingkan metode e-tendering. Ini bisa terjadi karena user dari Dinkes Kabupaten/Kota sebagai sebuah SKPD adalah Dinkes Kabupaten/Kota itu sendiri dan Puskesmas yang kebutuhan sumber dayanya tidak sebesar Rumah Sakit Umum Daerah yang juga sebagai sebuah SKPD. Jadi penggunaan metode e-tendering yang salah satu syaratnya dapat dilakukan dengan pagu lelang berjumlah di atas RP 200 juta tidak terlalu banyak dilakukan di Dinkes Kabupaten/Kota (Wawancara dengan MI11, 4 Juni 2015). Pengadaan secara elektronik sebagai sebuah kebijakan harus dilaksanakan dengan tepat sehingga tujuan dari pengadaan barang/jasa ini dapat tercapai. Salah satu tujuan kebijakan ini adalah mewujudkan transparansi pengadaaan barang/jasa. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk membantu mewujudkan implementasi kebijakan ini, diantaranya adalah dengan menggunakan sebuah model, seperti model Donald Van Meter dan Carl Van Horn, model Paul Sabatier dan Daniel Mazmanian serta model Merile S.Grindle. Menurut Thomas R. Dye (1972) 53, “a model is simplified representation of some aspect of the real world.” Dengan demikian, melalui sebuah model, implementasi sebuah kebijakan yang biasanya sangat kompleks karena terdiri dari begitu banyak faktor atau aspek dapat disederhanakan. Model dari suatu implementasi kebijakan juga membantu pemerintah untuk lebih fokus memperhatikan atau memperbaiki atau mengawasi faktor-faktor atau aspek-aspek dari model tersebut sehingga kebijakan pengadaan secara elektronik dapat mencapai sasarannya. Dari hasil penelitian tahun pertama di tiga lokasi penelitian ditemukan model implementasi kebijakan e-procurement terdiri dari tiga faktor yaitu landasan hukum, infrastruktur dan
53
Dye, Thomas R. 1972. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, Inc.
102
sumber daya manusia dalam hal ini kapabilitas sumber daya manusia dan budaya organisasinya 54. Landasan hukum dalam pengadaan secara elektronik di Indonesia salah satu diantaranya adalah Perpres No. 4 Tahun 2015. Perpres ini sudah mengalami perubahan beberapa kali dan salah satu perubahan penting dari perpres yang baru ini adalah penjelasan yang lebih detail mengenai metode e-purchasing dengan menggunakan ekatalog yang banyak digunakan di Dinkes Kabupaten/Kota pada saat ini. Melalui epurchasing, pengadaan barang/jasa lebih mudah, sederhana, transparan dan aman dilakukan. Selain e-purchasing, Dinkes Kabupaten/Kota juga menggunakan e-tendering yang proses lelangnya lebih panjang dibandingkan e-purchasing, namun sama dengan e-purchasinglebih efisien, efektif, transparan dan akuntabel dibandingkan dengan sistem pengadaan yang manual.Perubahan penting lainnya adalah berkaitan dengan pasal 106 ayat (1) dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 dan Perubahannya serta Perpres No. 4 Tahun 2015. Pada Perpres No. 54 Tahun 2010 dikatakan bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah “dapat” dilakukan secara elektronik. Sementara pada Perpres No. 4 Tahun 2015, pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan secara elektronik. Penghilangan kata “dapat” di Perpres No. 4 Tahun 2015 menandakan awal berlakunya penggunaan elektronik dalam pengadaan barang/jasa di Indonesia. Dengan kata lain, menjadi suatu kewajiban bagi K/L/D/I untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik sesuai dengan ketentuan yang ada. Namun ketika regulasi ini masih ditafsirkan berbeda-beda baik oleh panitia pengadaan maupun pengusaha sebagai penyedia barang/jasa, maka tidak dapat dihindari kegiatan pengadaan barang/jasa terutama yang menggunakan metode e-tendering tidak dapat berjalan maksimal. Berkaitan dengan penjelasan lelang (aanwijzing) misalnya perbedaan pendapat terjadi antara panitia pengadaan (Pokja ULP) dan user (Dinkes Kabupaten/Kota) di satu sisi dan penyedia di sisi lain. Panitia pengadaan dan user mengatakan bahwa penjelasan lelang (aanwijzing) pada pengadaan secara elektronik sudah tepat karena pada dasarnya dilakukan secara online sehingga tidak ada tatap muka antara penyedia dan panitia pengadaan. Ini membuat kegiatan penjelasan lelang (aanwijzing) dapat berjalan efektif dan tidak bertele-tele. Sementara dari perspektif penyedia hal ini merupakan bentuk ketertutupan dari sistem yang baru padahal salah
54
Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty Sylvania. 2014. Model Implementasi Kebijakan eProcurement Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara. Penelitian Tahun Pertama. Skim Hibah Bersaing. Universitas Sumatera Utara.
103
satu tujuan dari sistem e-procurement adalah transparan. Hal lain yang juga dipertanyakan oleh penyedia adalah perpres menyebutkan bahwa salah satu tugas Pokja ULP adalah berkaitan dengan evaluasi dokumen penawarandari para penyedia yang dilakukan secara off line. Apa jaminan bahwa panitia penyelenggara tidak „bermain‟ dengan beberapa penyedia yang masuk dalam lingkaran kekuasaan atau yang merupakan keluarganya sendiri? (Wawancara dengan MI1, 21 Mei 2015; MI2, 21 Mei 2015; MI7, 5 Juni 2015). Infrastruktur dalam mendukung pengadaan barang/jasa di ULP dan LPSE Pemerintahan Kabupaten/Kota setiap tahunnya mengalami perbaikan atau peningkatan meskipun belum sebaik dan selengkap sebagaimana yang seharusnya dimiliki oleh LPSE dan ULP, terutama LPSE dan ULP di Kota Binjai.Di LPSE Kota Medan, ruang biddingyakni ruanguntuk memfasilitasi para calon penyedia yang mengalami kesulitan dalam proses mengunggah data dan dokumen saat melakukannya di luar LPSEsudah cukup nyaman. Selain itu fungsi ruang bidding ini jugadigunakan sebagai tempat untuk melakukan pelatihan berkaitan dengan perubahan perpres tentang pengadaan secara elektronik bagi para anggota baru LPSE, ULP maupun para calon penyedia. Sementara di LPSE Kabupaten Serdang Bedagairuang bidding sudah semakin nyaman dengan jumlah unit komputer semakin banyak yang salah satu fungsinya untuk mengunggah dokumen yang dapat digunakan oleh penyedia. Kapasitas server juga semakin besar sehingga dokumen yang memiliki kapasitas besar mampu diunduh dan diunggahdengan mudah. Sama halnya dengan kapasitas server di LPSE Kota Binjai yang sudah semakin besar, meskipun ruang bidding masih sangat sederhana, tidak ada penyekat antara satu unit dengan unit komputer lainnya. Namun berkaitan dengan infrastruktur, masih terjadi jaringan listrik yang tibatiba mati ketika penyedia sedang mengunggah dokumen pengadaan atausistem pada server rusak tanpa ada penjelasan yang resmi dan segera sehingga dokumen pengadaan tidak dapat diterima panitia. Hal ini diperparah dengan waktu minimal yang diambil panitia ketika mengumumkan sebuah paket lelang atau mengambil waktu dimana hari libur cukup panjang sehinggakesempatan untuk mendaftar bagi penyedia menjadi semakin sempit. Selain itu,undangan pelatihan bagi penyedia belum sepenuhnya melibatkan asosiasi pengusaha. Karena itu tidak jarang pengusaha mengirim orang yang tidak berkompeten untuk mengikuti pelatihan sehingga pelatihan yang menghabiskan dana yang cukup besar tidak memberikan hasil yang maksimal (Wawancara dengan MI2, 21 Mei 2015; MI3, 27 Mei 2015; MI10, 4 Juni 2015). 104
Gambar 5.15: Ruang LPSE Pemerintah Kota Medan
Sumber: Hasil Penelitian, 2015
Gambar 5.16: Ruang LPSE Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai
Sumber: Hasil Penelitian, 2015
105
Gambar 5.17: Ruang LPSE Pemerintah Kota Binjai
Sumber: Hasil Penelitian, 2015 Sumber daya manusia termasuk kompetensi dan budaya organisasi masih terus berbenah diri di lingkungan Dinkes Kabupaten/Kota serta organisasi ULP dan LPSE Pemerintah Kabupaten/Kota, dengan cara melakukan pekerjaan lebih profesional di bagian pengadaan barang/jasa. Meskipun bekerja secara profesional ini dilakukan semata-mata karena kekhawatiran bersentuhan dengan masalah hukum, jadi bukan karena kesadaran sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Tapi setidaknya hal ini merupakan langkah awal yang posistif di tengah tingginya ketidakpercayaan penyedia dan masyarakat umum kepada panitia pengadaan. Namun bila dilihat dari kemampuan sumber daya manusia khususnya berkaitan dengan Teknologi Informasi (TI) masih jauh dari yang diharapkan. Baik penyedia, panitia pengadaan maupun user belum sepenuhnya mengerti mengenai TI sehingga pelaksanaan pengadaan secara elektronik belum berjalan lancar. Selain itu tingginya resistensi pegawai untuk mendapat sertifikasi pengadaan karena resiko pekerjaan yang tinggi tidak dapat dianggap remeh. Meskipun di Perpres No. 4 Tahun 2015 telah dinyatakan bahwa panitia pengadaan diberikan bantuan hukum dalam menjalankan tugasnya, namun hal ini masih belum teruji. Sementara pekerjaan yang sarat dengan masalah hukum ini juga belum didukung dengan honorarium yang layak. Artinya besarnya honor yang diperoleh sebagai panitia pengadaan belum sebanding dengan beban mental yang ditanggung ketika melakukan kegiatan pengadaan. Masalah lainnya adalah berkaitan dengan budaya organisasi di lingkungan pemerintahan dimana organisasi ULP, LPSE dan SKPD (user) berada, belum sepenuhnya berubah. Praktekpraktek korupsi, kolusi dan nepotisme sudah berakar di tubuh organisasi 106
pemerintahansehingga panitia pengadaan dan user sebagai bagian dari pemerintahan tidak lepas dari dampak ini. Di sisi lain sebagian penyedia masih menggunakan mindset lama bahwa sistem e-procurement sama dengan sistem manual. Selain itu, sebagian penyedia belum memiliki integritas ketika memenangkan sebuah paket lelang secara elektronik, dengan cara tidak bertanggungjawab terhadap kualitas barang atau proyek yang dimenangkannya (Wawancara dengan MI2, 21 Mei 2015; MI8, 28 Mei 2015; MI9, 4 Juni 2015; MI4, 10 Agt 2015). Model implementasi kebijakan yang terdiri dari tiga faktor ini saling mempengaruhi satu dengan lainnya dalam kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Dari ketiga faktor ini, sumber daya manusia lebih dominan dibandingkan kedua faktor lainnya. Faktor landasan hukum mempengaruhi faktor infrastruktur dan sumber daya manusia dan selanjutnya faktor yang lainnya mempengaruhi dua faktor yang lain. Demikian pula secara bersama-sama faktor landasan hukum dan sumber daya manusia mempengaruhi faktor infrastruktur dan berikutnya kedua faktor yang lain mempengaruhi faktor yang satunya. Interaksi ketiga faktor yang belum bekerja optimalini mempengaruhi implementasi kebijakan e-procurement. Pemahaman pegawai yang bertanggungjawab di bidang pengadaan terhadap regulasi tentang pengadaan barang/jasa secara elektronik berbeda dengan pemahaman penyedia. Selain itu, infrastruktur sebagai pendukung pelaksanaan e-procurement belum tersedia dan bekerja dengan optimal. Integritas dari panitia pengadaan juga diragukan telah melakukan praktek-praktek KKN kepada beberapa penyedia yang merupakan keluarga atau lingkaran dalam dari pejabat yang berkuasa. Budaya organisasi LPSE, ULP dan user juga dianggap masih sarat dengan nilai-nilai ketidakadilan, diskriminasi dan tertutup. Ketidakpercayaan yang menumpuk ini menyulut pada ketidakpercayaan penyedia terhadap panitia pengadaan dan sistem pengadaan secara elektronik. Beberapa penyedia tidak merespon dengan positif bantuan fasilitas yang disediakan oleh LPSE dan ULP Pemerintah Kabupaten/Kota. Selain itu, mereka juga mengabaikan informasi mengenai proses pengadaan secara elektronik, yang salah satu diantaranya menolak untuk mengikuti pelatihan yang di fasilitasi oleh LPSE. Bahkan beberapa dari mereka tetap denganmindset yang lama yang berkeyakinan bahwa ada toleransi ketika terlambat melakukan pendaftaran untuk mengikuti tender, terlambat mengunduh dokumen, terlambat melengkapi berkas, atau terlambat mengunggah dokumen. Pada akhirnya ketika penyedia tidak bisa mengikuti tender atau gagal memenangkan sebuah paket
107
lelang, maka yang disalahkan adalah panitia pengadaan dengan berbagai macam spekulasi. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) spekulasi merupakan pendapat atau dugaan yang tidak berdasarkan kenyataan; tindakan yang bersifat untunguntungan.55Dari perspektif penyedia, munculnya kata spekulasi ini tidak lepas dari rendahnya kredibilitas panitia pengadaan di mata penyedia. Menumbuhkan kredibilitas ini bukan pekerjaan yang gampang karena dibutuhkan waktu yang lama. Namun setidaknya hal yang dapat segera dilakukan oleh LPSE dan ULP adalah menampilkan data, proses dan keputusan lelang dengan benar-benar transparan di website LPSE sehingga tidak ada celah bagi penyedia atau masyarakat umum untuk berspekulasi mengenai proses lelang dan juga hal-hal yang berkaitan dengan pengadaan. Sementara di mata panitia penyelenggara, pihak penyedia tidak sembunyi dibalik kata-kata spekulasi karena hal ini dapat merugikan diri sendiri. Dalam Perpres No. 4 Tahun 2015pasal 106 ayat (1) dikatakan bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan secara elektronik. Ini artinya, merupakan suatu kewajiban bagi pemerintah untuk melakukan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Karena itu, penyedia harus mengubah mindset nya mengenai pengadaan secara elektronik. Berbeda dengan pengadaan secara manual, pengadaan secara elektronik menuntut penyedia untuk mematuhi jadwal dari proses atau tahapan lelang yang ketat dengan terus memperbaharui informasi melalui website LPSE.Dengan demikian spekulasi-spekulasi dapat hilang dari kegiatan atau proses pengadaan barang/jasa secara elektronik. Selanjutnya ketiga faktor yang belum optimal dari model implementasi kebijakan e-procurement ini menimbulkanmakna yang berbeda-beda dari transparansi pengadaan.Hal yang paling mendasar ditemukan di tiga lokasi penelitian adalah perbedaan pemahaman antara panitia pengadaan dan user di satu sisi dan penyedia di sisi lain. Menurut panitia pengadaan sistem yang baru ini sudah memberikan transparansi bukan saja bagi penyedia tetapi juga bagi masyarakat umum. Namun transparansi disini jangan diartikan bahwa semua yang terjadi di dalam proses pengadaan secara elektronik harus dibuka selebar-lebarnya kepada masyarakat umum. Dengan kata lain, transparansi jangan dimaknai secara berlebihan. Misalnya, tidak mungkin summary lelang yang berisi tentang evaluasi administrasi, teknis, kualifikasi
55
http://kbbi.web.id/spekulasi
108
serta harga penawaran di tayangkan secara terbuka dan detail di website LPSE. Masyarakat umumbahkan penyedia yang gagal ditengah proses pengadaan cukup mengetahui hasil akhir dari evaluasi administrasi dan teknis dengan tanda √ atau tidak ada tanda √ serta jumlah total dari penawaran, tanpa dapatmelihat dengan rinci semua isi penawaran. Selain pemenang, calon pemenang, Pokja ULP, dan PPK saja yang dapat melihat summary lelang ini. Namun menurut penyedia justru hal ini membuat sistem pengadaan secara elektronik menjadi tertutup. Berbeda dengan sistem pengadaan secara manual dimana semua penyedia dapat melihat kekurangan dan kelebihan dari dokumen pesaingnya. Sebaliknya semua pesaingnya dapat melihat keberadaan dokumennya (Wawancara dengan MI1, 21 Mei 2015; MI7, 5 Juni 2015; MI4, 10 Agt 2015). Sejalan dengan pendapat panitia pengadaan, user beranggapan bahwa transparansi adalah bagaimana orang yang berhak bisa mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajibannya. Artinya seseorang atau masyarakat umum tidak berhak mengetahui secara detail proses lelang, jika dia atau masyarakat umum tersebut tidak menjadi peserta lelang. Bahkan penyedia yang gagal di tahap evaluasi dokumen lelang, jadi belum menjadi peserta lelang yang dapat mengajukan penawaran, tidak berhak mengetahui mengapa peserta tersebut yang menang. Sementara dari sisi penyedia, transparansi berarti semua penyedia lelang dapat mengetahui mengapa peserta tersebut yang menang dari sebuah paket lelang bukan yang lain (Wawancara dengan MI2, 21 Mei 2015; MI7, 5 Juni 2015; MI4, 10 Agt 2015). Dari sisi penyedia, proses pengadaan secara elektronik dapat dikatakan transparan bila semua tahapan dan proses lelang dapat diketahui oleh semua penyedia yang mengikuti lelang. Selain itu dalam sistem pengadaan secara elektronik masih ada kegiatan yang bersifat offline, karena itu sistem ini dapat dikatakan transparan bila panitia pengadaan adalah orang yang mempunyai integritas dalam melakukan pekerjaannya. Dengan demikian sistem pengadaan secara elektronik dapat dikatakan mencapai sasarannya yakni mewujudkan transparansi pengadaan bila didukung oleh panitia pengadaan yang memiliki integritas. Selama integritas pelaksananya tidak ada maka sebaik apapun sistem e-procurementini dibangun akan terus dicurigai atau memunculkan spekulasi-spekulasi (Wawancara dengan MI2, 21 Mei 2015; MI3, 27 Mei 2015; MI8, 28 Mei 2015; MI9, 4 Juni 2015).
109
Menurut Clem (2010: 4) 56 transparansi merupakan “Government should provide citizens with information about what their government is doing so that government can be held accountable”.Pengertian di atas memberikan makna yang sangat luas terhadap transparansi, dimana pemerintahharus menyediakan informasi kepada warga negara tentangapa yang pemerintah lakukan. Hal ini bertujuan agarpemerintah dapat mempertanggung jawabkan apa yang sedang dikerjakan. Namun pemerintah juga memiliki kategori informasi yang harus dirahasiakan dari masyarakat, seperti menyangkut rahasia negara, kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat, hak-hak pribadi dan lain sebagainya seperti pada Pasal 17 UndangUndang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Di dalam konteks kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik beberapa kategori informasi tidak dapat dibuka ke masyarakat umum tetapi dapat dibuka atau dilihat oleh pemenang dan calon pemenang lelang saja, disamping Pokja ULP dan PPK seperti informasi di summary lelang. Dengan demikian pegawai yang bertanggung jawab di bidang pengadaan barang/jasa harus mampu menjelaskan mengapa beberapa informasi boleh dibuka kepada masyarakat umum melalui website LPSE, sebaliknya beberapa informasi tidak dapat dibuka kepada masyarakat umum. Penjelasan ini perlu dijelaskan sejelas-jelasnyaterutama kepada penyedia sehingga perbedaan pemahaman makna transparansi tidak terjadi lagi. Namun informasi mengenai pengadaan barang/jasa yang tidak termasuk kategori sebagaimana disebutkan diatas, harus di buka selebar-lebarnya kepada masyarakat di website LPSE baik menyangkut data, proses maupun keputusan dari tahapan lelang.Karena hal ini juga merupakan bentuk dari akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat. Mewujudkan kesamaan pemahaman dari makna transparansi ini dapat juga dilakukan melalui pelatihan yang berkaitan dengan TI berbasis komputer dan perubahan peraturan (perpres) tentang pengadaan barang/jasa kepada penyedia, user dan panitia pengadaan secara berkala. Pelatihan yang selama ini dilakukan belum dimanfaatkan dengan optimal. Pelibatan semua asosiasi pengusaha sebagai pemberi rekomendasi bagi penyedia yang ingin berpartisipasi dalam pelatihan belum dilakukan. Padahal ini penting, sehingga pengusaha yang mengikuti pelatihan benar-benar orang yang berkompeten. Sama halnya dengan keterlibatan pimpinan LPSE dan ULP untuk mengevaluasi peserta pelatihan yakni pegawai yang bertanggungjawab pada bidang 56
Clem, Constance,. 2010. “Government Online: Improving Service and Engaging Communities”. Ark in Association with Inside Knowledge.
110
pengadaan sangat diperlukan. Melalui pelatihan diharapkan didapat pemahaman yang sama berkaitan dengan e-procurement dan transparansi pengadaan antara penyedia dan panitia pengadaan serta menumbuhkan integritas semua pihak yang berhubungan dengan kegiatan e-procurement. Tidak semua dari proses pengadaan secara elektronik dapat dibuka di website LPSE sebagaimana dijelaskan diatas. Namun hal ini bukan berarti masyarakat umum tidak bisa mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dalam pembelanjaan barang/jasa pemerintah. Karena sebenarnya untuk melihat transparansi penggunaan anggaran di instansi pemerintahan dapat juga dilihat dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). DIPA ini mengacu pada Peraturan Presiden tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (RABPP) untuk satuan kerja pusat dan Surat Rincian Alokasi Anggaran (SRAA) untuk satuan kerja daerah. DIPA dibuat atau disusun oleh satker (satuan kerja) yang memuat satuansatuan terukur mengenaibanyak hal seperti program dan kegiatan yang akan dilaksanakan, hasil (outcome) yang akan dicapai, keluaran (output) yang dihasilkan dan pagu yang dialokasikan.Dengan demikian melalui DIPA masyarakat bisa mengetahui secara rinci uang mereka dibelanjakan untuk apa saja, biayanya berapa dan hasil atau manfaatnya apa. Jadi berbeda dengan pengalokasian anggaran di APBN/APBD yang rinciandananya hanya berdasarkan sektor seperti sektor kesehatan, sektor pendidikan dan lain sebagainya. Namun permasalahannya adalah di satu sisi masyarakat belum sepenuhnya menyadari bahwa DIPA dapat menjadi acuan apakah pemerintah sudah melakukan tanggungjawabnya dalam mengelola keuangan negara (masyarakat) atau tidak. Disisi lain tidak mudah juga bagi masyarakat untuk mendapatkan DIPA ini. Karena di lingkungan instansi pemerintah DIPA dianggap seperti dokumen rahasia yang tidak semua orang boleh mengaksesnya. Bahkan di beberapa instansi pemerintahan tidak semua pegawai dapat mengakses DIPA di satkernya. Padahal jelas dalam Surat Edaran Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) No. 1 Tahun 2011 menyatakan bahwa Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAK/L) dan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) merupakan informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala sepanjang tidak memuat informasi yang dikecualikan berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
111
BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Penelitian tahun kedua ini menemukan pengaruh model implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai sebesar 14.8%. Angka ini cukup tinggi yang memberi makna bahwa transparansi pengadaan patut menjadi sorotan selain penghematan (efisiensi) ketika membicarakan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Selanjutnya dengan menggunakan metode kualitatif dideskripsikan proses e-procurement baik dengan menggunakan metode e-tendering maupung e-purchasingserta perbedaan pemahaman partisipan terhadap makna transparansi pengadaan barang/jasa di Dinkes Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Terakhir,bekerjanya model implementasi kebijakan eprocurement serta hambatannya di Dinkes Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Hasil penelitian tahun pertama sudah dipublikasikan di jurnal internasional yang berjudul “Public Policy and Administration Research” (ISSN 2224-5731 (print) dan (ISSN 2225-0972 (online) terbit di Amerika Serikat. Hasil penelitian tahun kedua juga sudah diterima (accepted) dan akan dipublikasikan di jurnal yang sama. Selain itu satu bagian/tema dari hasil penelian ini juga sudah diterima dan dipublikasikan di jurnal “Komunika” yang diterbitkan atas kerjasama Program Pascasarjana Komunikasi USU dan Departemen Ilmu Komunikasi USU dengan judul “Pemanfaatan Website Dalam Pengadaaan Barang/Jasa (E-Procurement) di Provinsi Sumatera Utara: Dilihat Dari Prinsip Transparan.” Selain dipublikasikan, hasil penelitian ini sudah diseminarkan di Kantor Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai pada tanggal 26 Agustus 2015 (undangan terlampir). Penelitian lanjutan yang direncanakan di tahun-tahun mendatang adalah berkaitan dengan pengadaan barang/jasa pemerintah dengan menggunakan metode e-purchasing. Karena di tahun berikutnya pengadaan barang/jasa didominasi dengan penggunaan ekatalog. Meskipun penggunaan metode ini semakin sederhana tetapi tidak lepas dari kendala yang belum terangkat dalam penelitian tahun kedua ini. Selain itu evaluasi dari pengadaan barang/jasa secara elektronik sangat menarik dilakukan karena sistem pengadaan ini juga masih menimbulkan praktek-praktek korupsi.
