tuK 'ffirunoun -Jurnal
t. t,
l{-
ISSN:1907-l/t26
Mfifl:T
,'-"'gp#Sffi#ffi'#: Volum€ 2 Nomo.2. Asustus 2006
Penanggung Jawabl Dr Bambang H. Widjaja Pemimpin Redaksi: Ery Prasadja, M.Div.
EditorAhli (Consu/ting & Cont buting Edilors): '1. Andreas Rahardjo, M.A. Bambang Budijanto, Ph.D. Dr. Bambang H. Widjaja DanielKurnia, Ph.D. DanielSumitro. M.A.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14.
Ed Pousson, Ph.D. Gidecn Tanbunaan, Ph.D. Dr. Hada Andriala Hwa Yung, Ph.D. han Santoso. Ph.D. Martin Muslie, N.,l.lvl. dr (Med.) Paulus Rahardjo Dr. Yacob Tomatala Rev. Wong Kim Kong
Editor Pelaksana (Executi'/e Editots) : Stefanus R. Budiman, M.ThSarwo Saksono, M.C.S. Aripin Tambunan, M.A. Sukamto, M.Oiv.
1. 2. 3. 4.
Distribusi dan Keuangani Lena Sembiring. S.E.
Alamal Redaksi: Jalan Pasir Koja 58, Bandung 40241, lndonesia Bank Acc: Bank Danamon Cabang Merdeka. Eandung No. Rek. 000.281.4390 A./N : STT lNTl
Jurnal TRANSFORMA S, adalah jurnal yang diterbitkan secara berkala oleh lnstitul Teologi lndonesia (lNTl). Jufra, TRANSFORMASI berusaha mengembangkan isu-isu yang berhubungan dengan pelayanan, misi dan kepemimpinan Kristen dalam konteks yang luas dan transformatif. Sebagai produk dari sebuah institusi pendidikan teologia, Jurnal IRA NSFORMAS/ menampilkan sajian-sajian yang dapat dipertanggung-jawabkan secara akademis, tetapi juga muatan reflektif yang relevan dengan kehidupan nyata sehari-
hati. Jurnal
TRANSFORMASI
ditamPilkan di dalam bahasa yang bersahabat dengan tujuan memaksimumkan efek transformatif yang lebih luas bagipembacanya.
Jurnal TRANSFORMAS,
diterbitkan
dengan tujuan mgngaktualisasikan konsep-konsep dan nilai-nilai iman Kristen (teologia & etika) yang dapat dicerna, ditafsirkan serta diimplementasikan di
dalam kehidupan dunia nyata. Komunitas pembaca Jurna, TRATVSFORMASI adalah akademisi teologia,
mahasiswa-mahasiswi teologia, pemimpin gereja dan lembaga kristiani, serta umat Kristen secara luas yang terlibat di
dalam pelayanan, misi, dan kepemimpinan Kristen.
Redaksi menerima makalah hasil penelitian lapangan maupun leologis, selain artikel-artikel lain yang bersifat reflektifteologis serta berhubungan dengan misi, pelayanan dan kepemimpinan Kristen dalam konteksyangluas.
EDITORIAL Politik adalah sebuah kata dengan makna yang tidak terbatas. Memberikan makna yang berotoritas ternadap kata 'politik" Adalah tugas yang mungkin-sulit untuk dilakukan. Jurnal Transformasi di satu sisi tidak menolak makna baku yang tercantum di dalam buku-buku referensi, tetapi di sisi lain memahami bahwa makna baku sering tidak berbicara jika tidak
dilekatkan pada pemahaman konteks dan realita kehidupan. para penulis di dalam Jurnal Transformasi edisi kali ini memahami dengan sungguh-sungguh kesulitan ini. pemahaman para penulis mengenai politik adalah berbeda-beda. Jurnal Transformasi edisi kali ini tidak memberikan acuan yang ketat di dalam pemaknaan yang . terkandung di dalam istilah ,,politik." Kekayaan dan kealekaragaman penulis yang mewakili berbagai lembaga dan profesi serta latar belakang pendidikan menjadi nilai positif yang IenlSygD Keanekaragaman pemahaman yang dimiliki pembaca jurnal ini. Kenyataan di atas bukanlah sesuatu hal yang baru dan tidak perlu disambut dengan reaksi yang terlalu berlebihan. Di dalam jaman. yang beraneka warna seperti sekarang ini, mengunci seluruh umat manusia dengan satu pendapat adalah suatu ulaha yang tidak mungkin. Di dalam dunia Kristen-pun, pandangan mengenai gereja, misi dan kepemimpinan juga sangat beraneka ragam. Jurnal Transformasi kali ini mengangkat tema mengenai Kepemimpinan Kristen dan Politik. Artikel-artikel dalam Jurnal Transformasi diharapkan untuk menjadi ladang diskusi yang terbuka dan bermanfaat di dalam proses merumuskan nilai-nila-i kristiani yang diharapkan dapat membangun hubungan konstruktif antara dunia gereja dan dunia politik.l Kepemimpinan Kristen yang transformatif adalah kunci menuju terciptanya hubungan konstruktif antara dunia gereja dam dunia politik. Eddy Paimoen bersikap sangat positif terhadap keterlibatan umat Kristen di dalam politik dan proses pembangunan bangsa. Paimoen tidak mengabaikan fakta bahwa umat kristen adilah minoritas secara jumlah yang dinilainya bukan sebagai alasan 1
Penggunaan istilah 'dunia" adalah dengan sengaia untuk msnuniukkan: pemahaman manusia (persepsi) baik-terhadap garela maupun -qgt"q3 [,""ny" politik;2) B.elapa rumitnya pemaknaan teotogis (Oetinisil Oait tehadap geiela maupun politik; dan 3) Betapa terpisah dan terbatasnya (secara umum) interakli (praksis) di anlara gereja dan politik. _. 1)
_
untuk tidak melibatkan diri di dalam kehidupan berbangsa. Analisis teologi menunjukkan bahwa tugas (misi) gereja yang tidak bisa ditawar adalah memberitakan kabar baik yang utuh, menumbuhkan dan memelihara kehidupan Tubuh Kristus dengan etika Kerajaan Allah, dan keterlibatan aktif di dalam membangun bangsa. Dasar terpenting dari tugas gereja di dalam konteks lndonesia adalah di dalam menciptakan dan menegakkan keadilan dan kebenaran yang memang langka dan samar-samar di tanah air tercinta. Kabar baik yang diberitakan, etika Kristen yang dibangun, dan keterlibatan di dalam pembangunan bangsa, lika demikian harus di dalam rangka memunculkan kembali kebenaran dan keadilan yang telah lama terkubur. Pemimpin yang sejati adalah pokok bahasan yang ditampilkan oleh Victor Silaen, terlepas apakah pemimpin tersebut dikelompokkan sebagai pemimpin politik atau pemimpin Krislen. Analisis yang disajikan menjadi sangat menarik bukan saja karena bahasan Alkitab yang lugas serta diskusi teologis yang sederhana, namun juga karena contoh-contoh konkret sepanjang sejarah dunia (dan gereja). Rekonstruksi argumen Silaen didukung juga oleh contoh pemimpin-pemimpin yang masih berkuasa hingga saat ini. Pemimpin Kristen ternyata tidak selalu menjadi pemimpin yang kristiani yang sejati. Label dan simbolsimbol Kristen tidak menentukan kualitas kesejatian dari seorang pemimpin. Sebaliknya, Tuhan iuga bekerja melalui pemimpinpemimpin yang tidak memakai simbol-simbol dan atribut Kristen. Secara implisit, artikel ini menunjukkan bahwa Tuhan bekerja di segala bidang sepanjang sejarah umat manusia (bukan hanya sejarah gereja). Titik kritis dari bahasan Silaen bukanlah perbandingan antara pemimpin Kristen dan pemimpin politik, tetapi antara pemimpin sejati dan pemimpin palsu. "Politik adalah suatu proses pengambilan keputusan" definisi ini diberikan oleh Pranowo. Karenanya politik tidaklah seharusnya menjadi sesuatu yang asing bagi umat Kristen. Artikel ini ada bahan tertulis yang disampaikan dalam rangka wisuda lnstitut Teologi lndonesia 2006. Pranowo mengingatkan kepada para wisudawan dan wisudawati beberapa hal yang amat sangat penting: l) Kesadaran bahwa umat Kristen diutus bukan ke tempat yang mudah. Kehadiran umat Kristen di dunia (termasuk dunia politik) adalah seperti domba di tengah-tengah serigala; 2) Kesadaran bahwa Negara Kesaluan Republik lndonesia (NKRI) tidak dapat dipisahkan dari dasar negara Pancasila. Wisudawan dan wisudawati ditantang untuk dengan bersungguh-sungguh mengupayakan tegaknya Pancasila sebagai dasar negara
-
