1 LEBARAN Hamzah duduk sendirian. Tubuh mungilnya tiada bergerak. Diam membisu bagai arca batu. Siswa kelas enam Sekolah Dasar terlukis sedang menopang dagu. Sorot matanya kosong, nafasnya berungkali tersengal. Kamar sempit berdinding tembok renta, tanpa hiasan, tanpa lukisan, kecuali lemari tua berbahan kayu mahoni yang berdiri di sudut ruang. Di ruangan itu Hamzah terus tepekur memetik keheningan. Mahluk belia ini memberanikan diri memutus mata rantai keramaian. Hingga raganya pun dituntun menjauh dari hiruk-pikuk. Menghindar sejengkal demi sejengkal dari semua kegaduhan. Ruang di sebelahnya memang tengah penuh sesak. Barisan tamu, sanak-saudara atau tetangga, silih berganti tiba. Walau begitu, bocah ini tetap saja berteguh diri memeluk keheningan. Seolaholah bocah berhidung panjang ini sedang menguji seutas niat, memerankan lakon pertapa. Kebanyakan sebaya-nya jelas-jelas sedang sibuk menelurkan senda gurau. Berisik berebut uang saku atau melahap jajanan beraneka rupa. Entah mengapa bocah terpandai di sekolahnya itu tiada
lagi menyisakan minat pada kesenangan. Ia justru khusyuk bersemayam di altar kensunyian. Pada hari yang seharusnya bercita rasa gemebyar, akhir pekan yang diluberi senyuman, sesosok bocah justru kehilangan segenap keceriaan. “Hamzah, kenapa kamu disini?” Laki-laki berperawakan tinggi besar menelisik melewati pintu kamar. Memecah sunyi, melempar tanya. Hamzah tetap tak bergeming, ajeg membungkam, tiada jua bergerak. “Paman Ahmad menayakanmu, Anakku. Ini kan Lebaran. Janganlah engkau bermuram durja dan menyendiri.” Hamzah kukuh tak menyahut. Riduan, lelaki berjanggut tebal, mulai dihinggapi sejumput tanya. Tidak selazimnya, bila si sulung menampilkan sikap demikian. Terlebih di hari istimewa, Hari Raya Idul Fitri. “Ada apa, Anak ku? Katakan pada Ayah.” Sekalilagi Riduan tak menerima tanggapan. Pertanyaan kembali tak bersahut. Sejenak dilayangkan senyuman dari bibir tipisnya. Sepasang kaki lalu dilangkahkan perlahan. Riduan mendekat. “Apakah engkau kurang suka dengan baju baru yang Ayah belikan?”
2
Hamzah mengeser letak duduk. Tidak lagi memunggungi ayahnya. “Aku tak menyukainya lagi.” Riduan seketika saja terhenyak. Sama sekali tak menyangka jawaban yang mampir di telinga. Sebelum-sebelumnya, Hamzah bukanlah bocah semacam itu. Dia lelaki mungil yang dipenuhi rasa syukur. Bocah ini selalu bergembira pada setiap pemberian. Terlebih bila itu pemberian dari sang ayah. “Kenapa, Anakku? Apakah karena warna baju itu merah menyala? Bukannya dirimu menyukai warna merah? Maafkan bila Ayah salah memilihkannya untuk mu.” Pelan-pelan jemari Riduan mengelus rambut ikal buah cintanya. “Aku tak menyukainya lagi.” Riduan bertambah bingung, meraba maksud hati Hamzah.
tak
sanggup
“Anakku, Ayah harus berpanas-panas dahulu untuk mendapatkan baju itu. Bahkan, punggung ayah harus dipukuli aparat. Tahukah engkau Hamzah? Rasa sakitnya masih terasa sampai sekarang. Punggung Ayah masih memar, Nak”, Riduan mulai terdengar memelas.
3
“Iya, Hamzah tak akan lupa. Ayah berdemo bersama teman-teman ayah di pabrik agar THR bisa dibayarkan. Ayah dipukuli. Hamzah, Aisyah dan juga Ibu kemudian mendapat baju baru.” Riduan seketika tersenyum. Benaknya kembali berbunga. Ternyata Hamzah masih mengingat jerih payah perjuangannya. Ciuman hangat serta-merta mendarat di kening bocah dua belas tahun. “Ayo kita ke ruang tamu, Nak”, Riduan meraih pergelangan tangan Hamzah. “Kenapa, Ayah?” “Loh, ini kan hari Lebaran. Paman mu sudah dari tadi menunggu, Anakku” “Bukan itu yang Hamzah maksud.” “Lantas?” “Hamzah baru mau meninggalkan kamar, jika Ayah sudah menjawab pertanyaan Hamzah.” Riduan sejenak menahan nafas, jemari besarnya kembali mengelus rambut anak lelakinya. “Coba Hamzah katakan, apa pertanyaannya. Ayah pasti akan menjawab.” Bocah berbaju merah tak seketika menimpali. Tangannya memegang kancing baju, memainkannya berulang-ulang. Sampai beberapa saat berlalu, mulut Hamzah pun akhirnya terbuka.
4
“Ayah kenal dengan Ibu Ati? Beliau tinggal di Marunda.” Riduan mengerutkan dahi, diikuti garukan di kepala. “Siapa Ibu Ati itu? Marunda dimana ya?” Pertanyaan dibalas pertanyaan. Riduan ternyata tak seutuhnya siap menjawab pertanyaan bocah Sekolah Dasar. Tanpa diduga wajah Hamzah tiba-tiba saja memerah, butiran air mata menyusul berjatuhan. “Kalau Joni Malela, apakah Ayah tau?” Riduan mengerutkan dahi lebih keras. Tiada secuil pun memahami pertanyaan anaknya. Bersamaan dengan kebingungan yang melanda benak Riduan, butiran airmata justru kian membecek di pipi si sulung. Riduan sontak terserang rasa cemas yang besar. “Ibu Ati warga Marunda, Jakarta. Setiap hari beliau mengkais-kais gundukan sampah, memburu isi perut. Bersama anak-anaknya, beliau menelan makanan sisa yang diaduk dari tumpukan sampah! Setiap hari, Ayah!” Riduan terdiam, duduk terpaku. Kalimat demi kalimat dari Hamzah mengantarkannya pada dugaan-dugaan.
5