KETANGGUHAN MASYARAKAT DI DAERAH RAWAN BANJIR (Studi Kasus pada Masyarakat di RW 10 Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan) Priliana Ramadhani Departmen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia Email :
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas mengenai ketangguhan masyarakat di daerah rawan banjir (studi pada masyarakat RW 10 Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan). Ketangguhan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana kemampuan masyarakat dalam mengelola banjir, kemampuan untuk beradaptasi, dan kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhannya dalam kondisi banjir. Agar dapat menggambarkan hal tersebut maka pendekatan deskriptif dengan metode kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat mampu mengelola banjir dengan baik namun masih terdapat kesulitan pada upaya pemulihan. Kemudian bentuk adaptasi yang dilakukan hanya merubah struktur atau bentuk bangunan tanpa diiringi perubahan perilaku dalam membuang sampah, namun pada umumnya warga sudah mampu untuk memenuhi kebutuhan pokok, khususnya saat terjadi banjir. Community Resilience That Living In Flood Prone Areas (Studies In RW 10 Sub Bukit Duri, South Jakarta) This research discusses about a resilience of community in flood-prone area. The resilience which is discussed in this research is how the community’s ability in managing floods, ability to adapt, and ability to fill their needs in flood event. In order to describe that, this research uses descriptive approach and qualitative method of a case study type. The research result shows that community is able to manage the floods well, although there are some difficulties in the recovery efforts. Then the form of adaptations only alter the structure of shape the building without followed by their changing of behavior in throw the trash. However, generally people are able to fill their basic needs, especially during flood event. Key Words: Flood, Resilience, Resilience Factors
Ketangguhan Masyarakat ..., Priliana Ramadhani, FISIP UI, 2012
1. Pendahuluan Bencana adalah fenomena yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, dimana bencana merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya disfungsi sosial pada individu, keluarga, maupun kelompok (Laluyan, et al, 2007 h.3). Disfungsi sosial dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial adalah suatu keadaan dimana individu, keluarga, maupun kelompok tidak dapat menjalankan peran-peran sosialnya dengan baik, atau tidak dapat menjalankan peran sosialnya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan tempat tinggalnya (Adi, 2005 h.143). Apabila dilihat dari data statistik kejadian bencana yang terjadi di Indonesia mulai dari tahun 1815-2012, dari beberapa jenis bencana, banjir menjadi salah satu bencana yang sering kali terjadi di Indonesia, yaitu sudah terjadi lebih dari 4000 kasus banjir di Indonesia (BNPB, 2012). Banjir merupakan ancaman musiman yang terjadi apabila meluapnya badan air dari saluran yang ada dan menggenangi wilayah sekitarnya. Banjir merupakan ancaman alam yang paling sering terjadi dan paling banyak merugikan, baik dari segi kemanusiaan maupun ekonomi. Sembilan puluh persen dari kejadian bencana alam berhubungan dengan banjir (IDEP, 2007 h.27). Kota besar di Indonesia yang mengalami permasalahan serupa adalah Jakarta, dimana peristiwa banjir sering kali melanda wilayah ini. Banjir tahunan merupakan isu lingkungan di Jakarta karena pengelolaan sungai yang memburuk baik di dataran tinggi maupun rendah. Catatan sejarah menggambarkan bahwa banjir sudah ada sejak zaman pendudukan Belanda di Indonesia, dimana dalam catatannya, WHO (2007) menggambarkan beberapa banjir besar terjadi hingga menewaskan beberapa orang, yaitu banjir pada tahun 1996 dan 2002. Banjir di Jakarta yang terjadi pada tahun 1996 selain menggenangi hampir seluruh penjuru kota juga menjadi tragedi nasional yang menjadi perhatian dunia. Banjir besar ini dipercaya sebagai banjir lima tahunan yang akan berulang setiap lima tahun. Pada awal 2002 banjir melanda Jakarta dan sekitarnya dan pada awal 2007 banjir kembali melanda wilayah Jakarta dan sekitarnya dengan cakupan wilayah genangan yang lebih luas. Wilayah daratan Provinsi DKI Jakarta meliputi areal seluas 650 Km² dan dialiri 13 sungai besar dan kecil (WorldBank, 2011). Banjir besar yang terjadi pada tahun 2007 tersebut disebabkan oleh tingginya curah hujan sehingga menyebabkan Sungai Ciliwung dan Sungai Pesanggrahan
meluap, yang pada akhirnya menggenangi 60% wilayah Jakarta, ketinggian air berkisar antara 10 sentimeter hingga 7 meter. Banjir tahun tersebut menggenangi seluruh wilayah Jakarta baik Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Pusat (WHO, 2007). Jumlah pengungsi kala itu mencapai 450 ribu jiwa, kerusakan pada sektor perumahan 80% (non permanen) dan 20% (permanen), 1498 sekolah dan 9 puskesmas mengalami kerusakan, tidak berfungsinya perekonomian di Jakarta selama 3 hari, kerusakan sarana dan prasarana telekomunikasi, rusaknya 1.379 gardu listrik se wilayah jabodetabek, rusaknya prasarana jalan, dimana keseluruhan kerugian hingga 5 februari 2007 mencapai Rp. 4125 triliun (Bappenas, 2007). Menurut Bappenas (2007) terjadinya banjir di Jakarta sendiri di sebabkan oleh luapan air sungai karena aliran air dari hulu yang melebihi kapasitas sungai, tidak memadainya fungsi saluran drainase serta semakin berkurangnya daerah resapan untuk Jakarta, sulitnya pemeliharaan sungai karena sebagian bantaran sungai telah digunakan sebagai pemukiman, pola pengelolaan sampah yang buruk dan kurangnya kesadaran masyarakat dalam kebersihan lingkungan, serta kerusakan lingkungan daerah tangkapan air di bagian hulu sungai. Sungai Ciliwung merupakan sungai yang berasal di lereng Gunung Pangrango dimana sungai ini memotong melalui Bogor dan jantung Kota Jakarta serta merupakan salah satu sungai yang lebih besar dalam hal ukuran daerah tangkapannya (Caljow, et al, 2005). Balai Besar Wilayah sungai Ciliwung mencatat terdapat sekitar 78 daerah rawan genangan di wilayah DKI Jakarta saat musim penghujan tiba, salah satunya adalah Bukit Duri yang berada di Jakarta Selatan, jumlah tersebut berdasarkan data saat terjadi banjir besar pada tahun 2007 lalu (78 wilayah banjir, n.d). Kemudian Cax (2008) memaparkan bahwa banjir terjadi di Bukit Duri pada tahun 2008 ketinggian sekitar 200 cm dan membuat 750 warga mengungsi ke kantor kelurahan setempat. Banjir juga terjadi pada tahun 2009 di Bukit Duri, dimana Menurut Laporan Harian Pusdalops BNPB (2009), banjir di Jakarta Selatan terjadi pada Kecamatan Tebet (Bukit Duri, Kebon Baru), Pancoran (Rajawati, pengadegan) dan Pasar Minggu (Pejaten Timur). Data tersebut menunjukkan bahwa banjir yang terjadi di Bukit Duri memiliki ketinggian banjir paling tinggi diantara empat kelurahan lainnya yaitu 20-150 cm sedangkan Pejaten dengan ketinggian 145 cm dan yang lainnya nihil.
Ketangguhan Masyarakat ..., Priliana Ramadhani, FISIP UI, 2012
Bappenas (2009) dalam laporannya juga menunjukkan data yang sama, dimana Bukit Duri menjadi daerah yang pendudukanya paling banyak terkena banjir di Jakarta Selatan yaitu sebanyak 1086 KK dan 4281 jiwa terkena banjir, dengan ketinggian 20-150 cm.
(Kusuma, et al. 2010). Daerah dengan luas wilayah 107,1 Ha dan memiliki 12 RW serta 152 RT dengan Jumlah Penduduk 8.290 KK dan 36.328 jiwa mengalami banjir paling besar tahun 2007 lalu, yang pada data terakhir tercatat di tiga RW paling rawan yaitu RW 10, 11, 12 (Data Arsip Kelurahan, 2011)
Banjir yang kerap merendam permukiman sekitar bantaran Sungai Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta Selatan, tidak membuat warga jera. Bagi mereka, bersih-bersih pasca banjir adalah rutinitas biasa sebagai resiko tinggal di bantaran kali. Meski berbahaya, warga bertekad tetap bertahan dan tidak pernah berencana pindah ke tempat yang aman (Adi/Yus, 2012). Karena seringnya bencana banjir menimpa perkampungan mereka, warga sudah terbiasa menghadapi tamu yang tidak diundang itu, dan kemiskinan menjadi salah satu faktor yang membuat mereka terpaksa melakukan hal tersebut (Alatas, 2011).
RW 10 merupakan daerah yang paling parah terkena banjir pada tahun 2007 lalu, yaitu dengan jumlah RT paling banyak dibandingkan RW 11 dan 12, yaitu sebanyak 14 RT yang terkena banjir dan 725 KK dan 3.213 jiwa yang mengungsi ketika itu. Selain itu dari sisi luas genangan RW 10 terkena genangan seluas 111,5 Ha dan merupakan daerah paling besar luas genangannya dibanding RW 11 dan 12. Dari ketinggian air pun RW 10 mengalami ketinggian paling tinggi yaitu 1 hingga 4 meter, sedangkan RW 11 dan 12 dengan ketinggian yang sama 1 sampai 3 meter. (Data Arsip Kelurahan, 2011).
