KONSEP MURAQABAH DAN IMPLIKASINYA DALAM KEHIDUPAN KONTEMPORER (Telaah atas Kitab Risalatun al Muawanah Karya al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad)
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd.I)
Oleh: PUJI WASTUTI NIM. 111 10 072
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA TAHUN 1435 H/ 2014 M
MOTTO
Artinya:”Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah SWT. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah SWT hati menjadi tenteram.”(Q. S Al Ra’d: 28).
☺Sesuatu yang datang dari hati pasti akan sampai ke hati☺ Jadi, lakukanlah segalanya dengan hati.
Puji Wastuti
PERSEMBAHAN
Dengan penuh ketulusan dan rasa syukur yang mendalam kepada-Mu ya Rabb, maka skripsi yang penulis susun ini dipersembahkan kepada: Allah SWT dan Rasulullah SAW, sebagai sedikit bukti pengabdian hamba pada agama-Mu yakni al Din al Islam. Mamakku tercinta (Ibu Nasiyem) dan bapakku tercinta (Bapak M. Riva’i. Alm.), yang senantiasa memberikan semangat, dukungan, nasihat,
kasih
sayang
serta
do’a
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Meskipun kini bapak telah tiada. Namun engkau selalu abadi dihati putrimu tercinta ini. Terimakasih mamak, bapak. Pengorbanan mamak dan bapak hanya Allah SWT yang dapat membalasnya. Kakak-kakak dan mbak-mbakku, kang Luji, kang Parno, yuk Ilah, kak Agus, yuk Sri, mbak Pur, kak Yana, kak Eko. Dan seluruh mbak dan kakak iparku, keponakan-keponakanku, yang tidak mungkin penulis sebut satu persatu. Yang telah memberikan semangat, motivasi, dukungan batin dan lahir hingga sekarang dan selamanya kepada penulis dalam menyusun skripsi ini. Syaikhi murobbi rukhina Romo Kyai As’ad Haris Nasuton F dan Ibunda Nyai Fatihah Ulfah Imam Fauzi beserta seluruh ahlul bait beliau yang senantiasa dengan tulus ikhlas mendidik kerohanianku dan motivasi spiritual hingga sekarang. Teman-temanku seperjuangan dan seluruh dewan Asatidz wa al Asatidzah beserta seluruh keluarga besar Pondok Pesantren al Manar
KATA PENGANTAR
Al HamduLillahi Rabbi al „Alamina. Segala puji bagi Allah SWT. Rasa syukur tiada hentinya penulis haturkan kepada Allah SWT atas limpahan karunia rahmat, taufiq, hidayah, inayah dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi
ini
dengan
baik.
Meskipun
belum
sempurna
keberadaannya. Dan dalam wujud yang sangat sederhana. Shalawat dan salam selalu tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW, Nabi akhiruzzaman. Pemimpin umat sepanjang zaman. Yang telah menuntun umatnya dari zaman kejahilan (ketidaktahuan) menuju zaman kezakiahan (kecerdasan). Dari zaman kekufuran menuju zaman keIslaman. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa dukungan, bantuan, dan do‟a dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M. Pd. Selaku ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. 2. Bapak Rasimin. S.Pd. I, M. Pd. Selaku Ketua Program Studi PAI. 3. Bapak M. Gufron, M. Ag. Selaku pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran dalam penulisan skripsi ini. 4. Bapak/ibu Dosen dan seluruh karyawan STAIN Salatiga yang telah memberikan pelayanan kepada penulis.
5. Al Mukarrom Romo Kyai As‟ad Haris Nasution F, Romo Kyai Kholid Ulfi F, Romo Kyai Taufiqurrahman, Romo Kyai Fatkhurrahman, Romo Kyai Muhsinun al Hafidz, Ibunda Nyai Fatihah Imam Fauzi, Ibunda Nyai Chusnul Halimah, dan saudara-saudariku ustadz-ustadzah PondokPesantren al Manar yang telah berjuang bersama dalam agama Allah SWT dan meraih Ridho-Nya. Serta mbak-mbak dan kang-kang keluarga besar Pondok Pesantren al Manar, Bener, Tengaran, Semarang. 6. Mamak dan Bapakkku tercinta, serta seluruh keluarga besarku yang telah mendukung, membantu dan mendo‟akanku dalam menyelesaikan studi di STAIN Salatiga dengan penuh kasih sayang, perhatian, dan kesabaran serta memotivasi diriku. Serta seluruh keluarga besarku. 7. Para pengasuh, pengurus dan santriwan santriyati Pondok Pesantren al Manar Bener, Tengaran, Semarang. 8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu kelancaran dalam penulisan skripsi ini. Atas jasa-jasa dan amal kebaikan beliau di atas, penulis mendo‟akan semoga Allah SWT yang Maha Segalanya menerima amal beliau dan memberikan balasan yang jauh lebih baik. (
).
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, semua itu karena keterbatasan yang penulis miliki. Tiada kalimat yang penulis sampaikan kecuali kalimat al HamduLillahi Rabbi al „Alamina. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan barakah baik dalam agama, di dunia sampai di akhirat. Amin.
ABSTRAK
Puji Wastuti. 2014. Konsep Muraqabah dan Implikasinya dalam Kehidupan Kontemporer (Telaah atas Kitab Risalatun al Muawanah Karya al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad). Skripsi. Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam Negeri Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: M. Gufron, M.Ag. Kata kunci: Konsep Muraqabah. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad merupakan seorang ulama‟ salaf, merasa sangat penting sebuah pribadi yang memiliki keimanan yang kuat, jiwa mawas diri (muraqabah) dan mendalam yang harus dimiliki oleh setiap hamba dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji bagaimana konsep muraqabah menurut al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad dalam kitab Risalatun al Muawanah. Pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah: 1) Bagaimana sistematika penulisan dalam kitab Risalatun al Muawanah? 2) Bagaimana pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi bin al Haddad tentang Konsep Muraqabah dalam kitab Risalatun al Muawanah? 3) Bagaimana implikasi Konsep Muraqabah dalam kitab Risalatun al Muawanah dalam kehidupan sehari-hari?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan kepustakaan. Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan jenis penelitian kepustakaan (Library Research), sedangkan sumber data primer dari penelitian ini adalah kitab Risalatun al Muawanah dan sumber sekundernya adalah buku-buku lain yang bersangkutan dan relevan dengan penelitian. Adapun teknis analisis data menggunakan metode Deduktif dan metode Induktif dan temuan penelitian ini menunjukkan bahwa Konsep Muraqabah menurut al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad ini sangat dibutuhkan bagi diri sendiri dan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Karakter pemikiran beliau dapat digolongkan dalam corak praktis yang tetap berpegang teguh dengan al Qur‟an dan al Hadis. Kecenderungan lain dalam pemikiran beliau adalah mengetengahkan nilai-nilai ke-Islaman yang bernafaskan ke-tasawuf-an. Segala amal perbuatan akan dipertanggung jawabkan dihadapan-Nya. Amal manusia seluruhnya akan menjadi saksi. Dengan mengoptimalkan memiliki jiwa selalu diawasi (muraqabah) oleh-Nya, Konsep beliau berusaha membuat dasar atau pondasi diri yang kuatakan keimanan yang religius melalui pembinaan individu dalam segala aktivitas kehidupan. Dari sini diharapkan akan terwujud sebuah pribadi yang memiliki akhlak mulia, berbudi pekerti yang luhur dan berkeimanan yang kuat.
DAFTAR ISI
1.
JUDUL...............................................................................................
i
2.
LOGO STAIN...................................................................................
ii
3.
PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................... iii
4.
PENGESAHAN KELULUSAN......................................................
iv
5.
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.......................................
v
6.
MOTTO............................................................................................... vi
7.
PERSEMBAHAN............................................................................. vii
8.
KATA PENGANTAR......................................................................
ix
9.
ABSTRAK.........................................................................................
xi
10. DAFTAR ISI....................................................................................
xii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah......................................................................1 B. Rumusan Masalah................................................................................9 C. Tujuan Penelitian..................................................................................9 D. Kegunaan Penelitian............................................................................10 E. Penegasan Istilah................................................................................. 12 F.
Metode Penelitian............................................................................... 13
G. Sistematika Penulisan Skripsi.............................................................. 17
BAB II. BIOGRAFI AL SAYYID ABDULLAH BIN ALWI AL HADDAD A. Riwayat Hidup al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad................... 19 B. Pendidikan al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad.......................... 34 C. Pengajaran al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad.......................... 37 D. Karya-karya al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad........................ 43 BAB III. DESKRIPSI PEMIKIRAN AL SAYYID ABDULLAH BIN ALWI AL HADDAD A. Latar Belakang Penulisan Kitab Risalatun al Muawanah................... 45 B. Sistematika Penulisan Kitab Risalatun al Muawanah........................ 46 C. Pokok Isi Kitab Risalatun al Muawanah............................................ 47 D. Pengertian Konsep Muraqabah........................................................... 71 E. Pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad tentang Konsep Muraqabah dalam Kitab Risalatun al Muawanah..............................
76
BAB IV. ANALISIS PEMIKIRAN AL SAYYID ABDULLAH BIN ALWI AL HADDAD TENTANG KONSEP MURAQABAH A. Analisis Konsep Muraqabah menurut al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad..............................................................................................
84
B. Implikasi Konsep Muraqabah menurut al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad dalam kehidupan kontemporer............................................. BAB V. PENUTUP
95
A. Kesimpulan........................................................................................ 113 B. Saran.................................................................................................. 117 C. Penutup.............................................................................................. 117 11. DAFTAR PUSTAKA 12. LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaannya hingga menjadikannya Rahmatan lil „Alamin. Rasulullah SAW pembawa kesempurnaannya di dunia ini. Tidak heran jika hal itu sangat menjadi topik utama dalam kehidupan ini. Menjadi awal dan dasar kehidupan seseorang untuk menjadi bahagia di dunia dan akhirat. Dasar utama dalam Islam adalah mengakui keberadaan-Nya dan para utusannya. Dengan mengakui bahwa:” Aku mengakui, bahwa tiada Ilah selain Allah SWT, tunggal Maha sendiri-Nya, tiada sekutu bagi-Nya, demikian tinggi Dia dengan ketinggian yang Maha Agung. Dia menciptakan seluruh langit dan bumi serta segala apa yang ada diantara keduanya dalam kurun wangsa waktu enam periode hari, kemudian Dia bersemayam di Arasy al Rahman.” (Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut Islam, 1990: 27). Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q. S. Al Hadiid: 3-4:
- -
-
Artinya:”Dia-lah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Dia-lah yang Menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia Bersemayam di atas Arasy. Dia Mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kesana.” (Q. S. Al Hadid: 3-4). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital). Selain itu terdapat juga dalam Q. S. Al Ikhlas: 1-4:
-
- -
- -
- -
Artinya:”Katakanlah (Muhammad),“Dia-lah Allah SWT, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah SWT) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (Q. S. Al Ikhlas: 1-4). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Surat al Ikhlas menetapkan keesaan Allah SWT secara murni dan menafikan segala macam kemusyrikan terhadap-Nya. Wajar jika Rasul SAW menilai surat ini sebagai “sepertiga al Qur‟an”. Maha Benar Allah SWT dalam segala firman-Nya. (Tafsir al-Qur‟an al-Karim M. Quraish Shihab, 1997: 674). Kemudian, membenarkan pula bahwa:”Aku membenarkan bahwa Muhammad adalah seorang hamba-Nya dan utusan-Nya, diutus dengan benar menjadi saksi, dan menyampaikan kabar penghiburan dan pertakutan, serta mengajak kepada agama Allah SWT dengan ijin-Nya, seraya dengan lampu yang cemerlang.” (Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut Islam, 1990: 27). Hal tersebut dijelaskan dalam al Qur‟an surat al Saba‟ ayat 28 yaitu:
Artinya:”Dan Kami tidak Mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q. S. Al Saba‟: 28). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Sebagaimana firman Allah Q. S. Al Ahzab ayat 21:
Artinya:”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzaab: 21). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital). Sebagai seorang manusia, terutama umat muslim, wajib kita mengetahui dan memahami hal tersebut. Bahwa Allah SWT itu benar keEsaan-Nya. Tetapi jika kita hanya meyakini saja, hal itu belum cukup. Seperti seorang remaja putra mencintai seorang remaja putri. Tidak cukup hanya sekedar perkataan saja, tetapi butuh pembuktian untuk mencintai karena-Nya. Maka sudah seharusnya di dalam kehidupan sehari-hari sebagai hamba
Allah
SWT,
manusia
membuktikan
dan
mengamalkan
keyakinannya tersebut baik secara dzahiriyah maupun bathiniyah agar menjadi Insan al Kamiil. Untuk itu, perlu pemahaman lebih spesifik dan mendalam jika seseorang itu mengakui keberadaan-Nya yaitu salah satunya dengan cara Muraqabah.
Aktivitas muraqabah (disebut juga dengan istilah kontemplasi dan meditasi) ini dimulai dengan mengulang-ulang dzikir kepada Allah SWT, seperti “Allah hadirii” atau Allah ma‟ii” (Allah SWT bersamaku). Lafadzlafadz dzikir itu dapat diucapkan dengan suara keras maupun suara lembut atau dalam hati, tergantung pada pilihan, kebiasaan, dan kepuasan orang yang melaksanakannya. (Ensiklopedi Islam, 1994: 301) Tidak ada seseorang yang lebih baik agamanya, lebih lurus jalannya, dan lebih jelas manhaj-nya dari orang yang tunduk pada hukum Rabb-nya (Tuhan-nya), taat kepada Tuhan-nya, dan menjauhi setiap yang diharamkan oleh Allah SWT, selalu taat kepada perintah Rabb-nya dan sunnah Nabi-Nya, selalu berusaha dalam ketaatan kepada Tuhan-penciptanya, dan kemudian mengikuti agama yang terbaik, yaitu agama Ibrahim AS, agama Islam, agama yang toleran dan mudah. (Tafsir Muyassar, 2008: 446). Dalam al-qur‟an Q. S. An Nisa‟ ayat 125, Allah berfirman:
Artinya:”Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah SWT, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah SWT telah Memilih Ibrahim menjadi kesayangan(-Nya).” (Q. S. An Nisa‟: 125). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital). Jika nasehat tersebut tetap tidak dapat menghentikan tindakannya, berilah seseorang itu pengertian tentang kematian yang sudah semakin
dekat. Salah satunya dengan cara muraqabah. (Al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, tt: 24). Muraqabah termasuk salah satu maqam (tingkatan sufi) dalam ajaran tasawuf. Maqam berasal dari bahasa Arab yaitu
artinya
kedudukan, posisi, ranking, derajat. (Kamus Kontemporer Arab Indonesia, 1998: 1786). Maqam atau maqamat (tingkatan sufi) muraqabah terletak pada tingkatan ketiga dari empat tingkatan dalam derajat maqamat yaitu al Haqiqah. (Dahlan Tamrin, 2010: 31-34). Secara istilah, muraqabah merupakan sikap mawas diri dalam rangka menghindarkan diri dari perbuatan dosa.
Sikap ini biasanya
dilakukan oleh sufi yang sudah sampai pada tingkat mengetahui dan meyakini bahwa Allah SWT menguasai dan menguasai seluruh hati dan perasaannya. Kesadaran itu akan mendorong sufi untuk selalu bersikap mawas diri terhadap segala bisikan tercela yang dapat memalingkannya dari mengingat Allah SWT. Namun, orang awam pun berhak untuk memiliki sikap mawas diri, karena hal itu penting untuk dirinya. (Ensiklopedi Islam, 1994: 301) Muraqabah mempunyai beberapa tingkatan: pertama, menjaga hati, perasaan dan pikiran, karena Allah SWT menguasai semua itu; kedua, menjaga yang benar (haqq) dengan kebenaran (haq) dalam keadaan fana‟(pemusnahan keterbatasan individu) dan kemudian mengikuti teladan Nabi Muhammad SAW dalam semua perbuatan, akhlak, dan budi pekerti
(adab) nya; dan ketiga, selalu bersikap mawas diri terhadap Allah SWT dan selalu memohon kepada-Nya agar Ia menjaganya dalam keadaan tersebut (keadaan muraqabah) sebab Allah SWT telah memberikan anugerah kepada orang-orang pilihan-Nya dan orang-orang baik yang tidak merasa berat dalam menjalani keadaan tersebut. Hal itu disebabkan karena Allah SWT-lah pada hakikatnya yang menguasai semua urusan mereka. Tingkatan ketiga ini merupakan derajat orang-orang sufi yang telah mencapai puncak tertinggi dari muraqabah. (Ensiklopedi Islam, 1994: 301). Dalam kitab ini dijelaskan tentang ajakan kepada umat Islam untuk memperkuat iman dan keyakinan, dan menjelaskan cara keduanya itu menjadi semakin kuat. Dengan keyakinan yang kuat, hal-hal ukhrawi yang tidak nampak seolah-olah kelihatan, sehingga selalu melihat diri kita diakhirat menghadap Allah SWT -sikap mawas diri- yang disertai rasa takut (khauf) dan berharap (roja'), juga menjelaskan bagaimana berhubungan dengan Allah SWT maupun kepada sesama manusia. Kita akan selalu mencintai Allah SWT dan menjadikan semua hidup kita untuk mengabdi kepada-Nya, menjalankan hal-hal yang baik, dan meninggalkan hal-hal yang buruk. Karakteristik pemikiran memperkuat keimanan menurut al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad dalam kitab ini dapat digolongkan dalam corak pemikiran praktis yang tetap berpegang teguh pada al Qur‟an dan al Hadis. Kecenderungan lain yang beliau sampaikan dalam kitab ini adalah
lebih mengedepankan ritual ataupun praktek ibadah sehari-hari yang sangat mudah untuk dipelajari. Lebih mengutamakan pembelajaran dari diri sendiri, bukan orang lain. Menjadikan diri berintrospeksi dalam beamal dan melakukan ibadah sehari-hari. Disinilah letak keistimewaan kitab beliau. Mengingat zaman sekarang yang semakin maju akan ilmu teknologi, perkembangan dunia modern yang semakin mengedepankan IPTEK daripada IMTAQ. Disinilah letak pentingnya ilmu Agama untuk membentengi diri dari bahaya dan gangguan dari luar dan dari dalam. Terutama tantangan hidup melawan hawa nafsu yang tidak terkendali. Sikap pribadi dalam
menjaga diri sendiri sangat penting. Karena
penjagaan terhadap perilaku tidak baik yang terutama adalah diri sendiri yaitu bersikap mawas diri dalam segala hal. Merespon pentingnya sikap mawas diri yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai cermin pribadi seorang muslim sejati dan melihat betapa
penting pula sebagai seorang mukallaf untuk
menambah keimanan dan kedekatan kepada sang Pencipta. Maka al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad menyusun sebuah risalah (kitab kecil) yang berisi tentang Muraqabah yang harus diketahui oleh setiap umat muslim yang hendak ingin selalu berada dalam naungan-Nya dan dapat bersikap mawas diri dimana pun dan kapan pun berada. Karena dengan memiliki sikap mawas diri kepada Allah SWT. Akan semakin dekat pula kepada-Nya. Untuk itu, beliau berpesan dan berharap dapat
menjadi bahan renungan dan ingatan serta pengamalan. Beliau juga selalu mengawali pembahasan dengan kalimat wa alaika (Hendaklah Anda...) dengan tujuan untuk mengajak diri sendiri dan saudara beliau dan untuk seluruh kaum muslimin yang membaca risalah ini. Dan beliau berharap dengan adanya risalah ini semoga dapat memberikan kemanfaatan dan keberkahan bagi siapa saja. ( al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, tt: 912). Begitu mulianya akhlak beliau dan begitu memperhatikan tentang masa depan akhlak. Beliau lebih mengutamakan rasa saling mengingatkan. Karena dengan mengingatkan orang lain, maka secara tidak langsung juga mengingatkan diri sendiri. Subhanallah. Muraqabah berbeda dengan Muqarabah. Dua kata yang hampir sama. Tetapi, jelas perbedaannya. Muraqabah adalah sikap mawas diri atas semua perbuatan kita sebagai manusia ciptaan Allah SWT. Sedangkan Muqarabah adalah cara seorang hamba untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan dasar ini pula, penulis hendak membahas lebih dalam tentang Muraqabah agar pembaca yang budiman dapat memahami secara mendalam tentang Muraqabah. Agar tidak salah penafsiran dan pemahaman tentang dua kata yang hampir sama yaitu Muraqabah dan Muqarabah. Dari uraian di atas, penulis ingin lebih jauh mengkaji, mendalami dan membahas tentang pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad
melalui sebagian dari karya-karya beliau yang sudah merakyat ditanah air Indonesia. Penulis akan membahas tentang konsep muraqabah dalam sebuah kitab yang merupakan hasil dari sebagian karya beliau, sebagai seorang ulama sufi yang terkemuka. Yaitu kitab Risalatun al Muawanah yang secara langsung memuat tentang muraqabah. Untuk itu, maka penulis berusaha untuk menyusun sebuah skripsi yang berjudul: KONSEP MURAQABAH
DAN
IMPLIKASINYA
DALAM
KEHIDUPAN
KONTEMPORER (Telaah atas Kitab Risalatun al Muawanah Karya al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad). Penulis akan berusaha mengulas tentang konsep muraqabah dalam kitab Risalatun al Muawanah dan bagaimana implikasinya dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Semoga dapat memberikan kontribusi dan kemanfaatan serta keberkahan terutama bagi penulis dan umumnya bagi pembaca yang budiman yang selalu dalam naungan-Nya. Dimanapun dan kapanpun berada. Amin. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah sistematika penulisan dalam kitab Risalatun al Muawanah? 2. Bagaimanakah pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi bin al Haddad tentang Konsep Muraqabah dalam kitab Risalatun al Muawanah?
3. Bagaimanakah implikasi Konsep Muraqabah dalam kitab Risalatun al Muawanah dalam kehidupan sehari-hari? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui bagaimana sistematika penulisan dalam kitab Risalatun al Muawanah. 2. Mengetahui pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad tentang Konsep Muraqabah dalam kitab Risalatun al Muawanah. 3. Mengetahui implikasi Konsep Muraqabah dalam kitab Risalatun al Muawanah dalam kehidupan sehari-hari. D. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini dapat dikemukakan menjadi dua bagian, yaitu: 1.
Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis, berupa pengetahuan tentang konsep muraqabah dan bermanfaat sebagai kontribusi pemikiran bagi dunia pendidikan khususnya dunia pendidikan Islam.
2.
Kegunaan Praktis a. Bagi Penulis
Menambah wawasan dan pemahaman penulis mengenai konsep muraqabah untuk selanjutnya dijadikan sebagai pedoman dalam bersikap dan berperilaku di alam kehidupan sehari-hari. b. Bagi Lembaga Pendidikan I. Sebagai masukan yang membangun guna meningkatkan kualitas lembaga pendidikan terutama pendidikan Islam, termasuk para pendidik yang ada di dalamnya dan penentu kebijakan dalam lembaga pendidikan serta pemerintah secara umum. II. Dapat menjadi bahan pertimbangan untuk diterapkan dalam dunia pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Indonesia terutama pendidikan Islam (seperti Madrasah Diniyah,
Pondok
Pesantren)
sebagai
solusi
terhadap
permasalahan pendidikan yang ada. Terutama pendidikan diri, dalam beramal setiap hari. c. Bagi Ilmu Pengetahuan I. Menambah khazanah keilmuan tentang konsep muraqabah yang terdapat dalam kitab Risalatun al-Muawanah sehingga mengetahui betapa Maha Kuasa Allah SWT yang Maha Segalanya. Dan dapat meningkatkan pengetahuan tentang kajian mengenai cara bersikap mawas diri( Muraqabah) kepada Allah SWT. Dan juga tentang disiplin ilmu Tauhid Islam, sehingga dapat diketahui bagaimana seorang mukallaf
untuk menambah keimanan agar semakin dekat kepada Allah SWT. Dengan demikian seorang mukallaf akan berusaha menghindarkan diri dari perbuatan dosa. Agar bisa selamat di dunia dan juga di akhiratnya. II. Sebagai bahan referensi dalam ilmu pendidikan terutama ilmu pendidikan Islam tentang ke-tasawuf-an, sehingga dapat memperkaya dan menambah wawasan dibidang tersebut khusunya dan bidang ilmu pengetahuan yang lain pada umumnya. E. Penegasan Istilah Untuk menghindari kekeliruan penafsiran dan kesalah pahaman dalam mengartikan atau memahami tujuan dari skripsi yang dimaksudkan, maka penulis kemukakan pengertian dan penugasan judul proposal ini sebagai berikut: 1. Konsep Konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret, gambaran mental dari objek, proses atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 588). Selain pengertian tersebut, ada juga yang mengartikan bahwa konsep adalah pokok pertama yang mendasari keseluruhan pemikiran. (Ensiklopedi Indonesia, 1991: 1856). Dengan demikian, sebuah konsep
akan membingkai atau menyusun sebuah penjelasan tentang suatu hal atau perkara yang diteliti. 2. Muraqabah Muraqabah adalah
yaitu kontrol atau pengawasan.
