36
Jurnal Syariah Vol. 2, No. 1, April 2014
jinsi, gharar fish shifah, gharar fiz zaman, gharar fil makan dan gharar fit ta’yin. 2. Undian berhadiah dengan membayar iuran diharamkan, karena unsur ghararnya sangat nyata, di mana peserta membayar iuran yang kemungkinan ia mendapatkan hadiah sehingga berlaba atau ia tidak mendapat apa-apa sehingga ia mengalami kerugian. 3. MLM mangndung transaksi gharar, karena tidak adanya kejelasan terhadap anggota yang sudah membeli produk tadi dan mengharapkan keuntungan yang lebih banyak dari bonus. Tetapi dia sendiri tidak mengetahui apakah berhasil mendapatkan keuntungan tersebut atau malah merugi.
Daftar Pustaka Abdurrahman, Yahya, Asuransi Dalam Pandangan Syariat, Al-Azhar Press, Jakarta, Cet. IV, 2012. Adarir, Muhammad Amin Shadiq, al Gharar wa Atsaruhu fil Uqud fi Fiqh Islami, Dar Jiil, Bairut, Cet. II, 1990. Al Umrony, Abdullah bin Muhammad bin Abdullah, Al-Uqudul Maliyah al-Murokkabah Dirosah Fiqhiyyah Ta’shiliyyah wa Tatbiqiyyah, Dar Kunuz Isybilia lin-Nsyari wat-Tauzi’i, cet. I, Riyad, 2006. Ali Musyaiqih, Khalid, Buku Pintar Muamalah Aktual dan Mudah. Wafa Press, Klaten, cet.I, 2012. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSNMUI), Ciputat: Kerjasama MUI dengan IB Edisi Revisi 2006. Harefa, Andreas, Multi Level Marketing Alternatif Karier dan Usaha Menyongsong Milenium Ketiga, PT: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cet.I. 1999.
KONSEP RIBA DALAM ISLAM Kritik Terhadap Interpretasi Riba Kaum Liberalis Sofyan Sulaiman Dosen Ekonomi Syari’ah Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indragiri Abtstract Ribais avery important issue in Islamic finance transactions. It is a fundamenta lconcept. Ribahas clearly forbidden by Allah, even Allah declared war against theeater of usury. But over time, a debate betwee nulama and experts of Islamic economics with liberal Muslim scholars about the meaning and scope of usury. Ulama and the Islamic economists agree that the meaning of usury include interest, sothe interestis forbidden. While the liberal sargue that the meaning of usury does not include interest based on contextual interpretation. So the interest may be made by reason of providing maslahat he lives of Muslims.
Key words: riba, bunga bank, transaksi Islam.
A. Pendahuluan Semenjak dimulainya sejarah Islam, masyarakat Muslim tidak mengabsahkan riba (termasuk di dalamnya bunga). Masyarakat Muslim mengelola perekonomiannya dan menyelenggarakan perdagangan domestik dan internasionalnya tanpa pranata bunga. Bagi-hasil dan berbagai jenis sistem partisipasi berperan sebagai dasar yang layak bagi tabungan dan investasi dan cukup banyak modal yang dihimpun untuk kepentingan pertambangan, pembangunan kapal, tekstil, dan industri-industri lainnya, seperti halnya untuk kepentingan maritim. Masyarakat Muslim mengenal perbankan berdasarrkan bunga ketika rezim-rezim kolonial menjajah negara-negara Muslim.1 Tak adanya sistem keuangan Islam saat itu, memaksa masyarakat Muslim untuk menerima sistem berbasis riba tersebut. Riba dilarang keras dalam Islam, bahkan orang yang memakan riba dianggap telah menantang perang terhadap Allah dan RasulNya. Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Al1 Muhammad Nejatullah as-Siddiqi, Bank Islam (Bandung: Pustaka, 1984), h. xiv.
38
Jurnal Syariah Vol. 2, No. 1, April 2014 lah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang yang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.2
Namun belakangan, terjadi perdebatan tentang makna dan cakupan riba. Semua sepakat bahwa riba haram, tapi yang menjadi polemik adalah makna riba tersebut mencakup bunga bank (interets). Mayoritas ahli fiqh dan ahli ekonomi Islam sepakat bahwa makna riba mencakup bunga bank (interest). Sebagai konsekoensinya bunga bank haram dan harus dilarang dalam transaksi keuangan Islam. Namun, beberapa pemikir Islam liberal tidak setuju dengan hal ini. Menurut mereka makna riba tidak mencakup bunga (interest), konsekuensinya bunga bank halal dan sah dilakukan dalam Islam. Sebelum kita bahas bagaimana cakupan riba dalam Islam, kita lihat dulu bagai pandangan para pemikir Islam liberal.
B. Pandangan Cendekiawan Muslim Liberal Terhadap Riba Untuk memahami riba, menurut para cendekiawan liberal, harus dilihat dulu bagaimana konteks pengharaman riba tersebut. Menurut Abdullah Saeed, prefessor studi Islam dan Arab asal Maladewa yang berkebangsaan Australia, bahwa pengecaman dan pengharaman final atas riba dalam al-Qur’an didahului oleh pelarangan sejumlah bentuk perilaku lain yang secara moral tidak dapat diterima terhadap orang-orang yang secara sosial dan ekonomi tidak beruntung (mustadl’afin). Seperti, tidak menolong fakir miskin mendapatkan hukuman di neraka.3 Kritikan Allah terhadap orang yang tidak memberikan makan dan membantu orang miskin.4 Dalam banyak kesempatan, al-Qur’an mengecam orang-orang yang
Konsep Riba dalam Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
39
berkelebihan di masyarakat Makkah.5 Al-Qur’an juga berulang-ulang pentingnya memberi nafkah untuk meringankan beban orang-orang miskin. Selanjutnya menurut Saeed, hal tersebut menandakan keberpihakan al-Qur’an terhadap orang-orang yang secara ekonomi tidak beruntung, dan menyoroti perlunya memberikan bantuan keuangan terhadap mereka. Konteks diatas menunjukkan bahwa tindakan tolong-menolong semacam itu direkomendasikan dalam suatu kasus debitur yang terpaksa meminjam untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Tidak ada yang menunjukkan bahwa pinjam-meminjam di kalangan orang kaya untuk keperluan dagang, atau dengan kata lain, untuk tujuann kemanusian.6 Hal yang sama dikatakan oleh Fazlur Rahman, bahwa konteks pengharaman riba adalah akibat kelintah daratan dan kekikiran orang-orang kaya, lebih lanjut menurutnya; Sama sekali tidak aneh jika riba dikecam sejak periode awal pewahyuan; justru tidak munculnya kecaman yang demikian dini ini mungkin tidak hanya mengejutkan, tetapi juga berentangan dengan kebijakan al-Qur’an. Ayat-ayat Makkah penuh dengan kecaman terhadap ketidak adilan ekonomi masyarakat Makkah kala itu, terhadap ‘kelintah-daratan” dan kekikiran orang-orang kaya, dan terhadap praktik-praktik dagang mereka yang tidak menghiraukan etika, seperti mencurangi timbangan dan ukuran, dll. Maka, bagaimana mungkin bahwa al-Qur’an akan lalai untuk mengecam kejahatan ekonomi riba?”7 Menurut cendekiawan liberal, bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah di tengah semerawutnya tatanan kehidupan masyarakat ketika itu. Dimana orang-orang kaya berkuasa sementara orang-orang yang lemah semakin menderita. Dalam konteks inilah Allah melalui al-Qur’an menetapkan riba haram sementara jual-beli halal.Sebagaimana yang dikatan oleh Muhammad Asad: Garis besarnya, kekejian riba (dalam arti dimana istilah ini digunakan dalam al-Qur’an dan dalam banak ucapan Nabi) ter5 QS. Al-Fajr (89): 17-33.
