kkkkkkkkkk
PEMERINTAH KABUPATEN SELAYAR DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
PROJECT MANAGEMENT UNIT CORAL REEF REHABILITATION AND MANGEMENT PROGRAM (COREMAP) TAHAP II KABUPATEN SELAYAR
LAPORAN AKHIR WORKSHOP GURU TENTANG MUATAN LOKAL
DIVISI KELAUTAN PUSAT KEGIATAN PENELITIAN GEDUNG PKP LT.5 UNIVERSITAS HASANUDDIN JL.P.KEMERDEKAAN KM.10. MAKASSAR
2006
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
kkkkkkkkkk
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Kegiatan
:
Workshop Guru Tentang Muatan Lokal
Pelaksana
:
Divisi Kelautan PKP Unhas
Hari/Tanggal
:
Telah diperiksa dan disetujui oleh :
Koordinator Public Awareness
Ketua Pemeriksa dan Penerima Barang
Asrul Hasan, S.Pi NIP. 580 027 448
Satu Alang, S.Pd. NIP. 050 053 871
Diketahui oleh : Ketua Project Management Unit
Ir. H. Syarifuddin Tonnek, MS. NIP. 080 072 324
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat melaksanakan Workshop Guru tentang Muatan Lokal yang berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan yang berarti, baik secara teknis pada saat pelaksanaan kegiatan hingga pembuatan laporan ini. Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian dari program Public Awareness COREMAP PHASE II Kab. Selayar, yang mana Paket Kegiatan ini merupakan kerjasama antara Divisi Kelautan PKP Unhas dengan Dinas Kelautan dan Perikanan – COREMAP Kab. Selayar. Workshop ini secara umum bertujuan untuk meningkatkan pemahaman guru-guru di Kepulauan Selayar tentang program COREMAP, pengetahuan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan, untuk kemudian ditransferkan kepada muridnya; serta untuk menjaring masukan-masukan tentang model pengajaran konservasi yang berbasis lokal. Laporan ini merupakan hasil dari pelaksanaan Paket Workshop yang telah kami lakukan selama 3 (tiga) bulan, yaitu Agustus - Oktober 2006, di Benteng Kabupaten Selayar. Ucapan terima kasih kepada :
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Selayar/Ketua PMU COREMAP II Kab. Selayar. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Selayar Bidang Public Awareness COREMAP II Kab. Selayar Guru-guru peserta Workshop se-Kab.Selayar. Narasumber dan Panitia pelatihan Semua pihak yang telah turut membantu mensukseskan kegiatan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi peningkatan pengetahuan dan pemahaman guru tentang terumbu karang sebagai salah satu media untuk mengkampanyekan pengelolaan terumbu karang yang lestari dan berkelanjutan. Makassar ,
Oktober 2006
Divisi Kelautan PKP Unhas
Dr. Ir. M. Iqbal Djawad, M.Sc Ketua
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
DAFTAR ISI
Halaman Judul ....................................................................................... Halaman Pengesahan ............................................................................ Kata Pengantar....................................................................................... Daftar isi ............................................................................................... Daftar Lampiran ..................................................................................... I.
II.
III.
IV.
V.
i ii iii iv v
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ........................................................................ 1.2. Tujuan dan Sasaran Kegiatan ................................................. 1.3. Keluaran/Output ...................................................................... 1.4. Dampak/Outcome .................................................................... 1.5. Ruang Lingkup Pembahasan ..................................................
1 2 2 2 3
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berkelanjutan ................. 2.2. Ekosistem Pesisir dan Laut ..................................................... 2.3. Pemberdayaan Masyarakat .....................................................
4 6 11
METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Kegiatan. .................................................... 3.2. Teknik / Metode Kerja .............................................................. 3.3. Teknik / Metode Analisa ..........................................................
13 13 14
PELAKSANAAN KEGIATAN WORKSHOP 4.1. Pembukaan ............................................................................ 4.2. Penyampaian Materi ................................................................ 4.3. Penutupan ...............................................................................
15 15 18
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan . ........................................................................... 5.2. Saran ......................................................................................
19 19
DAFTAR PUSTAKA. ......................................................................
20
LAMPIRAN
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
DAFTAR LAMPIRAN
1. Jadwal Kegiatan 2. Daftar Hadir Panitia, dan Narasumber 3. Daftar Hadir Peserta 4. Dokumentasi (Foto – Foto Kegiatan) 5. Materi-Materi Pelatihan 6. Biodata Peserta Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Kekayaan sumberdaya alam di wilayah pesisir, antara lain adalah keberadaan berbagai ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, pantai berbatu, daerah upwelling berikut sumberdaya hayati, nonhayati, dan plasma nutfah yang terkandung di dalamnya. . Pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan (sustainable) berkaitan erat dengan pemahaman masyarakat tentang pentingnya keseimbangan nilai ekologis, sosial maupun ekonomis dari sumberdaya pesisir. Selama ini, kebanyakan masyarakat menilai sumberdaya pesisir seperti: perikanan, terumbu karang, hutan mangrove dan sebagainya hanya untuk pemanfaatan konsumsi langsung. Masih sedikit dari masyarakat pesisir yang memahami pemanfataan sumberdaya alam untuk kepentingan
non-konsumptif
seperti
penahan
banjir,
estetika,
pemanfaatan untuk obat-obatan dan sebagainya. Untuk mengatasi kurangnya pemahaman mengenai kemultifungsian sumberdaya pesisir (dan pulau-pulau kecil), dibutuhkan transfer informasi kepada masyarakat. Salah satu usaha yang perlu dilakukan adalah melalui lembaga pendidikan formal. Hal ini didasari pemahaman bahwa kemajuan pembangunan suatu wilayah sangat ditentukan oleh kemampuan sumberdaya manusia yang terampil dan berpendidikan, dimana peranan guru menentukan. Guru akan mentransfer pengetahuan yang berkaitan dengan wawasan lingkungan di daerahnya.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Lokakarya
guru
merupakan
salah
satu
upaya
pembekalan
pengetahuan lokal sebagai basis pengembangan pengetahuan tentang pelestarian alam terutama lingkungan kelautan dalam menunjang kegiatan Proyek COREMAP II.
Tujuan dan Sasaran Kegiatan
Tujuan Kegiatan Lokakarya ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman guru-guru
di
Kepulauan
Selayar
tentang
program
COREMAP,
pengetahuan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan, untuk kemudian ditransferkan kepada muridnya; serta untuk menjaring masukan-masukan tentang model pengajaran konservasi yang berbasis lokal.
Sasaran Sasaran kegiatan adalah peningkatan kesadaran pelajar akan arti penting ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, terutama terumbu karang bagi kehidupan masyarakat.
1.3.
Output/Luaran
1. Tersedianya
bahan
acuan
(referensi)
bagi
pembuatan
dan
pengembangan modul kurikulum lokal tentang pengelolaan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil 2. Modul metode pengajaran konservasi yang berbasis lokal
1.4.
Outcome/Manfaat
1. Persamaan persepsi guru-guru terhadap program COREMAP di Kabupaten Selayar.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
2. Guru-guru lebih memahami dasar pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dari awal. 3. Guru-guru memiliki acuan untuk membuat modul kurikulum lokal tentang pentingnya pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan 4. Murid atau siswa lebih memahami dasar pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan sejak muda, sehingga kelak dapat menjadi pelopor pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.
1.5.
Ruang Lingkup Pembahasan
Melaksanakan lokakarya bagi guru-guru sekolah tingkat dasar hingga menengah atas dari beberapa pulau terpilih di Kepulauan Selayar.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berkelanjutan Pembangunan sumberdaya kelautan pada saat ini menjadi andalan bagi bangsa Indonesia untuk melakukan pemulihan ekonomi akibat krisis multi-dimensi yang masih terus mendera kehidupan berkebangsaan kita. Pada saat ini, basis perekonomian Indonesia masih dalam tahap factorsdriven
economy,
yaitu
kegiatan
ekonomi
yang
didasarkan
pada
pemanfaatan sumberdaya alam. Padahal ketersediaan sumberdaya alam, khususnya yang berada di daratan semakin menipis, sehingga satusatunya alternatif yang tersedia untuk memelihara keberlangsungan pembangunan, sebelum beralih ke tahap innovation-driven economy, adalah pemanfaatan sumberdaya di pesisir dan lautan. Menyandarkan harapan pembangunan pada sumberdaya pesisir dan lautan bukan tidak beralasan. Ketika negara ini dilanda krisis ekonomi yang sangat dahsyat, sebagian wilayah masih bertahan kokoh, bahkan dapat memanfaatkan kondisi ini dengan cara peningkatan volume ekspor dari sumberdaya kelautan. Krisis ekonomi beserta segenap dampaknya, baik terhadap sistem sosial, politik dan keamanan maupun sistem pengelolaan lingkungan alam (ekosistem), sepantasnyalah menyadarkan bangsa Indonesia untuk senantiasa memperkokoh fundamental sistem perekonomian dan memperbaiki rezim pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan agar terwujud pembangunan ekonomi secara berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan memiliki karakteristik spesifik yang sarat dengan nuansa ekologis dan teknologi. Aspek ekologis merupakan salah satu dimensi utama pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan disebabkan karena pola pengelolaan tersebut sangat mempengaruhi keberlanjutan ketersediaan sumberdaya alam,
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
khususnya yang bersifat dapat pulih (renewable resources). Dimensi teknologi tidak dapat dinafikan karena pengelolaan dan pemanfaatan pesisir dan lautan berbasis pada pemanfaatan teknologi yang pada umumnya relatif tinggi. Hal ini menyebabkan akses masyarakat, khususnya kelompok nelayan miskin dan komunitas marginal lokal, terhadap pemanfaatan sumberdaya ini menjadi sangat terbatas. “Pembangunan
berkelanjutan
adalah
pembangunan
yang
mempertemukan kebutuhan dan aspirasi generasi sekarang tanpa mengabaikan
kemampuan
kebutuhan dan tujuannya”.
generasi
mendatang
dalam
memenuhi
Dari konteks ekologis, pembangunann
berkelanjutan berarti kemampuan ekosistem (lokal, nasional dan atau global) dalam mempertahankan kehidupan yang berkelanjutan dan melakukan perlindungan terhadap spesies di dalamnya. Dalam konteks ekonomi, pembangunan berkelanjutan mempunyai dampak multi effek, atau output pembangunan harus lebih besar dari input pembangunan; sedangkan dalam konteks sosial berarti jaminan berpartisipasinya semua unit ekonomi. Menurut Romanos (1995) pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang sering disalahartikan.
Yang jelas konsep ini merupakan
konsep yang berasosiasi dengan variabel lingkungan dan hal-hal yang berhubungan dengannya; sehingga dapat diartikan sebagai kemampuan dari
ekosistem
mempertahankan
global,
nasional,
kehidupan
yang
ataupun
ekosistem
berkelanjutan
serta
lokal
dalam
melakukan
perlindungan terhadap spesies didalamnya. Dengan demikian, konsep ini dapat diartikan sebagai konsep ekonomi dan konsep sosial. Dalam konsep ekonomi, sistem ekonomi yang efisien diharapkan berdampak multi-efek lebih dari satu; dengan kata lain, sistem ini harus menghasilkan lebih banyak output dibanding input yang disediakan. Bila diaplikasikan pada sistem sosial, seperti pada masyarakat atau sebuah bangsa, maka berarti sebagai sistem yang dapat menghasilkan lebih banyak
sumberdaya
Divisi Kelautan Unhas
dibandingkan
dengan
penggunaannya,
jika
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
masyarakat/bangsa tersebut ingin bertahan hidup, memiliki tabungan untuk menghadapi krisis, memiliki kemampuan membiayai kehidupannya dan kebutuhan mendatangnya. Dengan demikian, sustainability adalah kemampuan
sebuah
sistem
dalam
mempertahankan
ataupun
meningkatkan keberadaan sumberdayanya. Dalam konsep sosial, keberlanjutan ekonomi bukan sekedar pendekatan untuk membangun daya tahan sistem; tetapi juga merupakan jaminan berpartisipasinya
semua unit ekonomi, seperti produsen dan
konsumen barang dan jasa, dan fasilitator kegiatan ekonomi. Jika partisipasi
tersebut
tidak
berjalan,
maka
akan
menumbuhkan
kemarahan/kesenjangan sosial yang merupakan prakondisi konflik sosial dan anarki politik. Pembangunan berkelanjutan memiliki banyak arti dan definisi, tergantung pada bidang keahlian, fokus, tujuan utama penelitian. Secara umum,
dapat
berkelanjutan
didefinisikan adalah
sebagai
pembangunan
berikut: yang
“Pembangunan mempertemukan
kebutuhan dan aspirasi generasi sekarang tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan dan tujuannya”. Setiap kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang wilayah perairan
harus memperhatikan kesesuaian antara kebutuhan kegiatan
dimaksud dengan daya dukung kawasan sehingga dapat dicapai optimasi pemanfaatan ruang antara kepentingan masa kini dengan kepentingan masa depan, serta sekaligus menghindari konflik antar berbagai kepentingan dalam hal pemanfaatan ruang wilayah perairan.
Ekosistem Pesisir dan Laut 2.2.1 Terumbu Karang dan Biota Asosiasi
Terumbu karang merupakan ekosistem yang kompleks dengan keanekaragaman hayati tinggi ditemukan di perairan dangkal daerah
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
tropis (English et.al., 1997).
Walaupun memiliki kompleksitas dan
keanekaragaman hayati yang tinggi, namun ekosistem ini tidak stabil, karena sensitif terhadap gangguan yang timbul, baik secara alami maupun akibat aktifitas manusia. Terumbu karang selalu hidup bersama-sama dengan hewan lain. Rangka karang itu sendiri memberikan tempat perlindungan berbagai macam spesies hewan, termasuk jenis penggali lubang dari golongan moluska, cacing polychaeta, dan kepiting.
Terumbu karang juga
merupakan tempat hidup yang sangat baik bagi ikan hias, selain itu dapat melindungi pantai dari hempasan ombak sehingga bisa mengurangi proses abrasi (Hutabarat dan Evans, 1986). Komunitas ikan merupakan salah satu sumberdaya hayati utama dalam ekosistem terumbu karang karena didapatkan dalam jumlah teribuanyak dan menyolok (Montgomery, 1990). Karena jumlahnya yang besar dan mengisi seluruh daerah di terumbu, maka terlihat dengan jelas bahwa mereka merupakan penyokong hubungan yang ada di dalam ekosistem terumbu. Salah satu sebab tingginya keragaman spesies di terumbu karang adalah variasi habitat terumbu yang terdiri dari karang, daerah berpasir, teluk dan celah, daerah alga, dan juga perairan yang dangkal dan dalam serta zona-zona yang beribueda yang melintas karang (Nybakken, 1988).
Selain itu, ikan karang mempunyai komposisi jenis
yang beragam dan beribueda pada patch reef yang beribueda (Sale, 1991). Secara komersial, ikan-ikan karang memegang peranan penting dalam sektor perikanan dan pariwisata (Allen dan Steene, 1996; English et al., 1997). Kelompok ikan terumbu karang terdiri dari jenis ikan yang hidup menetap di karang atau yang minimal menggunakan wilayah terumbu karang sebagai habitatnya. Kadang-kadang ditemui juga jenis ikan yang hanya berada di terumbu karang pada sebagian siklus hidupnya, misalnya saat juvenil, dan pada saat dewasa beruaya ke luar terumbu. Beberapa
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
jenis ikan karang keluar dari ekosistemnya ke biotope lain, seperti ke daerah lamun (Sorokin, 1993). Sekitar 30 sampai 100 spesies dari beberapa famili ikan karang yang banyak mendominasi.
Diantaranya adalah Chaetodontidae (ikan
kepe-kepe), Pomacentridae (ikan betok laut), Acanthuridae (ikan pakol), Scaridae (ikan kakatua), Apogonidae (ikan serinding), Gobiidae (ikan gobi) dan Serranidae (ikan kerapu).
Umumnya ikan-ikan karang ini mudah
ditandai dari warna, corak dan struktur badannya yang berbeda, sehingga memudahkan dalam pengamatan jenis dan tingkah laku ikan-ikan karang. Dalam pengelompokannya, ikan-ikan karang ini dibedakan menurut maksud tujuan pengamatan yang dilakukan (Husain dan Arniati, 1996). Berdasarkan karakteristik taksonomi, ikan karang dikelompokkan atas sub-ordo
Labridae
(terdiri
dari
famili
Labridae,
Scaridae
dan
Pomacentridae), sub-ordo Acanthuridae (famili Acanthuridae, Siganidae dan Zanclidae), dan sub-ordo Chaetodontidae (famili Chaetodontidae dan Pomachantidae) (Hutomo, 1993). Dilihat dari pemanfaatannya, ikan karang dikelompokkan ke dalam ikan hias (famili Pomacentridae, Labridae,
Chaetodontidae,
Pomacanthidae,
Zanclidae,
Balistidae,
Scorpaenidae) (Kvalvagnaes, 1980); dan ikan pangan atau konsumsi (famili Caesionidae, Serranidae, Siganidae, Haemulidae, Lutjanidae, Lethariinidae,
Labridae,
Scaridae,
Holocentridae,
Priacanthidae)
(McWilliams dan Hatcher, 1983). Sementara itu untuk tujuan pembakuan data, Adrim (1993) membagi ikan-ikan karang ke dalam 3 kelompok utama, yaitu: Ikan-ikan target, yaitu ikan ekonomis penting dan biasa ditangkap untuk konsumsi. Biasanya mereka menjadikan terumbu karang sebagai tempat pemijahan dan sarang/daerah asuhan. Ikan-ikan target ini diwakili oleh famili Serranidae (ikan kerapu), Lutjanidae (ikan kakap), Lethariinidae (ikan lencam), Nemipteridae (ikan kurisi), Caesionidae (ikan ekor kuning), Siganidae (ikan baronang), Haemulidae (ikan bibir) dan Acanthuridae (ikan pakol);
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Ikan-ikan indikator, yaitu jenis ikan karang yang khas mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator kesuburan ekosistem daerah tersebut. Ikan-ikan indikator diwakili oleh famili Chaetodontidae (ikan kepe-kepe), Pomachantidae (ikan angel), Zanclidae (ikan bendera), dan beberapa spesies dari famili Acanthuridae, Scorpaenidae (ikan lepu), Balistidae (ikan pakol tato) dan Scaridae (ikan kakatua); Ikan-ikan major, merupakan jenis ikan berukuran kecil, umumnya 5–25 cm, dengan karakteristik pewarnaan yang beragam sehingga dikenal sebagai ikan hias.
