KINERJA PERINTAH PADA KEBIJAKAN PROGRAM PEMBAGUNAN PERBATASAN KEPRI TAHUN 2015 (Study pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kepulauan Riau) Oleh YUDI WEMBATOWAK NIM: 080565201053 Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Maritim Raja Ali Haji
ABSTRAK Perbatasan tidak hanya memisahkan wilayah yang dimiliki oleh komunitas atau Negara yang berbeda tetapi juga memastikan keamanan dan kesejahteraan yang seimbang antara masing-masing wilayah yang bersangkutan. Kepulauan Riau merupakan Provinsi terdepan yang berbatasan langsung dengan Negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapore, Filipina, dan Thailand. Kondisi wilayah pulau-pulau di Kepulauan Riau (KEPRI) sangat jauh dipisahkan oleh lautan, dengan Luas Wilayah 252.601 km2 yang terdiri dari 1.350 pulau dan 96% Lautan sehingga membuat rentang kendali pemerintah dalam melakukan perencanaan pembangunan sangat sulit. Penelitian ini akan melihat bagaimana perencanaan pembangunan perbatasan kepri tahun 2015 yang dilakukan pemerintah khususnya Kinerja Dinas PU dalam program pembangunan daerah perbatasan KEPRI. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian dilakukan di Dinas PU Provinsi Kepulauan Riau. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara, pengumpulan data-data dokumen tertulis maupun tidak tertulis, dan observasi non-partisipan. Hasil dari penelitian ini adalah Efisiensi dan Kualitas layanan masih sangat memprihatinkan karena membutuhkan waktu yang lama dalam membangun perbatasan dan pemerintah PU sendiri tidak terlalu fokus dalam membangun perbatasan. Hal ini disebabkan karena tidak terlalu besarnya anggaran yang disediakan dan ada kepentingan politik dalam perencanaan pembangunan. Pengawasan yang dilakukan tidak terlalu efekttif hanya berpaku pada SOP Pembinaan dan Pengawasan Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja, kemudian pengawasan langsung yang dilakukan dinas PU hanya sebatas pengawasan yang dilakukan oleh PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) dalam tiap proyek yang dilakukan pada program pembangunan perbatasan tersebut. Kemudian masih sedikit program yang diprioritaskan untuk daerah perbatasan dibandingkan pagu yang tersedia. Dalam hal ini penulis lebih memfokuskan penelitian ini pada bidang pembangunan daerah khususnya pada kebijakan program pembangunan wilayah perbatasan yang dilakukan dinas pekerjaan umum.Ada beberapa masalah dalam pencapaian target yang diharapkan sesuai dengan permasalahan dalam penanganan wilayah perbatasan ini juga berasal dari; persepsi tentang pembangunan perbatasan masih berbeda, penanganan masih parsial, bersifat sektoral dan belum integritasi, koordinasi belum berjalan dengan baik, baik antara sektoral tingkat pusat maupun antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, komitmen dan anggaran pembangunan perbatasan di daerah relatif masih minim. Dinas PU sendiri memiliki target sesuai stategi pembangunan perbatasan yang di fokuskan oleh Pemerintah Provinsi Kepri, tetapi target yang dilakukan dinas PU dalam membangun perbatasan lebih mengarah ke Infrastruktur daerah perbatasan. Kata Kunci : Kinerja, Pembangunan Perbatasan 1
ABSTRACT Borders not only separates the area owned by communities or different States but also ensures the safety and well-being are balanced between each area concerned. Riau Islands Province is leading directly adjacent to the neighboring countries such as Malaysia, Singapore, the Philippines and Thailand. Conditions region islands in Riau Islands (Riau) very much separated by oceans, with the area of 252 601 km2 area is composed of 1,350 islands and 96% Ocean thus making the span of control of the government in development planning extremely difficult. This study will look at how the border development planning kepri 2015 by the government especially the Department of Public Works performance in border area development program Riau Islands. The method used in this study is qualitative. The study was conducted at the Department of Public Works Riau Islands Province. Data collection techniques in this study were interviews, collecting data document written and unwritten, and non-participant observation. Results from this study is the efficiency and quality of service is still very alarming because it takes a long time to build up border and PU government itself was not too focused on building the border. This is because not too magnitude of the budget provided and there is a political interest in development planning. Monitoring carried out not too efekttif just spiked in SOP Development and Supervision SKPD / work unit, then the direct supervision conducted official PU only limited supervision by PPTK (Executive Officer Technical Activities) in each project undertaken on the development program frontier the. Then still a few programs are priorities for the border region than the ceiling provided. In this case the author of this research focuses on the field of regional development policies, especially in the border area development program undertaken PU department. There are several problems in achieving the expected targets in accordance with problems in the handling of these border regions also came from; perceptions about the construction of the border is still different, the handling is still partial, sectoral and yet integritasi, coordination has not gone well, either between the national and sectoral levels between central and regional government, commitment and development budget in the border area is still relatively minimal. Department of Public Works has a target of corresponding development strategies that focus on the border by the Provincial Government of Riau Islands, but the target is to do duty PU in building more border infrastructure leading to the border area. Keywords: Performance, Development Border A. PENDAHULUAN Semenjak bergulirnya era Reformasi di Indonesia sampai saat ini, pemerintah Indonesia berupaya untuk berbenah dalam membentuk sistem politik yang demokratis. Pada masa pemerintahan orde baru yang selama 32 tahun berkuasa berhasil melembagakan kekuasaan otoriter sehingga rakyat hanya menjadi obyek pembangunan.