2 QS. Al-Baqarah: 278-280. 3 QS. Al-Mudatsir (74): 43-44.
6 Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah, Kritik Interpretasi Bunga Bank Kaum NeoRevivalis (Jakarta: Paramadina, 2006), h. 24.
4 QS. Al-Mudatsir (74): 24-45.
7 Fazlur Rhaman, “Riba and Interest”, Journal of Islamic Studies (1964), h. 3.
40
Jurnal Syariah Vol. 2, No. 1, April 2014 kait dengan keuntungan-keuntungan yang diperoleh melalui pinjaman-pinjaman berbunga yang mengandung eksploitasi atas orang-orang yang berekonomi lemah oleh orang-orang kuat dan kaya. …dengan menyimpan definisi ini di dalam benak, kita menyadari bahwa persoalan mengenai jenis transaksi keuangan mana yang jatuh ke dalam kategori riba, pada akhirnya, adalah persoalan moral, yang sangat terkait dengan motivasi sosial-ekonomi yang mendasari hubungan timbal balik antara si peminjam dan pemberi pinjaman.8
Melihat konteks keharaman riba, maka riba harus dipahami dalam perspektif moral, Abdullah Yusuf Ali juga mengatakan: Tidak perlu ada pertanyaan tentang pengharaman [riba] … Defenisi yang akan saya terima adalah: mencari untung secara tidak adil, tidak melalui perdagangan yang sah, dihasilkan dari pinjaman-pinjaman berupa emas dan perak, dan berbagai bahan makanan pokok seperti tepung, gandum, anggur, dan garam… Definisi saya tentu mencakup semua jenis pengambilan keuntungan secara berlebihan, kecuali kredit ekonomi, produk perbankan, dan pembiayaan modern.9 Menurut pemikir liberal, praktik riba yang terjadi pada waktu itu dinamakan riba jahiliyyah. Hal berdasarkan komentar Imam atThabari mengenai asbabun nuzul Surah Ali-Imran ayat 31, ia mengatakan: Janganlah mengonsumsi riba setelah kalian memeluk Islam sebagaimana kalian telah mengkonsumsinyas sebelum Islam. Cara orang-orang Arab pra-Islam mengkonsumsi riba adalah bahwa salah seorang dari mereka memiliki utang yang harus dilunasi pada tanggal tertentu. Ketika tanggal itu tiba, si kreditur menuntut pelunasan dari si debitur. Si debitur akan mengatakan, “Tundalah pelunasan utangku; aku akan memberikan tambahan atas hartamu.” Inilah riba yang berganda dan berlipat ganda.10 Riwayat ini menunjukkan bahwa riba sebagaimana yang dip8 Saeed, Menyoal…, h. 61.
Konsep Riba dalam Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
raktikkan pada zaman jahiliyah (riba jahiliyyah) berarti penambahan jumlah dari pokok pinjaman sebagai imbalan penguluran jatuh tempo hutang yang sudah ada dikarenakan ketikdakmampuan debitur untuk melunasinya tepat waktu. Riwayat ini menurut Saeed, tidak menyingkap apakah utang itu akibat dari pinjaman atau jual-beli tunda.11 Berdasarkan hal ini, Saeed menyimpulkan, bahwa tidak ada bukti bahwa konteks riba adalah eksploitsi terhadap orang-orang yang lemah. Melihat konteks riba di atas, ada beberapa hal yang dirumuskan kaum liberalis mengenai riba. 1. Aspek moral sebagai alasan pengharaman riba Pengharaman riba berdasarkan konteks moral merupakan hal yang paling masuk akal. Hal ini dikarenakan, institusi riba pra-Islam (riba jahiliyyah) memiliki kecenderungan untuk membuat debitur terjerat utang. Makanya, ketidakmungkinan untuk melunasi utang adalah kemungkinan untuk menjadi budak atau buruh ikatan. Karena masyarakat Arab pra-Islam tidak ada undang-undang yang mengatur untuk menccegah kreditur dari memaksa debitur untuk menjadi buruh ikatan. Berbeda dengan sekarang, para debitur pada umumnya, tidak seperti debitur zaman pra-Islam, bersandar pada pendapatan masa depan yang bisa diprediksi untuk melunasi utangutangnya, baik berdasarkan pekerjaan ataupun dari pendapatan yang mendatang yang mungkin dari bisnis atau sumber-sumber lainnya.12 Melihat kondisi masyarakat pada masa itu, dimana pemenuhan kebutuhan sehari-hari saja adalah masalah yang umum. Pekerjaan dan pendapatan tidak menentu. Maka wajar saja Al-Qur’an mengharamkan riba, sebagai respon terhadap kondisi tersebut, agar orang-orang yang lemah secara ekonomi dan sosial tidak beruntung. Fazlur Rahman, menyindir sikap kebanyakan Muslim yang mengharamkan bunga dengan mengabaikan aspek moral pengharaman riba: Banyak muslim yang berniat baik dengan kesadaran moral yang sangat tinggi secara tulus percaya bahwa al-Qur’an telah melarang semua bunga bank selamanya, tetapi secara menye-
9 Ibid., h. 62. 10 Ibn Jarir ath-Thabari, Jami’i al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an (ttp.: Dar Hajr, 2001), V: 38.
