KUALITAS UDARA DALAM RUANG DENGAN KEJADIAN SICK BUILDING SYNDROME DI GEDUNG 4 KANTOR PUSAT BADAN PUSAT STATISTIK, JAKARTA PUSAT, TAHUN 2012 Christabel Caroline Franswijaya1, Haryoto Kusnoputranto2 1. 2.
Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Indonesia Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Indonesia Email:
[email protected];
[email protected]
Abstrak Sick Building Syndrome (SBS) merupakan masalah yang sering dialami oleh penghuni gedung namun penyebabnya tidak diketahui pasti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kualitas udara dalam ruang dengan kejadian SBS di gedung 4 BPS Jakarta Pusat. Digunakan disain studi cross-sectional, variabel independen adalah kualitas udara dalam ruang (kadar PM10, suhu, kelembaban) dan karakteristik individu (jenis kelamin, kelompok pekerjaan, durasi penggunaan komputer). Analisa statistik memberikan hasil proporsi kejadian SBS adalah 45,2%, dari enam variabel yang berhubungan signifikan secara statistik adalah jabatan sekretarial (p-value=0,022, OR=3,714). Lantai dengan kadar PM10, suhu, dan kelembaban tinggi memiliki kejadian SBS yang tinggi juga, dan sebaliknya. Kata kunci: sick building syndrome, kualitas udara dalam ruang, PM10
Abstract Indoor Air Quality and Sick Building Syndrome in the 4th Building of BPS Headquarters, Central Jakarta, in 2012. Sick Building Syndrome (SBS) is a frequent problem experienced by residents of buildings but the causes are still unknown. This study aims to determine the relationship between the indoor air quality with SBS occurence in 4th building of BPS, Central Jakarta. We used cross-sectional study design, with the indoor air quality (PM10 levels, temperature, humidity) and individual characteristics (gender, occupation, duration of computer use) as independent variables. From the results of statistical analysis, SBS incidence proportion is 45.2%, from all six variables the one that is statistically significant is secretarial position (p-value = 0.022, OR = 3.714). Floors with high PM10 levels, temperature, and high humidity have a high incidence of SBS as well, and vice versa. Keywords: sick building syndrome, indoor air quality, PM10
1. Pendahuluan Sick Building Syndrome (SBS) merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan situasi dimana penghuni gedung mengalami gangguan kesehatan akut yang berhubungan dengan waktu yang dihabiskan selama berada di dalam sebuah gedung, namun gangguan tersebut bukanlah penyakit yang spesifik dan penyebabnya juga tidak diketahui secara pasti1. Sindrom ini umumnya terjadi pada pekerja atau karyawan yang bekerja di dalam ruangan tertutup
dengan waktu kerja 8 jam atau lebih per harinya. Beberapa gangguan kesehatan yang termasuk dalam SBS adalah gangguan kesehatan akut, seperti sakit kepala, iritasi mata, hidung, atau tenggorokan, batuk kering, kulit kering atau kasar, pusing, mual, sulit berkonsentrasi, mata berair, iritasi kulit, hidung berair, merasa ingin muntah, merasa lelah, dan gangguan lainnya1,2.
Kualitas udara..., Christabel Caroline Franswijaya, FKM UI, 2013.
Beberapa penelitian di berbagai tempat menemukan adanya cukup banyak gedung yang kualitas udaranya buruk dan memiliki prevalensi SBS tinggi. Woods (1989) memperkirakan bahwa 800.000-1.200.000 gedung di Amerika Serikat memiliki masalah-masalah yang dapat menyebabkan SBS, dengan jumlah pekerja yang mungkin terpajan sekitar 30-70 juta orang3. Di Indonesia gedung yang sudah bersertifikat gedung hijau baru ada 2 gedung yaitu Menara BCA PT. Grand Indonesia dan Sampoerna Strategic Square (gbcindonesia.org)4, dan selain itu ada 1 gedung yang sudah bersertifikat gedung hijau namun masih dalam tahap pembangunan, yaitu gedung Kantor Manajemen Pusat PT. Dahana (Persero). Kota Jakarta yang didominasi gedung bertingkat ternyata hampir semua gedungnya belum memenuhi kriteria gedung sehat. Penelitian yang dilakukan oleh Sobari (1994) di gedung PDII Jakarta yang memberikan hasil prevalensi SBS yang cukup besar, yaitu sebesar 53,62%5. Kejadian SBS umumnya disebabkan oleh kualitas udara dalam ruang kerja yang buruk, yang dipengaruhi oleh ventilasi yang buruk, kontaminan kimia yang bersumber dari dalam dan luar ruang, serta kontaminan biologi seperti jamur dan bakteri (EPA, 1991)1. Menurut Burge (2004), faktor penyebab SBS yang utama adalah ventilasi, suhu ruang, kelembaban ruang, kualitas udara ambien, bakteri dan jamur, serta debu. Penelitiannya menunjukkan bahwa SBS umumnya terjadi pada pekerja dengan jenis kelamin wanita, pekerja dengan kelompok pekerjaan rendah, pekerja yang terpajan debu kertas, asap rokok, debu di ruang kerja, menggunakan komputer secara berlebihan, suhu ruang kerja yang terlalu tinggi (lebih dari 23°C pada ruangan ber-AC), laju ventilasi kurang dari 10 liter/detik/orang, gedung ber-AC sentral, gedung yang kurang maintenance, dan gedung yang frekuensi pembersihannya kurang6. Gedung 4 kantor pusat Badan Pusat Statistik (BPS) di Jakarta Pusat saat ini menempati bangunan setinggi 7 lantai, dan gedung ini belum memiliki sertifikat gedung hijau. Pekerja di kantor pusat BPS bekerja kurang lebih 8 jam per harinya dan seluruh ruangan tertutup dan menggunakan AC split. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan kondisi lingkungan gedung kantor pusat BPS dapat menimbulkan SBS pada pekerjanya. Masalah ini cukup serius namun sebelumnya belum pernah dilakukan penelitian mengenai SBS di BPS Jakarta Pusat. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian untuk melihat hubungan dan pengaruh kualitas udara dalam ruang di gedung 4 kantor pusat BPS Jakarta Pusat dengan kejadian SBS pada pekerjanya.