Berkaitan dengan faktor yang membuat mereka bertahan, Pratiwi (2009) dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk tetap tinggal di daerah rentan bencana menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi tersebut antara lain faktor sosial, dimana terdapat hubungan yang erat di antara masyarakat sehingga membuat mereka merasa betah dan nyaman tinggal disana; faktor kemudahan untuk mendapatkan akses; faktor jarak dengan sumber aktivitas mereka; faktor ekonomi yaitu mahalnya harga tanah, serta faktor-faktor lain.
Riset yang dilakukan oleh Kusuma, et al (2010) mengenai Peta Indeks Resiko Banjir pada Kelurahan Bukit Duri Jakarta memperlihatkan peta resiko banjir dengan menganalisis indeks bahaya, indeks kerentanan, dan kapasitas. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hal yang sam, dimana pada indeks bahaya, RW 10 tergolong pada tingkat bahaya paling tinggi, hal ini disebabkan daerah tersebut bersebelahan langsung dengan sungai.Selain itu, pada keadaan di lapangan daerah ini memang selalu tergenang paling tinggi karena topografinya yang rendah dan tidak adanya tanggul sungai, membuat air limpasan banjir dapat dengan mudah menggenangi perumahan.
Dengan kejadian banjir yang seringkali melanda namun mereka mampu untuk melewatinya menunjukkan adanya ketangguhan di masyarakat terhadap banjir. Dimana ketangguhan merupakan kemampuan suatu komunitas atau masyarakat untuk beradaptasi bila terkena bahaya. Masyarakat yang tangguh dapat menahan guncangan dan membangun kembali komunitasnya bila diperlukan (WorldBank, 2009), oleh karenanya masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana pada umumnya mereka yang mampu menghadapi kondisi tersebut dengan kemampuan yang dimilikinya. Selain itu ketangguhan masyarakat dapat pula dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti nilai kebersamaan, partisipasi, struktur peran dan tanggung jawab, sumber daya, pengembangan keahlian, dukungan dan pengasuhan, serta komunikasi (Pfefferbaum, et al (2007) (dalam Blumenfield & Ursano, 2008). Bukit Duri merupakan salah satu wilayah yang rentan terhadap banjir, hal ini dikarenakan letaknya yang berada di samping Sungai Ciliwung, selain itu juga merupakan daerah perumahan yang padat penduduknya
Masih menurut Kusuma et al (2010), pada indeks kerentanan, mengacu pada peta genangan, dimana daerah yang rentan merupakan daerah yang memiliki bahaya genangan tinggi. Berdasarkan parameter jaringan pipa dan kabel, jenis bangunan, sebaran populasi, dan potensi bahaya kolateral ditemukan bahwa RW 10 memiliki tingkat kerentanan yang tinggi. Perumahan yang bersebelahan langsung dengan sungai, memiliki kondisi yang lebih tidak tertata dan berbahaya. Pada indeks kapasitas dilakukan berdasarkan parameter kondisi pompa dan tanggul, dimana RW 10 memiliki kapasitas buruk dikarenakan tidak adanya tanggul dan kapasitas pompa yang tidak memadai. Sehingga dapat disimpulkan bahwa RW 10 yang paling beresiko karena terletak paling rendah dengan genangan paling luas dan ketiadaan tanggul serta kapasitas pompa yang tidak memadai Dengan fenomena banjir yang relatif rutin, serta kondisi wilayah yang paling beresiko dan masyarakat yang tetap tinggal di wilayahnya menjadikan mereka
Ketangguhan Masyarakat ..., Priliana Ramadhani, FISIP UI, 2012
cenderung memiliki ketangguhan dalam menghadapi banjir. World Bank (2009) menjelaskan bahwa ketangguhan merupakan kemampuan untuk beradaptasi bila terkena bahaya, sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Joseph (1994) (dalam Isaacson, 2002) mengenai ketangguhan, menurutnya ketangguhan dilihat sebagai kemampuan individu untuk menyesuaikan dan beradaptasi dengan perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam perjalanan hidup. Orang yang tangguh menurutnya adalah orang yang dapat berhasil dalam menghadapi kesulitan dan perubahan. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut dalam konteks untuk pembelajaran konseptual tentang kondisi kehidupan masyarakat RW 10 Kelurahan Bukit Duri yang rawan terhadap banjir secara umum. Maka dari itu, penelitian ini mengemukakan pertanyaan sebagai berikut: 1.
2.
Bagaimana gambaran ketangguhan masyarakat RW 10 Kelurahan Bukit Duri dalam menghadapi banjir? Faktor-faktor apa yang mempengaruhi ketangguhan masyarakat RW 10 Kelurahan Bukit Duri dalam menghadapi banjir?
menghubungkan level mikro atau aksi individu masyarakat pada level makro atau struktur masyarakat yang lebih besar. Studi kasus ini cocok digunakan untuk mendeteksi proses terjadinya sesuatu dan hubungan yang bersifat kausalitas (Neuman, 2006). Penelitian ini dilakukan di RW 10 Kelurahan Bukit Duri Jakarta Selatan, karena daerah ini merupakan rawan banjir disebabkan terletak di dataran paling rendah, perumahannya berssebelahan dengan sungai dan memiliki kondisi yang lebih tidak tertata, selain itu hampir seluruh bagian dari RW ini tergenang banjir lebih dari 2m (Kusuma, et al, 2010). Teknik purposive sampling dipilih agar dalam penelitian ini. Adapun informan-informan dipilih sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu menggambarkan resiliensi masyarakat terhadap banjir serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Informan-informan tersebut antara lain: 1.Warga RW 10 Kelurahan Bukit Duri yang telah lama tinggal di daerah tersebut. 2.Kelurahan, Ketua RW 10, RT dengan statusnya sebagai pemerintah setempat.
2. Metode
3. Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini dilakukan untuk melihat secara jelas gambaran ketangguhan masyarakat yang tinggal di daerah rawan banjir. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode kualitatif deskriptif. Menurut Neuman (2006), penelitian kualitatif merupakan upaya untuk menggali informasi secara lebih luas serta mendalam dari para infroman, dan merupakan pendekatan yang memandang kehidupan sosial dari berbagai sudut pandang serta menjelaskan bagaimana masyarakat membentuk suatu konstruksi sosial. Jenis penelitian ini dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang datanya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan angka lainnya, namun data yang ada dalam bentuk kata-kata atau gambar.
A.1. Gambaran Ketangguhan Masyarakat Terhadap Banjir
Penelitian ini berupaya untuk menggambarkan ketangguhan masyarakat RW 10 Kelurahan Bukit Duri Jakarta Selatan dalam menghadapi banjir serta faktorfaktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini berbentuk studi kasus, Neuman (2006, h.40) menyatakan bahwa penelitian studi kasus adalah penelitian yang meneliti kejadian dalam suatu kasus yang berlangsung dalam durasi waktu tertentu. Kasus disini dapat bersifat individual, kelompok, organisasi, pergerakan, kejadian atau unit geografis tertentu. Studi kasus ini dapat
Pasteur (2011) menyatakan bahwa masyarakat tangguh ditandai dengan kemampuan mereka untuk mengelola resiko, untuk beradaptasi dan untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan khususnya saat terjadi banjir. A.1.1. Kemampuan Mengelola Resiko Pasteur (2011) mengatakan, bahwa kemampuan mengelola resiko merupakan kemampuan masyarakat untuk mengelola resiko mencakup kemampuan untuk memahami dan mengurangi dampak yang mungkin untuk dilakukan. Ketika resiko tersebut tidak dapat dicegah, mereka keluar melalui masa sulit dan membangun kembali atau memulihkan apa yang telah hilang. Hal ini terlihat dari upaya masyarakat yang dilakukan sebelum terjadi banjir, yakni memahami kapan banjir itu datang dengan mencari dan menganalisis informasi ketinggian air. Informasi tersebut digunakan sebagai dasar analisis apakah akan terjadi banjir atau tidak, dan analisis tersebut dilakukan berdasarkan
Ketangguhan Masyarakat ..., Priliana Ramadhani, FISIP UI, 2012
pengalaman serta pengetahuan tradisional mereka yaitu dengan melihat pada jarak air sungai dengan permukaan tanah, kemudian di kalkulasikan dengan ketinggian air yang akan dikirim dari hulu, dengan begitu mereka dapat mengetahui setinggi apa banjir yang akan melanda wilayah mereka. Selain itu, ketika akan terjadi banjir warga sudah mengetahui apa yang harus dilakukannya ketika ketinggian air sudah memasuki siaga yaitu mengamankan barang-barang berharga mereka ke lantai atas rumah mereka, dengan begitu, warga dapat meminimalkan kerugian finansial dengan mencegah terendamnya asetaset berharga mereka, sepert barang-barang elektronik ke lantai atas rumah mereka, juga dengan menaruh motor maupun gerobak dagangan mereka ke tempat yang lebih tinggi, selain itu mereka juga bergegas untuk mempersiapkan keperluan untuk mengantisipasi banjir seperti senter, ban dalam sebagai pelampung dan lainlain. Upaya ini juga sesuai dengan pendekatan yang dikemukan oleh ADPC (2006) yakni dengan mempersiapkan setiap bahaya yang mungkin terjadi dengan memiliki perlengkapan. Perlengkapan disini merupakan perlengkapan untuk mengantisipasi banjir yang disiapkan oleh warga yaitu ban dalam yang dapat digunakan sebagai pelampung, selain itu juga senter dan keperluan lainnya, seperti pakaian yang mereka siapkan jika suatu waktu diperlukan mengungsi karena air banjir yang terus meninggi. Persiapan ini mereka lakukan selama 6-12 jam yaitu selama perjalanan air yang dilepaskan dari hulu hingga sampai ke hilir. Hal ini memperlihatkan kemampuan warga dalam menganalisis masalah banjir tersebut, yaitu mengantisipasinya dengan mencari informasi ketinggian air yang kemudian dilanjutkan dengan strategi untuk mengurangi dampak banjir yaitu dengan mengamankan barang-barang berharga mereka ke tempat yang lebih tinggi juga dengan mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan untuk mengantisipasi banjir. Kemampuan pengelolaan bencana juga ditunjukkan pada masyarakat saat terjadi banjir, dimana yang mereka lakukan adalah dengan bertahan di lantai dua rumahnya selama banjir masih setinggi satu dua meter. Namun apabila ketinggian banjir semakin tinggi, warga akan mengevakuasi warga khususnya anak-anak, wanita, dan orang tua untuk mengurangi dampak adanya korban jiwa akibat bencana, karena menurut mereka anak-anak, wanita, dan orang tua merupakan warga yang rentan terhadap banjir untuk diungsikan ke posko pengungsian yang telah disediakan, dan mayoritas warga mengungsi ke posko pengungsian yang ada di Kelurahan, dengan