Pada masa
Pemerintah Orde Baru berkuasa di Indonesia, perencanaan pembangunan seringkali dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah secara teknokratis. Selain itu proses perencanaan pembangunan juga sering dilakukan semata-mata bersandar pada orang-orang ahli dengan kurang memperhitungkan aspirasi masyarakat. Masyarakat hanya tinggal menerima apapun hasil perencanaan pembangunan yang dibuat oleh pemerintah. Hampir tidak pernah terjadi diskusi publik yang kemudian dijadikan sebagai masukan dalam 2
perencanaan pembangunan. Mobilasi sosial dengan kekuatan birokrasi seringkali mendominasi perencanaan pembangunan. Pada saat era reformasi bergulir, salah satu yang menjadi keinginan bersama adalah kebebasan berekspresi dalam hal ini adalah adanya keterlibatan aktif masyarakat dalam pembangunan. Perubahan dilakukan dengan mendorong masyarakat untuk menjadi inspirator perubahan, maka terjadilah perubahan yang mendasar dalam hal keterlibatan masyarakat dalam proses-proses sosial, ekonomi dan politik, dari perencanaan pembangunan yang bertumpu pada top-down menuju bottom-up. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa esensi dari perubahan politik ke arah demokrasi yang terjadi menuntut keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan dan pola-pola seperti itu sering dirumuskan sebagai partisipasi masyarakat. Seiring diberlakukannya otonomi daerah, maka daerah diberikan wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri, termasuk didalamnya adalah melakukan perencanaan pembangunannya yang berbasis pada potensi local masing-masing daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk tercapainya keberhasilan pembangunan masyarakat daerah maka segala program perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi pembangunan harus melibatkan masyarakat, karena merekalah yang mengetahui permasalahan dan kebutuhan dalam rangka membangun wilayahnya sebab merekalah nantinya yang akan memanfaatkan dan menilai tentang berhasil atau tidaknya pembangunan di wilayah mereka. Tjokroamidjojo (1995 : 8) menyimpulkan bahwa pembangunan nasional merupakan: (1) proses pembangunan berbagai bidang kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik dan lainnya; (2) Proses perubahan sosial yang merupakan proses perubahan masyarakat dalam berbagai kehidupannya ke arah yang lebih baik, lebih maju, dan lebih adil; (3) Proses pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat atau adanya partisipasi aktif masyarakat. Dengan demikian, maka pembangunan itu merupakan proses yang terjadi secara bertahap dan berkelanjutan guna mewujudkan hal yang lebih baik seiring dengan dimensi waktu. Pemerintah dalam menata pembangunan daerah perbatasan sering metitik beratkan pada aspek Pertahanan dan Keamanan (Hankam) semata. Melihat kondisi Provinsi Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Papua, Nusa Tenggara Timur, aspek Hankam terlihat sangat kental dalam setiap program pemerintah. Isu terkait masalah perbatasan tersebut diungkapkan oleh Damarjana (2014) mengenai perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea (PNG). Masalah perbatasan yang selama ini menjadi kendala menurut pihak PNG adalah lalu lintas batas. Dalam beberapa 3
kasus tercatat kasus lintas batas merupakan masalah yang masih sulit diatasi baik dari level pemerintahan hingga individu. Tetapi dalam pelaksanaannya, kerjasama kedua negara berjalan cukup baik terutama bila dilihat dari perjanjian perjanjian bilateral yang berlangsung dan kerjasama dalam tingkat lembaga-lembaga yang memiliki otoritas dalam pelaksanaan kebijakan di daerah perbatasan. Menurut Damarjana (2014), Kondisi perbatasan Indonesia dan PNG lebih didominasi permasalahan pada tingkat ancaman non-konvensional, seperti kejahatan lalu lintas batas, penyelundupan atau gerakan separatis. Permasalahan perbatasan di daerah Papua ini terjadi karena jauhnya kontrol pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan masih buruknya pengelolaan perbatasan bila dilihat dari sudut pandang Indonesia. Masyarakat perbatasan Papua antara Indonesia–PNG secara umum masih terikat dalam satu rumpun, suku dan keluarga. Sehingga dalam pengelolaannya, pemerintah kedua negara juga menerapkan fasilitas lintas batas tradisional agar mobilitas dan hubungan masyarakat tradisional didalamnya masih tetap terjaga. Selanjutnya masih pada perbatsan darat yakni penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2013), mengenai Upaya Indonesia dalam Menangani Masalah Keamanan Perbatasan dengan Timor
Leste pada Periode 2002-2012. Penelitian ini membahas
masalah antar Negara Indonesia dan Timor Leste dengan melihat upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menjaga Keamanan Negara. Masalah Keamanan Perbatasan merupakan persoalan di kedua Negara yang dapat memicu berbagai permasalahan seperti pengungsi dan penyeludupan yang terjadi di perbatasan. Pemerintah melakukan berbagai upaya dalam penyelesaian di kedua Negara dengan cara unilateral dan bilateral serta melalui adanya diplomacy perbatasan (Border Diplomacy). Dalam rangka kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan berdasarkan teori yang dikembangkan dari Theory of Boundary Making, Stephen B. Jones (1945): A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners; dibagi ke dalam empat ruang manajamen
yaitu
alokasi,
delimitasi,
demarkasi
dan
administrasi/manajemen
pembangunan. Alokasi sendiri adalah inventarisasi dasar dari kepemilikan wilayah NKRI yang didasarkan pada prinsip hukum internasional, prinsip Uti Posideti Juris. Sedangkan delimitasi adalah Penetapan Garis Batas antara dua negara yang sebagian wilayahnya overlaping. Lalu demarkasi adalah Penegasan Batas Antar Negara di lapangan setelah dilakukan Delimitasi selanjutnya Administrasi sendiri adalah pengelolaan administrasi di wiliyah yang berbatasan dengan negara tetangga seperti pengelolaan penduduk dan 4
sumberdaya, pembagian kewenangan Pusat dan daerah, pengelolaan CIQ (Custom, Immigration,Quarantine) dan lain sebagainya. Dewasa ini kebijakan pembangunan wilayah/kawasan perbatasan secara umum diarahkan untuk merubah cara pandang terhadap wilayah perbatasan dari halaman belakang menjadi beranda depan NKRI. Perubahan paradigma kebijakan tersebut berimplikasi pada strategi yang ditempuh sebagaimana tergambar dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasianal (RPJPN) tahun 2005-2024 yakni perubahan orientasi pembangunan perbatasan dari “inward looking ke outward looking”. Hal ini diperlukan agar mampu memberdayakan masyarakat perbatasan untuk dapat berinteraksi secara lebih positif dan produktif dengan masyarakat perbatasan di negara tetangga, termasuk dalam mengakses pasar yang potensial di kawasan negara tetangga. Perubahan kebijakan tersebut juga berimplikasi pada perubahan cara pandang kita terhadap wilayah dan kawasan perbatasan antar negara yang tadinya dianggap sebagai wilayah tertutup, rawan keamanan, dan sarat kriminalitas ke sebuah image bahwa kawasan perbatasan antar negara merupakan sebuah wilayah yang terbuka, penuh potensi yang perlu digarap dan didayagunakan untuk kemakmuran masyarakat di perbatasan. Proses