Republik lndonesia. Jika dasar negara berubah, maka hakekat NKRI akan berubah; 3) Kesadaran bahwa umat Kristen tidak seharusnya memisahkan diri dari dunia politik. Sejarah lndonesia menunjukkan peranan penting tokoh-tokoh Kristen yang berjuang dengan penuh keberanian untuk kepentingan bangsa; 4) Kesadaran akan pentingnya demokrasi yang anti diskriminasi. Penulis setidaknya melihat segala bentuk diskriminasi sebagai salah satu ancaman yang paling membahayakan keutuhan NKRI. Roland P. Sihombing menguraikan dinamika keterlibatan umat Kristen di dalam dunia politik sepanjang sejarah lndonesia, dengan penekanan masa Orde Baru dan setelahnya. Sebagai angkatan muda Kristen yang menaruh perhatian dalam dunia politik, secara implisit Sihombing mengutarakan ketidakpuasannya terhadap keterlibatan gereja di dalam dunia politik. Artikel ini menjelaskan dua laktor yang menyebabkan ketidak-efektifan keterlibatan gereja dalam dunia politik. Faktor eksternal adalah dinamika kemajuan dan perkembangan politik lslam di lndonesia serta gelombang kekuasaan yang selalu berubah-ubah (baik dalam 32 tahun masa Orde Baru maupun sesudahnya). Faktor internal adalah apa yang disebut Sihombing sebagai kebimbangan teologis dan ketidakseragaman visi gereja. Pada kenyataannya, laktor eksternal sering tidak dapat dikendalikan. Celakanya, "menyatukan" pandangan teologis dan visi gereja adalah jauh lebih sulit, jika tidak mungkin. Analisis historis mengenai dinamika hubungan lslam dan Negara disaiikan oleh Sukamto. Dengan mengambil konteks sejarah lndonesia, khususnya dalam masa pemerintahan Orde Baru dan setelahnya, Sukamto berhasil membangun beberapa pemahaman kunci. Pertama, Negara (politik) tidak dapat dipisahkan dari agama dalam ajaran lslam. Kedua, tidak kalah menariknya, perkembangan politik lslam di tanah air ternyata tidaklah murni hasil perjuangan umat lslam, telapi iuga karena kepentingan-kepentingan elite politik yang berkuasa. Ketiga, identitas dan perjuangan lslam di tanah air menjadi amat menarik, terulama karena Kristen dianggap sebagai agama penjaiah. lsu ini secara tidak sadar masih sangat efektil di dalam mengganggu keharmonisan hubungan lslam-Kristen di tanah air. Keempat, lslam di lndonesia ternyata tidak seragam. Keberadaan lslam yang sering dikritik sebagai pemicu radikalisme dan terorisme ternyata tidak mewakili kelompok yang mayoritas, namun demikian suara kelompok ini terdengar lebih keras dibandingkan kelompok mayoritasnya
Robert Setio, dalam artikelnya sangat berantusias dan mendorong terciptanya interaksi yang konstruktif antara agama
dan politik. Di dalam konteks Kristen, Setio melihat bihwa
keterlibatan gereja (orang Kristen) di dalam dunia politik adalah pertamatama dan dengan sendirinya menjadi kesaksian yang hidup .bagi dunia yang dikenal oleh banyak orang sebagai dunii yang kotor. Menurut Setio, keterlibatan orang Kristen di dalam politik memiliki potensi di dalam mengubah citra politik sebagai sesuatu yang kotor menjadi sesuatu yang bersih. Salah satu citra pemimpin Kristen yang ditekankan di dalam artikel ini adalah
pemberdayaan manusia. Partisipasi masyarakat dan pendewasaan umat haruslah menjadi prinsip utama - bukan pembodohan dan pengendalian yang semena-mena. Setio menandai bahwa pemimpin yang demikianlah yang akan
memberikan kontribusi positif di dalam dunia politik. Katherine O'Connell menyajikan tulisan singkat mengenai fenomena korupsi yang sangat lazim di dalam dunia politik. Artikel yang relati{ pendek ini harus dipuji karena ketajamannya di dalam menjawab . pertanyaan mengenai 'Apakah penerapan hukum dapat mencegah dan memberantas korupsi?" O'Connell tidak optimis bahwa hukum akan dengan sendirinya mengubah perilaku manusia terhadap korupsi. Jawaban ini bukanlah sesuatu yang bersifat teoritis, kenyataan di lndonesia adalah contohnya. Artikel ini menjadi menarik, karena penulisnya menyisakan satu tempat bagi gereja (di antara sekian banyak laktor) untuk memberikan kontribusi dan peranannya di dalam pemberantasan korupsi. Apakah gereja terpanggil untuk berperan? Atau diam di tempat menyaksikan kesuraman jaman? Atau bahkan lebih celaka lagi terlibat aktif di dalam menyuburkan budaya korupsi di lndonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini bersifat retlektif sebagai suatu koreksi konstruktif bagi umat Kristen di lndonesia. Aripin Tambunan memberikan peringatan yang sangat keras terhadap umat Kristen yang telah dikaburkan dari realita iman yang sesungguhnya. Artikel ini membawa pembaca untuk selalu menguji segala aspek di dalam kehidupan ini, untuk memisahkan apa yang maya dari apa yang nyata. Tambunan tampak bersikap sangat pesimis dengan jaman post-modern seperti sekarang ini, yang menurutnya adalah sumber dari segala pergeseran nilai-nilai. Post-modern bahkan telah menjadi sumber yang menggeser dunia nyata kepada dunia yang tidak nyata (post-realita). Tambunan secara eksplisit juga sangat pesimis melihat gereja dan kepimpinan Kristen pada jaman ipi, yang nampak tidak dapat membedakan anlara iman dan fenomena emosionil sesaat.
Keg.airahan yang berapi-api di dalam kehidupan beragama beribadah dipandang oleh Tambunan dengan sangat hati-hati sebagai gejala'hyper-rilualitas.' Meskipun Tambunin mungkin tidak bermaksud demikian, namun artikel yang ditulisnya talah memberikan imej bahwa iman Kristen adalah iman yang sangat rigid dan sulit beradaptasi dengan segala bentuk kemodeman dan perkembangan jaman. Bagaimanapun juga, artikel ini memberikan
kontribusi yang penting: Peringatan yang diberikan oleh
Tambunan harus ditanggapi secara serius oleh para pemimpin Kristen. Namun demikian tidak seharusnya gereja meniadi institusi yang dipenuhi oleh ketakutan dan keragu-raguan terhadap modernisasi. Ketakutan semacam itu akan memimpin gereja menjadi institusi yang anti-sosial dan anti bermasyarakat - dan karenanya mandul di dalam turut membangun bangsa. Resensi buku (Marcus Borg) yang disajikan oleh Sanvo lll, Saksono sangat menarik. Berbeda dengan artikel-artikel utama dalam edisi kali ini yang mengambil konteks kontemporer lndonesia, Borg mengulas isu klasik mengenai situasi politik pada jaman Tuhan Yesus. Rekonstruksi sejarah Borg memperlihatkan bahwa isu politik dan isu agama (visi, ritual dan tradisi) temyata saling terkait. Tuhan Yesus pada akhirnya menjadi pemimpin dengan identitas yang beragam. Selain sebagai pemimpin gerakan keagamaan pada masanya, Jesus juga dipandang sebagai pemimpin gerakan politik. Untuk memisahkan dua peranan tersebut tidaklah mudah jika tidak mungkin. Di dalam upaya menajamkan pemikiran-pemikiran yang tertuang di dalam jurnal edisi kali ini, Prasadia menawarkan sebuah refleksi teologis. Bagian pertama dari refleksi tersebut mengundang para pemimpin Kristen untuk menjadi terang di tengah-tengah rimba politik yang tidak ditopang oleh pelaksanaan hukum yang lemah. Bagian yang kedua adalah rekapitulasi berbagai pilihan yang dapat diambil oleh umat Kristen di lndonesia. Bagian yang ketiga merupakan undangan untuk memulai, mendampingi dan m€ngakhiri perialanan politik lndonesia yang berat ini dan keterlibatan gereia di dalamnya dengan doa. Orde Baru dinilai oleh hampir semua penulis sebagai akar yang mengacaukan keseimbangan hidup bemegara dan berbangsa. Peranan dan perkembangan politik lslam sepanjang sejarah lndonesia diakui secara terbuka setidaknya oleh Pranowo, Sihombing dan Soekamto sebagai salah satu faktor paling penting yang mempengaruhi peranan politik umat Kdsten. Hubungan lslam-Kristen yang secara jujur sudah sering menemui kondisi
kritis di negara ini parahnya diperburuk oleh politik Orde Baru.