(Kamus Kontemporer Arab Indonesia, 1998: 1680). Selain itu, muraqabah juga merupakan termasuk salah satu maqam (tingkatan sufi) dalam ajaran tasawuf. Secara istilah, muraqabah adalah sikap mawas diri dalam rangka menghindarkan diri dari perbuatan dosa. (Ensiklopedi Islam, 1994: 301). F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis lakukan ini tergolong jenis penelitian pustaka (Library Research ), karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka (Sutrisno Hadi, 1981: 3). Dan yang dijadikan objek kajian adalah hasil karya tulis yang merupakan hasil dari pemikiran. 2. Sumber Data Adapun sumber data yang penulis gunakan adalah: a. Sumber data primer Karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research), dan data yang diperoleh bersumber dari
literatur. Maka, sumber data primer adalah sumber yang langsung berkaitan dengan penelitian yaitu kitab Risalatun al Muawanah karangan al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad. b. Sumber data sekunder Yaitu sumber data yang berhubungan dan berkaitan serta melengkapi sumber-sumber data primer dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi sumber data sekunder diantaranya adalah kitab Risalatun al Muawanah karya al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, buku terjemahan kitab Risalatun al Muawanah oleh Moch. Munawwir az Zahidiy, buku Ensiklopedi Islam, buku Metodologi Penelitian Filsafat karya Anton Bakker dan Achmad Charis Zubair, buku Prosedur Penelitian karya Suharsimi Arikunto, buku Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut Islam karya Dja‟far Soedjarwo dan buku-buku lain yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitian ini adalah dengan mencari dan mengumpulkan buku yang menjadi sumber data primer yaitu kitab Risalatun al Muawanah karangan al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, dan buku-buku lain yang mendukung penulis dalam menyusun skripsi ini seperti buku Ensiklopedi Islam, buku Prosedur Penelitian karya Suharsimi
Arikunto, dan buku lain yang relevan. Setelah data terkumpul maka dilakukan penelaahan serta sistematis dalam hubungannya dengan penelitian yang diteliti, sehingga diperoleh data atau informasi untuk bahan penelitian. 4. Teknik Analisis Data Dalam menganalisis data, penulis menggunakan 3 ( tiga) cara, yaitu: a. Analisis isi (Content Analysis) Neuman menyebutkan:“ Content analysis is a technique for gathering and analyzing the content of text.” (Neuman, 2003: 310). Yaitu analisis dari teks, bukan hanya tulisan atau gambar saja, melainkan juga ide, tema, pesan, arti, maupun simbol-simbol yang terdapat dalam teks, baik dalam bentuk tulisan (seperti buku, majalah, surat kabar, iklan, surat resmi, lirik lagu, puisi, dan sebagainya), maupun dari gambar (misalnya film, foto, lukisan), atau pidato. Dengan teknik analisis ini, penulis akan menganalisis terhadap makna atau pun isi yang terkandung dalam pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad tentang konsep muraqabah dan bagaimana implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. b. Metode Deskriptif Menurut Gay (1976), metode penelitian deskriptif adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu
yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. Selain itu ada juga yang mengartikan metode deskriptif adalah metode penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana cara mencapai tujuan yang diinginkan. (Mahi. M. Hikmat, 2011: 44-45). Metode ini dapat digunakan dalam berbagai masalah yang ada. (Sevilla at.all, 1993: 73). Dengan cara penulis menjelaskan isi atau kandungan yang terdapat dalam kitab Risalatun al Muawanah tersebut lebih khususnya membahas tentang muraqabah dan hal yang sedang dibahas secara teratur mengenai seluruh konsepsi pandangan tokoh yang bersangkutan. c. Metode Deduktif Yaitu metode yang berangkat dari fakta-fakta yang umum, peristiwa-peristiwa yang konkret, kemudian dari fakta-fakta dan peristiwa yang konkret tersebut ditarik dalam generalisasi yang bersikap khusus (Hadi, 1990: 26). Dengan cara, mengetahui pola pemikiran yang bersifat umum kepada penarikan pola pemikiran yang bersifat khusus. Maka penulis akan membahas dari keseluruhan dari berbagai pendapat atau pandangan yang bersifat umum lalu membahas masalah yang dimaksudkan secara terperinci atau bersifat khusus. Metode ini penulis gunakan untuk menganalisis data tentang konsep yang akan dibahas yaitu konsep muraqabah.
d. Metode Induktif Yaitu metode yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkret, kemudian dari fakta-fakta dan peristiwa yang konkret tersebut ditarik dalam generalisasi yang bersikap umum. (Hadi, 1990: 26). Metode ini penulis gunakan untuk menganalisis mengetahui fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa yang khusus kemudian ditarik kesimpulan menjadi umum. Yaitu dengan cara menganalisis data tentang konsep muraqabah menurut pengarang kitab yaitu al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad yang tertuang dalam kitab karangan beliau yaitu kitab Risalatun al Muawanah. Yang merupakan salah satu karya beliau yang fonumental. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam skripsi ini yang penulis maksudkan adalah sistematika penyusunan secara terinci dari bab ke bab yang lain. Sehingga skripsi ini dapat dipahami secara baik dan benar serta memahamkan bagi pembacanya. Untuk mengetahui secara keseluruhan isi atau materi-materi skripsi secara global, maka penulis perlu merumuskan skripsi ini, yaitu sebagai berikut: 1. Bagian ini memuat bagian awal skripsi yang memuat halaman judul, notasi Dinas, halaman pengesahan, halaman pernyataan keaslian
tulisan, halaman motto, halaman persembahan, halaman pengantar, halaman abstrak dan daftar isi. 2. Bagian utama Pada bagian ini terdiri dari lima bab, yaitu: Bab I: Bab ini merupakan bab pemuka atau bab pendahuluan. Meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi. Bab II: Dalam bab ini membahas tentang riwayat hidup al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, meliputi biografi al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, setting sosio kultural, pendidikan, karir akademik, dan karya-karya tulisan beliau. Bab III: Bab tiga ini membahas tentang Latar Belakang Penulisan Kitab Risalatun al Muawanah, Sistematika Penulisan Kitab Risalatun al Muawanah, Pokok Isi Kitab Risalatun al Muawanah, Pengertian Konsep Muraqabah, dan pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad tentang Konsep Muraqabah dalam Kitab Risalatun al Muawanah. Bab IV: Pada bab ini berisi tentang pembahasan yaitu membahas bagaimana Konsep Muraqabah menurut al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, menguraikan signifikansi pemikiran dan bagaimana Implikasi Konsep Muraqabah dalam kehidupan sehari-hari untuk bersikap mawas
diri dalam setiap tindakan, guna menjadi insan yang sejati dalam pandangan manusia terutama dihadapan Allah SWT. Bab V: Bab ini merupakan bab terakhir yang terdiri dari kesimpulan, saran-saran dan penutup. 3. Bagian akhir skripsi ini berisi penutup, menguraikan kesimpulan dan saran, daftar pustaka, lampiran-lampiran, dan daftar riwayat hidup penulis.
BAB II BIOGRAFI AL SAYYID ABDULLAH BIN ALWI AL HADDAD E. Riwayat Hidup al Sayyid Abdullah Bin Alwi al Haddad Al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad dilahirkan pada hari Isnain 5 Safar 1044 H di Subair (sebuah perkampungan di pinggir bandar Tarim– Hadramaut, Yaman). Nama asli beliau adalah Abdullah bin Alwi bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Abu Bakar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al Faqih bin Abdurrahman bin Alwi bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Jaafar al Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainul Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib dan juga putra Fathimah
binti Rasulullah Muhammad SAW. Di masa kecilnya beliau dijangkiti penyakit campak, lalu beliau buta karenanya. Akan tetapi Allah SWT telah menggantikan untuknya cahaya pada hatinya untuk melihat, serta kebersihan jiwanya. (http://www.darulmurtadza.com/2011/12/riwayat-hidup-imam-abdullah-
bin-alwi-al.html).
Imam al Haddad tumbuh dalam penjagaan kedua ibu bapaknya. Ayahnya bernama Habib Alwi bin Muhammad al Haddad, seorang yang sholeh lagi dikenali dengan ketaqwaanya. Seorang yang tergolong dalam golongan al ‟Arifin. Imam al Haddad sendiri pernah berkata: “Sesungguhnya ayahku ini suci dan mensucikan”. Tidak lama setelah itu, sakit menimpa ayahanda Imam al Haddad sehingga beliau wafat pada malam Isnain awal bulan rajab setelah mengucap kalimah
. Setelah 5 hari ayahanda Imam al Haddad
meninggal dunia, Ibunya yang bernama Syarifah Salma binti Idrus bin Ahmad al Habshee, seorang wanita solehah. Ibu beliau Syarifah Salma sakit selama lebih kurang 20 hari, lalu kemudian meninggal dunia setelah mengucap syahadah pada hari Rabu 24 Rajab 1072 H, bertepatan pada waktu Dhuha. Berkata Imam al Haddad : “Aku memuji dan bersyukur kepada Allah SWT, oleh karena mereka berdua (yakni kedua ibu bapaknya) meninggal dunia dalam keadaan yang diridhai, di zaman yang penuh dengan fitnah, sementara mereka berdua telah wafat dalam keadaan yang baik dan memberikan berita gembira, yaitu keselamatan”.
Imam al Haddad tumbuh besar dalam lingkungan keluarga yang baik, dimasa kecilnya beliau menyibukkan diri untuk menghafal Al Qur‟an, dan bermujahadah untuk mencari ilmu, sehingga berjaya mendahului rekan-rekannya. Bahkan dengan kegigihannya dalam mencari ilmu, beliau berjaya mendahului sebagian guru-guru beliau, sehingga sebagian daripada mereka menjadi murid setelah sebelumnya menjadi guru. Salah seorang daripada mereka adalah Sheikh Bajubair, dimana Imam al Haddad telah berguru kepada Syeikh Bajubair dalam ilmu Fiqh, dan telah belajar kitab al Minhaj (kitab Fiqh madzhab Imam Syafi‟i). Syeikh Bajubair merantau ke negeri India, setelah beberapa lama berada di sana, lalu kemudian beliau kembali ke Hadramaut dan belajar kepada Imam al Haddad kitab Ihya‟ „Ulumuddin. Hal ini menunjukkan akan keluasan ilmu Imam al Haddad yang di berikan oleh Allah SWT kepadanya sesuai dengan firman-Nya:
Artinya:”Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami Berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami Ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami.” (Q. S. Al Kahfi: 65). ( Terjemah al Qur‟an al Kalam digital). Dalam al Qur‟an Allah SWT berfirman, mengingatkan agar manusia memiliki ketakwaan dan rasa takut kepada Allah SWT. Yaitu:
-
Artinya:”Dan bertakwalah kepada Allah, Allah Memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q. S. Al Baqarah: 282). ( Terjemah al Qur‟an al Kalam digital). Imam al Haddad mempunyai 3 orang saudara, mereka adalah: Omar, Ali, dan Hamid. Beliau sering menulis surat kepada mereka yang dipenuhi dengan nasihat-nasihat dan pengajaran-pengajaran. Akan tetapi, surat-menyurat beliau kepada Hamid (saudaranya) lebih sering, hal ini mungkin disebabkan oleh karena jauhnya jarak antara mereka berdua, oleh karena beliau (Habib Hamid) tinggal di India dan meninggal dunia di sana pada 1107 H. Dari isi kandungan surat-surat itu tampak satu pertalian hubungan persaudaraan yang menggambarkan akan kesungguhan kasih sayang dan kecintaan di antara mereka. Imam al Haddad mempunyai 6 orang anak lelaki, mereka adalah: Hasan, Alwi, Muhammad, Salim, Husain, dan Zain. Beliau seorang ayah yang penyayang terhadap anak-anaknya, beliau memberikan gelarangelaran terhadap mereka. Seperti gelaran Ameer (pemimpin) untuk Husain, Sholeh (orang yang banyak amal ibadahnya) untuk Alwi, Hakim (sifat bijaksana) untuk Hasan, dan sheikh (guru besar) untuk Zain. Berkata Imam al Haddad tentang anaknya Muhammad: “Sesungguhnya anakku Muhammad telah mendapat derajat wilayah yang sempurna”. Sehingga dengan demikian beliau dipilih untuk menggantikan ayahandanya di dalam perhubungan antara kabilah-kabilah untuk mendamaikan antara puak-puak yang berselisih. Puak-puak adalah kelompok, golongan, atau gerombolan (Kamus Bahasa Indonesia Online).
Contohnya beliau berjaya memadamkan api peperangan antara 2 kabilah yang berselisih, dengan menikah dengan kabilah al Bakatsir (keluarga Bakatsir) demi mempererat hubungan antara kabilah-kabilah yang bersenjata. Beliau meninggal dunia di Dzamar. Adapun Hasan dan Alwi dikenali dengan keilmuannya, dan mereka menggantikan kedudukan ayahanda mereka dalam tugas mengajar ilmuilmu, dan memberi makan fakir miskin, menerima tamu-tamu asing ataupun tamu-tamu khas yang datang dari luar. Imam al Haddad pernah berdoa untuk anaknya Hasan:“Hasan (artinya yang baik) semoga Allah membaikkan di belakangmu.” Dengan doa itu beliau mempunyai dzuriat yang baik dan banyak dari kalangan ulama. Dzuriat adalah anak cucu atau keturunan. Hasan meninggal dunia di Tarim pada tahun 1188 H, adapaun Alwi meninggal dunia di Mekkah setelah menunaikan ibadah haji, dan di kebumikan berhampiran dengan kubur Siti Khadijah R.A pada tahun 1153 H. Zain telah berhijrah ke Iraq setelah ayahandanya meninggal dunia, beliau sangat dihormati di negeri itu disebabkan oleh karena pengaruh ayahandanya yang begitu luas sehingga ke negeri Iraq. Beliau meninggal dunia di negeri Oman bertepatan dengan perkampungan Sheer, pada tahun 1157 H. Adapun Salim, beliau menetap di negeri Misyqash dan mempunyai dzuriat di sana, lalu kemudian kembali ke kampung halamannya Tarim dan meninggal dunia di sana pada tahun 1165 H.
Sementara Husain, sakit menimpa beliau, lalu beliau meninggal dunia karena sakit. Dzuriyat Imam al Haddad tersebar di serata dunia, baik di Hadramaut (tanah airnya) ataupun di negara lain, seperti Saudi Arabiya, Negara-negara teluk, Malaysia, Indonesia, Singapura, India, dan lain-lain. Sebagaimana dikatakan bahwa: Allah SWT telah memberi keberkatan kepada Imam al Haddad melalui anak muridnya, anak keturunannya dan kitab-kitabnya. Semoga Allah
SWT mengekalkan dan memelihara
keberkatan ini pada kitab-kitab dan keturunannya, serta memelihara mereka untuk berjalan mengikut datuk mereka, dan menjadikan mereka sebaik-baik penerus kepada pendahulu mereka.
Berkata Imam al
Haddad:“Kami akan berjalan di atas landasan dan garisan Nabi Muhammad SAW, dan landasan para salaf (pendahulu kami) segala upaya kami. Sungguh yang ternampak dari kami adalah penyebaran ilmu, bukan untuk menampakkan perkara yang lain.” Firman Allah SWT:
Artinya:”Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami Pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.) (Q. S. Ath Thur: 21). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Imam al Haddad mempunyai akhlak dan budi pekerti yang luhur sebagaimana perkara itu menjadi pujian kepada Rasulullah SAW. Firman Allah SWT:
Artinya:” Dan sesungguhnya engkau benar-benar, berbudi pekerti yang luhur.” (Q. S. Al Qalam: 4). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital). Beliau suka memberi maaf kepada siapa yang bersalah, suka menyuruh kepada yang ma‟ruf, dan mencegah kemungkaran, sebagai tanda meneladani penghulu seluruh manusia Rasulullah SAW yang telah di firmankan oleh Allah SWT:
Artinya:” Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (Q. S. Al Ahzab: 21). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital). Imam al Syili berkata (dalam kitab al Masyra‟ al Rawiy): Beliau (Imam al Haddad) mempunyai sifat lemah-lembut, pemaaf, membalas dengan kebaikan, tidak besifat pendendam, dan bersifat bersih hati kepada orang yang bersikap kasar kepadanya. Dengan demikian beliau menjadi contoh yang baik dalam perkataan dan perbuatannya, dan teladan yang agung dalam akhlak dan budi pekerti Rasulullah SAW. Beliau mempunyai semangat yang tinggi, keazaman (keinginan) yang kuat dalam berpegang teguh kepada agama. Beliau seorang yang bersifat pemurah, ringan dalam memberi, sangat menghormati tamu. Beliau berkata:“Sesungguhnya aku
ingin berada dalam segala keadaan dimana tiada dalam perasaanku hasad dan dengki kepada seorangpun.” Beliau seorang yang bersifat zuhud, dan tidak mengharapkan pemberian dari siapapun. Sesorang datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata: Ya Rasulullah! Tunjukkan kepadaku satu amalan yang bila aku lakukan, aku di cintai Allah SWT dan di cintai manusia, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:”Hidup dalam keadaan zuhud akan dunia, maka Allah sayang kepadamu, dan hidup dalam keadaan zuhud akan apa yang di miliki oleh manusia, maka manusia akan sayang kepadamu.” (H. R. Ibnu Majah dan lainnya dengan jalan hadis yang baik). (Terjemah dari buku 40 Untaian Mutiara Hadis karya A. Mustofa dan M. Burhanudin, 1999: 189-190). Nabi Muhammad SAW memberikan pelajaran bahwa Allah SWT akan menyukai hamba-Nya apabila dia mau meninggalkan urusan dunia (zuhud). Maksudnya, dia berusaha memperoleh materi sebagai sarana hidupnya, hanya sekadarnya saja yang sudah jelas halalnya. Maka, hatinya sama sekali tidak terpaut dengan kelezatan duniawi. Tetapi dunia dijadikan sarana menuju ridha-Nya. (40 Untaian Mutiara Hadis, 1999: 189-190). Imam al Haddad berkata:“Tiga perkara anugerah dari Allah SWT untuk kami yaitu sedikit dalam kecenderungan kepada dunia, sedikit dalam kepedulian kepadanya, dan sedikit dalam ketergantungan kepada manusia. Harta kami dan apa yang kami miliki adalah untuk kami berikan kepada fakir miskin dan orang-yang memerlukan bantuan.”
Beliau
seorang
penyabar,
mampu
menahan
marah,
tidak
mendendam, pemaaf akan kesalahan orang lain. Beliau berkata:“Adapun kesalahan-kesalahan atas hak-hak kami, kami sudah memaafkan, akan tetapi dosa-dosa atas hak-hak Allah SWT maka kami tak dapat membiarkannya. Kami mendengar bahwa ada orang-orang yang makan makanan kami, akan tetapi mereka memaki kami di belakang, kami tidak tersentuh sedikitpun, dan kami tidak marah akan sikap mereka itu, bahkan kami mendoakan mereka.” Beliau juga seorang penyantun kepada siapa yang tidak sopan kepadanya. Satu hari seorang ayah memberikan kepada anaknya sebilah pisau, lalu berkata:“Bawalah pisau ini kepada al Haddad (tukang besi), dan katakan kepadanya: Ayahku berpesan untuk kamu menajamkan pisau ini. Anak itu tidak mengetahui akan al Haddad (tukang besi) itu, yang dia tahu adalah Imam Abdullah yang bergelar al Haddad.” Maka anak itu datang membawa sebilah pisau kepada Imam al Haddad, sementara beliau sedang berada dalam majlis, lalu anak itu berkata:“Ayahku berpesan agar kamu menajamkan pisau ini. Maka Imam al Haddad mengambil pisau itu, seraya berkata:“Datanglah kamu esok hari, kamu akan dapati pisau ini sudah diasah dan tajam.” Anak itu pun pergi, dan Imam al Haddad menyuruh salah seorang untuk membawa pisau itu kepada al Haddad (tukang besi) untuk menajamkannya. Oleh karena yang demikian beliau dikenali sebagai Haddadu al Quluub (penajam hati).