Kelompok ini umumnya ditemukan melimpah, baik
dalam jumlah individu maupun jenisnya, serta cenderung bersifat teritorial. Ikan-ikan ini sepanjang hidupnya berada di terumbu karang, diwakili oleh famili Pomacentridae (ikan betok laut), Apogonidae (ikan serinding), Labridae (ikan sapu-sapu), dan Blenniidae (ikan peniru). Hampir seluruh ikan yang hidup di terumbu karang mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap ekosistem karang, baik dalam hal perlindungan maupun makanan. Oleh karenanya jumlah individu, jumlah spesies dan komposisi jenisnya dipengaruhi oleh kondisi setempat. Telah banyak penelitian yang membuktikan adanya korelasi positif antara kompleksitas topografi terumbu karang dengan distribusi dan kelimpahan ikan-ikannya (Sutton, 1983). Oleh karena itu pengamatan ikan karang ini senantiasa dilakukan bersamaan dengan pendataan life form terumbu karang. Dalam pengamatan ikan karang, ada tiga kategori kedalaman perairan yang terutama ditolerir oleh ikan karang, yaitu: daerah dangkal (0-4 m), daerah tengah (5-19 m) dan daerah dalam (>20 m).
Jarak
kedalaman dari zona ini dapat bergantung pada tingkat perlindungan dan kondisi laut.
Pada daerah dangkal yang banyak dipengaruhi oleh
gelombang, daerah perlindungan yang baik terdapat pada teluk atau laguna, yaitu dengan cara turun ke kedalaman yang lebih dalam. Sebaliknya pada daerah terluar, struktur karang yang teribuuka oleh pengaruh gelombang di permukaan kadang-kadang disarankan di bawah Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
kedalaman 10 m. Daerah tengah merupakan tempat di mana ikan dan karang hidup melimpah.
Pada daerah ini pengaruh gelombang laut
minimal, meskipun arus kadang-kadang kuat, sementara sinar matahari optimal bagi pertumbuhan dan pembentukan terumbu karang (Allen, 1997). Perairan dalam di luar slope karang digambarkan sebagai tempat dimana tingkat cahaya mulai berkurang, sebab itu sedikit ditemukan karang dan ikan. Meskipun dalam jumlah spesies sangat kurang, namun beberapa spesies tertentu akan datang ke daerah ini (Allen, 1997). Keanekaragaman spesies ikan-ikan terumbu karang mirip dengan karang. Daerah Indo-Pasifik bagian tengah yaitu Kepulauan Filipina dan Indonesia, mempunyai jumlah spesies yang jumlahnya besar dan jumlah ini semakin berkurang pada semua arah yang menjauhi pusat ini (Nybakken, 1988).
2.2.2 Padang Lamun
Padang lamun ditemukan hidup pada perairan dangkal, perairan pantai bersubstrat lunak dan terlindung pada daerah estuaria. Padang lamun memiliki peranan penting dalam ekosistem pantai, selain berfungsi sebagai tempat berlindungnya larva ikan dan biota laut lainnya, juga sebagai daerah mencari makanan ikan dan udang (den Hartog, 1970; Stevenson, 1988). Padang lamun juga berperan dalam melindungi pantai dari abrasi, karena daun dan batang tumbuhan ini dapat meredam ombak dan memperlambat aliran arus (Scoffin, 1970; Fonseca et al., 1982). Lamun terdiri dari 12 genera yang berasal dari 2 famili, yaitu famili Hydrocharitacea, 3 genera, dan famili Potamogetonacea, terdiri atas 9 genera dan 60 spesies.
Dari kedua belas genera tersebut, 7 genera
menghuni perairan tropis, yaitu: Enhalus, Halophila dan Thallassia dari famili Hydrocharitaceae; serta Cymodocea, Halodule, Syringodium, dan Thalassodendron dari famili Potamogetonaceae (den Hartog, 1970).
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
2.2.3 Ekosistem Mangrove
Tumbuhan mangrove adalah satu-satunya jenis tanaman tingkat tinggi yang sangat berhasil mendiami daerah intertidal yang merupakan pertemuan antara daratan dan lautan. Hutan mangrove secara spesifik mendominasi daerah pesisir di sepanjang pantai tropis sampai sub-tropis (Clough, 1982). Ekosistem mangrove memiliki fungsi signifikan baik dilihat dari aspek atau nilai ekologi, lingkungan, maupun sosial ekonomi, seperti mempertahankan kualitas air di kawasan pantai, melindungi pantai dengan mengurangi dampak dari badai, gelombang, dan banjir, berfungsi sebagai daerah pemijahan dan tempat makan berbagai jenis ikan (komersial dan lokal), merupakan tempat makan beribuagai hewan-hewan laut baik yang bersifat bentik maupun pelagis serta beribuagai jenis burung, dan dapat berfungsi sebagai sumber bahan atau produksi kayu (English et al., 1997).
Pemberdayaan Masyarakat
Defenisi Menurut Merriam Webster dan Oxford English Dictionary, Empower” atau Pemberdayaan Masyarakat adalah bahwa kata Empower mangandung 2 pengertian, pertama To give Power atau Authority to atau memberi kekuasaan atau mendelegasikan otoritas kepada pihak lain dan kedua, To give ability to atau to enable to yaitu usaha untuk memberi kemampuan. Pemberdayaan
Masyarakat
adalah
suatu
proses
dimana
masyarakat khususnya mereka yang kurang memiliki akses kepada sumberdaya
pembangunan
didorong
untuk
makin
mandiri
dalam
mengembangkan perikehidupan mereka. Dalam proses ini, masyarakat dibantu untuk mengkaji kebutuhan, masalah dan peluang pembangunan
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
dan perikehidupan mereka sendiri. Selain itu mereka juga menemukenali solusi yang tepat dan mengakses sumber daya yang diperlukan, baik sumber daya eksternal maupun sumber daya milik masyarakat itu sendiri. Pada prinsipnya, masyarakat mengkaji tantangan utama pembangunan mereka dan mengajukan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mengatasi masalah tersebut. Kegiatan ini kemudian menjadi basis program daerah, regional dan bahkan program nasional. Pemaparan di atas mengimplikasikan bahwa program Pemberdayaan Masyarakat ditentukan oleh masyarakat, dimana lembaga pendukung hanya memiliki peran sebagai fasilitator. Hal ini akan mengurangi ketergantungan pada sumber daya eksternal atau yang tidak berkelanjutan. Kelompok sasaran utama pendekatan ini adalah kelompok-kelompok marjinal dalam masyarakat, termasuk wanita. Namun demikian, ini tidak berarti menafikkan partisipasi pihak-pihak lain dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat (DFID, 2001).
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
BAB III
METODOLOGI
3.1. Waktu dan Lokasi Kegiatan
Keseluruhan rangkaian kegiatan dimulai pada bulan Agustus – Oktober 2006. Rangkaian kegiatan yang dibagi kedalam dua tahapan sebagai berikut: 1. Persiapan, meliputi kegiatan : 1.1.
penyusunan rencana kegiatan dan perekrutan panitia lokal untuk kontak person.
1.2.
Pembuatan agenda/jadwal kegiatan, yang dikomunikasikan dengan pihak pemberi kerja
1.3.
Persiapan pmateri dan pembuatan materi detail.
2. Pelaksanaan, meliputi pelaksanaan Workshop Guru tentang Muatan Lokal di Kabupaten Selayar yang dilakukan di Gedung Sanggar Keterampilan PKK Jl. Jend. Sudirman No. 17 Benteng, Kabupaten Selayar, tanggal 29 – 30 September 2006.
3.2. Teknik/Metode Kerja
Peserta lokakarya merupakan perwakilan dari pulau-pulau yang memiliki sekolah dasar hingga sekolah menengah. Jumlah peserta sebanyak Empat puluh orang, dengan rincian seperti pada Tabel 1.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Tabel 1. Peserta Workshop (daftar nama pada Lampiran 3). No.
Asal Sekolah
Jumlah
1.
Taman Kanak-kanak
2 orang
2.
Sekolah Dasar
20 Orang
3.
Sekolah Menengah Pertama
8 Orang
4.
Sekolah Menengah Atas
10 Orang
Kegiatan pelatihan ini diselenggarakan dalam bentuk : 1. Pemaparan dari pemateri dengan menggunakan media agar mudah dimengerti oleh peserta pelatihan 2. Diskusi dan tanya jawab dari peserta pelatihan
3.3 Teknik/Metode Analisa
Lokakarya
dilakukan
dengan
pendekatan
studium
generale
(ceramah umum), diskusi dan Focus Group Discussion (FGD). Studium generale dilakukan untuk materi: a) Sosialisasi program COREMAP, b) Karakteristik wilayah pesisir dan pulau, dengan fokus utama ekosistem terumbu karang, c) Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau yang berkelanjutan, dan d) Pentingnya konservasi ekosistem terumbu karang. Diskusi dilakukan untuk pendalaman materi studium generale untuk pengembangan kurikulum lokal. Modul pengajaran muatan lokal ditiadakan karena informasi dari Publik Awarness Jakarta melalui Bapak Ir. Miftahul Huda, M.Si, bahwa modul tersebut sudah dibuat oleh pihak LIPI dan akan didistribusikan di Selayar. Dengan demikian FGD dilakukan dengan fokus pemberian informasi detail tentang kondisi Selayar yang berkaitan dengan bahan pengembangan modul.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
BAB IV
PELAKSANAAN KEGIATAN WORKSHOP
Jadual pelaksanaan dapat dilihat pada lampiran 1.
Secara
deskriptif pelaksanaan kegiatan dibahas sebagai berikut:
Pembukaan
Workshop guru tentang muatan lokal dibuka oleh Drs. Patta Tonra mewakili Kepala Dinas yang berhalangan hadir. Dalam sambutannya disebutkan bahwa kegiatan workshop ini sangat penting peranannya untuk menyebarluaskan informasi mengenai pentingnya pengelolaan terumbu karang. Informasi dan pengetahuan tersebut akan lebih efektif jika diberikan sejak usia dini melalui pembelajaran pendidikan formal. Selain dari Dinas Kelautan dan Perikanan, hadir pula Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Selayar. Dalam laporan pelaksana,
Divisi Kelautan PKP Unhas yang diwakili oleh Dewi
Yanuarita, M.Sc, menyampaikan tujuan pelaksanaan workshop ini. Peserta yang hadir dalam pembukaan sebanyak 37 orang dari 40 orang yang diundang. Namun demikian, pada sesi selanjutnya peserta bertambah 3 orang sehingga jumlah seluruh peserta 40 orang. Pemateri yang hadir adalah : Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc, Ir. Dewi Yanuarita, M.Si, Syafyuddin Yusuf, M.Si, Ir. Aidah A.A. Husain, M.Sc, Dodi Priosambodo, S.Si dan Ir. Miftahul Huda, M.Si. Selain itu, hadir pula tenaga ahli dan panitia pelaksana.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Penyampaian Materi
Selama dua hari pelaksanaan workshop, peserta menunjukkan partisipasi yang sangat baik. Dalam setiap sesi, peserta hadir 100% dan tepat waktu. Sehingga dengan demikian maka dapat dilaporkan bahwa pelaksanaan workshop berjalan sesuai dengan rencana (Daftar hadir dapat dilihat pada lampiran 3). Perubahan hanya terjadi dari segi pemateri pada hari kedua, yaitu dari Public Awarness Selayar diganti dari Public Awarness Jakarta. Namun demikian, tujuan dan materi yang diberikan tidak berubah secara prinsip. Materi
“Program
COREMAP
dan
Keberlanjutannya”
disampaikan oleh Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc secara interaktif. Untuk memancing dan menghidupkan suasana, hal pertama yang disampaikan adalah “Kenapa Kita Perlu COREMAP?. Jawaban dari masing-masing peserta beragam tetapi pada intinya adalah mereka mengetahui bahwa begitu banyak hal yang menyebabkan kerusakan terumbu karang. Namun demikian, salah seorang peserta mengatakan bahwa mereka sebenarnya tidak pernah tahu apa itu COREMAP, sehingga sangat sulit baginya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dari hasil pemaparan dari pemateri dan diskusi dengan peserta workshop terungkap beberapa hal berikut ini : 1. Dari 40 orang peserta yang hadir, hampir 90% tidak mengetahui COREMAP 2. Terumbu
karang
di
Selayar
adalah
yang
tertinggi
keanekaragamannya sehingga menjadi salah satu perhatian dunia untuk menyelamatkannya 3. Menurut
pemateri, COREMAP adalah suatu alat atau
katalisator untuk menyelamatkan terumbu karang sehingga tanggung jawab untuk menyelamatkan terumbu karang di Selayar bukan tugas COREMAP tetapi tugas kita semua.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
4. Untuk mengurangi atau menghilangkan bom dan bius, maka pemateri mengajak kepada para peserta untuk mengubah cara pandang mereka terhadap pengguna bom dan bius sebagai
alat
bantu
penangkapan.
Menurut
pemateri,
pengguna bom dan bius adalah bentuk kejahatan sehingga tidak semestinya dikasihani. 5. Terumbu buatan bukan merupakan solusi yang tepat untuk mengganti terumbu karang. Materi “Ekosistem Terumbu Karang “ disampaikan oleh Syafiuddin Yusuf, ST, M.Si, dalam dua sesi. Pada dasarnya, sesi ini mengenalkan ekosistem terumbu karang kepada para peserta workshop. Beberapa poin yang diberi penekanan adalah : 1. Karang batu vs baru karang vs karang lunak 2. karang adalah hewan atau tumbuhan? 3. cara pengembangbiakan karang 4. tipe terumbu karang Untuk
menjelaskan
hal-hal
tersebut,
maka
pemateri
menunjukkan gambar-gambar sehingga mudah dimengerti oleh peserta. Selain itu juga dijelaskan dengan menggunakan contohcontoh yang sederhana. Materi “Biota Assosiasi Terumbu karang” disampaikan oleh Ir. Aidah A.A. Husain,M.Sc. Pada sesi ini, pemateri menjelaskan berbagai macam biota yang hidup di daerah terumbu karang. Selain jenis, hubungan secara ekologi antar organisme juga dijelaskan. Inti materi yang dijelaskan adalah : 1. Jenis-jenis biota yang hidup 2. Ciri-ciri dan interaksi antara biota tersebut Materi selanjutnya adalah ”Estuari dan Pulau-Pulau Kecil” yang disampaikan oleh Ir. Aidah A.A.Husain, M.Sc. Kemudian
materi
”Padang Lamun dan Mangrove” yang disampaikan Oleh Dodi Priosambodo, S.Si. Kedua materi tersebut intinya menjelaskan
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
karakteristik ekosistem dan fungsi ekosistem baik secara ekonomi maupun secara ekologis. Pada sesi selanjutnya, Ir. Dewi Yanuarita, M.Sc memaparkan dua materi yaitu ”Pengelolaan Pesisir secara terpadu dan Konservasi ekosistem biota. Hal yang ditekankan adalah pentingnya melakukan pengelolaan ekosistem secara bersama dan tepadu. Selain itu, pada sesi konservasi, peserta kembali diingatkan materi konservasi yang telah dibicarakan oleh pemateri sebelumnya saat pembahasan ekosistem. Penyampaian materi ini disertai dengan contoh-contoh kasus yang ada di kabupaten Selayar. Sesi terakhir diisi oleh Miftahul Huda, M.Si dari Publik Awarness Pusat yang menjelaskan ”Komponen Penyadaran Masyarakat dan Penyuluhan COREMAP II. Pada setiap sesi, antusiasme peserta untuk mengetahui lebih mendalam materi yang disampaikan terlihat dari aktifnya para peserta dalam memberikan pertanyaan kepada materi. Selain itu, terjadi pula proses pertukaran informasi dimana para pemateri lebih banyak mengetahui kondisi lingkungan dan masyarakat dari informasi para peserta (Foto-foto kegiatan dapat dilihat pada Lampiran 4). Bahan materi dapat dilihat pada Lampiran 5, dan dicetak secara tersendiri untuk diserahkan ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Selayar.
Penutupan
Acara penutupan dilakukan pada hari Sabtu 30 September 2006. Acara ini ditutup oleh Ir. Dewi Yanuarita, M,Si dengan memberikan ucapan terima kasih kepada peserta. Seluruh peserta, pemateri dan panitia diberikan sertifikat sebagai tanda telah mengikuti kegiatan workshop. Setelah acara penutupan, dilanjutkan dengan berbuka puasa bersama.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Workshop guru tentang muatan lokal yang dilaksanakan diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam peningkatan pengetahuan guru-guru di Kepulauan Selayar tentang program COREMAP, pengetahuan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, pengelolaan
wilayah
pesisir
dan
pulau-pulau
kecil
yang
berkelanjutan. Selain itu juga untuk menjaring masukan-masukan tentang model pengajaran konservasi yang berbasis lokal. Dilihat dari antusiasme guru-guru saat mengikuti workshop dapat diketahui bahwa mereka betul-betul ingin mendalami materi yang diberikan dan menginginkan ada pendampingan dalam pembuatan modul muatan lokal. Setelah mengikuti workshop ini diharapkan guru-guru dapat mentransferkan pengetahuan kepada siswanya. Sehingga siswa dapat lebih memahami dasar pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan sejak muda, sehingga kelak dapat menjadi pelopor
pengelolaan
pesisir
dan
pulau-pulau
kecil
secara
berkelanjutan.