K€terlibatan gereja (dan unsur-unsur agama) di dalam politik juga disterilisasi oleh rezim Orde Baru. Saat ini kita hidup menuai apa yang ditabur oleh rezim pendahulu kita. Para penulis setuju bahwa situasi saat ini tidaklah mudah bagi umat Kristen untuk terlibat di dalam dunia politik dan proses membangun bangsa. Tanpa harus menganggap remeh situasi nyata yang sedang terjadi di dunia politik lndonesia, pemimpin Kristen dipanggil untuk melihat potensi lndonesia masa depan yang dipenuhi dengan keadilan, kebenaran dan keseiahteraan. lmpian besar semacam ini bukanlah sekedar katakata yang kosong jika disertai dan dimulai dengan kerelaan dan keberanian untuk memanggul sebagian beban politik dan pembangunan bangsa dan dengan tiada henti bergantung kepada Tuhan di dalam doa. Mari melangkah!
-
Ery Prasadja,
Oxlord, 19 Juli 2006 Soli Deo Gloria
vi
lssl.l: 1907-1426
\rotunlc 2 Nomor2 -Agu.tu.2006
DAFTAR ISI EDITORIAL
i
DAFTAR tSt ............
vii
Penggalian Dasar-dasar/Konsep Teotogis Untuk pendidikan dan Penyadaran Politik Bagi Orang Kristen di Indonesia Agar Mampu Turut
Serta dalam Proses Pgmbangunan Bangsa Edcty Paimoen, D.Th .......-.------------
Pemimpin Kristen dan Pemimpin politik: Sekilas,Kaiian perbandingan Dt. Wctor Silaen ....
17
Peran Stralegis Kepemimpin Kristen dalam Konstelasl politik Kebangsaan lndonesia Mayjen (Pum) Pemimpin Kdsten dalam Percaturan Politik di lndonesia Roland P. Sihombing, sTh....
47
Dinamika Politik lslam di lndonesia dari Masa Orde Baru sarnpai post Suhado Sukamto, M.Div.,.... --..- -. --
65
Pemimpin Politik yang Memberdayakan RakyaL Membangun Citra Kekrislenan dalam Politik Robeft setio, Ph.D. ..
87
"ls Overcoming Conuption Just Matter of Sticter Enlorcement?"
t"-aws and Their Better
Katheine Oconnell,
105
Kepemimpinan Kristen dalam Menyikapi Postrealitas di Era postmodem Afipin Tambunan, M.A.............-..-........
'113
Resensi Buku: "Conflict, Holliness and Politics ln The Teaching ol Jesus" SaNo M. Saksono, M.C.S. ....................
129
Refleksi Ery Prasadja, M.Div.
133
KONTRIBUTOR
139
vii
PEMIMPIN POLITIK YAI\IG MEMBERDAYAI{AN RAI(YAT Membangun Citra Kekristenan dalam poltttk Robert Sefio
€& PENDAHULUAN
Setelah kejatuhan rezim Orde Baru (Orba), dunia politik di lndonesia mengalami perubahan yang sangat drastis. Kalau
semula dunia politik hanya boleh dimiliki dan dimainkan oleh rezim yang sedang berkuasa, pada masa yang sering disebut dengan Reformasi, monopoli politik semacam itu tidak lagi dirasakan. Pintu terbuka lebar-lebar bagi keterlibatan mereka yang tidak berkLrasa untuk memperlihatkan pengaruh politiknya. Kbmunculan partai-partai dalam jumlah lebih dari seratus - walaupun setelah
proses seleksi jumlah tersebut menurun hingga
tinggal separuhnya saja memperlihalkan suasana yang longgar dalam perpolitikan di lndonesia setelah berlalunya pemerintahan Orba. Sebuah kelonggaran yang membuktikan tidak adanya lagi pemegang tunggal kekuasaan politik di lndonesia. Sesuatu yang kemudian disambut dengan antusiasme rakyat untuk ikut terlibat dalam mengurusi bidang yang dianggap menentukan bagi per,alanan sejarah bangsanya. Apakah lenomena ini merupakan pertanda baik bagi nasib bangsa yang pada saat yang sama sedang ditimpa berbagai macam persoalan? Apakah keterbukaan dalam politik akan membawa perbaikan hidup bagi bangsa yang sedang terpuruk ini? Nampaknya tidak ada seorangpun yang dapat dengan yakin memberikan .iawabannya. Baik jawaban positif maupun negatif. Siapa yang berani mengatakan bahwa dengan keberadaan parpol yang banyak itu berarti rakyat lndonesia akan lebih diperhatikan nasibnya sehingga perbaikan hidup akan jauh lebih mungkin terjadi? Sebaliknya, tidak ada juga yang bisa memastikan bahwa nasib bangsa ini akan tetap sama atau malah akan semakin merosot. Kepemimpinan politik mendapat beban untuk membuhikan jawaban manakah yang benar. Apakah benar bahwa Reformasi akan membawa perbaikan kesejahleraan rakyat atau justru
-
sebaliknya. Sejauh ini, masih banyak keraguan yang muncul sehubungan dengan kemampuan iigur-{igur pimpinan politik yang ada. Harapan-harapan yang pernah ada ketika melihal kemunculan mereka dalam panggung politik, berlangsung hanya singkat saja. Setelah sekian lama mereka berkiprah, alih-alih membawa perbaikan mereka sendiri nampaknya lidak berkuasa unluk menahan kebiasaan-kebiasaan lama yang membuat mereka akhirnya mandul. Persoalan-persoalan besar yang menghambat kemajuan bangsa ini seperti misalnya saja korupsi, bukannya semakin hilang tetapi justru semakin marak. Kalau dulu korupsi
dan ada yang mengendalikan, sekarang korupsi dapat dilakukan oleh siapa saja. Partai-partai politik yang baru pun tidak lepas dari perilaku tercela yang satu ini. Mungkin ada di antara mereka, baik organisasinya maupun orangnya, yang tidak terlibat langsung dalam korupsi. Tetapi andaikan itu dilakukan oleh orang lain pun, mereka tidak terlalu berani unluk bersuara. Ada perhitungan politis tertentu yang membuat korupsi harus didiamkan saja. Atau, kalau tidak perhitungan politis, perhitungan budaya yang dipakai sebagai alasan untuk mendiamkan penyimpangan yang teriadi yaitu budaya menghormati mereka yang dianggap lebih senior, pernah berjasa dan perlu dihormati. Akhirnya, kepemimpinan politik hanya menjadi semacam sandiwara saja. Rakyat diminta untuk menonton sebuah kepura-puraan yang sekalipun menghibur tetapi semu. Realita yang harus dihadapi rakyat tetap sama atau bahkan semakin memburuk, tetapi drama politik yang dimainkan para pemimpinnya mau mengalihkan perhatian rakyat dari realita tersebut dengan banyak menyebar retorika yang cantik-cantik tetapi kosong kenyataan. Di tengah kondisi yang suram ini, salah satu yang dapat memberikan harapan adalah kemauan agama untuk terlibat dalam politik. Khusus dalam perspektil agama Kristen, politik seringkali dicap penuh dengan kekotoran. Namun, fenomena masuknya tokoh-tokoh Kristen dalam percaturan politik baik dalam wadah partai yang berideologikan kebangsaan maupun dalam wadah partai yang memakai identitas kekristenan secara transparan, telah menciptakan harapan bahwa dari merekalah akan terjadi perubahan-perubahan menuju kepada perbaikan bangsa. Harapan tersebut dilandaskan pada pemahaman bahwa para tokoh Kristen tersebut akan mampu membawa citra kekristenan secara konsisten dalam kiprah mereka di dunia politik. Mereka dapat memberikan bukti bahwa politik dapal dijalankan dengan bersih. Kekotoran politik lebih disebabkan oleh orang-orang yang seolah-olah dilakukan secara sistematis