Al Sayyid Abdullah bin alwi al Haddad tinggal di sebuah tempat bernama al Hawi. Al Hawi adalah sebuah kawasan yang berjiran dengan bandar Tarim, Imam al Haddad menetap di sana ( Al Hawi) pada tahun 1099 H. Sayyid Muhammad bin Ahmad al Syathiri, sejarawan dari Hadramaut,
berkata:”Sesungguhnya
Habib
Abdullah
al
Haddad
mendirikan al Hawi semata-mata untuk mempunyai tapak yang berdiri sendiri untuknya dan ahli keluarganya serta para pengikutnya, dan tidak tertakluk kepada pentadbiran Qadi Tarim pada masa itu. Pentadbiran yaitu memikirkan sesuatu atau menimbang (
). (Kamus Arab Indonesia, 1990:
124). Ia merupakan tempat yang strategi untuk mendapatkan segala yang baik daripada Tarim, dan kawasan yang terlindung dari segala fitnah dan kejahatan dari tempat itu.” Dengan demikian al Hawi menjadi kawasan yang selamat lagi dihormati. Imam al Haddad membangun rumahnya di al Hawi pada tahun 1074 H, lalu berpindah pada tahun 1099 H. Beliau membangun masjidnya berhampiran dengan rumahnya, dan mengajar di sana selepas solat asar setiap hari, dan pagi hari kamis dan isnin, serta Hadrah pada setiap malam Jum‟at selepas shalat Isya‟. Maka dengan berbagai aktivitas, al Hawi menjadi tumpuan kepada para ulama‟, dan orang-orang soleh, serta tempat perlindungan bagi kaum fakir miskin, dan merupakan tempat selamat, aman, dan tenteram. Pada tahun 1079 H, Imam al Haddad telah berangkat untuk menunaikan ibadah haji. Setelah sampai di Mekkah, ramai penduduk
Mekkah yang menyambut kedatangan Imam al Haddad, dan beliau tinggal di rumah Syeikh Husain Ba Fadal, beliaulah yang melayan sendiri kepada Imam al Haddad. Imam al Haddad menceritakan keberadaannya dirumah Syeikh Husain Ba Fadal, beliau berkata:“Sesungguhnya Syeikh Husain berkata: Aku mempunyai dua lautan di mana aku mengambil dari keduanya, yang pertama adalah lautan zahir, yaitu Sheikh Ahmad al Qusyasyi, yang kedua: lautan batin, yaitu Syeikh Muhammad bin Alwi al Seggaf. Dan Allah SWT telah mengumpulkan kedua lautan itu padamu untukku.” Pada tahun itu, wuquf di Arafah jatuh pada hari Jum‟at, ramai penduduk Mekkah pada saat itu yang datang kepadanya. Ketika beliau sedang duduk di sebelah Hijir Isma‟il beliau didatangi oleh Syarif Barakaat bin Muhammad, lalu meminta doa kepadanya agar permintaanya dikabulkan oleh Allah SWT (tanpa memberitahu apakah hajatnya itu), maka Imam al Haddad mendoakan untuknya. Ketika Syarif Barakaat pergi, Imam al Haddad bertanya:“Siapakah dia itu? Beliau diberitahu kalau dia adalah salah seorang besar di Mekkah. Lalu Imam al Haddad berkata:“Dia meminta untuk menjadi raja di Mekkah, dan Allah SWT telah mengabulkan permintaanya.” Syarif Barakaat dilantik menjadi pemimpin di Hijaz pada tahun 1082 H. Pada hari Jum‟at 1 Muharram 1080 H, bertepatan dengan masuknya waktu solat fajar, Imam al Haddad telah di pelawa untuk
menjadi Imam pada shalat subuh di masjidil haram di Mekkah. Beliau membaca surah al Sajadah dan surat al Insan. Imam al Haddad melangsungkan perjalanannya menuju kota Madinah al Munawwarah. Telah diceritakan bahwa, beliau tidak tidur dalam perjalanan beliau menuju kota Madinah kecuali sedikit sekali, disebabkan kerinduan yang mendalam di dalam hatinya. Beliau mengungkapkan akan kerinduannya itu dalam syairnya:
Artinya:”Sungguh kami merasakan kenikmatan dimana kami tidak meraza nikmat dengan tidur, Ketika kemurnian cinta telah menyatu dengan ruh”. Ketika beliau menghampiri kota Madinah, beliau dapat mencium bau wangi serta merasakan adanya cahaya yang bersinar. Beliau mengungkapkan dalam syairnya:
Artinya:” Ketika kami sampai di Thaibah (Madinah), kami mencium bau sangat wangi, mengalahkan wangian-wangian anbar. Cahaya menyinari segala penjuru, cahaya itu bersinar melalui kubur sebaik-baik manusia. Bersamaan dengan waktu fajar, kami sampai ke Madinah, sungguh indah pagi itu bagi kami dengan kebahagiaan”. Sejarah menyebutkan bahwa Imam al Haddad tidak tidur di waktu malam untuk beribadah kecuali sedikit saja. Yang demikian itu adalah untuk meneladani Rasulullah SAW yang diperintahkan oleh Allah SWT:
-
- -
Artinya:” Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil.” (Q. S . al Muzammil: 12). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital). Allah SWT juga telah memuji mereka yang menghidupkan malam dengan ibadah kepadaNya. Firman Allah SWT :
-
- -
Artinya:” mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam. dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah). (Q. S. Adz Dzariat: 1718). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital). Imam al Haddad berkata:“Kami telah melaksanakan segala sunnah Nabi SAW, dan tiada satu sunnah yang kami tinggalkan.” Sebagai membenarkan akan ucapannya itu, beliau pada akhir umurnya memanjangkan rambutnya hingga bahunya, karena rambut Rasulullah SAW adalah demikian. Beliau, al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, sebagai bukti sebagian dari mengikuti sunnah Rasulullah SAW dengan menjalankan sunnah-sunnah Rasulullah SAW. Sayyid Abdullah al Haddad pengarang ratib al Haddad kembali ke Rahmatullah pada malam Selasa tanggal 7 Zulkaedah 1132 H, dalam usia lebih kurang delapan puluh sembilan tahun (89 tahun). Empat puluh hari sebelum ia meninggal dikala sakitnya pada akhir bulan Ramadhan, dia sudah menjelaskan kejadian-kejadian yang akan datang pada dirinya. Putranya yang bernama Hasan yang merawat beliau ketika sakit. Habib Hasan menceritakan bahwa:“Sesungguhnya Imam al Haddad dalam
sakitnya banyak mengulangi hadis yang terakhir dalam Shahih al Bukhari.” Yaitu:
Artinya:” Dua kalimat ringan dilisan, berat di timbangan, di senangi oleh yang Maha Pengasih. Maha Suci Allah SWT segala puji bagi-Nya, Maha Suci Allah SWT yang Maha Agung.” (Terjemah Shahih Bukhari). Beliau meninggal dunia pada 1/3 malam yang pertama, tak seorang pun yang mengetahui berita kewafatannya kecuali di waktu pagi. Keadaan menjadi sangat memilukan ramai pengikutnya. Berduyun-duyun manusia datang untuk menghadiri pengebumiannya. Habib Hasan, putranya dan Habib Omar bin Hamid adalah orang yang menangani pemandiannya. Shalat jenazah diimamkan oleh Habib Alwi, putranya dan dihadiri oleh lebih kurang dua puluh ribu (20. 000) orang. Beliau dikebumikan bersamaan dengan terbenamnya matahari, oleh karena terlalu ramai manusia yang menghadiri jenazahnya. Semoga Allah SWT mencucuri rahmat-Nya ke atas Imam al Haddad,
mengangkat
derajatnya,
memberikan
keberkatan
akan
peninggalan-peninggalannya. Amin. Ramai ulama‟-ulama‟ yang memuji kepada Imam al Haddad kerana kedudukannya, baik para ulama‟ yang hidup di era beliau atau setelahnya. Di antara pujian ulama‟ di zaman Imam al Haddad adalah Salah seorang guru beliau, yaitu Habib Abdurrahman bin Syeikh Maula „Aidid berkata bila menyambut kedatangan Imam al Haddad: ”
”
(Selamat datang wahai penghulu kepada sekalian jema‟ah). Terkadang menyebut:“
” (Ketua kabilah atau kepala suku), sebagai satu
sebutan yang mengandungi penghormatan serta pujian.” Habib Omar bin Abdurrahman al Attas berkata:“Seorang Sayyid Abdullah al Haddad adalah merupakan satu Ummah.” Di riwayatkan bahwa Mufti negeri Syam di zaman Imam al Haddad berkata:“Tiada di atas muka bumi di zaman ini yang lebih „alim daripada Abdullah al Haddad.” Murid terulung Imam al Haddad yaitu Habib Ahmad bin Zain al Habsyi berkata:”Sesungguhnya Imam al Haddad telah sampai kedudukan mujtahid (yang layak memberi ijtihad) dalam ilmu-ilmu islam, iman, dan ihsan. Beliau adalah seorang Mujaddid (pembaharu) ilmu-ilmu ini di zaman ini.” Adapun pujian para ulama‟ setelah Imam al Haddad seperti Habib Ali bin Muhammad bin Husin al Habsyi:
Artinya:” Dengan futuuh (di bukakan pintu-pintu ilmu), Irsyad (petunjuk), dan Imdad (kelebihan) adalah tonggak utama akan kaedah-kaedah guru kami Imam al-Haddad kepada beliau telah terkumpul rahasia dan sifat mulia para salaf, maka beliau adalah khalifah kepada mereka semua yang berjalan dalam jalan mulia ini setelah beliau, telah mengambil dari sinaran ilmu beliau yang sangat terang.” (Terjemah dari http://www.darulmurtadza.com/2011/12/riwayat-hidupimam-abdullah-bin-alwi-al.html).
Habib Muhammad bin Ahmad al Syathiri (Semoga Allah merahmatinya), berkata:“Sangat jarang sekali buku-buku di zaman Imam al Haddad yang tersebar sepertimana tersebarnya tulisan-tulisan dan karangan-karangan Imam al Haddad. Karya-karya beliau telah dicetak berulang kali, dan telah diterjemahkan de dalam beberapa bahasa, dan ramai yang telah mengambil manfaat darinya.” Al marhum Syeikh Hasanain Makhluf (dulu sebagai mufti Mesir) berkata mengenai karya Imam al Haddad “
”:“Sesungguhnya
beliau (Imam al Haddad) seorang penulis yang sangat jelas urainnya, tinggi tata bahasanya, teliti pembahasannya di dalam menyebutkan ayatayat al Qur‟an dan hadis-hadis Nabi, serta kata-kata para ulama‟, sehingga dapat menghilangkan prasangka dan keraguan didalam hati dan jiwa daripada segala kesamaran, serta dapat menjadi penawar kepada segala permasalahan, sehingga tidak memberi ruang kepada pembicara untuk berbicara, dan tidak ada jawaban lagi bagi orang yang bertanya.” (http://www.darulmurtadza.com/2011/12/riwayat-hidup-imam-abdullah-
bin-alwi-al.html Mustafa al Badawi telah menulis kitab tentang Imam al Haddad bertajuk “
” (Imam al Haddad pembaharu abad
ke 12). Penulis memetik sebuah hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud:
Artinya:”Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk Ummat ini pada setiap seratus tahun seseorang yang memperbaharui agama ini untuk
mereka.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Sunannya dari Sulaiman bin Daud al Mahri Hurairah). http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?languagename=id&Vi ew=Page&PageID=615&PageNo=1&BookID=3. F. Pendidikan al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, beliau mendapat pendidikan agama dari ulama‟ Sayyid Muhammad bin Alawi Ba‟ Alawi, kemudian berpindah belajar di Yaman menyempurnakan ke Mekkah dan Madinah. Tatkala ditanya orang tentang guru-gurunya, terutama ia mempelajari ilmu tasawuf dan tarikat, ia menjawab ia tidak dapat menyebutkan seorang demi seorang karena jumlahnya lebih dari seratus orang. Bagaimanapun juga di antara guru-guru beliau yang terpenting ialah : 1. Sayyid bin Abdur Rahman bin Muhammad bin Akil al Saqqaf kerana daripadanya ia mendapat Khirqah Sufi. Al Saqqaf ialah seorang tokoh sufi yang terkenal dalam Mahzab Mulamatiyyah.
2. Sayyid Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Syeikh Aidid.
3. Sayyid Umar bin Abdur Rahman al Attas, inilah gurunya yang terpenting menurut keterangan sejarah. Sayyid Umar al Attas seorang daripada tokoh tarikat yang dianggap luar biasa dalam ilmu hakikat. Al Haddad sendiri menyebut nama tokoh tarikat ini dengan penuh hormat sebagai gurunya dan beliau menerangkan bahwa darinya ia beroleh ajaran tarikat zikir yang sempurna serta beroleh khirqah yang terakhir.
Khirqah diartikan sebagai kain perca. (Kamus Arab Indonesia, 1990: 116). Kain perca berarti sesuatu yang masih berantakan. Jadi khirqah yaitu kebingungan.
Abdullah bin Umar Ba Ubaid menerangkan bahwa Sayyid Umar al Attas adalah seorang wali yang tidak dapat disaingi pengetahuannya. Ia seorang Qutub dalam zamannya, sesudah gurunya Abu Bakar bin Salim. Dia (Sayyid Umar al Attas) seorang yang kashaf. Tarikat dan Ratibnya termasyhur dan tidak dapat mempengaruhi tarikat dan ratib muridnya al Haddad.
Sayyid Umar al Attas tidak meninggalkan karangan-karangan, tetapi murid-muridnya yang banyak itu menyampaikan ajarannya itu dari mulut kemulut dan menyebut dalam kitab-kitab karangan mereka.
Di antara murid-muridnya ialah lsa bin Muhammad al Habasyi di Khanfar, Hadramaut, Yaman, Syeikh Ali bin Abdullah al Baras, di Quraibah, Do‟an, Hadramaut dan lain-lain. Semuanya terkenal dalam bidang tasawuf.
Di antara murid-muridnya yang ramai dan terkenal adalah al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad yang sangat dicintainya. Beliau kemudian menjadi tokoh besar dalam tarikat dan seorang pengarang yang ternama. Ia terkenal sebagai orang yang Abid. Setiap hari ia mengelilingi kota Tarim untuk sembahyang sunnat dalam tiap-tiap masjid.
Dalam kitab Masyru‟ul Rawi disebutkan bahwa ia seorang yang melimpah-limpah ilmunya, ahli yang mempertemukan hakikat dan syariat. Sejak kecil ia telah menghafal sungguh
dalam
al Qu‟ran. Seorang yang bersungguh-
membersihkan dirinya
dan
mengumpulkan ilmu
pengetahuannya dari ulama‟ terkenal yang semasa dengan dia seorang mujaddid yang terkenal ijtihad-ijtihadnya dalam persoalan ibadah. Seorang yang bersungguh-sungguh menghidupkan ilmu dalam amal dan oleh kerana itu dikenal orang di Timur dan di Barat. Beliau banyak melahirkan murid-murid yang shaleh, yang tersiar keseluruh pelusuk bumi dari zaman ke zaman.
Ia pernah mengunjungi Mekkah dan Madinah dalam tahun 1080 H dan salah seorang gurunya di Mekkah ialah Sayyid Muhammad bin Alawi al Saqqaf Ba‟ Alawi, yang keturunannya sambung menyambung sampai kepada Ja‟far al Sadiq anak Imam Baqir anak Imam Ali Zainal Abidin anak Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib (suami Fatimah binti Rasulullah SAW). Oleh itu pada akhir ratibnya dibacakan fatihah untuk dihadiahkan pada gurunya Sayyid Muhammad bin Alawi Ba‟ Alawi.
Telah dicatatkan bahwa, jumlah bilangan guru-guru Imam alHaddad melebihi 140 guru, beliau telah mengambil ilmu dan bertalaqi pada mereka. Bertalaqi berasal dari bahasa Arab yaitu
-
–
yang
artinya bertemu atau berjumpa. (Kamus Bahasa Arab-Indonesia, 1990: 400). Terutama sekali adalah: Habib Abdurrahman bin Syeikh Maula
„Aidid, Habib Omar bin Abdurrahman al „Attas, Habib Sahl bin Muhammad Ba Hasan, Habib Aqil bin Abdurrahman bin Aqil al Seggaf, dan juga Habib Muhammad bin Alwi al Seggaf ( yang tinggal di Mekkah) dan lain-lain. G. Pengajaran al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad Al Sayyid Abdillah bin Alwi al Haddad, beliau adalah keturunan Idris al Azhar bin Idris al Akbar bin „Abdullah al Kamil bin Hasan al Mutsanna bin Hasan, putera kepada Sayyidina „Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fathimah al Zahra‟ binti Rasulullah SAW. Menghafal al Quran ketika berusia 10 tahun dan menjadi imam sholat tarawikh di Masjidilharam. Belajar di Madrasah al Falah dan tamat pada tahun 1346 H. Kemudian menjadi tenaga pengajar di madrasah tersebut. Mengajar di halaqahnya di Masjidilharam berdekatan dengan Bab as Salam selama 40 tahun. Juga dilantik menjadi juru nikah di Mekah. Beliau juga meriwayatkan ilmu, ijazah dan sanad daripada ulama keluarga Ba‟Alawi (ahlul bait yang bernasabkan kepada „Alawi bin Ubaidullah bin Ahmad bin Isa al Muhajir bin Muhammad bin „Ali al Uraidhi bin Ja‟far ash Shodiq bin Muhammad al Baqir bin „Ali Zainal „Abidin bin Hussin al Sibth putera kepada Sayyidina „Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fathimah al Zahra‟ binti Rasulullah SAW, antaranya: al Habib „Aydrus bin Salim al Bar; al Habib Abu Bakar al Bar; al-Habib Abdur Rahman bin Ubaidullah as Seggaf ; al Habib Alwi bin Thohir al Haddad; al Habib Musthofa al Muhdhor; al Habib Muhammad bin Hadi as Seggaf; al Habib Umar bin
Sumaith; al Habib Salim bin Hafidz; al Habib Ali bin „Ali al Habsyi; al Habib Alwi bin Muhammad al Haddad; al Habib Ali bin „Abdur Rahman al Habsyi dan al Habib Abu Bakar as Seggaf. Beliau juga meriwayatkan ilmu, sanad dan ijazah daripada para ulama terkenal di zamannya, seperti: al Imam al Muhaddits Muhammad „Abdul Hayy al Kittani; asy Syarif „Abdul Hafiz al Fasi; Syaikh Muhammad Zahid al Kauthari; Syaikh Yusuf bin Ismail an Nabhani; Syaikh Muhammad Bakhit al Muti‟i; Syaikh Salamah al „Azzami; asy Syarif Ahmad bin Ma‟mun al Balghiti; Syaikh al Muhaddits Muhammad Ilyas al Kandahlawi; Syaikh al Muarrikh al Yamani Muhammad Zabarah, pengarang Nail al Wator; al Imam al Muhaddits al Musnid Muhammad „Abdul Baqi al Ayyubi al Madani; Syaikh Abu al Khair al Maidani ad Dimasyqi; Syaikh al Mursyid Muhammad Abu al Nasr Khalaf al Hims dan al Imam al Mursyid asy Syarif Ahmad as Sanusi al Mujahid. Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad telah mengumpulkan sanad-sanad beliau dalam kitab al „Uqud al Lu‟luiyyah bi Asanid al „Alawiyyah; dan fatwa-fatwa beliau di dalam kitab Majmu al Fatawa wa al Rasail. Adapun murid beliau, tidak terhingga banyaknya. Ramai di kalangan ulama Nusantara yang belajar kepada beliau di Mekah. Oleh kerana itulah nama beliau tidak asing lagi di Nusantara. Pujian ulama kepada beliau diantaranya: 1. Kata Imam al Akbar Dr. „Abdul Halim Mahmud, Syaikhul al Azhar: “Sesungguhnya Allah telah menyinari wajahnya di atas kesungguhannya yang kuat terhadap sunnah Rasulullah SAW dalam memikul, memberi kefahaman, pengajaran, pentarbiyahan dan sebagainya jalan menuju Allah”.
2. Syaikh „Abdul „Aziz bin Baz juga pernah memuji Sayyid Alwi sebagaimana diceritakan oleh Syaikh Ahmad al Haribi (Pemantau Majlis Pengajian di Masjidil Haram): “Pada suatu hari Syeikh Abdul Aziz bin Baz berhenti di dalam majelis pengajian Sayyid „Alawi al Maliki dan mendengar pengajaran Sayyid Alwi beberapa ketika. Apabila dia berpaling, Syeikh Ahmad al Haribi bertanya pendapat Syaikh „Abdul „Aziz Bin Baz tentang pengajaran Sayyid „Alwi al Maliki dan dia berkata: MasyaAllah! MasyaAllah. (menunjukkan ta‟jub terhadap ilmu Sayyid Alwi dan pengi‟tirafan keatas ketinggian ilmunya). 3. Syaikh Muhammad Said al Yamani pernah berkata kepada ayahnya Sayyid „Abbas al Maliki: "Sesungguhnya anakmu Alwi akan menjadi perhiasan Masjidilharam." 4. Syeikh Umar Khayyath berkata: “Ketika kami berada di dewan rumah Syeikh Ali ibn Hussin al Maliki di dalam satu majlis, Sayyid Alwi datang, lalu Sayyid Ali al Maliki berkata: “Sesungguhnya anaku ini, Alwi, merupakan orang yang mendapat anugerah dan ilham, di dalam percakapannya penuh dengan keindahan dan keelokkan, dia juga merupakan orang yang dikasihi ramai, semua orang suka mendengar pengajarannya dan aku adalah orang yang pertama suka mendengar kalamnya.” (http://profildzurriahnabi.blogspot.com/2013/10/manaqib-sayyid-alawibin-abbas-al-maliki.html).
Sayyid Alwi al Haddad mengembara ke berbagai negara, antaranya Somalia, Kenya, Mekah, Indonesia, Malaysia dan lain-lain. Di negaranegara yang pernah beliau singgah, beliau berdakwah dan mengajar. Di Jakarta, Sayyid Alwi al Haddad pernah mengajar di Madrasah Jam'iyah al Khair yang diasaskan oleh keturunan “Sayyid” di Indonesia. Madrasah Jam'iyah al Khair ialah sekolah Islam yang mengikut sistem pendidikan
modern yang pertama di Indonesia, Sayyid Alwi al Haddad pula termasuk salah seorang guru yang pertama sekolah itu diasaskan. Bahkan beliau ialah Wakil Mudir sekolah itu. Mudirnya ialah Sayyid Umar bin Saqaf asSaqaf. Para guru didatangkan dari berbagai negara. Antara mereka ialah Ustaz Hasyimi yang berasal dari Tunis, Syeikh Ahmad bin Muhammad as Surkati yang berasal dari Sudan (mengajar di Madrasah Jam'iyah al Khair tahun 1911 - 1914), Syeikh Muhammad Thaiyib al Maghribi yang berasal dari Maghribi, Syeikh Muhammad Abdul Hamid yang berasal dari Mekah. Selain mengajar di Jakarta beliau juga pernah mengajar di Bogor dan tempat-tempat lain di Jawa. Muridnya sangat ramai. Murid-murid utama Imam al Haddad adalah terdiri dari ahli keluarganya sendiri, terutama anak-anak beliau. Antara tokoh dan ulama besar yang pernah menjadi murid al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad ialah: 1. Sayyid Alwi bin Syaikh Bi al Faqih al Alawi 2. Sayyid Alwi bin Abbas al Maliki 3. Sayyid Salim Ali Jindan 4. Sayyid Abu Bakar al Habsyi 5. Sayyid Muhammad bin Ahmad al Haddad 6. Sayyid Abdullah bin Abdul Qadir Bi al Faqih 7. Sayyid Husein bin Abdullah bin Husein al Attas
8. Syeikh Hasan Muhammad al Masyath al Makki 9. Kiyai Haji Abdullah bin Nuh http://wasiatnasehat.blogspot.com/2009/01/habib-alwi-bin-thohir-al-haddadmufti.html. 13 Agustus 2014.
Beliau mengajarkan kepada umat manusia di dunia ini terangkum dalam beberapa kata-kata hikmah yang mengandung nasihat dalam menjalani hidup ini. Kata-kata Hikmah Imam al Haddad yaitu: 1. Orang yang tidur boleh dikejutkan, orang yang lalai boleh di ingatkan, barang siapa yang tiada bermanfaat untuknya bila dikejutkan atau diingatkan maka sesungguhnya dia itu adalah orang mati dan kamu tidak dapat memperdengarkan kepada orang yang sudah berada dalam kubur. 2. Kami tiada mendapati segala kebaikan melainkan berada dalam ilmu, kalau bukan kerana ilmu maka seorang hamba tidak kenal akan Tuhannya, dan tidak tahu bagaimana menyembah kepada-Nya. 3. Ketaatan yang shohih akan terpelihara dengan memelihara 3 dasar: a. Cinta kepada Tuhan, yaitu dengan bertafakkur akan tanda-tanda kebesaran Allah SWT dan nikmat yang telah diberikan, serta membiasakan diri dalam berdzikir. b. Meninggalkan semua yang menyibukkan diri dari mengingat Allah SWT. Yang demikian itu dapat dicapai dengan meninggalkan segala dosa dan bercampur dengan manusia kecuali sebatas keperluan
sahaja, yaitu apa-apa yang bila dilakukan akan mendatangkan pahala, dan bila ditinggalkan akan mendatangkan dosa. c. Melazimkan diri berada di dalam apa-apa yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Kesempurnaanya adalah meninggalkan segala yang haram, melakukan segala yang wajib, memperbanyak amalan yang sunnah. Sebagai umat Nabi Muhammad SAW tentunya akan mengikuti sunnah-sunnah beliau, agar menjadi umatnya yang hakiki. Kelak akan mendapatkan syafaat (pertolongan) di hari kiamat nanti. Syafaatnya akan menyelamatkan umatnya. (http://www.darulmurtadza.com/2011/12/riwayat-hidup-imam-
abdullah-bin-alwi-al.html). H. Karya-karya al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad Keistimewaan karya-karya Imam al Haddad adalah mudah difahami oleh semua kalangan, mengikut kefahaman masing-masing. Sehingga buku-buku beliau telah dicetak beberapa kali dan sudah diterjemahkan kepada beberapa bahasa. Al Haddad selain dari seorang tarikat. Tarikat berasal dari bahasa Arab yaitu
artinya meninggalkan atau membiarkan
maksudnya meninggalkan keduniawian yang tidak bermanfaat. (Kamus Arab Indonesia, 1990: 77). Beliau juga seorang penyair. Apabila mengucapkan syairnya niscaya mempesonakan. Beliau juga seorang pengarang yang utama. Tulisannya sungguh mengharukan dan memikat hati. Di antara kitab-kitab karangan beliau ialah: an Nasa‟ih al Diniyyah, Sabilu al Adzkar, al Da‟watu al Ittihaful Sa‟ il, Risalatun al Mu‟awanah,
al Fusulu al Ilmiyyah, Risalatun al Murid, Risalatun al Muzakarah dan yang terpenting kitabu al Majmu‟ yang terdiri empat juzu‟ berisi wasiat dan masalah-masalah hukum terpenting, dan pada akhirnya ditutup dengan kumpulan sajak-sajak yang indah bernama Durru al Manzum. Selain itu karangan beliau juga berupa Hasyiyah Faidh al Khabir „ala Syarah Manzhumah Ushulu al Tafsir, Fathu al Qarib al Mujib „ala Tahdzib al Targhib wa al Tarhib, al Mawa‟izh al Diniyyah, al Iqd al Munazhzham fi Aqsam al Wahy al Mu‟azhzham, Risalah al Manhal al Lathif fi Ahkam al Hadis al Dha‟if, Nail al Muram Ta‟liq „ala Umdah al Ahkam, Syarah Bulughu al Maram, dan kumpulan syair. Riwayat hidup, syair, dan pendapat Sayyid Alwi al Maliki telah dikumpulkan oleh anaknya, Sayyid Muhammad al Maliki dalam kitab khusus bernama Asyhaf Dzawi al Himam al „Aliyyah biraf‟i Asanid Walidi al Saniyyah. Banyak orang berpendapat bahwa ilmu Sayyid Abdullah al Haddad tidak tersimpan dalam karangannya tetapi tersimpan dalam kepribadian dan ihwalnya, tersimpan dalam syair dan sajaknya. Diriwayatkan bahwa beliau telah mendapat ilham menyusunnya pada suatu malam dalam bulan Ramadan yang dikatakan bertepatan dengan malam Lailatul Qadr. Zikirzikir mempunyai fadhilah yang sangat besar sekali, siapa yang mengamalkannya akan mendapat banyak berkat antaranya mendapat Husnul khatimah. Waktu membacanya adalah selepas sembahyang Isyak dan sunnah ba‟diyahnya. Tetapi pada bulan Ramadhan hendaklah dibaca sebelum sembahyang Isyak selepas sunnah qabliyahnya.