5.2. Saran
Kegiatan dilaksanakan
workshop secara
guru
berkala
seperti guna
ini
agar
dapat
peningkatkan
terus
kapasitas
sumberdaya guru di Kabupaten Selayar dan kesinambungan program pelestarian terumbu karang.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G. R., 1997. Marine Fishes of Southeast Asia. Kaleidoscope Print and Prepress. Periplus Edition, Perth, Western Australia. Bengen, D. G. 2003. Pedoman Teknis: Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL-IPB, Bogor. Clough, B.F., 1982. Mangrove Ecosystem in Australia. Australian National University Press. Canberra. Dahuri, M., J. Rais, S. P. Ginting & M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita, Jakarta, Indonesia. den Hartog, C., 1970. The Seagrass of The World. Amsterdam: NorthHolland Publ. Co. English, S.C.; Wilkinson and Baker, V., 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Asean. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources. p. 68-80. Husain, A. A. A. & Arniati, 1996. Studi dan Evaluasi Tingkat Keanekaragaman Jenis Ikan Terumbu Karang di Perairan Pulau Samalona, Kecamatan Mariso, Ujung Pandang. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. 52 hal. Hutabarat, S. dan Stewart, M.E., 1986. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Hutomo, M., 1993. Pengantar Studi Ekologi Komunitas Ikan Karang dan Metode Pengkajiannya. Puslitbang Oseanologi. LIPI. Jakarta. p. 35. McWilliams, D. & A. T. Hatcher, 1983. Structure of Fish Communities on Outer Slopes of Inshore, Mid-self and Outer Shelf reefs of the Great Barrier Reef. Mar. Ecol. Prog. Ser. 10: 23.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Montgomery, W. L., 1990. Zoogeography, Behaviour and Ecology of Coral-reef Fishes. In: Ecosystems of the World 25: Coral Reefs (ed. Z. Dubinsky). Elsevier, Amsterdam – Tokyo. Pp. 329 – 364. Nybakken, J. W., 1988. Marine Biology, an Ecological Approach. Harper and Row Publishers, New York. 514 pages. Sale, P. F., 1991. Reef fish communities: Open Non-equilibrial Systems. In: The Ecology of Fishes on Coral Reefs. Academic Press Inc., San Diego-Toronto. Pp. 564 – 598.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
LAMPIRAN 1 JADUAL PELAKSANAAN WORKSHOP GURU TENTANG MUATAN LOKAL
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Jadual Pelaksanaan Workshop Guru Tentang Muatan Lokal di Kabupaten Selayar Hari/Tanggal
Jumat/29.09.06
Sabtu/30.09.06
Jam 08.30 – 09.00 09.00 – 10.30
10.30 – 11.30 11.30 – 12.30 12.30 – 13.30 13.30 – 14.30 14.30 – 15.30 15.30 – 16.00 16.00 – 17.00
Jenis Kegiatan Registrasi Pembukaan a. Sambutan Ketua Panitia b. Sambutan Kepala Dinas Pendidikan Nasional Selayar “Peranan Kurikulum Muatan Lokal dalam Kurikulum Pendidikan Nasional” (konsep, prinsip dan implementasi) c. Sambutan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Selayar sekaligus membuka acara Kontrak Lokakarya Program COREMAP dan Keberlanjutannya REHAT Lanjutan Program COREMAP dan Keberlanjutannya Ekosistem Terumbu Karang REHAT lanjutan Ekosistem Terumbu Karang
08.30 – 09.30 09.30 – 10.30 10.30 – 12.30 12.30 – 13.00 13.00 – 14.00 14.00 – 15.00 15.00 – 15.30 15.30 – 17.30
Biota Asosiasi Terumbu Karang Estuaria dan pulau – pulau kecil Padang Lamun dan Mangrove REHAT Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu Konservasi ekosistem dan biota Rehat Komponen : Penyadaran Masyarakat dan penyuluhan COREMAP
Divisi Kelautan Unhas
Pemateri
P.J Panitia
Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Kadis Kelautan Perikanan Panitia Jamaluddin Jompa Jamaluddin Jompa Syafyuddin Yusuf Syafyuddin Yusuf Aidah A.A. Husain Aidah A.A. Husain Dody Priosambodo Dewi Yanuarita Dewi Yanuarita Publik Awareness Pusat
dan
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
LAMPIRAN 2 DAFTAR HADIR PANITIA DAN NARASUMBER
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
LAMPIRAN 3 DAFTAR HADIR PESERTA
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
LAMPIRAN 4 DOKUMENTASI (FOTO – FOTO KEGIATAN)
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Foto-foto kegiatan Workshop Guru Tentang muatan Lokal
Registrasi peserta workshop guru tentang muatan lokal
Pembukaan workshop oleh Bapak Drs. Patta Tonra
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Pembacaan Doa
Penyematan secara simbolis tanda peserta workshop
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Peserta workshop muatan guru tentang muatan lokal
Seorang fasilitator sedang memberikan arahan kepada peserta
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Penyampaian materi oleh Ibu Ir. Dewi Yanuarita, M.Si
Peserta workshop sedang menyimak materi
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Penyampaian materi oleh Bapak Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc
Peserta workshop sedang menyimak pemaparan materi
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Salah seorang peserta sedang bertanya
Penyampaian materi oleh Bapak Syafiuddin Yusuf, ST. M.Si
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Salah seorang peserta sedang bertanya
Penyampaian materi oleh Bapak Dodi Priosambodo, S.Si
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Penyampaian materi oleh Bapak Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc
Penyampaian materi oleh Bapak Ir. Miftahul Huda, M.Si
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
LAMPIRAN 5 MATERI-MATERI PELATIHAN
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
PROGRAM COREMAP DAN KEBERLANJUTANNYA
OLEH :
Dr. Ir. JAMALUDDIN JOMPA, M.SC
Disampaikan pada : WORKSHOP GURU TENTANG MUATAN LOKAL Benteng Selayar, 29 – 30 September 2006
CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM (COREMAP) II KABUPATEN SELAYAR KERJASAMA DENGAN
DIVISI KELAUTAN PUSAT KEGIATAN PENELITIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2006
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
PROGRAM REHABILITASI DAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG (Coral Reef Rehabilitation and Management Program - COREMAP) 1.1. Deskripsi Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang atau Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) merupakan program yang diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia dan beberapa lembaga donor (AusAid, GEF dan World Bank, maupun ADB). Program ini bertujuan merehabilitasi kondisi terumbu karang Indonesia, sekaligus menyusun format pengelolaan ekosistem terumbu karang nasional yang implementatif dan berkelanjutan. Strategi yang ditempuh oleh program meliputi: (1) desentralisasi kewenangan; (2) peningkatan kesadaran masyarakat; (3) pengembangan kelembagaan; (4) pemberdayaan masyarakat dalam sistem pengelolaan; (5) pengembangan peluang ekonomi masyarakat; (6) pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan; dan (7) dukungan ilmiah. Program ini berdurasi 15 (lima belas) tahun yang terbagi dalam 3 (tiga) tahapan utama, yaitu Tahap I: Inisiasi (1998-2003), Tahap II: Akselerasi (2003-2008), dan Tahap III: Institusionalisasi (2008-2014). Dalam Tahap I, program ini menititikberatkan pada pengembangan kerangka dasar sistem pengelolaan terumbu karang di lokasi prioritas, dengan komponen-komponen sebagai berikut: (1) Pengelolaan Program; (2) Kebijakan dan Strategi dan Kerangka Hukum; (3) Komunikasi Masyarakat; (4) Pengelolaan Berbasis Masyarakat; (5) Pemantauan, Pengendalian, dan Penegakan Hukum; (6) Pusat Informasi dan Pelatihan Terumbu Karang; dan (7) Pengembangan Kelembagaan. Program ini ditargetkan melibatkan berbagai pihak yang terkait secara aktif, baik dari unsur pemerintah, nonpemerintah, maupun masyarakat. Saat ini, implementasi tahap Inisiasi COREMAP telah hampir selesai dilaksanakan di beberapa lokasi, yaitu Kabupaten Biak NumforPapua, Selayar-Sulawesi Selatan, Kepulauan Riau-Riau, Sikka-Nusa Tenggara Timur, dan pada tingkat nasional.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Program Tahap II (Akselerasi) yang bertujuan untuk memperluas sistem pengelolaan terumbu karang akan mulai digulirkan di lebih banyak lokasi di berbagai provinsi Indonesia, yaitu Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Dari segi kelembagaan, terdapat perubahan peran institusi pelaksana, yaitu dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) ke Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Adapun Tahap III (Pelembagaan), bertujuan untuk mencapai sistem pengelolaan
terumbu
karang
di
lokasi
prioritas,
telah
operasional,
terdesentralisasi sepenuhnya pada Pemerintah Daerah, dan telah melembaga.
1.2. Tujuan Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) memiliki dua tujuan utama, yaitu untuk: •
Memperkuat kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan terumbu karang di tingkat nasional, daerah, dan lokal;
•
Merehabilitasi, melindungi, dan mengelola ekosistem karang, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat yang melestarikan terumbu karang.
1. 3. Pencapaian Hasil Perkomponen Kegiatan Tahap I. Dalam Tahap I (Inisiasi) COREMAP melaksanakan 7 (tujuh) komponen program dengan hasil-hasil sebagai berikut: 1.3.1. Pengelolaan Program Di tingkat nasional, LIPI berperan sebagai instansi pelaksana (executing agency). Pengelolaan program berada di bawah tanggung jawab Kantor Pengelola Program yang dipimpin oleh seorang direktur dan dibantu oleh sekretaris, asisten direktur 1-4, dan pimpro. Pengelola program mendapat arahan dan dukungan teknis dari Komite Pengarah dan Komite Teknis.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Di tingkat daerah, pengelolaan program dilakukan oleh Kelompok Kerja (Pokja) Provinsi untuk Provinsi Sulawesi Selatan, Riau, Papua, dan Nusa Tenggara Timur, dan Kelompok Kerja (Pokja) Kabupaten untuk Kabupaten Selayar, Kepulauan Riau, Biak Numfor, dan Sikka. Kelompok Kerja Provinsi dan Kabupaten meliputi wakil-wakil dari instansi pemerintah terkait, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat sendiri. Pencapaian
penting
di
bawah
komponen
ini
adalah
telah
dirampungkannya Naskah Kebijakan dan Strategi Nasional Terumbu Karang untuk Indonesia. 1.3.2. Kebijakan, Strategi dan Kerangka Hukum Penyusunan Naskah Kebijakan Nasional Terumbu Karang secara partisipatif telah dirampungkan. Naskah Kebijakan Nasional ini telah diserahkan kepada DKP dan instansi terkait pada tanggal 22 Februari 2002 sebagai bahan penyusunan academic draft (Naskah Akademik) guna penyusunan suatu produk hukum nasional yang mengikat. Beberapa kegiatan lain juga telah dilakukan, termasuk legal review, legal draft legislasi dan regulasi, judicial seminar dan training, serta advokasi Rancangan Perda (Ranperda). Sejumlah 19 draft legislasi dan regulasi diserahkan kepada DKP pada tanggal 18 Oktober 2000. 1.3.3. Komunikasi Masyarakat Salah satu komponen COREMAP yang paling berhasil adalah komunikasi masyarakat tentang terumbu karang. Tujuan utama dari komponen ini adalah: (1) Meningkatkan
kesadaran
masyarakat
tentang
sumberdaya
laut/terumbu karang; (2) Meningkatkan pengetahuan dan peran aktif masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang; dan (3) Mengupayakan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholders), termasuk pemerintah, parlemen, pemuka masyarakat, LSM, perguruan tinggi, dan dunia usaha. Kegiatan-kegiatan dalam komponen ini yang telah dilakukan dengan baik di antaranya adalah:
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
• Kampanye nasional yang diluncurkan oleh Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 21 Februari 2000;
• Peluncuran logo "SeKarang!" dan Maskot "Uka & Iki"; • Kampanye pada tingkat lokal di Kabupaten Kepulauan Riau, Selayar, BiakNumfor, dan Sikka;
• Television spot "Anak Laut"; • Radio spot "Selamatkan Terumbu Karang," dengan berbagai versi lokal; • Seri feature TV, talkshow TV; • Billboard campaign; • Pameran portabel di berbagai even; • Partisipasi para seniman, alim ulama, guru, tokoh adat, pemuka masyarakat; • Buku, brosur, poster, CD, VCD, T-Shirts ; • Pemberitaan di berbagai media cetak dan elektronik; • Lomba gambar dan permainan interaktif bagi anak sekolah; • Pelatihan bagi para guru; • Anugerah Terumbu Karang; • Forum Mata Buka (Masyarakat Pecinta Terumbu Karang); • Permainan interaktif "Aku dan Terumbu Karangku" ; • "Clean-up the World". Hasil survei tentang kampanye selamatkan terumbu karang di lima kota besar Indonesia (Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, dan Semarang) yang dilakukan oleh AC Nielsen menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat mengenai terumbu karang meningkat sangat signifikan dalam kurun waktu Februari 2000 sampai dengan Agustus 2001. Hasil survei dampak komunikasi di lokasi COREMAP yang dilakukan oleh TN Sofres - John Hopkins University menunjukkan: (1) 63% dari masyarakat umum dan 71 % dari masyarakat desa sadar tentang
ka mpanye Sekarang.1; (2) 32% dari masyarakat umum dan 71 % dari masyarakat desa sadar akan adanya program COREMAP;
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
(3) Makin tinggi kontak (exposure) seseorang terhadap kegiatan komunikasi, makin
tinggi
dampak
pada
pengetahuan,
sikap,
motivasi,
dan
keterlibatan dalam program; (4) Dampak komunikasi lebih besar pada masyarakat umum dibandingkan de-
ngan masyarakat desa (akibat perbedaan akses terhadap media massa); (5) Semua lokasi mengalami dampak positif dari kampanye komunikasi, tetapidampak keseluruhannya paling besar terjadi di Riau (akibat akses media yang lebih besar dan dukungan LSM yang konsisten), sedangkan dampak paling kecil terjadi di Papua. Selain hal-hal disebut di atas, kampanye SeKarang! meraih Anugerah Kalam Emas (Gold Quill Award) dari IABC (International Association of Business Communicators). 1.3.4. Pengelolaan Berbasis Masyarakat Tujuan
yang
ingin
diraih
oleh
komponen
ini
adalah
(a)
memberdayakan masyarakat pesisir untuk mengelola sumberdaya terumbu karang dengan teknologi sederhana, teruji, ramah lingkungan dan murah, serta
mengembangkan
mata
pencaharian
alternatif;
serta
(b)
mengembangkan dan menguatkan kelembagaan desa. Berbagai kegiatan telah selesai dilakukan di 7 (tujuh) desa. Sebuah Panduan Pengelolaan Berbasis Masyarakat telah diselesaikan, yang mencakup 4 (empat) aspek, yaitu: (1) Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK); (2) Mata Pencaharian Alternatif; (3) Pembangunan Prasarana Dasar; dan (4) Peningkatan Kapasitas Masyarakat.
• Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) telah dibuat untuk lokasilokasi yang dipilih. RPTK meliputi: (a) penataan areal (zonasi); (b) identifikasi dan integrasi hak-hak masyarakat dalam RPTK; (c) penetapan peraturan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang; (d) penetapan sistem pemecahan konflik; (e) penetapan program konservasi dan rehabilitasi terumbu karang; dan (f) penetapan sistem pengawasan terumbu karang.
• Pengembangan mata pencaharian alternatif, meliputi: (a) jenis usaha; (b) kelayakan usaha; (c) pelatihan; dan (d) kelembagaan, pengelolaan dana. Mekanisme seed funds yang dapat digunakan dalam bentuk dana bergulir
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
untuk mendukung kegiatan ekonomi yang bersifat produktif telah dikembangkan, misalnya pengelolaan kios, budaya rumput laut, karamba apung, dan sebagainya.
• Pembangunan prasarana dasar didanai dengan village grants yang dapat digunakan untuk berbagai hal seperti: (a) memberikan apresisasi berikut dukungan terhadap partisipasi masyarakat; (b) mendukung kegiatan yang ramah lingkungan; (c) membangun fasilitas umum seperti instalasi listrik pedesaan, penyediaan air bersih, MCK, Pusat Informasi Terumbu Karang, dan lain-lain.
• Dalam rangka peningkatan kapasitas masyarakat, telah diselenggarakan serangkaian pelatihan, penelitian, dan monitoring terumbu karang. Selain itu, telah dikembangkan pula sistem informasi terumbu karang. 1.3.5. Pemantauan, Pengendalian, dan Penegakan Hukum Agar pengelolaan sumberdaya terumbu karang dapat dilakukan dengan baik, diperlukan dukungan sistem pemantauan, pengendalian, dan penegakan hukum yang operasional. COREMAP telah melakukan upaya untuk
mengembangkan
sistem
pemantauan,
pengendalian,
dan
penegakan hukum, yang telah dilengkapi dengan sistem informasinya. Beberapa kegiatan utama dalam komponen ini adalah sebagai berikut:
• Pembentukan unit-unit pemantauan, pengendalian, dan penegakan huku m;
• Pengadaan sarana; • Pelatihan petugas pelaksana; • Penerapan sanksi hukum negara dan hukum adat; • Patroli rutin pemantauan, pengendalian, dan penegakan hukum bersama aparat terkait;
• Jaga karang; • Pengembangan sistem informasi untuk mendukung operasi pemantauan, pengendalian, dan penegakan hukum;
• Pelatihan sistem informasi untuk mendukung operasi pemantauan, pengendalian, dan penegakan hukum;
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
• Pengembangan dan penerapan sistem pelaporan untuk menunjang pengelolaan. 1.3.6. Pusat Informasi dan Pelatihan Terumbu Karang Terdapat sejumlah kegiatan utama dalam komponen ini, yakni: (1) riset dan monitoring; (2) database; (3) geographic information system (GIS); (4) situs web; (5) dokumentasi; dan (6) pelatihan.
• Kegiatan riset dan monitoring mencakup beberapa subkegiatan, di antaranya adalah: (a) penelitian dan monitoring terhadap ekologi terumbu karang; (b) pengumpulan data sosio-ekonomi tentang terumbu karang; dan (c) penentuan agenda riset daerah.
• Kegiatan pembuatan data dasar (database) meliputi: (a) pengembangan sistem informasi terumbu karang; (b) pemantauan dan evaluasi manfaat proyek/kegiatan (kesehatan terumbu, sosio-ekonomi, fish landing, pemantauan perikanan berbasis masyarakat atau creel survey; dan (c) pengelolaan meta data.
• Kegiatan pembuatan Geographic Information System (GIS) meliputi: (a) pembuatan peta dasar terumbu karang seluruh Indonesia; dan (b) pembuatan atlas sumberdaya terumbu karang.
• Untuk menyajikan berbagai informasi mengenai COREMAP, telah dibuat situs web dengan alamat www.coremap.or.id.
• Kegiatan dokumentasi meliputi: (a) dokumentasi segala kegiatan; (b) pemrosesan dokumen, termasuk data entry, katalog, klasifikasi; dan (c) r e t r i e v a l system.
• Sedangkan kegiatan pelatihan mencakup pengembangan jaringan CRITC (Coral Reef Information and Training Center), baik di tingkat pusat maupun daerah. 1.3.7. Pengembangan Kelembagaan Salah satu indikator keberhasilan proyek atau program pembangunan adalah pelembagaan hasil yang dikembangkan oleh proyek atau program
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
tersebut. Sejak awal COREMAP mencermati aspek kelembagaan ini. Berbagai kegiatan dilakukan untuk memastikan agar apa yang telah dikembangkan COREMAP dilembagakan oleh para pemangku kepentingan, di antaranya adalah:
• Mengembangkan komunikasi dengan lembaga-lembaga terkait: lembagalembaga pemerintah, perguruan tinggi, lembaga adat, LSM;
• Membentuk Kelompok Kerja (Pokja) di tingkat provinsi dan kabupaten, fasilitator lapangan, motivator desa, pengamat rerumbu karang, dan kelompok masyarakat;
• Mengembangkan berbagai jenis pelatihan sesuai kebutuhan: manajemen, pelatihan praktis, hingga pendidikan bergelar S2 di dalam dan luar negeri;
• Pelatihan AusAid periode 2000-Juni 2003.
