KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF K.H. MUHAMMAD SHOLEH DARAT AL SAMARANI SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh : ANDRI WINARCO 111-12-003
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016
ii
iii
iv
v
MOTTO
: ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ:ﻋﻦ اﺑﻲ ھﺮﯾﺮة رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ ﻗﺎل اَ ْﻛ َﻤ ُﻞ ْاﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨِﯿ َْﻦ إِ ْﯾ َﻤﺎﻧًﺎأَﺣْ َﺴﻨُﮭُ ْﻢ ُﺧﻠُﻘًﺎ .()رواه اﻟﺘﺮﻣﺬى “Dari Abu Hurairoh radhiyallahu’anhu berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya.” (H.R. Tirmidzi).
vi
PERSEMBAHAN Karya tulis ini, kupersembahkan untuk: 1.
Ayah dan Ibu, yang tidak pernah berhenti mendoakanku.
2.
Para Kiai dan Guruku, ilmu yang disampaikan tidak akan terbalas dengan materi apapun.
3.
Seluruh keluarga besarku, yang telah memberikan dukungan dalam menimba ilmu.
4.
Dra. Supartinah, Sp. THt., yang telah memotivasiku untuk menimba ilmu.
5.
Keluarga Besar Bidikmisi IAIN Salatiga, yang telah memberikan sarana penunjang dalam memperjuangkan kelancaran studi ini.
6.
Keluarga PP. Al Islah, Cengek, Tingkir dan PP. Edi Mancoro, Gedangan, Tuntang, yang membersamai langkah-langkahku dalam menggapai asa.
7.
Keluarga Besar Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz, yang telah menghiasi perjalananku selama ini.
8.
Yaa Bismillaah, keluarga kedua yang peluk hangatnya selalu mampu kurasa.
9.
Sahabat-sahabatku, Muhammad Hasanuddin, Lc dan Taufiqurrahman, S.Pd., yang senantiasa menjadi sahabat terbaikku dalam menuntut ilmu.
10. Akrom Musabbihin, S.Pd. dan Muhammad Sulkhan, yang telah meluangkan waktunya untuk membantuku dalam menyelesaikan skripsi ini. 11. Dan teruntuk semuanya, terimakasih.
vii
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan para pengikut setianya. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah di Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga. 2. Bapak Suwardi, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK). 3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang berkenan mengoreksi dan mengarahkan judul skripsi di tengah padatnya tugas. 4. Bapak Drs. A. Bahrudin, M.Ag. selaku dosen pembimbing akademik, beserta bapak dan ibu dosen yang telah berkenan membimbing penulis selama masa studi. 5. Bapak Achmad Maimun, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan, arahan serta ide cemerlangnya dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Orangtuaku tercinta, yang selalu memberikan inspirasi, motivasi, aspirasi dan gemblengan bagi penulis. 7. Semua pihak yang telah mendukung penulis selama ini, yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Jazakumullahu khair al-jaza’. Kepada mereka semua, penulis berharap semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka serta membalas semua amal baik yang telah diberikan kepada penulis. Akhirnya, dari karya tulis ini penulis berharap kemanfaatan bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Penulis
viii
ABSTRAK Winarco, Andri, 2017, Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif K.H. Muhammad Sholeh Darat Al Samarani. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Achmad Maimun, M.Ag. Kata Kunci: Konsep, Pendidikan, Akhlak, Sholeh Darat. Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam, sehingga setiap aspek dari ajaran agama ini selalu berorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak yang mulia, yang disebut akhlaqul karimah. Salah satu dari sekian banyak tokoh Islam di Indonesia yang mengedepankan akhlak di atas ilmu ialah tokoh dari Semarang yang lebih dikenal dengan nama KH. Muhammad Sholeh Darat. Rumusan masalah dalam penelitian ini: 1) Bagaimana konsep pemikiran Muhammad Sholeh Darat Al Samarani tentang pendidikan akhlak? 2) Bagaimana relevansi pemikiran Muhammad Sholeh Darat Al Samarani tentang pendidikan akhlak dengan pendidikan saat ini? Jenis penelitian ini adalah Library Research, yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber literatur perpustakaan. Adapun sumber data terbagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diambil dari karya-karya Muhammad Sholeh Darat Al Samarani yang berkaitan dengan judul penelitian. Data sekunder diambil dari literatur dan bukubuku yang bersangkutan dengan obyek pembahasan penulis. Sementara itu, metode pengumpulan data dalam karya tulis ini menggunakan metode dokumentasi dan wawancara. Adapun teknis analisa data menggunakan metode deduktif, induktif, dan historis. Temuan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemikiran Kiai Sholeh Darat tentang pendidikan akhlak terbagi menjadi eksistensi akhlak, sumber akhlak, klasifikasi akhlak, metode pendidikan akhlak, dan urgensi akhlak. Konsep pendidikan akhlak beliau adalah konsep pendidikan akhlak yang lebih menekankan pada pembiasaan-pembiasaan dalam melakukan ritual ibadah, seperti dalam berwudhu, mendirikan solat, menjalankan puasa, menunaikan zakat, dan pergi ke tanah suci untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima. Di sisi lain, Kiai Sholeh Darat juga menganjurkan kepada manusia untuk selalu berhati-hati dalam bertingkah laku dan beribadah, karena hadirnya nafsu syahwat. Selain itu, Kiai Sholeh Darat juga menganjurkan kepada manusia untuk menghilangkan sifatsifat tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji atau dapat dikatakan sebagai proses tazkiyatun nafs. Adapun relevansi pendidikan akhlak Kiai Sholeh Darat dengan pendidikan saat ini berujung pada kesimpulan bahwa konsep yang diusung Kiai Sholeh Darat sangat relevan, mengingat era pendidikan saat ini lebih mengutamakan segi kognitif daripada afektif. Hasilnya pun juga baik, terpelajar, namun, apabila mereka terjun ke dalam dunia masyarakat mereka tidak akan mampu menggantikan dari segi afektif, yang terdidik dalam bidang akhlaknya.
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL..................................................................................
i
HALAMAN BERLOGO............................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN..................................................
v
MOTTO......................................................................................................
vi
PERSEMBAHAN......................................................................................
vii
KATA PENGANTAR................................................................................
viii
ABSTRAK.................................................................................................
ix
DAFTAR ISI..............................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................
xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah........................................................................
1
B. Rumusan Masalah..................................................................................
4
C. Tujuan Penelitian...................................................................................
5
D. Manfaat Penelitian.................................................................................
5
E. Metode Penelitian..................................................................................
6
F. Penegasan Istilah...................................................................................
10
G. Sistematika Penulisan............................................................................
13
BAB II BIOGRAFI TOKOH A. Konteks Internal....................................................................................
16
1. Riwayat keluarga Muhammad Sholeh Darat Al Samarani................
16
2. Riwayat Pendidikan Muhammad Sholeh Darat Al Samarani...........
19
3. Mengajar di Pesantren.......................................................................
27
4. Langkah Gerakan Muhammad Sholeh Darat Al Samarani...............
33
5. Karya-karya Muhammad Sholeh Darat Al Samarani........................
39
6. Napak Tilas Muhammad Sholeh Darat Al Samarani........................
44
B. Konteks Eksternal..................................................................................
47
1. Aspek Keagamaan.............................................................................
47
x
2. Aspek Sosial Politik..........................................................................
50
3. Aspek Sosial Budaya.........................................................................
54
C. Corak Pemikiran Muhammad Sholeh Darat Al Samarani.....................
57
1. Bidang Teologi..................................................................................
57
2.Bidang Tasawuf.................................................................................
60
3.Bidang Akhlak...................................................................................
62
4.Bidang Fiqih.......................................................................................
63
5. Bidang Pendidikan.............................................................................
67
D. Pendapat Para Ulama dan Para Cendekiawan.......................................
70
1. Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj, MA. (Ketua Pengurus Besar Nahdlotul ‘Ulama’/PBNU)...............................................................
70
2. Peter Carey (Sejarawan University of Oxford).................................
71
3. K.H. Ahmad Wafi MZ. (Pengasuh PP. Al Anwar, Sarang, Rembang)..........................................................................................
72
4. Prof. Dr. M. Abdul Karim, M.A., M.A. (Guru Besar Sejarah Islam UIN Sunan Kalijaga)........................................................................
72
5. Dr. Abdullah Salim (Dosen Unissula Semarang juga Peneliti Pertama Naskah K.H. Sholeh Darat)................................................
73
6. Dr. Nur Cholis Majid (Cendekiawan Muslim Indonesia).................
74
7. K.H. Ahmad Hadlor Ihsan (Pengasuh PP. Al Islah Mangkang, Tugu, Semarang juga Mantan Rois Syuriyah PCNU Kota Semarang).........................................................................................
74
BAB III KAJIAN TEORI A. Pendidikan Akhlak................................................................................
75
1. Pengertin Pendidikan........................................................................
75
2. Akhlak, Moral, Etika, dan Budi Pekerti............................................
78
3. Pendidikan Akhlak............................................................................
83
B. Sumber Pendidikan Akhlak..................................................................
85
1. Al Qur’an..........................................................................................
85
2. Hadits................................................................................................
87
3. Ijtihad................................................................................................
89
xi
4. Adat Istiadat.......................................................................................
91
C. Konsep dan Tujuan Pendidikan Akhlak................................................
92
D. Unsur-Unsur Pendidikan Akhlak..........................................................
95
1. Pendidik............................................................................................
95
2. Peserta Didik.....................................................................................
96
3. Metode Pendidikan Akhlak...............................................................
97
4. Materi Pendidikan Akhlak.................................................................
101
5. Lingkungan Pendidikan Akhlak........................................................
102
E. Hubungan Akhlak dengan Ilmu.............................................................
104
BAB IV PEMIKIRAN TOKOH A. Analisis Konsep Pendidikan Akhlak Muhammad Sholeh Darat Al Samarani................................................................................................
108
1. Eksistensi Akhlak..............................................................................
108
2. Sumber Akhlak..................................................................................
109
3. Klasifikasi Akhlak.............................................................................
113
4. Unsur-unsur Pendidikan Akhlak.......................................................
125
5. Hubungan Akhlak dengan Ilmu.........................................................
137
B. Relevansi Pendidikan Akhlak Muhammad Sholeh Darat Al Samarani dengan Pendidikan Saat ini...................................................................
138
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.......................................................................................
144
B. Saran.................................................................................................
145
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
: Surat Tugas Pembimbing Skripsi
Lampiran 2
: Lembar Konsultasi
Lampiran 3
: Daftar Riwayat Hidup Peneliti
Lampiran 4
: Ringkasan Skripsi dalam Bentuk Power Point
Lampiran 5
: Pernyataan Melakukan Wawancara
Lampiran 6
: Foto-foto Penelitian
Lampiran 7
: Lembar SKK
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam, sehingga setiap aspek dari ajaran agama ini selalu berorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak yang mulia, yang disebut akhlaqul karimah. Namun, pendidikan akhlak akhir-akhir ini hampir terlupakan oleh banyak kalangan masyarakat bahkan kalangan terpelajar sekalipun. Karena, masa kini adalah masa peradaban modern, di mana dalam dunia pendidikan sering kali kita melihat pendidikan hanya berorientasikan pada nilai-nilai akademik semata. Hal ini menyebabkan semua kalangan krisis akan keteladanan, yang mana krisis keteladanan ini merupakan krisis terbesar melebihi krisis energi, kesehatan, pangan dan air (Masyhuri, 2013:131). Fakta masa kini yaitu lebih banyak seseorang yang pergi mencari ilmu atau menuntut ilmu bukan untuk mengejar arti yang sebenarnya dari ilmu atau hakikat ilmu, tetapi mayoritas memburu nilai, apakah baik atau buruk nilai yang didapatkan. Dalam hubungannya dengan ini, mayoritas dari mereka lupa akan hakikat dari ilmu itu sendiri sehingga yang dihasilkan tidak sesuai dengan apa yang telah dipelajari selama di dalam lembaga pendidikan. Sebagai contoh, ketika anak pulang dari sekolah atau belajar, hal yang ditanyakan oleh orang tua bukan “Bagaimana tadi pembelajarannya di sekolah?” melainkan “Berapa nilai yang kamu dapatkan?” Pernyataan demikian membuktikan bahwasanya anak terdukung untuk mencari nilai
1
akademik dibanding untuk mendalami apa hakikat ilmu tersebut. Maka hakikat ilmu yang terkandung didalamnya tersisihkan hingga orang lebih cenderung fokus pada aspek intelligensi. Sebagai contoh yang lain, banyak kalangan terpelajar yang masih tergiur akan manisnya dunia. Seperti halnya melakukan korupsi, meminumminuman keras, pergaulan bebas, memakai narkoba dan lain sebagainya. Dalam sistem pendidikan atau dalam hal keilmuan hal ini sudah terbukti merugikan diri sendiri bahkan menjalar kepada lingkungan sekitar. Tetapi karena ilmu yang mereka dapat tidak diaplikasikan dan kurangnya kesadaran dalam diri mereka, akhirnya mereka terjerumus dalam berbagai pelanggaran norma. Tidak ada di dunia ini yang sempurna, orang yang sudah mengerti agamapun sering terjerumus di dalam masalah keduniaan. Dan itu memang menjadi ujian bagi seorang ulama untuk mendapatkan derajat yang lebih tinggi lagi. Masalah keduniaan bisa juga disebut dengan cinta kepada dunia. Tidak ada di dunia ini yang lebih dicintai daripada dunia. Bahkan dunia mengalahkan segala-galanya entah itu anak, tetangga, istri dan bahkan orang tua pun menjadi tak terhiraukan akibat dari cintanya seseorang terhadap dunia. Orang yang cinta dunia maka hal yang paling diutamakan dari segalagalanya adalah dunia. K.H. Muhammad Sholeh Darat Al Samarani menyebutkan dalam kitab beliau yaitu Kitab Munjiyat, bahwa orang yang cinta akan dunia di dalam hatinya akan ditetapkan oleh Allah SWT empat
2
perkara yaitu susah yang tidak putus selesainya, segala urusan yang tidak pernah selesai, keinginan yang tidak pernah selalu sampai pada ujungnya dan angan-angan yang tidak pernah sampai kepada ujung. Maka dapat dikatakan orang yang cinta akan dunia, akan terus memburu dunianya sampai kapanpun dan tidak akan pernah merasa puas apalagi bersyukur terhadap Sang Pencipta atas nikmat-Nya (Darat, Tanpa tahun:27). Seseorang yang mampu mengerti akan hakikat dari ilmu tersebut akan mampu memilah-milah mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindari, hal ini akan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari pendidikan. Karena melihat sebegitu pentingnya tentang peranan ilmu, maka diwajibkan menuntut dan mengamalkannya. Dengan mengamalkan ilmu engkau akan memperoleh kesuksesan dunia dan akhirat (Al Haddad, 2007:83). Menurut para ulama’, ilmu yang bermanfaat ialah ilmu yang senantiasa diliputi oleh rasa Khasyah (takut) kepada Allah SWT. Sebagaimana firmanNya.
ﷲَ ِﻣ ْﻦ ِﻋﺒَﺎ ِد ِه ْاﻟ ُﻌﻠَ َﻤﺎ ُء ۗ ِإ ﱠن ﱠ ِإﻧﱠ َﻤﺎ ﯾَ ْﺨ َﺸﻰ ﱠ ﷲَ َﻋ ِﺰﯾ ٌﺰ َﻏﻔُﻮ ٌر Artinya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hambahamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S. Fathir:28) (Al Qur’an, t.th:438). Rasulullah SAW dengan tegas mengatakan, bahwa tanda manfaat ilmu seseorang itu selalu didampingi petunjuk dan amal nyata. Artinya bila ilmu itu hanya sekedar ungkapan, teori dan basa-basi, itu bukan ilmu yang bermanfaat (Masyhuri, 2013:127). 3
Bahkan pahlawan nasional Indonesia yang menjadi emansipasi wanita di Indonesia bahkan sampai ke ranah Internasional yaitu R.A. Kartini. Dalam buku Kartini Nyantri (Ulum, 2016:159), R.A. Kartini menjelaskan tentang pentingnya pengamalan ilmu dalam suratnya kepada R.M. Abendanon Madri pada 21 Januari 1901 yang tertulis: “Seorang pendidik harus juga memelihara pembentukan budi pekerti, walaupun tidak ada hukum secara pasti mewajibkannya melakukan tugas itu. Secara moril ia wajib berbuat demikian. Dan saya menjalankan tugas itu? Saya yang masih perlu juga lagi dididik ini? Kerap kali saya mendengar orang mengatakan bahwa dari yang satu dengan sendirinya budi itu menjadi halus, luhur. Tetapi dari pengamatan saya, sayang saya berpendapat, bahwa hal itu sama sekali tidak selamanya demikian. Peradaban, kecerdasan fikiran, belumlah merupakan jaminan bagi kesusilaan. Dan orang tidak boleh terlalu menyalahkan mereka yang budi pekertinya tetap jelek meskipun pikirannya cerdas benar. Sebab dalam kebanyakan hal, kesalahan tidak terletak pada mereka sendiri melainkan pada pendidikan mereka. Memang telah banyak, aduh bahkan begitu sangat banyaknya mereka yang mengusahakan kecerdasan fikiran. Tetapi apa yang telah diperbuatnya untuk pembentukan budi pekerti mereka? Sesuatupun tidak ada.”
Maka dari itu, berdasarkan permasalahan yang tersebut diatas, melalui penelitian yang berjudul Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif K.H. Muhammad Sholeh Darat Al Samarani ini, penulis berusaha membahas lebih dalam tentang pendidikan akhlak menurut Muhammad Sholeh Darat Al Samarani.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan dari penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
4
1. Bagaimana konsep Muhammad Sholeh Darat Al Samarani tentang pendidikan akhlak? 2. Bagaimana relevansi Muhammad Sholeh Darat Al Samarani tentang pendidikan akhlak dengan pendidikan saat ini?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka peneliti merumuskan tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Mengetahui konsep Muhammad Sholeh Darat Al Samarani tentang pendidikan akhlak. 2. Mengetahui relevansi Muhammad Sholeh Darat Al Samarani tentang pendidikan akhlak dengan pendidikan saat ini.
D. Manfaat Penelitian Adapun penelitian atau pembahasan terhadap masalah di atas mempunyai manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis a. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran bagi khasanah keilmuan pendidikan di Indonesia secara umum dan pendidikan Islam dalam bidang akhlak pada khususnya. b. Sebagai
salah
satu
sumbangan
dari
pokok-pokok
pemikiran
Muhammad Sholeh Darat Al Samarani tentang pendidikan akhlak pada masa mendatang.
5
2. Manfaat praktis a. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat dijadikan panduan bahwa
pendidikan akhlak memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan moralitas di dalam kemasyarakatan dan lingkungan sekitarnya. b. Bagi orang tua, penelitian ini dapat dijadikan panduan dalam mendidik
anak agar memiliki khasanah moralitas yang luhur. c. Bagi remaja, dengan penelitian ini diharapkan nantinya dapat
menambah pengetahuan dalam bidang akhlak untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan dapat mencapai keselamatan dan kedamaian serta kebahagiaan di dunia yang fana ini sampai di akhirat kelak.
E. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Jenis penelitian ini adalah Library Research, yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber literatur perpustakaan. Obyek penelitian digali lewat beragam informasi kepustakaan berupa buku, ensiklopedi, jurnal ilmiah, koran, majalah dan dokumen (Zed, 2004: 89). 2. Sumber data Adalah
subyek
penelitian
dimana
data
menempel
(https://achmadsuhaidi.wordpress.com/2014/02/26/pengertian-sumber-
6
data-jenis-jenis-data-dan-metode-pengumpulan-data/, diakses pada 03 Januari 2017, 02.38 WIB). Sebelum peneliti mengumpulkan data, peneliti memperhatikan kualifikasi sumber data yang relevan dengan penelitian yang dilakukan. Sumber data dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu: a. Data primer Adalah buku-buku yang secara langsung berkaitan dengan objek material penelitian (Kaelan, 2010:143). Data primer diambil dari karya-karya Muhammad Sholeh Darat Al Samarani yang berkaitan dengan judul penelitian. Yaitu diantaranya Kitab Munjiyat, Kitab Minhajul Atqiya’, Kitab Matnu Al Hikam, Kitab Syarah Barzanji, Kitab Fasholatan, Kitab Munasiku Al Hajj Wa Al ‘Umroh Wa Adabu Ziyarotu Li Sayyidi Al Mursalin Sholla Allahu ‘Alaihi Wa Sallam Wajibun ‘Ala Al Hajj An Yu’arrifuha Li Al ‘Abidi Adz-Dzalil, Kitab Al Mahabbah Wa Al Mawaddah Fi Tarjamati Qouli Al Burdah Fi Al Mahabbah Wa Al Madhi ‘Ala Sayyidi Al Mursalin Li Al Imam Al ‘Allamah Al Bushoiri, Kitab Lathoifi Ath-Thoharoti Wa Asrori Ash Sholati, Kitab Majmu’ati Asy Syari’ati Al Kafiyati Li Al’awami, Kitab Al Mursyidu Al Wajiz Fi ‘Ilmu Al Qurani Al ‘Aziz, Kitab Faidh Al Rahman, Kitab Sabilu Al ‘Abid, dan Kitab Hadits Al Mi’raj. b. Data sekunder Adalah sumber data yang berupa buku-buku serta kepustakaan yang berkaitan dengan objek material, akan tetapi tidak secara langsung merupakan karya tokoh agama atau filsuf agama tertentu
7
yang menjadi objek (Kaelan, 2010:144). Data sekunder diambil dari literatur dan buku-buku yang bersangkutan dengan obyek pembahasan penulis. Diantaranya yaitu Buku Bekal Hidup Bahagia Dunia Akhirat terjemah Kitab Risalatul Mu’awanah, dan buku-buku yang lain yang bersangkutan dengan penelitian. 3. Metode pengumpulan data Metode yang digunakan penulis untuk mengumpulkan berbagai sumber data dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi dan metode wawancara. Metode dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, legger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 2006:231). Metode dokumentasi ini, data mengenai penelitian yang diperoleh dengan cara menghimpun data dari berbagai literatur, baik artikel, jurnal, majalah, maupun buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan penelitian ini guna menjadi data penguat pembahasan dalam penyusunan skripsi ini. Metode
wawancara
yang
dimaksud
disini
adalah
teknik
mengumpulkan data adalah teknik untuk mengumpulkan data yang akurat untuk keperluan proses pemecahan masalah tertentu, yang sesuai dengan data. Pencarian data dengan teknik ini dilakukan dengan cara tanya jawab secara lisan dan bertatap muka langsung antara seorang atau beberapa orang yang diwawancarai (Muhamad, 2008:151).
8
4. Teknik analisis data Yaitu proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2014:335). Beberapa Macam-macam metode yang digunakan dalam menganalisis masalah adalah sebagai berikut: a. Historis Metode ini berkaitan dengan latar belakang historis tokoh/filsuf tersebut, serta latar belakang agama, sosial, budaya, filsafat paham/aliran, pendidikan, keluarga serta pengalaman hidupnya (Kaelan, 2010:176). Dalam hal ini, penulis mengungkap tentang latar belakang historisnya Muhammad Sholeh Darat Al Samarani. b. Deduktif Adalah cara analisis dari kesimpulan umum atau generalisasi yang diuraikan menjadi contoh-contoh kongkrit atau fakta-fakta untuk menjelaskan kesimpulan atau generalisasi tersebut (http://makalahupdate.blogspot.co.id/2012/12/pengertian-metode-induktif-danmetode.html, diakses pada 03 Januari 2017, 02.54 WIB). Metode ini digunakan penulis untuk menganalisa data tentang pendidikan akhlak yang ada di sekitar dalam kehidupan sehari-hari.
9
c. Induktif Adalah diilustrasikan dengan usaha peneliti dalam mengolah data secara berulang-ulang tema-tema dan database penelitian hingga peneliti berhasil membangun serangkaian tema yang utuh (Creswell, 2010:261). Metode ini digunakan penulis dalam menganalisa pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam karya-karya Muhammad Sholeh Darat Al Samarani tentang pendidikan akhlak, guna ditarik kesimpulan dan dicari relevansinya dengan pendidikan akhlak pada saat ini.
F. Penegasan Istilah Sebelum penulis membahas lebih lanjut yang menjadi inti permasalahan dan untuk menghindari kesalahan penafsiran, maka perlu penulis jelaskan istilah-istilah yang berkaitan dengan judul di atas yaitu antara lain: 1. Konsep Konsep adalah sejumlah pengertian atau ciri yang berkaitan dengan berbagai peristiwa, objek, kondisi, situasi, dan hal lain yang sejenis (Muhamad, 2008:65-66). Maka, konsep merupakan dasar dari segala pemikiran dan komunikasi. 2. Pendidikan akhlak Dalam konteks Islam pendidikan dimaknai dengan beberapa istilah yaitu tarbiyah yang berakar dari kata rabba, ta’dib yang berakar dari kata addaba dan ta’lim yang berakar dari kata ‘allama. Secara definitif, Omar
10
Mohammad al-Toumy al-Syaebani menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan masyarakatnya dan kehidupan dalam alam sekitarnya (Muhmidayeli, 2011:65-66). Selanjutnya, bapak pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantoro, mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya (Nata, 2010:338). Menurut Ibnu Kholdun, pendidikan tidak hanya dibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi pendidikan adalah suatu proses, dimana manusia secara sadar menangkap, menyerap dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman (Iqbal, 2015:528). Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ketentuan Umum pasal 1 menyebutkan bahwa, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Dirjen Pendidikan Islam Depag RI, 2006:5). Secara bahasa akhlak berasal dari kosakata bahasa arab. Terdapat dua pendapat dalam hal ini, yaitu pendapat pertama, kata akhlak
11
merupakan isimmasdar dari kata akhlaqa-yukhliqu-akhlaqan yang berarti althabi’ah (tabiat), al ‘adat (kebiasaan), almaru’ah (peradaban baik). Pendapat kedua menyatakan bahwa kata akhlak bukan isimmasdar tetapi isimjamid atau ghairmustaq yakni kata yang tidak memiliki akar kata karena bentuknya memang telah ada sedemikian. Menurut istilah, Al Ghozali menyatakan dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din bahwa akhlak adalah suatu keadaan dalam jiwa yang tetap yang memunculkan suatu perbuatan secara mudah dan ringan tanpa perlu pertimbangan pikiran dan analisa (Jamil, 2013:2-3). Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah pendidikan tentang prinsip dasar moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa pemula hingga ia menjadi seorang mukallaf, yakni siap mengarungi lautan kehidupan (Ulwan, 1995:177). 3. Perspektif Perspektif juga bisa berarti sudut pandang atau pandangan seseorang
terkait
dengan
suatu
hal
atau
masalah
(http://karyatulis.singkatpadat.com/pengertian-perspektif.htm,
tertentu diakses
pada 29 Desember 2016, 12.06).Jadi, perspektif yang dimaksud disini adalah pandangan ataupun sudut pandang seorang ulama besar yang dimaksud yaitu K.H. Muhammad Sholeh Darat Al Samarani.
12
4. Muhammad Soleh Darat Al Samarani Adalah dikenal sebagai syaikhul masyayikh (maha guru) yang menelurkan banyak alim ulama di Nusantara, khususnya di Jawa (Ulum, 2016:35). Menurut Abdul Karim (Ulum, 2016:xiii) mengatakan bahwa beliau juga dapat dikatakan sebagai ulama yang produktif dalam menghasilkan sebuah karya tulis yang mana mayoritas karyanya tertulis dengan bahasa arab pegon.
G. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh sehingga pembaca nantinya dapat memahami isi dari skripsi ini dengan mudah, maka penulis memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan secara garis besar. Yaitu skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing saling berhubungan, sebagai berikut: BAB I
Pendahuluan Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai beberapa poin diantaranya latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, penegasan istilah dan sistematika penulisan.
BAB II
Biografi Muhammad Sholeh Darat Al Samarani Dalam bab ini penulis menjabarkan tentang konteks internal yang terdiri dari: riwayat keluarga, riwayat pendidikan, langkah gerakan, mengajar di pesantren,
13
napak tilas, dan karya-karya Muhammad Sholeh Darat Al Samarani. Selain itu, dibahas juga mengenai konteks eksternal yang meliputi: aspek keagamaan, aspek sosial politik dan aspek budaya. Selanjutnya dalam bab ini dipaparkan pula mengenai beberapa pokok pemikiran Muhammad Sholeh Darat Al Samarani dalam beberapa konteks, yaitu: bidang teologi, bidang tasawuf, bidang akhlak, bidang fiqih, dan bidang pendidikan. Selanjutnya, dalam bab ini diakhiri dengan penjelasan tentang pendapat beberapa
ulama
dan
cendekiawan
terkait
dengan
Muhammad Sholeh Darat Al Samarani secara umum. BAB III
Kajian Teori Pendidikan Akhlak Dalam bab ini penulis menjabarkan tentang kajian teori pendidikan akhlak secara umum yang meliputi beberapa pembahasan diantaranya: pengertian pendidikan akhlak, sumber-sumber pendidikan akhlak, konsep dan tujuan pendidikan akhlak, hubungan akhlak terhadap ilmu.
BAB IV
Pemikiran Pendidikan Akhlak Muhammad Sholeh Darat Al Samarani Dalam bab ini penulis akan menjawab dari rumusan masalah yaitu konsep pendidikan akhlak perspektif Muhammad Sholeh Darat Al Samarani yang terdiri dari: eksistensi akhlak, sumber akhlak, klasifikasi akhlak,
14
metode pendidikan akhlak, dan hubungan akhlak terhadap ilmu. Serta membahas tentang relevansinya konsep pendidikan akhlak perpektif Muhammad Sholeh Darat Al Samarani pada masa kini. BAB V
Penutup Pada bab ini penulis menyimpulkan dari pemaparanpemaparan dari beberapa bab diatas yang meliputi pokok bahasan kesimpulan dan saran.
15
BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD SHOLEH DARAT AL SAMARANI
A. Konteks Internal 1. Riwayat keluarga Muhammad Sholeh Darat Al Samarani Nama lengkapnya adalah Muhammad Sholeh bin Umar bin Tasmin Al Samarani, atau lebih dikenal dengan sebutan Kiai Sholeh Darat. Ada dua alasan kenapa dipanggil “Kiai Sholeh Darat”. Pertama, sesuai dengan akhir surat yang ia tujukan kepada Penghulu Tafsir Anom, penghulu Keraton Surakarta, yaitu: “Al-Haqir Muhammad Salih Darat” dan juga menulis nama “Muhammad Salih ibn ‘Umar Darat Semarang” ketika menyebut nama-nama gurunya dalam kitab Mursyidal Wajiz (Munir, 2008:26). Kedua, sebutan “Darat” di belakang namanya, karena ia tinggal di suatu kawasan bernama “Darat”, yaitu suatu kawasan dekat pantai Utara Kota Semarang tempat mendarat orang-orang yang datang dari luar Jawa (Salim, 1995:15). Adanya laqab (penambahan) ini, memang sudah menjadi tradisi atau ciri khas dari orang-orang yang terkenal di masyarakatnya pada masa itu. Kini, di kawasan Darat, Semarang Utara, didirikan Masjid Sholeh Darat yang merupakan cikal bakal pesantren Kiai Sholeh Darat (Darat, Terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxv). Kiai Sholeh Darat dilahirkan pada 1820 M/ 1235 H di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
16
Tahun kelahirannya ini bertepatan dengan tahun kelahirannya ulama kharismatik yang mempunyai banyak karomah dan menjadi gurunya para kiai di Jawa-Madura, yaitu Syaikhona Kholil Bangkalan (1820 M/1235 H). Kedua tokoh ini sama-sama menjadi rujukan penting dan tempat berlabuh ulama Nusantara sebelum melanjutkan pendidikannya ke Haramain. Sebagian pendapat menuturkan bahwa Kiai Sholeh Darat dilahirkan di Semarang. Hal ini sebagaimana yang disebut dalam muqaddimah tafsir kitab faidhu Al Rahman Fi Tarjamati Tafsiri Maliki al-Dayyan, “Qala syaikhuna al alim al-allamah bahru al-fahhamah Abu Ibrahim Muhammad Shaleh ibn Umar al-Samarani baladan maulidan alSyafi’i madzhaban.” Yang artinya, “Telah berkata guru kita yang alim dan sangat alimnya, yang wawasan keilmuannya luas, yaitu ayah Ibrahim, Muhammad Shaleh, putra Umar dari Semarang, yang dilahirkan di Semarang pula, dan mengikuti madzhab Syafi’i” (Ulum, 2016:36-37). Semasa kecil ia dipanggil dengan nama Sholeh. Sholeh lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang alim dan cinta tanah air. Ayahnya adalah Kiai Umar bin Tasmin, salah satu tokoh ulama’ yang cukup terpandang dan disegani di kawasan pantai Utara Jawa. Kiai Umar juga merupakan salah satu pejuang perang Jawa (1825-1830), sekaligus sebagai orang kepercayaan dari Pangeran Diponegoro (Hakim, 2016:34). Kiai Umar beserta kawan, kolega dan santri-santrinya berjuang dengan gigih untuk mempertahankan kehormatan tanah air dari para penjajah (Darat, Terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxvi).