2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan disain studi crosssectional, di Gedung 4 Kantor Pusat Badan Pusat Statistik, Jakarta Pusat pada bulan November 2012 Januari 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai baik tetap maupun training, yang bekerja di gedung 4 kantor pusat BPS, Jakarta Pusat pada waktu penelitian, tidak termasuk office boy dan satpam. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian pekerja di kantor pusat BPS, Jakarta Pusat dengan kriteria inklusi sampel adalah pekerja yang bekerja di dalam ruang di gedung minimal 7 jam per hari dan kriteria eksklusi sampel yaitu pekerja yang sedang mengalami ISPA, alergi dan/atau asma, sedang mengalami sakit berat, dan/atau sedang mengandung. Kriteria eksklusi ditetapkan untuk mencegah kerancuan dalam penelitian. Jumlah sampel minimal dalam penelitian ini dihitung dengan rumus besar sampel menurut Lwanga & Lemeshow (1991)7, dengan presisi 10%, derajat kepercayaan 95%, proporsi variabel dependen di populasi dari data penelitian sebelumnya oleh Rani (Rani, 2011) sebesar 72,7%8, serta besar populasi sasaran sebanyak 395 pegawai. Dari perhitungan didapat jumlah sampel minimal sebanyak 64 orang dan sampel yang diambil berjumlah 73 orang. Sampel diambil dengan menggunakan non-probability sampling (non-random sampling) yaitu purposive sampling. Jenis data berupa data kuantitatif yang meliputi kadar PM10, suhu, kelembaban, jenis kelamin, kelompok pekerjaan, dan durasi penggunaan komputer dengan sumber data yaitu data primer yang diperoleh melalui observasi, kuisioner, dan pengukuran. Alat yang digunakan adalah WBGT QuesTemp 36 untuk mengetahui suhu dan kelembaban, EPAM 5000 HazDust untuk mengetahui kadar PM10, dan kuisioner untuk mengetahui keluhan SBS dan faktor individu. Data dikumpulkan melalui observasi, pengisian kuisioner, dan pengukuran. Data SBS merupakan data primer yang dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner yang diisi sendiri oleh responden yang bersangkutan. Data faktor individu (jenis kelamin, kelompok pekerjaan, dan durasi penggunaan komputer) diambil dengan menggunakan kuisioner yang diberikan bersamaan dengan kuisioner keluhan SBS. Sedangkan untuk data kadar PM10, suhu dan kelembaban juga merupakan data primer yang diambil dengan melakukan pengukuran dengan menggunakan EPAM 5000 Haz-Dust dan WBGT QuesTemp 36. Suhu yang diukur merupakan suhu kering ruangan pada saat penelitian. Pengukuran PM10 dilakukan pada 7 titik yaitu 1 titik pada tiap lantai selama satu jam, sedangkan pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan selama kurang lebih 10-15 menit di masing-masing
Kualitas udara..., Christabel Caroline Franswijaya, FKM UI, 2013.
titik. Pengukuran dilakukan dalam periode waktu yang sama dengan pengambilan data SBS dari responden dengan kuisioner. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan analisis univarat dan analisis bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi variabel bebas (independen), variabel terikat (dependen), maupun deskripsi karakteristik responden. Analisis univariat dilakukan pada variabel-variabel yaitu kualitas udara (kadar PM10, suhu, dan kelembaban), kejadian SBS, serta faktor individu. Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji chi square untuk analisis hubungan antara kualitas udara yang telah dikelompokkan dan karakteristik individu karena variabel independen dan dependen sama-sama variabel katagorik. Kadar PM10, suhu, dan kelembaban sebelum dianalisis dengan uji chi square dikelompokkan menjadi dua kelompok sesuai dengan definisi operasional. Faktor individu (jenis kelamin, kelompok pekerjaan, dan durasi penggunaan computer) juga dikelompokkan menjadi dua sampai tiga kelompok berdasarkan definisi operasional, lalu dianalisis juga menggunakan uji chi square. Jika nilai sig p dari uji chi square > 0,05 maka hipotesis penelitian diterima, dan jika nilai sig p ≤ 0,05 maka hipotesis ditolak.