112
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.0 Kesimpulan Salah satu tujuan penelitian ini adalah melihat seberapa besar pengaruh model implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Dengan menggunakan analisis regresi dan koefisien determinan maka diperoleh angka sebesar 14.8%. Ini berarti model implementasi kebijakan e-procurement yang terdiri dari faktor landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia mempengaruhi secara signifikan transparansi pengadaan barang/jasa di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai, sebesar 14.8%. Sementara sisanya sebesar 85.2% merupakan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi
transparansi pengadaan
barang/jasa, seperti komitmen dan kualitas kepemimpinan, kondisi sosio-ekonomi, dukungan publik, dukungan politik, komunikasi, koordinasi dan lain-lain yang bukan merupakan fokus dari penelitian ini. Dari hasil wawancara mendalam, dari ketiga faktor maka sumber daya manusia yang paling dominan mempengaruhi terwujudnya transparansi pengadaan barang/jasa di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Dalam penelitian ini faktor sumber daya manusia difokuskan pada kapabilitas TI berbasis komputer dan budaya organisasi. Namun budaya organisasi lebih memegang peranan penting bekerja tidaknya model implementasi kebijakan e-procurement. Budaya organisasi dari penyelengara pengadaan yang masih kental dengan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme menimbulkan spekulasi dan pesimisme dari penyedia terhadap kegiatan pengadaan secara elektronik. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten/Kota merupakan salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)di Provinsi Sumatera Utara yang tugasnya memberikan pelayanan dasar di bidang kesehatan kepada masyarakat. Sebagai instansipemerintah, Dinkes dituntut untuk bekerja secara profesional dengan cara memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan. Banyak cara pemenuhan kebutuhan kesehatan ini diantaranya adalah melalui ketersediaan obat-obatan dan alat kesehatan. Pemenuhan keduanya dapat dilakukan melalui pengadaan barang/jasa secara elektronik, baik dengan menggunakan meode e-purchasing maupun metodee-tendering. Namun di Dinkes Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupten Serdang Bedagai, metode e-purchasing dengan 113
menggunakan e-katalog lebih diminati dibandingkan dengan metode e-tendering. Hal ini didukung dengan semakin dominannya digunakan metode e-purchasing. Sebaliknya, eprocurement melalui metode e-tendering semakin difokuskan pada bangunan infrastruktur dengan pagu yang besar sehingga dapat mempercepat kegiatan pembangunan dan penyerapan anggaran. Beberapa keuntungan yang signifikan didapat dari metode e-purchasing dengan menggunakan e-katalog. Pertama, harga obat dengan menggunakan e-katalog jauh lebih murah dibawah harga obat non e-katalog. Kedua, cara kerja e-purchasing lebih sederhana dan cepat dibanding dengan lelang biasa sehingga mempercepat penyerapan anggaran di SKPD.Ketiga, sistem e-purchasing dengan menggunakan e-katalog lebih transparan karena daftar, jenis, spesifikasi teknis serta harga barang ditampilkan secara elektronik dan dapat diakses oleh publik. Keempat, penggunakan e-katalog lebih memberikan rasa aman karena tidak perlu menentukan HPS dan spesifikasi barang. Kedua kegiatan ini cukup riskan bagi sebagian pegawai yang bertanggungjawab di bidang pengadaan barang/jasa. Terlepas dari beberapa kelebihan di atas, metode e-purchasingdengan menggunakan e-katalog juga mempunyai beberapa kelemahan. Jumlah obat-obatan di ekatalog kadang kala terbatas atau malah kosong karena pesanan yang secara serentak terhadap jenis obat yang sama dari pihak Dinkes dan RSUD di seluruh Indonesia. Selain itu keterlambatan distributor obat mengirim pesanan Dinkes Kabupaten/Kota juga menjadi masalah yang sering terjadi. Sementara secara teknis administrasi tata cara epurchasing dengan menggunakan e-katalog juga mempunyai kendala. Proses epurchasingyang dilakukan melalui beberapa tahapan dan proses menuntut user memasukkandata, mengunduh dan mengunggahdokumen cukup banyak. Namun jaringan atau sistem e-katalog tidak mampu atauoverloadsehingga diperlukan waktu yang sangat lama untuk melakukan hal itu semua. Kendala lainnya adalah tidak ada penjelasan yang lugas di dalam peraturansiapa yang bertanggungjawab untuk menggandakan dokumen kontrak/perjanjian pembelian yang merupakan proses akhir dari e-purchasing. E-procurement sebagai sebuah kebijakan harus diimplementasikan dengan tepat sehingga tujuannya untuk mewujudkan transparansi pengadaaan barang/jasa dapat tercapai. Cara yang dapat dilakukan untuk membantu mewujudkan tujuan dari implementasi kebijakan ini adalah dengan menggunakan sebuah model implementasi kebijakan e-procurement yang terdiri dari tiga faktor yaitu landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia. 114
Ketiga faktor dari model implementasi kebijakan e-procurement belum optimal di tiga lokasi penelitian sehingga menghasilkan spekulasi-spekulasi yang biasanya ditujukan penyedia kepada panitia pengadaan. Spekulasi dalam arti sederhana merupakan pendapat atau dugaan yang tidak berdasarkan kenyataan,menjadi hal yang jamak didengar dalam kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Dari pandangan penyedia, kata-kata spekulasi ini muncul karena rendahnya kredibilitas panitia pengadaan termasuk pada sistem e-procurement. Kredibilitas menyangkut masalah kepercayaan dan kepercayaan tidak dapat segera diperoleh begitu saja tanpa adanya tindakan yang nyata dan segera. Karena itu tindakan yang segera dapat dilakukan adalah LPSE dan ULP adalah menampilkan data, proses dan keputusan lelang dengan benar-benar transparan di website LPSE sehingga tidak ada celah bagi penyedia atau masyarakat umum untuk berspekulasi mengenai tahapan atau proses lelang dan juga hal-hal yang berkaitan dengan pengadaan. Sementara di mata panitia penyelenggara, pihak penyedia untuk tidak sembunyi dibalik kata-kata spekulasi karena hal ini dapat merugikan diri sendiri. Dalam Perpres No. 4 Tahun 2015pasal 106 ayat (1) dikatakan bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan secara elektronik. Ini artinya penyedia harus mempersiapkan diri dengan pengadaan secara elektronik dan mengubah cara berpikirnya bahwa pengadaan secara elektronik berbeda dengan pengadaan secara manual. Dengan demikian spekulasispekulasi dapat hilang dari kegiatan atau proses pengadaan barang/jasa secara elektronik. Selanjutnya ketiga faktor tersebut saling mempengaruhi yang berdampak pada pemaknaan tansparansi yang berbeda-beda baik dari panitia pengadaan dan user di satu sisi dan penyedia di sisi yang lain.Menurut panitia pengadaan transparansi jangan diartikan bahwa semua yang terjadi di dalam proses pengadaan harus dibuka selebarlebarnya kepada masyarakat umum melalui website LPSE. Beberapa hal seperti harga penawaran yang diberikan peserta lelang tidak dapat ditampilkan di website LPSE secara rinci. Juga dalam hal summary lelang hanya dapat dibuka bagi pemenang dan calon pemenang lelang. Pendapat yang sama disampaikan oleh user bahwa transparansi adalah bagaimana orang yang berhak bisa mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajibannya. Artinya seseorang atau masyarakat umum tidak berhak mengetahui secara rinci proses lelang, jika seseorang atau masyarakat umum tersebut tidak menjadi peserta lelang. Bahkan penyedia yang gagal di tengah proses lelang, misalnya sewaktu evaluasi dokumen lelang, jadi belum menjadi peserta lelang yang dapat mengajukan penawaran, tidak berhak mengetahui mengapa peserta tersebut yang menang. Sementara dari sisi penyedia, proses pengadaan secara elektronik dapat dikatakan transparan bila semua 115
tahapan dan proses lelang dapat diketahui oleh semua penyedia yang mengikuti lelang. Selain itu karena di sistem pengadaan secara elektronik masih ada kegiatan yang bersifat offline, maka sistem e-procurement dapat dikatakan transparan bila panitia pengadaan adalah orang yang mempunyai integritas dalam melakukan pekerjaannya. Selama integritas pelaksananya tidak ada maka sebaik apapun sistem e-procurementini dibangun akan terus dicurigai atau memunculkan spekulasi-spekulasi. Sementara transparansi menurut Heald dapat dikategorikan menjadi tiga yakni data, proses dan keputusan. Dari hasil observasi website LPSE di tiga lokasi penelitian, transparansi data sudah menunjukkan hasil yang memuaskan, sementara transparansi proses dan keputusan sudah cukup memuaskan. Transparansi adalah sebuah prinsip yang menjamin kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi. Namun ada beberapa kategori informasi yang tidak bisa dibuka kepada masyarakat umum, misalnya informasimenyangkut persaingan usaha, rahasia negara, intelijen dan sebagainya (Pasal 17 Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik). Hal ini dilakukan untuk tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Namun selama tidak menyangkut kategori pada pasal 17 diatas, maka semua informasi mengenai pengadaan barang/jasa, harus di buka selebar-lebarnya kepada masyarakat di website LPSE.Karena hal ini juga merupakan bentuk dari akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat. Sementara pemerintah dalam hal ini pegawai yang bertanggung jawab di bidang pengadaan barang/jasa harus dapat menjelaskan kepada masyarakat umum terutama kepada penyedia, alasan mengapa informasi tersebut tidak dibuka kepada masyarakat atau tidak ditayangkan di website LPSE. Hal ini penting sehingga tidak ada lagi perbedaan makna transparansi di antara semua pihak yang berhubungan dengan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah. Kesamaan pemahaman makna transparansi di bidang pengadaan ini dapat juga dilakukan melalui pelatihan yang berkaitan dengan TI berbasis komputer dan perubahan peraturan
(perpres)
tentang
pengadaan
barang/jasa
kepada
penyedia,
panitia
penyelenggara dan user. Selain itu pelibatan semua asosiasi pengusaha sebagai pemberi rekomendasi bagi penyedia yang ingin berpartisipasi dalam pelatihan serta pelibatan pimpinan untuk mengevaluasi peserta pelatihan yakni pegawai yang bertanggungjawab pada bidang pengadaan sangat diperlukan. Melalui pelatihan juga dapat ditumbuhkan integritas semua pihak sehingga proses pengadaan dapat berjalan dengan baik.
116
Tidak semua tahapan pengadaan secara elektronik dapat dibuka di website LPSE sebagaimana dijelaskan diatas, namun bukan berarti masyarakat umum tidak bisa mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dalam pembelanjaan barang/jasa pemerintah. Karena sebenarnya untuk melihat transparansi penggunaan anggaran di instansi pemerintahan dapat juga dilihat dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Karena DIPA bukan merupakan dokumen rahasia yang tidak semua orang dapat mengaksesnya. Jelas dikatakan dalam Surat Edaran Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) No. 1 Tahun 2011 bahwa Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAK/L) dan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) merupakan informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala.
7.1 Saran Pengaruh model implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa sebesar 14.8%. Persentase ini cukup besar dan meyakinkan (significant). Bila suvey di Indonesia selama ini lebih banyak mendiskusikan kegiatan eprocurement dari sudut penghematan yang didapat setelah menggunakan e-procurement maka hasil penelitian ini menunjukkan ada hal lain yang juga menarik dan penting untuk didiskusikan yaitu kaitan penggunaan e-procurement dengan transparansi pengadaan yang merupakan salah satu cara untuk melihat akuntabilitas dari penyelenggaraan negara. Pengadaan secara elektronik dengan menggunakan metode e-purcashing lebih diminati dibanding metode e-tendering di Dinkes Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai.Rasa aman menggunakan e-katalogsejalan dengan semakin sempitnya tindakan untuk melakukan penyalahgunaan wewenang, menjadi salah satu alasan pemilihan metode e-purcashing ini. Sementara kelemahan dari metode epurchasing yang ditemukan di lapangan berkaitan dengan komitmen distributor obat agar tidak ada lagi kekosongan stock obat atau keterlambatan obat sampai di Dinkes Kabupaten/Kota
serta
pihak
yang
bertanggungjawab atas biaya
penggandaan
kontrak/perjanjian pembelian. Sementara secara teknis jaringan ke sistem e-katalog seharusnya menjadi perhatian sehingga pekerjaan memasukkan data serta menggunggah atau mengunduh dokumen dapat dilakukan dengan waktu yang cepat. Beberapa temuan ini menjadi catatan bagi pimpinan di lingkungan Dinkes Kabupaten/Kota untuk segera ditindaklanjutin ke LKPP sehingga tidak menghambat proses pengadaan. Karena bila proses pengadaan terhambat maka berdampak pada tidak maksimalnya pelayanan di bidang kesehatan yang merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat. 117
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan merupakan dokumen pelaksanaan kegiatan dan penganggaran bagi satuan kerja (satker) yang berisi antara lain,program dan kegiatan yang akan dilaksanakan, hasil (outcome) yang akan dicapai, keluaran (output) yang dihasilkan dan pagu yang dialokasikan. Sementara yang menjadi pelaksanaan anggaran dalam satker adalah Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Karena itu DIPA dari suatu satker, seharusnya lebih disosialisasikan ke masyarakat umum melalui website kabupaten/kota sebagai bentuk transparansi dalam anggaran dan dalam arti lain bentuk transparansi dalam pengadaan barang/jasa.
118
DAFTAR PUSTAKA Buku Ballard, Therese,. 2011. “Transparancy and Public Procurement”. Supplement to the 2011 Annual Statistical Report on United Nations Procurement. UNOPS. Bannister, Frank and Connolly, Regina. 2011. "The Trouble with Transparency: A Critical Review of Openness in e-Government," Policy & Internet: Vol. 3: Iss. 1, Article 8. Policy Studies Organization. http://www.psocommons.org/ policyandinternet / vol3 / iss1/art8. Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik, TII, 2006 dalam 25.-Korupsi-dalam-Proses-Pengadaan-Barang-dan-Jasa.pdf. Diakses 19 April 2013 Jam 19.30. Clem, Constance,. 2010. “Government Online: Improving Service and Engaging Communities”. Ark in Association with Inside Knowledge. Democratic Local Governance in Southeast Asia (DELGOSEA). 2014. Dye, Thomas R. 1972. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, Inc. Grindle, Merilee S. 1980. “Politics and Policy Implementation in the Third World”.Princeton University Press.Princeton. New Jersey. Heald, D. 2006. “Varieties of Transparency.” In Transparency, The Key to Better Governance, eds. C. Hood, and D. Heald. Proceedings of the BritishAcademy. Oxford: Oxford University Press, 25-43. Jeppesen, Rasmus. 2010. Capacity is Development. Accountability in Public Procurementtransparency and the role of civil society. United Nations Procurement Capacity Development Centre September. www.unpcdc.org Kelman, S. 1990. “Procurement and Public Management: The Fear of Discretion and theQuality of Government Performance”. Washington, DC. The AEI Press. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). 2009. Mazmanian, Daniel A dan Sabatier, Paul A, 1983.“Implementation and Public Policy”. Scott, Foresmant and Company. New Jersey. Nugroho, Riant. 2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Nurmandi, Achmad. 2013. E-procurement in Indonesia: Policy and its Implementation. Research Project of International Scholar Exchange Program 2013/2014.Korean Foundation for Advance Studies. OECD E-Government Task Force. 2003. The Case for E-Government:Excerpts from the OECD Report“The E-Government Imperative”. OECD Journal on Budgeting – Vol. 3, No. 1. Pramusinto, Agus dan Erwan Agus Purwanto. 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Penerbit Gava Media, Jian-UGM, MAP-UGM. Yogyakarta. Ripley, Randall B. 1985. Policy Analysis in Political Science. Chicago: Nelson Hall, Inc. Sherman, Laura B & Nadgrodkiewicz (eds). 2011. APEC Procurement Transparency Standards in Indonesia. A Work in Progress. Transparency International- USA and Center for International Private Enterprise:USA. Singarimbun, Masri. Metode Penelitian Surve. 2006. Jakarta: LP3ES. Sugiyono. 2007. “Penelitian Administrasi Negara”. Bandung: Alfabeta Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2003. ”Implementasi Kebijakan Publik, Transformasi 119
Pikiran George Edwards”. Lukman Offset dan Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia. Yogyakarta. Subarsono, AG. 2008. Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi). Yogyakarta: PustakaPelajar. Turban, E., King, D., Lee, J. and Viehland, D. 2006. Electronic Commerce: A Managerial Perspective. Pearson/Prentice-Hall, Englewood Cliffs. NJ. Van Weele, A., 1994. “Purchasing Management: Analysis, Planning and Practice”. London. UK: Chapman & Hall. Wahid, Fathul. Institutionalization of Public Systems in Developing Countries: A Case Study of eProcurement in Indonesian Local Government. May 8th – 9th 2012, Brunel University, University Kingdom Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo. Yin, Robert K. 2013. Case study research: Design and methods. New York: Sage Publications Inc. Jurnal/Artikel “Best Practices in E-Procurement: Reducing Costs and Increasing Value through Online Buying”. Diakses 1 Juli 2014, Jam 10.00. “Case Studies on E-procurement Implementations: Italy, New South Wales, New Zealand, Scotland, Western Australia”. 2005. Commonwealth of Australia. 2005. Diakses 3 Juli 2014, Jam 12.00. “E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in Public Service Delivery”.Report of the Expert Group Meeting.Department of Economic and Social Affairs. 4-5 October 2011. United Nations Headquarters, New York. “E-Procurement of Golden Book and Good Practice”. 2013. This report was prepared for DG MARKT by PwC EU Services EESV Contract Reference: MARKT/2011/097/C4/OP LOT2 Version: v1.3 Project. Final Report. Diakses 1 Juli 2014, Jam 15.00. McCue, Clifford dan Roman, Alexandru V., 2009. “E-Procurement: Myth or Reallity?” Journal of Public Procurement, Volume 12, Issue 2, 212-238. Mitchell, K. 2000. “Instituting E-Procurement in the Public Sector”.Government Finance Review. 16 (1), 9-12. Ndou, V. 2004. “E-Government for Developing Countries: Opportunities and Challenges”. The Electronic Journal on Information System in Developing Countries (EJISDC). 18 (1), 1-24. http://www.ejisdc.org Neupane, Arjun., Soar, Jeffrey., Vaidya, Kishor., 2012. “Evaluating The Anti-Corruption Capabilities of Public e-Procurement in Developing Country”. EJISDC (2012) 55, 2, 1-17 The Electronic Journal on Information Systems in Developing Countries. Nightisabha, Ika Akyuna., Suhardjanto, Djoko,. Cahya, Bayu Tri,. 2009. “Persepsi Pengguna Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Pada Pemerintah Kota Yogyakarta Terhadap Implementasi Sistem “e-Procurement”. Jurnal Siasat Bisnis. OECD E-Government Task Force. 2003. “The Case for E-Government: Excerpts from the OECD Report the E-Government Imperative”. OECD Journal on Budgeting – Vol. 3, No. 1. Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty. 2014. “Model Implementasi Kebijakan E-
120
Procurement Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara”. Penelitian Tahun Pertama. Skim Hibah Bersaing. Universitas Sumatera Utara. Udoyono, Kodar. 2012. E-Procurement Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Untuk Mewujudkan Akuntabilitas di Kota Yogyakarta. Jurnal Studi Pemerintahan Volume 3 Nomor 1 Februari. Vaidya, K., Sajeev, A.S.M. & Callender, G. 2006.“Critical Factors that Influence eProcurement Implementation Success in the Public Sector”. Journal of Public Procurement, Volume 6, Issues (1&3), 70-99. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-UndangNomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atasa Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Penjelasannya. Peraturan Pemerinta Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasa Korupsi. Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintaha (LKPP) No.2 Tahun 2010 tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah No.1 Tahun 2011 Tentang Tata Cara E-Tendering. Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Secara Elektronik di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Peraturan Walikota Medan Nomor 38 Tahun 2011 tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2014 tentang Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog Elektronik. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
121
Sumber Internet https://id.wikipedia.org/wiki/Spekulasi http://kbbi.web.id/spekulasi www.lpse.pemkomedan.go.id/ www.lpse.binjaikota.go.id www.lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/ http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/lelang http://lpse.binjaikota.go.id/eproc/lelang http://lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/lelang http://jogja.tribunnews.com/2014/01/27/korupsi-tertinggi-berada-di-sektor-pengadaanbarang-dan-jasa/. Diakses 24 Oktober 2013, Jam 11.15 WIB. http://beritasore.com/2012/04/10/korupsi-pengadaan-paling-banyak-ditangani-kpk/. Diakses 19 April 2013, Jam 21.00 WIB. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52cbfe8f5c500/pengadaan-barang-dan-jasadominasi-kasus-korupsi-di-2013. Diakses 24 Oktober 2013, Jam 11.44 WIB. http://www.lkpp.go.id/v3/#/read/3614. Diakses 16 Juni 2015, Jam 15.20 WIB. http://politik.kompasiana.com/2013/03/09/implementasi-e-procurement-sebagai-inovasipelayanan publik- 541293.html. Diakses 21 April 2013, Jam 20.15 WIB.
122
LAMPIRAN
123
BIODATA KETUA PENELITI A. Identitas Diri 1
Nama Lengkap
Dra Februati Trimurni, M.Si
2
Jenis Kelamin
Perempuan
3
Jabatan Fungsional
IV/b / Pembina Tingkat 1
4
NIP/NIK/ Identitas lainnya
19660212 199009 2 001
5
NIDN
0012026602
6
Tempat dan Tanggal Lahir
Laras, 12 Februari 1966
7
E-mail
[email protected]
8
Nomor Telepon/ HP
081361405260
9
Alamat Kantor
Jl. Prof A. Sofyan No.1 Kampus USU Padang Bulan Medan 20155
10
Nomor Telepon/ Faks
061 8211965, 061 8201652
11
Lulusan yang telah Dihasilkan
S-1= 120 orang; S-2= - orang
1. Etika Administrasi 1. Teori Birokrasi
12. Mata Kuliah yang Diampu
2. Teori dan Perilkau Organisasi 3. Manajemen Sumber Daya Manusia
B. Riwayat Pendidikan S-1
S-2
S-3
Nama Perguruan Tinggi
FISIP USU
Pascasarjana UNPAD
-
Bidang Ilmu
Ilmu Administrasi Negara 1984 – 1989
Ilmu Administrasi Negara
-
1994 – 1997
-
Judul Skripsi/Tesis
Pengaruh Pendidikan dan Latihan terhadap Produktivitas Kerja
-
Nama Pembimbing/Promotor
Drs Amru Nasution, M.Si
Pengaruh Perampingan Birokrasi terhadap Produktivitas Kerja Pegawai Prof. Dr Winardi, SE.