17
Menurut sebuah sumber, sebagaimana yang diceritakan oleh Agus Tiyanto yang mendapatkan keterangan ini dari Habib Lutfi Pekalongan bahwa ibunda Kiai Sholeh Darat masih keturunan dari Sunan Kudus, yaitu Nyai Umar binti Kiai Singapadon (Pangeran Khatib) ibn Pangeran Qodin Ibn Pangeran Palembang ibn Sunan Kudus atau Syaikh Ja’far Shodiq (3/7/2016). Data ini didukung dengan keakraban status gurumurid antara Kiai Sholeh Darat dengan Raden Kiai Muhammad Sholeh Kudus yang masih keturunan dari Sunan Kudus dan Syaikh Mutamakkin Al Hajjini (Kajen, Pati) (Ulum, 2016:37). Dalam sejarahnya, Kiai Sholeh Darat pernah menikah sebanyak tiga kali. Perkawinan yang pertama adalah ketika Kiai Sholeh Darat masih berada di Makkah. Belum diketahui secara pasti siapa nama dari istri beliau. Dari perkawinan yang pertama ini, Kiai Sholeh Darat dikaruniai seorang anak yang diberi nama Ibrahim. Tatkala Kiai Sholeh Darat pulang ke Jawa, istrinya telah meninggal dunia dan Ibrahim tidak ikut serta ke Jawa. Untuk mengenang anaknya (Ibrahim) yang pertama ini, Kiai Sholeh Darat menggunakan nama “Abu Ibrahim” dalam halaman sampul kitab tafsirnya, Faidh Al-Rahman (Darat, Terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxx). Perkawinannya yang kedua dengan Sofiyah, puteri Kyai Murtadho teman karib bapaknya terjadi di Semarang. Dari perkawinan ini, mereka dikaruniai dua orang putera, Yahya dan Kholil. Dari kedua puteranya ini, telah melahirkan beberapa anak dan keturunan yang bisa dijumpai hingga
18
kini (Hakim, 2016:83). Kemudian, Kiai Sholeh Darat menikah dengan Raden Ayu Aminah, puteri Bupati Bulus, Purworejo yang juga seorang syarifah (keturunan Nabi Muhammad SAW). Dari perkawinannya ini, mereka dikaruniai seorang putri bernama RA Siti Zahroh. Siti Zahroh dijodohkan dengan Kiai Dahlan, santri Kiai Sholeh Darat dari Termas, Pacitan. Dari Perkawinan ini melahirkan dua orang anak, masing-masing Rahmad dan Aisyah. Kyai Dahlan meninggal di Makkah, kemudian Siti Zahroh dipasrahkan kepada Kyai Mahfudz, kakak kandung Kyai Dahlan. Oleh Syaikh Mahfudz, Zahroh dijodohkan dengan Kyai Amir, juga santri K.H. Sholeh Darat sendiri asal Pekalongan. Perkawinan kedua Siti Zahroh tidak melahirkan keturunan (Dzahir, 2012:6). 2. Riwayat Pendidikan Muhammad Sholeh Darat Al Samarani a. Pendidikan di Jawa Ketika perang Jawa sudah mulai redam (1830), usia beliau menginjak 10 tahun. Sebagaimana anak seorang Kiai, masa kecil dan masa remaja Kiai Sholeh Darat sudah diwarnai dengan ajaran-ajaran Islam yaitu belajar Al Quran dan Ilmu Agama. Dari usia inilah beliau mendapatkan gemblengan ajaran agama Islam secara intensif dari ayahnya, Kiai Umar. Setelah Kiai Umar sudah tidak disibukkan lagi dengan peperangan. Sebelum tahun 1830, Kiai Sholeh Darat sudah diberikan sendi-sendi aqidah dan syari’at Islam, namun belum maksimal sebab kondisi perang yang sedang berkecamuk (Ulum, 2016:39).
19
Kiai Sholeh Darat selain belajar dengan ayahnya, beliau juga mencari ilmu di beberapa kiai ternama pada masa itu. Di antaranya guru-guru beliau yang ditimba ilmunya adalah sebagai berikut. 1) K.H. M. Syahid Pati Seorang ulama yang mempunyai pesantren di daerah Waturoyo,
Margoyoso,
Pati.
Pesantren
ini,
hingga
kini
keberadaannya masih ada. Kiai M. Syahid adalah cucu dari Kiai Mutamakkin yang mana Kiai Mutamakkin adalah ulama Nusantara pada masa Paku Buwono II (1727 M-1749 M). Dari sinilah Kiai Sholeh Darat memulai pengembaraan ilmunya di Jawa. Kiai Sholeh Darat belajar beberapa kitab kepada Kiai M. Syahid yaitu Fath Al Qorib, Fath Al Mu’in, Minhaj Al Qowwim, Syarah Al Khatib, Fath Al Wahhab dan yang lainnya (Dzahir, 2012:6). 2) Kiai Raden H. Muhammad Sholeh bin Asnawi Kudus Kepadanya Kiai Sholeh Darat mendalami kitab Tafsir Al Jalalain karya dari Syaikh Jalaluddin As Suyuthi. 3) Kiai Ishak Damaran Semarang Kepada beliau, Kiai Sholeh Darat belajar Nahwu dan Shorof untuk memahami kaidah bahasa Arab. 4) K. Abu Abdullah Muhammad bin Hadi Baquni Beliau merupakan salah satu mufti dari Semarang dan kepadanya Kiai Sholeh darat belajar Ilmu Falak.
20
5) Sayyid Ahmad Bafaqih Ba’alawi Semarang Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar Jauhar Al Tauhid karya Syaikh Ibrahim Laqqani dan Minhaj Al ‘Abidin karya Imam Al Ghozali. 6) Syeikh Abdul Ghani Bima Seorang mufti Mekah dari Nusa Tenggara Barat yang berkunjung ke Semarang. Kepadanya Kiai Sholeh Darat mengkaji kitab Masail Al Sittin karya Abu Abbas Ahmad Al Mishri. 7) Mbah Ahmad (Muhammad) Alim Purworejo Seorang ulama yang berasal dari Bulus, Gebang, Purworejo. Kepada beliau Kiai Sholeh Darat belajar Ilmu Tasawuf dan Tafsir Al-Qur’an. Kiai Sholeh Darat juga belajar agama kepada sahabat-sahabat dari Kiai Umar, ayahandanya, seperti: Kiai Murtadlo, Kiai Darda’, Kiai Syada’, dan Kiai Bulkin. Dari sekian banyak guru-guru Kiai Sholeh Darat yang ada di Jawa menunjukkan bahwa Kiai Sholeh Darat yang di kala itu masih dalam usia tergolong belia mencerminkan akan kealimannya dan kecerdasannya. Melihat potensi yang ada di diri Kiai Sholeh Darat, ayahandanya yaitu Kiai Umar, berencana akan membawanya ke Tanah Suci yaitu Haramain (Dzahir, 2012:7). Selain untuk menunaikan haji, Kiai Umar juga bermaksud untuk memberikan pendalaman terhadap pendidikan Islam kepada Kiai Sholeh Darat (Ulum, 2016:40). Perencanaan akan hijrah ke
21
Tanah
Suci
atau
Haramain
juga
dilandasi
dengan
adanya
kekhawatiran akan keamanan di Jawa pasca penangkapan Pangeran Diponegoro. b. Pendidikan di Haramain Setelah Kiai Sholeh Darat belajar agama di beberapa daerah di Nusantara, Kiai Sholeh Darat diajak ayahandanya ke Haramain untuk beribadah haji. Sebelum mereka melakukan perjalanannya ke Haramain, Kiai Umar dan putranya yaitu Kiai Sholeh Darat, singgah terlebih dahulu di Singapura selama berbulan-bulan. Hal ini karena menanti izin resmi untuk perjalanannya ke Haramain dengan menggunakan kapal dari Belanda (Darat, Terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxviii). Dalam penantiannya, Kiai Umar dan Kiai Sholeh Darat juga sempat mengajar agama di Singapura. Seiring waktu santrinya bertambah banyak yang berada di kalangan etnis Melayu dan Jawa. Di Singapura juga terdapat kerabat beliau yaitu Kiai Umar karena menikahi salah satu perempuan yang di sana, yang mana kemudian menurunkan anak perempuan yang diperistri oleh Kiai Muhammad Hadi Giri Kusumo dari Demak (Ulum, 2016:43). Bahkan di Singapura juga terdapat perkampungan yang diberi nama Kiai Sholeh. Kemudian, berangkatlah Kiai Umar dan Kiai Sholeh Darat yang diperkirakan
pada
tahun
1835
yang
dihubungkan
dengan
keberangkatan Syaikh Nawawi Al Bantani pada 1828 yang mana
22
Syaikh Nawawi Al Bantani dengan Kiai Sholeh Darat terpaut tujuh tahun lebih tua Syaikh Nawawi Al Bantani (Dzahir, 2012:8). Perjalanannya ke Haramain juga diwarnai berbagai rintangan, sebelum Kiai Sholeh Darat dan ayahandanya sampai di Haramain. Hal ini dikarenakan C. Snock Hurgronje telah membuat kebijakan pembatasan haji atau mempersulit orang Islam dari Nusantara yang ingin menunaikan ibadah haji. Hal ini juga disebabkan visi dan misi dari Belanda untuk menjajah perekonomian dan akidah, yang mana penentang di barisan utama adalah para ulama. Kiai atau ulama dengan gelar haji bagi mereka yang sepulang dari Haramain diartikan bahwa mereka sudah menguasai ilmu syari’at. Kemudian, apabila mereka menyebarkannya ke dalam masyarakat yang pada saat itu masih belum mengerti akan syari’at, akan terjadi gejolak perang lagi seperti pasca perang Diponegoro yang mana sangat merugikan bagi Belanda (Ulum, 2015:215-217). Bahkan ada sebagian ulama yang nekad pergi ke Haramain untuk menunaikan ibadah haji bersama dengan keluarganya. Ia tidak menggunakan kapal yang telah disediakan oleh Belanda, tetapi menggunakan kapal layar. Beliau adalah Kiai Ghozali bin Lanah, keponakan dari Kiai Saman, teman seperjuangan Kiai Umar di barisan pasukan Pangeran Diponegoro. Dengan demikian, Haramain menjadi sebuah tempat berlabuh bagi orang Nusantara karena hal tersebut. Dalam buku Al Rihlah Al Hijaziyah yang dikarang oleh Syaikh
23
Muhammad Labib
Al Batanuni
yaitu ketika beliau sedang
mengadakan perjalanan ke Hijaz pada 1327 H menyatakan, bahwa mayoritas yang mendatangi majlisnya adalah masyarakat Jawa yang meninggalkan bumi pertiwinya sebab adanya kedzaliman pemerintah terhadap umat Islam di negerinya. Jumlah asli yang terdapat di Hijaz dapat dikatakan hanya 5 % dari yang mendatangi majlis tersebut. Oleh karena itu, terbentuklah kampung Jawa, yang mayoritas mereka bertempat tinggal di Syamiah, Syi’ib Ali dan Al Falaq, Jabal Qubais, dan Syaqul Lail (tempat tinggal Kiai Sholeh Darat ketika di Makkah) (Ulum, 2016:40-43). Kemudian sampailah Kiai Sholeh Darat di Haramain. Sesampainya disana dan selepas menunaikan ibadah haji, Kiai Umar, ayahanda Kiai Sholeh Darat meninggal dunia dan dimakamkan di sana (Darat, Terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxviii). Hal ini menjadi ujian yang berat bagi Kiai Sholeh Darat selama perjuangannya dalam mendalami agama di Haramain, tetapi dengan semangat untuk mendalami ilmu agama dan mengingat tujuan mengapa ke Haramain, beliau pantang menyerah dan putus asa untuk bangkit dan menuntaskan apa yang menjadi hajat beliau. Dengan semangatnya, Kiai Sholeh Darat menetap selama beberapa tahun di Haramain untuk memperdalam ilmunya di bidang agama.
24
Selama di Haramain Kiai Sholeh Darat belajar ke beberapa kitab dan bidang ilmu kepada beberapa ulama yang alim. Beberapa ulama’ tersebut yaitu: 1) Syaikh Muhammad Al Maqri Al Mishri Al Makki Kepada beliau Kiai Sholeh Darat belajar kitab Ummul Barahin karya Imam Al Sanusi dan kitab Hasyiyah Al Baijuri karya Ibrahim Al Baijuri. 2) Syaikh Muhammad bin Sulaiman Hasballah Salah seorang ulama’ yang mengajar di Masjid Al Haram Masjid Nabawi. Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar fiqh dengan kitab Fathul Wahhab dan Syarah Al Khotib, dan belajar bahasa Arab dengan menggunakan kitab Alfiyah Ibnu Malik beserta syarahnya. 3) Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan Salah seorang mufti di Mekah dan pembaharu pada abad ke 13 H sekaligus menjadi seorang mufti dari madzhab Syafi’i. Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam Al Ghozali. 4) Sayyid Muhammad Shalih Al Zawawi Al Makki Beliau merupakan salah seorang pengajar di Masjid Nabawi. Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam Al Ghozali juz I dan II serta belajar Shorof.
25
5) Syaikh Ahmad Al Nahrawi Al Mishri Al Makki Beliau merupakan salah satu pengajar di Masjid Al Haram. Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar kitab Al Hikam karya Ibnu ‘Athoillah. 6) Kiai Zahid Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar kitab Fathul Wahhab. 7) Syaikh Umar Al Syami Kepadanya Kiai Sholeh Darat mengkaji kitab Fathul Wahhab. 8) Syaikh Yusuf Al Sanbalawi Al Mishri Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar kitab Al Tahrir karya Syaikh Zakariya Al Anshori. 9) Syaikh Jamal Al Hanafi Beliau merupakan salah satu mufti dari madzhab Hanafi di Mekah. Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar Tafsir Alquran. Dengan semangat yang tumbuh dalam diri Kiai Sholeh Darat dan intelektual yang dimilikinya, menjadikan beliau disegani oleh beberapa kalangan ulama dan beberapa sahabat beliau di Haramain hingga penguasa Hijaz. Reputasi yang dimiliki Kiai Sholeh Darat dalam bidang agama memuncak hingga mendapatkan pengakuan dari penguasa Mekah pada saat Kiai Sholeh Darat menetap di Mekah. Oleh karena itu, Kiai Sholeh Darat pada akhirnya diangkat sebagai salah
26
satu pengajar di Haramain oleh penguasa Mekah (Dzahir, 2012:1112). 3. Mengajar di Pesantren Kiai Sholeh Darat dipandang memiliki berbagai keahlian di bidang ilmu agama yang mana telah terbukti melalui karya-karya beliau yang sangat fenomenal. Bukan hanya itu, bahkan penguasa dari Mekah mempercayakan beliau sebagai salah satu pengajar di sana, karena kealiman dan keilmuan beliau di dalam hal agama. Di Mekah, Kiai Sholeh Darat mengadakan halaqah yang memiliki banyak pengikut. Halaqah tersebut dihadiri banyak kalangan, khususnya mayoritas etnis Melayu dan Jawa yang ada di Asia Tenggara. Kiai Sholeh Darat mengadakan halaqah ini, bersama-sama dengan para ulama yang berasal dari Nusantara, di antaranya yaitu Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Mahfudz Al Tarmasi, Syaikh Nawawi Al Bantani, Syaikh Ahmad Al Fathani, dan Syaikh Kholil Al Bangkalani (Darat, Terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxxi). Kabar kemasyhuran Kiai Sholeh Darat dalam ilmu agama dan naiknya reputasi Kiai Sholeh Darat di Haramain terdengar sampai Nusantara. Kiai Hadi Giri Kusumo yang merupakan kakak ipar Kiai Sholeh Darat juga sedang belajar di Haramain, mengajaknya pulang Kiai Sholeh Darat untuk mengentaskan masyarakat di Nusantara dari kebodohan (Ulum, 2016:48). Pada mulanya Kiai Sholeh Darat menolak ajakan tersebut, karena beliau sudah diikat oleh penguasa Mekah sebagai
27
salah satu pengajar di Mekah. Hal ini tidak membuat Kiai Hadi Giri Kusumo menyerah untuk mengajak beliau pulang ke Nusantara, karena kehadiran Kiai Sholeh Darat di Nusantara dibutuhkan untuk membantu mengentaskan pribumi dari ketidaktahuan mereka dalam hal agama yang disebabkan oleh ulah Belanda, sehingga nantinya kehadiran Kiai Sholeh Darat mampu membawa kemajuan Islam di Nusantara. Kemudian, Kiai Sholeh Darat terpaksa pulang ke Nusantara, karena bersikerasnya Kiai Hadi Giri Kusumo dan undangan dakwah dari Syaikh Kholil Al Bangkalani (Hakim, 2016:71). Selanjutnya, Kiai Hadi Giri Kusumo merencanakan untuk menculik Kiai Sholeh Darat untuk dibawa ke Nusantara. Kemudian, diculiklah Kiai Sholeh Darat dan dimasukkan di dalam peti bersama dengan barang-barang Kiai Hadi Giri Kusumo. Namun, rencana ini tidak berjalan dengan mulus, karena kejadian ini telah diketahui oleh sebagian orang dan terdengar sampai ke petugas ketika di dalam kapal, maka diperiksalah barang-barang Kiai Hadi Giri Kusumo dan ditemukanlah Kiai Sholeh Darat di dalam peti (Dzahir, 2012:12). Dengan didapatinya Kiai Sholeh Darat di dalam sebuah peti, Kiai Hadi Giri Kusumo dianggap telah menculik salah satu syaikh yang ada di Mekah, maka beliau ditahan oleh petugas ketika kapal sudah berlabuh di Singapura. Berita ini sampai kepada murid-murid Kiai Hadi Giri Kusumo yang ada di Singapura. Kemudian, mereka membantu Kiai Hadi Giri Kusumo agar bisa bebas dari tahanan petugas. Kiai Hadi Giri Kusumo
28
dapat terbebas dari tahanan dengan syarat harus membayar denda yang diberikan, maka seketika itu murid-murid Kiai Hadi Giri Kusumo mengumpulkan dana untuk membantu kiainya agar bebas dari tahanan. Dengan begitu, terbebaslah Kiai Hadi Giri Kusumo karena bantuan dari para muridnya tersebut dan kemudian mengajak Kiai Sholeh Darat pulang ke Nusantara tanpa unsur paksaan (Ulum, 2016:49). Adapun waktu kepulangan dari Kiai Sholeh Darat ke Nusantara diperkirakan pada tahun 1870 atau 1880 (Hakim, 2016:72). Sesampainya Kiai Sholeh Darat di Jawa, beliau tidak langsung mendirikan pesantren, tetapi Kiai Sholeh Darat mengajar di salah satu pesantren yang ada di desa Maron, Kecamatan Loana, Purworejo. Pesantren tersebut bernama pesantren Salatiyang yang didirikan pada abad ke 18 M dan dipelopori oleh tiga orang kiai sufi yaitu Kiai Achmad Alim, Kiai Muhammad Alim dan Kiai Zain Al Alim. Kemudian, pesantren ini diteruskan oleh Kiai Zain Al Alim. Sementara itu, Kiai Achmad Alim mendirikan pesantren di desa Bulus, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo. Adapun Kiai Muhammad Alim (Putra dari Kiai Achmad Alim) mengembangkan pesantrennya yang telah didirikan di Desa Maron juga yang diberi nama Pesantren Al Anwar (Darat, Terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxxiv). Di Pesantren Salatiyang lebih memfokuskan pada bidang menghafal Al Quran disamping juga mengkaji kitab-kitab kuning. Kemungkinan besar Kiai Sholeh Darat di pesantren ini lebih membantu
29
pada pendalaman kitab kuning seperti pelajaran fiqh, nahwu, shorof dan tafsir kepada para santri yang sedang menghafal Al Quran. Sebenarnya, kedatangan Kiai Sholeh Darat di pesantren Salatiyang adalah untuk menimba ilmu lagi dengan Kiai Zain bukan untuk mengajar di pesantren tersebut. Kemudian, dalam sebuah riwayat dikatakan bahwasanya Kiai Sholeh Darat mengajar di pesantren Salatiyang sampai pada sekitar 1870an. Di antaranya santri yang lulusan dari pesantren ini adalah Kiai Baihaqi (Magelang), Kiai Ma’aif (Wonosobo), Kiai Muttaqin (Lampung Tengah), Kiai Hidayat (Ciamis), Kiai Haji Fathullah (Indramayu) dan lainnya (Dzahir, 2012:16). Sepulangnya dari Purworejo yaitu pesantren Salatiyang, Kiai Sholeh Darat mendirikan sebuah pesantren yang menjadi tempat halaqah para santri beliau di Darat, Semarang, sehingga berdirilah pesantren Darat. Namun, menurut keterangan dari Agus Tiyanto, pesantren Darat didirikan oleh mertua Kiai Sholeh Darat yaitu Kiai Murtadlo (Hakim, 2016:79), sementara Kiai Sholeh Darat hanya melanjutkan dan membesarkan pesantren tersebut yang awalnya hanya sebuah langgar atau masjid untuk mengaji menjadi tempat yang bisa untuk santrinya bermukim (Dzahir, 2012:17). Pondok pesantren Darat terletak di Melayu Darat, Kecamatan Semarang Utara dekat dengan daerah pantai. Sekarang berganti nama menjadi Desa Dadapsari. Arsitektur pesantren ini menggunakan bahan kayu jati yang terdiri dari rumah Kiai, mushola dan asrama santri. Jadi,
30
pesantren ini tidak jauh beda dengan pesantren-pesantren pada umumnya. Sekarang, bekas dari pesantren ini sudah berubah menjadi beberapa rumah kampung pedesaan yang tersisa hanyalah masjid tempat untuk beribadah sehari-hari dan itu pun sudah direnovasi.Selanjutnya, perlu diketahui bahwasanya pesantren yang dipimpin oleh Kiai Sholeh Darat merupakan pesantren yang termasuk ke dalam pesantren pascasarjana bukan pesantren tingkat dasar. Hal ini dikarenakan banyaknya santri yang sudah pernah menimba ilmu sebelumnya, baik dari pesantren di wilayah Nusantara maupun yang sudah belajar dari Haramain. Artinya, para santri yang berguru kepada Kiai Sholeh Darat sudah mempunyai bekal atau santri senior, bukan santri junior yang masih belum mempunyai modal dalam keagamaan (Hakim, 2016:79-80). Pesantren ini kemudian melahirkan banyak ulama yang berada di Nusantara dan sekaligus menjadi pejuang kemerdekaan RI. Di antaranya yang menjadi murid Kiai Sholeh Darat ketika Kiai Sholeh Darat masih di Mekkah adalah K.H. Dalhar (Watu Congol, Muntilan, Magelang), K.H. Dimyati (Termas, Pacitan), K.H. Dahlan (Termas, Pacitan), K.H. Kholil Harun (Kasingan, Rembang), K.H. Raden Asnawi (Kudus), Syaikh Mahfudz Al Tarmasi (Termas, Pacitan). Adapun murid-murid Kiai Sholeh Darat ketika sudah kembali ke Nusantara di antaranya adalah K.H. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlotul Ulama’ dari Jombang), K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), R.A. Kartini (Tokoh Emansipasi Wanita dari Jepara), Kiai Abdul Syakur
31
ibn Muhsin, K.H. Idris (Solo, yang menghidupan kembali Pesantren Jamsaren), K.H. Sya’ban (Ahli Falak dari Semarang), Kiai Amir (Pekalongan, menantu Kiai Sholeh Darat), K.H. Siroj (Payaman, Magelang), K.H. Munawwir (Cucu Kiai Hasan Besari dan pendiri PP. Al Munawir Krapyak, Yogyakarta), K.H. Abdul Wahhab Chasbullah (Tambak Beras, Jombang), K.H. Abas Djamil (Buntet, Cirebon), K.H. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), Kiai Yasin (Rembang), Kiai Abdul Shamad (Surakarta), Kiai Yaser Areng (Rembang), K.H. Subakir (Demak), K.H. Abdul Hamid (Kendal), K.H. Yasin (Bareng, Kudus), K.H. Ridwan Ibnu Mujahid (Semarang), K.H. Syahli (Kauman, Semarang), K.H. Thohir (Putra dari Kiai Bulkin Mangkang, Semarang), K.H. Sya’ban (Ahli Falak dari Semarang yang menulis artikel Qabul Al ‘Athoya ‘an Jawabi ma Shodaro li Syaikh Abi Yahya untuk mengoreksi kitab Majmu’at Asy Syari’ah karya Kiai Sholeh Darat), K.H. Anwar Mujahid (Semarang), K.H. Abdullah Sajad (Sendangguwo, Semarang), Mbah Dawud (Semarang), K.H. Ali Barkan (Semarang), K.H. Ihsan (Jampes, pengarang kitab Siroju At Tolibin syarah dari kitab Minhaj Al ‘Abidin dan kitab tentang kopi dan rokok Irsyadu Al Ikhwan syarah kitab Tadzkiratu Al Ikhwan karya K.H Dahlan gurunya), K.H. Umar (Pendiri PP. Al Muayyad Solo), K.H. Ridwan (Semarang), K.H. Mudzakir (Sayung, Demak) (Dzahir, 2012:13). Pesantren Darat, selain difungsikan sebagai kaderisasi ulama’ juga menjadi tempat penggemblengan para pejuang kemerdekaan RI. Oleh
32
karena itu, tempat ini menjadi salah satu tempat yang diawasi oleh Belanda. Setelah Kiai Sholeh Darat wafat pada tahun 1903, pesantren Darat diteruskan oleh menantunya K.H. Dahlan (Adik K.H. Mahfudz Al Tarmasi dan kakak K.H. Dimyati Al Tarmasi) yang dinikahkan dengan Siti Zahroh putri Kiai Sholeh Darat. Kemudian setelah wafatnya K.H. Dahlan, Siti Zahroh menikah dengan Kiai Amir Pekalongan dan sekaligus pimpinan Pesantren Darat diambil alih oleh Kiai Amir. Tidak lama kemudian, Siti Zahroh meninggal dan Kiai Amir memutuskan untuk kembali ke daerah asalnya yaitu Pekalongan. Setelah Kiai Amir, pesantren Darat diambil alih Kiai Idris. Kiai Idris memboyong sejumlah santrinya ke Solo untuk menghidupkan lagi pesantren yang ada di Jamsaren Solo (Hakim, 2016:82). 4. Langkah Gerakan Muhammad Sholeh Darat Al Samarani a. Gerakan Intelektualisme Muhammad Sholeh Darat bin Umar Al Samarani atau biasanya beliau dipanggil dengan Kiai Sholeh Darat. Sebagai putra seorang kiai yang sekaligus putra dari salah satu seorang pejuang, yaitu Kiai Umar, Kiai Sholeh Darat berkesempatan untuk berkenalan dan berguru kepada sahabat-sahabat dari Kiai Umar yang juga merupakan para ulama yang terpandang. Maka dari itu, bukanlah suatu kesempatan yang sia-sia bagi Kiai Sholeh Darat untuk membuat jaringan dengan para ulama senior di masanya. Di antaranya adalah Kiai Hasan
33
Bashori, Kiai Syada’, Kiai Darda’, Kiai Murtadlo, Kiai Jamsari Surakarta dan lainnya (Dzahir, 2012:10). Tidak hanya itu, ketika Kiai Sholeh Darat belajar di Haramain, Kiai Sholeh Darat banyak bersentuhan dengan beberapa ulama’ Nusantara yang kala itu sama-sama sedang menimba ilmu di Haramain, di antaranya adalah Syaikh Nawawi Al Bantani, Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Syaikh Mahfudz Al Tarmasi, Syaikh Kholil Al Bangkalani, dan lainnya (Darat, terj. Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxxi). Ketika di Haramain, Kiai Sholeh Darat memang tergolong mempunyai kealiman dan keahlian di dalam bidang agama. Melalui itu, Kiai Sholeh Darat terkenal di kalangan ulama’ Haramain hingga penguasa Mekkah pun mengikat Kiai Sholeh Darat untuk menjadi salah satu mufti di Mekah. Melalui itu juga, banyak pendatang yang berdatangan di halaqah yang didirikan semasa di sana. Beberapa ulama’ juga yang bersentuhan dengan Kiai Sholeh Darat, di antaranya yaitu Syaikh Ahmad Zaini Dahlan (Seorang mufti dan Rais Al Ulama juga Syaikhu Al Khuthaba Al Syafi’i), Syaikh Abu Bakar Syatha (Pengarang kitab Syarah Fath Al Mu’in yaitu I’anatu Ath Tholibin), Syaikh Ahmad Al Marzuki (Seorang Mujaddid dan pengarang kitab Aqidatu Al Awwam), dan yang lainnya (Ulum, 2016:68). Saat Kiai Sholeh Darat tiba di Nusantara khususnya di Jawa, seketika itu Jawa sudah dalam kekuasaan kolonial Belanda yang
34
sudah secara formal terbentuk di dalam pemerintahan. Dengan keadaan seperti itu, serangan dengan fisik sudah tidak bisa di lakukan, karena mengingat revolusi yang pernah terjadi sebelumnya yaitu ketika Pangeran Diponegoro bersama dengan para ulama’ bersatu untuk berusaha mengusir penjajahan dari Nusantara. Setelah adanya revolusi dari Pangeran Diponegoro tidak ada lagi bentuk revolusi sampai adanya revolusi tahun 1945. Maka dari itu, langkah yang diambil oleh Kiai Sholeh Darat adalah dengan membumikan Islam melalui pencerahan pemikiran kepada rakyat pribumi yang mayoritas belum tertata agama Islamnya dalam beragama (Hakim, 2016:101). Langkah ini diambil oleh kebanyakan para ulama Nusantara yang salah satunya adalah Kiai Sholeh Darat sendiri. Seperti yang dijelaskan di awal bahwasanya langkah ini diambil oleh kebanyakan ulama’ dikarenakan untuk melancarkan serangan fisik sudah tidak mampu. Keadaan Islam pada saat itu jauh dari makna hakikat dari Islam, hal ini bukan karena tidak ada yang mampu memberikan keterangan dalam beragama, namun karena Kolonial Belanda melarang adanya pendidikan tentang keagamaan dalam bentuk apapun. Bahkan, mereka tidak segan-segan untuk membakar terjemahan dari Alquran, baik yang tertulis dengan bahasa latin maupun aksara Jawa (Darat, Terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxxix). Dengan keadaan seperti itu, tentu masyarakat pribumi tidak akan tuntas
35
memahami Islam, jika hal itu terus dilanjutkan, dan agama pun akan dirasakan dari luar, tidak dapat dirasakan manisnya. Maka dari itu, usaha
Kiai
Sholeh
Darat
mencerdaskan
masyarakat,
beliau
menjadikan pesantren milik mertuanya untuk mengembangkan dan menggembleng intelektual masyarakat dalam agama. Dalam memberikan pencerahan keilmuan, Kiai Sholeh Darat lebih cenderung menggunakan pendekatan tasawuf. Menurut Kiai Sholeh Darat, dengan menggunakan pendekatan ini akan lebih sesuai untuk pemikiran dan mencerahkan rohani, karena yang disiapkan oleh Kiai Sholeh Darat adalah pencerahan jiwa, mental, pemikiran dan spriritual. Dengan demikian, bagi Kiai Sholeh Darat pendekatan tasawuf menjadi pintu strategi untuk mendidik dan membina masyarakat. Melalui
pendekatan tasawufnya, Kiai Sholeh Darat
menegaskan ingin memerdekakan jiwa spiritual masyarakat sebelum mendapatkan kemerdekaan yang nyata secara fisik (Hakim, 2016:102103). b. Gerakan Nasionalisme Gerakan nasionalis Kiai Sholeh Darat tidak secara gamblang terlihat, karena Kiai Sholeh Darat sendiri mendapatkan pengawasan oleh Belanda karena pengaruhnya terhadap perkembangan Islam. Gerakan Kiai Sholeh Darat melalui pendidikan merupakan politik dari Kiai Sholeh Darat untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme kepada masyarakat. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwasanya Kiai
36
Sholeh Darat menggunakan pendekatan tasawuf dan karenanya banyak karya-karya dari beliau yang bernafaskan sufistik. Apabila menengok ke belakang lagi, bahwasanya Kiai Sholeh Darat dalam semangat membangun nasionalisme sudah tumbuh ketika Kiai Sholeh Darat masih kanak-kanak atau bisa dikatakan pada usia yang sangat muda sekitar kurang lebih 5 tahun. Ketika itu, terjadi perlawanan Pangeran Diponegoro bersama para ulama’ yang salah satunya adalah ayahandanya yaitu Kiai Umar, terhadap penjajahan yang ada di Jawa pada tahun 1825-1830. Pengalaman di masa kanakkanaknya ini mempengaruhi terhadap strategi dan pola pemikiran dari Kiai Sholeh Darat. Pengalaman ini, merupakan harta yang tak ternilai untuk bekal gerakan nasionalismenya untuk mengembangkannya bersama masyarakat di sekitar, terlebih khusus daerah Semarang Jawa Tengah. Maka dari itu, ketika membaca atau mengkaji tentang karyakarya beliau apabila tidak didasari dengan adanya flashback akan menimbulkan kerancuan dan kejanggalan bahkan bisa jadi tidak sinkron dengan apa yang dimaksud dalam karya-karya beliau (Hakim, 2016:103). Terdapat beberapa ajaran yang disematkan Kiai Sholeh Darat dalam karya-karyanya terkait dengan semangat nasionalisme dan mengukuhkan budaya yang ada di Nusantara, Kiai Sholeh Darat mengatakan dalam karyanya kitab Majmu’at Asy Syari’at,
37
“Lan Sayukjo ingatase wong Islam arep anduweni toto keromo maring sakpadane Islam lan meluho opo ‘adate negoro sekirokiro ora nulayani syari’at” (Darat, 1374 H:34) Pernyataan Kiai Sholeh Darat diatas menunjukkan bahwa secara implisit menegaskan semangat oposisi berupa taat kepada pemerintah sepanjang aturan pemerintah tidak keluar dari ajaran syari’at. Di dalam perkataan Kiai Sholeh Darat yang lain masih dalam kitab Majmu’at Asy Syari’at, “Lan haram ingatase wong Islam nyerupani penganggone wong liyane agama Islam senadiyan atine ora demen, angendiko setengahe poro ngulama’ muhaqqiqin sopo wonge nganggo penganggone liyane ahli Islam koyo klambi, jas utowo topi utowo dasi mongko dadi murtad rusak Islame senadyan atine ora demen” (Darat, 1374 H:24-25).