alasan fasilitas yang lebih lengkap seperti dapur umum dan juga pos kesehatan. Evakuasi sendiri umumnya dilakukan oleh warga sendiri secara kolektif, tidak hanya itu, ketika ada tim evakuasi yang dikirim dari pemerintah setempat, warga juga turut berpartisipasi dalam kegiatan evkuasi, lantaran warga yang mengenal medan, atau wilayah mereka, sehingga dengan adanya partisipasi warga untuk melakukan evakuasi bersama tim kebencanaan lainnya, akan memperlancar dan mempermudah proses evakuasi. Tindakan warga ini menunjukkan kemampuan mereka untuk mengatasi banjir dengan meminimalisir dampak dengan menyelamatkan warga yang rentan terhadap banjir (anak-anak, wanita, dan orang tua), khususnya dengan mengevakuasi mereka secara mandiri dan kolektif bersama dengan komunitasnya. Hal ini memperlihatkan, dukungan komunitas bermanfaat bagi warga yang rentan (ADPC, 2006) dan pengalaman evakuasi dilakukan oleh warga baik secara kolektif maupun bersama tim evakuasi dengan penguasaan medan, yang dapat melancarkan proses evakuasi, merupakan transformasi dari pengalaman mereka setelah beberapa kali terkena banjir dan beberapa kali melakukan evakuasi juga sesuai dengan karakteristik ketangguhan yang diungkapkan oleh (ADPC, 2006). Menurut Pasteur (2011), kemampuan mengelola resiko juga ditunjukkan dengan kemampuan masyarakat untuk membangun kembali dan memulihkan apa yang telah hilang. Hal ini juga ditunjukkan oleh warga dengan berbagai tindakan, yakni dengan membersihkan lingkungan dan rumah mereka dari lumpur dan sampah. Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan kondisi lingkungan seperti sedia kala. Kegiatan ini dilakukan bersama-sama dengan anggota masyarakat lainnya, dan tindakan ini memperlihatkan adanya kemampuan warga untuk memulihkan kondisi lingkungan dan rumah mereka agar kondusif kembali, yang dilakukan secara mandiri yaitu dengan mengandalkan tindakan kolektif yang ada di masyarakat. Setelah membersihkan lingkungan, bagi warga yang terkena wabah penyakit akibat banjir seperti gatalgatal, diare dan demam berdarah dapat memulihkan kondisi kesehatannya dengan berobat ke puskesmas. Menurut mereka, ketika terjadi banjir, pihak Kelurahan menyediakan pengobatan gratis, yang diadakan di lingkungan Kelurahan, adanya dukungan ini dimanfaatkan oleh warga untuk dapat memulihkan kondisi kesehatan warga sesuai dengan yang dikemukakan ADPC (2006) yaitu dengan memanfaatkan dukungan komunitas.
Ketangguhan Masyarakat ..., Priliana Ramadhani, FISIP UI, 2012
Selain kesehatan, hal lain yang dilakukan warga kemudian adalah berusaha untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan akibat banjir. Dalam hal ini, masyarakat melakukannya sendiri tanpa dukungan dari pemerintah. Mereka memperbaiki kerusakan dan mengembalikan asset yang hilang dengan sumber daya seadanya. Warga yang memiliki simpanan, menggunakannya untuk dapat memperbaiki kerusakan yang ada, pendekatan ini seperti yang diungkapkan ADPC (2006) yaitu kemampuan bangkit kembali dengan pendekatan menggunakan persediaan, persediaan disini dapat juga di maknai sebagai simpanan yang dimiliki masyarakat.
berlangsung lama, begitu banjir surut beberapa langsung kembali bekerja, khususnya para pedagang. Upaya yang dilakukan masyarakat ini sejalan dengan unsur kemampuan mengelola resiko yang dipaparkan oleh pasteur (2011) dan juga ADPC (2006), dimana masyarakat sudah mampu memahami masalah yang dihadapinya, yaitu resiko banjir dengan melihat potensi banjir melalui ketinggian air, dan mampu melalui masa-masa banjir tersebut terbukti hingga kini mereka masih bertahan disana, kemudian memulihkan kembali apa yang hilang, dalam hal ini aset mereka dengan menggunakan sumber daya yang tersedia. A.1.2. Kemampuan untuk Beradaptasi
Perlahan tapi pasti mereka mampu bangkit kembali dan dan memulihkan kondisi nya, hal ini di dorong juga oleh kepercayaan dan adanya tekad serta optimisme masyarakat bahwa mereka dapat melewati ini semua sesuai dengan kepercayaan yang dimilikinya. Selain itu pemulihan yang dilakukan dengan mengedepankan kebutuhan keluarga daripada masing-masing warga, Hal ini kemudian memperlihatkan warga mampu bangkit kembali walaupun dengan keterbatasan yang mereka punya, yakni keterbatasan ekonomi. Kurangnya intervensi pemerintah dalam mengembalikan kondisi ekonomi lokal yang rusak akibat banjir, memperlihatkan ketidarseriusan pemerintah dalam mengatasi banjir yang ada di wilayah ini. Dimana bantuan yang disediakan hanya bersifat pemuliahan pada lingkungan dan kondisi kesehatan, namun belum terlihat adanya intervensi terhadap pemulihan ekonomi masyarakat, sehingga dalam mengembalikan aset-aset kerusakan masyarakat dibiarkan mengatasinya sendiri. Terlepas dari upaya rekonstruksi, warga kembali bekerja seperti biasanya. Beberapa warga terlihat langsung melakukan aktivias mereka tidak lama setelah banjir surut, seperti pedagang yang biasanya langsung berdagang apabila kondisi sudah memungkinkan mereka untuk bedagang. Hal ini memperlrihatkan kemampuan masyarakat untuk segera bangkit dari keterpurukan dan penderitaan akibat banjir, dengan segera menjadi produktif kembali. Walaupun banjir memberikan dampak pada aspek tertentu, namun banjir tidak berdampak pada pekerjaan dan mata pencaharian warga, oleh karena itu mereka mampu melalui hal ini, karena biar dengan adanya banjir pun, mereka masih dapat memnuhi kebutuhan hidupnya dengan pekerjaan mereka yang tidak terkena dampak banjir secara langsung. Walaupun dengan adanya banjir, menganggu pekerjaan warga, dimana mereka tidak bisa bekerja akibat terhalang oleh banjir yang terjadi di lingkungannya, namun hal ini tidak
Menurut Pasteur (2011), ketangguhan masyarakat dilihat dari kemampuan mereka untuk beradaptasi, begitu pula dengan yang di ungkapkan oleh ADPC (2006) yaitu masyarakat tangguh ditunjukkan oleh adanya kesempatan dan kemampuan untuk beradaptasi terhadap bencana yang datang a.
Meninggikan Lantai Rumah Kemampuan beradaptasi juga ditunjukkan oleh warga yakni untuk meningkatkan ketangguhan mereka, dengan meminimalisir dampak melalui cara-cara kreatif yang dilakukan (ADPC, 2006) seperti dengan meninggikan rumah. Dalam temuan lapangan disebutkan bahwa hampir seluruh rumah yang ada di wilayah RW 10 memiliki lantai dua, terlepas dari bahan-bahan yang digunakan, baik bersifat semi permanen maupun permanen, hal ini didasarkan pada kemampuan ekonomi masyarakat pada umumnya, sehingga mereka menggunakan sumber daya atau bahan-bahan yang terjangkau oleh mereka. Namun tujuan pembuatan lantai dua ini adalah untuk mengurangi dampak banjir, dengan adanya lantai dua pada rumah warga, mereka dapat mengurangi dampak terhadap finansial secara tidak langsung (Pasteur, 2011). Dengan adanya lantai dua pada rumah mereka, mereka dapat mengamakankan barangbarang berharga seperti elekrtonik, maupun surasurat berharga ketika akan terjadi banjir. Dengan terselamatkannya aset tersebut, secara tidak langsung dapat berdampak pada finansial warga, dimana mereka tidak perlu membeli lagi atau memperbaiki aset yang rusak atau hilang jika terjadi banjir, seperti telvisi, atau barang elektonik, dan surat-surat yang mempunyai nilai ekonomis lainnya. Selain itu, dengan adanya
Ketangguhan Masyarakat ..., Priliana Ramadhani, FISIP UI, 2012
lantai dua tersebut, aktivitas warga ketika banjir masih dapat terus berlangsung, dimana mereka bertahan di lantai dua rumahnya ketika terjadi banjir, warga mampu mengatasi banjir kecil tanpa bantuan pemerintah, dimana mereka memilih untuk bertahan di lantai dua rumahnya.
dibuat dengan tujuan untuk mempermudah warga untuk berjalan di tengah banjir, dengan menggunakan tali tambang tersebut sebagai pegangan mereka. Dengan adanya ini, dapat meminimalisir dampak banjir seperti hanyutnya warga akibat terseret banjir. Selain itu, patok tambang ini juga dibuat dalma rangka untuk mempermudah proses evakuasi warga ketika terjadi banjir. Patok tambang ini juga merupakan inisiatif dari warga, (ADPC, 2006) dan dikerjakan secara swadaya maupun bantuan dari pihak luar, seperti sumbangan tali tambang yang di berikan oleh salah satu yayasan. Patok tambang ini juga merupakan salah satu tindakan proaktif dalam merespon banjir, selain itu juga bersifat jangka panjang (Pasteur, 2011).