Tahun Masuk-Lulus
-
124
C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir(bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi) No
Tahun
Judul Penelitian
1
2015
Model Implementasi Kebijakan e-Procurement dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara (Tahun 2)
2
2014
Model Implementasi Kebijakan e-Procurement dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara (Tahun 1)
Pendanaan Sumber*
Jml (Juta Rp)
DIPA Direktorat Penelitian Pengabdian kepada Masyarakat TA 2015, sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Hibah Penelitisan Bagi Dosen PT Batch I USU Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian TA 2014 Universitas Sumatera Utara, Sesuai dengan Penugasan Dalam Rangka Pelaksanaaan Program Penelitian Dosen Muda TA 2012
Rp 67.500.000
Rp 51.047.500
Perencanaan Rp 5.000.000 Pembangunan Wilayah Dalam Mewujudkan Pembangunan Masyarakat di Desa Pantai Gemi, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat Model Pengembangan Hibah Penelitian 4 2009 Rp 95.000.000 StrategiPembelajaran Guru Potensi Pendidikan Dalam Meningkatkan Kabupaten/KotaDirjen Kualitas Lulusan SMA di Dikti Depdiknas Sumatera Utara *Tuliskan sumber pendanaan baik dari skema penelitian DIKTI maupun dari sumber 3
2012
lainnya.
D.Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir No.
Tahun
1
2013
Pendanaan
Judul Pengabdian Kepada Masyarakat Pemberdayaan Kelompok Masyarakat Berbasis Keagamaaan Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Desa Tandam Hilir,
Sumber*
Jml (Juta Rp)
Dana PNPB USU Tahun 2013
Rp 7.300.000
125
2
2012
3
2012
4
2009
Kecamatan Hamparan Perak, Kabupatena Deli Serdang Penyuluhan Pelaksanaan Dana PNBP FISIP Tata Kelola Perusahaan USU TA 2012 yang Baik Pada Hotel Madani Medan Sosialisasi Tata Cara Dana PNBP FISIP Pembayaran Bea Perolehan USU TA 2012 Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Pada Kecamatan Medan Polonia Penyuluhan: Perilaku S PP-DPP FISIP-USU Birokrasi Dalam Memberikan Pelayanan di Desa Hulu, Kec.Pancur Batu, Kab. Deli Serdang, 2009
Rp 2.000.000
Rp 2.000.000
Rp 2.000.000
E. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal dalam 5 Tahuin Terakhir Judul Artikel Ilmiah E-Procurement Policy Model: Striving towards Transparency in Goods and Services Procurement in North Sumatera, Indonesia Transparansi Dalam Pelayanan Publik di Indonesia Implementasi PP No 61 Tahun 2010 di Pemerintah Kota Pematangsiantar Responsivitas Birokrasi Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik Evaluasi Perkembangan Pemerintahan Humbang Hasundutan Sebagai Hasil Pemekaran
Nama Jurnal Volume/ Nomor/ Tahun Public Policy and Vol.4/No.12/2014 Administration Research Komunika
Vol.IX/No.2/2013
Politea
Vol. 4/No 2/2012
Kewarganegaraan
Vol. 18/No 1/2012
HEKSPI, Jurnal Non Eksakta
Vol. 2/ No 2/2010
F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir Nama Pertemuan Ilmiah/ Seminar Ekspose Tentang HasilHasil Penelitian di Kabupaten Serdang Bedagai Hasil Penelitian
Judul Artikel Ilmiah Model Implementasi Kebijakan e-Procurement dalam Mewujudkan Tranparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Perencanaan Pembangunan Wilayah Dalam Mewujudkan Pembangunan Masyarakat
Waktu dan Tempat 26 Agustus 2015, Kantor Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai 2012, Medan
126
Hasil Penelitian Pemerintah Kota Medan
Kajian Organisasi Pemerintah Kota Medan Sesuai Kebutuhan Daerah.
2012, Medan
Seminar DPRD Dalam Fungsi DPRD dan Peranan 2010, Medan Rangka Kunjungan Kerja Bamus (Badan Musyawarah) DPRD. Pelatihan Diklat Teknis Akuntabilitas dan Pengelolaan 2010, Sibolga Pelayanan Publik Mutu di Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah, 2010.
G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakkhir Judul Buku -
Jumlah Halaman -
Tahun -
Penerbit -
H. Perolehan HKI dalam 5-10 Tahun Terakhir Judul/ Tema HKI -
Tahun -
Jenis -
Nomor P/ ID -
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakakn Publik/ Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir Judul/ Tema/Jenis Rekayasa Sosial lainnya yang Telah Diterapkan -
Tempat Penerapan
Tahun -
-
Respon Masyarakat -
J.Penghargaan dalam 10 Tahun Terakhir (dari Pemerintah, asosiasi, atau Institusi lainnya) Jenis Penghargaan Satyalancana Karyasatya X Tahun
Institusi pemberi Penghargaan Lembaga Kepresidenan
Tahun 2006 127
(Penghargaan atas pengabdian, kesetiaan, kejujuran, kecakapan dan kedisiplinan dalam melaksanakan tugas sebagai PNS selama 10 Tahun). Dosen Favorit III Departemen Administrasi Negara FISIP USU dalam Rangka Dies Natalis FISIP USU ke 30, 2010.
FISIP – USU
2010
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan Hibah Bersaing.
Medan, 01 November 2015 Peneliti,
Dra Februati Trimurni, M.Si NIP: 19660212 199009 2 001
128
BIODATA ANGGOTA TIM PENELITI A. IdentitasDiri 1
NamaLengkap
Dra. AsimaYanty Sylvania Siahaan M.A, PhD
2
JenisKelamin
Perempuan
3
JabatanFungsional
Lektor
4
NIP/NIK/ Identitaslainnya
19640126 198803 2 002
5
NIDN
0026016016404
6
TempatdanTanggalLahir
Medan/26 Januari 1964
7
E-mail
[email protected]
8
NomorTelepon/ HP
081376367800
9
Alamat Kantor
Jln.dr.Mansyur 1
10
NomorTelepon/ Faks
0618219768
11
Lulusan yang telahDihasilkan
S-1=150
orang; S-2= 1 orang
1 Problem Pembangunan 2 Metodologi Penelitian Kualitatif
12. Mata Kuliah yang Diampu
3 Demokrasi dan Ham Dst
B. RiwayatPendidikan S-1 Nama Perguruan Tinggi
USU/Indonesia
BidangIlmu
Administrasi Negara 1982 -1987
TahunMasuk-Lulus JudulSkripsi/Tesis/Dis ertasi
Ketahanan Nasional Regional ASEAN
S-2
S-3
Monash University/Australi a Development Studies 1995-1997
Massey University/New Zealand Development Studies 2000-2004
Decentralization and Housing in Indonesia
„Women and Local Governance in Indonesia: A Case Study of Engendering Local Governance in North 129
NamaPembimbing/Prom otor
Drs. T.D.Marpaung M.A.
DR.Susan Blackburn
Sumatra‟ Barbara Nowak PhD/Regina Scheyvens PhD
C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir(bukan Skripsi, Tesis, maupunDisertasi) No 1
2
Tahun 2010
2009
3
2009
4
2008
JudulPenelitian Social Capital Development in Coastal Ecosystem Conservation Strategy in KabupatenTapanuli Tengah Sumatera Utara. The capacity of Local Government in South Tapanuli. . Review of Sustainability Practices Within Multi Donor Fund for Aceh and Nias Portfolio. Oxford Policy management/OPM. Evaluation Research on Performance of Traditional Markets in Post Tsunami Aceh..
Pendanaan Sumber* Jml (JutaRp) 50 Dikti
30 URS MDF
150
CHF
65
Dst *TuliskansumberpendanaanbaikdariskemapenelitianDIKTI maupundarisumberlainnya.
D. Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir No.
Tahun
1
2012
2
2011
3
2011
Judul Pengabdian Kepada Masyarakat Mempersiapkan Masa Depan Melalui telusur Talenta dan Sadaar Hidup Sehat Bagi Anak Binaan di Lapas Kelas II-A Medan Sosialisasi Kepemerintahan yang Baik dan Etika Pemerintah di Kabupaten Karo Penyuluhan Pemahaman Nilai-Nilai Good Governance Kepada Masyarakat
Pendanaan Sumber
Jml (Juta Rp)
Mandiri
4.000.000
Mandiri
1.000.000
Dana
1.750.000
Masyarakat 130
Pengusaha Peserta Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah di Kab.Labuhan Batu
FISIP USU
E. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir No
JudulArtikelIlmiah
NamaJurnal
Volume/ Nomor/ Tahun
1 2 3 Dst F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 TahunTerakhir No
NamaPertemuanIlmiah/ Seminar 1 Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) Uninet Leadership Camp
JudulArtikelIlmiah IMT-GT: Striving Towards Resilient Community in Globalization. Local Knowledge and Disaster: Case Study of Aceh.
22 New Zealand Sociology Association Conference.
WaktudanTempat UUM.KedahMalaysia. January 2011. Palmerston North/New ZealandNovember 2009.
G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakkhir No
JudulBuku
1
2
2012
Jumlahhaal aman 346
2012
204
Tahun
Decentralization and Women in Indonesia. Engendering Local Governance in North Sumatra. „Pendidikan Tinggi dan Pembangunan:perspektif Gender‟ dalam Luther dan Pendidikan. 3 „Politik Gender dan Desentralisasi 2007 di Indonesia‟ dalam Drama Indonesia.Ketidakpastian Dalam Dunia yang Mengglobal.Hainsworth&Setiawan (eds). UGM Press:Yogyakarta. 2007.
430
Penerbit Lambert Academic Publishing:Germ any KNLWF:Sumatera Utara UGM Press:
H. Perolehan HKI dalam 5-10 TahunTerakhir No
Judul/ Tema HKI
Tahun
Jenis
Nomor P/ ID 131
1 2 3 I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/ Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir Judul/ Tempat No Tema/JenisRekayasaSosiallainny Tahun ResponMasyarakat Penerapan a yang TelahDiterapkan 1 2 J. Penghargaandalam 10 TahunTerakhir (dariPemerintah, asosiasi, atauInstitusilainnya) No 1
JenisPenghargaan PiagamSatyaLancanaKaryasa tya X Tahun
InstitusipemberiPenghargaan PresidenRepublik Indonesia
Tahun 2006
2 3 dst Semua data yang sayaisikandantercantumdalambiodatainiadalahbenardandapatdipertanggungjawabkansecara hukum. Apabila dikemudianhariternyatadijumpaiketidak-sesuaiandengankenyataan, sayasanggupmenerimasanksi. Demikianbiodatainisayabuatdengansebenarnyauntukmemenuhisalahsatupersyaratandalampen gajuanHibah Bersaing Medan, 01 November 2015 Peneliti,
(Asima Yanty Sylvania Siahaan)
132
BIODATA ANGGOTA TIM PENELITI A. IdentitasDiri 1
NamaLengkap
Dra. Dayana, M.Si
2
JenisKelamin
Perempuan
3
JabatanFungsional
IVb/Lektor Kepala
4
NIP/NIK/ Identitaslainnya
19600728 198703 2 002
5
NIDN
0028076003
6
TempatdanTanggalLahir
Tapanuli Utara/28 Juli 1960
7
E-mail
[email protected]
8
NomorTelepon/ HP
081397036969
9
Alamat Kantor
Jln. Prof. A. Sofyan No. 1 Kampus USU Padang Bulan Medan 20155
10
NomorTelepon/ Faks
0618217168
11
Lulusan yang telahDihasilkan
S-1=170
orang; S-2= -orang
1 Komunikasi Pembangunan Sosial 2Teknik-teknik Hubungan
12. Mata Kuliah yang Diampu
Masyarakat 3Praktikum Humas Dst
B. Riwayat Pendidikan
Nama Perguruan Tinggi
S-1
S-2
FISIP USU
Pascasarjana
S-3 -
UNPAD BidangIlmu
Ilmu Komunikasi
Ilmu Penyuluhan
-
Pembangunan TahunMasuk-Lulus
1981-1986
1996-1998
JudulSkripsi/Tesis/Disert
Peranan Penyuluh
Persepsi Masyarakat
asi
Pertanian
Terhadap Konsep
Lapangan Dalam
Keluarga Berencana
-
133
Meningkatkan
dan Faktor-faktor
Produksi
yang Mempengaruhi
Pertanian NamaPembimbing/Prom
Drs. H. R.
Prof. Dr. Marqono,
otor
Danandjaja, M.A
M.Sc
-
C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir (bukan Skripsi, Tesis, maupunDisertasi) No 1
Tahun 2013
JudulPenelitian
Pendanaan Sumber*
Jml (JutaRp)
Pola Penggunaan Media Pada
Dana PNBP
3.000.000
Kalangan Aktivis Mahasiswa
Pascasarjana
FISIP USU Medan
FISIP USU 2013
2
2013
Riset Penonton Program TVRI
Kerjasama
di Sumatera Utara
Departemen
97.000.000
Ilmu Komunikasi dan TVRI Pusat *TuliskansumberpendanaanbaikdariskemapenelitianDIKTI maupundarisumberlainnya.
D. Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir No.
1
2
Tahun
2013
2012
Judul Pengabdian Kepada Masyarakat
Pendanaan Sumber
Jml (Juta Rp)
Pembinaan Komunikasi Keluarga Bagi Ibu-Ibu di Desa Karang Rejo Kecamatan Stabat
Dana PNBP
2.000.000
Workshop Pembuatan Film Pendek Bagi Mahasiswa, Pelajar dan Pencinta Film di Medan
Dana PNBP
FISIP USU 2013 2.000.000
FISIP USU 2012
134
E. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir No 1 2
3
JudulArtikelIlmiah NamaJurnal Persepsi Stakeholder Dan Komunika Kompetensi Alumni Implementasi Event Komunika Sponsorship Program Acara Televisi dan Citra Perusahaan Komunikasi Penyuluhan dan Perspektif Adopsi Inovasi
Volume/ Nomor/ Tahun Volume X. No. 1 Maret 2014 Volume VIII. No. 2 September 2012 Volume IV No. 2 Oktober 2011
F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 TahunTerakhir No
NamaPertemuanIlmiah/ Seminar 1 Pelatihan Refreshing Bagi PLKB/PKB Kab/Kota SeSumatera Utara
JudulArtikelIlmiah Komunikasi Penyuluhan
WaktudanTempat 01-06 Juli 2012 / BKKBN Provinsi Sumatera Utara
G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakkhir No 1
JudulBuku
Juml ah Halaman 400
Tahun
Teori-Teori Komunikasi
2010
Penerbit USU Press
H. Perolehan HKI dalam 5-10 TahunTerakhir No 1 2 3 Dst. I.
Judul/ Tema HKI
Tahun
Jenis
Nomor P/ ID
Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/ Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir Judul/ Tempat No Tema/JenisRekayasaSosiallainny Tahun ResponMasyarakat Penerapan a yang TelahDiterapkan 1 2
135
J. Penghargaan dalam 10 Tahun Terakhir (dari Pemerintah, asosiasi, atau Institusi lainnya) Jenis Penghargaan Satyalancana Karyasatya X Tahun
Institusi pemberi Penghargaan Lembaga Kepresidenan
Tahun 2006
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan Hibah Bersaing.
Medan, 01 November 2015 Peneliti,
Dra Dayana, M.Si NIP: 19600728 198703 2 002
136
Artikel 1
E-Procurement Policy Model: Case Study of Health Agency in North Sumatra Province, Indonesia
Februati Trimurni 1* Asima Yanty Siahaan 2 Dayana3 Faculty of Social and Political Sciences, University of Sumatera Utara, Jln. Dr. Sofyan no.1, Medan 20155 – Indonesia * E-mail of the corresponding author:
[email protected] The Research and publication of this paper is funded by the Directorate General of Higher Education of Indonesia.
Abstract E-procurement policy is one form of reformation in procurement in Indonesia which aims at enhancing transparency in public procurement. E-procurement can be implemented through e-tendering and e-purchasing methods by utilizing e-catalogue. Policy implementation model was used to assist the realization of the goal of eprocurement policy. This study found three significant factors of e-procurement policy implementation model, namely legal foundation, infrastructure and human resources.
This article entitled "E-procurement Policy Implementation Model: Case Study of Regency/City Health Agency, North Sumatra Province, Indonesia. Applying qualitative research method and case study approach, this study describes in detail stages of e-tendering and e-purchasing methods and transparency. It also explains how this eprocurement policy implementation method works and its relation with transparency in public procurement at Health Agency at Medan City, Binjai City and Serdang Bedagai Regency.
In-depth interview, observation, document and literature analysis were utilised as interrelated data gathering techniques. In-depth interviews were conducted with head of Development Administration/LPSE of Medan City, Binjai City and Serdang Bedagai and Working Group of Procurement Service Unit (ULP), Commitment Authorities, Procurement Official and business as providers of e-procurement. This study also applies observation technique on Electronic Procurement Services (LPSE) website to examine transparency of data, process and decision of e-procurement activities.
This study reveals e-purchasing methods is more interested for e-procurement implementers compare to etendering at all research sites. Security resulted from the utilization of e-catalogue is one of the reason for preference in using this method. This study also finds out that the three factors of e-procurement implementation model as mentioned previously were yet to function optimally causing speculations in e-procurement activities which usually addressed by providers to e-procurement implementers, and diverse understanding and interpretation on transparency between implementers and providers. Observation on LPSE websites reveals data transparency has been satisfactory while process and decision transparency are yet to be satisfactory.
Keywords: Policy model, E-procurement, Public service, Transparency.
137
1. Introduction Public goods and services funded by national budget is an essential activity of government. Public goods and services procurement ensures the fulfilment of a country's development infrastructure. At this point, public procurement should be conducted more efficient and effective, prioritizing the implementation of healthy competitive principle which is transparent and just for related parties. This is a realistic expectation considering that the huge total amount of public procurement at governments' institutions reach out to 15% - 30% of GDP. The high percentage of public procurement unavoidably created opportunity for the occurrence of corruption in public procurement and evidently dominates 61% of corruption cases in Indonesia (Tribune News. 2014). Public procurement process is also the most investigated corruption cases handled by Indonesia's Corruption (KPK) which consists of 96 cases or reaching to 40.9 % since 2004 to 2011 (Berita Sore.2012). Based on a study conducted by Indonesia Corruption Watch (ICW), public procurement corruptors includes private sector, head of government agency, head of local and provincial government (Hukum Online.2013). Considering the vulnerability of public procurement towards the achievement of national economy, government implemented reformation in transforming manual procurement into electronic procurement (e-procurement). Manual procurement provided opportunity for direct interaction between government officials and providers. This face to face interaction significantly creates corruption and nepotism practices. On the other hand, through e-procurement the intensity of these corrupt practices can be decreased, thus, avoid and suppress these corrupt practices. One of the objectives of e-procurement is to realize transparency and efficiency in public procurement (Presidential Regulation (Perpres) No. 4/2015). Surabaya city as one of best practices in public service delivery places the implementation of e-procurement as an innovative best practice, aiming at enhancing effectiveness, efficiency and transparency in public procurement process (Partnership for Democratic Local Governance in Southeast Asia, 2003). The implementation of e-procurement successfully saved 20 to 30% of public service budget. The implementation of e-procurement in Indonesia's Finance Ministry has saved budget, reduce leakages and ensured transparency. It contributed to 18.4% budget saving in 2009 (LKPP.2009). The efficiency also applies to the Transportation Ministry with its basic budget of IDR 1.4 trillion, while the transaction value is IDR 1.17 trillion which mean a saving of IDR 230 billion. In reality best practices of e-government in Indonesia is still at a minimum. Various intertwined factors such as inadequate human resources, limited supporting infrastructure, weak regulation and institution, limited government budget support, and the low commitment and seriousness of leaders at various government level, contributes to limited best practices of e-government. Similar problem occurred in the implementation of eprocurement in Indonesia, such as the absence of obvious regulative law which serves as umbrella law of eprocurement process in order for the realization of basic standard on the management of e-procurement process whether from the bureaucracy chain, time, the utilization of information technology and human resources. Moreover, the low commitment of top and middle level leaders due to low political support at the end encouraged corruption in public procurement. Also, the challenges from procurement committee, providers and legislators and limited infrastructure such as the expensive cost of internet, cannot be ignored (Kompasiana.2013). Meanwhile, the implementation of e-procurement in European countries has its problems too (Lederer.2013). Studies on e-procurement transparency found data published in 'pdf' and html and not in the database form. This means data are found in different volumes of bulletins which makes it hard to explore the phases of procurement. In Hungary, the public must open every bulletin to know how many tenders won, value of the tender and if the tender is the same as it is in the contract. In Czechs transparency in e-procurement is still limited, this can be seen through the non-existing statistical data and review of the procurement or justification of the winner of the procurement on the website, but the data can still be acquired individually. In Poland or Czech the modification of the contract are not published, but can be requested by anyone that needs the information. Slovakia is a country which implements a very transparent e-procurement where they update the information constantly and provide data in format that are easy to process. There are also available an online database about all the approved contracts.