Kiai Sholeh Darat menjelaskan adanya akulturasi budaya yang telah merusak Islam, baik dalam berpakaian maupun pergaulan bebas yang dibawa oleh Belanda ke Nusantara. Maka dari itu, Kiai Sholeh Darat bermaksud untuk mencegah berkembangnya budaya yang tidak sesuai dengan Islam. Dengan salah satu caranya yaitu mencegah masyarakat untuk tidak mengikuti pola tata cara dalam berpakaian dan pergaulan. Sebagai misal dalam pergaulan Kiai Sholeh Darat menyebutkannya dalam kitab Majmu’at Asy Syari’at tentang cara penghormatan, “Lan wajib ingatase wong Islam hurmat kelawan ngagungaken maring ratune lan ‘adate kahurmatane negoro kono koyo ‘adate wong ngarob hurmate kelawan aweh salam lan wong Turki kahurmate kelawan ngangkat tangane maring sirahe lan ‘adate wong jowo kahurmatane kelawan nangkepaken tangan lorone
38
den temoaken maring irunge mengkono iku den namani hurmat” (Darat, 1374 H:34-35).
Begitulah sekiranya Kiai Sholeh Darat dalam menggambarkan tentang menjaga tradisi lokal terkhusus yang ada di Jawa. Jika, tidak dibentengi, maka simbol kenegaraan di Nusantara ini akan berganti dengan budaya asing yang dibawa oleh Belanda. 5. Karya-karya Muhammad Sholeh Darat Al Samarani Salah satu ulama yang sangat produktif dengan menghasilkan karya-karya yang fenomenal yaitu Kiai Sholeh Darat. Beliau mengemas karya-karyanya dengan bahasa yang mudah untuk dipahami karena memang tujuan Kiai Sholeh Darat menulis adalah agar mempermudah masyarakat dalam memahami agama khususnya bagi kalangan awam. Selain itu, karya-karya Kiai Sholeh Darat juga menggunakan lafadz Arab pegon. Pernyataan Kiai Sholeh Darat ini dapat dilihat dalam kitab Majmu’ah Asy-Syari’ah Al Kafiyah Li Al’awami yang tertuliskan: “Iki kitab terjemah ingsun majmu’ah al kafiyah lil ‘awam al jawiyah, istinbath saking syarah minhaj li syaikh al Islam lan syarah Al Khotib Syarbain lan Duroru Al Bahiyyah li As Sayyid Bakri ing dalem masalah ushuludin lan saking ihya’ ‘ulumuddin ing dalem bab nikah lan asroru an nikah lan asroru ash sholah lan asroru al hajj kerono arah supoyo fahamo wong-wong amtsal ingsun ‘awam kang ora ngerti basa ngarab mugo-mugo dadi manfaah biso ngelakoni kabeh kang sinebut ing jerone iki terjemah” (Darat, 1374 H:278).
Kemasyhuran dan kealiman Kiai Sholeh Darat telah bisa dilihat dari sejarahnya pada saat mengembara ilmu di Nusantara maupun di Mekah dan bahkan telah diakui di ranah Internasional terkhusus di Asia
39
Tenggara. Hal ini ditemukan di dalam buku Perkembangan Ilmu Fiqih dan tokoh-tokoh di Asia Tenggara karya H. Wan Mohd. Shoghir Abdullah, menyatakan bahwa kemasyhuran Kiai Sholeh Darat diakui oleh Syeikh Abdul Malik bin Abdullah Trengganu, Malaysia. Diceritakan juga bahwa Kiai Sholeh Darat menjalin hubungan dengan ulama’-ulama’ (Hakim, 2016:148). Menurut Lukman Hakim Saktiawan atau yang akrab dipanggil dengan Gus Lukman, salah satu cicit Kiai Sholeh Darat, menyatakan bahwa karya-karya Kiai Sholeh Darat sangat banyak dan sampai sekarang baru ada 13 kitab yang berhasil dikumpulkan, hal ini dikarenakan pengawasan dari pihak Belanda dan Kiai Sholeh Darat sendiri ketika selesai menulis kitabnya langsung diberikan kepada murid-muridnya. Dengan demikian, kitab-kitab yang telah dihasilkan oleh Kiai Sholeh Darat kemungkinan besar disimpan oleh para santrinya yang diberi kitab oleh Kiai Sholeh Darat. Berkaitan dengan intisari dari karya-karya Kiai Sholeh Darat, Kiai Sholeh Darat mengintegrasikan antara tasawuf dengan fiqih. Hal ini menjadikan hasil pemikiran yang harmonis dan komprehensif ketika dalam memahami syari’at. Metode ini seperti yang dilakukan oleh Imam Al Ghozali, sehingga banyak yang beranggapan bahwasanya Kiai Sholeh Darat adalah Al Ghozalinya Tanah Jawa (Hakim, 2016:134). Adapun karya-karya Kiai Sholeh Darat yang sampai saat ini berhasil ditemukan dan masih terus diperbanyak, sekitar 13 karya, di antaranya yaitu:
40
a.
Majmu’ah Asy Syari’ah Al Kafiyah Lil ‘Awam Kitab ini ditulis oleh Kiai Sholeh Darat tidak lain adalah agar masyarakat lebih mudah memahami hukum Islam. Di dalam kitab ini dipaparkan beberapa fasal diantaranya ushuluddin, mu’amalah, zakat, puasa, haji dan memerdekakan budak. Kitab ini ditulis dengan mengistinbatkan dari Syarah Minhaj karya dari Syaikhul Islam, Syarah Khotib Syarbini, Kitab Duroru Al Bahiyyah karya Sayyid Bakri, dan Kitab Ihya’ ‘Ulum Al Din karya dari Al Imam Al Ghozali.
b.
Kitab Fasholatan Kitab ini berisikan tentang tata cara dalam sholat lima waktu yang dijelaskan secara rinci mengenai makna dalam bacaan sholat, amaliah setelah dan sebelum melaksanakan sholat. Kitab ini diterbitkan di Bombay Miri yang kantornya ada di Idarah Imran bin Sulaiman Surabaya Jawa Timur.
c.
Matnu Al Hikam Kitab ini ditulis oleh Kiai Sholeh Darat mengenai thoriqot dan tasawuf walaupun baru sepertiga dari kitab aslinya yang Kiai Sholeh Darat terjemahkan. Menurut Gus Lukman, sebelum para pembaca atau penelaah kitab ini harus membaca kitab Majmu’ Syari’ah dulu kemudian kitab Lathoif Al Thoharoh, karena menurut Kiai Sholeh Darat seseorang harus bisa menguasai syari’at terlebih dulu sebelum menginjak ke dalam ranah tasawuf dan thoriqat. Kitab ini dicetak di Singapura dan tersebar di mana-mana, termasuk di perpustakaan
41
Mushtofa Bab El-Halabi Kairo, sebuah percetakaan di kawasan Madinah El Buuts yang konon juga termasuk paling tua di Kairo (Dzahir, 2012:20). d.
Lathoifu Ath Thoharoh Kitab ini berisi tentang hakikat dan rahasia sholat, puasa dan keutamaan bulan Muharram, Rajab dan Sya’ban.
e.
Al Mursyidul Wajiz Kitab ini menerangkan tentang hukum-hukum bacaan dalam Al Qur’an dan adab dalam membaca Al Qur’an serta kisah tentang turunnya Al Qur’an.
f.
Manasik Al Hajj wa Al ‘Umroh wa Adabu Az Ziarotu Li Sayyidi Al Mursalina Salla Allahu ‘Alaihi wa Sallam Seperti arti dari judul kitab ini, yaitu menerangkan tentang hal ihwal ketika melaksanakan perintah rukun Islam yang kelima yaitu melaksanakan Haji. Selain itu kitab ini juga menerangkan tentang hal-hal penting secara lahir dan batin dalam melaksanakan ibadah haji.
g.
Hadits Al Ghoiti lan Syarah Barzanji tuwin Nazhatul Majalis Kitab ini ditulis oleh Kiai Sholeh Darat yang diterbitkan oleh Haji Muhammad Amin dari Singapura. Yang mana kitab ini ditulis ulang oleh Raden Atma Suwangsa dan Haji Muhammad Nur Darat pada 1315 H. Kitab ini menceritakan tentang perjalanan Nabi yang
42
mana Kiai Sholeh Darat merujuk kepada kitab Al Barzanji karya Syaikh Ja’far Al Barzanji (Ulum, 2016:147). h.
Minhaju Al Atqiya’ fi Syarhi Ma’rifatu Al Adzkiya’ ila Toriqi Al Auliya’ Kitab ini menerangkan tentang tuntunan bagi orang-orang yang bertaqwa dan cara-cara dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Lebih luasnya lagi, kitab ini menerangkan tentang dunia tasawuf dan tahapan-tahapan dalam tasawuf. Kitab ini juga merupakan ulasan atau komentar dari kitab Hidayatul Adziya’ ila Thoriqul Auliya’ karangan Syaikh Zainuddin ibn Ali Al Malibari.
i.
Munjiyat Sebuah kitab karangan Kiai Sholeh Darat yang mengambil dari kitab karangan Imam Al Ghozali yaitu Kitab Ihya’ ‘Ulumu Al Din juz III dan IV. Di dalamnya menerangkan tentang pelajaran etika dan tuntunan dalam mengendalikan hawa nafsu atau syahwat.
j.
Faidh Ar Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Al Malik Al Dayyan Kitab ini merupakan kitab tafsir berbahasa jawa pertama kali di Nusantara yang ditulis oleh Kiai Sholeh Darat pada 5 Rajab 1309 H/ 1891 M. Kitab ini terdiri dari 13 juz yang dimulai dari surat Al Fatihah sampai surat Ibrahim. Kitab ini diterbitkan pertama kali di Singapura pada 1894 dengan dua jilid berukuran folio. Kitab tafsir ini belum selesai ditulis karena didahului dengan meninggalnya Kiai Sholeh Darat pada 28 Ramadhan 1321 H/ 18 Desember 1903 M.
43
k.
Al Mahabbah wa Al Mawaddah fi Tarjamah Qouli Al Burdah fi Al Mahabbah wa Al Madhi ‘Ala Sayyidi Al Mursalina li Al Imam Al ‘Alamah Al Bushoiri Kitab ini diselesaikan oleh Kiai Sholeh Darat pada hari Jum’at bulan Dzulhijjah dan diterbitkan oleh percetakan Syaikh Ismail ibn Badal Bombay di Singapura pada Rabi’ Al Tsani 1321 H. Di dalam kitab ini Kiai Sholeh Darat menjelaskan tentang keagungan Nabi Muhammad SAW, kemukjizatan Rasul dan keagungan Alquran.
l.
Sabilu Al ‘abid ‘Ala Jauhara Al Tauhid Kitab ini merupakan terjemahan dari kitab Jauhara Al Tauhid karya Syaikh Ibrahim Laqqani. Di dalam kitab ini Kiai Sholeh Darat menjelaskan tentang tauhid atau ushuluddin yang dirumuskan oleh akidah ahlus sunnah wal jama’ah yang diajarkan oleh teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah. Diterangkan pula di dalamnya mengenai keimanan dan akhlak.
m. Hadits Al Mi’roj Kitab ini menjelaskan tentang perjalanan isra’ mi’raj Nabi yang mendapatkan amanah sembahyang lima kali sehari semalam. 6. Napak Tilas Muhammad Sholeh Darat Al Samarani Hingga sekarang ini, untuk mengenang jasa Kiai Sholeh Darat yang sangat berpengaruh di Nusantara dalam perkembangan Islam dan semangat nasionalisme, setiap pada tanggal 10 Syawal diadakan haul (Hakim, 2016:200). Kegiatan ini selain untuk mengenang akan jasa Kiai
44
Sholeh Darat juga sebagai teladan bagi masyarakat untuk meneladani dan mengamalkan apa yang telah diajarkan Kiai Sholeh Darat. Seperti dalam syair dijelaskan oleh Syaikh Murghinan dalam kitabyaitu Kitab Ta’limu Al Muta’allim (Az Zarnuji, Terj. Abdul Kodir Al Jufri, 2009:49-50), “Orang bodoh hakikatnya mati sebelum mati, dan orang yang berilmu tetap hidup sekalipun sudah mati”. Dikatakan pula oleh Syaikhul Islam Burhanuddin, “Orang bodoh itu mati sebelum ia mati. Tubuhnya ibarat kuburan bagi jiwanya. Sedangkan orang yang berilmu itu selamanya hidup, sekalipun tulangnya hancur dikalang tanah. Orang-orang bodoh itu mati, sekalipun ia berjalan-jalan di muka bumi ini. Keberadaan mereka sama dengan tidak ada atau tidak diperhitungkan”.
Acara haul ini biasanya dijadikan oleh para keturunan Kiai Sholeh Darat untuk berkumpul. Acara tersebut terletak di Masjid Kiai Sholeh Darat Jl. Kakap/Darat Tirto, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara. Dalam pertemuan silturrahmi ini, mereka mengumpulkan karya-karya Kiai Sholeh Darat yang telah berhasil ditemukan, dan bermusyawah untuk menemukan beberapa kitab yang masih belum ditemukan keberadaannya hingga kini (Darat, terj. Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xlv-xlvi). Hal ini dilakukan sebagai upaya agar tidak berhenti apa yang telah diajarkan Kiai Sholeh Darat. Dengan begitu akan terjaga sumbangan pemikiran oleh Kiai Sholeh Darat dalam khasanah keilmuan Islam. Selanjutnya, dalam acara haul tersebut Dinas Pariwisata Kota Semarang menyelenggarakan perhelatan budaya yang bertemakan
45
“Peringatan Labuhan Kiai Sholeh Darat Semarang”.
Di dalamnya
terdapat berbagai acara yaitu Pasar Labuhan Semarang dan prosesi penyambutan Kiai Sholeh Darat. Pasar labuhan Semarang yaitu semacam bazar yang menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari. Sedangkan prosesi penyambutan Kiai Sholeh Darat Semarang dimulai pukul 08.00 WIB di depan Pasar Boom Lama. Dalam kegiatan ini berisi tentang penyambutan kedatangan Kiai Sholeh Darat yang pulang dari Mekah ke Nusantara. Prosesi penyambutan Kiai Sholeh Darat Semarang tersebut dimainkan oleh beberapa aktor. Tokoh Kiai Sholeh Darat disambut oleh para ulama, santri, umara serta masyarakat sekitar. Kemudian, Kanjeng Bupati Semarang diperankan oleh Pemerintah Kota Semarang. Dari pelabuhan Semarang, Ia diiring menuju Masjid Kiai Sholeh Darat Semarang. Iring-iringan tersebut terdiri dari prajurit Kabupaten Semarang yang bersenjata tombak, pasukan membawa kembang manggar, pasukan berpakaian adat Semarang-an, pendekar silat, para santri dan musik terbangan (Dzahir, 2012:27-28). Setelah sampai di Masjid Kiai Sholeh Darat, maka dilanjutkan dengan ditabuhnya kentongan oleh pemeran sebagai Kiai Sholeh Darat yang manandakan bahwasanya dimulainya kampong Darat sebagai pusat studi Islam di Tanah Jawa. Selanjutnya, diadakan pembacaan Asmaul Husna yang disertai dengan halaqah keilmuan tentang perjalanan perjuangan sejarah Kiai Sholeh Darat dan pembahasan tentang karya-
46
karya Kiai Sholeh Darat. Acara ini kemudian ditutup dengan mauidzatu al hasanah oleh salah satu ulama’ (Ulum, 2016:59).
B. Konteks Eksternal 1. Aspek Keagamaan Dalam dimensi bernegara dan bermasyarakat, aspek keagamaan mempunyai peran yang tidak kalah sama pentingnya dengan aspek kehidupan yang lain. Hal ini dikarenakan, salah satu fungsi dari agama adalah sebagai kontrol sosial dan motivator pembangunan berdimensi kemanusiaan. Bahkan dengan agama akan merekatkan sebuah instrumen dalam menjaga keutuhan bangsa. Maka dari itu, aspek keagamaan sangat diperlukan
dalam mempertahankan keberadaan bermasyarakat dan
bernegara. Jika agama yang seharusnya membawa kedamaian telah kehilangan dari unsur independensinya, maka akan sulit bagi agama untuk memberikan pencerahan pikiran. Agama memiliki dua kekuatan utama yaitu sebagai faktor daya pemersatu dan faktor pemecah belah (Umar, 2014:77-81). Hal ini sudah terbukti dengan adanya bersatunya ulama dan para kiai pada Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro (1825-1830) dan pada saat era Bung Tomo yang membangkitkan semangat juang bangsa Indonesia di Surabaya dan beberapa tokoh lain. Kehadiran Belanda pada awal abad 17 sampai pertengahan abad ke 20 tidak hanya melancarkan penjajahan di Nusantara, namun juga atas tujuan untuk memperluas jaringan Kristenisasi di Nusantara. Maka dari
47
itu, banyak dari kalangan ulama dan pribumi yang beragama Islam melakukan penolakan terhadap penjajahan. Bahkan mereka menjelajah ke Nusantara juga untuk mengeksploitasi kekayaan alam yang ada. Mereka juga melakukan penekanan terhadap sistem politik dan kehidupan keagamaan masyarakat di Nusantara. Berbagai langkah Belanda telah diterapkan melalui bermacam bentuk pola dan strategi. Semacam penekanan terhadap segala aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan agama Islam (Kodir, 2015:173). Pergolakan politik di Nusantara yang dibangun oleh Belanda yang dilancarkan oleh C. Snock Hurgronje sangat mempengaruhi pola perkembangan pemikiran dari kalangan masyarakat. Dengan adanya berbagai batasan-batasan yang menjadi kebijakan Belanda itulah membuat pengaruh pemahaman agama Islam di Nusantara. Seperti halnya, batasan-batasan yang diberikan kepada kaum perempuan dan adanya batasan jumlah untuk berangkat ke tanah Haramain. Kebijakan semacam ini membuat pemahaman agama mereka menjadi sempit tentang Islam, karena memang tujuan dilancarkannya berbagai kebijakan oleh Belanda adalah agar masyarakat di Nusantara buta akan Islam. Apabila masyarakat ini memiliki Islam di dalam kesadaran mereka, maka masyarakat akan sulit untuk ditaklukkan oleh Belanda. Hal ini senada dengan kutipan bahwasanya agama merupakan kekuatan dari dalam dan negara adalah kekuatan dari luar (Kuntowijoyo, 1997:192).
48
Menengok keadaan keagamaan di masyarakat pada saat itu, sekitar abad 19 M,
memang seperti halnya melihat makanan tetapi belum
menikmati rasa dari makanan tersebut. Hal ini karena memang keadaan pendidikan agama pada saat itu jauh dari makna. Mereka hanya mengetahui yang dasar-dasar saja dan bahkan mereka hanya bisa membaca arabnya saja tanpa mengetahui maknanya (Suhandjati, 2013:21). Seperti dijelaskan sebelumnya, ini merupakan hasil dari salah satu kebijakan Belanda pada saat itu pada tahun 1882 yang melancarkan pembentukan suatu badan khusus untuk mengawasi berbagai bentuk pendidikan Islam dan beragama yang mereka sebut dengan Resterraden (Kodir, 2015:180). Pada saat itu metode pengajaran agama cenderung verbalistik, karena pengajaran yang difokuskan adalah aspek ibadah, sedangkan aspek sosial dan moral kurang mendapatkan perhatian khusus. Oleh karena itu, banyak dari mereka yang menjalankan syariat tetapi dalam akhlak dan muamalah mereka dinilai kurang atau tidak sesuai karena belum mengetahuinya. Keadaan seperti ini juga disebabkan karena tradisi pemahaman agama yang tradisional dan turun temurun (Suhandjati, 2013:42-43). Salah satu di antaranya adalah belajar membaca Al Quran dengan tanpa memberitahukan makna dan kandungan dari ayat tersebut, seperti halnya pengakuan dari R.A. Kartini ketika belajar Al Quran yang akhirnya
berkeluh
kesah
kepada
Kiai
memberitahukan isi kandungan makna Al Quran.
49
Sholeh
Darat
untuk
2. Aspek Sosial Politik Kesombongan
dan
kerakusan
Belanda
telah
meresahkan
masyarakat Nusantara. Berbagai bentuk ketidakadilan, kesewenangwenangan, kerakusan dan kedzaliman terjadi di berbagai tempat di Nusantara. Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa mereka tidak hanya berangkat dengan mengeksploitasi wilayah Nusantara saja melainkan semua yang ada telah direnggut oleh penjajah. Salah satu di antaranya, dengan melihat sudah mapannya sebuah kelembagaan dalam suatu tatanan kepemerintahan, juga dengan melihat beralih tangannya suatu kepemerintahan di Nusantara, maka akan merubah segala kebijakan yang ada, khususnya dalam bidang pengembangan pola pikir masyarakat. Selanjutnya, salah satu sistem yang diperkenalkan oleh Belanda kala itu ialah, dengan mendorong orang-orang melalui kepala desa atau para pemimpin mereka dengan menanam kopi, gula dan produk-produk berharga lainnya. Besarnya upah yang diberikan kepada pribumi juga tidak seberapa jika dibandingkan dengan hasil kerja kerasnya. Hasil dari perkebunan dijualkan kepada pemerintah juga dengan harga yang jauh dari keuntungan bersih (Wallace, terj. Ahmad Asnawi, dkk., 2015:158). Hal ini membuat rakyat menjauh dari perekonomian yang diharapkan. Namun, dengan sistem tersebut membantu Belanda dalam memenuhi segala kebutuhan yang diperlukan oleh Belanda. Hal ini memberikan kenyataan
bahwasanya
Belanda
menguasai
membawa kesombongan dan kerakusan.
50
pemerintahan dengan
Kebijakan
yang
dibangun
dengan
keegoisan
atau
atas
kepentingannya sendiri, tidak akan menjadikan masyarakat menghormati dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pembuatnya. Bila isi kebijakan itu hilang dari jalan menuju kebenaran dan jiwanya telah dikuasai akan permusuhan, kedengkian dan sikap mementingkan dirinya sendiri, maka dapat dipastikan kebijakan tersebut hanya berbentuk tanpa makna (Asy Syarqawy, 1994:85). Jikapun kebijakan ini dilaksanakan, bukan berarti mereka merasa tenteram dengan kebijakan tersebut, melainkan karena adanya unsur keterpaksaan dari dalam maupun luar. Kepolitikan
Kolonialisme
sudah
melekat
lama
di
dalam
pemerintahan Nusantara sejak abad ke-17 M dengan didirikannya VOC. Daendels dan Raffles sama-sama merupakan tokoh penting di Nusantara sebagai pencetus adanya revolusi penjajahan. Sebuah kebijakan baru yang menuntut kepada kedaulatan dan kekuasaan administrasi Eropa di seluruh Jawa dan yang bertujuan untuk memanfaatkan, memperbaharui dan menghancurkan lembaga-lembaga asli dengan seenaknya (Ricklefs, 2008:251). Belanda melakukan politik kolonialisme ini dengan memungut upeti. Kebijakan politik ini dilaksanakan atas usulan dari Van Den Bosch, agar ekonomi di Indonesia semakin memburuk, maka dilakukanlah politik cultuur stelsel (tanam paksa) yang berlangsung antara tahun 1830-1870 M (Ratna, 2008:10-11).
51
Berbagai penaklukan yang dilakukan oleh kolonialis Belanda membuahkan hasil dengan hancurnya politik yang telah dibangun dengan rapi selama ratusan tahun. Salah satunya, Politik adiluhung yang menempatkan pemimpin sebagai pelayan masyarakat (khodimul ummah) yang mengkerangkai kebijakan publik dengan masholihul ummah, yang menempatkan kiai dan ulama sebagai penasehat tertinggi dalam sebuah kerajaan, hancur berkeping-keping. Hancurnya politik adiluhung ini memberikan dampak yang sangat besar, yaitu dengan adanya perpecahan antara pemerintah yang memberi mandat dengan masyarakat yang memberi mandat, berbagai kebijakan publik sudah tidak lagi berbasis masholihul ummah (Tim Penulis JNM, 2015:102-103). Kemudian, politik imperialisme yang menjadikan beberapa kasta atau kelas dalam masyarakat telah membuat masyarakat resah. Kelas pertama adalah warga Eropa, kelas kedua adalah warga Asia Timur (China), dan kelas tiga, paling bawah adalah warga pribumi. Dengan adanya penjenjangan di kalangan masyarakat mengakibatkan perlakuan yang sewenang-wenang terhadap warga pribumi. Tidak hanya bicara kasar dan perlakuan kasar, bahkan mereka harus menunduk-nunduk dan menyembah-nyembah ketika berbicara dengan mereka. Perlakuan ini, karena masyarakat Eropa telah menganggap dirinya sebagai tuan yang berarti terdidik dan beradab, sedangkan warga pribumi dianggap sebagai bangsa yang bodoh seperti binatang (Hakim, 2016:111-112).
52
Kepolitikan Belanda tidak berhenti begitu saja di lingkup pemerintahan kemasyarakatan, namun juga terjadi di lingkup keagamaan. Para kiai diiming-iming dengan berbagai kemewahan yang menggiurkan. Belanda melakukan ini, agar para kiai bersedia mendukung adanya politik yang akan dilancarkannya. Apabila mereka tidak menuruti keinginan dari Belanda, maka yang akan terjadi adalah berbagai penangkapan, penyiksaan, pengasingan dan bahkan memenjarakannya. Hal ini dikarenakan sosok kiai pada saat itu, merupakan motivator bagi masyarakat
untuk
membentuk
gerakan-gerakan
yang
dapat
mengakibatkan kerugian di pihak Belanda (Mardimin, 2016:301). Kiai Sholeh Darat termasuk bagian dari salah satu ulama’ yang membahayakan posisi Belanda di Nusantara, karena Kiai Sholeh Darat dapat menghubungkan sosial budaya ke dalam pemikirannya yang tercantum di dalam beberapa karyanya. Seperti yang tersebut dalam kitab Majmu’ Syari’at (Darat, 1374 M:34-35) tentang penjagaan budaya yang ada, dalam kitab Munjiyat (Darat, t.th:36-49)
tentang diharuskannya
untuk menjauhi orang-orang yang takabur, serta dalam kitab LathaifAth Thoharoh (Darat, t.th:12-13) yang menjelaskan tentang menjaga nilai kebaikan melalui dunia material dan spiritual sebagai langkah dalam memadukan antara yang dzahir dengan batin, syari’ah dengan haqiqat. Kiai Sholeh Darat dalam membangun politik memang tidak dijelaskan secara terang-terangan. Pemikiran politik tersebut dibangun melalui beberapa karya dan halaqah yang berbentuk simbolik-simbolik untuk
53
membangun kesadaran anti penjajahan dan bentuk perlawanan terhadap penjajah. Oleh karena itu, Belanda memberikan pengawasan terhadap halaqah keagamaan yang bersifat membangun Nasionalisme dan bernada politik. Jika Belanda mengetahui sebuah halaqah yang beriramakan politik atau tidak murni keagamaan, maka akan dibungkam oleh mereka (Hakim, 2016:104-111). 3. Aspek Sosial Budaya Budaya merupakan akar dari sebuah peradaban di dalam suatu negara. Serupa dengan perkataan dari M. Hatta (Munthoha, 1998:9), bahwa kebudayaan adalah ciptaan hidup suatu bangsa. Maka dari itu, ketika Islam dikenalkan di Nusantara, Islam tidak serta merta menghilangkan suatu kebudayaan yang ada. Hal ini karena, ajaran Islam yang disebarkan oleh para wali diproses dengan sublimasi dan penyempurnaan terhadap budaya dengan sentuhan-sentuhan Islami, yang tidak memandang dari berbagai aspek, sehingga dengan mudah dapat diterima di masyarakat. Dalam rangka mengenalkan Islam pun tidak serta merta dengan paksaan dan kekerasan, melainkan dengan
kemuliaan akhlak dan
tingginya ilmu yang dimiliki para ulamanya (Tim Penulis JNM, 2015:233). Zuhairi dkk. (Kodir, 2015:34) menegaskan bahwasanya ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, berfungsi meluruskan perkembangan budaya umat manusia pada zaman tersebut dan
54
meletakkan unsur-unsur baru yang menjadi dasar untuk memacu perkembangan budaya selanjutnya. Selanjutnya, dengan adanya eksploitasi Belanda, membawa dampak krisis ekonomi baik di kalangan pribumi dan pejabat. Keadaan ini dikarenakan, banyaknya tanah yang telah diberikan kepada Belanda sebagai kompensasi jabatan yang disandingnya. Oleh sebab itu, dengan berkurangnya tanah yang dimiliki rakyat, maka mereka menyewakan tanahnya dan penduduknya kepada bangsa asing seperti Cina dan Belanda. Dengan demikian, melalui proses tersebut, terjadilah akulturasi budaya asing ke Nusantara yang secara tidak sadar telah menggeser nilainilai budaya aslinya. Pada saat itu, proses akulturasi berada di wilayah kraton dengan berbagai ragam budaya yang dipraktekkan. Kemudian, dimulai dengan adanya persamaan derajat antara bangsa Eropa dengan pihak kraton dalam sebuah acara protokoler yang ada di kraton. Bahkan daerah Solo dan Yogya, dianggap telah meningkatkan interpretasi budaya Eropa ke dalam kraton. Akulturasi budaya barat yang muncul tersebut, seperti: pelecehan seksual, meminum minuman keras dan menghisap candu, budaya demikian semakin mengakibatkan kebencian dikalangan ulama’, sehingga terjadilah perang Jawa paska Pangeran Diponegoro (1825-1830) (Suhandjati, 2013:53-55). Kemudian saat itu, juga terdapat sebuah budaya yang dinamakan budaya katuranggan. Budaya yang menonjolkan sisi jasmaniah dan kemampuan seksualnya dalam memiilih jodoh (Suhandjati, 2013:5).
55
Maka dari itu, muncullah sebuah anggapan bahwasanya pada kalangan perempuan tidak ada akses untuk mendapatkan pendidikan. Kalangan perempuan yang mendapatkan pendidikan hanyalah perempuan yang berasal dari keluarga kraton atau istana. Seperti R.A. Kartini yang menjadi produktif berkat tulis menulis surat dengan sahabat penanya yang ada di negeri Belanda (1879-1904) (Suhandjati, 2013:11). Kemudian terdapat juga anggapa tentang penempatan perempuan sebagai makhluk kedua atau budaya patriarki. Budaya ini selain mengakibatkan kejahatan seksual, juga mengakibatkan terhalangnya pendidikan pendalaman agama terhadap perempuan. Maka dari itu, muncullah pandangan yang mendeskripsikan bahwasanya kaum laki-laki lebih diutamakan dalam pendidikan, karena digunakan untuk menafkahi keluarga. Sedangkan kaum perempuan, dipandang hanya sebagai ibu rumah tangga yang tidak membutuhkan pendidikan baca dan tulis. Kemudian, oleh Kartini pandangan ini diluruskan dengan adanya pendidikan formal dan non formal (Suhandjati, 2013:46). Pada masa itu, terdapat pula budaya pingitan di kalangan masyarakat Jawa. Artinya, bahwa kaum perempuan tidak boleh keluar sebelum datang masa balighnya atau berumur 12 tahun sampai datang jodohnya. Selain itu, juga dikarenakan kekhawatiran orang tua terhadap kejahatan seksual yang telah merajalela serta kejahatan lainnya terhadap kaum perempuan. Maka dari itu, masyarakat beranggapan bahwa di rumah akan lebih aman dan bisa mengawasinya (Suhandjati, 2013:73-74).