menjalankannya. Mereka inilah yang tidak mampu menahan diri sehingga jatuh dalam perilaku yang tidak bermoral. Namun bukan tidak mungkin untuk keluar dari perilaku buruk tersebut. politik dapat ditampilkan dengan citra yang lebih mulia. Cita-cita politik yang sesungguhnya yaitu mengatur kehidupan bersama agar tercapai kesejahteraan bersama dapat sungguh-sungg-uh direalisasikan. Sikap konsisten sangat diharapkan diri para petiku politik. Dan jika mereka datang dengan memakai baju agama atau setidaknya orang mengenal mereka sebagai orang yang beragama maka kekonsistenan dalam menjalankan potifit yan! sebenarnya tersebut seharusnya lebih bisa ditunjukkan. Agar harapan tersebui tidak berlebihan, sebaiknya kita memeriksa terlebih dahulu motit-motil kelerlibatan agama dalam politik. Para pemimpin politik yang dengan sengaja maupun tidak memakai simbol-simbol agama dalam menjalankan politik mestinya memiliki motiJ tertentu. Dengan mengetahui motif tersebut barulah kita bisa menentukan apakah memang mereka bisa diharapkan atau tidak untuk memperbaiki citra politik sekaligus nasib bangsa kita int.
MOTIF-MOTIF KETERLIBATAN KEKRISTENAN DALAM POLITIK Walaupun disadari adanya kesamaan-kesamaan yang dapat teriadi di antara keterlibatan agama dalam politik, dalam tulisan ini yang menjadi fokus adalah keterlibatan agama dalam bentuk agama Kristen saja. Dan meskipun perbandingan keterlibatan Kristen dalam politik dengan katakanlah lslam adalah hal yang menarik tetapi perbandingan semacam ini tidak akan dibuat dalam keterbatasan tulisan ini. Yang dimaksud dengan keterlibatan Kristen sendiri dapat mencakup pengertian yang cukup luas, mulai dari keterlibatan yang tidak langsung tetapi ada sampai dengan keterlibatan yang jelas sekali seperti pembentukan partai politik (parpol) Kristen. Pada masa Orba di mana keterlibatan politik dari rakyat sangat dibatasi adalah wajar jika seluruh perhatian politis dituiukan kepada partai yang berkuasa atau yang lebih tepat lagi disebut dengan partainya penguasa. Pada masa itu tidak mungkin kita berbicara tentang keterlibatan yang eksplisit dari orang Kristen. Jangankan Krislen, lslam saja yang merupakan agama mayoritas penduduk lndonesia tidak diberi kesempatan untuk memperlihatkan dirinya secara eksplisit. Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang sejatinya merupakan wadah yang diciptakan untuk menggabungkan semua partai lslam yang sebelumnya ada, tetap tidak dapat terlalu menonjolkan ciri-ciii keislaman. Nama partai itu sendiri: Persatuan pembangunan, lebifi memperlihatkan jargon khas pemerintah Orde Baru yaitu persatuan dan pembangunan, daripada sesuatu yang berkaitan dengan lslam. Jika dibandingkan dengan partai-partai lslam yang sekarang, PPP dulu hampir sulit dikenali sebagai partai yang sungguh-sungguh mewakili umat lslam. Retorika politik mereki dulu tidak ada yang isinya sangat .jelas mengkontraskan lslam
dengan non lslam seperti retorika partai-partai lslam sekarang ini. Bayang-bayang tuduhan melakukan SARA masih sangat kuat waktu itu sehingga tidak gampang bagi para politisi ppp untuk mengucapkan kata-kata yang menyinggung orang yang bukan seagama dengan mereka di depan publik. Jika pembatasan terjadi pada lslam, apalagi pada Kristen. Partai Demokrasi lndonesia (PDl) yang dianggap sebagai wadah bagi orang Kristen untuk menyalurkan aspirasi politiknya sangatlah sulit untuk dikatakan sebagai partai Kristen. Di dalamnya terdapat bermacam-macam unsur (sosialis, nasionalis) yang sebenarnya tidak bisa begitu saja disatukan tetapi dipaksa untuk bersatu. Namun, apalah artinya PPP maupun PDI jika kedua partai tersebut hanyalah berfungsi sebagai pendukung partai penguasa yakni Golkar (Golkar pada waktu itu memang tidak disebut partai tetapi berfungsi sebagai partai). Oleh Daniel Dhakidae, kedua partai tersebut dinamakan partai satelit yaitu partai yang berada di bawah kekuasaan partai lain yang dominan.l Dalam kondisi semacam ini, keterlibatan Kristen dalam politik tidak mungkin dicari pada partai lain selain Golkar. Padahal Golkar bukanlah partai agama, apalagi Kristen. Yang terjadi kemudian adalah semacam perwakilan Kristen secara tidak resmi dalam Golkar. Adanya tokoh-tokoh pemimpin dari Golkar yang diketahui beragama Krislen menjadi alasan bagi orang Kristen untuk merasakan dirinya sudah terwakili dalam dunia politik. Meskipun anggapan demikian tidaklah memiliki dasar yang kokoh tetapi mengingat siluasi yang ada waktu itu, hal ini sudah dirasakan cukup. Orang Kristen sudah cukup senang jika bisa melihat ada tokoh politik yang beragama Kristen.2 1
Datam buku karangan Tim Penetitian dan Pengembangan Kompas, Paitai Panai Politik lndonesia, 1999, h. 13. 'Untuk krilik terhadap keterlibatan orang Krislen dalam struktur pemeintahan yang dengannya diharapkan orang Krislen tersebut dapat menggarami pemerintahan, lihat Emanuel Gerrit Singgih, lman & Politik dalam Era Beformasi di lndonesia, 2OOO, h.28, dst.