138
Policy on e-procurement in Indonesia began with the issuing of Presidential Regulation (Perpres) No. 80 Year 2003 about the implementation of goods/service procurement. Several years later, Perpres No. 54 Year 2010 was issued concerning Procurement of Government Goods /Services which indicate Presidential Decree No. 80 of 2003 null and void in 2011. Not long after, Presidential Decree No. 35 of 2011 was issued which is the First Amendment to Presidential Regulation No. 54 Year 2010 concerning Procurement of Government Goods/Services. Furthermore, some changes are made which results in the Presidential Decree No. 70 Year 2012 and Presidential Decree No. 172 Year 2014. Then, in the beginning of 2015, Presidential Decree No. 4 Year 2015 was issued about the Fourth Amendment to the Presidential Decree Number 54 Year 2010 concerning Procurement of Government Goods/Services and explanation which was enacted on January 16, 2015. Several changes in the rules aim to perfect the policy because in the future all government spending is done through electronic means. This policy was established as a correction of the weaknesses of manual procurement system both in terms of efficiency, effectiveness, transparency and accountability. However, procurement of goods/services electronically only began in Medan, Serdang Bedagai in 2011 and Binjai in 2013, which makes it interesting to study. This research utilised case studies to be able to see the cases related to the process and the transparency of procurement of goods/services electronically which occurred in the City Health Office of Medan, Binjai and Serdang Bedagai. These cases are quite complex and risky because it involves many parties and a significant budget. District Health Office was chosen to be the location of this case study because this instance is responsible in the field of health which is one of the basic needs of people in the district city. This research is interesting because policy implementation of e-procurement be seen from different factors such as legal laws, infrastructure and human resources that are actually derived from real conditions in Medan, Binjai and Serdang Bedagai. In contrast to previous studies that used a model of policy implementation that comes from western countries that do not necessarily correspond with the actual condition districts/cities in Indonesia, especially in the province of North Sumatra, as well as several studies on e-procurement which focuses its studies on information technology. From the description above formulation of the problem in this research are: 1. How does the e-procurement process apply both with the method of e-tendering and e-purchasing method at the District Health Office of North Sumatra Province? 2. How does the process of e-procurement in achieving the transparency of goods/service procurement be seen from the model of policy implementation at the District Health Office/City, North Sumatra Province, Indonesia? 2. Literature Review 2.1 Implementation Model In process of public policy, implementation is the most important part because it is a stage where pre-determined alternatives embodied into real action. This is because the policy implementation is a chain that links between policy formulation and expected results. Thus without implementation, the policy will be in vain because it is only a mere concept. Implementation of policies when viewed in a broader sense, is a legal administration tool where various actors, organizations, procedures and techniques work together to carry out a policy in order to achieve the desired impact or goal (Winarno.2002). Since the implementation is seen as a tool in implementing the policy, there are several variables or factors that determine the achievement of the policy objectives. The existence of these variables or factors could support the implementation process of policies but may also hamper the implementation of the policy. Because of the many and complex factors in the implementation of a policy, it will require a conceptual model (conceptual model) to help analyse or evaluate the implementation of policies so that it can achieve predetermined objectives. According to Thomas R. Dye (1972) a model is a simplified representation of some aspect of the real world. While Rendall B. Ripley (1985) argues that the major utility of any model is that it simplifies complex reality in ways that can be readily understood. Through a model, variables or factors that influence policy implementation can be simplified to make it easier to understand. Simplification is important because there are so many variables or factors, where not all of the factors influence the implementation of a policy. Thus a model consists only of a
139
few dominant variables or factors that influence the implementation of a policy. Another benefit of the model is that it can show important variables or factors of a policy implementation. This makes it easier for both implementers and policy makers to focus more on the variables or factors that could make the policy implementation a success or a failure. 2.2 Functioning Model of Public Policy Implementation There are three basic components that are found in public policy, which are the goals to be achieved, specific objectives and how to achieve these objectives. How to achieve this goal is called policy implementation. Policy implementation is not a simple process, it is very complex and complicated which are influenced by various factors both individual and organizational factors. Various models have been studied by experts to understand the public policy implementation process. In each model of implementation, experts found certain factors that are interconnected with each other and influence the implementation goals. Thus, we need to know how factors and variables work in a policy implementation model. Grindle (1980) introduced implementation model as the political and administrative processes. The model works by describing the decision process performed by a variety of actors, where the output is determined by both the material and the program that has been achieved through the interaction of decision-makers in the context of administrative politics. The political process can be seen through the decision making process that involves various policy actors, while the administration looks through a public process regarding the administrative actions that can be studied at the level of a particular program. Meanwhile Van Meter and Van Horn (2009) developed the manner of policy implementation process model work. Both found the change, control and compliance in action is an important concept in the implementation procedures. Both also develop a policy typology according to the number of changes that will be generated and the range or scope of the agreement on the purpose by the various parties involved in the implementation process, which in turn gave birth to the six variables that affect the performance of the implementation. The first variable is the standard and policy targets. Every public policy standards should have clear and measurable policy objectives so the goals of the policy can be realized. The standards and policy targets will clearly make no policy bias so that there will be no multi-interpretations or misunderstandings and conflicts among the implementation agents. The second variable is resource. Implementing policies needs to be supported by resources, human resources, material resources and method resource. From the three resources, the most important resource is human resource, because besides being the subject of policy implementation it is also the object of policy implementation. Third is organizational relationship. In many policy implementation programs, to make an implementation successful, there needs to be good relationship between relevant entities. Communication and coordination plays an important role because it is one of the lifeblood of an organization so that programs can be realized. In addition, the fourth variable is characteristics of the implementing agencies. Implementation of policies can achieve maximum success by identifying the characteristics of the implementing agencies which include bureaucratic structures, norms and patterns of relationships that occur within the bureaucracy. This relates to the fifth variable the attitude of the implementer. In implementing the policy, attitude or disposition of the implementer is divided into three, namely the implementer response to the policy, the condition of the understanding of the policy defined and intense disposition implementer which is preference of the implementer. The final variable is the environmental conditions of social, political and economic. This includes the extent to which interest groups provide support for policy implementation, the characteristics of the participants whether to support or reject, what is the nature of public opinion and whether the political elite supports the implementation of the policy. Model of policy implementation of e-procurement in an earlier study consisted of three variables or factors. The legal basis as the first factor showed that a policy requires a clear legal basis and fixed institution. This electronic procurement system is based on a number of regulations, one of which is the Presidential Decree No. 4 Year 2015. Applicability of electronic procurement systems also requires an obligation for local governments to form the Institute of Electronic Procurement System (LPSE) and the Procurement Services Unit (ULP) in the area. Both institutions serve to expedite the process of procurement of goods / services electronically in the area (counties and cities). The second factor of models of e-procurement policy implementation is infrastructure.
140
Infrastructure includes infrastructure such as hardware, including servers and communication networks and software. The use of technology, systems and standardized procedures, setting strict time schedule is an important thing known by all parties, both by the provider or providers of e-procurement. The role of infrastructure is needed as a tool to achieve policy objectives. The third factor is related to the human resources capability and organizational culture. Human resource capabilities here relate to IT-based control of computers, because e-procurement activities synonymous with the use of IT. In facilitating e-procurement activities, organizational culture that is fair, non-discriminatory and away from the practices of corruption, collusion and nepotism (KKN) are also significantly required. The success of an e-procurement policy implementation will affect the transparency of procurement of goods and services. The success of implementation model depends on those three factors. E-procurement policy that is born of a legal basis cannot function optimally without the infrastructure needed for the implementation of electronic procurement systems and human resources policies as the driving factor. Furthermore, the use of advanced technology must be balanced by the ability of human resources. Therefore, the human resources as a service provider must have reliable skill in computer-based IT. If the organizers‟ human resource has the IT capabilities and is able to interpret the rules correct, only then there will be an organization behavior that is fair and free of corruption practices. 2.3 Transparency Procurement of Government Goods/Services as the objective of the Implementation of E-Procurement E-procurement is a form of e-government service. A modest definition of e-procurement by Van Weele (1994) stated that the use the Internet Technology in the process of providing, that is, buying and selling of goods and services. Together with the above definition, Turban et al (2006) stated that e-procurement refers to the purchase of goods and services for organizations. Other definition focused on the implementation of e-procurement in the government organization argued that e-procurement refers to the use of electronic communications and transaction processing by government institutions and other public sector organization when buying supplies and services or tendering public works. Some understanding of e-procurement above is actually not much different from the understanding of e-government. Services performed both using Information Technology (IT), computer-based. Only difference of e-procurement to focus on the process of procurement, purchase and sale of goods/services while the reach of broader e-government because it involves publishing category, Interact and Transact. There are many reasons and benefits from the use of e-procurement, Vaidya et al (2006) argued that eprocurement was used because of the demands of public sector management to be transparent, efficient and effective in providing services. E-procurement is also a common theme of many organizations in developed and developing countries to promote transparency and good governance. In this case the e-procurement used as an instrument of public sector reform. While Mitchell (2000) defined e-procurement by comparing it with traditional procurement methods where electronic procurement is better because it can integrate the processes of the supply chain (from customers to suppliers and back again to the consumer) smoothly, at the right time and can be done repeatedly. Kelman (1990) categorized three characteristics of the procurement system in government organizations namely equity, integrity, economic and efficiency. Equity means fair access to providers. Integrity connotes transparency in the procurement process. Economic and efficiency where the price is equal to the quality provided. As explained above, there many reasons and purposes for the implementation of e-procurement and one of them are to create transparency. Transparency itself is a principle which guarantees freedom for every person to obtain information about the good governance with regard to information about the policies, the manufacturing process and its implementation and the results achieved. Thus transparency can be an entry point for people to get information about what the government does. In addition, people can also do checks and balances on what has been done by the government. This is in line with the opinion of Clem (2010) that explained transparency as the obligation of government in providing citizens with information about what Reviews their government is doing so that government can be held accountable. Understanding Clem provides insight into a very wide meaning of transparency, where the government must provide information to citizens about what is being done by the government. Thus the government must take responsibility for what is being done. But the meaning of transparency in government is not as wide as the explanation by Clem above. It is an obligation for the
141
government to provide information to the public about what the government is doing, but the government also has a category of information that should be kept secret from the public, such as state secrets, intelligence information, the interests of business protection from unfair competition, rights personal rights, and other professional secrecy (Article 17 of Law No. 14 of 2008 on Public Information). Meanwhile, according to Presidential Decree No. 4 Year 2015 concerning Procurement of Government Goods /Services Article 5 where transparency is one of the principles of electronic procurement in addition to efficiency, effective, open, competitive, fair/non-discriminatory and accountable. Furthermore, in the explanation regulation 54 in 2010 said that transparency means all the provisions and information on the procurement of goods/services is clear and widely known by providers of goods/services as well as by the public interest in general. So transparency here besides being interpreted that provision and information must be widely known by the general public, the terms and the information must also be clear. This is important because the process of procurement of goods and services is a spending that uses state finances. Because of this the process of procurement of goods and services needs to be managed properly, in order to obtain goods/services that are affordable and of good quality, and also accountable both in terms of physical, financial, beneficial for the operation of government and public service tasks. In relation to the Presidential Regulation on transparency, the opinion of Heald (in Bannister and Connolly, 2011) concerning the proper categorization of transparency should be used to see the transparency in LPSE website especially in district/city level. Heald categorized transparency in three categories which are data transparency, process transparency and decision/policy making transparency. Data transparency are associated with the numbers and facts of the government such as the cost of providing (process data are easily accessible and understandable to the public); misinterpretation of data/information; the risks to the public/anonymity. Process transparency relates to the availability of information from various government processes, ranging from decision-making to the product decision. This transparency makes all stages of the process clear, showing where a particular transaction can be found and explains why certain measures must be done. Transparency of decisions/policy outlines the rationality of the decisions made by the government. 3.
Research Methods
This study applied qualitative method, in which the researchers describe in detail the stages of e-procurement either by the method of e-tendering and e-purchasing which used e-catalogues as well as the transparency of the procurement of goods/services electronically. Furthermore, the researchers explain the workings of the implementation model of e-procurement policy at the District Health Office/City in the three study sites. Informants were selected based on specific categories such as having previous experience in fields related to procurement of goods and services as head/secretary of administration in Medan, Binjai, Serdang Bedagai. While the categories set by researcher for providers are providers who attended the auction package at one of the study sites and the local entrepreneurs who are members of an entrepreneurs' association. This study utilised a case study approach. By using this approach, in addition to explaining what kind of objects or cases studied, it also explains how and why the existence of such cases may occur (Yin, 2003). While data analysis technique used is the analysis of qualitative data while data collection is done by interviews and observations. Data were analyzed with literature data is reinforced through books and regulations relating to the cases in this study. 4. Research Findings and Discussion 4.1 Organization of Procurement: Parties Related to Procurement of Goods/Services According to Presidential Decree No. 4 of 2015 Article 7 says that the organization's procurement of goods/services to procure through the providers of goods/services consists of: 4.1.1 Budget User (PA)/Budget Authority (KPA) Budget users (PA) according to Article 1 paragraph 5 of Presidential Decree No. 4 2015 is the official holder of authority to use the budget of the Ministry/Agency/SKPD or officials who are the same as the other institutions
142
users of APBN/APBD. Furthermore, according to Law No. 1 of 2004 Article 5 (1) and Article 6 paragraph (1) of the State Treasury the Preamble of Presidential Decree No. 54 of 2010 that the governor, regent/mayor as the Head of Local Government and Head SKPD for SKPD he leads can be a PA. However, because the PA has the burden of work or span of control of large organizations, the PA on Local Government may propose one (1) or several people to the Regional Head for the set as NAC (Budget Authority) as set out in Article 9. Article 1, item 6 of Presidential Decree No. 4 of 2015 defines the Budget Authority (KPA) as defined by PA officials to use the budget or stipulated by the Regional Head for using the budget. So if the head of the regional work units (SKPD) is the agency budget, the KPA is an official who is authorized to carry out part of the authority budget users in performing some tasks and functions SKPD. In the environment of Health Office (DHO) Regency/City, which was chosen to be the location of the case study research, Head of Department (Head) Regency/City which became the PA, then Head of Health propose one or several names to the Regent/Mayor to set as the NAC in District Health Office/the City. But for the local government level, the PA is the Regent/Mayor, while the NAC is the Head of Department (SKPD) Regency/City. 4.1.2 Committing Officer (CO) In Article 12 of Presidential Decree No. 4 of 2015, PA/KPA assigns the Committing Officer (PPK) to implement the procurement of Goods/Services. Thus, KDP officials who are responsible for the implementation of the Procurement of Goods/Services that have the main task and authority as stipulated in Article 11. Based on the basic tasks and authority of PPK, it is not excessive if KDP holds a central role for the procurement of government goods/services. According to Government Regulation No. 45 of 2013 on the Implementation of the State Budget, the CO is an official authorized by the PA/KPA to take a decision and/or action that may have led to the use of the state budget. Because of the magnitude of the responsibility carried by the KDP, the man who became the CO either has a structural position or echelon must have the technical requirements and managerial as stated in Article 12 paragraph (2), among others, integrity, discipline, responsibility and technical qualifications as well as managerial skills to carry out the tasks. Besides being able to make decisions, act decisively, have exemplary behavior as well as attitude and has never been involved in corruption practices and also has a Certificate of Expertise for Procurement of Goods/Services. 4.1.3 Procurement Services Unit (ULP)/Procurement Procurement Services Unit (ULP) is an organizational unit of the Ministry/Agency/Local Government/Institutions that serve to carry out the Procurement of Goods/Services which is permanent, can stand alone or attached to a unit that already exists (Presidential Decree No. 4 of 2015 Article 1 paragraph 8). While the Procurement officer is the designated personnel to carry out Direct Procurement. Both members of ULP and Procurement official can be derived from civil servants, both from the agency itself as well as other agencies. Furthermore, Article 4 said that the Organization of ULP devices are set as needed, it consists of: head, secretariat, support staff and working groups. This means that each district /city has ULP devices which vary according to the needs of the region or the workload of the ULP in each district/city. Working Group on Procurement Services Unit (WG ULP) which is the organization ULP can be said to be the spearhead of the e-procurement process, because the Working Group was appointed and prepared as a procurement committee that will decide the provider which has won the auction electronically. In Medan, ULP consists of Working Groups that are in nature fixed and not fixed. The Working Group still comes from equipment and assets in Medan, while the Working Group with no permanent membership comes from several SKPD in the city of Medan. The same thing is found in Serdang Bedagai and Binjai, but the difference is that a member of the Working Group still comes from the functional part of the Procurement of Goods/Services (CPM). It is said not fixed because it does not always participate in all auctions packages. Moreover its membership is always changing that the Decree (SK) as a Working Group is not fixed must be renewed annually.
143
4.1.4 The Committee/Official Receiver Job Results (PPHP) According to Presidential Decree No. 4 of 2015 Number 8, the Committee/Official Job Receiver (PPHP) is a committee/authority designated by the PA/KPA which is in charge of examining and accepting the work result. PPHP members come from civil servants, both from the agency itself as well as other agencies. However there is an exception for the members of the Committee/Official Job Results Receiver in other institutions APBN/APBD user or Community Group Managing self-management, can derive from non-civil servants. The main task of PPHP as stated in Presidential Decree No. 4 of 2015 is the inspection /testing of the results of the procurement of goods/services as stated in the contract, which include the suitability, technical specifications, quantity, quality, time and place of completion if it is in accordance with that stated in contract, as well as making official reports on the results of inspections and tests. So a PPHP must understand every specification of goods/services being held and understand different types of contracts used. If the inspection/testing team required technical personnel, the KPA can form a technical team/appoint experts to assist. 4.2 E-Procurement Method E-Tendering and e-Purchasing at District Health Office Health Office (DHO) Regency/City is a government agency at the district/city level responsible for serving the basic human needs in the health sector. Implementation of health efforts undertaken by the District Health Office city is in need of resources in the health sector including the willingness of pharmaceutical such as drugs and health equipment. Fulfillment of drugs and health equipment can be done with e-procurement using e-tendering and e-purchasing by utilizing information technology, in addition to direct procurement, direct appointment and others that are non-electronic. 4.2.1 E-Tendering E-tendering is the procedure of selecting a supplier of goods/services conducted openly and can be accessed by all providers of goods/services listed on the electronic procurement system by means of submitting one time bid in the allocated time (Article 1 point 39 of Presidential Decree No. 4 of 2015). Budget ceiling of the electronic auction process is IDR 200 million and above. But in District Health Office budget ceiling to an auction that is worth over IDR 200 million is not much because it is usually done to building (infrastructure) or items that are not manufactured. Items such as medical equipment that are manufactured and drugs are conducted by epurchasing using e-catalogues. The tender process in DHO/City is similar to that carried out by the other SKPD. Prior to the acquisition, DHO/City in this case KDP accept the plans for the needs of goods/services from the user, which is the health center. Furthermore, PPK makes HPS and specification of the goods/services to be tendered. In determining the HPS, SKPD notify the distributor that there will be held a procurement of goods and services and asks them to inform the relevant price of the goods to be purchased. This notification is of official nature because it is through the Health Office District. After knowing the price of a distributor, the organizers will look for other distributors who produce goods with similar selling price. Constraints in the HPS and specification of goods occurs when the specifications of the distributor does not comply with what is required or requested DHO/city. After the HPS is set, the next process is the District Health Office/City through KDP proposes the HPS and specification of goods/services to the Working Group ULP is located in the County Government/Municipal for verification. After the Working Group ULP specify documents containing the information and regulations that must be obeyed by the providers in the process of the procurement of goods/services. This document contains details of HPS, qualification requirements, types of contracts, auction schedule and other requirements. In case of inquiry regarding, the provider may ask for an explanation (aanwijzing) to the procurement committee. Aanwijzing an explanation of the process of auction conducted online without face-to-face via the website LPSE. But if not possible to provide information, the procurement committee can explain on the field. Furthermore on LPSE website, the committee will announce the providers who can proceed to the next process and also providers that failed. Providers who were qualified can be listed as an auction participant and is entitled to make an offer. At this stage, bidders must prepare bidding documents in a file and upload the document. The committee will open the document and evaluate offers from all bidders who submitted bids. The evaluation process (administrative and technical, price, qualifications) the bidding is done manually (off line) outside SPSE.
144
Once the evaluation process is completed, the next process is the determination of the winning bidder by the procurement committee through SPSE. Winner of the auction can be one or two participants, depending on the fulfilment of the requirements as the winner. While the winner is the person or entity that is the person/entity that has the right to procure goods/services requested first and second candidate will replace the winners if something happens that does not allow for the winners to undertake procurement activities. announcement on the website is not explained in details why the auction participant wins, but can be seen a sign or value in the field of administration, technical, bid price and the price offset from the participant. After the announcement of the winners, participants objected to the determination of winners may deliver one-time rebuttal to the CO conducted online via the SPSE an hour after the announcement of the winner of the auction. Rebuttal of bidders who feel this objection is answered by KDP after the deadline of five days for regular auctions and three days for a quick auction. Answers from KDP can only be read by participants in the bidding. So it cannot be read by the public or providers that do not follow the bidding. If the participant still does not feel satisfied with the answers to the CO, the participants can make the process of appeal. Appeal process was carried out outside of the SPSE, where the auction participants send their appeals to relevant officials who are considered as the PA for district level government. In these circumstances the mayor with the help of the procurement committee finds a peaceful way such as by promising another project or giving the loser of the auction an upcoming project. If the appealer is still not satisfied with the appeal process, it can be taken to court. Through court the law point will be reached because if corruption was found in the process, the procurement organizers would be taken to court. This is because the requirement in an e-procurement is that all entities participating must sign an integrity pact which prevents the act of corruption. Court process can be quite difficult and costly because the participant must provide a guarantee of 1% of the total number of on-going auction budget ceiling. If the participant wins in administrative court ruling, then the security deposit will be returned, and if they do not win will go into the state treasury. Appeal activity in Medan City Government has been almost non-existent. This is one proof that the openness of the electronic auction process carried out well. But it cannot be denied, But it cannot be denied, it may also occur because the participants do not want to be bothered using the legal system or losing more money in the law process. After the objection period has passed or completed the bidders who became winners are invited to come SKPD and sign a contract with the KDP. PPK will create and deliver Determination Letter to the winner of auction winner in writing, winner of the auction is required to bring original documents quote. So the process of procuring an auction package is complete when the KDP has determined the winner of auction, procurement committee sends announcement of auction winners through SPSE and when objection period has passed. 4.2.3
E-Purchasing
E-purchasing differs from e-tendering. Based on Presidential Regulation No.4/2015 chapter 1/41, E-purchasing is goods and services purchase through electronic catalogue system. Purchasing can only be done if goods and services are listed in LKPP catalogues such as Government's Medicine e-catalogue and Health Equipment catalogue. Similar to online shopping, e-purchasing ensure buyers in serving their own needs based on ecatalogue which contains list, types, technical specification and products price from various providers. Hence, buyers merely adjust their needs with specification and price they require. Health Minister Regulation No. 63/2014 on E-Catalogue Based Medicine Provision chapter 3 states that all working unit within health sector at central and local level implemented medicine provision through epurchasing based on e-catalogue based on government regulations. This policy aim at ensuring transparency, effectiveness and efficiency of medicine provision process in order to fulfill health services need which results can be accounted. At present, regency/city government conduct goods and services provision more by using epurchasing method compare to e-tendering. This is due to the dominant needs of manufactured medicine and health equipment with budget limit of IDR 200 million.