3. Hasil dan Pembahasan Karakteristik Responden. Berikut merupakan nilai distribusi dan frekuensi dari karakteristik responden, yaitu jenis kelamin, kelompok pekerjaan, dan durasi penggunaan komputer dalam penelitian ini. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Variabel n=73 % Jenis kelamin Laki-laki 33 45,2 Perempuan 40 54,8 Kelompok pekerjaan Manajerial 7 9,6 Teknis 20 27,4 Sekretarial 46 63,0 Durasi penggunaan komputer Tidak sama sekali 5 6,8 < 2 jam per hari 2 2,7 ≥ 2 jam per hari 66 90,4 Keterangan: = jumlah n % = persentase Persentase jenis kelamin responden hampir seimbang, namun yang lebih banyak adalah responden perempuan (54,8%), sedangkan responden laki-laki ada 45,2%.
Sebagian besar responden memiliki kelompok pekerjaan sekretarial (63,0%), selebihnya responden dengan kelompok pekerjaan teknis (27,4%) dan yang paling sedikit responden dengan kelompok pekerjaan manajerial (9,6%). Mayoritas responden menggunakan komputer lebih dari 2 jam per hari (90,4%), sedangkan sisanya ada yang tidak menggunakan komputer (6,8%) dan menggunakan komputer dibawah 2 jam per hari (2,7%). Kualitas Udara dalam Ruang. Nilai distribusi frekuensi kualitas udara yang meliputi kadar PM10, dalam ruang dalam penelitian ini digambarkan dalam tabel dibawah ini. Tabel 2. Distribusi Kualitas Udara dalam Ruang Menurut Lokasi/Lantai Tempat Kerja Vari- Lt. 1 Lt. 2 Lt. 3 Lt. 4 Lt. 5 Lt. 6 Lt. 7 abel Kadar 0,09 0,01 0,06 0,03 0,04 0,15 0,00 9 6 1 4 4 8 9 PM10 (mg/m 3 ) 26,1 25,8 25,5 25,5 25,9 26,1 25,6 Suhu (°C) 67 67 67 69 79 64 Kelem 74 -baban Relatif (%) Kadar PM10 terendah adalah di lantai 7 yaitu 0,009 mg/m3, dan kadar PM10 tertinggi adalah di lantai 6 yaitu 0,158 mg/m3. Suhu terendah adalah suhu di lantai 3 dan lantai 4 yaitu 25,5°C dan kelembaban relatif terendah terdapat di lantai 7 yaitu 64%. Sedangkan suhu tertinggi adalah suhu di lantai 1 dan lantai 6 yaitu 26,1°C, dan kelembaban relatif tetinggi adalah kelembaban di lantai 6 yaitu 79%. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kualitas udara di lantai 6 lebih buruk dibanding lantai lainnya karena kadar PM10, suhu, dan kelembaban relatif yang tinggi, dan kualitas udara yang paling baik adalah di lantai 7, karena kadar PM10, suhu, dan kelembaban relatif yang rendah dan berada pada batas normal. Variabel kualitas udara yang diteliti dalam penelitian ini adalah kadar PM10, suhu, dan kelembaban relatif. Suhu dan kelembaban sangat mempengaruhi satu sama lain karena dari hasil pengukuran dapat dilihat bahwa lantai dengan suhu yang tinggi maka kelembabannya juga tinggi, demikian sebaliknya. Kondisi ini juga dapat mempengaruhi kadar PM10 karena kadar PM10 yang tinggi ditemukan pada lantai dengan suhu dan kelembaban yang juga tinggi. Secara teoritis menurut Burroughs & Hansen (2008), suhu dan kelembaban yang tinggi umumnya mempercepat penguapan bahanbahan material dan VOCs, kelembaban tinggi juga
Kualitas udara..., Christabel Caroline Franswijaya, FKM UI, 2013.