(http://www.kisah.web.id/tokoh-islam/sayyid-abdullah-al-haddad-10441132-h.html).
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN AL SAYYID ABDULLAH BIN ALWI AL HADDAD DALAM KITAB RISALATUN AL MUAWANAH A. Latar Belakang Penulisan Kitab Risalatun al Muawanah Al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, dalam menyusun kitab tersebut memiliki berbagai alasan, tujuan, dan latar belakang dari penulisan tersebut. Beliau mengatakan bahwa alasan yang mendorong beliau untuk menulis risalah ini adalah untuk melaksanakan perintah agung, perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, dan berusaha meraih janji yang mulia yaitu untuk memperoleh janji yang benar (al Wa‟ddu al Shaadiqu) yang dijanjikan bagi mereka yang menyeru kepada jalan kebaikan dan menyebarkan ilmu. Seperti yang Allah SWT janjikan dalam firman-Nya:
Artinya:” Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”(Q. S. Ali Imran: 104). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Beliau juga memohon ampun kepada Allah SWT, karena sebenarnya beliau tidak hendak mengatakan bahwa dorongan beliau menyusun risalah ini semata-mata karena tujuan-tujuan keagamaan yang baik. Sebab beliau mengetahui, masih adanya keinginan-keinginan tersembunyi, nafsu yang merajalela, dan cinta dunia di dalam hati beliau. Dan beliau tidak membebaskan diri dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Allah SWT. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang. Dengan kearifannya, beliau mengatakan pula bahwa hamba yang fakir, hamba yang mengaku akan kekurangan dan kelalaian, yang berharap akan ampunan Tuhannya Yangkuasa. B. Sistematika Penulisan Kitab Risalatun al Muawanah Kitab Risalatun al Muawanah karya al sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad adalah salah satu kitab Tauhid yang dikarang oleh para „ulama. Sistematika penyusunannya hampir sama dengan kitab yang lain. Yaitu
dengan sistem tematik, yang sistem penulisannya dari satu bab ke bab yang lain. Penyusunannya dimulai dengan: 1. Muqadimah berupa pengenalan yaitu berisi tentang pengenalan dengan pengarang. 2. Khutbah atau penyampaian kitab. 3. Bab selanjutnya pembahasan isi kitab Risalatun al Muawanah. Dan diakhiri dengan do‟a. Beliau dalam menyusun kitab ini, mengatakan bahwa Islam adalah agama yang istimewa, hingga Allah Ta‟ala pun telah mengistimewakan agama Islam.
Kitab risalah ini beliau susun berkat pertolongan dan
kekuasaan Allah SWT, dan sebuah wasiat yang dengan kemurahan dan rahmat Allah SWT, insya Allah bermanfaat. C. Pokok Isi Kitab Risalatun al Muawanah Al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, dalam menyusun kitab ini, lebih menekankan pada ke-Tasawuf-an. Segala amal perbuatan yang dilakukan ditujukan untuk menambah keimanan dan ketaqwaan kepadaNya. Agar semakin dekat kepada Allah SWT. Lebih utamanya, beliau membahas tentang peribadatan yang ditujukan untuk menggapai esensi ma‟rifatullah. Pokok isi kitab Risalatun al Muawanah terdiri dari 32 pembahasan. Diantaranya yaitu: 1. Keyakinan
Keyakinan ialah ungkapan tentang kekuatan dan keteguhan iman yang sudah mendarah daging dan menyatu dalam hati, laksana sebuah gunung yang menjulang tinggi. Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa: “ Jika terbuka mata hatiku, makin bertambahlah keyakinanku.” Karena, bila keyakinan itu sudah kokoh dan telah menguasai hati, maka segala sesuatu yang gaib tiba-tiba dapat terlihat dengan jelas. (Ali bin Abi thalib). Sebab-sebab teguhnya keyakinan: a. Memperhatikan dengan hati dan mendengarkan dengan telinga akan ayat-ayat al Qur‟an dan hadis-hadis Nabi SAW yang menunjukkan kebesaran dan kesempurnaan Allah SWT. Dan yang menunjukkan pada kebenaran para rasul dan kesempurnaan mereka. b. Memperhatikan segala ciptaan Allah SWT yang indah dan menakjubkan, baik yang ada di langit maupun di bumi. c. Bersungguh-sungguh dalam mengerjakan segala amalan dan tetap didasari iman dan takwa. Hal yang diperoleh dari keyakinan yaitu kekuatan batin, ketenangan jiwa, perlindungan Allah SWT, cita-cita untuk selalu taat kepada-Nya, serta upaya maksimal untuk mendapat ridha-Nya. 2. Niat Niat adalah ungkapan tentang suatu keinginan yang mendorong untuk berkehendak, beramal dan berbicara. Selain itu, niat adalah
ungkapan
tentang suatu
maksud
dan
kebulatan
tekad
untuk
melaksanakan sesuatu. Memperbaiki dan menuluskan niat sebelum beramal adalah sendi utama segala amal. Baik buruknya amal, selalu tergantung pada niatnya.
Artinya:” Segala perbuatan tergantung pada niat dan setiap orang akan memperoleh pahala menurut niatnya.” (H. R. Bukhari dan Muslim). ( Kitab al Arbain al Nawawi, tt: 6). Oleh karena itu, janganlah berbicara, bekerja dan berkehendak serta beramal suatu perbuatab tanpa didasari dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT serta senantiasa mengharap pahala-Nya. Lakukan segala amal perbuatan dengan niat yang benar dan tepat. Dengan demikian, Allah SWT pasti memberikan anugerah dan kemuliaan bagi yang mengamalkannya. 3. Muraqabah Muraqabah adalah mawas diri kepada Allah SWT. Allah SWT selalu mengawasi setiap gerak-gerik manusia. Bagi-Nya tak ada sesuatu yang rahasia dan samar. Sekecil apa pun makhluk di bumi ini, tak akan lepas dari pengawasan-Nya. Karena, atas keagungan Allah SWT, para utusan-Nya (malaikat), selalu mengawasi, mencatat segala bentuk amal manusia. Seperti terdapat dalam firman-Nya:
-
Atinya:”(Ingatlah) ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya), yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).”(Q. S. Qaaf: 17-18) (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Muraqabah termasuk dalam kedudukan terpuji, pangkat yang paling mulia dan derajat yang paling tinggi. Muraqabah juga termasuk maqam ihsan seperti yang disabdakan Rasulullah SAW:
Artinya:” Ihsan adalah pengabdian kepada Allah SWT seakan-akan engkau melihat-Nya. Walaupun engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (H. R. Muslim dari Umar). (Kitab al Arba‟in al Nawawi, 676 H: 8).
Jika tidak mampu menjadikan batin lebih baik dari lahir, maka setidaknya jadikan keduanya sama baiknya. Dengan demikian hal tersebut sudah bagian dari mengikuti perintah Allah SWT, menjauhi larangan-Nya, mengagungkan-Nya dan bersungguh-sungguh mencari ridha-Nya, baik dalam kesendirian maupun kebersamaan dengan orang banyak. Dan ini adalah langkah pertama yang dilakukan seorang hamba menuju makrifat Allah SWT. 4. Mengisi Waktu Mengisi waktu dengan segala aktivitas ibadah hingga tak ada waktu sedikit pun, baik siang maupun malam, kecuali untuk mengabdi kepada Allah SWT. Dengan demikian akan tampak keberkahan waktu,
memperoleh faedah umur dan senantiasa menghadapkan diri pada-Nya. Demikian pula sediakan waktu khusus untuk mengerjakan kebiasaan sehari-hari, seperti makan, minum, dan mencari nafkah. Hujjatu al Islam, Imam al Ghazali mengatakan bahwa: “Hendaklah engkau membagi waktumu, mengatur wiridmu dan menetapkan waktumu dengan segala aktivitas yang tidak akan engkau langgar dan janganlah engkau terpengaruh dengan hal lain dalam masalah waktu ini. Barangsiapa menelantarkan dirinya dari aktivitas, maka ia laksana orang yang tersesat di jalan, bermaksud untuk menyibukkan diri, tetapi ia sendiri selalu menyia-nyiakan waktunya. Ketahuilah, waktu itu adalah umurmu dan umur adalah modal untuk investasi (ibadahmu). Dengan umur itu pula engkau dapat memperoleh kenikmatan abadi di sisi Allah SWT. Setiap nafasmu bagaikan mutiara yang tak ternilai harganya, dan bila hilang percuma engkau tak mungkin mampu mengembalikannya.” Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan sehari-hari diantaranya: 1) Shalat witir 2) Shalat Dhuha 3) Shalat Awabin 4) Shalat Sunnah Malam 5) Membaca al Qur‟an 6) Mempelajari Ilmu yang bermanfaat 7) Dan aktivitas lainnya yang bermanfaat 5. Zikir Firman Allah SWT:
–
Artinya:”Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan Ingat kepadamu.”(Q. S. Al Baqarah: 152). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Zikir yang paling baik adalah dengan menghadirkan makna zikir di dalam hati, misalnya dengan menghayati kesucian Allah SWT ketika membaca lafadz Subhanallah, dan ke-Esa-an-Nya ketika melafadzkan lafadz Laa ilaa Ha Illallah. Selain lafadz tersebut, bershalawat pun dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Yaitu:
Artinya:”Barangsiapa membaca shalawat atas diriku sekali, maka Allah SWT akan bershalawat padanya sepuluh kali.” (H. R. Ahmad dan Muslim dari Abi Hurairah). (Al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, tt:59).
6. Tafakur Ber-tafakur (merenungkan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT) setiap siang dan malam sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan, baik satu jam atau beberapa jam adalah hal yang utama juga. Waktu yang terbaik untuk ber-tafakur, ialah di tengah malam. Lebih utama disertai dengan shalat sunnah malam (Tahajjud dan yang lainnya). Kebaikan hidup di dunia dan keutuhan agama tergantung pada kesempurnaan tafakurnya.
-
- -
Artinya:”Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah SWT) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (Q. S. Adz Dzariat: 20-21). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Tafakur yang pantas dipikirkan yaitu: a. Tentang ciptaan dan kekuasaan Allah SWT. b. Merenungkan anugerah yang Allah SWT berikan. c. Merenungkan keluasan Ilmu Allah SWT. d. Merenungkan kekurangan-kekurangan dalam ibadah dan berbagai pelanggaran yang dikerjakan. e. Merenungkan
kehidupan
dunia,
dan segala
kesibukan
dan
kehancuran yang berlangsung dengan cepat. Pikirkan juga tentang kematian. Terpenting adalah larangan ber-tafakur memikirkan Zat Allah SWT. Karena manusia tidak akan pernah mampu memikirkannya. Pikirkan saja tentang segala apa yang diciptakan Allah SWT. 7. Al Qur‟an, Hadis, Bid‟ah, dan Ulama Hidup dengan berpegang teguh pada al Qur‟an dan Hadis, karena keduanya adalah inti agama, dan petunjuk jalan yang lurus. Maka, hidup akan beruntung dan selamat serta mendapatkan hidayah dan selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
Jadikan keduanya sebagai hakim serta mempunyai hak dalam memerintah. Kembalikan
segala
permasalahan
pada
keduanya,
sebagaimana yang diwasiatkan Allah dan Rasul-Nya. Firman Allah SWT:
Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah SWT dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulul Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah SWT (al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q. S. An Nisa‟: 59). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Mereka (Ulil Amri) berhak untuk dipatuhi selama pemegang kekuasaan berpegang pada Kitab Allah SWT dan Sunnah Rasul. Apabila tidak sesuai dengan keduanya, maka boleh untuk tidak mematuhinya. Dalam mengamalkan bid‟ah (hal yang dianggap baru), tetapi masih dalam batas norma agama yang lurus, tetap diperbolehkan. Serta mematuhi dan mengikuti hal yang baik, apa yang disampaikan oleh para ulama. 8. Pelurusan Akidah
Seorang hamba, jika telah mampu menggunakan pemahaman yang lurus dan benar tentang al Qur‟an dan hadis yang menguraikan keimanan, sejarah kaum salaf, para sahabat dan tabi‟in, maka seorang hamba tersebut akan mengetahui dan dapat membuktikan kebenaran Ahlu al Sunnah wa al Jama‟ah (Asy „ariyah) yang dinisbatkan pada Abu Hasan al Asy‟ary. Kebenaran akan sesuai di setiap masa dan tempat. Wajib bagi orang beriman menjaga aqidahnya dan mengikuti para ulama yang agung dan berpegang teguh dalam ilmunya, akidah yang jelas terhindar dari syubhat atau keraguan. Hal ini sesuai dengan akidah Imam Ghazali yang telah dijelaskan pada bab Qawaid al Aqaid, pasal pertama dan ketiga dalam kitab Ihya Ulumuddin. 9. Ibadah Fardhu dan Sunnah Selalu menjaga kewajiban, menjauhi setiap larangan serta memperbanyak ibadah sunnah karena Allah SWT. Jika itu semua sudah dilaksanakan, maka akan mencapai tempat yang paling dekat di sisi Allah SWT dan akan diselimuti dengan selubung mahabbah (kecintaan) oleh-Nya. 10. Menuntut Ilmu Tak akan dapat menjalankan ketaatan yang difardhukan Allah SWT, menjauhi kemaksiatan yang diharamkan Allah SWT, apalagi ibadah sunnah yang berfungsi mendekatkan diri kepada Allah SWT, kecuali dengan ilmu. Karena itu tuntutlah ilmu!
Menuntut ilmu hukumnya wajib. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW:
Artinya:”Menuntut ilmu itu wajib atas semua orang Islam.” (H. R. Baihaqi). (Kitab Sunan Ibnu Majah, Juz 1, halaman 98).
Dengan ilmu, maka akan dapat mengetahui hal yang wajib, sunnah dan haram. Maka menuntut ilmu dan mengamalkan wajib hukumya. Karena begitu besar peranan ilmu, dengan mengamalkan ilmu maka akan diperoleh kebahagiaan dan kesuksesan dunia dan akhirat. Ilmu yang wajib dituntut oleh setiap muslim yaitu ilmu yang menjelaskan tentang ketentuan yang diwajibkan oleh Allah SWT dan keharaman yang diharamkan-Nya. 11. Kebersihan Selalu menjaga kebersihan lahir dan batin, sesungguhnya orang yang sempurna kebersihan jiwa dan hatinya laksana malaikat yang berbentuk manusia. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:”Dari Abu Malik al Haris bin Ashim al Asy‟ari R. A. berkata: Rasulullah SAW bersabda: Membersihkan diri adalah separuh dari keimanan.” (H. R. Muslim). (al Arba‟in al Nawawi, tt: 18).
Kebersihan terdiri dari dua yaitu: a. Kebersihan Batin Kebersihan batin dapat dilakukan dengan membersihkan hati dari akhlak-akhlak yang tercela. Seperti sombong, riya‟, hasud, dengki, cinta keduniaan dan lain-lain. Serta menghiasinya dengan budi pekerti yang terpuji, seperti tawadhu‟, mempunyai rasa malu, ikhlas, dermawan, dan sifat terpuji lainnya. Agar memperoleh akhlaqul karimah telah disampaikan oleh Imam al Ghazali dalam kitabnya Ihya „Ulumuddin juz II. b. Kebersihan Zahir Kebersihan zahir dapat diperoleh dengan meninggalkan segala yang bertentangan dengan agama dan menjalankan segala sesuatu yang sesuai dengan tuntuan syariat Islam. Yang termasuk dalam kategori kebersihan zahir yaitu menghilangkan segala kotoran di dalam tubuh, bersuci dari hadas dan najis. Dan kotoran-kotoran lain yang ada di tubuh. 12. Aktivitas Sehari-hari Orang yang mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan adat kebiasaan, yang sesuai dengan Adab Nabawiah ( Perilaku seperti Nabi SAW), ia akan mendapatkan beberapa keuntungan dari Allah SWT, antara lain terhindar dari amal-amal yang tidak diridhai-Nya, jauh dari
budi pekerti yang rendah dan mendapatkan kemaslahatan serta kemanfaatan di dunia dan akhirat. Imam al Ghazali dalam karyanya, kitab al Arbain al Nawawi, setelah menganjurkan untuk mengikuti sunnah Rasulullah SAW serta mengingatkan rahasia yang terkandung di dalamnya, beliau berkata: “Ini semua adalah dalam perkara adat kebiasaan, sedangkan dalam perkara ibadah, maka saya tidak menemukan alasan bagi orang yang meninggalkan sunnah kecuali kufur yang tersembunyi atau kebodohan yang jelas. Ingatlah itu!” (Imam al Ghazali). Disunnahkan juga dalam mengawali segala aktivitas seperti makan, minum, berpakaian, berjalan, duduk, buang hajat, tidur, bekerja dan aktivitas lainnya dengan membaca basmalah (
) agar
pahalanya tidak terputus. Meskipun setiap aktivitas tersebut memiliki do‟a masing-masing. Minimal dengan membaca basmalah. 13. I‟tikaf I‟tikaf berarti duduk di dalam masjid dengan tujuan memakmurkan masjid. Sebagai insan yang mulia, selalu duduk di dalam masjid dengan niat i‟tikaf, karena masjid adalah rumah Allah SWT dan tempat yang paling dicintai-Nya, adalah salah satu ciri orang yang beriman. Seperti dalam firman Allah SWT:
-
Artinya:”Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.”(Q. S. At Taubah: 18). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Dalam memasuki masjid sunnah dengan mendahulukan kaki kanan dan ketika keluar sunnah dengan menggunakan kaki kiri. Apabila tidak sempat untuk shalat Tahiyyatul Masjid, maka sunnah membaca lafadz dibawah ini sebanyak empat kali. Lafadz tersebut sebagai berikut:
Artinya:”Maha suci Allah SWT, segala puji bagi Allah SWT, dan tiada Tuhan selain Allah SWT, Allah Maha Besar.” (Al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, tt: 111).
14. Adzan, Iqamah dan Shalat Adzan adalah seruan, yaitu ajakan untuk menunaikan kewajiban shalat fardhu. Adzan bukan hanya seruan tanda masuk waktu shalat tetapi benar-benar seruan atau panggilan untuk menunaikannya. Ketika mendengarkan adzan, jawablah adzan itu sama dengan yang diucapkan muadzin, kecuali pada kalimat Hayya „alash Shalah dan Hayya „alal Falah, maka jawablah dengan kalimat:
Artinya:”Tiada daya dan kekuatan, kecuali dengan pertolongan Allah SWT.” (Al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, tt: 113).
Pada shalat shubuh, ketika muadzin menyeru Ash-shalatu khairumminannaum, maka jawablah dengan kalimat:
Artinya:”Benar dan baguslah ucapanmu dan dalam hal ini aku pun termasuk orang yang menjadi saksi.” (Al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, tt: 113).
Rasulullah SAW mengatakan bahwa do‟a antara adzan dan iqamah tidak akan tertolak. Terdapat dalam hadis yaitu:
Artinya: Dari Abu Iyas yaitu Muawiyah bin Qurrah dari Anas bin Malik R. A. dia berkata: Rasulullah SAW bersabda:”Tidaklah tertolak do‟a antara adzan dan iqamat.” (H. R. Tirmidzi dan Nasai). (Terjemah Sunan Abi Daud, 1992: 353-354).
Jadi, perbanyaklah berdo‟a pada waktu tersebut. Mengenai hal shalat, dalam hal ini adalah shalat fardhu (shalat 5 waktu), dianjurkan untuk shalat di awal waktu. Sehingga ketika muadzin menyerukan adzan, sebagai umat muslim sudah berada di dalam masjid dan dalam keadaan berwudhu. Tetapi ketika tidak mampu seperti hal tersebut, minimal ketika adzan diserukan hendaklah sudah siap untuk shalat. Shalat sangat diutamakan untuk berjama‟ah dengan istiqomah (tetap). Karena pahala yang diperolehnya sangat besar dibandingkan dengan shalat sendirian. Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar R. A., dia telah berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:”Shalat berjama‟ah itu lebih baik (utama) daripada mendirikan shalat secara sendirian sebanyak 27 derajat.” (H. R. Muslim). (Hadis-hadis Muttafaq „Alaih, 2003: 330).
15. Zakat Zakat berarti tumbuh, subur, suci. Wajib bagi umat muslim untuk mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya sendiri dan orang-orang yang ditanggung nafkahnya, kewajiban ini jika mampu melaksanakannya. Beberapa manfaat yang diperoleh dari mengeluarkan zakat ketiaka di dunia antara lain, bertambahnya rezeki, umur, terhindar dari Su-ul Khatimah (Kematian yang buruk, terpeliharanya kesehatan, hartanya menjadi barakah an lainnya). 16. Puasa Puasa berarti menahan. Secara istilah puasa berarti menahan segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa dari mulai terbit matahri hingga terbenam matahari. Dalam al Qur‟an Alah SWT berfirman:
Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa.”(Q. S. Al Baqarah: 183). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Dalam bulan puasa, terdapat segudang pahala yang telah dipersiapkan oleh Allah SWT untuk hamba-Nya yang berusaha meraihnya. Diantaranya amal yang dapat meraihnya adalah melakukan ibadah wajib dengan baik dan sempurna dan ibadah sunnah lainnya. Seperti shalat tarawih, shalat witir, shalat sunnah malam lainnya. Setelah lepas dari bulan ramadhan tersebut, telah dipersiapkan pula amal pada bulan syawal. Allah SWT benar-benar Maha Pemurah. Hanya saja hamba-Nya yang kurang merespon ke-Murahan-Nya. 17. Haji Menunaikan rukun Islam yang ke-5 ini adalah wajib hukumnya bagi yang mampu. Baik dari segi zahir maupun batinnnya. Jangan menunda kemampuan dan kesempatan yang Allah SWT berikan untuk berkunjung ke tanah suci Mekkah. Sebelum melaksanakan haji, perlu mempelajari beberapa kewajiban sunnah dan zikir yang berkaitan dengannya. Pelajari pula yang berkaitan dengan Ka‟bah, keringanankeringanan di perjalanan dan zikir-zikir yang digunakan di dalamnya. 18. Shalat Istikharah, Nazar, Sumpah dan Saksi Shalat istikharah digunakan untuk memperoleh hidayah Allah SWT dalam melakukan hal yang masih diragukan. Karena musyawarah adalah kata yang diambil dari makna tersirat shalat istikharah. Dengan
bermusyawarah, dengan orang yang dapat dipercaya dan seagama, ketika akan melaksanakan hal-hal yang penting, seperti pergi jauh atau menikah, dan jika isyaratnya sesuai dengan pikiran dan hati, maka shalatlah sunnah dua rakaat dengan niat shalat istikharah lalu berdo‟a kepada Allah SWT dengan do‟a yang sudah lazim dilakukan pada shlat istikharah. Selain hal tersebut, manusia pernah tersirat jika telah melakukan sesuatu dan berhasil, maka dia berjanji akan melakukan hal yang lain lagi. Hal ini bisa dinamakan nazar. Karena nazar adalah janji. Dan janji harus ditepati. Bersegeralah untuk melakukannya. Jangan membiasakan diri untuk bernazar karena kadang-kadang syaithan menipu untuk melanggarnya. Berhati-hatilah. Sebagai manusia, janganlah bersumpah atau menjadi saksi sematamata karena dugaan walaupun ternyata benar, apalagi yang didasarkan pada keraguan. Berhati-hatilah terhadap sumpah palsu yang dapat menyebabkan
hancurnya
beberapa
daerah
dan
tempat
serta
mencelupkan pelakunya ke dalam liang jahannam. Janganlah menjadi saksi palsu karena saksi palsu termasuk dalam golongan dosa-dosa yang terbesar. Rasulullah SAW menyamakannya dengan syirik. adalah perbuatan menyekutukan Allah SWT (menduakan-Nya). 19. Wara‟
Syirik
Wara‟ yaitu menjauhkan diri dari dosa, maksiat, dan syubhat (perkara yang tidak diketahui halal dan haramnya). Wara‟ merupakan senjata sakti penjunjung agama. Wara‟ inilah yang menjadi ciri ulama yang
mengamalkan
ilmunya.