Jenis pelatihan: 244, jumlah
trainees: 10.206, jumlah pelatih: 677, beasiswa S2/S3 : 7
1.4. COREMAP di Kabupaten Selayar Kab. Selayar telah dimasukkan sebagai daerah COREMAP sejak tahap I. Pada tahap ke II ini, desa yang dimasukkan ke dalam program ini diperbanyak seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Desa Coremap di Kab. Selayar NO I. 1. 2. II. 3. 4. 5. III. 6. 7. IV. 8 9 V. 10 11 VI. 12
LOKASI PROGRAM KECAMATAN PASILAMBENA Desa Karumpa dan Desa Garaupa Desa Lembangmatese dan Desa Kalaotoa dan Desa Pulo Madu KECAMATAN PASIMASUNGGU Desa Bontosaile dan Desa Masungke Desa Kembangragi dan Desa Tanamalala Desa Labuang Pamaji dan Desa Maminasa KECAMATAN PASIMASUNGGU TIMUR Desa Lembangbaji dan Desa Bontomaling Desa Bonto Bulaeng dan Desa Bonto Baru KECAMATAN PASIMARANNU Desa Komba-Komba dan Desa Lambego dan Desa Majapahit Desa Bontobingkung dan Desa Bonea dan Desa Bonerate KECAMATAN TAKA BONERATE 1 Desa Tambuna Desa Nyiur Indah, Desa Batang dan Desa Kayuadi KECAMATAN TAKA BONERATE 2 Desa Jinato dan Desa Rajuni
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
13 VII. 14 15 16 17 18 VIII 19 20 21
Desa Latondu dan Tarupa KEC.BONTOHARU DAN BONTOSIKUYU Desa Bontolebang Desa Patikarya dan Desa Laiyolo Baru Desa Laiyolo dan Desa Appatanah Desa Polassi Desa Tambolongan KEC.BONTO MANAI DAN BONTO MATENE Desa Parak dan Desa Barugaiya Desa Bontolempangan, Desa Buki, Maharayya Desa Bungaiyya dan Desa Menara Indah
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
DAFTAR PUSTAKA Badan Perencanaan Pembangunan Nasional – BAPPENAS. 2004. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta. Balai Taman Nasional Taka Bonerate. 2004. Keanekaragaman Hayati, (online), http://www.takabonerate.go.id/potensi_biotik.htm. (diakses 05 September 2006). Beatly, et.al. 2002. An Instruduction to Coastal Zone Management. dalam Bengen, D. G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL - IPB. Bogor. Beller, et.al. 1990. Suiastainable Development and Enviromental Management of Small Island. dalam : Bengen, D. G. 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiositem. P4L. Bogor. Bengen, D. G. 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiositem. PKSPL - IPB. Bogor Charles, A. 2000. Suistainable Fisheries System. dalam : Bengen, D. G. 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiositem. P4L. Bogor. Edyanto, 1998. Dasar – dasar Pertimbangan di Dalam Pengelolaan Lahan Pulau Kecil. dalam : Bengen, D. G. 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiositem. P4L. Bogor Jompa, J. 2005. Ekosistem Terumbu Karang . Makalah disajikan pada Pelatihan ICZM di Gorontalo. Bappedalda Gorontalo. Gorontalo 16 Agustus 2005. Yanuarita, D. 2005. Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau – pulau dan Pengembangan Wisata Bahari. Makalah disajikan pada Pelatihan ICZM di Gorontalo. Bappedalda Gorontalo. Gorontalo 16 Agustus 2005.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
EKOSISTEM TERUMBU KARANG
OLEH :
SYAFYUDDIN YUSUF, ST, M.Si
Disampaikan pada : WORKSHOP GURU TENTANG MUATAN LOKAL Benteng Selayar, 29 – 30 September 2006
CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM (COREMAP) II KABUPATEN SELAYAR KERJASAMA DENGAN
DIVISI KELAUTAN PUSAT KEGIATAN PENELITIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2006
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Ekosistem Terumbu Karang Deskripsi Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas terdapat di seluruh perairan Indonesia. Komponen biota terpenting di suatu terumbu karang adalah hewan karang batu (stony coral), hewan yang tergolong Scleractinia yang kerangkanya terbuat dari bahan kapur, alga berkapur dan organismeorganisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut.
Di dalam
ekosistem terumbu karang dapat hidup lebih dari 400 jenis karang, lebih dari 200 jenis ikan dan berpuluh-puluh jenis moluska, crustacea, sponge, algae, lamun dan biota laut lainnya (Moosa, et al., 1996, Walter, 1994 dalam Suharsono, 1998). Hewan karang batu, umumnya merupakan koloni yang terdiri dari banyak jenis individu berupa polip yang bentuk dasarnya seperti mangkok dengan tepian berumbai-umbai (tentakel). Pada umumnya ukurannya sangat kecil (beberapa mm), tetapi ada pula yang besar hingga beberapa puluh sentimeter seperti pada jenis Fungia. Tiap polip tumbuh dan mengendapkan kapur yang membentuk kerangka. Polip
ini
akan
memperbanyak
diri
dengan
cara
pembelahan
berulangkali (secara vegetatif) hingga satu koloni karang bisa terdiri dari ratusan ribu polip. Selain itu, terdapat pula perbanyakan secara pembuahan antara sel kelamin jantan dengan sel telur (secara generatif) yang kemudian menghasilkan larva yang disebut planula. Planula ini dikeluarkan dari polip dan hanyut terbawa oleh arus hingga suatu saat ia akan mengendap dan melekat pada substrat yang keras di dasar laut, untuk kemudian . memulai kehidupannya di lokasi yang baru dengan membentuk koloni yang baru. Setelah mengalami metamorfose, planula juga tumbuh secara vegatatif menjadi koloni dengan kerangka yang mempunyai bentuk yang khas tergantung jenisnya. Di dalam jaringan polip karang hidup berjuta-juta tumbuhan mikroskopis yang dikenal sebagai zooxanthella. Keduanya mempunyai hubungan simbiosis
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
mutualistik
atau
saling
menguntungkan.
Zooxanthella
melalui
proses
fotosintesa akan membantu memberikan suplai makanan dan oksigen bagi polip, selain itu pula membantu proses pembentukan kerangka karang. Sebaliknya polip karang menghasilkan sisa metabolisme berupa karbon dioksida, fosfat dan nitrogen yang digunakan oleh zooxanthella dalam pertumbuhannya. Selain zooxanthella, pada koloni karang juga ditemukan alga filamen. Untuk dapat membentuk terumbu, diperlukan persyaratan hidup tertentu. Terpenting diantaranya adalah faktor cahaya, suhu, salinitas, kejernihan air, arus dan substrat. Berdasarkan proses pembentukannya, terumbu karang dibagi dalam tiga jenis, yaitu (1) terumbu karang cincin (atol), (2) terumbu karang penghalang (barrier reefs), dan (3) terumbu karang tepi (fringing reefs). Terumbu karang tepi merupakan jenis terumbu karang yang paling banyak ditemukan di kawasan pesisir Indonesia.
Gambar 3. Contoh Ekosistem Terumbu Karang
Habitat Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem daerah tropis yang memiliki keunikan dan keindahan khas sehingga pemanfaatannya perlu dilakukan secara lestari.
Divisi Kelautan Unhas
Ekosistem terumbu karang ini umumnya terdapat
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
pada perairan yang relatif dangkal dan jernih serta suhunya hangat (lebih dari 220 C) dan memiliki kadar karbonat yang tinggi. Binatang karang hidup dengan baik pada perairan tropis dan sub tropis serta jernih karena cahaya matahari harus dapat menembus hingga dasar perairan. Sinar matahari diperlukan untuk proses fotosintesis; sedangkan kadar kapur yang tinggi diperlukan untuk membentuk kerangka hewan penyusun karang dan biota lainnya.
Jenis – jenis Jenis Porites dan Acropora adalah jenis karang yang ditemukan tumbuh dominan di luar tepian terumbu; sedangkan jenis Montipora dan Acropora ditemukan dominan di reef crest dan reef slope pada daerah yang terlindung. Kondisi karang di daerah laguna, umumnya, sama dengan kondisi karang yang ada di bagian luar, namun dengan koloni yang lebih besar dan mudah pecah, sedangkan reef flat biasa ditumbuhi padang lamun dan alga yang didominasi oleh Thallasia sp. (Salm et al., 1982 dalam EMDI Project, 1993). Penelitian yang dilaksanakan oleh LIPI (1985), mendapatkan bahwa terdapat 16 famili karang dan 231 spesies organisme penyusun terumbu karang.pada kawasan Taka bonerate. Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh tim penyusun RPTN Taka Bonerate (RTN,1997), menyimpukan bahwa spesies karang yang paling dominan adalah dari famili Acroporidae, Fungiidae dan Dendrophylladae. Sebagai tambahan, survei yang dilakukan oleh Tim Zonasi PSTKUNHAS (2001) pada tahun 2001, mencatat 49 genera karang, yang terdiri dari 46 genera karang dari 13 famili Scleractinia dan 3 genera karang dari 3 famili non-Scleractinia. Genera yang mendominasi adalah: Seriatopora , Acropora, Montipora , Fungia dan Porites.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Gambar 4. Contoh Genera Acropora
Gambar 5. Contoh Genera Seriaptopora
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Gambar 6. Contoh Genera Fungia
Gambar 7. Contoh Genera Montipora
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Gambar 8. Contoh Genera Porites
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
BIOTA ASSOSIASI TERUMBU KARANG
OLEH :
Ir. AIDAH A.A. HUSAIN, M.Sc
Disampaikan pada : WORKSHOP GURU TENTANG MUATAN LOKAL Benteng Selayar, 29 – 30 September 2006
CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM (COREMAP) II KABUPATEN SELAYAR KERJASAMA DENGAN
DIVISI KELAUTAN PUSAT KEGIATAN PENELITIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2006
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
BIOTA ASOSIASI TERUMBU KARANG Ikan karang Komunitas ikan merupakan salah satu komponen utama dalam ekosistem terumbu karang karena didapatkan dalam jumlah terbanyak dan menyolok (Montgomery, 1990). Karena jumlahnya yang besar dan mengisi seluruh daerah di terumbu, maka terlihat dengan jelas bahwa mereka merupakan penyokong hubungan yang ada di dalam ekosistem terumbu. Salah satu sebab tingginya keragaman spesies di terumbu karang adalah variasi habitat terumbu yang terdiri dari karang, daerah berpasir, teluk dan celah, daerah alga, dan juga perairan yang dangkal dan dalam serta zona-zona yang berbeda yang melintas karang (Nybakken, 1988). Selain itu, ikan karang mempunyai komposisi jenis yang beragam dan berbeda pada patch reef yang berbeda (Sale, 1991). Secara komersial, ikan-ikan karang memegang peranan penting dalam sektor perikanan dan pariwisata (Allen dan Steene, 1996; English et al., 1997). Kelompok ikan terumbu karang terdiri dari: a) jenis ikan yang hidup menetap di karang atau, b) yang minimal menggunakan wilayah terumbu karang sebagai habitatnya; namun demikian kadang-kadang ditemui juga c) jenis ikan yang hanya berada di terumbu karang pada sebagian siklus hidupnya, misalnya saat juvenil, dan pada saat dewasa beruaya ke luar terumbu. Beberapa jenis ikan karang diketahui pergi keluar dari ekosistemnya ke biotope lain, seperti ke daerah lamun (Sorokin, 1993). Sekitar 30 sampai 100 spesies dari beberapa famili ikan karang yang banyak mendominasi. Diantaranya adalah Chaetodontidae (ikan kepe-kepe), Pomacentridae (ikan betok laut), Acanthuridae (ikan pakol), Scaridae (ikan kakatua), Apogonidae (ikan serinding), Gobiidae (ikan gobi) dan Serranidae (ikan kerapu). Umumnya ikan-ikan karang ini mudah ditandai dari warna, corak dan struktur badannya yang berbeda, sehingga memudahkan dalam pengamatan jenis dan tingkah laku ikan-ikan karang. Dalam pengelompokannya, ikan-ikan karang ini dibedakan menurut maksud tujuan pengamatan yang dilakukan (Husain dan Arniati, 1996). Berdasarkan karakteristik taksonomi, ikan karang dikelompokkan atas sub-ordo Labridae (terdiri dari famili Labridae, Scaridae dan Pomacentridae), sub-ordo
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Acanthuridae (famili Acanthuridae, Siganidae dan Zanclidae), dan sub-ordo Chaetodontidae (famili Chaetodontidae dan Pomachantidae) (Hutomo, 1993). Dilihat dari pemanfaatannya, ikan karang dikelompokkan ke dalam ikan hias (famili Pomacentridae, Labridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Zanclidae, Balistidae, Scorpaenidae) (Kvalvagnaes, 1980); dan ikan pangan atau konsumsi (famili Caesionidae, Serranidae, Siganidae, Haemulidae, Lutjanidae, Lethariinidae, Labridae, Scaridae, Holocentridae, Priacanthidae) (McWilliams dan Hatcher, 1983). Sementara itu untuk tujuan pembakuan data, Adrim (1993) membagi ikan-ikan karang ke dalam 3 kelompok utama, yaitu: Ikan-ikan target, yaitu ikan ekonomis penting dan biasa ditangkap untuk konsumsi.
Biasanya mereka menjadikan terumbu karang sebagai
tempat pemijahan dan sarang/daerah asuhan. Ikan-ikan target ini diwakili oleh famili Serranidae (ikan kerapu), Lutjanidae (ikan kakap), Lethariinidae (ikan lencam), Nemipteridae (ikan kurisi), Caesionidae (ikan ekor kuning), Siganidae (ikan baronang), Haemulidae (ikan bibir) dan Acanthuridae (ikan pakol); Ikan-ikan indikator, yaitu jenis ikan karang yang khas mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator kesuburan ekosistem daerah tersebut. Ikan-ikan indikator diwakili oleh famili Chaetodontidae (ikan kepekepe), Pomachantidae (ikan angel), Zanclidae (ikan bendera), dan beberapa spesies dari famili Acanthuridae, Scorpaenidae (ikan lepu), Balistidae (ikan pakol tato) dan Scaridae (ikan kakatua); Ikan-ikan major, merupakan jenis ikan berukuran kecil, umumnya 5–25 cm, dengan karakteristik pewarnaan yang beragam sehingga dikenal sebagai ikan hias. Kelompok ini umumnya ditemukan melimpah, baik dalam jumlah individu maupun jenisnya, serta cenderung bersifat teritorial. sepanjang
hidupnya
berada
di
terumbu
karang,
Ikan-ikan ini
diwakili
oleh
famili
Pomacentridae (ikan betok laut), Apogonidae (ikan serinding), Labridae (ikan sapu-sapu), dan Blenniidae (ikan peniru). Hampir seluruh ikan yang hidup di terumbu karang mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap ekosistem karang, baik dalam hal perlindungan maupun makanan.
Oleh karenanya jumlah individu, jumlah
spesies dan komposisi jenisnya dipengaruhi oleh kondisi setempat. banyak
penelitian
Divisi Kelautan Unhas
yang
membuktikan
adanya
korelasi
positif
Telah antara
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
kompleksitas topografi terumbu karang dengan distribusi dan kelimpahan ikanikannya (Sutton, 1983). Oleh karena itu pengamatan ikan karang ini senantiasa dilakukan bersamaan dengan pendataan life form terumbu karang. Dalam pengamatan ikan karang, ada tiga kategori kedalaman perairan yang terutama ditolerir oleh ikan karang, yaitu: daerah dangkal (0-4 m), daerah tengah (5-19 m) dan daerah dalam (>20 m). Jarak kedalaman dari zona ini dapat bergantung pada tingkat perlindungan dan kondisi laut. Pada daerah dangkal yang banyak dipengaruhi oleh gelombang, daerah perlindungan yang baik terdapat pada teluk atau laguna, yaitu dengan cara turun ke kedalaman yang lebih dalam.
Sebaliknya pada daerah terluar, struktur karang yang
terbuka oleh pengaruh gelombang di permukaan kadang-kadang disarankan di bawah kedalaman 10 m. Daerah tengah merupakan tempat di mana ikan dan karang hidup melimpah. Pada daerah ini pengaruh gelombang laut minimal, meskipun arus kadang-kadang kuat, sementara sinar matahari optimal bagi pertumbuhan dan pembentukan terumbu karang (Allen, 1997). Perairan dalam di luar slope karang digambarkan sebagai tempat dimana tingkat cahaya mulai berkurang, sebab itu sedikit ditemukan karang dan ikan. Meskipun dalam jumlah spesies sangat kurang, namun beberapa spesies tertentu akan datang ke daerah ini (Allen, 1997). Keanekaragaman spesies ikan-ikan terumbu karang mirip dengan karang.
Daerah Indo-Pasifik bagian tengah yaitu Kepulauan Filipina dan
Indonesia, mempunyai jumlah spesies yang jumlahnya besar dan jumlah ini semakin berkurang pada semua arah yang menjauhi pusat ini (Nybakken, 1988).
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Gambar 1. Contoh Biota Asosiasi Terumbu Karang
Selain ikan karang, masih banyak jenis biota asosiasi lainnya yang ditemukan di ekosistem terumbu karang.
Jenis biota yang berasosiasi
merupakan kelompok biota yang khas menghuni daerah terumbu karang, dan beberapa di antaranya jarang bahkan tidak ditemui di ekosistem yang lain. Berikut dirangkum beberapa jenis organisme laut yang umumnya berasosiasi di ekosistem terumbu karang: Alga/Rumput Laut Beberapa jenis alga atau rumput laut yang biasa ditemui di daerah terumbu karang adalah jenis selada laut Ulva, anggur laut Caulerpa, yang termasuk dalam jenis alga hijau; serta rumput laut Eucheuma dan jamur laut Padina yang termasuk ke dalam jenis alga cokelat (Gambar 8).
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
a
Gambar 2.
b
Beberapa jenis alga: (a) Caulerpa, (b) Padina (Foto: a3husain, 2006).
- Sponge Sponge merupakan kelompok hewan yang paling sederhana di antara seluruh penghuni laut. Dengan tubuh yang disellimuti oleh jutaan pori-pori, sponge merupakan hewan lunak yang menyerap air dan menyaring bahan organik dalam air laut sebagai makanannya (Ruppert & Barnes, 1994). Baik bentuk maupun warna dari sponge ini sangat beragam, mulai dari yang berbentuk seperti tabung, gumpalan, hingga seperti mangkok besar. Warnanya juga demikian, mulai dari cokelat pucat hingga merah menyala. Pada gambar berikut, merupakan beberapa jenis yang umum ditemui di terumbu karang.
a
Gambar 3.
b
c
Sponge jenis (a) Callyspongia, (b) Spongia, dan (c) Xestospongia. Foto: a3husain (2005) (a); Colin & Arneson (1995)(b,c).