perencanaan pembangunan daerah/wilayah dimulai dengan informasi tentang ketersediaan sumber daya dan arah pembangunan nasional, sehingga perencanaan bertujuan untuk menyusun hubungan optimal antara input, proses, dan output/outcomes atau dapat dikatakan sesuai dengan kebutuhan, dinamika reformasi dan pemerintahan yang lebih demokratis dan terbuka, sehingga masyarakatlah yang paling tahu apa yang dibutuhkannya. Jadi partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan sangat penting karena dapat menumbuhkan sikap memiliki dan rasa tanggung jawab masyarakat terhadap pembangunan. Sejalan dengan waktu, upaya memikirkan ulang format proses politik yang lebih memberi ruang kepada rakyat mulai tampak, hal ini ditandai dengan diterapkan maka hal tersebut juga membawa dampak positif dalam system pemerintahan di Indonesia, salah satu wujudnya adalah dengan diterapkannya Undangundang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian perbaharui dengan Undang-undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah serta revisi melalui Perpu no 8 tahun 2005 serta Undang-undang no 12 tahun 2008 tentang pemerintahan daerah. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah merupakan salah satu pendekatan dalam pelaksanaan pemerintahan kolaboratif, dimana pemerintah tidak menjadi satu-satunya pihak yang menguasai jalannya pembangunan baik pada level 5
nasional maupun daerah, keikutsertaan stakeholders yang lain dalam pembangunan merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik. Oleh karena itu, beradasarkan Latar Belakang di atas maka penulis ingin mengajukan penelitian dengan Judul: KINERJA PEMERINTAH PADA KEBIJAKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERBATASAN KEPRI TAHUN 2015 (Study pada Dinas Pekerjaan Umum Daerah Provinsi Kepulauan Riau)
B. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan pada penelirian ini adalah kualitatif dimana dalam prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau tulisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses penjaringan informasi dari kondisi sewajarnya kemudian dihubungkan dengan pemecahan masalah baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis. Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Kota Tanjunginang Ibukota Provinsi Kepri khususnya di Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kepri. 3. Jenis Data a. Data primer yang didasarkan pada peninjauan langsung pada objek yang diteliti untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan. Studi lapangan yang dilakukan dengan datang langsung ke lokasi penelitian dengan cara melakukan wawancara terhadap subyek dalam penelitian. b. Data sekunder yaitu dengan mencari sumber data dan informasi melalui buku-buku, jurnal, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini. 4. Teknik dan Alat Pengumpulan data a. Teknik pengumpulan data Teknik yang dilakukan dalam pengumpulan data ialah dengan melakukan wawancara mendalam terhadap key informant yakni dengan mekanisme pertanyaan yang sudah disusun dan bisa keluar dari konsep jika berkaitan 6
dengan yang ingin diteliti atau bisa juga disebut dengan wawancara nonterstruktur. b. Alat Pengumpulan Data Alat yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah kamera, telpon genggam, alat perekam dan alat tulis. 5. Informan Orang yang dimintai keterangan dalam penelitian ini akan dipilih adalah Kepala Dinas PU atau pegawai di Dinas PU Provinsi Kepri Khusunya Bidang Perencanaan Pembangunan. 6. Secara umum observasi dapat dilakukan dengan cara yaitu: Metode Pengumpulan Data Observasi Non Partisipan Merupakan suatu “proses pengamatan observer tanpa ikut dalam kehidupan orang yang diobservasi dan secara terpisah berkedudukan sebagai pengamat” (Margono, 2005 : 161-162). C. KERANGKA TEORITIK
Penulis akan mencantumkan beberapa teori yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, diantaranya sebagai berikut : 1. Kinerja Kinerja (performance) dalam classical concept adalah prestasi kerja (Wasistiono, 2002; 45), sementara itu menurut Mangkunegara (2001;67) mengemukakan bahwa ”Istilah kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Prawirosentono seperti dikutip Sinabelia (2006;136) bahwa, secara etimologi kinerja berasal dari kata performance, performace berasal dari kata to perform yang mempunyai beberapa masukan (entry) yaitu Memasukkan, menjalankan, melaksanakan, menggambarkan tanggungjawab; memainkan dan Melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin.
Definisi kinerja dari pemahaman secara eksternal, yang membandingkan dengan keseluruhan status organisasi dengan pesaing, pemilik dan standart eksternal dikemukakan Bill
Foster dan Karen (2001;223)
yang merumuskan konsep kinerja secara 7
multidimensional, yaitu sebagai the overall status of and organizaitionin relation to competitors, or aganst its own or externalstandar. Cara pandang terhadap kinerja baik secara internal maupun eksternal, pada dasarnya menunjukkan perlunya suatu perhatian terhadap penggunaan standard internal dan eksternal dalam pengukuran kinerja suatu organisasi pelayanan publik. Dalam penjabarannya, beberapa pakar menjabarkan manajemen kinerja dengan pendekatan beberapa model yang berbeda-beda dari yang sederhana sampai ke proses yang mendalam berikut adalah model yang dimulai dari tahapan awal, yaitu menyusun rencana, melakukan tindakan pelaksanaan, memonitor jalannya dan hasi pelaksanaannya serta merevieuw.
2. Kinerja Organisasi Menurut Roberts dan Jakson (2002;120) mencakup how well the organization is doing, bagaimana suatu organisasi mencapai profit tujuannya dan tingkat kepuasan dari para pelanggan/penguna jasa pelayanannya.
Kemudian Menurut Dharma (2005;229) Manajemen Kinerja pada tingkat organisasi berkaitan dengan usaha mewujudkan visi organisasi. Visi organisasi merupakan arah yang menentukan kemana organisasi akan dibawa. Apa yang diinginkan organisasi kedepan. Visi organisasi harus dirumuskan secara jelas dan dipahami oleh semua anggota organisasi, visi juga merupakan jangkar yang menjadi basis untuk menjaga jangan sampai organisasi menjadi kandas ditengah gelombang perubahan yang pebuh ketidakpastian. Oleh karenanya, factor yang paling penting adalah kepemimpinan yang visioner, partisipatif dan berintegritas. Organisasi sering dipahami sebagai sekelompok orang yang berkumpul dan bekerjasama dengan cara yang terstruktur untuk mencapai tujuan atau sejumlah sasaran tertentu yang telah ditetapkan bersama. Sebuah organisasi harus menyediakan direction framework (kerangka kerja arahan) sebagai panduan kegiatan atau proyek dan dasar pengambilan keputusan organisasi. Dengan direction organisasi tersebut, organisasi bisa menilai apakah kegiatan-kegiatan organisasi telah dilaksanakan dengan tidak menyimpang dari tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Semua keputusan harus dapat dievaluasi untuk menentukan kesesuaiannya dengan kerangka kerja tersebut. Direction Framework yang harus disediakan oleh organisasi meliputi : visi, misi, strategi, prinsip, klien/pelanggan/pengguna, stakeholder, tujuan, sasaran, produk atau jasa, roles, responsibility and skills. (Mahsun 2006;1).