41
11 Saeed, Menyoal…, h. 29. 12 Ibid., h. 37-38
42
Jurnal Syariah Vol. 2, No. 1, April 2014 dihkan tidak peduli terhadap apa itu riba secara historis, mengapa al-Qur’an mencelanya sebagai bentuk eksploitasi yang mencolok dan kejam lalu melarangnya, dan apa fungsi bunga bank saat ini.13
Hal ini menurut mereka bukan tanpa alasan, Firman Allah surah al-Baqarah 278-279 mengisyaratkan hal tersebut. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orangorang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.14 Menurut Saeed, ada dua ayat di atas barangkali dapat menjelaskan sifat riba sebagaimana yang dilarang dalam al-Qur’an. Pernyataan pertama adalah “lakum ru-uusu amwaalikum” (bagi kalian pokok pinjaman kalian) yang segera disusul dengan pernyataan “laa tazhlimuuna wa laa tuzhlamuun” (kalian tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya). Pernyataan pertama menyatakan bahwa hanya pokok pinjaman yang menjadi hak si kreditur dan, bagaimanapun juga, ini hanya satu sisi mata uang, sementara sisi yang lainnya adalah pernyataan kedua, laa tazhlimuuna wa laa tuzhlamuun. Dua pernyataan tersebut tampak saling bergantung dan, oleh karena itu, salah satu pernyataan tidak boleh dilihat tanpa melihat pernyataan lainnya. Jika dua pernyataan tersebut diambil secara terpisah dan dengan mengabaikan salah satunya, akan ada bahaya bahwa makna yang dimaksud al-Qur’an kemungkinan terdistorsi. Pernyataan laa tazhlimuuna wa laa tuzhlamuun lah yang memungkinkan pengharaman riba berdasarkan penekanan pada aspek moral.15 Sayangnya, menurut Saeed, karya-karya tafsir hanya menekan kan satu sisi saja, “lakum ru-uusu amwaalikum”, dan hampir sepenuhnya mengabaikan sisi kedua, “laa tazhlimuuna wa laa tuzhlamuun”
Konsep Riba dalam Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
43
Pengabaian pernyataan yang kedua mungkin mencerminkan metodologi yang digunakan oleh hampir semua mazhab hukum Islam yang metodologi itu elemen-elemen pembentuk setiap perintah dan larangan dalam al-Qur’an ditafsirkan dengan cara melihat makna yang paling literal dan paling dekat dengan teks yang relevan, dan menekankan aspek literal ini dengan mengabaikan alasan atau sebab yang mendasarinya.16 Hal ini tercemin pada pandangan ar-Razi mengenai alasan pengharaman riba: Pengharaman riba dibuktikan dengan sebuah teks [al-Qur’an]. Tidak penting bagi orang untuk mengetahui alasan dari kewajiban-kewajibannya. Oleh sebab itu, pengharaman riba harus dianggap telah cukup jelas diketahui meskipun kita tidak tahu alasan pengharaman ini.17 Pikiran utama yang ditekankan oleh Razi adalah bahwa pencarian alasan pelarangan tidaklah penting, orang hanya perlu taat. Lebih lanjut menurut pandangan ini, kita bahkan tidak perlu tahu apakah alasan itu ada. Padahal menurut Saeed alasan pengharaman tersebut penting agar memperoleh pandangan yang berimbang mengenai apa yang termasuk riba dan apa yant tidak.18 Hal yang senada juga pernah dikatakan oleh Umar bin Khattab mengenai riba. Ibnu Hazm meriwayatkan dalam al-Muhalla, bahwa Umar bin Khattab pernah berkhutbah: “Demi Allah, sesungguhnya kami tidak mengerti, barangkali kami memerintah kalian dengan sesuatu yang layak bagi kalian, dan barang kali kami juga melarang kalian untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak layak bagi kalian. Ayat yang terakhir diturunkan kepada Rasulullah adalah ayat tentang riba, tidak lama kemudian beliau wafat, sebelum sempat menjelaskannya kepada kita, maka tinggalkanlah sesuatu yang meragukan kalian, dan kerjakan apa yang tidak meragukan.”19
16 Ibid., h. 34.
13 Ibid.
17 Ibid.
14 QS. Al-Baqarah (2): 278-279.
18 Ibid., h. 35.
15 Saeed, Menyoal…, h. 34.
19 Ibnu Hazam az-Zhahiri, Muhalla bi al-Atsar (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), VII: 414.
44
Jurnal Syariah Vol. 2, No. 1, April 2014
Konsep Riba dalam Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
Dalam riwayat Imam Ahmad r.a. “… Ayat yang terakhir diturunkan adalah ayat yang menerangkan tentang riba. Sesungguhnya Rasulullah sampai beliau wafat tidak pernah menafsirkan ayat tentang riba, maka tinggalkanlah riba dan raibah (keraguan).”20 2. Apa yang diharamkan adalah riba pra-Islam (Riba Jahiliyyah) Melihat apa yang diriwayatkan oleh ath-Thabari menjelaskan bahwa riba yang diharamkan adalah pra-Islam, dan juga dapat disimpulkan darinya bahwa bunga ringan tidak diharamkan. Hal ini menurut Saeed berdasarkan pendapat Muhammad Abduh, Rasyid Ridha. Mendukung hal ini, Saeed mengutip pendapat Chibli Mallat: Baik Muhammad Abduh maupun Rasyid Ridha tidak ada yang merasa nyaman dengan bunga yang diberikan kepada para deposan atas uang mereka, tetapi mereka berdua tampaknya mentolerir bunga jika pola mudarabah dapat dirancang untuk melegitimasi bunga atas simpanan-simpanan para pekerja.21 3. Kebutuhan sebagai alasan untuk mengizinkan bunga rendah Riba pra-Islam (riba jahiliyyah) merupakan bentuk riba terburuk “serupa dengan bunga berlipat ganda saat ini” adalah haram tanpa pengecualian. Di lain pihak, karena riba penunduaan (nasi’ah), riba penambahan (fadhl) dan riba pinjaman diharamkan untuk mencegah terjadinya riba pra-Islam, maka semua jenis ini mungkin saja dibolehkan untuk sementara, dalam hal ‘kebutuhan’ menurut tinkatnya kebutuhan. Kemudian hukum harus menetapkan batas-batas bagi suku bunga, metode pembayaran, dan total yang harus dibayar sehingga bisa dibuat estimasi apa yang diperlukan bagi setiap kasus tertentu.22 Mengutip pendapat Sanhuri: Dalam suatu Sistem ekonomi kapitalis, modal dimiliki oleh individu-individu, lembaga-lembaga, dan bank-bank; modal tidak dimiliki oleh pemerintah. Ada kebutuhan umum bagi pengusaha untuk mendapatkan modal guna investasi… Selama ada kebutuhan untuk mendapatkan modal dengan cara 20 Ahmad bin Hambal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal, Cet. 1 (ttp.: Muassasah al-Risalah, 2001), h. 361.
45
peminjaman, dan modal tersebut tidak dimiliki oleh pemerintah, bunga atas modal itu dengan batas-batas yang dinyatakan adalah halal, sebagai pengecualian dari pengharaman yang asli. Individu memiliki modal, yang ia tabung dengan kerja keras dan usahanya; ia memiliki kewajiban untuk tidak berbuat zalim dan hak untuk tidak dizalimi.23 4. Pinjaman untuk Konsumsi atau Produksi Melihat konteks turunnya ayat-ayat pengharaman riba, yaitu, untuk membebaskan penderitaan kaum miskin, orang-orang yang melarat, dan mereka yang terjebak hutang, maka pengharaman riba dari sudut pandang ini adalah terkait dengan pinjaman untuk konsumsi. Karena tidak terdapat bukti untuk pinjaman untuk tujuan-tujuan produksi dalam sekala yang luas pada zaman pra-Islam. Dari riwayat-riwayat dalam tafsir ath-Thabari, kata Saeed, tidak satu pun menyebut adanya atau komoditas yang dipinjam adalah untuk investasi. 5. Pertententangan Riba dengan Jual-Beli dan Shadaqah Berkenaan dengan ayat “…. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jualbeli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkanjualbeli dan mengharamkan riba….”.24 Menurut Saeed, ayat yang menggabungkan dua pernyataan bahwa jual beli adalah halal dan riba adalah haram bukanlah pertentangan sebagaimana yang dipahami ulama dan para sarjana ekonomi Islam. Namun pertentangan yang muncul adalah pada ayat “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”25 Dua hal yang mendukung pandangan ini adalah, pertama, al-Qur’an tidak menyusulinya dengan anjuran jual beli (bai’) tetapi menyatakan kehalalaannya. Kedua, segera setelah pernyataan ini, Allah mempertentangkan antara riba dan sadaqah.26 Hal yang sama juga dikatakan oleh Rahman: 23 Ibid. 24 QS. Al-Baqarah (2): 275.