dapat mempengaruhi keberadaan mikroorganisme pada udara9. Kejadian SBS. Aditama (1992) menyatakan bahwa SBS baru dapat dipertimbangkan bila lebih dari 20% penghuni gedung mengalami keluhan10. Dari hasil analisis data didapatkan hasil bahwa ada 45,2% pegawai yang mengalami minimal 1 keluhan selama 2 minggu terakhir. Kasus SBS dialami oleh 33 responden (45,2%) dengan kriteria orang tersebut mengalami minimal 1 keluhan dan hilang ketika tidak sedang berada di dalam gedung (pulang, di rumah, dan/atau sedang libur) sedangkan sisanya tidak mengalami SBS (tidak mengalami gejala sama sekali dan/atau mengalami gejala namun tidak hilang ketika di luar gedung). Jumlah kasus yang ditemukan cukup tinggi, mencapai hampir setengah dari responden. Tabel 3. Data Kasus SBS Keluhan SBS ≥ 1 keluhan dan hilang 33 Kasus ketika diluar gedung Tidak ada keluhan 24 Bukan Ada keluhan tapi tidak 16 kasus hilang ketika diluar gedung 73 Total Keterangan: n = jumlah % = persentase
n 33
% 54,8
40
45,2
73
100,0
Tabel 4. Distribusi Kasus SBS Berdasarkan Lantai Tempat Responden Bekerja Sick Building Syndrome Total Lantai SBS Tidak SBS Responden n % n % n % 9 40,9% 13 59,1% 22 100% 1 3 50,0% 3 50,0% 6 100% 2 2 40,0% 3 60,0% 5 100% 3 6 37,5% 10 62,5% 16 100% 4 4 40,0% 6 60,0% 10 100% 5 7 77,8% 2 22,2% 9 100% 6 2 40,0% 3 60,0% 5 100% 7 33 45,2% 40 54,8% 73 100% Total Keterangan: n = jumlah % = persentase Kasus SBS paling banyak terjadi di lantai 6 (77,8%) dan paling sedikit ditemukan pada lantai 4 (37,5%). Pada lantai 1, 2, 3, 5, dan 7, kasus SBS ditemukan namun tidak mencapai lebih dari 50%, berkisar antara 40-50%. Kejadian SBS paling banyak ditemukan di lantai 6, dimana suhu dan kelembaban relatif udara cukup tinggi dibandingkan lantai lainnya. Sedangkan di lantai 4 dan 7 dimana suhu dan kelembaban relatif
udara rendah, kasus SBS yang ditemukan sedikit. Burroughs & Hansen (2008) menyebutkan bahwa suhu dan kelembaban yang tinggi dapat memberikan rasa tidak nyaman dan mempengaruhi keberadaan kontaminan di udara. Rasa tidak nyaman dapat meningkatkan sensitivitas dan mengakibatkan pegawai mengalami keluhan-keluhan yang tidak dapat diketahui penyebab pastinya9. Tabel 5. Jenis dan Jumlah Keluhan yang Dialami Responden Jenis Keluhan n % 15 20,5 Pada mata 29 39,7 Pada pernapasan 24 32,9 Pada tenggorokan 9 12,3 Pada kulit 31 42,5 Pusing 17 23,3 Meriang, demam 17 23,3 Kelelahan 8 11,0 Mual, muntah 10 13,7 Sakit perut, diare 4 5,5 Lainnya Keterangan: n = jumlah % = persentase Tabel 6. Waktu Munculnya Gejala SBS pada Responden Waktu n % Munculnya Gejala 3 9,1 Pagi 17 51,5 Siang 13 39,4 Sore 33 100,0 Total Keterangan: n = jumlah % = persentase Keluhan yang paling banyak dialami responden selama 2 minggu terakhir adalah keluhan pada pernapasan. Keluhan ini dialami satu kali atau lebih dalam 2 minggu terakhir oleh 29 responden dari 73 responden (39,7%). Sedangkan keluhan yang paling sedikit dialami adalah keluhan mual, muntah yaitu berjumlah 8 responden (11%). Keluhan paling sering terjadi saat siang hari ketika sebelum/setelah istirahat (51,5%) dan saat sore ketika akan pulang kerja (39,4%). Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama seseorang berada di dalam ruangan, maka semakin rentan ia untuk mengalami SBS. Gejala SBS umumnya dirasakan setelah berada dalam gedung dalam waktu yang cukup lama, setelah 1-2 jam. Semakin lama seseorang berada di dalam gedung, semakin terpajan ia dengan udara dalam ruang dan faktor risiko lainnya sehingga meningkatkan risiko untuk mengalami SBS. Puncaknya saat siang hari, kemudian setelah itu
Kualitas udara..., Christabel Caroline Franswijaya, FKM UI, 2013.