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
- Hydra dan Ubur-ubur Hydra dan ubur-ubur merupakan jenis yang perlu diwaspadai. Dengan kandungan nematosit yang cukup banyak dan kuat, hewan-hewan ini mampu membuat iritasi pada kulit bila tersentuh, bahkan dapat berakibat lebih buruk lagi. Bentuknya yang tidak begitu membahayakan dapat menipu pandangan. Seperti pada jenis bulu ayam Aglaophenia yang menyerupai helaian daun yang berwarna pucat, merupakan salah satu jenis hidra yang kuat jenis nematositnya.
Begitu pula dengan jenis yang hidra yang lebih halus,
Lytocarpus yang tampak seperti tulang daun, sengatannya membuat iritasi yang berkepanjangan pada kulit (Gambar 9a,b). Salah satu golongan hidra lainnya yang menyerupai jenis karang keras adalah karang api Millepora (Gambar 10c).
Sengatannya terasa seperti
membakar kulit, sehingga disebut sebagai karang api.
Bentuknya mirip
dengan karang keras, namun hewan ini tidak termasuk dalam golongan karang keras yang pada umumnya tidak menyengat. Karang api ini sering ditemui dalam jumlah kecil di hampir pulau terumbu.
a
b
c
Gambar 4.
d
Beberapa jenis hidra: (a) bulu ayam Aglaophenia; (b) karang api Millepora; dan ubur-ubur: (c) ubur serdadu Portugis Physalia; (d) Caesiopea. Foto: Colin and Arneson (1995) (a,b), internet (c), a3husain (2006) (d).
Sementara itu, beberapa jenis ubur-ubur juga dapat ditemui, walau hanya sesekali teramati. Ubur-ubur dalam jumlah besar biasa hadir pada saat
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
peralihan pasang surut, atau peralihan musim. Jenis ubur-ubur yang sesekali muncul antara lain ubur serdadu Portugis Physalia (Gambar ???c). Disebut demikian karena bentuknya mirip dengan topi tentara Portugis pada jaman dulu. Ubur serdadu Portugis ini mampu memakan ikan yang ukuran tubuhnya lebih besar dari dirinya, dengan mengandalkan tentakelnya yang berfungsi menjerat dan kemudian menghisap sari-sari makanan dari mangsanya. Sementara itu jenis ubur-ubur Caesiopea kadang terdapat dekat daerah lamun, ukuran yang ditemui cukup besar, dan biasa dikonsumsi.
- Anemon Laut dan Karang Lunak Anemon laut mempunyai struktur yang tidak jauh berbeda dengan polip karang keras, kecuali adanya perbedaan pada ukuran, dimana polip karang berukuran mikroskopis, sedangkan anemon laut berukuran cukup besar. Selain itu, hal yang mendasar adalah, bahwa polip karang umumnya membentuk koloni dan mempunyai kemampuan untuk mengendapkan kapur (hermatipik), sedangkan anemon laut cenderung bersifat soliter dan sama sekali tidak bisa membentuk terumbu.
Struktur tubuhnya cukup lunak dan
kenyal dengan warna dan bentuk yang sangat beragam. Karang lunak sendiri mempunyai struktur rangka juga tetapi berbeda dengan karang keras. Jika karang keras mempunyai kemampuan mengendapkan kalsium karbonat, maka karang lunak mengendapkan senyawa-senyawa protein dan kolagen yang tidak
sekeras
dibengkokkan.
kalsium
sehingga
teksturnya
lunak
dan
dapat
Gambar berikut merupakan beberapa contoh karang lunak
yang umum dijumpai di terumbu karang.
Divisi Kelautan Unhas
lebih
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
a
b
c
Gambar 5.
(a) anemon handuk Stychodactyla; (b) karang lunak Sarcophyton; (c) bunga karang Melithaea. Foto: Colin & Arneson (1995) (b), a3husain (2005) (a,c).
- Moluska Hewan moluska terdiri dari banyak jenis, akan tetapi yang paling banyak dieksploitasi dan dikonsumsi adalah dari jenis siput, kerang-kerangan dan cumi-cumi.
Hampir sebagian besar hewan moluska mempunyai
cangkang, baik cangkang luar (seperti pada siput dan kerang) maupun cangkang dalam (seperti pada cumi-cumi). Umumnya jenis siput-siput berukuran besar dapat ditemui di terumbu karang, seperti jenis kepala kambing Lambis, triton trompet Cheronia, dan siput mata turbo Turbo. Begitu pula dengan jenis kerang atau tiram seperti kima Tridacna dan tiram Crassostrea, dimana jenis kima ini dapat mencapai ukuran hingga 2 m lebarnya. Jenis cumi-cumi pun demikian, dimana terbesar seperti gurita Octopus dan sotong Sepia (Gambar 12).
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
a
b c
Gambar 6.
Moluska ukuran besar: (a) siput mata turbo Turbo; (b) kima Tridacna; dan (c) sotong Sepia. Foto: a3husain (2005) (a,c), internet (b).
- Krustasea Hewan krustasea meliputi jenis hewan yang memiliki banyak kaki (4–5 pasang), dan termasuk di dalamnya adalah udang, kepiting, kalomang dan teritip. Umumnya hewan krustasea ini bersifat demersal, kecuali teritip saja yang sifatnya melekat pada substrat (Gambar 13). Sebagian besar cangkang dari krustasea yang hidup di daerah terumbu karang memiliki pewarnaan yang terang dan beragam dibanding jenis yang sama yang hidup di perairan ekosistem yang lain seperti di mangrove dan estuari.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
b
a
c Gambar 7.
Krustase terumbu karang: (a) lobster Panulirus; (b) kepiting hias Carpilius; dan (c) teritip Lepas. Foto: a3husain (2004) (a), Colin & Arneson (1995) (b,c).
- Ekinodermata Hewan ekinodermata dapat ditemui di hampir semua ekosistem, namun keanekaragaman yang paling tinggi terdapat pada ekosistem terumbu karang. Hewan ekinodermata meliputi jenis hewan yang memiliki duri, terbagi atas 5 kelompok besar yakni bintang laut, bintang ular, lilia laut, bulu babi, dan teripang, dan kesemuanya dapat ditemui di ekosistem terumbu karang. Selain berduri, hewan Ekinodermata ini mempunyai struktur tubuh yang khas, yakni terdiri atas 5 bagian atau lempengan.
a
b
c
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
d Gambar 8.
e Ekinodermata: (a) bintang laut biru Linckia; (b) bintang ular Ophiotrix; (c) lilia laut Comanthina; (d) bulu babi hitam Diadema; dan (e) teripang Stichopus. Foto: a3husain (2004) (a,e), Colin & Arneson (1995) (b,c,d).
- Reptilia Laut Adapun jenis reptilia laut yang juga dapat ditemui di daerah terumbu karang adalah ular laut dan penyu. Ular laut yang sering terlihat adalah jenis ular belang hitam-putih (Laticaudia) yang terlihat menyolok merayap dan berenang di sela karang, sedangkan jenis penyu adalah penyu sisik Eretmochelys imbricata yang menyukai daerah karang yang subur dengan jenis sponge sebagai makanannya (Gambar 9).
a
Gambar 9.
b
Reptilia laut: (a) ular laut Laticaudia; dan (b) penyu sisik Eretmochelys imbricata. Foto: a3husain (2005) (a), internet (b).
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
DAFTAR PUSTAKA Adrim, M. 1993. Metodologi Penelitian Ikan – ikan Karang. dalam : Materi Kursus Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu Karang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – LIPI. Jakarta. Ali, S.A dan Huasain, A. A. 1996. Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Laut . Makalah disajikan pada Pelatihan Ekologi Perikanan di Ujung Pandang. Kerjasama PSDAL Unhas dengan Bakosurtanal. Ujung Pandang Maret – April 1996. Allen, G.R. 1997. Marine Fishes of Southeast Asia. dalam : Jompa, J. 2005. Ekosistem Terumbu Karang. Makalah disajikan pada Pelatihan ICZM di Gorontalo. Bappedalda Gorontalo. Gorontalo 16 Agustus 2005. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional – BAPPENAS. 2004. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta. Balai Taman Nasional Taka Bonerate. 2004. Keanekaragaman Hayati, (online), http://www.takabonerate.go.id/potensi_biotik.htm. (diakses 05 September 2006). Beatly, et.al. 2002. An Instruduction to Coastal Zone Management. dalam Bengen, D. G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL - IPB. Bogor. Beller, et.al. 1990. Suiastainable Development and Enviromental Management of Small Island. dalam : Bengen, D. G. 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiositem. P4L. Bogor. Bengen, D. G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL - IPB. Bogor. _____________ 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiositem. PKSPL - IPB. Bogor Charles, A. 2000. Suistainable Fisheries System. dalam : Bengen, D. G. 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiositem. P4L. Bogor. Cincin – Sain, B. et. al. 1998 . Integrated Coastal and Ocean Management : Concepts and Practice. dalam : Bengen, D. G. 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis EkoSosiositem. P4L. Bogor Divisi Kelautan Unhas. 2005. Modul Muatan Lokal Tingkat SD. Divisi Kelautan Unhas bekerjasama dengan Mitra Pesisir. Makassar.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Edyanto, 1998. Dasar – dasar Pertimbangan di Dalam Pengelolaan Lahan Pulau Kecil. dalam : Bengen, D. G. 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiositem. P4L. Bogor English, S., C. Wilkinson & V. Baker (eds.). 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville Husain, A. A. A. & Arniati. 1996. Studi dan Evaluasi Tingkat Keanekaragaman Jenis Ikan Terumbu Karang di Perairan Pulau Samalona, Kecamatan Mariso, Ujung Pandang. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Hutomo. M. 1993. Pengantar Studi Ekologi Komunitas Ikan Karang dan Metode Pengkajiannya. Puslitbang Oseanologi – LIPI. Jakarta. Kasim, M. 2005. Lingkungan Ekosistem Pesisir, http:/maruf.wordpress.com/2005/12/27/lingkungan ekosistem (diakses 05 September 2006).
(online), pesisir/,
Montgomery, W. L. 1990. Zoogeography, behavior and ecology of coral-reef fishes. In: Coral Reefs (ed. Z. Dubinsky). Elsevier, Amsterdam – Tokyo. Pp. 329–364. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Nybakken, J. W. 1988. Marine Biology, an Ecological Approach. Harper and Row Publishers, New York. Odum, E.P. Phidelphia.
1988.
Fundamental of Ecology.
W.B. Sounders Company.
Sale, P. F. 1991. Reef Fish Communities. dalam : Jompa, J. 2005. Ekosistem Terumbu Karang. Makalah disajikan pada Pelatihan ICZM di Gorontalo. Bappedalda Gorontalo. Gorontalo 16 Agustus 2005. Sutton, M. 1983. Relationships between reef fishes and coral reefs. In: Perspectives on Coral Reefs (ed. D. J. Barnes). Australian Institute of Marine Sciences, Australia. Pp. 248 – 255.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
ESTUARIA DAN PULAU-PULAU KECIL
OLEH :
Ir. AIDAH A.A. HUSAIN, M.Sc
Disampaikan pada : WORKSHOP GURU TENTANG MUATAN LOKAL Benteng Selayar, 29 – 30 September 2006
CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM (COREMAP) II KABUPATEN SELAYAR KERJASAMA DENGAN
DIVISI KELAUTAN PUSAT KEGIATAN PENELITIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2006
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
EKOSISTEM ESTUARIA Deskripsi Ekosistem
estuaria
adalah
salah
satu
ekosistem
pantai
yang
mempunyai karakteristik tersendiri. Estuaria didefenisikan wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima air tawar dari daratan. Menurut Odum (1988), estuaria adalah muara sungai dimana terjadi arus pasang surut yang mengakibatkan terjadinya terjadinya pencampuran
antara
air
laut
dengan
mengakibatkan estuaria merupakan
air
tawar.
Keadaan
demikian
ekosistem peralihan (ekoton) antara
habitat air tawar dengan habitat air laut dimana kondisi airnya sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Beberapa contoh perairan estuaria antara lain muara sungai, teluk dan rawa pasang surut. Estuaria adalah bagian dari lingkungan perairan yang merupakan percampuran antara air laut dan air tawar yang berasal dari sungai, sumber air tawar lainnya (saluran air tawar dan genangan air tawar). Lingkungan estuari merupakan peralihan antara darat dan laut yang sangat di pengaruhi oleh pasang surut, seperti halnya pantai, namun umumnya terlindung dari pengaruh gelombang laut. Lingkungan estuaria umumnya merupakan pantai tertutup atau semi terbuka ataupun terlindung oleh pulau-pulau kecil, terumbu karang dan bahkan gundukan pasir dan tanah liat. Perairan estuaria mempunyai salinitas yang lebih rendah dari lautan dan lebih tinggi dari air tawar. Kisarannya antara 5 – 25 ppm.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Gambar 1. Contoh Ekosistem Estuaria
Habitat .Karakteristik fisik Beberapa parameter fisik perairan estuaria yang sangat mempengaruhi keberadaan biota yang hidup di dalamnya adalah salinitas, substrat, sirkulasi air, pasang surut dan penyimpanan hara. Perairan estuaria mempunyai salinitas yang relatif berfluktuasi. Fluktuasi ini sangat dipengaruhi oleh jumlah pasokan air tawar dari sungai/daratan dan air laut melalui pasang surut. Fluktuasi salinitas di perairan estuaria, merupakan penyebab rendahnya keragaman jenis biota yang hidup di dalamnya karena ada beberapa biota perairan yang tidak toleran pada kondisi demikian. Namun di sisi lain, kondisi demikian merupakan faktor penghambat masuknya predator dari laut yang pada umumnya tidak toleran pada salinitas rendah. Substrat dari estuaria pada umumnya didominasi oleh substrat berlumpur yang merupakan endapan lumpur yang dibawa oleh air tawar (sungai) dari daratan dan dari laut akibat pasang dan arus. Endapan lumpur
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
tersebut sebagian besar berupa endapan sedimen organik yang penting sebagai cadangan makanan bagi organisme ectuaria dan sebagai sumber hara bagi kebutuhan organisme produsen. Pengendapan partikel lumpur di estuaria berganyung pada kekuatan arus dan ukuran partikel.
Pada estuaria yang
mempunyai kekuatan arus yang lebih kuat dan ukuran partikel lebih kecil penegndapan partikel lebih lambat, sebaliknya jika arusnya lebih tenang, maka partikel akan lebih cepat diendapkan. Sirkulasi air di estuaria yaitu aliran air dari sungai dan aliran air laut melalui arus pasang surut akan bermanfaat bagi kehidupan biota estuaria. Sirkulai air tersebut mengakibatkan kondisi kualitas air membaik yang mendukung kehidupan biota estuaria. Sistem aliran air tawar dan arus pasang surut di estuaria merupakan faktor penting dalam suplai unsur hara sehingga estuaria mempunyai produktivitas yang tinggi.
Aliran air tawar dan arus
pasang-surut secara terus menerus membawa unsur hara mengakibatkan estuaria merupakan tempat penumpukan unsur hara.
Sistem aliran air ini
menyebabkan estuaria dikenal sebagai perangkap hara (nutrien trap) yang membuat estuaria sebagai ekosistem yang mempunyai produktivitas tinggi. Arus pasang-surut sangat penting pengaruhnya terhadap tersedianya zat hara dan kehidupan fitoplankton.
Arus pasang surut akan membawa
sejumlah hara tertentu, sehingga pertumbuhan fitoplankton semakinsubur. Perairan estuaria potensil sebagai penyimpan zat hara.
Pohon
mangrove, lamun dan ganggang yang hidup di estuaria mengkonversi zat hara menjdi bahan organik yang tersimpan di dalam sel, selanjutnya akan digunakan oleh organisme hewani (herbivor dan pemakan detritus).
Jenis – jenis Berdasarkan karakteristik geomorfologinya maka estuaria dikelompokkan atas 4 (empat) tipe sebagai beikut: 1. Estuaria daratan pesisir : yaitu estuaria yang terbentuk akibat penaikan permukaan air laut yang menggenangi sungai. ditemukan utamanya pada pantai yang landai.
Divisi Kelautan Unhas
Tipe ini paling umum
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
2. Laguna atau teluk semi tertutup : estuaria yang terbentuk akibat adanya beting pasir yang terletak sejajar dengan garis pantai sehingga kurang terjadi interaksi langsung dengan laut terbuka. 3. Fjords : estuaria yang dalam, terbentuk oleh aktivitas glasier, yang mengakibatkan tergenangnya lembah es oleh air laut. 4. Estuaria tektonik : estuaria yang terbentuk oleh aktivitas tektonis yang mengakibatkan turunnya permukaan tanah , kemudian tergenang oleh air laut pada saat pasang.
Berdasarkan pola sirkulasi dan stratifikasi air, estuaria dikelompokkan atas 3 (tiga) tipe yaitu: 1. Estuaria berstratifikasi sempurna : estuaria dimana nampak batas yang jelas antara air tawar dan air asin.
Tipe ini umumnya ditemukan pada
muara sungai besar dimana aliran air tawar lebih besar dari pada intrusi air asin dari laut oleh pasang-surut. 2. Estuaria berstratifikasi sebagian : aliran air tawar dari sungai seimbang dengan air laut yang masuk melalui arus pasang. Percampuran air tawar dengan air asin terjadi akibat adanya turbulensi secara berkala oleh aksi pasang-surut. 3. Estuaria campuran sempurna: estuaria yang umumnya dijumpai pada lokasi dimana arus pasang surut lebih dominan dan kuat sehingga air bercampur secara sempurna. Pada zona perralihan ini lah terjadi percampuran antara air laut dan air sungai. Pola percampuran ini sangat di pengaruhi oleh topografi dari pantai itu sendiri dan sudah barang tentu pola percampurannya memberikan stratifikasi yang berbeda pula terhadap estuaria itu sendiri. Bentukan estuaria itu sendiri dapat terjadi dalam dua pola bentukan. Bentukan yang pertama adalah bentukan asli yang merupakan bentukan dari pola topografi yang secara alami terjadi pertemuan antara air laut dan air tawar. Namun pola bentukan ini amat sangat umum bahkan menyatukan pengkategorian estuaria pada daerah pertemuan antara laut dan sungai serta daerah tanpa adanya aliran sungai namun terdapat sumbar air tawar seperti pada daerah-daerah basah (wetland) dan kawasan lainnya. Bentukan yang kedua adalah bentukan dengan model sirkulasi air laut dan air sungai. Bentukan ini sangat di berkaitan dengan pola
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
pasang surut, arus air sungai dan arus pantai, topografi dan kedalaman dari perairan itu sendiri. Dari pola percampuran air laut, kita dapat mengenal secara umum 3 model estuaria yang terbentuk, dengan catatan ini pun sangat di pengaruhi oleh sirkulasi air, topografi , kedalaman dan pola pasang surut karena dorongan dan volume air akan sangat berbeda khususnya yang bersumber dari air sungai. Pola percampuran yang pertama adalah pola dengan dominasi air laut (Salt wedge estuaria). Pola ini di tandai dengan desakan dari air laut pada lapisan bawah permukaan air saat terjadi pertemuan antara air sungai dan air laut. Kita akan mudah membedakan salinitas air dari estuaria ini yang sangat berbeda antara lapisan atas air dengan salinitas yang lebih rendah di banding lapisan bawah yang lebih tinggi.