21 Saeed, Menyoal…, h. 63.
25 QS. Al-Baqarah (2): 276.
22 Ibid., h. 64-65.
26 Saeed, Menyoal…, h. 32
46
غررdalam ( Konsep)Riba Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
Jurnal Syariah Vol. 2, No. 1, April 2014
47
ًغرا أو غرورا ً – غرر – يغرر ) ( غرر ) ( غرر صلهى ه سو ُل ه صا ِة َوعَنْ بَ ْي ِع ا ْل َغ َر ِر ُ نَ َهى َر َ سله َم عَنْ بَ ْي ِع ا ْل َح َ ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َ ِﷲ ًغرورا Menurut al-Qur’an, lawan dari riba bukan bai’ (jual beli) medianggap ini أو di غرا suatu tempat, – غررbelum ً – يغرر ًغروراApa غرا أو – يغرر – غررmashlahah pada hari ً yang lainkan shadaqah, kebingunangan yang tengah terjadi mengetentu menjadi mashlahahعنه diwaktu dan أنواع tempat yang berbeda. الغرر المنهى nai masalah ini, menurut kami, disebabkan karena riba dan صاة وعَنْ بَ ْيع ا ْل َغ َرر ْ ْ ه صلهى ه هriba َ ر ر غ ل ا ع ي ب ع و ة ا ص ح ل ا ع ي ب ع م ل س و َعلَ ْي ِهdipahami, سو ُل نَ َهى َرkonَْن َْن ْ ْ ُ dalam َ َ َ َ َ َ َ ِﷲ ْ ِ ه ه ه ه ُﷲ َ َ َ َ ِ َ Dengan argumentasi di atas, dapat ح ل ا ع ي ب ع م ل س و ه ي ل ع ﷲ ى ل ص ﷲ ل و س ر ى ه ن َْن ِ ِ َ ْ ْ ُ َ َ َ َ َ َ َ ِ ُ ُ َ ِ َ َ ِ ِ ِ bai’ dianggap saling bertentangan. Akibatnya adalah bahwa ِ في المعامالت الغررbunga bank, sah-sah saja teks sekarang, yangالمعاصرة telah menjelma dalam “kekusutan-yuristis” (juristichair-splitting) telah menggantikan عنه المنهى أنواع الغرر عنه الغرر المنهى أنواع di praktikkan selama memberikan mashlahah bagi manusia. Apa yang ) غرر ( pentingnya pesan moral di balik pengharaman riba.27 ْ ْ ه ه ه ه َ َ َ َوعَنْ بَ ْي ِع الغ َر ِرdiharamkan صا ِة سل َم ﷲُ َعل ْي صلى سو ن َه ُ ى َر َ عَنْ بَ ْي ِع ال َحadalah َ ِه َوtipe َ ِ ُل ﷲyang pinjaman berusaha mengambil untung المعاصرة المعامالت الغرر في المعاصرة في رر الغ 29 ًغرورا أوdari غرا – يغرر – غرر ) غرر ( ً المعامالت Setelah Allah mempertentangkan riba dengan shadaqah, alpenderitaan orang lain. Dapat kita lihat, kaum modernis- Qur’an memerintahkan umat Islam untuk melepaskan hak mengamliberal hanya ingin mengabil maqashidnya berupa mashlahah هyang سو ُل ه س َغ ُلو َر ُل ِر سرا ْل ىر ِع صاًا ِة َو نَع َهَنْنَى َهبَ ْي غرا بَ ْيأو ِع ا ْل َح التأمينو غرر َعلَ– ْي ِه ﷲ صلهى ﷲ نَ َهى َر ْسله َم– ع ًَن ُ ْ ْ َ َ َ ه ه ه ه ْ ْ ِ َ ه ه ه ه َ ُ َ َ َ ر ر غ ل ا ع ي ب ع و ة ا ص ح ل ا ع ي ب ع م ل س و ه ي ل ع ﷲ ى ل ص ﷲ َْن َْن غرور يغرر ر ر غ ل ا ع ي ب ع و ة ا ص ح ل ا ع ي ب ع م ل س و ه ي ل ع ﷲ ى ل ص ﷲ و َْن َْن َ ْ ْ ْ َ ُ ْ ْ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ ِ ِ ِ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ ِ ِ ِ َ ُ َ َ ِ َ ِ ِ ِ ِ ِ bil riba yang masih ada dan untuk hanya menerima pokok pinjaman dan meninggalkan syariatnya. yang telah diberikan kepada debitur. Kegagalan untuk melakukan Sementara jumhurَ ulama dan)التأمين ه ahli ekonomi Islam, bunga tidak ( صلهى ه عنه ْي ِع ا ْل َغ َر ِر صا ِة َو ْسله َم عَن ُ نَ َهى َر َالمنهىعَنْ ب َ الغررح َ أنواعبَ ْي ِع ا ْل َ ﷲُ َعل ْي ِه َو َ ِسو ُل ﷲ التأمينbentuk hal ini mengundang “perang dari Allah dan Rasulnya”. Akhirnya, diterima dalam sistem keuangan Islam karena bunga hanya التأمين باليانصيب جائزة al-Qur’an menganjurkan umat Islam untuk memberikan waktu kedari riba. ketika المعاصرةlain المعامالت رر فيLantas الغ عنهbunga المنهىdihilangkan أنواع الغررbisakah perbankan ) التأمين ( ) ( التأمينmashlahah sebagaimana bunga yang pada debitur yang mendapatkan kesulitan (dzu ‘usratin) untuk melusyari’ah memberikan dianggap nasi hutang tepat waktu.28 Dzu ‘usratin ini menurut sejumlah otori-ﷲ َعلَيه وسلهم عَنْ بيع ا ْلحصاة وعَنْ بيع ا ْل َغرر oleh bisa memberikan Mari kita teliti المعاصرة في المعامالتmashlahah? الغرر سو ُل ه ُ نَ َهى َر َ modernis-liberal ِﷲ َ ِ َ َ ِ َْ ِ َ ِ َْ َ َ َ ِ ْ ُ صلهى ه جائزة باليانصيب tas tafsir mengacu kepada orang miskin, bukan kepada orang kaya. lebih باليانصيب lanjut. جائزة ) ( الفائدة Hal ini juga menjadi bukti bahwa al-Qur’an sangat berpihak kepada صلهى ه سو ُل ه َنْ بَ ْي ِع ا ْل َغ َر ِر1.وعCakupan ﷲُ َعلَ ْي ِه َو ُ نَ َهى َر َ ْي ِع ا ْل َحMakna َسله َم عَنْ ب َ Riba َ ِﷲ َ صا ِة التأمين orang miskin. Mayoritas ahli ekonomi Islam dan ulama sepakat bahwa riba ) المقرض ( merupakan) tambahan dan tumbuh, sementara bunga )( () الفائدةmeru( (الفائدة ) التأمين التأمين pakan tambahan pada modal )( () رأس المالyang dipinjamkan/dihuC. Riba: Antara Ketetapan Nash dan Maqashid asy-Syari’ah ) المقرض karena( telah tangkan Jika kita lihat pemikiran cenedekiawan liberal di atas, pemiki)( المقرض باليانصيب ) جائزة,( atau uang yang harus ) التأمينdibayarkan ( مباني وال لأللفاظ ال والمعاني للمقاصد العقود من العبرة أن menggunakan uang, yang jumlahnya menunjukkan persentase dari ran mereka dibangun atasu dua hal. Pertama, bahwa al-Qur’an adalah ) ( رأس المال رأس المال