145
Utilization of e-catalogue provides more significant benefit to regency/city Health Agency. The price of ecatalogue medicines are cheaper than non e-catalogue ones. Lower price does not mean lower quality. Cheaper price can be realized since manufacturers which were given the project to produced the medicine has fix and certain buying order in large amount. Besides, e-catalogue medicine is cheaper due to the cutting of production and distribution cost of products. The simpler and faster working method which resulted in faster government working unit budget absorption compared to other procurement method is another advantage of e-catalogue. Epurchasing which utilizes e-catalogue is more transparent because the list, types, technical specification and price of products are published electronically and can be accessed widely by public. The use of e-catalogue also provides more security to e-procurement implementers in carrying out their tasks (Interview. C4, June 5, 2015; B3, June 5, 2015; A4, August 10, 2015). However e-catalogue also inhibits some weaknesses. The medicine listed in e-catalogue is sometimes limited and even run out of stock. Simultaneous order from Health Agency and Local Public Hospital all over Indonesia on similar medicine contributed to the deficiency of medicine stock. Delay and lateness of distributors in fulfilling medicine order also created problems. Delay sometimes occurs because distributors in Java bear transportation cost. To save this cost, distributors send ordered medicine by using transportation with cheapest price which resulted in late medicine distribution. For example, the price of similar medicine is the same for all regions in Indonesia. In case of delay in deliverance, regency/city Health Agency will use stock of medicine which have to be ready and owned by all working unit of Health Agency. Viewed from budget absorption, it is certainly of disadvantage to local working units (Interview. C4, June 4, 2015). E-purchasing process which uses e-catalogue also experienced obstacles. E-purchasing process is conducted through several stages including determination of packages, products' price, contract format download, Letter of Order printing, etc. Downloading and uploading documents were not easy since e-catalogue network or system were frequently overload, thus, it required long time to complete all these activities. Sometimes e-procurement implementers had to carry out the above activities in the evening, and have to bear internet cost because they were done outside working hours and outside office. The multiplication of contract documents which is the final process of e-purchasing is also another obstacle in conducting e-purchasing. A purchasing process requires 7-9 copies of contract document. The cost of 1 copy of document is IDR.300.000. Thus, for the multiplication of 9 contract copies requires IDR.2.7 million. It becomes a problem since there is no clear explanation in regulation on the cost of this copy. Dealing with this problem, regency/city Health Agency added a new clause which was discussed with providers at the beginning of procurement process that providers bear the cost of document multiplication (Interview. C4, June 4, 2015; B3, June 5, 2015). The provision of goods and services using e-catalogue in health sector is a cooperation form between Health Minister and LKPP. While product price listed in e-catalogue is determined by LKPP in cooperation with manufacturers. To date goods/equipment listed in e-catalogue are many and various. With 777 items listed including copying, wi-fi network, office equipment, medicine, vehicles, regency/city Health Agency were greatly assisted in conducting e-purchasing process (Interview. C4, June 4, 2015). Despite the weaknesses of e-purchasing method which utilizes e-catalogue, this method is of more interest to eprocurement implementers compared to e-tendering. Continuous adding of items in e-catalogue by LKPP provides positive value which contributed to increasing dominant of e-purchasing method. In contrary, eprocurement using e-tendering method focused more on infrastructure construction with higher budget limit in order to foster development activities and budget absorption. The feeling of security of e-procurement implementers in using e-catalogue is in line with the narrowing of abuse of power. E-catalogue provides transparency which then resulted in the decreasing of leakages in e-procurement. Whilst e-tendering method still provides opportunity to get 'fee' in an offer, it is impossible in e-purchasing method which uses e-catalogue (Interview. A3, May 27, 2015; C4, June 4, 2015; B3, June 5, 2015). 4.3
The Working of E-Procurement Policy Implementation Model at Regency/City Health Agency
Regency and City Health Agency is one of local government working unit which provides basic services to public. As a working unit, Health Agency is required to work professionally by delivering and fulfilling health needs of public. Many strategies in fulfilling health need namely through provision of medicine and health
146
equipment electronically which can be carried out through e-purchasing and e-tendering. Utilization of epurchasing method by using e-catalogue is more dominant than e-tendering method at these Health Agencies. This is because the user of Health Agency is itself and Community Health Center (Puskesmas) with needs that are not as large as Local Public Hospital which is also a local government working unit. Therefore, e-tendering which requires that bidding limit of IDR. 200 million was rarely conducted at Regency/City Health Agency (Interview C4, June 4, 2015). E-procurement as a policy should be implemented appropriately in order to fulfil its objective. Transparency in provision of goods and services is one of the objectives of this policy. The utilization of implementation model such as of Donald Van Meter and Carl Van Horn, Paul Sabatier and Daniel Mazmanian and Merile S.Grindle implementation model is one of the strategy in fulfilling this objective. According to Thomas R. Dye (1972), a model is simplified representation of some aspect of the real world. Thus, through a model, the implementation of a policy which is very complex since it consists of many factors or aspects can be simplified. Model of a policy implementation also assists government to focus more on addressing and improving factors or aspects of the model until a policy reach its targets. The first year of this research at the three research sites found eprocurement policy implementation model consists of three variables namely legal foundation, infrastructure and human resource, which includes human resource capability and organizational culture. Presidential Regulation No.4/2015 is one of the legal foundations of e-procurement in Indonesia. This regulation has been amended few times and one of the most significant amendments is detail explanation on e-purchasing method using e-catalogue. Through e-purchasing, the provision of goods/services becomes simpler, more transparent and safe to implement. Beside e-purchasing, Regency and City Health Agency also use e-tendering which have longer bidding process, but similar to e-purchasing is more efficient, effective, transparent and accountable compared to manual procurement. Another significant amendment of Presidential Regulation No.54/2010 is the wording of government goods and services 'can' be conducted electronically. The most recent regulation of procurement, Presidential Regulation No.4/2015 deletes the word 'can' which signifies the obligation for all government institutions to implement e-procurement in the provision of government goods and services provision based on existing regulations. However, when this regulation was interpreted differently by procurement committee and business as the providers, the implementation of e-tendering could not operate optimally. The procurement committee (ULP working group) and Health Agency as user differs with providers on bidding explanation (Aanwijzing). Procurement committee and user argued that bidding explanation of e-procurement is appropriate since explanations have been conducted electronically, thus, there was no direct face to face interaction between providers and procurement committee. It also contributes to the effectiveness of bidding explanation. On the other hand, providers perceived it as in-transparency of a new e-procurement system. Providers also questioned the amended regulation on point of ULP working group task related to bidding documents evaluation which proposed by providers manually. They proposed questioned of how to ensure that e-procurement committee will not favor or interact with providers that have relation with power holders of even their own relatives (Interview A1, A2, Mei 21, 2015; B3, June 5, 2015). Infrastructures supporting the provision of goods and services at Regency/City ULP and Electronic Procurement Service Institution (LPSE), improve annually although not as good and comprehensive as should be, especially at Binjai city LPSE and ULP. At LPSE Medan, bidding room which is used to facilitate prospective providers who experience difficulties in uploading data and other documents has been comfortable. Besides, this bidding room also function as a place to conduct training related to changes in e-procurement regulations for LPSE and ULP staffs and also for providers. Bidding room of LPSE Serdang Bedagai regency has been equipped with more computers which also can be used by providers to upload their documents. The capacity of server at this LPSE was increased so that large capacity documents can be downloaded or uploaded easily by providers. Similar to the server capacity at Binjai City LPSE has been increased, though the bidding room is still modest, with no separation between units of computers. However sudden blackout still frequently occur while providers uploading their documents and the server breakdown without official explanation from related authority, thus procurement documents could not accepted by procurement committee on time. The announcement of bidding package which conducted by procurement
147
committee in short time or during holidays contributed to shorter time for providers to apply. Also, training for providers were yet to involve business associations. Therefore, business parties frequently sent incompetent participants to attend training which contributed to ineffective training and the spending of large amount of money for training (Interview A2, Mei 21, 2015; A3, Mei 27, 2015; C3, June 4, 2015). Human resource competence and organizational culture of ULP and LPSE are still being improved by conducting activities of the provision of goods and services more professionally. However the effort to work professionally was driven more by anxiety of regulation problems rather than awareness of being civil servants whose priority is to serve the state and community. Yet, this is a significant positive starting point considering the high public and providers distrust to procurement committee. However, human resource capacity especially related to information technology is still far below expectation. Providers, procurement committee and user are yet to fully understand and have knowledge on technology and information which resulted in ineffective e-procurement. Moreover, high resistance of e-procurement implementers to procurement certification due to the perceived high risk of this occupation cannot be ignored. Although Presidential Regulation No.4/2015 stated that procurement committee will be given law assistance in carrying out their task, yet it is to be realized. Also, e-procurement implementers considered that salary their salary is insignificant compared to psychological burden they bear in conducting e-procurement activities. Persistent organizational culture which characterized by the rooted corruption, cronyism and nepotism is a crucial problems since it is very difficult for e-procurement implementers to break away from this organizational culture. On the other side, providers also still have old mindset which perceives that the implementation of eprocurement is similar to previous manual procurement. Providers also still lack of integrity as demonstrated by their irresponsibility to ensure the quality of product or project they won (Interview, A2, Mei 21, 2015; C1, Mei 28, 2015; C2, June 4, 2015; A4, August 10, 2015). The three factors of e-procurement policy implementation model described above interact and influence each other in determining the implementation of e-procurement. The understanding of procurement officials on eprocurement regulations differs from those of providers. Moreover, the existing infrastructure is yet to support the implementation of e-procurement optimally. There was widespread doubt on integrity of e-procurement committee that these officials still conduct corruption and cronyism by favoring providers with close relationship or part of those who connected to high government officials. Organization culture of LPSE, ULP and user was perceived as contain with values of unjust, discrimination and closure. This view ignites distrust towards eprocurement committee and system. Some providers did not respond positively to facilities which were provided by LPSE and ULP. They also ignored information on process of e-procurement and some even rejected government offer to participate in training facilitated by LPSE. Some providers also convinced that there was tolerance to some providers who were late in registering their interest to participate in bidding process, late in uploading and completing bidding documents. In case that some providers fail to participate in bidding or lost bidding package, then the e-procurement committee was blamed with various speculations. Based on providers' perspective, these speculations were closely related to the low credibility of e-procurement committee. Nurturing credibility is difficult and requires long time. However, LPSE and ULP need to publish data, process and decision of bidding immediately in their website so that transparency will be realized which then will avoid speculations on bidding and other e-procurement related activities. On the other hand, eprocurement committee argued that providers should not hide behind speculations because it will of their own disadvantage. Presidential Regulation has required that all government goods and services provision should be conducted electronically. Therefore, providers had to change their mindset on participating in procurement. Different from previous manual procurement, e-procurement requires providers to obey all bidding process and stages strictly, thus, they need to continuously gain update information available in LPSE website. Update information will eliminate speculations regarding e-procurement activities and processes. The three policy implementation factors found in research sites were yet to work optimally resulting to the emergence of different understanding of the meaning of e-procurement transparency especially between eprocurement committee and providers. E-procurement committee perceived that the implementation of eprocurement has been transparent. Transparency need not to be meant as all information widely open to public. For example, bidding summary which contains administration evaluation, technical evaluation, qualification and offered price are impossible to publish widely in detail at LPSE website. Public in general and prospective
148
providers who failed the process need only to know the final result of administration and technical evaluation and total amount of bidding offered without having to know all content of bidding offer in detail. Besides bidding winners, only ULP working group and Commitment Official may access bidding summary. However, providers argued that this process contributed to the closure of e-procurement process. This process differs from manual procurement in which all providers have access to know their strengths and weaknesses in bidding process. Thus, this process is not transparent and providers suggested that it will be better if all competitors in the bidding process may have access to other competitors' documents (Interview, A1, Mei 21, 2015; B3, June 5, 2015; A4, August 10, 2015). In line with e-procurement committee, users considered that transparency is how persons who have their right may know what are their responsibilities and obligations. Thus public in general do not have the right to know bidding process in detail if they do not participate in bidding. Even, providers who failed at bidding document evaluation thus were yet to be considered as bidding participant, do not have the right to know the reason for winning the bidding. On the other hand, providers argued that transparency means that all applicants of bidding may know the reason for participants who win the bidding (Interview. A2, May 21, 2015; B3, June 5, 2015; A4, August 10, 2015). E-procurement is considered transparent if all applicants participate in bidding are informed about all stages and processes. Considering that some of e-procurement activities are still conducted off line, e-procurement system and process can only be perceived as transparent if e-procurement committee is persons with high integrity in carrying out their task. Hence, even with the best designed e-procurement system, the lack of implementers' integrity in carrying out their obligations will create public distrust and speculations to e-procurement policy and implementation (Interview. A2, Mei 21, 2015; A3, Mei 27, 2015; C1, Mei 28, 2015; C2, June 4, 2015). Heald (2006) categorized transparency as data, process and decision transparency. This categorization is used to examine transparency of e-procurement at LPSE website at research sites. Observation on related e-procurement websites highlighted that data transparency has been satisfactory, while process and decision transparency were yet to be satisfactory. Data transparency is characterized by complete publication of data and information at LPSE website. Data available on websites includes stages of bidding, explanation on blackout, server breakdown, changes in procurement plan, etc. However, some information was yet to be updated regularly. Also, there is no information on reason and explanation of biding winners and inconsistency in informing data. Process transparency is revealed by available information in every stage of e-procurement processes. Information on stages of e-procurement can be seen from 10 to 23 stages of bidding package. These stages were written in bold thus it is easy for everyone to know at what stages the e-procurement has been. Information on the time of when a stage start and end along with history of changes were also available on website. However, no information is found on explanation of why these changes occur. Decision of policy transparency is characterized by the availability of information regarding the explanation of decision taken. This transparency was not yet optimal. Although the winner of bidding was decided rationally based on transparent data and process, but when one of the elements of evaluation criteria was not optimal, then it means decision of who win was not highly transparent. Observation and analysis on LPSE website demonstrated that there were bidding winners whose administration requirement and technique were marked with √, offer and corrected value were lower, but their technique score was lower compare to other competitors. On the other hand, there was also a case of winners with administration and technique evaluation was marked with √, while their offer and correction values were higher than their competitors. Clem (2010) noted that for transparency “Government should provide citizens with information about what their government is doing so that government can be held accountable”. It connotes that government should be accountable to what they do. However, government also have information category which should be kept secret from the public such as state's secret, private rights and other mentioned by Law No.14/2008 on Public Information Transparency. At this point, some e-procurement information, such as the summary of bidding, cannot be revealed to public but can be accessed by the winner or prospective winners of bidding and by ULP working group and Commitment Official. Hence, e-procurement implementers should be capable to explain why certain can or cannot be open to public. It should be explained obviously to providers so that differences in understanding the meaning of transparency will not occur. However, out of the above category information, all
149
information including data, process and decision of all e-procurement stages should be open extensively to public at LPSE website since it is a form of government accountability to public. Training related to computer based technology information and changes of regulations on e-procurement can be conducted regularly to providers, users and e-procurement committee in order to realize shared understanding on transparency. Trainings that have been conducted were yet to be utilized optimally. Business associations as recommendation giver were yet to be involved in these trainings. The participation of the head of LPSE and ULP in evaluating training participants which consists of staffs that are responsible for the implementation of eprocurement is also crucial. Through training it is hoped that shared understanding and knowledge related to eprocurement and transparency, and integrity of all parties involved in e-procurement will be realized. As mentioned above, not all e-procurement information can be accessed in LPSE website. However, it does not mean that public cannot know what really happen regarding government goods and services budget. Public may access Budget Implementation List (DIPA) to examine transparency in the use of budget at government's institutions. This list refers to Presidential Regulation on Central Government Expense Budget Detail (RABPP) and Budget Allocation Detail for local government working unit. Budget Implementation List which was arranged by working unit contains measurable units on programs and activities which will be implemented, intended outcome and output and allocated budget limit. Through Budget Implementation List, public may know in detail about how their money are spent, the cost and the benefits. Thus, this list is different from budget allocation in National and Regional Expense and Income Budget which budget detail only based on sectors such as health, education and other development sectors. However the problem is public is yet to fully understand that Budget Implementation List can be used as a reference to assess whether government has fulfilled their responsibilities in managing public fund. On the other hand, it is not easy for public to access this Budget Implementation List since many government institutions consider this List as a secret document which cannot be accessed by all people. Even in some government institutions, not all staffs may access Budget Implementation List of their own working units. Central Information Commission Circulation Letter No.1/2011 stated that Ministry/institution Working Plan and Budget and Budget Implementation List are public documents which are obligatory available and should be announced regularly as long they do not contain secretive information as described in Law No.14/2008 chapter 17 on Public Information Transparency. 5.
Conclusions and Recommendations
5.1 Conclusions Health Agency at regency and city level is the working unit at North Sumatra province which provides basic health services to public. As a government institution, Health Agency is required to work professionally by fulfilling public health need. Provision of medicines and health equipment are some of the ways in fulfilling community needs on health. The provision of public needs on health services can be realized through electronic provision of goods and services which use e-purchasing and/or e-tendering. E-purchasing method through the use of e-catalogue is of more interest to government officials than e-tendering method. E-procurement through etendering method has been focused more on physical infrastructure with huge amount of budget limit in order to accelerate development activities and budget absorption. There are some significant benefits accrued from e-purchasing method which utilizes e-catalogue. First, the price of medicine using e-catalogue is much lower than non e-catalogue medicine. Second, e-purchasing working system is simpler and quicker compare to other procurement method, thus, foster budget absorption of local government working units. Third, e-purchasing system suing e-catalogue is more transparent because products' list, type, technical specification and price are electronically published and can be accessed by public. Fourth, the use of e-catalogue provides security to procurement implementers since they did not have to determine the price and specification of goods. These activities were considered risky for some officials responsible for public goods and services provision. Apart from its advantages, e-purchasing method using e-catalogue also inhibits some weaknesses. Sometimes the supply of required medicine in e-catalogue was limited and even lack of supply due to simultaneous order on
150
similar medicine by Health Agency and local government public hospital all over Indonesia. Besides, the tardiness of distributors in delivering Health Agency order was frequently occurred as part of the problem. Technically, e-purchasing administration using e-catalogue also posed obstacles. E-purchasing process which conducted through several stages and process required user to insert, download and upload large amount of data. However, e-catalogue network or system did not have the capacity or overload which required long time to process these stages. Vague description of regulation on who was responsible in multiplying purchasing contract which was the final stage of e-purchasing process was another obstacle in this e-procurement method. As a policy, e-procurement needs to be implemented accurately in order to fulfil its objective in realizing transparency in the provision of goods and services. Policy implementation model is a way to assist in realizing the objective of this e-procurement implementation policy. This study found e-procurement policy implementation consists of three factors namely law, infrastructure and human resources. All these factors of eprocurement policy implementation in research sites were yet to be optimal and thus created speculations towards public procurement committee. In its simplest form, these speculations took form in opinions which were not based on reality. From providers' view, speculation emerged due to the low credibility of procurement committee and also to e-procurement system. This credibility related to public trust and this trust could not be gained without real and immediate actions. Therefore, LPSE and ULP need to publish data, process and decision of the tender transparently so that there will be no loophole for providers or public to speculate on stages and processes of tenders and other issues related to procurement. Meanwhile, procurement committee required providers not to hide and use these speculations. Presidential Regulation N0.4 Year 2015 verse 1 stated that government goods and services provision should be conducted electronically. This means that providers had to anticipate and prepare themselves for electronic procurement and change their way of thinking to understand that e-procurement is different from manual procurement. The above factors also respectively influenced each other which resulted in different perception and meaning of transparency between procurement committee and users. According to procurement committee, transparency did not mean that all process of procurement should be open to public through LPSE website. Some issues such as bidding price could not be published in LPSE website in detail. Also the summary of auction can only be reveal to the winners of bidding. Similar view was expressed by users that transparency is how a person who is eligible may know what is his/her responsibility and obligation. Thus, public in general does not have the right to know bidding process in detail. Even prospective providers who failed in the middle of bidding process, such as during bidding document evaluation, do not have the right to know why other bidding participants win. Based on providers' view, electronic procurement process can be considered transparent if the whole stages and process of bidding were known by all prospective bidding participants. Since in electronic procurement there was still off line/manual activities, e-procurement system can only be considered as transparent if procurement committee consisted of persons with integrity in carrying out their job. As long as implementer integrity is absent, speculations and suspicions on e-procurement will remain. This study revealed that data transparency has been satisfactory, while process and decision transparency were still inadequate. Transparency is a principle which guarantees the freedom of all people to get information. Yet based on Law No.14/2008, there are some information categories which cannot be revealed to public, such as business competition information, state secret, intelligent and others. This regulation is aimed to avoid the misuse of data by irresponsible parties. Apart from information category mentioned above, all information regarding public goods and services provision should be widely open to public through LPSE website since it is one form of government's accountability to public, Government officials should have the capability in explaining why certain information cannot be disclosed to public or do not published at LPSE website especially to providers. This explanation is crucial so that there will be no differences between all stakeholders related to government's goods and services provision activities. Shared interpretation and meaning of transparency in procurement may also be realized through training related to computer based technology information and amendment to regulation on procurement to providers, procurement committee and users. Moreover, the involvement of all related business association as those which give recommendation to providers who intend to participate in training as well as the involvement of head of related procurement agency to evaluate training participants, those who are responsible for the enactment of
151
procurement is crucial. Trainings may enhance integrity of all parties which then contribute to successful implementation of e-procurement. Not all stages of e-procurement can be disclosed at LPSE website as explained above. But it does not mean that public cannot get information on what really occur in government goods and services provision. Transparency of the use of government institutions can be viewed in government Budget Implementation List (DIPA) which is not a secret document, thus, public may access this document. It is obviously mentioned in Central Information Commission Letter No.1/2011 that Work Plan and Budget of Ministry/institutions and government Budget Implementation List is public information which is provided and announced by government to public routinely. 5.2 Recommendations Compared to e-tendering, e-procurement using e-purchasing method is of more interest to public procurement implementer at Health Agency in Medan, Binjai and Serdang Bedagai. The security in using e-catalogue provide government officials is in line with the narrowing of the opportunity in abuse of authority has been one of the reasons in choosing e-purchasing method. On the other hand, the weakness of e-purchasing has been related to medicine distributors‟ commitment in avoiding the lack of medicine supply and the late arrival of the required medicine at regency and city Health agencies and also the issue of who is responsible on the cost of the multiplication of the purchasing contract document. Technical network of e-catalogue system should be the prime attention in order for prompt upload and download of document. These findings provides reminder for implementer at regency/city Health Agency to immediately conduct follow-up action to avoid obstructions to procurement process. Delays in public procurement will impact on reduction on optimal deliverance of health services which is one of public basic needs. Law, infrastructure and human resource factors of e-procurement implementation model were yet to function optimally at all research sites. Thus, these factors need to be address in order for the realization of data, process and decision transparency at LPSE website. It will also create similar understanding on the meaning and substance of transparency as a fundamental principle in procurement system as well as building integrity of all stakeholders involve in goods and services provision. Implementation Budget form (DIPA) which has been legalized by Finance Minister is the activity and budget implementation document for working units which contains program and activities, intended outcome and output and allocated budget limit. Meanwhile, the executer of the budget is working unit is Budget User Authority (KPA). Therefore, Budget Allocation List of a working unit should be disseminated to public both as a form of budget and goods and services provision transparency. References Ballard, Therese,. 2011. “Transparency and Public Procurement”. Supplement to the 2011 Annual Statistical Report on United Nations Procurement. UNOPS. Bannister, Frank and Connolly, Regina. 2011. "The Trouble with Transparency: A Critical Review of Openness in e-Government," Policy & Internet: Vol. 3: Iss. 1, Articl 8. Policy Studies Organization. http://www.psocommons.org/ policyandinternet / vol3 / iss1/art8. Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik, TII, 2006 dalam 25.-Korupsidalam-Proses-Pengadaan-Barang-dan-Jasa.pdf. Diakses 19 April 2013 Jam 19.30. Clem, Constance,. 2010. “Government Online: Improving Service and Engaging Communities”. Ark in Association with Inside Knowledge. Democratic Local Governance in Southeast Asia (DELGOSEA). 2014. Dye, Thomas R. 1972. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, Inc. Grindle, Merilee S. 1980. “Politics and Policy Implementation in the Third World”.Princeton University Press.Princeton. New Jersey. Heald, D. 2006. “Varieties of Transparency.” In Transparency, The Key to Better Governance, eds. C. Hood, and D. Heald. Proceedings of the BritishAcademy. Oxford: Oxford University Press, 25-43.