8
3. Pengukuran Kinerja
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Hatry (dalam Wasistiono, 2002;32) bahwa, pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan berpedoman pada sumber data Tujuan pengukuran kinerja disebutkan Hatry adalah untuk: mengetahui efisiensi dan kualitas layanan, memotivasi birokrasi publik guna meningkatkan kualitas layanan, pengawasan pelaksana kebijakan, menentukan dan menyesuaikan anggaran, mendorong birokrasi publik untuk memusatkan perhatian pada kebutuhan masyarakat, dan memperbaiki kualitas layanan.
Sementara
itu
menurut
McDonald
dan
Lawton
(dalam
Ratminto
dan
Winarsih,2005;174) menyebutkan bahwa pengukuran kinerja memiliki beberapa indikator yaitu outpot oriented measures thoughput, efficiency, effectifines. Faktor utama dalam mengukur suatu kinerja adalah analisis terhadap perilaku yang diperlukan untuk mencapai hasil yang telah disepakati, bukan penilaian terhadap kepribadian. Kinerja harus terukur, dan parameternya harus menjurus pada hal-hal konkret.
4. Pembangunan Perbatasan Pembangunan adalah pergeseran dari suatu kondisi nasional yang satu menuju kondisi nasional yang lain, yang dipandang lebih baik dan lebih berharga. Disamping itu pembangunan juga merupakan proses multi dimensional yang menyangkut perubahanperubahan yang penting dalam suatu struktur, sistem sosial ekonomi, sikap masyarakat dan
lembaga-lembaga
nasional
dan
akselerasi
pertumbuhan
ekonomi,
pengangguran kesenjangan dan pemberantasan kemiskinan absolut. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa pembangunan berarti proses menuju perubahan perubahan yang dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri. Undang-undang Nomor 25 tahun 2005 mengenal 5 (lima) pendekatan dalam menyusun rencana pembangunan yaitu : pendekatan politis, pendekatan teknokratis, pendekatan partisipasi, pendekatan perencanaan bawah-atas, dan pendekatan perencanaan atas-bawah.(Bastian,2009:63) Teori Pembangunan adalah teori yang berhubungan dengan masalah-masalah pembangunan, yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perubahan yang terencana yang terjadi di suatu masyarakat atau suatu daerah atau suatu negara guna meningkatkan kesejahteraan manusia. 9
Bryant and White (1982), dalam Managing Development in the Third world menyebutkan ada lima implikasi utama dalam pembangunan yaitu: a. Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan optimal manusia, baik individu maupun kelompok (capicity). b. Pembangunan berarti mendorong tumbuhnya kebersamaa dan pemerataan sistem nilai dan kesejahteraan (equity). c. Pembangunan berarti kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Kepercayaan ini dinyatakan dalam bentuk kesepakatan yang sama, kebebasan memilih, dan kekuasaan untuk memutuskan (emplowermenti). d. Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk membangun secara mandiri (sustainability). e. Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan Negara yang satu terhadap Negara yang lain dengan menciptakan hubungan saling menguntungkan(simbiosis mutualis) dan saling menghormati (interdepedensi). ( Harjanto, 2011:5).
Siagian dalam Harjanto (2011) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju merdenitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building).”
Sedangkan Ginanjar Katasmita dalam Harjanto (2011), memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “Suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana.” Seperti pendapat-pendapat para ahli yang telah disebutkan pembangunan berarti proses perubahan ke arah yang lebih baik dengan melakukan upaya-upaya yang terencana, kemudian akan menghasilkan perkembangan yakni proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai dampak dari adanya pembangunan. Batas Wilayah Negara adalah garis batas yang merupakan pemisah kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional. Batas Wilayah Yurisdiksi adalah garis batas yang merupakan pemisah hak berdaulat dan kewenangan tertentu yang dimiliki oleh negara yang didasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah
10
Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan. (Undang-undang No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara) Tahapan pengelolaan perbatasan menurut Stephen B Jones(1945) yaitu Teori Boundary Making yang membagi ruang lingkup pengelolaan perbatasan ke dalam empat bagian yaitu : Allocation, Delimitation, Demarcation dan Administration.(Madu,dkk,2010:111)
Yang dimaksud keempat ruang lingkup pengelolaan perbatasan menurut Kartikasari dalam Madu,dkk, (2010) adalah: Allocation/Alokasi: dalam hal ini ruang lingkup wilayah ditetapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum nasional dan hukum international. Bagi Indonesia, cakupan wilayahnya adalah seluruh wilayah yang diwariskan dari penjajah Belanda, sesuai dengan prinsip Internasional Uti Possedidetis Juris yang menyatakan bahwa suatu negara mewarisi wilayah penguasa penjajahnya. Delimitation/penetapan batas: Setelah ruang lingkup wilayah diketahui, maka tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi area-area yang overlapping atau harus ditentukan batas-batasnya dengan negara tetangga. Demarcation/penegasan batas: setelah garis batas ditetapkan oleh pemerintah negara yang saling berbatasan, maka tahap berikutnya adalah menegaskan batas-batas di lapangan. Karena sifat garis batas yang sangat penting, sebagai penanda mulai dan berakhirnya hak dan kewajiban suatu negara, maka letak pasti batas tersebut harus dipertegas. Cara-cara yang dilaakukan adalah dengan memasang tanda-tanda batas disepanjang garis batas yang telah diperjanjikan. Kerumitan dapat terjadi ditahap ini, karena sering pada kenyataannya perubahan alam dan perbedaan interpretasi terhadap treaty dapat mempuan pekerjaan penegasan batas menjadi rumit. Administration/menejemen pembangunan: Sebenarnya tahap administrasi ini merupakan tahap akhir dari pengelolaan perbatasan, namun menurut Theory Boundary Making, dalam pengelolaan wilayah perbatasan yang baik, dapat saja proses ini dilakukan secara bersamaan dengan proses ketiga, yakni proses penegasan batas. Hal ini dapat dimengerti karena pengelolaaan pembangunan, akan melibatkan multisektor dan perencanaan yang terintegrasi dari bidang-bidang seperti politik, pertahanan, keamanan, sosial, ekonomi, budaya, hukum, lingkungan hidup, sarana dan prasarana dan lain-lain. Pada tahap ini pula terjadi kerjasama bagi pembangunan wilayah perbatasan antara kedua negara untuk bidang-bidang tersebut di atas.