jumlah)uang yang( dipinjam.30 Dari makna respon spontan terhadap kondisi masyarakat ketika itu, sehingga huباليانصيب جائزةtersebut dapat kita pahami bahwa dua istilah tersebut berujung pada satu sifat, yaitu tamkum- hukum fiqh merupakan produk ijtihad para ulama yang bisa أن العبرة من العقود للمقاصد والمعاني ال لأللفاظ وال مباني وال لأللفاظ ال والمعاني للمقاصد العقودSebagaimana من مبانيالعبرة ) الفائدة ( أنyang dikatakan dijelaskan oleh Muhammad bahan. saja berubah. Kedua, bahwa tujuan ditetapkannya hukum Islam itu Gambar : 1Abdullah al- ‘Arabi: bukan sekedar untuk memenuhi formal legalistiknya saja – dalam ) ( المقرض ) ( الفائدة kasus ini hukum riba – tetapi lebih jauh dari itu, yaitu untuk menJenis Beda Tidaklah terjadi bunga kecuali adanya tambahan pada modal ciptakan maslahah kepada manusia, yang masyhur disebut dengan Gambar : 1 ) yang dihutangkan ( ).( Dan setiap tambahan ( ) المال رأس ( ) المقرض Gambar : 1 prinsip maqashid syari’ah (obyektif syari’ah). Prinsip ini menyatakan mata riba, baik ditinjau secara bahasa maupun tersebut Kasat merupakan 31 Beda bahwa setiap hukum mempunyai maqashid utama. Adapun tujuan ‘ayn syari’ah. Jenis kualitas العقود للمقاصد والمعاني ال لأللفاظ والمبانيsecara منJenis العبرة أنberbeda ) ( رأس المال biBeda utama syari’ah Islam adalah menciptakan kemaslahatan (kebaikan) ‘ayn mata ini kemudian dikuatkan oleh Isa Abduh, bahwa bunga dan Kasat mata bagi ummat manusia. Riba diharamkan untuk menjaga kepentingan والمبانيHal لأللفاظ للمقاصد والمعاني ال العقودKasat العبرة من أن Jenis Sama riba hanya berbeda istilah saja: kualitas berbeda golongan lemah dan miskin dari terus dieksploitasi berbeda ‘ayn kualitas bi ‘ayn bi oleh kelompok kapitalis. Akan tetapi, menurut para modernis-liberal, mashlahah itu ‘ayn Gambar : 1 ‘ayn 29 Ibid., h. 62. Kasat mata sendiri dapat berubah sesuai dengan peredaran waktu dan tempat. Jenis Sama Jenis kualitas Sama sama Jenis Beda Gambar 30 Sudi : 1 Haron dan Wan Norsofiza Wan Azmi, Islamic Finance and Banking System: 27 Rahman, Riba…, h. 31. 28 Saeed, Menyoal…, h. 33.
‘ayn bi ‘ayn
‘ayn bi Jenis Sama ‘ayn
Philosphies, Prinsciples, and Practices (Shah Alam: McGraw-Hill, 2009), h. 165. Kasat mata Kasat mata Kasat mata Jenis Beda 31 Muhammad Abdullah al-‘Arabi, Muhadarat an-Nazhm al-Islamiyyah (Kairo: kualitas fisama kualitas sama kualitas berbeda Mathba’ah al-Syurq al-‘Arabi, tt.) h. 214. Kasat mata kualitas berbeda
Kasat mata Jenis Sama
جائزة باليانصيب
48
Jurnal Syariah Vol. 2, No. 1, April 2014
) ( الفائدة
Konsep Riba dalam Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
49
) ( المقرض ) رأس المال ( Bahwa suku bunga adalah riba, tidak masalah walaupun berbeda penamaannya, sebagaimana yang dikatakan oleh qaidah syar’i, “ أن العبرة من العقود للمقاصد والمعاني ال لأللفاظ والمبانيBahwaakad dapat dipahami dari tujuan dan substansi akad tersebut, bukan pada lafaz dan susunan kata-kata.”32 M. A. Mannan juga melihat tidak terdapat perbedaan pada riba Gambar : 1 dan bunga bank, lebih lanjut ia mengatakan: Jenis Beda
Menyebut riba dengan nama bunga tidak akan mengubah sifatnya, karena bunga adalah suatu tambahan modal yang Kasat mata dipinjam, karena itu ia adalah riba baik dalam jiwa maupun berbeda peraturan hukumkualitas Islam.Islam dengan tegas melarang semua bentuk bunga betapapun hebat dan meyakinkan nama yang diberikan padanya.33
Jenis Sama
Ramdhan Hafidz Abdur KasatRahman mata juga menegagaskan hal yang sama tentang kesamaan bentuk riba dan bunga: kualitas sama
Sesungguhnya mu’amalah ini (bunga) sama saja dengan riba dari segi bentuk dan makna. Hal ini bisa dilhat dari, (1) praktek riba terjadi karena adanya jaminan terhadap uang jika terjadi kerusakan atau hilang pada perbankan ribawi, pemilik uang mengambil uang tanpa kurang sedikitpun kemudian ditambah dengan bunga, hal ini secara asal adalah bentuk dari riba. (2) Jika terjadi kerugian pada uang nasabah, tentu akan menyebabkan kerugian bagi perbankan ribawi, hal ini lah yang menjadi perhatian perbankan untuk menetapkan bunga (3) sehingga bunga diberikan ke pemilik modal, seperti pada seribu pond ada bunga seratus pond secara asal maka juga bentuk dari bunga… Sehingga fatwa bagi orang yang menghalalkan bunga merupakan fatwa yang bathil.34 Jika kita lihat pendapat di atas dapat disimpulkan bunga hanya merupakan istilah yang baru, namun dari segi substansinya tidak 32 Isa Abduh Ibrahim, al-Riba wa Dawruhu fi Istighlal Muwarad al-Syu’ub (Kairo: Dar al-I’tisham, 1977), h. 122. 33 Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1999), h. 165. 34 Ramadhan Hafidz Abdur Rahman, Mauqif asy-Syariyah al-Islamiyah min alBunuk wa al-Mu’amalat al-Masrafiyah wa al-Ta’min (Kairo: Dar as-Salam, 2005), h. 44.