152
Jeppesen, Rasmus. 2010. Capacity is Development. Accountability in Public Procurementtransparency and the role of civil society. United Nations Procurement Capacity Development Centre September. www.unpcdc.org Kelman, S. 1990. “Procurement and Public Management: The Fear of Discretion and the Quality of Government Performance”. Washington, DC. The AEI Press. Lederer, 2012. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). 2009. Mazmanian, Daniel A dan Sabatier, Paul A, 1983.“Implementation and Public Policy”. Scott, Foresmant and Company. New Jersey. Nugroho, Riant. 2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Nurmandi, Achmad. 2013. E-procurement in Indonesia: Policy and its Implementation. Research Project of International Scholar Exchange Program 2013/2014.Korean Foundation for Advance Studies. OECD E-Government Task Force. 2003. The Case for E-Government:Excerpts from the OECD Report“The EGovernment Imperative”. OECD Journal on Budgeting – Vol. 3, No. 1. Pramusinto, Agus dan Erwan Agus Purwanto. 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Penerbit Gava Media, JianUGM, MAP-UGM. Yogyakarta. Ripley, Randall B. 1985. Policy Analysis in Political Science. Chicago: Nelson Hall, Inc. Sherman, Laura B & Nadgrodkiewicz (eds). 2011. APEC Procurement Transparency Standards in Indonesia. A Work in Progress. Transparency International- USA and Center for International Private Enterprise:USA. Singarimbun, Masri. Metode Penelitian Surve. 2006. Jakarta: LP3ES. Sugiyono. 2007. “Penelitian Administrasi Negara”. Bandung: Alfabeta. Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2003. ”Implementasi Kebijakan Publik, Transformasi Pikiran George Edwards”. Lukman Offset dan Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia. Yogyakarta. Subarsono, AG. 2008. Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi). Yogyakarta: PustakaPelajar. Turban, E., King, D., Lee, J. and Viehland, D. 2006. Electronic Commerce: A Managerial Perspective. Pearson/Prentice-Hall, Englewood Cliffs. NJ. Van Weele, A., 1994. “Purchasing Management: Analysis, Planning and Practice”. London. UK: Chapman & Hall. Wahid, Fathul. Institutionalization of Public Systems in Developing Countries: A Case Study of eProcurement in Indonesian Local Government. May 8th – 9th 2012, Brunel University, University Kingdom Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo. Yin, Robert K. 2013. Case study research: Design and methods. New York: Sage Publications Inc.
Laws and Regulations Acts No.1/2004 on State Treasury. Acts No.11/2008 on Electronic Information and Transaction. Acts No.14/2008 on Public Information Openness. Acts N0.25/2009 on Public Service Delivery. President Regulation No.54/2010 on Government‟s Procurement.
153
President Regulation No.4/2015 on the Fourth Amendment of President Regulation No.54/2010 on Government‟s Procurement. Government Regulation No.82/2012 on the Implementation of Electronic System and Transaction. President Decree No.80/2003 on Government‟s Goods and Services Provision. Head of LKPP Regulation No.2/2010 on LPSE. LPSE‟s Head Regulation No.1/2011 on E-Tendering. Electronic Resources “Best Practices in E-Procurement: Reducing Costs and Increasing Value through Online Buying”. Accessed on July 1, 2014 at 10AM. “Case Studies on E-procurement Implementations: Italy, New South Wales, New Zealand, Scotland, Western Australia”. Commonwealth of Australia. 2005. Accessed on July 3, 2014, at 12.00. “E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in Public Service Delivery”.Report of the Expert Group Meeting.Department of Economic and Social Affairs. 4-5 October 2011. United Nations Headquarters, New York. “E-Procurement of Golden Book and Good Practice”. 2013. This report was prepared for DG MARKT by PwC EU Services EESV Contract Reference: MARKT/2011/097/C4/OP LOT2 Version: v1.3 Project. Final Report. Accessed on July 1, 2014 at 15.00. McCue, Clifford dan Roman, Alexandru V., 2009. “E-Procurement: Myth or Reality?” Journal of Public Procurement, Volume 12, Issue 2, 212-238. Mitchell, K. 2000. “Instituting E-Procurement in the Public Sector”.Government Finance Review. 16 (1), 9-12. Ndou, V. 2004. “E-Government for Developing Countries: Opportunities and Challenges”. The Electronic Journal on Information System in Developing Countries (EJISDC). 18 (1), 1-24. http://www.ejisdc.org Neupane, Arjun., Soar, Jeffrey., Vaidya, Kishor., 2012. “Evaluating The Anti-Corruption Capabilities of Public e-Procurement in Developing Country”. EJISDC (2012) 55, 2, 1-17 The Electronic Journal on Information Systems in Developing Countries. Nightisabha, Ika Akyuna., Suhardjanto, Djoko,. Cahya, Bayu Tri,. 2009. “Persepsi Pengguna Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Pada Pemerintah Kota Yogyakarta Terhadap Implementasi Sistem “e-Procurement”. Jurnal Siasat Bisnis. OECD E-Government Task Force. 2003. “The Case for E-Government: Excerpts from the OECD Report the EGovernment Imperative”. OECD Journal on Budgeting – Vol. 3, No. 1. Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty. 2014. “Model Implementasi Kebijakan E-Procurement Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara”. Penelitian Tahun Pertama. Skim Hibah Bersaing. Universitas Sumatera Utara. Udoyono, Kodar. 2012. E-Procurement Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Untuk Mewujudkan Akuntabilitas di Kota Yogyakarta. Jurnal Studi Pemerintahan Volume 3 Nomor 1 Februari. Vaidya, K., Sajeev, A.S.M. & Callender, G. 2006.“Critical Factors that Influence e-Procurement Implementation Success in the Public Sector”. Journal of Public Procurement, Volume 6, Issues (1&3), 70-99. https://id.wikipedia.org/wiki/Spekulasi http://kbbi.web.id/spekulasi www.lpse.pemkomedan.go.id/ www.lpse.binjaikota.go.id www.lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/ http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/lelang http://lpse.binjaikota.go.id/eproc/lelang http://jogja.tribunnews.com/2014/01/27/korupsi-tertinggi-berada-di-sektor-pengadaan-barang-dan-jasa/ http://beritasore.com/2012/04/10/korupsi-pengadaan-paling-banyak-ditangani-kpk/ http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52cbfe8f5c500/pengadaan-barang-dan-jasa-dominasi-kasus-korupsidi-2013 http://www.lkpp.go.id/v3/#/read/3614 http://politik.kompasiana.com/2013/03/09/implementasi-e-procurement-sebagai-inovasi-pelayanan publik541293.html
154
Artikel 2 PEMANFAATAN WEBSITE DALAM PENGADAAN BARANG/JASA SECARA ELEKTRONIK (E-PROCUREMENT) DI PROVINSI SUMATERA UTARA: DILIHAT DARI PRINSIP TRANSPARAN* Februati Trimurni Asima Yanty Siahaan Dayana ABSTRAK Di Indonesia, pengadaan barang/jasa dengan memanfaatkan media website merupakan salah satu bentuk reformasi di bidang pengadaan yang salah satu tujuannya meningkatkan transparansi dalam pengadaan. Kajian mengenai transparansi dalam eprocurement di Sumatera Utara menjadi semakin mendesak dan penting sehubungan dengan masih terdapatnya penyimpangan dalam kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai di satu sisi serta terbatasnya dinamika birokrasi lokal di sisi lain. Judul tulisan ini ”Pemanfaatan Website Dalam Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (e-Procurement) di Provinsi Sumatera Utara: Dilihat Dari Prinsip Transparan.” Tujuannya, melihat transparansi pelaksanaan pengadaan barang/jasa secara elektronik yang memanfaatkan media website dengan menggunakan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan beberapa partisipan dan observasi website sebagai media komunikasi massa yang digunakan dalam kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik di tiga lokasi penelitian. Sementara analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Capaian hasil penelitian menunjukkan bahwa makna dari transparansi pengadaan masih dipahami berbeda-beda diantara panitia pengadaan dan user (SKPD) di satu pihak dan penyedia barang/jasa (provider) di pihak lain. Sementara dilihat dari kategori transparansi yang dikemukakan oleh Heald, maka website yang dikelola LPSE di tiga lokasi penelitian untuk kategori data sudah transparan, sedangkan untuk transparansi proses dan keputusan masih pada kategori cukup. -------Kata Kunci: E-procurement, Transparansi
*
Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang berjudul “Model Implementasi Kebijakan e-Procurement Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara” dibiayai oleh DIPA Direktorat Penelitian Pengabdian kepada Masyarakat Tahun Anggaran 2015. Skema Penelitian Hibah Bersaing Tahun Kedua. Universitas Sumatera Utara.
155
PENDAHULUAN Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan salah satu tugas pemerintah yang penting, mengingat kegiatan pengadaaan ini dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) dengan pengalokasian dana rata-rata mencapai 15%-30% dari Gross Domestic Product (GDP). Mengingat pentingnya hal ini, maka kegiatan pengadaan barang/jasa harus dilaksanakan dengan efektif dan efisien, mengutamakan penerapan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat, transparan dan adil bagi semua pihak. Namun besarnya persentase dana untuk pengadaan barang/jasa ini menjadi peluang terjadinya korupsi di sektor pengadaan barang/jasa. Sebesar 61% kasus-kasus korupsi di Indonesia didominasi oleh penyalahgunaan pelaksanaan pengadaan barang/jasa (Penelitian Pusat Kajian dan Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada pada tahun
2013)
(http://jogja.tribunnews.com/2014/01/27/korupsi-tertinggi-berada-di-sektor-pengadaan-
barang-dan-jasa/. Diakses 24 Oktober 2013, Jam 11.15 WIB.)
Selain itu korupsi dalam proses
pengadaan barang/jasa paling banyak diusut dan ditangani oleh institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni sebanyak 96 kasus atau mencapai 40.9 % sejak tahun 2004 hingga 2011 (http://beritasore.com/2012/04/10/korupsi-pengadaan-paling-banyakditangani-kpk/. Diakses 19 April 2013, Jam 21.00 WIB.)
Sementara pelaku korupsi pengadaan
barang/jasa ini berasal dari berbagai kalangan baik swasta, kepala dinas, bupati dan kepala
daerah
seperti
gubernur
(Indonesia
Corruption
Watch)
(1http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52cbfe8f5c500/pengadaan-barang-dan-jasa-dominasi-kasuskorupsi-di-2013. Diakses 24 Oktober 2013, Jam 11.44 WIB).
Sebenarnya masih tingginya penyimpangan di bidang pengadaan barang/jasa ini menjadi pertanyaan besar bagi banyak pihak. Karena untuk menekan terjadinya praktekpraktek korupsi, kolusi dan nepotisme ini, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 80 Tahun 2003 yang merupakan awal lahirnya kebijakan eprocurement. Keppres ini menjadi pertanda dimulainya reformasi di bidang pengadaan, dari sistem manual ke sistem elektronik (e-procurement). Bila pengadaan barang/jasa secara manual masih mempertemukan langsung antara panitia pengadaan dan penyedia barang/jasa yang dapat menimbulkan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, maka dalam sistem e-procurement intensitas pertemuan antara panitia pengadaan dan penyedia sangat sedikit sehingga penyimpangan dalam proses pengadaan barang/jasa dapat ditekan atau bahkan dicegah.
156
Terlepas dari masih ditemukannya penyimpangan dalam bidang pengadaan, namun beberapa best practises ditemukan di lingkungan birokrasi Indonesia. Kota Surabaya sebagai salah satu best practices dalam pelayanan publik menempatkan sistem e-procurement sebagai best practice yang inovatif, bertujuan untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi dan transparansi proses pengadaan barang/jasa yang berhasil menghemat 20-30% anggaran untuk pelayanan publik(Partnership for Democratic Local Governance in Southeast Asia, 2003). Di Kementerian Keuangan RI, pelaksanaan eprocurement berhasil menghemat anggaran, mengurangi tingkat kebocoran dan menjamin keterbukaan, dimana kontribusi penghematan anggaran diperoleh sampai 18.4% pada tahun 2009 (LKPP, 2009). Sementara pengadaan barang/jasa di Kementerian Perhubungan RI pada tahun 2015 memiliki nilai pagu sebesar Rp 1,4 triliun sedang nilai transaksinya Rp 1,17 triliun sehingga diperoleh penghematan sebesar Rp 230 miliar (http://www.lkpp.go.id/v3/#/read/3614. Diakses 16 Juni 2015, Jam 15.20 WIB). Salah satu tujuan dari pelaksanaan e-procurement adalah mewujudkan transparansi dan efisiensi dari pengadaan barang/jasa. Namun sebagaimana uraian di atas, dari hasil beberapa survey di Indonesia, efisiensi dari penggunaan e-procurement lebih banyak didiskusikan dari pada tujuan lainnya seperti transparansi. Berbeda halnya dengan yang terjadi di beberapa negara EU. Studi terhadap transparansi dari pelaksanaan eprocurement menemukan bahwa data diterbitkan dalam bentuk pdf dan html bukan dalam bentuk database yang menyebabkan data yang tersedia terpisah-pisah dalam berbagai volume buletin. Ini membuat fase-fase dalam procurement sulit untuk ditelusuri. Sementara di Hungaria publik harus membuka setiap buletin jika ingin mengetahui berapa tender yang dimenangkan, berapa nilai tender dan apakah nilai tender telah sesuai dengan kontrak ditemukan. Berbeda dengan di Czechs, transparansi dalam e-procurement masih terbatas dengan tidak tersedianya statistik dan ringkasan dari procurement serta informasi mengenai justifikasi pemenang di website, sementara data atau informasi dapat diperoleh secara individual. Baik di Polandia maupun di Czech modifikasi kontrak tidak diterbitkan, tetapi dapat diminta oleh siapa saja yang ingin mengetahui. Sementara Slovakia sebagai negara yang menyelenggarakan e-procurement sangat transparan yaitu dengan menayangkan update data dalam format yang mudah untuk diproses. Selain itu tersedia database online yang menyediakan informasi mengenai seluruh kontrak yang telah disepakati (Lederer, 2012) Penelitian ini ingin melihat transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik (e-procurement) dengan menggunakan teknik observasi terhadap 157
website yang dikelola oleh LPSE (Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik) sebagai lembaga penyelenggara pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia. Website atau situs internet merupakan media komunikasi maya dari tipe atau bentuk komunikasi massa yang sifat pesan atau informasinya terbuka, terencana dan dapat diakses oleh masyarakat umum. Kajian mengenai transparansi pengadaan barang/jasa secara elektronik menjadi menarik karena masih jarang ditemukan penelitian seperti ini di Indonesia sebagaimana dijelaskan diatas. Selain itu penelitian ini semakin penting dan mendesak sehubungan dengan tuntutan dan kebutuhan e-procurement yang terus meningkat ditengah karakteristik Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai yang berbeda-beda serta dinamika birokrasi lokal yang terbatas. Dari uraian latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana transparansi dari implementasi pengadaan barang/jasa secara elektronik (eprocurement) dilihat dari media website LPSE di Provinsi Sumatera Utara? TINJAUAN PUSTAKA Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (e-Procurement) Pengadaan secara elektronik (e-procurement) merupakan salah satu bagian dari pelayanan e-government. Pelayanan e-procurement fokus hanya pada proses pengadaan, pembelian dan penjualan barang/jasa, sementara e-government menjangkau pelayanan yang lebih luas yakni menyangkut kategori publish, interact dan transact. Karena itu definisi dari e-procurement tidak jauh dari hal-hal yang berkaitan dengan pengadaan, pembelian dan penjualan barang/jasa, seperti yang dikemukakan Van Weele (1994) yaitu “The use the Internet Tecnology in the process of providing, that is, buying and selling of goods and sevices” dan Turban dkk (2006) bahwa “e-procurement refers to the purchase of goods and services for organizations”. Tidak jauh berbeda dari definisi diatas namun lebih difokuskan pada organisasi pelaksananya, mengatakan “e-procurement refers to the use of electronic communications and transaction processing by government institutions and other public sector organisations when buying supplies and services or tendering public works”. Selain fokus pada kegiatan dan organisasi pelaksananya, pengertian eprocurement juga menekankan pada penggunaan Teknologi Informasi (TI) yang berbasis komputer sebagai medianya. Penggunaan e-procurement memberikan banyak manfaat, Vaidyadkk (2006) mengatakan e-procurement digunakan oleh sektor publik untuk mewujudkan transparan, efisien dan efektif dalam memberikan pelayanan. Selain itu e-procurement dijadikantema 158
umum oleh banyak organisasi di negara maju dan berkembang dalammempromosikan transparansi dan good governance (“E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in Public Service Delivery.” Report of the Expert Group Meeting. Department of Economic and Social Affairs. 4-5 October 2011. United Nations Headquarters, New York.).
Transparansi sebagai salah
satu tujuan atau prinsip dari pelaksanaan e-procurement merupakan jaminan kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan baik yang berkaitan dengan informasi tentang kebijakan, proses pembuatan maupun pelaksanaannya serta hasil-hasil yang dicapai. Dengan demikian transparansi dapat menjadi entry point dan checks and balances bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang apa yang dilakukan pemerintah serta bentuk pertanggungjawaban pemerintah terhadap masyarakatnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Clem (2010: 4) bahwa transparansi sebagai “Government should provide citizens with information about what their government is doing so that government can be held accountable.” Sementara transparansi di dalam Pasal 5 Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dikatakan sebagai salah satu prinsip dari pengadaan secara elektronik selain efisiensi, efektif, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel. Pengertian transparansi selanjutnya dijelaskan dalam Penjelasan Perpres No.54 Tahun 2010 yang mengatakan bahwa “transparan berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh penyedia barang/jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya.” Jadi transparansi disini menekankan pada dua hal yakni ketentuan dan informasi mengenai eprocurement diketahui secara luas oleh masyarakat umum dan ketentuan dan informasi tersebut harus jelas. Kedua hal ini menuntut pemerintah (LPSE) mengelola kegiatan pengadaan barang/jasa dengan menggunakan media website, dimana semua data atau informasi berkaitan dengan proses pengadaan barang/jasa harus jelas dan mudah dimengerti serta dapat diakses oleh siapa saja. Dengan demikian banyak penyedia (providers) atau masyarakat yang terlibat sehingga terpilih penyedia yang benar-benar memiliki kemampuan dan integritas dalam kegiatan pengadaan. Melalui proses pengadaan yang transparan ini diharapkan diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas serta dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat. Berkaitan dengan pengertian transparansi di atas, maka pendapat Heald (dalam Bannister dan Connoly, 2011) mengenai pengkategorian tranparansi tepat digunakan 159
untuk melihat transparansi melalui website LPSE terutama di tingkat kabupaten/kota. Heald mengkategorikan tiga hal dalam membicarakan transparansi yakni transparansi data, transparansi proses dan transparansi keputusan/kebijakan. Transparansi data berhubungan dengan angka dan fakta-fakta pemerintah, seperti biaya yang disediakan (pemrosesan data hingga mudah diakses dan dipahami masyarakat); misinterpretasi data atau informasi; resiko terhadap masyarakat/anonimitas. Transparansi proses berkaitan dengan ketersediaan informasi dari berbagai proses pemerintahan, mulai dari pembuatan keputusan hingga produk keputusan. Transparansi ini menjadikan seluruh tahapan dalam proses jelas, menunjukkan dimana proses suatu transaksi tertentu dapat ditemukan dan menjelaskan mengapa langkah-langkah tertentu harus dilaksanakan. Transparansi keputusan atau kebijakan menguraikan alasan (rasionalitas) dari keputusan-keputusan, dan/atau tindakan-tindakan dan kebijakan pemerintah.
Website (Situs) Sebagai Salah Satu Bentuk Media Komunikasi Massa “Communication is the transfer of information from one person to another person” (Newstrom, John W. dan Davis, Keith,1993: 91). Definisi komunikasi ini cukup sederhana yang menggambarkan beberapa unsur penting dari komunikasi yaitu pengirim informasi, informasi atau pesan itu sendiri, media yang digunakan untuk menyampaikan informasi tersebut dan penerima atau sasaran dari informasi tersebut. Unsur-unsur komunikasi ini selanjutnya dapat digunakan untuk membedakan tipe atau bentuk komunikasi, apakah komunikasi massa (mass communication), komunikasi dengan diri sendiri (intrapersonal communication), komunikasi antar pribadi (interpersonal communication) atau komunikasi publik (public communication). Komunikasi massa sebagai salah satu tipe atau bentuk komunikasi dapat dijelaskan dari beberapa unsur komunikasi tersebut. Sifat pesan atau informasi yang disampaikan di dalam komunikasi massa biasanya lebih formal dan terencana. Media dari komunikasi massa yang digunakan untuk menyampaikan informasi bersifat formal atau melembaga. Sementara sasaran atau penerima informasi berjumlah besar dengan jangkauan yang luas yang berasal dari berbagai lapisan masyaraka dengan latar belakang, usia, jenis kelamin, suku dan lain sebagainya yang berbeda-beda (Cangara, 2012). Perspektif komunikasi massa ini dapat digunakan untuk melihat implementasi pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik (e-procurement). Pesan atau informasi yang disampaikan berupa peraturan, kebijakan atau kegiatan yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa. Sementara media atau sumber yang digunakan adalah 160
website yang dapat diakses oleh siapa saja. LPSE sebagai komunikator atau pengirim informasi yang merupakan lembaga pemerintah, bertanggungjawab atas penyelenggaraan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Karena itu media komunikasi dalam eprocurement disebut dengan website LPSE yang dimiliki oleh setiap pemerintah kabupaten/kota di Indonesia. Selanjutnya sasaran dari informasi ini adalah masyarakat khususnya penyedia (providers) yang mengikuti kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mendeskripsikan pemahaman partisipan terhadap transparansi dari pelaksanaan pengadaan barang/jasa secara elektronik dengan menggunakan teknik wawancara mendalam. Informan atau partisipan dipilih berdasarkan kategori-kategori tertentu seperti pernah bekerja di bidang pengadaan barang/jasa yakni Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE); Unit Layanan Pengadaan (ULP); Pejabat Pembuat Komitmen (PPK); Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) baik yang mempunyai sertifikat pengadaan maupun tidak. Sementara untuk kategori penyedia, peneliti menetapkan penyedia yang pernah mengikuti paket lelang di salah satu lokasi penelitian dan merupakan pengusaha lokal yang bernaung dalam sebuah asosiasi pengusaha. Peneliti juga menjelaskan transparansi kegiatan atau proses e-procurement di tiga lokasi penelitian dengan menggunakan teknik observasi terhadap website LPSE sebagai media dari kegiatan e-procurement. Sementara analisis kualitatif dilakukan dengan interaktif dan terus menerus kepada informan hingga sampai pada titik jenuh
HASIL DAN DISKUSI Transparansi dalam Implementasi e-Procurement di Provinsi Sumatera Utara Dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dikatakan siapa saja yang menjalankan tugas dan fungsi dengan dana yang bersumber dari APBN/APBD dan sumbangan dana publik lainnya diwajibkan untuk menyampaikan informasi tersebut secara terbuka kepada masyarakat. Karena Undang-Undang ini bertujuan untuk menjamin hak warga negara mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik dan program kebijakan publik, proses pengambilan keputusan publik dan alasan pengambilan suatu keputusan publik. Selain itu mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik dan mewujudkan penyelenggaraan negara yang 161
baik, yakni transparan, efektif dan efisien, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif serta akuntabel. Sementara informasi yang membahayakan negara, berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat, hak-hak pribadi serta rahasia jabatan, dan lain sebagainya merupakan pengecualian yang tidak dibuka kepada masyarakat. Pentingnya transparansi sebagai salah satu tujuan dari e-procurement sudah disadari oleh partisipan yang bekerja di LPSE dan ULP di tiga lokasi penelitian di Provinsi Sumatera Utara. Perubahan tender secara manual ke sistem elektronik merupakan usaha untuk mewujudkan transparansi tersebut, selain adil dan akuntabel dalam pengadaan barang/jasa. Hal ini karena kegiatan pengadaan secara elektronik dilakukan secara online sehingga semua pihak dapat melihat apa yang sedang terjadi dalam proses pengadaan tersebut. Dengan demikian praktek-praktek KKN yang sangat riskan dalam proses pengadaan dapat ditekan atau bahkan dihindari. Pengadaan barang/jasa secara elektronik pada akhirnya dipandang jauh lebih transparan dari pada proses sebelumnya yang manual. Heald (dalam Bannister dan Connoly, 2011) memberikan arti transparansi dengan cara membedakannya berdasarkan kategori yang substansi dari kegiatan eprocurement, sehingga cukup relevan digunakan dalam pembahasan dan analisis mengenai transparansi dalam pelaksanaan e-procurement di Provinsi Sumatera Utara. Menurut Heald, e-transparansi dapat dikategorikan dalam transparansi data, transparansi proses dan transparansi keputusan/kebijakan. Berdasarkan observasi website LPSE di tiga lokasi penelitian dapat dikatakan bahwa secara umum ketersediaan data dari pelaksanaan e-procurement sudah lengkap dan transparan. Data yang dapat diakses bukan saja mengenai proses atau tahapan lelang, tetapi juga berkaitan dengan berita seputar pengadaan secara elektronik seperti pemadaman listrik, kerusakan sistem pada server, berita acara penjelasan pekerjaan (aanwizjing), perubahan Rencana Umum Pengadaan (RUP), dan lain-lain. Bahkan beberapa regulasi yang berkaitan dengan pengadaan secara elektronik dapat diunduh di website LPSE Kota Medan. Namun masih ditemukan data atau informasi yang tidak diperbaharui, seperti di bagian regulasi dan berita sehingga cukup mengganggu bagi yang ingin mengetahui informasi terbaru tentang hal tersebut. Selain itu, terjadi kekosongan data atau informasi seperti di kolom alasan dari peserta lelang yang gagal memenangkan paket lelang. Meskipun di paket lelang lainnya informasi tersebut ditemukan.