Tindakan adaptasi ini bersifat jangka panjang, seperti yang diungkapkan oleh Pasteur (2011) (lihat hal 28) ketangguhan melibatkan kemampuan untuk beradaptasi dalam jangka panjang, serta masyarakat bersikap proaktif dalam merespon perubahan. Upaya meningkatkan lantai rumah mereka termasuk salah satu tindakan proaktif yang dilakukan warga dalma menghadapi banjir. b.
Membuat Tanggul Air Tindakan adaptasi lainnya yang dilakukan oleh warga adalah dengan membuat tanggul air bagi warga yang berada di bantaran. Hal ini untuk meminimalisir dampak banjir itu sendiri, mengingat ketiadaan tanggul air dan rumahnya yang berdekatan langsung dengan sungai. Untuk dapat beradaptasi, masyarakat di bantaran juga membangun tanggul tersebut dengan sumber daya seadanya dan yang terjangkau oleh mereka, yaitu dengan menggunakan karung yang diisi dengan pasir, kemudian di tumpuk-tumpuk hingga ketinggian tertentu. Hal ini merupakan inisiatif warga sendiri, sehingga memperlihatkan kreativitas yang dimiliki oleh warga untuk dapat meningkatkan ketangguhan mereka dengan mengurangi kerentanan mereka (ADPC, 2006). Walaupun mungkin tidak terlalu efektif jika terjadi banjir besar, namun setidaknya, mereka sudah berusaha mampu menggunakan kreativitasnya untuk mengatasi masalah yang ada, masalah disini adalah kerentanan yang mereka miliki. Selain itu, tanggul air ini juga sifatnya adalah jangka panjang, dan merupakan tindakan proaktif yang dilakukan untuk merespon kejadian banjir yang terjadi di wilayahnya.
c.
Membuat Patok Tambang Bentuk adaptasi lain yang diperlihatkan oleh warga adalah dengan memodifikasi lingkungan mereka, yaitu dengan membuat patok tambang yang dilakukan secara swadaya dari masyarakat. Patok tambang ialah tiang-tiang yang nantinya akan diikatkan tali tambang, hal ini
d.
Peringatan Dini Sebelum Banjir Kejadian banjir yang seringkali melanda wilayah RW 10 Kelurahan Bukit Duri, membuat warga menjadi terbiasa dengan adanya peringatan dini mengenai banjir. Dimana sistem peringatan dini atau early warning system ini merupakan salah satu upaya penyesuaian system yang dibuat oleh manusia terhadap system alam, yakni curah hujan, ketinggian air, dan banjir (Pasteur, 2011). Dengan adanya sistem ini membuat dapat meningkatkan ketangguhan masyarakat, dimana dengan adanya ini maka dapat meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam merespon banjir. Peringatan dini mengenai informasi ketinggian air ini digunakan oleh warga sebagai rambu untuk aksi selanjutnya yaitu mengamankan barang berharga mereka jika informasi tersebut mengatakan bahwa banjir akan melanda wilayah ini. Dengan adanya hal ini dampak banjir dapat diminimalisir, yaitu dengan upaya kesiapsiagaan yang dilakukan masyarakat tersebut. System ini merupakan system yang berjangka panjang, dan masih berkelanjutan hingga kini, sehingga jika di kaitkan dengan konsep Pasteur (2011) sistem peringatan dini ini merupakan salah satu cara yang dilakukan masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim yang dapat menyebabkan banjir. Selain itu jika dilihat dari konsep ADPC (2006) (Bab2, h.29), sistem peringatan dini ini merupakan dukungan dari pemerintah setempat, dimana masyarakat memanfaatkan dukungan ini untuk meningkatkan ketangguhan mereka, selain itu juga, pengalaman masyarakat terhadap kejadian banjir, membuat early warning system ini
Ketangguhan Masyarakat ..., Priliana Ramadhani, FISIP UI, 2012
sudah ada di dalam memory mereka, dimana mereka memahami apabila informasi yang diberikan mengenai angka-angka ketinggian air di pintu air, maka warga sudah mampu memprediksi ketinggian banjir yang akan melanda wilayahnya, hal ini juga sudah di bahas pada pembahasan sebelumnya. Sistem peringatan dini ini dsebarkan melalui cara-cara kreatif (ADPC, 2006), seperti menggunakan toa masjid maupun toa yang ada di Kelurahan, kemudian melalui Radio/HT dari pihak kelurahan kepada RW, menggunakan SMS/telepon yang biasanya lebih efektif dan cepat dalam hal penyebaran informasinya, juga menggunakan papan informasi yang di update secara manual baik oleh pihak RW maupun RT, dengan cara ini, warga harus lebih aktif dalam mencari tahu informasi, namun jika menggunakan SMS, penyebaran informasi akan lebih cepat dan efektif. Selain itu, jika dilihat, early warning sytem ini merupakan hal penting bagi warga dalam menghadapi banjir, yakni untuk menentukan tindakan yang harus dilakukan oleh warga selanjutnya dalam merespon informasi yang diberikan oleh system ini. e.
Melaksanakan Kerja Bakti Setiap Minggu Kegiatan kerja bakti merupakan salah satu upaya untuk menyesuaikan dengan perubahan iklim yang ada. Dimana perubahan iklim yang seringkali menyebabkan banjir, disesuaikan melalui kegiatan kerja bakti yang dilakukan setiap minggu secara konsisten oleh masyarakat. Kegiatan kerja bakti ini merupakan himbauan dari pemerintah setempat, dalam operasionalnya kerja bakti ini masih terus dilakukan oleh masyarakat, masih berkelanjutan, namun ada hal yang tidak sejalan dengan tujuan utama dari kerja bakti ini. Kerja bakti pada umumnya adalah untuk membersihkan lingkungan dari sampah. Namun pada kenyataannya, kerja bakti yang dilakukan oleh warga menjadi sia-sia lantaran perilaku warga dalam membuang sampah yang tidak kunjung berubah. Masih banyak warga khususnya yang tinggal di bantaran membuang sampah di sungai. Hal ini mereka lakukan dengan berbagai alasan, seperti tidak tersedianya sarana pembuangan sampah di dekat pemukiman mereka. Memang saat observasi terlihat tidak adanya tempat sampah yang bisa djadikan tempat pembuangan sampah sementara oleh warga.
Selain itu warga juga menyadari bahwa kerja bakti yang dilakukannya adalah percuma, dimana mereka melakukan kerja bakti dan membuang sampahnya ke pinggir sungai. Tidak hanya itu, adanya iuran sampah memberatkan warga, khususnya mereka yang memiliki ekonomi menengah kebawah, menurut mereka yang tinggal di bantaran sungai, daripada harus membayar iuran sampah, lebih baik mereka membuang sampah di sungai yang tepat berada di belakang rumahnya. Hal ini memperlihatkan bahwa fungsi sungai bagi warga adalah sebagai tong sampah raksasa, dimana sampah yang dibuang akan langsung hanyut terbawa air.
f.
Memiliki Pekerjaan Lebih Dari Satu Pada umumnya warga memiliki lebih dari satu pekerjaan, hal ini merupakan bentuk adaptasi yang dilakukan oleh warga untuk dalam menghadapi banjir. Pekerjaan yang mereka geluti merupakan pekerjaan informal, yang pendapatannya tidak menentu, seperti berdagang, menjadi tukang ojek, kuli bangunan, bahkan pemulung, namun ada juga warga yang bekerja sebagai buruh swasta maupun PNS. Bagi warga yang umumnya pedagang maupun tukang ojek, biasanya mereka melakukan kedua pekerjaan tersebut, atau bahkan ketiganya, dalam temuan lapangan juga terlihat ada warga yang juga memulung, hal ini dilakukannya juga ketika sedang terjadi banjir, yaitu dengan memungut botol bekas yang hanyut terbawa oleh aliran banjir. Menurut warga, mereka melakukan ini dengan tujuan untuk dapat menutupi kebutuhan, terlebih lagi kebutuhan ekstra yang dikeluarkan pasca banjir, seperti untuk perbaikan dan semacamnya. Sehingga mereka bisa mendapatkan penghasilan tambahan yang dapat digunakan untuk disimpan maupun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Upaya ini merupakan salah satu tindakan kreatif warga, dimana mereka mampu beradaptasi dengan berbagai bidang pekerjaan, untuk dapat mengurangi kerentanan mereka dalam aspek ekonomi dengan mencari penghasilan tambahan (ADPC, 2006).