berbeda dari riba. Bahkan jika kita teliti riwayat ath-Thabari mengenai riba jahiliyyah, maka sangat masuk akal jika bunga diharamkan berdasarkan riwayat ini. Dalam praktik riba jahiliyyah, ketika jatuh tempo debitur meminta penundaan dan menawarkan pembayaran lebih. Artinya riba jahiliyyah begitu santun, debitur yang menawarkan pembayaran lebih, bukan kreditur. Sementara praktik bunga saat ini, ketika kita melakukan kontrak, dari awal sudah ditetapkan tambahannya oleh kreditur. Artinya, mafhum muwaafaqah-nya riba jahiliyyah yang begitu santun saja haram, apalagi bunga yang tidak ada sopan-santunya, tentu lebih haram lagi. 2. Bunga untuk tujuan konsumtif dan produktif Seperti yang dijelaskan sebelumnya, cendekiawan liberal berargumentasi bahwa yang dilarang adalah bunga yang sifatnya konsumtif, sementara bunga untuk tujuan produktif boleh untuk dilakukan. Menjawab hal ini, Syaikh Abu Zahrah mengatakan, Sama sekali tidak ada bukti yang mendukung pendapat bahwa riba jahiliyah adalah untuk pinjaman konsumtif dan bukan produktif. Sebenarnya, jenis pinjaman yang ditemukan oleh para ulama dan yang didukung oleh data sejarah adalah pinjaman produktif. Keadaan-keadaan bangsa Arab, posisi Makkah, dan perniagaan orang-orang Qurasy,35 semuanya mendukung pendapat bahwa pinjaman itu adalah untuk tujuan-tujuan produksi bukan konsumsi.…. Kemudian bersabda Rasulullah (dalam haji wada’): “ketahuilah sesungguhnya riba jahiliyyah telah dihapuskan. Riba pertama yang aku hapuskan adalah riba pamanku Abbas bin Abdul Muthalib.” Maka apakah mungkin ada orang yang sehat akalnya berpendapat bahwa ada seseorang yang membutuhkan bahan makanan dan pakaian datang menghadap Abbas, lalu ia mengulurkan pinjaman hanya dengan persyaratan riba? Tentu saja ini merupakan hal yang mustahil. Sesungguhnya Abbas mengambil untung dengan riba pada syirkah.36
35 Dalam Al-Qur’an (QS. Al-Qurays: 1-4), dijelaskan bahwa sifat orang Qurays suka melakukan perniagaan pada dua musim, yaitu musim panas dan dingin. Jika musim dingin mereka rihlah ke Yaman, sementara jika musim panas mereka melakukan rihlah ke Syam. 36 Muhammad Abu Zahrah, Buhuts fi ar-Riba (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt.), h. 33-34.
50
Jurnal Syariah Vol. 2, No. 1, April 2014
Jauh sebelum Abu Zahrah, Fakhruddin ar-Razi telah melihat hal ini, bahkan ia menyerang orang yang membenarkan pinjaman komersial. Ia mengtakan: Sesungguhnya manfaat yang mereka sebutkan ini (keuntungan yang diambil dari tangan debitur yang melakukan perniagaan) hanya berdasarkan perkiraan saja (amr mauhuum), karenanya bisa saja terjadi, bisa saja tidak. Mengambil kelebihan atas dirham (yang dipinjamkan) melalui dasar perkiraan seperti itu, merupakan bentuk kemudharatan…, Ketika pemilik dirham memungkinkan memperoleh keuntungan secara tunai atau pembayaran tunda akan menjauhkan dari tindakan produktif, maka tidak siap dengan resiko usaha, perdagangan dan industri…, sebagaimana diketahui kemaslahatan alam tidak tercapai kecuali dengan kegiatan perdagangan, kerajinan tangan, industri, dan pembangunan.37 Mannan mengatakan, mereka yang berargumen bahwa bunga yang dibayarkan pada pinjaman investasi dalam kegiatan produksi telah mengabaikan al-Qur’an. Karena al-Qur’an secara tegas pada ayat terakhir mengenai pelarangan riba “tinggalakanlah sisa riba.” Lebih lanjut ia menerangkan, “Sesungguhnya, perbedaan antara pinjaman produktif dan tidak produktif adalah perbedaan tingkat, bukan perbedaan jenis.”38 Hal yang sama juga dikatakan oleh Islahi, menurutnya, jika memang ada perbedaan yang masuk akal tentang perbedaan riba produktif dan konsumtif, pastilah al-Qur’an akan menjelaskan perbedaan di antara keduanya, seperti diturunkan ayat-ayat bagi penduduk yang akan melakukan perdagangan dan meminjam, termasuk di antaranya pinjaman untuk tujuan bisnis.39 Menurut Chapra, pada masa periode Rasulullah saw, masyarakat Muslim telah terbiasa dengan gaya hidup sederhana dan tidak melakukan praktik konsumsi mencolok. Karena itu tak ada alasan 37 Fakhru ad-Din ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Cet. III (Beirut: Dar Ihya’i al-Turats al-‘Arabi: 1420 H), VII: 74. 38 Mannan, Teori…, h. 165. 39 A. A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taymiyah (Surabaya: Bina Ilmu, 1997), h. 161.
Konsep Riba dalam Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
51
meminjam dana untuk tujuan-tujuan pamer diri atau untuk keperluan konsumsi tidak penting. Begitu juga, masyarakat telah terorganisasi dengan baik dalam memenuhi kebutuhan pokok si miskin dan mereka yang mengalami kesulitan karena bencana alam.40 Lebih lanjut Chapra mengatakan: Dengan demikian, keseluruhan argumen yang menyatakan bahwa bunga menimbulkan kesulitan hanya bagi orang yang berutang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, adalah tidak berdasar. Justru kewajiban masyarakat muslimlah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi orang-orang miskin. Berutang untuk tujuan-tujuan konsumsi yang lain perlu dikontrol dan diorganiasikan …. Karena itu, pada umumnya, utang dalam sebuah masyarakat Muslim adalah untuk tujuan-tujuan bisnis.41 Dari penjelasan Chapra ini, dapat kita pahami bahwa Islam tidak akan membiarkan orang-orang miskin terlantar. Islam mempunyai lembaga khusus dalam menangani hal ini, seperti zakat, wakaf, dan shadaqah. Namun jika kita lihat dari penjelasan cendekiawan liberal seolah-olah Islam tidak begitu peduli dengan masyarakat miskin, dan juga menafikan keberadaan baitul mal yang mengorganisir dana-dana untuk membantu rakyat miskin. 3. Analisa terhadap pandangan Muhammad Abduh dan al-Sanhuri Untuk memperkuat argumen, pemikir liberal mencatut pendapat Abduh dan as-Sanhuri yang menjelaskan bahwa bunga dibolehkan dengan alasan kebutuhan. Untuk memperkuat argumentasinya tersebut Saeed mengutip pendapat Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Abd al-Razzaq al-Sanhuri. Disini penulis mencoba memberikan pandangan yang berbeda mengenai pendapat ulama tersebut. Sebagian orang mengira bahwa Muhammad Abduh memberikan fatwa tentang kehalalan bunga produktif. Menggapi hal ini Majdi Abd al-Fatah Sulaiman mengutip pendapat Ibrahim Zaki ad-Din Badwi mengatakan: Saya berusaha keras mencari teks ini (fatwa bunga) baik di 40 Umer Chapra, Sistem Moneter Islam (Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Institute, 2000), h. 26. 41 Ibid., h. 27.