162
Ketidakkonsistenan ini dapat menimbulkan berbagai spekulasi dari penyedia atau masyarakat umum yang mengakses website LPSE. Transparansi data di atas dapat lebih diurai dengan menelusuri informasi mengenai kategori lelang yang menurut Perpres No. 4 Tahun 2015 terdiri dari Pengadaan Barang, Jasa Konsultasi Badan Usaha, Jasa Konsultasi Perorangan, Pekerjaan Konstruksi dan Jasa lainnya. Semua kategori ini sudah tersedia dalam website LPSE di tiga lokasi penelitian. Bahkan dari penelusuran selanjutnya dapat dilihat informasi mengenai Nama Lelang, Agency, Tahap dan HPS. Nama lelang berkaitan dengan nama barang/jasa yang sedang/telah dilakukan pelelangan. Sementara yang dimaksud dengan agency adalah panitia penyelenggara lelang seperti Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai atau Kabupaten Serdang Bedagai yang masing-masing mempunyai website. Sedangkan pengertian Tahap disini adalah posisi dari proses lelang dimana dalam satu paket lelang terdiri dari beberapa tahapan serta HPS yang merupakan nilai Harga Perkiraan Sendiri yang ditetapkan oleh PPK. Selanjutnya di website LPSE di tiga lokasi penelitian juga menampilkan informasi mengenai: Pengumuman, Peserta, Harga Penawaran dan Pemenang. Informasi mengenai Pengumuman berisi hal-hal yang berkaitan dengan lelang dari mulai kode lelang, nama lelang, tahap lelang saat ini, agency, satuan kerja, kategori, metode pengadaan, metode dokumen, anggaran, nilai pagu paket, jenis kontrak, kualifikasi usaha, lokasi pekerjaan, syarat kualifikasi dan peserta lelang. Data yang disajikan disini cukup lengkap, sistematik dan mudah dimengerti. Setelah informasi mengenai Pengumuman, hasil penelusuran website LPSE menemukan informasi mengenai Peserta. Tidak semua penyedia lelang bisa lolos menjadi peserta lelang yang dapat mengajukan harga penawaran. Setidaknya untuk menjadi peserta lelang pada kategori Jasa Konsultasi Badan Usaha harus lolos dari Hasil Evaluasi yang terdiri dari: Administrasi, Teknis, Skor Teknis, Harga Penawaran dan Harga Terkoreksi. Sementara yang menjadi pemenang lelang dengan mudah dapat dilihat dalam website dengan tanda bintang berwarna kuning. Karena menjadi pemenang maka di kolom alasan tidak ada informasi yang ditemukan, tetapi terlihat di Hasil Evaluasi tanda √ di persyaratan administrasi dan teknis serta skor di kolom teknis. Skor dari harga penawaran dan harga terkoreksi juga dapat dilihat dengan mudah. Setelah informasi mengenai Pengumuman dan Peserta, hasil observasi dari website LPSE menemukan informasi mengenai Harga Penawaran. Pada website, dapat dibaca informasi dari beberapa nama penyedia barang/jasa yang memberi harga 163
penawaran terendah dari sebuah paket lelang. Namun tidak ada penjelasan atau uraian yang rinci mengapa beberapa penyedia dapat menetapkan harga penawaran sangat rendah. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa penetapan harga penawaran terendah, memberikan kesempatan besar bagi penyedia untuk masuk pada tahap berikutnya. Bahkan kesempatan untuk menjadi pemenang lelang sangat terbuka luas. Sementara informasi mengenai penyedia lainnya yang memberikan harga penawaran lebih tinggi tidak dicantumkan pada website. Ini menunjukkan dari begitu banyak nama penyedia, hanya beberapa nama saja yang masuk ke proses berikutnya. Dari pandangan panitia pengadaan dan user (SKPD), hal tersebut di atas sudah menunjukkan adanya transparansi. Transparansi tidak dapat diartikan bahwa semua yang terjadi di dalam proses pengadaan secara elektronik dapat dibuka selebar-lebarnya kepada masyarakat umum. Tidak mungkin seorang peserta lelang yang melakukan penawaran dari satu paket lelang akan menguraikan dengan rinci semua isi penawarannya dalam website LPSE. Masyarakat umum atau pesaingnya cukup mengetahui jumlah total dari harga penawarannya, tanpa harus mengetahui rinciannya. Karena kalau tidak, hal ini dapat dikategorikan melanggar peraturan mengenai persaingan usaha. Jadi menurut panitia pengadaan sistem yang baru ini sudah memberikan transparansi bukan saja bagi penyedia tetapi juga bagi masyarakat umum (Wawancara dengan A1, 21 Mei 2015; B3, 5 Juni 2015; A4, 3 Agt 2015). Sejalan dengan pandangan di atas, menurut user (SKPD)bahwa transparansi adalah bagaimana orang yang berhak bisa mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajibannya. Dengan demikian, seseorang atau masyarakat umum tidak berhak mengetahui secara detail proses lelang berlangsung, sepanjang dia atau masyarakat umum tersebut tidak menjadi penyedia atau peserta lelang. Seorang penyedia juga tidak berhak mengetahui informasi mengenai semua saingannya. Selain itu, penyedia yang gagal di tengah berjalannya proses lelang, jadi belum menjadi peserta lelang yang dapat memberikan harga penawaran, tidak berhak mengetahui mengapa peserta tersebut yang menang dan mengapa peserta yang lain gagal (Wawancara dengan B3, 5 Juni 2015; A4, 3 Agt 2015)). Dari penelusuran website LPSE di tiga lokasi penelitian, kolom alasan untuk calon pemenang dan bahkan peserta lelang ada yang diisi tetapi ada juga yang tidak diisi. Biasanya yang diisi di kolom alasan ini adalah berkaitan dengan kurang lengkapnya dokumen administrasi dan teknis peserta lelang. Alasan-alasan ini bisa karena tidak melampirkan surat pernyataan bersedia membawa barang yang ditawarkan pada saat 164
klarifikasi dan pembuktian kualifikasi, tidak melampirkan Jaminan Penawaran, tidak ada scan brosur/katalog yang dilegalisir dan lain sebagainya. Ketidakkonsistenan dalam pengisian kolom alasan ini dapat membingungkan masyarakat yang membaca dan dapat juga menimbulkan salah pengertian dari penyedia. Sementara untuk pemenang lelang, kolom alasan sama sekali tidak diisi, ini menunjukkan bahwa pemenang memang layak untuk menjadi pemenang. Transparansi data bukan hanya mencakup ketersediaan informasi tentang proses e-procurement tetapi juga harus mencakup informasi lainnya yang relevan dengan proses e-procurement seperti peraturan, kebijakan dan pedoman yang merupakan data penting yang memberikan kejelasan, dasar hukum dan pedoman dalam melakukan pelelangan barang/jasa secara elektronik. Di website LPSE Kota Medan dapat diunduh Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan Kepala LKPP No. 1 Tahun 2011 tentang Tata Cara e-Tendering dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun Perpres No 4 Tahun 2015 sebagai revisi terbaru dari perpres tentang pengadaan barang/jasa pemerintah belum ada dalam website LPSE Kota Medan di bagian Regulasi (http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/regulasi. Dikutip 24 Juli 2015. Jam 14.40 WIB.)
Sementara informasi mengenai peraturan-peraturan yang
relevan dengan e-procurement ini belum tercantum sama sekali pada situs LPSE Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai. Alasan utama mengenai tidak dicantumkannya peraturan yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik pada situs LPSE Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai adalah karena LPSE diseluruh Indonesia sudah terintegrasi sehingga publik dapat langsung mengakses situs LKPP untuk mendapatkan informasi mengenai kebijakan dan peraturan nasional yang diterbitkan oleh LKPP (Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty Sylvania, 2014). Namun sebenarnya tidak salah juga bila setiap LPSE melengkapi websitenya dengan regulasi yang berkaitan dengan pengadaan secara elektronik untuk mempermudah dan mempercepat masyarakat atau penyedia yang memerlukan informasi mengenai pengadaan secara elektronik termasuk regulasi-regulasi yang berkaitan dengan pengadaan tersebut. Jadi implementasi eprocurement selain dapat meningkatkan transparansi publik juga dapat meningkatkan transparansi antar lembaga pemerintahbaik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Berita seputar pengadaan barang/jasa juga dapat ditelusuri di website LPSE di tiga lokasi penelitian. Beberapa berita berkaitan dengan pengumuman mengenai 165
informasi pemadaman listrik, gangguan server akibat terputusnya aliran listrik, ralat RUP, pengumuman pemenang, penjelasan pekerjaaan (aanwizjing) dan sebagainya. Namun dalam website adakalanya berita mengenai informasi pemadaman listrik terlambat diumumkan dengan waktu terjadinya pemadaman. Hal-hal seperti ini dapat menimbulkan spekulasi dari para penyedia bahwa panitia penyelenggara sedang melakukan kecurangan (Wawancara dengan A2, 21 Mei 2015; A3,27 Mei 2015). Sebagaimana dikatakan Heald diawal selain transparansi data, transparansi proses juga penting dalam pelaksanaan e-procurement. Transparansi proses ditandai dengan ketersediaan informasi di setiap tahap dari proses pengadaan secara elektronik. Berdasarkan observasi website LPSE di tiga lokasi penelitian secara umum dapat dikatakan bahwa proses dari pelaksanaan e-procurement masih dalam kategori cukup transparan. Misalnya, pada informasi Tahap dapat dilihat tahapan-tahapan lelang yang bisa sampai 10 (sepuluh) ke 23 (dua puluh tiga) tahapan dari sebuah paket lelang. Semua tahapan ini dapat dilihat pada website LPSE. Selain itu ada informasi mengenai kapan dimulai dan berakhir tahapan tersebut serta histori perubahan. Kalau ada perubahan maka berapa kali perubahan tersebut yang ditulis dengan tinta berwarna merah, kalau tidak ada perubahan maka tertulis tidak ada. Selanjutnya bila ada perubahan maka ada penjelasan di kolom keterangan, mengapa terjadi perubahan, namun banyak juga ditemukan tidak ada alasan di kolom keterangan atau tidak ada informasi mengapa perubahan terjadi di kolom keterangan. Ketidakkonsistenan ini sangat mengganggu dan dapat menimbulkan spekulasi bagi siapapun yang membaca. Sementara tulisan tahapan lelang saat ini dibuat dengan warna yang lebih tebal (bold) sehingga memudahkan siapapun yang membaca sudah sampai di tahap mana suatu proses lelang berlangsung. Selain transparansi data dan proses, Heald juga membahas mengenai transparansi keputusan atau kebijakan yang menjelaskan alasan keputusan atau kebijakan tersebut dibuat atau diambil. Berdasarkan penelusuran di website LPSE, transparansi keputusan dalam pelaksanaan e-procurement masih dalam kategori cukup memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari website LPSE yang berkaitan dengan Hasil Evaluasi. Seseorang peserta lelang dengan kategori Jasa Konsultasi Badan Usahadikatakan menang bila hasil evaluasinya yakni administrasi dengan tanda √, teknik juga dengan tanda √, skor teknik tinggi dibanding peserta lelang lainnya serta harga penawaran dan harga terkoreksi paling rendah dibanding peserta lainnya. Merujuk pendapat Heald diatas keputusan peserta tersebut menjadi pemenang dapat dikatakan transparan. Karena keputusan diambil dengan rasional berdasarkan data dan proses yang transparan. Namun ketika salah satu 166
unsur dari penilaian evaluasi di atas tidak maksimal maka penentuan pemenang menjadi kurang transparan. Hal ini karena tidak didukung dengan penjelasan yang rinci sehingga menimbulkan spekulasi dari para penyedia. Spekulasi-spekulasi ini sebenarnya sudah ada pada evaluasi dokumen di tahap awal dari sebuah paket lelang. Meskipun kenyataannya pada tahap awal ini antara panitia penyelenggara dan penyedia tidak saling ketemu. Namun tetap saja menimbulkan spekulasi dari beberapa penyedia bahwa panitia penyelenggara dengan mudah menyingkirkan dokumen mereka karena alasan tidak lengkap sehingga mereka tidak masuk ke tahap berikutnya. Pertanyaan yang jamak didengar, “Siapa yang dapat menjamin bahwa panitia tidak „bermain‟ dalam proses evaluasi dokumen yang dilakukan secara off line?” (Wawancara dengan A2, 21 Mei 2015). Sementara dari pihak panitia pengadaan mengatakan bahwa tahap evaluasi dokumen memang dilakukan secara off line tetapi mereka tidak mengetahui nama-nama penyedia yang mengikuti lelang. Karena yang mereka evaluasi adalah dokumen-dokumen yang beridentitas Penyedia 1, Penyedia 2 dan seterusnya sehingga untuk melakukan kecurangan sangat kecil (Wawancara dengan A1, 21 Mei 2015). Dari sisi penyedia, proses pengadaan secara elektronik dapat dikatakan transparan bukan semata-mata data atau informasi sudah tersedia dalam website LPSE, namun yang jauh lebih penting adalah transparansi dari alasan-alasan rasional mengapa seseorang menang dalam paket lelang. Cara paling sederhana untuk mendapatkan transparansi keputusan atau kebijakan ini adalah bila panitia pengadaan adalah orangorang yang mempunyai integritas dalam melakukan pekerjaannya. Dengan demikian sistem pengadaan secara elektronik dapat dikatakan mencapai sasarannya dalam mewujudkan transparansi bila didukung oleh panitia pengadaan yang memiliki integritas. Tanpa integritas pelaksanaan e-procurement akan tetap dicurigai atau memunculkan spekulasi-spekulasi (Wawancara dengan A2, 21 Mei 2015; A3, 27 Mei 2015; C1, 28 Mei 2015). Bila dikaitkan dengan pelaksanaan lelang secara elektronik maka kata spekulasi sangat mengganggu bahkan merugikan baik bagi penyelenggara lelang, user maupun penyedia. Bagi penyelenggara lelang dan user imej yang dibangun bahwa sistem eprocurement penuh dengan spekulasi tentunya tidak menguntungkan. Karena itu tidak ada jalan lain selain menampilkan data, proses dan keputusan lelang dengan benar-benar transparan. Data yang tersedia harus lengkap, konsisten dan diperbaharui terus menerus serta tahapan lelang juga harus lengkap, jelas dan sistematik sehingga mudah dimengerti. 167
Bila kedua hal ini benar-benar sudah transparan maka kemungkinan transparansi dalam keputusan dapat terwujud sehingga pada akhirnya tidak memunculkan spekulasispekulasi dari pihak penyedia. Sementara pihak penyedia juga tidak sembunyi di balik kata spekulasi ketika gagal sebagai pemenang lelang. Penyedia harus sadar dan siap bahwa pengadaan secara elektronik berbeda dengan pengadaan secara manual. Artinya penyedia harus selalu memperbaharui informasi mengenai pengadaan barang/jasa dari website LPSE. Karena semua informasi lelang termasuk jadwal lelang dan tata cara lelang ada dalam website LPSE. Sistem pengadaan secara elektronik juga menuntut penyedia untuk tepat waktu baik dalam menggunggah dokumen maupun mengikuti proses penjelasan lelang (aanwijzing). Tidak ada istilah bahwa kapan saja bisa mengunduh dan mengunggah dokumen lelang atau kapan saja bisa meminta penjelasan (aanwijzing). Semuannya harus dilakukan sesuai dengan jadwal yang ada di website LPSE. Bila semua pihak menyadari hal ini maka tidak ada lagi yang namanya spekulasi yakni dugaan yang tidak mendasar antara penyedia dan penyelenggara. Selanjutnya penelusuran terhadap laman Berita yang berkaitan dengan aanwijzing (proses pemberian penjelasan) di website LPSE di tiga lokasi penelitian cukup sedikit. Aanwijzing merupakan satu tahapan dalam pelaksanaan e-procurement dimana penyedia mempunyai kesempatan untuk bertanya kepada Pokja ULP tentang segala sesuatu berkaitan dengan proses lelang dengan menggunakan komunikasi online melalui portal LPSE. Dalam proses pemberian penjelasan (aanwijzing) ini penyedia dan Pokja ULP tidak saling bertatap muka atau bahkan tidak saling kenal. Komunikasi online ini hanya dapat diikuti oleh penyedia dan panitia pengadaan atau yang memiliki user ID dan password, sementara masyarakat umum atau yang bukan penyedia tidak dapat terlibat dalam chatting online ini. Penjelasan pekerjaan (aanwijzing) seperti diuraikan di atas, menurut pandangan panitia pengadaan dan user sudah transparan karena penyedia dapat bertanya apa saja berkaitan dengan proses lelang termasuk penjelasan mengenai dokumen-dokumen yang dibutuhkan kepada Pokja ULP. Dengan demikian penyedia mendapatkan informasi baru dan mengetahui kekurangan dan kelebihan dari dokumennya. Meskipun demikian tidak ada sanksi bila penyedia tidak memanfaatkan proses aanwijzing ini, dalam arti penyedia tersebut tidak dapat digugurkan. Namun dari perspektif penyedia proses aanwijzing pada sistem pengadaan secara elektronik tidak transparan.Karena forum tanya jawab ini dilakukan tanpa tatap muka antara penyedia dan Pokja ULP/PPK. Sementara pada sistem manual, forum tanya jawab ini dilakukan dengan tatap muka sehingga secara spontan 168
seorang penyedia dapat merespon penyedia yang sedang bertanya kepada Pokja ULP atau merespon Pokja ULP yang sedang memberi jawaban kepada seorang penyedia. Penyedia yang satu juga dapat melihat dokumen saingannya, demikian juga sebaliknya. Suasana begini dianggap oleh penyedia lebih terbuka, karena seorang penyedia bisa langsung mengetahui kelebihan atau kekurangan dari dokumennya dan dokumen saingannya. Sementara tidak menjadi masalah bila saingannya mengetahui kelebihan atau kekurangan dokumennya. Hal-hal seperti ini yang membuat penyedia merasa sistem pengadaan secara manual bersifat terbuka dan sebaliknya sistem e-procurement justru bersifat tertutup. Tertutup bagi mereka yang tidak mempunyai user ID dan password serta tertutup bagi penyedia yang kurang akrab dengan komunikasi yang dilakukan secara online (Wawancara dengan A1, 21 Mei 2015; A2, 21 Mei 2015; B2, 1 Juni 2015; C2, 4 Juni 2015; A4, 3 Agt 2015). Transparansi pengadaan barang/jasa sebagaimana diuraikan di atas memiliki pemahaman yang berbeda-beda antara panitia penyelenggara dan user di satu sisi dan penyedia di sisi lain. Kalau menurut penyedia semua informasi dapat dilihat dan diketahui termasuk informasi mengenai pesaing seperti pada sistem yang manual. Sementara menurut panitia pengadaan ada hal-hal tertentu yang tidak bisa dibuka kepada penyedia atau penyedia yang gugur di tengah proses pengadaan secara elektronik bahkan kepada masyarakat umum. Misalnya summary lelang yang berisi tentang rincian dari evaluasi administrasi, teknis dan kualifikasi serta rincian dari harga penawaran peserta lelang hanya dapat dilihat oleh pemenang, calon pemenang lelang, Pokja ULP dan PPK. Jadi yang punya ID card atau password saja. Kalau summary lelang ini dibuka untuk publik dikhawatirkan dapat dipersepsikan berbeda-beda dan ini bisa menimbulkan kekacauan sehingga menghambat jalannya kegiatan pengadaan barang/jasa (Wawancara dengan A4, 3 Agt 2015). Namun bukan berarti masyarakat umum tidak bisa mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dalam pembelanjaan barang/jasa pemerintah ini. Karena sebenarnya untuk melihat transparansi penggunaan anggaran di instansi pemerintahan dapat juga dilihat dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). DIPAdibuat atau disusun oleh baik satuan kerja (satker) pusat dan daerah yang berlaku untuk satu tahun anggaransebagai dasar pelaksanaan kegiatan dan penggunaan anggaran yang berasal dari dana APBN/APBD. DIPA memuat satuan-satuan terukur yang memuat informasi mengenai program dan kegiatan; hasil (outcome) yang akan dicapai; keluaran (output) yang dihasilkan; pagu yang dialokasikan; rencana penarikan dana yang akan dilakukan; dan penerimaan yang diperkirakan dapat dipungut. Pagu 169
dalam DIPA merupakan batas pengeluaran tertinggi yang tidak boleh dilampaui dan pelaksanaannya harus dapat dipertanggungjawabkan sehingga melalui DIPA masyarakat bisa mengetahui secara rinci uang mereka dibelanjakan untuk apa saja, biayanya berapa dan hasil atau manfaatnya apa. Namun manfaat DIPA belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat dan di sisi lain tidak mudah juga bagi masyarakat untuk mendapatkan DIPA ini. Bahkan di lingkungan instansi pemerintah DIPA dianggap seperti dokumen rahasia yang tidak semua orang boleh mengaksesnya termasuk pegawainya. Padahal jelas dalam Surat Edaran Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) No. 1 Tahun 2011 menyatakan bahwa DIPA merupakan informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala sepanjang tidak memuat informasi yang dikecualikan berdasarkan Pasal 17 UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sementara dari perspektif komunikasi massa, kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik dapat berjalan maksimal bila pemerintah dalam hal ini LPSE memahami bahwa masyarakat atau penyedia merupakan salah satu aktor yang menentukan keberhasilan dari kegiatan pengadaan. Selain itu, penyedia atau masyarakat yang menerima informasi mempunyai tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang berbeda-beda. Oleh karena itu ketika terjadi perbedaan pemahaman dalam mengartikan makna transparansi maka LPSE harus mensosialisasikan secara terus menerus makna transparansi dalam pengadaan kepada penyedia atau masyarakat. Sementara dari sisi penerima informasi dalam hal ini penyedia, kemampuan memanfaatkan media komunikasi (media online) tidak dapat dihindarkan. Penyedia harus mengetahui karakteristik dari media komunikasi maya yang digunakan dalam kegiatan pengadaan barang/jasa. Semua informasi baik jadwal lelang, persyaratan lelang, dokumen yang dibutuhkan dan lain-lain harus dilakukan sendiri dengan membuka website LPSE. Karena itu penyedia harus secara rutin membuka dan membaca website LPSE sebagai sumber informasi kegiatan pengadaan. Selain itu semua jadwal dari tahapan lelang harus diikuti dengan disiplin karena tidak ada toleransi bila terlambat mendaftar untuk mengikuti lelang, mengunggah dokumen dan persyaratan lainnya. Sementara itu media komunikasi dalam hal ini informasi dalam website yang dikelola oleh LPSE harus terus menerus diperbaharui. Disamping itu, kejelasan informasi juga penting sehingga mudah untuk dimengerti dan tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda yang dapat menimbulkan beragam spekulasi dari penyedia.