Ketahuilah
bahwa
orang
yang
memperoleh sesuatu yang haram atau syubhat, maka sedikitlah ia mendapatkan taufiq, pertolongan Allah SWT untuk beramal shaleh. Jika ia beramala shaleh, ia tidak terlepas dari penyakit batin, dalam setiap amaliyah seperti sombong (ujub) dan pamer (riya‟). Sikap wara‟ tidak hanya diprioritaskan pada makanan, pakaian dan perilaku saja. Bahkan sebaliknya, sikap ini seharusnya dicerminkan dalam segala aspek kehidupan. 20. Amar Ma‟ruf Nahi Mungkar Amar ma‟ruf nahi munkar yaitu memerintah ke arah kebaikan dan mencegah diri dari kemungkaran. Karena hal itu merupakan sendi pokok agama dan karena itu pula Allah SWT menurunkan al Qur‟an dan mengutus para Rasul-Nya. Para ulama memutuskan bahwa amar ma‟ruf nahi munkar hukumnya wajib. Hal ini didasarkan pada al Qur‟an yaitu:
Artinya:”Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma‟ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (Q. S. Ali Imran: 104). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Ma‟ruf ialah segala perbuatan yang baik untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sedangkan mungkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan diri dari Allah SWT. Hukum amar ma‟ruf nahi munkar adalah fardhu kifayah. Yaitu apabila sudah ada sebagian disuatu daerah tersebut yang beramar ma‟ruf nahi munkar maka sudah gugur kewajiban penduduk daerah tersebut untuk beramar ma‟ruf nahi munkar. Namun pahala hanya diprioritaskan kepada yang menyerukan dan mengerjakannya. 21. Adil Berlaku adil kepada rakyat yang terkhusus dan umum. Pelihara dan jaga mereka dengan seksama. Rakyat khusus disini yang dimaksudkan adalah anggota badan yang tujuh yaitu lidah, telinga, mata, perut, kemaluan, tangan dan kaki. Sedangkan rakyat umum disini adalah orang-orang yang berada dalam kekuasaan dan tanggungjawabmu, yaitu anak, istri dan hamba sahayamu. Karena Allah SWT berfirman:
Artinya:”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (Q. S. An Nahl: 90). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
22. Berbakti kepada Kedua Orangtua
Selalu berbakti kepada kedua orang tua adalah wajib hukumnya dan durhaka kepada keduanya tergolong dosa besar. Maha Besar Allah SWT dengan firman-Nya:
Artinya:”Dan Tuhan-mu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak.” (Q. S. Al Isra‟:23). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Sebagai seorang anak, hendaklah mencari keridhaan mereka dan mengerjakan perintah-perintah mereka selama tidak bernilai maksiat, menjauhi larangan mereka selama tidak melarang ketaatan yang wajib serta mementingkan kepentingan mereka di atas kepentingan pribadi. Itulah wujud ketaatan dan berbakti seorang anak kepada kedua orang tuanya. 23. Silaturrahmi Bersilaturrahmi kepada keluarga yang paling dekat, kemudian yang lainnya, juga kepada tetangga yang paling dekat dengan pintu rumah, kemudian yang lainnya. Allah SWT berfirman:
Artinya:”Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh.”(Q. S. An Nisa‟: 36). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang muslim dan yang bukan muslim. Silaturrahmi dan berbuat baik kepada tetangga tidak akan mencapai kesempurnaan, kecuali dengan menahan gangguan terhadap mereka, sabar menerima gangguan mereka dan berbuat baik sekuat tenaga terhadap mereka. 24. Cinta dan Benci Karena Allah Cinta dan benci karena Allah SWT, karena sikap inilah yang menjadi tali pengikat keimanan. Apabila mencintai seorang hamba yang taat disebabkan oleh kepatuhan yang ia kerjakan dan membenci kepada pelaku kemaksiatan dikarenakan oleh kemaksiatan yang ia jalani tanpa adanya tujuan lain, maka hal itu benar-benar termasuk dalam golongan orang yang cinta karena Allah SWT dan benci karena Allah SWT. Sebaliknya, jika didalam hati tidak ada rasa cinta kepada ahli kebajikan karena kebajikan yang mereka kerjakan dan tidak membenci pelaku kemungkaran karena kemungkaran mereka, maka ketahuilah bahwa tingkat keimanan tersebut masih lemah. 25. Ketulusan Hati Rasa ketulusan hati datangnya dari hati nurani yang terdalam. Tidak ada rasa pamrih atau pun meminta balasan. Bertulus hati terhadap setiap muslim dengan maksud agar tidak menyembunyikan sesuatu darinya yang dapat menunjukkan jalan kebaikan dan menjauhkannya
dari kejelekan. Bersikap tulus dapat juga dilakukan kepada sesama muslim dalam setiap kehadirannya dan ketidakhadirannya. Jangan melebihkan rasa tulus yang ada dalam ucapan dengan perasaan sebenarnya yang ada dalam hati. 26. Tobat atau Taubat Salah satu sifat terpuji adalah bertaubat kepada-Nya. Dari setiap dosa kecil atau dosa besar, nyata atau tersembunyi. Karena taubat merupakan langkah awal seorang hamba menuju jalan Allah SWT dan taubat pun merupakan dasar dari setiap maqam di sisi Allah SWT, serta Allah SWT pun mencintai orang-orang yang bertaubat. Maha Pengampun Allah SWT dengan firman-Nya:
Artinya:”Sungguh, Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” (Q. S. Al Baqarah: 222). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Taubat tidak akan sah jika tidak diikuti dengan meninggalkan dosa tersebut, menyesalinya dan membulatkan tekad untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut selama hidupnya. Dan berusaha untuk berbuat baik selalu. 27. Sabar
Sabar merupakan sendi dasar yang harus dimiliki selama hidup setiap manusia. Karena termasuk akhlak yang mulia dan keutamaan yang agung. Allah SWT berfirman:
Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q. S. Al Baqarah: 153). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Sabar terdiri atas empat bagian, yaitu: 1) Sabar mengerjakan ketaatan 2) Sabar akan kemaksiatan 3) Mengingat-ingat dosa yang telah lalu 4) Sabar atas sesuatu yang tidak diinginkan (datang dari Allah SWT dan sesama makhluk) Selain itu, sabar juga harus dilakukan untuk bersabar dari syahwat yaitu keinginan dan kesenangan dunia yang bersifat sementara. 28. Bersyukur Sebagai hamba Allah SWT, bersyukur adalah hal yang wajib karena atas nikmat yang diberikan secara lahir maupun batin serta yang berhubungan dengan agama dan dunia. Jumlahnya tak ternilai. Manusia tak akan sanggup untuk menghitungnya. Syukuri nikmat Allah SWT semaksimal mungkin, kemudian mengakui ketidakmampuan dalam melaksanakan syukur sesuai yang diwajibkan adalah hal yang bisa
hamba lakukan untuk-Nya. Sebagai hamba yang merasa bahwa Allah SWT selalu berada dalam hatinya. Bersyukur akan mengekalkan nikmat dan mengundang nikmatnikmat yang lain. Allah SWT berfirman:
Artinya:”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (Q. S. Ibrahim: 7). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
29. Zuhud Zuhud berarti tidak tergiur dengan keduniaan. Karena hal itu merupakan kebahagiaan sejati, penerang inayah dan sebagai tanda kewalian. Sumber zuhud ialah kesadaran hati akan kehinaan dan kerendahan dunia. Dan bahwa seandainya dunia di sisi Allah SWT berharga walau hanya senilai sayap seekor nyamuk, pasti Allah SWT tidak akan memberi minum pada orang-orang kafir walaupun hanya setetes. Orang
yang
menggali
kepentingan
dunianya
melebihi
keperluannya, maka secara tidak sadar ia telah mendekatkan dirinya pada kebinasaan. Hasil secara batin yang diperoleh dari kesadaran hati ialah meninggalkan kecenderungan pada dunia, sedangkan secara lahir ialah kemampuan diri untuk tidak berhura-hura dan menuruti hawa nafsu.
Derajat zuhud yang paling rendah ialah tidak mengerjakan kemaksiatan dan tidak meninggalkan ketaatan. Sedangkan derajat yang tertinggi ialah tidak mau mengambil sesuatu pun yang ada di dunia ini kecuali ia telah yakin bahwa pengambilannya itu lebih baik di sisi Allah SWT daripada meninggalkannya. Tanda-tanda orang zuhud ialah: 1) Tidak merasa gembira bila memperoleh sesuatu dan tidak merasa sedih bila kehilangannya. 2) Tidak pernah menyibukkan diri untuk mendapatkan dunia dan bersenang-senang di dalamnya dengan mengabaikan pendekatan dirinya pada Allah SWT. Jika tidak mampu berzuhud, maka paling tidak mengakui diri sendiri masih cinta dan serakah terhadap dunia, sedangkan pencarian dan pengejaran kesenangan di dalamnya tidak merupakan dosa kecuali jika memperolehnya dari jalan yang diharamkan. 30. Tawakkal Barangsiapa bertawakal dan pasrah kepada Allah SWT, maka ia akan dicukupi, ditolong dan selalu dikasihi-Nya. Tawakal tumbuh dari buah tauhid yang mantap dan sudah mendarah daging dalam hati dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Allah SWT berfirman:
Artinya:”Bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (Q. S. Ali Imran: 159). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Inti tawakal kepada Allah SWT sadarnya hati bahwa segala sesuatu berada di tangan-Nya, baik yang bermanfaat, bermudharat, yang menyusahkan serta yang membahagiakan. Sangat meyakini bahwa seandainya seluruh makhluk dikumpulkan untuk memberi kemanfaatan ataupun kemudharatan, maka mereka sedikit pun tidak akan mampu melaksanakannya kecuali dengan adanya ketetapan dan ketentuan dari Allah SWT. 31. Rela dengan Ketentuan Allah SWT Kerelaan merupakan hasil dari mahabbah (kecintaan) dan makrifat yang paling mulia. Orang yang cinta sudah sewajarnya rela dengan tindakan kekasihnya, manis atau pahit baginya sama saja. Allah SWT berfirman dalam hadis qudsi:
Artinya:”Barangsiapa tidak ridha dengan qadha-Ku dan tidak sabar atas cobaan-Ku, maka carilah Tuhan selain-Ku.” (H. R. Ibnu Hibban, Thabrani, Abu Daud dan Ibnu Asakir).
Wajib bagi orang yang beriman untuk mengetahui dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa hanya Allah SWT yang memberi
segala sesuatu yang ada di bumi ini. Baik dari segi petunjuk dan kesesatan, kesusahan dan kebahagiaan, mendekatkan dan menjauhkan, memberi dan menahan, memberi mudharat dan manfaat. Jika semuanya telah diketahui dan beriman kepada-Nya, maka wajib bagi orang yang beriman untuk tidak menentang secara lahir dan batin, atau dengan perkataan yang bersifat memprotes Allah SWT. 32. Wasiat-wasiat Allah Allah SWT memberi wahyu kepada Nabi Adam AS berupa empat perkara yang dapat mengumpulkan kebaikan bagi Nabi Adam AS dan anak cucu Nabi Adam AS, yaitu: 1) Perkara yang bersangkutan dengan Allah SWT yaitu bersikap tulus kepada Allah SWT dan jangan menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu pun. 2) Perkara yang bersangkutan dengan diri sendiri yaitu amal perbuatan. Maka Allah SWT akan membalasnya. 3) Perkara yang berkaitan antara Allah SWT dengan hamba-Nya. Dengan selalu berdo‟a dan sudah menjadi kewajban-Nya untuk mengabulkannya. 4) Perkara yang berurusan antara hamba dengan hamba. Maka bergaullah dengan mereka. Dalam shuhuf Ibrahim AS disebutkan bahwa wajib bagi orang berakal mengendalikan lisannya dari perkataan yang tidak berfaedah, peka terhadap zamandan bersungguh-sungguh dalam mencapai
tujuannya. Selain itu, wajib pula membagi waktunya menjadi empat bagian, yaitu: 1) Waktu untuk bermunajat kepada Allah SWT. 2) Waktu untuk mengoreksi diri sendiri. 3) Waktu untuk berkunjung kepada sahabat-sahabatnya agar dapat saling memberi nasihat kepadanya, bersilaturrahmi, agar Obor (lampu) kekeluargaan tidak redup. Karena keluarga adalah penerang dalam jalannya kehidupan di dunia. 4) Waktu untuk mencurahkan kecenderungan diri dalam menikmati keindahan dunia secukupnya. D. Pengertian Konsep Muraqabah 1. Pengertian Konsep Konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret, gambaran mental dari objek, proses atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 588). Selain pengertian tersebut, ada juga yang mengartikan bahwa konsep adalah pokok pertama yang mendasari keseluruhan pemikiran. (Ensiklopedi Indonesia, 1991: 1856). Jadi, konsep akan membingkai atau menyusun sebuah penjelasan tentang suatu hal atau perkara yang diteliti. Dalam hal ini, penulis akan membahas tentang konsep muraqabah dalam kitab Risalatun al Muawanah karya al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad.
2. Pengertian Muraqabah Muraqabah adalah
yaitu kontrol atau pengawasan. (Kamus
Kontemporer Arab Indonesia, 1998: 1680). Selain itu, muraqabah juga merupakan termasuk salah satu maqam (tingkatan sufi) dalam ajaran tasawuf. Maqam atau maqamat (tingkatan sufi) muraqabah terletak pada tingkatan ketiga dari empat tingkatan dalam derajat maqamat yaitu al Haqiqah. (Dahlan Tamrin, 2010: 31-34). Secara istilah, muraqabah adalah sikap mawas diri dalam rangka menghindarkan diri dari perbuatan dosa. (Ensiklopedi Islam, 1994: 301). Dalam buku Menembus Tirai Kesendirian-Nya halaman 83, Media Zainul Bahri mengatakan bahwa muraqabah berarti menjaga (al Qusyairi, Risalah Qusyairiyah) atau mengamati tujuan. Sedangkan secara terminologis berarti melestarikan pengamatan kepada Allah SWT dengan hatinya. (Media Zainul Bahri, 2005: 83). Tentu jelas berbeda dengan Muqarabah. Dua kata yang hampir sama. Tetapi, jelas perbedaannya. Muraqabah adalah sikap mawas diri atas semua perbuatan kita sebagai manusia ciptaan Allah SWT. Sedangkan Muqarabah adalah cara seorang hamba untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Muqarabah adalah mendekatkan diri. Berasal dari wazan
berupa isim masdar, yaitu
mendekatkan. Sedangkan kata Muraqabah adalah mawas diri. Berasal dari wazan
berupa isim masdar juga, memiliki arti me-
kan yaitu mengontrol diri atau mawas diri. (Kitab al
Amsilatu al
Tashrifiyah). Muraqabah dari bahasa Arab. Secara harfiah berarti awasmengawasi. Dalam istilah Tasawuf menurut Imam al Qusyairy: “Muraqabah ialah keadaan seseorang meyakini sepenuh hati bahwa Allah selalu melihat dan mengawasi kita. Tuhan mengetahui seluruh gerak-gerik kita dan bahkan segala yang terlintas dalam hati diketahui Allah.” Dalam kitab Risalah Qusyairiyyah, Imam al Qusyairy, berkata bahwa: “Muraqabah ialah, bahwa hamba tahu sepenuhnya bahwa Tuhan selalu melihatnya.” Dalam bagian lain pada kitab Risalah Qusyairiyyah: “Barangsiapa yang muraqabah dengan Allah SWT dalam hatinya maka akan memeliharanya dari berbuat dosa pada anggota tubuhnya.” Kalimat ini mengandung maksud bahwa orang yang selalu ber muraqabah kepada Allah SWT, pasti ia tidak mengerjakan dosa lagi, karena Allah SWT telah menjauhkannya dari perbuatan dosa. Berbeda dengan orang munafik, ia takut diawasi orang lain, jadi kalau tidak dilihat orang maka ia berani berbuat dosa. Seorang ahli Tasawuf Nasrabazdy berkata, dalam kitab Risalah Qusyairiyyah. Bahwa: “Adapun Harapan baik itu, adalah menggerakkan kamu supaya berbuat amal sholeh, Khauf (takut) dan menjauhkan kamu dari maksiat. Adapun muraqabah, adalah membawa kamu ke jalan yang benar.”
Nasrabazdy bermaksud bahwa muraqabah akan menuntun kita ke jalan yang benar dan menjauhkan dari dosa karena selalu merasa diawasi Allah. Tingkatan Muraqabah yaitu:
1. Muraqabatul Qalbi,
kalbunya selalu waspada dan selalu
diperingatkan agar tidak keluar dari kebersamaannya dengan Allah SWT. 2. Muraqabatul Ruhi, Kewaspadaan dan peringatan terhadap Ruh, agar selalu dalam pengawasan dan pengintaian Allah SWT. 3. Muraqabatus Sirri, kewaspadaan dan peringatan terhadap Sir agar selalu meningkatkan amal ibadahnya dan memperbaiki perilakunya. Dalam hadist sebuah Qudsi Allah SWT berfirman, yang artinya: “Hai hambaku, jadikanlah Aku tempat perhatianmu, niscaya Aku penuhi pula perhatianmu itu. Dimana Aku ada karena kemauanmu, maka engkau itu berada di tempat jauh dari Ku. Dimana kamu berada karena kehendak-Ku (Allah SWT) maka engkau itu berada di dekat Aku. Maka pilihlah mana yang lebih baik pada.” (http://pengkajianpelitahati.wordpress.com/2011/04/18/muroqobahkepada-allah/... 13 Agustus 2014). Berkaitan dengan hal itu, Allah SWT berfirman di dalam al Qur'an Surat Qaf ayat 16-18
- -
- -
Artinya:” Dan sungguh, Kami telah Menciptakan manusia dan Mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Ingatlah) ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya), yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (Q. S. Qaaf: 16-18). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital). Jadi jelaslah dengan muraqabah yang kuat seorang hamba tidak akan berani melanggar perintah Allah SWT dan lalai dari mengerjakan sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah SWT karena yakin bahwasanya seluruh perbuatan baik buruk mereka akan dicatat oleh malaikat raqib dan atid yang pada nantinya akan dimintakan pertanggungjawabannya. Seorang hamba yang telah muraqabah akan selalu mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah SWT kepadanya dan bersabar atas segala bencana dan cobaan yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya. Wuquf qolbi adalah jalan menuju Allah SWT yang paling dekat setelah jalan muraqabah dengan menghadapkan mata hati pada hakikat ruh insan. Karena ruh insan pada awalnya mempunyai keterkaitan dengan badan dari arah hati. Seseorang yang wuquf qalbi harus mengosongkan dulu semua pemikiran-pemikiran, kemudian melemaskan seluruh kekuatannya atau tenaganya dan penginderaannya dari semua alat penginderaan. Lalu melepaskan nafsunya dalam proses menggerakkan organ tubuh. Setelah itu, pandangan mata hatinya berhadap kepada hakikat hati. Apabila
tawajjuhnya meningkat kepada hakikat hati, maka bertambah pulalah makrifatullahnya kepada Tuhan Yang Maha Suci. Tawajjuh adalah penggerakan pandangan mata hati (Sirajudin Thalibin).
Dalam
Sirajudin
Thalibin
disebutkan,
siapa
yang
menghadapkan (tawajjuh) pandangan hatinya kepada ruhnya sendiri, niscaya terbuka untuknya apa yang ada pada “Hidlarat keTuhanan” dari segala rahasia. Maka ia akan sampai kepada makrifat Tuhannya dengan
makrifat
syuhudi
(penyaksian).
Karena
hakikat
ruh-
kemanusiaan adalah seperti cermin untuk Hidlarat Ketuhanan, yang, padanya terdapat “Quwwatu al „Aqliyah” (kekuatan pikiran murni) yang merupakan Jauhar Illahi. Siapa yang terbuka baginya Jauhar itu, dia dapat melihat semua rahasia sifat-sifat Allah SWT, rahasia namanama-Nya dan rahasia Dzat-Nya dengan tersisihnya bayangan, dan dia melihat pula semua keadaan pikiran penginderaan. Seorang hamba benar-benar menghadirkan Allah SWT dalam hidupnya. Sehingga segala hal yang dilakukan adalah untuk meraih ridha-Nya. (http://ilmunursejati.blogspot.com/2013/03/muroqobah-dan-wuqufqolbi.html). E. Pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad tentang Konsep Muraqabah dalam Kitab Risalatun al Muawanah Salah satu karya beliau yang terkenal di dunia pendidikan terutama pendidikan pondok pesantren adalah tentang Tauhid. Berbicara tentang tauhid, beliau sangat bijaksana dalam menulis isi kitab dan cara
menyampaikannya sangat mudah dipahami. Salah satunya adalah tentang mawas diri. Tertulis dalam kitab beliau, yaitu:
Dalam hal ini, al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad menyampaikan dengan kata atau kalimat ”
”. Maksudnya beliau
mengingatkan kepada saudara sesama muslim khususnya dan juga kepada diri sendiri bahwa kita sebagai umat muslim wajib bermuraqabah kepada Allah SWT. Dalam gerakan, keadaan diam, melirik, melihat, keinginan dan seluruh keadaan apa pun, wajib merasa bahwa Allah SWT selalu mengawasi setiap hamba-Nya. Jika seseorang telah melakukan hal demikian, maka ia akan berada dalam tingkatan muraqabah. Muraqabah termasuk dalam tingkatan ihsan. Bertempat di tempat yang tinggi, derajat yang luhur (tinggi). Abdullah al Murta‟isy (w. 328 H), seperti dikutip dalam al Qusyairi, menjelaskan bahwa muraqabah adalah menjaga atas batin sendiri karena adanya kesadaran Yang Ghaib dalam setiap pandangan dan ucapan. Dan Ibn „Atha‟ menyebut muraqabah kepada Allah SWT setiap waktu merupakan ibadah yang paling baik. Sementara Jalaludin Rumi
menganggap muraqabah sebagai tirai pelindung dari emosi, pikiran, nafsu dan perbuatan yang tidak baik. Menurut al Sarraj, muraqabah merupakan hal yang mulia. Dalam pandangan al Sarraj, muraqabah adalah adanya pengetahuan dan keyakinan dari sang hamba kepada sang Khaliq bahwa Allah SWT mengawasi apa-apa yang ada dihatinya dan siratan batinnya. Allah SWT juga mengawasi bisikan-bisikan tercela yang menyibukkan (menjauhkan) hati dari mengingat Allah SWT. Jadi muraqabah menurut al Sarraj adalah kesadaran
rohani
sang
hamba
bahwa
Allah
SWT
senantiasa
mengawasinya. (Media Zainul Bahri, 2005: 83-84). Menurut al Sarraj, ahli muraqabah itu dalam muraqabah terbagi menjadi tiga tingkatan. Yaitu: 1. Tingkatan Ibtida‟(memulai). Kelompok ini sebagaimana yang disebut oleh Hasan Ibn „Ali al Damaghani bahwa bagi sang hamba hendaknya senantiasa menjaga rahasia-rahasia hati karena Allah SWT selalu mengawasi setiap apa-apa yang tersirat dalam batin. 2. Ibn „Atha mengatakan bahwa:” Sebaik-baik kalian adalah yang senantiasa mengawasi Yang Haq dan Yang Haq di dalam fana‟ kepada selain yang haq dan senantiasa mengikuti Nabi Muhammad SAW dalam perbuatan, akhlak dan adabnya. Artinya, sang hamba memiliki kesadaran penuh bahwa sebaik-baik pengawasan adalah pengawasan
Allah SWT, tidak sedikit pun terbersit adanya pengawasan yang lain dan bagi hamba hendaknya ia lebur bersama-Nya. 3. Tingkatan hal al Kubara (orang-orang agung). Yakni mereka yang senantiasa mengawasi Allah SWT dan meminta kepada-Nya untuk mereka dalam bermuraqabah. Allah SWT sendiri sudah menjamin secara khusus hamba-hamba-Nya yang mulia itu untuk tidak mempercayakan mereka dan segala kondisi mereka kepada seseorang selain diri-Nya dan hanya Allah SWT saja yang melindungi mereka. Pada tingkatan pertama menurut al Sarraj, sama artinya dengan sebuah kepasrahan kepada kehendak Allah SWT dan yakin bahwa Allah SWT ada di mana-mana dan Ia mengetahui semua pikiran, perasaan dan perbuatan sang hamba. Karenanya ia yakin bahwa Allah SWT adalah Pengawas segala sesuatu. Sedangkan pada tingkatan kedua dan ketiga berarti konsentrasi hati sang hamba hanya kepada Allah SWT sepanjang hidupnya. Hingga ia merasa Allah SWT menjadi teman, pelindung dan sumber seluruh hidupnya. Pada tingkatan ketiga ini terlihat seorang hamba yang aktif mengawasi Allah SWT dalam arti mengingat Allah SWT dan melihat-Nya dengan mata batin yang bersih dan terang. Untuk bisa melihat Allah SWT secara rohani, tentu bukan perkara biasa dan dapat dicapai setiap orang, maka menurut al Sarraj hanya orang-orang yang sudah berada pada
tingkatan hal al Kubara ini yang dapat melakukannya. (Media Zainul Bahri, 2005: 85-86). Mawas diri kepada Allah SWT hendaklah dilakukan dalam setiap aktivitas. Sadar bahwa Allah SWT selalu berada didekat manusia. Allah SWT selalu mengetahui dan mengawasi segala gerak gerik manusia. BagiNya tak ada sesuatu yang rahasia dan samar. Makhluk sekecil apa pun yang ada di bumi dan langit tak akan pernah lepas dari pengawasan-Nya. Allah SWT senantiasa mengetahui apa yang manusia bicarakan, baik bersuara keras maupun lirih. Dimana saja manusia berada, Allah SWT selalu bersama manusia, dan Dialah Yang Maha Kuasa. (Al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, tt: 23). Sebagaimana Hadits Nabi SAW:
Artinya:”Dari Abu Dzar bin Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman Muadz bin Jabal Radhiallahu Anhuma, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam beliau bersabda,“Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada. Iringilah kejelakan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskannya. Dan bergaul-lah dengan manusia dengan akhlak yang baik”. (HR. Tirmidzi, dan dia berkata: Hadits Hasan). ( Hadis al Arba‟in al Nawawi, 676 H: 15).