pegawai akan keluar gedung untuk beristirahat, sehingga gejala SBS yang dirasakan berkurang, dan hal ini ditunjukkan dengan persentase kejadian SBS yang sedikit lebih kecil pada sore hari dibandingkan pada siang hari. Karakteristik Responden dan Kejadian SBS. Dari hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian SBS, diperoleh ada sebanyak 14 (42,4%) responden laki-laki mengalami SBS. Sedangkan di antara responden perempuan ada sebanyak 19 (47,5%) yang mengalami SBS. Hasil uji statistik diperoleh nilai P-value 0,844, atau dengan kata lain tidak ada perbedaan proporsi kejadian SBS antara pegawai lakilaki dan perempuan. Dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian SBS. Hasil OR yang diperoleh sebesar 1,228, artinya jika sampel diperbesar, ada kecenderungan pegawai dengan jenis kelamin perempuan lebih berisiko 1,228 kali untuk mengalami SBS dibandingkan pegawai laki-laki. Tabel 7. Hubungan Karakteristik Responden dengan Kejadian SBS Variabel SBS Tidak p OR (95 % SBS CI) n % n % Jenis Kelamin 19 47,5 21 52,5 0,884 1,228 Laki-laki 10 30,3 23 69,7 0,5-3,1 Perempuan Kelompok Pekerjaan 26 56,5 Sekretarial 18 29,0 Manajerial dan teknis
20 44
43,5 71,0
Durasi Penggunaan Komputer 3 42,9 4 57,1 Tidak sama sekali dan < 2 jam per hari 30 45,5 36 54,5 ≥ 2 jam per hari Keterangan: p = nilai p pada hasil uji statistik OR = Odds Ratio CI = Confident Interval n = jumlah % = persentase
0,022
3,714 1,3-10,5
1,000
1,111
0,2-5,4
Ketika analisis hubungan antara kelompok pekerjaan dengan kejadian SBS dilakukan, didapat hasil bahwa nilai expected pada 2 sel (33,3%) ternyata lebih kecil dari 5, dengan nilai expected terkecil 3,16. Karena itu, dilakukan pengelompokkan ulang pada 3 kategori tersebut (manajerial, teknis, sekretarial), dimana manajerial dan teknis dijadikan 1 kategori karena
merupakan kelompok pekerjaan yang tidak terlalu banyak berada di dalam ruangan secara terus-menerus, dan kelompok pekerjaan sekretarial dibiarkan tetap. Hasil analisis ulang pada hubungan antara kelompok pekerjaan dengan kejadian SBS diperoleh bahwa ada sebanyak 7 (25,9%) pegawai dengan kelompok pekerjaan manajerial & teknis yang mengalami SBS. Sedangkan diantara pegawai dengan kelompok pekerjaan sekretarial, ada 26 (56,5%) yang mengalami SBS. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,022, artinya ada perbedaan proporsi kejadian SBS antara pegawai dengan kelompok pekerjaan manajerial & teknis dengan pegawai dengan kelompok pekerjaan sekretarial (ada hubungan yang signifikan antara kelompok pekerjaan dengan kejadian SBS). Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR=3,714, artinya pegawai dengan kelompok pekerjaan sekretarial memiliki peluang 3,714 kali untuk terkena SBS dibanding pegawai dengan kelompok pekerjaan manajerial & teknis. Hal ini sejalan dengan penelitian Burge, Hedge, Wilson, Bass, & Robertson (1987) bahwa pegawai sekretarial lebih berisiko dibanding pegawai teknis, dan pegawai teknis mengalami lebih banyak gejala dibanding pegawai manajerial11. Pegawai dengan kelompok pekerjaan sekretarial merupakan staf yang menghabiskan sepanjang jam kerjanya di kubikel kerja, melakukan pekerjaan administratif sehingga sepanjang hari mereka menghirup udara dalam ruang yang sama dan jarang melakukan aktivitas fisik. Sedangkan pegawai dengan kelompok pekerjaan teknis memiliki kecenderungan untuk beraktivitas diluar ruang, dan ada beberapa yang memiliki jam kerja di dalam ruang lebih sedikit dari jam kerja pegawai lain. Pegawai dengan kelompok pekerjaan manajerial lebih berfungsi sebagai supervisor, tidak setiap hari mereka masuk kantor dan ketika di dalam kantor mereka cenderung bergerak, sehingga dapat dikatakan pegawai dengan kelompok pekerjaan teknis dan manajerial lebih berkesempatan untuk menghirup udara luar ruang lebih banyak dan melakukan aktivitas fisik lebih sering dibanding pegawai dengan kelompok pekerjaan sekretarial. Halhal tersebut dapat menyebabkan pegawai dengan kelompok pekerjaan lebih rendah lebih berisiko mengalami SBS. Selain itu, pegawai dengan kelompok pekerjaan rendah umumnya lebih mudah mengalami stress dibanding pegawai dengan kelompok pekerjaan lebih tinggi, dan stress dapat meningkatkan sensitivitas terhadap udara dalam ruang. Hasil analisis durasi penggunaan komputer dengan SBS, didapat bahwa nilai expected pada 4 sel (66,7%) ternyata kurang dari 5, dengan nilai expected terkecil 0,90. Karena itu, dilakukan pengelompokkan ulang pada 3 kategori tersebut, yaitu kategori tidak menggunakan komputer sama sekali dan menggunakan selama kurang dari 2 jam per hari dijadikan 1 kategori,
Kualitas udara..., Christabel Caroline Franswijaya, FKM UI, 2013.