90
Pemerintah Orba yang di satu pihak membatasi keterlibatan di pihak lain tidak menolak adanya dukungan politik terhadap dirinya dari berbagai organisasi massa, termasuk organisasi keagamaan. Gereja-gereja memang termasuk dalam bilangan organisasi yang dilarang untuk berpolitik dan pengaruh larangan ini sangat kuat sehingga sampai sekarang ini pun masih banyak gereja yang takut berbicara soal politik, tetapi di pihak lain gereja-gereja diarahkan untuk memberikan dukungan politik kepada pemerintah. Dalam doa-doa syalaat sering sekali dinaikkan doa bagi pemerintah dengan gaya bahasa yang standar: "Berilah kebijaksdnaan bagr pemerintah mulai dari pemerintah pusat sampai ke daerah-daerah, dst." Jarang sekali doa-doa tersebut berisi permohonan agar Tuhan menyadarkan pemerintah yang larut dalam perbuatan dosa. permohonan demikian bukannya tanpa alasan untuk dinaikkan, tetapi seringkali ketertundukkan lerhadap pemerintah terlampau kuat sehingga gereja tidak berdaya untuk menaikkan doa semacam itu. Satusatunya motif politis yang ada adalah mendukung pemerintah secan all out. Kalaupun sekarang zaman sudah berubah dan kesempatan untuk berperan dalam politik sudah jauh lebih terbuka, motif mendukung pemerintah itu belum tentu pudar. Namun kita memang melihat perubahan dalam dunia politik. Orang lebih bebas berbicara politik. Dalam gereja pun; orang tidak ragu-ragu membicarakan politik. Kotbah-kotbah juga tidak lagi mengalami sensor termasuk sensor diri dalam kaitan dengan politik. Kritik terhadap pemerintah juga dapat disampaikan secara terbuka tanpa takut-takut. Dengan adanya parpol Kristen, tidak jarang gereja menjadi ajang untuk mencari konstituen. Kesannya politik telah masuk ke dalam gereja. Jika parpol itu lebih dari 1 maka terjadilah tarik menarik konstituen yang dapat membuat gereia terpecah. Kenyataan ini membuat orang menjadi khawatir. Jika dahulu kekhawatirannya adalah apatisme politik karena dominasi pemerintah yang terlampau kuat, sekarang kekhawatirannya adalah ketidak-jelasan arah politik karena terlalu banyaknya keinginan politik yang dilontarkan. Kita berada dalam kondisi seperti di pasar yang riuh rendah oleh suara orang menawarkan dagangannya. Bukan mustahil jika dalam keadaan yang membingungkan tersebut orang asal pilih saja dan akhirnya menjadi kecewa atas pilihannnya tersebut. Terlepas dari kebingungan tersebut, kita dapat mencatat beberapa pokok sehubungan dengan kemunculan parpol Kristen. Dengan latar-belakang buntunya aspirasi politik di zaman Orba,
politik dari rakyatnya,
.
kemunculan parpol Kristen sekarang memberikan harapan bahwa aspirasi politik orang Kristen dapat tersalurkan. pertanyaannya kemudian adalah apakah aspirasi politik orang Kristen tersebut? Dengan melihat situasi dewasa ini, yang kiranya menjadi aspirasi utama dari orang Kristen di lndonesia adalah perlakuan yang adil terhadap dirinya sebagai orang yang beragama minoritas. Aspirasi ini terlihat wajar jika kita mengingat berbagai macam tekanan yang dialami oleh gereja-gereja dalam kurun waktu akhir-akhir ini. Adanya upaya-upaya untuk menutup dan mengurangi jumlah tempat ibadah kristiani baik melalui jalur hukum maupun tekanan
sosial, mendorong orang Kristen untuk mencari
cara
pencegahannya. Politik untuk sementara dianggap cara yang efektif oleh karena gerakan-gerakan untuk menekan umat kristiani itu nampak sebagai gerakan yang kental nuansa politiknya. Adanya parpol Kristen memberikan kesempatan bagi umat kristiani untuk mencegah laju gerakan tersebut. Masalahnya adalah apakah harapan ini akan dapat dipenuhi? Apakah parpoF parpol Kristen itu akan dapat mencegah perlakuan tidak adil terhadap umat kristiani? Untuk sementara kita belum bisa berharap banyak dari adanya parpol Kristen. Apalagi melihat urusan yang banyak menyita energi mereka adalah kalau tidak meningkatkan jumlah suara dalam pemilu, ya mengurusi kader partai yang saling berebut kursi pimpinan. Pendek kata kita masih berada di lengah euforia politik yang terjadi setelah adanya kebebasan untuk berpolitik. lbaratnya setelah masa kelaparan yang panjang, kita sekarang mendapatkan makanan berlimpah sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk tidak berpesta pora. Sampai kapankah itu akan terjadi? Mengingat masih rendahnya budaya demokrasi di negeri ini, maka bukan tidak mungkin kita akan mengalami perjalanan sejarah yang sama seperti sesudah kemerdekaan dahulu. Seperti yang sudah banyak disebutkan, keadaan kita di era Reformasi ini mirip sekali dengan masa-masa menjelang pemilu pertama Rl di tahun 1955. Pemilu tersebut menandai babak baru perpolitikan di
Jika
lndonesia. sebelumnya lndonesia berada dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang tidak banyak memberi kebebasan, maka dalam pemilu pertama adanya kebebasan dari kolonialisme membuat rakyat lndonesia bebas memperlihatkan aspirasi politik mereka. Parpol-parpol bermunculan dalam iumlah besar. Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di zaman Reformasi barusan. Tetapi pada masa-masa setelah pemilu pertama tersebut, pemerintah memandang keberadaan partai yang terlalu banyak membuat keadaan sulit dikendalikan. 92
Terjadilah upaya untuk mengendalikan partai-partai tersebut. pada zaman Orde Lama dikenal istilah demokrasi terpimpin yang merupakan refleksi dari keinginan untuk mengendalikan irirul pikuk politik. Bahkan tahun sesudah femilu pertama diselenggarakan, Presiden atas desakan militer mengeluarkan Dekrit yang akibatnya menempatkan presiden sebagai fenguasa mutlak. Di zaman Orba kehendak untuk mengontrot-politit hasih berlangsung hingga puncaknya di tahun 1973 di mana jumlah parpol dimampatkan menjadi hanya 3 saja. Menarik untuk dipertimbangkan apakah pemampatan partai adalah merupakan. keberhasilan pemerintah yang ingin memerintah secara otoriter ataukah karena kelemahan rakyat dalam mengatur dirinya sendiri? berharap agar se.jarah tidak terulang. Eufotia politik yang .Kita masih ,sedang lerjadi sekarang tidak berakhir dengan munculnyi pemerintah otoriter seperti pada waktu-waku yang lampau. Namun itu mensyaratkan adanya rakyat yang segeri sa-dar bahwa kebebasan yang ada sekarang harus -dimlnfaatkan untuk memperkuat dirinya. Rakyat tidak lagi memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk meniadi terlalu kuat sehingga kepentingankepentingan pemerintah sendiri saja yang diutamikan sementara rakyat diminta untuk berkorban terus. parpoFparpol yang lahir dalam era kebebasan berpolitik hendaknya mem jrertimUangkan ulang arti kebebasan tersebut agar tidak larut di dilamnya tetapi dapat memanfaatkannya untuk membela kepentingan rakyat. para pemimpin politik hendaknya menyadari tugisnya sebagai pemberdaya rakyat. ltulah tugas yang utama daii paia pemimpin politik dewasa ini. Kristiani atau tidaknya pemimpin politik kiranya 9tylut lewat standar pemberdayaan rakyat yang sudah dilakukannya.
4
ini
GEREJA DAN POLITIK Hubungan antara gereja dan politik bukanlah hal yang baru saja terjadi. Sejak zaman abad pertengahan gereja sudah blnyak terlibat dalam urusan politik. Di masa itu peranan gereja dahm politik adalah sebuah keniscayaan. Tidak yang mempertanyakan mengapa gereja yang seharusnya mengurusi haFhal surgawi, ikut mengurusi politik yang sangat duniawi itu. Pertanyaan seperti ini baru timbul pada masa-misa selanjutnya terutama ketika terjadi modernisasi. Dalam masa modern memang ada pembagian tugas dan gereja tidak lagi dilihat pantas
ada
mengurusi bidang yang bukan bagiannya seperti politik dan ilmu pengetahuan. Namun hal demikian tidak terjadi di masa abad pertengahan. Pada waktu itu gereja menangani segala perkara kehidupan, sama dengan pemerintah dl zaman sekarang. Oleh karena itu, gereja berada dalam posisi yang mewakili kepentingan negara. Gereja dapat menuntut kepada rakyatnya segala sesuatu yang sekarang ini dituntut oleh negara kepada rakyatnya. R.W. Southern, seorang ahli sosiologi sejarah melukiskan kekuasaan gereja di abad pertengahan tersebut demikian:
iJust as the modern state requires those who are its members by the accident of bitth to keep its laws, to contribute to its defence and public seruices, to subordinate private interests to common good, so the medieval church required those who had become its members by the accident (as one may almost call it) of baptism to do all these things and many others (1999:18). " (Sama seperti negara modern menuntut orang yang diperhitungkan sebagai rakyat atas dasar kelahiran untuk mematuhi hukum, berpartisipasi dalam mempertahankan negara dan melakukan pelayanan pada masyarakat, untuk membaktikan kepentingan pribadi pada kebaikan bersama, demikianlah gereja abad pertengahan menuntut mereka yang menjadi anggotanya menurut baptisan untuk melakukan hal-hal tersebut dan banyak hal lainnya).