Sabda beliau, Nabi SAW:“Bertakwalah kepada Allah” adalah fi‟il „amr (kata perintah) dari kata al Taqwa. Takwa adalah membuat perlindungan dari siksa Allah, yaitu dengan melaksanakan perintahperintah-Nya, dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Inilah yang disebut takwa. Dan ini adalah batasan yang terbaik untuk mengartikan kata “takwa”. (Bertakwalah kepada Allah SWT di mana pun engkau berada), yakni di tempat mana pun engkau berada. Engkau tidak hanya bertakwa kepada Allah SWT di tempat yang disana orang-orang melihatmu saja. Seperti bertakwa hanya saat berada di masjid, kantor, rumah dan jalanan saja. Bertakwa juga tidak hanya di bulan ramadhan, tapi juga di waktuwaktu yang lain karena semua waktu adalah milik Allah SWT. Dan tidak hanya bertakwa kepada-Nya di tempat-tempat yang engkau tidak dilihat oleh seorang pun, karena Allah SWT senantiasa melihatmu, di tempat manapun engkau berada. Oleh karena itu, bertakwalah di manapun engkau berada. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:”Dari Abi Dzar Jundub bin Junadah dan Abi „Abdurrahman Mu‟adz bin Jabal R. A. Rasulullah SAW, beliau bersabda: Bertakwalah kamu kepada Allah SWT dimanapun kamu berada. Dan iringilah
perbuatan yang tidak baik (kesalahan) dengan perbuatan yang baik. Niscaya ia dapat menghapuskannya dan pergaulilah semua manusia dengan budi pekerti yang baik.” (H. R. Tirmidzi). (al Arba‟in al Nawawi, tt: 15). Nabi SAW memerintahkan dan mewasiatkan untuk terus menerus dalam ketaqwaan dimanapun hamba itu berada, pada setiap waktu dan pada setiap tempat, dan pada setiap keadaan baik senang ataupun susah. (http://darussalam-online.com/khutbah-jumat/bertakwalah-engkaudimanapun-engkau-berada/). Petunjuk, pertolongan dan penjagaan Allah SWT hanya tercurah kepada umat manusia jika manusia tersebut tergolong orang-orang yang berbuat baik. Manusia hendaklah memiliki rasa malu kepada Allah SWT. Mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta beribadah kepada-Nya seakan-akan melihat-Nya. Dan apabila manusia tidak melihat-Nya, ketahuilah bahwa Allah SWT selalu melihat.
Artinya:”Iman ada tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama adalah ucapan‟LAA ILAAHA ILLALLAH‟ dan paling rendah adalah membuang benda yang mengganggu perjalanan, sedangkan malu adalah cabang dari Iman.” (H. R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah R. A). (Kitab Shahih Bukhari Juz 1 halaman 11 dan Shahih Muslim Juz 1 halaman 36). Seorang hamba akan hancur moralnya jika sudah tidak memiliki rasa malu. (Na‟udzubillahi min Dzalik artinya aku berlindung kepada Allah SWT dari hal tersebut). Karena telah disebutkan dalam hadis tersebut bahwa malu adalah cabang atau bagian dari iman. Jika sifat malu
sudah lepas dari diri seorang hamba, maka dia akan bertindak sekehendak hatinya dan nafsunya tanpa mengindahkan peraturan atau hukum yang telah ditetapkan dalam agama oleh Allah SWT. Malu kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya adalah senantiasa menjaga kepala dan anggota badannya, menjaga perut serta segala isinya dan senantiasa mengingat maut serta kehancuran tubuh sesudahnya. Sebagai contoh rasa malu yang sudah tidak terjaga yaitu seseorang yang berasal dari suatu rumah tangga. Ia sudah tidak memiliki rasa malu, dengan mudah ia akan melakukan pelanggaran seperti membuka auratnya, berpakaian mandi keluar masuk rumahnya. Padahal sifat malu adalah suatu keimanan, jika malunya sudah berkurang tentu kurang sempurna imannya. Peranan malu memang besar pengaruhnya terhadap iman karena sedikit banyaknya dari suatu pelanggaran hukum Allah SWT juga bergantung sifat malunya. Jika seseorang memiliki rasa malu, tentu ia merasa bahwa Allah SWT selalu mengawasinya dalam setiap langkahnya. Ia akan bersemangat melakukan hal yang bermanfaat dan baik untuk dirinya terutama dan untuk orang lain. Al Sayyid Abdullah bin al Haddad menyampaikan bahwa jika di dalam hati manusia timbul rasa malas (tidak bersemangat dalam kebaikan), pada ketaatan dan cenderung untuk mengerjakan kemaksiatan, katakan pada nafsu: ”Hai nafsu! Sesungguhnya Allah SWT selalu mendengarmu, melihatmu, dan mengetahui segala rahasia dan bisikanmu.”
Jika belum dapat menuruti nasihat tersebut karena kurangnya dalam memahami keagungan Allah SWT, maka peringatkan kepadanya kembali akan dua malaikat yang selalu mencatat kebajikan dan kejelekan, yaitu Raqib dan Atid. Dijelaskan dalam al Qur‟an surat Qaaf ayat 17-18 yaitu:
- – Artinya:”Ketika dua malaikat yang mencatat amal duduk di sebelah kanan dan di sebelah kiri. Tidaklah perkataan yang dikeluarkan seseorang melainkan di sisinya dua malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Q. S. Qaaf: 17-18). (Terjemah al qur‟an al Kalam digital). Ingatlah selalu bahwa kedua malaikat pencatat amal manusia selalu menghampiri dan mengawasi.
BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN AL SAYYID ABDULLAH BIN ALWI AL HADDAD TENTANG KONSEP MURAQABAH C. Konsep Muraqabah menurut al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad Uswatun hasanah terbaik di dunia ini, tidak lain dan tidak bukan adalah sebaik-baik umat, pendidik sepanjang zaman, sebagai pendidik kepribadian, terutama rohani. Beliau adalah Nabi Muhammad SAW. Nabi Akhiru al Zaman. Tidak ada Nabi setelah beliau. Keimanan beliau tidak perlu diragukan lagi. Tetapi, beliau tetap terus berusaha menambah keimanan setiap hari, walaupun kehidupan akhirat beliau telah dijamin
masuk surga. Itulah keistimewaan beliau. Tidak mau berpangku tangan. Hingga seorang pewaris beliau, al Sayyid Abdullah Bin Alwi al Haddad, berusaha mengikuti jejak mulia beliau. Rasulullah SAW memberikan contoh utama, yang terbaik dalam bermunajat kepada Allah SWT, terutama dalam hal beramal, agar apa yang diamalkan, segala sesuatunya karena Allah SWT. Karena segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia selalu dalam pengawasan Allah SWT. Dalam buku The Islam Way halaman 83-84, Nabiel F Almusawa mengatakan bahwa pengawasan melekat (waskat) adalah istilah yang sering didengung-dengungkan oleh para petinggi negara dan para pimpinan instansi pemerintah dari atas sampai ke tingkat bawah. Pengawasan melekat juga sebagai satu-satunya cara (the only path) yang menurut mereka paling ampuh bagi sembuhnya korupsi, kolusi, dan nepotisme di bumi pertiwi. (Nabiel F. Almusawa, 2008: 83-84). Islam adalah agama yang universal (syamiil), integral (kaamil), dan menyempurnakan (mutakaamil) bagi semua sistem yang ada. Allah SWT, Rabb al „Izzah jauh-jauh hari telah memberikan konsep-Nya yang paling sempurna untuk mengawasi berbagai penyimpangan manusia. Konsep inilah yang dinamakan muraqabah. (Nabiel F. Almusawa, 2008: 84). Muraqabah
adalah pengawasan melekat
yang
sebenarnya.
Muraqabah merupakan sistem pengawasan bagi individu bukan hanya sebatas dalam kaitannya dengan aspek materi dan keduniaan belaka,
melainkan jauh menembus batas dan bertemu dengan nilai-nilai keabadian dan kekuatan yang berada di luar kemanusiaan dan kealaman itu sendiri. (Nabiel F. Almusawa, 2008: 84). Pengawasan itu tidak akan sukses melainkan dengan pengawasan yang baik dan uswah yang baik pula. Seseorang yang berperilaku tidak baik akan mempengaruhi perilaku yang lain pula. Pengaruh yang baik itu akan diperoleh dengan pengamatan mata terus menerus, lalu semua mata mengagumi sopan santunnya atau perilaku yang baik. Di saat itulah orang akan mengambil pelajaran, mereka akan mengikuti jejaknya, dengan penuh kecintaan yang tulus (murni). Bukan itu saja, bahkan supaya pengikutnya itu bisa mendapatkan keutamaan yang besar, maka orang yang diikutinya harus memiliki kelebihan dan kejujuran yang tinggi. (Masy‟ari, 2008: 17). Firman Allah SWT tentang konsep pengawasan (Muraqabah) secara umum terdapat dalam surat al Fajr ayat 14 yaitu:
Artinya:”Sungguh, Tuhan-mu benar-benar mengawasi.” (Q. S. Al Fajr: 14). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Dengan demikian, tugas menjadi seorang pengawas adalah dimulai dari diri sendiri. Bukan dimulai dari orang lain. Bukan dititik beratkan pada seseorang. Atau pada orang lain. Apalagi menitik beratkan pada instansi atau lembaga. Melainkan diri pribadi masing-masing. Jika setiap
hamba memiliki jiwa pengawasan terhadap diri sendiri dengan kuat dan mendalam, tentu akan mudah kehidupan di dunia ini untuk dijalani. Tidak memerlukan benda yang disebut dengan Kamera CCTV untuk mengawasi sesuatu yang dicurigai. Pola pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad dalam kitab Risalatun al Muawanah beliau menyampaikan bahwa bersikap mawas diri (Muraqabah) hendaklah dilakukan dalam setiap aktivitas. Allah SWT selalu mengawasi dan selalu berada dekat dengan hamba-Nya. Allah SWT mengetahui segala gerak-gerik dan perilaku hamba-Nya. Bagi-Nya tidak ada yang bersifat rahasia dan samar. Makhluk sekecil apapun yang ada di bumi dan langit tidak akan pernah lepas dari pengawasan-Nya. Manusia baru dikatakan malu dan mawas diri kepada Allah SWT jika apa yang disampaikan oleh Allah SWT dan para utusan-Nya dapat mencegah hati dan nafsunya dari segala aktivitas yang tidak diridhai-Nya dan mendorong untuk taat kepada-Nya. (Al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, tt: 24). Sebagai salah satu contoh nasihat yang disampaikan oleh al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad dalam bukunya yaitu: “Hai nafsu! Tidak ada lagi kesempatan untuk bertaubat setelah kematian. Dan tidak ada lagi tempat setelah dunia ini, kecuali surga atau neraka. Pilihlah mana yang engkau sukai! Jika engkau taat kepada Allah SWT, maka kebahagiaan, keridhaan dan kekekalan di dalam surga yang luaslah yang engkau terima. Bahkan engkau pun akan memperoleh nikmat terbesar yaitu melihat-Nya. Jika engkau bermaksiat, tentu kehinaan, murka dan siksa nerakalah yang pasti engkau terima.”
Muraqabah termasuk dalam kedudukan terpuji, pangkat yang paling mulia dan derajat yang paling tinggi. Muraqabah termasuk pada maqam ihsan seperti yang disabdakan Rasulullah SAW:
Artinya:”Ihsan adalah pengabdian pada Allah SWT seakan-akan engkau melihat-Nya. Walaupun engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (H. R. Muslim dari Umar). (al Nawawi, 676 H: 8).
Setiap mukmin wajib percaya bahwa tidak ada sesuatu yang tersembunyi bagi Allah SWT, baik yang ada di langit maupun di bumi. Dia mengetahui dan mengawasi segala aktivitas makhluk-Nya. Kepercayaan atau ideologi tersebut akan tumbuh subur jika ia seolah-olah berhadapan dengan Allah SWT dan berpengaruh dalam setiap langkah kehidupannya dan ia akan malu jika tidak beribadah. (Al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, tt: 25). Iman atau percaya kepada hisab (pemeriksaan amal) di hari penunjukan amal terbesar (hari kiamat) menyebabkan penyegeraan pemeriksaan diri dan persiapan. Allah SWT berfirman:
-
Artinya:”Dan Kami akan Memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami Mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang Membuat perhitungan.” (Q. S. Al Anbiya‟: 47). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Allah SWT berfirnan dalam al Qur‟an yaitu:
Artinya:”Ketahuilah bahwa Allah Mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya.” (Q. S. Al Baqarah: 235). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Siapa yang memeriksa diri sendiri atas saat-saat dan pikiran-pikiran yang terlintas di hatinya, niscaya ringanlah penyesalannya di hari kiamat dan siapa yang tidak memeriksa dirinya, kekallah penyesalannya dan banyak perhentiannya di padang mahsyar pada hari kiamat. (Imam al Ghazali, 2007: 437-438). Mempersiapkan diri untuk berada dalam naungan-Nya melalui enam tingkatan. Enam diantaranya yaitu: 1) Penetapan syarat. Akal adalah pedagang di jalan akhirat dan sekutunya adalah hati, karena dengan bantuannya ia bisa mencapai tujuan. Akal menugaskan pekerjaan tersebut kepadanya (hati) dan menetapkan syarat kepadanya serta membimbingnya ke jalan keberuntungan dan menetapkan pikiran itu atasnya.
2) Pengawasan. Apabila hati tersebut seperti sekutu yang berkhianat, maka tidak ada jalan untuk mengabaikannya sesaat supaya ia tidak berkhianat sehingga merusak modal di samping keuntungan. Jika begitu harus selalu diawasi diamnya, gerakan-gerakannya, dan saat-saatnya. Allah SWT berfirman:
Artinya:” Sesungguhnya Allah selalu Menjaga dan Mengawasimu.” (Q. S. An Nisa‟: 1). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Al Murta‟syi berkata: “Pengawasan itu maksudnya memperhatikan rahasia memperhatikan yang ghaib bersama setiap waktu dan kata.”
dengan
3) Pemeriksaan diri setelah beramal. Manusia hendaknya memeriksa diri sendiri (introspeksi) dalam setiap amaliahnya. Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah SWT dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah SWT. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q. S. Al Hasyr: 18). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
4) Penghukuman. Menghukum setiap anggota badan bila membangkang atau melakukan hal yang diluar norma sebagai peringatan dengan mengekang syahwatnya. Agar berada dalam jalan yang lurus.
5) Mujahadah (Bersungguh-sungguh dalam Berjuang Melawan Nafsu). 6) Menegur Diri. Sesuai dengan firman Allah SWT:
Artinya:”Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang Mukmin.”(Q. S. Adz Dzariat: 55). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Konsep pengawasan yang diberikan Islam mencakup semua sisi kemanusiaan, baik pada aspek lebar (mencakup semua orang Mukmin), panjang (dari sejak ia baligh sampai matinya), dan dalam (dari perkataan, perbuatan sampai pada kata hatinya). Oleh karena itu, Islam sangat membenci sesuatu yang buruk, bahkan jangankan yang buruk, yang tidak bermanfaat sekalipun hendaknya dihindari. Pelanggaran-pelanggaran yang besar selalu dimulai oleh kesalahan-kesalahan kecil dan seseorang hanya akan menjadi besar jika ia terbiasa mendisiplinkan dirinya untuk tidak memberikan toleransi kesalahan-kesalahan kecil. Sebagaimana yang dikatakan oleh Anas RA yaitu: “Sesungguhnya kalian terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang kalian anggap halus bagaikan sehelai rambut, padahal kami di masa Nabi SAW menganggap perbuatan-perbuatan itu sebagai dosa besar yang membinasakan (Al Muhlikat).” (H. R. Bukhari, 11/283; Ahmad, 157). (Nabiel F. Almusawa, 2008: 86-87).
Dengan demikian, muraqabah merupakan termasuk salah satu maqam (tingkatan sufi) dalam ajaran tasawuf. Maqam atau maqamat (tingkatan sufi) muraqabah terletak pada tingkatan ketiga dari empat
tingkatan dalam derajat maqamat yaitu al Haqiqah. (Dahlan Tamrin, 2010: 31-34). Seseorang akan dapat merasakan kenikmatan berdekatan denganNya jika ia telah bermuraqabah dan diikuti juga dengan muhasabah. Muhasabah adalah bahasa Arab. Arti muhasabah adalah introspeksi, mawas, atau meneliti diri. Yakni menghitung-hitung perbuatan pada setiap tahun, setiap bulan, setiap hari, bahkan setiap saat. Oleh karena itu, muhasabah tidak harus dilakukan pada akhir tahun atau akhir bulan. Namun, perlu juga dilakukan setiap hari. (Amin Syukur, 2006: 83-84). Muhasabah diperintahkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”(Q. S. Al Hasyr:18). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Muhasabah dapat dilakukan secara umum maupun khusus. Muhasabah secara umum yaitu dapat tentang umur, harta, kesempatan dan waktu. Secara khusus dapat dilakukan hal apa saja berkaitan dengan-Nya.
Dalam buku Tasawuf Irfani, maqamat terdiri dari empat maqam yaitu:
1. Maqam al Syari‟ah terdiri dari al Taubah, al Taqwa, dan al istiqamah. 2. Maqam al Tariqah terdiri dari al Ikhlas, al Shidqu dan al Tuma‟ninah. 3. Maqam al Haqiqah terdiri dari al Musyahadah dan al Muraqabah. 4. Maqam al Ma‟rifah terdiri dari al Ridha, al Mahabbah dan al Ittihad. Muraqabah terdapat pada maqamat ketiga dari empat maqamat yang ada. Yaitu maqam al Haqiqah. Allah SWT memberikan hamba-Nya dua penglihatan, yaitu penglihatan melalui mata kepala (al Bashar) dan penglihatan melalui mata hati (al Bashirah). Mata kepala melihat yang kasat mata, tampak jelas hanya berdasar pada perkiraan, berbeda dengan mata hati yang melihat makna yang halus berdasarkan cahaya ke-Allah-an. Muraqabah (al Muraqabah) adalah sebuah istilah tasawuf yang mengambil isyarat dari ayat al Qur‟an surat al Ahzab ayat 52 yaitu:
Artinya:”Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.” (Q. S. Al Ahzab: 52). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Muraqabah
secara
lughawy
(bahasa)
diartikan
dengan
kelanggengan dalam memperhatikan tujuan (al Maqsud), sedangkan secara istilahi adalah kesadaran hati seseorang bahwa dia senantiasa diawasi oleh Allah SWT baik perbuatan lahiriah maupun kondisi batinnya. Pandangan ini sebagaimana disebutkan dalam Kitab Mau‟idzah al Mu‟minin oleh Muhammad Jamal al Din al Qasimy, yang menjelaskan hakikat muraqabah, bahwa muraqabah ialah kesadaran pengawasan oleh
Dzat yang menjaga dirinya, selalu menaruh perhatian kepada-Nya. Kondisi ini telah menjadi kondisi batin seseorang akibat buah dari ma‟rifat kepadaNya serta menghasilkan berbagai amalan lahiriah dan kondisi batiniah dalam beramal. Dari hakikat muraqabah di atas ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) Pengawasan oleh Allah SWT. Seorang hamba menyadari bahwa Allah SWT selalu mengawasi dirinya. Pengawasan tidak hanya dari hal-hal yang bersifat lahiriah saja melainkan dari segi batiniah bahkan sampai yang terlintas di dalam hati juga diketahui. Allah SWT berfirman:
Artinya:”Kecuali jika Allah Menghendaki. Sungguh, Dia Mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.”(Q. S. Al A‟la: 7). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
2) Selalu menaruh perhatian kepada Allah SWT. Karena selalu diawasi oleh Allah SWT, maka dia berusaha (mujahadah) terus menerus untuk menaruh perhatian kepada Allah SWT. 3) Kondisi batin. Setelah menaruh perhatian kepada pengawasan al Haqq maka dia selalu menjaga kondisi batinnya agar tetap stabil walaupun dihadapkan dengan ujian dan tantangan. 4) Buah ma‟rifah (kenal) kepada al Haqq. Kesadaran bahwa dirinya senantiasa merasa diawasi oleh-Nya sebagai buah dari ma‟rifah (kenal) nya dengan al Haqq. Seorang yang kenal al Haqq melalui dua jalan,
pertama yaitu dengan jalan bi al Burhan (melalui keterangan) yang diberikan oleh Allah SWT melalui kitab suci-Nya atau dengan memikirkan alam semesta. Kedua dengan jalan bi al „Iyan (melalui lubuk hati yang paling dalam). 5) Membuahkan amaliah lahiriah dan kondisi batiniah dalam beramal yang baik dan bahkan memilih yang lebih baik. (Dahlan tamrin, tt: 5365). Para ulama tasawuf menyimpulkan bahwa hati atau qalbu merupakan tempat terhujamnya niat, sedangkan niat merupakan ruh al „Amal, yakni jiwa dari berbagai amaliah atau aktivitas yang dilakukan setiap hari. Bagi setiap orang yang
beramal memperoleh nilai sesuai
dengan apa yang diniatkannya. (Asep Usman Ismail, 2011: 172). Syari‟ah Islam tidak hanya mengatur pekerjaan lahiriah yang berhubungan dengan gerakan fisik (al Jawarih), tetapi juga mengandung pekerjaan hati, seperti sikap membenarkan (Tashdiq), ikhlas, mengenal Allah SWT (Ma‟rifah), kerelaan (al Ridha), cinta (al Hubb), penyerahan (al Tafwidh), dan merasakan pengawasan Allah SWT (al Muraqabah). Semua perbuatan hati itu meskipun lembut dan tersembunyi tetapi berhubungan langsung dengan Allah SWT Yang Maha Mengawasi segala rahasia. (Asep Usman Ismail, 2011: 172). Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka membuat hati selalu mengingat-Nya dan senantiasa menghadirkan hati selalu dalam
naungan-Nya dalam setiap aktivitas sehari-hari merupakan langkah menuju Ridha-Nya di dunia hingga akhirat. Dengan mengoptimalkan diri sendiri, konsep ini berusaha membuat dasar keimanan seseorang yang berakhlak mulia melalui pembiasaan yang dilakukan setiap detiknya. Maka, diharapkan akan terwujud sebuah kehidupan yang aman, tenteram dan damai dalam segala aktivitas, serta memiliki akhlak yang baik dan mulia. D. Implikasi Konsep Muraqabah menurut al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad dalam Kehidupan Kontemporer Allah SWT menyatakan bahwa orang yang sepi dari petunjuk dan cahaya itu sebagai bangkai orang mati sedangkan orang yang berhasil dapat petunjuk dinamakan hidup. Maksud yang hakiki dengan demikian itu tidak lain, di dalam kehidupan dunia ini manusia itu wajib mempunyai missi mengEsakan Allah SWT, mengetahui-Nya, bertindak demi pelayanan-Nya, ikhlas karena Allah SWT semata, merasakan kelezatan dengan
jalan
mengingat-Nya
perendahan
diri
justru
karena
mengagungkan-Nya, tunduk terhadap segala perintah-Nya, kembali kepada-Nya dan Islam karena Allah SWT. Apabila yang demikian itu berhasil dicapai oleh seorang hamba dia berarti hidup, bahkan dia berhasil di dunia dan akhirat. (Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut Islam, 1990: 28).