52
Jurnal Syariah Vol. 2, No. 1, April 2014 dana tabungan atau di sejumlah majallahal-manaar semenjak fatwa tersebut dikeluarkan hingga wafatnya Muhammad Abduh, namun saya tidak menemukan teks fatwa tersebut.42
Dalam Majallah al-Manaar seorang pembaca menanyakan mengenai fatwa Abduh tentang kebolehan bunga pada dana tabungan pos. Menanggapi hal ini, Rasyid Ridha – sebagai orang yang terdekat dengan Muhammad Abduh – mengatakan: Jika al-Ustadz al-Imam Muhammad Abdduh memberikan fatwa secara resmi pada masalah dana tabungan maka akan didapatkan fatwa tersebut dalam kompilasi fatwa di Kementrian Kehakiman dan termasuk fatwa mengenai hal tersebut, dan saya belum pernah melihat fatwa tersebut, akan tetapi saya telah mendengarnya dalam konteks bincang-bincang dengan pemerintah. Adapun hasilnya: Bahwa pemerintah membentuk dana tabungan memanfaatkan pos berdasarkan dekrit pemerintah (pemimpin tertinggi) untuk memudahkan mayarakat miskin untuk menabungkan kelebihan pendapatan mereka lalu hasilnya diberikan kepada mereka. Terdapat sekitar tiga ribu masyarakat miskin yang menabungkan uangnya di dana tabungan tersebut tidak mengambil keuntungan yang menjadi hak mereka sebagaimana yang ditentukan oleh dektrit. Maka pemerintah bertanya kepadaku, “apakah ada metode syar’iyah untuk menjadikan keuntungan ini halal hingga tidak ada dosa bagi orang-orang miskin yang muslim untuk mengambilnya.” Maka aku menjawabnya secara lisan memungkinkan hal tersebut dengan menginvestasikan dana yang terkumpul berdasarkan hukum syirkahal-mudlaarabah.43 Dari pernyataan Rasyid Ridha tersebut sebenarnya yang diinginkan oleh Abduh adalah dengan metode syirkah mudlaarabah. Walaupun akhrinya Abduh mengizinkan tapi hal itu bukan fatwanya, ia hanya mengikuti fatwa ulama Azhar.44 Ulama selanjutnya yang membolehkan bunga adalah Abdul 42 Majdi Abd al-Fatah Sulaiman, “al-Faa-idah al-Mashrafiyah fi Nazhri al-Islaam wa Mawqif al-‘Ulama minha”, Majallah bi al-Dirasat al-Islamiyah wa bi Syu-uni alTsaqafah wa al-Fikr, No. 243 Vol. 2 (Januari, 1984), h. 43 Rasyid Ridha, “Ribh Shunduq al-Barid” Majallah al-Manaar (Februari 1917), XIX: 527. 44 Ibid.
Konsep Riba dalam Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
53
Razaq al-Sanhuri, ia mengatakan: Dalam suatu sistem ekonomi kapitalis, modal dimiliki oleh inidividu-individu, lembanga-lembaga, dan bank-bank, modal tidak dimiliki oleh pemerintah. Ada kebutuhan umum bagi pengusaha untuk mendapatkan modal guna investasi… selama ada kebutuhan untuk mendapatkan modal dengan cara peminjaman, dan modal tersebut tidak dimiliki oleh pemerintah, bunga atas modal itu dengan batas-batas yang dinyatakan adalah halal, sebagai pengecualian sebagai pengharaman yang asli.45 Jika kita lihat kedua konteks pendapat ulama tersebut, fatwa tersebut keluar bukan dalam rangka mengkritik perbankan Islam yang tidak menerima bunga, karena tidak ada perbankan Islam sebagai alternativ pada waktu itu. Pendapat ulama tersebut keluar akibat kebutuhan umat Islam saat itu. Sehingga seperti Abduh,bunga hanya dibolehkan pada orang yang benar-benar membutuhkan saja, yaitu orang miskin. Sementara al-Sanhuri juga membolehkan dengan batasan-batasan yang tidak melampaui kebutuhan. Artinya, bagi kedua ulama tersebut berlaku hukum dlaruurah. Berbeda dengan dengan kaum liberal, mereka membela bunga dalam konteks mengkritik perbankan Islam, bukan membela orang-orang yang lemah. Dimana kondisi dlaruurah sudah tidak berlaku lagi karena sudah ada solusi dari bunga tersebut, yaitu perbankan Islam. 4. Jual Beli dan Riba (bunga) Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, menurut cendekiawan liberal, tidak ada pertentangan antara jual beli dan riba, diamana pada ayat “mereka mengatakan jual-beli itu sama dengan riba, dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”46 Qur’an hanya menyebut dua pernyataan saja, bukan pertentangan. Sementara pertentangan terletak pada “Allah menghapuskan riba, dan menyuburkan shadaqah.”47 Jika kita lihat konteks ayat ini merupakan bantahan Allah terhadap orang Arab jahiliyyah yang mengatakan riba dan jual-beli sama, karena sama-sama memberikan manfaat 45 Saeed, Menyoal…, h. 65. 46 QS. Al-Baqarah (2): 275. 47 QS. Al-Baqarah (2): 276
54
Jurnal Syariah Vol. 2, No. 1, April 2014
dan keuntungan. Argumentasi ini menurut Syaid Qutb merupakan “syubhat yang lemah”. Karena aktivitas perdagangan itu bisa jadi mendapatkan keuntungan dan bisa jadi merugi. Kepandaian dan kesungguhan seseorang serta keadaan alamiyah yang berlangsung dalam kehidupan itulah yang menentukan untung ruginya. Sedangkan ribawi keuntungannya sudah dipastikan dalam semua keadaan.48 Hal yang sama juga diungkapkapkan oleh Siddiqi, menurutnya perdagangan merupakan fasilitas untuk melakukan pertukaran, dimana pertukaran tersebut menciptkan nilai. Selisih harga bayar dan ongkos, perbedaan harga jual dan harga beli ini disebut profit. Kadang selisih harga tersebut bisa saja negativ, sehingga menyebabkan kerugian. Secara moral, Jual-beli sangat diterima dalam kehidupan sosial semenjak masa paling awal. Semua agama menyetujui hal ini. Keuntungan jual-beli tersebut sama saja apakah ia tunai atau kredit. Namun, bunga mengambil keuntungan hanya berdasarkan waktu.49 Mengomentari ayat “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. al-Baqarah: 275), Imam ath-Thabari mengutip pendapat Abu Ja’far:
Konsep Riba dalam Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
55
hal tersebut. Bukankah “haram” dan “halal” saling berlawanan? Namun tampaknya para cendekiawan liberal tidak ingin melihat hal ini. Memang benar apa yang diakatan oleh Rahman dan Saeed, shadaqah merupakan antitesis dari riba. Namun, riba dan jual-beli, serta riba dan shadaqah merupakan dua konteks yang berbeda. Allah mempertentangkan jual-beli dan riba ini dalam konteks bisnis, apa yang diharamkan dan dihalakan Allah adalah keuntungan dari dua hal tersebut. Sedangkan pertentangan riba dan shadaqah adalah dalam konteks sosial. Allah memberikan dua jalan bagi ummat Islam, jika ingin berbisnis gunakan jual-beli, jangan menggunakan riba, dan jika ingin menolong seseorang jangan mengambil riba, bahkan lebih baik bershadaqah.