Model gereja yang demikian oleh Avery Dulles disebut dengan fhe Political Society Model (Model Masyarakat Politik). Meskipun di masa sekarang kita tidak lagi dapat melihat praktiknya, tetapi manakala kita mempelajari teologi, dengan mudah kita akan menemukan berbagai pemikiran yang erat kaitannya dengan model ini. Teologi bagi orang sekarang sudah sangat sempit pengertiannya yaitu hanya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan surga saja. Orientasinya bukan lagi di dunia ini tetapi di surga nanti. Tekanan yang kuat pada orientasi surgawi membuat orang lupa bahwa sebenarnya teologi adalah untuk keperluan hidup di dunia ini. Sekalipun banyak menyangkut soal surga tetapi yang dimaksudkan adalah kehadiran surga di dunia. Sama seperti seruan dalam doa Bapa Kami: "Datanglah kerajaanMu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga". Jadi persoalan di bumi tidak dipisahkan dari persoalan di surga. Surga adalah patokan ideal dari dunia. Perjalanan hidup di dunia ini mesti diarahkan menurut pegangan pemahaman tentang surga.
Southern mengakui kesuksesan dari abad pertengahan adalah dalam hal memadukan antara kehidupan masyaraklt manusia di dunia ini dengan alam semesta yang diatur oleh Tuhan baik pada masa sekarang sampai selama-lamanya. Katanya: "One of the greatest achievements of the Middle Ages was the detaited development of this idea of a universi human society as an integral part of a divinely ordercd universe in time and in eternity, in nature and supernature, in practical politics and in the world of spiritua! essences." (1 999:22) (Salah satu pencapaian terbesar dari abad pertengahan adalah perkembangan yang mendetil dari ide masyarakat manusia yang universal sebagai bagian yang integral dari suatu alam semesta yang diatur oleh Tuhan dalam waktu sekarang dan selamanya, dalam dunia alamiah dan supra alamiah, dalam politik praktis dan dunia spiritual). Banyak orang membayangkan apa yang terjadi pada abad pertengahan tersebut adalah peristiwa yang seharusnya terjadi pada zaman sekarang .iuga. Mereka tidak peduli bahwa dunia sudah berubah. Modernisasi telah menciptakan diferensiasi (pembedaan) bidang-bidang kehidupan. Maka agama tidak lagi dapat berperan sedominan seperti pada abad pertengahan. Justru modernisasi yang demikian dianggap membawa pada kehancuran umat manusia. Tidak ada jalan lain selain mengembalikan supremasi agama pada posisi seperti pada abad pertengahan. Model Masyarakat Politik ingin dihidupkan kembali. Saya kira semangat parpol yang mengibarkan panji-panji agama berhutang pada ide Masyarakat Politik ini. Dengan kata lain, motif pendirian parpol agama tidak hanya sekadar membela kepentingan yang sifatnya sesaat seperti kepentingan umat yang diperlakukan tidak adil, tetapi dalam jangkauan yang lebih luas, motiinya adalah mengembalikan supremasi agama (gereja) dalam kehidupan masyarakat. Agama tidak lagi berdiri sebagai salah satu di antara aspek-aspek kehidupan bernegara tetapi berada di atas semua aspek yang lain. Agama adalah negara dan negara tidak lain adalah agama itu sendiri. Studi yang dilakukan oleh Paul Freston terhadap pesatnya pertumbuhan kelompok-kelompok lnjili di benua Asia, Afrlka dan Amerika Selatan (dunia ke-3) memperlihatkan keterkaitan antara lenomena ini dengan politik. Studi ini sendiri sebenarnya berangkat dari pengalaman di Brazil. Namun Freston yakin bahwa korelasi antara agama dan politik yang sangat kental dalam
kebangkitan kelompok Kristen lnjili tersebut, tidak hanya merupakan fenomena yang terbatas di Brazil saja. la kemudian membuktikan^bahwa hal yang sama terjadi di negara-negara lain di dunia ke-3.' Banyak ahli yang kemudian mengkaitkan fenomena ini dengan peranan Amerika Serikat (AS). Sebagai negara adidaya, AS memiliki kepentingan untuk mempertahankan atau bahkan memperluas kekuasaannya di dunia. Dalam kerangka itu, AS tidak segan-segan memakai jalan agama. Penyebaran agama yang dilakukan oleh AS tidak hanya berkaitan dengan agama secara sempit tetapi juga mengandung maksud politik di dalamnya. Kombinasi keduanya diharapkan dapat memperlanggeng kekuasaan AS atas dunia. Asumsi ini dalam pemahaman saya masih belum didasarkan pada pembuktian yang sahih. Namun, mengamati dinamika kemunculan gereja-gereja baru di negara-negara dunia ke-3 yang memiliki hubungan kuat dengan AS, saya kira kita patut mempertimbangkan asumsi tersebut sebagai sebuah kemungkinan yang benar terjadi. Saya sendiri tidak terlalu tertarik untuk membahas permasalahan yang mirip dengan permasalahan intelejen ini. Bagi saya adalah lebih penting untuk memperhatikan klaim Freston bahwa kebangkitan kelompok lniili di negara-negara dunia ke-3 tidaklah sekadar kebangkitan agama semata tetapi memiliki nuansa politik yang cukup berarti. Jika Freston berhenti sampai dengan pembuktian adanya relasi kebangkitan agama dan politik, saya ingin meneruskannya dengan memperlihatkan sebuah kemungkinan lain yaitu bahwa relasi tersebut dilatar-belakangi oleh motif teologis yang oleh Dulles disebut sebagai Masyarakat Politis tadi. Jadi, tujuan dari kebangkitan kaum lnjili ini adalah pada akhirnya menghadirkan sebuah masyarakat menurut patokan-patokan agama.
3
Paul Freston, Evangelicals and Politics in Asia, Africa and Latin America, 2001. Catatan saya tentang buku ini adalah bagian lndonesia isinya terlalu singkat dan hanya menyoroti gelombang masuknya orang-orang Tionghoa menjadi Kristen setelah Orba melarang komunisme, serta masalah Timor Timur. Saya menduga Freston tidak pernah datang sendirike lndonesia dan mengamati perkembangan terkini dari gereja-gereja di lndonesia. Namun asumsinya tentang gairah politik yang menyatu dalam kebangkitan kaum lnjili penting untuk kita perhatikan.