11
D. KONSEP OPRASIONAL Dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan diatas, maka ada indikator operasional dalam mengukur dan menganalisis hasil penelitian. Adapun Definisi operasional yang dimaksud di ambil dari indikator teori yang sudah di jabarkan sebelumnya dan yang sesuai dengan penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Kinerja Organisasi Dinas PU Provinsi Kepri diukur dari : 1. Efisiensi dan kualitas 2. Pengawasan pelaksana kebijakan 3. Ketersediaan Anggaran 4. Target dan realiasasi
b. Pembangunan Wilayah Perbatasan diukur dari : 1. Jumlah Program Pembangunan Perbatasan Kepri 2. Fasilitas Infrastruktur Perbatasan
E. HASIL DAN ANALISIS I. Kinerja Dinas Pekerjaan Umum dalam Pmbangunan Perbatasan a. Efisiensi dan kualitas Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak sipil setiap warga negara atas barang, jasa, dan pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Di Indonesia, UndangUndang Dasar 1945 mengamanatkan kepada negara agar memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya demi kesejahteraannya, sehingga efektivitas suatu sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan pelayanan publik. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pun secara tegas menyatakan bahwa salah satu tujuan didirikan Negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan publik dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Harapan pengguna atau pelanggan pelayanan terus-menerus berubah. Tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik pada era reformasi berbeda dan lebih tinggi daripada era Pemerintahan Soeharto. Apalagi pada umumnya kualitas pelayanan publik di Indonesia belum memuaskan. Hal tersebut dinyatakan secara tersirat dalam Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik di paragraf kedua 12
yang menyebutkan bahwa dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Prinsip keadilan, ekonomis dan efisien, ataupun perhatian merupakan beberapa aspek pelayanan publik yang belum sesuai dengan keinginan masyarakat. Prinsip keadilan dalam pelayanan publik selama ini belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Pelayan publik terkadang masih menampilkan perlakuan pelayanan yang berbeda berdasarkan status sosial. Pengguna layanan yang berstatus pejabat terkadang diperlakukan lebih istimewa daripada pengguna layanan yang berasal dari masyarakat biasa. Efisiensi merupakan salah satu dimensi yang perlu dideteksi dalam pengukuran efektivitas pelayanan publik karena efisiensi itu berkaitan dengan segala persyaratan yang relevan dengan pelayanan yang diberikan kepada publik, bagaimana pemanfaatan sumber daya dalam penciptaan efektivitas tersebut. 1. Waktu Untuk menciptakan pelayanan yang efektif dapat dilihat dari kepastian waktu pelayanan dalam pembangunan perbatasan. Berkenaan dengan masalah waktu, berapa lama waktu yang diperlukan untuk membngun Perbatasan sesuai dengan Perencanaan dinas PU sendiri. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kabid Perencanaan dan Tata Ruang yakni Ir.Nildawatyn, menyatakan bahwa: “Dalam menyelesaikan pembangunan perbatasan, membutuhkan waktu yang lama, karena kami harus Konsisten terhadap perencanaan program yang sudah ada dalam membangun perbataasan, namun penyelesaiannya itu juga bergantung pada situasi maupun kondisi yang ada. Sedangkan masalah standar sendiri ada sesuai dengan target realisasi ada juga yang molor.” (22 April 2016 di Kantor PU Provinsi Kepri)
Waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian program biasanya sesuai dengan perencanaan yang sudah di tentukan, misalnya dalam 1 tahun 2 kali mengikuti apa yang sudah masuk dalam APBD dan dilanjutkan saat APBDP. Dalam hal ini program pembangunan perbatasan mengikuti standar waktu yang di tentukan oleh pelaksana teknis di tiap-tiap project pembangunan yang sudah di lelang sesuai prosedur. Karena lemahnya pengawasan yang dilakukan PU dalam program-program pembangunan maka biasanya dilakukan pelelangan ulang dan menyebabkan pembangunan menjadi molor.
13
2. Biaya Ketersediaan anggaran yang diperlukan dalam membangun perbatasan tidaklah sedikit. Terkait dengan masalah biaya dalam program pembangunan perbatasan di Dinas Pekerjaan Umum, Nurzuleicha.,S.Sos, selaku Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian menyatakan bahwa : “Saya rasa kalau mengenai biaya itu sudah jelas, dan kami hanya melaksanakan sesuai RKA yang tersedia, baik itu dalam membangun akses jalan, infrastruktur, etersediaan air dan lainnya.” (27 April 2016 di Kantor PU Provinsi Kepri) Dari data yang diperoleh pada RKA PU 2015, biaya yang digunakan untuk pembangunan perbatasan yang dikelola oleh Dinas Pekerjaaan Umum sebesar
Rp.
95.714.740.000 dari Rp.356.651.872.744 anggaran yang tersedia untuk pembangunan infrastruktur yang lain.(RKA PU PRovinsi Kepri,2015) Dari 100 % alokasi dana untuk Pembangunan Infrastruktur Jalan dan Fasilitas Umum Lainnya serapan anggaran hanya 17,3 % yang mengarah ke perbatasan dan 82,7 % tidak ke perbatasan.(Darmawan, 2015:125) Melihat hal tersebut penulis menarik kesimpulan bahwa hal tersebut menunjukan masih sedikit program yang diprioritaskan untuk daerah perbatasan dibandingkan pagu yang tersedia. Dalam hal ini penulis lebih memfokuskan penelitian ini pada bidang administrasi/pembangunan daerah khususnya pada kebijakan program pembangunan wilayah perbatasan yang dilakukan dinas pekerjaan umum Provinsi Kepri.
b. Pengawasan Pelaksanaan Kebijakan Kebijakan pembangunan daerah perbatasan dimaksudkan untuk mendorong kebijakan afirmatif tentang pembiayaan dan pengembangan fiskal daerah tertinggal, mendorong Tata Kelola sumber daya alam daerah tertinggal berbasis komoditas unggulan, mendorong dan meningkatkan kualitas SDM melalui program penguatan pendidikan dan kesehatan masyarakat, merumuskan arah dan kebijakan pembangunan pusat dan daerah, serta proaktif melakukan koordinasi dengan seluruh stakeholder pembangunan daerah tertinggal. Kegiatan pembinaan dan pengawasan sesuai PP 78 Tahun 2014 dalam rangka peningkatan kinerja pelaksanaan tugas dilingkungan Kementerian Dalam Negeri meliputi: 1. Pengelolaan tugas dan fungsi, keuangan, barang, dan kepegawaian; 2. Reviu Rencana Kerja Anggaran; 3. Reviu Laporan Keuangan; 14
4. Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah; 5. Evaluasi Sistem Pengendalian Internal; 6. Keuangan dan aset; 7. Pengaduan masyarakat dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu; 8. Pemeriksaan terpadu dengan Inspektorat Jenderal Kementerian / Inspektorat Utama / Inspektorat Lembaga Pemerintah Non Kementerian atau BPKP; 9. Pemeriksaan hibah; 10. Pendampingan, asistensi dan fasilitasi; dan 11. Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan dan Dana Alokasi Khusus. Kegiatan Pembinaan dan pengawasan Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja lingkup Pemerintah Provinsi, meliputi: 1. Pemeriksaan aspek pengelolaan tugas dan fungsi, kepegawaian, keuangan dan asetpada Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja; 2. Review Laporan Keuangan; 3. Review Rencana Kerja Anggaran; 4. Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja; 5. Evaluasi Sistem Pengendalian Internal Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja; 6. Pengaduan masyarakat dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu; 7. Pembinaan
dan
Pengawasan
terpadu
Kementerian/InspektoratUtama/Inspektorat
dengan Lembaga
Inspektorat Pemerintah
Jenderal Non
Kementerian atau BPKP dan Inspektorat Provinsi; 8. Pengarusutamaan Gender; 9. Pendampingan, asistensi dan fasilitasi. Pengawasan yang dilakukan dalam program pembangunan perbatasan yang dilakukan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kepri hanya sesuai PP 78 Tahun 2014 kemudian mengikuti SOP pembinaan dan pengawasan satuan kerja perangkat daerah/unit kerja lingkup pemerintah provinsi kepri. Terkait pengawasan langsung terhadap program pembangunan dilakukan oleh PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) langsung di tiap-tiap proyek dalam program pembangunan tersebut, sehingga tidak terlalu efisensi dalam melakukan pengawasan karena tidak ada tim khusus atau bidang khusus untuk hal tersebut.