D. Penutup
48 Sayid Quthb, Tafsir Fii Zhilaalil-Qur’an (Jakarta: Gema Insai Press, 2000), I: 383.
Dari penjelasan di atas bahwa tidak ada alasan untuk menerima bunga dalam sistem keuangan Islam. Dalam kaitan ini, masalah yang penting, tetapi juga sulit. Namun hal ini penting, karena perintah Islam untuk membasminya mengandung suatu falsafah sosialekonomi yang khas, yang alergi terhadap pemerasan sosial dalam semua bentuknya, termasuk hubungan-hubungan finansial yang ‘tak seimbang’, dan tidak adil. Masalah ini sulit, sebab nyatanya penghapusan riba merupakan isyarat untuk tidak hanya melakukan penataan-kembali finansial melainkan juga, bahkan lebih mendasar lagi, restrukturisasi semua sistem ekonomi sepanjang jalur Islam.51 Menurut Naqvi, ada pertimbangan-pertimbangan dasar yang harus diperhatikan ketika melarang riba dalam keuangan Islam. Pertama, penghapusan tingkat bunga merupakan alat kebijaksanaan, bukan sasaran kebijaksanaan. Karena penghapusan riba hanyalah sarana, satu di antara banyak sarana, untuk mewujudkan dalam praktek prasyarat-prasyarat adanya suatu perekonomian bebas eksploitasi.52 Kedua, tingkat bunga nol hanya terjadi bilamana suatu sistem ekonomi Islami terjadi, akan tetapi tidak menutup kemungkinan tingkat bunga nol terjadi pada sistem ekonomi yang tidak Islami.
49 Muhammad Nejatullah as-Siddiqi, Riba, Bank Interest and Rationale of Its Prohibition (Jeddah: Islamic Reseach and Training Institute, 2004),h. 45-47.
51 Syed Nawab Haider Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi, Suatu Sintesis Islami, Cet. III (Bandung: Mizan, 1993), h. 157.
50 Ath-Thbari, Jami’…, VI: 13.
52 Ibid., h. 158.
Allah menghalalkan keuntungan pada perniagaan dan jualbeli.Dan mengharamkan riba, artinya tambahan yang diberikan oleh pemilik modal yang disebabkan oleh penangguhan dan penundaan hutang yang diberikannya. Artinya Allah mengatakan, “Maka tidaklah salah satu dari dua bentuk keuntungan tesebut berdasarkan jual-beli. Yang pertama tambahan berdasarkan penangguhan harta dan penundaan hutang. Dan Aku menghalalkan tambahan pada modal yang berdasarkan jual-beli. Tidaklah tambahan pada jual beli tersebut termasuk kategori riba.50 Dari sini bisa kita simpulkan, tampak bahwa Allah menyanggah pernyataan orang-orang Jahiliyyah, kemudian Allah menyatakan perbedaan jual-beli dan riba, artinya saling berlawanan antara dua
56
Jurnal Syariah Vol. 2, No. 1, April 2014
Sehingga penekanan terhadapap bebas bunga saja sudah cukup bagi penegakan suatu sistem Islami adalah keliru.53 Ketiga, dalam artian yang lebih dalam, penghapusan riba berimplikasi adanya penolakan atas keseluruhan sistem kapitalistis.54 Keempat, harus jelas-jelas dipahami bahwa titik-bidik reformasi Islami tidaklah terlalu berat ke arah penghapusan bunga melainkan ke arah penggantiannya dengan memasukkan perubahan-perubahan struktural besar-besaran dalam perekonomian tersebut sejalan dengan adanya suatu mesin finansial yang secara Islami absah.55 Bukanlah cara produksi kapitalis yang bertentangan dengan Islam, tapi mentalitasnya. Hal ini berarti bahwa larangan Islam atas riba benar-benar bukanlah konsep gaya aristoteles atau schoolmen Abad Pertengahan yang yang menyatakan uang itu ‘mandul’ dan, karenanya, tidak harus menikmati pengembalian. Larangan Islam atas riba kenyataanya merupakan kasus khusus dari hukum yang lebih umum yang melarang semua hubungan finansial yang mendorong ketidakadilan sosial.
DAFTAR PUSTAKA Al-‘Arabi, Muhammad Abdullah, Tanpa Tahun, Muhaadlarat fii anNazhm al-Islamiyyah, Kairo: Mathba’ah al-Syurq al-‘Arabi. Chapra, Umer, 2000, Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Institute. Hambal, Ahmad bin, 2001, Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal, Cet. 1, Tanpa Tempat: Muassasah al-Risalah. Ibrahim, Isa ‘Abduh, 1977, al-Riba wa Dawruhu fii Istighlaal Muwaarad al-Syu’ub, Kairo: Dar al-I’tisham. Haron, Sudi dan Wan Norsofiza Wan Azmi, 2009, Islamic Finance and Banking System: Philosphies, Prinsciples, and Practices, Shah Alam: McGraw-Hill. Islahi, A. A., 1997, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taymiyah, Surabaya: Bina Ilmu, 1997. 53 Ibid., h. 159. 54 Ibid., h. 160. 55 Ibid., h. 161.
Konsep Riba dalam Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
57
Mannan, Muhammad Abdul, 1999, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf. Naqvi, Syed Nawab Haider, 1993, Etika dan Ilmu Ekonomi, Suatu Sintesis Islami, Cet. III, Bandung: Mizan. Quthb, Sayid, 2000, Tafsir Fii Zhilaalil-Qur’an, Jakarta: Gema Insai Press. Rahman, Fazlur,1964, “Riba and Interest”, Journal of Islamic Studies. Rahman, Ramadlan Hafizh Abdur 2005, Mauqif asy-Syar’iyah al-Islamiyah min al-Bunuk wa al-Mu’amalat al-Mashrafiyah wa al-Ta’min, Kairo: Dar as-Salam. Ar-Razi, Fakhru ad-Din, 1420 H, Mafatih al-Ghaib, Cet. III, Beirut: Dar Ihya’i al-Turats al-‘Arabi. Ridha, Rasyid, 1917, “Ribh Shunduq al-Barid” Majallah al-Manaar, XIX. Saeed, Abdullah, 2006, Menyoal Bank Syariah, Kritik Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, Jakarta: Paramadina. As-Siddiqi, Muhammad Nejatullah, 1984, Bank Islam, Bandung: Pustaka. _____, Muhammad Nejatullah, 2004, Riba, Bank Interest and Rationale of Its Prohibition, Jeddah: Islamic Reseach and Training Institute. Sulaiman, Majdi Abd al-Fatah, 1984, “al-Faa-idah al-Mashrafiyah fi Nazhri al-Islam wa Mawqif al-‘Ulama minha”, Majallah bi al-Dirasat al-Islamiyah wa bi Syu-uni al-Tsaqafah wa al-Fikr, No. 243 Vol. 2. Ath-Thabari, Ibn Jarir, 2001, Jami’i al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, Tanpa Tempat: Dar Hajr. Zahrah, Muhammad Abu, Tanpa Tahun,Buhuts fi ar-Riba, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi. Az-Zahiri, Ibnu Hazam, Tanpa Tahun, Muhalla bi al-aatsar, Beirut: Dar al-Fikr.