Gambar 2. Pola Salt Wedge Estuaria
Pola kedua adalah Pola percampuran merata antara air laut dan air sungai (well mixed estuaria). Pola ini di tandai dengan bercampur secara merata antara air laut dan air tawar hingga tidak terbentuk stratifikasi secara vertikal,
namun
stratifikasinya
dapat
secara
horizontal
salinitasnya akan meningkat pada daerah dekat laut.
Divisi Kelautan Unhas
yang
derajad
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Gambar 3. Pola Well Mixed Estuaria
Pola yang ketiga adalah percampuran antara pola dominasi air laut dan pola percampuran merata atau dikenal dengan pola pola percampuran tidak merata (Partially mixed estuaria). Pola ini akan sangat labil atau sangat tergantung desakan air sungai dan air laut. Pada pola ini terjadi percampuran air laut yang tidak merata hingga hampir tidak terbentuk stratifikasi salinitas baik itu secara horizontal maupun secara vertikal.
Gambar 4. Partially Mixed Estuaria
Diantara ketiga pola di atas, pada beberapa daerah estuaria yang mempunyai topografi unik, kadang terjadi pola tersendiri yang lebih unik. Pola ini cenderung ada jika pada daerah muara sungai tersebut mempunyai topografi dengan bentukan yang menonjol membetuk semacam lekukan pada dasar estuaria. Adanya semacam tonjolan permukaan yang mencuat ini dapat menstagnankan lapisan air pada dasar perairan hingga, terjadi stratifikasi salinitas secara vertikal. Pola ini menghambat turbulensi dasar yang hingga salionitas dasar perairan cenderung tetap dengan salinitas yang lebih tinggi.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Gambar 5. Pola Campuran
Biota Asosiasi
Terdapat tiga komponen biota di perairan estuaria, yaitu fauna laut, air tawar dan fauna air payau. Komponen fauna yang terbesar ditemukan adalah fauna laut, yaitu fauna yang sifatnya stenohaline (kemampuannya terbatas dalam mentolerir perubahan salinitas) dan fauna yang sifatnya eurihaline (mampu mentolerir berbagai penurunan salinitas di bawah 30 promil). Hewan laut yang stenohaline umumnya hidup pada salinitas > 30 promil, sedang yang sifatnya eurihaline mampu mentolerir penurunan salinitas di bawah 30 promil. Komponen terbesar berikutnya adalah fauna air payau yang terdiri dari jenis organisme yang mampu hidup pada salinitas sekitar 5 – 30 promil. Jenis fauna ini umumnya tidak ditemukan di perairan tawar maupun laut. Komponen berikutnya adalah fauna air tawar yaitu hewan yang tidak mampu mentolerir salinitas di atas 5 promil. Fluktuasi kondisi lingkungan estuaria menyebabkan keragaman jenis organismenya lebih kecil. Jenis organisme yang ditemukan terbatas pada organisme yang memiliki kekhususan fisiologis, yang mampu beradaptasi di lingkungan estuaria. Ada tiga tipe adaptasi yang dilakukan organisme estuaria yaitu: (1) adaptasi morfologis, misalnya memiliki rambut-rambut halus untuk menghambat penyumbtan permukaan ruang pernapasan oleh partikel lumpur, (2) adaptasi fisiologis, untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh dalam menghadapi fluktuasi salinitas, dan (3) adaptasi tingkah laku, misalnya membuat lubang ke dalam lumpur, utamanya hewan avertebrata.
Peranan dan Fungsi
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Lingkungan estuaria merupakan kawasan yang sangat penting bagi berjuta hewan dan tumbuhan. Sebagai lingkungan perairan yang mempunyai kisaran salinitas yang cukup lebar, estuaria menyimpan berjuta keunikan yang khas. Hewan-hewan yang hidup pada lingkungan perairan ini adalah hewan yang mampu beradaptasi dengan kisaran salinitas tersebut. Pada kawasan-kawasan subtropik sampai daerah dingin,
fungsi
estuaria bukan hanya sebagai daerah pembesaran bagi berjuta hewan penting, bahkan menjadi titik daerah ruaya bagi jutaan jenis burung pantai. Kawasan estuaria di gunakan sebagai daerah istrahat bagi perjalanan panjang jutaan burung dalam ruayanya mencari daerah yang ideal untuk perkembanganya. Disamping itu juga di gunakan oleh sebagian besar mamalia dan hewan-hewan lainnya untuk mencari makan. Keistimewaan lingkungan perairan estuaria lainnya adalah sebagai penyaring dari berjuta bahan buangan cair yang bersumber dari daratan. Sebagai kawasan yang sangat dekat dengan daerah hunian penduduk, daerah estuaria umumnya di jadikan daerah buangan bagi limbah-limbah cair (kita tidak membahas limbah padat di sini yang benar-benar merusak sebagian besar lingkunagn estuaria).
Limbah cair ini mengandung banyak unsur
diantaranya nutrien dan bahan-bahan kimia lainnya. Dalam kisaran yang dapat ditolelir, kawasan estuaria umumnya bertindak sebagai penyaring dari limbah cair ini, mengendapkan partikel-partikel beracun dan menyisakan badan air yang lebih bersih. Inipun dengan kondisi dimana terjadi suplai yang terusmenerus dari air sungai dan laut yang cenderung lebih bersih dan mentralkan sebagaian besar bahan polutan yang masuk ke daerah estuaria tersebut. Ekosistem estuaria potensial dimanfaatkan oleh manusia untuk berbagai peruntukan untuk memenuhi kebutuhannya. Sejak dari dahulu daerah estuaria telah dimanfaatkan sebagai daerah penangkapan, daerah pemukiman, jalur transportasi dan pelabuhan namun masih pada tingkat pemanfaatan yang rendah. Dengan berkembangnya tingkat peradaban manusia dan jumlah penduduk yang semakin meningkat, maka pemanfaatan estuaria semakin berkembang misalnya sebagai kawasan industri, pembangunan real state, pertanian, pertambakan, pelabuhan dan pembuangan limbah. Perkembangan pemanfaatan sumberdaya estuaria tersebut di atas umunya dilakukan secara tidak terencana, sehingga
Divisi Kelautan Unhas
telah menimbulkan berbagai dampak dimana
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
dampak tersebut dapat berlangsung dalam jangka waktu singkat maupun dalam jangka lama. Disamping
itu
semua,
hal
yang
sangat
berhubungan
dengan
masyarakat dan kegiatan ekonomi masyarakat, lingkungan kawasan perairan estuaria kebanyakan di jadikan sebagai lahan budidaya bagi ratusan kenis ikan, bivalvia (oyster dan clam), krustasea (kepiting) dan invertebrata lainnya. Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis sebagai berikut: 1. Sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut, 2. Penyedia habitat bagi sejumlah jenis hewan yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan; 3. Sebagai tempat untuk bereproduksi dan atau tempat tumbuh besar, terutama bagi sejumlah jenis ikan dan udang.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
DAFTAR PUSTAKA Ali, S.A dan Huasain, A. A. 1996. Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Laut . Makalah disajikan pada Pelatihan Ekologi Perikanan di Ujung Pandang. Kerjasama PSDAL Unhas dengan Bakosurtanal. Ujung Pandang Maret – April 1996.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional – BAPPENAS. 2004. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.
Beller, et.al. 1990. Suiastainable Development and Enviromental Management of Small Island. dalam : Bengen, D. G. 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiositem. P4L. Bogor. Cincin – Sain, B. et. al. 1998 . Integrated Coastal and Ocean Management : Concepts and Practice. dalam : Bengen, D. G. 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis EkoSosiositem. P4L. Bogor Dahuri, R., dkk. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Divisi Kelautan Unhas. 2005. Modul Muatan Lokal Tingkat SD. Divisi Kelautan Unhas bekerjasama dengan Mitra Pesisir. Makassar. Edyanto, 1998. Dasar – dasar Pertimbangan di Dalam Pengelolaan Lahan Pulau Kecil. dalam : Bengen, D. G. 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiositem. P4L. Bogor English, S., C. Wilkinson & V. Baker (eds.). 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville Husain, A. A. A. & Arniati. 1996. Studi dan Evaluasi Tingkat Keanekaragaman Jenis Ikan Terumbu Karang di Perairan Pulau Samalona, Kecamatan Mariso, Ujung Pandang. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Hutomo. M. 1993. Pengantar Studi Ekologi Komunitas Ikan Karang dan Metode Pengkajiannya. Puslitbang Oseanologi – LIPI. Jakarta. Yayasan Lanra Link Makassar. 2004. Pelatihan Mangrove Wajo. Forum Kemitraan Bahari RC Sulsel. Makassar
Divisi Kelautan Unhas
Laporan
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Jompa, J. 2005. Ekosistem Terumbu Karang . Makalah disajikan pada Pelatihan ICZM di Gorontalo. Bappedalda Gorontalo. Gorontalo 16 Agustus 2005. Kasim, M. 2005. Lingkungan Ekosistem Pesisir, http:/maruf.wordpress.com/2005/12/27/lingkungan ekosistem (diakses 05 September 2006).
(online), pesisir/,
Montgomery, W. L. 1990. Zoogeography, behavior and ecology of coral-reef fishes. In: Coral Reefs (ed. Z. Dubinsky). Elsevier, Amsterdam – Tokyo. Pp. 329–364. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Nybakken, J. W. 1988. Marine Biology, an Ecological Approach. Harper and Row Publishers, New York. Odum, E.P. Phidelphia.
1988.
Divisi Kelautan Unhas
Fundamental of Ecology.
W.B. Sounders Company.
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
EKOSISTEM PADANG LAMUN DAN MANGROVE
OLEH :
DODI PRIOSAMBODO, S.Si
Disampaikan pada : WORKSHOP GURU TENTANG MUATAN LOKAL Benteng Selayar, 29 – 30 September 2006
CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM (COREMAP) II KABUPATEN SELAYAR KERJASAMA DENGAN
DIVISI KELAUTAN PUSAT KEGIATAN PENELITIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2006
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
EKOSISTEM MANGROVE Deskripsi Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang sangat spesifik. Banyak ahli menggolongkan tegakan mangrove sebagai tegakan pionir, yang mana dapat bergeser sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan ekosistemnya. Tumbuhan mangrove adalah satu-satunya jenis tanaman tingkat tinggi yang sangat berhasil mendiami daerah intertidal yang merupakan pertemuan antara daratan dan lautan. Hutan mangrove secara spesifik mendominasi daerah pesisir di sepanjang pantai tropis sampai sub-tropis (Clough, 1982). Hutan mangrove merupakan eksosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan. Ekosistem hutan mangrove mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, bahkan di Indonesia hutan mangrovenya mempunyai keanekaragaman tertinggi di dunia Namun demikian, ekosistem ini merupakan ekosistem yang sangat rentan terhadap berbagai tekanan dan gangguan lingkungan, seperti: sedimentasi, perubahan salinitas, tinggi pasang surut, dan polusi air. Banyak pembangunan yang dilakukan di wilayah pesisir secara tidak terduga ternyata berakibat pada kerusakan ekosistem mangrove yang ada di sekitarnya. Kawasan hutan mangrove adalah salah satu kawasan pantai yang sangat unik, karena keberadaan ekosistem ini pada daerah muara sungai atau pada kawasan estuary. Mangrove hanya menyebar pada kawasan tropis sampai subtropis dengan kekhasan tumbuhan dan hewan yang hidup di sana. Keunikan ini tidak terdapat pada kawasan lain, karena sebagian besar tumbuhan dan hewan yang hidup dan berasosiasi di sana adalah tumbuhan khas perairan estuary yang mampu beradaptasi pada kisaran salinitas yang cukup luas. Hutan mangrove yang sering disebut sebagai hutan bakau,
hutan
pantai, hutan pasang-surut dan hutan payau merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut. Mangrove merupakan tipe vegetasi yang paling menonjol pada kawasan pantai yang
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
berlumpur pada kondisi payau sampai asin.. Mangrove yang belum mendapat tekanan dapat membentuk tegakan hutan dengan suatu zonasi yang nyata dari laut ke arah daratan.
Gambar 1. Contoh Ekosistem Mangrove
Habitat Komunitas mangrove pertumbuhannya paling baik pada daerah sepanjang estuaria atau pantai yang dangkal dengan endapan lumpur yang tebal, terlindung dari gempuran ombak besar, seperti muara, delta dan teluk. Namun ada beberapa jenis mangrove yang dapat tumbuh pada daerah pantai berpasir, batuan pantai yang keras dan pada pantai berkarang. Pada kondisi substrat seperti ini, mangrove tumbul secara bergerombol atau spot, membentuk tegakan terpisah-pisah yang terdiri dari beberapa pohon sejenis. Secara umum, ekosistem mangrove relatif tahan terhadap berbagai gangguan dan tekanan lingkungan. Tetapi mangrove sangat peka terhadap sedimentasi, tinggi rata-rata permukaan air, pencucian dan tumpahan minyak. Formasi mangrove yang ditemukan di Indonesia relatif bervariasi. Pada umumnya formasi mangrove tersusun dari beberapa komunitas dengan jumlah spesies sekitar 30, membentang sepanjang pantai di daerah estuaria. Selain itu, formasi mangrove hanya membentuk tegakan terpencar yang teriri dari hanya beberapa spesies.
Formasi ini biasanya ditemukan pada sepanjang
pantai berpasir atau berbatu karang. Komunitas mangrove dapat terbentuk
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
dari campuran beberapa spesies, tetapi dapat pula hanya berupa segregasi komunitas yang merupakan zonasi komunitas. Pada zona yang berbatasan dengan laut, tegakan Avicennia dan Sonneratia yang dominan, kemudian zona berikutnya ditemukan Rhizophora dan Bruguiera. Penyebaran vegetasi mangrove ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan, seperti salinitas. Dengan demikian kita temukan perubahan jenis mangrove mulai dari arah laut ke arah darat. Daerah yang paling dekat dengan laut sering ditumbuhi Avicennia dan Sonneratia. pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
Sonneratia biasa tumbuh Lebih ke arah darat, hutan
mangrove umumnya didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora, atau yang lazim disebut bakau; selain juga dijumpai Bruguiera dan Xylocarpus.
Zona
berikutnya didominasi oleh jenis Bruguiera. Selanjutnya terdapat zona transisi antara hutan mangrove dan hutan dataran rendah yang biasanya ditumbuhi oleh nipah (Nypa fruticans) dan pandan laut (Pandanus spp). Mangrove mempunyai karakteristik habitat seperti berikut: •
Jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir.
•
Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama.
Frekuensi genangan
menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. •
Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.
•
Air bersalinitas payau (2-22 ppm) hingga asin (38 ppm) Dengan demikian mangrove biasa ditemukan di pantai-pantai teluk
yang dangkal, estuari, delta dan daerah pantai yang terlindung.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Gambar 2. Zonasi Mangrove Secara Umum
Tabel 1. Kesesuaian jenis tanaman dengan struktur dan komposisi tanah (substrat) No. 1.
Jenis Tumbuhan Avicenia lanata
2.
Avicenia marina
3.
Bruguiera cylindrica Bruguiera exarista
4. 5. 6. 7. 8.
Bruguiera parviflora Bruguiera sexangulata Ceriops decandra Ceriops tagal
9.
Rhizophora apiculata
10.
Rhizophora mucronata
11.
Rhizophora stylosa
Struktur/Komposisi Tanah yang Sesuai Tanah kering/dataran lumpur, tepi sungai, toleran terhadap salinitas tinggi Pada berbagai habitat pasang surut yang terlindung, bahkan pada tempat bersalinitas tinggi Tanah liat dibelakang zona Avicenia Tanah liat dan pasir, toleran terhadap salinitas tinggi. Lumpur dan pasir bersalinitas tinggi Berbagai substrat yang tidak sering tergenang Pasir atau lumpur Tanah liat dengan sistem pengairan yang baik Tanah berlumpur halus, dalam dan tergenang pada saat pasang normal Tanah berlumpur sampai berpasir, dalam dan tergenang pada saat pasang normal Lumpur, pasir dan batu pada daerah pasang surut
Sumber : Bengen 2004
Jenis – jenis Hutan mangrove meliputi pohon dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga. Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi dengan jumlah jenis sekitar 202 jenis yang
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
terdiri dari 89 jenis pohon, 5 (lima) jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 (satu) jenis sikas. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Di Indonesia tercatat sekitar 87 spesies mangrove, termasuk jenis pohon, semak, liana dan epifit.
Spesies yang dominan ditemukan adalah
Bruguiera gymnorrhiza, B. cylindrica, Rhizophora mucronata, R. stylosa, Intsia sp, dan Xylocarpus.
Spsies lain yang sering ditemukan pada komunitas
mangrove adalah Avicennia marina, A. alba, Sonneratia alba, S. acida, dan Nypha fruticans. Api-api, Sia-sia (Avicennia alba) Api-api umumnya tumbuh pada substrat berpasir atau berlumpur tipis. Tingginya dapat mencapai 15 meter. Daunnya pada sisi atas berwarna hijau muda, sedangkan pada sisi bawah berwarna abu-abu keperakan atau putih. Daun berbentuk elips dengan panjang 10-18 cm. Bunganya kecil berwarna oranye, sedangkan buahnya berbentuk membulat dan agak berbulu dengan warna kuning kehijauan atau hijau. Kulit batang halus, berwarna putih keabuabuan hingga hijau. Akar berbentuk cakar ayam dengan penumatofora untuk pernafasan.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Gambar 3. Daun, bunga, buah dan akar Avicennia alba.
Bakau Besar (Rhizophora mucronata); Mangi-mangi Jenis ini merupakan jenis mangrove yang umum dijumpai, karena penyebarannya yang luas. Pohonnya dapat mencapai tinggi 25 meter. Daun lebar dengan panjang mencapai 20 cm, berwarna hijau pada bagian atas dan hijau muda pada bagian bawah. ujung tangkai.
Daunnya tersusun dalam rumpun sampai
Bunganya berwarna putih dan berukuran kecil.
Buahnya
berbentuk memanjang dengan ukuran mencapai 60 cm, dan meruncing pada bagian ujungnya. Kulit batang berwarna coklat sampai abu-abu gelap, dengan permukaan yang kasar. Akar berbentuk tongkat yang keluar dari batang, dan memiliki lentisel untuk pernafasan.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Gambar 4. Daun, bunga, buah dan akar Rhizophora mucronata.
Tengar, Tingi, Parum (Ceriops tagal); Paru Pohon tengar bisa mencapai 6 meter.