96
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SIPIL Meskipun banyak hal baik yang dapat dikembangkan dari ide
agama yang berfungsi sebagai negara seperti model abad
pertengahan, apalagi jika dengan begitu berbagai penlmpangan seperti korupsi dan perebutan kekuasaan dapat dimusnahkan dari dunia politik di negeri ini, tetapi semua itu masih belum menyentuh kebutuhan yang sangat mendasar, yang diharapkan dapat diwujudkan lewat politik, yaitu penguatan masyarakat sipil. Ditinjau dari sudut ini sebenarnya apa yang dilakukan oleh para politisi, termasuk yang memakai baju agama, masih jauh dari ideal. Malah ada kesan kuat bahwa arah yang dituju oleh para politisi tersebut justru bertolak-belakang dengan maksud memberdayakan masyarakat sipil. Sebab rakyat bukannya dijadikan sasaran pengorbanan para politisi tetapi sebaliknya justru diminta berkorban untuk kepentingan para politisi tersebut. Masalah menjadi semakin runyam jika karena alasan agama, pengorbanan rakyat lersebut tidak saja ditunlut tetapi direstui. Rakyat dibuai oleh berbagai macam retorika religius yang membuat mereka merelakan dirinya menjadi korban. Mungkin korban itu ditujukan untuk sesuatu yang kelihatannya baik - dalam hal ini agama punya banyak jurus untuk menciptakan kesan yang baik tersebut - akan tetapi jika hal tersebut harus dilakukan tanpa alasan yang jelas dan tanpa memberikan kesempatan bagi rakyat untuk berkata tidak, maka yang terjadi adalah rakyat dibuat menjadi tidak berdaya. Di masa Orba yang sering melakukan tindakan seperti ini adalah pemerintah. Namun di masa sekarang para pimpinan politik yang bukan pemerintah pun dapat melakukan tindakan yang sama. Reformasi tidak menjamin terciptanya masyarakat sipil yang kuat. Banyaknya parpol karena keterbukaan politik tidak olomatis membuat rakyat menjadi lebih kuat. Seperti dalam kasus korupsi, jika dahulu korupsi dilakukan melalui 1 pintu sekarang banyak pintu menuntut uang pelicin yang sama. Demikian pula dalam tuntutantuntutan pengorban dari rakyat, sekarang yang bisa melakukannya ada banyak. Upaya memberdayakan masyarakat sipil pertama-tama mensyaratkan adanya kerelaan untuk berbagi dengan yang lain. lni karena masyarakat sipil yang dimaksud adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai unsur. Heterogenitas masyarakat dalam berbagai arti (agama, budaya, status ekonomi dan sosial, dsb.) membuat pemberdayaan terhadapnya tidak bisa ditujukan kepada sebagian saja tetapi harus meliputi semuanya. Perhatian yang timpang kepada sebagian saja dari masyarakat meskipun
nampaknya seperti memberdayakan tetapi sebenarnya justru memecah belah masyarakat. Dengan begitu masyarakat kembali tidak diberdayakan tetapi dipedemah. Maka tidak ada jalan lain, pemberdayaan masyarakat haruslah meliputi semua unsur yang ada dalam masyarakal. Prinsip ini sendiri sudah dapat menjadi persoalan bagi parpoFparpol yang sifatnya sektarian. Kita sudah melihat dampaknya di tengah masyarakat. Masyarakat bisa terbagi-bagi berdasarkan parpol yang mereka dukung atau yang menjadikan mereka konsituennya. Ada daerah yang dianggap merupakan daerah parpol A, tetapi tidak jauh dari situ terletak daerah dari parpol B. Pada saat pemilu kedua daerah bersitegang bahkan bisa-bisa terlibat tawuran. ltu mungkin hanya potret kecil tentang betapa pemberdayaan masyarakat tidak dimengerti sebagai seluruh masyarakat tetapi hanya orang-orang yang menjadi konstituen parpol saja. Jika demikian, lebih baik disebut dengan pemberdayaan konstituen daripada pemberdayaan masyarakat.
Dalam agama Kristen jelas diajarkan tentang kecintaan Tuhan kepada segala bangsa. Tuhan adalah Tuhan bagi semua orang, bahkan orang yang .iahat (Yun. Poneros = tidak bermoral, lalim) dan tidak benar (Yun. Adrkos = orang yang melanggar hukum ) sekalipun (Mat. 5:45). Sejarah hidup orang beriman (dari Abraham sampai Gereja Perdana) sebagaimana dituturkan oleh Alkitab juga memperlihatkan gerakan yang semakin lama semakin meliputi banyak orang dan bangsa. Puncak dari perjalanan sejarah tersebut adalah dibawanya lnjil keluar dari tanah Palestina oleh Rasul Paulus. Sejak itu batasan orang-orang terpilih menjadi diperluas. lnjil tersebar bagi semua bangsa. Dan semua bangsa yang menjadi sasaran Kabar Gembira tersebut diperlakukan sama. Prinsip yang digunakan Rasul Paulus dalam Pekabaran lnjilnya adalah semua orang sama di hadapan Tuhan. Dari dan dengan prinsip tersebut ia bergerak untuk mendatangi berbagai macam orang dan bangsa. Hambatan-hambatan untuk mendatangi semua bangsa dan orang ini didobrak olehnya termasuk hambatan yang sifatnya sakral sekalipun. Sebagai orang Yahudi, Rasul Paulus sudah sangat terbiasa untuk membagi manusia berdasarkan prinsip-prinsip religius. Meskipun tidak dengan maksud menyepelekan dan meskipun dengan maksud memperteguh kepercayaan umat terpilih kepada Tuhan tetapi pada akhirnya seperti orang Yahudi kebanyakan, Paulus memiliki keyakinan bahwa Tuhan tidak memilih sembarang orang tetapi
yakni orang-orang Yahudi saia. Konsekuensinya, orang Yahudi diperlakukan lain oleh Tuhan. Bagi
orang-orang tertentu
mereka berlaku ketentuan-ketentuan yang berbeda. Ketentuanketentuan yang dianggap datang dari Tuhan sendiri itu pada akhirnya rnembuat orang Yahudi tidak dapat menerima orang bukan Yahudi secara sama. Mereka menggolongkan diri sebaga-i orang-orang bersunat, sedang yang bukan yahudi disebut golongan tidak bersunat. Ketika Yesus datang dan orang menjadi percaya kepada-Nya, pembedaan golongan tersebul tetap tidak berubah. Tetap ada golongan bersunat dan tidak bersunat dari kalangan pengikut Yesus. Namun, dengan berani paulus mendobrak batasan-batasan tersebut. Keberanian paulus membawa hikmah bagi kita orang-orang Kristen, bahwa batasan apapun yang dibuat atas nama Tuhan untuk membedakan manusia adalah keliru. Oleh sebab itu, prinsip kesamaan manusia di depan Tuhan perlu tetap kita pertahankan. Dalam politik, prinsip ini patut diterjemahkan secara konsekuen. Dengan begltu kita dapat memberdayakan masyarakat secara sungguh-sungguh dan menyeluruh.
Prinsip lain yang tidak kalah pentingnya dan sangat dibutuhkan oleh para pemimpin politik adalah prinsip atau spiritualitas kehambaan (seruanthood1. Sentralitas politik yang pada umumnya adalah kekuasaan mengalami pembalikkan dengan diterapkannya spiritualitas ini. Kekuasaan memiliki banyak dimensi mulai dari yang sifatnya pribadi (kebanggaan dan kepuasan diri) sampai dengan dimensi yang bersifat institusional (institusi memiliki pamor). Terkadang orang mudah mengatakan bahwa dirinya tidak sedang mencari kekuasaan pribadi. Mungkin itu benar, tetapi bagaimana dengan kekuasaan organisasi (parpolnya harus menduduki posisi yang lebih tinggi, suara yang
diperoleh harus lebih banyak daripada yang lain, dsb.)?