15
c. Ketersediaan Anggaran Lemahnya kemauan dari Pemerintah dan kurangnya kontrol masyarakat akan memperlambat pembangunan perbatasan yang tepat sasaran. Konsep pembangunan perbatasan umumnya disusun dengan perencanaan yang terencana, terpadu dan berkelanjutan dengan didukung oleh data dan informasi. Kegiatan analisis terhadap model pengelolaan daerah perbatasan dalam penelitian dan kajian pada wilayah Kepulauan Riau, kompilasi data dan informasi akan memberikan kemungkinan bagi penyusunan kerangka konseptual yang lebih baik. Berdasarkan analisis data dan informasi yang dikumpulkan dapat diketahui kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan serta permasalahan. Strategi dan kebijakan seharusnya menjadi manifestasi terhadap pendalaman dan pemahaman terhadap segala potensi dan permasalahan. Selanjutnya untuk SKPD Lain yang melakukan pembangunan mengarah ke perbatasan ada Dinas Perhubungan yang melakukan rapat koordinasi bersama Komisi III untuk pembahasan APBD Murni T.A 2015, dari sekian banyak usulan dan yang mengarah ke perbatasan hanya satu yakni Program Pembangunan Transportasi Udara untuk Pembangunan Sisi Darat Bandara Letung di Kabupaten Kepulauan Anambas dengan Pagu Anggaran pada APBD TA. 2015 sebesar Rp. 16.351.655.000,00-, Komisi III DPRD Provinsi Kepulauan Riau dapat menyetujui dana tersebut dihibahkan/ditransfer kepada Pemerintah Kabupaten Kepulauan Anambas hanya untuk Pembangunan Sisi Darat Bandara Letung di Kabupaten Kepulauan Anambas sesuai dengan perturan dan perundang-undangan yang berlaku. (Sumber : Berita Acara Rapat Koordinasi Komisi III DPRD Provinsi Kepri No. 06 /162/KOM- III/XII/2014) Berbeda dengan Dinas Pekerjaan umum, saat melakukan koordinasi bersama komisi III DPRD Kepri sebelum pembahasan APBD Murni TA. 2015 malah mendapat pergeseran atau penghapusan program pada pagu anggaran untuk program Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh di daerah Perbatasan Provinsi Kepulauan Riau sebesar Rp. 2.218.859.738,00-. (Sumber : Berita Acara Rapat Koordinasi Komisi III DPRD Provinsi Kepri No. 05 /162/KOM- III/XII/2014) Dari data yang diperoleh dalam pembangunan perbatasan yang dijelaskan bahwa politik yang terjadi dalam agenda kebijakan pembangunan perbatasan sangat besar pengaruhnya karena kebijakan pemerintah yang ada hanya program-program dan belanja hibah saja, itu pun hanya sebagian kecil. Kemudian ditambah banyaknya program-program yang mengarah ke perbatasan di geser oleh Komisi III DPRD Provinsi Kepri.
16
Serapaana anggaran untuk pembangunan perbatasan tergantung dari rapat koordinasi antara PU dan Komisi III DPRD Provinsi Kepri atas program-program yang diusulkan dalam RAPBD sampai menjadi APBD. Pada tahun 2015 sudah tercantum dalam RKA SKPD PU dalam pembangunan Perbatasan. Berikut data skunder mengenai program pembangunan perbatasan dari hasil RKA SKPD PU 2015.
SKPD
Dinas Pekerjaan Umum
Tabel 8. RKA SKPD PU Tahun 2015 BANYAK KEGIATAN PAGU KEGIATAN Peningkatan Kualitas Kawasan Pemukiman 46 Kegiatan Rp. 6.766.025.000 Kabupaten Natuna dan Anambas Peningkatan Kualitas Kawasan Pemukiman 49 Kegiatan Rp. 6.018.625.000 Kabupaten Karimun Peningkatan Infrastruktur 8 Kegiatan Rp. 13.175.590.000 Kabupaten Karimun Peningkatan Infrastruktur 1 Kegiatan Rp. 6.000.000.000 Kabupaten Anambas Peningkatan Infrastruktur Kabupaten 5 Kegiatan Rp. 1.864.500.000 Natuna Pembangunan Pengaman Pantai, Bantaran dan Tanggul Kabupaten Karimun Pembangunan Jalan Kabupaten Karimun Peningkatan Jalan Kabupaten Natuna dan Anambas
7 Kegiatan
Rp.31.695.000.000
5 Kegiatan
Rp.14.765.000.000
4 Kegiatan
Rp. 15.430.000.000
17
TOTAL
125 dari 723 Kegiatan yang ada
Rp. 95.714.740.000 dari Rp.356.651.872.744 Anggaran yang tersedia
Sumber : RKA Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kepri
Data diatas menunjukan masih sedikit program yang diprioritaskan untuk daerah perbatasan dibandingkan pagu yang tersedia. Dalam hal ini penulis lebih memfokuskan penelitian ini pada bidang administrasi/pembangunan daerah khususnya pada kebijakan program pembangunan wilayah perbatasan yang dilakukan dinas pekerjaan umum Provinsi Kepri.