Bagian daun sebelah atas
berwarna hijau hingga kuning kehijauan, sedangkan bagian bawahnya berwarna kuning kehijauan. Daunnya berbentuk bulat lonjong, dengan panjang daun 4-10 cm. Bunga berwarna putih hingga coklat, dengan sepasang benang sari yang terlindung oleh daun bunga.
Buah berwarna hijau hingga hijau
kecoklatan,berbentuk memanjang dengan panjang hingga 25 cm. Kulit batang berwarna abu-abu kekuningan bahkan terkadang berwarna kecoklatan. Mempunyai akar papan yang menopang dasar batang pohon.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Gambar 4. Daun, bunga dan Buah Ceriops tagal.
Tancang, Tumu, Lindur (Bruguiera gymnorrhiza); Sarau Pohon tancang dapat mencapai tinggi 25-35 meter.
Daunnya
berbentuk elips, panjang 10-20 cm dan lebar 5-8 cm. Daun mengumpul pada ujung tangkai batang, dengan warna daun bagian atas hijau sampai kuning kehijauan, sedangkan bagian bawahnya berwarna kuning.
Bunganya
berwarna merah dan masih menempel pada buahnya ketika jatuh. Buahnya berwarna hijau dan bentuknya memanjangn ramping, dengan panjang 10-20 cm.
Kulit batang berwarna gelap, dengan permukaan yang kasar.
berbentuk akar lutut yang muncul di permukaan tanah.
Gambar 5. Daun, bunga dan buah Bruguiera gymnorrhiza.
Divisi Kelautan Unhas
Akar
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Prapat, Pedada, Bogem (Sonneratia alba) Pohon prapat mampu mencapai tinggi 15 meter. Daun berbentuk bulat dan berpasangan pada cabangnya dengan panjang sekitar 7 cm. Pada bagian ujung daun agak melengkung ke bawah. Bunga berwarna putih, buahnya agak besar dengan lebar 4 cm dan berwarna hijau berbentuk seperti bintang dan keras. Kulit batang berwarna abu-abu sampai coklat, dan agak retak-retak. Akar berbentuk cakar ayam, dengan pneumatofora untuk pernafasan.
Gambar 6. Daun, bunga, buah dan akar Sonneratia alba.
Buta-buta, Bebutah, Panggang (Excoecaria agallocha) Nama panggang mengacu pada pengaruh getahnya yang berwarna putih susu yang dapat merusak mata. Pohonnya dapat tumbuh samapi setinggi 14 meter. Daun berukuran antara 6-10 cm dan tertata secara berselang-seling pada tangkai batang. Pinggiran daunnya agak bergerigi dan berujung runcing. Bila daunnya dipetik, akan keluar getah berwarna putih susu. Pada musim kemarau panjang, seluruh daunnya dapat rontok. Bunganya muncul di bagian ujung dari daun yang menempel pada tangkai batang. Kulit batang kasar dan
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
berwarn abu-abu.
Tidak terdapat akar nafas, tapi kadang-kadang terlihat
akarnya menyebar di atas permukaan tanah.
Gambar 7. Daun, bunga, buah dan akar Excoecaria agallocha.
Susup, Teruntum (Lumnitzera racemosa) Pada habitatnya membentuk pepohonan kecil dengan ketinggian mencapai 8 meter. dahan.
Berdaun kecil agak tebal, dan berumpun pada ujung
Daun berbentuk sederhana, bersilangan dan membulat, dengan
panjang daun berkisar 3-7 cm.
Bunga berwarna putih cerah, berkelopak
sebanyak 5 dan berwarna hijau, dengan panjang tandan 1-2 cm. Buahnya berwarna hijau dan berbentuk kapsul dengan panjang 1-1,5 cm. Permukaan batangnya berwarna abu-abu dan berlekuk. Tidak memiliki akar nafas.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Gambar 8. Daun, bunga dan buah Lumnitzera racemosa.
Nipah, Buyuk (Nypa fruticans) Nipah merupakan satu-satunya jenis palem (sebangsa pohon kelapa, dan sagu) yang ditemukan di hutan mangrove.
Daunnya besar dan mencapai
panjang 9 meter yang tumbuh dari pangkal batangnya.
Bunga berwarna
kuning dan berumpun di antara tangkai daun. Buahnya berbentuk kepala paku yang besar seperti bola sepak, dan bila masak akan terbelah. Kulit batang berserat dan berwarna coklat keabu-abuan.
Tidak memiliki akar nafas,
akarnya berserabut.
Gambar 9. Daun, bunga dan buah Nypa fruticans.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Biota Asosiasi di Ekosistem Mangrove Komunitas fauna hutan mangrove membentuk pencampuran antara 2 (dua) kelompok : • Kelompok fauna daratan/ terestrial yang umumnya menempati bagain atas pohon mangrove, terdiri atas: insekta, ular, primata, dan burung. Kelompok ini tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di luar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka mengumpulkan makanannya, berupa hewan laut, pada saat air surut. • Kelompok fauna perairan/akuatik, terdiri atas dua tipe, yaitu: a) yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang; dan b) yang menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya. Tumbuhan
hutan
mangrove
sebagaimana
tumbuhan
lainnya
mengkonversi cahaya matahari dan zat hara (nutrient) menjadi jaringan tumbuhan (bahan organik) melalui proses fotosintesis. Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem hutan mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tetapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah dan sebagainya). Sebagian serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara (nutrient) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitioplankton, algae ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis; sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai bahan makanan.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Peranan dan Fungsi Ekosistem mangrove mempunyai beberapa fungsi ekologis dan fungsi ekonomi antara lain: 1. Peredam gelombang dan angin badai. Mangrove yang tumbuh lebat di sepanjang pantai dengan sistem perakaran yang kokoh dapat melindungi pantai dari abrasi dan erosi pantai, perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan. 2. Penghasil detritus, yaitu daun dan dahan mangrove yang jatuh akan terurai menjadi detritus. Sebagian dari detritus ini dimanfaatkan sebagai makanan bagi organime detritus feeder (pemakan detritus) dan sebagian lainnya diuraikan oleh bakteri pengurai menjadi zat hara yang dapat meningkatkan kesuburan perairan. 3. Meningkatkan keragaman jenis biota laut karena mangrove merupakan daerah pemijahan, asuhan, mencari makan bagi beberapa jenis biota air. 4. Sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) untuk berbagai jenis biota perairan pantai dan lepas pantai. 5. Fungsi ekonomi mangrove adalah sebagai sumber kayu bakar, bahan bangunan, bahan baku kertas, makanan dan obat-obatan. 6. Mangrove memiliki fungsi jasa lingkungan, yaitu potensil dikembangkan untuk kawasan pariwisata.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
DAFTAR PUSTAKA Ali, S.A dan Huasain, A. A. 1996. Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Laut . Makalah disajikan pada Pelatihan Ekologi Perikanan di Ujung Pandang. Kerjasama PSDAL Unhas dengan Bakosurtanal. Ujung Pandang Maret – April 1996. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional – BAPPENAS. 2004. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.
Bengen, D. G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL - IPB. Bogor. _____________ 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiositem. PKSPL - IPB. Bogor
Divisi Kelautan Unhas. 2005. Modul Muatan Lokal Tingkat SD. Divisi Kelautan Unhas bekerjasama dengan Mitra Pesisir. Makassar. Edyanto, 1998. Dasar – dasar Pertimbangan di Dalam Pengelolaan Lahan Pulau Kecil. dalam : Bengen, D. G. 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiositem. P4L. Bogor English, S., C. Wilkinson & V. Baker (eds.). 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville Husain, A. A. A. & Arniati. 1996. Studi dan Evaluasi Tingkat Keanekaragaman Jenis Ikan Terumbu Karang di Perairan Pulau Samalona, Kecamatan Mariso, Ujung Pandang. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Hutomo. M. 1993. Pengantar Studi Ekologi Komunitas Ikan Karang dan Metode Pengkajiannya. Puslitbang Oseanologi – LIPI. Jakarta. Kasim, M. 2005. Lingkungan Ekosistem Pesisir, http:/maruf.wordpress.com/2005/12/27/lingkungan ekosistem (diakses 05 September 2006).
(online), pesisir/,
Montgomery, W. L. 1990. Zoogeography, behavior and ecology of coral-reef fishes. In: Coral Reefs (ed. Z. Dubinsky). Elsevier, Amsterdam – Tokyo. Pp. 329–364. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Nybakken, J. W. 1988. Marine Biology, an Ecological Approach. Harper and Row Publishers, New York. Odum, E.P. Phidelphia.
1988.
Fundamental of Ecology.
W.B. Sounders Company.
Sale, P. F. 1991. Reef Fish Communities. dalam : Jompa, J. 2005. Ekosistem Terumbu Karang. Makalah disajikan pada Pelatihan ICZM di Gorontalo. Bappedalda Gorontalo. Gorontalo 16 Agustus 2005.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
PENGELOLAAN PESISIR SECARA TERPADU
OLEH :
Ir. DEWI YANUARITA, M.Si
Disampaikan pada : WORKSHOP GURU TENTANG MUATAN LOKAL Benteng Selayar, 29 – 30 September 2006
CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM (COREMAP) II KABUPATEN SELAYAR KERJASAMA DENGAN
DIVISI KELAUTAN PUSAT KEGIATAN PENELITIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2006
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
PENGELOLAAN EKOSISTEM PESISIR TERPADU 1.1. Sejarah Singkat Pengelolaan Pesisir di Indonesia Konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu telah mulai dikembangkan di banyak negara sejak lebih dari 30 (tiga puluh) tahun silam. Seiring dengan berkembangnya konsep tersebut, berbagai negara mulai merencanakan dan melaksanakan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Aplikasi konsep dan pelaksanaan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Indonesia relatif masih baru. Berbagai kegiatan dan program berkaitan dengan masalah lingkungan pesisir secara sporadis mulai dipraktekkan di dalam negeri sejak akhir dekade 1980-an. Namun saat itu hanya sebagian kecil yang benar-benar dirancang untuk menjalankan konsep pengelolaan secara terpadu. Tonggak penting berkembangnya konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Indonesia adalah diselesaikannya studi kerjasama antara Bappenas dan CIDA yang ditandai dengan penerbitan "Indonesia's Marine Environment: A Summary of Policies, Actions and Issues" pada tahun 1988. Secara formal, masalah sumberdaya pesisir dan lautan sendiri baru diakomodasikan dalam kebijakan pembangunan nasional untuk pertama kalinya pada tahun 1993/1994, dalam Repelita VI Sub-sektor Kelautan. Proyek pertama yang diselenggarakan adalah Proyek Evaluasi dan Perencanaan Sumberdaya Kelautan (Marine Resources Evaluation and Planning – MREP).
1.2. Deskripsi
1.2.1. Wilayah Pesisir Secara umum, wilayah pesisir dapat didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang saling bertemu dalam suatu keseimbangan yang rentan (Beatly et.al., 2002). Batasan wilayah pesisir ini tampaknya sederhana, akan tetapi perlu diingat bahwa pada kenyataannya para ilmuwan dan praktisi pembangunan di berbagai negara tidak memiliki pengertian yang seragam mengenai batas-batas fisik wilayah pesisir, seberapa jauh ke arah darat dan seberapa jauh ke arah laut. Oleh Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
karena itu, pada akhirnya penentuan batas-batas fisik pengelolaan wilayah pesisir hendaknya ditentukan sesuai dengan kebutuhan setempat. Departemen Kelautan dan Perikanan (2003) dalam Rancangan Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu mendefinisikan wilayah pesisir sebagai kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan ekosistem laut yang terletak antara batas sempadan ke arah darat sejauh pasang tertinggi dan ke arah laut sejauh pengaruh aktivitas dari daratan. Pengertian dan batasan mengenai wilayah pesisir secara baku sampai saat ini belum ada. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan laut. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu : batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus. Di dalam Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir (Ditjen P3KDKP, 2001), pendefinisian wilayah pesisir dilakukan atas tiga pendekatan, yaitu pendekatan
ekologis,
pendekatan administratif
dan
pendekatan
perencanaan. Dilihat dari aspek ekologis, wilayah pesisir adalah wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, dimana ke arah darat mencakup wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses lautan seperti pasang surut dan ke arah laut dipengaruhi oleh proses-proses daratan, seperti sedimentasi. Dari aspek administratif, wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten atau kota yang mempunyai laut dan ke arah laut sejauh 12 mil dari garis pantai (cross-shore). Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batas - batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Gambar 1. Salah Satu Contoh Ekosistem Pesisir
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara daratan dan laut, ke arah daratan meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti pertanian dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Beatley et al 1994). Dahuri dkk. (2001) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas ke arah darat adalah jarak secara arbitrer dari rata-rata pasang tinggi dan batas ke arah laut adalah yurisdiksi wilayah provinsi.
1.2.2. Pengelolaan Pesisir Terpadu Wilayah pesisir selain memiliki potensi sumberdaya yang besar, juga memiliki kompleksitas yang cukup tinggi. Kompleksitas yang dunaksud adalah (1) penentuan wilayah pesisir baik ke arah darat maupun ke arah laut sangat bervariasi tergantung karakteristik lokal kawasan tersebut; (2)
adanya
keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas; (3) sumberdaya wilayah pesisir memiliki berbagai jenis sumberdaya
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
dan
jasa
lingkungan,
sehingga
menghadirkan
berbagai
penggunaan/pemanfaatan sumberdaya pesisir yang dapat menimbulkan berbagai konflik kepentingan antar sektor pembangunan; (4) secara sosial ekonomi, wilayah pesisir biasa dihuni oleh lebih dari satu kelompok masyarakat yang memiliki preferensi yang berbeda; (5) adanya sifat common property dari sumberdaya
pesisir
yang
dapat
mengakibatkan
ancaman
terhadap
sumberdaya tersebut; dan (6) sistem sosial budaya masyarakat pesisir memiliki ketergantungan terhadap fenomena alam. Karena kompleksitas permasalahan di wilayah pesisir ini cukup tinggi, maka alternatif yang sesuai untuk pengelolaan wilayah pesisir adalah pengelolaan secara terpadu. Sebaliknya pengelolaan sektoral hanya akan memperbesar ancaman terhadap kelangsungan sumberdaya pesisir dan laut. Pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral pada dasarnya berkaitan hanya dengan satu jenis sumberdaya atau ekosistem untuk memenuhi tujuan tertentu (sektoral), seperti perikanan, pariwisata, pertambangan, indutri, pemukiman, dan perhubungan. Dalam perencanaan dan pengelolaan semacam ini, aspek "cross-sectoral' atau "crossregionalimpact” seringkali terabaikan. Akibatnya, model perencanaan dan pengelolaan sektoral ini menimbulkan berbagai dampak yang dapat merusak lingkungan dan juga akan mematikan sektor lain. Fenomena Pantai Utara Jawa merupakan salah satu contoh dari perencanaan pembangunan sektoral, dimana sektor industri mematikan sektor pariwisata, apabila penanganan dan pengelolaan limbah industri tidak dilakukan secara tepat dan benar. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assessment), merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola
segenap
kegiatan
pemanfaatannya
guna
mencapai
pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada.
1.3. Potensi
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Secara fisik, kekayaan Indonesia dapat dilihat dari jumlah pulaunya sebanyak 17.508 terbanyak di dunia. Begitu banyaknya, sampai-sampai sebagian besar pulaupulau tersebut hingga kini belum diberi nama. Panjang garis pantai wilayah Indonesia merupakan yang terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, yakni sekitar 81.000 kilometer. Luas wilayahnya, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sebesar 5,8 juta kilometer persegi. Yang menarik, sekitar 67% dari total luas wilayah Indonesia itu merupakan wilayah pesisir dan lautan. Banyak masyarakat tak menyadari bahwa wilayah pesisir dan lautan memiliki peran sangat strategis dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia, sesungguhnya lebih dari 60% (140 juta) tinggal dan hidup di kawasan pesisir. Mayoritas kota dan ibukota provinsi di Indonesia terletak di kawasan pesisir. Hal yang sama juga terjadi di dunia, berdasarkan laporan UNESCO tahun 1993. Dua per tiga dari kota-kota di dunia dengan penduduk lebih dari 2,5 juta jiwa berada di wilayah tersebut. Di Indonesia, ekosistem pesisir merupakan sumber kehidupan bagi rakyat dan selama bertahun-tahun telah menjadi pendukung pembangunan sosial dan ekonomi. Kegiatan perekonomian di kawasan tersebut telah menyerap 14 juta tenaga kerja dan memberi kontribusi sekitar 26,5% dari GDP Indonesia. Pesisir dan lautan menyediakan sumberdaya alam yang produktif, baik sebagai sumber pangan, tambang, mineral dan energi, maupun kawasan rekreasi atau pariwisata.
1.4. Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Pesisir
Pengelolaan
wilayah
pesisir
didefinisikan
sebagai
suatu
proses
pemeliharaan, peningkatan kualitas lingkungan pesisir, pencegahan kerusakan sumberdaya alam yang ada di wilayah pesisir serta memanfaatkannya untuk kepentingan manusia (Bengen, 2004). pengelolaan
wilyah
pesisir
secara
Masih menurut Bengen (2004),
terpadu
memiliki
pengertian
bahwa
pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan peisisr dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assesment), merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
dan berkelanjutan.
Perencanaan dan pengelolaan dilakukan secara kontinyu
dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada.
Dimensi keterpaduan dalam ICM meliputi 5
aspek, yaitu: 1) keterpaduan sektor, 2) keterpaduan wilayah/ekologis, 3) keterpaduan stakeholders dan tingkat pemerintahan, 4) keterpaduan antar berbagai disiplin ilmu, dan 5) keterpaduan antar negara. Implementasi Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, menyiratkan agar daerah menjadi mampu melakukan sesuatu atas inisiatif yang berasal dari daerah, oleh daerah dan untuk daerah.
Pelaksanaan
UU tersebut memiliki implikasi terhadap kegiatan eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut, khususnya dalam hal pewilayahan daerah penangkapan ikan. Implikasi pertama, daerah provinsi maupun kota/kabupaten harus mengetahui potensi perikanan serta batas wilayahnya sebagai dasar untuk menentukan jenis dan tipe kegiatan perikanan yang sesuai di daerahnya. Implikasi kedua, provinsi harus mampu mengalokasikan 4 mil laut dari 12 mil laut kewenangannya kepada daerah kota/kabupaten. Namun demikian, khususnya untuk penangkapan ikan dan sifat sumberdaya ikan yang menembus batas wilayah, maka pengembangan perikanan membutuhkan perencanaan dan pengawasan yang efektif untuk menghindari pelanggaran wilayah oleh nelayan. Untuk penangkapan ikan tradisional, areal penangkapan tidak dibatasi wilayah laut, tetapi batasan tradisional belum ditentukan dengan pasti.