Ketangguhan Masyarakat ..., Priliana Ramadhani, FISIP UI, 2012
A.1.3. Kemampuan untuk Dapat Memenuhi Kebutuhan Pangan Menurut Pasteur (2011) ini merupakan kemampuan masyarakat untuk dapat terus memenuhi kebutuhan pangan bahkan ketika sedang terjadi bencana besar. Hal ini memperlihatkan memapuan masyarakat untuk dapat terus memenuhi kebutuhan pangannya bahkan ketika sedang terjadi banjir besar. a.
Menyimpan Cadangan Makanan Beberapa warga menyimpan cadangan sebagai persiapan mereka untuk menghadapi banjir, cara ini merupakan salah satu cara yang diungkapkan oleh Pasteur (2011). Sedangkan dalam ADPC (2006) kemampuan ini merupakan kemampuan yang dilakukan untuk meminimalisir dampak banjir, yaitu dengan memliki persediaan (stok penyangga). Pada temuan lapangan, masyarakat melakukan ini pada tahap sebelum banjir, yaitu ketika mengetahui akan banjir, kemudian mereka mempersiapkan cadangan makanan berupa makanan instan yang mudah di olah dalam kondisi di tengah banjir. Warga yang menyimpan cadangan makanan biasanya juga mengkonsumsinya bersama dengan warga lain yang mengungsi di satu tempat yang sama. Hal ini memperlihatkan tidak semua warga memilih untuk menyimpan cadangan makanan. Mereka lebih cenderung untuk menunggu bantuan, jika banjir besar terjadi. Namun jika banjir kecil, warga yang tidak menyimpan cadangan makanan pun mempunyai asumsi sendiri yakni banjir kecil akan cepat surut, sehingga mereka tidak pelru unutk menyimpan cadangan makanan, hal ini mungkin juga dikarenakan ketika banjir kecil, warga tidak akan tertahan lama di lantai atas rumahnya, sehingga mereka masih bisa bertahan sampai banjir tersebut surut.
b.
Membeli Dengan Uang Tunai Upaya lain yang dilakukan adalah dengan membeli dengan uang tunai. Warga biasanya membeli makanan ketika banjir, namun hal ini juga jarang dilakukan karena biasanya ketika sedang terjadi banjir, terutama banjir besar maka harga makanan akan menjadi lebih mahal. Selain itu asumsi warga lainnya, jika banjir besar, maka banyak bantuan logistik yang beredar yang bisa mereka manfaatkan. Oleh karena itu, masyarakat lebih memilih untuk menunggu bantuan daripada
harus membelinya. Cara ini merupakan salah satu cara pemenuhan kebutuhan pangan yang diungkapkan oleh Pasteur (2011).
c.
Melalui Bantuan Warga yang tidak menyimpan cadangan makanan, maupun tidak membeli makanan, maka cara lain adalah mendapatkannya melalui bantuan, baik yang diberikan lembaga bantuan seperti Kelurahan melalui dapur umumnya, maupun bantuan dari masyarakat, organisasi, LSM, dll yang memberikannya, dan juga bantuan dari keluarga. Biasanya bantuan yang diandalkan oleh warga ketika sedang terjadi banjir besar adalah dapur umum yang berada di posko Kelurahan. Dapur umum ini merupakan dapur umum yang disediakan oleh pihak Kelurahan, dimana yang mengelola adalah ibu-ibu PKK, dengan kata lain, warga lah yang mengelola dapur umum tersebut. Menu yang disedikan berupa nasi dengan lauk seadanya, baik mie, telor maupun tempe. Hal ini terkadang membuat warga merasa bosan dengan menu yang tidak jauh dari milor. Walaupun menu yang di sediakan sederhana, namun mencukupi kebutuhan warga akan pangan. Warga mengaku selama ini kebutuhan akan pangan mereka khususnya dalam suasana banjir selalu terpenuhi. Sejauh ini warga memperlihatkan kemampuannya untuk dapat memenuhi kebutuhan pangannya khususnya ketika terjadi banjir, menggunakan ketiga cara tersebut, dimana ketiga cara tersebut sama seperti halnya yang diungkapkan oleh Pasteur (2011), dan mayoritas warga yang mengandalkan bantuan tersebut, khususnya melalui dapur umum menjadi salah satu cara yang paling ampuh dan mudah dijangkau selama ini, terbukti dengan kebutuhan pangan mereka yang selalui terpenuhi bahkan pada saat banjir besar pada tahun 2007 melanda wilayah mereka.
Jika dilihat secara keseluruhan dari temuan lapangan yang ada, pada umumnya masyarakat sudah cukup tangguh dalam menghadapi banjir di wilayahnya, khususnya banjir kecil yang terjadi, dimana mereka mampu untuk mengatasi banjir kecil (1-2 meter) secara mandiri. Hal ini juga dikarenakan pengalaman warga yang sudah berulang kali menghadapi banjir membuat mereka menjadi lebih antisipatif ketika datang musim
Ketangguhan Masyarakat ..., Priliana Ramadhani, FISIP UI, 2012
penghujan. Namun jika dilihat dari penyebab banjir di wilayah tersebut, menurut BNPB (2011) salah satunya adalah karena ulah masyarakat sendiri yang dengan sengaja tinggal di daerah rawan banjir dengan menggunakan bantaran sungai sebagai tempat tinggal. Pada dasarnya konsep ketangguhan ini merupakan konsep yang positif, namun jika dilihat dari konteks masyarakat bantaran yang sengaja tinggal di daerah banjir tersebut mengindikasikan adanya perilaku menyimpang pada masyarakat, mengingat daerah pinggir sungai bukanlah daerah yang patut untuk dijadikan pemukiman namun mereka dengan sengaja tetap menjadikan wilayah tersebut sebagai tempat tinggal. Kenyataan tersebut membuat ketangguhan yang ada dapat mendukung atau bahkan dapat mempermanenkan perilaku menyimpang yang ada pada masyarakat bantaran, yakni perilaku yang tidak aman karena tinggal di daerah rawan banjir, begitupula dengan adanya dukungan dari pemerintah berupa bantuan-bantuan untuk mengatasi banjir memperlihatkan secara tidak langsung pemerintah pun melegalkan masyarakat untuk bermukim di wilayah yang seharusnya tidak menjadi tempat pemukiman. Selain itu, hal ini juga memperlihatkan ketidaktegasan pemerintah dalam melakukan tata kelola lingkungan yang ada di wilayah tersebut sehingga dengan mudahnya warga membangun pemukiman tepat di pinggir sungai. A.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Masyarakat Ketangguhan masyarakat tidak terlepas dari faktorfaktor yang mempengaruhinya. Terdapat tujuh faktor yang saling berkaitan menurut pfefferbaum et al., (2004, 2007) yakni: hubungan; komitmen, dan nilai kebersamaan; partisipasi; struktur; peran, dan tanggung jawab; sumber daya; dukungan dan asuhan; refleksi kritis dan pengembangan keahlian; dan komunikasi. Hal ini kemudian akan dihubungkan satu persatu terhadap elemen resiliensi masyarakat
Dalam masyarakat terdapat nilai-nilai kebersamaan, yaitu gotong royong, serta komitment terhadap masyarakat sehingga ada upaya untuk menjaga satu sama lain. Faktor ini mempengaruhi resiliensi masyarakat dalam kemampuannya untuk mengelola resiko, beradaptasi, dan memenuhi kebutuhan. Adanya faktor ini meningkatkan kapsitas masyarakat dalam upayanya untuk mengelola banjir, khususnya pada saat banjir. Dengan adanya kerjasama warga dalam melakukan evakuasi dengan sendirinya menurunkan dampak banjir khususnya terhadap warga yang terjebak oleh banjir dan meminta pertolongan. Selain itu, adanya komitmen terhadap masyarakat membuat terjalinnya solidaritas diantara masyarakat, terlihat dari kerelaan masyarakat untuk membantu anggotanya ketika banjir menghancurkan rumahnya, sehingga membuatnya mampu melewati kesengsaraan. Selain itu faktor ini juga mempengaruhi resiliensi masyarakat dalam upaya beradaptasi dengan lingkungan salah satunya ditunjukkan dengan adanya patok tambang yang dibangun berdasarkan swadaya dan kerjasama masyarakat. Adanya keprihatinan terhadap kondisi wilayah yang rawan bencana, maka masyarakat memutuskan untuk membuat patok tambang bersamasama, hal ini memberikan manfaat besama yakni mereka menjadi termudahkan untuk berjalan ketika banjir dengan adanya patok tambang tersebut. Begitu juga dalam upaya masyarakat untuk mendapatkan makanan. Dimana kerjasama diantara anggota masyarakat memungkinkan mereka untuk mendapatkan makanan. Dapat dilihat ketika banjir terjadi dimana beberapa warga yang bertahan bersama-sama kehabisan cadangan makannya, bekerjasama untuk mendapatkan makanan dari dapur umum yang ada di Kelurahan, beberapa warga yang turun kesana mengambil makanan untuk warga lainnya, sehingga mereka semua dapat memenuhi kebutuhan makanannya dalam keadaan banjir besar.