Pribadi yang berakhlak, memiliki integritas dan berkarakter hanya akan tumbuh dan berkembang pada diri manusia yang senantiasa mendengar suara nurani, memiliki rasa malu dan memiliki rasa tanggung jawab. Nabi Muhammad SAW pun diutus oleh Allah SWT dengan tujuan utama mengembangkan dan menyempurnakan setiap manusia menjadi pribadi yang berakhlak al Karimah (berakhlak mulia). (Asep Usman Ismail, 2011: 181).
Seseorang yang memiliki pribadi yang mulia, tentu ia akan mengingat Allah SWT. Dimanapun dan kapanpun ia berada tentu ia akan mengingat-Nya. Jika seorang hamba tidak mengingat-Nya (melupakanNya) maka akan dilupakan Allah SWT. Seorang hamba yang dilupakan Allah SWT maka akan mengalami dehumanisasi (tercabut dari akar-akar kemanusiaannya). Hamba yang melupakan Allah SWT adalah hamba yang berani berani hidup tanpa kedalaman iman, ketajaman berpikir, kepekaan intuisi, kekokohan keyakinan, keluasan wawasan dan keteguhan sikap. (Asep Usman Ismail, 2011: 63).
Perbuatan seseorang yang melupakan Allah SWT merupakan kemungkaran kepada-Nya. Kemungkaran dan kemaksiatan yang dilakukan oleh kebanyakan orang dewasa ini baik yang tersembunyi maupun yang dilakukan secara terbuka dengan terang-terangan sudah dijadikan sebagai suatu trend dan kebanggaan, sehingga hampir tiap hari kita disajikan informasi oleh berbagai media baik surat kabar maupun media televisi
sebagai menu konsumsi kita sehari-hari masyarakat tentang banyaknya orang-orang yang berurusan dengan pihak kepolisian dan kejaksaan karena terlibat masalah hukum baik karena kasus korupsi, suap,pembunuhan, pemerkosaan, pelecehan seksual, pencurian, perampokan, pelanggaran HAM, perselingkuhan, perbuatan asusila kasus narkoba serta beragam kasus lainnya. Semua hal tersebut menggambarkan tindakan yang tidak bermoral. Tindakan yang menunjukkan gambaran perbuatan maksiat dan kemungkaran yang dimurkai. Perbuatan tersebut termasuk dzalim terhadap orang lain maupun dzalim terhadap diri sendiri.
Apa-apa yang dikemukakan diatas adalah berkaitan dengan kemaksiatan dan kemungkaran dalam hubungan sosial antar manusia yang dalam Islam dikenal dengan sebutan muamalah, yaitu hubungan yang berkaitan dengan hak antar sesama manusia yang juga populer dengan istilah Hablum min al Naas (Hubungan antar sesama manusia). Namun sebenarnya
kemaksiatan
dan
kemungkaran
yang dilakukan
oleh
kebanyakan manusia juga terkait dengan hubungan manusia dengan Allah SWT sebagai Sang Khaliq.
Dimana manusia banyak yang telah mengingkari ketaatan mereka kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, karena mereka enggan melaksanakan perintah-perintah seperti enggan dan malas sholat fardu apalagi shalat sunah, mereka juga rajin dalam melakukan pelanggaran-pelanggaran
larangan seperti meminum minuman keras (khamr). Memakan makanan yang haram dan lain-lain sebagainya. Na‟udzu billahi min dzalik. Beragam pelanggaran perintah dan larangan yang disyari‟atkan yang dilakukan oleh kebanyakan manusia tiada lain adalah sebagai akibat dari menurutkan hawa nafsu yang tidak terkendali karena ajakan dan godaan syaitan yang memanupalasi neraka itu sebagai hal yang indah dan manis sedangkan surga digambarkannya sebagai hal yang pahit dan tidak menarik.
Sesungguhnya pelanggaran yang dilakukan kebanyakan orangorang itu dengan berbagai perbuatan kemaksiatan dan kemungkaran dapat disamakan dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang suka melakukan pelanggaran aturan lalu lintas di jalan raya. Apabila di persimpangan empat terdapat polisi lalu lintas yang bertugas mengatur dan mengawasi kelancaran lalu lintas, maka orang-orang akan takut melakukan pelanggaran dan mereka berbuat tertib. Tetapi bila tidak ditemui adanya petugas polusi lalu lintas, maka orang-orang menjadi tidak tertib dan banyak terjadi pelanggaran, disebabkan adanya anggapan mereka bahwa tidak sedang dalam pengawasan pihak polisi lalu lintas, sehingga boleh saja mereka berbuat semaunya sendiri melanggar ketentuan berlalu lintas. ”Peduli amat dengan aturan-aturan lali lintas.” Begitu kemungkinan yang terbersit dalam hati. Hal tersebut sangat perlu dijaga karena amal yang
besar berasal dari hal yang sedikit. Jadi sangat perlu bersikap hati-hati dan mawas diri tentunya.
Pelanggaran yang dilakukan oleh manusia atas ketentuan yang disyari‟atkan oleh agama seperti yang diatur dalam al Qur‟an dan al Sunnah tiada lain disebabkan kebanyakan manusia itu tidak sadar dan lupa bahwa sebenarnya mereka berada dalam suatu pengawasan yang dilakukan oleh zat yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat serta Maha Mendengar. Sehingga seharusnya setiap individu wajib mempunyai pengetahuan tentang pengawasan langsung terus menerus yang dilakukan terhadap dirinya agar timbul rasa takut dalam dirinya untuk melanggar ketentuan syari‟at. Dan sebagai seorang hamba seharusnya memiliki keyakinan bahwa Allah Yang Maha Mengetahui selalu mengawasi dirinya.
(http://musnijaprie-alpasery.blogspot.com/2012/01/jadilah-orang-yangselalu-muraqabah.html. Diakses: 30 September 2014). Allah SWT hadir, dekat, selalu mengawasi dan terlibat sepenuhnya dalam kehidupan manusia sebagaimana disebutkan dalam al Qur‟an yaitu:
Artinya:”Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Maha Hidup, Yang terus menerus Mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur.” (Q. S. Al Baqarah: 255). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital). Wajib bagi seorang hamba untuk selalu bermuraqabah kepada Allah SWT dalam segala gerak dan diam, pada setiap kedipan mata dan pada setiap kehendak, gurisan hati, dalam segala keadaan dan kesadaran
akan kedekatan-Nya dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia selalu melihat diri seorang hamba dan mengetahui segala ihwal dan tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya segala sesuatu yang ada pada diri seorang hamba meskipun hanya sebesar zarrah (biji sawi) baik itu di bumi maupun di langit. Dan jikalaupun seorang hamba tersebut mengeraskan suara ataupun melembutkannya maka sesungguhnya Dia Maha mengetahui segala sesuatu yang sangat samar dan tersembunyi. Dan Dia selalu bersama hamba-Nya di mana saja dia berada dengan ilmu-Nya dan peliputan-Nya Jika hamba tersebut termasuk orang yang bagus, maka malulah
kepada
Tuhan-Nya
dengan
sebenar-benarnya
malu
dan
bersungguh-sungguhlah agar Ia tidak melihat seorang hamba tersebut pada tempat yang sekiranya Dia melarang, Dan berusahalah selalu Ia mendapati seorang hamba ketika Ia memerintahkan sesuatu. Dan sembahlah Ia seakan-akan engkau melihat-Nya dan manakala engkau jumpai dirimu merasa malas mengerjakan ketaatan kepada-Nya atau condong kepada bermaksiat kepada-Nya maka ingatlah bahwa sesungguhnya Allah SWT mendengarmu
dan
melihatmu
dan
mengetahui
rahasiamu
dan
ketersembunyianmu.
http://sufiroad.blogspot.com/2013/04/risalah-al-muawanah-muroqobahkepada.html. 13 Agustus 2014. Urgensi lainnya dari sifat muraqabah ini adalah rasa kedekatan kepada Allah SWT. Dalam al Qur‟an pun Allah pernah mengatakan bahwa:“Dan Kami lebih dekat padanya dari pada urat lehernya sendiri.”
Sehingga dari sini pula akan timbul kecintaan yang membara untuk bertemu dengan-Nya. Ia pun akan memandang dunia hanya sebagai ladang untuk memetik hasilnya di akhirat, untuk bertemu dengan Sang Kekasih, yaitu Allah SWT. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan:
Artinya:“Barang siapa yang merindukan pertemuan dengan Allah SWT, maka Allah SWT pun akan merindukan pertemuannya dengan diri-Nya. Dan barang siapa yang tidak menyukai pertemuan dengan Allah SWT, maka Allah SWT pun tidak menyukai pertemuan dengannya” (HR. Bukhari). Seseorang yang telah memiliki jiwa mawas diri, tentu ia telah memiliki rasa malu yang mendalam. Menurut penuturan Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah, al Haya‟ (rasa malu) diambil dari kata-kata hayat (kehidupan). Sehingga kekuatan rasa malu itu sebanding lurus dengan sehat atau tidaknya hati seseorang. Berkurangnya rasa malu merupakan pertanda dari matinya hati dan ruh orang tersebut. Semakin sehat suatu hati maka akan makin sempurna rasa malunya.
Seseorang yang telah memiliki jiwa merasa malu kepada Allah SWT, tentu ia telah taat melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Hal tersebut dapat disebut sebagai takwa. Ia telah melaksanakan ketaatan kepada-Nya.
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda mengingatkan agar tidak berbuat sesuka hatinya. Yaitu dalam Sunan Abu Daud 4164:
:
Artinya: Dari Abu Mas'ud ia berkata:”Rasulullah SAW bersabda:”Perkataan pertama yang diperoleh oleh manusia dari perkataan kenabian adalah Jika kamu tidak malu maka berbuatlah sesukamu.”(H. R. Abu Daud). Rasa malu sangat wajib dimiliki oleh setiap manusia, agar setiap manusia tidak melakukan perbuatan diluar norma atau aturan. Baik negara maupun agama.
Dalam sebuah buku berjudul Merambah Jalan Shufi Menuju Surga Ilahi halaman 6, al Sayyid Bakri al Makki mengatakan bahwa takwa itu hakikatnya menggapai kebahagiaan, sedangkan melangkah bersama nafsu angkara murka adalah biang malapetaka yang dalam. Maksud kalimat tersebut yaitu pada hakikatnya takwa itu merupakan sarana menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Banyak sekali definisi takwa yang dikemukakan para ahli, antara lain:
1) Takwa ialah melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala yang dilarang-Nya, baik secara lahiriah maupun batiniah dengan cara mensyiarkan agama Allah SWT dan mencintai-Nya dengan penuh keikhlasan. 2) Takwa adalah ketaatan seorang hamba kepada Allah SWT semata.
3) Barang siapa yang ingin takwanya diterima, tinggalkanlah maksiat dan perbuatan dosa. Syeikh Nashrinadzi berkata:”Barang siapa yang bertakwa dengan sesungguhnya, maka ia akan senantiasa merindukan akhirat.” Karena Allah SWT berfirman dalam al Qur‟an, yaitu:
-
Artinya:”Dan kehidupan dunia ini, hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti? (Q. S. Al A‟la: 17). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Allah SWT menyampaikan kepada manusia sekaligus bertanya tentang kehidupan yang hakiki (sebenarnya). Tiadalah kehidupan dunia ini adalah kesibukannya, melainkan main-main dan senda gurau. Mengenai amal taat dan hal-hal yang menjadi sarananya, maka hal itu termasuk perkara akhirat. Kampung akhirat (negeri akhirat), di dalam suatu qiraat (bacaan) adalah surga. Hal tersebut lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.
Yaitu
orang-orang
yang
takut
berbuat
kemusyrikan
(menyekutukan Allah SWT). Lalu Allah SWT bertanya kepada hambaNya dengan lafadz “
”, maksudnya yaitu maka tidakkah kamu
memahaminya? Dengan memakai ya‟ dan ta‟, hal itu kemudian mendorong hamba-Nya untuk beriman. Dalam hal ialah beriman dalam memahami kehidupan yang hakiki. Yaitu kehidupan akhirat. Surga
ataukah neraka yang didapatkan oleh seorang hamba. Tergantung amal dan perbuatannya masing-masing. (Tafsir Jalalain surat al An‟am ayat 32, 2005: 519).
Sebagai contoh pelaksanaan memiliki rasa malu sebagai wujud ketaatan menuju pada muraqabah, yaitu berpakaian yang rapi dan sopan, memiliki jiwa tanggung jawab dalam melaksanakan tugas, meskipun di ruangan yang sepi, tidak ada orang selain dirinya, maka ia akan tetap menjaga diri dari hal-hal yang tidak diinginkan. Itulah sebagian wujud seseorang yang memiliki rasa malu pada Allah SWT.
Allah SWT dapat mengetahui segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang nyata, maupun yang tidak nyata. Allah SWT mengetahui setiap perbuatan manusia. Allah SWT mengetahui jumlah manusia. Allah SWT mengetahui jumlah seluruh makhluk hidup yang ada di bumi ini. Allah SWT mengetahui segala sesuatu. Sesuai dengan firman-Nya:
Artinya:”Ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q. S. Al Baqarah: 231). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital). Jadi, seorang hamba tidak akan bisa menutupi segala amal perbuatannya dari yang Maha Mengetahui. (M. Sumitro, 2011 :52). Sungguh mengherankan orang-orang yang menggunakan akal dan pikiran mereka untuk lari dan melepaskan diri dari Allah SWT yang selalu ada bersama mereka. Allah SWT mengetahui semua yang
mereka
kerjakan. Tidak ada satu rahasia pun yang tersembunyi dari-Nya. Allah SWT mengetahui sesuatu yang jatuh di kegelapan malam dan sesuatu yang ada di kedalaman laut. Allah SWT adalah Dzat yang Maha Dekat dengan hamba-Nya, bahkan lebih dekat dari urat leher. Bagaimana pun usaha seorang hamba untuk menjauh dari-Nya agar bisa bebas bertindak sesuatu sesuka hati, maka tidak akan bisa untuk melakukannya. Walaupun pergi ke luar angkasa yang tidak pernah ditempuh manusia, namun disana tetap berada di bawah kekuasaan-Nya. Selama sesuatu itu adalah makhluk, maka hal tersebut masih berada di bawah kendali-Nya. (Pakih Sati, 2011: 43). Apabila hal tersebut (nasihat) belum berhasil membangkitkan semangat untuk taat kepada-Nya disebabkan karena sedikitnya makrifat kepada-Nya akan kebesaran Allah SWT, maka ingatlah akan adanya dua malaikat yang sangat mulia yang keduanya mencatat kebaikan dan keburukan amal. Malaikat tersebut ialah malaikat Raqib dan malaikat „Atid. Apabila yang demikian itu masih belum memberikan efek, maka langkah selanjutnya adalah ingatlah akan dekatnya maut atau kematian dimana maut adalah sesuatu yang paling dekat diantara yang terdekat yang selalu menanti diri dan takutlah akan hal yang demikian. Apabila ketakutan yang demikian ini belum juga berhasil menggerakkan diri seseorang tersebut untuk taat kepada Allah SWT maka peringatkanlah dirinya dengan janji-janji Allah SWT yang akan diberikan kepada orang yang taat kepada-Nya dari beberapa pahala yang sangat besar dan ingatlah
juga akan janji-Nya yang disediakan bagi orang-orang yang durhaka kepada-Nya dari beberapa adzab yang sangat menyakitkan dan katakanlah kepada dia (nafsu): “Wahai nafsu, tidak ada sesuatu setelah kehidupan dunia kecuali surga atau neraka., maka pilihlah untuk diri sendiri jika taat maka akibatnya adalah keselamatan dan keridhaan dari Allah SWT dan abadi dalam kenikmatan surga dan memandang kepada wajah Tuhan yang Maha Mulia. Dan jika tidak taat maka bermaksiatlah kepada Allah SWT maka akhir yang akan ia dapatkan adalah kehinaan dan kemarahan dari Allah SWT dan tinggal abadi di dalam neraka.” Jika yang demikian ini telah dilakukan maka akan hilanglah keinginan nafsu untuk berdiam diri tidak melakukan taat kepada Tuhannya. Maka sesungguhnya yang demikian ini merupakan obat yang sangat bermanfaat bagi hati yang mengalami sakit . Selanjutnya jika hati telah sadar bahwa Allah SWT selalu melihat maka hati akan merasa malu untuk berlawanan dengan kehendak-Nya dan hati akan membimbing untuk taat kepada-Nya dan yang demikian ini hati telah mulai bermuraqabah kepada-Nya. Dan ketahuilah sesungguhnya muraqabah adalah termasuk maqamat atau kedudukan yang sangat mulia dan termasuk kedudukan yang tinggi dan setinggi-tingginya derajat dan muraqabah adalah maqam ihsan dimana Rasulullah SAW telah memberi isyarat dalam sabdanya bahwa:
Artinya:“Al Ihsan adalah apabila engkau menyembah-Nya seakan-akan engkau melihat-Nya. Dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Ia melihatmu.” (H. R. Muslim). (Kitab al Arba‟in al Nawawi, 676 H: 8).
Dunia peribadatan sangat erat kaitan hubungannya dengan perihal hati. Keimanan seseorang akan semakin bertambah apabila orang tersebut juga menghitung-hitung atau mengingat-ingat apa yang telah diperbuatnya pada masa lalu. Sudahkah lebih banyak mengenai kebaikan amalnya atau justru sebaliknya. Hal ini yang disebut sebagai muhasabah yang merupakan bagian dari amal perbuatan mulia berkaitan dengan muraqabah. Menurut tafsir Syekh Syihabuddin Mahmud bin Abdullah a Husaini al Alusi dalam kitabnya Ruhul Ma‟ani:” Setiap perbuatan manusia yang telah dilakukan pada masa lalu, mencerminkan perbuatan dia untuk persiapan diakhirat kelak. Karena hidup didunia bagaikan satu hari dan keesokan harinya merupakan hari akhirat, merugilah manusia yang tidak mengetahui tujuan utamanya.” Hal tersebut merupakan bagian dari sikap muhasabah. Jika kita berfikir tujuan utama manusia hidup didunia ialah mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal yaitu akhirat, lalu sudahkah perbuatan yang telah dilakukan kita merupakan manifestasi kecintaan kita kepada Allah Swt?. Cermin yang paling baik adalah masa lalu, setiap individu memiliki masa lalu yang baik atau pun buruk, dan sebaik-baik manusia adalah selalu mengevaluasi dengan bermuhasabah diri dalam setiap perbuatan yang telah ia lakukan. Sebagaimana pesan Sahabat Nabi Amirul Mukminin Umar bin Khattab:
Artinya:” Evaluasilah (Hisablah) dirimu sebelum kalian dihisab dihadapan Allah kelak.” Pentingnya setiap individu menghisab dirinya sendiri untuk selalu mengintrospeksi tingkat nilai kemanfaatan dia sebagai seorang hamba Allah Swt. yang segala sesuatunya akan dimintai pertanggungjawabannya diakherat kelak. Dan sebaik-baik manusia adalah yang dapat mengambil hikmah dari apa yang telah ia lakukan, lalu menatap hari esok yang lebih baik. Sebagaimana dalam sebuah ungkapan yang sangat terkenal Rasulullah Saw bersabda, yang artinya: “Barang siapa yang hari ini, tahun ini lebih baik dari hari dan tahun yang lalu, dialah orang yang sukses, tapi siapa yang hari dan tahun ini sama hari dan tahun kemarin maka dia orang yang tertipu, dan siapa yang hari dan tahun ini lebih buruk dairpada hari dan tahun kemarin maka dialah orang yang terlaknat.” Untuk itu, takwa harus senantiasa menjadi bekal dan perhiasan kita setiap tahun, ada baiknya kita melihat kembali jalan untuk menuju takwa. Para ulama menyatakan setidaknya ada lima jalan yang patut kita renungkan mengawali tahun ini dalam menggapai ketakwaan. (http://pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article &id=1247:muhasabah-diri-menggapai-masa depan&catid=4:hikmah&Itemid=59. Muhasabah merupakan menganalisis terus-menerus atas hati berikut keadaannya yang selalu berubah. Selama muhasabah, orang yang merenung pun memeriksa gerakan hati yang paling tersembunyi dan
paling rahasia. Dia menghisab dirinya sendiri sekarang tanpa menunggu hingga Hari Kebangkitan (Yaumul Ba‟as). (Amatullah Armstrong, 1996: 188). Selain hal tersebut, muhasabah dapat juga dilakukan untuk memikirkan nikmat-nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepada seluruh makhluk-Nya, termasuk diri pribadi masing-masing. Nikmat yang Allah SWT berikan kepada makhluk-Nya tidak terhitung jumlahnya. Bahkan dunia daan seisinya pun tidak mampu menandingi karunia-Nya. Dalam hati setiap manusia yang memiliki jiwa tersebut tentunya telah mengingat Allah SWT sepanjang waktu dan keimanannya pun telah bertambah. (Syeikh al Imam Abdullah ba Alawi al Haddad, 1999: 71). Seorang hamba jika memiliki jiwa dan sikap muhasabah, maka ia akan senantiasa terjaga sikap dan perilkunya dalam kehidupan sehari-hari. Segala amal perbuatannya selalu ia sandarkan dengan amal yang telah lalu. Akankah lebih baik atau sebaliknya. Setiap hamba yang beriman akan yakin dan percaya bahwa bagi Allah SWT tidak ada sesuatupun yang tersembunyi baik di langit maupun yang di bumi dan mereka mengetahui bahwa Allah SWT selalu menyertainya di mana saja, dan tidak ada yang tersembunyi bagi Allah SWT dari segala gerak dan diamnya seorang hamba. Akan tetapi buah yang sedemikian ini akan dapat diperoleh dengan jalan mula-mula ia tidak melakukan amal perbuatan antara ia dengan Allah SWT yang menyebabkan ia malu apabila amal ada orang shaleh melihat apa yang ia lakukan tersebut. Dan yang demikian ini adalah perbuatan
yang mulia, dan dibalik semuanya adalah lebih mulia lagi, sampai seorang hamba hingga pada akhir umurnya tenggelam ke dalam Hadratu Allah SWT (kehadapan Allah SWT) dan dia hilang atau fana dari yang selain Allah SWT. Dan sungguh baginya telah hilang pandangannya akan semua makhluk dikarenakan terpananya pandangannya kepada kebesaran Allah yang Maha Haq. Dan ia telah benar keyakinannya dihadapan Sang Raja yang maha kuasa. Dan wajib untuknya untuk selalu memperbaiki al Din (Agama), memperbagus batiniah agar lebih baik daripada lahiriah. Yang demikian itu dikarenakan bahwa yang bathiniah adalah tempat Allah SWT melihat seorang hamba sedangkan lahiriah adalah tempat yang dilihat makhluk. Dan apa yang dijelaskan Allah SWT di dalam kitabnya yang mulia (al Qur‟an) tentang masalah lahir dan bathin, maka Allah SWT lebih awal menyebutkan kata bathin daripada lahir berarti bathin lebih utama sebagaimana do‟a Rasulullah SAW:
Artinya:“Ya Allah SWT jadikanlah batiniahku lebih baik dari lahiriahku, dan jadikanlah lahiriahku beramal shaleh.” (Kitab Risalatun al Muawanah, hlm. 6. Baris ke 20 dari atas). Apabila bagus batiniah, maka akan bagus juga keadaan lahiriah, tidak boleh tidak. Karena sesungguhnya yang lahir selamanya mengikuti yang bathin dalam hal baik dan buruknya. Rasulullah SAW telah bersabda:
Artinya:“Sesungguhnya di dalam jasad (tubuh) ada segumpal darah (daging), apabila ia baik maka baiklah seluruh jasad tersebut, dan apabila ia buruk maka akan buruklah seluruh jasad. Ketahuilah sesungguhnya dia adalah hati.” (H. R. Bukhari dan Muslim). (Kitab al Arba‟in al Nawawi, 676 H: 10). Ketahuilah
apabila
ada
seseorang
yang
mengaku
atau
mendakwakan bahwa kondisi batinnya telah bagus akan tetapi lahiriahnya rusak dengan meninggalkan ketaatan kepada Allah SWT, maka apa yang ia dakwakan tersebut adalah bohong belaka. Dan barang siapa yang bersungguh-sungguh memperbaiki atau membaguskan lahiriahnya dengan mempercantik
penampilannya,
pembicaraannya,
demikian
juga
mempercantik gerak geriknya, dan cara duduknya, dan cara berdirinya, dan cara ia berjalan, akan tetapi ia membiarkan bathiniahnya dalam keadaan yang buruk dengan akhlak yang buruk pula serta dengan tabiat yang kotor, maka ketahuilah bahwa ia termasuk min ahli al Tashannu‟ (orang yang suka di buat-buat dalam hal tingkah lakunya) dan termasuk orang yang riya‟ dan orang yang termasuk berpaling dari Tuhannya. Terdapat pesan tentang muraqabah bagi seluruh umat manusia terutama umat muslim yaitu: “Maka takutlah wahai saudaraku jika engkau menutupi atau menyembunyikan sesuatu apabila orang banyak mengetahuinya niscaya engkau akan malu. Sebagian orang arifiin berkata Seorang Sufi belum termasuk golongan para Sufi hingga seandainya seluruh isi hatinya ditaruh dalam sebuah nampan dan di perlihatkan di tengah pasar maka ia tidaklah malu jika semua orang melihat isinya. Jika engkau tidak mampu membuat bathinmu lebih baik daripada lahiriahmu, maka usahakan agar keduanya sama antara lahir dan bathinnya, maka apa yang engkau lakukan adalah hal melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi laranganNya dan dalam mengagungkan-Nya, dan usahamu mencari keridhaanNya, semua itu dalam keadaan sama (antara lahir dan batinnya).