56
Kiai Sholeh Darat juga terkenal dalam hal pengkajian sosial budaya sehingga ketika ada sesuatu yang sekiranya tidak sesuai dengan ajaran Islam, Kiai Sholeh Darat dapat menyimpulkannya dengan pendekatan sufistik. Dengan pendekatan sufistik ini, Kiai Sholeh Darat berusaha untuk memahamkan dan menyelaraskannya dengan pandangan masyarakat. Melalui pendekatan ini pula, Kiai Sholeh Darat menanamkan nilai-nilai Nasionalisme baik secara politik, sosial dan budaya. Hal ini membuktikan bahwa Kiai Sholeh Darat layak digolongkan ke dalam kalangan ulama’, karena ulama’ harus memperhatikan warisan-warisan masa lalu dan pada saat yang sama pula harus melihat ke masa depan baru dalam dunia baru (Azra, 2005:377).
C. Corak Pemikiran Muhammad Sholeh Darat Al Samarani 1. Bidang Teologi Kiai Sholeh Darat dalam membahas tentang keimanan, mempunyai pendapat yang sama dengan Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara. Keimanan dalam perspektif Kiai Sholeh Darat adalah al tashdiq bil qalb, al iqrar bil lisan dan al ‘amal bil arkan. Ketiga unsur tersebut sangat ditekankan oleh Kiai Sholeh Darat dalam memiliki iman. Iman seseorang dapat dilihat akan kualitasnya dari segi realisasi amal perbuatan seseorang tersebut. Dalam kitab Al Ibanah salah satu karya Al Asy’ari mengatakan pada halaman ketujuh, “Kami tegaskan bahwa Islam merupakan suatu konsep yang lebih luas dari iman. Tidak semua Islam adalah iman (sementara semua
57
iman adalah Islam), dan bahwa iman adalah mengatakan dan melakukan dan dapat naik dan turun”.
Pernyataan Al Asy’ari di atas menunjukkan bahwa iman itu mengatakan dan melakukan (al iman qawl wa ‘amal). Memang unsur yang pertama yaitu al tasdiq tidak disinggung oleh Al Asy’ari dan ini tidak membuktikan bahwa al tasdiq menurut Al Asy’ari tidak penting. Namun sebaliknya al tasdiq merupakan unsur yang sangat penting dan esensial sehingga tidak perlu untuk dikatakan secara eksplisit, karena dalam membenarkan sudah memberikan persaksian syarat berlakunya hukum (Munir, 2006:307). Al Asy’ari berkata: “Iman secara esensial adalah al tasdiq dengan hati, sementara mengatakan dengan lisan dan melakukan kewajiban yang utama (arkan) sekadar merupakan cabang-cabangnya.” (Izutsu, terj. Agus Fahri Husein, 1994:160-161).
Kiai Sholeh Darat dalam membahas tentang perbuatan manusia juga memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara. Yang memiliki pandangan bahwasanya perbuatan itu diciptakan oleh Tuhan. Maksud dari perbuatan diciptakan oleh Tuhan adalah Tuhan yang menciptakan al kasb atau perbuatan yang mengambil tempat dalam diri manusia. Dalam al kasb terdapat dua unsur yaitu pembuat (Tuhan) dan yang memperoleh perbuatan (manusia) (Nasution, 2013:109). Kiai Sholeh Darat menyatakan dalam kitab Matnu Al Hikam: “Lan setuhune peparinge Allah maring siro iku kelawan fadhole Allah beloko ora kelawan sawiji-wiji saking ‘amal. Kapan mengkono mongko ora patut siro lamun nyuwun maring Allah ing
58
ganjaran ‘amal iro, kerono siro ora ahli gawe ‘amal, balik Allah ingkang paring ‘amal maring siro” (Darat, 1422 H:5).
Pernyataan Kiai Sholeh Darat diatas memberikan kesimpulan bahwa pada hakikatnya manusia tidak memiliki amal, tetapi Allah-lah yang memberikan amal. Dalam pernyataan yang lain: “Lan nuli paring Allah ing kepinteran lan nuli paring Allah ing ‘aqal kelawan kiro-kirone Allah dewe lan iman lan ‘ilmu atawa liyane anata mengkono kabeh iku mergo ikhtiyar iro atawa mergo panjaluk iro ing Allah atawa mergo kiro-kiro niro iku ora, balik kelawan kersane Allah dewe, lan kelawan kiro-kirone Allah dewe lan welas kasihe Allah dewe. Kapan-kapan mengkono mongko opo toh gawene siro melu angen-angen lan mikir-mikir lan ngirongiro, kerono wongkang melu mikir-mikir dudu penggawene iku ora ono faidahe” (Darat, 1422:10).
Pernyataan Kiai Sholeh Darat di atas menarik kesimpulan bahwasanya Tuhan memberikan akal, iman dan ilmu merupakan kehendak Allah SWT bukan kehendak atau rekayasa dari manusia (In’amuzzahidin, 2011:64). Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya Kiai Sholeh Darat membawa ajaran teologi dari Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara dalam mengambil dasar untuk beribadah dan beramal. Namun, pandangan Kiai Sholeh Darat tentang manusia tidak mempunyai amal, tidak serta merta menghilangkan akan pentingnya dalam berikhtiar. Sebab, jika hanya dengan doa tanpa adanya usaha adalah bentuk kesia-siaan dan begitu juga sebaliknya usaha yang tanpa dilandasi dengan doa, maka dianggap meniadakan adanya Tuhan yang menciptakan perbuatan atau bisa disebut dengan kesombongan. Sigmund Freud menjelaskan tentang substansinya jiwa terhadap perbuatan manusia
59
bahwa terdapat suatu kekuatan yang mendorong manusia dalam melakukan sesuatu (Kattsof, 2004:298-299). Selanjutnya, berkaitan dengan amal perbuatan, Kiai Sholeh Darat menuntut seseorang untuk mencari ilmu sebagai bahan dasar dalam beramal. Dengan seseorang mempunyai dasar dalam beramal atau ikhtiyar atau kasab, akan memelihara keutuhan dari iman dan Islam. Dua unsur tersebut akan dapat hilang hanya karena harta. Maka dari itu, Kiai Sholeh Darat sangat mementingkan amal dan ilmu sebagai satu kesatuan yang utuh. Proses untuk mengaitkan antara keberadaan materi dan makna ini merupakan inti dari aspek keyakinan agama Islam. Pernyataan syahadat (kesaksian iman) dituntut untuk menghubungkan kehidupan dunia secara vertikal dengan kebahagiaan yang aman (Sachedina, 2000:138). 2. Bidang Tasawuf Tasawuf merupakan ilmu tentang rahasia-rahasia hati, yang fokusnya tidak lagi dalam bentuk jasmani atau anggota tubuh melainkan tindakan-tindakan hati (Dahlan, 2006:438). Tasawuf juga dapat diibaratkan dengan magnet. Dia tidak menampakkan dirinya namun memiliki daya yang luar biasa untuk menarik (Abdullah, 2011:158). Sebagaimana Imam Al Ghozali mengutip dari Abu Bakar Al Kattani dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin yang pada intinya, tasawuf berkonsentrasi pada permasalahan akhlak terpuji sebelum menuju ke tasawuf. Dengan demikian, tasawuf adalah dimana di dalamnya mengandung beberapa aspek pembahasan yang menitikberatkan pada kehidupan keruhanian,
60
kebersihan jiwa, cara-cara membersihkannya dari penyakit hati, godaan hawa nafsu, kehidupan duniawi, cara mendekatkan diri kepada Allah SWT sehingga sampai pada pengenalan hati yang dalam kepada Allah SWT (Jamil, 2013:33-36). Kiai Sholeh Darat mendefinisikan tasawuf dalam kitab Minhajul Atqiya’ sebagai berikut: “Artine ngelmu tasawuf iku ngelmu ingkang ngaweruhi tingkah polahe ati rohani lan sifate ati rohani sangking sifat mahmudah lan madzmumah”, artinya ilmu tasawuf yaitu ilmu yang memperlihatkan gerakan hati dan sifat hati dari sifat mahmudah dan madzmumah (Darat, t.th:9). Tasawuf yang diajarkan oleh Kiai Sholeh Darat
dalam kitab
Matnu Al Hikam dan Majmu’at Syari’at Al Kaifiyah Lil ‘Awam lebih cenderung ke dalam tasawuf akhlaqi atau tasawuf sunni ‘amali (In’amuzzahidin, 2011:80). Tasawuf yang identik dengan menyandarkan dalam berpijak yaitu Al Quran dan Hadits. Orientasi dari tasawuf akhlaqi adalah pembentukan akhlak yang mulia dalam mencari hakikat kebenaran dan mewujudkan manusia yang mengenal dan dekat kepada Allah SWT. melalui pendekatan-pendekatan teori yang mudah difahami dan sederhana tanpa adanya unsur filsafat di dalamnya (Jamil, 2013:104). Selanjutnya, ajaran
tasawuf yang diajarkan oleh Kiai Sholeh
Darat salah satu diantaranya tercantum dalam kitab Lathoifu Al Thoharoh wa Asroru Al Sholah: “Mongko masuhono siro kabeh ing rahi niro ingkang wus kelawan pot madep marang dunyo lan keluput kelawan ginawe ningali aghyar tegese pahesan dunyo wasuhono kelawan banyu tubat lan istighfar lan malih masuhono siro kabeh ing tangan iro karo saking labete oleh iro gendolan makhluq lan labete oleh iro gumantung kelawan makhluq iyo wasuhono kelawan banyu tubat
61
lan istighfar. Lan malih nuli ngusapo siro kabeh ing sirah iro kelawan banyu tawadlu’ limaulah tegese angasoraken awak iro marang nyandaro niro. Lan nuli masuhono siro ing suku niro karo sartone wanglu niro, sangking layate watak iro bongso tin, tegese wateke endut wasuhono kelawan kelakuan kang mahmudah” (Darat, t.th:6-7).
Perkataan dari Kiai Sholeh Darat di atas menunjukkan bahwa di samping ketika seseorang berwudlu untuk membersihkan dhohiriyahnya, maka seketika itu juga seseorang itu berniat untuk membersihkan batiniyahnya, karena yang dibasuh ketika wudlu mengandung berbagai maksiat yang harus disucikan kembali. Maka dari itu, dengan kemasyhurannya Kiai Sholeh Darat dalam bidang tasawuf sangat tepat ketika diterapkan di dalam masyarakat pada masa itu. Hal ini bertujuan untuk membangkitkan semangat mengembangkan pola pemikiran dan penyegaran rohani (Hakim, 2016:102). 3. Bidang Akhlak Akhlak mempunyai eksistensi sebagai teladan yang melekat pada jiwa manusia, yang berbuat dengan mudah dan tanpa melalui proses pemikiran atau pertimbangan karena sudah menjadi kebiasaannya (Al Ghazali, 1987:58). Selain itu, akhlak juga merupakan fungsionalisasi agama,
maksudnya
seseorang
menjadi
tidak
berarti
apabila
keberagamaannya tidak disertai dengan akhlak. Lebih luas lagi akhlak mempunyai arti hidup untuk menjadi rahmat bagi alam (rahmatan lil ‘alamin) (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI, 2007:21-29).
62
Menurut Moh. Muhsin Jamil, akhlak yang dikembangkan oleh Kiai Sholeh Darat adalah dengan mengharmonisasikan antara ilmu dan amal menjadi sebuah satu kesatuan yang utuh. Hal ini bisa dilihat ketika Kiai Sholeh Darat menjelaskan tentang keharusan dalam mencari ilmu di dalam kitab Majmu’at Al Syari’ah Lil ‘Awam yaitu “Ngulati ngelmune saben-saben ngamal kang den lakoni iku ferdlu ‘ain kerono ora sah ngamal yen ora kelawan ngelmu” (Darat, 1374 H:2). Akhlak yang diajarkan Kiai Sholeh Darat salah satunya tercantum dalam karangan beliau yaitu Kitab Munjiyat: “Mongko utawi maknane sabar iku angempet nafsune saking betahaken ing barang kang ora den demeni dene nafsu, koyo loro lan faqir lan liyane. Mongko wajib sabar saking ngelakoni perintah lan ngedohi cegah mongko sakwuse biso sabar mongko wajib arep syukur maring Allah” (Darat, t.th:78).
Sabar yang dimaknai oleh Kiai Sholeh Darat adalah dengan menahan hawa nafsu dari hal-hal yang tidak disukai oleh nafsu seperti sakit dan kurangnya harta. Sabar tidak hanya dengan tahan banting terhadap segala ujian dan terpaan cobaan dari-Nya. Namun, setelah seseorang melakukan dan mencegah yang tidak disukai oleh nafsu dan bisa bersikap sabar, maka seseorang tidak boleh membanggakan dirinya karena bisa bersikap demikian melainkan dengan sikap bersyukur kepadaNya. 4. Bidang Fiqih Pengaruh metodologi dalam berperan untuk menentukan arah, kesimpulan dan produk-produk pemikiran sangatlah penting. Dalam hal
63
ini disebut juga dengan ilmu ushul fiqh, yang digunakan untuk mengeksplorasikan prinsip-prinsip hukum yang ada di dalam Al Quran dan Hadits. Metodologi adalah bagian epistemologi yang membahas tentang urut-urutan langkah yang harus ditempuh dengan harapan memperoleh pengetahuan yang ilmiah. Dalam hal fiqh, metodologi tidak hanya dapat dipandang dari segi langkah yang metodis, namun juga segala bentuk asumsi yang melatarbelakangi munculnya sebuah metode (Abdullah, 2011:3-4). Fiqh
merupakan
bagian
yang
sangat
penting
di
dalam
keberagamaan masyarakat, karena fiqh menurut Jamal Al Banna dalam pengantar bukunya Manifesto Fiqh Baru 1 adalah merupakan ilmu yang hampir secara keseluruhan berhubungan erat dengan berbagai aspek kehidupan, baik dari segi ritual (ibadah) maupun berbentuk sosial (mu’amalah). Perkataan Jamal Al Banna ini didukung dengan pendapat dari Ibnu Kholdun yang menyatakan bahwa fiqh merupakan ilmu yang menyingkap tentang hukum-hukum Allah baik dari bentuk hukum wajib, haram, sunah, makruh dan mubah yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunah (Al Banna, terj. Hasibullah Satrawi dan Zuhairi Misrowi, 2008:20). Fiqh merupakan suatu kumpulan ilmu yang sangat luas pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai ragam jenis hukum Islam dan bermacam, rupa aturan hidup, untuk keperluan seseorang, golongan dan masyarakat dan umum manusia (Ash Shiddieqy, 2001:9). Bila melihat lebih mendalam, maka fiqh sangat berkaitan erat dengan syari’at
64
dan bahkan syari’at bisa dikatakan sebagai induknya fiqh (Syarifuddin, 2005:2). Fiqh mempunyai arti mengetahui, memahami, dan mendalami ajaran-ajaran agama secara keseluruhan. Dengan demikian, fiqh mempunyai arti yang sangat luas sama dengan arti syari’at dalam arti yang luas (Djazuli, 2006:4). Imam Ghozali menyebutkan, fiqh itu bermakna faham dan ilmu. Akan tetapi menurut uruf ulama’ telah menjadi suatu ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang tertentu bagi perbuatanperbuatan para mukallaf, seperti wajib, haram, mubah, sunat, makruh, shahih, fasid, bathil, qadla’, ada’ dan sepertinya. Selanjutnya, Asy Syathibi dalam kitabnya Al Muwafaqat menerangkan bahwa syari’at adalah ketentuan-ketentuan yang membuat batasan-batasan bagi para mukallaf baik mengenai perbuatan, perkataan, dan i’tikad mereka. Para ulama’ mengistilahkan syari’at digunakan untuk nama bagi segala perintah, segala larangan, dan segala petunjuk yang ditujukan kepada hamba-hamba-Nya agar mereka menjadi orang yang beramal sholih, baik secara aqidah, akhlak, dan perbuatan (Ash Shiddieqy, 2001:13-19). Dalam fiqh terkenal dengan istilah madzhab atau aliran pemikiran pada bidang fiqh. Menurut Muslim Ibrahim dalam bukunya Pengantar Fiqh Muqaaran yang dijelaskan dalam buku Ushul Fiqh Perbandingan menerangkan bahwa, Madzhab adalah faham atau aliran pikiran yang merupakan hasil ijtihad dari seorang mujtahid tentang hukum Islam digali melalui Al Qur’an dan Hadits yang dapat diijtihadkan (Supriadi,
65
2014:17). Dengan demikian, seseorang yang belum memiliki pengetahuan mendalam tentang hukum Islam diharuskan untuk mengikuti salah satu madzhab yang sahih. Dalam kitab Ahkamul Fuqaha menjelaskan dalam kitab Al Mizan Al Sya’rani Fatawi Kubra dan Nihayatussul menerangkan tentang keharusan seseorang dalam mengikuti suatu madzhab selama seseorang itu belum mengetahui inti dari agama karena dikhawatirkan akan terjatuh ke dalam kesesatan (Kep. Muktamar NU, Munas dan Konbes NU, 2007:2-3). Pernyataan Kiai Sholeh Darat tentang pelarangan iman yang taqlid tercantum dalam kitab Majmu’at As Syari’at Lil ‘Awam: “Mongko nadhoroto ing wujude awak iro lan wujude ruhaniyah iro lan obah musik iro, mongko dadi weruh siro maring Allah subhanahu wata’ala paningali atiniro mongko fahamoto siro lan ojo taqlid siro kerono iman wongkang taqlid iku ora sah ing dalem pangendikane poro ngulama’ muhaqqiqin” (Darat, 1374 H:19).
Ajaran fiqh Kiai Sholeh Darat yaitu dengan mengkolaborasikannya dengan tasawuf sehingga hukum yang dihasilkan sesuai dengan pola perkembangan masyarakat pada saat itu. Maka dari itu, Kiai Sholeh Darat dalam hal ini bertujuan untuk memfiqihkan tasawuf dan mentasawufkan fiqh. Artinya, dunia jasmani dan dunia rohani harus dipelihara supaya tidak mengalami kepincangan (Hakim, 2016:102). Dengan demikian, fiqh yang diberikan oleh Kiai Sholeh Darat tidak hanya menekankan praktek yang tanpa didasari rasa sadar dalam hati, namun bentuk kesadaran hati yang mengiringi praktek tersebut.
66
Selain itu, fiqh yang dikembangkan oleh Kiai Sholeh Darat juga tidak lepas dari tokoh besar Islam yaitu Imam Al Ghozali, yang dari karya-karya Kiai Sholeh Darat banyak menyandarkan karyanya terhadap Imam Al Ghozali. Bisa jadi dengan pemikirannya Imam Al Ghozali ini, Kiai Sholeh Darat berusaha untuk mengungkapkan arti fiqh yang sesuai dengan harapan mampu menegakkan teguhnya hukum-hukum syari’at yang berlaku dengan dibasahi oleh kelembutan tasawuf. 5. Bidang Pendidikan Pendidikan
merupakan
proses
membimbing
manusia
dari
kegelapan menuju ke pencerahan pengetahuan. Hakikat dan tujuan dari pendidikan memiliki keterkaitan yang erat hubungannya dengan tanggapan hidup dan melingkupi cara-cara pendidikan dalam bentuk praktek (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI, 2007:20). Pendidikan merupakan unsur yang sangat diperhatikan di dalam ajaran Islam. Tidak hanya itu, menurut Moh. Muhsin Jamil, pendidikan seharusnya bisa membangun kecakapan dalam berfikir dan sikap yang baik. Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantoro, menyebutkan pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect) dan tubuh anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang dididik selaras dengan dunianya (Nata, 2013:338). Dengan demikian,
67
alasan kenapa pendidikan itu diharuskan telah diketahui yaitu untuk menjadikan manusia yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, berilmu, sehat dan berakhlak (berkarakter) mulia. Kiai Sholeh Darat sangat menekankan tentang kewajiban menuntut ilmu, karena bagi Kiai Sholeh Darat ilmu itu mendasari berbagai amalan dan ucapan. Maksudnya dengan menuntut ilmu akan membuat manusia mempunyai akhlaqul karimah dan intelektual. Kiai Sholeh Darat menyebutkan tentang kewajiban seseorang untuk menuntut ilmu yaitu tercantum dalam karangan Kiai Sholeh Darat dalam kitab Majmu’at Asy Syari’at, “Mongko weruho siro he wongkang mukallaf, setuhune ngulati ngelmu iku ferdlu ‘ain atas saben-saben wong mukmin lanang lan wong mukmin wadon, wus angendiko kanjeng Rosulullah SAW, utawi luru ngelmu iku fardlu atas saben-saben wong Islam lanang lan wong Islam wadon tegese ngulati ngelmune sabensaben ngamal kang den lakoni iku fardlu ‘ain kerono ora sah ngamal yen ora kelawan ngelmu” (Darat, 1374 H:2).
Kiai Sholeh Darat dalam memahamkan masyarakat tentang Islam tidak tertuju pada pemurnian ajaran atau tidak melalui pendekatan teologis normatif yang menganggap bahwa ajaran yang tidak sefaham dianggap salah, namun ketika melihat bentuk pola pendekatan yang dilakukan Kiai Sholeh Darat dalam mencerdaskan masyarakat, dapat dilihat bahwa Kiai Sholeh Darat memakai berbagai pendekatan yang tidak menimbulkan kesalahfahaman dan berakibat fatal. Salah satu metode Kiai Sholeh Darat dalam memahamkan Islam adalah dengan pendekatan studi tasawuf. Ketidakhadirannya hati dalam suatu perbuatan mengakibatkan
68
kotornya jiwa. Maka dari itu, dengan pendekatan ini mengakrabkan masyarakat dalam menyempurnakan aqidah dan ibadahnya, kemudian dengan ini Kiai Sholeh Darat mengistilahkan tiga perkara pokok pemahaman dalam Islam yaitu syari’ah, thoriqoh dan hakikat. Menurut Kiai Sholeh Darat, tiga perkara dalam pokok pemahaman Islam tidak dapat hanya dilakukan secara terpisah atau hanya sebagian saja, dengan tidak adanya salah satu diantara tiga tersebut akan mengakibatkan kesalahfahaman dalam mempelajari Islam. Kiai Sholeh Darat mengibaratkan tiga perkara tersebut dalam kitab Majmu’at Asy Syari’at: “Utawi mitsale ngelmu syari’at iku minongko kapal mongko wajib gawe bagus kapale lan gawe bagus bekakase kapal kabeh, mongko mitsale ngelmu toriqot iku minongko segoro mongko mesti wongkang melebu segoro kelawan nunggang kapal kang bagus semono ugo wajib wongkang arep mlebu ngelmu thoriqot arep bagusaken syari’ate, mongko mitsale ngelmu haqiqot iku minongko inten kang ono ing jerone segoro mongko wajib nalikane jegur segoro arep ngalap inten aninggal kapale lan ninggal bekakase kapal kabeh lan nalikane jegur segoro ojo nejo segoro balik nejoho inten ingkang ono ing jerone segoro” (Darat, 1374 H:28).
Sebelum itu Kiai Sholeh Darat berupaya untuk mencerahkan pemikiran masyarakat dan menanam nilai kebaikan dengan cara memadukan antara yang dzahir dengan yang batin atau bisa disebut dengan pemaduan antara yang jasmani dengan rohani. Ketika kedua pilar tersebut dapat dipadukan dengan benar, maka apa yang menjadi tujuan pendidikan dan upaya menanam nilai kebaikan akan tercapai. Upaya Kiai Sholeh Darat ini dipaparkan di dalam kitabnya yaitu Lathoif At Toharoh
69
wa Asroru As Solah, “...ono sucine ing dalem dzohiril badan iku nglabeti ing dalem sucine qolbu lan nglabeti ing dalem padange qolbu...” (Darat, t.th:13).
D. Pendapat Para Ulama dan Para Cendekiawan 1. Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj, MA. (Ketua Pengurus Besar Nahdlotul ‘Ulama’ (PBNU) ) Mbah Sholeh merupakan ulama’ pada tahun 1820 M-1903 M yang disebut sebagai ulama pertama kali yang menulis syarah kitab dari karya Ibnu ‘Athoillah yaitu kitab Al Hikam. Mbah Sholeh dalam mensyarahi kitab Al Hikam dengan menggunakan aksara pegon atau aksara arab yang berbahasa Jawa. Mbah Sholeh mempunyai karakteristik tersendiri yaitu billisanil jawi al-mirikiyah, artinya bahasa yang sehari-hari dipakai dan mudah difahami oleh masyarakatnya disekitar yaitu di pesisir utara pulau Jawa (Darat, terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxi). Mbah Sholeh juga merupakan salah satu ulama’ yang memiliki bekal keilmuan yang diakui dan reputasinya sangat dikagumi pada masa itu. Salah satu ulama’ yang berasal dari Jepara dan merantau ke Semarang untuk memperdalam keilmuan bidang agama serta kemudian berangkat ke tanah Haramain untuk meneguhkan keilmuannya. Mbah Sholeh Darat mewarisi darah pejuang dari ayahnya yaitu Kiai Umar, dengan memilih kembali ke Nusantara untuk mengentaskan maraknya kebodohan dan penderitaan umat pada masa Belanda. Bahkan, Mbah Sholeh secara tegas
70
melancarkan
resolusi
jihad
dengan
memberikan
fatwa
tentang
penyerupaan terhadap kaum penjajah baik dalam berperilaku dan bekerja sama dianggap telah kufur. Yang kemudian bentuk resolusi jihad ini dikembangkan oleh salah satu murid beliau yaitu KH. Hasyim Asy’ari (Darat, terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxii). 2. Peter Carey (Sejarawan University of Oxford) Nilai-nilai ajaran Islam yang bernada tradisi dan dipelopori oleh Pangeran Diponegoro yang pada saat itu diangkat sebagai Sultan Abdul Hamid Erucokro (Ratu Adil) pada awal perang Jawa, sudah tidak bergaung lagi di hati masyarakat Jawa. Namun, Kiai Sholeh Darat yang keturunan dari pendukung Pangeran Diponegoro merupakan ulama salah satu yang membangkitkan sebuah historiografi baru untuk abad ke-19 (Hakim, 2016:v). Satu langkah penting yang diambil Kiai Sholeh Darat untuk menghadapi rezim Belanda adalah dengan melakukan pencerahan pemikiran kepada masyarakat. Langkah ini merupakan langkah yang visioner, strategis dan jangka panjang untuk melawan rezim Belanda. Gerakan pencerahan pemikiran ini juga dimaksudkan untuk menanamkan jiwa nasionalisme ke dalam hati masyarakat walaupun dalam karya-karya Kiai Sholeh Darat tidak disebutkan secara terang-terangan (Hakim, 2016:xi).
71
3. K.H. Ahmad Wafi MZ. (Pengasuh PP. Al Anwar, Sarang, Rembang) Kiai Sholeh Darat merupakan salah satu ulama’ yang dikenal sebagai ulama’ yang mempunyai kecerdasan dalam berbagai disiplin ilmu, terutama dalam bidang ilmu tasawuf. Bahkan, karena dalamnya ilmu tasawuf yang dimiliki, Kiai Sholeh Darat disebut-sebut sebagai Imam Al Ghozali Al Shoghir atau Imam Al Ghozali kecil. Bentuk pemikiran yang dinyatakan oleh Kiai Sholeh Darat mayoritas lebih cenderung ke dalam sufistik, terlebih dalam kitab Matnu Al Hikam dan Munjiyat ) (Ulum, 2016:v). Kemasyhuran dalam bidang tasawuf yang beliau miliki membuat para pecinta ilmu untuk menimba ilmu kepada Kiai Sholeh Darat. Kemasyhurannya dibuktikan dengan sikap tawadhu’nya ketika diminta Kartini untuk menuliskan terjemah Al Quran ke dalam bahasa Jawa. Berangkat dari kemasyhurannya, murid-murid Kiai Sholeh Darat banyak yang telah menjadi tokoh besar seperti: KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlutul Ulama’), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), KH. Abdus Syakur Al Sawedani (Ayah Kiai Fadhol Senori) dan Kiai Dahlan Al Sarani (Kakek KH. Maemun Zubair) (Ulum, 2016:vi). 4. Prof. Dr. M. Abdul Karim, M.A., M.A. (Guru Besar Sejarah Islam UIN Sunan Kalijaga) Kiai Sholeh Darat merupakan salah satu ulama’ yang berani menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa Jawa pegon. Penerjemahan ini dilakukan karena melihat jauhnya masyarakat dari nasehat Al Qur’an,
72
maka, dengan meminta perlindungan dari Allah SWT, Kiai Sholeh Darat mengarang kitab penerjemahan Al Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Kiai Sholeh Darat juga dikatakan sebagai ulama’ yang sangat produktif dalam mengarang kitab yang kebanyakan memakai bahasa Arab pegon. Penulisan Kiai Sholeh Darat cenderung lebih menitik beratkan pada latar belakang masyarakatnya,
yang pada
saat itu masih kurangnya
pengetahuan tentang bahasa Arab. Dari berbagai penguasaan keilmuan yang dimiliki Kiai Sholeh Darat, ilmu tasawuflah yang paling menonjol dalam diri beliau.Selain dikenal sebagai ahli tasawuf, alim dan ahli dalam kajian kitab kuning, Kiai Sholeh Darat juga dikenal mempunyai banyak karomah (Ulum, 2016:xii). Sumbangsih yang Kiai Sholeh Darat berikan kepada Indonesia ini merupakan
sebuah
keberkahan
tersendiri
bagi
Nusantara.
Dari
kemunculan Kiai Sholeh Darat, banyak bermunculan ulama’-ulama’ yang masyhur dalam bidang agama dan pejuang Islam yang bersama bersatu untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ulama’-ulama’ dari Nusantara banyak yang menganggap bahwa Kiai Sholeh Darat menjadi rujukan yang penting di Nusantara khususnya di Jawa (Ulum, 2016:xv). 5. Dr. Abdullah Salim (Dosen Unissula Semarang juga Peneliti Pertama Naskah K.H. Sholeh Darat) Kiai Sholeh Darat adalah pejuang kemerdekaan dan berasal dari keluarga pejuang. Tidak hanya dalam keluarganya saja, namun mertuanya yaitu Kiai Murtadlo juga merupakan pejuang bersama Pangeran
73
Diponegoro. Bahkan guru Kiai Sholeh Darat juga salah satu pejuang kepercayaan Pangeran Diponegoro yaitu Kiai Darda’ Semarang. Pejuang yang dikala itu menggempur pertahanan Belanda di Jawa yang disebut dengan Perang Jawa. Maka dari itu, Kiai Sholeh Darat pantas mendapatkan gelar pahlawan nasional (Dzahir, 2012:sinopsis penulis). 6. Dr. Nur Cholis Majid (Cendekiawan Muslim Indonesia) Kiai Sholeh Darat merupakan ulama’ yang sangat menjunjung tinggi teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah. Hal ini jelas dibawakannya dalam kitab terjemah Sabilul ‘Abid ‘Ala Jauharu Al Tauhid. Yakni dengan penafsirannya terhadap sabda Nabi SAW tentang perpecahan umat Islam yang menjadi 73 golongan dan hanya satu golongan yang selamat, yaitu golongan yang melaksanakan aqaid atau pokok-pokok ahlu al sunnah wa al jama’ah, yakni mereka yang bertingkah laku sama seperti yang dilakukan oleh Nabi SAW (Dzahir, 2012:sinopsis penulis). 7. K.H. Ahmad Hadlor Ihsan (Pengasuh PP. Al Islah Mangkang, Tugu, Semarang juga Mantan Rois Syuriyah PCNU Kota Semarang) Kiai Sholeh Darat merupakan embahnya para ulama di tanah Jawa ini, karena Kiai Sholeh Darat adalah gurunya para ulama’ yang ada hingga sanadnya tersambung sampai sekarang (Dzahir, 2012:sinopsis penulis).