Betapapun kekuasaan itu hendak dihindari tetapi dalam soal politik sedikit banyak masih nampak tanda{anda keberadaannya. Oleh karena itu, spiritualitas hamba masih menjadi tantangan yang besar bagi praktisi politik. Menanggapi permintaan Yakobus dan Yohanes untuk berada dalam posisi yang paling mulia bersama Sang Guru, Yesus membeberkan apa yang harus mereka lakukan. Dalam Markus 10142-44, Yesus membandingkan para penguasa dunia, (pemimpin politik) yang dalam menjalankan kekuasaannya cenderung menggunakan kekerasan, dengan apa yang seharusnya dilakukan para murid. Terbalik daripada para penguasa tersebut, para murid yang ingin nlenjadi besar justru dianjurkan untuk menempatkan diri sebagai pelayan sesamanya. Gema suara gereja Markus sangat jelas di sini. Gereja yang banyak mengalami tekanan dari penguasa (Romawi) dan
masyarakat yang tidak dapat menerima kehadiran mereka waktu itu, bukannya menganjur\an perlawanan dengan cara yang sama, tetapi justru suatu shategi pelayanan sebagai hamba. Andaikata gereja sekarang mau mengikuti teladan gereja Markus yang mengamini kata-kata Sang Guru untuk menjadi pelayan bagi sesama daripada memakai cara-cara penguasa untuk menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapinya, tentunya kita melihat suatu perubahan yang cukup drastis dari yang banyak kita lihat dari sikap gereja-gereja sekarang ini. Masih banyak waktu yang kita perlukan untuk menanti perubahan sikap dari gerejagereja agar menjadi gereja yang mempraktikkan spiritualitas kehambaan. Pemberdayaan masyarakat sipil merupakan tugas politik yang keberhasilannya ditentukan oleh kemauan para pemimpin politik untuk mengubah prinsip hidup mereka menurut kaidah-kaidah yang menempatkan mereka bukan pada posisi pafl,on dan masyarakat sebagai c/len. Hambatan terbesar dari pemberlakuan kaidah ini adalah kebudayaan feodal yang masih kuat mencengkeram masyarakat kita. Orang masih seringkali dinilai berdasarkan senioritasnya dan bukan atas dasar prestasinya. Pemimpin diperlakukan sebagai orang yang sangat dihormati sehingga tidak patut untuk dikritik. Apabila pemimpin dikritik, anak buah akan bangkit untuk membelanya mati-matian tanpa melihat lagi alasan-alasan kritik tersebut. Benar atau salah, seorang pemimpin tetap akan dihormati dan dilindungi. Kepemimpinan yang didasarkan atas budaya feodal ini akan melahirkan situasi yang semu. Sungguhpun nampak ada kemajuan tetapi itu tetap semu. Begitu sang pemimpin lidak ada lagi, maka kemajuan yang nampaknya terjadi akan bubar dalam waktu singkat. Sementara itu, kepemimpinan yang demikian juga tidak akan memberi peluang bagi kreatifitas. Kreatifitas hanya akan dipandang sebagai upaya menggoyang sang pemimpin. Orang yang menjadi sumber kreatifitas akan dibasmi. Dunia politik maupun masyarakat pada umumnya di lndonesia masih dikuasai oleh budaya feodal. Lebihlebih lagi dalam komunitas-komunitas agama, tidak terkecuali gereja. Dalam kondisi yang masih seperti ini, perbaikan apapun masih sulit diharapkan terjadi. Maka tidak ada jalan lain selain mencoba mengupayakan pemberdayaan masyarakat. Jika masyarakat menjadi kuat maka pemimpin tidak lagi dapat bersikap otoriter. Orang juga tidak perlu lagi sangat tergantung pada pemimpinnya. Negara-negara yang terhitung maju telah mengalami perubahan dari masyarakat yang berbudaya feodal menjadi masyarakat yang mengedepankan kesamaan derajat
100
(demokrasi) dan penilaian berdasarkan perbuatan (meritokrasi). Ke arah sanalah seharusnya kita berjalan. PENUTUP
Persoalan-persoalan bangsa yang banyak terjadi akhir-akhir bisa tergantung atau tidak tergantung pada para pemimpin (politik) untuk menyelesaikannya. Tergantung pada pemimpin dalam arti jika para pemimpin itu masih memegang prinsip-prinsip yang bertolak belakang dari cila-cita pemberdayaan masyarakat sipil maka penyelesaian persoalan tidak akan pernah terjadi. Tetapi tidak tergantung dari para pemimpin jika masyarakat sudah dapat lebih mandiri daripada sekarang sehingga mereka dapat menyelesaikan persoalan tanpa harus menunggu perubahan dari para pemimpin yang sulit diharapkan itu. Sejarah keterlibatan politik orang-orang Kristen di masa menjelang kemerdekaan dapat menjadi contoh tentang parpol Kristen yang berorientasi pada upaya memandirikan bangsa. Memang parpol-parpol tersebut cenderung bersikap tunduk kepada penguasa kolonial. Tetapi mereka punya alasan yang cukup kuat yaitu bahwa orang lndonesia memerlukan bimbingan dari pemerintah Hindia Belanda untuk dapat menja'1i bangsa yang sungguh-sungguh mandiri.a Kemerdekaan lndonesia tetap merupakan tujuan politik dari partaipartai tersebut. Termasuk partai yang didominasi oleh orang-orang Kristen Belanda yang tinggal di lndonesia (Christelijke Etische Part4.lP.aftai Etik Kristen).5 Perbedaan pandangan mengenai bagaimana kemerdekaan lndonesia tersebut harus terjadi tidak membuat partai-partai kehilangan cita-citanya untuk menjadikan bangsa lndonesia sebagai bangsa yang berdikari dan bermartabat.6 Kita sangat berharap agar visi semacam itu dapat dimiliki oleh parpol dan para pemimpin politik di lndonesia saat ini. Pada dasarnya bangsa kita ini memerlukan banyak penyesuaian agar dapat hidup di era modern tanpa harus menjadi bulan-bulanan dari pihak-pihak lain. Para pemimpin politik
ini
' Mungkin sekarang menjadi lebih jelas bahwa sebetulnya orang lndonesia belum_sungguh-sungguh siap untuk merdeka. I Keterangan tentang parpoFparpol Kdsten pada awalabad XX di lndonesla dapat dilihat dalam buku Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, 1996,-h. 72, dst. D PartaFpartai Kristen ini lidak setuju dengan pandangan kaum nasionalis radikal yang ingin lndonesia merdeka secepatnya, lanpa melalui persiapan yang matang. 101
seharusnya terpanggil untuk memodernkan masyarakat kita dan bukan..membiarkannya hidup dalam cara-cara pra-modern yang merugikan. Feodalisme adalah peninggalan zaman pra-moderi yang sudah harus digantikan. Dalam budaya feodal, orang tidak pernah diajak untuk berpikir rasional obyektif. Kesimpulan demi kesimpulan dibuat berdasarkan kesan-kesan yang bersumber dari pra-sangka atau "kata orang". Sesuatu mudah dipercayai begitu saja tanpa dipertanyakan lagi kebenarannya. Pemimpin dituruti tanpa sikap kritis. Agama malah dipakai sebagai legitimasi terhadap budaya yang tidak menguinkan kreatifitas itu. Maka jika kita menghendaki pemimpin politik yang dapat mewujudkan citra kekristenan, kita patut mengatakan bahwa pemimpin tersebut adalah orang yang menyadari persoalan yang sangat mendasar ini serta mau untuk membuat langkah-langkah untuk membawa masyarakat meninggalkan budaya tersebut. Dengan meninggalkan budaya feodal, kita dapat membuka kebuntuan yang selama ini menyumbat penyelesaian berbagai persoalan riil di negeri ini. Korupsi yang sudah diupayakan untuk ditangani secara hukum (sistem modarn) masih sering terhambat penyelesaiannya oleh karena feodalisme. Diskriminasi yang merupakan penyakit masyarakal yang iudah sangat kronis sebenarnya akan lebih mungkin diatasi jika feodalisme yang pada dirinya sendiri sudah diskriminatif itu dapat disingkirkan.T Manakala semua ini bisa kita capai, kita akan mendapati masyarakat kita sudah jauh lebih mandiri daripada sekarang. Dari kemandirian tersebut mereka tidak akan mudah dibujuk untuk melakukan tindakan yang sekalipun mereka tahu merugikan diri mereka sendiri tetapi karena takluk kepada pimpinannya, tetap sa,ja mereka lakukan. Pimpinan bukan ada untuk ditakuti tetapi untuk membawa rakyat yang dipimpinnya keluar dari berbagai macam ketakutan yang menindas.
7
Salah satu sumber diskriminasi sosial adalah psmahaman kosmologi yang membagi orang menurut lingkatan-tingkatan berdasarkan alasan primordial.
102
-
BIBLIOGRAFI
Freston, Paul. Evangelicals and Politics America. Cambridge U.P., 2001 . Ngelow, Zakafia Mulia, 1996.
J.
in
Asia, Africa and Latin
Kekristenan dan Nasionalisme. BpK Gunung
Singgih, E.G. lman & Politik dalam En Reformasi di lndonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Southern, R.W. Westem Society and the Church in the Middle Ages. Penguin Books, 1990.
Tim Penelitian dan Pengembangan Kompas (penyusun). Partai Partai Politik lndones,a. Kompas, 1999.
103