dan kategori menggunakan komputer lebih atau sama dengan 2 jam per hari dibiarkan tetap. Setelah dilakukan analisis ulang, diperoleh bahwa ada sebanyak 3 (42,9%) pegawai yang tidak menggunakan komputer atau menggunakannya dibawah 2 jam mengalami SBS. Sedangkan diantara pegawai dengan penggunaan komputer sama dengan atau lebih dari 2 jam, ada 30 (45,5%) yang mengalami SBS. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=1,000 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan komputer dengan kejadian SBS. Hasil OR yang diperoleh sebesar 1,111, artinya jika sampel diperbesar, ada kecenderungan pegawai dengan penggunaan komputer lebih dari atau sama dengan 2 jam per hari lebih berisiko 1,111 kali untuk mengalami SBS dibandingkan pegawai yang tidak menggunakan komputer atau menggunakannya dibawah 2 jam per hari. Tabel 8. Kualitas Udara dalam Ruang dan Kasus SBS Variabel SBS Tidak p OR (95 SBS % CI) n % n % Kadar PM10 7 58,3 5 41,7 0,495 1,885 > 0,15 mg/m3 0,537≤ 0,15 26 42,6 35 57,4 6,610 mg/m3 Suhu > 26°C ≤ 26°C
16 17
51,6 40,5
15 25
48,4 59,5
0,479 1,569 0,6153,999
Kelembaban relatif 16 51,6 > 70% 17 40,5 ≤ 70%
15 25
48,4 59,5
0,479 1,569 0,6153,999
Keterangan: p = nilai p pada hasil uji statistik OR = Odds Ratio CI = Confident Interval n = jumlah % = persentase Data kadar PM10, suhu dan kelembaban dalam ruang selain dianalisis dengan uji T independen, dianalisis juga dengan menggunakan uji chi square. Uji ini dilakukan untuk melihat nilai OR dan perbedaan kondisi dalam dua kelompok, yang mengalami SBS dan yang tidak. Hasil analisis hubungan antara kadar PM10 dalam ruang dengan kejadian SBS diperoleh bahwa ada sebanyak 26 (42,6%) pegawai yang berada dalam ruangan dengan kadar PM10 sama dengan atau dibawah 0,15 mg/m3
mengalami keluhan SBS. Sedangkan diantara pegawai yang berada dalam ruangan dengan kadar PM10 diatas 0,15 mg/m3 ada 7 (58,3%) yang mengalami SBS. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,495 maka dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak ada perbedaan proporsi kejadian SBS antara pegawai yang berada dalam ruangan dengan kadar PM10 rendah dan kadar PM10 tinggi (tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar PM10 dengan kejadian SBS). Hasil OR yang didapat sebesar 1,885, artinya jika sampel diperbesar, ada kecenderungan pegawai yang berada dalam ruangan dengan kadar PM10 tinggi berisiko 1,885 kali untuk mengalami SBS dibanding pegawai yang berada dalam ruangan dengan kadar PM10 rendah. Jika dilihat dari persentase dan bukan secara statistik, terdapat perbedaan kejadian SBS antara pegawai yang berada dalam ruangan dengan kadar PM10 tinggi dan kadar PM10 rendah. Pegawai yang berada dalam ruangan dengan kadar PM10 dibawah atau sama dengan 0,15 mg/m3 mayoritas tidak mengalami SBS (kejadian SBS 42,6%), sedangkan pegawai yang berada dalam ruangan dengan kadar PM10 diatas 0,15 mg/m3 mayoritas mengalami SBS (kejadian SBS 58,3%) walaupun perbedaannya tidak terlalu mencolok. Hasil analisis hubungan antara suhu ruang dan kelembaban ruang dengan kejadian SBS memberikan hasil sama yaitu diperoleh bahwa ada sebanyak 17 (40,5%) pegawai yang berada dalam ruangan dengan suhu dibawah atau sama dengan 26°C dan kelembaban dibawah atau sama dengan 70% mengalami keluhan SBS. Sedangkan diantara pegawai yang berada dalam ruangan dengan suhu tinggi (diatas 26°C) dan kelembaban diatas 70% ada 16 (51,6%) yang mengalami SBS. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,479 maka dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak ada perbedaan proporsi kejadian SBS antara pegawai yang berada dalam ruangan dengan suhu rendah dan suhu tinggi (tidak ada hubungan yang signifikan antara suhu dengan kejadian SBS). Hasil OR yang didapat sebesar 1,569, artinya jika sampel diperbesar, ada kecenderungan pegawai yang berada dalam ruangan dengan suhu tinggi berisiko 1,885 kali untuk mengalami SBS dibanding pegawai yang berada dalam ruangan dengan suhu rendah atau cenderung normal. Jika dilihat dari persentase dan bukan secara statistik, terdapat perbedaan kejadian SBS antara pegawai yang berada dalam ruangan dengan suhu tinggi dan kelembaban tinggi dengan pegawai dalam ruangan dengan suhu rendah dan kelembaban rendah. Pegawai yang berada dalam ruangan dengan suhu dibawah atau sama dengan 26°C dan kelembaban dibawah atau sama dengan 70% mayoritas tidak mengalami SBS, sedangkan pegawai yang berada dalam ruangan dengan suhu diatas 26°C dan kelembaban diatas 70% mayoritas mengalami SBS walaupun perbedaannya tidak terlalu mencolok.