A.2.1. Keterkaitan, Komitmen, dan Nilai Kebersamaan
A.2.2. Partisipasi
Keterkaitan antar anggota masyarakat, rasa memilik, serta komitmen kuat terhadap masyarakat terintegrasi dalam hubungan yang ditemukan dalam kemasyarakatan dikarakteristikkan dengan adanya keprihatinan dan manfaat bersama, seharusnya berkontribusi membangun konsensus serta kerjasama. Masyarakat yang menghargai keragaman antar anggota akan lebih baik dalam mengatasi kebutuhan anggota dalam menghadapi kesulitan.
Partisipasi dapat membantu masyarakat mengatasi kebutuhan dan permasalahan yang muncul dalam hubungannya dengan bencana.Bentuk partisipasi masyarakat seperti aktif dalam kegiatan kebencanaan dapat mempengaruhi resiliensi masyarakat dalam hal kemampuan untuk mengelola bencana, beradaptasi, dan memenuhi kebutuhan pangan.
Ketangguhan Masyarakat ..., Priliana Ramadhani, FISIP UI, 2012
Adanya partisipasi masyarakat dalam kebencaan, dapat membantu masyarakat lain khususnya pada saat evakuasi. Karena ketika evakuasi, dibutuhkan tenagatenaga masyarakat untuk membantu proses evakuasi. Biarpun evakuasi dilakukan oleh pihak diluar masyarakat, tetap partisipasi atau keterlibatan masyarakat dibutuhkan, mengingat masyarakat yang lebih mengenal wilayahnya, sehingga dengan adanya partisipasi tersebut diharapkan dapat melancarkan proses evakuasi. Tidak hanya itu, dalam distribusi bantuan juga dibutuhkan partisipasi masyarakat untuk membagikannya kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkan. Selain itu partisipasi juga sangat dibutuhkan dalam membantu masyarakat memenuhi kebutuhannya akan pangan. Seperti yang dilakukan ibu-ibu PKK yaitu berpartisipasi dalam menyiapkan makanan untuk para pengungsi sangat membantu masyarakat khususnya dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu makan.Tanpa adanya partisipasi dari ibu-ibu PKK tersebut, mungkin tenaga yang ada sangat terbatas bisa mengakibatkan terlantarnya para pengungsi. A.2.3. Struktur, Peran, dan Tanggung Jawab Dalam resiliensi masyarakat, interaksi berkala, dukungan, serta kerjasama dilakukan bersama individu maupun kelompok yang mengidentifikasi dan mengatasi masalah umum.Dalam hal ini, masyarakat memiliki hubungan yang timbal balik yang baik dengan pemerintah dan organisasi. Dimana masyarakat membutuhkan pemerintah dan organisasi lain, begitu juga sebaliknya. Responsivitas pemerintah dalam masalah bencana, yaitu dalam hal pemberian informasi mengenai banjir maupun dalam penyediaan posko dan dapur umum, dinilai positif oleh warga.Hal ini menciptakan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sehingga terjalin kerjasama yang baik diantara masyarakat dan pemeritah. Dukungan dan kerjasama antara pemerintah, organisasi dan masyarakat mempengaruhi resiliensi masyarakat dalam upaya pengelolaan bencana, adaptasi, maupun pemenuhan kebutuhan pangan. Dalam upaya pengelolaan bencana, masyarakat membutuhkan informasi dari pemerintah setempat maupun organisasi lain, selain itu juga ketika terjadi banjir, masyarakat membutuhkan dukungan dari pemerintah dan organisasi kebencanaan yakni bantuan untuk mendapatkan alat-alat kebencanaan seperti ban karet, pelampung dan sebagainya, juga tempat pengungsian dan bantuan logistik. Namun dibutuhkan pula dukungan masyarakat terhadap pemerintah dan organisasi untuk melancarkan kegiatan kebencanaan.Hal ini juga berarti struktur peran
dan tanggung jawab mempengaruhi resiliensi masyarakat dalam upaya adaptasi dan pemenuhan kebutuhan pangan ketika terjadi banjir. A.2.4. Sumber Daya Menurut Pfefferbaum et.al (2007) (dalam Blumenfield & Ursano, 2008), masyarakat yang tangguh mampu memperoleh, mengerahkan, mengalokasikan dan menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai tujuan masyarakat. Sumber daya yang ada di masyarakat pada umumnya adalah hubungan sosial diantara masyarakat, sumber daya ini merupakan sumber daya yang ada di masyarakat dan paling mudah diakses oleh masyarakat. Dengan adanya sumber daya sosial yang baik warga mampu menghadapi kondisi banjir di wilayah ini. Hal tersebut karena dengan adanya sumber daya sosial, maka warga dapat saling tolong menolong diantara warganya. Tanpa adanya hubungan sosial diantara masyarakat, tidak akan terjalin kerjsama yang baik diantara masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam hal informasi mengenai ketinggian air, diperoleh melalui kerjasama, yakni kerjasama dalam menyebarkan informasi, kemudian jika dilihat dari evakuasi warga, tanpa adanya hubungan sosial yang di masyarakat tidak akan ada warga yang dapat mengevakuasi warga lain yang membutuhkan, karena hal tersebut tidak dapat dilakukan sendiri. Oleh karena itu, hubungan sosial yang baik merupakan sumber daya yang penting yang harus dimiliki oleh masyarakat. Begitu pula hubungan sosial yang ada warga rw 10 kelurahan bukit duri, yakni hubungan sosial yang sangat baik, di tandai dengan kerjasama yang baik diantara warga masyarakat dalam mengelola banjir. Selain itu juga, terdapat jaringan sosial di masyarakat, seperti dengan media massa. Dengan adanya media massa, sangat bermanfaat bagi mereka, khususnya penyebaran informasi yang dilakukan oleh media massa berakibat adanya bantuan-bantuan dari luar, baik dari media massa sendiri maupun dari masyarakat lain, instansi atau kelompok kepentingan tertentu yang memberikan bantuannya kepada masyarakat. Sedangkan sumber daya finansial yang ada dimasyarakat merupakan sumber daya yang terbatas, terbatas karena pada umumnya warga bekerja sebagai pedagang yang mana pedagang tidak memiliki penghasilan yang tetap seperti pegawai. Kemudian ada pula sumber daya manusia berupa warga yang aktif dalam organisasi kebencanaan, kemudian pengalaman masyarakat terhadap banjir merupakan sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat yang dapat menjadi dasar dan tolak ukur untuk tindakan yang akan dilakukan oleh
Ketangguhan Masyarakat ..., Priliana Ramadhani, FISIP UI, 2012
masyarakat khususnya terhadap banjir. yang terakhir adalah sumber daya fisik, yakni berupa lantai dua rumah mereka, maupun posko-posko pengungsian yang ada, atau alat-alat antisipasi banjir yang dimiliki oleh warga. Menurut Pfefferbaum et.al (2007) (dalam Blumenfield & Ursano, 2008) sumber daya yang memadai harus mampu untuk menggantikan dan melengkapi satu sama lain sehingga kegiatan masyarakat dapat terus berjalan walaupun dalam peristiwa bencana. Jika dlilihat dari konsep tersebut, sumber daya yang ada di masyarakat merupakan sumber daya yang saling melengkapi dan dapat menggantikan satu sama lain. Misalnya dengan keterbatasan sumber daya finansial dengan hubungan sosial yang dimiliki oleh masyarakat dapat saling melengkapi satu sama lain. Masyarakat yang sumber daya finansialnya terbatas dapat ditutupi dengan ada nya modal sosial yang kuat yaitu dengan adanya bantuan dari masyarakat, baik berupa tenaga maupun swadaya-swadaya yang diberikan, selain itu keterbatasan pengalaman warga dapat dibantu dengan warga lain yang aktif dalam organisasi kebencanaan, belum lagi keterbatasan sumber daya fisik maupun alat-alat antisipasi bencana yang dimiliki oleh warga di lengkapi daengan sumber daya fisik yang disediakan oleh pemerintah setempat, baik berupa peralatan antisipasi bencana maupun posko pengungsian. Melihat dari kenyataan dilapangan, warga sudah mampu memperoleh, mengalokasikan dan menggunakan sumber daya yang tersedia dengan baik untuk membantu upayanya dalam mengelola banjir, beradaptasi dan memenuhi kebutuhan pangannya.serta meningkatkan kapasitasnya dalam menghadapi banjir hingga membuatnya mampu mengembalikan kondisi ekonomi sosialnya seperti sedia kala. A.2.5. Dukungan dan Pengasuhan Dukungan dan pengasuhan yang ada di masyarakat RW 10 Kleurahan Bukit Duri diberikan baik oleh Kelurahan, maupun organisasi dan masyarakat, instansi dan parpol yang memiliki kepentingan. Dukungan diberikan oleh mereka dalam bentuk bantuan ketika terjadi banjir, sedangkan pemerintah dan organisasi yang ada, seperti PMI tidak hanya memberikan dukungan, melainkan juga pengasuhan melalui upaya pemberdayaan yang dilakukan kepada masyarakat. Misalnya Kelurahan dengan memberikan pemberdayaan kepada masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan warga melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan mengenai banjir atau PMI yang memperlihatkan pengasuhannya kepada warga dengan membetuk siaga bencana berbasis masyarakat
(SIBAT) dengan memberikan pelatihan kepada mereka.