d. Target Dinas PU dalam Program Pembangunan Perbatasan Pemekaran daerah-daerah di Kawasan Perbatasan, semestinya merupakan kebijakan top down pusat. Hal ini terkait dengan besarnya tugas dan fungsi pusat dikawasan ini. Terutama dalam upaya mendorong perkembangan keamanan, kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dikawasan tersebut. Seperti wacana yang berkembang saat ini, walaupun belum ada yang terealisasi. Kebijakan tersebut diatas juga, belum diatur dalam peraturan dan perundang-undangan secara jelas. Menurut Ahmad Dani.,ST selaku Kepala Bidang Cipta Karya : “Ada beberapa masalah dalam pencapaian target yang diharapkan sesuai dengan permasalahan dalam penanganan wilayah perbatasan ini juga berasal dari : 1. Persepsi tentang pembangunan perbatasan masih berbeda. 2. Penanganan masih parsial, bersifat sektoral dan belum integritasi. 3. Koordinasi belum berjalan dengan baik, baik antara sektoral, tingkat pusat maupun antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. 4. Komitmen dan anggaran pembangunan perbatasan di daerah relatif masih minim.(27 April 2016 di Kantor PU Provinsi Kepri)
Sesuai dengan RPJMD dan RPJPD Kepri menjelaskan strategi dan prioritas pembangunan perbatasan. Pemerintah Provinsi Kepri memiliki beberapa prioritas yang sudah ditentukan yakni :
18
1. Pengembangan Industri Pengolahan, Perikanan dan Kelautan Serta Pariwisata Secara Berkelanjutan Guna Mendukung Sektor Kemaritiman 2. Peningkatan Produksi Dan Produktifitas Pertanian, Serta Kemandirian Dan Ketahanan Pangan Masyarakat 3. Peningkatan Konektivitas Antar Wilayah Dan Antar Pulau Serta Sarana Dan Prasarana Dasar Masyarakat 4. Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup Dan Kehutanan, Mitigasi Bencana Alam Dan Perubahan Iklim 5. Peningatan Kualitas Sumberdaya Manusia Dan Kesejahteraan Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Berbudaya 6. Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik .
Kemudian arah Kebijakan dan Strategi pengembangan
kawasan Perbatasan
Provinsi Kepulauan Riau diarahkan kepada : 1. Kawasan Perbatasan dikembangkan sebagai beranda depan sekaligus pintu gerbang menuju dunia internasional 2. Pengembangan Kawasan Perbatasan dengan menganut keserasian antara prinsip keamanan, prinsip kesejahteraan dan lingkungan hidup 3. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan kawasan perbatasan secara selektif yang didukung oleh pelayanan yang memadai 4. Peningkatan kerjasama ekonomi sub-regional
Dengan arah kebijakan diatas maka strategi yang akan dilakukan Pemerintah Provinsi Kepri adalah dengan : 1. Peningkatan akses menuju kota pesisir yang menjadi orientasi utama pada wilayah NKRI 2. Pengembangan pelayanan menuju kegiatan perdagangan internasional, baik berskala kecil hingga besar 3. Pemanfaatan ALKI (Alur Pelayaran Internasional) untuk kepentingan pertahanan dan perdagangan internasional 4. Peningkatan sarana prasarana penunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat 5. Mengembangkan kawasan perbatasan sebagai pintu gerbang negara 6. Pengembangan kegiatan ekonomi dengan memanfaatkan sumber daya local. 19
Target pencapaian untuk Dinas PU itu sendiri menurut Keterangan dari Ahmad Dani.,ST selaku Kepala Bidang Cipta Karya : “ Kami memiliki target pembangunan perbatasan sesuai dengan Strategi Provinsi Kepri sendiri dalam membangun perbatasan, untuk dinas PU sendri kami lebih memfokuskan ke arah infrastruktur dasar seperti akses jalan, pelabuhan, dan pengembangan kawasan pemukiman.”(27 April 2016 di Kantor PU Provinsi Kepri) Keterangan diatas menunjukkan bahwa Target yang dilakukan dinas PU dalam membangun perbatasan lebih mengarah ke Infrastruktur daerah perbatasan. Namun, jika dilihat dari RKA yang di buat oleh Dinas PU Provinsi Kepri arah proyek dalam program pembangunan perbatasan belum mengarah ke infrastruktur dari point strategi pembangunan perbatasan yang dicanangkan oleh pemerintah provinsi Kepri. Infrastruktur yang baru di capai dalam RKA dinas PU tersebut hanya kearah pembangunan kualitas pemukiman dan Infrastruktur Jalan, jadi hanya baru sebatas akses pelengkap dari transportasi. Hal ini menunjukkan belum adanya keseriusan Dinas PU dalam membangun infrastrktur untuk pusat perekonomian masyarakat dan pengembangan kualitas SDM masyarakat perbatasan, sehingga belum mencerminkan pintu gerbang Negara yang baik. Dari data yang diperoleh pada RKA PU 2015, kegiatan yang dilaksanakan dalam program pembangunan perbatasan hanya 125 kegiatan dari 723 kegiatan yang ada kemudian biaya yang digunakan untuk pembangunan perbatasan yang dikelola oleh Dinas Pekerjaaan Umum sebesar Rp. 95.714.740.000 dari Rp.356.651.872.744 anggaran yang tersedia untuk pembangunan infrastruktur yang lain.(RKA PU PRovinsi Kepri,2015)
A. Pembangunan Wilayah Perbatasan a. Jumlah Program Pembangunan Perbatasan Kepri Dari hasil Keseluruhan Pembangunan dan Program yang mengarah ke perbatasan yang tertera pada APBD Provinsi Kepri T.A. 2015 diantaranya adalah sebagai berikut : -
Dari 100 % alokasi dana untuk pendidikan hanya 17,5 % yang mengarah ke perbatasan dan 82,5 % tidak ke perbatasan.
-
Dari 100 % alokasi dana untuk Kesehatan hanya 9,5 % yang mengarah ke perbatasan dan 90,5 % tidak ke perbatasan.