Kualitas udara..., Christabel Caroline Franswijaya, FKM UI, 2013.
Tabel 9. Distribusi Kasus SBS dan Kualitas Udara Dalam Ruang di Gedung 4 Kantor Pusat BPS Sick Building Syndrome LanKadar KelemSuhu tai PM10 baban SBS Tidak SBS 9 13 0,099 26,1 74% 1 (40,9 (59,1 %) %) 3 3 0,016 25,8 67% 2 (50%) (50%) 2 3 0,061 25,5 67% 3 (40%) (60%) 6 10 0,034 25,5 67% 4 (37,5 (62,5 %) %) 4 6 0,044 25,9 69% 5 (40,0 (60,0 %) %) 7 2 0,158 26,1 79% 6 (77,8 (22,2 %) %) 2 3 0,009 25,6 64% 7 (40,0 (60,0 %) %) Di lantai 6 dengan kadar PM10, suhu dan kelembaban paling tinggi (0,158 mg/m3, 26,1°C, dan 79%), ditemukan paling banyak kasus SBS. Sedangkan di lantai 3, 4 dan 7 dengan kadar PM10, suhu dan kelembaban relatif rendah, ditemukan sedikit kasus SBS. Data kualitas udara diukur pada 7 titik yaitu 1 titik pada tiap lantai. Dari 7 lantai, ditemukan keluhan SBS dialami oleh mayoritas pegawai pada dua lantai (lantai 2 dan 6) dan lima lantai lainnya mayoritas pegawainya tidak mengalami keluhan SBS. Suhu dan kelembaban sangat mempengaruhi satu sama lain karena dari hasil pengukuran dapat dilihat bahwa lantai dengan suhu yang tinggi maka kelembabannya juga tinggi, demikian sebaliknya. Kondisi ini juga dapat mempengaruhi kadar PM10 karena kadar PM10 yang tinggi ditemukan pada lantai dengan suhu dan kelembaban yang juga tinggi. Ditemukan juga pada lantai dengan kadar PM10, suhu dan kelembaban yang tinggi, SBS lebih banyak terjadi. Sedangkan pada lantai dengan kadar PM10, suhu dan kelembaban yang rendah, SBS tidak banyak. Analisa statistik tidak memberikan hasil adanya perbedaan yang signifikan kejadian SBS pada lantai dengan kadar PM10, suhu dan kelembaban tinggi dengan kadar PM10, suhu dan kelembaban lebih rendah. Dari ketiga parameter ini, yang paling dominan berperan dalam kejadian SBS adalah kadar PM10, karena dari hasil OR didapat, yang paling besar adalah OR dari analisa statistik antara kadar PM10 dengan SBS.
4. Kesimpulan dan Saran Dari penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa gejala/keluhan SBS dialami oleh lebih dari 20% penghuni gedung, yaitu 45,2%, dengan persentase kasus terendah ada di lantai 4 yaitu 37,5%, dan tertinggi ada di lantai 6 yaitu 77,8%. Keluhan SBS paling sering terjadi pada siang hari (51,5%) dan keluhan yang paling banyak dialami adalah keluhan pada pernapasan (pilek, flu, sesak napas, batuk, bersinbersin), pada tenggorokan (gatal, kering, suara parau, sakit tenggorokan, sering sariawan), pusing (pusing, kepala terasa berat, sulit konsentrasi, pening, migren, mudah mengantuk), merasa badan panas dingin (meriang) atau demam), serta kelelahan, lemas, lesu, dan gemetar. Kualitas udara dalam ruang di gedung 4 kantor pusat BPS Jakarta Pusat umumnya masih dibawah standar, yaitu rata-rata kadar PM10 adalah 0,06 mg/m3 (terendah 0,009 mg/m3 di lantai 7, tertinggi 0,158 mg/m3 di lantai 6); rata-rata suhu udara dalam ruang adalah 25,7°C (terendah 25,5°C di lantai 3 dan 4, tertinggi 26,1°C di lantai 1 dan 6); rata-rata kelembaban relatif udara dalam ruang adalah 69,57% (terendah 64% di lantai 7, tertinggi 79% di lantai 6). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ketiga faktor kualitas udara dalam ruang tidak memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan kejadian SBS (P-value uji T independen untuk kadar PM10=0,149, suhu=0,348, kelembaban=0,153, P-value uji chi square kadar PM10=0,495, suhu=0,479, kelembaban=0,479), namun jika dilihat proporsinya, maka dapat disimpulkan bahwa di lantai/ruangan dengan kadar PM10, suhu, dan kelembaban yang tinggi terdapat banyak pegawai yang mengalami keluhan SBS. Sedangkan dari ketiga karakteristik individu (jenis kelamin, kelompok pekerjaan, dan durasi penggunaan komputer), yang memiliki hubungan signifikan dengan kejadian SBS hanya kelompok pekerjaan sekretarial (P-value = 0,022 dan OR = 3,714), dimana pegawai dengan kelompok pekerjaan sekretarial memiliki peluang 3,714 kali untuk terkena SBS dibanding pegawai dengan kelompok pekerjaan manajerial & teknis. Sebagai lembaga berwenang, Balai Hiperkes dan K3 DKI Jakarta perlu lebih proaktif dan melakukan penawaran untuk pemantauan secara berkala pada gedung-gedung perkantoran mengenai kualitas udara dan tidak hanya menunggu permintaan, juga sebaiknya membantu dalam penanggulangan dan pengendalian jika kualitas udara ternyata melampaui standar yang ada. BPS sendiri perlu melakukan maintenance dan pembersihan AC dan saluran udara secara berkala, agar
Kualitas udara..., Christabel Caroline Franswijaya, FKM UI, 2013.