Apa yang disampaikan ini adalah langkah awal bagi orang yang melangkah jalan ma‟rifat yang al Khas (khusus), maka ketahuilah yang demikian itu semoga Allah selalu memberi taufiq (pertolongan) kepada hamba-Nya yang memiliki keinginan bermujahadah (sungguh-sungguh) dalam menggapai Ridha-Nya.
http://sufiroad.blogspot.com/2013/04/risalah-al-muawanah-muroqobahkepada.html. Diakses: 13 Agustus 2014. Dalam buku Menembus Tirai Kesendirian-Nya halaman 83, Media Zainul Bahri mengatakan bahwa seorang hamba hanya akan sampai pada muraqabah ini dengan cara setelah sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinya sendiri mengenai apa yang telah terjadi di masa lampau, memperbaiki keadaannya di masa kini, tetap teguh di jalan benar, memperbaiki hubungannya dengan Allah SWT sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat senantiasa ingat kepada Allah SWT, taat kepada-Nya dalam segala kondisi. Baru, setelah ini semua dilakukan, Allah SWT akan melihat perbuatannya dan mendengar perkataannya. (Media Zainul Bahri, 2005: 83).
Berkaitan dengan pembahasan di atas, dapat di ambil pemahaman bahwa muraqabah adalah kegiatan pengawasan terhadap diri sendiri yang sedang berjalan atau sedang dilakukan dan amal tersebut (muhasabah) akan berlanjut hingga waktu yang akan datang (besok). Muraqabah ini berkaitan dengan hal yang berasal dari diri kita tetapi sifatnya masih belum kita lakukan (Eksternal). Sedangkan muhasabah adalah hal atau kegiatan
yang dilakukan untuk introspeksi diri mengenai amal perbuatan yang telah dilakukan pada masa atau waktu yang telah lalu. Yaitu berkaitan dengan hal yang telah kita perbuat dari diri kita (Internal).
Demikian beberapa implikasi mengenai muraqabah. Semoga seluruh umat di bumi ini dapat mengamalkannya dengan baik. Meskipun belum maksimal dan sempurna, setidaknya sebagai seorang hamba telah membuktikan usahanya kepada Sang Khaliq dalam meraih ridha-Nya. Amin.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil dari pembahasan penelitian penulis, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Bagaimana sistematika penulisan dalam kitab Risalatun al Muawanah. Kitab Risalatun al Muawanah karya al sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad adalah salah satu kitab Tauhid yang dikarang oleh para „ulama. Sistematika penyusunannya hampir sama dengan kitab yang lain. Yaitu
dengan sistem tematik, yang sistem penulisannya dari satu bab ke bab yang lain. Penyusunannya dimulai dengan: 1) Muqadimah berupa pengenalan yaitu berisi tentang pengenalan dengan pengarang. 2) Khutbah atau penyampaian kitab. 3) Bab selanjutnya pembahasan isi kitab Risalatun al Muawanah yang terdiri dari 32 bab. Dan diakhiri dengan do‟a. 2. Bagaimana pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi bin al Haddad tentang konsep muraqabah dalam kitab Risalatun al Muawanah. Pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad dalam kitab Risalatun al Muawanah beliau menyampaikan bahwa bersikap mawas diri (Muraqabah) hendaklah dilakukan dalam setiap aktivitas. Allah SWT selalu mengawasi dan selalu berada dekat dengan hamba-Nya. Allah SWT mengetahui segala gerak-gerik dan perilaku hamba-Nya. Bagi-Nya tidak ada yang bersifat rahasia dan samar. Makhluk sekecil apapun yang ada di bumi dan langit tidak akan pernah lepas dari pengawasan-Nya. Manusia baru dikatakan malu dan mawas diri kepada Allah SWT jika apa yang disampaikan oleh Allah SWT dan para utusan-Nya dapat mencegah hati dan nafsunya dari segala aktivitas yang tidak diridhaiNya dan mendorong untuk taat kepada-Nya. (Al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, tt: 24).
Sebagai salah satu contoh nasihat yang disampaikan oleh al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad dalam bukunya yaitu: “Hai nafsu! Tidak ada lagi kesempatan untuk bertaubat setelah kematian. Dan tidak ada lagi tempat setelah dunia ini, kecuali surga atau neraka. Pilihlah mana yang engkau sukai! Jika engkau taat kepada Allah SWT, maka kebahagiaan, keridhaan dan kekekalan di dalam surga yang luaslah yang engkau terima. Bahkan engkau pun akan memperoleh nikmat terbesar yaitu melihat-Nya. Jika engkau bermaksiat, tentu kehinaan, murka dan siksa nerakalah yang pasti engkau terima.”
Muraqabah termasuk dalam kedudukan terpuji, pangkat yang paling mulia dan derajat yang paling tinggi. Muraqabah termasuk pada maqam ihsan seperti yang disabdakan Rasulullah SAW:
Artinya:”Ihsan adalah pengabdian pada Allah SWT seakan-akan engkau melihat-Nya. Walaupun engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (H. R. Muslim). (Kitab al Arba‟in al Nawawi, 676 H: 8). Setiap mukmin wajib percaya bahwa tidak ada sesuatu yang tersembunyi bagi Allah SWT, baik yang ada di langit maupun di bumi. Dia mengetahui dan mengawasi segala aktivitas makhluk-Nya. Kepercayaan atau ideologi tersebut akan tumbuh subur jika ia seolaholah berhadapan dengan Allah SWT dan berpengaruh dalam setiap langkah kehidupannya dan ia akan malu jika tidak beribadah. (Al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, tt: 25).
3. Bagaimana implikasi konsep muraqabah dalam kitab Risalatun al Muawanah menurut al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad dalam kehidupan kontemporer. Konsep muraqabah yang disampaikan oleh al Sayyid Abdullah bin alwi al Haddad dalam menuju ma‟rifat dan ridha-Nya tertuju pada keimanan seseorang. Dari diri pribadi masing-masing, bukan orang lain. Muraqabah dapat dilakukan dengan sepenuhnya melakukan perhitungan (muhasabah) dengan dirinya sendiri mengenai apa yang telah terjadi di masa lampau, memperbaiki keadaannya di masa kini, tetap teguh di jalan benar, memperbaiki hubungannya dengan Allah SWT sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat senantiasa ingat kepada Allah SWT, taat kepada-Nya dalam segala kondisi. Baru, setelah ini semua dilakukan, Allah SWT akan melihat perbuatannya dan mendengar perkataannya. (Media Zainul Bahri, 2005: 83). Dari penjelasan beliau, implikasi muraqabah dapat diterapkan dalam segala aktivitas kehidupan dengan cara menghadirkan Allah SWT disetiap detak jantung pribadi masing-masing. Kapanpun dan dimanapun seorang hamba itu berada. Sehingga, jika disuatu tempat tanpa ada Kamera CCTV pun sudah aman. Dalam dunia kelembagaan, baik lembaga pendidikan maupun lembaga negara, hal ini (sikap ber-muraqabah) sangat perlu diterapkan. Karena jika setiap manusia telah memiliki jiwa dan sikap tersebut,
maka akan dengan mudah proses kehidupan ini berlangsung. Sejatinya, pengawasan selalu berada dalam lubuk hati nuraninya, dalam setiap tindakannya. Muraqabah merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Karena dengan muraqabah inilah, seseorang dapat menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dimanapun ia berada, hingga mampu mengantarkannya pada derajat seorang mukmin sejati. Demikian pula sebaliknya, tanpa adanya sikap seperti ini, akan membawa seseorang pada jurang kemaksiatan kepada Allah SWT, meskipun ilmu dan kedudukan yang dimilikinya sangat tinggi. Inilah urgensi sikap muraqabah dalam kehidupan muslim. Selain hal tersebut, mengevaluasi diri, mengingat-ingat janji diri, punya kesungguhan diri, selalu merasa diawasi Allah dan memberikan hukuman terhadap diri kita sendiri. Jika lima hal ini kita jadikan bekal, insya Allah menjalani hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun kita akan selalu mendapatinya dengan indah dan selalu meningkat kualitas diri kita, semoga menjadi insan yang mulia baik lahir maupun batinnya, insya Allah. B. Saran Bersikap diri untuk selalu mawas diri yakni muraqabah (selalu merasa diawasi oleh Allah SWT) adalah hal yang sangat penting dalam menjalani aktivitas kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, hendaknya setiap diri pribadi memiliki jiwa tersebut dalam segala hal. Hendaknya
bersungguh-sungguh dalam bersikap mawas diri (muraqabah) dimanapun dan kapanpun berada, berusaha demi meraih ridha-Nya. Agar tergolong menjadi umat yang
memiliki kesempurnaan iman dan mendapatkan
kemenangan yang hakiki. C. Kata Penutup Subhanallah, wa al Hamdulillah, segala puji dan ucapan syukur hanya untuk Engkau ya Ilahi Rabbi, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia kepada seluruh makhluk di dunia ini, khususnya kepada penulis dalam menyusun skripsi ini yang sangat sederhana dengan segala keterbatasannya. Akhirnya, berkah taufiq dan hidayah-Mu, skripsi ini hadir dihadapan para pembaca yang Engkau rahmati. Walaupun dengan segala kekurangan yang ada, semoga tetap dapat memberikan kontribusi dan kemanfaatan serta keberkahan bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al Ghazali, Imam. 2007. Ringkasan IHYA‟ ULUMUDDIN. Jakarta: Pustaka Amani. Al Kaaf, Abdullah Zakiy. 1999. Memperkokoh Akidah Islamiyah (Dalam Perspektif Ahlussunah Waljamaah). Bandung: CV PUSTAKA SETIA. Al Makki, As Sayyid Bakri. 1995. Merambah Jalan Shufi Menuju Surga Ilahi. Bandung: Sinar Baru Al Gesindo. Al Mutaqi, Muhammad Ilzam Syah. 2013. Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Hasyim Asy‟ari dalam Kitab Adab al Ta‟lim wa al Muta‟allim. Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga. Al Qarni, „Aidh. 2008. Tafsir Muyassar. Jakarta Timur: Qisthi Press. ...................................................Al Qur‟an al Kalam digital. Penerbit: Diponegoro. Ali, Atabik & Ahmad Zuhdi Muhdlor. 1998. Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Jogjakarta: Multi Karya Grafika. Al Mahalli, Jalaluddin dan Jalaluddin al Suyuti. 2005. Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul Ayat Juz 1. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Al Munzdiry, Hafizh. 1992. Terjemahan Sunan Abu Daud. Semarang: CV Asy Syifa. Almusawa, Nabiel F. 2008. The Islam Way: 25 Solusi Islam untuk Permasalahan Masyarakat Modern. Bandung: Arkhan Publishing. An Naisaburi, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi. 1998. Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf. Jakarta: Pustaka Amani. Al Nawawi. 676 H. Kitab al Arbai‟n al Nawawi. Penerbit: Toko Kitab Salsayla. Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Armstrong, Amatullah. 1996. KUNCI MEMASUKI DUNIA TASAWUF. Bandung: MIZAN. Ash-Shieddieqy, Muhammad Hasbi, Teungku. 2000. Tafsir al-Qur‟anul Majid an-Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra. Az-Zahidiy, Moch. Munawwir. 2007. Terjemahan Risalatul Muawanah. Surabaya: Mutiara.
Bahri, Media Zainul. 2005. Menembus Tirai kesendirian-Nya. Jakarta: Prenada Media. Bakker Anton, Achmad Charis Zubair. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Birri, Maftuh Basthul. 2009. MANAQIB 50 WALI AGUNG. Lirboyo. Hikmat, Mahi. M. 2011. Metode Penelitian: Dalam Perspektif Ilmu Komunikasi dan Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu. Ismail, Asep Usman. 2011. Pengembangan Diri Menjadi Pribadi Mulia. Jakarta: PT Alex Media Komputindo. Maslikhah. 2013. Melejitkan Kemahiran Menulis Karya Ilmiah Bagi Mahasiswa. Yogyakarta: TrustMedia. Mahalli, Ahmad Mudjab. 2003. Hadis-hadis Muttafaq „Alaih Bagian Ibadah. Jakarta Timur: Prenada Media. Penyusun, Dewan Redaksi. 1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. Permendiknas No. 46 Tahun 2009. 2010. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan EYD Terbaru. Yogyakarta: Pustaka Timur. Prasetyo, Bambang & Lina Miftahul Jannah. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Rajawali Press. Mustofa, A dan M. Burhanudin.1999. 40 Untaian Mutiara Hadis. Bandung: CV PUSTAKA SETIA. Quraish Shihab, M. 1997. Tafsir al Qur‟an al Karim. Bandung: Hidayah. Rumidi, Sukandar. 2004. METODOLOGI PENELITIAN PETUNJUK PRAKTIS UNTUK PENELITI PEMULA. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Salatiga, STAIN. 2008. PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI DAN TUGAS AKHIR. Salatiga: STAIN. Sati, Pakih. 2011. SYARAH AL HIKAM Kalimat-kalimat Menakjubkan IBNU „ATHA‟ILLAH dan Tafsir Motivasinya. Jogjakarta: Diva Press. Sati, Pakih. 2013. Orang-Orang yang diLaknat Malaikat. Jogjakarta: Diva Press. Soedjarwo, Dja‟far. 1990. Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut Islam. Surabaya: al Ikhlas. Sultoni, Ahmad. 2007. Sang Maha-Segalanya Mencintai Sang Mahasiswa. Salatiga: STAIN Salatiga press.
Sumitro, M dkk. 2011. Aqidah Akhlak. Jakarta: Listafariska Putra. Syukur, Amin. 2006. Tasawuf Bagi Orang Awam. Yogyakarta: LPK-2 dan Suara Merdeka. Tamrin, Dahlan. 2010. Tasawuf Irfani Tutup Nasut Buka Lahut. Malang: UINMALIKI PRESS. Wirartha, I Made. 2006. Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi, dan Tesis. Yogyakarta: ANDI. Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Bahasa Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung. Zainuddin, Ahmad dan Maman Abd. Djaliel. 1999. PENYEJUK HATI PENAWAR JIWA. Bandung: Pustaka Setia. Zed, Mestika. 2004. Metodologi Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Zuhri, Muhammad. 1982. Kelengkapan Hadits Qudsi. Semarang: CV. Toha Putra. ...................................................... HADIS ARBA‟IN dan Terjemahannya. Penerbit: Media Insani. http://artidankeutamaandibaliksurahal-ikhlas.blogspot.com/ Diakses: 26 Maret 2014. Pukul: 11.00 WIB. http://www.kisah.web.id/tokoh-islam/sayyid-abdullah-al-haddad-1044-1132h.html. Diakses: 26 Maret 14. Lt. 2. Pukul 12.30 WIB. http://profildzurriahnabi.blogspot.com/2013/10/manaqib-sayyid-alawi-bin-abbasal-maliki.html, Diakses: 26 Maret 14. Lt 2. Pukul 12.30 WIB. http://www.darulmurtadza.com/2011/12/riwayat-hidup-imam-abdullah-bin-alwial.html. Diakses: 10 April 2014. Perpus Lt. 2. Pukul: 09.40 WIB. http://sufiroad.blogspot.com/2013/04/risalah-al-muawanah-muroqobahkepada.html. (Diakses: 13 agustus 2014). http://wasiatnasehat.blogspot.com/2009/01/habib-alwi-bin-thohir-al-haddadmufti.html. (Diakses: 13 Agustus 14). http://pengkajianpelitahati.wordpress.com/2011/04/18/muroqobah-kepadaallah/...(Diakses: 13 Agustus 2014). http://darussalam-online.com/khutbah-jumat/bertakwalah-engkau-dimanapunengkau-berada/Diakses: 21 Agustus 2014.
http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?languagename=id&View=Pa ge&PageID=615&PageNo=1&BookID=3. Diakses: 08 September 2014. http://pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=12 47:muhasabah-diri-menggapai-masadepan&catid=4:hikmah&Itemid=59. Diakses: 29 September 2014. Perpus. Lt.2.
DAFTAR NILAI SKK (SURAT KETERANGAN KEGIATAN)
NAMA
: Puji Wastuti
PROGDI : Tarbiyah PAI
NIM
: 111 10 072
PA
: Dra. Siti Farikhah, M. Si.
No Jenis Kegiatan
Waktu Pelaksanaan
Keterangan
Nilai
1.
OPAK STAIN Salatiga tahun 2010
25-27 Agustus
Peserta
3
“Optimalisasi Nalar Kritis
2010
Peserta
3
Peserta
3
30 Oktober 2010
Peserta
3
13 Nopember 2010
Peserta
3
Tafsir Tematik surat Al-A‟raf 96-100 29 Nopember 2010
Peserta
3
Peserta
3
Mahasiswa: Upaya Mengawal Perubahan Bangsa ke Arah yang Lebih Baik” 2.
User Education (Pendidikan
20-25 September
Pemakai)
2010
UPT Perpustakaan STAIN Salatiga 3.
Basic Training(LK1) HMI 2010
22-24 Oktober
“Mewujudkan Mahasiswa Islami
2010
yang Ideal Demi Terwujudnya Kader yang Militan” 4.
PAB (Penerimaan Anggota Baru) ITTAQO STAIN Salatiga
5.
PAB JQH dengan tema “CERDAS DAN MULIA DENGAN ALQUR‟AN”
6.
dan Ar-Rum 41-42 dengan tema “INDONESIA MENANGIS DARAH” 7.
Dauroh Mar‟atus Sholihah (DMS)
18 Desember 2010
dengan tema “Let‟s be a SMILE moslemah” 8.
NATIONAL WORKSHOP OF
19 Desember 2010
Peserta
6
09 Maret 2011
Peserta
3
19 Maret 2011
Peserta
3
10 Mei 2011
Juara 3
3
17 Mei 2011
Peserta
3
21 Mei 2011
Peserta
4
20 Juni 2011
Peserta
6
22 Juni 2011
Peserta
6
ENTRPRENEURSHIP AND BASIC COOPERATION 2010 9.
PUBLIC HEARING SENAT MAHASISWA (SEMA) dengan tema”Optimalisasi Demokrasi Kampus Sebagai Upaya Integrity Oriented”
10. Communicative English Club(CEC) dengan tema”Heal the World with Voluntary Service” 11. Pemilihan Muslimah Teladan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Darul Amal dengan tema” Muslimah Membangun Peradaban, Why not?” 12. Seminar Keperempuanan Senat Mahasiswa (SEMA) dengan tema “Menumbuhkan kembali Jiwa Kekartinian dalam Ranah Kampus” 13. Seminar Regional Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Darul Amal dengan tema” Berani Kaya Berani Taqwa” 14. Seminar Nasional Pendidikan “ Realisasi Pendidikan Karakter Bangsa Dalam Kurikulum Pendidikan Nasional” 15. Seminar Nasional “Pilar-Pilar Penanggulangan Korupsi di
Indonesia Perspektif Agama, Budaya dan Negara” 16. Praktikum Baca Tulis Al- Qur‟an
22 Juni 2011
Peserta
2
07 Juli 2011
Juara 3
3
09 Juli 2011
Juara 1
3
10 Juli 2011
Juara 2
3
14 Juli 2011
Peserta
3
22-27 Juli 2011
Peserta
3
11 Oktober 2011
Peserta
3
11 Desember 2011
Peserta
6
29 Januari 2012
Peserta
3
21 April 2012
Peserta
6
(BTA) 17. Lomba Qira‟atul Kutub Sulamun al Munajah Pondok Pesantren Putri al Manar 18. Lomba Khitobah Kelas V Madin Putri al Manar 19. Lomba Tahfidz Surat Yaasin, al Mulk, dan al Waqi‟ah Pondok Pesantren Putri al Manar 20. Lomba Cerdas Cermat (CCIA) Pondok Pesantren Putra Putri al Manar 21. Praktikum Kepramukaan STAIN Salatiga 22. Pelatihan Karya Tulis Ilmiah (PKTI) HMJ Tarbiyah dengan tema” Karya Tulis Ilmiah Sebagai Salah Satu Langkah Membangun Ilmiah Mahasiswa” 23. Workshop Nasional 2 Hari dengan tema” Bisa Ngomong Inggris, Kuasai 500 Kosakata, Kuasai Grammar” oleh “English In Melody Firda Says” 24. Pelatihan Shalat Khusyu‟ Biro Konsultasi Psikologi „TAZKIA‟ 25. Seminar Nasional Entrepreneurship 2012 Kopma Fatawa dengan tema”
Tren Bisnis Berbasis Multimedia dan Teknologi Informatika sebagai Wujud Pasar Modern” 26. Milad X LDK Amal STAIN Salatiga
12 Mei 2012
Peserta
3
14 Mei 2012
Peserta
2
17 Mei 2012
Peserta
2
26 Mei 2012
Peserta
3
29 Mei 2012
Peserta
6
09 Juli 2012
Juara 2
3
11 Juli 2012
Juara 1
3
17 Juli 2012
Juara 1
3
21 Juli 2012
Keamanan
3
dalam Agenda Lomba Khitobah, Sabtu, 12 Mei 2012 27. Bedah Buku Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Judul” Sang Maha-Segalanya Mencintai sang Maha-siswa” 28. Bedah Buku Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Darul Amal STAIN Salatiga dengan Judul” Dari Minder Jadi Super” 29. Dauroh Mar‟atus Sholihah (DMS) LDK”Darul Amal” STAIN Salatiga dengan tema” UNBREAKABLE MUSLIMAH” 30. Seminar Nasional Pendidikan HMJ Tarbiyah dengan tema “Pendidikan Multikultural sebagai Pilar Karakter Bangsa” 31. Lomba Cerdas Cermat (CCIA) Antar Kamar Pondok Pesantren Putra Putri al Manar 32. Lomba MISS BEAUTY Pondok Pesantren Putri al Manar 33. Lomba Qira‟atul Kutub Fathul Qarib Kelas V Madin Putri al Manar 34. Panitia Pondok Pesantren Putra Putri
al Manar 35. Praktikum Mata Kuliah Fiqh
Pondok 17 September 2012
Peserta
3
23 Februari 2013
Peserta
4
13 Maret 2013
Peserta
6
16 Maret 2013
Peserta
3
25 Maret 2013
Peserta
3
02 Mei 2013
Peserta
3
13 Juni 2013
Peserta
6
16 Juli 2013
Peserta
3
21 Juni 2013
Keamanan
3
”Perawatan Jenazah” 36. Seminar Nasional Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan tema “Kepemimpinan dan Masa Depan Bangsa” 37. Seminar Nasional dengan tema ”HIV/AIDS BUKAN KUTUKAN DARI TUHAN” 38. Pelatihan Karya Tulis Ilmiah (PKTI) HMJ Tarbiyah dengan tema “ Karya Ilmiah sebagai Wujud Pelaksanaan Tridarma Perguruan Tinggi” 39. Public Hearing dengan tema”Optimalisasi Kinerja Lembaga Melalui Kritik dan Saran Mahasiswa” oleh Senat Mahasiswa (SEMA) 40. Seminar Pendidikan HMJ Tarbiyah dengan tema “ Menimbang Mutu dan Kualitas Pendidikan di Indonesia” 41. Seminar Nasional Politik oleh SEMA dengan tema “ Peran Nyata Mahasiswa dalam Menyikapi Perpolitikan Indonesia” 42. Lomba Cerdas Cermat (CCIA) Pondok Pesantren Putra Putri al Manar 43. Panitia Pondok Pesantren Putra Putri