74
BAB III KAJIAN TEORI PENDIDIKAN AKHLAK
A. Pendidikan Akhlak 1. Pengertian Pendidikan Dalam konteks Islam, pendidikan dimaknai dengan beberapa istilah yaitu tarbiyah yang berasal dari kata rabba, ta’dib yang berakar dari kata addaba dan ta’lim yang berakar dari kata ‘allama. Secara definitif, Omar Mohammad al-Toumy al-Syaebani menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan masyarakatnya dan kehidupan alam sekitarnya (Muhmidayeli, 2011:65-66). Pendidikan
dipadankan
dengan
tarbiyah,
secara
bahasa,
Abdurrahman An Nahlawi mengatakan, jika merujuk pada kamus bahasa Arab yang memuat arti dari tarbiyah, maka akan ditemukan beberapa akar kata dari tarbiyah, yaitu rabba-yarbu (bertambah dan berkembang), rabiya-yarba yang dibandingkan dengan khofiya-yakhfa (tumbuh dan berkembang), dan rabba-yarubbu yang dibandingkan dengan maddayamuddu (memperbaiki, mengurusi kepentingan, mengatur, menjaga, dan memperhatikan) (Nata, 2013:337). Oleh Al Raghib Al Ashfahany tarbiyah yaitu mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap sampai pada batas yang sempurna. Kata tarbiyah dalam pendidikan mempunyai makna yang sangat luas, yaitu dengan pemeliharaan baik yang fisik maupun non fisik terhadap seluruh makhluk 75
Tuhan (Nata, 1997:6). Selain itu, kata tarbiyah juga mengandung arti adanya kaitan proses pendidikan dengan design Tuhan (Muhaimin, 2003:109). Pendidikan diartikan sebagai ta’lim, Al Raghib Al Ashfahany mengatakan, kata ta’lim lebih khusus untuk menunjukkan sesuatu yang dapat diulang dan dapat diperbanyak sehingga menghasilkan bekas atau pengaruh pada diri seseorang (Nata, 1997:6-7). Al Tabatabai menafsirkan pendidikan sebagai bentuk menunjukkan proses pengajaran dan pendidikan, maksud pendidikan dalam hal ini adalah pendidikan dalam arti memberikan informasi kepada manusia. Namun, potensi akal manusia yang digunakan untuk menerima informasi tersebut juga harus dimaksudkan untuk memberdayakan potensi akalnya sebagai kholifah fil ardl. Sehingga dapat dikatakan hasil dari ta’lim tersebut tidak boleh bertentangan dengan tatanan moral kemanusiaan, artinya letak dari pendidikan itu harus didampingi dengan akhlak atau adab (Rahman, 2001:60-61). Pendidikan diartikan sebagai ta’dib lebih mengarah kepada kebaikan tingkah laku atau perangai seseorang. Syed M. Naquib Al Attas memberikan pengertian ta’dib yaitu sebagai suatu usaha peresapan (instilling) dan penanaman (inculcation) adab pada diri manusia dalam pendidikan. Maka dari itu, pendapat Al Attas dapat dikatakan pendidikan dalam arti ta’dib mempunyai kandungan yang harus ditanamkan dalam proses pendidikan (Iqbal, 2015:296).
76
Dari beberapa pengertian di atas, istilah yang digunakan dalam mengartikan pendidikan yaitu tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib, terdapat beberapa
tokoh
yang
mempunyai
perbedaan
pendapat.
Seperti,
Abdurrahman An Nahlawi mengartikan pendidikan cenderung pada pemaknaan tarbiyah, Abdul Fatah mengartikan pendidikan cenderung pada kata ta’lim. Syed M. Naquib Al Attas mengartikan pendidikan cenderung pada konsep ta’dib. Namun,
perbedaan pendapat dari
beberapa tokoh tersebut, sebenarnya arti dari pendidikan (tarbiyah, ta’lim dan ta’dib) mempunyai kesinambungan terhadap satu sama lain. Seperti istilah
ta’lim
mengesankan
proses
kognitif,
kemudian
tarbiyah
mengesankan pembinaan dan pembentukan kepribadian serta sikap mental, dan sedangkan ta’dib mengesankan proses pembinaan terhadap moral dalam peningkatan martabat manusia (Nata, 1997:8). Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantoro, mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect) dan tubuh individu yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya (Nata, 2010:338). Sedangkan menurut Ibnu Kholdun, pendidikan tidak hanya dibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi pendidikan adalah suatu proses, dimana manusia secara sadar menangkap, menyerap dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman (Iqbal, 2015:528).
77
Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ketentuan Umum pasal 1 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya
pengendalian
untuk
diri,
memiliki
kepribadian,
kekuatan kecerdasan,
spiritual akhlak
keagamaan, mulia,
serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Dirjen Pendidikan Islam Depag RI, 2006:5). Dengan demikian, dari beberapa penjelasan yang dipaparkan oleh para tokoh, pendidikan mempunyai arti yang luas yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Secara jelas dapat dikatakan, pendidikan adalah suatu usaha untuk memberikan pencerahan pemikiran yang mengarah pada pengembangan potensi diri manusia, pembentukan kepribadian, dan pengendalian diri. Pendidikan juga tidak boleh secara kontekstual terpaku pada bidang kognitif, namun juga disertai dengan bentuk pengamalan ilmu. 2. Akhlak, Moral, Etika dan Budi Pekerti a. Akhlak Secara bahasa, akhlak berasal dari kosakata bahasa Arab. Terdapat beberapa pendapat dalam hal ini, kata akhlak adalah isim jamid atau ghair mustaq yakni kata yang tidak memiliki akar kata, karena bentuknya memang telah ada sedemikian (Jamil, 2013:2). Pendapat lain mengatakan bahwa akhlak berasal dari kosakata bahasa
78
Arab yang berbentuk jama’ yaitu اﺧﻼقyang berasal dari isim mufrad khuluqun, dalam kamus Munjid berarti budi pekerti atau perangai atau tingkah laku (Tono, M. Sularno, dkk, 1998:85). Dari segi terminologis, akhlak merupakan hubungan erat antara khaliq dengan makhluk dan makhluk dengan makhluk (Saebani dan Abdul Hamid, 2012:14). Secara istilah, Al Ghozali menyatakan dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din bahwa, akhlak adalah suatu keadaan dalam jiwa yang tetap yang memunculkan suatu perbuatan secara mudah dan ringan tanpa perlu pertimbangan pikiran dan analisa (Al Ghazali, 1987:58). Selanjutnya, Ibnu Miskawaih menuturkan dalam kitab Tahdzib Al Akhlak bahwa akhlak adalah keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pemikiran (Tono, M. Sularno, dkk, 1998:85-86). b. Moral Moral berasal dari bahasa Latin yaitu mores, bentuk jama’ dari mos yang berarti adat kebiasaan (Tono, M. Sularno, dkk., 1998:89). Secara terminologi, moral adalah sebuah ukuran baik dan buruk yang diakui oleh masyarakat atau kelompok tertentu yang menyepakatinya baik didasarkan pada agama atau tidak (Jamil, 2013:9). Moral dapat dikatakan perbuatan baik dan buruk yang disepakati oleh masyarakat. Moral merupakan suatu istilah tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diterapkan kepada manusia baik sebagai individu maupun sosial.
79
Menurut K. Bertens, moral merupakan nilai-nilai dan normanorma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah laku (Amril, 2002:17). Sidi Gazalba (Nurdin, dkk., 2009:5.5), mengartikan moral sebagai kesesuaian dengan ide-ide yang umum diterima oleh lingkungan sekitar tentang tindakan manusia mana yang baik dan mana yang wajar. Dengan demikian, batasan yang terdapat dalam moral adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, serta pembahasan dalam moral lebih mengenai tentang baik dan buruknya manusia sebagai manusia. c. Etika Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu etos yang artinya kebiasaan. Etika secara etimologi, berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminologi, etika adalah ilmu yang membicarakan tingkah laku manusia. Menurut beberapa ahli, etika merupakan teori tentang laku perbuatan manusia yang dipandang dari segi nilai baik dan buruknya menurut penentuan akal pikiran manusia (Nurdin, dkk., 2013:5.9). Etika merupakan filsafat nilai, pengetahuan nilai-nilai, dan kesusilaan tentang baik dan buruk. Dalam ensiklopedia Winkler Prins, dikatakan bahwa etika merupakan bagian dari filsafat yang mengembangkan teori-teori tentang tindakan dan alasan-alasan diwujudkannya
suatu
tindakan
dengan
tujuan
dirasionalisasi (Saebani dan Abdul Hamid, 2012:27).
80
yang
telah
Carter V Good dalam Dictionary of Education mengatakan bahwa etika adalah, “The sciense of human conduct, concerned with judgment of obligation (rightness or wrongness oughtness) and judgment of value (goodness and badness)”. Artinya, etika adalah ilmu tentang tingkah laku manusia yang berkenaan dengan ketentuan tentang kewajiban yang menyangkut masalah kebenaran, kesalahan, atau kepatutan, serta ketentuan tentang nilai yang menyangkut kebaikan dan keburukan (Tono, M. Sularno, dkk., 1998:88). Menurut Franz Magnis Suseno, etika adalah pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran, norma-norma, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan serta pandangan moral secara kritis (Amril, 2002:18). Etika memberikan prinsip yang menentukan perbuatan sebagai benar, baik dan layak. Adapun etika berurusan dengan bagaimana orang yang bermoral harus berbuat atau bertindak. Nilai berkaitan dengan etika apabila bersangkutan dengan apa yang diyakini benar atau salah. Apabila nilai dipaksakan kepada seseorang, maka akan menimbulkan imperialisme moral, pemaksaan suatu nilai yang bersifat khusus kepada seseorang yang berlain faham (Musa, 2014:246). Dengan demikian, etika bersumber dari pemikiran yang mendalam dan renungan filosofis yang pada intinya bersumber pada akal pikiran. Etika juga bersifat temporer, mempunyai ketergantungan
81
pada aliran filosofis bagi orang yang menganutnya (Anwar, 2010:20). Maka dari itu, etika berupaya memahami tindakan manusia dari sudut nilai baik dan buruknya, benar dan salahnya, dan layak dan tidak layaknya sesuai dengan kemampuan akal pikiran manusia (Nurdin, dkk., 2013:5.10). d. Budi Pekerti Budi pekerti merupakan kata majemuk dari kata budi dan pekerti. Kata budi berasal dari bahasa sanskerta yang berarti sadar, dan pekerti sendiri berasal dari bahasa Indonesia yang memiliki arti kelakuan. Secara istilah, budi berarti yang terdapat pada manusia yang berkaitan dengan kesadaran yang didorong oleh akal. Sementara, pekerti secara istilah, adalah apa yang terlihat pada manusia karena dorongan dari perasaan (Nurdin, dkk., 2013:5.7). Secara terminologi, budi pekerti adalah perilaku manusia yang didasari dengan kesadaran untuk berbuat baik dengan dorongan keinginan hati dan sesuai dengan pertimbangan akal (Tono, M. Sularno, dkk., 1998:85-86). Pendidikan budi pekerti diartikan sebagai proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap dan perilaku seseorang yang memancarkan akhlak mulia/budi pekerti luhur (Daulay, 2007:220). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa budi pekerti merupakan perpaduan dari hasil akal dan rasa yang berwujud pada karsa dan tingkah laku manusia (Nurdin, dkk., 2013:5.7).
82
Dengan demikian, dari penjelasan tentang akhlak, moral, etika, dan budi pekerti, dapat disimpulkan perbedaan dan hubungan erat dalam keempat istilah diatas. Perbedaan tersebut adalah akhlak lebih merujuk pada sumber agama Islam (Al Qur’an dan Hadits), moral menitik beratkan pada norma yang hidup dalam sebuah masyarakat atau kelompok tertentu, etika lebih menitikberatkan pada penilaian yang bersumber pada akal, dan budi pekerti lebih menitikberatkan pada perpaduan antara akal dan rasa dalam menentukan sopan dan tidak sopannya serta adab dan tidak beradabnya seseorang. Meskipun terdapat perbedaan dari keempat istilah tersebut, namun terdapat juga hubungan yang erat dalam istilah tersebut. Yaitu, saling melengkapi dalam menentukan kebaikan dan kesesuaian dalam mencapai akhlaqul karimahnya seseorang dalam bersosialisasi maupun beragama. Hal ini karena ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW membutuhkan perenungan serta kehidupan manusia yang bersifat berkembang. Oleh karena itu, tidak setiap apa yang ditemukan dalam masyarakat selalu ada di dalam Al Qur’an dan Hadits. Maka dari itu, dengan adanya perbedaan tolok ukur yang digunakan dalam keempat istilah tersebut, membuat keharmonisasian terhadap pembentukan kepribadian individu yang berakhlaqul karimah. 3. Pendidikan Akhlak Pendidikan akhlak merupakan pendidikan mengenai dasar-dasar moral dan keutamaan budi pekerti sekiranya dapat membiasakan
83
seseorang untuk bersikap baik dan mulia. Pendidikan akhlak juga merupakan pendidikan untuk mendidik seseorang agar menjadi individu yang
berpikir
dan
berakhlaqul
karimah
(http://pengertiankomplit.blogspot.co.id/2015/08/pengertian-pendidikanakhlak.html, diakses pada 20 Februari 2017, jam 15.51 WIB). Di sisi lain, pendidikan akhlak juga merupakan pendidikan tentang prinsip dasar moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh seseorang sejak masa pemula hingga ia menjadi seorang mukallaf, yakni siap mengarungi lautan kehidupan (Ulwan, 1995:177). Makna pendidikan akhlak merupakan perpaduan antara pengertian pendidikan dan akhlak. Jadi, yang dimaksud dengan pendidikan akhlak adalah bimbingan, asuhan dan pertolongan dari orang dewasa untuk membawa anak didik ke tingkat kedewasaan yang mampu membiasakan diri dengan sifat-sifat yang terpuji dan menghindari sifat-sifat yang tercela (http://naimsoekarno81.blogspot.co.id/2012/03/pendidikan-akhlak.html, diakses pada 20 Februari 2017, jam 15.38 WIB). Penulis menyimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah proses dimana manusia memahami tingkah laku yang sesuai, baik menurut agama, filsafat dan ilmu serta dalam perspektif budaya yang berkembang.
84
B. Sumber-sumber Pendidikan Akhlak Al-Quran menempati posisi sentral dalam tradisi tekstual Islam, namun bukan merupakan satu-satunya sumber, sebab ada sumber lain yang tidak kalah pentingnya yaitu Hadits. Hadits dianggap sebagai sumber yang penting dikarenakan Al-Quran hanya sedikit menjelaskan instruksi secara eksplisit. Dalam sejumlah ajaran, etika Al-Quran telah diungkapkan dengan istilah yang umum, dan dipraktikkan oleh kaum muslim karena telah mendapatkan instruksi dari Nabi SAW (Saeed, terj. Shulkhah dan Sahiron Syamsuddin, 2016:80-81). Selain ittu, dengan melihat berbagai kebutuhan manusia dan berbagai macam adat menjadikan Al Qur’an dan Hadits tidak cukup untuk dijadikan sebagai sumber akhlak. Oleh karena itu, ijtihad sangat diperlukan dalam menentukan arah yang tidak disebutkan dalam Al Qur’an dan Hadits. Ijtihad tidak dilakukan oleh sembarang orang, karena seseorang yang berijtihad harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Ketika syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka jika terdapat sesuatu yang tidak ada di dalam Al Qur’an dan Hadits, mereka diharuskan untuk melakukan ijtihad untuk menentukan suatu hukum tertentu, bahkan dalam perihal akhlak sekalipun. Berikut beberapa sumber dalam pendidikan akhlak: 1. Al Qur’an Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan yang paling utama dalam pendidikan Islam, dan pendidikan Islam mempunyai tujuan yang utama yaitu membentuk kepribadian yang baik atau pendidikan akhlak.
85
Al Qur’an juga merupakan kitab suci umat Islam yang keberadaannya menjadi petunjuk bagi umat Islam khususnya dan seluruh umat manusia pada umumnya. Sebagai petunjuk, Al Qur’an memuat berbagai aturan dalam dimensi kehidupan. Menurut Abdul Wahab Khallaf, isi kandungan dalam Al Qur’an dibagi dalam dua pokok pembahasan yaitu masalah akidah dan masalah amaliah yang mencakup ibadah dan muamalah (Hakim dan Jaih Mubarok, 2012:77). Dalam Al-Qur’an terdapat tujuan pendidikan yaitu membina manusia guna mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan Kholifah-Nya. Manusia dalam hal ini dipastikan memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Beberapa unsur tersebut memiliki daya potensi masing-masing, daya potensi yang dimiliki oleh akal akan menghasilkan ilmu, jiwa akan menghasilkan kesucian dan etika, dan jasmaninya akan menghasilkan keterampilan. Dari ketiga unsur tersebut, apabila dapat dibina dengan baik, akan menghasilkan makhluk yang mempunyai keseimbangan dalam dunia dan akhirat, ilmu dan iman. Maka dari itu, muncullah dalam pendidikan Islam dengan istilah adab al din dan adab al dunya (Shihab, 1992:173). Firman Allah tentang pendidikan dalam Al Qur`an Surat Al ‘Alaq ayat 1-5 yang artinya:
ِ اﻗـْﺮأْ ﺑِﺎﺳ ِﻢ رﺑﱢ َ ﱠ (٢) ﺴﺎ َن ِﻣ ْﻦ َﻋﻠَ ٍﻖ َ ْ َ َ ْ( َﺧﻠَ َﻖ اﻹﻧ١) ﻚ اﻟﺬي َﺧﻠَ َﻖ َ ﱠ٤) (اﻟﱠ ِﺬي َﻋﻠﱠﻢ ﺑِﺎﻟْ َﻘﻠَ ِﻢ٣) ﻚ اﻷ ْﻛﺮُم (٥)ﺴﺎ َن َﻣﺎ ﻟَ ْﻢ ﻳَـ ْﻌﻠَ ْﻢ َ اﻗـ َْﺮأْ َوَرﺑﱡ َ َ َ ْ(ﻋﻠ َﻢ اﻹﻧ
86
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (Q.S. Al-‘Alaq: 1-5) (Al Qur’an, t.th:537). Dari ayat-ayat tersebut, memberikan kesimpulan bahwa seolaholah Tuhan berkata hendaklah manusia meyakini akan adanya Tuhan Pencipta manusia (dari segumpal darah). Dari ayat tersebut pula, Allah memperkenalkan kepada manusia tentang istilah yang berkaitan dengan pendidikan yaitu iqra’ (bacalah), ‘allama (pengajaran), dan al qalam (pena atau alat tulis). Ketiga istilah tersebut mempunyai kaitan yang erat dengan pendidikan (Nata, 1997:12). Oleh karena itu, Al Qur’an dijadikan sebagai sumber pendidikan akhlak, baik dari segi dasar dalam menetapkan sesuatu maupun kisah-kisah yang dijadikan teladan berakhlaqul karimah. 2. Hadits Secara bahasa hadits memiliki arti al jadid (baru), al khabar (berita), dan al qorib (dekat). Secara terminologi, para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan hadits. Menurut ahli hadits, hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifat atau kebenaran Nabi SAW (Hassan, 1994:17). Sedangkan menurut jumhur ulama’, hadits adalah segala sesuatu yang dinukilkan dari Rasulullah SAW., sahabat atau tabi’in dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun ketetapan, baik semuanya itu dilakukan sewaktu-waktu saja, maupun lebih sering dan banyak diikuti
87
oleh para sahabat (Nata, 2013:237). Berbeda lagi menurut ulama’ ushul fiqh, menurutnya pengertian hadits hanya dibataskan pada ucapan-ucapan Nabi SAW yang berkaitan dengan hukum dan apabila mencakup perihal tingkah laku dan ketetapan beliau, maka menurutnya adalah Sunah bukan Hadits (Shihab, 1992:121). Hadits menjadi sumber ajaran yang kedua, memberikan perhatian yang amat besar terhadap pendidikan. Nabi SAW telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup (long life education), yang dibuktikan dengan perkataan Nabi SAW tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat (uthlubul ‘ilma min al mahdi ila allahdi). Selanjutnya, didukung oleh para ulama’ dengan memberitahukan untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Cina (uthlubul ‘ilma walau bishshin). Lebih dalam lagi, Nabi SAW menegaskan tentang kewajibannya dalam menuntut ilmu (tholabul ‘ilmi faridhotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin) (Nata, 1997:12). Diutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini adalah salah satunya mempunyai tujuan untuk memperbaiki moral atau akhlak manusia, sebagaimana hadits dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda:
إﻧﻤﺎ ﺑﻌﺜﺖ ﻻﺗﻤﻢ ﻣﺮﻣﻜﺎ اﻷﺧﻼق Artinya: “Sesungguhnya aku diutus tiada lain adalah untuk menyempurnakan akhlak”. (HR. Muslim) (Faruq, 2005: 121). Makna hadist ini sudah jelas, tujuannya sudah dapat dimengerti oleh umat muslim, yaitu menyempurnakan akhlak. Rasulullah SAW juga
88
seorang pendidik, yang telah berhasil membentuk masyarakat rabbaniy, masyarakat yang terdidik secara Islami. Bahkan Robert L. Gullick, Jr. dalam bukunya Muhammad The Educator mengakui akan keberhasilan Nabi Muhammad dalam melaksanakan pendidikan (http://mahadiraziz.blogspot.co.id/2012/05/sumber-dan-dasar-pendidikan-islam.html, diakses pada 20 Februari 2017, jam 16.33 WIB). Bahkan, dalam suatu riwayat dikatakan: “Sebaik-baik kamu adalah (yang hidup) generasiku, kemudian (generasi yang datang) sesudah mereka, lalu generasi yang datang sesudah mereka” (HR. Bukhori dan Muslim melalui Imran Ibn Al Husein) (Shihab, 2013:365). Hadits ini yang dimaksud dengan baik adalah karena pada zaman tersebut Nabi SAW masih hidup bersama mereka, dan karena mereka adalah para pejuang yang menegakkan fondasi Islam, serta menyaksikan turunnya wahyu, dan memiliki akhlak yang sangat luhur. Dengan demikian, hadits mempunyai eksistensi yang penting sebagai sumber dalam pendidikan akhlak. 3. Ijtihad Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata al jahdu dan al juhd yang berarti
bertenaga,
kuasa,
dan
daya.
Sedangkan
ijtihad,
berarti
menumpahkan segala kesempatan dan tenaga. Makna lainnya, berasal dari kata jahada, yaitu mencurahkan segala kemampuan dan menanggung beban. Secara istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat dzanni, dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya (Khoiriyah, 89
2013:77). Secara terminologi, para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan ijtihad. Menurut Al Allamah Al Khudlori, ijtihad yaitu memberikan kesanggupan untuk mengistinbathkan hukum syar’i dari yang telah dipandang dalil oleh syara’, yaitu kitabullah dan sunnatur Rasul (Mardani, 2015:142). Menurut ulama’ ushul fiqh, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengertian pada tingkat zhan mengenai hukum syara’. Sedangkan, Hasan Nasution dalam menerangkan ijtihad tidak membatasi hanya pada bidang fiqh saja, namun ijtihad merupakan pengerahan segala kemampuan untuk memikirkan apa saja yang tidak mendatangkan celaan. Pendapat ini seperti halnya dengan Adz Dzarwi, Fakhruddin Ar Razy, Ibnu Taimiyah, dan Muhammad Ar Ruwaih (Anwar, dkk., 2011:193). Ijtihad dalam hal ini meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah. Ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah yang di olah oleh akal yang sehat dan para ahli pendidikan Islam (ulama’). Ulama’ memahami Al Qur’an sejauh mana pengetahuan dan pengamalan
ilmiah
mereka
yang
kemudian
mereka
paparkan
kesimpulannya kepada masyarakat. M. Quraish Shihab memaparkan tentang ulama’ terkait dengan ungkapan “Para ulama’ adalah pewaris nabi” bahwa para ulama’ melalui pemahaman, pemaparan, dan pengamalan kitab suci mempunyai tugas untuk memberikan petunjuk dan
90
bimbingan kepada masyarakat guna mengatasi perselisihan-perselisihan pendapat, dan problem-problem sosial yang berkembang dalam masyarakat (Shihab, 1992:374-375). 4. Adat Istiadat Adat menjadi sumber akhlak, karena keberadaannya merupakan identitas suatu masyarakat atau bangsa. Dalam kaidah ushul fiqh adat dapat dijadikan sebagai sumber akhlak,
ٌاَ ْﻟ َﻌﺎ َدةُ ُﻣ َﺤ ﱠﻜ َﻤﺔ Artinya: “Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum” (As Saqaf, 2015:331). Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’at. Adat merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilakukan secara turuntemurun dimulai dari nenek moyang. Tradisi yang telah membudaya akan menjadi sumber dalam berakhlak dan berbudi pekerti seseorang.
اِ ْﺳﺘِ ْﻌ َﻤﺎ ُل اﻟﻨﱠﺎسِ ُﺣ ﱠﺠﺔٌ ﯾَ ِﺠﺐُ اﻟ َﻌ َﻤ ُﻞ ﺑِﮭَﺎ Artinya: “Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan” (Djazuli, 2006:84). Di
samping
itu,
manusia
dalam
berperilaku
selalu
mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain. Dalam proses ini, keluarga dan lingkungan tempat tinggal merupakan hal yang terdekat. Oleh karena itu, gambaran kehidupan yang berlangsung lama secara
91
turun-temurun dari nenek moyangnya yang telah menjadi tradisi diidentifikasikan sebagai perilaku dirinya. Ahmad Amin mengatakan bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai adat istiadat tertentu dan menganggap baik bila mengikutinya, sehingga apabila seseorang menyalahi adat istiadat itu sangat dicela dan dianggap keluar dari golongan bangsanya (Nata, 2008:87).
C. Konsep dan Tujuan Pendidikan Akhlak Manusia mempunyai tugas yang utama di muka bumi Allah SWT ini yaitu sebagai khalifah Allah SWT. Tugas seorang khalifah utamanya adalah mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Potensi yang dimaksud adalah potensi tertinggi yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain, yaitu daya akal (Bakhtiar, 2015:247). Konsep akhlak Islami merupakan akhlak yang menggunakan konsep dasar ketentuan Allah SWT., yaitu konsep akhlak Islami yang diberikan atau dijelaskan oleh mayoritas ulama’ (http://santrisuwung.blogspot.co.id/2013/10/sumber-sumber-akhlak.html diakses pada 28 Januari 2017, 01.04 WIB). Di dalam Al Qur’an, dapat diketahui bahwasanya konsep pendidikan yang dijelaskan adalah bentuk pembinaan terhadap manusia menuju penyucian jiwa (Shihab, 1992:172-173). Tentunya, term pembinaan dan penyucian jiwa ini, termasuk dalam konteks penyempurnaan akhlak. Bagaimana tidak? Rosulullah SAW., sang pembawa dan perantara wahyu yang turun dari Allah kepada umat-Nya melalui malaikat Jibril as., memiliki
92
misi khusus yaitu untuk memperbaiki akhlak atau menyempurnakan akhlak. Adapun bentuk penyempurnaan akhlak ini tetap tidak dipandang secara kontekstual, seseorang akan memiliki akhlak yang sempurna, karena hanya Nabi Muhammad SAW yang memiliki akhlak sempurna. Bahkan, ada sebuah pendapat yang mengatakan, Nabi SAW. adalah Al Qur’an yang berjalan. Maksudnya, apa yang dicerminkan oleh Nabi SAW., adalah cerminan dari ajaran yang terdapat di dalam Al Qur’an. Pada dasarnya, tujuan pokok adanya pendidikan akhlak adalah membentuk muslim berbudi pekerti, berperangai atau beradat-istiadat, bertingkah laku sesuai dengan ajaran Islam. Apabila ditilik, maka akan didapati bahwa pendidikan akhlak akan menjadi tolok ukur dalam beribadah, karena tujuan adanya ibadah adalah untuk menyempurnakan akhlak, dan apabila ibadah itu tidak membentuk akhlak yang baik, maka bisa jadi ibadah hanya berbentuk gerakan saja. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan akhlak adalah menyatukan antara ibadah dan akhlak (Anwar, 2010:25-27). Dengan demikian, salah satu kesimpulan dari semua ajaran-ajaran Islam adalah bentuk untuk menyucikan jiwa (Al Ashee, 2004:5). Selanjutnya, hakikat dari pendidikan adalah pembentukan kepribadian manusia, memanusiakan manusia dalam arti yang sesungguhnya. Karena itu pendidikan harus menyangkut seluruh potensi manusia, baik jasmani maupun rohani (Daulay, 2007:221-222). Manusia memiliki berbagai kebutuhan yang dituntut oleh adanya perkebangan zaman, dan pada saat itulah manusia
93
membutuhkan pendidikan fisik untuk menjaga kesehatannya. Manusia juga membutuhkan pendidikan etika untuk menjaga cara berperilaku yang sesuai. Manusia membutuhkan pendidikan dalam hal akal, untuk mencegah kebebasan dalam berfikir yang tidak sesuai dengan norma. Manusia juga membutuhkan pendidikan berbagai bidang ilmu untuk mengenal alam. Manusia pun juga membutuhkan pendidikan sosial agar dapat menempatkan dirinya sebagai makhluk yang sosial. Kebutuhan manusia yang sangat penting lainnya adalah pendidikan agama untuk membimbing rohnya menuju Allah SWT, serta manusia mempunyai kebutuhan dalam pendidikan akhlak agar perilakunya seirama dengan akhlak mulia (Anwar, 2010:42-43). Ibnu Miskawaih menerangkan tentang tujuan dari akhlak, yaitu agar seorang individu mendapatkan moralitas (khuluq) yang membuat seluruh perbuatan tersebut terpuji, sehingga menjadikan seorang individu tersebut memperoleh pribadi yang mudah, tanpa beban dan dibebani dalam segala kesulitan (Hajjaj, 2013:224). Maksud dari Ibnu Miskawaih adalah agar seseorang menjalankan akhlak mulia tanpa adanya unsur paksaan baik dari faktor dalam maupun luar, karena yang demikian sudah tertata dengan kokoh yang menjadi karakter di dalam dirinya. Menurut Hassan Langgulung, tujuan dari pendidikan agama (akhlak) harus mengakomodasikan dalam tiga fungsi utama dari agama, yaitu, fungsi spiritual yang berkaitan erat dengan akidah dan iman, fungsi psikologis yang berkaitan dengan tingkah laku individual termasuk nilai-nilai akhlak yang membawa derajat manusia ke derajat yang sempurna, dan fungsi sosial yang
94
berkaitan dengan aturan-aturan yang menghubungkan individu yang satu dengan yang lainnya atau dalam masyarakat tertentu, dimana masing-masing mempunyai hak-hak dan tanggung jawabnya untuk menyusun sebuah masyarakat yang harmonis dan seimbang (Nata, 1997:46). Dengan begitu, maka akan diperoleh sebuah akhlak yang sesuai dengan tujuan adanya pendidikan akhlak, dimana dalam merumuskannya tidak sekehendak individual, namun diletakkan pada nilai-nilai yang berlaku.
D. Unsur-unsur Pendidikan Akhlak 1. Pendidik Dalam pandangan Islam, hakikat ilmu berasal dari Allah SWT, sedangkan proses dalam memperolehnya adalah dari belajar kepada guru (Nata, 1997:80). Adanya pendidik dalam proses belajar sangatlah penting, maka
secara
umum,
pendidik
adalah
orang
yang
memikul
pertanggungjawaban mendidik supaya peserta didik tunduk dan patuh kepada hukum-hukum Allah guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat (Ramayulis dan Nizar Samsul, 2009:157). Tidak hanya itu, pendidik juga merupakan orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik afektif, kognitif, maupun psikomotorik (Iqbal, 2015:622). Dengan demikian pendidik selain mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi, juga mentransfer nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspeknya (Widagdho, dkk., 2001:252).
95
2. Peserta Didik Dalam pendidikan Islam peserta didik adalah individu yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik psikologis sosial dan relegius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat. Dalam pendidikan Islam, terdapat beberapa istilah bahasa Arab tentang peserta didik, seperti: Murid, yang berarti orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu, tilmidz yang berarti murid, dan thalab ‘ilmi yang menuntut ilmu, pelajar atau mahasiswa. Beberapa istilah di atas, secara keseluruhan membahas tentang seseorang yang sedang menempuh pendidikan (Nata, 1997:79-80). Maka dari itu, dilihat dari segi kedudukannya, peserta didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju arah titik optimal kemampuan fitrahnya (Arifin, 2008:144). Menurut Asma Fahmi, sebagaimana yang dikutip oleh Samsul Nizar (Nizar, 2002:50-51), bahwa tugas dan kewajiban peserta didik adalah: a. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu. b. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keutamaan. c. Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat.
96
d. Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya. e. Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah dalam belajar. Dari beberapa karakteristik di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa peserta didik merupakan salah satu obyek sekaligus subyek pendidikan
yang
harus
memperhatikan
tugas
dan
kewajiban-
kewajibannya sehingga ilmu yang didapatkannya bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat. 3. Metode Pendidikan Akhlak Menurut
Ibnu
Kholdun,
metode
yang
bermanfaat
dalam
mengajarkan ilmu adalah apabila dilakukan secara berangsur-angsur atau sedikit demi sedikit. Dalam mengajar, pertama yang diberikan yaitu menjelaskan cabang-cabang pembahasan yang dipelajari, kemudian keterangan yang digunakan juga harus secara umum dengan tolok ukur daya tampung dan daya pikir dari calon penerima ilmu. Apabila pembahasan pokok telah dikuasai, maka calon penerima ilmu harus memahami asal usul dari pembahasan pokok. Jika dalam pembahasan pokok belum dikuasai, maka harus diulangi sampai tingkat penguasaan. Lebih lanjutnya, Ibnu Kholdun menerangkan, apabila ada calon penerima ilmu yang mempunyai kesulitan di dalam memahami, maka bisa dikatakan metode yang dipakai dalam menyampaikan ilmu kurang sesuai dan tidak memiliki penguasaan terhadap ilmu jiwa (Nata, 1997:177).