1.5. Prinsip Dasar Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Untuk memandu perencanaan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan telah menentukan prinsip-prinsip dasar pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang diuraikan dalam Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, seperti yang dikutip secara utuh di bawah ini. Prinsip-prinsip umum menguraikan tentang kaidah keterpaduan perencanaan, desentralisasi pengelolaan, pembangunan berkelanjutan, serta keterbukaan dan partisipasi masyarakat. Prinsip-prinsip dasar pengelolaan pesisir terpadu meliputi: 1) keterpaduan; 2) desentralisasi pengelolaan; 3) pembangunan berkelanjutan; 4) keterbukaan dan peranserta masyarakat; dan 5) kepastian
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
hukum. 1.6. Proses dan Prinsip-prinsip Pengelolaan Pesisir Terpadu Pengelolaan wilayah pesisir terpadu merupakan suatu upaya yang menyatukan antara pemerintah dengan masyarakat, ilmu pengetahuan dengan manajemen, dan antara kepentingan sektoral dengan kepentingan masyarakat dalam
mempersiapkan
dan
melaksanakan
perencanaan
terpadu
bag,
perlindungan dan pengembangan ekosistem pesisir terpadu (GESAMP, 1996). Sementara menurut Cicin-Sam dan Knecht (1998) dan Dahuri dkk (2001), dimensi keterpaduan dalam ICM meliputi lima aspek, yaitu (1) keterpaduan sektor, yaitu antara berbagai sektor pembangunan di wilayah pesisir, seperti perikanan (tangkap dan budidaya), pariwisata, pertambangan migas, perhubungan dan pelabuhan, pemukiman, pertanian, dll; (2) keterpaduan wilayah/ekologis, yaitu antara daratan dan perairan (laut) yang masuk dalam suatu sistem ekologis, (3) keterpaduan stakeholders dan tingkat pemerintahan, yaitu dengan melibatkan seluruh komponen stakeholders yang terdapat di wilayah pesisir dan juga adanya keterpaduan antara pemerintah pada berbagai level, seperti pusat, provinsi dan kabupaten; (4) keterpaduan antar berbagai disiplin limu, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu yang terkait dengan pesisir dan laut, seperti ih:iu sosial budaya, fisika, biologi, ketcknikan, ekologi, hukum dan kelembagaan, dan lain-lain; dan (5) keterpaduan antar negara, yaitu adanya kerjasama dan koordinasi antar negara dalam mengelola sumberdaya pesisir, terutama yang menyangkut kepentingan seluruh manusia. Kelima keterpaduan tersebut adalah sebagai berikut: 1.6.1. Keterpaduan Wilayah/Ekologis Secara keruangan dan ekologis wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara lahan atas (daratan) dan laut lepas. Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara daratan dan laut. Dengan keterkaitan kawasan tersebut, maka pengelolaan kawasan pesisir dan laut tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua kawasan tersebut. Berbagai dampak lingkungan yang mengenai kawasan pesisir dan laut adalah akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
yang dilakukan di lahan atas, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, pemukiman dan sebagainya. Demikian juga dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut. Penanggulangan pencemaran yang diakibatkan oleh industri dan limbah rumah tangga, sedimentasi akibat erosi dari kegiatan di lahan atas, dan limbah pertanian tidak dapat hanya dilakukan di kawasan pesisir saja, melainkan harus dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Oleh karena itu, pengelolaan di wilayah ini harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi satu kesatuan dan keterpaduan pengelolaan. Pengelolaan yang balk di wilayah pesisir akan hancur dalam sekejap jika tidak diimbangi dengan perencanaan pengelolaan DAS yang baik pula. Keterkaitan antar ekosistem yang ada di wilayah pesisir harus selalu diperhatikan, misalnya antara ekosistem mangrove dan terumbu karang.
Gambar 2. Keterpaduan Ekologis 1.6.2. Keterpaduan Sektor Sebagai konsekuensi dari besar dan beragamnya sumberdaya alam di kawasan pesisir dan laut adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor pelaku
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
pembangunan yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Akibatnya, sering kali terjadi tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut antara satu sektor dengan sektor lainnya. Agar pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pesisir dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan,
maka
dalam
perencanaan
pengelolaan
harus
mengintegrasikan semua kepentingan sektoral. Kegiatan suatu sektor tidak dibenarkan mengganggu, apalagi sampai mematikan kegiatan sektor lain. Keterpaduan sektoral ini, meliputi keterpaduan secara harisontal (antar sektor) dan keterpaduan secara vertikal (dalam satu sektor). Oleh karena itu, penyusunan tata ruang dan panduan pembangunan di kawasan pesisir sangat perlu dilakukan untuk menghindari benturan antara satu kegiatan dengan kegiatan pembangunan lainnya. 1.6.3. Keterpaduan Disiplin Ilmu Wilayah pesisir dan laut memiliki sifat dan karakteristik yang unik, baik sifat dan karakteristik ekosistem pesisir maupun sifat dan karakteristik sosial budaya masyarakat pesisir. Dengan sistem dinamika perairan pesisir yang khas, dibutuhkan disiplin ilmu khusus pula seperti hidrooseanografi, dinamika oseanografi dan sebagainya. Selain itu, kebutuhan akan disiplin ilmu lainnya juga sangat penting. Secara umum, keterpaduan disiplin ilmu dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut adalah ilmu-ilmu ekologi, oseanografi, keteknikan, ekonomi, hukum dan sosiologi. 1.6.4. Keterpaduan Stakeholders Segenap keterpaduan di atas, akan berhasil diterapkan apabila ditunjang oleh keterpaduan dari pelaku dan pengelola pembangunan di kawasan pesisir dan laut. Sepelti diketahui bahwa pelaku pembangunan dan pengelola sumberdaya alam wilayah pesisir antara lain terdiri dari pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat pesisir, swasta/investor dan juga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tnasing-masing memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir. Penyusunan perencanaan pengelolaan terpadu
harus
mampu
mengakomodir
segenap
kepentingan
pelaku
pembangunan sumberdaya pesisir dan laut. Oleh karena itu, perencanaan
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
pengelolaan pembangunan harus menggunakan pendekatan dua arah, yaitu pendekatan "bottom up"dan pendekatan "top down": 1.6.5. Keterpaduan Antar Negara Adanya sifat yang dinamis baik fisik maupun ekologi/biologi dari suatu pesisir, menyebabkan pendekatan administrasi memerlukan keterpaduan dari negara-negara terutama yang berdekatan untuk mengelola pesisir. Misalnya pengelolaari pesisir lintas negara antara Indonesia, Malaysia dan Singapura. Perubahan yang terjadi di wilayah pesisir Malaysia bisa saja memberikan dampak terhadap pengelolaan pesisir di Indonesia, misalnya terjadi tumpahan minyak di perairan/laut.
1.7. Manfaat Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Manfaat pengelolaan wilayah pesisir terpadu telah diuraikan dalam Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Peisisir Terpadu oleh Departemen Kelautan dan Perikanan seperti dikutip secara utuh di bawah ini. Manfaat pengelolaan wilayah pesisir terpadu menjelaskan keuntungan langsung maupun manfaat tidak langsung yang dapat diperoleh apabila menerapkannya secara konsisten. Manfaat program pengelolaan wilayah pesisir terpadu dapat diambil oleh berbagai tingkat pemerintahan mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, hingga desa, baik secara bersamaan maupun terpisah. Pelaksanaan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang konsisten serta sesuai dengan tujuan nasional dan daerah akan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang berperan serta. Misalnya, pelestarian atau rehabilitasi terumbu karang dapat meningkatkan ketersediaan sumberdaya ikan, terutama yang bernilai ekonomis penting serta mempunyai nilai tambah terhadap jasa lingkungannya sebagai lokasi wisata bahari. Besarnya manfaat program pengelolaan wilayah pesisir terpadu tergantung pada pandangan, persepsi, penilaian, dan tujuan yang dikehendaki oleh masyarakat itu sendiri dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir. Manfaat keikutsertaan masyarakat di dalam program pengelolaan wilayah pesisir terpadu, antara lain untuk: a. Keberlanjutan sumberdaya pesisir, seperti sumberdaya ikan, mangrove, terumbu karang, dan padang lamun;
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
b. Menghindari pencemaran dan melindungi kesehatan masyarakat ; c. Meningkatkan manfaat ekonomi yang diperoleh dari jasa lingkungan laut (pariwisata, energi nirkonvensional, dan industri maritim) ; d. Mengembangkan bioteknologi sumberdaya pesisir untuk produk farmasi, kosmetika, squalene, dan sebagainya; e. Mengembangkan sistem perekonomian yang berbasis pada masyarakat; f.
Mengembangkan kearifan lokal bagi kelestarian ekosistem pesisir.
1.8. Permasalahan Semua kekayaan sebagai "amanah" yang tak ternilai itu patut disyukuri masyarakat Indonesia. Namun demikian, hal tersebut takkan berarti sama sekali jika kemudian kekayaan itu tidak dikelola dengan benar dan berkelanjutan (sustainable). Dalam waktu singkat, sumberdaya wilayah pesisir dan lautan tersebut akan habis atau rusak akibat ulah manusia penggunanya sendiri. Kekhawatiran ini bukannya tanpa alasan, karena pada saat ini wilayah pesisir dihadapkan pada berbagai permasalahan pelik yang mengancam integritas sumberdayanya.
Permasalahan
-
permasalahan
yang
dihadapi
dapat
diklasifikasi menjadi tiga macam kategori, yaitu masalah bio-fisik lingkungan, masalah sosial ekonomi, dan masalah kelembagaan yang masing-masing diuraikan secara ringkas di bawah ini. 1.8.1.Masalah Bio-Fisik Lingkungan Saat ini laju kerusakan bio-fisik lingkungan sumberdaya pesisir dan lautan telah mencapai tingkat yang membahayakan akibat ketidakefektifan pengelolaan dan sebab-sebab lain, termasuk kerusakan terumbu karang, kerusakan mangrove, kerusakan akibat pemanfaatan yang berlebihan (over exploitation), pencemaran laut, dan bencana alam di wilayah pesisir. Luasan terumbu karang semakin berkurang, di mana sekitar 41,78% di antaranya dalam kondisi rusak berat. Kawasan mangrove juga meny zusut tiap tahun. Tahun 1982, luas mangrove tercatat 5,2 juta hektar dan pada tahun 1993 habis lebih dari separuh sehingga tinggal 2,4 juta hektar. Sumberdaya perikanan laut yang mengalami pemanfaatan lebih, baik yang terjadi di seluruh atau sebagian perairan laut Indonesia, meliputi udang, ikan karang,
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
ikan dimersal, ikan pelagis kecil, serta ikan pelagis besar. Pencemaran laut senantiasa masih berlanjut, termasuk pencemaran yang datang dari kegiatan di darat, emisi pesawat terbang, pelayaran/perkapalan dan peristiwa tumpahan minyak, pembuangan limbah ke laut (ocean dumping), serta kegiatan penambangan minyak dan kegiatan lepas pantai lainnya. Nelayan semakin sulit mendapatkan hasil tangkapan karena laut tercemar. Selain kerusakan akibat ulah manusia, bencana alam (tsunami, banjir) juga berkontribusi terhadap kerusakan wilayah pesisir. 1.8.2. Masalah Sosial Ekonomi Permasalahan di wilayah pesisir lain yang tidak kalah pentingnya adalah marginalisasi masyarakat pesisir pada umumnya, terutama para nelayan kecil, sehingga sebagian besar dari mereka tergolong sebagai masyarakat berpenghasilan rendah. Hasil studi COREMAP di 10 (sepuluh) provinsi pada tahun 1998 menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan perbulan berada jauh di bawah upah minimun regional perbulan pada waktu itu. Hal ini terasa sangat ironis karena wilayah pesisir menyimpan sumberdaya alam terbaharui yang begitu melimpah, namun kekayaan alam tersebut justru lebih banyak dinikmati oleh mereka yang bukan nelayan. Masalah pengelolaan wilayah pesisir juga diperumit oleh pemahaman
masyarakat
yang
belum
memadai
tentang
nilai
yang
sebenarnya dari sumberdaya pesisir secara keseluruhan. Pada umumnya masyarakat hanya memahami sumberdaya pesisir (ikan, terumbu karang, mangrove) sebagai sumberdaya untuk konsumsi langsung, sedikit dari mereka yang memahami nilai sumberdaya pesisir sebagai penahan banjir, estetika, atau pemanfaatan untuk obat-obatan yang nilai ekonominya bisa jadi jauh lebih tinggi. 1.8.3. Masalah Kelembagaan Selain masalah kerusakan bio-fisik lingkungan dan masalah sosial ekonomi, wilayah pesisir juga menyimpan permasalahan kelembagaan yang rumit, yaitu masalah konflik pemanfaatan dan kewenangan, serta masalah ketidakpastian hukum. Konflik pemanfaatan dan kewenangan terjadi karena
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
wilayah pesisir merupakan pertemuan antara kegiatan di darat dan kegiatan di laut. Semua kegiatan di darat yang akan ke laut sudah pasti melalui wilayah pesisir, demikian juga sebaliknya. Hal ini makin diperburuk dengan kenyataan bahwa sampai saat ini belum ada undang-undang yang mengatur penataan ruang atau zonasi perairan laut di wilayah pesisir. Menurut kajian Naskah Akademik yang dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan, sedikitnya ada 14 sektor pembangunan yang didukung oleh 20 undang-undang yang bergerak di wilayah pesisir. Pembangunan sektoral pada umumnya mementingkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir
untuk
kepentingan
sektornya
masing-masing,
dan
kurang
memperhatikan dampak yang bisa ditimbulkan pada sektor lainnya. Undangundang yang ada tersebut dirasakan masih bersifat sektoral dalam mengatur atau memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir. Dalam literatur, ditemukan berbagai jenis konflik pemanfaatan dan kewenangan, misalnya konflik antara kepentingan konservasi mangrove dengan pembangunan lapangan golf dan perumahan mewah, konflik antara nelayan tradisional dan nelayan trawl atau pembudidaya mutiara, konflik antara kepentingan konservasi perikanan tangkap dan pengembangan industri pariwisata, serta konflikkonflik lainnya. Ketidakpastian hukum sering terjadi karena adanya ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir. Pada umumnya masyarakat menganggap wilayah perairan pesisir sebagai wilayah tanpa pemilik (open access property). Di lain pihak, pemerintah menganggap wilayah tersebut sebagai milik negara (state
property). Sedangkan masyarakat adat
menganggapnya sebagai milik bersama (hak ulayat -- common property). Hal ini
masih
diperparah
lagi
dengan
adanya
konflik
antar
peraturan
perundangan dan kekosongan hukum. Sebagai contoh, UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa penataan ruang laut adalah wewenang Pemerintah Pusat, sedangkan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa penataan ruang laut sebatas 12 mil menjadi wewenang Pemerintah Daerah. Sementara itu masih terjadi kekosongan
hukum
seperti
belum
adanya
pengaturan
mengenai
pengusahaan bagian-bagian tertentu wilayah pesisir untuk usaha budidaya laut dan pengelolaan pulau-pulau kecil.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
1.9. Tantangan Tantangan terbesar Indonesia kini dan mendatang adalah bagaimana mengembangkan suatu bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang bukan saja merangsang pertumbuhan ekonomi, melainkan juga melestarikan sumberdayanya. Pengelolaan ini tidak sekadar menuntut kepedulian dan tanggung jawab masyarakat nelayan dan pesisir-lautan, yang selama ini mendiami wilayah tersebut, atau menjadi pekerjaan pemerintah semata. Pengelolaan pesisir dan lautan harus melibatkan masyarakat dan seluruh pihak yang berkepentingan.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
DAFTAR PUSTAKA Ali, S.A dan Huasain, A. A. 1996. Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Laut . Makalah disajikan pada Pelatihan Ekologi Perikanan di Ujung Pandang. Kerjasama PSDAL Unhas dengan Bakosurtanal. Ujung Pandang Maret – April 1996. Allen, G.R. 1997. Marine Fishes of Southeast Asia. dalam : Jompa, J. 2005. Ekosistem Terumbu Karang. Makalah disajikan pada Pelatihan ICZM di Gorontalo. Bappedalda Gorontalo. Gorontalo 16 Agustus 2005. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional – BAPPENAS. 2004. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta. Balai Taman Nasional Taka Bonerate. 2004. Keanekaragaman Hayati, (online), http://www.takabonerate.go.id/potensi_biotik.htm. (diakses 05 September 2006). Beatly, et.al. 2002. An Instruduction to Coastal Zone Management. dalam Bengen, D. G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL - IPB. Bogor. Beller, et.al. 1990. Suiastainable Development and Enviromental Management of Small Island. dalam : Bengen, D. G. 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiositem. P4L. Bogor. Bengen, D. G. 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiositem. PKSPL - IPB. Bogor Charles, A. 2000. Suistainable Fisheries System. dalam : Bengen, D. G. 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiositem. P4L. Bogor. Cincin – Sain, B. et. al. 1998 . Integrated Coastal and Ocean Management : Concepts and Practice. dalam : Bengen, D. G. 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis EkoSosiositem. P4L. Bogor Dahuri, R., dkk. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Edyanto, 1998. Dasar – dasar Pertimbangan di Dalam Pengelolaan Lahan Pulau Kecil. dalam : Bengen, D. G. 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiositem. P4L. Bogor
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Kasim, M. 2005. Lingkungan Ekosistem Pesisir, http:/maruf.wordpress.com/2005/12/27/lingkungan ekosistem (diakses 05 September 2006).
(online), pesisir/,
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Odum, E.P. Phidelphia.
1988.
Fundamental of Ecology.
W.B. Sounders Company.
Soegiarto, A. 1984. Oseanologi di Indonesia : Prospek dan Problem Usaha Pengembangan Sumberdaya Alam Lautan dan Wilayah Pesisir. Lembaga Oseanologi Nasional – LIPI. Jakarta. Yanuarita, D. 2005. Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau – pulau dan Pengembangan Wisata Bahari. Makalah disajikan pada Pelatihan ICZM di Gorontalo. Bappedalda Gorontalo. Gorontalo 16 Agustus 2005.
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
KONSERVASI EKOSISTEM DAN BIOTA
OLEH :
Ir. DEWI YANUARITA, M.Si
Disampaikan pada : WORKSHOP GURU TENTANG MUATAN LOKAL Benteng Selayar, 29 – 30 September 2006
CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM (COREMAP) II KABUPATEN SELAYAR KERJASAMA DENGAN
DIVISI KELAUTAN PUSAT KEGIATAN PENELITIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2006
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
Divisi Kelautan Unhas
Laporan Akhir: Workshop Guru tentang Muatan Lokal
LAMPIRAN 6 BIODATA PESERTA WORKSHOP GURU TENTANG MUATAN LOKAL
Divisi Kelautan Unhas