kelembaban udara tetap terjaga pada batas normal, karena AC dan saluran udara yang jarang dibersihkan dapat menyebabkan banyak jamur dan bakteri yang tinggal sehingga udara menjadi lembab. Suhu ruangan kerja yang pada umumnya sudah ideal, sebaiknya terus dijaga agar tidak melebihi 26°C atau dibawah 23°C, idealnya sekitar 24-25°C. Pertukaran udara dari luar dan dalam gedung perlu dimaksimalkan dengan cara membuka ventilasi dan jalur masuk udara luar berupa jendela dan/atau pintu yang ada secara berkala dan menghentikan penggunaan AC selama beberapa waktu, misalnya satu jam per harinya. Hal ini dilakukan agar ada pertukaran dan penyegaran udara, yaitu udara segar dari luar masuk ke dalam ruang dan kontaminan termasuk partikulat dari dalam ruang dapat keluar. Selain itu secara berkala juga perlu dilakukan monitoring terhadap kadar PM10, suhu, dan kelembaban dalam ruang agar dapat dijaga tetap sesuai dengan standar.
8.
Rani, A. P. (2011) Analisis Faktor yang Berhubungan Dengan Sick Building Syndrome (SBS) Pada Pegawai Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah. Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang. 9. Burroughs, H. E., & Hansen, S. J. (2008). Managing Indoor Air Quality (4th Edition ed.). Lilburn: The Fairmont Press, Inc. 10. Aditama, T. Y. (1992). Sindrom Gedung Sakit. Cermin Dunia Kedokteran (70), 25-26. 11. Burge, P. S., Hedge, A., Wilson, S., Bass, J. H., & Robertson, A. (1987). Sick building syndrome: A study of 4373 office workers. Ann Occup Hyg 31, 493-504.
Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada Bapak Prof. dr. Haryoto Kusnoputranto, SKM, Dr. PH. selaku dosen pembimbing, Bapak Dr. Ricki M. Mulia selaku penguji luar dari Balai Hiperkes dan K3 DKI Jakarta, Ibu Laila Fitria, SKM, MKM selaku penguji luar dari Departemen Kesehatan Lingkungan FKM UI, orangtua dan keluarga, sahabat-sahabat terdekat, teman-teman seangkatan dan semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan dan penulisan penelitian ini.
Daftar Acuan 1.
2.
3.
4.
5.
6. 7.
Environmental Protection Agency. (1991, February). Indoor Air Facts No. 4 (revised) Sick Building Syndrome. Dipetik Oktober 23, 2012, dari EPA: http://www.epa.gov Molhave, L. (1987). The sick buildings: A subpopulation among the problem buildings. Indoor Air 2, 469-473. Woods, J. E. (1989). Cost avoidance and productivity in owning and operating buildings. Occup Med State of Art 4, 753-770. Green Building Council Indonesia. (2012). Greenship Certified Existing Building. Dipetik November 4, 2012, dari GBC Indonesia: http://gbcindonesia.org/ site/2012-08-01-03-2531/2012-08-02-03-21-25/greenship-certified-eb Sobari. (1994). Kajian Prevalensi Sick Building Syndrome (Kasus Gedung Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Jakarta). Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Burge, P. S. (2004). Sick Building Syndrome. Occup Environ Med , 61, 185-190. Lwanga, S.K., & Lemeshow, S. (1991). Sample Size Determination in Health Studies: A Practical Manual. Geneva: World Health Organization.
Kualitas udara..., Christabel Caroline Franswijaya, FKM UI, 2013.
Kualitas udara..., Christabel Caroline Franswijaya, FKM UI, 2013.