97
Metode pendidikan yang dimaksud di sini adalah dalam upaya untuk menanamkan akhak kepada individu. Berikut beberapa metode yang digunakan dalam mendidik akhlak: a. Metode Keteladanan dan Pembiasaan Pendidikan akhlak dengan teladan berarti pendidikan dengan memberi contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berfikir dan sebagainya. Keteladanan merupakan metode yang paling baik dalam rangka bimbingan orang tua kepada anaknya. Ibnu Sina mengakui adanya pengaruh mengikuti atau meniru atau contoh teladan yang baik dalam proses pendidikan dikalangan anak pada usia dini terhadap kehidupan mereka, karena secara thabi’iyah anak mempunyai kecenderungan dalam mengikuti dan meniru (mencontoh) segala yang dilihat, dirasakan, maupun yang didengarnya (Iqbal, 2015:12). Setiap anak yang akan menjalani proses kehidupannya, mereka memerlukan keteladanan yang memiliki akhlaqul karimah. Keteladanan dapat diperoleh dari orang tuanya. Apabila anak dibesarkan dengan bimbingan akhlak yang baik dari orang tua serta lingkungan muslim yang baik, maka ia akan mendapatkan banyak contoh atau keteladanan yang baik untuk perkembangan jiwanya. Kedudukan orang tua merupakan sentral figur bagi anak-anaknya. Apabila orang tua memberi contoh yang kurang baik dalam perilakunya, maka seorang anak akan sulit berbuat yang baik. Keteladanan sangat terkait dengan nilai-nilai moralitas dan integritas
98
(Gojali, 2013:242). Seseorang memiliki kebutuhan psikologis untuk mengikuti dan mencontoh kepada orang yang lebih tinggi atau lebih tua, lebih dicintai, dan lebih dihargai. Sehingga akan menumbuhkan kebiasaan yang menempel kemudian membentuk kepribadian seseorang tersebut. b. Metode Kisah Metode pendidikan akhlak yang masyhur dan terbaik salah satunya adalah dengan bentuk kisah atau cerita. Seperti yang diungkapkan oleh M. Qurais Shihab, bahwasanya salah satu metode yang digunakan dalam mengarahkan seeorang adalah dengan adanya kisah-kisah yang terdapat di dalam Al Qur’an (Shihab, 1992:175). Peranan kisah dalam pembentukan akhlak itu sudah dikenal sejak dahulu, dan Al Qur’an datang dengan kisah-kisah pendidikan yang sangat penting artinya dalam kehidupan manusia dalam sisi akhlak dan jiwa. Kisah itu mampu menyentuh jiwa jika didasari oleh ketulusan hati yang mendalam. Dengan kisah itu juga mampu mempengaruhi seseorang yang membacanya atau mendengarnya, dengan demikian, seseorang akan tergerak hatinya untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan. Metode kisah ini, menurut Muhammad Qutb, bahwa cerita memiliki bimbingan yang komplit, yaitu untuk pendidikan akal, mental dan jasmani melalui teladan dan nasihat yang ada di dalam kisah tersebut. Muhammad Qutb juga membagi kisah ke dalam
99
beberapa kategori yaitu cerita yang menonjolkan tempat, orang, dan peristiwa, cerita yang menampilkan suatu contoh kehidupan sebagai teladan dan ditiru, dan cerita yang melukiskan fakta yang sebenarnya. Selanjutnya, Muhammad Qutb menggambarkan tujuan dari adanya cerita yang dirumuskan, yaitu sebagai tujuan keagamaan, pendidikan, dan hiburan (Iqbal, 2015:119). c. Metode Targhib dan Tarhib Metode targhib dan tarhib dalam pendidikan modern ini dikenal dengan istilah reward and punishment yang mempunyai arti penghargaan
dan
hukuman.
Ibnu
Sina
menerangkan,
bahwa
penghargaan adalah sebagai bentuk motivasi yang baik bagi peserta didik, namun dalam keadaan yang tidak memungkinkan lagi, metode tarhib diperlukan dengan cara diberi peringatan dan ancaman lebih dulu agar kembali kepada perbuatan yang baik. Selanjutnya, apabila sudah tidak bisa, maka cukup diberi pukulan sekali saja, tahap ini dilakukan setelah adanya peringatan keras yang tidak bisa memulihkan keadaan dan tahap ini dijadikannya sebagai alat penolong untuk menimbulkan pengaruh yang positif terhadap peserta didik (Iqbal, 2015:13). Abdullah Nasikh Ulwan memberikan kesimpulannya tentang pemakaian metode hukuman (tarhib), bahwa dengan metode ini, anak akan jera, dan berhenti untuk melakukan penyimpangan. Anak akan mempunyai perasaan dan kepekaan yang menolak untuk mengikuti
100
hawa nafsunya untuk melakukan berbagai hal yang menyimpang. Tanpa adanya peringatan, maka anak akan terus-menerus melakukan berbagai penyimpangan (Ulwan, 1995:182). Penggunaan metode berdasarkan kepentingan masing-masing, sesuai dengan pertimbangan bahan yang akan diberikan serta kebaikan dan keburukannya masing-masing. Pemilihan dan penggunaan metode dalam pendidikan agama Islam harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang mendasarinya. Ibnu Sina menyebutkan karakteristik metode yang akan diberikan yaitu, pertama, pemilihan dan penerapan metode harus sesuai dengan karakteristik materi, kedua, metode harus disesuaikan dengan perkembangan psikologis, bakat, dan minat peserta didik, ketiga, metode yang diberikan tidak bersifat kaku, akan tetapi dapat berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik, keempat, kesesuaian dalam memilih metode akan berpengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran yang berlangsung (Iqbal, 2015:13). 4. Materi Pendidikan Akhlak Dalam siklus kehidupan manusia, masa kanak-kanak merupakan sebuah periode yang paling penting, namun sekaligus juga merupakan suatu periode yang sangat berbahaya dalam artian sangat memerlukan perhatian dalam kesungguhan dari pihak-pihak yang bertanggungjawab mengenai kehidupan anak-anak. Sebab, seorang anak pada hakekatnya telah tercipta dengan kemampuan untuk menerima kebaikan maupun keburukan kedua orang tuanya yang membuatnya cenderung ke arah salah
101
satu dari keduanya. Oleh karena itu, penanaman pendidikan pada masa anak sangatlah penting agar anak memiliki bekal dalam hidup selanjutnya. Pendidikan yang relevan ditanamkan pada masa ini adalah pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak harus dilakukan sejak dini, sebelum kerangka watak dan kepribadian seorang anak yang masih suci diwarnai oleh pengaruh lingkungan yang belum tertentu paralel dengan tuntunan agama (Nasar, 1991:44). Abdullah Nasikh Ulwan menyebutkan beberapa materi pendidikan akhlak terhadap individu, yaitu pendidikan keimanan (agar peserta didik memiliki dasar agama yang kuat), pendidikan akhlak (untuk membimbing nafsu), pendidikan jasmani (agar memiliki keterampilan), pendidikan rasio (agar terlatih dalam memecahkan masalah), pendidikan kejiwaan (untuk menjaga hati supaya sehat hatinya/jiwanya), pendidikan sosial kemasyarakatan (untuk mengatur cara dalam bermasyarakat), serta pendidikan seksual (untuk melatih mental peserta didik) (Muchtar, 2005:15-18). 5. Lingkungan Pendidikan Akhlak Setiap individu sudah pasti memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pengalamannya. Pengalaman itu terjadi karena adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya. Maka dari itu, lingkungan memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan peserta didik. Dengan kata lain, lingkungan merupakan latar tempat
102
berlangsungnya
pendidikan.
Berikut
beberapa
lingkungan
dalam
pembentukan akhlak: a. Lingkungan Keluarga Keluarga merupakan lingkungan pertama yang akan dihadapi oleh peserta didik. Dari sudut pandang paedagogis, keluarga diartikan sebagai lembaga pertama dan utama dengan dialami seseorang dimana proses belajar yang terjadi tidak berstruktur dan pelaksanaanya tidak terikat oleh waktu (Joesoef, 1992:64). Hal ini, memberikan tuntutan kepada seluruh keluarga atau kerabat, lebih khususnya orang tua, supaya memberikan teladan yang baik bagi anaknya. Al-Ghazali menerangkan, anak adalah amanah orangtuanya, hati bersihnya adalah permata murni, yang kosong dari setiap tulisan dan gambar (Rabbi & Muhammad Jauhari, 2006:106). Oleh karena itu, anak yang mempunyai keahlian dalam meniru jejak orang tuanya harus memberikan teladan yang baik kepada anak turunnya, agar setiap tulisan yang digambarkan mencerminkan akhlak yang mulia. b. Lingkungan Sekolah Lingkungan sekolah merupakan tempat bagi seorang individu dalam memperoleh ilmu. Dalam hal ini, yang dituntut untuk memberikan pendidikan yang baik adalah guru, karena guru dalam lingkungan sekolah mempunyai kedudukan sebagai orang tua kedua.
103
c. Lingkungan Masyarakat Lingkungan ini sangatlah luas, sehingga individu sangat membutuhkan pengawasan dan pengontrolan terhadap perkembangan individu tersebut. Di samping itu, dengan adanya pengawasan dan pengontrolan agar lingkungan masyarakat menjadi lingkungan yang tepat untuk pembentukan kepribadiannya.
E. Hubungan Akhlak terhadap Ilmu Apabila menengok dari segi kedudukan akhlak, maka akan tampak bahwa akhlak adalah jiwa peradaban atau kesusilaan yang ditanamkan Allah SWT dalam diri manusia sebagai faktor untuk mengukur tinggi rendahnya atau dalam dangkalnya manusia. Berbeda dengan zaman dahulu yang masih menganut sistem rimba atau siapa saja yang memiliki kekuatan besar dianggap paling berkuasa dan mengabaikan nilai moralitas. Namun, ketika manusia mendapatkan ilmu, maka mulailah ilmu itu dipakai sebagai ukuran tinggi rendahnya derajat manusia, dan ketika ilmu telah merata, maka ukuran yang tepat dipakai untuk menentukan keutamaan dan kekurangan adalah akhlak (Al Ashee, 2004:10-11). Akhlak memberikan peranan penting dalam segi fondasi kehidupan, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kolektif. Maka dari itu, di dalam Al Qur’an dan Hadits banyak memberikan penekanan terhadap akhlak (Anwar, 2010:23). Ibnu Miskawaih menerangkan, kedudukan dari akhlak mengungguli semuanya, karena berkaitan erat dengan manusia yang
104
merupakan entitas termulia berikut perilaku mulia yang seharusnya ada padanya (Hajjaj, 2013:224). Namun, kajian akhlak yang selama ini ada, apabila tidak diimplementasikan dengan cara melatih dirinya, maka tidak akan bermanfaat bagi dirinya. Al Quran sangat menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu dan amal (akhlak). Fazlur Rahman mengatakan dalam karyanya
bahwa, ‘ilm
mempunyai arti pengetahuan melalui belajar, berfikir, pengalaman dan yang lainnya (Rahman, 1995:198-199). Dari pendapat Fazlur Rahman ini, ilmu memiliki arti sebuah pekerjaan yang bersifat komprehensif tapi juga valueoriented dan berarti pengetahuan terhadap makhluk Allah SWT maupun Sang Pencipta. Ilmu menekankan orientasi praktis dengan memberikan penekanan yang sama terhadap amal. Amal yang didasarkan pada pengetahuan dan keyakinan akan menciptakan sebuah masyarakat yang baik. Ilmu tanpa dibarengi dengan amal dianggap tidak memiliki faedah kemanusiaan. Pengetahuan yang benar dan perbuatan yang baik merupakan sintesa yang paling ditekankan. Masyarakat kapitalis sering kali mengeksploitasi pengetahuan untuk kepentingan pribadi mereka. Pengetahuan yang dijadikan sebagai
ladang
industri
merupakan
penyelewengan
dari
nilai-nilai
kemanusiaan (Engineer, Terj. Tim FORSTUDIA, 2004:66-69). Kebenaran dalam beragama adalah dengan pembuktian praktik keagamaan, namun dalam praktik keagamaan telah membuktikan kebenaran empiris dari pengalaman empiris sehingga kesadaran ilmiah dan kesadaran agama mempunyai titik temu (Bakhtiar, 2015:250). Dalam hal ini, kesadaran
105
agama berkaitan erat dengan akhlak dan kesadaran ilmiah berkaitan erat dengan ilmu. Jadi, dapat disimpulkan akhlak dan ilmu mempunyai peranan yang sama pentingnya. Dalam perkataan yang lain yaitu dari Imam Maliki, bahwa muslim yang melupakan tasawuf dalam belajar syari’ah dianggap munafik, muslim yang mendalami tasawuf dan melupakan syari’ah dianggap sebagai kafir zindiq sedangkan muslim yang mempelajari dan mengamalkan keduanya akan mendapatkan kesempurnaan dalam berislam (Dhofier, 2011:227). Akal merupakan penghubung antara immateri dan materi. Semakin tinggi nilai dan kedudukan akal, akan semakin immateri, dan sebaliknya, semakin rendah nilai dan kedudukan akal, maka semakin bersifat material (Al Makin, 2016:193). Maka dari itu, jika ada seseorang yang mempunyai nilai tinggi dan kedudukan akal yang tinggi, akan semakin menjauh dari segala bentuk materi (hawa nafsu), dan jika ada seseorang yang memiliki rendahnya nilai dan kedudukan akal, akan semakin mendekat pada bentuk materi. Materi dalam hal ini, adalah hawa nafsu, seperti: kekuasaan, harta, dan sebagainya. Namun, jika ada seseorang yang memiliki tingginya kedudukan akal, tetapi masih dekat dengan materi, dapat disipulkan seseorang itu tidak mempunyai ketinggian dalam hal nilai ilmu. Nilai mengandung arti pemaknaan dalam memahami sesuatu yang kemudian dibuktikan dengan bentuk amalan. Islam mempertautkan akhlak dengan aqaid dengan menghendaki amalan yang nyata (Al Ashee, 2004:13).
106
Dalam konteks modern ini, akhlak memiliki urgensi yang sangat penting. Mengingat kehidupan modern ini, cenderung dapat menyebabkan dehumanisasi (hilangnya nilai-nilai kemanusiaan) dan aliensi (terasingkan). Oleh sebab itu, akhlak menjadi sebuah keharusan untuk dimiliki bagi setiap individu. Namun, fenomena ini tidak bisa dinafikan dari kenyataan, karena fenomena ini dapat terjadi apabila minimnya pemahaman masyarakat tentang hakikat hidup yang sebenarnya. Pemahaman terhadap kehidupan yang sempit akan mengakibatkan halalnya berbagai cara untuk memenuhi kebutuhannya. Apabila ini dimiliki oleh seorang pejabat, maka kemungkinan besar akan muncul pemimpin yang hanya mementingkan pribadinya sendiri (Jamil, 2013:26). Seseorang yang dapat mengimbangi antara ilmu dan akhlak sebagai satu kesatuan yang utuh, maka tidak bisa diragukan lagi akan akhlaqul karimahnya.
107
BAB IV PEMIKIRAN PENDIDIKAN AKHLAK MUHAMMAD SHOLEH DARAT AL SAMARANI
A. Analisis Konsep Pendidikan Akhlak Muhammad Sholeh Darat Al Samarani Pendidikan merupakan proses untuk memanusiakan manusia, atau pendidikan bisa dikatakan sebagai proses humanisasi dalam menghargai segala potensi yang dimiliki oleh manusia. Maka dari itu, proses humanisasi
dalam
pendidikan
dimaksudkan
sebagai
upaya
mengembangkan manusia sebagai makhluk yang tumbuh dan berkembang dengan segala potensi (fitrah) yang dimilikinya. Penanaman yang demikian ini sangatlah penting, mengingat untuk belajar menempati posisi yang cukup vital ini sering kali mendapatkan berbagai kesulitan. Hal ini dalam penjelasan Kiai Sholeh Darat dapat disimpulkan, manusia sering kali mendapatkan ujian ketika berurusan dengan kesenangan dunia yang timbul karena nafsu dalam diri seseorang (Darat, 1317 H:141). Sedangkan proses belajar dalam Islam, menghendaki terciptanya belajar yang tertanam secara kuat dalam kepribadian seseorang yang kemudian tercermin dalam perbuatan yang nyata. 1.
Eksistensi Akhlak Kiai Sholeh Darat dalam membahas tentang akhlak lebih cenderung ke dalam pengungkapan makna tersirat yang terkandung di dalamnya atau bisa disebut dengan tasawuf. Seperti dalam beberapa
108
karya-karya tentang akhlak, Kiai Sholeh Darat selalu memberikan penjelasan mengenai sesuatu yang tersirat di dalamnya. Dalam kitab Minhajul Atqiya’, Kiai Sholeh Darat menerangkan, “Ngelmu ingkang ngaweruhi tingkah polahe ati ruhani lan sifate ati ruhani sangking sifat mahmudah lan madzmumah” (Darat, 1325 H:9). Akhlak yang diterapkan oleh Kiai Sholeh Darat, yaitu dengan menghadirkan hati di dalam beramal. Kehadiran hati ini sangat ditekankan oleh Kiai Sholeh Darat, karena ketika gerakan jasmaniyahnya melakukan sesuatu, maka gerakan ruhaniyahnya mengiringi aktivitas jasmaniyahnya tersebut. Kiai Sholeh Darat dalam upayanya untuk menghadirkan hati ketika beraktivitas maupun beribadah, agar dapat membersihkan hati dari sifat-sifat madzmumah dan menggantinya dengan sifat yang mahmudah.
Kiai
Sholeh
Darat
menjelaskan,
“Kerono
arah
ngothongaken qolbu arruhani sangking aghyar lan den enggonenggoni kelawan sifat mahmudah” (Darat, 1325 H:9). Inilah yang menjadi tujuan dari Kiai Sholeh Darat dengan ditanamkannya akhlak ke dalam berbagai aktifitas maupun beribadah, agar mampu menimbang nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai aktivitas dan ibadah yang dilakukan. 2.
Sumber Akhlak Melihat dari sudut pandang Kiai Sholeh Darat, maka sumber yang menjadi ukuran dalam menentukan akhlak itu baik atau buruk adalah bersumber dari hati. Hati dalam pembahasan Kiai Sholeh Darat
109
sangat rentan untuk berbuat yang tidak sesuai, karena adanya nafsu syahwat yang menjadikan hati untuk berbelok. Pada hakikatnya hati itu adalah awal mula adanya agama dan tempat bersandar dalam mengarungi jalan (haqiqate ati iku asal agama lan pendemene toriqote wong kang podo salikin kabeh) (Darat, 1422 H:2). Kiai Sholeh Darat menerangkan, hati itu mempunyai empat sifat yaitu pertama, menempati sifat amarah ketika marah (enggonenggoni sifate satugalak nalikane muring-muring), kedua, menempati sifat kehewanan ketika menuruti nafsu syahwat (enggon-enggoni sifate kebo sapi nalikane nuruti syahwat), ketiga, menempati sifat syaithon ketika menuruti keinginan syaithon (enggon-enggoni sifate syaithon nalikane nuruti karepe syaithon), keempat, menempati sifat ketuhanan (enggon-enggoni sifate pengeran nalikane demen luhur lan sengit ino lan demen ngelmu sengit bodo) (Darat, 1422 H:3). Maka dari itu, dalam pembahasan Kiai Sholeh Darat terdapat beberapa sumber yang dijadikan sebagai tolok ukur dalam menilai akhlak. Di samping untuk menilai akhlak mahmudah atau akhlak madzmumah, juga dijadikan sebagai penyempurna dalam beraktifitas maupun beribadah. Sumber yang dikemukakan oleh Kiai Sholeh Darat yaitu, a.
Syari’at Syari’at merupakan hukum yang berasal dari Allah SWT dan Rasulullah SAW. atau bisa dikatakan syari’at adalah Al
110
Qur’an dan Al Hadits. Kiai Sholeh Darat memberikan uraian tentang syari’at, “Mongko artine ngelmu syari’at iku olehe ngelakoni mukmin lan olehe manut kelawan agamane Allah Subhanahu wa Ta’ala” (Darat, 1325 H:46). Syari’at dilakukan oleh anggota dzahir manusia, yang kemudian menjadi bentuk aktifitas dan ibadah. Syari’at dilakukan itu agar seseorang bisa menghilangkan maksiat dari hatinya seseorang tersebut, Kiai Sholeh Darat melanjutkan penjelasannya, “Ngelmu syari’at iku supoyo ilango saking atine salik petenge maksiat” (Darat, 1325 H:59). Dengan pemaknaan tersebut, maka syari’at meliputi segala lini aspek kehidupan. Syari’at bukan hanya tentang shalat, zakat, puasa dan haji semata. Namun lebih dari itu, syari’at merupakan aturan dalam kehidupan yang mengantarkan manusia menuju realitas sejati. Syari’at merupakan titik tolak keberangkatan dalam perjalanan ruhani manusia. Seseorang harus mengokohkan amaliah syari’atnya dengan hakikat, karena hakikat adalah hasil dari bentuk amaliah dari syari’at. Kiai Sholeh Darat menjelaskan, “Ngelmu haqiqat iku barang kang wus hasil saking ta’rif sangking berkate syari’at” (Darat, 1325 H:46). Maka dari itu, ketika seseorang bersuci, menurut Kiai Sholeh Darat, jasmani dan rohani itu harus disucikan, karena di
111
antara keduanya mempunyai keterkaitan yang erat. Lanjutnya Kiai Sholeh Darat mengumpakan, “Mongko badan dzahir iku ‘ibarote ‘alamus syahadah, tegese ‘alam ketingal koyo bumi, lan qalbur ruhani iku ‘ibarote ‘alamul malakut, tegese ngalam kang ora ketingal, koyo luhure langit” (Darat, t.th:13). b.
Adat Istiadat Kiai Sholeh Darat dalam menarik kesimpulan tentang adanya baik dan buruk tidak hanya menyandarkannya dengan syari’at, namun juga dengan melihat kebiasaan yang sudah melekat di dalam masyarakat. Kiai Sholeh Darat mengatakan, “Lan meluho ‘adate negoro sekirane ora nulayani syari’at” (Darat, 1374 H:34). Kalimat itu Kiai Sholeh Darat sampaikan, karena masuknya budaya barat dalam kehidupan sehari-hari mempengaruhi nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat. Jadi, tradisi di Nusantara ini harus dijaga demi mengukuhkan nilai budaya yang terdapat di masyarakat saat itu. Seperti contoh dalam menjaga tradisi, Kiai Sholeh Darat melarang masyarakat untuk menyerupai apa yang dilakukan penjajah dan dalam hal berpakaian seperti kaum penjajah pada saat itu. Hal ini dijelaskan dalam kitab Majmu’at Asy Syari’at (Darat, 1374 H:24-25), “Lan haram ingatase wong Islam nyerupani penganggone wong liyo agama Islam senadyan atine ora demen” (Darat, t.th:24-25).
112
Model berpakaian yang dimaksudkan oleh Kiai Sholeh Darat adalah seperti jas, topi, dan dasi. Selain model berpakaian, budaya minuman keras juga memberikan pengaruh yang besar, karena di samping merupakan minuman yang haram untuk dikonsumsi bagi umat Islam juga dapat menghilangkan akal sehat mereka. Kiai Sholeh Darat mengatakan, “Utawi artine ngrekso ‘akale iku mongko arep ngedohi barang kang ngilangaken akal koyo arak lan endi-endi barang kang mendemi” (Darat, 1374 H:34). Semakin
meluasnya
pengaruh
dalam lingkungan
kehidupan
kehidupan
seperti
Barat
kehidupan
tradisional,
cara
bergaul,
Barat
membawa
tata
gaya hidup,
cara
berpakaian dan pendidikan menjadi hal biasa di dalam masyarakat. Maka dari itu, selain masyarakat pemerintah juga
harus berperan dalam hal ini untuk membantu membina dan mengembangkan nilai nilai adat kebudayaan nasional.
3.
Klasifikasi Akhlak a.
Akhlak Mahmudah Sifat mahmudah adalah sifat terpuji yang sesuai dengan syara’ atau hukum Allah SWT dan Rasul-Nya yang dianjurkan kepada manusia. Kiai Sholeh Darat dalam Munjiyat menjelaskan, “Sifat mahmudah tegese kang pinuji lan kang wajib ngelakoni ingatase mukmin” (Darat, 1422 H:65). Kiai Sholeh Darat mengemukakan sepuluh sifat mahmudah yaitu:
113
1) Taubat Adalah upaya untuk kembali kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dari perbuatan maksiat. Menurut Kiai Sholeh Darat taubat harus berunsur meninggalkan, menyesal, dan tidak mengulangi perbuatan itu lagi. “Tegese arep aninggal ing sekabehane doso lan serto getun ingatase barang kang wus kelakon saking doso kang wus den lakoni lan sertane nejo ing dalem atine ora pisan-pisan baleni maring kelakuan maksiat kang wus kelakon” (Darat, 1422:66). 2) Sabar Sabar menurut Kiai Sholeh Darat adalah menahan diri dari sesuatu yang tidak disukai oleh nafsu syahwat ketika dibutuhkan (angempet nafsune saking betahaken ing barang kang ora den demeni dene nafsu). Kiai Sholeh Darat berpendapat, bahwa sabar merupakan buah dari taqwa, karena sabar merupakan pangkalnya dari iman (sabar iku ratune iman, kerono utamane sabar iku taqwa, lan hasile taqwa iku kelawan sabar) (Darat, 1422 H:77-78). Lebih lanjutnya Kiai Sholeh Darat menjelaskan, ketika seseorang berhasil dari melakukan sabar, maka harus diiringi dengan syukur kepada Allah SWT. 3) Al Khouf wa Al Raja’ Kiai Sholeh Darat mengartikan al khouf wa al raja’ yaitu takut dan harapan. Maksudnya, takut terhadap
114
hilangnya iman dan Islam dan mengharap untuk diberikan ketetapan taufiq dan hidayah-Nya sampai Allah SWT mencabut nyawa kita. Kiai Sholeh Darat menyebutkan, “Wedi saking kecabute iman lan Islame lan ngarepngareo tetepe peparinge taufiq lan hidayah tumeko mati” (Darat, 1422 H:82). 4) Al Faqir wa Al Zuhd Dalam pandangan Kiai Sholeh Darat, faqir adalah keadaan seseorang yang tidak mempunyai barang yang dibutuhkan dan diinginkan (Ora duwe barang kang mesthi den karepaken lan den hajataken), dan Zuhud adalah keadaan seseorang ketika datang suatu nikmat kepadanya, maka benci dan susah (sengit lan susah) menghampirinya, karena takut akan cela dan fitnah (olone arto lan fitnahe arto) yang datang darinya (Darat, 1422 H:94). 5) Al Tauhid wa Al Tawakal Adalah menyucikan diri kepada Allah SWT (nyuceaken ing Allah) dan memasrahkan diri kepada Allah SWT, karena sifat keagungan yang dimiliki-Nya (Amasrahaken awake maring liyane kang ngluwihi maring deweke). Lebih jelasnya Kiai Sholeh Darat menjelaskan, bahwa tawakal mempunyai tiga tingkatan, yaitu tawakal terhadap Allah SWT dalam segala perkara, tawakal terhadap Allah SWT seperti layaknya anak kecil yang diasuh oleh ibunya, dan tawakal terhadap
115
Allah SWT seperti layaknya mayit atau jenazah ketika diurusi (Darat, 1422 H:113-114). 6) Al Mahabbah wa Al Syauq wa Al Ridlo Adalah mencintai, merindukan, dan ridlo dengan hukum Allah SWT. Sifat demikian ini, pada intinya adalah cinta kepada Allah, karena ketika seseorang rindu dan ridlo, maka hal yang mendasarinya adalah sifat cintanya kepada Allah SWT. Kecintaan terhadap Allah SWT menurut Kiai Sholeh Darat, “Lan setuhune demen ing Allah iku dadi syarate iman” (Darat, 1422 H:118). 7) Al Niat wa Al Ikhlas wa Al Sidqu Menurut Kiai Sholeh Darat, “Niat lan ikhlas lan sidiq tegese niat lan ikhlas niate lan sidiq atine” (Darat, 1422 H:126). Maksudnya, Kiai Sholeh Darat menekankan agar niat yang
lepas
mengandung
keikhlasan
dan
hatinya
membenarkan apa yang akan dilakukan, karena menurut Kiai Sholeh Darat setiap niat yang tidak diiringi dengan hal tersebut akan menimbulkan riya’, “Utawi niat ora kelawan ikhlas iku riya’ arane” (Darat, 1422 H:127). 8) Al Muhasabah wa Al Muroqobah Kiai Sholeh Darat menjelaskan Al Muhasabah wa Al Muroqobah yaitu, “Arep angiro-ngiro ing awake sedurunge ono hisab” (Darat, 1422 H:138). Kiai Sholeh Darat
116
menegaskan bahwasanya sifat demikian ini, harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan hati-hati dalam mengelola nafsu dan tingkah laku. Allah SWT telah memberikan bekal kepada kita berupa ruh dan dilengkapi dengan adanya akal dan
pikiran.
Maka
mengintegrasikannya
dari
itu,
agar
seseorang
mampu
harus
melawan
bisa nafsu
syahwatnya, dan mengubahnya menjadi nafsu yang baik. 9) Al Tafakkur Al tafakkur adalah mengangan-angan dan memikirkan kembali asal muasal dari sesuatu yang terjadi, “Al tafakur tegese angen-angen lan mikir-mikir kedadeane sewiji-wiji” (Darat, 1422 H:147). Kiai Sholeh Darat menyimpulkan dari beberapa firman Allah SWT dan Hadits Rasulullah SAW dalam hal keutamaan bertafakur menjadi empat perkara (Darat, 1422 H:149-151), yaitu: a) Bertafakur terhadap anggota tubuh. b) Bertafakur terhadap ketaatan kepada Allah SWT. c) Bertafakur apakah sifat tercela masih ada dalam kesehariannya. d) Bertafakur apakah sifat terpuji telah terbentuk dalam diri kita.