170
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Tansparansi dimaknai berbeda-beda baik oleh panitia pengadaan dan user di satu sisi maupun penyedia di sisi lain. Menurut panitia pengadaan transparansi tidak boleh diartikan bahwa semua yang terjadi di dalam proses pengadaan harus dibuka selebarlebarnya kepada penyedia dan masyarakat umum melalui website LPSE. Pendapat yang sama disampaikan oleh user (SKPD) bahwa transparansi adalah bagaimana orang yang berhak bisa mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajibannya. Karena itu seseorang atau masyarakat yang tidak menjadi peserta lelang, tidak berhak mengetahui secara rinci bagaimana proses lelang berjalan. Sementara dari sisi penyedia, proses pengadaan secara elektronik dapat dikatakan transparan bila semua tahapan dan proses lelang diketahui oleh semua penyedia yang mengikuti lelang. Selain itu, karena di dalam sistem pengadaan secara elektronik masih ada kegiatan yang bersifat off line, maka sistem e-procurement dapat dikatakan transparan bila panitia pengadaan adalah orang yang mempunyai integritas di dalam melakukan pekerjaannya. Sementara transparansi menurut Heald dapat dikategorikan menjadi tiga yakni data, proses dan keputusan. Dari hasil penelusuran website LPSE di tiga lokasi penelitian, transparansi data sudah menunjukkan hasil yang memuaskan. Data yang dapat diakses selain mengenai tahapan lelang juga mengenai hal-hal seputar pengadaan secara elektronik seperti berita pemadaman aliran listrik, kerusakan sistem pada server bahkan beberapa regulasi yang berkaitan dengan e-procurement dapat diunggah di website LPSE. Sementara transparansi proses masih dalam kategori cukup memuaskan karena masih banyak ditemukan kekosongan data atau informasi di kolom keterangan berkaitan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah tahap lelang. Transparansi keputusan juga masih dalam kategori cukup memuaskan karena masih ditemukan data mengenai pemenang lelang yang hasil evaluasinya menunjukkan harga penawaran dan harga terkoreksi lebih tinggi dibanding peserta lainnya. Merujuk pendapat Heald di atas, sulit mengatakan bahwa keputusan ini sudah transparan, karena tidak ada alasan mengapa dengan harga penawaran dan harga terkoreksi yang lebih tinggi dari pesaingnya seseorang bisa menang. Meskipun tidak ada jaminan, seorang penyedia otomatis menjadi pemenang bila memberikan harga penawaran rendah. Transparansi sebagai sebuah prinsip, menjamin kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi. Namun ada beberapa kategori informasi yang tidak bisa dibuka kepada masyarakat umum (Pasal 17 Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang 171
Keterbukaan Informasi Publik). Hal ini agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Namun sepanjang informasi tersebut tidak menyangkut dalam kategori Pasal 17 di atas, maka tidak ada alasan bagi pemerintah (LPSE) untuk tidak menginformasikan hal mengenai pengadaan barang/jasa kepada masyarakat melalui website LPSE. Karena hal ini juga sebagai bentuk dari akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat. Selain itu pemerintah (LPSE) harus dapat menjelaskan kepada masyarakat umum terutama kepada penyedia, alasan mengapa informasi tersebut tidak dibuka kepada masyarakat atau tidak ditayangkan di website LPSE. Ini penting sehingga tidak ada lagi perbedaan pemahaman dari makna transparansi pengadaan. Mewujudkan kesamaan pemahaman ini dapat juga dilakukan melalui pelatihan yang berkaitan dengan TI berbasis komputer serta sosialisasi mengenai perubahan peraturan (perpres) tentang pengadaan barang/jasa baik kepada penyedia, panitia penyelenggara maupun user. Namun sebelum pelatihan dan sosialisasi dilakukan, penentuan peserta perlu melibatkan semua asosiasi pengusaha sebagai pemberi rekomendasi bagi penyedia serta melibatkan pimpinan sebagai pemberi rekomendasi bagi pegawai yang bertanggungjawab pada bidang pengadaan. Melalui pelatihan dan sosialisasi ini juga dapat ditumbuhkan integritas semua pihak sehingga proses pengadaan dapat berjalan dengan baik. Tidak semua tahapan pengadaan secara elektronik dapat dibuka di website LPSE, namun bukan berarti masyarakat umum tidak bisa mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dalam pembelanjaan barang/jasa pemerintah. Masyarakat dapat melihat transparansi penggunaan anggaran di instansi pemerintahan melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). DIPA bukan merupakan dokumen rahasia, karena itu semua orang dapat mengaksesnya. Sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) No. 1 Tahun 2011 bahwa DIPA merupakan informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala. Sementara
dari
perspektif komunikasi
massa, keberhasilan pengadaan
barang/jasa secara elektronik tidak lepas dari peran komunikan atau masyarakat atau penyedia yang menerima informasi. Karena itu pemerintah (LPSE) sebagai komunikator harus memahami benar karakteristik dari komunikan. Selain itu LPSE sebagai pengelola webisite pengadaan barang/jasa harus terus menerus memperbaharui serta memperjelas informasi dalam website sebagai sebuah media, sehingga mudah dimengerti dan tidak menimbulkan spekulasi bagi masyarakat atau penyedia .
172
Saran Penelitiandi Indonesia selama ini lebih banyak mendiskusikan penghematan yang didapat setelah menggunakan sistem e-procurement. Berbeda dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan ada hal lain yang juga menarik dan penting untuk didiskusikan yaitu implementasi e-procurement dilihat dari prinsip transparan yang juga merupakan salah satu cara untuk melihat akuntabilitas dari penyelenggaraan negara. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan merupakan dokumen pelaksanaan kegiatan dan penganggaran bagi satuan kerja (satker). Sementara yang menjadi pelaksanaan anggaran dalam satker adalah Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Karena itu DIPA dari suatu satker, seharusnya lebih disosialisasikan ke masyarakat umum melalui media website pemerintah kabupaten/kota sebagai bentuk transparansi dalam anggaran dan dalam arti lain bentuk transparansi dalam pengadaan barang/jasa.
173
PEDOMAN WAWANCARA “Model Implementasi Kebijakan e-Procurement dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara” 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Siapa saja yang bertanggungjawab dengan masalah pengadaan barang dan jasa secara elektronik di Dinkes/Dispen? Apa perbedaan sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik dan konvensional/manual? Apa kelebihan dan kelemahannya? Apa yang dimaksud dengan transparansi dalam sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik? Bagaimana pendapat Bpk/Ibu mengenai regulasi pengadaan barang dan jasa (yang selalu berubah)? Seberapa penting sertifikasi sebagai penyelenggara pengadaan barang dan jasa? Apakah PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) penting memiliki sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa? Apa kendala PPK dalam membuat spesifikasi teknis Barang/Jasa danHarga Perkiraan Sendiri (HPS)? Bagaimana hubungan kerja PPK dengan ULP (Pokja)? Berkaitan dengan spesifikasi teknis barang/jasa dan HPS? Apa kesulitan PA (Pengguna Anggaran)/KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) dalam pembuatan RUP (Rencana Umum Pengadaan)? Apa penyebab bila terjadi keterlambatan dalam mengumumkan RUP dan apa konsekuensinya? Mengapa terjadi pemecahan paket pengadaan barang dan dan jasa? Bagaimana proses penunjukkan langsung pemenang tender yang dilakukan oleh Dinkes/Dinpen? Apa keuntungan yang Bpk/Ibu rasakan setelah menggunakan pengadaan barang dan jasa secara elektronik? Siapa saja providers di Dinkes/Dispen?
Peneliti: Dra Februati Trimurni, M.Si Dra Asima Yannty Siahaan, M.A, Ph.D Dra Dayana, M.Si
174
PENGANTAR
Yth. Bapak/Ibu/Sdr/i di Tempat
Sebagai tenaga pengajar di FISIP-USU kami diwajibkan melakukan penelitian, yang merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi disamping pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat. Oleh karena itu, pada saat ini kami sedang melakukan penelitian dengan judul “Model Implementasi Kebijakan e-Procurement Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara”. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian tahun pertama yang telah kami lakukan pada tahun 2014. Adapun tujuan dari penelitian tahun kedua ini adalah untuk melihat seberapa besar pengaruh model kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Kami memohon kesediaan Bapak/Ibu/Sdr/i menjadi responden dalam penelitian ini dengan menjawab seluruh pertanyaan dalam angket yang telah kami sediakan. Jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr/i berikan sangat berarti bagi kami dan tentunya kami jaga kerahasiaannya, karena pada dasarnya maksud dari penelitian ini adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Atas perhatian dan kerja sama Bapak/Ibu/Sdr/i, kami mengucapakan terima kasih.
Hormat kami,
Dra Februati Trimurni, M.Si Dra Asima Yanty Siahaan, M.A, Ph.D Dra Dayana, M.Si
175
DAFTAR PERTANYAAN KUESIONER
I. Petunjuk Pengisian Kuesioner 1. Bacalah terlebih dahulu pertanyaan di bawah ini sebelum Bapak/Ibu/Sdr/i memberikan jawaban. 2. Pilihlah satu dari lima pilihan jawaban yang menurutBapak/Ibu/Sdr/i paling sesuai dengan kondisi yang sebenarnya dengan memberikan tanda silang (X) pada jawaban yang terpilih. 3. Pada beberapa pertanyaan yang membutuhkan penjelasan, Bapak/Ibu/Sdr/I diminta untuk menuliskan alasan dari jawaban yang dipilih. 4. Jawablah seluruh pertanyaan tanpa ada yang terlewatkan.
II. Identitas Responden 1. Instansi/Bagian
:
2. Kota/Kabupaten
:
3. Jabatan
:
4. Mengikuti Diklat Pengadaan Barang/Jasa: a. Belum Pernah b. Satu kali c. Dua kali
d. Tiga kali e. Lebih dari tiga kali
5. Lama bekerja di bagian yang berhubungan dengan pengadaan barang/jasa: ….. tahun 6. Jenis Kelamin
:
a. Laki-laki 7. Usia saat ini a. b.
b. Perempuan :
20 – 30 tahun 31 – 40 tahun
8. Pendidikan Terakhir a. SMU b. Diploma c. S1
c. 41 – 50 tahun d. 51 – 60 tahun : d. S2 e. S3
176
III. Pertanyaan III.1 Model Kebijakan e-Procurement(Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik) 1.
Apakah Bapak/Ibu/Sdr/i memahami secara umum (inti) dari Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan kemudian direvisi menjadi Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012? a. Sangat memahami b. Memahami c. Cukup memahami d. Kurang memahami e. Tidak memahami
2.
Apakah Bapak/Ibu/Sdr/i memahami pasal per pasal Peraturan Presiden mengenai Pengadaan Barang dan Jasa tersebut? a. Sangat memahami b. Memahami c. Cukup memahami d. Kurang memahami e. Tidak memahami
3.
Apakah dalam pelaksanaannya sering terjadi perbedaan penafsiran atau pemahaman terhadap Perpres mengenai pengadaan barang/jasa tersebut? a. Tidak pernah terjadi b. Jarang terjadi c. Cukup sering terjadi d. Sering terjadi e. Sangat sering terjadi Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/I : ………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………
4. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah ketersediaan infrastruktur, seperti ruangan khusus bagi penyedia (supplier), internet, komputer dll memegang peranan penting bagi kelancaran proses pengadaan barang/jasa pemerintah? a. Sangat berperan b. Berperan c. Cukup berperan d. Kurang berperan e. Tidak berperan Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………. …………………………………………………………………………………………. 5.
Apakah infrastruktur dan fasilitas pengadaan barang/jasa elektronik telah tersedia dan memadai di lingkungan kerja Bapak/Ibu/Sdr/i? a. Sangat memadai b. Memadai c. Cukup memadai 177
d. Kurang memadai e. Tidak memadai Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……….…………………………………………………… …………………………………..………………………………………………………. ……………………………………..……………………………………………………. 6. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah jumlah sumber daya manusia yang menangani pengadaan barang/jasa di lingkungan kerja sudah memadai? a. Sangat memadai b. Memadai c. Cukup memadai d. Kurang memadai e. Tidak memadai 7.
Apakah semua sumber daya manusia yang menangani pengadaan barang/jasa di lingkungan kerja Bapak/Ibu/Sdr/I menguasai teknologi informasi berbasis komputer? a. Semua menguasai TI b. Sebagian besar menguasai TI c. Sebagian menguasai TI d. Sebagian kecil menguasai TI e. Hanya sebagian kecil menguasai TI Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………….. ……………………………………………………………………………………………. …………………………………………………………………………………………….
8.
Dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, Unit Layanan Pengadaan (ULP) masih disatukan dengan unit lain (Bidang Administrasi Pembangunan). Apakah ini menjadi hambatan bagi pelaksana/penyelenggara pengadaan barang/jasa? a. Sangat menghambat b. Menghambat c. Cukup menghambat d. Tidak menghambat e. Sangat tidak menghambat Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………
9.
Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah ada perbedaan pelayanan apabila ULP berdiri sendiri sebagai sebuah unit dibandingkan ULP menyatu dengan unit lain? a. Sangat berbeda b. Berbeda c. Cukup berbeda d. Kurang berbeda e. Tidak berbeda Berialasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………………….. 178
10. Apakah keterlambatan SKPD dalam mengumumkan RUP (Rencana Umum Pengadaan) dalam kegiatan lelang barang/jasa akan menghambat kerja Pokja? a. Sangat menghambat b. Menghambat c. Cukup menghambat d. Tidak menghambat e. Sangat tidak menghambat Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ………..………………………………………………… ………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………… 11. Perpres No.70 Tahun 2012 pasal 112 ayat (2) menyatakan K/L/D/I wajib menayangkan RUP di website K/L/D/I masing-masing dan Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE. Seberapa penting RUP dalam pengadaan barang/jasa secara elektronik? a. Sangat penting b. Penting c. Cukup penting d. Tidak penting e. Sangat tidak penting Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………. …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 12. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, seberapa besar kesulitanSKPD mengumumkan RUP dengan tepat waktu dalam kegiatan lelang barang/jasa pemerintah? a. Sangat sulit b. Sulit c. Cukup sulit d. Tidak sulit e. Sangat tidak sulit Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………. …………………………………………………………………………………………. 13. Perpres No. 54 Tahun 2010 mewajibkan agar SDM sebagai penyelenggara pengadaan barang/jasa mendapatkan sertifikasi, karena bertanggung jawab terhadap proses pelelangan. Adakah kekhawatiran Bapak/Ibu/Sdr/I untuk memiliki sertifikasi karenabesarnya tanggungjawab sebagai penyelenggara pengadaan? a. Sama sekali tidak khawatir b. Khawatir c. Cukup khawatir d. Tidak khawatir e. Sangat tidak khawatir
179
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ….………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 14. Apakah seseorang yang memiliki sertifikasi pengadaan akan dengan mudah menjalankan pekerjaannya sebagai penyelenggara pengadaan barang/jasa atau lelang? a. Sangat setuju b. Setuju c. Kurang setuju d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………….. ……………………………………………………………………………………………. …………………………………………………………………………………………… 15. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i apakah sulit untuk mendapat sertifikasi pengadaan barang/jasa? a. Sangat sulit b. Sulit c. Cukup sulit d. Tidak sulit e. Sangat tidak sulit Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………. …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………. 16. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah jumlah keanggotaan Pokja perlu mempertimbangkan komposisi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan? a. Tidak perlu b. Kurang perlu c. Cukup perlu d. Perlu e. Sangat perlu Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i:………………………………………….............................. …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 17. Apakah pegawai laki-laki lebih sesuai atau tepat menjadi anggota Pokja pengadaan barang/jasa dibanding pegawai perempuan? a. Sangat tidak setuju b. Tidak setuju c. Kurang setuju d. Setuju e. Sangat setuju
180
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i:………………………………………….............................. …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 18. Dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, seberapa besar hambatan yang muncul ketika penyelengara pengadaan barang/jasa tidak memahami peraturan yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa? a. Sangat besar b. Besar c. Cukup besar d. Kurang besar e. Tidak besar Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………. ……………………………………………………………………………………………. ……………………………………………………………………………………………. 19. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah infrastruktur yang tidak memadai seperti tidak adanya ruang khusus bagi penyedia (supplier), sulitnya akses internet dll dapat menyulitkan penyelenggara dalam menghadapi penyedia (supplier)? a. Sangat setuju b. Setuju c. Kurang setuju d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………. …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 20. Dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, seberapa besar hambatan yang muncul ketika penyelengara pengadaan barang/jasa tidak menguasai teknologi informasi? a. Sangat besar b. Besar c. Cukup besar d. Kurang besar e. Tidak besar Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………….. ……………………………………………………………………………………………. …………………………………………………………………………………………… III. 2 Transparansi Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 1.
Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah transparansi dalam sistem pengadaan secara elektronik lebih baik dibandingkan dengan sistem pengadaan secara konvensional/manual? a. Sangat setuju b. Setuju c. Kurang setuju 181
d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………. …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………. 2.
Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah memberi kemudahan bagi penyelenggara dalam menghadapi masyarakat khususnya penyedia (supplier)? a. Sangat setuju b. Setuju c. Kurang setuju d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………….. …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………
3.
Apakah transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah memberi rasa aman bagi penyelenggara dalam menghadapi masyarakat khususnya penyedia (supplier)? a. Sangat setuju b. Setuju c. Kurang setuju d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………….……………………………. …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………
4.
Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah memberi keuntungan atau kemudahan bagi penyedia (supplier)? a. Sangat setuju b. Setuju c. Kurang setuju d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……..,…………………………………………………….. …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………..
5.
Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah pengadaan barang/jasasecara elektronik dapat mempersempit peluang terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)? a. Sangat setuju b. Setuju c. Kurang setuju d. Tidak setuju 182
e. Sangat tidak setuju Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………..……………………………… ……………………………………………………………………………………………. …………………………………………………………………………………………… 6.
Pemecahan paket pengadaan yang memiliki batas dibawah 200 juta untuk paket pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dan dibawah 50 juta untuk paket jasa konsultasi, menyebabkan SKPD menggunakan penunjukan langsung sebagai pemenang lelang. Apakah tindakan pemecahan paket oleh SKPD sudah cukup tepat dalam mencapai transparansi publik? a. Sangat tidak tepat b. Tidak tepat c. Kurang tepat d. Tepat e. Sangat tepat Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………….…………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………
7.
Apakah Bapak/Ibu/Sdr/i setuju bahwa transparansi dalam pengadaan barang/jasasangat menentukan kualitas akuntabilitas penyelenggaraan pengadaan barang/jasa? a. Sangat setuju b. Setuju c. Kurang Setuju d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………..……………………………………. …………………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………………….
8.
Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah prinsip transparansi dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa secara elektronik telah membantu pemerintah untuk menghemat anggaran? a. Sangat setuju b. Setuju c. Kurang setuju d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ………….……………………………………………… ………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………
9.
Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah regulasi atau peraturan yang jelas berkaitan dengan pengadaan barang/jasa dapat mewujudkan transparansi dalam pengadaan? a. Sangat setuju b. Setuju 183
c. Kurang setuju d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………..………………… ……………………………………………………………………………………………. …………………………………………………………………………………………… 10. Apabila infrastruktur seperti ruang khusus untuk penyedia (supplier), internet, komputer dll dalam pengadaan barang/jasa tidak memadai, maka dapat menjadi celah tidak terwujudnya transparansi dalam pengadaan? a. Sangat setuju b. Setuju c. Kurang setuju d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………….. ……………………………………………………………………………………………. …………………………………………………………………………………………..... 11. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, seberapa penting peran penyelenggara pengadaan barang/jasa dalam mewujudkan prinsip transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah? a. Sangat penting b. Penting c. Cukup penting d. Kurang penting e. Tidak penting Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………. ……………………………………………………………………………………………. ……………………………………………………………………………………………. 12. Ketika proses pengadaan barang/jasa(pelelangan) secara elektronik dilakukan, apakah penyedia (supplier) atau masyarakat sering mengeluh atau mengalami kesulitan berkaitan dengan data-data dan informasi mengenai lelang pengadaan yang kurang lengkap dan detail? a. Sangat jarang b. Jarang c. Cukup sering d. Sering e. Sangat sering 13. Ketika proses pengadaan barang/jasa (pelelangan) secara elektronik dilakukan, apakah penyedia (supplier) atau masyarakat sering mengeluh atau mengalami kesulitan berkaitan dengan data-data dan informasimengenai lelang pengadaan yang susah dimengerti? a. Sangat jarang b. Jarang c. Cukup sering 184
d. e.
Sering Sangat sering
14. Ketikaproses pengadaan barang/jasa (pelelangan) secara elektronik dilakukan, apakah penyedia (supplier) atau masyarakat sering mengeluh atau mengalami kesulitan berkaitan dengan data-data dan informasi mengenai lelang pengadaan yang susah diakses? a. Sangat jarang b. Jarang c. Cukup sering d. Sering e. Sangat sering 15. Proses pengadaan barang/jasa dilakukan melalui beberapa tahapan. Apakah seluruh tahapan tersedia dalam website pengadaan barang/jasa di lingkungan kerja Bapak/Ibu/Sdr/i? a. Seluruh tahapan tersedia b. Sebagian besar tahapan tersedia c. Sebagian kecil tahapan tersedia d. Kurang tersedia e. Sama sekali tidak tersedia Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………. ……………………………………………………………………………………………. ……………………………………………………………………………………………. 16. Proses pengadaan barang/jasa dilakukan melalui beberapa tahapan. Apakah penyedia (supplier) atau masyarakat sering mengeluh berkaitan dengan sulitnya dimengerti seluruh tahapan tersebut? a. Sangat jarang b. Jarang c. Cukup sering d. Sering e. Sangat sering 17. Proses pengadaan barang/jasa dilakukan melalui beberapa tahapan. Apakah penyedia (supplier) atau masyarakat sering mengeluh berkaitan dengan sulitnya mengakses seluruh tahapan tersebut? a. Sangat jarang b. Jarang c. Cukup sering d. Sering e. Sangat sering 18. Apakah tersedia informasi mengenai alasan mengapa seorang penyedia (supplier) menang dalam lelang pengadaan di website pengadaan barang/jasa di lingkungan kerja Bapak/Ibu/Sdr/i? a. Sangat tersedia dengan detail b. Tersedia dengan detail c. Cukup tersedia 185
d. e.
Tidak tersedia Sangat tidak tersedia
19. Apakah penyedia (supplier) atau masyarakat sering bertanya atau mengeluh berkaitan dengan kurang jelasnya informasi mengenai alasan mengapa seorang (supplier) menang dalam lelang pengadaan? a. Sangat jarang b. Jarang c. Cukup sering d. Sering e. Sangat sering 20. Apakah penyedia (supplier) atau masyarakat sering bertanya atau mengeluh berkaitan dengan sulitnya mengakses informasi mengenai alasan mengapa seorang (supplier) menang dalam lelang pengadaan? a. Sangat jarang b. Jarang c. Cukup sering d. Sering e. Sangat sering
Sekian & Terima Kasih
186
187
188
189
190
191
192
193
194
195
196
197
DOKUMENTASI EKSPOSE HASIL PENELITIAN DI BAPPEDA SERDANG BEDAGAI26 AGUSTUS 2015
198