pengetahuan
serta
Dampak dari pengasuhan tersebut bersifat jangka panjang yakni dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan kemandirian warga dalam menghadapi banjir. Sedangkan bantuan-bantuan yang diberikan ketika banjir oleh stakeholder lain, seperti industri sektor swasta hanya bersifat insidental atau short-term, melalui bantuan yang diberikan pada saat terjadi banjir besar, umumnya berupa bantuan logistik. Seperti yang diungkapkan oleh Pfefferbaum et.al (2007) (dalam Blumenfield & Ursano, 2008) dimana dalam ketangguhan, mekanisme dukungan diberikan kepada kelompok rentan baik sebelum, saat, dan setelah. Seperti yang dilakukan pemerintah, mulai dari sebelum terjadi banjir dengan memberikan peringatan dini, hingga pemulihan, sedangkan PMI memberikan permberdayaan kepada masyarakat dan membantu dalam memberikan dan pendistribusian bantuan bagi warga ketika terjadi banjir. Namun upaya pemberian dukungan dan pengasuhan dalam penanganan banjir masih menjadikan pemerintah setempat, dan lembaga non profit seperti PMI tersebut sebagai tulang punggung untuk memberikannya dimana peran PMI dalam penangan banjir di wilayah ini menjadi cukup signifikan, pasalnya mereka selain memberikan dukungan berupa bantuan-bantuan tanggap darurat setiap kali warga membutuhkan, juga memberikan pengasuhan yakni dengan membentuk SIBAT, dimana hal ini dapat meningkatkan kemampuan dan kemandirian warga dalam menghadapi banjir, yaitu warga tersebut yang kemudian menjadi aktor utama dilapangan ketika terjadi banjir. Sedangkan dukungan dari partai politik sendiri tidak terlalu signifikan, pasalnya hanya ada pada saat banjir apalagi saat menjelang pilkada, hal ini memperlihatkan bahwa bantuan yang diberikan oleh partai politik bukanlah bantuan yang bisa diandalkan, karena mereka hanya hadir ketika menjelang pilkada atau ketika memiliki kepentingan tertentu, sama halnya bantuan yang diberikan oleh perusahaan yang hanya bersifat insidental atau hanya ketika terjadi banjir saja, dan bantuan itu pun tidak pasti dalam artian tidak selalu ketika terjadi banjir perusahaan memberikan bantuannya kepada warga. Hal ini memperlihatkan keterlibatan dengan sektor swasta maupun partai politik yang masih minim, atau hanya bersifat bantuan insidental atau ketika ada kepentingan tertentu yaitu seperti menjelang pilkada. Bantuan yang ada pun tidak berupa pemberdayaan yang berkesinambungan kepada masyarakat, atau hanya bantuan sekali habis untuk memenuhi kebutuhan pada
Ketangguhan Masyarakat ..., Priliana Ramadhani, FISIP UI, 2012
saat banjir. Hal ini memperlihatkan, minimnya kerjasama antara pemerintah dengan pihak swasta khususnya, padahal jika terjalin kerjasama yang baik dengan sektor swasta, mereka dapat membantu dalam hal pengasuhan dengan melihat adanya potensi CSR yang umumnya dimiliki oleh sektor-sektor swasta. A.2.6. Pengembangan Keahlian Menurut Pfefferbaum et.al (2007) (dalam Blumenfield & Ursano, 2008) (Bab 2, h.32) keahlian dalam hal ini mencakup kemampuan untuk mengidentifikasi dan dan mengatasi masalah dengan menggunakan informasi, dimana mereka mempelajari keberhasilan dan kegagalan serta belajar dari kesengsaraan sebelumnya, hal ini berarti bahwa keahlian dapat dikembangkan melalui pengalaman sebelumnya. Begitu pula upaya pengembangan keahlian yang dilakukan oleh warga melalui keterlibatan mereka melalui organisasi-organisasi kebencanaan, maupun melalui pengetahuan-pengetahuan yang diberikan, misalnya penyuluhan mengenai banjir yang diberikan oleh pemerintah setempat. Berkembangnya keahlian warga di tandai dengan perubahan sikap warga yang lebih antisipatif dalam menghadapi banjir. Selain itu juga di tunjukkan dengan munculnya inisiatif-inisatif dari warga dalam upaya beradaptasi dengan kondisi lingkungannya. A.2.7. Komunikasi Komunikasi menurut Pfefferbaum et.al (2007) (dalam Blumenfield & Ursano, 2008) dalam masyarakat yang tangguh di perkuat dengan adanya komunikasi yang efektif dan jelas serta tepat waktu. Hal ini dicerminkan oleh komunikasi yang ada di masyarakat RW 10 Kelurahan Bukit Duri dalam hal komunikasi informasi mengenai banjir dilakukan dengan berbagai cara tersebut melalui Toa, HT, HP, SMS, selain itu juga melalui papan kapur yang ditulis secara manual. Dengan berbagai media penyebaran informasi yang digunakan, membuat warga mendapatkan informasi mengenai ketinggian air. Begitu pula jika ada bantuan, yang umumnya di distribusikan ke Kelurahan, namun ada juga bantuan langsung yang diberikan langsung melalui pos RW, maka penyebaran informasi mengenai keberadaan bantuan pun dengan cepat di ketahui oleh warga. Komunikasi yang ada juga sudah cukup untuk dapat memastikan mobilisasi sumber daya maupun bantuan kepada masyarakat. Namun dalam komunikasi khususnya penyebaran informasi tersebut, masih ada warga yang tidak
mengetahui adanya informasi, hal ini dikarenakan informasi yang di sebarkan pada malam hari ketika warga sedang tidur, atau juga disebabkan karena warga merupakan pendatang baru di wilayah ini. Hal ini memperlihatkan bahwa penyebaran informasi mengenai ketinggian air tersebut masih kurang efektif, khususnya pada malam hari, dimana penyebaran yang terjadi pada malam hari lebih lemah daripada informasi yang tersebar pada siang hari. Jika dilihat, pada malam hari warga menjadi lebih rentan, dimana mayoritas mereka dalam kondisi tidur, sehingga tidak mengetahui kondisi situasi mengenai ketinggian air, oleh karena itu diperlukan upaya lebih untuk dapat menyebarkan informasi secara efektif kepada warga khususnya pada malam hari, agar semua warga bisa menerima informasi tersebut. A.2.8. Tekad Faktor lain yang terungkap di temuan lapangan adalah adanya tekad masyarakat untuk dapat pulih dari kondisi mereka khususnya pasca banjir. Dimana tekat masyarakat ini dutunjukkan dengan sikap mereka yang tidak menyerah dengan keadaan. Mereka (warga) tetap berusaha untuk dapat memulihkn kondisi yang ada, seperti untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk keluarganya pasca banjir. Tekad menurut merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi ketangguhan masyarakat yang diungkapkan oleh IFRC/RC (dalam ADPC, 2006), dengan adanya tekat mereka untuk dapat terus bertahan dan pulih dari kondisi yang ada membuat mereka mampu melalui masa sulit dan bangkit kembali. Dari beberapa faktor yang ada, menurut informan faktor yang paling menonjol dan paling mempengaruhi ketangguhan masyarakat dalam menghadapi banjir adalah adanya nilai-nilai kebersamaan, sumber daya dan dukungan dari pemerintah maupun pihak lain, namun tidak hanya itu, adanya tekad pada diri masyarakat itu sendiri juga memberikan pengaruh secara signifikan bagi keberhasilan mereka untuk dapat bertahan bahkan bangkit kembali setelah terkena banjir. Faktor-faktor tersebut saling menggantikan dan melengkapi satu sama lain, seperti misalnya hubungan sosial yang kuat diantara masyarakat terbentuk dengan salah satunya dengan adanya nilai kebersamaan yang menciptakan adanya kerjasama diantara warga melalui gotong-royong yang biasa dilakukan khususnya pada saat terjadi banjir. Tidak hanya itu, hal ini juga di dukung adanya tekad masyarakat untuk mampu bertahan dan pulih dari kondisi mereka sehingga menciptakan kerjasama dan meningkatkan ketangguhan masyarakat ditengah keterbatasan sumber daya yang ada, khususnya sumber daya. Dengan adanya tekad, masyarakat menjadi tidak
Ketangguhan Masyarakat ..., Priliana Ramadhani, FISIP UI, 2012
mudah menyerah dengan keadaan, dan terus berusaha untuk dapat bangkit serta pulih dari kondisi tersebut, walaupun sumber daya yang dimiliki minim, namum mereka mampu menggunakannya secara maksimal untuk dapat kembali ke kondisi semula. Selain itu, keterbatasan sumber daya yang dimiliki masyarakat juga dapat di lengkapi dengan adanya dukungan dan pengasuhan dari pemerintah setempat maupun organisasi dan pihak lain. Sehingga ketangguhan masyarakat dalam menghadapi banjir dapat berhasil dengan adanya sumber daya yang mereka miliki, dan dukungan yang mampu menyokong sumber daya mereka yang terbatas.
berkenaan dengan apakah banjir yang terjadi akan semakin besar atau tidak. Informasi tersebut berguna bagi warga sebagai rambu apakah mereka harus mengungsi atau tidak. Kalaupun harus mengungsi, mayoritas warga mengungsi ke Posko Terpadu Penanggulangan Banjir yang ada di Kelurahan dengan didasari adanya fasilitas yang lebih lengkap seperti dapur umum, tempat pengungsian maupun kebutuhan lain saat banjir yang tersedia di posko tersebut. Warga yang mengungsi diutamakan adalah wanita, anak-anak dan orang tua, dimana mereka biasanya di evakuasi oleh warga setempat dan dilakukan secara kolektif atau bergotong-royong dengan sesama warga.
4. Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan ketangguhan masyarakat RW 10 Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan dalam menghadapi banjir serta menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi ketangguhan mereka. Ketangguhan masyarakat dalam menghadapi banjir ditunjukkan dalam beberapa hal, yakni kemampuan untuk mengelola resiko banjir, kemampuan untuk beradaptasi, serta kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan khususnya ketika terjadi banjir besar. Kemampuan untuk mengelola banjir ditunjukkan oleh warga dalam tiga fase, yakni sebelum banjir, saat banjir dan setelah banjir. Kemampuan tersebut di perlihatkan melalui tindakan-tindakan untuk mengatasi banjir mulai dari sebelum banjir dengan mencari informasi mengenai ketinggian air, yang kemudian dilanjutkan dengan mengamankan barang-barang berharga mereka agar tidak terkena banjir, serta mempersiapkan perlengkapan untuk mengantisipasi banjir. Tindakan yang dilakukan oleh warga sebelum terjadi banjir sudah cukup baik, dimana mereka lebih antisiptif dan siap dalam menyambut datangnya musim penghujan dengan didasari oleh pengalaman serta pengetahuan yang dimilikinya. Namun penyebaran informasi mengenai ketinggian air yang masih kurang pada malam hari, diperparah dengan tidak adanya ronda malam yang dilakukan warga membuat informasi tersebut terkadang tidak tersampaikan atau telat diterima oleh warga. Kemampuan mengelola resiko yang ditunjukkan pada saat terjadi banjir juga pada umumnya sudah cukup baik, dimana warga secara mandiri dapat mengatasi banjir yang terjadi di wilayahnya, khususnya banjirbanjir kecil dengan ketinggian 1-2 meter, mereka masih dapat bertahan di lantai dua rumahnya. Informasi ketinggian air pun terus diperbaharui ketika terjadi banjir,
Kemudian ketangguhan juga di cerminkan dalam kemampuan mereka untuk keluar dari masa sulit dan bangkit kembali, namun upaya pemulihan ini khususnya rekonstruksi masih dilakukan oleh masyarakat secara mandiri dengan menggunakan sumber daya seadanya, sedangkan pemerintah sejauh ini hanya aktif dalam pemulihan lingkungan serta pemulihan kesehatan warga. Warga sejauh ini dapat melalui masa-masa sulit akibat banjir, dan segera bangkit kembali dengan menjadi produktif atau kembali bekerja seperti biasa tidak lama setelah banjir yang melanda wilayahnya surut. Kemampuan adaptasi juga ditunjukkan oleh warga dengan berbagai cara seperti meninggikan bangunan rumah, membuat tanggul air sederhana, membuat patok tambang, melaksanakan kerja bakti setiap minggu yang dilakukan secara konsisten, mengandalkan system peringatan dini yang digunakan sebagai rambu untuk tindakan berikutnya, serta memiliki pekerjaan lebih dari satu. Bentuk adaptasi warga ini pada umumnya sudah memperlihatkan kemampuan mereka, dan secara signifikan dapat mengurangi dampak dari banjir itu sendiri yang juga mencerinkan ketangguhan warga untuk beradaptasi dengan kondisi rawan banjir di wilayahnya tersebut. Namun adaptasi yang dilakukan warga masih kurang, yakni tidak dibarengi dengan perubahan tingkah laku dalam membuang sampah ke tempat yang seharusnya. Hal ini menyebabkan kerja bakti yang dilakukan oleh warga setiap minggu menjadi sia-sia. Ketangguhan masyarakat juga digambarkan melalui kemampuan mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan khususnya pada saat terkena banjir besar. Kemampuan ini ditunjukkan melalui tiga cara, yakni dengan menyimpan cadangan makanan, membelinya, dan dengan mengandalkan bantuan. Masyoritas warga mengandalkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan pangannya khususnya ketika sedang terjadi banjir besar, selain karena mudah di dapat, juga keberadaannya yang
Ketangguhan Masyarakat ..., Priliana Ramadhani, FISIP UI, 2012
pasti seperti dapur umum yang ada di posko banjir di Kelurahan, dan umumnya selalu dapat mencukupi kebutuhan pangan para pengungsi. Secara keseluruhan warga sudah cukup tangguh dalam menghadapi banjir dengan kemampuankemampuan yang dimilikinya. Namun ketangguhan yang ada pada masyarakat, khususnya masyarakat bantaran sungai dapat menjadi hal negatif, dimana dengan adanya ketangguhan tersebut dapat mempermanenkan perilaku yang tidak aman pada masyarakat, yaitu dengan sengaja membangun atau bertahan untuk bermukim di bantaran sungai, hal ini juga memperlihatkan ketidaktegasan pemerintah dalam melakukan tata kelola lingkungan di wilayahnya, sehingga banyak warga dengan mudah membangun dan bermukim dipinggiran sungai yang dapat membahayakan mereka. Sedangkan terkait dengan ketangguhan itu sendiri terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya, namun faktor yang paling berpengaruh bagi masyarkaat adalah adanya nilai kebersamaan yang terwujud dalam bentuk gotong-royong yang menciptakan kerjasama yang baik di masyarakat khususnya dalam menghadapi banjir, selain itu faktor sumber daya yang ada di masyarakat merupakan faktor penting untuk dapat menghadapi banjir, dimana mayoritas warga menggunakan sumber daya yang dimilikinya terlebih dahulu untuk mengatasi banjir walaupun sumber daya tersebut terbatas, namun dengan adanya faktor dan dukungan dari pemerintah maupun organisasi serta pihak lain dapat meyokong ketersediaan sumber daya yang terbatas tersebut, yang dapat digunakan untuk menghadapi banjir. Disamping itu, tekad masyarakat untuk dapat melalui masa sulit dan bangkit kembali terlihat dan menjadi faktor yang berpengaruh terhadap ketangguhan warga untuk dapat menghadapi banjir. Dengan adanya tekad untuk dapat bangkit kembali membuat mereka tidak mudah putus asa dengan keadaan, dan bahkan membuat mereka untuk terus berusaha agar dapat kembali seperti sedia kala.
5. Daftar Pustaka Adi, I.R. (2005). Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Pengantar Pada Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasan. Depok: FISIP UI Press. Adi/Yus. (2012). Warga Sekitar Sungai Ciliwung Terbiasa Banjir. 6 Desember 2012 http://berita.plasa.msn.com/nasional/sctv/articl e.aspx?cp-documentid=5768401
ADPC.
(2006). Community-Based Disaster Management. Bangkok: Thailand
Risk
Alatas, M, Z. (2011). Banjir? Sudah Biasa Tuh… 6 Desember 2012 http://koranjakarta.com/index.php/detail/view01/77654 Bappenas. (2007). Laporan Perkiraan Kerusakan dan Kerugian Pasca Bencana Banjir Awal Februari 2007 di wilayah JABODETABEK (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Jakarta Blumenfield, M., Ursano, Robert, J,. (2008). Intervention and Resilience After Mass Trauma. New York: Cambridge University Press. BNPB
.(2012). Sebaran Kejadian Bencana per 2012 Kabupaten. 15 Oktober http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.j sp?countrycode=id&continue=y&lang=ID
-----. (2009). Laporan Harian Pusdalops. Jakarta Caljow, M., Nas, Peter, J.M., & Pratiwo. (2005). Flooding in Jakarta. Towards a Blue City With Improved Water Management. Cax. (2008). Dinas Dikmenti Rencanakan Relokasi SMA Negeri 8 Bukit Duri. 8 Desember 2012 http://www.merdeka.com/pernik/dinasdikmenti-rencanakan-relokasi-sma-negeri-8bukit-duri-zqti46i.html IDEP. (2007). Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat. Bali: Yayasan IDEP Isaacson, B (2002). Characteristic and Enhancement of Resliency in Young People. Paper submitted of the requirements for the master of science degree with a majoring guidance and counseling of University of Wisconsin-Stout. Kusuma, M. Syahril., et al. (2010). Studi Pengembangan Peta Indeks Resiko Banjir Pada Kelurahan Bukit Duri Jakarta. Dalam Jurnal Tekni Sipil Vol 17, No 2. Hlm 123-134 Laluyan, Tirza. T., Sumampouw, Nathanael., dkk. (2007). Pemulihan Trauma: Panduan Praktis
Ketangguhan Masyarakat ..., Priliana Ramadhani, FISIP UI, 2012
Pemulihan Trauma Akibat Bencana. Depok: Fakultas Psikologi UI Neuman, W. Lawrence. (2006). Social Research Methods (6ed).Boston: Pearson Education, Inc. Pasteur, Katherine. (2011). From Vulnerability to Resilience: A framework for analysis and action to build community resilience. UK: Practical Action Publishing. Pratiwi,
A.C. (2009). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Untuk Tetap Tinggal di Daerah Rentan Bencana. FISIP UI: Ilmu Kesejahteraan Sosial
The World Bank. (2009). Climate Resilient Cities: A Primer on Reducing Vulnerabilities to Disasters.
-----. (2011). JAKARTA: Tantangan Perkotaan Seiring Perubahan Iklim.Kusuma, M. Syahril., et al. 2010. Studi Pengembangan Peta Indeks Resiko Banjir Pada Kelurahan Bukit Duri Jakarta.Dalam Jurnal Tekni Sipil Vol 17, No 2. Hlm 123-134 WHO (2007) “Emergency Situation Report #6”. 8 Desember 2012 http://www.who.or.id/eng/display.asp?id=esr
Ketangguhan Masyarakat ..., Priliana Ramadhani, FISIP UI, 2012