117
10) Dzikrul Maut wa Ma Ba’daha Adalah
mengingat-ingat
kematian
yang
akan
menjemput dan apa yang terjadi setelah datangnya kematian. Menurut Kiai Sholeh Darat, dengan mengingat kematian, akan menjadikan manusia termotivasi untuk semakin bertambah baik (ziyadatul khoir). Kiai Sholeh Darat menegaskan, “Ora manfa’at ngeleng-ngeleng pati selagine ono ing dalem atine demen nuruti syahwat lan nafsu lan demen dunyo, balik manfa’ate ngeleng-ngeleng pati iku arep kothong atine saking kebak dunyo, mongko dadi nglabeti ing dalem ilinge pati kelawan sregep taubat lan sregep ‘ibadah lan ora pisan-pisan atine demen dunyo kerono eleng yen bakal mlebu kubur” (Darat, 1422 H:158). b. Akhlak Madzmumah Di samping Kiai Sholeh Darat menjelaskan tentang akhlak mahmudah, Kiai Sholeh Darat juga menjelaskan tentang sifat madzmumah sebagai sifat yang harus diketahui dan ditinggalkan oleh seseorang. Dalam kitab Munjiyat dijelaskan, “Sifat madzmumah arane wajib ingatase mukallaf ngaweruhi lan tinggal” (Darat, 1422 H:65). Beberapa sifat madzmumah yang dikemukakan oleh Kiai Sholeh Darat diantaranya adalah: 1) Mudkhola Asy Syaithon Adalah manjinge syaithon di dalam hati manusia. Syaithon berusaha untuk mengelabuhi hati manusia yang murni, karena hati merupakan inti dari timbulnya suatu
118
perbuatan. Menurut Kiai Sholeh Darat, terdapat beberapa kondisi yang menyebabkan masuknya syaithon ke dalam hati manusia, yaitu ketika ghodhob dan syahwat (amarah dan berkuasanya nafsu), hasud dan haros (iri dan serakah), syab’un
(penuh
dengan
makanan),
hubbut
tayazzun
(menyukai keindahan dunia), al ‘ujlah (terburu-buru dalam sesuatu), darahim (menyukai uang), tama’ (serakah di dalam haq orang lain), al bukhlu wa khouful faqir (pelit dan takut miskin), mempermudah dalam bermadzhab, membiarkan orang awam mengatasi permasalahan agama, dan syu’udz dzan (berprasangka buruk) (Darat, 1422 H:4-7). 2) An Nafsu wa Suul Khuluq Kiai Sholeh Darat menegaskan, “Mongko wajib siro arep bagusaken nafsu niro kelawan nganggo pekerti ingkang bagus” (Darat, 1422 H:8). Dapat dikatakan, nafsu itu adalah sumbernya dan yang membuat sumber itu menjadi bagus adalah yang menghiasi sumber tersebut dengan akhlak yang mulia. Dalam kitab Majmua’t Asy Syari’at Kiai Sholeh Darat menegaskan, “Setuhune nafsu iku gesit lan bosenan lan abot maring haq” (Darat, 1374 H:182). 3) Asy Syahwatain Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa, nafsu syahwat adalah musuh terbesar dalam melakukan aktifitas
119
dan ibadah. Kiai Sholeh Darat menjelaskan, “Agung-agunge kerusakan iku wong kang nuruti syahwate wetenge” (Darat, 1422 H:9). Alasan Kiai Sholeh Darat, karena ketika manusia menuruti kebutuhan perut, maka nafsu terhadap lawan jenis menariknya, setelah itu akan menarik kepada cinta akan uang dan seterusnya hingga menuju lacut. Lanjutnya, Kiai Sholeh Darat menjelaskan tentang upaya untuk mengatasi atau melawan nafsu syahwat adalah dengan berpuasa, “Lan lamun ngajar siro ing nafsu niro kelawan luwe mongko yekti ora kasi mengkono” (Darat, 1422 H:10). Hal ini dikarenakan, ketika manusia mengajar hawa nafsunya dengan berpuasa, maka akan mengurangi cintanya terhadap dunia, “Faedahe luwe iku dadi marisi nyithiaken belonjo” (Darat, 1422 H:12). 4) Afatul Lisan Lisan menurut Kiai Sholeh Darat adalah “Agungagunge nikmat Allah maring siro iku lisan niro” (Darat, 1422 H:15). Hal ini karena lisan merupakan alat yang digunakan untuk berbagai kemaksiatan. Oleh karena itu, maksiat yang paling banyak ditimbulkan terdapat pada lisan seseorang. 5) Al Ghodhobu wal Huqdu wal Hasdu Kiai Sholeh Darat mengartikan Al Ghodhobu adalah, “Wateke menungso kang wus andadeaken Allah ing ghodhob saking geni kang wus den ewor kelawan endhute anak adam”
120
wal
huqdu
adalah
“Ngunek-unek
asale
saking
ghodhob” wal hasdu adalah “Sengit onone nikmat ono ing liyane niro lan demen iku ngekiku nikmat” (Darat, 1422 H:24-25). 6) Hubbu Ad Dunya Dunia merupakan kenikmatan yang sering kali disadari oleh manusia, karena dunia bagi mereka sesuatu yang sangat penting untu dicari. Kiai Sholeh Darat mendefinisikan dunia sebagai pencegah manusia dalam beribadah kepada Allah SWT, “Dunyo iku dadi nyegah ing wong kang lumaku maring Allah” (Darat, 1422 H:26). Menurut Kiai Sholeh Darat, orang yang mencintai dunia telah ditetapkan dalam hatinya empat perkara, yaitu: a) Merasa susah yang tidak bisa putus-putus (Susah kang ora putus-putus selawase). b) Pekerjaan yang tidak pernah terselesaikan (Penggawean kang ora rampung-rampung selawase). c) Tidak pernah merasa cukup (Karep kang ora tutuk-tutuk kecukupane selawase). d) Keinginan yang tidak pernah habis (Angen-angen kang ora ono pungkasane selawase). Dapat
disimpulkan
bahwasanya
ketika
manusia
bergelimangan mencari kenikmatan dunia dan mencintai
121
dunianya, maka seseorang tersebut tidak akan pernah merasakan syukur kepada Allah SWT, karena apa yang dicari dan diinginkan tidak pernah bisa membuatnya berhenti ketika mendapatkan yang lebih. 7) Al Bukhlu wa Hubbul Maal Adalah kikir dan cinta terhadap uang. Kiai Sholeh Darat menjelaskan, “Mongko sopo wonge milih ing artone lan anake tinggal ing barang kang amarekaken ing Allah saking piro-piro to’at mongko temen-temen tuno kelawan tuno kang agung” (Darat, 1422 H:28). Dikatakan oleh Kiai Sholeh Darat, orang yang lebih memilih anak dan uangnya daripada mengerjakan sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka akan mendapatkan kerugian. 8) Al Jahu wa Ar Riya’ Adalah singgih dan sombong. Menurut Kiai Sholeh Darat, awal mula terbentuknya sifat tersebut dikarenakan tiga hal yaitu senang ketika dipuji, benci ketika diolok-olok, dan serakah terhadap apa yang bukan menjadi haknya. Kiai Sholeh Darat mengelompokkan sombong ke dalam lima perkara (Darat, 1422 H:34-36) yaitu: a) Riya’
kelawan
puasanya.
122
badane,
seperti:
memperlihatkan
b) Riya’ ing dalem tingkahe lan penganggone, seperti: menundukkan kepala ketika berjalan, memperlihatkan bekas sujudnya, dan lain-lain. c) Riya’ ing dalem pengucap, seperti: memperlihatkan bencinya terhadap hal yang munkar ketika berceramah. d) Riya’ kelawan ngamal, seperti: memanjangkan sujudnya ketika solat. e) Riya’ ing dalem kekancan, seperti: senang berziarah ke tempat orang alim agar diketahui kecintaannya terhadap orang alim. 9) At Takabbur wa Al ‘Ujbu Takabur menurut Kiai Sholeh Darat ada dua (Darat, 1422 H:39) yaitu, a) Takabur dzahir, seperti: ketika berbicara tidak mau kalah, ketika menasehati orang lain dengan keras tanpa belas kasihan. b) Takabur
batin,
seperti:
merasa
tidak
ada
yang
mengungguli dalam sifat kesempurnaannya. Takabur menurut Kiai Sholeh Darat, terbentuk karena dua hal yaitu karena sempurnanya dalam hal agama (Ilmu dan agama) dan sempurnanya dalam hal dunianya (Baik nasabnya, bagus raut wajahnya, kuat badannya, mempunyai
123
banyak uang, dan mempunyai banyak teman dan keluarga) (Darat, 1422 H:40). 10) Al Ghurur Kiai Sholeh Darat mendefinisikan sebagai, “Wong kang ketipu kelawan ngelmune utowo ngibadahe utowo kelakuane kang bagus utowo artone” (Darat, 1422 H:51). Dapat disimpulkan, orang tersebut masih dalam pengaruh kecintaanya terhadap dunia, karena orang yang demikian tidak pernah merasa puas terhadap dirinya. Dari beberapa bentuk akhlak di atas, maka untuk meraih kesempurnaan, seseorang harus mempunyai keseimbangan dalam berbuat, tidak mementingkan salah satu dari keduanya. Kiai Sholeh Darat menjelaskan, “Ojo lali-lali siro saking hal akhiroh, ojo ketungkul amrih dunya ora amikir akhirote” (Darat, 1374 H:163). Dalam keterangan yang lain, Kiai Sholeh Darat menerangkan, “Lan nyambuto gawe kelawan kasab ing dalem rinone sak qodare, ojo kasi ngino-ngino awak kasi tinggal faraidhillah lan kasi ngelakoni larangane Allah Subhanahu Wa Ta’ala”. Keterangan ini menunjukkan keharusan dalam menyeimbangkan antara urusan duniawi dengan ukhrowi. Kemudian, Kiai Sholeh Darat menegaskan, “Ojo kasi tinggal agamane kelawan sebab amrih dunyane iku ojo” (Darat, 1325 H:28).
124
4.
Unsur-unsur Pendidikan Akhlak a. Pendidik Salah satu yang terkandung dalam pendidikan adalah adanya pendidik. Kiai Sholeh Darat dalam mengistilahkan pendidik terdapat beberapa istilah. Istilah tersebut adalah masyayikh, mursyid, ulama’, mu’allim, dan guru. Dari beberapa istilah ini Kiai Sholeh Darat tidak menjelaskan secara terperinci, namun istilah-istilah tersebut mempunyai kesamaan dalam hal kewajiban untuk menyampaikan ilmunya. Masyayikh menurut Kiai Sholeh Darat adalah orang yang sudah memiliki jalan thoriqoh. Lebih lanjutnya Kiai Sholeh Darat menjelaskan bahwa syaikh adalah orang yang berada di tengah-tengah kelompok manusia dalam rangka mengajarkan tentang perkara ibadah dan husnul khuluq (Darat, 1325 H:60). Dengan menggunakan kata ulama’, Kiai Sholeh Darat mengatakan, “Ulama’ den janjeni supoyo mertelaaken siro ulama’ ing ngelmu mareng menungso kabeh lan ojo ono podo ngumpetaken siro kabeh ing sewiji-wiji sangking ngelmu” (Darat, 1325 H:254). Sebagai seorang guru atau mu’allim, tidak hanya memiliki tanggung jawab berupa pemberian ilmu, namun juga bertanggung jawab untuk memberikan nasehat kepada peserta didik apabila melenceng dari syari’at yang ditentukan. Kiai Sholeh Darat dalam hal ini mengatakan, “Kerono guru wajib nuturi” (Darat, 1325 H:285).
125
b. Peserta Didik Peserta didik dapat dikatakan sebagai obyek pendidikan atau subyek pendidikan, karena dalam hal ini peserta didik adalah peserta dalam mencari ilmu. Kiai Sholeh Darat mengistilahkan peserta didik dengan berbagai istilah, yaitu santri, murid, salik, dan tholabul ‘ilmi. Dengan menggunakan kata salik, Kiai Sholeh Darat mengatakan, “Ono dene wong kang wus ngambah dalan utowo liwat ing dalem dedalan kerono arah arep ngaji ngelmu nafi’” (Darat, 1325 H:263). Maka dari itu, salik adalah orang yang sedang menempuh jalan untuk mencari ilmu. Seorang murid atau salik dalam mencari ilmu harus diiringi dengan berbagai kegiatan yang menunjang demi kemanfaatan ilmu yang didapatnya. Misalnya seperti yang dijelaskan oleh Kiai Sholeh Darat bahwa seorang salik harus selalu melakukan taubat untuk menghiasi laku seorang salik. Kiai Sholeh Darat berkata, “Amriho siro ya salik ing taubat” (Darat, 1325 H:66). Lebih lanjutnya Kiai Sholeh Darat menerangkan, “Wong kang ora taubat iyo ora biso nandur to’at utowo ngamal solih” (Darat, 1325 H:76). Dalam proses mencari ilmu, peserta didik pasti akan berhadapan dengan guru atau pendidik. Berangkat dari sini, murid atau peserta didik sudah dipastikan mempunyai kelemahan-
126
kelemahan, hal ini merupakan tugas seorang guru untuk membawakan materi yang sesuai dengan potensi murid. Begitu juga sebagai murid, maka harus menerima apa yang telah diusahakan oleh seorang guru untuk memberikan asupan pengetahuan. Ketika tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, Kiai Sholeh Darat mengatakan, “Ojo syu’udzzon maring poro guru-guru” (Darat, 1325 H:117). c. Interaksi Edukatif Interaksi merupakan bentuk keaktifan dari murid atau salik untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Terlebih lagi dalam hal mencari ilmu, merupakan kegiatan yang mempunyai level tingkat atas dalam Islam. Kiai Sholeh Darat mengatakan, “Kelakuan ingkang utomo iyo iku ketungkul kelawan ngelmu” (Darat, 1325 H:253). Oleh karena itu, menuntut ilmu sangat diperhatikan oleh Kiai Sholeh Darat dengan melihat akan keutamaan-keutamaan yang terdapat di dalamnya. Interaksi antara peserta didik dan pendidik dalam pandangan Kiai Sholeh Darat, lebih ke dalam bentuk sikap ta’dzim kepada guru. Sifat keta’dziman kepada guru harus ditanamkan dalam jiwa sebagai bentuk penghormatan dan ngalap berkah dari seorang mu’allim atau guru. Bahkan, untuk mencari ridho dari seorang guru sangat diperlukan menurut beliau, karena akan mempengaruhi kemanfaatan terhadap ilmu yang telah dimiliki
127
oleh seorang salik atau murid. Sikap Kiai Sholeh Darat yang demikian ditunjukkan ketika Kiai Sholeh Darat diberikan perintah oleh gurunya untuk menuliskan terjemah secara Jawa kitab tajwid Al Qur’an, “Mongko den perintahi ingsun dene guru ingsun kapurih gawe terjemah coro Jowo ing dalem ngelmune tajwid Al Qur’an Al ‘Adzim, mongko dadi miturut ingsun lan ora kuwoso ingsun lamuno nulayani” (Darat, t.th:2). Selain itu, sikap yang harus dilakukan oleh peserta didik ketika bertemu dengan gurunya adalah menyucup tangan gurunya (Darat, 1374 H:203). Guru atau mu’allim dalam pandangan Kiai Sholeh Darat merupakan orang yang berjasa dalam membawa seseorang dari alam dunia menuju alam akhirat. Demikian besarnya tanggung jawab seorang guru atau mu’allim memberikan suatu keharusan peserta didik dalam memberikan rasa hormat terhadap guru. Ketika dalam suasana belajar mengajar, Kiai Sholeh Darat mengatakan, “Arep moco guru ing Qur’an lan murid ngrungokake sangking wacane gurune” (Darat, t.th:30). Perkataan Kiai Sholeh Darat ini menunjukkan bahwa seorang murid harus benar-benar memperhatikan apa yang dijelaskan oleh guru, supaya apa yang telah diajarkan oleh guru dapat dipahaminya dengan baik. Setelah seorang murid mampu memahami ilmu atau pengetahuan, untuk mencapai kemuliaan akhlak, maka apa yang sudah didapatkan haruslah diamalkan sesuai dengan ilmu tersebut. Kiai Sholeh
128
Darat mengatakan, “Mongko lamun wus weruh mongko nuli lakonono”. Kiai Sholeh Darat melanjutkan, “Ora manfa’at ngelmu yen ora ngamal ngelmune” (Darat, 1325 H:102-104). Di samping itu, seorang murid yang sedang mencari ilmu harus memiliki sarana untuk menunjang proses pendidikan, salah satunya adalah dengan mempersiapkan alat tulis. Hal ini ditegaskan oleh Kiai Sholeh Darat, “Lamuno ora ono qalam ono ing tangane ‘ulama’ lan tangane tolabatul ‘ilmi mongko yekti ilang ngelmu din” (Darat, 1325 H:256). Perkataan ini menegaskan bahwa ilmu itu akan hilang dengan sendirinya ketika tidak diikat dengan catatan. d. Materi Pendidikan Akhlak Dalam memberikan asupan nilai kepada peserta didik, harus memperhatikan seberapa pentingnya ilmu yang akan diberikan kepada peserta didik berpengaruh dalam pembentukan kepribadiannya. Menurut Kiai Sholeh Darat, hal yang paling utama harus diberikan kepada peserta didik adalah pendidikan tentang agama atau syari’at, karena dengan tertanamnya syari’at dalam diri peserta didik akan mampu membentuk karakter dalam dirinya, Kiai Sholeh Darat mengatakan, “Yen ora nglakoni syari’at mongko ora biso cukul akhlaqul mahmudah” (Darat, 1325 H:59). Menurut Kiai Sholeh Darat, belajar ilmu itu yang baik adalah ilmu tentang syari’at (Ngesahaken ing ngibadah), ilmu
129
tentang tauhid (Ngesahaken i’tiqod), dan ilmu tentang akhlak (Mbagusaken ing qalbu arruhani) (Darat, 1325 H:101). e. Metode Pendidikan Akhlak Kiai Sholeh Darat dalam usahanya untuk menanamkan akhlak diawali dengan mencerahkan pemikiran atau dengan mengembangkan daya akal masyarakat pada waktu itu. Kiai Sholeh Darat menerangkan, “Setuhune ngulati ngelmu iku ferdhu ‘ain atas saben-saben wong mukmin lanang lan wong mukmin wadon”. Keterangan ini, menunjukkan bahwa Kiai Sholeh Darat sangat memperhatikan akan pendidikan yang harus diketahui oleh masyarakat pada saat itu. Berkaitan dengan akhlak, Kiai Sholeh Darat melanjutkan keterangan diatas, “Tegese, ngulati ngelmune saben-saben ngamal kang den lakoni iku ferdhu ‘ain kerono ora sah ngamal yen ora kelawan ngelmu” (Darat, 1374 H:2). Dapat
dikatakan
pula,
Kiai
Sholeh
Darat
tidak
menyinggung ilmu apa yang harus dipelajari, namun ilmu yang dimaksudkan Kiai Sholeh Darat adalah ilmu yang bisa menuntun ke dalam kebaikan serta menjadikan manfaat bagi penuntut ilmu tersebut. Kiai Sholeh Darat menerangkan hal ini dengan menukilkan salah satu perkataan dari ulama’ madzhab yang terkenal yaitu Imam Syafi’i, “Utawi ketungkul kelawan ngaji ngelmu nafi’ iku luweh utomo”. Setelah itu, Kiai Sholeh Darat
130
menerangkan tentang keutamaan dalam menuntut ilmu dengan mengutip hadits dari Rasulullah SAW (Darat, 1374 H:2), “Sopo wonge liwat ing dedalan kerono amrih ngelmu mongko anggampangaken Allah Subhanahu Wa Ta’ala ing wong iku dedalane maring suwargo”. Oleh karena itu, Kiai Sholeh Darat sangat memperhatikan ilmu, agar seseorang mempunyai ilmu untuk dijadikan pijakan dalam beramal. Kiai Sholeh Darat menjelaskan dalam kitab Majmu’at Asy Syari’at (Darat, 1374 H:153), “Setuhune wong bodo-bodo nuruti syaithon lan nuruti howo nafsune”. 1) Pembiasaan melalui ritual ibadah Kiai
Sholeh
Darat
dalam
keberhasilannya
mengeksplorasikan daya akal yang dimiliki oleh masyarakat, kemudian dilanjutkannya dengan mengenalkan dasar-dasar Islam. Seperti dalam hal bersuci, melaksanakan rukun Islam dan rukun iman, serta ritual ibadah yang lainnya. Kemudian berbagai bentuk ritual ibadah tersebut dijadikan Kiai Sholeh Darat sebagai sarana dalam menanamkan akhlak yaitu melaui bentuk pembiasaan-pembiasaan dalam beribadah. Menurut Kiai Sholeh Darat, terdapat keterkaitan yang cukup erat antara ibadah dengan akhlak. Akhlak menjadi bentuk implementasi dari ritual ibadah, disamping itu ibadah juga sebagai batasan dalam berakhlak agar tidak menyimpang, karena dengan ibadah akan mencegah dari hal yang munkar.
131
Ibadah yang dijelaskan oleh Kiai Sholeh Darat lebih condong ke dalam makna yang terkandung dalam ibadah tersebut. Dengan mengetahui makna ibadah yang dilakukan, akan menjadikan seseorang untuk selalu berakhlaqul karimah. Oleh karena itu, Kiai Sholeh Darat sangat menekankan kepada masyarakat untuk suci dalam dan luarnya (dzahiriyah dan batiniyah). Kiai Sholeh Darat, menjelaskan seseoramg dalam bersuci tidak hanya berniat untuk mensucikan secara jasmaniyahnya, namun agar mendapatkan nilai dalam bersuci, maka dalam setiap gerakan ketika bersuci diiringi dengan niat dalam hati untuk mensucikan batiniyahnya (Darat, 1374 H:127). Ibadah menggambarkan kebutuhan makhluk kepada yang menciptakan makhluk, bukan sebaliknya. Namun, implementasi
ibadah
masih
belum
sepenuhnya
dapat
terealisasi. Menurut Kiai Sholeh Darat, hal demikian dikarenakan manusia masih tergoda dengan kesenangankesenangan yang bersifat keduniawian (Darat, 1325 H:37). Sedangkan yang dimaksud dengan penghayatan ibadah, adalah melakukan apresiasi dan ekspresi ibadah itu dengan diiringi perbuatan-perbuatan yang bersifat aplikatif yang sejalan dengan hakikat dan hikmah ibadah. Kiai Sholeh Darat melanjutkan,
132
“Lan ngelmune rukun Islam kabeh mongko dadi persifatan muslim, lan wajib malih ngaweruhi arkanul iman wal ihsan mongko dadi persifatan mukminin” (Darat, 1325 H:3). Oleh karena itu, seharusnya ibadah merupakan latihan spiritual juga latihan untuk membentuk kepribadian seseorang. Lebih lanjutnya, Kiai Sholeh Darat selalu menekankan pada aspek ilmu sebagai dasar dalam berakhlak dan beribadah. Kiai Sholeh Darat menjelaskan dalam kitab Majmu’at Asy Syari’at, “Endi-endi ngamal kang ora weruh ngilmune lakune mongko iyo ora sah” (Darat, 1374 H:119). Ilmu yang dimaksud disini sudah
pasti
ilmu
mengombinasikan
yang dan
berhubungan, menggambarkan
sehingga
dapat
kesempurnaan
implementasi akhlak dan ibadah. 2) Tazkiyatun nafs Selanjutnya, Kiai Sholeh Darat dalam upaya untuk menanamkan akhlaqul karimah, melalui konsep tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa. Konsep tazkiyatun nafs ini adalah berusaha
menghilangkan
madzmumah
dan
sifat-sifat
mengisinya
penyakit
dengan
hati
yang
sifat-sifat
yang
mahmudah. Sepengetahuan penulis, Kiai Sholeh Darat tidak menyebutkan hal ini secara eksplisit, namun kandungan yang ada dalam berbagai karyanya terutama dalam kitab Munjiyat, Kiai Sholeh Darat menjelaskan (Darat, 1422 H:65), “Mongko sakwuse wus buwang kelakuan ingkang madzmumah mongko
133
nuli nglakoni sifat mahmudah”. Hal ini mengingatkan bahwa apabila hati baik, maka akan baiklah seluruh anggota badannya, begitu juga sebaliknya. Kiai Sholeh Darat dalam keterangan yang lain menjelaskan, “Mongko nuli madep siro marang qiblat sartane wus bersih penganggone lan wus bersih atine sangking piropiro najis dzahir kelawan madep qiblat dzahire dadane lan batine atine” (Darat, t.th:2). Seseorang dalam usahanya untuk menyucikan jiwa, harus melalui introspeksi diri sendiri terlebih dahulu. Kiai Sholeh Darat memberikan tata cara dalam melakukan proses ini. Hal ini tercantum dalam karyanya yaitu kitab Munjiyat (Darat, 1422 H:9), antara lain: •
Bercengkerama dengan guru yang mengetahui tingkah laku kita (Arep lelungguhan siro ing guru niro ingkang wus weruh jalane awak iro).
•
Mencari teman yang baik tingkah lakunya untuk memberitahukan kejelekan diri kita (Arep amrih konco siro ingkang bener lakune supoyo ameruhaken olone ing awak iro).
•
Mengajak bicara kepada teman kita yang membenci kita, karena teman yang demikian akan membuka segala keburukan kita (Arep ngalap siro saking pangucape sateru niro).
134
•
Berbaur dengan orang lain dan merasakan apakah pantas ketika berada di dalamnya (Arep campur siro marang manungso).
Dengan demikian, adanya introspeksi terhadap diri sendiri akan menyadarkan seseorang dan mengetahui tingkat kebersihan hati orang tersebut. Oleh karena itu, introspeksi diri akan membawa seseorang tersebut ke dalam tingkat penyucian jiwa. Semua ini terdapat ketentuan yang berupa seseorang harus mampu mengetahui syari’at yang benar. Namun, seiring dengan keadaan saat itu masyarakat kurang mendapatkan perhatiannya dalam mengkaji Islam. Dari hasil memahami situasi kondisi masyarakatnya, Kiai Sholeh Darat menggunakan beberapa cara untuk mengembalikan posisi mereka, yang saat itu dianggap sebagai kaum pribumi yang buta akan ilmu atau bisa dikatakan tidak berpendidikan. Kemudian, Kiai Sholeh Darat menggunakan aksara pegon untuk memberikan wawasan tentang Islam. Kiai Sholeh Darat lebih memilih aksara pegon atau aksara Arab yang berbahasa Jawa dan hanya itu yang dapat dilakukan, karena adanya berbagai pengawasan yang dilakukan oleh Belanda. Upaya Kiai Sholeh Darat ini sangat menguntungkan bagi masyarakat yang kurang dalam memahami bahasa Arab, selain itu juga bentuk strategi dalam melawan penjajah Belanda kala itu yang membatasi kegiatan-kegiatan Islam. Kiai Sholeh Darat
135
menerangkan dalam muqaddimah Matnu Al Hikam (Darat, 1422 H: 2), “Supoyo gampangke ingatase wong ngawam misal ingsun kelawan sun terjemah kelawan coro jowo supoyo enggal faham wong kang podo ngaji”. Keterangan Kiai Sholeh Darat ini, mengisyaratkan bahwa pendidikan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat adalah menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh masyarakat, sehingga masyarakat benar-benar faham apa yang dipelajarinya. f. Lingkungan Pendidikan Akhlak Lingkungan merupakan salah satu faktor utama dalam mempengaruhi perkembangan karakter atau akhlak para peserta didik, karena lingkungan merupakan ladang dalam menerapkan ilmu yang sudah di dapat. Dalam lingkungan keluarga misalnya, dimulai dengan hal yang paling dasar, Kiai Sholeh Darat menjelaskan, “Wajib amisah antarane anak lanang lan biyunge ojo awor ing dalem paturune ing dalem bocah ngumur sepuluh tahun utowo kurang. Lan wajib amisah antarane bocah wadon lan dulure lanang kang wus podo ngumur songo utowo kurang” (Darat, 1374 H:201-202). Dengan demikian, dapat disimpulkan pendidikan gender terhadap anak sangatlah penting untuk melatih atau mengontrol hawa nafsu pada diri anak. Namun, tidak hanya itu, di dalam lingkungan keluarga, ayah dimana menempati posisi sebagai kepala keluarga mempunyai kewajiban terhadap anak untuk
136
memberikan pengetahuan tentang agama, seperti dalam membaca Al Qur’an, memberikan teladan tentang adab yang baik, dan memberitahukan ilmu yang harus dipelajari (Darat, t.th:40). 5.
Hubungan Akhlak terhadap Ilmu Akhlak dan ilmu adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, karena ilmu dan akhlak mempunyai keterkaitan yang menjadikannya sempurna dalam beramal. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Sholeh Darat, “Tegese, ngulati ngelmune saben-saben ngamal kang den lakoni iku ferdhu ‘ain kerono ora sah ngamal yen ora kelawan ngelmu” (Darat, 1374 H:2). Maka dari itu, akhlak dan ilmu harus berjalan berdampingan, tidak mengunggulkan salah satu diantaranya. Manusia yang berilmu bisa menjadi takabur, karena ketinggian atau banyaknya ilmu yang dimilikinya. Sehingga melihat orang lain lebih rendah daripadanya dan merasa paling pantas untuk dihormati (Darat, 1422 H:41). Namun, hal itu bisa saja tidak terjadi apabila manusia itu mengetahui sejatinya dari ilmu, karena ilmu bagi Kiai Sholeh Darat terdiri dari dua bagian yaitu ilmu dzahir dan ilmu batin. Hal ini disampaikan oleh Kiai Sholeh Darat dalam buah karyanya yaitu “Kadi dene wajib ngaji ngelmu dzahir, mongko iyo wajib ngaji ngelmu batin” (Darat, 1325 H:10). Berakhlak dalam perspektif Kiai Sholeh Darat tidak hanya berada di dalam kedzahirannya saja, namun hati juga harus mampu
137
berakhlak. Kiai Sholeh Darat menjelaskan, “Lan toto keromoho siro ing dalem ati siro” (Darat, 1374 H:115). Ketika keduanya dapat dijalankan seiringan, maka apa yang diperbuat akan selalu berorientasi kepada ibadah, karena akhlak merupakan buah dari ibadah.
B. Relevansi Pendidikan Akhlak Muhammad Sholeh Darat Al Samarani dengan Pendidikan Saat ini Perlu diakui bahwa pendidikan yang tengah diterapkan saat ini masih saja berpaku pada hal yang bersifat materi. Hal ini dapat kita lihat di berbagai lembaga pendidikan yang semakin gencar menyuarakan bahwa hasil cetakan dari suatu lembaga akan mendapat pekerjaan, bahkan sebelum anak didiknya lulus dari lembaga tersebut telah diiming-imingi dengan pekerjaan. Pandangan yang demikian menjadikan buram pentingnya pendidikan, sehingga tidak salah jika kita sering menemukan fenomena bahwa seseorang akan rela melakukan apa saja untuk mendapat pekerjaan, entah itu melakukan tindakan suap-menyuap, ataupun melakukan hal yang non manusiawi pada lawan kompetisinya yang samasama mengincar posisi pekerjaan tersebut. Terlenanya kita dengan imingiming menjadikan pencapaian target pekerjaan yang diharapkan justru cenderung mengabaikan aspek akhlak. Setiap pendidik seharusnya mengubah pola pengajaran dari sekedar mentransfer ilmu menuju penanaman nilai-nilai spiritual dan akhlak sebagai way of life bagi peserta didik. Buktinya, ilmu yang disampaikan
138
hanya sebatas teori tanpa adanya bentuk implementasi sehingga hanya terbungkus dengan pengetahuan (Ilahi, 2014:25). Belakangan ini terjadi berbagai kejadian yang dilakukan oleh manusia yang berilmu. Sebagai contoh adanya suap menyuap dikalangan penjabat tinggi, ini membuktikan bahwa pendidikan yang ia terima tidak mampu membawa praktek yang nyata dengan apa yang ia dapatkan. Tidak hanya di dalam kalangan pejabat saja, namun di kalangan pelajar juga terjadi beberapa kemerosotan nilai, seperti beberapa kasus tentang seks dibawah umur, maraknya tawuran pelajar antar sekolah, dan lain-lain. Kejadian ini membuktikan kurangnya pengawasan dan penanaman nilai terhadap individu, sehingga menimbulkan krisis keteladanan dan krisis moral. Pendidikan saat ini sudah harus beranjak menuju pemaduan antara teori dan praktik yang diimbangi dengan aspek spiritualitas. Tantangan globalisasi bukan hanya menjadikan runtuhnya nilai-nilai pendidikan, namun juga menghambat regenerasi kepemimpinan yang mempunyai kesadaran pendidikan dan berakhlaqul karimah. Dengan berbagai kemewahan dan kemegahan yang ditawarkan oleh arus globalisasi ini membuat lunturnya akhlak. Pengaruh globalisasi yang lahir dari kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi harus disikapi dengan netralitas, agar mampu menyeimbangkan antara pendidikan dan mengikuti arah zaman ini. Dengan demikian, akan mampu membawa pendidikan ke dalam tahap aplikatif bukan hanya terbungkus teori.
139
Pendidikan saat ini, bisa dikatakan mempunyai kesesuaian dengan apa yang telah dilihat oleh C. Snouck Hurgronje. Dengan meningkatnya pembelajaran yang ada di pesantren pada tahun 1890, sedangkan 20 tahun kemudian sekolah-sekolah sistem Belanda akan menarik peminat lebih banyak dengan diperkenalkannya sistem pendidikan tersebut. Dia menganggap para lulusan menengah dan universitas merupakan hasil yang ideal bagi golongan terdidik Indonesia, yang pada saatnya akan menggantikan kedudukan Kiai dan pewaris pemimpin pemerintahan sebagai kelompok intelect. Namun, kelompok ini tidak mampu menggantikan pemimpin agama dan masyarakat yang berdimensikan akhlak (Dhofier, 2015:70-71). Pernyataan di atas dapat dikatakan, lemahnya kesadaran dalam memaknai pendidikan mengakibatkan nilai yang terkandung di dalamnya menjadi buram. Untuk itu, seperti yang telah diuraikan sebelumnya mengenai konsep pendidikan akhlak menurut Kiai Sholeh Darat, penulis memberikan kesimpulan bahwa konsep pendidikan akhlak yang diterapkan oleh Kiai Sholeh Darat akan mengatasi dampak dari degradasi konsep pendidikan akhlak yang berkembang saat ini. Dengan alasan, konsep pendidikan akhlak yang ditawarkan oleh Kiai Sholeh Darat yaitu melalui pembiasaan-pembiasaan ritual ibadah yang mampu memaknai ibadah dari segi dzahir dan batinnya. Kiai Sholeh Darat lebih menonjolkan pembiasaan melalui ritual ibadah ini, karena terdapat keterkaitan yang cukup erat antara keduanya.
140
Jadi, setiap ibadah yang dijalankan oleh umat muslim bukan hanya menjadi aktivitas rutin, namun mengandung pendidikan akhlak yang secara tidak langsung akan tertanam dalam diri masing-masing individu. Dalam ibadah Shalat misalnya, Shalat menjadi salah satu bentuk ibadah yang memiliki peran edukatif yang tinggi dan luas, karena memiliki daya penunjang dalam pembentukan akhlak manusia. Ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-‘Ankabut ayat 45:
ِ اﺗْﻞ ﻣﺎ أ ِ َﻚ ِﻣﻦ اﻟْ ِﻜﺘ ُِوﺣﻲ إ ﺼ َﻼةَ ﺗَـْﻨـ َﻬ ٰﻰ َﻋ ِﻦ ﻴ ﻟ َ ﺼ َﻼةَ إِ ﱠن اﻟ ﱠ ﺎب َوأَﻗِ ِﻢ اﻟ ﱠ َ ْ َُ َ َ ِ ِ ِ ◌ۗ ﺼﻨَـﻌُﻮ َن ْ َاﻟْ َﻔ ْﺤ َﺸﺎء َواﻟْ ُﻤْﻨ َﻜ ِﺮ َوﻟَﺬ ْﻛ ُﺮ اﻟﻠﱠﻪ أَ ْﻛﺒَـ ُﺮ َواﻟﻠﱠﻪُ ﻳَـ ْﻌﻠَ ُﻢ َﻣﺎ ﺗ Artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al Qur’an, t.th:402).