-
Dari 100 % alokasi dana untuk Pembangunan Infrastruktur Jalan dan Fasilitas Umum Lainnya hanya 17,3 % yang mengarah ke perbatasan dan 82,7 % tidak ke perbatasan 20
-
Dari 100 % alokasi dana untuk Perhubungan hanya 6,5 % yang mengarah ke perbatasan dan 93,5 % tidak ke perbatasan
Dari hasil penghitungan persentase di atas dapat di simpulkan bahwa masih sangat kurang sekali perhatian pemerintah terhadap pembangunan perbatasan di Provinsi Kepri. Pada masalah ini harusnya semua stakeholder berperan lebih dalam membangun kawasan perbatasan. Menurut Kepala Bidang Cipta Karya Dinas PU Provinsi Kepri : “Memang ada fokus program pembangunan perbatasan, tapi dari kami juga tidak bisa hanya fokus ke perbatasan karena melihat provinsi kepri secara umum, dan satu sisi tugas kami dari arahan hasil musrembang dan raker yang mengarah membangun perbatasan dari sisi perumahan, pemukiman dan beberapa bangunan gedung atau infrastruktur lainnya seperti jalan dan penyehaatan lingkungan serta penyediaan air bersih.”(27 April 2016 di Kantor PU Provinsi Kepri) b. Fasilitas Infrastruktur Perbatasan Kebijakan untuk infrastruktur Perbatasan akan dianalisa ke arah mana kebijakan yang akan diprioritaskan pemerintah Provinsi Kepri dalam hal membangun Perbatasan. Dari pembahasan ini arah kebijakan pembangunan Provinsi Kepri sudah sangat mengarah ke perbatasan, tetapi alokasi dana untuk Pembangunan Infrastruktur Jalan dan Fasilitas Umum Lainnya hanya 17,3 % yang mengarah ke perbatasan dan 82,7 % tidak ke perbatasan. Muhammad Yazid.,ST selaku Kasi Perumahan, Pemukiman dan Bangunan Gedung dari Dinas PU Provinsi Kepri menyatakan : “Sumber Daya lokal daerah perbatasan akan menjadi prioritas yang akan dikembangkan dalam kebijakan-kebijakan kedepan karena mengacu pada RPJPD, RPJMD, RKP, RENSTRA dan RENJA yang mengarah pada peningkatan dan pengembangan serta pemanfaatan sumber daya yang ada.” (27 April 2016 di Kantor PU Provinsi Kepri). Poin prioritas pembangunan bidang infrastruktur kawasan perbatasan Provinsi Kepulauan Riau antara lain lebih mengarah kepada sektor : 1. Sektor Perhubungan dan Pariwisata 2. Sektor Perikanan 3. Sektor Perdagangan 4. Sektor Pertambangan dan Energi
21
F. KESIMPULAN Pada bagian ini akan diuraikan kesimpulan Kinerja Dinas PU Provinsi Kepri dalam program membangun perbatasan. Kesimpulan yang diuraikan sesuai dengan hasil penelitian ini ialah : Efisiensi dan Kualitas layanan masih sangat memprihatinkan karena membutuhkan waktu yang lama dalam membangun perbatasan dan pemerintah PU sendiri tidak terlalu fokus dalam membangun perbatasan. Hal ini disebabkan karena tidak terlalu besarnya anggaran yang disediakan dan ada kepentingan politik dalam perencanaan pembangunan. Pengawasan yang dilakukan tidak terlalu efekttif hanya berpaku pada SOP Pembinaan dan Pengawasan Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja, kemudian pengawasan langsung yang dilakukan dinas PU hanya sebatas pengawasan yang dilakukan oleh PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) dalam tiap proyek yang dilakukan pada program pembangunan perbatasan tersebut. Kemudian masih sedikit program yang diprioritaskan untuk daerah perbatasan dibandingkan pagu yang tersedia. Dalam hal ini penulis lebih memfokuskan penelitian ini pada bidang pembangunan daerah khususnya pada kebijakan program pembangunan wilayah perbatasan yang dilakukan dinas pekerjaan umum. Ada beberapa masalah dalam pencapaian target yang diharapkan sesuai dengan permasalahan dalam penanganan wilayah perbatasan ini juga berasal dari; persepsi tentang pembangunan perbatasan masih berbeda, penanganan masih parsial, bersifat sektoral dan belum integritasi, koordinasi belum berjalan dengan baik, baik antara sektoral tingkat pusat maupun antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, komitmen dan anggaran pembangunan perbatasan di daerah relatif masih minim. Dinas PU sendiri memiliki target sesuai stategi pembangunan perbatasan yang di fokuskan oleh Pemerintah Provinsi Kepri, tetapi target yang dilakukan dinas PU dalam membangun perbatasan lebih mengarah ke Infrastruktur daerah perbatasan. Setelah melakukan penelitian selama kurang dari tiga bulan dengan berbagai temuan di lapangan, maka penulis memberikan beberapa saran terkait dengan budaya politik yakni : 1. Masyarakat harus menjadi control bagi pemerintah dalam pembangunan perbatasan. 2. Kinerja Dinas PU harus lebih ditingkatkan lagi dan mesti fokus/konsisten terhadap program pembagunan perbatasan yang sudah dilaksanakan serta memiliki pengawasan khusus pada program-program yang sangat krusial. 22
DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku Bastian, Indra, 2009. Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta:Salemba Empat. Bill Foster dan Karen R. Seker, 2001. Pembina Untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan. Jakarta: PPM. Dharma, Surya, 2005. Manajemen Kinerja, Jakarta: Pustaka Pelajar. Dwiyano, Agus, 2002. Manajemen Pemerintahan. Yogyakarta: PPSK-UGM Hrjanto, Imam, 2011. Teori Pembangunan. Malang: Universitas Brawijaya Press. Kartasasmita Ginanjar, Administrasi Pembangunan. Jakarta: LP3ES, 1997. Madu, Ludiro, dkk, 2010. Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia tanpa Batas: Isu, Permasalahan dan Pilihan Kebijakan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Margono, 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta. Mangkunegara, Anwar Prabu, 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung: Administrasi Niaga Politeknik Negri. Mangkunegara, Anwar Prabu. 2006. Manajemen sumber daya manusia perusahaan, Bandung : Remaja Rosdakarya Mahsun, Mohammad, 2006. Pengukuran Kinerja sektor Publik (edisi pertama). Yogyakarta: BPTE. Moelyarto, Tjokrowinoto, 2006. Restrukturisasi Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ekonomi
dan
Birokrasi.
Ratminto dan Winarsih Atik Septi, 2005. Manajemen Pelayanan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Robert L. Mathis dan John H Jakson, 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Salemba Empat. Sinabelia, Lijan, 2006. Reformasi Pelayanan Public. Jakarta: Bumi Aksara. Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kuantitatif dan R&D. Bandung: ALFABETA. 23
Wasistiono, Sadu, 2002.Kapita selekta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jatinagor: Alqapirint.
B. Modul, Skripsi, Tesis, Jurnal dan Internet Damarjana, Arya, 2014. Postur Kebijakan Perbatasan Indonesia–Papua New Guinea. Jurnal Analisis Hubungan Internasional,Vol 3, No. 1 Puspitasari, Yeni, 2013. Upaya Indonesia dalam Menangani Masalah Keamanan Perbatasan dengan Timor Leste pada Periode 2002-2012. Skripsi Program Studi Hubungan Internasional, FISIPOL UIN SYARIF HIDAYATULLAH. Jakarta. Darmawan, Eki, 2015. Agenda Setting Perencanaan Pembangunan Perbatasan di Kepri tahun 2015.Jurnal Selat, Ilmu Hukum. Vol.3 Tanjungpinang : Umrah Press
24