Selain shalat, puasa yang diwajibkan untuk umat manusia juga merupakan sarana mendidik untuk berempati, senantiasa jujur, berbuat baik, tidak berdusta, dan lain-lain. Ritual zakat, tujuannya yaitu untuk menyucikan harta benda, makna menyucikan adalah mendidik dengan akhlak yang baik. Orang yang berzakat akan belajar mengasihi sesama dan bermurah hati. Demikianlah, ibadah mengalir menuju pendidikan akhlak. Dalam ibadah haji pun demikian, terdapat faidah dalam bidang akhlak dengan diberlakukannya larangan membunuh binatang yaitu pemahaman
141
persamaan hak, saling menghargai, anjuran berkata-kata baik, dan lainlain. Uraian bahwa pendidikan akhlak mampu ditempuh melalui jalur ibadah, tidak hanya ditemukan dalam satu pembahasan khusus di kitab karangan Kiai Sholeh Darat, sebab nyatanya, di setiap kitab-kitab yang ditulis, selalu mengandung penanaman akhlak meski secara tersirat. Dalam Kitab Lathoifut Thoharoh misalnya, meskipun kitab tersebut termasuk kategori kitab yang membahas tentang fiqh, namun di dalamnya disandingkan dengan pendidikan akhlak. Dalam bab yang membahas wudhu saja, Kiai Sholeh Darat tidak hanya merangkai kalimat tentang bagaimana tata cara wudhu yang baik, namun mencantumkan mengapa seseorang harus membasuh wajah, mengusap tangan sampai siku, mengusap sebagian kepala dan membasuh kedua kaki. Seperti yang diungkapkan dalam paragraf berikut: “Mongko masuhono siro kabeh ing rahi niro ingkang wus kelawan pot madep marang dunyo lan keluput kelawan ginawe ningali aghyar tegese pahesan dunyo wasuhono kelawan banyu tubat lan istighfar lan malih masuhono siro kabeh ing tangan iro karo saking labete oleh iro gendolan makhluq lan labete oleh iro gumantung kelawan makhluq iyo wasuhono kelawan banyu tubat lan istighfar. Lan malih nuli ngusapo siro kabeh ing sirah iro kelawan banyu tawadlu’ limaulah tegese angasoraken awak iro marang nyandaro niro. Lan nuli masuhono siro ing suku niro karo sartone wanglu niro, sangking layate watak iro bongso tin, tegese wateke endut wasuhono kelawan kelakuan kang mahmudah” (Darat, t.th:6-7). Pembiasaan berawal dari peniruan, yang ada di bawah bimbingan orangtua dan guru. Al-Ghazali menerangkan, anak adalah amanah orangtuanya, hati bersihnya adalah permata murni, yang kosong dari setiap
142
tulisan dan gambar. Hal itu siap menerima tulisan dan cenderung pada setiap yang ia inginkan. Oleh karena itu, jika dibiasakan mengerjakan yang baik, lalu tumbuh di atas kebaikan itu maka bahagialah ia di dunia dan akhirat, orang tuanyapun mendapat pahala bersama (Rabbi & Muhammad Jauhari, 2006:106). Dengan demikian, beberapa pendidikan akhlak yang diusung oleh Kiai Sholeh Darat sangat relevan apabila memang benar-benar teraplikasikan dengan baik. seperti yang disimpulkan oleh In’amuzzahidin bahwa pendidikan di Indonesia masih kering akan siraman spiritual (In’amuzzahidin, 2011:82). Maka dari itu, dengan pendidikan akhlak yang diusung oleh Kiai Sholeh Darat akan mampu membawa pendidikan di era sekarang ini menuju pendidikan yang berorientasi pada aspek afektif dan tidak meninggalkan aspek kognitif serta mendampinginya dengan aspek spiritualitas.
143
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil pemaparan yang meneliti tentang “Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif KH Muhammad Sholeh Darat Al Samarani”, penulis berusaha menyimpulkan apa yang telah dijelaskan oleh Kiai Sholeh Darat dalam beberapa karyanya. Penulis menyimpulkan dengan berdasarkan pada rumusan masalah yang terdapat di dalam penelitian ini, yaitu: 1. Konsep pendidikan akhlak Muhammad Sholeh Darat Al Samarani adalah Konsep pendidikan akhlak yang lebih menekankan pada pembiasaanpembiasaan dalam melakukan ritual ibadah, seperti dalam berwudhu, mendirikan solat, menjalankan puasa, menunaikan zakat, dan pergi ke tanah suci untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima. Namun, Kiai Sholeh Darat juga mengutamakan kepada manusia untuk selalu berhatihati dalam bertingkah laku dan beribadah, karena hadirnya nafsu syahwat yang menggoda manusia. Maka dari itu, Kiai Sholeh Darat menganjurkan kepada manusia untuk selalu merasakan ibadahnya. Selain itu, Kiai Sholeh Darat juga menganjurkan untuk menghilangkan sifat-sifat tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji atau dapat dikatakan sebagai proses tazkiyatun nafs. 2. Adapun relevansi pendidikan akhlak Muhammad Sholeh Darat Al Samarani dengan pendidikan saat ini berujung pada kesimpulan bahwa konsep yang diusung Kiai Sholeh Darat sangat relevan, mengingat era
144
pendidikan saat ini lebih mengutamakan segi kognitif daripada afektif. Hasilnya pun juga baik, terpelajar, namun, apabila mereka terjun ke dalam dunia masyarakat mereka tidak akan mampu menggantikan dari segi afektif, yang terdidik dalam bidang akhlaknya.
B.
Saran Dengan selesainya penelitian ini, terdapat beberapa saran yang harus diperhatikan yaitu: 1. Pendidikan saat ini hendaknya lebih mengutamakan dari segi pematangan aplikasi pendidikan, agar mampu membawa pendidikan pada tempat tujuan adanya pendidikan. 2. Pendidikan saat ini juga hendaknya harus menekankan pada akhlak dan tidak sekedar menekankan pada pencapaian nilai yang didapatkan oleh para peserta didik. 3. Pendidikan dari segi kognitif memang tidak bisa ditinggalkan, tetapi apabila aspek afektif mengiringinya akan membuat lebih baik, serta jika spiritualitas menjadi dasar dari keduanya, maka akan jauh lebih baik. 4. Orang tua hendaknya menggunakan metode pembiasaan-pembiasaan, dimulai dengan aktifitas yang sederhana, sebab akhlaqul karimah akan diperoleh, apabila orang tua, lembaga pendidikan, dan lingkungan saling mendukung terbentuknya akhlaqul karimah.
145
5. Bagi para pendidik, jika ingin anak didiknya berakhlaqul karimah, maka pendidik harus benar-benar mampu menjadi teladan yang baik saat di depan anak maupun di belakang anak.
146
DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku: Abdullah, Amin. 2011. Studi Agama Normativitas atau Historisitas? Cetakan Ke5. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Abdullah, Mudhofir. 2011. Masail Al Fiqhiyah: Isu-isu Fiqh Kontemporer Cetakan Ke-1. Yogyakarta: Teras. Al Ashee, Ibnu Husein. 2004. Pribadi Muslim Ideal Cetakan Ke-1. Semarang: Pustaka Nuun. Al Banna, Jamal. Terj. Hasibullah Satrawi dan Zuhairi Misrawi. 2008. Manifesto Fiqh Baru 1 (Memahami Diskursus Al Quran). Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama Kerja Sama dengan Dar Al Fikr Al Islamy Kairo. Al Ghozali, Al Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. Tanpa Tahun. Al Ihya’ ‘Ulumuddin. Al Andalusia: Dar Ar Royyan. Al Haddad, Al Habib Abdullah bin Alawi. 2007. Bekal Hidup Bahagia Dunia Akhirat Terjemah Risalatul Mu’awanah. Surabaya: Mutiara Ilmu. Al Makin. 2016. Keragaman dan Perbedaan (Budaya dan Agama dalam Lintas Sejarah Manusia). Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga. Al Qur’anul Karim. T.th. Surakarta: CV. Al Waah. Amril. 2002. Etika Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Anwar, Rosihan. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia. Anwar, Rosihan. dkk. 2011. Pengantar Study Islam Cetakan Ke-2. Bandung: CV Pustaka Setia. Arifin. 2008. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Fiqh. Jakarta : Pustaka Rizki Putra. As Saqaf, ‘Abdurrahman bin Abdillah bin ‘Abdil Qadir. 2015. Durusul Qawa’idul Fiqhiyyah. Jami’ah Al Ahqaf Hadramaut. Asy Syarqawi, Hasan. Manhaj Ilmiah Islami. Jakarta: Gema Insani Press. Asy’arie, Musa. 1999. Filsafat Islam (Sunnah Nabi dalam Berfikir). Yogyakarta: LESFI. Azra, Azyumardi. 2005. Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Cetakan Ke-2 Edisi Refisi. Jakarta: Prenada Media. Az Zarnuji, Syaikh. Terj. Abdul Kodir Al Jufri. 2009. Terjemah Ta’lim Muta’allim. Surabaya: Mutiara Ilmu. Bakhtiar, Amsal. 2015. Filsafat Agama (Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Creswell, Jhon W. Terj. Achmad Fawaid. 2010. Research Design (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dahlan, Abdul Choliq. 2006. Spiritualitas Islam dalam Sastra Sufi Melayu. Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin Teologia Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang Volume 17 Nomor 1, Juli 2006.
1
Daulay, Haidar Putra. 2007. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia Cetakan Ke-2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Darat, KH. Sholeh. Terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah. 2016. KH. Sholeh Darat Maha Guru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M) Syarah Al-Hikam. Depok: Penerbit Sahifa. ________________. 1422 H. Matnu Al Hikam. Semarang: Toha Putra. ________________. Tanpa Tahun. Fasholatan. Surabaya: Bombai Miri. ________________. 1374 H. Majmu’at Asy Syari’at Al Kafiyah lil Awam. Semarang: Toha Putra. ________________. 1422 H. Kitab Munjiyat. Semarang: Toha Putra. ________________. 1325 H. Minhajul Atqiya’. Bombay: Matba’ Muhammad. ________________. Tanpa Tahun. Lathoifut Thaharah wa Asrorush Sholah. Semarang: Toha Putra. Dhofier, Zamakhsyari. 2015.Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia Cetakan Ke-5. Jakarta: LP3ES, Anggota IKAPI. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI. 2006. Undangundang dan Peraturan Pemerintah RI. Jakarta. Dzahir, Abu Malikus Salih. 2012. Sejarah dan Perjuangan Kyai Sholeh Darat Semarang (Syeikh Haji Muhammad Saleh bin Umar As Samarany). Semarang: Panitia Haul Kyai Sholeh Darat. Djazuli. 2006. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam Cetakan Ke-6 Edisi Revisi. Jakarta: Prenada Media Group. Djazuli, Ahmad. 2006. Kaidah-kaidah Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Engineer, Asghar Ali. Terj. Tim FORSTUDIA. 2004. Islam Masa Kini. Yogyakarta: Kerjasama Pustaka Belajar dengan FORSTUDIA. Esha, Muhammad In’am. 2010. Falsafah Kalam Sosial. Malang: UIN-Maliki Press (Anggota IKAPI). Faruq dkk., Umar. 2005. Pidato 3 Bahasa. Surabaya: Pustaka Media. Gojali, Nanang. 2013. Tafsir dan Hadits Tentang Pendidikan Cetakan Ke-1. Bandung: CV Pustaka Setia. Hajjaj, Muhammad Fauqi. 2013. Terj. Kamran As’at Irsyady dan Fakhri Ghozali. Tasawuf Islam dan Akhlak Cetakan Ke-2. Jakarta: Amzah. Hakim, Taufiq. 2016. Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad XIX-XX M. Yogyakarta: Institute of Nation Development Studies (INDeS). Hakim, Atang Abdul dan Jaih Mubarok. 2012. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hardiman, F. Budi. 2011. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama. Hassan, A. Qadir. 1994. Ilmu Mushthalah Hadits Cetakan Ke-6. Bandung: Diponegoro. Ilahi, Mohammad Takdir. 2013. Gagalnya Pendidikan Karakter: Analisis & Solusi Pengendalian Karakter Emas Anak Didik. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
2
In’amuzzahidin, M. 2011. Pemikiran Sufistik Muhammad Shalih Al Samarani dalam Kitab Matn Al Hikam dan Majmu’at Al Asy’ariah Al Kafiyah Li Al Awam. Jurnal Penelitian Walisongo Vol. XIX, No. 2, Nopember 2011. Iqbal, Abu Muhammad. 2015. Pemikiran Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Izutsu, Toshihiko. Terj. Agus Fahri Husein, Misbah Zulfa Elisabeth, dkk. 1994. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam (Analisis Semantik Iman dan Islam). Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya Anggota IKAPI. Jamil, H.M. 2013. Akhlak Tasawuf. Ciputat: Referensi. Kaelan. 2010. Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner. Yogyakarta: Paradigma. Kattsoff, Louis O. Terj. Soejono Soemargono. 2004. Pengantar Filsafat Cetakan Ke-9. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Keputusan Muktamar NU, Munas dan Konbes Nahdlotul Ulama’. Terj. Djamaluddin Miri. 2007. Ahkamul Fuqaha (Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlotul Ulama’ (1926-2004 M.)). Surabaya: Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur bekerja sama dengan Khalista. Khoiriyah. 2013. Memahami Metodologi Studi Islam Cetakan Ke-1. Yogyakarta: Penerbit Teras. Kodir, Abdul. 2015. Sejarah Pendidikan Islam dari Masa Rasulullah hingga Reformasi di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia. Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Penerbit Mizan. Mardani. 2015. Hukum Islam (Pengantar Hukum Islam di Indonesia) Cetakan Ke2. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Mardimin, J. 2016. Perlawanan Politik Santri (Kajian Tentang Pudarnya Kewibawaan dan Pengaruh Kiai, Perlawanan Politik Santri, serta Dampaknya Bagi Perkembangan Partai-partai Politik Islam di Pekalongan). Salatiga: Satya Wacana University Press. Masyhuri, Agoes Ali. 2013. Belajarlah Kepada Lebah dan Lalat Menuju Kokoh Spiritual, Mapan Intelektual. Surabaya: Khalista Surabaya. Muchtar, Heri Jauhari. 2005. Fiqih Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Muhaimin. 2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam Cetakan Ke-1. Surabaya: Pusat Studi Agama, Politik, dan Masyarakat (PSAPM) bekerja sama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta. Muhamad. 2008. Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kuantitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: PT. Refika Aditama. Munir, Ghazali. 2008. Warisan Intelektual Islam Jawa dalam Pemikiran Kalam Muhammad Shalih Al Samarani. Semarang: Walisongo Press. Munthoha, Wijayanto, dkk. 1998. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: UII Press.
3
Musa, Ali Masykur. 2014. Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam terhadap Isu-isu Aktual Cetakan Ke-1. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta Anggota IKAPI. Nasution, Harun. 2013. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan Cetakan Ke-5. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Nata, Abuddin. 2013. Metodologi Studi Islam Cetakan Ke-20. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. _____________. 1997. Filsafat Pendidikan Islam Cetakan Ke-1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. _____________. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. _____________. 2008. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers. Nurdin, Ali, Syaiful Mikdar, dkk. 2009. Materi Pokok Pendidikan Agama Islam Cetakan Ke-7. Jakarta: Universitas Terbuka. Rabbi, Muhammad dan Muhammad Jauhari. Terj. Dadang Sobar Ali. 2006. Akhlaquna. Bandung: Pustaka Setia. Rahman, Fazlur. Terj. Anas Mahyuddin. 1995. Membuka Pintu Ijtihad Cetakan Ke-3. Bandung: Penerbit Pustaka. Rahman, Mustofa, dkk. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Ratna, Nyoman Kutho. 2008. Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ricklefs, M.C. Terj. Tim Penerjemah Serambi. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Sachedina, Abdulazis, Fazlur Rahman, dkk. Terj. Ali Noer Zaman. Agama Untuk Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI). Saebani, Ahmad dan Abdul Hamid. 2012. Ilmu Akhlak Cetakan Ke-2. Bandung: CV PUSTAKA SETIA. Saeed, Abdullah. Terj. Shulkhah dan Sahiron Syamsuddin. 2016. Pengantar Study Al Quran. Yogyakarta: Baitul Hikmah Press. Salim, Abdullah. 1995. Majmu’at Al Syari’at Al Kafiyat li Al Awami Karya Kiai Saleh Darat (Suatu Kajian Terhadap Kitab Fikih Berbahasa Jawa Akhir Abad 19). Semarang: Unissula Press. Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan Al Quran Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI. _________________. 2013. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Al Qur’an Cetakan Ke-1. Tangerang: Penerbit Lentera Hati Anggota IKAPI. Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta. Suhandjati, Sri. 2013. Mitos Perempuan Kurang Akal dan Agamanya dalam Kitab Fiqh Berbahasa Jawa. Semarang: RaSAIL Media Group. Supriadi, Dedi. 2014. Ushul Fiqh Perbandingan Cetakan Ke-1. Bandung: CV Pustaka Setia.
4
Syarifuddin, Amir. 2005. Garis-garis Besar Fiqh Cetakan Ke-2. Jakarta: Prenada Media. Syarqawi, Hasan Muhammad. Ter. A.M. Basamalah. 1994. Manhaj Ilmiah Islami. Jakarta: Gema Insani Press. Syukur, Amin.2011. Sufi Healing (Terapi dalam Literatur Tasawuf). Jurnal Penelitian Walisongo Vol. XIX, No. 2, Nopember 2011. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Bagian Ke-3 Pendidikan Disiplin Ilmu) Cetakan Ke-2. PT IMTIMA (Imperial Bhakti Utama). Tim Penulis JNM. 2015. Gerakan Kultural Islam Nusantara. Yogyakarta: Jamaah Nahdliyin Mataram (JNM) Bekerja Sama dengan Panitia Muktamar NU Ke-23. Tono, Sidiq, M. Sularno, dkk. 1998. Ibadah dan Akhlak dalam Islam. Yogyakarta: UII Press Indonesia. Ulum, Amirul. 2016. K.H. Muhammad Sholeh Darat Al Samarani Maha Guru Ulama Nusantara. Yogyakarta: Global Press. ___________. 2016. Kartini Nyantri. Yogyakarta: Pustaka Ulama. Ulwan, Abdullah Nashih. 1995. Tarbiyatul Aulad Fi Al Islam (Pendidikan Anak dalam Islam Juz 1). Jakarta: Pustaka Amani. _____________________. 1995. Tarbiyatul Aulad Fi Al Islam (Pendidikan Anak dalam Islam Juz 2). Jakarta: Pustaka Amani. Umar, Nasaruddin. 2014. Islam Fungsional (Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilainilai Keislaman). Jakarta: PT Elex Media Komputindo KompasGramedia. Wallace, Alfred Russel. Terj. Ahmad Asnawi, dkk. 2015. Sejarah Nusantara (Terjemah The Malay Archipelago) Cetakan Ke-1. Yogyakarta: Penerbit Indoliterasi. Widagdho, Djoko, dkk. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sumber Online: https://achmadsuhaidi.wordpress.com/2014/02/26/pengertian-sumber-data-jenisjenis-data-dan-metode-pengumpulan-data/, diakses pada 3 Januari 2017. Jam 02.38 WIB. http://karyatulis.singkatpadat.com/pengertian-perspektif.htm, diakses pada 29 Desember 2016. Jam 12.06 WIB. http://makalah-update.blogspot.co.id/2012/12/pengertian-metode-induktif-danmetode.html, diakses pada 03 Januari 2017. Jam 02.54 WIB. http://santrisuwung.blogspot.co.id/2013/10/sumber-sumber-akhlak.htmldiakses pada 28 Januari 2017. Jam 01.04 WIB. http://pengertiankomplit.blogspot.co.id/2015/08/pengertian-pendidikanakhlak.html, diakses pada 20 Februari 2017, jam 15.51 WIB.
5
http://naimsoekarno81.blogspot.co.id/2012/03/pendidikan-akhlak.html, diakses pada 20 Februari 2017. Jam 15.38 WIB http://mahadir-aziz.blogspot.co.id/2012/05/sumber-dan-dasar-pendidikanislam.html, diakses pada 20 Februari 2017. Jam 16.33 WIB Sumber Wawancara: Wawancara dengan Lukman Hakim Saktiawan atau yang akrab dipanggil dengan nama Gus Lukman, salah satu cicit K.H. Muhammad Sholeh Darat, pada 5 Desember 2016 di rumahnya, Jl. Kakap Darat Tirto 212 Kel. Dadapsari, Kec. Semarang Utara, Kab. Semarang, Jawa Tengah. Wawancara dengan M. Muhsin Jamil selaku Dekan Ushuludin UIN Walisongo Semarang, beliau merupakan salah satu anggota dari KOPISODA (Komunitas Pecinta Sholeh Darat). Wawancara berlangsung pada 26 Januari 2017 di ruang Dekan Fakultas Ushuludin UIN Walisongo Semarang. Wawancara dengan Moh. Ichwan DS selaku Sekretaris dari KOPISODA dan pegiat kajian kitab K.H. Muhammad Sholeh Darat Al Samarani serta seorang jurnalistik. Wawancara berlangsung pada 26 Januari 2017 di kediaman beliau Jl. Kelapa Gading no VI Plamongan Indah Pedurungan Semarang.
6
Lampiran 1
7
Lampiran 2
8
Lampiran 3
Daftar Riwayat Hidup Peneliti
Nama
: Andri Winarco
Tempat, Tanggal Lahir
: Kab. Boyolali, 10 September 1994
Agama
: Islam
Alamat
: Nobo Wetan Rt. 01/Rw. 05, Kel. Noborejo, Kec. Argomulyo, Kota Salatiga
Riwayat Pendidikan
: TK Dharma Wanita (1998-2000) SD N Kedung Pilang 01 (2000-2004) SD N Karang Duren 02 (2004-2006) SMP N 2 Tengaran (2006-2009) MAN Salatiga (2009-2012)
E-mail
:
[email protected]
9
Lampiran 4 Slide 1
KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF K.H. MUHAMMAD SHOLEH DARAT AL SAMARANI oleh: ANDRI WINARCO 111-12-003
Slide 2
LATAR BELAKANG Setiap aspek dari ajaran agama Islam selalu berorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak yang mulia, yang disebut akhlaqul karimah. Namun, pendidikan akhlak akhir-akhir ini hampir terlupakan, di mana dalam dunia pendidikan sering kali hanya melihat pendidikan hanya berorientasikan pada nilai-nilai akademik semata. Penulis menemukan seorang tokoh Islam dari Semarang yang memosisikan akhlak sebagai pondasi agama. Beliau adalah KH. Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani. Maka dari itulah, di sini penulis mencoba menjabarkan tentang konsep pendidikan akhlak dari perspektif beliau.
10
Slide 3
RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana konsep pendidikan akhlak Muhammad Sholeh Darat Al Samarani? 2. Bagaimana relevansi pendidikan akhlak Muhammad Sholeh Darat Al Samarani dengan pendidikan saat ini? TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui konsep pendidikan akhlak Muhammad Sholeh Darat Al Samarani. 2. Mengetahui relevansi pendidikan akhlak Muhammad Sholeh Darat Al Samarani dengan pendidikan saat ini.
Slide 4
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah Library Research. Sumber data dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu: Sumber data primer (buku-buku yang secara langsung berkaitan dengan objek material penelitian (Kaelan, 2010:143)) dan sumber data sekunder (sumber data yang berupa buku-buku serta kepustakaan yang berkaitan dengan objek material, akan tetapi tidak secara langsung merupakan karya tokoh agama atau filsuf agama tertentu yang menjadi objek (Kaelan, 2010:144)). Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi dan metode wawancara. Data yang telah terkumpul dianalisis menggunakan gabungan dari dari teknik historis, deduktif, dan induktif.
11
Slide 5
PENEGASAN ISTILAH • Konsep adalah sejumlah pengertian atau ciri yang berkaitan dengan berbagai peristiwa, objek, kondisi, situasi, dan hal lain yang sejenis (Muhamad, 2008:65-66). Maka dari itu, konsep merupakan dasar dari segala pemikiran dan komunikasi. • Pendidikan akhlak adalah pendidikan tentang prinsip dasar moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa pemula hingga ia menjadi seorang mukallaf, yakni siap mengarungi lautan kehidupan (Ulwan, 1995:177). • Perspektif berarti sudut pandang atau pandangan seseorang terkait dengan suatu hal atau masalah tertentu. • KH. Muhammad Sholeh Darat dikenal sebagai syaikhul masyayikh (maha guru) yang menelurkan banyak alim ulama di Nusantara, khususnya di Jawa (Ulum, 2016:35).
Slide 6
SISTEMATIKA PENULISAN Bab I, pendahuluan: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, penegasan istilah dan sistematika penulisan. Bab II, biografi tokoh: konteks internal, konteks eksternal, pokok pemikiran Muhammad Sholeh Darat Al Samarani dalam beberapa bidang, dan pendapat beberapa ulama dan cendekiawan terkait dengan Muhammad Sholeh Darat Al Samarani secara umum. Bab III, kajian teori secara umum: pengertian pendidikan akhlak, sumbersumber pendidikan akhlak, konsep dan tujuan pendidikan akhlak, urgensi akhlak terhadap ilmu. Bab IV, konsep pendidikan akhlak perspektif Muhammad Sholeh Darat Al Samarani dan relevansi konsep pendidikan akhlak perpektif Muhammad Sholeh Darat Al Samarani pada masa kini. Bab V, penutup: kesimpulan dan saran-saran.
12
Slide 7
BIOGRAFI TOKOH Muhammad Sholeh Darat Al Samarani •
Konteks internal: Riwayat keluarga, Riwayat Pendidikan, Mengajar, Langkah Gerakan, Karya-karya, Napak Tilas. • Konteks eksternal: Aspek Keagamaan, Aspek Sosial Politik, Aspek Sosial Budaya. • Pokok pemikiran dalam beberapa bidang: Bidang Teologi, Bidang Tasawuf, Bidang Akhlak, Bidang Fiqih, Bidang Pendidikan. • Pendapat beberapa ulama dan cendekiawan secara umum: Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj, MA. (Ketua Pengurus Besar Nahdlotul ‘Ulama’/PBNU): Mbah Sholeh merupakan ulama’ pada tahun 1820 M-1903 M yang disebut sebagai ulama pertama kali yang menulis syarah kitab dari karya Ibnu ‘Athoillah yaitu kitab Al Hikam.
Slide 8
KAJIAN TEORI • Pendidikan Akhlak – Pengertian Pendidikan: pendidikan adalah suatu usaha untuk memberikan pencerahan pemikiran yang mengarah pada pengembangan potensi diri manusia, pembentukan kepribadian, dan pengendalian diri. Pendidikan juga tidak boleh secara kontekstual terpaku pada bidang kognitif namun juga disertai dengan bentuk pengamalan ilmu. – Akhlak, Moral, Etika dan Budi Pekerti: Perbedaan yang terdapat dalam keempat istilah tersebut adalah akhlak lebih merujuk pada sumber agama Islam (Al Qur’an dan Hadits), moral menitik beratkan pada norma yang hidup dalam sebuah masyarakat atau kelompok tertentu, etika lebih menitikberatkan pada penilaian yang bersumber pada akal, dan budi pekerti lebih menitikberatkan pada perpaduan antara akal dan rasa dalam menentukan sopan dan tidak sopannya serta adab dan tidak beradabnya seseorang. – Pendidikan Akhlak: pendidikan akhlak adalah proses dimana manusia memahami tingkah laku yang sesuai, baik menurut agama, filsafat dan ilmu serta dalam perspektif budaya yang berkembang.
13
Slide 9
Slide 10
• Sumber-sumber Pendidikan Akhlak: Al-Qur’an, hadits, Ijtihad, Adat Itiadat. • Konsep dan Tujuan Pendidikan Akhlak - Konsep pendidikan yang dijelaskan dalam Al Qur’an adalah bentuk pembinaan terhadap manusia menuju penyucian jiwa (Shihab, 1992:172-173). - Tujuan pokok adanya pendidikan akhlak adalah membentuk muslim berbudi pekerti, berperangai atau beradat-istiadat, bertingkah laku sesuai dengan ajaran Islam. • Metode Pendidikan Akhlak - Metode Keteladanan dan Pembiasaan - Metode Kisah - Metode Targhib dan Tarhib • Urgensi Akhlak terhadap Ilmu - Zaman dahulu saat masih menganut sistem rimba, siapa saja yang memiliki kekuatan besar dianggap paling berkuasa dan mengabaikan nilai moralitas. Namun, ketika manusia mendapatkan ilmu, maka mulailah ilmu itu dipakai sebagai ukuran tinggi rendahnya derajat manusia, dan ketika ilmu telah merata, maka ukuran yang tepat dipakai untuk menentukan keutamaan dan kekurangan adalah akhlak (Al Ashee, 2004:10-11). - Ilmu menjadi pondasi akhlak, dan kedudukan akhlak lebih utama atau di atas ilmu
PEMIKIRAN TOKOH 1. Eksistensi Akhlak: Akhlak yang diterapkan oleh Kiai Sholeh Darat, yaitu dengan menghadirkan hati di dalam beramal. Kehadiran hati ini sangat ditekankan oleh Kiai Sholeh Darat, karena ketika gerakan jasmaniyahnya melakukan sesuatu, maka gerakan ruhaniyahnya mengiringi aktivitas jasmaniyahnya tersebut. 2. Sumber Akhlak: Melihat dari sudut pandang Kiai Sholeh Darat, maka sumber yang menjadi ukuran dalam menentukan akhlak itu baik atau buruk adalah bersumber dari hati. Hati dalam pembahasan Kiai Sholeh Darat sangat rentan untuk berbuat yang tidak sesuai, karena adanya nafsu syahwat yang menjadikan hati untuk berbelok. Kiai Sholeh Darat menunjuk syari’at dan adat istiadat sebagai bahan untuk mengukur baik buruknya perilaku atau akhlak. 3. Klasifikasi Akhlak: akhlak menurut Kiai Sholeh Darat ada dua yaitu akhlak mahmudah (Sifat mahmudah tegese kang pinuji lan kang wajib ngelakoni ingatase mukmin (Darat, 1422 H:65)) dan akhlak madzmumah (Sifat madzmumah arane wajib ingatase mukallaf ngaweruhi lan tinggal (Darat, 1422 H:65)). 4. Metode Pendidikan Akhlak: Metode yang Kiai Sholeh Darat gunakan adalah metode pembiasaan melalui ritual ibadah (seperti: wudhu, solat, puasa, dan lain-lain) dan tazkiyatun nafs (berusaha menghilangkan sifat-sifat penyakit hati yang madzmumah dan mengisinya dengan sifat-sifat yang mahmudah). 5. Hubungan Akhlak dengan Ilmu: Akhlak dan ilmu adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, karena ilmu dan amal mempunyai keterkaitan yang menjadikannya sempurna dalam berakhlak ((Tegese, ngulati ngelmune saben-saben ngamal kang den lakoni iku ferdhu ‘ain kerono ora sah ngamal yen ora kelawan ngelmu (Darat, 1374 H:2)).
14
Slide 11
KESIMPULAN • Konsep pemikiran Muhammad Sholeh Darat Al Samarani tentang pendidikan akhlak adalah Konsep pendidikan akhlak yang lebih menekankan pada pembiasaan-pembiasaan dalam melakukan ritual ibadah, seperti dalam berwudhu, mendirikan solat, menjalankan puasa, menunaikan zakat, dan pergi ke tanah suci untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima. Di sisi lain, Kiai Sholeh Darat juga mengutamakan kepada manusia untuk selalu berhati-hati dalam bertingkah laku dan beribadah, karena hadirnya nafsu syahwat yang menggoda manusia. Maka dari itu, Kiai Sholeh Darat menganjurkan kepada manusia untuk selalu merasakan ibadahnya. Selain itu, Kiai Sholeh Darat juga menganjurkan untuk menghilangkan sifat-sifat tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji atau dapat dikatakan sebagai proses tazkiyatun nafs. • Adapun relevansi pendidikan akhlak Muhammad Sholeh Darat Al Samarani dengan pendidikan saat ini berujung pada kesimpulan bahwa konsep yang diusung Kiai Sholeh Darat sangat relevan, mengingat era pendidikan saat ini lebih mengutamakan segi kognitif daripada afektif. Hasilnya pun juga baik, terpelajar, namun, apabila mereka terjun ke dalam dunia masyarakat mereka tidak akan mampu menggantikan dari segi afektif, yang terdidik dalam bidang akhlaknya.
15
Lampiran 5
16
17
Lampiran 6 Potret KH. Muhammad Sholeh Darat
Kawasan makam KH. Muhammad Sholeh Darat
18
Wawancara:
Moch. Ichwan DS., selaku sekretaris KOPISODA (Komunitas Pecinta Sholeh Darat) Plamongan Indah, Pedurungan, Semarang.
Moh. Muhsin Jamil., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang
19
Suasana Pengajian Bulanan KOPISODA (Komunitas Pecinta Sholeh Darat) Semarang Bulan Januari
20
Lampiran 7
21
22
23
24